Damar Wulan 3
Damar Wulan Karya Zuber Usman Bagian 3 mahkota Kertarajasa dan telah mengekalkannya di kepala hamba, berkat perbuatan dan kepahlawanan anak saudara dan menantu Paman pula...." Memandang ke arah Dewi Anjasmara, "Juga kepada putri paman sendiri, yang telah menggembirakan hati Damarwulan." Kembali berpaling kepada Patih Logender. "Sudahkah Paman mendengar tentang satria Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, yang sedang kami bicarakan ini?" "Ya, sudah hamba dengar juga." "Bagaimana hubungannya dengan Paman Patih" Benarkah keduanya anak juga kepada Paman?" tanya Dewi Suhita menyiasati. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hamba sendiri pun baru sekarang mendengarnya. Tetapi yang hamba ketahui dengan pasti, baik sebelum jadi patih atau sesudahnya, Kakanda Udara memang senang sekali mengembara ke mana-mana. Ia tiada betah diam di rumah atau di kepatihan sekalipun setelah diangkat menjadi patih. Malah ketika mudanya ia lama turut dengan armada di lautan dan telah mengembara ke mana-mana, ke Malaka, Kamboja, Maluku bahkan sampai ke India tanah Hidustan. Karena sifat pengembara itulah sebabnya ia lekas sekali meninggalkan pemerintahan. Ia lebih suka bebas mengembara ke manamana." Beberapa lamanya mereka berbicara tentang diri Damarwulan dan soal ketentaraan serta perayaan dan penyambutan atas kemenangan itu, kemudian barulah mereka bubar, pulang ke rumah masing-masing. 13. Diangkat Menjadi Raja Angabaya Alun-alun masih ramai. Kota Majapahit seakan-akan tenggelam dalam kegembiraan dan keceriaan. Sejak Raden Gajah dengan induk pasukannya telah kembali dari Prabalingga membawa kemenangan, tiada berhentihentinya rakyat bersuka ria. Siang malam dalam kota diadakan keramaian untuk merayakan kemenangan itu. Bermacam-macam keramaian diadakan sepanjang alun-alun bahkan di seluruh kota. Keraton, kabupaten dan seluruh paseban seakan-akan bermandikan cahaya yang gilang-gemilang. Gamelan Kala-ganjur yang termasyhur itu tiada putus-putusnya ditahuh orang, sebagai mendengarkan kemenangan Majapahit ke dalam rongga hati seluruh rakyat. Makin malam makin memesonakan bunyi dan iramanya, membangun dan mengetuk-ngetuk hati putra dan putrinya. Apalagi pada hari itu luar biasa kegembiraan rakyat, mendengar pahlawan muda yang sangat dicintainya itu telah diangkat menjadi Ratu Angabaya dan Raden Menak Koncar diangkat menggantikannya jadi Senapati. Apakah yang lebih menggembirakan daripada berita kemenangan serta berita pengangkatan Raden Gajah menjadi Raja Angabaya itu! Seluruh rakyat mencintainya serta memuliakannya karena budi bahasa dan keberaniannya. Di mana-mana orang berkumpul, tiada lain yang jadi buah tutur mereka, selain Raden Gajah. Yang belum mengenalnya pada hari itu sengaja datang dari tempat jauh, semata-mata hendak melihat wajah Raden Gajah. Banyak di antara orang yang telah mengenalnya di Majapahit, tetapi banyak yang tidak mengetahui atau tidak mengira, bahwa dialah Raden Gajah yang dicari-cari selama ini. Raden Damarwulan mempunyai pergaulan yang luas di kalangan rakyat, terutama dengan para pemuda. Hanya Damarwulan atau Raden Gajah sendiri, yang tampaknya tiada bergembira amat, malah dada sedikit juga ia terpengaruh oleh kegembiraan rakyat yang meluap-luap itu. Ia seakan-akan acuh tak acuh saja kelihatannya akan segala sambutan dan pujian-pujian terhadap dirinya. "Haraplah Adinda dimaafkan...!" ujar Dewi Anjasmara sambil memandang dengan tenang kepada Damarwulan, "sejak Kakanda kembali dari medan pertempuran tampak Kakanda tiada bergembira benar atas segala Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kemenangan yang telah Kakanda peroleh. Sudilah kiranya Kakanda menerangkan kepada Adinda. Apakah gerangan yang jadi sebabnya, Kakanda?" Damarwulan agak terperanjat mendengar suara Dewi Anjasmara, yang seakan-akan tiada disadarinya benar ada di sampingnya. Sehari-harian itu sesungguhnya ia terlalu lelah, menghadiri upacara ini, upacara itu, pertemuan ini, pertemuan itu. Setelah selesai dan setibanya di rumahnya, tiada putusputus pula tamu dan kenalan datang mengucapkan selamat atas kemenangannya itu dengan hati yang setulus-tulusnya atas pengangkatannya jadi Raja Angabaya, payung panji kerajaan Majapahit. Setelah membalas pandangan dan menatap wajah Dewi Anjasmara dengan pandangan yang penuh kasih sayang, Raden Damar lalu menjawab, "Yayi...!" Kemudian terdiam pula seketika. Ternyata juga agak payah ia rupanya memilih kata-kata, mencari jawab yang akan dapat menyenangkan hati kekasihnya. "Sesungguhnya pada mulanya Kakanda mengira, apabila peperangan sudah selesai, bila Blambangan telah dapat dialahkan, tugas Kakanda habislah sudah...!" "Bukankah tugas Kakanda kepada negara sudah Kakanda penuhi dengan sebaik-baiknya dan Seri Ratu sangat berterima kasih dan sangat memuliakan jasa serta kepahlawanan Kakanda. Kakanda telah dianugerahi pula pangkat yang setinggi-tingginya, jadi Raja Angabaya serta Kakanda diharapkan senantiasa dapat mendampingi Seri Ratu Suhita sepanjang masa. Apalagi kemuliaan yang lebih dari itu!" Berdiam diri sebentar, kemudian katanya mengajuk, "Apabila Kakanda bersedia, sesuai dengan persatiran dan janji Seri Ratu, Kakanda akan dijadikan Mahkota Hati sendiri...!" "Adinda!" jawab Damarwulan dengan sangat berhati-hati. "Kemenangan atas Blambangan belumlah berarti apa-apa. Musuh Majapahit yang paling berat dan amat rumit, bukanlah yang datang menyerang dari luar, akan tetapi ialah yang bersarang di dalam negeri serta yang berkubu di relung hati rakyat sendiri." Dewi Anjasmara mengangkat alisnya, menatap Damarwulan sebagai bertanya, penuh keheranan. Damarwulan segera mengerti dan dapat menyelami perasaan kekasihnya lalu berkata, "Apabila dipandang dari luar, kelihatanlah Majapahit masih utuh, tetapi yang sebenarnya...." Raden Damar tidak segera meneruskan perkataannya. Lama ia terdiam. "Sebenarnya bagaimana?" tanya Anjasmara pula dengan tidak sabar. "Seperti sebuah bangunan yang benar, tiang-tiangnya telah tua dan lapuk serta dasarnya sudah tiada kuat lagi!" jawabnya dengan tenang. "Apa maksud Kakanda?" "Kepercayaan rakyat sudah binasa, Adinda, sudah sulit memperbaikinya. Selain hati mereka telah rusak, karena selalu mencerminkan perbuatan yang menyakitkan hati serta menjauhkan kepercayaan mereka kepada petugasTiraikasih Website http://kangzusi.com/ petugas dan pembesarpembesar negara. Kesetiaan rakyat tiada dapat diharapkan lagi." Anjasmara menatap suaminya, sebenarnya ia belum dapat menangkap maksud pembicaraannya itu dan Damarwulan merasakan benar hal itu sebab itu ujarnya, "Kakanda Seta dan Kumitir sendiri...!" "Sekarang keselamatan Majapahit tergenggam dalam tangan Kakanda, sebagai Raja Angabaya. Seperti dikatakan oleh Seri Ratu, Baginda. Seri Ratu niscaya tiada berdaya dengan tiada Kakanda. Di tangan Kakandalah sesungguhnya terletak keselamatan dan harapan seluruh Majapahit. Kakanda harus bertindak dengan tegas. Tentu terang Adinda katakan, terhadap siapa saja, demi keselamatan negara, baik terhadap saudara sendiri...." "Karena pengharapan yang tertumpah atas diri Kakanda itulah sesungguhnya Kakanda sangat meragukan kesanggupan Kakanda. Kakanda tahu rakyat sangat menderita!" jawabnya pula. Kemudian keduanya berdiam diri pula beberapa lamanya. "Tidak, Kakanda! Kakanda tidak boleh meragukan kemampuan diri Kakanda sendiri. Rakyat harus ditundukkan dengan kekerasan dan Mahkota Majapahit harus diselamatkan...!" "Kekerasan! Musuh dapat dilawan dan ditundukkan dengan kekerasan, tetapi rakyat tidak, Adinda! Tidak dapat dan Kakanda tidak akan mempergunakan kekerasan kepada mereka yang lemah dan sebaliknya selalu mengharapkan perlindungan. Aku sendiri adalah dari kalangan rakyat Adinda! Aku lebih mengerti jiwa mereka seperti meyakini diri sendiri. Terus terang aku katakan, penderitaan mereka adalah penderitaanku." Damarwulan berdiam diri pula seketika, sebagai hendak meresapkan arti kata-katanya yang terakhir itu. "Harus Adinda ketahui, Kakanda bersedia menjadi Raja Angabaya hanya dengan suatu pertimbangan yang bulat, untuk kepentingan rakyat. Karena merekalah aku berjuang dan Kakanda dididik dan dibesarkan di tengah-tengah keluhan dan penderitaan rakyat." "Bagaimana tentang keinginan, bahkan telah menjadi impian Seri Ratu agaknya, akan mendudukkan Kakanda di sisi Seri Ratu supaya dapat memelihara Majapahit bersama-sama...?" ujar Dewi Anjasmara. "Adinda...!" jawab Damarwulan dengan senyum masam, tetapi penuh arti. "Rongga jiwa Kakanda, sayang, sudah terisi, tiada lagi mengharapkan yang lain, tegasnya selain cinta kasih Adinda sendiri." Dewi Anjasmara tersenyum pula menampil senyum Damarwulan yang kedengaran seakan-akan mengejek. "Kakanda selalu mengatakan, bahwa kepercayaan rakyat sudah terpecah-pecah sekarang. Tidakkah kewajiban seorang kesatria untuk mempersatukan kepercayaan yang pecah-belah itu kembali demi keutuhan Majapahit!?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tidak, Adinda, sekali lagi tidak! Kepercayaan atau keyakinan adalah hak pribadi tiap-tiap orang, tidak dapat dipaksa dan tidak mungkin ditundukkan apalagi dengan kekerasan." "Selanjutnya ingin pula Adinda mengetahui, siapakah sebenarnya Sang Pendeta Tunggul Manik itu"!" "Kakanda belum dapat kepastiannya, tetapi ternyata sangat mencintai dan membela Majapahit, terlebih-lebih sangat memuliakan Seri Ratu!" "Sepatutnyalah, Kakanda, kita selalu berterima kasih ke hadapan Gusti yang Mahasuci! Kita selalu dikurniai perlindungannya serta dilimpahi kebahagiaan.... Akan tetapi Kakanda...." Dewi Anjasmara terdiam pula. Kemudian dengan mendekatkan mukanya kepada Raden Damar sebagai berbisik, katanya, "Pastilah Sang Pendeta bukan orang lain bagi kita, jangan-jangan Pamanlah Atau... Ayah Kakanda sendiri!" Damarwulan menatap wajah istrinya dengan pandangan yang mengandung seribu makna serta menyinarkan bermacammacam pengharapan. Sesungguhnyalah ia sendiri ingin sekali hendak berjumpa dengan Ajar Suci yang bijaksana itu. Ia merasa selalu dipayungi oleh restu serta perlindungannya. Segera pula ia teringat akan pesan Ajar Tunggul Manik, lalu katanya, "Kakanda segera akan menyuruh Paman Sabda dan Paman Naya ke Paluh Amba, akan menyampaikan persembahan Kakanda kepada Bunda dan Kakenda Maharesi. Keduanya harus segera diberi tahu!" "Adinda berpendapat juga demikian. Tentu Bibi Nawangsasth senantiasa dalam kekhawatiran tentang Kakanda. Ketika Kakanda berangkat ke Blambangan beliau dalam sakit. Apalagi mendengar berita yang bermacammacam tentang diri Kakanda, jangan-jangan Bibinda sangat berduka cita." Keduanya berdiam diri pula. Malam telah bertambah larut. Jalan-jalan sudah mulai sepi. Keriaan dan keriuhan kota telah berganti dengan kesunyian dan ketenangan. Hanya prajurit pengawas yang masih berjalan dengan lesu dan perlahan-lahan atau berdiri di muka gardu penjagaannya sampai waktunya digantikan oleh prajurit yang lain. "Bagaimana pikiran Kakanda tentang Ayahanda dan Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir..- " tanya Dewi Anjasmara. "Itulah yang selalu menjadi pemikiran Kakanda. Kakanda sendiri sudah menetapkan dalam hati Kanda, tidak akan menuntut segala perlakuan mereka terhadap diri Kakanda sendiri, apa lagi Paman Patih dalam hal ini sebenarnya tidak apa-apa. Beliau dipengaruhi oleh Kakanda kedua itu. Jika sekiranya Paman Patih hadir dalam sidang kedua di bangsal niscaya beliaulah yang akan diangkat menjadi wakil keratuan di Suwarnabumi, tetapi datang berita, Paman dan Kakanda keduanya telah meninggalkan Majapahit.... Kakanda menghadapi soal yang serba sulit." "Hal itu janganlah menjadi buah pikiran Kakanda. Adinda mengerti watak Kakanda Seta dan Kumitir dan Adinda yakin seperti kata Kakanda sendiri, kebenaran itu akan tetap menang dan unggul." Adapun Raden Damar sekembalinya dad Prabalingga di tengah jalan pasukannya dihadang oleh rombongan pengacau, yang diduga dipimpin dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ diatur oleh Layang Seta dan Layang Kumitir sendiri dan rupa-rupanya dengan setahu parnannya pula, Patih Logender. Soal itu tentu menjadi buah pikiran bagi Damarwulan yang senantiasa memaksanya bertindak dan berlaku waspada. 