Ceritasilat Novel Online

Bocah Sakti 16

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 16 geser kaki kirinya berkelit, berbareng tangan kanannys menepuk perlahan lengan sim Leng yang nyelonong kehilangan sasaran, meskipun tepukan perlahan, cukup membuat sim Leng kehilangan imbangan dan badannya terjerumus ke depan hingga hidungnya mencium sampai besot. Cepat sim Leng bangun lagi. "Anak kau, kau mengingkari janji " bentaknya. "Aku mengingkari janji bagaimana ?" tanya Lo In heran. "Kau janji tidak akan menghilang dari depanku, kenapa kau barusan berkelit ?" tegur sim Leng dengan tidak tahu malu. "Aku berkelit, bukannya menghilang Apa kau mau aku diam saja diserang olehmu ?" "Aku sudah tahu, kenapa kau mengingkari janji ?" Lo In benar-benar heran atas jawaban si kakek. Mereka sudah janji Lo In tidak boleh menghilang bukannya tidak boleh berkelit. Tapi kelitan Lo In barusan dimasukkan dalam istilah menghilang, terang si kakek sangat licik dan mau menang sendiri. Tapi Lo In tidak takut. Ia tertawa berkakakan, kemudian berkata, "Baiklah, kalau kau mau aku diam saja diserang olehmu, cuma kau menyerang jangan kencang2, nanti isi dadaku bisa ambrul oleh seranganmu yang dahsyat " Lo In hanya berkelakar, akan tetapi dianggap serius oleh sim Leng. Ia anggap Lo In ketakuan dengan serangannya yang hebat. oleh sebab itu dengan tenaga maksimum ia hantam dada Lo In dengan kepalan tangannya yang mengandung lwekang tinggi. "Dukk " terdengar suara beradunya kepalan mengenai dada, berbareng tubuhnya sim Leng terpental dan poksay (jungkir balik) ke belakang kemudian jatuh duduk sambil memegangi kepalannya yang kesakitan. Dadanya dirasakan sakit sekali, darahnya seperti bergolak. Peluhnya yang berbutir-butir seperti kacang kedelai membasahi bajunya, matanya terbelalak mengawasi dada jago cilik kita yang tinggal tenang-tenang saja berdiri sambil bersenyum ke arahnya. sim Leng lihat senyumannya Lo In itu seperti menagih janji. Ia menyesal barusan menuruti napsu hatinya, telah berjanji akan berlutut mengaku takluk pada si bocah manakala dalam tiga gerakan saja, ia tidak dapat menjatuhkan Lo In . Kini ia sudah dijatuhkan, tak dapat ia memungkiri janjinya kalau tidak mau mendapat salah dari si bocah. Maka setelah merasakan bergolaknya darh dalam dadanya mereda, dengan perlahanTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ lahan ia merangkak menghampiri Lo In , didepannya ia berlutut dan manggut-manggut. Lo In jadi repot melihat si kakek berlutut dan manggutmanggut di depannya. "Jangan, jangan kau berbuat begini." kata Lo In seraya lompat ke samping menghindari kehormatan yang sangat tinggi itu "sim Lopek, kau mau bikin aku jadi lekas tua karena perbuatanmu ini " Lekas bangun " sim Leng tidak cepat- cepat bangun hingga dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi Lo In telah angkat sim Leng bangun walaupun masih dalam keadaan berlutut. "sungguh hebat........" berkata sim Liang yang menyaksikan adegan itu, memuji kepada Lo In sedang hatinya diam-diamjeri untuk sebentar gilirannya mengadu tenaga dengan si bocah yang ia sangsikan kepandaiannya sukar diukur. "Toako, aku menyesal telah membuat pamor kita suram karena ketidakbecusan adikmu " berkata sim Leng ketika ia menghampiri kakaknya. "Kekalahanmu adalah wajar, apanya yang harus disesalkan ?" sahut sang kakak. "Bagaimana " sekarang sim Lopek yang tua juga hendak maju ?" tanya Lo In ketawa. (Bersambung) Jilid 16 Sim Liang senang hatinya mendengar Lo In menukar sikapnya demikian ramah. Si bocah sekarang memanggil padanya Lopek (paman). Meskipun hatinya jeri, ia ingin cobacoba juga kepandaiannya Lo In. Ia tahu bahwa si bocah tidak akan mencelakakan dirinya. Maka itu, ia lantas menyahut, "Adik kecil, kepandaianmu hebat. Tapi Lohu kepingin juga menjajalnya.Harap adik kecil jangan sampai mencelakakan Lohu." Lo In ketawa melihat Sim Liang menyeringai kepadanya. Anak kecil dan kakek dilain detik sudah berhadapan. "Lopek boleh mulai." mengundang Lo In. "Adik kecil, aku tidak ingin berlaku licik seperti yang barusan diperbuat oleh adikku. Kau tak usah diam saja sebagai patung untuk menerima serangan, tapi kau boleh menangkis sesukanya asal jangan menghilang saja. Kalau dalam gebrakan pertama Lohu jatuh, dalam gebrakan kedua Lohu masih mau menjajal dengan lain cara. Kalau dalam dua gebrakan itu Lohu masih tidak bisa berbuat apa-apa pada adik kecil, dengan suka rela Lohu akan menjura mengaku kalah pada adik kecil." "Baiklah, kau ada lebih jujur Lopek " sahut Lo In seraya melirik pada Sim Leng sehingga ia menjadi malu dilirik si bocah atas kelakuannya yang curang barusan. "Awas adik kecil, Lohu mulai " kata Sim Liang berbareng badannya berputar, tahu-tahu sudah ada disamping Lo In dengan tangan kanannya ia menggempur lambung si bocah. Lo In yang tenang-tenang saja melihat badannya si kakek berputar, sudah lantas gerakkan tangan kirinya untuk menekan tangan kanan si kakek yang menggempur lambungnya. Jari tangan kanannya berbareng dipakai menyentil jalan darah di pergelangan tangan kiri si kakek yang dua jarinya hendak menyodok ke arah mata. Bukan main terkejutnya sim Liang yang dengan sekaligus serangan kombinasinya dapat dipatahkan oleh si bocah. Ia rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan seperti patah kena disentil oleh Lo In, hawa panas menyelusup ke ulu hatinya sedang tangan kanannya yang ditekan berat ribuan kati oleh tangan Lo In membuat si kakek tidak berdaya. Ia coba melepaskan diri dari tekanan Lo In dengan enjot tubuhnya lompat men jauhi si bocah. sim Liang juga tidak melupakan kelicikannya untuk menang. setelah mereka merenggang, sim Liang melihat kesempatan Lo In sedang lengah memandang ke tempatnya Tonghong Kauwcu, ia kerahkan tenaganya dan menghajar pundak orang dengan setaker tenaga. Ia kira tulang pundaknya Lo In berantakan tidak tahan serangan ampuhnya, tapi matanya jadi terbelalak dan ketakutan tatkala merasakan tangannya tak dapat ditarik pulang dari pundaknya Lo In yang barusan ia hajar. Lo In belagak pilon ketika sim Liang berkutat hendak menarik pulang tangannya yang melekat pada pundaknya. sebaliknya sim Liang menjadi ketakutan dan mukanya pucat ketika merasakan tenaga dalamnya telah molos disedot oleh Lo In. Makin keras ia mengerahkan lwekangnya, makin keras nerobos keluar tenaga dalamnya mengalir masuk dalam dirinya si bocah yang tinggal tenang-tenang saja berdiri dengan mata memandang ke arahnya Tonghong Kauwcu. "siaohiap." meratap sim Liang dengan air mata bercucuran. "Lohu mengaku salah telah membokong siaohiap. Mohon siaohiap punya belas kasihan membebaskan Lohu. siaohiap. Lohu minta kemurahan hatimu......." sim Leng nampak kakaknya meratap dengan bercucuran air mata, tahu bahwa kakaknya tengah menderita kerugian sebagai akibat tangannya yang menempel pada bahunya Lo In. Ia ingin sekali menerjunkan diri membantu kakaknya, akan tetapi tidak berani. Ia sudah berlutut mengaku takluk. bagaimana ia berani menyerang pula pada Lo In " Maka dengan hati yang sangat cemas, ia menyaksikan sang kakak menderita. Lo In seorang yang paling lembek hatinya kalau menghadapi kelunakan, sebaliknya paling nakal dan berandalan kapan menghadapi kelakuan kasar. Maka sekarang ia melihat sim Liang meratap dengan bercucuran air mata, hatinya menjadi lemas. Ia hentikan tenaga menyedotnya, dengan sendirinya tangan sim Liang yang menempel tadi telah terlepas dari lekatannya dan sim Liang sempoyongan jatuh duduk. separuh dari lwekangnya yang ia pupuk puluhan tahun sudah masuk dalam tubuhnya Lo In. Masih untung si bocah tidak berbuat kejam. Kalau ia sedot habis lwekang sim Liang, si kakek akan menjadi orang biasa lagi dan harus mulai dari mula untuk meyakinkan lwekangnya. Ia sudah lanjut umurnya, untuk memupuk tenaga dalam yang dahsyat sampai meminta tempo puluhan tahun, terang ia sudah keburu mati. Ketika sim Liang merasa bahwa badannya sudah mulai kuat bergerak. maka ia sudah lantas bangkit berdiri menghampiri Lo In. Di depannya ia penuhkan janjinya, menjura dan manggut-manggut tanda takluk pada si bocah sakti. Lo In hanya tertawa tawar. "sudahlah, jangan pakai banyak peradatan." katanya seraya meninggalkan si kakek yang masih menjura dan manggut-manggut kepalanya. Lo In mendongkol juga pada si kakek. karena diluar dugaan si kakek sama liciknya dengan adiknya. Barusan, kalau ia tidak punya kepandaian sangat tinggi, bukan saja ia roboh ditangannya si kakek. malah tulang pundaknya bakal remuk dan ia bisa-bisa menjadi cacat sebagai akibat serangan bokongan sim Liang yang maha dahsyat Lo In menghampiri Tonghong Kauwcu yang sedang diuruturutjalan darahnya untuk membebaskan totokan si kakek. Ternyata Tonghong Kauwcu kena ditotok oleh sim Liang sedang Teng Hui beruntung dapat membebaskan dirinya dari ikatan tali tambang yang mengikat ia jadi satu dengan pohon karena menjilatnya api pada tambang sebelum dikebas padam oleh jago cilik kita. Teng Hui tidak sempat menyaksikan jalannya pertandingan antara si bocah dan dua kakek jahat itu, sebaliknya ia memburu pada Kauwcunya yang tidak berkutik ditotok oleh sim Liang. Ia coba membebaskan sang Kauwcu dengan jalan mengurut-urut akan tetapi sudah sekian lama ia tidak berhasil sehingga Teng Hui jadi sangat gelisah. Ketika ia memutar badannya hendak melihat Lo In, jago cilik kita sudah berdiri didekatnya. Entah sejak kapan Lo In sudah ada disitu menonton Teng Hui sedang menolongi Kauwcunya tanpa hasil. Bukan main girangnya Teng Hui, ia lantas berkata, "Siaohiap... eh, adik kecil. Bagaimana ini " Tolong adik kecil membebaskan Kauwcu." Lo In ketawa. Ia lalu mendekati sang Kauwcu yang sedang duduk. la jongkok. tangannya berbareng diulur menepuk bahu Tonghong Kauwcu perlahan sambil berkata, " Kauwcu, selamat bertemu " Eh, sungguh ajaib. sebab seketika itu juga Tonghong Kauwcu bisa membuka mulutnya bicara dan dengan sendirinya totokan sim Liang bebas. Kauwcu sekarang dapat bergerak sebagaimana biasa, hanya ia tak dapat menggerakkan tangan kirinya, salah satu tulangnya patah rupanya. Tonghong Kauwcu menatap pada Lo In lalu bertanya pada Teng Hui, "Teng Tiang lo, siapa engko kecil ini " Hebat sekali kepandaiannya ?" "Jangan heran, Kauwcu." sahut Teng Hui ketawa. "Dia adalah Hek-bin Sin-tong..." Tonghong Kauwcu unjuk paras kaget, kemudian tenang lagi, lalu berkata, "sungguh menyesal pertemuan kita pada kejadian begini. Coba kalau di markas, pasti aku akan menyediakan satu perjamuan untuk tamu kecil yang tersohor ini. Engko kecil, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak ada kau, pasti orang-orang Ngo-tok-kauw yang setia akan menjadi bulanbulan hinaan dari dua kakek jahat itu." "Ah, urusan kecil." sahut Lo In merendah. "Asal Kauwcu telah selamat, aku juga sudah merasa senang. Bagaimana keadaan Kauwcu sekarang " Aku dengar Kauwcu dicelakai orang, sungguh beruntung Kauwcu tidak sampai binasa ditangannya." "Engko kecil." memotong Tonghong Kauwcu dengan mata terbelalak heran. "Kau kata aku dicelakai orang, dari mana kau dapat tahu ini ?" "Aku sudah tahu, malah orang yang mencelakai Kauwcu sekarang sudah tidak ada pula diantara kita orang. Hahaha...." Lo In tertawa berkakakan. sebenarnya ada pantangan bagi Ngo-tok-kauw, orang berkakakan ketawa didepannya Kauwcu hingga Teng Hui pucat wajahnya. Dikuatirkan Kauwcu akan marah dan bertengkar dengan si bocah wajah hitam yang telah menolong mereka. Ternyata Tonghong Kauwcu juga bisa membawa diri, nampak Lo In ketawa berkakakan, ia juga terbahak-bahak. lalu menanya, "syukur si jahat itu sekarang sudah mampus. siapa yang sudah mengirim rohnya dia ke akherat, engko kecil ?" "Kauwcu boleh tanya saja pada Teng Tianglo." sahut Lo In. Teng Hui melengak. Ia lalu menanya, "Adik kecil, bagaimana aku bisa menerangkan pada Kauwcu, sedang aku tidak tahu orang yang mencelakakan Kauwcu." "Paman Teng, kau masih belum berapa tua. Kenapa sampai lupa kepada Coa Keng ?" mengingatkan Lo In kepada Teng Hui. Baru sekarang Teng Hui ingat bahwa si bocah pernah cerita sepintas lalu bahwa orang yang mencelakai Kauwcu adalah Coa Keng. Lalu Teng Hui menceritakan bagaimana ia dengan kawankawannya dihasut untuk menghadapi Lo In yang dikatakan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo telah menghina nama Ngo-tok-kauw. Demikian pandainya Coa Keng menjual omongannya hingga mereka menjadi panas dan akhirnya telah mengeroyok Lo In. Namun si jago cilik terlalu kuat dan mereka telah dirobohkan dengan mudah. Lalu Coa Keng hendak mengganggu isteri orang telah dipersen tendangan oleh Lo In hingga menemui ajalnya. satu persatu diceritakan tegas oleh Teng Hui kepada