Ceritasilat Novel Online

Bocah Sakti 7

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 7 Bukan sedikit menemui senjata lawan yang lebih besar dan berat, pedangnya dapat memapas kuntung. Tapi sekarang, sekarang ditangannya Kim Coa Siancu hanya ujungnya saja dijepit oleh dua jarinya yang halus mungil, sekali dikutik, pedang sudah patah persis pada tengah-tengahnya. SAmpai dimana tenaga alam Kim Coa Sianvu, benar-benar susah diukur. Oleh karenanya si Sepasang Pedang Dewa menjadi menjublek, tidak tahu apa yang ia harus bikin saat itu. Kepalanya nunduk dengan perasaan kagum. "Hi hi hi !" suara ketawa yang membuat si Sepasang Pedang Dewa tersadar dari kekagetannya. Cepat ia angkat mukanya, kiranya suara ketawa itu sudah berada di tempat jauh. Kim Coa Siancu sudah tidak ada pula disitu, berbareng Cui Sian alias Sian Bwee dengan ayah bundanya sekali, sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Louw Bin Cie hanya bisa menghela napas beberapa kali dengan putus harapan. Ia lalu membongkoki badannya, memungut pedangnya yang jatuh tadi. Perlahan-lahan ia bertindak meninggalkan tempat itu dengan penuh teka teki akan kelihaian Kim Coa Siancu yang muda belia dan cantik luar biasa. Beberapa lie ia jalan tanpa merasa, tiba-tiba ia melihat jauh di depan seperti ada dua orang sedang meneduh di bawah pohon, yang satu tengah berdiri, yang lainnya tengah duduk, dua-dua kelihatan menyandar pada batang pohon. Louw Bin Cie kegirangan akan menemui dua orang ditempat yang sepi itu. Pikirnya, dapatkah mereka ia buat teman kongkouw (ngomong) dalam perjalanan. Ia cepatkan jalannya. Beberapa tindak lagi mendekati dua orang itu, ia lantas hendak membuka mulut menyapa tapi katakatanya urung meluncur dari bibirnya karena matanya tiba-tiba jadi terbelalak kaget. Kiranya orang-orang yang menyandar itu bukan seperti biasanya menyandar melepaskan lelah, keduanya tertusuk dengan pedang. Yang menyandar sambil berdiri adalah seorang yang masih muda, dadanya tertusuk pedang hingga menembus ke batang pohon, sementara yang satunya lagi adalah wanita muda, lehernya disate pedang menembus pohon. Mata keduanya melotot gusar seakan-akan kematian mereka itu penasaran. Meskipun si Sepasang Pedang Dewa banyak pengalamannya bertempur, kematian-kematian seperti yang ia saksikan sekarang adalah wajar. Tapi mengingat bahwa kematian mereka ini bukan dari perkelahian tapi akibat keganasan Kim Coa Siancu, membuat hatinya tergetar setelah melihat tanda goresan Cap Ular Kecil yang berlegot-legot jalan pada jidatnya si korban masing-masing. Suatu tanda cap yang menakutkan bagi siapa yang melihatnya. Siapakah korban-korban itu " Louw Bin Cie tidak berani memeriksa kantong baju mereka, untuk mendapatkan petunjuk siapa sebenarnya mereka itu. Ia takut akan keracunan dan menemui kematian konyol. Kembali Louw Bin Cie melihat lagi akan sepak terjangnya Kim Coa Siancu. Sebenarnya menurut hatinya yang tidak tega, Louw Bin Cie ingin gulung tangan baju bantu mengubur dua mayat itu tapi mengingat bahanyanya racun Kim Coa Siancu. Ia urungkan niatnya, ia lalu meneruskan perjalanannya sambil menghela napas. Baru kali ini si Sepasang Pedang Dewa banyak keluarkan elahan napas dalam perjalanan. Biasanya ia paling gembira dan nyalinya besar, meskipun dalam perjalanan menempuh bahaya. Belum berapa lama Louw Bin Cie berjalan, kembali ia menemukan sesosok tubuh yang sedang celentang. Ketika ia datang mendekati, kaget bukan main sebab orang itu adalah si muka putih, temannya si gemuk yang tampak sudah jadi mayat dengan tanda goresan Cap Ular pada jidatnya. Kemana perginya si kumisan, temannya si gemuk yang satunya lagi " Demikian tanya Louw Bin Cie dalam hati kecilnya. Louw Bin Cie makin jeri hatinya. Tak ada tempo ia untuk memeriksa tubuh si muka putih yang sudah jadi mayat, ia lantas teruskan perjalanannya. Ingin cepat-cepat ia sampai di rumah untuk mendongeng kepada kawan-kawan halnya si Dewi Ular Emas yang hebat dan menggemparkan sepak terjangnya. Pikirnya, yang penting ia harus lekas-lekas keluar dari daerah berbahaya yang termasuk wilayah Coa-kok supaya jangan sampai menemukan kematian konyol. Akhirnya ia sampai juga di Tong-pek-cun, satu dusun yang ramai dan banyak penduduknya, terletak di luar wilayah berbahaya dari Lembah Ular. Hatinya Louw Bin Cie baru merasa lega. Ia mamir pada sebuah rumah makan 'Ce-lamtiam' yang kesohor dengan arak wanginya. Banyak orang dari lain tempat datang, kebanyakan pada masuk dalam rumah makan itu. Maka tidak heran kalau sabah hari rumah makan itu penuh dengan tamu-tamu, kalau tidak dari luar dudun, tentu yang datang makan dari dalam dusun itu sendiri. Sedang enaknya Louw Bin Cie mencicipi makanan lezat dan arak wangi sebagai pengantarnya, tiba-tiba matanya melihat pada seorang tamu yang barusan masuk. Ia kenali itulah si kumis teman si gemuk. Ia ingin dapat beromong-omong dengan si kumis, mengerti teman-temannya yang telah gugur dan maksud mereka ke Lembah Ular. Dengan cara kebetulan, si kumis kehabisan tempat dan datang makan satu meja dengan Louw Bin Cie. Mereka lalu berkenalan, sementara menunggu hidangan si kumis yang perawakan kecil kurusm memperkenalkan namanya Tiong Kiat she Lie asalah dari propinsi Kwitang. Louw Bin Cie terkejut. Pikirnya, apa bukan dianya " Lantas ia menanya, "Lie-heng ini bukannya Kengcu Kim-kauw cian yang menggemparkan Kwitang ?" Kengcu Kim-kauw-cian artinya 'Si Gunting Emas dari kota Kengcu'. "Ah, itu hanyalah nama kosong saja." sahut Lie Tiong Kiat merendah. "Aku sendiri tidak punya kepandaian apa-apa tapi teman-teman Kangouw main sembarangan memberi julukan 'si Gunting Emas', sungguh berkelebihan." Louw Bin Cie terkejut mendengar namanya Lie Tiong Kiat yang bergelar di Gunting Emas, lantaran mendengar sepak terjangnya si Gunting Emas yang hebat dan pantas dapat pujian. Ia menindas si jahat menolong si lemah. Di samping ilmu silatnya tinggi, tubuhnya enteng seperti jatuhnya selembar daun kalau ia lompat dari atas menginjak tanah, tidak ada suaranya. Lompat tingginya melebihi kepandaian jago-jago silat kelas satu, khusus ia namakan ilmu entengi tubuhnya itu 'Kim cian coan in' atau 'Panah emas tembusi mega'. "Sepantasnyalah kalau orang memberikan julukan kau demikian." kata Louw Bin Cie seraya manggut-manggut kepalanya, air mukanya tersenyum ramah. "Nama saudara Louw juga sangat santar terdengar di telingaku. Maka aku girang sekali dapat berkenalan dengan saudara." si Gunting Emas balas memuji. (Bersambung) Jilid 07 Letak meja mereka makan di satu pojokan, agak jauh dari meja tamu lain. Maka dengan leluasa mereka dapat membicarakan soal-soal yang rahasia, asal tidak keras-keras bicaranya. Demikian, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Louw Bin Cie untuk menanyakan halnya si Gunting Emas datang ke Lembah Ular. Lie Tiong Kiat kaget Louw Bin Cie timbulkan soal Kim Coa Siancu. Mengingat ia sudah berada di luar wilayah Lembah Ular, tidak ada halangan untuk berbicara dengan Louw Bin Cie mengenai halnya Kim Coa Siancu. Ia menanya, "Dari mana saudara tahu halnya aku ke Coa-kok ?" "Ketika kawan saudara yang gemuk itu menemui ajalnya, aku juga beserta kawan-kawan berada di sana menyaksikan." sahut Louw Bin Cie. "Louw-heng kata bersama-sama kawan, sekarang kawankawanmu ada dimana ?" tanya Lie Tiong Kiat. Ia heran Louw Bin Cie hanya sendirian tapi menyebutkan ada kawankawannya. "Lie-heng jangan kaget." sahut Louw bin Cie. "Seperti dengan kau, aku juga sudah kehilangan kawan-kawan dalam perjalanan." "Juga dibunuh Kim Coa Siancu "' tanya Lie Tiong Kiat. "Satu yang di bunuh, sedang yang lain pada mengikuti si Dewi Ular Emas." "He, bagaimana bisa begitu ?" Louw Bin Cie menghela napas. Lalu ia ceritakan terbunuhnya Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim, pertemuannya dengan Cui Sian yang dikenali Lengkoan Giok-lie dan Ma Liong sebagai puterinya yang hilang diculik. Kemudian muncul Kim Coa Siancu, Lengkoan Giok-lie digigit Cui Sian dan ingatannya menjadi berubah dan lalu menggigit Ma Liong sehingga suaminya ini pun menjadi berubah pikirannya dan mengikuti si Dewi Ular Emas dengan kesukaan sendiri. Kemudian ia sendiri maju, nekad untuk menempur Kim Coa Siancu tapi kesudahannya dipecundangi dengan cara yang memalukan sekali. Si Gunting Emas Lie Tiong Kiat manggut-manggut, kemudian terdengar ia menghela napas. Atas permintaan Louw Bin Cie, si Gunting Emas lalu menuturkan riwayat perjalanannya ke Lembah Ular yang ia tidak sangka-sangka akan berbahaya sekali. Pada suatu malam gelap dan hujan turun dengan rintik-rintik. Keadaannya sunyi senyap dan hawanya dingin membuat orang tidur nyenyak berselimut tebal. Pada saat itu, Tan Eng Sian (si jangkung teman si gemuk) barusan saja pulang dari rumah kawannya yang tinggal di luar kota Hokcu dimana ia menginap dua malam untuk memberi pertolongan kepada anak temannya yang dapat sakit. Tan Eng Siang selainnya terkenal pandai silat, juga pandai obat-obatan. Maka tidak jarang ia mendapat undangan sahabat atau kenalan yang anggota keluarganya dalam sakit untuk diminta pertolongannya. Tatkala ia samapi di halaman rumahnya, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh berkelebatnya bayangan keluar dari jendela rumahnya. Ia tidak tahu bayangan siapa yang merupakan asap menghilang ditelan kegelapan, yang terang ia mendengar suara seram, "Hihihi..." sehingga ia kaget dan menduga bayangan tadi manusia yang masuk ke dalam rumahnya. Tan Eng Sian tergopoh-gopoh menggedor pintu yang segera dibukai oleh seorang pelayan laki-laki tau yang sudah bongkok. "Siapa yang masuk barusan ?" tanya Eng Sian cepat. "Tidak ada yang masuk kemari," sahut si kakek bongkok. Eng Sian tidak sempat memajukan pertanyaan lebih jauh karena hatinya penuh dengan kekuatiran rupanya sebab sikapnya amat gugup. Cepat ia pergi ke kamarnya. Ternyata kamar dikunci dari sebelah dalam. Ia heran sebab tidak biasanya sang istri tidur dengan pintu kamar terkunci. Sebab menurut kata istrinya sebaiknya pintu kamar jangan dikunci, kalau ada apa-apa gampang keluarnya. Ini ada alasan yang janggal tapi karena ia sangat mencintai istrinya ialah istri kedua yang baru dua tahun ia nikah, karena istri pertamanya meninggal dunia pada lima tahun berselang, ia tidak keberatan dengan usulnya itu. Tapi kenyataannya sekarang dikunci dari sebelah dalam " Kenapa " Ah, tentu perbuatan orang jahat yang merupakan bayangan tadi, pikirnya. Dalam keadaan mendesak, diliputi oleh kekuatiran, tidak ada jalan lain Tan Eng Sian mendobrak pintu kamar dengan paksa karena sang isteri yang dipanggilpanggil beberapa lamanya belum juga membuka pintu kamarnya. Waktu sang pintu sudah terpentang, sekali lompat Tan Eng Sian sudah berada di dalam kamar. Matanya terbelalak ketika ia melihat ke atas pembaringannya. Ia tampak berdiri menjublek dengan wajah gusar, matanya tidak berkedip memandang ke arah pembaringan dimana isterinya tampak rebah celentang dalam pakaian hawa (telanjang) sedang di sisinya ada seorang lelaki yang memeluk sang isteri dalam pakaian adam. Adegan dua orang telanjang bulat inilah yang membuat Tan Eng Sian berdiri menjublek dengan mata terbelalak. Dari sangat gusar, Eng Sian menjadi heran sebab dua manusia yang main-main pat-pat gulipat itu tidak bergerak, apalagi lompat ketakutan dan pakai pakaiannya kembali. Ketika Tan Eng Sian mendekati dengan kegusaran yang meluap-luap, ternyata dua manusia mesum itu sudah tidak ada napasnya. Jiwanya telah melayang, entah sejak kapan. Cepat Tan Eng Sian periksa, ternyata mereka tidak terluka apa-apa. Kapan diselidiki lebih tegas, kiranya mereka itu telah ditotok urat kematiannya dalam keadaan telanjang bulat seperti yang dihadapi ia sekarang. Saking gemasnya tiba-tiba tangan Tan Eng Sian menyambar saling susul dan dua manusia mesum itu dilain saat tubuhnya sudah pada pindah ke lantai, sedikitpun tidak mengeluarkan kesakitan meskipun terbanting keras karena memang dua manusia menjijikan itu sudah tidak bernapas lagi. Eng Sian lalu keluar, ia berteriak memanggil si bongkok. Meskipun suaranya keras dan diulang-ulang, tidak kelihatan si bongkok datang menghampiri. "Kemana si bongkok perginya, apa dia sudah mampus ?" berkata Tan Eng Sian dalam marahnya seraya kakinya bertindak ke kamar si bongkok. Di situ tidak ada orangnya, makin meluap amarahya Tan Eng Sian. Ia pergi ke belakang berteriak-teriak memanggil pelayan-pelayannya yang lain tidak ada kelihatan muncul satu juga. Si kakek bongkok itu Eng Sian belum jelas benar asal usulnya. Ia menemukan si bongkok di halaman kuil 'Malaikat Bumi', ketika ia mengantar Loan Giok, isterinya sembahyang