14. Kedengkian Menyalakan Api Dendam yang Tak Padam-Padam Orang-orang Layang Seta dan Layang Kumitir tiada berhasil membunuh Damarwulan dalam perjalanan pulang dad Blambangan. Keduanya telah membuat siasat jahat akan membinasakan Raden Damar dengan pengiringpengiringnya. Tetapi daya upaya mereka tidak berhasil Mereka belum berputus asa. Bertiga dengan Patih Logender, mereka mengatur siasat, menghasut rakyat pesisir, terutama Pesisir Utara dan dari sana keduanya akan terus ke Sulebar di Suwarnabumi.') "Bagaimana, Ayah, hubungan Sulebar dengan Majapahit?" tanya Kumitir, ketika mereka bermalam di suatu desa dekat Ampel. "Sulebar tempat rempah-rempah. Bandarnya ramai salah satu pelabuhannya juga menghadap ke mulut kuala Selat Sunda Kelapa dalam sebuah teluk yang permai di Suwarnabumi. Negerinya kaya raya. Seandainya Majapahit berhasil merebut ujung kulon Jawadwipa, niscaya Majapahit bertambah kuat dan jaya. Tetapi amat sayang, hubungan Majapahit dengan Pajajaran tak dapat diperbaiki lagi, berhubung dengan peristiwa Bubat yang menggoncangkan itu." "Ya, kami perlu mengetahui latar belakang peristiwa Bubat itu. Jika perlu kami akan menghasut sekalian musuh Majapahit," ujar Layang Seta pula dengan geramnya. "Sebelum sampai ke Sulebar Ananda akan menyinggahi tempat itu, sepatutnyalah kami mengetahui sejarah serta hubungannya dengan Majapahit. Buat sementara sebagai siasat kita akan berkawan dengan sekalian musuh Majapahit." Patih Logender tiada dapat cepat menjawab. Banyak persoalan yang menyerang ingatannya. Sesungguhnya ia telah lama menyangsikan kesanggupan dan kemampuan kedua orang anaknya itu. Tiap-tiap usahanya selalu diikuti kegagalan serta kekecewaan atas dirinya. Ia sendiri sesungguhnya sangat menyesal meninggalkan Majapahit dan menurutkan kemauan kedua orang anaknya, yang selalu menurutkan hawa nafsu dan dendam kesumat. Apalagi bila diingatnya putrinya sendiri, Dewi Anjasmara... dan Raden Damar keponakannya yang sedang berbintang terang cemerlang. Lama ia termenung. "Jalan yang lain, Ayah, tak ada, selain kita terpaksa meniup bara permusuhan yang masih bernyala di hati para bupati dan raja-raja di seluruh Jawadwipa dan Suwarnabumi. Kami telah mengirim orang pula kepada Bupati Bintara dan bagaimana juga, boleh dikatakan, penduduk Pesisir Utara seluruhnya menyokong kita," demikian desak Layang Seta selanjutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bagaimana Dewi Anjasmara, saudaramu sendiri!" sahut Patih Logender terharu dan agak bimbang. "Kita bukan memusuhi dial" jawab Layang Seta dengan pendek. "Damarwulan pun sepupumu, bukan?" "Mana yang Ayah pentingkan, anak sendiri atau keponakan Ayah yang tak tahu diri itu!" jawab Layang Kumitir pula. "Dia telah menjadi suami adikmu, telah jadi iparmu!" "Hal itu jangan Ayah bicarakan juga. Aku ingin berkuasa habis perkara. Atau Majapahit runtuh sama sekali...," jawab Layang Seta, "dan Ayah harus menurut kemauan kami.... Ayah jangan lupa, kita telah membuat perjanjian dengan orangorang dari Pesisir Utara!" "Baiklah," jawab Patih Logender mengalah dan lesu. "Ketika Prabu Hayam Wuruk menduduki singgasana baginda masih muda sekali. Baginda tergila-gila melihat wajah seorang putri Sunda, putri raja Pajajaran." "Di mana Prabu berjumpa dengan putri itu?" tanya Kumitir. "Sang Prabu belum pernah bertemu muka dengan putri itu, hanya melihat lukisannya yang sengaja ditulis oleh seorang seniman. Baginda segera melahirkan keinginan beliau hendak mempersunting putri Parahiyangan itu. Lalu dikirimlah utusan ke tanah Sunda dan tentu saja pinangan itu diterima. Malah Raja Pajajaran amat berbesar hati dan bangga putrinya akan menjadi permaisuri seorang raja besar, yang menguasai hampir seluruh Nusantara." "Belumkah Prabu mempunyai permaisuri pada waktu itu?" tanya Layang Seta menyela. "Tentu belum," ujar Patih Logender pula meneruskan ceritanya. "Karena itulah kemudian timbul salah paham antara keluarga keraton serta orang besar kerajaan. Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pajajaran dipandang sebagai suatu kerajaan kecil sedang Majapahit sebuah kerajaan besar. Salah paham terjadi, karena orang Pajajaran merasa terhina dengan perlakuan Majapahit yang sedemikian itu. Itulah sebab musababnya terjadi peristiwa di Bubat itu." "Serta bagaimana pulakah hubungan Majapahit dengan Suwarnabumi?" tanya mereka. "Suwarnabumi atau Suwarnadwipa suatu negeri tua seperti Jawadwipa mungkin lebih tua dan mempunyai sejarah yang hampir bersamaan pula. Baik dari pihak raja-raja di Suwarnabumi maupun dari pihak raja-raja Jawadwipa telah berkali-kali diusahakan kerja sama yang lebih erat atau persatuan, tetapi adaada saja halangannya." "Apakah yang menjadi halangan itu, Ayah?" tanya Layang Kumitir. "Di antaranya perbedaan kepercayaan dan perlainan kebiasaan, adat istiadat. Agama atau kepercayaan yang dianut oleh rakyat sekarang ini sudah tak dapat mengikat rakyat lagi, karena salah kaum agama sendiri." "Apa maksud Ayah?" tanya Layang Seta, agak keheranheranan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ananda lihat sendiri, Brahmana dan pendeta bukan lagi membaca ajaran suci dari kitabnya, tetapi semata-mata menjadi alat akan menyampaikan perintah dan keinginan ... atasannya. Mereka mudah disuap untuk membodoh-bodohi rakyat. Seperti Ananda saksikan sendiri kehidupan penduduk desa ini dan orangorang dari Utara sangat berbeda. Begitu pula kebiasaan, kepercayaan dan masyarakat Suwarnabumi dengan kehidupan orang Majapahit. Sudah beberapa lama kita bersembunyi di sini, tidakkah tampak oleh Ananda perbedaan pribadi dan pekerti mereka?" Keduanya terdiam beberapa lamanya, kemudian Layang Seta berkata pula, "Keterangan Ayah ini amat penting artinya dalam mencapai jalan untuk penyelenggaraan tujuan kita_ Sepeninggal kami ke Sulebar, Ayah hendaklah pergi mengunjungi daerah Utara, terutama Bupati Bintara, untuk meminta bantuan mereka." "Bagaimana hubungannya dengan Sulebar?" tanya Kumitir sekali lagi, "tadi belum lagi Ayah jelaskan._.!" "Seperti telah Ayah terangkan, Suwarnabumi sebelah Selatan itu telah lama di bawah pengawasan Majapahit. Pamanmu sangat mengenal daerah itu, karena is berulang kali mengunjunginya dan menetap di tempat itu." Patih Logender terdiam pula seketika berpikir-pikir, kemudian katanya, "Jika tidak salah yang memegang kekuasaan sekarang di Sulebar bukan orang lain, anak pamanmu sendirilah." "Anak Patih Udara, Ayah?" tanya Layang Seta, agak bimbang dan heran. "Benar!" "Kalau begitu saudara si Damar!" seru Kumitir. "Sulit juga...!" "Mengapa sulit," jawab Layang Seta. "Adakah mereka kenalmengenal, Ayah?" "Ayah kira belum! Karena...." Ayahnya terdiam, berpikir. "Karena apa, Ayah?" tanya Kumitir. "Hal itu rapat bertalian dengan rahasia pribadi pamanmu, Patih Udara masa mudanya." "Bagaimana pula dengan kerajaan Pertiwi di pusat Suwarnabumi itu, Ayah?" tanya Kumitir. "Kerajaan Sang Pertiwi merupakan negeri anal yang teramat tua yang masih memperlihatkan keasliannya, menurut bahasa mereka disebut kerajaan Bunda Kandung. Hubungannya luas sekali dan penduduknya tiada senang diam dari dahulu kala, suka merantau ke mana-mana, karena itu banyak cendekiawannya yang mempunyai akal seribu daya." "Bagaimana pula hubungannya dengan Majapahit?" tanya keduanya. "Pembesar Majapahit pernah dikirim mengajak patihnya berunding. Akan tetapi ketika diketahuinya, pembesar Majapahit telah menyiapkan serta diiringkan bala tentara yang amat besar jumlahnya, mereka segera membuka .perundingan dengan kerajaan Pasai yang bermusuhan dengan Majapahit. ltulah pangkal kegagalan Gajah Mada hendak mempersatukan Suw-arnabumi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan Jawadwipa. Kerajaan Bunda Kandung atau kedatuan Sang Ibu Pertiwi itu sejak itu mulai menjadi pusat Islam, sangat dipengaruhi oleh Pasai." "Bagaimana jalannya Majapahit berhasil mengalahkan Sriwijaya, Ayah?" tanya Kumitir setelah berdiam diri seketika. "Bukankah sebenarnya Sriwijaya yang besar itu ada bertalian darah juga dengan kedatuan Ibu Pertiwi itu?" Patih Logender berdiam diri seketika, kemudian katanya, "Kedatuan Ibu Pertiwi, seperti telah diceritakan merupakan negeri asal yang tua, dari sanalah pada mulanya asal keturunan raja-raja Melayu dan Sriwijaya. Sejak dari masa pemerintahan Kartanegara di Singasari karena hubungan perkawinan kerajaan Melayu itulah kemudian yang menjadi kerajaan Dharmasraya yang kemudian berpusat di Si Guntur, yang telah berhasil dengan bantuan Majapahit mengalahkan Sriwijaya yang agung itu." "Bagaimana caranya, Ayah?" tanya Layang Seta pula. Patih Logender tidak segera menjawab. Dirasakannya benar suasana Majapahit pada waktu yang akhir-akhir itu tidak ubahnya pula dengan akhir kebesaran Sriwijaya sebelum mengalami keruntuhannya. Selain kegoncangan yang terjadi di kalangan kepercayaan rakyat terhadap penguasa, baik penguasa di bidang agama baik di bidang pemerintahan, yang terutama perebutan kekuasaan dan perpecahan di lingkungan istana. Sekaliannya seakan-akan memberi kesempatan yang baik kepada kepercayaan yang baru.... "Cobalah jelaskan, Ayah!" desak Kumitir. "Kedatuan Sriwijaya memang sudah sangat tua, tiangtiangnya telah mulai lapuk dasarnya tidak kuat lagi, terutama kepercayaan rakyat telah goyah...," sahut Patih Logender. Tengah mereka asyik berbincang-bincang itu beberapa orang yang mereka suruh menyiapkan perahu telah pulang, membawa kabar bahwa dinihari berikutnya mereka akan mengangkat sauh. Dalam rencana mereka Patih Logender tidak akan turut dalam kunjungan ke Sulebar dan Ujung Kulon Jawadwipa. Ia sendiri dari Ampel akan pergi ke Leren, Giri, berjalan darat sepanjang pantai serta akan lebih cepat tiba di Bintara. "Mohon restu, Ayah!" ujar Seta dan Kumitir, ketika keduanya akan berpisah dengan orang tuanya. "Ingatlah Ayah, sekalian musuh Majapahit dan orang Utara menjadi teman dan penolong kita!" 15. Usaha Memakmurkan Negeri dan Membela Rakyat Berbilang bulan telah berlalu...! Banyak peristiwa sudah terjadi, menuju saat pembaruan dan perubahan. Yang usang dan lapuk telah bertukar dan berganti, dibina serta diperbarui dan yang jebol sudah pula diperbaiki. Tampaklah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kecintaan dan kepatuhan rakyat kepada ratunya. Terutama Damarwulan pandai sekali mendekati dan menarik hati rakyat. Tak berhenti-hentinya is berusaha memimpin dan menuntun rakyat, demi kemajuan dan kesejahteraan mereka sendiri. Paseban selalu saja ramai. Pada saat-saat yang telah ditetapkan Damarwulan sendiri muncul di tengah-tengah orang banyak, memberi contoh dan teladan, penerangan dan pengajaran tentang tugas dan kewajiban bernegara dan bermasyarakat. Semua golongan senang berhadapan dengan dia, yang lemah dilindunginya dan yang bodoh dibimbing serta dituntunnya. Yang pandai didekatinya dan diajaknya berunding serta bekerja bersama-sama dalam membela kepentingan rakyat dan berusaha untuk memajukannya. Sekaliannya turut membantu, baik yang beragama Hindu Syiwa atau Buddha, baik yang menganut kepercayaan apa pun. Maupun orang-orang dari Pesisir Utara yang menganut kepercayaan baru mendapat kemerdekaan seluas-luasnya. Damarwulan sendiri tak dapat diceritakan betapa girang hatinya serta betapa giatnya berusaha, sehingga besar sekali tampak perubahan di seluruh kota Majapahit, bahkan di seluruh wilayah kerajaan. Apalagi setelah pamannya, Patih Logender, kembali ke Majapahit, tak ada lagi yang dikhawatirkannya. Sekalipun Patih Logender tidak lagi turut dalam pemerintahan, ia tetap berbesar hati, karena Seri Ratu telah memberi kurnia secukupnya untuk jaminan kehidupan pamannya