Bujukan Gambar Lukisan 1
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 1 Bujukan Gambar Lukisan Karya : Wu Lin Qiao Zi (Tukang Kayu Rimba Persilatan). Ini nama samaran dari Xiong Ren Ji (Hiong Jin Ci). Diterjemahkan oleh : OKT Judul Baru cetak ulang : Lambang Penangkal Maut dan Misteri Lambang Penangkal Maut BAGIAN I (Lambang Penangkal Maut) Jilid 1.a. Buron yang tidak disengaja Bulan ketiga dalam musim semi, ialah bulan yang indab. Di luar pinyu Thian-an-moei di kota Yan-khia, daun-daun hijau, bunga-bunga permai. Di luar kota, sungai yang berbeku es baru saja lumer, hingga potongan.potongan es mengikuti air hanyut. Hingga disaat itu, negara bagian Utara itu mirip dengan suasana di Kang Lam, negara bagian Selatan, selama musim semi bulan pertama, Di waktu begitu maka pada suatu maghrib saatnya di Lioe lie ciang orang mulai memasang api penerangan, selagi kereta-kereta kuda berlalu lintas dan orang mundar-mandir, di antaranya seorang muda yang mengenakan baju panjang hijau tersulam dengan pundaknya tarselandang sabuk dan sebelah tangannya menengteng sebuah kurungan dalam mana ada seekor burung kenari kuning. Dia bertindak ke arah gang Kim Hie Hotong. Dialah seorang pemuda tampan tak terlalu kurus, alisnya bagus, matanya tajam, hidungnya bangir. Kalau dia bertemu seorang kenalannya dan bersenyum maka terlihatlah giginya yang putih dan rata. Senyumnya itupun menarik hati. Anak muda itu memasuki pula suata gang lain sampai di depan sebuah rumah besar dan indah. Dia lantas mengetuk kedua kedua gelang pintu yang terbuat dari kuningan, pintu mana terus dibuka oleh seorang bujang tua, "Oh. jie-siauw-ya baru pulang!" hamba itu menyapa. Dia berdiri tegak dengan tangan dikasi turun lurus, "Ya!" si anak muda menyahuti, bersenyum. Terus dengan langkah cepat dia jalan di pekarangan dalam gedung itu. Dia tidak langsung masuk ke rumah besar hanya ke lorong samping kanan dalam mana ada sebuah taman yang rumput Ian pepohonan bunganya terawat baik, di mana pun ada sebuah pengempang kecil dengan airnya yang benIng jernih, yang sejumlah ikan emasnya lagi berenang memain didalamnya. Di tepian pengempang itu tumbuh pohon anglioe yang cabangnya meroyot turun. Anak muda itu berjalan terus memasuki sebuah pintu model rembulan, sampai di depan sebuah kamar, barulah ia bertindak masuk. Itulah sebuah kamar tulis yang mungil dan indah, ada para-para bukunya, ada gambar lukisannya, ada pula empat helai pigura huruf-haruf tulisannya Ong Gie Cie yang kesohor. Begitu tiba di dalam, anak muda itu meletaki burungnya untuk menghampirkan para, untuk menarik keluar sejilid buku. Cepat-cepat dia membalik-balik lembaran buku itu. perhatiannya sangat tertarik. ,,Pasti ini, pasti gambar ini." dia mengoceh seorang diri. "Hanya dia meminta harga limaratus tahil perak, Dari mana aku bisa dapat uang sajumlah itu?" Ia menjadi berdiri menjublak. Dialah seorana anak terlahir di dalam satu keluarga berpangkat akan tetapi apa lacur, ia telah tidak mendapatkan kasih sayang ayah bundanya, apa pula ibu tirinya, ibu tiri itu memandangnya seperti musuh hingga bukan kecintaan hanya dampratan dan tongkat menjadi bagiannya. Baru dua tahun ini keadaannya lumayan, disebabkan usia dewasanya. Toh dia tetap dipandang mirip orang luar. Sementara itu, selama tiga tahun lebih ini dia telah dapat kesempatan belajar silat, secara diam-diam. Umpama kata kelakuannya itu ketahuan orang tuanya, mungkin dia tambah tak disukai. Tadi dia mampir di sebuah toko buku tua di Lioe lie ciang, di sana dia dapat melihat sebuah lukisan karyanya Ong Mo Kit yang diberi judul "Yoe San Goat Eng" atau "Bayangan Rembulan di Gunung Sunyi." Ia tahu, lukisan itu ada mengandung rahasia. Itulah lukisan yang ia ingin memilikinya sampai ia buat impian selama dua tahun. Ia ingin beli lukisan itu. Inilah yang membuatnya bingung. Pemilik toko buku tua itu meminta harga seribu tahil perak, ketika ia mengotot menawarnya, harga cuma diturunkan sampai lima-ratus tahil, tak kurang lagi. Lukisan itu ada rahasianya, apabila rahasia itu dapat dipecahkan, harganya ada seumpama harganya sebuah kota, dari itu, harga lima ratus tahil perak itu tidak mahal bahkan murah. Hanya sulitnya untuk si anak muda, dari mana ia dapat peroleh uang itu. Kalau ia pergi kepada pemegang kas ayahnya, biasanya ia dapat uang dari delapan sampai sepuluh tahil, tetapi lima ratus tahil, itulah tak mungkin. Ia juga tidak dapat membuka mulutnya! Alasan apa ia mempunyai" Toh tidak ada jalan lain. Jumlah itu perlu didapatkan. Di akhirnya dengan hati berdebaran, dia pergi juga kepada pemegang kas, pegawai ayahnya yang mengurus keuangan keluarganya. Pemegang kas itu memakai kacamata yang disebut kacamata kura-kura, ketika si anak muda muncul di kamarnya, dia lagi tunduk, tangan kanannya lagi mengetik shoei-phoa, dia lagi menghitung. Dia mendengar tindakan kaki orang, dia lantas mengangkat kepalanya, mulutnya tersungging senyuman. Akan tetapi kapan ia telah melihat si anak muda, lantas wajahnya berubah menjadi dingin. Anak muda itu berdebar hati, kaget berbareng mendongkol. Di hari-hari biasa, apabila ia melihat tampang demikian macam dari si tukang uang, ia tentu sudah memutar tubuh untuk berlalu pula dengan cepat. Kali ini tidaklah demikian, kali ini ia mempunyai urusan sangat penting. "Goe Loo-hoecu," ia memanggil terpaksa, "Sore ini aku mempunyai keperluan, aku ingin pinjam uang sebanyak lima ratus tahil perak. Aku tanggung akan membayar pulang jumlah itu dalam tempo satu bulan." Tukang uang itu melengak, dia menyingkirkan kacamatanya dan menatap. Dia seperti tak mempercayai telinganya. Tak lama dia mengawasi tajam, lalu ia mengasi dengar suaranya yang keras. "Tiong Hoa," katanya. "Aku kenal kau sampai begini besar, maka kalau kau bicara. bicaralah dengan sedikit tahu aturan. Selama beberapa tahun aku melihatnya kau menjadi tidak keruan! Orang bilang di luaran kau bergaul dengan orangorang penggemar main wanita dan penenggak air kata-kata, hingga kau memakai uang seperti kau menuang air! Kau tahu, ayahmu pernah bicara denganku tentang kau dan ayahmu itu tawar hatinya.,..." Sepasang alisnya si anak muda bangun berdiri. Ia bicara secara sungguh-sungguh tapi ia mendapat jawaban yang diluar garis, jauh sekali terpisahnya dengan pokok soal. "Loo-hoecoe," katanya sengit. "Siapa sudi mendengari ocehan ini" Kau bilang, kau suka mengasi pinjam atau tidak?" Pemegang kas itu juga membawa adatnya. Lantas saja dia berludah, "Tidak! Tidak!" tolaknya keras, "Jangan kata lima tahil, sepeser pun tidak! Jangan harap kau dapat merabanya! Orang tak punya guna seperti kau ini...hm!.." Hebat kata-kata itu, meluaplah darahnya si anak muda. Tahu-tahu sebelah tangannya sudah menyamber ke dasa si tukang uang, keras suaranya, keras juga akibatnya, tukang uang itu terpental ke pojok tembok! Goei Loo-hoe-coe berkoseran. "Tiong Hoa! Lie Tiong Hoa!" dia berseru, tangannya menuding, dia mencoba merayap: ''Kau,. .kau ...kau kejam..!" Cuma sebegitu pemegang kas ini dapat berkata-kata, terus dia roboh pula, terus napasnya berhenti jalan. Anak muda itu melengak, kagetnya bukan main. Semenjak ia belajar silat. inilah yang Pertama kali ia menggunai tangannya.Sebenarnya ia tidak tahu betapa besar tenaganya dan ia tidak tahu juga yang ilmu silat dapat meminta jiwa orang secara begitu rupa. Ia belajar silat pada seorang guru yang melarat dan berpenyakitan. Guru itu membilangi muridnya ini bahwa dialah bukan seorang Kang ouw yang berkenamaan, bahwa dengan belajar silat padanya, ia jangan harap dapat menjadi seorang pandai, ia cuma diajari dasarnya untuk menjaga diri, tak dapat dipakai menghajar orang. Tapi ia diberitahukan ia mempunyai bakat baik, sayang kalau ia terus belajar padanya, dari itu ia dinasehati merantau. "Dunia Kang ouw mempunyai banyak orang lihay, mungkin kau ketemu jodohmu!" demikian guru itu. Dengan jodoh itu dimaksudkan ahli silat terpandai. Kemudian, ketika si guru hendak menutup mata, dia memberitahukan muridnya ini halnya suatu gambar rahasialukisan Yoe San Goat Eng itu oleh Ong Mo Kit dari jaman ahala Tong. Katanya Iukisan itu menyimpan rahasia besar, dan bahwa ia sudah mencarinya untuk banyak tahun tetapi belum berhasil menemuinya. Maka si murid Dipesan untuk memperhatikan lukisan itu, katanya pula, rahasianya lukisan dapat dipecahkan jikalau orang memahamkan judul dan tulisan yang diberikuti di dalam lukisan tersebut. Pesan itu diperhatikan Lie Tiong Hoa, demikian anak muda ini. Sejak itu ia terus memperhatikan, baik di dalam toko-toko buku, baik di rumah-rumah gadai, mau pun di rumah-rumah orang hartawan dan bangsawan begitu ia mendapatkan ketikanya. Akhir-akhirnya di took buku tua itu ia mendapatkan sehelai lukisan tua jaman Tong, gambarnya sudah berwarna kuning dan guram, tetapi ia masih melihat nyata, selang dua jam memeriksa, ia pastikan itulah lukisan yang ia cari. Maka ia lantas menawarnya. Tukang-tukang loak biasa bermata tajam, juga tukang loak ini, melihat si anak muda sangat bernafsu, dia minta harga tinggi itu, dia menancap paku, hingga Tiong Hoa habis daya, hingga ia mesti pulang dengan hati bingung memikirkan kemana ia mesti mencari uang. Demikian setibanya di rumah, ia memeriksa dulu sebuah kitabnya, habis itu baru pergi kepada Goei Loo-hoecoe. Siapa tahu, ia mendapat hidung panjang sampai darahnya naik dan terjadilah pembunuhan tidak disengaja itu. Syukurlah suara berisik itu tidak didengar para bujang. Ia merasa untuknya tidak ada lain jalan daripada kabur buron. Inilah pengalamannya yang pertama, yang sangat hebat. Ia juga tidak mempunyai sahabat yang nasihatnya dapat diminta. Setelah dapat menahan berdebaran hatinya, ia angkat tubuhnya tukang uang itu untuk diletaki di kolong pembaringan. Tak dapat ia melupakan lukisannya Ong Mo Kit itu. Maka ia menghampirkan laci uang dan menarik kotaknya. Ia menjadi menyesal ketika ia dapat kenyataan uang kas berjumlah tak cukup dua ratus tahil. Tapi ia mesti buron, ia membutuhkan uang, yalah uang ayahnya. Maka ia samber uang itu, yang ia bungkus dengan sobekan sabuk, tanpa kepergok siapa juga, ia lolos dari pintu taman di belakang rumahnya. Tiba di jalan besar, suasana jauh lebih ramai daripada tadi, tapi ia tak sempat ia menikmati keramaian itu, Dengan terburu-buru ia menuju ke Lioe lie-ciang, diamana keadaan lebih ramai pula. Di situ ada berbaris belasan toko buku tua, ia masuk ke sebuah yang terletak di ujung gang Soan-hoo. Si tukang loak sudah berumur tujuh puluh tahun lebih, ketika itu dia lagi berdiri di depan pintu, matanya mengawasi orang-orang yang berlalu lintas, mengharap-harap memperoleh langganan. Dengan tangan kirinya mengurut-urut kumisnya yang mirip jenggot kambing gunung. Dia melihat Tiong Hoa dating bergegas-gegas, ketika dia hendak menegur, tangannya disamber terus dia ditarik ke dalam. Setibanya di dalam, Tiong Hoa meletakkan bungkusannya di atas meja, terus ia buka untuk memperlihatkan uang perakannya yang bergemerlapan. la paksakan diri untuk tertawa ketika ia kata; "Inilah jumlah yang aku dapat kumpul dengan susah payah, aku harap kau terima ini dan kau serahkan gambar lukisan Ong Mo Kit itu padaku!" Sebagai pedagang kawakan, tukang loak itu heran hingga dia menjadi curiga mungkin uang itu tidak keruan asalusulnya. "Lie kongcu, maaf," ia berkata, "Aku tidak tahu kau begini menghendaki lukisan itu, kalau tahu suka aku menghadiahkannya kepada kau, saying sekali, tadi baru saja ada lain orang yang membelinya..." Tiong Hoa terperanjat sampai mukanya berubah pucat. Inilah ia tidak sangka sekali. Hatinya mencelos berbareng mendongkol. Ia putus asa barbareng gusar. "Lie Kongcu, aku menyesal sekali," kata tukang loak itu, yang kaget melihat wajah orang muda itu. "Aku menyesal membuat kau putus asa, lain kali, kalau ada lagi lukisannya Ong Mo Kit, pasti aku akan menyerahkannya kepada kau lebih dulu...Ah, ada tetamu lagi, maaf, aku mau melayani dia." Dan dia terus memutar tubuhnya untuk pergi ke depan. "Tunggu dulu!" Tiong Hoa kata, berbareng denganmana ia menyamber tangan kirinya tukang loak itu. Terus ia mengawasi dengan mata bersinar. la tanya. "Siapa pembeli itu?" Benar-benarkah?" "Benar! Kenapa tidak!" sahut si pemilik took buku itu, "Belum pernah aku mendusta pada langgananku, apa pula kepada kongcu. Mustahil uang dating aku tampik.." Dia berkata begitu tetapi berjengit, dia kaget. Keras cekalan si anak muda hingga dia merasa sakit. "Ngacoh. Kau tentu tak suka menjual sebab uangku kurang." Mukanya tukang loak itu pucat, dia meringis. ,.Benar, kongcu." kata ia pula. "Pembeli itu berumur kurang lebih empat puluh tahun, lagi suaranya mirip orang Tien ciu. Dia membelinya buat seribu tahil perak. Dia mempunyai dua orang pengikut yang menyoren golok. Mendengar panggilannya pengikut itu, dia mestinya seorang po cu. Jikalau aku tidak salah