Bocah Sakti 4
Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 4 Si nona tidak meladeni, hanya menubruk ayahnya yang menggeletak di tanah dengan napas empas empis. Ia girang ketika mendapat kenyataan ayahnya tidak putus jiwanya. "Ayah, legakan hatimu. Semua ini ada gara-garaku, maka aku yang akan bertanggung jawab." Setelah mengucapkan kata-katanya yang gagah itu, si nona tampak bangkit. Ia berdiri, pedangnya masih tercekal di tangannya, matanya mengawasi ke sekitarnya. Tampak olehnya Giam-ong Puy Teng dan kawan-kawannya tengah mengawasinya dengan senyuman masing-masing. "Tuan-tuan." tiba-tiba si nona berkata. "Ayahku tidak berdosa, kalian harus bebaskan ayahku. Akulah yang mengatakan dalam rumah paman Tan ada dipelihara maling. Maka sepantasnya aku yang bertanggung jawab dari itu, sebagai permohonan maaf, lihatlah sekarang aku lakukan..........." Kata-kata ini disusul dengan diangkatnya pedangnya dan akan ditebaskannya lehernya yang putih hingga kawanan jahat yang biasanya tidak berkedip membunuh orang, melihat kelakuan nekad si gadis telah pada menutup matanya, merasa ngeri. "Tring !" tiba-tiba terdengar suara batu kecil membentur pedang, segera juga pedangnya si nona terlepas dari cekalannya. Di susul oleh melayangnya sesosok tubuh dari atas sebuah pohon. Apakah Kim Wan Thauto yang datang menolong Bwee Hiang " Bukan. Kim Wan Thauto memang mengumpat diatas genteng, menonton pertarungan yang terjadi di sebelah bawah. Ketika Liu Wangwee dirubuhkan, ia masih belum mau turun tangan untuk membantu sebab ia ingin melihat bagaimana tindakan Bwee Hiang lebih jauh mengingat kata-kata si nona dihadapan ayahnya. Ia ingin melihat apakah pedangnya si nona akan dapat mengusi tiga orang jahat itu. Tapi ia kecewa hatinya, nampak si nona dipermainkan oleh Lie Kui. Pikirnya, apakah si gadis hanya begitu saja kepandaiannya " Melihat Bwee Hiang berlaku nekad, ia sudah siap akan menggoyangkan kepalanya, untuk melepaskan senjata anting-antingnya ke arah pedang si nona yang tengah diayunkan ke lehernya. Tapi ia jadi tercengang karena maksudnya sudah disusul orang lain. Dalam tertegunnya, ia mendengar orang yang barusan menolong Bwee Hiang tertawa gelak-gelak. Hatinya terkejut sebab suara tertawa itu seperti ia pernah mendengarnya tapi dimana " Ia kumpul ingatannya tapi ia lupa dimana ia pernah dengar suara ketawa yang ia pernah kenal. Orang barusan melayang turun dari pohon, tampak menghampiri Bwee Hiang. Ia memungut pedang si nona yang seketika itu berdiri bagaikan patung. Matanya yang jeli mencilak mengawasi pada orang yang menolong dirinya. Orang itu tak tampak mukanya karena kepalanya terbungkus kerudung kain merah. "Kau siapa ?" tanya si nona seraya menerima kembali pedangnya yang diangsurkan oleh orang yang berkerudung merah. "Anak Hiang," kata si kerudung merah, tidak menjawab pertanyaan Bwee Hiang. "Dengan membunuh diri berarti kau membunuh ayahmu. Sekarang lekas tolong ayahmu dan tamutamu ini serahkan aku yang melayani !" Bwee Hiang kaget, mengapa si kerudung merah memanggilnya 'anak Hiang'. Siapakah dia " Tapi ia sekarang tidak dapat mengajukan pertanyaan karena ia lebih perlu lekas-lekas menolong ayahnya. Cepat ia bertindak menghampiri ayahnya dan lantas memeriksa luka sang ayah yang parah, dua tulang iganya patah. Sementara Sucon Sam-sat yang sedari tadi berdiri tertegun memperhatikan kedatangan si kerudung merah, lantas mengurung si orang asing. Mereka sadar bahwa yang datang niscaya seorang lawan yang alot. "Hmm !" mendengus si kerudung merah. "Liu Wangwee, apakah kurang hormat melayani para tamunya " Biarlah aku yang menggantikannya........." "Siapa kau ?" bentak Sin-mo Lie Kui yang berangasan wataknya. "Kau panggil saja aku si kerudung merah, wakilnya Liu Wangwee." sahutnya. "Bagus, bagus. Hahaha !" kata Giam-ong Puy Teng seraya ketawa terbahak-bahak. "Hahaha............ hahaha......... !" si kerudung merah juga ikutikutan ketawa. Giam-ong Puy Teng mendelikkan matanya. "Kau tertawakan apa, setan !" bentaknya. "Aku tertawakan kau." sahutnya kontan. "Kurang ajar, apa yang harus kau tertawakan ?" tanyanya agak heran. "Itu......... itu..............." sahut si kerudung merah sambil masih tertawa. "Itu, menurutmu aku bagus, kau mana tahu bahwa mukaku bagus sedang aku pakai kerudung." Ini merupakan jawaban yang 'olok-olok' sehingga menimbulkan amarahnya toako dari Sucoan Sam-sat menjadi lebih meluap. Sebelah matanya, yang tinggal satu, mendelik lagi lalu menyerang si kerudung merah dengan jurusnya yang paling diandalkan 'Eng Jiauw chiu' atau 'Cengkeraman cakar garuda', kedua tangannya diulur untuk mencengkeram dada. Gerakannya cepat, kalau kena dicengkeram, pasti melayang jiwa korbannya karena cengkeraman itu berisikan tenaga dalam yang dahsyat. Tapi si kerudung merah acuh tak acuh menghadapi serangan dahsyat itu. Ia menunggu sampai serangan datang, kedua tangannya dirangkap sejenak lalu diajukan ke depan, nyelusup diantara dua tangan lawan, mendadak dipentangkan secepat kilat sehingga dua tangan lawan yang mencengkeram dapat ditolak nyamping. Inilah gerakan 'Siang hong seng thian' atau 'Sepasang burung hong naik ke langit', jurus yang paling tepat untuk memusnahkan 'Eng jiauw chiu' lawan. Melihat serangannya gagal, cepat Giam-ong Puy Teng ganti tipu. Tampak tubuhnya terputar ke belakang lawan. Tangannya yang kanan diulur, mencengkeram bagian pinggang untuk membikin remuk tulang iga. Ini adalah gerakan istimewa dari Giam-ong Puy Teng yang dinamai 'Mo Lie jiauw chiu' atau "Cengkeraman Kuntilanak'. Berbareng ia berkata, "Terima nasib, sahabat !" Ia berkata demikian, menyangka seratus persen serangannya kali ini tak akan luput. Tapi diluar dugaannya sang lawan sudah mengelak dengan gesit sambil lompat satu tindak ke depan. Sebelum si kerudung merah berputar tubuh, Giam-ong Puy Teng sudah maju merangsak, ia menggempur batok kepala musuh dengan gaplokan yang dahsyat. Sayang bukannya si kerudung merah berantakan kepalanya, sebaliknya tampak Giam-ong Puy Teng terkulai roboh. Hal mana membuat dua saudaranya yang tengah menonton dengan kegirangan toakonya diatas angin menjadi keheranan. "Sudah cukup !" kata si kerudung merah sambil lompat menjauhi Giam-ong Puy Teng yang tubuhnya terkulai mendeprok di tanah. Kenapa Giam-ong Puy Teng " Ketika si kerudung merah lompat satu tindak ke depan, berkelit dari serangan Giam-ong Puy Teng yang menggunakan tipu 'Cengkeraman Kuntilanak', ia rasakan dibelakangnya ada sambaran angin. Cepat ia mendek sambil memutar tubuhnya ke kiri. Dalam posisi ini, sehingga ia adanya lowongan pada iga kanan Giam-ong Puy Teng yang sedang angkat tangan kanannya untuk menggaplok kepala, enak saja dua jari tangan kiri si kerudung merah nyelonong ke jalan darah 'thian-coan-hiat'. Kontan si raja akherat menjadi terkulai roboh. Kejadian ini hanya beberapa detik saja. Saking cepatnya, maka tidak heran kalau dua saudaranya Giam-ong Puy Teng menjadi melongo keheranan. Dari melongo keheranan, Sin-mo Lie Kui meluap amarahnya. Lantas saja menerjang si kerudung merah sambil berkata, "Setan, akan aku cuci kehormatan Sucoan Sam-sat !" "Dicuci juga bakalan kotor juga !" menggoda si kerudung merah seraya berkelit dari serangan Lie Kui yang menggunakan jurus 'Mo lie khoa keng' atau 'Kuntilanak berkaca'. Sambaran dua tangannya menghembuskan angin menderu. Biasanya dengan menggunakan serangan ini, Lie Kui dalam segebrakan dapat menjatuhkan musuhnya. Tapi kali ini ia salah hitung. Si kerudung merah lwekangnya sangat kuat. Malah si Setan Sakti tidak menjadi sakti karena kaget nampak musuhnya hilang dari depannya. Ia merasa dirinya gesit, dapat mempermainkan orang, tidak dinyana ia kalah jauh dari si kerudung merah. Bertarung baru lima jurus, lantas Mo-jiauw Teng Cong dapat menilai bahwa saudara mudanya tak dapat menandingi musuhnya. Ia heran kenapa si kerudung merah, tadi waktu menempur Giam-ong Puy Teng tidak memperlihatkan kegesitannya seperti sekarang ini menghadapi ia punya Samte. Melihat saudaranya hanya beberapa gebrakan saja sudah terdesak, ia tidak dapat berpeluk tangan untuk menonton. Maka si Cakar Setan seketika itu lantas menyerbu mengeroyok si kerudung merah yang tengah mempermainkan Lie Kui. Dengan turunnya si Cakar Setan, Lie Kui berharap segera diperoleh kemenangan dengan cepat sebab kepandaiannya sang Jiko atau si Cakar Setan ada lebih tingkat dari ia dan toakonya (Giam-ong Puy Teng). Sayang pengharapannya meleset sebab bukannya mempercepat kemenangan, tapi mempercepat kekalahan. "Bagus." tiba-tiba si kerudung merah berkata ketika ia elakkan cengkeraman Mo-jiauw Teng Cong yang ganas. Berbareng tampak ia mencelat ke atas untuk menghindari gencetan serangan dari dua arah, Mo-jiauw Teng Cong mencengkeram bagian atas perutnya seperti mau mengorek hati, sedang Sinmo Lie Kui menggempur pinggangnya. Tidak sampai menanti sang musuh menginjakkan kakinya ditanah lagi, Lie Kui siap dengan serangan susulan yang mematikan dengan tipu 'Hui hong tong lay' atau 'Angin taufan datang dari timur'. Tangannya diulur saling susul untuk menjambret kaki kanan lawan yang masih dalam keadaan terapung. Tapi kaki lawan seperti ada matanya, ia mengelak, turun sedikit lantas menotok ke arah jin-tiong-hiat di jidat si berewok. Ia hanya menjerit 'aiyoo !' lantas rubuh mendeprok. Totokan pada ujung sepatu ini, membawa efek pada Mo-jiauw Teng Cong. Tangan kanannya yang dibeber bagaikan golok dipakai untuk menebas kaki si kerudung merah yang masih terapung. Ujung sepatu yang barusan menotok jidatnya Lie Kui tampak berbalik lalu menyontek pergelangan tangan. Tepat sekali mengenakan jalan darah 'Yang-kok-hiat', hingga seketika itu Mo-jiauw Teng Cong merasakan lengannya kesemutan, hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya dan kontan ia pun roboh meniru Lie Kui. Gerakan yang dilakukan si kerudung merah memang luar biasa sukarnya. Dengan badan masih terapung, ujung sepatunya dapat menotok roboh dua lawan tangguh sekaligus, bukan suatu ilmu mengentengi tubuh yang mudah dilatih. Tanpa mempunyai lwekang sampai pada batas tertinggi, jangan harap dapat melatihnya. Pun, melatih ilmu demikian akan meminta tempo puluhan tahun. Dalam kalangan Bu-lim, orang namakan tipu silat itu 'Siang hong ko hong', atau 'Sepasang hong terbang lewati puncak gunung'. Jarang terlihat di kalangan jago-jago dalam dunia Kangouw. Bahwa si kerudung merah dapat mendemonstrasikan ilmu yang langka itu, dapatlah diukur sampai dimana hebatnya lwekang orang itu. Oleh karenanya, maka Sucoan Sam-sat dengan sendirinya sudah menjadi ciut nyalinya. Tang Kongcu yang sangat ketakutan lantas angkat kaki meninggalkan kawan-kawannya. Tapi belum berapa langkah, ia rasakan ada angin berkesiur disampingnya dan tahu-tahu si kerudung merah sudah ada dihadapannya. Ia menggigil ketakutan, tubuhnya dirasakan lumpuh dan seketika itu juga dia jatuh duduk. "Mau lari ?" tegur si kerudung merah, suaranya halus tapi berwibawa. "Ampun tayhiap, ampuni aku........." Tan Kongcu meratap sambil tangannya menyoja-nyoja. "Kau yang menjadi biang keladi dari ini semua. Cara bagaimana yang kau hendaki untuk mengampuni kau, anak jahat !" kata si kerudung merah, suaranya agak bengis. Terkejut hatinya Tan Kongcu. Pikirnya, dari mana si kerudung merah dapat tahu bahwa dirinya menjadi biang keladi dari keonaran itu. Ketakutan ditambah kaget, tentu saja hatinya si pemuda jahat jadi terguncang keras dan setelah ia berkata, "Ampun, ampun tayhiap......" lantas saja tubuhnya terkulai dan jatuh pingsan. Tiga sudah rubuh karena totokan dan satu rubuh karena ketakutan, membuat si kerudung merah tertawa gelak-gelak sampai suaranya mendengung di angkasa hingga Kim Wan Thauto yang berada di atas genteng terpengaruh juga. Untuk tidak sampai diketahui oleh si kerudung merah yang lihai itu, Kim Wan Thauto dengan diam-diam sudah meninggalkan tempat sembunyinya, pulang ke hotelnya. Pada keesokan harinya ia berkemas-kemas untuk meninggalkan hotel. Ketika ia meraba ke bawah bantalnya dimana ia sesapkan kotak kecil mungilnya, kaget ia sebab kotak itu sudah tidak ada ditempatnya. Ia ingat betul ketika ia pulang dengan ambil jalan jendela, ia periksa pintu kamarnya masih tetap terkunci. Dari manakah datangnya penjahat yang sudah mencuri barangnya " Ia periksa barang-barangnya yang lain, tidak ada yang kehilangan kecuali kotak kecil itu. Pikirnya, tentu orang sudah masuk dari jendela. Dari kenyataannya orang hanya mengarah kotak itu, jadi kotak mungil itu tentu sangat berharga. Tapi apa yang menjadi sebab kotak itu sangat dimaui " Ini hanya merupakan pertanyaan saja bagi Kim Wan Thauto karena