Bocah Sakti 2
Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 2 kegesitanya, jangan mengadu tenaga. Yang membuat ia pecundang adalah karena ia coba-coba adu tenaga dengan Kim Popo, yang sudah tentu bukan tandingannya. Dalam keadaan tiduran, kupingnya tiba-tiba mendengar suara gedebukan, datangnya dari sebelah selatan. Suara apa itu " Ia pasang telinganya lagi, saban kira 1-2 menit ia degnar suara gedebukan itu. Di dorong oleh perasaan ingin tahu, ia turun dari atas pohon. Pelan-pelan ia hampiri tempat dimana ada suara gedebukan tadi. Setelah jalan beberapa lama, suara gedebukan itu makin nyata. Rupanya jaraknya sudah tidak jauh lagi. Maka Lo In rada cepatin jalannya. Segera dari kejauhan ia nampak seperti ada dua sinar menyorot ke arahnya. "Apa itu ?" tanyanya pada diri sendiri. Ia menduga akan binatang macan. Sebab menurut Liok Sinshe, matanya macan suka mencorong kalau diwaktu malam. Hati Lo In tabah, nyalinya besar, ia tidak takut. Ia menghampiri lebih dekat. Kiranya itu bukannya macan hanya seekor burung yang luar biasa besarnya, tengah kebut-kebutkan sayapnya ke tanah. Suaran gedebukan itu tiada lain dari pada sayapnya si burung tadi yang dihantamkan ke tanah. Lo In terus mengintip, ingin tahu apa maunya si burung yang besar luar biasa itu mengebut-ngebutkan sayapnya ke tanah. Ia ingat, kalau ia sedang main di tepi jurang sering melihat ada burung yang luar biasa besarnya melayang-layang diatas lembah. "Apakah bukan dianya ini " " tanya Lo In pada dirinya sendiri. Menurut katanya Liok Sinshe, burung sebesar itu adalah burung rajawali yang biasa jinak dimiliki orang pandai yang menyepi tinggalnya di pegunungan. Malah Liok Sinshe namakan burung itu 'Kim-tiauw' atau 'Rajawali Emas' karena patuk dan kedua kakinya kekuning-kuningan seperti emas yang Liok Sinshe dapat lihat sendiri dari dekat pada suatu hari ia sedang mencari daun obat-obatan di lembah itu. Apa dia itu benar Kim-tiauw. Ingin Lo In menyaksikan dari dekat, tapi tak dapat ia lakukan itu. Sayapnya yang memukulmukul tanah bukan saja menerbitkan suara gedebukan tapi juga menerbitkan angin keras menderu. Kalau Lo In berani datang dekat, sekali dikibas sama sayapnya, pasti tubuhnya akan melayang entah berapa jauhnya. Setelah memperhatikan agak lama, Lo In berpendapat si rajawali hanya mengibaskan sayapnya yang kanan saja, sedang yang kiri diam saja. Ia seperti mau terbang tapi tak bisa kalau cuma satu sayap. Pikir Lo In tentu rajawali ini mendapat luka parah pada sayap kirinya. Hatinya merasa kasihan, ingin ia periksa lukanya. Tapi bagaimana mendekatinya " Otaknya lantas bekerja mencari akal. Matanya memandang ke sekitarnya tapi agaknya ia cemas tidak melihat jalan untuk pemecahan. Sebenrar lagi, setelah ia tundukkan kepala ia menengadah melihat keadaan diatasnya si rajawali. Tiba-tiba mulutnya bersenyum, rupanya ia sudah dapat akal untuk mendekati si rajawali yang dalam kesukaran. Bagaimana " Dengan gunakan gerakan ilmu entengi tubuh 'Burung walet tembusi mega', ia enjot tubuhnya mencelat dan di lain detik sudah tampak ia berloncatan dari satu dahan ke lain dahan pohon. Dalam tempo pendek saja, ia sudah berada di atas pohon yang dekat sekali pada si burung rajawali. Si burung rajawali sama sekali engan kalau ada orang yang datang dekatinya. Ia masih sibuk gedebukan dengan sayapnya yang kanan. Lo In menunggu sampai sayap itu berhenti dikebaskan, pada saat mana enteng sekali tubuhnya melayang dan mencolok di punggungnya si rajawali yang ketika sadar ada orang menyerang, ia sudah tidak berdaya karena jalan darah di bagian sayap dan lehernya sudah kena ditotok oleh si bocah yang besar nyalinya. Ketika itu sayapnya yang kanan berhenti mengebas-ngebas sedang lehernya sudah menjadi kaku, tak dapat digeraki hingga ia tak dapat mematuk lawan yang berada di atas pungggungnya. Hanya sinar matanya saja mencorong seperti yang sedang gusar sekali. Meskipun mendapat kesukaran karena beratnya sayap si rajawali, juga dibawah sayapnya terdapat lukanya yang berat, Lo In dengan gembira sudah dapat mengobati lukanya itu memakai obatnya Liok Sinshe yang amat mustajab. Selain obat bubuk ditabur di tempat luka, juga Lo In paksa si rajawali menelan pilnya, setelah berkutatan lama ia membuka patuknya. "Tiauw-heng" kata si bocah pada si rajawali. "Aku ini temanmu, jangan takut. Maaf, kalau aku sudah berbuat sedikit kasar menolong kamu !" Gerak gerik Lo In lucu. Ia memanggil 'Tiauw-heng' atau 'Kanda rajawali' kepada si burung garuda yang tinggal membisu saja. Kuatir totokannya kurang kuat hingga si rajawali dapat geraki pula sayapnya, yang menyebabkan lukanya tidak bisa rapat, maka Lo In memberikan pula beberapa totokan sehingga betul-betul tenaganya si burung garuda menjadi lumpuh. Lukanya si rajawali ternyata kena panah beracun. Untung tenaganya si burung garuda sangat kuat hingga menjalarnya racun berjalan dengan perlahan dan keburu mendapat obatnya Liok Sinshe yang mustajab. Kalau saja sampai menanti besoknya lagi, terang jiwanya si rajawali tak akan ketolongan. Entah siapa yang begitu kejam melepaskan panah beracunnya. Lo In malam itu tidak jadi nginap di atas pohon yang banyak dahannya, yang ia tinggalkan. Sebaliknya ia tidur diatas pohon, tidak jauh dari mendekamnya si rajawali. Diam-diam ia siap sedia menghadapi kemungkinan datangnya orang jahat yang hendak mencelakakan si rajawali. Tapi syukur sampai hari sudah terang tanah, tidak ada kejadian apa-apa. Lo In merosot turun dari atas pohon. Ia lihat si rajawali tengah memejamkan matanya. Rupanya ia juga bisa tidur karena tidak merasakan sakit lagi pada sayapnya yang kiri. Matanya dibuka ketika ia mendengar Lo In berkata, "Tiauw-heng, kau diam-diam saja mengaso. Tunggu aku akan mencari makanan untuk kau makan." Ia berkata sambil anggukan kepalanya seperti yang memberi hormat kepada saudara yang tuaan. Ah, benar-benar lucu kelakuannya Lo In. Kemudian ia putar tubuh dan meninggalkan tempat itu. Berkat kepandaiannya menyentil dengan batu kecil, maka dalam tempo pendek saja Lo In sudah dapat menyentil jatuh tiga ekor ayam hutan. Ketiga ekor ayam itu hendak ia bawa ke tempatnya. Pikirnya, Tiauw-heng tentu gembul makannya, tidak cukup kalau hanya 2-3 ekor ayam saja. Maka ia lalu mencari pula ayam di lain tempat dan segera ia sudah dapatkan lagi. Empat dari lima ekor ayam itu, Lo In taruh di depannya si rajawali, sedang yang seekor ia potong dan bersihkan dalam selokan jernih, karena air gunung mengalir disitu. Kemudian ia nyalakan api dan memanggang hasil buruannya. Sambil panggang ayam, matanya Lo In memandang pada si rajawali yang tinggal melotot saja mengawasi empat ekor ayam yang ada di depannya. Ia tak dapat kerjakan patuknya untuk menerkam hidangan didepannya itu sebab lehernya masih belum bisa digeraki karena pengaruh totokan Lo In. "Tiauw-heng." kata Lo In seraya bersenyum. "Kau tunggu sebentar. Kita nanti makan sama-sama. Bukankah itu ada lebih menyenangkan sebagai tanda terjalinnya persahabatan diantara kita ?" Si rajawali yang diajak bicara hanya matanya saja yang melotot sebagai jawaban, tapi kali ini sinarnya tidak bermusuhan. Setelah beres memanggang ayamnya, Lo In mendekati si rajawali. "Tiauw-heng, kau jangan marah. Lantaran aku ingin menolong jiwamu maka terpaksa dalam dua tiga hari ini aku bikin kau tidak berdaya. Kau sabarlah !" berkata Lo In sambil kemudian dengan sebat ia menotok bebas lehernya si rajawali berbareng ia lompat mundur takut dipatuk. Rupanya burung itu memahami akan kebaikan hatinya si anak kecil sebab ia tidak perhatikan Lo In lompat tapi terus saja ia gasak empat ekor burung itu satu persatu hingga dalam sekejapan saja telah hilang lenyap dalam perutnya. Lo In tertawa ngakak melihat kecepatan si rajawali memindahkan empat ekor ayam ke dalam perutnya. Hari itu usaha Lo In tidak memberikan hasil dalam mencari Liok Sinshe. Pada hari ketiga, ia datang dengan roman lesu mendekati si rajawali yang sekarang menjadi jinak. Barani ia memeluk lehernya dan menciumi patuknya yang indah seperti emas. "Tiauw-heng, aku mencari Liok Sinshe." ia kata pada si rajawali. "Apa kau lihat dia ada dimana ?" Seperti yang mengerti akan kata-kata manusia, burung itu geleng kepalanya. Lo In makin sayang pada burung itu yang rupanya mengerti akan omongan orang. Setelah menggelendoti tubuhnya burung yang seperti raksasa itu, Lo In ingat akan kewajibannya untuk memeriksa lukanya. "Tiauw-heng, mari aku periksa lukamu." ia berkata seraya dengan sebatnya ia menyingkap sayap burung itu, dibawah mana ada terdapat lukanya yang parah. Lo In kerutkan keningnya. "Kau masih belum dapat geraki sayapmu yang terluka, Tiauwheng." katanya. Sementara itu, ia keluarkan obatnya dan mulai beri obat baru pada luka si rajawali, patuknya Lo In buka dengan tangannya yang kecil untuk dimasukan pil mujarabnya. Sungguh heran, burung itu menurut saja, jinak sekali dan pasrah apa yang diperbuat Lo In. Rupanya ia mengerti akan kebaikan orang. "Tiauw-heng, mulai saat kita ketemu, aku sudah tahu kau akan menjadi teman sebagai gantinya Liok Sinshe. Maka selanjutnya, harap kau selalu jangan meninggalkan aku, ya !" berkata Lo In sambil mengelus-elus sayapnya si rajawali. Burung itu angguk-anggukkan kepalanya, matanya merem melek, girang rupanya ia diusap-usap Lo In dengan kesayangan. Pada hari keenam si rajawali sudah sembuh benar-benar dari luka parahnya. Ia sudah dapat geraki kedua sayapnya seperti sedia kala. Setelah terbang beberapa putaran, ia turun di depan Lo In lalu mendekam dan kepalanya dianggukanggukkan seperti yang menghaturkan terima kasih atas pertolongannya si bocah. Lo In dapat memahami gerak gerik si burung garuda, maka sambil menubruk dan menciumi ia berbisik, "Tiauw-heng, kita sudah jadi saudara. Tak usah kau mengucap terima kasih segala." Tangannya mengelus-elus kepalanya si rajawali, ketika ia mau mengusap-usap patuknya tiba-tiba Lo In merasa heran. Dari matanya burung itu ada melelehkan air mata. Entahlah, kenapa burung itu menangis. Lo In terharu, bukan karena apa. Ia hanya terkenang akan dirinya Liok Sinshe. Dimanakah adanya penolong itu. Apakah dia masih hidup atau sudah mati " Sebab sudah hampir seminggu ia mencari jejaknya belum juga berhasil menemuinya. Siapakah Liok Sinshe itu " Apa dia Kwee Cu Gie " Siapakah Kwee Cu Gie itu " Dimana adanya kedua orang tuanya " Mati sudah atau masih ada dalam dunia ini " Kenapa Liok Sinshe begitu sayang dan memperhatikan dirinya begitu rupa " Apa hubungan ia dengan Liok Sinshe " Pusing Lo In memikirkannya itu semua. Malah jadi bertambah sedih hingga saling peluk dengan si rajawali, menangis sampai terdengar suaranya Lo In terisak-isak. Sang burung, rupanya ingin menghibur Lo In. Kemudian ia mementang sayapnya akan terbang ke atas pohonjauh disana, terpisah dari Lo In. Lo In yang cerdik mengerti maksudnya si rajawali. Maka ia juga telah berhenti menangis, ia gosok air matanya dengan tangan bajunya. Dalam hari-hari berikutnya dalam usaha mencari Liok Sinshe, Lo In dikawal oleh si rajawali. Senang hati Lo In. Sering ia ajak si rajawali bercanda. Hari-hari demikian mereka bergaul, hingga keakrabannya meningkat. Sering atau hampir saban hari, tampak Lo In pesiar di atas lembah sambil menunggang rajawali yang merupakan kapal terbangnya. Dasar anak-anak menghadapi apa yang baru, lupa pada yang lama. Ditemani si burung raksasa, Lo In merasa aman. Betah ia tinggal dalam lembah itu, lupa pulang ke rumahnya di atas jurang Tong-hong-gay yang sebenarnya ia bisa pergi ke sana dengan mudah dengan menunggang kapal udaranya 'si rajawai'. Soal makanan Lo In tidak kekurangan, mau ikan ia dapat di sungai-sungai kecil yang banyak terdapat disitu. Mau daging ayam, kelinci, babi, mudah sekali ia dapat. Cuma tinggal perintah si rajawali yang pergi menangkapnya. Tapi Lo In lebih senang makan buah-buahan yang terdapat disitu. Ia rasakan badannya lebih segar dan nyaman dari pada makan ikan dan daging. Yang lucu, Lo In sudah dapat tundukkan kawanan kera liar dalam lembah itu. Mereka kelihatan sangat berterima kasih dan menganggap Lo In sbagai rajanya. Dengan begitu, Lo In bertambah banyak kawan. Bagaimana Lo In dapat tundukkan kawanan kera liar, kecil besar " Itulah kejadian pada suatu hari ketika cuaca mendung. Selagi ia tiduran celentang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba ia dikurung oleh kawanan monyet liar, bukan satu dua tapi adalah puluhan hingga ia merasa amat heran. Lo In bangkit, duduk, sambil kedua tangannya memeluk kedua dengkulnya yang ditekuk. Kepalanya menunduk seolah-olah yang tidak memperhatikan dirinya tengah dikurung oleh kawanan monyet galak. