Golok Kelembutan 13
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 13 loyal mereka pada partai. Banyak orang beranggapan mengadakan pesta itu sama sekali tak berguna, padahal manfaat yang dihasilkan dari pesta perayaaan semacam ini seringkah tak berwujud dan tak bisa diraba oleh orang lain." "Tapi kalau malam ini kau tidak berusaha melakukan pengobatan, kakimu itu mungkin tak bisa dipertahankan lagi," kata Su-tayhu dengan suara keras. "Sekalipun begitu, bila aku tidak hadir dalam pesta perayaan malam nanti, hasil kemenangan yang telah kita peroleh pun tak bisa bertahan lama," ujar So Bongseng sambil tertawa ewa, "lebih baik persoalan ini kita bicarakan lagi lain waktu, bagaimana pun malam ini aku harus berperan dalam pesta perayaan ini." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bagaimana pun sudah begitu banyak hujan badai yang kita lalui, apa salahnya sekali lagi menyerempet bahaya." Lalu sambil minta Su-tayhu memayangnya turun dari loteng, kembali katanya sambil tertawa menyindir, "Batok kepala yang begini besar, siapa yang berani memenggalnya" Akan kulihat pada akhirnya batok kepala siapa yang lebih keras dan golok siapa lebih tajam?" Perkataan semacam ini sama sekali tidak mirip perkataan yang diucapkan seseorang yang telah seratus persen berhasil meraih kemenangan mutlak. Tadi Ong Siau-sik mengajukan pertanyaan itu karena dia pun mengerti ilmu pengobatan, dia dapat melihat So Bong-seng seharusnya sudah tidak bersikukuh lagi dengan pendiriannya. Sambil tertawa ewa kembali So Bong-seng berkata, "Kecuali To Lam-sin yang tak bisa hadir karena mendapat perintah mendadak untuk melakukan pengamanan di kotaraja, semua saudara yang ikut berjasa dalam pertarungan pagi tadi akan hadir di sini, mana boleh aku tidak menghormati mereka dengan secawan arak?" "Arak bisa diminum perlahan-lahan," ujar Ong Siau-sik. "Arak harus diminum selagi panas." "Asal darah masih tetap panas, peduli amat arak masih panas atau tidak?" "Kalau toh semua saudara yang hadir merupakan saudara-saudaraku yang berdarah panas, mana boleh aku tidak menunjukkan perasaanku yang hangat?" Sementara Ong Siau-sik ingin bicara lagi, tiba-tiba Pek Jau-hui menukas, "Bila Toako memang ingin pergi, biarkan ia menghadiri! Bagaimanapun kita mencegah, rasanya tak ada yang bisa menghalangi niatnya lagi." "Maksudmu ......" "Dalam sebuah kehidupan, terkadang ada sementara perjamuan yang harus dihadiri. Yang jelas, kita pun sebentar lagi harus menghadapi seseorang." "Maksudmu ... nona Lui?" "Kita telah memaksa mati ayahnya tapi kini ia turut hadir di sini, bukankah kejadian ini akan membuat suasana jadi serba rikuh?" kata Pek Jau-hui, "dalam perjamuan di loteng merah hari ini, siapa yang akan bertanggung jawab soal keamanan?" "Mo Pak-sin beserta pasukan Bo-hoat-bo-thian," jawab Yo Bu-shia penuh percaya diri, "selama mereka yang melakukan penjaaan, aku rasa Kim-hong-si-yu-lau ibarat sebuah ruang baja yang tak mungkin bisa ditembus apa pun." Saat itulah Mo Pak-sin telah mengutus orang untuk memberi laporan, Pui Ing-gan, Liong-pat Tayya serta Cu Gwe-beng telah mengutus orang untuk mengantar kado selamat. Kado yang tak ternilai harganya! Namun mereka sendiri tidak ikut hadir, hanya kado ucapannya yang dikirim datang. Kado ucapan selamat dari Pui Ing-gan adalah sepasang tirai dengan ukiran yang sangat indah. Konon tirai itu adalah tirai kemala dengan ukiran naga emas yang pernah dipasang dalam markas besar Congpiau Pacu dari tujuh puluh dua aliran sungai, Tay Thianong. Kado yang dikirim Pui Ing-gan adalah sebuah tirai Te-sang-thian-ong (raja langit di atas bumi). Maksud tujuan di balik pemberian itu sangat jelas. Orang yang mendapat tugas untuk mengirim kado itu adalah seorang pemuda yang amat ramping dan tampan. Sementara kado yang dikirim Cu Gwe-beng konon berupa seorang gadis yang cantik jelita, gadis itu duduk dalam tandu dan langsung diantar masuk sampai ruang utama. Kado pemberiannya ini sangat menggelikan. Mungkin Cu Gwe-beng telah menganggap kegemarannya sama seperti apa yang menjadi kegemaran So Bong-seng. Liong Pat Tayya merupakan orang paling top di sisi perdana menteri, hadiah yang dia kirim sangat menggetarkan perasaan semua orang. Ternyata yang dikirim adalah sepasang peti mati. Peti mati itu sangat istimewa, bentuk, ukuran maupun bahannya sama persis seperti peti mati milik ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong Lui Sun, hanya bedanya, peti mati yang diledakkan Lui Sun berwarna hitam pekat, sementara peti mati ini berwarna putih berkilat. Peti mati dari kayu putih! Pesan yang dititipkan Liong Pat untuk disampaikan pun cukup unik, "Sebenarnya kau hanya mempunyai sebuah loteng, sekarang, peti mati yang seharusnya untuk Lui Sun pun menjadi milikmu". Perkataan itu jelas mengartikan bahwa, "Mulai saat ini, seluruh wilayah kota di seputar istana Kaisar sudah menjadi milik So Bong-seng seorang. Tak akan ada orang mengirim sepasang peti mati sebagai kado ucapan. Tapi Liong Pat mampu melakukannya. Karena So Bong-seng pernah bergurau dengannya, "Bila suatu hari aku berhasil mengalahkan Lui Sun, tolong peti mati yang seharusnya menjadi bagiannya sekalian dikirim ke tempatku sebagai kado". Peti mati milik Lui Sun sudah meledak dan hancur berentakan bersama tubuhnya. Oleh sebab itu Liong Pat menitahkan orang untuk mengirim seperangkat peti mati baru ke situ. ooOOoo 62. Semuanya aman Perjamuan masih berlangsung. Tamu agung yang hadir tidak terhitung banyak, tapi semuanya termasuk manusia luar biasa. Mereka semua terdiri dari para Hohan yang bermukim di sekitar kotaraja, ada pula yang merupakan tokoh dunia persilatan dari berbagai partai dan perguruan, di antaranya ada yang semula mendukung perkumpulan Lak-hun-poan-tong, ada pula yang sejak awal sudah mendukung Kim-hong-si-yu-lau, tapi malam ini mereka semua hadir dalam ruang perjamuan yang sama, menanti dimulainya era baru. Seratus enam puluhan orang, ada yang berilmu tangguh, ada yang canggih mengatur strategi, ada yang pandai berdagang, ada yang ampuh mengatur organisasi gelap, mereka semua memiliki kelebihan masing-masing, sudah terbiasa dengan gejolak dunia persilatan, pandai menyesuaikan diri dengan arah angin. Kemana angin berhembus, mereka pun akan berlayar mengikuti arus. Manusia semacam ini tak mungkin bisa menciptakan pekerjaan besar, tapi bila kau ingin menguasai seluruh keadaan, maka tak bisa tidak sangat membutuhkan manusia, semacam ini. Kalau tadinya seluruh perdagangan gelap ada tiga bagian dikuasai perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka sekarang Kim-hong-si-yu-lau telah menguasai seluruhnya. Hanya dalam dua hari, seluruh kekuasaan di seputar wilayah kotaraja telah jatuh ke tangan So Bong-seng, bukan saja ia berhasil menumpas kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Mi-thian-jit-seng, bahkan posisi Kim-hong-siyu-lau saat ini telah mencapai tingkatan paling tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Justru karena sebagian besar orang adalah manusia jenis begini, pertama, untuk melindungi keselamatan diri, kedua, berusaha memanfaatkan kesempatan untuk mencari peluang, maka tak heran kalau begitu Kim-hong-si-yu-lau menyelenggarakan pesta perayaan, mereka pun berduyun-duyun datang menghadirinya. Ketika So Bong-seng berjalan masuk ke gedung utama Hui-thian-tong dalam loteng merah, serentak para jago bangkit berdiri untuk menghormatinya. Bisa memperoleh penghormatan dari sekian banyak jago, bahkan disertai perasaan kagum dan takut, boleh dibilang keadaan itu merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi So Bongseng. Ketika So Bong-seng melangkah masuk ke dalam ruangan, dia dikawal Pek Jau-hui di sebelah kiri dan Ong Siau-sik di sebelah kanan. Sebagai komandan keamanan malam ini adalah Mo Pak-sin, begitu melihat So Bongseng muncul diserambi samping, ia segera berjalan mendekat sambil melapor, "Injakan salju tanpa bekas!" Maksud dari perkataan itu adalah semuanya aman! So Bong-seng manggut-manggut. Padahal saat itu dia sedang merasakan gejolak hawa darah yang amat kuat, bila hawa murni dibuyarkan, besar kemungkinan dia akan muntah darah. Sambil mengertak gigi menahan diri, dia berusaha tampil lebih bersemangat. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan hal itu saling berpandangan sekejap, rasa kuatir melintas di wajah mereka berdua. Ti Hui-keng tidak ikut hadir dalam pesta perjamuan ini. Saat ini perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang mengalami situasi yang kacau dan kritis, dia perlu tetap berada di markas besarnya untuk menenteramkan perasaan anak buahnya. Terlebih bukan pekerjaaan yang gampang untuk membujuk dan mengajak sekawanan jago yang setia kepada Lui Sun untuk berganti haluan, bila ditangani kurang bijak, besar kemungkinan nyawa sebagai taruhan. