Ceritasilat Novel Online

Bocah Sakti 3

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 3 Kiranya ibu Kwee Cu Gie itu ada saudara piauw dari Teng Siu, ayahnya Goat Go bernama Thio Leng San yang menikah dengan Bian-ciang Kwee Eng Siang, salah satu jago terkemuka dalam kalangan kang-ouw. Ketika masih di Hoa-im, meskipun ada tersangkut famili, Kwee Eng Siang tidak suka bergaul dengan Teng Siu. Ia tidak suka akan pergaulannya Teng Siu dengan orang-orang dari kalangan tidak benar terutama ia benci akan kepandaiannya Teng Siu membuat racun dipakai membantu orang-orang jahat. Pernah Eng Siang satu kali menasehati Teng Siu untuk jangan bergaul dengan kawanan penjahat dan kepandaiannya membuat racun sebaiknya disalurkan untuk kebaikan menolong orang saki. Tapi nasehat Eng Siang tidak digubris, malah selanjutnya perbuatannya makin mencolok di mata Eng Siang. Untuk menghindarkan bentrokan diantara famili sendiri, maka Eng Siang ajak istrinya pindah ke Hoay-siang, suatu kota dimana ia dilahirkan. Pada waktu kepindahan itu, Kwee Cu Gie baru berumur lima tahun. Demikian, sewaktu mengobrol Goat Go mencoba menarik hatinya Kwee Cu Gie dengan aksi genitnya. Tiap sebentar ia pegang tangan si pemuda, mengasi lowongan untuk si pemuda berbuat kurang ajar terhadap dirinya. Tapi pancingannya itu ternyata tidak berhasilm, malah dari berani melayani bicara, kelihatannya Kwee Cu Gie menjadi takut melihat kegenitan Teng Goat Go. Si nona jadi tidak sabaran, kenapa sang korban begini alot. Ia mengundang saudara piauw itu untuk minum arak yang barusan dibawakan oleh pelayannya. Untuk membuat cici piauwnya senang, Kwee Cu Gie tidak menolak. Tapi ketika ia minum baru tiga sloki, ia rasakan matanya berkunang-kunang. Matanya pun dirasakan seperti mau mengantuk. Seketika ia tak dapat menahan badannya lagi. Ia rubuh celentang di atas bangku panjang yang didudukinya. "Hihihi, Cu Gie." kedengaran Goat Go ketawa, waktu melihat korbannya rubuh. Pipi Goat Go kemerah-merahan karena pengaruh arak yang diminum barusan membuat si nona kelihatan tambahcanti dan menggiurkan. Cuma sayang kecantikannya ini dibikin suram oleh perbuatannya yang tidak bagus. Goat Go bangkit dari duduknya, menghampiri si pemuda yang sudah tidur nyenyak tampaknya. Ia tak dapat menahan rindu hatinya yang meluap seketika. Maka ia lantas menubruk, memeluk Cu Gie dan mencium pipinya. "Plak ! Plak !" tiba-tiba terdengar suara pipi ditampar. Ternyata pipi yang ditampar itu adalah pipinya si nona Goat Go yang segera melepaskan pelukannya dan lompat mundur seraya pegangi kedua pipinya yang panas bekas tamparan serta ia rasakan ada giginya yang rontok. "Anak kurang ajar !" bentkanya. "Kau berani tampar aku ?" berbareng ia menerjang Cu Gie yang tengah mencelat bangun dari rebahnya. Sambil memutar tubuh, Cu Gie sambuti serangan Goat Go. Tangan kanan si nona kena dipegang, dipelintir hingga Goat Go berkaok-kaok kesakitan menangis. Ketika Goat Go terima kabar dari pelayannya ada satu tama muda cakap mencari ayahnya, lantas ia menduga akan dirinya Kwee Cu Gie yang datang. Ia mengintip ketika Cu Gie diajak masuk oleh pelayan. Benar saja ia lihat si pemuda yang dirindukannya. Ia tidak jadi mengabarkan pada ayahnya yang waktu itu sedan dalam kamar laboratoriumnya memasak obat. Pikirnya, ia akan layani sendiri dahulu, belakangan baru diberitahukan pada ayahnya. Tidak lupa ia siapkan arak yang dicampuri beng-han-ye semacam obat tidur, maksudnya kalau dengan kecantikan dan kegenitannya ia tak berhasil menjaring si anak muda, ia mau bikin Cu Gie menjadi mabuk dan tertidur dan selanjutnya ia boleh buat sesukanya atas tubuhnya Cu Gie. Ia pesan pelayannya untuk membawakan arak dan sedikit hidangan keluar kalau mereka sedang asyik bercakap-cakap. Ia menggunakan tempat arak yang mempunyai dua aliran, yaitu suatu aliran untuk arak biasa dan satu aliran lagi untuk arak yang dicampuri obat tidur. Caranya Goat Go untuk menjaring korbannya memang amat rapih. Tapi ia tidak memperhitungkan bahwa Cu Gie ada jago muda yang lihai. Ketika Cu Gie merasakan gejala tidak baik dari pengaruh arak, segera ia gunakan lwekangnya yang tinggi untuk mendesak arak yang diminumnya itu keluar dari lubang-lubang peluh (keringat). Ia pura-pura seperti benar-benar ia kena pengaruhnya arak. Setelah melenggut sejenak, ia rubuhkan dirinya di atas bangku panjang yang didudukinya itu. Ketika merasa dirinya dipeluk dan diciumi Goat Go, bukannya ia menyambut dengan mesra, sebaliknya ia menjadi marah. Bau harum dari tubuhnya Goat Go yang menembus ke dalam lubang hidungnya tidak ia hiraukan, tangannya segera melayang dan menampar keras juga sampai giginya si nona ada beberapa yang rontok. Selagi mencoba bangun, ia tahu dirinya diserang Goat Go. Dengan sekali badannya berputar, ia sudah dapat menyambuti serangan si nona dan tangannya Goat Go kena dicekal, dipelintir hingga nona genit itu jadi berkaok-kaok kesakitan. Cu Gie wataknya halus. Kalau tadi ia menampar itu dilakukan saking tak dapat menahan marahnya. Kini marahnya sudah hilang. Melihat Goat Go berkaok-kaok kesakitan, ia lepaskan tangannya sambil berkata, "Cici, perbuatanmu bikin aku jadi lupa ! Harap perbuatanmu ini kau tidak ulangi lagi !" berbareng Cu Gie putar tubuhnya. Dengan beberapa lompatan saja ia sudah berada di pintu pekarangan. Goat Go melenggak. Cepat ia memburu, ia hendak memanggil balik tapi tak dapat keluar suara dari mulutnya. Ia malu. Ia hanya menyaksikan si anak muda melenyapkan diri di balik pintu pekarangan. Sambil membetulkan pakaian dan rambutnya yang kusut, Goat Go bantingkan diri diatas bangku panjang tadi yang membuat riwayatnya tak terlupakan olehnya sampai kemudian ia merubah dirinya menjadi Ang Hoa Lobo, si Nenek Bunga Merah. Di lain pihak, Kim Nio tidak kenal apa artinya 'bisa'. Ia diajari oleh Goat Go sampai pandai tapi kemudian rusak mukanya karean hembusan obat yang dimasak sehingga ia belakangan berubah menjadi Kim Popo. Setelah mukanya jadi jelek tidak karuan, Siauw Cu Leng yang cakap telah meninggalkannya, ikut Goat Go. Belakangan nona Goat Go juga mukanya rusak akibat racun. Buat bikin Siauw cu Leng tidak meninggalkan dirinya, Goat Go sudah gasak mukanya si cakap dengan 'bisa; sehingga lebih jelek dari mukanya Goat Go. Si 'Arjuna' tidak laku lagi di kalangan perempuan baik-baik. Oleh karenanya ia sangat setia pada Ang Hoa Lobo alias Teng Goat Go, puteri kesayangan dari Hoa-im Tok-jin Teng Siu. Kisah cinta 'segitiga' antara Kim Popo alias Kim Nio, Siauw Cu Leng si Arjuna dan Ang Hoa Lobo alias Teng Goat Go, ramai dan menarik untuk ditutukan dan ini kita akan ceritakan di sebelah belakang. Sekarang, mari kita balik kepada Kim Popo yang bersua kembali dengan The Sam yang menjadi 'idaman hatinya' di waktu Kim Nio belum berubah menjadi Kim Popo. The Sam ketika kabur dari rumah perguruannya karena sudah memukul parah Siauw Cu Leng yang menjadi suhengnya, ia terus berkelana di kalangan kang-ouw (Sungai Telaga) mencari pengalaman. Ia beruntung ketemu dengan salah seorang Tojin (imam). Ia mengajarkan ilmu 'Thong-pie-kong' -'ilmu lengan sakti', ialah kalau lengan kanan diulur memanjang sementara lengan kirinya mengkeret pendek. Dengan kepandaiannya ini, ia dapat menjagoi meskipun sering kali juga ia kena dipecundangi lawannya. The Sam sudah lama tidak ketemu muka dengan Kim Popo sejak ia kabut dari rumah perguruan baru sekarang ia berjumpa pula. Ia kenali Kim Popo sebagai bekas ia punya Kim Nio adalah dari suaranya dan potongan tubuhnya yang selama ini tak dapat dilupakan olehnya. Ia tahu, memang Kim Popo bukannya Kim Nio dahulu yang cantik menarik. Sekarang mukanya sudah rusak. Ini ia dapat tahu dari kenalan-kenalannya yang dahulu tinggalnya tidak berjauhan dari rumah si Tongkat Sakti Kong Tek Liang. Ia merasa kasihan atas nasib bekas kekasihnya. Ia mencari-cari, sampai hari itu dengan secara kebetulan ia ketemukan bekas 'darlingnya' sedang minum air selokan. Setelah memperhatikan lebih tegas, baharulah ia berani ketawa dibelakangnya Kim Popo yang tengah minum air kali dan cacapi kepalanya supaya adem. "Mari kita ngobrol di bawah pohon itu." kata The Sam seraya tuntun tangannya Kim Popo yang jinak sekali bagai mana kucing peliharaan. Di bawah pohon mereka ngobrol saling menuturkan pengalamannya masing-masing sambil ketawa riang gembira. Inilah mungkin kejadian yang pertama kali dialami si nenek sejak Kim Popo meninggalkan rumahnya di Hoa-im. "Koko, aku sekarang sudah jelek begini, apakah kau masih mencintai aku ?" kata Kim Popo setelah sejenak percakapan mereka terhenti. "Adik Kim." sahut The Sam, suaranya mengasihi hingga membuat Kim Popo terkenang akan masa lampau diwaktu berkasih-kasihan di taman bunga. "Kau terlalu memandang rendah akan cintaku. Meskipun mukamu sudah rusak, aku tetap mencintaimu !" sambung The Sam. Merasa lega hatinya Kim Popo mendengar kata-kata itu. Menyesal ia tidak dapat hidup bersuami istri dengan The Sam. Kalau tidak, tidaklah ia mengalami penghidupan yang gagal total seperti sekarang ini. Kim Popo tundukkan kepala lalu menatap wajahnya The Sam, tersenyum ia tapi sudah tentu senyumannya 'senyuman istimewa' karena giginya sudah tinggal beberapa buah saja. Terdengar di lain saat Kim Popo menghela napas. "Ya, sang tempo sudah membuat kita sama-sama tua." kata Kim Popo, sauranya berubah. "Tak perlu kita berdendang asmara lagi. Mari kita bicarakan urusan penting !" The Sam melongo mendengar kata-kata Kim Popo. Ia tidak menyangka perubahan sikap si nenek akan begitu cepat. Ia menanya, "Urusan apa yang kau maksudkan penting, adik Kim ?" Kim Popo lalu menceritakan bahwa barusan ia kehilangan barang berharga dirampas oleh si thauto beranting-anting emas. Ia amat penasaran. Sebab selain barangnya yang penting kena dirampas, juga ia sudah kena dijemur 2 jam lamanya. "Ah, kau berurusan dengan dia ?" tanya The Sam, romannya seperti yang terkejut. "Memangnya kenapa, siapa dia sih ?" balik menanya Kim Popo. "Ah, adik Kim." sahut The Sam. "Dia sangat lihai. Orang tidak tahu siapa namanya, tapi orang kenal julukannya Kim Wan Thauto (Thauto beranting-anting emas). Dia bukan saja lihai ilmu silatnya tapi senjata rahasianya di kedua telinganya. Kalau sudah dilepas, tiada seorang pun korbannya yang dapat lolos dari sasarannya." The Sam cerita benar. Senjata rahasia "Kim-wan' dari si thauto ada sangat hebat sebab dilepas dengan tenaga dalam. Sampai dimana tingginya lwekan si thauto dapat diukur dari kepandaiannya melepas senjata rahasia itu. Dan ia dapat kendalikan yaitu bisa enteng, bisa setengah berat dan berat waktu ia menghajar orang. Pukulan enteng seperti yang dibikin terkulai Kim Popo, setengah berat bikin orang terus pingsan, yang berat bisa bikin korbannya terus tidak bangun lagi alias jiwanya melayang untuk menghadap Giam-lo-ong (Raj Akhirat). "Dia begitu lihai....." Kim Popo menghela napas. "Habislah pengharapanku untuk dapat merebut barangku yang sangat penting itu." "Barang apa sebenarnya yang dirampas Kim-wan Thauto ?" tanya The Sam. "Barang itu adalah menjadi rebutan oleh kalangan bu-lim (rimba persilatan) pada dewasa ini." menerangkan Kim Popo. "Apakah itu ?" The Sam ingin tahu. "Barang itu adalah sebuah buku mungil yang bernama 'Thiamhiat Pit-koat', pelajaran ilmu menotok jalan darah yang luar biasa pentingnya bagi setiap dunia persilatan." kata Kim Popo. The Sam kerutkan keningnya, ia tundukkan kepala, berpikir, lalu menanya, "Sampai begitu penting, bukankah setiap orang yang pandai ilmu silat dapat menotok lawan dengan baik ?" "Kau jangan meremehkan 'Thiam-hiat Pit-koat'. Ia dikarang oleh satu ahli totok kenamaan, The Leng Tong namanya, orang dari propinsi Shoatang. Pada jamannya yaitu 80 tahun berselang, The Leng Tong tidak menemukan tandingan dalam ilmu totokan jalan darah. Banyak orang kepingin berguru padanya tapi dia tolak. Dia tidak mau menerima murid. Hanya dia ada lepas kata kalau dia sudah tidak ada dalam dunia, di belakang hari orang akan menemui bukunya yang dinamai 'Thiam-hiat', kalau orang itu memang berjodoh untuk menjadi muridnya. Kau tidak tahu, koko. Buku itu memuat tiga macam ilmu totokan. Kecuali pelajaran menotok jalan darah menggunakan satu sampai dua jari dari dekat, dalam bukunya ada disebut menotok dari jauh dengan menyentil batu kecil dan kebasan tangan baju. Malah, yang penting, totokan The Leng Tong dapat dikendalikan berat entengnya dengan jitu sekali." demikian Kim Popo menutur. "Aha, aku juga orang she The, siapa tahu ada jodoh mendapatkan buku itu." kata The Sam kegirangan sambil tepuk-tepuk pahanya. "Bagaimana kau bisa bilang begitu ?" tanya Kim Popo heran. "Aku she The dan Leng Tong juga she The. Kita sama-sama she The. Tidak mustahil kalau barangnya The Leng Tong diwariskan padaku, bukan ?" sahut The Sam. Ia menutup kata-katanya sambil terus tarik tangannya si nenek diajak pergi. "Mari kita susul Kim-wan Thauto !" ia mengajak Kim Popo. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau bilang Kim-wan Thauto lihai. Bagaimana kau dapat merebut kembali 'Thiam-hiat Pit-koat' dari tangannya ?" tanya Kim Popo sangsi. "Ah, itu urusan belakangan. Mari kita susul nanti dia keburu sudah jalan jauh, sukar kita mencarinya." sahut The Sam. Ia pun, berbareng gerakan kakinya mengajak Kim Popo berlalu dari situ. Kim Popo tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali mengikuti bekas kekasihnya itu. Malah diam-diam hatinya merasa girang The Sam sudah mau bantu ia merebut pulang buku pelajaran ilmu menotok itu. Apa The Sam berhasil atau tidak, pikirnya, itu bagaimana nanti saja. Ia percaya bekas kekasihnya itu sudah mempunyai akal untuk merebut kembali buku mungil itu, bila dilihat The Sam demikian napsu mengajak ia menyusul Kim-wan Thauto. Kita tinggalkan dahulu Kim Popo dan The Sam yang menyusul Kim wan Thauto. Kita balik kepada Lo In, bagaimana si bocah itu, apakah dia binasa akibat gebukan Ang Hoa Lobo yang dilakukan dengan sepenuh tenaga " Lo In dibawa masuk ke dalam sebuah rumah yang dibangun dari bambu dengan separuh batu. Cukup besar rumah itu dan mempunyai pekarangan depan belakang. Lo In diletakkan di sebuah bale-bale dengan kasar sekali oleh Siauw Cu Leng yang sangat membenci bocah itu. Keadaan Lo In masih belum sadarkan diri. Kenapa Ang Hoa Lobo begitu kejam menghajar bebokong anak kecil dengan menggunakan tenaga penuh " Itu ada sebabnya. Siauw Cu Leng ketika pulang habis dipecundangi oleh Lo In telah mengadu pada Ang Hoa Lobo tentang munculnya satu bocah luar biasa. Ia telah dipecundangi dengan hanya kegesitan saja, malahan pukulan gunturnya yang menghancurkan batu gunung tidak mempan dihadapkan pada si bocah. Ang Hoa Lobo tertawa terkekeh mendengar penuturannya si Iblis Buntung, yang alisnya dibuntungi oleh Ang Hoa Lobo. "Sama anak kecil kau kalah, bagaimana kau hadapi anak gede ?" kata Ang Hoa Lobo seraya mentertawakan Siauw Cu Leng. "Kau tidak tahu, cici." sahut Siauw Cu Leng. "Setelah aku rubuh, dia menantang, katanya : 'Iblis gila, kau boleh datangkan iblis temanmu. Biar segerobak aku tidak takut !' Nah, ini 'kan satu hinaan bagi kita. Mana boleh anak yang masih ingusan diumbar ngaco begitu." Siauw Cu Leng mulai menghasut, ketika melihat Ang Hoa Lobo tidak mau meladeni pengaduannya. Mendengar katakata si Iblis Alis Buntung, tampak Ang Hoa Lobo kerutkan alisnya, "Apakah benar kata-katamu ?" tanyanya kemudian. "Kenapa tidak benar " Memangnya aku mau ambil untung dari perkataanku yang tidak benar " Aku bicara yang benar, buat apa timbulkan yang tidak betul !" nyerocos Siauw Cu Leng, mukanya kelihatan sungguh-sungguh. "Anak bandel. Masa dia berani omong besar ?" kata si nenek, mulai marah dia. Siauw Cu Leng lalu cerita, Lo In selain kepandainnya hebat juga mempunya tentara kera dan burung rajawali. Kalau tidak dibokong, jangan harap bisa menowelnya, apalagi untuk menangkapnya. Dia mesti sudah makan buah JJit-goat-go, kalau tidak tentu tidak begitu hebat. Disebutnya buah Jit-goat-go, mendadak saja Ang Hoa Lobo berjingkrak. Sudah lama ia mendengar akan khasiatnya buah itu. Maka juga ia sudah mencari dari satu ke lain gunung. Sekarang, buah itu sudah dimakan si anak kecil. Dimana ia bisa dapatkan pula dalam daerah pegunungan disitu yang sangat luas " Ia benci kepada orang yang sudah mendahului ia memakan buah yang ia idam-idamkan. Maka setelah berjingkrak, ia berkata pada Siauw Cu Leng, "Dimana kita bisa menemui dia ?" "Tidak, tidak bisa kita menemui dia begitu saja. Dia luar biasa kepandaiannya, apalagi dia mempunyai rajawali dan tentara keranya yang melindungi." "Habis, bagaimana ?" tanya si nenek, jeri juga mendengar kata-kata si iblis. "Dia mesti dibokong. Kita harus mengatur perangkap, yang dia tidak curiga sama sekali. Asal sudah ada kesempatan, kau harus menghajar dia sepenuh tenaga. Sebab tanpa tenaga penuh mana dia bisa rubuh karena dia sudah makan buah Jitgoatgo, tenaga dalamnya tentu bukan main hebatnya !" demikian Siauw Cu Leng mengajukan usulnya yang kejam. Tapi memang si iblis benar. Tidak mudah Lo In ditakluki dengan cuma mengadu silat. Sebab anak itu sudah lihai sekali ditambah dengan tentara kera dan rajawalinya. Si nenek percaya akan kata-katanya sang suami diluar kawin. Maka mereka lalu berdamai soal pasang perangkap dalam menangkap si bocah. Begitulah, hari itu rupanya Lo In dilanggar apes (sial). Maka ia sudah masuk perangkap yang diatur oleh Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu Leng. Untung Lo In tenaga dalamnya sudah hebat berkat makan buah Jit-goat-go, kalau saja kejadian itu sebelum ia makan buah, bisa celaka 2 x 13. Pasti isi perutnya ambrol dan nyawanya melayang seketika menerima pukulan hebat dari Ang Hoa Lobo. Ia hanya merasakan dadanya sesak tiba-tiba, tubuhnya dirasakan lumpuh. Maka ia rubuh pingsan setelah mengeluarkan jeritan. Juga Lo In masih untung jiwanya tidak sampai melayang karena Ang Hoa Lobo menyetop tendangan Siauw Cu Leng yang kedua kali. Kalau sampai kakinya si iblis bekerja, rasanya Lo In sudah tidak bernyawa ketika itu. Si Iblis Alis Buntung sangat benci Lo In, tentu tendangannya yang kedua kali jauh lebih berat dari yang pertama, yang cuma terpental tidak seberapa jauh. Ketika meletakkan Lo In dibale-bale, Siauw Cu Leng dapat lihat pedang pendek di pinggang si bocah, lalu diloloskan kemudian diserahkan pada Ang Hoa Lobo sambil berkata, "Ini, kepunyaan dia." Ang Hoa Lobo menyambuti, lalu dihunus pedang pendek yang bobotnya sangat enteng itu lalu diperiksa. Di atas badan pedang tidak ada apa-apanya yang aneh, tapi ketika diselidiki gagangnya, Ang Hoa Lobo dapat melihat huruf-huruf kecil yang berbunyi, 'Kwee Cu Gie Toan-kiam' atau 'Pedang pendek kepunyaan Kwee Cu Gie'. "Betul, betul punya dia "' tanya Siau Cu Leng yang sedari tadi mengawasi Ang Hoa Lobo memeriksa pedang pendek itu. Si nenek tidak menjawab, ia hanya angguk-anggukkan kepala atas pertanyaan si orang she Siauw. Si Iblis kelihatannya agak cemburuan juga melihat si nenek yang begitu kesemsem memandangi pedang ditangannya. "Hm ! Dia keturunannya...." Ang Hoa Lobo tiba-tiba menggerutu sendirian setlah lama ia memandangi pedang ditangannya. "Dia keturunannya, buat apa dikasih hidup. Mampusi saja !" kata Siauw Cu Leng mendengar Ang Hoa Lobo menggerutu sendirian. "Jangan, aku ada jalan." sahut Ang Hoa Lobo. "Jalan bagaimana ?" tanya Siauw Cu Leng tidak sabaran kelihatannya. "Kita bikin rusak mukanya." jawab si nenek. "Bagus ! Mari kita mulai." kata Siauw Cu Leng. Ia main cara kilat saja berurusan dengan Ang Hoa Lobo sebab si nenek sering berubah-ubah pikirannya. Ia mendesak karena ingin lekas-lekas apa yang Ang Hoa Lobo kata, segera dilaksanakan. Ia seperti membenci sampai tujuh turunan Lo In saja. Siauw Cu Leng mengambil pisau, bersiap-siap untuk merusak mukanya Lo In. "Bukan begitu caranya." kata Ang Hoa Lobo seraya goyanggoyang tangannya. "Habis, kau mau pakai apa ?" tanya Siauw Cu Leng. Ang Hoa Lobo tidak menjawab. Sebaliknya dari kantongnya ia keluarkan sebungkus obat. "Ambil air !" ia memerintah Siauw Cu Leng. Segera permintaan si nenek dipenuhi. Si iblis mengambil air dalam gelas. Ang Hoa Lobo menyambuti. Air dalam gelas itu ia buang ke lantai sampai tinggal seperluanya, lalu obat yang berupa bubuk berwarna hitam ia masukkan dalam gelas, diaduk kira satu menit. Kemudian ia suruh Siauw Cu Leng ambil sobekan kain. Ketika barang yang diminta diberikan, ia lalu robek seperlunya untuk digunakan sebagai kuas. Obat hitam itu ia polesi pada bagian muka Lo In, dari jidat terus sampai ke dagu. Hanya bagian leher dan kuping tidak diganggu. Sebentar saja muka Lo In yang putih cakap berubah menjadi hitam legam seperti Zwarte Piet (si Piet Hitam, kacung Sinterklas). Setelah selesai, tiba-tiba si nenek berkakakan ketawa. "Nah, inilah pembalasanku ! Aku mau lihat, tanpa diundang dia akan datang berlutut dihadapanku untuk minta-minta dikasihani !" ia berkata bangga. Siauw Cu Leng bingung. Apa yang si nenek sebenarnya maksudkan dengan kata-katanya. Ia lalu menanya, "Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu, cici ?" "Hehehe !" Ang Hoa Lobo ketawa. "Aku bikin anaknya begini. Kalau bapakanya tahu tentu dia bakal mencari aku. Dia tentu datang berlutut dihadapanku untuk minta obat pemusnahnya, jangan sampai anaknya yang cakap ini mempunyai dua muka. Baru sekarang Siauw Cu Leng mengerti maksudnya si nenek. Kiranya Ang Hoa Lobo hendak membikin malu Kwee Cu Gie. Dengan bikin wajah Lo In berubah hitam, Kwee Cu Gie pasti mengerti siapa punya perbuatan. Orang she Kwee itu tentu akan mencari Ang Hoa Lobo untuk menolong anaknya, minta belas kasihannya si nenek supaya Ang Hoa Lobo mengembalikan wajah anaknya pada keadaan semula. Ang Hoa Lobo alias Teng Goat Go sampai saat itu masih merasa penasaran pada Kwee Cu Gie yang sudah menampar pipinya dua kali sehingga beberapa giginya pada rontok dan sekarang ia sudah ompong ! "Sekarang kita mau apakan dia "' tanya Siauw Cu Leng. "Masukan jadi satu dengan si sundal cilik." sahut Ang Hoa Lobo. Siauw Cu Leng sangsi tampaknya, ia berdiri saja menjublek. "Kau masih belum mau bawa dia pergi, mau tunggu apa ?" si nenek membentak. "Tapi cici, tapi....... " si iblis terhenti bicaranya ketika si nenek Kembang Merah memotong. "Tapi, tapi apa " Lekas kerjakan !" "Aku kuatir kejadian selanjutnya." jawab si Iblis Alis Buntung, ia beranikan hati mendebat Ang Hoa Lobo. "Binatang kecil ini sangat hebat tenaga dalamnya. Sebentar kalau dia sudah siuman, apakah dia tidak ngamuk ?" "Ngamuk " Hehehe !" si Nenek Kembang Merah ketawa. "Sudah tidak ambrol isi perutnya menahan pukulanku, sudah bagus. Mau ngamuk " Hmm ! Aku mau lihat. Lekas kerjakan perintahku, jangan banyak cing cong !" Siauw Cu Leng tak berani banyak kata. Ia lalu angkat tubuhnya Lo In, dipondong di bawa ke kamar belakang. Ke dalam mana, tubuhnya Lo In menggelinding karena diletakkan oleh Siauw Cu Leng separuh dilemparkan. "Iblis, kau bawa masuk apa kesini ?" bentak seorang anak perempuan kecil yang ada dalam kamar itu ketika melihat pintu kamar dibukan dan tubuh Lo In diletakkan di lantai separuh dilemparkan. Sambil menutup pintu kamar lagi, Siauw Cu Leng menjawab, "Sundal cilik, kau tak usah kesepian lagi. Sekarang ditemani si setan cilik ! Hahaha !" Si iblis berkata-kata sambil meninggalkan kamar itu yang merupakan kamar tahanan rupanya. Memang, kamar itu boleh disebut kamar tahanan sebab dalam kamar itu ada disekap seorang gadis cilik umur kira-kira belum 15 tahun. Jadi lebih tua dari Lo In yang usianya baru memasuki tahun ke-14. Dalam ruangan itu yang lumayan juga lebarnya, mendapat penerangan dari sela jeruji-jeruji jendela kecil yang kokoh dan kuat dari bambu pilihan. Tidak ada perabotan didalam situ kecuali bale-bale yang muat 2 orang serta bangku dan mejanya yang sudah reyot. Tampak si nona kecil berdiri tertegun melihat 'tamu' datang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Rambutnya si dara cilik yang dikepang dua tampak sudah awut-awutan, romannya lesu dan pucat tapi tidak mempengaruhi air mukanya yang jernih, ramai dengan senyum dikulum. Pelan-pelan ia jalan menghampiri tubuhnya Lo In. Ia jongkok disampingnya lalu memandang parasnya Lo In. Hatinya merasa geli, ia ketawa melihat mukanya Lo In yang hitam legam. Di usap-usap pipi Lo In, kemudian melihat pada tangannya yang barusan dipakai meraba. Oh, kenapa tidak hitam " Ia menduga, tadinya wajah hitam itu disengaja si bocah dengan mengolesi mukanya dengan arang hitam legam. Selama itu, Lo In tidak berkutik. Di goyang-goyang badannya, tapi Lo In tetap tak sadarkan diri. Mulai curiga hatinya si dara cilik, lalu ia tekuk lututnya, lengkungkan badannya, telinganya di pasang di atas dada Lo In. Ia dapatkan si bocah masih ada napasnya. Ia periksa keadaan Lo In lebih jauh, keculai mukanya hitam, tidak kedapatan tanda-tanda bekas dianiaya. Ketika ia gerakkan kakinya hendak jongkok pula, tiba-tiba ia rasakan kakinya lemas dan jatuh ke depan diatas tubuhnya Lo In. Selagi ia berusaha hendak bangun, tiba-tiba ia mendengar suara dari sebelah luar kamar, "Eng Lian, kau masih tetap membandel " Lihat itu setan cilik contohnya ! Selain aku tidak kasih makan kau, juga aku akan bikin mukamu yang cantik jadi berubah hitam seperti si setan cilik ! Hehehe......." Dara cilik itu yang ternyata bernama Eng Lian kenali suaranya Ang Hoa Lobo yang berkata-kata tadi. Tampak ia menggertak giginya, tangannya yang kecil mungil mengepal keras, rupanya ia sangat marah. Sekarang ia mengerti, yang membuat wajah anak itu hitam adalah si Nenek Kembang Merah. "Siapa yang mau berurusan denganmu, nenek jahat !" sahut Eng Lian kemudian. "Hehe ! Bagus, baru tiga hari aku hukum kau tidak makan. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kalau kau masih tetap membandel, hemm ! Aku kasih tempo tiga hari lagi untuk kau pikir-pikir. Kalau sampai temponya kau masih tetap membandel, jangan salahkan si nenek bila berbuat kejam Pikirkanlah !" demikian si nenek mengancam. Eng Lian tidak mau ladeni Ang Hoa Lobo sampai nenek itu meninggalkan kamar itu, tidak terdapat jawaban dari sebelah dalam. Si dara cilik sudah tiga hari dihukum tidak makan oleh Ang Hoa Lobo, pantasan kakinya lemas. Dalam bingung, apa yang akan ia buat menghadapi Lo In yang masih pingsan, sedang perutnya sudah sangat lapar, tiba-tiba Eng Lian dibikin terkejut dengan diceploskannya benda-benda bundar melalui sela-sela jeruji jendela. Ia merayap menghampiri salah satu benda itu, kiranya itu ada buah-buah yang diceploskan dari sebelah luar. Siapa yang mengirimnya " Matanya mengawasi ke jurusan jendela, ia melihat ada dua ekor kera disana, sedang repot menceplosceploskan buah-buahan. Dalam herannya, ia ingin mendekati dua kera itu tapi ia tak dapat bangun karena kakinya amat lemas. Dua kera itu, sudah tentu pembaca dapat menebaknya siapa. Sebab mereka tidak lain adalah Pek-gan dan Pek-tauw, si monyet mata putih dan kepala putih yang menjadi kesayangannya Lo In. Mereka melihat tuannya dibawa masuk ke dalam rumah itu terus mengintip akan segala tindak tanduknya Siauw Cu Leng dengan Ang Hoa Lobo. Setelah tahu yang Lo In ditempatkan dalam kamar belakang, mereka lantas mencari buah-buahan di sekitar tempat itu untuk dipersembahkan kepada majikannya. Tapi mereka tidak tahu kalau Lo In dalam keadaan pingsan. Mereka hanya mengira bahwa majikannya itu sedang tidur nyenyak. Eng Lian dapat pungut salah satu buah dan dimakannya. Ia rasakan manis dan enak. Ia lalu makan lagi beberapa buah untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Benar-benar ia rasakan buah-buah yang dimakan istimewa. Kecuali manis dan lezat, setelah masuk ke dalam perut telah menimbulkan reaksi tubuh menjadi segar dan kuat. Bukan main girangnya Eng Lian ketika ia tahu kakinya sudah dapat digerakkan lagi dengan leluasa. Ia lantas kumpulkan buah-buah itu supaya nanti jangan sampai ketahuan oleh dua iblis yang hendak merongrongnya. Hari berikutnya, Eng Lian repot menerima kiriman dari Pekgan dan Pek-tauw. Lucu laga lagunya dua kera itu hingga Eng Lian merasa suka dan sayang. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dua monyet itu begitu baik mau mengirimkan buahbuahan kepadanya yang dalam kesukaran. Ia belum tahu kalau dua kera itu mengirim buah-buahan bukan untuk dia tapi untuk majikannya, Lo In, yang Eng Lian tidak tahu anak itu siapa namanya dan datang dari mana. Sambil melahap buah semacam jambu, Eng Lian memandangi wajah Lo In. Pikirnya, anak ini parasnya cakap sayang dibuat hitam oleh si nenek jahat. Apakah warna hitam yang melekat itu nanti dapat dicuci dan parasnya anak cakap itu kembali pada asalnya " Ia tanya pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ia dibikin kegirangan melihat Lo In pelan-pelan telah membuka matanya. Saking girangnya sampai ia lempar buah yang dimakannya dan tangannya yang kecil halus memegang pipinya Lo In, menanya, "Oh, adik, aku sudah siuman " Enak betul tidurmu." Lucu kelakuannya Eng Lian. Ia kira Lo In tidur nyenyak. Ia tidak tahu kalau Lo In menderita pukulan dahsyat. Lo In heran, matanya kecap kecip memandang Eng Lian. Pikirnya, apakah ia sedang ngimpi atau sudah berada di lain dunia " Kenapa ada anak perempuan disampingnya " Ia angkat tangan kanannya, jari telunjuknya dimasukkan dalam mulutnya, digigit, au, tentu saja ia berjengkit kesakitan. "Hi hi hi.... anak tolol. Kenapa menggigit jari sendiri ?" Eng Lian ketawa, melihat Lo In kesakitan menggigit jarinya barusan. "Kau siapa, cici ?" tanya Lo In, lemah suaranya. "Aku Eng Lian, kau sendiri siapa ?" balik menanya si dara cilik, lucu lagaknya. "Oh, enci Lian......." Lo In terus bungkam. "Hei, hei, kenapa kau tidak sebutkan namamu ?" kata Eng Lian seraya menggoyang-goyang lengan Lo In yang tatkala itu sudah mau meramkan matanya lagi. Lo In kembali membuka matanya, ia tersenyum mengawasi si nona cilik. "Apa sih yang dilihat ?" kata Eng Lian ketika mereka beradu pandangan sambil mencibirkan bibirnya yang mungil. "Enci Lian, aku ini berada dimana ?" tanya Lo In, tidak melayani orang mencibirkan bibirnya. "Dalam kamar tahanan." sahut Eng Lian singkat, dongkol rupanya dia. Lo In terkejut. Ia coba gerakkan badannya untuk bangun, tapi belum bisa. Sebab seluruh badannya dirasakan lemas. Tenaga raksasanya entah pergi kemana. Ia heran, kemana perginya tenaganya yang dahsyat. Lantas dia ingat akan kejadian ketika bertemu dengan si nenek di rimba bambu. Bagaimana ia dibokong. Pikirnya, mungkin gebukan si nenek yang menyebabkan hilang tenaganya. Buktinya, ia peras tenaga dalamnya, bukannya berhasil malah bobokongnya dirasakan sakit bekas gebukan si nenek. "Jahat..........." ia menggerendeng, perlahan suaranya. Perlahan suaranya tapi menusuk telinga Eng Lian. Mukanya lantas cemberut. "Jahat, jahat, siapa jahat, hah !" tangannya berbareng mau menampar. "Tahan !" kata Lo In cepat ketika pipinya hendak ditampar si dara cilik. "Enci Lian, aku bukan maksudkan kau jahat." sambung Lo In. Eng Lian ketawa, sambil tarik pulang tangannya. "Habis, siapa yang kau maksudkan " Sebab disini tidak ada orang lain kecuali kita berdua." katanya. Lo In anggap dirinya lucu. Oh, bolehlah ketemu ini dara cilik yang lebih lucu dan aneh adatnya. Seketika juga Lo In merasa suka berteman dengan Eng Lian, maka sambil bersenyum ia berkata, "Enci Lian, yang aku maksudkan adalah nenek itu dengan kembang merah disanggulnya." "Oh, dianya ?" kata Eng Lian sambil leletkan lidahnya. "Ya." sahut Lo In. "Dimana dia sekarang " Aku dibokong olehnya, digebuk dari belakang sampai rasanya semaput. Untung aku tak sampai mati." "Eh, mengapa sampai begitu " Mengapa, kenapa ?" Eng Lian minta Lo In tuturkan. Lo In lantas ceritakan kejadian di rimba bambu ketika ia hendak menolongi si nenek, tidak tahunya ia kena masuk perangkap. Eng Lian yang mendengari cerita Lo In merasa panas hatinya kepada Ang Hoa Lobo yang kejam. Di samping itu ia merasa simpati pada Lo In, anak yang berhati mulia menjadi korban dari tangan telengas. "Dia, si nenek itu memang jahat. Dia ada disini, dibantu oleh si kakak jelek Siauw Cu Leng yang julukannya Toan Bi-lomo." menerangkan Eng Lian. "oh, iblis itu juga ada disini ?" tanya Lo In terkejut. Eng Lian anggukkan kepalanya. -- 8 -- Tadinya, Lo In tidak mengerti apa salahnya dia digebuk oleh si Nenek Kembang Merah " Padahal baru saja ia berjumpa dengan maksud baik hendak memberikan pertolongan tapibukan terima kasih ia dapat dari si nenek, malah gebukan yang membikin isi perutnya berantakan, untung tenaga dalamnya cukup dahsyat. Sekarang, ia mendengar cerita Eng Lian, si Iblis Alis Buntung itu adalah konconya Ang Hoa Lobo, lantas ia mengerti duduknya urusan. Tentu gara-gara mulut si iblis yang tajam menghasut sehingga si nenek menurunkan tangan telengas atas dirinya. "Enci Lian, anak si......" Lo In hendak menanya tapi sudah dipotong oleh si dara cilik, katanya, "Makan dahulu ini. Perutmu tentu sudah minta diisi !" sambil menjejalkan sebagian buah yang tengah ia lahap ke mulut Lo In. Terpaksa Lo In mengganyangnya. Seketika hatinya terkesiap, karena buah itulah yang biasa ia makan kiriman dari dua keranya yang sangat disayang. Maka ia lalu menanya, "Enci Lian, kau dapat dari mana buah ini ?" sambil unjukkan sepotong buah yang belum habis ia makan. "Entahlah. Ada dua malaikat berupa kera yang mengantarkan ke sini. " jawab Eng Lian. Gembira dia sebab sekarang ia tidak usah memikirkan lagi akan kelaparan. "Oh, itu adalah Pek-gan dan Pek-tauw." kata Lo In. "Betul, betul. Yang satu berkepala putih, yang lainnya sepasang matanya yang putih. Kera siapakah mereka itu, apa kau tahu ?" Eng Lian cerita. "Mereka ada teman-teman baikku." sahut Lo In. Eng Lian terbelalak matanya, heran mendengar Lo In mengatakan dua kera itu ada teman baiknya lalu minta Lo In cerita bagaimana ia bisa bersahabat dengan dua kera yang pandai itu. Lo In tidak berkeberatan. Sebelumnya ia perkenalkan dahulu namanya Lo In, lalu menuturkan perjalanan hidupnya dari anak jembel sampai mengerti surat dan ilmu silat atas pimpinan Liok Sinshe. Ia turun ke dalam jurang mencari Liok Sinshe yang jatuh dibokong musuh, bagaimana ia hidup dalam lembah itu bersama-sama dengan si rajawali yang ia sembuhkan dari lukanya, bagaimana ia taklukan kawanan monyet lantaran menolong Siauw-hek. Eng Lian yang hatinya sangat tertarik oleh penuturan Lo In tidak memotong ceritanya Lo In. Ia sangat kagumi si bocah yang luar biasa dan besar rejekinya sampai dapat makan buah 'Jit-goat-ko.'. "Adik In," kata Eng Lian, setelah mendengar habis cerita Lo In. "Kau ada satu bocah luar biasa. Bukan mustahil kau nanti jadi terkenal dan orang menyebut kau 'sinlong', bocah sakti. Hihihi......" "Mudah-mudahan," sahut Lo In membanyol. "Dengan doa restumu, kata-katamu tadi akan menjadi kenyataan." Si dara cilik mesem manis. Setelah menutur, Lo In coba gerakkan badannya. Ternyata masih belum dapat bergerak sebagaimana mestinya. Ia sudah pegal rebah saja maka ia minta si dara cilik bantu ia untuk dapat duduk. Eng Lian tidak berkeberatan. Ia bantu sampai Lo In dapat duduk betul. "Terima kasih, enci Lian." kata Lo In. "Terima kasih kembali." sahut si dara cilik jenaka. Lo In makin girang hatinya ia memperoleh teman yang lebih jenaka dari dirinya. "Enci Lian." kata Lo In. "Aku sudah bercerita tentang perjalanan hidupku. Sekarang giliranmu cerita bukan ?" "Tentu, tentu, adikku manis." sahut Eng Lian melucu. "Aku hidup bersama......." "Hei, Eng Lian. Kau jangan banyak ngobrol. Bagaimana, kau menyerah tidak ?" tiba-tiba terdengar kata-kata dari sebelah luar kamar hingga ceritanya si dara cilik terhenti seketika. Si Nenek Kembang Merah yang memotong kata-kata Eng Lian tadi. Mendongkol hatinya si dara cilik, kelihatan dari romannya yang merengut, tangannya dikepal-kepal gergetan, lucu kelihatannya sampai Lo In tak dapat menahan ketawanya terbahak-bahak. "Kau ketawai apa, bocah ?" bentak Eng Lian. Tangannya diangkat mau menampar Lo In tapi tidak jadi ketika ia melihat Lo In tempelkan satu jari dimulutnya seraya tangan kirinya digoyang-goyang. Heran Eng Lian melihat lagaknya Lo In, ia menanya, "Memangnya ada apa sih ?" "Tidak apa-apa." sahut Lo In. "Cuma aku lihat enci makin marah jadi makin ber....... au !" Lo In berjengit karena perkataannya belum putus, tangan si dara cilik yang mungil nyelonong ke pipinya, tidak menampar hanya mencubit hingga Lo In kesakitan. "Rasakan, ya !" kata Eng Lian sambil cekikikan tertawa melihat Lo in pegangi pipinya yang kesakitan. "Hei, Eng Lian, kau dengar tidak ?" bentak suara Ang Hoa Lobo. "Janji tiga hari belum sampai, kenapa kau minta putusan sekarang ?" sahut Eng Lian, suaranya lantang berani. "Hehe.... jadi aku mesti tunggu ?" si nenek ketawa. "Ya, tunggu saja. Sampai pada waktunya, aku beri putusan !" kata Eng Lian. Lantas terdengar suara kakinya si nenek berlalu. Kiranya Siauw Cu Leng yang menggosok-gosok si nenek supaya mendesak Eng Lian. Ia mencuri dengar percakapan Eng Lian dan Lo In, lantas usulkan pada si nenek kembang merah supaya lekas mendesak Eng Lian berikan keputusannya. Ia menyatakan kekuatirannya akan Lo In yang sudah siuman dari pingsannya, nanti membikin susah mereka. Si nenek tidak kuatiri. "Mengapa kamu harus takut dengan anak sambal itu ?" Ang Hoa Lobo berkata pada Siauw Cu Leng. "Tenaga dalamnya sudah musnah, berani dia main gila pada kita ?" Ang Hoa Lobo percaya benar masa pukulan mautnya yang sudah memusnahkan tenaga dalamnya Lo In. Ini memang benar sebab Lo In rasakan tenaga raksasanya hilang lenyap meskipun ia sudah coba berkali-kali untuk dikumpulkan. Yang penting, pikir Ang Hoa Lobo adalah Eng Lian yang harus didesak supaya memberitahukan rahasia pelajaran yang ia perlukan. Setelah Ang Hoa Lobo berlalu, Lo In menanya kepada Eng Lian, "Enci janjikan apa sama dia " Apa dia mau ?" Eng Lian lantas cerita pada Lo In hal kedatangannya Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu Leng, sekalian menutur tentang dirinya dalam rumah itu. Si dara cilik ternyata ada dari keluarga Oey, menurut keterangannya. Ia hidup bersama ayah dan ibunya bertiga dalam desa Tengong chung, sebelah barat kota Gukwan di bawah kaki gunung Hengsan. Sampai umur 7 tahun Eng Lian ikut ibunya di Tengongchung, sering pindah dari satu dusun ke dusun lain di Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pegunungan sebab ayahnya mempunyai hobi (kesukaan) memelihara ular dan akhirnya mereka menetap di lembah itu sudah 4 tahun lamanya. Pada kira-kira hampir 2 tahun yang lalu, pernah keluarga Oey kedatangan seorang tamu yang mengaku she Tan, entah namanya siapa. Tapi menurut ibunya, tamu itu biasa dipanggil Tan Sianseng. Tamu she Tan itu sangat baik pada ibunya, sering mengajak omong sambil ketawa-ketawa, malah bukan jarang mereka kedapatan suka kasak kusuk berduaan saja. Tapi ayahnya sama sekali tidak menaruh cemburu, malah kelihatannya seperti yang sangat menghormati pada tamu she Tan itu. Terhadap Eng Lian, tamu itu juga sangat sayang dan mencintai sebagai pada anaknya sendiri. Dua minggu lamanya tamu itu menginap dalam rumahnya tetapi kemudian menghilang, berbareng juga menghilang ibunya Eng Lian. Si dara cilik tentu saja menangis ditinggalkan ibunya, tapi sang ayah menghibur. Kata ayah, ibu pergi dengan Tan Sianseng buat satu urusan penting dan tidak lama pun akan kembali. Tapi sampai sekarang sang ibu belum kelihatan mata hidungnya muncul kembali. Sampai disini Eng Lian menutur, ia menangis hingga Lo In yang merasa dirinya piatu menjadi turut terharu dan turut mengalirkan air mata. Sambil menyusut air matanya dengan tangan baju, Eng Lian melanjutkan ceritanya. "Dua minggu yang lalu kita kedatangan dua iblis yang sekarang ada disini. Katanya numpang menginap untuk melakuka penyelidikan dalam lembah." "Ayah tidak berkeberatan atas permintaan mereka, malah suak antar-antar mereka menjelajah tempat yang asing bagi mereka. Belakangan mereka lihat ayah banyak pelihara ular. Mereka heran lalu si nenek jahat minta ayah mengajarinya cara bagaimana dapat menjinaki atau menaluki ular. Ayah ketawa, ia bilang kepandaiannya tak dapat diturunkan lain orang kecuali pada anaknya yaitu aku." "Jadi, enci Lian pandai menaluki ular ?" menyelak Lo In yang sedari tadi mendengarkan saja penuturan si dara cilik. Eng Lian manggut. "Mereka tidak apa-apa permintaannya ditolak." menyambung Eng Lian dalam ceritanya. "Pada keesokan harinya, mereka mengajak lagi ayah untuk menjelajah pegunungan. Ayah tidka menolak sebab dia pun ingin menyelidiki ular-ular yang ada ditempat-tempat lain. Eh, tidak tahunya ketika mereka pulang, ayah ternyata tidak turut pulang. Sampai sekarang ayah hilang. Entah dimana dia adanya. Setelah ayah tidak ada, orang-orang jahat itu mendesak aku supaya aku turunkan pelajaran menaluki ular kepadanya." "Apa enci tidak tanya pada mereka, kemana ayahmu pergi ?" tanya Lo In disaat Eng Lian hentikan sebentar penuturannya karena ia menangis ketika sampai pada bagian menutur ayahnya tidak pulang. "Aku sudah tanya mereka. Tapi mereka bilang ayah pergi menyusul ibu dan tidak berapa hari juga akan pulang." menyambung Eng Lian. "Tadinya aku tak keberatan menurunkan kepandaianku menakluki ular tapi belakangan aku segan. Aku mogok mengasih pelajaran pada mereka karena si Nenek Kembang Merah itu sangat jahat. Telah membunuh aku punya Tok-gan Siancu." "Apa itu Tok-gan Siancu ?" menyela Lo In. "Tok-gan Siancu adalah ular kesayanganku, bermata satu, mempunyai empat sayap, besarnya sebesar betis orang gemuk." menerangkan Eng Lian. Tok-gan Siancu artinya Dewi Bermata Satu. Bagus juga Eng Lian kasi nama ular kesayangannya yang dua meter panjangnya. "Kenapa Tok-gan Siancu dibunuh nenek jahat itu ?" tanya Lo In. "Kejadian itu pada suatu sore, di waktu dia ajak aku melihat ular kesayanganku. Tiba-tiba Tok-gan Siancu beringas melihat si nenek, kepalanya bangun dari melingkarnya kemudian menyambar tangan si nenek yang sedang pegang jeruji kerangkeng dari bambu, menggigit tanganya itu hingga dia semalaman panas dingin tidak bisa tidur. Kalau dia tidak ketolongan oleh obatku, dia pasti melayang jiwanya. Tapi dia bukan terima kasih padaku, malah keesokan harinya, aku lihat aku punya Tok-gan Siancu sudah menjadi bangkai dalam kerangkengnya, dibunuh oleh si nenek jahat. Aku menangis atas kematiannya itu.........' Eng Lian bercerita sambil menangis, ingat dengan ular kesayangannya yang sangat jinak dan menjadi teman mainnya. Lo In menghibur Eng Lian, tapi diam-diam hatinya merasa gemas pada Ang Hoa Lobo yang sangat telengas itu. Pikirnya, ada satu waktu kalau tenaganya sudah pulih kembali, ia ingin memberi hajaran pada si nenek. Eng Lian selagi susut air matanya, tiba-tiba mendengar cetcowetan kunyuk di luar jendela. "Nah, itu teman-temanmu datang." ia kata pada Lo In. Lo In mengawasi ke jendela, ia lihat Pek-gan dan Pek-tauw sedang menurunkan kirimannya melalui sela-sela jeruji. Lo In perdengarkan suara cetcowetan juga hingga Eng Lian heran dan merasa lucu. "Hihi, dia juga bisa bicara monyet......." seraya menekap mulut Lo In, tapi cepat ia tarik pulang lagi tangannya itu ketika melihat matanya Lo In melotot padanya. Pikirnya, Lo In tentu sedang bicara serius dengan sang kera, makanya perbuatannya tadi dipelototi. Memang, Lo In sedang beri teguran Pek-gan dan Pek-tauw, kenapa dua kera itu tidak berusaha untuk menolong ia dalam kesusahan. Ia tegaskan si nenek dan si kakek bukan orang baik-baik, harus mereka waspada nanti dijebak oleh mereka. Seperti yang menerima salah, kedua kera itu membungkam mulutnya pada saat Lo In sedang cetcowetan mengomeli pada mereka. Tidak lama, setelah Lo In tutup mulutnya berhenti bicara, Pekgan dan Pek-tauw cetcowetan sebentar, manggut-manggut, lalu meninggalkan tempat itu. Setelah melihat Lo In mukanya tenang lagi, baharulah Eng Lian berani menanya, "Adik In, kau omong apa dengan dua temanmuitu ?" "Aku marah-marah, mereka sangat goblok, tidak berusaha mencari daya untuk menolong aku ! Rupanya mereka ketakutan dan lari pergi." menerangkan Lo In. "Pandai benar kau bercakap-cakap dalam bahasa monyet, adik In." memuji Eng Lian, mesem manis. "Kau lagi marahmarah, pantesan aku dipelototi. Coba sekarang matamu melototi aku, kalau aku tidak gasak mukamu, jangan panggil aku si Lian !" Dengan serentak Lo In tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Eng Lian, apalagi melihat si dara cilik ketika mengucapkan kata-kata paling belakang, sembari gulung tangan bajunya dan keluarkan kepalan tangannya yang bulat kecil mungil, diunjukan pada Lo In. Sepasang anak jenaka itu kelihatan cocok satu dengan lain, seolah-olah tidak menghiraukan kekejamannya si Nenek Kembang Merah dan si Iblis Alis Buntung. Ketika menjelang malam, dua orang jahat itu berunding. "Cici, lebih baik kita mampusi saja si setan kecil itu !" usul Siauw Cu Leng pada 'darlingnya', masih saja ketakutan dia terhadap Lo In. "Kau jangan aduk-aduk rencanaku, Cu Leng." sahut Ang Hoa Lobo. Siauw Cu Leng tidak setuju dengan rencanaya si Nenek Kembang Merah karena ia tahu kepandaiannya Kwee Cu Gie yang hebat. Nanti bukan Kwee Cu Gie yang berlutut tapi si nenek yang semaput berlutut di hadapan pendekar tersohor itu, pikir Siauw Cu Leng. Tapi ia tak mau menyatakan pikirannya itu pada Ang Hoa Lobo, kuatir si nenek marahmarah membuat hatinya tidak enak. Sebab si nenek kalau marah-marah bukan mulutnya saja yang nyap-nyap tapi tangannya suka nampar. Mereka terus kasak kuduk berunding, sementara sang malam sudah mulai sangat sunyi. "Tolong kau tuangkan air dicangkir untuk aku minum." memerintah si nenek pada kekasihnya. Siauw Cu Leng menurut, ia tuang air dari teko sebanyak 2 cangkir sebab yang satu lagi cangkir untuknya. Kemudian ia serahkan satu cangkir pada Ang Hoa Lobo. Ia ini menyambuti, lalu tempelkan ke mulut untuk dihirup isinya. Belum menghirup habis, tiba-tiba cangkir itu melesat ke jendela, dilontarkan oleh Ang Hoa Lobo sambil membentak, "Bangsat ! Kau berani mengintai ?" Menyusul suara cetcowetan di luar jendela. Kiranya si kepala putih yang cetcowetan itu. Ia kesakitan kupingnya yang kiri kena keserempet pinggiran cangkir yang dilontarkan Ang Hoa Lobo. "Ah, itu kan hanya si kunyuk kecil, cici." kata Siauw Cu Leng mentertawakan Ang Hoa Lobo yang mengira didatangi musuh berat. "TIdak perduli, lekas kejar dan bunuh dia !" perintah Ang Hoa Lobo bengis. Siauw Cu Leng tak dapat membangkang perintah ratunya, meskipun dalam hati ia uring-uringan, terpaksa ia keluar untuk mengejar si kera. Tapi baru saja ia muncul di pintu tiba-tiba tangannya ada yang menyambar. Ia berkelit, selamatkan tangannya dari sambaran tadi. Kiranya yang menyambar tangannya itu adalah Ji-hek yang berdiri di depannya, sudah bersiap-siap untuk menyambar lagi tangan Siauw Cu Leng. Si Iblis Alis Buntung marah bukan main, ia kerahkan tenaganya untuk melancarkan pukulan maut pada Ji-hek. Tapi sebelum tangan jahatnya bergerak, diserang dari belakang oleh Siauw-hek yang sekarang sudah besar. Siauw Cu Leng cepat mengegos, kasih lewat serangan membokong itu. Kemudian ia maju menerjang pada Ji-hek, lagi-lagi serangannya kecandak karena saat itu lompat dua monyet kecil berbareng ke arahnya hendak memeluk lehernya. Kepaksa ia harus mengelak lagi dari serangan dua monyet tadi, hingga mereka ini tubruk angin. Lain-lain kawanan monyet datang mengurung hingga dari berani si Iblis Alis Buntung menjadi jeri melihat datangnya tentara monyet. Entah dari mana datangnya sebab tahu-tahu sekarang ia berhadapan ratusan monyet kecil dan besar, dibantu oleh Jihek dan Siauw-hek. Dimana adanya Toa-hek " Si Iblis bertanya-tanya dalam hatinya yang jeri. Ia lalu berteriak-teriak minta bantuan Ang Hoa Lobo yang segera muncul dengan toya besinya yang berat. Ia melihat Siauw cu Leng tengah dikerubuti kawanan kera, bukan main marahnya. Ia putar toya besinya, maksudnya hendak menyerbu melepaskan 'darlingnya' dari kepungan tentara kera. Tetapi sebelum ia dapat bergerak, dari atas genteng rumah melayang satu tubuh. Itulah Toa-hek yang sudah lama menanti munculnya si nenek. Lengannya dirasakan sangat sakit kena dicekal Toa-hek hingga toya besinya jatuh sendiri. Tapi Ang Hoa Lobo bukannya si nenek kejam kalau hanya segebrakan saja dapat dikuasai Toa-hek. Seketika itu ia mengerahkan lwekangnya, mendorong cekalannya Toa-hek pada lengannya. Sekali berontak ia sudah lolos dari cekalan Toa-hek. Cepat ia pungut toyanya lalu menyerang pada si orang utan yang perdengarkan suara her ! her ! yang menakutkan. Ang Hoa Lobo tidak gentar dengan roman Toa-hek yang sedang gusar. Toyanya digeraki untuk menyodok perut Toa-hek. Tapi sodokannya lupu karena dengan manis si orang utan dapat menyelamatkan diri dengan berkelit lompat ke samping kiri si nenek akan dari mana lengan kanannya yang berbulu dipakai membentur toya Ang Hoa Lobo terus ditekan ke bawah. Inilah gerakan 'Kim ke tan tian ci' atau 'Ayam Emas geraki satu sayap' yang Lo In ajarkan kepada Toa-hek dalam latihannya. Ternyata si gorila cerdik juga dan dapat mengingat diorakanya tipu silat istimewa itu. Cuma sayang ia kalah cerdas dengan Ang Hoa Lobo. Bukan toya si nenek dapat ia rebut, sebaliknya dadanya hampir ditembusi senjatanya Ang Hoa Lobo, kalau ia tidak cepat memutar tubuh untuk menyelamatkan diri dari sodokan maut itu. Ang Hoa Lobo gunakan tipu 'Hek liong lam cu' atau 'Naga hitam mencari mutiara' untuk memusnahkan tipu Toa-hek 'Ayam emas menggerakkan satu sayapnya'. Ketika toyanya ditekan ke bawah, ia tidak lantas tarik pulang, sebaliknya ia kerahkan tenaga dalamnya disalurkan ke toya yang membuat toya jadi sangat berat. Dalam heran, melihat toya tak dapat ditekan, Toa-hek terkejut waktu sekonyong-konyong si nenek ditarik pulang, kemudian dengan kecepatan kilat disodorkan ke arah dadanya. Untung ia dapat memutar tubuhnya untuk berkelit. Kalau tidak, celaka dia kepanggang toyanya si nenek. "Hehe, pintar juga kau." tertawa si nenek, sedang hatinya diam-diam merasa gegetun, kenapa gorila ini bisa ilmu silat. Ia lantas menduga akan Lo In yang ajarkan tentu. Segera ia sudah mulai menyerang pula pada Toa-hek yang ketika itu sudah memperbaiki posisinya. Manusia kontra binatang itu jadi bertempur seru. Selainnya memang latihan dan kecerdasan. Ang Hoa Lobo pun ada pakai senjata toya untuk mendesak lawannya yang bertangan kosong. Maka sudah tentu saja Toa-hek tak dapat mempertahankan perlawanannya. Belum 10 jurus, ia sudah patah perlawanannya. Toya si nenek sudah melanggar bahu kanannya, lantaran kurang cepat ia mengegosi serangan lawan. Untung sebelum si nenek menghajar lebih telak padanya, beberapa kunyuk yang melihat si gorila dalam bahaya sudah lantas turun tangan mengerubuti sehingga Ang Hoa Lobo menjadi sangat repot. Si nenek putar toyanya yang menerbitkan angin menderuderu. Kawanan monyet itu melihat gelagat juga. Sementara Ang Hoa Lobo tengah memutar toyanya, mereka tidak berani datang menerjang, hanya menonton saja dari kejauhan. Menggunakan kesempatan itu, Ang Hoa Lobo sudah enjot tubuhnya, menyela ke arah Siauw Cu Leng yang sedang dikerubuti. Di sini Ang Hoa Lobo memutarkan pula toyanya untuk membubarkan kepungan atas kekasihnya sehingga kawanan monyet itu pada mundur melihat datangnya bahaya. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hanya Ji-hek dan Siauw-hek yang masih menempur Siauw Cu Leng yang sudah kehabisan 'bensin' kelihatannya. Napasnya tampak ngos-ngosan, keringat mengucur membuat pakaiannya basah kuyup. Ia merasa girang atas kedatangan Ang Hoa Lobo, dapat ia bernapas sedikit legaan, apalagi ia melihat Siauw-hek kena kehantam toyanya si nenek, menambahkan kegirangannya. Ia tinggalkan Ji-hek dan lompat mengubar Siauw-hek yang berkaok-kaok kesakitan, melarikan diri. Lebih baik barangkali kalau siauw Cu Leng tidak mengejar Siauw-hek sebab justru ia mengejar, ia telah mengalami kesulitan, hampir jiwanya melayang. Di saat ia sudah hampir menyandak si anak gorila, tahu-tahu dari atas pohon kedengaran suara 'bleber', itulah si rajawali yang pentang sayapnya menyambar pada Siauw Cu Leng. Bukan main kagetnya si Iblis Alis Buntung. Musuh alotnya sudah muncul sedang tenaganya sudah hampir habis. Apa daya " Ia jadi menghela napas lalu memeramkan matanya untuk terima nasib dicengkeram si rajawali yang kukunya runcing-runcing. Tengah ia berdiri sambil memeramkan matanya, tiba-tiba ia merasa dirinya disambar orang dan dibawa lari, dipanggul di atas pundak. Itulah Ang Hoa Lobo yang menolong kekasihnya dalam bahaya maut. Sambil memutar toyanya untuk melindungi diri, ia geraki kakinya sekuatnya untuk menyingkir dari sambaran-sambaran si rajawali yang amat ganas kelihatannya. Suara menderu-deru dan angin keras dari putaran toyanya si nenek membuat si rajawali tidak berani gegabah mendekatinya. Ia hanya menyambar-nyambar saja sambil keluarkan pekikan menyeramkan. Ang Hoa Lobo lama-lama merasa jeri untuk meladeni si burung raksasa yang makin lama makin beringas menerkamnya. Ia sembari lari dan memutar toya, matanya celigukan untuk mencari tempat perlindungan. Di sana, di sebelah depannya kira-kira sepuluh tombak, ia melihat ada rimba yang lebar dengan pohon-pohon, maka ia lari kesitu. Benar saja, ia dengan kekasihnya dapat menyelamatkan diri sebab untuk masuk mengejar ke dalam rimba itu, tak dapat dilakukan oleh si burung raksasa karena sukar ia mementang sayap, dirintangi oleh banyak cabang-cabang pohon. Si rajawali ketika melihat dua musuhnya dapat melenyapkan diri ke dalam rimba, ia melampiaskan marahnya dengan mengeluarkan pekikan-pekikan melengking seram. Siauw-hek sementara itu sudah balik pula berkumpul dengan ibu dan ayahnya, bersam-sama sekalian kawan-kawan monyetnya. Atas penunjukan Pek-gan dan Pek-tauw, Toa-hek sudah hampiri kamar belakang dimana Lo In dan Eng Lian ditahan. Dengan sekali pukul saja, pintu kamar sudah terpentang lebar. Toa-hek masuk ke dalam mencari Lo In. Eng Lian menjerit melihat datangnya si gorila, tanpa disadari ia sudah menubruk dan memeluki Lo In, ketakutan setengah mati. Badannya bergemetaran dalam pelukan Lo In hingga Lo In tidak tahan untuk tidak mentertawakan kelakuan sang kawan yang jenaka itu. Lo In usap-usap rambut kepala si dara cilik yang hitam jengat dan halus, yang saat itu tengah umpatkan mukanya di dada Lo In, seram melihat kedatangan Toa-hek. "Enci Lin, kau jangan takut. Mereka adalah kawan-kawan kita........" kata Lo In, suaranya halus sambil tangannya memegang dagu si dara supaya Eng Lian melihat pula pada si gorila. Eng Lian mendengar kata-kata Lo In memberanikan diri untuk memandang kepada si orang utan. Kali ini ia melihat, bukan atu tapi ada tiga orang utan yang sedang berlutut di hadapan Lo In. Terbelalak matanya Eng Lian, hatinya berdebar-debar. "Enci Lian, mereka adalah Toa-hek sekeluarga." Lo In memperkenalkan pada Eng Lian. Meskipun Lo In dalam penuturannya, ada menceritakan juga tentang tiga gorila ini, Eng Lian tidak dapat lepas dari perasaan takutnya karena sikapnya ketiga gorila itu benarbenar menyeramkan. "A......... aku takut In." sahut si dara cilik. "Kau jangan takut, nanti aku kenalkan." berbareng Lo In mulutnya cetcowetan bicara kepada Toa-hek sekeluarga. Betul-betul membuat Eng Lian heran sebab setelah Lo In bicara, ketiganya lalu bangkit dan mendekati si dara cilik untuk mengusap-usap lengan dan pipinya. Karena saking takutnya, Eng Lian lebih kencang memeluk Lo In, pipinya yang kanan merapat di dadanya Lo In, hanya sepasang matanya saja yang bundar jeli bundar, kedap kedip memandang pada tiga kawan Lo In. Ia rasakan bulu-bulu Ji-hek dan tangannya yang kasar mengusap-usap pipinya. Ia beranikan hati untuk menerima 'tanda persahabatan' itu malah makin lama usapan-usapan Ji-hek itu dirasakan makin meresap dalam hatinya, tanda kasih sayangnya seorang ibu. Maka pelan-pelan perasaan takutnya telah terusir pergi jauh. Eng Lian jadi tabah. Dasar anah jenaka dan berani, seketika itu juga berubah sikapnya. Ia balas mengusap-usap tangan Jihek seraya menjabat tangan Siauw-hel dan Toa-hek hingga ketiga kera itu berjingkrak kegirangan. Eng Lian kaget mereka berjingkrakan, dikira hendak menerkam dirinya. Tapi setelah Lo In memberi keterangan bahwa mereka itu kegirangan, si dara berubah sikap, membuat Eng Lian bersenyum manis dan angguk-anggukkan kepalanya. Toa-hek sekeluarga sebenarnya merasa heran wajah Lo In berubah hitam tapi mereka kenali suaranya. Lo In yang belum bisa jalan dipondong oleh Toa-hek, dibawa keluar dimana sudah ada ratusan kera yang menyambut, ramai cetcowetan yang dapat memekakkan telinga. Sangat kegirangan rupanya mereka dapatka 'rajanya' selamat. Malah si kera Mata Putih dan si Kepala Putih sudah datang mendekat Lo In untuk minta dielus-elus kepanya, rupanya mereka menagih jasanya yang sudah mengabarkan pada kawan-kawannya tentang Lo In terancam bahaya. Memang merekalah yang disuruh Lo In untuk mengabarkan dan mengatur penyerbuan dari tentara kera ke situ untuk membebaskan ia dan Eng Lian dari cengkeraman orang-orang jahat. Eng Lian kagum pada Lo In yang sudah dapat mengerahkan tentara keranya untuk mengusir Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu Leng, dua manusia iblis kejam. Tiba-tiba terdengar pekikan si rajawali, sebentar saja burung raksasa itu sudah terbang mendatangi. Ia mendekam di depan Lo In yang sedang dalam pondongan Toa-hek, kepalanya manggut tiga kali. Lo In bersenyum, "Tiauw-heng, terima kasih kau sudah bantu mengusir orang-orang jahat itu, Bagaimana, kau baik-baik saja berpisah denganku beberapa hari ini ?" demikian Lo In berkata-kata kepada burung kesayangannya. Eng Lian yang mendengar kata-kata Lo In, hatinya ketawa geli. Pikirnya, masa bicara sama seekor burung seperti juga bicara dengan manusia, mana burung itu mengerti maksud omongannya " Tapi alangkah ia tercengang ketika melihat si rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya dengan manja kelihatannya, ia gosok-gosokkan tubuhnya pada kepalanya. Lucuk lagak-lagaknya si burung raksasa hingga Eng Lian jadi ketawa, kali ini bukan dalam hatinya saja yang cekikian. Ia mendekati Lo In mencekal lengannya, lalu berkata, "Adik In, kau benar-benar hebat." jempolnya yang mungil pun berbareng diunjukkan hingga Lo In tertawa bangga. Lo In perlu merawat diri untuk memulihkan tenaga dalamnya, maka ia perintah tentara keranya termasuk si rajawali supaya berjaga-jaga di sekitar rumah itu, jangan kasih orang asing datang mengganggu. Dalam rumah Eng Lian, Lo In dirawat si dara cilik dengan penuh perhatian hingga si bocah merasa sangat berterima kasih pada kawan barunya itu. Lewat dua hari, Lo In tampak sudah dapat belajar jalan dipimpin oleh Eng Loan. Pada waktu mereka ngomongngomong di serambi belakang rumah, tiba-tiba Eng Lian seperti mengingati sesuatu. Seketika ia bangkit dari duduknya. Lo In cepat pegang tangan si dara cilik menanya, "Ada apa Enci Lian ?" "Tunggu !" sahut Eng Lian sambil lepaskan tangannya dari cekalan Lo In. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan cepat. Tidak lama kemudian, ia muncul lagi dengan satu gelas ditangannya. Ia mendekati Lo In dan berkata, "Adik In, aku mempunyai obat manjur untuk mengembalikan lwekangmu cuma aku takut kau tidak berani makan." Lo In ketawa, "Enci Lian, aku sangat berterima kasih kepadamu." sahut Lo In. "Jangan kata obat, racun juga kalau kau suruh aku makan, aku tidak akan menolak pemberianmu." Si dara cilik cekikikan ketawa mendengar kata-kata Lo In. "Anak tolol" katanya setelah ia habis ketawa. "Orang mau kasih obat kenapa jadi racun dibawa-bawa " Memangnya aku si Nenek Kembang Merah " Hihihi......." Lo In pun turut ketawa. "Mana obat itu ?" ia kemudian menanya. "Ini dia obat manjur yang tidak ada duanya." sahut Eng Lian seraya angsurkan gelas yang ada ditangannya tadi. Lo In menyambuti. Ia periksa isi gelas, ia dapatkan satu benda bundar sebesar telu ayam, warnanya meah tua direndam dengan arak putih. Tampaknya benda itu lunak sekali seakanakan telur ayam barusan dipecahkan. "Barang apa ini ?" tanya Lo In keheranan. "Kau makan dahulu, nanti baru aku ceritakan," sahut Eng Lian. Lo In dekati gelas pada hidungnya, ia terkejut, dari dalam gelas menyambar bau harum yang enak sekali. "Kau takut makan ?" tanya si dara cilik, mukanya kelihatan cemas. Lo In adalah seorang laki-laki, tidak mungkin ia menarik pulang apa yang sudah ia kaakan tadi pada Eng Lian, meskipun itu hanya bersifat main-main. Maka setelah ia nyengir sebentaran, ia lantas angkat gelas itu dan isinya sekali teguk saja lenyap lewat tenggorokannya. "Adik In, oh...kau...." Eng Lian menubruk, memeluk Lo In kegirangan, hampir ia menciumi pipi orang. Lo In gelagapan dipeluki Eng Lian dengan tiba-tiba, gelas yang dipegangnya itu hampir jatuh di lantai. "Kau kenapa, enci Lian ?" si bocah menanya. Sambil tangannya masih memegang kedua pundaknya Lo In, si dara cilik menatap parasnya si bodah, mukanya menyungging senyuman. Ia berkata, " Adik In, rejekimu besar senyuman. Kau akan sembuh, sembuh......segera !" "Enci Lian, bagaimana kau tahu aku bakalan sembuh segera ?" tanya Lo In. "Adik In, itu yang kau makan adalah lwetam dari Tok-gan Siancu, ular kesayanganku yang aku ambil setelah mati." menerangkan Eng Lian sambil duduk pula di tempat duduknya tadi. "Hanya lwetam ular, apalah artinya ?" kata Lo In tertawa. Lwetam artinya nyali, jadi Lo In sudah telan nyali ular. "Kau tidak tahu khasiatnya." kata Eng Lian lagi. "Menurut kata ayahku, Tok-gan Siancu mempunyai lwetam yang tak ternilai. Cuma saja nyali itu tak dapat dimiliki begitu saja, misalnya dengan sengaja kita bunuh mati Tok-gan Siancu, lantas diambil nyalinya. Ini tidak akan ada khasiatnya. "Jadi, bagaimana semestinya ?" Lo In memotong tidak sabaran. "Adik In, kau dengar dulu aku cerita. Jangan kau potong." kata Eng Lian. Lo In nyengir. Kemudian Eng Lian meneruskan ceritanya, "Tok-gan Siancu harus marah dahulu dan lalu menggigit orang. Dengan begitu bisanya sudah buyar. Bisa itu terpusat pada nyalinya. Tok-gan Siancu sudah marah dan menggigit si jahat Nenek Kembang Merah, maka nyalinya sudah bersih dari racun. Justru ia kena dibunuh Ang Hoa Lobo, aku jadi ingat akan kata-kata ayahku. Maka aku cepat membelah perutnya, ambil nyalinya yang berharga itu sebelum aku kubur bangkainya. Nyali itu aku rendam dalam obat yang dapat mengawetkan. Pikirku akan aku berikan pada ayah apabila ia sudah pulang mencari ibu." "Habis, sekarang kau kasih nyali itu aku makan, ayahmu tidak kebagian, bagaimana kau nanti dapat mempertanggungjawabkan pada ayahmu ?" kata Lo In. Si dara cilik bersenyum. Ia berkata lagi, "Taruh kata ayahku pulang, dia juga belum tentu berani memakannya. Karena nyali yang kau makan itu baru dapat sebagai obat dan menimbulkan khasiatnya kalau ia dimakan oleh orang yang lwekangnya tinggi sedang terluka parah. Khasiatnya untuk mengembalikan tenaganya yang lenyap dan menambahkannya berlipat ganda. Ini, entah benar atau tidak, aku sendiri belum pernah mengalami. Tapi lihatlah nanti reaksinya bagaimana setalah kau makan nyalinya Tok-gan Siancu." Lo In anggukkan kepala. Sementara itu ia rasakan badannya tiba-tiba panas. Ia minta si dara cilik untuk memimpinnya masuk. Ia ingin rebah diatas