melihat, Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dialah seorang Kangouw...." Dia mengawasi si anak muda, hatinya kebat kebit. Dia melihat sinar mata anak muda itu yalah sinar bingung, menyesal, putus asa dan gusar bercampur menjadi satu. Tiong Hoa sendiri berpikir: "lnilah tak mungkin. Guruku membilangi aku, orang yang mengetahui lukisan rahasia itu cuma tiga orang tua tapi mereka pun masih belum tahu artinya rahasia itu. Hal itu guruku juga mendengarnya dari seorang kenamaan lain. Di sini mesti terjadi hal kebetulan...." Anak muda ini menjadi sangat berduka memikir nasibnya. Dari kecil ia tak disukai ayah ibunya, sedang ibunya itu sudah menutup mata lama hingga ia mesti hidup bersama ibu tirinya. Orang tua itu sebaliknya menyayangi anak-anaknya yang lain, pria dan wanita, terutama kakaknya. Karena itu, ia menjadi di biarkan saja, ia cuma diberi makan dan pakaian. la sempit dalam keuangan, tidak leluasa ia menampung gurunya yang malarat itu. Ketika ia diajari silat, ia tidak diajari seperti umumnya orang orang lain. Sembari rebah gurunya memetakan dengan tangan dan kakinya, dengan sebatang sumpit sebagai genggaman. Maka itu, sulit ia belajarnya. Meski begitu karena ia berbakat dan cerdas ia memperoleh banyak, ia melainkan tidak tahu bahwa pelajaran itu adalah pelajaran silat berarti. Mengenai lukisan itu, ia dipesan mesti mencarinya, tak perduli bagaimana sukarnya. Ia pun ditinggali surat wasiat, surat mana tak boleh dibuka sebelum ia dapat lukisan itu. Itulah tugas berat untuknya, yang muda dan tak berpengalaman, yang tak punya uang juga. Tapi ia ingat itu baik-baik dan ingin melakukannya hingga menjadi kenyataan agar pesan gurunya dapat diwujudkan. Pula semenjak ia belajar silat, semangatnya telah terbangun. Sekarang, karena kecewa atas lenyapnya lukisan itu, ia putus asa hingga hatinya menjadi panas. Ia piker tukang loak ini manusia busuk dan serakah. Kenapa lukisan itu dijual pada lain orang" Dengan begitu, tanpa dikehendaki, ia telah menjadi seorang pembunuh. "Dapatkah tukang loak ini dibebaskan?" pikirnya lebih jauh, "Tidak!" Pembunuhan atas diri Goei Loo-hoecoe pasti akan tersiar, sedikitnya besok. Tukang loak ini telah melihat uang ini, dia pasti akan menduga aku, dan tentu dia bakal membuka rahasia..." Tanpa merasa, Tiong Hoa memencet keras tangan tukang loak itu. "Aduh. Tolong...." Tuan rumah menjerit. Dengan tangan kiri Tiong Hoa mendekap mulut orang. Ia sengit dan takut juga. Tukang loak itu tak berdaya, matanya mengawasi dengan sorot ketakutan. Dia tidak dapat berontak, dia tidak bisa berteriak. Mulutnya terdekap rapat. Sang waktu berjalan, Tiong Hoa heran waktu kemudian ia dapat kenyataan pemilik took buku itu diam saja, tubuhnya menjadi lemas, mukanya pucat. Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Tahu-tahu orang telah putus napasnya. "Ah..." ia mengeluh, sedang peluhnya lantas membanjiri jidatnya. Ia kuatir bukan main. Lagi satu jiwa melayang di tangannya melayang tidak keruan rasa. "Lari!" itulah ingatan yang segera berkelebat di batok kepalanya. Dengan sebat ia bungkus pula uangnya, ia memutar tubuhnya. Hatinya sangat tegang, ia bergelisah. "Tuan toko,." tiba-tiba ia mendengar suara memanggil dari luar. la mendengar tindakan kaki orang. Dengan bingung ia bertindak cepat sekali. la bersamplokan dengan seorang di muka pintu. Mendadak ia menotok jalan darah thian kie, orang itu, sampai dia itu mengeluarkan suara tertahan, tubuhnya terus roboh. Ia tidak memperdulikannya, ia lari terus. Di lain saat lenyaplah ia diantara orang banyak di jalan besar. Malam itu malam yang indah. Langit bersih, si Putri Malam permai. Dari gang Soan hoo, took buku tukang loak di Lioe lie-ciang itu, Tiong Hoa menyingkir terus. Ia baru berhenti setelah tiba di paseban To Jian Teng di Lam-hee-wa. Tadi ia kabur tanpa memilih tujuan. Ia meluruskan napasnya yang memburu, ia menenangi hatinya yang guncang keras. Sembari berpegangan pada loneng, ia melihat syair di paseban itu, bunyinya : "Menyesal aku bukan pelukis, yang dapat melukis gambar di waktu malam, mendengari suara musim rontok" Ah, hebat sekali....pikirnya. Aku menerbitkan onar ini cuma disebabkan aku terkena bujukan gambar lukisan. Ini baru permulaannya saja, bagaimana nanti akhirnya" Tiong Hoa kenal baik paseban To Jian Teng. Bersama beberapa sahabatnya pernah ia pelesiran di sini, minum arak dan benyanyi-nyanyi, Sekarang ia dataag pula dalam kesunyian, dengan hati yang berat. Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan pepohonan yang lebat, yang daunnya tersilirkan angin. Ia pun menyaksikan air telaga yang jernih dimana sang rembulan berbayang. Kalau di kejauhan terlihat sinar api maka di atas langit bintang-bintang berkelak-kelik. "Aku mesti pergi sekarang," katanya kemudian dalam hatinya. "Tak dapat aku betrayal hingga pintu kota nanti keburu ditutup. Kalau pembunuhan itu tersiar, biarnya aku bersayap tidak bisa aku terbang.." Maka ia menenteng bungkusannya, ia bertindak kea rah barat. Selama berjalan, terus ia belum bisa merasa tenteram. Tentang kematiannya si pemegang kas dan pemilik took buku tua itu, ia tidak menyesal. Ia merasa mereka itu pantas mendapat bagian. Ia menyesal untuk orang yang ia totok selagi ia mau kabur itu. Orang itu tidak bersalah dosa. Maka ia harap dia itu cuma pingsan dan jiwanya tidak terancam bahaya maut. Tengah berlari-lari, Tiong Hoa berpapasan dengan empat orang. Rupanya mereka itu sedang sinting terpengaruh air kata-kata. Jalannya mereka terhuyung-huyung. Oleh karena membelakangi rembulan, muka mereka itu tak terlihat tegas. Dengan cepat ia lewat di samping mereka itu. "Saudara Tiong Hoa! Saudara Tiong Hoa!" satu diantara keempat orang itu memanggil-manggil. Lalu panggilan itu diulangi oleh tiga yang lain. Tiong Hoa heran. Ia sudah lewat setombak lebih tapi ia menghentikan tindakannya. Ia sekarang mengenali suara orang. Lekas ia menghampirkan. "Oh, saudara Toan!" katanya. "Gembira kamu menggadangi si Putri Malam! Tapi aku mempunyai urusan, aku mesti ke luar kota, maka itu besok saja aku menemani kamu!" Ia member hormat, lalu membalik tubuh, untuk melanjuti perjalanannya. Jilid 1.2. Hitam makan hitam "Ah, mana bisa" kata orang yang pertama memanggil itu, Dia terus lompat untuk untuk mencekal lengan orang Dia bermuka merah tandanya benar ia habis banyak minum. Dengan mata kedap-kedip. dia mengawasi si orang she Lie. Tiga yang lain lantas merubung. Tiong Hoa tidak puas melayani keempat orang itu ia kenal mereka sebagai anak-anak orang berpangkat, yang biasaberpelesiran saja, karena mereka pa da memelihara guru silat, mereka belajar juga sedikit. Biasanya mereka tak memandang mata kepadanya, dari itu, jadi ia pun tak sudi bergaul dengan mereka, ia tidakpuas orang memegat ia selagi iaperlu lekas- lekas mengangkat kaki. "Kau bergegas-gegas pergi ke luar kota, saudara Tiong Hoa, kau tentu mempunyai urusan baik" kata orang yang mencekal tangannya itu, Dialah Toan Kong, anak yang didapat dari gundik dari Toan Kwee yang berpangkat pouw-koen tongnia, komandan pasukan tentara berjalan kaki, "Kenapa kau tidak mengajak kami ramai-ramai?" Tiong Hoa bingung hingga ia berdiri diam saja. seorang lain merabah-rabah bungkusan uang, dan menepuk nepuk. "Hai, uang begini banyak." serunya, "Dari mana uang ini?" "Dasar sial," pikir Tiong Hoa, bingungnya bertambah Kalau besok mereka dengar kematiannya si tukang uang, pasti mereka ini menduga aku... Kalau aku dituduh menjadi pembunuh, bagaimana itu" "Saudara Tiong Hoa, tidak benar sikap kau ini." Toan Kong menegur, "Kita bersahabat kita mesti hidup bersama, senang dan susah mesti bersama juga sekarang kau mempunyai banyak uang, kau melupakan kita, Tempo kau tidak punya uang, kita toh ajak kau turut pelesir juga" Bukankah aku belumpernah tolak kau?" Tiong Hoa mendelu itulah gangguan untuknya, ia pun sebal untuk kelakuan mereka itu, ia nampak sabar tetapi sebenarnya ia berhati keras dan memiliki keangkuhan juga. "Toan Kong, jangan ngaco-belo." ia menegur, "Maaf, aku siorang she Lie tak dapat menemani kau." ia lanias berontak hingga sahabat itu terhuyung tiga tindak dan telapak tangannya terasa sakit. Toan Kong terkejut ia heran kenapa Tiong Hoa bertenaga demikian besar. ia lantas mendusin dari sintingnya, hingga ia jadi mendongkol. "Mari." dia mengajak tiga temannya, "Dia punya banyak uang, dia jadi banyak lagak. Mari kita hajar padanya, aku mau lihat, tulang lunaknya dapat berubah menjadi kaku atau tidak." Memang benar, Tiong Hoa biasa dijuluki si tulang lunak Tapi sekarang ia menjadi mendongkol dan gusar, Maka itu, justeru Toan Kong maju menghampirkan, ia lantas menyambut dengan tinjunya kedada orang. Putera tongnia itu mengerti sedikit silat, dia berkelit, tetapi dia kurang sebat, dia kena terserempet hingga dia kesakitan. Tentu sekali dia menjadi tambah gusar, Berbareng dia heran sekali sedang dia tahu orang biasanya tidak mempunyai guna. Ketiga kawannya heran juga, inilah yang pertama kali Tiong Hoa berkelahi, tak heran dia kurang Iincah. Dia belajar silat juga mirip orang belajar teorinya saja, sedang ilmu silat membutuhkan latihan praktek berikut pengalaman. Toan Kong menjadi gusar sekali. Dia memang biasadimanjakan Lantas dia menyerang pula, beruIang-ulang secara sengit. Dia menggunai ilmu silat "Tiang Keen" atau Kepalan panjang dari BoeTong Pay, Dia juga berkaok-kaok. Didesak begitu, Tiong Hoa jadi panas hatinya, maka bukannya ia mundur, ia justeru maju, jurus jurus dari ilmu silat sian Thian, Thay U Ciang. Toan Keng lantas terpukul mundur. Dia heran hingga dia menjublak. Justeru itu, lengannya kena disamber dan ditangkap. sekarang dia menjerit bahna kesakitannya merasa seperti dicengkeram gaetan baja, tak tahan dia, dia pingsan dan roboh. Ketika kawan itu kaget. "Pembunuhan Pembunuhan" mereka berteriak-teriak. Tiong Hoa kaget, ia ingat ancaman bahaya, Tanpa memperdulikan lagi Toan Keng, dia mengangkat langkah seribu, Baru dia lari belasan tombak. dia merasa ada bayangan yang melesat lewat disisinya ia tidak perhatikan itu, ia mengira ini disebabkan matanya terganggu dan matanya kabar, terus ia kabur keluar dari kota Yan-khia. Dengan begitu maka tertariklah ia mesti hidup dalam perantauan. ooQoo BAB2 KlRA jam tiga mendekati fajar, bintang-bintang mulai guram dan rembulanpun kelam di barat di antara gumpalangumpalan mega hitam, hingga jembatan Louw Kouw Hio tertampak samar-samar melintang di atas sungai Yang. Tiong Hoa Ketika itu air pasang. potongan-potongan es yang pecah beradu nyaring satu dengan lain, Angin yang dingin meniupi pohon-pohon yang-lioe di tepian. Justeru itu waktu, seorang anak muda, yang romannya pucat, lagi berdiri didepan loteng dengan mata mengawasi jauh. Dia membungkam. "Kelihatannya banyak orang tak dapat dipercaya," dia berpikir "Guruku sendiri, sikap dan kelakuannya aneh." Ia berpikir begini sebab ia ingat gurunya mengaku ilmu silatnya tak tinggi, namanya tak terkenal dalam dunia Kang ouw atau sungai Telaga, bahwa ilmu silatnya dipelajarkan untuk membikin kuat tubuh saja, bukan buat berkelahi tapi buktinya sekarang ia dapat membunuh orang, ia pula heran mudah saja ia mengalahkan Toan Keng si murid Boe Tong Pay. Bahkan mungkinputera tongnia itu terbinasa akibat tinjunya ini... Tiong Hoa tidak tahu, kepandaiannya Toan Keng baru kulit saja dari ilmu silat sedang gurunya bicara secara merendah, guru itu tidak mau memuji padanya dikuatir ia menjadi berkepala besar, ilmu silat tak ada batasnya, kalau orang berjumawa, dia bisa dapat susah. Guru itu ingin muridnya insaf perlahan-lahan. Anak muda ini menarik napas panjang untuk melegakan hatinya yang pepat, Lalu ia ngelamun perlahan "Tahun dan bulan lewat terus, air tetap mengalir, semua tanpa batas atau tempat berhentinya, semua berumur sama kekalnya seperti langit dan bumi, Akan tetapi manusia, hari-hari kehidupannya tak banyak.... Maka itu aku, jikalau aku tidak lekas menggunai ketika ku, untuk membangun sesuatu apabila aku menantikan saja musim semi datang dan musim dingin pergi, pasti aku bakal menyesal seumur hidupku." Tapi, kapan ia ingat ia tak berdaya, tanpa merara airmatanya mengalir keluar. Tiba-tiba dari arah belakangnya ia mendengar suara yang dalam ini. "Anak muda yang tak bersemangat. Nangis, Apakah tangismu dapat memecahkan soal?" Tiong Hoa terkejut, Gesit luar biasa, ia memutar tubuhnya. ia melihat satu orang berdiri di depannya. Menampak muka orang itu, ia terkejut puI a, itulah sebuah muka buruk sekali dan menakuti. sepasang mata yang merah seperti mencelos keluar, bersinar bengis. Muka buruk itu seperti ketutupan berewok ubanan, hingga terlihat saja gigi giginya yang mirip caIing, Tubuh orang kasar dan besar seperti tubuh itu ditutup baju panjang warna hitam yang setinggi dengkuI. Baju itu berkibaran diantara sampokan angin