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, So Bong-seng mengambil sikap menyingkir ke samping, biar orang lain menyelesaikan sendiri urusan rumah tangganya. Tio Thiat-leng muncul juga dalam pesta perayaan ini. Tentu saja dia adalah Si Say-sin.. Oleh karena To Lam-sin telah dipanggil pulang untuk mengamankan situasi keamanan di ibukota, maka dia merasa wajib untuk ikut hadir dalam pesta kali ini. Si Say-sin muncul dengan membawa dua orang, yang satu adalah Ciu Kak sementara yang lain adalah Lui Kiau, mereka datang mewakili Ti Hui-keng. Sangat jelas terlihat, dengan mengutus kedua orang jenderalnya untuk turut hadir dalam perjamuan ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengibaratkan mereka sebagai negara yang ditaklukkan telah mengirim jenderalnya untuk menyatakan kesetiaan mereka pada negara penakluk. Tindakan itu bukan saja mencerminkan posisi mereka yang lemah, pada hakikatnya telah menyatakan sikap menyerah. Sekalipun begitu, So Bong-seng juga mengetahui kalau yang datang hanya Ciu Kak serta Lui Kiau. Ciu Kak dan Lui Kiau dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanya menempati bangku nomor tujuh dan empat belas. Kecuali Lui Heng yang sudah tewas di tangan Kwik Tang-sin, Lui Tong-thian yang menempati bangku nomor tiga serta Lui Moay yang menempati bangku keempat sama sekali tak nampak batang hidungnya. Atau dengan perkataan lain, Ti Hui-keng belum berhasil menguasai seluruh keadaan. Begitu melihat kemunculan So Bong-seng, Lui Kiau segera berseru dengan suara nyaring, "Kami mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Ti-toatongcu menyampaikan ucapan selamat kepada Kim-hong-si-yu-lau dan So-kongcu karena berhasil mempersatukan golongan putih serta golongan hitam dan me?mimpin dunia persilatan." Orang yang telah menyerah, bila ingin mempertahankan kehidupan sendiri, mereka harus secepatnya menyatakan kesetiaan sampai mati kepada penguasa baru, harus menyatakan penyesalannya atas perbuatan mereka yang lampau. Pihak yang telah melepaskan usahanya untuk melawan tidak boleh mempunyai harga diri, yang bisa mereka lakukan hanya memohon belas kasihan lawan agar mau mengampuni jiwa mereka. Terkadang sekalipun telah merendahkan diri juga belum tentu permintaan akan terkabulkan. Ketika menyerahkan gagang golok ke tangan orang lain, apakah bisa mempertahankan keutuhan tubuh atau tidak, keputusan berada dalam pikiran orang lain, sama sekali bukan diri sendiri yang memutuskan. Inilah yang disebut untuk menciptakan hidup, lebih baik mati. Tapi ada sementara orang yang rela melanjutkan hidupnya dalam situasi seperti ini, oleh sebab itu apa yang diucapkan Lui Kiau sebenarnya hanya merupakan pernyataan sikap pribadi. Begitu ia berkata, pemuda yang diutus Pui Ing-gan ikut berbicara pula, "Puikongcu mengutus Cayhe untuk menyampaikan selamat kepada Kongcu, semoga masa depan bertambah cemerlang, panjang usia dan sehat selalu." So Bong-seng memperhatikan sekejap wajah pemuda ini, dia merasa orang itu memancarkan daya tarik yang aneh dari pancaran sinar mukanya, belum sempat menjawab sesuatu, terdengar kawanan jago lain telah saling berebut menyampaikan ucapan selamatnya, untuk sesaat dia jadi repot menanggapinya. Dalam suasana beginilah diam-diam Pek Jau-hui berbisik kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana menurut pendapatmu?" "Aku ikut gembira menyaksikan kesuksesan Toako." "Kemarin dia masih merupakan naga yang bersembunyi di balik sawah, tapi hari ini sang naga telah terbang ke angkasa. Naga memang tetap naga, dalam kenyataan dia memang seekor naga yang hebat," Pek Jau-hui membenarkan, "dia adalah Eng-hiong, seorang Hohan, tapi tanpa dukungan orang-orang macam kita yang rela mewakilinya menderita luka, mungkin sampai hari inipun dia masih merupakan naga tersembunyi yang tak berguna. Oleh sebab itu daripada menganggap orang adalah seorang pahlawan, mending menganggap diri sendiri sebagai seorang Enghiong." "Hidup sebagai manusia, masing-masing orang sudah memiliki bagiannya sendiri, punya peluang yang berbeda, siapa yang mampu memaksakan kehendak?" bantah Ong Siau-sik, "jika setiap orang ingin jadi Enghiong, lalu ada beberapa banyak Enghiong di dunia ini" Benar, orang gagah menjual nyawa demi seorang pemimpin, tapi bukankah banyak Hohan, pejuang, para patriot bersedia berkorban demi pemimpinnya" Justru karena mereka bersedia mengorbankan diri, maka perjuangan dan pengorbanan semua orang baru bisa mewujudkan sebuah karya, kesuksesan. Lagi pula, siapa sih di antara kita yang bukan seorang Enghiong, bedanya kehidupan setiap orang ada batasnya, ada bagiannya sendiri, tidak semua cita-cita bisa terwujud se?bagaimana yang diinginkan." Setelah tertawa sejenak, kembali terusnya, "Bisa jadi kau adalah seorang Enghiong sementara aku bukan, mungkin karena aku bukan Enghiong, maka aku hanya bisa membantu seorang Enghiong menjadi Enghiong sungguhan." Dengan mata melotot Pek Jau-hui mengawasi rekannya beberapa saat, setelah itu ba.ru ujarnya, "Bisa memahami kehidupan berarti kau cerdas, bisa menyelami diri sendiri berarti kau bijaksana, bisa memilah dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, kau benar-benar seorang manusia luar biasa. Tapi hidup sebagai manusia, mengapa harus menyelami diri sendiri, kenapa harus melihat masa depanmu terlalu jauh" Sekalipun nama, kedudukan dan kekayaan bagai awan di angkasa, tapi bukankah hal itu yang dicari manusia dalam hidupnya" Apa salah jika kita menggunakan kesempatan yang ada untuk kepentingan sendiri" Di samping itu, kenapa ada sementara orang sejak lahir sudah kaya raya, sementara kita hanya seorang manusia biasa" Manusia yang mesti berjuang mati-matian hanya untuk sesuap nasi" Apa salah jika aku memanfaatkan setiap peluang untuk memperbaiki nasib sendiri?" "Punya cita-cita tinggi memang baik, tapi janganlah memaksakan kehendak demi meraih cita-cita itu, tak usah terburu napsu, sebab bila dipaksakan maka lebih banyak sengsaranya ketimbang enaknya, lebih banyak gagalnya daripada berhasil." "Aku tak peduli mau sengsara atau berhasil, manusia hidup wajib mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri," tukas Pek Jau-hui kemudian sambil menggendong tangan. "Jika demikian jalan pikiranmu, lalu apa bedanya kau dengan kaum perampok?" "Padahal apa pula arti dari perbedaan" Perampok juga manusia, Enghiong pun manusia. Hidup sebagai Enghiong juga hanya menjalankan kehidupan, jadi perampok pun tetap menjalankan kehidupan, dia mau baik atau jahat, mau bijaksana atau bertindak semena-mena, pada akhirnya semua akan berakhir dengan kematian. Kau boleh saja mengatakan siapa menanam kebaikan akan menuai kebaikan, siapa menanam kejahatan akan menuai kesengsaraan, mati masuk neraka. Hehehe ... aku mau bertanya, siapa sih yang pernah melihat orang jahat yang mati diceburkan ke dalam neraka?" Tampaknya Ong Siau-sik dibuat terperanjat oleh sikap Pek Jau-hui yang aneh itu, sesaat ia terbungkam, kemudian baru katanya, "Kalau toh kau tahu bahwa kehidupan manusia bagai panggung sandiwara, lalu buat apa kau memaksakan kehendak" Bukankah jauh lebih nyaman dan bahagia kita hidup bebas merdeka, tak ada ikatan tak ada yang dipikirkan, menganggap empat samudra lima telaga sebagai rumah sendiri?" "Seorang lelaki tak boleh hidup tanpa kekuasaan, jika kau berhasil meraih kekuasaan, maka akan kau rasakan apa yang dimaksud sebagai hidup bahagia. Bila kau kehilangan kekuasaan maka itulah tragedi bagimu, menang jadi raja kalah jadi perampok, coba lihatlah bagaimana nasib tragis yang dialami Lui Sun sekarang," Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kata Pek Jau-hui lagi, "justru karena kehidupan akan lewat bagaikan awan di angkasa, apa salahnya jika kita berbuat menuruti suara hati sendiri" Jika manusia sudah mati, mau bernama harum atau bernama busuk, siapa peduli" Memangnya orang mati bisa turut merasakan?" "Kalau memang seratus tahun hanya berlangsung sekejap, kenapa tidak kau isi waktu yang sekejap itu dengan perbuatan baik dan mulia?" "Justru karena kehidupan hanya berlangsung sekejap, kita harus mengisinya dengan sebuah kesuksesan, kesuksesan yang bisa memberi kegembiraan dan kebahagiaan terbesar dalam kehidupanmu." "Tapi..." Belum sempat Ong Siau-sik meneruskan perkataannya, mendadak ia saksikan Tong Pogou, Thio Than, Un Ji, Lui Tun dan seorang pengemis tua berjalan masuk ke dalam ruangan. Begitu menyaksikan kehadiran orang-orang itu, dengan penuh kegembiraan Ong Siausik maju menyongsong, tegurnya, "Ternyata kalian pun telah datang, semua orang sedang mengu-atirkan keselamatan kalian." Sepasang mata Un Ji segera memerah, nyaris air matanya kembali meleleh, belum lagi