membayar kaul penyakitnya supaya sembuh. Si bongkok dengan roman yang mengharukan soja-soja minta pekerjaan pada Eng Sian suami isteri untuk pekerjaan apa saja ia mau Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terima asal dapat makan katanya. Atas usulnya Loan Giok yang merasa kasihan pada si kakek bongkok, ia telah diterima bekerja untuk membikin bersih kebun di pekarangan sebab kebetulan tukan kebunnya Eng Sian berhenti pada dua hari yang lalu. Melihat kecerdikannya si kakek bongkok setelah satu minggu tinggal pada keluarga Tan Eng Sian sudah percayakan padanya untuk menjaga pintu di waktu malam sebab Eng Sian sering bepergian. Tuan rumah puas dengan pekerjaan si bongkok, ia sangat cekatan dan gesit. Kalau Eng Sian pulang malam, menggedor rumahnya tidak sampai diulangi berkalikali, si bongkok sudah lantas membukainya. Sudah jangka dua minggu si bongkok bekerja pada Tan Eng Sian. Melihat bujang-bujangnya tidak muncul, si bongkok juga kemana tahu, Eng Sian lari masuk lagi, menghampiri satu pojokan dalam ruangan tengah rumahnya dimana terdapat sebuah lemari cukup besar dan berta, tapi untuk Eng Sian tidak menjadi halangan, ketika ia menggeser lemari itu kelihatan enteng dapat dikisarkan. Terkejut Eng Sian seketika, mukanya tampak pucat melihat lubang rahasia tempat menyimpan hartanya sudah dibongkar orang. Tiada seorang yang tahu tempat menyimpan harta itu dibawahnya lemari kecuali Loan GIok isterinya. Maka itu, lantas saja ia mencurigai isterinya. Tapi bagaimana ia menegur dan tanya Loan Giok karena sang isteri sudah tidak bernyawa lagi " Sejak ia masuk ke dalam rumah tadi, yang ia kuatir adalah lubang rahasia itu karena di dalamnya ada tersimpan satu kalung lehe dari batu giok (kumala) tertabur berlian yang ia dapat miliki dari Gouw Tiang Su saudara angkatnya dengan mempertaruhkan jiwanya. Gouw Tiang Su adalah satu maling terbang yang licin, entah dari mana ia dapat menyikat kalung kumala sangat berharga itu. Ketika ia memperlihatkan hasilnya itu kepada Tan Eng Sian, lantas timbul dalam hatinya si orang she Tan yang serakah untuk memiliki barang-barang berharga. Ketika diminta, malah mau dibeli dengan uang, barang itu tak diberikan oleh Gouw Tiang Su, maka Eng Sian terpaksa menggunakan kekerasan untuk memilikinya. Dalam perkelahian yang sangat seru, Eng Sian hampir celaka kalau tidak ada orang ketiga yang datang menyela. Ialah seorang muda dari usia tiga puluhan, mukanya tampan, namanya Coan Sim, she Tan sama dengan Eng Sian yang telah bantu mengerubuti Gouw Tiang Su hingga ia kewalahan dan akhirnya ia menyerah, barangnya dirampas oleh Tan Eng Sian. Karena kejadian itu maka Coan Sim sering-sering suka datang bertamu ke rumah Eng Sian yang disambut dengan manis budi dan ramah oleh tuan dan nyonya rumah. Loan Giok ketika ikut Tan Eng Sian sudah janda, ditinggal mati oleh suaminya yang menjadi sahabar Eng Sian. Ia ambil Loan Giok terdorong oleh perasaan kasihan. Tatkala mana usia Loan Giok bukan muda lagi, sudah 45, lebih tua 4 tahun dari Eng Sian. Tapi lantaran Loan Giok bisa merawat diri, wajahnya tetap segar seperti juga wanita yang baru berusia 30an. Wajahnya yang hitam manis botoh, kalau tertawa memincuk jantung membuat Eng Sian yang sudah lama bujangan, tidak punya pilihan lain selain mengambil Loan Giok sebagai istrinya untuk menyambung kebahagiaan sampai di hari tuanya. Memang benar Loan Giok ada seorang istri yang baik, tidak genit dan mencintai suaminya hingga selama itu Eng Sian merasa puas dengan pelayanan Loan Giok. Kebahagiaan yang diharap sampai tua oleh Eng Sian suami isteri ternyata tak dapat terlaksana. Manusia boleh mengharap, tapi guratan nasib tak dapat dielakkan. Demikian awan mendung telah muncul memayungi keluarga Tan ialah dengan munculnya Coan Sim, bintang penolong Eng Sian ketika menghadapi Gouw Tiang Su. Coan Sim tampan wajahnya, tapi hatinya busuk. Tukang mempermainkan anak isteri orang degnan ketampanannya sebagai modal. Ia tidak punya pekerjaan, sehari-harinya hanya luntang lantung saja. Kalau ia bisa berlaku royal dalam hidupnya yang workloss itu karena berkat dari tante girang yang membantunya. Pada sore itu dimana Tan Eng Sian sedang keluar, Coan Sim dapat kesempatan ngobrol dengan Loan Giok. Nyonya untuk rumah pandang Coan Sim adalah pemuda sopan santun. Memang demikian ia membawa kelakuannya di depan Tan Eng Sian dan Loan Giok apabila sedang omong-omong. Maka Loan Giok tidak berkeberatan menemani Coan Sim mengobrol, malah si pemuda dapat suguhan hidangan enak berupa kue-kue dan teh hangat sebagai kawan dalam menikmati pasang omong. Dalam omong-omong, bukan sekali dua kali mereka beradu pandangan hingga Loan Giok sering tundukkan kepala, hatinya tergetar karena pandangan tajam dari matanya si anak muda tampan. Sebaliknya, Coan Sim makin tergiur memandang calon tante girang didepannya yang hitam manis dengan senyum memikat. Dari omong-omong sopan lantas melantur kepada kata-kata melantur, itulah Coan Sim yang mulai keluarkan aksi merayunya. Ia berkata, "Siapa tidak jadi kegirangan omongomong dengan Tan-hujin yang sangat cantik...." Tan-hujin artinya nyonya Tan. "Saudara Tan, kau omong berlebihan." sahut Loan Giok seraya angkat kepalanya dari menunduk marusan karena tikaman mata lihai si anak muda. Coan Sim ketawa. Ia kata lagi, "Selama aku ingat belum pernah aku memuji siapa juga kecuali pada hujin yang memang aku kagumi kecantikannya...." Berdebar hatinya Loan Giok. Belum pernah ia mendengar kata-kata yang dapat membanggakan sanubarinya seperti yang ia dengar dari mulut Coan Sim yang seolah-olah bunyinya musik mengalun di telinganya. Ia diam saja. Sampai Coan Sim berkata lagi, "Kecantikan hupjan diatas dari segala gadis cantik dari umur 17 keatas. Hahaha, ini bukannya bohong. Aku berani bersumpah. Gerakan hujin diwaktu jalan, diwaktu duduk, dilengkapi oleh senyuman manis memikat, siapa yang akan tidak gugur imannya ?" "Aha, saudara ini suka main-main. Aku sudah menjadi nenek dan...." "Itu hanyalah pikiran hujin." Coan Sim cepat memotong sebelum Loan Giok melanjutkan kata-katanya. "Usia tidak menjadi ukuran, kalau memang wajah sendiri memang cantik dipandangan orang." Mau tidak mau, Lok Giok yang biasanya tidak genit, menjadi berubah mendadak sontak mendengar rayuan Coan Sim yang dahsyat itu. Dari suaminya yang dulu maupun yang sekarang, belum pernah Loan Giok mendengar pujian tentang kecantikan dirinya apalagi yang demikian muluk seperti yang ia dengar dari mulutnya si anak muda yang tampan. Waktu ia melirik pada wajah si pemuda yang tengah berseri-seri ke arahnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tersenyum membalas, kemudian dengan lagak manja ia berkata, "Apa iya ?" "Siapa yang membohongi hujin ?" si anak muda kata, romannya serius. "Baiklah, aku akan kasih hadiah...." kata si nyonya rumah. Berbareng ia bangkit dari duduknya, entah mau kemana. Coan Sim juga cepat bangkit, ia menghadang. Dengan berani ia pegang kedua lengan Loan Giok, ia menarik dan mendekap badan Loan Giok di dadanya. Dua tubuh bersentuhan hangat, tergetar hatinya Loan Giok. Ia coba berontak, susah terlepas dari pelukannya Coan Sim. Ketika ia angkat mukanya mendongak, tahu-tahu mulurnya sudah ditekan bibirnya Coan Sim. Dari berontak ia menjadi jinak. Hanya tangan kirinya mengikuti tangan kanan Con sim yang mulai galak dan berkeliaran meraba buah dada yang jadi berombak dan lainlain anggota tubuh sampai si nyonya bergemetaran ketika tangan nakal Coan SIm sampai pada bagian yang hanya oleh tangan suami yang syah bagian itu boleh disentuh. "Ah, kau. Jangan disini...." kata Loan Giok perlahan, tangannya yang kanan berbareng mendorong dada si pemuda hingga ia terlepas dari pelukan Coan Sim yang ceriwis kemudian jalan tanpa menoleh lagi. Coan Sim kesima sebentaran tapi ia segera mengikuti si nyonya. Ia sudah dapat menduga maksudnya si nyonya dan benar saja ia telah dibawa ke kamarnya. Girang seperti menemui gunung emas, ketika Coan Sim sudah berada dalam kamar si tante girang. Terdengar dari sebelah luar suaranya Loan Giok. "Ah, kau begini nakal terhadap nenek-nenek. Hihihi....." "Nenek-nenek justru yang bisa main... ma..."sahut Coan Sim terputus. Berbareng terdengar suara pintu didorong terbuka, seorang kakek bongkok masuk ke dalam dengan pisau ditangannya. Dua manusia mesum itu terbelalak kaget. Loan Giok sembat selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. "Kakek gila, kenapa kau berani masuk ke kamar nyonyamu !" semprot Loan Giok. Coan Sim yang memang punya kepandaian silat sudah segera hendak melompat menerkam si kakek, ia tidak takut orang ada bawa pisau tajam. Sayang, sebelum ia bergerak si bongkok sudah sampai dan menotok 'thian ki hiat', jalan darah pada iga kanannya hingga ia terkulai di ranjang dalam keadaan tidak berpakaian. Loan Giok menjadi ketakutan, mukanya pucat seperti kehabisan darah. "Hehehe, jangan takut !" kata si bongkok. "Asal kau mau katakan dimana disimpannya kalung kumala, aku tidak akan apa-apakan kau dan lelaki jahanam ini !" sambil menunjuk pada Coan Sim yang tidak berkutik. Loan Giok memang menyayangi kalung kumala berharga itu seperti juga dengan Eng Sian suaminya. Tapi dalam keadaan yang genting itu dimana jiwanya tentu lebih pentind dari pada kalung kumala, maka ia lantas berkata, "Kau cari di bawah lemari yang terletak dipojokan dari ruang tengah !" "Bagus ! Kau tunggu sampai aku ketemukan barang itu. Kalau kau bohong, awas !" mengancam si bongkok seraya putar tubuhnya jalan kelua dan pintu ia kunci dari sebelah luar hingga Loan Giok tidak bisa keluar menggunakan kesempatan si kakek lagi pergi. Loan Giok menangis lalu bangkit memeriksa keadaan Coan Sim yang hanya sepasang matanya saja berputar, badannya sendiri tak dapat digerakkan. "Oh, kau kenapa jadi begini ?" tanya si nyonya Tan seraya menggoyang-goyang tubuh si pemuda yang diam saja. Nyonya Tan tidak tahu kalau Coan Sim kena ditotok. Tante girang tidak jadi girang menghadapi kegawatan pada saat itu. Sebagai nyonya yang tidak genit dan memang baik kelakuannya, Loan Giok menangis menyesalkan kelakuannya yang tidak benar. Ia telah khilap seketika, pada saat mendengar rayuan asmara dari si pemuda tampan tapi busuk hatinya. Apa daya sekarang " Ia hanya mengharap belas kasihan si kakek bongkok, sebentar bila ia sudah kembali. Ia tahu bahwa si bongkok tidak akan gagal mencari kalung kumala. Sebentar lagi ia mendengar pintu di buka, si kakek tampak berjalan masuk sambil ketawa-ketawa. Tapi ketika sampai tidak jauh dari tepi pembaringan, Loan Giok kaget melihat sikapnya berubah bengis. Ia ketakutan, hampir ia selimuti kepalanya sekali kalau tiak keburu mendengar si kakek berkata, "Tan-hujin terima kasih. Ini !" berbareng ia kodok sakunya dan keluarkan kalung kumala dan diperlihatkan pada Loan Giok. "Bagus, kau bawalah !" sahut nyonya Tan, hatinya agak lega karena si bongkok tidak sebengis tadi malah suaranya pun enak didengar. Pikirnya, ada harapan ia. Tapi tiba-tiba ia terkejut ketika si bongkok datang lebih dekat ke tepi pembaringan dan cenderungkan badannya, tangannya diulur seperti hendak memegang tubuhnya. Ia memeramkan matanya, ia pasrah pada nasib kalau sampai si kakek hendak memperkosa dirinya asal jiwanya dikasih hidup. Kiranya si bongkok bukannya hendak memeluk Loan Giok yang sudah siap menyerahkan diri, sebaliknya ia menototk urat kematian Loan GIok yang seketika itu si tante girang berkelejetan sebentaran dan napasnya pun lantas putus. Coan Sim melihat kejadian itu menjadi ketakutan. Tidak lama sebab ia juga lantas menyusul arwahnya si nyonya hitam manis yang belum jauh meninggalkannya. Setelah membereskan si pemuda mesum, si bongkok singkap selimut yang menutupi tubuh Loan Giok kemudian angkat badannya Coan Sim yang sudah jadi mayat, di gabrukan ke tubuhnya Loan Giok hingga keadaannya seperti yang saling peluk dalam keadaanya yang tidak genah dipandang untuk mereka yang beriman teguh. Demikian, si bongkoklah yang membereskan dua manusia mesum itu, sekarang kemana si kakek bongkok dengan kalung kumalanya " Eng Sian berdiri terpaku sekian lama tatkala menyaksikan lubang rahasia penyimpanan hartanya sudah dibongkar orang. Ia jongkok lalau memeriksa, benar saja kalung kumalanya sudah terbang. "Hehehe ! " Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa dibelakangnya. Cepat Tan Eng Sian balik tubuhnya, kiranya yang ketawa itu tiada lain adalah si bongkok yang dicari-cari. Eng Sian bangun dari jongkoknya lantas menghajar si bongkok dengan dua kepalannya tapi ia menghajar angin karena si bongkok sudah berkelit dengan lincahnya. Malah