Memanah Burung Rajawali 7
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 7 "San-cu paling sukai kamu!" Ada yang membilang, "Diwaktu begini tentulah San-cu lagi menantikanmu!" maka ia menjadi mengerutkan keningnya, ia menajdi sebal.... "Kalau kita menghadiahkan kuda ini kepada San-cu, coba kau terka, San-vu bakal menghadiahkan apa kepada kita?" berkata satu orang, yang kembali ke urusan kuda. Yang seorang tertawa dan berkata: " Pasti San-cu menghendaki kau menemani ia tidur untuk beberapa malam...! "Kurang ajar!" membentak kawan yang digoda itu dan hendak mencubit. Yang lainlain lantas tertawa geli. "Kira-kira, hati-hatilah!" seorang memperingati. "Jangan kita membocorkan rahasia sendiri...!" "Wanita itu membawa pedang, dia tentu mengerti ilmu silat," kata satu orang. "Dia juga cnatik sekali, coba dia lebih muda sepuluh tahun, baharulah heran anadikata San-cu melihat dia dan tidak menjadi kerindu-rinduan..." Tin Ok tahu Siauw Eng yang menjadi bulan-bulanan, ia mendongkol. ia percaya orang yang dipanggil "San-cu" itu atau "majikan gunung" mestilah bukan orang baik-baik. "Awas, jangan kau mencari muka dari San-cu dan hendak mati-matian mencarikan nona manis untuknya...!" memperingati satu kawan. Orang itu tertawa, ia tidak menyahuti. "Kita harus berhati-hati," berkata pula seorang yang lain. "Kali ini kita datang ke Tionggoan untuk mengangkat nama, guna menakluki orang kosen, supaya orangorang kosen di kolong langit ini ketahui kegagahan kita dari Pek To San, maka itu haruslah kita waspada, jangan seperti Hong Ho Su Koay yang sial dankalan itu, yang menyebabkan orang tertawa hingga giginya copot!" Tin Ok tidak tahu Pek To San itu, yang berarti Gunung Unta Putih, ada dari partai mana, akan tetapi mendengar disebutnya Hong Ho Su Koay - Empat Siluman dari sungai Hong Ho, ia teringat kepada mereka yang mengeroyok Kwee Ceng. Seorang berkata pula: "Menurut katanya San-cu, Hong Ho Su Koay adalah muridmurid paling disayangi oleh Kwie-bun Liong Ong, untuk di Liongsee dan Tiong-ciu, namanya sangat kesohor, maka itu adalah sangat aneh yang mereka kabarnya roboh ditangannya satu bocah umur belasan tahun..." Satu kawannya menyahuti: "Ada orang bilang bocah itu pandai ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw, karena tubuhnya Hong Ho Su Koay itu masing-masing meninggalkan beberapa bekas cengkeraman..." "Maka hati-hatilah kau!" tertawa satu kawannya, "Supaya kau jangan sampai kena dijambak bocah itu!" "Cis!" sang kawan berludah. Maka lagi sekali, mereka itu tertawa. Mendengar pembicaraan itu, Tin Ok mendongkol berbareng merasa lucu. "Sungguh pesat sekali tersiarnya kabaran dalam dunia kangouw!" katanya. "Hanyalah tidak tepat untuk menyiarkan berita anak ceng mengerti Kiu-im Pek-kut Jiauw. Ilmu itu mana dapat dikuasai tanpa penyakinan belasan tahun" Anak umur belasan tahun mana mempunyakan semacam ilmu silat itu?" Diam-diam Tin Ok puas yang murid mereka dapat mengalahkan Hong Ho Su Koay, maka tidaklah kecewa didikan mereka selama sepuluh tahun lebih ini. Habis dahar mie, delapan pemuda itu berlalu dengan cepat bersama untanya. Tin Ok tunggu sampai orang sudah pergi jauh, ia tanya adiknya yang kedua: "Jietee, bagaimana kau lihat kepandaiannya delapan wanita itu?" "Wanita?" Cu Cong mengulangi dengan heran sebelum ia menjawab. "Habis?" sang kakak membalasi. "Oh, mereka menyamar demikian sempurna!" berkata Cu Cong. "Nampaknya mereka luar biasa, mirip mengerti ilmu silat, rupanya seperi tidak mengerti..." "Apakah pernah kau dengar tentang Pek To San?" Tin Ok tanya pula. "Tidak," sahut Cu Cong setelah berpikir sejenak. Tin Ok lantas tuturkan apa yang ia dengar barusan. Cu Cong semua tertawa. Besar nyali mereka berani berniat menggempur gunung Tay San.... "Perkara kecil niat mereka merampas kuda ana Ceng," Tin Ok berkata pula. "Yang penting ialah pembilangan bahwa ada banyak orang gagah hendak berkumpul di kota raja. Mungkin ada gerakan rahasia apa-apa. Aku pikir tak dapat kita membiarkannya saja, perlu kita mencari tahu." "Tetapi janji pibu di Kee-hin bakal tiba harinya, tidak dapat kita main ayalayalan," Coan Kim Hoat memperingati. Mereka itu berdiam, mereka itu merasa sulit juga. "Kalau begitu, biarlah anak Ceng berangkat lebih dahulu!" Lam Hie Jin menyarankan. "Apakah sieko maksudkan biar anak Ceng pergi seorang diri ke Kee-hin" Kita menyusul dia sesudah kita menyelidiki warta perihal orang-orang gagah yang berkumpul di kota raja?" Siauw Eng menegaskan. Lam Hie Jin mengangguk. "Benar," Cu Cong menyatakan setuju. "Biar anak Ceng berjalan seorang diri, untuk mencari pengalaman." Mendengar itu Kwee Ceng merasa puas. Tidak menggembirakan untuk ia berjalan seorang diri. Ia utarakan perasaannya itu. "Orang begini besar masih bersifat kebocahan!" Tin Ok menegur. Siauw Eng lantas membujuki: "Kau pergi lebih dahulu di sana menunggui kita. Tak sampai satu bulan, kami akan menyusul. Umpama di harian pibu kita tidak dapat kumpul semua berenam, satu atau dua tentulah dapat tiba untuk mengurus kamu. Jangan kau khawatir." Dengan terpaksa Kwee Ceng memberikan persetujuannya. "Delapan wanita itu hendak merampas kudamu," Tin Ok pesan, "Pergi kau ambil jalan kecil, untuk mendahului mareka. Kudamu keras larinya, tidak nanti dapat mereka menyusul. Kau mempunyai urusan penting, jagalah supaya kau jangan terganggu urusan sampingan." "Umpama benar mereka main gila, Kanglam Cit Koay tidak nanti lepaskan mereka!" berkata Han Po Kie. Dia tetap menyebut diri Cit Koay meskipun sudah belasan tahun semenjak meninggalnya Thio A Seng, hingga sekarang mereka tinggal berenam (Liok Koay). Itulah tandanya ia tidak bisa melupakan saudara angkatnya itu. Habis bersantap, Kwee Ceng lantas memberi hormat kepada keenam gurunya, untuk mengucapak selamat jalan. Liok Koay berlega melepaskan muridnya ini, yang kelihatan sudah dapat diandalkan menyaksikan perlawanannya terhadap Hong Ho Su Koay. Memang perlu murid ini membuat perjalanan sendiri, sebab pengalaman tak dapat diajari, itu mesti diperoleh sendiri. Mereka itu pada memesan, paling belakang pesan Hie Jin singkat saja: "Jikalau tidak ungkulan, menyingkir!" Pesan ini diberikan sebab ia melihat, melayani Empat Siluman dari Hong Ho, muridnya ini ngotot hingga ia membahayakan diri sendiri. "Memang," berkata Coan Kim Hoat, "Ilmu silat tidak ada batasnya, di luar gunung ada gunung lainnya lebih tinggi, di sebelah orang ada lagi lain orang yang terlebih pandai, biarpun kau sangat lihay, tidak dapat kau menjagoi sendiri di kolong langit. Maka ingatlah pesa gurumu yang keempat ini." Kwee Ceng mengangguk. Ia payku kepada enam gurunya itu, lantas ia menuju ke selatan. Belum ada dua lie, ia sudah menghadapi jalan cabang dua. Ia turuti pesan Tin Ok, ia lantas ambil jalan kecil. Jalanan ini lebih jauh, sebab kecil dan berliku-liku, di sini sangat sedikit orang berlalu lintas. Jalanan pun sukar, banyak kolar dan pasirnya, ada pepehonan kecil yang liar. Untungnya untuk dia, ia menunggang kuda dan kudanya pun dapat lari pesat. Sekira tujuh atau delapan lie, Kwee Ceng tiba di jalanan pegunungan yang sulit dan berbahaya, jalanan sempit dan banyakl batu besarnya. mau tidak mau, ia berlaku hati-hati. I apun meraba ganggang pedangnya. "Kalau sam-suhu melihat sikapku nini, dia pasti akan damprat aku..." pikirnya. Selagi jalan terus, di sebuah tikungan, Kwee Ceng terkejut. Di depan ada tiga nona dengan pakaian serba putih, ketiganya bercokol di atas punggung unta. Mereka itu melintag di tengah jalan. Dari jauh-jauh, ia tahan kudanya, hatinya pun tercekat. "Numpag jalan!" ia lantas berkata, suaranya nyaring. Ketiga nona itu tertawa tergelak. "Adik kecil, takut apa?" kata satu diantaranya. "Lewat saja! Kami pun tidak nanti gegares padamu!" Kwee Ceng jengah, mukanya dirasai panas. Ia bersangsi. Bicara dulu atau menerjang saja" "Kudamu bagus, mari kasih aku lihat!" kata satu nona lain. Ia mengasih dengar nada lagi bicara sama anak kecil. Tentu saja tak puas Kwee Ceng diperlakukan demikian. Ia mengawasi jalanan yang sempit itu. Di tempat begitu, tak dapat ia tempur mereka itu. Maka ia lantas ambil keputusan. Ia tarik les kudanya, kedua kakinya menjepit. Dengan ini cara, ia kasih kudanya kaget, untuk lari dengan tiba-tiba. ia seperti hendak menerjang ketiga orang itu. "Awas! Buka jalan!" ia berseru seraya ia hunus pedangnya. Pesat lari kudanya, sebentar saja ia sudah datang dekat. Satu nona lompat turun dari untanya, iamaju seraya ulur tangannya, maksudnya hendak menyambar les kuda, untuk tahan kuda itu. Tapi Kwee Ceng membentak, kudanya berbenger, terus berlompat tinggi, lompat lewati tiga nona itu! Ketiga nona itu terkejut, Kwee Ceng sendiri tidak tak terkecuali, saking heran atas lihaynya kuda itu, untuk pengalamannya ini yang luar biasa. Belum sempat ia menoleh ke belakang, ia sudah dengar bentakan ketiga nona itu, tepat waktu ia menoleh, ia lihat menyambarnya dua rupa barang berkilauan. Ia mau berlaku hatihati, ia khawatir senjata rahasia itu ada racunnya, ia menyambuti dengan kopiahnya, yang ia lekas cabut. "Bagus!" memuji dua nona. Kwee Ceng periksa kopiahnya. Nyata dua senjata rahasia itu adalah gin-so atau torak terbuat dari perak yang indah, ujungnya tajam, tajam juga kedua pinggirannya. "Kamu telengas hendak mengambil jiwaku," pikir si anak muda denagn mendongkol. "Bukankah kita tidak kenal satu sama lain dan tidak bermusuhan?" Tapi ia tidak mau membalas, tak sudi iamelayani, gin-so itu ia masuki dalam sakunya. Ia hanya dapat lihat, gin-so bertabur emas yang merupakan unta-unta kecil. Sampai disitu, pemuda ini larikan pula kudanya. Ia tidak menaruh perhatian ketika ia dengar dua ekor burung dara terbang lewat di atas kepalanya, dari utara ke selatan. Ia hanya khawatir nanti ada yang memegat pula. Tidak sampai satu jam, ia sudah melalui seratus lie lebih. Ia singgah sebentar, terus ia jalan pula. belum sore, ia sudah tiba di Kalgan. ia percaya ketiga nona tadi tidak bakal dapat candak dia, sebab ia duga jarak mereka kedua pihak ada jarak seperjalanan tiga hari....... Kalgan adalah kota hidup untuk perhubungan antara selatan dan utara, penduduknya padat, perdagangannya ramai. Di situ terutama terdapat banyak kulit dan bulu binatang, yang datangnya dari tempat lain tempat. Di sini Kwee Ceng turun dari kudanya, ia berjalan seraya menuntun binatang ini, matanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Belum pernah ia melihat kota seramai ini. Kebetulan tiba di depan restoran, ia merasa lapar, maka ia tambat kudanya di luar, ia masuk ke dalam, akan pilih tempat duduk. Ia minta sepring daging kerbau dan dua kati mie. Seorang diri ia dahar dengan bernafsu. Ia hanya tidak pakai sumpit, ia turut kebiasaan orang Mongolia, memakai tangannya. Tengha bersantap, ia dengar suara kerisik di luar rumah makan. Ia lantas ingat kepada kudanya, ia lompat bangun, untuk melongok keluar. Ia dapatkan kudanya sedang makan rumput dengan tenang. Yang membikin banyak berisik adalah dua jongos terhadap satu pemuda ynag tubuhnya kurus dan pakaiannya butut. Pemuda itu berumur lima atau enambelas tahun, kepalanya ditutup dengan kopiah kulit yang sudah pecah dan hitam dekil, mukanya pun hitam mehongan, hingga tidak terlihat tegas wajahnya. Di utara, sekalipun di musim semi, hawa udara dingin, dan pemuda ini tidak memakai sepatu. Teranglah ia seorang melarat. Di tangannya ia mencekal sepotong bakpauw. Ia mengawasi kedua jongos dengan tertawa, hingga terlihat dua baris giginya yang putih, rata, hingga gigi bagus itu tak sembabat sama dandannya yang compang-camping itu. "Mau apa lagi"!" menegur satu jongos, "Kenapa kau tidak mau lantas pergi"!" "Baiklah, pergi ya pergi..." kata pemuda itu seraya ia putar tubuhnya. "Eh, lepas bakpauw itu!" menitah jongos yang satunya. Pemuda itu letaki bakpauw itu yang tapinya sekarang tertanda tapak tangan, hitam dan kotor. Tentu saja kue itu tak laku dijual. Jongos itu menjadi gusar. Ser! kepalannya melayang. pemuda itu mendak, kepalan lewat diatasan kepalanya. Kwee Ceng menjadi kasihan. ia tahu orang tentu sudah lapar. "Jangan!" ia cegah si jongos. "Aku yang membayar uangnya." Ia jumput bakpauw itu, ia sodorkan kepada si pemuda. Pemuda itu menyambuti. "Makhluk yang harus dikasihani, ini aku bagi kau!" berkata ia. Dan ia lemparkan itu kepada seekor anjing buduk di depan pintu. Anjing itu, seekor anjing kecil, menubruk dengan kegirangan, terus ia gegares bakpauw itu. "Sayang...sayang..." kata satu jongos. "Bakpauw yang lezat dikasihi ke anjing...." Kwee Ceng pun heran, tetapi ia diam saja, ia balik ke mejanya untuk melanjuti bersantap. Pemuda itu mengikuti ke dalam, ia mengawasi ana muda kita Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. "Mari dahar bersama!" ia mengundang. "Baik!" tertawa pula pemuda itu. "Aku sendirian tidak gembira, aku memang lagi mencari kawan." Ia bicara dengan lidah Selatan. Kwee Ceng mengerti omongan orang. Bukankah ibunya berasal dari Lim-an, Cit-kang, dan