ketuanya, Tonghong Kauwcu yang termangu-mangu mendengarnya. Terdengar ia menghela napas tatkala Teng Hui sudah habis menutur. " Engko kecil, terima kasih atas pertolonganmu sudah mengirim rohnya si jahat menghadap Giam-lo-ong. Namun bagaimana ya....?" Tonghong Kauwcu terputus bicaranya. Teng Hui kaget mendengar ketuanya tidak melanjutkan bicaranya. Ia ingin menanyakan apa-apa kepada sang ketua, akan tetapi tidak berani. Maka ia hanya menatap saja pada wajahnya Tonghoang Kim yang saat itu kelihatan agak gelisah. Lo In juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh sang Kauwcu. Tiba-tiba Tonghong Kauwcu memandang wajahnya Lo In dan berkata, " Engko kecil, apakah mayatnya Coa Keng telah dikuburkan ?" "Aku sendiri tidak mengubur mayatnya. Waktu kami berangkat meninggalkannya, aku lihat mayatnya masih terkapar." menerangkan Lo In. Teng Hui juga menyatakan bahwa mereka tidak menaruh perhatian atas mayatnya bekas kawan itu karena mereka gemas akan kelakuannya Coa Keng yang licik dan jahat. " Celaka " tiba-tiba sang Kauwcu berkata. "Bagaimana ini, pasti ada orang lain yang mengambilnya. Teng Tiang lo, bagaimana baiknya ini ?" Tonghong Kin kelihatan sangat gelisah setelah mendengar mayatnya Coa Keng tidak dikebumikan. "Kauwcu maksudkan apa ?" tanya Teng Hui memberanikan hati menanya. "say-cu-leng, say-cu-leng tentu diambil orang lain. Barang itu ada pada badannya Coa Keng. Kalau dia tidak dikubur, pasti ada orang yang menggeledah badannya dan dapatkan barang itu. Celaka. Pasti perkumpulan kita akan mengalami bencana kalau say-cu-leng jatuh kepada orang yang jahat " Teng Hui kebingungan. Ia merasa menyesal bahwa ia tidak menggeledah mayatnya Coa Keng. Kalau tidak. tentu ia sudah dapatkan barang yang paling dipuja itu dalam perkumpulannya. sekarang untuk mencari mayatnya Coa Keng ke sana sudah tidak mungkin. Tentu orang sudah mendahului mengambil say-cu-leng dari badannya. Dua orang Ngo-tok-kauw itu sangat gelisah kelihatannya. Lo In seketika ingat akan barang-barang yang ia dapatkan dalam lubang dari kuburan tua. Lalu ia berkata, "Aku ada barang-barang ini yang kuketemukan dalam kuburan tua ialah dalam sebuah tempat Coa Keng menyimpan harta. Apakah Kauwcu bida ketemukan say-cu-leng diantaranya, kau tidak tahu." Lo In sambil berkata telah merogoh keluar semua permata yang ia dapat keluarkan dari lubang di kuburan tua. Ia perlihatkan kepada Tonghong Kauwcu. Tampak sang ketua kegirangan karnea ia melihat ada tusuk konde, kalung dan anting-anting yang ia kenali adalah miliknya, pengasih dari teman-temannya dalam hari ulang tahun Ngo-tok-kauw. Tapi kemudian ia kerutkan alisnya ketika ia tidak dapatkan Say-culeng diantara begitu banyak perhiasan. Terdengar ia menghela napas. "Barang itu tidak ada disini." kata Tonghong Kauwcu seraya menyerahkan kembali pada Lo In seakan-akan tidak membutuhkan barang-barang perhiasan yang tidak ternilai harganya itu. " Kauwcu, inilah semua milikmu. Kenapa kau dorong lagi padaku ?" "Engko kecil, kau ambil semua. Aku tidak memerlukan yang begituan." sahut Tonghong Kauwcu seraya kembali terdengar ia menghela napas. Lo In kebingungan, barang-barang itu diberikan kepadanya. Ketika ia mau membuka mulut pula ia melihat Teng Hui mengedipi matanya sambil berkata, "Adik kecil, hadiah Kauwcu merupakan barang yang sudah hilang, tak dapat kita kembalikan. Kalau kita mengembalikan berarti kita memandang rendah kepada Kauwcu dan dapat membuat tidak senang hatinya." Lo Injadi melengak mendengar perkataannya Teng Hui. Ia tidak menduga kalau aturan dalam Ngo-tok-kauw demikian kerasnya. Barang yang sudah dihadiahkan oleh Kauwcu dianggap sudah hilang, kalau dikembalikan akan melukai hati sang Kauwcu. Maka apa boleh buat Lo In masukkan pula ke dalam kantongnya. Tetapi ketika ia keluarkan tangannya, ia merasa meraba..... Ia kaget, cepat ia rogoh keluar dan diangsurkan kepada sang Kauwcu sambil berkata, "Kauwcu, masih ada bungkusan ini. Entah didalamnya ada isi apa, sebab aku sendiri belum pernah membukanya. Coba Kauwcu buka. siapa tahu ada barang yang lagi dicari oleh Kauwcu." Dengan ogah-ogahan Tonghong Kauwcu menyambuti bungkusan kecil itu. Waktu ia membukanya, selapis demi selapis kain yang membungkusnya, hatinya tiba-tiba berdebaran dan menaruh harapan besar. Benar saja, ketika lapisan penghabisan dibukanya, ia dapatkan satu singa-singaan kecil, berbentuk gandulan kalung leher. Kecil bentuknya tapi cahayanya mengkeredep terang oleh sorotnya matahari. "Engko kecil, inilah barangnya " seru Tonghong Kauwcu kegirangan. Ia bangkit berdiri dan merangkul Lo In dengan penuh kegirangan. "Aduh " dengan tiba-tiba Kauwcu mengaduh. Ia merasakan sakit pada bagian sikut dari tangan kirinya. " Kauwcu, mari aku periksa tanganmu." kata Lo In ketika mendengar orang mengaduh. Tonghong Kauwcu lantas angsurkan tangannya yang sakit untuk diperiksa Lo In. Si bocah lihat tidak parah lukanya sang Kauwcu, maka ia berkata, " Kauwcu, asal kau berani tahan sedikit, aku tanggung sekarang juga tanganmu akan sembuh." "Begitu sakti kepandaianmU engko kecil ?" kata Tonghong Kauwcu heran. "Aku bukannya sakti, hanya dari pengalaman aku dapat mengobati lukamu dengan mudah." Tonghong Kauwcu belum mau percaya, tapi ia toh mengangsurkan lengannya dan berkata, " Engko kecil, berbuatlah kebaikan untuk Kauwcu dari Ngotokkauw. Aku tidak akan mengeluh kesakitan sepanjang kau mengobati lukaku " Lo In tidak main seeji-seeji lagi. Ia sudah lantas menyambut, lengannya Kauwcu. Perlahan-lahan ia geserkan tulang yang menyilang pada tempatnya hingga bukan main sakitnya. Tapi Tonghong Kauwcu telah buktikan perkataannya, ia tidak mengeluh kesakitan sekalipun tubuhnya mandi keringat lantaran menahan rasa sakit itu. "Kau makan obatku, besok pada waktu seperti sekarang, tanganmu dapat digeraki lagi sebagaimana biasa. Cuma saja, paling baik tanganmu itu dikasih mengasoh sedikitnya tujuh hari supaya duduknya tulang yang nyengsol itu melekat kembali. setelah itu, Kauwcu dapat gerakkan kembali sesuka hatimu. Tanggung lenganmu itu kokoh kuat seperti sebelum terluka." Lo In kata sambil membuka tutupnya peles kecil dan keluarkan dua butir pil bikinannya dari resep Liok sinshe, lalu menyerahkan kepada Tonghong Kauwcu yang seketika itu juga lantas dimasukkan ke mulutnya untuk ditelan dengan ludah sebagai pengantarnya sebab disitu tidak kedapatan air. Tonghong Kauwcu sangat percaya kepada bocah cilik ini, yang kepandaiannya luar biasa. Pada waktu itu Teng Hui baru ingat akan kawan-kawannya yang kena ditotok. Maka ia lalu minta pertolongannya Lo In untuk membebaskannya. Lo In tidak keberatan meluluskan permintaan tolong Teng Hui. sebentar saja dengan kebasan lengan bajunya, Lo In sudah dapat membebaskan sembilan orang Ngo-tok-kauw yang pada rebah malang melintang. Kembali adegan itu telah membikin Tonghong Kauwcu makin kagum atas kesaktiannya si bocah. Di lain detik tiba-tiba ia menghela napas hingga Teng Hui dan Lo In menjadi kaget. Lo In menanya, " Kauwcu, barusan kau ketawa- ketawa gembira. Kenapa sekarang kau menghela napas " Apakah ada sesuatu hal yang kau sukar atasi " Aku bersedia menolongnya." "Terima kasih, engko kecil." sahut Tonghong Kauwcu. "Aku maksudkan dua kakek itu, sayang merat. Kalau tidak mereka harus menerima hukuman menurut undang-undang dari perkumpulan kami." Teng Hui juga baru ingat akan dua kakek she sim itu karena selama itu perhatiannya selalu ditumplek untuk menolong pada Kauwcunya saja. Malah ia baru ingat akan temantemannya yang dalam keadaan tertotok ketika sudah melihat Kauwcunya tertolong. sementara orang-orang yang tertotok itu pada datang mengunjuk hormat pada Kauwcunya, Lo In sedang ngomongngomong dengan Teng Hui. Menurut cerita Teng Hui, dua kakek she sim itu datang dari Hek-liong-tong (gua naga hitam). Penghuni dalam gua itu semuanya ada tiga orang, dua ialah dua saudara she sim, sedang yang satunya lagi adalah seorang wanita she siang yang bernama Niang Niang. Tiga orang itu yang merupakan dua kakek dan satu nenek. terkenal dengan sebutan Hekliongtong sam-lo aatu Tiga orang tua dari gua naga hitamMereka bertiga satu perguruan, yang paling lihai adalah yang perempuan yang bernama siang Niang Niang dengan julukan Tui Hun Lolo (si Nenek Pengejar roh). Ia adalah sumoay dari dua kakek tersebut dan sangat disayang oleh mereka. Menurut kabar diantara dua kakek dan si nenek itu telah terjadi kisah asmara pada waktu mudanya. sim Liang dan sim Leng masuk Ngo-tok-kauw kira-kira dua minggu sejak Tonghong Kauwcu diangkat menjadi Kauwcu. Berkat kepandaiannya, maka kedua kakek itu telah dikasih jabatan penting dalam Ngo-tok-kauw. Tonghong Kin begitu baik kepada mereka, tidak tahunya dua kakek itu masuk Ngotokkauw dengan maksud kurang baik. Mereka bermaksud merampas kedudukan Kauwcu dan mau mengepalai Ngo-tokkauw dengan sepak terjangnya yang menghebohkan dunia persilatan. setelah Teng Hui bercerita, lalu Tonghong Kauwcu menceritakan kisahnya. Waktu ia dilemparkan ke dalam jurang oleh Coa Keng, ia menduga bahwa jiwanya tidak dapat ditolong lagi. Ia sudah pejamkan mata. Meskipun demikian, tangannya masih coba dipentang, kalau- kalau ada pohon yang dapat menahan tubuhnya yang meluncur dari atas ke bawah sungguh beruntung baginya sebab ada beberapa dahan pohon yang me-rem meluncurnya tubuhnya hingga dari satu dahan ke lain dahan ia jatuh dan selamatlah ia mendarat pada tebing gunung yang tingginya kira-kira tiga empat tombak dari bawah. Ia hanya luka pada sikutnya itu, tulangnya keseleo, lainnya kecuali baret-baret pada muka dan badannya yang kesangkut cabang pohon, lainnya tidak ada apa-apanya pada tubuhnya. Tonghong Kim sangat lelah ketika ia sudah mendarat. Boleh dibilang ia separuh pingsan pada saat itu. sang angin yang meniup dengan kencang, telah menyadarkan ia dan baru tahu bahwa dirinya tidakjadi mati. Demikian, selama beberapa hari ia hanya mengisi perutnya dengan buah- buahan yang terdapat disekitar itu Pada suatu hari ia mendengar banyak langkah orang mendatanginya. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang datang itu adalah anak buah dari Ngo-tok-kauw dipimpin oleh Teng Tiang lo. Bukan main girangnya sang Kauwcu. Ia lantas meneriaki mereka dan segera juga mereka sudah datang dekat. Teng Hui yang datang lebih dulu, saling rangkul dengan Kauwcunya. saking girangnya Teng Tiang lo berbuat demikian. sebab semestinya ia harus berlutut di depan Kauwcu dan menanyakan keselamatannya. setelah ia sadar akan perbuatannya yang tidak benar, Teng Hui buru-buru melepaskan rangkulannya dan hendak berlutut di depan Kauwcunya. Akan tetapi Tonghong Kin telah mencegah, dengan ramah ia berkata, "Teng Tiang lo, kita berada di luar dari garis Ngo-tok-kauw. Tidak perlu kau menjalankan peradatan seperti ini. Mari kita bicara sebagai teman saja." Teng Hui terharu mendengar perkataan sang Kauwcu yang sangat baik hatinya. Ia lantas menanyakan halnya sang Kauwcu, lalu ia menyuruh kawan-kawannya untuk memberi hormat kepada ketuanya. Mereka telah mentaati perintah Teng Tiang lo. senang Tonghong Kin dapat berjumpa pula dengan orangorangnya. Ia menyatakan pada Teng Hui bahwa ia tidak ingin kembali ke markas, jabatan Kauwcu itu lebih baik diambil oleh Teng Hui saja. Akan tetapi Teng Hui telah menolak keras dan membujuk supaya sang Kauwcu suka kembali dan memimpin Ngo-tok-kauw. "Aku kembali tidak ada gunanya." kata Tonghong Kin. " Karena aku toh tidak mempunyai lagi barang yang digunakan sebagai lambang kekuasaannya Kauwcu. say-cu-leng sudah tidak berada ditanganku. cara bagaimana aku dapat mengendalikan orang-orang Ngo-tok-kauw ?" Teng Hui terpekur mendengar kata-katanya sang Kauwcu. Pada waktu itulah terdengar suara mengakak dari seorang tua. Mereka kaget. Hanya sejenak saja sebab yang datang itu adalah dua kakek yang menjadi orang Ngo-tok-kauw, ialah sim Liang dan sim Leng. Tonghong Kin tidak menyangka kedatangannya dua kakek itu adalah hendak merampas say-cu-leng, bukannya hendak menolong dirinya. Tentu saja Tonghong Kin menjadi marah. Mereka jadi Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bertengkar, disusul dengan perkelahian. Tonghong Kin dalam terluka lengannya yang kiri, ia hanya menggunakan tangan kanannya saja untuk melayani dua kakek orang she sim itu. Terang perlahan-lahan si orang she Tonghong menjadi kewalahan. Melihat Kauwcunya dalam bahaya, Teng Hui beri komando orang-orangnya untuk menyerbu menangkap dua kakek jahat itu tapi sudah terlambat karena Tonghong Kin sudah kena ditotok sim Liang dan roboh ditanah. Dalam kegusarannya itu Teng Hui telah menyerang dua kakek itu dengan tanpa banyak omong, sekalipun