malam. orang aneh itu tertawa ketika dia melihat si anak muda seperti jeri hatinya. "Anak muda, jangan takut." dia kata, "Aku si orang tua manusia, bukannya memedi, Kau mempunyai kesulitan apa" Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mari tuturkanpadaku, Mungkin aku dapat menoIong pecahkan kesulitanmu itu, Lekas bicara, aku masih mempunyai urusan penting yang mesti diselesaikan." Tiong Hoa tak sudi menerima budi, ia menggeleng kepala. "Tak dapat kau pecahkan kesulitanku itu, loojinkee." ia kata masgul. "Aku telah membunuh orang" ia membahasa kau "loo-jinkee." artinya orang tua yang dihormati Nampak orang itu melengak tapi segera dia tertawa lebar, Nyaring tertawa itu. bagaikan melayang ke udara, lalu berkumandang. Ketika dia sudah berhenti tertawa, dia menatap tajam dengan sinar matanya yang bengis itu. "Aku si orang tua kira perkara hebat bagaimana" katanya acuh tak acuh, "Membunuh orang itu apakah yang aneh" sekarang ini aku sudah berumur enampuIuh lima tahun, kurban jiwa ditanganku tak terhitung jumlahnya. Toh tak pernah aku merasa tak tenteram hatiku" Dia tertawa pula, lama. Tiong Hoa bergidik. "Mungkin dia edan-" pikirnya, "Katanya membunuh orang itu tak aneh." Kembali orang tua itu tertawa, menyeramkan suaranya. "Aku mengerti sekarang" dia berkata pula untuk kesekian kaIinya. "Kau mengalirkan air mata disini sebab kau tidak mempunyai jalan kemana kau dapat pergi, tapi ingatlah, seorang laki-laki rumahnya ada di empat penjuru lautan,jikalau kau tidak mencela aku, mari kau turut aku, aku jamin seumur hidupmu kau akan hidup senang dan damai." Anak muda itu heran, ia mendengar lagu suara orang itu mirip lagu suara orang propinsi Hoolam, Tiba-tiba hatinya tergerak. Mendadak ia ingat lukisan Yoe san Goat Eng - Bayangan rembulan di gunung sunyi. Bukankah si tukang loak bilang lukisan itu dibeli seorang yang bicara dengan lidah Tiong- cioe dan bahwa pembeli itu mungkin seorang poocoe, pemilik dari sebuah perkampungan" Kenapa ia tidak mau turut orang tua inipergi ke Hoolam, guna sekalian mencari lukisan ilu" Dengan cepat ia mengambil keputusannya. "Cuma aku kuatir membikin kau berabe, loojinkee." ia kata. Orang tua itu tertawa berkakak. "Nah, mari kita berangkat" dia mengajak. Dan dia mendahului bertindak pergi. Tiong Hoa mengikuti. Baru balasan tombak, ia menjadi heran, Nampaknya si orang tua jalan perlahan, buktinya cepat, ia ketinggalan di belakang. ia bertabiat keras, taksudi ia nanti dikatakan si lunak oleh orang tua itu, Maka ia menyedot nafas, lantas ia jalan cepat. Ya, ia berlari lari. "Dia mesti mengerti silat dan pandai juga," pikir Tiong Hoa sambil mengikuti. Seumurnya belum pernah pemuda ini bercampur gaul dengan orang Kang ouw atau Lok Lim--Rimba Persilatan, belum dapat ia membedakan orang liehay atau tidak. tak ia mengagumi orang tua yang suka menjadi sahabatnya ini, ia belum mempunyai kepercayaan atas dirinya, dengan mengagumi orang, ia seperti merendahkan dirinya sendiri. Sekarang Tiong Hoa mulai mengerti gunanya ilmu ringan tubuh yang diajari gurunya. Ilmu itu diberi nama Hong Hoei ie soat artinya, BianglaIa terbang, Mega berputar. Dengan menggunai ilmu ringan tubuh itu, tubuhnya menjadi enteng, dia dapat lari cepat-makin lama makin cepat, Baru setelah peroleh kenyataan ini, ia dapat bersenyum. Si orang tua lari terus, sejak mula-mula belum pernah dia menoleh satu kali pun. Toh ia memperlihatkan sinar heran, inilah sebab, walaupun dia tidak pernah berpaling tetapi telinganya dapat mendengar suara orang berlari-Iari dan dia memperoleh kenyataan si anak muda tak ketinggalan jauh. Maka dia menduga ilmu ringan tubuh pemuda itu tak dapat dicela, Dia merasa, pemuda itu tinggal membutuhkan latihan lebih jauh, agar larinya tak memberi suara lagi, yalah apa yang kalangan persilatan heng in tioe soet-- mega berjalan, air mengalir. Lama- lama Tiong Hoa bermandikan peluh dan bemapas mengorok ia dapat kenyataan orang tua itu bukan mengambil jalan besar hanya menerabas tegalan dan hutan, lantaran ia mendapatkan pohon-pohon terlewatkan di sisinya. "Eh, anak muda, kau sudah letih atau belum?" Itulah pertanyaan tiba tiba dan untuk pertama kalinya dia menoleh, sedang tindakannya juga dikendorkan, akan akhirnya dia berhenti sendirinya. Lalu dengan sinar matanya yang aneh, dia menatap kawannya yang mandi keringat itu, terus dia tertawa geli, dengan ramah ia menanyai "Dari mana kaupelajarkan ilmu larimu ini" itulah tak dapat dicela" Tiong Hoa berhenti berlari, dengan tangan bajunya ia menyusut peluhnya, ia merasa napasnya berjalan cepat sekali, tapi ia lekas menjawab. "Loojin kee memuji aku, aku saja." katanya. "Aku pelajarkan ini tiga tahun dari seorang guru yang tidak mempunyai nama, Di banding dengan kepandaian loojinkee, aku terpaut jauh sekali." Orang tua itu menganggukperlahan, mukanya bersenyum. "Kau benar", dia bilang, "Aku baru menggunai tujuh bagian kepandaian, toh kau harus dipuji." Tiong Hoa mengucap terima kasih. Melihat si orang tua begitu ramah-tamah, ia menjadi suka bicara, sekarang tak lagi ia merasa jeri atau jemu untuk roman orang yang buruk itu,Bahkan dari pembicaraan tetamunya, ia mendapat tahu she dan namanya orang tua itu, yalah Song Kie dan gelarnya Koay-bin jin-him. Manusia Biruang Bermuka Aneh. Berbareng dengan itu, si orang tua juga ketahui she dan namanya serta riwayat hidupnya yang tak menyenangkan itu. Tiong Hoa tidak mentertawakan julukan yang aneh itu, yang sesuai dengan kenyataan, ia bahkan berlaku hormat, kelakuannya itu cocok dengan tabiat si orang tua. Biasanya, siapa mencela muka atau julukannya itu berarti celaka untuk dirinya, ssbab ia benci-mulut jail. Denganperkenalannya dalam tempo yang singkat ini. Tiong Hoa masih belum tahu bahwa Koay-bin Jin-Him Song Kie menjadi salah satu dari liong cioe, yang namanya sangat kesohor dalam Rimba Persilatan. Baik kaum Pek too, jalan putih, maupun golongan Hek-too, jalan Hitam, semuanya jeri kepadanya apabila mereka berurusan dengan si Manusia Biruang Bermuka Aneh yang sangat dihormati dan dimaIui. Kalau Tiong Hoa ketahui ini, mungkin tak sudi ia mengikuti dia. Orang tua itu mengeluarkan sebuah gandul air dari sakunya, ia gelogoki ke dalam mulutnya, kemudian ia membagi air minum ttu kepada si anak muda. Habis itu dia mulai bicara pula. Lebih dulu ia menatap orang, agaknya dia bersangsi, baru dia menanya: "KauIah seorang anak sekolah, mengapa kau membunuh orang" Apakah kurbanmu itu musuh besarmu dengan siapa kau tak sudi hidup bersama di kolong langit ini?" Tiong Hoa menggeleng kepalanya. "semuanya bukan." sahutnya. "itulah kesalahan bunuh." Song Kie menatap pula tajam. "Kau jujur," katanya, "sebenarnya membunuh orang bukan hal yang terlalu mengherankan, Aku juga telah membunuh banyak orang, diantaranya ada yang tak selayaknya mati. Hanya lah telah menjadi tabiatku, jikalau aku membunuh, tak dapat aku membuat bocor tentang ini. perlahan-Iahan kau bakal mengerti sendiri. Berkasihan terhadap musuh berarti menanam bencana untuk diri sendiri" Tiong Hoa mengangguk tanpa membilang suatu apa. ia menerima baik jalan pikiran orang itu sedang di dalam hatinya ia berkata: "Apakah artinya kata katamu ini" Mustahilkah semua orang harus dibunuh" Bukankah kalau kau berlaku telengas, orang memb atasnya kejam" permusuhan atau balas- membalas toh tak ada batas habisnya" Aku berbuat keliru, aku malu dan menyesal tidak sudahnya... di dalam hatiku yang bersih menjadi ada bayangan yang memb uatnya selalu tak tenang." Maka ia merasa anjuran Koay-bin Jin Him dapat membuat ia rusak tanpa ada obat dapat menyembuhkannya. Tapi segera ia berpikir pula. "Asal diriku putih- bersih, perduli apa aku bercampuran dengannya" Asal aku tidak turut ternoda. Aku mesti bisa membawa diriku" Song Kie tidak memperhatikan jalan pikiran orang, dia melihat langit, untuk mengetahui sang waktu. "Mungkin mereka akan sudah datang..." katanya seorang diri terus dia berpaling dan berkata: "Mari." ia menggeraki tubuhnya untuk menjejak tanah, maka melompatlah ia kearah kanan, bagaikan burung terbang melayang, sebentar saja ia telah melalui beberapa tombak. Menampak kepesatan orang Tiong Hoa kagum, ia lantas menyusul, ia tidak dapat membada arti katanya orang itu, ia cuma menduga itulah mesti ada maksudnya. ia berlari-lari mengikuti dengan tetap menggunai ilmu ringan tubuh Hoei Hong in soan. Mereka lari mendekati sebuah bukit kecil. Di atas itu Song Kie berdiri dibawah sebuah pohon pek yang matanya menatap jauh ke depan, Tiong Hoa menghentikan larinya sejarak lima tombak, lalu dengan tindakan perlahan, ia menghampirinya. ia menoleh ke sekitarnya, yang merupakan kuburan belukar, banyak pohon yang kate. siputeri malam sudah doyong kebarat, maka pepohonan itu memperlihatkan bayangan bagaikan hantu-hantu yang bergerak-gerak tak mau diam, Burung-burung malam mengasi dengar suaranya yang menyeramkan. Berdiri di sisi si Manusia Biruang Bermuka Aneh, Tiong Hoa menasang mata mengikuti mata orang itu. Di sana, di bawah bukit, ada sebuah jalan umum bertanah kuning yang berlegatIegot bagaikan seekor ular, sunyi senjap jalan umum itu. "Heran," pikirnya, ia melirik dan mendapatkan roman Song Kie berdiri terus berdiam, dia membiarkan si anak muda berdiri di sisinya itu. Tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang terbawa angin malam, terdengarnya jauh lalu dekat, suara itu tambah menyeramkan. Tanpa merasa, Tiong Hoa bergidik, Song Kie berpaling kearah dari mana suara itu datang. "Benar-benar mereka datang?" katanya pula seorang diri. "Siapa?" tanya Tiong Hoa tanpa merasa. Song Kie menoleh, mengawasi tajam. ia tidak menjawab. ia berpaling pula kearah tadi. suara tadi itu terdengar pula, makin dekat. segera tertampak lima orang bagaikan bayangan berlari-lari mendatangi. cepat luar biasa, sampailah mereka itu. semua lantas berdiri diam dan hormat di samping Song Kie. "Apakah mereka sudah berhasil?" tanya Koay-bin Jin Him, suaranya dalam. Salah seorang umur belum empat puluh, yang tubuhnya jangkung kurus, menyahuti. "Mereka sudah berhasil, Karena rapinya rencana kita pihak Pangeran tokeh menyangka itulah perbuatan mereka itu, Lagi setengah jam, mereka juga akan datang kemari, di antaranya ada seorang yang liehay menyulitkan. Dia lah sam ciou-ya Cee-tan-Siauw-go si Memedi bertangan tiga. Tongkee, apakah kita tetap dengan rencana kita?" Song Kie cuma mengasi dengar suara dingini "Hmm" Kelima orang itu sudah lantas mengawasi Tiong Hoa, sikapnya tawar. "Tongkee, siapakah dia ini?" tanya si-jangkung kurus. "Dia" oh Dialah penulisku yang baru, sekarang kamu boleh pergi" jawaban itu dingin. Lima orang itu menyahuti, "Ya." tampak semuanya lari turun gunung, Tiba di jalan umum, mereka berhenti, agaknya untuk menantikan sesuatu. Tak senang Tiong Hoa melihat roman dan sikapnya kelima orang itu, ia mendapat kesan orang berbau setan, sinar mata mereka itu sangat memandang tak mata kepadanya, ia menjadi tak tenteram hatinya. Song Kie menoleh perlahan-lahan kepada si anak muda, Dia kata, sabar: "Anak muda, sekarang ini kau masih kekurangan nyali, di dalam rombongan kami, tanpa nyali orang tak dapat bekerja. Lebih baik kau pergi turun untuk menambah pengetahuan dan pengalamanmu." Mendadak Tiong Hoa dipengaruhi sifat mau menang sendiri, tak mau kalah, tanpa mengatakan sesuatu, ia pergi turun. ia berjalan dengan cepat. Kelima orang itu melihat datangnya anak muda ini, tetap mereka bersikap dingin. Tiong Hoa berdiri dengan menolak pinggang, ia membawa sikap jumawa ia sengaja mengawasi ke depan, tak mau ia menghiraukan mereka itu. "Eh, Mau apa kau datang ke sini?" si jangkung kurus menegur. Dia heran maka dia memecah kesunyian Tiong Hoa tetap memandang kedepan, tak ia menoleh. "Aku?" sahutnya. "Aku dititahkan tongkee mengawasi kamu." Tong-kee itu panggilan pada ketua. Si jangkung kurus menyeringai, romannya jadi bengis. Dia mengangkat tangannya perlahan-lahan"Toako," mendadak berkata salah satu kawannya. "Apakah kau merasa pasti tongkee tidak bakal mempersalahkan kau?" "Hm," bersuara sijangkung kurus, dan ia menurunkan tangannya itu. ia terus menggeser tubuh ke pinggiran. Tiong Hoa telah melihat gerak-gerik orang dia lantas bersiap sedia, Kapan orang menyerang maka ia akan menyambut dengan pukulan "Siauw Thian chee Ci Cap-jie Kiauw Na." yalah ilmu silat "Bintang Kecil" yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus yang lincah. Dengan itu ia bisa menghajar orang hingga mati, tak tahu ia, dari mana munculnya keberaniannya secara tiba-tiba itu orang yang menasehati si jangkung kurus itu menghampirkan si anak muda. "Kau bernyali besar tuan, aku kagum." katanya tawar, "Meski kau menjadi penuIis baru dari tongkee kami, tak nanti tongkee menitahkan kau mengawasi kami. Kamilah Tiong tiauw Ngo Mo. Toako kami tidak percaya karangan