ia biasa dengar ibunya bicara" Ia malah girang mendengar lagu suara orang sekampung. Pemuda itu menghampiri, untuk duduk bersama. Kwee ceng teriaki jongos, meminta tambahan makanan. Jongos itu melayani dengan ogah-ogahan, sebab ia lihat pakaian orang yang butut dan kotor itu. "Apakah kau sangka aku melarat dan jadinya tak pantas aku dahar barang makananmu?" si pemuda tegur jongos itu, yang ia lihat lagak lagunya. "Aku khawatir, meski kau menyuguhkan makananmu yang paing jempol, bagiku itu rasanya masih kurang cocok." lanjutnya lagi. "Apa"!" sahut jongos itu tawar, "Coba lojinkee menyebutkannya, pasti kami dapat membuatnya! Hanya aku khawatir, habis kau dahar, kau tidak punya uang untuk membayarnya!" Dengan sengaja ia menyebut "lojinkee" atau orang tua yang dihormati, untuk menyindir. Pemuda itu mengawasi Kwee Ceng. "Tidak peduli aku dahar berapa banyak, maukah kau yang mentraktir?" tanyanya. "Pasti!" sahut Kwee Ceng tanpa berpikir lagi. Ia menoleh kepada si jongos, akan memerintahkan: "Potongi aku sekati daging kerbau serta setengah kati hati daging kambing!" Ia telah hidup terlalu lama di Mongolia hingga tahunya, makanan yang paling lezat di kolong langit ini adalah daging kerbau dan kambing. Ia menoleh pula kepada si anak muda: "Kita minum arak atau tidak?" ia tanya. "Kita jangan repoti mendahar daging, baik kita makan bebuahan dulu!" menyahuti si anak muda. Ia lantas kata pada jongos: "Eh, kawan, lebih dulu kau sediakan empat rupa buah kering dan empat rupa buah segar, dua yang asam manis, dua yang manis bermadu." Jongos itu heran hingga ia terperanjat. Ia tidak menyangka orang omong demikian takabur. "Toaya menghendaki buah apa yang segar bermadu?" tanyanya, suaranya tawar. "Rumah makanmu ini rumah makan kecil dan tempatmu ini tempat melarat, pasti tidak dapat kamu menyediakan barang bagus," berkata si anak muda. "Sekarang begini saja! Empat rupa buah kering itu ialah leeci, lengkeng, co dan ginheng. Buah yang segar yaitu kau cari yang baharu dipetik, yang asam aku ingin uah ento harum, dan kiang-sie-bwee. Entah disini ada yang jual atau tidak" Yang manis bermadu" Ialah jeruk tiauw-hoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho-tong-songtiauw dan buah lay-hauwlongkun...." Mendengar itu, jongos itu menjadi melongo. Sekarang ia tak berani lagi memandang enteng kepada anak muda ini. Si anak muda berkata pula; "Untuk teman arak, di sini tidak ada ikan dan udang segar, maka kau sajikan saja delapan rupa barang hidangan yang biasa!" Jongos itu mengawasi. "Sebenarnya tuan-tuan ingin dahar masakan apa?" ia tanya. "Ah, tidak dijelaskan, tidak beres!" berkata si anak muda itu. "Delapan rupa masakan itu ialah puyuh asap, ceker bebek goreng, lidah ayam cah, soto manjangan keekangyauw, soto burung wanyoh, bakso kelinci, paha mencak dan kaki babi hong." Mendengari itu mulutnya si jongos ternganga. "Delapan masakan itu mahal harganya," kata kemudian. "Untuk ceker bebek dan lidah ayam saja kita membutuhkan beberapapuluh ekor ayam.... Si anak muda menunjuki Kwee Ceng. "Tuan ini yang mentraktir, apakah kau kira dia tidak kuat membayaranya?" tanya ia. Jongos mengawasi pemuda kita, yang dandannya indah dan malah mengenakan bulu tiauw, ia duga bukan sembarang orang. "Baiklah," sahutnya kemudian. "Apakah sudah cukup semua ini?" "Habis itu, kau sajikan lagi duabelas rupa untuk teman nasi," berkata pula si anak muda. "Lainnya ialah delapan rupa tiamsim. Nah, sebegitu dulu!" Jongos itu berlalu dengan cepat, ia khawatir orang nanti minta pula makanan lainnya. Setelah pesan koki, baharu ia keluar pula. Sekarang ia tanya tetamunya, hendak minum arak apa. Ia kata, ia ada punya arak Pek-hun-ciu simpanan sepuluh tahun, apa boleh ia menyediakan dulu dua poci" Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Baiklah!" sahut si anak muda yang mengenai arak tak banyak cerewet. Tidak terlalu lama, semua buah yang diminta telah disajikan saling susulmenyusul. Kwee ceng cobai itu semua, satu demi satu, dan ia merasakan kelezatan yang duludulunya ia belum pernah cicipi. Sembari dahar bebuahan, si anak muda bercerita banyak, tentang segala apa di Kanglam. Kwee ceng tertarik hatinya. Orang bicara rapi, enak didengarinya. Rupanya orang luas pengetahuannya. Ia sampai mau percaya, anak muda itu ada lebih pintar daripada gurunya yang kedua. "Aku menyangka ia cuma miskin, tak tahunya dia terpelajar tinggi," katanya dalam hatinya. Selang kira setengah jam, datanglah barang hidangan, yang mesti disajikan atas dua meja disambung menjadi satu. Anak muda itu minum sedikit sekali. Barang hidangan, yang ia pilih, ia pun Cuma dahar beberapa sumpitan. Sembari berdahar, ia sekarang banyak bertanya kepada Kwee Ceng, yang mengaku datang dari padang pasir. Kwee Ceng ingat pesan gurunya, ia tidak berani bicara terlalu banyak, ia jadi Cuma bicara tentang memburu binatang liar, memanah burung rajawali, menunggang kuda dan menggembala kambing. tapi si anak muda sangat tertarik hatinya, hingga ia tertawa dan bertepuk tangan. Kwee Ceng sendiri sangat gembira berkumpul bersama ini kawan baru. Di gurun pasir ia bergaul erat sekali dengan Tuli dan Gochin, toh masih ada perbedaannya, ialah Tuli sering mendampingi ayahnya. Gochin benar baik tetapi putri itu kadang-kadang manja sekali dan ia tidak sudi mengalah, maka sering mereka bertengkar. Maka itu, bicara lebih jauh, ia pun suka omong lebih banyak, kecuali hal ia mengerti silat dan mempunyai hubungan erat dengan Temuchin. Satu kali, saking gembira, ia cekal tangan si anak muda, untuk dipegang keras-keras. Hanya aneh, tangan itu ia rasai halus sekali. Si anak muda pun tersenyum dan menunduk. Pernah Kwee Ceng menatap muka si anak muda, walaupun mehongan, kult muka itu agakanya halus dan bersemu putih, tetapi tentang ini, ia tidak memperhatikannya. "Sudah terlalu lama kita bicara, barang hidangan keburu dingin," kata si anak muda seraya tarik tangannya. "Nasi pun sudah dingin..." "Benar," sahut Kwee ceng, sadar. "Baik suruh panasi lagi..." "Tidak usahlah, terlalu panas pun tidak dapat didahar," berkata si anak muda, yang tapinya memanggil jongos, menyuruh menukar hidangan yang terlalu dingin dengan yang baru! Jongos dan kuasa brumah menjadi heran. Seumurnya, baru kalin ini mereka mendapatkan tetamu seaneh ini. Tapi mereka iringi kehendak itu. Kwee Ceng pun berdiam saja, ia tidak pikirkan harganya barang makanan itu.Sesudah barang makanan siap semua, anak muda itu dahar lagi sedikit saja, lalu ia mengatakannya sudah cukup. Menyaksikan itu, si jongos katakan Kwee ceng dalam hatinya: "Dasar kau, bocah tolol! Bocah hina ini permainkan padamu!" Kapan kuasa restoran sudah berhitungan, harganya semua buah dan makanan itu berjumlah tigaratus sembilan tail, tujuh chie empat hun. Untuk membayar itu, Kwee Ceng mengeluarkan dua potong emas, untuk ditukar dengan limaratus tael perak. Sehabis membayar, Kwee ceng pun kasih persen sepuluh tael hingga kuasa restoran dan jongos itu menjadi girang, dengan kelakuan sangat menghormat, mereka mengantar keluar kedua tetamunya itu. Di luar salju memenuhi jalan besar. "Aku telah mengganggu kamu, ijinkan aku pamitan," si anak muda meminta diri seraya memberi hormat. Kwee Ceng berhati mulia, melihat pakaian orang yang tipis dan pecah, ia loloskan baju kulit tiauwnya, ia kerobongi itu di tubuh si anak muda. Ia kata: "Saudara, kita baharu ketemu tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat kekal, maka aku minta sukalah kau pakai baju ini!" Tidak Cuma baju, ia pun memberikan uang. Ia masih punya sisa empat potong emas, yang tiga ia sisipkan ke dalam saku baju tiauw itu. Si anak muda tidak mengucap terima kasih, ia pakai baju itu, terus ia negeloyor pergi. Adalah setelah jalan beberapa tindak, ia baru menoleh ke belakang, hingga ia tampak Kwee Ceng lagi berdiri bengong dengan tangan memegangi les kuda merahnya, seperti juga pemuda itu kehilangan sesuatu. ia lantas saja angkat tangannya, untuk menggapaikan. Kwee Ceng lihat itu panggilan, ia menghampirkan dengan cepat. "Saudaraku, apakah kau masih kekurangan apa-apa?" ia menanya. Ia sebenarnya memanggil adik (hiantee). Anak muda itu tersenyum. "Aku masih belum belajar kenal she dan nama kakak yang mulia," ia menyahuti. Kwee ceng pun tertawa. "Benar, benar!" katanya. "aku pun sampai lupa! Aku she Kwee, namaku Ceng. Kau sendiri hiantee?" "Aku she Oey, namaku pun satu, Yong," jawab anak muda itu. "Sekarang hiantee hendak pergi kemana?" Kwee ceng tanya. "Umpama kata hiantee hendak kembali ke Kanglam, bagaimana apabila kita berjalan bersama?" Oey Yong menggeleng kepala. "Aku tidak niat pulang ke Selatan," sahutnya. "Tapi toako, aku merasa lapar pula..." ia menambahkan. "Baiklah,mari aku temani lagi kau bersantap," jawab Kwee ceng, yang tidak merasa aneh atau mendongkol. Kali ini Oey Yong yang mengajak kawannya itu. Ia pilih rumah makan yang paling besar dan kenamaan untuk kota Kalgan, yaitu Restoran Tiang Keng Lauw, yang bangunannya juga mencontoh model restoran besar dari Pian Liang, ibukota dahulu. Hanya kali nini ia tidak meminta banyak macam makanan, cuma empat rupa serta sepoci the Liong-ceng. Di sini kembali mereka pasang omong. Kapan Oey Yong dengar Kwee ceng omong perihal dua ekor burung rajawali putih, ia menjadi tertarik hatinya. "Justru sekarang tidak tahu aku mesti pergi ke mana, baik besok aku pergi saja ke Mongolia," ia kata. "Di sana aku cari dan tangkap dua anak burung itu untuk aku buat main." "Hanya sukar untuk mencari anaknya," Kwee ceng beritahu. "Tapi kau toh dapat menemuinya," berkata si anak muda. Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia pun menemuinya burung itu secara kebetulan. "Eh, hiantee, rumahmu di mana?" ia tanya. "Kenapa kau tidak mau pulang saja?" Tiba-tiba saja mata Oey Yong menjadi merah. "Ayahku tidak menginginkan aku..." ia menyahut. "Kenapa begitu?" Kwee Ceng tanya. "Ayahku larang aku pergi pesiar, aku justru mau pergi," sahut Oey Yong. "Ayah damprat aku. Karena itu malam-malam aku minggat...." "Sekarang pasti ayahmu tengah memikirkan kau," Kwee ceng berkata pula. "Dan ibumu?" "Ibuku sudah meninggal dunia. Aku tidak punya ibu sejak masih kecil..." "Kalau begitu, habis pesiar, kau mesti pulang." kata Kwee ceng lagi. Oey Yong menangis. "Ayahku tidak menginginkan aku lagi..." katanya. "Ah, tak bisa jadi," Kwee Ceng bilang. "Jikalau begitu, kenapa ayah tidak cari aku?" kata si anak muda lagi. "Mungkin ia mencari, Cuma tidak ketmu..." Kwee ceng mencoba menghibur. Oey Yong tertawa. "Kalau begitu, baiklah, habis pesiar aku pulang!" katanya. "Cuma aku mesti dapati dulu dua ekor anak rajawali putih..." Selagi kedua pemuda ini bicara dengan asyik, di tangga lauwteng terdengar suara tindakan kaki, lalu tertampak munculnya tiga orang, ialah dua kacung yang mengiringi satu pemuda denagn baju sulam yang indah. pemuda itu tampan sekali, wajahnya terang, usianya barangkali baru delapan atau sembilanbelas tahun. Ia memandang Kwee Ceng dan Oey Yong. Melihat pakaian orang yang kotor, ia mengerutkan kening, lantas ia menunjuk meja yang terpisah jauh. Atas itu kedua kacung menghampirkan meja yang ditunjuk itu, untuk mengatur mangkok dan sepasang sumpit, yang ia bawa dari rumah. Mangkok dan sumpit yang mana disimpan dalam sebuah kotak. Jongos juga segera repot melayani tetamu baru ini. Kwee Ceng mengawasi sebentar, lantas ia tidak pedulikan lagi tetamu itu. Ia kembali mengobrol bersama sahabat barunya itu. Belum lama, di bawah lauwteng terdengar suara kuda meringkik, disusul mana beberapa kali bentakan dari beberapa orang. Ia ingat akan kudanya, maka ia lari ke jendela untuk melongok ke bawah. Ia dapatkan beberapa orang dengan pakaian serba putih tengah mengurung kudanya itu, yang hendak ditangkap, tetapi kuda itu berjinkrakan, hingga ia tak dapat didekatkan. Ia menjadi gusar sekali, terutama sebab ia lantas kenali, orang-orang itu adalah delapan penunggang unta yang memang berniat merampas kudanya itu. Ia hanya heran kenapa orang dapat menyusul ia demikian lekas. Lantas ia berseru: "Di siang bolong kamu berani merampas kudaku?" Lantas ia lari turun dari lauwteng. Setibanya ia di depan rumah makan, di sana ia dapatkan delapan orang berpakaian putih itu sedang rebah tanpa berkutik. Ia menjadi heran sekali, sehingga ie berdiri menjublak. Bab 16. Gara-Gara Sepatu Sulam Dan Jubah Salut Emas Tiba-tiba Kwee Ceng sadar. Ia merasakan ada tangan yang lemas yang memegang tangannya. Ketika ia menoleh, dengan lantas ia lihat Oey Yong, yang setahu kapan telah turun dari lauwteng. "Jangan pedulikan dengan mereka, mari kita naik pula ke lauwteng!" berkata ini sahabat baru. "Mereka ini hendak merampas kudaku," kata Kwee Ceng. "Setahu kenapa, mereka pada rubuh sendirinya...." Meski ia mengucap demikian, Kwee ceng menurut, ia memutar tubuhnya. Demikian juga si anak muda itu. Justru mereka memutar tubuh, si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu juga telah berada di depan, malah ia sudah