Bayangan Darah 2
Bayangan Darah Karya Pho Bagian 2 terjebak, maka ketika ia menghantam ke belakang, berbareng dengan itu ia melemparkan lima buah senjata rahasia berbisa, untuk memaksa musuhnya mundur dua tindak. Tetapi ketika kelima senjata rahasia nya baru lepas dari tangan, Lauw Thian Hauw telah mengibaskan lengan bajunya, kelima senjata rahasia telah tergulung semuanya ke dalam lengan jubahnya, maka Lauw Hung dapat dengan leluasa merubah jurusan pedangnya. Mong Eng mendengar suara babatan pedang di udara itu telah berubah, hatinya sangat kaget, buru-buru ia menunduk ke depan. Pedang panjang Lauw Hung itu telah membabat dari punggung sampai ke belakang lehernya, ujung pedang itu telah menempel di tubuh Mong Eng hingga membuat sebuah goresan dari pinggang Mong Eng sampai ke belakang kepalanya! Mong Eng pun sungguh hebat, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya ke depan berguling, kakinya menendang-nendang, dan tidak peduli siapakah yang berada di hadapannya, ditendangnya dua kali, memaksa orang di hadapannya itu mundur. Tiba-tiba cemeti tulang putihnya itu menghantam ke atas tanah! Ia tidak menyerang dengan cemeti tulang putihnya, malah pada saat yang segenting itu dihantamkannya ke atas tanah. Kelihatannya tidak berguna, padahal jurusan itu sangat kejam karena yang tersimpan dalam tulang putih yang berjumlah delapan belas batang itu ialah 18 macam ular kecil yang berbisa. Cemeti itu menghantam tanah, tulangnya akan remuk, ular berbisa yang tersembunyi dalam tulang itu akan keluar segera. Dia berdua Ting Tok memiliki obat penawar, seratus macam bisa tidak dapat menyakiti mereka, tapi keluar Lauw itu takkan luput dari bencana itu. Tetapi perhitungannya itu ternyata meleset. Ketika ia menghantamkan cemeti ke atas tanah itu, tiba-tiba Lauw Thian Hauw berteriak sambil mengibaskan lengan jubahnya menggulung cemeti tulang putih ini, menariknya ke dadanya. Walaupun ilmu silat Mong Eng cukup tinggi, tapi mana dapat melawan Lauw Thian Hauw" Begitu ditarik oleh Lauw Thian Hauw, tubuhnya meloncak ke depan setindak. Mong Eng boleh dikatakan lincah juga, tubuhnya terhuyung ke depan, dengan segera ia mengendorkan kelima jarinya melepaskan cemeti tulang cemeti putih itu. Cemeti tulang putih itu, sangat disayangi oleh Mong Eng sebagai nyawanya sendiri, ini diketahui oleh semua orang Bu lim. Jago silat menyayangi senjatanya, tidak mungkin dapat dimengerti oleh orang lain.0 Maka Lauw Thian Hauw sama sekali tidak mengira begitu tubuh Mong Eng terhuyung ke depan, ia rela melepaskan senjatanya. Tenaga tarikan Lauw Thian Hauw begitu kuatnya, tiba-tiba Mong Eng melepaskan tangannya. Tenaga Lauw Thian Hauw jatuh kosong, tubuhnya bergoyang sedikit. Kalau diganti dengan orang lain dalam keadaan begitu, paling tidak akan mundur setengah tindak. Tapi tubuh Lauw Thian Hauw cuma bergoyang sedikit. Tetapi Lauw Thian Hauw pun tidak mengira, begitu Mong Eng melepaskan cemetinya, segera kakinya menotok ke tanah, dan tubuhnya melambung ke udara dengan pesat. Tangannya membalik menghantam ke atas, terdengar suara gemuruh yang dahsyat, genteng rumah pada berjatuhan. Atap rumah itu telah berlubang besar. Kentara sekali bahwa Mong Eng tidak berniat bertempur terus, ia siap kabur dari lubang di atas rumah itu. Kelakuannya itu sangat mengagetkan Lauw Thian Hauw. Ia telah turun tangan secara keras, sudah terang ia ingin membuat Tung Hai Siang Kui itu terkapar di atas tanah. Kalau kabur satu, itu sangat menyusahkan. Kembali ia mengibaskan lengan jubahnya, kelima senjata rahasia yang digulungnya tadi melayang ke atas seperti kilat, berikutnya tubuhnya pun ikut melambung ke atas. Mari kita ceritakan tentang Ting Tok. Ketika ia dipukul mundur oleh pukulan Lauw Thian Hauw, dari samping muncullah Lauw Nen. Sepasang pedangnya melayang-layang bagai hujan salju, diam-diam menutupi tubuhnya. Karena jurus-jurus sepasang pedang Lauw Nen itu sangat rapat, keadaannya lebih bahaya daripada Mong Eng. Bahkan ia tidak ada kesempatan untuk mencabut senjatanya, terpaksa ia menggelindingkan tubuhnya keluar. Tapi baru bergelinding, Lauw Jok Hong telah tiba, mengangkat kaki menendangnya. Dengan ilmu Lauw Jok Hong itu, kalau ia ingin mengenai tubuh Ting Tok hanya mengelak dari serangan sepasang pedang Lauw Nen saja, tubuhnya menggelinding keluar, sama sekali ia tidak bersiaga. Pada saat itu, tendangan Lauw Jok Hong telah tiba, dan bersarang di pinggannya, ia menjerit kesakitan. Tubuhnya meloncak berdiri, sepasang pedang Lauw Nen pun tiba lagi, terpaksa ia melawan dua jurus. Mong Eng telah melambung ke udara, pada saat itulah terdengar sebuah suara melayang dari pintu luar dengan gagahnya : "Apakah Lauw Toa Hiap ada di rumah?" Itulah suara Naga berbuntut sembilan Yen Ling. Mong Eng melambung ke udara. Lauw Thian Hauw melepaskan kelima senjata rahasia, segera tubuhnya pun melambung ke udara menguber Mong Eng. Ia ingin menarik tubuh Mong Eng dari udara ke bawah. Tapi pada detik itu, suara Naga berbuntut sembilan Yen Ling telah masuk ke dalam dari luar. Hati Lauw Thian Hauw terperanjat, hampir saja ia terbanting dari udara. Dengan ilmu Lauw Thian Hauw yang telah mencapai ke taraf sempurna itu, tidak semestinya terjadi begitu. Ia ingin mematikan Tung Hai Siang Kui kini, Tung Hai Siang Kui belum mati, malah Naga berbuntut sembilan Yen Ling telah tiba. Kesemua ini bagaimana Naga berbuntut sembilan Yen Ling itu, tidak membuat dirinya terperanjat" Kalau Tung Hai Siang Kui menceritakan yang sebenarnya pada bagaimana nanti" Begitu ia jatuh, tubuh Mong Eng telah melayang keluar dari lubang di atas atap itu. Melihat keadaan itu, Lauw Thian Hauw lebih terperanjat lagi, hingga keringatnya bercucuran. Ia tahu kalau lawannya telah berada di luar lubang itu, walaupun ia dapat mengangkat tubuhnya melambung kembali, pasti ia tidak dapat menguber Mong Eng! Terlebih-lebih ia tidak dapat mengangkat tubuhnya setelah ia terperanjat, tubuhnya terus turun ke bawah. Sampai di atas tanah, pandangannya menjadi gelap. Karena setelah Mong Eng keluar dari lubang itu, segera ia akan melihat Naga berbuntut sembilan Yen Ling. Bukankah semuanya akan tamat" Tetapi perubahan berikutnya di luar dugaannya, tiba-tiba terdengar suara Mong Eng dari atas rumah itu : "Kauw Bweee Liong, dengarlah ucapanku ini." Berikut ucapan itu, terdengar terikan Naga berbuntut sembilan Yen Ling, ditambah lagi dengan suara "Blum!" Lubang di atas genting itu bertambah besar, genting-genting berjatuhan lagi, dua sosok bayangan manusia seperti kilat jatuh ke bawah. Daya jatuh itu walaupun cepat, tapi masih dapat terlihat kedua orang itu, yang satu Mong Eng, yang satu lagi ialah Naga berbuntut sembilan Yen Ling. Seumur hidup Lauw Thian Hauw, entah telah berapa kali ia menyaksikan pertarungan besar, suasana berubah-ubah dengan cepat sekali. Ia melihat keadaan ini. Itu adalah suatu keuntungan bagi dirinya! Pastilah ketika Mong Eng sampai di atas rumah, Yen Ling pun telah masuk. Melihat musuhnya, matanya menjadi merah. Ia tidak menunggu Mong Eng bersuara, telah memaksanya turun dari atas rumah. Inilah kesempatan yang paling baik bagi Lauw Thian Hauw, mana ia mau melewatkan kesempatan yang sebaik ini" Segera ia meraung, kedua lengannya membentangkan, melangkah maju. Ia baru bertindak selangkah, Yen Ling telah memecuti Mong Eng dengan cemeti bajanya. Ketika Mong Eng buru-buru mundur, kebetulan sekali ia menerima pukulan Khi kang asli dari tangan Lauw Thian Hauw! Tentu saja Mong Eng tidak dapat menahan keroyokan kedua jago silat itu. Kalau ia berniat kabur, mungkin ia masih dapat menyelamatkan dirinya, justeru karena ia mengetahui rahasia Lauw Thian Hauw maka ia ada andalan. Kalau saja ia mengutarakan rahasia itu pada Yen Ling, pasti Yen Ling akan celaka! Maka ia tidak bernafsu untuk bertempur, pun tidak ingin berlalu begitu saja. Tak disangka betapa tingginya ilmu silat Yen dan Lauw itu. Yang satu telah memastikan kerusuhan dalam upacara pernikahan itu adalah hasil perbuatannya. Yang satu lagi lebih ingin mematikannya untuk menghilangkan saksi hidup. Maka jurus-jurus yang dikeluarkan oleh kedua orang itu, semuanya secepat kilat. Mong Eng mundur mengelak dari pecutan cemeti baja Yen Ling, segera ia merasakan di punggungnya terdapat dua buah tenaga yang dahsyat sekali sedang menekan dirinya. Buru-buru ia maju setindak, mulutnya berteriak : "Yen Lo Kauw..." Tetapi ia baru berteriak begitu, jurus cemeti Yen Ling itu telah berubah. Walaupun cemeti yang terbuat dari sembilan susun baja itu adalah sebuah senjata yang sangat berat, tetapi di dalam tangan Yen Ling cemeti itu enteng sekali seperti sebuah pengajung cemeti itu membuat lingkaran dan mutar kembali, menghantam kening Mong Eng. Mong Eng masih ingin mengelak, tapi mana keburu lagi" Dan terdengarlah sebuah suara "plaaak". Cemeti baja itu telah memecah kepala Mong Eng itu menjadi dua, bahkan ujung cemeti itu masih terus sampai ke leher Mong Eng. Maka ketika Yen Ling menarik cemetinya, tubuh Mong Eng terus terbawa darah dan otak Mong Eng muncrat membasahi sekujur tubuh Yen Ling, tapi tidak dihiraukan Yen Ling. Ia tertawa terbahakbahak. Kejadian di Yen ka cung itu, sampai kini telah berlalu kirakira satu bulan. Setelah kejadian itu, Yen Cing Kiang terpaku karena kelima jarinya terbabat putus ketika ia merebut pedang dari tangan Seng Bun Lan. Sedangkan pendekar besar sungai Siang Ang Cau Hua yang kehilangan anak gadisnya itu telah diam-diam menghampiri Yen Cing Kiang. Tiba-tiba ia menghunus pedangnya, belum sempat Yen Cing Kiang membalas, pedang Ang Cau Hua telah menembusi dada Yen Cing Kiang. Tubuhnya tidak jatuh, terhuyung-huyung ke belakang. Ujung pedang itu menancap lagi di sebuah tiang besar, tubuh Yen Cing Kiang tetap berdiri, tapi nyawanya telah putus! "Lo Ang!" teriak Yen Ling. "Hutang uang bayar uang, hutang nyawa bayar nyawa, anakmu adalah nyawa, anak perempuan akupun adalah nyawa. Apa lagi yang mau dikatakan?" Ang Fong mati di bawah tangan Yen Cing Kiang, semua orang menyaksikan hal itu. Ucapan Ang Cau Hua itu membuat Yen Ling bungkam, sedangkan Ang Cau Hua yang pucat itu tidak mau berdiam lebih lama lagi disitu. Ia menunduk mengambil mayat Ang Fong, melayang keluar. Yang mengikuti Ang Cau Hua melayang keluar bukan orang lain, dialah mempelai wanita Seng Bun Lan. Ia berlari keluar dengan tubuh yang menggigil, perhiasan di atas kepalanya berserakan di atas tanah. Ada beberapa orang yang turut keluar, karena kuatir akan keselamatannya yang telah menerima puklan yang maha hebat itu. Tetapi kepergian Seng Bun Lan itu terlalu cepat. Mereka baru keluar, telah kehilangan jejaknya. Belakangan baru tahu, setelah Seng Bun Lan berlari sejauh enam tujuh li, ia bertemu dengan Ceng Im Sin Nio dari kuil Teng Nam. Seng Bun Lan tidak berkata apa-apa, begitu melihat suhunya. Ia ulurkan tangannya mengambil pisau 'Liong Bun' yang kenamaan dari pinggang suhunya, membabat rambutnya hingga bersih, lalu ikut Ceng Im Sin Nio pulang ke kuil Teng Nam. Seng Bun Lan menerima pukulan sehebat itu, tentu saja ia menjadi agak senewen. Kemudian hari, ilmunya menjadi sangat tinggi. ITulah 'Hong Ni' (Ni kouw gila), yang kesohor di kalangan Bu lim. Itu cerita lain, tidak termasuk disini lho! Naga berbuntut sembilan Yen Ling, hanya menunggu dua tiga tahun setelah perkawinan anaknya itu, ia akan menimang-nimang cucunya untuk menikmati kehidupan yang bahagia. Tetapi dalam sekejap saja, impiannya itu lenyap semuanya. Ia mana mengira kejadian itu adalah hasil perbuatan Lauw Hung dan Yo Pang Sa. Hanya melihat dari keadaan Yen Cing Kiang, seperti ia telah terkena racun Tung Hai Siang Kui, maka kebenciannya terhadap Tung Hai Siang Kui telah meresap sampai ke tulang. Semenjak itu, ia terus mengundang jago silat sembari bertanya dimana tempat persembunyian Tung Hai Siang Kui. Hari ini datang berkunjung ke rumah Lauw Thian Hauw, maksudnya juga untuk meinta pertolongan Lauw Thian Hauw. Tapi di luar dugaannya, bertemu dengan Mong Eng salah satu dari Tung Hai Siang Kui, dan langsung memecahkan batok kepalanya. Kini, walaupun terkuyur darah sekujur tubuhnya, tapi memikirkan darah itu adalah darah musuhnya, ada barang apa lagi dapat lebih menggembirakannya" Ia tertawa terbahak-bahak, sambil mebanting-banting mayat Mong Eng ke atas tanah, ketika ia membanting untuk ketiga kalinya, mayat Mong Eng itu tidak berupa manusia lagi. Ketika Yen Ling membanti-banting mayat Mong Eng untuk melampiaskan