Ceritasilat Novel Online

Golok Kelembutan 12

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 12 mampus di tempat seperti ini, lagi pula kalau aku mati, siapa yang akan melindungi Un Ji?" "Betul, dan siapa yang akan melindungi Lui Tun," sambung Thio Than. Menggunakan kesempatan itu Tong Po-gou berkata lebih lanjut, "Pertempuran antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau akan berlangsung lusa, kalau kau hadir di tempat itu, maka ada kesempatan bagimu untuk melindungi Lui Tun, sementara aku pun bisa melindungi Un Ji agar tidak dicelakai orang, tapi kalau kita sama-sama tak ada di situ, bagaimana dengan nasib Un Ji serta Lui Tun?" "Betul, betul!" walaupun seluruh badannya terasa amat sakit hingga peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, namun Thio Than memaksakan diri untuk mendongakkan juga kepalanya, "kita harus berusaha untuk meninggalkan tempat ini!" "Nah, begitu baru betul, teman itu dijalin untuk saling menggunakan, cepat cari kesempatan untuk berhubungan dengan teman yang bisa dimanfaatkan!" "Tapi aku dengar orang berkata, teman itu gunanya untuk saling membantu bukan untuk saling memanfaatkan." "Apa bedanya membantu dan memanfaatkan, toh akhirnya sama saja" Cuma yang satu enak didengar sementara yang lain kurang sedap untuk didengar." "Tapi kalau kita berteman hanya ingin memanfaatkan bagi keuntungan pribadi, maka selama hidup kita tak akan memperoleh sahabat sejati....." "Sudahlah, tak berguna kita membicarakan masalah itu, yang penting sekarang cepat hubungi temanmu, tanya kapan mereka bisa menolong kita keluar dari sini?" "Mana aku tahu kapan baru bisa keluar dari sini..." Hampir meledak rasa dongkol Tong Po-gou setelah mendengar perkataan itu, untung saat itulah Thio Than telah berkata lagi, "Hanya mereka yang tahu akan hal itu." "Siapakah mereka?" "Orang-orang yang akan menolong kita." "Bersediakah mereka menolong kita?" "Entahlah, tapi mungkin saja mereka akan menunggu sampai esok malam." Jika esok malam adalah saat untuk melarikan diri, berarti malam ini mereka harus memulihkan kembali kondisi tubuh yang lelah dan kehabisan tenaga, agar esok ada kemampuan untuk melarikan diri. Dalam keadaan begini, terpaksa Tong Po-gou harus menunggu, Fajar belum menyingsing, langit masih amat gelap. Satu malam lagi akan tiba saat pertarungan mati hidup antara dua perkumpulan besar di ibukota. Saat itu Ong Siau-sik sedang berlatih silat di depan loteng merah, markas besar Kim-hong-si-yu-lau. Setiap menjelang pagi, Ong Siau-sik selalu meluangkan waktu untuk berlatih silat. Jika seseorang ingin memiliki kungfu yang hebat, tak ada jalan lain kecuali melatih diri secara tekun. Tentu saja syarat utama untuk berhasil memiliki ilmu silat yang hebat bukan hanya rajin saja, dia pun harus memahami. Sayang tidak semua orang gampang memahami sesuatu, apa yang dipahami kebanyakan orang, bisa jadi merupakan pemahaman yang kurang tepat. Untuk gampang memahami sesuatu, dibutuhkan bakat alam yang bagus. Padahal bakat alam terbawa sejak lahir, tak mungkin seseorang bisa memperolehnya dengan cara apa pun. Karenanya tidak semua orang bisa mempelajari kungfu hingga mencapai tingkatan yang sangat tinggi. Kalau hanya menguasai gerak serangan, paling hanya bisa menjadi seorang jagoan hebat, namun sulit menjadi seorang ahli silat, tapi bagi mereka yang pintar, rajin dan berbakat, tidak sulit untuk melampaui tingkatan semacam itu. Ong Siau-sik adalah manusia jenis itu. Setiap hari dia selalu meluangkan waktu untuk berlatih golok, berlatih pedang, berlatih tenaga dalam, berlatih konsentrasi. Melatih diri merupakan jadwalnya yang rutin, tidak peduli hari sedang hujan atau angin sedang kencang. Tapi hari ini udara sangat cerah, tak ada hujan, tak ada angin. Memandang sang surya yang belum muncul dari kaki bukit, Ong Siau-sik merasa hatinya amat gundah, dia merasa perasaannya waktu itu ibarat gerakan pedangnya, gerakan yang mau dilancarkan tapi seakan ragu, goloknya yang mau ditebaskan tapi tak jadi.... Apakah goloknya lebih baik ditebaskan langsung" Kalau dia benar dengan tebasannya, seorang iblis akan tersapu lenyap, bila salah membunuh, paling hanya selembar nyawa. Apakah pedangnya lebih baik ditusukkan langsung" Bila mengenai sasaran, berarti serangannya berhasil, bila tak mengenai sasaran, tak lebih hanya sebuah tusukan yang gagal. Mungkinkah kegagalannya untuk menjadi seorang jago golok dan pedang nomor wahid di kolong langit dikarenakan keputusannya yang kurang tegas dan tindakannya yang tidak konstan" Ong Siau-sik mencoba untuk berpikir terus. Besok bersama So-toako dan Pek-jiko harus berangkat ke air terjun Put-tong, tempat markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong berdiri, berarti dirinya harus mempunyai tekad untuk menang dalam pertarungan itu. Sudah hampir setengah tahun ia tinggal di ibukota, dengan jelas dia tahu baik Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong, semuanya merupakan perkumpulan kalangan hitam, hanya bedanya Kim-hong-si-yu-lau memegang prinsip dalam melakukan usahanya, mereka tidak pernah menjamah usaha pelacuran, perjudian, pembegalan maupun perampokan, bahkan lebih memusatkan perhatian untuk melawan agresor yang datang dari luar wilayah. Sebaliknya perkumpulan Lak-hun-poan-tong sama sekali tidak memegang prinsip seperti itu, kendatipun mereka memperhatikan masalah penyusup yang datang dari luar perbatasan. Sementara perkumpulan Mi-thian-jit-seng justru merupakan sebuah perkumpulan yang banyak bekerja sama dengan bangsa Kim, anggota mereka banyak melakukan kejahatan seperti memperkosa, merampok, membunuh dan membakar, tak ada usaha kejahatan yang tidak mereka lakukan, khususnya setelah Kwan Jit kehilangan pikiran sehatnya, ibarat kuda yang lepas kendali, sepak terjang mereka semakin sulit dikendalikan. Kotaraja sudah lama berada dalam kondisi kacau, karena itu baik dari golongan hitam maupun golongan putih, semuanya berharap masa tenang penuh kedamaian bisa terwujud di situ. Seandainya Kim-hong-si-yu-lau dapat menguasai seluruh kotaraja, mungkin suasana dapat menjadi tenang kembali, karena kejahatan pasti akan ditindas dan kebenaran akan ditegakkan. Benarkah untuk mencapai suasana seperti itu harus dilalui dengan suatu pertumpahan darah" Apakah tak bisa melalui pi?lihan lain yang lebih bersifat damai" Semakin berpikir Ong Siau sik merasa semakin tak habis mengerti. Dia merasa situasi saat itu persis seperti apa yang pernah dikatakan So Bongseng, "Kita sudah tak ada jalan mundur lagi, kita harus melakukan pertempuran habis-habisan untuk mempertahankan hidup." Ong Siau-sik tahu, dirinya pun sudah tak punya pilihan lain. Kini dia telah berdiri di pihak Kim-hong-si-yu-lau untuk melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Terlepas bagaimana akibatnya, bagaimana akhir dari penyelesaian peristiwa ini, dalam hal hubungan maupun cengli, dia memang harus berbuat begitu. Dalam serangan besok, mampukah mereka menghancurkan pertahanan perkumpulan Lakhunpoan-tong" Seandainya berhasil, apa langkah selanjutnya" Andaikata Kim-hong-si-yu-lau berhasil menguasai kotaraja, akankah situasi menjadi lebih baik" Bagaimana keputusannya waktu itu" Pergi dari sini atau tetap tinggal" Pada saat itulah tiba-tiba Ong Siau-sik merasa amat seram, amat bergetar hatinya. Bukan karena hawa membunuh yang mendadak muncul. Jago lihai yang sesungguhnya, waktu turun tangan tak akan muncul hawa membunuh, karena selama hawa membunuh masih ada, tidak sulit bagi orang untuk berlaku waspada. Jago tangguh yang sesungguhnya sama sekali tak punya hawa membunuh, karena itu serangan mereka sukar diketahui sebelumnya. Perasaannya waktu itu jauh lebih menakutkan daripada hawa membunuh. Seandainya orang lain, mereka pasti tak akan merasakannya, untung dia adalah Ong Siau-sik, dengan cepat dia membalikkan tubuhnya. Begitu ia membalikkan badan, terlihatlah cahaya golok .... Sebuah cahaya golok yang sangat indah, ilmu golok yang luar biasa, sebilah golok yang tak berperasaan! Ketika ia menyaksikan berkelebatnya cahaya golok, senjata itu sudah membabat tubuhnya dan membantai dirinya ... andaikata pada saat yang tepat ia tidak melolos senjata untuk menangkis. Sebab waktu itu dia memang tak punya jalan mundur! Karena dia tak mungkin berkelit! Karena dia tak ada kesempatan untuk menangkis! Terpaksa Ong Siau-sik melancarkan serangan balasan, melolos golok dengan sepenuh tenaga, menyerang dengan sepenuh tenaga. Golok berhadapan dengan golok, cahaya tajam bertemu dengan sinar berkilauan, di tengah remangnya suasana fajar tercipta dua garis panjang yang menggidikkan hati. Pada saat itulah segulung desingan angin tajam menembusi hawa golok dan angin golok, langsung mengancam wajah Ong Siau-sik. Anak muda itu terkesiap. Dari babatan golok yang menyerang tiba, ia sadar musuhnya adalah jago paling tangguh yang belum pernah dijumpai sepanjang hidupnya! Dari desingan angin serangan yang menyergap tiba, dia terlebih sadar kalau musuhnya merupakan lawan mengerikan yang sangat menakutkan! Sebenarnya siapakah orang itu, mengapa dalam situasi seperti ini melancarkan serbuan ke dalam markas besar Kim-hong-si-yu-lau" Dalam keadaan terkesiap bercampur cemas, tampak hawa pedang yang tiga bagian membawa keindahan, tiga bagian membawa keanggunan, satu bagian membawa kesedihan dan satu bagian membawa kejumawaan itu sudah dilancarkan .... Tiga sosok bayangan manusia tiba-tiba memencarkan diri. Ong Siau-sik berdiri dengan napas ngos-ngosan, biarpun baru satu gebrakan, dia sudah kehabisan napas, tapi dia tak mau berteriak. Melihat ada musuh tangguh datang menyerang, kenapa ia tidak memanggil para jago Kim-hong-si-yu-lau untuk keluar menghadang" Perasaan terkejut bercampur ragu menyelimuti seluruh wajah Ong Siau-sik. Sebab kedua orang penyerang itu sudah berdiri memisah, satu di kiri dan satu di kanan. Yang berdiri di sebelah kiri adalah So Bong-seng, dia sudah menyimpan kembali goloknya, wajahnya tampak dingin membeku bagaikan es. Di sebelah kanan berdiri Pek Jau-hui, dia pun sudah menarik kembali jarinya, wajahnya nampak pucat bagai kemala. "Kalian ......... seru Ong Siau-sik tercengang. "Kami sengaja mencoba kemampuanmu," So Bong-seng menjelaskan. "Mencoba kemampuanku?" tanya pemuda itu keheranan. "Aku selalu berpendapat, dengan serangan gabungan golok dan pedangmu, jika melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, daya kemampuannya pasti tidak berada di bawah golok Angsiu-to....." "Jadi kau dan Jiko ......" "Tadi aku menyerangmu dengan jurus Po-sat (menghancur keangkeran) tapi berhasil kau tangkis dengan pedangmu, Toako membacok dengan jurus Si-hi-huang-hun (hujan gerimis di waktu senja) tapi lagi-lagi tertangkis oleh golokmu," kata Pek Jauhui, "hal ini membuktikan bahwa kemampuan ilmu silatmu masih lebih dari itu, hanya sayang kau selalu ragu, tak percaya diri dan sangsi dalam mengambil keputusan, jika kau selalu bersikap begini dalam menghadapi pertempuran besar, jelas kau sedang menggali liang kubur untuk diri sendiri." Ong Siau-sik tertegun, kemudian serunya, "Terima kasih Toako, Jiko, karena kalian telah memberi petunjuk kepadaku." Sekulum senyum tak senyum menghiasi ujung bibir So Bong-seng, tapi entah mengapa, sorot matanya kali ini terlihat lebih halus dan hangat, sehingga tampak seakan ia sedang tersenyum. "Lebih baik kau ingat terus perkataan kami," ujarnya, "sebab kita sudah tak cukup punya waktu." "Paling tidak kita masih ada waktu satu hari untuk mempersiapkan diri," kata Ong Siau-sik sambil memandang fajar yang baru menyingsing. "Waktu kita untuk mempersiapkan diri bukan tinggal satu hari, tapi tinggal sisa satu jam." "Apa?" "Kami akan melancarkan serangan sehari lebih awal!" "Tapi bukankah kita telah berjanji, besok tengah hari baru ...." paras muka Ong Siau-sik agak berubah. "Benar," tukas So Bong-seng, "tapi baru saja kami mendapat laporan rahasia yang dikirim Si Say-sin, katanya pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berencana akan menyerang kita lebih awal, menyergap pada malam ini juga." Kemudian setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah lanjutnya, "Kalau memang mereka tak pegang janji duluan, apu salahnya kita balas gigitan dengan gigitan, agar mereka sendiri yang kelabakan!" ooOOoo 58. Penyerbuan besar-besaran "Sebelumnya ada beberapa pertanyaan ingin kutanyakan terlebih dahulu," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. "Apa yang ingin kau tanyakan" Gunakan kesempatan sekarang." "Benarkah golok Ang-siu-to milikmu merupakan lawan tanding