lantas membungkuk kana melihat delapan pemudi yang menyamar sebagai pemuda-pemuda itu, kemudian ia mengawasi kedua anak muda itu, sinar matanya menandakan ia sangat heran. Oey Yong tarik tangannya Kwee ceng, untuk naik di tangga, kemudian sembari tertawa manis, ia tuangi air the di cawannya pemuda itu. "Toako, kudamu itu bagus sekali!" katanya memuji. Kwee Ceng hendak sahuti sahabatnya ketika ini tatkala ia dengar ramai suara kelengan unta di depan rumah makan itu, ia pergi ke jendela diikuti Oey Yong, apabila mereka melongok ke bawah, mereka lihat delapan nona serba putih itu berlalu dengan unta mereka. salah satu nona menoleh ke belakang, ia memandang Kwee Ceng, maka Kwee Ceng dapat melihat sinar matanya yang tajam, tanda dari kemurkaan, sepasang alisnya pun terbangun. Tiba-tiba saja ia ayun tangannya yang kanan, atas mana dua potong ginso menyambar ke loteng, ke arah pemuda ini. Cepat-cepat Kwee Ceng cabuti kopiahnya, dengan niat menyambuti torak perak itu. Akan tetapi si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu telah dului ia, dengan menyentil dua kali, ia melayangkan dua batang senjata rahasia yang bersinar emas berkilauan, lalu di antara dua kali suara tintong, ginso itu jatuh sendirinya, jatuh bareng bersama senjata penyerangnya. kedua kacung lantas pungut empat senjata rahasia itu, diserahkan kepada si pemuda, yang menyambuti seraya terus dikasih masuk ke dalam sakunya. Habis itu, ia lantasbertindak naik di tangga lauwteng, dia terus menghampirkan Kwee Ceng, di depan siapa ia berhenti, untuk terus segera memberi hormat sambil berjura. "Aku mohon tanya she dan nama mulia dari toako," ia minta. Kwee ceng cepat-cepat membalas hormat. "Siauwtw she Kwee, bernama ceng," ia menyahuti. "Kongcu ada pengajaran apakah?" lanjutnya. "Apakah saudara Kwee datang dari pulau Tho Hoa To dari Tang-hay" pemuda itu menaya. "Aku mohon tanya, ada urusan apakah saudara datang ke mari?" Ditanya begitu, Kwee melengak. "Siauwtee datang dari gurun pasir utara," ia menyahut. "Belum pernah siauwtee pergi ke pulau Tho Hoa To itu. Barusan kongcu membnatu aku, aku sangat berterima kasih." Kongcu itu berkata: "Saudara Kwee tak hendak mengenalkan diri, nah di sini saja kita berpisahan, sampai nanti kita bertemu pula!" Lalu ia menjura dalam sekali. Kwee ceng lekas-lekas membalasi, di waktu mana ia merasakan sambaran angin. Kongcu itu telah mengibaskan tangannya, ujung tangan bajunya menjurus ke matanya. Inilah Kwee ceng tidak sangka. Sembari memberi hormat orang menyerang ia secara hebat sekali. Celaka kalau ia kena tersampok. Maka dengan ia lantas tunduk, untuk masuki kepalanya ke selangkangannya, guna terus lompat berjumpalitan. Meski begitu, pundaknya kena tersambar juga, hingga terbit satu suara nyaring dan ia merasakan sakit ngilu pada pundaknya itu. Karena ini, diwaktu ia sudah taruh kakinya, ia kaget dan gusar dengan berbareng. "Kau...kau...." Tapi si kongcu pegat ia, sembari tertawa, ia kata: Aku cuma mencoba ilmu kepandaianmu, saudara Kwee. Ilmu totok kau lihay sekali, ilmu silatmu tangan kosong tapi biasa saja. Maaf...!" Kembali ia menjura. Kwee ceng khawatir orang nanti bokong pula padanya, ia mundur setindak. Oey Yong agaknya kaget, tubuhnya bergeser, tangannya menjatuhkan sebatang sumpit ke kaki kongcu, disaat kongcu itu mengangkat tubuhnya habis menjura, Oey Yong pun telah dapat menjumput sumpitnya itu. Si kongcu rupanya jijik untuk pakaian kotor anak muda ini, ia mundur satu tindak, kepada Kwee Ceng ia tersenyum, terus ia putar tubuhnya untuk bertindak ke tangga lauwteng. "Ini untuk kau..." kata Oey Yong dengan perlahan, tangannya disodorkan. Kwee Ceng melihat telapak tangan anak muda ini, ia tercengang. Di tangan kawan ini terlihat dua potong tusuk konde emas serta dua potong ginso, yang bergemerlapan kuning dan putih. Itulah ginso yang tadi si kongcu simpan dalam sakunya. Entah kapan sahabat ini mengambilnya. Ia tercengang sebentar lantas ia ingat, ia mengerti. Ia sambuti tusuk konde emas dan ginso itu. "Kongcu, kau lupakan barangmu ini!" ia panggil si pemuda yang seperti anak bangsawan itu. Kongcu itu menghentikan tindakannya, ia berpaling. Kwee Ceng angsurkan kedua barang emas dan perak itu. Menampak barangnya itu, kongcu terkejut sehingga air mukanya berubah, cepat luar biasa tangannya menyambar ke arah Kwee ceng, lima jarinya yang kuat seperti kuku garuda menyambar ke tangan Kwee Ceng itu. Kwee Ceng kaget tidak terkira. Dari gerakannya saja, ia sudah dapat menduga orang bergerak dengan ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw seperti keenam gurunya sering menuturkan kepadanya. Maka ia menduga, adakah kongcu ini sekaum dengan Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi" Ia menginsyafi hebatnya cengkeraman Tulang Putih itu, sebab masih ada bekas cengkeramannya Bwee Tiauw Hong dulu hari pada lengannya, cuma ia dapat membedakannya, sambaran kongcu ini kalah jauhnya sebatnya dengan sambarannya si Mayat Besi. Tidak berani ia menangkis atau menyambuti cengkeraman itu, belum ia terjambak, empat senjata di tangannya sudah lantas mencelat. cepat luar biasa ia telah kerahkan tenaganya. Kongcu itu terkejut. Ia dapatkan, belum lagi serangannya mengenai, empat senjata itu sudah mendahulukan menyambar ke arahnya. ia juga dapat lihat anak muda itu berdiri tegar ditempatnya. Dengan terpaksa ia sambuti empat potong benda itu. Setelah menatap, ia memutar tubuhnya untuk terus turun di tangga lauwteng. Kapan Kwee Ceng kembali ke kursinya, ia dapatkan Oey Yong mengawasi ia sambil sahabat itu tertawa geli. "Kenapa barang itu berada di tanganmu?" ia menanya, heran. "Dia membikinnya jatuh selagi dia menjura kepadamu, lantas aku jumput!" sahut Oey Yong masih tertawa. Kwee Ceng jujur, ia tidak menduga orang mendusta. "Toako, kenapa rombongan wanita itu mencoba merampas kudamu?" kemudian Oey Yong menanya. "Sebab kudaku adalah han-hiat-po-ma," jawab Kwee Ceng, yang terus tuturkan perihal kuda itu sampai ia bertemu rombongan si wanita itu, yang menyamar sebagai pemuda-pemuda dan menunggang unta. Kemudian ia melanjuti: "Setahu siapa yang membnatu aku secara diam-diam dengan merobohkan mereka itu. Kalau tidak tentulah mesti terjadi pertempuran hebat..." Oey Yong masih tersenyum. "Kudaku itu lari cepat sekali, sebenarnya aku telah lombai mereka seperjalanan tiga hari, entah kenapa, mereka dapat menyusul padaku..." Kwee Ceng kemudian mengutarakan keheranannya. "Sungguh memusingkan kepala.." "Aku lihat di antara mereka ada satu yang mencekal sepasang burung dara," kata Oey Yong. Tiba-tiba Kwee ceng menepuk meja. "Ya, aku ingat sekarang!" ia kata pula separuh berseru. "Itu waktu memang aku lihat terbangnya dua ekor burung di atasan kepalaku. Rupanya tiga wanita itu melepaskan burung itu untuk memberi kabar kepada lima kawannya, untuk mereka memegat atau mengawasi aku, dari itu, mereka gampang saja mencari padaku." Setelah itu, Oey Yong tanya tentang tenaga larinya kuda merah itu dan Kwee ceng menuturkannya dengan jelas. Ia kelihatannya menjadi kagum sekali. Ia keringkan secawan teh, lalu ia tertawa. "Toako,"katanya, "Hendak aku meminta sesuatu yang berharga darimu, apa kau sudi mengabulkannya?" dia bertanya. "Kenapa tidak?" Kwee Ceng menjawab. "Sebenarnya aku suka sekali dengan kudamu itu," menerangkan Oey Yong. "Baik, hiantee, aku hadiahkan itu padamu!" kata Kwee Ceng tanpa bersangsi. Oey Yong terperanjat. Sebenarnya ia main-main saja. Bukankah mereka baru pertama bertemu" Ia malah mengharap jawaban si pemuda adalah penolakan. Ia lantas mendekam di meja, terus terdengar tangisannya sesegukan. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekarang adalah giliran Kwee Ceng yang menjadi heran. "Hiantee, kau kenapakah?" ia menanya cpat. "Apakah kau kurang sehat?" Oey Yong angkat kepalanya, ia mengawasi si pemuda. Mukanya penuh air mata. Tapi sekarang ia tidak menangis, sebaliknya ia tertawa. Air matanya itu yang mengalir di kedua belah pipinya itu, menyebabkan mehongan luntur, hingga tampak dua baris kulitnya yang putih mulus. "Toako, marilah kita pergi!" ia mengajak. Kwee Ceng menurut. Bersama-sama mereka turun dari lauwteng. Lebih dulu ia membayar uang makan, baru ia tuntun kudanya. Ia pesan kepada kudanya: "Aku haurkan kau kepada sahabatku yang baik, maka baik-baiklah kau mendengar katanya, jangan kau bawa adatmu." Kemudian sembari menoleh kepada si anak muda, ia mepersilakan: "Hiantee, kau naiklah!" Sebenarnya kuda itu tak dapat ditunggangi orang lain, akan tetapi ia sekarang tidak membangkang. Oey Yong naik kuda itu. Kwee Ceng menyerahkan les kuda itu, ia terus tepuk kempolan kudanya itu. Dengan lantas kuda itu berlari pergi. Pemuda itu menanti sampai orang tidak terlihat lagi, baru ia melihat langit. Ia mendapatkan sang malam bakal lekas tiba. Karena ini, ia lantas pergi mencari rumah penginapan. Ketika disaat ia hendak memadamkan api, untuk rebahkan diri, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu. "Siapa?" ia tanya heran. "Satu sahabat," sahut suara di luar, suaranya parau. Kwee Ceng turun dari pembaringan, ia membuka pintu. Di antara cahaya lilin, ia tampak lima orang berdiri di depannya. Setelah ia mengenali orang, ia terkejut bukan main. Empat di antaranya ada membawa golok dan ruyung. Mereka itulah Hong Ho Su Koay. Dua orang yang ke lima, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus, mukanya lonjong, di jidatnya ada tiga kutil besar, romannya sangat tidak mengasih untuk diawasi. Si kurus sudah lantas tertawa tawar, tanpa bilang suatu apa, ia membuka tindakan lebar akan memasuki kamar orang, akan terus mencokol di atas pembaringan, sambil melirik, ia awasi tuan rumah. Kwee Ceng pun mengawasi, hingga ia melihat tegas, muka orang ada tanda bekas luka-luka senjata tajam, hingga dia itutak dapat melihat lepas ke depan. Toan-hu-to Sim Ceng Kong si Golok Memutus Roh, dengan dingin, lantas berkata: "Inilah paman guru kami, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang sangat ternama besar! Lekas kau berlutut dan mengangguk-angguk kepalanya!" Kwee Ceng mengerti bahwa ia telah terkurung, bahwa Hong Ho Su Koay saja sudah bukan tandingannya, apapula mereka dibantu oleh paman gurunya itu, yang julukannya pun berarti si Ular Naga Kepala Tiga. "Tuan-tuan ada punya urusan apa?" ia tanya sambil menjura. "Mana guru-guru kamu?" Hauw Thong hay menanya. "Guruku tidak ada di sini," sahut Kwee Ceng. "Ah! Kalau begitu hendak aku memberi ketika padamu untuk hidup lagi setengah harian!" kata Ular Naga Kepala Tiga itu. "Sekarang hendak kau memberi pengajaran kepadamu, agar orang tidak nanti mengatakan Sam-tauw-kauw menghina anak kecil. Besok tengah hari aku menantikan di rimba Hek-siong-lim di luar kota, kau datang ke sana dengan minta gurumu semua temani padamu!" Habis berkata, ia berbangkit, tanpa menanti penyahutannya Kwee Ceng, ia sudah ngeloyor keluar. Sesampai di luar, ia suruh Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat si Tombak Mengejar Jiwa menutup pintu, hingga terdengar suara membeletok. Kwee Ceng memadamkan api, terus ia duduk numprah di atas pembaringannya. Kapan ia memandang ke jendela, ia tampak bayangan orang mondar-mandir. Rupanya orang telah menjaga ia di luar kamar. Ia masih berdiam saja. Selang tidak lama, ia dapat dengar apa-apa di atas genting. Itulah suara ketokan beberapa kali, disusul sama bentakan: "Bocah, jangan kau memikir untuk kabur, engkongmu menunggui kau disini!" Jadi terang dia telah dikurung keras. Dia lantas rebahkan dirinya, niatnya untuk tidur tanpa menghiraukan segala apa. Tapi ia tidak dapat pulas, ia mesti gulakgalik saja. Besok pagi, jongos muncul dengan air cuci muka dan tiamsim, untuk sarapan. Di belakang jongos itu terlihat Cian Ceng Kian dengan sepasang kampaknya. "Suhu semua berada di tempat jauh, tidak nanti mereka dapat menolongi aku," Kwee Ceng berpikir. "Sudah terang aku tidak bakal dapat lolos, baiklah aku mati bertempur!" Oleh karena berpikir begini, hatinya menjadi mantap. Ia lantas saja bercokol di atas pembaringan, untuk bersemadhi menuruti ajarannya Ma Giok. Ia bersemadhi hingga tengah hari, baru ia berbangkit turun. "Mari kita pergi!" ia kata kepada Cian Ceng Kian. Mereka jalan berendeng, menuju ke arah barat, sampai sepuluh lie lebih. Di sana ada sebuah rimba besar, yang menutupi matahari. Seram suasana di situ. Di sini Ceng Kian tinggalkan si pemuda, untuk dengan cepat bertindak ke sebelah dalam rimba. Kwee ceng loloskan joan-pian, cambuk lemasnya. Ia berlaku tenang, setindak demi setindak, ia maju. Ia menjaga diri dari bokongan di kiri atau kanannya. Satu lie sudah ia berjalan, ia tidak bertemu dengan musuhnya. Tiba-tiba ia dapat ingatan, ialah pesan gurunya yang keempat: "Jikalau tidak ungkulan, lari!" Maka ia berpikir: "Sekarang tidak ada orang mengawasi aku, rimba pun lebat, kenapa aku tidak hendak sembunyikan diri?" Maka hendak ia segera mewujudkan pikirannya ini. Tapi tiba-tiba. "Bocah haram! Anak