bicara, terdengar Thio Than telah bertanya sambil menghela napas panjang, "Kalian sedang menyelenggarakan pesta kemenangan?" Ong Siau-sik melengak, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjawab. Terdengar Thio Than berkata lagi, "Kalian menang perang maka menyelenggarakan pesta kemenangan, lalu mereka yang kalah harus menyelenggarakan pesta apa?" Mendadak sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Lui Tun. Senyuman itu nampak begitu cantik, membuat hati semua orang bergetar keras. Tak ada orang yang paham apa arti senyuman itu, karena saat itu terdengar So Bong-seng sedang melanjutkan perkataannya, "... dalam suasana pesta yang penuh kegembiraan, apakah permainan semacam ini tidak merusak pemandangan?" Sambil tersenyum ia berjalan menghampiri peti mati itu. "Tapi peti mati ini adalah hadiah dari Pat-tayya" ujar Mo Pak-sin. "Aku mengerti maksudnya," ujar So Bong-seng sambil meraba ukiran indah di atas peti mati itu, "dengan kekalahan dan tewasnya Lui Sun berarti semua kekuasaan dan posisinya sudah menjadi milikku, bila aku yang kalah maka aku pun membutuhkan sebuah peti mati. Tampaknya peti mati yang dikirim Pat-tayya memang mengandung maksud yang mendalam." Dia jarang tertawa, tapi kini dia menampilkan terus senyumannya yang dingin. Sambil berjalan mendekati tirai dengan ukiran indah itu kembali ujarnya, "Tirai yang dihadiahkan Pui-hoya pun sangat berarti, orang bilang pohon besar bisa digunakan untuk berteduh, tirai inipun bisa dipakai untuk menahan angin. Jadi seandainya orang-orang perkumpulan kami membikin orang kecewa, mereka bisa menggunakan tirai ini untuk menyembunyikan diri dari perasaan malu." Ketika berjalan menghampiri tandu yang dikirim Cu Gwe-beng, dia hanya memandangnya sekejap tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pada saat itulah mendadak terlihat seseorang berjalan masuk dengan langkah tergopoh-gopoh, dia tak lain adalah Yo Bu-shia. Selama hidup jarang sekali Yo Bu-shia berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh. Kini dia muncul dengan tergesa-gesa, tampaknya suatu kejadian yang gawat telah berlangsung. "Lui Tong-thian dengan membawa anak buah dari lima cabang telah menyerbu masuk ke Kimhong-si-yu-lau!" Berubah paras muka semua orang setelah mendengar perkataan itu. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdiri dari tiga belas cabang, tapi kini ada lima cabang yang melunak datang, hal ini menunjukkan bahwa mereka tak berhasil dikendalikan Ti Hui?keng. Kecuali Lui Sun dan Ti Hui-keng, Lui Tong-thian merupa kan tokoh paling tangguh di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Lui Tong-thian merupakan pembela setia dari Lui Sun. Tampaknya Lui Tong-thian memang tak mau tunduk di bawah perintah Ti Hui-keng. Paras muka So Bong-seng sama sekali tak berubah, katanya tenang, "Bagus sekali kedatangannya, apakah dia berhasil melewati barisan yang dibentuk pasukan Bohoat-bo-thian?" Yo Bu-shia segera berjalan mendekat, bisiknya, "Kedatangan mereka terlampau cepat, aku rasa Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau sekalian gagal membendung serbuannya Mendadak terdengar kegaduhan di luar gedung disusul suara pertarungan yang bergema dari empat penjuru. "Lui Tong-thian telah datang!" tiba-tiba ada orang berteriak. Menyusul teriakan itu, seseorang berlarian masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang lelaki kurus yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sebilah golok baja tergenggam di tangannya. Dalam ruang gedung hadir seratusan orang tamu yang rata-rata merupakan para jago dari berbagai aliran, tapi lelaki kurus itu langsung menerjang masuk ke dalam ruangan, seolah sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap para tamu yang hadir. Biarpun di tubuhnya terdapat tujuh delapan buah luka, darah pun masih mengalir keluar dari lukanya, namun dari sikapnya yang masih segar dan gagah, seolah luka itu bukan miliknya tapi milik orang lain, darah pun seakan darah milik orang yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Sorot matanya masih tetap dingin dan tenang. Sikapnya juga sangat tenang. Tapi semua orang dapat menyaksikan amarah dan rasa dendamnya yang amat meluap, dia seakan tak ambil peduli dengan keselamatan sendiri, dia seperti ingin menggunakan darah untuk mencuci bersih dendam kesumatnya. SO Bong-seng segera menyongsong kedatangannya sambil berkata, "Bagus, kau Dia sama sekali tidak memperhatikan orang itu, tidak memandang ke arah LUI Tongthian, sorot matanya DIALAHKAN KE wajah Lui Tun, bahkan seakan terpana menyaksikan senyuman manis yang tersungging di ujung bibir gadis itu. Tiba-tiba suara bentakan nyaring bergema memecah keheningan, cahaya golok berkelebat dari balik bajunya. Dengan sekali tebasan, peti mati yang berada di hadapannya telah terbelah jadi dua. Menyusul tebasan itu tampak cahaya darah menyembur keluar, terdengar orang yang berada dalam peti mati itu mendengus tertahan, rubuhnya terbelah jadi dua. Ternyata orang yang berada dalam peti mati adalah SU Bu-kui. Lui Tun menjerit kaget. ooOOoo 63. Ketika golok dalam genggaman, manusia pun kalap Ternyata orang yang berada dalam peti mati adalah Su Bu-kui, bukan saja semua orang terperanjat, Lui Tun pun merasa terkesiap. Gadis ini tidak menyangka kalau So Bong-seng begitu cepat dapat mengendalikan serangannya, begitu cepat dapat menyadari akan kesalahannya. Dia terlebih tak menyangka kalau orang yang berada dalam peti mati bukan ayahnya! Sepasang mata So Bong-seng telah berubah jadi merah, tangannya yang selalu mantap kini mulai gemetar keras, tubuhnya terlihat mulai gontai tak stabil, namun gerak serangannya tetap cepat bagaikan sambaran kilat. Dengan cepat dia menotok bebas jalan darah Su Bu-kui yang tertotok. Namun tubuh bagian bawah Su Bu-kui sudah terbelah jadi dua. Tampak ia menghembuskan napas panjang, katanya lirih, "Kejadian ini bukan kesalahanmu, balaskan dendam sakit hatiku........" Pada saat itulah pintu angin mendadak hancur berantakan, sesosok bayangan manusia dengan kecepatan tinggi meluncur masuk ke dalam, suasana dalam ruangan seketika hening. Dengan tangan kanannya orang itu mencengkeram tujuh jalan darah penting di punggung So Bong-seng, jari tangannya menyodok, menari bagai lidah seekor ular. Dengan satu gerakan cepat So Bong-seng membalikkan tubuhnya, cahaya golok bagai bunga salju beterbangan. Orang itu mendengus dingin, dia menggerakkan tangannya mencengkeram golok Angsiu-to yang digenggam So Bong-seng, dia hanya mencengkeram tangan yang menggenggam golok, kini yang terlihat hanya tinggal jari tengah dan ibu jarinya, sebuah cincin zamrud berwarna hijau kecubung terlilit di jari tangannya. Tak seorang pun di kolong langit yang sanggup mencengkeram golok So Bong-seng dalam sekali gebrakan, terkecuali orang ini. Barang siapa berani mencengkeram golok mestika itu dengan tangan telanjang, kalau bukan lengannya akan kutung, paling tidak jari tangannya akan terpenggal. Tapi orang itu hanya memiliki dua buah jari tangan. Biarpun hanya tinggal dua buah jari tangan, namun kehebatannya justru jauh lebih menakutkan daripada lima jari utuh, lebih sulit untuk dihadapi daripada jari tangan sempurna. Begitu mencengkeram golok lawan, menyongsong kedatangan So Bong-seng, orang itu membentak keras dengan suaranya yang menggelegar bagaikan guntur, "Ling-peng-to-ci-kia-tin-liat-cay-cian! (menghadapi serbuan pasukan, membelah barisan depan)." Tampaknya wajah So Bong-seng segera akan terhajar oleh pukulan dahsyat itu. Bentakan yang menggelegar tadi bagaikan sebuah mantera, seperti sebatang jarum yang menusuk ke hulu hatinya, membuat semua penyakit tersembunyi yang ada di tubuhnya terpancing keluar So Bong-seng segera melepaskan goloknya. Bagi kawanan jago golok, biasanya golok ada manusia hidup, golok lenyap manusia mati. Tapi beda dengan So Bong-seng, baginya golok adalah golok, jika kehilangan nyawa, apa gunanya sebilah golok" Ketika golok membabat ke bawah, benar adalah benar, salah adalah salah. Setelah golok itu membabat, yang terpisah paling hanya batok kepala. Sayang dia telah salah membacok. Dia telah membacok mati saudara sendiri. Dia salah tafsir, disangkanya orang yang bersembunyi di dalam peti mati adalah musuh. Pukulan batin yang amat berat ini dirasakan jauh lebih parah ketimbang luka parah. Kemunculan Lui Sun yang tiba-tiba sama sekali tidak membuatnya tercengang, akan tetapi tenaga serangan yang terwujud dari jari tangan Lui Sun yang patah justru membuat perasaan hatinya tercekat. Dia terpaksa membuang goloknya sambil mundur dengan cepat, yang dia harapkan sekarang hanya ada peluang untuk berganti napas. Bila dapat berganti napas, berarti.dia dapat melanjutkan serangan balasan. Di belakangnya berdiri seseorang, Si