Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 6

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 6 Maka Tin Ok bilang: "Kalau benar, ia datang, jietee sama lioktee, kamu halangi mereka, nanti aku yang turun tangan!" Demikian mereka bersiap sedia. Tin Ok bersama Cu Cong dan Coan Kim hoat bukan bangsa sembrono akan tetapi menyaksikan keanehan Kwee Ceng dan di atas jurang kedapatan itu sembilan tengkorak dari Bwee Tiauw Hong, kaut kepercayaan mereka bahwa Bwee Tiauw Hong adalah orang yang mengajari Iweekang kepada murid mereka. Nyatanya, tidaklah demikian duduknya hal. Kapan tadi malam Kwee Ceng tiba di atas jurang, si imam sudah menantikan dia, hanya si imam ini segera menunjuk seraya berkata: "Kau lihat, apakah itu?" Di bawah sinar rembulan guram, Kwee Ceng lihat sembialn tengkorak. Tentu saja ia menjadi kaget. "Adakah ini diatur oleh Hek Hong Saing Sat?" ia tanya. "Eh, kau pun kenal Hek Hong Siang Sat?" si imam tanya, heran. Kwee Ceng mengangguk. Ia tuturkan hal pertempuran gurunya semua dengan Hek Hong Siang Sat itu dengan kesudahan gurunya yang kelima terbinasa. ia pun kasih tahu bagaimana dengan cara kebetulan ia dapat menikam mati pada Tan Hian Hong. Si imam itu tertawa. "Kiranya si Mayat Perunggu yang lihay itu terbinasa di tanganmu!" katanya. "Tetapi totiang, adakah si Mayat Besi itu datang" Apakah totiang dapat lihat padanya?" tanya Kwee Ceng. "Aku belum lama sampai disini," sahut si imam. "Tempo aku sampai, tumpukan ini sudah ada. Tadinya aku menyangka ini permainan gila dari muridnya Oey Yok Su dari Tho Hoa To. Tanghay. Kalau begitu, tentulah si Mayat Besi datang untuk mencari guru-gurumu itu." "Dia telah buta kedua matanya kena dihajar toasuhu, kami tidak takut," kata Kwee ceng. Si imam jumput satu tengkorak, ia periksa itu, lalu ia menggeleng-geleng kepala. "Orang ini hebat ilmu silatnya," katanya kemudian. "Aku khawatir gurumu itu bukan tandingannya. Umpama kata aku pun membantu pihakmu, masih belum tentu kita menang." Si imam bicara dengan sungguh-sungguh, Kwee Ceng kaget dan heran. "Pada belasan tahun dulu dia masih belum buta, dia masih tidak dapat lawan tujuh guruku," ia bilang. "Dan sekarang kita ada berdelapan...." "Sebelum kau datang, aku pun telah memikirkannya," berkata si imam. "Tidak dapat aku menduga sampai dimana lihaynya jeriji-jeriji tangannya itu, maka sekarang kita harus mengerti, setelah toh dia datang untuk mencari, dia mestinya ada punya andalannya". "Sebenarnya mau apa dia menyusun tengkorak-tengkorak di sini?" Kwee Ceng tanya. "Apakah bukan sengaja dia hendak membikin kita mendapat tahu dan bersiap sedia?" "Aku pikir tidak demikian. Tengkorak ini ada hubungannya sama Kiu Im Pek-ku iauw, maka itu aku percaya, dia rupanya menyangka orang tak bakal datang ke tempat ini, siapa tahu, kita justru biasa datang kemari hingga kita mempergokinya." Hati Kwee ceng menjadi tidak tenang. "Kalau begitu baiklah aku nlekas pulang untuk memberitahukan guru-guruku," katanya. "Baiklah," sahut si imam. "Sekalian kau bilangi bahwa ada satu sahabatnya memesan dengan perantaraan kau bahwa lebih baik mereka menyingkir dari dia itu, untuk mereka memikirkan daya perlawanannya. Tak dapat dia dilawan keras." Kwee ceng terima pesan itu, lantas ia hendak berlalu, atau tiba-tiba si imam sambar pinggangnya, untuk dipondong, buat segera diajak berlompat ke belakang batu besar, untuk keduanya berjongkok. kaget ini bocah, hendak ia menanyakan sebabnya, atau mulutnya didului dibekap, buat diajak mendekam. "Jangan bersuara," berbisik si imam itu yang terus mengintai. Dalam herannya, Kwee Ceng berdiam dan turut mengintai juga. Orang tidak usah menanti terlalu lama akan lantas terlihat berkelebatnya satu bayangan, disusul sama munculnya satu tubuh, yang dibawah sinar rembulan tampak nyata. Itulah Tiat-sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi denagn rambutnya yang panjang dan riap-riapan. Setahu bagaimana dia naiknya, sedang disebelah belakang jurang itu ada terlebih terjal tebingnya daripada bagian depan. Kwee Ceng terkejut ketika Bwee Tiauw Hong memutar tubuh, matanya memandang ke tempat sembunyi mereka. Tapi si Mayat Besi tidak lihat siapa juga, dari itu dia terus dududk bersila di atas batu di mana biasa si anak muda bersemadhi. Di situ ia lantas menyakinkan ilmu dalamnya. Menampak ini insyaflah Kwee Ceng akan pentingnya ilmu yang si imam ajari padanya, karenanya ia jadi sangat bersyukur kepada si imam konde tiga ini yang tidak dikenal. Bab 13. Tipu Lawan Tipu Berselang sesaat, tubuhnya Bwee Tiauw Hong kasih dengar suara meretek, mulanya perlahan, lalu menjadi nyaring seperti meletusnya suara kacang goreng yang digoreng terlalu matang. Cuma suara yang terdengar, tubuhnya sendiri tidak bergerak, Kwee Ceng heran walaupun ia tidak mengerti latihan orang yang luar biasa itu. Tak lama, dari keras dan nyaring, suara mereteknya Tiauw Hong menjadi kendor, lalu berhenti. Habis itu, dia bangkit berdiri, tangan kirinya menarik sesuatu dari pinggangnya. Kwee Ceng hanya lihat berkelebatnya sinar putih perak dari suatu benda seperti ular panjang. Ia terkejut pula. Sekarang ia melihat nyata itulah joan pian, cambuk lemas putih yang mengkilap. Kim-liong-pian dari Han Po Kie panjang Cuma enam kaki, cambuk ini berlipat sepuluh kali. Mungkin enam tombak. Cambuk ini terus dicekal di tengahnya kedua tangan, sambil tertawa, Tiauw Hong lantas bersilat. Hebat bergeraknya cambuk lemas itu, cepatnya luar biasa. Yang hebat adalah tempo cambuk dipegang ujungnya dengan sebelah tangan kanan, ujungnya yang lain menghajar batu besar! Habis itu Kwee Ceng dibikin kaget sama ujung cambuk yang emnyambar ke arahnya. Ia lihat tegas, ujung itu ada punya belasan gaetan yang tajam. Ia tidak takut, untuk bela diri, ia cabut pisaunya yang tajam, untuk dipakai menangkis. Belum lagi kedua senjatanya beradu, ia rasakan lengannya sakit sekali, lengan itu orang kasih paksa turun sedang bebokongnya ditekan supaya ia mendekam pula. Ia bergerak tanpa ia merasa. Sekejap saja, ujung cambuk lewat di atasan kepalanya! Anak tanggung ini mengeluarkan peluh dingin. "Kalau totiang tidak tolong aku, habis hancur kepalaku..." pikirnya. Setelah matanya buta, Bwee Tiauw Hong sengaja menyakinkan cambuk lemas. Kupingnya menjadi terang sekali, sedikit saja suara berkelisik, ia dapat dengar. Dalam jarak enam tombak, sukar orang lolos dari cambuknya yang panjang itu, yang ia telah latih dengan sempurna.. Dengan ketakutan, Kwee Ceng mendekam, napasnya ia tahan. Habis berlatih, Tiauw Hong simpan cambuknya itu. Sekarang ia keluarkan suatu apa dari sakunya, ia letaki itu ditanah, lalu tangannya meraba-raba. Ia berdiam, seperti lagi memikirkan sesuatu. Ketika ia berbangkit, ia bikin gerakan seperti berlatih silat. Ia kembali meraba barangnya itu , lagi ia berpikir. Beberapa kali ia berbuat begitu, baru ia simpan pula barangnya itu. Diakhirnya ia ankat kaki, berlalu dari belakang jurang darimana ia datang tadi. Kwee Ceng menghela napas lega. Ia berbangkit. "Mari kita ikuti dia, entah ia bakal kasih pertunjukkan apalagi," berkata si imam, yang pun lantas bangun. Malah ia sambar pinggang bocah itu, untzk bawa ia turun dari belakang jurang itu. Kwee Ceng dapat kenyataan, dibagian belakang ini, orang pun bisa naik dengan melapati di oyot rotan. Cara ini telah digunai oleh si Mayat Besi. Setibanya mereka di bawah, terlihat Tiauw Hong berada jauh di arah utara. Si imam kempit Kwee Ceng, ia lari menyeusul. Dan Kwee Ceng merasakan dirinya seperti dibawa terbang. Lama mereka berlari-lari, di waktu langit mulai terang, Tiauw Hong tiba di satu tempat di mana ada banyak kemah, di sana ia menghilang. Si imam mengcoba mengikuti terus, untuk ini, mereka mesti menyingkir dari serdadu-serdadu penjaga. Di tengah-tengah ada sebuah kemah terbesar, tendanya berwarna kuning. Di belakang ini si imam mendekam, lalu ia dan Kwee Ceng menyingkap tenda, untuk melihat ke dalam. Justru itu terlihat satu orang, dengan goloknya membacok satu orang lain, yang rubuh dengan segera dan terbinasa, rubuhnya ke dekat tenda di mana dua orang itu tengah mengintai. Kwee Ceng kenali, si terbunuh itu adalah pengiringnya Temuchin, ia menjadi heran. Ia singkap lebih tinggi tenda, untuk melihat tegas si pembunuh, yang ekbetulan menoleh, maka ia lantas kenali sebagai Sangum, putranya Wang Khan. Dia itu sudah lantas susuti goloknya pada sepatu. "Sekarang kau tidak akan sangsi pula, bukan?" berkata Sangum itu. Di situ ada satu orang lain, ia ini kata," Saudara angkatku Temuchin pintar dan gagah, belum tentu kau akan berhasil." Sangum tertawa dingin, dia kata: "Jikalau kau menyayangi kakak angkatmu, nah, pergilah kau melaporkannya!" Orang itu menyahuti: "Kau adalah adik angkatku, ayahmu juga perlakukan aku baik sekali, sudah tentu aku tidak bakal sia-siakan padamu!" Kwee Ceng kenali orang itu adalah saudara angkat sehidup semati dari Temuchin, yaitu Jamukha, ia menjadi heran sekali. Pikirnya: "Mustahilkah mereka bersekutu untuk mencelakai Khan yang agung" Bagaimana ini bisa terjadi?" Lalu terdengar seorang lain: "Setelah kita berhasil, maka semua ternak, orang perempuan dan hartanya Temuchin terjatuh kepada Sangum, semua sebawahannya untuk Jamukha, dan dari pihak kami negara Kim yang besar, Jamukha bakal diangkat menjadi Tin Pak Ciauw-touw-su." Pangkat itu adalah pangkat tertinggi untuk wilayah utara dengan tugas memanggil menakluk dan menghukum pemberontak. Kwee Ceng tidak melihat tegas muka orang itu, karena orang itu berdiri membelakangi dia, maka ia menggeser, ketika ia melihat dari samping, ia seperti mengenalinya. Orang ada memakai jubah bulu ynag mahal, dandannya mewah. Ia tak usah mengingat-ingat lama, akan kata dalam hatinya: "Ah, ialah pangeran keenam dari negara Kim!" Jamukha tertarik dengan janji itu, ia berkata: "Asal saja ayah angkatku Wang Khan memberikan titahnya, aku tentu menurut." Sangum menjadi girang sekali, ia bilang: "Berapa susahnya untuk ayahku memberi titahnya" Sebentar akan aku minta titahnya itu, tidak nanti ia tidak memberikannya!" Wanyen Lieh, si putra Raja Kim yang keenam itu, berkata: "Negeriku yang besar bakal lantas berangkat ke Selatan untuk menumpas kerajaan Song, itu waktu kamu berdua masing-masing boleh memimpin duapuluh ribu serdadu untuk membantu, setelah usahanya berhasil, kamu bakal dapat hadiah lainnya lagi!" Sangum girang sekali, ia berkata: "Kabarnya negara di Selatan itu adalah negara yang indah permai, di seluruh tanahnya penuh denagn emas dan orang-orang perempuannya ada bagaikan bunga-bunga, jika Tuan Pangeran mengajak kita bersaudara pergi ke sana, sungguh bagus sekali!" Wanyen Lieh tersenyum. "Sekarang tolong kedua tuan bilangi aku, cara bagaimana kamu hendak menghadapi Temuchin?" dia tanya. Selagi Kwee Ceng memasang kuping, ia rasai si imam menarik ujung bajunya, kapan ia menoleh, ia dapatkan imam itu menunjuk ke belakang. Ia lantas berbalik. Maka ia lihat Bwee Tiauw Hong sedang membekuk satu orang, rupanya ditanyakan sesuatu. "Biar apa dia lakukan, buat sesaat ini guru-guruku tidak bakal menghadapi bahaya," Kwee Ceng berpikir. "Biar aku dengari persekutuannya mereka ini yang hendak mencelakai Khan yang agung." Maka itu ia mendekam terus seraya memasang kupingnya. Terdengar Sangum berkata: "Temuchin itu telah jodohkan putrinya kepada putraku, baru saja ia kirim utusan untuk membicarakan hari pernikahan." Dia menunjuk orangnya Temuchin yang telah ia binasakan itu. Dan melanjuti kemudian: "Aku sudah lantas kirim orang untuk memberi balasan, aku minta ia besok datang sendiri untuk berembuk bersama ayahku. Aku percaya ia bakal datang dan tentunya tanpa membawa banyak pengiring, maka itu baiklah kita sembunyikan orang disepanjang jalan. Temuchin boleh mepunyai tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti ia lolos dari jaring perangkapku ini! Ha-ha-haha!" Kwee Ceng kaget dengan berang gusar. Ia tidak sangka ada orang sedemikian jahat, yang hendak membinasakan saudara angkatnya sendiri. ia masih hendak mendengari lebih jauh etika ia rasakan si imam sambar ia untuk ditekan, menyusul mana Tiauw Hong berkelebat lewat, di tangannya ada orang yang dikempitnya. Sekejap saja, si Mayat Besi sudah lewat jauh. Si imam tarik tangan si bocah, akan pergi meninggalkan kemah beberapa puluh tindak, lalu ia berbisik: "Tiauw Hong lagi cari orang untuk menanyakan tempat kediaman gurumu. Mari lekas, kalau terlambat bisa gagal!" Kwee Ceng terpaksa menurut, maka bersama-sama mereka lari pesat, menuju kemahnya Kanglam Liok Koay. Ketika itu hari telah siang. Di sini si imam berkata: "Sebenarnya tidak hendak aku perlihatkan diriku, akan tetapi urusan ada begini penting, bahaya tengah mengancam, tidak dapat aku berkukuh lebih lama lagi. Pergilah kau masuk ke dalam, bilang pada gurumu bahwaTan-yang-cu Ma Goik mohon bertemu sama