dendamnya, Lauw Thian Hauw telah berlalu, mementilkan jari tangannya, "ces!" sebuah aliran angin yang dahsyat menyambar ke pinggang Ting Tok. Ting Tok sendiri telah kewalahan menghadapi empat bersaudara itu, mana ia dapat menahan pukulan Lauw Thian Hauw yang dahsyat itu lagi" Ditambah lagi ia melihat kematian Mong Eng yang sangat mengerikan, ia tahu ia takkan dapat luput. Ia tidak mengira selama hayatnya ia berbuat kejam, kini ia harus mati di bawah tangan orang yang lebih kejam lagi daripadanya! Ia melihat sambaran telah tiba, menggoyangkan tubuhnya mengelak, tapi sepasang pedang Lauw Nen bertaburan bagikan kembang salju menutupi tubuhnya. Pedang panjang Lauw Hung telah tiba lagi dari belakangnya, gerakan Ting Tok agak lambat, "buk", punggungnya telah tertusuk sekali, hatinya lebih bergidik lagi, teriaknya dengan nyaring : " Kwi Bwee Liong!" Teriakannya itu untuk menarik perhatian Yen Ling, supaya ia dapat mengutarakan yang sebenarnya pada Yen Ling. Tetapi teriakan itu, tak ayal lagi mengundang iblis pencabut nyawa. "Ya, aku datang!" teriak Yen Ling, tubuhnya mengikuti suaranya melayang. Begitu ucapannya selesai, orangnyapun telah berada di atas kepala Ting Tok,dengan kedua kakinya ia Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menendang belakang kepala Ting Tok. Ting Tok tidak menyangka Yen Lin bahkan tidak memberikan kesempatan baginya untuk berbiara, hatinya terperanjat. Ia jadi kewalahan lagi. Saat ini, sama saja ia sendiri melawan enam orang, gerakannya melamban, sepasang pedang Lauw Nen telah membabat menusuk lengan tangannya. Ting Tok berteriak kesakitan, kedua kaki Yen Ling telah pula bersarang di kepalanya, tubuh Ting Tok terhuyung ke depan, Lauw Thian Hauw menyambut dengan pukulan tangannya, "buk" mengenai dadanya. Setelah menerima pukulan tangan itu, tubuh Ting Tok tercelentang ke belakang, ia belum mati, malah masih membuka mulutnya tertawa lebar. Berbareng dengan suara tawanya itu, ketujuh lubang di mukanya telah memuncratkan darah segar, kemudian "duk", ia terkulai di atas tanah untuk tidak berkutik lagi. Sekejap saja, ruang besar itu menjadi hening sekali. Yen Ling menatapi kedua mayat yang terkapar di atas tanah, wajahnya menunjukkan keletihan. Setelah kejadian di Yen ka cung itu, setiap detik ia terus menerus memikirkan kapan dendamnya itu akan terbalas. Tapi kini, kedua musuh telah terkapar di bawah kakinya, dengan telah terbalas, tetapi apa pula gunanya" Membunuh musuhnya, apakah anaknya dapat hidup kembali" Apakah Seng Bun Lan dapat keluar lagi dari kuil Teng Nam dan menjadi mempelai wanita" Tentu saja tidak! Keriput di wajah Yen Ling itu makin lama makin banyak, ia menunduk, tidak lagi bergerak. Serumah orang Lauw itu tahu, Yen Ling telah membunuh kedua Tung Hai Siang Kui. Tetapi ia tidak membunuh musuh yang sebetulnya, mereka melihat Yen Ling tidak bersuara, hati mereka mempunyai pikiran masing-masing. Apakah Yen Ling telah mengetahui seluk beluknya" Lauw Hung yang paling tidak sabar, hampir saja ia mau menyerangnya, tetapi, ia dicegah Lauw Thian Hauw. Kata Lauw Thian Hauw dengan nada mencoba pada Yen Ling : "Yen Cung cu, kini, kau telah membalas dendammu, kami pun turut gembira!" *** Bagian Tiga Yen Ling tertawa pahit sambil menengadah. "Kalau bukan mendapatkan bantuan kamu, tentu aku tidak dapat membereskan kedua setan itu. Tidak kusangka kedua setan itu bisa berada disini. Inilah yang dikatakan takdir!" Yen Ling berkata begitu, dalam hatinya tidak bermaksud apa-apa, tapi didengar orang rumah Lauw bermakna lain. Mereka memikirkan kalau Yen Ling bertanya kenapa Tung Hai Siang Kui bisa sampai disini, bagaimana menjawabnya" Pada saat itu, keringat bercucuran dari tangan masing-masing! Tetapi Yen Ling tidak memperhatikan segalanya itu, ia tertawa pahit lagi : "Hatikua sangat kacau, lain kali saja aku datang lagi untuk berterima kasih. Sekarang aku minta permisi dulu." Ia menjura, membalik badan berlalu. Lauw Thian Hauw dapat menghela napas panjang-panjang, buru-buru ia mengikutinya : "Yen Cung cu, selamat jalan." "Beberapa kawan Sang Bun Pang dan Bu Tong Ceng Ik To Tiang berada di luar. Kalau Lauw Toa Hiap ingin bertemu dengan mereka, mari kita pergi sama-sama. Entah bagaimana pendapat Lauw Toa Hiap?" Ucapannya itu tidak mendapat jawaban dari Lauw Thian Hauw. Hati Yen Ling merasa heran, ia menengadah memandang wajah Lauw Thian Hauw. Melihat wajah Lauw Thian Hauw dengan perasaan kaget dan terperanjat sedang menatapi tembok dan Yen Ling buru-buru menoleh mengikuti arah pandangan Lauw Thian Hauw. Begitu melihat, wajahnya pun segera berubah dan ia mundur setindak. Bayangan darah di tembok itu sangat mengerikan setiap orang yang mengetahui So Beng Hiat In dan melihat bayangan darah itu pasti terperanjat. Tadinya Lauw Thian Hauw telah menyuruh orangnya untuk menutupi tembok itu, tetapi ketika Yen Ling melewati tembok melompat ke atas rumah memaksa Mong Eng turun ke bawah, angin keras yang ditimbulkan oleh lompatan Yen Ling melayangkan penutup. Dan tidak ada orang yang menutupkannya kembali. Maka begitu Lauw Thian Hauw keluar lantas ia melihat bayangan darah. Tetapi andaikata ia tidak sekaget itu setelah melihat bayangan darah itu, jangan-jangan Yen Ling tidak melihatnya. Tapi kini Yen Ling telah melihatnya. Sekejap saja mereka pada berhenti. Otak Lauw Thian Hauw mengiang-ngiang sesaat tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Setelah tertegun sejenak Yen Ling baru menoleh : "Lauw Toa Hiap apa itu?" Walaupun Lauw Thian Hauw mendengar pertanyaan itu tapi ia tidak dapat menjawabnya. Tentu saja ia ingin membantah itu bukan 'So Beng Hiat In' tetapi melihat wajah Yen Ling tampaknya ia sudah tahu apa gerangannya itu. Lauw Thian Hauw masih tetap mematung, tidak bersuara. Ujar Yen Ling : "Lauw Toa Hiap." Ketika ia mengucapkan perkataan "Toa Hiap" itu keluar dari mulutnya secara terpaksa sekali, tentu saja itu disebabkan karenan 'So Beng Hiat In' muncul di tembok rumah Lauw. Ia berhenti sejurus, lalu sambungnya : "Apakah itu So Beng Hiat In?" "Rupanya ya," desis Lauw Thian Hauw pada detik itu. Dalam benaknya timbul suatu niat yang sangat mengerikan, tetapi sekarang kecuali berbuat begitu, tidak ada cara lain lagi. Hati Lauw Thian Hauw berdebar-debar melihat Yen Ling ingin melanjutkan perjalannya, buru-buru ia berkata : "Yen Cung cu tunggu dulu.Masih ada yang hendak kukatakan." Yen Ling menoleh, wajahnya telah menunjukkan kekesalan. Saat itu Lauw Hung bersaudara telah keluar, dan berdiri di pekarangan. Tadinya hati Lauw Thian Hauw masih ragu, tapi begitu melihat wajah Yen Ling, dalam hatinya berpikir ia harus berbuat begitu! Ia tertawa kering kembali, "Yen Cung cu, barang di tembok itu, entah permainan siapa,harap kau tidak ambil hati." Lauw Thian Hauw tahu tidak ada orang yang akan percaya ucapannya itu. Akal yang paling baik, ialah menuruti rencana yang terpikir dalam hatinya. Tetapi ia tahu, kalau ia menuruti rencna itu, akibatnya sangat berat. Maka kalau bukan sangat terpaksa, lebih baik tidak berbuat begitu. Sepasang matanya memandang wajah Yen Ling, menunggu reaksinya setelah mendengar ucapannya itu. Yen Ling pun tertawa dingin " hei,hei" dua kali. Andaikata ia tertawa bisa saja, dan tidak berkata apa-apa, atau menuruti saja hati Lauw Thian Hauw, berkata satu dua patah mungkin Lauw Thian Hauw masih tetap ragu-ragu dan tidak akan bertindak menurut rencananya. Tetapi sifat Yen Ling jujur, begitu ia melihat bayangan darah di tembok itu, timbullah perasaan jengkel dalam hatinya. Ditambah lagi dengan ucapan Lauw Thian Hauw itu, hatinya lebih jengkel lagi, maka setelah ia tertawa garing dua kali, ujarnya tidak sabar : "Kalau memang ada orang berani membuat permainan itu di rumah Lauw Thian Hauw, nyalinya tentu besar sekali, hati kita masing-masing tahu." Mendengar Yen Ling berkata begitu, hati Lauw Thian Hauw menjadi terperanjat berbareng marah, serunya : "Apa maksudnya kamu berkata begitu?" katanya sambil melangkah mundur, membentangkan tangan membuat suatu gerakan. Anak-anaknya yang berdiri di belakangnya terperanjat melihat gerakan tangan itu. Merek saling pandang lalu mendelik, semuanya berpencar. Wajah Lauw Thian Hauw pun menjadi murung. Yen Ling masih belum sadar, ia tertawa dingin : "Masih tetap perkataan itu, hati kita masing-masing tahu!" Lauw Thian Hauw melangkah maju setindak : "Kalau begitu, kamu mau menyebarluaskan?" Yen Ling berkata dengan nada dingin : "Kalau mau orang tidak tahu, kecuali tidak berbuat..." Ucapannya itu belum selesai, tiba-tiba ia membalik tangan menyambar. Rupanya ketika itu, dengan diam-diam Lauw Hung itu cepat sekali menyerang. Tetapi betapa lihainya Yen Ling itu, begitu ia mendengar ada suara senjata memecah udara, ditambah lagi melihat wajah Lauw Thian Hauw, segera ia tahu bagaimana persoalannya. Membalik tangan menyambar, geraknya cepat sekali. Di punggungnya bagai ada mata, jari telunjuk dan jari tengahnya menjepit, kedua jari itu telah dapat menjepit punggung pedang itu dengan erat sekali. Lauw Hung menusukkan pedang, tangannya kejang, buru-buru ia menarik tangannya ingin menarik kembali pedang itu. Walaupun Yen Ling hanya menggunakan kedua jarinya, tapi pedang itu seakan tertancap di batu, untuk sesaat, pedang itu tidak dapat dicabut! Lauw Hung kagetnya bukan kepalang, teriaknya : "Kenapa kamu masih diam saja?" Ia berteriak, adik-adiknya belum keburu sampai, jari Yen Ling yang memegang pedang panjang itu bergetar sekali. Di bawah getaran itu terdapat sebuah tenaga yang maha dahsyat mengalir ke tangan Lauw Hung memulai tubuh pedang hingga tubuh Lauw Hung bergetar sekali dengan hebatnya, tak terkuasa lagi kelima jarinya terlepas. Pedang itu telah dirampas Yen Ling. Lauw Hung berteriak nyaring, tubuhnya mundur. Tetapi pada saat itulah Lauw Thian Hauw yang berada di hadapan Yen Ling itu telah mengeluarkan pukulan tangan menyerang dada Yen Ling. Yen Ling hanya merasa sebuah aliran angin terus mendesak hingga hampir saja menyesakkan pernapasannya. Yen Ling berteriak sekali lagi, menghunuskan pedang panjang yang baru saja dirampasnya tadi dengan kuat, tapi datangnya pukulan Lauw Thian Hauw itu terlalu cepat. Pada waktu sesingkat itu, ia tidak sempat membalikkan pedang, jarinya tetap mencekal ujung pedang, dengan gagang pedang itulah ia membabat. Walaupun Yen Ling membabat dalam keadaan tergesagesa, namun gagang pedang itu tepat mengenak "Yang Kuk Hiat" salah satu lobang darah di tangan Lauw Thian Hauw. Babatan itu memaksa Lauw Thian Hauw menarik kembali pukulannya. Namun kin Yen Ling menghadapi musuh dari depan dan belakang. Ia dapat mengelakkan pukulan Lauw Thian Hauw, tapi dari belakangnya Lauw Hung telah mengirim dua pukulan tangan ke arah punggungnya! Kalau Yen Ling sendiri berhadapan dengan Lauw Thian Hauw, ia pun bukan lawannya Lauw Thian Hauw, apalagi ditambah satu Lauw Hung" Begitu merasa punggungnya terserang angin pukulan yang sangat dahsyat, ketika ia ingin membalas serangan itu, jari tengah Lauw Thian Hauw tiba-tiba berdiri. "Ces!" suara angin itu terus menyerang alisnya. Yen Ling tahu angin itu terbentuk dari Khi kang asli yang bertenaga sangat dahsyat, kalau terkena, akibatnya tentu bukan main. Dalam keadaan yang terdesak itu, ia tidak lagi mempedulikan serangan yang datang dari punggung, hanya membekukan hawa ke punggungnya untuk menerima pukulan Lauw Hung. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ia menundukkan tubuhnya. Khi Kang asli dari jari Lauw Thian Hauw yang menyerang alisnya dapat dielaknya, tetapi kedua pukulan Lauw Hung itu bersarang tepat di punggungnya. Yen Ling telah memanda rendah tenaga Lauw Hung. Ia mengira cukup membekukan hawa saja di punggungnya untuk menahan pukulan tangan Lauw Hung tetapi sedari kecil Lauw Hung telah belajar ilmu Khi kang. Walaupun tenaganya tidak sekuat Lauw Thian Hauw, tapi itu pun bukan enteng. Ia telah memusatkan tenaganya memukul punggung Yen Ling. Di pinggir telingan Yen Ling berbunyi : "Hung! hung!" dua kali, matanya berkunang-kunang, tubuhnya mental ke depan. Sedangkan Lauw Thian Hauw berada di hadapannya dengan mudah sekali ia dapat mencabut pedang panjang itu dari tangan Yen Ling. Dan pada saat inilah, dari jauh datanglah sebuah suara tangisan yang tidak didengar dengan samarsamar. Laju tangisan itu boleh dikatakan cepat sekali, sampai di telinga masih samar-samar. Tetapi setelah Lauw Thian Hauw dapat merebut pedang panjang dan meragu sejenak, suara tangisan telah menggeledek. Hati Lauw Thian Hauw terperanjat. Ia tahu seorang jago silat dari Sang Bun Pang telah tiba. Kedatangan jago silat Sang Bun Pang tentu saja karena ia melihat Yen Ling pergi begitu lama dan belum juga kembali. Maka ia menyusul. Hal itu sudah jadi sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu bagi Lauw Thian Hauw untuk berpikir lagi. Dihunusnya pedang panjang itu, lalu menembus jantung Yen Ling. Yen Ling berteriak mengerikan bulu tengkuk, Lauw Thian Hauw mengangkat kakinya menyepak tubuh Yen Ling, melemparkan pedang panjang itu pada Lauw Hung, segera ia membalikkan tangannya menghantam tembok yang menggambarkan bayangan darah itu, terdengar suara "bruk" tembok itu telah rubuh ambruk ke tanah! Lauw Thian Hauw menggunakan tenaga yang dahsyat menghancurkan tembok, pada saat itu juga suara tangis pun berhenti. Tiga orang berjubah kelabu, entah tiba melalui reruntuhan tembok. Kemunculan mereka bertiba itu, membawakan sebuah angin jahat, hinga membuat Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie yang berada di dekat mereka tidak tahan lagi menggidikkan tubuh mereka. Setelah mereka berdiri ke samping satu persatu, serentak mereka menjura pada Lauw Thian Hauw dan membuka suara mereka mengilukan gigi orang yang mendengarnya : "Sam Ya Sian Jin mengunjungi Lauw Thian Hauw." Mata Lauw Thian Hauw memandang ke kepala tiga orang itu, masing-masing mengenakan sebuah topi rumput butut, di atas topi rumput itu terdapat setangkai kembang putih kecil. Sekali lihat saja sudah tahu bahwa mereka adalah orang yang berkedudukan tinggi di Sang Bun Pang, ia Tong Cu sesudah Pang Cu. Dalam hati Lauw Thian Hauw sangat kacau, tapi ia mau tidak mau harus berlaku seperti tidak terjadi apa-apa. Ia pun balas menjura : "Yen Cung cu... Ketiga Tong cu jangan sungkan-sungkan, kedatangan kamu tepat sekali." Ketiga orang itu tertegun, yang berdiri di tengah maju setindak, serunya nyaring : "Apa?" *** Lauw Thian Hauw berkata berat : "Setelah Yeng Cung cu datang, Tung Hai Siang Kui pun menyusul. Begitu bertemu, kedua belah pihak itu lantas berantem. Ketika kami keluar, semuanya telah binasa bergeletakan di rumah kami, ai! Entah bagaimana harus ku ceritakan!" Ketiga orang itu saling pandang, kata mereka : "Dimana?" Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Di ruang besar," Lauw Thian Hauw menunjuk ke dalam. Ketiga orang itu bergoyang, timbullah sebuah angin dingin dan tubuh mereka telah melayang. Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie yang berdiri di h adapan mereka itu buru-buru menyingkir. Mereka berdua tidak tahu bagaimana buntutnya setelah pembunuhan atas diri Yen Ling itu. Kini mendengar ucapan ayah mereka barusan, pikir mereka, rupanya memang jahe tua yang lebih pedas. Menuduh Tung Hai Siang Kui yang membunuh Yen Ling itulah suatu langkah yang baik sekali! Mereka bertiga masuk ke dalam ruang besar, karena sepakan Lauw Thian Hauw tadi sangat manis maka mayat Yen Ling tergeletak di pinggir mayat Tung Hai Siang Kui. Lalu mereka bertiga berpencar memeriksa ketiga mayat itu. Orang rumah Lauw masuk, mereka bertiga lalu berdiri. "Yen Ling seorang jago silat, tidak disangka bisa mati di bawah tangan Tung Hai Siang Kui!" Lauw Thian Hauw menghela napas panjang-panjang. "Apakah Tung Hai Siang Kui membawa anak buahnya?" seru salah satu dari ketiga orang itu dengan dingin. Mendengar orang itu bertanya demikian, Lauw Thian Hauw tertegun sejenak. Dalam hatinya ia berpikir, apa maksud pertanyaan itu" Dalam sekejap itu ia tidak dapat memikirkannya, maka ia hanya menjawab sembarangan sja, untuk menghindar kerusuhan selanjutnya : "Aku kira tidak ada." "Ketika mereka berantem, apakah Lauw Toa Hiap menyaksikannya?" Hati Lauw Thian Hauw merasa jengkel, pikirnya, orang itu terus bertanya, apakah ia telah mencurigai dirinya" "Ketika kami keluar, mereka masing-masing telah luka parah," seru Lauw Thian Hauw dingin. ORang itu tidak lagi berkata apa-apa. Ia menunduk mengangkat mayat Yen Ling ke atas pundaknya, berjalan menuju keluar. Yang lainnya mengikuti dari belakang. Setelah keluar, Lauw Thian Hauw yang juga mengikuti mereka itu berkata : "Kalian bertiga akan membawa mayat Yen Ling kemana?" Mereka bertiga baru siap setelah berada di luar pintu, lalu menoleh seraya berkata : "Lauw Toa Hiap, ada beberapa perkataan yang harus kami tanyakan dengan jelas." "Silahkan!" hati Lauw Thian Hauw bergidik. Dari semula yang dua lainnya tidak bersuara, yang bicara hanya seorang saja, serunya : "Luka di dada Yen Cung cu adalah bekas pedang, sedangkan Tung Hai Siang Kui tidak menggunakan pedang!" Ucapan itu terlepas, otak Lauw Thian Hauw mendengung, matanya berkunang-kunang. Ia tertegun sejenak baru berkata : "Tidak salah. Ketika aku keluar, Ting Tok salah satu dari Tung Hai Siang Kui itu telah kehilangan senjatanya, ia melompat ke tembok memetik sebuah pedang dan menusuk Yen Cung cu." Lauw Thian Hauw menjawab dengan hati berdebar-debar, dalam hatinya menduga-duga ketiga orang Sang Bun Pang keparat itu apakh puas dengan penjelasan yang diberinya" Kalau mereka bercuriga, bagaiman pula" Apakah harus dibinasakan juga ketiga orang Sang Bun Pang itu" Untuk membinasakan mereka, dengan orang rumah Lauw sendiri tidaklah mungkin. Lagi pula, taruhlah mereka bertiga mampus, dan tidak mungkin untuk mengatakan bahwa Tung Hai Siang Kui yang membunuh mereka. "Oh rupanya begitu. Ada lagi yang hendak kami tanyakan," ujar orang itu sambil mengangguk. Perkataan orang itu diikuti dengan pandangan mata yang mengeringkan yang menyapu-nyapu di tubuh Lauw Thian Hauw. Hingga membuat Lauw Thian Hauw merasa tidak leluasa, ia menahan napas dan berkata : "Ada apa lagi?" Orang itu berkata dengan perlahan : "Tung Hai Siang Kui yang satu mati kena tusukan pedang, yang satu mati kena gegeran Khi kang. Semua itu bukanlah kepandaian Yen Cung cu, apa pula sebabnya itu?" Mendengar dua pertanyaan itu, Lauw Thian Hauw kewalahan tidak dapat dijawabnya. Sesaat kemudian barulah ia berbicara : "Akupun tidak tahu apa sebabnya." Orang itu tidak lagi melanjutkan pertanyaannya, hanya katanya singkat : "Terima kasih!" Begitu habis berkata, ketiga orang telah melayang mundur keluar dari pintu. Lauw Thian Hauw pun tidak berdaya, ia hanya dengan terpaku memandang kepergian mereka. Lauw Nen menghampiri ke belakang ayahnya. "Thia, mereka telah curiga, kepergian mereka itu akan membawa kerusuhan!" Dengan ketenaran namanya di kalangan duni Bu lim, mungkin orang-orang tidak akan percaya ucapan Sang Bun Pang tapi percaya akan sikapnya, pikir Lauw Thian Hauw. Memikirkan perkataan "Sikap" itu,ia tertawa pahit. Namanya memang tidak salah lagi, semua orang menyebutnya Toa Hiap, tapi perkataan "Toa Hiap" itu dapat bertahan berapa lama lagi" Telah puluhan tahun ia memperoleh nama itu, mana mau ia lepaskan begitu saja. Lauw Thian Hauw menggenggam kedua tangannya sambil membalik tubuhnya. Lauw Thian Hauw persis berhadapan dengan Lauw Nen yang berdiri di belakangnya. Tiba-tiba ia berseru : "Kau!" Lauw Thian Hauw hanya mengucapkan satu perkataan, tahu Lauw Nen telah bergetar seluruhnya, dan mundur beberapa tindak. Lauw Thian Hauw tertawa dingin : "Then Kwan ka, kemari!" Begitu ia berteriak, Then Seng telah berdiri dihadapannya dengan tenang menulur ke bawah. Hati Lauw Thian Hauw agak terkejut melihat Then Seng datang dengan cepat sekali. "Then Kwan ka, dimana kau tadi?" tanyanya. "Saya di pekarangan belakang. Kalau tidak ada perintah tuan saya tidak berani kemari," sahut Then Seng. "Kejadian di depan tadi, kau tidak tahu?" sela Lauw Hung. "Kejadian apa" Kejadian apa?" Then Seng balik bertanya. "Tidak ada apa-apa. Cepat bereskan mayat-mayat di dalam, dan tembok itu. Kalau ada yang datang, suruh mereka tunggu dulu di ruang besar. Kami masih tetap berada di rumah empang!" Then Seng mengangguk. Lauw Thian Hauw terus melangkah ke rumah empang, menghela napasnya panjangpanjang lalu berkata sambil duduk : "Taruhlah So Beng Hiat In tidak datang, kitapun sudah kewalahan!" "Semua itu gara-gara Toa cie," kata Lauw Nen. "Dan kau" Apa yang telah kau lakukan" Lauw Thian Hauw tertawa dingin, bentaknya. Buru-buru Lauw Nen menundukkan kepalanya. Dalam rumah itu menjadi hening kembali. "Katakan ayo!" teriak Lauw Thian Hauw. Muka Lauw Nen menjadi pucat pasi, tidak berkata apa-apa. "Thia, dia telah merampok barang-barang yang dikawal bersama-sama antara ketujuh puluh empat Piau Kek dari Kang Pei (daerah utara) di Kang Lam (daerah selatan)!" sela Lauw Hung. Terdengarlah teriakan "Ah" yang ramai, yang berteriak adalah Lauw Thian Hauw, Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie bertiga setelah mereka mendengar ucapan Lauw Hung itu. Sejurus kemudian, Lauw Thian Hauw baru berkatan dengan perlahan : "Kalau begitu, Kang Lam Toa Hiap Kim Teng Cen Thian Lam... Go Thian Keng menyebarkan undangan untuk minta jago-jago silat dari aliran putih maupun aliran hitam memperhatikan penjahat bertopeng yang telah merampok dan membunuh anaknya, dan... memperkosa anak gadisnya itu rupanya ialah engkau?" kata Lauw Thian Hauw sambil memandang Lauw Nen. Pandangan itu tidak begitu tajam, malah mengandung perasaan ssedih. Tetapi di bawah pandangan ayahnya Lauw Nen tak henti-hentinya bergemetar, sesaat kemudian baru ia dapat berkata : "Aku... tidak memperkosa Go... ko nio (panggilan seorang gadis)!" Lauw Thian Hauw berteriak, berbarengan dengan itu, tangannya yang seperti kipas telah terbalik. Balikan tangannya menimbulkan angin menderu-deru di dalam rumah empang. Beberapa orang telah mundur, hanya Lauw Nen yang masih mematung. Tangan Lauw Thian Hauw telah melayang ke atas, telapak tangannya telah membidik kepala Lauw Nen. Saat ini, ia tidak perlu memukulkan tangannya, cukup dengan tenaga yang dikeluarkan Khi kang asli saja untuk mematikan Lauw Nen, pikiran dalam hatinya pun demikian. Tetapi ketika Khi kangnya kucar-kacir tidak dapat dipusatkan, seperti seekor kuda binal yang terlepas dari ikatan tambangnya, Lauw Thian Hauw sangat terperanjat sekali. Hanya sekejap, kepalanya telah bercucuran air keringat, tubuhnya pun tak tahan lagi bergemetaran. Lauw Hung yang berdiri di samping, setelah melihat keadaan ayahnya, ia pun sangat terperanjat : "Thia, kenapa kau" Kenapa kau?" Lauw Thian Hauw tidak menyahut, saat ini, karena sangat terperanjat, sangat kaget dan sangat takut. Khi kang berlari kucar kacir dalam tubuhnya, setiap saat bisa salah jalan dan dapat membuatnya kesurupan! Dalam keadaan begini, ia harus memusatkan perhatiannya, bahkan iapun tidak mendengar pertanyaan Lauw Hung, apalagi untuk menjawabnya. Ia mundur setindak, tiba-tiba duduk, keringatnya yang lebih besari tetesan air hujanitu terus bercucuran dari kepalanya. Lama sekali baru terdengar ia menhela napas panjang-panjang, dan membuka mata sambil menyeka keringat. "Go Toa Hiap adalah kawan karibku, apakah kamu tidak tahu?" katanya. "Tentu saja kami tahu, tetap Toa te melihat anak gadis orang cakap..." kata Lauw Hung sambil memandang Lauw Nen dengan tajam, dalam hatinya merasa bersyukur karena perbuatan Lauw Nen itu lebih jahat daripada perbuatannya. Ia dicelakai Yo Pang Sa, tapi Lauw Nen soal itu adalah hasil perbuatan Lauw Nen sendiri. Kedatangan So Beng Hiat In, 80% ialah untuk mencari Lauw Nen, sama sekali tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Lagi pula Yen Ling dan Tung Hai Siang Kui telah meninggal semuanya, persoalannya akan beres begitu saja, tidak ada lagi orang yang menanyainya. Maka ketika Lauw Thian Hauw menatap Lauw Nen, hatinya merasa bersyukur. Tetapi Lauw Nen sama sekali tidak memperhatikan pandangan Lauw Hung yang mengandung perasaan syukur itu, tubuhnya bergemetar terus-terusan, otaknya pun kian lama kian beku, tetapi ucapan Lauw Thian Hauw itu tetap berputar-putar dalam otaknya. Go Toa Hiap adalah kawan karibku. Kawan karib, ai, kesukaran itu justeru timbul dari kawan karibku! Lauw Nen hanya merasakan otaknya menjadi kosong memutih, kemudian putih itu berantakan, menjadi berkeping-keping menari-nari dan meloncat-loncat, bagaikan hujan salju. Ya, memang hujan salju. Hujan salju yang lebat sekali yang jarang terlihat di Kang Lam menutupi pondok-pondok di desa Sui Sia yang dalam suasana gembira ria. Anak-anak sedang bermain dengan asyiknya di bawah hujan salju. Umur yang agak kecilan memetik batang leher yang telah membeku di emperan rumah, dimasukkan ke dalam mulut dan diisap dengan asyik