ia sendiri belum lihat isinya. Ia anggap kotak itu tidak penting baginya, maka ia tidak banyak ribut dalam hotel itu. Setelah ia membayar uang sewaan kamar dan makannya, lalu ia ngeloyor meninggalkan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rumah makan An Goan untuk meneruskan kelananya. Balik kepada si kerudung merah. Setelah merobohkan Sucoan Sam-sat dan si Kongcu ceriwis, lalu ia menghampiri Bwee Hiang yang sedang repot menolongi ayahnya. Tadi si gadis, meskipun sedang repot menolongi ayahnya, dapat menyaksikan juga bagaimana si kerudung merah menjatuhkan lawannya satu demi satu. Dalam hatinya merasa amat kagum atas kepandaian tersebut. Entah siapa dia itu, kenpa memanggil dia 'anak Hiang', apakah dia mempunyai hubungan keluarga dengan ayahnya " Demikian dalam hatinya menanya-nanya akan halnya si kerudung merah. Ketika si kerudung merah jongkok mau periksa lukanya Liu Wangwee, si nona sudah siap untuk memajukan pertanyaan siapa adanya penolong itu, tapi tidak jadi karena penolong itu lantas berkata, "Anak Hiang, mari kita bawa ayahmu masuk ke dalam rumah. Ia perlu dengan pertolongan cepat." Tanpa menanti jawaban, si kerudung merah sudah memondong Liu Wangwee. Sampai di dalam rumah, para pelayan yang menggigil ketakutan, yang turut menyaksikan jalannya pertandingan barusan sudah menyambut tubuhnya Liu Wangwee untuk diletaki diatas pembaringan kecil dimana biasanya Liu Wangwee suka pakai untuk tidur siang. Hartawan Liu masih terus pingsan. Ketika diperiksa lukanya oleh si kerudung merah, ternyata dua tulang iganya patah. Si kerudung merah geleng-geleng kepala setelah melihat lukanya Liu Wangwee. Melihat itu Bwee Hiang menjadi ketakutan. "Apa luka ayah tak dapat disembuhkan ?" ia menanya pada tamu asing. "Dapat, cuma makan tempo lama." sahut si kerudung merah. "Asal sembuh kembali, tak perduli berapa lama, aku akan merawatnya." kata Bwee Hiang dengan hati lega. "Bagus, kau anak baik, anak Hiang." kata si kerudung merah pula. "Kau keliru berkata begitu." si nona bersenyum sedih. "Kenapa ?" tanya si kerudung merah. Heran ia mendengar kata-kata Bwee Hiang. "Aku anak puthauw (tidak berbakti) sebab akulah yang menjadi gara-gara hingga timbulnya kejadian seperti sekarang." jawab Bwee Hiang seraya menundukkan kepala dan dari kedua matanya yang bagus mengucur air mata. "Mari kita tolong ayahmu." si kerudung merah berkata, menyimpangkan kesedihannya si nona. Sementara itu, ia minta air kepada salah satu pelayan untuk membersihkan lukanya Liu Wangwee. Bwee Hiang usulkan untuk memanggil sinshe, tapi tamu asing itu menggoyangkan tangannya. "Tak usah, nanti aku obati sendiri ayahmu." ia berkata. Si nona percaya akan kepandaian orang tersebut. Ia hanya membantu saja apa yang ia dapat atas pekerjaan si bintang penolong untuk kesembuhan ayahnya. Malam harinya, Liu Wangwee kedengaran merintih. Seluruh tubuhnya terasa panas, sedang dibagian yang luka parah amat sakit. Tapi setelah diberi obat lagi oleh si kerudung merah, perlahan-lahan Liu Wangwee hilang rintihannya dan kemudian baru dapat pulas. Dijaga oleh Bwee Hiang yang tidak tidur baragn sekejap pun pada malam itu. Selama mana, sering ia tumpahkan air mata. Ia sangat menyesal telah menerbitkan bencana pada ayahnya. Pemberesan pada kawanan penjahat dilakukan sangat singkat oleh si kerudung merah. Setelha memberikan pertolongan pertama pada Liu Wangwee, ia keluar lagi dari rumah dan menghampiri korban-korban totokannya. "Untuk membuat kalian jangan penasaran, nah, mari kita bertempur lagi !" berbareng ia menyepak satu demi satu tubuhnya Sucoan Sam-sat. Giam-ong dan dua saudaranya segera juga bebas dari totokan. Mereka lompat berdiri mengawasi si kerudung merah. Hanya Tan Kongcu yang masih belum dibebaskan totokannya, yang dalam pingsan telah ditotok oleh si kerudung merah. Maksudnya supaya anak hartawan jahat itu tidak melarikan diri, sementara ia memberikan pertolongan kepada Liw Wangwee. Tiga algojo dari Sucon merasakan badannya segar kembali. Maka semangat berkelahinya juga lantas timbul dengan serentak. "Sahabat, kau buka kerudungmu kalau kau benar laki-laki !" kata Giam-ong Puy Teng. "Hahaha !" si kerudung merah tertawa. "Tidak ada yang istimewa di wajahku, buat apa kalian hendak mengenalinya " Kalian terkenal sangat jahat, maka aku ingin memunahkan tenaga dalam masing-masing. Untuk membikin kalian jangan jadi penasaran, maka aku pun sudah membebaskan kalian dari totokan !" Mendengar itu, tiga jagoan dari Sucoan amat kaget. Belum pernah mereka sekaget saat itu. Tapi hati mereka angkuh karena percaya dengan tiga tenaga gabungan, mereka dapat mengalahkan si kerudung merah yang sangat sombong. Mo-jiauw Teng Cong yang pandai bicara dan banyak akalnya berkata, "Kami tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau hendak memusnahkan lwekang kami ?" Terdengar si kerudung merah tertawa, lalu berkata, "Memang, dengan aku pribadi kalian tidak bermusuhan tapi kalian sangat jahat dan banyak membunuh sesama manusia, tak pandang bulu, jahat atau baik. Kejahatan kalian sudah tak terkira, maka aku akan mewakili mereka yang sudah mati penasaran untuk menghukum kalian........." "Kentut !" memotong Sin-mo Lie Kui yang menjadi panas atas kata-kata si kerudung merah, sikapnya sudah hendak menyerang. "Jangan temberang, sahabat !" menyela Giam-ong Puy Teng. "Maksudmu hendak memusnahkan lwekang kami bertiga hanya merupakan impianmu saja. Ha ha ha.........." berbareng ia menerjang hendak menjambret kerudung lawan. Cuma sayang kepandaiannya di bawah si kerudung merah sebab bukan saja kerudung orang luput menjambret, malah jari-jari tangannya kena disentil hingga ia merasakan kesakitan dan lantas lompat mundur lagi. Mo-jiauw Teng Cong, diantara tiga jagoan jahat itu yang percaya bahwa si kerudung merah akan buktikan katakatanya, sebenarnya mencoba mendamaikan urusan sehingga dapat dibereskan dengan menyenangkan. Tetapi usahanya selalu dibikin gagal oleh sikap dan kata-kata kedua saudaranya yang ingin selalu berkelahi sebagai keputusannya. Dengan suara kalem terdengar si kerudung merah berkata lagi, "Sebaiknya kalian bersiap-siap sebab temponya sudah dekat untuk aku musnahkan lwekang kalian. Lekas siap !" Dua orang berangasan, Giam-ong Puy Teng dan Sin-mo Lie Kui, begit kata 'siap!' meluncur dari mulutnya si kerudung merah, sudah lantas menerjang dengan jurus-jurusnya yang paling ganas untuk mengirim lawannya ke dunia lain. "Bukan kami tapi kau yang akan kami musnahkan lwekangnya !" bentak Giam-ong Puy Teng dengan suara menggelepar, saking marahnya dia. "Belum komplit kalau belum turun tiga-tiganya." menyindir si kerudung merah seraya mengelak sana sini menghindarkan serangan dua orang yang sudah kemasukan setan. Mo-jiauw Teng Cong yang berdiri dengan ragu-ragu, merasa tepat sekali kena sindiran si kerudung merah, maka hatinya pun panas seketika. "Jangan jumawa, sahabat !" ia kemudain berkata sambil terjun dalam arena pertempuran, mengeroyok si kerudung merah. "Hahaha, ini baru komplit !" katanya. Berbareng dengan perkataan 'komplit !' segera terdengar suara 'buk ! buk !' beberapa kali, disusul oleh jeritan saling susul dan........ di lain detik tampak Sucoan Sam-sat pada tergeletak sana sini. Sementara si kerudung merah tampak berdiri ketawa-ketawa. Ketiga jagoan jahat itu tidak melihat, entah bagaimana si kerudung merah bergerak, tahu-tahu merasakan punggungnya digebuk dua kali. Kontan rasa panas menyelusup ke ulu hati, kaki berbareng lumpuh hingga seketika itu tak tahan untuk mendeprok di tanah. Tapi hanya sebentaran saja hawa panas yang merupakan reaksi dari gebukan di punggung itu, sebab segera sudah pulih lagi kesegarannya. Mereka menjadi kegirangan, tapi tatkala mereka coba empos tenaga dalamnya, tiba-tiba 'plong....' hilang lenyap. Mereka mengerti bahwa tenaga dalam mereka sudah dimusnahkan oleh si kerudung merah. Mereka pada bangun berdiri sambil menundukkan kepala. "Kalian sangat jahat. Kalau watak demikian kalian masih belum mau buang, lain kali ketemu aku, terang aku tak bisa ampuni lagi. Nah, sekarang enyahlah kalian !" si kerudung merah mempersilahkan Sucoan Sam-sat meninggalkan tempat itu. Mereka ngeloyor pergi dengan tidak berani angkat kepala. Sungguh menyedihkan, Sucoan Sam-sat yang biasanya seenaknya membunuh orang seperti juga memotong rumput, kini sekaligus mendapat malu di desa Kunhiang. Apakah mereka dapat memulihkan pula lwekangnya kemudian belajar lagi untuk menuntut balas kehinaan yang mereka telah alami hari itu, entahlah dibelakang hari. Yang terang, mereka malu untuk pulang ke rumahnya Tan Wangwee lagi. Langsung mereka pulang ke sarangnya di Sucoan. Setelah mereka pergi, si kerudung merah menghampiri Tan Kongcu dan membebaskan ia dari totokan. Ketika ia bangun berdiri, lantas mendengar si kerudung merah berkata, "Kau menjadi biang keladi keonaran, kau harus dihukum !" Tan Kongcu menggigil ketakutan, takut ilmu silatnya akan dimusnahkan. "Tapi mengingat kau tidak sejahat Sucoan Sam-sat, maka aku kasih kelonggaran. Nah, hunuslah pedangmu dan potong sebuah kupingmu !" menitah si kerudung merah. Tan Kongcu ragu-ragu sebab hilangnya kupingnya sebelah berarti mengurangi parasnya yang cakap, pikirnya. "Apa perlu aku yang harus turun tangan ?" si kerudung merah menegur, waktu melihat si kongcu ceriwis ragu-ragu. "Oh, tidak, tidak....." jawab Tan Kongcu gugup. Berbareng ia pun menghunus pedangnya untuk memotong sebelah kupingnya. Pada saat itu, Bwee Hiang datang menghampiri mereka. Sambil menunjuk pada si kongcu ceriwis, ia berkata, "Dialah sebagai maling terbang yang dicari. Kenapa diberi hukuman begitu murah ?" matanya si gadis mengawasi si kerudung merah. "Bagaimana kau tahu dia si maling terbang ?" tanya si kerudung merah. "Aku dapat tahu dari ilmu silatnya ketika bertempur dengan aku." sahut Bwee Hiang. Si kerudung merah tertawa terbahak-bahak sehingga Tan Kongcu ketakutan setengah mati. Dalam hatinya, diam-diam ia memaki Bwee Hiang, "Perempuan sundel, kau bikin celaka aku. Tunggu nanti pembalasanku !" Setelah tertawa, si kerudung merah berkata pada Tan Kongcu, "Kalau begitu, satu kupingmu itu harus menggelinding di tanah !" Tan Kongcu mengerti, ia toh tak dapat membangkang. Maka ia kerjakan lagi pedangnya untuk menebas kutung kupingnya sehingga ia tak berkuping lagi. Dengan hilangnya kedua telinganya itu, kelihatannya ia sangat lucu. Bwee Hiang hampir-hampir tidak dapat menahan ketawanya, tapi ia tahan sebisanya supaya tidak melukai hatinya si kongcu ceriwis............ Mari kita lihat Lo In dan Eng Lian yang sudah lama kita tinggalkan. Lo In amat berterima kasih pada Eng Lian yang sudah menolong memulihkan tenaga dalamnya dengan memberikan nyali ular kesayangannya. Sebaliknya Eng Lian girang, ia sudah dapat menolong adik Innya yang nakal. Dua anak itu kelihatan cocok satu dengan lain. Tiap hari mereka bermain-main disekitar rumahnya. Eng Lian melihat pakaian Lo In sudah compang camping, merasa tidak tega. Maka ia gunakan temponya untuk membuat pakaian Lo In dari pakaian ayahnya yang ia kecilkan hingga pas untuk dipakai si bocah. Pada suatu hari ketika Lo In keluar dari kamar dengan pakaian 'baru', tampak gagah benar. Maka ia berkata pada Eng Lian, "Enci Lian, buatanmu ini bagus betul. Coba lihat, gagah tidak aku dalam pakaian baru ?" Eng Lian memandang Lo In kemudian ketawa cekikikan mendengar kata-kata si bocah. "Anak kecil," katanya. "Aksi amat nih, pakai mau dipandang gagah segala." "Anak besar yang bikin, mana tidak jadi gagah dipakainya ?" sahut Lo In. Eng Lian monyongkan mulutnya yang mungil. Segera juga kedua bocah itu pada tertawa gembira, masing-masing senang dengan kejenakaan mereka. Oey Hoan Ciang atau ayahnya Eng Lian, ada memelihara puluhan ular di pekarangan rumahnya. Masing-masing dikurung dengan kerangkeng dari bambu. Bermacam-macam ular yang dapat dilihat Lo In ketika Eng Lian ajak si bocah melihat-lihat 'kebun binatangnya'. Pada suatu hari setelah lakukan inspeksi, dua anak itu pada duduk diserambi belakang rumah, dimana biasanya mereka suka duduk omong-omong. Tiba-tiba Lo In terdengar menghela napas. "Hei, kau kenapa ?" tanya Eng Lian kontan. Lo In tertawa mesem. "Aku menyayangkan ular-ular itu tinggal dalam kurungan." kata Lo In. "Coba mereka di.........." "Diapakan ?" memotong Eng Liang, seperti biasa, dia tukang potong omongan. "Dilepaskan aku maksudkan, enci Lian." sahutnya. "Hihihi, anak tolo." si dara cilik ketawa. "Kalau dilepas bukankah mereka tak bisa pulang lagi " Kau ini ada-ada saja." "Enci Lian," kata Lo In serius. "Coba kalau kita lepas, selain kita tidak perlu memikirkan