beberapa kali sim Liang membujuk supaya orang she Teng itu hentikan pengeroyokannya dan selanjutnya mereka bekerja sama mengepalai Ngo-tok-kauw. Tapi Teng Hui yang mencintai Kauwcunya, mana mau diajak berserikat oleh dua kakek yang ia saksikan sampai dimana kejahatannya itu. Maka pertempuran ramai tak dapat dihindarkan sampai kemudian datanglah Lo In kesitu menonton pertempuran yang ramai. Lo In melihat Teng Hui dalam bahaya, maka tidak tempo lagi ia enjot tubuhnya melesat mendekati Teng Hui. Dengan kebasan lengan bajunya ia dapat memadamkan api yang berkobar-kobar hendak membakar dirinya Teng Hui yang sudah setengah pingsan. selanjutnya, seperti yang telah kita tuturkan disebelah atas. Tonghong Kin dan Teng Hui mengundang Lo In untuk mengunjungi markas Ngo-tok-kauw, akan tetapi ia menolak dengan halus. "Kita sudah beruntung dapat mengikat persahabatan. semoga pada lain kesempatan kita dapat bertemu kembali. Tapi pada waktu sekarang aku benar-benar tak dapat mengikuti Kauwcu dan paman Teng pulang ke markas sebab aku mempunyai urusan yang meminta segera diselesaikan." " Engko kecil, tadinya aku mengira kau akan mengantar pulang aku ke markas. Di sana aku akan sediakan satu perjamuan makan untuk menghormat engkau, engko kecil dan sebagai tanda terima kasih dari kami orang-orang Ngo-tokkauw atas pertolonganmu. sungguh menyesal sekali urusanmu tak bisa ditunda. Maka dengan ini kami mendoakan saja perjalananmu selamat dan tidak kurang suatua apapun sehingga urusan yang penting dapat diselesaikan." "Terima kasih Kauwcu. Nah, disini kita berpisahan. Kauwcu, paman Teng dan sekalian saudara-saudara," berkata Lo In memohon diri kepada sekalian orang-orang Ngo-tok-kauw. Dengan sekali enjot tubuhnya sudah meluncur beberapa tombak jauhnya, kapan kakinya menutul tanah, lekas juga tubuhnya mumbul lagi dan dengan demikian dilain detik Lo In sudah tidak kelihatan bayangannya sekalipun. "Sungguh hebat anak itu, entah siapa ayahnya dia...." Tonghong Kauwcu menghela napas tatkala Lo In sudah pergi jauh. "Memang, sayang sekali kita tidak bisa berkumpul lamalamaan dengannya. Kalau tidak, pasti kita dapat tahu siapa ayah ibunya Hek-bin sin-tong yang termasyur itu....." menyahuti Teng Hui yang merasa menyesal tak dapat berkumpul lebih lama dengan Lo In. sementara mereka bercakap-cakap dan bersiap-siap untuk pulang ke markas Ngo-tok-kauw, jago cilik kita sudah berada puluhan lie dari mereka. sampai disini, mari kita lihat Eng Lian yang sudah lama kita tinggalkan. si dara cilik setelah mendapat kembali kudanya dari In Hiang, hatinya girang. Pikirnya dengan kuda itu ia dapat menjelajah pula pegunungan untuk mencari adik In-nya yang hilang tanpa bekas. Hari-hari ia menjelajah pegunungan, tapi belum juga ia dapatkan jejak adik In-nya. Hatinya si dara mulai jengkel dan kesepian. Ketika cuaca menjelang sore, Eng Lian duduk di bawah sebuah pohon yang rindang untuk melepaskan lelahnya. Ia duduk melamun, memikirkan adik In-nya. "sampai sekarang belum juga adik In diketemukan. Dimana bocah itu sekarang adanya ?" ia berkata-kata sendirian. Tangannya tiba-tiba meraba gadang pedangnya. Hatinya tergetar tatkala tangannya menyentuh pedang Lo In. Ia lalu mencabutnya, kemudian dipandanginya. Huruf-huruf kecil atas gagang pedang 'Kwee Cu Gie Toan Kiam' dipandangnya dengan tidak berkedip. Dalam hatinya melamun berkata, "Adik In menghadiahkan pedang ini sebagai tanda mata, sungguh lucu dia. Pedang orang dipakai tanda mata. Tapi pedang ini katanya adalah pedang ayahnya. Apakah benar Kwee Cu Gie adalah ayahnya " Aku tidak perduli apa Kwee Cu Gie ayah adik In atau bukan, yang terang adik In sudah menghadiahkan pedang ini sebagai tanda mata untukku. Adik In sudah mengikat aku bakal kawan hidupnya dengan menghadiahkan pedang ini. Apakah ini disadari olehnya ?" sampai disini Eng Lian melamun. Tampak selebar mukanya kemerah-merahan dan panas. "Ah, hanya aku sendiri saja yang memikirkan ini." ia ngelamun lebih jauh. "Adik In sendiri tidak memikirkan apa-apa dengan katakatanya yang mengandung arti itu. Ia kelihatannya tidak memikirkan bahwa dengan menghadiahkan pedang itu sebagai tanda mata berarti ia mengikat janji untuk sehidup semati denganku. Buktinya tidak ada reaksi apa-apa dari pihaknya bahwa pergaulan kita selanjutnya akan mengalami perubahan. Ah, dasar dia masih anak-anak. Pikirannya belum sampai ke situ. Biarkan saja sampai dia sadar sendiri bahwa enci Liannya mengharapkan kesadarannya......." "Nona kecil, kau masih melamun apa ?" dirinya ada yang menegur. cepat ia berpaling, kiranya tidak jauh disampingnya berdiri seorang Hweshio berkuping satu yang sebelah kanan, tengah bersenyum berseri-seri ke arahnya. Eng Lian sebenarnya tidak demikian mudah didekati orang. Biasanya dari ke jauhan kupingnya yang tajam sudah dapat mengetahui ada tidaknya orang mendatangi. Tapi kenapa saat itu mendadak kupingnya jadi puntul " Itu tidak heran sebab Eng Lian pada saat itu sedang kelelap dalam lamunannya yang muluk. "Taysu, kau dari mana ?" tanya Eng Lian ketika si Hweshio tampak mendekatinya. "Kuilku tidak jauh dari sini. Aku barusan saja habis mencari daun-daun obat kebetulan lewat disini dan melihat kau sedang melamun asyik sekali. Maka aku menegurmu. Harap kau tidak menjadi kecil hati karena gangguanku." "Ah, tidak apa. Kalau Taysu tidak menegur, mungkin aku akan melamun sampai malam disini belum habis-habisnya. Hihihi...." Hweshio itu ketawa pada Eng Lian yang ketawa ngikik. "Nona kecil, sebenarnya kau sedang melamun apa ?" tanya si Hweshio ramah. "Aku sedang melamun tentang temanku yang hilang jejaknya." sahut Eng Lian, alisnya yang kecil meng kerut. "Entahlah, dimana temanku itu sekarang adanya." "oo, kau kehilangan teman. Mudah dicari, kalau mau menanyakan keterangan." "Menanyakan keterangan kepada siapa, Taysu ?" "Menanyakan keterangan kepada Tepekong yang dipuja dalam kuilku." "Ah, apa bisa begitu mudah ?" Eng Lian menegasi kepingin tahu. "Kita manusia biasa, nona kecil." kata si Hweshio yang tidak lain adalah Tian ci Hweshio atau si Hweshio Jari Besi yang kita kenal dalam permulaan cerita ini. "sedang tepekong adalah orang halus. Kita dengan orang halus mana dapat disamakan. orang halus lebih tahu dari kita manusia." "Caranya bagaimana aku dapat menanyakan keterangan pada Tepekong itu ?" "Nona ikut aku ke kuil. Di sana kau boleh mencabut ciamsi. Dari ciamsi ini kau bakal ketahui temanmu itu kini ada dalam selamat atau tidak dan kapan kau nanti akan bisa jumpa pula dengannya." "Bagus, bagus. Mari kita pergi ke kuil Taysu." sahut Eng Lian cepat seraya pegang tangan si Hweshio diajak berlalu dari situ. Tiat ci Hweshio ketawa geli tampak si dara cilik demikian lucu gerak geriknya. "Lantas bagaimana dengan kudamu itu ?" tanya si Hweshio. "oh, ya. Hampir aku lupa." katanya. Berbareng ia lepaslan cekalannya pada tangan si pendeta dan menghampiri kudanya. Dengan menuntun kuda, ia menghampiri pula si Hweshio dan berkata, "Taysu, apa kuil Taysu itu masih jauh dari sini " Kalau masih jauh, apa tidak lebih baik kita naik kuda saja bersama-sama ?" "Jalan boleh, kalau mau naik kuda tentu lebih baik lagi." sahut Tiat Ci Hweshio. "mari, mari kita naik kuda. Tapi, eh, apa Taysu naik kuda ?" tanya Eng Lian. "Dulu, sebelumnya aku jadi Hweshio, pernah aku belajar sedikit. Rasanya kalau sekarang menunggang kuda, masih dapat aku lakukan." jawab Tiat Ci Hweshio. "Bagus, Taysu naik dulu. Aku nanti naik dibelakangmu." kata Eng Lian. Tiat Ci Hwes hio tidak pakai tawar menawar. Ia lantas naik kudanya Eng Lian yang disusul oleh si gadis yang duduk dibelakangnya. Mereka lanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Eng Lian yang memegang les kuda dari belakang si Hweshio, rada janggal juga. saban-saban si dara cilik terpaksa jatuh merangkul tubuhnya si Hweshio untuk mengendalikan kudanya yang larinya agak mogok juga. Rupanya keberatan ditunggangi oleh dua orang. sering-sering kena dirangkul tanpa sengaja oleh eng Lian dan harumnya air wangi yang dipakai si dara cilik, membuat Tiat Ci Hweshio berdebar-debar hatinya. Eng Lian tidak perhatikan kalau rangkulannya yang tak disengaja itu membuat si Hweshio berdebaran hatinya. Malah ia ketawa cekikikan saban kali ia kena rangkul si paderi tampak Tiat ci Hweshio seperti kaget dan takut jatuh dari kuda. "Taysu, kau takut jatuh dari kuda ?" tanyanya pada si paderi. "Memangnya aku takut jatuh. Kau jangan larikan kudamu kencang-kencang, nona kecil." menyahut si Hweshio belagak ketakutan. Eng Lian ketawa cekikikan dan mengira benar-benar si Hweshio ketakutan. Untuk bikin si paderi hatinya tetap, maka rangkulan sidara agak kencang. Dengan begitu si Hweshio lebih berdebaran lagi hatinya dipeluk dara cilik yang cantik jelita itu Ia jadi melamun, kalau bisa dapatkan ini dara manis, oh, bagaimana beruntungnya ia menjadi manusia dalam dunia yang lebar ini. "Nona kecil, temanmu itu perempuan atau laki-laki?" ia menanya Eng Lian. "Ah, Taysu jangan banyak tanya. Perempuan atau laki-laki temanku itu tidak ada sangkutannya dengan Taysu." jawab si dara sambil bersenyum manis hingga Tiat Ci Hweshio rasakan jantungnya seperti dipelintir oleh senyuman memikat itu. "Nona kecil, aku orang sudah mencucikan diri Tidak halangannya kalau aku menanyakan halnya temanmu itu, bukan ?" berkata pula Tiat Ci Hweshio. "sudahlah, buat apa banyak tanya " sahut Eng Lian seraya ketawa cekikikan. "Tapi nona kecil, oh, aduh.. jangan kencang-kencang...." Tiat Ci Hweshio beraksi seperti hendak terpelanting dari kuda hingga Eng Lian kaget dan cepat memeluknya supaya si pendeta jangan sampai jatuh. Bukan main senangnya si pendeta, tubuhnya dirangkul erat-erat oleh si dara cilik tanpa disadari oleh Eng Lian bahwa sipendeta hanya menjual aksi saja. Malah Eng Lian menanya ketika si Hweshio sudah duduk tegak lagi diatas kuda, "Taysu, kau kaget tentu, ya " Apa masih jauh kuilmu itu ?" "sudah dekat." sahut Tiat Ci Hweshio. "Kau boleh kencangi sedikit kudamu asal jangan bikin aku jatuh terpelanting...." sipendeta berkelakar hingga Eng Lian ketawa cekikikan nampak wajahnya si Hweshio yang lucu. Benar saja seperti katanya sipendeta, kuilnya tidak lama lagi sudah kelihatan dari jauh. "Nah, itu kuilku." kata Tiat ci Hweshio sambil menunjuk ke depan. Eng Lian kejuti les kudanya supaya jalan lebih kencang. Kembali si Hweshioa menjual aksi hingga terpaksa Eng Lian merangkulnya pula untuk mencegah si pendeta jatuh dari kudanya. Bergelora napsunya sipendeta, dirangkul sedemikian hangatnya oleh si dara jelita. Hampir-hampir saja ia tak dapat mengendalikan dirinya dan balas merangkul Eng Lian untuk melampiaskan napsunya yang bergelora ketika itu, kalau ia tidak mengingat bahwa perbuatan demikian sangat gegabah dan membahayakan dirinya. Dengan demikian, terpaksa si pendeta menahan napsu hatinya yang jahat. Ketika sampai depan kuil, Eng Lian lihat merk kuil "Thian-ong-bio". Mereka turun dari kuda dan masuk kuil disambut oleh murid-muridnya Tiat Ci Hweshio dengan sangat hormat. Thian-ong-bio sangat angker kelihatannya. Eng Lian yang baru pertama kali memasuki sebuah kuil, tidak heran hatinya merasa senang melihat ini dna itu yang menarik perhatiannya. Wataknya yang kekanak-kanakan dengan seketika telah timbul. Ia menanyakan ini dan itu kepada Tiat Ci Hweshio yang melayani dengan sabar dan memberikan keterangan-keterangan yang jelas hingga si dara cilik sangat senang dan memandang si pendeta adalah seorang pendeta suci yang pengetahuannya dalam. Ia dibawa masuk ke beberapa ruangan yang luas dalam kuil itu untuk Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melihat-lihat pemandangan disana. sementara itu cuaca sudah mulai gelap. "Taysu, dimana aku harus mencabut ciamsi untuk minta keterangannya hal temanku ?" tanya Eng Lian tiba-tiba, ketika ia memasuki ruangan tengah. "Mari, mari aku unjuki." sahut Tiat Ci cepat. Eng Lian dibawa menghadap ke hadapan Tepekong Thianong yang bermuka bengis. Patung itu besar sekali, lebih besar dari manusia biasa. Eng Lian yang melihat roman bengis dari patung itu bukannya takut, malah ketawa cekikikan. "Kau ketawa kenapa, nona kecil ?" tanya Tiat Ci Hweshio heran. "Aku ketawakan wajahnya patung itu." sahut Eng Lian seraya tangannya menunjuk pada patung besar itu. "Romannya bengis seperti romannya Taysu. Hihihi....." Tiat Ci Hweshio mendongkol mendengar perkataan si dara cilik. Tapi ia tidak mau, burung yang sudah masuk perangkap terbang lagi. Maka dengan halus ia berkata, "Nona kecil, kau bisa saja menyamakan wajahku dengan wajahya Thian-ong. semoga kata-katamu tadi akan menjadi kenyataan, kalau aku mati akan menjadi