sekali. Singa emas Lauw Thian Hauw bersama anaknya Lauw Nen, sedang memacu kuda di bawah hujan salju. Setelah menyeberangi sungai, hujan salju belum juga reda. Mereka telah memacu kuda bersama selama dua hari. Pemandangan Kang Lam di bawah hujan salju lebih menarik dan lebih mempesonakan, seperti seorang gadis cantik yang memakai baju putih. Hingga sangat mempesonakan hati Lauw Nen. Tetapi setelah mereka berdua sampai di rumah Go Toa Hiap, dan Lauw Nen telah menemui Go So Lan, ia tidak merasa terpesona lagi, tapi bagaikan berdiam di dunia lain. Lauw Nen ingat dengan jelas sekali pada siang hari itu, salju agak reda. Mereka sampai di Go ka cung dan berhenti di depan pintu yang bercat merah. Di kedua sisi pintu merah bukan terpasang dua buah singa batu, melainkan dua buah guci yang lebih tinggi dari manusia, berkilau-kilauan. Dipandang dalam hujan salju, guci itu menyala dan menyilaukan. Itulah rumah Kang LamToa Hiap Kim Teng Ceng Thiam Lam... Go Thian Kheng. Lauw Nen tahu mengapa ayahnya datang kemari dari tempat yang beribu li jauhnya, karena Go Toa Hiap mempunyai seorang anak gadis. Barang siapa pernah melihat anak gadis Go Toa Hiap, tidak ada satu orang yang tidak memuji kecantikannya. Lauw Thian Hauw mengharapkan anaknya dapat berkenalan dengan anak gadis Go Thian Kheng, itu diketahui Lauw Nen. Tetapi hati Lauw Nen agak kurang senang. Di daerah utara, entah ada berapa banyak gadis cantik yang menantinya, kenapa harus datang dari begitu jauh untuk menengok anak gadis Go Toa Hiap itu" Sesampai mereka di pintu merah, tiba-tiba pintu telah terbuka. Berbareng dengan suara tertawa "Ha ha" yang besar, keluar seorang yang melangkah lebar dari dalam. Buru-buru Lauw Thian Hauw dan anaknya turun dari kuda, tetapi ketika Lauw Nen melihat orang yang keluar itu, hatinya merasa geli. Orangnya pendek, gemuk bulat, melihat wajahnya saja sudah lucu. Lauw Nen melihat ayahnya begitu hangat pada orang itu dan memanggilnya sebagai saudara, tahulah Lauw Nen bahwa orang itu ialah Go Thian Kheng Toa Hiap. Yang dipikirkan Lauw Nen kini, bukanlah nama Go Toa Hiap yang kesohor yang bertubuh pendek, melainkan memikirkan bagaimana orang sejelek itu dapat mempunyai seorang anak gadis yang cantik?" Tetapi ketika ia berpikir begitu, tiba-tiba ia tertegun. Dalam sekejap saja, ia telah melupakan sopan santun, telah lupa segala-galanya. Apa yang dilihatnya hanyalah seorang gadis di hadapan mukanya! Anak gadis itu berdiri di belakang Go Thian Kheng, tubuhnya tidak begitu tinggi, tapi tidak juga pendek. Ia berdiri dengan tenang, berbaju putih yang dihiasi kancing hijau, rambutnya hitam legam, digulungnya menjadi dua buah konde hingga membuat pipinya yang kemerah-merahan itu lebih mempesonakan lagi. Matanya menunduk, bulu matanya menutupi sepasang matanya, dadanya turun naik dengan pelan-pelan, menunjukkan ia sangat tidak biasa menghadapi orang asing. Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kini barulah Lauw Nen bersujut memberi hormat pada Go Toa Hiap. Go Toa Hiap melambaikan tangannya ke belakang pada anak gadisnya sambil berkata dengan sangat bangga : "Inilah anakkku So Lan. Berilah hormat pada Lauw Toa Hiap!" Go So Lan maju dengan langkah lembut, dirasakan Lauw Nen bahwa Go So Lan bukan sedang berjalan, tanah salju pun bukan tanah salju. Tanah salju ialah awan, sedangkan Go So Lan ialah bidadari melayang-layang dari awan. Ketika mereka berdua saling memberi hormat, pertama kali Lauw Nen membentur pandangan mata yang amat sukar dimengerti. Sesaat itu ia membulatkan tekadnya. Seumur hidup ini, kecuali So Lan, ia tidak mau kawin dengan gadis lain! Go So Lan hanya berdiri menunduk. Beberapa kali ia mengangkat kepalanya tapi ia terpaksa menunduk kembali karena terbentur dengan pandangan mata yang sangat hangat laksana bara, bahkan ia belum tahu bagaimana raut muka anak Lauw Toa Hiap ini. Tapi ia tidak peduli. Ia pun tidak tahu maksud kedatangan anak Lauw Toa Hiap ini, ia tidak ambil pusing dengan raut muka anak she Lauw itu karena hatinya telah memiliki seseorang. Hati Lauw Nen berdetak. Ia bertanya pada dirinya : Siapa orang itu" Dari pintu sampai ke ruangan besar, Go So Lan terus mengikuti ayahnya. Go Toa Hiap tertawa terkekeh-kekeh : "So Lan, mana toako-mu " Mengapa tidak main-main dengan Lauw Kong cu" Sepasang pedang Lauw Kong cu telah mencapai kesempurnaannya, kenapa tidak minta petunjuk darinya?" Baru perkataan Go Toa Hiap itu habis, seorang pemuda yang beralis tebal dan penuh semangat telah berjalan keluar. Tubuhnya agak pendek, lebih pendek daripada adiknya setengah kepala. Ia melangkah sambil tersenyum simbul : "Bagaimana, masa menghendaki kami baru bertemu lantas berantam?" Semua orang di ruang besar itu pada tertawa, Go Eng Kiat pun tertawa. Lauw Thian Hauw mengulurkan tangan menepuk-nepuk Go Eng Kiat : "Nak, kabarnya kau memiliki palu yang lihai sekali. Kenapa tidak dipertunjukkan pada kami, supaya kamu dapat meluaskan pandangan kami?" "Lauw popo (paman) jangan bergurau. Kepandaian saya ini, mana bisa dipertontonkan di depan orang" Membuat malu saja, bahkan aku tidak dapat mengalahkan adik saya yang mempunyai Mei Hua (Golok kembang Mei) yang lihai," kata Go Eng Kiat. "Toa ko," teriak So Lan, inilah ucapan Go So Lan. Begitu Go So Lan membuka suaranya, Lauw Nen lebih membulatkan tekadnya lagi. "Eng Kiat, kenapa kau tidak minta petunjuk dari Lauw Kong cu beberapa jurus?" kata Go Thian Kheng. Baginya merasa tegang, buru-buru ia berkata pada dirinya sendiri : "Aku harus menang dari Eng Kiat, orang cantik suka pada jagoan. Kalau ilmunya tidak meyakinkan, bagaimana dapat pandangan Go So Lan?" Justru karena Lauw Nen telah mempunyai tekad begitu, maka ketika ia dan Eng Kiat memegang senjata, wajah Go Eng Kiat masih berseri-seri dengan palunya yang bersegi delapan; lagaknya lenggang, sedangkan Lauw Nen telah menghunuskan sepasang pedang dengan memusatkan seluruh perhatiannya. Pedang kirinya berdiri di dada melindungi tubuhnya, ujung pedang kanan agak menurus ke tanah. "Lauw toa ko, silahkan!" teriak Eng Kiat. Lauw Nen pun tidak sungkan-sungkan, ia melangkah maju mengibaskan pedang kananya, pedang kirinya diayunkan ke atas. Sangat sulit memainkan sepasang pedang, karena sepasang pedang harus saling jaga menjagai satu sama lain, dalam setiap jurus, kedua pedang itu ada yang menyerang dan ada yang menahan, jurus-jurusnya sangat ruwet. Ilmu pedang 24 jurus Lauw Nen itu adlah hasil gemilang Lauw Thian Hauw, semenjak umurnya 4 tahun,ia telah mulai berlatih, kini ia mempunyai kepandaian selama 14 tahun. Jurus 'angin melintang hujan miring' itu sangat hebat! Go Eng Kiat terperanjat melihat Lauw Nen telah menyerang bagian-bagian yang sangat penting dari tubuhnya dalam jurus pertama. Buru-buru menurunkan palunya ke bawah, terdengar suara "cring! cring!" dua kali. Sepasang pedang Lauw Nen telah membentur palunya. Go Eng Kiat mengira bahwa dirinya telah menangkis sepasang pedang Lauw Nen, tentu Lauw Nen akan menarik pedangnya dan menyerang kembali. Tetapi tak disangka, tubuh Lauw Nen malah maju setengah tindak, tidak menarik pedangnya. Dengan tenanga melangkah maju itu, punggung pedangnya terus menusuk, ujung pedangnya telah menyerang pergelangan tangan Eng Kiat. Bersamaanitu pedang kanannya membuat lingkaran membabat leher Eng Kiat, serangan sepasang pedang Lauw Nen dalam jurusan ini boleh dikatakan sangat pedas! Hati Eng Kiat berdetak, pikirnya, permainan apa ini" Kini hanya main-main, ataukah betul-betul mengadu jiwa" Tibatiba tubuhnya menyusut, tadinya tubuhnya memang pendek, ditambah dengan susutan itu lagi, hingga menjadi segumpal daging seperti bola, dengan daya susutan ia menggelinding ke belakang. Babatan Lauw Nen menjadi kosong. Go Thian Kheng bersorak : "Ilmu pedang yang baik sekali!" DAn Lauw Thian Hauw mengerutkan alisnya. Kedua jurus Lauw Nen itu memang pedang. Lauw Thian Hauw tidak mungkin tidak dapat melihatnya tetapi ia tidak bersuara. Go Eng Kiat bergelinding lalu berdiri, katanya : "Ilmu pedang Lauw Toa ko memang bukan main, setiap jurus membahayakan. Sungguh hebat sekali!" Go Eng Kiat sengaja menekan "Setiap jurus membahayakan", kerena ia telah muak dengan tingkah laku Lauw Nen pada saat itu. Lauw Nen hanya ingin menunjukkan kepandaiannya di depan Go So Lan, maka ia tidak mempedulikan ucapan Eng Kiat. Katanya dengan suara yang berat : "Silahkan!" Seakan ia telah berada di atas angin, kemudian, sepasang pedangnya beradu terdengar suara "cring!" lalu, pedangnya berpisah. Yang satu ke kanan, yang satu ke kiri, terus menyerang bola mata Go Eng Kiat! Go Eng Kiat memperingatkan lawannya dengan ucapannya, tapi lawannya tidak sadar, hatinya merasa marah berbareng geli. Karena begitu beradu, Go Eng Kiat elah tahu bahwa jurusan pedang Lauw Nen memang hebat, tapi tenaga dalamnya masih ketinggalan jauh dibandingkan dengan dirinya, mau menaklukinya, itu adalah suatu hal yang sangat gampang sekali. "Cring! Cring!" sepasang pedang Lauw Nen telah mengenai palunya. Inilah untuk kedua kalinya ada kejadian begitu, tapi kali ini dengan tadi sangat berbeda. Ketika Lauw Nen menyerang dengan sepasang pedangnya, ia merasakan di atas palu Go Eng Kiat terdapat tenaga mental yang sangat dahsyat hingga sepasang pedang Lauw Nen terpental ke atas. Lauw Nen hanya merasakan sepasang lengannya kejang, tubuhnya terhuyung, kini dadanya terbuka lebar. Kalau Go Eng Kiat mau menyerang, itu adalah suatu hal y ang sangat gampang sekali! Dalam keadaan begitu, hati Lauw Nen sangat terperanjat. Tapi Go Eng Kiat hanya mendorong palunya sedikit ke depan, tidak menyerang pada Lauw Nen. Melihat keadaan itu pun Lauw Nen tahu bahwa Go Eng Kiat tidak menurunkan tangan yang keras. Hingga membuat dirinya merasa malu bercampur benci. Pada waktu itu ia tidak banyak pikir, ditariknya kedua pedang itu dan membabat ke bawah. Itulah suatu jurus yang mematikan dari ke 24 jurus ilmu pedangnya! Lauw Thian Hauw melihat Lauw Nen tiba-tiba menggunakan jurus itu, ia tahu kalau jurus tsb dimainkan secara matang sekali, Go Eng Kiat mampus. Maka Lauw Thian Hauw berteriak gemuruh, seakan halilintar menyambar di langit, hingga tangan Lauw Nen sekonyong-konyong tergetar. Teriakan yang menggelegar membuat suatu kesempatan hidup bagi Eng Kiat, tiba-tiba ia menggelinding beberapa tindak. Tetapi babatan Lauw Nen itu tetap melalui pinggang dan bahunya hingga menggoreskan suatu luka yang meneteskan darah segar! Walaupun Go Eng Kiat tidak terluka tetapi ketika ia menggelinding, ia tetap dapat berdiri tegak. Wajahnya pun menjadi marah, tapi ia masih memandang Lauw Thian Hauw, maka tidak dilampiaskan marahnya. Hanya berkata dengan nada dingin : "Ilmu pedang Lauw heng memang hebat, hingga saya kagum sekali." Nada Go Eng Kiat dingin sekali, di dalamnya mengandung nada ejekan, siapa pun dapat merasakanna. Andaikata Lauw Nen mau minta maaf pada waktu itu, hal itu dapat ditutupi dengan alasan salah lupa pukul. Tapi tidak begitu halnya, justru ingin berlagak jago di hadapan Go So Lan, dan ia telah lupa bahwa ia tadi telah menggunakan suatu cara yang sangat keji melukai toako-nya Go So Lan. Malah ia masih berkata dengan bangga : "Tidak berani. Go heng cuma mengalah saja," bahkan ia menganggap dirinya sebagai pemenang. Mendengar ucapan Lauw Nen itu, Go Eng Kiat jadi naik darah. Ia berteriak ingin maju lagi, tapi pada waktu itulah, tubuh Go Thian Kheng bergoyang dan telah berdiri dari tempat duduknya, menghadang di tengah-tengah mereka berdua, bentaknya : Eng Kiat, kau sudah kalah, kenapa mau diteruskan lagi?" Di pihak lain, Lauw Thian Hauw pun telah berdiri sambil berkata : " Nen jie, kau masih tidak mau buru-buru minta maaf, semua orang tahu kau bukan lawannya." Lauw Nen berdiri mematung, dalam hatinya ia merasa dongkol sekali pada ayahnya. Tentu saja ia tidak mau minta maaf, ia hanya melirik. Tetapi yang sangat mengecewakannya adalah entah sedari kapan Go So Lan telah meninggalkan ruang besar, entah kemana perginya. Hati Lauw Nen seolah merasakan kehilangan sesuatu, dongkol sekali, bahkan ia tidak mendengar apa yang telah diucapkan oleh ayahnya! Walaupun Go Thian Kheng masih tetap bersikap ramah, tapi Lauw Thian Hauw merasa malu karena anaknya telah berbuat sesuatu hal yang sangat keji, maka buru-buru ia minta permisi. Kedua ayah anak itu memacu kuda mereka lagi di hujan salju meninggalkan rumah To Toa Hiap, kunjungan sekali ini boleh dikatakan sedikitpun tidak berhasil. Setelah