makanannya, juga bagi mereka Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akan sangat berterima kasih karena telah mendapat kebebasan." "Adik In, bagaimana sih. Mana ada ular bisa berterima kasih segala !" kata Eng Lian. Setelah menarik napas lagi, Lo In berkata, "Enci Lian, kau lihat kawanan keraku. Aku dapat menjinakkan mereka dengan kehalusan, mereka sangat setia kepadaku, apa yang aku mau, mereka lantas lakukan tanpa ragu-ragu." Eng Lian diam, tapi otaknya bekerja. "Habis, bagaimana kehendakmu ?" tanyanya. "Ular hanya dapat mendesis, tapi tidak bisa omong." kata Lo In. "Menurut Liok Sinshe, ular dapat diperintah dengan suatu lagu dari tetabuhan. Misalnya kita menggunakan seruling sebagai alat untuk memerintah ular sengan sesuka kita. Aku lihat kamu menjinakkan ular hanya untuk dipelihara, tapi tidak dapat dibuat teman. Ini sayang sekali sebab kalau kita dapat membuat ular-ular sebagai kawan, sewaktu kita membutuhkan tenaganya, dapat kita minta pertolongannya. Ini, kau jangan pandang remeh, enci Lian." Si dara cilik angguk-anggukkan kepalanya. "Mulai sekarang, mari kita mencoba akan kata-katanya Liok Sinshe. Kalau benar ular-ular itu dapat ditundukkan dan diperintah dengan irama lagu, oh, sungguh suatu keuntungan besar bagi kita berdua sebab disamping kita sudah punya teman kawanan kera dan rajawali, juga kita dapat sahabat kawanan ular." demikian Lo In tambahkan. Eng Lian lantas saja bertepuk tangan. "Bagus, bagus." katanya girang. "Mari, kita sekarang mulai. Tapi, eh, dari mana kiat dapat alat tabuhannya ?" "Itu mudah. Kita coba dengan seruling saja." sahut Lo In. "Serulingnya dari mana ?" tanya si dara cilik. "Mari kita cari serulingnya." kata si bocah seraya pegang tangan Eng Lian, diajak berlalu dari situ. Eng Lian mengikuti saja dituntun oleh Lo In. Tidak merasa janggal dia. Karena ini ada kebiasaan Lo In kalau mengajak encinya pergi main-main. Segera juga mereka sudah sampai di satu rimba bambu, dimana Lo In memperhatikan batang-batang pohon bambu yang baik untuk dipakai membuat seruling yang merdu suaranya. Sebentar kemudian, tampak ia mencabut pisau yang diselipkan di pinggangnya dan ia mulai memotong satu batang bambu yang dianggap akan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai seruling. Mereka kemudian balik pula ke rumah, dimana dengan cepat Lo In membuat seruling, sedang Eng Lian hanya menonton saja si adik In bekerja. Setelah selesai, Lo In coba-coba meniupnya. Ternyata bikinannya tidak mengecewakan. Segera juga tiupannya Lo In berirama keras perlahan dan tinggi rendah. "Hihihi, adik In." Eng Lian ketawai Lo In. "Kau bisa meniup seruling, tapi mana bisa kau memerintah ular " Hihihi...." Lo In tidak layani ejekan sang enci, ia terus meniupkan beberapa lagu dekat kurungan-kurungan ular. Ia mencoba pada satu ular yang sebesar lengan, panjangnya satu meter lebih. Beberapa lagu ia perdengarkan tapi ular itu tetap meringkuk, tidak menghiraukan Lo In yang sedang meniup mati-matian. Eng Lian melihat itu, terpingkal-pingkal ia ketawai si bocah. "Aku juga sudah duga, mana dapat ular-ular diperintah dengan lagu. Ada-ada saja, eh, eh....." tiba-tiba si dara hentikan ejekannya ketika ia melihat dengan perlahan ular yang tidur tadi mengangkat kepalanya. Banyak lagu yang ada dalam otaknya Lo In, si bocah jadi kegirangan. Ia ganti berganti meniup lagunya sampai ia membuat sang ular terus berdansa dalam kurungannya. Hal mana membuat Eng Lian jadi berdiri terpaku sambil leletkan lidahnya, saking keheranan. Tiba-tiba Lo In hentikan tiupan serulingnya, lantas putar tubuhnya menghadap Eng Lian yang berdiri terpaku di belakangnya. "Bagaimana, enciku yang baik ?" Si dara cilik tidak lantas menyahut, ia hanya unjukkan jempolnya yang kecil mungil. "Adik In, luar biasa kau......." puji Eng Lian setelah ia sadar dari keheranannya melihat hasil yang gemilang dari percobaannya Lo In. Sambil menghampiri si dara cilik, Lo In berkata, "Selanjutnya, kita akan latih ular-ular yang ada disini sampai mereka bukan saja jinak tapi menurut perintah kita. Kalau sudah begitu, baharulah kita menjadi majikannya." "Kau benar-benar hebat, adik In."memuji si dara cilik sambil mencubit hangat pipi Lo In. Berkat kecerdasan dan kemauan yang sungguh-sungguh, Lo In berhasil dengan percobaannya menundukkan dan memerintah kawanan ular. Ular-ular yang ada dalam kurungan segera pada dilepaskan untuk mendapat kemerdekaannya. Mereka dapat dipanggil balik bila Lo In meniup serulingnya, malah bukan ular-ular yang tadinya dalam kurungan saja, malahan ular-ular lain yang terdapat disekitarnya pada datang dan menghadap kita punya jago cilik yang didampingi oleh ratu ciliknya. Bukan main girangnya Lo In dan Eng Lian melihat hasil usaha mereka. Lo In selainnya mendapat warisan ilmu silat dan surat, juga mendapat warisan dalam ilmu pengobatan dari Liok Sinshe. Tidak heran kalau ia sering mencari akar-akar pohon yang merupakan obat dan menciptakan obat pulung (pil) yang mustajab untuk menjaga kesehatan ia dan Eng Lian. Disamping itu, Eng Lian juga giat belajar silat dari Lo In, juga tidak ketinggalan belajar bahasa monyet hingga selanjutnya ia dapat bergaul leluasa dengan tentara monyet Lo In. Si burung garuda juga sudah jinak dengannya. Malah kalau tidak mereka berduaan naik si rajawali, Eng Lian juga suka pesiar sedirian. Ada pepatah yang membilang, 'Ada waktu berkumpul, tentu ada waktu berpisah'. Pepatah ini memang tidak salahnya, sebagaimana yang dialami oleh Lo In dan Eng Lian. Itulah pada suatu sore, Lo In melihat burung rajawalinya pulang dengan tidak membawa Eng Lian, sedang dua jam yang lalu ia lihat menunggang burung raksasanya sebagaimana biasa untuk pesiar di sekitar lembah itu. Lo In terkejut. Segera ia menghampiri burungnya yang sedang tundukkan kepalanya mendekam. Ia heran, lalu menanya, "Tauw-heng, kau bersama-sama lagi enci Eng Lian. Kemana dia pergi ?" Burung itu diam saja, seolah-olah merasa bersalah. Lo In jadi bingung. Bagaimana dia bisa tahu sedang si rajawali tidak bisa bicara seperti manusia. Maka, ia cepat lompat ke punggung si burung raksasa, ia tepuk pundaknya sambil berkata, "Lekas, bawa aku ke tempat enciku !" Si rajawali lantas bangkit dan pentang sayapnya, segera terbang ke jurusan barat kemudian turun pada suatu tempat yang lebat dengan pepohonan. -- 11 -- Lo In lompat turun dari punggung si rajawali kemudian melakukan pemeriksaan di sekitar tempat itu. Ia sampai pada satu tempat yang banyak tumbuh pohon bunga, tentu ia mendarat di sini. Cepat ia memeriksa, tampak olehnya ada satu pohon kembang yang berbunga bagus sekali. Ia menghampiri ke sana, tiba-tiba ia menjadi kaget tatkala matanya melihat di tanah ada berceceran darah. Apakah enci Lian dibunuh di sini " Tanya ia dalam hati kecilnya. Ia jadi bingung dan sangat kuatir akan keselamatannya enci Liannya. Ia jongkok dan memeriksa lebih teliti, darah itu berceceran sampai pada jalanan masuk ke dalam rimba pohon. Ia mengikuti terus jejak darah yang dapat terlihat, sampai tibatiba ia sadar kalau dirinya sudah dikurung oleh tiga orang yang ia tidak kenal, belakangan menyusul lagi empat orang yang keluar dari semak-semak. Mereka itu rupanya jago-jago silat pilihan, semuanya pada membawa senjata tajam di pinggangnya masing-masing. TibaTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tiba seorang, yang menjadi pemimpin rupanya, berkata, "Hehehe, aku heran. Kenapa Pangcu kirim kita begini banyak untuk membekuk satu anak hitam begini saja ?" Lo In mengawasi pada orang yang barusan berkata. Ia lihat orang itu kira-kira usia pertengahan, mukanya persegi tiga, hidungnya mancung, mulutnya ada sedikit tongos. "Kita mesti percaya pada kata-kata Pangcu. Jangan kita sembarangan memandang enteng, Cin-heng (saudara Cin)." terdengar yang lain berkata. "Aku sih bukannya sombong. Kalau hanya menghadapi segala bocah begini, sembari tiduran juga aku bisa menangkapnya. Ha ha ha !" kata lagi si pemimpin. Kecuali yang barusan kasih nasihat pada orang she Cin, yang lain-lainnya memang pada memandang rendah pada Lo In. Mengurung makin rapat, Lo In heran. Ia tidak kenal dengan mereka tapi sikapnya seperti yang memusuhi dirinya. "Para paman, kalian menghendaki apa dari aku ?" Lo In tanya, sekenanya saja. "Kami akan menangkapmu !" bentak salah satu diantaranya. "Aku tidak bersalah, kenapa mesti ditangkap ?" tanya Lo In. "Kau anaknya Kwee Cu Gie, bukan ?" balik tanya si pemimpin. "Siapa itu Kwee Cu Gie, aku tidak kenal." sahut Lo In kontan. "Bocah hitam, kau mau main-main sama engkongmu !" si pemimpin berkata lagi. Berbareng ia menjambret tangan Lo In yang sedang memegang kembang. Tangan Lo In dapat dicekal, sambil pelintir ia berkata, "Anak hitam, mengakulah. Jangan....... Kau !" tiba-tiba ia berjengit sebab sekarang menjadi berbalik. Bukan tangan Lo In yang diplintir tapi tangan si orang kasar yang diplintir. Kawan-kawan lainnya menjadi kaget, melihat pemimpinnya hanya segebrakan saja sudah dapat dikuasai Lo In. Lo In salurkan sedikit tenaga dalam ke tangannya, segera tangan si pemimpin yang kena diplintir seperti kena strum listrik. Ia teraduh-aduh tanpa dapat melepaskan pegangan Lo In. Meskipun tangannya kecil, seakan-akan melengket. "Kalian kenapa diam saja " Lekas maju semua !" teriak si pemimpin yang sudah jadi mandi peluh kena diplintir Lo In. Seperti baru sadar dari tidurnya, mereka lantas serentak menyerbu. Dua belas tangan menghajar berbareng. Itu bukan main hebatnya. Lo In bisa hancur lebur badannya. Tapi kenyataannya lain, ketika serangan serentak sampai, dengan kegesitannya laksana kilat, Lo In menghilang sambil melepaskan si pemimpin yang dijadikan temberang. Si pemimpin jadi berkuing-kuing seperti babi dipotong karena dihujani pukulan kawan-kawannya sendiri. Kaget mereka, bukan Lo In yang dihujani pukulan tapi kawannya sendiri. Cepat mereka mancari bayangan Lo In. Mereka lihat si anak kecil hitam berada tidak jauh dari mereka, sedang tenang-tenang saja bermain setangkai bunga. Mereka mulai jeri tapi tak dapat mereka abaikan perintah dari kepala perkumpulannya. Maka itu mereka maju pula berbareng untuk menangkap Lo In. "Kita tidak bermusuhan, kenapa kalian mau tangkap aku ?" tanya Lo In. "Perintah dari atasan tak dapat diabaikan." sahut satu diantaranya. "Kalian dari mana sebenarnya ?" tanya si bocah pula, tenangtenang saja. "Kami dari Ceng Gee Pang." sahut tiga orang hampir berbareng. "Untuk apa banyak cakap, lekas tangkap dia !" bentak si pemimpin. Perintah mana, sudah lantas dikerjakan. Enam orang mengurung Lo In. Tapi mereka sangat hati-hati, kuatir nanti bocah lolos lagi. "Sebetulnya aku ingin main-main dengan kalian, sayang temponya tidak ada. Karena aku mau mencari enci Lian." kata Lo In, tersenyum nakal. "Anak hitam, sebaiknya kau menyerah supaya tidak membuat kami jadi berabe dan tubuhmu kesakitan karena hujanan kepalan kami !" berkata salah satu diantara orang yang mengepung Lo In. "Kalian tak dapat menangkap aku." menantang si bocah. "Jangan sombong, anak kecil !" terdengar jawaban. Sementara itu pengurungan makin diperketat, kira-kira jaraknya satu meter lebih. "Kalau kalian tidak percaya, nah, lihatlah !" kata si bocah. Lo In berkata begitu, jarak mengepung makin rapat. Setelah itu berbareng mereka menubruk dan menyangka si bocah akan tertangkap. Tapi sebelum maksud mereka kesampaian, tapak Lo In meremas-remas kembang ditangannya lalu sambil memutar tubuhnya ia meniup kembang ditangannya hingga berserabutan terbang mengarah ke hiat-to (jalan darah) di jidat, leher, pundak dan lain-lainnya. Kontan enam orang yang mengepung pada lemas kakinya karena kena ditotok oleh lembaran-lembaran kembang tadi. Sementara itu Lo in sudah tidak ada bayangannya lagi dihadapan mereka. Karena totokan dengan kembang itu hanya totokan main-main saja dari Lo In, maka hanya beberapa menit saja mereka lumpuh. Selanjutnya mereka sudah dapat bangun pula dan segar kembali sebagaimana biasa. Melihat kawan-kawannya dirobohkan dengan hanya tiupan kembang yang diremas, membuat Cin Lian Hin si pemimpin menjadi melongo terpaku ditempatnya. Ia geleng-geleng kepala. Pikirnya, apa bisa jadi ada seseorang bocah yang mempunyai tenaga dalam begitu hebat, susah diukur " "Hahaha, Cin-heng." tiba-tiba diantara mereka ada yang ketawa terpingkal-pingkal. "Hei, Kek Kim. Kau tertawakan apa ?" tanya Cin Lian Hin. "Aku tertawakan kau, Cin heng. Kau bilang, kau mau ganda dia sembari tiduran, nah sekarang apa buktinya " Malah kita bertujuh diganda olehnya seperti memeram mata saja. Aaha !" kembali Kek Kim tertawa seenaknya. Cin Lian Hin merah seluruh mukanya, saking