Golok Kelembutan 3
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 3 berteduh. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tahu, hujan bakal turun semakin deras, buru-buru mereka berlari di antara air hujan dan menyusup ke dalam sebuah puing bangunan bekas kebakaran. Biarpun tempat itu dipenuhi puing yang berserakan serta semak setinggi lutut, namun ada beberapa bagian bangunan yang belum roboh sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Dalam keadaan setengah basah, kedua orang itu tiba di tengah puing bangunan, menyaksikan hujan yang turun semakin deras, mereka merasa seakan seperti kehilangan sesuatu. "Deras amat hujan kali ini!" gumam Ong Siau-sik sambil menyeka air yang membasahi badan. "Benar, tampaknya kita bakal berteduh cukup lama Tak lama setelah mereka berteduh, tampak ada empat orang yang berlarian di tengah hujan memasuki puing bangunan itu. Berhubung waktu itu hujan memang turun sangat deras, Pek Jau-hui tidak merasa heran ketika melihat ada empat orang yang ikut berteduh di puing bangunan itu. Setelah memasuki bangunan yang terbengkalai itu, terlihat dua orang berjaga-jaga di depan pintu, sementara dua orang lainnya berjalan masuk ke dalam. Dari dua orang yang berjalan masuk itu, seorang berperawakan tinggi besar, berwajah keren dan bermata tajam, dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sekejap. Sementara seorang yang lain tiba-tiba terbatuk, batuknya sangat keras. Dengan selembar saputangan dia mencoba menutupi mulutnya, tetapi batuknya semakin keras hingga membuat badannya terbungkuk-bungkuk, tubuhnya jadi melingkar macam kura kura, dari suara batuknya, bisa dirasakan betapa menderitanya orang itu. Orang bertubuh tinggi besar itu segera menghampiri rekannya dan berniat menggosok tubuhnya yang basah. Tapi pemuda yang sedang terbatuk-batuk itu segera menggeleng. Noda darah telah membasahi saputangannya yang berwarna putih, sementara sepasang matanya nampak semakin sayu. "Tampaknya penyakit yang ia derita cukup parah," bisik Ong Siau-sik kemudian. "Kita pun segera akan tertular penyakitnya," sambung Pek Jau-hui. "Penyakit apa?" "Penyakit miskin!" Mereka berdua segera tertawa tergelak. Kembali Pek Jau-hui berkata, "Tak heran orang bilang, kemiskinan bisa mematikan orang, jika kita rudin, jangan singgung soal lain, nomor satu yang bakal terhapus dari benak kita adalah semangat." "Benar," Ong Siau-sik mengangguk, "orang bilang kota Kay-hong adalah sarang naga gua macan, harimau sudah banyak bertemu, tapi naga masih bersembunyi Sementara itu suara batuk pemuda itu sudah mulai berhenti, namun dadanya masih nampak bergelombang tak teratur, selangkah demi selangkah ia berjalan menuju ke sisi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, dengan demikian mereka bertiga berdiri berjajar. Hujan masih turun dengan derasnya. Deras sekali, bagaikan dicurahkan dari langit! 11. Manusia di tengah puing Memandang air hujan yang turun dengan derasnya, tanpa terasa Pek Jau-hui bergumam, "Hujan kali ini sungguh deras." "Benar, hujan memang amat deras," sahut Ong Siau-sik. Kongcu berpenyakitan yang berdiri di samping mereka tiba-tiba mendongakkan kepala, memandang hujan di luar puing bangunan, lalu katanya pula, "Benar-benar hujan yang amat deras!" Mereka bertiga sama-sama membicarakan soal hujan, tanpa terasa sorot mata pun dialihkan ke depan sana. Di luar puing bangunan hanya suara hujan yang memekakkan telinga, seorang nenek berbaju compang-camping, berambut putih, sedang berjongkok di sudut dinding sambil mengais barang rongsok yang bertumpuk di situ. Seekor semut tampak sedang merangkak di atas dinding bobrok, beberapa kali berusaha merangkak naik, namun selalu tertahan hembusan angin kencang dari luar, lelaki tinggi besar yang kebetulan berdiri di sisinya menjadi tak sabar, dia menggerakkan jari tangannya, siap menginjak mati semut itu. "Te Hoa!" mendadak Kongcu penyakitan itu menegur, "sekalipun kau tak sabar melihatnya, tidak perlu mesti membunuhnya, dia toh tidak mengganggumu, tidak menutupi jalanmu, kenapa kau mesti berniat membunuhnya" Kenapa tidak membiarkan dia mencari hidup di dunia ini?" "Baik, Kongcu," sahut orang tinggi besar itu sambil meluruskan tangannya ke bawah dengan kepala tertunduk. Biarpun usia Kongcu ini belum terlalu tua, namun sikapnya seakan orang dewasa sedang menegur seorang anak kecil, kembali ujarnya, "Apakah kau kuatir Hoa Buciok gagal menemukan barang antik itu?" "Benar, aku kuatir terjadi sesuatu dengan dirinya," jawab lelaki tinggi besar itu dengan perasaan tak tenang. Kembali Kongcu penyakitan itu mengalihkan pandangan matanya ke arah hujan yang masih turun dengan deras, sekali lagi bara api memancar dari balik matanya. "Selama ini Hoa Bu-ciok pintar dan cekatan, dia tak akan membuat aku kecewa," katanya. Si nenek yang kurus kering dan sedang mengais rongsok di pojok ruangan itu nampak gemetaran keras, mungkin lantaran udara sangat dingin sementara mantel yang dikenakan tak cukup tebal, dia nampak sangat kedinginan. "Wo Hu-cu!" tiba-tiba Kongcu itu berseru. Salah satu di antara dua lelaki yang berdiri di teras depan, seorang lelaki berdandan pegawai keuangan segera menyahut, "Siap!" "Nenek itu nampak kasihan sekali, beri sedekah kepadanya!" Wo Hu-cu menyahut dan segera mengeluarkan dua. tahil perak yang diserahkan ke tangan nenek itu. Tampaknya selama hidup belum pernah nenek itu menerima derma sebesar itu, sesaat ia nampak terperangah. Saat itulah terdengar lelaki yang masih ada di teras depan berseru lirih, "Kongcu!" "Sudah datang?" sekilas perasaan girang melintas di wajah Kongcu penyakitan itu. Lelaki itu berpaling, ternyata orang ini memiliki wajah yang aneh, separuh bagian berwarna hitam dan separuh yang lain berwarna putih, sahutnya pada Kongcu penyakitan, "Hoa Bu-ciok telah datang, di punggungnya menggendong seorang." Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa terperanjat. Ternyata lelaki itu bukan 'melihat' ada orang datang, melainkan mendengar ada orang mendekatinya dari belakang. Jika hal ini terjadi di waktu biasa, kejadian itu tak aneh, tapi waktu itu hujan sedang turun dengan amat derasnya, suara angin gemuruh keras sementara si pendatang bergerak dengan langkah ringan, bahkan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun tidak mendengar apa-apa, tapi nyatanya orang itu bisa mendengar dengan amat jelas. Mengikuti arah yang ditunjuk, Te Hoa ikut berpaling, kemudian serunya dengan nada girang, "Ah, ternyata yang digendong Hoa Bu-ciok adalah si barang antik, barang antik telah berhasil dia tawan!" Mendapat laporan itu, Kongcu penyakitan itu tersenyum. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui saling bertukar pandang sekejap, ternyata yang dia maksud Barang antik bukan barang antik beneran, melainkan seorang manusia. Hoa Bu-ciok dengan membopong seseorang berlarian kencang menerobos air hujan menuju ke dalam puing bangunan, gerakan tubuhnya cepat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Begitu tiba di ruang dalam, ia segera berlutut di hadapan Kongcu penyakitan itu sambil melapor, "Hamba Hoa Bu-ciok memberi salam pada Locu!" "Sudah berulang kali kukatakan, sembah hormat macam ini tak perlu dilaksanakan, bila kau memang benar-benar menghormati aku, turuti permintaanku ini. Di dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, semua anggota adalah sederajat, apalagi berada di tempat musuh yang begini gawat! Masa kau lupa pada pesanku ini?" tegur Kongcu penyakitan dengan hambar. "Baik, Kongcu!" Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik semakin terkesiap dibuatnya. Ternyata Kongcu penyakitan yang terbatuk tiada hentinya dan berbadan kurus kering macam tengkorak ini tak lain adalah ketua dari perkumpulan Kim-hong-siyu-lau. So Bong-seng! Terlebih mereka tak menyangka kalau di tengah puing bangunan yang begini berantakan, di tengah hujan yang begitu deras, mereka dapat berjumpa dengan tokoh sakti yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan. "Bagaimana dengan tugasmu?" terdengar So Bong-seng bertanya lagi. "Hamba telah menggelandang si barang antik datang ke?mari." "Bagus, sadarkan dia!" Hoa Bu-ciok segera menggerakkan tangannya menepuk bebas beberapa totokan di punggung orang itu, kemudian menempeleng wajahnya empat lima kali, sementara Te Hoa meng?guyurkan segayung air hujan yang dingin ke wajahnya. Tak selang berapa lama, orang itu tersadar kembali dari pingsannya. So Bong-seng tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi orang itu dengan pandangan dingin. Ketika orang itu membuka matanya dan melihat So Bong-seng sedang berdiri di hadapannya, ia nampak terkesiap, saking kagetnya sampai berseru tertahan, "So ... So-kongcu!" "Barang antik!" kata So Bong-seng sambil menatap tajam wajahnya, "kau memang bernyali, sayang tidak setia kawan." Barang antik menggelengkan kepala berulang kali, sahutnya sambil tertawa getir, "Kongcu, selama ini Kongcu mengetahui segala sesuatu tentang hamba, di antara enam orang kepercayaan Kongcu, nyaliku terhitung paling payah!" "Kau paling payah?" sekilas cahaya aneh memancar dari balik mata So Bong-seng, seakan bara api di tengah gumpalan salju, "Kau hebat, kau paling bernyali, lihatlah, hingga sekarang pun kau tidak nampak jeri atau takut menghadapiku, tampaknya selama ini aku telah salah menilaimu." "Kongcu harap maklum, Kongcu harap maklum ..." Mendengar sampai di situ, Ong Siau-sik segera berbisik kepada Pek Jau-hui, "Tampaknya mereka sedang menyelesaikan urusan dalam perkumpulan Kim-hong-si-yulau, ada baiknya kita menyingkir saja." "Tapi hujan masih turun sangat deras di luar sana," kata Pek Jau-hui dingin. Ong Siau-sik masih kelihatan agak sangsi. Kembali Pek Jau-hui berkata, "Seluruh kota Kay-hong toh bukan daerah kekuasaan mereka." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Apalagi tempat yang kita pijak saat ini tidak seberapa besar." Perkataan itu seketika menyadarkan Ong Siau-sik akan saru hal, ia berbisik pula, "Benar, selama ini wilayah Ku-sui-poh merupakan daerah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kedatangan So-kongcu untuk menangkap orang di tempat ini boleh dibilang sudah merupakan satu pelanggaran daerah." Pek Jau-hui manggut-manggut. "Kalau sampai Locu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau datang sendiri kemari, jelas persoalan ini bukan urusan kecil." Terdengar So Bong-seng kembali berkata dengan suara dalam, "Sekarang, Wo Hu-cu, Su Bu-kui, Te Hoa, Hoa Bu-ciok dan kau sudah datang, tinggal Yo Bu-shia yang belum hadir, coba katakan, perlakuanku yang mana terhadap kau yang dianggap kurang baik" Mengapa kau begitu tega menjual enam kantor cabang berikut keempat ratusan anggotanya termasuk tulang belulang mereka kepada perkumpulan Lak-hunpoan-tong?" Si Barang antik menundukkan kepala, tak sanggup men?jawab. "Ayo, katakan!" hardik So Bong-seng lagi. Te Hoa yang berada di sampingnya ikut berseru sambil tertawa dingin, "Kau tak mengira bakal kami tangkap bukan! Hmmm, jangan dianggap setelah bersembunyi di wilayah Ku-sui-poh lantas kau bisa menikmati kehidupan yang mewah dan sentosa. Kau telah membuat beribu orang anggota Kim-hong-si-yu-lau jadi yatim piatu, biar bersembunyi di ujung langit pun kami tetap akan menyeretmu keluar!" "Andaikata bukan berkat jasa Hoa Bu-ciok, kami pun belum tahu kalau sejak setengah bulan lalu perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah memindahkan kekuatannya ke wilayah seputar Po-pan-bun," kata So Bong-seng lagi, "kedatangan kami kali ini memang sengaja membawa serta saudara senasib se-penderitaanmu, kami hanya ingin bertanya satu hal saja kepadamu, mengapa kau berbuat begitu?" Perkataannya yang terakhir ini diucapkan dengan suara keras bagai guntur. Sekujur badan si Barang antik bergetar keras, bibirnya kelihatan gemetar namun tak sepatah kata pun yang diucapkan. Dalam pada itu, lelaki berwajah hitam putih itu masih tetap berjaga di depan teras rumah, Wo Hu-cu pun tetap berdiri di depan si nenek itu, tampaknya mereka telah meningkatkan kewaspadaannya untuk mengawasi gerak-gerik Ong Siau-sik dan Pekjau-hui. "Ayo, jawab!" terdengar Te Hoa kembali menghardik, "jawab, apakah kau tidak malu terhadap Kongcu, tidak malu terhadap kami semua?" Mendadak si Barang antik mendongakkan kepalanya, lalu balik bertanya, "Kau benar-benar menyuruh aku menjawab?" "Hmmm, akan kulihat perkataan apa yang bisa kau ucapkan!" Te Hoa mulai tertawa seram, tertawa penuh kegusaran. "Baik, akan kukatakan," setelah menghembuskan napas panjang, lanjutnya, "Kesalahan kalian justru terletak pada kasus ini." Begitu selesai dia mengucapkan perkataan itu, terjadilah perubahan yang luar biasa di tengah arena kejadian, perubahan yang di luar dugaan siapa pun. Sedemikian hebat terjadinya perubahan itu sehingga Pek Jau-hui serta Ong Siausik yang berada di sisi arena pun ikut terkesiap dibuatnya. Tiba-tiba tubuh si Barang antik melejit ke tengah udara. Padahal tadi ia terkapar dalam keadaan lemas, paling tidak ada empat-lima buah jalan darah penting di tubuhnya masih tertotok, namun loncatannya kali ini luar biasa, tampaknya sudah dipersiapkan sejak tadi. Sambil melejit ke udara, tangannya diayunkan berulang kali, melolos sebilah golok baja. Tampak sekilas cahaya hijau berkelebat, tahu-tahu golok itu sudah dihujamkan ke lambung Te Hoa. Menghujam dari bawah menuju ke atas. Mimik muka Te Hoa nampak mengenaskan, mimik muka seorang yang menahan rasa sakit, rasa sakit yang luar biasa hebatnya karena jantung dan paru-parunya hancur tersayat. Pada saat bersamaan, ketika So Bong-seng siap melancarkan serangan, Hoa Bu-ciok sudah turun tangan terlebih dulu. Begitu kepalanya ditundukkan ke depan, dari belakang punggungnya paling tidak muncul dua puluh lima jenis senjata rahasia yang serentak menyergap ke tubuh So Bong-seng. Setiap ujung senjata rahasia itu terbias warna biru yang menggidikkan, jelas semuanya telah dibubuhi dengan racun jahat bahkan dilepaskan dari sebuah alat pelontar dengan alat pegas yang kuat, cepat, tepat, ganas, pada hakikatnya sulit untuk dihindari, susah dihadapi. Waktu itu konsentrasi So Bong-seng sudah terpecah karena serangan bokongan dari si Barang antik, selain itu dia pun sedang berusaha menyelamatkan jiwa Te Hoa, orang kepercayaan?nya dari serangan maut Hoa Bu-ciok. Dalam keadaan begini So Bong-seng segera membentak keras, jubah panjangnya dikebaskan berulang kali, dalam waktu sekejap dia melakukan gulungan, puntiran, kebasan dan kebutan di sekeliling tubuhnya, dalam waktu sekejap seluruh senjata rahasia yang menyelimuti angkasa itu sudah lenyap tak berbekas. Namun sayang, masih ada sebatang, sebuah jarum sebesar kacang kedelai yang menghajar kakinya. Melihat gelagat tidak menguntungkan, buru-buru Wo Hu-cu menggerakkan tubuhnya, siap menerjang ke depan So Bong-seng untuk memberi bantuan. Belum sempat ia bertindak, tiba-tiba si nenek yang sedang mengais barang rongsok itu telah mengayunkan tangannya, selimut dekil yang berada dalam genggamannya langsung menyapu wajah Wo Hu-cu. Selapis angin berbau amis menyebar ke udara dan menyambar ke arah wajahnya. Wo Hu-cu terkesiap, dia tahu bau amis itu merupakan ciri khas dari Bu-mia-thianih (baju langit tak bernyawa) milik To-cu-popo si nenek kacang kedelai yang berasal dari bukit Ci-lian-san, bila terkena sambaran itu, niscaya sekujur badannya akan membusuk dan akhirnya mati, apalagi jika kepalanya sampai terkerudung" Bu -mia-thian-ih dengan membawa deruan angin tajam langsung menyambar tiba dan mengurung sekeliling arena, Wo Hu-cu tak berani ayal, lekas dia melejit ke samping, berusaha menghindarkan diri. Sekali melejit ia sudah melompat naik ke atas tiang peng-lari, kemudian melejit Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekali lagi melambung di atas puing bangunan dan bergerak ke dalam, targetnya saat itu adalah berusaha menolong So-kongcu, sementara keselamatan sendiri merupakan urusan kedua. Sungguh cepat gerakan tubuhnya, tapi ada tiga batang senjata rahasia yang bergerak jauh lebih cepat, jauh lebih ringan daripada gerakan tubuhnya. Wo Hu-cu segera sadar akan datangnya bahaya, segera dia mengegos ke samping berusaha menghindarkan diri, sayang ketiga batang jarum lembut itu bergerak lebih cepat, belum sempat ia mengegos, ketiga batang senjata itu tanpa menimbulkan suara sudah menembus tulang punggungnya. Menyusul melesatnya jarum beracun, dinding bangunan hancur berantakan dan terberai di atas permukaan tanah. Si pembokong muncul dari balik reruntuhan dinding, ternyata dia adalah seorang Hwesio kepala gundul, di tangan kirinya dia membawa mangkuk, tasbih tergantung di leher, sementara tangan kanan digunakan untuk melepaskan jarum. Rupanya semenjak tadi ia sudah bersembunyi