Ceritasilat Novel Online

Gema Di Ufuk Timur 8

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 8 Perang tidak mengenal kasihan. Jala Rante menekankan supaya jangan ada di antara mereka yang menyerah. Sebab menjadi tawanan Kompeni akan menderita aniaya, menjadi pembuang tinja atau pengangkut bahan-bahan bangunan di benteng-benteng VOC. Setiap hari mereka yang di Surabaya digiring untuk dipertontonkan pada kawula Surabaya dengan tangan dan kaki dirantai. Setelahnya digiring ke pelabuhan sebagai pengangkut barang. Atau sebagian lagi digiring ke tempat di mana VOC menggali kali mir (kali buatan yang dipakai untuk pembuangan di kota) Dengan tangan dan kaki terbelenggu pula mereka harus menggali. Anjing-anjing bernasib lebih dari mereka. Di Surabaya, noni-noni suka bermain dengan anjing. Begitu cerita Jala Rante pada anak buahnya. Karena itu hanya ada satu pilihan, menang atau mati! Sementara itu titik-titik hitam yang tadi terlihat jauh di lambung kanan kapal bendera juga makin dekat. Tujuh belas kapal perang Bugis dengan bendera hitam bergambar tengkorak. Dan begitu mereka mencapai jarak tembak, langsung membuka serangan ke arah Kompeni. Gila! Mereka dibuntuti. Atau rencana perjalanan mereka diketahui" Jika demikian tentu ada mata-mata bajak laut ini dalam tubuh Kompeni sendiri" Melihat kenyataan ini, kapal bendera Belanda memerintahkan agar semua kapal menyebar dan menyerang ke segala arah. Suatu keuntungan besar bagi Kompeni, karena persenjataan mereka lebih baik dan lebih baru. Di samping itu, kapal-kapal mereka mampu berlayar lebih lincah dan lebih cepat. Perahu-perahu nelayan yang ditumpas makin banyak. Tentu mengurangi jumlah penyerang kendati datang yang baru dan lebih berbahaya. Apa pun keadaan yang terjadi saat itu, peperangan tidak bisa dimenangkan dengan hanya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bermodal keberanian. Di samping persenjataan yang lebih baru dan akurat daya tembaknya, Belanda juga memiliki segudang pengalaman. Mereka telah mengarungi samudrasamudra dunia dari ujung ke ujung. Mereka pernah melewati Tanjung Pengharapan yang konon kesohor berombak setinggitinggi bukit. Seberani apa pun Detya Jala Rante dan kawankawannya, mereka belum pernah melihat Tanjung Pengharapan. Belum pernah melintas Selat Gibraltar. Belum pernah lewat Laut Merah. Sedang pelaut bule itu" Pernah mengalahkan tempat-tempat tersebut. Bukan cuma gelombang yang mereka taklukkan, tapi juga bajak laut Baduy yang umumnya berasal dari Libia dapat mereka terobos. Meriam Portugal di Goa dan Malaka, serta meriam-meriam musuh dagang utama mereka, Inggris pun tidak mampu berbuat banyak. Maka sekarang walau sulit, mereka mampu menunjukkan keunggulannya. Sudah delapan memang yang tenggelam. Sedang dari pihak Jala Rante sudah dua kapal terkubur. Dan entah berapa lagi jumlah perahu nelayan yang nekat itu harus punah berkepingkeping. Tapi Rencang Warenghay bukan bajak laut sembarangan. Ia lebih cerdik dari Jala Rante. Tidak berani menyerbu masuk, ia menjaga jarak. Jika ternyata kemungkinan menang tidak ada, ia siap melarikan diri. Dan orang-orang Belanda memang melihat perbedaan ini. Setiap kapal Blambangan makin nekat menyerbu. Bahkan yang sudah terseok pun berusaha menabrakkan kapalnya. Mereka memilih tenggelam bersama daripada menjadi tontonan. Alap-alap bergidik juga melihat kenyataan itu. Tambah empat lagi kapal VOC yang tenggelam. Apalagi kapal milik Madura atau Probolinggo dan Surabaya, sudah lebih dari sepuluh yang tenggelam. Sungguh suatu pertempuran laut yang tak berampun. Jala Rante sendiri tak berniat surut. Kendati maut telah mulai melambai. Buritan kapalnya tertembak. Beberapa bagian Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mulai robek. Ia perintahkan anak buahnya maju. Jika sempat ia perintahkan melompat ke geladak lawan untuk mengamuk. Tapi kemungkinan untuk menerobos masuk mendekati kapal bendera lawan tidak mungkin lagi. Kapal itu dilindungi oleh puluhan kapal lainnya. Sebuah kapal yang berisi pasukan gabungan tidak sempat menghindar kala dalam jarak dekat kapal Jala Rante memuntahkan beberapa peluru meriam dan cetbang. Air-api menyerbu berbareng. Air dari lambung kapal yang robek, api dari geladak dan layar yang robek. Dalam sorak membahana anak buah Jala Rante membelokkan haluan kapal ke kiri. Satu tembakan musuh jatuh di atas geladak, tapi masih terbahak Jala Rante. Seperti sudah gila. Mungkin saja telah menjadi gila mereka itu. Batas ketakutan sudah habis. Di depan maut yang menjemput pun terbahak-bahak. Itu terlihat jelas oleh kapal-kapal yang sedang mengepungnya. "Dirgahayu Blambangan! Demi Hyang Maha Qiwa! Terpujilah mereka yang mati demi Blambangan, bumi leluhur kita!" teriakan Jala Rante terdengar mengguntur di sela dentuman meriam. Empat kapal lain melakukan gerakan yang sama. Mati di pertempuran adalah suci bagi lelaki ?iwa. Dan tentu saja, meskipun mereka mampu menenggelamkan lima kapal lagi, mereka seperti anjing-anjing laut yang menghadapi kerumunan ikan-ikan hiu raksasa. Satu demi satu tak berdaya. Tapi tidak menyerah. Dengan meneriakkan, "Jayalah Blambangan," mereka berlompatan ke laut. Juga Jala Rante. Dia orang terakhir yang meninggalkan kapal setelah kapalnya berpusing seirama gelombang dan pusaran air. "Berenanglah! Tapi jangan menyerah!" ucapnya. Belanda tak sempat melihat itu. Yang mereka lihat adalah pelan-pelan semua kapal berbendera merah dengan gambar kepala anjing itu tenggelam. Sementara itu tembakan Rencang Warenghay sudah memakan korban. Sebentar lagi mentari sudah bersembunyi di sebelah barat. Akan berbahaya jika pertempuran berlanjut malam hari. Rencang Warenghay dengan anak buahnya adalah bajak laut yang mendapat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ julukan Naga Laut Malam. Benar-benar mereka mampu bergerak seperti hantu di malam hari. Karena itu kapal bendera Kompeni memerintahkan segera mengepung Warenghay dengan gerakan tapal kuda. Namun Warenghay bukan bajak laut yang baru belajar. Pengalaman bertahun-tahun membuatnya segera menyadari jebakan yang dipasang gugus tengah Kompeni itu. Mereka pura-pura surut, namun sayapnya maju. Sehingga mereka mencip-takan garis lengkung. Dan makin lama akan makin cekung. Dengan ketiadaan pengalaman, Rencang Warenghay pasti akan terisap ke dalam cekungannya. Apalagi dua kapal Warenghay sudah tenggelam. Tapi justru kesempatan itu digunakan oleh Warenghay untuk mengambil ancang-ancang pergi sambil memuntahkan banyak peluru. Dan iringiringannya akan mengambil arah berlawanan dengan Kompeni. Ia tahu Kompeni tak bisa dibendung. Apa yang dilakukan oleh rombongannya sekadar gangguan kecil. Tapi setelah melihat kerugian di pihaknya, ia segera mengambil keputusan merampok Pasuruan, Bangil, dan Gresik. Ia tahu, tak banyak kapal perang Belanda yang tersisa di ketiga kota pantai itu. Jika mungkin ia akan membakar habis ketiga kota itu. Selamanya tidak pernah ada bajak laut yang ramah. Pimpinan gugusan kapal Kompeni tidak memperhitungkan itu. Tugasnya ialah mendaratkan pasukan di Teluk Meneng. Daerah pantai yang masih dalam pengawasan pasukan Biesheuvel. Karenanya ia tak mengejar Warenghay. Waktu sangat berharga. Iring-iringan meneruskan perjalanan. Membiarkan ikan-ikan di Selat Madura berpesta. Memakan bangkai-bangkai. Komandan itu tahu persis, anak buahnya yang tersisa kini sedang bersuka ria minum untuk menurunkan ketegangan. Sedang anak buah Alap-alap atau pasukan dari Surabaya, Sidayu, dan Pasuruan sedang berdoa. Laut yang indah, tapi selalu menyodorkan petaka. *** Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Imhoff dan Montro, bahwa mereka akan berlabuh di bibir sebuah dusun mungil. Kesunyian menyambut mereka. Pohon-pohon bakau, kelapa, pisang, dan rumput-rumput serasa memandang barisan yang telah berkurang seperempat dari jumlah kala dibariskan di kota Surabaya dulu. Bergoyang melambai dibelai angin pantai, seolah menyapa dalam tanya: Dari mana datang" Inikah Blambangan" Dalam kesenyapan mereka berbaris ke Pangpang untuk menghadap Residen Biesheuvel. Sedang kapal yang mengantar mereka segera bertolak setelah komandan gugus itu menyampaikan ucapan selamat pada para perwira Kompeni dan pribumi. "Jangan pikirkan, apakah Blambangan calon kubur Tuantuan. Tapi lakukan segala dengan senang hati. Kita semua prajurit. Tidak perlu bertanya kapan dan di mana kita akan dikubur! Banyak sudah Kompeni yang terkubur. Mudahmudahan Tuan-tuan tidak mengalami nasib sama dengan mereka. Seperti kami tahu, banyak orang pulang hanya tinggal nama saja di lautan. Tapi kami tidak kembali ke darat dengan ketakutan," Komandan itu memberi semangat. Dalam perjalanan yang senyap itu, pikiran merambah kian kemari. Ucapan komandan kapal tadi memang memberi semangat. Tapi bagi sebagian pendengar menimbulkan kesan berbeda. Pesan agar mereka bersiaga dengan tanpa berisik atau bersorak selama bergerak ke Pangpang mengisyaratkan lambaian teman-teman mereka dari dalam kubur di bumi Blambangan. Diam-diam bulu roma mereka berdiri. Tapi Montro dan Imhoff tidak bisa mempercayai dongengan tentang ganasnya Bumi Semenanjung yang elok seperti mawar ini. Pepohonan begitu ramah menyapa. Burung-burung juga riang menyanyi. Apakah ini bukan pertanda bahwa ini negeri damai" Biesheuvel membikin laporan bohong! Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Memang di Panarukan dan di laut ada perang. Tapi di sini damai. Atau cuma tinggal daerah yang amat terbatas dikuasi VOC" Yang lain masih belum takluk" Jika demikian laporan pendahulu Biesheuvel yang bohong. Mereka tak sempat berpikir lebih jauh. Sebab berulang mereka harus melihat peta. Siapa tahu penunjuk jalan di depan itu juga pembohong" Bisa-bisa menjerumuskan mereka ke dalam jebakan. Tapi tidak setiap belokan memang betul seperti tertera di peta. Menurut laporan jalan itu memang masih sepenuhnya dikuasai Kompeni. Kendati begitu mereka harus berjalan sehari setengah malam untuk mencapai Pangpang. Betapa jauh beda kota Lo Pangpang dan Surabaya atau Batavia. Kendati di sini VOC juga berusaha mendirikan loji-loji, dan gedung-gedung besar. Rumah Biesheuvel berukuran hampir sama dengan rumah seorang bangsawan di Mataram. Setidaknya berukuran lima atau enam kali rumah penduduk biasa di Blambangan. Sedang loji-loji milik orang-orang kulit putih yang berjajar rapi sepanjang jalan raya utama kota itu, berukuran lebih dari tiga kali rumah kawula. Tapi sekarang menurut pengamatan Montro lebih banyak yang. kosong. Anak buahnya nampak kuyu setelah menembus hutan dan rawa. Bahkan perbentengan pun nampak lengang. Sungguh, membuat bulu roma Montro dan Imhoff berdiri. Namun segera terhapus kala para perwira handal diundang ke rumah Adipati Jaksanegara. Termasuk Alap-alap ikut diundang ke istana Jaksanegara. Dan di tempat itu mereka benar-benar merasakan istirahat. Betapapun mereka kagum pada kekayaan Jaksanegara. Kagum pada taman di mana mereka menginap. Kagum terhadap para perempuan yang melayani mereka saat selesai perundingan. Tukang pijit dengan wajah ayu dan jarijemari halus seperti ini tentu sukar didapatkan di mana pun. Sementara itu, Mas Ayu Prabu mengarahkan kudanya ke utara. Ia merasa perlu menjumpai Rsi Ropo di Songgon. Semak-belukar tidak menjadi halangan bagi kuda yang tangkas itu. Ayu Prabu sudah mengalahkan gunjingan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pribadinya. Ia sudah mengebaskan bayang-bayang Tha Khong Ming dengan mengirimkan Ni Repi serta Ni Kebhi dengan anaknya, Sekar, ke rumah mewah Cina muda itu. Ia berharap jika Tha Khong Ming bisa sembuh biarlah ia mengawini salah satu dari kedua wanita tadi. Apa pun adanya ia harus bertahan dalam kesuciannya, sehingga jika saatnya tiba, maka ia akan persembahkan mahkotanya untuk seorang suami. Dan dengan bertahan pada kesucian itu, ia akan tetap bebas mendarmabaktikan diri pada negara dan bangsanya. Pada Hyang Maha ?iwa dan Blambangan yang suci. Tapi kali ini Rsi sedang tidak ada di tempat. Memang akhirakhir ini Rsi jarang tinggal di Songgon. Lebih mudah ditemui di Derwana. Rsi banyak memberi nasihat dan petunjuk pada Rempek yang telah menyatakan keinginannya membunuh Biesheuvel dengan tangannya sendiri. Sebab menurut pikir Jagapati atau Mas Rempek, Blambangan akan segera menang jika residennya mati. "Tidak, Yang Mulia," jawab Jagalara dan Rsi Ropo hampir berbareng. Kemudian Rsi Ropo yang melanjutkan. "Biesheuvel cuma seorang yang menerima gaji. Dia mati akan diganti lainnya. Apa yang kita lakukan kini, hanya menunjukkan pada dunia bahwa di bumi Nusantara ini tidak semua orang mau menjadi budak. Yah, Belanda sekarang menggempur kita dengan kekuatan senjatanya untuk menjadikan kita semua budak." "Lalu apakah kita tidak bisa mengusir mereka?" "Mereka hanya terusir jika yang di Batavia sudah terusir. Sebab mereka adalah mata rantai yang bersambung satu dengan lainnya. Jika semua raja Nusantara ini bersatu, mengerahkan semua daya, uang, laskar, dan menyatukan sikap hati, maka tidaklah sukar mengenyahkan kaum bule itu!" "Betul!" Jagalara kagum. "Hyang Bathara!" Jagapati menarik napas panjang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Jangan resah, Yang Mulia...," Jagalara menasihati. "Niat Yang Mulia