campuran! Anak jadah!" demikian ia dengar makian hebat. Sambil berlompat, Kwee Ceng putar cambuknya, untuk melindungi diri. Akan tetapi tidak ada serangan terhadapnya. Sambil berdiri diam, ia angkat kepalanya, memandang ke arah dari mana cacian itu datang. Lantas ia berdiri menjublak! Di atas empat pohon di dekatnya itu, ia tampak Hong Ho Su Koay tergantung masing-masing di sebuah cabang besar, kaki dan tangan mereka terbelenggu, tubuh mereka bergelantungan, sia-sia saja mereka mencoba meronta-ronta, melainkan mulut mereka yang dapat di pentang lebar-lebar. Mereka mencaci kalang-kabutan begitu lekas mereka tampak si pemuda musuhnya itu. Kwee Ceng heran bukan kepalang, akan tetapi ia tertawa. "Apakah kau tengah main ayunan di sini?" dia bertanya. "Sungguh menggembirkan, bukan?" Nah sampai bertemu pula! Sampai bertemu pula! Maaf, tidak dapat aku menemani kalian lamalama...!" Sim Ceng Kong berempat mencaci maki pula, semakin hebat. Mereka malu untuk minta tolong. Di samping itu mereka heran sekali kenapa paman guru mereka itu yaitu Hauw Thong Hay, tidak lekas kembali. Selagi Kwee ceng bertindak, hampir ia lenyap dari pandangan mata, tiba-tiba Toat-pek-pian, Ma Ceng Hiong si Cambuk Perampas Roh, berubah pikirannya. Ia takut mati, maka ia lupa akan malunya. "Kwee Enghiong, kami menyerah kalah!" dia berteriak. "Aku mohon sukalah kau memerdekakan kami!" Kwee Ceng sudah lantas berpikir: "Sebenarnya aku tidak bermusuh dengan mereka, adalah mereka yang memusuhi aku, maka itu apa perlunya aku membiarkan mereka mati bersengsara di sini?" Dengan cepat ia mengambil keputusan, terus ia kembali dengan berlompatan, ia kasih turun mereka itu satu per satu. Pantas Hong Ho Su Koay tidak sanggup berontak melepaskan diri, alat menggantungnya itu adalah tambang kulit yang kuat. Ia pun mengutanginya itu dengan golok emasnya. Sesudah empat Siluman itu direbahkan di tanah, pemuda itu totok mereka bergantian, maka mereka itu lantas saja tidak dapat geraki kaki dan tangan mereka, habis mana barulah ia putuskan belengguan mereka itu. Sambil tertawa, ia berkata: "Lagi dua belas jam baru kamu dapat pulang tenaga dalam dan merdeka. Sebetulnya, siapakah yang menggantung kamu di sini?" "Kau masih berpura-pura!" membentak Cian Ceng Kian mendongkol. "Kalau bukannya kau, siapa lagi?" Kwee Ceng heran. Ia lantas saja mengangkat kaki, akan meninggalkan mereka itu. Ia heran orang menuduh padanya, tetapi ia mengerti, mesti ada orang yang sudah tolongi ianya. Di mana di situ tidak ada Hauw Thong Hay, ia khawatir paman guru mereka itu nanti keburu kembali, maka ia pikir, mesti ia lekas menyingkir. Ia lari keluar rimba, terus ia balik ke kota, malah di sini ia segera membeli seekor kuda untuk dengan itu ia lantas melanjuti perjalannya ke selatan. "Siapakah itu orang secara diam-diam menolongi aku?" ia berpikir di sepanjang jalan. Keanehan itu tak dapat ia melupainya. "Hong Ho Su Koay lihay tetapi mereka dapat digantung, teranglah lawannya itu mesti jauh terlebih lihay daripada mereka. Yang hebat mereka sampai tidak melihat padanya, hingga mereka menyangka aku. Herannya, ke mana perginya Hauw Thong Hay si Ular Naga itu" dia tidak tertampak sekalipun bayangannya?" Kwee Ceng terus melakukan perjalannya itu. Pada suatu hari, tibalah ia di Tiongtouw, kota raja Tay Kim Kok, negara Kim (Kin) yang besar, yang paling ramai dan indah, sampai tidak dapat dilawan oleh Pian-liang, kota raja yang lama dari kerajaan Song, atau Lim-an, kota raja yang baru. Ia menjadi besar di gurun pasir, belum pernah ia menyaksikan suasana kota besar itu, yang indah lauwteng dan rangonnya, yang permai sero-seronya, sedang kereta-kereta bagus dengan semua kuda pilihannya mondar-mandir di jalan-jalan besar. Di pelbagai rumah minum ia pun dengar suara tertawa, merdunya bunyi tetabuan. Semua itu ia saksikan diwaktu siang berderang. Untuk bersantap, ia sampai tidak berani memilih erstoran yang mentereng, ia cari sebuah restoran yang kecil. habis berdahar, ia berjalanjalan, ia baru berhenti ketika di sebelah depannya ia dengar sorak-sorai yang ramai, di sana ada berkumpul sejumlah orang. Ia mendekati. Ia menyelak di antara banyak orang itu, untuk melihat ke sebelah dalam. Orang banyak itu mengurung sebuah tanah lapang, di situ ada dipancar bendera suram, dasarnya putih, ada sulaman empat huruf besar: "Pi Bu Ciauw Cin". Artinya: mencari jodoh denagn jalan pibu atau mengadu kepandaian. Di bawah bendera itu ada satu nona dengan baju merah tengah bertempur sama seorang pria, yang tubuhnya jangkung dan besar, bertempur dengan seru sekali. Heran Kwee Ceng apabila ia saksikan ilmu silat si nona itu. Ia berpikir: "Dia lihay, kenapa dia munculkan diri di tempat umum seperti ini?" Selang lagi beberapa jurus, nona itu menggunai akal. Si pria dapat melihat lowongan, ia menjadi kegirangan, ia lantas menyerang dengan kedua tangannya, ke arah dada. Nona itu tidak mengambil sikap menangkis, atau berkelit. Pria itu tidak sampai hati, ia batal meninju, hanya mengubah kepalannya menjadi tangan terbuka, ia menolak ke arah pundak. Luar biasa gesitnya nona itu, ia berkelit dengan mendak, kedua kakinya bergerak saling susul-menyusul, membawa tubuhnya melejit ke samping ke belakang penyerangnya itu, kapan tangan kirinya diayunkan, "Buk!" punggung si pria kena terhajar, sampai terjerunuk ke depan, roboh ke tanah, hanya syukur, setelah memegang tanah, dia dapat menahan diri dan mengerahkan tenaga, untuk berlompat bangun. Mukanya pemuda itu menjadi merah, dengan kemalu-maluan ia menyelinap di antara orang banyak. Syukur untuknya, ia tadi berkasihan terhadap si nona, maka sekarang si nona tidaj menghajar hebat kepadanya. Para penonton lantas saja bertampik sorak. Nona itu singkap naik rambut yang turun ke dahinya, lalu iamundur ke bawah bendera. Kwee Ceng pandang nona itu, yang cantik sekali, umurnya mungkin baru tujuh atau delapanbelas tahun, sikapnya pun berpengaruh. Mendadak ia ingat apa-apa, hingga ia berpikir: "Kenapa aku seperti kenal dia" seperti aku pernah bertemu dengannya, entah dimana...?" kemudian ia tersenyum sendiri, ia ingat: "Baharu saat ini kau tiba di Tionggoan, kapan aku pernah bertemu orang lain" Aku tadinya menyangka, nona-nona serba putih dan menunggang unta itu sudah elok semua, aku pikir kenapa ada demikian banyak wanita cantik, siapa tahu nona ini melebihkan mereka itu.... Dasar aku kurang berpengalaman! Rupanya di Tionggoan ini dimanamana wanitanya cantik semuanya, maka tak usahlah aku menjadi heran..." Pemuda ini polos, hatinya masih terbuka, maka itu, walaupun ia telah melihat wajah-wajah yang cantik manis, hatinya tidaj tergiur. Maka itu ia lantas memandang ke kiri dan kanannya. Si nona lantas bicara perlahan sama seorang yang berdiri di dekatnya, pria itu mengangguk, terus ia mengangguk keempat penjuru seraya terus berkata: "Aku yang rendah bernama Bok Ek, aku lewat di tempat tuan-tuan tidak dengan maksud mencari nama atau mencari uang, hanya guna anakku ini. Anakku sudah dewasa usianya, ia masih belum ketemu jodohnya, maka itu sekarang aku lagi mencarikan jodohnya itu. Adalah keinginanku, pasangan anakku tidak usah berharta, cukup asal ia satu pria sejati yang mengerti ilmu silat. Karena ini dengan beranikan diri, aku mancarikan jadohnya dengan jalan pibu ini. Siapa yang usianya di bawah tiga puluh tahun dan belum menikah, asal ia bisa menyerang anakku dengan satu kepalannya atau kakinya, akan aku rangkap jodoh anakku ini dengan jodohnya. Kami berdua, ayah dan anak, sudah membuat perjalanan dari selatan hingga di utara, sudah melintas tiga belas propinsi, akan tetapi kami masih belum menemui jodoh yang dicari itu, sebabnya rupanya, mereka yang gagah sudah pada menikah atau mereka yang muda sungkan hatinya?" Ia berhenti sebentar, lagi ia menjura kepada orang banyak, baharu ia menambahkan: "Kota Pakhia ini adalah tempat rebahnya harimau atau tempat sembunyi naga, disini mesti banyak orang berilmu dan gagah, oleh karena itu, aku harap tuan-tuan memaafkannya kalau ada kata-kataku yang tidak tepat. Tuan-tuan, perkenankanlah kami undurkan diri, untuk pulang ke rumah penginapan guna beristirahat, nanti besok kami datang pula ke mari untuk melayani tuan-tuan." Habis mengucap, lagi sekali orang itu mengangguk, lalu ia cabut benderanya, itu bendera Pi Bu Ciauw Cin. Tiba-tiba saja. "Tunggu dulu!" Itulah suara berbareng, yang datangnya dari sebelah kiri dan kanan, dari mana lantas terlihat dua orang berlompat ke dalam kalangan. Orang bnayak lantas mengawasi, akhirnya mereka semua tertawa geli. Yang muncul dari sebelah timur itu adalah seorang tua dengan tubuh terokmok, mukanya penuh berewokan, kumisnya sudah ubanan separuh lebih, dan umurnya juga sudah lewat lebih dari setengah abad. Yang datang dari barat itu lebih lucu pula. Dialah satu paderi yang kepalanya licin lanang! "Eh, kamu tertawakan apa?" tanya si tua itu kepada orang banyak, yang ia awasi. "Bukankah dia mau adu kepandaian untuk mencari suami" Nah, aku masih belum menikah! Mustahilkah aku tidak cocok?" Si paderi itu awasi si tua, ia tertawa. "Oh, kakek-kakek!" katanya. "Taruh kata kau menang, apakah kau tidak kasihan terhadap si nona yang masih demikan remaja bagaikan sekuntum bunga" Apakah setelah kau menikah kau hendak membuatnya ia menjadi janda?" Orang tua itu menjadi gusar. "Habis kau, apakah kau mau dengan datang kemari?" ia menegur. Paderi itu tersenyum. "Setelah aku mendapatkan istri begini cantik, aku akan segera pulang asal menjadi orang biasa lagi!" sahutnya. Mendengar itu, kembali riuhlah tertawa orang banyak. Si nona menjadi mendongkol. Ia merasa bagaimana orang hendak mempermainkan padanya, maka juga, wajahnya menjadi merah, sepasang alisnya terbangun, matanya bersorot tajam. Ia lantas loloskan mantelnya, berniat ia menghajar kedua manusia ceriwis itu. Bok Ek tarik tangan gadisnya. "Tenang, nanti aku yang melayani mereka," ia membujuk. Si empe dan paderi masih adu omong terus, mereka jadi sengit sekali. Disamping mereka, para penonton juga tak henti-hentinya tertawa. Tidakkah pemandangan itu sangat lucu" "Saudara-saudara, nah kamu pibulah terlebih dulu!" satu penonton yang membuka mulut. "Nanti, siapa yang menang, ia yang maju melawan si nonan manis!" "Bagus!" berseru si paderi, yang agaknya tidak menghiraukan ejekan orang banyak itu. "Aki-aki, mari kita berdua main-main...!" Paderi ini menantang, tetapi, belum lagi ia peroleh jawaban, sebelah tangannya sudah melayang. Si empe-empe berkelit, segera ia balas menyerang. Maka dengan itu, keduanya menjadi bertempur. Kwee Ceng menonton. Ia dapatkan si paderi bersilat dengan jurus-jurus Lo Han Kun dari ilmu silat Siauw Lim Pay, sedang si empe menggunai ilmu silat Ngo Heng Kun. Jadi keduanya ada dari golongan Gawkang, ilmu Bagian Luar. Si paderi dapat berlompat danmendekam dengan cepat, lincah gerakannya. Si empek sebaliknya tenang tegar, jangan pandang usianya yang tua, tenaganya sebenarnya masih besar. Satu kali si paderi dapat meraptakan diri, kepalannya menghajar tiga kali beruntun, ke arah pinggang lawannya. Si empek kuat sekali, ia terima serangan tanpa berkelit atau menangkis, tapi berbareng dengan itu, ia angkat tinggi tangan kanannya, untuk dikasih turun ke arah kepala lawannya, bagaikan martil, kepalannya menumbuk kepala licin mengkilap dari si paderi. Tak tahan paderi itu, segera ia jatuh duduk, numprah di tanah. Ia berdiam tidak lama, mendadak ia tarik keluar sebatang golok kayto dari dalam jubahnya, dengan itu ia membabat kakinya si tua! "Celaka!" berteriak orang banyak. Si tua dapat menolong diri dengan berlompat berkelit, berbareng dengan mana, tangannya meraba ke pinggangnya, untuk mengasih keluar sepotong thiephie atau ruyung besi. Kiranya mereka sama-sama membekal senjata. Maka itu sekarang mereka melansungkan pertandingan itu dengan golok dan ruyungnya masing-masing. "Bagus! Bagus!" teriak orang banyak berulangkali. Hanya sambil berseru-seru, Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka pada mengundurkan diri setindak demi setindak. Hebat menyambar-nyambarnya golok kayto dan ruyung besi, takut mereka nanti kena terserempet.... "Tuan-tuan, tahan!" Bok Ek berseru seraya ia menghampirkan. "Di sini adalah kota raja, tidak dapat kita sembarang menggunai senjata tajam!" Dua orang itu lagi bertempur seru sekali, mereka tidak memperdulikan seruan itu. Melihat ia tidak dihiraukan, tiba-tiba Bok Ek menyerbu. Dengan satu dupakan, ia membuat golok kayto terpental tinggi dan dengan sambaran tangan ia rampas ruyungnya si empek-empek, kemudian selagi golok turun, ia hajar itu dengan ruyung sehingga golok itu patah dua! Para penonton kagum, mereka bersorak. Tapi itu belum semua, dalam sengitnya, Bok Ek cekal kedua ujung ruyung, ia lantas menekuk, maka ruyung itu menjadi bengkok melengkung, hingga sudah tentu saja selanjutnya tak dapat digunai lagi! Si tua dan si paderi tercengang, mereka menjadi kuncup hatinya, tanpa membilang suatu apa