Kanglam Liok Koay." Dua tahun Kwee Ceng ikuti imam ini, baru sekarang ia ketahui nama orang. Cuma ia tetap belum tahu, siapa imam ini yang semestinya lihay. Ia mengangguk, tanpa ayal, ia lari ke dalam kemah. "Suhu!" ia berseru begitu ia menyingkap tenda. Baharu saja ia memanggil itu, mendadak ia merasakan dua tangannya sakit, tangannya itu kena orang sambar, disusul mana sakit di kakinya yang kena ditendang, maka terus ia rubuh, akan setelah itu, sebatang tongkat melayang ke kepalanya! Bukan main kagetnya ia, apapula kapan ia kenali, penyerangnya itu adalah Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu. Ia lantas meramkan mata, untuk menantikan kebinasaannya. Segera itu menyusul terdengar suara senjata bentrok, habis mana satu orang lompat kepada anak tanggung itu. Kwee Ceng segera kenali gurunya yang ketujuh, ialah Han Siauw Eng, siapa terus berseru: "Toako, tahan!". Pedang guru itu telah terpental. Tin Ok menghela napas, ia tancap tongkapnya. "Citmoay, hatimu lemah sekali!" katanya perlahan. Sekarang Kwee Ceng melihat, orang yang menyambar tangannya adalah Cu Cong dan Coan Kim Hoat. Ia menjadi sangat bingung. "Mana dia gurumu yang mengajarkan kau ilmu dalam"!" tanya Tin Ok kemudian dengan dingin. "Dia ada di luar, dia mohon bertemu sama suhu semua," sahut Kwee Ceng. Bukan main kagetnya Tin Ok berenam! Bagaimana mungkin Bwee Tiauw Hong datang diwaktu siang hari bolong" Maka bersama-sama mereka lompat keluar tenda. Tapi di bawah terangnya sinar matahari, di sana mereka tampak seorang imam tua, Bwee Tiauw Hong sendiri tidak ada bayangannya sekalipun. "Mana itu siluman perempuan" Cu Cong bentak muridnya. "Teecu telah lihat dia tadi, mungkin sebentar dia bakal datang kemari," sahut itu murid. Kanglam Liok Koay berdiam, lalu mereka mengawasi Ma Giok, mereka berenam menjadi ragu-ragu. Imam itu bertindak mau, ia menjura. "Sudah lama pinto mengagumi tuan-tuan, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung," dia berkata. Cu Cong lepaskan tangan Kwee Ceng, yang ia masih pegangi. Ia membalas hormat. Ia pun lantas berkata: "Tidak berani memohon tanya gelaran totiang." Sekarang Kwee Ceng ingat, belum lagi ia menolongi si imam menyampaikan berita, ia lantas berkata: "Inilah Tan-yang-cu Ma Goik Ma Totiang." Liok Koay heran, mereka terperanjat. Mereka tahu Ma Giok itu adalah murid kepala dari Ong Tiong Yang, yang menjadi kauwcu atau kepala agama dari Coan Cin Kauw. Setelah wafatnya Ong Tiong Yang, dengan sendirinya dia menjadi pengganti kepala agama itu. Tiang Cun Cu Khu Cie Kee adalah adik seperguruan dari Ma Giok ini. Dia biasanya berdiam di dalam kelentengnya, jarang sekali ia membuat perjalanan, dari itu, dalam hal nama ia kalah terkenal dengan Khu Cie Kee, sedang tentang ilmu silatnya, tidak ada orang yang mengetahuinya. "Kiranya ciang-kauw dari Coan Cin Kauw!" berkata Tin Ok. "Maafkan kami! Entah ada pengajaran apa dari ciang-kauw maka telah datang ke gurun Utara ini" Adakah kiranya berhubungan sama janji suteemu mengenai pibu di Kee-hin nanti?" "Suteeku itu adalah seorang pertapa, tetapi ia masih gemar seklai dalam urusan pertaruhan," berkata Ma Giok, "Mengenai tabiatnya itu, yang bertentangan dengan agama kami, sudah beberapa kali pinto menegurnya. Mengenai pertaruhan itu sendiri, pinto tidak ingin memcampurinya. Kedatanganku ini adalah untuk lain urusana. Pertama-tama pinto ingin bicara tentang anak ini. Pinto bertemu dengannya pada dua tahun yang lalu, pinto lihat dia polos dan jujur, denagn lancang pinto ajari dia cara untuk membantu panjang umurnya. Tentang itu pinto belum dapat perkenanan tuan-tuan, maka sekarang pinto mohon tuan-tuan tidak berkecil hati." Liok Koay heran tetapi tidak dapat mereka tidak mempercayainya. Coan Kim Hoat lantas saja lepaskan cekalannya kepada muridnya itu. Siauw Eng menjadi girang sekali. "Adakah totiang ini yang ajarkan kamu ilmu?" ia tanya muridnya. "Kenapa kau tidak hendak memberitahukannya dari siang-siang, hingga kami menjadi keliru menyangka terhadapmu?" Ia mengusap-usap rambut muridnya itu, nampaknya ia sangat menyayanginya. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Totiang larang aku bicara," Kwee Ceng jawab gurunya ini. "Pinto biasa berkelana, tidak suka pinto orang ketahui tentang diriku," Ma Giok berkata. "Itulah sebabnya walaupun pinto berada dekat dengan tuan-tuan tetapi pinto tidak membuat kunjungan. Tentang ini pinto pun memohon maaf." Ia lantas menjura pula. Kanglam Liok Koay membalas hormat. Mereka lihat orang alim sekali, beda daripada saudara-saudaranya, kesan mereka lantas berubah. Disaat enam saudara ini hendak tanyakan hal Bwee Tiauw Hong, justru itu terdengar suara tindakannya banyak kuda, lalu tertampak beberapa penunggang kuda tengah mendatangi ke arah kemahnya Temuchin. Kwee Ceng menjadi sangat bingung. tahulah ia, itu adalah orang-orangnya Sangum, yang hendak memancing Temuchin. "Toasuhu, hendak aku pergi sebentar, sebentar aku akan kembali!" kata ini anak muda dalam bingung dan khawatirnya. "Jangan, jangan pergi!" mencegah Tin Ok. "Kau berdiam bersama kami." Tin Ok mencegah karena ia menyesal atas perbuatannya yang semberono tadi. ia menjadi sangat menyayangi muridnya ini, karena mana, ia jadi berkhawatir untuk ancaman bahaya dari pihaknya Bwee Tiauw Hong. Bagaimana kalau si Mayat Besi datang dengan tiba-tiba" Kwee Ceng jadi semakin bingung. Ia masih bicara sama guru itu tapi si guru sudah lantas bicara sama Ma Giok tentang pertempuran mereka melawan Hek Hong Siang Sat. Terpaksa ia berdiam, hatinya berdenyutan. Segera setelah itu, terdengar pula congklangnya kuda, kapan Kwee Ceng menoleh, ia tampak datangnya Gochin. Putri itu menghentikan kudanya sejarak belasan tindak, lantas ia mengapai berulang-ulang. Kwee Ceng takut pada gurunya, ia tidak berani pergi menghampirkan, ia hanya menggapai, minta si tuan putri datang lebih dekat. Gochin menghampiri. kelihatan kedua matanya merah dan bendul, ruapanya ia baru habis menangis. Setelah datang dekat, ia berkata dengan suara seperti mendumal: "Ayahku....ayahku ingin aku menikah sama Tusaga..." Lalu air matanya turun pula. Kwee Ceng tidak sahuti putri itu, ia hanya kata: "Lekas kau pergi kepada Khan yang agung, bilang Sangum bersama Jamukha lagi mengatur tipu daya untuk membinasakan kepada Khan!" Gochin terkejut. "Benarkah itu?" tanyanya. "Tentu saja benar!" sahut Kwee Ceng. "Aku dengar sendiri persekutuan mereka itu! Lekas kau pergi kepada ayahmu!" Gochin menjadi tegang hatinya tetapi ia tertawa. "Baik!" katanya. Ia putar kudanya, untuk segera dikasih lari. Kwee Ceng heran. "Ayahnya hendak dibikin celaka orang, kenapa dia girang?" ia tanya dirinya sendiri. Lalu ia ingat suatu apa. "Ah! dengan begini bukankah ia jadi tidak bakal menikah sama Tusaga?" Maka ia pun bergirang. Ia memang sayangi Gochin sebagai adik kandungnya! Itu wkatu terdengar suaranya Ma Giok. "Pinto bukan hendak menangi lain orang dengan merendahkan diri sendiri, dengan sebenarnya Bwee Tiauw Hong itu telah jadi sangat lihay. Dia sekarang telah dapat mewariskan kepandaiannya Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To, Tanghay. ilmunya Kiu Im Pek-kut Jiauw sudah terlatih sempurnya, sedang cambuknya ada luar biasa. Kalau kita bekerjasama berdelapan, kita tidak bakal kalah, tetapi untuk singkirkan dia, jangan harap malah mungkin bakal rugi sendiri..." "Habis apa sakit hatinya ngoko dan toako mesti dibiarkan tak terbalas?" kata Siauw Eng yang selalu ingat Thio A Seng. "Sejak dahulu kala ada dibilang, permusuhan harus dilenyapkan, tetapi jangan diperhebat," Ma Giok bilang. "Tuan-tuan telah binasakan suaminya, bukankah berarti sakit hati itu telah terbalas" Dia sebatang kara, dia pun buta matanya, dia harus dikasihani." Liok Koay berdiam. "Dia melatih diri secara demikian hebat, setiap tahun ia telah bunuh berapa banyak orang yang tidak bersalah dosa," kata Po Kie kemudian, "Maka itu totiang, dapatkah kau membiarkannya saja?" "Laginya sekarang ini dia yang mencari kami, bukan kami yang emncari dia," CU Cong berkata pula. "Taruh sekarang kita menyingkir dari dia," Coan Kim Hoat menyambungi, "Kalau benar dia hendak menuntut balas, untuk selanjutnya tak dapat kita tidak berjagajaga. Inilah sulit!" "Untuk itu pinto telah dapat pikir suatu jalan untuk menghindarkannya," berkata Ma Giok. "Jalan ini ada sempurna, asal tuan-.tuan suka berlaku murah dan suka mengasihani dia untul membuka satu jalan baru untuknya." Cu Cong semua berdiam, mereka awasi kakak mereka, untuk dengar putusan si kakak. "Kami Kanglam Cit Koay biasa sembrono, kami Cuma gemar berkelahi," kata Tin Ok emudian. "Kalau totiang sudi menunjuki suatu jalan terang, kami pasti akan bersyukur. Silahkan totiang bicara." Tin Ok mengerti, imam ini bukan melulu memintakan ampun untuk Bwee Tiauw Hong, hanya orang lagi melindungi juga mereka sendiri. Selama sepuluh tahun ini, entah bagaimana kemajuannya si Mayat Besi. Suara kakaknya ini membikin heran saudarasaudaranya yang lain. "Kwa tayhiap berhati mulia, Thian tentu akan memberkahi," kata Ma Giok seraya mengangguk. "Satu hal hendak pinto memberitahukannya. Turut pikiranku, selama sepuluh tahun ini, mungkin sekali Bwee Tiauw Hong telah dapat pengajaran baru dari Oey Yok Su.... Cu Cong semua terkejut. "Hek Hong Siang Sat adalah murid-murid murtad dari Oey Yok Yu, cara bagaimana dia dapat ajarakan pula ilmu?" ia tanya. "Itulah memang benar," berkata Ma Giok, "Hanya setelah mendengar Kwa tayhiap berusan perihal pertempuran pada belasan tahun yang sudah lalu itu, pinto dapat menyatakan kepandaiannya Bwee Tiauw Hong telah maju pesat seklai, tanpa dapat penunjuk dari guru yang lihay, dengan belajar sendiri, tidak nanti ia dapat peroleh itu. Umpama kata sekarang kita dapat singkirkan Bwee Tiauw Hong, kemudian Oey Yok Su mendapat tahu, bagaimana nanti...?" Tin Ok semua berdiam. Mereka pernah mendengar perihal kepandaian Oey Yok Su itu, mereka masih kurang percaya sepenuhnya. Mereka mau menyangka orang bicara secara dilebih-lebihkan. tapi aneh kenapa Ma Giok ini nampaknya jeri kepada pemilik pulau Tho Hoa To itu" "Totiang benar," Cu Cong berkata kemudian. "Silakan totiang beri petunjuk kepada kami." "Pinto harap tuan-tuan tidak menertawainya," Ma Giok minta. "Harap totiang tidak terlalu merendah," kata Cu Cong. "Ada siapakah yang tidak menghormati Cit Cu?" Dengan "Cit Cu" dimaksudkan tujuh persaudaraan Tiang Cun Cu. "Bersyukur kepada guru kami, memang Cit Cu ini ada juga nama kosongnya di dalam dunia kangouw," kata Ma Giok. "Pinto percaya, terhadap kami dari Coan Cin Kauw, mungkin Bwee Tiauw Hong tidak berani lancang turun tangan. Karena ini juga, pinto hendak menggunai suatu akal untuk membikin ia kabur..." Lantas imam itu tuturkan tipunya. Sebenarnya Tin Ok tidak sudi mengalah, tetapi untuk membari muka kepada Ma Giok, terpaksa mereka menurut. Maka itu, habis bersantap, mereka sama-sama mandaki jurang. Ma Giok dan Kwee Ceng yang jalan di muka, Tin Ok berenam jalan di belakang Kwee Ceng, murid mereka itu. Mereka dapat lihat cara naiknya ma Giok. Mereka percaya, imam ini tidak ada di sebawahannya Khu Cie Kee, Cuma tabiatnya itu dua saudara seperguruan saja yang berbeda. Setibanya Ma Giok dan Kwee Ceng di atas, mereka lantas kasih turun dadung mereka, guna bnatu menggerek naik kepada Kanglam Liok Koay. Sesempai di atas, enam saudara itu segera dapat lihat tumpukan tengokraknya Bwee Tiauw Hong. Sekarang ini baharu mereka percaya habis imam itu. Lantas semua orang duduk bersamedhi, sambil beristirahat, mereka menantikan sang sore. Dengan lewatnya sang waktu, cuaca mulai menjadi guram, lalu perlahan-lahan menjadi gelap. Masih mereka menantikan, hingga tibanya tengah malam. "Eh, mengapa dia masih belum datang?" tanya Po Kie, mulai habis sabarnya. "St! Dia datang...!" kata Tin Ok. Semua orang berdiam, hati mereka berdenyut. Kesunyian telah memerintah di atas jurang itu. Sebenarnya Tiauw Hong masih jauh tetapi kuping lihay dari Tin Ok sudah mendengarnya. Sungguh gesit si Mayat Besi ini. Dia muncul dalam rupa seperti segumpal asap hitam. Dia terlihat nyata di bawah sinar rembulan. Setibanya di kaki jurang, ia lantas mulai mendaki. Ia seperti tidak menggunai kakinya, Cuma kedua tangannya. Dia seperti naik di tangga saja. Cu Cong semua yang mengawasi, mejadi kagum. Kapan Cu Cong berpaling pada Coan kim Hoat dan Han Siauw Eng, dia tampak wajah orang tegang. Ia percaya, wajahnya sendiri tentu begitu juga. Segera juga Tiauw Hong tiba di atas. Di bebokongnya ia menggendol satu orang, yang lemas, entah mayat atau orang hidup. Kwee Ceng terkejut kapan ia sudah lihat pakaian orang itu, yang adalah dari kulit burung tiauw yang putih. Itulah Gochin Baki, putrinya Temuchin, kawan kesayangannya. Tak dapat dicegah lagi, mulutnya bergerak, suaranya terdengar. tapi disaat itu juga, Cu Cong bekap