ilmu cepat lambat sembilan kata Kuai-man-kiu-ci-koat milik Lui Sun?" "Tidak tahu." "Apakah golok Put-ing-po-to milik Lui Sun juga merupakan senjata tandingan Angsiu-to milikmu?" "Kau segera akan memperoleh jawabannya hari ini." "Apa isi peti mati Lui Sun?" "Hingga kini aku belum tahu secara pasti." "Apakah kau tidak menyadari bahwa Un Ji sama sekali tidak balik kemari?" "Konon Lui Tun pun tak pernah balik ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Di dalam kotaraja, rasanya selain Kwan Jit masih terdapat banyak arus gelap lain yang sangat kuat sedang bersembunyi sambil menanti kesempatan, apakah kau merasakan hal ini?" "Baik diriku maupun Lui Sun telah merasakan hal ini, itulah sebabnya kami buruburu ingin menyelesaikan persoalan ini secepatnya agar ada kesempatan untuk menyelesaikan sisa yang lain." "Kelihatannya Tong Po-gou dan Thio Than telah lenyap tak berbekas." "Kalau mereka benar-benar sampai mengalami sesuatu, mungkin kelompok tujuh penyamun dan perkampungan bunga Tho akan berdatangan ke kotaraja." "Sebetulnya Ti Hui-keng pandai bersilat atau tidak?" "Aku hanya tahu tengkuk Ti Hui-keng ternyata tidak patah." "Lalu siapa pula It-gan-wi-teng (Satu kata sebagai kesepakatan)?" "Buat apa kau menanyakan soal itu?" "Pertempuran terakhir sudah di ambang pintu kalau kita tahu kemampuan sendiri dan tahu kekuatan lawan, setiap pertarungan baru bisa meraih kemenangan." "Siapa Kwik Tang-sin saja tidak kau ketahui, buat apa mes ti bertanya siapakah 'Satu kata sebagai kesepakatan'?" "Karena aku ingin tahu apakah ada yang mampu menghadapi Ho-hwe-yu-ki (Sampai berjumpa lagi) dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong," Pek Jau-hui menerangkan, "aku curiga Kim-hong-si-yu-lau sama sekali tidak terdapat seorang jagoan yang bernama 'Satu kata sebagai kesepakatan'." "Jika kau mengatakan tak ada manusia yang bernama "Satu kata sebagai kesepakatan" berarti pihak perkumpulan Lak-hun poan-tong pun belum tentu terdapat manusia yang bernama 'Sampai berjumpa lagi', meski ada pun belum tentu dia memiliki kemampuan untuk bertarung, jadi kau tak perlu merasa kuatir," kata So Bong-seng tanpa berubah wajah. "Bagus sekali!" "Masih ada pertanyaan lain?" "Ada satu hal ingin aku tanyakan kepadamu." "Tanyakan saja." "Seandainya dalam serbuan ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong nanti kau mati dalam pertempuran, siap.i yang akan mengurusi Kim-hong-si-yu-lau?" "Kelompok pemimpin terdiri dari Su-tay-sin-sat (empat malaikat sakti), 'Satu kata sebagai kesepakatan', Bu-shia, Bu-kui beserta kau dan Lo-sam," jawab So Bong-seng sama sekali tak gusar, "pertanyaanmu memang sangat bagus, tapi tak usah kuatir, aku yakin tak bakal mati dalam pertempuran nanti." Perlahan-lahan dia mengalihkan wajahnya ke arah cahaya sang surya, di bawah sinar fajar, Ong Siau-sik menemukan satu perubahan aneh di mimik mukanya. "Kecuali di dalam orang kepercayaanku muncul seseorang yang mengkhianati aku..." Setelah berhenti sejenak tiba-tiba ia bertanya kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana dengan kau" Ada pertanyaan apa lagi yang ingin kau tanyakan?" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kedua belah pihak pernah saling berjanji di depan umum untuk bertemu lagi pada lusa tengah hari, apakah kau hendak mengingkari janjimu dengan pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" tanya Ong Siau-sik. So Bong-seng memandang Ong Siau-sik sekejap, dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, "Kau keliru besar Sam-te, dengan watakmu itu, mungkin masih cukup untuk melindungi keselamatan sendiri, namun bila kau masih harus memperhatikan nasib saudara dan rekan lainnya, apalagi hidup dalam dunia persilatan, sudah pasti hanya kerugian yang akan kau terima." Dia begitu tenang seakan sebilah golok yang terendam dalam air dingin, katanya pula, "Pihak lawan melanggar janji lebih dulu sehingga kita tak bisa dianggap melanggar janji, itulah sebabnya aku berjanji lusa tengah hari baru akan langsung mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hunpoan-tong, aku sudah menduga, mereka pasti akan melancarkan serangan lebih awal, aku memang mau menunggu mereka melanggar janji, baru kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serbuan jauh lebih awal." Ong Siau-sik menarik napas panjang. "Jadi karena sudah menduga mereka pasti akan melanggar perjanjian terlebih dulu, maka kau sengaja menyanggupi pe-nunjukkan waktu, hari dan tempat yang mereka tentukan?" "Benar," So Bong-seng menyahut sambil tertawa. "Berarti tindakan mereka ingin meraih keuntungan dengan melancarkan serangan lebih dini justru merupakan tindakan yang sangat keliru?" "Benar. Makanya banyak janji waktu dan tempat yang dilakukan masyarakat, sekalipun sudah tertera hitam di atas putih, sama sekali tidak menjamin tak terjadi perubahan. Janji itu benda mati, manusia yang hidup, jika seseorang menghendaki terjadi perubahan, tindakan apa pun bisa ia lakukan, inilah kehebatan manusia dalam penyesuaian diri, juga merupakan bagian yang paling menakutkan dari seorang manusia." Setelah tertawa angkuh, tambahnya, "Sekarang kau sudah paham?" "Masih ada satu hal lagi yang tidak kupahami," Ong Siau sik menggeleng. "Pasti pertanyaan yang menarik ..." "Kakimu masih terluka dan belum sembuh, kenapa kau begitu buru-buru hendak menyerbu markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" So Bong-seng segera menarik mukanya, lama kemudian baru menjawab dengan suara dalam, "Mungkin justru lantaran kakiku terluka, maka aku baru berniat menyelesaikan masalah perkumpulan Lak-hun-poan-tong secepatnya." Mendengar jawaban itu, pikiran dan perasaan Ong Siau-sik terasa jauh lebih berat. Sambil menggendong tangan So Bong-seng memperhatikan bangunan loteng berwarna kuning, hijau, merah dan putih itu sekejap, satu perubahan melintas di wajahnya, setelah melirik Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik sekejap, katanya, "Apakah kalian masih ada pertanyaan lain?" Ong Siau-sik hanya mengawasi wajah So Bong-seng tanpa menjawab. Sementara Pek Jau-hui hanya menarik napas panjang. "Baiklah," kata So Bong-seng kemudian, "bila kalian tak ada pertanyaan lagi, akulah yang akan mengajukan pertanyaan kepada kalian berdua." Sesudah berhenti sejenak ia bertanya, "Pertanyaanku hanya satu, bersediakah kalian membantu Kim-hong-si-yu-lau untuk melenyapkan perkumpulan Lak-hun-poantong dari muka bumi?" "Kalau bukan ingin berbuat begitu, buat apa aku berdiri di sini" Apalagi kalau bukan lantaran persoalan ini, mungkin sejak awal sudah tak mampu berdiri di sini lagi," sahut Pek Jau-hui. "Benar, aku bersedia membantu, aku bersedia membantu Kim-hong-si-yu-lau, karena loteng itu sendiri hanya benda mati, manusia penghuninya baru hidup, jadi kami bersedia membantu Toako," kata Ong Siau-sik. So Bong-seng segera memberikan reaksinya. Reaksinya hanya uluran sepasang tangannya. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera mengulurkan tangan mereka juga, enam buah tangan saling berpegangan satu dengan lainnya, berpegangan kencang sekali. Sesaat sebelum berangkat menuju markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, diam-diam Ong Siau-sik berbisik kepada Pek Jau-hui, "Apakah toako berhasil menemukan titik kelemahan?" "Sudah," sahut Pek Jau-hui setelah berpikir sejenak, "justru karena So-toako berhasil menangkap titik kelemahan, maka ia baru menurunkan perintah untuk menyerang perkumpulan Lak-hunpoan-tong lebih awal, besar kemungkinan dia pun mendapat kabar tentang rencana penyerangan pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang lebih dini dari orang-orangnya yang menyusup di sana." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Menurut pandanganmu, Lui Sun akan menerima syarat perdamaian atau akan melawan sampai titik darah penghabisan?" "Jika Lui Sun berniat damai, dia tak akan melancarkan sergapan lebih dini, aku rasa semua orang yang hadir sudah membawa hawa membunuh yang amat kuat, banjir darah rasanya tak bisa terhindar lagi." "Kalau begitu bagus sekali." "Kenapa?" "Sebab aku suka membunuh, membunuh manusia bagaikan menulis syair, membawa perasaan yang begitu indah, begitu menawan, membikin perasaan amat puas." "Aku tidak sependapat," kata Ong Siau-sik dengan kening berkerut, "membunuh orang terasa seperti makan kodok mentah, aku tidak suka dengan rasa seperti itu." "Itulah sebabnya kita berdua adalah dua manusia yang berbeda dan saling bertolak belakang," ujar Pek Jau-hui sambil tersenyum, "kita mempunyai watak, perangai yang saling bertentangan, tapi anehnya justru bisa bekerja sama untuk melakukan satu usaha besar." "Bukan hanya kita berdua saja," sambung Ong Siau-sik, "selain Toako, juga melibatkan seluruh saudara kita yang ada di loteng ini." "Tapi aku selalu mempunyai semacam perasaan yang aneh sekali," perubahan aneh menghiasi wajah Pek Jau-hui, "aku selalu merasa suatu saat nanti akan tersisa kita berdua saja yang berada dalam sebuah sangkar besi dan terjepit di sebuah jalan lorong yang sempit, waktu itu entah kita harus saling gontok-gontokan sendiri atau saling mempengaruhi?" Tiba-tiba Ong Siau-sik menghentikan langkahnya seakan kaget. Pek Jau-hui membuang muka, sambil meneruskan perjalanannya ia menambahkan, "Aku hanya berharap, apa yang kurasakan hanya sebatas perasaan, bukan firasat." "Tentu saja firasat semacam itu merupakan sebuah firasat yang keliru besar," sambung Ong Siau-sik sambil menarik napas panjang. Rombongan Kim-hong-si-yu-lau yang ikut berangkat ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong berjumlah delapan belas ribu orang, begitu rombongan itu berangkat, membentuk barisan yang sangat panjang bagai lingkaran ular, suasana terasa gegap gempita. Rombongan sebesar itu ternyata berhasil lolos dari penjagaan para tentara yang begitu ketat di kotaraja, tentu saja semua ini berkat lobi dan perlindungan pejabat tinggi kemiliteran. To Lam-sin adalah salah satu komandan pasukan kawal ibukota, cukup mengandalkan dia seorang pihak Kim-hong-si-yu-lau sudah dapat meraih keuntungan yang sangat besar. Ketika So Bong-seng berangkat meninggalkan markasnya, di belakangnya mengikuti dua buah tandu, satu besar dan yang lain kecil, tak seorang pun tahu kedua tandu itu digotong keluar dari dalam markas besar Kim-hong-si-yu-lau ataukah digotong dari daerah lain. Tentu saja tak seorang pun tahu siapa yang berada dalam tandu itu. Tapi di samping tandu besar itu mengikuti dua orang, Ong Siau-sik dan Pek Jauhui pernah bertemu dengan mereka. Yang satu adalah seorang kakek yang amat tua, terlihat lesu kelelahan, acuh tak acuh dan seakan tak kuat menggendong punggungnya yang bongkok karena tonjolan daging besar, dia seperti seorang kakek yang sudah tiga hari tiga malam tak pernah tidur. Yang lain adalah seorang pemuda pemalu yang halus, lembut dengan sepuluh jari yang halus, ramping dan terpelihara rapi, pemuda ini justru terlihat begitu segar dan bersemangat seakan seorang pemuda yang tidur awal bangun awal dan sehari tiga kali makanannya sangat terjamin. Begitu berjumpa dengan kedua orang itu, tanpa terasa Ong Siau-sik dan Pek Jauhui teringat akan seseorang ... Cu Gwe-beng. Apakah orang yang berada dalam tandu besar itu adalah Cu Gwe-beng" Mau apa Cu Gwe-beng ikut datang ke sana" Apa hubungannya dengan So Bong-seng" Siapa pula orang yang berada dalam tandu kecil itu" Tandu akhirnya berhenti di ruang utama markas besar perkumpulan Lak-hun-poantong. Markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong nampak sangat mentereng dan serba mewah, jauh lebih mentereng daripada markas besar Kim-hong-si-yu-lau, yang lebih hebat lagi adalah meski Lui Sun sudah lama menjadi ketua perkumpulan besar, namun dia tetap memelihara suasana dunia persilatan secara ketat. Lui Sun sama sekali tidak berjaga-jaga di depan air terjun Put-tong, dia malah menyambut kedatangan So Bong-seng sekalian dan mengajak mereka masuk ke dalam ruang markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Sepanjang perjalanan menuju markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, rombongan besar Kimhong-si-yu-lau sama sekali tidak mendapat penghadangan maupun serangan macam apa pun, menanti So Bong-seng tiba dalam lingkungan wilayah di bawah pengaruh perkumpulan Lak-hunpoan-tong, secara beruntun dia menerima tiga laporan rahasia. "Anak buah Lui Moay telah memotong rombongan besar kita di wilayah Tay-to-ciam." "Perintahkan Mo Pak-sin dengan barisan Bu-hoat-bu-thian untuk membubarkan penghadangan itu." "Baik!" "Si Say-sin