Bocah Sakti 1
Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 1 Bocah Sakti Oleh : Wang Yu Jilid 01 -- 1 -- Itulah malam menyeramkan......... Awan gelap menutupi bulan sisir. Kilat berkeredepan, diselingi oleh bunyinya guntur seolah-olah malam itu bakal turun hujan besar. Dalam suasana yang seram itu, ada terdengar percakapan ini : "In-ji, malam ini cuaca jelek. Kita tak usah latihan ilmu silat." "Terserah pada Liok Sinshe. Juga bukankah sinshe lagi sakit ?" "Sungguh terang otakmu, In-ji. Kau bakat menjadi seorang pandai yang selain mengerti ilmu surat juga silat sekaligus ! Ha ha ha......." "Terima kasih. Semua ini atas didikan Liok sinshe." Percakapan ini keluar dari sebuah rumah tua yang mencil sendirian di atas jurang Tong-hong gay, sebelah barat gunung Hengsan di propinsi Ouwlam. Dalam rumah itu yang diterangi dengan dua batang lilin, cukup terang, tampak duduk menghadapi meja seorang anak kirakira umur 12 tahun tengah menulis. Tidak jauh dari padanya, diatas sebuah kursi malas, ada rebah seorang laki-laki dari usia pertengahan. Kepalanya diikat setangan dan pada kedua belah pilingannya ada ditempel koyo. Orang sakit itu yang dipanggil Liok Sinshe, tabib Liok, tiba-tiba bangun dari rebahannya, jalan menghampiri si anak kecil, duduk di bangku di depannya. Anak kecil itu hentikan tulisannya, bangkit dari duduknya, mendekati Liok sinshe. "Sinshe lagi sakit, sebaiknya Sinshe rebahan saja." kata si anak dengan roman aleman. Liok Sinshe ketawa. Ia pegang kedua tangan si bocah, lalu ditarik dan dipeluk dengan rupa yang sangat menyayang. "In-ji..." bisiknya di telinga si anak. "Ya, Sinshe," jawabnya pelan. Hening sejenak........ Lama ditunggu, belum juga Liok Sinshe menyambung katakatanya. Lo In, si anak kecil menjadi heran. Lebih terperanjat pula di kala ia merasakan pipinya hangat. Itulah air, ketika ia meraba pipinya. Dengan pelan ia melepaskan diri dari peluknya Liok sinshe. Hatinya dirasakan mencelos ketika ia mengawasi Liok Sinshe bercucuran air mata. Tapi air mukanya tetap bersenyum halus. Senyuman penuh kesayangan, yang biasa Lo In hadapi sehari-hari selama ia berkumpul denganLiok Sinshe. "Liok Sinshe, kau kenapa ?" tanyanya cepat. "Anak In (In-ji)...." kaat Liok sinshe, tidak lampias suaranya, "Sebenarnya, malam ini ingin aku menuturkan suatu kisah......." Baru sampai di perkataan 'kisah', tiba-tiba saja Liok Sinshe meniup padam api lilin hingga dalam ruangan itu menjadi gelap gulita. Segera terdengar menyambarnya beberapa senjata rahasia, disusul oleh suara ketawa : "Ha ha ha, Liok sinshe mau menutur kisah si bangsat Kwee Cu Gie ! Keluar ! Mari keluar Liok sinshe, kita bikin perhitungan hutang jiwa dua belas tahun yang lampau. Ha ha ha, Kwee Cu Gie...... !" Liok Sinshe dan Lo In saat itu sembunyi di bawah meja hingga terhindar dari serentetan serangan senjata rahasia musuh yang dilepas dari jendela. Dalam keadaan biasa, musuh tidak mudah menyatroni rumahnya, membokong dengan senjata rahasia. Malam itu rupanya Liok sinshe dipengaruhi oleh cuaca buruk, membikin kupingnya yang biasanya tajam menjadi puntul. "In-ji," bisik Liok sinshe, "Yang datang itu Siauwsan Ngo-ok. Mereka punya piauw yang direndam racun yang dinamai 'Ngotok piauw', sangat berbahaya. Juga mereka sangat kejam dan telengas, maka itu, kalau sebentar aku keluar, harap kau lari selamatkan diri !" Si bocah tidak menjawab. Hanya ia pegangi kencang lengannya Liok sinshe seperti juga ia tidak ijinkan sinshe itu keluar. "Liok sinshe, lekas keluar. Apa kau takut " Hmmm... malam ini kau harus bayar jiwanya Ngo-te. Kau sembunyi........" Tiba-tiba dari dalam rumah melesat satu tubuh keluar. Dalam sekejapan sudah berdiri berhadapan dengan si penantang yang tidak melanjutkan kata-katanya sampai di perkataan "sembunyikan......", saking kaget nampak kegesitannya orang itu. "Aku sudah ada disini, buat apa kau begini bawel ?" kata Liok sinshe jenaka. "Bagus, kau harus bayar jiwanya Ngo-te kami !" kata si penantang. "Kau ini aneh," sahut Liok sinshe. "Memangnya kau sudah linglung ?" Orang itu melengak dikatakan linglung. Liok Sinshe ketawa geli dalam hatinya, nampak orang itu melengak heran. "Sam-ok Cui Seng," menyambung Liok Sinshe, "aku hanya hutang satu jiwa. Kau masih ngerembengi minta ganti. Sedang kalian huta pada mereka yang anggauta keluarganya dibunuh, entah berapa puluh, tidak mau ambil pusing. Apa ini bukannya linglung perhitunganmu " Ha ha ha........" Si Jahat ketiga, Cui Seng mendelu hatinya mendengar katakata Liok Sinshe, tajam menyindir atas kelakuan mereka yang jahat. "Sam-to, kekas beresi saja !" teriak Toa-ok Cui Peng (si Jahat no. 1). "Jangan kasih calon bangkai itu banyak omong !" sambung Jiok Cui Kin (si jahat ke-2). Liok Sinshe awas matanya, ia perhatikan sekitarnya. Nyata selain empat musuhnya yang sudah mengurung, ia dapat lihat masih ada beberapa orang lagi yang berdiri sedikit jauh dari mereka. Kalau tadi ia bersenyum-senyum saja menghadapi empat lawannya, kini setelah dapat tahu musuhnya ada bawa bala bantuan, tampak ia kerutkan keningnya. "Pantas kalian berani datang, kalau kalian bawa bala bantuan" kata Liok Sinshe jenaka. Ia sama sekali tidak gentar kelihatannya. "Hm !" Toa-ok Cui Peng mendengus. "Kau takut " Aku bisa kasih kelonggaran padamu. Nah, kau berlutut sekarang, mengangguk sepuluh kali dihadapan kami kemudian membunuh diri sendiri. Dengan demikian, kau dapat selamatkan kematianmu dengan tubuh utuh.........: "Kentut busuk !" memotong Liok Sinshe. "Dengan turutnya dua ekor imam busuk dan sebuah kepala gundul bau dalam keramaian malam ini, apa kalian kira aku tinggal lari " Kalian salah hitung, Siauwsan Ngo-ok !" Suaranya Liok Sinshe dibikin nyaring ketika menyebutkan 'dua ekor imam busuk' dan 'sebuah kepala gundul', hingga orangorang yang bersangkutan mendelik matanya saking menahan amarahnya. Memang, malam itu kedatangan Siauwsan Ngo-ok (Lima orang jahat dari gunung Siauw san) dikawal oleh Tiat Cie Hweshio Hong Hui (si Hweshio Jari besi) dan Tui-Beng Kiam Siong Leng Tojin (si pedang Pengejar Jiwa) bersama adik seperguruannya, Jin Leng Tojin yang bergelar Pek-houw-kiam atau si Pedang Macan Putih. Ketiga orang suci ini, ada jago-jago kelas satu dalam rimba persilatan. Cuma sayang sekali, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang nyeleweng dari tujuan agama hingga menimbulkan kemarahan diantara jago-jago pembela keadilan. Diantaranya mereka bentrok dengan Liok Sinshe dimana telah terjadi pertarungan hebat. Kesudahannya mereka dapat dipecundangai. Sejak mana mereka menaruh dendaman hati, mereka meningkatkan kepandaiannya untuk mencari balas pada lawannya. Kawanan orang-orang jahat dari Siauwsan habis sabar mendengar kata-katanya Liok Sinshe. Mereka anggap orang terlalu menganggap enteng. Lekas juga Toa-ok Cui Peng hunus goloknya dan mulai buka penyerangan. Tadinya Liok Sinshe hendak melayani si Empat Jahat dengan tangan kosong, tapi melihat ada backingnya, tiga jago kelas berat, maka ia rubah niatnya semula. Maka begitu Toa-ok membabat goloknya mengarah leher, ia mendak berkelit. Ia tidak balas menyerang, sebaliknya ia lompat menerjang pada Su-ok (si Jahat ke-4) yang baru saja akan menghunus pedangnya. Gerakan Liok Sinshe gagal untuk merampas pedang Su-ok Cui Tie. Sebab barusan saja ulur tangannya, tiba-tiba goloknya Cui Seng menyelak, membacok untuk tolong saudaranya. Su-ok Cui Tie yang mencekal pedang dengan tangan kiri karena lengan kanannya kutung tempo hari ditabas pedangnya Liok Sinshe menjadi sangat gusar. Musuhnya mau merampas senjatanya. Sambil putar pedang, ia menyerang hebat membantu saudarasaudaranya yang mengepung Liok Sinshe. Ia sangat gemas pada musuhnya yang sudah membuat dirinya cacad. Nekad ia untuk menuntut balas. Dengan jurusnya 'Tong-cu-ci-louw' -- 'Bocah menunjukkan jalan', pedangnya menyambar ke arah tenggorokan orang. Hebat serangan ini karena dilakukan dengan cepat. Tapi Liok Sinshe ada lebih cepat pula, ia berkelit sambil memutar tubuh untuk terus lompat tinggi menghindarkan serangan Toa-ok Cui Peng yang menggunakan tipu 'Hui-hong-sauw-yap'--'Angin puyuh menyapu dedaunan'. Goloknya yang tajam dua muka, membabat kaki Liok Sinshe dari kiri ke kanan. Sungguh mengerikan. Kalau saja Liok Sinshe tidak sangat gesit, kakinya akan tertabas kuntung tanpa ampun lagi. Belum kakinya Liok Sinshe menginjak tanah, sudah datang serangan golok Sam-ok Cui Seng yang mengarah kaki lagi. Si jahat ketiga itu pikir kali ini ia tidak bakal luput goloknya membacok kai musuh sebab Liok Sinshe masih belum menginjakkan kakinya ditanah. Cara bagaimana ia dapat berkelit " Tapi perhitungan Cui Seng meleset. Tampak tubuhnya Liok Sinshe berputar, berkelit tanpa menginjak tanah hingga ia lolos dari bahaya. Suatu gerakan yang indah sekali yang dinamani 'Yan-cu-tengkong' atau 'Burung walet mumbul di udara' yang membuat empat lawannya menjadi melongo saking heran. Pikirnya, musuh begini liehai, apa mereka nanti berhasil menuntut balas untuk menuntut kematian saudaranya yang kelima " Hanya sejenak mereka bersangsi, sebab mereka segera mengurung lagi. Liok Sinshe yang perhatikan gerak gerik orang, dapat tahu lawan-lawannya agak jeri untuk melangsungkan pertandingan. Inilah suatu keuntungan bagi lawan yang sudah unggul. Ia tertawa gelak-gelak, lalu berkata : "Kalian percuma mengepung aku. Hayo undang itu si kepala gundul bau dan dua imam busuk, bantu kalian mengerubuti aku !" "Sungguh temberang !" terdengar suaranya Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin. "Undangan sudah datang, tidak baik kalau ditempuh. Mari, mari kita maju !" Ajakan itu disusul dengan majunya ia dalam kalangan pertempuran, diikuti oleh Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin. "Ha ha ha ! Kwee Cu Gie, saat mampusmu sudah diambang pintu. Masih bersikap jumawa " Ha ha ha h...!" teriak si Hweshio (pendeta) Jari Besi Hong Hui sambil jalan mengikuti di belakang dua imam kawannya. Di lain saat, tampak Liok Sinshe sudah dikepung oleh tujuh musuhnya. "Liok Sinshe," kata Siong Leng Tojin, suaranya mengejeki, "Kau mau tinggalkan pesan apa, sebelum berangkat mati ?" Liok Sinshe tidak menjawab, ia hanya kerutkan keningnya. Otaknya bekerja, pikirnya, menghadapi Siauw San Ngo-ok, meskipun dengan tangan kosong tidak menjadi soal baginya. Tapi sekarang ia harus menggempur tujuh musuh, tiga diantaranya ada jago-jago keals berat. Tanpa senjata bagaimana ia dapat melayani mereka " Diantara empat pengepungnya tadi, Ji-ok Cui Kin kelihatan agak jeri terhadapnya. Sedang senjata pedangnya itulah yang paling tajam diantara senjata-senjata saudaranya. Mungkinkah karena kakinya tinggal sebelah, sebab dahulu dikutungi olehnya hingga ia tidak dapat leluasa bergerak " Bagaimanapun, pikir Liok Sinshe, ia harus waspada terhadap Ji-ok yang cara melepas piauw beracunnya paling pandai diantara saudara-saudaranya yang lain. Matanya melirik pada Ji-ok yang berdiri di samping kirinya Toa-ok. "Bagaimana ?" tegur Siong Leng Tojin, sikapnya jumawa. "Memang aku mau tinggalkan pesanan," sahut Liok Sinshe. "Nah, lekas bicara !" girang Siong Leng Tojin. "Sebentar, kalau tanganmu putus, harap kau jadi orang baik selanjutnya......" Liok Sinshe berkata seraya tersenyum. "Sret !" tiba-tiba Siong Leng Tojin menghunus pedangnya. "Kurang ajar, kau berani main gila " Rasakan pedangku ini ?" teriak Siong Leng Tojin, hatinya panas. Ingin sekali ia tabas tubuhnya Liok Sinshe kutung dua. "Eh, nanti dahulu !" kata Liok Sinshe, sambil berkelit dari tikaman pedang Siong Leng Tojin, "Aku masih belum bicara habis." "Manusia hina, tak usah kau banyak pernik !" teriak Siong Leng Tojin penuh kemurkaan. Serangannya pun dilakukan saling susul tidak memberikan ketika kepada lawannya yang melayani ia dengan tangan kosong. Liok Sinshe berlaku tenang, meskipun kelihatannya ia repot menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi. Dengan mengandalkan kegesitannya, Liok Sinshe melayani Siong Leng Tojin. Dalam tempo singkat saja, pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus tetapi Siong Leng Tojin masih belum bisa berbuat apa-apa atas lawannya yang bertangan kosong. Diam-diam ia kagumi ilmu entengi tubuh musuh yang sampai sebegitu jauh ia belum dapat menyentuh walaupun hanya bajunya saja. Kenapa yang lain-lain berdiri diam saja, tidak datang Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengeroyok " Itu ada sebabnya. Siong Leng Tojin orangnya sangat temberang, memandang rendah siapa juga. Ia anggap dirinya adalah jago pedang nomor wahid di dunia. Apalagi sekrang ilmu pedangnya sudah meningkat, sejak pada dua belas tahun yang lalu dipecundangi Liok Sinshe. Ia