itu. Ternyata menurut pandangan dan keputusan Ratu Suhita sendiri, pamannya tidak tersangkut dalam peristiwa kedua orang anaknya. Sekalipun Damarwulan telah mengetahui, bahwa Layang Seta dan Layang Kumitir, seperti keterangan Patih Logender sendiri, telah melarikan diri dan ada di Sulebar, ia tidak akan menuntutnya lagi asal saja ia tidak datang mengganggu ke Majapahit. Segala pembicaraannya dengan kedua orang anaknya serta bagaimana rencana Layang Seta dan Layang Kumitir tentu dirahasiakannya sungguh-sungguh. Ia seakanakan tidak tahu-menahu dengan keberangkatan anak-anaknya itu. Memang Logender sangat pandai bersandiwara. "Kakanda terlalu sibuk benar akhir-akhir tegur Dewi Anjasmara, sambil duduk di samping suaminya. "Bagaimana keadaan di pertapaan-pertapaan yang Kakanda kunjungi?" "Ah, tidak ... Adinda," sahut Damarwulan, menatap wajah istrinya. "Kakanda berterima kasih kepada dewa-dewa, sekalian yang Kakanda jumpai dalam perjalanan sangat membesarkan hati. Suasana di desa membayangkan harapan baik pada zaman mendatang." "Bagaimana tampaknya penghidupan orang desa?" tanya Anjasmara pula dengan penuh perhatian. "Menyenangkan sekali, Adinda, malah dapat dikatakan sangat menggirangkan!" "Menggirangkan bagaimana?" "Dengarlah Kakanda kisahkan bagaimana terasa dekat kecintaan rakyat kepada tentara Majapahit sekarang," ujar Damarwulan. "Karena banyak tempat pertapaan yang harus dikunjungi dan tempat-tempat itu berjauh-jauhan letaknya, kami terus memilih kuda yang sekencangTiraikasih Website http://kangzusi.com/ kencangnya di Majapahit. Aku menaiki seekor kuda hitam, Langlayang namanya dan Senapati memilih seekor kuda putih, Jalurang." "Yang lain bagaimana serta berapa orang pengiring Kakanda?" sela Anjasmara pula. "Sekaliannya naik kuda, dua belas orang jumlahnya dengan kami." "Lalu?" desak Dewi Anjasmara, ingin lekas mengetahui kisah perjalanan itu. "Kepada Senapati telah aku beri tahukan supaya kami berpakaian biasa saja. Akan tetapi...," Damarwulan berhenti pula. Dari wajahnya kelihatan ia teringat sesuatu peristiwa yang lucu tetapi menyenangkan. "Akan tetapi bagaimana?" "Kesepuluh pengiring kami tentu berpakaian kesatria belaka, karena Kakanda lupa memberitahukan kepada mereka untuk berpakaian biasa saja seperti kami." "Mengapa pada waktu akan berangkat mereka tidak disuruh mengganti pakaian mereka kembali?" "Tidak sempat lagi! Kami harus berangkat menurut rencana yang telah ditetapkan, jika tidak tak dapat pula kami kembali pada waktunya," sahut Damarwulan. "Tadi pun kalau Adinda tiada keliru, Kakanda terlambat dari biasanya," ujar Dewi Anjasmara menyiasat. "Sesungguhnya tidak! Nanti Kakanda jelaskan...." "Lalu apa yang terjadi dalam perjalanan, Kakanda?" "Tentu akibatnya, karena kami berpakaian biasa, di manamana rakyat menyambut pengiring kami yang berpakaian kesatria itu." "Serta bagaimana terhadap Kakanda dan Senapati?" "Bagaimana lagi, kami hams menerima perlakuan sesuai dengan pakaian yang melekat di badan kami. Perwira dan prajurit yang jadi pengiring kami dthormati dan dielu-elukan sepanjang jalan dan ke mana mereka pergi, sebagai kesatria dan pahlawan Majapahit. Tahukah Adinda sekarang, bagaimana hati rakyat mencintai prajuritnya pada umumnya dan kesatria khususnya, lain dari pandangan dan sambutan mereka terhadap prajurit yang dahulu?" "Bagaimana lainnya?" tanya Dewi Anjasmara. "Berlain sekali!" jawab Raden Damar. "Sebelum aku ke kota, Adinda tahu Kakanda dibesarkan dan tinggal di desa. Pada waktu itu kalau ada prajurit atau tentara yang masuk ke desa, anakanak habis berlarian menyembunyikan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ diri dan perempuanperempuan segera menutup, mengunci atau memalang pintunya. Negeri, kampung atau desa seperti dialahkan garuda, karena rakyat ketakutan. Tetapi sekarang tidak lagi, mereka merasa bangga menyambut prajurit-prajurit, karena mereka yakin prajurit-prajurit Majapahit sekarang bercita-cita dan berusaha membela rakyat, betul-betul mereka telah dianggap jadi pagar negeri." Dewi Anjasmara tersenyum bangga, kemudian katanya menggoda, "Akan tetapi Kakanda sendiri, menurut cerita Kakanda tadi, tidak ikut merasakan penghargaan atau penyambutan itu. Bukankah begitu, karena pakaian yang Kakanda pakai?" "Memang!" jawab Dam ulan, "tetapi aku merasa mat bangga telah dapat mengembalikan kepercayaan rakyat yang telah hilang selama ini; kepada prajuritnya terutama!" "Bagaimana pula sambutan para ajar dan pendeta di pertapaan?" "Baik ... baik sekali! Biasanya rombongan kami dari desa diiringkan oleh orangorang desa dan anak-anak ke pertapaan beramai-ramai. Ketika itulah orang desa mengetahui siapa kami." "Bagaimana caranya?" tanya Anjasmara. "Ketika tiba di desa, orang kampung seperti telah dikatakan amat dipengaruhi oleh pakaian prajurit-prajurit kami dan kami dikiranya sebagai cantrik-cantrik, kebayan atau lurch desa yang menjadi penunjuk jalan saja. Buktinya pengiring-pengiring kami di desa mana pun kami berhenti senantiasa disuguhi air nira, tuck atau seguir atau sekurang-kurangnya air kelapa muda, tetapi aku dan Raden Menak Koncar... sedih... sedih... sedih sekali," ujar Damarwulan. "Kakanda kedua disuguhi apa saja?" tanya Anjasmara. "Disuguhi air di batok kelapa juga tetapi air sumur biasa saja." "Memang sedih benar kalau begitu!" ujar Dewi Anjasmara pula. "Tetapi tidakkah ada di antara prajurit Kakanda itu yang memberitahukan kepada orang-orang desa keadaan hal yang sebenarnya." "Tentu tidak, Adinda! Sesuai dengan perintah atasan dan peraturan yang telah dibuat sebelum berangkat. Seseorang harus tunduk kepada atasan, tidak boleh membantah dan harus menerima seada-adanya, apa yang dikemukakan orang desa dalam perjalanan itu." "Lucu sekali," ujar Dewi Anjasmara. Keduanya tersenyum. "Tadi Kakanda katakan sambutan di pertapaan baik sekali. Bagaimana pula pengalaman Kakanda dan Raden Menak Koncar di sana?" "Sambutan para ajar serta para pendeta lain sekali. Mereka seolah-olah tidak memihak yang lahir, tetapi langsung melihat ke dalam. Mereka tidak mempergunakan pandangan orang biasa lagi, tetapi sebaliknya dengan pandangan cendekiawan yang mahabijaksana. Di sana kami dijamu dengan kata-kata hikmat serta firman-firman kedewaan, yang tak terpahami oleh telinga orang biasa. Di pertapaan-pertapaan itu kami tidak lama, sekadar mendengar keinginan atau menerima usul para pendeta untuk keselamatan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ agama dan negara.... Setelah mendapat ucapan restu, kami lalu berangkat pula. Ketika akan berangkat itulah rupanya orang banyak atau rakyat desa mengetahui, siapa kami kedua, karena dalam mantra restu yang diucapkan Sang Pendeta, sesudah menyebut nama Seri Ratu, lalu menyebut nama Raja Angabaya dengan Senapatinya dengan suara yang merdu. Mantra restu itu ringkasnya berisi pengharapan, mudah-mudahan para Dewa selalu membimbing Majapahit dengan perantaraan Seri Ratu Dewi Suhita dan tangan kanannya Raja Angabaya, Kakanda sendiri yang dipercayakan memegang segala urusan kenegaraan dan tangan kiri Kakanda, Senapati, yang memegang urusan pertahanan dan ketentaraan. Demikianlah kami mengunjungi tiap-tiap desa dan tiap-tiap pertapaan." Setelah membicarakan keadaan desa dan pertapaan, juga mereka membicarakan rencana pembangunan dan perbaikannya. "Tentu ada lagi pengalaman Kakanda yang lain, sampai terlambat tiba di rumah sendiri!" ujar Dewi Anjasmara. "Ah, itu yang Adinda maksud. Sesampai di luar kota, Kakanda singgah dahulu di Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pedesaan Ayahanda." Patih Logender seperti telah diceritakan setelah mengunjungi Bintara segera kembali ke Majapahit. Apa yang dilakukan selama itu sangat dirahasiakan tak seorang pun yang tahu selain kedua orang putranya. Kemudian dengan suatu helah pula ia diperkenankan mengundurkan diri dan tinggal di luar kota. "Kakanda mula-mula agak terperanjat, karena bersua dengan orang banyak dari Pantai Utara datang menghadap Paman, eh, Ayahanda!" "Orang-orang dari Utara! Apakah urusannya dengan Ayah?" Damarwulan tidak lekas menyahut. Dalam ingatannya ketika itu timbul pula suatu pertanyaan, yang sebenarnya dari tadi itulah yang dipikir-pikirkannya, sebelum Dewi Anjasmara datang bertanyakan tentang perjalanannya itu. Kemudian ia berkata, "Karena tergesa-gesa dan karena takut akan terlambat sampai di rumah tiada Kakanda perhatikan benar dan tak sempat pula menanyakannya kepada Ayahanda." "Tidakkah pernah Kakanda mencurigai orang-orang dari Pantai Utara itu" Sepanjang penglihatan Adinda sendiri, pada waktu akhir-akhir banyak benar mereka dalam kota Majapahit," ujar Dewi Anjasmara bersungguh-sungguh. "Kecurigaanku tentu ada, akan tetapi terhadap Paman, ayah Adinda sendiri pertimbangan Kakanda berlain, Dewi!" jawab Damarwulan dengan tegas. "Tetapi tentang itu baiklah kita pikirkan kemudian. Yang sangat Kakanda pentingkan dan sangat mengharapkan dorongan batin Adinda, ialah tentang pembangunan Majapahit kembali! Bagaimana pertimbangan Adinda?" "Pembangunan dan keselamatan negara harus sama-sama kita pikirkan, Kakanda!" ujar Dewi Anjasmara dengan nada kecemasan. "Mata hati Adinda merasa dan melihat matahari pembangunan di Majapahit bercahaya dan bersinar amat terang menyilaukan mata, tetapi Adinda selalu mengkhawatirkan pula jangan-jangan seperti sinar surya di waktu petang menjelang senja, hanya sekadar menanti gelap malam turun merundung...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bagaimana kesudahannya jangan kita pikirkan, Adinda, terserah ke dalam tangan para dewa. Dewa-dewa yang mengatur dan dewa-dewa pula yang kuasa melenyapkannya," jawab Damarwulan dengan pendek. "Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir bagi Adinda selalu menjadi pertanyaan dalam hati, siang dan malam!" ujar Dewi Anjasmara pula. "Adinda mengenal pekerti dan watak keduanya dan Ayahanda sangat mencintainya...." 16 Panji Wulung Kedatangan Tentara Ada yang giat membangun, dan ada pula yang lebih giat meruntuh! Bagaimana perjalanan Layang Seta dan Layang Kumitir sampai ke Sulebar, tidak perlu diceritakan semuanya di sini. Karena tempat-tempat yang akan 'dikunjunginya itu telah dipelajari dan diketahuinya belaka dengan saksama, mudah juga keduanya mendapat bantuan. Berbagai-bagai berita dan kebohongan yang telah mereka siarkan, untuk memburukburukkan Majapahit serta memfitnahkan Damarwulan. Keduanya tidak malu-malu menyiarkan berita, sebenarnya yang mengalahkan dan yang telah menewaskan Menak Jingga mereka berdua bersaudara bersama-sama seorang satria yang sudah tewas. Dalam suasana sedang menghebat dan pertempuran masih berjalan, sekonyong-konyong muncullah seorang kelana muda dengan orang-orangnya yang terjadi dari kaum petualang belaka. Dengan tidak diduga-duga kelana yang tak tentu asal usulnya itu, dengan akal dan siasat yang licik dapat menguasai suasana. Ada yang menceritakan ia berasal dari anak tukang arit, ada pula yang mengatakan keturunan perampok yang telah lama menantinanti kesempatan dan berusaha menangguk di air keruh. Sehingga mereka yang sebenarnya yang membunuh Menak Jingga, buat sementara terpaksa meninggalkan Majapahit. Demikian pula orang tuanya. Patih Logender, terpaksa meninggalkan kedudukannya karena beliau tak bersedia bekerja dengan penipu dan perampok yang tak tentu asal usulnya itu. Untung mujur bagi keduanya, Raden Panji Wulung sama sekali belum kenal akan nama Damarwulan bahkan tentang ayahnya sendiri is hanya mengetahuinya dari keterangan bundanya. Bundanya senantiasa menceritakan bahwa yang jadi patih di Majapahit sekarang ialah "pakciknya" sendiri, Patih Logender, ketika diketahuinya Layang Seta dan Layang Kumitir adalah anak pamannya anak Patih Logender, tak dapat dikatakan betapa terharunya. Ia berjanji akan membantu pamannya dan bersedia hendak mengembalikannya kepada kedudukannya dan membela Majapahit dan akan datang