hendak menggerakkan pemberontakan di dalam tubuh perkumpulan Lakhun-poan-tong, tapi mendapat perlawanan dari Lui Tong-thian." "Kirim Kwik Tang-sin untuk membantu dia dari kesulitan." "Baik!" "Pasukan yang dipimpin To Lam-sin tak bisa bergerak maju, mereka tertahan di seputar jembatan Jit-hiat-kiau." "Kenapa?" "Kekuatan kerajaan telah menghadang jalan pergi mereka, di antaranya termasuk para pengawal Liong Pat-tayya dari istana perdana menteri." "Sampaikan perintah, harap bersabar dan menahan diri, jangan kobarkan bentrokan dengan pasukan lawan." "Baik!" Dari ketiga laporan rahasia itu, laporan demi laporan muncul makin kritis, selama menurunkan ketiga perintahnya, paras muka So Bong-seng sama sekali tidak mengalami perubahan apa pun. Benarkah pikiran dan perasaannya sama sekali tidak terpengaruh setelah menyaksikan keempat malaikat andalan Kim-hong-si-yu-lau mengalami hambatan" Dengan mengepal tinjunya di depan bibir, ia terbatuk perlahan, suara batuknya tidak terlalu berat namun juga tidak ringan, tapi jelas batuk itu bukan muncul dari tenggorokannya melainkan muncul dari jantungnya. Dengan perasaan dingin dia melangkah masuk ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hunpoan-tong. Ong Siau-sik mengawal dari sisi kirinya sementara Pek Jau-hui mengawal dari sisi kanan. Selama mereka bertiga jalan berbareng, seakan tiada kejadian atau persoalan apa pun di dunia ini yang bisa membuat mereka ketakutan. Lui Sun menyambut kedatangan mereka dengan senyum di bibir. Dia sudah berencana untuk melancarkan serbuan lebih awal, berarti dia sudah melakukan persiapan dengan matang, dengan sendirinya dia pun telah memperhitungkan jika pihak lawan menyerbu lebih dini. Tidak banyak anggota Kim-hong-si-yu-lau yang ikut masuk ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kecuali kedua buah tandu itu bersama kakek dan anak muda itu, di situ hanya ada Su Bu-kui, sementara penggotong tandu serentak mengundurkan diri. Dari pihak anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jagoan yang ikut masuk ke dalam ruangan pun tidak banyak. Selain Lui Sun dan Ti Hui-keng, di situ hanya ada sebuah peti mati dan seorang manusia. Orang itu berjalan masuk sambil menggendong tangan, dia hanya tersenyum kepada So Bong-seng sebagai tanda menyapa, lalu berdiri dengan sikap acuh tak acuh, seakan urusan yang terjadi di situ sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui pun mengenali orang ini meski tidak hapal betul dengan raut mukanya, namun mereka tak akan melupakan lagak serta tingkah lakunya. Semacam lagak seorang raja muda, seorang bangsawan tingkat tinggi. Dia tak lain adalah Siau-hoya Pui Ing-gan. Mengapa dia bisa muncul di situ" Apakah dia satu komplotan dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong" Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak bertanya, mereka memang tak bisa bertanya karena saat ini bukan saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan. Saat ini adalah saat untuk bertempur, melakukan pertarungan mati hidup. Mereka tak bisa bertanya, justru Pui Ing-gan yang mengajukan pertanyaan. Sambil memandang tandu besar itu, sapanya sambil tertawa, "Cu tua, kalau toh sudah datang kenapa tidak segera mengunjukkan diri?" Orang yang berada dalam tandu segera tertawa, sedemikian keras suara tawanya membuat tandu besar itu turut bergetar keras, seakan suara tawa orang dalam tandu itu sama menderitanya seperti So Bong-seng waktu batuk. "Ternyata Pui-siauhoya juga ikut datang kalau memang Siau-hoya minta aku si gemuk Cu keluar dari tandu, baiklah, aku akan segera keluar dari sini." Begitu muncul, ia segera tertawa, suara tawanya terdengar amat lembut dan ramah, seakan suasana dalam markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini bukan sedang menghadapi pertarungan mati hidup, seakan mereka sedang menyelenggarakah sebuah pesta perayaan yang meriah, Tentu saja orang yang bisa membawa suasana semacam ini hanya Cu Gwe-beng seorang. Pui Ing-gan memandangnya dengan santai, gerak-gerik orang ini sangat anggun dan terpelajar, katanya, "Memang paling baik jika kau pun ikut datang, tapi urusan hari ini rasanya tak ada sangkut-pautnya dengan kita." "Betul, betul," sahut Cu Gwe-beng cepat, "urusan di sini adalah Urusan antara So-locu dengan Congtongcu, kedatangan kita hanya untuk menjadi saksi." Seraya berbicara mereka berdua segera mengambil tempat duduk di kedua sisi ruangan. Cu Gwe-beng dengan senyum di kulum dan mata yang sipit sedang mengawasi pedang yang tergantung di pinggang Pui Ing-gan, pedang itu adalah sebilah pedang antik yang lamat-lamat memancarkan cahaya merah darah, persis seperti aliran darah manusia yang sedang beredar. "Kau datang sehari lebih awal," ujar Lui Sun setelah menyaksikan Cu Gwe-beng berdua mengambil tempat duduk, "mernang paling baik lagi jika kau mengajak serta Cu-tayjin datang kemari." "Siapa suruh kau hendak melancarkan serangan lebih awal," sahut So Bong-seng dingin, "aku punya orang di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, semua gerakgerik dan sepak terjangmu tak bisa lolos dari pengawasanku, toh sekarang kau pun telah mengundang datang Siau-hoya." "Pertarungan di antara kita berdua, terlepas siapa menang siapa kalah, butuh orang lain untuk bertindak sebagai saksi," kata Lui Sun cepat. "Dari nada bicaramu, tampaknya kau masih saja tak sadar dari kesalahanmu." Lui Sun menghela napas panjang. "Aku adalah Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku tak punya jalan mundur, kau suruh aku sadar" Bagaimana menyadarinya?" "Padahal asal kau bersedia mundur satu langkah, maka segera kau akan sadar kembali, kalau inginnya maju terus, tentu saja kau tak akan menemukan jalan lain." "Kalau memang begitu, mengapa bukan kau yang mundur dulu satu langkah?" tanya Lui Sun sambil tertawa getir. Paras muka So Bong-seng berubah sangat gelap, dia mulai batuk, lama kemudian baru katanya, "Aku lihat pembicaraan harus disudahi sampai di sini." Mendadak seseorang berjalan masuk, tiba di samping So Bong-seng, ia membisikkan sesuatu. Yang muncul adalah Yo Bu-shia. "Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin telah mengepung seluruh jalan keluar markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Perintahkan Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat untuk menghancurkan kepungan itu, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tunggu perintahku dan segera laksanakan." "Baik" Yo Bu-shia segera siap meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba Lui Sun berkata, "Urusan ini adalah urusan perkumpulan Lak-hun-poantong dengan Kim-hong-si-yu-lau, juga merupakan urusanmu dan aku." "Persoalan ini memang merupakan urusanmu dan aku," tukas So Bong-seng hambar. "Jika tidak sangat mendesak lebih baik kita selesaikan saja secara pribadi, buat apa mesti mengusik terlalu banyak orang." "Aku pun tak ingin menciptakan aliran darah bagaikan sungai, bagiku, asal ada jalan penyelesaian bagi kita berdua, itu sudah cukup." "Bagus sekali!" sinar kelicikan yang aneh terbias di wajah Lui Sun, "semestinya 'Satu kata sebagai kesepakatan' berada dalam tandu itu bukan?" "Bagaimana dengan 'Sampai berjumpa lagi'" Sudah waktunya bagi dia untuk tampil bukan?" balas So Bong-seng. "Dia sudah datang, masa kau belum tahu?" kembali Lui Sun tertawa licik. Pada saat itulah dalam ruangan berkumandang suara pekikan yang sangat aneh, suara pekikan itu ternyata berasal dari dalam peti mati itu. ooOOoo 59. Golok merah di tengah senja gerimis "Blaaaam!", mendadak penutup peti mati itu mencelat dan terbuka, sesosok bayangan manusia berpekik nyaring melesat ke atas atap tandu itu, baru berputar satu lingkaran, tiba-tiba kepala, tangan dan kakinya berpisah satu dengan lainnya. Dibilang 'terpisah satu dengan lainnya', kejadian ini memang sangat aneh karena siapa pun tahu, kepala manusia selalu menyaru dengan sepasang tangan dan sepasang kakinya, tentu saja anggota badan itu mustahil bisa 'berpisah satu sama lainnya' tanpa sebab musabab tertentu. Tentu saja terkecuali bila ditebas orang hingga kutung. Akan tetapi kepala dan keempat anggota badan orang itu walau sama sekali tidak putus, namun anehnya keempat anggota badannya itu benar-benar seakan terpisah secara tiba-tiba dan menyerang ke empat penjuru yang berbeda, malah ukurannya seakan sudah lebih panjang dari keadaan semula. Pemandangan saat itu boleh dibilang aneh sekali, ketika badannya masih di tengah udara, pukulan dan tendangan berantai telah menghajar tandu itu bersamaan waktunya. "Blaaaam!", tandu itu tak sanggup menerima tenaga pukulan yang maha dahsyat itu sehingga hancur berantakan. Hancuran kayu beterbangan di udara, di antara asap dan debu yang menyelimuti udara, tandu itu hancur berantakan dan roboh. Di dalam tandu itu tiada seorang manusia pun! Di atas tempat duduk hanya tergeletak selembar kertas. Orang itu mendengus dingin, badannya bergetar dan secepat sambaran kilat telah menyambar kertas itu, kepala, tangan dan kakinya kembali 'Menyusut' balik ke bentuk semula, kemudian ia baru melayang turun di samping Lui Sun. Ternyata orang itu adalah seorang kakek berwajah amat segar dan sehat, tapi terlihat kebengisan dan sifat berangasan yang amat kuat, saat itu dia tampaknya sedang menggunakan segenap kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan sifat berangasannya yang meluap-luap. Terdengar ia berkata sambil tertawa gusar, "Ternyata 'Satu kata sebagai kesepakatan' benar-benar tidak datang! Dia sudah tujuh kali bertempur melawanku dan akhirnya termakan serangan Peng-ciat-sin-kang (ilmu sakti pemusnah tentara), biarpun tidak mati paling tidak sudah cacad! Mana dia berani datang lagi menghadapiku?" "Tadi ketika itu kau pun sudah terkena totokan jari Wu-hok-sin-ci (ilmu jari sakti tarian bangau) dari 'Satu kata sebagai kesepakatan'..." "Hmmm, kau anggap ilmu jari bunga anggreknya mampu melukaiku!" teriak kakek itu gusar. "Tapi kenyataannya totokan jari saktinya berhasil meresap ke dalam isi perutmu, sehingga kau harus bersembunyi terus di dalam peti mati untuk mengatasi penderitaan luka itu dengan ilmu tenaga dalam Put-kian-thian-jit (tidak bertemu sinar matahari)." Alis putih kakek itu nampak bergetar keras, sinar buas memancar keluar dari matanya, tapi ia berusaha mengendalikan kembali, untuk sesaat tak sepatah kata pun yang diucapkan. Mendadak terdengar Ti Hui-keng berkata, "Jago andalan perkumpulan Lak-hun-poantong kami 'Sampai berjumpa, lagi' telah muncul, bagaimana dengan jago kalian 'Satu kata sebagai kesepakatan'" Masih bersembunyi atau tak berani bertemu orang, atau bahkan sudah mampus" Rupanya Kim-hong-si-yu-lau sudah tidak memiliki Tianglo?" Paras muka So Bong-seng sama sekali tidak berubah, jawabnya hambar, "Kenapa tak kau periksa dulu kertas surat itu?" 