pembaringan. Eng Lian cepat memenuhi permintaannya. Belum lama Lo In rebah, tiba-tiba Eng Lian dibikin kaget oleh suara merintih Lo In. "Kau kenapa, adik In ?" Eng Lian menanya. "Panas, oh, panas aku rasakan sekujur badanku.........." Lo In berteriak. Eng Lian tidak tahu apa yang harus diperbuatnya ketika melihat Lo In sangat gelisah diatas bale-balenya, tak tahan merasakan menyerangnya hawa panas. Ia mau menghampiri, menjadi takut. Karena Lo In seperti yang sedang mengamuk. Ia takut kena jotosan kepalannya Lo In. Betul-betul bingung Eng Lian. Cuma mulutnya saja yang ramai menanyakan Lo In kenapa bisa jadi begitu. Tapi, ia tak dapat jawaban dari si bocah. Tiba-tiba ia ingat bahwa Lo In jadi begitu setelah makan nyalinya ular. Apakah itu yang menjadi gara-garanya " Ia jadi takut sebab Lo In makan lwetam itu atas anjurannya. Ia bukannya meracuni, memang dengan sungguhsungguh Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ia hendak menolong Lo In tapi kenyataannya sekarang jadi begini. Bagaimana " Lima menit kira-kira Lo In bergelisahan. Tiba-tiba tubuhnya diam, tenang dan ia bisa tidur nyenyak. Entah kenapa bisa jadi begitu. Eng Lian segera mendekat Lo In lalu mencekal tangannya. Ia periksa sekujur badannya si bocah mandi keringat. Cepat ia ambil kain-kain tebal untuk menyekanya. Tak dapat Lo In dibanguni meskipun digoyang-goyang keras tubuhnya. Ia tidur sampai keesokan harinya baru mendusin membuat Eng Lian menangis ketakutan kalau-kalau si bocah mati. Sekarang melihat Lo In membuka matanya, Eng Lian ketawa, berhenti menangisnya. Sambil susut airmatanya, ia menanya, "Adik In, apa kau sudah baik ?" "Eh, kenapa kau tanya begitu " Dan kenapa kau menangis, enci Lian ?" balik menanya Lo In yang menjadi keheranan nampak si dara cilik menangis. "Adik In, kau tidak tahu, aku ketakutan kau mati !" sahut si gadis cilik. Lalu Eng Lian tuturkan bagaimana Lo In dalam kegelisahannya mengamuk diatas bale-bale karena kepanasan, bagaimana si bocah terus tidur nyenyak sampai sekarang baru mendusin. Hal mana membikin Lo In kaget, lantas ia mencelat bangun. Begitu enteng ia mencelat, ketika ia tancapkan kakinya di lantai tidak perdengarkan suara apaapa seperti juga jatuhnya selembar daun. Eng Lian terbelalak matanya, heran melihat Lo In dengan mendadak saja bisa gerak, badannya lompat mencelat dari tempat tidurnya yang sebenarnya untuk bangun saja ia harus mendapat pertolongan si dara cilik. Belum sempat ia menanya, tiba-tiba ia rasakan pinggangnya dicekal Lo In dan tubuhnya diapungkan, hampir saja kepalanya menyundul atap rumah kalau tidak cepat-cepat Lo In menyusul lompat dan tarik pulang si dara cilik dan dilain saat, Eng Lian jatuh dalam pelukan Lo In. "Enci Lian, kau adalah penolongku......." bisik Lo In seraya mencium pipinya si dara cilik hingga Eng Lian merasa panas mukanya. Tapi ia tidak mau berontak sebab dalam pelukan Lo In, ia merasa lebih aman. Tapi kemudian ia berontak juga sambil mencubit pipi si bocah, ia berkata : "Anak nakal. Kenapa kau bikin encimu kaget setengah mati barusan ?" "Ah, enci Lian, maafkan aku." sahut Lo In seraya melepaskan pelukannya. "Saking kegirangan aku, sampai lupa yang diapungkan itu ada enciku yang baik hati. Hahaha......" Mulutnya si nona menjebir, lucu tapi ia tidak mengatakan penyesalan apa-apa sebag memang juga hatinya turut girang dengan kembalinya lagi tenaga Lo In berkat pertolongan dari nyali ular kesayangannya, Tok-gan Siancu. Memang luar biasa khasiatnya nyali ular itu. Sebab Lo In merasakan bukan saja tenaga lamanya pulih kembali tapi juga seperti bertambah, badannya dirasakan jauh lebih enteng dari pada sebelumnya. Selama Lo In dalam kegirangan, Eng Lian sering menatap wajahnya Lo In lama, hingga Lo In curiga. Ia menanya, "Ada apa yang heran diwajahku, enci Lian ?" "Itu, eh, itu.... tanda yang tidak bisa hilang." sahutnya. "Tanda apa, enci Lian ?" Lo In kata heran sebab sejak dahulu ia tidak punya tanda apa-apa diwajahnya yang cakap. "Itu tanda hitam diwajamu, adik In." sahut Eng Lian. "Kukira tadinya dengan makan nyali ular kesayanganku itu, sekaligus akan mengunjuk khasiatnya, menghilangkan tanda hitam pada wajahmu. Tapi kenyataannya....... masih saja ada." Sebelum Lo In membuka mulut menanya, Eng Liang sudah menuturkan bagaimana si Nenek Kembang Merah sudah membikin wajah Lo In menjadi hitam legam. Lo In terkejut, ia usap-usap keras pipinya yang hitam lalu pandang jari-jari tangannya yang dipakai mengusap-usap tadi. Ia tak dapat lihat ada tanda-tanda hitam. Jadi tanda hitam itu tak dapat dihapus. Ia pinjam kaca dari Eng Lian dan mengacai wajahnya. Benar saja mukanya hitam legam. Bukan main marahnya si bocah. "Kurang ajar itu nenek dekat mampus. Akan kau rasakan pembalasanku nanti........." "Ah, kau jangan marah, adik In." memotong Eng Lian. "Kita belum tahu betul dia jahat, membunuh orang misalnya, maka tak perlu kita balas membalas. Asal kita ketemu dia, dengan rela dia memberi obat pemusnahnya, kita bikin habis saja urusan. Dengan begitu tidak saling balsa membalas lagi. -- 9 -- Lo In adatnya halus. Ia suak mengampuni siapa juga. Kalau barusan ia mengucapkan kata-kata mau membalas, itu didorong oleh hawa amarahnya yang muncul seketika. Maka waktu Eng Lian menasehatkan dengan kata-kata yang lemah lembut dan masuk dalam sanubarinya, ia angguk-anggukan kepalanya dan menyatakan penyesalannya. Dua anak itu suka membanyol, jenaka tapi pribadinya luhur. Cocok mereka itu menjadi teman yang akrab, di lembah yang jauh dari pergaulan manusia. Sampai disini kita tinggalkan Lo In dan Eng Lian. Mari kita lihat perjalanan Kim-wan Thauto. Setelah ia meninggalkan Kim Popo begitu saja dibawah terik panasnya matahari, selagi ia jalan tiba-tiba ia mendengar ada derap kaki kuda mendatangi dari belakangnya. Ketika ia menoleh, kiranya ada tiga penunggang kuda yang mendatangi ke arahnya. Entah siapa gerangan mereka itu. Mereka melarikan kudanya cukup kencang ketikan melewati ia. Ia dapat melihat wajahnya mereka itu. Yang satu, yang paling tua diantara mereka, usianya dikira 45 tahun, yang kedua 40 tahun dan yang muda ditaksir kurang lebih 20 tahun. yang pertama mukanya terang, tak berkumis, yang kedua mukanya hitam, piara kumis berewokan, yang muda parasnya cakap. Si berewokan pada waktu lewati Kim-wan Thauto bepaling pada si thauto, matanya melotot mengawasi. Si thauto tidak senang dipelototi tanpa sebab, tapi sebelum ia menegur, orang yang berusia paling tua tadi kedengaran berkata pada si berewokan, "Samte, kau jangan cari urusan sebelum kita ketemu toako......" Kim wan Thauto lantas tidak dengar lagi apa yang mereka bicarakan kemudian karena kudanya dipecut lari makin kencang. Dengan menggunakan ilmu entengi tubuhnya, Kim Wan Thauto menyusul mereka. Sayang tak dapat menyusul karena mereka sudah jauh jaraknya, apalagi ketika sampai di satu tikungan, Kim Wan Thauto kehilangan jejak mereka. Kim Wan Thauto teruskan perjalanannya sambil menebaknebak dalam hatinya, siapakah mereka itu dan apa sebabnya tiba-tiba si berewokan pelototinya. Sebentar kemudian ia sampai di desa Kunhiang, satu desa yang besar juga dan ramah penduduknya. Diantaranya banyak orang-orang hartawan yang tinggal menetap disitu, pada membuka perusahaan. Kim Wan Thauto masuk ke sebuah rumah makan 'An Goan', dimana kedapatan banyak tamu dari dalam dan luar desa Kunhiang. Ia terus masuk mengambil tempat disuatu pojokan lalu pesan makanan pada pelayan yang menghampirinya. Sementara ia menunggu makanan disiapkan, ia memandang ke sekitarnya. Ia lihat ada satu tamu yang menghadapi meja besar sendiri saja, sedang meja besar demikian biasanya untuk para tamu dalam rombongan besar. Ia heran melihat tamu itu yang barusan ia lewati ketika memasuki rumah makan. Tamu itu mukanya persegi, jenggotnya macam jenggot kambing. Alisnya yang kanan hilang, rupanya bekas golok mampir pada bagian dekat alisnya itu, juga matanya meram. Tegasnya mata kanannya picak. Entah ia sedang menunggu siapa sebab sikapnya seperti ada yang ditunggu, tiap sebentar matanya mengawasi ke jurusan pintu masuk. Sebentar kemudian, sewaktu Kim Wan Thauto mulai dengan hidangannya, ia mendengar suara ramai orang bercakap di sebelah luar, pintu pun lantas terbuka, masuklah orang-orang yang ramai bercakap-cakap tadi. Mereka disambut oleh orang yang duduk sendirian tadi dengan kata-kata, "Wah, kenapa kalian datang lama benar ?" "Maaf toako, barusan kita diajak Kongcu untuk menemukan ayah Kongcu dahulu sehingga kita terlibat dalam arena percakapan, itulah yang bikin kita terlambat." kata seorang diantaranya yang berusaha masuk. Kim Wan Thauto terkejut sebab mereka itu tiada lain adalah tiga orang penunggang kuda yang ditemukannya di jalanan tadi. Anak muda yang bersama-sama menunggang kuda ternyata adalah anaknya Tan Wangwee, seorang hartawan yang cukup terkenal. Mereka bertiga memanggilnya Kongcu. Tan Kongcu supaya dikenal baik oleh pemilik rumah makan termasuk pelayannya karena ia dengan kawan-kawannya mendapat pelayangan yang istimewa kelihatannya. Dari percakapan mereka, Kim Wan Thauto dapat mencuri dengar. Hatinya jadi terkejut juga sebab tiga orang itu tiada lain adalah Sucoan Sam-sat atau tiga algojo dari Sucoan yang terkenal kekejamannya di wilayah Sucoan. Tiga algojo itu mempunyai julukan masing-masing yang menyeramkan. Si toako bernama Puy Teng alias Giam-ong (Raja akherat), si jiko yaitu si muka terang namanya Teng Cong, julukannya Mo-jiauw atau si Cakar Setan, yang bontot si berewok yang melototi Kim Wan Thauto menamakan dirinya Sin-mo Lie Kui, si Iblis Sakti. Gelarannya si hebat-hebat, entahlah kepandaiannya tapi yang terang mereka terkenal dengan perbuatan yang suka sewenang-wenang dan buas. Tiga alogojo dari sucoan itu tidak bisa omong perlahan, mereka bercakap-cakap dengan berisik sehingga banyak orang yang ada di situ pada dapat curi pendapatan mereka, diantaranya tentu Kim Wan Thauto yang menaruh perhatian istimewa atas kedatangannya Sucoan Sam-sat ke desa itu. Kiranya mereka itu datang atas undangan Tan Wangwee, mereka spesial diundang oleh Tan Kongcu untuk membikin perhitungan dengan Liu Wangwee yang menuduh Tan Wangwee ada simpanan orang jahat dalam rumahnya. Kim Wan Thauto paling suka mencampuri urusan yang tidak adil, maka dalam hal Tan Wangwee dan Liu Wangwee, ia ingin tahu duduk perkaranya. Ia lebih percaya pada Liu Wangwee yang benar kalau melihat orang-orang undangan Tan Wangwee terdiri dari bajingan buas. Maka itu, ia harus cari tahu keadaannya Liu Wangwee, tapi dimana " Ia masih asing dalam deast itu yang baru pertama kali ia datangi. Ia tidak kurang akal, sebab begitu kawanan jahat itu sudah bubaran dengan tidak memperhatikan dirinya yang duduk di pojokan, ia lantas panggil pelayan yang melayani ia untuk menanyakan keterangan dimana letak rumahnya Liu Wangwee. Cuaca sementara itu sudah mulai sore. Ia sewa kamar dalam rumah makan itu yang merupakan juga rumah penginapan. Ketika hari mulai gelap, ia bikin kunjungan ke rumahnya Liu Wangwee. Kiranya rumahnya si hartawa Liu itu sekitarnya dikurung rapat dengan pagar tembok. Tingginya kira-kira satu setengah tombak. Kim Wan Thauto tidak mau mengunjunginya dengan terang-terangan sebab kuatir tuan rumah nanti salah sangka atas kedatangannya yang tiba-tiba itu. Maka pikirnya lebih baik sebentar tengah malam saja ia kembali lagi bikin penyelidikan. Oleh karena itu ia lalu pulang ke hotelnya kembali. Setelah mengisi perutnya lebih dahulu, Kim Wan Thauto lalu masuk ke kamarnya. Sambil menunggu waktu, ia rebahan. Ketika ia merobah miring, tiba-tiba ia rasakan ada yang mengganjal. Lantas ingat akan kotak yang ia rampas dari Kim Popo dalam kantongnya. Ia lalu merogoh keluarkan, ia main-mainkan ditangannya dan mencoba membukanya tapi kotak itu tak dapat dibuka. Ia girang tapi entah apa isinya buku mungil itu, tidak diketahuinya. Ia menyesal tak ditanyakan itu pada si nenek bandel. Ia kelihatannya tidak begitu menghargakan kotak itu, maka ditaruhnya di bawah bantal setelah beberapa lama dimainmainkannya. Ia kemudian bangun lagi dari rebahannya, ambil buku dari kantongnya lalu duduk membacanya sampai kemudian ia mendengar kentongan dua kali dipukul menandakan jam dua tengah malam. Pikirnya sudah waktunya ia lakukan penyelidikan. Seketika itu ia keluar dari kamar dengan mengambil jalan dari jendela supaya tidak mengganggu tamutamu yang nginap disitu dan bikin curiga pemilik hotel. Sebentar saja ia sudah sampai di dekat rumahnya Liu Wangwee. Tidak susah, dengan menggunakan ilmu entengi tubuh, ia sudah lompat melewati tembok pekarangan dari rumah hartawan Liu. Rumah itu ternyata berloteng. Pada tingkat satu, ia lihat masih terang. Apakah masih ada orang yang belum tidur " Tanyanya pada diri sendiri. Ini kebetulan sekali, pikirnya. Lalu dengan menggunakan kepandaian memanjat, sebentar saja ia sudah sampai di loteng tingkat satu. Ia mengintai dari jendela. Ia lihat di dalamnya ada seorang lelaki yang kira-kira berusia lima puluhan tengah membaca buku, sedang disampingnya terdapat seorang gadis yang kira-kira berusia 18 tahun sedang duduk. Kim Wan Thauto lantas menduga akan Liu Wangwee, ketika ia mendengar si gadis berkata-kata, "Sudah malam ayah. Untuk apa urusan demikian dipikirkan." "Tapi anak Hiang." kata sang ayah. "Kau jangan meremehkan paman Tan." "Dia toh takut pada ayah, kenapa mesti dipikirkan ?" kata si gadis lagi. Lu Wangwee tarik napas sambil letakkan bukunya diatas meja, ia berkata lagi, "Anak Hiang, ayah sudah nasehatkan, kau jangan suka mengatakan apa-apa tentang paman Tan tapi kau seenaknya saja omong hingga jadi urusan sekarang. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bagaimana sebenarnya yang menjadi pokok lantaran, coba kau terangkan. Jangan pakai diumpat-umpatkan.: "Itulah pada suatu hari," sahut si gadi. "Ketika enci Ciok datang padaku membujuk aku supaya aku terima lamaran saudara misannya, si Kongcu ceriwis itu, dia ada menyebut bahwa kekayaan paman Tan jauh lebih kaya dari pada kita. Hatiku jadi panas dan meyemprot dia dengan kata, 'Tentu saja paman Tan lebih kaya lantaran pelihara maling dalam rumahnya !' Kata-kata ini rupanya disampaikan pada paman Tan sehingga ia menjadi marah, menegur ayah supaya minta maaf di depan umum. Aku yang salah, aku yang tanggung jawab, kenapa ayah dibawa-bawa ?" Si gadis ketika mengucapkan kata-kata yang paling belakang, kelihatan marah, menggertakkan giginya, gemas rupanya dia. "Terang si Ciok mesti adukan kata-katamu yang menyinggung itu." kata Liu Wangwee. "Karena buat dirinya juga tidak enak, kau mengatakan pamannya pelihara maling. Paman Tan sendiri, tidak berani padaku, tapi dia ada punya orang. Dia kasih tempo buat ayah menghaturkan maaf dalam tempo tiga hari. Kalau dalam tempo tersebut ayahmu tak memenuhi permintaannya, dia akan minta kawan-kawannya datang untuk menghajar ayah. Besok sudah hari ketiga, entah bagaimana nanti kejadiannya. Kabarnya paman Tan sudah mengundang kawan-kawannya dan sudah datang tadi siang." "Siapa yang dia datangkan ?" tanya si anak. "Kau mana tahu kekejaman paman Tan. Dia sudah datangkan bala bantuannya, tidak tanggung-tanggung ialah Sucoan Samsat yang tersohor sangat buas !" "Tiga algojo dari Sucoan......." menggumam si gadis. "Kalau ayah takut, biar saja nanti aku yang layani. Baru tiga algojo, meskipun dia datangkan selusin algojo juga aku tidak takut !" "Kau punya kepandaian apa ?" tanya si ayah, melengak heran. "Ayah nanti lihat saja." sahut sang anak. "Sekarang ayah masuk tidur saja, urusan diserahkan pada aku saja yang nanti menghadapinya." Liu Wangwee bingung. Bagaimana anaknya begini gagah " Siapa yang dia bakal andalkan " Dia sendiri yang menghadapinya, itu tak mungkin sebab ia tahu benar Bwee Hiang, anak gadisnya tidak punya kemampuan itu. Ilmu silatnya hanya ia yang ajari, bagaimana dia begitu besar hati untuk menghadapi musuh berat " Tapi untuk membuat anak gadisnya senang, ia pun menurut disuruh masuh tidur, diantar oleh Bwee Hiang. Kim Wan Thauto diam-diam memuji kegagahan si gadis. Ia pun angkat jempolnya. Tapi ketika ia mau angkat kaki dari situ, ia urungkan karena mendengar suara menangis sesenggukkan. Itulah Bwee Hiang, yang sudah balik lagi dari mengantarkan ayahnya masuk tidur. Ia duduk diatas kursi yang barusan diduduki ayahnya, menangsi sesenggukkan tanpa ada orang yang menghiburnya. "Aku yang sudah menerbitkan bencana, mengapa ayahku yang harus bertanggung jawab " Oh, nasib........ibu...... ibu, kenapa kau sudah meninggalkan aku lebih dahulu ?" terdengar si gadis berkata-kata sendirian, ia sesambat pada ibunya yang sudah lama berada di alam baka. Kim Wan Thauto yang berhati baja, melihat adegan itu tak dapat mempertahankan kesedihannya. Ia diam-diam merasa terharu akan nasibnya Bwee Hiang. Kapan ia ingat lagi, ia jadi heran kenapa si gadis menangis begitu sedang tadi ia lihat tegas si gadis begitu gagah mengucapkan kata-katanya untuk tanggung sendiri semua urusan yang mengancam keluarga Liu. Apa benar si gadis mempunyai kepandaian tinggi untuk menghadapi Tiga Algojo dari Sucoan " Sehingga Kim Wan Thauto masih ragu-ragu. Tapi bisa saja terjadi keanehan-keanehan, maka Kim Wan Thauto pikir biarlah ia nanti menonton saja apa yang akan dilakukan oleh si gadis. Malah diam-diam ia berjanji akan membantu si gadis manakala dipandang perlu. Setelah berpikir demikian, maka ia lantas berlalu dari tempat mengintainya tanpa diketahui oleh si gadis yang masih menangis sesenggukkan. Pada hari esoknya, ada hari penghabisan dari ultimatum yang dikirimkan pada Liu Wangwee tapi oleh Tan Wangwee ditunggu-tunggu tidak ada kabar apa-apa dari pihak hartawan Liu sehingga Tan Wangwee menjadi amat mendongkol. Oleh karenanya ia lalu himpunkan kawan-kawannya yang diundang. Dalam desa kunhiang itu, diantara hartawan-hartawan yang paling menonjol adalah hartawan Liu. Ia mempunyai banyak pabrik tahu, tenun dan lain-lainnya dimana ia pakai banyak buruh sebagai pekerjanya. Dengan adanya mata pencaharian yang dibuka oleh hartawan Liu, maka tidak heran kalau desa kunhiang menjadi amat ramai. Buruh dari mana-mana pada datang minta pekerjaan pada perusahaannya Liu Wangwee. Kawan-kawannya hartawan Liu yang juga dikenal sebagai hartawan sangat menghormat Liu Wangwee karena ia ini meskipun kaya juga tidak sombong dan banyak menolong orang yang dapat kesusahan. Di antara kawan-kawan Liu Wangwee termasuk juga Tan Wangwee. Hartawan Tan memang terkenal kaya tapi tidak membuka perusahaan apa-apa. Orang tidak tahunya mendapat kekayaan dari mana tapi yang terang kekayaannya makin bertambah saja sejak anak-anaknya pulang dari tempat lain. Katanya baru tamat dari belajar silat dan pulang ke rumah untuk bantu usaha orang tua. Belum lama Tan Kongcu pulang dari perguruan, dalam desa kunhiang yang tadinya aman-aman saja, lantas jadi banyak maling. Hartawan-hartawan yag menetap dalam desat itu banyak dipreteli kekayaannya oleh maling-maling itu. Itu bukan maling biasa sebab semua itu dikerjakan oleh satu orang dan untuk kejadian itu orang desa kunhiang menaakan ia 'Huicat' atau 'Maling biasa terbang' karena tak dapat diselidiki jejaknya baik oleh korban-korbannya sendiri maupun oleh pihak yang berwajib. Yang herannya justru maling terbang itu mengincar hartawan-hartawan yang 'kaya' saja sebab yang tanggungtanggung tak pernah mendapat gangguan. Jadi keadaan tidak aman hanya dialami oleh mereka yang betul-betul hartawan. Liu Wangwee meskipun ia sendiri belum pernah mendapat gangguan, dengan sendirinya sebagai ketua kaum hartawan ia malu hati buat peluk tangan saja. Maka ia kumpulkan kawankawannya untuk berunding mencari jalan sampai mereka dapat mengamankan lagi desanya dari gangguan maling. Belum ada keputusan tentang daya apa dapat diambil untuk menangkap maling terbang itu, dua hari sejak diadakan rapat oleh Liu Wangwee, rumahnya sendiri telah didatangi si maling terbang itu. Ia sendiri tidak menghadapinya tapi gadisnya, Bwee Hiang, pada malam itu sudah bertempur seru dengan si maling terbang yang pakai topeng mukanya. Sudah menjadi kebiasaan Bwee Hiang, ia baharus masuk tidur kalau ayahnya terlebih dahulu ia antarkan masuk tidur. Maka ia tidur lebih larut (malam) dari ayahnya. Waktu barusan saja ia bangkit dari duduknya hendak meninggalkan ruangan baca, kupingnya yang tajam seperti mendengar ada orang yang membuka jendela perlahan. Ia pura-pura tidak memperdulikan itu, terus saja ia jalan. Tapi ia tidak menuju ke kamarnya, tapi ia membelok ke satu gang yang dapat menembus keluar. Ia lantas dapat memergoki seorang yang sedang mengintip di jendela. Si nona segera menduga yang datang adalah maling terbang. Maka dengan tidak bersuara kakinya menotol lantai, tubuhnya yang langsing mencelat ke arah orang yang sedang mengintip tadi. "Maling terbang, akhirnya kau datang juga. " kata si gadis sekonyong-konyong. Bukan main kagetnya orang itu sebab segear ia berkelit ke kanan dengan gugup mengelak serangan Bwee Hiang yang membarengi kata-katanya tadi. Itulah kejadian di atas loteng tingkat satu. Si maling terbang tidak membalas serangan si gadis, hanya ia lompat ke atas genteng. Enteng sekali tubuhnya, menghampiri loteng tingkat dua. Ia mengira kegesitannya sudah tidak ada taranya, tapi bukan main kagetnya ketika ia barusan saja menginjak genteng terdengar pula suaranya Bwee Hiang, "Kau mau lari " Hmm ! Tamu datang tidak disambut, itu tidak hormat !" Si maling lantas putar tubuhnya, sekarang ia berhadapan dengan si gadis yang tersenyum mengejek kepadanya. Sungguh ia tidak mengira, kalau Bwee Hiang dapat menandingi kegesitannya, malah kelihatan lebih gesit lagi. Bwee Hiang ketika jalan keluar hendak pergoki si maling, ia sudah sembat pedang yang biasa ia pakai dalam latihan dengan ayahnya. Dengan senjata itu ia tunjuk si maling sambil berkata, "Hui cat, kau tak akan lolos dari aku !" Si maling tidak menjawab, hanya ia lantas menghunus pedangnya. "bagus !" kata Bwee Hiang, "Mari kita main-main !" Kata-katanya ditutup dengan serangan pada dua jurusan. Pertama, ujung pedang si nona seperti menyerang tenggorokan, ketika si maling bertopeng menangkis, ia tarik pedangnya supaya jangan bentrok dengan senjata lawan, lantas diteruskan menusuk pada 'kiok-ti-hiat', jalan darah di bagian pundak kiri untuk sekalian menyontek tulang pundak orang. Gerakan ini dilakukan dengan cepat laksana kilat, salah satu jurus yang hebat dari Bwee Hoa Kim Hoat (Ilmu silat pedang kembang bwee) yang dinamai 'Hoa kay beng goat' atau 'Kembang mekar memandang rembulan'. Tapi si maling bertopeng cukup gesit. Melihat tangkisannya luput sebab pedang lawan cepat ditarik pulang, pundaknya yang di arah si nona ia elakkan dengan turunkan pundaknya sedikit hingga ujung pedang tak dapat sasarannya. "Aha, boleh juga !" kata Bwee Hiang melihat serangannya yang ditujukan pada dua arah luput semua. Berbareng, ia pun lantas menyerang pula dengan jurus-jurus yang mematikan. Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar ke arah jalan darah lawan sehingga merupakan tekanan yang berat bagi si maling terbang. Apalagi pikirannya tidak mau melayani si nona lama-lama. Maka begitu ia mendapat lowongan, lantas enjot tubuhnya mencelat mundur ke tepi genteng rumah, dari mana dengan ilmu entengi tubuh ia loncat ke genteng rumah tingkat satu akan terus loncat ke bagian bawah, lari menghampiri tembok pekarangan. Tubuhnya enteng sekali diwaktu ia melompati tembok pekarangan rumah Liu Wangwee, dari mana ia teruskan larinya ke arah barat dan melenyapkan diri dalam sebuah rumah besar. Maling itu mengira dirinya tidak dikejar si nona karena beberapa kali ia menoleh ke belakang tidak nampak bayangan yang mengejar apalagi mendengar suaranya si nona. Tapi ia salah hitung. Ia boleh gesit dan dapat menghilang bagaikan setan kalau kepandaiannya itu dihadapkan pada orang biasa atau ilmu silatnya hanya ilmu silat pasaran saja. Tapi kali ini ia menghadapi Bwee Hiang yang kegesitannya cukup tinggi. Tentu saja jejaknya tak luput dari kuntitan si nona. Ketika ia menghilang dalam rumah besar tadi, tiba-tiba Bwee Hiang berdiri tertegun. Sebab rumah itu adalah rumah Tan Wangwee. Ia lantas menduga bahwa Tan Wangwee dalam rumahnya ada pelihara maling, makanya kekayaannya dengan tentu meningkat tanpa orang mengetahui dari mana sumbernya. Si gadis pulang lagi ke rumah. Pikirannya makin yakin bahwa Tan Wangwee telah pelihara maling. Maka ketika keesokan harinya ia ketemu ayahnya, lantas ia menceritakan pengalamannya semalam. Sang ayah terkejut juga mendengar cerita anaknya, lantas ia berkata, "Anak Hiang, kau sudah tahu rahasianya paman Tan, harap kau jaga mulutmu jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang bisa menyinggungnya. Paman Tan segan dan menghormatku karena dia tahu aku ada seorang yang dipandang tinggi oelh penduduk kunhiang dan dia tahu juga aku berkepandaian tidak rendah dalam ilmu silat. Tapi kalau kita membuat gara-gara menyinggung kehormatannya, dia tentu akan pandang lagi padaku. Dia dapat datangkan kawan-kawannya dari golongan jahat untuk menghadapi aku karena dia sendiri tidak berani untuk berurusan langsugn dengan aku. Ingat, anak Hiang !" Bwee Hiang mengiakan atas nasehat itu. Tapi ia lupa ketika Cok Ciok, teman mainnya yang menjadi