sendiri mengusir kelana itu, beserta kelengkapannya. Adapun bunda Panji Wulung, putri tunggal Ratu Sulebar, dan ketika itu dialah yang memegang pemerintahan Sulebar itu, menggantikan kakenda dibantu Patih Pecat Tanda. Sesuai dengan perhitungan ilmu pelayaran pada ketika itu, maka pada pagi hari yang kedua belas, tibalah armada yang dikirim dari Sulebar di muara Kali Sedayu. Ada lagi beberapa buah perahu yang akan datang menyusul, karena Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ terpaksa menyinggahi bala bantuan. Perahu-perahu yang telah sampai itu dipimpin sendiri oleh Patih Pecat Tanda, yang lain oleh Raden Panji Wulung sendiri. Rakyat tentu gempar melihat kedatangan perahu sebanyak itu, dan bertanya-tanya, perahu atau armada dari mana gerangan. Mereka terlalu keheran-heranan. "Yang berdiri di samping nakhodanya itu, seperti ... ya, serupa benar dengan Layang Seta." Kata yang lain, "Benar ... tak salah lagi, yang berdiri di sebelahnya itu Layang Kumitir, memang ... Kumitir...!" "Dari manakah mereka gerangan?" Yang lain menjawab pula dengan herannya, "Bukankah Seta dan Kumitir telah tewas di medan pertempuran?" "Bukan tewas tetapi dipenjarakan, karena telah berkhianat kepada Raden Gajah!" sahut yang lain pula. "Tidak tewas dan bukan pula dipenjarakan," sela yang lain. "Ah, mana boleh jadi...." "Benar...! Layang Seta dan Layang Kumitir...?" "Ini buktinya, ..." jawab yang lain pula. "Keduanya melarikan diri tengah malam, sesudah beberapa hari ditahan." "Ya, saya mengetahui rahasianya," kata seseorang yang baru sampai ke ujung dermaga, tempat mereka bertengkar itu. "Patih Logender sendiri yang menyelundupkan kedua orang anaknya itu dari penjara dan membawanya keluar kota tengah malam. Itu sebabnya pada upacara pelantikan Raja Angabaya dan Senapati yang penting itu Patih Logender tidak tampak...," katanya pula. "Bukan rahasia lagi di Majapahit," jawab yang lain, Patih Logender sangat dipengaruhi oleh kedua orang anaknya, yang selalu berhati dengki kepada sepupunya sendiri." "Malah telah menjadi iparnya pula!" sela yang lain. "Kedengkian dan dendam telah meracuni kehidupan dan perhubungan mereka berkeluarga...," sahut seorang nelayan yang lebih tua dari sekaliannya. "Bukan semata-mata merusak atau meracuni hubungan mereka saja, tetapi pasti akan membakar seluruh Majapahit dan meruntuhkannya menjadi abu!" ujar orang yang berdiri di samping dan kelihatan hampir sebaya dengan nelayan itu. "Kesatria Majapahit yang diharapkan untuk membela keraton, amat sayang, mereka akan bertikam-tikaman dan berbunuh-bunuhan sesamanya." "Sekarang usaha dan perjuangan kita, mudah-mudahan, akan lebih lancar jalannya," kata seorang anak muda berbisik kepada kawannya. Dari tadi keduanya berdiri agak memencil-mencil dari orang banyak serta Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ memperhatikan sekalian peristiwa itu dengan amat cermatnya. "Sudah jelas armada orang Sulebar. Engkau segeralah menyampaikannya kepada Patih Logender dan aku segera pergi ke Giri, dari sana mungkin terus ke Tuban... Assalamualaikum...." "Alaikumsalam!" jawab temannya dengan senyum bahagia. Insya Allah wa taala kita segera berjumpa lagi...." Keduanya keluar menuju ke jalan raya dan orang makin berbondongbondong dan berdesak-desakan ke kuala dan sebahagian pasukan yang datang itu telah naik ke darat. Pada ujung jalan yang keluar dari muara Kali Sedayu itu yang seorang membelokkan kudanya ke kanan akan menuju ke Giri, yang menjadi pusat ajaran Islam dan yang seorang membelok ke kiri, terus ke selatan menuju ke rumah Patih Logender. Keduanya sama-sama berusaha secepat-cepatnya supaya dapat menyampaikan berita itu selekas-lekasnya. Ke dalam istana Majapahit segera juga tersiar kabar tentang kedatangan perahuperahu dari Sulebar itu dan telah disampaikan orang pula tentang kedatangan Layang Seta dan Layang Kumitir bersama-sama bala tentara yang datang itu. Raja Angabaya segera memerintahkan orang untuk menahan dan membawa bekas Patih Majapahit ke istana, tetapi ternyata Patih Logender sudah melarikan diri. Rumahnya telah ditinggalkannya, sama sekali telah kosong. "Ah Paman...!" keluh Damarwulan menyambut kabar dari prajurit yang diperintahkan ke rumah pamannya itu. "Itulah, pertimbangan Kakanda terlalu terikat oleh perasaan kekeluargaan!" ujar istrinya menyesali. "Ya, bagaimana tidak, Adinda!" jawab Damarwulan. "Bekas Patih Majapahit itu pamanku serta mertuaku, ayahmu sendiri. Anjasmara! Kedua orang anaknya itu, saudaramu, sepupuku dan iparku pula. Tak lain yang aku harapkan kesadaran mereka sendiri." "Adinda sudah memberi ingat kepada Kakanda, tentang orang-orang Utara yang datang berkunjung ke pedesaan Ayahanda!" Damarwulan terdiam seketika, kemudian ketika istrinya mendesak dijawabnya, "Sejak bila ada larangan, orang asing tidak boleh berhubungan di Majapahit!" sahut Damarwulan pula dengan tegas. "Hati manusia tidak dapat dikongkong dan dibendung dengan seribu lapis penjagaan dan peraturan, tetapi barangkali, mungkin dapat disadarkan dengan kebenaran serta keinsafan tentang arti kebenaran itu. Saya tak pernah khawatir dan gentar, demi dewa-dewa yang lebih kuasa, selama saya berdiri di atas yang benar dan berjuang untuk membela kebenaran itu...." Anjasmara menjawab dan seakan-akan menuduh, "Ya, Kakanda, karena hendak membela kebenaran dan untuk menjaga rma Majapahit, Kakanda seharusnya lebih waspada serta lebih berhati-hati. Sejak semula, tiadakah Kakanda sadari, diri Kakanda diancam kedengkian, dendam, dan iri hati...." Beberapa lamanya keduanya terdiam, sana-sama merasakan makna perkataan masing-masing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kebenaran itu sendirilah yang akan unggul memperlihatkan diri seperti cahaya matahari yang menyinari bumi tak akan tertutup oleh kabut atau mega mendung sekalipun," jawab Damarwulan dengan lebih pasti dan yakin. Di gapura kesatriaan tampak dua orang satria masuk dan segera turun dari atas kudanya, menuju ke tempat mereka. "Tilarsa dan Rarangin datang!" ujar Damarwulan. ' "Majapahit menanti satria yang setia mempersembahkan jiwa raganya...," seru Dewi Anjasmara kepada keduanya. "Karena itulah kami datang, Kakanda!" jawab keduanya, seraya memberi hormat kepada iparnya. Kemudian kepada Damarwulan selaku Raja Angabaya. "Pasukan sudah disiapkan. Menunggu perintah!" "Adinda kedua dengan pasukan Adinda, akan mengeluari musuh sampai ke muara Kali Sedayu, sementara Senapati menyiapkan bala tentara menanti di perbatasan kota," demikian perintah Raja Angabaya. "Sebelum meninggalkan kota dengan pasukan Adinda, Adinda kedua harus menghadap Senapati, merundingkan tugas." Adapun Patih Logender beberapa hari sebelum Armada Panji Wulung itu masuk ke muara Kali Sedayu terlebih dahulu telah menerima berita. la segera berangkat ke desa Ampel. Di sanalah ia menunggu kedatangan Panji Wulung dengan kedua orang anaknya. la sangat berbesar hati menyambut mereka dan yang lebih membesarkan hatinya lagi, Raden Panji Wulung belum mengenal dan mengetahui bagaimana keadaan di Majapahit yang sebenarnya. Harus dijaga benar, supaya ia jangan mengetahui, Damarwulan adalah saudaranya sendiri. Untung pula! Kedatangan perahu kenaikan Raden Panji Wulung tidak bersama-sama dengan Layang Seta dan Layang Kumitir. Dapat ia mengatur dan membicarakan siasat lebih leluasa dengan anaknya yang tiba terlebih dahulu. Demikian pula Patih Pecat Tanda harus dijaga benar, jangan dapat hendaknya ia berhubungan dengan siapa pun, yang mungkin akan membukakan rahasia itu. Kedatangan perahu Panji Wulung bersamaan benar dengan kehadiran pasukan Raden Panji Kuda Tilarsa dan Raden Panji Kuda Rarangin. Bukan kepalang ramainya orang di muara Sedayu. Dari mana-mana orang datang berbondong-bondong sengaja hendak melihat dan ingin mengetahui maksud kedatangan mereka, karena tampaknya bukan pelang atau kapal dagang biasa. Sebuah armada dengan perlengkapan secukup-cukupnya. Yang berjualan makin hari makin ramai, terutarna yang berjualan barang makanan dan buah-buahan. Pasukan Panji Wulung itu makin hari makin terbiasa pula dan makin berani naik ke darat. Maklum mereka telah berhari-hari tinggal di laut. Selain mereka memerlukan sayur-mayur dan buahbuahan, mereka perlu pula menghirup hawa segar dan menikmati pemandangan alam ujung wetan Jawadwipa yang permai itu_ Ke mana mereka pergi anak-anak ramai pula mengiringkan mereka. Bagi bangsa apa pun di seluruh dunia, dari dahulu sampai sekarang, waktu damai maupun waktu perang, ke mana mereka pergi, bila berjumpa dengan kanak-kanak, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ segeralah bercipta suasana damai yang akrab, kasih sayang yang kadangkadang sampai mereka lupa di mana dan waktu apa mereka berada. Tetapi ... sayang...! Suasana gembira itu tidak lama. Di suatu tempat segera terjadi peristiwa tegang, agaknya karena salah mengerti, salah bertindak mungkin juga salah perlakuan. Tentara Tilarsa dan orang-orang Kuda Rarangin segera bertindak untuk menjaga keamanan. Sebaliknya, yang sepihak lagi tidak mau menerima perlakuan yang semacam itu, mereka merasa tersinggung dan merasa benar sendiri. Terjadilah perkelahian kecil-kecil yang satu segera diikuti oleh yang lain dan sesudah yang lain yang lain pula. Itulah permulaan pertempuran itu. Terjadi pula perkelahian antara Patih Pecat Tanda dengan Raden Menak Koncar sendiri. Radon Menak Koncar segera tidak berdaya lalu jatuh pingsan. Begitu pula sekalian yang berani menghadapinya. Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin segera datang membantunya. Barulah Patih Pecat Tanda mendapat perlawanan, malah seakan-akan kepayahan juga ia menghadapinya, sehingga Raden Panji Wulung datang pula membantu. Mula-mula ia berhadapan dengan Kuda Tilarsa. Kedua satria itu sama-sama tampan, sebaya, sama-sama muda, ketangkasannya berbanding pula. Yang seorang menyerang dengan gesitnya, yang lain menangkis dengan tangkasnya. Beberapa lama mereka serang-menyerang, tangkis-menangkis, belum ada juga yang kena. Kemudian bergantian. Kuda Rarangin pula tampil ke depan, berhadapan seorang lawan seorang dengan Raden Panji Wulung dari Sulebar itu. Kuda Rarangin mempergunakan siasat yang lain. Dengan langkah lebih rapat dan lebih rapi serta menyerang lebih cepat, menikam Panji Wulung dengan tikaman yang bertubi-tubi. Itu pun sia-sia dan dengan mudahnya juga ditangkis serta dielakkan oleh Panji Wulung. Dicobanya pula cara menyerang yang lain, itu pun dengan mudah juga dielakkannya. Sesudah berulang-ulang dan gantiberganti menyerang dan menangkis mereka sama-sama tercengang dan sama-sama heran. Laku mereka dalam perang tanding, tak ubahnya sebagai laku tukang gendang dengan tukang tari, begini lagunya begitu tarinya, berubah lagunya lalu beralih pula tarinya. Seimbang dan sejalan benar. Ajar Tunggul Manik yang sejak semula diam-diam menyaksikan perkelahian itu lalu tampil ke muka, menyeruak di antara orang banyak. Setelah sampai ke tempat kedua orang satria itu ia berkata, "Wahai satria muda! Engkau kedua ternyata mempunyai ilmu yang sama selain mempunyai aliran darah yang sama pula. Berhentilah kalian berkelahi ... tiada gunanya diteruskan!" Keduanya sama-sama memandang kepada ajar sakti itu seolah-olah dia diutus para dewa, datang tiba-tiba datang melerai perkelahian itu. Siapakah dia gerangan dan dari mana datangnya. Keduanya amat heran, demikian pula sekalian yang hadir. Patih Pecat Tanda juga keheran-heranan. Ia masih mengenal ajar itu, tetapi ia agak ragu-ragu akan menegurnya. Sinar matanya amat tenang tetapi memesonakan, yang hanya didapati pada orang-orang yang berpribadi luhur belaka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ketahuilah, bahwa kamu ketiganya," ujarnya pula, seraya memegang pundak Kuda Tilarsa yang segera pula mendekatinya, "adalah bersaudara!" Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Panji Wulung dan Kuda Rarangin masih tertegun, tegak sebagai terpaku di tanah. Ketiga satria yang dikatakan bersaudara itu berpandang-pandangan; bagi yang menyaksikan ketika itu akan kelihatanlah sorot pandangan ketiganya tidak berbeda, raut mukanya serupa bahkan potongan badan serta lagaklagu mereka berkata-kata dan bertindak tidak berbeda sedikit juga. Sekaliannya tidak didapati kecuali pada orang yang bersaudara juga. "Ampunilah hamba ... Bendara Patih!" seru Pecat Tanda sujud menyembah di hadapan ajar itu. "kalian kepandaian dan pengetahuan yang telah dilimpahkan atas diri hamba telah hamba turunkan semuanya sesuai dengan amanat Bendara Patih!" "Ya ya, Pecat Tanda," sahut ajar itu, "telah saya saksikan sekaliannya. Terima kasih alas kesetiaanmu!" Raden Panji Wulung masih terheran-heran juga. "lnilah mendiang') Patih Udara," seru Patih Pecat Tanda pula, kepada Panji Wulung, "Ayah Bendara Raden sendiri!" Panji Wulung segera membungkukkan badannya memberi hormat kepada Ajar Tunggul Manik, ayahnya yang belum pernah dilihat dan dikenalnya. Dituruti oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa yang tak kurang pula herannya, karena keduanya sebenarnya baru pada ketika itu pula menyadari bahwa Ajar Tunggul Manik itu ayahnya sendiri. Orang banyak tidak terkira-kira pula terharunya. Dari pertarungan yang amat sengit sekarang berubah menjadi pertemuan kekeluargaan yang teramat mengharukan. Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa segera mengajak ayahnya dan saudaranya dari Sulebar itu masuk ke dalam kota menemui Raden Damarwulan, yang telah diangkat menjadi Raja Angabaya. Seluruh kota terlalu amat gempar melihat pasukan Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin menuju ke dalam kota mengiringkan Panji Wulung, tentu dengan pengawal kebesarannya pula. Senapati, Raden Menak Koncar, tentu serta pula mengiringkannya beserta beberapa kepala pasukannya. "Apakah gerangan yang telah terjadi?" pikir Seri Ratu Suhita, melihat sekalian pasukan itu telah memasuki gerbang kota Majapahit. Demikian pula Damarwulan ketika sekaliannya menuju ke kesatriaannya, langsung menuju ke tempat kediamannya. 17. Berkumpul dengan Keluarga Pertemuan yang mengharukan! Bagaimana pertemuan Panji Wulung dengan Damarwulan, Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin di hadapan Ajar Tunggul Manik tidak usah diceritakan di sini seluruhnya. Kemudian Ajar Suci itu telah menghilang dengan tiba-tiba, seperti Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kehadirannya begitu juga kepergiannya dengan tiba-tiba pula. Tidak seorang pun yang mengetahuinya. Setelah beberapa hari Panji Wulung tinggal di Majapahit berkatalah is kepada saudaranya, Damarwulan, "Sudah tiba waktunya bagi Adinda akan kembali ke Sulebar. Adinda memohonkan restu kepada Gusti yang Mahasuci, mudah-mudahan Adinda sampai dengan selamat ke negeri Adinda!" Lama juga mereka berunding mempercakapkan tentang kedatangan Raden Layang Seta dan Raden Layang Kumitir ke Sulebar, Panji Wulung sama sekali tidak menduga, bahwa ia telah diperdayakan keduanya dan tidak pula mengira, bahwa Raden Damar saudaranya sendiri. Demikian pula pertemuannya dengan Raden Kuda Rarangin dan Raden Kuda Tilarsa di hadapan ayahnya sendiri, yang pada hari tuanya itu telah menjadi Ajar Suci Tunggul Manik.... Lama mereka terdiam diri memikirkan pertemuan yang aneh itu serta mengenangkan diri dan perjalanan hidup mereka di mayapada "Terima kasih, Adinda, Kakanda pun memohon kepada Yang Mahakuasa, mudah-mudahan Adinda sampai dengan selamat kembali ke negeri Adinda!" ujar Damarwulan melepas saudaranya. "Mengapa Adinda Panji Wulung cepat benar hendak meninggalkan Majapahit" Kakanda sesungguhnya berharap supaya Adinda dapat lebih lama tinggal di Majapahit!" sela Dewi Anjasmara. "Tidakkah Adinda merasa was-was meninggalkan kami di Majapahit dalam keadaan semacam ini...?" "Ya... kalau dipikirkan, lebih besar kekhawatiran Adinda meninggalkan Sulebar, Kakanda!" jawab Panji Wulung. "Tambahan pula persoalan Kakanda Damarwulan dengan Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir, bagaimana Adinda akan turut mencampurinya. Lebih-lebih lagi apabila Adinda timbang-timbang yang menyangkut diri Paman, ayah Kakanda sendiri, amat beratlah bagi kami memasukinya.... Tidakkah Kakanda sendiri dapat merasakannya...?" Mereka sama-sama berdiarn diri pula. "Ya, karena itulah!" sahut Dewi Anjasmara agak bingung. "Bagi Adinda yang terutama keamanan dan ketenteraman Majapahit." Ia terdiam pula seketika. "Bagaimana untuk menciptakan ketenteraman itu pada pertimbangan Kakanda sendiri?" tanya Panji Wulung. "Kalau perlu, untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Kakanda tidak berkeberatan...." "Bersediakah Kakanda membiarkan Majapahit menghukum Kakanda Layang Seta dan Kakanda Layang Kumitir?" ujar Panji Wulung. Dewi Anjasmara terdiam, kemudian katanya, "Kalau tidak bagaimana" Tentu mereka akan menimbulkan kekacauan dan huru-hara juga kemudian!" Panji Wulung pun terdiam. Sesungguhnya dia telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila Patih Logender, Layang Seta, dan Layang Kumitir tidak dapat dicari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kakanda sendiri ingin mendengar lebih lanjut dari Adinda, tentang kedatangan Kakanda Seta dan Kumitir ke Sulebar?" ujar Dewi Anjasmara menyiasati. "Sekarang Adinda merasa telah tertipu oleh Kakanda keduanya itu. Rupanya dengan sengaja mereka hendak mengadu Adinda dengan Kakanda Damar, bahkan hendak mengadu kerajaan Sulebar dengan Majapahit." Demikian jawab Raden Panji Wulung. Kemudian diceritakannyalah sekalian akal busuk dan tipu muslihat yang telah dijalankan Layang Seta dan Layang Kumitir. Lama mereka terdiam memikirkan kelakuan keduanya. Bahkan yang tiada habis-habis mereka pikirkan dan merasa amat heran mengingat tindakan Patih Logender, ayah keduanya, paman mereka sendiri. "Lalu sekarang bagaimana bicara kita yang baik?" desak Dewi Anjasmara. "Hendaknyalah persoalan Kakanda Seta dan Kakanda Kumitir dapat diselesaikan secepat-cepatnya...! Bila tidak, keduanya pastilah akan membakar Majapahit dengan hasutan dan api kedengkian." "Bukan Layang Seta dan Layang Kumitir saja, tetapi yang lebih sulit lagi menyangkut diri Paman sendiri!" sahut Damarwulan agak bingung. "Kakanda harus bertindak tegas. Jangan dibiarkan bahaya itu sampai berlarutlarut!" ujar Dewi Anjasmara. Damarwulan tidak segera menjawab, memandang dengan tajam kepada istrinya, seolah-olah is tidak suka mendengar perkataan yang semacam itu keluar dari mulutnya. Kemudian dengan ragu-ragu menatap kepada Panji Wulung sebagai minta pertimbangan. "Bicara Kakanda Dewi Anjasmara itu benar sekali. Tindakan yang tepatlah yang dapat mencegah bahaya sebelum ia berkobar lebih besar," jawab Panji Wulung_ "Jadi usul Adinda...?" tukas Anjasmara. "Usul Adinda, supaya Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir segera ditahan." "Alasan Adinda?" tanya Raden Damar pula terbata-bata. "Ia akan tetap menjadi sumber fitnah dan jadi pengacau!" "Paman Patih bagaimana?" ujar Damarwulan. "Tidak ada jalan lain, demi keselamatan Majapahit... Apa boleh buat, Ayahanda harus ditahan untuk menjaga keamanan...," jawab Anjasmara dengan tegas. Damarwulan menatap sejurus kepada istrinya, kemudian memandang dengan pandangan yang penuh tanda tanya kepada saudaranya Raden Panji Wulung. "0, Gusti," katanya lambat-lambat. Ia telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi, jika sampai ia menjalankan keputusan yang diusulkan istrinya itu. Cepat terkilat dalam ingatannya ketika itu, seluruh Majapahit akan menyiarkan berita: memang Damarwulan ingin berkuasa dan untuk kemuliaan dirinya ia bersedia menghukum paman dan mertuanya sendiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tidak... tidak...!" ujarnya pula, kemudian memandang kepada istrinya sebagai mengajuk. "Saya bersedia menghadapi musuh, tiga bahkan lima kali lipat dari kekuatan Menak Jingga sekalipun, daripada menghadapi suasana yang sekarang ink.. berlawanan dengan keluarga, disuruh menghukum paman dan mertua sendiri...!" Dari pintu gapura masuk pengawal tergesa-gesa dan mempersembahkan, "Layang Seta dan Layang Kumitir telah tertangkap. Menunggu perintah...!" "Siapa yang berhasil menangkapnya?" tanya Damarwulan. "Kesatria Raden Kuda Rarangin bersama dengan Raden Kuda Tilarsa!" "Yang lain?" "Hanya itu, ... yang lain tidak ada!" Mereka berpandang-pandangan. Dewi Anjasmara kelihatan agak pucat. "Ayahanda bagaimana?" katanya bertanya dan suaranya agak serak. "Bendara Patih tiada hamba ketahui!" jawab bentara pengawal itu. Kemudian bentara itu menghadap kepada Damarwulan dan berkata dengan hormatnya, "Selanjutnya hamba menunggu perintah!" Damarwulan, sebagai Raja Angabaya Majapahit memerintahkan, "Masukkan keduanya ke dalam penjara dan jaga supaya jangan dapat melarikan diri kembali!" Dari alun-alun di muka kesatriaan kedengaran suara ramai dan orang banyak berlari-larian, ingin menyaksikan peristiwa penangkapan itu. Kemudian mereka berbondong-bondong pula mengiringkan kedua orang tangkapan itu menuju ke penjara. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam ruang tahanan dan dijaga oleh beberapa orang prajurit. Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa setelah melaksanakan tugasnya segera menjumpai Damarwulan, Panji Wulung, dan Dewi Anjasmara. Mereka sendiri agaknya juga sangat menyesalkan penangkapan itu, akan tetapi tidak ada jalan lain, demi kepentingan keamanan dalam negeri Majapahit. "Bagaimana Ayahanda?" tanya Dewi Anjasmara sekali lagi. Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa berpandang-pandangan, kemudian sahut keduanya, "Kami tiada dapat menangkap Paman. Terserah kepada kebijaksanaan Kakanda Damar!" Mereka berkumpul di tempat itu sampai larut malam. Tiada lain yang mereka bicarakan, selain keselamatan Majapahit dan bagaimana jalan sebaikbaiknya untuk menyelesaikan pertentangan antara mereka sekeluarga. Yang teramat sulit bagi Raden Damarwulan mengambil keputusan untuk menghadap Patih Logender ... paman dan mertuanya sendiri...! Beberapa hari kemudian armada Panji Wulung kelihatanlah meninggalkan pelabuhan Majapahit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ 18. Fitnah dan Iri Hati Makin -Membakar Majapahit Suasana di Majapahit makin lama makin panas. Raja Angabaya dengan bantuan Senapati, Raden Menak Koncar, tiada lama dapat mempertahankan keamanan. Makin banyak perubahan serta perbaikan dijalankannya untuk kepentingan masyarakat, terutama ditujukannya untuk mengangkat kehidupan rakyat jelata di desa-desa, makin hebat tantangan dari pihak tertentu. Terutama dari pihak kaum bangsawan dan golongan agama. Menurut pendapat mereka, Raja Angabaya terlampau memberi hati kepada rakyat. Malah ada yang mengatakan, siasat Damarwulan memihak kepada rakyat itu adalah untuk memperlemah kedudukan mereka, untuk mengurangi hak dan kekuasaan kaum bangsawan serta untuk menghilangkan kekuasaan serta pengaruh kaum pendeta. Ada pula yang sampai menuduh, sebagai seorang ksatria, is ingin berkuasa lebih tinggi, sebab itu rakyat sekarang dipersiapkannya, dengan jalan memberi hati, mengadakan perubahan dan perbaikan, yang semata-mata hanya menguntungkan rakyat jelata. Malah ada pula yang menuduh, Raja Angabaya yang baru telah dipengaruhi oleh orang-orang dari Utara, sebab itu mereka semakin banyak jumlahnya di kota Majapahit. Banyak lagi tuduhan yang bukan-bukan ditimpakan atas dirinya. Angin pancaroba yang berbahaya tengah melanda Mahapahit! Kemenangan dan kemasyhuran yang dicapai Damarwulan, dalam waktu pendek telah mengangkat dirinya ke atas puncak kemasyhuran dan kemuliaan. Akan tetapi secepat kemasyhuran itu menerbangkan namanya ke mana-mana, secepat itu pula kedengkian, kebencian serta iri hati orang di sekelilingnya berusaha hendak menjatuhkannya kembali, hendak meruntuhkan mahligai kemasyhurannya