kau, dia Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menduga itulah jawaban bohong, dari itu dia ingin menghukum kau. Aku lihat tuan tentu jemu dengan sikap tawar kami maka kau sengaja mengatakan demikiansebenarnya memang beginilah sikap tabiat kami, jadi bukan sengaja kami memandang tak mata kepadamu." "Maaf..." kata Tiong Hoa sambil tertawa dingin, ia tidak takut meskipun orang adalah Tiong-tiauw Ngo Mo, Lima Hantu dari Tiong-tiauw. Tengah si anak muda menyahuti itu, si jangkung kurus membentak, "Ngo-tee, apakah kau tak takut mulutmu pecah" Lihat, mereka sudah datang." orang yang dipanggil ngo tee itu -- adik yang nomor lima, menoleh. Tiong Hoa berpaling juga, maka ia melihat mendatanginya empat orang, Mendadak seperti buyar keb era niannya barusan, diam-diam ia menyingkir kearah pepohonan di dekatnya. Kelima orang itu, yaitu Tiong-tiauw Ngo Mo. agaknya tegang sikapnya, Mereka lantas bersiap sedia melakukan penyerangan. Empat orang itu, yang tadi merupakan titik-titik sebagai bayangan, lekas juga sudah datang dekat, sangat pesat larinya mereka. Sebentar saja, tibalah sudah mereka. Tiong Hoa memasang mata, ia tidak dapat melihat muka orang, yang membaliki belakang, ia cuma tahu mereka itu orang tua semua, kumisnya pun panjang. Mereka seperti tidak menghiraukan kelima hantu, mereka jalan terus. Tiongtiauw Ngo Mo tertawa dingin, lantas mereka menyerang dengan berbareng. Keempat orang tua itu agak kaget, mereka lompat mundur satu tombak. Satu diantaranya mengawasi kelima penyerang itu, lantas dia tertawa dingin dan kata: "Ah, aku menyangka siapa, kiranya kalian, dengan kepandaian kamu yang umum ini kamu berani lakukan perbuatan hitam makan hitam " Hm, tahukah kamu siapa kami ini?" "Kami tidak perduli kamu siapa" sahut si jangkung kurus, yang usianya pertengahan, suaranya dingin. "Untuk kamu cukup asal kamu meninggalkan barang yang kamu bawa itu. Dengan begitu baru kami suka mengasi kamu lewat." Orang tua itu menjadi gusar secara tiba-tiba, dia maju menyerang. Dengan tangan kanannya, dengan sebuah jeriji, dia menotok jalan darah, Gerakannya itu sangat cepat sekali. Si jangkung kurus tabah luar biasa, Dia seperti tak menghiraukan serangan itu, Dengan sama gesitnya dia meluncurkan tangan kirinya, guna menotokjalan darah thianhoe dari si orang tua, Berbareng dengan itu, dengan tangan kanannya, dia menghajar, membacok, lengan si orang tua. Agaknya si orang tua terkejut, cepat-cepat dia menarik pulang tangan kanannya itu, tapi si jangkung kurus merangsak, ia menotok kejalan darah ciang boen, ia tetap menggunai tangan kirinya. Tiong Hoa kagum, sangat cepat gerakannya dua orang itu. Orang tua itu ialah sam Cioe Ya cee Tam siauw Go seperti diterangkan si jangkung-kurus tadi kepada Song Kie. Buat Sungai Besar bagian selatan dan Utara, dia ternama besar untuk kegagahannya, pantas dia berani dan liehay. Dia lantas menyerang dengan dua dupakannya saling-susul. Toa Mo, si Hantu pertama, tertawa seram, tubuhnya lompat terapung, dia telah menggunai tipu berlompat Peng tee chee in," atau Awan hijau ditanah datar" Tapi dia tidak lompat setinggi mungkin- Baru kira dua kaki, tub uhnya sudah membungkuk, kedua tangannya meluncur. Dari atas dia meny amber kedua pundak lawan. Sam Cioe Ya cee menjejak tanah, ia lompat mundur tigakaki, setelah bebas itu, ia maju pula untuk menyerang lagi dengan beruntun-runtun. Toa Mo mendongkol karena kegesitannya itu, Dia menangkis dia menbeIa diri terus, dia membalas menyerang. Dia berlaku sama garangnya. Sampai itu waktu, keempat Hantu habis sabar, Mereka lantas maju menyerang tiga orang tua lainnya. Mereka ini menonton saja. lantaran diserang, mereka membuat perlawanan. Hebat pertempuran mereka itu. Tiong Hoa menonton dengan perasaan ketarik. Untuknya, pertempuran itu mendatangkan faedah besar, seumurnya belum pernah ia menyakslkan semacam pertarungan itu, memperhatikan sesuatu gerakan. Sang waktu berjalan, rembulan sudah kelam, tinggal bintang-bintang yang muram. Cuaca menjadi guram, Tapi pertempuran berlangsung terus. Tiong Hoa menonton dengan merasa heran, ia tidak melihat munculnya Song Kie. Kemana perginya tongkee itu" Kenapa dia berdiam saja" Sekonyong-konyong ia melihat sebuah tubuh besar melesat datang sembari tertawa berkakak, Mendengar itu, kelima Hantu lantas lompat mundur, sebaliknya keempat orang tua itu nampak terhuyung mau roboh. Segera Tiong Hoa mengenali orang itu, adalah Koay-bin jin Him yang ia buat pikiran. Tam siauw Go lantas tertawa dingin, "Aku tidak sangka sekali Song Loo-toa dapat bersikap seperti tikus" katanya mengejek. "Kalau Tam siauw Go mati, dia bakal menjadi setan yang akan menagih jiwamu." Song Kie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia tertawa lebar. "Tam siauw Go. ingatkah kau kejadian pada tahun dulu di benteng air di telaga Thay ouw ketika kaum jalan Hitam mengadakan rapat bersama?" dia tanya. "Bukankah ketika itu di muka umum kau telah menghina aku" Nah, sekarang kau tahu rasa, Bersama-sama kawankawanmu ini yang ada tiga bandit dari jalan Kam Liang kau sudah terkena pakuku, paku Thian Iong-tong. maka itu, didalam tempo tiga jam, racunnya paku bakal menyerang ulu hatimu, untuk sebentar terang tanah kawanan begundal pembesar negeri boleh datang mengurus mayat kamu" Tam siauw Go terkejut, apa pula setelah itu ia lamat melihat ketiga kawannya roboh saling susul, terus berkoseran di tanah, sedang ketiga kawan itu Kam Liang sam To tiga begal dari jalan Kam Liang bukan sembarang orang. Percuma ia kaget, iapun lantas menyusul roboh untuk tak ingat apa apa lagi. Sekonyong-konyong Song Kie berlompat kepada keempat orang tua itu, Dia bergerak sangat pesat seperti dia datang barusan. Kali ini untuk mencabut empat buah pakunya, paku Thian-Iong-teng atau serigala Langit dari dadanya keempat korban itu, kemudian dari tubuh yang seorang, ia menarik keluar sebuah kotak kecil warna hitam, yang mana ia buka tutupnya secara hati-hati. Di depan matanya lantas bersinar sinarnya permata, hingga alis dan kumisnya nampak kehijau-hijauan warnanya. "Hahaha..." dia tertawa lebar, "sekarang ini terpenuhilah separuh dari keinginanku banyak tahun" Suara tertawa itu mendengung di tanah pegunungan itu. Tengah Koay-binJin Him girang kepuasan itu, sinar permata itu tiba-tiba menjadi sirap. Dia merasakan sebuah tolakan keras dan kotaknya itu hilang dari tangannya, Dalam kagetnya ia melihat sebuah tubuh kecil langsing mencelat pergi dengan lincah sekali, tubuh mana meninggalkan tertawa nyaring tapi halus yang sedap didengar telinga, kemudian bagalkan asap lenyaplah dia di kejauhan. Bukan main terkejutnya Koay-binJin Him, Dia lompat meny amber. Tapi dia ketinggalan sedetik. Perampas itu lolos, saking murka, dia berseru keras, terus dia berteriak: "Kejar" Dia pun mendahului lari kearah mana perampas itu kabur. Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar. Mereka tak menghiraukan lagi Tiong Hoa. Lie Tiong Hoa menonton pertempuran dengan asyik sekali, ia sangat ketarik hati, ia kagum menyakslkan liehaynya Song Kie, ia pun heran melihat ada orang merampas kotak permata di tangannya Koay-bin Jim-Him. tengah ia melengak itu, ia lantas di-tinggal pergi mereka semua. Ia masih berdiam tempo ia merasa ada barang apa-apa menimpa kepalanya hingga ia merasa sedikit nyeri, ia meraba. hingga ia kena pegang sehelai daun. ia terkejut hingga ia tercengang pula, matanya terbuka, mulutnya ternganga. inilah seorang cerdas, ia dapat berpikir. Di-dalam musim semi seperti itu, tak nanti ada daun rontok tertiup angin juga tak ada daun yang jatuh langsung ke tanah, mestinya melayang- layang dulu, Maka itu, itu mestinya daun yang dipakai menimpuk dengan "Hoei-Hoa-tek Yap Cioe hoat," ialah ilmu "Menerbangkan bunga memetik cabang" Karena ingat ini, ia terus dongak. melihat keatas. Kembali ia menjadi heran. Di atas pohon, teraling dengan dedaunan ia melihat seorang nona nangkring di atas cabang, Yang terlihat tegas ialah mukanya yang cantik dengan matanya yang jeli, Nona itu mengawasi ia sambil tersenyum, dia mirip bung a yang baru mekar. Ia bingung, hatinya pun berdenyut Manusia kah" setankah" ia hendak membuka mulutnya, lalu batal, ia digoyangi tangan, kepala nona itu digoyangkan. Terpaksa ia diam menjublak. mendelong mengawasi. Bagaikan ular, tubuh nona itu merosot turun, tak terdengar suaranya sama sekali, tahu-tahu dia sudah berdiri didepansi anak muda. Dia mengenakan pakaian serba hitam yang singsat, hingga berpetalah tubuhnya yang Iangsing. Tiong Hoa terlahir di kotaraja, ia gemar gelandangan, ia pernah melihat banyak nona- nona, tetapi melihat nona ini, semua kecantikan dikotaraja itu sirna. Cantik sekali si nona, putih bersih dua baris giginya, Paling menggiurkan ialah sepasang sujennya, Adakah dia Tat Kie yang menjelma pula " Nona itu menampak orang melongo, dia tertawa perlahan, kedua matanya bermain. "Eh, apakah kau belum tahu siluman she Song itu bukan manusia baik-baik?" dia tanya perlahan, suaranya merdu, "Dengan mengikuti dia, kau bakal tidak memperoleh apa-apa. Baiklah selagi mereka tidak memperh atikan, kau tinggalkan dia pergi. Berangkatlah sekarang juga, ke kuil malaikat tanah di luar pintu barat kota Lay-soei, disana kau menantikan nonamu, nanti nonamu menunjuki kau sebuah jalan keselamatan." Senang sekali Tiong Hoa mendengar kata kata itu dan ia mendapat perasaan tak dapat ia menolak. Maka juga tanpa berpikir panjang lagi, ia berkata: "Baiklah, nona, aku dengar nasihatmu ini, sekarang juga pergi," ia lantas memberi hormat, terus ia memutar tubuhnya, bertindak pergi, ia barujalan kira delapan tindak, telinganya mendengar Song Kie tertawa nya ring, ia terkejut, ia menyangka Koay-bin Jin Him mempergokinya, ia berpaling dengan cepat, ia tidak melihat Song Kie, hanya ia menampak si nona baju hitam memberi tanda padanya untuk berjalan terus, ia menurut, bahkan ia lantas lari. Tiong Hoa heran sendirinya, ia tidak kenal nona itu. Kenapa ia kesudian mendengar kata- kata nya" ia mau menduga, dengan meninggalkan Song Kie, mesti bakal terjadi sesuatu, Mungkin ia bakal kehilangan jiwanya. Toh ia tidak menghiraukan itu, ia merasa si nona ada sangat berharga untuknya, entah karena ia tertarik hatinya, entah karena kesannya yang baik terhadapnya. Sekarang Tiong Hoa mesti berlari-lari di tempat yang gelap. Rembulan sudah kelam dan bintang-bintang guram sekali, berlari dengan menggunai Hoei Hong in soan lantaran ia kuatir Song Kie atau Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar dan menangkapnya. Ia lari cepat sekaii, inilah yang pertama kali ia menggunai ilmu ringan tubuhnya dengan sungguh-sungguh. Baru sekarang ia merasa berapa pes at ia dapat berlari, ia bermandikan keringat dan merasa letih juga. Ketika fajar menyingsing, Tiong Hoa telah sampai di luar kota timur dari kota kecamatan Lay-twi, ia lari mutar melintasinya, untuktiba dipintu barat. Benarlah di luar pintu barat itu ia melihat kuilnya malaikat tanah yang terletak diatas sebuah tanjakan sebelah kanan ia menghela napas lega, lantas ia lari menghampirkan kuil itu. Itulah sebuah kuil yang sudah tua dan rusak. Ketika ia bertindak masuk kedalamnya, ia mendapatkan banyak sarang labah-labah dan bau busuk membikinnya mau muntah. Ruangan dalam Kuil itu seperti juga sarang hantu. Walaupun ia tak disayangi orang tua nya, Tiong Hoa tetap anak keluarga berpangkat, akan tetapi sekarang ia hidup terlunta-lunta, hatinya toh bercekat, ia jugaheran. Kuil ini berdekatan dengan pintu kota, kenapa tidak ada orang yang urus?" ia kata dalam hatinya. "lnilah aneh..." Ia berhenti berpikir sebentar, lantas ia berpikir pula: "si nona menyuruh aku menantikan dia di sini. Kenapa dia justeru memilih kuil ini?" Tengah ia bingung itu, matanya bentrok dengan sebuah peti mati di ujung ruangan, tadi ia tidak melihatnya lantaran penerangan remang-remang dan ia belum memperhatikan sepenuh nya. Tanpa merasa, ia bergidik. Peti itu membuatnya mendapat perasaan tak enak sekali. Maka ia memutar tubuh nya, berniat pergi keluar. Tiba-tiba, peti mati itu mengasi dengar suara bergerejot, lantas ia melihat tutupnya terangkat perlahan-lahan. Bukan main kagetnya ia. sampai ia merasa kakinya lemas, sampai ia tak dapat berg era k Dengan mata mendelong ia mengawasi terus. Begitu lekas tutup peti itu sudah terangkat semua, di dalam itu terlihat seorang wanita tua menggera ki tubuh untuk berduduk. Dia berambut putih dan rambutnya itu terurai sampai dipundaknya, Melihat kulitnya dan kurusnya, dia mirip mayat hidup, romannya menakuti. Nyonya itu menyingkap rambutnya. "Apakah kau telah kembali, anak In?" begitu terdengar suaranya perlahan. Tiong Hoa berdiam. Jilid 2 : Siapa berbuat baik mendapat kebaikan Nyonya itu menanya pula. Tetap ia tidak memperoleh jawaban, maka ia mengulanginya. Tempo ia nasib tak dapatpenyahutan, ia menjadi gusar. "Siapa berada dalampendopo ini?" dia tanya, suara bengis, "jikalau kau tetap tidak mau menjawab, jangan kau sesalkan aku si orang tua?" Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiong Hoa bergidik pula. Tapi sekarang ia menetapi hati, "inilah aku si orang she Lie..." ia menyahut. Belum berhenti suara jawaban itu, mukanya si nyonya tua nampak berubah, lalu mendadak dia menyerang dengan tangannya. Tiong Hoa kaget, tahu-tahu ia merasa terserang hawa dingin sekali, hingga tubuhnya menggigil, habis mana ia merasai tubuhnya mulai kaku, darahnya seperti membeku dan kedua matanya tak dapat dibuka lagi, ia menjadi seperti lupa ingatan dan ingin tidur saja. Tapi ia melawan, ia mengeraskan hati nya, karena mana tidaklah ia sampai roboh. Tepat itu waktu, sebuah tubuh kecil langsing berlari masuk kedalam ruangan itu, segera terdengar suaranya yang menyatakan dia kaget sekali: "lbu Mengapa kau menggunai pula seranganmu Pek Koet Im Hong" Mana orang dapat bertah an?" Matanya Tiong Hoa rapat dan berat, ia tetap ingin tidur saja, akan tetapi pendengarannya masih terang, otaknya masih sadar, maka itu, ia mendengar dan mengenali suara si nona tadi. "Anak In," ia mendengar suara si nyonya lemah, "adakah orang ini sahabatmu" ibumu telah menanya dia sampai tiga kali, baru dia menjawab memperkenalkan diri sebagai orang she Lie. Karena keayalannya itu, ibumu menyerang dia sekarang tolonglah dia dulu, baru kita bicara lagi." "Dasar ibu yang sembrono," kata si nona menyesali "Kalau dia orangnya musuh, mustahil dia suka memberi ketika sampai ibu membuka mulut".." Habis mendengar penyesalan itu, Tiong Hoa lantas merasa ada tangan yaug lunak yang menempel dipunggungnya, ia menduga si- nona mulai menolongi padanya. Segera juga ia merasakan hawa hangat tersalurkan kedalam tubuhnya, Bagaikan es lumer, hawa dingin mulai terasa kurang, makin lama ia merasa makin ringan. Ia terus menutup matanya, selagi berdiam itu, ia berpikir, ia heran untuk pengalamannya ini. Sebegitu jauh ia sebal dengan penghidupannya yang malang, sampai ia mau beranggapan orang tak dapat dipercaya. Tapi sekarang ia menemui nona yang berhati baik ini, ia di tolongi orang yang tidak dikenal. "Penghidupan itu aneh..." pikirnya. Tanpa merasa ia tertawa. "Eh, kenapa kau tertawa?" tanya si nona perIahanTiong Hoa tidak lantas menyahuti. ia jengah, justeru itu ia dengar si nyonya tua menanya puterinya: "Anak In, heran. Aku menyerang dengan Pek Koet In Hong lima bagian luka orang itu ringan, kenapa kau menoIongi dia dengan tenaga Cit Yang Cin-lek masih jugabelum berhasil?" "Ah, ibu" si nona masih menyesali " Kenapa kau menyerang demikian hebat kepada orang yang tidak mengerti silat " Dia sebenarnya sudah sembuh tetapi aku mau menambah tenaganya dengan cit Yang Cin-Iek." Tiong Hoa mendengar semua pembicaraan itu. Tidak dapat ia berdiam terus, Maka ia membuka matanyaJusteru itu, tangan si nona lantas ditarik pulang dan nona itu tiba tiba berada didepannya, menatap ia dengan matanya yang jeli. Karena mereka berada dekat sekali, ia dapat mencium bau harum, ia menjadi likat sendirinya, pipi dan telinganya menjadi merah, ia pun takut untuk membalas mengawasi nona itu. ia terus memandang kearah peti mati. Si nona bersenyum melihat kelakuanpemuda itu, ia lantas bertindak kepeti mati itu. "lbu." ia memanggiI. Ketika itu ruangan masih guram, si nyonya, bercokol didalam peti mati, Nampak bagaikan hantu. "Ibu." berkata pula si nona, "mestika itu telah berhasil aku dapati. Maka ibu bakal melihat langit dan matahari pula sekarang mari kita lekas berlalu dari sini, supaya orang tidak menyangka kepadaku." "Apa, kau berhasil?" tanya si nona. Dia girang hingga suaranya bergetar. "Dasar orang baik dilindungi Thian." Mendengar pembicaraan itu, baru sekarang Tiong Hoa ketahui si nyonya buta matanya, pantas tadi dia lambat menggeraki tangannya menyerang ia Jadi nyonya itu menanti dulu jawaban, untuk mengetahui di bagian mana ia berdiri. Nyonya itu mengangkat seb atang tongkat dari sisi dengan pertolongan itu ia lantas bangun berdiri, gesit gerak-geriknya. " Entah mustika apa itu yang dikatakan si nona?" kata Tiong Hoa dalam hatinya, ia lantas mengerutkan aIis. Ia sekarang melihat kakinya nyonya ini bercacad. si nona memandang sipemuda, ia melihat air muka orang, ia tertawa. "Aku tahu kau heran atau bercuriga, ingin kau menanyakan sesuatu padaku" ia kata. "Benar, bukan" sekarang kami mau lekas berlalu dari sini, jangan kau tanya apa-apa. Di mana ada ketikanya, kau tunggulah sampai kita berada di siauw Ngo Tay nanti kau ketahui sendiri." Si nyonya sudah pergi ke belakang ruangan. "Mari kita berangkat." kata si nona, "jangan kau sangka karena kakinya bercacad ibu jadi tak leluasa bergerak. Asal ia menggunai tongkat, mungkin kau tak dapat menyusulnya." "Hm, Aku tak percaya." kata Tiong Hoa di dalam hatinya.."Sungguh gila kalau kakiku tak dapat mengejar orang yang tak ada kakinya." oleh karena si nona sudah bertindak pergi, pemuda ini lantas menyusuI. Di bagian belakang, kuil terlebih gelap daripada di bagian depan, satu kali Tiong Hoa terkejut, ia mendengar suara sesuatu yang terhajar hebat, lantas ia melihat sinar terang. Itulah si nyonya tua, yang menyerang jendela hingga daunnya menjeblak. habis mana dia berlompat keluar dari liang jendela itu. Si nona mengikuti terus. Ketika Tiong Hoa sudah melompat keluar, nyata ibu dan gadis itu sudah meninggalkan ia belasan tombak. ia melihat juga, sekali menekan tanah, nyonya itu dapat berlompat jauh lima atau enam tombak. ia menjadi heran dan kagum. jadi benarlah kata pemudi itu. oleh karena ia kuatir nanti dicela si nona, ia lantas menyusul. Mereka berlari-Iari di daerah pegunungan yang tinggi dan rendah, di mana pun tumbuh banyak pohon lebat, itu waktu matahari yang menerangi bukit kuning sinarnya. Sesudah meninggalkan jauh kuil malaikat tanah itu, Tiong Hoa mendapat kenyataan ia terpisah belasan tombak dari si nyonya dan nona, sekarang ia mengerti bahwa ia kalah. Ia menjadijengah sendirinya ia pula di hinggapi keheranan, kenapa nyonya tua itu tahu jalanan sedang matanya buta. Selagi ia memikir itu, pemuda ini ketinggalan lebih jauh pula. ooooo BAB 2 PERJALANAN dilanjuti terus, Di waktu matahari mulai turun, Tiong Hoa bertiga sudah sampai di kota Tembok Besar, yaitu kota Cie-keng-kwan, dijalanan penting Hoei-bo kauw, Di waktu matahari turun itu, Tembok Besar memperlihatkan keindahannya. Terlihat tembok kota panjang berliku-liku. sinar matahari pun berwama lima rupa. Sekeluarnya dari Hoei-bo kauw itu, orang berada di tanah perbatasan. Dari situ gunung siauw NgoTay sudah mulai tampak, itulah gunung yang menjadi salah satupusat agama Buddha dan dalam keindahan alam, dia tak usah kalah dengan NgoTay san yang besar. Di dalam Hoei-ho-kauw, dimana ada jalan besar yang pendek berbaris beberapa rumah warung, sebaliknya orang yang berlalu-lintas, waktu itu sedikit, inilah mungkin disebabkan angin keras, yang membuat debu danpasir berterbangan sampai orang sukar membuka matanya. Lie Tiong Hoa ikut si nyonya dan gadisnya memasuki sebuah losmen kecil yang merangkap menjadi rumah makan. Di situ sudah berkumpul banyak tetamu lainnya, yang sedang duduk dahar dan minum, Kapan mereka itu melihat tiga orang ini, ruang menjadi sunyi senyap. semua mata lantas diarahkan kepada mereka bertiga. sukar jalannya si nyonya, pula mereka bertiga bed a sangat nyata. Si nyonya tua dan kurus mirip tengkorak. -si nona sebaliknya cantik sekali, sedang si pemuda tampan mirip seorang pemuda hartawan. Maka selain mengawasi, tetamutetamu itu kasak-kusuk. bahkan ada yang berkata-kata tak sedap didengarnya. Si nona mengerutkan alis. Dia melihat dan mendengarnya sebal, Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, Maka dia memandangnya tawar. Tiong Hoa tak berpengalaman, ia heran-suasana di kota raja. Ketiganya lantas berduduk. si nyonya duduk tegak. romannya menyeramkan, pelayan sudah lantas membawakan arak berikut kuwe yang masih panas. Tidak lama maka suasana dalam ruang itu kembali menjadi biasa. "Sekarang ini di kota Yan-khia telah terbit beberapa perkara hebat." terdengar seorang berkata, "Semua perkara itu menyebabkan repotnya anjing-anjing kantor" "Coba tuturkan, toako" kata seorang Iain- "Pastilah itu perkara-perkara yang menarik," Hati Tiong Hoa bercekat, ia lantas menoleh kepada orang yang berbicara itu, yang merupakan serombongan dari tujuh atau tetamu dengan pakaian hijau dan masing-masing menggendoI senjata tajam. Seorang, yang mukanya bercacad bekas bacokan golok, yang romannya bengis, meneguk araknya, lalu dia berkata: "Kejadian mulai kemarin dulu malam kira jam dua, Toan Kong, puteranya Pouwkoen Tongpin Toan Kwee, ada bersama dua tiga kawannya, Mereka sedang pelesiran. Selagi lewat di dekat paseban To Jian Teng di Lam hee-wa. mereka bertemu dengan Lie Tiong Hoa puteranya Lie sie-Iong, yang romannya bingung, Toan Kong menjadi heran, dia menegur, tak tahu bagaimana, mereka menjadi berkelahi, Heran putera tie-tong hu, yang romannya lemah. dia telah menghajar pingsan Toan Kong murid BoeTong pay itu. setelah itu ketahuan Lie Tiong Hoa telah membunuh mati pemegang kasnya serta merampas uangnya. Kemud ian ketahuan juga, ia telah membinasakan tukang loak di Lioe lie-ciang serta seorang Iangganannya. Peristiwa itu lantas menggemparkan seluruh kota..." Mendengar itu, mukanya Tiong Hoa pucat sendirinya, si nona dapat melihat perubahan air muka itu, lantas ia menduga, pemuda ini tentulah Lie Tiong Hoa itu si putera sieTiraikasih Website http://kangzusi.com/ Iong. ia mengawasi seraya bersenyum. Tiong Hoa mencoba menetapkan hati, ia bersenyum juga, si nona bersenyum dengan hatinya menduga- duga, Kalau si pemuda orang Kang-ouw, peristiwa itu lumrah. Anehnya yalah dia ini pemuda turunan orang berpangkat, Kenapa dia membunuh begitu banyak orang" "Semua peristiwa itu membikin repot kawanan kaki anjing" orang itu melanjuti penuturannya. ia menyebut kaki anjing kepada hamba-hamba polisi. "Satu gelombang belum sirap. datang satu gelombang lain inilah hal tercurinya satu cangkir mestika milik Pang eran Tokeh: itulah cangkir Coei in Pwee yang terbuat dari kemala Khotea yang terukir mega biru ungu. Empat centeng telah terbinasa kerenanya, kemudian didapat keterangan, pencurian berikut pembunuhan itu perbuatannya Kam Liang sam-to yaitu ketiga penjahat dari Kam liang serta sam Cioe Ya-cee Tam siauw Go si Mamedi Bertangan-tiga yang dikenal juga sebagai Tian-tam It Kwie, setan-tunggal dari IoIam selatan-,." "Apakah faedah atau khasiatnya cangkir kemala Kho toa itu?" tanya seorang, "Bagaimana cangkir kemala itu dapat menggiurkan hatinya Kam- liang sam-to dan sam Ciu Ya cee Tam siauw Go?" "Tak tahu aku perihal khasiatnya cangkir kemala itu, Kemudian baru aku mendengarnya Dari pocu karena orang itu melanjuti, " Untuk cangkir kemala itu, po-coe sudah menunggang kuda kabur ke kota raja, cangkir kemala itu sebenarnya satu diantara ketiga mustika yang sekarang ini tengah diarah kaum Rimba Persilatan- terutama dua golongan Hitam dan putih sangat mengilarnya. Ketika hamba hamba istana yang lihai serta kawanan opas pergi menyusuI, didekat Kho pay-tiam mereka menemukan mayat-mayatnya Kam-liang sam-to serta Tam siauw Go yang dadanya bekas ditancapkan senjata rahasia. Mereka semua terkenal sebagai penjahat-penjahat yang lihai dan di-malui, sekarang mereka terbinasa tidak keruan itu, tidakkah itu menggemparkan" Orang percaya sipembunuh adalah orang muda yang baru muncuI dalam dunia Kangouw..." Mendengar itu, Tiong Hoa mengerti kebinasaannya Tam Siauw Go bertiga pastilah hasil sepak terjangnya Song Kie serta Tong tiauw Ngo Mo tapi pada itu si nona didepannya ini ada sangkut pautnya, terang mustika yang dimaksudkan si nona yalah cangkir kemala tersebut, ia lantas melirik nona itu atas mana si nona bersenyum hingga nampak sujennya yang manis ia lihat sendirinya, lekas- lekas ia melengos. "Toako?" kata seorang lain. "Kau cerita kurang jelas, sebenarnya apakah ketiga macam mustika itu" Apakah khasiatnya itu" Dan poocu, yang sudah lama tidak pernah keluar rumah, kenapa setelah mendengar halnya cangkir kemala itu, sudah lantas berangkat ke Yankhia" Kenapa kau tidak mau menjelaskan itu hanya hal lainnya" Apakah toako takut lain orang mendengarnya" Kau ingatlah, kampung Ie Kee Po terpisah dekat dari sini, siapakah yang berani main gila" Bukankah berani main gila itu berarti menarik kumis harimau?" Orang dengan muka bertapak golok itu tertawa. "Kau tak tahu" katanya nyaring " Ketiga mustika itu penting sekali, Pocu sendiri yang mengatakan, cangkir kemala itu bakal menjadi bibit pertentangan hebat kaum Rimba Persilatan, bahwa mungkin perkampungan Ie KeePo kita bakal turut terembet karenanya. tentang po-coe kita siapa kah yang dia buat takut" Babkan Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw-kiauw, yang dulunya berbareng terkenalnya dengan pocu, masih jeri terhadapnya .Ketika po-cu berangkat aku melihat wajahnya dingin sekali, itulah bukti pentingnya urusan." Mendengar disebutnya nama Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw, atau Cek Kiauw-kiauw si Biang Memedi, si nyonya tua mengasi dengar suara di hidung. Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiong Hoa mendengar itu, ia pun melihat wajah si nyonya, maka ini mesti ada hubungannya dengan Losat Kwie Bo. sikap dingin dari si nona menguatkan dugaannya itu. Tiong Hoa menjadi orang hijau dalam dunia Kang-ouw, tak tahu ia perihal orang-orang Rimba Persilatan- Dari gelarannya saja, ia mau menyangka Lo-sat Kwie Bo bukan orang Iurus. Melihat sikapny a si nona, ia mau percaya Lo-sat Kwie Bo adalah nyonya yang menjadi ibunya nona ini, ia menjadi bimbang ia turut Song Kie sebab ia mau cari gambar lukisan, sekarang ia turut nyonya dan nona ini ke siauw Ngo Tay. Apakah perlunya" Apa cuma sebab ia tergiur kepada nona itu" Kalau benar, apa ia tidak menyalahi pesan mendiang gurunya" "Baiklah, aku lekas pisahkan diri dari mereka?" pikirnya kemudian- " Kalau tidak, aku bisa menyesal seumur hidupku." Tengah ia berpikir begitu, ia melihat si nona lagi menatap padanya, ia merasa seperti si nona dapat menerka hatinya itu, sendirinya ia merasa tak enak hati, keringat dinginnya lantas keluar, sinar mata si nona seperti meminta untuk ia jangan pergi meninggalkannya . "Ah, putusanku terlalu getas." pikirnya kemudian- "Bedanya kejahatan dengan kebaikan nyata sekali, hanya sebelum jelas, sukar membuktikannya, tak dapat aku lancang menduga nyonya tua ini, Banyak orang palsu." Selagi pemuda ini berpikir begitu, banyak tetamu justeru mengawasi ia dan menduga- duga kenapa ia berkumpul dengan nyonya jelek dan tua itu serta si nona. Mereka umumnya menyangka itulah disebabkan ia tergiur terhadap nona itu... Nona itu tidak puas melihat sikap banyak tetamu itu, ia mendongkol. Ketika itu ada datang lagi dua tetemu, dua- duanya imam dengan kundainya yang tinggi, masing-masing menggendol pedang, Kelihatannya seperti ssudara, Mata mereka menunjukkan sinar angkuh. Melihat si nyonya, mereka lantas melengos, hanya sebentar kemudian, mereka mengawasi. Karena itu. para hadirin kembali memandang si nyonya. sebagai orang buta, nyonya itu tak tahu bahwa orang mengawasi padanya. Tiong Hoa heran- "Nona, kedua imam seperti kenal ibumu.." katanya perlahan. Nona itu, dengan kedipan matanya, mencegah orang melanjuti kata- katanya. Salah satu imam berkata pa da kawannya: "Romannya sudah berubah, entah dia entah bukan-.." "Takperduli dia atau bukan, kita turun tangan saja untuk mencoba." sahut yang kawan itu. "Kita coba ekornya sirase, mesti ketahuan-.." Nyonya tua itu buta tapi telinganya terang, Dari itu ia dapat mendengar pembicaraan di antara kedua imam itu, ia nampak menjadi keren- Imam yang berdiri dikiri mengangkat tangannya perlahanlahan diarahkan kepada nyonya tua itu. Lantas ada angin yang mendesak mukanya. Tiong Hoa merasakan angin ini, hawanya dingin, lunak tapi lekas berubah menjadi keras, ia menjadi heranSi nona mengerutkan alis, dengan tangannya dia menolak. Tiba-tiba si imam mundur tiga tindak. tubuhnya terhuyung. Belum lagi dia berdiri tetap. si nona sudah bertempat ke depannya, untuk menuding dan menegur. "Oh, hidung kerbau, kamu tidak pantas Kenapa kamu mencari onar tanpa sebab" Kalau bukan aku awas dan sebat. tentulah ibuku roboh di tangan kamu." Imam itu kaget, mukanya pucat, matanya bersinar tajam, ia mencoba si nyonya dengan tenaga lima bagian, di luar dugaan, si nona merintangi ia. itulah kejadian didepan banyak orang. Dia menjadi gusar. Dia kata. "Kami berdua adalah Mauw san siang Kiam, belum pernah kami lancang turun tangan. Kali ini pun aku cuma mencoba, guna mendapat kepastian ibumu ini benar Lo sat kwie Bo yang dulu hari termasyhur atau bukan." Mendengar itu, ruang menjadi sunyi. Si imam meneruskan berkata: "Dulu hari justeru kami pergi pesiar, Lo sat Kwie Bo sudah membasmi murid-murid Mauw san pay, dan kuil kami pun dibakar ludes. Karena itu kami berdua merantau mencarinya" "Hm" mengejek si nona. "Kata-katamu ini tepat untuk dipakai mengelabui orang-orang dogol. Roman Lo-sat Kwie Bo apa kamu tidak kenali, toh kamu berani menyebut orang musuh kamu, Aku tidak tahu Lo sat Kwie Bo tetapi aku tahu ialah satu syarat hidupnya, Yalah kalau orang tidak ganggu dia, dia tidak bakal mengganggu lain orang. Kamu tidak kenal dia, kenapa dia pergi ke gunung kamu?" Ditegur secara demikian, merah mukanya imam itu. Dia menyeringai dan kata: "Kau tahu syarat hidup Lo sat kwie-bo, kau pasti muridnya. sekarang aku hendak hajar yang muda, mustahil yang tua tak muncul?" Mauw san siang Kiam memang b ersaudara kembar dan nama mereka terkenal karenw ilmu pedang mereka. Merekalah Ceng Leng Toojin dan Ceng inToojin, Mengenai perkara mereka dengan Los at Kwie Bo, merekalah yang bersalah. Adik misan laki-laki Lo-sat Kwie Bo mem buka piauw kiok, ketika dia mengantar piauw (pio), di kaki gunung Thay Hang san dia dipegat dan di begal Hul-thian cie Ciao Pioe si Tikus Terbang. Adik misan itu gagah dan sebelah tangannya si berandal dikutungi ciao Pioe muridnya Ceng leng. Dia mengadu yang tidak-tidak pada gurunya, Ceng Leng dan Ceng in gusar, mereka lantas sateroni si piauwsie, yang mereka bunuh serumah tangganya. Ketika Lo-sat Kwie Bo ketahui itu, dia pun gusar, dia mendatangi gunung Mauw san. Kedua imam kebetulan tidak ada di gunung, tetapi Lo sat Kwie Bo gusar, dia melabrak. dia bunuh semua muridnya kedua imam itu dan membakar juga kuilnya. Dia belum puas, dia merantau mencari Mauw san siang Kiam. Apa lacur, dia bertemu musuh lain dan dia kalah hingga kedua matanya buta serta kedua kakinya bercacad dan mati kaku, sampai sebegitu jauh. Mauw san siang Kiam masih belum tahu kenapa murid- muridnya dibinasakan dan gunungnya diludaskan- Sudah lewat sepuluh tahun, Ceng Leng dan Ceng In masih belum dapat mencari Lo-sat Kwie Bo, itu berarti pembalasannya belum dapat diwujudkan, tetapi mereka mendendam terus dan memikirkannya setiap harinya. Di Hoei bo- kauw mereka dapat melihat si nyonya lantaran mata orang buta dan kaki mati, mereka bersangsi. Yang mereka lihat seperti lukisannya, nyonya itu memiliki tahi lalat merah dijidatnya betulan saja. Karena ini mereka bersangsi melihat si nyonya tua, maka mereka mau menguji. Dalam murkanya si nona kata pula bengis "Kamu dua potong sampah, kamu berani main gila di depan nonamu. Aku tak takut pedang mustika kamu." Kedua imam gusar sekali, apa pula Ceng In Too j in. Mauw san siang Kiam kesohor untuk ilmu pedangnya Pek Wan Kiam-hoat atau lutung putih. Nama mereka besar, seharusnya mereka malu melayani seorang nona, tapi katakata si nona tajam, mereka gusar tak terkendalikanTiraikasih Website http://kangzusi.com/ Begitulah Ceng in tertawa dingin dan kata: "Baik, baik, Nona tak memandang kami, kau mesti murid orang lihai, kami ingin menerima pengajaran dari kamu." Sebelum si nona menyambut, orang yang mukanya bertapak golok tadi -- orang dari perkampungan Ie Keo Po -campur bicara dan berkata nyaring. "Di luar ada pekarangan luas, baik kamu main-main di sana. Aku Hoe bin-long Lie Koei dari Ie Koe Po suka menjadi saksi." "Oh." terdengar suaranya Ceng Leng. "Lio Loosoe, kami belum pernah bertemu lagi Ie Pocu selama sepuluh tahun. semoga dia sehat dan berbahagia, harap kau tolong sampaikan hormat kami" Hoa-bin-long Lie Koei si serigala Belang tertawa lebar. "Nama tootiang kesohor, pocu sering membicarakannya," ia kata, "Baiklah, nanti aku menyampaikannya, Terima kasih. sekarang silahkan mulai." Si nona mendongkol dia mengawasi tajam si serigala Belang itu. Mauw san siang Kiam menjadi bersangsi. Mereka seperti telah menunggang harimau sehingga sukar untuk mereka turun dengan begitu saja, terpaksa mereka berdiam terus sembari mengawasi bengis si nona. Si nyonya tua tetap berdiam, mendengar semua pembicaraan itu, wajahnya tak berubah. Ia sebenarnya gusar tapi ia menyabari diri, ia ingin lekas pulang untuk dapat mengobati mata dan kakinya .Jadi tak sudi ia bertempur. Ketika itu cuaca sudah gelap dan pelayan telah mulai memasang lilin- Di antara sinar api semua orang tampak tegang, Akhirnya Lie Tiong Hoa berbangkit, ia memberi hormat kepada kedua imam. "Tootiang orang beribadat, buat apa too tiang melayani wanita?" ia berkata bersenyum. " Kalau hal ini sampai tersiar, apakah too tiang tidak bakal mendapat malu?" Inilah ketika bagus untuk Mauw san siang Kiam mengundurkan diri, Ceng Lin ingin menjawab anak muda itu ketika si nona memandang si pemuda dan berkata: " Kenapa kau campur tahu urusan ini" Nonamu justru ingin mengajar adat kepada kedua hidung kerbau ini, untuk aku melihatnya mereka masih berani mendatangkan onar atau tidak." Nona itu ketahui duduknya hal, ia ingin melampiaskan kemendongkolan ibunya sebab ibu itu sungkan turun tangan, ia suka mewakilinya. Tiong Hoa tidak dapat menerka hati si nona, maka itu, kena ditegur, mukanya menjadi merah, hingga ia berdiam saja. Melihat orang kebogehan, si nona tertawa seraya terus berkata, "Kau tunggu di sini melihat ibuku." Kemudian ia memandang ke dua imam, untuk berkata tawar: "Hayo ke luar Apakah kamu ingin nonamu menyeret kamu?" Mauw san siang Kiam mendongkol bukan main, sambil tertawa dingin, keduanya bertindak keluar, samar-samar terdengar suaranya Ceng In: "Budak ini tak tahu langit tinggi dan bumi tebal." Si nona kembali mengawasi si anak muda, ia tertawa dan memesan pula perlahan: "Aku minta kau menemani ibuku, seb entar aku nanti haturkan terima kasihku kepadamu" Ketika itu, mengikuti kedua imam, para hadirin sudah pa da pergi keluar, maka di dalam ruang itutinggalsi nona bersama ibunya serta sipemuda. Semangat Tiong Hoa seperti terbang melihat dua kali si nona tertawa, Wajah nona itu mirip bunga hoe-yong dan alisnya mirip daun yang lioe. Apapula ketika si nona melirik padanya selagi dia bertindak keluar. Tiong Hoa lagi kesengsam ketika ia mendengar si nyonya berkata sambil menghela napas padanya: "Anak muda, tahukan kau aku si orang si tua orang macam apa?" "Aku telah menduga delapan sampai sembilan bagian, hanya aku yang muda tidak berani menyebut nama loo cianpwee," Tiong Hoa menyahut cepat. Muka seperti tengkorak nyonya itu tertawa, ia kata: "Anakku In Nio ini belum pernah ada priya yang menarik hatinya, maka itu mungkin pa da kau dia melihat sesuatu, Dia gampang sekali tersinggung, kau baiklah berhati-hati terhadapnya." ia berdiam sebentar lantas ia kata pula: "Aku si orang tua dapat menjaga diriku, kau pergi keluar melihat si In.." Tiong Hoa girang mendengar kata- kata itu, ia memang ingin keluar, Tak enak hatinya berdiam berduaan saja dengan nyonya tua itu. "Baiklah, loocianpwee" ia kata, Lantas ia memberi hormat danpergi. Di luar, sang malam terang sekali. sang rembulan tengah permainya. Disisi pekarangan itu bulan tengah permainya. Disisi pekarangan telah berkumpul penonton tak kurang dari pada delapan puluh orang, Di tengah gelanggeng si nona lagi berdiri sembari mengawasi kedua imam sambil tertawa, ia baru saja menanya: "Aku minta tanya kedua tootiang ingin main- main secara apa " satu lawan satu atau kamu meluruk berdua" Nona mu selalu bersedia mengiringi kamu?" Nona itu merangkap kesesatan dan kelurusan, kata katanya itu keluar dari hati tulusnya. Tapi di telinga Mauw san siang Kiam, suara itu tak sedap terdengarnya, Biar bagaimana, merekalah ketua suatu partai dan selama merantau, belum pernah ada orang yang berani menghina atau mempermainkannya, sekarang si nona tak memandang mata padanya, Panas hati mereka, Lebih-lebih Ceng In yang cupat pandangannya. Dia tertawa dingin lantas dia lompat menerjang. Dia mau menangkap tangan si nona. Tiong Hoa dapat melihat itu, dia terkejut ia kuatir si nona terlukakan si imam. Tapi nona itu, melihat orang bergerak. dia tertawa. Dia kata: "mau nekad, kau hendak mengadu jiwa, baik, sebentar nonamu akan membikin kau memperoleh kepuasan." Sembari berkata begitu, dia berkelit dengan lincah, Bahkan tahu-tabu dia sudah berada di belakang orang. Dengan kedua tangannya ia lantas menotok dua jalan darah Ceng Cok dan Ie-boen dari imam itu. Ceng ln terkejut, ia mendengar suara angin- Tahulah ia bahwa nona itu tidak dapat dipandang, ia geser tubuh ke kanan, ia berbalik, dengan kedua tangannya ia menyambuti serangan, ia mendak sedikit, untuk menggunai tipu silat "Badak dongak memandang rembulan." Nona itu tertawa pula, kedua tangannya ditarik pulang, Berbareng dengan itu, tubuhnya berputar , ia berputar terus sampai tujuh atau delapan kali, mengitari si imam. Ceng In menjadi repot dan bingung, ia mesti turut berputaran, karena mana, ia merasa matanya kabur. si nona bergerak dengan sangat cepat, Kalau ia