anggap sekarang Liok Sinshe sudah bukan tandingannya lagi. Maka ketika Siauw-san Ngo-ok minta bantuannya, ia majukan satu syarat ialah kalau ia bertempur dengan Liok Sinshe, yang lainnya berdiri menonton saja dahulu sampai ia kasih kode "turun tangan", barulah dilakukan pengeroyokan. Imam sombong ini ingin menjatuhkan Liok Sinshe dengan kepandaiannya sendiri. Kalau tadi ia mendesak lawannya, selewatnya tiga puluh jurus, pelan-pelan ia berbalik kedesak hingga si Pedang Pengejar Jiwa jadi kelabakan. Melihat si iman sudah kedesak, kawan-kawannya ingin lantas turun tangan. Tapi masih juga belum dapat tanda dari Siong Leng Tojin. Sampai kemudian terdengar suara 'prang !', pedangnya si imam jatuh ke tanah, sedang Liok Sinshe lompat mundur jumpalitan dengan gerakan 'Kera tua jatuh dari pohon'. "Maaf Tui-beng-kiam !" kata Liok Sinshe seraya kedua tangannya diangkat menyoja kepada Siong Leng Tojin yang saat itu berdiri bagaikan patung. Tak dapat ia berkata-kata, hanya matanya saja melotot mengawasi musuhnya. Semua orang tercengang dengan kesudahan pertempuran itu. Meskipun sudah terdesak, tidak semudah itu Siong Leng Tojin dijatuhkan lawannya. Ini karena salahnya sendiri. Adatnya yang berangasan tak dapat mengendalikan kemarahannya, ingin cepat-cepat ia menjatuhkan lawannya. Ia menggunakan jurusnya yang paling baharu, 'Ouw in hoan hui' --'Awan hitam bergulung-gulung', pedangnya dibulang baling cepat ke arah muka lawan untuk membuat mata orang kabur penglihatannya, kemudian menusuk laksana kilat ke arah tenggorokan. Sudah berapa banyak ia bikin terjungkal lawannya dengan ilmu pedangnya ini. Tapi menghadapi Liok Sinshe ia mesti bayar mahal. Liok Sinshe ada terlalu gesit, hebat ilmu entengi tubuhnya, penglihatannya tidak jadi kabur oleh bulang baling pedangnya. Maka ketika pedang menikam ke arah tenggorokannya, dengan sebat Liok Sinshe berkelit sambil lompat nyamping ke kiri, akan dari mana sebelum Tui-bengkiam sempat menarik pulang pedangnya yang mendapat sasaran kosong, dua jari tangan kiri Liok Sinshe dengan totokan 'hong-bun-hiat', menotok jalan darah di bagian pundak lawan hingga si imam gemetaran tangannya dan dengan sendirinya, pedangnya juga jatuh ke tanah. Dengan angkat kedua tangan, Liok Sinshe bersoja pada Siong Leng Tojin, sebenarnya Liok Sinshe ingin mengadakan perdamaian, pemusuhan sebaiknya disudahi saja, jangan ditarik panjang berlarut-larut tidak habisnya. Pikirnya, jagonya yang paling lihay sudah ia jatuhkan yang lainnya pasti akan menurut dan hentikan nafsunya untuk menuntut balas. Tapi sebelum ia membuka suara lebih jauh, tiba-tiba ia rasakan ada angin menyambar dari belakang. Cepat ia buang diri ke kanan, sambil bergulingan ia menyelamatkan diri dari serangan piauw beracun Ji-ok Cui Kin yang datang saling susul, dibarengi oleh teriakan Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin, "Turun tangan ! Semua maju, habiskan jiwa keparat itu !" Mereka ramai-ramai memburu Liok Sinshe yang bergulingan. Dengan beberapa lompatan enteng, mereka sudah datang dekat dan hujani tubuh lawan alot itu dengan bacokan, tusukan dan kemplangan. Sementara itu........ Awan gelap dari setadian, kini semakin gelap dan..... turunlah hujan besar. Orang-orang jahat itu tidak hiraukan lebatnya turun hujan, mereka bernapsu besar untuk menghabiskan jiwa musuhnya. Apalagi, musuhnya itu kini sudah mandi darah, lengan kirinya sudah kena kebacok, mereka jadi beringas ! Ia kumpul tenaganya, kemudian melejit bangun. Dengan gerakan 'Elang lapar menyambar kelinci', ia menerjang pada Ji-ok Cui Kin yang berada paling dekat padanya. Cepat Ji-ok Cui Kin menyambut dengan pedangnya. Tapi ia kalah cepat sebab Liok Sinshe punya dua jari dari tangan tangan kiri sudah menotok dengan totokan 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga kanannya, sedang pedangnya pun lantas pindah tangan Liok Sinshe. Bagaikan harimau tumbuh sayap, Liok Sinshe sudah menyerang musuh-musuhnya tanpa ampun lagi. Ia naik pitam melihat kekejaman dan ketelengasan kawanan jahat itu ketika menghujani ia dengan berbagai senjata. Pedangnya berkelebatan di antara sinar kilat dan lebatnya hujan. Segera juga terdengar jeritan saling susul, Ji-ok Cui Kin lehernya kesabat pedang, hampir putus, Sam-ok Cui Seng rebah dengan kaki kanannya kutung, Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin terkulai, mendeprok di tanah, pundak kanannya berlumuran darah. Hanya ketinggalan tiga musuhnya, Tiat Cie Hweshio, Toa-ok Cui Peng dan Su-ok Cui Tie. Mereka ciut nyalinya, nampak kawan-kawannya rubuh saling susul sedang Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin masih dalam keadaan tertotok, tak bisa diharapkan bantuannya. Hampir berbareng muncul dalam pikiran mereka, "Lari, paling selamat !" Demikian, mereka bertempur sambil melihat kesempatan. Dalam keadaan murka hingga kecerdasannya meningkat, Liok Sinshe sebenarnya tidak sukar untuk menjatuhkan tiga musuhnya. Sayang, dari lukanya di lengan kiri, muka dan punggung banyak mengeluarkan darah membuat ia letih dan tenaganya menurun banyak, kegesitannya pun dengan sendirinya agak kurang. Untung musuh-musuhnya tidak perhatikan itu. Mereka hanya memikirkan 'jalan lari' saja hingga perlawanan mereka juga tidak sepenuh tenaga. Meskipun sudah lelah, Liok Sinshe ingin takluki tiga musuhnya itu. Demikian, ketika goloknya Toa-ok Cui Peng membacok, ia tidak menangkis, hanya elakan pundaknya yang diarah. Berbareng dengan itu, pedangnya meluncur ke muka lawan dengan gerakan 'Giok li tek hoa' -- 'Bidadari petik kembang'. Satu jurus yang lihay sekali sebab sebelum Toa-ok Cui Peng dapat selamatkan mukanya, hidungnya copot kena disentak ujung pedang. Ia berkaok-kaok sambil tangan kirinya menekap hidungnya yang gerumpung lumuran darah. Si hweshio Jari Besi merasa tidak ungkulan layani musuhnya yang lihai. Ia coba angkat kaki, tapi ia juga tidak luput dikasih persen tanda mata, kupingnya yang kiri di papas pedangnya Lok Sinshe. Su-ok Cui Tie dari pada ia turut lari, malah jadi lemas kakinya dan jatuh duduk. Matanya meram, mulutnya kemak-kemik seperti yang memohon Malaikat Elmaut tidak mencabut jiwanya. Sesaat kemudian ia raba lehernya, masih utuh. Ia heran, lalu membuka matanya. Kiranya Liok Sinshe sudah tidak ada disitu, ia sedang menguber si Hweshio Jari Besi yang lari ke tepi jurang. Tiat Ci Hweshio berlarian di tepi jurang dikejar dari belakang oleh Liok Sinshe. Keduanya menggunakan lari cepat (enteng tubuh). Hujan sementara itu masih turun dengan lebatnya. "Kepala gundul bau, apa kau bisa naik ke la..... Ayo !" Tiba-tiba saja Liok Sinshe berteriak, tubuhnya menyusul rubuh dan......... tergelincir masuk ke dalam jurang yang curam. Tiat Cie Hweshio heran, lalu hentikan larinya, balik menghampiri tempat dimana Liok Sinshe berteriak dan jatuh ke dalam jurang. Ia lihat jurang ada demikian dalam, diukur dari sudut ketika ia dengan kawan-kawannya mendaki Tonghonggay, ia yakin Liok Sinshe pasti menemui ajalnya. Girang bukan main hatinya si Hweshio Jari Besi. "Hahaha !! Hahaha !" ia tertawa gelak-gelak sendirian seperti orang gila. "Hai, kepala gundul ! Kau jangan girang dahulu.....!" tiba-tiba suara orang menyelusup ke dalam kupingnya. Mungkinkah itu ada setannya Liok Sinshe " Tiba-tiba bayangan berkelebat, keluar dari balik pohon. Tiat Cie Hweshio makin ketakutan, tubuhnya menggigil seperti yang diserang penyakit malaria. Hujan mulai berhenti, cuaca agak terang tapi suasana tetap sunyi menyeramkan dalam daerah pegunungan itu. Si kepala gundul makin menggigil, kapan pundaknya berasa ada yang tepuk dari belakang, ketakutannya meningkat dan si Hweshio Jari Besi bisa jatuh semaput kalau ia tidak mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, seraya berkata : "Hweshio pecundang, kau ketakutan ?" "Ah, Kim Popo, kau bikin aku kaget setengah mati. Hahaha !" tertawa si kepala gundul sambil putar tubuhnya, menghadapi orang yang jail tadi. "Apa kalian lupa dengan pesanku ?" tanya Kim Popo. Sejenak Tiat-ci Hweshio mengingat-ingat, "Ah, benar-benar aku harus mati. Aku lupa benar akan pesan Kim Popo", katanya sambil tepuk-tepuk pahanya. "Coba kalau kalian tidak mengabaikan pesanku, siang-siang si keparat itu sudah menjadi makanannya kawanan ular dibawah jurang. Hihihi......." Kim Popo temberang. Adalah ketika mendamaikan pengeroyokan atas dirinya Liok Sinshe, Kim Popo diminta bantuannya juga. Ia bersedia membantu, tapi tidak mau terang-terangan menggempur Liok Sinshe, hanya dengan cara gelap ia akan menghajar musuh. Kim Popo memang ada satu nenek jagoan. Selain ilmu silatnya tinggi, orang takuti senjata rahasia beracunnya yang dinamai "touw-kut-tok-ciam' atau jarum berbisa menembus tulang' yang jarang gagal mengambil korban diwaktu ia menggunakannya. Jarum itu disimpan dalam satu bungbung mungil, ada alat rahasianya yang membikin jarum melesat. Keluarnya tidak satu-satu, tapi lima batang sekaligus, mengarah bagian tubuh si korban, atas, tengah, bawah, kiri dan kanan, hingga korbannya sukar meloloskan diri. Asal usulnya Kim Popo tidak seorang yang tahu, sekalipun siauw San Ngo-ok yang menjadi anak-anak angkatnya. Tentang cara bagaimana si Lima Jahat bisa jadi anak-anak angkatnya Kim Popo, akan dituturkan di sebelah belakang cerita ini. Kelupaan akan pesan Kim Popo sebenarnya si Hweshio Jari Besi ngebohong. Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin, sewaktu mereka mendaki jurang Tong-hong-gay mengajari kawan-kawannya jangan meladeni pesan Kim Popo memancing Liok Sinshe ke tempat sembunyinya si nenek yang hendak membokong. Katanya itu tidak perlu, malah akan merendahkan derajat mereka yang sudah ada nama dalam kalangan kang-ouw. Dengan mereka bertujuh, sudah cukup untuk membinasakan Liok SInshe, malah dianggap kelebihan oleh imam itu, kapan ia ingat dirinya sendiri punya kepandaian sudah meningkat banyak. Tidak tahunya mereka dibikin kucar kacir dan Liok Sinshe binasa ditangannya si nenek tua yang membokong dengan jarum jahatnya. Liok Sinshe lihai, tidak mudah ia kena dibokong orang. Kalau saja saat itu turunnya hujan tidak mengganggu pendengarannya yang tajam. Tiat Ci Hweshio ajak Kim Popo untuk melihat kawankawannya. Sesampainya di tempat pertempuran tadi, tampak Siong Leng Tojin dan Su-ok Cui Tie tengah repot menolongi kawan-kawannya yang luka. Si imam mukanya merah, bahkan malu ketika menyambut kedatangannya Kim Popo. "Maafkan, aku sudah berlaku ceroboh, melupakan pesan Popo." Siong Leng Tojin sembari angkat tangannya memberi hormat. "Kalau tidak, tidak sampai kejadian begini," ia menyambung, matanya mengawasi kepada korban-korban yang pada rebah sambil keluarkan rintihannya, menahan rasa sakit. Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin belum lama ia dapat membebaskan dirinya dari totokan Liok Sinshe, setelah berkali-kali ia memeras tenaga dalamnya. "Tidak apa, ini barangkali sudah takdir." sahut Kim Popo acuh tak acuh. Tui-beng-kiam dalam hatinya mendongkol melihat sikap sombong si nenek tua. Tiba-tiba Su-ok Cui Tie menghampiri Kim Popo, di depan siapa ia tekuk lututnya berkata : "Popo, sakit hati ini laksana dalamnya lautan, kalau Popo tidak tolong balaskan, bagaimana kami......." "Anak tolol !" potong Kim Popo. "Apa yang dibalas " Musuhmu sudah mampus masuk ke jurang, sekarang barangkali tubuhnya tengah dikerubuti oleh ular-ular penghuni disitu. Hihihi !" Kaget Su-ok Cui Tie mendengar kabar itu sampai ia lompat bangun dari berlututnya. "Apa ini benar ?" ia cepat menanya. Siong Leng Tojin pun turut kaget, tidak terkecuali Toa-ok Cui Peng dan Jin Leng Tojin yang sedang merintih-rintih. "Kalau tidak percaya, kau tanya saja si kepala gundul !" jawab Kim Popo, sikapnya bangga sambil menunjuk kepada si Hweshio Jari Besi. Mereka lalu minta keterangan kepada si Hweshio, lalu ia menuturkan ketika ia diuber-uber Liok Sinshe hampir kecandak, tiba-tiba ia dengar musuh berteriak dan tubuhnya roboh tergelincir ke jurang, akibat bokongan Kim Popo dengan senjata rahasianya yang lihai. Semua jadi kegirangan, Siong Leng Tojin sambil bersenyum berkata, "Dengan mampusnya si keparat itu, kerugian kita sekarang ini sudah dibayar lunas. Hahaha !" Disamping kegirangan dan rasa puas dari kawanan penjahat itu, ada yang menceles hatinya dan mengucurkan air mata mendengar berita kematiannya Liok Sinshe. Siapa gerangan orang itu " Itulah si bocah Lo In yang saat itu mencuri dengar dibelakang sebuah batu besar, dimana ia mengumpat, menonton pertandingan yang menegangkan hatinya, Liok Sinshe dikeroyok orang banyak. Menggunakan kesempatan orang tidak memperhatikan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dirinya, karena perhatian