itu. Majapahit kerajaan Hindu yang telah lapuk itu seakan-akan tak kuasa lagi menahan serangan angin pancaroba yang amat dahsyat itu. Damarwulan sebagai Raja Angabaya, karena fitnah, akhirnya dihadapkan kepada suatu majelis tinggi, dengan tuduhan keji telah menghasut dan menyiapkan rakyat untuk menggulingkan Seri Ratu dan akan menjatuhkan pemerintahan serta rnenggantinya dengan pemerintahan yang baru. Huru-hara timbul di manamana, Iebih-lebih setelah rakyat mengetahui maksud sidang itu. "Bagaimana pendapat Tuanku Werda Menteri?" tanya seorang Werda dengan berbisik kepada temannya yang baru sampai. Yang ditanya tidak segera menjawab dan melihat dengan tajam dan agak liar berkeliling. "Silakan Saudara!" seru yang bertanya itu pula kepada yang ditanya, menyuruh ia duduk, setelah ternyata pertanyaannya tiada lekas mendapat jawaban. la masih mondar-mandir perlahanlahan dan menggaruk-garuk daun telinganya kemudian melekapkan tangan kirinya ke atas dadanya yang sebelah kanan. Semuanya itu mengandung arti tertentu, sebuah isyarat rahasia. Maka yang bertanya itu maklumlah maksudnya menggaruk atau memegang daun telinga berarti bahwa ada dari pihak lawan yang mungkin dapat mendengar percakapan mereka dan tangan kiri di atas dada memberi alamat: hendaklah sabar seketika. Biasanya mereka datang ke tempat itu hanya untuk bertemu sementara saja, untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka; tempat itu boleh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dikatakan tempat umum, sebuah warung biasa, yang boleh dikunjungi siapa saja. "Saya permisi dahulu, Wak!" kata orang itu kepada yang empunya warung itu, Wak Seberang Lor namanya. Sebenarnya bukan nama sesungguhnya, hanya nama warungnya "Warung Seberang Lor" maka orang tua itu disebut merekalah Wak Seberang Lor dan namanya yang sebenarnya, Salikun, serta ada seorang anaknya laki-laki bernama Mukamat. Warung itu terletak di ujung jalan yang menuju ke pasar, agak terpencil, akan tetapi selalu ramai, baik siang maupun malam, karena Wak Seberang Lor selain masakannya enak dan bersih, ia terkenal seorang pembanyol, yang ramah-tamah dan pandai mengambil hati tiaptiap orang yang masuk ke warung itu. "Tidak ada titipan...?" tanya Wak Seberang Lor pula dengan lemah lembut. Pada waktu itu orang-orang dari I'esisir Utara telah mulai banyak berusaha, membuka warung atau berdagang, bahkan orang Islam dari luar Pulau Jawa, seperti dari Sumatera dan Malaka pun telah banyak, umumnya mereka orang dagang, mulai dari yang sekecil-kecilnya, berjual malau dengan nila, benang dengan jarum pentol dan peniti, minyak dan terasi, dan sebagainya. Ada pula yang berjual barang pecah belah, cawan, pinggan, periuk, belanga, halus dan kasar, mulai dari tembikar biasa buatan pribumi, sampai kepada porselen Tiongkok yang sehalushalusnya. Jangan dikata barang sandang, kain tenun yang hal[ s-halus, seperti kain Bugis dan Donggala, Kubang dan Palembang, sutra Antelas dan kain-kain Makau banyak masuk dan diperjual-belikan orang di Majapahit. Sekalian barang yang masuk itu, sebagai gantinya, mereka tukar dengan hasil bumi dari Pulau Jawa. Tentu tidak sedikit keuntungan yang mereka peroleh. Buktinya, pada mula-mula tiba di kota Majapahit, mereka tidak mempunyai apa-apa, selain sedikit perabot dapur untuk keperluan memasak sehari-hari dan sedikit barang dagangan yang menjadi sumber pencaharian mereka. Tetapi setelah berusaha setahun dua tahun kadangkadang belum cukup sepuluh bulan mereka telah mendirikan gedung yang baru, yang hampir menyamai gedung yang ditinggali seorang bupati. Begitu pula tentang perabot rumah tangga mereka, barang pakaian dan perhiasan emas perak mereka selalu berganti dan bertambah, karena makmur penghidupan orang dagang pada waktu itu. Pada umumnya kehidupan mereka lebih maju dan pembagian masyarakat mereka lebih teratur. Kelihatan mereka selalu rukun dan damai serta sangat mementingkan kebersihan. Lima kali sehari dan semalam mereka datang ke pinggir Kali Berantas, ke tempat mereka beribadat, akan menyembah Hyang atau mereka, yang mereka sebut Yang Maha Esa. Mereka sangat teliti sekali menjaga kebersihan dan tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang itu, mereka tetap mensucikan dirinya terlebih dahulu. Kalau sekiranya ada di antara mereka yang miskin, yang tidak empunya, apa-apa bersama-sama pula mereka menolong atau membantunya, dengan Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jalan memberi sedekah atau zakat atau pertolongan yang lain-lain. Pada mulanya kehidupan dan pergaulan orang-orang dari Pesisir Utara dan umumnya penganut agama Islam itu telah memperlihatkan surf teladan yang amat baik, laksana setumpuk kecil bumi yang segar dan subur di tengahtengah tandb cadas yang gersang, kering, dan mati. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Assalamualaikum_..!" ujar orang itu pula, ketika hendak melangkahkan kakinya ke luar pintu. "Alaikum salam!" balas Wak Seberang Lor alias Salikun. "Sudah mau berangkat ini...!" tegur seorang anak muda, ketika ia sampai di halaman dan hendak membelok ke kiri. Anak muda itu tidak lain daft Mukamat bin Salikun atau anak Wak Seberang Lor. Melengong ke kiri dan ke kanan dengan cepat serta menoleh kepada orang-orang yang duduk dalam warungnya ia membisikkan, "Sampeyan ditunggu oleh sidang...! Biar saya menanti di sini ... selamat!" Dengan tidak berkata lagi segeralah ia menuju ke tempat yang dimaksud. Setelah membelok ke kiri is menyeberang jalan, menempuh sebuah lorong, kemudian sebuah lorong lagi dan setelah keluar di ujung lorong yang kedua sampailah ia ke jalan yang agak besar; jalan itulah yang menghubungkan kepatihan dengan penjara dan orang yang diceritakan, menyeberang jalan itu dan setelah melalui sebuah lorong lagi barulah ia sampai ke tempat yang dituju. Setelah memperlihatkan tanda-tanda rahasia ia dipersilakan masuk. "Silakan Saudara...!" seru kawannya yang ditanyainya di warung Seberang Lor tadi. "Karena kita sudah berkumpul marilah kita mulai...." Ia melihat berkeliling, memperlihatkan sekalian kawankawannya yang hadir, sambil mengingat-ingat dengan cepat siapa yang belum kelihatan. "Baiklah saya mulai dengan menceritakan pendapat Tuanku Werda Menteri..." katanya dan melihat kepada kawannya yang baru .datang itu. "Pada mulanya beliau ragu-ragu dan tampak agak tkut-takut." "Takut bagaimana?" tanya seseorang yang duduk di ujung sekali di sebelah kanannya. "Seperti kita semua, maklum Raden Damar alias Raden Gajah memang seorang besar, orang besar yang mengangumkan. Keberaniannya luar biasa menggegerkan Pulau Jawa, bahkan menggoncangkan seluruh Nusantara. Apabila ia didekati atau barang siapa yang telah berdekatan dengan dia, hilanglah sifat kepahlawanannya yang dahsyat menakutkan itu, ia lalu menjadi sahabat tiap-tiap orang, tua muda, hina mulia dan kecintaannya kepada sesama manusia terlalu besar, sama besarnya bahkan lebih besar, bila dibanding dengan kecintaannya kepada pasukannya dan kepada pertempuran selaku kesatria tinggi yang sesungguhnya dalam hati kecilnya ia ingin menjauhi peperangan, karena memang ia sangat membencinya dan bercitacita hendak membangun kedamaian, keadilan, serta keutamaan budi." "Karena itulah rupanya kepala agama menaruh dendam kepadanya," ujar yang lain pula. "Bukan dendam," sela seorang lagi, "tetapi iri hati atau dengki" "Ya, sesungguhnya demikianlah halnya!" sahut yang bercerita itu pula dengan cepat. "Damarwulan sebenarnyalah seorang satria yang taat dan patuh kepada ajaran agamanya dan kemurnian agama itulah yang hendak diperjuangkannya." "Akan tetapi, mengapa ia mendapat tantangan atau perlawanan yang hebat dari pihak kaum agama sendiri?" seru yang lain pula. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Itu sudah sewajarnya...!" "Sudah sewajarnya bagaimana?" sahut orang yang ada di depannya. "Saya sungguh tidak mengerti...." "Bukankah kaum agama, pemimpin-pemimpin kejiwaan itulah sebenarnya yang seharusnya menunjuki rakyat ke jalan yang lurus dan benar, akan tetapi bagaimana kenyataannya sekarang?" jawab orang yang pertama. "Agama jadi alat untuk mengelabui rakyat...!" "Kebenaran agama dan ajaran-ajarannya yang sejati telah lama hilang dan rusak, di Majapahit yang hidup sekarang hanyalah namanya dan tinggal semata-mata ketakhyulannya," sela temannya, yang duduk di sebelah kirinya. "Ya! Tepat sebagaimana yang Saudara katakan itu," sambungnya pula. "Di pertapaan pada mulanya orang datang untuk ketenangan jiwa, mematikan dan menjauhi huruhara dunia, akan memperdalam serta mensucikan kebatinan, dengan tujuan yang utama sekali, ialah akan menyelamatkan masyarakat ramai. Sekarang apa yang terjadi?" katanya pula sebagai bertanya. "Pertapaan dikunjungi oleh orang-orang durhaka, serta tidak dengan citacita yang baik sejak mulanya. Ayat suci dijadikan mantra, mereka menuntut ilmu kebal supaya tidak dimakan besi, tidak telap, tak mempan kulitnya ditembus senjata tajam. Ada pula yang mempelajari ilmu siluman di sekitar pertapaanpertapaan suci itu, supaya dapat menghilang di hadapan orang ramai atau mempelajari mantra "ilmu angin" dapat terbang di angkasa dengan tiada bersayap, serta sanggup lobs ke dalam lubang jarum sekalipun... yang sangat berbahaya kepada putriputri cantik atau gadis-gadis "Mengapa...?" "Coba Anda bayangkan, jika sekiranya ada orang yang sampai berhasil memperoleh mantra keramat ilmu angin semacam itu, bagaimana menjaga keamanan rumah tangga" Alangkah takut dan ngerinya anak istri Saudara ditinggalkan di rumah, biar pintu dipalang dengan jerajak besi, dikunci serta diikat erat-erat dari dalam, namun penjahat juga masuk, sebab lalu angin lalu pula dia karena pertolongan mantranya itu." "Jadi, kalau begitu dari celah-celah dinding atau dari lubang angin, ia dapat masuk...?" tanya yang lain. "Ya, menurut kepercayaan mereka yang bodoh itu," jawab yang bercerita. "Karena mereka bodoh lalu diperbodoh-bodoh benar dan pendeta-pendeta itu sebagai pemimpin kerohanian bukanlah mengajarkan petunjuk agama yang benar, yang akan dapat mencerdaskan rakyat, akan tetapi semata-mata menyiarkan takhayul yang menyesatkan dan menggemparkan masyarakat. Pertapaan ramai dikunjungi karena ilmu semacam itu. Pintu depan kedengaran diketuk orang, lalu terbuka. "Ini yang dinanti-nanti telah datang! Agaknya Saudara tidak kebenatan kami mulai!" katanya pula sambil mempersilakannya duduk. "Karena Saudara yang ditugaskan menghadap Tuanku Werda Menteri baiklah Saudara teruskan!" sahut orang itu dengan cepat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Terus terang harus diakui," katanya pula, "ibarat orang berlayar, kita sungguhsungguh mendapat angin turutan, angin dari buritan, tugas kita yang utama menjaga kemudi dengan baik. Orang-orang besar Majapahit memang masih dapat dipengaruhi oleh Patih Logender, sebabnya seperti saya ceritakan tadi: Raden Damar terlalu keras bertindak dan sangat percaya akan kekuatan-nya dan kebenaran mutlak yang diperjuangkannya itu." Ia diam seketika. "Akan tetapi, ada pula kelemahannya," katanya, "kelemahannya inilah yang membawanya kepada kehancuran..." "Apakah yang Saudara maksud?" tanya yang kedua di sebelah kanannya. "Raden Damar seharusnya telah lama mengambil tindakan dan bersikap tegas terhadap mertuanya itu, tetapi sayang ia tak sanggup, sebenarnya ... tidak mau...!" "Ya... tak sampai hati... terhadap mertua dan paman sendiri!" ujar seseorang sebelah kirinya. "Sebenarnya yang menjadi pusat bencana dalam hal ini, ialah Layang Seta dan Layang Kumitir, iparnya," kata yang lain pula, yang duduk di ujung sekali, sebelah kiri. "Bukankah keduanya sekembalinya dari Sulebar bersamasama Raden Panji Wulung, telah terbuka rahasianya, tegasnya fitnah busuknya, serta telah pula tertangkap oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, saudara Damarwulan sendiri?" "Memang sampai pada saat ini keduanya masih tetap dalam penjara, tetapi namanya saja yang dipenjara, ayah bundanya bebas keluar masuk." "Ya... ya... memang serba sulit, yang menjadi kepala penjara i keluarga mereka juga," kata yang seorang. "Mudah-mudahan mahkota Rajasa akan jatuh dan singgasana Majapahit yang telah lapuk ini akan runtuh, supaya kepercayaan baru yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat membangun Jawadwipa dan mempersatukan seluruh Nusantara. Kita sebagai pengikut Sunan Giri dalam memperjuangkan kebenaran dan kemurnian ajaran baru yang telah jadi kepercayaan kita dapatlah mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya!" katanya pula selanjutnya. "Bagaimana tentang bangsawan yang lain?" tanya salah seorang. Pembicara yang kedua, yang ditugaskan untuk itu, berkata, "Sri Paramesywara pasti di pihak Patih Logender, karena beliau terhitung keluarga dekat kepada ibu Layang Seta, pamannya di pihak ibu." "Yang penting pula kita ketahui," kata yang lain lagi, "ialah pendirian Rakrian Tumenggung.'