jengahnya. Untuk tidak sampai jadi berkelahi dianara kawan sendiri, beberapa orang menyela untuk simpangkan pembicaraan itu hingga dua orang itu tidak sampai adu kepalan. Mereka tidak ungkulan mencari Lo In, maka pulanglah mereka Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo untuk memberi laporan kepada Pancu (ketua perserikatan) mereka. Sampai cuaca menjadi gelap, Lo In masih juga belum dapat menemukan Eng Lian. Hatinya sangat kuatir akan keselamatan si dara cilik, melihat darah berceceran. Ia menyesal tadi tak menanyakan tentang enci Lian kepada salah satu orang yang mengeroyok mereka, lantas terburu-buru untuk mencarinya. Lo In pulang dengan lesu, badannya sangat lemas ketika ia turun dari punggungnya si garuda. Keadaan mana dilihat oleh si burung raksasa dengan mengembang air matanya, rupanya ia turut berduka atas kehilangan Eng Lian. Esok paginya, Lo In kumpulkan tentara keranya, diperintah untuk mencari Eng Lian sementara ia sendiri dengan naik si rajawali mencari disekitar lembah, tapi jejak Eng Lian tak dapat dijumpai oleh si bocah. Diam-diam ia menangis kehilangan enci Liannya. Ketika dua tiga hari dicari disekitar lembah enci Eng Lian tidak diketemukan, pada hari yang keempat, Lo In mencari sampai cuaca remang-remang gelap. Ketika ia mau pulang, tiba-tiba dalam pikirannya berkelebat pikiran apakah boleh jadi Eng Lian sudah dibawa naik ke atas " Mungkin si dara cilik ada di atas Tong-hong-gay. Pikirnya, apa salahnya ia coba-coba naik ke atas sekalian melongok rumahnya dahulu, bagaimana keadaannya sekarang ini. Ia tepuk-tepuk burung raksasanya untuk terbang tinggi, ke atas puncak jurang. Si rajawali merasa heran. Tidak sari-sarinya sang tuan kecil menyuruh dia terbang sampai ke atas puncak. Tapi ia terbang sampai ke atas puncak, tapi ia terbang dengan semangat karena ia tahu Lo In hendak mencari Eng Lian. Sampai di atas cuaca sudah gelap, cuma diterangi oleh bulan sisir yang tenggelam timbul diantara awan yang menutupinya. Melihat itu, Lo In jadi terkenang akan kejadian hampir dua tahun berselang ketika ia berdiam dengan Liok Sinshe di puncak jurang itu. Ia turun dari 'kapal terbangnya', menyuruh si rajawali menantikan disitu saja, jangan ikut ia yang hendak mencari bekas rumahnya. Sampai di tempat yang dituju, Lo In merasa heran sebab rumahnya lain dari dahulu. Kalau tadinya sudah tua, sekarang bagus mentereng, malahan dijaga oleh beberapa pengawal yang bersenjata tajam. Siapakah yang menjadi penghuni baru dari bekas rumahnya itu " Lampu-lampu di sana sini tampak sudah dipasang hingga cukup terang di sekitar rumah itu. Ingin Lo In menghampiri rumah itu tapi kuatir orang nanti salah anggapan dan menghinanya. Jalan paling baik, pikirnya, ia mengintip dengan diam-diam saja ke dalam rumah itu. Siapa tahu ia dapat kabar halnya enci Eng Lian yang hilang. Dengan ginkangnya (ilmu entengi tubuh) yang sudah diukur, dapat sekejap saja Lo In sudah berada di atas genteng rumah tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal. Dari sini Lo In tidak dapat melihat ke ruangan dalam karena gentengnya dilapis dari sebelah bawah. Rupanya disengaja dibuat begitu kekar supaya tidak ada orang yang mencuri dengar apa yang dibicarakan dalam ruangan. Terpaksa Lo In turun lagi ke bawah. Dua orang jaga hanya nampak berkesiurnya angin tapi tak melihat adanya bayangan orang, tidak tahu Lo In datang mendekati mereka. Dua orang penjaga itu, tengah duduk membelakangi pohon, yang satu pendek, satu lagi kurus. "Menurut Cin Lian Hin, calon Tongcu dari cabang Ceng Gie Pang disini dengan membawa enam pilihannya sudah menemukan bocah yang diinginkan oleh Pangcu." demikian Lo In mendengar si pendek berkata pada temannya. "Habis, apa yang sudah ditangkap ?" tanya si kurus. "Katanya mukanya hitam legam, cuma kuping dan lehernya saja putih." "Heran, masa calon Tocu (pemimpin) bisa dipermainkan, apalagi dibantu oleh enam orang pilihan yang memperkuat perserikatan kita." Demikian Lo In mendengar pembicaraan dua pengawal itu. Selagi ia sangsi, kenapa ia mau ditangkap, lantas mendengar pula si kurus menanya pada kawannya, "Hei, Lao Can, kenapa sih anak kecil itu mau ditangkap "' "Mana aku tahu." sahut si pendek. "Cuma aku dengar, dia itu anaknya Kwee Cu Gie. Siapa Kwee Cu Gie dan kenapa anaknya mau ditangkap, aku tidak tahu." "Itu Cin Lian Hin dan kawan-kawannya hanya gentong nasi saja. Masa anak kecil saja tidak bisa menangkap. Coba kalau aku yang disuruh, aku bekuk saja batang lehernya sampai dia terampun-ampun. Hahaha !" membual si kurus, seraya bangkit mau meninggalkan kawannya yang masih duduk. Tiba-tiba ia rasakan batang lehernya seperti ada yang menepuk. Sakit rasanya sampai ia meringis-ringis. Sambil berbalik, ia tegur temannya, "Hei, Lao Can. Kau jangan main-main, sakit tuh. Main tepuk belakang batang lehar orang, tidak ada kira-kiranya !" "Siapa yang menepuk batang lehermu ?" tanya si pendek sambil bangkit dan mau ngeloyor meninggalkan si kurus. Mendadak ia rasakan telinganya seperti disentil, sakit bukan main. Ia lantas berbalik dan marah-marah menegur si kurus. "Kenapa kau menyentil telingaku ?" "Siapa yang menyentil telingamu ?" si kurus melotot. Dua-dua kelihatan mendongkol. Tapi mengingat akan kewajiban meronda sudah waktunya, mereka ngeloyor jalan. Belum dua tindak mereka berlalu, tiba-tiba keduany berseru, "au !" Si kurus pegangi belakang lehernya, sedang si pendek pegangi telinganya. Panas rasanya pada bagian yang dipegangnya itu. Berbareng mereka putar tubuh dan berhadapan. Masing-masing matanya saling mendelik. "Betul-betul kau bikin penasaran orang, pendek !" kata si kurus, katanya marah. "Kau juga bikin penasaran orang," sahut si pendek. "Kau tepuk pundakku lagi !" "Kau sentil kupingku lagi !" Mereka bertengkar dan akhirnya berkelahi. Masing-masing tidak mau mengaku salah. Memang mereka tidak bersalah sebab yang menyebabkan itu adalah Lo In. Dengan gunakan kegesitannya, saban-saban menyelingkar di balik pohon, Lo In godai dua pengawal itu. Ia menepuk belakang lehernya si kurus, kemudian menyentil kuping si pendek, akhirnya mereka adu kepalan. Jail benar si bocah. setelah orang berkelahi, ia nonton dengan bertepuk tangan. Tanpa disadari bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan. Dan ini pun telah terjadi, si kurus dan si pendek yang tengah berkelahi saling jotos, lantas saja hentikan perkelahiannya, mengawasi Lo In yang sedang bertepuk tangan. "Hei, dari mana datangnya ini bocah bermuka hitam ?" pikir mereka. Lantas mereka ingat akan penuturannya Cin Lian Hin. Inilah rupanya si anak kecil yang dikatakan lihai. Mereka tidak melihat adanya kelebihan dari si bocah sehingga ia sangat ditakuti, girang hatinya, masing-masing ingin menangkap Lo In. Kalau mereka dapat tangkap si bocah, berarti satu jasa besar dan tidak mustahil bila mereka dinaiki pangkatnya. Terdorong oleh rasa serakah, dua pengawal itu lantas main mata satu sama lain untuk kerja sama menangkap Lo In. "Anak kecil, kau siapa ?" tanya si kurus. "Aku adalah aku, buat apa kau tanya." sahut Lo In jenaka. "Anak sambel, apa kau tidak tahu masuk ke sini dilarang ?" bentak si pendek. Siapa yang berani melarang aku datang untuk main-main disini ?" Lo In balik menanya. Kembali dua pengawal itu main mata, segera tangan kiri Lo In sudah kena disambar si pendek sedang si kurus berbareng menyekal tangan kanannya. Mereka kegirangan dapat menangkap Lo In. "Anak kecil, mari ikut kami menghadap Hupancu." berkata si kurus sambil tarik tangan Lo In. Dengan bangga mereka sudah giring Lo In. Kawan-kawannya pada merasa heran melihat si kurus dan si pendek menggusur satu bocah bermuka hitam. Anak siapa itu, berani mati datang ke situ yang terjaga keras. Tidak mudah untuk menghadap Hu-pangcu (wakil ketua) sebab harus melalui beberapa ruangan yang dijaga kuat. Lo In menjadi benar-benar pangling (tidak mengenali) bekas rumahnya, diperbesar dan menjadi mewah itu. Ia jinak sekali dituntun si pendek dan kurus untuk dihadapkan kepada Hupangcu. Sampai di ruangan tempatnya Hu-pangcu, Lo In lihat ruangan itu diperaboti indah sekali. Entah berapa banyak Ceng Gee Pang (Golongan Gigi Hijau) mengeluarkan duit untuk memperindah ruangan itu. Lo In lihat kira-kira ada 20 orang tengah mengadakan rapat menghadapi meja panjang. Ditengah-tengahnya ada seorang dengan muka lonjong dan kumis pendek, usianya kira-kira di bawah lima puluh tahun. Tubuhnya agak kegemuk-gemukan, pakaiannya dari sutra yang mahal harganya. Lo In menduga orang itu tentu Hu-pangcu dari Ceng Gee Pang. Diantara yang hadir dalam rapat itu terdapat calon Tocu Cin Lian Hin bersama kawannya yang menangkap Lo In. Ketika melihat si bocah bermuka hitam dibawa masuk, mereka amat terkejut. Ada juga yang kucak-kucak matanya, tidak percaya bahwa Lo In begitu mudah dapat ditangkap oleh dua tukang rondanya. "Apakah dia anaknya yang mempermainkan kalian ?" tanya Hu-pangcu kepada Cin Lian Hin dan kawan-kawannya. "Belum pasti." sahut Cin Lian Hin. "Tak semudah itu dia dapat ditangkap." Hu-pangcu tersenyum tidak enak sebab dalam senyuman itu seolah-olah mengandung sindiran kepada Cin Lian Hin dengan kawan-kawannya tidak becus menangkap seorang bocah saja. Kalau Hu-pangcu itu dapat anggapan remeh pada Lo In, tidaklah heran sebab si bocah menurut saja dibentak-benatk dan dijoroki oleh si pendek dan si kurus yang membawanya menghadap si wakil ketua. Si pendek dan si kurus setelah melaporkan bagaimana mereka dapat menangkap si anak kecil, lalu majukan Lo In untuk diperiksa. "Anak kecil, apakah maksud kau untuk masuk kemari ?" tanya Hu-pangcu, suaranya tidak bengis. "Aku mau mencari enci Lian." sahut Lo In. "Siapa itu enci Lian "' tanya Hu-pangcu. "Dia adalah enciku, teman karibku." Lo In menerangkan. "Apa kau yang permainkan dia dengan kawan-kawannya ?" Hu-pangcu tanya lagi, seraya jarinya menunjuk pada Cin Lian Hin. Lo In mengawasi si orang she Cin sebentar, "Kau tanya saja pada dia." sahutnya. Si wakil ketua melengak. Pikirnya bocah ini sikapnya acuh tak acuh, menjawab pertanyaan seenaknya saja, hatinya menjadi tidak senang. Matanya tiba-tiba bersinar mengawasi si pendek dan si kurus. Mereka ketakutan dan gelapan. Mereka tahu kesalahannya, barusan lupa menyuruh Lo In berlutut untuk menghadap wakil ketua. Cepat mereka dekati Lo In. Masing-masing pada pegang lengan Lo In dijoroki supaya berlutut. Hampir berbareng mereka membentak, "Berlutut !" Waktu itu para hadirin termasuk Hu-pangcu terkejut dan katanya terbelalak. Mengapa mereka " Mereka melihat ada yang berlutut tapi bukannya Lo In malahan dua pengawal yang menjoroki Lo In sambil berseru 'berlutut !' yang berlutut. Itulah Lo In yang mendemonstrasikan kelincahannya. Waktu si bocah dipegang lengannya dan dibentak disuruh berlutut, ia geraki sedikit badannya, lolos dari pegangan si pendek dan si kurus lalu berjongkok. Kedua tangannya dipentang untuk menotok hiat-to di dengkul yang membuat pengawal itu terkulai dan berlutut, sedang Lo In sudah lantas berdiri. Gerakan Lo In sangat cepat laksana kilat. Hanya beberapa detik saja terjadi sehingga banyak diantara hadirin yang tidak tahu bagaimana Lo In bergerak. Hanya Hu-pangcu yagn melihat tegas, bagaimana dua pengawalnya dirubuhkan dengan satu gerakan kilat dari si bocah. Waktu Lo In dapat ditangkap oleh si pendek dan si kurus itu hanya atas kemauan Lo In. Pikirnya, dengan membiarkan dirinya ditangkap dan dibawa menghadap pemimpin, ia bisa dapat tahu keadaan di dalam dan siapa yang kepalai Golongan Gigi Hijau yang hendak menangkap dirinya. SI bocah gesit luar biasa, tetapi belum tentu lwekangnya luar biasa. Kalau nampak usianya yang masih begitu muda, belum masuk hitungan jago muda. Pikiran itu muncul diantara para hadirin, diantaranya ada satu yang mukanya kekuning-kuningan yang bernama Gouw Li Lit bangkit dari duduknya, datang menghampiri Lo In sambil ketawa-ketawa, "Anak kecil, kau hebat !" katanya sambil menepuk pundaknya si bocah dengan tenaga lima bagian. Pikirnya, sekali tepuk si bocah akan terkulai sedikitnya, kalau tidak sampai tergetar jantungnya pasti copot. Tidak disangka, kalau tepukannya itu membawa akibat yang memalukan. Ialah, telapak tangannya yang menepuk, ia rasakan seperti menepuk kapas atas pundaknya Lo In, malah tangannya tak dapat diangkat dari pundaknya Lo In seakan-akan menempel saja. Kaget bukan main Gouw Li Lit, apalagi ketika Lo In menyalurkan lwekangnya ke pundak orang she Gouw itu hampir menjerit kesakitan dan rasa linu sekujur badannya seketika. Waktu Lo In goyang sedikit pundaknya, tangan Gouw Li Lit terlepas dan terdorong sempoyongan, hampir jatuh duduk kalau ia tidak gunakan 'cian kin tui' atau ilmu memberatkan bada seribu kati untuk menahan tubuhnya. Gouw Li Lit pucat mukanya, merasa sangat penasaran dirubuhkan hanya segebrakan saja oleh bocah yang barusan lepas netek. Ia ada satu ahli Gwakang (tenaga luar) yang oleh kawan dan lawan disegani. Dimana ia taruh muka bila hanya Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo begitu saja dapat keok sama anak kecil. Tidak heran kalau ia jadi sangat gusar. Matanya mendelik pada Lo In dan berkata, "Anak kecil, mari kita adu kepandaian !" "Aku tidak ada tempo, aku hendak mencari enci Lian." sahut Lo In. Penerangan dalam ruangan itu cukup, dipasang beberapa lilin, diantaranya ada empat lilin yang besar ditancap dibelakang meja rapat. Gouw Li Lit mendekati Lo In, "Aku tidak rela dengan gebraka tadi. Maka marilah kita adu kepandaian." menantang Gouw Li Lit sambil pasang kuda-kuda. Melihat lagaknya orang she Gouw, Lo In jadi ketawa. "Aku tidak mau berkelahi, kenapa kau memaksa ?" katanya seraya masih ketawa. Lo In ketawa sebenarnya wajar karena merasa lucu melihat tingkahnya si orang she Gouw. Tapi ketawanya si bocah justru dianggap satu hinaan oleh Gouw Li Lit. "Aku ketawa apa, bocah !" bentaknya lalu disusul dengan serangan hebat menggunakan tenaga penuh. Angin pukulannya sampai menderu, segera terdengar suara 'brak !'