kawanan penjahat itu tengah dipusatkan pada Liok Sinshe, diam-diam Lo In sudah menyelinap di balik batu besar dimana dengan aman ia sembunyi. Dengan begitu, Lo In sudah tidak menurut nasehatnya Liok Sinshe supaya ia lari untuk menyelamatkan dirinya. Anak ini besar nyalinya. Ia sebenarnya ingin membantu Liok Sinshe, melihat orang dikeroyok. Tapi mengingat kepandaiannya masih rendah, terpaksa ia harus menahan napsu amarahnya. Lo In sudah kegirangan melihat Liok Sinshe menjatuhkan musuh-musuhnya satu per satu. Hampir ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, kalau ia tidak ingat akan pesanan Liok Sinshe supaya ia kabur untuk menyelamatkan diri. Lo In tidak melihat dengan mata sendiri bagaimana Liok SInshe dirobohkan musuhnya dan tergelincir masuk ke dalam jurang sebab letak tempat kejadian itu ada jauh dari ia dan juga teraling oleh pohon-pohon. Meskipun ia menangis, ia masih sangsikan kebinasaannya Liok Sinshe. "Ah, dia lihai. Tidak mungkin dia binasa cuma tergelincir saja ke dalam jurang." pikir si bocah yang percaya akan kepandaian Liok SInshe. Sama dengan pikiran Lo In, terdengar Siong Leng Tojin menanya, "Popo, dia sangat lihai, mungkinkah dia menemukan ajalnya "' "Hehehe !" Kim Popo ketawa. "Dia boleh lihai tapi racun jarum mautku, dalam tempo satu jam akan antar dia menghadap Giam-lo-ong !" Giam-lo-ong dimaksudkan adalah raja akherat. Kata-kata Kim Popo membuat Lo In kembali sedih. Air matanya yang barusan sudah berhenti, kembali mengucur. Suatu kedukaan yang belum pernah ia alami. Liok Sinshe ada terlalu baik, ramah, sangat memperhatikan sekali paanya. Sejak ia mengetahui dirinya tak berayah ibu, ia pandang Liok Sinshe adalah pelindungnya, sebagai gantinya orang tua. Sementara itu angin pegunungan meniup agak keras. Baru sekarang Lo In sadar, bahwa pakaiannya basah kuyup. Ia merasa kedinginan, tapi ia tidak menggubrisnya. Ia ingin menyaksikan lebih jauh tindak tanduknya kawanan jahat itu. Untuk memberikan pertolongan lebih jauh, korban-korbah pedangnya Liok Sinshe diangkut masuk ke dalam rumah. Suok Cui Tie segera pasang lilin penerangan. Dalam pemeriksaan, Ji-ok Cui Kin sudah mati dengan leher hampir putus. Entah dengan Sam-ok Cui Seng yang keadaannya tidak sadarkan diri akibat terlalu banyak mengeluarkan darah dari kaki kanannya yang tertebas buntung. Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin masih merintih, sambungan tulang pundaknya yang kanan putus hingga selanjutnya ia tak dapat gunakan lengan kanannya ini. Toa-ok Cui Peng amat berduka, Siong Leng Tojin kertak gigi, menampak pemandangan yang mengharukan itu. Sebaliknya, Kim Popo acuh tak acuh sikapnya. Rupanya ia mendongkol pada Siong Leng Tojin yang tak mau perhatikan pesannya sehingga terjadi mala petaka itu. "Hei, kemana dia ?" berkata Siong Leng Tojin tiba-tiba, agak kaget romannya. "Siapa ?" tanya Su-ok Cui TIe. "Si bocah ! Hayo, lekas cari !" sahut Tui-beng-kiam, seraya ia sendiri lantas bertindak melakukan penggeledahan. Sementara orang repot mencari Lo In, adalah Kim Popo menggeledah orang punya laci, meja, rak, buku-buku, kopor dan lain-lain. Kim Popo seperti lagi mencari sesuatu barang. Siong Leng Tojin merasa heran, lalu menanya, "Popo, kau lagi cari apa ?" "Urusanku aku urus sendiri, urusanmu kau urus sendiri. Buat apa banyak tanya !" sahut Kim Popo, suaranya tidak enak didengar. Siong Leng Tojin cuma bisa nyengir. Dalam hatinya ia amat mendongkol, pikirnya, "Nenek gila. Kau terlalu menghina ! Tunggu, ada satu tempo, aku bikin kau tahu rasa kelihayannya Tui-beng-kiam !" Ia kemudian keluar untuk hindarkan bentrokan dengan Kim Popo, pura-pura turut kawan-kawannya mencari Lo In sebab di dalam rumah anak itu tidak diketemukan. Kim Popo memang memandang rendah pada siapa juga, bukan hanya pada Siong Leng Tojin seorang. Adatnya aneh, cepat amrah, sedang kata-katanya kasar. Orang yang tidak mengimbangi adatnya, bicara beberapa patah dengannya, akan lantas merasa dihinakan dan menaruh dendam hati. Kim Popo aduk-aduk lagi apa yang sudah diperiksa waktu Siong Leng Tojin sudah keluar. Rupanya ia penasaran barang yang dicari belum diketemukan. "Celaka !" katanya perlahan, alisnya berdiri, marah rupanya. "Tidak mungkin bangsat itu bawa ke dalam jurang !" ia meneruskan berkata-kata sendirian. Itulah Kim Popo yang kelihatannya putus asa, tak menemui barang yang dicari. Lalu ia jalan keluar, akan dari depan pintu dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah menghilang meninggalkan rumah Liok Sinshe. Apa sebenarnya yang dicari oleh Kim Popo " Ini, kejadian pada lima tahun yang lampau. Pada hari itu lepas lohor, cuaca agak mendung. Liok Sinshe jalan terburu-buru, habis mencari akar-akaran obat di sekitar Siauw-san, kuatir nanti keburu turun hujan. Ketika ia lewati pohon cemara yang besar, tiba-tiba ia merandek. Ia berdiri sejenak sambil pasang kuping. Ia dengar suara beradunya senjata, seperti ada orang yang tengah bertempur. Setelah memperhatikan sekian lama, lalu ia menghampiri tepi jurang, tidak jauh dari ia berdiri barusan. Ia melongok ke bawah, tampak sebuah lembah datar dimana ada kelihatan dua orang sedang bertempur seru. Dengan menggunakan ilmu entengi tubuhnya, ia lompat ke bawah mendekati tempat pertempuran untuk menyelidiki siapa mereka yang bertempur itu. Kiranya mereka itu ada satu nenek dan satu kakek. Si nenek menggunakan tongkat sebagai senjatanya, sedang si kakek bersenjata sebilah pedang panjang. Kenapa mereka jadi bertempur, itulah ia ingin tahu. Tapi tidak menanti lama, Liok Sinshe lantas mendengar si kakek buka suara, "Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan ?" katanya, seperti yang sudah kewalahan. "Hm !" mendengus si nenek. "Baru ada persaudaraan kalau kau serahkan barang itu !" "Itu toh bukannya hakmu ?" kata lagi si kakek. "Aku tidak perduli punya siapa, barang itu harus aku punyai !" teriak si nenek. "Ah, kau benar-benar telengas !" si kakek mengeluh. Kelihatannya ia mulai keteter, permainan pedangnya mulai kalut hingga si nenek dapat kesempatan untuk merangsek lawannya dengan serangan-serangan tongkatnya yang hebat. Melihat gelagat jelek, si kakek mecari kesempatan untuk angkat kaki. Pada saat si nenek menusuk dengan tongkatnya, si kakek menyampok, kakinya menjejak tanah akan lompat mundur, kemudian putar tubuh dan ............ lari. "Hm ! mau lari " Lebih sukar lolos dari Kim Popo dari pada naik ke langit !" si nenek berseru, tangannya merogoh sakunya, kemudian dari tangan tangan itu melesat senjata rahasianya, lima jarum beracun menyambar berbareng. Segera teriakan ngeri terdengar, si kakek roboh ditanah, pedangnya terlempar jauh, sementara itu Kim Popo sudah berdiri di depannya. -- 2 -- "Kau mau lari dari tanganku " Hm !" mengejek Kim Popo. "Tidak rela aku mati ditanganmu, perempuan jahat !" memaki si kakek. "Kau berani maki aku " Nih, rasai........" sambil angkat tongkatnya hendak dipukulkan pada batok kepala orang. "Tring !" tiba-tiba terdengar suara. Tongkat besinya Kim Popo terdorong nyamping, mengemplang tanah hingga berhamburan. Selamatlah batok kepala si kakek dengan kejadian ini, tadinya ia sudah meremkan matanya untuk terima kematian. Sebaliknya Kim Popo bukan main marahnya, ia berteriak seperti orang gila, "Manusia usilan, siapa kau, lekas unjuk diri di depan Popo !" "Aku disini, Popo." Kim Popo dengar suara di belakangnya. Kaget ia, cepat ia putar tubuhnya. Di depannya tampak seorang laki-laki dengan usia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya putih, cakap, di atas alis kirinya ada codet sebesar jari kelingking. Rupanya bekas barang tajam mampir disitu. "Kau yang barusan main-main ?" tanya Kim Popo gemas. "Benar," sahut orang itu, sambil soja mulutnya bersenyum. "Siapa kau ?" tanya lagi Kim Popo, sikapnya galak, tangannya sudah siap dengan tongkat besinya untuk menghajar orang usilan yang berdiri di depannya. "Aku yang rendah si orang she Liok," sahutnya tenang. Kiranya Liok Sinshe yang menolok si kakek dari bahaya pecah kepalanya. "Binatang !" teriak Kim Popo kalap. "Terimalah hadiah ini dari Popo !" Mulutnya berkata, tongkat besinya bekerja. Ia menyerang lawannya tidak tanggung-tanggung. Dengan tipu 'Tay-san-ap-teng' -- 'Gunung Agung menimpa kepala', ia kemplang batok kepala orang dengan tongkat besinya. Tapi bukan main terkejutnya si nenek. Serangannya gagal, musuhnya menghilang dari depannya. Ia celigukan mencari, panas hatinya. "Aku disini, Popo," suara halus terdengar di belakangnya. Kaget Kim Popo. Pikirnya, setan barangkali orang ini, yang bisa menghilang. Ia penasaran, tongkat besinya sudah banyak makan korban. Masa sekarang ia mesti jatuh dalam segebrakan saja " Ia harus jaga nama, jangan sampai dikalahkan. Sebenarnya, Kim Popo sudha harus tahu diri. Ia sudah kalah jauh. Kalau lawan memang kejam, ditepuk jalan darah di bebokongnya, ia mesti terkulai jatuh duduk. Dasar Kim Popo bandel, ia masih mau nekad-nekadan. Dengan jurusnya "In-li-yu-liong' atau 'Naga melayang di awan', sambil berputar tubuh, tongkatnya menyabat ke belakang mengarah iga orang. Serangan ini dilakukan dengan cepat, lincah. Tapi Liok Sinshe lebih cepat dna gesit akan lompat tinggi, mundur satu tombak. Melihat kembali sasarannya menghilang bagai setan, Kim Popo gemas. Ia lompat menyerang lagi, tongkatnya menyodok ke arah perut. Liok Sinshe berkelit sambil geser kaki kanannya, tangan kanannya berbareng menepuk tongkat yang nyelonong lewat. Tergetar lengannya Kim Popo. Ia rasakan nyeri. Hampirhampir terlepas tongkat dari cekalannya, itulah tepukan Liok Sinshe yang menggunakan tenaga dalamnya. Cepat Kim Popo empos tenaga dalamnya, untuk menghilangkan rasa nyeri. "Hehe, binatang kau, boleh jgua !" kata si nenek, seraya kerjakan lagi tongkatnya. Kali ini hendak nenamu ke arah dada. Liok Sinshe bersenyum, ia tidak berkelit, sebaliknya ketika ujung tongkat hampir sampai sasarannya, tiba-tiba ia mengebut dengan lengan bajunya yang kanan, dari bawah ke atas. Liok Sinshe hanya gunakan tenaganya tiga bagian, tapi sudah cukup membuat tongkatnya si nenek hampir terlepas lagi dari cekalannya. Angin kebutan lengan baju dirasakan si nenek menumbuk dadanya sampai rasanya susah bernapas, lengannya juga kembali dirasakan nyeri. Lawan terlalu alot, sudah seharusnya Kim Popo terima kalah. Namun, dasar si nenek keras kepala. Ia masih mau coba dengan serangannya yang terakhir. Tampak ia melemparkan tongkatnya, matanya mendelik seram, rambutnya yang kasar hampir pada berdiri, rupanya ia sedang mengerahkan lwekang (tenaga dalam). Kemudian, kedua tangannya yang kurus macam cakar bebek diangkat, tampak kukunya seperti memanjang. Benar-benar dalam sikapnya yang menyeramkan itu, Kim Popo bisa membikin anak kecil yang melihatnya menjerit nangis dan jatuh pingsan. Liok Sinshe air mukanya tetap bersenyum-senyum, tapi ia waspada akan serangan lawan yang hebat dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Si kakek yang rebah di tanah empas empis, masih sempat membuka matanya, kaget bukan main ia melihat si nenek kerahkan tenaganya untuk melakukan serangan maut. "Awas !" teriaknya kepada Liok Sinshe. Berbareng dengan perkataan "Awas !", Kim Popo sudah menerjang sambil berseru menyeramkan, "Binatang, aku akan adu jiwa denganmu !" Dengan gerakan 'Beng-houw-pok-ye' -- "Harimau liar menerkam kambing', ia lompat menerjang musuhnya. Kedua tangannya mencengkeram kepada lawan, dadanya Liok Sinshe pasti remuk oleh karenanya kalau serangan itu menemui sasarannya. Si orang she Liok tidak takut. Ia bergerak sedikit, kedua tangannya diulur untuk menyambuti. Ia gunakan tenaganya empat bagian yang keras untuk lawan keras. Kim Popo tahu juga bahaya. Cepat ia tarik pulang kedua tangannya untuk mencegah bentrokan. Ia tidak mau tangannya bentrok dengan tangan musuh yang unggul banyak tenaga dalamnya. Serangannya berganti, tangan kanannya diputar lalu dua jarinya, telunjuk dan tengah bagaikan kilat nyelonong hendak mengorek sepasang mata lawannya. Namun, Liok Sinshe sekarang tidak mau kasih si nenek banyak tingkah lagi. Sambil elakkan kepalanya ke kanan, tangan kirinya bekerja. Jarinya menyentil dua jari si nenek di bagian jalan darah tiong-ciong dan siang-yang. Segera terdengar jeritan melengking, mengalun di sekitar lembah itu. Itulah jeritan Kim Popo yang kesakitan, jari telunjuknya kena disentil. Ia rasakan sakit sekali menyelusup Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ke ulu hati, panas rasanya. Berbareng dengan melengking jeritannya, kakinya menjejak tanah, lompat ke belakang, menjauhkan diri dari lawannya, kemudian berkata, "Binatang, lain kali kita jumpa lagi." Setelah mengucap demikian, Kim