lagi, keduanya nyelusup antara orang banyak, untuk angkat kaki! Kwee Ceng mengawasi Bok Ek, yang tubuhnya sedikit bongkok tetapi badannya lebar dan kekar, tanda dari tenaganya yang besar, Cuma rambut dekat kedua samping kupingnyas udah berwarna kelabu dan kulit mukanya berkerenyut dan itu waktu, wajahnya guram. Dilihat dari roman, ia mungkin telah berusia enam puluh hampir. "Besok kita pulang ke selatan..." berkata dia dengan masgul. Dia pun menghela napas. "Ya," menyahut si nona, yang diajak bicara. Sampai disitu, penonton hendak bubaran. Bukankah pibu telah berakhir" Tapi justru itu, mereka dengar suara kelenengan kuda, hingga mereka pada menoleh, Kwee Ceng pun tak terkecuali. Ke situ datang satu kongcu atau pemuda sambil diiringi beberapa puluh pengikut. Suara kelenengan itu datang dari rombongan itu. Kapan Kwee Ceng telah melihat si koncu, lekas-lekas ia sembunyikan diri di antara orang banyak itu. Ia kenali si kongcu yang ia telah ketemukan di rumah makan di Kalgan. Kongcu itu melihat bendera Pi Bu Ciauw Cin, ia lantas awasi si nona baju merah, terus ia loncat dari kudanya, sembari tersenyum, ia masuk ke dalam kalangan. "Apakah nona ynag mengadakan pibu untuk mencari jodoh?" ia menanya sambil ia memberi hormat. Nona itu dengan wajah bersemu merah, melengos, ia tidak menyahuti. Adalah Bok Ek, yang menghampirkan pemuda itu, untuk memberi hormat. "Aku yang rendah she Bok. Kongcu ada keperluan apa apakah?" ia menanya. "Bagaimana aturan atau syarat-syaratnya pibu perjodohan ini?" menanya si pemuda. Bok Ek memberikan keterangannya. "Kalau begitu, hendak aku mencoba-coba," kata si pemuda. "Ah, kongcu bergurau!" berkata Bok Ek tertawa. Lagi-lagi ia memberi hormat. "Kenapa begitu?" si pemuda menegaskan. "Kami adalah orang kangouw, mana berani kami beradu tangan sama kongcu?" menyahut Bok Ek. "Laginya ini bukannya cuma soal menang atau kalah, ini mengenai hari kemudian dari anakku. Aku minta kongcu sudi memaafkan aku." Pemuda itu mengawasi si nona. "Sudah berapa lama sejak kamu mengadakan pibu ini?" ia tanya pula. "Sampai sebegitu jauh sudah satu tahun lebih dan kami telah menjelajahi tiga belas propinsi," menjawab Bok Ek dengan sebenarnya. Pemuda itu tampaknya heran. "Apakah mungkin belum pernah ada orang yang dapat menangkan dia?" ia menegaskan. "Ah, aku tidak percaya!" Ia tunjuki si nona. Bok Ek tersenyum. "Sebabnya mungkin, orang yang pandai silat itu sudah menikah atau ia sungkan beradu tangan dengan anakku," ia menerangkan. "Kalau begitu, mari, mari!" berkata si pemuda, menantang. Ia bertindak ke tengah kalangan. Diam-diam girang hatinya Bok Ek. Ia dapatkan orang, muda dan tampan. Si nona agaknya kagumi pemuda itu. Ia tahu, di dalam tiga belas propinsi, belum pernah ia bertemu pemuda semacam ini. Maka itu ia loloskan mantelnya, ia hampirkan si pemuda untuk memberi hormat. Pemuda itu membalas hormat, ia tersenyum. "Silakan mulai, nona!" ia kata. "Silakan kongcu membuka dulu bajumu," berkata nona itu. "Tidak usah," menyahuti si kongcu. Para penonton pada berkata dalam hatinya, "Si nona lihay sekali, sebentar kau nanti merasai..." Tapi ada juga yang berpikir: "Bok Ek ayah dan anak adalah orang kangouw, masa mereka berani bikin malu satu kongcu" Tentu si kongcu bakal dibikin mundur teratur, supaya ia tidak hilang mukanya..." "Silahkan, kongcu!" berkata si nona. Kali ini kongcu itu sudah tidak sungkan lagi. Tiba-tiba ia memutar ke kanan, hingga bajunya yang panjang dan tangan bajunya juga, turut bergerak, lalu tangan kirinya menyambar ke pundak si nona. Terkejut si nona itu apabila ia menyaksikan gerakn orang yang luar biasa itu. Sambil mendak, ia nyelusup di bawah ujung bajunya pemuda itu. Di luar dugaannya, orang ada sangat gesit. Sekarang ujung baju dari tangan kanan si pemuda yang menyusul menyambar. Sukar untuk menyingkir dari serangan susulan itu, maka si nona menjejak tanah untuk mencelat mundur. "Bagus!" berseru si kongcu. Ia lantas merangsak, tidak menunggu kedua kaki si nona keburu menginjak tanah, ia mengebut pula. Nona itu bukan melainkan berlompat mundur, ia hanya berjumpalitan, maka itu ketika si kongcu datang dekat, sebelah kakinya menjejak ke arah hidung si kongcu. Untuk membebaskan diri, kongcu itu lompat ke kanan. maka barenglah mereka diwaktu mereka menurunkan tubuh. Penonton semua kagum, untuk lihaynya si kongcu dan untuk kelincahan si nona. Mereka itu sama-sama lincah. Si nona dengan wajah merah, mulai membalas menyerang. Sekarang si koncu yang main berkelit. Maka ada menarik akan menyaksikan baju indah si kongcu bagaikan bercahaya, dan baju si nona seperti mega bermain. Kwee Ceng pun kagum. Pemuda-pemudi itu berimbang usianya, mereka tampan dan elok, mereka pun pandai silat, sungguh cocok apabila mereka menjadi pasangan hidup, menjadi suami-istri. Karena ini tidak lagi ia benci si kongcu untuk kelakuannya di rumah makan baru-baru ini, sekarang ia mengharap-harap akan kemenangan si kongcu. Pertandingan itu berjalan terus dengan seru, sampai tiba-tiba orang dengar suara "bret!" robek. Nyata si nona dapat menjambret ujung baju si kongcu dan ia menariknya, sebab si kongcu juga membetot, ujung baju itu putus dengan menerbitkan suara nyaring itu. Si nona lantas lompat mundur jauh-jauh, tangannya mengibaskan baju rampasannya itu! "Tunggu dulu!" Bok Ek segera kasih dengar suaranya. "Kongcu, silakan kau loloskan bajumu, untuk kamu menentukan kemenangan terakhir!" Kongcu itu bermuram wajahnya, kedua tangannya bergerak, maka robeklah bajunya, kancing-kancingnya jatuh di tanah. Ia bukan membuka dengan baik, ia hanya menyobeknya! Satu pengiring lari menghampirkan guna membantui meloloskan baju itu. Sekarang terlihat kongcu ini dengan pakaian dalamnya dari sutera hijau muda yang indah, yang pinggangnya dilibat dengan sabuk hijau. Ia nampak semakin tampan. Bercahaya wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah. Tanpa berkata apa-apa, kongcu ini mulai menyerang. Ia menggunai tangan kirinya, anginnya menyambar keras. Melihat itu si nona, Bok Ek dan Kwee Ceng terperanjat. Mereka tidak sangka, satu kongcu demikian lihay. Setelah menyaksikan lagi sekian lama, Kwee Ceng jadi berpikir: "Ilmu silatnya dia ini mirip betul sama ilmu silatnya In Cie Peng, si imam muda, yang itu malam menempur aku. Apakah boleh jadi mereka berasal dari satu perguruan?" Sekarang si kongcu tidak mau mengalah lagi, karena itu sukar untuk si nona membalas mendesak, malah untuk merapatkan saja sulit. "Kongcu ini lebih lihay daripada In Cie Peng, si nona bukan tandingannya," berpikir Kwee Ceng setelah ia menyaksikan terlebih jauh. "Pasti jodoh mereka bakal terangkap..." Bok Ek pun girang melihat jalannya pertempuran ini, malah ia lantas berseru: "Anak Liam, sudah tak usah kau melawan lebih lama lagi, kongcu menang jauh daripadamu...!" Tapi orang lagi bertempur hebat sekali, sedang si kongcu kata di dalam hatinya,: "Kalau sekarang aku hendak robohkan kau, gampang sekali, Cuma aku tidak tega..." Benar saja, ketika tangan kirinya menyambar, tangan kiri si nona kena dicekal. Ia tahu si nona bakal mengibas keluar, selagi si nona mengerahkan tenaganya, ia sekalian menolak seraya cekalannya itu dilepaskan. Maka tidak ampun lagi, nona itu rubuh terjengkang. Hanya, belum lagi tubuh orang mengnai tanah, tangan kanan si kongcu sudah menyambar, merangkul, hingga si nona manis lantas berada di dalam pelukannya. Orang banyak bertempik bersorak, tapi ada juga yang menggerutu. Si nona menjadi sangat malu. "Lekas lepaskan aku!" ia minta, suaranya perlahan. Si kongcu tertawa. "Kau panggil engko padaku, nanti aku lepas kau!" sahutnya. Nona itu mendongkol. Itulah permintaann ceriwis. Ia lantas berontak. Tapi siasia saja, ia malah terpeluk semakin keras. Bok Ek lantas maju. "Kongcu sudah menang, tolong kau lepaskan anakku," ia minta. Pemuda itu tertawa lebar, ia masih belum mau melepaskan pelukannya. Dalam sengitnya, si nona menjejak. Kongcu itu melepaskan tangannya yang kanan, tangan itu dipakai menangkis dan menangkap kaki orang, dengan begitu, tetap ia memegang tubuh di nona. Nona ini penasaran, ia berontak sekuat tenaganya, tempo akhirnya ia bebas, ia jatuh terduduk di tanah. Ia menjadi malu sekali, ia tunduk, sembari tunduk, ia raba kaos kakinya yang putih. Sebab sepatunya telah terlepas. Kongcu itu berdiri sambil tertawa haha-hihi, tangannya mencekali sepatu orang, yang ia bawa ke hidungnya! Melihat itu, beberapa penonton bangsa bergajul, lantas saja berseru-seru, "Harum! Harum!" "Kau she apa kongcu?" Bok Ek menanya. Ia tertawa, ia tidak menghiraukan sikap ceriwis si pemuda. Kongcu itu pun tertawa. "Tidak usah bicara lagi!" katanya, seraya ia putar tubuhnya untuk minta jubah sulamnya dari pengiringnya. tapi ia menoleh kepada si nona yang ia awasi, sepatu siapa ia masuki ke dalam sakunya. "Kami tinggal di Hotel Ko Seng di jalan utama kota barat," berkata Bok Ek, "Mari kita pergi sama-sama ke sana untuk berbicara." "Aku tidak sempat," berkata si anak muda. "Apakah yang hendak dibicarakan?" tanya kemudian. Bok Ek heran, air mukanya sampai berubah. "Kau toh telah mengalahkan anakku!" ia kata. "Aku telah melepas kata, maka itu tentu saja aku hendak jodohkan anakku ini denganmu. Ini ada urusan seumur hidupnya manusia, mana bisa kita memandangnya enteng?" Kongcu itu melengak, ia tertawa besar. "Bukankah kita main-main dengan ilmu silat?" katanya. "Tidakkah itu sangat menarik hati" Tentang perjodohan, terima kasih banyak!" Mukanya Bok Ek menjadi pucat, ia sampai berdiam saja. "Kau...! Kau...!" katanya kemudian seraya menuding. Pengiringnya si kongcu tertawa dingin dan menyela, "Kau kira kongcu kami ini bangsa apa" Kongcu kami bersanak dengan kamu orang kangouw tukang jual silat dari kelas tiga rendah empat bawah" Hm! Pergilah kau tidur dengan mimpimu di siang bolong!" Bukan main gusarnya Bok Ek, tangannya melayang, maka pengiring itu berkoak kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah, beberapa giginya rontok, seketika ia roboh di tanah, terus pingsan! Kongcu itu tidak ambil peduli kejadian itu, ia suruh lain pengiringnya tolongi pengiring yang terluka itu, ia sendiri menghampirkan kudanya, untuk menaikinya. "Jadi kau sengaja mengganggu kami"!" berteriak Bok Ek. Kongcu itu tetap tidak mengambil mumat, ia injak sanggurdi denagn sebelah kakinya. Bok Ek habis sabar, dengan tangan kirinya ia cekal lengan kiri pemuda itu. "Baik!" serunya. "Anakku pun tidak nanti nikah dengan kau, manusia hina dina! Bayar pulang sepatu anakku itu!" Kongcu itu mengawasi, ia tertawa. "Sepatu ini toh anakmu yang dengan suka sendiri menghanturkannya kepadaku," ia menyahuti. "Ada apa sangkut pautnya denganmu?" Ia terus geraki tangan kirinya itu dan terlepaslah cekalannya Bok Ek. "Akan aku adu jiwa!" berteriak ayah yang dipermainkan itu seraya ia lompat berjingkrak, kedua tangannya digeraki berbareng, untuk menyerang kedua pelipis orang. Itulah jurus "Ciong kouw cie beng" atau "Gembreng dan tambur ditabuh berbareng." Kongcu ini berkelit sambil menjajak sanggurdinya, maka itu tubuhnya lantas mencelat ke tengah kalangan. "Jikalau aku telag hajar roboh padamu, orang tua, kau tentunya tidak bakal memaksa aku nikahi anakmu, bukan?" kata ia sambil tertawa, untuk mengejek. Kecuali bangsa bergajul, semua penonton menjadi panas hatinya, dari berkesan baik mereka menjadi jemu dan membenci. Kongcu ini terang selain ceriwis pun kurang ajar dan keterlaluan. Cumalah mereka bisa mendelu saja, tidak ada yang berani membuka mulut. Bok Ek sudah lantas lompat untuk menerjang pemuda itu. Kongcu itu mengetahui orang seperti kalap, bahwa serangannya itu sangat berbahaya, maka dengan sebat ia berkelit, sesudah mana dari samping, tangan kirinya membalas menyerang perut dengan jurusnya "Tok coa sim hiat" yaitu "Ular berbisa mencari lubang." Bok Ek berkelit ke kanan, dari situ ia menyerang pula, dua jari tangannya mencari pundak bagian yang kosong. Itulah salah satu jurus "Eng Jiauw Kun" atau "Kuku Garuda" dari ilmu silat Utara. Kongcu itu lihay, agaknya dengan gampang saja ia mendak sedikit, lalu ia lolos dari bahaya, menyusul itu, tidak kelihatan ia menarik pulang tangan kirinya atau tangan kanannya sudah melakukan penyerangan pembalasan. Tangan kirinya itu telah diangkat ke depan mukanya, dalam sikap "Touw in hoat jit" atau "Nyelusup ke mega menukar matahari", guna melindungi mukanya. Bok Ek tarik lengan kirinya, dilain pihak, ia menyerang dengan tangan kanannya. Untuk membalas serangan dengan serangan, dengan tidak kalah sebatnya. Ketika lawan itu berkelit, ia mendesak, lagi ia menyerang, kali ini dengan kedua tangannya, ke arah kedua belah pipi. Inilah pukulan "Wie Hok Hong cu" atau "Malaikat Wie Hok mempersembahkan toya". Kongcu itu tidak memandang enteng kepada musuh ini, ia hanya tidak menyangka semua serangan lawan sedemikian berbahayanya, maka ia tidak mau main acuh tak acuh lagi, ia membalas dengan sama hebatnya. mendadak saja kedua tangannya bergerak, menyambar