berjalan tujuh delapan li, Lauw Thian Hauw baru membentakanaknya : "Binatang.Ilmu-mu tidak sepandai orang, ngakulah kalah dengan terus terang. Sekarang sudah sampai macam ini, siapa lagi yang akan memandang kau?" Biarpun Lauw Nen lagi menunggang kuda, hatinya masih tertinggal di rumah Go So Lan. Kembang salju yang berterbangan di hadapannya, bagaikan setiap buahnya mengandung wajah Go So Lan, sedangkan dia tidak dapat meninggalkan rumah Go, maka hatinya merasa jengkel sekali. Tadinya memang dia telah sangat membenci Go Eng Kiat, ingin rasanya ia marah pada Go Eng Kiat, ditambah lagi dengan ucapan ayahnya, hingga hatinya merasa panas. Ia tidak perduli lagi apakah ia sedang menghadapi orang tuanya sendiri. Teriaknya : "Hm, bocah cilik Go Eng Kiat itu, apa pul hebatnya. Suatu hari akan ku buat mampus dia!" Lauw Thian Hauw terkejut mendengar ucapan anaknya. Ia menghentikan kudanya dan memandang pada Lauw Nen. Karena ia berdiri tidak bergerak, cepat sekali topinya telah dipenuhi dengan kembang salju. Ia memandang Lauw Nen, seakan sedang memandang seorang asing, bukan memandang anaknya. "Kau, apa yang kau katakan tadi?" sesaat kemudian baru iaberkata. Saat ini Lauw Nen telah lesu begitu mendengar ucapan ayahnya tidak mengandung nada marah, maka ia berkata lagi : "Aku mesti membuat bocah cilik Go Eng Kiat itu mampus!" berhenti sejenak lalu tambahnya lagi,"Lagi pula, aku akan memperistri Go... ucapan selanjutnya belum habis, Lauw Thian Hauw telah berteriak, mengacungkan pecut kudanya memecut kepala Lauw Nen. Pecutan Lauw Thian Hauw itu bukan main cepatnya. Jangankan Lauw Nen tidak bersiaga sebelumnya, andaikata bersiaga ia pun takkan dapat mengelak dari pecutan ayahnya. Buru-buru ia memiringkan kepalanya, terdengar suara "plaak", pecut itu persis mengenai bahu kanannya, hingga ia berteriak kesakitan lalu jatuh dari kudanya tergeletak di atas salju. Bagian yang terkena pecut menjadi pedas, seakan lengan kanannya copot dibabat golok. Sedangka pecutan Lauw Thian Hauw itu, tenaganya tidak habis setelah memecut Lauw Nen, terus menghantam pantat kuda, hingga membuat kuda itu pun kesakitan, meloncatloncat berlari ke depan. Lauw Nen berguling-guling di atas salju, terdengar suara bentakan ayahnya : "Binatang yang tidak berguna, bersujudlah untuk mengakui kesalahanmu!" Lauw Nen memegang lengan kanannya dan menggigit giginya, tidak bersuara. "Baiklah, kapan kau mau bersujud di depan aku untuk mengakui kesalahanmu, datanglah padaku! Kalau tidak, kau bukan lagi anakku!" Lauw Thian Hauw mengakhiri kata-katanya dengan memecut kudanya, dan memacu ke depan. Sampai kuda Lauw Thian Hauw tidak terlihat lagi, baru Lauw Nen meronta-ronta bediri dari tanah. Lengan kanannya masih terasa sakit sekali. Ia menggigit bibirnya berjalan kaki. Setelah berjalan setengah li, barulah terlihat sebuah pondok kecil. Ia masuk ke dalam pondok dan duduk menghela napas. Dibuka bajunya, dilihat bahunya membengkak dan merah, sakitnya bukan kepalang. Ia mencomot segenggam salju, diletakkan di tempat luka, baru ia merasa agak enakan. Berturu-turut menukar tiga kali salju, Lauw Nen baru menutup kembali bajunya. Kebencian pada Go Eng Kiat dan kerinduannya pda Go So Lan lama-lama kian mendalam. Ia pun tidak ingin pulang ke rumah, tentu saja ia lebih -lebih tidak mau mengaku salah. Ia duduk di dalam pondok itu lama sekali, memikirkan di antara kawankawannya. Siapa yang kira-kira dapat membantu melampiaskan kemarahannya. Pada saat itu, ia melihat ada dua orang datang dari kejauhan. Kedatangan kedua orang itu sangat aneh, seakan keduanya bukan melangkah maju tapi meluncur ke depan. Maka ketika mereka meluncur, tumpukan salju di bawah kaki mereka bermuncratan ke sebelah-sebelah, Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo indah sekali. Kecepatan mereka tinggi sekali. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok itu. Melihat keadaan mereka, tampaknya mereka mau melewati pondok terus melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi ketika lewat di depan pondok, salah satu di antara orang itu menoleh ke belakang. Begitu melihat Lauw Nen, ia terpekik dan menyenggol temannya dengan bahu, lalu kedua-duanya berhenti. Kecepatan mereka berdua itu tinggi sekali, Lauw Nen tidak dapat melihat mereka dengan jelas. Hingga mereka berhenti, Lauw Nen baru dapat melihat dengan jelas. Kedua orang itu, yang satu sudah tua yang satu masih muda. Yang tua kira-kira berumur 60-an, pendek tegap, berjubah hitam, wajahnya cerah memancarakan kecerdikan. Sedangkan yang muda, baru 30-an, tubuhnya tinggi semampai, berjubah hijau, tangannya memegang sebuah kipas. Ketika berhenti ia membentangkan kipas, yang tergambar di atas kipas itu adalah seorang wanita cantik, sangat mempesonakan. Lauw Nen memandang pada mereka. Ia tidak kenal, tetapi orang tua itu memandang lagi pada Lauw Nen, lalu berkata pada Lauw Nen dengan tersenyum : "Bukan Lauw kong cu ini" Kenapa sendirian disini?" Walaupun Lauw Nen tidak kenal pada mereka, tapi melihat wajah mereka tersenyum dan lagi orang tua itu menyebut dirinya "Lauw kong cu" sikapnya sangat hormat hingga membuat Lauw Nen merasa tubuhnya melayang-layang, maka ia berdiri sambil berkata : "Saya Lauw Nen, ji wi (kamu berdua) adalah..." "Saya Sun Ang, lo te ini adalah Yo Bun Cing..." orang tua berkata sambil tertawa. Ketika orang tua itu menyebutkan nama mereka, Lauw Nen rasanya sangat kenal akan nama itu, tapi ia tidak bisa lantas teringat. Sambung orang tua itu lagi : "Kami berdua, ada juga sedikit nama, di kalangan Bu lim kami disebut Cung San Siang Kiat (dewi tunggal gunung Cung)." Bersamaan pada waktu itu, dalam hati Lauw Nen pun telah teringat akan 'Cung San Siang Kiat', telinganya mendengar sebutan itu lagi, hingga membuat tubuhnya terloncat, teriaknya terlanjur : "Cung San Siang Kiat!" "Nama kami kecil sekali, mungkin Lauw Toa kong cu tidak kenal," kata Yo Bun Cing sambil tertawa. Kini Lauw Nen pun telah melupakan kedudukannya sebagai 'Toa kong cu', buru-buru ia menyahut : "Tahu, aku tahu, di dunia kang ouw siapa yan tidak tahu nama besar kamu berdua?" Ia sambil berkata sambil memikirkan untuk kabur, tapi ia juga merasa malu. Kalau mau kabur, yang lebih memalukan lagi ialah belum tentu ia dapat kabur! Cung San Siang Kiat, yang tua jago senjata rahasia, yang muda jago benda berbisa. Di atas tubuh mereka, yang tua sangat penuh dengan senjata rahasia. Sedangkan yang muda, entah berapa banyak binatang yang sangat berbisa dipeliharanya, diletakkan di dalam sebuah kantong kulit spesial, lebih hebar daripada senjata rahasia. Setelah mereka berdua menggunakan senjata rahasia dan benda berbisa mengalahkan Cok Len Cit Sian (7 dewa bukit Cok), nama mereka menjadi tenar. Orang-orang Bulim kalau melihat mereka pasti merasa jeri. Itu disebabkan karena ilmu mereka sangat berbeda dengan yang lain-lainnya, sangat sulit menghadapinya. Setiap tahun membuat kerusuhan, maka nama mereka kian lama kian tenar. Mendadak Lauw Nen bertemu dengan mereka, tentu saja hanya menjadi kecut. Pada waktu ia ingin kabur dan tidak jadi, Cung San Siang Kiat telah memasuki pondok itu. Lauw Nen lebih takut lagi, entah apa yang terkandung dalam hati mereka. Dilihatnya Sun Ang yang masuk duluan, memandangnya dengan terkekeh-kekeh. Hati Lauw Nen dibuatnya bergidik, maka ia terpaksa menyapa dengan iseng, karena tidak ada yang mau dikatakannya : "Saya rasa belum pernah melihat Ji wi, engah bagaimana Ji wi bisa kenal pada saya?" "Lauw toa kong cu muda perkasa, banyak kepandaian, orang-orang Bu lim siapa yang tidak kenal?" kata Sun Ang. Julukan yang tinggi itu membuat hati Lauw Nen merasa sangat sejuk. Pikirnya : Tampaknya mereka berdua itu tidak berniat jahat, tapi dengan kabar dari orang-orang Bu lim, kedua-duanya terkenal karena kegalakan mereka. Harus hatihati, ia berpikir sambil memegang gagang pedangnya dengan sepasang tangannya. "Lauw Toa kong cu jangan kuatir, kami berdua tidak berniat jahat. Kalau tidak, taruhlah kau ingin mencabut pedangmu, itupun sudah terlambat," kata Yo Bun Cing sambil tertawa. Lauw Nen merasa malu, karena tindakannya diketahui lawan. Ia masih muda, mau muka, mau berlagak lagi, tapi dalam pandangan orang kang ouw yang telah berpengalaman, sekali lihat saja sudah tahu bahwa dia adalah seekor anak kambing lemah. Ucapan Yo Bun Cing sangat memalukannya. Sun Ang datang menghibur : "Ji te, sepasang pedang Lauw toa kong cu itu bukan main. Andaikata dia benar-benar mau turun tangan, jangan-jangan kita tidak dapat menahannya!" kata Sun Ang sambil tertawa. "Mana, mana, sahbat Sun bisa saja!" kata Lauw Nen sambil menghela napas. Akhirnya ia dapat menutupi rasa malunya, tapi punggungnya telah mengucurkan keringat dingin. "Kalau Lauw toa kong cu tidak ada urusan apa-apa, mari kita sama-sama pergi ke kota Kouw So melancong," kata Sun Ang. "Tidak, jangan," buru-buru Lauw Nen mengoyanggoyangkan tangannya. "Apakah Lauw toa kong cu tidak sudi berkawan dengan kami" Mungkin takut kami minta pertolongan?" kata Sun Ang. "Tentu saja bukan," kata Lauw Nen. Ia merasa kurang enak mendengar ucapan Sun Ang tadi. Bersama denganitu, dlaam hatinya berpikir, tampaknya sikap kedua orang itu sangat baik, tidak menakutkan seperti apa yang tersiar dalam kalangan kang ouw. Rupanya cerita-cerita itu tidak patut dipercaya. "kalau Lauw toa kong cu bukan tidak sudi berkawan dengan kami, tentulah setuju bukan?" kata Sun Ang. Lauw Nen merasa tidak enak untuk menolak lagi, katanya dengan terpaksa : "Baiklah." Mereka bertiga keluar dari pondok, dan melangkah maju, tak lama kemudian mereka telah melewati hutan kecil. Terdengar suara tertawa yang mengalun dari dalam hutan, beberapa gadis sedang saling uber menguber bersenda gurau. "Gadis cantik-cantik, entah anak siapa?" kata Sun Ang dan Yo Bun Cing berbarengan. Lauw Nen bersama mereka, hanya mendengar mereka berbicara tentang hal-hal Bu lim. Ia merasa malu sekali, karena tidak dapat ikut campur. Sampai saat ini, ia baru merasakan boleh turut bersuara, tanpa pikir lagi ia berkata : "Gadis-gadis itu belum apa-apa, kalau mau yang cantik, anak gadis Go Toa Hiap baru boleh dikatakan cantik!" ucapannya itu mengandung nada bahwa dalam soal itu ia lebih tahu daripada mereka. "Ya, kecantikan Go kouw nio memang ternama. Lauw toa kong cu, dengan kepandaianmu ini, hanyalah orang yang seperti Go Kouw nio itu yang baru cocok denganmu!" kata Yo Bun Cing sambil mengangguk. Ucapan itu tepat sekali mengenai hati Lauw Nen, tetapi memikirkan kejadian di rumah Go Toa Hiap, tak tertaha lagi ia menghela napas dan geleng-geleng kepala hingga ia sulit untuk berkata lagi!" Sun Ang dan Yo Bun Cing berdua, melihat Lauw Nen tertunduk tidak berbicar, mereka saling pandang dan membuat lirikan. "Toa kong cu mengapa tidak bicara, apakah Go kouw nio masih cocok?" kata Yo Bun Cing. "Tentu saja bukan, ai, lebih baik jangan dikatakan," Lauw Nen menghela napas. "Kita baru berkenalan, rupanya sangat akur, kalau Toa kong cu ada apa-apa, coba ceritakan, jangan-jangan kami bisa bantu sedikit?" Lauw Nen mengandalkan ketenaran nama ayahnya, sering membuat kerusuhan, tapi kedudukannya lain. Ia tahu Cung San Siang Kiat itu tidak boleh diganggu. Andaikata terlalu dekat dengan mereka, tentu saja akan mendapat kecelakaan. Tetapi kini, setiap perkataan Cung San Siang Kiat selalu saja mengenai hatinya, hingga membuat dia tidak dapat tidak ngobrol dengan mereka. *** Bagian Empat Pada waktu itu ia menghela napas lagi : "Saya takut tidak bisa lagi, saya... saya sudah melukai abang Go kouw nio." "Ah itukan tidak ada halangannya, anak gadis harus kawin. Kau melukai abangnya, itu lebih menunjukkan bahwa kau adalah pemuda yang gagah perkasa. Siapa tahu kalau hatinya diam-diam telah menyukai kau, kenapa kamu mesti bermuram durja?" kata Cung San Siang Kiat. Siapa pun yang dapat pujian begitu, walaupun tahu bahwa hal itu tidaklah mungkin, tapi masih senang menerimanya. Apalagi Lauw Nen masih berdarah muda, gengsinya terlalu tinggi. Begitu mendengar ucapan Cung San Siang Kiat segera hatinya berpikir : "Ya betul, mungkin dia sudah jatuh hati padaku, maka dia malu-malu kucing berlalu dari tempat itu" KEnapa musti bermuram durja" Hm, kalau dapat membawa Go So Lan pulang ke rumah menengok ayah, mau tahu apa yang akan dikatakan ayah lagi. Tentu saja ayah takkan memaksa dia mengaku salah. Perhitungan Lauw Nen itu begitu elok, hingga makin dipikir makin beralasan rasanya, buru-buru