Popo putar tubuhnya. Dengan beberapa lompatan tubuhnya sudah menghilang dari pemandangan. Oleh karena jeri terhadap kelihaiannya Liok Sinshe, maka ketika Kim Popo diminta bantuannya oleh Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya untuk mengeroyok si orang she Liok, ia tidak mau menempur orang dengan berterang, hanya bersedia membantu dengan jarum mautnya, membokong dari tempat sembunyi. Tidak ia sangka bahwa rencananya itu dibikin kacau oleh si imam sombong Siong Leng Tojin. Kenapa dalam pertempuran satu sama satu tadi dengan Liok Sinshe si nenek tidak menggunakan jarum mautnya " Meskipun keras kepala, Kim Popo punya perhitungan akan untung rugi. Demikian ia lihat musuh sangat lihai, juga tidak mencelakakan dirinya, ia sangsi untuk menggunakan senjata mautnya. Pikirnya kalau ia berhasil, tidak jadi soal. Tapi kalau gagal, apakah Liok Sinshe tidak jadi naik pitam " Ia sadar, kalau mau dengan mudah Liok Sinshe dapat ambil jiwanya bagaikan orang yang membalik tangannya. Kalau si nenek tinggalkan perkataan 'lain kali kita jumpa pula', itulah hanya untuk tolong mukanya dari perasaan malu. Liok Sinshe melambaikan tangannya dengan senyum dikulum, ketika Kim Popo ambil 'selamat berpisah', kemudian putar tubuhnya menghampiri si kakek dalam keadaan dekat mati. Terkejut Liok Sinshe ketika memeriksa si kakek, dua jarum beracun sudah menembusi bagian pundak dan bebokongnya. Pada bagian-bagain itu sudah jadi hitam, menjalar ke bagian lagin dari tubuhnya, mungkin racun jarum sudah menembusi tulang. Ketika Liok Sinshe celentangi si kakek, sesudah periksa bebokongnya, kepalanya rebah dilengannya. Keadaannya sudah payah. Matanya meram terus. Liok Sinshe terharu melihatnya. "Kejam...." Liok Sinshe kata dalam hatinya. Ingin ia menolongi si kakek, namun apa daya " Racun jahat sudah menjadi satu dengan darahnya. Tapi bagaimana pun juga, ia ingin coba dengan obat pilnya yang mustajab. Taruh kata si korban tak dapat tertolong jiwanya, ia masih akan dapat keterangan tentang siapa dirinya si kakek, manakala ia dapat menyadarkannya dengan pertolongan obatnya. Ketika tangannya hendak merogoh sakunya, tiba-tiba matanya si kakek dibuka. Liok Sinshe kegirangan. "Terima kasih atas pertolonganmu." berkata si kakek, suaranya lemah. "Kau siapa, lotiang ?" tanya Liok Sinshe. "Kau kenal dengan Kwee Cu Gie ?" kakek itu tidak menjawab pertanyaan Liok Sinshe, ia balik menanya malah. Liok Sinshe kerutkan keningnya. "Dia ada satu tayhiap." kata si kakek lagi, tidak menanti jawabannya Liok Sinshe. "Dia seharusnya memiliki barang mustika yang kubawa. Tolong kau kasihkan ini padanya." Tangan kanannya digerakin, maksudnya hendak merogoh kantongnya. Tapi sia-sia ia gerakan karena tangan itu sudah lumpuh. "Kau siapa, lotiang ?" Liok Sinshe ulangi pertanyaannya. "Aku....aku... She Kong..... ah....." kepalanya lantas saja terkulai. Liok Sinshe terharu menyaksikan kematiannya si kakek she Kong, air matanya mengembang. Pikirnya, si kakek ini menyebut nama Kwee Cu Gie, dimana ia kenal Kwee Cu Gie " Barang apakah yang hendak dihadiahkan kepada Kwee Cu Gie " Pelan-pelan tangannya Liok Sinshe merogoh kantongnya si kakek. Ia keluarkan isinya. Tidak ada apa-apa selain perak hancur dan sebuah buku kecil yang sudah kumal. Kapan ia baca kalimat di buku itu, tertulis empat huruf yang sudah banyak luntur. 'Tiam hiat pit koat', terkejut hatinya Liok Sinshe. "Tiam hiat pit koat......' katanya, tidak tegas. "Dari mana si kakek dapatkan buku yang sangat berharga itu ?" ia menanya pada dirinya sendiri. Liok Sinshe bengong sejenak. Kembali dalam benaknya muncul pertanyaan, "Ada hubungan apa dia dengan Kwee Cu Gie " Begitu sangat dia menghargakan si orang she Kwee, dengan suka rela ia menghadiahkan buku pelajaran ilmu menotok jalan darah, suatu buku 'Tiam hiat' yang menjadi rebutan masa itu dalam Bu-lim (dunia persilatan). Dan apa hubungannya si nenek dan si kakek, mengingat si kakek dalam kewalahan bertempur ada mengucapkan kata-kata, 'Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan " Siapa Kim Popo " Ia tersadar dalam renungannya, ketika ia meraba si kakek tubuhnya sudah mulai dingin. Cepat ia masukkan ke sakunya buku mungil itu, uang perak ancur ia masukkan pula ke dalam kantongnya si kakek. Setelah mana, dengan menggunakan pedangnya almarhum ia mulai menggali lubang, ke dalam mana di lain saat mayatnya si orang she Kong dimasukkan dan dikubur rapi. Liok Sinshe gantung pedang si kakek di pinggangnya. Pikirnya, pelan-pelan ia mau selidiki si kakek dan akan mengembalikannya. Sebelum angkat kaki, ia soja depan kuburan si kakek, mulutnya kemak kemik, entah apa yang dikatakannya. Setelah mana, ia mendengak. Lihat cuaca memburuk dan segera akan turun hujan kelihatannya. Ia lalu gerakan kakinya untuk dengan ilmu entengi tubuh 'Pat pou kan siam' atau 'Delapan tindak mengejar tenggeret', ia meninggalkan tempat itu. Liok Sinshe tidak tahu kalau gerak geriknya diintip orang. Itulah Kim Popo yang balik lagi dengan diam-diam. Ia penasaran untuk dapatkan barang dari tangan si kakek diganggu orang. Lari belum jauh, ia putar tubuhnya kembali ke tempat tadi. Cuma ia tidak berani datang dekat. Diatas, dari jarak beberapa tombak, ia memasang mata atas gerak gerik Liok Sinshe. Gusar bukan main si nenek di waktu melihat Liok Sinshe memegang buku yang bentuknya mungil yang kemudian dimasukkan ke dalam sakunya. Itulah justru barang yang ia arah dari si kakek. Sekarang barang itu sudah berada di tangan orang lihai. Bagaimana ia dapat mengambilnya pulang " Dari marah ia menjadi lesu, hanya melongo mengawasi orang berlalu dengan ilmu entengi tubuh. Untuk menyusul, menguntit, ilmu entengi tubuhnya dibawah Liok Sinshe. Dengan perasaan sakit hati, ia turun ke bawah untuk ambil pulang tongkatnya kembali. Mulutnya bergerak-gerak dan matanya melotot pada kuburannya si kakek seolah-olah ia sedang mencaci maki si orang she Kong. Saking gemas malah, ia sudah kemplang tiga kali kuburannya si kakek, akan kemudian dengan uring-uringan ia berlalu dari tempat itu. Belum berapa jauh, ia rasakan hujan mulai gerimis. Ia cepati jalannya untuk mencari tempat meneduh. Dari kejauhan, jalannya ke selatan. Ia melihat ada bangunan rumah berhala. Ia lari ke sana, untuk meneduh, menyingkir dari serangan hujan besar yang saat itu sudah mulai turun dengan lebatnya. Ketika ia datang dekat, hatinya merasa heran melihat rumah berhala itu dijaga oleh banyak orang yang bersenjata tajam. Orang yang keluar masuk juga pada bawa senjata masingmasing. Ada apa gerangan disitu. Ia jalan terus ke sana, sampai tiba-tiba ada yang menegur dibalik satu pohon, "Hei, nenek tua, kau mau kemana ?" Kim Popo menoleh, dilihatnya ada dua orang bermuka bengis tengah mengawasi kepadanya. Kim Popo yang adatnya aneh, cepat marah, menjadi tidak senang. "Apa mentang-mentang kalian bawa golok, begini caranya menegur seorang tua "' sahutn si nenek, tidak enak dilihat mukanya yang kehujanan. Dua orang jaga itu, yang satu tinggi kurus, temannya gemuk pendek berewokan. "Kita tanya benar-benar, bolehnya dia marah. Hahaha !" kata si gemuk pada kawannya. "Hmm !" mendengus Kim Popo. Matanya pelototi si gemuk, kakinya bergerak. Ia mau jalan terus, tapi si kurus menghadang cepat-cepat. "Nenek tua, kau jangan tidak tahu diri !" bentaknya, seraya goloknya dilintangkan di depan Kim Popo, menghalangi untuk berjalan. "Trang !" segera terdengar golok di kemplang tongkat. "Aiyoo !" si kurus berteriak, sambil tangan kirinya memegangi lengan kanannya yang dirasakan sakit bukan main, goloknya jatuh nancap di tanah. Ia merintih teraduh-aduh, mukanya pucat mengawasi Kim Popo yang tampak tertawa terkokohkokoh. Si gemuk bengong sejenak, melihat kawannya dikerjai si nenek. Dengan gusar ia menyerang Kim Popo dengan goloknya. Sayang, tenaganya besar tapi tidak ada 'isi' (pandai silat). Maka satu tangkisa keras dari tongkatnya Kim Popo cukup bikin ia berkaok-kaok persis macam kawannya tadi. Lengannya gemetaran, sakitnya bukan main nyelusup ke jantung. Si nenek setelah mendupak si gemuk, sampai meloso mencium lumpur, lalu angkat kaki pergi. Melihat itu, si kurus masih sempat kasih tanda 'bahaya' pada kawan-kawannya dengan suitannya. Sebentar saja dari balik beberapa pohon keluar orang-orang jaga dengan golok terhunus, mencegat jalannya Kim Popo. "Kurang ajar !" maki Kim Popo dalam hatinya. "Kalian kalau tidak dikasih hajaran, memang tidak kenal kelihaian aku si nenek." Lalu dengan ilmu entengi tubuh, ia kelit sana sini dari bacokan orang-orang yang merintangi jalannya. Tongkatnya yang berat enam puluh kati berkelebatan diantara hujan lebat. Teriakanteriakan mengerikan terdengar saling susul dari orang-orang yang menjadi korban tongkatnya yang berat itu. Banyak korban jatuh, sedang si nenek dengan seenaknya jalan berlenggang menghampiri kuil yang dijaga ketat. Orangorang jeri melihat si nenek demikian lihai, maka mereka pada minggir dan di lain saat si nenek sudah ada dalam kuil. Tapi, sebelum ia bertindak lebih jauh, dari jurusan pintu, satu orang tinggi besar menghadang di depannya. "Hehe ! Masih ada juga yang minta dikemplang !" jengek Kim Popo. "Kau boleh bertingkah di antara orang-orang kami yang tidak berguna, tapi di depanku, hmm !" kata si orang tinggi besar, sikapnya jumawa. Kim Popo sebal melihat tingkahnya. "Jadi, kau mau apa ?" bentaknya keras. Sementara menanya, matanya Kim Popo jelalatan melihat ke sekitar ruangan. Kiranya kuil itu adalah rumah berhala tua, rupanya sudah tidak diurus lagi karena disana sini tampak banyak rusak dan bocor. Sejauh yang dapat ia lihat, di sebelah dalam ada duduk dua orang menghadapi meja, satu bermuka berewokan, tengah mengusap-usap brewoknya yang tebal, satunya lagi bermuka bengis, berhidung panjang. Di samping dan belakang mereka ada berdiri beberapa orang dengan senjata di tangan masingTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ masing, siap untuk digunakan. Di depan mereka ada dua orang tengah berlutut dengan masing-masing kedua tangannya di ikat ke belakang. Entahlah, apa yang sudah terjadi. Tapi dari pemandangannya, Kim Popo dapat menduga bahwa si berewokan dan si hidung panjang tengah memeriksa dua orang yang berlutut dengan tangan ditelikung. Si orang tinggi besar yang mencegat Kim Popo tertawa gelakgelak, sebelum menjawab pertanyaan Kim Popo yang menantang. "Nenek tua, kau kenali aku siapa ?" ia malah balik menanya. "Di lihat romanmu, kau ini bukan orang baik-baik". jengek Kim Popo ketus. "Nenek celaka !" teriak si tinggi besar. "Buka matamu dan kenali, aku ada sam-taunia dari gunung Siauw-san !" Dengan menyebut 'sam-taunia (pemimpin ketiga) dari Siauwsan' si orang tinggi besar kira orang akan jadi kaget, tubuhnya gemeteran karena itulah Sam-ok Cui Seng, si Jahat ketiga yang tersohor paling bengis dan telengas diantara si Lima Jahat dari Siauwsan (Siauwsan Ngo-ok). Sam-ok Cui Seng ternyata salah hitung. Si nenek bukan gemetaran, sebaliknya tertawa terpingkalpingkal. Mendelu bukan main hatinya Sam-ok Cui Seng. "Apa yang kau ketawai, nenek gendeng ?" bentaknya. "Tepat dugaanku, kau ini orang jahat !" sahutnya kontan. Sam-ok Cui Seng tidak tahan meluap amarahnya. Dengan 'Elang lapar menyambar kelinci', ia menubruk Kim Popo. Tangan kanannya mencengkeram dada, sedang tangan kiri bekerja untuk merebut tongkat si nenek. Cepat gerakan itu dilakukan Sam-ok Cui Seng hanya sayang ia kalah cepat. Bukan saja tongkat si nenek gagal direbut, malah kepalanya hampir pecah digaplok tangan Kim Popo yang keras, kalau saja ia tidak keburu mengelakkan kepalanya. Sam-ok Cui Seng terkejut serangannya gagal, malah kepalanya hampir digempur pecah. Ia lompat mundur, mengawasi si nenek yang ketawa haha hihi. Sambil menunjuk dengan tongkatnya, Kim Popo berkata, "Badanmu memang tinggi besar, menyeramkan tapi tidak ada 'isi'. Buat main-main dengan Kim Popo, kau bukan tandinganku. Lekas kumpulkan saudara-saudaramu untuk mengerubuti aku !" Bukan main gusarnya Sam-ok Cui Seng ditantang demikian. Pikirnya, mungkin barusan ia kurang cepat gerakannya lantaran terlalu enteng memandang lawan. Ia penasaran, cuma sangsi kalau ia lawan si nenek dengan tangan kosong. Maka itu ia mencabut goloknya, berkata, "Jangan temberang. Lihat golok !" Perkataan Sam-ok Cui Seng disusul dengan satu sabatan golok pada pinggang. Kim Popo ketawa terkekeh-kekeh sambil tubuhnya dengan enteng lompat tinggi mengelakkan serangan, terputar sebentaran baru turun menginjak lantai lagi. Sam-ok Cui Seng Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo merangsek, goloknya menyerang bertubi-tubi. Ia mainkan ilmu goloknya 'Ngo-houw-toan-bun-to' atau 'Lima macan