Tepekong Thian-ong. Hahaha...." Keadaan dalam ruangan itu sepi. Hweshio-hweshio lain yang biasanya jalan hilir mudik tidak tampak pada saat itu. Rupanya mereka sudah dapat pesan dari Tiat ci Hweshio supaya tidak mengganggu kegembiraannya dalam melayani si dara cilik. oleh karenanya mereka dalam ruangan itu hanya berduaan saja. Eng Lian telah mencabut ciamsi. Menurut keterangan si Hweshio Jari besi, katanya bunyi ciamsi mengatakan bahwa teman Eng Lian baik-baik saja keadaannya dan tidak lama lagi si dara cilik bakal berjumpa lagi satu sama lain. Keterangan mana membikin Eng Lian sangat kegirangan. Dalam girangnya, Eng Lian keluarkan dari sakunya perak hancuran. secara royal diberikan kepada Tiat Ci Hweshio katanya sebagai bantuan membeli hio. Tiat Ci Hweshio tidak menolak. malah ia mengucapkan terima kasih atas pemberian si dara cilik. Ketika Eng Lian mohon diri, si Hweshio Jari Besi kata, "Nona kecil, hari sudah malam. sebaiknya kau menginap disini saja. Besok pagi kau barulah meneruskan perjalananmu, masih ada tempo. Dalam gelap malam seperti sekarang ini, aku kuatir kau mendapat kesulitan di perjalanan." Eng Lian kerutkan alisnya yang kecil bagus hingga menambah kecantikannya dipandangan si Hweshio berkuping satu. seperti pembaca tahu, tempo hari kupingnya yang satu copot kena disentak oleh ujung pedangnya Liok sinshe. "Aku sudah sedia kamar untuk kau menginap, nona kecil. Harap kau tidak menolak kebaikan dari satu pendeta sebab itu akan merupakan berkah selamat akan perjalananmu selanjutnya. Di dalam malam yang gelap sangat sukar untuk meneruskan perjalanan." Eng Lian tidak menjawab. Ia seperti berpikir, "Baiklah." tibatiba ia berkata. "Tapi aku ingin cuci badan. Apa Taysu dapat menolong mengirimkan air hangat ke kamarku ?" "Tentu, tentu sekali nona kecil." kata Tiat Ci Hweshio kegirangan. segera ia menepuk tangan dua kali, lantas saja muncul seorang Hweshio muda. Kepada mereka ia suruh menyediakan air hangat dan dibawa ke kamar Eng Lian untuk si nona mencuci badannya. senang Eng Lian melihat Tiat Ci Hweshio demikian ramah dan hormat sekali kepadanya. Ia berkata, "Taysu kau sangat baik sekali. Kalau belakang kali aku sudah bertemu kembali dengan temanku, tentu aku tidak lupa membawanya kemari untuk menghaturkan terima kasih kepada Taysu." "oo, itu perkara kecil. senang sekali kalau nona kecil nanti datang pula kesini dengan temanmu, aku akan sediakan kamar lebih besar untuk kalian berdua menginap." Eng Lian bersenyum manis mendengar perkataan Tiat Ci Hweshio. Memang dalam hatinya Eng Lian berjanji manakala nanti ia sudah ketemu Lo In akan mengajak si bocah untuk datang pula ke kuil Thian-ong-bio supaya Lo In dapat menghaturkan terima kasih kepada kepala kuil yang baik hati itu dalam anggapannya si dara. Tiat Ci mengantarkan Eng Lian ke ruangan belakang, dimana ada kamar kosong untuk si dara melewatkan sang malam, setelah itu Tiat Ci Hweshio lalu meninggalkan Eng Lian. Belum lama Eng Lian berada dalam kamarnya, pintu diketuk dari luar. Ketika ia membuka, kiranya Hweshio muda tadi membawakan air hangat untuknya. Ketika Hweshio muda itu hendak meninggalkan kamar, Eng Lian berkata, "Siaosuhu, banyak terima kasih atas pertolonganmu." Hweshio muda itu tidak menyahut, hanya anggukkan kepala bersenyum dan lekas pergi meninggalkan Eng Lian. Girang Eng Lian mendapat perlakuan demikian baik dari Tiat Ci Hweshio. Begitu pintu kamar ia rapatkan pula, lantas ia buka pakaian untuk membersihkan badannya. Ia merasa segar sekali setelah badannya ia seka seluruhnya dengan handuk yang dicelup dalam air hangat. Selesai itu ia bersolek, girang ia karena disitu ia dapatkan cermin untuk ia pandang wajahnya yang cantik. Ia ketawa sendirian kapan ia ingat bahwa Lo In akan terpesona melihat ia dalam keadaan bersolek demikian cantiknya. Tengah ia mengagumi kecantikannya dalam pakaian tidur, tiba-tiba ia dengar pintu diketuk. Cepat ia membukanya tanpa pakai tanya-tanya lagi. Kiranya yang mengetuk itu ada hweshio muda tadi yang datang hendak mengambil tempat air hangat tadi, sekalian mengundang si nona untuk makan samasama dengan Tiat Ci Hweshio di ruangan makan. "Siosuhu, tolong kau sampaikan pada Taysu terima kasihku atas undangannya. Katakan, aku tak dapat menemani Taysu makan karena mataku sudah ngantuk " Hweshio muda itu anggukkan kepalanya dan berjalan pergi. "Baik betul Taysu itu........." menggumam Eng Lian seraya merapatkan pintu kamarnya. sebenarnya ia sudah lapar. Ingin ia mengisi perutnya tatkala menerima undangan Tiat Ci Hweshio. Namun mengingat bahwa dalam kuil itu makanannya tentu tidak lebih dari makanan 'cia-cay' (makanan sayuran), maka ia tidak selera untuk makan bersama-sama dengan Tiat Ci Hweshio yang baik budi itu. Pikirnya, lebih baik ia makan makanan keringnya saja dalam buntelannya untuk menahan lapar. Justru ia lagi repot hendak membuka buntelan yang terisi makanan kering, ia mendengar pula suara pintu kamar diketuk. Ia urungkan membuka buntelannya lalujalan menghampiri pintu dan membukanya. Kembali ia berhadapan dengan si Hweshio muda tadi. Kali ini Hweshio itu membawa nampan. Diatasnya terdapat sebotol arak. sepoci air teh dan makanan daging ayam dan daging babi yang lezat sekali tampaknya. Masih panas, asapnya menyiarkan bau wangi menusuk hidungnya Eng Lian. "suhu suruh aku membawakan ini untuk nona dahar. Harap nona tidak menolak kebaikan suhu. suhu mengerti nona tentu kurang leluasa makan sama-sama dengan suhu. Maka ia suruh aku membawakan makanan ini. Harap nona tidak menampik." berkata si hweshio muda, seraya menerobos masuk ke dalam kamar dan nampan yang penuh makanan itu diletakkan diatas meja. Eng Lian jadi tercengang nampak kebaikan orang itu. Ia tidak bisa menampik, apa lagi ia sudah baui makanan yang menarik seleranya. "Siaosuhu, suhumu sangat baik. Sungguh aku sangat berterima kasih. Tolong sampaikan terima kasihku kepada suhumu " Eng Lian berkata dengan girang. si Hweshio muda hanya tersenyum dan anggukkan kepala seperti tadi, lantas ia berjalan keluar meninggalkan si dara cilik. Ia telah menutup rapat pula pintu hingga Eng Lian tak usah menutupnya lagi. si dara cilik dengan kegirangan telah hadapi hidangan yang lezat itu. sama sekali dalam benaknya tidak ada pertanyaan, kenapa dalam kuil itu ada masakan daging yang demikian lezat tampaknya. Bukankah dalam kuil seperti itu pendetapendetanya pantang makan hidangan berdarah " Dara cilik kita benaknya hanya dipenuhi oleh rasa terima kasih saja kepada Tiat Ci Hweshio. setelah menghadapi hidangan yang demikian menarik seleranya, Eng Lian tidak banyak pikir lagi, ia main hantam makan sekenyangnya. sebagai pengantarnya, beberapa cawan teh hangat telah diteguk kering isinya. Ia tidak ganggu botol arak sebab ia tidak suka minum arak. sebentaran ia sudah merasakan perutnya kenyang. "Hihihi.." ia ketawa sendirian. "Sayang adik In tidak bersama disini, kalau tidak, kita sikat makanan ini bersamasama. Hihi..." Ia duduk menantikan si hweshio muda datang pula untuk membenahi dan bawa pergi sisa makanan yang barusan ia makan. Tapi lama ditunggu tidak didengar si hweshio muda mengetuk pintu. Ia saban-saban unjuk senyuman girang, perutnya kini sudah tidak minta diisi pula. Pada saat itulah, tiba-tiba ia rasakan matanya berat seperti ngantuk dan ia beberapa kali menguap. seluruh badangnya lemas tak bertenaga, kakinya terasa lumpuh, tak kuat untuk dipakai berdiri dari duduknya di kursi. Eng Lian heran kenapa badannya dengan mendadak sontak tidak berguna demikian. Menyusul hatinya berdebaran keras hingga dadanya bergerak naik turun. Tarikan napasnya memburu, seakanakan menekan rangsangan napsu birahi. Matanya menyala penuh keinginan, bibirnya yang kecil mungil bergerak-gerak seperti menantang musuh. Eng Lian coba berdiri, pantatnya berat seperti melekat pada kursi. Ia jadi kebingungan apa yang ia harus diperbuatnya, tampak dirinya tak berdaya. Dadanya dirasakan panas, napsu birahinya bergolak tak dapat dikendalikan. Kasihan Eng Lian telah menjadi korban obat bius dan perangsang birahi yang dicampurkan dalam air teh dan kuah sayuran yang dimakannya. Itu salahnya sendiri terlalu rakus dan percaya atas kebaikannya si Taysu dari kuil Thian-ongbio. Dalam keadaan tidak berdaya, Eng Lian hanya dapat gerakkan dadanya naik turun seperti hendak menyalurkan rangsangan napsu birahinya yang bergolak dalam dadanya. Matanya menyala dan celingukan seakan-akan mencari musuh- Tapi cemas hatinya karean dalam kamar itu sepi sunyi, tidak terdengar seorang pun yang menarik napas. Tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk. mulutnya Eng Lian bergerak cepat, "Masuk " katanya, suaranya agak parau dikuasai oleh napsu setan. "Nona kecil, selamat malam " terdengar Tiat Ci Hweshio berkata setelah ia masuk dan merapatkan pula pintu kamar. Eng Lian tidak menjawab hanya bersenyum dan matanya menyala mengawasi Tiat Ci Taysu yang mendekatinya. Tiat Ci Taysu bersenyum girang. Melihat sikap Eng Lian demikian, ia sudah tahu bahwa obatnya telah bekerja dengan berhasil. Ia duduk didekatnya Eng Lian. Tangannya tiba-tiba diulur untuk mencolek pipinya si dara cilik. Eng Lian diam saja sebab tangannya berat untuk diangkat menangkis tangan si kepala gundul yang nakal. selain itu, ia tidak berkuasa atas pengaruh obat si kepala gundul yang maha hebat. Malah ketika pipinya dicolek. Eng Lian kepingin tubuhnya dipeluk oleh si Hweshio. Keinginan bersatu tubuh yang tidak pernah ia pikirkan dan impikan sebelumnya, pada saat itu telah mengaduk dalam hatinya yang suci murni. Adik In-nya sudah tidak ada dalam benaknya, hanya si kepala gundul yang didekatnya yang ia harapkan akan memberi kepuasan kepada napsunya yang meluap-luap. Demikian hebat pengaruh obat bius danperangsang si Hweshio Jari Besi. "Nona kecil, malam ini Taysu akan bikin kau jadi oranghahaha...." si kepala gundul kegirangan seraya tangannya kembali menyolek pipi Eng Lian. "Taysu....." Eng Lian kata dengan suara lemah seperti memohon. Matanya menatap pada Tiat Ci Hweshio dengan penuh keinginan. si Hweshio balas menatap wajah Eng Lian yang cantik, malah dalam pakaian tidurnya Eng Lian tampak lebih mempesonakan pandangan si Hweshio Jari Besi. Napsunya Eng Lian melonjak ketika merasa dirinya dirangkul dan diciumi si kepala gundul dan diam saja ketika ia dipondong, direbahkan diatas pembaringan. "Taysu, kau mau apakan aku...?" kata Eng LIan lemah ketika ia rasakan pakaiannya dibukai oleh Tiat Ci Hweshio yang sudah kerasukan iblis. Dikala Tiat Ci Hweshio hendak meloloskan pakaiannya sendiri, pada saat itulah terdengar suara Brakk^ keras. Pintu ditendang terbuka, sesosok tubuh lompat masuk dan menyerang langsung pada si kepala gundul yang tengah repot membetulkan kembali pakaiannya yang barusan hendak diloloskan. Dasar Hweshio kawakan dalam Kangouw, Tiat ci Hweshio tidak gugup mengelakkan diri dari bacokan pedang tadi. Ia lantas lompat dari pembaringan dan menyembat palang pintu untuk dipakai melawan orang yang menyerang dengan pedang tadi. Kiranya yang masuk tadi adalah seorang muda yang sangat cakap wajahnya. Dalam keadaan lemas lesu tak berdaya, Eng Lian menatap wajahnya si anak muda. Ia kenali orang muda itu adalah si pemuda yang tempo hari bertempur dengannya yang mengaku 'paman' dalam kelakarnya. Eng Lian tidak senang pada pemuda yang datang mengacau itu hingga urusannya jadi urung. Ia mengawasi dengan sorot mata membenci. Sayang ia tidak bisa bergerak, kalau tidak, ia ingin membantu Tiat ci Hweshio yang kepepet Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo diserang si anak muda. "Kepala gundul cabul " bentak In Hiang, 'pemuda' kita yang gagah. Jangan harap jiwamu lolos dari pedangku." In Hiang berkata sambil mendesak keras hingga si kepala gundul cabul menjadi kepepet dan mandi keringat ketakutan. Untung tatkala itu datang lima muridnya masuk ke dalam membantunya, mengeroyok In Hiang. "Kalian jangan kasih lolos bangsat kecil ini " kata Tiat ci Hweshio sambil berkelit dari bacokan pedang In Hiang, kemudian enjot kakinya lompat keluar kamar untuk mabur. "Kau mau lari, hm Lihat aku akan ambil kepalamu " teriak In Hiang seraya enjot tubuhnya menyusul. Tapi diluar kamar ia dirintangi oleh enam orang muridnya Tiat Ci Hweshio sehingga Tiat ci dapat keburu melenyapkan diri. Kegusaran In Hiang sekarang ditumplek pada murid-murid Tiat Ci Hweshio. "Bagus " serunya. "Tidak apa si Hweshio cabul bernpas untuk sementara, biarlah aku habiskan dulu kalian disini " Berbareng terdengar suara 'sret sret' beberapa kali, saling susul ber jatuhan kepala orang dari lehernya hingga dua tiga orang murid Tiat Ci Hweshio melihat pemuda itu menjadi sangat kosen sehingga jadi pecah nyalinya dan lari ngiprit melenyapkan diri Melihat sudah tak ada musuh lagi, In Hiang putar tubuhnya dan masuk kembali ke dalam kamar dimana ia melihat Eng Lian masih dalam keadaan tak berdaya. Matanya menyala menatap In Hiang dengan penuh kebencian. "Adik kecil." kata In Hiang seraya menarik selimut dan menutupi tubuh Eng Lian yang sudah seperti anak bayi. "Untung aku keburu datang. Kalau tidak, kau akan menjadi korban Hweshio cabul itu." In Hiang berkata sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan dua biji pil. "Kau makan ini, adik kecil." kata In Hiang seraya dua biji pil itu ia hendak masukkan ke dalam mulutnya Eng Lian. si dara cilik melotot matanya seperti sangat gusar dan melengoskan mukanya ketika dua biji pil itu hendak dijejalkan ke mulutnya. "Memang kau rela dijadikan barang mainan si kepala gundul ?" bentak In Hiang seraya tangan kirinya menampar pipi Eng Lian hingga mulutnya jadi terbuka. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh In Hiang untuk ceploskan dua biji pil ditangannya dan tentu saja masuk dalam tenggorokan Eng Lian tanpa pakai pengantar air lagi. "Pemuda bagor, kau mau bikin encimu mati kejengkelan ?" kata Eng Lian, masih ingat ia berkelakar terhadap In Hiang. "Lekas kau berpakaian kalau tenagamu sudah pulih " kata In Hiang. "Untuk menggempur kau sekarang juga tenagaku masih sanggup," sahut Eng Lian seraya bersenyum manis pada In Hiang. Matanya menyala, bibirnya bergerak-gerak menantang. In Hiang melengak mendapat jawaban Eng Lian. Ia menatap wajahnya Eng Lian dan memperhatikan selimut yang menutupi dadanya si dara cilik yang bergerak-gerak. Ia mengerti bahwa bekerjanya obat jahat si kepala gundul masih belum punah. Ternyata Eng Lian pindahkan napsu birahinya kepada In Hiang yang berada didekatnya. Apalagi In Hiang wajahnya sangat cakap. maka 'keinginan' Eng Lian makin bergolak tak terkendalikan. Kalau saja ia tidak rasakan badannya lemas tak berkutik, tentu seketika itu ia sudah menubruk In Hiang diajak bergulat diatas pembaringan. In Hiang yang sudah dewasa paham akanjawaban Eng Lian yang melantur bahwa tenaga masih sanggup menempur ia (In Hiang) pada saat itu, bukannya menempur berkelahi dalam artian yang benar tapi dalam artian yang setiap orang dewasa mengetahuinya. In Hiang diam-diam menghela napas mengingat jahatnya obat si kepala gundul. Ia merasa bersyukur kepada Lo In, guru ciliknya yang telah membekali ia obat pemusnah obat bius sehingga ia tidak mendapatkan kesulitan dalam perjalanannya. Dimana sekarang adik kecilnya itu " Tiba-tiba saja In Hiang matanya berkaca-kaca sewaktu memandang Eng Lian yang dalam keadaan tak berdaya. "Hei, kenapa kau menangis ?" Eng Lian menanya. Pikirannya rupanya sudah mulai tuli. "Aku menangis ingat kepada seseorang yang terlalu baik padaku." sahut In Hiang. "siapa orang itu" Apa kau dapat memberitahukan pada ku?" kata Eng Lian. "Untuk sementara, biarlah aku rahasiakan." sahut In Hiang. seiring dengan kata-katanya, In Hiang melesat badannya keluar kamar. Kiranya disana sudah menanti 10 orang hweshio yang bersenjata lengkap. satu diantaranya yang mukanya bengis berkata, "Anak haram. Kau membuat kacau dalam kuil suci ini, apa maksudmu " Hm Kalau kepalamu tidak ditinggalkan sekarang, badanmu akan kami hancurkan seperti bakpo " In Hiang ketawa dingin. "Kau mau hancurkan badanku, tanya dulu pada kawanku " sahutnya. Tenang-tenang saja dia berkata. Terkejut hweshio yang berwajah bengis itu, ia menanya, "Kau panggil kawanmu, akan kami hancur leburkan sekalian." "Inilah kawanku yang setia " sahut In Hiang seraya mengacungkan pedangnya. Bukan main marahnya hweshio tadi. "Maju semua, habiskan jiwanya " ia serukan kawankawannya sementara ia sendiri sudah menerjang dengan golok besarnya. In Hiang tidak takut. Ia sudah biasa dikeroyok orang banyak. Dalam pertempuran itu ia tidak mau mengulur waktu, karena ia memikirkan dirinya Eng Lian. Maka secepat kilat ia keluarkan jurus ilmu pedangnya 'Bwee hiang boan wan', atau 'Harumnya bunga memenuhkan taman' yang sudah diperbaiki oleh Lo In danjadi sangat lihai bukan main. Kembali terdengar suara 'sret sret' berulang kali, dari sepuluh orang hweshio itu hanya tertinggal seorang yang keburu ngiprit lari ketakutan melihat sembilan kawannya sudah tertabas kutung lehernya. Di depan kamar itu telah terjadi banjir darah sampai masuk ke dalam kamar. In Hiang tidak perduli, ia hanya lompat masuk pula ke dalam kamar dan mendekati Eng Lian yang masih belum dapat berkutik. Pikirannya Eng Lian sudah mulai pulih, ternyata obatnya Lo In sangat manjur. Ketika melihat In Hiang mendekati pembaringan, Eng Lian merasa sangat kikuk dan selebar mukanya merah. Ia tahu bahwa ia dalam keadaan tidak genah dilihat pemuda sopan. "Kau jangan masuk ke sini." kata Eng Lian. "Keluarlah kesana " In Hiang girang hatinya karena perkataan Eng Lian menandakan bahwa pikiran sehatnya sudah kembali. Ia lupa bahwa dirinya tengah menyamar sebagai pemuda, ia bukannya menyingkir disuruh Eng lian malah ia mendekati dan berkata, "Adik kecil, kau masih belum dapat bergerak. Mari aku uruti jalan darahmu " Terkejut Eng Lian mendengar perkataan In Hiang. Makin kaget ia ketika ia rasakan tangannya In Hiang meraba pada pundaknya dan menguruti. "Hei, jangan, jangan. Ah, dasar pemuda bangor encimu nanti marah besar, kau berbuat kurang ajar seperti ini " Eng Lian ketakutan tangannya In Hiang akan menjelajahi tubuhnya yang hanya tertutup selimut. Meskipun pikirannya sudah tenang, badannya si dara cilik masih belum kuat bergerak. Ketika benar-benar saja Eng Lian rasakan tubuhnya dipale oleh si pemuda cakap. ia jadi menggigil dan pejamkan mata. Ia sangat cemat, hatinya menyesal bahwa dirinya akan menjadi mangsanya sipemuda cakap. sebaliknya bila kepada Lo In tentu ia akan menyerahkan diri dengan suka rela. Air matanya tampak merembes keluar dari sela-sela matanya yang terpejam. "Hei, kenapa kau menangis ?" sekarang In Hiang yang balik menanya. "Aku menangis ingat kepada seorang yang terlalu baik kepadaku." sahut Eng Lian meniru kata-katanya In Hiang tadi ketika ia menanyakan kenapa In Hiang menangis. "siapa orang itu " Apa kau dapat memberitahukan padaku ?" tanya In Hiang. " Untuk sementara, biarlah aku rahasiakan." Eng Lian kembali meniru jawaban In Hiang. "Adik kecil, kau mau mengolok-olok aku ?" kata In Hiang seraya tangannya meremas buah dadanya Eng Lian hingga si gadis cilik gemetar badannya. Matanya mencilak penuh kebencian. "Pemuda bangor, kau sangat menghinaku. Awas Ada satu waktu akan kubalas meremas jantungmu sehingga hancur berantakan " kata Eng Lian sengit. "Aku tidak takut Paling-paling juga kau membalas begini " kata In Hiang, kembali ia meremas-remas buah dadanya si dara cilik hingga Eng Lian mengeluh dan air matanya bercucuran. Ia sedih kenapa dirinya sampai dapat penghinaan yang bukan-bukan itu. Yang membikin ia heran, pemuda cakap itu tidak berbuat lebih daripada meremas buah dadanya. Tangannya tidak menggerayang ke lain arah, yang sebenarnya ia dapat berbuat sesukanya sebab ia (Eng Lian) dalam keadaan tidak berdaya. "Pemuda bangor " kata Eng Lian. "Aku tak dapat membalas sakit hatiku. Nanti ada satu orang yang akan membalaskan. Kau lihat saja, kalau dia sudah datang " In Hiang menatap Eng Lian yang bercucuran air mata. Dengan serangannya In Hiang menyeka air mata yang berlinang-linang itu. "Adik kecil, kau sungguh cantik." kata In Hiang. "siapa sebenarnya kau ?" Eng Lian cemberut, tapi diam-diam ia merasa berterima kasih si pemuda cakap menyeka air mata yang berkaca-kaca karena tangannya sendiri tak dapat digerakkan untuk berbuat demikian. Ia mengawasi wajahnya In Hiang yang cakap sekali. Dalam hatinya berpikir, "Sayang hatiku sudah dimiliki adik In. Kalau tidak. pemuda begini cakap. pantas sekali menjadi pasanganku " "Kau kata barusan, ada orang yang akan membalaskan sakit hatimu. siapa dia ?" tanya In Hiang ketawa manis hingga kecakapannya tambah mempesonakan. "Kepandaianmu masih belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan dia." sahut Eng Lian. "oo, begitu jagoan dia " Aku mau lihat Kalau dia berani membela kau, adik kecil, kau nanti coreng mukanya dengan arang biar dia hitam legam mukanya " kata In Hiang, wajahnya berubah seperti gemas. Eng Lian tiba-tiba cekikik ketawa hingga In Hiang heran. "Kau ketawakan apa " Apa aku tidak mampu mencoreng mukanya jadi hitam ?" Kembali Eng Lian ketawa ngikik, kali ini malah terpingkalpingkal. In Hiang dari heran menjadi curiga, kembali ia menegur, "Kau ketawakan apa ?" "Aku ketawakan kau, pemuda bangor Kau mau mencoreng hitam muka kawanku, mana bisa mukanya dihitami sedang wajahnya sudah hitam legam kayak pantat kuali. Hihihi...." Eng Lian kembali ketawa dengan enaknya. In Hiang sebaliknya berdebaran hatinya. seketika ia ingat kepada Lo In, yang wajahnya hitam seperti pantat kuali, "Adik kecil, kau sebenarnya siapa ?" desak In Hiang. "Aku adalah aku, orang yang dihina oleh pemuda bangor " sahut Eng Lian menggoda. "Aku tahu sekarang, tak usah kau sebutkan namamu, aku sudah tahu " kata In Hiang. "Bagaimana kau tahu namaku ?" tanya Eng Lian heran. "Kau tentu si Eng Lian, yang membikin si bocah wajah hitam mencarinya setengah mampus. Hahaha... kau sangkallah tebakanku ini " In Hiang ketawa berkakakan. Matanya Eng Lian terbelalak. Ia sangat heran kenapa pemuda bangor ini dapat menebak siapa dirinya dengan jitu, malah menyebut halnya Lo In juga demikian jelas. Melihat Eng Lian terheran-heran, In Hiang bersenyum manis, "Adik kecil," katanya. "Untuk apa kaupikirkan si bocah hitam. Apa hatimu memang sudah kepincuk olehnya "^ Eng Lian tidak menjawab, hanya ia menatap In Hiang. Kemudian tundukkan kepala, seperti merasa jengah hatinya dapat diraba oleh In Hiang. "Aku tahu, kau memikirkan ia bukannya memikirkan begitu saja. Tentu kau mencintai si bocah hitam itu, betul atau tidak ?" In Hiang menanya kepingin tahu. "Untuk apa kau berkata demikian ?" Eng Lian cemberut mukanya. "Untukku sendiri" sahut In Hiang tenang-tenang saja sambil mesem. "Apa maksudmu dengan perkataan 'untukku' ?" "Untuk kebahagiaan aku sendiri sebab kalau kau tidak mencintai si bocah hitam tentu kau akan mencintai aku yang jauh lebih cakap daripadanya. Hahaha " "Pemuda bangor Kau jangan menghina kawanku, ya " "Aku tidak menghina, asal kau mau mengaku kau cinta padanya, aku juga tidak akan gerembengi kau lagi, adik kecil yang manis " In Hiang kata berbareng tangannya mencolek pipi Eng Lian yang sedang cemberut marah. Masih baik kalau Eng Lian diam saja dicolek pipinya, justru ia melengos, In Hiang makin sengaja tangannya meraba seluruh mukanya Eng Lian. Eng Lian menjadi sengit. Ia membentak. "Pemuda bangor, kau terlalu menghina. Tunggu sebentar, kalau badanku sudah bebas, akan kuadu jiwa denganmu " "Kau mengakulah bahwa kau mencintai si bocah hitam, akan kubebaskan kau dari godaanku lebih jauh. Nah, katakanlah Jadi tak usah aku mengharap-harap dirimu lagi Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo untuk menjadi istriku." "Baik." kata Eng Lian nekad. "Aku memang mencintai adik In, kau mau apa ?" "Hahaha.... Adik kecil, benar-benar kau jujur. sekarang...?" Tiba-tiba saja In Hiang merangkul Eng Lian yang dalam keadaan tidak berkutik, Kaget bukan main si dara cilik sebab In Hiang dengan bertubi-tubi telah mencium mulut dan pipinya sehingga ia gemetaran saking menahan amarahnya. Eng Lian menangis mendapat perlakuan demikian kasar dari si pemuda cakap. "Pemuda bangor." katanya dengan sesenggukan. "Benar-benar kau buktikan kebangoranmu. Asal aku Eng Lian masih bernapas, hinaan yang kau lakukan ini atas diriku, tidak akan aku lupakan. Lihat saja, apa si Eng Lian orang yang mudah dihina " "Adik kecil, kau adalah adikku......" kembali bibir si dara cilik dikecup, sekonyong-konyong Eng Lian rasakan ada tenaga mengalir dalam tubuhnya, ia coba gerakkan tangannya. Bukan main ia kegirangan. Tanpa menanti tenaganya pulih semua, Eng Lian sudah meremas dadanya In Hiang yang tengah memeluki dirinya. "Eh, kenapa ?" tiba -tiba Eng Lian berkata heran sambil lepaskan tangannya yang meremas dada In Hiang. Ada apa " Eng Lian rasakan tangannya meremas benda lunak seperti yang ada pada dirinya sendiri Tiba-tiba pikirannya yang cerdik lantas menebak siapa pemuda bangor yang sedang permainkan dirinya dan yang sudah lantas melepaskan pelukannya dan lompat mundur ketika dadanya diremas oleh Eng Lian tadi. Eng Lian lantas mau turun dan menerjang In Hiang kalau saja ia tidak ingat bahwa dirinya dalam keadaan tidak berpakaian. Ia hanya bisa