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Suara cetcowetan yang ramai dari kawanan monyet itu tidak dihiraukan oleh Lo In. Terus saja ia berpura-pura mati ular. Kelihatannya kera-kera itu amat gusar pada si bocah. Bisa dilihat dari sikap dan gerakan mereka yang keluarkan suara 'her ! her !' sambil mulutnya nyengir-nyengir menakuti. Entahlah, kenapa mereka demikian benci pada Lo In. Mungkinkah karena perbuatannya Lo In " Untuk melatih ginkang (ilmu entengi tubuh), Lo In saban hari melatih diri dengan mencelat sana sini di atas pohon. Gesit luar biasa hingga mengalahkan jauh dari kepandaian keraTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kera yang ada disitu. Rupanya hal inilah yang menyebabkan kawanan kera itu membenci Lo In. Mereka yang bermula merasa kagum melihat kegesitannya Lo In, belakangan merasa mengeri dan anggap Lo In adalah suatu saingan berat dalam dunianya. Lama juga sudah Lo In perhatikan sikap permusuhan dari mereka itu. Tapi Lo In tidak memperdulikan sampai pada saat itu baharu berasa bahwa dirinya benar-benar dibenci. Tapi Lo In tidak takut. Pikirnya kawanan kera itu tak dapat membuat susah dirinya. Ia mau lihat apa mereka bisa bikin terhadapnya. Tak perlu ia minta bantuan si rajawali yang dengan sayap raksasanya, sekali mengebas saja membuat puluhan kera itu akan sungsang sumbel dan terbang kemana tahu. Ia mau taklukan kawanan kera itu dengan usahanya sendiri. Dua yang paling besar diantara kawanan monyet itu, perdengarkan cetcewetannya lebih keras. Rupanya berupa bentakan-bentakan, memerintah pada kawan-kawannya untuk segera menggempur Lo In yang tinggal anteng-anteng saja. Memang dua kera besar itu adalah yang paling pandai dalam hal meloncat dari satu ke lain cabang pohon. Kawankawannya mengagumi kepandaiannya itu. Merekalah yang paling menaruh dendam pada Lo In, yang dianggap saingan alot. Meskipun bentak-bentakannya makin keras, kawanan kera itu masih belum berani menerjang Lo In. Rupanya mereka jeri sebab Lo In ada backingnya si rajawali. Mereka sambil cetcowetan, celigukan sana sini seakan-akan mengamat-amati apakah si burung raksasa ada di sekitar situ mengawal si bocah. Si rajawali ternyata tidak ada. Memang tidak ada. Ia lagi terbang ke lain tempat untuk mencari makanan. Hatinya kawanan kera liar itu rupanya jadi berani, sebab suara 'hor, hor !' dari dua pimpinannya paling akhir dibarengi dengan menyerbunya mereka. Yang diserbu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka. Terdengar ramai-ramai suara cetcowetan kawanan kera itu. Sambil kepalanya pada mendongak ke atas dimana mereka lihat Lo In sedang bercokol di atas dahan sambil ketawaketawa. Kiranya diwaktu kawanan monyet itu melakukan penyerbuan serentak, dengan gerakan 'Walet terbang menembusi awan', tubuhnya Lo In mencelat ke atas, mencelok diatasnya sebatang dahan pohon, dimana si bocah sambil uncanguncang kaki mentertawakan lawan-lawannya yang ribut cetcowetan di sebelah bawah. Hanya dua tahun Lo In mendapat gemblengan tenaga dalam dari Liok Sinshe, ia sudah memanfaatkan sebaik-baiknya dalam latihan ginkeng (entengi tubuh), cukup untuk melayani kawanan kera yang menyerang dirinya dengan penuh kebencian. Degnan dikepalai oleh dua monyet besar tadi, kawanan monyet itu segera juga pada menaiki pohon, lelompatan mengepung Lo In yang segera unjuk kegesitannya untuk meloloskan diri dari kepungan mereka. Tampak Lo In loncat ke atas sebatang dahan yang lebih tinggi. Selag ia terbahak-bahak ketawa, sembari kedua tangannya bertepuk-tepuk keras menggodai kawanan monyet yang mengubar dirinya, tiba-tiba terdengar suara 'hor ! hor !' agaknya keras dan lebih bengis di atas kepalanya. Ketika ia mendongak, kiranya diatasnya ada dua kera lebih besar lagi dari dua kera besar tadi, yang ia lihat menjadi pemimpinnya. Itulah sepasang orang utan hitam legam, lengannya besarbesar, matanya tajam mengawasi Lo In seraya perdengarkan suara 'hor ! hor !' menakutkan. Diam-diam Lo In perhatikan, rupanya dua orang utan itu suami istri. Yang lelaki kepalanya hampir botak, yang perempuan matanya tertutup satu disebelah kiri, sedang dibelakangnya ada menggemblok anaknya, mulutnya ramai cetcewetan. Lo In hendak enjot tubuhnya menyingkir, tapi sudah terlambat. Si orang utan yang lelaki menyambar dari atas dan tepat dapat mencekal lengan Lo In. Sakit rasanya cekalan si orang utan, lebih-lebih Lo In kaget, tenaganya seperti lenyap oleh pengaruh cekalan itu hingga ia tak dapat berkutik. Celaka, pikirnya, apa ia bakalan mati ditangannya si orang utan " Tengah hatinya berkuatir, sekonyong-konyong terdengar suaranya si rajawali dari jauh tengah mendatangi hingga ia jadi sangat kegirangan. Rupanya si orang utan sudah kenali suaranya si rajawali, tahu juga Lo In ada kawannya, maka ia jadi ketakutan. Dengan sendirinya, cekalannya yang melumpuhkan itu terlepas. Ia lompat pula ke atas, ajak bininya ikut lari. Angin seperti menderu kedengarannya ketika si rajawali sampai dengan kebasan sayapnya. Ia mencelok disatu dahan dekat Lo In. Saking berat badannya membuat pohon sampai tergetar rasanya. "Tiauw-heng, syukur kau datang. Kalau lambat sedikit saja, aku kena dicelakai si orang utan !" Lo In berkata pada kawannya. Seperti yang mengerti, si rajawali tampak beringas romannya ketika mendengar ada makhluk yang mau bikin celaka kawannya. Lo In berbareng lompat mendekati si rajawali, ia usap-usap sayapnya. Tiba-tiba Lo In mendengar suara teriakan. Matanya yang awas segera dapat lihat si orang utan yang perempuan terpeleset jatuh. Ia sendiri dapat tolong dirinya karena sudah menjambret cabang pohon. Tapi anaknya, dalam kaget sudah melepaskan cekelan pada leheer ibunya hingga tidak ampun lagi anak orang utan itu meluncur jatuh terbanting di tanah dan pingsan. Dalam ketakutannya atas kedatangan si rajawali, dua orang utan itu sudah terbirit-birit lari, lompat dari satu ke lain cabang pohon. Rupanya yang perempuan kurang hati-hati memilih cabang pohon, maka ketika ia loncat ke cabang yang lapuk, ia kaget. Cepat lompat lagi ke lain cabang cuma saja saking gugupnya ia terpeleset dan menjerit ketika terpelanting. Yang lelaki berada beberapa tindak disebelah depan, ia kaget bukan main mendengar jeritan sang istri. Cepat ia putar tubuhnya tapi sudah tak dapat menolong anaknya yang terpelanting jatuh dari gendongan ibunya. Mulutnya cetcowetan ramai. Bersama istrinya, ia cepat-cepat turun ke bawah, lari menghampiri anaknya yang sudah tidak sadarkan diri. Sang ibu menubruk anaknya sambil menggoyang-goyang tubuh si orang utan kecil, mulutnya cetcowetan menangis. Segera banyak monyet-monyet yang datang merubung. Lo In yang melihat dan menyaksikan kejadian yang hebat itu, tidak tega hatinya. Entahlah, bagaimana keadaannya si anak orang utan itu. "Tiauw-heng, mari kita tolong dia." ia berkata pada si rajawali. Berbareng, ia geraki kakinya berloncatan ke bawah yang diikuti oleh si rajawali. Dengan hanya sekali kibasan sayapnya sudah sampai ditempat banyak kera berkumpul. Lo In tidak tahu bagaimana caranya memberi pertolongan. Sebab kalau ia dengan begitu saja datang dekat, tentu tidak dapat dipahami maksud baiknya. Apa lagi si orang utan sudah pernah memencet lengannya, tentu kedatangan Lo In dianggap akan menuntut balas, menggunakan kesempatan ketika mereka sedang kesusahan anaknya mendapat kecelakaan. Baik juga tongkrongan si rajawali dibuat jeri oleh kawanan kera itu. Ketika rajawali itu sampai, mendahului Lo In. Kawanan monyet itu sudah simpang siur lari. Malah dua orang utan itu, saking ketakutannya sudah lupa akan anaknya dan lari terbirit-birit. Anak orang utan itu jadi ditinggalkan sendirian. Lo In girang menampak kejadian itu diluar perhitungannya. Cepat ia dekati si anak orang utan, ia periksa, meraba-raba dadanya, pegang nadinya. Lucu, persis lagaknya seorang tabib. Ini, Lo In bukannya menjual aksi. Kelakuan ini meniru Liok Sinshe jika si tabib Liok diundang untuk mengobati orang sakit, ia suka turut dan menyaksikan caranya Liok Sinshe berbuat atas dirinya si pasien. Lo In girang karena si orang utan kecil tidak putus jiwanya. Ia hanya tidak berkutik karena pingsan, kaget jatuh dari tempat yang demikian tinggi. Kelakuan Lo In itu disaksikan oleh banyak kera dari kejauhan, terutama oleh dua orang utan dengan penuh rasa kuatir, apakah anaknya akan dibunuh mati Lo In. Buat merebut anaknya dari tangan Lo In, mereka tak berani lakukan, melihat si rajawali tengah mendekam didekatnya. Melihat keadaan anak orang utan itu berat juga, tak dapat disembuhkan dengan seketika, maka ia lalu angkat tubuhnya, diempo lantas menghampiri si rajawali, ke atas punggung Lo In loncat. "Tiauw-heng, mari kita pergi !" kata Lo In. Berbareng si rajawali bangkit lalu mengebaskan kedua sayapnya akan kemudian terbang mumbul. Tinggal dua orang utan itu berteriak-teriak dengan cara dia sendiri. Rupanya mereka sangat gusar pada Lo In yang sudah merampas anaknya. Lo In ditempatnya sebuah gubuk yang dibangun diatas sebuah pohon besar. Memakan waktu juga menolong anak orang utan itu. Sebab anak orang utan itu kecuali mendapat luka dalam, juga tangannya yang sebelah kiri keseleo yang perlu ditolong dengan jalan mengurut tiap hari tiga kali. Selang empat hari, Lo In sudah bikin anak orang utan itu sembuh benar. Ia kelihatan suka pada Lo In yagn tadinya ditakuti. Dalam tempo empat hari mereka berkumpul, anak orang utan itu menjadi jinak, sering menggelendoti Lo In. Mulutnya cetcowetan seakan-akan mengajak bercakap-cakap. Tapi sayang Lo In tidak mengerti akan percakapannya. Meskipun begitu, Lo In suka pada anak orang utan itu. Sering ia ajak main, diajak bercakap dengan gerakan mulut dan tangan. Gembira kelihatannya anak orang utan itu. Pada hari yang keenam, Lo In berkata pada si anak orang utan, "Adikku, hari ini kau harus pulang menemui ayah ibumu. Harap selanjutnya kau akan menjadi sahabatku yang baik seperti aku punya Tiauw-heng." Sambil berkata, Lo In empo anak orang itu lalu keluar dari gubuknya. Dengan sekali suitan, segera kapal udaranya sudah datang. Dengan menumpang si rajawali, Lo In pergi ke tempat dimana ia telah dikeroyok kawanan monyet liar. Sesampainya disana, ia dapatkan keadaan sepi. Cuma ada beberapa kera yang lelompatan sana sini. Melihat Lo In datang dengan mengempo anak orang utan, monyet-monyet itu menjadi heran rupanya. Tapi sebentar lagi, tampak mereka datang lagi membawa kawan-kawannya. Diantaranya tampak itu sepasang orang utan. Mereka tidak berani datang dekat pada Lo In karena si rajawali mendekam di dekatnya. Bagaimana pun, dua orang utan itu terbelalak matanya melihat Lo In tengah mengempo anaknya yang cetcowetan menciumi pipinya si bocah. Lo In dapat melihat pada mereka, maka cepat ia turunkan anak orang utan itu dari empoannya sambil berkata, "Adikku, pergi kau ketemui ayah bundamu !" Lo In sambil menunjukkan kejurusan orang utan yang berada diatas pohon, yang tengah keheran-heranan mengawasi kejadian itu. Anak orang utan itu melihat ke jurusan yang ditunjuk oleh Lo In. Ia melihat pada ayah bundanya. Cepat ia lari sambil mulutnya cetcowetan. Sang ibu bapak juga tidak tinggal diam. Mereka loncat-loncat turun dari pohon dan memapaki anaknya yang lantas diempo oleh si ibu, diciumi dengan penuh kesayangan. Dalam empoan ibunya, sang anak cetcowetan sambil menunjuk-nunjuk kejurusan Lo In. Rupanya ia sedang bercerita tentang pertolongan yang diberikan Lo In dan kebaikannya si bocah hingga kelihatannya si ibu merasa sangat gegetun sekali, sedang si ayah angguk-anggukkan kepalanya yang botak. Lo In menyaksikan itu semua dengan bersenyum. Kemudian putar tubuhnya menyamperi si rajawali, loncat ke punggungnya. "Mari kita pergi, Tiauw-heng !" katanya sambil tepok pundaknya si rajawali. Sebentar saja, Lo In sudah ada di udara bersama kapal terbangnya. Meskipun binatang, kawanan kera itu tahu akan kebaikan orang. Maka sejak itu, mereka telah menghapuskan kebenciannya dan tidak berani mengganggu lagi Lo In yang semula dianggap saingan alot. Malah yang lucu, sejak itu, Lo In boleh dikata tak usah susahsusah mencari buah-buahan lagi untuk makannya. Karena setiap pagi, ia dapatkan banyak buah-buahan berserakan di bawah pohon diatas mana ia tidur. Rupanya ini ada kiriman dari kawanan keras yang merasa berterima kasih, anak rajanya sudah ditolongi. Bebuahan itu ditaruh berserakan. Rupanya kera-kera itu takuti si rajawali. Maka seenaknya saja mereka melemparkan dan lari pergi. Lo In memahami ini, maka kepada rajawalinya ia memesan supaya ia tidak ganggu kera-kera yang mengantarkan bebuahan itu. Kawanan kera itu belakangan jadi berani karena melihat si rajawali tidak apa-apa. Maka buah-buah yang diantarnya, mereka tumpuk dengan rapih. Malah ada yang berani naik di pohon dan meletakan buahnya di depan gubuknya Lo In. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lo In terharu melihat kecintaannya kawanan kera itu. Maka terjalinlah persahabatan diantara kawanan kera itu dengan Lo In. Dalam pertemuan pertama dua orang utan, seperti manusia, mereka berlutut dihadapan Lo In sambil manggut-manggut. Di sampingnya ada anaknya yang juga turut berlutut. Mereka sangat berterima kasih atas pertolongannya Lo In sehingga anaknya selamat dari cengkeraman maut. Lo In ketawa. "Toa-hek, Ji-hek dan adikku," kata Lo In. "Kita orang sendiri, tak usah banyak pakai peradatan. Kalian bangunlah. Selanjutnya kita menjadi sahabat saling tolong !" Seperti yang mengerti omongan Lo In, mereka semua bangkit. Lo In tatkala itu duduk diatas sebuah batu, tengah menikmati mengalirnya air sungai, dalam mana banyak terdapat ikan-ikan yang sedang main-main. Lo In memanggil Toa-hek (si hitam kesatu) dan Ji-hek (si hitam kedua) kepada dua orang utan itu adalah panggilan dari keakraban persahabatan. Toa-hek dan Ji-hek serta anaknya menghampiri Lo In. Toa-hek mengusap-usap tangan, Ji-hek mengusap-usap pipi, sementara Siauw-hek (si kecil) lompat kepangkuan Lo In sambil cowet-cowetan ngomong dalam bahasanya sendiri. Lo In suka dan sayang pada Siauw-hek, maka ia elus-elus kepalanya, sambil katanya, "Siauw-hek, kau lekas gede. Nanti bisa bantu aku mencari Liok Sinshe." Sejak itulah mereka bergaul rapat. Supaya pergaulannya lebih leluasa lagi, maka pelan-pelan Lo In ada pelajari gerak gerik dan suaranya kera-kera diwaktu mereka berloncatan di pohon-pohon sambil cetcowetan. Berkat kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat kemajuan banyak dalam bahasa monyet, meskipun tidak seluruhnya. Cukup dengan membuka mulutnya, cowet-cowet, ia dapat memerintahkan kera-kera yang diajak bicara olehnya untuk melaksanakan titahnya dengan baik. Kawanan kera itu semakin menghargai dan menjunjung tinggi Lo In. Boleh dikatakan ia adalah raja monyet, karena tiap titahnya dilaksanakan dengan kontan. Dengan adanya Toa-hek sebagai teman berlatih, lwekangnya Lo In meningkat. Kalau mula-mula satu kali pegang saja Lo In tak dapat berontak dari cekalan Toa-hek, pelan-pelan tangannya makin kuat hingga dari kewalahan Toa-hek menjadi pecundang. Dalam latihan tenaga, jangan bicara ilmu silat, sudah tentu Lo In ada di pihak unggul. Girang hatinya Lo In dengan kemajuan yang diluar perhitungannya itu. Maka pada suatu hari si rajawali ia ajak berlatih. "Tiauw-heng, tenagamu sangat hebat. Aku ingin sepertimu. Coba, mari kita berlatih !" Lo In menantang. "Mari !" si bocah mengundang lagi ketika melihat si rajawali tinggal diam mendekam saja. Ia pasang kuda-kuda untuk menerima serangan si rajawali. Sesudah kedap kedip matanya, si burung raksasa pelangpelan bangkit. Ketika Lo In menyambar dengan tangannya yang kuat sekarang, pikirnya, si rajawali tak kuat menahan serangannya. Tapi si bocah salah hitung. Sebab cuma sekali kebas saja dengan sayap kirinya, Lo In terdampar oleh angin kebasan hingga ia jatuh duduk. "Itu hebat, Tiauw-heng." ia berkata sambil nyengir dan rasakan pantatnya sakit juga bekas jatuh barusan. "Kau pelan-pelan dahulu. Jangan terlalu kuat mengebaskan sayapmu !" Lo In bicara seperti saja terhadap seorang partner, kawan selatihan. Tapi si burung raksasa seperti yang mengerti akan maksud Lo In. Benar saja kebasan yang selanjutnya dilakukan perlahan. Lo In menjadi girang. Sejak itu ia terus ajak si rajawali berlatih. Saban hari tenaganya Lo In meningkat an kegesitannya bertambah. Maka setelah lewat dua bulan, betul-betul luar biasa tenaga dalamnya si bocah. Ia sudah dapat menahan kebasan sayap si burung raksasa yang bagaimana keras juga. Hal mana membuat si rajawali juga merasa heran kelihatannya. Lo In bangga dengan latihannya. Ia kira semua itu dari tenaganya yang meningkat demikian hebatnya. Tapi ia tidak sadar bahwa tenaga dalamnya itu bisa demikian kokoh lantaran ia memakan buah Jit-goat-ko atau 'Buah bulan matahari' yang ia dapatkan diantara buah-buah yang diantar oleh kawan-kawannya. Buah itu bentuknya mungil, tidak besar, hanya sebesar telur angsa. Warnanya separuh merah dan separuh putih. Kapan buah itu dibelah, segera menyiarkan bau harum yang lama sekali memenuhi hidung. Kalau disedot, rasanya nyaman dan segar seluruh badannya. Ini baharu harumnya saja, apalagi buahnya kalau dimakan rasanya lezat sekali. Tenggorokan yang dilewati oleh buah itu, selama lima menit terus menerus akan mengeluarkan hawa wangi yang menyegarkan. Seluruh badan rasanya kaku sejenak tapi kemudian tangkas lagi. Tindakan berubah menjadi enteng, sedang tenaga entah dari mana sudah berlipat tambahnya. Buah itu Lo In dapatkan dua biji. Entah dari mana sang kera dapatkan ini, dua-duanya ia sikat habis setelah ia rasakan bagaimana harum dan enaknya buah itu, dimasukkan ke mulut lewat tenggorokannya. Di permulaan cerita dilukiskan bagaimana girang dan bangga Liok Sinshe menampak kecerdasannya Lo In. Si bocah bukan saja sudah mewariskan semua kepandaian Liok Sinshe yang dicatat dalam otaknya, juga rahasia dari ilmu menotok jalan darah yang terdapat dalam buku 'Tiam-hiat Pit-koat' sudah jadi miliknya Lo In. Anak kecil itu tinggal memerlukan gemblengan tenaga alam yang sempurna, lantas ia akan berubah menjadi satu pendekar yang sukar menemui tandingan. Tapi peryakinan lwekang (tenaga dalam) yang sempurna bukannya gampang. Itu harus meminta bukan satu dua tahun tempo, tapi makan puluhan tahun. Meskipun demikian, Liok Sinshe yakin, dalam bimbingannya dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, ia bisa bikin Lo In menjadi jago tak terkalahkan. -- 5 -- Hanya sayang sekali, Liok Sinshe yang mengasuh Lo In sampai setengah jalan, baru saja ia menggembleng lwekang Lo In dua tahun lamanya, tiba-tiba ada bencana dengan kedatangannya Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya. Liok Sinshe jatuh tergelincir ke dalam jurang yang jejaknya tak dapat diketemukan oleh Lo In yang berusaha mencarinya siang malam. Setelah dapat menahan kibasan sayap si rajawali yang demikian dahsyatnya, diam-diam Lo In merasa sangat geregetan. Ia sendiri merasa tenaga dalamnya ada hebat, tidak berani ia balas menyerang pada burung kesayangannya, kuatir nanti si rajawali terluka oleh karenanya. Sekarang, siapa yang ia dapat ajak berlatih setelah si burung raksasa tak berdaya menghadapi ia " Pada suatu malam, ia keluar dari gubuknya. Tidak lagi ia leloncatan dari satu ke lain dahan pohon untuk turun ke bawah, meniru si burung raksasa. Benar-benar hebat ilmu entengi tubuhnya. Bagaimana ia dapat demikian hebat ginkangnya " Inilah justru menjadi pertanyaan yang sampai sebegitu jauh belum dapat dijawab olehnya sendiri. Tidak jauh dari situ ada terdapat satu lapangan, cukup besar untuk berlatih silat. Di sekitarnya banyak tumbuh pohon, tinggi dan rendah, tidak rata. Dan ini semua bagi Lo In merupakan lapangan untuk melatih ginkangnya. Di bawah terangnya sang rembulan, Lo In tampak melatih ilmu silatnya ajaran Liok Sinshe dengan tangan kosong mula-mula. Pukulan-pukulannya ternyata luar biasa, semua menerbitkan angin menderu. Kapan ia tujukan pukulannya ke atas, cabangcabang pohon yang jaraknya dua tombak pada bergoyang dan daun-daunnya pada berjatuhan ke tanah. Gerakannya gesit luar biasa hingga yang tak melihat dengan mata kepala sendiri tentu akan tidak percaya Lo In mempunyai tenaga yang sempurna dan ilmu silat yang aneh-aneh melihat usianya baru masuk empat belas tahun. Lo In tidak merasa kalau ia dalam lembah itu diam-diam sudah melewatkan waktunya hampir 2 tahun. Pantas badannya makin tinggi, sedang romannya makin nyata kecakapannya. Sayang pakaiannya mulai compang camping. Maklumlah ia masuk ke dalam lembah itu tak membawa bekal pakaian. Jadi ia tiap hari mengenakan pakaian itu-itu juga. Setelah berlatih dengan tangan kosong, Lo In ganti berlatih dengan pedangnya, juga tidak kurang hebatnya. Kalau tak dapat dikatakan lebih hebat dan seram pula. Kecepatan memainkan pedang yang bobotnya sangat enteng, menimbulkan angin santar. Suaranya 'bat bet bat bet', bisa membuat musuh yang menghadapinya ciut nyalinya. Berhenti berlatih, Lo In duduk termenung di atas rumput. Ia masih penasaran, lalu bangkit dari duduknya menghampiri sebuah pohon siong (cemara) yang ukuran bulat batangnya sebesar betis orang gemuk. Ia pasang kuda-kudanya lalu kerahkan lwekangnya. Tampak seperti menghembus hawa putih dari embun-embunannya. Ia berdiri kira-kira satu tombak dari pohon yagn mau dibuat sasarannya. Setelah merasa cukup kekuatan untuk menyerang, kedua tangannya digeraki berbareng, diulur ke depan. Angin menghembus keluar hebat bukan main. Segera terdengar suara 'krak !'. Disana, pohon siong yang dipakai sasaran, kelihatan tumbang. Tidak dapat menahan serangan Lo In yang dahsyat itu. Lo In berdiri bengong. Ia kagum akan tenaganya sendiri, berbareng ia menanya dirinya sendiri, dari mana mendapat tenaga yang luar biasa itu. "Celaka." katanya dalam hati kecilnya. "Tenagaku begini dahsyat, aku tidak boleh sembarangan pukul orang !" Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat. Lo In kira tidak ada yang lihat perbuatannya. Tidak tahunya, diam-diam sambil mendekam di atas dahan pohon, si rajawali menonton ia tengah berlatih silat dan matanya si burung terbelalak kagum menyaksikan Lo In memukul tumbang pohon siong. Sampai dibawah pohon, dengan gerakan 'walet terbang menembusi awan', ilmu entengi tubuh yang paling ia suka, Lo In sebentar saja sudah ada didalam gubuknya lagi. Bulak balik ia di pembaringannya. Tidak bisa tidur memikirkan akan keanehan tenaganya yang luar biasa. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya tentang 'Jit-goat-ko', buah mujizat yagn ia makan demikian harum dan lezat rasanya. Pikirnya, apakah oleh karena makan itu " Ia kemudian merasa sangsi lagi sebab setelah ia makan buah itu, ia lantas rasakan perubahan aneh dalam tubuhnya, enteng dan gesit dirasakan tubuhnya, tenaganya pun meningkat entah berapa puluh kali karean si burung raksasa kontan pada hari-hari berikutnya tidak berdaya menghadapi ia berlatih. Dari mana kawanan kera itu dapatkan buah ajaib itu " Maka pada keesokan harinya, ia lantas kumpulkan kawankawan keranya. Ia majukan pertanyaan, siapa diantaranya yang membawakan buah yang bentuknya macam telur angsa dan warnanya merah putih. Lo In gunakan bahasa monyet menanyakannya hingga puluhan monyet yang hadir dalam pertemuan itu pada cetcowetan ramai. Rupanya satu dengan lainnya pada saling bertanya. Tidak lama, satu kera yang berpotongan kecil tapi gesit, lompat ke depan Lo In, berlutut sambil anggukanggukkan kepala. Lo In girang melihatnya. "Pek-gan, jadi kau yang membawakannya untukku ?" ia menanya seraya mengeluselus kepalanya si kera. Pek-gan, kera itu dipanggil Lo In, artinya 'Mata Putih'. Ia ada satu kera jantan yang bertubuh kecil, tapi kegesitannya melebihi kawan-kawannya. Dua matanya putih seperti mata yang terbalik, tapi ia melihat terang sebagaimana biasa. Malah ada keistimewaannya, dengan sepasang matanya yang aneh itu, pada malam hari gelap ia dapat melihat tegas terang bagaikan siang hari. Ia mempunyai teman yang hampir sama gesit dan cerdasnya dengan dia. Kera ini kepalanya putih dan lebih jangkung sedikit, tapi kurusnya sama. Ia dipanggil 'PekTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tauw' oleh Lo In, artinya 'Kepala Putih'. Dua kera ini paling disayang oleh Lo In karena gayanya yang lucu dan sering bikin ketawa, baik dalam percakapan maupun dalam kelakuannya. Hingga bagi Lo In, mereka itu ada dua penghibur yagn menyenangkan. Lain dari itu, dalam soal mengantar buah-buahan mereka tidak sembarangan asal petik saja. Selalu mereka pilih buah-buah yang istimewa untuk dipersembahkanpada junjungannya. Oleh karenanya Lo In sangat menghargakan mereka. Pek-gan senang kepalanya diusap-usap Lo In, matanya melirik bangga pada kawan-kawannya. "Pek-gan, coba kau terangkan dari mana kau dapatnya. Apa kau masih bisa dapatkan pula beberapa buah untukku ?" demikian kata Lo In dalam bahasa kera. Pek-gan geleng-geleng kepala. Mulutnya kemudian cetcowetan sambil tangannya menunjuk-nunjuk. Rupanya ia sedang cerita menuturkan pengalamannya. Lo In mengerti cerita Pek-gan. Kiranya buah mujizat itu si kera dapatkan pada satu tebing yang curam disebelah barat mereka sedang berkumpul. Pohonnya hanya mengeluarkan dua buah. Malah setelah dipetik buahnya, pohon itu lantas layu, daun-daunnya pada kuncup. "Tidak apa." kata Lo In. "Lain kali kau boleh bawakan lagi buah-buah lain yang sama baiknya. Nah, kau boleh kumpul lagi dengan teman-temanmu !" Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya si kera. Berbareng dengan ini, tiba-tiba Lo In dan kawanan kera menjadi kaget mendengar suara monyet berteriak-teriak minta tolong Lo In dan yang lain-lain pasang kuping untuk menegasi dari mana datangnya suara minta tolong itu. "Ah, itu suaranya Ji-hek !" kata Lo In sambil lompat dari duduknya. Terus ia gunakan ilmu entengi tubuhnya, memburu ke selatan. Semua kera paling kalut, masing-masing gunakan kecepatan lari menyusul Lo In. Sedang si rajawali juga tidak ketinggalan, pentang sayapnya dan terbang mendahului Lo In. Lo In tidak minta 'kapal terbangnya' stop dahulu untuk Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membawa dia, sebab ia tahu Ji-hek lebih perlu lekas ditolong, jikalau ia mendengar teriakannya yang menyayatkan hati. Ketika Lo In sampai disatu lapangan terbuka, ia lihat rajawalinya sedang bertempur dengan manusia, entah siapa dia. Tidak jauh dari mereka bertempur, tampak menggeletak Toa-hek, tengah dipeluki oleh Ji-hek sambil berteriak-teriak menangis minta pertolongan. Cepat Lo In menghampiri Ji-hek. Melihat Lo In datang, Ji-hek kegirangan. Mulutnya ramai menceritakan apa yang sudah terjadi. Kiranya Toa-hek sudah bertempur dengan orang yang sekarang lagi bertempur dengansi rajawali. Dalam keadaan tidak waspada, Toa-hek sudah dirubuhkan dengan senjata beracun. Lo In tidak perhatikan Ji-hek nyerocos cetcowetan. Ia terus saja memeriksa lukanya Toa-hek. Keadaannya parah juga, matanya meram saja ! Lo In girang sebab Toa-hek tidak terancam bahaya kematian karena lukanya. Cepat ia bersihkan darah di pundaknya Toa-hek. Dengan tangan bajunya lalu keluarkan obatnya, dioleskannya, sedang pil mustajabnya dimasukkan ke dalam mulutnya Toa-hek. Mustajab benar obatnya Lo In, warisan Liok Sinshe. Karena tidak lama setelah obat berjalan dalam perut dan pundaknya, Toa-hek sudah dapat membuka matanya dan merintih pelanpelan. Melihat Toa-hek sudah tertolong, maka Lo In bangun berdiri menyaksikan pertempuran si garuda dengan lawannya. Ia perhatikan musuhnya si garuda ternyata adalah seorang tua dengan hidung bengkok seperti patuk burung kakaktua, mulutnya lebar, jidatnya jantuk. Entah ada tanda apanya lagi di mukanya sebab hanya itu saja yang dapat dilihat dari kejauhan oleh Lo In. Ternyata orang tua itu ada punya lwekang hebat juga. Sebab samberan si rajawali terus dapat ditolak mundur. Tampak si rajawali napsu benar hendak membinasakan musuhnya. Angin pukulan si orang tua, seolah-olah tidak dihiraukan. Ia terus menyambar musuhnya sambil perdengarkan pekikan yang gusar sekali. Entah ada permusuhan apa si rajawali begitu marahnya. Lo In lihat, orang tua itu mulai keteter. Ia mulai gunakan senjata rahasianya. Ser ! Ser ! Lo In dengar suaranya senjata rahasia si orang tua menyambar pada si rajawali. Tapi sampai sebegitu jauh dengan kebasan sayapnya, saban kali senjata rahasianya si orang tua dapat dijatuhkan. Lo In kuatir akan keselamatan burung kesayangannya. Maka ia lalu bersuit, si rajawali masih bernapsu bertempur. Suitan tanda memanggil Lo In seperti juga ia tidak mendengarnya. Tapi, ketika suitan yang kedua nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat membandal panggilan tuannya. Ia putar tubuh dan terbang menghampiri Lo In. Sementara itu, si orang tua sudah memburu datang. Kiranya dia itu seorang tua dari usia kira-kira 50 tahun. Selain tanda-tanda yag Lo In dapat lihat terlebih dahulu, ia saksikan lagi, orang tuaitu mulutnya dan giginya omping. Entah tinggal berapa giginya, yang terang di sebelah depannya, atas bawah sudah sungsang sumbel. Segera Lo In dan si orang tua sudah berhadap-hadapan, kira satu tombak jauhnya. Sambil menunjuk dengan jarinya, si orang tua berkata pada Lo In, "Em ! Jadi kau ini tuannya si burung celaka itu ?" Lo In merasa tidak senang burungnya dikatai 'si burung celaka'. "Lotiang (orang tua), kau sudah celakai Toa-hek, lantas kau mau celakai juga aku punya Tiauw-heng, apa maksudmu ?" Lo In balik menanya tanpa menjawab pertanyaan orang yang diajukan lebih dahulu. "Aku tidak peduli kau punya Toa-hek, Tiauw-heng, Sam-heng, apa hek apa heng kek ! Asal aku mau bunuh, tidak ada orang yang berani rintangi !" si orang tua nyerocos, kasar betul. Suaranya nyaring macam gembreng pecah. Lo In mendongkol hatinya. Tapi ia tidak berani kurang ajar. Ia tetap berlaku sopan terhadap orang asing itu. Selama hampir dua tahun dalam lembah, hari itu, Lo In untuk yang pertama kalinya ketemu lagi dengan manusia. Di samping ia suka berlaku jail, mengocok orang, juga perangainya halus dan ingin bersahabat sama siapa juga. "Jadi lotiang masih marah sekarang ?" tanyanya. Matanya si orang asing mendelik. "Aku mau bunuh orang utan dan burung busukmu. Kau mau apa ?" bentaknya. Lo In kedip-kedipkan matanya, seperti yang ketakutan. "Lotiang, kau sebenarnya siapa " Apa namamu ?" tanya Lo In tenang. "Hahaha." si orang asing ketawa, seraya tepuk-tepuk dadanya. "Tidak perlu kau tahu siapa aku sebab kau masih bocah. Tapi tidak apa aku sebutkan supaya mati merem. Hahaha, aku ini Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng dari Coa-kok !" Lo In tidak kaget si orang asing sebutkan namanya, sekaligus dengan gelarnya 'Toan Bilo-mo' atau 'Si Iblis Alis Buntung'. Yang membikin ia heran, Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng macam orang edan. Apa dia setengah atau memang betul-betul sinting " Lo In tanya dirinya sendiri. Kalau orang baik-baik, tidak semestinya ia menyebutkan namanya yang seram sambil tepuk-tepuk dada dihadapan seorang anak kecil seperti Lo In. Sebab Lo In belum tahu apaapa dengan dunia Kang-ouw. Yang lebih aneh pula, Siauw Cu Leng pakai mengatakan 'supaya kau mati merem' segala, apakah maksudnya " Apa ia mau bunuh juga Lo In " Ini pun menjadi pertanyaan dalam hatinya si bocah. Lo In memandang mukanya si iblis, benar-benar saja kedua alisnya pendek (kuntugn), cuma setengah dari alisnya orang biasa. Setelah menyebutkan nama dan gelarnya, Siauw Cu Leng jalan mau menghampiri Toa-hek sehingga Toa-hek mengerang gusar sedang Ji-hek tampak siap sedia buat menjaga kalau suaminya diserang. "Hei, kau mau apa ?" tanya Lo In. "Ah, kau anak bau, tau apa !" sahut Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng seraya mengebaskan lengan bajunya. Dari mana mengembus angin keras, menyerang Lo In. Si Iblis Alis Buntung berdiri heran melihat Lo In tidak apa-apa. Si bocah tinggal tetap berdiri ditempatnya. Biasanya, kalau orang akan jungkir balik, apalagi ini anak kecil yang dikebas, kenapa dia diam saja " Demikian tanya si iblis dalam hatinya. Apa kurang kencang kebasannya " Maka ia lalu mengebas sekali lagi dengan lwekan ditambah menjadi 7 bagian, tapi...... Lo In masih berdiri ditempatnya sambil bersenyum geli. Rupanya ia masih merasa lucu atas kelakuan si iblis. Memang, kalau anak kecil biasanya yang dikebut pasti akan jungkir balik dan mungkin jatuh pingsan. Tapi kali ini Lo In yang dikebas, tidak bisa mempan sebab tenaga dalam Lo In ada diatasnya si Iblis Alis Buntung. "Silahkan, kau mau bunuh Toa-hek ?" tanya Lo In ketika melihat si iblis berdiri tertegun. Sebagai tokoh iblis yang ditakuti sepak terjangnya, tentu saja Siauw Cu Leng tidak mengira dapat dijatuhkan demikian mudah oleh satu anak kecil yang masih ingusan, kata hati kecilnya. Ia lalu lompat menerjang, menghajar Lo In dengan kedua tangannya yang menghembuskan angin besar. Debu dan tanah berterbangan saking hebatnya dilanggar angin serangan Siauw Cu Leng. Tapi Lo In sudah menghilang dari depannya. Bukan main kagetnya, cepat ia putar tubuhnya. Dilihat Lo In sudah berada dibelakangnya sambil anteng-anteng saja menggendong tangan. "Tanah tidak berdosa kau hajar begitu bengis, lotiang !" Lo In kata dengan jenaka. Malu bukan main si Iblis Alis Buntung diejek si bocah, naik pitam dia. "Bagus, kau jaga pukulan mautku !" teriaknya nyaring. Pukulan yang dikerahkan dengan tenaga maksimum kalau kena tubuh Lo In bisa hancur lebur berkeping-keping, tapi lagiTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ lagi pukulan si iblis cuma bisa menghajar tanah sebab Lo In sudah bisa menghilang lagi kemana tahu. "Anak busuk, kau berani permainkan aku, Toan Bilo-mo ?" bentaknya sambil celigukan, matanya mencari bayangan Lo In. SI iblis benar heran. Entah bagaimana Lo In bergerak sebab tahu-tahu ia hanya menghajar tanah lagi. Ia marah-marah hanya untuk menyimpan mukanya dari perasaan malu sebab sebenarnya telah takut bukan main dalam menghadapi si bocah punya kegesitan yang seperti setan saja bisa menghilang. Pikirnya, kalau tidak siang-siang angkat kaki, ia bisa susah. Ia tahu bahwa saat itu Lo in berada di samping kirinya. Ia bukan menyerang lagi, hanya ia lompat ke depan dan angkat kaki terbirit-birit lari. Lo In tidak mau tanam bibit permusuhan, makanya ia tadi hanya lawan si iblis dengan kelincahannya saja mengelakkan serangan-serangan. Ketika si iblis melarikan diri, ia hanya ketawa, tidak mengejar. Tapi tidak demikian dengan si rajawali, begitu meliaht Siauw Cu Leng lompat lari, ia juga gerakan sayapnya menyerang dari atas. Cakarnya yang bagaikan baja, nyaris mencomot hilang kepalanya si iblis, kalau Siauw Cu Leng tidak menggunakan tipu 'Keledai malas bergulingan diatas rumput', akan kemudian disusul dengan gerakan 'Lo hie ta teng' atau 'Ikan gabus meletik', untuk ia terus melarikan diri. Lo In tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukan itu. ia tidak ijinkan si rajawali mengejar terus lawannya karena ia tahu orang itu sangat licik hingga mungkin burung kesayangannya nanti bisa dapat celaka oleh senjata rahasianya yang berbisa. Oleh karenanya ia lalu memperdengarkan suitannya memanggil si rajawali untuk terbang pulang. Tampak burung kesayangannya unjuk roman bengis dan penasaran. "Tiauw-heng, kau kenapa begitu marah pada dia ?" tanya Lo In seraya elus-elus sayapnya, sebagaimana biasa unjuk kesayangannya. Si rajawali tidak geleng atau anggukkan kepalanya, dia diam saja. Lo In mengerti burung kesayangannya sedang marah. Seketika itu ia ingat akan kejadian si burung raksasa menderita luka, ia terkena anak panah beracun. Maka cepat ia pungut anak panah yang barusan menancap dipundaknya Toa-hek. Ketika ia perhatikan dengan seksama, lantas ia mengerti bahwa yang memanah si rajawali adalah si Iblis Alis Buntung. Pantesan burung kesayangannya begitu marah pada Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng. "Tidak apa, lain kali kita ketemu, kita akan kasih hajaran padanya." menghibur Lo In pada burung garudanya. Si rajawali kali ini, mendengar Lo In mengucapkan kata-katanya telah memanggutkan kepalanya. Kenapa Toa-hek bertempur dengan Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng " Itu adalah kebetulan kesompokan di jalanan. Ketika Siauw Cu Leng sedang jalan lewati pohon, tiba-tiba ada bayangan lompat dari atas. Ia kaget, cepat balik tubuhnya dan ia lantas berhadapan denga Toa hek sebab bayangan tadi memang Toa-hek yang barusan turun dari pohon. Sebenarnya, kalau Siauw Cu Leng tidak timbul niatan ingin menaluki si orang utan, ia teruskan jalannya, tentu tidak akan ada kejadian apa-apa, sebab Toa-hek juga tidak perdulikannya. Apa mau, Siauw Cu Leng ketarik dengan tubuhnya Toa-hek yang tegap dan kokoh kuat. Pikirnya, kalau ia bisa taluki orang utan ini dan dijadikan pembantunya, ada baiknya juga untuk disuruh-suruh. Segera ia datang mendekati, ia mulai mengganggu, mengundang kemarahan Toa-hek. Ia berhasil sebab Toa-hek lantas kedengaran menggerang gusar. Dengan gerakan 'Hek houw tam jiauw' atau 'Macan hitam mencengkeram', ia lompat menerjang. Tangan kanannya menyambar lengan kiri Toa-hek, sedang tangan kiri, dengan dua jarinya meluncur mau menotok 'hongbun-hiat', jalan darah di pundak kanan si orang utan. Inilah gerakan yang dilakukan dengan cepat. Pikirnya, dalam segebrakan itu ia akan bikin lawan tidak berdaya. Tapi perhitungan Siauw Cu Leng ternyata keliru sebab Toa-hek segera elakkan lengannya yang hendak dicekal sedang tangan kiri si iblis yang hendak menotok pundak sudah kena ditangkis keras sekali hingga si iblis lompat mundur saking kaget dan kesakitan. "Apa mungkin monyet ini bisa ilmu silat ?" ia menanya dirinya sendiri, sambil matanya mengawasi Toa-hek. Tapi si orang utan yang sudah marah, tak mengasih kesempatan untuk Siauw Cu Leng banyak menanya-nanya dalam hatinya karena segera ia menyerang dengan tangannya yang gede berbulu dan kepaksa si iblis harus keluarkan kegesitannya untuk