Eng Sian menjadi kaget sebab si bongkok sekarang sudah tidak bongkok pula badannya. "Kau.... kau, siapa sebenarnya ?" Eng Sian menanya gugup. "Hehehe, kau mau tahu siapa aku " Aku adalah Kut-nia Huima Sie Toan Leng !" di kakek memperkenalkan namanya Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sehingga tergetar hatinya Eng Sian. Tan Eng Siang kaget karena Kut-nia Hui-ma atau 'Si Kuda Terbang dari Bukit Tulang' Sie Toan Leng adalah begal tunggal yang malang melintang di sekitar pegunungan Kiansan. Wataknya angin-anginan hingga orang bisa serba salah menghadapinya, kalau bukan kawan karibnya yang biasa galang gulung dengannya. "Kenapa kau menjadi orang bongkok dan nyelusup ke rumahku ?" tanya Eng Sian. "Kalau tidak ada kepentingan, mana si Kuda Terbang mau merendah menjadi orang bongkok segala !" jawabnya, seenaknya saja kelihatannya. "Jadi, kau yang curi kalung kumala dalam rumahku ?" "Tepat dugaanmu, saudara Tan." "Kau yang bunuh dua manusia hina itu dalam kamar ?" "Kau menebak jitu sekali, saudara Tan." "Aku tidak perduli dengan dua manusia hina itu, tapi kalung kumala itu. Hm ! Apabila kau tidak kembalikan, jangan harap kau bisa keluar dari rumahku !" Sie Toan Leng tiba-tiba tertawa terbahak-bahak hingga Tan Eng Sian heran. "Kau mentertawakan apa " Memangnya aku tidak bisa buktikan ucapanku barusan ?" "Aku tertawa bukannya tertawakan kau." sahut si Kuda Terbang. "Aku tertawa karena kedogolanku hingga barang yang sudah ada di tangan bisa hilang dirampas orang. Saudara Tan, kau paham akan kata-kataku ini ?" Tan Eng Sian melongo. Ia belum dapat menangkap betul apa maksud kata-kata Sie Toan Leng barusan, maka ia lalu minta ketegasan. "Setelah aku membereskan dua manusia terkutuk itu, aku keluar kamar dan kuncikan mereka dari luar. Pikirku, kalau kau pulang aakn dapat pergoki bagaimana tidak setianya istrimu dan kawan mudamu itu." demikian Kut-nia Hui-ma Sie Toan Leng bercerita kepada Tan Eng Sian. "Lalu, terus, terus bagaimana dengan kalung kumala itu." mendesak Eng Sian tidak sabaran. "Ketika aku jalan sampai di pertengahan rumah, aku masih sempat mengodok keluar dari sakuku kalung kumala itu untuk aku memandangnya sekali lagi. Sekonyong-konyong aku rasakan ada angin dingin berkesiur disampingku. Aku kaget. Sebelum aku tahu apa-apa kalung kumala itu sudah pindah tangan. Kaget dan gusar saat itu, lantas aku melihat di depanku gadis cantik tersenyum ke arahku." "Kalung kumala tampak ada ditangannya yang putih halus. Aku merasa gegetun, cara bagaimana ia dapat merampas barang itu dari tanganku tanpa merasa apa-apa. Apakah dia satu setan gentayangan " Tapi kupikir di dunia mana ada setan, maka aku lantas membentak, 'Anal sambel, kau berani permainkan kakekmu " Lekas kembalikan barang yang ditanganmu itu !' Dia tidak menyahut hanya ketawa manis saja." "Aku si Kuda Terbang, mana ketarik dengan senyuman wanita cantik. Hatiku lebih ketarik oleh kalung kumala yang dengan susah payang aku dapatkan. Maka seketika itu aku membentak lagi, 'Kau berani permainkan kakekmu !' Berbareng aku pun maju untuk menyerang dan merampas pulang kalung kumala. Tapi.... ia hanya mengebas perlahan dengan lengan bajunya ke arahku, tiba-tiba aku rasakan serangkum angin menerjang sangat kuat sekali hingga tindakanku tertahan oleh karenanya. Aku heran, kukerahkan tenaga dalam dan maju terus. Si jelita kembali mengebas dengan lengan bajunya, kali ini agak kerasan dikit tapi cukup membuat aku terpelanting hingga dahiku tambah daging karena kebentur pinggir meja. Sialan, pikirku. Amarahku jadi meluap. Berbareng terdengar suara ketawa 'Hihihi..'. Gadis itu sudah menghilang dari pandanganku, lenyap bersama dengan kalung kumala...." Demikian si Kuda Terbang menutup ceritanya. Tan Eng Siang berdiri termangu-mangu mendengar si Kuda Terbang ceritanya. Ia menghela napas. Apa daya " Pikirnya kalau kalung kumala itu masih ada pada Sie Toan Leng, biarpun ia harus mengadu jiwa, ia akan berusaha untuk merampas pulang barangnya. Tapi sekarang, putuslah harapannya. Bagaimana ia bisa menghadapi lawan, sedang si Kuda Terbang sendiri yang kepandaiannya sangat tinggi, hanya dikebas sekali sudah terpelanting. Kut-nia Hui-ma Sie Toan Leng lalu ngeloyor pergi. "Tunggu." kata Tang Eng Sian tiba-tiba. "Kau mau apa lagi " Barangmu toh sudah tidak ada padaku, apa kau tidak percaya ?" berkata si Kuda Terbang seraya ketawa. "Bukan itu maksudku." sahut Tan Eng Sian. "Aku hanya mau tahu apa kau kenal gadis yang datang kesini itu ?" "Mana aku tahu, sebab kenal wajahnya juga baru pada saat itu." "Sebagai begal tunggal, kau harus tahu !" Si Kuda Terbang termenung sebentar. "Eh," katanya sekonyong-konyong seperti yang teringat sesuatu, telunjuknya ditekankan pada jidatnya. Ia meneruskan, katanya : "Sekarang aku ingat. Menurut katanya kawan-kawanku yang suka tinggal suara ketawa berbareng orangnya menghilang adalah Kim Coa Siancu dari Coa-kok !" "Kim Coa Siancu...." menggumam Tan Eng Sian. Ia pun pernah dengar tentang munculnya Kim Coa Siancu yang melakukan penculikan beberapa lama berselang. Menurut berita, datang dan perginya hantu itu ada menakjubkan seakan-akan bagaikan asap yang lenyap ketiup angin. Tiada seorang pun yang pernah mempergoki wajahnya. Ia sendiri menduga hantu itu romannya menakutkan luar biasa, maka kepandaiannya ada sangat tinggi. Kalau seperti yang dikatakan sekarang oleh si Kuda Terbang, dia hanya ada satu gadis cantik saja, ia sangsi apakah dia itu ada Kim Coa Siancu yang dihebohkan dalam kalangan Kangouw " "Kim Coa Siancu sangat lihai." si Kuda Terbang berkata lagi. "Datang dan perginya hanya seperti bayangan. Aku belum yakin ada manusia demikian lihai tapi setelah sekarang aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mau tidak mau aku harus mengakui memang Kim Coa Siancu ada begini !" berbareng ia menunjukkan jempolnya. Tan Eng Sian cemas hatinya. Pikirnya, bagaimana ia bisa dapat pulang barangnya yang sangat berharga itu di tangan seorang yang sangat lihai " "Kalung kumala itu ada sangat berharga, bagaimana kau pikir ?" tanya Eng Sian. "Aku tahu, kalau tidak, bagaimana aku berusaha untuk memilikinya ?" Tan Eng Sian manggut-manggut. "Sekarang." katanya. "Kalung kumala ada di tangan Kim Coa Siancu, apakah kau tidak ada niat untuk merebutnya kembali ?" "Itu bukan pekerjaan mudah." sahut si Kuda Terbang. "Aku harus runding dulu dengan teman-temanku, tentang bagaimana baiknya." "Bagus ! Marilah kita berlomba, siapa yang dapat merampas pulang lebih dulu." "Baiklah !" sahut si Kuda Terbang, berbareng ia pun lantas ngeloyor dari situ. Tan Eng Sian pun lantas bekerja, mengubur mayatnya Loan Giok dan Coan Sim dengan diam-diam di belakang rumahnya yang terdapat kebun yang rindang. Dengan begitu, maka Tan Eng Sian tidak perlu lagi berurusan dengna yang berwajib. Kalung kumala yang menjadi rebutan itu, kecuali harganya sukar dinilai, juga mempunyai khasiat untuk kesehatan. Siapa yang pakai kalung itu, katanya tidak akan didatangi penyakit dan badan akan selalu merasa sehat dan segar. Bagaimana Kut-nia Hui-ma Sie Toan Leng dapat tahu adanya kalung kumala itu dirumahnya Tan Eng Sian, sebabnya karena Gouw Tiang Su yang memberitahukan padanya. Kalau digunakan kekerasan, si Kuda Terbang menyangsikan kepandaiannya. Maka si Kuda Terbang berpikiran menggunakan jalan halus yaitu menjadi pembantu Tan Eng Sian, dalam rumah diam-diam ia menyelidiki dimana disimpannya barang permata itu. Tuakng kebun Tan Eng Sian, ia sogok suruh berhenti bekerja. Maka dengan mudah si Kuda Tebang diterima bekerja di rumahnya keluarga Tan. Sudah dua minggu ia lakukan penyelidikan dengan sabar, tidak juga ia berhasil. Kebetulan Tan Eng Sian tidak ada dirumah, ia pergoki nyonya rumah sedang main gila dengan Coan Sim. Menggunakan kesempatan ini, ia berhasil menggertak Loan Giok dan menemukan barang permata yagn dicarinya sekian lama. Tapi dasar bukan miliknya, tiba-tiba muncul Kim Coa Siancu. Barang yang sudah ada ditangannya dipindah tangan oleh Kim Coa Siancu dengan demikian mudahnya. Kim Coa Siancu datang ke rumahnya Eng Sian pun bermaksud hendak memiliki kalung kumala karena tertarik dengan khasiatnya untuk kesehatan. Kiranya barang itu sebenarnya adalah milik seorang pangeran Boan yang ternama. Lantaran kehilangan barangnya itu, ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang dapat mengembalikan kalung kumala itu akan diberi hadiah besar atau pangkat dalam pemerintahan. Rupanya pangeran itu sangat berpengaruh, maka dengan mudah dapat menjanjikan pangkat pada siapa yang dapat mengembalikan barangnya yang sangat berharga itu. Kim Coa Siancu dapat tahu hal kalung kumala itu berdasarkan pada pengumuman itu. Tan Eng Sian adalah jago silat ulung, banyak pengalamannya dan banyak kenalannya. Seperti katanya si Kuda Terbang Sie Toan Leng, pikirnya, memang tidak mudah dengan sendirian saja berurusan dengan Kim Coa Siancu. Maka itu, ia sudah kumpul kawan-kawannya yang dianggap paling akrab dan dapat mengawal menyatroni Lembah Ular. Keputusan Tan Eng Sian pergi dengan diantar oleh tiga orang kawannya. Lembah ular belum dapat dicari, Tan Eng Sian sudah harus menyerahkan jiwanya dalam perjalanan sebagaimana yang sudah diceritakan di atas. Demikian Kim-kauw-cian Lie Tiong Kiat menutur pada Louw Bin Cie. Kita kembali pada Lo In yagn tinggal dalam rumahnya Liu Wangwee. Melihat Bwee Hiang berubah menjadi pendiam dan selalu berduka sejak ayahnya meninggal dunia, membuat Lo In menjadi tidak betah lama-lama dalam rumah orang hartawan itu. Wataknya paling suka bergembira, tidak memusingkan hal yang dihadapi, apalagi untuk urusan yang sudah lewat. Makanya, ia paling cocok dengang Eng Lian. Tapi kemana perginya enci Lian " Lo In sering-sering menanya pada dirinya sendiri. Mengingat bahwa dia keluar lembah, meninggalkan rajawali dan kawan-kawan keranya disebabkan untuk mencari Eng Lia, maka dalam pikirannya kini selalu berbayang Eng Lian yang lincah jenaka. Pada suatu sore ia berkata pada Bwee Hiang : "Enci Hiang, sudah lama aku berada disini. Maka besok pagi aku akan teruskan perjalanan mencari enci Lian. Harap enci Hiang baikbaik saja di rumah sampai aku sudah menemui enci Lian. Tentu akan datang pula kemari untuk menyambangmu lagi." Bwee Hiang terkejut mendengar kata-kata Lo In yagn tidak diduga-duganya. "Adik kecil, apa kau tega meninggalkan encimu begitu saja ?" ia menanya. "Semua urusan sudah beres, tidak halangannya kalau aku meninggalkan enci sekarang. Aku toh sudah janji akan kembali kalau nanti sudah menemui enci Lian." "Tapi bukan itu yang kumaksudkan." "Habis, aku harus berbuat bagaimana ?" "Sucoan Sam-sat adalah musuh besarku." kata Bwee Hiang, romannya beringas ketika ia menyebutkan 'Sucoan Sam-sat', ia meneruskan, "Hutang darah pada keluarga Liu harus aku tagih berikut dengan bunganya !" "Nah, tagihlah ! Mudah saja, bukan ?" kata Lo In wajar, bukan melucu. "Adik kecil, kau kelewatan...." Bwee Hiang tiba-tiba menutup mukanya dan menangis. Lo In menjadi heran. Ia berkata, "Enci Hiang, kau jangan menangis. Aku jadi tidak enak melihatnya." "Adik kecil, kau tahu aku tidak berdaya terhadap mereka." kata Bwee Hiang seraya susut air matanya dan terisak-isak. "Aku harus belajar kepandaian lagi, baru aku akan mencari mereka. Dengan kedua tanganku akan kubereskan jiwa mereka !" "Oh, mau tambah kepandaian " Mudah saja. Cari guru yang pandai dan belajar sungguh-sungguh, bukankah itu jalan yang paling baik. Untuk apa enci menangis ?" "Adik kecil, kau sungguh kelewatan terhadap encimu...." si gadis menangis makin menjadi, ia sangat menyesalkan Lo In. "Enci Hiang, jangan menangis. Apa salahnya omonganku yang barusan ?" Bwee Hiang tundukkan kepala seraya masih terisak-isak menangis. Lo In kebingungan karena kata-katanya disalahkan. Ia menanya, "Habis, bagaimana aku harus berbuat supaya hati enci senang ?" "Adik kecil." sahut Bwee Hiang sambil menyusut air matanya. "Kepandaianmu di atas jago silat yang mana juga, kenapa kau begitu pelit untuk mengajarkan satu dua jurus pada encimu untuk bekal bagiku untuk menuntut balas ?" "Hehehe, jadi enci mau angkat aku jadi guru ?" Bwee Hiang mengangguk, ketawa mesem ia melihat lagak si bocah yang lucu. "Mana bisa begitu." Lo In kata. "Usia enci jauh lebih banyak dariku, bagaimana aku lebih muda boleh menjadi gurumu. Hahaha...." Lo In tertawa terbahak-bahak. Bwee Hiang jengkel. Ia merasa seperti dipermainkan si bocah saja, suaranya agak kaku ketika ia berkata, "Adik kecil, kalau kau tiadk mau ajari encimu, aku juga tidak hendak memaksa !" "Bukan begitu, aku masih kecil masa harus jadi guru ?" Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tak usah main guru-guruan, kalau kau mau ajari encimu !" "Hehehe, enci marah ya ?" Lo In menggodai si gadis yang sedang cemberut. "Memang, memang aku marah !" sahutnya kaku. "Senang aku melihatnya kalau enci Hiang marah !" Gemas hatinya Bwee Hiang mendengar ucapan Lo In. "Bagus, kau mau suruh aku mati kejengkelan, bocah !" bentak Bwee Hiang. Lo In ketakutan melihat enci Hiang benar-benar marah. "Enci Hiang, kau jangan marah." kata Lo In cepat melihat gelagat jelek. "Hm, kau senang melihat aku marah, kenapa sekarang suruh aku jangan marah ?" "Bukan lantaran itu, enci Hiang !" "Habis, lantaran apa kau senang ?" "Lantaran wajah enci, makin marah kelihatan makin cantik. Aduh !" Lo In tiba-tiba mengaduh karena tangan Bwee Hiang yang lemas halus tiba-tiba menyambar kupingnya, dipuntir agak keras. "Nah, rasakan hadian dari mulut bocormu !" kata Bwee Hiang. Ketawa si gadis karena serangan mendadaknya berhasil menemui sasarannya. Lo In sudah sangat lihai. Sebeanrnya, tidak semudah yang dipikirkan Bwee Hiang, si bocah kena dijewer kupingnya. Ia melihat gerakan si gadis tapi ia antapkan supaya si gadis merasa senang, malah ia berteriak mengaduh lagi sehingga benar-beanr membuat Bwee Hiang merasa puas dengan hasil gerakannya yang tiba-tiba. Lo In pura-pura kesakitan, kedua tangannya memegangi telinganya yang dipuntir tadi, dengan gerak griknya yang lucu ia berkata, "Enci Hiang, kau betul kejam. Masa kuping orang dipuntir hampir copot " Sakit tuh !" Mau tidak mau Bwee Hiang jadi ngikik ketawa geli. Sejak itulah Bwee Hiang belajar kepandaian pada Lo In. Selama bergaul dengan Lo In, Bwee Hiang dapat menyelami watak si bocah yang selalu bergembira, seakan-akan dalam alam pikirannya tidak ada kata-kata 'sedih' atau 'duka'. Ia senang bersenda gurau, ketawa-ketawa riang, bersentuhan badan saking sengitnya bercanda. Semua itu terjadi karena wataknya yang polos, bukan timbul karena kelakuan kurang ajar yang disengaja. Bwee Hiang yang sudah 'matang' dalam usia dewasa, mulamula merasa jengah mengimbangi gerak gerik Lo In, ketakutan kepada kedua tangannya dipegang, ditarik untuk diajak berjoget di lantai ruangan atau dilapangan berlatih, tapi belakangan setelah menyelami watak polos dari si bocah, ia tidak ragu-ragu lagi untuk menyerah di ajak bergembira ria oleh Lo In. Berpegangan tangan dan bersentuhan badan, sudah tidak menjadi soal lagi bagi si gadis. Lantaran ini juga, si bocah jadi betah berkumpul dengan Bwee Hiang. -- 20 -- Eng Lian untuk sementara seperti terlupa saja dalam alam pikirannya Lo In karena Bwee Hiang dapat diajak bermain seperti juga si bocah bermain-main dengan si dara cilik yang sekarang sudah berubah nama menjadi Kim Coa Siancu yang menyeramkan sepak terjangnya. Bwee Hiang adalah gadis berbakat, cerdas otaknya untuk memahami sesuatu pelajaran terutama dalam hal ilmu silat, yang ia rindukan mendapat kepandaian tinggi untuk dengan tangannya sendiri ia dapat menuntut balas kepada musuhmusuhnya. Di bawah didikan si 'guru cilik', dalam tempo pendek kepandaiannya Bwee Hiang meningkat berlipat kali, lwekangnya hebat hingga jurus 'Bwee hiang boan wan' atau 'Harumnya bunga bwee memenuhi taman' yang si nona paling suka mainkan menjadi sangat lihai. Pedangnya yang menariTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ nari diisi dengan tenaga dalam yang kuat, membuat senjata itu menyambar-nyambar laksana kilat cepatnya mengarah tempat-tempat yang berbahaya di tubuh lawan. Kenyataan ini Bwee Hiang rasakan ketika berlatih dengan Lo In. Si 'guru cilik' minta supaya si gadis menyerang dengan sungguh-sungguh seperti menghadapi musuh yang sungguhan, ia lalu mainkan jurus 'Bwee hiang boan wan' yang hebat luar biasa hingga ketika latihan dihentikan, tampak si gadis air mukanya menyungging senyum puas. Bwee Hiang tadinya seorang gadis yang keras hati, agak angkuh. Maklumlah puterinya seorang hartawan. Tidak mudah untuk mengundang ketawanya yang mahal. Tapi, malah ia kenal si bocah berwajah hitam, malah belakangan pergaulannya makin rapat dengan guru angkatnya Lo In sebagai 'guru ciliknya', dalam tempo satu setengah tahun si gadis menjadi berubah segala-galanya. Kepandaian silatnya meningkat berlipat ganda, wataknya juga jadi ketularan watak Lo In yang selalu bergembira ria. Setelah Lo In merasa Bwee Hiang sudah dapat dilepas dalam suatu pertarungan kelas wahid, untuk mencari pengalaman, si bocah usulkan untuk Bwee Hiang ikut berkelana dengannya dalam dunia Kangouw. Ia sendiri tidak tahu bagaimana sebenarnya yang dinamai dunia Kangouw, tapi tujuan pertamanya adalah hendak mencari tahu halnya Eng Lian, entah dimana enci Liannya itu sekarang. Ketika mendengar usulnya Lo In, cepat Bwee Hiang menyahut, "Memang aku sedang pikirkan untuk keluar cari pengalaman, kebetulan kau membuka jalan. Mari, kapan kita berangkat, adik kecil ?" "Bagaimana dengan rumah yang begini besar dan pabrikpabrik kalau enci tinggalkan ?" balik menanya Lo In yang menaruh perhatian juga rupanya selama ia diam satu tahun lebih dengan Bwee Hiang. "Adik Hiang, kau perhatikan juga soal rumah dan pabrikku, itu bagus." berkata Bwee Hiang. "Semua itu mudah saja aku atur. Nanti aku angkat pamanku Liue Keng Sin menjadi kuasa penuh untuk mengurusnya. "Kalau begitu." sahut Lo In ketawa, "Kapan saja enci sudah bereskan urusan, sehingga boleh kita berangkat." Bwee Hiang setuju. Pada malamnya si nona mengajak Liu Keng Sin berunding, ternyata ia tidak keberatan diserahi pertanggungan jawab yang besar sebab memang sejak Liu Wangwee mati, ia meamng sudah diserahi kuasa atas semua kekayaan hartawan Liu. Setelah membereskan urusannya, Bwee Hiang pada hari berikutnya telah mengajak Lo In berangkat untuk berkelana. "Bagus !" Lo In kegirangan. "Mari kita berangkat !" kata Lon In, nampak Bwee Hiang sudah berdandan rapi, ketawa nyengir ke arah si gadis. "Apa yang kau ketawai, anak kecil ?" tegur Bwee Hiang. "Kau kelihatan lebih... eh, eh, jangan...." Lo In terputus omongannya karena dengan serentak tangannya si noan kelihatan berkelebat hendak menjewer kupingnya tatkala ia mengatakan 'lebih'... Bwee Hiang seolah-olah sudah tahu kemana arahnya katakata nakal si bocah. "Tahu takut kok !" Bwee Hiang kata, ketawa manis. "Sejak tempo hari telingaku dipuntir." kata Lo In, "Sampai sekarang rasanya masih meresap dalam jantung. He he he...." Kata-kata si bocah dengan sewajarnya, tidak mengandung apa-apa tapi Bwee Hiang tanpa merasa wajahnya berubah semu merah sehingga ia mau cekikikan tidak jadi. Si gadis artikan kata-kata Lo In seperti yang hendak membilang,"Jiwamu adalah tanda kasih yang kusimpan dalam hari sampai sekarang." Cuma si bocah memakai kata-kata yang tidak langsung hingga arti sebenarnya tersembunyi di dalamnya. Lo In sekarang sudah gede, umurnya sudah 16 tahun, tidak bisa disamakan dengan 2 tahun berselang dalam usia 14 tahun kata-katanya ngawur, demikian pikirnya Bwee Hiang. Apakah si bocah dalam perjalanan nanti kurang ajar terhadapnya " Ia jadi ragu-ragu untuk berangkat. "Enci Hiang." berkata Lo In. "Dalam perjalanan kita ini, kalau kita menemui hotel, kita pesan 2 kamar. Kalau kebetulan kita nginap di hutan, aku nanti tidur di pohon dan kau dibawahnya. Bukankah ini menyenangkan perjalanan kita ?" Bwee Hiang tercengang, "Baik, baik, bagus..." sahut Bwee Hiang ngawur. Ia agak gugup dalam menghilangkan kecurigaannya tadi. Kiranya ia curiga tanpa beralasan. Si bocah ada demikian sopan, dengan dalih apa ia menuduh si bocah akan berbuat sesuatu yang kurang ajar terhadapnya. Kata-kata Lo In itu membuat kesangsian Bwee Hiang tersapu pergi tanpa bekas. Dengan gembira ia mengajak si bocah mulai meninggalkan rumahnya. Ketika sampai di pintu pekarangan, tiba-tiba Bwee Hiang merandek dan memandang si bocah dengan senyumannya yang manis. "Masih ada yang ketinggalan ?" tanya Lo In. "Bukan itu." sahut Bwee Hiang. "Aku lihat kau tidak membekal senjata. Bagaimana nanti kalu kita ketemu orang jahat ?" Lo In tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Enci Hiang, kau masih sangsikan aku si bocah dengan tangan kosong dapat menundukkan lawan ?" "Bukan tidak percaya." sahut Bwee Hiang. "Paling baik kalau kau membawa senjata. Aku pikir pedang adalah benda yang paling mudah untuk dibawa-bawa. Bagaimana kalau kau bawa pedang ayahku "' Lo In geleng kepala. Bwee Hiang tahu Lo In kepala batu juga, maka ia tidak memaksa dan ia berkata, "Kalau begitu, mari kita berangkat !" Bwee Hiang berkata seraya gerakkan kakinya diikuti oleh Lo In yang segera sudah berada disisinya untuk diajak omongomong. Seperti burung yang terlepas dari kurungan, tampak Bwee Hiang amat gembira melakukan perjalanan berkelana. Perjalanan mereka sangat menarik perhatian umum yang berlalu lalang lantaran wajah mereka yang sangat menyolok perbedaannya. Bwee Hiang yang cantik lemah gemulai sedang Lo In wajahnya hitam legam kelihatannya lucu. Kalau banyak yang lalu lalang sering tersenyum memandang ke arah mereka, hanya yang memperhatikannya Bwee Hiang sedang Lo In acuh tak acuh dengan perasaan heran mereka. Biasanya kalau apa-apa yang ganjil suka mendapat gangguan, begitulah terjadi dengan perjalanan muda mudi itu yang belum lama meninggalkan kampungnya. Ketika 2 lie lagi sampai di dusun Suyang-tin, Lo In dan Bwee Hiang telah kesamprokan dengan rombongan pemuda berandal. Kira-kira ada lima belas orang, mereka smeua pada membekal senjata tajam. Ada yang membawa pedang, golok dan sebagainya. Rupanya mereka barusan habis latihan ilmu silat. Ketika mereka melewati Lo In dan Bwee Hiang, satu diantara dari mereka yang kepalanya gundul nyeletuk, "Sayang, gadis begitu cantik dikawal oleh satu bocah hitam. Coba yang temani aku, tentu akan lebih pantas ! Hahaha...." "Ciang Hong, kau jangan suka usilan !" mencegah temannya yang jalan di belakang, rupanya adalah pemimpin rombongan. Pemuda yang dipanggil Ciang Hong menoleh ke belakang, bukan ke arah si pemimpin ia memandang tetapi ke arah Bwee Hiang yang kebetulan mengawasinya. Matanya mengedipi Bwee Hiang hingga si gadis menjadi mendongkol. Memang sejak mendengar kata-kata Ciang Hong tadi si gadis sudah gusar, sekarang ia melihat sikap pemuda tersebut yang makin kurang ajar, bukan main marahnya. Si gadis meludah, tanda muak melihat lagaknya Ciang Hong. Melihat itu, Ciang Hong tidak senang. Ia keluar dari rombongannya yang sedang jalan, menghampiri Bwee Hiang yang seketika itu juga sudah sampai di depannya sebab memang sama-sama mau ke dusun Suyangtin. "Kau meludah untuk apa, hah !" bentak Ciang Hong, tangannya berbareng nyelonong mau menyolek wajah Bwee Hiang yang cantik. Bwee Hiang tidak banyak cakap. Begitu tangan si ceriwis sampai, kepalanya mengelak sedikit berbareng tangan Ciang Hong ditangkap. Cukup dengan satu sentakan si ceriwis nyelonong nyungsep dalam gerombolan rumput alang-alang di tepi jalan. Kawan-kawannya Ciang Hoang hentikan jalannya melihat Ciang Hong sekali gebrak dipecundangi si gadis. Sebentar lagi mereka lihat Ciang Hong sudah keluar lagi dari gerombolan alang-alang. Dengan gusar ia membentak, "Kau berani menghina Tong-sinoya " aduh ! aduh !... " omongnya ditutup dengan kata-kata mengaduh. Kiranya Tong Ciang Hong kena dua tamparan dari Bwee Hiang hingga beberapa giginya rontok dan mulutnya berlumuran darah. Ketika ia semprotkan, tiga buah giginya ikut lompat keluar dibarengi dengan darah. "Kau berani kurang ajar pada nonamu " Hmm ! Itulah bagiannya...." kata Bwee Hiang dengan gusar. "Adik kecil, mari kita jalan !" Ia mengajak Lo In yang tinggal menonton saja bagaimana sang enci menghajar orang yang iseng mulutnya. "Perlahan jalan !" tiba-tiba Bwee Hiang mendengar orang berkata di belakangnya. Ketika ia menoleh kiranya adalah teman Ciang Hong yang berdiri di depannya sambil ketawa haha hihi macam monyet kena terasi. "Oo, kau mau bela kawanmu itu " Hmm !" kata Bwee Hiang. "Terang aku musti bela kawanku, aku mau lihat kau bisa pergi dari sini atau tidak !" Si gadis sangat mendongkol, matanya melirik pada Lo In tapi si bocah diam saja. Ia hanya kedipkan matanya seperti menganjurkan 'lawan'. Lo In memang sengaja tidak mau turun tangan, mau melihat bagaimana kemajuan si gadis selama dididik olehnya. Sang kawan mengerti akan maksud si bocah wajah hitam. "Nah, marilah kita berkelahi !" si gadis kemudian menantang. Pemuda itu tidak sungkan-sungkan lagi. Ia keluarkan tipu silatnya 'Burung elang menyambar kelici'. Dua tangannya dipentang bagaikan kilat menyambar ia menubruk Bwee Hiang tapi si gadis sudah lenyap dari pandangannya. Tahu-tahu ia rasakan pinggulnya ditendang dari belakang hingga ia