ketawa cekikikan sambil memandang pada In Hiang yang berdiri terpaku kaget tidak jauh dari ranjangnya. "Adik kecil, apa yang kau tertawakan ?" tegur In Hiang ketika sudah hilang kagetnya. "Enci yang baik, kau jangan bikin adikmu mati penasaran." sahut Eng Lian kontan. In Hiang mengerti bahwa penyamarannya sudah ketahuan oleh Eng Lian karena ia kurang cermat hingga tangannya Eng LIan dapat meremas buah dadanya barusan. In Hiang sekarang ketawa. Tapi ia masih sempat belaga pilon, katanya, "Adik kecil, kau kata apa barusan " Enci, apa memangnya aku wanita ?" "Hihi... aku tidak sangka kalau pemuda bangor adalah enci Bwee Hiang yang sedang dicari setengah mampus oleh si bocah wajah hitam." In Hiang melengak. Pikirnya, ini budak benar-benar lihai. Kata-katanya selalu ia dapat baliki dengan kontan. Ia tidak perlu merahasiakan dirinya lebih jauh, sebab Eng Lian tentu tidak mau mengerti. In Hiang lalu mendekati Eng Lian yang sementara itu sudah mulai pulih kekuatannya dan dapat bergerak bangun. Belum sempat ia bicara sudah didahului oleh Eng Lian, "Pemuda bangor, apa kau bermaksud membikin repot lagi adikmu " Hihihi..." In Hiang kewalahan dengan kenakalannya Eng Lian. pikirnya, pantas adik kecilnya sangat memikiri enci Liannya yang sangat Jenaka ini. "Adik Lian, sekarang bukan tempatnya kita berkelakar." kata In Hiang serius. "Lekas kau berpakaian Hweshio yang hendak merusak kehormatanmu masih belum sempat aku membunuhnya, dia sudah keburu lari " Mendengar disebutnya Hweshio cabul yang hendak menodai dirinya, terbangun kegusarannya yang sampai sebegitu ia 'adem-adem' saja karena digoda oleh In Hiang. " Cepat kau ambilkan bajuku dalam buntelanku diatas kursi." Bwee Hiang buka buntelan si nona dan menjumput pakaian Eng Lian lalu dilemparkan pada si dara cilik, Cepat Eng Lian berpakaian, dilain detik ia sudah lompat turun dari pembaringan. Ia menyambar pedangnya. "Enci Hiang mari kita basmi kawanan hweshio busuk dalam kuil kotor ini " Eng Lian berkata seraya menarik tangannya Bwee Hiang. si dara cilik nampak depan kamar sudah malang melintang mayat hweshio dengan kepala putus, ia ketawa senang. Katanya kepada Bwee Hiang, "Enci Hiang, kau benar hebat. Malam ini kalau aku tidak ketemukan si kepala gundul cabul itu, benar-benar aku penasaran. Mari kita carinya " Bwee Hiang geli melihat gerak geriknya Eng Lian. Kepandaian si dara cilik sangat tinggi, cuma sayang kurang cermat. Kalau saja ia dapat menggunakan pikirannya yang jernih, pasti ia tidak sampai terjatuh ditangannya Tiat Ci Hweshio. "Adik Lian tenang dulu,Jangan terburu napsu." berkata In Hiang. "Kita harus bertindak dengan memakai perhitungan. Kalau tidak. nanti kita jatuh dalam perangkap musuh. Lebih celaka lagi kalau kita jatuh kedua kalinya ditangan si hweshio cabul " "Enci Hiang, memang aku hanya menuruti napsu hati saja sehingga melupakan bahaya di depan mata. sekarang ada enci disampingku, aku tidak takut bakal kena terperangkap. Hatiku sudah sangat panas dan ingin menebas lehernya si hweshio jahat itu." In Hiang mesem mendengar perkataan Eng Lian. Mereka lalu mengaduk dalam kuil yang luas itu, mencari berbagai tempat persembunyian dari kawanan hweshio. Ternyata kawanan kepala gundul itu tidak ada satu pun yang kelihatan. Eng Lian merasa lesu, ia tak dapat melampiaskan penasarannya. Ia jalan mendekati sebuah patung yang ditaruh dekat dinding. Itulah patung Budha dalam sikap bersila. Kepalanya gundul, bajunya terbuka hingga kelihatan tegas perutnya yang gendut. Wajahnya seperti berseri-seri ketika Eng Lian memandangnya. seketika Eng Lian menjadi gemas melihat patung seperti berseri-seri ke arahnya. Ia ingat akan Tiat ci Hweshio yang berseri-seri ramah tapi hatinya sangat busuk. Hampir-hampir ia menjadi korban napsu binatangnya. Mengingat akan dirinya Tiat Ci Hweshio, dalam gemasnya ia sudah ayun pedangnya memukul kepala patung tersebut. Berbareng Eng Lian menjadi kaget sebab tiba-tiba terdengar suara berkerekekan. Kiranya dinding dibelakang patung tadi telah terbuka. Eng Lian terbelalak matanya. Hanya sebentaran ia merasa heran, lantas ia lari ke lain ruangan mencari In Hiang, ternyata sedang asyik pasang mata untuk mengusut sesuatu yang mencurigakan. "Adik Lian, apa yang kau dapatkan ?" tanya In Hiang. "Husstt " Eng Lian bersuara pelan, seraya tempelkan jari di mulutnya. Lalu ia mendekati In Hiang dan berbisik ditelinganya nona Liu. "Oo, ada kejadian begitu ?" kata In Hiang perlahan. Lalu ajak Eng Lian melihat dinding yang terbuka tadi, namun mereka jadi kecewa karena dinding yang dikatakan Eng Lian terbuka tadi telah menutup lagi dan tidak ada bekas-bekasnya. "Jangan kuatir, enci Hiang." kata Eng Lian. "Aku akan bikin dia terbuka lagi " Berbareng Eng Lian telah mengetuk pula kepala patung tadi. Tapi diketuk beberapa kali ternyata tidak mau terbuka hingga Eng Lian menjadi sengit. Ketika ia mau menyabet dengan pedangnya, In Hiang sudah keburu mencegah. Ia berkata, "Adik Lian, jangan bikin rusak patung yang sebagus ini. Di sini sudah tidak ada apa-apa lagi. Mari kita keluar saja " In Hiang berkata sambil matanya mengedipi Eng Lian. "Marilah, aku juga sudah bosan tinggal dalam kuil kotor ini." sahut Eng Lian. jalan belum berapa langkah, tiba-tiba In Hiang enjot tubuhnya lalu disusul oleh teriakannya sesosok tubuh yang jatuh dari sana. Ternyata jago betina kita pendengarannya lebih lihai dari Eng Lian. Ketika ia melihat Eng Lian sedang memukuli patung, tiba-tiba ia merasa seperti ada orang diatas atap rumah. Ia belaga pilon dan mengajak Eng Lian berlalu. Kapan ia sampai dibawah atap. dimana ada mengumpet orang yang dicurigakan, In Hiang sudah enjot tubuhnya dengan tiba-tiba. Gerakan ini diluar dugaan orang yang sedang mengumpat disitu, sebab ternya ia sangat gugup sekali ketika In Hiang menginjakkan kakinya diatas atap dan menerjang dengan pedangnya. Dalam gugupnya, orang itu jatuh ke bawah. Ia coba melarikan diri tapi Eng Lian sudah menghadang, "Hweshio celaka " bentak si dara kecil. "Kau mau lari dari nonamu, ke langit sekalipun aku akan tetap mengejarmu " Eng Lian mengancam dengan pedangnya hingga orang itu ternyata adalah adalah hweshio setengah umur telah menggigil ketakutan. "Adik Lian, jangan bunuh dia " seru In Hiang berbareng ia sudah lompat turun dari atas atap rumah dan menghadapi si hweshio yang barusan jatuh. " Kepala gundul, lekas kau katakan dimana bersembunyinya Tiat Ci Hweshio " kata In Hiang. Hweshio itu tak menyahut, hanya hidungnya mendengus. "Bagus " kata In Hiang. "Apa kau kira aku tak ada jalan untuk bikin kau mengaku ?" Berbareng In Hiang gunakan ujung gedangnya menotok urat ketawa si hweshio. seketika itu juga ia jadi ketawa berkakakan tanpa henti-hentinya hingga mengeluarkan air mata. Tidak lama In Hiang menotok pula dengan ujung pedangnya untuk menghentikan hweshio itu ketawa terusterusan. Tampak si kepala gundul jatuh duduk. sangat lelah kelihatannya. "Lekas bicara " bentak In Hiang. "Dimana adanya Tiat Ci Hweshio " Hweshio itu diam saja didesak In Hiang. "Baiklah, kau rasakan lagi hukumanku " kata In Hiang seraya gerakan pedangnya seperti hendak menotok urat ketawa si hweshio hingga ia jadi ketakutan. "Mohon Liehiap tak meng gerakan pedang lebih jauh. Aku akan bicara. suhu kini ada dalam kamar rahasia. sedang berunding dengan susiok." si hweshio mengaku. "Siapa itu susiokmu ?" tanya In Hiang kepingin tahu. "Dia adalah Hong Lui susiok yang diundang datang oleh Suhu untuk mengatasi keributan dalam kuil ini. Dia juga tinggal dalam Thian-ing-bio disebelah selatan dari sini, kirakira lima puluh lie jauhnya. Hong Lui susiok juga mempunyai banyak anak murid." In Hiang melirik Eng Lian seperti mau mengatakan bahwa mereka menghadapi musuh berat, jangan sembarangan memandang enteng. Tapi Eng Lian yang wataknya anginanginan tak memikirkan panjang. Ia membentak si hwshio : "Apa paman gurumu itu perbuatannya lebih baik dari suhumu ?" "Aku tidak tahu." sahut si hweshio singkat, tak mau ia membeber perbuatan susioknya. "Kau mau bicara apa tidak?" mengancam Eng Lian dengan pedangnya. Dara cilik kita lebih bengis memperlakukan si hweshio, tidak heran kalau si kepala gundul menggigil ketakutan ketika mendengar Eng Lian berkata, "Aku mau kutungi kepalamu kalau kau tidak mau bicara terus terang " si hweshio kepaksa membeber perbuatannya Hong Lui Hweshio yang ternyata perbuatannya lebih jahat dari Tiat Ci Hweshio hingga membuat dua gadis itu menjadi sangat gemas dan bertekad tidak mengampuni kedua kepala gundul itu. "Kau antar kami ke kamar rahasia yang kau maksudkan " kata In Hiang keren. "Aku tidak berani." sahut si hweshio ketakutan. "Tidak mau " Aku nanti totok urat ketawa mu lagi " In Hiang mengancam dengan pedangnya. "Hahaha.... sute, dasar rejekimu besar. Kiranya si anak muda yang kosen itu adalah sejenis dengan si nona kecil Jangan kasih lolos untuk kaupuaskan kesenanganmu pada malam ini. Hahaha....." Demikian suara yang berkumandang dalam kamar itu yang membikin In Hiang dan Eng Lian terkejut. Eng Lian kertak gigi mendengar suara itu sebab suara itu adalah suara Tiat Ci Hweshio yang sangat ia benci. sedang In Hiang kertak gigi gemas karena mendengar perkataan cabul dari si Hweshio Jari Besi. Dua gadis itu pasang mata ke sekelilingnya. Tapi tidak kelihatan ada orang disitu. In Hiang dekati Eng Lian dan berbisik ditelinganya seraya menyelipkan apa-apa dalam tangannya si dara cilik. Tampak Eng Lian bersenyum lalu benda yang diselipkan oleh In Hiang tadi dimasukkan dalam mulutnya terus ditelan. In Hiang sendiri sudah lebih dahulu menelan barang yang diberikan pada Eng Lian. setelah itu In Hiang hadapi lagi si hweshio tawanannya dan berkata, "Kepala gundul, lekas kau bawa kami menemukan suhu dan susiokmu " si hweshio tidak menyahut, rupanya ia mau berkepala batu sekarang setelah mendengar suara suhunya tadi. Eng Lian yang tidak sabaran lantas gerakkan pedangnya. sekali sabet saja kepala si hweshio yang bandel itu sudah terlepas dari lehernya. Darah segar menyembur dari leher si kepala gundul yang bernasib malang. Berbareng dengan itu, In Hiang dan Eng Lian mengendus bau harum dari asapnya hio. Makin lama bau harum itu makin menusuk hidung. In Hiang dan Eng Lian saling susul tubuhnya terkulai roboh dengan tidak ingat orang. "Hahaha... " kembali terdengar suaranya Tiat Ci Hweshio setelah beberapa lama kelihatan In Hiang dan Eng Lian rebah dengan tidak berkutik. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sute, mereka sudah roboh oleh obat bius kita. Mari kita pondong seorang satu. Aku mengalah, kau boleh pilih yang mana kau setuju, sute Hahaha " "Ah, suheng. Kenapa kau begitu merendah " Bukankah kau sudah setuju yang kecil " Buat apa pakai rubah pikiran " Biar yang gede kasih aku malam ini " terdengar jawaban Hong Lui Hweshio seraya tertawa seram. sebentar lagi tampak dinding kamar berkerekekan terbuka. segera juga lompat dua hweshio tinggi besar masuk ruangan dimana Eng Lian dna In Hiang rebah tidak berkutik. Kemudian menyusul sepuluh orang murid dua hweshio jahat itu masuk. tapi mereka disuruh mundur lagi ketika dua hweshio itu dapat kenyataan bahwa dua gadis bakal korbannya itu benar-benar sudah tertidur pulas. "Kalian mundur, jangan ikut-ikut urusan orang tua " kata Tiat Ci Hweshio hingga kesepuluh muridnya itu semua mundur dan menantikan di balik dinding sebab dinding yang terbuka itu sudah tertutup kembali. Dengan napsu yang bergelora Tiat Ci Hweshio menghampiri masing-masing korbannya. Keadaan sudah larut malam pada saat itu. sepi sunyi dalam ruangan, hanya dua manusia terkutuk saja waktu itu saling ketawa nyengir kegirangan masing-masing akan menerkam korbannya yang sudah tidak berdaya. Dengan perasaan sayang, Tiat Ci Hweshio pegang-pegang lengannya Eng Lian. sambil angkat lengan si gadis untuk diusap-usap. ia berkata, "Nona kecil. Dasar kita sudah jodoh. Bagaimana juga su...... ah, apa itu ?" Tiat Ci Hweshio lompat berdiri sambil mengebaskan lengan bajunya ke mukanya dari mana jatuh di lantai sepasang benda kecil yang kekuning-kuningan. Tampak benda itu bisa bergerak-gerak, melelot-lelot dengan gesit sekali. Itu adalah Kim-coa (ular emas) kesayangan Eng Lian, telah melesat dari lengan bajunya si gadis dan menyambar ke mukanya Tiat Ci Hweshio. si kepala gundul ketawa ketika melihat ada yang usilan hingga ia mengebaskan lengan bajunya dengan gugup dan terlihat tidak lebih hanya dua ekor ular kecil saja. Ia melangkah hendak menginjak mati dua ekor ular itu, ternyata tidak berhasil. Ular itu bukan saja dapat bergerak di lantai tapi bisa melejit terbang ketika melihat sepatunya si hweshio mengancam