menjaga pintu'. Tidak ia memberi kesempatan untuk Kim Popo perbaiki posisinya. Tapi pengalaman bertempur, Kim Popo jauh diatas Sam-ok Cui Seng. Ilmu goloknya 'Lima macan menjaga pintu' yang belum tamat, mana dapat membuat susah pada si nenek kosen yang menggunakan ilmu entengi tubuhnya baik sekali. Kim Popo ingin mencoba tenaga dalamnya si Jahat ketiga. Golok lawan yang mengarah dadanya, ia kelit nyamping ke kanan, dari mana tongkatnya digeraki menangkis golok dari bawah ke atas dengan tipu "Lutung hitam petik buah'. "Trang !" terdengar suara bentrokan dua senjata, goloknya Sam-ok Cui Seng terlempar jauh ke atas kemudain turun lagi menghajar lantai, sehingga menerbitkan suara keras. Sam-ok Cui Seng tampak berdiri menjublak, lengannya yang barusan mencekal golok gemetaran, sakit bukan main. Matanya melotot mengawasi Kim Popo yang tengah terkekehkekeh tertawa. Sekonyong-konyong si nenek merasa ada angin menyambar dari belakang. Ia duga akan datangnya senjata rahasia. Cepat ia lompat nyamping ke kiri. Benar saja, itulah piauw beracun yang dilepas oleh Ji-ok Cui Kin. Kalau si nenek selamat dari piauw beracun, adalah orangnya Siauwsan Ngo-ok yang berdiri di depan Kim Popo menjerit dan jatuh rubuh. Ia terkena senjata piauwnya Ji-ok Cui Kin tepat sekali, tidak ampun lagi, ia roboh tidak berapa lama. Tubuhnya berkelojotan dan rohnya segera terbang. Berbareng dengan dilepas senjata rahasianya, Ji-ok Cui Kin enjot tubuhnya melesat, tancap kaki didepannya Kim Popo yang barusan saja memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang melepas senjata rahasia tadi. "Nenek tua !" bentak Ji-ok Cui Kin gusar. "Kau datang menhina kami, apa maksudmu " Apa kau kira mudah keluar dari kuil ini setelah kau mengacau ?" Kim Popo awasi orang di depannya. Ternyata ia tidak lain adalah si hidung panjang yang duduk berduaan dengan si berewokan di sebelah dalam. Ia berdiri diatas sebelah kakinya yang kanan karena kaki kirinya kutung sebatas dengkul. "Kau yang melepaskan piauw barusan ?" tanya Kim Popo, keningnya mengkerut. "Tidak salah !" sahut Ji-ok sambil menepuk-nepuk dadanya. "Bagus !" teriak Kim Popo, tongkatnya berbareng diangkat untuk mengemplang batok kepala Ji-ok Cui Kin, tetapi Ji-ok cepat menangkis dengan pedangnya. Dua senjata saling bentur hingga meletikkan bunga-bunga api. "He he, boleh juga tenagamu," kata Kim Popo ketika melihat pedang lawannya masih tetap tercekal ditangannya. "Sambutlah ini !" si nenek melanjutkan kata-katanya seraya gerakkan tongkatnya menyodok ke arah punya 'gudang makanan' (perut), menuju jalan darah "Liong-kek-hiat'. Ji-ok Cui Kin tidak takut. Ketika ujung tongkat sampai ia mengegos, pedangnya dipakai menekan. Kemudian diserosotin untuk memapas tangan yang mencekal senjata berat itu. Inilah gerakan yang dinamai 'Tok coa poan cu' atau 'Ular berbisa melilit tiang', satu jurus yang berbahaya sekali bagi lawannya, ialah akan terpapasnya tangannya. Melihat gelagat jelek, Kim Popo cepat tarik pulang tongkatnya, lompat ke samping kiri musuhnya, akan dari mana tongkatnya bekerja menotok pada jalan darah di iga. Serangan ini dilakukan cepat sekali hingga Ji-ok Cui Kin gugup untuk menangkisnya. Dalam bahaya dia. Tapi ada bintang penolong yang datang tiba-tiba. Itulah Toa-ok Cui Ping, si berewok tadi yang menolongi saudaranya menangkis tongkat Kim Popo dengan goloknya. Sementara itu Ji-ok Cui Kin sudah lompat menjauhkan diri. Kim Popo marah, alisnya berdiri. Ia penasaran sekali pada orang yang sudah gagalkan serangannya yang hampir berhasil Ia mengawasi Toa-ok dengan roman yang geregetan sekali. Maka tidak banyak omong lagi, ia angkat tongkatnya menyerang si berewok. "Tahan !" kata Toa-ok Cui Peng sambil berkelit dari serangan dan lompat mundur empat tindak. "Binatang, kau mau omong apa lagi ?" bentak Kim Popo kasar. Toa-ok Cui Peng angkat tanganya bersoja, katanya, "Maafkan, aku Cui Peng kurang hormat. Tapi tolong jelaskan apa sebab kau orang tua datang mengacau disini ?" "Aku mengacau " Hm ! Kau tanya orang-orangmu sendiri tanpa sebab sudah datang mengeroyok padaku, memangnya aku orang apa ?" jawab si nenek mendongkol. Cui Peng dapat memahami duduknya kejadian. Memang kesalahan dipihaknya, orang-orangnya suka berlaku sewenang-wenang dan perbuatan meraka justru kali ini 'kena batunya' menemui si nenek kosen. Ia tidak menjawab si nenek yang balik menanya, sebaliknya ia berkata lagi, "Aku mengagumi kepandaianmu, orang tua ! Untuk menyingkat waktu, bagaimana kalau pertempuran dengan senjata dirubah dengan pertaruhan ?" "Kau mau bertaruh apa ?" tanya Kim Popo, suaranya tidak sekasar tadi. Rupanya ia measa si berewokan ini, meskipun kelihatannya bengis kasar, tiap pertanyaannya diucapkan dengan sopan santun. "Begini saja," sahut Cui Peng, "kita bertaruh dalam dua babak. Kalau aku menang, kau harus meninggalkan kuil ini tanpa syarat." "Kalau aku yang menang ?" Kim Popo memotong pembicaraan orang yang belum habis. "Kalau yang yang menangi, kami tiga saudara akan berlutut di depanmu dan angkat kau orang tua menjadi ibu angkat kami. Akur !" sahut Cui Peng ketawa. Si nenek termenung sebentar. "Baiklah, bagaimana caranya bertaruh ?" Kim Popo menanya. "Babak pertama, kita masing-masing menghadapi batu besar. Siapa yang memukul lebih patah pada batunya masingmasing, dialah yang menang." menerangkan Toa-ok Cui Peng. Dan babak yang kedua, kita masing-masing menghadapi dua batang besi. Siapa yang dapat menekuk atau mematahkan, dia yang menang." Kim Popo kembali temenung. Ia tidak sadar bahwa ia tengah diliciki oleh Toa-ok Cui Peng. Si berewok memang ada ahli 'Gwakang' (tenaga luar) disamping ia mempelajari juga lwekang (tenaga dalam). Ia sangat andalkan tenaganya yang seperti raksasa. Pikirnya, si nenek yang kurus kering seperti yang kurang makan itu, pasti dengan mudah dikalahkan olehnya. Si berewok sangat licin. Ia tahu kepandaiannya Kim Popo ada di atas mereka tiga saudara dan bila si nenek dikerubuti, belum tentu mereka akan peroleh kemenangan. Pikirnya dari pada buang tempo, malah bisa-bisa mendapat celaka, lebih baik si nenek ia ajak bertaruhan untuk jurusan yang ia andalkan, yang ia percaya seratus persen Kim Popo akan tergelincir kalah hingga ia boleh angkat kaki dari kuil itu tanpa adu senjata lagi. Setelah termenung, Kim Popo berkata lagi, "Kalau kau kalah, tak usah ganti berbahasa pakai ibu segala, cukup kau orang memanggil 'Popo' (nenek) saja." "Bagus, kami menurut saja kau orang tua punya kemauan." jawab Cui Peng merendah sambil anggukan kepala. "Nah, kau unjukkan dimana barangnya yang hendak digunakan sebagai sasaran bertaruh." tanya Kim Popo. "Oh, itu ada di belakang kuil ini. Mari turut aku ke sana !" sahut Cui Peng. Berbareng ia berjalan diikuti oleh dua saudaranya Ji-ok Cui Kin dan Sam-ok Cui Seng, sedang Su-ok Cui Tie ada di markas besarnya, gunung Siauw-san, tidak ikut hadir dalam keramaian dalam kuil tua itu. Kim Popo turut dari belakang. Kemudian yang lain-lainnya, jagoan dibawahnya Siauw-san Ngo-ok menyusul mengikuti. Mereka kegirangan akan menyaksikan keramaian yang bakal dilihat. Sesampainya dibelakang ruangan kuil, Toa-ok dengan muka bersenyum ramah mengunjukan pada Kim Popo dimana letaknya dua barang yang bakal dipakai sasaran itu. Tampak di depan agak sebelah kiri, ada dua buah batu besar sepelukan orang. Entah berapa ratus kati beratnya. Di sebelah kanannya di satu pojokan, ada menyandar dua batang besi dari ukuran tengah dua dim dan panjangnya kurang lebih dua setengah meter. Setelah mengawasi sejenak, si nenek tampak kerutkan keningnya. Matanya Toa-ok yang awas, dapat melihat perubahan ini. Dalam hatinya amat kegirangan. Sebab dengan mengunjuk sikap demikian, kelihatannya si nenek tidak mungkin akan menang dalam pertaruhannya. "Bagaimana, apakah kita boleh mulai ?" tanya si berewok. "Boleh saja, kau boleh mulai. Tapi tunggu dahulu." kata Kim Popo seraya berjalan menghampiri dua batu besar bakal sasaran itu. Ia memeriksa sambil pegang-pegang. Benarbenar batu itu kelihatannya alot. Lalu ia jalan menghampiri dua batang besi yang merupakan toya besar. Juga disini ia pegang-pegang barang itu dan memeriksa dengan teliti. Mulutnya kemak kemik seperti ada yang dikatakan tapi tidak kedengaran oleh siapa pun juga disitu. Makin kegirangan Toa-ok melihat gerak geriknya si nenek. "Marilah kita mulai." kata si berewok sambil maju menghampiri satu diantara dua batu besar itu. "Jangan sungkan, kau boleh mulai !" kata Kim Popo yang melihat Toa-ok unjuk laga seperti yang pasti akan dapat memukul belah batu itu. "Baiklah," sahutnya. Lalu dikerahkanlah tenaga luar. Kecuali Kim Popo yang sikapnya acuh tak acuh, semua orang yang ada menyaksikan disitu dan tegang hatinya, masingmasing kuatir kepala pemimpinnya gagal dalam pertaruhannya. Setelah mengerahkan tenaganya, tampak Toa-ok Cui Peng mengangkat tangannya yang kanan, dibeber macam golok lalu dengan tiba-tiba tubuhnya mendak, tangannya membacok. Segera terdengar suara terbelahnya batu. Batu besar itu terbelah dua. Di susul oleh sorak ramai, gegap gempita dan seruan "Hidup pemimpin kita !". Kemudian Toa-ok Cui Peng jalan menghampiri para penonton dengan roman tertawa-tawa. Disambut oleh orang-orangnya sambil tampik sorak ramai. "Bagus." memuji Kim Popo. "Toa-taunia, hampir kau bikin aku jeri dan terima kalah. Kalau hatiku tidak mendesak untuk cobacoba." "Ah, kau terlalu merendah, orang tua." sahut Cui Peng ketawa. Kim Popo pun tertawa. Lalu ia minta salah seorang pegangi tongkatnya. Ia sendiri jalannya mendekati batu besar bagian sasarannya. Setelah datang dekat, ia berdiri sejenak lalu berpaling ke arah orang banyak. Kepalanya manggut-manggut lalu entah bagaimana ia bergerak, tangannya yang kanan tiba-tiba menggaplok batu besar itu. Terdengar suara gemuruh, batu itu ternyata hancur berantakan. Orang banyak jadi terkesima melihatnya. Mereka sangat tertegun sampai lupa bersorak sorai. Suasana menjadi sunyi sebentaran sampai kemudian Toa-ok Cui Peng yang juga terbelalak matanya keheranan sudah bisa menghilangkan rasa cemasnya dan dengan muka tertawa, ia menyambut Kim Popo yang sudah balik lagi ke tempat orang banyak berkumpul. "Orang tua, kau hebat sekali ! Kali ini kau menang. Marilah kita mulai dengan babak yang kedua." si berewok menantang seraya menghampiri dua lonjoran besi berat yang menyandar di tembok. Ia ambil satu antaranya. Besi yang berat itu ditangannya seolah-olah bambu saja entengnya. Ia putar-putar sebentar lalu berkata pada Kim Popo, "Bolehkah aku mulai, orang tua ?" Kim Popo manggut. "Kau boleh mulai, Toa-taunia." Ia menyilahkan. Toa-ok Cui Peng gunakan dengkulnya sebagai penahan besi. Tenaganya dikerahkan pada kedua tangannya dan dengkul, lalu...... besi lonjoran itu pelan-pelan melengkung dan mulai jadi bundar. Kembali terdengar tampik sorak riuh rendah dan ucapan bersemangat "Hidup pemimpin kita" beberapa kali. Malah ada yang berjingkrakan kegirangan. Ji-ok dan Sam-ok berseri-seri mengawasi Kim Popo yang tengah mengerutkan keningnya. Pikir mereka, kali ini Toakonya bakal menang hingga stand menjadi seri 1-1. Setelah melengkung hampir bundar, besi itu dilemparkan oleh Toa-ok Cui Peng dan ia kembali ke rombongannya, mukanya tersungging senyuman puas. Ia kemudian berkata pada Kim Popo, "Silahkan orang tua !" Si nenek tanpa dipersilahkan kedua kalinya, ia sudah lantas menghampiri besi berat itu. Ia pegang kemudian diputar-putar seperti Toa-ok tadi berbuat. Setelah mana, ia pegang dengan kedua tangannya. Ia timbang-timbang, akan sebentar lagi orang lihat besi itu dilemparkan ke atas dengan kedua tangannya, terputar sebentar kemudian jatuh turun dalam keadaan melintang. Inilah ada suatu demonstrasi yang mempersonakan. Penonton tidak tahu apa yang akan dilakukan Kim Popp atas besi yang berat itu, yang jatuh turun dengan melintang. Toa-ok Cui Peng dengan dua saudaranya saling mengawasi, mata seperti saling menanya. Tidak menanti lama keputusan, sebab tiba-tiba si nenek berseru keras. Sambil lompat memapaki besi yang jatuh turun, lengan kanannya menghajar keras persis di tengah-tengah lonjoran besi itu. "Peletak !" terdengar suara barang patah. Itulah toya besar yang patah jadi dua turun jatuh ke tanah. Kali ini, saking heran dan gembiranya menyaksikan kepandaiannya Kim Popo yang istimewa, penonton bersorak riuh. Teriakan terdengar, "Hidup, hidup......." "Hidup Popo !" Toa-ok tambahkan teriakan kawan-kawannya yang kelihatan ragu-ragu untuk menyebutkan "Popo". Maka, setelah diberi contoh, lalu teriakan "Hidup Popo, hidup Popo" menggema dalam ruangan di belakang kuil tua itu yang tidak seberapa besarnya. Kini dengan hati rela, Siauw-san Ngo-ok menyerah kalah. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ketika Kim Popo balik ke tempat rombongan, tanpa ditegur, Toa-ok dan dua saudaranya yang lain telah menekuk lututnya sambil menyebut, "Popo, anak-anakmu memberi hormat dan mengucapkan selamat panjang umur !" "Bangunlah Toa..... eh, anak-anak. Aku paling tidak suka banyak peradatan !" kata Kim Popo yang menyilakan anakanak angkatnya bangun dari berlututnya. Demikianlah ada kejadian cara bagaimana Siauw-san Ngo-ok menjadi anak-anak angkatnya dari Kim Popo. Toa-ok Cui Peng dan saudara-saudaranya kegirangan mendapat ibu angkat yang demikian kosen. Segera mereka menyuruh orang-orangnya menyiapkan satu meja makanan untuk mereka berpesta pora menghormati Kim Popo. Ketika rombongan kembali masuk ke ruangan dalam pula, Kim Popo dapatkan dua orang yang ditelikung tangannya masih ada. Ia lalu minta keterangan dari Toa-ok, siapa mereka itu. Kiranya mereka itu ada dua orang piauwsu dari Sam Seng Piauw Kiok di kota Tongkwan propinsi Siamsay. Satu perusahaan pengawalan barang yang sangat terkenal, karena pengiriman-pengiriman yang diurus oleh Sam Seng Piauw Kok hampir belum pernah gagal atau mendapat halangan di jalanan. Kim Popo tampak kerutkan keningnya setelah mendengar keterangan Toa-ok Cui Peng. Kemudian mengawasi kedua piauwsu yang berlutut sambil tundukan kepala. "Hehe, kenapa si orang she Liong pakai dua orang tidak berguna begini ?" kata Kim Popo, suaranya pelan tapi cukup kedengaran oleh dua piauwsu itu. Berbareng mereka angkat kepalanya, mengawasi pada si nenek. "Kami sudah kena ditawan. mau dibunuh, boleh bunuh. Untuk apa banyak rewel ?" berkata satu diantara piauwsu itu yang mukanya persegi. Kawannya yang jenggotnya jarang, sambil tertawa sini berkata, "Tanpa perangkap belum tentu dapat merobohkan kami berdua !" "Kau bernama apa ?" tanya Kim Popo kepada si muka persegi. "Aku bernama Liok Tek Kim. Belum pernah aku menukar nama !" sahutnya. "Dan kau ?" tanya Kim Popo pada si jenggot jarang. "Aku Tan Kim Tie." jawabnya gagah. "Kau pernah apa dengan Liong Seng, pemimpin dari Sam Seng Piauw Kiok ?" si nenek tanya Liong Tek Kim. "Aku adalah keponakannya." sahutnya singkat. "Bagus." kata Kim Popo. "Sekarang bagaimana kehendak kau orang ?" "Sudah kukatakan, mau bunuh boleh bunuh. Tak usah banyak cingcong !" sahut si muka persegi, suaranya keras, hatinya tidak gentar. "Hehe." Kim Popo tertawa. "Anak-anakku, merdekakan dua orang ini." Toa-ok dan saudara-saudaranya melenggak mendengar katakata Kim Popo. Tidak kecuali dengan dua orang tawanan yang ditelikung tangannya. "Tapi......ah, Popo........" kata Sam-ok Cui Seng gugup. "Merdekakan !" potong si nenek. "Aku bilang merdekakan harus turut !" Sam-ok Cui Seng melirik pada saudara tuanya seperti minta pendapat. Toa-ok Cui Peng mengedipkan matanya, kepalanya manggut sedikit, suatu pertanda saudara ketiga itu bolhe lakukan perintah si nenek. Tanpa sangsi, Sam-ok Cui Seng perintahkan orang-orangnya untuk memerdekakan dua orang tawanannya. Sekejapan saja tangan mereka sudah merdeka, tapi mereka masih tetap berlutut. "Bangun !" kata Kim Popo. "Kenapa kalian masih tetap berlutut "' Dua piauwsu itu tidak menyahut, hanya keduanya pada tundukkan kepala. Kim Popo heran. Ketika diselidiknya, kiranya mereka sudah tidak dapat bangkit dari berlututnya karena dengkul masingmasing lemas akibat hajaran (siksaan) pada kakinya dipaksa mereka berlutut oleh Sam-ok Cui Seng. Kim Popo kerutkan keningnya. Kemudian ia suruh orang periksa lukanya dan diberi obat lalu diangkut ke lain ruangan dimana mereka direbahkan dan diberi pertolongan lebih jauh. "Apa memangnya Popo kenal dengan Liong Seng, pemimpin dari Sam Seng Piauw Kiok ?" tanya Toa-ok Cui Peng setelah dua piauwsu itu digotong ke lain ruangan. Kim Popo anggukan kepalanya. "Orang she Liong itu yang bergelar Tiat-gee (Si Kerbau Besi), selain ilmu silatnya lihai, dia juga ada seorang yang peramah." menutur si nenek. "Luhur budinya, suka tolong orang yang dalam kesusahan hingga dia sangat dihormati oleh lawan dan kawan. Pun pergaulannya ada sangat luas, banyak kawan-kawan atau sahabat-sahabatnya yang berkepandaian tingi di kalangan putih maupun hitam (baik dan jahat) hingga Piauw kioknya mendapat banyak kemajuan.........' "Dia toh tidak punya hubungan penting dengan Popo." memotong Sam-ok Cui Seng tidak sabaran. Rupanya ia masih menyesal dua tawanannya dimerdekakan. Kim Popo pelototi matanya pada si jahat ketiga itu. Toa-ok dilain pihak mengedipi saudaranya, hingga Cui Seng tundukkan kepala. "Aku belum bicara habis, kau sudah main potong saja !" kata Kim Popo, suaranya kaku. "Aku paling tidak suka orang potong bicaraku !" -- 3 -- Si nenek yang adatnya cepat ngambul dan cepat marah, hampir tidak mau melanjutkan penuturannya kalau tidak Toaok yang membujuknya dengan sabar. Kiranya si nenek itu hutang budi pada Tiat-gu Liong Seng yang memberikan pertolongan di waktu ia sakit dalam sebuah hotel di Tongkwan. Si Kerbau Besi bukan saja menolong dalam hal keuangan dan pengobatan, malah dengan ramah tamah mengundang ia tinggal dalam rumahnya yang besar untuk beristirahat sampai ia sehat dan segar benar, baharu dilepaskan ia merantau lagi. Dilihat romannya yang jelek dan keriputan, ditaksir usianya Kim Popo sudah dekat mencapai tujuh puluh tahun. Namun, sebenarnya ia baharu lima puluhan. Kenapa kelihatannya jadi begitu tua, itu ada sebabnya. Mukanya yang bagus cantik telah berubah jelek keriputan akibat ia masak obat beracun yang tiba-tiba meledak menyambar ke mukanya. Mendengar ceritanya Kim Popo, Toa-ok Cui Peng manggutmanggut kepalanya. Ia merasa bertindak keliru dengan merampas barang-barang antarannya Sam Seng Piauw Kiok di bawah pimpinannya Tiatgu Liong Seng yang mulia hatinya. Di samping jeri menghadapi pembalasannya si Kerbau Besi yang banyak kawannya yang lihai, juga Ketua dari si Lima Jahat itu merasa segan pada ibu angkatnya. Maka barangbarang rampasan dikembalikan pada Liok Tek Kim dan Tan Kim Tie dengan tidak kurang suatu apa. Dua piauwsu itu mengucapkan terima kasih terutama pada Kim Popo sebab dengan datangnya si nenek itu telah membuat perubahan yang mereka tidak sangka-sangka. Ketika Liong Tek Kim menanya hal hubungannya si nenek dengan pemimpinnya, Kim Popo hanya ketawa haha hihi saja, akan kemudian ia berkata juga, "Tak usah banyak tanya. Kau nanti akan dapat tahu dari si Kerbau Besi kalau kau sudah kembali di Tongkwan." Liong Tek Kim tidak berani banyak tanya pula. Maka ia lalu siapkan orang-orangnya untuk berangkat lebih jauh, ke tempat barang-barang kiriman itu dialamatkan. Ia dan kawannya masih belum bisa jalan atau naik kuda karena kakinya masih lumpuh. Maka terpaksa ikut naik dalam kereta piauw yang mereka kawal. Sementara itu, hujan lebat pun sudah berhenti. Kim Popo diundang Toa-ok Cui Peng sama-sama pulang ke markasnya di Siauw san, tapi Kim Popo menolak dengan alasan bahwa ia masih banyak urusan yang perlu diselesaikan dan berjanji begitu sudah ada ketikanya, ia akan datang ke sana menyambang anak-anak angkatnya. Demikianlah, setelah menjamu Kim Popo sebagai kehormatan menjadi ibu angkat Siauw-san Ngo-ok, maka mereka telah berpisahan satu dengan lain. Mari kita lihat Lo In, si bocah yang dicari oleh Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya yang dianggap ada bibit bencana kalau tidak dibinasakan. Ketika Siong Leng Tojin ingat Lo In, si bocah itu waktu sedang mengintip jendela. Cepat-cepat ia jauhkan diri waktu ia dengar dirinya akan dicari di sebelah luar, menyelingkar dibaliknya sebuah pohon besar. Pemeriksaan dilakukan sangat teliti, bukan saja diatas pohonpohon karena di duga Lo In ngumpat di atas pohon, juga batu besar itu, dibelakang mana Lo In pernah mengumpat telah diselidiki dengan seksama. "Untung aku sudah tidak sembunyi disitu." kata Lo In dalam hati kecilnya, waktu melihat batu besar itu diperiksa keras. Hasilnya mereka laporkan pada Siong Leng Tojin, tak dapat mencari Lo In setelah uber-uberan dicari. Setelah mayat Ji-ok Cui Kin ditanam, mereka lalu meninggalkan tempat itu pada esok paginya terang tanah. Toa-ok jalan sambil panggul tubuhnya Sam-ok Cui Seng yang kutung kaki kanannya. Mereka tidak memusingkan kemana perginya Kim Popo sebab mereka masing-masing sudah tahu adatnya si nenek yang angin-anginan, setiap waktu ia pergi tak pernah memberitahukan bahwa ia akan pergi ke mana. Setelah keadaan aman, barulah Lo In berani memasuki rumahnya. Tampak olehnya, keadaan dalam rumah morat marit, bekas diaduk-aduk kawanan penjahat, hatinya bukan main sedihnya. Lo In dijatuhkan diri di kursi malas, yang biasa Liok Sinshe rebahan, otaknya berputar, memikirkan hidupnya yang seterusnya tanpa orang melindungi dirinya. Air matanya mengembeng, sakit hatinya, tangannya dikepalkan. "Aku akan membalas dendam akan kematiannya Liok Sinshe !" ia berkata sendirian, matanya beringas dan tangannya dikepal-kepalkan. Lucu kelihatannya kalau anak kecil lagi lagi. Kapan ia ingat akan nasehat Liok Sinshe bahwa ia harus berlaku tenang jika menghadapi sesuatu urusan, biar bagaimana besar pun, maka amarahnya menjadi reda. Sebagai gantinya, kembali ia menangis, menangis terisakisak. Lo In terkenang pada masa lampau, lima tahun berselang hidup terlunta-lunta diantara anak-anak gembel di kota Lamkoan. Pada hari itu tengah bermain-main di pekarangan kuil Thian-ong-sie. Tiba-tiba pundaknya ada yang tepuk. Ketika ia menoleh, tampak seorang laki-laki berparas cakap menatap kepadanya. Di atas alis kirinya ada tanda codet seperti bekas barang tajam. Senyumannya yang menawan, telah menarik sekali hatinya. Itulah orang yang belakangan ia kenal sebagai Liok Sinshe, yang telah angkat ia dari dunia gelandangan menjadi seorang anak yang cerdas tangkas, yang melindungi dan mencintainya sebagai ganti ayahnya. Masih berbayang saat itu, mula-mula ia ketika ia bertemu Liok Sinshe. "Anak, apa kau sudah makan ?" tanyanya Liok Sinshe diwaktu itu. Lo In menggelengkan kepala. "Apa mau makan ?" tanya Liok Sinshe. Lo In mengangguk. "Mari ikut aku !" kata Liok Sinshe berbareng tangannya Lo In dipegang, diajak berlalu dari situ untuk kemudian mereka memasuki sebuah rumah makan. Lo In menurut disuruh duduk diatas bangku yang kitari meja makan. Setelah pesan makanan, Liok Sinshe berkata lagi pada Lo In, "Anak, kau begini kurus." Lo In tidak menjawab. Kepalanya nunduk, mengawasi bajunya yang kumel dan robek disana sini. "Ayah dan ibumu ada dimana ?" tanya Liok Sinshe memancing si bocah bicara. Lo In geleng kepala. "Akut idak tahu ayah dan ibu dimana." sahutnya kemudian. Sementara itu, pelayan sudah siapkan hidangan di atas meja. Lo In awasi makanan di depannya. Ia menelan ludah, mengilar dia rupanya. Liok Sinshe memperhatikan anak gembel itu, kurus dan pucat mukanya. Pakaiannya compang camping, hatinya merasa sangat kasihan. "Mari kita makan !" mengajak Liok Sinshe seraya mulai pegang sumpitnya. Lo In tidak perlu diundang dua kali, sebab segera ia pegang sumpit dan mulai cobai makanan yang barusan membuat ia menelan ludah saking kepingin cicipi. Ia makan banyak, malah dua kai ia minta tambah nasi. Liok Sinshe ketawa menampak perbuatan Lo In yang lucu, simpati serta gerakannya ada cekatan sekali. "Eh, namamu siapa ?" tanya Liok Sinshe. "Namaku In, orang bila aku she Lo" jawabnya, mulutnya penuh nasi. Geli hatinya Liok Sinshe melihat Lo In yang gembul makannya. "Bagus," kata Liok Sinshe. "Kau mau ikut aku ?" "Kemana ?" Lo In balik menanya. "Kemana saja." sahut Liok Sinshe. "Kita jalan-jalan melihatlihat keramaian kota diberbagai tempat." Lo In meletakkan sumpitnya, mengawasi sebentar pada orang didepannya. "Mau, aku mau !" katanya kegirangan. Demikian, sejak itu Lo In ikut mengembara dengan Liok Sinshe ke berbagai tempat, kemudian menetap diatas jurang Tong-hong-gay. Melebihi dari dugaannya sendiri, Liok Sinshe lihat kecerdikan dan ketajaman otaknya Lo In ada luar biasa. Tiap pelajaran Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo baik surat maupun ilmu silat, belum pernah diulang sampai tiga empat kali. Paling banyak dua kali sudah cukup, ini juga kalau ruwet. Lo In ternyata ada satu anak yang jenaka, banyak menghibur hatinya Liok Sinshe dikala dalam kesunyian merenungkan nasibnya yang terumbang ambing. Semakin Lo In tambah umur, Liok Sinshe tampaknya semakin sayang pada si bocah hingga Lo In dapat mewariskan kepandaiannya Liok Sinshe salam ilmu surat dan ilmu silat yang lihai. Sayang ia masih anak-anak hingga belum dapat digembleng tenaga dalamnya, kalau tidak, ia sudah selihai Liok Sinshe, malah ada kemungkinan ia lebih gesir dan cepat lagi. Meskipun demikian, pelan-pelan Liok Sinshe memulai