jatuh ngeyungsep, mukanya memakan tanah jalanan yang banyak Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo batu kerikilnya. Kawan lainnya datang memburu, juga dengan sekali tarikan tangan, lawan Bwee Hiang sudah mengaduh-aduh kesakitan, berkutatan dalam gerombolan rumput alang-alang kemana barusan tubuhnya si gundul nyungsep. Melihat si nona ada demikian tangkas, kawan-kawannya yang lain datang mengeroyok. "Jangan, enci Hiang." berkata Lo In ketika ia melihat si gadis hendak menghunus pedangnya hingga ia masukkan lagi. Ia mengerti sang kawan menyuruh ia lawan banyak orang itu dengan tangan kosong. Bwee Hiang gunakan ajaran Lo In menggunakan 'Bu eng sin kang' (Tenaga sakti tanpa bayangan), bagi Bwee Hiang sudah kelebihan untuk melayani 15 pemuda yang mengeroyok dirinya, meskipun diantara mereka ada yang menggunakan senjata, membokong dirinya. Tubuhnya si nona berputaran hingga kawanan pengeroyok tak dapat menyentuh meskipun ujung bajunya saja. Saban-saban bila mereka kira si nona tak bisa lolos dari jambretan atau pukulan, dengan mendadak si nona seperti menghilang, tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Tidak heran, kalau mereka berkelahi sambil berteriak-teriak mengutuk Bwee Hiang hingga si nona merasa tidak enak mendengar caci maki mereka. Lo In kuatir enci Hiangnya melakukan pembunuhan, melihat si gadis beringasan, maka ia berseru, "Cukup, enci Hiang !" Lantas, beberapa kali si nona berkelebat. Maka 15 pemuda berandalan itu semuanya rebah kena ditusuk oleh Bwee Hiang. Sambil berseri-seri si nona menghampiri si bocah wajah hitam sambil menarik tangannya, ia berkata, "Adik kecil, mari kita jalan. Aku kuatir disini aku bisa membunuh orang !" Lo In memahami hati si gadis yang amat mendongkol kepada mereka yang mengeroyoknya karena sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar oleh si gadis. Maka begitu tangannya ditarik diajak jalan, Lo In sudah lantas saja mengikuti tanpa banyak rewel. Dalam perjalanan Bwee Hiang berkata, "Adik kecil, ajaranmu hebat benar ! Hihihi, sekali gebrakan sudah menjatuhkan 15 orang !" "Jangan bangga dulu enci Hiang. Mereka itu adalah jago kelas tiga, paling banyak kelas dua. Belum dapat diukur kepandaian enci. Eh, enci Hiang !" Tiba-tiba si bocah mendorong Bwee Hiang ke samping hingga si gadis terhuyung-huyung. Kurang ajar, pikir Bwee Hiang. Kenapa si bocah main-main begini, mendorong orang sampai terhuyung-huyung. Ketika ia menoleh, Lo In sedang berhadapan dengan satu kakek yang jenggot dan rambutnya sudah pada putih semua. Ia mendengar Lo In berkata, "Kakek tua, tidak seharusnya kau membokong orang. Kalau kau mempunyai kepandaian, boleh tantang enciku terang-terangan !" Bwee Hiang kaget mendengar kata-kata Lo In. Kalau begitu, barusan Lo In bukan main-main mendorong dirinya sampai terhuyung-huyung. Ia berbuat demikian untuk menyelamatkan dirinya dari bokongan jahat. kakek tua itu membokong dengan senjata apa " tanya Bwee Hiang dalam hatinya. Matanya mengawasi ke batang pohon sebab tadi mereka sedang jalan enak-enak menuju ke arah pohon. Ia lihat disitu tertancap sebatang panah kecil sampai hampir amblas semua. Rupanya senjata itu dilepas dengan kekuatan besar sampai menancap demikian rupa. Bwee Hiang bergidik. Di samping itu ia merasa bersyukur atas pertolongan adik kecilnya. Sekarang ia memandang ke arah si pembokong. Tiba-tiba ia menjadi gusar lalu menghampiri Lo In yang sedang bertengkar dengan si kakek. "Adik kecil, dia membokong aku barusan ?" tanyanya lantas. Lo In menganggukkan kepalanya. "Hehehe, kakek tua. Kau mau berkelahi denganku ?" tanya Bwee Hiang. Si kakek tua hanya mengawasi si nona dengan roman bengis. "Kalau mau berkelahi, sebutkan dahulu apa lantarannya." si gadis kata dengan tawar. "Itu sudah dikatakan." menyela Lo In. "Enci sudah bikin sungsang sumbel anak muridnya maka dia jadi mendendam hati padamu dan dia mencoba membokongmu !" "Hei, kakek tua kalau begitu kau adalah kakek pengecut !" jengek Bwee Hiang. "Kau punya kepandaian apa hendak melawan aku ?" tanya si kakek. "Hihihi... !" Bwee Hiang tertawa. "Kau tentu tidak punya isi apaapa makanya kau membokong. Kalau benar-benar satu lakilaki, kau harus berani lawan aku dengan berhadapan muka !" Panas hatinya si kakek dikatakan tidak punya isi apa-apa, maka ia tepuk-tepuk dadanya sambil berkata, "Aku Kie Giok Tong, jago kenamaan dalam dusun Suyangtin, siapa dalam dusun ini yang tidak kenal namaku yang kesohor sebagai guru silat !" "Hihihi." tertawa Bwee Hiang, ia menggodai, "Jago kampungan hanya terkenal di dalam kampung saja dan kesukaannya membokong orang lantaran tidak sanggup menghadapinya sendiri. Cis, tidak tahu malu !" Meluap amarahnya Kie Giok Tong. Tanpa banyak cakap lagi, seketika ia sudah menyerang Bwee Hiang hingga mereka jadi bertempur. Baru bertempur lima jurus, Kie Giok Tong sudah empas empis kepayahan. Lo In jadi ketawa geli, kasihan ia melihat si kakek hanya dipermainkan oleh Bwee Hiang, ia lantas berkata, "Enci Hiang cukup !", berbareng Kie Giok Tong sudah ditotok roboh oleh si nona. Rupanya kata 'cukup' yang meluncur dari bibirnya Lo In seakan-akan kode untuk Bwee Hiang mengakhiri pertempuran dengan satu kemenangan. "Adik kecil," kata Bwee Hiang ketika ia datang dekat pada Lo In. "Brengsek kampung ini kakek sudah hampir mampus masih mau gerembengi ilmu silatku !" "Hus ! Jangan omong kasar begitu." Lo In kata sambil ketawa geli. "Mari kita jalan !" Bwee Hiang mengajak adik kecilnya. Kie Giok Tong hanya bisa mengawasi berlalunya dua muda mudi itu tanpa dapat bergerak dari mendeprok dari tanah. Kakek she Kie itu memang jagoan dalam dusun Suyangtin. Di waktu mudanya ia bekerja pada salah satu Piauw kiok (perusahaan pengawalan barang) ke kota Gukwan, namanya lumayan juga terkenal sebagai Piauwsu (pengawal antaran barang). Sudah lima belas tahun ia tinggal di Suyangtin, pada sepuluh tahun belakangan ia membuka perguruan silat dan menerima banyak murid. Pernah datang dua tiga orang yang pandai silat ke dusun Suyangtin dan bergebrak dengannya, tidak satu yang dapat menjatuhkan dirinya. Oleh karenanya Kie Giok Tong menjadi bangga dengan kepandaiannya itu. Ia mengira bahwa kepandaian silatnya sudah sangat tinggi, ia tidak mengira bahwa kepandaian orang-orang yang mencobanya hanya jago kampungan saja. Kini ia dipermainkan oleh hanya satu gadis yang pantas menjadi jujurnya, malah umurnya kurang lebih dua puluh tahun, pedih rasa hatinya, ia tidak puas dijatuhkan si gadis, ia tidak puas dijatuhkan si gadis meskipun kekalahannya itu adalah wajar. Ia coba empos tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, girang ia ketika dapat kenyataan tiba-tia ia sudah bisa gerakan pula kaki tangannya seperti biasa. Ia merasa bahwa lwekangnya sangat sempurna dengan mudah ia dapat membebaskan diri dari totokan tapi ia tidak tahu, kalau totokan Bwee Hiang hanya totokan main-main saja ajaran Lo In yang dinamai 'Poan ban tiam hiat' atau 'Totokan setengah iseng' yang si bocah dapatkan dari buku 'Tiam-hiat Pit-koat'. Barusan saja ia bangkit dari mendeproknya, Kie Giok Tong sudah dikerubungi anak muridnya yang juga sudah bebas dari totokan Bwee Hiang. "Gadis itu sangat lihai." berkata Kie Giok Tong setelah ia menghela napas. "Suhu, apa tidak baik kita kumpulkan para paman untuk bikin perhitungan dengan wanita liar itu ?" usul pemuda yang menjadi kepala rombongan pemuda bergajul yang sudah dikasih 'rasa' oleh Bwee Hiang. Kie Giok Tong anggukkan kepalanya, "Tapi, dimana para pamanmu sekarang ?" ia menanya. Sebelum Kie Giok Tong mendapat jawaban tiba-tiba ia melihat ada 4 orang yang berlari-larian ke arahnya. Si kakek mengawasi, ia berkata kepada pemuda yang mengajukan usu yang ternyata adalah murid kepalanya beranam Cia Kim Seng. "Kim Seng, kebetulan. Nah, tuh lihat para pamanmu sudah datang." Sebentar kemudian 4 orang tadi sudah sampai. Mereka adalah saudara-saudara angkat dari Kie Giok Tong dan mereka menamakan dirinya 'Suyangtin Ngo-houw' atau 'Lima harimau dari Suyangting'. Seram juga kedengarannya, memang juga menyeramkan bagi penduduk Suyangtin, mereka sangat menghormati Lima Harimau itu. Suyangtin Ngo-houw tidak jahta, mereka sebagai pelindung dari dusun, hanya tabiatnya agak sombong. Maklumlah jago-jago silat kampungan, kalau merasa dirinya jagoan sudah lantas perlihatkan keangkuhannya di hadapan penduduk yang lemah. "Toako, aku mendapat kabar kau dengan keponakan murid mendapat kesusahan dari seorang wanita liar, apa benar ?" tanya salah seorang saudara angkat Kie Giok Tong yang bernama Tan Him yang termasuk nomor tiga dari Lima Harimau. "Kabar itu tidak salah." sahut Kie Giok Tong. "Dari siapa Samte dapat kabar itu ?" balik menanya si kakek she Kie. "Dari si A Kong yang lari dengan napas tersengal-sengal mengabarkan padaku." sahut Tan Him. "Aku terkejut mendengar ada orang yang coba-coba tarik kumis harimau, segera aku beritaku pada jiko, sute dan ngote. Maka kami berempat lanas menyusul kemari. Dimana sekarang adanya wanita liar itu ?" "Samte." kata Kie Giok Tong seraya geleng-geleng kepala. "Aku belum pernah menemukan tandingan sejak aku berkelana di dunia Kangouw maupun tinggal dalam kampung kita disini. Kalian semua toh tahu, bukan " Tapi kali ini aku ketemu gadis liar itu, cuma dalam lima jurus saja aku dijatuhkan. Benar-benar aku merasa sangat penasaran !" Terkejut hati empat saudaranya. Mreka mendengar si jago tua dirobohkan dalam tempo lima jurus, itu hebat sekali ! Kie Giok Tong, meskipun usianya sudah lanjut sangat alot kalau bertempur, napasnya panjang dan sangat tangkas. Mereka sering saksikan manakala mereka sedang berlatih sialt. "Gadis itu sangat lincah, serangan-seranganku yang mematikan dielakkan dengan berkelit ke sana sini. Coba kalian pikir, apakah ini tidak menjengkelkan " Dalam sengit, aku keluarkan serangan dengan tipu 'Kim Liong seng thian' (Naga emas naik ke langit) yang seperti kalian tahu, jurus ini sangatlah ampuh untuk menjatuhkan lawan, tapi.... tiba-tiba kurasakan kesemutan ketika dia menowel pundak kananku. Kiranya towelan itu bukan sembarang towel sebab dari kesemutan aku jadi lemas dan jatuh terduduk di tanah. Dia telah menotok lo-ji-hiat, halan darah di pundak kanan. Syukur lwekangku tinggi hingga aku dapat membebaskan totokan kejinya itu..." Demikian si kakek menutur, tampak ia sangat bangga ketika mengatakan lwekangnya sangat tinggi dapat membebaskan totokan Bwee Hiang. Dasar jago kampungan, seperti katak (kodok) di dalam tempurung yang tidak bisa menilai kepandaian orang seberapa tingginya, hanya menyangka lwekannya yang hebat. Ia tidak insyaf bahwa Bwee Hiang sudah bermurah hati kepadanya, hanya menotok secara main-main saja. "Memang, kalau bukan toako memiliki tenaga dalam yang tinggi, tidak mudah membebaskan diri dari totokan jahat !" memuji Song Cie Liang, jiko dari Lima Harimau hingga si kakek she Kie senang mendengarnya. Tinggal Cia Kim Seng saling berpandangan dengan kawankawannya. Mereka heran si kakek mengatakan dengan menggunakan lwekangnya dapat membebaskan totokan orang sedang apa yang mereka alami, totokan itu bebas dengan sendirinya, tidak lama setelah mereka dirobohkan oleh Bwee Hiang. Tapi karena mereka percaya akan kepandaiannya sang Suhu (guru) maka mereka juga tidak mau mengatakan apa-apa. "Sekarang, kemana perginya wanita liar itu ?" tanya Teng Hauw, si nomor empat dari Lima Harimau. "Aku kira mereka belum pergi jauh dari kampung kita." sahut Kie Giok Tong. "Mereka, toako kata " Apa gadis itu ada temannya ?" Tan Him menanya. "Ya, satu bocah berwajah hitam bagai pantat kuali." sahut si kakek. "Cuma satu bocah, apa artinya. Mari kita susul !" mengajak Song Cie Liang. Rombongan pemuda bergajulan itu sekarang ditambah dengan Suhu dan empat pamannya pergi menyusul. Mereka besar hatinya sebab dengan tambahan tenaga yang sanat berarti itu mereka harap dapat membalas hinaan yang mereka derita. Baru saja mereka hendak berangkat, tiba-tiba melihat seorang anak tanggung berlari-lari ke arah mereka. Cepat juga lari anak itu. "Itulah si A Kong yang datang !" kata Tan Him Yang lain-lainnya juga sudah segera kenali si A Kong, anak tanggung yang biasa dipakai sebagai mata-mata oleh Suyangtin Ngo-houw. Anak itu cerdik dan gesit, maka ia sangat disayang oleh Lima Harimau dari Suyangtin. "A Kong, kau datang tergopoh-gopoh. Ada kabar penting apa hendak disampaikan pada kami ?" tanya Kie Giok Tong setelah anak itu sudah berada di depan mereka. Dengan masih sengal-sengal napasnya, A Kong menyahut, "Toa-loya sekarang ada di rumah makan An Hok sedang makan minum bersama si bocah muka hitam !" "Bagus, kerja kau baik sekali A Kong." memuji Kie Giok Tong. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Senang kelihatannya anak itu mendapat pujian toako dari Lima Harimau. Kie Giok Tong lantas berunding dengan empat saudaranya. "Kalau kita ramai-ramai masuk ke dalam rumah makan, kita sebagai pengacau." Kie Giok Tong menyatakan pada saudarasaudaranya. "Bagaimana kalau kita memencar ?" "Maksud toako bagaimana ?" tanya Song Cie Liang, si Jiko. "Kita saja berlima yang masuk, sedang Kim Seng dan saudara-saudaranya boleh menunggu di sebelah luar. Kalau sampai terjadi keributan dengan lawan, kita pancing lawan keluar. Di situ kita keroyok ramai-ramai, bukankah ini bagus ?" "Bagus, bagus, kita turut pikiran toako." memuji Tan Him. Sesampainya di sana, Ngo-houw lihat si gadis sedang ketawaketawa gembira dengan si bocah muka hitam. Diam-diam mereka nyelusup masuk dan ambil meja sedikit jauh dari meja dimana Lo In dan Bwee Hiang tengah menikmati barang hidangannya. Mereka terus menerus pasang mata pada dua tamu dari luar dusun Suyangtin itu. Diam-diam empat saudaranya Kie Giok Tong memandang enteng pada Bwee Hiang yang kelihatannya tidak ada apaapanya yang harus ditakuti. Romannya yang cantik menyinarkan welas asih malah. Bagaimana seorang dara yang lemah gemulai itu dapat memiliki kepandaian yang hebat sehingga toakonya dalam lima jurus sudah digulingkan " "Enci Hiang, kau lihat kelihaian aku." tiba-tiba Ngo-houw mendengar Lo In berkata pada Bwee Hiang. Mereka lihat, berbareng dengan kata-katanya, si bocah muka hitam tangannya memegang poci arak. Mulut poci ditegakki ke atas. "Mau apa dia ?" tanya Ng-houw dalam hatinya masing-masing. Belum sempat mereka menduga apa-apa, sekonyongkonyong mereka lihat meluncur keluar arak dari dalam poci, naik ke atas kira dua kaki tingginya. Arak itu diatas dapat bertahan dua menit lamanya sehingga arak itu tidak jatuh diatas meja. Setelah itu, arak itu nyerosot masuk lagi ke mulut poci, tidak ada setetes pun yang berlumuran jatuh di atas meja. Itu suatu pertunjukkan yang tidak mudah sebab hanya dengan lwekang yang sudah sempurna saja, dapat dilakukan. Lo In unjuk kepandaian ini bukan hendak membanggakan kepandaiannya, hanya hendak membikin ngeri Suyangtin Nghouw tanpa kekerasan. Diam-diam Lo In sudah tahu kedatangannya Kie Giok Tong bersama empat temannya, maka ia kisiki Bwee Hiang untuk belaga pilon akan kehadiran mereka dan Lo In menjatakan ia hendak tundukkan mereka dengan kepandaiannya yang istimewa. Dasar dogol, lima jago kampungan itu benar kagum melihat caranya Lo In bermain arak tapi mereka mengira bahwa si bocah wajah hitam itu hanya pandai main bersulap saja, lain tidak ! Sebentar Lo In kasih pertunjukan kedua. Ia pegang mangkok kosong, lalu diangkat ke atas. Pantat mangkok ia sanggah dengan sumpit, tahu-tahu mangkok sudah terputar, sebentar naik sebentar turun tapi tak lolos dari sebatang sumpit yang ada di tangannya Lo In. Ini juga suatu pertunjukan lwekang yang dahsyat. Sebaliknya juga, ini dianggap oleh kawanan dogol itu si bocah hanya main sulap saja. Sedang mereka hendak ketawa berkakakan, tibatiba matanya pada terbelalak kaget ke arahnya Lo In. Saat itulah yang membuat mereka kagum bukan main. Lo In setelah bikin mangkok berputar turun naik disanggah oleh sebatang sumpitnya, tiba-tiba tangan kirinya menyambuti mangkok yang turun berbareng sumpit di tangan kanannya melesat ke atas. Terdengar suara 'ngik !' disusul dengan jatuhnya suatu benda dari atas. Kiranya yang jatuh itu adalah seekor tikus yang jatuh dari bubungan rumah, tubuhnya sudah terbidik oleh sumpitnya Lo In yang barusan meluncur ke atas, sumpit itu telah jatuh dibawah berbareng dengan badannya si tikus yang bernasib malang. Kejadian ini bukan permainan sulap tapi satu kepandaian yang luar biasa hingga Lima Harimau termangu-mangu duduk di tempatnya. Mereka tidak bisa mengatakan si bocah main sulap lagi karena dengan mata kepala mereka sendiri mereka menyaksikan kepandaian yang luar biasa, yang baru pernah mereka melihat dalam seumurnya mereka. Terdengar suara tempik sorak dari para tamu yang melihat kejadian itu. "Toako," kata Tan Him, perlahan suaranya. "Selembar rambutnya saja pun, kita tak dapat mengganggunya." Kie Giok Tong angguk-anggukan kepalanya, yang lainnya tinggal membisu. Meskipun adatnya angkuh, tinggi hati, si kakek orang she Kie orangnya suka bersahabat. Ia menghormati kepandaian orang yang ia kagumi, maka juga selama ia jadi Piauwsu banyak orang-orang gagah yang menjadi sahabat baiknya. Kini ia melihat kepandaian si bocah yang luar biasa, ingin ia mengikat persahabatan. Karena timbulnya pikirani tu, maka Kie Giok Tong bangkit dari duduknya, jalan menghampiri meja Lo In dimana ia menjura kepada muda mudi itu, sambil berkata, "Siao-hiap dan Li-hiap, terima hormatku, si kakek yang punya mata tapi tidak melihat !" Bwee Hiang masih cekikikan ketawa dan mengagumi kepandaian adik kecilnya, tiba-tiba Kie Giok Tong menghampiri. Ia mengira si kakek akan cari urusan lagi. Ia berhenti ketawa dan siap sedia tapi tidak tahunya si kakek menjura memberi hormat hingga ia dan Lo In jadi tergopohgopoh membalas hormatnya si orang tua. Lo In tidak banyak omong, maka Bwee Hiang yang mewakili bicara, "Lo-enghiong (jago tua), jangan begini merendah. Karena kami berdua yang muda menjadi tidak enak oleh kehormatan Lo-enghiong yang berlebihan. Mari, mari duduk makan sama-sama kami !" Kie Giok Tong tidak merendah lagi, ia lantas turut duduk di meja Lo In dan Bwee Hiang. Sebelum membuka suara, ia menoleh kepada empat saudaranya, tangannya menggapai. Sebentar lagi mereka sudah datang menghampiri. Dengan sendirinya mereka pada mengambil kursi dan duduk mengitari meja makan Lo In. Bwee Hiang girang melihat taktik Lo In berhasil baik, dapat dengan halus menundukkan Lima Harimau dari Suyangting. Bwee Hiang teriaki pelayan, minta tambah hidangan untuk lima orang yang baru datang. Mereka mula-mula menampik, tapi Bwee Hiang dengan ramah berkata, "Ini adalah pertemuan kita yang menggirangkan. Tidak baik kalau kalian Lo-enghiong menampik undangan kami yang muda." Melihat si nona demikian ramah dan kata-katanya diucapkan dengan tulus hati, maka Kie Giok Tong dan kawan-kawan menjadi malu hati, lantas pada menghaturkan terima kasih atas undangan manis budi dari si gadis yang semula dipandang musuh alias si gadis liar. Mereka segera berkenalan satu dengan lain. Bwee Hiang tidak bicara sewajarnya tentang siapa dirinya, ia hanya mengaku dengan Lo In adalah kakak beradik dan dalam perjalan merantau yag kebetulan melewati di dusun itu. Kie Giok Tong minta maaf untuk kelakuan sendiri dan anak muridnya yang kurang ajar. "Ah, itu hanya kejadian biasa." kata si nona merendah. "Kalau tidak didahului dengan perkelahian, mana bisa kita jadi bersahabat seperti sekarang ini ?" Lima Harimau itu makin menghormat kepada si nona yang bisa bicara merendah dan menunjukan pribadinya yang luhur. Lo In selama itu hanya tertawa nyengir saja, tidak turut bicara. Kie Giok Tong yang merasa kagum pada si bocah, telah membuka mulutnya menanya : "Aku, si kakek merasa kagum atas kepandaian Siaohiap, sekarang Siaohiap sudah umur berapa ?" "Tahun ini aku masuh..... eh, tunggu !" berbareng tubuh Lo In melesat ke arah pintu, menyusul seorang Thauto yang sedang jalan keluar. Thauto itu selain membawa buntelan kecil, juga ada menyelipkan sebilah pedang pendek di bebokongnya. Bwee Hiang kaget melihat kelakuan si adik kecil, cepat ia menyusul keluar diikuti oleh Lima Harimau dibelakangnya. Bwee Hiang lihat jauh disana, disuatu lapangan tampak Lo In sedang berhadapan dengan si Thauto. Ia menyusul ke sana, juga Lima Harimau tidak mau ketinggalan mereka dibelakang si nona. Mereka kepingin tahu, ada urusan apa dengan begitu tergopoh-gopoh si bocah hitam menyusul si Thauto. Di sana mereka menyaksikan Lo In sedang bertengkar dengan si pendeta rambut panjang. Terdengar Lo In berkata, "Aku tidak perduli kau dapat dari siapa, tapi itu adalah pedangku. Kau harus mengembalikan pada pemiliknya !" Si Thauto yang tiada lain adalah Kim Wan Thauto tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan Lo In, setelah itu ia berkata, "Anak kecil, jangan kau cari urusan dengan aku. Pedang orang lain diakui pedang sendiri, belajar dari mana kau hendak memiliki barang orang " Kau ngimpi barangkali ?" "Pedang pendek itu kepunyaan orang yang kuhormati, mana aku tidak bisa mengenalinya !" "Dengan bukti apa kau mengatakan pedang itu adalah milikmu ?" Lo In jadi kebingungan sebab ia memang tidak perhatikan betul tanda-tanda yang ada pada pedang pendek Liok Sin-she sampai hilang digondol Siauw Cu Leng. Melihat Lo In termangu-mangu, Kim Wan Thauto berkata, "Tanpa bisa mengunjuk bukti, mana aku mau mengembalikan padamu, anak kecil !" "Tidak, aku mesti dapat kembali." sahutnya tegas. "Dengan apa kau bisa dapat kembali barangmu ?" "Dengan kepandaianku !" Kim Wan Thauto gelak-gelak ketawa. "Anak kecil, dengan kepandaianmu tersebut tadi dalam rumah makan, hendak kau merampas pedangku " Hm ! Jangan harap !' "Betul kau tidak mau mengembalikannya dengan baik ?" Diam-diam Kim Wan Thauto waspada menghadapi bocah hitam ini karena Lo In bukan bocah sembarangan. Bila melihat lwekang (tenaga dalam) yang dipertunjuki tadi di dalam rumah makan. Tadinya ia mau mengeloyor diam-diam, tidak tahunya Lo In matanya lihai lantas mengenali kalau Kim Wan Thauto di bebokongnya membawa pedang Liok Sinshe. Lama memang Lo In memikirkan pedang itu. Ia percaya pedang pendek itu diambil Siauw Cu Leng ketika ia sedang pingsan di bokong oleh Ang Hoa Lobo. Di samping mencari Eng Lian, juga ia saban-saban pasang mata pada siapa yang dijumpainya, kalau-kalau ia mendapat lihat ada orang yang membawa pedangnya itu. Dengan cara kebetulan matanya yang lihai dapat melihat barang itu ada di punggungnya Kim Wan Thauto yang tengah berjalan keluar dari rumah makan. Seketika itu ia enjot tubuhnya melesat, menyusul si Thauto. Maksud Lo In tidak mau mencari urusan, asal pedang sudah dikembalikan, urusan sudah selesai. Ia tidak kira bahwa yang diajak urusan adalah Kim Wan Thauto, bukannya jago sembarangan yang dapat digertak dengan permainannya tadi. Melihat si bocah bertindak maju, Kim Wan Thauto sudah siap sedia. "Thauto kesasar, kau lihat tuan kecilmu ambil pedang !" berbareng ia menyerang pendeta rambut panjang. Kim Wan Thauto memang sudah siap, ia mendorong dengan tangannya, menggunakan lwekang 5 bagian. Tampak Lo In terpental jumpalitan. Tapi hanya sekejap saja, si bocah sudah ada lagi di hadapannya hingga ia mau ketawa terbahak-bahak tidak jadi. Sekali lagi Lo In menerjang, kali ini Kim Wan Thauto mengibas dengan bajunya, menggunakan lwekan tujuh bagian. Tampak si bocah berputar tubuhnya kemudian berjumpalitan hingga Kim Wan Thauto tidak tahan untuk tidak tertawa terbaha-bahak. Kepalanya sampai mendongak ke atas saking enaknya ketawa. Sekonyong-konyong ia rasakan ada angin berkesiur disisinya. Ketika ia sadar kena diakali si bocah, tapi sudah terlambat sebab Lo In sambil ketawa nyengir tampak sedang acungkan pedang pendek yang barusan masih menyelip di bebokongnya. "Terima kasih atas kebaikan hatimu untuk mengembalikan pedangku." kata si bocah dengna gayanya yang lucu. Kim Wan Thauto cepat meraba punggungnya, memang pedang sudah tidak ada ditempatnya. Bukan main gusarnya, pikirnya, masa anak kecil ini begitu hebat kepandaiannya " Sebagai jago kawakan, ia tidak rela dipermainkan anak kecil. Maka seketika itu ia membentak, "Bocah hitam, kalau kau tidak kembalikan pedang itu, jangan sesalkan Hudyamu (Budhamu) berlaku kasar terhadap anak kecil !" "Untuk dapat pulang, mudah saja. Asal kau unjuk kepandaian !" sahut Lo In, lalu putar tubuhnya dan lari kepada Bwee Hiang. Kim Wan Thauto marah bukan main, lantas kepalanya digelengkan. Sekaligus dua anting-antingnya melesat dari kedua telinganya, saling susul menyambar ke arah jalan darah Lo In di pundak dan tengkuk. "Adik kecil, awas !" teriak Bwee Hiang melihat senjata rahasia anting-anting Kim Wan Thauto sudah mendekati sasarannya. Si gadis sampai memeramkan matanya karena ngeri adik kecilnya akan roboh dihajar anting-antingnya si Thauto yang gede. Di saat ia memeramkan matanya, berbareng ia dengar suara 'tring ! tring !' dua kali. Ketika ia membuka matanya lagi, ia lihat adik kecilnya tengah tersenyum-senyum ke arah Kim Wan Thauto yang berdiri terpaku di tempatnya. Lo In sangat lihai, tidak semudah yang dikira Kim Wan Thauto si bocah akan kena dibokong meskipun senjata rahasia anting-anting emas Kim Wan Thauto belum pernah luput mengarah