Say-sin. Bagaikan seorang prajurit berlapis baja Si Say-sin siap menyongsong kedatangan Lui Sun, tapi Mo Pak-sin sudah membalikkan tangannya secara tiba-tiba, dari ujung payungnya yang juga berwarna hitam tiba-tiba melejit keluar sebilah senjata yang amat tajam, langsung menghujam ke jalan darah Bing-bun-hiat di punggung Si Say-sin, di sanalah letak satu-satunya titik kelemahan ilmu baju baja Thiat-poh-san milik Si Say-sin. So Bong-seng adalah seorang pemimpin yang selama hidup tak pernah mencurigai saudara sendiri. Itulah sebabnya dia bisa mendahului Lui Sun dengan menggaet Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui berpihak kepadanya, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Kimhong-si-yu-lau berhasil meraih kemenangan gemilang dalam pertarungannya belakangan ini. Tapi sayang, sehebat apa pun seorang pimpinan, terkadang dia melakukan juga kesalahan. Tidak terkecuali So Bong-seng. Dia telah menempatkan anak buah kepercayaannya, Si Say-sin dalam barisan musuh, sebaliknya pihak lawan pun melakukan hal yang sama, menyusupkan anak buah kepercayaannya ke dalam Kim-hong-si-yu-lau. Pertama kali terjadi sewaktu ada di Ku-sui-poh, walaupun saat itu dia berhasil menghabisi nyawa si Barang antik dan Hoa Bu-ciok, namun yang lebih penting lagi dia belum berhasil mem?bongkar siapa musuh dalam selimut yang sesungguhnya. Dan sekarang dia sudah tahu, ternyata pengkhianat itu adalah Mo Pak-sin. Baru saja Mo Pak-sin berhasil membunuh lawannya, pemuda yang datang mengantar kado tirai itupun sudah ikut turun tangan. Tangannya digetarkan, pedang pun telah dicabut keluar. Padahal pedang yang sebenarnya masih berada di pinggang, dalam genggamannya sama sekali tak berpedang. Sekalipun jelas tangannya tak berpedang, namun dengan satu kali ayunan ia telah melancarkan tujuh delapan jurus serangan pedang, memaksa Yo Bu-shia yang berusaha maju menolong seketika terdesak mundur lagi. Saat itu rambut Yo Bu-shia yang panjang telah terurai tak keruan, keadaannya sangat mengenaskan, dengan penuh amarah bentaknya, "Lui Moay Pemuda tampan itu tertawa merdu, semerdu suara keleningan kecil. Tak selang beberapa saat kemudian, paling tidak ada separuh tamu yang berada dalam ruangan itu telah melolos senjatanya, sisa yang lain tercekam dalam kekalutan, mereka tak tahu harus berpihak kemana. Sekilas pandang Yo Bu-shia mendapat tahu kalau di antara para tamu undangan yang hadir dalam ruangan, paling tidak ada separuhnya adalah jagoan tangguh yang dibawa Lui Moay, mereka hanya patuh pada perintah Lui Moay, bahkan yang lebih parah lagi pasukan Bo-hoat-bo-thian yang bertanggung jawab menjaga keamanan Kimhong-si-yu-lau, kini sudah berganti arah dengan berkiblat ke pihak musuh. Kini dia baru dapat melihat semuanya dengan jelas, diam-diam ia mengeluh dan menyesal, kenapa tidak sejak tadi mengetahui situasi yang amat berbahaya itu. Kenyataan banyak mara bahaya yang menakutkan justru baru ketahuan di saat keadaan sudah kritis dan berbahaya, sulit bagi siapa pun untuk menduga sebelumnya. Sambil mengirim perintah rahasia, lekas Yo Bu-shia menghimpun segenap jago tangguh dari Kimhong-si-yu-lau untuk memberi bantuan, dia pun berusaha melindungi keselamatan So Bong-seng dengan segenap kemampuannya. Secara beruntun Yo Bu-shia melancarkan delapan serangan berantai, tapi semuanya berhasil dipukul balik oleh hawa pedang lawan. Ilmu pedang tanpa pedang semacam ini memang tiada duanya di kolong langit, hanya Bu-kiam-sin-kiam-jiu (jago pedang sakti tanpa pedang) Lui Moay seorang yang dapat melakukannya. Kini Lui Moay telah muncul! Dia bahkan telah bekerja sama dengan Mo Pak-sin melancarkan serangan berantai. Secara beruntun Yo Bu-shia terkena tiga tusukan pedang, darah mulai bercucuran, kini baginya hanya tersisa dua harapan. Bala bantuan dari Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, dua orang jago yang baru bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau! Dan bantuan dari manusia yang berada di balik tandu, orang yang selama ini selalu membantu Kim-hong-si-yu-lau secara diam-diam. Waktu itu sebenarnya Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sedang berniat melepas rindu dengan Un Ji dan Lui Tun, ketjka perubahan besar tiba-tiba berlangsung di depan mata. Dengan cepat Ong Siau-sik memberikan reaksinya, tapi belum sempat bergerak, dari belakang tubuhnya mendadak terasa desingan angin tajam, angin pukulan itu sangat kuat bagaikan gulungan ombak di tengah samudra. Ong Siau-sik sudah pernah merasakan tekanan semacam ini, dia tak berani ayal, karena ia tahu tenaga pukulan itu berasal dari Ngo-lui-thian-sim (lima guntur inti langit) yang dilancarkan Lui Tong-thian. Begitu lima guntur dilontarkan, langit serasa terbelah, bumi bagaikan merekah. Ong Siau-sik menggerakkan golok dan pedangnya bersamaan, ia bendung datangnya tusukan maut dari inti guntur itu. Dia yakin selama berani menghadapi pertarungan, tak bakal mati dalam pertempuran, dia berharap kemampuannya sanggup membendung ancaman Lui Tongthian, agar Pek Jau-hui dapat segera menolong So Bong-seng. Lagi-lagi dia menjumpai satu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Ternyata Pek Jau-hui sama sekali tidak berniat turun tangan, setitik keinginan pun tak ada. Dia hanya memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya pada semacam benda yang berada di tengah arena, tandu! Konon di dalam tandu itu terdapat seorang gadis cantik yang khusus dihadiahkan Cu Gwe-beng. Mungkinkah Pek Jau-hui adalah pihak musuh yang sengaja menyusup kemari, karenanya dia tak siap memberikan bantuannya" Atau karena dia telah menemukan bahwa di dalam tandu itu terdapat seorang musuh yang jauh lebih tangguh sehingga ia tetap mempertahankan posisinya agar bisa melakukan perlawanan bilamana perlu" Sambil bertarung sengit melawan serbuan Lui Tong-thian, Ong Siau-sik berpikir tiada hentinya. Gara-gara perhatiannya bercabang karena harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam arena pertarungan, akibatnya pemuda itu tak mampu memusatkan perhatiannya untuk bertempur, tak selang beberapa saat kemudian ia sudah dipaksa berada di bawah angin. "Blaaam!", saat itulah mendadak tandu itu meledak hingga terbelah jadi beberapa bagian, seorang kakek kurus berwajah bersih berkopiah tinggi melesat ke tengah udara dan menyambar ke depan Lui Sun. Tujuan orang itu sangat jelas, dia ingin memberi peluang kepada So Bong-seng Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo agar dapat berganti napas hingga mampu menghadapi serangan maut dari Lui Sun. Kehebatan ilmu silat yang dimiliki orang ini sama sekali tidak berada di bawah kemampuan Lui Tong-thian, jika Lui Sun ingin merobohkan orang itu dengan mengandalkan ilmu cepat lambat sembilan huruf, mungkin dalam seratus gebrakan kemu?dian pun belum tentu berhasil. Tahu gelagat tidak menguntungkan, Lui Sun segera mencabut keluar goloknya. Begitu golok berada dalam genggaman, dia pun semakin menggila. Saat itu So Bong-seng sudah mundur hingga ke samping Ong Siau-sik, untuk menghadapi segala kemungkinan Tong Po-gou dan Thio Than segera siap melancarkan serangan. Mendadak dengan perasaan tertegun seru Tong Po-gou, "Aku adalah sahabat Kimhong-si-yu-lau, aku akan membantu Un Ji." "Aku adalah teman Lui Tun, seharusnya aku membantu perkumpulan Lak-hun-poantong," sambung Thio Than sambil tertawa getir. Mendengar itu Tong Po-gou garuk-garuk kepalanya yang tak gatal, teriaknya, "Masa ... aku mesti bertarung sendiri denganmu?" "Ya, keadaan sudah jadi begini, apa boleh buat?" Belum lagi kedua orang itu saling menyerang, mendadak jalan darah di punggungnya telah ditotok orang, ternyata yang melancarkan serangan adalah pengemis tua itu. Tiba-tiba pengemis tua itu meraup ke atas wajah sendiri, seketika muncullah wajahnya yang seakan gusar seolah penuh dendam. Dengan perasaan terkesiap Lui Tun segera berseru, "Ah, 'Sampai berjumpa lagi'!" Sayang ketika dia meneriakkan nama itu, orang lain tak mendengarnya, sebab pada saat yang bersamaan Ho-hwe-yu-ki (Sampai berjumpa lagi) telah meraung keras, "It-gan-wi-teng (Satu kata sebagai kesepakatan)!" Bagaikan seekor rajawali raksasa dia menerkam ke muka. Kakek berbaju antik berkopiah tinggi itu nampak sedikit tergetar wajahnya, tapi segera tampil perasaan kecewanya yang amat sangat. Dia menyongsong datangnya terkaman itu bagaikan bangau sakti yang terbang di angkasa, setelah bertarung beberapa gebrakan di tengah udara, waktu melayang turun ke tanah, dari lubang panca inderanya mengucur keluar darah segar yang segera menodai jenggotnya yang putih. Sementara paras muka Ho-hwe-yu-ki pucat keabu-abuan, seluruh ruas tulangnya seakan telah hancur, membuat tulang punggungnya seolah tak sanggup menopang berat badannya