ia menjura pada Cung San Siang Kiat : "Terima kasih atas peringatan kamu berdua, hingga pandangan saya terbuka!" Lauw Nen berkata sambil menggerakkan tubuhnya melayang ke depan. Ketika ia melonjak, terdengar suara "ser, ser" dua kali,dua buah bayangan lewat dari sampingnya dan berhenti di hadapannya. Mereka itu ialah Cung San Siang Kiat. Kata mereka :" Lauw toa koncu, sekarang kau mau kemana?" "Tentu saja ke rumah Guci Emas Go toa hiap untuk menengok nona Go," kata Lauw Nen. "Kau pergi begitu saja?" tanya Sun Ang sambil tertawa. Tadinya Lauw Nen memang belum mengerti, mendengar pertanyaan Sun Ang, ia menjadi terpaku : "Mau apa lagi?" "Bukankah kau tadi baru bilang, bahwa kau telah melukai abangnya nona Go" Kalau kau telah jadi suami istri dengan nona Go, abangnya adalah misanmu. Kau telah melukainya, masa kau tidak mau minta maaf" Maka kau harus menyediakan beberapa barang yang dibawa oleh kedua pengiringmu, untuk minta maaf padanya." "Menyuruh saya minta maaf, saya tidak mau!" Lauw Nen mengerutkan alisnya. "Toa kong cu, kalau tidak merendahkan diri, bagaimana kau dapat memperistri seorang cantik jelita" Seorang ksatria harus dapat bersabar, biarpun diketahui orang kang ouw, itupun akan menjadi cerita indah. Sekali-sekali tidak ada orang yang akan mentertawakan kau, kalau tidak begitu, belum sampai di pintu, kau akan diusir orang!" "Ini... ini... saya keluar bersama ayah saya, saya tidak membawa uang..." Lauw Nen menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu. "Itu tidak seberapa, kami ada. Toa kong cu boleh pakai dulu," kata Yo Bun Cing. "Terima kasih, kemudian hari pasti saya kembalikan. Sudah ada uang, tapi masih kurang dua orang pengiring," kata Lauw Nen dengan penuh rasa terima kasih. Cung San Siang Kiat saling pandang sejenak, lalu Sun Ang berkata acuh tak acuh : "Kalau Toa kong cu sudi, biarlah kami berdua yang menjadi pengiringmu." Hati Lauw Nen terperanjat mendengar ucapan Cung San Siang Kiat itu, buru-buru ia menggoyang-goyangkan tangan : "Ini mana boleh, ini mana boleh?" Harus tahu bahwa kedudukan Cung San Siang Kiat di dunia kang ouw sangat tinggi, boleh dikatakan mereka adalah orang yang terkemuka. Walaupun Lauw Nen belum mengerti apaapa, ia pun tahu orang semacam Cung San Siang Kiat sekalisekali tidak boleh menjadi pengiringnya. Maka buru-buru ia menolak. Tapi tak disangka keduanya berkata berbarengan : "Toa kong cu, walaupun masih muda, tapi berwibawa. Orang sangat kagum padamu. Kalau kami bisa jadi pengiringmu, itu adalah suatu kehormatan besar bagi kami. Orang-orang Bu lim makin bercerita Cung San Siang Kiat bisa bergaul dengan Toa kong cu; kedudukan Cung San Siang Kiat pun akan turut meninggi. Toa kong cu, kenapa kau tidak mau membantu kami?" Ucapan seperti itu, orang yang berbudi pekerti takkan mau mengucapkan perkataan. Andaikata Cung San Siang Kiat tidak mempunyai sesuatu niat, mereka pun takkan mau mengucapkannya. Tetapi terdengar Lauw Nen, ia sangat terhibur, dan seakan terasa tubuhnya melayang-layang, hatinya pun tergerak. Tapi ia masih pura-pura tidak mau, katanya : "Ah, kurang enak rasanya." Sun Ang dan Yo Bun Cing berdua, masing-masing mendorong Lauw Nen sebelah, katanya : "Mari, kita ke kota dulu membeli hadiah, kalau perlu kita beli yang mewah sedikit." Lauw Nen terpaksa mengikuti mereka. Di kota Kauw So, semua barang tersedia, apalagi Cung San Siang Kiat mempunyai banyak uang; keliling sebentar, mereka telah mendapat apa yang diperlukan. Mereka berdua membeli pakaian pelayan, dan menekan topi yang bersegi enam itu ke bawah menutupi sebagian muka. Mereka berdiri di samping Lauw Nen yang berpakaian sangat mentereng, tampaknya mereka betul-betul seperti pengiring. Setelah siap segalanya, di senja hari mereka bertiga menuju ke rumah Go Toa hiap. Sesampai di pintu, Lauw Nen berteriak : "Tolong beri tahu Go toa hiap, Boan pwe (anak muda) Lauw Nen, sengaja datang untuk minta maaf pada Go toa ko, harap kami diterima!" Lwee kang Lauw Nen memang ada dsarnya, ia berteriak dari pintu, suaranya terus mengalun ke dalam. Go Thian Kheng, Go Eng Kiat dan Go So Lan sedang membicarakan kesalahan Lauw Nen, tiba-tiba mendengar suara Lauw Nen. Pada waktu Go Eng Kiat telah mendehem, ia berkata pada ayahnya : "Thia sudahlah, aku rasa kita tidak sanggup menerima penyesalannya." Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Eng Kiat, sekali ini kaulah yang salah, seorang satria harus berdada besar. Jika ia datang untuk minta maaf, kenapa kita harus menolaknya" Mari, kita terima dia. So Lan, kau juga ikut!" kata Go Thian Kheng. "Aku tidak mau ikut!" Go So Lan membalik tubuhnya. "Thia, orang macam itu, Thia masih mau menyuruh adik menemuinya?" seru Eng Kiat. Go Thian Kheng menghela napas, tidak lagi berkata apaapa. Bersama Eng Kiat, ia keluar, sampai ke ruang besar ia melihat Lauw Nen telah duduk dengan baik. Di belakangnya ada dua pengiring berdiri, di tengah ruang besar terletak hadiah. Go Thian Kheng berkata sambil menggoyangkan kepalanya : "Nak Lauw pergi dan kembali lagi, apakah hanya untuk mengantarkan hadiah?" Lauw Nen menunggu di ruang besar lama sekali, kemudian ia hanya melihat Go Thian Kheng keluar dengan anaknya Go Eng Kiat, dan tidak melihat Go So Lan, hatinya merasa kurang. Kini ia terpaksa berdiri, tapi ia langsung bertanya : "Mana Go kouw nio?" Lauw Nen bicara sembarangan, kedua ayah anak itu telah agak marah, tapi masih memandang Lauw Thian Hauw, maka tidak menunjukkan kemarahannya. "Kedatangan kamu ini, sebetulnya mau apa?" kata Go Eng Kiat dengan nada dingin. Lauw Nen berpikir, kalau ia merusak suasana, lebih-lebih ia tidak dapat menemui Go lagi. Lebih baik minta maaf dulu, apa takutnya" Maka buru-buru ia bediri sambil menjura : "Aku sengaja datanga untuk minta maaf pada Go toa ko..." Perkataannya belum habis, tiba-tiba ia merasakan punggungnya di desak suatu tenaga yang sangat kuat hingga membuatnya tidak dapat berdiri dengan teguh. Tubuhnya tak kuasa lagi membongkok ke depan dan menubruk Go Eng Kiat. Perubahan itu, boleh dikatakan mendadak sekali, dalam sekejap saja Lauw Nen merasakan tubuhnya hampir beradu dengan Go Eng Kiat. Pada waktu yang sama, Go Eng Kiat mengeluarkan serangan mendesak. Lauw Nen dalam keadaan kewalahan, Lauw Nen pun menepukkan tangannya. Terdengar suara "plak", tangan mereka telah beradu. Tenaga dalam Go Eng Kiat memang jauh lebih tinggi daripada Lauw Nen, apalagi Lauw Nen mengeluarkan pukulannya dalam keadaan tergesagesa. Tenaganya tidak cukup, begitu tangan mereka beradu, seluruh tubuh Lauw Nen mental melayang ke atas dan menubruk sebuah tiang ruang yang melintang di atas. Lauw Nen mengulurkan tangan mencekalnya. Ia baru ingin meloncat turun, tapi keadaan di ruang besar itu telah mengalami perubahan besar. Cung San Siang Kiat yang selalu mematung menyaru sebagai pengiring, yang satu mengibaskan sepasang lengan jubahnya meluncurkan serangan belasan senjata rahasia, deruannya nyaring bagaikan halilintar menyambar-nyambar, persis seperti sebuah jala yang terancam dari senjata rahasia sedang menjala Go Thian Kheng. Yang satu lagi mengibaskan lengan jubahnya mengeluarkan berpuluh-puluh ular halus yang berbisa. Laju ular berbisa itu cepat sekali, kesemuanya menyerang kaki Go Thian Kheng, bersama senjata rahasia membuat suatu jaring menutupi Go Thian Kheng. Lagi pula Cung San Siang Kiat menyerang setelah mendorong Lauw Nen, sedikit pun tidak ada gejala sebelumnya. Meskipun Go Thian Kheng adalah seorang jago silat yang berpengalaman dalam kang ouw, tapi ia pun tidak menduga Lauw Nen dapat membawa kedua pengiring dan menyerangnya sekejam ini. Setelah melihat serangan itu, Go Thian Kheng tahu ia akan celaka, tapi ia tak dapat mengelak lagi. Dalam kerepotan, ia berteriak, lengan jubahnya mengebat ke atas dan menimbulkan suara "huuoooonnngg", sebuah angin keras menerjang ke atas menjatuhkan sebagian dari senjata yang menyerangnya. Sedangkan lengan jubah yang dikibaskannya, karena tenaga dalamnnya terpusat, biarpun terbuat dari kain, tapi kini kerasnya bagai besi, dan menyapu sisa senjata rahasia yang masih menyerangnya. Bersamaan itu ular di bawah telah menyerang kakinya. Buru-buru Go Thian Kheng menotolkan kakinya ke tanah dan tubuhnya terangkat ke udara, teriaknya : "Cung San Siang Kiat, rupanya kamu! Lengan jubah kirinya menggulung, dan timbullah angin yang bergulung-gulung menggulung ular-ular itu menjadi satu gulungan dan tidak dapat bergerak lagi. Semuanya itu hanya terjadi dalam sekejap saja. Lauw Nen mencekal tiang, tubuhnya masih tergantung di udara. Melihat keadaan begitu, ia menjadi terpaku. Dan pada waktu itu terpaku itulah, sebuah suara menderu. Go Eng Kiat telah lewat dari sampingnya dan hinggap di atas tiang. Kelima jarinya bagaikan kait mencekal belakang leher Lauw Nen dengan erat sekali, dan mengangkat tubuh Lauw Nen ke atas tiang, lalu diinjaknya dada Lauw Nen hingga Lauw Nen kepayahan. Lauw Nen tahu, kali ini ia telah terjebak oleh kelicikan Cung San Siang Kiat, tapi kini nasi telah jadi bubur, apa mau dikata lagi, menyesalpun sudah terlambat! Ketika Lauw Nen tertekan, keadaan di bawah pun telah berubah; Cung San Siang Kiat menyerang dari atas dan bawah seara mendadak sekali, kira mereka sekali tindak saja mereka akan berhasil. Tapi mereka tidak mendua ilmu Go Thian Kheng begitu tinggi hingga hanya menggunakan lengan jubah sudah dapat menangkis seluruh serangan mereka, dan Go Thian Kheng telah dapat mengenali mereka. Dalam keadaan begitu, boleh dikatakan tidak berguna lagi untuk tinggal disitu lebih lama lagi! Kedua orang itu memang licik, begitu serangan mereka tidak berhasil lantas buru-buru ingin kabur. Mereka menunduk mundur ke belakang, terdengar duar suara "Bang! Bang!" mereka atelah mendobrak pintu masuk dan telah berada di luar, lalu meloncat keluar dari tembok. Go Thian Kheng ingin menguber tapi ia takut kalau ia pergi, ular-ular itu akan bergentayangan di rumah melukai orang. Maka ia terus menggetarkan lengannya, jari tengahnya terus menekan-nekan, setiap tekanannya itu menimbulkan angin keras. Begitu angin keras mengenai ular, ularnya akan terjolor kejang,kepalanya pecah. Dalam sekecap saja, dia tas tanah telah dipenuhi denganular yang mati kaku, baunya amis sekali. Setelah Go Thian Kheng membinasakan seluruh ularTiraikasih Website http://kangzusi.com/ ular itu, ia pergi dan tidak melihat bayangan Cung San Siang Kiat lagi! Waktu itu, dalam rumah itu telah gempar. Go So Lan pun berlari keluar, melihat bangkai ular memenuhi tanah, tiangtiang rumah dipenuhi dengan senjata rahasi, semuanya kebiru-biruan. Sekali lihat saja sudah tahu, bahwa senjata rahasia itu telah direndam dalam cairan berbisa. Go So Lan tidak tahu bagaimana persoalannya, ketika ia masih bingung, Go Thian Kheng telah kembali masuk. Go Eng Kiat pun berteriak dari atas tiang : "Thia, yang dua kabur, masih ada satu lagi yang belum kabur, bagaimana kita akan membereskannya?" Go So Lan menengadah, kini ia baru tahu di atas tiang masih ada dua orang lagi! "Bawa dia turun," kata Go Thian Kheng dengan suara berat. Go Eng Kiat mengangkat kakinya menendang Lauw Nen, hingga Lauw Nen terjatuh dari atas ke bawah. Di udara Lauw Nen melempangkan tubuhnya ingin berdiri, tapi tidak disangka, pada waktu itu juga Go Eng Kiat pun ikut turun. Sebuah tendangan lagi bersarang di pinggangnya, "plak". Ia terjatuh di atas tanah, Go Eng Kiat mengangkat kakinya lagi dan menginjak punggung Lauw Nen. Lauw Nen tertelungkup, tidak dapat meronta, dan di pinggir mulutnya persis ada dua ekor ular mati, bau amis membuatnya mau muntah. Ia merasa sengsara sekali. Kini boleh dikatakan Lauw Nen merasa sangat malu sekali, ingin rasanya ia masuk ke dalam lubang seandainya di tanah itu ada lubangnya. Go Thian Kheng duduk sambil berkata : "Lepaskan dia, diapun tidak bisa kabur lagi." Go Eng Kiat mengangkat kakinya, da Lauw Nen menekan tanah lalu berdiri. Begitu berdiri, Lauw Nen mencari jalan ingin kabur. Tapi ia segera tahu, itu adalah suatu hal yang tidak mungkin. Karena Go Thian Kheng, Go Eng Kiat, Go So Lan bertiga sedang mengurungnya di tengah-tengah dan mereka memandangnya dengan pandangan yang jijik dan hina. Begitu Lauw Nen melihat pandangan Go So Lan, hatinya telah luluh. Ia tahu, semuanya telah tamat. Pandangan Go Thian Kheng bagaikan sebuah belati, menyapu-nyapu tubuh Lauw Nen, katanya : "Nak Lauw, kelakuanmu ini, apakah ayahmu tahu?" Lauw Nen terperanjat, soal