sasarannya. Ketika Bwee Hiang berteriak, Lo In sudah membalik tubuhnya. Dengan pedang Liok Sinshe, ia hajar dua anting-anting Kim Wan Thauto hingga keduanya jatuh ditanah, setelah mengeluarkan suara 'tring ! tring!' dua kali. Kalau Bwee Hiang merasa bersyukur adik kecilnya selamat, adalah Kim Wan Thauto di lain pihak merah padam mukanya, Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo saking gusar rupanya. "Masih ada lagi ?" Lo In ngeledek Kim Wan Thauto. "Bocah hitam, kau jangan bangga dulu !" sahut Kim Wan Thauto seraya merogoh sakunya, kemudian ia mengayunkan tangannya. Lima anting-anting emas menyambar berbareng laksana kilat cepatnya, mengarah sasaran atas, tengah, bawah dan di kanan kiri. Disinilah adanya keistimewaan Kim Wan Thauto melepas senjata rahasianya sebab lawan yang diserang dari lima jurusan sangatlah sukar untuk meluputkan dirinya sehingga tanpa ada salah satu dari lima senjata rahasia itu yang mengenakan sasarannya. Lo In mengerti serangan lawan sangat berbahaya, ia keluarkan ilmu saktinya 'Bu im sin kang', badannya berputar bagaikan asap bergulung naik ke atas hingga Kim Wan Thauto terkejut menyaksikan keanehan itu. Tidak lama, ia melihat Lo In sudah berdiri ketawa ke arahnya. Ia berkata, "Taysu, terima kasih atas pemberian anting-anting emasmu !" Lo In berkata seraya dari tangan bajunya ia keluarkan lima anting-anting emas Kim Wan Thauto yang barusan dilontarkan kepada si bocah. Kim Wan Thauto berdiri melongo.... Sebagai orang Kangouw kawakan, Kim Wan Thauto tahu akan itu peribahasa, "Ksatria harus tahu pada saat maju dan pada waktu mundur", pepatah tersebut adalah suatu nasehat yang baik. Mengingat ini, Kim Wan Thauto jadi menghela napas. -- 21 -- Tidak sampai menunggu Lo In membuka mulut lagi, ia sudah menghampiri si bocah di depannya. Ia angkat tangannya bersoja, katanya, "Siao-hiap, kau menang ! Kau adalah orang pertama yang membuka mataku bahwa orang pandai masih ada yang lebih pandai. Aku mengira tadinya tidak sukar aku menemukan tandingan, tidak tahunya, menghadapi kau Siaohiap aku tidak berkutik. Hahaha... !" Berbareng dengan menutup kata-katanya, Kim Wan Thauto telah jatuhkan diri berlutut sehingga Lo In repot dan menyingkir ke samping, serta katanya, "Taysu, kau jangan bikin diriku lekas tua dengan caramu begini." Kemudian ia tepuk-tepuk pundak orang perlahan tapi diamdiam ia gunakan lwekangnya untuk bikin si Thauto bangun dari berlututnya. Kim Wan Thauto tahu Lo In tengah mengerahkan tenaganya, ia juga kerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan. Tapi akhirnya ia mesti mengakui keunggulan Lo In dalam tenaga dalam. Maka ia pun tidak berani mencobacoba terus. Segera ia bangkir dari berlututnya dan berkata, "Siaohiap, aku ingin mengucapkan sesuatu padamu. Aku harap kau akan menerima baik !" "Dalam urusan apa itu, Taysu ?" tanya si bocah. "Caramu yang luar biasa memusnahkan serangan dari tujuh anting-anting emasku, membuat aku sangat kagum ! Aku sudah lepas kata, barang siapa yang bisa meluputkan diri dari serangan senjata rahasiaku ialah yang berupa tujuh antinganting emas, orang itu akan aku angkat menjadi guruku. Aku sangka bahwa guru itu pastilah orang yang lebih tua dariku, tidak tahunya malahan sebaliknya adalah seorang anak kecil. Siaohiap, kau jangan menolak kalau sekarang aku harus memenuhi sumpahku...." Berbareng Kim Wan Thauto kembali hendak tekuk lututnya, tapi Lo In keburu mencegah. Ia berkata, "Taysu, kau adalah jago kelas wahid dalam Kangouw, sukar menemukan tandingan. Untuk perkara kecil saja masa harus berlaku begini merendah terhadap aku si bocah. Kalau Taysu punya senjata rahasia yang lihat dapat aku punahkan, ituhanya dengan cara kebetulan saja, lantaran Taysu tidak sungguh-sungguh melepasnya dan menaruh kasihan kepada aku masih anak kecil." "Tidak, tidak. Memang aku menyerah kalah padamu." sahut Kim Wan Thauto. Si pendeta yang memelihara rambut panjang adalah satu pendeta yang jujur dan belum pernah menarik kembali apa yang ia sudah katakana, maka ia merasa tidak enak kalau ia tarik kembali kata-kata yang ia sudah keluarkan dari bibirnya. Maka, ia sudah mendesak supaya Lo In suka terima ia menjadi muridnya, ia berjanji akan setia kepada si bocah. Sebaliknya, Lo In terus menolak. Melihat mereka tarik urat, yang satu ingin diterima jadi murid dan yang lain menolak, dengan tiada ada keputusan sama sekali, Bwee Hiang lalu campur tangan. Dengan air muka berseri-seri ia datang menghampiri, kepada Kim Wan Thauto si gadis memberi hormat serta berkata, "Kalau kalian tidak keberatan, bagaimana kalau aku majukan diri sebagai orang perantara untuk memutuskan urusan kalian ?" "Bagus, bagus !" kata Kim Wan Thauto mendahului Lo In yang hendak membuka mulutnya berbicara hingga si bocah muka hitam urung berkata dan anggukkan kepalanya saja seperti tanda bahwa ia pun mufakat dengan turun tangannya Bwee Hiang. Lo In percaya kecerdikan sang enci. Dengan keputusannya Bwee Hiang pasti akan disetujui oleh mereka kedua pihak. "Dari pembicaraan Taysu," Bwee Hiang mulai. "Aku memuji Taysu adalah seorang yang jujur, tidak ingin memungkiri janji. Tapi mendengar alasan adik In juga benar, masa ia harus punya murid Taysu, lebih pantas bila adik In menjadi muridnya Taysu. Ini baru pantas....." "Tapi Liehiap...." memotong Kim Wan Thauto, terputus, karena si nona goyang-goyang tangannya. "Aku belum habis bicara, harap Taysu jangan memotong dulu." kata Bwee Hiang. "Jadi dua-duanya ada punya alasan kuat." berkata si nona meneruskan. "Sekarang begini saja. Taysu mengagumi adik In, sedagn adik In juga sangat menghargai Taysu. Bagaimana kalau angkat saudara saja.....?" "Bagus, bagus !" Lo In tiba-tiba memotong bicaranya si gadis. Saking kegirangan, setuju dengan enci Hiangnya, Lo In sampai bertepuk tangan. Sebaliknya Kim Wan Thauto kerutkan keningnya. Agaknya mereka kurang menyetujui putusan Bwee Hiang sebab menyeleweng kepada sumpahnya. Si gadis yang cerdik sudah lantas dapat menyelami pikiran si Thauto yagn kurang setuju. Maka ia lantas berkata pula, "Seorang murid setia, selalu akan bikin gurunya senang. Maka, apa salahnya kalau Taysu menerima keputusan yang disenangi adik In agar adik In hatinya merasa senang. Apa ini bukan sama saja Taysu sebagai seorang murid telah membuat senang pada gurunya " Aku kira dengan keputusan kalian angkat saudara, tidak menyimpang dari maksud Taysu yang sebenarnya." Mendengar si gadis demikian fasih ucapan katanya dan teguh alasannya, Kim Wan Thauto angguk-anggukkan kepalanya dan kemudia ia tertawa ke arah Bwee Hiang hingga si gadis kegirangan melihat usahanya akan berhasil. "Liehiap, kau sungguh pandai membuka pikiran orang yang bodoh." memuji Kim Wan Thauto. "Aku senang, kalau kau juga termasuk dalam upacara angkat saudara. Harap kau jangan menolak !" Bwe Hiang kaget. Ia tidak mengira si Thauto akan bawa-bawa juga dirinya. Tapi ia tidak keberatan untuk angkat saudara dengan Kim Wan Thauto yang ia lihat pendeta itu benar mukanya bengis tapi orangnya jujur dan termasuk salah satu ksatria di kalangan jago-jago silat budiman. Malah dengan mempunyai saudara angkat macam Kim Wan Thauto, untuknya ada satu keuntungan, tenaganya dapat dipakai membantu dalam usahanya menuntut balas kepada Sucoan Sam-sat. Memikir demikian, maka wajah Bwee Hiang berseri-seri. Ia berkata, "Terima kasih Taysu. Sungguh tidak kukira kau sangat menghargakan aku yang rendah." Kim Wan Thauto kegirangan bahwa si nona tidak menolak. Demikian selanjutnya tiga orang itu telah angkat saudara dalam upacara sederhana disaksikan oleh Lima Harimau dan anak-anak muridnya mereka yang jumlahnya bukan sedikit. Kim Wan Thauto dipanggil 'Toako' oleh Bwee Hiang dan Lo In sedang pada dua anak tersebut, atas permintaan mereka, Kim Wan Thauto memanggil anak Hiang dan anak In, yang sederhana saja. Si Thauto rambut panjang senang juga dapat memanggil 'anak' pada si gadis dan si bocah, karena mereka itu memang pantas menjadi anaknya Kim Wan Thauto. Lima macan dari Suyangtin sangat menghormati tiga orang tamu itu, terutama kepada Lo In yang mereka anggap adalah 'Bocah Sakti' yang tidak ada duanya. Kepandaiannya sukar diukur. Mereka merasakan penglihatannya seolah-olah kabut ketika menyaksikan tubuh Lo In tiba-tiba berputar-putar dan seperti asap bergulung-gulung, tahu-tahu setelah si bocah tersenyum ke arah Kim Wan Thauto dari lengan bajunya mengeluarkan lima senjata rahasia anting-anting emas dari si pendeta yang dilontarkan dengan tenaga lwekang yang dahsyatnya bukan main. Mereka berlomba mengundang Lo In dan dua saudaranya untuk menginap di rumahnya. Tapi Bwee Hiang tidak mau membuat berabe mereka maka dengan manis budi undangan itu ditolak hingga tidak punya alasan lagi mereka untuk mendesak terus. Meskipun demikian, mereka mengundang untuk mampir bertemu ke rumah masing-masing selama Lo In dan dua saudaranya ada di Suyangtin. Hal ini tidak ditampik oleh Bwee Hiang dan dua saudaranya, demi untuk menyenangkan pada hati mereka. Atas pilihan Bwee Hiang, tiga saudara itu mondok di hotel Hok An, suatu rumah penginapan yang sangat bersih dalam dusun Suyangtin. Dalam omong-omong, sebelumnya masuk tidur, Kim Wan Thauto berkata pada Bwee Hiang, "Anak Hiang, aku masih belum bisa lupakan wajahmu pada tiga tahun yang lalu." Bwee Hiang heran. Ia lantas menanya, "Bagaimana toako bisa kenali wajahku " Apa memang toako sudah kenal sebelum kita angkat saudara " Aku sendiri lupa. Harap toako tidak kecil hati kalau adikmu pelupa." "Anak Hiang, aku kenal tanpa berkenalan tapi kukenali wajahmu di atas loteng pertama dari rumahmu.'' Bwee Hiang terkejut. Sepasang matanya yang jernih halus memandang pada Kim Wan Thauto tidak berkedip. Kata-kata si toako betul-betul mengagetkan hatinya karena katanya mengenali wajahnya adalah dari jendela kamar di atas loteng pertama. "Toako, kau jangan bikin aku bertanya-tanya. Lekas ceritakan apa yang sudah terjadi pada saat itu." berkata Bwee Hiang kemudian. Melihat adik angkatnya tidak sabaran seperti cacing kena abu, maka Kim Wan Thauto lantas bercerita bagaimana ia telah melakukan penyelidikan dalam rumah Liu Wangwee untuk mendapat keterangan tentang kedatangannya Sucoan Samsat. Ia mendengar tentang percakapan Bwee Hiang dengan ayahnya dalam kamar kemudian ia bertekad akan membantu Liu Wangwee akan tetapi kenyataannya bahwa bantuannya tidak diperlukan dengan turun tangannya si kerudung merah. Dituturkan dengan jelas pada Bwee Hiang, hingga si nona yang tidak memotong pembicaraan orang, mendengarkan semua itu tanpa terasa telah mengucurkan air mata. "Anak Hiang." kata Kim Wan Thauto, kaget ia melihat adik angkatnya menangis. "Kau kenapa menangis " Apa penuturanku melukai hatimu karena aku tidak turun tangan membantu keluargamu " Kepandaian si kerudung merah sudah lebih dari cukup. Untuk apa aku membikin berabe dia dengan memunculkan diri pada saat itu ?" Bwee Hiang geleng-geleng kepala, seraya menyusut air matanya yang berlinang-linang. "Toako, bukan begitu duduknya." berkata si nona, masih sesenggukan. Lo In pun jadi kaget, enci Hiangnya tiba-tiba menangis. "Enci Hiang, kau kenapa " Barusan toako cerita, tiba-tiba saja kau menangis." Lo In menanya sang enci yang sedang sedih saja. Bwee Hiang tidak menjawab Lo In, hanya berkata pula kepada Kim Wan Thauto. "Toako, bukan begitu duduknya. Sebetulnya aku sangat berterima kasih atas perhatianmu hendak menolong keluargaku. Yang aku sedihkan adalah cerita toako itu membuat aku terkenang pada ayahku almarhum." "Hah " Ayahmu sudah meninggal dunia " Sakit apa ?" tanya Kim Wan Thauto otomatis. "Toako, kau tidak tahu." sahut Bwee Hiang, tersenyum sedih. "Ayahku bukannya mati karena sakit tapi dibunuh oleh Sucoan Sam-sat. Ah, toako....." Bwee Hiang putus bicaranya karena ia tidak tahan dengan kesedihannya, ia menangis lagi. Agak keras sekarang hingga Kim Wan Thauto dan Lo In kebingungan kalau-kalau tangisan itu dapat mengganggu penghuni kamar lainnya sehingga bisa membikin orang-orang pada keluar untuk menanyakan ada urusan apa sampai menangis begitu sedih. Kim Wan Thauto dan Lo In bergiliran menghibur Bwee Hiang. Si gadis cepat terhibur rupanya sebab kemudian ia hentikan tangisnya lalu menceritakan pada Kim Wan Thauto tentang keganasannya Sucoan Sam-sat yang membunuh seisi rumahnya termasuk Kian-san Ji-lo, setelah pada sebelumnya mereka kena dihajar oleh Lo In. Mereka telah mengganas juga dalam markas cabang Ceng Gee Pang sehingga banyak meminta korban jiwa. Kim Wan Thauto sangat gusar mendengar laporan Bwee Hiang. "Aku dapat kabar tentang kebuasannya Sucoan Sam-sat, akan tetapi tidak mengira