lagi. Terdengar Lui Sun berteriak gusar, "Sudah kusuruh jangan datang! Aku masih butuh kekuatanmu untuk menunjang kehidupan perkumpulan Lak-hun-poan-tong selanjutnya!" Ho-hwe-yu-ki tertawa ewa, sambil membesut noda darah dari ujung bibirnya, dia berkata, "Tidak apa-apa, sudah sepantasnya aku turut hadir hari ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang menghadapi masalah besar, masa aku tak boleh ikut hadir" Lagi pula sejak terkena ilmu jari sakti Wu-hok-sin-ji, kehidupanku sudah tak mirip kehidupan manusia lagi, kalau bukan bersembunyi dalam peti mati untuk melawan bekerjanya racun, sepanjang tahun harus bersembunyi di dalam penjara bawah tanah yang tak bercahaya, aku sudah bersumpah akan menguntitmu terus kemana pun kau pergi!" It-gan-wi-teng terengah-engah, sambil berusaha mengatur napasnya ujarnya, "Sungguh tak kusangka ... setelah terkena bubuk talasku, kau masih sanggup menghimpun segenap kekuatanmu untuk menyerang dengan ilmu sakti Peng-coat-sinkang, sungguh hebat! Sungguh mengagumkan!" "Sudah kuduga malam ini kau pasti akan ikut datang, kalau memang harus mati, mari kita mati bersama-sama." Mimik muka It-gan-wi-teng mulai mengejang lantaran menahan sakit, katanya, "Kita sudah bertarung puluhan tahun lamanya, ternyata hasilnya ... hasilnya masih seimbang." Makin lama suaranya makin melemah dan lirih. It-gan-wi-teng tidak melanjutkan niatnya menghalangi Lui Sun, maka menggunakan kesempatan yang sangat baik ini Lui Sun segera menghampiri So Bong-seng dan berusaha membunuhnya. Kini racun penyakit dan luka di paha So Bong-seng sudah mulai bekerja, golok pun sudah terlepas dari genggaman, sementara Ong Siau-sik terhadang oleh serangan Lui Tong-thian, Yo Bu-shia pun tak berhasil lolos dari jala pedang yang diciptakan Lui Moay. Di saat yang amat kritis itulah terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat. Pek Jau-hui telah turun tangan. Dia langsung menyerang Lui Sun. Ong Siau-sik nyaris bersorak saking girangnya, tanpa terasa semangatnya makin berkobar, serangan dari Lui Tong-thian pun seketika berhasil dipatahkan semua. Bahkan So Bong-seng pun ikut merasakan semangatnya berkobar kembali. Sayang serangan dahsyat Pek Jau-hui tak berhasil memunahkan ancaman bahaya yang tertuju ke tubuh So Bong-seng, karena 'pedang' Lui Moay lagi lagi diarahkan ke tubuhnya. Serangan pedang tanpa pedang ini tak disangkal jauh lebih ganas, lebih berbahaya, lebih susah dihadapi daripada ancaman yang menggunakan senjata sungguhan. Pada saat bersamaan, Lui Kiau membendung pula serangan yang datang dari Yo Bushia. Kini Lui Sun melancarkan serangan makin menggila, semakin kalap. Golok yang berada dalam genggamannya memang merupakan sebilah golok iblis, dalam puluhan tahun terakhir ini dia jarang menggunakannya, disebabkan setiap kali golok itu dilolos dari sarungnya, maka dia akan menyerang makin kalap, semakin menggila, tenaga ancamannya berlipat lebih dahsyat, bahkan semua sepak terjang serta apa yang dilakukan sukar dikendalikan lagi, bahkan oleh dirinya sendiri. Tapi dia telah bersumpah, hari ini dia harus membunuh So Bong-seng, harus berhasil membantainya. Semua pengorbanannya, semua rasa malu, terhina yang harus dideritanya, dia terima dan jalani demi 'mencari hidup dari kematian, mencari kemenangan dari balik kekalahan', dia ingin melancarkan serangan balik dalam situasi yang serba kritis. Dia minta kepada Ti Hui-keng agar berpura-pura menyerah kepada So Bong-seng, agar So Bong-seng menyaksikan dengan mata kepala sendiri kekalahan yang dideritanya, agar dalam keberhasilannya meraih kemenangan dia mengendorkan kewaspadaannya, dengan begitu ia bisa menggerakkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyerbu ke markas Kim-hong-si-yu-lau di saat mereka sedang menyelenggarakan pesta kemenangan, dia ingin membasmi Kim-hong-si-yu-lau hingga ke akar-akarnya. Terutama membunuh So Bong-seng, melenyapkannya dari muka bumi! Itulah sebabnya mengapa muncul sinar aneh dari mata Lui Tun, tatkala ia mendengar Ti Hui-keng telah mengkhianati ayahnya dan menurut cerita ayahnya, Lui Sun telah tewas di dalam peti mati. Lui Tun segera paham, Ti Hui-keng sama sekali tidak mengkhianati ayahnya, Lui Sun pun belum mati, justru Kim-hong-si-yu-lau sedang terancam bahaya maut! Gadis ini tahu, peti mati milik Lui Sun merupakan jalan mundurnya, juga merupakan jalan kehidupan baginya, di bawah peti mati terdapat sebuah lorong bawah tanah, itulah alasan utama mengapa Lui Sun mengundang So Bong-seng agar mengubah tempat pertempuran dari air terjun Put-tong menjadi ruang utama markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun tak ingin ledakannya justru membunuh dia sendiri serta Ti Hui-keng, daya ledaknya tak boleh kelewat dahsyat. Tentu saja rahasia ini hanya diketahui oleh Ti Hui-keng dan Lui Tun. Lui Sun sengaja meminta kepada Ti Hui-keng agar tidak ikut datang dalam pertarungan ini, dia tak mengijinkan Ti Hui-keng turut serta dalam pertarungan maut itu. Dia pun tidak memberitahukan rencananya kepada Ho-hwe-yu-ki. Dia sengaja berbuat begini karena takut bila rencana penyerangannya mengalami kegagalan, paling tidak dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih ada Ti Hui-keng dan Ho-hwe-yu-ki yang menopang, dengan kemampuan kedua orang itu, untuk sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih mampu melawan rongrongan dan penyusupan Kim-hong-si-yu-lau. Dia memang selalu mengerti bagaimana mengatur jalan mundur bagi dirinya, dia pun tahu bagaimana mengaturkan jalan mundur bagi orang-orang yang disayangnya. Dia menaruh kepercayaan begitu besar terhadap Ti Hui-keng, tentu saja Ti Huikeng tak bakal mengkhianatinya. Tapi saat itu Ti Hui-keng telah menyandang nama busuk sebagai seorang pengkhianat, bagi perasaan Ti Hui-keng sendiri, gelar 'pengkhianat' benar-benar menyiksa batinnya, baginya siksaan itu jauh melebihi siksaan sewaktu mati dalam pertempuran, jauh lebih terhormat baginya mati dengan bersimbah darah daripada hidup sebagai seorang pengkhianat. Lui Sun selalu bertindak cermat dan hati-hati, dia kuatir So Bong-seng keburu mengetahui rahasianya hingga turun tangan terlebih dulu, maka secara diam-diam ia perintahkan Mo Pak-sin agar menangkap Su Bu-kui dan memasukkannya ke dalam peti mati, lalu disusupkan ke dalam kado yang akan diserahkan Liong Pat dan Pui Ing-gan ke dalam markas Kim-hong-si-yu-lau, dengan begitu dia dapat melancarkan serangan maut di saat yang dianggapnya paling tepat. Walaupun dia sama sekali tidak tahu kalau Ho-hwe-yu-ki secara diam-diam telah menumpang dalam rombongan Tong Po-gou dan Thio Than ikut menyusup masuk ke dalam markas besar Kimhong-si-yu-lau, sementara So Bong-seng demi keamanan sendiri juga telah mengundang It-gan-wi-teng yang telah menukar gadis cantik dalam tandu menjadi tokoh maha sakti itu. Dalam pertempuran ini dia tak boleh kalah! Dia tak boleh menderita kekalahan lagi! Serangan demi serangan dilancarkan Lui Sun dengan ganasnya, semua bacokan, babatan, tusukan merupakan jurus mematikan yang maha dahsyat. Dia berharap bacokan demi bacokan yang dilancarkan secara bertubi-tubi pada akhirnya berhasil membantai So Bong-seng .... Dia harus menghabisi nyawa So Bong-seng, musuh nomor satu baginya, selama orang itu masih hidup, perkumpulan Lak-hun-poan-tong tak mungkin bisa tetap bertahan hidup, perkum?pulannya tak akan hidup dalam suasana aman dan tenteram.... Itulah sebab dia harus membunuh So Bong-seng, walau dengan cara apa pun. Karena inilah saat yang paling bagus untuk membunuh So Bong-seng, bila dia tidak memanfaatkannya, kesempatan emas segera akan berlalu. Sekali kesempatan emas berlalu, maka yang muncul adalah kesempatan emas bagi pihak lawan untuk membunuhnya. Tiba-tiba Lui Moay mencabut keluar pedangnya, kemudian ditusukkan ke punggung Lui Sun dengan kecepatan luar biasa. Jika dia bukan Lui Moay, siapa yang sanggup berdiri begitu dekat dengan Lui Sun, bahkan berdiri di belakangnya tanpa dicurigai sama sekali" Apalagi pedang kayu yang berada di tangan Lui Moay jauh lebih tajam daripada pedang tajam mana pun, bahkan bisa menyerang tanpa menimbulkan desiran angin tajam, Dengan telak pedang kayu itu menghujam di punggung Lui Sun! Dengan wajah sedih bercampur kecut Lui Sun maju beberapa langkah ke depan, tapi golok yang berada dalam genggamannya sama sekali tak berhenti menyerang, dia bahkan melancarkan serangan dengan kekuatan paling dahsyat. Kini So Bong-seng tidak lagi bergolok, dia tak sanggup menerima datangnya ancaman yang maha dahsyat itu. Untung Un Ji kebetulan berdiri di sampingnya, menggunakan kesempatan di saat punggung Lui Sun termakan tusukan maut, dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat dia rebut golok Seng-seng-to yang ada di tangan Un