mulutnya, seraya guru yang kedua ini berkata terus: "Kalau Bwee Tiauw Hong, si wanita siluman itu terjatuh ke dalam tanganku, - aku Khu Cie Kee - pasti aku tidak akan mau sudah saja!" Tiauw Hong dengar seruan kaget dan suaranya Kwee Ceng itu, ia heran, sekarang ia dengar suara orang bicara dan menyebut-nyebut Khu Cie Kee dan namanya juga, ia menjadi terlebih kaget. Ia lantas saja bersembunyi di samping batu untuk memasang telinga. Ma Giok semua telah dapat lihat tingkah laku si Mayat Besi ini, di dalam hati mereka tertawa. Cuma Kwee Ceng yang hatinya goncang, karena ia pikirkan keselamatannya Gochin. "Bwee Tiauw Hong atur tulang-tulangnya di sini, sebentar dia bakal datang," berkata Han Po Kie. "Kita baik tunggui saja padanya." Tiauw Hong sembunyi tanpa berani berkutik. Ia tidak tahu ada berapa orang lihay yang bersembunyi di situ. "Dia memang banyak kejahatannya," ia dengar suaranya Han Siauw Eng, "Tapi karena Coan Cit Kauw mengutamakan wales asih, baiklah ia diberi jalan baru...." Cu Cong tertawa. "Ceng Ceng San-jin sangat murah hati, pantas suhu pernah bilang kau gampang untuk mencapai kesempurnaan!" katanya. Siauw Eng bicara sebagai juga ia adalah Ceng Ceng San-jin. Kauwcu Ong Tiong Yang ada punya tujuh murid yang mendapat nama baik, tentang mereka itu, tidak seorang juga kaum kangouw yang tidak mengetahuinya. Murid kepala, si toa-suheng, ialah Tan-yang-cu Ma Giok. Yang kedua adalah Tiang-cin-cu Tam Cie Toan, yang ketiga Tiang-sen-cu Lauw Cie Hian. Yang keempat ialah Tang Cun Cu Khu Cie Kee, yang kelima Giok-yang-cu Ong Cie It. Yang keenam Kong-lengcu Cek Tay Thong. Dan yang terakhir adalah Ceng Ceng San-jin Sun Put Jie, istrinya Ma Giok pada sebelum Ma Giok sucikan diri. "Tam Suko, bagaimana pikiranmu?" tanya Siauw Eng. Ia tanya Hie Jin, yang disini menyamar sebagai Tam Cie Toan. "Dia berdosa tak terampunkan!" sahut Hie Jin sebagai Cie Toan. "Tam Suko," berkata Cu Cong, "Selama ini telah maju pesat sekali kau punya ilmu Cie-pit-kang, kalau sebentar si siluman perempuan datang, silahkan kau yang turun tangan, supaya kami yang menjadi saudara-saudaramu dapat membuka mata kami. Kau akur?" Hie in sengaja menyahut: "Lebih baik minta Ong Sutee yang gunai kaki besinya untuk dupak dia, untuk antarkan dia pergi ke sorga di Barat..." Dalam Coan Cin Cit Cu, Khu Cie Kee yang namanya paling tersohor, yang kedua adalah Ong Cie It, yang mendapat julukan Thie Kak Sian si Dewa Kaki Besi, karena lihaynya tendangannya dan pernah ia bertaruh mendaki jurang yang tinggi hingga ia dapat menakluki beberapa puluh orang gagah di Utara. Sembilan tahun ia mengeram di dalam gua, untuk menyakinkan kekuatan kakinya itu. Cie Kee sendiri puji padanya. Demikian mereka ini berbicara, seperti sandiwara. Cuma Tin Ok yang bungkam, karena ia khawatir suaranya dikenali Bwee Tiauw Hong. Pembicaraan itu membikin gentar hatinya si Mayat Besi, hingga ia berpikir: "Coan Cin Cit Cu telah berkumpul semua, kepandaian mereka juga maju pesat, kalau aku terlihat mereka, mana bisa aku hidup lebih lama?" Cu Cong berkata pula: "Malam ini gelap sekali sampai lima jeriji tangan sukar terlihat, kalau sebentar kita turun tangan, baik semua berlaku hati-hati. Kita mesti mencegah si siluman perempuan itu dapat meloloskan diri!" Girang Tiauw Hong mendengar itu. "Syukur langit gelap," katanya dalam hati. "Kalau tidak, dengan mata mereka yang lihay, mereka tentulah telah dapat lihat aku. Berterima kasih kepada Langit dan Bumi yang sang rembulan tidak muncul!" Kwee ceng sendiri mengawasi Gochin, perlahan-lahan si nona membuka matanya. Ia menjadi lega hatinya. itu tandanya si nona tidak dalam bahaya jiwa. ia lantas menggoyangi tangan, untuk mencegah si nona itu berbicara. Si nona tapinya tidak mengerti. "Engko Ceng lekas tolongi aku!" ia berteriak. Kwee Ceng menjadi sangat bingung. "Jangan bicara!" katanya. Tapi dia toh bicara dengan suara keras! Kagetnya Tiauw Hong tidak kalah dengan kagetnya si anak muda. Segera ia totok urat gagu si tuan putri itu. Ia lalu menjadi heran dan curiga. "Cie Peng, apakah kau yang barusan berbicara?" tanya Coan Kim kepada muridnya, yang disamarkan sebagai In Cie Peng. Kwee Ceng tahu peranannya. "Barusan teecu seperti dengar suara wanita," ia menyahut. Tiba-tiba Tiauw Hong ingat apa-apa. "Coan Cin Cit Cu ada disini semua" Benarkah ada begini kebetulan" Bukankah orang lagi menghina aku karena aku buta dan sengaja mereka mengatur sandiwara?" ia mulai geraki tubuhnya. Ma Giok kasih lihat gerakan si Mayat Besi itu, mengertilah ia bahwa orang mungkin mulai curiga. Ia menjadi berkhawatir. Kalau terjadi pertempuran, pihaknya tak usah takut, Cuma dikhawatirkan keselamatan Kwee Ceng dan Gochin. Dipihak Liok Koay juga mungkin bakal ada yang bercelaka. Cu Cong mengawasi gerak-geriknya Bwee Tiauw Hong, ia lihat bahaya mengancam, segera ia berkata dengan nyaring: "Toa suko, bagaimana dengan penyakinan pelajaran yang suhu ajarakan beberapa tahun ini, yaitu Kim-kwan Giok-cauw ie-sie Koat" Pastilah kau telah peroleh kemajuan. Coba kau pertunjuki untuk kami lihat." Ma Giok tahu Cu Cong ingin dia perlihatkan kepandaiannya guna menakluki Bwe Tiauw Hong, ia lantas menjawab: "Sebenarnya walaupun aku menjadi saudara yang tertua, lantaran aku bebal, tak dapat aku lawan kau, saudara-saudaraku. Apa yang aku dapati dari guru kita, dalam sepuluh tahun tidak ada dua.... Imam ini bicara secara merendah akan tetapi ia telah gunai tenaga dalamnya, maka itu suaranya nyaring luar biasa, terdengar tedas sampai jauh, berkumandang di dalam lembah. Bwee Tiauw Hong mengkerat mendengar suara orang itu. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat sembunyinya. Ma Giok llihat kelakuan orang, ia berkata pula: "Kabarnya Bwee Tiauw Hong telah buta kedua matanya, kalau benar, ia harus dikasihani juga, umpama kata ia menyesal dan suka mengubah kesalahannya yang dulu-dulu dan tidak tidak lagi mencelakai orang-orang yang tidak bersalah dosa serta tidak akan mengganggu pula kepada Kanglam Liok Koay, baiklah kita beri ampun kepadanya. Khu Sutee, kau bersahabat serat dengan Kanglam Liok Koay, pergi kau menemui mereka itu, untuk mohon mereka jangan membuat perhitungan pula dengan dia. Aku pikir, kedua pihak baiklah menyudahi urusan mereka." "Itulah perkara gampang," sahut Cu Cong. "Penyelesaiannya berada di pihak Bwee Tiauw Hong sendiri, asal dia suka mengubah perbuatannya...." Tiba-tiba terdengar suara dingin dari belakang batu: "Terima kasih untuk kebaikannya Coan Cin Cit Cu! Aku, Bwee Tiauw Hong ada di sini!" Semua orang terperanjat sangking herannya. Mereka duga Tiauw Hong jeri dan bakal menyingkirkan diri secara diam-diam, tidak tahunya dia benar bernyali besar, dia malah menghampiri mereka. Tiauw Hong berkata pula: "Aku adalah seorang wanita, tidak berani aku memohon pengajaran dari totiang beramai, tetapi telah lama aku dengar ilmu silatnya Ceng Ceng San-jin, ingin aku memohon pengajaran daripadanya..." Habis berkata, ia berdiri, siap sedia dengan cambuknya yang panjang itu. Kwee Ceng lihat Gochin rebah di tanah, tubuhnya diam saja, ia berkhawatir. Memang persahabatannya erat sekali dengan itu putri serta Tuli. Maka sekarang, tanpa pedulikan lihaynya Bwee Tiauw Hong, ia lompat kepada kawannya itu, untuk mengasih bangun padanya. Tahu-tahu tangan kirinya si Mayat Besi sudah lantas menyambar dan mencekal tangan kirinya. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Di satu pihak ia lemparkan tubuh Gochin kepada Siauw Eng, dilain pihak ia geraki tangan kirinya itu, untuk berkelit. Ia dapat lolos. Tapi Tiauw Hong benar-benar lihay, ia menyambar pula, kali ini ia memegang nadi orang, maka anak muda itu menjadi mati daya. "Siapa kau?" tanya si buta. Cu Cong memberi tanda dengan tangan kepada muridnya itu, atas mana Kwee Ceng segera memberikan penyahutan: "Teecu adalah In Cie Peng, murid dari Tiang Cun Cin-jin." Tiauw Hong segera berpikir: "Muridnya begini muda tetapi tenaga dalamnya sudah bagus sekali, ia dapat meloloskan diri dari tanganku. Baiklah aku menyingkir dari mereka..." Dengan perdengarkan suara, "Hm!" ia lepaskan cekalannya. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kwee Ceng lantas lari menjauhkan diri, apabila ia lihat tangannya, di situ ada petahan lima jari tangan, dagingnya melesak ke dalam. Coba si Mayat Besi tidak jeri, mungkin tangannya itu sudah tidak dapat ditolong lagi.... Oleh karena ini, Tiauw Hong pun tidak berani mengulangi tantangannya untuk mencoba menempur Sun Put Jie. Tapi ia ingat suatu apa, maka ia tanya Ma Giok: "Ma totiang, timah dan air perak disimpan denagn hati-hati, apakah artinya itu?" Ma Giok menyahuti: "Timah itu sifatnya berat, diumpamakan dengan rasa hati. Itu artinya, rasa hati harus dikendali, dengan berdiam, peryakinan berhasil." Tiauw Hong tanya pula: "Nona muda dan anak muda, apakah artinya itu?" Pertanyaan itu membuat Ma Giok terkejut. Itu bukanlah pertanyaan biasa. Katakata itu ialah istilah dalam kalangan agama To Kauw. Maka ia lantas membentak: "Silumanm, kau hendak mendapatkan pelajaran sejati" Lekas pergi!" Tiauw Hong tertawa lebar. "Terima kasih atas petunjukmu, totiang!" katanya. Terus ia berlompat, cambuknya digeraki melilit batu, apabila ia menarik dan tubuhnya mencelat, ia lompat ke arah jurang, gerakannya sangat enteng dan pesat, hingga orang semua kagum. Di lain pihak, orang berlega hati melihat perginya wanita bagaikan siluman itu. Ma Giok segera totok sadar kepada Gochin yang diletaki di atas batu untuk beristirahat. "Sepuluh tahun ia tak tertampak, tidak disangka si Mayat Besi telah jadi begini lihay," berkata Cu Cong. "Coba tidak totiang membantu kami, sudah tentu kami sukar lolos dari nasib celaka." "Jangan mengucap begitu," berkata Ma Giok, yang keningnya berkerut, suatu tanda bahwa ia ada mendukakan apa-apa. "Totiang, apabila kau memerlukan sesuatu, walupun kami tidak punya guna, kami bersedia untuk menerima titah-titahmu," Cu Cong tawarkan diri. Ia lihat imam itu berduka. "Harap totiang jangan segan-segan menitah kami." "Oleh karena kurang pikir, sejenak barusan pinto telah kena tertipu wanita yang sangat licin itu," berkata imam itu setelah menghela napas panjang. Cu Cong semua terkejut. "Adakah totiang dilukai senjata rahasia?" mereka tanya. "Itulah bukan," sahut imam itu. "Hanya tadi ketika ia menanya padaku, tanpa berpikir lagi, pinto telah jawab dia. Pinto khawatir jawaban itu nanti menjadi bahaya di belakang hari..." Cu Cong semua mengawasi, mereka tidak mengerti. "Ilmunya si Mayat Besi ini, yaitu yang disebut Gwa-mui atau ilmu luar, telah berada di atasan pinto dan saudara-saudara," sahut si imam kemudian, "Umpama kata Khu Sutee dan Ong Sutee berada di sini, masih belum tentu kita dapat menangkan dia. Hanya dalam Iweekang, atau ilmu dalam, dia belum menemui jalannya yang benar. Setahu darimana, dia rupanya telah dapat cari jalan itu, hanya karena tidak ada orang yang tunjuki, dia belum berhasil menyakinkannya. Tadi ia menanyakan jalan itu kepada pinto. Mestinya itu adalah jalan yang ia belum dapat tangkap artinya. Benar pinto telah baharu menjawab sekali, akan tetapi itu satu juga bisa membantu banyak padanya untuk ia peroleh kemajuan..." "Harap saja ia insyaf dan tidak nanti melakukan pula kejahatan," kata Siauw Eng separuh menghibur. "Harap saja begitu. Kalau dia tambah lihay dan tetap ia berbuat jahat, dia jadi terlebih sukar untuk ditakluki. Ah, dasar aku yang semberono, aku tidak bercuriga....!" Selagi Ma Giok mengatakan demikian, Gochin perdengarkan suara, lalu ia sadar. Terus ia angkat tubuhnya, untuk berduduk di atas batu. Ia rupanya sadar seluruhnya, karena ia lantas berkata kepada Kwee Ceng: "Engko Ceng, ayahku tidak percaya keteranganku, ayah sudah ajak orang pergi kepada Wang Khan..." Kwee Ceng kaget. "Kenapa Khan tidak percaya kepada kau?" ia tanya. "Tempo aku beritahukan bahwa kedua paman Sangum dan Jamukha hendak membikin ayah celaka, ayah tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang, lantaran aku tidak sudi menikah denagn Tusaga, aku jadi hendak memperdayainya. Aku telah jelaskan bahwa hal itu kau dengar dengan kupingmu sendiri, ayah malah jadi semakin tidak percaya. Ayah bilang, sepulangnya nanti, ia hendak hukum padamu. Ayah pergi dengan mengajak ketiga kakakku serta belasan pengiring. Karena itu aku segera berangkat untuk cari kau, tetapi di tengah jalan aku dibekuk perempuan buta itu. Adakah dia yang membawa aku menemui kamu?" Putri ini tak sadar akan bahaya yang mengancam padanya tadinya, maka itu Cu Cong dan yang lainnya kata dalam hati mereka: "Coba tidak ada kita disini, tentulah batok kepalamu sudah berlobang lima jari tanga..." "Sudah berapa lama Khan pergi?" tanya Kwee Ceng yang hatinya cemas. "Sudah sekian lama," sahut Gochin. "Mereka menunggang kuda pilihan. Tidak lama lagi tentulah mereka akan sudah sampai di tempatnya Wang Khan. Engko Ceng, Sangum dan Jamukha bakal celakai ayahku itu, bagaimana sekarang?" Lantas saja ia menangis. Kwee Ceng menjadi bingung. Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal sulit itu. "Anak Ceng lekas kau pergi!" berkata Cu Cong. "Kau pakai kuda merahmu itu untuk susul Khan yang agung! Umpama kata ia tidak mempercayaimu, dia harus mengirim orang untuk mencari keterangan terlebih dahulu. Dan kau, tuan putri, lekas kau pergi kepada kakakmu Tuli, untuk minta ia lekas siapkan tentara guna segera pergi menyusul dan menolongi ayahmu!" Kwee Ceng menginsyafi keadaan, tanpa ayal lagi, ia mendahului turun dari atas jurang, sedang Ma Giok denagn mengikat tubuh Gochin, telah turunkan tuan putri itu. Setibanya di lembah. Kwee Ceng kabur ke kemah di mana ia ambil kudanya, untuk menaikinya, guna dikasih lari sekeras-kerasnya. Ia khawatir Temuchin keburu sampai di tempat Wang Khan dan itu artinya bahaya untuk Khan yang maha agung itu. Di lain pihak ia menjadi girang sekali, ia puas benar dengan kudanya yang larinya sangat pesat, apapula di tanah rata. Pernah ia mencoba menahan, untuk berjalan perlahan-lahan, ia khawatir hewan itu terlalu letih, tetapi si kuda tidak mau berhenti, terus ia lari, nampaknya ia tidak takut capek. Selang dua jam, baru kuda itu mau juga diistirahatkan sebentar, habis mana, ia kabur pula. Sesudah lari lagi satu jam, tibalah Kwee Ceng di tempat datar dimana kedapatan tiga baris tentera yang jumlahnya mungkin tiga ribu jiwa. Dari benderanya ketahuan, itulah pasukan Wang Khan, yang siap sedia denagn panah dan golok terhunus. Di dalam hati Kwee Ceng mengeluh. Terang Temuchin telah lewat di situ, dan itu berarti, jalan pulang dari Khan agung itu telah terpegat. Karena ini, ia keprak kudanya untuk dikasih lari lewat di sini tentara itu. Ketika si opsir dapat ketahui dan berseru, untuk mencegah, ia sudah lewat jauh! Di tengah jalan Kwee Ceng tidak berani berlambat, malah tiga jagaan telah ia lewatkan terus. Maka itu kemudian ia sudah mulai dapat melihat bendera yang besar dari Temuchin. Setelah ia mendatangi lebih dekat, ia tampak rombongan dari belasan orang yang tengah maju terus, ia keprak kudanya, untuk tiba di samping khan itu. "Kha Khan, lekas kembali!" ia berteriak. "Jangan pergi lebih jauh!" Temuchin heran, ia tahan kudanya, "Ada apa?" ia menanya. "Ada bahaya," sahut Kwee Ceng, yang terus tuturkan persekutuannya Wanyen Lieh. Ia pun beritahukan perihal tentera pencegat di belakang mereka. Dengan roman bersangsi, Temuchin awasi bocah tanggung ini. Ia pun berpikir: "Memang Sangum tidak akur dengan aku, tetapi ayah angkatku, Wang Khan, tengah mengandali tenagaku. Saudaraku Jamukha ada sangat baik denganku, kita sehidup semati, apa mungkin nia hendak mencelaki aku?" Kwee Ceng tahu khan itu bersangsi, ia kata pula: "Kha Khan, cobalah kirim orang untuk periksa benar atau tidak ada tentara pencegat jalan!" Biar bagaimana, Temuchin adalah seorang yang teliti. Ia pun berpendirian, "Lebih baik terpedaya satu kali tetapi jangan mati konyol!" Maka ia terus berpaling pada Ogotai, putranya yang kedua itu dan Chilaun, panglimanya, untuk mengatakan: "Lekas kamu pergi menyelediki!" Dua orang itu sudah lantas lari balik. Temuchin memandang ke sekelilingnya. "Naik ke bukit itu!" Ia kasih perintah. "Siap sedia!" Dalam keadaan seperti itu, khan ini tidak jeri. Ia pun ada bersama orangorangnya ynag gagah, malah mereka ini tahu tugasnya, begitu naik ke atas bukit, mereka lantas menggali lobang dan memindahkan batu, buat berjaga-jaga diiri dari serangan anak panah. Tak lama dari selatan terlihat debu mengepul naik, disusul sama munculnya satu pasukan tentara terdiri dari beberapa ribu jiwa. Dipaling depan pasukan itu terlihat Ogotai dan Chilaun lari kabur mendatangi. Jebe ada sangat awas, ia tampak tentara itu tengah mengejar. "Benar-benar pasukannya Wang Khan!" ia berseru. Segera terlihat pula, pasukan pengejar itu memecah diri dalam diri dalam jumlah ratusan jiwa, mereka ambil sikap mengurung, guna memegat Ogotai dan Chilaun, siapa sudah lari terus, tubuhnya mendekam di punggung kuda, cambuknya dipecut berulang-ulang. "Anak Ceng, mari kita sambut mereka!" Jebe berteriak. Dan ia keprak kudanya, diturut oleh muridnya. Hebat lari kudanya kwee Ceng, mendahulukan gurunya, ia tiba lebih dahulu kepada Ogotai dan Chilaun, terus ia gunai panahnya, kapan tiga anak panahnya melesat, tiga pengejar terdepan rubuh dari kuda mereka. Cepat luar biasa, ia menyusuli dengan anak panahnya yang keempat. Jebe lebih lihay daripada muridnya ini, ia turut memanah, dengan berulang-ulang, maka denagn berulang-ulang sejumlah serdadu musuh rubuh terguling. Akan tetapi musuh berjumlah besar, mereka maju bagaikan gelombang! Ogotai dan Chilaun telah tahan kuda mereka dan berbalik, mereka sekarang turut menyerang denagn panah mereka, sembari menyerang mereka mundur ke bukit dimana Temuchin menanti. Di sini khan itu bersama Borchu, Juji dan lainnya, sudah lantas memanah juga. Panah mereka tidak pernah gagal, denagn begitu pihak pengejar dapat tertahan majunya. Temuchin naik ke tempat yang lebih tinggi, akan memandang jauh ke empat penjuru. Ia telah menyaksikan tentaranya Wang Khan tengah mendatangi di empat jurusan itu. Kemudian pada sebuah pasukan ia tampak seorang yang menunggang seekor kuda yang besar, yang ditawungi bendera kuning yang besar juga. Orang itu ialah Sangum, putranya Wang Khan. Ia lantas saja berpikir. Ia anggap ia mesti menang tempo, dengan memperlambat segala apa. Sendirian saja, sukar buat ia menoblos kurungan, Tuli sendiri belum tentu tepat datangnya, karena ada kemungkinan tentaranya tak mau dengar putra yang masih muda itu. "Adik Sangum, aku minta sukalah kau datang ke mari untuk bicara!" ia lanats teriaki itu saudara angkat. Dengan diiringi pasukan pengawalnya, Sangum mendekati bukit. Beberapa puluh tentara lain pun melindungi dia dengan mereka, siap sedia tameng besi mereka guna menangkis panah gelap. Ia berlaku jumawa. Ketika ia buka mulutnya, ia pun nyata sekali kepuasannya. "Temuchin, lekas menyerah!" demikian ia berteriak. Temuchin tidak menyahuti, ia hanya menanya: "Apakah salahku terhadap ayahku Wang Khan, maka kau bawa pasukanmu untuk menyerang aku?" Sangum pun menjawab dengan pertanyaannya: "Adakah sejak jaman dahulu kala bangsa Mongol tinggal pada masing-masing sukunya, ternaknya kambing dan kerbau adalah kepunyaan beramai satu suku, tetapi kau kenapa, kau langgar aturan leluhur kita" Kenapa kau hendak persatukan semua suku?" "Bangsa Mongolia telah diperhina oleh negara Kim, negara itu menghendaki kita setiap tahun membayar upeti beberapa laksa ekor kerbau, kambing dan kuda, adakah itu selayaknya?" Temuchin balik tanya. "Asal saja kuta bangsa Mongolia tidak saling menyerang, kenapa kita mesti takuti bangsa Kim itu?" Kata-kata ini tajam, kapan orang-orangnya Sangum mendengarnya, hati mereka goncang. Mereka setujui perkataan itu. Temuchin lanjtui perkataannya: "Bangsa Mongolia bangsa orang-orang peperangan yang pandai, kenapakah kita tidak hendak pergi mengambil emas dan perak dan permatanya bangsa Kim itu" Kenapa kita mesti tiap tahun membayar upeti terhadap mereka" Kita bangsa Mongolia ada diantaranya yang rajin memelihara kerbau dan kambing, ada juga yang malas dan cuma doyan gegares! Kenapa mereka yang rajin mengasih makan mereka yang malas itu" Kenapa kita tidak hendak memberikan lebih banyak kerbau dan kambing kepada yang rajin" Kenapa kita tidak mau membiarkan si malas itu mati kelaparan?" Dijaman dahulu bangsa Mongolia hidup dalam suatu keluarga atau suku, ternaknya adalah kepunyaan suku bersama, kemudian karena tenaga pertumbuhan mereka bertambah dan adanya pemakaian alat-alat dari besi, perlahan-lahan sifat itu berubah, ialah kebanyakan bangsa penggembala itu memakai cara memiliki sendirisendiri. Temuchin sengaja singgung sifat itu, ia membuatnya tentaranya Sangum menyetujuinya, diam-diam mereka itu pada mengangguk. Sangum mengerti orang lagi menghasut tentaranya. "Jikalau kau tidak mau menyerah!" ia membentak, "Asal aku menuding dengan cambukku ini, berlaksanaan anak panah bakal dilepaskan terhadap dirimu! Jikalau itu sampai terjadi, jangan kau memikir untuk hidup lebih lama pula!" Kwee Ceng menjadi cemas sekali. Keadaan ada sangat mendesak dan sulit. Bagaimana bahaya dapat dihindarkan" Selagi ia berpikir, ia lihat satu penunggang kuda di kaki bukit itu. Penunggang kuda itu dandan sebagai satu panglima perang, di sebelahnya baju lapis, ia mengenakan juga mantel bulu kulit binatang tiauw yang mahal. Di tangannya panglima itu ada sebatang golok besar. Dengan aksi ia larikan kudanya mondar-mandir. Kwee Ceng kenali panglima yang masih muda itu, Tusaga adanya, putra Sangum, dengan siapa ia pernah berkelahi waktu kecil. Ia lantas ingat suatu apa, maka ia jepit kudanya, ia kasih lari turun gunung, untuk menghampiri pemuda itu. Celaka untuk Tusaga, begitu kena di cekal, ia mati kutu, tidak dapat ia berontak, maka tempo Kwee Ceng menarik, tubuhnya kena diangkat dari kudanya. Selagi Kwee ceng hendak geser pemuda itu, ia dengar suara anginnya senjata mengaung di arah belakangnya. ia berpaling lekas, sambil berpaling, tangan kirinya menangkis. Tepat tangkisan itu, sepasang tombak kena dibikin terpental ke udara. Segera ia bentur perut kudanya denagn dengkulnya yang kanan. Kuda itu pun lantas mengerti, ia lantas lari ke arah bukit untuk mendaki. Dia dapat lari tak kalah pesatnya seperti waktu turun tadi. "Lepas panah!" orang-orangnya Sangum berteriak. Kwee Ceng tidak takut, ia pegang tubuhnya Tusaga, untuk dipakai menjadi tameng. Menampak itu, tidak ada satu serdadu pun yang berani memanah, mereka khawatir nanti kena memanah pemimpin mereka yang muda itu. Dengan tidak kurang suatu apa pun Kwee Ceng tiba di samping Temuchin. Ia lempar tubuh Tusaga ke tanah, ke dekatnya khan yang agung itu. Bukan main girangnya Temuchin. Ia segera menuding dada Tusaga dengan ujung tombaknya sembari berbuat begitu, ia teriaki Sangum: "Lekas kau suruh semua orangmu mundur seratus tombak!" Bab 14. Ujian Yang Pertama Sangum murka berbareng bingung. Ia kaget dan tidak menyangka putranya dapat ditawan musuh selagi putra itu berada dalam lindungan tentaranya yang berjumlah besar itu. ia tidak bisa berbuat lain daripada keluarkan titahnya untuk pasukannya itu mundur seratus tombak. Mereka Cuma mundur, tapi pengurungan tidak dibubarkan, malah kereta besar dikitarkan diseputar bukit itu, dalam tujuh dan delapan lapis! Temuchin puji Kwee Ceng, yang diperintah gunai dadung, untuk ringkus Tusaga. Tiga kali Sangum mengirim utusan, meminta putranya dimerdekaan, supaya Temuchin menyerah, nanti jiwanya Temuchin akan diberi ampun, katanya. tapi tiga-tiga kalinya, Temuchin usir utusan itu. Tanpa terasa, langit telah menjadi gelap. Temuchin khawatir Sangum menyerbu, ia kasih perintah orang-orangnya terus memasang mata. Kira-kira tengah malam, seorang denagn pakaian putih muncul di kaki bukit. ia lantas berteriak: "Di sini Jamukha! Aku ingin bicara dengan saudara Temuchin!" "Kau naiklah kemari!" Temuchin menjawab Jamukha mendaki dengan perlahan-lahan. Ia tampak Temuchin berdiri menantikan dengan romannya yang angker. Ia maju mendekati, ingin ia memeluk. Adalah adat istiadat bangsa Mongolia akan saudara muda memeluk dan merangkul saudara tuanya. Temuchin hunus goloknya. "Adakah kau masih anggap aku sebagai kakak angkatmu?" ia menegur. Jamukha menghela napas. Ia lantas duduk bersila. "Kakak kau telah menjadi Khan yang agung, kenapa kau masih berambekan besar sekali?" ia tanya. "Kenapa kau bercita-cita mempersatukan bangsa Mongolia?" "Kau sebenarnya menghendaki apa?" Temuchin tanya. "Pelbagai kepala suku pada membilangnya bahwa leluhur kita sudah turun temurun beberapa ratus tahun hidup secara begini, maka itu kenapa khan yang agung Temuchin hendak mengubahnya" Tuhan juga tidak memperkenankan itu," katanya Jamukha lagi. "Apakah kau masih ingat cerita tentang leluhur kita Maral Goa?" Temuchin tanya. "Lima putra mereka tidak hidup rukun, ia masaki daging kambing kepada mereka, mereka juga masing-masing diberikan seorang sebatang anak panah, ia suruh mereka masing-masing mematahkannya. Dengan gampang mereka itu melakukannya. Lalu ia berikan mereka lima batang anak panah yang digabung menjadi satu, kembali ia menitahkan mereka untuk mematahkannya. Bergantian mereka berlima mencoba mematahkan anak panah itu, mereka gagal. Ingatkah apa pesan leluhur kita itu?" Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan perlahan Jamukha mengatakan: "Jikalau kamu masing-masing bercerai-berai, kamu menjadi seperti anak panah ini, yang gampang sekali orang siapapun dapat mematahkannya; jikalau kamu berpadu hati bersatu tenaga, kamu menjadi seperti lima batang anak panah yang digabung menjadi satu ini, yang tak dapat dipatahkan siapa juga!" "Kau masih ingat itu, bagus!" seru Temuchin. "Kemudian bagaimana?" "Kemudian mereka berlima bersatu padu bekerja sama, mereka menjadi leluhur kita bangsa Mongolia!" sahut Jamukha. "Benar begitu!" kata Temuchin. "Kita juga adalah orang-orang gagah, kenapa kita tidak hendak mempersatukan bangsa Monglia kita" Kita harus saling kepruk, kita bersatu hati bekerja sama untuk memusnahkan bangsa Kim itu!" Jamukha terkejut. Kata ia: "Negeri Kim itu banyak tentaranya dan banyak panglima perangnya, emasnya tersebar di seluruh negaranya, rangsumnya bertumpuk bagaikan gunung, cara bagaimana bangsa Mongolia bisa main gila terhadapnya?" "Hm!" Temuchin perdengarkan ejekannya. "Jadinya kau suka yang kita semua diperhina dan ditindih bangsa Kim itu?" "Mereka pun tidak menghina dan menindih kita," kata Jamukha. "Raja Kim itu telah anugerahkan pangkat Ciauwtouwusu padamu." Temuchin menjadi mendongkol. "Mulanya akun juga menyangka raja Kim itu baik hati," katanya. "Siapa tahu permintaannya kepada kita makin lama jadi makin hebat! Sudah minta kerbau dan kambing, dia minta kuda, dan sekarang dia menghendaki orang-orang peperangan kita membantu ia berperang!" "Wang Khan dan Sangum tidak ingin memberontak terhadap negara Kim itu,!" kata Jamukha pula. "Berontak" Hm! Berontak!" seru Temuchin menghina. "Dan bagaimana dengan kau sendiri?" "Aku datang untuk meminta kau jangan gusar, kakak. Aku minta supaya kau kasih pulang Tusaga kepada Sangum. Aku tanggung Sangum nanti melepaskan kau pulang dengan selamat!" "Aku tidak percaya Sangum! Aku juga tidak percaya kau!" "Sangum bilang, kalau satu putranya terbinasa, dia bakal melahirkan dua putra lagi! Kalau satu Temuchin terbinasa, untuk selamanya tidak bakal ada Temuchin lagi! Jikalau kau tidak merdekakan Tusaga, kau bakal tak dapat melihat lagi matahari besok!" Temuchin membacok ke udara. "Aku lebih suka terbinasa dalam perang, tak nanti aku menyerah!" serunya. Jamukha bangkit berdiri. "Kita membagi-bagikan kerbau dan kambing rampasan kepada tentara, kau mengatakannya itu milik mereka pribadi, bukannya milik suku beramai. Mengenai itu, semua pelbagai kepala suku mengatakannya kau berlaku buruk, tak tepat itu dengan pengajaran leluhur kita!" Temuchin berseru: "Akan tetapi semau orang peperangan yang muda-muda senang dengan caraku itu!" "Baiklah saudara Temuchin," kata Jamukha. "Harap kau tidak mengatakannya aku tidak berbudi!" Temuchin lantas keluarkan satu bungkusan kecil dari dalam sakunya, ia lemparkan ke depan Jamukha. Ia bilang: "Inilah tanda mata ketika angkat saudara untuk ketiga kalinya, sekarang kau terimalah kembali! Besok kau membawa golokmu untuk berperang di sini!" Sembari berkata begitu, ia geraki tangannya seperti hendak membacok batang lehernya. Ia tambahkan. "Yang dibunuh itu adalah musuh, bukannya kakak angkatmu!" Jamukha jemput bungkusan kecil itu. Ia pun keluarkan satu kantung kulit kecil dari sakunya, tanpa membilang apa-apa, ia letaki itu di samping kakinya Temuchin, lalu ia memutar tubuhnya untuk turun dari bukit itu. Temuchin mengawasi belakang orang, sekian lama ia diam asaj. Ia ada sangat berduka. Sungguh tidak ia sangka, saudara angkat itu yang bagaikan saudara kandungnya bisa berubah demikian rupa, hingga membaliki belakang kepadanya. Lalu dengan perlahan-lahan ia buka kantung kulit itu, akan tuang keluar isinya, ialah kepala panah dan biji piesek yang diwaktu muda mereka sering membuat main. Segera terbayang di hadapan matanya saat dahulu hari ketika mereka sama-sama bermain-main di es. Ia menghela napas. Dengan goloknya ia mencongkel sebuah liang di tanah, di situ ia pendam itu barang tanda mata dari adik angkatnya itu. Kwee Ceng di samping mengawasi dengan perasaan berat. Ia mengerti, apa yang Temuchin pendam itu adalah persahabatan yang ia paling hargakan.... Habis menguruk tanah dengan kedua tangannya, Temuchin bangun berdiri. Ia memandag ke depan. Ia nampak api yang dinyalakan tentaranya Sangum dan Jamukha, yang menerangi tanah datar seperti juga banyak bintang di langit. Ia berdiam sekian lama, kemudaian berpaling, hingga ia dapatkan Kwee Ceng berdiri diam di sampingnya. "Apakah kau takut?" ia tanya. "Aku tengah memikirkan ibuku," Kwee Ceng menyahuti. "Kau ada seorang gagah, orang gagah yang baik sekali," Temuchin memuji. Ia menunjuk kepada api di kejauhan itu, ia melanjutkan: "Mereka itu juga orangorang gagah! Kami bangsa Mongolia ada punya begini banyak orang gagah, sayang kami saling bunuh satu sama lain! Coba semua dapat berserikat menjadi satu..." Ia memandang ke ujung langit, lalu menambahkan pula; "....kita pasti dapat membuat seluruh dunia, membuat seluruh dua menjadi ladang tempat kita menggembala ternak kita!" Kagum Kwee Ceng akan dengar itu cita-cita dari Khan yang agung ini. Ia lantas kata: "Khan yang agung, kita bisa menang perang, tidak nanti kita dapat dikalahkan Sangum yang berhati kecil dan hina dina itu!" Temuchin pun menjadi bersemangat. "Benar!" sambutnya. "Mari kita ingat pembicaraan kita malam ini! Selanjutnya akan aku pandang kau sebagai anak kandungku!" Dan ia rangkul si anak muda! Sementara itu, cuaca sudah mulai terang. Di dalam pasukannya Sangum dan Jamukha segera terdengar suara terompet. "Bala bantuan tidak datang. Hari ini kita akan mati perang di gunung ini!" kata Temuchin. Ini waktu terlihat tentara musuh sudah mulai bergerak, rupanya mereka hendak memulai penyerbuan mereka. Temuchin bersama ketiga putranya dan semua panglimanya mendekam di belakang tumpukan tanah, anak panah mereka diarahkan ke setiap jalanan di gunung itu, jalanan yang bisa diambil musuh untuk menerjang naik. Tidak antara lama, sebuah bendera kuning muncul dari dalam pasukannya Sangum. Di bawah bendera itu ada tiga orang, yang menuju ke sisi gunung. Mereka itu adalah, di kiri Sangum, di kanan Jamukha, dan di tengah-tengah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Pangeran Kim ini memakai kopiah dan jubah perang bersalut emas, tangan kirinya mencekal tameng untuk pencegah panah. "Temuchin, adakah kau hendak memberontak terhadap negara Kim yang agung"!" tanya itu pangeran. Juji, putra sulung Temuchin, tujukan panahnya dan memanah pangeran itu. Di belakang pangeran ini segera muncul satu orang, yang menyambuti anak panah itu dengan tangannya. Dia sangat gesit dan gapa. Wanyen Lieh lantas saja berseru dengan titahnya: "Tolongi Tusaga! Bekuk Temuchin!" Atas titah itu, empat orang berlompat maju, untuk lari mendaki ke atas gunung. Kwee Ceng terperanjat menyaksikan kegesitan empat orang itu. Mereka itu menggunai ilmu enteng tubuh. Jadi mereka adalah orang-orang Rimba Persilatan, bukannya orang peperangan yang biasa. Setibanya empat orang itu di tengah jalan, mereka dipapaki hujan panah oleh Jebe dan Borchu beramai, tetapi dengan tamengnya, mereka halau setiap anak panah itu. Kwee Ceng jadi berkhawatir, "Kita di sini adalah orang-orang peperangan semua, kita bukannya tandingan jago-jago Rimba Persilatan itu..." pikirnya. "Bagaimana sekarang?" Satu di antara empat orang itu, satu pemuda dengan pakaian hitam sudah lantas sampai di atas gunung. Dia dirintangi oleh Ogotai yang bersenjatakan sebatang golok besar. Dia ayun tangannya, lantas sebatang panah tangan menyambar ke batang lehernya putra Temuchin itu, disusul sama bacokan goloknya. Berbareng dengan itu, berkelebatlah sebatang golok putih mengkilap, menikam dari samping kepada lengan penyerang itu. Dia terkejut, sambil kelit lengannya, ia lompat mundur. Maka ia lihat di depannya ada satu anak muda dengan alis gompiak dan mata besar, yang mencekal pedang. Ia ini menghalang di depannya Ogotai. Dia heran dalam rombongannya Temuchin ada orang yang pandai ilmu pedang. "Kau siapa?" dia menegur. "Beritahukanlah she dan namamu!" Dia bicara dalam bahasa Tionghoa. "Aku Kwee Ceng!" sahut anak muda itu. "Tidak pernah aku dengar namamu! Lekas kau menyerah!" kata orang itu sombong. Kwee Ceng sementara itu telah melihat, tiga kawannya orang ini sudah tiba di atas gunung dan tengah bertempur sama Chilaun, Boroul dan lainnya. Dilain pihak orang-orangnya Sangum hendak bergerak pula. Mukhali lantas saja tandalkan goloknya di lehernya Tusaga. "Siapa berani maju!" ia berteriak. "Akan aku lantas memenggal!" Sangum menjadi khawatir dan bingung. "Tuan pangeran, titahkanlah mereka itu turun!" ia mohon kepada Wanyen Lieh. "Mari kita memikir daya lainnya, supaya anakku jangan terbinasa...!" "Tetapkan hatimu, anakmu tak bakal terbinasa!" kata Wanyen Lieh sambil tertawa. Orang-orangnya Sangum tidak berani naik, sedang empat orangnya Wanyen Lieh itu melanjuti pertempurannya. Kwee Ceng telah gunai ilmu pedang Wat Lie Kiam pengajaran Han Siauw Eng, ia layani musuh yang bersenjatakan golok itu. Segera ia dapat kenyataan, berat tangannya lawan itu, yang goloknya tebal. benar-benar musuh ini bukan sembarang orang. Ia pun tidak mengerti cara bersilatnya orang, sedang dari enam gurunya pernah ia dengar pelbagai macam ilmu silat. Orang ini mengancam ke kanan, tibatiba ancamannya itu berubah di tengah jalan, menjadi bacokan ke kiri......... Mau tidak mau, Kwee Ceng main mundur. Segera juga ia ingat pengajaran gurunya yang kesatu: "Di waktu bertempur mesti mempengaruhi orang tetapi jangan kasih diri kena dipengaruhi. Sekarang aku main menangkis aja, apakah itu ukan berarti aku kena didesak?" karena ini, waktu datang pula bacokan, ia tidak mundur lagi, sebaliknya ia menyambut seraya tekuk kaki kanan dan tangan kiri bersiap sedia. Keras sekali, tangan kanannya, ialah pedangnya, membalas menikam lempang. terkejut juga musuh menyaksikan orang seperti nekat, bersedia akan celaka bersama, ia lantas tarik pulang goloknya. Kwee Ceng lihat ini ia gunai ketikanya, ialah ia menikam pula, kapan musuh berkelit, ia ulangi serangannya dengan beruntun. Terus ia bersilat dengan Wat Lie Kiam-hoat. Kali ini, ialah yang membuat lawannya repot. Dipihak lain, tiga kawannya musuh itu sudah berhasil merubuhkan empat atau lima lawannya, kapan satu di antaranya melihat ia terdesak, dengan bawa tombaknya, dia lompat menghampirkan. "Toasuko, mari aku bantu kau!" dia berteriak. "Kau lihat saja dari samping, kau lihat kepandaiannya toasukomu!" berseru orang yang bergenggaman golok itu, yang dipanggil toasuko atau kakak seperguruan yang tertua. Dia ini menganggap dirinya adalah tertua kaum Rimba Persilatan, sebab ia adalah orang undangannya Wanyen Lieh, yang untuk itu telah mengeluarkan banyak uang, sedang hari ini adalah yang pertama kalinya ia muncul di medan pertempuran. Tentu saja di hadapan ribuan serdadu, ia malu mengaku kalah terhadap adik seperguruannya itu. Memangnya di antara empat saudara seperguruan ini ada perbedaan tabiat atau sikap, masing-masing tidak sudi mengalah. Kwee ceng gunai ketika orang bicara, ia tekuk kaki kirinya dan menikam dari bawah ke atas. Itulah gerakan "Kie hong teng kauw" atau "Burung hong bangkit dan ular naga mencelat". Musuh kaget dan berlompat berkelit, tidak urung tangan bajunya yang kiri telah kena tersontek robek. "Lihat kepandaiannya toasuko!" berseru saudaranya yang memegang tombka itu sambil tertawa. Itu waktu Temuchin telah dilindungi dengan dikurung oleh Jebe dan lainnya yang belum terluka, sikap garang mereka membuat dua musuh lainnya yang memegang ruyung besi dan dan sepasang kampak pendek, tidak berani sembarang merangsak. Mereka ini pun telah dengar suaranya jiesuko mereka, saudara yang kedua, maka mereka anggap baiklah mereka menonton kakak mereka yang kesatu. Mereka mau percaya musuh tidak bakal lolos lagi. Mereka hampirkan jiesuko itu, untuk berdiri berendeng bertiga, akan menonton pertempuran sang kakak tertua. Sebelum berkelahi terus, si pemegang golok itu lompat keluar kalangan. "Kau muridnya siapa"!" ia tegur Kwee Ceng. "Kenapa kau datang kemari untuk antarkan jiwamu"!" Kwee Ceng lintangi pedangnya, ia bersikap tenang. "Teecu adalah muridnya Kanglam Cit Koay," ia menjawab dengan terus terang. "Teecu mohon tanya suwie empunya she dan nama yang besar?" ia terus berbalik menanya empat orang itu. "Suwie" ialah "keempat tuan". Orang itu menoleh kepada ketiga saudaranya. Lalu ia berpaling pula, katanya: "Tentang nama kami berempat, taruh kami mengatakannya, kau satu anak kecil tentulah tak dapat mengetahuinya. Lihat golokku!" Ia lantas menyerang. Kwee Ceng sudah tempur orang, ia merasa orang ada terlebih terlatih daripadanya, akan tetapi ia adalah muridnya tujuh guru, telah banyak pengetahuannya, dan ilmun pedangnya pun sudah dapat mendesak musuh ini, maka itu ia melawan dengan berani, bukan ia mundur, ia mencoba mendesak terus. Sebentar saja, tigapuluh jurus telah dikasih lewat. Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia ini cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisaberbuat suatu apa. Diakhirnya, ia menjadi seperti nekat. Demikian satu kali, dengan bengis ia membacok melintang. Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahulukan menikam ke arah lengannya musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata: "Belum lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu." ia menebas terus tanpa membuat perubahan. Tenang adanya sikap Kwee Ceng, jeli matanya, sebat tangannya. Ia tunggu sampai ujung golok hampir mampir di pedangnya, mendadak ia mengegos sedikit, sedang tangan kanannya menikam terus ke dada lawannya itu! Bukan main kagetnya si toasuko. Sambil berteriak, ia lepas dan lemparkan pedangnya, sebagai gantinya, dengan tangan kosong ia sampok pedang si anak muda. Keras sampokan ini, pedang Kwee Ceng terlepas dan jatuh ke tanah. Ia tertolong jiwanya tetapi pedangnya toh mampir juga di tangannya, maka tangan itu bercucuran darahnya! "Sayang!" kata Kwee Ceng di dalam hati. Cuma karena kurang pengalaman, ia gagal, sedang sebenarnya, dengan sedikit lebih sebat saja, ia akan dapat tancapkam pedangnya di dada lawannya itu. Selagi musuh lompat undur, ia jumput golok musuh yang jatuh di dekatnya. Hampir pada itu waktu ada angin menyambar di belakangnya. "Awas!" Jebe teriaki muridnya. Kwee Ceng dengar pemberian peringatan itu, tanpa membalik tubuh lagi, sambil mendak sedikit, ia mendupak ke belakang. Tepat dupakannya ini, ia membuatnya tombaknya musuh terpental, habis mana, sambil memutar tubuh, ia membacok ke arah lengannya musuh. Kali ini ia gunai bacokan ajarannya Lam Hie Jin, yaitu jurus "Burung walet masuk ke sarangnya" dari tipu silat "Lam Sam Too-hoat" - ilmu pedang Lam San. "Bagus!" seru lawan yang bersenjatakan tombak itu, yang membokong. Setelah berkelit dari bacokan, ia menikam ke dada pula. Kembali Kwee Ceng bebaskan diri dengan kelitan "Dalam mabuk meloloskan sepatu", untuk membarengi membalas menyerang, ialah sambil melayangkan kaki kanannya ke bahu musuh. Penyerang bertombak ini menggunai ketikanya yang baik. Ia lihat Kwee Ceng lihay dengan ilmu pedangnya, setelah pedang orang terlepas, ia membokong. Ia tidak sangka si anak muda luas pengetahuannya dan gesit, tikamannya itu dapat dihalau dan ia ditendang, terpaksa ia menarik pulang serangannya. Tapi ia penasaran, terus ia maju pula, hingga ia melayani musuh muda ini. Ia penasaran sebab ia tahu, dengan tombaknya itu ia sudah punyakan pengalaman dua puluh tahun............ Kwee Ceng berkelahi sambil matanya melitah dan otaknya bekerja. ia tahu musuh ingin menerbangkan goloknya, bahwa musuh itu ingin memperlekas kemenangannya. Maka ia melawannya dengan sabar dan hati-hati. Tapi ini bukan berarti ia berlaku kendor. Ia tetap berlaku cepta dan keras, seperti tadi melawan si toasuko, ia mencoba mendesak, guna mempengaruhi musuh. Karena ini ia tampaknya jadi semakin lihay, sehingga ia membuatnya si toasuko heran. Si toasuko ini tadinya menyangka orang hanya lihay dengan pedangnya, tak tahunya, goloknya sama aja. Lagi beberapa lama, Kwee Ceng dapatkan musuh mulai ayal gerakannya. ia lantas menantikan satu tikaman. Turut kebiasaan, ia mestinya menyampok tombak seraya membarengi membacok. Tiba-tiba ia merasa tenaga musuh berkurang, maka itu, ia batal membacok, ia terus memapas ke sepanjang batang tombak, ke arah jari tangan musuh itu. Celaka kalau musuh itu tidak lepaskan cekalannya. Musuh itu terkejut, ia lantas mendahului lompat mundur. Menghadapi lawan yang menggunai tombak ini, Kwee Ceng ada punya satu keuntungan. ia telah dipertaruhkan akan bertempur sama anaknya Yo Tiat Sim, karena Tiat Sim adalah keturunan kaum keluarga Yo yang terkenal untuk ilmu tombaknya keluarga Yo, yaitu Yo Kee Chio-hoat, maka Lam Hie Jin sengaja ajarkan muridnya ini tipu golok melawan tombak. Kebetulan sekali, sekarang ini Kwee Ceng ada kesempatan akan pakai ilmu goloknya yang istimewa itu dan ia berhasil. Apa yang tidak Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo disangka, ilmu ini bukan digunai di Kee-hi hanya di sini. Setelah dapat merampas tombak musuh, Kwee Ceng lempar goloknya ke bawah gunung. Ia lantas berdiri diam mengawasi keempat musuhnya itu. Musuh yang keempat, yang paling muda, tidak tahan sabaran, dengan putar kampaknya, ia maju menyerang, mulutnya pun perdengarkan seruan. ia agaknya penasaran yang mereka kalah dari satu bocah. Siapa menggunai senjata pendek, ia mesti berkelahi rapat, baru ia bisa mengenai musuh, demikian ia ini, dia mencoba merapatkan Kwee Ceng. Tapi pemuda kita, dengan tombaknya, membuatnya orang kewalahan, sia-sia saja dia itu mencoba berulang-ulang. Sesudah lewat beberapa jurus, Kwee Ceng menggunai tipu. Dengan cara biasa, tidak dapat ia rubuhkan atau lukai musuhnya ini. Ia berhasil. Musuh tidak menduga jelek, ia mendesak, sambil membentak, ia lompat menubruk, sepasang kampaknya turun dengan berbareng. Kwee Ceng angkat tombaknya untuk menangkis. Hebat kampaknya itu, gagang tombak kalah dan kena terkampak patah hingga menjadi tiga potong. Disaat kemenangannya itu, musuh hendak mengulangi kampakannya. Diluar dugaannya, baru ia kerahkan tenaganya, tiba-tiba perutnya dirasainya sakit. Tanpa ia ketahui, sebelah kaki Kwee Ceng telah melayang ke perutnya, malah ia terdumpak mental. Berbareng ia mental, tangan kirinya terbalik, mengampak ke arah kepalanya sendiri. Melihat bahaya itu, si saudara yang ketiga melompat dengan ruyung besinya, akan hajar kampak di tangan kiri itu, maka di antara satu suara nyaring, kampak itu terlepas dan terpental, si pemiliknya sendiri jatuh numprah. Syukur untuknya, ia tertolong dari bahaya maut. Tapi ia bertabiat keras, ia gusar dan penasaran, ia lompat bangun untuk merangsak pula, mulutnya berteriakan tak henti-hentinya. Kwee Ceng tidak punya senjata, ia melawan dengan ilmu silat tangan kosong melawan senjata. Segera ia dikepung oleh musuhnya yang ketiga, yang bersenjatakan ruyung besi itu. Melihat orang main keroyok, tentara Mongolia di kaki gunung menjadi tidak senang, mereka membaut ribut dengan mencaci maki dua pengeroyok itu. Bangsa Mongolia adalah bangsa yang polos dan memuju orang gagah, maka itu tidak puas mereka menyaksikan empat orang mengepung bergantian kepada satu musuh, apapula satu musuh itu bertangan kosong. Sampai disitu, Boroul dan Jebe maju untuk membantu Kwee Ceng. Karena majunya mereka berdua, dua musuh lainnya turut maju juga. Berat untuk Jebe berdua, mereka adalah orang-orang peperangan biasa, mereka bukan orang kaum Rimba Persilatan, repot mereka menghadapi musuh-musuhnya yang lihay itu. Lekas juga senjata mereka dirampas musuh. Kwee Ceng lihat Boroul terancam bahaya, ia lompat kepada toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang, untuk menghajar punggungnya, ketika si orang Hwee menebas tangannya, ia segera tarik pulang tangannya itu untuk terus dipakai menyikut si jiesuheng, hingga dengan begitu ia pun dapat menolongi Jebe. Orang itu rupanya bersatu pikiran, mereka lantas meluruk kepada anak muda she Kwee ini, mereka tidak menghiraukan lagi Jebe berdua. Segera juga Kwee Ceng terancam bahaya, karena tidak mempunya senjata, terpaksa ia melawan dengan menunjuki kelincahannya, ialah main berkelit dengan mengegos tubuh atau berlompatan. "Ini golok!" teriak Borchu seraya ia melemparkan goloknya. Disaat Kwee Ceng hendak sambuti golok itu, ia diserang oleh musuhnya yang menggenggam ruyung besi hingga goloknya Borchu kena disampok mental, sedang musuh yang memegang sepasang kampak memberangi mengampak juga. Dia ini bersakit hati bekas kena didupak tadi. Kwee Ceng berkelit dengan berlompat, atau sebatang golok melayang ke arahnya. Ia masih sempat berkelit pula seraya ia angkat kakinya yang kiri untuk menendang musuh yang memegang kampak yang berada paling dekat dengannya. Hanya ketika itu, ia dibarengi musuh yang mencekal ruyung besri tadi, maka tidak ampun lagi, paha kanannya kena dihajar. ia merasakan sangat sakit, matanya pun kabur, hampir ia rubuh pingsan. Syukur untuknya, tulang pahanya itu tidak patah, tetapi gerakannya menjadi lambat, ia lantas kena ditubruk musuh yang bersenjatakan kampak, yang telah melepaskan kampaknya itu. Karena ini, ia roboh bersama-sama musuh itu, yang tak sudi melepaskan pelukannya. Kwee Ceng insyaf ia berada dalam bahaya, sekejab itu ia ingat ibunya, tujuh gurunya, Tuli dan Gochin, lalu semangatnya bangun, maka ia jambak dada musuh, denagn kerahkan semua tenaganya, ia angkat tubuh orang ke atasan tubuhnya snediri, denagn begitu ia pakai musuh sebagai tameng. Benar saja ketiga musuh lainnya berhenti menyerang karena mereka khawatir nanti mencelakai kawan sendiri. Kwee Ceng tetap bertahan secara demikian, hanya sekarang ia ubah caranya mencekal. denagn sebelah tangan ia memencat nadi musuh, untuk membikin dia itu tak dapat bergerak, denagn tangan yang lainnya, ia mencekik tenggorokan. Ia tidak pedulikan orang menendangi pundak atau kakinya. ia telah pikir: "Biar aku mati, asal aku pun telah membunuh seorang musuh!" Jebe berdua yang tadi telah terpukul mundur, maju pula untuk membantu kawannya. "Kamu pegat mereka ,nanti aku bunuh ini bocah haram!" kata si suheng yang memegang golok sebatang kepada dua saudaranya, habis mana ia terus bekerja. Kwee Ceng kaget, ia merasakan sakit pada pundaknya, terpaksa ia menggulingkan tubuh sekitar dua tombak, habis mana ia lompat bangun, untuk berdiri. Musuhnya yang ia cekik, telah rebah diam karena pingsan. Baharu ia berdiri dengan berniat melawan musuh, atau kaki kanannya dirasakan sangat sakit, sekali lagi ia roboh. Musuh sudah lantas tiba. Dlam keadaan sangat berbahaya itu, Kwee Ceng ingat ia ada punya joan-pian atau cambuk lemas pembela dirinya, lekas-lekas ia lepaskan itu dari pinggangnya, lalu dengan menggulingkan tubuh, ia menangkis, kemudian selanjutnya, ia melakukan perlawanan dengan terus main bergulingan dengan ilmu silatnya "Kim Liong Pian-hoat" atau "Ilmu cambuk lemas naga emas" Musuh yang pingsan telah lantas sadar, ia ingin membalas sakit hatinya, ia lompat bangun, untuk membantu saudaranya. Tak lama, mereka pun dibantu oleh dua saudara yang lain, yang telah berhasil memukul mundur Jebe berdua. denagn begini Kwee Ceng kembali kena dikepung berempat. Selagi Kwee Ceng terancam bahaya, di bawah bukit, pasukan tentara kacau sendirinya, lalu tertampak enam orang bergerak dengan lincah mengacau barisan itu, terus mereka berenam lari naik ke atas gunung. Matanya Jebe sangat tajam, ia lantas kenali enam orang itu. "Kwee Ceng, gurumu datang!", ia berseru. Kwee Ceng sudah letih betul, kedua matanya pun sudah mulai kabur, kapan ia dengar itu teriakan, semangatnya terbangun, terus ia melawan dengan hebat. Cu Cong dan Coan Kim Hoat lari di paling depan, mereka segera tampak murid mereka dalam bahaya. Kim Hoat lompat maju, dengan dacinnya ia rabu empat batang senjata musuh. "Tidak tahu malu!" ia membentak. Empat musuh itu sudah lantas lompat mundur, tangan mereka kesemutan bekas rabuhan senjata aneh dari orang yang baru datang ini. Mereka merasa bahwa dalam tenaga dalam, mereka kalah jauh. Cu Cong lompat maju, akan kasih muridnya bangun. Itu waktu, Tin Ok bersama yang lain pun telah tiba. "Bandit-bandit tidak tahu malu, pergi kamu!" Kim Hoat mengusir. Si toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang menebali muka. Ia tahu pihaknya tak berdaya tetapi mereka malu untuk lari turun gunung, mereka malu bertemu sama pangeran yang keenam. "Liok-wie, adakah kamu Kanglam Liok Koay?" ia tanya enam orang itu. "Tidak salah!" sahut Cu Cong tertawa. "Siapakah tuan berempat?" "Kami adalah empat muridnya Kwie-bun Liong Ong," sahut si toasuheng. Kwa Tin OK dan Cu Cong mulanya menyangka orang adalah orang-orang yang tak bernama, sebab mereka itu main keroyok, maka terkejutlah mereka mengetahui empat orang itu adalah murid-,muridnya Kwie-bun Liong Ong. "Pasti kamu berdusta!" bentak Tin Ok. "Kwie-bun Liong Ong bernama besar, mana bisa murid-muridnya ada bangsa tak berguna seperti kamu!" "Siapa berdusta!" berseru orang ynag dicekik Kwee Ceng tadi, yang masih merasakan sakit pada tenggorokannya, "Inilah toasuheng kami, Toan-hun-to Sim Ceng Kong! Ini jiesuheng Tiwi-beng-chiop Gouw Ceng Liat! Ini samsuheng Toat-pekpian Ma Ceng Hiong! Dan aku sendiri, aku Song-bun-hu Cian Ceng Kian!" "Kedengarannya kamu tidak berdusta," berkata Tin Ok pula, "Benarlah kau adalah Hong Ho Su Koay! Kamu cukup ternama, kenapa kamu merendahkan diri begini rupa, emapt orang bersaudara mengepung satu musuh, seorang bocah! Dialah muridku!" Gouw Ceng Liat membelar. "Siapa bilang kami berempat mengepung satu orang"!" katanya, "Bukankah di sini ada banyak orang Mongolia yang membantu padanya?" Cian Ceng Kong pun tanya Ma Ceng Hiong: "Samsuheng, ini buta dan pengkor sangat berlagak, siapakah dia?" Ceng Kong menanya perlahan sekali, tetapi Kwa Tin Ok dapat mendengarnya, ia menjadi