dirinya. Pada saat itulah si kepala gundul tiba-tiba rasakan kepalanya pusing, ruangan kamarnya ia lihat seperti berputar, badannya kontan lemas seketika dan terkulai jatuh setelah ia berseru : "sute, awas Kim-coa " Seruan Tiat Ci Hweshio itu sudah terlambat sebab dua ekor ular itu seperti dapat mengenali orang jahat, setelah melejit dari injakan sepatu Tiat Ci Hweshio yang sedang asyik membukai baju In Hiagn yang sudah separuh terpentang. Hong Lui Hweshio kaget mendengar teriakan sang suheng. Tapi sudah terlambat, tangannya yang nakal sudah digigit ular emas kesayangannya Eng Lian. Bukan main gusarnya Hong Lui Hweshio, tapi ia hanya dapat berdiri sebentar dengan maksud mau membunuh sepasang ular emas itu yang ngeledek didepannya, kemudian sudah terkulai roboh empas- empis seperti kehabisan tenaga. Eng Lian yang siuman lebih dahulu dari pengaruhnya obat pulas. Ia kaget bukan main nampak di dekatnya menggeletak Tiat Ci Hweshio dengan napas empas- empis tinggal menunggu waktu berangkat menghadap Giam-lo-ong. Cepat ia bangun berdiri Ia lantas tahu siapa yang telah membikin hweshio jahat itu tidak berkutik. Ia melihat tidak jauh sepasang ular emasnya sedang legat-legot bermain. Melihat majikannya sudah siuman, sepasang ular dengan jinak sudah menghampiri Eng Lian yang seketika itu sudah keluarkan kotak kecil (tempat ular) dari lengan bajunya. Ia sodorkan ke dekat sepasang ular itu. segera mereka sudah melompat masuk kedalam kotaknya. sambil menyimpan kembali dalam lengan bajunya, terdengar Eng Lian menghela napas lega. Ia bersyukur kepada sepasang ular emasnya itu sebab kalau tidak. pasti ia telah menjadi korbannya Tiat Ci Hweshio, si hweshio cabul. Tiba-tiba ia kaget, ingat kepada enci Bwee Hiangnya. Matanya memandang kepada In Hiang yang sedang rebah terlentang dengan baju separuh terbukan dan kelihatan buah dadanya yang montok putih mulus hingga timbul ingatannya yang nakal untuk menggoda encinya yang masih dalam keadaan pulas. Ia mendekati In Hiang, justru si gadis sudah mulai siuman dan menggerakkan badannya. Kuatir In Hiang keburu siuman betul hingga tidak sempat ia menggodai, maka Eng Lian jatuhkan dirinya dan merangkul orang yang baru tersadar. Dalam kaget, In Hiang rasakan dadanya diraba orang dan meremas buah dadanya hingga ia gelagapan dan berontakrontak. Berbareng ia dengar orang berkata, "Enci Hiang, terimalah pembalasan dari adikmu Eng Lian.... Hihihi...." menyusul In Hiang rasakan kembali buah dadanya diremasremas hingga hatinya jadi berdebaran kaget. Kapan ia buka matanya, kiranya Eng Lian yang nakal sedang merangkul dirinya dan tangannya menggerayang jail. "Adik Lian, kau bikin encimu kaget penasaran karena kenakalanmu " seru In Hiang yang telah pulih tenaganya dan sekali meronta ia sudah bangun berdiri, lepas dari rangkulannya si dara cilik yang jail. Keduanya jadi ketawa cekikikan. sambil membereskan bajunya yang dibuka dengan paksa oleh Hong Lui Hweshio, In Hiang berkata, "Adik Lian, kau sudah membalas. Berarti sudah impas hutang diantara kita. Lain kali kau tidak boleh berlaku nakal lagi." Eng Lian ketawa manis. Ia menjawab Jenaka, "Enci Hiang, hutangmu padaku sudah lunas. Entahlah dengan si bocah hitam nanti akan menagih padamu. Hihi..." In Hiang melengak. selebar mukanya jadi memerah. "Adik Lian, kau masih belum puas dan masih menggodai encimu ?" kata In Hiang menyusul tangannya diulur hendak mencubit si dara cilik yang nakal. "Mana bisa pemuda bangor kurang ajar pada si Eng Lian." kata si dara cilik seraya berkelit dari tangan In Hiang yang hendak mencubit pipinya. In Hiang melongo. Ia tidak mengira Eng Lian demikian nakal dan Jenaka, hampir mengalahkan Lo In kenakalannya. Hatinya senang mendapat teman dara cilik yang Jenaka ini dan mereka bersama-sama akan mencari jejaknya Lo In. "Adik Lian, bukan waktunya kita berguyon. Mari kita selesaikan tugas kita membasmi hweshio- hweshio dalam kuil kotor ini " berkata In Hiang seraya menghampiri Hong Lui Hweshio yang sudah tidak bernapas dan mulai membusuk dagingnya. "Adik Lian, hweshio ini yang hendak berlaku kurang ajar padaku tentu " kata In Hiang seraya mencabut pedangnya dan hendak ditabaskan ke lehernya Hong Lui Hweshio. Eng Lian lompat mencegah. "Enci Hiang, untuk apa kau mengotori pedangmu. Lihat saja sebentar lagi juga badannya akan hancur lumer menjadi air." In Hiang heran mendengar perkataan Eng Lian, lalu menanya, "Adik Lian, apa kau hanya berkelakar saja berkata demikian " Bagaimana kau tahu badannya akan lumer menjadi air " Ah, adik Lian, jangan kau berlebihan menggodai encimu." "Enci Hiang, dia sudah digigit oleh Kim-coa kesayanganku." sahut Eng Lian bangga. In Hiang tercengang. Matanya menatap pada kawannya dengan penuh pertanyaan. "Enci Hiang, Kim-coa ku sangat lihai. Kalau sudah menggigit orang, dalam tempo setengah jam saja sang korban akan lumer badannya menjadi air. Untung kita ditolong oleh mereka. Kalau tidak. hm Apa kita masih bisa melindungi kehormatan kita seperti sekarang " obat pemusnah yang enci dan aku telan ternyata tidak ada gunanya, sebab buktinya kita kena dibius juga dan tidak sadarkan diri" "oh.. sungguh aku harus berterima kasih pada Kim-coamu, adik Lian. Dimana sekarang ular emasmu itu " Aku ingin melihatnya " berkata In Hiang dengan hati lega. "Mereka sudah ada dalam rumahnya lagi, disimpan dalam lengan baju ini." sahut Eng Lian seraya menepuk-nepuk perlahan lengan bajunya. "Bagaimana Kim-coamu bisa keluar dari tempatnya ?" tanya In Hiang heran. "Mungkin Tiat Ci Hweshio mengangkat lenganku dan tidak sengaja menekan perkakas rahasia kotak ular hingga mereka lompat melejit dan menyerang si hweshio cabul " "oh, begitu hebat Kim-coamu itu, adik Lian. Kau kata 'mereka', memangnya ada berapa banyak ular emasmu itu ?" "Hanya sepasang, tapi lihainya luar biasa. Aku sayang sekali kepada mereka." In Hiang manggut-manggut. Kemudian berkata, " obat pemusnah yang kita telan sebenarnya sangat ampuh. obat itu bikinan adik Lo In. selama aku merantau, belum pernah menemukan kesulitan berkat lindungan obat itu. Tapi kalau sampai sekarang tidak mengunjuk keampuhannya, mungkin karena obat bius yang digunakan oleh kawanan hweshio jahat itu istimewa atau mereka menggunakan berlebihan. Buktinya kita rasakan asap yang kita cium menusuk hidung demikian tajam dan menimbulkan rasa sesak di dada." Eng Lian tidak menjawab, ia hanya mengangguk- anggukan kepala. Dalam hati ia setuju dengan pendapat In Hiang sebab ia juga percaya penuh akan keampuhan obat bikinan adik Innya. Benar saja, tidak lama In Hiang nampak badannya Hong Hui Hweshio sudah mulai berair, begitu juga dengan Tiat Ci Hweshio. "Adik Lian, mari kita bekerja " mengajak In Hiang. "Mari." sahut Eng Lian yang juga sudah menghunus pedangnya seperti In Hiang. Dua dara itu baru saja mau bertindak, tiba-tiba terdengar suara berkerekekan dan dinding kamar kembali telah terbuka. Dari mana telah melompat belasan kepala gundul dengan membekal senjata dan mereka telah mengurung dua gadis kita. Eng Lian ketawa cekikikan dirinya dikurung, bukannya gemetar ketakutan. Dara cilik kita memang paling gemar dikerubuti musuh daripada bertempur satu lawan satu, tidak menggembirakan. sebaliknya In Hiang yang tegang menghadapi banyak musuh kuat, tiba-tiba mendengar Eng Lian cekikikan ketawa, menjadi heran dan melirik pada kawannya seperti menanya. "Enci Hiang." kata si nona kecil. "Biar enci nonton saja. Aku yang membereskan kawanan tak berguna ini. Pedangmu sudah banyak makan korban, biar suruh dia mengaso " "Budak temberang " bentak seorang hweshio yang hidungnya seperti hidung burung kakaktua. "Kau berani buka mulut besar di depan Cap-sha Thiw-tauw- hweshio " sungguh rejekimu besar kalau kau dapat lolos dari kepungan Cap-sha Thie-tauw- hweshio " In Hiang terkejut mendengar hal tersebut. Matanya memandang, benar saja semuanya terdiri dari tiga belas orang kepala gundul. Cap-sha Thie-tauw- hweshio berarti Tiga belas hweshio kepala besi. Barisan pendeta yang kepandaiannya tertinggi diantara murid-muridnya Tiat Ci Hweshio dan jarang maju menghadapi musuh kalau musuh tidak sangat tangguh. Tiga belas hweshio kepala besi adalah pasukan Thian-ong-bio yang sangat kejam dan ganas. Melihat rombongan kepala gundul itu semua ada gagah dan kuat, In Hiang kuatir kalau hanya Eng Lian saja yang maju sendirian. Tapi ia tidak mau mengecewakan adik Liannya yang sudah memberi kesanggupan akan melayani kawanan hweshio itu. Maka ia diam saja dan hanya bersenyum ke arah Eng Lian ketika si dara cilik mengeluarkan Hui-to (pisau terbang) dari kayu buatannya jago cilik kita. "Hahaha " terdengar si hidung kakaktua bekakakan nampak Eng Lian mengeluarkan senjata rahasianya yang berupa pisau kayu. "Kepala gundul, kau ketawakan apa ?" tanya Eng Lian heran. "Aku ketawakan kau, nona kecil." ngeledek si hidung belang. "Masa pisau kayu lapuk kau bawa-bawa. sebenarnya buat apa ?" "Buat menghajar kalian, kepala gundul yang tidak tahu diri " jawab Eng Lian. si hidung kakaktua kembali berkakakan ketawa. "Hui-to orang menggunakan logam murni. Ini pakai kayu lapuk mau main-main dengan cap-sha Thie-tauw- hweshio Kau benarbenar terlalu menghina pada pasukan maut dari Thian-ong-bio " Eng Lian ketawa nyekikik mendengar perkataan si hidung kakaktua. "Memangnya juga nonamu memandang enteng pada kalian. Kalau kalian dipandang sebagai lawan-lawan berat, sudah tentu nonamu akan menggunakan pedang " kata Eng Lian. Merasa dihina, maka si hidung kakaktua yang menjadi kepala dari barisan maut Thian-ong-bio itu lantas kasih kode kepada kawan-kawannya untuk turun tangan. Mereka dengan serentak menyerbu. Ruangan disitu cukup lebar untuk pertempuran ramai, maka Eng Lian jadi gembira melayani mereka. sejak tadi pedang Eng Lian telah dimasukkan pula ke dalam sarungnya, hui-tonya juga sudah dikantongi hingga si dara nakal melayani mereka dengan tangan kosong. Untuk jangan menjatuhkan nama Cap-sha Thie-tauwhweshio, kawanan hweshio itu juga tidak menggunakan senjatanya untuk mengeroyok si nona. Mereka yakin dengan tangan kosong. sudah lebih dari cukup membekuk batang lehernya Eng Lian, termasuk In Hiang juga, kalau seandainya si nona turun tangan. Nyata perhitungan mereka meleset, nona kecil yang dihadapinya bukan nona sembarangan yang gampang dihina. Dengan kelincahannya mengelak serangan, membuat tiga belas hweshio itu kabur pemandangannya, akan tetapi mereka tetap menggempurnya, mengandalkanjumlahnya yang banyak. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat Eng Lian demikian gesitu luar biasa, diam-diam In Hiang memuji sambil menyungging senyuman manis. Disamping serangan-serangannya yang hebat sekali, ternyata kawanan hweshio itu mengandalkan juga kepalanya yang dianggap keras bagai besi. Beberapa kali Eng Lian diseruduk perutnya oleh kepala kawanan hweshio itu. Pada suatu saat In Hiang terbelalak matanya, nampak Eng LIan dalam posisi terjepit telah diseruduk oleh dua hweshio. Tapi si nona kecil sangat gesit, begitu dua buah kepala hampir membentur perut, ia sudah mencelat ke atas dan perutnya terluput dari kehancuran dibentur dua hweshio yang nyeruduk tadi, yang kehilangan sasarannya hingga dinding kamar jadi ambrol berlubang dengan memperdengarkan suara keras. Dua hweshio itu roboh ketiban puing dinding yang ambrol. Kawan-kawannya menjadi beringas nampak dua kawannya roboh. Mereka merangsek. satu kena ditendang nyungsep ke kolong meja, satunya lagi berteriak mengaduh dadanya kena dihajar kepalan kecil dari si dara cilik. Musuh berkurang dua lagi. Eng Lian ketawa ha-ha hi-hi, berputaran dikeroyok oleh kawanan kepala gundul yang sangat beringas kelihatannya. "Awas " tiba-tiba Eng Lian berseru. Kembali dua musuh roboh kena ditotok jalan darah pada bagian iganya (thian-kihiat). Total sudah enam musuh jatuh hingga kurangan kerepotannya si dara cilik melayani musuh-musuhnya. Mereka mulai keder melihat kekosenan si nona. Dua orang diantaranya hendak angkat kaki, tapi sudah terlambat. "Kau mau lari ?" bentak Eng Lian, menyusul hui-to kayunya meluncur dan dua orang itu roboh kena tertotok jalan darahnya pada bagian pundak. Tinggal lima orang lain tak ungkulan menghadapi si nona yang kosen. Mereka coba mendesak Eng Lian tapi sebenarnya mencari kesempatan untuk lari. Waktu mereka saling susul hendak meninggalkan ruangan itu, berbareng saling susul datangnya lima pisau kayu yang menotok jitu pada jalan darah masing-masing hingga mereka semua dapat dirobohkan. Eng Lian ketawa cekikikan sambil merapikan rambutnya yang agak kusut karena bertempur barusan, kemudian memungut pisau kayu terbangnya kembali. "Adik Lian, hebat