kedua tangannya Bok Ek itu, pada bagian belakang telapakan tangan, menyusul mana ia menarik tubuhnya, mencelat mundur, sepuluh jarinya berubah menjadi merah semuanya. Para penonton berseru kaget. Sebab belakang telapakan tangan dari Bok Ek telah berlumuran darah! Si nona menjadi kaget berbareng gusar, ai memburu kepada ayahnya itu, untuk menolongi. Ia robek ujung baju si ayah, guna robekannya dipakai membalut lukanya. Bok Ek tolak mundur anaknya. "Kau minggir!" katanya sengit. "Hari ini saku mesti mengadu jiwa dengannya, atau aku tidak hendak berhenti!" Wajahnya si nona guram, ia memandang tajam kepada si pemuda. Tiba-tiba tangannya merogoh ke sakunya, akan mengasih keluar sebuah pisau belati dengan apa ia terus tublas dadanya sendiri. Bok Ek kaget bukan main, lupa kepada tangannya yang sakit, ia tangkis tublasan itu, maka sekarang ia terlukai anaknya itu, sebab si nona tidak keburu membatalkan tikamannya. Para penonton menjadi mendongkol berberang berduka. Inilah mereka tidak sangka. Mereka pun tidak berani mencampur tangan. Adalah Kwee Ceng yang tidak dapat melihat terlebih jauh. Selagi si kongcu hendak menaiki pula kudanya, ia bertindak ke dalam kalangan, ia berseru. "Halo, sahabat! Perbuatanmu ini tidak tepat!" Kongcu itu berpaling, kapan ia lihat anak muda kita, ia tercengang. Tapi cuma sebentar saja, terus ia tertawa. "Habis kau mau apa!" ia menantang. "Bagaimana baru tepat?" Semua pengiring si kongcu tertawa ramai. Mereka lihat roman orang yang ketololtololan, dan lagu suaranya pun beda dari lagu suara mereka, sikap dan lagu suara itu telah diajoki kongcu mereka. Tentu saja mereka menganggap itu lucu. Kwee Ceng melongo sebentar. Ia tidak lantas menginsyafi orang lagi permainkan padanya. "Kau harus menikah dengan baik-baik dengan nona ini!" ia menjawab kongcu itu. Si kongcu miringkan kepalanya, ia tertawa haha-hihi. "Jikalau aku tidak sudi nikahi dia?" dia tanya. "Jikalau kau tidak sudi menikah dengannya, apa perlunya kau maju dalam pertandingan?" Kwee Ceng tanya. "Apakah kau tidak lihat itu merek bendera yang menjelaskan pibu untuk pernikahan?" Kongcu itu tidak menjawab, ia hanya mengawasi dengan tajam. "Sebenarnya kau Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hendak main gila denganku atau bagaimana" dia tanya tegas kemudian. Kwee ceng tidak menjawab, hanya ia pun balik menanya. "Nona ini cantik dan ilmu silatnya pun sempurna, kenapa kau tidak sudi menikah dengannya" Jikalau kau tidak hendak menikah sama nona macam vegini, di belakang hari ke mana lagi kau hendak mencarinya?" "Eh, kau tidak mengerti urusan, bicara denganmu sia-sia saja!" kata si kongcu. "Kau sebenarnya murid siapa" Kau memanggil apa kepada Oey Yok Su dari pulau Tho Hoa To?" Kwee Ceng menggoyangi kepalanya. "Siapa guruku, tak dapat aku beritahu padamu!" ia jawab. "Aku tidak tahu Oey Yok Su itu orang macam apa." "Habis, siapa yang ajarkan kau ilmu menotok istimewa dari pulau Tho Hoa To it?" si kongcu masih menanya. "Ilmu menotok jalan darahku itu adalah guruku yang kedua yang mengajarkannya," menjawab Kwee Ceng. "Siapa itu gurumu yang kedua?" tanya kongcu itu kemudian. "Aku tidak mau memberitahu" jawab Kwee Ceng pula. "Baiklah, masa bodoh!" berkata itu pemuda yang lantas memutar tubuhnya. Kwee Ceng ulur tangannya untuk mencegah. "Eh, kenapa kau hendak pergi pula?" ia menanya. "Habis kenapa?" kata si kongcu lagi. "Bukankah aku telah beri nasehat kepadamu untuk kau nikahi nona ini?" kata Kwee Ceng. Kongcu itu tertawa dingin, dia buka tindakannya yang lebar, untuk berjalan pergi. Sampai di situ, Bok Ek hampairkan ini anak muda. Sajak tadi ia mendengari orang pasang omong, disamping ia mendongkol terhadap si kongcu, tahu ia bahwa anak muda ini baik hatinya dan berpihak padanya. Ia Cuma merasa orang masih terlalu muda dan belum mengenal dunia. "Saudara kecil, jangan kau ladeni dia!" dia berkata. "Asal nyawaku masih ada, sakit hati ini tidak dapat tidak dilampiaskan!" Terus ia kata dengan suara nyaring: "Anak muda, kau tinggalkan she dan namamu!" Kongcu itu berpaling, ia tertawa. "Aku sudah bilang, tidak dapat aku memanggil mertua kepadamu, maka kenapa kau begini melit hendak mengetahui she dan namaku?" ia bertanya. Kwee Ceng menjadi habis sabar, ia lompat kepada pemuda itu. "Kalau begitu, kau bayar pulang sepatunya si nona!" ia membentak. Kongcu itu menatap. "Kau gemar campur urusan bukan urusanmu!" ia berkata. "Bukankah kau menaruh hati kepada nona itu?" "Bukan!" jawab Kwee Ceng, yang menggeleng kepalanya. "Sebenarnya kau hendak membayar pulang sepatu itu atau tidak?" Dengan mendadak saja anak muda ini menggeraki kedua tangannya, mencekal kedua nadi si kongcu. Ia telah gunai salah satu tipu dari ilmu silat Kim-na-ciu, yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ilmu silat itu adalah untuk menangkap tangan lawan. Kongcu itu terkejut berbareng gusar. Ia berontak tetapi tidak berdaya. "Kau mau mampus"!" tanyanya, sebelah kakinya menendang ke bawahan perut si anak muda. Kwee Ceng tidak menangkis atau berkelit, dengan sebat ia tarik tangannya kongcu itu, hingga orang terlempar tubuhnya, dengan begitu, ia bebsa dari tendangan orang itu. Kongcu itu enteng sekali tubuhnya, walaupun ia telah terlempar, ia Cuma terpelanting, tidak sampai ia mencium tanah. Hanya dengan begitu, ia telah kalah satu babak. Ia menjadi gusar sekali. "Kau sudah bosan hidup, bocah?" ia berseru. Kwee Ceng mengawasi, ia menggeleng kepala. "Buat apakah aku bertempur denganmu?" ia berkata, "Kau tidak mau nikahi dia, sudah saja, kau bayar pulang sepatunya itu!" Orang banyak menyangka pemuda ini hendak membelai keadilan, mereka tidak ayana, akhirnya cuma sebegitu saja sikapnya. Mereka yang gemar menonton menjadi kecele. Kongcu ini jeri juga terhadap Kwee Ceng, bahwa orang tidak ingin berkelahi, itu cocok dengan keinginannya, akan tetapi ia dipaksa menyerahkan sepatu si nona, mana dapat ia mengalah: Tidakkah ia berada di hadapan orang banyak" Maka itu seraya menyingkap jubahnya, ia memutar tubuh, mulutnya mengasih dengar tertawa dingin. "Apakah kau hendak pergi?" menegur Kwee Ceng seraya menyambar jubah orang itu. Si kongcu lantas menggunai ketikanya. Ia berkelit, jubahnya itu dilayangkan sekali, dipakai menungkrap kepala orang. Kwee Ceng gelagapan. Justru itu dua kali iganya kena dihajar, sebab si kongcu sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. Bab 17. Pangeran Wanyen Kang Kena dihajar secara demikian, pemuda kita merasa kegelapan mata. Tidak sempat ia mengempos semangatnya. Bagus untuknya, selama dua tahun ia telah peroleh latihan tenaga dalam dari Tang Yang Cu Ma Giok, walaupun ia terhajar hebat, ia tidak terluka, tidak patah tulang-tulang rusuknya, ia cuma merasakan sangat sakit. Dalam pada itu, ia sadar akan dirinya, maka tidak membuat tempo lagi, ia melakukan pembalasan, dengan tendangan beruntun Wanyoh Lian-hoan-twie, maka dalam sekejap saja, ia dapat menendang terus-terusan sembilan kali, semuanya cepat dan hebat. Inilah pelajaran yang ia wariskan dari Ma Ong Sin Han Po Kie di Malaikat Raja Kuda, dengan ilmu mana Han Po Kie pernah robohkan beberapa jago dari Selatan dan Utara. Hanya sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng belum mendapatkan kesempurnaannya. Kongcu itu menjadi repot, ia berklit dan berlompatan tiada hentinya. Tujuh tendangan ia bisa kasih lolos, tetapi yang kedelapan dan kesembilan, telah mengenakan kempolannya kiri dan kanan. Syukur untuknya, karena berberang ia berkelit, ia tak sampai tertendang roboh, ia cuma terjerunuk. Karena ini keduanya menjadi terpisah. Kwee Ceng lantas aja singkirkan jubah sulam yang menungkrup kepalanya itu. Ia menjadi kaget dan mendongkol. Pertempuran itu merupakan satu pengalaman luar biasa untuknya. Mulanya di Mongolia ia menghadapi orang-orang jujur, lalu perlahan-lahan ia melihat perubahan. Ia merasa asing untuk kelakuan curang. Kongcu itu kena tertendang, ia menjadi gusar sekali, maka dia segera maju seraya tangan kirinya dipakai menyerang ke pundaknya si pemuda. Kwee Ceng menangkis, atau ia menjadi kaget. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit pada dadanya. Karena ini ketika ia didesak, ia kewalahan, maka tempo kakinya disambar, dengan mengasih dengar suara "Bruk!" ia roboh memegang tanah! Semua pengiringnya si kongcu lantas bertepuk tangan dan tertawa. Kongcu itu tepuki kempolannya yang penuh debu, ia tertawa tawar. "Dengan kepandaian begini kau hendak mencari balas untuk orang lain?" ia mengejek. "Hm, baik kau pulang dulu untuk belajar lagi sama gurumu sedikitnya buat duapuluh tahun!" Kwee Ceng tidak menyahuti, ia hanya menjalankan napasnya, hingga ia merasakan sakit di dadanya itu berkurang. Ia berlompat bangun kapan ia lihat orang kembali hendak ngeloyor pergi. "Lihat kepalan!" ia berseru sambil menyerang. Dengan mendak, kongcu itu berkelit. Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, tangan kirinya menyambar ke muka orang. Si kongcu menangkis. Kedua tangan lantas bentrok, mereka saling menolak. Kelihatan nyata, tenaga dalam Kwee Ceng terlatih besar tetapi si kongcu menang latihan ilmu silatnya. Maka itu mereka menjadi berimbang. Kwee Ceng menyedot napas, ia hendak mengerahkan tenaganya, selagi begitu ia masih tetap menolak. Tiba-tiba ia rasai tenaga lawan lenyap, tak sempat ia menahan dirinya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ketika ia bisa menahan dirinya, dari belakangnya datang serangan. Ia sudah terjerunuk melewati lawannya, dalam keadaan sulit itu, ia menangkis dari belakang, tubuhnya sekalian diputar. "Kau pergi!" berseru si kongcu, yang tangannya menolak keras. Tidak dapat Kwee Ceng bertahan, ia rubuh ngusruk, tetapi sikutnya mengenai tanah, dengan cepat ia mencelat bangun, kakinya dibarengi dipakai menendang dada lawannya. Ia berlaku sangat sebat, ia ingin membalas, untuk mencari kemenangan. Kongcu itu dapat berkelit, hanya setelah itu, ia didesak oleh si pemuda yang bersilat dengan "Hun-kin Co-kut Ciu" yaitu ilmu silat untuk memisah otot-otot dan tulang. Kongcu ini pernah juga menyakinkan Hun-kin Co-ku Ciu hanya pelajarannya beda daripada pelajaran Kwee Ceng yang didapat dari Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, maka itu, ia membela diri dengan berlaku hati-hati. Habis itu, keduanya bertempur terus. Selama tujuhpuluh jurus, mereka berimbang dengan ketangguhannya. Menampak demikian si kongcu menggunai akal. Kwee Ceng tidak tahu lawannya lagi memancing, ia lantas menyerang. Ia hendak menotok jalan darah hian-kie-hiat. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia tidak bermusuhan sama si kongcu, ia lantas geser incarannya ke sisi sasanan semula. Maka adalah diluar dugaannya ketika si kongcu, yang menangkis dengan tangan kiri, sudah membarengi menyerang dengan tangan kanan kanan ke arah pinggang, malah tinjuan itu dilakukan saling susul hingga tiga kali. Kwee Ceng berkelit, dengan menggeser pinggangnya, lalu ia membalas. Ketika ini digunai si kongcu, untuk memegang tangan orang yang kanan itu, buat terus ditarik dengan kaget sambil berbareng kakinya dipakai menjejak paha si pemuda. Maka tidak ampun lagi, pemuda itu terguling jatuh. Bok Ek menonton dari bawah benderanya. Lukanya telah dibalut rapi oleh putrinya. mendapatkan tiga kali Kwee Ceng roboh, ia lantas maju, untuk mengasih bangun. Ia tahu sekarang, pemuda itu bukan lawan si kongcu, yang menang seurat. Ia pun kata: "Lao-tee, mati kita pergi, jangan kita layani segala manusia hina!" Kwee Ceng roboh dengan mata kabur dan kepala pusing, ia menjadi gusar sekali, maka setelah dikasih bangun, ia lepaskan diri dari tangan Bok Ek, ia maju pula, untuk menyerang. "Eh, kau masih belum takluk?" berkata si kongcu, seraya mundur. Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia merangsak. "Jikalau kau tetap ganggu aku, jangan salahkan aku berlaku kejam!" kongcu itu mengancam. "Kau pulangi sepatu orang!" bentak Kwee Ceng. "Kalau tidak, aku tidak mau mengerti!" Kongcu itu tertawa melihat orang berkukuh, romannya ketolol-tololan. "Bukankah nona itu bukan adikmu?" ia bertanya, "Kenapa kau seperti hendak mengadu jiwa memaksa aku menjadi toakomu!" "Kurang ajar!" mencaci Kwee Ceng. "Aku tidak kenal dia, siapa bilang dia adikku!" Ia gusar sebab kongcu itu ejek dia sebagai toaku, ipar. Itulah cacian di antara orang Pakhia, tetapi ia tidak tahu, ia cuma mendongkol. Karena dicaci begitu, ia ditertawai sekalian pengikut si kongcu. Si kongcu sendiri merasa lucu berbareng mendeluh. "Tolol, awas!" ia berseru seraya menyerang. Kwee Ceng melawan, dari itu, mereka menjadi bergumul pula. Kali ini pemuda ini berlaku waspada, tidak lagi ia kena dipancing. ia kalah pandai tapi ia bersemangat, maka kewalahan juga si kongcu. Pertempuran seru itu ditonton semakin banyak orang. Bok Ek jadi merasa tidak enak hati. Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah, sedikitnya ia bakal diseret ke kantor pembesar setempat. Ia juga berkhawatir untuk banyaknya orang, i antara siapa ia tampak beberapa yang matanya tajam dan air mukanya luar biasa, ada juga yang membekal senjata. Di sebelah mereka, yang bicarakan silat kedua anak muda itu, ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal menang. Dengan perlahan-lahan Bok Ek menggeser ke tempat pengiring-pengiringnya si kongcu, segera ia lihat, diantara mereka itu ada tiga orang yang menarik perhatiannya. Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet, tubuhnya besar, kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan. Dia berdiri tegar hingga ia melebihkan tingginya semua orang. Orang yang kedua sudah lanjut usianya, sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang saja, hanya mukanya bercahaya segar, dan tidak keriputan. Dia pun bermata tajam. Karena romannya yang luar biasa itu, tak bisa diduga usianya yang tepat. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kecil, nampaknya sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya mencorong tajam. Maka juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut hatinya. "Leng Tie Siangjin," berkata satu pengiring, "Baik kau maju dan hajar bocah itu, kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan hingga ia terluka, hilanglah jiwa kami semua..." Itulah se pendeta Tibet yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab. Adalah si rambut ubanan yang berkata sambil tertawa: "Paling juga kakimu dikemplang patah! Mustahil ongya hendak mengehndaki jiwamu?" Bok Ek terperanjat. Orang disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran muda dan pangeran. Kalau begitu, benar juga, bencana akan datang kalau sampai siauw-ongya itu terluka. Tidakkah di antara pengiring-pengiringnya si siauw-ongya adalah orang-orang yag gagah dan lihay?" "Jangan takut!" berkata si orang kate dan kecil. "Siauw-ongya lebih lihay daripada lawannya itu!" Orang ini kate dan kecil akan tetapi suaranya mengejutkan. Suara itu nyaring, hingga beberapa orang disampingnya menjadi terkejut, semua pada berpaling memandang dia, yang matanya bersinar, hingga mereka lekas-lekas melengos. Si rambut putih tertawa, dia pun berkata: "Siauw-ongya telah belajar ilmu silat belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka orang banyak. Dia tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya..." "Eh, saudara Nio, coba bilang," berkata si kate kecil, "Ilmu silat siauw-ongya itu ada dari partai mana?" Kali ini ia berbicara dengan perlahan. Si rambut putih tertawa. "Haouw Laotee, kau lagi uji mataku, bukan?" ia berkata. "Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan Cin Kauw." "Sungguh begitu, sungguh aneh!" kata si kate kecil itu. "Bukankah kaum Coan Cin Kauw itu bangsa aneh" Kenapa mereka justru mewariskan kepandaiannya pada siauwongya...?" "Ongya pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?" kata pula si rambut ubanan itu. "Umpama kau sendiri, Haouw Laotee. Kau biasa menjagoi di dua propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana ongya?" Si kate kecil itu mengangguk. Si ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur itu. Ia dapatkan Kwee Ceng berubah silatnya, ialah gerakannya jadi ayal tapi tubuhnya terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali siauw-ongya menyerang padanya. "Haouw Laotee, coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?" ia tanya. "Kelihatannya kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya," sahut si kate kecil itu kemudian. "Pheng Ceecu benar," berkata seorang di pinggiran, "Bocah ini adalah muridnya Kanglam Cit Koay." Bok Ek pandang ornag itu, yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di jidatnya ada tiga tahi lalatnya. Ia kata di dalam hatinya: "Dia memanggil Pheng Ceecu, mungkinkah si kate kecil ini adalah kepala berandal" Nama Kanglam Cit Koay sudah lama tidak terdengar, apa benar mereka masih hidup?" Selagi Bok Ek berpikir, si muka biru dan kurus itu sudah berlompat maju ke tengah kalangan seraya ia berseru: "Hai bocah, kau ke sini!" Dia pun menarik keluar sebatang kongce atau cagak dari dalam sakunya. Orang banyak terkejut, ada yang berteriak. Bok Ek pun tidak kurang kagetnya, tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng. Tentu saja ia tidak kenal si orang ini, ialah Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, paman gurunya Hong Ho Su Koay. Hauw Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang banyak, di antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah, yang pakaiannya compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia menjerit "Ayo!" seraya terus memutar tubuh, untuk angkat langkah panjang. Thong Hay mengejar terus, ia diikuti empat orang lainnya yang bukan lain daripada Hong Ho Su Koay. Kwee Ceng sedang bertempur, ia heran atas itu suara bentakan, kapan ia lihat siapa yang dikejar Thong Hay, ai terkejut. Pemuda dengan pakaian tidak karuan itu adalah Oey Yong, sahabat barunya. Karena ini, ia sudah lantas kena ditendang si kongcu. "Tahan dulu!" ia berseru seraya lompat keluar kalangan. "Aku hendak pergi sebentar, segera aku kembali!" "Lebih baik kau mengaku kalah!" mengejek si kongcu. Kwee Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia khawatirkan keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat lari, tiba-tiba ia tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu kulitnya diseret hingga berisik kedengarannya. Dia pun terus tertawa. Di belakangnya tampak Thong Hay tengah mengajar tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang kabutan, setelah datang dekat, berulang-ulang ia tikam bebokong orang yang ia kejar itu! Oey Yong sangat lincah, selalu dapat ia kelit tubuhnya. Kongce itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari, sinarnya berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak dan berbunyi nyaring setiap kali digeraki. tapi senjata itu tidak dihiraukan Oey Yong. Ia nyelusup sana dan nyelusup sini di antara orang banyak. Segera juga orang banyak tertawa riuh. Mukanya Hauw Thong Hay, pada pipinya yang kiri dan kanan, tambah tanda tapak lima jari tangan, tanda arang hitam. Terang sudah dia telah kena ditampar oleh lawannya yang licin itu. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mari! Mari!" Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat pisahkan diri jauh-jauh dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam, menoleh dan mengejek, tangannya menggapai berulang-ulang. "Jikalau aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan tulang-tulangmu, aku Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!" Thong Hay sesumbar. Ia berteriakan, ia mengejar. Oey Yong menanti sampai orang sudah datang dekat, kembali ia lari. Kelakuannya ini, ditimpali sama kalapnya Thong Hay, membuatnya orang banyak saban-saban tertawa riuh. Dalam saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya tersengal-sengal. Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho. Song-bun-hu Cian Ceng Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak. Itu waktu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu lihay ilmu silatnya, bahwa ialah yang selama di hutan cemara Hek-siong-lim di Kalgan sudah menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon dan memancing kepada Hauw Thong Hay. "Bagus perbuatannya," ia pikir. Kelakuan Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong, menyebabkan rombongannya Leng Tie Siangjin memperbincangkannya. Leng Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee, keistimewaannya ialah ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya yang ubanan tapi mukanya tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio Cu Ong, ketua dari partai Tiang Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San. Ia tetap awet muda sebab sejak masih kecil ia doyan makan jinsom serta lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som Sian Lao Koay, Dewa Jinsom-Siluman Tua. Julukan ini harus dipecah dua: Siapa yang menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom, dan siapa bukan orangorang partainya, dibelakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman Tua. Dan orang ynag matanya tajam bagaikan kilat itu adalah orang ynag sangat terkenal di Tionggoan, namanya Pheng Lian Houw, julukannya Cian-ciu Jin Touw, Pembunuh Sribu Tangan. Di selatan dan utara Sungai Besar, sekalipun wanita umumnya kenal namanya itu, dan anak-anak yang lagi nangis, kalu ditakut-takuti; "Peng Lian Houw datang!" tentulah berhenti tangisnya. Berkatalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong: "Selama aku di Kwan-gwa, telah aku dengar nama besar dari Kwie Bun Liong Ong, bahwa ia lihay sekali, kenapa adik seperguruannya ini begini tidak punya guna, sampai satu bocah pun dia tidak sanggup layani?" Pheng Lian Houw mengkerutkan keningnya, dia bungkam. Dia bersahabat erat dengan Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian si Raja Naga Pintu Iblis, sering mereka "bekerja tanpa modal", dan ia tahu baik Houw Thong Hay lihay, maka kenapa hari ini orang she Hauw itu jadi demikian tidak berdaya" Selagi Oey Yong permainkan Hauw Thong Hay, pertempuran di antara Kwee Ceng dan si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti. Siauw-ongya telah robohkan Kwee Ceng lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan kakinya dirasakan ngilu, dia pun berdahaga dan lapar, dengan sapu tangannya, ia susuti peluhnya. Dipihak lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pie-bu Ciauw-cin, ia hampirkan Kwee Ceng untuk dihiburkan, untuk diajak pulang ke penginapannya, untuk beristirahat. Tapi, belum kebeuru mereka berangkat, mereka sudah dengar ramainya tindakan kaki serta berisiknya gelang konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari kembali dengan tetap dikejar oleh Hauw Thong Hay. Tangannya Oey Yong sambil mengibar-ibarkan dua potong kain. Hauw Thong Hay sebaliknya, pakiaannya menjadi tidak karuan macam: Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju dalamnya yang putih. Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma Ceng Hiong, yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari mendatangi dengan napas memburu. Ketika mereka ini datang dekat, Oey Yong dan Hauw Thong Hay saudh lenyap pula. Semua orang banyak, yang menjadi penonton, heran berberang merasa lucu, mereka menjadi tertarik untuk menonton terus. Justru itu, mereka lantas dengar bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka tampak belasan orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan, lagi menyerang kalangkabutan ke kira dan ke kanan, kepada orang banyak, yang mereka usir pergi. Maka itu, orang banyak itu lantas saja mundur ke kedua pinggir jalan. Menyausul rombongan hamba-hamba galak itu, terlihatlah enam orang menggotong sebuah joli besar yang indah. "Ong-hui datang! Ong-hui datang!" pengikut-pengikutnya si siauw-ongya berseru berulang-ulang setelag mereka melihat joli itu. Siauw-ongya lantas mengerutkan keningnya. "Rewel!" ia menggerutu. "Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?" Tidak ada berani ynag menjawab. Segara juga joli telah sampai di lapangan pibu, semua pengikut maju untuk memberi hormat. Dari dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang wanita, suara yang halus: "Kenapa berkelahi" Baju luar pun tidak dipakai! Nanti masuk angin!" Bok Ek dapat mendengar tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara itu seperti mengaung di kupingnya, ia menjadi diam sambil berpikir keras. "Kenapa suara ini sama suaranya orangku ini?" katanya di dalam hatinya. Tibatiba ia tertawa sendirinya. Ia berpikir pula: "Orang ini adalah onghui dari negeri Kim, aku memikir kepada istriku, apakah aku sudah pikun" Sungguh gila untuk memikir yang tidak-tidak..." Tidak dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak, untuk mendekati joli indah itu. Kebetulan itu waktu, dari dalam joli diulur keluar sebelah tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu tangan putih, dengan apa mukanya si siauw-ongya disusuti, untuk singkirkan peluh dan debunya, sembari berbuat begitu, si wanita masih mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan perlahan, hingga si penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas. Mungkin si saiuw-ongya ditegur dan dihiburi oleh onghui ini, onghui ialah selir seorang pangeran atau raja. "Ibu, aku senang bermain-main," terdengar suaranya pangeran muda itu. "Tidak apa-apa..." "Lekas pakai bajumu, mari kita pulang bersama!" kata si onghui kembali. Kembali si Bok Ek terperanjat. "Benarkah di kolong langit ini ada dua orang yang suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?" ia menanya dalam hatinya, yang terus berdebaran. Satu pengiring menjumput jubah sulam dari siauw-ongya, sembari berbuat begitu, ia pandang Kwee Ceng dengan bengis dan memdamprat: "Binatang cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!" Satu pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja menghajar ke arah kepala si anak muda, atas mana, Kwee Ceng berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng dengan mana, satu kakinya menyapu. Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh terguling. Tapi Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, ia rampas cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga tiga kali. "Siapa suruh kau menganiaya rakyat jelata!" ia menegur. Orang senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, untuk menolongi kawannya itu, tetapi tempo mereka mulai menyerang Kwee Ceng, satu demi satu, mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul. Siauw-ongya menjadi gusar. "Kau masih berani main gila"!" tegurnya. Ia terus lompat, untuk tolongi dua serdadu yang dilemparkan paling belakang, habis mana, ia tendang itu anka muda. Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan begitu, keduanya jadi bertempur lagi. "Jangan! Jangan berkelahi!" onghui berseru mencegah. Terhadap ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti termanjakan. Ia berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahuti: "Tidak, ibu , tidak dapat tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!" Setelah belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali, rupanya ia hendak banggakan kegagahannya di depan ibunya. Kwee Ceng lantas terdesak lagi, dua kali ia kena dibikin memegang tanah. Selama itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa disekitarnya, sepasang matanya terus diarahkan kepada joli indah itu. Maka tempo tenda tersingkap, ia dapat melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli dan rambut yang bagus, sinar mata itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda yang lagi bertarung itu. Mengawasi mata orang itu, Bok Ek berdiri menjublak bagaikan patung. Kwee Ceng dirobohkan dua kali, dia bukan menyerah kalah, ia menjadi lebih kosen, maka kali ini, ia tidak dapat dirobohkan pula. Ia bertubuh kuat, ia dapat melayani pukulan berulang-ulang kepada tubuhnya itu. Ia pun menang 'kang-lat' atau tenaga latihan, ia menjadi ulet sekali. Itu waktu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari-lari balik, sekarang di rambutnya Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan cauw-piauw atau tanda barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong Hay hendak menjual kepalanya itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan oleh Oey Yong, lawannya yang lincah dan licik itu. Di belakang mereka tidak tertampak dua Siluman, mungkin mereka telah kena dirobohkan pemuda itu. Nio Cu Ong bertiga menjadi heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong itu sebenarnya orang macam apa. Selagi bertempur, lengan Kwee Ceng kena dihajar satu kali, lalu ia membalas memukul paha siauw-ongya. Mereka jadi semakin sengit berkelahinya. Kwee Ceng berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat, untuk merabu otot dan tulang musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri ari tujuh puluh dua jurus. Maka itu, kedua-duanya saling terancam hilang jiwa atau terluka parah. Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan senjata rahasia mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam jiwanya. Mereka adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka mengepung Kwee Ceng, sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka mencegah Kwee Ceng menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda. Makin lama Kwee Ceng makin gagah. Inilah tidak heran sebab ia hidup di tanah gurun. Sebaliknya siauw-ongya biasa hidup di istana, ia termanja, ia kalah ulet, maka ia lantas terdesak. Satu kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw-ongya itu. Siauw-ongya berkelit, terus ia membalas meninju. Atas itu, Kwee Ceng mendahulukan, dengan tangan kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung, berbareng dengan itu, ia maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan itu, lalu tangan kanannya diteruskan untuk memegang leher lawan. Siauw-ongya terkejut, ia membalas membangkol dan memegang leher lawannya itu. Maka keduanya menjadi berkutat, yang satu hendak mematahkan tangan, yang lain hendak mencekik. Semua orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar dari tenda. Putrinya Bok Ek, ynag tadinya numprah di tanah, berlompat bangun, parasnya pun pucat. Disaat itu terdengar suara menggelepok. Nyata muka Kwee Ceng kena digaplok, sebab siauw-ongya merubah siasat. Keras pukulan itu, Kwee Ceng merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Tapi ia masih sadar, sambil berseru, ia sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan tenaganya, ia angkat tubuh siauwongya, untuk dilemparkan. Ia nyata telah menggunai ilmu silat bangsa Mongolia, yang ia peroleh dari Jebe. Siauw-ongya dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah berdaya, dengan cepat ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar tanah, dengan begitu, ia tidak terbanting. Habis itu sama sebatnya, ia menyambar kedua kaki lawannya itu, ia menarik keras, maka Kwee Ceng kena ditarik roboh hingga saling tindih, hanya siauw-ongya berada disebelah atas. Dia ini sebat, dia lompat, tangannya menyambar tombak di tangan seorang serdadu yang berada dekat dengannya, dengan tombak itu, segera ia menikam Kwee Ceng. Dengan menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia didesak, ia dikam terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan, hingga sukar untuk ia melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia layani tombak musuhnya itu. Karena didesak tak hentinya, ia berguling hingga ke dekat tiang bendera Pibu Tiauw-cin. Di sini ia gunai kesempatannya, ia sambar tiang itu, terus ia pakai menangkis, sesudah mana ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan membalas. Maka sekarang mereka bertempur dengan bersenjata, meskipun Kwee Ceng hanya bergenggaman tiang bendera. Tiang bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, ynag bersilat denagn tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang pertama, Hek Pianhok Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia dapat mainkan itu dengan baik. Siauw-ongya tidak kenal permainan silat lawannya itu, ia lantas saja kena didesak hingga ia mesti selalu membela diri. Bok Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama ia menjadi makin heran. Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, yaitu ilmu tombak Keluarga Yo, ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan. Yang menegrti ilmu itu, untuk bagian Selatan Tionggoan saja sudah jarang, maka heran kenapa di negara Kim ada yang dapat memainkannya itu" Ia terus mengawasi, sampai akhirnya ia merasa sedih sendirinya, tidak dapat ia mencegah mengucurnya air matanya. Nona Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras. Diakhirnya terdengar teriakannya onghui: "Berhenti! Berhenti! Jangan berkelahi lagi!" Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah bermandikan keringat. Mendengar suaranya onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan. ia segera geraki tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera. Atas itu, Kwee Ceng merasakan telapak tangannya sakit, tiang bendera lantas terlepas dari cekalannya, mental ke udara, hingga benderanya berkibar-kibar bagus. Anak muda itu terkejut. Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah ia menemui tandingan selihay ini. Belum sempat ia memandang orang, atau satu pukulan telah menjurus ke mukanya. Ia berkelit dengan cepat, tetapi tidak urung, lengannya kena terhajar. Tidak ampun lagi, ia terguling roboh. Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling kepada si pangeran muda dan berkata sambil tertawa: "Siauw-ongya, akan aku bereskan dia ini, supaya dia jangan mengganggu terlebih jauh..." Sembari berkata, ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur tangan kanannya ke arah kepala orang, justru si anak muda lagi merayap bangun. Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya sakit. Untuk tolongi dirinya, ia memaksa menangkis juga. Disaat anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang teriakan dari antara orang banyak: "Perlahan!" Lalu terlihat melesetnya satu bayangan abu-abu perak disusul serangan semacam senjata, yang terus saja melibat tangannya si orang she Pheng itu, hingga serangan itu batal. Tetapi Lian Houw tidak diam saja, ia segera menarik pulang tanagnnya, begitu keras, hingga senjata yang melibatnya ia terputus. Orang yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang, tetapi lekas juga ia sambar Kwee Ceng, yang pinggangnya ia peluk, setelah mana, ia lompat mundur. Sekarang orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia pertengahan, jubahnya warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim atau kebutan, hanya kebutan itu tinggal sepotong, sepotong yang lain masih melibat ditangannya Lian Houw. Ia terus mengawasi pada Lian Houw, yang kemudian berkata: "Tuan, adakah kau Pheng Cecu yang namanya sangat tersohor" Hari ini aku dapat bertemu denganmu, sungguh aku merasa sangat girang!" "Tidak berani aku menerima yang namaku yang rendah dijunjung sedemikian tinggi olehmu," sahut Lian Houw. "Aku mohon ketahui gelaran suci dari totiang." Semua orang lantas mengawasi kepada imam itu, yang romannya toapan, yang kumis dan janggutnya terbelah tiga. Kaos kakinya yang putih serta sepatunya yang abuabu bersih sekali. Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur kakinya, untuk dimajukan satu tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi karena injakan atau tindakannya itu, di tanah lalu tertapak dalam. Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras. Melihat tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat. "Jadinya totiang adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?" ia menanya. Imam itu menjura. "Teecu terlalu memuji kepadaku," ia menyahut. "Memang benar, pinto adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan cinjin." Peng Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah daripada Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Sudah lama mereka ketahui hal imam ini, baru sekarang mereka menemui sendiri orangnya. Mereka dapatkan orang sungguh alim dan agung. Coba tadi mereka tidak telah menyaksikan gerakan yang gesit dan melihat itu tapak kaki, tidak nanti mereka mau percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si Dewa Kaki Besi yang pernah menakluki jago-jago di Utara. Ong Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata: "Pinto tidak kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan kegagahannya berusan, hatiku menjadi sangat tertarik, maka itu dengan besarkan nyali, pinto mohon Pheng Ceecu memberi ampun kepada jiwanya." Melihat sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin Kauw, Peng Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas hormat, ia memberikan persetujuannya. Ong Cie It menjura pula seraya menghanturkan terima kasih, ketika ia memutar tubuh, ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren sekali. "Siapakah namamu?" ia menanya bengis, "Siapakah gurumu"!" Siauw-ongya itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah memikir untuk berlalu, tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan menyahuti: "Namaku Wanyen Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kang. Nama guruku tidak dapat aku beritahukan padamu." "Bukankah gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri" Ong Cit It tanya pula. Wanyen Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau mendadak matanya si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya terkesiap, batal ia untuk main gila. Ia lantas mengangguk. "Memang telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu," berkata Ong Cinjin. "Hm, bagus benar perbuatanmu ya" Pada mula kali gurumu hendak mengajarkan silat padamu, apakah ia telah bilang padamu" Apakah pesannya?" Wanyen Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk. "Anak, lekas pulang!" demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli. Anak ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia mendapat satu pikiran. Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya, inilah hebat. Maka itu, lekas ia ubah sikapnya. Dengan sabar, ia berkata: "Totiang kenal guruku itu, terang totiang adalah satu cianpwee, oleh karena itu boanpwe mohon sukalah totiang datang ke rumahku, untuk boanpwe anti mendengar segala pengajaranmu." Dengan lantas siauw-ongya ini membahasakan diri "boanpwe", orang dari tingkat lebih rendah, karena ia tahu ia lagi berhadapan dengan satu cianpwee, orang yang tingkat derajatnya terlebih tua. "Hm!" Ong Cie It perdengarkan suaranya. Wanyen Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia sudah Pahlawan Dan Kaisar 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Sumpah Palapa 23