di belakang dinding sambil menunggu kesempatan. Entah sudah berapa lama orang ini bersembunyi di belakang dinding, tujuannya tak lain hanya ingin melepaskan ketiga batang jarum lembut yang lebih ringan dari angin, lebih cepat dari petir dan lebih bening daripada air hujan ini. Kembali terjadi perubahan dalam arena pertarungan. Tubuh Wo Hu-cu yang bergerak ke depan tiba-tiba menggeliat beberapa kali, gerakan ini tidak membuat gerak serangannya menjadi kendor ataupun melemah. Tahu-tahu badannya sudah meluncur tiba di depan So Bong-seng dan membendung datangnya serangan Hoa Bu-ciok. "Blaaaamm!", diiringi suara benturan nyaring, Hoa Bu-ciok memuntahkan darah segar, segera ia melompat mundur ke belakang. Sambil membalikkan badan, sekali lagi Wo Hu-cu melancarkan satu bacokan, ketika si Barang antik harus menyambut serangan itu dengan kedua tangannya, lagi-lagi dia menjerit kesakitan, badannya mencelat sejauh beberapa tombak dan mulai memuntahkan darah segar. Saat itulah si nenek sudah merangsek tiba, dalam keadaan begini lagi-lagi Wo Hucu membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan. "Blaaam!", sekali lagi terjadi benturan keras, si nenek harus membendung datangnya ancaman, dengan sebuah tangkisan keras lawan keras ia terdorong mundur sejauh tujuh delapan langkah sebelum berhasil berdiri tegak. Sebaliknya Wo Hu-cu sudah tak mampu menahan diri lagi, ia mendengus tertahan, tubuhnya goyah dan darah warna hitam mulai meleleh keluar dari ujung mata dan lubang hidungnya. Melihat lawannya sudah terluka parah, si nenek kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik baru bisa menghembuskan napas lega, kembali mereka merangsek maju menghampiri Wo Hu-cu. Mereka tahu saat ini adalah saat penentuan mati hidup mereka, tapi juga merupakan kesempatan terbaik untuk mengukir jasa dan menciptakan nama besar. Siapa pun tak ingin melepaskan kesempatan emas ini, bahkan siapa pun tak dapat melepaskannya begitu saja. Kini keadaan ibarat anak panah yang sudah dipentang di atas busur, mau tak mau harus dilepaskan juga. Bila serangan ini gagal mengenai sasaran, dapat dipastikan So Bong-seng pasti akan mencari mereka untuk membuat perhitungan! Dalam pada itu So Bong-seng telah menyingkap jubah panjangnya sambil berjongkok, senjata rahasia sekecil kacang hijau itu sudah menghajar kaki kirinya secara telak, luka yang membuatnya tak leluasa untuk bergerak. Tanpa pikir panjang lagi segera ia melolos sebilah golok, sebilah golok yang sangat indah, seindah bisikan lirih seorang gadis cantik, sangat menggetarkan perasaan, sangat membetot sukma. Mata golok berwarna hijau bening dengan tubuh golok bergaris merah, bagaikan sebuah kaca kristal yang tembus pandang membungkus tulang berwarna merah, cahaya golok pun bening bagai selapis air berwarna merah. Golok itu sangat pendek, lekukan golok ramping bagai pinggang seorang gadis, ketika golok itu bergerak, lamat-lamat membawa suara dentingan lirih bagai suara lonceng dari surga, bahkan terendus pula bau harum yang semerbak. Golok itu merupakan sebilah golok yang membuat orang jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat orang sukar untuk melupakannya sepanjang masa. So Bong-seng mengayunkan golok ke tubuh sendiri, menyayat segumpal daging di sekeliling kaki kirinya yang terhajar senjata rahasia sebesar kacang hijau itu. Ketika mengiris sepotong daging tubuh sendiri, dia seakan sedang memetik sebiji buah masak dari atas ranting pohon, begitu sederhana, begitu leluasa .... Darah dengan cepat meleleh keluar dari lukanya, membasahi celananya dan tercecer ke atas lantai, namun ia tidak merintih, tidak mengaduh, mengernyitkan alis mata pun tidak. Malah penyakit batuk yang dideritanya pun seakan turut hilang. Selesai menyayat segumpal daging di atas kakinya, kembali ia tempelkan tangan kanannya ke punggung tubuh Wo Hu-cu. Mendadak golok aneh yang berada dalam genggamannya itu mulai memancarkan sinar aneh, sinar berwarna merah darah. Tangan kanannya bagaikan sedang memetik alat musik saja mengayun, menotok, menjojoh, menepuk, mendorong, mencengkeram, melumat dan meremas ke setiap sudut udara, sementara golok di tangan kirinya membendung datangnya serangan mematikan dari si nenek kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik. Bukan hanya itu saja, malah dengan satu ayunan kilat dia tebas batok kepala si Barang antik! Tak terlukiskan rasa kaget dan ngeri si nenek kedelai serta Hoa Bu-ciok menghadapi serangan balasan semacam ini, segera mereka melompat mundur. Sekilas Hoa Bu-ciok sempat menyaksikan batok kepala si Barang antik terbang lepas dari tubuhnya, dia malah sempat menyaksikan sepasang biji matanya yang melotot keluar karena ketakutan. Tak kuasa menahan rasa ngeri dan seramnya, ja segera menjerit keras, "Golok Angsiu-to!" Golok baju merah, Ang-siu-to! Tangan kanan So Bong-seng masih tetap digunakan untuk menolong Wo Hu-cu sementara golok di tangan kirinya telah berhasil membunuh seorang musuh dan memukul mundur dua musuh lainnya, terbukti betapa hebat kemampuan yang dimiliki orang ini. Selesai memenggal batok kepala seorang lawannya, tampak cahaya merah yang memancar keluar dari golok itu bertambah terang dan bercahaya. Golok apakah itu" Sebilah golok dewa" Atau sebilah golok iblis" Bagaimana pula dengan si pemegang senjata itu" Apakah dia adalah-Dewa golok" Atau justru Iblis golok" Tatkala Wo Hu-cu meluncur ke depan berusaha menolong So Bong-seng tadi, si Hwesio gundul berbaju perlente itupun sudah muncul dari tempat persembunyiannya, dia berniat menghadang jalan pergi Wo Hu-cu, tapi Te Hoa segera menghadang jalan perginya. Waktu itu Te Hoa sudah mencabut keluar pisau belati yang menancap di atas dadanya dan melibatkan diri dalam pertarungan sengit melawan Hwesio itu. Dalam keadaan seperti ini dia hanya tahu akan satu hal, beri waktu dan kesempatan secukupnya untuk So-kongcu agar ia bisa menarik napas sambil mempersiapkan diri! Asal So Bong-seng punya kesempatan untuk menarik napas dan mempersiapkan diri, biar harus mati, dia akan mati dengan mata meram. Bukan hanya Te Hoa seorang yang berpikiran begitu, Wo Hu-cu juga mempunyai pemikiran demikian, bahkan Su Bu-kui pun mempunyai pikiran yang sama. v Ketika So Bong-seng, Wo Hu-cu dan Te Hoa berada di dalam puing bangunan disergap oleh si Hwesio berbaju perlente, nenek kedelai, Barang antik dan Hoa Bu-ciok, di luar bangunan runtuh itu masih ada seorang jago yang sedang berjaga, dia adalah si wajah Im-yang, Su Bu-kui. Tapi musuh berhasrat membinasakan So Bong-seng, mana mungkin mereka membiarkan Su Bu-kui tetap berdiri mengang?gur" Hampir pada saat bersamaan, dinding bangunan kuno yang ada di Ku-sui-poh itu roboh ke tanah. Bersama dengan robohnya seluruh dinding bangunan itu, paling tidak ada empat ratusan anak panah bersama-sama dilepaskan ke tengah arena. Menyaksikan datangnya ancaman itu, mustahil bagi Su Bu-kui untuk menghindarkan diri. Dia memang tak mungkin bisa menghindar, sebab sekali dia berkelit, maka seluruh ancaman anak panah itu akan meluncur ke arah So-kongcu! Dalam keadaan begini, hanya ada satu jalan yang bagi Su Bu-kui, yaitu menghadapinya dengan keras lawan keras. Ketika dua ratusan batang anak panah meluncur datang, paling tidak ia sudah membendung seratus delapan puluhan panah di antaranya, senjata andalannya adalah sebilah golok besar berkepala naga, golok yang diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan suara menderu dan lapisan bayangan yang menyilaukan mata. Sehebat dan setangguh apa pun ilmu goloknya, mustahil baginya untuk merontokkan semua anak panah yang diarahkan ke dalam puing bangunan, maka ia tetap terhajar dua batang anak panah. Baru saja serangan gelombang pertama selesai meluncur, kini giliran serangan gelombang kedua dibidikkan para pemanah. Su Bu-kui meraung keras, goloknya menyapu melintang, kembali sebagian dinding bangunan tersapu roboh dan berse?rakan kemana-mana. Hujan deras, awan mendung ditambah debu yang beterbangan karena ambruknya dinding, membuat para pemanah kesulitan mengarah sasarannya secara tepat, kembali Su Bu-kui memutar goloknya menyapu ke belakang, berusaha mendesak mundur si Hwesio perlente dari posisinya. Begitu musuh berhasil dipaksa mundur, Te Hoa pun roboh lemas dalam rangkulannya. Paras muka rekannya itu pucat kehijau-hijauan, mengenaskan sekali keadaannya. Dalam pada itu