benar kepandaianmu " In Hiang memuji sambil mencekal tangan si gadis yang barusan saja selesai memungut kembali hui-tonya. "Enci Hiang, mari kita masuk ke dalam pintu dinding yang masih terbuka itu." mengajak si dara cilik sambil menarik tangannya In Hiang. "Nanti dulu." kata In Hiang. "sekarang kita apakah dua hweshio-hweshio ini ?" "Biarkan saja, mereka toh tidak bisa lari." sahut Eng Lian. "Mana bisa. Kita mesti bunuh habis mereka " berkata In Hiang serius. "Dibunuh ?" Eng Lian heran. Ia ingat akan pesan Lo In supaya jangan melukai orang. "Ya, habiskan jiwanya semua " sahut In Hiang dengan sungguh-sungguh. Eng Lian belum menyahut, In Hiang sudah mulai bekerja. Pedangnya beberapa kali berkelebat, tiga belas kepala gundul itu sudah terpisah dari. badannya. Eng Lian berdiri melongo melihat In Hiang demikian bengis membasmi kawanan hweshio-hweshio. Badannya tergetar dan hatinya berdebaran karena tidak biasa ia menyaksikan pembunuhan besar-besaran demikian. "Enci Hiang....." ia mengeluh perlahan sambil menatap wajahnya In Hiang yang sama sekali tidak mengunjuk tandatanda menyesal telah melakukan pembunuhan itu. In Hiang heran melihat Eng Lian menjadi ngeri karena perbuatannya. "Adik Lian, apa kau baru pertama kali melihat pembunuhan seperti ini?" tanya In Hiang. "Enci Hiang, benar-benar kau bikin adikmu gemetaran." sahutnya sambil mengangguk. In Hiang tertawa terkekeh-kekeh. "Adik Lian." katanya. "Ini masih belum apa-apa. Asal kau melihat pembunuhan besar-besaran tempo hari oleh sucoan sam-sat di markas cabang ceng Gee Pang dan dalam rumahku, mungkin kau akan jatuh pingsan." "Ah, enci Hiang, masa begitu hebat ?" tanya si dara cilik, In Hiang lalu menutur dengan ringkas pembunuhan besarbesaran yang dilakukan oleh sucoan sam-sat hingga bulu tengkuk Eng Lian pada berdiri "Aku benci pada orang-orang jahat. Maka selamanya aku tidak mau mengampuni mereka." kata In Hiang sehabis menutur pada Eng Lian. Eng Lian anggukkan kepalanya sambil memikirkan nasihat Lo In untuk jangan membunuh orang kalau tidak kelewat perlu. "Adik Lian, kemana semangat betinamu " Apakah kau rela dihina oleh si hweshio cabul " Tidakkah kau memikirkan untuk menumpas habis-habisan kawanan hweshio yang menjadi anak buahnya untuk melampiaskan sakit hatimu " Ah, adik Lian. Kita jadi wanita harus bisa menghargai diri Untuk apa kita kasih hweshio-hweshio jahat itu hidup lebih lama " Mendengar kata-katanya sang enci, Eng Lian terbangun semangatnya. "Aku setuju." katanya. "Mari kita basmi kawanan hweshio cabul itu " In Hiang bersenyum nampak Eng Lian bersemangat dengan tiba-tiba. Mereka kemudian memasuki pintu dinding yang masih terbuka. setelah melewati beberapa lorong dan tikungan, mereka telah sampai pada sebuah kamar dimana terdengar beberapa perempuan sedang omong-omong. In Hiang menendang pintu kamar hingga terbuka. Kiranya disitu masih ada dua hweshio yang sedang memeluk dan menciumi dua orang wanita. Melihat adegan itu, Eng Lian ingat dirinya yang kena dibius oleh Tiat Ci Hweshio. Dibawah pengaruhnya obat perangsang, ia kasihkan dirinya dipeluk dan diciumi si hweshio cabul. Pipinya dengan mendadak saja menjadi merah saking jengah, dari merasa jengah hatinya jadi sanat gusar. Maka seketika itu juga ia menyerang dengan pedangnya kepada dua kepala gundul yang sedang permainkan wanita itu Dengan hanya terdengar dua kali suara 'sret sret' kepala dua hweshio itu sudah menggelinding di lantai, hingga dalam kamar itu menjadi banjir darah. Ada lima orang perempuan yang berada dalam kamar itu. Nampak Eng Lian membunuh dua hweshio tadi dengan hanya dua kali tabas saja, mereka jadi ketakutan dan pada jatuhkan diri berlutut minta ampuni jiwanya. Melihat kelakuan mereka demikian genit dikala In Hiang dan Eng Lian memasuki kamar itu, In Hiang tidak senang kepada mereka. Tapi mengingat bahwa mereka telah berbuat demikian saking ketakutan dibunuh oleh kawanan hweshio, maka In Hiang masih dapat mempertimbangkan dan mengampuni mereka. Kiranya bukan disitu saja terdapat orang perempuan. Karena di beberapa kamar lainnya pun masih diketemukan. Ketika semuanya dikumpulkan terdapat dua belas orang wanita yang sudah rusak moralnya menjadi permainan kawanan hweshio cabul dalam kuil itu. In Hiang kemudian mengusir mereka pergi, untuk pulang ke masing-masing rumahnya setelah membekali uang yang terdapat dalam kuil itu. Ternyata tidak ada hweshio lainnya, setelah In Hiang dan Eng Lian menjelajahi semua ruangan dalam kuil tersebut. "sekarang bagaimana ?" tanay Eng Lian pada kawannya. "Sebaiknya kita bakar saja kuil ini." sahut In Hiang. "Aku rasa tidak membahayakan kalau kita bakar karena jauh dari umum. Duduknya bangunan boleh dikata mencil sendirian. Kalau kita tinggalkan begitu saja, aku kuatir akan dibuat sarang lagi oleh orang-orang jahat." Eng Lian setuju. Maka setelah membenahi barang-barang perhiasan yang berharga dan uang sebagai kekayaan dari kuil itu, dua gadis itu lalu membakar bangunan dengan memakai bahan-bahan yang gampang menyala. Dalam sedikit tempo saja, bangunan yang besar itu telah menjadi makanan si jago merah. Dekat pagi, barulah berkobarnya api mulai reda. orang-orang disekitar tempat itu menjadi kaget Thian-ongbio kebakaran. Mereka coba ada datang menolong sementara itu In Hiang dan Eng Lian sudah meninggalkan kuil yang sedang berkobar-kobar dimakan sijago merah. Kita kembali kepada sijago cilik yang berusaha mencari dua encinya, Eng Lian dan Bwee Hiang. Beberapa hari sudah berlalu ia melakukan penyelidikan dalam daerah pegunungan dimana si bocah dan si dara berpisahan. Lo In masih belum juga dapat menemui enci Liannya. Hatinya menjadi lesu. Dengan tidak adanya Eng Lian atau Bwee Hiang disampingnya, Lo In merasa seperti kehilangan pegangan. Ia wataknya sangat gembira, sering melucu untuk kemudian ketawa bersama dengan orang yang diajaknya melucu. Sekarang Eng Lian dan Bwee Hiang tidak ada disampingnya. Dengan siapa ia hari-hari dapat melampiaskan tawa dan kegembiraannya. Pada suatu lohor ketika Lo In sedang jalan dijalanan yang tidak begitu lebar dan pada kedua tepinya dipagari oleh rumput alang-alang yang tumbuh tinggi, si bocah wajah hitam tiba-tiba mendengar suara kaki kuda mendatangi. Matanya Lo In yang tajam dari ke jauhan sudah dapat melihat yang mendatangi itu adalah dua pemuda. Lama ia tidak suka bergurau, maka seketika timbul seleranya untuk menggodai dua pemuda yang datang itu Cepat ia umpatkan diri dalam gerombolan alang-alang. Dua penunggang kuda itu, ketika mendekati tempat mengumpatnya telah jalankan kudanya dengan perlahan sambil bercakap-cakap diseling dengan ketawa ny a yang tergelak-gelak hingga diam-diam Lo In mengiri melihat orang dapat bergembira demikian rupa. "seandainya dia ketemu kita, mana dia dapat mengenali ?" Lo In dengar, satu diantaranya yang tuaan dari sepasang pemuda itu berkata. "Dia matanya lihai, jangan kasih kesempatan padanya. Kita keroyok saja. Masa kita berdua tidak bisa menang " Asal kita bertempur dengan cermat, bagaimana juga dia lihai akan terjungkal ditangan kita " demikian kawannya menyatakan pikirannya. (Bersambung) Jilid 17 Lo In perhatikan orang yang bicara. Diam-diam ia kepingin tahu siapa yang diarah oleh dua pemuda cakap itu. Ia menggunakan kepandaiannya terabas terobos dalam gerombolan alang-alang mengikuti dua pemuda itu untuk mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan oleh mereka. Ia mendengar pula yang tuaan berkata, "Andai kata, ini masih andai kata, kalau kita dapat cekuk batang lehernya, kau mau apakan dia ?" "Oo, nanti aku yang kompes dia suruh dia mengaku kemana saja dia sudah pergi." "Kau mengompesnya dengan apa ?" "Dengan ini "sahut kawannya seraya perlihatkan tangannya yang dibeber. "Tapi kau jangan keras-keras menamparnya, nanti dia marah....." Kawannya yang barusan membeber tangannya, yang mudaan tampak menekap mulutnya menahan ketawa .Justru ia hendak membuka mulut berkata, tiba-tiba kudanya berjingkrak seperti kesakitan hingga penunggangnya kaget dan cepat-cepat menahan lesnya jangan sampai sang kuda mabur secara liar. Pemuda yang tuaan melihat kawannya repot dengan kudanya, hingga tidak sempat membuka mulutnya bicara telah menertawakan nya dengan enaknya. Pada saat itulah, kudanya sendirijadi binal. Berjingkrakan, mengangkat kaki depannya sambil perdengarkan suara ringkikan keras. Ia jadi gugup dan cepat-cepat pertahankan lesnya, jangan sampai kudanya merat tanpa dapat dikendalikan. setelah kduang masing-masing sudah jinak kembali, kedua pemuda itu saling pandang. Tiba-tiba yang mudaan telah keluarkan suara bentakan nyaring, "Manusia usilan, dari mana telah mengganggu kesenangan tuan mudamu " Lekas unjukkan diri " Mengetahui bahwa kudanya bukan sewajarnya berjingkrak dengan tiba-tiba, kedua pemuda itu curiga bahwa orang sudah berlaku jail. Maka setelah saling melihat sejenak, yang mudaan tadi telah mengeluarkan bentakannya dengan sombong. Memang itu adalah kerjaannya Lo In yang memotes rumput alang-alang ditaruh diatas telapak tangannya kemudian ia meniup dengan menggunakan lwekannya hingga rumput kecil itu melesat dan menyambar pantat kuda sehingga berjingkrakan lantaran kesakitan. Ditunggu lama, tak kelihatan ada orang muncul, maka si pemuda tadi sudah ulangi pula bentakannya. "Manusia hina, kalau kau demikian pengecut, kenapa mau main-main dengan tuan mudamu " Hm Asal tahu saja. Kalau nanti kudapatkan kau diantara gerombolan alang-alang, akan kuhajar kau setengah mampus " Berbareng dengan perkataannya, anak muda itu turun dari kudanya. Ia menghunus pedangnya. Dengan pedang itu ia membabat gerombolan alang-alang yang dilihat agak bergoyang dan menyangka orang jail itu sedang mengumpat disitu. Tapi lama ia membabat sana sini, kenyataannya tak ada orang yang dimaksudkan. "sudahlah,jangan buang tempo. Mari kita lanjutkan perjalanan " berkata temannya yang tenang-tenang saja bercokol diatas kudanya. Mendengar perkataan kawannya, anak muda itu hentikan usahanya lalu menghampiri kudanya lantas naik ke atasnya dan jalankan pula kudanya dengan berendeng. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Belum berapa lama mereka larikan kudanya, tiba-tiba melihat ada sesosok tubuh yang tidur melintang ditengah jalan hingga sukar dilalui oleh kuda mereka kecuali tubuhnya orang yang tidur melintang itu dilompati. orang itu tidur miring dengan muka kejurusan yang dituju oleh dua pemuda itu, maka tak kelihatan mukanya. "Toako, kembali ada orang usilan. Mungkin orang tadi yang mencari gara-gara kepada kita. Biarlah aku suruh kudaku menginjak tubuhnya biar berantakan isi perutnya " terdengar pemuda yang mudaan berkata kepada kawannya. "Jangan, kasihan." sahut kawannya. "Kita belum tahu dia orang jahat atau baik. sebaiknya kita jangan sekejam yang kau hendak lakukan itu." "Habis, bagaimana pikiran Toako ?" "Lebih baik kita lompati saja tubuhnya, tak sudah kita cari urusan." Kawannya tak menyahuti. Mereka terus jalankan kudanya dengan berendeng. Ketika sampai di dekat orang tadi yang enak-enak saja tidur miring, mereka kedut lesnya supaya kuda melompati tubuh orang itu. Kuda mereka berbareng melompati tubuh yang lagi tidur itu dengan gesit sekali. Kedua pemuda itu ketawa berkakakan, sambil jalankan kudanya perlahan. "Toako, orang itu tak punya guna. Kalau dia ada punya kepandaian, tentu sudah bangun barusan dan mencegat jalanan kita. Hahaha...... eh, eh...." tiba-tiba ketawanya berhenti dan terkejut sekali nampak kedua kaki depan kudanya menekuk dan berlutut. "Hei, kau kenapa Hiante " Eh, oh, kenapa lagi...?" berkata sang toako gugup sebab kudanya sendirijuga ambruk. kedua kaki belakangnya lemas tak dapat berdiri Penunggangnya segera lompat turun dan memeriksa kudanya yang tak dapat bangun lagi. sang hiante dilain pihak pun sedang memeriksa kudanya, sementara mulutnya memaki-maki. Entah siapa yang ia maki. Yang kedengaran dia menantang supaya si manusia usilan unjukan diri, tampak ia gergetan sekali. Ia tidak menyangka bahwa orang yang tidur tadi yang telah membikin kudanya lumpuh kakinya. sebaliknya sang toako sambil berdiri telah mengawasi orang yang tidur tadi, yang ternyata sudah berubah tidurnya dan sekarang miring membelakangi mereka hingga tidak kelihatan tampangnya bagaimana. "Hiante, aku kira dia yang main gila." si toako menyatakan kecurigaannya. "Ah, masa " Coba mari kita tanya " sahut kawannya seraya ia jalan menghampiri orang yang lagi tidur tadi, diikuti oleh kawannya. "Hei, manusia malas " bentaknya, ketika sudah datang Pendekar Kembar 14 Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah Pedang Kayu Harum 14

Cari Blog Ini