}" "Rakrian Tumenggung ikut memusuhinya!" sahut seseorang. "Percayalah Tuan-Tuan sekalian," kata yang lain memberi keterangan. "Kebesaran dan ketinggian budi Damarwulan memang telah tertanam sangat dalam di hati rakyat jelata, ia sesungguhnya sangat mencintai mereka, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menyamai bahkan melebihi kecintaan seorang bapa membela serta memperjuangkan kepentingan anak-anaknya. Seperti Bering kita dengarkan Raden Damar berteriak-teriak di paseban atau di manguntur, di manamana, bahkan dalam sidang sekalipun, katanya: rakyat jelata kurus kering karena kurang makan, tenaganya diperas habishabisan diperintah menjalankan ini dan itu dan kewajiban terlalu berat, semata-mata untuk kepentingan kaum bangsawan belaka. Selama ini mereka telah ditekan dan ditindas, katanya, tiada diberi hak sedikit juga untuk bersuara membela diri dan mempertahankan hak-hak mereka." Diam sebentar, kemudian orang itu meneruskan keterangannya, "Karena Damarwulan terlalu berpihak kepada rakyat, kaum bangsawan lalu menjadi musuhnya. Bukan saja kaum bangsawan dan pegawai-pegawai tinggi pemerintahan, tetapi lebih-lebih lagi kepala-kepala agama, Syiwa dan Buddha. Sepanjang pendengaran hamba, sekalian kaum bangsawan, mulai dari rangga, tumenggung, paramesywara, patih, mangkubumi dan kedua pembesar agama membenci Damarwulan dan berusaha sekuatkuatnya untuk menjatuhkannya. 1=lanya seorang Senapati jadi sahabatnya yang setia, sedang Menak Koncar sekarang sedang bertugas keluar kota. "Boleh hamba menyela?" tanya seorang pula. "Silakan Saudara!" jawab yang berbicara itu. "Jika demikian, pendirian Damarwulan tentang keadilan dan bangun masyarakat, yang dikendaki serta dicita-citakannya itu sama benar dengan yang dikendaki para wali kita?" "Tampak-tampaknya memanglah demikian, tidak banyak bedanya. Agaknya itulah yang Bering disebut-sebutnya dengan kebenaran mutlak itu! Ihanya... sayang...!" Ia terdiam. "Sayang bagaimana?" tanya orang itu. "Setujuan akan tetapi berlainan caranya, dan ya... berbeda pula hakikatnya!" "Ah... ah... janganlah pula Saudara berfilsafat terlalu tinggi...!" katanya pula, "kami ini orang awam, belum mengerti benar istilah mantik dan filsafat!" "Ya," sahut yang lain, "hamba sependapat dengan Tuan minty dijelaskan apa maksud perkataan itu?" "Seperti telah diceritakan, para wali yang mengajarkan ajaran baru mengingini dan memperjuangkan keadilan masyarakat, supaya seluruh masyarakat dapat menerima dan merasakan hikmat keadilan itu, langsung menurut petunjuk Yang Mahakuasa." Ia diam dan memandang berkeliling. "Raden Damar, karena pengalaman atau penderitaannya bersama-sama dengan rakyat jelata selama ini, kita umpamakan jiwa dan batinnya itu merupakan sebagian atau belahan jiwa rakyatjelata itu sendiri, bertindak karena dendam atau karena iri hati belaka pada mulanya. Diumpamakan karena usaha, karena tindakan dan perjuangan mereka sendiri, bila perjuangannya itu telah berhasil, pertama umpamanya mereka menjadi orang kaya, akan bergunakah kekayaan itu kepada dirinya sendiri" Atau kepada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ masyarakat sekitarnya" Belum tentu! Mungkin is akan menjadi pengisap yang lebih kejam. Kedua, ditnisalkan mereka hendak memperjuangkan golongan atau kedudukan dalam masyarakat, bukan perjuangan untuk mencari kekayaan atau harta benda. Katakanlah, golongannya dapat menggantikan golongan yang berkuasa sekarang ini. Dari golongan rakyat jelata yang dikendalikan, berubah menjadi yang mengendalikan, pasti mereka tidak akan menyokong "keadilan" yang mereka perjuangkan pada mulanya itu! Mungkin sebaliknya, setelah berhasil perjuangan mereka, segeralah mereka menginjak-injak keadilan itu pula untuk mempertahankan kedudukan mereka. Manusia tidak mungkin bersifat adil, jika tidak percaya kepada "I'uhan Yang Mahakuasa, serta bersedia menjalankan petunjuk-petunjuk-Nya !" Pintu masih diketuk-ketuk orang sekali lagi dengan keras dan setelah dibukakan palangnya, segera dikuakkan dan dibantingkannya kuat-kuat, karena gugupnya. "Ada apa, Mukamat?" tanya mereka serempak. "Ada suruhan dari menguntur, mengabarkan, bahwa rakyat telah menyerbu ke pusat kota dan keraton telah mereka kepung." "Sudah adakah berita yang nyata tentang persiapan tentara Adipati Bintara?" tanya seorang berbisik. Sebahagian yang ada dalam pertemuan itu termasuk anggota barisan penyuluh atau penyelidik tentara Adipati Bintara sendiri, yang ditugaskan mempelajari dan mengetahui segala sesuatu yang diperlukan. Segala gerak-gerik dan kegiatan serta suasana dalam kota Majapahit pada akhir-akhir itu telah mereka pelajari sebaik-baiknya. "Bila tentara Senapati Menak Koncar tampak bergerak hendak kembali," kata seorang utusan pula, setelah is diberi kesempatan untuk melapor. Mereka berpandang-pandangan, sama-sama dapat membayangkan apa yang akan terjadi di bumi Majapahit. "Tuhan selalu bersama kita.. !" bisik mereka. 19. Bala Tentara Bintara dengan Mudah Memasuki Majapahit "Paseban dan menguntur terbakar...!" kedengaran orang berteriak-teriak sarnbil berlari-lari. Mula-mula kelihatan asap mengepul ke udara, tegak lurus menjulang ke angkasa, hitam keabu-abuan warnanya. Kemudian diiringi tiupan angin dari laut, dari arah Selat Madura. Rupanya angin itu sangat rendah di bawah, karena asap yang menjulang laksana pohon beringin raksasa itu, tampak pecah terputus seperti ditebang di tengah-tengah. Api lalu menjilat ke sebelah barat, menuju bangsal-bangsal prajurit, gedung-gedung pemerintah dan rumah-rumah penduduk, yang sangat rapat dan luar biasa ramai nya. Maklumlah kerajaan Majapahit, suatu kerajaan Indonesia-Hindu yang terbesar di seluruh Nusantara, pada waktu itu pasti lebih besar daripada kerajaan yang didirikan oleh seorang pangeran pelarian dari Sriwijaya, Sri Pararnesywara, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ialah kerajaan Malaka. Kotanya mungkin jauh lebih besar serta lebih megah dan dapat dipastikan, ketika itu termasuk salah satu kota tua yang teramai penduduknya di seluruh Nusantara, terletak di tanah lembah yang amat subur. Hasil buminya melimpah ruah, perdagangannya amat maju. Apalagi sejak Raja Angabaya yang baru itu memegang kekuasaan, kehidupan serta kemakmuran rakyat sangat dipentingkannya. Sungguhlah seperti disebutkan dalam peribahasa: lohjinawi karta raharja, sangat subur, aman dan makmur. Mengapa penduduk Majapahit sangat padat pada waktu itu"! Ada perumpamaan yang umum di seluruh Nusantara sejak dahulu, yang maksudnya sangat mementingkan keturunan daripada harta benda. Bila seorang gadis mengikat perkawinan, dimintakan oleh seluruh keluarga, agar keduanya beroleh keturunan sebanyak bintang di langit, ada yang mendoakan sebanyak titik air hujan yang terpencar dari celah-celah mega mendung. Ingat saja perang Kurawa dengan Pendawa dalam cerita wayang, Bharatayuda yang terkenal Kurawa keturunan Bharata, bersaudara sembilan puluh sembilan orang, jadi kurang satu seratus. Itu yang terdaftar atau yang dikenal raja... mungkin juga banyak yang tidak kenal karena tidak pernuh mendaftarkan diri.... Sebagai hadiah keluarga, pemberian perkawinan yang terutarna menurut adat, bukanlah barang elms, intan, berlian, atau kain tenun, sutra halus atau cawan pinggan yang rnahal-mahal atau salah satu perabot rumah seperti sekarang ini, akan tetapi sesuatu yang bersifat perlambang, sebagai doa atau Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mantra, seperti ikan belanak, (bun riwu-than, semacam lokan: peso-peno dan lainlain sebagainya. Ikan belanak semacam ikan yang cepat berkembang biak, maksudnya supaya lekas beroleh anak dan berkembang biak; peno-peon sebunyi dengan penuh, rium-rizvu dengan beribu-rilnr, jadi sama dengan filsafat Jawa tersebut: niunlh rezeki banyak anak, sesuai dengan filsafat hidup bangsa Nusantara ketika itu. letapi jangan salah. Pada waktu itu penduduk Pulau Jawa belum sepadat sekarang. Sekarang perlu pembatasan dan perencanaan, sesuai dengan keadaan. Betullah ketika api telah menyambar ke kiri dan ke kanan dengan dahsyatnya, penduduk berlompatan keluar, seperti kelinci yang kepanasan bergelomparan keluar dari sarangnya. Ada yang sempat melilitkan sampingnya dan mengenakan baju, ada yang menjinjing kain saja datang terburu-buru dan tak sempat mencari bajunya lagi. Ada yang berkemben') saja rapi-rapi, tiada berbaju dan terlupa pula memakai kain, lalu berlari sepanjang jalan raya yang telah penuh sesak, dengan sangat gugup dan ketakutan. Di muka Bangsal Agung, yang terletak di seberang jalan di sebelah timur rakyat membuat huru hara. Mereka menyerbu pertahanan barisan pengawal. Mereka menuntut keadilan, meminta supaya Damarwulan dilepaskan. "Tuduhan yang ditimpakan kepada Raja Angabaya fitnah belaka!" seru mereka beramai-ramai. "Majapahit menghadapi keruntuhan," teriak mereka, "karena fitnah dan iri hati...!" "Lekas, Gusti, lekas...!" kata mereka, ketika melihat Dewi Anjasmara datang berlari-lari dengan sekalian biti-biti perwaranya_ "Suami Gusti menjadi korban kedengkian dan pengaduan Berta tuduhan palsu!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tolong, Gusti, tolong...!" teriak yang lain beramai-ramai. Penjagaan pengawal itu sangat rapat, tidak seorang pun diperkenankan masuk. "Lekas, Gusti, lekas...!" seru mereka beramai-ramai lalu menyerbu barisan pengawal itu. Maka terjadilah perkelahian hebat antara barisan pengawal dengan rakyat. Sementara itu di tempat kebakaran kedengaran teriak, lolong, tangis dan jerit makin riuh dan api makin menggila dengan semau-maunya tiada teralangi dan terkendalikan yang sekarang telah mulai menjalar arah ke pasar, yang terkenal sangat ramai. Raden Menak Koncar kembali dengan pasukannya dan langsung menuju ke Bangsal Agung, akan mengetahui keputusan sidang keratuan tentang diri Damarwulan yang difitnah itu. Ia akan berusaha mencegah dan membela sahabatnya yang tiada bersalah itu. Didapatinya rakyat sedang menyerbu dan berkelahi dengan barisan pengawal. Sekaliannya menjadi kalap, ketika melihat Dewi Anjasmara tidak diizinkan masuk. "Hentikan perkelahian ini...!" seru Menak Koncar lalu menahan kudanya di tengahtengah orang banyak itu. Mendengar suara Senapati itu orang banyak melapangkan jalan dan menghentikan perkelahian. "Hamba ingin mengetahui nasib suami hamba, Raden!" seru Dewi Anjasmara, menghampiri kuda Menak Koncar. Mendengar suara Dewi Anjasmara, Menak Koncar segera melompat dari atas kudanya dan menyembah dengan hormatnya. Sementara itu pasukannya telah berhasil menguasai suasana, segera melapangkan jalan kepada rombongan Dewi Anjasmara, diiringkan senapati Menak Koncar. Kedatangan mereka terlambat...! Sesaat sebelumnya Damarwulan telah menerima nasibnya menjalani hukuman... dengan membenarkan tuduhan dan kekerasan dan paksaan kaum bangsawan sebagian besar anggota Majelis Agung telah membenarkan tuduhan dan fitnahan. "Hamba