Ji dan menangkis babatan golok Put-ing-to itu dengan keras lawan keras. Tiada suara yang bergema, tiada percikan bunga api maupun dentingan keras, tahutahu kedua bilah golok itu sudah patah dan hancur. Serangan maut yang dilancarkan Lui Sun akhirnya gagal, berantakan tak keruan. So Bong-seng mundur sambil memegangi dadanya, kening berkerut menahan sakit yang luar biasa, kini kakinya bagaikan sudah cacad, sama sekali kehilangan rasa. Lekas Gan Hok-hoat maju dan memayangnya. Lui Sun berdiri bersandar pada tiang bangunan, semburan darah segar memancar keluar dari dadanya, meleleh dan membasahi seluruh tubuhnya. I ,ekas Lui Tun maju memayangnya sambil berseru, "Ayah Lui Sun terengah-engah, dengan bersusah payah ia berpaling ke arah Lui Moay, lalu serunya, "Bukankah aku selalu baik kepadamu?" "Benar!" Lui Moay segera mengakuinya. "Meng ... mengapa kau berbuat begini?" "Karena kau telah merampas segala milik ayahku, merampas juga segala yang kumiliki, aku sebenarnya adalah ahli waris perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi sekarang harus menjadi kekasih gelapmu, seorang kekasih gelap yang merupakan aibku, sekalipun sikapmu terhadapku jauh lebih baik pun tak akan cukup untuk membayar semua perbuatanmu. Sejak kau ambil alih segala sesuatu yang seharusnya menjadi milikku, aku telah bersumpah akan mencari peluang untuk menghadapimu." Setelah berhenti sejenak, kembali lanjut Lui Moay, putri tunggal Lui Ceng-lui, ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong sebelumnya, "Apalagi sudah sejak lama aku menjadi anggota Kim-hong-si-yu-lau, akulah Kwik Tang-sin!" "Rupanya kaulah Kwik Tang-sin!" dengan penuh penderitaan Lui Sun memegangi dadanya yang penuh berlepotan darah, "tapi bagaimana pun kau tetap anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku pun pada akhirnya bukan tewas di tangan orang lain ... aku ... aku hanya merasa heran "Apa yang kau herankan?" tanya Kwik Tang-sin. "Kau jelas berasal dari marga Lui, mengapa kau tinggalkan nama marga Lui dan berganti jadi bermarga Kwik" Kau jelas seorang anggota perkumpulan Lak-hun-poantong, mengapa malah ikut So Bong-seng?" "Waktu itu aku belum dewasa. Kau belum tertarik kepadaku, saat itu kau telah menurunkan perintah untuk membunuhku, kalau bukan Kwik Kiu-seng yang berada dalam penjara bawah tanah menolongku, mungkin sekarang aku sudah di alam baka. Itulah sebabnya aku bermarga Kwik," ujar Kwik Tang-sin menerangkan, "orang bilang tiga orang wanita yang mendampingi Lui Sun sangat setia kepadanya, tapi kau telah memaksa Toa-hujin hingga minggat meninggalkanmu, kemudian kau pun menyia-nyiakan aku, kini tinggal putrimu seorang f ang masih ada di sisimu ... kalau bukan kau melancarkan serangan lebih awal, mungkin aku sudah memberitahukan rencanamu ini kepada So-kongcu, agar dia lebih waspada." "Tapi pada akhirnya aku tetap kalah," tiba-tiba ujar Lui Sun kepada So Bongseng, So Bong-seng tertawa getir. "Kemenanganku pun harus kuraih dengan penuh penderitaan dan siksaan." "Sekarang aku adalah sang pecundang, aku mohon satu hal kepadamu." "Katakan!" "Jangan bunuh putriku," pinta Lui Sun sambil membelai rambut Lui Tun. So Bong-seng segera mengangguk. "Kau mengabulkan permintaanku?" ulang Lui Sun. "Ya, aku mengabulkan permintaanmu." "Kalau begitu aku pun boleh berlega hati," kata Lui Sun sambil menghembuskan napas panjang, "walaupun selama ini aku selalu bermusuhan denganmu, tapi aku merasa gembira dan riang karena mempunyai seorang lawan macam kau. Aku rasa, terlepas kau yang mati atau aku yang mati, kita sama-sama merasa tak tega kehilangan lawan bukan?" "Betul," So Bong-seng mengangguk, "tanpa kau, tentu merupakan kehidupan yang sepi bagiku. Ketika kau terjun ke dalam peti mati dan segera tewas, aku selalu beranggapan bahwa kejadian itu tak nyata, oleh sebab itu aku selalu meningkatkan kewaspadaanku, tapi toh tetap teledor, nyaris aku terjungkal di tanganmu." "Tapi kenyataannya kau tidak terjungkal, cuma kau bakal memperoleh seorang musuh baru yang jauh lebih tangguh." "Maksudmu Ti Hui-keng?" "Selain dia siapa lagi?" "Dia sama sekali tidak mengkhianatimu?" "Mana mungkin dia mengkhianatiku?" "Ternyata dugaanku tak salah," kata So Bong-seng hambar, "sebenarnya aku memang tidak siap membiarkan dia tetap hidup." "Kau ....." "Bila dia tidak mengkhianatimu berarti akan berhadapan denganku, jika dia mengkhianatimu, suatu hari nanti dia pun akan mengkhianatiku, karena dia tidak seperti Lui Moay, punya alasan yang kuat untuk membalas dendam," So Bong-seng menerangkan, "oleh sebab itu aku tak pernah akan membiarkan manusia macam begini tetap hidup di dunia!" Napas Lui Sun mulai memburu, dengan terengah-engah serunya kepada Lui Tun, "Tunji Seruan itu penuh dengan nada kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya, diiringi cucuran darah yang makin deras dari mulut dan lukanya, air mata tampak meleleh keluar dari matanya. "Ayah!" pekik Lui Tun sedih. "Bila kau tak mampu membalaskan dendam bagi kematianku, pergilah yang jauh, terbanglah ke ujung langit, aku tak bakal membencimu ... tak akan menyalahkan dirimu ... bila kau ingin membalaskan dendam bagi ayah Tiba-tiba Lui Sun menempelkan bibirnya di sisi telinga Lui Tun dan membisikkan sesuatu, suaranya amat lirih, Lui Tun mendengarkan dengan seksama, air mata Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dibiarkan meleleh, dia seolah lupa menyekanya, kepalanya mengangguk berulang kali tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya Lui Sun menyandarkan kepalanya di atas bahu gadis itu, sama sekali tak ada tenaga lagi. Lui Tun mencoba mendorong sambil berseru, "Ayah!" Dia mendorong lagi berulang kali, dengan nada tak percaya teriaknya, "Ayah!" Tapi Lui Sun sudah tak bergerak, napasnya telah berhenti, sekujur tubuhnya mulai membeku kaku. "Ayah!" teriakan ketiga serasa tersangkut dalam tenggorokan, tak pernah diucapkan keluar. Dengan tewasnya Lui Sun, seluruh jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang ada dalam ruangan pun kehilangan semangat untuk bertempur, dalam keadaan begini mereka hanya berharap bisa mundur secepatnya. "Kabur!" teriak Lui Tong-thian lantang. Tak seorang pun yang tahu mengapa dia begitu bersemangat untuk melindungi rekan-rekannya agar segera mundur dari situ, entah dikarenakan dia memang ingin melindungi anak buahnya ataU karena kematian Lui Sun, dia pun tak punya gairah untuk hidup terus. Sebaliknya So Bong-seng merasa sangat lega setelah menyaksikan kematian Lui Sun, entah mengapa, dia pun merasa?kan hatinya kosong dan hampa, seluruh kekuatan tubuhnya seketika hilang, penyakit yang dideritanya kambuh kembali. Tiba-tiba hawa di dadanya bergejolak keras, perasaan sedih kembali menyelimuti pikirannya, dengan suara keras teriaknya, "Jangan biarkan Mo Pak-sin kabur dari sini, lepaskan sisanya yang lain ..." Tiba tiba pandangan matanya jadi gelap, tubuhnya seketika roboh terjungkal ke tanah. Untung Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau berdiri dekat dengannya, satu dari kiri yang lain dari kanan lekas memayang tubuhnya. Lui Tong-thian masih bertahan di jalan mundur dengan mati-matian, dia hanya membiarkan anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong mundur dari situ dan mencegah jagoan Kim-hong-si-yu-lau melakukan pengejaran, tubuhnya kembali bertambah dengan tujuh delapan luka bacokan, namun dia masih tetap bertahan. Mo Pak-sin sendiri pun terluka cukup parah, dikerubut Yo Bu-shia dan para jago tangguh dari Kimhong-si-yu-lau, dia hanya bisa mundur terus hingga ke sisi Lui Tong-thian. "Congtongcu sudah mati!" teriaknya keras, "ayo, kita segera mundur!" "Kau pergilah! Aku tak akan pergi!" sahut Lui Tong-thian sambil bertahan terus. "Kita masih mempunyai Ti-toatongcu! Kita masih mempunyai peluang untuk melangsungkan pertempuran lagi!" teriak Mo Pak-sin, keadaannya semakin mengenaskan. "Lui-congtongcu sudah mati, buat apa aku tetap hidup?" Lui Tong-thian dengan kekuatan seorang diri berusaha membendung serangan gabungan dari Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, posisinya semakin kritis, jiwanya sudah berada di ujung tanduk, tapi dia berteriak lagi, "Kau cepatlah kabur!" ooOOoo 64. Lelaki yang menjahit pakaian meneruskan jahitannya (Tamat) Belasan li dari markas besar Kim-hong-si-yu-lau terdapat sebuah tempat yang bernama Ku-sui-poh, saat itu terlihat seorang pemuda sedang berdiri sambil menggendong tangan, sambil mengawasi ujung langit dimana terletak markas Kimhong-si-yu-lau, mimik mukanya kelihatan makin lama semakin bertambah suram bercampur masgul. Di sisinya berdiri dua orang. Yang satu adalah Lui Kun, sementara yang lain adalah Lim Ko-ko. Mereka tak berani mengusik ketenangannya. Sudah cukup lama dia berdiri di situ, lama, lama sekali, rasa duka yang menyelimuti wajahnya pun turut bertambah mengikuti bertambahnya sang waktu. Malam sudah semakin kelam, fajar hampir menyingsing, kemurungan, rasa duka, rasa masgul semakin kentara tercermin pada wajahnya. Di sudut bangunan runtuh di wilayah Ku-sui-poh berdiri pula dua orang pemuda, seorang sastrawan berbaju putih berwajah tampan, berdiri di tengah halaman penginapan, menikmati cahaya rembulan sambil membuat syair, dia nampak amat santai. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda berperawakan kurus, berbaju tipis, sedang menjahit pakaian sambil tersenyum. Tampaknya kedua pemuda itu saling mengenal satu de?ngan lainnya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan ketiga orang yang berada di depan puing bangunan. "Pasang Hio!" Ti Hui-Keng menurunkan perintah. Waktu sudah menunjukkan Yin-Si (Pukul 3 - 5 pagi), Ti Hui-Keng sadar penantiannya tak akan membuahkan hasil, satu-satunya sisa pengharapan pun turut musnah mengikuti tenggelamnya sang rembulan, bahkan segera akan lenyap di alam jagad yang luas. Lim Ko-Ko dan Lui Kun telah menyiapkan meja sembahyang. Setelah menyulut hio, Lim Ko-Ko menyerahkan kepada Lui Kun. Dengan kening berkerut Lui Kun menyambutnya dan segera dipersembahkan kepada Ti Hui-Keng, sikapnya amat menaruh hormat. Setelah pasang hio dan menjura tiga kali, Ti Hui-Keng menjatuhkan diri berlutut, ujarnya sambil memandang langit, "Congtongcu, kau melarangku turut serta bersamamu menyerang markas Kimhong-si-yu-lau, aku sangat memahami maksud hatimu, kini saat Choi-si sudah lewat tapi belum nampak juga bunga api yang dijanjikan. Kau tak usah kuatir, aku telah menempatkan pasukan inti perkumpulan Lak-hunPoan-tong di seputar Po-Pan-bun, mereka tak akan bergeser dari seputar air terjun Put-Tong, tak akan melancarkan serangan secara membabi buta ......" Bicara sampai disitu ia berhenti sejenak, suaranya agak sesenggukan, terusnya kemudian, "kau pernah berkata, bila serbuan malam ini tidak berhasil, maka kau akan gugur dalam medan laga. Aku sebenarnya tak lebih hanya seorang prajurit kecil di bawah pimpinan Kwan Toaci, berkat kepercayaanmu dan dukunganmu, maka aku bisa memperoleh posisi seperti ini ........ kali ini kau mengajak Lui-jiko menyerempet bahaya sementara aku tak dapat mendampingimu, aku ........" Lama sekali dia tertunduk sedih sebelum akhirnya berkata lagi, "Kau yang berada di langit... beristirahatlah dengan tenang, aku pasti akan menahan segala hinaan dan penderitaan untuk berusaha bangkit kembali, aku bersumpah akan membangun kembali kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menghancurkan Kim-hong-si-yu-lau dan membalaskan sakit hatimu!" Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, baru saja akan menancapkan batang hio di meja altar, tiba-tiba badannya terasa'gontai, lekas dia berpegangan pada sisi dinding sembari mendengus tertahan, sorot matanya yang tajam bagai sembilu dengan cepat menyapu sekejap ke wajah Lim Ko-ko serta Lui Kun. "Kalian?" Lim Ko-ko maupun Lui Kun sama sekali tidak menghampirinya, yang satu hanya menganggukkan kepala sementara yang lain berkata, "Itulah bubuk talas yang dipelajari It-gan-wi-teng dari perguruan Kui-li-pat-ji-bun dan ditambah dengan ra?muan baru hasil ciptaannya, tentu saja di sekitar sini masih tersisa asap pemabuk." "Bagus, bagus sekalisinar pasrah dan putus asa terbesit dari balik mata Ti Huikeng, kepada Lim Ko-ko serunya, "Kalau kau yang melakukan semua ini, aku tak akan merasa heran, sebab bagaimana pun kau berasal dari lain marga ..." Dia membalikkan tubuhnya, dengan sorot mata kepedihan bercampur rasa menghina dia mengawasi wajah Lui Kun, katanya lebih jauh, "Kau adalah keturunan keluarga Lui, kami semua bersikap baik kepadamu, mengapa kau berbuat begitu" Perbuatan terkutukmu benar-benar membuat aku kecewa." Walaupun sudah tahu lawan tak mampu bergerak lagi, entah mengapa Lui Kun merasakan hatinya bergidik, bulu kuduknya berdiri, tanpa sadar ia mundur selangkah. "Kau bukan berasal dari keluarga Lui, tapi Congtongcu bersikap jauh lebih baik kepadamu!" katanya. Ti Hui-keng tertawa, suara tertawanya terselip perasaan kesepian dan kesendirian. "Perkataanmu memang benar!" katanya, "aku tidak menyangka pada akhirnya aku Ti Hui-keng harus terjatuh di tanganmu, aku telah menyia-nyiakan harapan Congtongcu, aku memang tak pantas menerima kebaikan darinya." "Kau mengkhianati Congtongcu lebih dulu, menyatakan kesetiaan kepada So-kongcu, apakah manusia macam kau tidak pantas mampus?" seru Lui Kun semakin berani. Dia tahu Ti Hui-keng sudah kehilangan tenaga untuk melawan, sementara dia sendiri sudah minum obat penawar terlebih dulu hingga tak kuatir terpengaruh bubuk pemabuk itu. "Aku adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kenapa aku harus bersumpah setia kepada So Bong-seng?" jengek Ti Hui-keng semakin sinis, "jika kau membunuhku lantaran menganggap aku telah mengkhianati Congtongcu, maka sekarang aku nyatakan bahwa aku masih harus membangun perkumpulan Lak-hun-poan-tong lagi, aku akan melanjutkan pertarunganku melawan Kim-hong-si-yu-lau, jika aku masih melanjutkan cita-cita Congtongcu, apa alasanmu ingin membunuhku" Tapi jika kau membunuh demi So Bong-seng, berarti kau telah mengkhianati perkumpulan Lak-hunpoan-tong, kau adalah seorang pengkhianat laknat, selama hidup kau telah banyak menerima budi kebaikan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi di saat kritis kau justru berbalik arah, jika masih punya muka, ayo, berdiri di depanku dan jawab pertanyaanku!" Lui Kun gusar sekali, dia ingin menghampiri Ti Hui-keng dan menamparnya beberapa kali, tapi ia tak berani berbuat begitu, bagaimanapun rasa takut dan sangsi masih menyelimuti hatinya. "Jika kau masih bicara tak keruan ... akan kubunuh kau!" dengan perasaan gusar bercampur mendongkol dia melepas senjatanya dari pinggang. Lim Ko-ko yang berada di sisinya mendadak berkata kepada Ti Hui-keng, "So-kongcu sudah tahu kalau kau tak bakal bersumpah setia kepadanya, maka sebelum diselenggarakan pesta perjamuan malam tadi, ia telah menurunkan perintah kepada kami untuk membunuhmu." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah manusia berbakat, jika dia tak mampu menggunakan kemampuanmu, terpaksa harus membunuhmu, dia tak ingin menangkapmu hidup-hidup, sebab dia kuatir bila bertemu lagi denganmu, dia jadi tak tega untuk turun tangan." "Oleh sebab itu kalian akan menjalankan eksekusi di tempat ini," sambung Ti Huikeng sambil tertawa. "Kau meninggalkan anak buahmu di wilayah air terjun Put-tong dan Po-pan-bun, sementara dirimu datang seorang diri ke daerah Ku-sui-poh, tindakan ini benarbenar merupakan sebuah tindakan yang amat bodoh," kata Lim Ko-ko dengan suara dalam. Ti Hui-keng mengangguk. "Ucapanmu memang benar, kusangka dengan bertindak begini maka aku bisa segera menyusup begitu Congtongcu melepaskan kembang api ... tak kusangka justru tindakanku ini memberi peluang kepada kalian untuk membokongku." "Lui-goko pernah ditaklukkan Si Say-sin serta Pek Jau-hui, dia tahu perkumpulan Lak-hun-poan-tong segera akan runtuh, oleh sebab itu dia berbalik arah dengan bergabung ke pihak kami." "Bagaimana dengan kau?" tanya Ti Hui-keng sambil menatapnya tajam. "Sejak semula aku memang anggota Kim-hong-si-yu-lau," sahut Lim Ko-ko sambil mencabut keluar sebilah pisau belati. Ti Hui-keng menghela napas panjang, melihat keempat anggota badannya lemas tak bertenaga, tak mungkin tenaganya pulih kembali dalam waktu singkat, keluhnya, "Tak heran kalau secara diam-diam kau membebaskan Lui Tun dan Un Ji, bahkan meracuni saudara-saudara yang menjaga dengan racun jahat." "Dugaanmu tepat sekali, tapi bukan aku yang meracuni mereka!" kata Lim Ko-ko dengan tubuh bergetar. "Sayang, segala sesuatunya sudah terlambat!" dengan tangan sebelah berpegangan pada sisi dinding, Ti Hui-keng mengulurkan tangannya dengan susah payah, katanya lagi, "Berikan pisau belati itu kepadaku, biar aku membunuh diriku sendiri." Lim Ko-ko tampak agak sangsi. "Selama berada di perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku selalu bersikap baik kepadamu," ujar Ti Hui-keng, "inilah permintaanku terakhir sebelum aku mati, juga merupakan satu-satunya permohonanku." "Biar aku yang membunuhnya ...."teriak Lui Kun sambil memutar sepasang rantainya, ia siap melancarkan serangan. "Jangan," cegah Lim Ko-ko sambil menyodorkan pisau belatinya, "biar dia bunuh diri!" Mendadak terdengar seseorang berkata, "Menurut kau, lebih enak bunuh diri atau dibunuh orang?" "Kedua-duanya tidak enak," jawab suara yang lain. "Semuanya tidak enak?" "Aku rasa membunuh orang paling enak." Kelopak mata Lim Ko-ko mendadak menyusut tajam, dia tahu ada orang ingin mencampuri