untuk membunuh Biesheuvel tetap harus dilakukan. Kita akan menembus pertahanan mereka. Jika perlu kita melakukan penyamaran agar bisa masuk ke rumah Biesheuvel. Dengan matinya Biesheuvel, pasti Kompeni akan mendapat malu besar. Dan Belanda akan menyembunyikan Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mayat Biesheuvel rapat-rapat. Belum pernah terjadi seorang mayor mati di medan lagi sebelum ini. Untung tidak melakukannya. Juga Trunajaya yang mampu merobohkan kekuasaan Amangkurat yang sarat dengan kejijikan itu. Sungguh, jika kita mampu membunuh seorang residen tentu merupakan kebanggaan tersendiri." Jagapati tertawa. Dan Rsi tersenyum. Senang melihat tekad Jagapati yang membara itu. Niat adalah landasan utama dari semuanya. Tanpa niat maka tidak akan terjadi apa-apa. Setelah itu Rsi Ropo segera turun. Ia memerlukan diri lebih dulu lapor pada Wilis di Bayu. Wilis pun senang. Dan kepergian Ropo ke Bayu bukan semata menemui Wilis. Tentu ia ingin menyiram mawar yang sedang mekar dalam hatinya. Ia ingin menjumpai Mas Ayu Tunjung. Siapa tahu gadis itu segera memberikan kepastian. Namun kala ia sampai di Bayu, gadis itu masih berlatih menembak. Ia harus meneruskan perjalanan setelah lebih dahulu menghadap ibundanya, dengan berbekal sejumput doa agar Ayu Tunjung tidak jatuh hati pada pemuda lain. Ternyata gadis itu mampu membe- " lah hatinya. Kian lama, kian jadi kenangan di siang hari, impian di malam hari. "?.Itu sebabnya, Mas Ayu Prabu menemukannya di sebuah batu besar kala mencari-carinya. Duduk menyendiri sambil melamun. Melamun membuat manusia masuk ke alam lain yang gaib. Penuh dengan pengandaian. "Hyang Dewa Ratu, Kanda..."panggil Mas Ayu Prabu dari atas kudanya. Mas Sratdadi terkejut. Namun segera menenangkan diri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tentu sesuatu yang penting telah membuatmu berkuda kemari. Apalagi berusaha menemukan persembunyianku." Tapi Ayu Prabu memperdengarkan suara tawa. Naluri kewanitaannya menangkap sesuatu yang ganjil di wajah kakaknya. "Lagi kasmaran?" ia segera menggoda. "Bahaya jika seorang rsi sedang gandrung. Dunia ilmu pengetahuan bisa jungkir-balik." "Ha... ha... ha..." Sratdadi menutupi. "Atau sebaliknya?" Mukanya memerah. Tapi sekali lagi ia mencoba mengelak. "Prabu mulai jatuh cinta pada Tha Khong Ming. Hati-hati, lho." Mendadak wajah Ayu bermendung. Sambil turun dari kuda Ayu mencabut senapan Tha Khong Ming dan segera menuju tempat kakaknya duduk. "Kau menembaknya?" Sratdadi menatapkan matanya. Ayu menggeleng lemah. Tapi kemudian ia menceritakan semua yang terjadi. "Hamba tidak tahu, apakah ia mencintai atau hanya minta imbalan dari kebaikan yang selama ini ia berikan. Tapi hamba bertekad, tidak memberi untuk kedua-duanya." "Dia cukup tampan...." "Tapi negara membutuhkan hamba," gadis itu memotong. "Apa salahnya kau bercinta pada manusia dan negara?" "Cinta yang dibelah akan menimbulkan ketidakadilan. Memang cuma diri sendiri yang tahu. Sebab tidak mungkin sebuah hati mencintai dua hal sekaligus. Pasti yang satu akan dikalahkan. Jika kita lebih mencintai diri, maka cinta akan negeri akan berkurang. Karena kita takut kehilangan diri atau takut kehilangan cinta yang satu tadi. Bukankah kita telah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menyetujui pendapat Yang Mulia Wilis, bahwa ketakutan adalah dosa?" "Jagat Bathara! Ha... ha... ha... kau pandai mengajar." "Hamba tidak mengajar. Cuma berpendapat, bahwa ketidakadilan bisa dimulai dari diri sendiri." "Jagat Dewa!" Sratdadi membenarkan. "Apalagi setelah menerima laporan baru ini, hamba harus bisa mengebaskannya dari ingatan." "Mengebaskan dari ingatan" Apakah itu adil" Dia begitu berjasa. Barangkali kau tidak pernah dengar, bahwa Sayu Wiwit dan Mas Ramad dalam melancarkan perangnya saat ini dibantu oleh ratusan orang Cina, ribuan orang Madura dart Surabaya atau Mataram yang membelot pada rajanya." "Kita sudah memberinya imbalan dalam arti dagang. Kita harus tahu, untuk orang semacam Tha Khong Ming semua diperhitungkan atas dagang. Dan laporan terbaru yang bisa kita sadap dari rumah Jaksanegara menyebutkan bahwa tanggal delapan bulan Asuji (bulan September-Oktober. Penyerbuan itu menurut catatan Belanda terjadi tanggal 22 September 1771) nanti Belanda di bawah pimpinan Letnan Imhoff akan menyerbu Derwana. Sedang Letnan Montro akan menyerbu perkubuan Bayu." "Hyang Bathara! Dengan kata lain mereka sudah mencium adanya kekuatan kita di Bayu" Ada telik mereka dalam kita!" "Wajar, setiap seteru menempatkan masing-masing teliknya. Apa yang patut diherankan" Dan yang patut kita perhatikan, bahwa Madura mengirim seorang gagah berani, Kapten Alap-alap. Siapa yang tak pernah dengar nama itu?" . "Gagah berani atau kejam?" Sratdadi melecehkan. Namun semua laporan adiknya, membuat ia bangkit dan berganti pakaian. Rsi bukan begawan. Ia bisa setiap saat menjelma Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menjadi prajurit dan muncul di medan laga. "Aku perlu menyiapkan Bayu dan Derwana sekaligus. Siapa pun yang berani mengusik kita, harus mendapat pelajaran, Blambangan bukan Mataram!" geramnya. "Hamba akan menggempur mereka dari belakang bersama penembak-penembak jitu Bali." Ayu Prabu berpamitan. Kuda Sratdadi pun tidak kalah gagahnya dengan kuda Ayu Prabu yang hitam itu. Kendati warnanya coklat muda, kepalanya juga ditumbuhi bulu putih segitiga. Tepat di antara kedua telinga memanjang sampai ke tengah di antara kedua matanya. Begitu pula ujung belakang keempat kakinya dibungkus oleh bulu berwarna putih; Lebih gagah lagi karena Sratdadi tidak memangkas rambut kuda kesayangannya. Dibiarkan seperti rambutnya sendiri. Menapaki lereng bukit dan melompati jurang atau rintangan cukup tangkas. Orang lain akan ngeri melihat tandang kuda itu. Yang lebih mengagumkan karena kuda itu seperti telah menyatu baik rasa dan kehendak dengan tuannya. Sementara itu Biesheuvel di Pangpang semakin penasaran. Betapa tidak. Ia mendapat laporan dari teliknya, bahwa kawula Blambangan sebelah b. rat telah bersepakat mengangkat Sayu Wiwit sebagai ratu mereka. Luar biasa pengaruh wanita itu. Apakah mungkin punya ilmu sihir, sehingga semua lurah, dan pemimpin masyarakat di Bondowoso, Sentong, Puger, bahkan Candi Bang mengakuinya sebagai ratu" Dengan kata lain, " mereka tidak akan membayar pajak lagi pada VOC. Gila! Orang itu harus dihancurkan lebih dahulu. Tapi bukan oleh kekuatan yang sekarang terpusat di Pangpang dan Lateng. Karena itu ia segera memohon bantuan Surabaya untuk menggempur Jember dan daerah-daerah yang dikuasai Ratu Sayu Wiwit. Dan Van de Burg memerintahkan Letnan Fischer dengan bantuan laskar Madura yang dipimpin langsung oleh Panembahan Rasamala serta Surabaya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kesibukan seperti di Pangpang dan Surabaya terjadi juga di Bayu. Baswi maupun Yistyani dan beberapa tokoh tua lainnya segera diberi laporan akan rencana penyerbuan Montro itu. "Belanda memang tidak pernah puas dengan hanya menduduki kota-kota besar kita. Mereka benar-benar ingin melalap tiap jengkal tanah kita. Tapi mereka akan tersandung batu!" Baswi geram. Matanya sudah kabur. Tangannya sudah gemetar karena ketuaan. Namun semangatnya tidak pernah surut. Yistyani benar-benar kagum. Ternyata perang yang berikut ini jauh lebih besar dari perang yang dilakukan oleh Wong Agung Wilis sendiri. Yistyani hampir yakin, bahwa tewasnya beberapa perwira Kompeni adalah karena kepala Baswi yang cemerlang. Kendati tangannya sendiri tidak berlumur darah. "Hanya telik yang jitu yang dapat membawa mereka naik ke Bayu," Wilis menerangkan. "Namun kita tak boleh lengah. Memang bisa ditembus benteng kita. Tapi dengan pengorbanan besar. Artinya semua cula dan songga serta jebakan telah mereka isi dengan bangkai mereka!" "Bagaimana dengan Derwana atau Indrawana?" "Mereka juga sudah siap. Hamba telah perintahkan memasang para tawanan perang sebagai barisan terdepan. Di belakangnya para penembak jitu yang mengawasi para tawanan perang itu. Jika mereka tidak menembak maka kita yang akan melenyapkan mereka dengan panah beracun. Setelah itu para penembak jitu akan memancing mereka dan bergerak mundur sambil terus menembak. Kami berharap Kompeni merasa menang dan mengejar masuk. Perasaan ingin lekas menang akan membuat mereka lupa dan masuk dalam jebakan songga serta cula beracun." "Jagat Dewa Pramudita!" Baswi kagum. Yistyani bangga. Anaknya telah matang untuk memimpin sebuah peperangan. Peperangan yang mempunyai beberapa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ maksud dan makna. VOC melakukannya dengan maksud merebut pasaran bagi barang dagangannya, atau merampas harta kekayaan dan hasil bumi penduduk, untuk menambah barang dagangannya dengan tanpa mem- > beli. Mengambil milik orang lain dengan paksa atau tanpa izin tentu merupakan kejahatan. Tapi semua orang tidak mau dikatakan sebagai penjahat, karena itu VOC juga tidak mengatakan dirinya jahat. Sebab para paderi mereka mengajar bahwa mereka sedang menerima berkat Al ah. Adakah berkah itu diambil dengan tidak sah" Sebaliknya Blambangan melakukannya demi hak yang dilanggar. Bukan sekadar berebut kekuasaan antar para pembesar negeri. Wilis dengan seluruh pengikutnya berperang karena mengambil kembali hak Blambangan yang dirampas. Sama-sama mengambil, tapi punya arti yang tidak sama. Pagi-pagi benar kala embun belum tersapu dari dedaunan, dari bumi Blambangan, Montro yang sejak kemarin sudah mendaki lereng Raung itu, memerintahkan agar anak buahnya bergerak. Karena hari itu tepat tanggal dua puluh dua September tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh satu Masehi. Saat yang ditentukan untuk melakukan penyerbuan semesta di seluruh Blambangan. Dengan maksud supaya tidak ada saling membantu antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dan penyerbuan memang dipusatkan ke dua tempat. Ke Bayu dan Indrawana serta Derwana. Saat itu ia disertai Sangkil, seorang perwira dari Surabaya, serta Vasco Keling. Juga seorang perwira, tapi tidak jelas asal-usulnya. Hanya kulitnya hitamkelam serta rambutnya keriting. Dan perwira yang satu ini, mempunyai kesukaan melahap perempuan. Siapa pun perempuan di Jawa ini, bagi Vasco Keling tampak seperti bidadari. Ia kagum kenapa perempuan di sini rambutnya bisa begitu panjang. Kulitnya seperti kulit buah lang-sep" Tapi pagi itu ia dan Montro menjadi amat terkejut. Juga seluruh anak buahnya. Peta menunjukkan Bayu masih jauh. Baru tengah hari nanti semestinya sampai. Kini secara Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mendadak mereka mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Beribu anak panah berdesing menghujani mereka. "Tiarap!!!" perintah Montro, kemudian diteruskan oleh pemimpin lainnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa berkepanjangan dari tempat yang agak jauh. Bergema di pohon-pohon, tebing-tebing, jurang-jurang. Suara lelaki dan perempuan. Ucapan selamat datang yang disampaikan dalam Melayu. Ah, Melayu yang jelek dan kaku. "Selamat datang, Tuan-tuan! Inilah Negeri Bunga Mawar yang indah. Ha... Ha... Hi... Hi...." kemudian lenyap. Tak ada yang menjawab. Montro juga diam. Matanya mengamati tiap semak dan belukar. Tapi tiada tanda gerakan. Penasaran hatinya. Berapa orang yang menjadi korban hujan panah mendadak ini" Belum mampu menghitung. Tiap gerakan akan menimbulkan korban baru. Keringat dingin membasahi bajunya. Suara tawa dan panah kini sudah berhenti. Beberapa lama suasana hening dan mencekam merajai hutan itu. Dahan bergoyang. Burung kembali berkicau. Montro memerintahkan semua yang luka dikumpulkan. Tembakan melindungi pengumpulan ini. Ternyata kebanyakan pemikul kanon dan mesiu yang tidak mampu bergerak lincah itu yang menjadi korban. Memang ada juga beberapa ratus prajurit gabungan mati. Mayat mereka menjadi biru. Semua prajurit tahu, panah-panah itu beracun amat keras. Dengan kata lain mereka yang saat ini terluka pun akan mati. "Gila!" teriak Montro kalut. Juga yang terluka. Menangis sekeras-kerasnya. Takut menghadapi kematian. "Tembakkk!" teriak Montro. Dan terjadilah kehendaknya. Mereka menembak membabi-buta. Tiap gerumbul yang dicurigai mereka berondong berbareng. Kanon dan bedil sama-sama menyalak. Menggelegar. Mengejutkan semua satwa penghuni hutan. Tapi Montro tak peduli. Tindakan itu lebih ditujukan untuk menguatkan hati yang mulai kecut. Menghilangkan rasa takut yang menjamah tiap hati. Bahkan Montro sendiri Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menembak semau-mau. Tidak peduli apakah tembakannya hanya mengenai batang-batang pohon dan tiada berbalas. "Stop!!!" teriaknya setelah puas dan berkeringat. "Ha... ha... ha... tahu rasa orang Blambangan! Jadi bangkai semua!" Semua diam. Cuma sedikit yang ikut menyunggingkan senyum. Sebagian masih mengeluarkan keringat dingin. Belum pernah Montro mengalami kegilaan seperti ini. Kemudian ia perintahkan anak buahnya bergerak. Maju pelan-pelan. Apa yang mereka lihat" Tak ada mayat orang Blambangan. Cuma pepohonan yang tumbang. Ada bangkai ayam alas, kera, kijang, dan beberapa jenis binatang lainnya. Gila! Kalau cuma membantai kunyuk macam begini apa perlunya mengobral