menyelamatkan diri. Ia rada ngeri untuk kasih tangannya bentrok lagi dengan tangan Toa-hek sebab barusan ketika ditangkis, ia rasakan tangannya seperti ditangkis sepotong besi sampai ia rasakan kesemputan tangannya. Sebaliknya, ia mau menggunakan lwekang, menggempur rubuh Toa-hek, hatinya tidka mengirakan karena ia ingin taluki si orang utan, bukannya hendak membunuhnya. Jadi, bagaimana ia harus berbuat " Dalam berkelit sana sini, menghindarkan sambarang tangan Toa-hek, si iblis putar otaknya mencari jalan merobohkan Toa-hek. Ia dapat jalan rupanya sebab sebentar kemudian ia lompat keluar dari pertempuran, lari dikejar oleh Toa-hek. Siauw Cu Leng menyelinap dibalik sebuah pohon besar hampir dua pelukan, disini dia ajak Toa-hek main petak, berputar ia disini sampai kemudian ia berada dibelakang si orang utan. Diam-diam ia keluarkan panah beraacunnya, terdengar Toa-hek menjerit roboh karena pundaknya kena dilanggar senjata rahasia si iblis. Siauw Cu Leng kegirangan. Tapi baru saja dengan terbahakbahak ia ketawa seraya mendekati Toa-hek, dari atas pohon Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyambar satu bayangan. Untung ia awas. Cepat berkelit selamatkan diri dari serangan. "Bangsat pembokong !" bentaknya sambil memandang orang yang membokong tadi. Ia terkejut juga sebab yang menyerang dirinya bukanlah manusia, tapi orang utan lagi, orang utan betina. Memang Jihek yang datang hendak menolong suaminya yang terancam bahaya. Segera mukanya si iblis berubah. Napsu membunuhnya tampak dari romannya yang beringas. Ia kerahkan lwekangnya, maksudnya hendak menghajar Ji-hek dengan sekali pukul saja. Tapi pada saat Ji-hek terancam bahaya, tiba-tiba terdengar suara si rajawali mendatangi, bagaikan kapal terbang yang hendak mendarat saja, si burung raksasa menyambar Siauw Cu Leng. Pohon dimana si iblis berdiri ada merintangi si rajawali menyambar dengan leluasa. Maka ia serempet Siauw Cu Leng dengan sayapnya hingga si iblis terpental bergulingan, sebelum ia berdaya untuk menyelamatkan dirinya. Ia bergulingan menjauhi pohon kemudian ia lompat bangun, lebih jauh lagi jaraknya dari pohon yang membuat si rajawali tidak leluasa. Maka dengan enak saja Kim-tiauw permainkan Siauw Cu Leng dengan kebasan sayap dan cakaran kedua kakinya yang tajam-tajam. Tapi Siauw Cu Leng ada satu tokoh iblis yang sudah terkenal dalam kalangan Kang-ouw. Maka tidak mudah si rajawali mencomot kepalanya yang saban kali hampir tercakar sebab ketika si iblis dapat memperbaiki posisinya, segera juga serangan-serangan si rajawali di balas dengan serangan tangan yang menghembuskan angin santar. Itulah Pek-kong-ciang, pukulan udara kosong yang digunakan Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng. Si rajawali dengan demikian terus ketahuan tiap menyambarnya. Pertarungan dilakukan hebat sekali sebab si rajawali yang kenali musuhnya yang telah melukai ia, kelihatannya sangat bernapsu sekali hendak mencakar dan mematuk binasa musuhnya itu. Siauw Cu Leng menggempur dengan hati-hati, ia pun sudah siapkan panah beracunnya untuk merobohkan si rajawali. Justru ia sudah siap, tiba-tiba terdengar suitannya Lo In. Suitan pertama si rajawali belaga pilon, tapi suitan kedua yang nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat meremehkan panggilan tuannya dan ia putar tubuh melayang balik menyampari Lo In. Siauw Cu Leng menyesal sekali ia terlambat melepas panah beracunnya karena gara-gara suitan Lo In. Oleh karena itu juga, maka Siauw Cu Leng sudah mendatangi Lo In dan marah-marah di depan si bocah seperti orang gila. Tapi kesudahannya ia kena dipecundangi si jago kecil dengan hanya menggunakan kegesitan entengi tubuhnya saja. Toa-hek sangat berterima kasih atas pertolongan Lo In. Tiba-tiba ia jatuhkan diri, menyembah di depan si jago cilik. "Kau terlalu menghargai aku, Toa-hek. Bangunlah !" berkata Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya Toa-hek. Lo In berjaln pulang dengan diiringi oleh tentara keranya. Dalam perjalanan, Lo In berpikir mungin dalam lembah itu bukan ia sendiri manusia yang menjadi penghuninya. Munculnya si Iblis Alis Buntung sudah tentu ada kawankawannya pula yang turut dengannya. Berpendapat bahwa disekitarnya lembah mesti ada orang-orang lainnya pula yang tinggal, maka dalam hatinya jago cilik kita ingin ia ketemukan mereka itu untuk menanyakan keterangan kalau-kalau diantaranya ada yang mengetahui tentang jejaknya Liok Sinshe. Meskipun hampir dua tahun sudah, Lo In menjadi penghuni lembah, belum pernah ia melupakan Liok Sinshe. Tiap hari ia masih terus mencari jejaknya Liok Sinshe. Malah tentara keranya dikerahkan untuk membantu mencarinya. Ia sangat mencintai Liok Sinshe yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya, yang ia tidak tahu siapa dan dimana adanya sekarang. Tiga hari sejak kejadian diatas, Lo In dengan sendirian coba melakukan pemeriksaan disekitarnya tempat dengan pengharapan ia akan bertemu dengan orang yang ia dapat ajak bicara. Ia menerobos sana menerobos sini, diantara pepohonan yang lebat sampai akhirnya ia mendekati satu rimba bambu. Tidak jauh dari sini, ia lihat ada sebuah sungai kecil. Ia datang mendekati, duduk ditepinya untuk melepaskan lelah. Belum lama ia duduk, terbawa oleh silirannya angin, sayupsayup ia seperti mendengar ada orang yang merintih. Ia kaget kapan ia tegasi, rintihan itu keluar dari jalanan masuk ke rimba bambu tadi. Siapakah gerangan yang merintih itu " Dalam hatinya, ia girang dapat menemukan manusia disitu, tetapi juga kuatir bahwa ia akan terlambat dapat menolong orang yang dalam kesulitan itu sebab dari suara rintihannya, orang itu seperti mendapat luka berat. Dengan beberapa kali lompatan saja, Lo In sudha masuk ke dalam rimba bambu. Di pinggiran jalan ia nampak ada satu nenek yang sedang rebah merintih. Ia datang mendekati, ia pegang lengannya si nenek dari belakang sebab si nenek sedang rebah miring. "Kau kenapa, Popo ?" tanya Lo In. Lo In menduga si nenek bisa silat sebab dari dandanannya ada lain dari kebanyakan nenek-nenek. Juga ia lihat, tidak jauh dari si nenek, ada kedapatan sepotong besi, panjang tiga kaki. Rupanya potongan besi itu yang merupakan toya pendek, ada gegumamnya si nenek yang roboh merintih. Merasa lengannya dipegang orang, si nenek berbalik dan memandang Lo In. "Oh, anak." sahutnya. "Aku terluka berat oleh itu anjing keparat !" Paras mukanya si nenek kelihatan seperti yang marah dan penasaran. "Siapa yang lukai Popo ?" tanya Lo In. "Ah, kalau diceritakan, gemas sekali aku pada si keparat ! Aku hanya kalah sejurus saja, apa mau betisku kena ditendang oleh tendangan geledeknya hingga aku rubuh tidak ampun lagi. Untung dia tidak barengi mengemplang kepalaku dengan toyaku yang dia rampas. Kalau sampai begitu, celaka aku si nenek sekarang sudah mampus !" demikian si nenek menutur. Ia tidak menjawab langsung pertanyaan Lo In. Si nenek sambil bercerita, sembari bangkit dari rebahnya dan duduk. Lalu gulung kaki celananya yang kanan. "Nih, kau lihat. Bukankah orang itu amat kejam ?" si nenek sambung bicaranya sambil menunjuk pada lukanya. Lo In lihat, benar saja betisnya matang biru akibat tendangan lawannya. "Siapa yagn lukai Popo ?" Lo In ulangi pertanyaannya tadi. Si nenek mengawasi Lo In sebentar, lalu berkata, "Ah, kau masih kecil. Barangkali kau belum kenal dia. Dia itu ada satu iblis kejam. Namanya Siauw Cu Leng dengan gelarnya si 'Iblis Alis Buntung'. Anak, sebaiknya kau tolong aku dari pada kau tanyakan orang yang mencelakai aku sebab toh kau tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalaskan sakit hatiku si nenek !" Lo In hanya mendehem. Lalu ia segera mau periksa lukanya si nenek, tapi ia urungkan ketika si nenek berkata lagi, "Eh, tunggu dulu. Kau tentu mau tahu juga aku berhantam dengan si iblis, bukan ?" Lo In hanya manggutkan kepala. "Lantarannya ia menuduh aku sudah menemukan buah 'Jitgoatko' dan aku sudah memakannya sendiri." kata pula si nenek. "Apa buah 'Jit-goat-ko' itu ?" tanya Lo In. "Jit-goat-ko," sahut si nenek. "Bentuknya mungil sebesar telur angsa, warnanya merah putih. Siapa makan ini, tubuhnya akan kuat luar biasa. Kalau yang pandai silat, lwekangnya meningkat. Makan satu seperti tambahan tenaga dalam dari latihan 5 tahun. Makan dua sebagai berlatih 10 tahun. Siapa yang dapat makan buah ini, rejekinya besar. Mana aku si nenek punya itu rejeki dapatkan buah yang demikian, tapi difitnah oleh si jahat itu sampai aku rasakan semaput betisku ditendang olehnya. Baik, nanti ada satu waktu, aku akan bikin perhitungan padanya. Ia tak nanti lolos dari pembalasanku !" Sementara si nenek nyerocos cerita, Lo In diam-diam merasa terkejut dalam hatinya. Ia tidak sangka buah 'Jit-goat-ko' ada demikian besar khasiatnya. Pantas dia makan dua buah itu, tenaganya tambah entah berapa puluh lipat hingga ia bikin tidak berkutik Toa-hek dan si rajawali, dua teman dalam latihannya. Kalau begitu, pikirnya, tenaganya meningkat seperti juga ia berlatih sepuluh tahun sudah lwekangnya. Parasnya si bocah yang terkejut, tidak lepas dari matanya si nenek yang berkilat sebentaran, lalu berkata pada Lo In, "Anak, coba kau tolong periksa lukaku. Aku rasakan sangat sakit !" Lo In menurut, ia tekuk lututnya dan memeriksa luka si nenek. Tiba-tiba terdengar suara 'buk !' disusul oleh jeritan 'aiyoo !' dari Lo In berbareng badan si bocah lantas rebah terkulai. Kiranya Lo In kena dibokong si nenek. Ia kena perangkap sebab si nenek sebenarnya bukan terluka. Betisnya yang matang biru hanya buatannya sendiri dengan mengerahkan tenaga dalamnya, disalurkan ke betisnya hingga timbullah itu tanda seperti yang benar kena ditendang orang. Lo In masih kecil, belum kenal kecurangan manusia. Ia masih belum berpengalaman dalam rimba persilatan yang banyak akal-akal busuk yang dilakukan orang-orang jahat. Ia percaya saja akan obrolannya si nenek. Ketika ia tekuk lutut, nunduk untuk periksa luka yang dikatakan si nenek jahat, tiba-tiba dengan kejam si nenek membokong Lo In dengan tenaga sepenuhnya. Tentu saja Lo In yang tidak berjaga-jaga, sekali digebuk ia jatuh setelah mengeluarkan jeritan 'Aiyoo !' yang mengenaskan. "Hehehe !" si nenek tertawa terkekeh-kekeh sambil bangkit dari duduknya dan mengawasi korbannya yang rebah tengkurup, tidak sadarkan diri. "Bagus !" tiba-tiba terdengar suara orang dari gerombolan pohon bambu, berbareng orangnya muncul. Siapa, ternyata bukan lain orang adalah Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng sambil ketawa-ketawa datang menghampiri. "Anak bau !" katanya sambil menendang tubuhnya Lo In hingga terpental bergulingan setombak jauhnya. "Rasakan gempuran tangan ciciku !" si iblis menyerang gemas seraya memburu dan hendak menendang lagi. "Tahan !" kedengaran si nenek menyetop niatnya Siauw Cu Leng yang gemas sekali pada Lo In yang pernah bikin ia lari terbirit-birit. Siauw Cu Leng tidak jadi menendang. Ia jadi uring-uringan, ia berkata, "Anak bau ini, buat apa ditinggal hidup " Mampusi saja, habis perkara !" Si nenek goyang-goyang tangannya sambil jalan menghampiri. Dekat tubuh Lo In, ia jongkok mengawasi parasnya si bocah yang cakap tengah telentang dengan tidak ingat orang, mungkin napasnya sudah berhenti. Pelan-pelan tangannya si nenek ditempelkan pada dadanya Lo In. Ia dapatkan Lo In masih bernapas meskipun sangat perlahan. Kembali ia mengawasi pada paras Lo In lalu menghela napas, "Musti anak ini turunannya dia........." ia berkata perlahan, tapi cukup nyata bagi telinganya Siauw Cu Leng. Si Iblis Alis Buntung juga turut jongkok. Sambil turut mengawasi si bocah yang seolah-olah sudah tidak ada napasnya, Siauw Cu Leng menanya, "Siapa yang kau maksudkan, cici ?" "Dia..........dia........" sahtu si nenek bengong. "Oh, aku tahu. Dia si orang she........." Siauw Cu Leng kata lagi. Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena si nenek tiba-tiba menaruh telunjuk di mulut, bersuara "sstt !" Siauw Cu Leng celingukan sebab tanda dari kakaknya itu menandakan ada orang yang mengintai. Tapi ia tidak lihat apa-apa kecuali dua monyet kecil yang sedang lelompatan di pohon bambu. Yang satu kelihatan kepalanya putih sedang yang pendekan matanya putih. Dua monyet itu kelihatan lucu sekali. Setelah lama memperhatikan, mereka itu tidak mendengar gerakan apa-apa lagi, maka Siauw Cu Leng sambil ketawa berkata, "Ah, cici. Hanya dua binatang itu saja yang mengagetkan kita." sambil ia menunjuk pada dua kera yang seenaknya saja bermain lompat-lompatan saling kejar, malah terkadang sampai mendekati mereka dengan aksinya masingmasing yang lucu. Siapa si nenek itu " Ia bernama entah siapa, tapi ia terkenal dalam kalangan kang-ouw dengan nama Ang Hoa Lobo atau si nenek Kembang Merah. Rupanya nama ini diambil dari kebiasaannya, pada rambutnya suka dicantum kembang yang warnanya merah. Kepandaiannya jauh diatas Siauw Cu Leng. Namanya saja si iblis Siauw cu Leng memanggil cici (kakak). Tapi sebenarnya mereka itu sudah menjadi laki bini diluar kawin. Ang Hoa Lobo 'jago racun', disamping kepandaian silatnya tinggi hingga Siauw Cu Leng yang biasa tidak takuti siapa juga, ia tunduk terhadap bininya diluar kawin itu. Ia pun juga mempunyai panah beracun buatang Ang Hoa Lobo. Demikian, tatkala mengetahui bahwa kecurigaannya tidak beralasan, makan Ang Hoa Lobo suruh Siauw Cu Leng pondong Lo In untuk dibawa pergi dari tempat itu. Siauw Cu Leng benci pada Lo In tapi ia tak dapat menolak perintah sang ratu. Terpaksa dengan uring-uringan ia angkat si bocah, terus dipanggul di pundaknya. Ang Hoa dan Kim Popo, jadi sudah dua-dua nenek yang muncul dalam cerita. Sekarang, mari kita melihat perjalanan Kim Popo dan asal usul dua nenek itu. Kim Popo setelah dijemur selama dua jam dibawah terik panasnya matahari, barulah dengan sendirinya totokan si thauto bebas. Di samping sangat gusar, ia rasakan tenggorokannya sangat kering. Cepat ia bangkit lalu menghampiri tongkatnya dan dipungutnya. Ia meneduh sebentar di bawah pohon kemudian ia mencari air, kalau-kalau didekat situ ada kali kecil yang jernih airnya. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Keinginannya Kim Popo kesampaian, sebab tidak lama ia jalan, ia menemui sebuah kali kecil yang airnya jernih bagaikan kaca, keluar dari mata-mata air dari pegunungan. Kegirangan dia sampai di tepi kali, ia rebahkan diri tengkurap, tangan kanannya dipakai menyendok air. Dengan napsu, ia minum sekenyangnya. Ia cuci muka dan cacapi kepalanya yang barusan kena dijemur panasnya matahari. Ia rasakan adem sekali ketika merasakan air kali itu meresap di kepalanya. "Hahaha ! Dia ada disini !" tiba-tiba Kim Popo dibikin kaget oleh suara laki-laki dari belakangnya. Cepat ia bergulingan untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap kemudian dengan gerakan 'Ikan gabus meletik', di lain saat ia sudah tancap kakinya berdiri sambil pegangn kencang tongkatnya. Ia menduga si thauto yagn datang lagi. Maka ia sudah siap untuk menempur musuhnya dengan mati-matian. Tapi ketika ia mengawasi orang yang tertawa tadi, amarahnya dengan seketika lenyap dan malah ia ikut ketawa dan berkata : "Koko, kau bikin kaget orang saja. Mengapa sih suka jail begitu ?" Tidak biasanya Kim Popo keluarkan suara dengan nada begitu empuk dan halus. Kiranya orang itu ada 'kenalan lama' dari Kim Popo. "Adik Kim, kau dari mana ?" tanya orang laki-laki itu. "Kau sendiri, datang dari mana dan mau kemana ?" balik tanya Kim Popo sambil melirikkan matanya. "Ah, adik Kim. Kau belum jawab pertanyaanku." kata lagi orang laki-laki itu sambil jalan menghampiri dekat pada si nenek. "Aku..... aku, eh......... kau........." sahut Kim Popo, agak gugup suaranya. Laki-laki itu telah mencekal tangannya Kim Popo yang kurus, dengan tangan kanan ia mencekal, sedang tangan kirinya memegang lengan kanan si nenek sehingga si nenek coba berontak dari cekalan dan pegangan si lelaki sambil mengucapkan kata-kata yang gugup tadi. Berontaknya Kim Popo hanya 'aksi' atau pura-pura saja. Sebab iahanya sebentaran saja beraksi demikian. Selanjutnya ia jinak, antapkan perbuatannya si laki-laki tadi sambil tundukkan kepala seperti anak dara yang malu-malu kucing. Orang akan merasa geli dan lucu, melihat adegan yang 'luar biasa' itu. Kim Popo yang terkenal dengan adatnya yang angin-anginan dan kepala batu, eh, bolehnya begini jinak pada lelaki yang dihadapinya malah mengunjuk aksi manja aleman, bagaikan anak perawan usia sweet-seventeen. Siapakah lelaki itu " Siapa Kim Popo itu " Marilah kita menuturkan 'kisah roman' dari mereka yang cukup menarik. Di sebelah barat kota Hoa-im dalam provinsi Siamcay, ada tinggal bekas piauwsu (pengawal antaran barang) bernama Kong Tek Liang. Ia terkenal dengan ilmu tongkatnya yang dinamai 'Thian-lo Sin-kuay-hoat' atau 'Ilmu silat tongkat sakti jatuh dari langit', terdiri dari 6 jalan dan masing-masing jalan ada mempunyai 8 jurus, sama sekali jadi 48 jurus. Dengan kepandaiannya ini, ia banyak taluki penjegal-penjegal atau perampok-perampok besar, dalam perjalanan mengawal barang-barang antaran. Ketika ia masih jadi piauwsu, sehingga namanya terkenal dengan julukan Sin-kuay piauwsu atau Piauwsu Tongkat Sakti. Setelah berusia tua, ia dengan sendirinya mengundurkan diri dan menetap di sebelah barat kota Hoa-im. Kong Tek Liang mempunyai anak perempuan bernama Kong Kim Nio, yang sangat dimanjakan karena ia hanya puteri satusatunya. Di samping Kong Kim Nio, si Piauwsu Tongkat Sakti mempunyai dua murid bernama Siauw Cu Leng dan The Sam. Kim Nio ada berparas cantik menarik hingga Siauw Cu Leng dan The Sam tergila-gila oleh kejelitaannya Kim Nio. Siauw Cu Leng parasnya cakap tapi sifatnya licik dan agak ceriwis. Sebaliknya The Sam, meskipun kalah cakap dari Siauw Cu Leng, ia lebih pandai dalam merayu si dara. Hatinya Kim Nio lebih mendoyong pada The Sam, pergaulan mereka pun menjadi lebih erat oleh karenanya. Pada suatu hari, Kim Nio duduk berduaan dengan The Sam beromong-omong dalam sebuah taman bunga yang terdapat dipekaranagn rumah Kong Tek Liang yang lebar luas. Mereka begitu asyiknya ngobrol sampai tak disadari dua tangan mereka saling pegang. "Adik Kim," terdengar suara The Sam berkata dengan suara perlahan. "Mungkinkah kita bisa jadi kawan seumur hidup ?" "Kenapa tak mungkin, koko ?" sahut Kim Nio dengan mukanya bersemu merah sebab seketika itu ia merasakan pegangan tangannya The Sam makin erat dan duduknya menggeser lebih dekat lagi. "Aku kuatir kau tidak menjadi milikku, adik Kim." kata The Sam, suaranyaagak gemetar. "Kenapa kau memikir begitu, koko ?" tanya Kim Nio seraya tarik tangannya yang dipegang erat-erat oleh The Sam. Tapi The Sam tidak mau melepaskan tangan yang ditarik pulang itu, malah ia menggunakan dua tangan menggenggam, seolah-olah takut tangan si gadis yang lemas halus laksana kapas itu terlepas. Kim Nio juga tidak memaksa, ia antapkan tangannya dalam genggaman kedua tangan The Sam yang kuat. Hatinya tiba-tiba memukul melihat The Sam duduknya makin menggeser saja merapati tubuhnya. "Adik Kim........" kata The Sam, suaranya hampir tidak kedengaran. "Kenapa, koko ?" tanya Kim Nio terkejut, melihat gerak gerik The Sam. Anak muda itu mengawasi parasnya si nona, dari sela-sela matanya The Sam menetes air mata turun mengalir di kedua pipinya. "Kau kenapa, koko ?" Kim Nio ulangi pertanyaannya, heran melihat The Sam menangis. "Aku mencintai kau, tapi aku akan kehilangan kau......." sahut The Sam. Ia menangis, seperti anak kecil. -- 6 -- Kim Nio makin heran. Sambil tarik lepas tangannya dari genggaman The Sam, ia berkata, "Koko, kau omonglah yang jelas. Jangan kau menangis tidak karuan, membuat aku jadi menghadapi teka teki." "Adik Kim, boleh aku bicara terus terang ?" tanya The Sam setelah menyusut air matanya. "Kenapa tidak boleh." sahut Kim Nio. "Kau ceritalah dengan tenang." "Adik Kim, aku bakal kehilangan kau sebab kau sudah ditunangi dengan Suheng Siauw Cu Leng dan...." sampai disini bicara The Sam mandek karena dipotong oleh Kim Nio. "Dari mana kau tahu ini ?" Kim Nio memotong, seraya bangkit dari duduknya, berjingkrak saking kaget. "Suhu yang ceritakan ini padaku." sahut The Sam. "Kenapa ayah tidak cerita tentang ini padaku " Aku heran !" kata Kim Nio. "Dengan pertunangan ini, hilanglah pengharapanku. Bukankah itu berarti aku akan kehilangan kau, adik Kim ?" The Sam berkata lagi sambil tundukkan kepala. Kim Nio melihat si pemuda yang putus harapan, merasa amat kasihan. Hatinya, meskipun suka pada kecakapan Siauw Cu Leng, sebanding kalau menjadi suami istri, tapi ia tak dapat melupai Ji suhengnya (kakak kedua dalam perguruan), yang ia cintai dengan hati murni. Sebagai tanda bahwa ia lebih mesra terhadap The Sam, terbukti dari panggilannya. Ia seharusnya memanggil Ji-suheng pada The Sam tapi ia hanya memanggil 'koko' saja. Sebab pikir Kim Nio, panggilan ini ada lebih mesra kedengarannya. Tangang Kim Nio yang halus tiba-tiba diangkat lalu memegang dagu The Sam, diangkat hingga dua pasang mata bertemu pandangan. "Koko, kau jangan kuatir. Aku akan menjadi milikmu......." kata Kim Nio menghibur, mulutnya yang mungil menyungging senyuman yang tak dapat dilupakan oleh si pemuda yang kuatir kisah cintanya akan menjadi tamat. Tampak The Sam pun bersenyum setelah mendengar katakata Kim Nio. Badannya tiba-tiba bergerak maju dan dilain saat tampak Kim Nio sudah berada dalam rangkulannya The Sam, jinak sekali kelihatannya. The Sam mencium pipi kanannya Kim Nio perlahan sambil berbisik, "Adik Kim......" "Ya....... koko........." sahut Kim Nio sambil merasakan ciuman hangat dalam pelukan kekasih yang ia sangat cintai. "Adik Kim, boleh aku menciummu lagi ?" bisik The Sam lagi. Kim Nio hanya manggut, bersenyum dan segera ia merasakan ciuman hangat di pipi kirinya. Keduanya saling peluk dengan penuh kasih. "Ha ha ha !" sekonyong-konyong terdengar suara ketawa mengejek. Dua makhluk yang sedang asyik dalam lautan asmara terkejut, melepaskan pelukannya dan masing-masing lompat menjauhkan diri satu sama lainnya. Di situ tambah satu orang ialah Siauw Cu Leng. Dengan suara sinis, Siauw Cu Leng berkata, "Bagus, bagus ya, perbuatan bagus !" Kim Nio berdiri tercengang, sedang The Sam tundukkan kepala seakan-akan persakitan yang merasa bersalah. Tampak Kim Nio tekap mukanya dengan kedua tangannya, ia menangis saking malunya lalu lari masuk ke dalam rumah. "The Sam !" bentak Siauw Cu Leng kasar. "Apa kau tidak tahu adik Kim sudha menjadi milikku " Apa kau belaga pilon dengan perkataan suhu ?" The Sam tidak menyahut, ia hanya tundukkan kepalanya. Siauw Cu Leng sebenarnya bukanlah dengan sengaja mengintip perbuatan mereka, tapi secara kebetulan saja. Ketika ia ke belakang, ia masuk ke taman bunga mau memetik sekuntum bunga untuk dihadiahkan pada Kim Nio, apabila sebentar sore pertunangan mereka diberitahukan pada si jelita oleh suhunya. Kong Tek Liang mengambil keputusan Siauw Cu Leng sebagai mantunya berdasarkan perhitungan bahwa Siauw Cu Leng cakap parasnya, pintar mengambil hati sang suhu, juga dengannya ada hubungan famili. Ibunya Siauw Cu Leng ada adik piauwnya yang menikah dengan orang she Siauw. Atas permufakatan kedua orang tua, ialah Kong Tek Liang dan ibunya Siauw Cu Leng, bapaknya sudah mati, mereka setuju merangkapkan jodoh anak-anaknya. Kepada Kim Nio sendiri, Kong Tek Liang belum memberi tahukan tentang pertunangan itu karena Sin-kuay Piauwsu mau mencari kesempatan yang baik sehingga anaknya tidak menjadi terkejut. Kong Tek Loang tahu bahwa anaknya ada lebih mencintai The Sam, maka dengan perlahan ia merenggangkan dahulu pergaulannya kedua orang muda itu. Kepada The Sam ia sudah beritahukan. Maksudnya supaya The sam mengundurkan diri karena Kim Nio sudah menjadi miliknya Siauw Cu Leng. Si orang tua tidak mengira, bukannya The Sam mundur, malah makin merapat hubungannya hingga terjadi adegan yang dipergoki Siauw Cu Leng. Siauw Cu Leng yang pergoki bakal istrinya dipeluki orang, bukan main marahnya. Ia sudah lantas mau menerjang dan gebuk mampus The Sam, tapi ia takut salah pukul sehingga bukannya The Sam yang terpukul tetapi malah tunangannya. Maka ia hanya perdengarkan suara ketawanya yang bernada mengejek. Sekarang mereka hanya berduaan saja, makin meluap kegemasan Siauw Cu Leng. "Bangsat she The, kau terlalu kurang ajar !" teriaknya. "Berani kau merebut bakal istriku " Nih, rasain !" Berbareng ia menerjang. Kepalanya The Sam menjadi sasaran dengan gerakan "Tok pek Hoasan' atau 'Menggempur gunung Hoasan'. Serangan dilakukan dengan cepat luar biasa, dibarengi dengan hawa amarah yang meluap-luap. Tidak heran kalau kepalanya The Sam yang sedang nunduk bisa berantakan otaknya kalau saja pukulan Siauw Cu Leng mengenakan sasarannya. The Sam tahu datangnya bahaya, cepat ia kelit ke kanan. "Tahan !" serunya. Siauw Cu Leng tarik pulagn tenaganya yang mengenakan sasaran kosong. Lalu dengan mata melotot menanya, "Kau mau bicara apa lagi " Terima sajalah kematianmu ini hari !" Berbareng dengan itu ia juga sudah lantas mau menyerang lagi. "Kau adalah suheng dan aku adalah sute. Tidak seharusnya bila kakak adik mesti berkelahi. Maka haraplah suheng suka bersabar." kata The Sam seraya mengelakan tubuhnya, berkelit sana sini untuk menghindari serangan Siauw Cu Leng yang dilancarkan bertubi-tubi. "Hmm !" mendengus Siauw Cu Leng sambil serangannya tidak ia hentikan. "Maaf suheng kalau aku kurang ajar !" kata The Sam seraya kali ini, ia tidak mau mengalah terus terusan. Dua saudara dalam seperguruan itu jadi saling gasak dengan serunya. Dalam tempo pendek saja, sudah lewat 28 jurus. Siauw Cu Leng sangat penasaran untuk dapat menjatuhkan saudara mudanya. Dua saudara itu, sebenarnya kepandaiannya tidak berimbang. Dengan kata lain dapat dikatakan Siauw Cu Leng selangkah lebih unggul sebagai saudara tua. Tapi oleh karena Siauw Cu Leng berkelahinya dengan bernapsu, maka ia telah menelan pil pahit dari The Sam. Sehingga terbitlah suatu kejadian. Ketika ia menggunai tipu 'Hiu hi lian po' atau 'Ikan cucut menerjang gelombang'. Kepalan kirinya menjotos muka, sedang tangan kanannya dengan dua jarinya meluncur menotok 'hoa kay hiat', jalan darah di pundak kiri The Sam. Serangan cepat itu dilakukan hampir berbareng, tapi The Sam juga tidak kurang cepatnya untuk menyelamatkan diri. Tangan kanan menangkis jotosan ke muka sambil kelit miring ke kiri berbareng ia menyambar lengan kanan lawan yang hendak menotok pundaknya. Ia menggennak sejenak, kemudian tangannya membalik, menghajar dada Siauw Cu Leng yang terjerunuk ke depan. Ini adalah jurus 'Sin-chiu Pa-houw' atau 'Tangan sakit Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menggempur macan', jurus keempat dari jalan kelima dari 'Thian Lo Sin-kuay-hoat', ilmu silat tongkat sakti yang menjadi kebanggaannya Sin-koay Piauwsu Kong Tek Liang. Telak hajaran The Sam didadanya Siauw Cu Leng sehingga ia rubuh seketika setelah mengeluarkan jeritan ngeri, dari mulutnya kontan menyemburkan darah panas dan ia jatuh pingsan. The Sam jadi ketakutan. Ia bukannya datang menolong, angkut sang suheng ke dalam rumah untuk minta pertolongan suhunya, sebaliknya ia malah angkat kaki dari situ untuk melenyapkan diri. Siauw Cu Leng menggeletak dengan tak sadarkan diri. Kong Tek Liang yang barusan pulang habis menamu ke rumah temannya, diberitahukan oleh Kim Nio, dua suhengnya tengah berkelahi. Lantas buru-buru melihat ke belakang dengan maksud mau memisahkan, tapi sudah terlambat. Disitu ia hanya dapatkan Siauw Cu Leng terlentang pingsan berlumuran darah. Bukan main kagetnya sang guru. Cepat-cepat ia memberikan pertolongannya setelah memeriksa lukanya di dada, ia pondong murid kepalanya itu dibawa masuk ke rumah. Kim Nio mengikuti dari belakang sambil menangis sesenggukan. Si Tongkat Sakti marah-marah dan mengeluarkan ancaman hendak menghukum The Sam tapi sejak itu tidak kelihatan pula mata hidungnya sang murid, apalagi pulang ke rumah. Hal mana sangat mendukakan hatinya Kim Nio. Karena kejadian itu, karena gara-garanya Kim Nio, maka sang ayah bertindak bengis menghukum Kim Nio disuruh merawati dirinya Siauw Cu Leng sampai sembuh. Mau tidak mau Kim Nio menurut, tidak berani ia membangkang. Apalagi ia mengingat tiada orang lain yang dapat merawati Siauw Cu Leng, selain ia berdua ayahnya yang sudah lanjut usianya. Dalam perawatan, Kim Nio bersungguh-sungguh sebab ia merasa berdosa. Ia yang menyebabkan luka parahnya sang suheng. Maka dengan berangsur-angsur Siauw Cu Leng mulai sembuh dari luka parahnya. Di waktu sakit tak dapat bangun, Siauw Cu Leng sering ditolong Kim Nio, mengangkat bangun dari tidurnya untuk minum obat. Pun sering membantu ayahnya mengurut-urut jalan darahnya sang suheng supaya lancar lagi. Dengan sering bersentuhan badan dan mata pandang memandang, hatinya Kim Nio pelan-pelan terpikat juga pada Siauw Cu Leng, lupa ia pada The Sam yang sekarang entah ada dimana. Sering Kim Nio menemani sang suheng duduk di tepi pembaringannya, kasak kusuk mengobrol ketawa-tawa. Dari memegang jari terus ia memegang tangan, lalu ke lengan. Kim Nio antapkan tangan nakal si ceriwis, malah ia bersenyum. Tapi alangkah kagetnya, tiba-tiba Siauw Cu Leng meniup padam api lilin. Kim Nio rasakan tangannya ditarik hingga ia terjerunuk menubruk badannya si bangor di atas pembaringan. Kim Nio berontak tapi sudah terlambat, dua tangan yang kuat telah memeluk dirinya. Kim Nio memberontak, tapi tidak berdaya karena ciuman si ceriwis Siauw Cu Leng yang bertubi-tubi membuat badannya jadi lemas tak bertulang. "Adik Kim,... oh...' "Suheng.... ah...." Hanya kata-kata ini yang terdengar sejenak dari lubang kunci pintu kamar Siauw Cu Leng, sayup-sayup kedengarannya seperti terbawa hembusannya angin. Itulah kisah pada suatu malam, dimana si Tongkat Sakti Kong Tek Liang tidak ada di rumah, lagi main tio-ki (catur Tionghoa) di rumah tetangganya. Masih terdengar suaranya Kim Nio, sayup-sayup jauh disana, tapi tegas : "Jangan suheng, jangan........" Lantas sang malam pun menjadi sunyi senyap....... Sejak itu, dua minggu kemudian dalam rumah Sinkuay Piauwsu Kong Tek Liang diadakan keramaian, pesta pernikahan Kim Nio, puteri tunggalnya dengan Siauw Cu Leng. Banyak kawan-kawannya Kong Tek Liang yang datang meramaikan pesta itu. Diantara tetamunya yang kelihatan sangat dihormati adalah Teng Siu bersama anak perempuannya bernama Teng Goat Go yang tinggal di sebelah selatan rumahnya Kong Tek Liang. Melihat dirinya dihormati lebih dari tetamu yang lainnya, Teng Siu tampaknya amat angkuh, seakan-akan ia tidak memandang mata pada banyak tetamu yang hadir dalam pesta itu. Maka, untuk mereka yang gampang tersinggung hatinya, tidak mau mendekatinya, kuatir nanti terbit urusan yang tidak diingini. Sebenarnya, memang Teng Siu orang takuti. Ditakuti bukan kepandaian ilmu silatnya yang tinggi atau ia seorang hartawan besar, ia disungkani kawan dan lawan karena 'racun'nya. Ia sangat mahir membuat racun hingga dalam kalangan 'hitam' (kawanan penjahat), ia sangat dihormati karena banyak diantara kawanan jahat itu yang membuat senjata rahasianya dengan bisa yang diperoleh dari Teng Siu. Dalam kalangan jahat, orang hanya kenal nama julukannya Hoa-im, si orang beracun dari Hoa-im. Anak perempuannya, Goat Go yang umurnya 24 tahun sebaya dengan Kim Nio, sudah mewarisi kepandaiannya sang ayah. Dengan Kim Nio, Goat Go kenal baik sebab teman dalam satu sekolahan. Meskipun parasnya cantik, Goat Go hatinya tidak cantik. Jelus, gampang mengiri. Maka tidak heran kalau ia mengiri pada Kim Nio yang dapatkan Siauw Cu Leng sebagai suami yang ganteng. Seperti juga dengan Kim Nio, Goat Go siang-siang sudah kehilangan ibu, meninggal dunia pada waktu ia berusia 8 tahun. Ia hidup bersama ayah dan Twa-ienya (kakak perempuan ibunya) yang menggantikan sang ibu yang sudah berada di alam baka. Goat Go lebih dimanja oleh orang tuanya dibandingkan dengan Kim Nio, kemerdekaannya tidak dikekang. Ia boleh pergi melancong seharian atau satu malaman tidak pernah ditegur oleh ayahnya, yang percaya penuh Goat Go bisa jaga diri sendiri. Begitulah, ketika ia habis pulang dari undangan, otaknya bekerja untuk mencari pasangan yang lebih cakap dari suaminya Kim Nio. Ia memang cantik menarik, banyak pemuda yang incar dirinya tapi tidak berani majukan lamaran karena pengaruh sang ayah yang termashur biasanya. Juga disekitar kampungnya, Goat Go tidak menemui orang yang secakap suami Kim Nio. Mana ia mau ladeni mereka yang mengincar dirinya. Ia justru ingin cari orang yang lebih cakap dan ganteng dari Siauw Cu Leng. Teng Siu tidak memikirkan akan jodohnya sang puteri. Ia hanya menyerahkan atas pilihan anaknya, ia hanya akur saja. Pikirnya, ini demi keberuntungna anak tunggalnya. Pada suatu hari, selagi Goat Go ngelayap, ia mampir dalam sebuah rumah makan hendak mengisi perutnya yang lapar. Sikapnya galak betul, main bentak saja kepada pelayan yang melayaninya. Tapi si pelayan melayani ia dengan ramah tamah, meskipun dibentak-bentak. Ini karena si pelayan, siang-siang sudah mendapat bisikan dari majikannya supaya melayani si nona dengan baik dan manis budi meskipun si nona berlaku galak kepadanya. Majikan rumah makan itu sudah tahu ketika Goat Go masuk, ia kenali itu ada puterinya Hoa-im Tok-jin, maka cepat-cepat ia bisiki pelayan yang hendak melayaninya supaya layani dengan baik sehingga tidak terbit onar. Meskipun si pemilik rumah makan sudah atur demikian rapih, toh terjadi juga keonaran, tak dapat dicegah. Sebabnya, Goat Go marah-marah lantaran si pelayan salah membawakan santapan yang ia pesan. Makanan itu semestinya dibawa ke meja seorang tamu anak muda yang duduk di pojok, tapi ia salah bawa ke mejanya si nona. Rupanya ia sangat bingung karena dipesan lekas-lekas membawa makanan pesanannya si nona. Dalam marahnya, Goat Go angkat mangkok sayur yang masih mengepul panas lalu disiramkan ke mukanya si pelayan. Siapa, sudah tentu saja menjadi gelagapan dan berteriak-teriak kepanasan mukanya. Para tamu menjadi tercengang melihat perbuatannya Goat Go. Mereka yang kenali si nona, pada membayar uang makannya di tempat kasir dan ngeloyor pergi. Sedang tamu-tamu yang datang dari lain tempat pada berdiri dari bangkunya mengawasi Goat Go. Mereka sangat tidak senang melihat kelakuan si nona yang demikian keterlaluan. Termasuk si anak muda yang duduk di pojok, yang sayurnya disiramkan ke muka si pelayan. Merasa tidak puas, ia datang menghampiri ke tempat Goat Go yang saat itu sedang terpingkal-pingkal ketawai si pelayan yang gelagapan kepanasan mukanya, sambil kedua tangannya dipakai menekap muka. Sambil tolak si pelayan minggir, anak muda itu maju mendekati Goat Go berkata, "Cici, perbuatanmu sangat keliwatan !" Si nona heran ada orang berani menegur kelakuannya. Ia angkat kepalanya memandang. Kiranya yang menegur itu seorang anak muda, dandanannya sebagai pelajar, di punggungnya ada terselip sebatang pedang pendek. Pengawakannya tinggi kurus, gagah dan cakap tampangnya, mengalahkan kecakapan Siauw Cu Leng dalam pandangan Goat Go yang tengah mencari pasangan. Diam-diam ia tertegun memandang si anak muda. Pikirnya, pemuda itulah yang pantas menjadi pasangan dirinya. Tapi Goat Go wataknya tinggi hati, tidak senang ada orang tegur dirinya. Maka setelah mengerutkan keningnya, ia bangkit dari duduknya, menghadapi si anak muda. "Habis kau mau apa ?" ia jawab teguran si anak muda. "Pelayan itu tidak berbuat kesalahan beasr, kenapa kau sampai berbuat yang begitu keliwatan ?" kata si pemuda lagi. "Ia, habis kau mau apa ?" tantang si nona. Tidak marah dia, mukanya tampak berseri-seri seakan-akan pandang remeh pada anak muda di depannya. Si anak muda tidak takut, tapi si pemilik rumah makan sebaliknya yang ketakutan setengah mati. Meskipun takut, ia coba maju dan ingin melerai antara dua muda mudi yang kelihatannya hendak bergerak. "Sudah, sudah." katanya. "Kejadian itu tidak berarti, untuk apa ditarik panjang. Sudah, sudahlah..........." sambil ajukan diri, hendak memisahkan. "Plak !" tiba-tiba terdengar suara, kiranya itu tangannya si nona yang mampir ke pipinya si pemilik rumah makan. "Jangan coba melerai, aku tidak suka cecongormu muncul diantara kita !" bentak si gadis, matanya melotot gusar. Sambil menekan pipinya yang panas bekas tamparan si nona, pemilik rumah makan itu mundur teratur. Hanya matanya saja kedap kedip sambil meringis-ringis kesakitan. Kelakuan mana mengelitik urat ketawa Goat Go sebab ketika itu ia tertawa cekikikan sambil matanya melirik pada si anak muda. Dalam keadaan tertegun, si anak muda dengar Goat Go berkata : "Apa kau juga ingin rasakan ini ?" seraya unjuk telapak tangannya yang putih halus. "Cobalah !" sahut si anak muda, dingin suaranya. Goat Go memang kepingin usap muka orang yang cakap, sekarang ada jalan untuk ia berbuat demikian. Maka dalam girangnya, seketika ia lantas angkat tangannya dipakai menampar pipinya si anak muda. Tapi..... tampaknya bukan mengenakan pipi orang, sebaliknya angin yagn ditampar olehnya sebab si anak muda dengan otomatis sudah berkelit. Merah mukanya si nona, bukan main malu dia. Maka di lain saat ia sudah menampar lagi, malah ia gunakan tipu 'Thian lie hun hoa' atau 'Bidadari sebarkan kembang', bukan satu tapi dengan dua tangan ia menampar kalang kabut ke mukanya si anak muda. Sayang gerakannya meskipun cepat, si pemuda malah lebih cepat menghindarkan hujan tamparan itu. Akhirnya Goat Go berhenti sendiri. Kiranya barusan ia hanya menampari angin tok, sebab si anak muda siang-siang sudah jauhkan diri dan berdiri di depannya dengan muka tersungging senyuman ejek. Goat Go jadi kalap melihat si anak muda mentertawai dirinya. "Kau berani permainkan nonamu, hmm ! Kau lihat !" bentaknya, berbareng ia depak terpental bangku di dekatnya, meja ia terbaliki lalu lompat pada si pemuda. Tangan kanannya di ulur ke arah dada lawan hendak mencengkeram sedang tangan kirinya dengan kecepatan kilat menyambar pada 