dengan gemblengannya tenaga dalam (lwekang). Dimulai ketika umurnya Lo In meningkat sepuluh tahun. Maka ketika ada penyerbuan dari Siauw-san Ngo-ok dengan kawan-kawannya itu adalah dikala Lo In baru dapat gemblengan lwekang dua tahun lamanya. Sebenarnya Lo In ingin membantu Liok Sinshe waktu dikerubuti. Cuma saja, selain ia ragu-ragu akan kepandaiannya sendiri, yang terutama ia takuti Liok Sinshe tegur dan marahi padanya, tidak menurut perintah untuk lari menyelamatkan diri. Maka juga ia tinggal mengintip nonton saja pertarungan seru itu. Ia perhatikan betul gerak gerik Liok Sinshe mempraktekkan kepandaian yang telah diajarkan padanya. Inilah yang membangkitkan nyalinya jadi besar, untuk dalam usia yang masih anak-anak kelak ia dapat menjatuhkan lawanlawan dari penolongnya (Liok Sinshe). Sekarang Liok Sinshe sudah tidak ada lagi dalam dunia, kemana Lo In harus pergi " Apakah ia tinggal tetap saja di atas jurang Tong-hong-gay untuk meyakinkan ilmu tenaga dalamnya lebih jauh " Pusing kepalanya Lo In memikirkan itu semua. Tiba-tiba ia rasakan perutnya bergeruyukan minta makan. "Kurang ajar, orang sedang kesusahan, ada-ada saja !" ia berkata sendirian, menyesalkan perutnya yang menyelak diantara alunan ngelamunnya. Sambil berkata begitu, Lo In bangkit dari duduknya, masuk ke ruang belakang untuk cari makanan. Sebentar lagi tampak ia sudah pegang satu potong besar kue. Sambil mengganyang ransum kering itu ia berjalan keluar. Maksud Lo In mau duduk ngelamun di atas kursi malasnya Liok Sinshe tapi sekonyong-konyong ia merandak jalan dan berdiri terpaku seperti ada apa-apa yang tiba-tiba mundul dalam ingatannya. Matahari pagi sudah mulai naik tinggi, sementara Lo In berdiri terpaku. "Tidak, tidak. Aku tidak percaya dia mati !" ia menggumam. Lo In tidak jadi menghampiri kursi malas. Sebaliknya, ia putar tubuhnya dan jalan mendekati peti obat-obatan. Ia periksa di dalamnya sudah berantakan. Rupaynya peti itu tidak menjadi kekecualian diaduk-aduk oleh Kim Popo yang mencari buku ilmu menotok jalan darah, Tiam-hiat Pit-koat. Meskipun berantakan, botol-botol kecil yang terisi obat-obat pil dan puder (bubuk) tidak sampai berceceran, semuanya masih utuh. Lalu ia ambil botol-botol terisi obat itu, semuanya ada enam botol, dimasukkan ke dalam kantongnya. Sebelum Lo In bertindak, tangannya yang kanan dimasukkan pula ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan dua botol yang berisi pil dan puder. Tangannya diangkat tinggi-tinggi, matanya memandang tajam pada dua botol itu. Tiba-tiba ia berteriak kegirangan, "Hidup, hidup. Dia masih hidup. Ha ha ha !" Tampak si bocah berjingkrakan seperti orang gila. Apakah Lo In sudah hilang ingatannya " Apa ia sudah jadi gila mendadak " Kalau tidak, kenapa ia berjingkrakan sekonyongkonyong " Tidak, Lo In tidak gila. Saking girangnya, setelah ia berpikir bahwa Liok Sinshe akan ketolongan dengan dua rupa obat ditangannya tadi, maka ia jadi berjingkrak-jingkrak. Maklumlah anak masih kecil yang kegirangannya meluap-luap. Di lain saat, kelihatan ia sudah berlari-larian menuju ke tepi jurang. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ia rem larinya, lalu putar tubuh dan balik kembali. Benar-benar lucu kelakuannya si bocah Lo In. Apa maunya Lo In balik lagi " Oh, kiranya ia balik ke rumahnya mengambil pedangnya Liok Sinshe yang disimpan rapi di balik pintu. Itu adalah satu pedang pendek, hanya kira-kira dua kaki panjangnya ketika Lo In hunus dari sarungnya. Pedang itu tidak mengkilap sinarnya, seperti kebanyakan pedang-pedang dari jago-jago Sungai Telaga (kang-ouw), hanya kebiru-biruan kalau terkena sinar matahari. Bentuknya tidak menarik, hingga pantas sekali kalau ia menjadi penghuni dalam sarung yang sudah kumel. Entah sudah berapa puluh tahun pedang itu dipakai oleh Liok Sinshe dalam hidupnya malang melintang dalam dunia Sungai Telaga. Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya ketika melewatkan sang malam dalam rumah itu dengan pintu terpentang. Coba kalau ketika itu, pintu itu ditutup. Pasti senjata tajam Liok Sinshe akan dibeslag, meskipun bentuknya jelek, demikian pandangan Lo In si bocah. "Kenapa Liok Sinshe pakai pedang beginian ?" tanya Lo In pada dirinya sendiri, seraya membulak balik memeriksa. Ia baru pertama kali melihat senjatanya Liok Sinshe, selama ia ikuti penolongnya itu. Yang menarik hatinya si bocah adalah bobotnya pedang itu enteng sekali, maka ia memasuki pula ke dalam sarungnya, ia gantung di pinggangnya lalu jalan mundar mandir dengan sikap perwira. Sok aksi anak itu, tapi lucu laga lagunya dasar anak-anak. Sayang Liok Sinshe tidak ada. Coba ada, tentu akan terpingkal-pingkal melihat Lo In dalam gayanya sendiri menjual aksi. Lo In dilain saat sudah berada diluar rumah, dengan di pinggangnya menyandang pedang. Bocah itu dalam usia meningkat dua belas tahun, tubuhnya kurus dan lebih tinggi dari anak-anak biasa dalam usia pantarannya. Maka, kelihatan pantas sekali pedang warisan Liok Sinshe itu tergantung di pinggangnya yang ceking. Ia berdiri sejenak di depan rumah. Matanya memandang ke sekitarnya, kemudian gerakin kakinya melangkah. Ternyata kali ini ia bukannya lari ke tepi jurang, hanya ia lari menghampiri batu besar yang semalam ia pakai sembunyikan diri. Di depan batu mana kira-kira satu tindak jauhnya, ia hunus pedangnya lalu jongkok untuk menggali tanah. Sebentar lagi, ditangannya sudah terpegang satu kotak persegi empat dari ukuran empat cun dan tinggi dua cun. Setelah dipandang, ia mau masukkan barang itu ke dalam sakunya tapi berbarang pada saat itu ia kaget dan lompat mundur mendengar suara orang ketawa di balik batu. "Hi hi hi ! Anak kecil, serahkan barang itu pada nenekmu." demikian Lo In dengar orang berkata, segera berkelebat tubuh dari balik batu, siapa ternyata ada si nenek jelek Kim Popo. Lo In kenali si nenek yang mengaku membokong Liok Sinshe. Amarahnya timbul seketika. "Nenek jahat, kau mau apa ?" tegurnya kasar. "Begini caranya kau sambut nenekmu ?" kata Kim Popo seraya tertawa haha-hihi. "Mana aku ada punya nenek jahat sepertimu." ejek Lo In. "Jangan banyak cakap, bocah ! Lekas serahkan barang ditanganmu !" teriak si nenek. Kelihatannya marah bila dikatakan nenek jahat. "Kau mau ini ?" Lo In tanya sambil angkat kotak tadi ditangannya. "Mari kasih aku." Kim Popo sambil sodorkan tangannya untuk menjambret. Lo In tarik pulang tangannya. "Hmm ! Nenek jahat, tidak semudah itu !" katanya. Kim Popo rada-rada heran melihat jambretannya gagal. Sebab menurut pendapatnya, ia sudah bergerak cepat. Tapi si bocah kelihatan lebih cepat pula menarik tangannya. Ia penasaran. Ia lompat menubruk untuk merampas barang ditangannya Lo In, tapi untuk kedua kalinya ia dibuat gregetan karena Lo In sudah dapat berkelit dengan manis dari terkaman. "Bocah ini licin seperti si tabib busuk. Aku tidak boleh sungkan-sungkan lagi !" dmeikian pikirnya Kim Popo dalam hati. Segera ia gunakan tipu Ki ong pek touw atau elang lapar menyambar kelinci, dua tangannya yang berkuku runcing menyambar berbareng mencengkeram dada Lo In. Satu jurus yang agak ganas untuk digunakan terhadap anak kecil. Namun si nenek tidak memikir ke situ, ia hanya ingin menyingkat waktu, barang yang diingini itu lekas pindah dalam tangannya. Lo In tahu bahayanya serangan itu, tapi ia tidak takut. Pikirnya denagn ia majukan dua tangan menangkis, keras lawan keras, rasanya serangan si nenek dapat dipatahkan. Tapi Lo In lupa memperhitungkan bahwa tenaga dalamnya kalah jauh di banding dengan si nenek. Maka tidak heran ia segera rasakan kelalaiannya, ketika tangannya bentrok dengan tangan si nenek, ia rasakan dadanya tergentar dan tubuhnya terlempar jumpalitan sampai sepuluh tindak. Cepat Lo In bangun tapi dadanya dirasakan masih sesak. Si nenek, sementara itu sudah lompat maju, berdiri di depannya. "Bocah bau, kau rasakan nenekmu punya lihai,ya ?" katanya dengan suara menjengeki. Lo In tidak berani menjawab sebab ia tengah coba memeras tenaga dalamnya untuk mendorong pergi rasa sesak dalam dadanya. Begitu ia rasakan enak dadanya, tiba-tiba ia rasakan tangannya dicekal orang. "Keluarkan hayo keluarkan barang itu !" perintah Kim Popo. Tangannya si nenek yang mencekal tangannya dirasakan Lo In seperti sepitan besi. Lo In mengawasi Kim Popo dengan sorot mata benci. Melihat anak kecil itu membandel, Kim Popo tidak sabaran. "Kau masih belum mau keluarkan ?" katanya. Tangannya dipakai memencet lebih keras hingga butiran-butiran keringat pada merembes keluar dari lubang-lubang tubuhnya Lo In, saking ia menahan sakit. Bandel dan keras kepala anak itu. Ia lebih suka menahan rasa sakit dari pada menangis keluarkan air mata. Matanya menyala seperti berapi, tapi meluanpnya napsu membunuh ini hanya sejenak sebab segera tampak ia kalem lagi. Pelanpelan ia merogoh sakunya dan dikeluarkan kotak yang barusan ia gali. "Nenek jahat, tuh kau boleh gegares !" kata Lo In kasar sambil melemparkan kotak yang dipegangnya. Kim Popo lepaskan cekalannya lalu memungut barang yang ia impi-impikan itu ialah buku mungil 'Tiam-hiat Pit-koat' di dalam kotak itu. "Hehe, akhirnya kau menyerah juga bocah !" kata si nenek sambil coba buka kotak tadi tapi susah terbuka seperti ada kuncinya. "Hahaha !" kedengaran Lo In tertawa tiba-tiba. "Kau ketawai apa " Lekas serahkan anak kuncinya !" bentak si nenek. "Hahaha !" kembali Lo In tertawa. Kim Popo naik pitam. "Binatang cilik, kau main gila........!" bentaknya. "Kau kira hanya kita berdua disini ?" potong Lo In, air mukanya bersenyum. Kim Popo sudah siap menyerang Lo In tapi hatinya gentar mendengar kata-katanya si bocah, memotong bicaranya. "Memangnya ada siapa lagi ?" ia menanya. "Masih ada yang belum mati dibokong olehmu. Hahaha, si nenek jahat kena perangkap." Lo In tertawa terbahak-bahak hingga menimbulkan rasa takut si nenek meningkat. Pikirnya, apa benar Liok Sinshe tidak mati " Celaka ia kalau benar-benar mereka menggunakan perangkap. Liok Sinshe sudah pasti tak dapat mengampuni perbuatannya yang telengas membokong orang. Melihat Kim Popo seperti yang ketakutan, menengok sana sini sambil memegangi kotak lebih erat, seolah-olah yang takut dirampas orang. Lo In berkata pula, "Nenek jahat. Kau masih tunggu apa lagi. Tidak mau lepaskan kotak ditanganmu itu ?" "Kau mau mempermainkan aku " Kau membokong orang. Apa Liok Sinshe tidak akan menagih ?" sahut Lo In dan ia tekankan suaranya menjadi keras diwaktu menyebut 'Liok Sinshe'. Justru tekanan suara 'Liok Sinshe' itu yang membikin semangatnya Kim Popo hampir terbang seketika. Maka lantas saja ia geraki kakinya melompat kabur. Sebelum jauh, Lo In yang jail sudah ambil batu kecil dan disentilkannya, jitu mengenakan sasaran diarah atas sedikit dari kibulnya hingga dirasakan sangat sakit. Dan ini dianggap Kim Popo ada Liok Sinshe yang melakukannya hingga ia lari lebih kencang lagi. Lo In tertawa geli menyaksikan Kim Popo lari terbirit-birit ketakutan. Sebenarnya tidak ada Liok Sinshe. Si nenek hanya takut bayangannya sendiri saja lari ketakutan. Tadi, ketika dipencet tangannya oleh Kim Popo, Lo In menyala matanya seperti yang mengeluarkan apai, napsu dari pembunuhan. Tapi hanya sejenak ia sudah jadi sabar lagi. Itulah ia ingat akan pesan Liok Sinshe yang berkata kepadanya, "Anak In, jika kau menghadapi sesuatu yang genting, harus berlaku tenang. Sebab ketenangan yang menimbulkan jalan pemecahan !" Kata-kata Liok Sinshe ini yang mengiang ditelinganya waktu itu hingga dari meluap amarahnya ia menjadi kalem dengan tiba-tiba. Dan kemudian timbul dalam otaknya yang cerdik suatu pikiran yang baik untuk menggertak si nenek lari tunggang langgang dengan cuma menyebut namanya Liok Sinshe. Kejadian itu ialah begitu mudah si nenek kena digertak, sungguh diluar dugaan Lo In. Sebab ia tidak tahu memang si nenek jeri betul-betul pada Liok Sinshe sebagai akibat kesudahannya pertempuran pada lima tahun berselang dimana Kim Popo dipecundangi dengan sangat mudahnya ketika si nenek hendak merampas buku rahasia ilmu menotok jalan darah 'Tiam-hiat Pit-koat' dari tangannya si kakek she Kong. Lo In kemudian menghampiri pedangnya yang menggeletak Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ditanah lalu memungutnya, disorong lagi di pinggangnya yang ceking. Kali ini ia tidak balik ke rumahnya hanya memutar tubuh lari ke jurusan tepi jurang. Ia berlari-larian di tepi jurang yang curam itu sampai kemudian ia berhenti disuatu tempat yang ada bekas-bekas seperti disitulah Liok Sinshe sudah tergelincir masuk ke dalam jurang. Ia melongok ke bawah. Benar-benar jurang sangat curam. Entah berapa dalamnya dan didasarnya yang merupakan lembah, apa tidak ada