alpa, ia bisa celaka, ia Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kenali si nona lagi menggunai tipu silat "Thian mo loan koe," yaitu Hantu langit menari," Maka terpaksa ia berlompat ke luar. Justru orang menyingkir justru si nona menyerang, tangan kirinya menyambar jalan darah kiok-tie ditengan kanan imam itu. Ceng In kaget, Tak dapat ia menangkis, ia cuma bisa berkelit, Saking terpaksa, la berlompat pula terlebihjauh. Si nona tertawa pula, ia menyusul tangan kirinya meluncur. Ketika ia gagah tubuhnya berlompat tinggi melewati si imam. ketika ia menginjak tanah, cepat luar biasa ia berbalik terus tangan kanannya menyerang, mencari jalan darah leng-kio di dada kiri si imam. Kesebatan itu membikin bengong para penonton- Ceng Leng pun kaget, Kecuali lompatan itu, yang harus dikagumi, ia juga mengenal totokan tangan kiri dan kanan si nona. Totokan tangan kiri itu bernama memedi menggerogoti tulang. itulah ilmu silatnya kaum sesat. Dan totokan tangan kanan, "Tapak tangan Kim-kong" ilmu silat kaum lurus,jadi dia menggabung kepandaian kedua kaum persilatan itu Anehnya itu dimiliki seorang wanita demikian muda, karena ini, ia jadi mau membantui saudaranya, kalau tidak, ia kuatir saudaranya bercelaka. Tanpa ayal lagi, sembari berseru, ia berlompat maju, terus ia menyerang dengan pedangnya, yang ia hunus sambil berlompat, hingga ia menyerang dari atas ke bawah. Si nona mendapat tahu datangnya musuh yang kedua, ketika ia di serang, ia berkelit sambil mendak. dengan begitu, pedang lewat di sisinya, Lantas dengan cepat ia mendupak kearah pedang. Tepat dupakannya itu, pedang terkena hingga berbunyi nyaring. Ceng Leng terperanjat. Jejakan itu keras sekali, pedangnya terasa berat, lengannya kaku tak bertenaga. Si nona tak berhenti dengan jeb akannya itu, ia bangun berdiri, terus ia menyerang. Sekarang ia menggunai kedua tangannya, ia menyerang kedua tangan lawan, itulah tipu silat "Naga perak membiak sisiknya." Selagi si nona menyerang itu Ceng In, yang memperoleh ketika, telah menghunus pedangnya juga, terus ia menyerang, ia mau menolongi saudaranya yang terancam bahaya. Ceng Leng sendiri kaget hingga ia merasa pamornya bakal runtuh. syukur datang pertolongan saudaranya itu, si nona batal menyerang terus, Nona itu mau melindungi diri dari pedang Ceng In. Maka si imam lompat ke samping. Nona itu tertawa, dia kata. "Nonamu menyangka Mauw San siang Kiam liehay luar biasa, kiranya cuma sebegini" Dia bicara sambil berdiri tegak, di bawah sinar rembulan, dia nampak seperti seorang dewi. Kedua imam bingung bukan main. Mereka tak kenal sinona, dengan begitu mereka jadi tak ketahui asal usul orang, Di dalam hati mereka mengakui keliehayan orang yang masih muda sekali tetapi dapat menggabung ilmu silat kaum sesat rtan lurus, di lain pihak mereka sangat penasaran. Selagi ceng Leng memikirkan daya untuk mengalahkan lawannya, Ceng In melihat si anak muda berdiri terpisah enam tombak, matanya mengawasi si nona saja, Pemuda itu agak tersengsam. Menampak demikian, ia mendapat akal-muslihat yang licik. Begitulah mendadak ia lompat ke depan si nona untuk menikam. Ceng Leng melihat ketikanya, ia pun membarengi menyerang, Si nona lagi mengawasi, maka ia melihat gerakan kedua lawan itu. ia bersiap untuk melayani. Baru ia berkelit dari Ceng In, mendadak imam itu beriompat ke samping, tangan kirinya terus diluncurkan, guna meny amber si anak muda. Tatkala itu tibalah pedang Ceng Leng, Si nona meluncurkan dua jari tangannya. Untuk menyambuti pedang, untuk di sampok dengan dua jarinya itu, ia berhasil, pedang berbunyi nyaring dan terpental Ceng Leng kaget bukan main, ia merasa lengan dan telapakan tangannya sakit, Tak dapat ia mencekal terus pedangnya, Pedang itu mental ke atas genting. Nona itu menggunai tenaga "cit Yang," itulah ilmu silat ajarannya tocu atau pemilik, dari pulau Lee Coe To di Poethay di teluk Titlee, Untuk pertama kalinya, pemilik pulau itu menggunai tenaga Cit Yan itu atau Cin Yang Cie-Iek dalam pertempuran di gunung Jang Wie san di telaga Thay ouw. Dalam tiga jurus dia mengalahkan see-hek Mo Ceng, pendeta hantu dari wilayah Barat, sampai tulang iga orang remuk dan dengan muntah-muntah darah pendeta itu lari kabur, sedang dua belas imam dari Lu Liang san terbinasa dengan pedang mereka rusak, itulah peristiwa yang menggemparkan, yang membikin tocu itu menjadi kesohor. si nona belum mencapai kemahirannya, tetapi toh kedua imam ini sudah kewalahan. Habis membikin mental pedang Ceng Leng, si nona terkejut melihat Ceng In yang mundur dari hadapannya, mau mencelakai si anak muda. "saudara Lie, awas" ia berteriak. Tiong Hoa mendengar peringatan itu sesudah kasip. ia lagi mendelong tatkala si imam berhasil meny amber lengannya yang kanan. segera ia merasakan nyeri hebat, tapi ia tidak menjadi gugup, bahkan ia mendongkol sekali. sambil menahan sakit, ia membalas menyerang. Ia menggunai tinju kirinya sekuat tenaganya. Inilah tidak disangka Ceng ln, syukur dia tidak menjadi gugup, sambil melepaskan cekalannya, dia berkelit, lalu sambil berkelit itu, dia menyabet dengan pedangnya ke-tangan kiri si penyerang. Hanya baru lewat satu hari dan satu malam pengetahuan Tiong Hoa menjadi bertambah, ia menyingkirkan tangan kirinya dari sabetan pedang, tetapi ia tidak berkelit mundur. Dengan tangan kanannya yang sudah bebas, ia membarengi menyerang, menghajar lengan kanan si imam. Si nona melengak melihat kepandaian si anak muda, itulah bukan caranya si hijau dalam dunia kang-ouw, ia menjadi kagum, hingga selain hatinya lega, iapun bersenyum memperlihatkan sujennya. Ceng Leng bingung, juga Ceng In. Di luar dugaannya, si nona gagah, si pemuda gagah juga, Karena itu, mereka memikir untuk mundur dengan teratur. Tak lama keduanya memakai tempo. Tiba-tiba mereka lompat mundur, selagi si pemuda dan pemudi heran, mereka maju pula, terus mereka merangsak, menyerang saling susul itulah ilmu pedang mereka, "Mauw san Toan Hoen Kiam hoat" atau "Memutus Arwah." Luar biasa si anak muda, Mendadak malam ini ia memperoleh semangat. ia melayani dengan baik, tabah dan gesit, Dan begitu terbuka ketikanya, ia desak Ceng In. Lagi-lagi si imam heran dan kaget, mukanya menjadi pucat, Bukankah ia seorang jago" dan memegang pedang juga" Lantaran di-desak, ia repot membela diri sedetik ia bingung, dadanya lantas tertindih si pemuda hingga ia menjerit, terpaksa selagi terhuyung, ia memutar tubuh untuk lari ke arah timur. Ceng Leng tahu diri, ia pun lari meninggalkan si nona. Tiong Hoa tidak mengejar musuhnya, ia berdiri tegak, gerakannya gagah. si nona melihatnya, dia menjadi kagum, hatinya girang. Benar-benar luar biasa, toh waktu diserang ibunya, pemuda itu mirip seorang tidakpunya guna, sebab ia tak dapat menangkis, tak bisa berkelit. Juga Tiong Hoa sendiri heran atas dirinya, tiga tahun ia belajar silat, ternyata itu tak sia-sia belaka, jadi tak kecewa gurunya memberi pelajaran kepadanya. Rupanya dulu ia kurang bersemangat karena perlakuan orang tuanya yang menekan bathinnya dan setelah merdeka, ia bebas benar benar, sekarang iapun memperoleh kawan cantik manis, yang erat sekali pergaulannya dengannya . Satu hal tak diketahui si muda mudi. Hati Mauw san siang Kiam telah menjadi rada ciut ketika mereka menduga si nyonya adalah, Lo-sat Kwie Bo, pukulan itu berakibat buruk. hingga melayani muda mudi itu, hati mereka hilang ketenangannya. inilah yang mempercepat kekalahannya. Lantas si nona menghampirkan Tiong Hoa. Dia bersenyum. "Aku salah mata?" katanya, "Aku tidak nyana kau bisa mengalahkan Ceng In si imam jago dari Mauw san." Mukanya pemuda itu menjadi merah, ia likat. "Kau memuji saja, nona." katanya jengah, "Kepandaianku cetek tidak berarti, tak dapat aku dibandingkan dengan kau. Lihat saja caranya kau menyentil pedang orang barusan-" Nona itu senang sekali dengan itu pujian- ia kata dalam hatinya, pemuda ini bisa bicara, dia pun tampan, maka entahlah ibu menyukai atau tidak..." Ia lantas ingat bahwa sebegitujauh belum pernah ibunya memberi hati kepada kaum pria, bahkan semenjak buta, ibu itu makin keras sikapnya, asal dia mendengar suara pria, dia mau lantas menyerang. Jangan bicara begini manis." katanya, bersenyum, "siapa tahu kau tidak bicara setulusnya hati" Mari, mari kita melihat ibu." Dan ia bertindak lebih dulu masuk kedalam. Kata-kata "Kita" itu membikin Tiong Hoa berpikir seperti terkena pengaruh, ia lekas menyusul. orang-orang le Kee Po, dipimpin Lie Keei, telah buyar entah kemana, Para tetamu lainnya pada tak berani mengikut ke dalam. Mereka pun bicara dengan kasak kusuk. Maka itu, habis pertempuran sang malam menjadi sunyi. Dari dalam rumah makan merangkap penginapan itu, dimana hanya terlihat sinar lilin, mendadak terdengar teriakan kaget: "lbu..." ooooo hh" KETIKA Tiong Hoa tiba di dalam, ia kaget, ia dengar jeritan si nona, lantas ia melihat tubuh nona itu melompat ke luar jendela, hingga api lilin bergoyang-goyang. si nyonya tua tak nampak. Di atas meja nampak dua tapak tangan yang melesak dalam. Di lantai menggeletak sepotong tongkat. Di dekat meja, dua buah kursi ringsak. Dalam sekejap itu, si anak muda lantas menduga mestinya si nyonya tua kena diculik orang, Mestinya culik itu gagah, sebab mereka telah bertempur lebih dulu, Atau si nyonya lari mengejar musuhnya... Tiong Hoa berkuatir dan menyesal, la ingat pesan si nona tadi untuk ia menunggui ibu orang itu, Toh ia pergi keluar walaupun ia dititahkan si nyonya, seharusnya ia tolak titah itu, atau ia menjagai dari luar, ia menjadi tidak enak hati. Kalau ia ketemu si nona, apa ia mesti bilang" Maka ia menjadi bingung, ia berdiri menjubIak. Tapi tak lama, ia sudah mengambil keputusannya, ia melompati jendela pergi keluar, ia mengguna i ilmu lompat melesat yang gesit, yaitu "Hoa i yap touw lim." atau "Daun terbang ke dalam rimba." Tatkala ia sampai di luar, suasana sunyi, Bintang banyak, rembulan masih sedang terangnya. setelah melihat kelilingan dan tak melihat siapa juga, ia lantas lari keluar Bao Lie Tiang shia. Tembok Besar, untuk menuju ke gunung siauw Ngo Tay. Gunung itu panjangnya mencapai beberapa ratus lie, banyak pohonnya, banyak batunya, seperti umumnya gunung sukar juga untuk dimendaki. Tapi Tiong Hoa, setibanya, lantas lari naik, ia mencari si nona dan ibunya inilah tugas sulit dan berat untuknya. sukar mencari orang di tempat sepi dan belukar itu Gagal Tiong Hoa malam itu, tak dapat ia mencari wanita tua dan muda itu, ia melanjuti di waktu pagi dan siangnya, terus tengah hari, lohor dan sore lagi, ia tetap gagal, ia bingung dan bertambah kuatir, ia berfikir keras. semua itu tidak menolong, ia mencari terus tanpa hasil, sampai berharihari. Tak pernah Tiong Hoa turun dari siauw Ngo Tay, ia menjelajah gunung itu. Untuk menangsal perut, ia makan saja buah-buahan, Untuk menghilangi dahaga, ia mencari sumber air, ia tidak dapat menyalin pakaian hingga baju dan celananya kumal dan kotor, sampai rambutnya tak terurus, ia tak lagi si pemuda tampan saking dekilnya itu. Sampai di hari ke lima, Tiong Hoa tetap gagal. Di gunung itu, seorang tukang kayu pun tidak ada. sebaliknya, hampir ia di-pagut ular. syukur tubuhnya ringan dan dapat ia berkelit dari ancaman bahaya itu. Bahkan pengalaman itu merupakan latihan bagus untuk kepandaiannya itu. Setelah kewalahan, ia pergi keluar dari gunung, ia berada di mulut lain dari gunung itu, ketika ia meraba mukanya, ia kata: "Ah, aku mesti mandi." Maka itu ia berjalan mencari selokan, yang berada tujuh atau delapan tombak dari dirinya, ia mendengar suara air berkericik, ia jongkok di tepian, ia menyaup air dengan kedua tangan nya, untuk mencuci mukanya. Mendadak... "Jangan! Jangan. Air itu tak dapat dipakai..." Tiong Hoa terkejut, hingga air pada molos dari sela-sela jerijinya, ia lantas menoleh ke arah dari mana suara datang, suara itu bergemetar, datangnya dari rumput di sampingnya. Sesudah lima hari seperti terpisah dari dunia, Tiong Hoa heran berbareag mendapat harapan, ia lantas bertindak menghampirkan, Di dalam rumpun rumput itu ia melihat seorang tua dengan baju kuning rebah tak berdaya, romannya sangat kucal, mukanya bengis, tak berkumis, kepalanya lanang. Matanya pun guram ketika dia melihat orang yang meng hampirkan padanya . "Eh, bocah, aku telah menolong jiwamu" katanya sembari tertawa dingin- "Maka itu kau harus melakukan sesuatu untuk aku si orang tua." Tiong Hoa heran. "Apa" ia tanya, "Kau telah menolongi jiwa ku" oh, loo-j inkee, janganlah kau berguyon- Untuk berbuat sesuatu untukmu, itulah pantas, nanti aku berikan bantuan, Hanya aku ingin lihat dulu, apakah itu yang aku kerjakan-.." Orang tua itu membuka matanya lebar-lebar. "Kau tidak percaya aku?" bilangnya, "segera kau akan ketahui sebenarnya itu bukan apa apa. sekarang kau tolong dulu mengeluarkan satu peles kecil dari pinggangku, kau