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga kanan. Serangan ini dilakukan dengan berbareng, ganas kelihatannya tapi si anak muda tinggal kalem saja. Ia menunggu datangnya serangan, begitu tangan kanan Goat Go hampir sampai di dada, tangan kirinya si pemuda sudah siap untuk menyambuti. Sementara tangan kanan si nona kena dicekal, adalah tangan kirinya yang hendak menotok jalan darah di iga kena ditekan ke bawah. Goat Go merasa sesak dadanya menahan tekanan si anak muda yang dibarengi dengan sebagian tenaga dalam. Si anak muda menggunakan gerakan 'Sian-jin tian chiu' -'Sang Dewa mementang kedua lengannya', untuk menyambuti serangannya Tong Goat Go yang hebat. Si nona berontak-berontak untuk meloloskan kedua lengannya yang sudah kena dicekal si anak muda. Tapi bagaimana pun ia keluarkan tenaga sepenuhnya, tetap tangannya tak dapat diloloskan dari cekalan lawan yang makin lama makin sakit rasanya. Rupanya anak muda ini mau kasih sedikit hajaran pada Goat Go yang tengik lagaknya, keterlaluan perbuatannya. Lwekang si pemuda rupanya tinggi sebab sebentar kemudian kelihatan Goat Go sudah tak berkutik. Itulah pengaruhnya lwekang (tenaga dalam) yang disalurkan ke tangannya yang mencekal tangan si nona yang membuat Goat Go merasakan lumpuh badannya. Matanya si nona menatap si anak muda. "Kau mau apakan kau, setan ?" tanyanya. Ia sudah tidak meronta-ronta lagi, sudah menyerah kalah Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tampaknya. "Aku mau kau ganti kerugian apa yang sudah kau rusakkan dan uang obat untuk si pelayan yang kau siram mukanya dengan sayur !" sahut si anak muda. "Baik." kata Goat Go tanpa banyak pikir lagi. Si pemuda tertegun. Ia tidak menyangka urusan begitu gampang, si nona mau menerima permintaannya. Dalam tercengangnya, ia masih terus mencekali kedua tangannya si nona. "Kau masih belum mau melepaskan tanganku ?" Goat Go tegur, suaranya halus dan ramah, membuat si anak muda gelagapan dan buru-buru saja ia lepaskannya. Tampak muka si anak muda bersemu merah saking jengah. Setelah terlepas kedua tangannya, si nona urut-urut. Rupanya ia masih merasa sakit bekas cekalan tadi. Tenaganya yang barusan dirasakan lumpuh, sekarang sudah balik kembali. Hatinya girang, ia tidak mendendam karena ia memang naksir pada si anak muda. Pikirnya, anak muda ini selain berparas cakap juga berkepandaian tinggi. Mau cari siapa lagi kalau bukan dia, dijadikan jodohnya " Memikir sikapnya Goat Go gampang berubah, mengherankan semua orang termasuk si pemilik rumah makan yang masih merasakan pipinya panas bekas tamparan si nona tadi. "Mari kita ke kasir." mengajak Goat Go pada si anak muda. "Cici, kau baik betul." kata si anak muda tanpa merasa. "Memang aku tidak sakit." sahutnya bersenyum sambil melirik tajam. Si anak muda kembali tertegun. Pikirnya, anak dara ini benarbenar aneh kelakuannya. Tadi ia begitu marah, beringas, tapi sekarang begitu ramah dan ketawa, malah bisa melucu lagi. Anak siapakah dia " Lirikannya tajam menusuk pusat asmaranya. Anak muda itu mesem mendengar jawaban Goat Go yang lucu. Ia mengikuti dari belakang si nona, tapi belum sampai di tempat kasir untuk membikin perhitungan, si pemilik rumah makan sudah datang menyongsong. Katanya, "Kionghi, kionghi !" sambil angkat tangannya menyoja kepada kedua anak muda itu. Perbuatannya mana membuat mereka jadi heran. "Apanya yang hendak kau beri selamat ?" tanya Goat Go. "Oh itu, kalian sekarang sudah akur lagi. Maka aku mengucapkan kionghi kepada kalian." jawabnya seraya ketawa haha hehe. "Oh, begitu."kata Goat Go. "Sekarang mari kita hitung berapa kerugian yang sudah aku bikin rusak serta itu uang obat untuk pelayanmu." "Tidak apa, tidak apa, itu tak usah." kata si pemilik rumah makan sambil goyang-goyang tangannya. "Itu perkara kecil, buat apa mesti diganti." Tapi Goat Go tidak meladeni kata-kata merendah si pemilik rumah makan, ia kedok kantongnya, keluarkan uang perakan hancur, lalu ditaruh diatas meja. "Cukup "' tanyanya sambil mengawasi si pemilik rumah makan. Mengingat urusan akan berlarut-larut nanti, maka si pemilik rumah makan terima saja penggantian si nona tanpa menyebut 'tak usah' lagi. Ia hanya kata, "Cukup, cukup. Sudah kelebihan malah." Setelah selesai berurusan, Goat Go putar tubuhnya lalu menghadapi si anak muda yang berdiri di belakangnya. Ia ketawa manis, berkata, "Bagaimanan " Kau puas sekarang ?" Si pemuda anggukkan kepalanya. "Kau belum makan, bukan ?" tanya si nona lagi. Belum si anak muda menjawab, Goat Go sudah tarik tangannya diajak duduk menghadapi satu meja yang agak dipojok. Si nona teriaki pelayan, pesan makanan untuk dua orang, katanya, "Lekas siapkan makanan enak untuk kita makan !" Makanan disiapkan dengan ekstra cepat oleh kok (tukang masak). Di lain saat, kelihatan dua muda mudi itu sudah kerjakan sumpitnya mendahar hidangannya. Kalau si gadis ketawaketawa dan banyak bicara, tetapi si pemuda tinggal membisu saja. Sejenak tadi si pemuda membisu saja, rupanya pikirannya masih terpengaruh oleh laga lagunya Goat Go yang benarbenar aneh menurut pendapatnya. "Hei, kau berubah jadi orang bisu ?" menegur si nona, ketawa manis sambil ujung sumpitnya dipakai mencolek hidung si anak muda. Pemuda itu kaget, cepat mengelak hingga sang sumpit si nona tak usah berkenalan dengan hidungnya yang mungil. Ia tertawa, katanya, "Cici, benar-benar aku dibikin heran oleh kelakuanmu." "Herannya kenapa ?" tanya si nona, matanya melirik tajam. Kembali pusat asmara si pemuda tertusuk oleh lirikannya. "Barusan aku lihat kau bengis seperti Li-giam-ong (Ratu akherat)." kata si pemuda. "Sekarang kau berubah sebagai Tian-li (bidadari) cantik dan ramah tamah........." "Stop !" memotong Goat Go sambil mulutnya mengunyah daging bebek panggang, tangannya yang memegang sumpit diangkat digoyang-goyangkan. Ketika daging bebek panggang sudah lewat ditenggorokannya, ia meneruskan kata-katanya : "Kau bisa juga melucu, hi ! Dari mana kau belajar " Hi hi hi......." Anak muda itu tertawa, kini ia tertawa terbahak-bahak. Goat Go tidak kesepian lagi karena si pemuda mulai kembali dengan kegembiraannya. Mereka dapat tertawa-tawa gembira dalam rumah makan yang sekarang sudah kosong ditinggalkan oleh para tamu. Hanya pemilik rumah dan para pelayannya yang menonton adegan lucu, aneh sebab tadinya musuh sekarang mereka menjadi sahabat seperti juga sahabat lama. Ketika mereka habis makan, Goat Go bangkit hendak membayar uang santapannya tapi dicegah oleh si pemuda, berkata : "Cici, kali ini aku yang bayar. Tadi kau sudah rogoh kantong untuk mengganti kerugian. Apa salahnya kalau sekarang aku yang membayar makanan, bukan ?" Goat Go hanya tersenyum manis. "Terima kasih" ucapannya halus. Setelah membayar makanan, si pemuda balik lagi ke tempat duduknya. Ia mengajak si nona berlalu. "Eh, nanti dulu." kata si nona seraya pegang tangan si anak muda yang lemas seperti juga tangannya sendiri yang halus. "Ada urusan apa ?" tanya si pemuda. "Aku duduk dahulu." si gadis menyuruh orang duduk, yang segera diturut. "Lama kita mengobrol dan ketawa-ketawa tapi belum kita mengetahui nama masing-masing. Siapa sebenarnya kau, adik ?" menanya Goat Go. "Aku she Kwee, nama Cu Gie." sahut si anak muda. "Dan umurmu ?" tanya Goat Go lagi. "Tahun ini aku masuk 21 tahun." sahut Kwee Cu Gie. "Pantesan kau panggil aku cici. Kalau begitu memang benar aku ada lebih tua 3 tahun dari kau, adik Gie." berkata si nona. Goat Go berkata seraya ketawa manis, melirik tajam dengan ujung matanya. Lagi-lagi Kwee Cu Gie dibuat bergoyang pusat asmaranya, karena lirikan tajam si gadis. Tapi ia ada satu pemuda sopan, tidak berani ia kurang ajar meskipun Goat Go, si berandalan mengasih kesempatan Kwee Cu Gie untuk berbuat demikian. "Sekarang kau hendak kemana ?" tanya Goat Go. "Aku mau mencari pamanku." sahutnya. "Adik Gie, bagaimana kalau kau mampir dahulu di rumahku ?" mengundang si gadis. "Terima kasih. Aku sangat kesusu. Lain kali saja kita bertemu pula." jawabnya. "Kalau begitu, baiklah. Cuma jangan lupa, kalau kau datang ke sini cari aku ya !" memesan Goat Go, blak-blakan ia berkata, tak pakai malu-malu lagi. Kwee Cu Gie yang sopan santun merasa heran si nona memesan demikian kepada seorang lelaki yang barusan saja dikenal olehnya. Goat Go memahami pikirannya si anak muda, maka lalu berkata, "Adik Gie, aku bukannya gadis pingitan. Aku sangat bebas, maka jangan heran kalau aku bicara blak-blakan. Apa yang aku pikir dan lantas keluarkan." Kwee Cu Gie anggukkan kepalanya. "Nah, sampai disini saja kita berpisahan." kata si pemuda kemudian. "Bagus, selamat jalan adik Gie." sahut Goat Go. Sedikit pun kelihatannya ia tidak merasa berat dengan perpisahan itu. Tapi setelah Kwee Cu Gie berlalu dari sampingnya, ia menjadi sedih sendirinya. Pilu rasa hatinya berpisahan dengan orang yang dicintainya. Entah kapan mereka dapat bertemu pula. Ia menyesal, tadi tidak ia tanyakan nama pamannya si anak muda itu siapa namanya dan dimana tempat kediamannya. Dengan mengetahui alamatnya, bisalah ia susul Kwee cu Gie kesana buat diajak makan-makan lagi dan tertawa-tawa menghibur hati. Goat Go pulang dengan perasaan lesu, seperti orang yang kehilangan sesuatu. Di lain pihak, Kwee Cu Gie juga mengenangkan dirinya si gadis. Pikirnya, gadis itu kecantikannya tidak mengecewakan, dapat menggoncangkan jantung orang yang melihat, ketawanya yang manis dan lirikannya yang mantap dalam pusat asmara. Tapi sayang dalam sifarnya yang berandalan itu ada tersembunyi kegenitan yang seakan-akan mengundang untuk berbuat kurang ajar terhadapnya. Kwee Cu Gie menghela napas sambil melanjutkan perjalanannya. Hari sudah sore, tidak keburu ia mencari pamannya. Maka pada malam harinya ia menginap dalam sebuah rumah penginapan di kota Hoa-im. Keesokan harinya, setelah tanya-tanya orang, ia sampai di depan rumah yang terkurung tembok disekitarnya. Ia mengetok-ngetok pintu rumah dengan gelang besi yang tergantung di pintu. Rupanya memang ini diperuntukkan bagi tetamu memanggil orang di sebelah dalam. Tidak lama ia menanti, sebentar kemudian pintu dibuka. Satu pelayan perempuan muncul didepannya dan menanyakan ada urusan apa, siapa yang dicari. Kwee Cu Gie kasih tahu maksud kedatangannya hendak menemui tuan rumah. Si pelayan segera masuk ke dalam setelah memesan Kwee Cu Gie untuk menunggu sebentar. Tidak lama si pelayan keluar lagi dan mengundang Kwee Cu Gie masuk. Ia diantar ke dalam satu ruangan tengah dan disuruh duduk menanti, sebentar lagi tuan rumah akan muncul menemuinya. Kwee Cu Gie menunggu. Lama juga belum kelihatan muncul tuan rumah. Ia jadi kesal, maka ia bangkit dari duduknya lalu menghampiri satu pigura yang melukiskan pemandangan di suatu pegunungan dimana ada berkeliaran banyak binatang buas. Asyik ia memandangi pigur itu hingga tidak merasa kalau dibelakangnya sekarang ada muncul satu orang. Ia menjadi kaget ketika sekonyong-konyong kedua matanya disekap oleh dua tangan dari belakangnya. Cepat, ia mau nglitik orang dibelakangnya itu, kalau ia tidak tahu bahwa yang memegang tangan yang halus lemas, disusul oleh suara empuk merayu, berkata, "Adik Gie, kau toh datang juga ke rumahku......" Kwee Cu Gie cepat putar tubuhnya dan... itulah Goat Go yang berdiri di depannya, bersenyum memikat hati. (Bersambung) Jilid 03 Anak muda itu tercengang sebentaran. Belum sempat ia menanya, Goat Go sudah tarik tangannya si anak muda. "Mari kita duduk-duduk kongkouw !" katanya. Ruangan itu perabotannya cukup mewah, pigura-pigura dengan lukisan indah tergantung pada dinding-dinding sehingga menarik selera tetamu, pot-pot kembang diatur rapi sekali, siliran angin yang masuk dari jendela meniup harumnya, mewangi masuk ke hidung. Goat Go ajak Kwee Cu Gie duduk di atas bangku panjang yang beralaskan bahan yang empuk, yang ditempatkan di bawah jendela yang menghadap ke taman bunga. "Adik Gie, " kata Goat Go, setelah mereka pada duduk. "Sekarang aku tahu asal usulmu. Kau bukankah anaknya bibi San dari Hoay-siang." Kwee Cu Gie ketawa. "Kau benar, cici" sahutnya. "Di mana adanya paman Siu " Aku ingin lekas sampaikan pemberian selamat ibuku dan menanya keselamatannya." "Sabar adik Gie." kaat Goat Go. "Segera ayah akan keluar, dia sekarang masih repot dengan pekerjaannya. Terpaksa Kwee Cu Gie layani si nona kong kouw. Sudah tentu ngobrolnya urusan famili diantara mereka. Goat Go berkali-kali menyatakan ia ingin ketemu bibinya (ibu Kwee Cu Gie). Katanya, sejak ibunya meninggal, ia tidak pernah ketemu lagi dengan ibunya Kwee Cu Gie yang pindah ke Hoay-siang dari Hoa-im. Dendam Empu Bharada 30 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Kemelut Hutan Dandaka 2