So Bong-seng dengan mengandalkan goloknya kembali berhasil membantai seorang musuhnya dan membuat takut dua orang musuh yang lain, sementara telapak tangannya masih menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Wo Hu-cu. Tak selang lama, dari belakang punggung Wo Hu-cu mencuat keluar dua batang jarum berwarna bening, mencelat keluar dari balik daging dan rontok ke tanah. Saat itulah Wo Hu-cu mendengus tertahan, paras mukanya jauh lebih merah cerah, serunya sambil tertawa getir, "Kongcu, aku sudah tak tahan lagi, aku tak sempat menghimpun tenaga untuk menghadang jalannya racun, sebatang jarum pelumat tulang telah menyusup ke otakku." Waktu itu si Hwesio perlente, si nenek kedelai maupun Hoa Bu-ciok sudah mundur dari arena, sementara keempat ratus orang pemanah itu menerobos maju ke depan dan mengepung puing bangunan itu dengan rapat, mereka terbagi dua barisan, satu baris berdiri dan satu baris berjongkok, mereka telah mementang busur dan siap melepaskan anak panah. ooOOoo 12. Tak pernah mencurigai saudara sendiri Orang bilang "Tombak gampang dihindari, panah gelap susah dihindari", padahal panah yang datang secara terang-terangan pun tidak mudah untuk ditangkis. Seperti misalnya terkepung rapat oleh pemanah yang sangat terlatih saat ini, menanti mereka melepaskan keseratus anak panah yang digembolnya, kendatipun sangat hebat dan amat tangguh juga akan berubah jadi seekor landak dan tak sanggup melancarkan serangan balasan. Kini barisan pemanah yang ada di deretan depan sudah mulai melepaskan panahnya. Mendadak So Bong-seng melakukan satu tindakan. Ia sambar mayat si Barang antik, lalu dilemparkan ke tubuh Su Bu-kui. Tindakannya itu menyelamatkan Su Bu-kui dari ancaman kematian! Berhasil dengan tindakannya itu, So Bong-seng kembali menggunakan mayat si Barang antik sebagai tameng untuk melindungi diri dari ancaman. Wo Hu-cu tidak tinggal diam, ia berteriak keras sambil me?lompat bangun, kemudian badannya berputar kencang bagaikan gangsing. Dia melindungi belakang tubuh So Bong-seng. Dengan adanya perlindungan pada bagian belakang, maka cukup bagi So Bong-seng untuk menangkis datangnya panah yang mengarah dari kiri, kanan serta depan. Tak heran begitu selesai serangan itu dilancarkan, tubuh Wo Hu-cu ikut roboh ke tanah, namun ia tidak membiarkan badannya terjerembab, ia tetap mencoba berjongkok, menopang di atas panah yang menghujam tubuhnya. Rupanya dia menjadi sasaran tembak para pemanah itu. Dua batang anak panah kembali menghajar tubuh Su Bu-kui, sementara Te Hoa terhajar empat batang panah. Kini barisan kedua pemanah itu sudah bersiap, mulai melepaskan panah mereka. Anak panah bagaikan hujan deras segera berhamburan ke seluruh penjuru ruangan. Akhirnya, dari balik mata So Bong-seng memancar keluar sekilas cahaya yang sangat aneh, cahaya keputus-asaan seorang Enghiong yang sudah terdesak dan menemui jalan buntu, cahaya nekat seorang pahlawan yang siap mengadu nyawa. Di saat yang amat kritis itulah mendadak kawanan pemanah yang berjajar rapi, tahu-tahu sudah bergelimpangan ke sana kemari bagaikan digulung ombak samudra, mereka yang tak roboh segera membalikkan tubuh melakukan perlawanan, sayang, ibarat salju yang terkena air panas, tak lama kemudian hampir sebagian besar sudah terkapar di tanah. Tampak dua orang pemuda berlompatan di tengah kerumunan orang banyak, siapa yang terbentur seketika roboh terjengkang, tak lama kemudian sudah empat-lima puluhan orang yang roboh terkapar. Para pemanah sisanya jadi keder, melihat kepungan mereka sudah bobol, khususnya ketika terbayang keampuhan golok di tangan So Bong-seng, hampir sebagian besar di antara mereka segera membuang busurnya ke tanah, kemudian membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit. Kelebihan dari kerja kelompok adalah di saat mereka bersatu-padu, maka kekuatannya kukuh bagaikan batu karang, tapi jeleknya, bila masing-masing sudah mulai memikirkan keselamatan sendiri, kelompok itu akan buyar bagaikan setumpuk pasir tersapu angin. Asal ada satu orang saja di antara mereka yang melarikan diri, maka rekan lainnya pasti akan mengikuti jejaknya. Alhasil, kecuali mreka yang sudah telanjur roboh, delapan puluh persen pemanah lainnya segera meninggalkan medan laga dan berusaha melarikan diri. Ketika terjadi penyergapan secara tiba-tiba tadi, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera menyadari kalau keadaan tak beres, secepat kilat mereka segera mengeluyur keluar dari puing bangunan itu. Untungnya perhatian para penyergap hanya tertuju pada So Bong-seng seorang, sehingga mereka sama sekali tak mempedulikan tingkah laku mereka. Menanti kawanan pemanah itu mengepung rapat seluruh puing bangunan itu, Pek Jauhui baru bertanya kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana" Apakah kita perlu turun tangan?" "Perlu!" sahut Ong Siau-sik cepat, "aku rasa So-kongcu adalah seorang lelaki saleh yang berjiwa ksatria, anak buahnya pun hebat dan bagus, bagaimana dengan pandanganmu?" "Aku pikir, inilah saat yang tepat bagi kita untuk belajar praktek." "Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku." "Katakan saja." "Sebisa mungkin jangan membunuh orang." "Baik," sahut Pek Jau-hui cepat, "aku bersedia bukan lantaran mengabulkan permintaanmu, tapi demi kepentinganku sendiri, aku pun tak ingin terlalu dimusuhi orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, terlebih tak ingin dimusuhi Lu i Sun!" Walaupun dia hanya berbicara beberapa patah kata, namun belum lagi dia menyelesaikan kata-katanya, So Bong-seng sudah terancam bahaya maut, maka tanpa membuang waktu lagi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera turun tangan bersama. Mereka menerjang dari belakang barisan kawanan pemanah itu, begitu turun tangan langsung mengumbar kehebatannya dengan tujuan agar nyali musuh pecah dan keder. Jari tangan Pek Jau-hui menyambar kian kemari bagai sambaran petir, semua sodokannya diarahkan ke jalan darah penting di tubuh lawan. Sementara Ong Siau-sik menggunakan tepi telapak tangannya sebagai pengganti golok, bacokan demi bacokan dilancarkan, kekuatan yang digunakan pun tidak berat juga tidak enteng, tujuannya hanya membuat pingsan orang-orang itu. Begitu melihat munculnya kedua pemuda itu mengobrak-abrik barisan musuh, sekali lagi sorot mata So Bong-seng berubah jadi angkuh, dingin bahkan menggidikkan siapa pun yang melihatnya. Ia menghampiri Wo Hu-cu dan membangunkannya, namun sekujur badan anak buahnya itu sudah dipenuhi anak panah, tubuhnya bagaikan sasaran bidikan, persis seperti seekor landak. Kemudian dia pun menengok Te Hoa, tapi sayang Te Hoa sudah tewas, orang ini mati dengan mata melotot, seakan dia mati dengan perasaan tak rela, mati penasaran, mati dengan penuh kemarahan yang meluap. So Bong-seng tidak melakukan apa-apa, dia hanya berbisik, "Aku pasti akan membalaskan dendam kematianmu!" Ucapan yang diutarakan dengan sangat tegas, setegas paku yang terbuat dari baja. Setetes air hujan meleleh jatuh dari atap bangunan, persis jatuh di bawah alis mata Te Hoa, di atas kelopak matanya, tiba- tiba Te Hoa memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya seakan merasa tenteram setelah mendengar perkataan So Bongseng itu, karena itu dia mati dengan mata meram. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Perlahan-lahan So Bong-seng bangkit berdiri. Saat itulah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah berhasil menguasai keadaan. Su Bu-kui terhajar empat batang panah, tapi beruntung tidak bersarang di bagian tubuh yang mematikan, dia biarkan anak panah tetap menancap di tubuhnya, sama sekali tak berniat mencabutnya keluar. Sisi wajahnya yang hitam kini terlihat semakin hitam, sementara sisi yang berwarna putih nampak jauh lebih putih. "Mengapa kau tidak mencabut anak panah itu?" So Bong-seng menegurnya. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengobati luka," jawab Su Bu-kui sambil tetap berdiri tegak. "Bagus sekali, si Barang antik mengkhianati kita, menjual nyawa lima ratus orang saudara kita, kusuruh Hoa Bu-ciok pergi membekuknya, tapi ternyata dari enam orang saudara sejatiku, kini hanya tersisa kau serta Yo Bu-shia," sorot mata sebara kobaran api memancar dari balik matanya, "kematian Wo Hu-cu dan Te Hoa disebabkan ulah si Barang antik dan Hoa Bu-ciok, kini si Barang antik sudah mampus, Hoa Bu-ciok pun sama saja, sudah mati." "Benar," Su Bu-kui mengangguk. Menyaksikan berlangsungnya tanya jawab itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hanya bisa saling pandang. Lama kemudian Pek Jau-hui baru berseru lantang, "He, kami telah menolongmu, kenapa kau tidak berterima kasih kepadaku?" "Aku tak pernah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui ucapan," jawab So Bong-seng hambar. "Kau pun tidak mencoba bertanya siapa nama kami?" kata Ong Siau-sik pula. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk saling bertanya nama." "Kapan saatnya?" tanya Ong Siau-sik keheranan. Sambil menuding jenazah Wo Hu-cu dan Te Hoa yang tergeletak di lantai, sahut So Bong-seng, "Tunggu sampai aku selesai membalas dendam dan balik lagi kemari dalam keadaan hidup." "Balas dendam adalah urusan kalian," jengek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Juga urusan kalian berdua." "Mereka sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua." "Aku pun tak punya hubungan apa pun dengan kalian." "Menolong kau hanya terdorong oleh perasaan iseng, kami hanya menganggap pertarungan ini sebagai sebuah permainan." "Sayang permainan ini belum waktunya selesai." "Jadi kau menyangka kami akan ikut bersamamu pergi membalas dendam?" sela Ong Siau-sik keheranan. "Bukan menyangka, tapi kalian pasti akan ikut," sahut So Bong-seng seraya menggeleng. Ong Siau-sik semakin tercengang dibuatnya. "Kapan kau akan berangkat?" tanya Pek Jau-hui tiba-tiba. "Kapan?" So Bong-seng tertawa dingin, "tentu saja sekarang." "Sekarang"!" Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik menjerit berbareng saking kagetnya. Mereka punya mata dan sepasang mata mereka dalam keadaan sehat, tentu saja kedua orang itu dapat melihat kalau So Bong-seng sudah terluka, anak buahnya juga tinggal satu orang. "Tapi ... tapi ... kau hanya memiliki seorang saudara, itupun sudah terluka," seru Ong Siau-sik tak tahan. "Aku terluka, dia terluka, sisanya sudah mati semua," So Bong-seng tertawa perlahan, "kami sudah tak mungkin pulang lagi, bukankah saat ini merupakan saat yang sangat tepat?" Dengan sorot mata yang dingin dan tajam ia memandang Ong Siau-sik dan Pek Jauhui sekejap, seketika itu juga kedua pemuda itu merasa seakan ada hawa dingin yang membekukan tubuh menyusup ke hulu hati mereka. "Penyergapan licik yang dilancarkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong baru saja lewat, terlepas mereka sedang merayakan kemenangan ini atau mulai melakukan persiapan lagi, kita langsung membuntuti mereka sambil melancarkan serangan balasan, maka mereka pasti belum sempat mengatur kembali kekuatannya, mereka pasti tak akan menyangka dan menduga akan serbuan ini. Bila kita tunda penyerangan sampai besok, mereka pasti sudah menghimpun kekuatan untuk melindungi Hoa Bu-ciok, bisa jadi mereka justru akan menggunakan dia sebagai umpan untuk memancing kita masuk perangkap, lalu menghabisi kita semua. Sayang kami justru melancarkan serangan balasan pada saat ini juga!" Bicara sampai di sini, sikap angkuh dan jumawanya kembali melintas di wajahnya, dia melanjutkan, "Apalagi sebagai seorang lelaki sejati, pertarungan boleh kalah, namun harga diri tak boleh hilang. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah menewaskan empat orang anak buahku, maka aku pun harus membuat dia merasakan bagaimana tersiksanya bila kehilangan lengan kanannya!" Lalu kepada anak buahnya dia bertanya, "Bu-kui, sudah siap?" "Sudah siap!" jawab Su Bu-kui cepat, biarpun tubuhnya sudah terhajar empat batang panah, namun ia masih berdiri tegar bagaikan seorang panglima perang. "Menurut penilaianmu, orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan membawa Hoa Bu-ciok pergi kemana?" "Po-pan-bun." "Berapa bagian keyakinanmu?" "Enam bagian." "Baik, asal ada keyakinan enam bagian, kita bisa segera melaksanakan rencana ini." "Apakah kau akan berangkat sekarang juga?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya. So Bong-seng tertawa, wajahnya kelihatan sedikit mengejang, "Memangnya harus menunggu sampai hujan reda?" balik tanyanya. "Orang-orang yang tergeletak di sini kebanyakan hanya tertotok jalan darahnya, bila kau tidak membantai mereka semua, kemungkinan besar mereka akan melaporkan kejadian ini kepada atasannya, kau akan meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari." So Bong-seng mendengus angkuh. "Hmm, aku tak akan membunuh mereka, pertama, aku tak pernah membunuh prajurit tanpa nama, apalagi manusia lemah yang sudah kehilangan tenaga perlawanannya, kedua, jika sekarang juga aku berangkat, secepat apa pun mereka berjalan, tak nanti bisa mendahului kecepatan kami. Ketiga, aku memang berniat menyerang mereka, jadi aku tak kuatir mereka melakukan persiapan, yang ingin kuhancurkan adalah seluruh perkumpulan Lak-hunpoan-tong, bukan cuma seorang pemanah." "Aduh celaka!" mendadak Ong Siau-sik berteriak. "Apanya yang celaka?" tanya So Bong-seng agak tertegun. "Kalau ada pertunjukkan sebagus ini, tidak bagus kalau aku tak ikut pergi!" sembari berkata dia melepas kain pembungkus sarung pedangnya, lalu dibuang. Sorot mata So Bong-seng yang semula dingin membekukan, kini seakan memancarkan sinar kehangatan. "Betul!" sambung Pek Jau-hui sambil menghentakkan kakinya, "kalau benar bakal terjadi pertunjukkan sebagus ini, mana boleh tak ada aku?" Sambil berkata dia pun ikut membuang tumpukan lukisan yang semula dijepit di bawah ketiaknya. Kini sinar yang mengandung senyuman mulai memancar keluar dari balik mata So Bong-seng, tapi hanya sebentar, kemudian sorot matanya kembali murung dan dingin. Tanpa banyak bicara dia segera melesat keluar, menerobos hujan. Su Bu-kui tak mau ketinggalan, ia segera menyusul di belakangnya. ooOOoo "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai dua belas orang Tongcu, sejak Ho Tong tewas di wilayah Ouw-pak, sisanya tinggal sebelas orang. Jagoan yang tadi melakukan penyergapan adalah Tongcu ketujuh si nenek kedelai serta Tongcu kedelapan si Hwesio perlente. "Kawanan pemanah yang mereka datangkan tadi adalah pasukan pemanah yang sudah menjalani pendidikan secara ketat dan penuh disiplin, biasanya kehadiran mereka selalu diiringi Tongcu kesepuluh Sam-cian Ciangkun, Panglima tiga panah, jadi menurut dugaanku, dia pasti sudah muncul di sini. Sementara daerah Po-pan-bun biasanya dijaga secara ketat oleh anggota keluarga Lui, yaitu Lui Kun." Demikian Su Bu-kui memberi penjelasan kepada Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tentang keadaan musuh mereka sepanjang perjalanan. "Kali ini Lui Sun tidak turut dalam penyerangan, aku rasa hal ini disebabkan dia sudah termakan laporan Hoa Bu-ciok yang mengatakan kalau Si Say-sin dan Mo Paksin dari empat malaikat sakti perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau berada di empang Tiok-lu-tong, mungkin dia akan turun tangan sendiri untuk melenyapkan kedua orang musuh bebuyutannya itu hingga tidak ikut serta dalam penyerbuan tadi." "Kalau begitu, bukankah posisi Si Say-sin dan Mo Pak-sin jadi sangat berbahaya?" tanya Ong Siau-sik penuh rasa ingin tahu. Dia jadi teringat luka yang diderita Tio Thiat-leng. "Padahal berita itu sebenarnya hanya berita bohong, ke-pergian Lui Sun pasti akan menubruk tempat kosong bahkan bila kurang hati-hati, dia malah bisa terperangkap oleh jebakan yang kami persiapkan," Su Bu-kui menerangkan, "saudara Yo dan Kwik Tang-sin dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau telah mempersiapkan segala sesuatunya secara hebat, kami tak kuatir Lui Sun mengirim penyusup ke situ untuk mencari berita." "Kalau toh sejak awal kalian sudah waspada terhadap Hoa Bu-ciok, kenapa kalian tetap membiarkan dia masuk perangkap?" tanya Pek Jau-hui. "Sewaktu menyiarkan berita bohong itu, kami sama sekali tak berniat mempermainkan Hoa Bu-ciok, aku pun tidak tahu siapa pengkhianat yang telah dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menyusup jadi mata-mata, waktu itu aku bermaksud melepas berita bohong, baru setibanya di Ku-swi-po aku ceritakan kejadian yang sebenarnya kepada semua anggota rombongan. Tak disangka Hoa Buciok ternyata adalah seorang pengkhianat yang kemaruk harta. Jika Lui Sun pulang dengan hasil nihil, sementara rombongan mereka yang berusaha mencabut nyawa kami pun pulang dengan kegagalan, pertunjukkan bagus pasti akan segera terjadi." Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya, "Padahal meskipun hari ini dia berhasil membunuhku, dengan tindakannya memberi laporan palsu, Lui Sun pasti tak akan melepaskan dirinya begitu saja. Hmmm, kalian tahu manusia macam apakah Lui Sun itu"!" Air hujan telah membasahi alis matanya yang mirip alis setan, namun tak mampu memadamkan cahaya api yang memancar keluar dari balik matanya, "Aku tak pernah mencurigai Hoa Bu-ciok ... aku tak pernah mencurigai saudara sendiri!" Mereka berlarian di tengah hujan deras, menentang angin, menerjang air hujan, hawa dingin yang membekukan badan tak mampu memadamkan api yang membakar hati semua orang. Api itu telah melekat pada keempat orang itu, bara api membuat mereka seakan terhubung satu dengan yang lain. Kehidupan manusia di dunia ini panjang dan penuh lika-liku, kapan harus melepas budi kapan harus bertemu dendam, siapa pun tak bisa meramalkan. Jika suatu saat dapat bersenang-senang kenapa tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melampiaskan kesenangan" Keacuhan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik seketika tersapu sirna oleh keangkuhan So Bong-seng, semangat tempur tiba-tiba berkobar di hati setiap orang, bergabung dengan Su Bu-kui, mereka serentak berangkat menuju ke Po-pan-bun. Sebenarnya tempat macam apakah Po-pan-bun (pintu papan rongsok) itu" Sebenarnya Po-pan-bun adalah nama sebuah simpang tiga, bisa dinamakan demikian karena jalan keluar dari ketiga buah jalan itu harus melalui sebuah papan nama yang sudah kuno dan rongsok. Lorong di belakang ketiga buah jalanan itu terdapat sebuah pagar papan yang sangat tinggi, pagar papan itu mengelilingi seputar jalan hingga memisahkan antara daerah di depan jalan dengan bagian belakang jalan. Di belakang jalan merupakan sebidang tanah yang amat luas, seringkah orang menggembalakan sapi dan kambingnya di situ karena sekelilingnya hanya ada rumah bobrok kaum papa miskin tak berduit, sementara di bagian depan ketiga buah jalan itu berdiam orang-orang kaya berduit dan punya kedudukan. Oleh karena para orang kaya merasa sangat terganggu dengan kegiatan kaum miskin yang menggembalakan hewan peliharaannya di situ, maka mereka mendirikan pagar kayu mengelilingi tempat itu sebagai pemisah. Setelah bertahun-tahun, papan pagar itu mulai lapuk dimakan waktu, itulah sebabnya orang pun menyebut tempat itu sebagai pintu papan rongsok. Ketiga buah jalanan itu termasuk dalam wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hunpoan-tong. Waktu itu, dalam gedung bangunan besar deretan ketiga pada jalanan kedua, berkumpul sekelompok manusia, namun dari kelompok manusia itu hanya ada lima orang yang duduk, empat di antara mereka adalah Tongcu perkumpulan Lak-hun-poantong. Keempat orang itu adalah si Hwesio perlente, si nenek ke?delai, Panglima tiga panah serta Tongcu kelima Lui Kun, orang kelima yang mendapat kehormatan untuk ikut duduk dibangku adalah Hoa Bu-ciok. Waktu itu Hoa Bu-ciok duduk dengan kepala terpekur, keadaannya persis seperti burung yang baru kena panah. Hwesio perlente dan nenek kedelai duduk dengan perasaan tak tenang, bahkan Panglima tiga panah yang berperawakan tinggi besar pun kelihatan sedikit tegang. Hanya seorang yang tetap duduk santai dan tenang bahkan menunjukkan sikap percaya diri. Orang itu duduk di kursi utama, duduk persis di tengah ruangan, bangkunya paling tinggi, menunjukkan kekuasaannya paling besar di antara semua yang hadir. Orang itu tak lain adalah Lui Kun. Lui Kun memang pantas percaya diri, selain berasal dari keluarga penguasa yaitu keluarga Lui, dia pun sangat mengandalkan sepasang senjatanya, Hui-thian-siangliu-seng (sepasang bintang kejora terbang ke angkasa). Orang bermarga Lui yang bergabung dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong berjumlah tiga ratus tujuh puluhan orang, di antaranya banyak yang merupakan jago tangguh berilmu tinggi, namun ia tetap bisa menempati posisi nomor enam dalam jajaran kepemimpinan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, hal ini membuktikan kepandaiannya memang luar biasa. Selain dia, anggota keluarga Lui lain yang bisa bercokol di jajaran Tongcu adalah Tongcu kedua Lui Tong-thian, Tongcu ketiga Lui Bi dan Tongcu keempat Lui Heng. Inilah salah satu alasan mengapa Lui Kun begitu percaya diri. Dia tahu, bila suatu ketika terjadi sesuatu atas dirinya, semisal melakukan kesalahan besar, Tongcu kedua, ketiga dan keempat serentak pasti akan berusaha melindunginya dan memintakan ampun untuknya, bahkan meski Lui Sun mau mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi pun, kesalahan itu tak nanti akan dilimpahkan ke atas pundaknya. Dalam aksinya kali ini, dialah yang merancang dan mengatur semua siasat dan persiapan. Tentu saja dia pun telah memperoleh persetujuan dari atasan, hanya satu hal yang belum dia ketahui secara jelas, dalam aksi pembunuhan terhadap So Bong-seng ini, sebenarnya ide ini muncul dari Toatongcu Ti Hui atau justru kemauan Congtongcu Lui Sun. Tapi dia percaya, ide ini pasti bukan muncul dari benak Lui-Sun. Orang luar banyak yang bilang, selama beberapa tahun terakhir ini, wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong banyak yang sudah berpindah tangan ke dalam kekuasaan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, bahkan orang bilang Lui Sun ibarat seekor singa tua yang ompong dan sudah dicabuti taringnya, dia sudah bertemu musuh yang lebih muda, lebih tangguh dan ganas melebihi anak panah, So Bong-seng! Kini pengaruh keluarga Lui sudah dihajar babak belur hingga tak punya kemampuan lagi untuk melancarkan serangan balasan! Tentu saja Lui Kun tidak puas dengan pernyataan itu. Dia sangat yakin dan percaya kalau kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hunpoan-tong sama sekali tidak di bawah kemampuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, me-mang harus diakui hubungannya dengan pihak pemerintah dan kerajaan pihak lawan jauh lebih tangguh, tapi kalau bicara soal kemampuan dalam penyusupan dan perekrutan anggota, khususnya kerja sama dan jalinan hubungan dengan para jago kalangan hek-to, pek-to maupun liok-lim, kemampuan mereka jauh mengungguli perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau. Atau dengan perkataan lain, dengan mengandalkan kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hunpoan-tong sekarang, mereka mampu bertarung habis-habisan melawan musuh. Itulah sebabnya selama ini dia selalu diliputi tanda tanya besar dan perasaan tak habis mengerti, kenapa Lui-congtongcu selalu berusaha menghindar, selalu bersikap mengalah terhadap tekanan yang dilakukan perkumpulan Kim-hong-si-yulau! Dia tidak percaya So Bong-seng si setan sakit-sakitan itu benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa! Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Jika keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, besar kemungkinan reputasi dan kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan bertambah surut dan lemah. Maka Lui Kun memutuskan untuk melancarkan serangan, dia harus memberi hajaran dan pelajaran yang setimpal kepada perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau. Dia tak peduli siapa yang mengusulkan dan ide itu datang dari mana, yang dia ketahui hanya segera menjalankan aksinya, siap menghajar dan menghabisi nyawa So Bong-seng. Sayang rencana besarnya mengalami kegagalan. Hasil yang diperolehnya hari ini membuat Lui Kun merasa sangat kecewa, bukan saja kawanan jago yang melakukan pengepungan pada kabur menyelamatkan diri, bahkan mata-mata mereka si Barang antik yang berhasil menyusup jauh ke dalam tubuh perkumpulan Kim-hong-siyu-lau harus membayar mahal dengan nyawanya, sementara penyusup yang lain, Hoa Bu-ciok terbongkar kedoknya. Kejadian ini membuat perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengalami kerugian yang fatal, pukulan telak khususnya dalam hal penyusupan mata-mata. Pihak lawan telah kehilangan dua orang panglima perang utamanya yaitu Te Hoa dan Wo Hu-cu, tapi kini si Hwesio perlente, si nenek kedelai dan Panglima tiga panah dirundung ketakutan akan pembalasan yang dilakukan So Bong-seng, kontan saja membuat Lui Kun menjadi sangat berang. "So Bong-seng itu manusia macam apa" Aku tak percaya kalau dia berkepala tiga berlengan enam!" demikian dia mengumpat, "kalian semua memang gentong nasi yang tak