'Sampai berjumpa lagi' telah melihat kertas surat itu. Di balik kertas hanya tertera beberapa baris huruf, sekali lihat sudah selesai dibaca. Tiba-tiba paras mukanya berubah memucat, bibirnya terlihat gemetar diikuti sekujur badannya bergoncang keras, kertas yang berada dalam genggamannya seketika hancur berkeping-keping dan tersebar di udara. Menyusul kemudian sambil berpekik nyaring ia balik badan dan segera beranjak pergi dari situ. Kecepatannya sewaktu pergi tidak lebih lambat dari gerakan tubuhnya sewaktu muncul. Bahkan dia pergi tanpa sempat menyampaikan pesan kepada Lui Sun. Ketika melesat pergi meninggalkan tempat itu, keempat anggota badan serta tengkuknya seolah boneka kayu yang kehilangan penyanggah, seperti dinosaurus yang kehilangan tulang, nyaris dia kabur dalam kondisi cacad total. "He 'Sampai berjumpa lagi'," seru So Bong-seng kemudian setelah menyaksikan kesangsian yang menyelimuti wajah Lui Sun, "Memang 'Satu kata sebagai kesepakatan' sudah terkena pukulan sakti Peng-ciat-sin-kang, tapi di dalam tandunya tadi dia pun telah menyebarkan bubuk talas dari perguruan Gui-li-patji-bun (kecantikan munafik delapan kaki), bubuk itu kebetulan dapat memancing kambuhnya kembali luka dalam yang disebabkan ilmu jari sakti tarian bangau ..." Oleh sebab itu dengan satu gerakan cepat So Bong-seng mencabut golok Ang-siu-to andalannya, menciptakan selapis cahaya golok yang memancarkan hawa membunuh yang sangat indah, "Persoalan kita berdua hari ini merupakan urusan antaTa kau dan aku." Begitu selesai bicara, cahaya golok sudah menyambar ke arah tenggorokan Lui Sun. Cahaya tajam yang berkilauan bagaikan pantulan sinar matahari di waktu senja, seperti juga hujan gerimis yang disertai kabut tipis. Padahal semua itu hanya berasal dari sebilah golok, golok merah Ang-siu-to, dengan ilmu golok yang luar biasaf dengan mata golok yang tajam tanpa perasaan. Lui Sun membentak keras, dia balas melancarkan sebuah serangan, keras dan bergetar bagai guntur yang menggelegar di angkasa. Untuk menggunakan ilmu pukulan Kuai-man-kiu-ci-koat (sembilan huruf cepat lambat), setiap kali dia melepaskan satu pukulan selalu diiringi sekali suara bentakan keras, suara yang menggetarkan keheningan kolong langit. Cahaya golok So Bong-seng menyambar kian kemari bagai cahaya petir. Cahaya golok menusuk, membabat, menebas, menggulung ke seluruh badan Lui Sun, sementara pukulan Lui Sun terkadang cepat terkadang lambat, dalam waktu singkat dia telah selesai memainkan jurus Leng-peng-to-ci yang terdiri dari satu jurus dengan sembilan gerakan. Kilatan cahaya golok So Bong-seng bagaikan hujan perak yang memenuhi angkasa, jika pukulan yang dilepaskan Lui Sun bagaikan selembar jala langit yang mendatangkan berjuta bencana, maka sambaran goloknya ibarat sebuah senjata tajam yang khusus untuk merobek jaring langit, dewa sakti yang membendung berbagai bencana. Di saat 'Sampai berjumpa lagi' kabur tergesa-gesa, So Bong-seng mencabut golok menyerang Lui Sun, tiba-tiba Ti Hui-keng mendongakkan kepala. Begitu dia mengangkat wajahnya, Ong Siau-sik segera beradu pandang dengannya, baru saja hatinya bergetar, Ti Hui-keng sudah menggerakkan bahunya seakan hendak melakukan tindakan, tapi pukulan Kuai-man-kiu-ci-koat dari Lui Sun sudah keburu dilancarkan terlebih dulu. Serangan Kuai-man-kiu-ci-koat bukan saja berhasil menghadang So Bong-seng, bersamaan waktu juga berhasil menghadang niat Ti Hui-keng dan Pek Jau-hui yang siap melakukan aksinya. Sebenarnya Pek Jau-hui berniat melancarkan serangan ke arah Ti Hui-keng. Ong Siau-sik yang ditatap sekejap oleh Ti Hui-keng, merasa dirinya seakan menghadapi sebuah serangan dahsyat, bila Ti Hui-keng berniat menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Ong Siau-sik, tak disangkal waktu itu merupakan kesempatannya yang terbaik baginya untuk turun tangan. Akan tetapi di saat Ti Hui-keng melancarkan serangan ke arah Ong Siau-sik, pada saat yang bersamaan akan menjadi kesempatan terbaik juga bagi Pek Jau-hui untuk membunuh Ti Hui-keng. Sesaat merasa sangsi, jalan lewat mereka bertiga segera terhadang oleh tenaga pukulan Lui Sun yang dahsyat dan cahaya golok So Bong-seng yang tajam. Waktu itulah Ong Siau-sik seakan baru tersadar dari lamunan, ketika dilihatnya So Bong-seng dapat bergerak bebas kian kemari walau berada dalam kepungan pukulan musuh yang dahsyat, perasaannya jadi amat girang, saat itulah mendadak ia mendengar suara batuk yang keras. Sambil terbatuk-batuk, darah segar nampak bercucuran keluar dari lubang hidung dan bibir So Bong-seng., dalam waktu singkat darah bercucuran juga dari lubang telinga dan ujung matanya. Bersamaan dengan terjadinya pendarahan, Ong Siau-sik juga merasakan gerakan tubuh So Bong-seng yang semakin melambat. Kalau bukan seorang jagoan kelas satu, tak mungkin dia merasakan gerakan tubuhnya yang melambat, susah bagi orang awam untuk membedakan suara bentakan dan suara tefiakan. Padahal Ong Siau-sik sendiri pun tidak bisa merasakan hal itu, ia bisa mengetahui terjadinya perbedaan itu karena ia jumpai gerakan tubuh So Bong-seng sudah tidak segagah tadi. Khususnya gerakan langkah kakinya sudah tidak seleluasa dan sebebas tadi. Luka pada paha! Teringat akan hal itu, Ong Siau-sik merasakan hatinya seolah tenggelam. Saat itulah suasana dalam arena pertarungan telah terjadi perubahan. Mendadak Lui Sun menarik kembali serangannya sambil melompat ke sisi peti mati dengan gerakan cepat. Berubah paras muka So Bong-seng, tak sempat lagi mengatur pernapasan, ia siap mengejar ke depan, tapi saat itulah Ti Hui-keng dan seseorang yang lain telah turun tangan bersamaan waktu. Orang yang lain itu ternyata Cu Gwe-beng. Cu Gwe-beng telah bergerak cepat, menghadang jalan pergi Ti Hui-keng. Ketika sepasang tangan Ti Hui-keng menekan di sisi penutup peti mati sambil melesat ke tengah udara, gerakan tubuhnya dilakukan amat cepat dan cekatan. Begitu Lui Sun menarik kembali serangannya, So Bong-seng langsung mengejar dari belakang, baru saja cahaya golok menyelimuti angkasa, Ti Hui-keng sudah turun tangan, sementara Pek Jau-hui juga tak mau ketinggalan, ia langsung melancarkan sebuah serangan dengan jarinya. Ti Hui-keng melancarkan serangan dengan jurus Po-sat, tapi di saat desingan angin tajamnya meluncur keluar, bayangan tubuh Ti Hui-keng sudah lenyap dari pandangan, dia sudah meluncur ke depan. Pada saat itulah Cu Gwe-beng ikut bergerak maju, menggelinding ke tengah arena dengan kecepatan luar biasa. Perawakan tubuhnya memang gemuk dan pendek, begitu menggelinding, seluruh tubuhnya ibarat sebuah bola yang menggelinding ke tengah arena. Gerakan tubuhnya saat itu tak ubahnya seperti sebuah bola yang ditendang orang keras-keras, menggelinding keluar dengan kecepatan tinggi. Begitu berhasil menghadang jalan pergi Ti Hui-keng, masih di tengah udara dia lepaskan sebuah pukulan dahsyat ke batang hidung lawan. Sekilas pandang, pukulan yang dia lancarkan amat biasa dan sederhana, jurus serangan yang digunakan pun hanya merupakan jurus dasar dari aliran Siau-limpay, namun seakan ada orang mendorong sikutnya, pukulan itu justru meluncur keluar dengan kecepatan dan kekuatan di luar dugaan. Cukup ditinjau dari hal ini, keampuhan jurus serangannya ini sudah jauh berbeda bila dibandingkan dengan keampuhan yang dihasilkan kawanan jago lain. Akan tetapi tindakan yang diambil Ti Hui-keng jauh lebih di luar dugaan, tibatiba ia menerjang ke udara bagaikan seekor burung elang menembus awan, "Blaaam!", tahu-tahu ia sudah menjebol atap bangunan rumah. Cu Gwe-beng merendahkan tubuhnya secara tiba-tiba, saat itulah dia pun melakukan sebuah tindakan yang tidak terduga oleh siapa pun. Sepasang tangannya mendadak berputar kencang lalu mencengkeram ke arah tenggorokan So Bong-seng. Serangan itu dilancarkan secara tiba-tiba, seolah ancaman tadi bukan berasal dari sepasang tangannya. Waktu itu So Bong-seng sedang mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menghadapi Lui Sun. Begitu berkelit dari bacokan golok, Lui Sun sudah menyelinap ke depan peti mati, tiba-tiba dia membungkukkan badan dan mencabut keluar sebilah golok. Saat itu tidak seharusnya dia mencabut golok. Tempat itu tidak seharusnya terdapat sebilah golok. Tapi pada saat itulah Lui Sun telah mencabut keluar golok pusakanya, golok 'Puting', golok 'tidak seharusnya'. Begitu golok 'tidak seharusnya' dilolos, seluruh orang yang hadir dalam ruangan segera merasakan semacam lapisan warna-warni yang menyelimuti seluruh udara, padahal golok itu tak berwarna, gelap, tawar tak bercahaya, namun dalam pandangan setiap orang muncul warna-warni yang berbeda, ada yang menyaksikan cahaya hitam yang tajam, ada yang berwarna hijau, merah, panca warna, semuanya merasa amat silau dibuatnya. Begitu golok berada dalam genggaman, semangat tempur Lui Sun tampaknya ikut berkobar, dia maju menyerang bagai orang kalap, kekuatan membunuhnya mungkin jauh di atas kebrutalan Kwan Jit. Golok yang berada dalam genggamannya bukan sebilah golok mestika, melainkan sebilah golok iblis. So Bong-seng sama sekali tidak mundur. Golok Ang-siu-to miliknya memancarkan selapis gelombang warna bagai guguran bunga, bahkan terasa begitu jinak dan penurut. Tapi yang menakutkan justru terletak pada jinak dan penurutnya itu. Biarpun tenaga yang dipancar keluar dari golok iblis milik Lui Sun itu luar biasa dahsyatnya, namun golok Ang-siu-to milik So Bong-seng seakan mengikuti alur gelombang, naik turun dan mengapung secara bebas, tapi setiap saat selalu membendung datangnya ancaman dari pihak lawan. Sanggupkah Ang-siu-to membendung terkaman Put-ing-to" Sanggupkah Put-ing-to menghabisi golok Ang-siu-to" Siapa pun tak tahu. Karena serangan dari Cu Gwe-beng telah tiba. So Bong-seng segera memutar tubuhnya sambil berguling ke samping, sambil memutar badan bagai angin berpusing di bawah ancaman cahaya golok yang menyilaukan mata dari golok Put-ing, dia masih berhasil meloloskan diri dari bokongan Cu Gwebeng. Dengan cepat Cu Gwe-beng berganti jurus, jarinya ditekuk ke bawah, kali ini dia berusaha mencengkeram sepasang bahu So Bong-seng. Bersamaan waktu, golok iblis Lui Sun merangsek dengan serbuan yang jauh lebih ganas, lebih gila daripada gila, lebih kalap daripada kalap, lebih mengerikan daripada yang mengerikan .... So Bong-seng sambil membendung datangnya serangan golok Put-ing-to, dia mundur terus ke belakang, ketika mundur, golok di tangan kanannya masih tetap melancarkan tujuh serangan dengan satu jurus pertahanan, sementara kelima jari kirinya seolah sedang memetik senar harpa, menyentil, menotok, mendorong, menekan, memukul, mencengkeram, mempermainkan jarinya untuk menangkis semua serangan yang dilancarkan Cu Gwe-beng. Ketika bergeser mundur itulah dia mulai merasakan kaki kirinya tidak leluasa. Perasaan tidak leluasa itu mungkin hanya berlangsung sesaat, bahkan mata pun tak sempat berkedip, namun Cu Gwe-beng telah memelototinya tanpa berkedip. Tiba-tiba serangannya berganti arah, kini sepasang tangannya mulai mencengkeram mata kaki So Bong-seng. Tangan kiri mencengkeram paha, tangan kanan mencengkeram tumit. Tapi sayang, sebelum ia sempat mengerahkan tenaganya, ada tiga gulung angin serangan berasal dari tiga arah yang berbeda serentak mengancam tubuh bagian depan, belakang serta sepasang tangannya. Ketiga gulung angin serangan itu berasal dari serangan golok dan pedang Ong Siau-sik serta ilmu jari pengejut dewa Pek Jau-hui. Dalam posisi seperti ini Cu Gwe-beng dihadapkan pada pilihan yang pelik, dia harus segera mengambil keputusan. Lepas tangan" Atau melanjutkan ancamannya" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kalau lepas tangan, akankah So Bong-seng melepaskan dirinya" Kalau melanjutkan ancaman, sanggupkah dia menghadapi ancaman dari golok, pedang dan serangan jari itu" Bila dia lepas tangan setelah berhasil menghancurkan sebelah kaki So Bong-seng, apakah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera akan memusnahkan juga dirinya" Pada saat bersamaan, kembali terjadi dua peristiwa yang di luar dugaan, jauh lebih di luar dugaan daripada bokongan yang dilakukan Cu Gwe-beng tadi. Tiba-tiba Pui Ing-gan mencabut pedangnya, lengkingan naga yang memekakkan telinga bergema dari tubuh pedangnya. Ternyata pedangnya sangat tak .sedap dipandang, tegasnya pedang itu tak layak disebut sebilah pedang, tubuh pedang cembung cekung tak merata tapi mata pedang justru sangat aneh, tubuh pedang itu meliuk seperti sebilah keris, kalau dibilang ada yang luar biasa maka keluar biasaan itu terletak pada pancaran sinar merah yang lamat-lamat terlihat di tubuh pedang. Cahaya merah bagaikan semburan darah segar yang cukup membuat perasaan orang bergidik. Dia mencabut pedang, melancarkan serangan dan mementalkan Pek Jau-hui, Ong Siausik serta Cu Gwe-beng bertiga. Benar-benar membuat tubuh mereka terpental, bahkan dia sendiri pun ikut terpental ke udara. Meminjam tenaga benturan ketiga orang itu, dia terpental ke udara kemudian 'terbang' balik ke bangkunya semula. Kalau dilihat dari mimik mukanya, seakan dia anggap situasi sudah terkendali. Padahal situasi sedang mengalami perubahan yang amat drastis, bagaimana mungkin bisa terkendali" Bagaimana mungkin bisa aman dan tenteram" Sementara itu Cu Gwe-beng yang gagal mencengkeram kaki So Bong-seng telah saling berhadapan dengan serangan jari dari Pek Jau-hui dan serangan golok serta pedang dari Ong Siau-sik, lekas dia berkelit ke samping. Untuk sesaat ketiga orang itu hanya berdiri saling berhadapan tanpa melakukan suatu gerakan pun, mereka tidak tahu harus melanjutkan pertarungan itu atau tidak. Saat itulah terdengar suara dengusan tertahan berkumandang dari tengah arena. Ti Hui-keng sudah menerobos genteng dan masuk kembali ke dalam ruangan, dia melayang turun persis di belakang punggung Lui Sun. Sebetulnya Lui Sun sedang memusatkan seluruh kekuatannya untuk bertarung melawan So Bong-seng, mendadak badannya terlihat gemetar keras, disusul dengan wajah penuh kesakitan dia turunkan goloknya ke bawah, lelehan darah segaf menga?lir keluar dari ujung bibirnya. Dengan penuh penderitaan bisiknya, "Ternyata kau, tak kusangka... ternyata kau!" Kemudian dia pun melakukan satu tindakan, tiba-tiba melompat ke arah peti mati itu. Baru berhasil dengan serangannya, sekulum senyuman