ini kalau diketahui oleh ayahnya, bagaimana akibatnya nanti, sungguh ia tidak berani memikirkannya. Padahal soal ini, boleh dikatakan ia telah diperdaya. Tapi ia bertabiat keras, ia tidak mau mengutarakan bagaimana ia tertipu. Ia mengira, jika ia mengutarakan asal usulnya ia tertipu, walaupun dapat pembebasan dari Go Thian Kheng, tapi ia akan merasa lebih malu lagi, karena bahkan ia tidak dapat membedakan manayang baik mana yang buruk, seperti seorang tolol saja diperalat Cung San Siang Kiat untuk membalas dendam mereka. Berpikir demikian, lebih baik tidak bersuara. Maka meskipun ia kaget tapi ia tetap tidak mau bersuara. Go Eng Kiat mendehem. Katanya sambil tertawa dingin : "Thia buat apa banyak bicara dengan orang macam ini, serahkanlah pada saya. Akan saya bawa ke rumah Lauw toa hiap, biar Lauw toa hiap yang menghukumnya. Go Thian Kheng geleng-geleng kepala. "Jangan, aku ada caraku sendiri. Kamu berdua pergilah!" Ajaran rumah Go memang ketat, kalau ia sudah bicara begitu, Go Eng Kiat tidak berani bicara lagi. Walaupun masih ada yang hendak dikatakannya, buru-buru ia keluar dengan adikna. Go Thian Kheng meletakkan kedua tangannya di belakang, melangkah pelan-pelan menghampiri Lauw Nen : "Nak, kau masih muda, belum tahu baik buruk, kelicikan kang ouw, hati orang tidak dapat diduga. Kalau salah gaul, akibatnya tidak dapat dibayangkan, harus hati-hati!" Go Thian Kheng bersusah payah menasehati Lauw Nen, bukan saja Lauw Nen tidak merasa menyesal, bahkan menjadi ia lebih marah lagi. Pikirnya, sekarang aku berada di dalam tanganmu, mau diapakan juga sesuka hatimu, buat apa bicara yang tidak karuan, apakah aku akan berterima kasih padamu?" Lauw Nen makin muak, katanya sambil tertawa dingin : "Kau mau bunuh boleh bunuh, mau iris boleh iris. Aku mana ada semangat untuk mendengar ocehanmu!" Lauw Nen bicara begitu, malah membuat Go Thian Kheng tercengang dan memandang Lauw Nen sesaat, lalu gelenggeleng kepala. Ia tidak marah, sebaliknya ia masih tertawa : "Nak Lauw, obat manjur pahit, nasehat orang menusuk telinga. Kalau kau tidak suka dengar, aku tidak memaksamu. Kau mau pergi, pergilah. Soal hari ini, aku takkan beri tahu ayahmu. Kalau kemudian kau akan berhati-hati itu sudah cukup!" Maksud Go Thian Kheng, kebanyakan Lauw Nen masih kurang pengalaman, maka baru bergaul dengan orang jahat. Setelah menerima pelajaran kali ini, tentu ia tidak akan berani berlaku sembarangan lagi, dan buat apa pula memberitahu ayahnya" Soal begini kalau diketahu Lauw Thian Hauw,ia akan dipukul setengah mati. Maka Go Thian Kheng menyuruh Lauw Nen pergi, dan memberitahunya, bahwa ia takkan beri tahu pada ayahnya. Tapi tak disangka Go Thian Kheng mengambil suatu tindakan yang salah besar! Andaikata menuruti ucapan Go Eng Kiat, membawa Lauw Nen pulang ke rumahnya dan minta Lauw Thian Hauw menghukumnya. Tentu saja Lauw Thian Hauw takkan sampai hati untuk membunuh anaknya, walaupun memberi hukuman besar, jiwa anaknya selamat. Sedangkan Lauw Nen akan betul-betul mendapat suatu pelajaran. Seperti kali ini, Lauw Nen mendengar, hatinya merasa gembira dan timbullah rasa beruntungnya, hingga di kemudian hari ia sering membuat kerusuhan. Go Thian Kheng berhati luhur, ia mengampuni orang tapi jangan lupa pada orang berhati serigala, sekali-sekali tidak boleh diampuni. Hati Lauw Nen merasa sangat gembira tapi yang malah mengukur perut satria dengan hati orang kecil. Ia taku Go Thian Kheng tidak memegang janji, ia mundur sambil berseru : "Kalau kau adalah seorang kecil yang suka memfitnah orang, cerita saja, apakah aku takut padamu?" Setelah mendengar ucapan itu, Go Thian Kheng tidak berkata apa-apa lagi, hanya menghela napas panjangpanjang. Dalam helaan napas Go Thian Kheng, Lauw Nen telah berlalu. Ia berlari kira-kira setengah li, melihat tidak ada orang mengubernya baru ia bernapas lega. Sesaat, biarpun ia berada di tengah-tengah hujan salju, keringatnya masih bercucuran. Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan perjalannya. Sesaat kemudian, ia tiba kembali di pondok tadi.Ia masuk ke dalam pondok, memikirkan kejadia tadi, bagai sebuah mimpi buruk. Ia menghela panjang, tiba-tiba dari atas kepalanya mengalun suara tertawa "ha ha". Lauw Nen terperanjat, buru-buru ia keluar sambil menengadah. Ia melihat Cung San Siang Kiat, Sun Ang dan Yo Bun Cing berdua melayang ke bawah dari atas pondok. Bahkan keduanya menjura Lauw Nen : "Lauw toa kong cu. Kau pun aman?" Kali ini, betul-betul Lauw Nen terpaku. Ia mengira setelah kejadian di rumah Go toa hiap, Cung San Siang Kiat pasti telah kabur terbirit-birit,dan tidak bermuka lagi untuk bertemu dengannya. Tapi tak dikira, keduanya seakan tidak ada apaapa! Lagi pula melihat keadaan mereka melayang ke bawah dari atas, soal mereka sengaja sembunyi di atas untuk menunggu kedatangannya. Lauw Nen tercengang, katanya dengan marah : "Kamu masih ada muka untuk menemui aku?" Cung San Siang Kiat dengar, mereka saling pandang sejenak. Kata Sun Ang : "Jie te, apakah kita telah menyakiti Lauw toa kong cu?" "Aku kira tidak, tapi entah kenapa Lauw toa kong cu bisa menjadi marah?" kata Yo Bun Cing dengan wajah seakan ia difitnah. Mendengar ucapan mereka yang akan cuci tangan dari Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kejadian tadi, Lauw Nen menjadi marah, bentaknya : "Apa yang sedang kamu ocehkan?" Ia memang mempunyai tabiat toa ya (tuan besar), ia membentak sambil melayangkan tanganya ke muka Sun Ang. Tak disangka tanganya belum menyentuh Sun Ang, malah telah dicekal Sun Ang. Kelima jari Sun Ang bagaikan kait baja mencekal urat nadinya, hingga membuat separuh tubuhnya kejang-kejang tidak dapat bergerak. Tapi wajah Sun Ang masih tersenyum simpul. "Lauw toa kong cu, di tubuhku banyak sekali senjata rahasia. Kau jangan sembarang pegang, kalau tidak hati-hati, kena kuncinya, kau akan celaka." "Tubuhku pun banyak binatang berbisa. Lauw toa kong cu jangan sembarangan pegang," kata Yo Bun Cing sambil tertawa. Kelima jari Sun Ang mengendor, dan mengirimkan sebuah tenaga yang kuat hingga Lauw Nen terpental ke belakang beberapa tindak. Lauw Nen terperanjat dan marah, hatinya tahu ia tidak dapat melawan mereka tapi ia tidak mau mengalah, berdiri mematung tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. "Lauw toa kong cu, seperti kejadian di rumah Go tadi, kau jangan taruh dalam hati. Kami memang kurang sabar, melihat Go kouw nio tidak mengacuhkan engkau maka kami turun tangan ingin membinasakan Go Thian Kheng dan merebut Go kouw nio. Tapi tak disangka keparat Go Thian Kheng itu sangat lihai, hingga kami tidak berhasil. Lauw toa kong cu jangan marah, rencana satu gagal, masih ada rencana kedua!" kata Sun Ang. Mendengar ucapan Sun Ang, Lauw Nen menjadi bingung. Ia mengerutkan alisnya : "Rupanya kamu turun tangan di rumahnya Go tadi karena aku?" ucapan Lauw Nen ini dimaksudkan untuk mengejek mereka. Tapi kedua orang itu tidak segan-segan manggut : "Ya, betul. Lauw toa kong cu karena siapa?" Untuk sesaat Lauw Nen pun tidak dapat berkata lagi. "Tidak perduli kamu siapa, dan rencana apa pun yang kamu miliki, aku tidak berani mencobanya lagi. Sekarang kita berpisah saja. Silahkan!" kata Lauw Nen sambil melambaikan tangannya. "Jie te, bukankah itu sayang sekali?" Sun Ang menghela napas. "Ya, kalau rencana kita berhasil, Go kouw nio pasti berada dalampelukan Lauw toa kong cu. Sayang sekarang Lauw toa kong cu mau mengusir kita. Biarlah kita persi saja," kata Yo Bun Cing. Mereka melambaikan tangan untuk berlalu, tapi ucapan mereka tadi sangat menggatalkan hati Lauw Nen. Ketika mereka berdua baru bertindak beberapa langkah, Lauw Nen buru-buru memanggilnya : "Jie wi tolong berhenti dulu, apa rencana kalian. Saya mau dengar." Cung San Siang Kiat berhenti, tapi keduanya sama-sama geleng kepala : "Lebih baik jangan dibicarakan. Kalau rencananya berhasil, yang senang bukan kita. Kalau gagal lagi, mungkin orang akan membenci kita." Lauw Nen tidak berdaya, dengan terpaksa ia menjura pada mereka : "Jie wie, taruhlah tadi siao te yang salha, coba kalian ceritakan." "Go Thian Kheng mempunyai sebuah buku Lwee kang yang ditulis oleh Ciang Bun Jin ketujuh dari Khong Thong Pay, apakah Lauw toa kong cu tahu?" kata Sun Ang tertawa. "Tentu saja tahu, karena soal itu Khong Thong Pay dan Go toa hiap entah telah ribut beberapa kali. Orang-orang Bu lim, siap yang tidak tahu?" kata Lauw Nen. Cung San Siang Kiat menganggap dengan hebat : "Lauw toa kong cu memang berpengetahuan luas!" Sebuah perkataan lagi yang membuat Lauw Nen merasa melayang-layang, dan melenyapkan kejengkelan dalam hatinya. Desaknya : "Apa pula hubungannya dengan rencana kamu?" "Benda itu dianggap antik oleh Go toa hiap; kita dapat memilikinya. Jangankan seorang anak gadis, ada sepuluh juga ia akan tukarkan dengan kau!" kata Sun Ang dengan suara rendah. Hati Lauw Nen berdetak, pikirnya : "Betul, ucapan itu memang betul!" Tapi ia berpikir lagi, "Bukankah perbuatan itu seperti kentut saja" Kalau buku itu dianggap antik oleh Go Thian Kheng, mana mungkin ia memilikinya" Ia merasa sangat kecewa dan geleng-geleng kepala, diucapkan sama saja dengan sia-sia!" "Bagaimana sia-sia" Go Thian Kheng dengan ayahmu adalah kawan karib, bukankah ayahmu memiliki sebuah buku Lwee kang bernama "Thian Cing 24 jurus?" Buku itu terdiri dari dua puluh empat keping giok kan?" DAlam hati Lauw Nen merasa malu. Bahkan ia belum pernah melihat bagaimana coraknya 'Thian Cing 24 jurus' itu. Tapi ke-24 keping batu Giok itu tahu. Maka ia mengangguk : "Tidak salah. 24 keping giok!" "Apa warnaya, bagaimana besarnya; dan apa yang tertulis di atasnya?" kata Sun Ang. Padahal Lauw Nen belum pernah melihatnya, tapi ia tidak mau mengaku. Pikirnya Sun Ang pun belum pernah melihatnya, sembarangan saja kata, Sun Ang juga takkan tahu, maka ia sembarangan saja bicara. "Ia memang itu, kita pergi mencari 24 keping Giok, kita memalsukan 'Thian Cing 24 jurus' ayahmu, dengan barang palsu itu kita tukar dengan barang Go Thian Kheng. Katakan saja ayahmu mau melihatnya. Thian Cing 24 jurus hebat sekali, maka Go toa hiap tidak mungkin tidak mau!" "Itu mana mungkin, masa Go toa hiap tidak bisa membedakan mana yang palsu mana yang asli?" Lauw Nen menggaruk-garuk kepalanya. "Kalau dibawa kami, memang ia takkan percaya," kata Yo Bun Cing. Lauw Nen memikirkan kejadian di rumah Go tadi, ia gelenggelengkan kepala : "Aku pun tidak bisa lagi." "Kalau begitu, kau boleh cari toa ci mu," desak Sun Ang. "Toa ci ku sangat berangasan, aku tidak tahu apakah ia mau?" "Kami sudah atur semuanya. Walaupun toa ci mu sangat berangasan, tapi kalau dia melihat mutiara, mukanya selalu saja cerah. Ia takkan marah, bukan?" kata Sun Ang. Memikirkan toa ci-nya yang sangat serakah itu, hati Lauw Nen pun merasa geli. Sun Ang membentangkan tangannya, dalam telapaknya telah ada dua butir mutiara. Begitu melihat mutiara yang dua butir itu, mata Lauw Nen menjadi terang. Lauw Hung suka dengan mutiara atau berlian, koleksinya banyak sekali. Bahkan ada pula yang didapatnya dari rampasan, ada kalanya ia pamerkan di hadapan Lauw Nen. Maka telah banyak melihat barang semacam itu, tetapi Lauw Nen belum pernah melihat mutiara yang sebesar dan sejernih bulan purnama itu. DAn teriaknya lepas : "Mutiara bagus,mungkin berharga puluhan ribu Liang (satuan uang pada jaman itu)." "Lauw toa kong cu terlalu pandang rendah sepasang mutiara ini. Gubernur Chin kong kong berani bayar 240 ribu liang! Aku masih tidak mau lepaskan hingga Chin kong kong naik pitam, dia menyebar orang membuat susah aku. Maka aku pergi meninggalkan Kang Lam," kata Sun Ang. Mulut Lauw Nen terus "cet cet cet" memuji tak hentihentinya. Sun Ang mengantarkan sepasang mutiara itu ke hadapan Lauw Nen : "Toa kong cu, kalau kau memberi mutiara ini pada Lauw li hiap (pendekar wanita) dan minta dia datang ke Kang Lam, pasti dia setuju." Lauw Nen menjadi tolol mendengar perkataan itu, katanya dengan kaku : "Sun toa ko katamu, kau berikan mutiara ini padaku?" "Ya, kau masih ragu akan ketulusan hatiku?" kata Sun Ang. "Bukan, tentu saja bukan. Tetapi mutiara ini telah ditawar gubernur sebanyak 240 ribu liang, tapi kau tidak mau dijual, malah kau diuber karenanya. Tapi... kau berikan padaku?" kata Lauw Nen. Sun Ang menepuk bahu Lauw Nen sambil berkata : "Lauw kong cu, kita bersahabat bukan" Demi kawan, menyeberangi lautan api tidak jadi soal, apa lagi cuma dua butir mutiara" Persetan dengan segala gubernur. 