ambil sebutir obatnya, kau masuki itu ke dalam mulutku si orang tua." sekarang Tiong Hoa bisa melihat tangan dan kaki orang itu tak dapat digeraki. "oh," katanya, "Aku kira kerjaan apa, tak tahunya pekerjaan sangat mudah." Ia membungkuk. merabah pinggang orang tua itu, ia mendapatkan peles kecil yang di sebutkan itu, Dengan Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perlahan ia meloloskannya, terus ia buka sumbatnya, Lantas hidungnya mencium bau harum, hingga dadanya menjadi lapang. Ketika ia menuang isinya, keluar enam butir obat pulung, warnanya merah dadu, kuning gading dan putih susu. ia jumput sebutir yang merah dadu itu, yang lainnya ia masuki pula dan menutupnya dengan rapat, selama itu si orang tua menatap tajam wajah orang. Tiong Hoa menyirapi obat itu si orang tua mengganyangnya sambil merapatkan matanya. Tak lama kemudian, muka pucat orang tua itu mulai bersemu dadu. Si anak muda heran, itulah perubahan untuk orang yang mengerti ilmu tenaga dalam. Maka ia mau menduga, orang tua itu seorang jago Rimba Persilatan. Hanya kenapa kaki tangannya mati-mati. Apakah dia habis dibokong musuh" Kalau benar, musuh itu lihai sekali, Kalau benar begitu, kenapa dia tidak sekalian dibunuh mati" Tengah Tiong Hoa berpikir begitu, tubuh si oraog tua berkutik, Dia mulai menggeraki tangan dan kakinya perlahanlahan. Agaknya dia lagi mencoba-coba, tidak lama, sekonyong-konyong dia bangun berdiri, terus dia tertawa berkakak. Nyaring tertawanya itu. Dan lama juga. Habis itu, dia menatap anak muda di depannya, "Anak muda, kau datang ke gunung ini dengan membawa banyak uang, buat apakah itu?" dia tanya, Dia lantas melihat bungkusan uang orang. Tiong Hoa membayar pulang peles obat. "Sudah lima hari aku yang muda berada di atas gunung ini mencari orang" ia menyahut tertawa, "Aku tidak berhasil mencari, dari itu terpaksa aku turun gunung." "Oh begitu" kata orang tua itu tertawa pula "Aku kira gunung siauw Ngo Tay ini ada orang hutannya." ia menatap kembali tajam. ia berkata pula, "Aku si orang tua, aku biasanya tak suka menerima budi orang. Ketika tadi kau berdiri di mulut gunung itu, sudah aku melihatnya, hanya aku tidak mau memanggil kau, baru setelah kau mengambil air, aku menegurmu, Dengan begitu aku menolongi jiwa mu. Dengan demikian juga, kita menjadi tidak saling berhutang budi, selokan itu telah aku campuri racun, siapa kena minum atau pakai airnya, dia mesti binasa, taksalah lagi, jikalau kau tidak percaya. pergi kau ikuti selokan itu, sebentar saja kau akan dapat buktinya bahwa aku tidak rnendusta." Tiong Hoa kaget. Toh ia bersangsi, Maka ia bertindak ke hilir, Baru ia melalui lima atau enam tombak. la terkejut bukan main- Di tepian itu terlihat menggeletak tiga mayat manusia, mukanya matang biru tanda terkena racun- Darah pun keluar dari mata. hidung mulut dan telinganya, dari liang keringatnya. Karena kedua mata mereka masing-masing mendelik, itulah bukti kebinasaan yang hebat. Dengan hati berdebaran, ia kembali kepada si orang tua, Tanpa menanti orang membuka mulut, si orang tua menyambut dengan tertawanya. "Apa kataku?" dia tanya, "tiga orang itu musuh besarku selama hidupku" setiap tiga tahun sekali. kita membuat pertemuan, kita bertempur mati-matian, Mereka bertiga selalu berkelahi bersama dan berbareng. Sebegitu jauh belum pernah kita kalah atau menang. Baru kali ini aku memikir akal..." Dia mengawasi pula, agaknya dia puas sekali. Dia melanjuti: "kita mulai bertempur, aku bicara dengan mereka itu. Aku menyarankan untuk jangan mengadu tangan dan kaki hanya untuk mengukur saja tenaga dalam masing-masing, Mereka itu bangsa kepala besar dan jumawa, mereka tidak sudi mengalah, maka itu mereka menerima baik saranku itu. Dengan begitu kesalah mereka tertipu aku..." "Siapa mereka itu" Mestinya mereka juga jago Rimba Persilatan..." Orang tua itu menentang matanya, "Apa"Jago Rimba Persilatan?" katanya mengulangi. "Mereka justeru bangsa buruk dan terkutuk sudah lama aku memikir menyingkirkan jiwa mereka, saban-saban aku bersangsi, tapi kali ini Thian membantu aku, dan dengan demikian untuk kali ini hatiku dibikin mantap. Aku mengusulkan kita sama sama minum air, lalu kita semprotkan ke-pohon yang menjadi sasaran atau batu ujian kemahiran tenaga- dalam kita. Siapa yang dapat merontokkan semua daun, dialah yang menang, Siapa yang kalah, dia bersedia untuk dihukum cara apa saja oleh pihak yang menang. Kita berkelahi dengan satu lawan tiga, tentu sekali, harapanku ialah harapan kalah, Mereka menerima usul itu sambil bersenyum. terang mereka sudah merasa bakal menang." Mendengar begitu, Tiong Hoa menoleh dan melihat empat pohon bong berdiri berendeng, daun-daunnya sudah rontok separuhnya, itulah pertaruhan bukan main- Dalam musim seperti ini, daun pohon sedang kuatnya melekat pada tangkainya. "Mereka tidak tahu bahwa aku menggunai tipu muslihat." si orang tua melanjuti penuturannya. "Selagi aku mengambil air, diam-diam aku melepaskan sepotong racun- siapa terkena itu tak dapat sembuh kecuali dia makan obat pemunah ku, Itulah ini obat merah, Habis minum air sebanyaknya, kita mulai mengadu kepandaian, Siapa pun diantara kita tak ada yang sanggup merontokkan semua daunnya pohon itu, Selama itu, racun sudah, bekerja didalam perut mereka. Mereka liehay sekali, lantas mereka merasa, terus mereka menduga duduknya hal. Lantas mereka menutup jalan darah mereka, bersama-sama mereka memaksa aku menyerahkan obat pemunah. Coba kau pikir, mana dapat aku meluluskan permintaan mereka itu" Maka mereka menyerang aku, Aku membela diri. Ketika itu racun di perutku juga bekerja, Mereka tidak berhasil mendapatkan obat dari aku, mereka mati keracunan, Habis itu akupun roboh. Kau telah lihat bagaimana kau menemukan aku..." Lie Tiong Hoa menggeleng kepala. "Masih ada yang aku tidak mengerti," katanya, "Kamu sama sama minum racun. kenapa mereka mati tetapi loojin-kee tidak" pula air selokan itu mengalir pergi, seharusnya racunnya terbawa hanyut, Mustahil racun itu tetap mengambang?" Orang tua berbaju kuning itu tertawa lebar. "Bocah, kenapa otakmu tidak cerdas?" dia kata, "siapa menggunai racun mustahil tak tahu sifat racunnya sendiri" Begitu aku merasa racun mulai bekerja, aku mengerahkan tenaga- dalam membuat racun mengalir hanya ke tangan dan kakiku. Tidak demikian, pasti aku pun sudah melayang jiwaku. sebelum tangan dan kakiku mati. mereka terhajar tanganku hingga pecahlah pembelaan diri mereka, hingga racun meluluhkan, menyerang semua anggauta dalam tubuh mereka." Habis berkata begitu, mendadak orang tua itu menyamber lengannya Tiong Hoa. Si anak muda kaget tetapi tak sempat dia berkelit atau berlompat, dia terpegang dan kena ditarik si orang tua sampai belasan tombak jauhnya, baru dilepaskan. orang tua itu pergi ke selokan, untuk memasuki tangannya ke dalam air, merogo keluar sepotong benda sebesar telur angsa warna hitam kehijau-hijauan bercahaya, Dia ulapkan itu. "Kau tentu mengerti sekarang" katanya, tertawa, " inilah bisa ular ribuan tahun yang telah membeku menjadi seperti beling, Kalau ini direndam di dalam air, air racunnya setetes saja dapat merusak usus, terus orang mengeluarkan darah dan mati." Tiong Hoa bergidik, "Benarlah kata guruku," kata ia dalam hati, "di dalam kalangan Rimba persilatan tidak ada yang tidak aneh, maka itu perlu orang waspada." Menampak si anak muda berdiam saja, orang tua itu tertawa pula. "Anak muda, apakah kau mengerti ilmu silat?" dia tanya. "Pelajaranku tak berarti, tak berani aku menyebutnya ilmu silat," sahutnya, ia bersenyum likat. "Tak perduli kau yang benar atau tidak. kata-katamu tepat," kata si orang tua. "Memang ilmu silat dalam bagaikan lautan, Aku tersohor dalam dunia Rimba persilatan, toh pengartianku belum ada satu persenpun, Kau dapat merendah, sifatmu terbaik, Aku si orang tua berhutang budi padamu. nanti aku menyempurnakan kau." Tiong Hoa tertawa. "Tadi toh loojinkee mengatakan kita tidak saling berhutang." katanya. "Kenapa sekarang loojinkee bilang ada berhutang kepadaku?" Orang tua itu mengawasi, sinar matanya tajam. "Kau ngaco, kau tidak tahu." katanya, "obatku tadi, apabila yang putih, ialah salah sebuah mustika Rimba Persilatan, Namanya itu PouwThian Wan, pel penambal langit. siapa makan itu, tenaganya bertambah seperti latihan sepuluh tahun. Dia akan seperti tertukar tulang-tulangnya, Dalam seratus orang Rimba Persilatan, tak satu yang memilikinya. Dua obat yang lain juga besar faedahnya. Tadi obatku berada dalam tanganmu, kalau kau memikir merampasnya dan kau tinggal aku lari, apa aku bisa bikin" Nyata hatimu lurus, itu yang membikin aku bilang aku berhutang budi padamu." Tiong Hoa menggeleng kepala, dia tertawa. "jikalau tadi aku mengetahui itulah obat mujarab, mungkin aku membawanya lari" ia kata. Orang tua itu tertawa berkakak. untuk ke sekian kalinya ia menatap pula, Dengan mengawasi mata orang, ia seperti mau menembusi hati. Terus ia mengasi lihat roman sungguhsungguh. "Kaulah orang dengan bakat silat yang baik sekali." ia kata, "sayang aku si orang tua, tidak mempunyai kesabaran untuk menerima murid, Pada empat puluh tahun dulu pernah aku mengambil seorang murid, baru satu tahun setengah, aku meninggalkannya, semenjak itu, aku dan muridku itu belum pernah bertemu lagi, sekarang aku menjadi terlebih tak sabaran pula, jikalau tidak. pasti kau bakal memperoleh banyak kebaikan dari aku" la berhenti bicara, romannya tetap sungguh-sungguh. Tiong Hoa mengawasi ia merasa Jenaka, orang seperti bicara sendiri, ia kata dalam hatinya: "siapa kesudian menjadi muridmu" Akupun tidak sabaran...." Lantas ia tertawa dan kata, "Loo-jinkee, jikalau kau tidak membutuhkan apa-apa lagi, aku mau turun gunung." Orang tua itu lagi mengawasi ketika ia mendengar perkataan si anak muda, ia memikirkan orang berbakat dan bersifat baik lagi jujur. ia tidak sabaran, anak muda itu tidak sabaran juga, Tapi keragu-raguannya lantas lenyap. ia buka sumpel pelesnya, ia mengeluarkan sebutir obat yang putih. "Kau makan ini." katanya, Kemudian ia merogo keluar dari sakunya sejilid buku kecil, sembari tertawa ia berkata, "Aku tidak sangka kau lebih tak sabaran daripada aku, oleh karena kau tidak meminta apa-apa, aku si orang tua menjadi kurang enak hati. obat Pouw Thian Wan itu bakal menonolong kau selama hidupmu" ia terus menunjuk buku kecil itu dan berkata pula: " inilah kitab ilmu silat yang aku ciptakan setelah mengumpulkan sarinya ilmu silat pelbagai partai persilatan. Di dalamnya aku telah melukis tiga belas gambar. Setiap jurus besar faedahnya dan dapat menambah tenaga, ilmu silat itu dalam, diperjalanannya mesti perlahan-lahan, mesti teliti, lebih-lebih orang tak boleh kekurangan pengalaman. siapa tidak mengumpulkan tindakannya, tak dapat dia jalan jauh seribu lie, Kalau tidak ada aliran air kecil, tak nanti ada sungai besar atau hutan, Maka kalau dapat kau meyakinkan ini sampai berhasil, kau akan merasa kefaedahannya yang tak terbatas." Habis berkata, dia menyerahkan kitabnya, untuk pergi lari, hingga sejenak kemudian lenyaplah dia di dalam lebatnya pepohonan si anak muda melengak saking herannya. ia mengawasi terus. Katika itu sudah jauh lohor, maka dengan lewatnya sang waktu cuaca menjadi guram. Melihat itu, Tiong Hoa lantas lari menuju- ke Tok-lok. selagi lari, ia merasa heran ia mendapat kenyataan larinya bertambah pesat, tubuhnya jauh terlebih ringan. "Inilah khasiatnya Pouw-Thian-wan." pikirnya. ia menjadi girang sekali. "Aneh pengalamanku. Aneh orang tua itu, Kenapa dia tidak menjelaskan siapa ketiga musuhnya itu dan apa sebab musabab permusuhan mereka?" Dia juga tidak memberitahukan she dan namanya, sedang aku tak sempat menanyakannya. Tepat di saat penerangan dipasang, Tiong Hoa tiba dalam kota kecamatan Tok-lok. Malam ramai, banyak pedagangpedagang yang berjualan mutar saban-saban meneriaki barang dagangannya, Banyak sekali orang yang berjalan pergi datang, ia lantas mencari rumah makan karena sudah lima hari ia tak pernah makan nasi. Itulah restoran cip Poo Lauw dari mana tersiar baunya barang masakan yang sedap. Ketika ia bertindak masuk. ia diawasi pelayan yang heran buat pakaiannya yang kotor dan mukanya yang dekil serta rambutnya kusut, bau keringatnya pun mendesak. "He, dia pengemis dari mana..." pikir pelayan itu. "Eh, kau mau pergi kemana?" tegurnya selagi melihat orang mau naik di-tangga loteng. Tiong Hoa mendongkol. Dia mendelik. "Aku mau dahar" sahutnya bengis, ia naik terus, untuk menghampirkan sebuah meja. Ada sejumlah orang lagi bersantap. mereka tertawa. Pelayan itu menjadi malu dan mendongkol Dia lantas menghampirkan dengan matanya mendelik. "Dahar itu gampang. Apakah kau punya?" dia tanya ketus. "PIok" begitu satu suara nyaring, Sicantik Gila Gunung Gede 2 Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat Pendekar Remaja 9