sampai begitu kejam dan menganggap jiwa manusia seperti jiwa kecoak !" kata Kim Wan Thauto, seraya giginya kedengaran berkeretak, menahan amarahnya. "Toako," kata Bwee Hiang. "Kita sudah angkat saudara. Maka dalam halnya Sucoan Sam-sat, aku mengharap sekali bantuan toako dalam usahaku menuntut balas." "Anak Hiang, meskipun kita belum angkat saudara, aku juga akan membantu kau sebisa-bisanya untuk membasmi orangorang jahat itu !" jawab Kim Wan Thauto tegas. Diam-diam Bwee Hiang merasa sangat berterima kasih atas janji Kim Wan Thauto. "Sayang anak In pada waktu itu tidak membinasakan saja kawanan jahat itu." Kim Wan Thauto menyatakan sangat Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyesalkan. "Adik In masih terlalu kecil, belum sampai berpikiran ke situ. Apalagi memang dia berhati lemah untuk bertindak kejam !" kata Bwee Hiang sambil melirik pada Lo In yang tidak campur dalam percakapan mereka berdua. Lo In hanya nyengir ketawa melihat Bwee Hiang melirik kepadanya. "Ya, memang anak In masih kecil." sahut Kim Wan Thauto ketawa. "Sebagai jago kecil berkelana dalam dunia Kangouw, nanti dia akan bertambah pengalaman dan mempunyai pandangan terhadap orang-orang yang jahat dan licik. Maka itu anak In, kau harus waspada menjaga diri." "Terima kasih atas nasihat toako." kata Lo In, tertawa nyengir. "Tapi, anak In." Kim Wan Thauto berkata lagi, matanya memandang wajah Lo In yang hitam legam. "Aku lihat wajahmu tidak semestinya hitam, cara bagaimana kau memoles wajahmu jadi hitam begini ?" "Panjang untuk diceritakan, toako." sahut Lo In. "Tapi sekarang aku minta toako dulu bercerita bagaimana toako dapatkan pedang pendekku itu ?" "Sebenarnya aku mau minta adikku dulu bercerita, tapi tidak apalah. Biar toakomu mengisahkan satu kejadian yang lucu." Selanjutnya Kim Wan Thauto mengisahkan dari mana ia dapatkan pedang pendek. Pada suatu hari menjelang sore, hujan turun dengan lebat. Kim Wan Thauto dalam perjalanan mengunjungi salah satu sahabatnya, kebingungan tidak menemui rumah untuk meneduh, untuk menyingkir dari serangan hujan lebat. Dengan menggunakan ilmu jalan cepat, sekira dua lie maju ke depan, tiba-tiba ia menemukan satu kuil rusak. Ke dalam kuil itu ia masuk. Lumayan juga dapat menyingkir dari serangan hujan lebat meski pun di sana sini tampak kuil itu pada bocor gentengnya. Rupanya kuil itu sudah lama ditinggalkan penghuninya tapi masih ada towie (taplak meja) rombeng yang panjang sampai menutupi kolong meja, diatasnya terdapat sebuah tepekong yang lagi duduk bersila. Pikirnya kalau ia masuk ke kolong meja itu, baik juga. Sebab tidak kedinginan dari hembusan angin yang masuk ke dalam rumah berhala itu yang hampir tidak berpintu. Setelah berpikir ia lalu masuk ke kolong meja tadi. Benar saja di kolong itu ia merasa agak hangat juga. Belum lama ia rebahan, tiba-tiba ia mendengar seperti ada orang yang masuk ke dalam kuil itu. Ia lalu mengintip melalui lubang dari towie yang rombeng. Ia lihat yang datang itu adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus, mukanya tidak enak dilihat saking jeleknya. Di bebokongnya ia menggendong sebuah bungkusan besar. Entah apa isinya buntelan besar itu. Ketika si orang jelek tadi sudah berada di dalam, ia lalu gubraki di atas lantai buntelan yang digendongnya lalu ia gibrik-gibriki bajunya yang basah kuyup kehujanan. "Kurang ajar, tadi terang benderang, eh, mendadak turun hujan besar. Dasar anak sialan !" orang itu berkata-kata sendirian sambil perlahan-lahan membuka buntelan besar tadi. Kiranya isinya adalah sesosok tubuh yang tidak berkutik. Waktu Kim Wan Thauto menegasi kiranya ia adalah satu anak muda yang cakap, putih, mirip seorang perempuan. Ia rupanya telah ditotok pingsan sebab pipinya yang halus diusap-usap ke sana kemari oleh si wajah jelek, anak muda itu tinggal diam saja. "Sungguh sayang kau dijelmakan sebagai seorang lelaki. Kalau kau perempuan yang sekarang jatuh di tanganku " Hmm !" demikian si jelek berkata-kata sendirian. Entah apa maksudnya kata-kata itu tapi bagi Kim Wan Thauto sudah lantas menduga bahwa orang jelek itu bukan orang baik-baik, tentu anak muda itu kena diculik olehnya. Ia terus mengintip. Ia melihat si jelek membuka totokan si anak muda yang sebentar kemudian telah dapat membuka matanya. Melihat wajah si jelek, anak muda itu kerutkan alisnya. "Aku tidak kenal kau siapa, asal kau kembalikan aku ke rumah orang tuaku, urusan dapat habis sampai disini saja. Tapi, kalau sebaliknya " Hmm!" kata si anak muda, seperti mengancam si orang jelek. "Hmm ! Apa hmm ! Apa kau kira aku takut kepada ayahmu Kong Tek Cong ?" si orang jelek kata dengan suara kasar. Kim Wan Thauto terkejut mendengar disebutnya Kong Tek Cong ialah sahabatnya yang ia hendak kunjungi. Kalau begitu, pikirnya, anak muda ini tentu putera sahabatnya yang dipanggil Liang Hin. "Ayahku adalah Chungcu (ketua kampung) dari Pek-in-chung, mempunyai banyak sahabat-sahabat dalam kalangan Kangouw." kata si anak muda. "Kalau kau tidak takuti ayahku, kau juga harus memikirkan kepada sahabat-sahabatnya yang tentu tidak akan tinggal dima atas perbuatanmu menculik aku." Kong Tek Cong memang Chungcu dari Pek-in-chung (Kampung awan putih di Kang-say). Namanya sangat terkenal dalam kalangan Kangouw. Bukan karena ilmu silatnya dihargakan tapi juga sebagai seorang kaya raya, wataknya sangat ramah dan tangannya mudah untuk menolong sesamanya yang dapat kesusahan. Bukan sedikit jago Kangouw yang mendapat pertolongannya apabila dalam perjalanan mendapat kesukaran uang misalnya. Tidak heran kalau Kong Tek Cong mendapat banyak sahabat. Ketika mendengar Liang Hin menyebut-nyebut kawankawannya Kong Teng Cong, si wajah jelek bukannya takut malah tertawa terbahak-bahak, katanya, "Siapa tidak kenal padaku Toan Bi Lomo yang malang melintang tanpa menemui tandingan. Biarpun ayahmu mengumpulkan semua kawankawannya, aku juga tidak takut. Apalagi mereka berani datang ke Coa-kok, aku tanggung semuanya akan dibasmi habis !" Liang Hin tersenyum sinis mendengar kata-kata si muka jelek yang tiada lain adalah Siauw Cu Leng dengan gelarnya Toan Bi Lomo (si Iblis Alis Buntung). Dalam usahanya menculik anak-anak muda tanggung, ternyata ia berani juga menculik anaknya Kong Tek Cong yang sangat terkenal namanya. "Kau benar-benar tidak mau membebaskan Siaoyamu ?" menegaskan Liang Hin. "Kau jangan mimpi, anak muda ! Hahaha .. !" berbareng ia mendak disusul dengan suara 'siuutt' yang memancarkan sinar seperti kembang api lewat kira-kira dua dim diatas rambut kepalanya hingga ia menjadi sangat kaget. Kiranya itu senjata rahasia dari Pek-in-chung yang dinamai 'Pek in hwee cian' atau 'Panah api awan putih', senjata rahasia yang khusus dibuat oleh Kong Tek Cong untuk digunakan oleh orang-orangnya untuk melindungi Pek-in-chung. Panah api itu apabila dilepas dari busurnya akan mengeluarkan suara menyiut keras lantas dalam perjalanan menuju sasarannya tiba-tiba memancarkan sinar seperti kembang api yang biasa dipasang oleh anak-anak. Orangorang Kangouw yang melihat sinar yang tiba-tiba memencar dari panah api itu lantas mengenali, itu adalah senjata rahasia dari Pek-in-chung yang sangat terkenal. Kalau mengenai sasarannya, panah api itu akan membakar pakaian si korban dan menghanguskan bagian tubuh yang ditujunya. Siauw Cu Leng cukup lihai. Begitu ia mendengar suara menyiut lantas ia kenali akan senjata rahasia dari Pek-inchung, sayang ia tak dapat lolos dari mencarnya api. Rambutnya sebagian sudah kena kebakar hingga ia repot untuk mematikan dengan lengan bajunya. Dalam kerepotan itu, segera menyusul dua tiga panah api lagi. Tapi karena ia sudah bersedia, semuanya dapat dikebas jatuh dengan tangan bajunya. "Bangsat kurang ajar !" ia berteriak. Tapi sebelum ia membuka mulut besar, segera di depannya sudah ada tiga orang tinggi besar dengan golok di tangan. "Kau berani memaki 'bangsat kurang ajar' " Sungguh menyebalkan ! Perbuatanmu yang sangat kurang ajar, bangsat penculik !" memaki salah satu diantaranya yang menjadi pemimpin dari tiga orang itu rupanya. "Tan siokhu (paman), dia..... dia..... " Liang Hin tak dapat meneruskan kata-katanya karena dengan sebat Siauw Cu Leng sudah menotoknya roboh mendeprok di lantai. Kim Wan Thauto yang terus menonton, ia kenali tiga orang yang datang itu adalah tiga saudara angkat dari Kong Tek Cong yang bernama Nio Him, Tan Nie Ciang dan Lie Kim Giok. Mereka empat saudara terkenal dengan julukan 'Pek-in Su-kiat' atau 'Empat jago dari kampung Awan Putih'. Sepak terjangnya mendapat pujian rakyat karena mereka menolong yang lemah, merintangi yang kuat. Banyak perbuatan yang sewenang-wenang dapat dibereskan oleh mereka dengan adil. Yang tadi memaki Siauw Cu Leng adalah Tan Nie Ciang. Mendapat balasan makian, Siauw Cu Leng marah. Ia berkata, "Baru kalian tiga orang, biarpun Pek-in Su-kiat turun sekaligus, aku Toan Bi Lomo tidak takut !" Berbareng dengan kata-katanya Siauw Cu Leng sudah sambar tubuhnya Liang Hin untuk lantas dibawa melompat kabur. Tapi Kim Giok yang menjaga di pintu sudah lantas menghadang. "Mau lari ?" jengeknya. "Turunkan Kong Kongcu lalu berlutut minta ampun, baru kami nanti memberikan pertimbangan !" "Kentut busuk !" teriak Siauw Cu Leng gusar. "Lihat kakekmu nanti akan bikin kalian kocar kacir, tidak ada jalan untuk umpatkan diri !" Dengan pundak kiri memanggul tubuh Liang Hin, tangan kanannya sempat mencabut pedang pendek. Ia berkata pula, "Hayo, maju semua !" Tan Nie Ciang tahu lawannya lihai tapi masa dikerubuti tiga lawan ia dapat pertahankan diri, apalagi berkelahi sambil memanggul tubuh orang " Memikir kesitu, maka Tan Nie Ciang maju paling dulu. Ia membentak, "Orang jahat, jangan tembereng. Lihat aku orang she Tan akan ambil kepalamu !" Berbareng Tan Nie Ciang bulang baling goloknya yang tajam, tiba-tiba ia menyerang membabat pinggang lawan. Ini suatu gerakan yang dinamai 'Ki houw pok yo' atau 'macan kelaparan menerkam kambing', tidak gampang dikelit oleh pihak lawan untuk gerakan yang cepat dan ganas itu sehingga telah membuat nama Tan Nie Ciang naik. Sayang ketemu Siauw Cu Leng yang gesit. Toan Bi Lomo tidak mau menangkis dengan pedangnya yang pendek dan bobotnya sangat enteng, kuatir pedangnya tidak tahan kebentur pedang lawan yang berat. Maka begitu datang golok mengarah pinggang, cepat ia berkelit dengan lompat setindak ke belakang hingga sabetan golok lewat depan perutnya hanya dua dim saja. Berbareng ia bertindak maju, sebelum musuh mengambil posisinya, pedangnya diputar terus ditikamkan ke arah tenggorokan. Ini suatu tipu 'Tong cu ci louw' atau 'Bocah menunjukkan jalanan', suatu serangan yang tiba-tiba dilakukan. Mula-mula pedang diputar untuk membingungkan lawan kemudian menikam dengan tiba-tiba ke arah tenggorokan. Untung Tan Nie Ciang juga bukan jago kemarin, ia sudah berpengalaman. Dengan tipu 'Kim ke pa tauw' atau 'Ayam Emas goyang kepala', kepalanya dimiringkan ke kiri kemudian dengan badan separuh jongkok, goloknya menikam 'gudang makanan' (perut) Siauw Cu Leng. Dengan tangkas Toan Bi Lomo menjejakkan kakinya lompat ke atas, menghindari serangan. Tan Nie Ciang merangsek, ia tidak mau kasih lawannya untuk perbaiki posisinya tapi Siauw Cu Leng bukan Toan Bi Lomo kalau tidak berdaya dengan rangsekan Tan Nie Ciang. Ia turun dari atas dengan pedang pendeknya diputar untuk mematahkan serangan susulan Tan Nie Ciang. Dua senjata beradu keras hingga menimbulkan bunga-bunga api, tampak golok Tan Nie Ciang kuntung sepuluh dim dari ujungnya hingga Tan Nie Ciang sangat terkejut. Nio Him dan Kim Giok hanya menonton saja. Mereka percaya Tan Nie Ciang dapat mengalahkan Siauw Cu Leng karena ia berkelahi sambil memanggul tubuh Liang Hin. Tapi kenyataannya beban di atas pundaknya tidak menjadi rintangan bagi Siauw Cu Leng bergerak leluasa melayani Tan Nie Ciang. Melihat keunggulan Siauw Cu Leng barulah dua saudara itu bergerak. Tapi sebelum mengeroyok, tiba-tiba mereka mendengar beradunya senjata dan goloknya Tan Nie Ciang tertabas kuntung hingga mereka sangat kaget. Toan Bi Lomo kaget. Ia tidak mengira pedang pendek yang bobotnya enteng itu dapat menabas kutung goloknya Tan Nie Ciang yang kasar dan berat. Sudah beberapa kali ia menyingkirkan dari beradunya senjata. Kalau barusan mesti beradu juga, itu ia lakukan dengan terpaksa sebab waktu turun dari lompatnya ia papaki golok Tan Nie Ciang. Kini ia tahu pedang pendeknya sangat ampuh, maka hatinya jadi besar. Ia tidak ragu-ragu lagi untuk mengadu senjata. Hasilnya juga Kisah Membunuh Naga 25 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Selubung Awan Hitam 2

Cari Blog Ini