keponakan Tan Wangwee membanggakan kekayaannya hartawan Tan di atas kekayaan keluarga Lu. Hatinya panas seketika dan mengatakan tentu saja Tan Wangwee lebih kaya karena dalam rumahnya ada pelihara maling. Kata-kata inilah yang menjadi 'urusan' sehingga Tan Wangwee mengundang Sucoan Sam-sat yang sangat kesohor kebuasannya untuk menghadapi Liu Wangwee. Dalam pertemuan dengan tamu-tamu undangannya, Tan Wangwee menanyakan pikiran mereka bagaimana mereka akan bertindak kalau sampai nanti malam masih belum terima kabar dari Liu Wangwee. Giam-ong Puy Teng dan Sin-mo Lie Kui ada orang-orang kasar, mereka tidak dapat mengeluarkan pikiran yang baik, maka diminta pikirannya Mo-jiauw Teng cong, si Cakar Setan yang banyak akalnya untuk mengusulkan sesuatu untuk kebaikannya Tan Wangwee. "Menurut pikiranku," kata Mo-jiauw Teng Cong, "Kalau nanti malam Liu Wangwee tidak kirim orang mengabarkan apa-apa kepada kita, sebaiknya kita datangi rumahnya untuk minta keputusan. Kalau dia lulusi permintaan Tan-heng yaitu bersedia untuk minta maaf dihadapan umum, kita bikin habis saja urusan ini. Kalau tidak, baik nanti kita lihat gelagat bagaimana, kalau perlu kita gunakan kekerasan untuk menaklukinya." "Ah, kau terlalu bertele-tele." kata Puy Teng Toako dari Sucoan Sam-sat. "Kau benar Toako, jiko terlalu berliku-liku. Kita ambil jalan pendek saja, kalau nanti dia tidak mau meluluskan permintaan Tan-heng, kita habisi saja jiwanya !" Sin-mo Lie Kui menyatakan pikirannya. "Kita harus pakai jalan lunak dahulu, kalau bisa kita jangan sampai bertempur dengan dia." Mo-jiauw perkuatkan usulnya. "Memangnya Jie-te takut ?" tanya Puy Teng, si toako. "Hahaha......!" Sin-mo Lie Kui tertawa. "Biasanya Jiko paling Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berani, mengapa disini menghadapi Liu Wangwee saja jadi ketakutan ?" Tan Wangwee sementara itu tinggal membungkam. Begitu juga dengan Tan Kongcu, anaknya yang disuruh mengundang Sucoan Sam-sat. Mo-jiauw Teng Cong jadi serba salah. Si Cakar Setan memang ada sedikit jeri, seelah ia cari keterangan bahwa Liu Wangwee selainnya ia sendiri ilmu silatnya tidak renah, juga ada anak daranya yang membantu. Kabarnya hartawan Liu itu juga banyak mempunyai sahabat dalam Bu-lim. Menurut pikirannya, lebih baik digunakan jalan damai saja. Keterangan yang ia dapat itu tidak ia beritahukan kepada dua kawannya karena kuatir ia dikatakan pengecut. Tapi akhirnya si Setan Sakti Lie Kui telah mengatakan juga hingga membuat ia jadi serba salah. Belum ia dapat menyatakan pikirannya lagi, tiba-tiba Tan Wangwee berkata, "Memang, untuk menaikkan pamornya Sucoan Sam-sat, lebih baik ambil jalan pendek saja." "Kau maksudkan apa jalan pendek itu ?" tanya Mo-jiauw Teng Cong. "Kalau Liu Wangwee tidak mau menurut perintahku, lebih baik jiwanya dihabiskan saja." jawab Tan Wangwee. Mo-jiauw Teng Cong kalah suara, maka selanjutnya ia membungkam. Demikianlah, ketika sang malam tiba belum juga diterima kabar apa-apa dari pihak hartawan Liu, maka tiga algojo dari Sucoan itu, diiringi oleh Tan Kongcu telah menyatroni rumahnya Liu Wangwee. Tan Wangwee sendirian tidak turut karena ia malu hati kalau sampai dirumahnya Liu Wangwee ia mesti tarik urat dengan tuan rumah. Di pekarangan rumah, kedatangan mereka disambut oleh Liu Wangwee sendiri. Tuan rumah kelihatan ramah tamah, sedang pihak tamu sangat sombong sikapnya. Tidak termasuk Mo-jiauw yang pandai menggunakan otaknya. Ia melihat Liu Wangwee bertubuh sedang tingginya, agak gemuk, memelihara jenggot yang bagus ! Romannya berwibawa, keras wataknya meskipun kelihatannya ia sangat ramah tamah. Tamu-tamu diundang masuk ke ruangan tengah, dimana sudah disiapkan barang hidangan seperlunya. Rupanya hartawan Liu sudah menduga akan kedatangannya mereka, maka ia sudah suruh pelayan-pelayannya mengadakan meja perjamuan sederhana. Tan Kongcu dan Lie Kui yang lagaknya paling tengik. Terutama Tan Kongcu yang seolah-olah membanggakan para pahlawannya, amat menyebalkan tingkahnya. "Aku tidak melihat ayahmu turut datang, dimana dia, anak Sin ?" tanya Liu Wangwee pada Tan Kongcu ketika mereka sudah sama-sama ambil tempat duduk. Tan Kongcu pelototkan matanya sebelum ia menjawab pertanyaannya Liu Wangwee. Di waktu dalam keadaan biasa, dua keluarga (Liu dan Tan) ada baik satu dengan lain, malah Liu Wangwee tidak melarang Tan Kongcu sesudah masing-masing meningkat dewasa untuk datang ngomong-ngomong dengan Bwee Hiang, puterinya, karena Tan Kongcu teman sepermainan si nona di waktu mereka masih kecil. Jadi persahabatan keluarga Tan dan Liu itu sudah sejak lama. Apa mau sekarang terbit bentrokan yang sesungguhnya amat disayagnkan. Sebenarnya Tan Wangwee sendiri segan bentrokan dengan Liu Wangwee karena urusan tersebut hanya persoalan kecil saja. Tetapi lantaran adanya hasutannya Tan Kongcu, anak muda itu sangat gemas pada Bwee Hiang yang menolak menjadi isterinya malah menghinanya bahwa dalam rumahnya ada pelihara maling. Panggilan Liu Wangwee pada Tan Kongcu biasa saj, memanggil namanya sebagai juga orang tua itu memanggil anaknya sendiri. Setelah pelototi Liu Wangwee, Tan Kongcu menjawab, "Ayah tidak perlu ketemu paman. Dia bilang kalau paman mau kasih kabar, katakan saja padaku." Jawaban yang amat kurang ajar, malah matanya pakai melotot segala. Tapi Liu Wangwee tidak jadi marah. Ia tetap sabar. "Anak Sin," kata Liu Wangwee. "Jawabanku singkat saja. Aku dapat mohon maaf pada ayahmu, tapi tidak dihadapan umum." "Hmm ! Justru ini kita tidak mau terima !" kata Liung Sin mendengus. "Habis, kau mau apa ?" tanya Liu Wangwee, jadi habis sabar rupanya melihat sikap yang tengik dari si anak muda ceriwis menurut Bwee Hiang. Melihat keadaan sudah mulai panas, Mo-jiauw Teng Cong menyela, "Liu Wangwee, kedatangan kami kesini adalah hendak mendamaikan urusan bukan hendak mencari ribut dengan keluarga saudara Liu. Aku pikir, sebaiknya saudara Liu mengalah saja dan suka memohon maaf di depan umum. Dengan begitu urusan menjadi beres." "Saudara ini siapa ?" tanya hartawan Liu yang pura-pura tidak tahu. "Mereka adalah Giam-ong Puy Teng." jawab Teng Cong seraya menunjuk pada saudara tuanya. "Aku sendiri bernama Teng Cong, sedang dia adalah Sin-mo Lie Kui. Kami bertiga, entah bagaimana anggapan orang dalam dunia Kangouw, telah mendapat julukan Su-coan Sam-sat. Julukan ini dilebihlebihi." Liu Wangwee angguk-anggukkan kepalanya sambil mengurut kumisnya yang panjang. "Jiko, untuk apa banyak omong. Lekas, bikin beres saja !" kata Sin-mo Lie Kui sambil matanya melotot pada Liu Wangwee. Hartawan Liu berlagak pilon atas sikapnya si berewok jahat. "Aku sudah katakan," kata Liu Wangwee. "Apakah saudara Teng tidak dengar jawabanku pada anak Sin barusan ?" "Brak !" tiba-tiba terdengar suara piring mangkok di atas meja beterbangan. Sayur pada tumpah berlelehan gara-gara Giamong Puy Teng yang menggebrak meja dengan telapak tangannya yang besar. "Kepala batu !" bentaknya pada tuan rumah. "Aku mau lihat kepandaian apa yang kau mau perlihatkan dihadapan Sucoan Sam-sat !" Teng Cong tidak setuju dengan kelakuan Sang Toako yang berangasan itu tapi perbuatannya sudah terjadi, maka ia tinggal menanti reaksi dari tuan rumah saja. Meskipun Liu Wangwee tidak senang akan kelakuannya si mata satu, ia masih bisa menahan sabar. Katanya, "Aku si tua tidak berguna lagi tapi untuk melayani kau seorang kasar, rasanya masih belum tentu !" "Kau berani sama Sucoan Sam-sat ?" bentak Puy Teng, marah dia. "Sucoan Sam-sat lain, tapi dengan kau, aku tidak tinggal lari !" sahut tuan rumah. Puy Teng bangkit dari duduknya. Ia tertawa gelak-gelak sambil katanya, "Mari, mari diluar kita coba." berbareng tubuhnya, enteng sekali, melesat ke arah pintu. Liu Wangwee tidak takut. Ia pun bangkit dari duduknya, lantas jalan keluar. Di pekarangan ia lihat Puy Teng sudah berdiri menanti. Tidak sampai tarik urat lagi, mereka telah berhadapan, lantas bergebrak. Teng Cong dan Lie Kui tidak berani datang mengeroyok Liu Wangwee karena mereka tahu akan adatnya sang toako. Kalau ia belum kalah belum mau dibantui saudarasaudaranya. Maka juga mereka tinggal menonton saja. Dua macan berkelahi, tentu saja sangat ramai. Liu Wangwee mainkan 'Bwee Hoa Ciang Hoat' atau 'Ilmu pukulan kembang bwee', sedang dipihaknya Giam-ong Puy Teng menggunakan 'Eng-jiauw-kang' atau 'Tenaga Kuku Garuda' untuk melayani lawan. Liu Wangwee mendesak lawannya dengan pukulan-pukulan halus tapi mantap, tapi dilayani dengan sambaran tangan yang keras berat oleh Giam-ong Puy Teng yang menggunakan ilmu pukulan Eng jiauw kang. Tidak kecewa Giam-ong Puy Teng sebagai toako dari Sucoan Sam-sat karena ilmu pukulannya itu saban-saban membuat lawannya tergetar. Dari berimbang, pelan-pelan tampak Liu Wangwee keteter. Liu Wangwee merasa cemas dengan kepandaiannya karena ia yakin bahwa ia bukan tandingannya Giam-ong Puy Teng. Dalam keadaan yang cemas itu, hatinya menjadi makin cemas ketika ia mendengar beradunya senjata dan melihat puterinya Bwee Hiang sudah bergebrak dengan Tan Kongcu. Ia menguatirkan keselamatan puterinya yang tersayang itu, maka perlawanan yang diberikan pada musuhnya tidak sebagaimana mestinya. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba berkelebat tangannya Giam-ong Puy Teng hendak mencengkeram dadanya, ia geser kaki kirinya berkelit dari cengkerama ke arah dada, tapi ia lupa datangnya tangan kiri musuh yang menjambret pinggangnya. Tanpa ampun lagi ia terkulai roboh setelah menjerit perlahan. Giam-ong Puy teng telah menggunakan tipu pukulan 'Say pek sie' atau 'Terkaman singa' untuk mreobohkan lawannya. Jeritan Liu Wangwee diwaktu terkulai roboh disusul jeritan lain ialah jeritan Tan Kongcu yang tulang pundaknya kena disontek ujung pedang Bwee Hiang. Setelah merobohkan lawannya, Bwee Hiang lantas enjot tubuhnya mencelat ke arah tempat ayahnya bertempur. Tapi sudah terlambat karena ayahnya sudah roboh dan tidak bangun lagi. Alisnya si nona berdiri, saking gusarnya ia membentak Giam-ong Puy Teng, "Manusia jahat, kau apakan ayahku " Aku akan adu jiwa denganmu !" Kata-katanya ditutup dengan serangan pedangnya yang tajam. Tapi Giam-ong Puy Teng bukannya Tan Kongcu sebab dengan satu elakan saja pedang si nona menemui sasaran kosong. Ketika ia tarik pulang pedangnya hendak menyerang lagi, di depannya sudah ganti orang. Itulah si berewok Lie Kui yang bengis. "Nona manis, kau jangan main-main dengan toakoku. Untung dia tidak biasa layani bangsa perempuan. Kalau tidak, hmm ! Jangan harap mukamu yang cantik akan tetap utuh !" Itulah kata-kata Sin-mo Lie Kui yang enak untuk si berewok sendiri tapi tidak enak untuk telinganya si nona. Tidak heran kalau Bwee Hiang menggerang disusul dengan serangan pedangnya ke arah orang punya jalanan makanan (kerongkongan) tapi si setan sakti sambil ketawa haha hehe berkelit, "Nona manis jangan galak-galak !" menggoda si muka berewok. Bwee Hiang makin meluap amarahnya, pedangnya menyambar-nyambar tapi si berewok hanya berkelit sana sini tanpa melakukan serangan membalas. Malah menggodainya makin menjadi membuat si nona tak dapat mengendalikan amarahnya. Ia menempur dengan serangan-serangan nekad, justru inilah kesempatan untuk si berewok berlaku ceriwis, coba ulurkan tangan untuk menyolek pipi yang putih dari Bwee Hiang. Untung Bwee Hiang masih awas, ia dapat menyelamatkan mukanya dari colokan Lie Kui yang kurang ajar. Ketika di lain saat si berewok mau menyolek lagi, ia babat tangan orang tersebut dengan pedangnya hingga si ceriwis amat kaget, kalau tidak secepat kilat ia tarik pulag tangannya yang bangor. "Jangan kejam-kejam, nona," ia menggodai Bwee Hiang. (Bersambung) Jilid 04 Kepandaian si nona ketinggalan jauh dibandingkan dengan Sin-mo Lie Kui. Maka ia kena digocok sana sini hingga Tan Kongcu yang menonton di pinggiran menjadi tertawa terbahakbahak meliha si nona sudah mandi keringat meskipun ia sendiri waktu itu menderita rasa sakit bukan main pada luka dipundaknya karena barusan kena disontek pedangnya si nona yang tajam. "Nah, rasakan sekarang pembalasanku, digecek mampus kau oleh samko !" Tan Kongcu mengejeki si gadis yang sedang kepayahan. Lama-lama si nona menjadi lelah, kata-kata si Kongcu ceriwis menusuk hatinya, membuat hatinya sangat pedih. Pikirnya, daripada ia bakal terima hinaan orang-orang jahat itu, lebih baik ia ambil keputusan nekad. Bunuh diri ! Tiba-tiba si gadis melompat dari arena pertempuran, seraya berkata, "Tahan !" "Kau mau bicara apa, nona manis ?" tanya Lie Kui, haha hehe tertawa. Algojo Algojo Bukit Larangan 1 Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Penguasa Gunung Lanang 1

Cari Blog Ini