peluru kanon" Tapi bukan untung-rugi yang dimasalahkan. Kepuasan yang membangkitkan keberanian yang sempat tercuri oleh hujan panah dan suara tawa. Hantu barangkali" Mereka maju terus dengan gerak yang lebih berhati-hati. Kini hutan di depan mereka lebih lebat. Setiap suara mereka curigai. Apalagi gerakan. Kendati gerak dedaunan yang cuma Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo karena angin, telah membuat semua berdebar. Bahkan tidak sedikit yang menggeragap. Seperti dibayang-bayangi setan. Termasuk Montro, berapa kali sudah ia hampir memuntahkan peluru bedilnya hanya karena suara dahan jatuh atau ranting patah. Langkah demi langkah menambah ketegangan. Aku bisa gila jika terus begini, pikir beberapa orang. Siapa yang tahan terus diperlakukan seperti r ini. Baru selesai mereka melamunkan begitu, kehebohan terjadi di sayap sebelah kiri. Serombongan lebah hutan menyerbu mereka. Sengatan mengarah pada muka, membuat mereka terbirit-birit. Berlarian tidak tentu arah. Montro memaki mereka. Tapi beberapa bentar kemudian di sayap kanan pun terjadi kegaduhan serupa. Pasukannya jadi sukar dikendalikan. Hanya oleh serangan lebah hutan. Tidak sedikit yang berlarian tanpa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ , arah, bahkan menerjang barisan di belakangnya. Tapi ribuan tawon tetap mengejar. "Tuhan...," Montro menyebut. "Belum pernah aku mengalami perang semacam ini...," akhirnya ia mengeluh. Namun keluhan itu tidak berlangsung lama. Sebuah anak panah berdesing tepat di sebelah kiri telinganya. Ia toleh. Menancap di sebuah pohon sonokembang. Kembali ia menggeragap. Dengan gemetar ia berseru agar setiap " orang berlindung di balik pohon sambil bertiarap. Tapi perintah itu terlambat. Ribuan anak panah menghujani mereka dari segala penjuru. Kembali teriak kesakitan dan ketakutan memecah kesunyian hutan lereng Gunung Raung itu. Sebentar kemudian kembali suara tawa dan teriakan mengejek membahana. "Datang mengantar nyawa. Ha... ha... ha.... Bodoh!!!" Sungguh. Bukan bohong laporan Biesheuvel bahwa Kompeni berguguran seperti daun kering dengan tanpa peluru. Sekarang pun demikian. Montro sendiri mengalami. Sangkil bahkan terkena bahu kirinya. Montro hampir kehilangan akal. Saat pikirannya kalut ia menembak ke sebuah gerumbul. Tapi tembakannya sekarang mengenai sasaran. Teriak kesakitan terdengar. Maka segera ia perintahkan untuk menembak dan menembak pada musuh yang tidak tampak itu. Teriak kesakitan yang terus terdengar membuat mereka menjadi bergairah memburu. "Maju! Tembak! Serbu!! Bunuh!!!" Montro terus berteriak garang. Kejengkelan memuncak. Semua anggota yang terluka ditinggal dulu. Yang mati dilangkahi saja. Kesempatan untuk memusnahkan musuh harus digunakan sebaik mungkin. Semakin maju teriakan kesakitan dan minta ampun semakin menjauh. Ah, mereka lari terbirit-birit! Kejar! Demikian perintah terus mengalir seperti air dari mulut Montro. Dengan penuh semangat mereka memburu. Untuk membalaskan sakit hati teman-teman mereka. Gerumbul semak dan belukar mereka tembus dan beberapa bentar setelah itu malapetaka Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang lebih besar terjadi. Karena cula beracun dan songga orang-orang Blambangan menunggu justru menanti dibalik rimbunnya gerumbul. Sekali lagi para perwira Kompeni terperanjat. Ternyata mereka masuk dalam jebakan. Tahutahu beberapa ratus anak buahnya terkulai tanpa mampu bergerak. Menyadari keadaan itu ia memerintahkan semua orang berhenti. Tapi belum pulih kesadaran mereka sambil memandangi mayat teman-teman mereka yang tertancap di songgasongga, bahkan masih ada yang berjuang untuk mencabut diri dari songga, Vasco Keling berteriak-teriak melihat Sangkil tergeletak dengan muka biru. Tiba-tiba mereka mendengar tembakan dari arah belakang mereka. Montro kian menyadari. Kini ia benar-benar terjebak. Tembakan lawan makin gencar. Bahkan kiai mulai terlihat orang-orang yang berpakaian Bali. Oh, mereka dibantu laskar Bali. Dari sayap t kanan dan kiri pun terdengar tembakan. Vasco Keling berpaling ke arah itu. Perwira-perwira Madura di sayap kiri dan Surabaya di sayap kanan. Dengan jelas Montro dan Vasco Keling melihat. Orang Blambangan di depan mereka menembak sambil melompat dari satu pohon ke balik pohon lainnya. Maka ia perintahkan tiarap. Semua anak buahnya merayap sambil membalas tembakan musuh. Kini tidak bisa lagi mundur. " Mas Ayu Prabu telah datang bersama anak buah Gusti Tangkas. Cuma tiga ratus orang jumlah mereka. Tapi merupakan laskar pilihan dan terlatih. Mampu digerakkan dalam segala keadaan dan segala waktu. Kini Montro dan teman-temannya menjadi biawak. Melata dari satu semak ke belukar lain. Tapi justru itu mereka kini dengan mudah menjadi umpan cula-cula, besi pendek lancip dan , tajam pada ujungnya. Vasco Keling tampak terkapar meregang nyawa. Tanpa sadar Montro menitikkan air mata. Belum pernah ia mengalami perang yang sedemikian rupa. Maka kini ia perintahkan agar membuka kembali tembakan kanon. Jalan yang terbaik adalah mencari jalan keluar dari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ perang ini. Biar saja anak buahnya yang luka dan mati. Yang tersisa harus diselamatkan. Kendati peta menunjukkan bahwa mereka belum masuk wilayah Bayu. Maka dengan berdoa ia dan seluruh anak buah yang tersisa, apakah itu laskar Madura atau pasukan gabungan dari mana pun, bergeser ke kanan. Rasanya dari kanan tembakan lawan kurang begitu gencar. Maka tembakan kanon sebagian besar harus ke arah kanan. Tapi sebagai muslihat tentu Montro juga memerintahkan agar sebagian menembak ke segala arah. Tidaklah mudah mengundurkan diri dalam keadaan terkepung dan belum mengenal medan secara baik. Penunjuk jalan yang diberikan Jaksanegara ternyata tertembak dan sebagian terjebak hujan panah. Sebagian lagi mengangkat tangan. Ada beberapa yang membuang senjata dan pakaian mereka untuk kemudian berlari dengan tanpa mengenal tujuan. Montro betul-betul melihat semangat anak buahnya telah punah. Apalagi setelah bergeser ke kanan, makin lama makin nampak. Mereka tak berkesempatan makan siang. Sampai mentari condong ke barat, barulah tembakan lawan berhenti. Dan Montro memerintahkan anak buahnya istirahat sebentar. Keringat memenuhi muka dan tubuh mereka. Tegang dan takut membayang di setiap wajah. "Sungguh memalukan. Dari mana mereka belajar perang?" Montro mondar-mandir di antara seluruh anak buahnya yang duduk lesu. Tinggal tujuh ratus kurang. Seribu punah dalam satu hari" Perang melawan Untung Surapati pun tidak seperti ini, kecuali di Bangil yang kemudian mengakibatkan gugurnya si Untung. Tapi ini lawan tersembunyi. Tembakan dari pihak Bayu memang sudah berhenti agak lama. Apa sebab" Tanpa disangka, kala Baswi beranjak maju, sebuah peluru kanon jatuh tepat di depannya. Tak ayal, orang tua itu terpental ke udara dan jatuh kembali dalam keadaan sudah tak bernyawa. Wilis yang menerima laporan itu segera beringsut menuju tempat kejadian. Dan mau tak mau ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tertunduk melihat tubuh Baswi yang gempal itu hancur tersayat-sayat. Giginya berkerot. Matanya merah, memancarkan api. Beberapa ratus laskar Bayu nampak bergelimpangan. Laki-perempuan gugur seperti daun layu. Darah mereka membasahi bumi. Cepat ia perintahkan membawa mayat Baswi pulang untuk dibakar. "Paling lama tujuh hari kita laksanakan pembakaran. Kita dalam perang! Kita tidak bisa tunggu lama. Karena mereka mulai mengusik Bayu!" Wilis kemudian memerintahkan semua orang menarik diri dari pertempuran. Dan mengumumkan masa perkabungan untuk seluruh Raung. Semua pemuka dipanggil. Wilis merasa perlu mengajak semua orang Raung menghormati kepergian Baswi. Sekalipun orang tua itu tampaknya amat sederhana. Namun bukankah ia telah melahirkan nama besar bagi seluruh Bumi Blambangan" Wong Agung Wilis adalah muridnya. Kini dia sendiri, Wilis, adalah muridnya. Ia merasa perlu mengadakan upacara pembakaran yang lebih dari lainnya. Sementara itu Letnan Imhoff mengalami hal yang serupa dengan Montro. Cuma ada sedikit perbedaan, yaitu waktu dia memberondong lawan dengan kanon dan bedil dan tembakan dari pihak lawan berhenti, anak buahnya maju dengan berani. Tapi setelah kira-kira seratus depa mereka mendapati mayatmayat teman mereka sendiri yang dulu tertangkap oleh orangorang Jagapati. Jadi tawanan perang mereka haruskah ikut bertempur" Melawan Kompeni" Masih terpana mereka memikirkan akal apa yang harus mereka gunakan untuk membalas Jagapati, serangan telah dibuka lagi oleh Jagapati dan Jagalara. Itu sebabnya Imhoff memerintahkan pasukannya mundur. Jalan mundur yang tidak mudah. Dalam pengunduran diri itu entah berapa jumlah korban yang jatuh. Dan berapa lagi menyerah pada laskar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Jagapati. Kesulitan mendatangkan keputusasaan. Imhoff sendiri hampir terjerembab ke dalam jebakan maut pengikut Jagapati. Dan sebelum ia keluar dari hutan Indrawana, sebuah anak panah meluncur dengan derasnya seperti kilat. Ia mengelak sambil menjerit. Menyebut nama Tuhan. Tapi ia sempat menjatuhkan diri. Dan anak panah itu cuma menyerempet pelipisnya, membuat luka kecil. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ XV. MENDULANG ANGIN Patung Lembu Andini sebagai perlambang kendaraan Hyang Maha Durga telah disediakan di sebuah tanah landai tepat di tengah perkubuan Bayu. Di dalam patung itu telah tergeletak jenazah Baswi. Jenazah yang diikat oleh tiga tali nagabanda (tali yang terbuat dari benang kapas dan dipilin sebegitu rupa, berwarna hitam dan dipergunakan untuk mengikat mayat) pada bagian kepala, perut dan kaki. Umbulumbul kuning berkibar sepanjang jalan-jalan di seluruh Benteng Bayu, maupun di perkampungan-perkampungan baru di luar dinding perbentengan - merupakan tanda penghormatan bagi kepergian seorang perwira tinggi. Yah, secara tidak resmi Baswi adalah perwira tinggi di Blambangan. Semua orang, laki-perempuan, besar-kecil, mengenakan gelang hitam yang terbuat dari gulungan benang hitam sebesar ibu jari tangan lelaki dewasa, sebagai pertanda ikut berbela sungkawa. Semua pemuka datang. Jagapati dan Jagalara dari Indrawana, Runtep, anak Baswi. Mas Sratdadi yang kini berpakaian brahmana dan bergelar Rsi Ropo, akan bertindak sebagai pemimpin upacara. Mas Ramad Surawijaya datang bersama Lebok Samirana yang tetap mengenakan pakaian Madura, Cheng Shian Hauw, seorang yang mengenakan pakaian sutera hitam dengan pedang panjang menempel di punggungnya. Semua orang tahu bahwa dia seorang Cina. Sayu Wiwit juga hadir. Kini dia berjalan bersama Mas Ayu Prabu, Mas Ayu Tunjung, Marmi, Yistyani dan Tantrini serta sederetan wanita lain. Undu dan Untu, anak Sardola dan Tumpak, juga hadir. Semua kawula sudah sejak tadi mengitari tumpukan kayu setinggi bukit yang berada di bawah tempat jenazah yang berwujud patung Lembu Andini itu. Pertama kali Raung mengadakan upacara ngaben (upacara pembakaran mayat) secara besar-besaran seperti ini. Upacara untuk Resi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Wuni Pati pun tidak semahal ini. Itu dikarenakan semua orang menganggap Baswi pahlawan. Mempunyai kepribadian teguh. Setelah semua pemuka Raung menempati panggung kehormatan yang telah disediakan, Rsi Ropo membunyikan giring-giring. Tanda upacara dimulai. Tangan kanannya mengangkat sebuah I tongkat hitam bergiring-giring. "Om namla wiraga (semoga dijauhkan dari hawa nafsu)..." Rsi membuka doanya. Kemudian melanjutkan dengan doa yang lebih panjang. Semua orang mengikuti doa itu dengan suara perlahan. Tentu tamu-tamu asing tidak dapat berdoa seperti mereka, kecuali Gusti Tangkas sebagai perwakilan dari Bali. Sampai beberapa bentar doa berhenti. Wilis kemudian dipersilakan naik ke panggung kehormatan. Tampak tangan dan lengannya ber-gelang hitam. Tanda berdukacita. Semua kawula membalas lambaian tangannya. "Dirgahayu!!" teriak mereka serentak. "Dirgahayu Blambangan! Dirgahayu Wilis!" Tak ada pengeras suara yang dapat menyambung suaranya. Itu menyebabkan semua orang berdesak maju kala ia mulai berbicara. Seperti kala mereka mendengar Wong Agung Wilis memberikan amanatnya. "Kita telah kehilangan orang besar! Sekalipun tidak ternama, namun kita semua tahu, Kakek Baswi berjasa besar dalam menyangga ambruknya peradaban di Blambangan. Beliau gugur dalam mempertahankan negara dan peradaban serta kebudayaan. Sebab jatuhnya Blambangan berarti runtuhnya kebudayaan Jawa yang terakhir sesudah Majapahit. Majapahit tidak tersisa lagi. Lihat, setelah runtuhnya Majapahit, bangsa yang besar ini tidak lagi mampu melindungi wilayahnya. Juga peradabannya. Makin lama kita makin terkotak-kotak dalam kekerdilan, karena kita telah tidak bersambung dengan kebudayaan besar lainnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Akibatnya, bangsa Jawa menjadi dungu, dan... kian melarat. Maka sekarang yang kita lihat para pemimpin Jawa hanya pintar mengandai-andai dalam impian kosong dan khayalan." Berhenti sebentar untuk memandang Lebok Samirana, Jagalara, Jagapati, Cheng Shian Hauw, dan kemudian Gusti Tangkas. Beberapa saat setelah menelan ludahnya, pemuda itu melanjutkan, "Sayang, Tuan Rencang Warenghay dan Harya Lindu Segara tidak