mencari suami hamba, Gusti!" kata Dewi Anjasmara, setelah melihat berkeliling dalam ruang sidang dengan tajam dan liar. Setelah ternyata orang yang dicarinya tidak ada lalu menjatuhkan dirinya ke bawah kaki Dewi Suhita yang masih duduk di atas singgasana Majapahit untuk penghabisan kalinya. Baginda masih termangu seperti kena pesona mengenangkan keputusan yang telah diambil oleh sidang. Jika sekiranya suami hamba harus menerima hukuman, karena kelancangannya bertindak, mengubah dan merombak, mana yang dianggapnya telah usang dan lapuk, Gusti, hamba mohon dengan amat sangat akan kebijaksanaan serta pertimbangan Gusti yang seadil-adilnya, supaya kepadanya dijatuhkan hukuman yang seringan-ringannya. Hamba mengetahui benar jiwa dan isi hati Damarwulan. Setelah ia Gusti angkat menjadi Raja Angabaya, karena hamba selalu diajaknya berunding dalam suka dan dukanya, demi dewa-dewa, tiadalah pernah ia menyembunyikan sesuatu kepada hamba; percayalah. Gusti, bahwa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ segala yang dilakukannya itu dengan maksud baik belaka, guna keselamatan dan kemajuan rakyat Majapahit pada umumnya, untuk memperkokoh serta memperkuat dasar pemerintahan Seri Ratu juga khususnya. Ia tiada mau senang dan diam, jiwanya hidup dan bergerak selalu. Ya Gusti...! Kadang-kadang melihat kepincangan kehidupan masyarakat rakyat Majapahit, jiwanya tampak seakanakan berontak dengan hebat. Acapkali ia berkata di muka rakyat, dengan niat hendak menyadarkan dan menginsafkan mereka, ujarnya, alangkah janggalnya apabila di bumi Jawadwipa yang kaya, sangat subur dan amat indah ini ada rakyat yang melarat, hidup sengsara dan menderita. Tidak patut... tidak patut...! Saling pengertian antara rakyat dan pemerintah selama ini telah hilang, karena kepercayaan rakyat kepada petugas-petugas pemerintah hampir-hampir tidak ada lagi. Senantiasa ia bercerita kepada hamba, ia harus menghampiri rakyat untuk mengetahui isi hati mereka dan cita-cita yang tersembunyi di dalamnya, serta hendak merigembalikan kepercayaan mereka yang telah hampir hilang. Keinginannya amat besar dan luhur, Gusti, bukan saja dalam memajukan penghidupan rakyat sehari-hari, akan tetapi ia bercitacita pula hendak memperbaiki kehidupan keagamaan, yang menurut pendapatnya sudah amat kolot dan banyak pula yang sebenarnya bertentangan dengan petunjuk kitab suci yang sesungguhnya. Tiap malam hamba perhatikan ia mempelajari dan memahami kitab Weda dan sering kali pula is berkata kepada hamba: tiap agama itu suci, kesalahan itu selalu dibuat oleh orang yang menjalankannya, karena tidak dapat memahami hakikat agama yang sebenarnya dan tidak mengerti lagi akan makna ayatayat dalam kitab sucinya. Ajaran agama itu diumpamakannya laksana mata air yang keluar dari celah-celah batu di tanah pegunungan, bening dan jemih airnya, suci tiada bernoda sedikit jua, sangat berguna dan bermanfaat kepada manusia, bahkan bagi tumbuh-tumbuhan dan hewan serta makhluk sekalian. Kalau tidak karena ajaran agama, yang merupakan pertunjuk-petunjuk suci daripada Dewan Mulia Raya, jagat maya ini sudah lama musnah dan manusia selalu berbunuhbunuhan dan berdengkidengkian. Akan tetapi kesucian ajaran agama itu, dijelaskannya kepada hamba, telah banyak dirusak orang, diumpamakannya seperti air yang pada asal mulanya amat bening dan jernih itu, makin lama makin berubhh, rusak dan keruh makin banyak serta makin panjang sungai yang dilaluinya, makin banyak kotoran dan lumpur yang menyelinap masuk menyertainya, sepanjang jalan sehingga kadang-kadang sepintas lalu amat sulit membedakan dan memisahkan air dan lumpur, Gusti! Percayalah, Gusti, suami hamba sekali-kali bukan berniat hendak mendurhaka atas kesucian sabda Dewa Mulia Raya, malah sebaliknya ia bertindak untuk menyelamatkan dan membela kemurnian segala ajaran itu! Diceritakannya pula, bahwa masa kita sekarang ini sudah terlalu amat jauh dari sumber agama yang sesungguhnya, sebab itu suami hamba berusaha dan berdaya-upaya untuk mengadakan penyaringan dan pembersihannya kembali, ya, Gusti, untuk menjaganya dari kemusnahan_ Sekali-kali bukanlah seperti Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang didesas-desuskan oleh suatu golongan tertentu, yang menaruh dendam dan iri hati kepada suami hamba, karena hendak...." Ia tiba-tiba terdiam dan memandang dengan liar berkeliling mengamati tiaptiap muka yang menatap kepadanya. "Katakanlah, Gusti hukuman apakah kiranya yang telah dijatuhkan atas diri suami hamba...! Mengapa ia tiada kelihatan..."!" katanya dengan suara yang membayangkan kecemasan. "Dari mula hamba tiba, perasaan hati hamba mengatakan, suami hamba sudah tidak ada... lagi.._ di dunia... maya...! Benarkah, Gusti..."!" Dewi Suhita tiba-tiba seakan-akan merasa serta menyadari akan kelemahannya sebagai ratu dan baru menginsafi, bahwa dirinya sesungguhnya telah dikelilingi oleh orang-orang yang sebenarnya telah bermufakat jahat, untuk mendurhaka dan memfitnah untuk menjatuhkan dan membunuh Damarwulan. "Paman Patih...!" serunya kepada bekas Patih Logender, yang turut hadir sebagai saksi, yang sebenarnya sebagai penuduh. "Bagaimana pendapat Paman tentang bicara Adinda Anjasmara itu" Berkata benarlah Paman! Demi para Dewa, sekarang baru hamba melihat dengan senyata-nyatanva, bahwa Pamanlah sebagai bekas patih Amangkubumi, yang dapat memberi keterangan seadiladilnya!" Patih Logender tidak dapat menjawab. Ia dari tadi menekur saja, menahan perasaan tiada sanggup memandang wajah anaknya sendiri dalam sidang itu. "Bagaimana nasib suami hamba, Ayah?" ujar Dewi Anjasmara pula berpaling kepada orang tuanya yang masih berdiam diri. "Sampai hati Ayah memutuskan cinta kasih hamba dengan suami hamba, setelah ia berhasil membela serta mempertahankan Majapahit dari kehancuran... Katakanlah Ayah, di mana suami hamba... anak saudara Ayah sendiri.._! Ayah... Ayah...!!" suara Anjasmara makin keras, meneriakkan seluruh kecemasan hatinya. "Apa alasannya maka Ayah jadi berbeda kasih berlain sayang terhadap anak sendiri...!" katanya pula berhiba-hiba. "Menjawablah, Paman Patih, sebagai anggota keluarga yang tertua...!" titah Dewi Suhita sekali lagi. "Seri Ratu yang hamba muliakan, di mana suami hamba?" katanya pula putus asa dan berpaling kepada Dewi Suhita, setelah ia sia-sia menanti jawab dari ayahnya. "Aku... Aku... Dinda Dewi Anjasmara, tidak berdaya menghalangi...," jawab Seri Ratu Suhita terputus-putus dan turun dari atas singgasananya lalu memeluk Anjasmara. "Aku sendiri telah diperdayakan oleh saudara dan ayah Dinda sendiri...!" Dewi Anjasmara segera melepaskan dirinya dari pelukan Seri Ratu Suhita, undur selangkah dan menatap Dewi Suhita sejurus lamanya. "Jadi, betullah seperti dugaan hamba, bahwa suami hamba... tidak ada lagi, Gusti!" seru Dewi Anjasmara terputus-putus suaranya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Seri Ratu Suhita tidak dapat menjawab, kerongkongannya seakan-akan tersekat. "Majapahit akan musnah, negara akan hancur...! Mahkota Rajasanagara telah berakhir di tangan Seri Ratu...!" teriaknya, memandang kepada orang banyak. "Tuan-Tuan telah turut mengkhianati pahlawan sejati, pahlawan yang lama dinantinanti selama ini. Ratu sendiri," katanya berpaling kepada Dewi Suhita yang masih tegak terpaku di hadapan Dewi Anjasmara, "seakanakan Baginda sendiri tidak sadar akan kedudukannya sebagai ratu. Dalam hati selalu memuja akan keluhuran budi suami hamba. Akan tetapi sampai hati Gusti menjatuhkan hukuman, menyetujui keputusan hukum yang tidak adil...." Hening seketika! Yang hadir menahan napas. "Bukan rahasia lagi, Gusti, di peluaran sejak suami hamba telah berhasil menyelamatkan negara, sepatutnyalah ia duduk di samping Seri Ratu Bukan sebagai Raja Angabaya, akan tetapi... sebagai mahkota hati Gusti ... sendiri." Sekalian yang hadir gempar. Seorang perempuan gila tiba-tiba masuk dari pintu bangsal yang menuju ke belakang, yang sewaktu-waktu memang tidak dijaga. Majapahit akan hancur, Kerajaan Dewa-Dewa di Nusantara, Kebesaran mahkota Rajasanagara, Telah lapuk menanti gugur... Majapahit penuh pertentangan, Penuh kedengkian dan persaingan, Rakyat menderita tidak terkira, Buminya makmur rakyat sengsara. Hidup melarat tanpa perlindungan, Kezaliman merajalela di mana-mana, Penuh khianat, penuh kedengkian, Rakyat menderita lahir dan batin, Diperas, dihisap pembesar negeri, KeadiIan dan kebenaran sukrr dicari. Perempuan gila itu makin mendekat ke tengah-tengah ruang sidang dan di halaman Bangsal Agung kedengaran suara rakyat makin gaduh. "Api tak dapat dikuasai lagi...!" demikian kepala pengawal menyampaikan pemberitahuan. Seri Ratu Suhita masih tegak kebingungan. Kedatangan dan perkataan perempuan gila itu seakan-akan tiada diketahui dan dihiraukannya. Kemudian ia memandang ke arah Patih Logender kembali. "Bagaimana, Paman" Berkata benarlah...!" katanya. "Layang Seta, Seri Ratu!" sahutnya lambat-lambat, hampir-hampir tiada kedengaran oleh yang lain. Sidang lalu bubar. Layang Seta segera melompat keluar lebih dahulu. Rakyat tiada dapat lagi menahan kemarahannya dan berteriak-teriak, "Pegang Layang Seta...! Tangkap pengkhianat...!" "Tangkap...! Tangkap...!" "Bunuh...! Bunuh...!" seru mereka beramai-ramai. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Suasana tak dapat ditahan dan dikuasai lagi. Mula-mula Layang Seta berdaya-upaya juga hendak melarikan diri, diiringkan oleh Layang Kumitir, tetapi setelah dilihatnya di mana-mana api dan gelombang orang banyak yang telah siap memperkepungkan dia, ia terpaksa menyerah. Pada saat itu barulah ia merasakan pembalasan kedengkian dan buah perbuatan jahatnya sendiri. Diceritakan, pada akhirnya ia telah diangkat menjadi Patih Amangkubumi, menggantikan ayahnya, dengan alasan untuk kedamaian keluarga dan tentu dengan persetujuan Damarwulan juga. Karena memang selama ini ia tiada pemah menaruh dendam kepada kedua orang sepupunya, yang telah jadi iparnya itu. Sebaliknya ia selalu berniat baik serta berpengharapan baik terhadap pamannya, Patih Logender, bagaimana ia akan memusuhinya!" Ada pula yang mengatakan, Damarwulan seorang yang terlalu percaya akan diri sendiri, serta terlampau yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya itu, maka tiadalah ia menghiraukan benar akan segala tindakan orang lain. Apalagi terhadap mertuanya, pamannya sendiri dan terhadap kedua orang sepupunya, yang jadi iparnya pula...! Adapun Adipati Bintara, yang telah lama berhubungan dengan pemimpinpemimpin Islam dari Malaka serta dari Pesisir Utara Pulau Sumatera dan ia sendiri telah pula menganut ajaran baru itu, telah lama mengirim barisan penyuluh, maka dengan mudahlah ia membawa bala tentaranya memasuki kota Majapahit yang sedang kacau balau itu.... Sejak lebih kurang tahun 1500 Masehi mulailah sejarah kerajaan IslamDemak di Pulau Jawa. Riwayat Hidup ZUBER USMAN dilahirkan di Padang pada tahun 1916. Setamat dari Adabiah, ia melanjutkan studinya ke Thawalib School di Padang Panjang dan kemudian Islamic College di Padang (1937). Pada tahun 1938, ia pindah ke Jakarta dan menjadi guru bahasa Melayu di sekolah Muhammadiyah. Selain pendidikan formal, ia juga pernah mengikuti kursus Middelbare Acte Bahasa Indonesia di Universiteit van Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1961, ia menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Sastra Universitas Nasional. Selain itu, ia juga meraih gelar sarjana pendidikan Universitas Indonesia pada tahun 1962. Karya-karyanya, antara lain Sepanjang Jalan dan Beberapa Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1953), Aneka Rasa (1952), Kesusastraan Lama Indonesia (1954), Hikajat Iskandar Zulkarnain (1956), Kesusastraan Baru Indonesia (1957), Kedudukan Bahasa dan Sastra Indonesia (1960), dan Damarwulan (1975). Suling Emas Dan Naga Siluman 26 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Penghuni Kuil Emas 1