. Itulah meja yang berantakan terkena angin pukulannya. Lo In tatkala itu berdiri tidak jauh dari meja yang hancur tadi. Kalau serangan Gouw Li Lit itu mengenakan sasarannya, pasti si anak kecil remuk tulang-tulangnya. Baikna saja ia sudah menghilang dan sodorkan meja sebagai wakilnya. Para hadirin jadi tegang. Mereka tahu si orang she Gouw kalau sudah kalap, untuk mencuci kehormatannya, jalan satusatunya adalah menghancurkan tubuh Lo In. Hanya sayang, si anak kecil terlalu gesit untuk lantas menghilang dari hadapan Gouw Li Lit yang saban kali menyerang dengan tenaga maksimum. "Bocah hitam !" teriak Gouw Li Lit kalap. "Kau jangan menghilang kayak setan. Kalau berani sambuti seranganku !" Kelihatannya ia kewalahan dilawan dengan kegesitan Lo In. Maka ia berteriak kalap tadi. Ia berteriak sambil membarengi dengan serangan dahsyat. "Aku tidak mau berkelahi, kau paksa juga. Nah, baiklah aku sambuti !" Lo In sambuti seenaknya saja, tanpa pasang kudakuda segala. Gouw Li Lit girang teriakannya tidak sia-sia. Seketika ia menyerang dengan jurus yang mematikan, sepasang kepalannya yang segede kepala bayi, menyambar ke arah dada Lo In. Ini adalah tipu 'sian coa touw sin' atau 'Sepasang ular muntahkan bisanya'. Satu jurus yang ganas, mengerikan, apalagi itu ditujukan kepada Lo In anak kecil. Tidak heran kalau para hadirin menjadi amat kaget dan kuatir akan keselamatan si bocah. Tapi Lo In tenang-tenang saja, malah ia masih bisa ketawa ketika pukulan sampai. Ia tidak berkelit menghilang, sebaliknya ia papaki sepasang kepalan lawan dengan satu sampokan tangan kiri, keras lawan keras. Lucu kelihatannya sebab dua lengan yang segede anak ditangkis oleh satu tangan yang kecil halus. Menurut teori, akan patahlah tangan yang kecil itu. Tapi prakteknya, setelah bentrokan keras, Gouw Li Lit tarik pulang sepasang lengannya dengan susah payah seperti yang terlepas dari sambungan pundaknya, wajahnya meringis-ringis kesakitan, jantungnya tergetar seperti mau copot saja rasanya. Sementara si bocah hanya berdiri senyum-senyum saja melihat sang lawan lompat mundur dengan muka pucat dan meringis-ringis. Lo In telah gunakan gerakan 'Tan cian cui tah' atau 'Dengan satu tangan mendorong pagoda', satu tangkisan keras yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat untuk memunahkan serangan Gouw Li Lit yang ganas. Para hadirin hampir tak percaya dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan adegan yang langka dalam dunia persilatan (Bu lim) seperti yang diperlihatkan oleh si anak kecil berwajah hitam. "Hek-bin Sin-tong........" menggumam Hu-pangcu dari Ceng Gee Pang saking kagum ia melihat kepandaian Lo In. Meskipun perlahan Hu-pangcu itu menggumam tetapi terdengar nyata di telinga para hadirin yang mempunyai lwekan tinggi. Mereka pada menoleh pada Hu-pangcu, seraya dalam hatinya masing-masing pada berkata, "Pantas anak hitam ini mendapat julukan 'Hek-bin Sin-tong' dari mulutnya Hu-pangcu Ceng Gee Pang. Belakangan hari telah membuat namanya Lo In populer dengan julukan itu dalam dunia Kangouw. Diantara para jagoan yang hadir dalam rapat itu adalah Gouw Li Lit yang paling menonjol kepandaiannya. Sekarang si orang she Gouw sudah dikalahkan dengan begitu mudah, siapa lagi yang berani maju " Hu-pangcu, meskipun jeri hatinya merasa tidak puas kalau tempatnya diacak-acak oleh anak kecil. Maka seketika itu lantas memberi tanda pada para hadirin untuk mengepung Lo In. Mereka bangun dengan serentak dari masing-masing tempat duduknya, memburu Lo In. Si bocah kaget juga. Sebelum ia buka mulut menanyakan sebabnya mereka datang mengeroyok, ia dibikin repot oleh hujan kepalan dan tangan dibeber menabas bagaikan golok tajam. Terpaksa Lo In keluarkan ilmu entengi tubuh ajaran Liok Sinshe yang dinamai 'Bu eng bu seng sin hoat' atau 'Ilmu sakti tidak bayangan tiada suara', yang ia yakinkan dengan mahir betul. Dengan kepandaian meringankan tubuh yang sakti itu, membuat jagoan-jagoan yang mengeroyok saban-saban tubruk angin. Sungguh lucu kalau menyaksikan adegan itu. Kawanan jagoan seakan-akan merupakan kawanan serigala yang kelaparan berebut menangkap mangsanya, tapi sang korban saban-saban menghilang dari hadapannya. Bukannya jarang, satu sama lain saling beradu tangan, beradu tubuh dan berbenturan kepala disebabkan berbarengan mereka menubruk mangsanya. Tapi sang mangsa telah hilang lenyap seperti masuk dalam rumah atau naik ke langit saja. Dalam sengitnya mereka mengepung Lo In, sampai tak menyadari bahwa saat itu ada seorang tamu sudah lama menonton mereka sedang uber-uberan. "Hahaha ! Ang Ban Ie, kau menjadi anak kecil lagi " ha ha ha......... !" Inilah suara si tamu, keras berwibawa sehingga semua orang hentikan uber-uberannya. Mereka tidak tahu kemana si bocah menghilangnya, tapi mereka lebih perlukan menghadapi tamu yang baru datang itu. Rupanya mereka kenal baik pada tamu yang datang itu sebab semuanya kelihatan pada menunjuk muka tegang. Tamu itu ada seorang tua dengan muka bersih, pakaiannya pun perlente, dari mana menunjukkan bahwa si tamu itu bukan orang dari tingkatan rendah. Tamu itu memang tiada lain adalah Pangcu dari Ceng Gee Pang. Melihat ketuanya yang datang, segera Ang Ban Ie, si wakil ketua lekas menghampiri memberi hormat. Ia berkata, "Toako, mengapa malam-malam kau datang kemari " Tentu ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengan aku." Pangcu dari Ceng Gee Pang itu ada saudara cintong dari Ang Ban Ie, namanay Ang Ban Teng. Ia lihai menggunakan senjata rahasia bentuk panah yang direndam dalam obat, bukannya racun tapi istimewa kerjanya. Panah itu asal menancap pada tubuh korbannya, kalau menemui darah lantas menjadi lumer dan sang korban akan menggigil kedinginan. Kaki tangan tak dapat digerakkan seperti membeku untuk sepuluh menit lamanya. Entahlah, Ang Bang Teng menggunakan bahan obat apa untuk senjata panahnya yang istimewa itu, tapi yang terang namanya terkenal dengan Soa-cian Ang atau Ang si Panah Salju. "Terang kalau tidak ada urusan penting, tak aku datang malam-malam kesini." jawab Ang Ban Teng, si Panah Salju sembari jalan menghampiri meja rapat dan lantas duduk di meja kepala, di dampingi oleh Ang Ban Ie, si wakil ketua. Orang-orang pada berkumpul lagi mengitari meja rapat dengan dalam hatinya masing-masing pada menanya urusan penting apa yang dibawa Pangcu itu. "Hiante," kata Soat-cian Ang. "Kenapa kalian mengeroyok anak kecil tadi " Apakah tidak malu nanti diketahui oleh rekanrekan dalam kalangan Kangouw ?" Ang Ban Ie ketawa, tapi ketawanya tentu saja tidak wajar. Ia merasa malu dengan teguran saudara tuanya. Meskipun begitu, ia harus membela diri agar jangan terlalu dipersalahkan. Ia berkata, "Soalnya bocah itu anaknya Kwee Cu Gie. Bukankah Siong Leng Totiang ada minta bantuan kita, diwaktu kita hendak menempati tempat ini supaya kita membantunya untuk menangkap anaknya Kwee Cu Gie "' Soat-cian Ang kerukan keningnya. "Dari mana kau tahu bocah itu anaknya Kwee Cu Gie ?" Pada sepuluh hari yagn lalu kita ada kedatangan Ang Hoa Lobo dengan Toan-bi Lomo Siauw Cu Leng." jawab Ang Ban Ie. "Hah ! Dua iblis itu datang kemari?" tanya Soat-cian Ang, terkejut dia. "Betul," sahut Hu-pangcu Ang Ban Ie. "Si nenek mengatakan bahwa dibawah jurang ada satu lembah dimana ada tinggal seorang anak kecil yang mempunyai tentara kera dan burung raksasa. Aku jadi ingat akan pesan Siong Leng Totiang supaya kita membantunya. Maka aku lalu menanya pada si nenek, apakah anak itu bukannya anak Kwee Cu Gie. Ang Hoa Lobo manggut. Ang Hoa Lobo kata anak itu lihai, harus dipancing meninggalkan tentara kera dan burung raksasanya, baru ada harapan ditangkap degnan menggunakan banyak orang kuat kita. Kalau diserangnya, ia kata jangan banyak harap dapat menangkap si bocah karena tentara kera dan burung rajawalinya, ada pelindung yang sangat kuat......." "Lalu kau kirim orang untuk memancing dia, bukan ?" memotong Soat-cian Ang. "Betul," melanjutkan Ang Ban Ie. "Aku sudah kirim tujuh orang kuat kesana dikepalai oleh Cin Lian Hian. Inilah Tocu kita untuk cabang disini." Ang Ben Ie menunjuk Cin Lian Hin memperkenalkan kepada Pangcunya. Soat-cin Ang manggut-manggut. "Teruskan, hayo teruskan ceritamu." katanya. "Cin hiante dan kawan-kawan tak usah memancing lagi si anak kecil meninggalkan sarangnya." melanjutkan Ang Ban Ie. Karena dalam perjalanan ke sana dia sudah bertemu dengan anak yang dimaksud, yang mencari kawannya yang bernama Eng Lian. Rupanya Cin hiante terlalu memandang enteng pada si anak kecil, karena bukan saja anak yang diarah tak dapt ditangkap, malah Cin hiante dengan enam kawannya kena dirobohkan dengan memalukan sekali." Selanjutnya Ang Ban Ie menuturkan bagaimana Cin Lian Hin dan kawan-kawan dipecundangi oleh Lo In dan tentang kedatangannya si bocah malam itu ke markas mereka malammalam untuk mencari temannya hingga menjadi adu kepandaian dengan Gouw Li Lit disusul dengan pengeroyokan ramai-ramai oleh mereka. Soat-jian Ang angguk-anggukkan kepalanya, sembari urut-urut kumisnya. Diam-diam ia merasa kaget mendengar penuturannya Ang Ban Ie. "Anaknya sudah begitu hebat, bagaimana dengan bapaknya ?" terdengar si Pangcu bergumam. Kiranya gumaman Ang Ban Teng dapat didengar tegas oleh para hadirin yang kepandaian lwekangnya tidak rendah. "Pangcu maksudkan siapa bapaknya ?" tanya Gouw Li Lit tibatiba. "Aku tidak tahu apa bapaknya si anak kecil itu masih hidup atau sudah mati. Sebab menurut Siong Leng Totiang, Kwee Cu Gie yang menyaru jadi Liok Sinshe ada dua tahun yang lampau sudah mati masuk jurang dibokong oleh Kim Popo." menerangkan Soat-cian Ang. "Lalu bagaimana pikiran Toako ?" tanya Ang Ban Ie. "Kemarin dulu, aku ada kedatangan sobatku. dia itu ada Liu In Ciang, yang kini terkenal dengan nama Liu Wangwee di desa Kunhiang." menutur Soat-jian Ang. "Dalam omong-omong dia menceritakan pengalamannya pada satu setengah tahun yang lalu dia didatangi Sucoan Sam-sat........" "Apa Pangcu bilang " Sucoan Sam-sat ?" memotong Gouw Li Lit. Ia kaget rupanya. "Benar." sahut Soat-cain Ang. "Siapa tidak kenal dengan tiga algojo dari Sucon itu. Rata-rata orang persilatan pernah mendengar tentang mereka itu." "Mereka datang ada urusan apa dengan Liu Wangwee ?" menyela Ang Ban Ie. "Sucoan Sam-sat datang atas undangannya Tan Kong Ceng, salah satu hartawan di Kunhiang. Entah ada urusan apa yang menyebang Liu In Ciang dan Tan Kong Ceng bentrok hingga hartawan Tan mengundang tiga algojo dari sucoan. Tapi yang penting untuk kita adalah keterangan sobatku itu. Katanya dalam pertempuran dengan Giam-ong Puy Teng, Liu In Ciang dapat dirobohkan dengan mendapat luka parah, dua tulang iganya patah. Anak gadisnya, Bwee Hiang, dalam putus harapan hendak menebas kuntung lehernya, tiba-tiba pedangnya terpental jatuh dari cekalannya karena benturan batu kecil yang dilepas dari jurusan pohon, dari mana telah turun melayang sesosok tubuh, ialah si kerudung merah..........." "Siapa itu si kerudung merah ?" menyela beberapa hadirin hampir berbareng. "Hahaha !" tertawa Soat-cian Ang. "Si kerudung merah adalah bintang penolong dari sobatku itu. Dia bukan saja melabrak Sucoan Sam-sat satu demi satu, malah belakangan disuruh maju berbareng tapi mereka tidak ungkulan menghadapi si kerudung merah. Lwekang dari