banyak binatang buasnya. Tapi Lo In adalah lanak yang besar nyalinya. Ia tidak takut. Ia lebih perhatikan keselamatan Liok Sinshe dari pada bahaya yang bisa mengancam pada dirinya sendiri. Dengan berani Lo In merosot turun sambil memegangi pada akar-akar rotan yang tumbuh merembet di sana sini. Pelanpelan ia terus turun ke bawah. Dengan kepandaian entengi tubuh ajarannya Liok Sinshe, ia lompat sana sini dan akhirnya sampai juga ia pada tujuannya, di dasarnya jurang. Ia celigukan ke sekitarnya. Ia dapatkan banyak pepohonan yang rindang. Mendengak ke atas, tampak tebing jurang ada sangat curam. "Bagaimana aku bisa naik ke atas nanti ?" tanyanya pada diri sendiri, melihat tepi jurang ada demikian tinggi kelihatan dari sebelah bawah. Tapi Lo In tidak mau ambil pusing hal kembali naik keatas. Yang penting ia harus mencari Liok Sinshe. Tapi dimana ia harus mencarinya " Lekas ia gerakin kakinya, mulai mencari Liok Sinshe, orang yang sangat cintai. Pikirnya, bagaimana pun ia harus ketemukan tubuhnya Liok Sinshe, baik dalam keadaan selamat maupun sudah mati. Kita balik sebentar, melihat Kim Popo yang lari tunggang langgang ketakutan. Setelah lari jauh, ia berhenti di bawah sebuah pohon besar yang rindang daunnya, dimana ia meneduh dengan adem, menyingkir dari terik panasnya matahari yang waktu itu tengah mencorong menerangi jagat. Ia taruh tongkatnya yang berat disampingnya. Lewat sesaat ia duduk, lantas tangan kirinya merogoh kantongnya. Dikeluarkan kotak yang ia rampas dari tangan Lo In. Mukanya berseri-seri, rupanya ia sangat puas dengan pekerjaannya yang berhasil. Entah terbuat dari apa, kotak itu kelihatannya sangat kuat tapi bobotnya enteng sekali. Ia periksa dengan seksama, karena kotak itu tak dapat dibuka, ia lantas dapatkan ada sebuah lubang kecil. Pikirnya, disinilah ada lubang kuncinya. Harus ia dapatkan anak kuncinya. Kalau tidak, cara bagaimana ia bisa membukanya. Di samping kegirangan, ia mendongkol dan penasaran. Ia coba membukanya dengan paksa tapi bagaimana juga kotak tak dapat dibuka. "Sialan !" ia mengeluh. "Dengan begini aku mesti kerja lagi untuk dapatkan anak kuncinya." ia meneruskan kata-katanya sambil membanting kotak itu sekerasnya. Justru dibanting, kotak itu menjadi terbuka sendirinya. Dari dalam lompat keluar sebuah buku yang bentuknya mungil. Matanya Kim Popo terbelalak saking heran. Ia tertegun sejenak. Karena ini, ia terlambat mengambil buku yang diimpi-impikan sebab lain tangan sudah mencomotnya lebih dahulu. Itulah tangan orang yang lompat dari atas pohon, dengan sebat sekali sudah dahului Kim Popo mencomot buku mungil yang mencelat keluar dari kotaknya. Kim Popo tercengang oleh karenanya. Kapan ia mengawasi orang di depannya, kiranya ia ada satu thauto (pendeta yang piara rambut panjang) bermuka bengis. Dua anting-anting besar yang menghias di telinganya berkerincingan kalau ia geleng-geleng kepalanya, ramai kedengarannya. Si nenek menjadi sangat gusar. "Binatang, kau berani rampas barangku ?" ia membentak sambil lompat menubruk si thauto untuk merampas pulang buku yang dicomot si thauto tadi. Tapi tubrukannyaKim Popo kecele sebab dengan elakan badannya sedikit saja, Kim Popo telah menubruk angin. Gesit sekali caranya si thauto bergerak. Tentu saja Kim Popo yang adatnya angin-anginan, marahnya menjadi-jadi. "Binatang, kembalikan barangku ! Kalau tidak, hmm !" bentak Kim Popo, hatinya penasaran barusan tubrukannya gagal. "Kau ingin dapat pulang barangmu, harus tanya dulu orangku." sahut si thauto. Kim Popo kertak gigi, meskipun giginya sudah sisa tidak seberapa lagi. "Mana dia orangmu ?" bentaknya sengit. "Ini dianya..... ha ha !" sahut si thauto seraya unjuk dua kepalannya yang besar, mirip buah kelapa kata bohongnya. "Bagus !" kata Kim Popo mendelu, dadanya dirasakan hampir meledak. "Siapa bilang jelek ?" menggoda si thauto. Rupanya orang jenaka juga. Habis sabarnya Kim Popo, matanya mendelik hingga romannya tambah jelek. "Binatang, lihat seranganku !" serunya, sambil menerjang dengan tipu pukulan 'Hui heng tong lay' -- 'Angin taufan menghembus dari Timur', kepalan tangan kanannya mengarah dada disusul dengan tangan kirinya menyamber orang punya iga kanan. Cepat serangan saling susul ini datangnya tapi si thauto tidak gugup. Tangannya yang besar dibuka untuk menangkap kepalang lawan, sedang iga kanannya yang diarah dibiarkan saja menjadi sasaran totokan jarinya Kim Popo. "Aiyoo !" teriak si nenek tiba-tiba sambil lompat mundur. Si thauto tidak balas menyerang, hanya berdiri sambil terbahak-bahak ketawa mengawasi Kim Popo yang teraduhaduh seraya tangan kanannya memegangi dua jari tangan kirinya yang barusan dipakai menotok. Dengan tipu pukulan 'Angin taufan menghembus dari Timur', Kim Popo ingin sekali gebrak saja menjatuhkan si thauto yang kurang ajar. Ketika kepalannya hendak disambut dengan tangan si thauto yang besar, ia melihat bahaya, maka ia cepat tarik pulang. Tapi tangan kirinya ia teruskan nyelonong ke iga musuh. Pikirnya, si thauto tidak membuat penjagaan pada bagian ini, sudah pasti totokannya akan berhasil membikin lawannya terkulai rubuh. Tapi kesudahannya ada lain, si nenek telah menelan pil pahit. Dua jarinya yang dipakai menotok iga musuh dirasakan seperti menotok tiang besi, sakitnya bukan main sampai menyusup di ulu hati. Melihat serangannya gagal, maka cepat ia lompat mundur sambil berteriak "Aiyoo !", saking tak tahan menahan sakitnya. Tapi Kim Popo, dasar si nenek bandel. Kalau hanya begitu saja ia sudah mesti jadi pecundang, maka sebentar lagi setelah ia memeras tenaga dalamnya buat usir rasa sakit tadi, segera ia kembali lakukan penyerangan. "Hahaha, nenek jelek !" goda si thauto. "Masih berani melawan ?" "Kiramu mukamu bagus ?" sahutnya menjerit saking mendongkol. Kata-katanya Kim Popo disusul dengan serangan gesit. Ia keluarkan ilmu entengi tubuhnya untuk melayani si thauto yang bertubuh tinggi besar. Pikirnya, si thauto rupanya ada punya ilmu 'tiang-pou-san' (ilmu kebal). Tubuhnya keras laksana besi, maka ia harus mencari kelemahannya yaitu dibagian matanya. Demikian, setelah bertempur sepuluh jurus, Kim Popo gunakan kepalannya yang kiri pura-pura menjotos ke arah perut, sedang sasarannya yang sebenarnya adalah sepasang matanya lawan. dua jari tangan kanannya, telunjuk dan tengah dengan sebat meluncur akan mengorek sepasang biji mata si thauto. Serangannya ini yang dinamai 'Lo wan tou ko' atau 'Lutung tua mencuri buah'. Cepat sih memang cepat gerakannya Kim Popo, cuma sayang, kembali ia dapat kerugian. Kepalan kirinya yang purapura menjotos kena ditangkap tangan si thauto, sedang dua jari tangan kanannya belum sampai pada sasarannya, ia rasakan tenaga dorongan yang keras pada kepalannya yang kena dipegang lawan. Tenaga dorongan itu benar-benar hebat sampai ia perpelanting dan jungkir balik ke belakang. Di lain saat, ketika ia sudah dapat tancap pula kakinya ditanah, ia rasakan sekujur tubuhnya gemetaran dan dadanya sesak. Untung lwekangnya cukup tinggi hingga tidak sampai mendapat luka di dalam. Meskipun demikian, nyalinya ciut seketika. Untuk melawan lagi si thauto jagoan itu, pikirnya tidak mungkin. Maka setelah ia rasakan badannya kembali normal, ia lantas saja putar tubuhnya dan lari. Persis seperti tempo hari ia tunggang langgang dipecundangi Liok Sinshe. "Haha, nenek jelek, kau mau lari !" Kim Popo dengar suaranya si thauto. Berbareng dengan ditutup kata-katanya, tampak si thauto geleng-geleng kepalanya. Sepasang antingnya segera melesat berbareng menyusul Kim Popo. Si nenek hanya berkaok satu kali lantas kelihatan tubuhnya terkulai dan mendeprok di tanah. Seluruh tubuhnya dirasakan lemas. Kiranya, sepasang anting-anting dikedua telinganya itu adalah senjata rahasianya si thauto. Sungguh lihai senjata rahasia itu. Cuma dengan geleng-geleng saja, sepasang anting-anting itu meleset laksana kilat hingga membuat Kim Popo semaput jatuh di tanah. Tidak mudah menggunakan senjata rahasia yang aneh itu kalau lwekang pemiliknya tidak tinggi. Sebab barang itu baru dapat melesat dari kuping di dorong oleh tenaga dalam yang istimewa. Si thauto tertawa gelak-gelak melihat si nenek sudah tidak berdaya. Ketika matanya melirik ke tanah, ia melihat kotak tempat buku menarik perhatiannya. Maka ia lantas pungut dan diperiksa. Kemudian rogoh sakunya, keluarkan itu buku mungil, dipaskan dalam kotak. Tiba-tiba kotak itu menutup seketika hingga si thauto kaget bukan main. Entah bagaimana rupanya ada alat rahasianya yang ketekan. Maka kotak itu otomatis menutup buku yang ditaruh di dalamnya. Si thauto dari kaget menjadi ketawa girang melihat kemujijatan kotak dapat menutup sendiri. Maka ia lalu masukan kotak itu ke dalam sakunya. Pikirnya, pada suatu kesempatan ia akan membukannya nanti. Setelah mana ia menghampiri Kim Popo, memungut sepasang anting-antingnya yang jatuh tidak jauh dari si nenek dan dipakainya kembali. Thauto itu bengis romannya, menakuti tapi orangnya benarbenar jenaka. "Nenek bagus, bagaimana sekarang ?" ia menanya dengan senyum dikulum. Ia godai Kim Popo tidak lagi ia menyebut 'nenek jelek' tapi diganti jadi 'nenek bagus'. Enak kedengarannya tapi tidak enak berkumandang ditelinganya si nenek. Anggapnya ia telah disindir, maka matanya jadi mendelik. "Sudah aku berlaku murah barusan, tidak mengambil jiwamu, apa kau masih kurang terima ?" berkata si thauto. "Hmm ! Murah hati !" menggerutu Kim Popo. "Memang," berkata lagi si thauto. "Kalau aku berlaku kejam, barusan anting-antingku mengarah pada jalan darah kematian di bebokongmu. Apa ini aku sudah tidak berlaku murah ?" "Hmm !" mendengus si nenek. "AKu Kim Popo tidak rela dijatuhkan oleh lawan dengan jalan membokong." "Habis kau mau apa " tanya si thauto, geli hatinya nampak orang kepala batu. "Kalau kau berani, merdekakan aku sekarang !" sahutnya ketus. "Jadi " Kau mau bertempur lagi ?" tanya lagi si thauto. "Tidak ! Saat ini aku terima kalah. Tapi lihat, tiga tahun lagi akan kucari kau untuk menetapkan siapa unggul !" sahut Kim Popo tengik laganya. Si thauto tertawa terbahak-bahak lalu tanpa menghiraukan Kim Popo yang masih duduk mendeprok, ia tinggal pergi. "Binatang, kau mau siksa aku dengan cara begini !" teriak Kim Popo, matanya terbelalak keheranan melihat dengan begitu saja meninggalkan dirinya. "Lagi dua jam totokan pada jalan darahmu akan hilang sendirinya. Kau nenek bandel, mesti dihukum dijemur dipanasnya matahari dua jam. Hahaha !" demikian terdengar kata-kata si thauto, meskipun sudah jalan jauh kedengarannya tegas sekali kuping Kim Popo hingga ia jadi terkejut. Pikirnya, thauto itu hebat sekali tenaga dalamnya sampai bisa mengirim suara dari jauh. Terpaksa Kim Popo, si bandel, mesti menanti dua jam dibawah panasnya matahari untuk mendapat kebebasannya..... Kita kembali kepada Lo In yang tengah mencari Liok Sinshe di lembah dari jurang Tong-hong-gay. Dengan hati-hati ia mencari dipinggir-pinggiran lalu pelanpelan sedikit ke tengah, tapi belum juga ia dapatkan tandatanda yang mengunjuk dimana adanya Liok Sinshe. Kadangkadang ia mendongak ke atas mengawasi diantara tebingtebing dengan pengharapan matanya akan bentrok dengan gerakan sesuatu disana. Tapi sia-sia saja pengharapannya, malah cuaca pelan-pelan tanpa disadari sudah mulai gelap. Bermula Lo In kebingungan, bagaimana ia dapat naik pula ke atas, sedang hari sudah berubah menjadi malam " Tapi belakangan hatinya menjadi senang. Lo In tidak memikirkan untuk kembali ke rumahnya lagi. Yang penting, ia harus cari terus Liok Sinshe sampai dapat diketemukan. Untuk mengisi perutnya yang lapar, Lo In sudah banyak petik buah-buahan dimasukkan dalam perutnya. Ia rasakan lebih segar dan nyaman perutnya diisi buah-buahan dari pada diisi kue atau nasi. Untuk menghindarkan gangguan dari binatang buas maka malam itu Lo In tidur diatasnya sebuah pohon yang banyak cabang dahannya. Di atas dahan yang merupakan pembaringan baru, mana Lo In dapat cepat-cepat pulas. Pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat tempat-tempat yang dijelajahinya dalam menemui Liok Sinshe, ia harus Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencari suatu tempat yagn aman. Dimana ia bisa bersemedhi setiap malam untuk meyakinkan tenaga dalamnya. Sebagai satu anak yagn bernyali besar Lo In merasa penasaran Kim Popo yang sudah memencet tangannya sampai ia mengeluarkan keringat dingin. (Bersambung) Jilid 02 Pikirnya, nanti suatu waktu kalau lwekangnya sudah mahir ia akan cari si nenek buat diajak berkelahi lagi. Sebenarnya Lo In belum tentu kalah kalau ia layani si nenek dengan Anak Rajawali 8 Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Imam Tanpa Bayangan 1