Ceritasilat Novel Online

Gema Di Ufuk Timur 3

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 3 "Malam ini tidur di sini saja." Tiba-tiba Bozgen mengangkatnya seperti mengangkat boneka. Bulu-bulu kasar di tangan Bozgen menggelitik. Dengan perlahan Bozgen meletakkan tubuh Repi di tempat tidur empuk beralas sutera putih. Berbeda dengan Vos dulu ia hampir tak menyadari sama sekali apa yang dilakukan pada dirinya. Ia baru sadar esoknya, dan dengan menyesal membersihkan bercak darah yang membeku menodai pahanya. Belum habis rasa sakitnya Vos mengulangi dan mengulangi lagi pada siang dan malam harinya. Tangisnya tidak mendapat perhatian dari sang Gubernur yang terhormat itu. Kali ini ia merasakannya dengan sadar. Betapa hangat pelukan Bozgen. Dan ia menggelinjang karena ciuman yang berulang membuat napasnya memburu seperti kuda betina. Belum lagi minuman keras yang membuat keduanya samasama mabuk. Belum lagi tangan Bozgen yang dengan rajinnya meraba ke hampir seluruh bagian tubuhnya. Ia makin melambung seperti terbang di awang-awang. 0oo0 Bulan Jawa disebutkan sebagai bulan Sriwana, sedang bulan di penanggalan Masehi disebut sebagai bulan Agustus ketika seluruh Blambangan dicekam tanda tanya besar. Ni Ayu Karisyati, anak Tumenggung Sutanegara, oleh Colmond diminta beberapa hari lalu sebagai upeti. Gadis yang baru berumur sebelas tahun. Memang orang tak akan ingkar bahwa anak itu akan tumbuh menjadi sekuntum bunga yang luar biasa eloknya. Semua orang menjadi terpana mendengar itu. Kisahnya menjadi buah bibir setiap kerumunan orang. Apakah satria, brahmana, tak terkecuali sudra. Perawan suci upeti bagi Colmond. Dan kisah itu berawal dari kunjungan Mayor Colmond ke Sumberwangi dan Lateng beberapa hari lalu. Yah, beberapa hari lalu. Anak itu masih tampak ke pasar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Walau ia tidak mengenakan pakaian seperti umumnya satria Blambangan. Ia harus berkemben di dadanya. Namun ia masih suka bermain dengan anak-anak satria Blambangan lainnya. Yang membuat ia kelihatan lebih dewasa dari usianya sendiri ialah karena ia suka berkinang. Membuat bibirnya yang mungil merah seperti delima. Colmond melihatnya waktu ia akan pergi bermain. Dan langsung memintanya pada Sutanegara. Tentu saja, walau keberatan, Sutanegara tak berani menolak. Karena sebelumnya Colmond sudah berang dan menegur Sutanegara dalam hal penyelenggaraan pajak. Sutanegara dinilai kurang menunjukkan kesetiaannya pada VOC. Bukan cuma itu, Colmond sendiri membakar beberapa lumbung kawula vang tidak terisi padi. Cuma terisi ubi, gembili, serta macam-macam tanaman lain yang tidak laku jika dijual ke pasaran Kompeni. "Kenapa banyak orang tidak menanam padi" Apa Kompeni disuruh makan kelapa" Tuan Tumenggung tidak periksa itu sawah-sawah mereka?" "Sudah, Tuan. Tapi padi mereka sudah habis untuk bayar..." "Tidak bisa! Itu menunjukkan orang Blambangan malas! Kikir! Tidak tahu diri! Mereka harus! - harus! - harus! disadarkan untuk dengan rela hati membayar pajak. Pajak! Sekali lagi pajak!" Colmond bertolak pinggang dan berjalan mondar-mandir di pendapa Katumenggungan Lateng itu.. "Sungguh... sungguh, sudah..." "Bohong! Mereka tanam ubi jalar. Itu bukan makanan Kompeni! Itu makanan babi! Atau Tuan sengaja suruh mereka tanam demikian" Supaya Kompeni lapar" Tuan hendak memberontak" Tuan hendak membikin gara-gara?" Serentetan tuduhan mengalir dari mulut Colmond sambil terus menudingnuding dengan telunjuknya. Tangan kiri-kanannya pun tak berhenti bergerak bergantian pada waktu ia bicara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tidak, Tuan." Kini Sutanegara jadi gemetar. Ia tahu tak ada kekuatan yang akan dapat melawan Kompeni. Keringat dingin keluar. Bersamaan dengan itu Ni Ayu Karisvati keluar ke halaman. "' "Siapa itu?" Colmond bertanya sambil menunjuk Karisyati. Sekilas Colmond melupakan Bhoe Joek Ie. Bukan cuma Bhoe Joek Ie saja sekarang, tapi juga Lie Pang Khong yang kini tinggal di Lo Pangpang, punya hubungan gelap dengan Colmond. Itulah sebabnya ia harus memburu lebih banyak lagi masukan barang agar dapat memenuhi, permintaannya dan juga memenuhi jatah pajak yang ditetapkan oleh Gubernur Surabaya. "Itu" Anak hamba...." Sutanegara menyesal kenapa anak itu tak bisa menahan diri untuk diam dalam kaputren. "Anak itu kami bawa ke Lateng. Sampai Tuan dapat menyadarkan kawula Tuan." "Anak itu..." Wajah Sutanegara makin pucat. "Jangan khawatir. Ia akan tinggal selalu dekat dengan aku. Ia akan diperlakukan baik-baik. Dan akan kembali ke Lateng setelah Tuan memenuhi kewajiban. Panggil anak itu!" Dan terjadilah kehendak Colmond. Inilah harga kerja sama dengan pasukan asing. Tak peduli apakah gadis itu menangis terus atau Sutanegara tercenung bagai tersadar dari sebuah mimpi buruk, kehendak Colmond tidak bisa dicegah. Belum habis ketertegunan Sutanegara, penjaga gapura datang melaporkan kedatangan tiga orang berkuda. "Siapa?" "Tidak tahu, Yang Mulia. Dua orang wanita cantik dan seorang pria. Semua mengenakan busana satria Blambangan." "Satria?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ya. Yang seorang mengingatkan kita pada wajah Yang Mulia Wong Agung Wilis." "Apa katamu" Seperti Wong Agung Wilis" Jika demikian suruh mereka masuk segera." Pengawal itu berbalik. Dan beberapa bentar kemudian Sayu Wiwit bersama Mas Ayu Prabu serta Mas Ramad Surawijaya. Sutanegara ingat benar pemuda ini yang dipanggil orang Mas t Dalem Puger. Mereka masih hidup" Semua orang tentu mengira bahwa pemuda ini sudah tewas bersama Mas Berod dan Mas Toyong yang juga anak Wong Agung Wilis. Hati Sutanegara sedikit berdebar. Tiga orang itu melangkah gagah. Meniti trap pendapa dan dengan tanpa penghormatan berdiri di depan Sutanegara. "Selamat sore, Yang Mulia. Dirgahayu...," salam Mas Ramad Surawijaya membuktikan bahwa ia bukan hantu. "Selamat... Yang Mulia, eh... silakan duduk," gugup menerima pandangan tajam ketiga orang itu. "Tidak usah gugup. Kami datang untuk merundingkan suatu hal yang amat penting. Penting bagi kita semua. Penting bagi seluruh Tanah Semenanjung Blambangan. Kami bukan akan minta tahta Blambangan. Nah, mari kita bicara baik-baik," Ramad menerangkan. "Ba... baik, Yang Mulia. Tetapi... siapakah sebenarnya para Yang Mulia ini" Dan apa perlunya datang kemari" " "Mari kita duduk baik-baik dulu," Mas Ramad mengajak. Dan bertiga mereka duduk di pendapa. Cukup besar. Tapi bentuknya sudah sama sekali berubah. Tidak seperti zaman Prabu Mangkuningrat. Tak ada lagi lambang Sonangkara (gambar kepala anjing hitam di atas dasar merah sebagai lambang Blambangan) di pampang dalam ruangan itu. Yang ada sebuah gambar bulat terukir tulisan bahasa Arab yang tidak dimengerti maknanya baik oleh ketiga orang tamu muda Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ itu, maupun oleh Sutanegara sendiri. Namun di dinding sebelah kiri ketiga tamu itu dapat membaca sebuah silsilah yang ditulis dalam bahasa Blambangan. Silsilah Sutanegara. Sutanegara ke atas yang disangkutkan bahwa Sutanegara masih keturunan Tawang Alun dan masih lagi diurut ke atas. Di atas sendiri di tulis Bhree Wijaya! Ahai, Sutanegara masih keturunan raja-raja Majapahit" Apa benar begitu" Kemarin ketika menemui Wangsengsari di Lo Pangpang, mereka juga melihat silsilah serupa. Juga menyebutkan bahwa Wangsengsari ternyata juga masih keturunan Tawang Alun. Bahkan juga keturunan Bhree Wijaya. Terdapat juga di rumah Suratruna, Patih Lateng yang sering tinggal di Sumberwangi. Apa arti semua itu" Rupanya seluruh orang yang rasa dirinya besar selalu mencoba mencatut nama besar raja-raja Majapahit. Dengan demikian orang itu berharap supaya semua orang menghormatinya karena dia masih berdarah Majapahit. Orang yang ingin mendapat kebesaran tanpa perjuangan, pada hakikatnya penjahat! Sutanegara mengambil tempat duduk sambil menarik napas panjang kala ketiga orang itu memperhatikan silsilahnya. "Eh... itu silsilah... dari ayah hamba. Jadi..." "Jadi kita masih sedarah!" Mas Ramad memotong. "Hamba adalah putra Wong Agung Wilis! Ramad Surawijaya!" "Oh... ampunkan hamba," Sutanegara menyembah. Dalam hati ia sudah mengira bahwa pemuda gagah berani ini pasti anak Wong Agung Wilis. "Berdirilah, Yang Mulia! Tak perlu itu! Pembunuhan terhadap puluhan ribu putra-putra terbaik bumi semenanjung ini tak bisa dibayar dengan hanya sembah dan permohonan ampun!" Mas Ramad menajamkan mata. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sutanegara yang telah pupus oleh tindakan Colmond beberapa hari lalu, kini kian kehilangan tenaganya. Walau cuma untuk mendongak saja. Tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti Rahwana dalam cerita wayang purwa yang akan terjepit oleh dua gunung batu. "Hamba tak ikut membunuh..." "Memang, Yang Mulia!" Kini Mas Ayu Prabu yang berbicara. Walau begitu ia tetap tak berani memandang wajah mereka bertiga. "Tapi tanda tangan Yang Mulia yang menyetujui kerja sama dengan Kompeni telah mengakibatkan penjarah dan perampasan milik sudra yang tak berdaya. Akibat yang lebih jauh dari itu, kematian demi kematian jatuh tanpa dapat dicegah! Tak sadarkah?" Suara itu memang enak didengar. Tapi sungguh mengguncangkan kalbu. Ia tahu kata-kata itu pasti berekor. "Semua berjalan di luar kemauan hamba..." Bertiga mereka tertawa. Hati Sutanegara kian meriup-riup. Ingin ia mengusir mereka. Tapi tak ada keberaniannya. Seorang seperti Mas Ramad berani masuk ke sini bukan tanpa perhitungan. "Satria harus menggunakan nalarnya yang bening sebelum mengambil suatu sikap," kembali Mas Ayu Prabu berkicau. "Apalagi, Yang Mulia berdarah Majapahit! Leluhur kita tidak pernah mengajarkan pada kita untuk memiliki jiwa seperti siput. Lelaki Ciwa dilahirkan untuk perang. Untuk melawan dan menantang tiap kesulitan. Bukan menjual diri pada orang asing." "Ampun, Yang Mulia...." "Apalagi merelakan anak kandungnya diperkosa oleh bangsa asing dengan semau-mau. Tak ubahnya ayam yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ membiarkan telurnya sendiri diambil makhluk lain dan dimusnahkan dari kemungkinan untuk menikmati hidup masa mendatang! Barangkali induk ayam masih lebih baik. Ia membela jika anaknya diganggu." "Ampun, Yang Mulia. Hamba menjadi bingung. Lalu apa yang harus hamba lakukan sekarang?" "Baik." Kini Mas Ramad yang bicara kembali. "Apa yang akan Yang Mulia lakukan jika Wong Agung Wilis datang kembali?" "Wong Agung Wilis datang kembali" Mimpikah hamba ini siang-siang mendengar kabar seperti ini?" "Tidak, Yang Mulia! Wong Agung Wilis tidak pernah mati. Beliau akan kembali memerintah di seluruh wilayah Blambangan. Sekarang baru sebagian. Dengar, Wong Agung Wilis tidak akan mati. Dan akan ada di mana-mana, di seluruh wilayah Blambangan ini." Sutanegara sungguh menjadi bingung. Tapi tak urung menjadi takut juga. Mungkin saja Wong Agung Wilis mempunyai seribu nyawa sehingga ia tak mempan terkena pelor Kompeni. Atau ia hidup kembali seperti raja kera yang berdarah putih dalam cerita wayang purwa, yang bernama Subali" "Ya... Al ah, Ya... Rabi". Ia mulai dapat menyebut dalam Islam. "Baik hamba akan dengar dan menurut seluruh perintah para Yang Mulia." "Bukan itu yang kami harapkan. Kami menghendaki Yang Mulia kembali mencintai tanah kelahiran Yang Mulia. Jika Yang Mulia tunduk pada Wong Agung, belum tentu Yang Mulia mengasihi negeri ini. Sebaliknya jika Yang Mulia mengasihi negeri ini, maka pasti Yang Mulia bersetia kawan dengan kami. Dan tunduk pada pemerintahan Wong Agung Wilis." "Yah... hamba akan setia pada negeri Blambangan ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hyang Maha Dewa menyaksikan pembicaraan kita ini. Walau Yang Mulia sekarang ini seorang Islam, kami tidak ambil peduli." "Hamba bersumpah." Bersamaan dengan itu pengawal gerbang kembali menghadap dengan berita bahwa Suratruna datang menghadap bersama seorang tamu asing. Pedagang Cina. Sutanegara memandang ketiga tamunya. Namun Mas Ramad memberikan persetujuan agar Suratruna bersama tamunya itu diperbolehkan masuk. Maka mereka pun diperkenankan masuk. Dan tamu itu segera menjadi perhatian. Berkulit kuning, mata sipit. Rambutnya hitam pekat dan dikuncir di belakang kepala. Cukup panjang. Sampai di punggungnya. Wajahnya bersih tanpa kumis menggambarkan bahwa usianya masih muda. Di balik sutera kuning yang membungkus tubuhnya, terdapat tubuh bidang dan otot-otot terlatih. Orang itu mampu berbahasa Blambangan dan memperkenalkan diri dengan nama Tha Khong Ming. Tidak telanjang kaki seperti umumnya satria Blambangan. Ia datang dari Bali dengan membawa berita yang mengejutkan semua orang. Dengan tanpa keraguan atau curiga pada siapa pun ia mengatakan bahwa ia diutus oleh Wong Agung Wilis yang berada di Mengwi untuk menemui Sutanegara dan Suratruna. Mas Ramad dan Mas Ayu Prabu menahan hatinya. Ah, jangan-jangan hanya pancingan Belanda. Tapi sebenarnya hati mereka seperti gelombang Laut Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kidul yang menggelora. "Tentu para Yang Mulia tidak akan begitu saja percaya. Tapi hamba membawa bukti. Surat beliau untuk Yang Mulia Sutanegara." Kemudian dengan tanpa menunggu jawaban ia mengambil segulung lontar yang ia letakkan dalam ikat pinggang suteranya. Dengan penuh kebimbangan Sutanegara menerimanya. Seperti mimpi saja, ia membuka dan mengolesi lontar itu dengan bubukan kapur. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tanpa ada yang menyuruh Mas Ayu Prabu dan Mas Ramad bergerak untuk ikut membaca. Sedang Sayu Wiwit tetap mengawasi semua kejadian dengan saksama. Tha Khong Ming sendiri tidak mencegah orang lain yang ikut membaca lontar itu. Dengan suara bergetar Sutanegara membaca: "Yang Mulia Sutanegara, Sekalipun aku tidak berada di Blambangan, namun sebenarnyalah aku tidak pernah dapat dipisahkan dari bumi kelahiranku. Aku masih hidup sampai sekarang. Karena itu aku tetap merupakan sebagian dari Blambangan sendiri. Dan selama aku masih hidup aku tidak akan membiarkan tanah kelahiranku dirampok, dirampas, diperkosa semau-mau oleh perompak-perompak bule itu. Aku tahu Yang Mulia melakukan semua yang telah terjadi bukan dengan semau Yang Mulia sendiri. Karena itu pertemukanlah Tha Khong Ming dengan anakku Mas Sratdadi. Aku tahu dia masih hidup sementara aku belum mendengar berita tentang istri dan anak-anakku. Di samping itu, untuk memudahkan hubungan kita selanjutnya, berilah Tha Khong Ming kemudahan untuk bergerak di wilayah Lateng. Jika perlu bantulah ia agar dapat masuk ke wilayah Wangsengsari. Dirgahayulah, Yang Mulia. Dirgahayulah Blambangan!" Kepala Sutanegara menjadi berdenyut-denyut. Persoalannya kian menjadi rumit. Ini tulisan tangan Wong Agung Wilis sendiri. Menulis dari ibukota Mengwi. Tanpa sadar butiran keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan di kening dan dahinya. Ia pandang Suratruna. Dan orang itu memberikan pertimbangan, "Kita tidak perlu lagi menyangsikan. Bukankah di sini ada Yang Mulia Mas Ramad dan Mas Ayu Prabu" Mereka juga menceritakan pada hamba bahwa Yang Mulia Wong Agung Wilis tidak mati. Kita harus percaya. Dan kita perkenalkan saja mereka dengan Tuan Tha Khong Ming. Hamba percaya para Yang Mulia ini tahu ai mana Mas Sratdadi berada." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Oh... betul-betul seperti dongeng. Ampuni kami. Baiklah, Tuan Ming. Secara kebetulan Tuan bertemu dengan putra Yang Mulia Wong Agung Wilis. Mari, Yang Mulia, silakan saling berkenalan," kata Sutanegara kemudian pada semua tamunya. Tha Khong Ming segera berhadapan dengan Mas Ramad. Alangkah terkejut hatinya ketika memperhatikan pandangan mata Mas Ramad yang tajam seperti Wong Agung Wilis yang kini tinggal di sebuah puri di Mengwi. Bahkan wajahnya pun sama. Cuma yang seorang sudah tua dan yang seorang masih muda. "Dirgahayu, Yang Mulia....," ia lebih dulu menghormat. Ia mendengar dari Wong Agung betapa salah seorang putranya yang diberi nama Ramad dan bergelar Pangeran Dalem Puger adalah pemberani dan gagah perkasa. "Dirgahayu...," Ramad tetap menajamkan mata. "Senang bertemu dengan Tuan. Aku akan mengusahakan sebuah rumah untuk Tuan di wilayah Sumberwangi. Tapi dalam perniagaan Tuan akan bersaing dengan Bhoe Joek Ie serta Lie Pang Khong yang mendapat bantuan penuh dari Mayor Colmond." "Ahai, Colmond" Itu tidak soal. Kita akan mengusahakan mengusir dia dari Blambangan. Hamba punya banyak teman yang bisa kita mintai tolong untuk mengerjakan semacam itu di Surabaya. Jangan khawatir." Mas Ramad dan Ayu Prabu serta Sayu Wiwit mengerti benar apa arti perkataan Tha Khong Ming. Tentu ia mempunyai hubungan dengan Vos sebagai atasan Colmond. Ahai, betapa licinnya orang ini. Tapi bagaimana mereka bisa berkenalan dengan Ramanda" Mas Ayu Prabu lebih dulu memecahkan teka-teki itu. Jika Wong Agung ada di Mengwi maka ia sengaja tidak menggunakan orang Bali untuk memasuki istana Sutanegara. Pertama, akan membuat Sutanegara yang telah beralih agama ketakutan. Kedua, akan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ membangkitkan kecurigaan Kompeni. Namun demikian ia merasa perlu menyelidiki Tha Kong Ming lebih teliti. "Baik. Aku percaya itu. Yang Mulia...," Mas Ramad kemudian menoleh pada Sutanegara. "Kita akan berhubungan kemudian. Setuju?" "Hamba, Yang Mulia. Akan hamba bantu semua keperluan Yang Mulia." "Bukan keperluan hamba. Tapi seluruh Blambangan. Ingat, kali ini Wong Agung Wilis tidak akan memberi ampun terhadap setiap pengkhianatan! Kepala Yang Mulia tetap menjadi taruhan. Demi Blambangan, demi Hyang Maha Ciwa, orangorang kami tak segan melakukannya setiap saat." "Tapi di mana hamba dapat menghubungi Yang Mulia jika sesuatu yang penting akan hamba sampaikan pada Yang Mulia." "Di jalan menuju pasar, tidak jauh dari sini, ada pandai besi. Yang Mulia bisa bertanya pada Gimbrus bagaimana caranya menghubungi hamba." "Baik, Yang Mulia. Dan untuk Tuan Tha Khong Ming?" "Biar kami yang mengatur." "Tapi kali ini hamba harus bersua dengan Yang Mulia Sratdadi. Ini amanat Yang Mulia Wilis." "Tidak cukup denganku" Katakan pada Ramanda, inilah aku, Mas Dalem Puger!" "Baik, baik, Yang Mulia. Hamba akan kembali menghubungi sepuluh hari lagi." "Tuan akan mendapat rumah di Sumberwangi sepuluh hari lagi. Aku akan menunggu di rumah Yang Mulia Suratruna. Nah, dirgahayu. Aku akan pergi dulu." Ketiga orang itu pergi dengan tanpa memberikan penghormatan. Tha-Kong Ming memperhatikan punggung mereka yang telanjang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mengagumkan keberanian mereka. Dan setelah Tha Khong Ming pergi dengan meninggalkan hadiah sekadarnya, Sutanegara seperti bangun dari mimpi. "Sungguh membingungkan, Yang Mulia." "Kita sedang menghadapi persekongkolan." Suratruna menjawab. "Kita harus hati-hati. Hamba sendiri tidak berani menolak Tha Khong Ming. Ingat, jika benar Wong Agung masih hidup, kita bisa mati jika menolaknya." "Tapi mungkinkah Wong Agung Wilis masih hidup" Sulit memecahkan teka-teki ini." "Yah... memang sulit untuk dipecahkan. Tapi... hamba dengar ada seorang rsi yang sangat bijak di Songgon. Bagaimana pendapat Yang Mulia jika kita melangkahkan kaki ke sana. Pandita muda itu bernama Rsi Ropo. Para kawula sangat menghormatinya. Ia mempunyai pandangan tajam. Mampu melihat apa yang terjadi di balik Wiswayana (khatulistiwa) sekalipun." "Apa betul begitu?" "Kita perlu membuktikan sendiri, Yang Mulia." "Hamba setuju, Yang Mulia. Semoga Al ah memberi petunjuk." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ VI. SAPAAN DARI SEBERANG Siapa akan pernah menduga bahwa rumah besar yang berdiri tepat di tengah desa Songgon itu akan menjadi tempat dari awal titik balik pandangan Suratruna maupun Sutanegara. Pandita muda itu bukan cuma mengagumkan. Tapi juga menarik hati setiap orang yang datang kepadanya. Begitu juga kala ia menerima kehadiran dua orang pembesar dari Lateng itu. "Dirgahayu, Yang Mulia. Senang sekali menerima kedatangan para Yang Mulia. Burung-burung juga senang berkicau menyambut," Resi Ropo memulai setelah mereka dipersilakan bersirih terlebih dahulu. "Terima kasih, Yang Tersuci. Kami pikir, kami amat mengganggu. Namun kami sangat perlu bersua dengan Yang Tersuci secara pribadi. Para pedagang, petani, dan semua orang bercerita tentang kemampuan Yang Tersuci. Kemampuan menolong banyak orang untuk memecahkan kesulitannya." "Kemampuan" Bukankah setiap orang memiliki kemampuannya sendiri" Ahai... Yang Mulia memang tidak lupa adat kita walau Yang Mulia berdua sudah menjadi Islam. Tapi Yang Mulia sudah mulai pandai berpura-pura. Maksud hamba berbasa-basi." Resi tertawa ramah. "Bukan basa-basi, Yang Tersuci, hamba memang mendengar itu. Dan hamba datang untuk memohon pertolongan...." "Hamba tidak keberatan untuk menolong. Itu kewajiban hamba. Tapi terlebih dahulu hamba ingin menekankan bahwa sebenarnyalah para Yang Mulia tidak memerlukan pertolongan hamba jika Yang mulia dapat menghimpun kemampuan yang tersembunyi dalam tubuh Yang Mulia sendiri. Kemampuan itu bukannya tidak ada. Tapi belum digali." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ampun, Yang Tersuci. Hamba tak mengerti apa yang dimaksudkan. Hamba memang tidak berdaya." "Ketidakberdayaan adalah dosa! Sebab dengan demikian dia tidak menghargai Hyang Maha Dewa yang memberikan kemampuan. Dan barangsiapa membiarkan dirinya hidup dalam ketidakberdayaan maka ia mendurhakai Pencipta-nya." "Ampun, Yang Tersuci...." "Hyang Maha Dewa begitu murah. Yang Mulia masih menganggap diri tidak berdaya" Yang Mulia telah menerima Mas Dalem Puger yang mampu mengalahkan mati itu, bukankah itu anugerah yang luar biasa" Juga Tha Khong Ming yang membawa berita dari Yang Mulia Wong Agung Wilis. Bukankah itu kekuatan yang luar biasa untuk memusnahkan kerakusan Kompeni. Ya, Kompeni yang menginjak kehormatan tanah leluhur serta pribadi Yang Mulia?" Ternganga mulut dua satria itu mendengarnya. Ropo tahu ia menerima tamu" Dari siapa orang ini tahu" Maka Sutanegara memandang tajam-tajam pada Ropo. Tapi pandangan mata pemuda yang mengenakan jubah kuning itu kembali melindas. Ia serasa tak berani beringsut sedikit pun. Ropo kemudian kembali tertawa. "Yang Mulia curiga pada hamba maka memandangi seperti itu" Ha... ha... ha... Brahmana Ciwa pantang berdusta. Tidak layak mencurigai hamba. Dalam jiwa bersih akan lahir tindakan yang bersih pula. Masih ingat akan ajaran karma " Niat jahat akan melilit diri sendiri. Sebab setiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri." "Ampun, Yang Tersuci...." Dua orang itu saling lirik. Bibir mereka komat-kamit tanpa kata. "Seperti Kompeni yang memiliki niat jahat itu, maka mereka juga akan menanggung kejahatannya. Hari-hari terakhir ini jurang di Merawan penuh dengan bangkai putra-putra Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Blambangan. Semuanya mati seperti anjing kurap kelaparan. Siapa yang bertanggung jawab atas semua kematian itu?" Diam sebentar. Sepi. "Kompeni juga akan membayar mahal," lanjut Resi Ropo. Tangannya memungut sirih. "Lihat saja sekarang, berapa orang bule yang mulai ikut mati" Walau mereka tidak ikut kelaparan. Tidak ikut mengangkut batu. Tidak ikut menerima cemeti prajurit Madura atau Probolinggo atau Pasuruan ketika lutut mereka mulai gemetar mengangkut kayu-kayu dari hutan. Tidak dibakar terik mentari membangun perkubuan. Tapi mereka juga mulai ikut mati. Juga pasukan gabungan, berapa yang mati karena sakit mendadak" Adakah Yang Mulia tak mendengar semua itu?" "Ti... ti... tidak, Yang Tersuci." "Itu salah satu sebab Yang Mulia menjadi tidak mampu. Bukankah Hyang Maha Ciwa menganugerahkan telinga yang sama" Tapi sayang, telinga Yang Mulia tidak untuk mendengar berita. Dan hanya dipergunakan untuk mendengar gemerincingnya emas dan uang." "Ampun, Yang Tersuci." "Menyakitkan memang. Tapi ini perlu hamba sampaikan supaya mulai sekarang Yang Mulia mendengar. Mendengar dan melihat! Barangsiapa tidak mendengar dan tidak melihat, maka ia tidak mengamati kehidupan. Dan barangsiapa tidak mengamati ia tidak pernah belajar mengerti kehidupan." "Mungkin sudah takdir____" "Bohong! Itu ucapan penipu! Kita disuruh puas dengan kemelaratan kita, kesudraan kita, kekalahan kita karena sudah takdir____ Itu kata-kata hiburan. Atau juga patokan supaya kita tidak melangkah ke depan. Ha... ha... ha... Sejak kapan Yang Mulia belajar seperti itu?" Sutanegara tersipu malu. Juga Suratruna. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apakah memang sudah takdir jika Repi, putri Tumenggung Lo Pangpang, ditiduri oleh Vos dan diperkosa habis-habisan tiga hari tiga malam itu?" Berhenti sejenak. Dan kedua orang itu menelan ludahnya. Dua satria Lateng itu makin terlonggok-longgok. Ropo juga tahu kejadian itu" "Apakah juga takdir jika sekarang Repi jatuh ke tangan pemuda bule yang bernama Bozgen dan mereka sekarang ini hidup seperti suami-istri di luar perkawinan" Itu cuma akalakalan manusia yang mencari keenakan! Tentu ada yang diuntungkan dan dirugikan. Aha... mungkin ini pula rupanya yang membuat Yang Mulia tidak berbuat sesuatu kala putri tersayang Lateng diangkut ke Pangpang?" "Yang Tersuci juga tahu itu...," Sutanegara tak dapat menahan hatinya lagi. Kini matanya menatap penuh harap. "Dengar! Kenapa tidak" Itu sebagai salah satu karma dari keberanian Yang Mulia menandatangani perjanjian damai serta sedia bekerja pada VOC. Akibatnya" Ketidakberdayaan." Kini Sutanegara mengangguk-angguk dan tunduk. Wajah putrinya yang menangis dan meronta kini membayang di pelupuk matanya. Tanpa sadar air matanya mengalir di pipi. Suratruna juga ikut sedih. "Tidak perlu lagi ditangisi. Ini imbalan dari ketidakpekaan Yang Mulia memandang dan mendengar. Celaka, telinga Yang Mulia hanya dipergunakan mendengar desah wanita muda di Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tempat tidur Yang Mulia, tapi tak mendengar jerit putri Yang Mulia yang masih sebelas tahun itu diperkosa di ranjang drubiksa buas seperti Colmond?" "Yang Tersuci..." Tubuh Sutanegara terguncang karena tangisnya. Orang setinggi itu, sebesar itu, menangis! "Memang Yang Mulia datang pada hamba untuk menanyakan apa benar Wong Agung Wilis masih hidup" Dengar baik-baik, para Yang Mulia. Wong Agung Wilis tak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pernah mati di hati kawula Blambangan. Sekalipun Yang Mulia memerintah Blambangan, tapi kawula akan lebih taat pada pemerintahan yang sebenarnya. Yaitu pemerintahan Wilis." "Wilis kembali memerintah?" "Ya! Mereka akan berhenti menyerahkan pajak jika sudah ada perintah dari Wilis. Sebentar lagi akan tiba saatnya." "Yang Tersuci, benarkah ini?" Suratruna makin kaget. "Sudah kukatakan. Yang Mulia tidak pernah melihat sekeliling Yang Mulia sendiri. Coba hamba ambil contoh. Yang Mulia Sutanegara ini, pasti belum mendengar bahwa Ni Ayu Karisyati sudah mati di atas tempat tidur Colmond...." "Ya, Al ah... benarkah ini?" "Tidak percaya boleh. Tapi pulanglah sekarang, maka Yang Mulia akan menerima pemberitahuan dari Colmond. Hamba tak tahu apa alasan yang akan diberikan Colmond. Tapi kita semua bisa mengerti, betapa gadis cilik umur sebelas tahun diperkosa oleh binatang buas seperti Colmond...." "Tidak!" Sutanegara berdiri. Melangkah gontai, diikuti oleh Suratruna dan pandangan mata Ropo. "Tidak, Anakku!" kembali ia berdesis lirih di regol rumah besar milik Ropo. Para cantrik memperhatikannya. Sebelum ia naik ke kudanya, ia sempatkan melihat kembali ke pendapa. Tapi Ropo tidak ada. Ketika ia ingin kembali dan minta kepastian akan apa yang didengarnya seorang cantrik mendekatinya. "Sudah cukup. Resi tidak akan menemui Yang Mulia kembali." Ia pandangi cantrik itu. Berkulit sawo matang. Tangannya kekar dan bergelang akar hitam di sebelah kanannya. Seperti prajurit, pikirnya. Ia akan melangkah dengan tidak menggubris cantrik itu. Namun sekali lagi suara mantap cantrik itu menghentikan langkahnya. "Yang Mulia akan menyesal jika memaksa." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Seperti kena wibawa Sutanegara tidak membantah. Ah... tidak berani! Keluar dari desa Songgon ia bingung. Haruskah ia mampir ke Lo Pangpang dan menghadap Mayor Colmond" Ia ragu. Jika Resi Ropo ternyata tidak benar, maka Colmond akan menjadi amat marah. Namun demikian mengingat semua yang diucapkan Ropo mengenai keadaan yang telah ia alami tidak meleset, tentunya tak usah lagi diragukan. Memang ada dua kemungkinan. Ropo hendak mengadu dia dengan Belanda atau benar-benar ingin menolongnya seperti katanya tadi. Lagi Wilis. Wilis yang memerintah atas seluruh Blambangan. Tidak mengakui pemerintahannya di Lateng dan Wangsengsari di Lo Pangpang. Apa benar Wong Agung Wilis dia itu" Dan jika ia melewati kampung-kampung, sawahsawah, akan mendengar tembang yang menyebutkan bahwa Wong Agung Wilis tidak mati. Dan itu mulai juga dikidungkan oleh anak-anak gembala. Bahkan juga gadis-gadis cilik yang sedang mencari kayu di tepi hutan. Agung Wilis... Aram mundur, awak ajur Uang kubure... ( pantang mundur dan tiada berkubur ) Demikian antara lain bunyi syair yang sempat ia tangkap. Ia tahu persis apa artinya itu. Jika diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari di Blambangan, Uang kubure berarti 'tidak pernah mati' atau 'tidak berbekas'. Dan itu menunjukkan betapa cintanya kawula Blambangan terhadap Wong Agung Wilis. Terutama orang-orang di sekitar desa Songgon. Ah, rupanya banyak perkampungan baru. Tahukah Wangsengsari akan hal ini" Pernahkah petugas pajak Lo Pangpang datang ke desa yang subur ini" Ah... sepertinya tak terusik oleh tangantangan si bule. Suratruna membuatnya tidak jadi ke Lo Pangpang. Dan mereka bergesa pulang. Namun demikian berdua telah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bersepakat untuk semakin berhati-hati terhadap siapa pun. Semua orang kian sulit ditebak. Orang Blambangan sedang terbagi dua. Pihak Kompeni dan Wilis. Tapi siapa Wilis sebenarnya" Benarkah dia Wong Agung Wilis yang pernah menjadi Patih Amangkubhumi Blambangan. Jika benar dia... ah, tidak ada orang yang bernyawa rangkap. Dia sudah mati. Jika tidak karena kelaparan pasti sudah tertembus pelor Belanda. Nah, sekarang terbuktilah kebohongan Resi Ropo dan Mas Ramad serta Tha Khong Ming. Persekongkolan penipu. Namun hatinya kembali berdebar kala sampai di pendapa istananya Bapa Anti sudah duduk bersama Jaksanegara. Suratruna tetap menemaninya. "Assalammualaikum..." sapa Bapa Anti. "Mualaikum salam____Sudah lama?" Sutanegara kemudian menjabat tangan kedua tamunya. Demikian pula Suratruna. Para istri Sutanegara tidak boleh ikut menemuk- Walau Sutanegara r tidak ada mereka hanya bisa mempersilakan tamunya dari balik kisi-kisi bambu. Atau ada juga yang cuma di balik tirai. Ahai, peradaban baru bagi para satria Blambangan. "Sudah cukup lama. Sudah lelah menunggu," Jaksanegara tertawa. "Sampai-sampai kami ingin mencari ke mana para Yang Mulia pergi." "Cuma memeriksa daerah kami," Suratruna menyahut lebih dulu. "Sebab akhir-akhir ini banyak terjadi penjarahan oleh perampok yang nekat." "Benar, Yang Mulia. Mungkin itu tak terjadi di Pangpang," Sutanegara menimpali. "Tapi kedatangan para Yang Mulia amat mengejutkan. Adakah berita penting?" Pertanyaan itu meluncur dengan tanpa dipikir. Sebenarnyalah bukan pertanyaan istimewa. Namun mampu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menghapus senyum semua orang-. Dan tiba-tiba saja bayangan wajah Rsi Ropo muncul di angan Sutanegara. Sebentar kemudian bayangan anaknya. Lama kemudian barulah Bapa Anti menjawab. "Sebenarnyalah, Yang Mulia, kami mendapat perintah dari Tuan Mayor Colmond untuk membawa berita bagi Yang Mulia." "Berita tentang apa?" "Dua hari lalu, tiga orang yang biasa bertugas sebagai jagal sapi untuk dapur Kompeni masuk kamar Ni Ayu Karisyati dan di luar dugaan memperkosa putri Yang Mulia sampai meninggal...." "Apa Katamu, Bapa Anti?" Sutanegara bangkit dari tempat duduknya. "Anakku mati?" "Dibunuh orang. Dan orang itu telah ditembak oleh Mayor. Mayor sangat menyesal atas kejadian ini. Dan minta maaf." "Dibunuh orang?" Sutanegara terkulai kembali lemah di tempat duduknya. Marah, menyesal tapi tidak berani, menjadi satu. Melahirkan ketidakberdayaan. Namun kemudian segera ia ingat pada Rsi Ropo. "Akhir-akhir ini memang sering kita mendengar hal yang aneh-aneh. Sebenarnyalah Belanda ingin memajukan negeri kita. Tapi kita malas bekerja. Aneh, para pekerja selalu nekat, mereka memilih tidak mau makan, bahkan dilecut sampai mati daripada membangun benteng dan loji serta jalan-jalan. Bukankah itu kebodohan?" Jaksanegara berusaha mengalihkan kesedihan Sutanegara. "Bahkan mulai ada yang berani melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang mau membangun negeri dalam arti kerja sama dengan Kompeni," lagi Jaksanegara meneruskan kesimpulan yang diberikan Colmond padanya. Tapi Sutanegara sudah tak mampu mendengarnya dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ baik. Telinganya seperti mendengung. Suara Resi Ropo pantul-memantul di dinding hatinya. Menimbulkan gema yang tiada kunjung henti. Belanda yang datang baik dengan cara perorangan maupun dalam kelompok-kelompok adalah gelombang perompak rakus yang tidak kenal ampun. Membantu dan kerja sama sekadar tipu muslihat untuk menutupi keganasannya. Dalam diam Sutanegara menyimpulkan. Belanda tidak ada yang baik. Dan untuk ketidakbaikan itu ia harus membalasnya. Bukankah mulut Colmond sendiri yang mengatakan, anak Tuan akan aman. Tapi masuk akalkah jika anak itu - yang ditempatkan di kamar Colmond - bisa mati terbunuh oleh orang lain" Maka Sutanegara hanya diam mendengar ocehan Jaksanegara. Bungkam seribu bahasa. "Kami ikut berdukacita. Mudah-mudahan arwah Ni Ayu diterima di sisi Tuhan. Karena pengabdiannya buat negeri amat besar," lagi Jaksanegara mengoceh. Dan ketika kedua orang itu meninggalkan pendapa ia telah sampai pada keputusan akan memusnahkan Colmond dari Blambangan. Kalau perlu ia akan membunuhnya dengan tangannya sendiri. "Tidak mungkin kita melakukannya sendiri, Yang Mulia," Suratruna menasihati. "Lalu?" "Kita akan berunding dengan Resi Ropo yang pasti didukung oleh suatu kekuatan." "Dari mana Yang Mulia tahu?" "Keberanian yang ditampilkan dengan cara seperti itu mustahil tanpa latar belakang. Dan kita juga akan membicarakannya dengan Mas Ramad, yang pasti juga memiliki kekuatan tersendiri. Nah, kita perlu menghimpun juga kekuatan dengan Tha Khong Ming. Jika semua kekuatan bergerak bersama, apa sukarnya mengusir Colmond dari sini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Benar juga. Kita tunggu mereka." Namun demikian penantian selalu membuat hati siapa pun resah. Dalam beberapa hari terakhir. Malam sukar memejamkan mata. Siang juga tidak enak makan. Para istri tidak berani mendekat. Kupu-kupu di taman yang sedang hinggap di bunga-bunga tidak lagi menarik hatinya. Juga burung-burung kecil tidak mampu menghibur, bahkan suara yang sedikit berisik membuat telinganya sakit. Penantian melahirkan seribu angan. Namun semuanya musnah kala saatnya tiba. Jika Bhoe Joek Ie cuma diberi hak menyewa, Tha Khong Ming diizinkan membeli tanah dan rumah yang cukup besar. Kebetulan rumah tersebut adalah bekas milik Martana, pedagang yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Wong Agung Wilis. Maka ketika ia masuk ke rumah itu ia melihat halamannya cukup luas. Berpagar mirip kelenteng, dengan gerbang yang bisa tertutup rapat. Cocok dengan seleranya, maka berapa pun uang yang diminta oleh Suratruna ia tidak lagi menawarnya. Pertemuan selanjutnya berada di rumah itu. Ramad, Mas Ayu Prabu, serta Sayu Wiwit sudah hadir juga tepat pada waktunya. Demikian pula Suratruna maupun Sutanegara. Tha Khong Ming sebagai tuan rumah sekarang, tampak sibuk membungkuk-bungkuk hormat. Menyiapkan tempat duduk sendiri. Juga menyiapkan minuman sendiri. "Maafkan, para Yang Mulia, hamba masih belum beristri. Jadi semua harus sendiri. Juga belum ada pelayan." "Kami akan mengirim orang untuk bekerja pada Tuan," Ayu Prabu mendahului semua orang. Dan Mas Ramad menyetujui. "Terima kasih. Itu yang kami harapkan dalam waktu dekat ini. Tentunya akan mempermudah semua usaha kita." Tha Khong Ming mengambil tempat duduk setelah semuanya beres. Mereka mengelilingi meja bundar yang cukup besar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan kursi-kursi ukiran peninggalan Martana. Ruangan sebesar tujuh kali delapan depa. Belum ada hiasan atau gambar apa pun yang tertempel di dinding. "Hamba tidak sabar menunggu. Karena hamba mempunyai persoalan." "Yah. Kami tahu, Yang Mulia akan mempersoalkan kematian Ni Ayu," Mas Ramad memotong. "Ya, Al ah... Yang Mulia juga tahu itu?" Sutanegara kaget luar biasa. "Siapa yang tak dengar peristiwa pembunuhan itu." "Ya, Tuhan... dosa apa yang kulakukan maka aib harus kupikul seperti ini?" Sutanegara bicara pada diri sendiri. "Sebelum kita melanjutkan pembicaraan, ada baiknya hamba terlebih dahulu menyampaikan surat dari Yang Mulia Wong Agung." "Ya...," semua bicara serentak. Sutanegara seperti tersentak kembali mendengar nama Wong Agung Wilis disebut. Maka ia mengikuti langkah Tha Khong Ming dengan pandangan mata. Ia menuju ke tumpukan kain sutera yang akan dijajakan ke seluruh negeri. Ia mengambil segulung dan membukanya. Di dalam gulungan itu ada gulungan sutera yang tidak lebar. Semua orang memuji kecerdikan Tha Khong Ming. Petugas syahbandar tidak menemukan apa-apa waktu menggeledahnya di dermaga. Gila! Suratruna mengumpat dalam hati. Siapa yang sudi membuka tiap gulungan sutera segitu banyak. Sambil tertawa ramah Tha Khong Ming menyerahkan surat sutera dan ditulis dengan tinta bak Cina itu pada Mas Ramad. Kita semua perlu tahu isi surat beliau itu, Tha Khong Ming mengutarakan pendapatnya. Dan semua menyetujui. Cukup panjang ketika lembaran sutera itu dibuka. Mas Ramad mulai membaca dengan teliti dan dengan suara yang tidak terlalu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ keras, setelah terlebih dahulu Ayu Prabu bersama Sayu Wiwit melakukan pemeriksaan terhadap sekeliling ruangan bahkan sekeliling rumah. Kini Tha Khong Ming mengagumi kejelian Mas Ayu Prabu. Tentu mereka bukan orang sembarangan, pikirnya. " Anakku, Ramad Surawijaya" demikian surat itu memulai. " Pertempuran sudah berakhir. Tapi itu tak berarti peperangan sudah berhenti. Aku senang kau belum gugur. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kau anakku. Kakakmu Mas Toyong dan Berod sudah mendahului kita. Yah... kamu salah seorang yang mampu mengalahkan mati. Nah, surat ini harus kamu beri tahukan pada ibumu di Raung serta Yistyani dan Wilis." Sampai di sini Suratruna mengerutkan dahi. Begitu juga Sutanegara. Dengan kata lain Agung Wilis sudah menyiapkan keluarganya sebelum menyerbu Belanda. Betapa hebatnya orang itu. Kemudian ia mendengar lebih teliti lanjutan surat itu. "Kelaparan bagi seluruh laskarku, membuat aku melakukan kenekatan yang membuat aku tertangkap pada hari kelima belas bulan Jita (bulan mei) dan aku dibuang ke salah satu pulau di utara Batavia. Pulau Edam. Aku tahu dari orang-orang yang sudah lama menghuni pulau pembuangan itu. Namun tak lama setelah itu aku dilayarkan ke Banda. Melalui gelombang laut yang besar dan selalu dalam kawalan yang ketat, aku mendarat di pulau yang sudah dihuni oleh banyak terhukum. Orang-orang Mataram dan Surabaya dan banyak orang Portugis di pulau itu. Semua bercampur menjadi satu. Laki-Perempuan. Namun demikian aku tidak pernah melupakan tanah kelahiranku, Bumi Semenanjung, Blambangan. Itulah sebabnya kala aku mendapat kesempatan untuk membuang mayat temanku di laut aku memberanikan diri untuk pura-pura mati supaya aku dibuang ke laut. Itu sudah merupakan kebiasan di penjara kami. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Yang mati akan menjadi santapan ikan-ikan besar di laut ganas dengan ombak yang setinggi-tinggi bukit. Dua orang teman menyertaiku dalam rakit. Juga tiga orang pengawal bersenjata. Aku berdoa, mohon kekuatan pada Hyang Maha Durga. Durga Mahisa Sura Mardhini! Saat aku sudah sampai pada puncak semadiku, aku melompat dan merampas pedang seorang pengawal. Juga dua temanku bergerak cepat. Mereka semua menjadi makanan ikan pengganti diriku. Laut dan gelombang menjadi musuh baru kini. Untung aku pernah belajar Yudisa ( ilmu pergeseran bintang-bintang dan perbintangan ) sehingga aku tak kehilangan arah. "Tapi pelor sempat merobek dadaku. Ini juga persoalan. Temanku memberiku semangat, agar aku tetap hidup. Yah, aku akan tetap hidup. Setelah berhari-hari menahan lapar karena tak punya bahan makanan, dan menahan haus, maka salah seorang temanku mati. Berkali aku harus menghadapi ini. Lapar. "Doa tidak pernah berhenti dari mulutku. Semadi dari waktu ke waktu membuat aku mampu mengatasi mabuk laut yang mematikan. Dan Hyang Durga adalah Maha Pengasih. Satu pagi aku melihat daratan. Entah berapa hari aku terkatung antara hidup dan mati. "Aku tidak tahu nama tempat aku mendarat. Pantainya penuh kelapa. Orang-orang di pantai itu amat bersahabat. Temanku memilih tinggal daripada meneruskan perjalanan. Nelayan di situ mengantar aku ke Mengwi. Sekarang aku tetap hidup. Dan aku tidak akan pernah berhenti berperang melawan Belanda. Karena aku tahu anak-anakku adalah penyambung hidupku, dan kau tak pernah kalah. Kapan dan di mana saja." "Dirgahayu," Mas Ayu Prabu bersorak begitu Mas Ramad selesai membaca. "Dirgahayu Wong Agung Wilis!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sayu Wiwit menyebut dalam hati. Dan tidak mampu menutup kekagumannya. Demikian pula lainnya. Bahkan Tha Khong Ming sendiri. Waktu ia dikenalkan oleh Cokorda Dewa Agung Mengwi, ia sudah kagum melihat pandangan mata orang tua itu. Kini mendengar sendiri, bagaimana Wong Agung Wilis memperjuangkan hidupnya. Layak disebut sebagai orang besar di Blambangan.(Menurut catatan Belanda Wong Agung Wilis meninggal akhir tahun 1780 di Mengwi) "Kita tidak boleh hanya terpana mendengar kisah ini. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah amanat yang terkandung di dalamnya," Mas Ramad mengingatkan. "Wong Agung Wilis tak pernah mati!" "Ya. Hamba setuju dan hamba ingin membantu sepenuhnya perjuangan para Yang Mulia" Khong Ming menyatakan dirinya. "Hamba akan membawa surat ini pada ibunda. Tapi sebelum itu kita akan bicara soal yang ditanggung oleh Yang Mulia Sutanegara. Colmond harus kita punahkan," Ramad berapi-api. "Ya, tapi mungkinkah kita melakukannya" Kita tidak bisa menembus pejagaan ketat kediaman Colmond. Dan kalau itu kita lakukan maka balatentara Kompeni akan berbondongbondong dari seluruh wilayahnya," Tha Khong Ming memberi pendapat lagi. "Kita harus lebih dahulu mempersiapkan diri memasuki perang besar. Tidak asal serbu," Ayu Prabu memberi pendapat pula. "Tapi hal ini bukan berarti kita berbelit dalam persiapan," lanjutnya. "Artinya kita harus membangun laskar baru?" Sutanegara kurang mengerti. Karena ia memang tidak pernah belajar berperang. . "Laskar sudah ada. Tapi kita agaknya kurang persenjataan. Kurang persiapan dan perhitungan secara matang. Tapi kita akan mencoba, membuat kejadian anak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Yang Mulia ini sebagai alat untuk menyingkirkan Colmond yang telah membunuh banyak kawula kita melalui meja," Ayu Prabu menguraikan pendapatnya. Dan Tha Khong Ming mengangguk-angguk kagum. Walau Sutanegara dan Suratruna sama sekali belum menangkap arti kata-kata Mas Ayu. "Hamba bisa membantu. Hamba punya paman yang mempunyai hubungan baik dengan Gubernur Vos. Karena itu Yang Mulia harus melaporkan kejadian ini pada Gubernur Vos. Buat surat laporan." "Apakah itu tak melanggar...." "Kita harus lakukan ini, Yang Mulia. Melanggar atau tidak itu bukan urusan kita. Mereka telah lebih dulu melanggar hak kita sebagai manusia." "Baiklah. Kita akan coba." Setelah minum dan makan ala kadarnya mereka bubar. Mereka diberi tahu bahwa pemilik kedai makanan dan minuman di ujung jalan dekat rumah Tha Khong Ming itu adalah anak buah Mas Ayu Prabu. Sutanegara makin menyadari bahwa orang-orang Wilis berada di mana-mana. Dan Suratruna juga merasa bukan apa-apa dibanding anakanak muda itu. Dan Tha Khong Ming tidak main-main. Ia berlayar ke Surabaya untuk membuktikan ucapannya. Bagaimanapun ia tidak pernah lupa cerita orang-orang bahwa kakek dan neneknya diikat oleh Kompeni di Batavia bersama ribuan orang Cina lainnya. Mereka diseret ke pantai dengan kuda untuk kemudian diberondong peluru. Satu-satu rebah. Untuk kemudian terseret ke laut oleh gelombang "pasang. Dendam itu tidak akan lepas turun-temurun. Dan karenanya ia harus membantu Blambangan walau ia tidak akan melepas siasat mencari keuntungan dalam perniagaannya. Dan semua yang dilakukannya juga mendapat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dukungan, bahkan biaya, dari pamannya di Surabaya, Thong Ping Hong. Thong Ping Hong sudah tua. Badannya gemuk. Tinggibesar dengan rambut dikuncir seperti halnya Tha Khong Ming. Berpakaian sutera hitam dengan gambar naga di dadanya. Kendati sudah tua tapi masih mampu bergerak lincah. Menunjukkan orang itu cukup terlatih. Rumahnya penuh hiasan yang sukar ditebak maknanya. Gambar persegi lima dan kepala harimau menggigit pedang serta cermin dan yosua atau dupa ratus berjejer di dinding depan pintu rumahnya. Hiasan bulat-bulat seperti bola merah-biru dan kuning bergantungan di langit-langit rumahnya. Belum lagi lukisanlukisan yang memang dia bawa dari negeri leluhurnya bertempelan di dinding. Semua punya makna sebagai penolak bala. Dalam bahasa Cina Hokian, keduanya terlibat dalam percakapan ramai. Sambil menghadapi makanan dan minuman di meja, sumpit di tangan, mereka merundingkan kepentingan Tha Khong Ming. "Kau memperoleh izin tinggal tetap di Blambangan itu luar biasa. Bayangkan, kita semua dengar, Bhoe Joek Ie yang menghadap langsung pada Colmond tidak bisa mendapat-izin tinggal tetap. Tapi kau..." Pamannya terkekeh-kekeh bangga. Berhenti sebentar, terdengar ia mengeluarkan suara aneh dari mulutnya. Ternyata ia sedang menghimpun dahak dari tenggorokan dan hidungnya untuk mengumpul di mulutnya, kemudian diludahkan ke dalam tempolong yang sudah disediakan. "Karena kami sudah lebih dulu berkenalan dengan Wong Agung Wilis di Mengwi. Dan ternyata nama Wong Agung masih dihormati di seluruh Blambangan." "Hayah... krueek... krueek," berdahak lagi, "hebat! Aku senang mendengarnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Nah, dengan demikian hampir dapat dipastikan di Blambangan akan terjadi peperangan...." "Kita jual senjata pada mereka," sahut orang tua itu cepat. Mata sipitnya berbinar. "Untung besar itu. Sambil melampiaskan dendam kita mendapat uang. He... he... he..." dan mengulangi berdahak. Tha Khong Ming memungut bakwan dengan sumpitnya. Sambil mengunyah ia berkata, "Agung Wilis akan membeli senjata pada kita dan akan meminta pada kita untuk menyelundupkannya ke Blambangan." "Uh, itu pekerjaan berat." "Tapi menyenangkan. Betapa senangnya bila kita berhasil mengelabui Kompeni. Membantu orang Blambangan adalah salah satu panggilan. Dan setiap panggilan hidup itu indah." "Ya. Lalu sekarang apa kerjamu ke Surabaya ini. Cuma memberi tahu keadaanmu di Blambangan" Sumberwangi?" "Tidak. Kami akan minta tolong pada Paman sebagai ganti orang tua kami." "Apa yang bisa kukerjakan?" Orang itu memandang tajamtajam keponakannya setelah berdahak untuk kesekian kalinya. "Bhoe Joek Ie dan Lie Pang Khong menguasai perniagaan di seluruh bumi Blambangan karena ia punya hubungan dengan Colmond. Dan izin tinggal kami di Blambangan akan tergoyah jika Colmond bertindak. Nah, karena itu kita berkepentingan menyingkirkan Mayor itu dari bumi Blambangan. Tentu tidak dengan membunuhnya. Sebab itu akan mengobarkan perang." "Bisa. Bisa diatur. Aku akan menghadap Vos. Aku yang mngatur di sini. Tapi punyakah kau alasan yang mungkin sekali memudahkan berhasilnya rencana ini?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ada..." Dengan bersemangat Tha Khong Ming menceritakan kejadian yang terakhir di Blambangan. Termasuk matinya anak Sutanegara . "Ah... itu bagus sekali. Kau punya bukti?" "Ada ini surat pengaduan yang ditulis oleh Tumenggung Sutanegara. Tapi dia tidak berani menyampaikannya sendiri." Ia menyerahkan surat pengaduan itu pada pamannya. Pamannya terbahak-bahak melihat itu. Ia berulang-ulang memuji Tha Khong Ming. "Sekarang kau boleh menunggu hasilnya sambil bekerja di rumahmu. Aku akan bekerja." Puas hati Tha Khong Ming. Ia tahu, pamannya tidak menipu. Ia kemudian meninggalkan Surabaya untuk menuju Mengwi. Ia harus menceritakan pada Wong Agung Wilis bahwa ia telah berunding dengan Mas Ayu Prabu serta Mas Ramad untuk memusnahkan Colmond. Sementara itu Sayu Wiwit sudah menurunkan perintah pada Repi untuk menguji kesetiaan Bozgen. Jika perlu meminta Bozgen membunuh i Colmond. Sayu Wiwit tahu persis Bozgen benar-benar tergila-gila pada Repi. Barangkali saja itu yang pertama kali Bozgen. mengenal wanita. Sebagaimana biasa sebelum menemui Repi, Bozgen permisi lebih dahulu pada Tumenggung Wangsengsari. Karena itu pula bagi banyak orang hubungan kedua muda-mudi itu tidak lagi menjadi rahasia. Walaupun kedatangan Bozgen selalu malam atau senja. Begitu pula jika ia ingin membawa Repi ke lojinya. Pasti dilakukan dengan tanpa setahu banyak orang. Namun sepanjang-panjang jalan masih panjang tenggorokan. Di antara istri atau anak-anak Wangsengsari sendiri tentu ada yang iri. Iri terhadap perhiasan yang dipakai Repi. Iri terhadap kebebasan Repi. Apalagi sekarang Repi dibuatkan rumah sendiri walau masih dalam lingkungan tembok katumenggungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tak urung dari balik tirai mereka saling berbisik. "Ah, enaknya punya wajah cantik. Dapat suami bule." "Suami apa?" yang lain membantah. "Suami-suamian." Terdengar kikik-kikik di balik tirai itu. Mereka mengintip kedatangan Bozgen. "Salahnya kamu tidak jadi penari...." Bozgen senja itu ingin membawa Repi ke rumahnya. Sudah satu minggu ia tidak berjumpa. Beberapa hari ini Repi tidak ada di rumahnya. Sedang ia sendiri tidak punya kesempatan mencari, karena sibuk mengatur penjagaan setelah peristiwa kematian anak Tumenggung Lateng. Dikhawatirkan ada pembalasan dendam. Tapi sudah berjalan sebulan lebih tidak ada gejala pembalasan dendam itu. Namun yang memusingkan Colmond angka kematian kian meningkat. Baik mereka yang bekerja di benteng-benteng maupun para anggota Kompeni sendiri. Dan mulai banyak desa yang menjadi sepi karena ditinggal pergi oleh penduduknya. Ke mana mereka itu" Tidak ada yang tahu. Karena mereka meninggalkan tempat tidak secara berbondong-bondong. Sawah banyak cuma ditunggui kerumunan anjing. Ada pula sawah yang pada siang hari masih belum dipanen, namun ketika ditengok oleh pamong desa karena pemiliknya sudah meninggalkan rumah, ternyata buah padinya sudah lenyap tanpa bekas seperti dimakan ulat. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Semua laporan ini menyebabkan Colmond memerintahkan pengawasan siang dan malam. Bukan cuma itu. Tapi mencoba melacak ke mana perginya orang-orang itu. Pintu rumah Repi tertutup. Bunga-bunga di luar tertiup angin senja. Keremangan turun perlahan menguasai bumi. Dengan hati-hati Bozgen mengetuk pintu. Tidak ada yang menyahut. Sekali lagi. Dan berkali lagi ia mengetuk. Pintu masih juga tertutup. Ke mana Repi" Ayahnya bilang ada. Ia menunggu sebentar. Tak sabar. Mondar-mandir di depan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pintu. Repi tak juga keluar. Pertanyaan yang timbul berkembang bukan ke mana Repi pergi. Kini berubah, mengapa Repi tidak muncul. Menghindari" Punya kekasih baru" Seribu pertanyaan mendorong keinginannya untuk mencoba masuk. Ternyata pintu tidak terkunci. Perlahan ia melewati ruangan demi ruangan dan mencapai kamar tidur Repi. Ternyata wanita itu sedang tertelungkup di atas tempat tidurnya. Tempat tidur dengan alas sutera biru muda bikinan Cina. Semua perabotnya pemberian Bozgen. Juga cermin besar yang berbingkai emas itu pemberian Bozgen. Repi tetap tidak bergerak waktu Bozgen duduk di tepi ranjangnya. Mukanya tampak mendung. Bahkan ia juga tetap diam kala Bozgen membelainya. "Ada apa?" Bozgen tidak dapat menahan hatinya. Diam. Kembali Bozgen berbisik di telinganya. Repi tetap diam. Bahkan kini meneteskan air mata. Bozgen menjadi bingung. Ia mencoba mengelusi punggungnya. Repi tampak terisak. "Bicaralah, Repi. Apa sebabnya kau menangis" Sakit?" Menggeleng. "Lalu kenapa kau ini?" "Tuan... apakah Tuan mencintaiku?" "Ya, Tuhan... kenapa kau tanyakan lagi" Kurangkah pengorbananku buatmu?" "Cinta tidak bisa diukur oleh permata dan benda. Tidak juga cuma dengan kata-kata." Repi masih belum berbalik. Bozgen mencoba merebahkan diri di samping Repi. Ia hapus air mata Repi. "Kau istriku, Repi. Tidak layak bicara seperti itu." "Kita tidak terikat oleh hukum. Hindu tidak. Islam pun tidak. Apalagi hukum negerimu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ya... kalau begitu kita akan pergi ke Probolinggo. Aku kenal seorang kiai yang bisa mengukuhkan perkawinan kita. Di sini belum ada seorang kiai. Nah, bukankah kau Islam?" "Ya, bapakku sekarang Islam. Aku juga harus mengikutinya. Walau aku sama sekali tidak mengerti apa itu Islam. Tapi kenapa kita harus kawin dengan hukum Islam" Tidak hukum negerimu" Dengan kata lain kau hendak meniru Vos. Kau tidak mau bertanggung jawab terhadap orang yang saat ini kau anggap istrimu" Atau kau akan seperti Colmond...?" "Berhentilah kau berbicara seperti itu, Manisku..." "Siapa yang tidak takut dibunuh seperti Ni Ayu Karisyati?" "Jangan samakan aku dengan Mayor...." "Begitu Colmond, begitu pula Vos, apakah tidak begitu juga dengan semua orang Belanda" Perampas dan pemerkosa! Ternyata tidak ada Belanda yang baik." Repi menjadi berapiapi. Ia kini bangkit. Duduk bersandar dinding. Bozgen menjadi terkejut. "Sekarang Belanda menyebarkan berita bahwa Ni Ayu dibunuh oleh orang lain. Dan mana orang lain itu" Mana" Dibunuh oleh Colmond" Barangkali anak yang masih ingusan dapat mempercayai itu. Tapi semua orang yang sudah bisa berpikir pasti tidak akan mempercayainya. Nah... jika kau memang suamiku, benarkah kata-kataku ini?" Bozgen menghela napas panjang. Tidak ia kira bahwa senja itu merupakan neraka baginya. Ia mengerti benar bahwa jika mengiakan kata-kata Repi, berarti ia mengingkari sumpah jabatan. Jika tidak mengiakan maka akan kehilangan cinta. Kehilangan kenikmatan, kemesraan. Ia berada di simpang jalan. Dan teringat salah satu hukum Taurat yang tertulis dalam Alkitab-nya yang mengatakan, "Jangan berdusta..." Repi menyalakan pelita ketika ia masih memandangi langitlangit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kenapa diam?" Repi mendesak. Sekali lagi Bozgen menarik napas panjang. Namun ia telah memilih. "Kau benar!" katanya sambil berpikir dari mana perempuan itu tahu. "Apakah menurutmu itu bukan kejahatan?" "Ya." "Dan kau diam saja. Kau ikut menyebarkan kebusukan itu?" Repi kian mendesak. Kini Bozgen menjadi berkeringat. "Maafkan aku, Repi. Aku cuma bawahan." "Saat ini kau boleh memilih..." Repi selesai menyulut pelita. Dan kemudian tidak kembali lagi ke ranjang. Tapi duduk di kursi. "Apa yang harus kupilih?" "Aku atau Colmond." "Maksudmu?" "Aku adalah orang Blambangan. Karena itu jika kau cinta aku, kau harus cinta pada Blambangan. Dan kau harus menyingkirkan Colmond dari bumi Blambangan!" "Hei... apa katamu?" Bozgen melompat bangun. Napasnya mengencang. Dengan matanya yang biru ia pandang Repi tajam-tajam. Mata mereka beradu. Repi mengumpulkan seribu keberanian di dadanya. "Aku cinta kau, Repi. Tapi aku tak mungkin membunuh Mayor Colmond." "Selama Colmond ada di bumi Blambangan ini maka aku tidak mungkin menjadi istrimu. Kau tahu kenapa aku pergi beberapa hari yang lalu" Dan kenapa aku sering pergi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ meninggalkan rumah" Sebab aku menghindari Colmond. Berapa kali ia memerintahkan orang tuaku untuk mengantar aku ke rumahnya" Dan demi cintaku padamu aku harus meninggalkan rumah." "Jadi..." "Yah. Aku tak mau mati di tangan Colmond.Nah, buktikan jika kau mencintai aku. Aku tak mungkin menghindar terusmenerus. Orang tuaku bisa dibunuhnya." Bozgen terduduk dengan lunglai. Ia bersaing dengan komandannya sendiri. Ah... jika ia tahu Repi menghindari Colmond karena dirinya, maka tak mustahil jika satu ketika Colmond akan membunuhnya dengan cara lain. Apa akal" Kubunuh" Bahaya. Ada jalan. Aku akan melaporkan kejadian ini ke Surabaya. Bukankah ini menyangkut putra tumenggung" Sekalipun ia pribumi, ia adalah pegawai Kompeni. Tak bisa diperlakukan seperti itu. "Repi..." "Ya. Kau akan meninggalkan aku?" "Tidak!" Kini Bozgen bangkit mendekati Repi. "Aku akan menyingkirkan Colmond dari Blambangan. Tapi aku perlu bantuanmu." "Apa yang harus kukerjakan" Meracun Colmond?" "Tidak! Jangan kawatir. Kita tidak akan membunuhnya. Kita ajukan persoalan ini pada Gubernur di Surabaya. Nah, karena itu aku butuh pengaduan dari Sutanegara. Bisa kau mendapatkannya?" "Aku sudah punya surat itu. Karena memang aku simpan sebagai bukti jika aku tidak percaya bahwa Ni Ayu mati di tangan Colmond." Repi kemudian kembali menuju tempat tidurnya. Jari-jarinya yang runcing ia pakai menyingkap tempat tidur dan mengambil segulung sutera, dan menyerahkannya pada Bozgen. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bozgen membuka gulungan itu. Ditulis dengan tinta bak Cina hitam. Dan ia baca. Betul, sekalipun dalam bahasa Blambangan tapi jelas menyebutkan isi pengaduan Sutanegara. Ia tersenyum. Akan tetapi apakah ia akan berhasil" Ia akan bertaruh. Ia pertaruhkan nyawanya. Ia akan mengambil cuti dan pergi ke Surabaya untuk menghadap Gubernur. Yah... setelah itu ia akan mengajak Repi kawin di Probolinggo. "Aku setuju itu. Tapi sekarang tinggalkan tempat ini. Aku tak mau kau jamah sebelum Colmond benar-benar tersingkir." "Repi..." "Aku tidak percaya lagi pada Belanda... Kecuali jika kau sudah membuktikan kata-katamu." "Repi..." "Ampuni aku, Bozgen. Besok jangan ke sini lagi karena aku akan pergi untuk menghindari siapa pun. Colmond dan kau." Pandangan Bozgen menjadi nanar. Wanita itu menjadi keras. Dan dengan gontai ia harus pergi. Gagal ah keinginannya untuk bermesra dengan kekasihnya. Maka ia mengambil keputusan segera meninggalkan Blambangan. Cinta memang mengalahkan segala-gala. 0oo0 Bulan terbit tengah malam dengan wajah pucat, menandakan saat itu tanggal sudah tua bagi bulan Jawa. Bulan Badrawana atau bagi penanggalan yang dipakai oleh Belanda tanggal muda bulan September. Bukan bulan sumbing. Malah tampaknya seperti bibir seorang gadis yang sedang tersenyum. Colmond mengumpat dalam hati. Bulan itu serasa mengejeknya. Ia merasa masa jabatannya di Blambangan terlalu singkat. Ia sangat kecewa. Karena Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan keluarnya dari Blambangan maka berarti ia berpisah dengan Bhoe Joek Ie dan Lie Pang Khong yang menjadi sumber duit baginya. Tentu ada yang tak beres. Apa salahku" Setoranku tidak pernah kurang dari ketentuan. Tapi kau membunuh begitu banyak pribumi Blambangan. Dan kau membiarkan orangorang Belanda sendiri mati satu-satu karena penyakit aneh. Bahkan kau tidak melaporkan itu. Semua kau laporkan baikbaik. Dan kau telah memperkosa anak tumenggung sampai mati. Gadis di bawah umur lagi! hatinya sendiri menuduh. Dan semua pasti ada hubungannya. Pasti ada yang melapor ke Surabaya. Mungkin saja Bozgen yang mengambil cuti beberapa minggu yang lalu. Tapi kini sia-sia andaikan ia panggil Bozgen. Ia tidak berhak lagi memarahi Bozgen karena perintah timbang-terima sudah tiba. Ia akan diganti oleh Biesheuvel. Orang itu dengan resmi akan menduduki jabatan "Residen" di Lo Pangpang. Bukan cuma itu. Dikirim pula sebagai pembantu Biesheuvel, Schophoff. Apalagi disusul surat keputusan yang menyebutkan bahwa masih akan datang lagi Pieter Luzac bulan Desember mendatang sebagai pembantu residen juga. Ada dua pembantu residen. Mungkin seorang akan ditempatkan di Jember dan seorang lagi di Sumberwangi. Semua itu dilakukan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Bukan cuma kesewenang-wenangan seperti yang dikerjakan Colmond, tapi juga menghindari penyalahgunaan kekayaan kawula Blambangan oleh perorangan. Kekayaan yang semestinya bisa diulur untuk pembayaran pajak jangka panjang, harus habis karena dikuras secara tidak henti-henti oleh peroranganperorangan yang sedang memegang kekuasaan. Ternyata kawula Blambangan sekarang tidak hanya harus membayar pajak pada VOC dan mempersembahkan upeti pada para tumenggung, tapi juga harus memperkaya peroranganperorangan yang memiliki sedikit kekuasaan di atas mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bulan pucat bagi sementara orang di Blambangan bisa berarti lain. Sementara Colmond kecewa, sedih, marah menjadi satu, orang lain tersenyum samar. Tha Khong Ming membuktikan hasil kerjanya pada Mas Ramad dan kawankawannya. Demikian pula Bozgen. Ia membuktikan diri pada Repi bahwa sekalipun ia seorang bawahan, namun mampu mengusir atasannya. Dan itu melicinkan jalan perkawinannya di depan penghulu di Probolinggo. Bagaimanapun ia menyumbangkan suatu bukti bagi kebenaran pendapat sementara orang bahwa cinta mengalahkan segala-galanya. Cinta membuat mata banyak orang tertutup. Tidak kurangkurang manusia memburu suatu yang mereka namakan puncak cinta... di atas tempat tidur. Tidak banyak orang tahu nasib Colmond kemudian. Tapi bagaimanapun, ditariknya Colmond ke Surabaya memberi napas sedikit lebih lega bagi seluruh kawula Blambangan. Resi Ropo menyambut berita dengan sangat gembira. Dan ia memerintahkan segera meneruskan berita itu ke Raung. Kepucatan bulan menggambarkan bahwa walau Blambangan boleh tersenyum namun masih harus prihatin karena masih ada pekerjaan besar di pundak mereka. Mengusir VOC dari bumi Blambangan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ VII. TEKA-TEKI Pergeseran bintang-bintang memang tampak lamban dari bumi. Seperti siput yang merangkak. Mungkin saja lebih lamban. Namun jika ia telah menghabiskan perjalanannya dari ufuk timur ke ufuk barat, berarti ia telah menambah usia bumi. Dan semakin tua usia bumi, semakin kaya bumi akan cerita tentang kisah anak manusia. Yang dialami oleh Biesheuvel adalah kisah tersendiri. Dia menerima warisan yang dilaporkan oleh Colmond bahwa keadaan seluruh Blambangan beres. Aman dan baik. Namun demikian ketika ia menginjakkan kaki di bumi Blambangan, seusai timbang-terima di Surabaya, ia menjadi amat heran. Tidak ada penyambutan baginya. Tidak oleh kawula Blambangan, tidak juga oleh pasukan kehormatan. Para tumenggung dan para pembantunya menyambutnya di rumah karesidenan. Ia berunding dengan Schophoff. Namun pembantunya itu juga tidak mendengar apa-apa tentang Blambangan. Tidak ada pesta seperti lazimnya menyambut residen baru di mana-mana di daerah Jawa lainnya. Kenapa tanah semenanjung yang hijau ini begini sunyi" Kecurigaan Biesheuvel timbul. Inikah yang dinamakan baik dan aman oleh Colmond ketika melapor kepada Gubernur" Mungkin saja ini bukan warisan yang baik. Karena itu keduanya bersepakat akan mengadakan penyelidikan. Terutama ke tangsi-tangsi Kompeni terlebih dahulu. Baru ke daerah-daerah. Karena baik Sutanegara maupun Wangsengsari melaporkan baik dan aman, hanya panen akhir-akhir ini tidak begitu berhasil karena dimakan hama. Atau memang sudah menjadi kebiasaan kawula Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Blambangan berhemat dan tidak mengadakan pesta" Jika demikian halnya maka seharusnya kawula Blambangan adalah orang-orang terkaya di dunia. Tapi kenapa banyak rumah mereka yang nampak kumuh" Anak-anak kecil kurus-kurus Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dan berkemul debu, kala bermain-main di jalan" Bukankah itu menandakan kemiskinan" Begitu banyakkah biaya pasukan pendudukan yang harus dipikul kawula Blambangan maka mereka menjadi miskin" Dan apa yang dilihatnya di tangsi-tangsi" Begitu banyak pasukan Kompeni menderita sakit. Penyakit aneh yang membawa kematian. Ada yang demam dan muntah-muntah, terutama di daerah Pangpang, yang kemudian berakibat kematian. Ada juga yang demam dengan kulit berbintik-bintik merah, akhirnya kulit mereka menjadi biru dan mati. Demikian juga di Benteng Banyu Alit. Penyakit serupa mengurangi jumlah penghuni benteng. Di daerah Lateng dan Jember dan Lumajang jenis penyakitnya tidak sama seperti daerah lain. Sebagian mati karena kencing nanah. Tapi sebagian lagi mati karena muntah dan berak. Letnan Beglendeen menyebutkan bahwa sebenarnya Blambangan yang dulunya daerah hijau yang ramah telah menjelma menjadi daerah hantu setelah Colmond melarang memberi makan pekerja-pekerja. "Keterlaluan!" Biesheuvel geleng kepala. "Semua itu mengakibatkan banyak orang mati kelaparan. Ribuan orang. Mungkin saja arwah mereka menuntut balas." Berdiri bulu roma Schophoff mendengar itu. Walau setengah tidak percaya. Dan kala ia melakukan peninjauan ke kampung-kampung maka yang menyambut kedatangan Schophoff, seorang tinggi besar dengan kumis lebat itu, cuma gerombolan anjing yang menyalak tanpa henti dan menunjukkan taringnya yang lancip. Walau ia terbahak-bahak atas perlakuan gerombolan anjing padanya, ia sempat terbiritbirit juga ketika anjing-anjing itu berusaha melompati kudanya. Dan dengan terbahak-bahak pula ia melapor pada Biesheuvel pengalaman yang mungkin baru pertama kali itu dialaminya. Banyak desa atau kampung yang telah menjadi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kosong. Itu yang menyebabkan Beglendeen menyebut Blambangan sebagai daerah, hantu. Lebih mengherankan lagi bagi Biesheuvel banyak Kompeni memilih tidur di tangsi atau di benteng-benteng daripada mengawasi penarikan pajak atau melakukan perondaan. Apalagi pada malam hari. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengajukan permohonan agar dapat ditarik dari Blambangan dan dipindahkan ke tempat lain. Ketakutan telah melanda di mana-mana. Maka terpaksa pasukan Madura atau Probolinggo yang diperintahkan melakukan perondaan. Sungguh warisan yang kurang menyenangkan bagi Biesheuvel. Pieter Luzac tiba di Pangpang bulan Desember tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan Masehi. Melihat kenyataan itu maka Biesheuvel segera mengumpulkan semua pembantunya dan semua bekas pembantu Colmond. Gadis pengipas juga diwariskan oleh Colmond ketika ia meninggalkan Blambangan. Untuk orang Belanda perawakan Biesheuvel sebenarnya tidak terlalu tinggi. Gerakannya lebih lincah daripada Colmond. Ia memang lebih banyak tersenyum. Dari wajahnya tidak nampak pemberang. Mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Hidung mancung dan bermata biru. "Tuan-tuan..." ia memulai pertemuan pertamanya. "Aku dan Schophoff serta Tuan Pieter Luzac adalah petugas baru di tempat ini. Sedang Tuan-tuan telah lama. Kami perlu mendapat tahu dari Tuan-tuan tentang banyak hal mengapa Blambangan menjadi daerah yang benar-benar mengerikan." Baik Van Beglendeen sebagai seorang perwira maupun Sersan Kepala Bozgen yang mewakili para bintara saat itu menuding kesewenang-wenangan Colmond yang menjadi sebabnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Orang-orang Blambangan sama sekali tidak diberi napas," ujar Van Beglendeen. "Belum lagi pemerkosaan yang dilakukan terhadap perawanperawan oleh Colmond." "Nah, di Blambangan juga banyak orang-orang Cina. Bagaimana dengan mereka?" "Umumnya mereka adalah rekan dagang Tuan Colmond. Kami tidak tahu banyak tentang mereka," Sersan Bozgen yang menjawab kini. Ketiga orang pejabat baru itu terbelalak. Namun Schophoff yang dalam duduknya tidak pernah bisa tenang karena gerah segera tertawa. Dan setiap kali mengawali atau mengakhiri kata-katanya Schophoff selalu tertawa. Kakinya selalu goyang jika duduk di atas kursi. Dan jika bicara selalu menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari seperti seorang pendeta yang sedang berkhotbah. "Jika demikian kita akan bisa menggalang persaudaraan dengan Cina-Cina itu. Ha... ha... ha...," katanya. "Baik. Kami senang sekali mendengar banyak keterangan dari Tuan-tuan. Sekarang apa pendapat Tuan-tuan supaya VOC berhasil di sini seperti di daerah-daerah lain di Jawa?" "Kita harus hentikan kekerasan dan kita harus lebih mendekati para satria Blambangan. Kita minta mereka memperbaiki kehidupan sehingga kawula tenang bekerja kembali di sawah-sawah tanpa takut," Van Beglendeen memberikan saran. "Ada banyak satria, dan bangsawan Blambangan lainnya yang bisa kita ajak bekerja. " Beglendeen menelan ludahnya. Kemudian menoleh pada Bozgen sebentar untuk kemudian melanjutkan. "Seorang yang bernama Bapa Anti... Tentunya Tuan sudah dengar nama itu. Orang yang amat dapat dipercaya di samping semua satria yang saat ini bekerja sebagai pegawai Kompeni." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tiga orang itu, kecuali Schophoff, mengangguk-angguk. Sedang Schophoff tersenyum seperti menahan keinginan untuk tertawa. Kakinya tetap bergoyang-goyang. Kemudian Biesheuvel menoleh pada yang lain-lain. Diam tanpa jawab. Biesheuvel menoleh pada Bozgen. Memberi tanda agar Bozgen memberikan sarannya. "Kita wajib kembali memberikan makan yang baik buat para pekerja. Agar bentengbenteng segera selesai. Walau tinggal sedikit saja yang belum selesai. Namun ini kita utamakan. Jika tidak demikian kita akan sulit mencari pembantu-pembantu rumah tangga, maupun juru-juru masak bagi kepentingan tentara kita. Sebelum ini tidak ada permusuhan dari mereka. Namun setelah kita gagal membina persahabatan dengan mereka maka larilah mereka dari kita." "Jika semua usul Tuan-tuan ternyata dapat memajukan VOC di Blambangan seperti daerah lain di Jawa ini, maka kami terima dengan baik. Nah, setelah pertemuan ini kita akan undang semua penguasa pribumi. Tuan Bozgen, suruh anak buahmu mengundang mereka agar berkumpul di Lateng." "Baik, Tuanku." Perundingan berjalan panjang. Dan setelah melalui beberapa kali istirahat dan makan sederhana, mereka menyelesaikan perundingan. Ditutup oleh Biesheuvel dengan permintaan agar semua orang bekerja baik-baik demi kemajuan VOC yang membayar mereka. Hari itu Repi memang sedang berada di loji Bozgen. Sejak perkawinan mereka di Probolinggo, dia sering tidur di loji. Dengan senyum ia menyambut dan membukakan pintu bagi Bozgen. "Malam amat" Apa saja yang dibicarakan" Aku sampai resah. Takut kalau kau berbelok ke rumah gadis lain." Bozgen tertawa lirih, kemudian mencium pipi Repi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Cemburu?" "Dulu tidak. Tapi sekarang?" Bozgen melepas sepatunya. Kemudian ke kamar mandi sementara Repi menyiapkan anggur dan makanan kecil di meja kecil dekat tempat tidur mereka. "Kapan kita punya anak?" tiba-tiba Bozgen bertanya sambil merebahkan diri. "Sudah ingin punya anak?" Repi tertawa lirih sambil mempermainkan bulu-bulu di dada Bozgen dengan jarijemarinya yang runcing bagai duri itu. "Yah..." Bozgen menatap istrinya. "Tuhanmu belum memberikan anak pada kita..." Repi kembali tertawa lirih. Kini ia merebahkan kepalanya di dada Bozgen. Ia ingin mendengar kata hati Bozgen. Anak" tanya Repi pada hatinya sendiri. Benarkah orang ini ingin punya anak" Aku yang belum ingin. Dan memang itulah kata hati Repi yang sebenarnya. Maka ia sering meminum jamu nanas muda serta ramuan lain. Bahkan jika hatinya ragu maka ia pergi ke tukang pijit untuk memijit perutnya, agar tidak dibuahi oleh benih Bozgen. Apa kata orang jika ia beranak bule" "Tapi malam ini aku benar-benar gelisah. Apa sih yang dibicarakan" Jangan-jangan residen baru ini sama rakusnya dengan Colmond." "Tidak..." Kemudian Bozgen menceritakan semua pembicaraan pada perundingan itu. "Ah... kau suamiku. Belalah kawulaku yang miskin. Kasihan mereka...." "Jangan khawatir, manis____" 0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Berbeda di Pangpang atau Lateng, berbeda pula di Songgon. Mas Rempek benar-benar merasakan itu. Di sini ia tidak mendengar tangisan bocah yang melolong-lolong karena lapar di waktu pagi. Sepanjang jalan sawah menguning dan semua orang, lakiperempuan, berbagi suka dan duka bersama. Tiada wajah mendung. Cuma sebuah padepokan. Kenapa ini tidak merata ke seluruh Blambangan" Apakah benar panen selalu gagal di Blambangan karena penguasa mereka telah memunggungi leluhur mereka" Sedangkan di Songgon orang patuh pada Hyang Maha ciwa" Ia menjadi iri. Di Pakis orang tetap menyembah ciwa. Tapi tetap saja tidak ada keceriaan seperti di Songgon. Apa rahasianya" Ah... mungkin karena orang Songgon tidak terjamah VOC. Tidak membayar pajak. Tidak mempersembahkan upeti. Ah... betapa indahnya jika kawula Blambangan bisa kembali berbagi tawa seperti di zaman Wong Agung Wilis.... Resi Ropo menyambutnya di pendapa sebagaimana biasa. Kali ini Rempek harus memberikan suatu keputusan pada Resi Ropo. Ia telah mengambil keputusan untuk setuju dengan semua saran Resi Ropo dan bersedia menjadi murid Rsi itu. "Sungguhkah itu?" tanya Resi menyelidik. "Ya. Hamba berjanji." "Baik. Jika demikian Yang Mulia sekarang harus mulai menyusun kekuatan. Memulihkan kebesaran Blambangan tidak mungkin cuma dengan kata-kata. Tapi juga harus dengan kekuatan senjata." "Yang Tersuci memaksudkan supaya hamba menyusun laskar?" "Ya." "Hamba tak punya uang untuk membiayai mereka. Hamba juga tak tahu dari mana mendapatkan senjata." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ha... ha... ha..." Resi tertawa. "Bumi Blambangan menyediakan makanan bagi tiap orang. Tapi makanan itu lebih banyak diberikan pada si bule dan orang-orang yang tidak meneteskan keringatnya. Yang Mulia sendiri seharusnya juga meneteskan keringat buat tiap suap nasi yang masuk ke mulut Yang Mulia. Namun Yang Mulia selama ini cuma minta dan minta dari orang-orang tak berdaya." "Yang Tersuci..." "Yang Mulia menanyakan dari mana hamba makan" Yang Mulia akan menerima jawaban bila Yang Mulia tinggal di tempat ini barang lima hari." "Jagat Dewa! Yang Tersuci juga bekerja di sawah?" "Kenapa tidak" Brahmana yang baik bukan cuma mampu memberikan khotbah dan nasihat. Tapi juga mampu melakukan apa yang diucapkannya sendiri." "Jagat Bathara!" Rempek benar-benar kaget. Dengan kata lain juga punya laskar, karena dia juga menasihatkan pada Rempek agar membangun laskar. Dan tidak ada laskar tanpa senjata. Dari mana" Tentu tidak mudah untuk mendapatkan keterangan. "Baiklah, Yang Tersuci. Hamba percaya dan hamba akan mencoba. Tapi bagaimana caranya hamba harus mendapatkan senjata bagi orang-orang Pakis?" "Karena Yang Mulia sudah berjanji, maka ingat, setiap pengkhianatan akan dibayar dengan leher. Tapi saat ini Yang Mulia belum bisa mengambil sendiri senjata itu. Yang Mulia akan menerima di istana Yang Mulia." "Orang mengantar ke sana?" "Ya." "Jagat Dewa! Itu bahaya. Dengan mudah akan diketahui Belanda!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Jangan takut. Penjaga Yang Mulia sendiri tidak akan tahu." Hati Rempek berguncang keras. Bagaimana mungkin penjagaku sendiri tak akan tahu" Punya ilmu apa Resi Ropo ini" Begitu tinggikah ilmu sihir Resi Ropo" "Tetapi ingat, Yang Mulia. Jika itu sudah terjadi, walaupun Yang Mulia pada kenyataannya bekerja pada Belanda, sebenarnya Yang Mulia adalah punggawa dari Yang Mulia Wilis yang saat ini menjadi junjungan setiap orang Blambangan. Karena itu jika Yang Mulia ingkar pada janji dan tidak setia pada Blambangan, jangan heran akan kedatangan mertalutut dengan tiba-tiba di istana Yang Mulia sendiri." "Baik, Yang Tersuci." Hati Rempek berdebar. Kemudian timbul pertanyaan baru dalam hatinya, mungkinkah yang membuat kematian orang-orang Belanda di benteng-benteng saat ini juga mertalutut Wilis" Benar-benar teka-teki. "Sekali lagi hamba seorang brahmana. Bukan hak hamba memberikan senjata itu. Hamba akan menyerahkan pada satria lainnya yang juga ingin membangun kembali cakrawarti (kejayaan,dalam hal ini bisa juga berarti citra) Blambangan." "Satria..." "Ya, peperangan bukan kewajiban brahmana. Tapi satria. Jadi Yang mulia tidak sendiri. Tunggu waktunya. Asal Yang Mulia benar-benar setia maka Yang Mulia akan tahu mereka satu-satu." "Baiklah, Yang Tersuci. Jadi tugas hamba adalah membangun laskar di Pakis." "Bukan cuma di Pakis. Jika perlu di seluruh wilayah Blambangan. Sehingga jika saatnya tiba, maka dengan mudah Yang Mulia memukul VOC di seluruh Blambangan. Tapi kerjakanlah dengan hati-hati dan teliti. Jangan mudah percaya pada orang yang ada di seputar Yang Mulia sendiri. Bahkan pada istri sendiri sekalipun. Apalagi istri Yang Mulia ada tiga Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang. Hamba khawatir di antara mereka malah ada yang iri Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hati dan bersaing untuk memperebutkan cinta Yang Mulia." Bukan main pandita satu ini, pikir Rempek. Dia tahu sampai sekecil-kecilnya tentang diriku. Dan "Sampai pulang ia belum mampu memecahkan teka-teki dari mana pandita itu bisa tahu segala" Inikah kelebihan brahmana dari seorang satria" Tapi tentunya tidak ada pengetahuan yang turun begitu saja dari langit. Resi Ropo pasti mendapatkannya dengan jerih-payah. Resi bukan hanya berani dalam kata-kata, tapi ternyata memiliki kecermatan seperti prajurit. Dari mulutnya ia pernah mendengar nama lain disebut kala Repi datang untuk minta pendapat pandita itu. Mas. Ayu Prabu dan Sayu Wiwit. Sepertinya ia pernah mendengar nama Mas Ayu Prabu. Bukankah ia putri Wong Agung Wilis" Ia mencoba mengingat dalam perjalanannya pulang. Walau ia belum pernah melihat orangnya, ia pernah juga mendengar nama itu. Lalu apa hubungan pandita Songgon itu dengan Mas Ayu Prabu" Di mana Ayu Prabu sekarang" Aku akan mencoba bertanya pada Repi. Tapi bagaimana bisa bersua dengan Repi" Tidak gampang bersua dengan perempuan Islam. Mereka dilarang menerima tamu seorang lelaki. Apa akal" t Tapi jika Rsi Ropo tahu aku menyelidikinya, bisa bahaya. Apa bukan dia sendiri sebenarnya yang bernama Wilis" Kenapa Blambangan kini penuh dengan teka-teki" Bingung. Itu membuat ia sulit tidur. Istri tertuanya, Ni Ayu Manikem, curiga. Jangan-jangan Rempek jatuh hati pada wanita baru lagi. Sebab begitulah kebiasaan Rempek jika sedang gandrung dan akan kawin lagi. Tapi kali ini perkiraan Manikem keliru. Rempek gelisah akan menerima tamu yang mengantarkan senjata padanya. Jika ketahuan" Bukankah bisa celaka seluruh keluarga di Pakis" Sebenarnyalah bagi kawula Blambangan tidak mudah untuk mendapatkan senjata. Walau Mas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ramad menghimpun banyak pandai besi yang dapat menempa baja menjadi senjata, tapi mereka sukar membuat bedil sendiri. Jika Belanda tahu maka akan memancing kecurigaan yang membahayakan. Mas Ramad tahu bahwa mereka sedang mempersiapkan diri. Jika persiapan belum matang tapi peperangan sudah datang, maka itu akan sangat tidak menguntungkan. Jalan keluarnya ialah berusaha membeli senjata. Itu sebabnya Mas Ayu Prabu ditugaskan untuk pekerjaan itu. Karena memang dialah Kepala Dinas Rahasia Bayu. Dan tentu saja itu bukan pekerjaan ringan. Itulah sebabnya Mas Ayu Prabu sering menghubungi Tha Khong Ming baik di kedai yang memang semua pelayannya adalah anak buah Mas Ayu Prabu, maupun di rumah Tha Khong Ming, Mas