mendongkol. Tiba-tiba ia menekan denagn tongkatnya, tubuhnya terus mencelat, sebelah tangannya menyambar, maka tidak ampun lagi, punggung Ceng Kong kena dijambak, terus dilemparkan ke bawah gunung! Tiga pengepung lainnya menjadi kaget, mereka maju untuk menolongi, tetapi mereka tidak berdaya, malah sebaliknya, cepat luar biasa, satu demi satu, mereka juga kena dilempar-lemparkan si Kelelawar Terbangkan Langit! Tentara Mongolia di atas bukit bersorak-sorai menyaksikan keempat saudara itu, yaitu Hong Ho Su Koay, merayap bangun dengan muka penuh debu dan seluruh badan dan pinggangnya sakit bekas jatuh terbanting dan bergeluntungan. Syukur mereka tidak patah tangan dan kaki atau singkal batang lehernya. Itu waktu terlihat debu mengulah naik, tanda dari datangnya beberapa ribu serdadu, maka itu, menampak demikian, tentaranya Sangum menjadi kecil hatinya. Temuchin menampak datangnya bala bantuan, mengetahui Jamukha lihay dan Sangum hanya mengandal kepintaran ayahnya, ia menunjuk ke kiri ke pasukannya Sangum itu seraya berseru: "Mari menerjang ke sini!" Jebe berempat dengan Borchu, Juji dan Jagatai sudah lantas mendahulukan menerjang ke bawah, darimana pun terdengar seruannya bala bantuan. Mukhali kaburkan kudanya denan ia peluki Tusaga, batang leher siapa ia tandalkan goloknya, sembari turut menerjang, ia berteriak-teriak: "Lekas buka jalan! Lekas buka jalan!" Sangum menyaksikan musuh menerobos turun, hendak ia memegat, atau ia lantas tampak putranya berada di bawah ancama maut, putra itu tak dapat berkutik, ia menjadi tergugu, hingga tak tahu ia harus mengambil tindakan apa. Sementara itu rombongannya Temuchin sudah sampai di bawah bukit, malah Jebe sudah lantas saja turun tangan, dengan mengincar Sangum, ia memanah. Sangum terperanjat, ia berkelit ke kiri, tidak urung pipi kanannya kena tertancap anak panah, maka tak ampun lagi, ia rubuh terjungkal dari kudanya. Tentu saja, karenanya, tentaranya menjadi kaget dan kalut sendirinya. Temuchin ajak rombongannya kabur terus. Ada beberapa ratus musuh yang mengejar, akan tetapi mereka dirintangi panahnya Jebe dan Borchu beramai, yang sembari menyingkir telah menoleh ke belekang dan saban-saban menyerang denagn panah mereka. Kanglam Liok Koay turut mundur dengan Lam Hie Jin yang memondong Kwee Ceng. Sesudah melalui beberapa lie, rombongan ini bertemu sama bala bantuan, ialah barisannya Tuli, putra keempat Temuchin, maka itu mereka lantas menggabungkan diri. Tuli masih muda, walaupun ia adalah satu pangeran, kepala-kepala suku dan panglima-panglima Temuchin tidak suka dengar titahnya, dari itu, ia datang dengan cuma bersama itu beberapa ribu serdadu anak-anak muda, hanya ia telah didulukan Kanglam Liok Koay. Tapi ia cerdik, ia tahu jumlah musuh terlebih besar, ia perintahkan semua serdadu mengikat cabang pohon diekor masing-masing kuda mereka, dari itu debu menjadi mengulak besar dan musuh menyangkanya bala bantuan lawan ada berjumlah besar sekali. Di tengah jalan pulang, Temuchin bertemu bersama Gochin, yang pun datang bersama sejumlah serdadu. Putri ini girang bukan main melihat ayahnya semua tidak kurang satu apa pun. Malam itu Temuchin membuat pesta dengan semua panglima dan tentaranya diberi hadiah. Hanya untuk herannya semua orang, yang hatinya mendongkol, mereka itu lihat Tusaga diundang duduk bersama di meja pesta, dan diperlakukan sebagai tamu agung. Temuchin hanturkan tiga cawan arak kepada putra Sangum itu. "Aku tidak bermusuh dengan ayah Wang Khan dan saudaraku Sangum," ia berkata kepada putranya Sangum itu, "Maka itu aku persilahkan kau pulang untuk menyampaikan maafku. Aku pun akan mengantar bingkisan kepada ayah dan saudara angkatku itu, yang aku minta supaya tidak menjadi berkecil hati." Tusaga girang bukan main. Bukankah ia telah tidak dibunuh" Maka ia berjanji akan meyampaikan permohonan maaf dari Temuchin itu. Semua orang menjadi bertambah heran dan mendongkol menyaksikan Khan mereka yang besar menjadi demikian lemah dan jeri terhadap Wang Khan, tetapi terpaksa mereka berdiam saja. Besok harinya Temuchin kirim sepuluh serdadunya mengiringi Tusaga pulang, berbareng dengan itu ia mengirimkan dua buah kereta yang berisikan emas dan kulit tiauw. Tiga hari sepulangnya Tusaga itu, Temuchin kumpulkan orang-orang peperangannya. Dengan mendadak ia perintahkan mereka itu kumpulkan tentara mereka. "Sekarang juga kita menyerang Wang Khan!" demikian titahnya. Heran semua panglima itu, mereka melongo. "Wang Khan banyak tentaranya, serdadu kita sedikit, tak dapat kita melawan dia dengan terang.terangan," menjelaskan Temuchin. "Kita mesti membokong padanya! Aku merdekana Tusaga dan mengirim bingkisan, itulah untuk membuatnya tidak bersiaga." Baharu semua panglima itu sadar, mereka jadi sangat mengagumi Khan mereka itu. Segera mereka bertindak maju dalam tiga pasukan. Wang Khan dan Sangum dilain pihak girang melihat Tusaga pulang dengan selamat dan Temuchin pun mengirim bingkisan, mereka menyangka Temuchin jeri, mereka tidak bercuriga, maka di dalam tendanya, mereka jamu Wanyen Lieh dan Jamukha, yang mereka layani dengan hormat. Adalah tengah mereka berpesta malam ketika mendadak datang serangannya Temuchin. Mereka menjadi kaxau, tanpa berdaya mereka pada melarikan diri. Wang Khan bersama Sangum kabur ke barat. Di sana mereka kemudian terbinasa di tangan bangsa Naiman dan Liauw Barat. Tusaga terbinasa terinjak-injak kuda tentara. Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hong Ho, yang bisa menerobos kepunganm telah lindungi Wanyen Lieh kabur pulang ke Tiongtouw (Pakkhia). Jamukha kehilangan tentaranya, dia lari ke gunung Tannu, di sana selagi ia dahar daging kambing, dia ditawan oleh tentara pengiringnya, terus ia dibawa kepad Temuchin. Temuchin terima orang tawanan itu, tetapi ia gusar, ia berseru: "Serdadu pengiring pemberontak dan berkhianat kepada majikan! Apakah gunanya akan mengasih hidup kepada orang-orang tak berbudi begini?" Di depan Jamukha sendiri, ia perintahkan hukum mati pada kelima pengiring itu. Kepada Jamukha, yang ia awasi, ia kata: "Apakah tetap kita menjadi sahabt-sahabat kekal?" Jemukha mengucurkan air mata. "Meskipun saudara suka memberi ampun padaku, aku sendiri tidak mempunyai muka akan hidup lebih lama pula di dalam dunia ini," ia menyahuti. "Saudara, aku minta sudilah kau memberi kematian tak mengucurkan darah padaku, supaya rohku tidak mengikuti darahku dan meninggalkan tubuh ragaku...." Temuchin berdiam sekian lama. "Baiklah," berkata ia kemudian. "Akan aku menghadiahkan kau kematian tak mengalirkan darah, nanti aku kubur kau di tempat di mana dahulu hari, semasa kecil, kita bermain bersama..." emukha memberi hormat sambil berlutut, habis itu ia putar tubuhnya untuk bertindak keluar kemah. Besoknya Temuchin mengadakan rapat besar di datar sungai Onon. Ketika itu namanya telah naik tinggi sekali, maka rakyat dan orang peperangan dari pelbagai suku tak ada yang tak tunduk kepadanya, semuanya menyunjungnya. Maka di dalam rapat besar itu ia telah diangkat menjadi Kha Khan, atau Khan terbesar dari Mongolia, dengan gelaran Jenghiz Khan, artinya Khan yang besar dan gagah bagaikan pengaruhnya lautan besar. Di sini Jenghiz Khan membagi hadiah besar. Empat pahlawannya yakni Mukhali, Borchu, Boroul dan Chiluan serta Jebe, Jelmi dan Subotai, diangkat menjadi cianhu-thio, semacam kapten dari seribu serdadu. Kwee Ceng yang dianggap jasanya paling istimewa, dijadikan cian-hu-thio juga. Maka anehlah satu bocah umur belasan tahun, pangkatnya sama dengan satu pahlawan panglima yang berjasa. Dalam pesta itu Jenghiz Khan minum banyak arak hadiah dari pelbagai panglimanya, dalam keadaan seperti itu, ia kata kepada Kwee Ceng: "Anak yang baik, aku akan menghadiahkan pula kepadamu sesuatu yang aku paling hargakan!" Kwee Ceng sudah lantas berlutut untuk menghanturkan terima kasihnya. "Aku serahkan Putri Gochin kepadamu!" berkata Jenghiz Khan. "Mulai besaok kau adalah Kim-to Hu-ma!". Semua panglima bersorak, lalu mereka memberi selamat kepada Kwee Ceng. Mereka juga berseru-seru: "Kim-to Hu-ma! Kim-to Hu-ma! Bagus! Bagus!" "Kim-to Hu-ma" itu berarti menantu raja golok emas. Tuli sangat kegirangan sehingga ia merangkul Kwee Ceng erat-erat, tak mau ia lekas-lekas melepaskannya. Si anak muda sebaliknya berdiam diam, tubuhnya Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terpaku, mulutnya bungkam. Ia menyukai Gochin, tetapi sebagai adik, bukan sebagai kekasih. Ia lagi mengutamakan ilmu silat, tak ia pikirkan lainnya soal apa pula soal jodoh, soal asmara. Maka keget iamendengar hadiah Khan yang maha besar itu. Selagi ia tercengang, semua orang tertawa padanya, menggodainya. Setelah pesta bubar, Kwee Ceng lantas cari ibunya, akan tuturkan hadiah dari Jenghiz Khan itu. Liep Peng terdiam, ia pun bingung. "Coba undung gurumu semua!" titahnya kemudian. Kanglam Liok Koay lantas datang. Apabila mereka mendengar hal pertunangan itu, mereka girang, mereka lantas memberi selamat kepada nyonya Kwee itu. Bukankah murid mereka sangat dihargai oleh Khan dan peruntungannya bagus sekali" Lie Peng berdiam sebentar, lalu tiba-tiba ia berlutut di depan enam manusia aneh itu, sehingga mereka itu menjadi heran. "Ada apa, enso?" mereka tanya. "Kenapa enso menjalankan kehormatan besar ini" Harap enso lekas bangun!" "Aku ada sangat bersyukur yang suhu beramai sudah didik anakku ini sehingga ia menjadi seorang yang berharga," berkata nyonya ini. "Budi ini tak dapat aku balas walaupun tubuhku hancur lebur. Hanya sekarang ada satu hal sulit untuk mana aku mohon pertimbangan dan keputusan suhu beramai." Lie Peng tuturkan keputusan suaminya almarhum dengan Yo Tiat Sim, yang tunangkan anak-anak mereka sebelum anak-anak itu lahir. "Maka itu, kendati kedudukan anakku mulia sekali, mana dapat ia menjadi hu-ma?" kata si nyonya kemudian. "Kalau aku menyangkal janji ini, aku malu sekali. Bagaimana nanti suamiku dan aku menemui paman Yo dan istrinya itu di dunia baka?" Mengdengar keterangan, Kanglam Liok Koay tertawa. Lie Peng heran, ia mengawasi mereka itu. "Orang she Yo itu benar telah memperoleh keturunan tetapi bukannya perempuan, melainkan pria," Cu Cong kasih keterangan. "Bagaimana suhu ketahui itu?" menanya Lie Peng kaget. "Seoarng sahabat di Tionggoan mengabarkan kami dengan sepucuk surat," menerangkan Cu Cong lebih jauh. "Sahabat itu pun mengharap kami mengajak anak Ceng ke sana untuk menemui putranya orang she Yo itu, untuk mereka menguji kepandaian silat mereka." Mendengar itu, Lie Peng sangat girang. Ia setuju anaknya itu diajak pergi. Ia harap, sekalian anaknya itu mencari Toan Thian Thek, guna menuntut balas. Sepulangnya dari perjalanan itu, baharu Kwee Ceng nanti menikah dengan Gochin. Setelah mendapat keputusan, Kwee Ceng menghadap Jenghiz Khan, untuk memberitahukan tentang niat perjalanannya itu. "Bagus, kau pergilah!" Khan itu setuju. "Sekalian kau pulang nanti bawalah juga kepalanya Wanyen Lieh, putra keenam raja Kim! Untuk melakukan pekerjaan besar itu, berepa banyak pengiring yang kau butuhkan?" Bab 15. Oey Yong "Anak akan pergi bersama keenam guruku, tak usah anak membawa pengiring," sahut Kwee Ceng. Ia anggap dengan pergi bersama guru-gurunya, ia tentu bakal berhasil, sedang membawa pengiring-pengiring, yang tidak mengerti ilmu enteng tubuh, melainkan menambah berabe saja. Ia senang sekali dengan easn Khan ini, untuk membinasakan Wanyen Lieh. Memang semenjak kecil ia telah diempos ibunya, yang sangat membenci bangsa Kimn itu. Jenhiz Khan menerima baik, ia pesan pula: "Sekarang ini kuda kita belum terpelihara gemuk dan tentara kita belum terlatih sempurna, kita belum dapat menandingi negara Kim, maka itu kau harus bekerja baik-baik supaya kau tidak meninggalkan bekas-bekas!" Kwee Ceng memberikan janjinya. Jenghis Khan lantas hadiahkan baba mantu itu uang emas tigapuluh tael, untuk ongkos di jalan, sedang Kanglam Liok Koay dipersen barang-barang emas dan berharga bekas rampasan dari Wang Khan. Di hari ketiga, setelah pamitan dati ibunya dengan keduanya mengucurkan air mata, Kwee Ceng berangkat bersama guru-gurunya. Lebih dahulu mereka sambangi kuburannya Thio A Seng, untuk ambil selamat berpisah dari rohnya guru almarhum itu. Lalu tujuan mereka adalah selatan. Baharu mereka jalan sepuluh lie lebih, di atasan kepala mereka terlihat dua ekor burung rajawali kepala putih terbang berputaran, lalu terlihat Tuli datang bersama Gochin dengan dua saudara itu merendengi kuda mereka. Tuli memberi bingkisan sepotong baju bulu tiauw yang mahal, yang pun adalah barang rampasan dari Wang Khan. Gochin datang menemui bakal suaminya itu, akan tetapi ia tidak dapat berbicara, cuma kulit mukanya menjadi bersmu merah. "Adikku, kau bicaralah dengannya, aku tak akan mendengarinya!" berkata Tuli sambil tertawa, terus ia larikan kudanya, untuk menjauhkan diri. Gochin menoleh, ia masih belum dapat bicara. Selang beberapa lama, barulah ia pesan: "Kau mesti lekasan pulang....." Kwee Ceng mengangguk. "Ada pesan lagi?" ia menanya. Gochin menggelengkan kepalanya. Kwee Ceng dekati itu putri, ia pondong tubuhnya, terus ia bawa kepada Tuli. Lalu ia pun saling rangkul dengan Tuli itu, habis mana ia larikan kudanya guna menyusul keenam gurunya, yang sudah berjalan jauh juga. Gochin melongo, hatinya menjadi tawar. Ia dapatkan sikap Kwee Ceng sama seperti biasa, bukan sebagai satu tunangan. Saking masgul, ia hajar kudanya hingga binatang itu lari berjimpratan. Kwee Ceng sendiri berjalan terus, keenam gurunya ajak dia menuju ke timur selatan, siang jalan, malam singgah. Segera juga mereka melintasi tanah datar gurun pasir. Pada suatu hari hampir tiba di Hek Sui Ho, tak jauh lagi dari Kalgan, Kwee Ceng lantas merasakan suasana bertukar. Belum pernah ia melintas dari gurun, sekarang ia mulai tiba di Tionggoan, ia dapatkan pemandangan mata yang lain. Tanpa merasa, ia gencet perut kudanya, membikin kudanya itu lari pesat. Maka lekas sekali tibalah ia di Hek Sui o, disebuah rumah makan di tepi jalanan. Kwee Ceng merasa kasihan melihat kudanya yang kecil itu lari demikian keras hingga bermandikan keringat, ia ambil sabuk dengan apa ia menyusuti. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Sabuk itu menjadi merah seluruhnya. Tempo ia meraba kudanya dengan tangannya, tangannya itu juga menjadi merah, penuh dengan darah. Hampir ia mengucurkan air mata saking menyesal sudah menyiksa kudanya itu. Tidakkah kuda itu bercelaka diluar keinginannya" Maka ia rangkul leher kuda itu, untuk menghibur. Kuda itu sebaliknya nampak segar bugar, tidak ada tanda-tandanya terluka. Kwee Ceng menoleh, akan mengawasi ke jalan besar darimana tadi ia datang. Ia mengharap-harap segera tibanya gurunya yang ketiga, Han Po Kie, supaya guru itu suka tolong mengobati kudanya itu. Ia tidak melihat guru-gurunya, yang ketinggalan jauh, maka berulangkali ia menoleh dan menoleh pula. Masih enam guru itu tak nampak, sebaliknya, kupingnya bocah ini mendengar mengalunnya kelenengan unta. Apabila ia mengawasi, ia lihat mendatanginya empat ekor unta bulu putih, yang penunggangnya pun berpakaian serba putih putih . Mereka itu pria semua. Belum pernah Kwee ceng melihat unta-unta yang begitu bagus, ia menjadi mengawasi. Ia pun menjadi tertarik dan heran akan mendapatkan keempat penunggangnya semua masih muda-muda, mungkin baru berumur duapuluh dua atau duapuluh tiga tahun, dan semuanya pun beroman tampan. Setibanya di depan restauran, keempat penunggang unta itu lompat turun dari punggung masing-masing untanya, terus mereka bertindak ke dalam rumah makan itu. Dari gerak-geriknya mereka itu, terang mereka itu mengerti silmu silat. Disamping pakaian mereka yang putih, di leher mereka itu terlihat bulu rase. Satu pemuda melihat Kwee Ceng mengawasi padanya, ia menjadi likat, wajahnya pun bersemua dadu, lekas-lekas ia tunduk. Adalah satu kawannya menjadi tidak senang. "Eh, bocah kau awasi apa?" ia menegur. Kwee Ceng terperanjat, lekas-lekas ia melengos. Ia lantas dengar mereka itu berbicara satu pada lain, entah apa yang mereka bicarakan itu, habis itu mereka tertawa riuh. Ia malu sendirinya. tentu orang tengah menertawainya. Ia sempat berpikir untuk menukar tempat singgahnya. Syukur unttuknya, ia dapatkan tibanya Han Po Kie. Ia lari kepada gurunya itu, untuk terus beritahukan hal kudanya mengeluarkan keringat darah. "Begitu?" tanya guru itu heran. Ia dekati kuda Kwee Ceng, ia raba punduknya kuda itu, setelah mana, ia bawa tangannya yang berlepotan darah itu ke arah matahari. Ia mengawasi sekian lama, lalu tiba-tiba ia tertawa lebar. "Ini bukannya darah, inilah keringat!" serunya. Kwee Ceng tercengang. "Keringat?" ia menanya. "Ada keringat merah?" Po Kie tidak sahuti muridnya itu, hanya dengan bersemangat ia kata; "Anak Ceng, kau telah dapatkan han-hiat po-ma, yang untuk seribu tahun sukar didapatkan!" Kwee Ceng heran dan girang. Ia bergirang sebab kudanya tidak terluka. Ia heran akan mendengar halnya han-hiat po-ma, ialah kuda istimewa dengan keringat seperti darah. "Suhu, kenapa dia mengeluarkan keringat bagaikan darah?" ia menegasi. "Dulu pernah aku dengar keterangannya guruku, almarhum," sahut Po Kie. "Turut katanya guruku itu, di tanah barat, yaitu di daerah Ferghana, ada kedapatan sebangsa kuda liar biasa, yang disebut kuda langit, punduk kuda itu mengeluarkan keringat merah seperti darah, bahwa kuda itu keras larinya, satu hari dapat menempuh jarak seribu lie. Tentu itu baru cerita saja, belum pernah ada yang melihat buktinya." Selagi guru dan murid ini berbicara, rombongannya Tin Ok tiba. Mereka lantas beritahukan tentang kuda berkeringat merah itu. Cu Cong adalah seorang sastrawan, ia luas pengetahuannya. "Tentang itu ada ditulis jelas dalam Kitab Hikayat dan Kitab Jaman Han," berkata Cu Cong. "Ketika dahulu hari itu bangsawan Pok-bong-houw Thio Kian diutus ke Tanah Barat, di Ferghana dia telah melihat seekor kuda han-hiat po-ma itu, sekembalinya ke negerinya, ia memberitahukannya kepada rajanya, Kaisar Han Bu Tee. Kaisar menjadi kagum, ingin ia mempunyai kuda itu, terus ia kirim utusan membawa emas seribu kati serta seekor kuda-kudaan emas, sebesar kuda biasa, ke Barat itu, untuk dipakai menukar dengan kuda istimewa itu. Raja Ferghana menolak permintaan itu, dia mengatakannya: 'Kuda itu adalah kuda pusaka negara Ferghana, jadi kuda itu tidak dapat dihadiahkan kepada bangsa Han.' Utusan Han itu menjadi gusar, mengumbar tabiatnya, ia hajar rusak kuda emas itu, terus ia pulang. Raja Ferghan pun gusar, dia perintah menawan utusan itu, terus dibunuh, emas dan kuda emas itu dirampas." Kwee Ceng berseru heran. Cu Cong menghirup air tehnya. "Kemudian bagaimana?" tanya murid itu. Dipihak lain, keempat pemuda serba putih itu juga memperhatikan cerita itu. "Shatee," tanya Cu Cong sehabis ia minum pula tehnya, "Kau ahli pemelihara kuda, takukha kau darimana asalnya po-ma?" "Menurut keterangan guruku, po-ma terlahir dari perkawinan kuda rumahan dengan kuda liar!" sahut Po Kie. "Benar!" berkata Cu Cong. "Menurut kitab, di negara Ferghana itu ada sebuah gunung di dalam mana kedapatan sebangsa kuda liar, yang dapat lari seperti terbang, hingga orang liar tidak dapat mengejarnya. Tapi orang Ferghana telah mendapat satu akal bagus.Pada suatu malam hari musim semi, mereka lepas satu ekor kuda betina yang berwarna lima di kaki gunung. Kuda liar itu kena terpincuk, dia kawin dengan kuda pancingan itu, ketika kemudian kuda biang itu mendapat anak, anak kuda itu ialah po-ma tersebut. Anak Ceng, mungkin sekali kudamu itu adalah keturunan dari kuda Ferghana itu. "Bagaimana dengan Kaisar Han Bu Tee itu, apa dia mau sudah saja?" menanya Han Siauw Eng, yang tertarik denagn cerita kakak angkatnya itu. "Mana mau dia sudah begitu saja," kata Cu Cong. "Dia lantas perintah Jenderal Lie Kong mengepalai beberapa laksa serdadu pergi ke Ferghana untk mendapatkan kuda itu. Untuk itu, Lie Kong diangkat menjadi jenderal istimewa. Tapi Ferghana adalah negera gurun pasir, tak ada rangsum dan air disana, selama perjalanan banyak tentara terbinasa, sebelum mencapai tempat tujuan, pasukan tentara itu tinggal hanya tiga bahagian. Lie Kong kalah oerang, ia terpaksa mundur ke Tunhong, darisana ia meminta rajanya mengirim pula bala bantuan. Raja gusar, ia kirim utusan membawa pedang, ke kota Gak-bun-kwan, untuk menjaga. Utusan itu diberi tugas dan kekuasaan: Panglima atau serdadu mana saja yang pergi berperang benani memasuki kota Gak-bun-kwan itu, dia mesti dihukum mati! Lie Kong menjadi serba salah, terpaksa ia menunda di Tun-hong itu." Ketika itu terdengar pula kelenengan unta, lalu tertampak datangnya lagi empat penunggang unta seperti empat yang pertama itu. Melihat mereka itu, yang masuk ke dalam restauran, Kwee Ceng heran. Mereka itu muda dan tampan dan pakaiannya serba putih seprti rombongan yang pertama. Dan mereka dua rombongan lantas duduk bersama-sama. Cu Cong melanjuti ceritanya: "Kaisar Han Bu Tee tidak puas, ia merasa malu. Dengan kalah perang, ia khawatir bangsa lain memendang enteng bangsa Han. Maka ia mengerahkan pula lebih daripada duapuluh laksa serdadu, ia siapkan serbau, kuda dan rangsum tak terhingga banyaknya. Masih ia khawatir tentaranya itu belum cukup, ia menambah dengan semua orang hukuman, pamong praja rendah, baba-baba mantu dan kaum pedagang, yang dijadikan serdadu, hingga negera menjadi gempar. Pula dua ahli kuda diberi pangkat tinggi, ialah satu menjadi Kie-ma Kawm-oet, yang lainnya menjadi Cit-ma Kauw-oet, tugasnya ialah nanti sesudah Ferghana dipukul pecah mereka mesti memilih kuda jempolan. Lioktee, kerajaan Han itu mengutamakan tani dan sebaliknya memandang enteng bangsa saudagar, kalau kau hidup di jaman Kaisar Han Bu Tee, apeslah kau, sebaliknya dengan shatee, dia bisa memangku pangkat! Ha ha ha!" "Dan baba-baba mantu itu, apakah salahnya mereka?" Siauw Eng menanya. "Siapa miskin dan tak punya sanderan, siapa kesudian dipungut mantu?" Cu Cong menjawab. "Kali ini Lie Kong memimpin angkatan perang yang besar itu. Untuk lebih daripada empatpuluh hari, ia kurung dan serang kota musuh. Banyak panglima musuh terbinasa. Akhirnya kaum ningrat Ferghana menjadi ketakutkan, mereka berontak, rajanya dibunuh, kepala raja diserahkan. Mereka mohon menakluk. Mereka pun serahkan kuda yang diperebuti itu. Lie Kong pulang dengan kemenangan besar, raja sangat girang, dia di anugrahkan menjadi bangsawan Hay-see-houw. Orangorang peperangan yang lainnya pun turut kenaikan pangkat. untuk seekor kuda poma itu, entah berapa banyak jiwa sudha melayang, setahu berapa banyak uang sudah dikorbankan. Kaisar mengadakan satu pesta besart, ia perintah mengarang syair untuk memuji kuda langit itu, yang dianggap melainkan naga yang pantas menjadi kawannya...." Mendengar cerita itu, delapan pemuda itu mengawasi kudanya Kwee Ceng, agaknya mereka sangat tertarik. Cu Cong berkata pula: "Kuda langit menjadi kuda jempolan sebab perkawinannya dengan kuda liar, Kaisar Bu Han Tee sudah kerahkan kekuatan seluruh negeri untuk mendapatkan beberapa ekor kuda itu tapi kemudian ia tidak mendapatkan kuda liar, maka selang beberapa turunan, semua kuda itu tak lagi menjadi po-ma dan keringatnya pun tidak merah..." Habis Cu Cong bercerita, mereka melanjuti memasang omong sambil dahar mie. Delapan pemuda itu duduk jauh-jauh, mereka kasak-kusuk tetapi kupingnya Kwa Tin Ok lihay, ia dapat mendengar jelas pembicaraan mereka. "Kalau kita hendak rampas kuda itu, cukup dengan satu kali turun tangan," berakta satu pemuda, "Satu kali kita sudah naik atas punggung kuda itu, siapa dapat mengubarnya?" "Tapi disini ada banyak orang lain dan ia pun ada kawan-kawannya..." kata seorang yang lain. "Jikalau kawannya berani membantui, kita bunuh saja semua!" kata seorang lagi. Hu Thian Pian-hk Kwa Tin Ok menjadi heran sekali. "Mereka berdelapan wanita semuanya, mengapa mereka jadi begini galak dann telengas?" tanya ia dalam hatinya. Ia berdiam saja, ia sengaja berpaling ke luar rumah makan. dengan begitu delapan pemuda itu menjdai tidak bercuriga. "Setelah mendapatkan kuda jempolan ini, kita menghadiahkannya kepada San-cu," berkata seorang pula. "Dengan menungggang kuda ini, San-cu pergi ke kota raja,tentunya dia menjadi semakin terang mukanya! Pasti seklai Som Sian lao Koay dari Tiang Pek San dan Leng Tie Sianjin jago Bit Cong Pay dari Tibet tak dapat menangkan keagungannya...!" Tin Ok berpikir. Ia pernah dengar namanya Leng Tie siangkin, seorang paderi kenamaan dari Tibet itu, tetapi tak tahu ia perihal Som Sian Lao Koay. Ia terus memasang kupingnya. "Dalam beberapa hari ini di tengah jalan kita menemui tak sedikit sahabat dari Jalan Hitam," berkata seorang muda yang lainnya lagi, "Katanya mereka adalah bawahannya Cian-ciu jin-touw Peng Lian Houw. Merek aitu tentu hendak berkumpul juga di kota raja, maka kalau mereka dapat lihat kuda ini, mana kita dapat kebagian?" Tentang Peng Lian Houw ini Tin Ok ketahui dengan baik. Dialah kepala penjahat paling berpengaruh untuk wilayah Hopak dan Shoasay, yang pun sangat kejam, maka juga dia dapat gelarannya itu, "Pembunuh Ribuan Jiwa". Maka ia berpikir, "Orang lihay itu pergi ke kota raja, mereka hendak bikin apa di sana" Delapan wanita ini, siapakah mereka?" Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendengar terlebih jauh, Tin Ok mendapat kepastian mereka itu hendak merampas kudanya Kwee Ceng. Merek ahendak pergi lebih dulu, guna memegat di tengah jalan. Habis mengambil keputusan, delapan pemuda itu, yang Tin Ok mengatakannya pemudipemudi, lalu berkasak-kusuk tentang asmara, mereka pun bergurau. Ada yang kata Malaikat Bangau Sakti 3 Golok Sakti Karya Chin Yung Lembah Merpati 4

Cari Blog Ini