licik menghiasi ujung bibir Ti Hui-keng, begitu melihat Lui Sun melompat ke arah peti mati, dengan wajah berubah hebat segera teriaknya, "Hati-hati!" Sambil berteriak, lekas dia mundur dengan cepat. Gerakan tubuhnya sewaktu mundur dilakukan sangat cepat dan disertai rasa ngeri bercampur ketakutan yang luar biasa, dalam waktu singkat dia sudah melewati Cu Gwe-beng, Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui. Hampir semua jago yang hadir di arena, tanpa terasa ikut mundur ke belakang setelah menyaksikan rasa takut bercampur ngeri yang diperlihatkan orang ini. Hanya dua orang tidak ikut mundur. Pui Ing-gan sama sekali tidak mundur, dia melompat tinggi ke udara, menempel di atas wuwungan rumah sambil mengawasi peti mati itu. So Bong-seng juga tidak mundur, bukan mundur, dia malah maju sambil berteriak, "Kau tak usah mati, aku bisa membiarkan kau..." Suatu ledakan keras mendadak menggelegar memecah keheningan, ledakan itu tidak terlampau dahsyat, tapi amat menakutkan. Menanti debu dan pasir yang beterbangan buyar, ketika genteng yang berguguran telah berhenti, terlihatlah peti mati itu sudah meledak hancur berantakan, lantai dimana peti mati itu berada kini sudah muncul sebuah liang yang sangat besar. Pada saat ledakan itu terjadi, Pui Ing-gan meminjam tenaga ledakan untuk melompat naik ke atap rumah. So Bong-seng yang berdiri paling dekat, di atas tubuhnya muncul beberapa buah luka bakar, dia sendiri bagaikan seseorang yang kehilangan sukma, berdiri termangu-mangu macam orang kebingungan. Kini dia keluar sebagai pemenang. Anehnya, sebagai pemenang mengapa dia justru menampilkan mimik muka seperti ini" Semacam mimik muka orang yang kena tipu, sedikit perasaan apa boleh buat, membawa nada ejekan terhadap diri sendiri, juga sedikit perasaan masgul bercampur duka. "Kau tidak seharusnya mati," terdengar So Bong-seng bergumam, "setelah kau mati, tinggal aku seorang, aku akan merasa kesepian Kalau tadi Pui Ing-gan meluncur ke atas wuwungan rumah bagaikan seekor kelelawar, maka saat ini dia merayap turun bagaikan seekor cecak, begitu mencapai permukaan tanah, ujarnya, "Aneh, kalau dia memang berniat meledakkan diri, mengapa tidak sekalian meledakkan kita semua, agar semua orang ikut tewas bersamanya?" "Dugaanku tepat sekali!" sahut Ti Hui-keng. "Oya?" "Dia memang berniat meledakkan kita semua, tapi sayang sumbu yang dia siapkan dari dalam peti mati hingga keluar ruangan berhasil kuhapus dan kulenyapkan," kata Ti Hui-keng sambil mendongakkan kepalanya, berbinar sepasang matanya, "Aku hanya tak boleh menyentuh peti matinya." Pui Ing-gan tertawa, tertawa penuh sindiran, katanya, "Jika dia membiarkan kau sentuh peti matinya, mungkin dia ingin mati pun tak mungkin bisa mati." Ti Hui-keng seakan tidak mengerti maksud sindirannya itu, sahutnya tenang, "Sekalipun dia melarangku menyentuh peti mati itu, toh akhirnya ia tetap mati tanpa liang kubur." "Siapa suruh dia mempercayai orang!" Pui Ing-gan mengangkat bahunya, menggantungkan pedang dan menggeliat malas "Ti Hui-keng bukan sahabat Lui Sun," tiba-tiba So Bong-seng berkata, "dia adalah seorang jago tangguh yang dibina bekas istri Lui Sun, Kwan Siau-te, setelah Lui Sun berhasil melalap perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan mengusir Kwan Siau-te, dia menarik Ti Hui-keng untuk membantu perkumpulannya." "Oleh sebab itu aku punya alasan untuk balas dendam," sambung Ti Hui-keng hambar. "Ooh, ternyata Toako telah berhasil menemukan hubungan sebenarnya antara Ti Huikeng dengan Lui Sun," seru Ong Siau-sik seakan baru sadar. "Sama seperti menyelesaikan satu persoalan, kita harus menemukan dulu pokok persoalan yang sebenarnya, dengan anak kunci yang tepat kita baru bisa membuka sebuah gembok," So Bong-seng menjelaskan, "keberhasilan inipun berkat usaha Yo Bu-shia yang bisa tepat waktu membujuk Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat hingga mengajaknya memasuki gudang data milik Kwan Jit yang ada di markas besar perkumpulan Mi-thian-jit-seng." "Oleh sebab itu kita hanya datang untuk bermain sandiwara, sama sekali tak punya peranan apa pun sela Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Tapi seandainya tak ada kau dan Lo-sam yang berhasil menghentikan Cu-tayjin, mungkin yang meledak jadi. abu saat ini bukan Lui Sun melainkan aku "Aku dan Lui-locongtongcu adalah sahabat lama," Cu Gwe-beng menyambung cepat, "aku sudah berjanji akan membantunya, jadi aku harus menepati janji/kini hubungan kami sudah putus, dia sudah jadi setan gentayangan sementara aku masih hidup sebagai manusia, jadi sekarang aku bisa tak usah merisaukan hubungan dulu lagi. Dengan kematiannya berarti kotaraja sudah jatuh ke tangan So-kongcu, bukan saja aku yang nomor satu akan mendukungmu, bahkan siap menyumbangkan tenaga untuk menjalankan segala tugas. Kemudian setelah tertawa tergelak, tambahnya, "So-locu tentu tak keberatan bukan memperoleh tambahan seorang teman?" "Di bawah kekuasaan Putra langit, siapa yang berani menyalahi Cu-tayjin, ketua kejaksaan?" So Bong-seng berjalan ke depan, sambil menepuk bahu Ti Hui-keng katanya pula, "tapi jika kau benar-benar ingin bersahabat, seharusnya bersahabatlah dengan beberapa orang lagi." "Memang tak ada salahnya punya teman banyak, boleh tahu siapa lagi yang akan berkenalan denganku?" "Loji PekJau-hui!" "Lo-sam Ong Siau-sik!" "Lo-su Ti Hui-keng!" Setelah secara beruntun menyebutkan ketiga nama itu, So Bong-seng kembali berkata kepada Ti Hui-keng, "Mulai hari ini, kau bisa hidup sambil mendongakkan kepalamu lagi." "Benar," sahut Ti Hui-keng dengan mata berkaca-kaca, "sejak aku mengkhianati Kwan-toaci dan bergabung dengan Lui-locongtongcu, aku tidak pernah berani mengangkat kepalaku lagi." "Mulai sekarang, di kotaraja sudah tak ada Lui Sun, yang ada hanya Ti-toatongcu. Ketika berada di Sam-hap-Mu tempo hari, aku tahu kau tak leluasa menyanggupi syarat yang kuajukan karena Lui Sun bersembunyi di atas wuwungan rumah, tapi apa yang telah kuucapkan tetap berlaku hingga sekarang, mulai hari ini, kaulah yang akan mengurusi perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Tubuh Ti Hui-keng terlihat bergetar keras, sambil menggigit bibir sahutnya kemudian, "Baik!" "Pekerjaan apa yang pertama kali ingin kau lakukan?" tanya So Bong-seng lagi sambil menatapnya tajam seakan ingin menembus dasar hatinya. Ti Hui-keng mendongakkan kepala, perlahan-lahan menghembuskan napas panjang. "Aku akan menarik kembali perintah yang telah dikeluarkan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, menarik kembali semua pasukan dan tidak membiarkan perkumpulan Lakhun-poan-tong saling bertempur melawan Kim-hong-si-yu-lau." "Bagus sekali," senyuman seakan mulai memancar dari balik mata So Bong-seng, kata-katanya yang semula tajam bagaikan mata pedang, kini telah berubah sehangat hembusan angin musim semi, "Lui Tun dan Un Ji telah kau atur dimana?" "Aku tak ingin mereka ikut menyaksikan peristiwa hari ini," kata Ti Hui-keng, "karena itu sudah kuutus orang untuk mengantar mereka menuju ke tempat tinggal Lim Ko-ko, Li Si-ci dan Lim Ci-sim, setiap saat mereka bisa diajak kembali kemari." "Tanpa bantuanmu, identitas Si Say-sin bakal ketahuan Lui Sun sejak dulu," kata So Bong-seng lagi dengan nada penuh perhatian, "karena itu, di saat mengurusi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hati-hati kalau ada anak buah keluarga Lui yang enggan tunduk." "Aku tahu, Lui Moay, Lui Tong-thian, Lui Kun adalah orang-orang berbakat yang hebat kungfunya, jika mereka bisa kugunakan akan kugunakan, kalau sudah tak bisa digunakan lagi, aku pun punya cara untuk menyelesaikan masalah ini." "Kalau begitu aku pun dapat berlega hati." Mendadak tubuh So Bong-seng mengejang keras, lekas Su Bu-kui maju memayangnya, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera mengelilinginya. Terdengar So Bong-seng berkata dengan lirih, "Racun yang mengeram di kakiku tak mungkin bisa dibersihkan kecuali kaki itu diamputasi ... beberapa hari ini aku berhasil menggunakan tenaga dalam untuk menahannya agar tidak menjalar, tapi barusan aku harus bertarung sengit dengan menggunakan kekuatan penuh hingga racun jahat itu kembali kambuh ... tolong bimbing aku kembali ke loteng." Bicara sampai di sini ia segera menggigit bibir sambil mengatur napas. Dalam pada itu Pui Ing-gan sambil tertawa sedang memberi ucapan selamat kepada Ti Hui-keng. "Kionghi, kionghi!" katanya. Cu Gwe-beng juga memberi hormat kepada Ti Hui-keng sambil bergumam, "Sungguh mengagumkan, sungguh mengagumkan!" Ti Hui-keng hanya melirik sekejap ke arah hancuran peti mati yang berserakan dimana-mana, sekilas perasaan kesepian melintas di wajahnya, dia menghela napas sambil menyahut, "Tidak berani, tidak berani." ooOOoo 60. Babatan golok Un Ji Malam itu, dengan berbagai akal muslihat Lui Tun dan Un Ji berhasil meloloskan diri. Sebenarnya kedatangan Un Ji ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah bertujuan untuk omong-omong, dia menganggap Lui Tun kelewat lemah sehingga patut dikasihani, maka timbul keinginannya untuk melindungi keselamatan jiwa gadis itu. Lui Tun sendiri pun merasa Un Ji sangat lembut dan baik hati, maka sambil menikmati manisan teratai yang ia suguhkan, mereka berdua berbincang sambil bersantap hingga larut malam. Un Ji mengatakan kalau dia amat lelah dan ingin langsung tidur. ooOOoo Dalam tidurnya gadis itu sempat mengigau dan berseru berulang kali, "A-hui mampus, aku tak mau peduli kau lagi Lui Tun yang menyaksikan kejadian ini diamdiam menghela napas, baru saja akan memadamkan lampu, tiba-tiba ia menyaksikan ada sesosok bayangan hitam berkelebat. "Aneh," Lui Tun segera berpikir, "siapa yang begitu berani menyusup masuk ke dalam markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Tak tahan dia pun menegur, "Siapa di situ?" "Aku nona," jawab orang itu. Ketika Lui Tun membuka pintu, ia lihat Ti Hui-keng yang mengenakan pakaian serba putih telah berdiri di depan pintu, sinar matanya terlihat sedikit agak aneh. Dengan perasaan tertegun bercampur keheranan Lui Tun pun menegur, "Saudara Ti, ada urusan apa tengah malam begini kau datang berkunjung?" Ti Hui-keng melongok ke dalam sekejap, melihat Un Ji tertidur di depan meja, dia pun menjawab, "Toa-siocia, maaf mengganggu, Congtongcu minta kau untuk segera pergi." "Kemana?" Lui Tun mendongakkan kepala keheranan, lamat-lamat ia mendapat firasat tak baik. "Yang penting pergi dulu menghindar." "Menghindar" Kenapa aku harus menghindar?" "Bukan hanya kau seorang yang harus menghindar, dia pun harus turut menghindar," kata Ti Hui-keng sambil menuding ke dalam. Baru saja Lui Tun berpaling mengikuti arah yang ditunjuk, tiba-tiba Ti Hui-keng menotok beberapa buah jalan darahnya, tak sempat menjerit lagi gadis itu segera roboh lemas ke tanah. Un Ji yang mendengar suara gaduh segera mendusin dari tidurnya, melihat Lui Tun tergeletak di tanah, ia segera mencabut golok sambil maju melindungi, tiba-tiba terasa bayangan manusia berkelebat, angin kencang menggulung tiba dengan kecepatan tinggi. Un Ji yang baru mendusin dari tidurnya tak sempat lagi menangkis, jalan darahnya ikut tertotok oleh serangan Ti Hui-keng. Berhasil merobohkan kedua orang gadis itu, Ti Hui-keng baru berseru kepada Lim Ko-ko, Lim Si-ci dan Lim Ci-sim yang sudah menunggu di luar pintu, "Bawa dulu mereka berdua ke Po-pan-bun, layani mereka dengan baik." Begitulah, Lui Tun dan Un Ji pun dikirim ke sebuah bangunan besar di wilayah Popan-bun. Lim Ko-ko adalah seorang Tongcu dari kantor cabang perkumpulan Lak-hunpoan-tong, sebagai anggota perkumpulan yang sedang menghadapi pertem?puran melawan Kim-hong-si-yu-lau, tentu saja dia harus membantu dalam hal ini semaksimal mungkin. Sementara Lim Si-ci dan Lim Ci-sim adalah Hiocu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mereka mendapat tugas mengawasi Lui Tun dan Un Ji. Setelah jalan darah Lui Tun dan Un Ji yang tertotok dibebaskan, dalam hati kecil mereka penuh diliputi perasaan ragu bercampur tanda tanya. "Aneh, kenapa anak sialan itu menotok jalan darah kita berdua?" "Oh!" "Kenapa mereka menyekap kita berdua di sini?" "Aku ... aku tidak tahu." "Sebetulnya siapa sih mereka itu?" "Aku tidak tahu..." "Kau adalah putri kesayangan ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong, masa apa pun tidak tahu?" "Aku rasa bukan cuma aku saja yang tak tahu, mungkin ayah sendiri pun tidak tahu," sahut Lui Tun sambil menghela napas sedih. "Tidak bisa begini, besok Toasuheng akan melakukan pertempuran habis-habisan melawan ayahmu," seru Un Ji sambil menghentakkan kakinya berulang kali, "kita tak boleh berdiam terus di sini, seharusnya kita ikut tampil sambil melihat situasi." Walaupun dia berkeinginan begitu, namun hingga menjelang kentongan pertama malam itu, mereka masih belum berhasil kabur dari situ. Para petugas yang menyekap mereka, kecuali tidak mengijinkan mereka keluar gedung itu, sikap maupun pelayanannya sangat hormat dan baik, hidangan yang tersedia sangat lezat dan berlimpah, bahkan mereka menyiapkan juga peralatan untuk mandi, peralatan untuk berdandan dan peralatan untuk menulis. Apa yang terjadi membuat Lui Tun semakin tak habis mengerti. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sebenarnya apa maksud mereka" Ditinjau dari peralatan yang disediakan, tampaknya mereka akan tinggal cukup lama di situ. Tapi kalau ditinjau dari sikap hormat dan jujur yang diperlihatkan para pengawas, hal ini malah membuat Lui Tun berpikir cara bagaimana melarikan diri. Besok adalah saat perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau melakukan pertarungan, jelas dia tak ingin hanya tersekap di tempat itu, paling tidak dia harus mengingatkan ayahnya agar membuat persiapan yang lebih baik. Maka Lui Tun pun bertanya kepada Un Ji, "Kau sudah berhasil menemukan cara terbaik?" "Cara apa?" tanya Un Ji melengak. "Cara terbaik untuk melarikan diri!" "Soal ini Un Ji berpikir beberapa saat, "sekarang aku sedang berpikir, siapa tahu segera akan kutemukan cara terbaik untuk melarikan diri." "Berhasil kabur atau tidak, semuanya tergantung kau." "Tentu saja, aku pasti akan melindungimu, kau tak usah kuatir." "Padahal tak ada yang perlu kita kuatirkan, sikap mereka terhadap kita amat baik dan penuh sopan." "Siapa tahu mereka mempunyai rencana jahat lain!" "Asal mereka menaruh perhatian khusus terhadap kita berdua, seandainya terjadi sesuatu yang tak beres dengan kita, bisa jadi tanggung jawab mereka akan menjadi berat sekali ......" "Betul! Andaikata kita berdua mengalami sesuatu, mereka tak bisa cuci tangan dari tanggung jawab ini!" "Apakah perutmu masih sakit?" "Apa?" "Perutku agak sakit." "Kau sakit perut" Kenapa bisa jadi begini?" "Bila perutku mendadak sakit sekali....." "Kau jangan menakuti aku, mana mungkin?" "Mungkin dalam hidangan itu ada racunnya." "Masa mereka berani meracuni kita berdua" Aku ..." "Aku akan berlagak keracunan untuk memancing mereka masuk kemari, dan kau ..." "Betul!" seru Un Ji kegirangan, "inilah salah satu cara yang sedang kupikirkan, kau berlagak mati, biar aku yang bereskan orang-orang itu." "Bagus," seru Lui Tun sambil tertawa pula, "ternyata kau memang cerdik." "Lihat saja ulahku nanti! Tanggung akan kusuruh mereka rasakan kelihaian nonamu ini!" "Tapi sikap mereka terhadap kita selama ini sangat baik dan hormat, meski kungfumu hebat, aku minta jangan turun tangan kelewat berat, sebab andaikata mengalami kegagalan, masih ada yang kita butuhkan." "Kau terlalu banyak pikiran," kata Un Ji acuh, "belum pernah serangan nonamu selama ini pernah mengalami kegagalan!" Maka Lui Tun pun mulai berlagak mengeluh kesakitan, sementara Un Ji mencaci-maki kalang kabut. Betul saja, tak lama kemudian terlihat ada orang menerjang masuk ke dalam ruangan, baru saja Un Ji siap turun tangan, tiba-tiba ia perhatikan mimik muka dari ketiga orang itu. Apa yang kemudian dilihatnya membuat Un Ji tak sanggup melanjutkan serangannya, dia malah berteriak keras. Lui Tun ikut kaget dan segera mengawasi pula air muka orang-orang itu. Ternyata paras muka ketiga orang itu telah berubah jadi merah kehitam-hitaman, pada bola matanya yang semula berwarna putih kini sudah timbul warna perak keabu-abuan, pada mulanya ketiga orang itu seolah tidak menyadari akan hal ini, mereka baru saling bertukar pandang setelah mendengar teriakan Un Ji. Begitu menyaksikan perubahan pada wajah mereka, orang-orang itu terlihat semakin terkesiap bercampur rasa ngeri yang luar biasa, sambil saling menunjuk ke wajah rekannya, mereka berteriak, "Kau ... kau ......... Belum sempat bicara lebih lanjut, tubuh mereka sudah roboh terjengkang ke tanah, baru mengejang beberapa saat, nyawa mereka sudah melayang meninggalkan raganya. Dengan perasaan terkejut bercampur ngeri, Lui Tun dan Un Ji segera menerjang keluar ruangan, sepanjang jalan mereka jumpai mayat bergelimpangan dimana-mana, puluhan anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang merupakan anak buah Ti Huikeng kini sudah bergelimpangan di tanah menjadi mayat, rata-rata mereka mati dengan lidah terjulur keluar, kelopak mata terbelalak lebar dan pendarahan pada kelima lubang inderanya, jelas sekali mereka mati karena keracunan. Dari tubuh sesosok mayat, Un Ji berhasil menemukan kembali golok Seng-seng-to miliknya, mereka segera melarikan diri meninggalkan wilayah Po-pan-bun. Untuk menghindari pengin?taian dan pengawasan dari pihak lawan, sepanjang jalan mereka melewati lorong-lorong kecil yang sempit, Un Ji berjalan di muka melindungi Lui Tun, tapi karena tak mengenal jalan, Lui Tun yang bertindak sebagai petunjuk jalan. "Tunggu sebentar!" mendadak Lui Tun berbisik. Un Ji terperanjat, baru saja akan berpaling, terdengar Lui Tun berbisik lagi, "Jangan bergerak!" Rupanya karena kurang berhati-hati Un Ji terpeleset sehingga menimbulkan sedikit suara, dari mulut lorong segera terlihat ada bayangan manusia berkelebat, tampaknya orang itu sudah lama menunggu di situ. Saat ini dia telah berpaling dan mulai berjalan menyusuri lorong gelap tadi. Cahaya lentera di sudut rumah menerangi punggung dan bahu orang itu, membiaskan bayangan gelap di atas permukaan tanah. Tidak nampak dengan jelas paras muka orang itu. Sisa cahaya lentera menerangi wajah Lui Tun dan Un Ji, entah mengapa, kedua orang gadis itu merasakan semacam hawa angker yang sangat aneh dan tak terlukis. Bukan hawa membunuh melainkan suasana angker, hawa keangkeran yang membawa kesesatan. Mereka mulai berpikir untuk mundur dari situ, tapi segera silihatnya lorong itu buntu, tiga arah merupakan dinding tembok yang sangat tinggi. Banyak sampah dan bau kotoran di sekeliling situ. Orang itu dingin dan kaku, bagaikan sebuah bukit angker, selangkah demi selangkah berjalan semakin mendekat. Lui Tun merasa badannya gemetar keras, Un Ji sadar mereka sudah terjebak di sebuah lorong buntu dan mustahil bisa mundur lagi, cepat ia menghadang di depan Lui Tun sambil 'hardiknya, "He siapa kau" Kalau berani ..." Sambil bicara dia siap mencabut goloknya. Orang itu melancarkan serangan secepat sambaran kilat, tahu-tahu dia sudah menghadiahkan sebuah tempelengan keras. "Plaaak!", tamparan itu bersarang telak di pipi Un Ji, membuat gadis itu merasakan kepala pening dan mata berkunang kunang, darah meleleh dari ujung bibirnya. Menyusul kemudian tampak orang itu mengangkat lutut nya dan ditekankan di atas perut Un Ji, caranya melancarkan serangan bukan saja tidak menganggap dia sebagai seorang bocah manja, bahkan tidak memperlakukannya sebagai seorang gadis, tidak menganggapnya sebagai seorang manusia. Baru saja Un Ji membungkukkan badan karena tekanan lutut di atas perutnya, orang itu sudah mencengkeram tubuhnya dengan kedua belah tangan dan menekan badannya menempel di atas dinding. Seketika itu juga Un Ji merasakan punggungnya' yang menekan di atas dinding sakit sekali, sedemikian sakitnya hingga nyaris membuatnya menangis. Orang itu menundukkan kepala, menghindari sorotan cahaya lampu, tangannya yang sebelah mulai digunakan untuk membuka pakaian yang dikenakan nona itu. Un Ji menjerit kaget, belum sempat ia melakukan sesuatu, tangan kiri orang itu sudah mencengkeram urat nadinya, begitu mengerahkan tenaga, seketika itu juga Un Ji merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga. Kini tingkah laku orang itu semakin kalap, dia mulai merobek kutang yang dikenakan gadis itu, kemudian sambil mengeluarkan suara geraman bagaikan hewan kelaparan ia mulai meraba dan meremas payudara Un Ji yang kecil, lembut lagi kenyal itu. Seketika itu juga tubuh Un Ji gemetar keras, selama hidup belum pernah payudaranya diremas seorang lelaki seperti ini. Dengan penuh napsu orang itu menindih di atas tubuh Un Ji, tangannya yang dingin mulai menggerayangi seluruh tubuhnya, dari payudara mulai bergerak ke bawah dan mulai merayap di tubuh bagian bawahnya. Un Ji berusaha meronta, namun seluruh badannya lemas tak bertenaga, keempat anggota badannya seakan tak mau menuruti perintah, dalam keadaan begini dia hanya bisa menangis terisak. Bau busuk yang menyelimuti sekeliling lorong ditambah gerayangan orang itu di atas tubuh bagian bawahnya membuat Un Ji seolah tercekam dalam ketakutan dan kengerian, dia hanya berharap impian buruk segera akan berlalu. Kembali orang itu merobek pakaiannya, berusaha menelanjanginya .... Ketika ia berusaha mempertahankan pakaiannya agar tidak terlepas, lagi-lagi orang itu menghadiahkan sebuah tamparan keras. Kontan Un Ji jadi tambah lemas tak berdaya, kini dia sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk melawan, yang bisa dia lakukan hanya menangis terisak, air mata membasahi seluruh pipinya. "Breeet!", kembali gaun bawahnya dirobek hingga terlepas. Mendadak "Triiing!", diiringi suara dentingan nyaring, orang itu sudah membalikkan tangannya menangkis tusukan sebuah tusuk konde yang dilancarkan Lui Tun dari belakang, tusuk konde itu segera rontok ke tanah. Orang itu berpaling, seolah takut wajahnya terkena sorotan cahaya lentera, lekas ia menundukkan kepalanya kembali. Lui Tun mendengus dingin, dengan pandangan menghina serunya, "Kau menginginkan perempuan bukan" Kenapa tidak mencari aku" Dia tak lebih hanya seorang bocah Orang itu hanya memandang sekejap, dalam waktu singkat ia sudah terpesona oleh wajah sendu Lui Tun, sambil mendesis lirih dia membalik badan ganti memeluk tubuh gadis itu dan menempelkan punggungnya di atas dinding, sambil membalik tubuh, dia tak lupa melepaskan sebuah tendangan ke tubuh Un Ji, membuat gadis itu mengerang kesakitan dan terbungkuk-bungkuk menahan rasa sakit. Tangan orang itu mulai menggerayangi seluruh badan Lui Tun, dari atas hingga ke bawah, kemudian ia mulai menarik lepas pakaiannya, merobek gaun yang dikenakan. Seluruh tubuh Lui Tun sudah menjadi dingin bagai salju, tapi darahnya justru mendidih, terbakar hingga ke ujung telinga. Dia merasa dipermalukan, merasa mendapat perlakukan tak senonoh. Orang itu dengan sebelah tangan memegang wajahnya, tangan lain menelikung sepasang tangannya, lalu dia sedikit merendahkan tubuhnya dan mulai menjalankan aksinya. Lui Tun merasakan segulung hawa panas merasuk ke dalam tubuhnya, hawa panas itu seakan menjalar ke seluruh pori badannya, dia merasa seakan ada sebuah toya baja yang sangat panas menyengat menembus tubuh bagian bawahnya, lalu terdengar orang itu mulai merintih, "Aduh ... bagus ... sungguh bagus... nyaman..." Setelah itu yang terdengar hanya suara isak tangis Un Ji yang kian menjadi. Lui Tun sama sekali tidak menangis, wajahnya mendongak menatap cahaya lentera, ia membiarkan sinar lampu menerangi wajahnya yang cantik. Orang itu mulai menggerakkan tubuhnya, makin lama makin cepat, makin mengejang keras, bahkan dia mulai mencium, mengalirkan air liurnya ke dalam bibir Lui Tun yang mungil. Dengan sepasang tangannya Lui Tun mencengkeram dinding tembok, menciptakan sepuluh bekas cakaran yang dalam di situ, rasa sakit yang luar biasa disertai bau busuk yang me?nyengat membuat dia harus menahan rasa malu dan gusar. Tak selang beberapa saat kemudian orang itu mulai terengah-engah, tubuhnya mulai bergetar tiada hentinya, seakan teringat akan sesuatu, cepat dia bersiap meninggalkan tubuh Lui Tun dan berpaling ke arah Un Ji. Pada waktu itu Un Ji sedang merangkak bangun dengan susah payah, pakaiannya yang koyak tak keruan tak dapat menutupi tubuh bugilnya yang putih halus. Lui Tun segera mengerti apa yang hendak dilakukan orang itu, sambil menggigit bibir mendadak ia peluk tubuh orang itu dengan kencang dan berusaha tidak membiarkan ia meninggalkan badannya. Sesaat orang itu tak berhasil meninggalkan pelukan Lui Tun, disusul kemudian dia pun merasa sayang untuk meninggalkan kehangatan tubuhnya. Dengan wajah garang orang itu mengawasi wajah Lui Tun, napsu birahinya bagaikan tanggul yang jebol, seketika dilampiaskan ke tubuh gadis itu secara brutal.... Lui Tun menggigit bibirnya sambil berkerut kening, ia merasa gerakan tubuh orang itu semakin menggila, goyangan yang kian menghebat membuat luka di tempat rahasianya terasa makin parah, terjadi robekan yang membuatnya semakin