urusan ini. Mereka sengaja memilih tempat itu untuk membunuh Ti Hui-keng, kebaikannya adalah anak buah Ti Hui-keng tidak mungkin datang menolong, tapi kejelekannya bila mereka pun gagal dalam usaha pembunuhan ini, tak akan ada orang yang datang menolong.. Lui Kun sudah tak sanggup menahan diri lagi, dia bergerak sambil melancarkan serangan. Dalam keadaan begini, tentu saja Lim Ko-ko tak akan mencegahnya untuk menyerang. Dia pun ingin menyaksikan sampai dimana keampuhan ilmu silat yang dimiliki sang pendatang. Terlebih lagi dia tahu dengan pasti, bicara soal kepandaian silat, dia masih jauh ketinggalan bila dibandingkan kemampuan Lui Kun. Sepasang bintang kejora Hwe-sui-siang-liu-seng milik Lui Kun sudah meluncur ke depan, langsung menghajar tubuh sastrawan berbaju putih itu. Dengan cekatan sastrawan berbaju putih itu mengegos ke samping, serangan Liuseng-jui itupun mengenai sasaran kosong. "Gerakan Pek-ci-kok-liau (kuda putih melewati perbatasan) yang hebat!" puji Ti Hui-keng sambil menghela napas. Tampak Liu-seng-jui milik Lui Kun yang semula menyerang ke arah pemuda yang sedang menjahit baju itu mendadak berputar arah, kali ini menyerang ke tubuh sastrawan berbaju putih itu. "Aku mak teriak sastrawan berbaju putih itu keras, "kelihatannya kau benar-benar ingin membunuh orang?" Kipas yang berada di tangannya segera direntangkan, dengan satu rentangan kemudian melipatnya kembali ia sudah menjepit senjata Liu-seng-jui itu kuatkuat. Kali ini Lim Ko-ko yang berteriak keras, "Ah, Cing-honghou (cerah amat indah)! Kipas menggapai matahari dan rembulan, langit cerah amat indah!" Sambil berteriak, pisau belati yang berada dalam genggamannya memancarkan sinar berkilauan. Walaupun senjata meteor api milik Lui Kun kena dicengkeram lawan, namun senjata meteor air masih bebas, dia segera memutarnya kencang dan dilontarkan lagi ke depan, ternyata yang diarah bukan sastrawan berbaju putih itu melainkan menyerang lelaki yang sedang menjahit pakaian. Di satu pihak ia berbuat demikian mencerminkan keberaniannya, di pihak lain serangan itupun bermaksud memaksa lawan untuk berbalik menolong rekannya, jika lelaki yang sedang menjahit pakaian itu tak mengerti ilmu silat, sastrawan berbaju putih itu tentu akan berusaha menyelamatkan dirinya terlebih dulu, bila ingin menolong maka senjata meteor apinya yang dijepit akan dilepaskan, sebaliknya bila lelaki yang sedang menjahit itu mengerti ilmu silat, dia pasti akan berusaha menolong rekannya, ketimbang didahului lawan, maka dia putuskan untuk mendahului dengan serangan mematikan. Apa mau dikata, hasil yang kemudian terjadi sama sekali di luar dugaannya. Pemuda yang sedang menjahit pakaian itu sama sekali tidak menghindar maupun berkelit, dia tetap melanjutkan pekerjaannya, menjahit pakaian. Ketika senjata meteor air itu menyerang tiba dengan disertai tenaga yang maha dahsyat, tiba-tiba saja tangannya melakukan gerakan patahan dengan gaya menggunting, "Kraaak!", tahu-tahu rantai yang mengendalikan senjata meteor air itu pa?tah jadi dua. Lui Kun membentak nyaring, dia seakan bersiap untuk mengadu nyawa, mendadak senjata meteor apinya dilepaskan begitu saja, kemudian ia membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Lim Ko-ko tak berani ayal lagi, pisau belatinya langsung ditusukkan ke dada Ti Hui-keng! Mendadak tubuh Ti Hui-keng mulai bergerak, begitu bergerak, cepatnya bukan kepalang. Dengan tangan sebelah dia merebut pisau belati yang berada di tangan Lim Ko-ko, tubuhnya bergerak keluar, bersamaan dia sudah menotok tujuh buah jalan darah di punggung lawan, sementara pisau belati yang berhasil direbutnya tadi sudah Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo meluncur ke tengah udara dan menyambar ke punggung Lui Kun. Diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati, Lui Kun roboh terjungkal ke tanah. Lelaki penjahit itu masih meneruskan pekerjaannya, menjahit pakaian. Sedangkan sastrawan berbaju putih itu segera berseru dengan nada tertahan, "Jadi kau ... kau tidak terpedaya oleh bubuk pemabuk itu "Tujuan kedatanganku malam ini selain untuk menunggu komando dari Congtongcu atau untuk berdoa bagi arwahnya yang gugur, paling tidak aku pun ingin tahu siapa saja pengikut perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang tetap setia hingga detik terakhir," kata Ti Hui-keng dengan suara dingin, "Lui Kun pagar makan tanaman, dia lebih rendah daripada seekor babi. Sebaliknya orang ini masih berguna untuk tetap dibiarkan hidup." Seraya berkata ia menuding ke arah Lim Ko-ko yang tergeletak lemas di tanah. Sastrawan berbaju putih itu menjulurkan lidahnya tanpa terasa, katanya, "Kelihatannya pertarungan yang terjadi di kota-raja jauh lebih seram dan lihai ketimbang pertikaian dalam dunia persilatan." "Tampaknya kalian berdua bukan penduduk kotaraja, boleh tahu siapa namamu," kata Ti Hui-keng dengan hormat. "Aku bernama Pui Heng-sau, aku datang untuk mencari saudara angkatku Tong Pogou," setelah tertawa terkekeh, terusnya, "Aku pun tahu kalau kau adalah Ti Huikeng, Ti-toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang amat tersohor nam?anya." Lelaki penjahit pakaian itu tetap membungkam. Ti Hui-keng segera maju ke hadapannya, sambil menjura dalam-dalam katanya, "Boleh tahu namamu?" Lelaki itu masih menjahit pakaiannya dengan khusuk, lama kemudian dia baru mendongakkan kepalanya sambil tersenyum. Satu ingatan segera melintas dalam benak Ti Hui-keng, mendadak dia teringat akan seseorang yang pernah disebut banyak orang, serunya tanpa terasa, "Anda adalah Thian-ih-yu-hong (baju langit ada jahitan)?" Lelaki itu tertawa, akhirnya dia buka suara juga, "Un-tayjin yang mengutus aku datang ke kotaraja untuk mencari nona." Diam-diam Ti Hui-keng berpikir, "Jangan-jangan arwah Congtongcu melindungi diriku, hingga aku mendapat kesempatan memperoleh pembantu tangguh dan lebih cepat memba?laskan dendam sakit hatinya?" Dengan nada bersungguh-sungguh ujarnya kemudian, "Walaupun hari ini baru pertama kali bertemu, namun berkat bantuan kalian berdua, aku Ti Hui-keng berhasil lolos dari bahaya maut, aku percaya kalian pastilah orang gagah berjiwa patriot, bolehkah aku mengajukan satu permintaan. "Aneh," seru Pui Heng-sau keheranan, "saat ini kau adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, masakah minta sesuatu kepada kami berdua yang baru datang dari luar daerah, selain miskin, kelaparan lagi pula sial" Apa permintaanmu itu?" "Sudah lama aku mengagumi nama besar kalian berdua, aku hanya memohon agar kalian bersedia membantu aku membangun kembali perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku berharap dengan dukungan kalian berdua, kami bisa lebih cepat memperoleh kembali wilayah kekuasaan yang hilang dan cukup tangguh untuk melawan Kim-hongsi-yu-lau. Budi bantuan yang kalian berikan hari ini, tak akan kulupakan untuk selamanya." Pui Heng-sau segera tertawa. "Asal saudaraku yang lain setuju, sebenarnya penawaran ini menarik juga, tapi menolong yang lemah sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah, kau tak perlu masukkan dalam hati." "Tampaknya kau telah melupakan satu hal," tiba-tiba lelaki penjahit itu berkata sambil memicingkan mata. Kemudian setelah tertawa kaku, lanjutnya, "Sejak dulu Un-tayjin memang sahabat karib Lui-congtongu, dulu mereka pernah mati hidup bersama, justru karena ia mendengar kedatangan nona Un kali ini ke kotaraja hendak membantu Toa-suhengnya So Bong-seng, maka beliau mengutus aku untuk membawanya pulang." "Ah, jadi kalian berdua bersedia?" seru Ti Hui-keng kegirangan. Ketika mereka bertiga berjalan keluar dari puing bangunan, entah mengapa, tibatiba timbul semangat juang yang berkobar dalam hati masing-masing, mereka merasa seakan ada pekerjaan besar yang harus dikerjakan, ada pekerjaan besar yang harus dilaksanakan. Ti Hui-keng sendiri tetap merasa masgul bercampur kuatir, dia tak tahu bagaimana nasib Congtongcu beserta saudara-saudara lainnya yang terjebak dalam markas besar Kim-hong-si-yu-lau. Ketika berpaling menyaksikan sisa rembulan di kaki langit, diam-diam ia bersumpah, suatu saat nanti dia harus menghancurkan Kim-hong-si-yu-lau, membunuh So Bong-seng, membalaskan dendam bagi kematian Lui Sun. Mereka sama sekali tidak tahu, perasaan hati mereka bertiga yang tertaut satu sama lain sewaktu berjalan keluar dari balik puing bangunan, sama persis seperti perasaan Ong Siau-sik, Pek Jau-hui dan So Bong-seng pada tiga hari berselang. Perasaan mereka amat mirip. Bahkan mirip sekali!! T A M A T Bagaimana Ti Hui-keng akan membangkitkan kembali perkumpulan Lak-hun-poan-tong" Ikutilah kisah selanjutnya di: PEDANG AMARAH Pedang Angin Berbisik 4 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Budak Nafsu Terkutuk 1