Ayu atau Sayu Wiwit belum berani menunjukkan pusat kegiatannya, dusun Sempu. Apalagi jika ditanya tentang Wilis, maka ia akan selalu mengelak. Demikian juga kala siang itu Tha Khong Ming menanyakan Mas Sratdadi. "Sampai sekian lama hamba di Blambangan, belum pernah bersua dengan beliau. Padahal tugas Hamba dari Yang Mulia Wong Agung Wilis adalah menemui beliau." "Hyang Dewa Ratu, tidak cukup dengan hamba atau Kanda Mas Dalem Puger?" Ayu Prabu tersenyum. Mata sipit Tha Khong Ming berkedip-kedip penuh makna. Senyum Mas Ayu mampu merapuhkan iman lelaki mana pun. "Bukan begitu, Yang Mulia...," katanya sambil menyodorkan daging babi panggang di meja ke dekat Ayu Prabu yang sengaja datang dengan tanpa pengawalan siapa pun. Tidak dengan Sayu Wiwit. Karena gadis itu mempunyai tugas sendiri. "Hamba takut dianggap menyalahi tugas yang dipercayakan sekian lamanya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sejak kapan Ramanda tidak mau dengar Mas Ayu Prabu?" kembali gadis itu memamerkan deretan mutiara di sela bibirnya. Rapi berbaris. "Katakan pada Ramanda, Kanda Sratdadi sedang sibuk berperang. Tak ada kesempatan menghirup harumnya arak dan indahnya rembulan. Kakanda mohon ampun." Muka Tha Khong Ming berseri menyusul suara tawa ramah seraya berkata, "Jika Yang Mulia Sratdadi tidak berkenan menjumpai hamba di Lateng, baiklah hamba ingin menghadap beliau. Di mana beliau berada. Itu yang jadi soal." "Maafkan aku, Tuan." Kini Ayu menatap wajah tampan di hadapannya itu dengan tajam. Ah... hati Tha Khong Ming jadi berdesir. Mata itu tak ubahnya bintang kejora. "Bukannya kami tidak percaya, tapi Kanda Sratdadi memang aneh. Jangankan orang lain. Kami sendiri sukar menjumpainya. Beliau datang sebentar lalu menghilang lagi. Cuma sebentar." "Ah... maaf, Yang Mulia, hamba terlalu mendesak. Inilah beratnya memikul beban dari seorang yang hamba kagumi." Keduanya tertawa ramah. Para pelayan tidak ada yang berani mendekat jika tidak dipanggil. Bahkan ruangan itu sepi dari pelayan. Jika Tha Khong Ming memerlukan, mereka dipanggil melalui jendela kecil di dinding yang berhadapan dengan Mas Ayu. "Hamba senang bersahabat dengan Yang Mulia. Wong Agung juga senang mendengar berita tentang Yang Mulia." "Terima Kasih. Tapi saat ini ada yang hamba ingin pinta dari Ramanda. Hamba percaya beliau lebih mudah mendapatkannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa yang dikehendaki...." "Senjata dan peluru...." "Sudah hamba duga, Yang Mulia. Sebenarnyalah hamba sendiri sudah berpikir tentang itu. Sebagai sahabat tentunya hamba ingin mempersembahkan sesuatu sebagai tanda persahabatan kita ini. Bukan suap, Yang Mulia. Sungguhsungguh hamba ingin kita bersahabat secara tulus." "Persahabatan tulus hanya bisa terbina jika manusianya dipersatukan dalam satu kepentingan yang sama." "Oh... jadi..." "Ya, jika kepentingan kita berbeda maka persahabatan itu akan menjadi semu." Gila! pikir Tha Khong Ming. Cerdas juga gadis ini. Tidak menyesal Wong Agung memiliki anak seperti ini. Dan kekaguman Tha Khong Ming kian merambat naik. "Baik, lepas dari semua kesimpulan Yang Mulia, tapi saat ini hamba memiliki dua ratus lima puluh pucuk senjata laras panjang bikinan Inggris. Soalnya tinggal bagaimana mengangkutnya." Bukan main orang ini. Punya senjata sebegitu banyak" Bukan cuma ingin mencari kekayaan di Blambangan. Rupanya juga ingin membangun laskar" Untuk apa" Merampok seperti Kompeni" Inilah belang sebenarnya dari kekuatan modal. Mula-mula ingin berdagang. Lama-lama ingin menguasai. Tapi ia tidak peduli. Sekarang ia diperintahkan mencari senjata. Bukankah orang-orang disekitar Tha Khong Ming adalah anak buahnya" Namun demikian ia tahu gemerincingnya uang akan membelokkan kesetiaan mereka. "Senang sekali menerima hadiah itu. Lalu dengan apa kami akan membalasnya?" Kembali Mas Ayu memamerkan lesung pipitnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sahabat yang baik tidak membutuhkan balas bagi apa pun yang telah dikorbankannya bagi seorang sahabat." "Terima kasih, Tuan. Kami akan mengambilnya besok dan...?" "Beri kesempatan hamba mengantar ke tempat Yang Mulia...." "Tidak keberatan?" "Dengan senang hati." Cina ini berharap mengetahui tempat tinggal Mas Ayu. Siapa tahu jika ada waktu senggang bisa berembuk soal-soal pribadi. "Baik, Tuan. Hamba tunggu di Pakis. Sudah tahu" Tapi lebih baik Tuan mengawasi dari jauh saja. Nanti begitu masuk ke tanah perdikan Pakis ada rombongan gandrung (kesenian tari-tarian di Blambangan) yang akan menjemput. Mereka akan bertindak sebagai pemandu bagi rombongan Tuan agar bisa masuk ke tempat di mana kami menyimpan senjata itu." "Hamba akan perhatikan semua petunjuk ini." Mata sipit itu semakin berbinar. Dan kala ia menyodorkan arak wangi dari Cina Mas Ayu menolaknya dengan halus. "Maafkan, bukan menolak persahabatan Tuan. Tapi hamba sedang bertugas. Nah, hamba akan segera pergi untuk mengatur penyambutan bagi Tuan besok. Yah, senja hari hamba menunggu di tapal batas tanah perdikan itu." Bukan main kaget Tha Khong Ming. Gadis ini benar-benar menjaga dirinya agar tidak mabuk. "Tunggu sebentar, Yang Mulia. Ada bingkisan buat Yang Mulia secara pribadi. Jangan tolak ini." Kemudian Tha Khong Ming bergerak lincah membuka pintu, dan keluar lagi membawa dua kotak kayu yang berukir. Yang satu dipelipit emas di sudut-sudutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Nah... ini untuk Yang Mulia. Satunya ini untuk Yang Mulia Sayu Wiwit." "Apa ini?" gadis itu memperhatikan wajah Tha Khong Ming lalu membetulkan letak cundriknya. "Tentu saja bukan ular dan kalajengking...." Pemuda Cina itu terbahak-bahak. Kemudian dengan amat ramah ia mengantar Mas Ayu ke pintu gerbang. Namun demikian hatinya berdoa, kapan aku bisa lebih leluasa berbicara dengannya" Dari ke hari, gadis itu menghias dinding hatinya. Dan ia mulai memperbandingkan dengan gadis-gadis sebangsanya yang pernah ia temui. Ah... rasanya tak ada yang sebebas dia. Mungkin cuma mereka yang pandai silat. Atau gadis ini juga pandai silat" Memiliki keberanian yang luar biasa. Tapi umumnya orang yang ia temui di sini begitu bebas bicara. Senang bergaul dengan siapa saja. Mas Ayu Prabu tidak langsung pulang ke Sempu. Tapi ia berkuda ke Songgon. Kuda hitam berpetak putih di kepalanya itu seperti tak pantas dikendarai oleh seorang gadis molek seperti Ayu Prabu. Tentu orang akan bertanya apakah tidak akan lecet tangannya yang halus itu memegang tali les (kendali). Tapi semua pertanyaan itu sirna begitu perawan itu melompat di atasnya. Dengan sangat berani Ayu Prabu menempuh hutan-hutan. Sebab ia tidak ingin melewati gardu penjagaan pasukan Madura dan Kompeni. Karena itu pula ia harus berani menerjuni jurang-jurang dan melompati banyak rintangan. Kini ia menembus hutan ke utara. Berbelok ke barat. Duri rotan bukan halangan untuk mencapai Songgon sebelum mentari tenggelam. Ia harus mendengar laporan Sayu Wiwit. Ia harus mencari seorang gadis penari yang wajahnya mirip Sayu Wiwit dan akan bertindak sebagai Sayu Wiwit. Dan Sayu Wiwit harus melatih gadis itu sebaik mungkin. Langkah yang dianggap lucu oleh Sayu Wiwit. Ini mengundang kekhawatirannya. Jangan-jangan yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dihadapinya adalah Mas Ayu yang palsu. Sayu Wiwit tersenyum sendiri. Apa rencana Mas Ayu ini" Siapa yang jadi penabuh" Tentu orang Sempu. Semprul jadi pengendangnya. Ia memang terlatih untuk itu. Angklung yang penyangganya dihias dengan kayu yang diukir gambar Antareja ditabuh oleh Bence, angklung yang penyangganya dihias dengan gambar Gatotkaca ditabuh oleh Da-res, sedangkan gong ditabuh oleh Nuri. Dan ada peralatan lain yang masih harus ditabuh oleh beberapa orang. Ketika mentari condong ke barat, Mas Ayu Prabu benarbenar telah sampai di Songgon. Ia tidak menuju ke padepokan. Tapi ke sebuah rumah yang juga cukup besar di ujung selatan desa itu. Semua yang akan bertugas besok sudah menunggunya. Keringat dan debu menyelimuti seluruh tubuhnya. Demikian pun kudanya. "Dirgahayu!" katanya begitu memasuki ruangan. Dan semua orang membalasnya dengan ucapan "Dirgahayu", yang juga berarti doa agar panjang umur. Mas Ayu tidak mandi terlebih dulu. "Aha... bagaimana, Sayu Wiwit?" "Hamba telah mendapatkan. Ini dia Ni Marmi. "Bagus. Ni Marmi sudah berlatih?" gadis itu bertanya langsung pada Marmi. "Hamba, Yang Mulia," Marmi menyembah. Ia telah diberi tahu siapa Mas Ayu. "Baik sekali. Untuk semua" Apa sudah tahu tugas masingmasing" Kau, Semprul, yang akan menjadi kepala rombongan?" "Hamba, Yang Mulia." "Aku dan Sayu Wiwit akan mengawal kalian. Nah, kala di batas kota kalian akan bergabung dengan pembawa senjata Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ itu. Tha Khong Ming memimpin sendiri rombongan itu. Jika Ming bertanya tentang aku, katakan bahwa aku di dalam puri. Di gerbang puri kalian harus berhenti sebentar. Bunyikan gendang. Beri tahu pada penjaga bahwa kalian sudah dibayar oleh Mas Rempek. Rempek akan menunggu kalian. Dan jika di depan Rempek Khong Ming menanyakan aku, katakan bahwa aku tidak ingin menemuinya di istana Rempek. Katakan, aku akan menunggu dia satu minggu lagi di kedai di Sumberwangi." "Hamba, Yang Mulia." "Perlu kauketahui bahwa Rempek belum mengenal aku. Tha Khong Ming belum kenal Rempek dan tidak tahu bahwa senjata itu untuk Rempek. Ingat tugas kalian adalah mengantar senjata. Kalian adalah orang-orang sandi!" "Hamba, Yang Mulia." "Nah, aku akan menghadap Rsi lebih dulu. Kita perlu mohon doa restu beliau. Agar perjalanan kalian selamat." Kudanya sudah enggan melangkah kala Mas Ayu naik kembali. Namun kepatuhan kuda itu memang teruji. Sepertinya ia sudah menyatu dengan jiwa tuannya. Kendati keremangan telah turun. Kawula Songgon tidak menyambutnya. Namun semua orang tidak berusaha menghadangi nya kala ia melangkah lamban. Ya kuda itu seperti sudah kehabisan tenaga. Lamban. Seperti takut terperosok ke dalam lumpur. Masuk regol pun tidak seorang cantrik pun menghadangnya. Bahkan mereka menghormat. Ia cuma membalas, mereka dengan senyuman. Ia turun di samping pertapaan. Terus ke perigi dan mandi. Menyegarkan tubuh. Kepalanya juga ikut segar. Salah satu Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tugas yang dibebankan padanya hampir mendekati penyelesaian. Ia tak usah berpikir bagaimana caranya Tha Khong Ming membawa senjata itu ke Pakis. Tentunya Tha Khong Ming bukan orang sembarangan. Ia mampu menerobos Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ barisan penjaga pelabuhan dengan mudah. Tentu ia akan mampu membawa barang-barang itu ke Pakis. Setelah tubuhnya segar kembali ia membawa kudanya ke istal dan menyerahkan kudanya untuk diberi makan oleh penjaga kandang itu. Setelahnya ia menjumpai Rsi Ropo di ruang tengah. Tidak seorang pun melarangnya. Membuktikan bahwa ia sudah terbiasa masuk ke sini. "Dirgahayu, Kanda. Sembah untuk Yang Tersuci," ia menyembah. "Dirgahayu, Adikku. Duduklah." Rsi menyodorkan sirih pada adiknya. Memang sukar dikenali jika tidak diteliti sungguhsungguh. "Ah, Kanda, Tha Khong Ming mendesak terus untuk bersua dengan Kanda." "Ha... ha... ha... Kita harus pandai-pandai menjaga diri. Sebab kekuasaan di tangan musuh. Bukan mudah membangunkan kawula yang terus-menerus kalah." "Tapi sekarang ini kebencian pada VOC kian meradang." "Itu belum berarti mereka mau kita ajak mengusir VOC," kembali Ropo menerangkan. "Kita tahu mereka banyak yang menyingkir ke hutan. Dan apa yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidup mereka" Tidak kurang-kurang yang menjadi perampok. Artinya mereka menjadi momok bagi sesama kawula. Sesama sudra yang juga diinjak oleh Kompeni." "Jadi bagaimana dengan keinginan Ayahanda?" . "Aku percaya Ayahanda bukan orang tolol. Kekalahan adalah guru terbaik. Jika Tha Khong Ming memang memaksa, aku hanya akan menjumpai dia sebagai Rsi Ropo. Dan bukan sebagai Sratdadi." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Keduanya tertawa. Dan kemudian mereka merundingkan bagaimana caranya membuat kawula Blambangan bangkit kembali melawan Belanda. "Semula hanya Ramanda yang dapat memimpin seluruh kawula Blambangan," Mas Ayu berpendapat. "Hamba lihat Kanda pun mampu untuk itu. Tapi mengingat Kanda sudah menjadikan diri brahmana, maka tidak layak jika Kanda sendiri yang memimpin." "Cukup Wilis di Raung. Ia mumpuni. Tapi karena keadaan sekarang lebih sulit daripada zaman Ramanda, maka kita perlu membuat Wilis lebih banyak." "Bagaimana mungkin?" "Kau mampu menciptakan Sayu Wiwit lebih dari satu. Kenapa tidak bisa bikin Wong Agung Wilis juga lebih dari satu?" Keduanya tertawa lagi. Setelah itu Mas Ayu menceritakan betapa Tha Khong Ming mulai tertarik padanya. Ia mulai menghadiahkan sesuatu untuk dia dan Sayu Wiwit. Mas Ayu mengambil kotak pemberian Khong Ming dan membuka untuk melihat isinya. Sudah diduga sebelumnya bahwa isinya adalah perhiasan. Tapi kali ini membuat keduanya betul-betul terkejut. Kalung mutiara serta gelang emas. Bukan cuma itu, kutang rantai emas yang kala itu biasa dipakai hanya oleh permasuri raja-raja Ciwa. Gila! Dari mana Tha Khong Ming membeli ini" Dan tentunya Tha Khong Ming sudah sangat berpengalaman memberikan hadiah pada wanita-wanita. "Ini membuat kita harus semakin hati-hati padanya, Ayu." "Hamba, Kanda." "Seorang yang mulai bangga dengan pujian dan senang akan segala hadiah, ia mulai meletakkan kakinya di lumpur kehinaan." Ropo menggaruk-garuk jenggotnya yang tidak gatal dengan telunjuknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hamba, Kanda." "Ingat-ingat ini, Ayu! Bukan aku melarang kau menerima hadiah dan sanjungan. Kau tak akan bisa menghindarinya. Itu kodrat karena Hyang Maha Dewa menganugerahkan padamu wajah cantik seperti itu. Dan kodrat pula setiap lelaki memuji dan menyanjung wanita cantik. Tapi jangan lupa semua itu dengan satu tujuan. Menyeretmu ke tempat tidur! Kau boleh jinak tapi tidak berarti boleh menyerah!" "Hamba, Kanda." "Aku juga tidak melarang jika suatu ketika kau jatuh cinta padanya. Cinta adalah kodrat yang juga sukar dikebaskan dari kehidupan kita. Cinta adalah kebutuhan yang tidak nampak. Namun itu tidak boleh membuat kau mengesampingkan cinta akan negeri yang sedang membutuhkan uluran tanganmu ini." "Hamba, Kanda," Ayu membenarkan semua perkataan kakaknya dan ia berpikir sudah cocok kakaknya menjadi seorang brahmana. Maka ia menyatakan pendapatnya itu. Disambut dengan gelak terbahak. "Aku seorang rsi! Dan aku pandita! Tapi bukan seorang begawan. Ha... ha... ha... satria yang membrahmanakan diri harus mampu mengatasi banyak kesukaran. Dari berpakaian pun sudah merupakan kesukaran. Apalagi bertingkah laku." Kembali keduanya bergelak. Setelah melaporkan apa yang akan mereka lakukan esok, Ayu berpamitan. Ia akan menyampaikan hadiah Tha Khong Ming pada Sayu Wiwit. Kegelapan sudah merajai alam. Namun itu tak membuat Ayu sulit mencari pondokan di mana Sayu Wiwit menginap. Karena rumah itu memang disediakan untuk mereka jika sedang datang. Kebiasaan memang memudahkan segalagalanya. Memang memerlukan kewaspadaan yang lebih dari biasanya. Namun Ayu Prabu sudah menerima latihan cukup sebelum mendapat tugas sebagai kepala sandi Bayu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Dirgahayu, Yang Mulia." Sayu Wiwit membuka pintu begitu mendengar langkah Ayu Prabu. "Ah, belum tidur?" "Yang Mulia lebih letih dari hamba. Tapi Yang Mulia juga belum istirahat." "Pengabdian tidak mengenal lelah. Ingat, kita sedang berperang." "Suatu semboyan untuk menghilangkan kelengahan." "Kelengahan mengundang macam-macam bahaya." Mas Ayu mencuci kaki dan setelah itu langsung menuju tempat tidur. Sayu Wiwit memandangnya penuh keheranan. Ayu membawa dua kotak. Yang satu lebih besar dari lainnya. "Sayu...," panggil Ayu waktu merebahkan diri di tempat tidur yang terbuat dari bambu dan beralas tikar pandan itu. "Hamba, Yang Mulia," jawab gadis itu sambil mendekat. Ia sempatkan pula mengambil pelita untuk menambah penerangan dalam kamar tidur. Mungkin saja Ayu Prabu ingin membaca lontar seperti biasanya jika mereka pergi tidur. Baca lontar sebagai pengantar tidur. "Tha Khong Ming memberi hadiah pada kita. Kau yang ini." Ayu Prabu menyerahkan kotak yang lebih kecil. "Aku tidak memilih-milih, Sayu. Itulah memang bagianmu menurut Tha Khong Ming." Ketika Sayu Wiwit membuka kotak itu ia pun terkejut. "Jangan kaget, Sayu. Dan jangan ditolak. Itulah lelaki. Jika sedang menginginkan sesuatu dari kita maka mereka membuat kita melambung ke langit. Tapi di balik itu mereka menyediakan lumpur kubangan yang busuk." "Tapi hamba tidak memerlukan itu, Yang Mulia. Hamba seorang sayu."( wanita yang disucikan demi kepentingan keagamaan Ciwa) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Cuma orang yang mengerti dan mau mengerti dapat menghargai kesucian. Tapi lelaki tidak mau mengerti apa arti namamu. Tidak akan mau tahu kekudusan. Sebab mereka lebih banyak dikuasai nafsu untuk menyeret kita ke atas tempat tidur." "Nah... kita kembalikan dan..." "Tha Khong Ming tidak memerlukan penjelasan itu. Ia cukup tahu. Karena ia cukup lama berkelana di Bali. Dan tidak perlu malu menerima ini. Kita wanita yang sama dengan Repi. Sama dengan Marmi. Kita memerlukan perhiasan ini untuk memperindah tubuh kita. Jangan lupa, indah itu menyenangkan. Buta jika tidak sependapat dengan ini." Sayu Wiwit tertunduk. Menimang-nimang kalung dan gelang emas yang baru ia miliki saat ini. "Itu sebabnya aku menciptakan Sayu Wiwit baru. Kau harus kudus sampai waktu yang ditentukan. Padahal siapa yang tak pernah dengar itu Rempek" Aku memberimu tugas. Namun aku harus menjagamu. Kecuali jika kau sendiri yang menghendaki karena kau sudah membutuhkan..." "Ah..." "Kita tak perlu ingkar. Saatnya kita memerlukan cinta. Itu kodrat. Semua, sekali lagi semua yang di bumi ini membutuhkan cinta. Siapa bilang binatang tak membutuhkan cinta" Kerbau dan anjing, bahkan ayam pun sering kita lihat terlibat dalam perkelahian karena cemburu. Cemburu pada binatang adalah penampilan cinta yang sederhana. Sangat sederhana bahkan." "Hyang Dewa Ratu, begitu jauh Yang Mulia meneliti sesuatu kejadian." "Jika kita ingin menjadi bijak kita harus meneliti semua kejadian dan gejolak alam." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ayu membaringkan diri. Dengan kasih Sayu Wiwit memijitmijit kakinya. Ia pandangi langit-langit dan melirik mengelilingi ruangan. Banyak jalur-jalur sarang labah-labah. Debu juga bertempelan di mana-mana. Ah... tidak pernah dibersihkan. Tiba-tiba saja suara hujan turun di luar rumah menghentikan nyanyian binatang malam. Makin lama makin lebat. "Meneliti juga salah satu cara untuk belajar," lanjut gadis itu. Tanpa mempedulikan hujan. Sayu Wiwit mengakui sekalipun ayahnya seorang brahmana tapi belum pernah memberikan pelajaran seperti yang diajarkan Ayu padanya. Ia tidak tahu bahwa anak-anak Wong Agung Wilis memang dipersiapkan. Kepergian mereka ke Raung bukan untuk melarikan diri dari peperangan. Tapi mempersiapkan diri. Siap secara pribadi maupun secara keseluruhan sarana perjuangan. Apalagi setelah mereka tahu ayah mereka yang begitu mereka hormati karena kemampuannya itu kalah. Maka Sratdadi sebagai putra tertua mengajak seluruh saudaranya bekerja dengan cara yang lebih cermat dan lebih banyak menggunakan laskar sandi. Membangun kekuatan di bawah mata pasukan pendudukan bukanlah hal yang mudah. "Setelah peristiwa pertemuan Sayu Wiwit itu dengan Rempek besok, maka kau harus siap. Karena namamu akan lebih banyak dikenal. Ingat, kau akan dikenal. Ingat, banyak orang ingin dikenal. Dan karenanya banyak yang berusaha untuk mencari nama. Nah, dalam mencari nama inilah... sekali lagi dalam usaha mencari nama inilah tak kurang-kurang yang menempuh jalan keliru. Ada berapa banyak manusia di Blambangan yang karena mencari nama menjual bangsa dan negaranya" Juga berapa banyak orang yang memamerkan keperempuanannya di depan umum untuk merangsang kelelakian?" "Hyang Dewa Ratu! Kenapa manusia menjadi tidak takut lagi pada Hyang Maha Dewa" Bukankah itu meruntuhkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ suatu peradaban yang telah disusun dan dibangun oleh leluhur kita?" "Mendapat nama erat hubungannya dengan keenakan. Setiap orang memburu keenakan. Siapa pun yang ingin keenakan pribadi akan terjerat oleh keinginannya sendiri. Maka ia akan melupakan nilai-nilai luhur dari suatu budaya. Bahkan cenderung ingin memusnahkannya. Dan setiap orang akan dijerat oleh keinginan hatinya sendiri." "Hyang Dewa Ratu!" "Karena itu bersiaplah! Tugasmu akan lebih' berat. Karena nama itu. Nama akan membuat hati berbunga-bunga. Tapi juga merupakan tanggung jawab. Kau bisa pertahankan nama itu dengan karya dan darma. Sebab tiap orang mendapatkan nama itu hanya dengan karya dan dharma." "Hamba, Yang Mulia." - "Masih ada setengah hari besok untuk memperr siapkan Marmi. Sendiri aku akan mempersiapkannya. Sekaligus membentuk hatinya agar menjadi setia pada kita." "Hamba, Yang Mulia." "Kita istirahat. Memulihkan tenaga kita." "Hamba, Yang Mulia." Tha Khong Ming tentu tidak bisa berpakaian seperti layaknya orang Blambangan. Kulitnya tidak bisa disembunyikan. Karena itu ia berpakaian seperti orang Madura. Bersama sepuluh orang pemikul barang ia berangkat membawa pesanan Ayu Prabu ke Pakis. Lima puluh depa di muka ia menempatkan seorang pemandu dan seorang pembawa kerincingan besi. Dengan maksud jika melihat sesuatu yang membahayakan maka ia akan menabuh kerincingan besi sambil meneriakkan, "Pijit! Pijit!" seolah dia menawarkan pijit pada orang. Sedang dua puluh lima depa di belakang pemandu tersebut-ada dua orang lagi yang akan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berusaha menarik perhatian atau melakukan apa saja yang menghambat musuh yang mungkin akan berpapasan, memberi kesempatan pada para pemikul untuk bersembunyi dalam semak. Sedangkan Tha Khong Ming berjalan dua puluh lima depa di belakang mereka. Pemandu sudah tahu persis mana daerah penjagaan dan mana yang bisa dilalui. Sekalipun mereka berangkat pada dinihari sebelum ayam berkokok namun baru sampai di tapal batas Pakis pada waktu mentari telah condong ke barat. Tha Khong Ming menghitung berapa jarak yang telah ditempuhnya" Barangkali ada empat puluh lima ribu depa. Hanya karena ingin tahu secara pasti di mana Ayu Prabu tinggal, ia harus menempuh perjalanan yang begitu jauh dan melelahkan. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Mungkinkah aku sudah jatuh cinta" Atau ini awal dari jatuh cinta sehingga aku ingin tahu banyak tentang dia. Bukan cuma jarak yang menjadi persoalan dalam Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perjalanan itu. Tapi perondaan yang sewaktu-waktu bisa saja muncul di tengah hutan. Karena itu mereka harus sangat waspada. Apalagi jika sedang melewati tikungan. Tapi untung si tukang pijit sangat pintar. Acapkali mereka pura-pura menanyakan alamat seseorang yang sudah memesan sang tukang pijit untuk datang. Maka kesempatan menjadi cukup bagi para pemikul untuk masuk semak-semak. Dan para peronda sendiri tidak begitu suka terlalu lama di hutan-hutan. Bau busuk bangkai dari orang-orang yang kelaparan atau teraniaya pada masa Colmond masih mewarnai hutan-hutan lebat di Blambangan. Itu yang menyebabkan banyak peronda takut masuk hutan. Dan itu melicinkan jalan rombongan Tha Khong Ming. Apalagi disertai gerimis yang sering turun. Kompeni tidak ingin menjadi pilek. Mereka berpendapat bahwa orang Blambangan tidak mungkin berani melakukan sesuatu mengingat kematian teman-teman mereka yang begitu banyak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kini Khong Ming telah benar-benar tiba di batas kota Pakis. Dan ia melihat Sayu Wiwit berpakaian seperti penari. Maka ia memberi hormat dan wanita muda itu juga membalas sambil senyum. Sesuai dengan petunjuk Ayu Prabu, Khong Ming tidak boleh terlalu dekat dengan rombongan penari itu. Namun para pemikul senjata dalam kotak-kotak kayu itu diminta bergabung. Khong Ming menyusul dalam beberapa jarak sampai di depan kediaman Mas Rempek. Dipagari tembok setinggi dua depa. Dan ada penjagaan di gerbangnya. Semprul menabuh gendangnya keras-keras. Seorang penjaga segera mendekati setelah angklung juga dibunyikan. "Apa maksud kalian menabuh di sini?" "Maaf, Tuan. Kami sudah ada janji dengan Yang Mulia Rempek beberapa waktu lalu. Karena itu kami hanya akan mengingatkan." "Sudah berjanji" Beliau menyuruh kalian datang?" Penjaga itu agak takut. Ia tahu Rempek suka sekali dengan gandrung. "Masuk! Masuklah! Terus ke pendapa!" "Terima kasih." Semua orang masuk dengan memikul barang masingmasing. Tha Kong Ming segera ikut memikul beban untuk dapat lebih aman. Sekilas penjaga curiga. Namun tidak sempat menahannya. Para pemikul bergesa mendahului para penabuh. Begitu mendengar suara angklung Mas Rempek keluar dari kamarnya. Namun betapa kagetnya setelah sampai di pendapa melihat rombongan gandrung itu sudah ada di situ. Semua orang menyembah. "Siapa yang mengizinkan kalian masuk?" Mukanya merah di bawah sinar pelita. Sayu Wiwit yang sebenarnya adalah Marmi maju sambil menyembah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ampunkan kami, Yang Mulia. Kami diperintahkan menyampaikan pesanan Yang Mulia." Kemarahan Rempek turun seketika itu juga kala mendengar suara Marmi. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap mendebarkan hati. Ia tajamkan mata dan pendengarannya. Pesanan" ia mengulang dalam hati. Ia mengingat-ingat untuk sesaat. Namun tidak bisa memecahkannya. Maka tanyanya, "Apa itu?" seraya berbisik. Matanya liar mengawasi rombongan penabuh. Matanya menangkap Tha Khong Ming. "Yang Mulia bisa melihat sendiri pesanan itu," Marmi menjawab. Rempek mendekati sebuah peti yang ditunjuk Marmi. "Buka!" perintah Marmi. Dan saat itulah Tha Khong Ming berdiri dan maju. Rempek menatapnya tajam. Namun dengan cekatan orang itu membuka peti. Jerami melapisi bagian atas. Ming menguakkannya. Setelah itu ada kain sutera. Rempek seperti tak sabar. Namun setelah kain sutera itu terkuak ia melihat tumpukan senjata api berlaras panjang buatan Inggris. "Jagat Dewa!" ia menyebut. Dan ingatannya tertuju pada Ropo, rsi di Songgon. Tha Khong Ming menutup kembali. "Siapa namamu?" Rempek bertanya pada Marmi. Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15 Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Samurai Pengembara 10 2

Cari Blog Ini