kesakitan, namun Lui Tun sama sekali tak bersuara, mengaduh pun tidak. Akhirnya di bawah tatapan keheranan Un Ji, orang itu terkulai lemas, tubuhnya masih menindih di atas badan Lui Tun dan menjepitnya di sudut tembok. Tiba-tiba ia mendorong lepas tubuh Lui Tun, serunya dengan penuh amarah, "Bagus, rupanya kau memang sengaja berbuat begini agar aku tak bisa berbuat dengannya Belum selesai dia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat dari mulut lorong. Melihat itu kontan Un Ji menjerit keras, "Tolong ... tolong .... kami. Terdengar orang itu berseru tertahan. "Ah, rupanya ada orang di situ ..." katanya. Lelaki yang baru selesai menodai Lui Tun itu segera mendengus dingin, dengan cepat tubuhnya melesat ke depan dan melepaskan sebuah babatan ke arah tengkuk sebelah kanan orang yang berada di mulut lorong itu. "Hati-hati..." teriak Lui Tun nyaring. Dengan cekatan orang di muka lorong itu mengegos ke samping meloloskan diri dari serangan itu, namun lantaran tubuhnya terdapat banyak luka yang belum sembuh, nyaris dia jatuh terjelembab. Dengan bergeser ke tempat yang terdapat cahaya lentera, maka terlihatlah bahwa orang itu mempunyai kulit badan yang hitam gelap, hanya saja raut mukanya masih tak nampak jelas. Baru saja si pemerkosa hendak melancarkan serangan kembali untuk melakukan pembantaian, tiba-tiba dari sudut jalan melompat keluar seorang lelaki tinggi besar, sambil melompat maju bentaknya, "Nenek sialan, berani amat kau membokong aku si pendekar raksasa Tong Po-gou, terhitung Enghiong Hohan macam apa kau ini..." Sambil berseru dia melepaskan tiga pukulan berantai ditambah empat tendangan kilat. "Tak usah gubris dia lagi," terdengar lelaki hitam pertama menukas, "baru saja aku dengar suara teriakan nona Lui.... " "Benar, aku juga mendengar suara teriakan adik Un Ji ..." Sementara pembicaraan berlangsung, pertarungan dua lawan satu berkobar dengan sengitnya, masih untung orang itu tak ingin wajahnya terkena sinar lampu hingga ketahuan orang, coba kalau tidak, mungkin, sudah sejak tadi mereka berdua terluka parah di tangan orang itu. Tiba-tiba orang berkulit hitam itu berpekik aneh, suara suitan sahut-menyahut pun bergema dari ujung lorong hingga sudut jalan lain, tak selang beberapa saat, suara pekikan bergema. Rupanya suara suitan aneh tadi merupakan kode rahasia minta tolong yang biasa dipergunakan orang persilatan, tak heran sebentar kemudian dari setiap sudut jalan bermunculan banyak orang dengan dandanan beraneka ragam, ada yang berbaju dekil, ada yang berbaju bersih, ada yang berbaju sutera, ada pula yang menunggang kuda. Melihat gelagat tidak menguntungkan, meski tahu kungfunya masih sanggup menghadapi kerubutan orang banyak, tapi karena tak ingin identitas dirinya ketahuan, lekas orang itu melancarkan serangkaian serangan gencar, kemudian dengan sekali lompatan ia berusaha kabur dari situ. Un Ji tidak rela orang itu kabur begitu saja, sambil mengayunkan goloknya dia melancarkan sebuah bacokan kilat. Ilmu goloknya terhitung tangguh dalam dunia persilatan, hanya saja ia belum dapat menggunakan secara sempurna, bacokan dilancarkan secara mendadak, orang itu berada dalam kondisi tak siap, punggungnya seketika terbabat sebuah luka memanjang. Orang itu mendengus tertahan, sambil berpaling ia melotot sekejap ke arah Un Ji. Gadis itu segera merasakan sinar hijau yang menggidikkan hati memancar keluar dari balik mata orang itu, sementara ia bergidik, orang itu sudah melompat ke atas wuwungan rumah dan melarikan diri. Tak lama kemudian orang tinggi besar itu sudah berlari mendekat, begitu bertemu Un Ji, serunya kegirangan, "Ah kau, ternyata benar-benar kau, kenapa kau bisa berada di sini?" Begitu bertemu dengannya, tanpa menghiraukan pakaiannya yang compang-camping nyaris bugil, ia segera menubruk ke depan dan menangis tersedu-sedu. Ternyata lelaki tinggi besar itu tak lain adalah Tong Po-gou, sementara lelaki berkulit hitam itu adalah Thio Than. Ternyata dengan memanfaatkan hubungan Thio Than dengan para tawanan serta sipir penjara, mereka berdua berhasil melarikan diri dari dalam penjara. Sebenarnya kedua orang itu bermaksud menyusup masuk ke markas perkumpulan Lak Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hun-poan-tong dan menghadiri pertarungan yang akan diadakan esok siang, ketika 4iba di jalanan seputar Po-pan-bun, tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan minta tolong. Dalam pada itu Lui Tun telah selesai merapikan pakaian yang dikenakan dan perlahan-lahan berjalan keluar, di bawah cahaya lentera terlihat wajahnya putih pucat dan terlihat sangat aneh, sementara kedua pipinya berwarna semu merah, entah hal ini karena wajahnya yang memang cantik atau secara diam-diam ia memendam perasaan dendam. "Enci Tun, enci Tun sambil menangis Un Ji memanggil-manggil, namun ia tak berani menghampirinya. Melihat semakin banyak orang berkumpul di situ, apalagi menjumpai Lui Tun pun hadir di situ, Thio Than segera berseru, "Nona Lui, lebih baik kita balik dulu ke markas perkumpulan Lak-hunpoan-tong dan berkumpul dengan Lui-congtongcis "Lui-congtongcu?" mendadak terdengar seorang pengemis bergumam, "dia kan sudah mati, perkumpulan Lak-hun-poan tong kini sudah menjadi dunianya Ti-toatongcu." Lui Tun terkesiap, tubuhnya gemetar keras. Sementara Thio Than segera mencengkeram tubuh penge mis itu seraya berseru, "Apa ... apa kau bilang?" Saking takutnya, pengemis itu tak berani bersuara, tapi kawanan manusia yang berkumpul di mulut lorong segera menceritakan kisah pertarungan yang telah berlangsung pagi tadi antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-siyu-lau, bahkan bercerita pula kalau Lui Sun telah tewas, Ti Hui-keng memegang tampuk pimpinan, Kim-hong-si-yu-lau berhasil meraih kemenangan dan selanjutnya kolong langit akan aman tenteram. Mengenai nasib tragis yang menimpa ayahnya, air mata segera jatuh berlinang membasahi wajah Lui Tun, tapi cepat dia menyekanya dan berusaha tidak membiarkan air matanya meleleh kembali. Agak termangu Thio Than begitu mengetahui kejadian ini, gumamnya, "Tak nyana baru semalam disekap dalam penjara, situasi di kolong langit telah terjadi perubahan besar." "Kita tak usah peduli mau berubah seperti apa," tukas Tong Po-gou setelah berpikir sejenak, "dunia mau berubah jadi apa, kita pun hidup menyesuaikan diri, bukankah begitu paling baik?" ooOOoo 61. Siapa berani memenggal kepala yang besar Dengan 'dosa' yang ditimpakan kepada Tong Po-gou dan Thio Than, mestahil mereka dapat melarikan diri dari penjara besar. Tapi hingga senja keesokan harinya mereka masih tetap disekap dalam penjara, hanya bedanya, Jin Lau tidak muncul lagi untuk mengadili serta memaksa mereka memberi keterangan. Tong Po-gou mulai kehilangan kesabarannya, dia mulai gelisah bercampur gusar. Thio Than pun sangat menguatirkan keselamatan Lui Tun, terutama setiap kali teringat akan pertarungan akbar yang akan dilakukan perkumpulan Lak-hun-poantong melawan Kim-hong-si-yu-lau keesokan harinya. Menjelang malam ketika seorang sipir penjara datang mengantar makanan dan lagilagi hidangan yang diberikan ada-lan rangsum yang mirip makanan babi, tak tahan Tong Po-gou langsung mengumpat, "Kau anggap hidangan macam begini adalah makanan manusia?" Sipir penjara itu mendengus. "Ada apa?" balik tegurnya, "jangan lupa, meski di luar sana kau adalah seorang kaisar, selama ada di sini kau tetap seorang telur busuk, sudah lima puluh tahun hidangan semacam ini beredar dalam penjara, kalau enggan disantap, buang saja!" Baru saja Tong Po-gou akan mengumbar amarahnya, Thio Than telah menyelinap ke samping pintu penjara seraya berseru, "Ribuan daun teratai ribuan pohon, ribuan ranting jutaan rumah, tolong tanya jalan mana menuju ujung langit" Jalan mana menuju ke rumahmu?" Lekas sipir penjara itu menjawab, "Jalan menuju ujung langit jauh, kaki langit dekat, biar langit luas bukan rumahku, dalam rumah ada lima singa, tak ada jalan ke langit tak ada jalan ke bumi, jalan yang ditunjuk penggembara susah untuk dilewati." Tong Po-gou berdiri melongo, ia seperti bingung dengan pembicaraan yang sedang berlangsung, tak tahan tegurnya, "Apa yang sedang kalian bicarakan?" Thio Than tidak menggubris, kembali katanya, "Lo-ko, tolong sedikit ringan tangan dan melepaskan kami berdua." Sipir penjara itu mendelik gusar ke arah Tong Po-gou, tapi tak berani bersikap kasar terhadap Thio Than, katanya, "Aku pun sudah mendengar tentang kasusmu, tapi kami benar-benar kehabisan akal, sebab kau adalah tawanan yang ditangkap langsung oleh Cu Gwe-beng dan sedang diinterogasi Jin Lau, aku rasa susah untuk membantumu. Tapi kalau delapan sepuluh hari kemudian, mungkin urusan lebih gampang...." "Bunga merah tujuh belas kuncup," kembali Thio Than berkata, "aku adalah Lo-ngo dari bunga Tho, tolong bantulah aku, malam ini kami benar-benar ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan." "Soal ini sipir itu termenung beberapa saat, setelah melirik lagi ke arah Tong Po-gou, terusnya, "Apakah kalian harus pergi bersama-sama?" "Kami masuk berdua, tentu saja harus keluar bersama." "Kalau hanya satu orang sih jauh lebih gampang agaknya sipir itu telah mengambil keputusan, "rasanya tak ada jalan lain kecuali minta tolong... minta tolong dia." "Dia?" "Sedih gembira berkumpul berpisah, raja mengenaskan tak melihat sang surya!" sambil mengucapkan perkataan itu, sipir itu segera beranjak pergi. Thio Than seketika berdiri termangu, sampai lama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun. "Apa-apaan dia itu?" tanya Tong Po-gou kemudian. "Tutup mulutmu!" hardik Thio Than lirih. Jarang sekali Thio Than bersikap kasar kepada orang lain, bukannya gusar, Tong Po-gou semakin keheranan, kembali tanyanya, "Jadi dia adalah seorang manusia?" Thio Than tidak menjawab, lagi-lagi dia bergumam, "Ternyata ... ternyata dia berada di sini." "Siapa?" "Ji-liang-ong (Raja mengenaskan)!" "Raja mengenaskan?" Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar pintu penjara dibuka orang, dua orang sipir penjara berjalan masuk diikuti seorang kakek yang rambutnya telah beruban, tubuhnya pendek dan kurus, seluruh otot dan kulit tubuhnya telah keriput. Begitu masuk ke dalam ruang penjara, kakek itu langsung bertanya kepada Thio Than, "Jadi kau adalah Thio-longo dari perkampungan Tho-hoa-ceng?" "Tulisan gelap ekor naga, tulisan terang kepala naga, siaute hanya angin dari sepasang harimau, mengunjuk hormat untuk awan hijau dari sepasang naga!" kata Thio Than sambil bersoja. "Langit luas bumi lebar, tak ada bedanya. Bagus, bagus sekali, jadi kau bersikeras akan pergi" Pergi berdua?" "Siapa kau?" timbrung Tong Po-gou tiba-tiba, "Raja mengenaskan?" Sekilas perasaan ngeri melintas di wajah kakek itu, sambil mundur selangkah serunya, "Kau ... kau jangan sembarangan bicara! Di sini aku tak lebih hanya seorang terpidana mati!" Lekas Thio Than menghardik, "Dia adalah pimpinan para saudara yang tak bisa melihat kebebasan, orang menyebutnya Kwik Kiu-ya," kemudian setelah meminta maaf kepada kakek itu lanjutnya, "Saudaraku tak tahu urusan, harap Kiu-ya sudi memaaafkan." "Sebetulnya aku pun bukan Kiu-ya seperti apa yang kau katakan," ujar kakek itu kemudian, "aku dari marga Kwik bernama Kiu-seng, orang persilatan memberi sebuah julukan kepadaku, mereka memanggil aku Ok-kiu-seng (si jahat sembilan bagian). Sudah dua puluh tahun aku tinggal di sini, tapi semuanya tak berubah, aku tetap melakukan segala kejahatan!" Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali Kwik Kiu-seng bertanya, "Raja mengenaskan mengutus aku untuk bertanya kepada kalian, apakah malam ini harus pergi dari sini?" "Benar!" jawab Thio Than tegas. "Setelah keluar dari sini apakah segera akan pergi mencari So Bong-seng?" "Jika Un Ji masih berada bersama orang she So itu, tentu saja aku akan pergi mencarinya," sahut Tong Po-gou. Sementara Thio Than termenung sejenak, kemudian baru sahutnya, "Aku akan mencari Lui Tun, Lui Tun adalah putri Lui-congtongcu." "Seandainya Lui Tun tak ada di situ?" tanya kakek itu. Thio Than tertegun. "Tentunya Lui Sun tahu bukan kabar berita tentang putrinya?" ia balik bertanya. "Seandainya kau pun tak berhasil menjumpai Lui Sun?" "Tunggu sebentar," potong Tong Po-gou cepat, "kau sendiri pun tak sanggup keluar dari sini, bagaimana mungkin bisa menolong kami?" Lekas Thio Than menjawil ujung bajunya, minta dia tutup mulut. "Mungkin saja aku tak mampu sahut kakek itu tenang, "tapi Raja mengenaskan mampu, hanya saja dia minta kalian menyanggupi dulu sebuah permintaannya." Syaratnya adalah mereka disuruh mencari seorang kakek yang keempat anggota badannya seakan sudah patah di seputar wilayah Po-pan-bun, kemudian minta pada Tong Po-gou menggunakan hubungannya dengan Un Ji untuk memperkenalkan kakek itu kepada So Bong-seng, mengenai apakah So Bong-seng akan menerima orang itu sebagai pembantunya atau tidak, urusan itu sudah tidak menjadi tanggung jawab mereka lagi. Menghadapi permintaan seperti ini, tanpa berpikir panjang Tong Po-gou segera menyanggupi. Baik Thio Than maupun Tong Po-gou tak ada yang tahu apa tujuan 'Raja mengenaskan' melakukan tindakan seperti ini, karena ingin cepat-cepat keluar dari situ, mereka pun tidak berpikir lebih jauh. Menjelang meninggalkan penjara, kepala sipir sengaja berpesan agar mereka berdua jangan sekali-kali terkirim balik ke situ. Tak nyana ketika tiba di Po-pan-bun, mereka berhasil menemukan Un Ji dan Lui Tun, bahkan mendapat kabar kalau pertarungan antara perkumpulan Lak-hun-poantong melawan Kim-hong-si-yu-lau telah berakhir, berita ini membuat mereka jadi tertegun bercampur kecewa. Mereka berdua tidak tahu peristiwa apa yang telah menimpa kedua orang gadis itu, Lui Tun tidak bicara, Un Ji pun tak berani bicara, peristiwa mengenaskan yang baru terjadi hanya mereka berdua yang tahu, penghinaan dan penderitaan batin pun hanya mereka berdua yang harus menanggung. Lekas Tong Po-gou dan Thio Than melepas jubah luar mereka untuk menutupi tubuh kedua orang gadis itu, meski tidak bertanya apa-apa, namun berbagai kecurigaan berkecamuk dalam hati. Mendengar berita tentang kematian Lui Sun, tentu saja Lui Tun merasa amat sedih. Tiba-tiba terdengar seorang pengemis kembali berkata, "Lui Sun terjun sendiri ke dalam peti mati dan meledak tubuhnya, konon hari ini So Bong-seng sedang merayakan kemenangan mereka di bukit Thian-swan-san, markas besar Kim-hong-siyu-lau, pesta bisa jadi diselenggarakan saat ini." Kembali Lui Tun terkesiap, dalam kekalutannya ia segera membuat analisa atas terjadinya peristiwa itu. Ketika berpaling, ia saksikan pengemis yang barusan berbicara adalah seorang pengemis tinggi besar berwajah dingin, sendi tulang kaki dan tangannya nampak lemas sekali seakan baru saja disambung tapi tidak sempurna sambungannya, dari logat bicara serta tingkah lakunya bisa disimpulkan bahwa dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali. Mendadak Thio Than teringat akan sesuatu, serunya tanpa sadar, "Jadi kau orang yang dimaksud?" "Benar aku, Raja mengenaskan menyuruh aku pergi ber?samamu," jawab pengemis tua itu cepat. "Barusan kau mengatakan So-kongcu sedang merayakan pesta kemenangannya di markas Kimhong-si-yu-lau?" kembali Lui Tun bertanya dengan sangat hati-hati. "Benar, apakah kau hendak ke sana?" Un Ji merasakan hawa amarah bercampur sedih menghimpit perasaannya, dia tak tahu kenapa Lui Tun masih dapat menahan diri, serunya, "Aku hendak mencari Toasuheng, akan kusuruh dia mencincang hancur tubuh ... tubuh orang itu!" "Baik, aku akan membawamu ke sana," seru Tong Po-gou sambil tertawa. "Memang paling baik begitu," pengemis tua itu menambahkan, ia berpaling ke arah Lui Tun. "Kalau begitu, baiklah," akhirnya Lui Tun setuju. Dalam perjalanan menuju ke bukit Thian-swan-san, Tong Po-gou kembali bertanya kepada Thio Than, "Sebenarnya siapa sih Ji-liang-ong itu" Kalau kau enggan memberitahu, jangan salahkan kalau aku bakal marah." "Aku sendiri pun kurang begitu tahu tentang identitas sebenarnya, hanya kudengar orang selalu melukiskan dirinya sebagai seseorang yang 'sepanjang masa tidak mengenal sinar, hidup mengenaskan di tengah kuburan', meski dia berada dalam penjara, namun sangat dihargai setiap jagoan, aku dengar dia memiliki status istimewa dalam kerajaaan ini, kecuali Kaisar sendiri yang menurunkan perintah eksekusi, tak seorang pun berani membuat kesalahan dengannya," kata Thio Than. Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Orang ini mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan kalangan dunia persilatan, ia sudah banyak membantu saudarasaudara yang terjerumus dalam penjara, oleh sebab itu hampir setiap orang menaruh tiga bagian perasaan hormat dan tujuh bagian perasaan takut kepadanya." "Ah, masakah ada manusia sehebat itu" Aku jadi ingin bertemu dengannya." Mendadak terdengar pengemis tua itu mendengus dingin. Baru saja Tong Po-gou akan mengumbar amarahnya, Thio Than segera menegur, "Memangnya kau ingin terjerumus lagi dalam kerangkeng besi" Jangan sembarangan berulah." Sepanjang perjalanan menuju markas besar Kim-hong-si-yu-lau, Un Ji yang biasanya gemar keramaian, saat itu hanya mengintil terus di sisi Lui Tun, matanya sembab, ia tak berani maju juga tak berani mendekat, apalagi mengajukan pertanyaan. Ketika tiba di bukit Thian-swan-san, Yo Bu-shia dari Kim-hong-si-yu-lau segera memberi laporan kepada So Bong-seng yang berada di loteng hijau. "Nona Un telah kembali." Ong Siau-sik kegirangan setengah mati. Ternyata mereka telah mendapat laporan dari petugas yang dikirim Ti Hui-keng bahwa Lim Ko-ko yang bertugas menjaga keselamatan Un Ji dan Lui Tun telah terjebak siasat memancing harimau turun gunung, bukan saja para pengawal ditemukan tewas keracunan, bahkan mereka pun kehilangan jejak kedua orang gadis itu. Baru saja So Bong-seng bersiap melakukan pencarian, ternyata kini mendapat kabar kalau Un Ji telah kembali. "Hanya dia seorang yang kembali?" tanya So Bong-seng kemudian. "Ia datang bersama nona Lui, Tong Po-gou, Thio Than serta "Jadi nona Lui juga ikut datang?" tanya So Bong-seng dengan wajah berubah. "Juga ikut datang bersama mereka seorang pengemis berpakaian bersih," Yo Bu-shia melanjutkan laporannya. "Pengemis berbaju bersih?" "Aku sudah mengutus orang untuk menyelidiki asal-usulnya. Barusan datang laporan yang mengatakan bahwa Thio Than dan Tong Po-gou telah ditangkap Cu Gwe-beng dan dijebloskan ke dalam penjara langit, konon Thio Than dengan mengandalkan hubungannya dengan kalangan persilatan berhasil melarikan diri, tampaknya pengemis berbaju bersih ini merupakan orang dari alirannya." "Jadi Cu Gwe-beng yang menangkap mereka?" seru So Bong-seng agak tercengang, "mau apa dia menangkap Tong Pogou dan Thio Than?" "Menurut analisa hamba, tampaknya Cu Gwe-beng ingin memancing kedatangan orangorang perkampungan bunga Tho serta para jago dari Tujuh penyamun ke kotaraja menjelang berlangsungnya pertempuran sengit antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, jika situasi bertambah kalut, dialah yang akan jadi nelayan yang diuntungkan." "Bila situasi bertambah kalut, otomatis situasi semakin tidak menguntungkan dia sebagai pejabat tinggi kantor kejaksaan, apa manfaat yang bisa dia raih?" tanya Ong Siau-sik keheranan. Kembali Yo Bu-shia tertawa. "Banyak sekali manfaatnya, pertama, dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk memasukkan laporan ke pihak kerajaan dan minta diijinkan untuk menumpas kekuatan perkampungan bunga Tho serta tujuh penyamun, kedua, dengan lenyapnya Tong Po-gou dan Thio Than, maka kejadian ini bisa menciptakan kesalah-pahaman antara Lui Tun dan Un Ji, buntutnya akan semakin mengobarkan rasa dendam Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, ketiga, jika dia melakukan hal ini karena permintaan orang lain, atau ada kekuatan ketiga yang sedang mendekam sambil menunggu peluang, maka tindakannya ini ibarat menonton harimau berkelahi dari bukit seberang sambil menyulut api membakar gunung." "Kekuatan ketiga" Maksudmu Kwan Jit?" tanya Ong Siau-sik. "Perkumpulan Mi-thian-jit-seng milik Kwan Jit sudah hancur berantakan, kekuatan mereka sudah tak perlu dikuatirkan lagi." "Aku rasa kekuatan mereka tak boleh dianggap enteng," So Bong-seng segera Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menimpali. Diam-diam Yo Bu-shia terkesiap. "Baik!" sahutnya. Selamanya tak pernah memandang enteng kekuatan lawan merupakan kelebihan dari So Bong-seng, sekalipun Yo Bu-shia selalu berpikir panjang dan pandai mengatur strategi, namun dalam hal ilmu silat serta kemampuan menggunakan orang, dia masih ketinggalan jauh bila dibandingkan So Bong-seng. "Toako, apakah kita perlu turun ke bawah?" tanya Ong Siau-sik sambil menunjukkan pengharapan. Loteng warna hijau merupakan tempat tinggal para pentolan Kim-hong-si-yu-lau, ketika So Bong-seng berhasil memaksa Lui Sun dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong melakukan bunuh diri kemudian menguasai seluruh keadaan, racun jahat yang kambuh dalam tubuhnya nyaris membuatnya tak kuasa menahan diri, andaikata tidak segera ditolong Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Setelah kembali ke puncak loteng hijau, secara rahasia dia mengundang tabib Sutayhu untuk melakukan pemeriksaan atas lukanya itu, menurut tabib sakti ini,'hawa racun sudah merasuk naik ke atas, sekalipun berhasil mengendalikan daya kerja racun itu hingga tidak kambuh lagi, bukan berarti bisa mencegah menjalarnya hawa racun itu ke seluruh badan. Maka dia pun menutup diri sambil berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk menghambat menjalarnya hawa racun itu, dia berharap masih ada lima puluh persen kesempatan untuk mempertahankan hidupnya, sekalipun dia sadar, bila ingin membersihkan racun dari tubuhnya, kecuali dia mengamputasi kaki kirinya itu. Menyadari akan kritisnya keadaan, secara terus terang tabib Su-tayhu membeberkan keadaan itu kepada So Bong-seng. Dia tahu, So Bong-seng adalah seseorang yang teguh pendiriannya dan kuat imannya. Selesai mendengar penjelasan itu, sambil tertawa getir ujar So Bong-seng, "Sekarang kau pasti tahu bukan, apa sebabnya akhir-akhir ini aku berusaha menghimpun jago muda sebanyak mungkin?" "Karena kau hendak melangsungkan pertarungan habis-habisan melawan perkumpulan Lak-hunpoan-tong," jawab Su-tayhu. "Kau hanya menebak benar setengahnya. Setelah mendirikan Kim-hong-si-yu-lau, aku berharap bisa menemukan penerus yang baik dan bisa diandalkan, karena itu aku ingin lekas membasmi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, sebab aku tak ingin suatu saat setelah aku tak ada di sini, Kimhong-si-yu-lau berhasil dihancurkan oleh Lak-hun-poan-tong, aku pun ingin sete?lah kematianku, kekuatan Kim-hong-si-yulau tidak berantakan dan tercerai-berai." Setelah menggeleng kepala berulang kali, sambil tertawa getir lanjutnya, "Bila kau telah mendirikan sesuatu kekuatan, maka kau harus punya orang yang mampu melindungi kekuatan itu sepanjang masa, kalau kau tak pandai menghargainya, maka kekuatan itu akan menjadi barang antik, sama sekali tak ada artinya. Yang aku takuti bukan berhasil dilampaui orang, tapi aku takut tak ada orang yang mau berusaha melampaui yang lain." "Benar," pancaran sinar kagum mencorong dari balik mata Su-tayhu. Setelah tertawa kembali So Bong-seng melanjutkan, ''Padahal kau tak perlu sengaja menjawab salah, aku tahu, kau sama seperti Bu-shia, merupakan orangorang cerdas, sayang kalian tidak memiliki semangat untuk mendirikan, tak punya karisma untuk menjadi pewaris, aku hanya berharap di kemudian hari kalian masih bersedia untuk membantu bakal pewarisku itu." "Tapi kau hanya butuh waktu untuk beristirahat, asal cukup beristirahat maka "Coba lihatlah sendiri, dalam keadaan dan situasi seperti ini, mungkinkah bagiku untuk beristirahat"' tukas So Bong-seng tertawa. "Tapi masa depan perkumpulan Lak-hun-poan-tong toh sudah habis." "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong belum punah, apa yang terjadi hanya kekalahan Lui Sun secara pribadi, bila aku harus beristirahat lama di tempat ini, maka banyak kesempatan emas akan terbuang dengan percuma," kata So Bong-seng serius, "sisa kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih cukup menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup perkumpulan kita, belum lagi munculnya musuhmusuh baru yang berusaha memanfaatkan peluang ini. Aku harus sedia payung sebelum hujan, kalau tidak, mungkin kitalah yang akan jadi kambing korban, jika sampai terjadi begitu, menyesal sudah tak ada gunanya lagi." "Tapi paling tidak kau harus istirahat malam ini tukas Su-tayhu menegaskan. "Keberhasilan kita mengalahkan Lui Sun merupakan jasa semua orang, malam ini aku wajib menyelenggarakan pesta kesuksesan untuk mereka semua, bila aku tak hadir dalam pesta ini, orang akan menganggap kita hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain, kemungkinan besar hal ini akan menggoyahkan perasaan Darah Dan Cinta Di Kota Medang 3 Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan Rahasia Dara Ayu 2

Cari Blog Ini