tiga penjahat itu telah dimusnahkan dan diancam apabila mereka tidak bisa rubah adatnya dan belakangan hari ketemu lagi dengannya, si kerudung merah akan mengambil jiwanya." Sampai disini menutur, kelihatan Soat-cian Ang gembira, air mukanya berseri-seri sambil elus-elus janggutnya. Atas desakan hadirin ia menutur lagi, "Liu Wangwee diobati olehnya sampai sembuh. Ketika ditanyai siapa adanya si kerudung merah, selalu dia menyimpangkan pertanyaan hingga sobatku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi yang terang, ilmu silatnya luar biasa. Sekali gebrak, ia bikin lawannya mati kutu Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mendeprok di tanah. Dia meninggalkan rumah sobatku, menghibur supaya hartawan Liu jangan memikirkan lagi si tiga algojo karena dia sudah musnahkan ilmu silatnya dan mereka tidak berani datang lagi. Tapi perhitungan itu rupanya meleset sebab Sucoan Sam-sat bukan merubah kelakuannya, sebaliknya mereka minta pertolongan gurunya, Thie-tauw-eng Ie Jie Lo (si Garuda Kepala Besi). "Gurunya sendiri tidak sanggup memulihkan tenaga dalam mereka. Untung ada supeknya, Hong-hwe-liong Siang Hong Sin, dapat menolongnya meskipun perlahan-lahan. Sekarang kepandaian mereka sudah pulih. Setelah mendapat petunjuk dari guru dan supeknya, kabarnya Sucoan Sam-sat sudah keluar lagi dari sarangnya mencari si kerudung merah. Tapi sudah beberapa bulan dicari belum dapat dijumpai dimana adanya si kerudung merah. Sahabatku, Liu In Ciang menjadi gelisah. Karena tak dapat menemukan musuhnya maka mereka akan datang pula ke Kunhiang untuk menghancurkan keluarga Liu. Liu Wangwee sendiri tidak mohon pertolongan apa-apa padaku, cuma aku sebagai sobatnya, mana dapat tinggal peluk tangan menonton Liu In Ciang menghadapi bahaya maut." Semua yang hadir tidak membuka suara apa-apa setelah mendengar penuturannya san Pangcu sampai kemudian Hupangcu, Ang Ban Ie yang memecahkan kesunyian. "Jadi apakah kita akan ikut campur tangan dalam urusan Liu Wangwee ?" Soat-cian Ang angguk-anggukkan kepala. Kembali keadaan menjadi sunyi. "Untuk menolong Liu Wangwee adalah wajar." kata Gouw Li Lit. "Sebab Liu In Ciang ada sahabat Pangcu. Cuma saja, bagaimana kita harus menghadapinya itu tiga algojo dari Sucoan yang tersohor sangat ganas ?" "Justru dalam hal ini aku datang kemari untuk berunding. Bagaimana pikiran saudara-saudara sekalian ?" berkata Soatcian Ang sambil perhatikan wajah hadirin satu demi satu. Ia mengharap ada pikiran baik keluar dari salah satu diantaranya. Mereka berunding, mencari jalan keluar. Sementara itu soal si anak kecil sudah tidak disinggungsinggung lagi oleh mereka. Apa lagi sang Pangcu tidak menanyakan soalnya lebih jauh. Perhatian sekarang jauh dipusatkan kepada soal mencari jalan untuk menolong Liu Wangwee yang terancam bahaya. Dimana si bocah mengumpat " Kiranya ia mengumpat di bawah meja rapat yang ditutup dengan kain merah. Enak saja ia diam-diam disitu mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh mereka. Kembali dalam benak Lo In timbul pertanyaan : Siapakah dirinya " Anak siapa, apakah Kwee Cu Gie benar ayahnya " Dimana ibunya " Liok Sinshe dikatakan menyamar, diam diatas jurang Tonghonggay, apakah benar ia Kwee Cu Gie, kenapa dia tidak omong bahwa dia adalah anaknya " Semua telah membikin pusing kepalanya si bocah lagi. Memikir dalam ruangan itu ia tidak mempunyai kepentingan pula, maka diam-diam tanpa disadari oleh para hadirin yang tengah memusatkan perhatiannya kepada urusan Liu Wangwee, Lo In sudah bisa menyingkir dari ruangan itu. Dengan menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh, tidak seorang pun dapat melihat ia berlalu kecuali berkesiurnya angin disamping para penjaga. Sebentar lagi Lo In sudah menghampiri burung raksasanya yang menantikannya dengan penuh khawatir. Mari kita lihat keadaan Eng Lian. Sore itu Eng Lian naik garudanya sendirian, pesiar diatas lembah. Ketika si rajawali melayang rendah, tiba-tiba burung raksasa itu nampak berkelebatnya seekor kelinci. Otomatis ia menyambar ke bawah, tapi sang korban sudah lari bersembunyi diantara pohon bunga-bungaan. Melihat banyak pohon kembang, Eng Lian sangat tertarik hatinya. Ia tepuk-tepuk pundaknya si burung raksasa sambil berkata, "Tiauw-heng, kau turun disini, aku nanti tangkapkan kelinci untukmu." Si dara cilik dari tadi terpingkal-pingkal ketawai burungnya yang gagal menyambar mangsanya. Ia ingin menolong tangkapi si kelinci yang menyusup diantara pohon-pohon yang merintangi si rajawali mementang sayapnya. Si burung raksasa lantas mendarat. Eng Lian dengan gembira lompat turun dari bebekong si rajawali kemudian ia lari menyusup diantara pohon-pohon kembang. Lagaknya seperti yang mengubar kelinci tapi sebenarnya ia hendak memetika kembang-kembang yang harum semerbak memenuhi hidung. Senang sekali Eng Lian berada diantara bunga-bunga. Tangannya repot memetik sana sini, memilih bunga yang bagus-bagus untuk dibawa pulang. "Sayang adik In tidak turut, kalau tidak, oh, bagaimana gembiranya kita memetik kembang yang harum mewangi ini." ia berkata-kata sendiri. "Selamat bertemu lagi nona Lian........" tiba-tiba si dara cilik mendengar orang berkata dari belakangnya hingga ia cepat menoleh dengan kaget. Kiranya yang berkata-kata tadi adalah Ang Hoa Lobo, kenalan lama yang Eng Lian sangat benci. Sambil cemberut, ia menanya : "Nenek jahat mau apa ?" "Hehehe !" si nenek ketawa kering. "Bagaimana kau bisa katakan aku jahat ?" "Memang kau jahat." sahut Eng Lian berani. "Kau sudah pukul adik In sampai luka berat, kemudian kau hukum aku tidak makan beberapa hari. Apa itu tidak jahat ?" "Aku toh belum gebuk mati si bocah, belum hukum mati kamu, masih belum terhitung jahat, bukan ?" bantah si Nenek Kembang Merah seraya haha hihi ketawa. "Hmm !" si dara cilik mendengus. Mendongkol dia mendengar alasan si nenek. "Aku datang hendak menyambut kau, Eng Lian." kata si nenek. "Menyambut aku ?" si nona cilik menanya heran. "Aku sudah tidak ada hubungan lagi dengan kau, untuk apa kau menyambut aku ?" "Hubungan kita masih ada. Sebegitu jauh, kau masih tetap membandel tidak ajarkan menjinaki ular." sahut si nenek ketawa. --12-- Si dara cilik geleng kepala. "Aku tidak mau ajarkan kau." katanya. "Kenapa ?" Ang Hoa Lobo menanya heran. "Kalau kau sudah dapat menjinaki ular, nanti kau akan lebih jahat lagi." sahut si dara cilik. "Tidak, tidak. Aku berjanji akan menjadi orang baik, kalau kau sudah ajarkan menjinaki ular." si nenek cepat menyahut. "Soalnya ditempatku Coa-kok (Lembah Ular) disana ada banyak kawanan ular, aku mau bikin kawanan ular itu takluk padaku, lain tidak." Si nona kerutkan alisnya yang lentik, ia berpikir rupanya. "Nona Lian, aku hanya minta kau ajari aku. Setelah mana aku tak akan mengganggu lagi kau." Ang Hoa Lobo berjanji. Kembali si nona tidak menjawab. Ia berpikir, memang paling baik kalau si nenek tidak datang mengganggu ia dan Lo In punya ketentraman. Apalagi si nenek berjanji akan menjadi orang baik. Tidak ada salahnya kalau ia mengajari si nenek menjinaki ular. Setelah mengambil keputusan, ia berkata, "Baiklah, mari ikut aku." Si nona berkata seraya geraki kakinya hendak berlalu dari situ, menghampiri si rajawali yang menunggu jauh di sana. Ang Hoa Lobo sudah tentu saja tidak bersedia mengikuti si nona karena disana ada si rajawali yang kalau melihat dia dengan Siauw Cu Leng akan beringas dan mengajak bertempur. Maka itu ia lalu berkata, "Nona Lian, sebaiknya kita jangan ke rumahmu. Kau ikut aku saja ke Coa-kok." Si nona putar tubuhnya. "Mana bisa begitu, adik In sedang menunggui aku." sahutnya seraya lari hendak lari meninggalkan Ang Hoa Lobo. Lari belum jauh, tiba-tiba ia dicegat oleh Siauw Cu Leng. "Hahaha ! Dara cilik, kau mau lari kemana ?" bentaknya kasar. "Kakek jahat, kau jangan merintangi aku !" semprot Eng Lian. Si nona coba hindarkan sambaran tangan Siauw Cu Leng, tapi ia ada satu gadis cilik yang baru saja belajar silat. Mana dapat ia lolos dari si Iblis Alis Buntung yang kasar dan kejam. Maka sambaran tangan yang kedua kali sudah dapat menangkap pergelanagan tangan si nona cilik hingga ia menjerit karena pegangan si Iblis Alis Buntung seperti jepitan besi rasanya. Si dara cilik berontak-rontak tidak menolong. "Eng Lian sebaiknya jangan kau menolak undangan kami. Hei, Cu Leng, jangan kau kurang ajar pada guru cilik kita !" kata Ang Hoa Lobo melihat Toan-bi Lo-mo memencet tangan si nona kecil dengan keras hingga menjerit kesakitan. Siauw Cu Leng menurut. Ia longgarkan pegangannya. Si rajawali yang menunggu majikannya jauh dari situ, bukannya tidak mendengar jeritan nonanya. Ia hanya mengebas-ngebaskan sayapnya saja. Untuk terbang masuk ke tempatnya Eng Lian tak dapat ia lakukan karena banyak rintangan cabang pohon untuk sayapnya bebas bergerak. Tidak heran, ia kelihatan sangat gelisah sebab suara jeritan Eng Lian itu ada satu tanda si dara cilik dalam bahaya. Setelah lama ia nantikan nonanya belum kelihatan muncul, maka terpaksa ia pulang untuk memberitahukan pada Lo In. Di lain pihak, Eng Lian sudah kena ditotok oleh Siauw Cu Leng dan dibawa pergi dari situ. Belum berapa tindak mereka berlalu, telah berjumpa dengan Cin Lian Hin dan enam kawannya. Ang Hoa Lobo berkata pada Cin Lian Hin, "Ini ada cara yang kebetulan. Tak usah kalian memancing lagi si bocah keluar dari sarangnya, kalian tunggu saja disini. Pasti si bocah akan datang kemari untuk mencari temannya." Cin Lian Hin sangat kegirangan. Pikiranya memang hal itu sangat baik, tidak berabe lagi harus memancing Lo In keluar dari sarangnya yang banyak teman kawanan kera. Sementara itu, atas perintah si nenek, Siauw Cu Leng sudah tangkap seekor kelinci, ia potong dan daranya dibikin berceceran dari mulai pohon kembang di mana Eng Lian berdiri sampai sejauh bisa darah sang kelinci dapat dikucurkan. Jadi darah yang berceceran yang Lo In jumpai itu bukannya darah Eng Lian tapi darahnya sang kelinci liar yang nasibnya lagi sial ketemu Siauw Cu Leng. Ang Hoa Lobo senang dapatkan Eng Lian. Ia bawa ke sarangnya, Coa-kok yang sukar didatangi orang karena di lembah itu kesohor banyak ularnya. Di sana Eng Lian dibujuk lagi oleh Ang Hoa Lobo, dijanjikan ia akan dibebaskan dan diantarkan kepada Lo In kalau ia sudah turunkan ajaran menakluki kawanan ular. SI dara cilik dapat dibujuk, tanpa banyak pikir ia lantas berikan pelajaran pada Ang Hoa Lobo. Hatinya sudah kepingin buru-buru ketemu Lo In lagi. Ia kuatirkan putus asa mencari dirinya yang diculik oleh si Nenek Kembang Merah. Kalau ia sudah menurukan pelajaran menakluki ular kepada Ang Hoa Lobo, pikirnya, ia akan mendapat kebebasannya dan segera dapat pulang ke rumahnya bertemu pula dengan adiknya. Dasar anak kecil, masih belum tahu kecurangannya manusia. Eng Lian kena dikibuli Ang Hoa Lobo sebab setelah si nenek dapat ilmu menakluki ular bukan saja kebebasannya si dara cilik tidak diberikan, malah Eng Lian dipakai alat untuk keuntungannya Ang Hoa Lobo dan gula-gulanya (Siauw Cu Leng). "Popo." kata Eng Lian pada suatu hari. Ia sekarang memanggil popo atas usul si nenek sebab katanya diantara mereka tidak ada permusuhan dan malah dengan panggilan yang halus itu, kedengarannya lebih mesra dan lebih dekat hubungan keluarga. "Aku sudah turunkan pelajaran menakluki ular, kapan aku dibebaskan dan ketemu lagi denan adik In " Dia tentu sudah menunggu-nunggu aku dengan tidak sabaran." Ang Hoa Lobo tertawa ramah. Katanya, "Oh, besok ada hari baik. Tanggal 7 bulan 7, aku akan antarkan kau kembali ke rumahmu dan ketemu lagi dengan Lo In." Eng Lian senang mendapat jawaban itu. Ia menubruk Ang Hoa Lobo, memeluk dengan mesra, katanya berbisik, "Popo, kau sangat baik......." Si nenek mengelus-elus rambut kepalanya Lian. "Anak Lian," katanya, "Besok ada hari berpisahan kita. Maka sebentar malam sebaiknya aku mengadakan sedikit perjamuan untuk memberi selamat jalan padamu. Sebab belum tahu kapan kia bisa ketemu lagi." "Oh, tidak Popo. Nanti aku dengan adik In akan menyambangi kau disini. Jangna lupa, kalau adik In kemari, kau mau juga akan memberi obat pemunah pada mukanya adik In yang hitam supaya ia dapat kembali pada wajahnya yang asli." demikian si dara cilik nyerocos, tampaknya ia sangat manja. Ang Hoa Lobo mendengar kata-kata Eng Lian anggukanggukkan kepalanya. "Tentu, itu jangan kau minta juga aku akan sembuhkan muka anak In." sahutnya ramah. Hatinya si dara cilik makin girang. Pada malamnya lantas diadakan perjamuan sederhana. Eng Lian yang tidak biasa minum arak, ia hanya disuguhi teh saja. Teh yang wangi dan menyegarkan badannya. Maka ia beberapa kali meneguk isi cangkir yang saban kali disilahkan minum oleh Ang Hoa Lobo. Si nenek dan Siauw Cu Leng dengan gembira menemani pesta perpisahan itu. Setelah beberapa cangkir teh masuk dalam perutnya Eng Lian, si dara cilik tiba-tiba menguap beberapa kali lantas bangkit dari duduknya sambil berkata, "Aku sudah ngantuk, biarlah aku tidur lebih dahulu........." Baru saja ia mengucapkan 'dahulu........' lantas roboh terkulai, dengkulnya dirasakan lemas. Lantas saja ia tidur di lantai, lupa akan keadaan disekitarnya. "Hehehe !" terdengar Ang Hoa Lobo ketawa seram. "Hebat obatmu, cici !" memuji si Iblis Alis Buntung. "Ini baru tidur saja. Sebentar kalau dia sudah siuman, kau boleh lihat bagaimana pengaruh obatku yang kuberikan padanya. He he he......" si nenek berkata sangat bangga tampaknya. Eng Lian diantapkan saja tidur di lantai, sementara Ang Hoa Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lobo teruskan makan minumnya bersama Siauw Cu Leng dengan gembira. Kira-kira 1 jam sudah berlalu, tampak si gadis cilik mulai mendusin. Eng Lian kucak-kucak matanya kemudian bangkit dari rebahnya. Matanya yang jeli halus kini berubah jadi beringas seperti kerasukan setan. "Hi...hi....hi...........hihihi.........!" tiba-tiba Eng Lian ketawa menyeramkan. "Bagaimana ?" Ang Hoa Lobo tanya Siauw Cu Leng yang saat itu jadi bengong melihat kelakuan Eng Lian. "Begini !" sahut si Iblis Alis Buntung seraya mengacungkan jempolnya. Beringas sikapnya Eng Lian, menakutkan. Matanya terus mengawasi Ang Hoa Lobo, tapi yang diawasi tinggal tenangtenang saja, malah ketawa ramah. Tiba-tiba........ Eng Lian berteriak keras, lalu menubruk si nenek. Kedua tangannya diangkat hendak mencengkeram muka si nenek. Tapi dengan mudah kedua tangan si dara cilik dipegangnya, lalu berkata, "Eng Lian, jangan kurang ajar kepada suhu. Lekas berlutut !" Sungguh mengherankan. Kata-kata Ang Hoa Lobo diturut dengan serentak. Eng Lian jatuhkan dirinya berlutut, sambil mengucap 'Suhu'. Toan Bi Lo-mo Siauw Cu Leng hanya mendengar dari Ang Hoa Lobo bahwa 'istrinya' itu mempunyai satu kepandaian mengherankan. Ia belum mau percaya sebab kalau belum melihat buktinya. Sekarang dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan kepandaian istimewa dari Ang Hoa Lobo. Diamdiam bulu tengkuknya dirasakan pada berdiri, seram, makin takut ia pada si nenek. "Cu Leng." si nenek berkata pada si Iblis Alis Buntung yang saat itu kelihatan duduk termangu-mangu. "Inilah kepandaian yang diwariskan oleh suhuku, Lambay Mo Lie kepadaku, murid tunggalnya. Obat itu dinamai 'Cian jit su su hun' (Obat bubuk mematikan ingatan seribu hari). Siapa yang minum akan membuat lupa siapa dirinya dan kejadian-kejadian yang lampau, dia hanya mempunyai ingatan ada punya suhu, kepada siapa dia harus setia dan menurut segala perintahnya. "Sekarang bagaimana kita harus berbuat atas dirinya ?" tanya Siauw Cu Leng. "Eng Lian ada punya sepasang ular kecil." kata si nenek. "Warnanya kekuning-kuningan seperti emas. Ditaruh dalam sebuh bumbung mungil yang dia bawa-bawa dibadannya. Kalau aku tanya kenapa sepasang ular itu tidak dia lepas, katanya untuk menjaga dirinya. Dia ada seorang lemah, tidak pandai silat. Kalau ada orang hendak berbuat jahat padanya, dia dapat melepaskan ularnya untuk menggigit. Siapa yang kena digigit oleh ular emasnya itu akan keracunan dan dalam tempo setengah jam, kalau tak mendapat obat pemusnahnya bakal mati dan tubuhnya lumer menjadi air tanpa bekas.........' "Ah, sampai begitu hebatnya ?" menyela Siauw Cu Leng, ketakutan dia. "Itu aku belum buktikan sendiri. Mungkin omongannya tidak salah. Katanya sepasang ular itu adalah pemberian ayahnya dengan pesan kalau tidak keliwat terpaksa jangan dilepaskan untuk membunuh orang. Makanya sampai sebegitu jauh dia simpan saja sepasang ular emas itu dalam bumbung di badannya. "Aku tidak melihat dia kasih makan ularnya." kata Siauw Cu Leng. "Sepasang ular itu bisa tiga bulan berturut-turut tidak makan." menerangkan Ang Hoa Lobo. "Ini aku tahu dari Eng Lia. Makanannya apa, aku sendiri tidak tahu sebab si Lian tidak mau mengatakan padaku." "Kalau sepasang ular itu begitu jahat, paling baik kita rampas saja dari padanya, kita bunuh mati. Jadi tidak membahayakan kita." usul Siauw Cu Leng. "Jangan, jangan." sahut Ang Hoa Lobo seraya goyang-goyang tangan. "Mati atau hidup sepasang ular itu bagi kita tidak penting." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita takluki dia dan dijadikan alat untuk kita. " usul Siauw Cu Leng bernapsu. "Tidak bisa." sahut si nenek. "Sepasang ular itu tak dapat ditakluki oleh kita kecuali oleh Eng Lian yang menjadi majikannya. Juga tidak akan membahayakan pada kita karena dalam keadaan tidak sadar, Eng Lian tentu akan menjadi alat kita yang dapat kita gunakan untuk membunuh musuh-musuh kita. Ini bukannya baik ?" Siauw Cu Leng ketawa nyengir. "Eng Lian selain punya senjata ampuh itu, juga punya senjata lainnya yang tidak kurang ampuhnya." menerangkan Ang Hoa Lobo. "Senjata apa, cici ?" tanya Siauw Cu Leng. "Setelah makan obatku, pikirannya menjadi linglung, gigitan giginya akan membuat orang yang digigitnya akan kepanasan seperti dibakar jantungnya dalam tempo lima menit setelah mana si korban akan sembuh kembali tapi ingatannya lantas berubah dan tunduk kepada Eng Lian, dapat diperintah sesukanya Eng Lian....." "Ah, cici....... aku takut ! Kalau orang yang digigit Egn Lian itu dapat diperintah Eng Lian. Bagaimana kalau Eng Lian perintah orang menghajar kita ?" "Tua bangka tolol !" jengek si nenek ketawa. "Mana bisa Eng Lian suruh hajar kita sebab Eng Lian ada di bawah pengaruh kita." Siauw Cu Leng membungkam. Sementara itu, Eng Lian tinggal berlutut di depan Ang Hoa Lobo bagaikan patung. "Sekarang Eng Lian sudah tidak ingat lagi akan dirinya. Perlu dia mendapat pelayan-pelayan untuk melayaninya. Sebab mana aku yang menjadi suhunya melayani dia mandi, makan, temani kongkow segala. Dia harus mempunyai banyak pelayan." Ang Hoa Lobo utarakan pikirannya. "Habis, dari mana kita cari pelayan begitu banyak ?" tanya Siauw Cu Leng, garuk-garuk kepala. "Culik. Kenapa kau tidak bisa culik anak gadis orang ?" bentak si nenek. Si Iblis Alis Buntung ketawa nyengir. Memang jalan yang paling mudah untuk mendapati pelayan-pelayan Eng Lian harus menculik gadis-gadis orang. Demikian, dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu Leng dalam beberapa hari saja sudah dapat menculik banyak gadis-gadis dan anak lelaki yang berusia tanggung sebaya dengan Eng Lian. Semuanya dicekoki obat oleh Ang Hoa Lobo supaya ingatannya masingmasing lenyap. Apa yang dipikirkan mereka hanya punya 1 suhu (guru) pada siapa haru setia dan menurut segala perintahnya. Yang mereka anggap suhunya adalah Eng Lian, bukannya Ang Hoa Lobo sebab si nenek sudah menjadi suhunya Eng Lian. Tegasnya Ang Hoa Lobo menjadi sucow (kakek guru) dari itu sekian banyak wanita dan pria tanggung. Senang bukan main hatinya Ang Hoa Lobo melihat muridnya Eng Lian dan cucu muridnya demikian banyak. Tentu saja ada meminta biaya besar untuk mengongkosi mereka. Dari mana di dapat biaya untuk itu " Gampang. Suruh saja si Iblis Alis Buntung mencuri atau membegal, maka biaya didapatkan dengan mudahnya. Dalam sedikit tempo saja, Eng Lian berubah menjadi ratu tanpa mahkota. Semua dayang-dayang yang menjadi pengiringnya berseragam sutra putih yang tipis, pakai ikat kepala juga dari sutra putih tertaneap sekuntum bunga dari sutra merah. Sebaliknya, pria pakaiannya dari sutra kuning menyolok, ikat kepalanya juga dari sutra kuning, tertancap sekuntum bunga dari sutra merah seperti para wanita. Ang Hoa Lobo namakan prajuritnya ini Ang Hoa Kun atau Pasukan Kembang Merah, simbol (tanda) yang si nenek paling suka. Eng Lian berpakaian sutra tipis kuning keemas-emasan, lapisnya dari sutra warna dadu sangat tipis hingga tubuhnya yang halus putih berbayang. Ikat kepalanya dari sutra putih dengan burung-burungan tengah mematuk setangkai bunga merah. Kalau kepalanya Eng Lian bergerak, burung-burungan itu angguk-anggukan karena dipasangi per. Indah sekali dan menarik perhatian. Para dayang, kecuali sutra tipis warna putih yang merupakan pakaian luar, di bagian dalam tubuhnya dibungkus oleh sutra biru ekstra tipis yang ketat hingga tubuhnya yang putih seperti tercetak, menggiurkan, merangsang napsu lelaki yang gampang goyah imannya. Sungguh jempol Ang Hoa Lobo menciptakan mode pakaian yang merangsang napsu birahi. Rupanya si nenek sudah mempunyai tujuan tertentu menciptakan mode pakaian istimewa ini, yang membuat Siauw Cu Leng bengong dan telan ludah. Ang Hoa Lobo diam-diam bukannya tidak tahu Siauw Cu Leng yang ceriwis mengiler sampai telan ludah untuk 'cicipi' salah satu bidadari bikinan itu. Tapi ia pura-pura tidak tahu. Ia mau kasih hajar pada suami diluar kawin itu supaya kapok atas perbuatannya yang nyeleweng. Begitulah telah terjadi. Sore itu Siauw Cu Leng berusaha pulang dari bepergiannya. Ia dapatkan Ang Hoa Lobo dan Eng Lian tidak ada ditempatnya. Ia mencari-cari tak terdapat di sekitar rumah. Diam-diam ia sudah dekati salah satu dayangnya Eng Lian yang bernama Cui Sian yang waktu itu sudah benahi pakaiannya Eng Lian yang habis tukaran. Cui Sian ketawa-ketawa diajak ngobrol oleh Siauw Cu Leng. Sudah tentu ketawanya tidak wajar, linglung, tak tahu dimana dirinya berada. Memandang tubuhnya Cui Sian yang seperti tercetak dibalik pakaiannya yang gerombongan tipis, bukan main ngilernya si ceriwis Siauw Cu Leng. Pikirnya ini ada ketika baik, kenapa dia tak mau gunakan " Apalagi melihat keadaannya Cui Sian seperti yang hilang ingatannya, apa ia bisa bikin kalau dia perkosa atas dirinya " Napsu birahinya timbul dengan serentak, tak dapat ia mengendalikannya. Ia maju lebih dekat, menyambar tangan orang yang putih halus. Cui Sian hanya tertawa haha hihi seraya berontakberontak melepaskan tangannya dari cekalan Siauw Cu Leng. "Cui Sian, mari kita main." berkata Siauw Cu Leng berbareng ia memeluk dan mencium pipi Cui Sian. Beradunya tubuh yang hangat membuat Siauw Cu Leng seperti kalap. Ia pondong si nona hendak dikerjai di atas pembaringan tapi........'Aiyoo !'. Sekonyong-konyong Siauw Cu Leng berjengkit, serentak ia melepaskan pondongannya dan tubuhnya Cui Sian terbanting di lantai. "Hihihihi........." si nona ketawa seraya lari keluar dari kamar Eng Lian. Kenapa Siauw Cu Leng " Itu hasil dari pekerjaan yang tidak sopan. Ia memondong Cui Sian dengan maksud keji tapi sebelum napsu jahatnya kesampaian, lengannya sudah kena digigit oleh Cui Sian. Bekas gigitan sakit bukan main sehingga mengeluarkan teriakan 'Aiyoo !' dan lepaskan tubuh si nona dari pondongannya. Seketika itu ia terkulai roboh, hawa panas dirasakan meluap ke jantungnya seperti dibakar. Ia menjeritjerit beberapa kali kemudian tenang lagi dan dapat berdiri pula sebagaimana biasa, hanya.... ingatannya hilang. Keadaannya tidak beda seperti korban-korban lainnya yang kena dicekoki obatnya Ang Hoa Lobo. Siauw Cu Leng tidak sadar dimana dirinya berada. Perlahanlahan ia jalan dan berkumpul dengan golongan pria dari Ang Hoa Kun. Korban dari obatnya Ang Hoa Lobo yang istimewa memang benar hilang ingatannya, tidak ingat lagi keadaan dirinya siapa. Tapi dapat diajak ngobrol, bersenda gurau, ketawaketawa apabila yang diobrolkan dapat mengitik urat ketawa seperti juga keadaannya ada normal. Dia tidak akan digigit kalau salah satu dari 3 bagian dari anggautanya tidak kesentuh. Tiga bagian anggauta penting itu adalah jidat, buah dada dan perut. Kalau salah satu bagian ini kena kesentuh, kontan si korban akan sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Lantas saja menggigit macam anjing gila menularkan racun. Giginya nancap pada bagian daging yang digigit, menimbulkan hawa panas nyelusup ke jantung seperti dibakar tapi hanya sebentaran. Kemudian si korban gigitan normal lagi cuma saja penyakit hilang ingatannya menular dan ia keadaannya akan seperti yang menggigitnya. Tiada seorang pun yang dapat tahu rahasia tiga bagian anggauta yang tak dapat disentuh ini kecuali Ang Hoa Lobo yang mewarisi ilmu sakti dari Lamhay Mo Lie. Buah dadanya Cui San yang bulat menonjol membikin napsu iblisnya Siauw Cu Leng melonjak, tak dapat ia melewatkan kesempatan baik pikirnya. Diwaktu memondong Cui Sian ia sudah mencium buah dada si nona dan.... karena sentuhan mulut pada buah dada menyebabkan Cui Sian sadar akan bahaya mengancam dirinya, otomatis seketika itu ia menggigit lengannya si ceriwis sehingga menjerit kesakitan. "Hehehe........." tertawa Ang Hoa Lobo ketika ia pulang melihat keadaannya Siauw Cu Leng yang jadi hilang ingatannya. Ia tidak mengenali istrinya, hanya ia memberi hormat pada Eng Lian seperti kawan-kawannya yang lain. "Inilah ada satu hukuman bagi orang yang menyeleweng. Cu Leng, Cu Leng, sampai kapan tabiatmu yang buruk itu bisa dibuang " Hehehe........" Siauw Cu Leng seperti tidak mendengar kata-kata Ang Hoa Lobo, ia diam saja. Si nenek lalu membisiki kupingnya Eng Lian, segera ia berkata, "Siapa diantara kalian yang diganggu oleh Yaya " Maju ke depan !" Saat itu Eng Lian sudah duduk diatas kursi kebesarannya, didampingi oleh Ang Hoa Lobo dan dikitari oleh dayangdayangnya yang cantik-cantik. Eng Lian berkata pada dayangdayangnya yang berkumpul disitu. Tanpa Eng Lian mengucapkan kedua kalinya, segera tampak satu dara muncul tampil ke depan ialah Cui Sian. Ia ini berlutut di depan Eng Lian. Ang Hoa Lobo perhatikan pakaian Cui Sian, ternyata ada yang sobek pada bagian buah dadanya. Si nenek manggut-manggut melihat itu. Ia sudah lantas menduga sobeknya baju si nona pada bagian buah dadanya adalah kerjaan tangan nakal dari Siauw Cu Leng. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Setelah hilang ingatannya, Eng Lian merubah panggilannya kecuali pada si Nenek Kembang Merah sudah ia panggil Popo (nenek), kepada Siauw Cu Leng ia panggil Yaya (kakek atau engkong) yang biasanya si dara cilik panggil si nenek dan si kakek jahat. "Cu Leng, atas kelakuanmu yang ceriwis, aku hukum kau untuk beberapa lamanya menjadi anggauta Ang-hoa kun !" berkata si nenek. Siauw Cu Leng tinggal membisu saja. Ang Hoa Lobo lupa bahwa Siauw Cu Leng tak dapa menangkap omongannya kecuali omongan itu keluar dari mulutnya Eng Lian sebab Eng Lianlah dalam benaknya ada ia punya suhu. Kapan Ang Hoa Lobo ingat akan keadaan itu, maka ia suruh Eng Lian yang bicara pada Siauw Cu Leng dan sekarang si kakek ceriwis kelihatan pucat mukanya, ia maju ke depan dan jatuhkan diri berlutut di depan Eng Lian sambil manggutmanggut dia berkata, "Hamba terima salah, mohon Siancu punya belas kasihan." Lucu kelakuan Siauw Cu Leng hingga Ang Hoa Lobo yang melihatnya tertawa terpingkal-pingkal. Setelah mana, tiba-tiba hatinya merasa menyesal. Pikirnya jelek, Siauw Cu Leng ada lakinya dan teman diajak berunding. Kalau sekarang ia ditinggal begitu, hilang ingatannya, dengan siapa dia dapat bicara untuk mendamaikan cita-citanya lebih jauh. Lantaran berpikir demikian, maka si nenek terpaksa mengembalikan pula ingatannya si kakek ceriwis, dikasih obat pemunahnya. Obat itu diaduk dengan air teh dalam sebuah mangkok, di depan siapa ia berkata, "Nah, kau minumlah ini !" Siauw Cu Leng yang masih tetap berlutut tidak meladeni perintah Ang Hoa Lobo, hanya matanya saja mengawasi si nenek. Ang Hoa Lobo heran, tapi segera pikiran terangnya berkelebat. "Ah, dasar sudha jadi nenek, pelupa. Kenapa aku berbuat begini." ia berkata-kata sendirian sambil jalan menghampiri Eng Lian. "Anak Lian, kau suruh orangmu untuk kasih mangkok obat ini pada yayamu supaya diminum isinya." Ang Hoa Lobo kata pada Eng Lian seraya menyodorkan mangkok obat pada si dara cilik yang lantas menyambuti kemudian diserahkan pada salah satu dayangnya untuk melakukan perintahnya Ang Hoa Lobo. Kiranya si nenek kembali lupa bahwa anggauta-anggautanya Ang-hoa-kun hanya tunduk perintah Siancu (dewi) yang dianggap suhunya, lain orang jangan harap dapat memerintah meskipun Ang Hoa Lobo yang menjadi Sucownya (kakek guru). Mendengar perintah Siancu, maka Siauw Cu Leng tanpa raguragu sudah lenyap terima mangkok yang disodorkan padanya dan minum habis isinya. Sebentar lagi tampak ia menguap beberapa kali, lalu roboh dilantai dan tidur pulas sampai mengorok. Sementara itu Eng Lian sudah suruh Cui Sian bangun dari berlututnya dan disuruh tukar pakaiannya yang sobek. Cui Sian menurut lalu meninggalkan ruangan itu. Eng Lian ada memelihar sepasang ular kecil, warnanya keemas-emasa yang disimpan dalam sebuah bumbung kecil mungil, entah dari dahan apa bumbung itu dibuat, bobotnya enteng dan licin mengkilat. Sepasang ular itu panjangnya masing-masing hanya tiga cun (dim), gesit luar biasa. Kalau bumbung ditekan terbuka maka mereka segera mencelat keluar dan menyambar pada korbannya untuk menggigit. Racunnya sangat jahat karena korbannya dalam tempo setengah jam akan mati dan badannya lumer menjadi air tanpa meninggalkan bekas, kalau tidak keburu dapat obat pemusnahnya. Eng Lian tadinya tidak percaya demikian jahat bisa ular emasnya itu. Tapi setelah menyaksikan sendiri, ia meleletkan lidahnya. Itulah ia lihat pada waktu sepasang ular itu hendak diwariskan padanya oleh sang ayah. Maksudnya untuk menjaga dirinya. Pada saat itu telah dicoba sang ular disuruh menggigit ular besar yang panjangnya satu meter. Benar saja ular besar itu mati setelah kena digigit setengah jam lamanya, bangkainya lumer menjadi air. Sang ayah memesan kalau tidak sangat perlu, senjata ampuh itu jangan dikeluarkan karena akibatnya sangat mengerikan. Kepada Lo In ia masih belum mau ceritakan ia ada mempunyai senjata ampuh itu. Takut Lo In nanti melarang ia membawa-bawanya, sedang ia sangat sayang pada sepasang ular itu, seakan-akan jimatnya. Berdasarkan sepasang ular emas itu dan kebetulan Coa-kok (Lembah ular) ada menjadi tempat kediamannya, maka Ang Hoa Lobo telah memberi gelaran kepada Eng Lian, Kim Coa Siancu atau Dewi Ular Emas. Memang gelaran ini sangat tepat untuk Eng Lian karena si dara cilik adalah penakluk ular. Untuk membikin si dara cilik lebih ditakuti lagi namanya, disamping sudah punya kepandaian menakluki ular dan sepasang senjata ampuhnya ular emas, Ang Hoa Lobo dengan tidak mengenal capek, siang malam dia didik Eng Lian dengan ilmu silat, rahasia ilmu pedang dan pukulan tangan kosong yang hebat diturunkan semua pada si dara cilik hingga dalam tempo pendek Eng Lian sudah berubah dirinya dari gadis cilik yang lemah gemulai menjadi gadis cilik yang gesit dan tangkas. Tinggal menggembleng lwekangnya (tenaga dalam) saja, setelah mana Eng Lian dapat digolongkan sebagai jago kelas satu. Setelah siuman kembali, Siauw Cu Leng nampak dirinya tidur menggeletak di atas lantai, ia lantas ingat akan kesalahannya. Ia jadi ketakutan pada Ang Hoa Lobo. "Orang she Siauw." kata si nenek, setelah tertawa terkekehkekeh. "Masih ada nyali untuk berbuat yang bukan-bukan lagi nanti " Kali ini aku mau ampunkan selembar jiwamu tapi lain kali, hmm !" Siauw Cu Leng malu, tidak berani ia angkat kepala. Ia masih tinggal duduk dilantai, kalau tidak Ang Hoa Lobo membentak, katanya, "Lekas bangun, atur pekerjaanmu sebagaimana biasa !" Siauw Cu Leng dengan roman lesu dan malu telah meninggalkan ruangan itu untuk berkumpul dengan 'Pasukan Kembang Merah' di lapangan latihan dimana ia biasa mengajar ilmu silat kepada mereka. Ang-hoa-kun bagian pria, mendapat didikan dari Siauw Cu Leng sedang buat bagian wanitanya dididik sendiri oleh Ang Hoa Lobo. Ketika hari pertama mendidik anak buahnya, si nenek pernah berkata pada Siauw Cu Leng. "Kita masingTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ masing mendidik orang-orang muda yang berbakat. Sampai dimana kepandaian mereka, kita tidak tahu. Tapi satu waktu nanti aku akan mengadakan pertemuan umum, dimana muridmuridmu akan dihadapkan dengan murid-muridku. Lihatlah siapa yang lebih jempol mendidiknya !" Karena sudah ada kata-kata demikian dari Ang Hoa Lobo, maka Siauw Cu Leng tidak berani alpakan kewajibannya dan mendidik orang-orangnya dengan sungguh-sungguh. Maka tidak heran kalau dalam sedikit waktu orang-orangnya menjadi pandai silat juga walau belum boleh dikatakan masuk kelas satu. Kata-kata Ang Hoa Lobo pada Siauw Cu Leng hanya sebagai anjuran pada si kakek ceriwis. Sebab umumnya anak murid Ang Hoa Lobo ada lebih tinggi ilmu silatnya karena dididik oleh orang yang pandai seperti Ang Hoa Lobo. Kepandaian Siauw Cu Leng kalah jauh dengan si nenek, apa lagi lwekang Ang Hoa Lobo ada sangat tinggi. Tidak sembarangan Ang Hoa Lobo maupun Siauw Cu Leng menculik anak-anak tanggung pria dan wanita. Mereka memilih hanya mereka yang dinilai berbakat untuk mendapat didikan ilmu silat, barulah diculik dibawa ke Coa-kok. Tidak heran kalau ada beberapa anak jago-jago silat kenamaan yang hilang lenyap diculik Ang Hoa Lobo atau Siauw Cu Leng sehingga orang tuanya menjadi gelagapan mencarinya. Adanya penculikan-penculikan itu telah menghebohkan kalangan Kangouw. Jago-jago silat bergerak dengan serentak untuk mencari jejaknya si penculik. Sebenarnya perbuatan-perbuatan menculik dari kedua iblis itu susah dicari jejaknya kalau tidak si nenek yang 'sok' dengan kepopuleran nama. Pada belakangan ini, ia setelah menculik anak orang telah meninggalkan nama Kim Coa Siancu. Malah yang paling menghebohkan adalah kejadian dirumahnya Hekhouw Ma Liong, guru silat kenamaan di kota Lengkoan, Hokkian, dimana Ang Hoa Lobo membuat huru hara. Sudah beberapa hari memang Ang Hoa Lobo ada tinggal di kota Lengkoan untuk mencari gadis-gadis yang berbakat untuk menjadi pelayannya Eng Lian. Ia ada mengincar pada Ma Sian Bwee ialah gadisnya Hek-houw Ma Liong yang usianya hampir sebaya dengan Eng Lian. Sian Bwee tubuhnya kecil, gesit dan cerdik rupanya. Maka Ang Hoa Lobo sangat ketarik padanya. Untuk terangkan meminta langsung pada orang tuanya, sudah tentu tidak mungkin. Maka ia gunakan jalan sebagaimana biasa menculik anak orang dengan menggunakan obat pulas, tidak ada yang merintanginya. Tapi sekali ini perhitungan Ang Hoa Lobo meleset. Ma Liong bukan sembarangan guru silat, ia memang jago, murid kepala dari Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim, Si Burung Kepala Dua yang terkenal dalam kalangan jago-jago silat propinsi Hokkian. Malam itu Ma Liong sedang berlatih dengan tiga orang muridnya, Mak Kian anaknya sendiri, Gouw Liu Pa dan Hoan Tek Huy. Tempat berlatih letaknya di pekarangan belakang rumah, cukup lebar hingga mereka berlatih dengan penuh semangat. Cuaca malam itu tidak menentu, kadang-kadang terang dan kadang-kadang gelap disebabkan sang awan yang menutupi bulan muda baru nongol. Hek-houw Ma Liong yang tengah memberi petunjuk-petunjuk pada murid-muridnya, tiba-tiba bungkam mulutnya sambil matanya mengawasi ke jurusan loteng rumahnya. Sekilas ia merasa seperti melihat ada mencelat ke sana sesosok bayangan gesit luar biasa, sebentar saja sudah lenyap. Hatinya merasa tidak enak sebab diloteng sana ada tidur ia punya anak gadis, Sian Bwee, hanya ditemani oleh seorang pelayannya. Hek-houw Ma Liong menduga bayangan itu mungkin ada Cay-hoa-cat (maling tukang petik bunga), hatinya makin tidak enak akan keselamatan anak gadisnya. "Kalian teruskan berlatih, aku ada urusan sebentar." ia berkata tiba-tiba kepada ketiga muridnya berbareng ia sudah gerakkan badannya melesat ke bawah loteng, dari mana ia enjot tubuhnya untuk terus hinggap diatas melalui langkan. Perlahan-lahan ia menghampiri pintu kamar anaknya. Melalui lubang kunci, ia dapat lihat dalam kamar ada satu nenek sedang membungkus tubuh anaknya dengan kain sprei. Bukan main marahnya Hek-houw Ma Liong. Ia tendang pintu hingga terbuka dan lompat masuk menerjang si nenek yang tiada lain adalah Ang Hoa Lobo. Mendengar pintu ditendang terbuka, dari mana ada bayangan lompat menerjang dirinya, Ang Hoa Lobo cepat berkelit sambil lepaskan bungkusan yang saat itu sudah siap diangkat ke pundaknya. "Maling kurang ajar, kau berani ganggu keluarga Ma ?" demikian ada bentakan si Macan Hitam Ma Liong dalam marahnya ketika ia menerjang masuk dalam kamar Sian Bwee. Ia menggunakan tipu 'Beng houw Pok yo' atau 'Harimau buas menubruk kambing', dua tangannya diulur mencengkeram kedua pundak si nenek untuk dengan sekaligus menarik copot lengan orang sebatas pundak. Satu serangan yang ganas karena si Macan Hitam Ma Liong sangat gusar kepada si nenek. Mungkin serangan Ma Liong yang ganas dan cepat itu berhasil kalau yang diserang itu bukannya Ang Hoa Lobo, si nenek yang sudah kawakan menggempur jago-jago silat dimana saja. Dengan sedikit menggeser badannya, Ang Hoa Lobo sudah dapat meluputkan diri dari serangan si Macan Hitam. Melihat serangannya gagal, si guru silat sudah menyerang lagi dengan gerakan 'Coa ong sim hiat' atau 'Ular mencari liang'. Ia merangsak, tangan kirinya menyambar perut sedang tangan kanannya berbareng nyelonong ke arah mata, dua jarinya hendak mengorek sepasang lampu lawan. Tentu saja Ang Hoa Lobo tidak ijinkan orang main-main dengan matanya. Tangan kanannya menekan ke bawah tangan Ma Liong yang menyambar perutnya sedang tangan kirinya menyentil dengan Lima Golok Setan 1 Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Suramnya Bayang Bayang 21