240 ribu liang apa pula gunanya" Betul tidak?" Betapa ksatrianya ucapan itu, hingga Lauw Nen tidak hentinya mengangguk : "Betul, betul, ucapan toako betul, tapi Sun toa ko, siao te... menerima hadiah tanpa jasa, bukankah sangat memalukan?" "Orang sendiri berkata begitu, bukankah menjadi sangat asing" Hal itu tidak boleh terlambat, kau cepatlah pergi cari Lauw li hiap, kita palsukan Thian Cing 24 jurus, kau jangan sebut-sebut kami di hadapan Lauw li hiap. Kami akan menunggu disini, pada waktu itu akan kami berikan 24 keping giok palsu. Suruhlah Lauw li hiap bawa ke rumah Go, setelah kami mendapatkan benda itu, kami akan membuat rencana lagi untukmu," sela Yo Bun cing. Saat ini, Lauw Nen sangat berterima kasih pada mereka berdua. Ia terua mengangguk-angguk dan berlalu. Satu bulan kemudian, musim semi telah tiba, bunga-bunga mulai berkembang. Lauw Hung dan Lauw Nen berdua memacu kuda mereka dengan cepat menuju ke kota Kong So. Ketika merke di pondok, terdengar suara orang memanggil : "Lauw toa kong cu, harap berhenti!" Sepanjang perjalanan Lauw Nen terus kuatir adakah Cung San Siang Kiat telah siap dengan 'Thian Cing 24 jurus' palsu, kini tiba-tiba mendengar suara Sun Ang, hatinya menjadi girang. Buru-buru ia menghentikan kudanya. Sun Ang dan Yo Bun Cing telah keluar dari pondok. Begitu Lauw Nen berhenti, Lauw Hung pun berhetni, sesampai Cung San Siang Kiat di hadapan mereka, terdengar bentakan Lauw Hung : "Kamu siapa?" Jangan pandang dia seorang wanita, teriakan itu memang penuh dengan kewibawaan. Sun Ang dan Yo Bun Cing tertegun, terdengar Lauw Hung membentak sekali, dan mengayunkan pecut kudanya menghantam kepala Sun Ang. Tubuh Sun Ang sangat lincah, ia menunduk dan "ser" sekali, ia telah mundur bagai anak panah terlepas dari busurnya. Tetapi, daya mundur Sun Ang cepat, Lauw Hung pun tidak lambat. Pecutannya baru sampai setengah, Sun Ang telah mundur. Buru-buru ia menarik kembali pecutnya dan tangan kirinya menekan pelan kudanya, orangnya telah meninggalkan pelanan dan melayang ke depan! Lauw Nen melihat toa ci-nya begitu bertemu Cung San Siang Kiat telah turun tangan tidak memperdulikan apalagi, hatinya menjadi gusar. Teriaknya : "Toa ci berhenti!" Lauw Nen menyusul di hadapan Sun Ang "plak plak plak" tiga kali lecutan Lauw Hung dapat dielakkan Sun Ang dengan lincah. Mendengar teriakan Lauw Nen, Lauw Hung membenak : "Berhenti" Apakah kau tahu siapa mereka?" "Aku tahu, mereka adalah kawan baikku Cung San Siang Kiat." Tubuh Lauw Hung, tiba-tiba bagaikan angin puyuh balik berputar, dan memutar kembali ke samping Lauw Nen. Dibalikannya pecut dan memecut kepala Lauw Nen. Pecutan itu mendadak sekali, buru-buru Lauw Nen menelentangkan tubuhnya ke belakang, pecut itu telah bersarang di pinggangnya hingga Lauw Nen kesakitan tidak dapat duduk dengan mantap dan terjatuh ke bawah. Lauw Hung menunduk, mencekal dada Lauw Nen, seperti mencengkaram anak ayam. Bentaknya : "Kau berkawan dengan orang jahat. Tunggu aku membereskan kedua binatang itu, kita pulang melihat ayah!" Muka Lauw Nen pucat pias, suaranya pun gemetar. Katanya dengan terputus-putus : "Ci mereka... bukang orang jahat... sekarang mutiara... yang sangat kau sukai itu... adalah pemberian mereka." Lauw Hung dengar. Ia jadi tertegun. Walaupun wajahnya masih menunjukkan kemarahan, tapi ucapannya telah menjadi lunak : "Kenapa mereka memberi kau mutiara?" Lauw Nen memandang Cung San Siang Kiat. Yo Bun Cing melangkah dengan pelan sambil tersenyum : "Lauw li hiap jangan marah. Kami berdua sudah lama kagum dengan li hiap tapi tak ada jodoh untuk berkenalan, maka ketika kami kenal sama Lauw kong cu, kami berikan mutiara itu sebagai penghubung." "Aliran putih dan hitam bagaikan air dan api, sangat tidak cocok. Siapa pengen dengan mutiara kamu?" Mulutnya mengucapkan ;Air dan api sangat tidak cocok', tapi ia tidak turun tangan. Dibandingkan dengan ketika ia mengenali Cung San Siang Kiat yang terkenal dengan kejahatan mereka tadi, terus langsung memcut, nyata sekali bedanya! Yo Bun Cing masih tersenyum simpul : "Ucapan li hiap memang betul, sepasang mutiara itu memang tidak berharga dibandingkan barang berharga dalam gudang itu, bedanya jauh sekali!" Lauw Hung dengar, antara sadar dan tidak, ia telah mengendorkan cekalannya dari dada Lauw Nen. Ia mulai tertarik, "Gudang barang berharga apa?" tanyanya. Kini ia tidak lagi acuh akan 'aliran putih dan h itam sangat tidak cocok'. Yo Bun Cing bagaikan menyesali keterlanjuran ucapannya. Ia tidak lagi berkata apa-apa. Ketika ini Sun Ang baru mendekat, "Jie te, kita ingin bersahabat dengan Lauw li hiap, meskipun gudang berharga itu adalah suatu rahasia besar tapi bilang sama Lauw li hiap tidak jadi soal bukan?" Ketika Lauw Hung melihat sepasang mutiara saja sudah bukan main girangnya, kini mendengar mutiara sebesar itu belum terhitung apa-apa. Apalagi benda pusaka dalam gudang itu, pasti tak ternilai harganya. Ia gemar mengoleksi benda pusaka, suka dipamerkan di mata orang, hatinya telah menjadi serakah. Kini ia mendengar ada kesempatan yang sebaik ini, mana ia mau melewatkannya" Buru-buru katanya : "Ya, kitakan sudah jadi Bayangan Darah Karya Pho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kawan." Ucapan itu terlepas dari mulutnya,ia berpikir dalam hatinya. Agaknya berkata begitu kurang pada tempatnya, diri sendiri dengan bajingan Cung San Siang Kiat itu, mana boleh dikatakan sahabat" TEtapi segera ia terpikir gudang yang menyimpan barang-barang berharga, hatinya dikeraskannya. Pikirnya hanya sekali ini saja, setelah mereka mengucapkan tempat gudang itu, bertarung lagipun masih keburu. Maka ia mengulagi perkataannya sekali lagi : Kita kan sudah jadi kawan, ceritakan juga tidak bakal jadi apa-apa bukan?" Sun Ang dan Yo Bun Cing segera menyahut berbarengan : "Kami mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kesudian Lauw li hiap. Gudang itu berada di pedalaman Miauw Ciang dimiliki oleh seorang Miauw Ciang yang sangat perkasa... Kim Goan cu su." Setelah mendengar ucapan mereka, Lauw Hung menjadi marah. Bentaknya : "Kentut, kamu berani mempermainkan aku?" Orang-orang kang ouw semua tahu bahwa Kim Goan cu su mendirikan alirannya tersendiri yang berlainan dengan aliran putih maupun aliran hitam. Ilmunya tinggi sekali, tadinya ia mau menguasai Tiong Goan (daerah dataran tengah), tapi diketahui oleh orang Bu lim daerah dataran tengah duluan, mereka menunggu di dekat Miauw Ciang. begitu Kim Goan keluar, lantas diserbut. Dalam 16 hari Kim Goan telah kehilangan 78 jago silat, akhirnya disadarkan oleh seorang Hwe shio dari Siauw Lim She, dan kembali ke Miauw Ciang tidak lagi mau bertempur. Walaupun ia belum pernah datang ke Tiong Goan, tapi pertarungan selama 16 hari itu telah membuat namanya tersohor di Tiong Goan. Kini mereka mengatakan bahwa gudang itu milik Kim Goan, ini mana mungkin dapat dirampas untuk dijadikan milik pribadi" Diucapkan juga jadi sia-sia belaka dan tidak heran kalau Lauw Hung jadi marah. Tapi segera Sun Ang berkata dengan tersenyum : "Lauw li hiap jangan marah dulu, ada yang tidak kau ketahui. Biarlah kami ceritakan lebih jelas." Lauw Hung dengar, rasanya keadaan itu dapat diperbaiki, katanya buru : "Silahkan, silahkan." "Kim Goan cu su ingin menukarkan gudangnya itu dengan satu benda, sedangkan dia sendiri, karena janjinya dahulu, ia tidak dapat mendatangi Tiong Goan. Dan kami berdua kebetulan pernah ke Miauw Ciang maka tu su berpesan pada kami supaya mencari orang yang dimaksud," kata Sun Ang. "Dia mau tukar apa" Ah, tentu kamu berdua sudah memasuki gudang itu, apa saja isinya?" kata Lauw Hung mengosok-gosok tangannya girang sekali. "Ah" teriak mereka berdua, lalu menarik napas : "Lauw li hiap, gudang itu diisi dengan benda pusaka yang termahal di dunia ini, setelah Kim Goan cu su menyilahkan kami menyaksikannya, dia menyuruh kami memilih salah satu benda, kami merasa kurang enak untuk memilih yang baik, maka kami hanya mengambil dua butir mutiara yang tidak begitu bagus. Setelah sampi di ibu kota ada yang berani bayar 240 ribu liang." Setelah mendengar ucapan itu, hati Lauw Hung tergerak : "Entah apa yang di kehendaki?" "Itulah yang sulit,yang mau ditukarnya itu adalah sebuah buku catatan silat yang dimiliki Kang Lam toa hiap... Go Thian Kheng. Kami pernah berunding dengan Go toa hiap, tapi rupanya kurang cocok, lalu diusirnya keluar!" Ucapan-ucapan Cung San Siang Kiat belum pernah didengar oleh Lauw Nen sebelumnya, hingga membuat dirinya terus mengedip-ngedipkan matanya. Tapi ia takut mengganggu mereka maka ia tidak berani bertanya sembarangan. Ia terpaksa berdiam diri. Mendengar ucapan Yo Bun Cing, Lauw Hung pun tak tertahan lagi mengerutkan alis matanya : "Rupanya agak sulit juga. Demi buku silat itu, Go toa hiap pernah ribut dengan Go Tay Pay berkali-kali. Ia sangat menyayanginya, laksana menyayangi nyawanya sendiri. Bagaimana kita mendapatkannya?" "Kini, Lauw li hiap ingin mendapat gudang pusaka, itu tidak mungkin tanpa buku silat tersebut. Bahkan Lauw kong cu ingin mencari istri pun harus mengandalkan buku silat itu." "Apa maksudnya?" Lauw Hung melirik pada Lauw Nen. Dan Lauw Nen tidak berani berbohong, diceritakannya kisahnya dengan muka merah padam. "Bagaimana urusannya, buku silat itu hanya satu; mau ditukar dengan istri, mana pula dapat ditukar dengan gudang pusaka padaku?" bentak Lauw Hung. "Lauw li hiap jangan gusar, kalau kita sudah memiliki buku silat itu, kami mempunyai rencana yang baik sekali," ujar Sun Ang. "Baiklah, mana barang palsumu?" Lauw Hung mengangguk. "Sun Ang mengulurkan tangannya merogoh dadanya dan mengeluarkan 24 keping batu Giok, semuanya adalah giok jernih, di atasnya telah terukir dengan huruf-huruf, tampaknya memang merupakansuatu benda luar biasa. Lauw Hung memegang kepingan-kepingan giok itu, dalam hatinya berpikir sejenak. Ia tahu bahwa ia akan berhasil meminjamkan buku silat Go toa hiap karena ia berpura-pura mengemban perintah ayahnya. Apalagi ia membawa kepingan-kepingan batu giok itu. Tetapi, kalau Go toa hiap tahu bahw ia telah terjebak, bagaimana pula nanatinya" Kalau bertanya pada ayah, apa hukuman yang akan diterima dari ayahnya" Lauw Hung berpikir demikian, hatinya jadi ragu-ragu. Tetapi gudang pusaka Kim Goan cu su sangat menarik pula. Biarpun ia ragu-ragu tapi perkataan 'tidak' belum terucapkan keluar dari awal sampai akhir. Sun Ang yang berdiri di samping telah mengetahui keraguraguan Lauw Hung. Segera ia terkekeh-kekeh : "Dengar cerita dari dunia kang ouw bahwa ilmu Lauw li hiap mempunyai sikap ksatria yang dapat mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tegas dalam menghadapi berbagai hal. Kini kami menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri, itu adalah benar. Kami merasa hidup kami tidak tersia-sia dapat berkenalan dengan Lauw li hiap." Tadinya Lauw Hung belum dapat mengambil suatu keputusan, kini dipuji oleh Sun Ang, ia merasa lebih sukar lagi mengucapkan 'tidak'. Segera jawabnya : "Baiklah, kita berangkat menemui Go toa hiap." Dan berangkatlah mereka berempat menuju ke kota Kouw So! Sampai di depan pintu rumah Go toa hiap, Lauw Nen dan Cung San Siang Kiat hanya menunggu di pinggir jalan. Sedangkan Lauw Hung terus menghadap depan pintu minta ditemui. Setelah Lauw Hung masuk, Lauw Nen menggerutu pada Cung San Siang Kiat : "Kamu berdua, kenapa berikan buku silat itu pada kakakku" Ia selalu menganggap diri lebih tinggi dari orang lain, bagaimana aku dapat melamar anak gadis Go to hiap dengan buku silat itu?" Yo Bun Cing mengatupkan kipas dan mengetuk bahu Lauw Nen dengan pelan-pelan : "Kalau kau percaya pada kami, kau tidak perlu kuatir,kami ada rencana sendiri." Lauw Nen tidak berdaya. Ia terpaksa menunggu di pinggir jalan dengan gusar, sungguh pun baru lewat setengah jam tapi sekujur tubuhnya telah bermandikan keringat. Sesaat kemudian, barulah terlihat Lauw Hung keluar dari rumah Go toa hiap, hampir saja Lauw Nen ingin menubruknya, tapi ditahan oleh Yo Bun Cing. Setelah Lauw Hung berada di depan mereka, hati Lauw Nen masih bersitegang hingga tidak dapat mengeluarkan suara, masih Lauw Hung dulu yang membuka mulut : "Rencana kalian berdua memang tidak salah, Go toa hiap telah memberikan buku silatnya padaku." "Ah, sungguh menarik sekali. buku itu sangat terkenal Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 17 Pendekar Pulau Neraka 32 Raja Kera Iblis Suling Naga 18