hadir. Inginnya hati ini mengucapkan penghargaan pada jasa mereka yang selalu mengganggu kepentingan VOC di lautan. Sekalipun cuma mengganggu, tapi telah berjasa dan patut mendapat penghargaan. Apa pun mereka itu, sekalipun orang Mataram menilai mereka sebagai bajak laut atau kraman, atau apa pun istilah jelek lainnya, tapi mereka masih jauh lebih baik ** daripada bersalaman dengan bangsa bule itu untuk kemudian menyerahkan kawula Nusantara sebagai budak. Ya, budak dari sekalian bangsa! Dan di sini sedang berkumpul para pemimpin Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo laskar yang terdiri dari bangsa-bangsa! Ada Surabaya, Makasar, Madura, Bali, dan bahkan Cina, serta laskar Mataram yang membelot. Nah, apakah Tuan-tuan berhimpun sekadar hendak membalas dendam dengan berpuas-puas membu- * nuh kaum bule" Atau hendak menegakkan kembali cakrawarti Nusantara?" Kembali ia berhenti untuk beberapa bentar. Mentari mulai membakar kulit. Tapi semua tercekam. "Jika itu niat Tuan-tuan, maka selamanya tidak akan pernah memenangkan peperangan. Tapi bila perang ini didorong oleh keinginan luhur mempersatukan kembali Nusantara dan membangunkannya dari tidur pulas ini, hamba yakin kita akan sama-sama berikrar, mati atau bumi! Tapi sebelum mencapai kemenangan besar, kita harus dapat memenangkan diri sendiri lebih dahulu, dari segala nafsu pribadi. Mati untuk bumi tercinta! Bukan untuk kepentingan pribadi!" Sorak gemuruh dari kawula. Dan semua menjadi makin kagum pada pemuda itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sekali lagi, perang ini bukan untuk melampiaskan dendam, tapi untuk menyangga suatu peradaban dan kebudayaan. Sekali kita terjun di kancah peperangan, jangan melangkah surut sebelum menang! Dan di depan Kakek Baswi, aku ingin mengajak seluruh lelaki Blambangan berikrar, berperang sampai menang! Lihat! Dia meninggalkan kita. Dia renta tapi tetap pergi berperang. Karena lelaki Blambangan, sekali lagi, yah, sekali lagi aku ingatkan: lelaki Blambangan lahir untuk berperang. Berperang melawan kejahatan!" Ia tatap semua orang dengan tajam. "Mari kita angkat tangan kita untuk pertanda ikrar bersama, berperang terus sampai menang!" Semua lelaki, satu per satu mengangkat tangannya. Dan diikuti oleh perempuan. Satu demi satu. Anak-anak juga. Wilis turun diiringi sorakan gemuruh, dan api pun mulai dinyalakan oleh Rsi Ropo. Api berkobar membakar tubuh Baswi. Dahsyat! Tapi ada yang lebih dahsyat dari api yang tampak itu, yaitu api yang membakar jiwa semua orang. Api yang keluar dari lidah Wilis: pantang melangkah surut sebelum menang terjangkau! Upacara pembakaran selesai. Kepercayaan pada Wilis memuncak. Bahkan Shian Hauw pun membenarkan. Memang bukan perangnya itu sendiri ^ yang terpenting. Tapi dasardasar kebenaran yang sedang dipertahankan dan menimbulkan perang. Mengapa pikiran semacam ini tidak dimiliki oleh raja-raja Jawa lainnya" Apakah benar mereka sedang tenggelam dalam impian kosong" Seorang raja yang memiliki kekuasaan cuma bumi sekepal jika dibanding Sri Maha Ratu Suhita dari Majapahit, bergelar Amangkurat! Yang berarti memangku dunia. Merasa diri seorang kaisar, sampaisampai semua orang dilarang menatap wajahnya. Dan sibuk dengan perempuan yang beribu jumlahnya. Shian Hauw tersenyum dalam langkahnya. Orang gunung yang tak pernah melihat luasnya lautan dan ganasnya ombak, berkhayal punya istri Ratu Samodra Kidul. Ampun dungunya! Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kembali ke pesanggrahan semua berkesempatan saling kenal satu dengan lainnya. Saling mengunjungi. Saling bertukar pikiran. Saling bercerita tentang pengalaman masingmasing, tapi juga saling menjajagi dan menilai. Kesempatan itu digunakan oleh Sayu Wiwit untuk melepas rindu pada Mas Ayu Prabu. Seorang guru sekaligus sahabat. Keduanya memisahkan diri. Pulang ke wisma ibunya, sementara ibunya sedang sibuk beramah-tamah dengan Yistyani dan beberapa tamu lagi. Kawula memandang mereka berdua seperti memandang dua bidadari yang sedang meniti pelangi, ketika berjalan ke wisma ibunya. Rupanya pertemuan dan acara makan bersama , tidak begitu penting bagi mereka. Mereka berangkulan sambil berjalan. Jurang di kanan mereka tidak nampak karena kabut menutupinya. Serasa berjalan di atas awan. Dan Mas Ayu Prabu yang lebih dulu menceritakan segala pengalamannya. "Yang Mulia makin hari makin cantik, pantas Khong Ming tak lagi dapat menahan hati," Sayu Wiwit menggoda. Mas Ayu Prabu menjadi merah jambu. "Kau ada-ada saja...." "Betul. Tapi terusnya bagaimana?" Langkah mereka makin perlahan. Seperti melewati titian serambut dibelah tujuh. Ayu Prabu tidak segera melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba wajahnya kembali bermendung. Bayangan Khong Ming yang sedang mengigau dan menggigil menahan demam terlintas di matanya. "Kenapa Yang Mulia?" Sayu Wiwit mengagetkan. Ia mulai menebak bahwa di kelanjutan cerita Ayu Prabu jatuh dalam pelukan pemuda itu dan hilanglah keperawanannya. Maka mukanya mendadak tertutup awan. Mas Ayu Prabu mengembuskan napas panjang. Seperti mengempaskan kenangannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tidak apa-apa, Wiwit. Cuma aku telah lancang tangan." "Lancang tangan?" "Ya. Aku telah membunuhnya." "Hyang Dewa Ratu!" Sayu Wiwit terkejut. "Ya. Aku telah dipinang oleh Yang Mulia Wilis. Junjungan kita. Tidak sepantasnya aku memberikan kepadanya ampas." Ayu Prabu kemudian menceritakan kelanjutannya. Tepat di muka pintu ceritanya habis. Setelah mencuci kaki mereka masuk dan duduk di atas kursi bambu. Keduanya berhadap-hadapan sambil menikmati sirih. "Tak ada yang perlu disesali." Ayu Prabu mengembalikan kepercayaan dirinya. "Sekarang giliranmu bercerita. Tentu ada pengalaman besar sehingga membuatmu diangkat menjadi Ratu oleh orang-orang Jember dan Puger, bahkan sampai Bondowoso." "Ah... itu terlalu dibesar-besarkan. Tapi baiklah hamba ceritakan." Perjalanan jauh dari Bayu ke Jember ternyata merupakah sekumpulan titik yang mencipta garis awal bagi masa bahagia dalam hidup Sayu Wiwit. Betapa tidak" Begitu lama ia mengagumi pemuda yang selalu mengundang tanya bagi siapa pun dalam tiap langkahnya. Bahkan ayahnya sendiri, Wong Agung Wilis, sempat dibuat terkejut karena ia menjatuhkan Puger di saat ayahnya masih siap-siap menyerbu Belanda. Pemuda yang mempunyai banyak sahabat dan berpengetahuan luas. Ia berteman dengan bangsa apa pun dengan tanpa membedakan agamanya. Ia sempat di Malang untuk membantu Mlayakusuma. Di Ngantang untuk membantu Pangeran Singasari dan Pangeran Blitar, serta pemberontak dari Mataram. Tapi ia tidak pernah menonjolkan diri. Tidak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ingin menerima pujian. Tapi justru mendorong orang lain untuk maju. Bulan bundar yang mengiringi perjalanannya menyaksikan, dua insan memadu janji. Saling mencinta. Desiran angin yang menggoyang rumput-rumput kala masih tidur di bukit kecil itu juga menyampaikan bisik lembut dari masing-masing hati. Itulah awal dari segalanya. Kelanjutan perjalanan mereka telah memasuki pinggiran kota yang ditumbuhi hutan lebat. Suatu perkampungan baru tampak dibangun. Di ladang mereka sudah ada ubi jalar, lombok, pisang, dan beberapa macam buah-buahan. Gubukgubuk juga sudah didirikan. Sawah mulai menghijau. Subur tanah ini. Kebanyakan penduduk di sini orang Madura. Ada juga orang Blambangan. Tapi rupanya sudah membaur dengan lainnya. Rumah-rumah pun dibangun gaya Mataram. Karena memang banyak orang Mataram yang bergabung di daerah ini. "Kapan berdirinya perkampungan ini?" Sayu Wiwit bertanya. "Hampir dua setengah tahun lalu. Kami sudah melewati masa tiga kali panen padi. Karena saatsaat pertama kami membuka daerah ini tidak bisa ditanami padi waktu kemarau. Tergantung pada hujan." "Jadi, kemarau makan apa?" "Pertanyaan yang jarang dilontarkan oleh orang. Ternyata kau patut menjadi seorang pemimpin. Mungkin sekali patut diangkat menjadi ratu." "Ah, Yang Mulia." Wajah Sayu Wiwit memerah. Tampak makin manis. "Apa salahnya hamba bertanya?" "Jangan marah, Wiwit. Tentu mereka makan seadanya. Ubi, gembili, pisang, atau semua yang bisa dimakan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Itu juga jawaban yang bagus," balas Sayu Wiwit sambil melirik. Mas Ramad tersenyum. Mereka menuju ke rumah besar yang rupanya memang sudah disediakan untuk Mas Ramad. Lebok Samirana menyambut mereka dengan penuh hormat. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu bidang dada Lebok Samirana menurut penilaian Sayu Wiwit. Rambutnya jarangjarang, seperti tanaman di tanah tandus. Untung selalu berdestar. Dua orang lagi yang berpakaian sama dengan Lebok Samirana datang. Setelah memberi hormat, mereka meminta kuda keduanya untuk mereka bawa dan rawat di kandang yang telah tersedia. Tidak nampak ada senjata berlaras panjang di sini. Sayu Wiwit amat heran. Tapi kemudian teringat akan tugasnya. Ia cuma sebagai brahmani yang mengajar. Bukankah brahmani tidak memerlukan senjata" Seorang bijak tidak menyelesaikan persoalannya dengan senjata. Bertengkar pun tidak diperlukan oleh brahmana. Suatu pertengkaran menunjukkan betapa rendahnya budi seseorang. Jadi apakah senjata cuma dipunyai oleh para satria" Mengapa cuma harus satria" Menurutnya senjata boleh dimiliki siapa saja yang ingin mempertahankan kedaulatan. Dan rasa berdaulat yang dilanggar akan menimbulkan pertengkaran. Sedang pada hakikatnya manusia selalu merasa diri berdaulat! Berdaulat! Siang itu pada Sayu Wiwit ditunjukkan di mana ia akan beristirahat, mandi, dan lain sebagainya. Dia heran mengapa tiba-tiba ia menjadi seorang pandita" Kenapa ini tidak dilakukan sendiri oleh Mas Ramad Surawijaya" Tapi tidak seorang pun menjawab. Dengan kata lain ia menerima keharusan baru yang mengejutkan. Apakah memang demikian hidup ini" Penuh dengan segala yang tak terduga" Sayu Wiwit hanya berdoa dan mengucap syukur pada Hyang Maha Dewa untuk tiap kesempatan indah yang diperolehnya. Baru Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ keesokan harinya Mas Ramad mendatanginya untuk kemudian mengajaknya berkenalan dengan orang-orang di kota Jember. Keduanya berjalan kaki menuju ke utara. Melewati rimba yang cukup sulit. Begitu banyak belukar dan rotan. Namun kicauan burung yang menyambut pagi serasa irama kidung yang mengawal tiap langkah mereka. Aum sang raja hutan terdengar sayup di kejauhan, membuat bulu roma Sayu Wiwit berdiri, kendati sejak kecil ia akrab dengan hutan. Mentari mulai menembuskan sinarnya ke celah dedaunan. Kupu-kupu juga telah menarik perhatiannya, membuat Sayu Wiwit berulang kali menghentikan langkah. Ingin ia berlari mengejar kupu-kupu. "Perjalanan kita lebih penting dari kupu-kupu itu," Mas Ramad tidak sabar. "Ah, Yang Mulia...." Sayu Wiwit melirik sambil tersenyum. Senyum yang membawa bahagia. Ramad dengan seketika membimbing tangannya untuk terus berjalan menuju kota Jember. Hati keduanya menjadi berbunga. Dan dengan begitu kelelahan dapat mereka kalahkan. Sebelum masuk kota kecil itu, mereka menyempatkan diri beristirahat. Duduk di bawah pohon sambil bersirih. Setelah beberapa bentar mereka mulai memasuki kota. Ternyata Mas Ramad punya banyak teman di kota ini. Setelah menjumpai beberapa kawan yang namanya tidak sempat diingat oleh Sayu Wiwit, mereka menuju tengah kota. Mereka sempat menyaksikan benteng milik Kompeni yang dipimpin oleh seorang letnan bernama Steenberger. "Megah dan kokoh benteng ini," Sayu Wiwit bergumam. "Ya. Memang kokoh. Tapi daun pintunya, yang terletak di bagian utara dan barat itu terbuat dari kayu yang dibelahbelah. Suatu ketika kita akan mendobraknya," Ramad Surawijaya menjawab dingin. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lihat! Moncong meriam terpasang dan menghadap ke seputar. Lihat, para penjaganya tampak begitu gagah dan trampil. Mampukah kita, Yang Mulia?" "Di samping seorang kekasih semanis engkau, aku mampu membelah bukit sekalipun." "Ah, Yang Mulia...." Sebuah cubitan lirih hinggap di lengan Mas Ramad. Orang tidak memperhatikan kedua muda-mudi berpakaian petani itu. Mereka terlalu sibuk menjual hasil bumi di pasar atau berbelanja. Menjual dan membeli untuk menutup kebutuhan mereka. Pasar digunakan sebagai tempat tukarmenukar barang. Dan mereka berjalan terus menuju sebuah toko besar. Toko milik Cheng Shian Hauw. Tanpa ragu Ramad dan Sayu Wiwit melangkah ke dalam pekarangan rumah di samping kedai milik Cina itu. Dalam hati Wiwit memuji, betapa mengagumkan pemuda di sampingnya itu. Kedai Cheng memang penuh pembeli. Tapi Cheng tidak berada di sana. Ramad tahu Cina pedagang candu dan berbagai macam barang itu tidak ada di kedainya, tapi di rumah bersama beberapa gundiknya. Ulahnya tak beda dengan raja kecil. Dengan uang, orang bisa merajakan diri sendiri seperti halnya Cheng Shian Hauw, pikir Ramad. Tapi ia tak peduli. Yang penting sekarang bagaimana melibatkan orang ini dalam perang melawan VOC. Sayu Wiwit baru pertama mengenalnya. Orangnya bermata sipit, berkumis panjang sampai turun ke bawah mulut. Bibirnya biru, karena selalu bergaul dengan candu. Jenggotnya memanjang, sedang tubuhnya kekar. Otot-otot menonjol di tangannya. Gambar harimau dan kaca kecil berbentuk segi lima terpampang di atas pintu masuk rumahnya. Gambar tidak pernah menakutkan bagi Sayu Wiwit. Ia terbiasa bersua dengan monyet-monyet yang tidak puas wilayahnya dibabat oleh manusia. Bahkan tidak jarang monyet jantan menggodanya dengan menyeringai sambil memamerkan Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo zakarnya yang sebesar lidi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mungkin saja monyet-monyet itu sakit hati terhadap manusia yang selalu rakus. Sebenarnyalah manusia tidak mungkin hidup seperti kera. Manusia hidup dari kemenangan demi kemenangr an. Kemenangan terhadap alam, terhadap kesulitan, dan terhadap makhluk lainnya. Lihat di leher Cheng Shian Hauw! Bergantung kalung hitam dengan taring babi sebagai hiasan. Apa artinya itu" Memang sementara orang memaksudkannya sebagai penolak bala. Tapi bukankah taring itu lambang kerakusan" Ternyatalah ada manusia yang hidup di atas kerakusannya. Atau itu suatu pertanda bahwa manusia senang bergantung pada hal-hal yang gaib" Termasuk pada perlambang. Berharap agar perlambang itu memberikan kekuatan ajaib yang membuat mereka dapat memenangkan semua dan segala. "Hayah.... Selamat datang Tuan Muda." Cina itu membungkuk hormat pada Mas Ramad. "Sudah lama tidak bersua. Kini..." Ia pandang Sayu Wiwit dengan penuh nafsu birahi. Mata sipitnya bersinar. "Dia seorang brahmani yang akan membicarakan masa depan Jember dan sekitarnya. Dan kedatangannya ke sini untuk mengetahui sikap Tuan...." "Oh, begitu" Silakan, silakan duduk!" Mereka langsung diajak ke ruangan tengah. Besar rumah itu. Berhalaman luas. Hampir sepuluh lelaki berpakaian sutera dengan pedang di punggung mengawasi tiap gerak tamutamu itu. Shian Hauw melambaikan tangan agar mereka menjauh. Juga pada para wanita, baik pribumi maupun Cina, yang duduk bersimpuh mengelilingi meja perjamuan. Bau dupa menguasai ruangan. Gambar-gambar naga dan kantungkantung merah-putih yang tak jelas isinya bergantungan di berbagai sisi dinding. Seorang gundik pribumi bertugas mendekatkan tempolong jika ia akan berdahak. Cukup cantik wanita itu. Ah, benar-benar Shian Hauw telah berkembang menjadi raja kecil. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bagaimana dengan putri Tuan. Ah, Shian Ling, ya?" tanya Mas Ramad yang membuat wajah Shian Hauw bermendung. "Tuan mengingatkan hamba pada kesedihan...." "Maaf, bukan maksudku begitu. Siapa tahu anak perawan itu masih di klenteng atau..." "Steenberger biadab! Sungguh biadab! Sudah kubayar semua pajak dengan baik, anakku masih saja belum dilepasnya!" "Jagat Bathara!" Mas Ramad pura-pura kecewa. Sayu Wiwit sama sekali tidak mengerti apa maksud pembicaraan mereka. Walau mereka bicara dalam Blambangan yang cukup bagus. Ia bandingkan Mas Ramad dengan Ayu Prabu. Keduanya adalah orang-orang yang hidup dalam teka-teki. Kini ia dilibatkan dalam banyak teka-teki. "Mengapa Tuan tidak mengerahkan tiga ratus laskar?" "Ah... mengapa hamba harus bunuh diri" Kompeni kulit putih saja berjumlah lima ratus orang. Belum lagi yang hitam." Mas Ramad mengerutkan dahi sambil memandang Sayu Wiwit. Tapi Sayu Wiwit cuma tersenyum. Ia tidak mengerti makna pandangan kekasihnya. Tapi di mata Shian Hauw senyuman Sayu Wiwit itu dipandang sebagai isyarat untuk meneruskan perundingan. Mungkin saja karena Sayu Wiwit melihat betapa banyaknya wanita muda yang melayani Shian Hauw, sehingga tidak berkenan berunding sendiri. Dan memang Mas Ramad yang meneruskan pembicaraan. "Sebenarnya kami telah menempatkan pasukan di seputar Jember ini. Jika tiba saat yang tepat, maka kami akan menyerbu benteng Steenberger. Nah, kami hanya ingin tahu, apakah Tuan akan beserta kami, atau menganggap Steenberger sebagai anak-mantu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sesaat Shian Hauw terbenam dalam keraguan. Sementara Ramad kembali memandang Sayu Wiwit penuh arti. Dengan harapan agar gadis itu menangkap arah lari pembicaraan mereka. Dan memang ia mulai menangkap samar. Tapi ia tidak tahu di mana pasukan Ramad ditempatkan. Tapi ia mencoba untuk bicara. Barangkali Mas Ramad menghendaki seperti itu. "Kita harus bertimbang sebelum melangkah. Seperti kami yang sudah mempertimbangkan setiap yang akan kami tuturkan. Karena itu kami juga tahu apa yang akan terjadi seandainya ternyata Tuan di seberang kami." Semua tahu bahwa kata-kata Sayu Wiwit mengandung ancaman. Dan Mas Ramad puas mendengar kata-kata itu. Shian Hauw mengerutkan dahi sambil memandangnya. Begitu montok gadis ini. Manis lagi. Belum pernah ia menjumpai yang semanis dia. Bisa saja ia meringkus keduanya. Membunuh Mas Ramad, dan Sayu Wiwit dijadikannya istri. Kemudian ia melaporkan hal itu pada Steenberger. Tapi, ia ragu. Keberanian kedua orang ini tentu berdasar. Mungkin saja keduanya memiliki ilmu silat tinggi, sehingga yakin bisa meloloskan diri jika dikeroyok puluhan orang. Atau di balik tembok, rumahnya sudah dikepung oleh laskar Ramad, sehingga pada batas waktu yang ditentukan, mereka akan menyerbu dengan mendadak. Barangkali mereka akan bertindak seperti perampok biasa.... "Kami tidak punya waktu panjang," tegas Mas Ramad. "Masih banyak yang akan kami lakukan." "Ah, baik. Baik... Hamba akan beserta Pangeran eh, Tuan. Tapi beri waktu barang sedikit untuk mengumpulkan pasukan hamba yang tersebar dan menyamar sebagai tukang-tukang kelontong," Shian Hauw sedikit gugup. Ramad seperti tahu pikiran jelek yang menyelinap dalam kepalanya. Keinginannya menyeret Sayu Wiwit ke pembaringan segera lenyap, karena begitu mengantar mereka ke gerbang ia melihat keduanya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ melompat dengan tangkas ke atas punggung kuda yang tinggi dan gagah. Padahal waktu mereka datang cuma berjalan kaki. Dengan kata lain, Ramad memang memiliki telik di sekitar rumahnya. Bahkan mungkin dalam rumahnya sendiri. Keduanya terus berkuda. Entah ke mana lagi. Tapi Shian Hauw sadar, ia tak boleh main-main. Karena Ramad tidak pernah main-main dengan ancamannya. Ia pernah mendengar betapa anak muda itu yang mengobarkan perang melawan Belanda di zaman Wong Agung Wilis masih di Blambangan. Sayu Wiwit merasa diri melambung setinggi angkasa biru. Belum pernah ia dihormati para pemimpin pasukan seperti saat ia jalan bersama Ramad Surawijaya, kala mengelilingi desa-desa yang ternyata tempat persembunyian dan gudang makanan baru laskar Mas Ramad. Tanpa ia rasakan perjalanan kian jauh ke barat laut, melewati lembah dan hutan. Dan sampailah mereka di sebuah telaga. Sayu Wiwit terkejut bukan kepalang melihat panorama yang terhampar di hadapannya. "Telaga?" bisiknya nyaris pada diri sendiri. "Ya. Ranu Klakah," tegas Ramad. "Hamba belum pernah mendengar nama ini." "Sekarang kau melihatnya. Nah, di sebelah kiri kita itu Gunung Lamongan. Kita tidak akan pernah melewatinya. Karena siapa pun yang berani masuk ke situ, akan berhadapan dengan ular-ular puspakajang. Kupikir memang di sana kerajaan ular puspakajang." "Ah, seperti dongeng. Masa ada kerajaan ular segala." "Boleh percaya, boleh juga tidak. Tapi lihat saja di sana. Kau akan lihat ular-ular besar dengan taji di ekornya, dan tahu kamu yang sudah tua" Uh, kepalanya berjambul merah seperti ayam jantan. Dan... ular-ular itu pintarnya, uh, bisa berkokok seperti ayam jantan juga," Mas Ramad menegaskan sambil tertawa. Dan kembali mereka memandangi dedaunan perdu di seputar Telaga Ranu Klakah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Agak jauh, di lereng bukit sebelah barat telaga itu ada beberapa puluh rumah beratap ilalang. Kini kuda mereka menuju ke sana. Melewati jalan setapak yang di kiri-kanannya ditumbuhi perdu. Pohon thean, perdu berbatang ungu dan daunnya mirip daun teh. Apakah daun ini juga direbus seperti halnya daun teh" Tidak ada yang tahu. Di beberapa bagian juga ditumbuhi kumis kucing, atau putri malu. Tumbuhan yang biasanya cuma setinggi lutut paling subur dan akan mengkerut bila tersentuh. "Tempat siapa lagi?" Sayu Wiwit memandang kekasihnya. "Singa Manjuruh. Seorang pelarian dari Mataram." "Mengapa sampai di sini?" "Biasa... ia tidak suka pikiran-pikiran kerdil kaum penguasa Mataram sendiri. Ya, di mana-mana ada pertentangan siasat kekuasaan. Dan sebenarnyalah siasat kekuasaan membangkitkan perang. Yah... siasat kekuasaan." Sayu Wiwit mengangguk. Ia sudah pernah menerima pelajaran tentang hal itu dari Mas Ayu Prabu. Langkah kuda mereka makin mendekati rumah-rumah beratap ilalang itu. Dan seorang lelaki bertubuh agak kurus, tinggi, dengan dada agak melengkung ke depan, berkumis tebal, serta mengenakan destar berwarna coklat kumuh karena tidak pernah dicuci, muncul dari semak dengan senapan di tangan. "Ah, selamat datang, Yang Mulia. Apa kabar" Sudah lama kami menunggu berita. Oh, siapa pula ini" Jelita amat?" Singa Manjuruh tertawa. Sayu Wiwit merasa malu ditertawakan sekaligus dipuji seperti itu. Tapi Mas Ramad membalas dengan tertawa pula. "Ah, Kakang, mana gadis Madura-mu yang manis itu" Kamu pikir aku ini si Pakubuwana sehingga kalian perlu menyembunyikan perempuan kalian saat aku lewat?" Mas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ramad memberi isyarat pada Sayu Wiwit untuk turun dari kuda. Kemudian mereka bertiga berjalan ke salah satu rumah di tengah kerumunan rumah lainnya. Terdengar keduanya tertawa. Kates dan ubi jalar, serta pisang mewarnai halaman rumah mereka. Tiba di suatu semak dekat pagar rumah, Singa Manjuruh mengambil kentongan bambu, kemudian memukulnya bertalu-talu tanda keadaan aman. Sayu Wiwit memuji kerapian mereka itu. Seperti halnya yang pernah diajarkan padanya oleh Mas Ayu Prabu. Dan begitu mereka sudah mulai duduk di lincak (embin bambu), mulailah bermunculan kawan-kawan Singa Manjuruh. "Sudahkah kalian siap" Dalam waktu dekat kami akan menyerbu benteng Steenberger. Laskarku sudah berbaris di seputar Jember. Juga laskar Lebok Samirana. Sedang Cheng sudah aku beri tahu. Tinggal ikut atau tidak. Dia tinggal pilih, mati di tangan Belanda atau mati di tanganku." Singa Manjuruh tertawa. Ia kagum terhadap semangat temannya itu. Juga keberaniannya. "Apa kau yakin prajuritmu yang tak pernah kaubayar itu berani melawan VOC?" "Yakin. Karena mereka akan dipimpin langsung oleh seorang ratu yang jelita." Tersenyum sambil menunjuk Sayu Wiwit "Kau kini boleh berkenalan. Namanya Sayu Wiwit." Sayu Wiwit tersipu diperlakukan begitu. Apalagi Singa Manjuruh menghormat sambil menyebutnya, "Yang Mulia." Untung beberapa jenak kemudian Siti Khotimah, istri Singa Manjuruh yang berasal dari Madura itu, muncul dari pintu belakang. Sayu Wiwit terhenyak oleh kekaguman. Andai saja kulitnya kuning seperti Mas Ayu Prabu, maka wanita ini tentu tercantik di bumi berkapur Madura sana. Mungil dan langsing. Leher cukup jenjang dan berhiaskan garis-garis samar seperti ular, matanya bundar hitam dengan bulu mata lentik Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ membangkitkan rasa cemburu wanita lain. Dadanya segar kendati tertutup kutang hitam. Pusarnya dibiarkan terbuka. Sempurna tanpa cela. Kendati kulitnya agak gelap namun senyumnya mengguncang iman lelaki, karena bibir tipis itu menghias mukanya yang berbentuk daun nangka. Binggal tetap saja menghias pergelangan kaki, kendati cuma terbuat dari perak. Sayu Wiwit langsung terlibat dalam pembicaraan yang akrab. Tapi tetap saja ada batas yang tak nampak, karena Siti Khotimah merasa berhadapan dengan Sri Ratu. Beberapa hari kemudian Sayu Wiwit sudah selesai memeriksa semua laskar Mas Ramad. Dan ia makin tidak mengerti maksud pemuda itu memperlakukannya sebagai seorang ratu. Mungkinkah anak muda itu kelak menginginkan tahta Blambangan" Sehingga sejak sekarang ia telah diperkenalkan sebagai ratu" Jika demikian maka Blambangan akan terlibat dalam perang saudara. Bukankah sejak sekarang sudah dipersiapkan Wilis sebagai pimpinan tertinggi di Bumi Semenanjung ini" Tapi Sayu Wiwit tidak berani mempertanyakan itu pada Mas Ramad. Ia bertugas memimpin padepokan dengan can-trik-cantrik terpilih, antara lain Lebok Samirana sendiri. Dengan cepat namanya menjadi terkenal di seluruh lembah dan gununggunung Blambangan utara dan barat. Bahkan para bekel serta kepala-kepala dusun lebih patuh padanya daripada ke komandan pasukan pendudukan. "Dengan membayar upeti, kita sudah berarti setuju pada pemerintahan kaum bule! Dan itu merupakan dosa terhadap Maha Dewa yang kita sembah!" suatu hari Sayu Wiwit memberikan amanatnya. Dan semua orang mengagumi perawan suci itu. "Juga jika kalian semua bekerja buat mereka. Semakin banyak kalian berbuat baik pada mereka, apalagi mengusahakan kedamaian serta kesejahteraan buat mereka, berarti memperpanjang aniaya untuk kalian sendiri. Karena merupakan pemunggungan terhadap Hyang Maha Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ciwa. Terkutuklah orang yang memunggungi penciptanya sendiri!" Mas Ramad yang mengamati dari kejauhan puas akan keterpesonaan mereka. Ini suatu pertanda saatnya segera tiba Kompeni menyingkir dari Blambangan. Terbukti keesokan harinya tidak ada lelaki atau perempuan Blambangan seorang pun yang masuk kerja di loji-loji atau benteng. Bahkan tidak juga di rumah Adipati. Tentu Steenberger yang menerima laporan ini jadi curiga. Kecurigaan makin berkembang, ketika ia melihat perniagaan di Jember dan sekitarnya hampir-hampir tidak jalan. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sayu Wiwit sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya Kompeni bisa tahu rumahnya di dukuh Sambiroto itu. Tahutahu'seregu pasukan Kompeni muncul saat ia memberikan wejangan. Komandan regunya yang berkulit hitam, barangkali saja dari tanah Ambon, langsung masuk ke tengah bale pracabaan (ruang untuk mengajar). Sementara itu anak buahnya menodongkan bedil pada semua yang sedang bersimpuh mendengar pelajaran. "Ahai, selamat pagi, Nona manis. Kaukah yang mengajari mereka membangkang" Tidak kerja dan semua datang kemari?" "Berhenti di situ!" perintah Sayu Wiwit, membuat komandan regu itu terhenyak dan berhenti melangkah. "Hak apakah kau melangkah seperti itu di hadapanku dengan tanpa izin" Kau mengikuti mereka dari belakang?" Sayu Wiwit bicara dalam Melayu yang sedikit lancar. Tidak seperti biasanya orang Blambangan. Dan komandan itu makin terpesona. Baik oleh suara maupun wajah orang suci tersebut. Benar-benar melebihi sebangsanya. "Kau tidak lihat Kompeni?" "Ini di luar kekuasaan Kompeni!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Komandan regu itu menjadi ragu. Ini bukan daerah kekuasaan Kompeni" Jadi ada orang yang tidak patuh pada Jaksanegara, pribumi yang punya kekuasaan tertinggi di bumi Blambangan saat ini" Buat beberapa jenak ia termangu. Tapi sekali lagi suara pribumi, wanita, dan... tidak takut pada Kompeni, membangunkannya dari impian. "Mundur! Letakkan senjata kalian! Atau kalian pulang tinggal nama?" Sayu Wiwit kini mengancam. Semua tamu menjadi gentar. Pengalaman pertama mereka melihat seorang wanita berani mengancam Kompeni. Sementara itu Mas Ramad bersama beberapa puluh pengawalnya melata seperti biawak mendekati mangsanya dalam semak. Dan tentu itu tidak pernah diduga oleh regu yang sedang menodongkan senjatanya ke arah bale pracabaan. Apalagi mereka semua sedang bingung melihat komandan regu mereka sendiri. Akibatnya tak ayal lagi, sebuah lompatan dari balik semak menerkam semuanya. Bahkan seperti mimpi, senjata mereka sudah berpindah tangan. Kini berbalik, mereka yang tertodong. Dan komandan regu itu menjadi semakin kecut mendengar suara tawa Ramad. . "Ha... ha... ha... kalian harus belajar menghormati orang suci Blambangan! Nah, Komandan, letakkan senjatamu!" Tiada tersadari, bedil itu jatuh sendiri. Tangan Komandan bergetar. Kini ia melangkah ke luar bale pracabaan, atas perintah Ramad. "Tak baik bicara di ruangan suci," Ramad bicara lagi. "Sudah cukup lama kami menunggu kehadiran Tuan-tuan. Karena kami ingin meminta tolong Tuan menyampaikan hasrat kami pada VOC. Kulit sama dengan kami, maka pantas Tuan mewakili kami untuk mengatakan, 'VOC harus segera pergi dari seluruh bumi Blambangan. Nah, kami tidak akan menghukum Tuan yang telah menghina tempat suci kami, jika Tuan melakukan apa yang kami kehendaki." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tapi..." "Tidak ada tetapi. Yang ada mau atau mati!" potong Ramad, membuat keringat dingin anggota pasukan itu mengucur deras. "Kalian akan mati pelan-pelan dan satusatu," Ramad melanjutkan ancamannya. Semua orang di bale pracabaan mendengar jelas. Tapi tak ada yang berani menoleh. Sedang komandan regu itu diam dengan mulut komat-kamit. Mungkin berdoa. "Baik!" Ramad memberikan isyarat. Dan seorang bertubuh tinggi besar dan berotot kekar maju dengan kapak di tangan. Sambil melangkah ia menyeret seorang anggota pasukan Kompeni yang berdiri paling ujung. Sampai di dekat Ramad orang itu melemparkan orang yang diseretnya ke kaki Ramad. Seperti melempar seonggok kayu. Dan Komandan makin ketakutan. Memandang tampang mertalutut (algojo) itu pun sudah takut. Maka cepat ia mengambil keputusan untuk menyelamatkan anak buahnya. "Jangan lakukan apa-apa atas dia! Kami sanggupi perintah Tuan," komandan itu mengiba. "Baik! Jika demikian baliklah ke benteng Steenberger dengan tangan terikat di belakang! Katakan pada komandan bentengmu, pergi atau mati!" "Ba... baik, Tuan." Dan tangan mereka semua segera diikat di belakang punggung mereka. Sayu Wiwit sama sekali tidak mengerti bahwa justru saat itu waktunya bersamaan dengan Biesheuvel di Pangpang mengerahkan pasukannya ke Derwana untuk menyerbu Jagapati. Namun segera sesudah satu regu pasukan Kompeni itu pergi, Mas Ramad memerintahkan pengosongan padepokan. Semua orang harus berangkat mengepung benteng Steenberger. Sedang para tamu diperintahkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mengungsi. Karena hari itu adalah awal perang di Jember. Maka dengan bergegas mereka segera pulang untuk menyelamatkan keluarga mereka. "Akan ada perang?" tanya seseorang pada Sayu Wiwit. "Ya! Perang membela saudara-saudara kita, ayah-ibu kita, dan anak-anak perempuan serta anak-anak lelaki kita! Tidak akan ada yang membela jika bukan kita sendiri. Tiba saatnya berbuat sesuatu untuk diri sendiri." "Tapi..." "Mengapa harus tetapi?" Sayu Wiwit memomong. "Barangsiapa yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk diri sendiri, ia sudah mati dalam hidupnya. Sebenarnyalah ia akan hidup dalam kesia-siaan." "Hyang Bathara!" orang itu menyebut. Namun tak urung ia juga berangkat mengangkat senjata. Belum lagi Steenberger sempat menurunkan perintah beberapa jenak setelah seregu anak buahnya kembali dengan tangan terikat di belakang, dan barang tentu tanpa senjata, pulang dari tugas menangkap Sayu.Wiwit, Mas Ramad telah menembakkan meriamnya. Tepat mengenai dinding sebelah timur. "Gila! Siap! Siap! Balas tembakan mereka!" Kepanikan mewarnai benteng dengan segera. Tapi beberapa bentar lagi bumi serasa berguncang. Dentuman meriam kembali menggelegar membelah langit. Sekali lagi, dan lagi, kembali beberapa kali. Doa dan umpatan menyatu dari mulut-mulut mereka. Perempuan-perempuan penghibur yang baru saja datang bersama rombongan penari kemarin malam kini berlarian panik. Semua makin menjengkelkan hati Steenberger. Dan kemarahan kian merambati hati kala beberapa orang berusaha membuka pintu benteng sebelah barat untuk lolos. Ternyata tembakan juga menggempur dinding sebelah barat. Kini sebelah utara, sebelah selatan. Uh, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ benteng dalam kepungan. Steenberger memerintahkan tembakan balasan. Sorakan anak buah Mas Ramad kian terdengar kala dinding selatan mulai terluka. Lebih gila lagi kala tembakan musuh tepat menerpa pintu sebelah timur. Ia tahu musuh lebih siap dan lebih banyak. Karena itu dengan perlindungan meriam dan kanon ia memerintahkan anak buahnya bertahan di luar benteng. Ia tahu akhirnya benteng tidak akan mampu menjadi pelindung. Bahkan menjadi kubur mereka. Tidak peduli bagaimana nasib para penari dan wanita penghibur, yang penting semua anak buahnya dan dirinya sendiri selamat. Masih baik jika dalam keadaan gawat yang penuh hiruk-pikuk ia sempat memikirkan anak buahnya. Tak kurang-kurang dalam keadaan begitu orang cuma memikirkan diri sendiri. Kini perintah lanjutan yang keluar dari mulut Steenberger adalah menerobos kepungan, dan berlari ke utara! Utara! Surabaya! Sebab kemungkinan untuk mempertahankan benteng itu cuma impian. Dan Steenberger sadar. Harus meninggalkan impian yang buruk itu. Namun sebuah peluru menembus bahu kanannya. Membuat ia terpental. Dan kala bangun tangan kanannya seperti pupus tiada daya. Tidak bisa diangkat. Aniaya yang meluluhkan air matanya. Yah, ini bukan mimpi. Benarkah ada hukum karma" Jika demikian maka mungkin saja aku pernah menembak dan menjadikan orang cacat seumur hidupnya. Ya, Tuhan.... Apa pun usaha Steenberger, tapi kenyataan takkan terbantah, sejarah juga harus mencatat: Benteng Jember yang dipimpin Letnan Steenberger jatuh ke tangan Sayu Wiwit. "Dirgahayu, Blambangan! Dirgahayu Sayu Wiwit!" teriak orang-orang gembira. Apalagi waktu Sayu Wiwit memasuki benteng dalam iringan Mas Ramad, Singa Manjuruh, Lebok Samirana, dan Cheng Shian Hauw. Ia sedikit bergidik melangkahi bangkai demi bangkai. Bangkai manusia, kuda, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dan anjing. Di kamar-kamar masih ada bangkai lagi. Para wanita. Ada sebagian yang belum sempat mengenakan pakaian. Mungkin kelelahan setelah semalam menghibur lelaki kulit putih dan hitam anggota Kompeni. Perang tak mengenal iba. Tak mengenal warna kulit. Bau anyir menusuk-nusuk. Sayu Wiwit berlatih menahan rasa mual dalam perutnya. "Bagaimana?" Sayu Wiwit menoleh pada Mas Ramad. "Kita bakar benteng ini. Kita tidak boleh menempatinya." Mereka kembali menghadapi laskar mereka yang masih mengepung benteng dengan berbagai senjata. Kini para pemimpin itu naik ke atas panggung di mana biasanya Steenberger memimpin upacara atau menyaksikan anak buahnya berlatih. Semua orang masih tenggelam dalam sukacita. Kini Mas Ramad membuka suara, "Kita sudah menang! Tapi perang belum berakhir! Kita akan berperang untuk saudarasaudara kita di Panaru-kan, Candi Bang, Puger, dan seluruh bumi Semenanjung Blambangan. Apabila perlu kita akan bergerak ke utara. Menggempur Kompeni di mana pun mereka berada! Untuk itu..." Diam sebentar sambil memandang semua yang hadir. Tiap pasang mata memperhatikannya. Seperti kena sihir. Tiap pasang kuping dipasang sungguh-sungguh. Suasana benar-benar hening. Kemudian melanjutkan, "Untuk itu kita membutuhkan pemuka. Dan aku mengusulkan agar kita mengangkat Sayu Wiwit sebagai ratu atau panglima perang!" "Setuju! Setuju! Dirgahayu!" teriak orang-orang mengguruh. Sayu Wiwit tidak mampu berkata apa pun. Kini ia membagi tugas atas petunjuk Mas Ramad. Pasukan dipecah. Singa Manjuruh ke jurusan Lateng. Dia akan membantu Ayu Prabu. Sedang Cheng Shian Hauw akan menggempur Panaru-kan. Ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berpasangan dengan Mas Ramad akan menggempur Candi Bang, dan Lebok Samirana menuju ke Puger. Benar juga perkiraan Sayu Wiwit. Pemuda itu sudah merencanakan penyerangannya dengan baik. Segera Puger jatuh. Panarukan dengan amat mudah dihancurkan oleh laskar Cina yang bergerak bersama sebagian laskar Blambangan. Tapi semua itu tak dapat ia ceritakan dengan jelas pada Mas Ayu Prabu. Cuma pengalamannya sendiri yang bisa ia jelaskan. Setelah melampaui hutan paya yang cukup sulit, akhirnya pasukan sampai juga ke Candi Bang. Kekuatan Belanda di sini amat sedikit, karena semua dipanggil ke Pangpang untuk ikut menggempur Jagapati di Derwana. Tidak ada perlawanan berarti kecuali gerakan mundur untuk lari. Tapi hakikatnya mereka masuk perangkap dan semua bunuh diri. Perang tidak pernah mengenal ampun. Karena peperangan adalah memenangkan dan dimenangkan. Menghancurkan dan dihancurkan. Tempik-sorak menyambut Sayu Wiwit. "Dirgahayu Ratu! Dirgahayu Sayu! Dirgahayu Blambangan!" Bekel Candi Bang segera mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Dan kawula tak habis-habisnya mengelu-elukan Sayu Wiwit. Bekel dan istrinya juga menyembah di kakinya. Keringat dingin keluar dari tiap lubang pori tubuhnya. Tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Mimpi pun tidak. Desa ini sebenarnya cukup subur. Hanya karena mereka dibebani makanan pasukan pendudukan, maka kemakmuran tanah itu tidak mampu mencukupi hidup mereka. "Yang Mulia, apa arti semua ini?" tanya Sayu Wiwit kala mereka meninggalkan rumah Bekel untuk menuju candi. Mereka akan berdoa mengucap syukur pada Hyang Maha ?iwa yang telah memenangkan peperangan mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku akan menerangkan setelah kita berta-syakur mengucap syukur. Mudah-mudahan tiap orang sekarang merasakan kebahagiaan karena kemenangan ini." "Ya. Apakah Bayu sudah mendengar?" "Sudah aku perintahkan seorang caraka sandi (utusan rahasia) untuk menyampaikan kemenangan kita ini. Bahkan aku telah mengirimkan lontar untuk Ibu." "Berbahagialah mereka." "Berbahagialah tiap orang yang telah berbuat sesuatu untuk negeri dan manusianya." "Kendati ia harus mati?" "Kendati harus mati. Tiap orang akan disebut mulia jika ia mati dalam pribadi yang kokoh waktu mempertahankan pandangan hidupnya." "Bagaimana jika ia harus mati tersungkur di atas debu?" "Jauh lebih mulia dari seorang raja yang mati di pembaringan beralas sutera Cina, tapi ia menjual bangsanya untuk menjadi kuli. Budak! Budak dari tiap bangsa. Ya, jika kita tidak kokoh dalam membela mereka, maka tidak mustahil kelak Blambangan akan jadi budak dari bangsa kulit putih, kulit kuning... atau bahkan kulit sawo matang sendiri." "Hyang Dewa Ratu!" "Jangan kaget, Wiwit. Lihat saja sekarang! Semua bangsa sedang merayu kita. Tapi hakikatnya mereka ingin memenangkan diri. Nah, kita telah sampai sekarang. Kita akan memasuki candi di mana Ken Arok pernah berjanji untuk Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo meruntuhkan tirani Kediri. Juga berjanji akan membe-. baskan Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Nah, kita juga...." Hati Sayu Wiwit tersibak mendengar keterangan itu. Belum pernah ia mendengar seperti ini. Barangkali anak muda ini memang membaca lontar. Tapi bisa juga mengada-ada. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita juga akan bersumpah di bawah kaki Hyang Durga dalam Candi Bang ini." Keduanya menghentikan langkah. Keduanya memperhatikan puncak candi yang menjulang berbentuk lingga itu. Sedang pada dasar candi berbentuk yoni. Lingga dan Yoni (lambang kesuburan pria dan wanita). Rembulan telah menciptakan bayang-bayang puncak candi di sebelah barat. Di luar pagar pertama, di kiri-kanan gerbang, candi itu dijaga oleh sepasang patung Dwarapala. Setinggi manusia berdiri. Keheningan menguasai kedua orang muda itu. "Apa yang akan kausumpahkan?" Mas Ramad tiba-tiba memandang Sayu Wiwit tajam. Mendadak saja wanita ini gugup. "Setya a nagri..." Sayu Wiwit melirik sekelilingnya. Senyap. Pandangan Mas Ramad begitu tajam. Seakan tidak terima terhadap jawabnya. "Setia pada Hyang Durga," lanjutnya. "Cuma itu?" "Apa lagi?" "Kita harus sama-sama bersumpah di hadapan Hyang Durga, untuk meresmikan pernikahan kita." "Hyang Dewa Ratu!" Sayu Wiwit menyebut. "Mengapa terkejut" Aku sudah memberi tahu Bunda." "Tidak ada pandita...." "Bukan pandita yang menyaksikan pernikahan kita, namun Hyang Maha Dewa sendiri dan hati kita masing-masing. Keberatan" Kau tidak lagi punya orang tua dan sanak-saudara. Juga ayahku ada di tempat yang tidak mungkin kita jangkau. Mau?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tiba-tiba air mata menyembul di kedua kelopak matanya. Ingin ia menahan agar Mas Ramad tidak melihatnya. Namun mata pemuda itu seperti mata rajawali. Apalagi kini, walau enggan, air mata itu tetap merambat di kedua belah pipinya yang halus. Memantulkan cahaya rembulan. Mas Ramad menarik napas. "Tak apa, Wiwit. Kau keberatan kita menikah tanpa upacara" Aku akan meminta Ibu untuk menyiapkan upacara di Bayu...." "Yang Mulia..." Tapi Mas Ramad sudah melangkah. Memasuki gerbang pertama. Sayu Wiwit mengejar. Tapi langkah pemuda itu amat cepat. Masuk di gerbang kedua. Dan melakukan pradaksina (bergerak mengitari candi sesuai arah jarum jam) tiga kali, lalu masuk ke pura. Mau tak mau Sayu Wiwit mengikutinya. Bahkan kemudian duduk di samping Mas Ramad. Dekat sekali. Tak berjarak barangkali. Untuk memberi keyakinan pada Mas Ramad bahwa ia mengiakan kehendak pemuda itu. Memang ia takut kehilangan tempat mencurahkan isi hatinya. Sesaat Ramad menenangkan hatinya. Kemudian melakukan yoga. Wiwit berbuat serupa. Selesai semua yoga dan mantra ia merapatkan telapak tangan kanannya pada telapak kiri Mas Ramad, dan mengucap janji seperti layaknya mempelai Hindu mengucapkannya di depan pandita. Mas Ramad terkejut. Namun ia juga segera bersumpah, "Wiwit adalah dewi, kehidupan, dan... permataku." Kembali Sayu Wiwit terhanyut oleh keharuan. Setelah kehilangan ibu-bapa, kehilangan semua saudara, kini menemukan seorang yang sanggup mencintainya dengan sepenuh hati. "Yang Mulia...," bisiknya. "Jangan panggil aku seperti itu lagi. Aku suamimu!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lalu?" "Suaminda." Mas Ramad tersenyum. Perlahan ia membimbing istrinya. Keluar dari candi. Dari hadapan Hyang Durga. "Banyak bintang mengerjap di langit, Suamiku.. Lihat!! Aku takut Suaminda memperbandingkan permatanya dengan bintang-bintang." Mereka berjalan berangkulan. Menyatu. "Jangan takut! Banyak mutiara di bumi ini. Tapi harganya terlalu mahal. Maka aku mengambil satu saja. Aku tidak ingin memperbandingkan dengan lainnya. Lihat, aku telah berbuat semua untukmu. Aku puas jika kau disanjung. Bukan aku!" Wiwit baru menyadari. Semua yang dilakukan Ramad di Jember untuknya. Demi cinta Ramad pada Sayu Wiwit. Ah, ia cium pipi suaminya. "Sebentar kita berpisah. Kau akan kembali ke Jember dan aku akan ke Lumajang, Puger, dan Nusa Barong. Aku akan melihat, apakah Lindu Segara telah melumpuhkan Belanda di sana." "Kanda..." "Tak ada yang perlu dirisaukan, Istrinda." Ramad mengangkat tubuh istrinya. Dan meletakkannya di atas rerumputan. Bulan dan suara b binatang-binatang malam menyambut mereka. Kemudian ia sendiri merebahkan diri. Tanpa sutera putih, kecuali sesobek kain putih, beratap langit, beroborkan bintang dan bulan, disambut oleh tetabuhan satwa malam, mereka menikmati malam pertama. Tanpa upacara wadad suci.... *** Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tanpa perintah lebih dulu, air mata Ayu Prabu t melata perlahan demi mendengar kisah Sayu Wiwit itu. Dan nurani mendorongnya bergerak merangkul Sayu Wiwit. "Kanda...," bisik pengakuannya tulus. Setulus angin yang membelai pepohonan di halaman rumahnya. Ia mengakui muridnya itu kini telah menjadi kakaknya yang harus ia hormati. Mengapa nasibmu tidak seperti kebanyakan wanita" Sudra saja melewati upacara dan penghormatan kala naik ke pelaminan. Ah, mengapa kau cuma berlapik kain putih yang sudah lusuh" Aku akan menanyakan ini pada kakakku sendiri. Mengapa itu ia lakukan" Seperti binatang yang tak lagi mampu menahan nafsunya. Tapi tiba-tiba saja ia teringat Jagapati. Maka segera terjaga dari keharuannya. "Jika demikian aku harus segera panggil Marmi dan memberi tahu Kanda Sratdadi. Jika perlu Yang Mulia Wilis." "Resi sudah tahu. Demikian pun junjungan kita. Yang Mulia Ramad tentu sudah meminta menjaga hal ini dari Jagapati, karena menurut beliau, Jagapati adalah satria yang belum pernah belajar mengebaskan sama sekali matsiya, matinya, madya, dan mutra (ikan, daging, arak, dan wanita). Maka kita masih perlu menjaganya." "Jagat Bathara! Tajam juga pengamatan suamimu itu." Ayu Prabu tersenyum. Kembali ia mencium Sayu Wiwit. "Ibunda sudah tahu?" "Kami sudah menghadap beliau saat pertama kami tiba." "Beliau tentu bersukacita punya menantu semanis kau." "Akan lebih bahagia jika Yang Mulia yang menikah. Karena akan dipersunting orang besar." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bukankah suamimu lebih besar" Seorang yang tidak pernah ingin kedudukan tapi terus mendar-makan karyanya" Mungkin kita perlu belajar banyak darinya." Keduanya tertawa kecil. Saling memuji. Namun Ayu Prabu tetap merasa perlu menjumpai Marmi. Segera keduanya bergesa menuju pendapa. Mungkin saja mereka semua sedang makan bersama di sana. Tapi ketidakhadiran mereka dalam jamuan makan siang itu mencurigakan banyak orang. Termasuk Wilis sendiri. Tidak kurang Mas Ayu Tunjung pun amat curiga. Apalagi ia mengerti benar Mas Ayu Prabu pernah menjalin janji dengan pemuda idamannya, Wilis. Mas Sratdadi segera meninggalkan tempat begitu jamuan usai. Maka belum jauh Mas Ayu Prabu meninggalkan rumah sudah berpapasan dengan Mas Sratdadi. "Ah, kalian! Semua orang mencari! Ke mana saja?" Sratdadi menegur. Keduanya cekikikan seperti memandang sesuatu yang lucu. "Kanda tak lagi berhak memarahi dia, lho!" Ayu Prabu tersenyum sambil menunjuk Sayu Wiwit. Sayu Wiwit tetap saja memberi hormat pada Sratdadi. Kini ketiganya jadi tertawa. "Kau sekarang termuda!" ujar Sratdadi. Namun Ayu Prabu menyatakan kekhawatirannya. "Ah, Marmi sudah mengerti tugasnya. Jadi sebenarnya sangat kebetulan jika kau tak muncul di pendapa itu. Kulihat Jagapati sering mendekati Marmi. Tentu ia ingin menanyakan tentang berita yang sampai ke telinganya. Yah, kemenangan di Jember dan sekitarnya itu." "Mudah-mudahan Marmi berperan lebih baik. Dan mudahmudahan Jagapati tetap dungu seperti sekarang ini." Mas Ayu senang. Dan ketiganya balik lagi ke rumah ibunya. Justru saat itu Mas Ramad, Tantrini, dan Mas Ayu Tunjung juga sedang pulang. Maka rumah Tantrini kini jadi ramai. Ibu yang tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ awet muda itu kemudian mempersilakan anak-anaknya duduk di seputar Sayu Wiwit dan Mas Ramad. "Alangkah bahagianya jika Suaminda Wong Agung Wilis turut di tengah kita. Tapi tak apa, keduanya sudah menikah di Candi Bang dengan tanpa saksi siapa pun. Kita hanya akan berdoa bersama-sama. Kita akan mabasan (peraturan membaca bersama) beberapa mantra Lokananta (mantra pelebur dosa) untuk kedua orang ini. Nah, dirgahayulah kalian." Semua orang kemudian berdoa dengan suara kedengaran bersama-sama. Setelah selesai, mereka berganti-ganti mengucapkan selamat pada pasangan muda itu, "Tentu tidak mudah mencari saat seperti ini." Lagi Tantrini berbicara. Sayu Wiwit melihat wajah wanita ini sungguh persis Yistyani. "Aku senang Mas Ramad berjodoh brahmani cantik seperti ini, karena dia sendiri berdarah satria bercampur brahmana. Brahmana bersenjatakan pengetahuan, satria bersenjatakan bedil. Harus ada perpaduan antara keduanya untuk mempertahankan negeri ini." Semua diam mendengarkan. "Yang lebih dari itu, pekerti luhur. Sebab tanpa pekerti luhur manusia akan menjadi binatang. Dan bedil di tangan binatang hanya akan menghasilkan kebiadaban. Ingat-ingat ini, Anak-anakku! Setiap pemaksaan kehendak dan pendapat yang disertai ancaman dan kekerasan adalah gambaran kebiadaban." Tetap saja diam. Amanat seorang ibu. Menghormati ibu adalah yang utama bagi mereka. Kemudian masih panjang lagi petuah yang mereka dengar. Dan mereka cuma mengiakan. Setelah sang Ibu selesai, Sratdadi mewakili adik-adiknya, "Kami tidak lama di sini, Ibunda. Jadi memang benar, tak mudah mencari kesempatan seperti ini. Sebab tadi Lebok Samirana sudah turun ke Jember bersama Cheng Shian Hauw. Jagapati dan Jagalara pun telah ke Derwana sejak tadi. Telik Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kita melapor bahwa Kompeni mengirim beberapa ribu orang dipimpin Letnan Fischer. Tentu mereka sudah tahu kedudukan kita di Bayu. Dan mereka akan menyerbu kemari. Di belakang pasukan Fischer menyusul pasukan yang lebih besar di bawah Kapten Kreygerg." "Artinya, perang akan lebih besar lagi?" "VOC tidak akan mau kehilangan muka. Tidak pernah mereka alami sebelumnya seorang mayor harus mengantarkan nyawa di medan tempur Jawa dan Nusantara lainnya. Barangkali di zaman perang melawan Sawunggaling di Surabaya saja mereka kehilangan banyak perwira dan uang. Di sini tentu di luar dugaan mereka. Ingat, Kapten Van Reyks, Mayor Blanke, Coop a Groen, serta masih banyak lagi nyawa yang mereka korbankan. Itu sebabnya mereka tidak ingin kehilangan muka. Dan di belakang Kreygerg masih ada barisan yang lebih besar lagi dipimpin oleh Heinrich. Juga berpangkat kapten. Belum lagi manggala-manggala perang dari Mataram dan Surabaya dan Madura." " "Hyang Dewa Ratu!" Tantrini menyebut. "Apa dosa kita maka negeri kita harus dikoyak-koyak seperti ini?" "Bukan masalah dosa. Masalahnya karena ma-nusia cenderung memanjakan kerakusan sebagai keberadaan diri." "Dunia tak pernah damai...." "Dunia tidak akan pernah damai, Bunda. Selama kerakusan masih ada. Karena itu, nanti selepas tengah malam kami akan meninggalkan tempat ini." "Pengantin baru juga?" "Ya! Kami juga," Mas Ramad menjawab. "Hyang Dewa Ratu! Perang telah meruntuhkan istiadat kita. Meruntuhkan semua dan segala." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Setiap kehadiran budaya asing, membuat peradaban dan kebudayaan kita memudar. Sampai akhirnya punah sama sekali," Mas Ramad menegaskan. "Karena itu kita berperang. Untuk mempertahankan semua-mua." "Ya. Karena itu kami memohon restu Bunda," Ayu Prabu menambahkan. "Kau akan berangkat bertempur?" "Melakukan kewajiban yang dipasang di pundak. Lebih dari itu memenuhi panggilan hidup." "Tapi kau sudah saatnya menikah, Nak." Tantrini memandang anaknya. Juga Mas Ayu Tunjung. Tapi Ayu Prabu cuma tersenyum. Mas Ayu Tunjung menahan rasa sesak di dadanya. Pemuda idamannya jatuh hati pada Ayu Prabu. Ia tahu segala-gaU mengenai janji kedua muda-mudi itu. Melihat Ayu Prabu tak menjawab, hatinya kian sesak. Maka ia menyahut, "Bibi tidak usah takut. Dia sudah ada yang punya, kok. Dan Bibi patut bahagia punya anak calon paramesywari Blambangan." Gadis itu melempar lirikan pada Ayu Prabu. Tapi Mas Ayu Prabu tidak menunjukkan perubahan air muka. Tetap saja tersenyum. Tantrini yang mengerutkan kening dan memandang anak gadisnya. "Mengapa tidak dilaksanakan sekarang?" tanya Tantrini dan Mas Ayu Tunjung berbareng. "Kita sedang sibuk dengan perang." Senyum. *** Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mimpi-mimpi buruk memburu tidur Biesheuvel. Kekalahan demi kekalahan telah menghantui pikirannya. Bahkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menyeretnya ke suatu alam yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Nasib para pendahulunya mengisi kenangan saat senggang. Ah, Colmond saja yang mampu pulang dengan selamat. Kapten Van Reiyks, Mayor Blanke, dan Mayor Coop a Groen, telah menemui ajal dengan caranya sendiri-sendiri. Akhirnya ia menyimpulkan hal yang sama seperti pendahulunya: Blambangan negeri hantu yang tak layak ia tinggali. Dan tiap usaha mematahkan perlawanan pribumi tak ubahnya mendulang badai yang bakal menghantam diri sendiri. Ia menyesal telah menunda permohonan para bintara yang mengakibatkan pembelot n mereka. Bayang-bayang Van Beglendeen tiba-tiba saja muncul menemaninya sore itu. Dia memang ingin sendiri. Wanita Cina bekas istri Bapa Anti yang montok itu sudah beberapa lama dihadiahkan pada Juru Kunci untuk diperistrikannya. Kendati ia adalah anak Bapa Anti sendiri. Wajah Beglendeen yang seperti orang mengejang dan berwarna sedikit merah muda itu melotot tanpa kata. Cuma melotot. Dan senja celaka itu telah membuat Biesheuvel tergagap. Keringat dingin merembes melalui dahinya. Ia mengusap mukanya seolah mengusap noda hitam. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala sambil memejamkan matanya. Bayangan Beglendeen pergi. Tapi sebentar kemudian bayang-bayang Bozgen berdiri di hadapannya, sambil tertawa dan menudingnya. "Tuan telah bunuh aku. Cuma karena aku ingin hidup bahagia bersama wanita pribumi. Tapi kau sendiri" Terus-menerus hidup dalam perzinahan. Mana lebih berdosa" Aku yang mengawini" Begitukah kehidupan Kristen" Tangan Tuan berlumuran darah." "Tidak!" Biesheuvel berteriak. Seorang pelayan yang akan mengantar minuman senja amat terkejut. Tergopoh-gopoh pelayan itu menghambur ke luar. "Tuan... memangil hamba?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Heh" Aku tidak bicara apa-apa." Biesheuvel malu. "Eh... panggil pengipas. Sore begini amat gerah." Pelayan pergi. Dan Biesheuvel menggeragap. Ah, mereka telah menjadi hantu. Tapi tidak ada Kristen takut hantu, Hantu" Tidak, Tuan. Aku bukan hantu. Aku justru mengingatkan, agar Tuan menyadari dan melihat tangan Tuan sendiri. Tuhan tidak membiarkan pembunuh mendapat bagian dalam kerajaan surga." Hah" Bozgen muncul lagi. Napas Biesheuvel terengahengah seperti usai latihan lari pagi. Jantungnya berdegup seperti baru saja mendengar gelegar meriam. Tapi nampak jelas Bozgen di depannya. Ia memalingkan muka ke kanan. Huh, Beglendeen berkacak pinggang. Ia segera berpaling ke kiri. Mayor Coop a Groen sedang sekarat. Heh____ Ia segera berdiri. Bergesa ke kamarnya. Gadis pengipas tidak mendapatinya di teras. Dia coba mencari Alkitab dan berdoa. Tapi di mana Alkitab" Cari. Tiada. Ah, ia memang telah lama sekali tidak membaca Alkitab. Sadar kini. Benar si Bozgen. Aku Kristen cuma di bibir. Mendoa pun, aku tidak pernah. Apalagi baca Alkitab. Gila! Alkitab tertinggal di Surabaya. Jadi apalah artinya kini Kristen tanpa Alkitab" Kristen tanpa doa" Benar kau, Bozgen, Kristen tidak bisa dipisahkan dari Kristus sendiri. Dan aku" Dan Tuan Guber-nur" Gubernur Jenderal" Benar kata Rsi Ropo, tak lebih dari segerombolan bajak laut yang berpura-pura sopan. Perampok yang berpura-pura santun. Dan begitu ia menutup pintu dan akan melangkah ke pembaringan ia seolah mendengar rintih gadis. Hih" Seorang gadis belasan tahun berkajang maut diperkosa Mayor Colmond di pembaringan ini" Gadis itu menggeliat sambil mengeluh" Mengapa aku dibunuh" Bukankah ini yang diceri- > takan orang gadis Sutanegara itu" Karisyati" Ah... Biesheuvel mengurungkan niatnya melangkah ke pembaringan. Keluar lagi sambil menoleh kiri-kanan. Ia bersandar di tembok. Ah, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ aku harus cari teman. Cari teman agar tidak melamun sendiri. Masih senja begini hantu bergentayangan. Apalagi nanti malam. Dan Biesheuvel menggeragap lagi. Ia berteriak panggil pengawal. "Ya, Tuan." Seorang pengawal kulit putih menghadap. "Kau keturunan Moor?" "Ya. Tuan." "Kau pernah lihat hantu selama di Blambangan ini?" "Tidak, Tuan." "Bagus. Kau berani melawan setan?" "Tidak ada setan, Tuan. Itu bohong!" "Bagus! Aku senang pada pemberani semacam kau. Nah, sekarang ambilkan pedangku di kamar!" "Ini bukan kebiasaan...." "Ini perintah!" Dengan ragu pengawal itu masuk. Ia ambil pedang Biesheuvel yang tergantung di dinding. Setelah menyerahkan ia menghormat. "Kau lihat apa di tempat tidur?" Pengawal itu mengingat-ingat sebentar. Biesheuvel memandangnya tajam. "Tidak ada, kecuali kasur, guling dan bantal." "Cuma itu?" "Ya, Tuan." Biesheuvel mengusap wajahnya. Ia berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya. Kemudian ia perintahkan beberapa pengawal mengikutinya. Ia tidak mau mengalami aniaya seperti malam-malam akhir-akhir ini. Ia ke rumah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Jaksanegara. Di sana bisa minum atau tidur dengan selir-selir Jaksanegara. Untuk apa teraniaya sepanjang malam" Para pengawal juga senang diajak ke sana. Tentu mereka dapat bagian. Bukankah selir-selir kian bertambah saja tiap hari di rumah pembesar pribumi itu" Dan setiap malam ada saja yang kesepian diam-diam minta dipuasi oleh para pengawal. Tapi para pengawal akhir-akhir ini merasa aneh. Karena Biesheuvel sekarang tidak setegas dulu. Bahkan sering menggeragap ketakutan. Demikian juga dalam perjalanan itu. Biesheuvel sering menggeragap dan mengusap wajahnya. Mungkin Tuan kita mulai sakit, bisik seorang pada lainnya. Ah, cuma lelah. Ketakutan Biesheuvel memang bukan cuma mimpi. Saat itu Jagapati bersama Rsi Ropo yang telah mengenakan pakaian Sratdadi, bersama beberapa orang laskar pilihan Bayu, turun untuk menuntut balas atas nyawa Baswi. Begitu sampai di Pangpang mereka mencari rumah penginapan. Sratdadi menyamar sebagai pedagang. Sedang yang lain adalah pemikul barang dan pengawal. Dan Jagapati harus mengakui kecerdikan sang Rsi. Sejak siang pemuda itu telah mengintip tiap gerak Biesheuvel. Maka kala Biesheuvel berangkat ia segera menyiapkan kuda dan memberi tahu Jagapati. Kemudian mereka menyelinap dari pagar ke pagar. Dari gerumbul ke gerumbul. Penduduk yang mengetahui hal itu segera menutup pintu rumah mereka. Takut. Sesudah agak jauh dari perbentengan dan deretan loji, tibalah saatnya Mas Sratdadi membuka tembakan. Meleset. Kuda Biesheuvel jadi sasaran. Tak ayal Biesheuvel sendiri terpelanting. Tembakan berikut menyusul dari senjata Jagapati dan lain-lainnya. Beberapa pengawal tidak sempat mengelak. Berjatuhan seperti buah nangka masak. Sesaat saja peristiwa itu. Dan Biesheuvel mendengar suara tawa yang berkepanjangan. Ia ingat betul. Suara Jagapati. Ketika ia mencoba mendongak, sebuah peluru merobek kulit di bahu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kanannya. Bayangan-bayangan hitam berkelebatan. Tak jelas. Salah satu mendekatinya. Sebuah keris menghujam. Ia mencoba menghindar. Tapi paha kirinya tertusuk. Sratdadi segera memerintahkan semua pengawalnya meninggalkan tempat itu. Dengan amat cepat, bagai bayangan setan, mereka lenyap di kegelapan sambil meninggalkan suara tawa berkepanjangan. Tiga pengawal masih hidup, karena memang berpura-pura mati. Ternyata kepura-puraan mampu menyelamatkan nyawa. Perlu juga kepura-puraan itu. Segera mereka bangun menghampiri tuan mereka. Biesheuvel tergolek tanpa daya. Suara rintihan keluar dari bibir Biesheuvel. Mereka menjadi iba. Bibir itu kini tak lagi mampu membentak. Mata itu juga tak lagi melotot dan menakutkan. Segera mereka mengangkut Biesheuvel ke benteng dan melapor pada Schophoff. Kala bala bantuan tiba, Pangpang dalam ketegangan. Biesheuvel telah menemui ajalnya. Racun keris yang menusuk paha itu tidak lagi dapat diredam oleh apa pun. Juru kunci dan Jaksanegara tahu bahwa bukan pelor yang menyebabkan kematian Biesheuvel, tapi warangan. Karena itu untuk beberapa hari Biesheuvel sempat sekarat. Hendrick Schophoff melaporkan hal itu dengan tanggal kejadian serta laporan awal November tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh satu. Bukan main terkejut Gubernur Robbert van de Burg mendengar laporan itu. Gila! Blambangan telah memakan banyak korban tapi belum menghasilkan apa-apa untuk Kompeni. Bahkan Gubernur Jenderal di Batavia pun amat terkejut. Perang melawan Untung Surapati pun tidak sampai kehilangan seorang residen. Padahal surat-surat resmi pengangkatan Biesheuvel sebagai residen baru saja tiba dan belum sampai ke tangan Biesheuvel. Sayang orang itu keburu mati. Maka ia memutuskan untuk mengganti Biesheuvel dengan Hendrick Schophoff. Dan ia sendiri akan menyusun rencana penyerangan ke Blambangan. Ia sama sekali tak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ percaya jika Jagapati berdiri sendiri. Pasti ada mandalamandala perang dari negeri lain yang ikut terlibat dalam perang ini. Jika perlu ia akan mempelajari situasi dulu. Setelah selesai, ia akan pimpin sendiri penyerangan. Huh! Memalukan! Dengan segera ia merundingkan rencananya dengan pembantu-pembantu dekatnya. Dan setelah matang ia memerintahkan para bupati untuk menambah jumlah pasukan yang dikirimkannya. Sebelum itu ia menurunkan perintah agar Schophoff mengambil tindakan yang lebih keras dan tegas. Terutama dalam menyelamatkan orang-orang Eropa. *** Niat Mas Ramad menyuruh istrinya berangkat ke utara dibatalkan. Sayu Wiwit ingin mengikuti suaminya ke desa Sentong dan Puger. Jika perlu mereka akan menuju ke Nusa Barong. Mereka ingin menyampaikan hasil-hasil pertemuan di Bayu yang terakhir. Namun berita yang disampaikan Mas Sratdadi membuat mereka harus mengubah segala rencana. Dugaan mereka memang tidak salah. Letnan Fischer yang didukung pasukan pilihan dan persenjataan lengkap sudah mulai mengepung Jember. Tidak kurang dari dua ribu anggota baru dan seribu pasukan pilihan ditambah dua ribu pemikul senjata-senjata berat. Semua bergerak berlapis-lapis. Sebab di belakang mereka masih ada pasukan yang lebih besar dipimpin Kapten Kreygerg dan disusul pasukan yang dipimpin Heinrich. Tepat seperti yang dilaporkan Mas Sratdadi. Dari Probolinggo mereka menuju Ranu Klakah. Penunjuk jalan dari Probolinggo yang membawa mereka ke telaga itu. Tanpa ampun seluruh rumah yang ada di sebelah barat dan utara dibakar. Semua wanita dan orang tua yang tidak mengungsi dipunahkan. Fischer menurunkan perintah pembantaian itu karena ia tahu persis, mereka adalah pelarian Mataram dan pengikut Singa Manjuruh. Sedang Singa Manjuruh sebenarnya orang kepercayaan Pangeran Singasari dan Pangeran Blitar yang terbunuh di Malang Selatan sebelum Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ gugurnya Mlayakusuma. Itu sebabnya mereka yakin bahwa pembantaian itu pasti menyenangkan pemerintah Kartasura dan pemerintahan agung VOC di Batavia. Di samping itu Fischer ingin menanamkan rasa takut pada pribumi. Bahwa jika mereka berani memberontak terhadap VOC maka keturunan mereka pun akan dipunahkan. Jangankan memberontak. Menyatakan pendapat yang tidak sama dengan pemerintahan agung Batavia pun akan ditindak. Keturunan kedua, ketiga, dan keempat, juga akan tetap dicurigai. Turun-temurun bangsa yang besar ini dijadikan siput. Takut merunduk-runduk. Dan dengan begitu untuk selamanya mereka takut menyatakan pendapat. Cuma menyatakan pendapat mereka harus takut. Sanak-saudara atau teman-teman mereka akan dengan sendirinya melarang mereka menyatakan pendapatnya. Karena takut ikut bersimbah darah. Ternyata rasa takut akan menguntungkan pemerintah agung Batavia di bumi Nusantara. Begitu, mereka terus bergerak ke timur dan selatan. Sepanjang jalan mereka menjarah-rayah harta milik kawula. Perlawanan demi perlawanan mereka patahkan. Fischer memang tak mau membawa pasukannya melewati jalan yang belum terbentuk. Kekalahan Montro dan Imhoff cukup menjadi pelajaran baginya. Orang Blambangan telah menyebar begitu banyak jebakan. Kendati pasukannya harus bergerak amat lamban dan menghamburkan banyak peluru kanon dan meriam untuk membersihkan jalan-jalan. Membersihkan dari cegatan pasukan Shian Hauw dan Singa Manjuruh serta anak buah Lebok Samirana bersama laskar Mas Sratdadi sendiri. Juga membersihkan dari batu-batu dan pohon-pohon yang dirobohkan. Berhari-hari terus begitu. Tapi tidak ada lain cara, jika tidak ingin masuk jebakan dan hancur total. Pelan tapi pasti. Bahkan sayap kirinya telah sampai ke Panarukan. Dan juga Candi Bang dikepung rapat-rapat. Setelah pasukan Kapten Kreygerg sampai di sana, maka pengepungan ia timbang-terimakan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pasukannya sendiri ia tarik untuk bergerak ke Jember. Ia ingat benteng sahabatnya, Steenberger. Orang itu tidak diketahui nasibnya. Ah, bisa saja seorang perwira bernasib seperti monyet. Di kala berjaya merampasi buah apa saja yang dijumpainya. Ia tahu itu bukan miliknya. Namun ia merasa menang dan memungut semua-mua. Tapi kala tidak lagi bersama dewi keberuntungan mungkin saja mati di Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tengah rimba tanpa seorang pun menguburnya. Dan burungburung pemakan bangkai akan panen. Ia ingin bertemu dengan sahabatnya dan menolong agar bisa pulang ke Nederland dengan selamat. Tapi ke mana orang itu kini" Ah, nanti saja jika Jember sudah dikuasai kembali, akan dilakukannya pencarian terhadap Steenberger dan kawan-kawannya. Sahabat yang baik adalah sahabat yang rela mengorbankan nyawanya demi persahabatan itu sendiri. Namun begitu mendekati Jember, berkali rombongan harus mundur. Sebab ternyata musuh juga menggunakan meriam. Kanon, dan bedil yang serupa dengan milik Kompeni. Tentu barang rampasan. Sekarang mereka mendekati kota dengan menyebar melewati sawah-sawah, untuk menghindari kemungkinan jebakan tombak bambu dan cula-cula. Dan perhitungan Fischer tepat. Cuma sedikit laskar Mas Ramad yang mengawasi sawah-sawah. Sebab mereka dipancing untuk bertempur di jalan-jalan masuk ke kota Jember. Meski begitu bukan berarti Fisher bisa masuk r sambil melenggang. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Semangat tinggi laskar Mas Ramad merupakan kesulitan tersendiri. Dengan amat berani, lelaki-perempuan menyongsong barisan lawan. Dan korban pun berjatuhan. Peluru laskar Mas Ramad menyambar sebagian tentara Fischer, demikian pula Pendekar Sakti Welas Asih 4 Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar Fitnah Berdarah Tanah Agam 2

Cari Blog Ini