berguna, sudah balik dengan membawa kerugian, sekarang ketakutan setengah mati macam tikus ketemu kucing, benar-benar mem?buat perkumpulan Lak-hun-poantong kehilangan muka!" Mengikuti petunjuk dari atasan, Lui Kun melakukan persiapan di sekeliling tempat itu, kemudian memerintahkan Tongcu kesebelas Lim Ko-ko untuk berjaga di pintu masuk Po-pan-bun, sementara dia sendiri mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk melakukan perundingan. Tentu saja dia tak perlu kuatir So Bong-seng datang menyerang, sebab pertama, ia pernah enam kali berhasil memukul mundur serangan musuh yang berusaha menerobos masuk melalui pintu Po-pan-bun, malah di antaranya termasuk serangan Mi Thianjit yang memimpin tiga ratusan orang pasukan gerak cepat, tapi semuanya berhasil dia pukul mundur. Kedua, dia berpendapat So Bong-seng baru saja lolos dari bahaya maut, saat ini mungkin yang dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan diri, tak mungkin dia punya cukup nyali untuk melancarkan serbuan. Oleh sebab itulah Lui Kun tidak terlalu serius melakukan pertahanan, dia ingin mendengarkan pendapat Tongcu ketujuh, Tongcu kedelapan dan Tongcu kesepuluh sebelum mengambil keputusan. Dia lebih suka berbicara dulu dengan mereka sejelas-jelasnya sebelum akhirnya mengambil keputusan, dia berpendapat, usulan yang dikemukakan mereka selalu jauh lebih hebat daripada usulan oang lain, dia menganggap cara seperti ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat cengkeramannya terhadap mereka, salah satu cara memperlihatkan kemampuan serta kekuasaannya. Dia pun berpendapat, hanya orang yang sudah memiliki kemampuan hebat dan kekuasaan tinggi saja yang mampu mem?pergunakan cara seperti ini. Hal ini membuat dia selalu menikmati indahnya kekuasaan yang dimilikinya. ooOOoo 13. Golok dan batok kepala "So Bong-seng bukan manusia!" "Dalam keadaan dia sudah terhajar senjata rahasia kacang hijau milik Hoa Buciok, kemudian aku, si Barang antik dan Hoa Bu-ciok bersama-sama menghajarnya, di luar pun masih ada empat ratusan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tapi begitu goloknya berada di dalam genggaman "Sekali tebas dia mengiris sepotong daging di kakinya sendiri, tebasan kedua mendesak aku dan Hoa Bu-ciok sehingga harus mundur, bacokan ketiga berhasil membunuh si Barang antik. Golok iblisnya nampak menyala semakin merah setelah menghirup darah segar!" "Andai kata kami terlambat satu langkah saja untuk.kabur, mungkin..." "Golok milik So Bong-seng bukan sembarang golok, golok itu bukan dilancarkan ke arah kita, tapi mendatangkan rasa ngeri dan seram yang sukar dilawan, kengerian dan keseraman yang diciptakan golok itu belum pernah kami saksikan dan alami sebelumnya." "Ketika menyaksikan So Bong-seng mengayunkan goloknya ke arah si Barang antik, gaya serangannya begitu indah menawan, begitu anggun mengagumkan, tapi hanya sekali tebasan, kepala si Barang antik sudah terlepas dari badannya." Golok macam apakah itu"! Manusia macam apakah So Bong-seng"! Kalau dia manusia, kenapa bisa memiliki golok seperti itu"! Si nenek kedelai masih merasa ngeri setiap kali teringat keganasan dan kehebatan golok itu, laporan yang sebenarnya hendak disampaikan kepada Lui Kun seketika jadi tergagap dan beberapa kali tak sanggup diucapkan. "Aku bersembunyi di belakang dinding, menutup seluruh pernapasan, menutup semua pikiran, bahkan berusaha menahan detak jantung dan denyut nadiku, tujuannya tak lain agar telur busuk dari marga So itu tidak menyadari akan kehadiranku, itulah sebabnya aku baru berhasil dengan seranganku, Wo Hu-cu terhajar tiga batang jarum pelumat tulangku, dengan kemampuan Sau-yang-jui-pit-jiu milik Wo Hu-cu, siapa yang sanggup menguasai keadaan jika dia tidak dirobohkan terlebih dulu "Aku pun memaksakan diri untuk bertarung melawan Te Hoa, memaksa racunnya kambuh hingga tewas, kemudian bertarung habis-habisan membendung serbuah Su Bu-kui, agar dia tak sanggup mendekati telur busuk So dan memberikan pertolongan kepadanya, tapi siapa sangka, di saat kemenangan hampir kita raih, tiba-tiba muncul dua orang bocah busuk yang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, coba kalau tidak ada mereka berdua, orang she So itu pasti sudah terkapar di tanah, selamanya dia tak mampu berlagak jadi seorang Hohan lagi dalam dunia persilatan!" Butiran air telah membasahi jidat Hwesio perlente, entah air keringat atau air hujan, coba kalau tiada bekas sundutan hio di atas jidatnya, ditinjau dari pakaian yang dikenakan, dandanannya yang perlente, orang pasti mengira dia bukan seorang Hwesio melainkan seorang lelaki botak. "Aku telah mempersiapkan empat ratus orang pemanah jitu, sebenarnya ingin kuciptakan empat ratus lubang di tubuh So-kongcu, tapi kemunculan kedua orang itu membuat barisan kami kacau, membuat pemanah kami kalang kabut dan tak keruan." "Banyak kejadian di dunia ini tercipta pada situasi yang tak terduga. Banyak sekali urusan kecil yang sepele atau pemikiran sesaat berakibat terjadinya perubahan besar atas suatu masalah atau keadaan, bahkan bisa terjadi pergantian dinasti atau pe?merintahan, aku rasa penyebab utama dalam kegagalan yang kita alami kali ini adalah tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya peristiwa di luar dugaan itu." Cambang lebat memenuhi seluruh wajah Panglima tiga panah, jenggotnya pun tumbuh tebal tapi kacau bagai rumput liar, dia memiliki wajah kurus dengan jidat tinggi dan sempit, alis matanya kusut dan tebal, sekilas pandang, orang akan menyaksikan gumpalan hitam di bawah kopiah perangnya, sulit untuk melihat jelas bagaimana tampangnya. "Habis sudah kali ini, So Bong-seng adalah orang yang akan membalas setiap sakit hatinya!" "Kalian mengatakan dalam operasi kita kali ini pasti akan berhasil membinasakan So Bong-seng, karena itulah aku baru berani turun tangan. Tapi dalam operasi sepenting ini kenapa Congtongcu tidak datang" Bahkan Toatongcu pun tidak turut muncul di sini" Sekarang So Bong-seng gagal dibunuh, dia pasti tak akan melepaskan kita semua, paling tidak dia pasti akan datang untuk membunuhku, Ngotongcu, kau harus mencari jalan keadilan bagiku!" Sekujur badan Hoa Bu-ciok gemetar keras, sejak dilahirkan hingga setua ini, belum pernah dia merasakan ketakutan seperti apa yang dialaminya sekarang. Dulu setiap kali menghadapi saat yang gawat, saat penentuan mati hidup, dia selalu tampil berani dan penuh semangat, tapi sekarang dia merasakan kegugupan yang luar biasa, rasa tak berdaya yang luar biasa, karena secara tiba-tiba dia telah ke?hilangan keberanian dan kegagahan yang pernah dimiliki dulu, kehilangan kekuatan yang luar biasa itu. Kekuatan apakah itu" Mengapa di saat dia berkhianat, di saat dia menjual junjungannya dan selesai membantai saudara sendiri, tiba-tiba kekuatan itu hilang lenyap tak berbekas" Kini giliran Lui Sun yang berbicara. Sepasang mata besarnya yang berwibawa dan bersinar tajam, bagaikan sambaran petir menyapu wajah setiap anak buahnya, Si Nenek kedelai, si Hwesio perlente, Hoa Bu-ciok dan Panglima tiga panah, semua orang merasa hatinya bergetar keras ketika tertimpa sorot matanya. Dengan suara keras menggelegar bagai bunyi guntur, ujar Lui Sun, "Nenek kedelai, perkataanmu hanya memadamkan semangat orang sendiri, padahal hasil yang kalian capai kali ini tidak terhitung jelek, paling tidak kalian telah berhasil membantai dua orang jenderal andalan si setan penyakitan itu dan membuat kekuatannya terpukul, untuk memulihkan kembali kekuatannya, dia butuh banyak waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga baru. Jelas apa yang kalian lakukan merupakan sebuah jasa yang amat besar. Kalian semua harus tahu, orang she So itu hanya seorang manusia, manusia yang menggunakan golok, senjata yang digunakan pun tak lebih hanya sebilah golok, kenapa kau mesti mengagulkan kehebatannya?" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Dalam penggropyokan kali ini, kalian semua telah menyerempet bahaya dan mempertaruhkan nyawa, maka semua orang akan mendapat imbalan, khususnya Hwesio perlente yang mempertaruhkan nyawa untuk membantai orang she So itu, andaikata kau berhasil membunuhnya, tentu saja jasamu luar biasa, tapi sekarang orang she So itu belum mampus, maka kau mesti berjuang lebih hebat lagi!" "Lu Sam-cian, tampaknya kau lebih tahu diri, atau mungkin kau ingin lari dari tanggung jawab" Jangan lupa, panglima yang kalah perang lebih baik tak usah bicara takabur, kau membawa empat ratus orang pemanah jitu tapi tak mampu membunuh seorang setan penyakitan yang hampir mampus, kalau harus melakukan pemeriksaan, mungkin kau sendiri pun tak bisa menjawab semua pertanyaan secara jelas." "Kini operasi pun sudah telanjur dilaksanakan, seharusnya kita tak perlu takut pembalasan dari orang she So itu! Lebih baik lagi jika si setan penyakitan itu berani datang kemari, aku Lui-longo akan menanti kedatangannya di sini. Wahai Hoa Bu-ciok, kau jangan macam orang kehilangan sukma, uang taruhan pun sudah kau pasang, jangan tunjukkan sikap lemahmu itu!" Sekali lagi Lui Sun menatap wajah setiap anak buahnya dengan sorot mata yang tajam, kemudian baru berkata lagi, "Kali ini manusia she So itu sudah menderita luka parah, anak buahnya pun banyak yang mampus, paling tidak dia mesti mengatur barisan terlebih dulu sebelum melakukan pembalasan, aku rasa langkah kita kali ini sudah tepat sekali, bukankah begitu?" Ketika dia mengajukan pertanyaan yang diakhiri dengan pertanyaan "bukankah begitu", tentu saja dia berharap jawaban yang diperoleh adalah "Benar" dan tentu tak ingin mendengar kata "tidak benar". Jika dia menginginkan orang lain menjawab dengan kata "tidak benar", tentu saja pertanyaan yang diajukan tak akan memberi kesempatan kepada orang lain untuk tidak menjawab "Benar". Kadang kala dalam sebuah rapat, ada orang yang pada hakikatnya berharap orang lain hanya membawa telinga dan tak usah disertai dengan mulut. Tentu saja terkecuali di saat dia butuh pujian dan sanjungan dari orang lain. Di saat dia mengucapkan kata "bukankah begitu", tiba-tiba dari balik suara hujan yang berderai di luar sana terdengar suara pekikan melengking yang ditimbulkan dari suara seruling besi. Suara seruling itu tinggi menusuk pendengaran, suaranya bersahut-sahutan tiada putusnya. Berubah hebat paras muka Lui Sun. Tiga orang lelaki bercelana pendek berbaju longgar serentak masuk ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut. "Cepat katakan!" hardik Lui Sun cepat. Dua orang yang ada di belakang segera menyingkir ke samping, sementara lelaki di tengah melapor, "Di depan jalan telah kedatangan musuh tangguh, Tongcu kesebelas sedang melakukan perlawanan sekuat tenaga!" Mendengar laporan itu, paras muka Hoa Bu-ciok seketika berubah jadi pucat keabuabuan, sekujur badannya gemetar keras, gemetar saking takutnya. "Kurangajar, besar amat nyalinya!" bentak Lui Sun penuh amarah, kepada Panglima tiga panah segera perintahnya, "kau segera bawa pasukan berjaga di jalan belakang! Saat ini mereka menyerang jalan depan, kita mesti waspada terhadap ancaman yang datang dari jalan belakang!" "Baik!" Panglima tiga panah segera bangkit dan beranjak pergi. Dalam pada itu Hoa Bu-ciok semakin ketakutan, dengan badan menggigil dan bibir gemetar, bisiknya, "Dia ... dia telah datang!" Lui Sun menarik napas panjang, beruntun dia turunkan tujuh perintah darurat untuk memohon bantuan, kemudian pikirnya, "Kemana perginya Congtongcu dan Toatongcu" Mestinya Loji, Losam dan Losu harus segera menyusul kemari Tapi pikiran lain segera melintas dalam benaknya, dalam waktu singkat dia harus berhadapan dengan So Bong-seng, si jagoan yang amat menggetarkan sungai telaga, dia tak tahu apakah kemampuannya sanggup menandingi kehebatan orang itu, tanpa terasa peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya. Tapi sejenak kemudian ia sudah dapat mengendalikan diri, ujarnya kemudian, "Baiklah, kalau dia memang sudah datang, mari kita sambut kedatangannya!" "Tidak usah!" mendadak terdengar seseorang menyahut, suara itu bergema persis di depan tubuh Lui Sun. Menyusul kemudian tampak cahaya golok beterbangan di angkasa, selapis cahaya golok menyambar lewat persis di atas kepala Hoa Bu-ciok! Cahaya golok itu muncul dari sisi tubuh dua orang lelaki bercelana pendek itu. Lui Sun membentak nyaring, sepasang senjata martil bintang kejoranya yang mempunyai bobot sembilan puluh tiga kati berada di tangan kiri dan lima puluh sembilan kati di tangan kanan, segera meluncur ke udara dengan kecepatan luar biasa. Senjata aneh dengan bobot yang berbeda ini merupakan senjata yang paling sulit dipelajari, tapi bila berhasil dikendalikan, maka akan berubah menjadi sepasang senjata yang paling susah dihadapi, bukan saja mampu menjangkau jarak jauh bahkan memiliki daya membunuh yang luar biasa. Menyusul meluncurnya sepasang martil bintang kejora itu menembus angkasa, bayangan tubuhnya ikut lenyap. Cahaya golok masih menyambar kian kemari, bagai hembusan angin tahu-tahu senjata itu sudah mampir di atas kepala gundul si Hwesio perlente. Menyadari datangnya ancaman, si Hwesio perlente segera membentak nyaring, senjata mangkuk tembaga dalam genggamannya kontan disambitkan untuk membendung datangnya ancaman. Bukan hanya itu, seratus delapan biji tasbih yang ada dalam genggamannya turut dilontarkan ke depan, menyusul badannya menerobos melalui jendela dan berusaha kabur. Sekarang dia hanya berharap bisa menangkis bacokan maut dari So Bong-seng, kemudian memanfaatkan peluang yang ada untuk melarikan diri dari ancaman kematian. Anggapannya dalam ruangan itu hadir banyak sekali jago tangguh, asal dia berhasil lolos dari bacokan itu, niscaya ada orang lain yang akan membendung serangan dari So Bong-seng. Daun jendela hancur berantakan tertumbuk tubuhnya, di luar hujan masih turun dengan derasnya. Benar saja, dia berhasil melarikan diri keluar dari ruangan. Tapi bagaimana mungkin dia tahu kalau berhasil kabur" Dalam waktu singkat dia menyadari akan sesuatu, ternyata tubuhnya yang berhasil melompat keluar dari balik jendela, namun tubuh tanpa kepala. Mengapa tubuhnya bisa tak berkepala" Bukankah jelas tubuh itu miliknya" Pakaian yang dikena?kan pun miliknya, tapi.... Jangan-jangan........... Hanya sampai di situ yang bisa dibayangkan si Hwesio perlente, dia tak berpikir lebih jauh lagi. Ya, dia memang tak mampu berpikir lagi, karena dia sudah kehilangan kemampuannya untuk berpikir. Si nenek kedelai dengan jelas telah menyaksikan bacokan golok So Bong-seng ketika menebas kutung batok kepala Hoa Bu-ciok, caranya menebas persis sama seperti ketika ia memotong kepala si Barang antik, indah, cepat dan sedikit membawa romantika yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Menyusul kemudian tebasan golok yang kedua, Hwesio perlente sebagai sasarannya, dan ia berhasil menemukan sang Hwesio itu. Cahaya golok yang membawa warna merah berputar satu lingkaran di sekeliling tengkuk Hwesio perlente di saat tubuhnya baru saja melompat ke depan siap menerjang daun jendela, saat itu kebetulan kepala sang Hwesio baru saja berhasil menjebol jendela,- maka batok kepalanya mencelat terlebih dahulu keluar dari jendela kemudian baru disusul tubuhnya. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Setelah itu golok merah tadi melayang balik ke tangan So Bong-seng. Pada saat itulah So Bong-seng berpaling, sorot matanya yang lebih tajam dari sembilu sedang memandang ke arahnya. Dalam waktu singkat si nenek kedelai nyaris menangis saking panik dan takutnya, belum sempat pecah isak tangisnya, terdengar Lui Sun sudah meraung keras, suaranya menggelegar bagai guntur. Lui Sun betul-betul tidak habis mengerti, tatkala ada bayangan abu-abu berkelebat tadi, sepasang martilnya secepat petir telah mengejar ke situ, karena dia tahu bayangan abu-abu itu adalah So Bong-seng. So Bong-seng ternyata berani melanggar wilayahnya, padahal dia adalah orang yang hendak dibunuhnya! Kenyataan yang sedang berlangsung saat ini ibarat sekeping ujung pisau yang sudah terbakar membara, menghujam di atas lantai dimana ia sedang berada! Reaksi kelewat emosi membuat seluruh tubuhnya nyaris melejit ke udara, bahkan dipenuhi semangat tempur yang tinggi. Saat ini semangat tempur bahkan jauh lebih membara ketimbang kekuatan hidupnya! Dia lebih rela mati, tapi pertarungan tak boleh tak terselenggara! Bila ia berhasil membunuh So Bong-seng, maka posisinya dalam perkumpulan Lakhun-poan-tong pasti akan terangkat, kedudukannya pasti lebih berbobot! Dengan membunuh So Bong-seng, nama besarnya akan berkibar di antero jagad, wibawanya akan menggetarkan dela?pan penjuru! Bila seseorang ingin melakukan satu pekerjaan yang menghebohkan, tapi ia tak berani melangkahi atasan, tak berani mendahului atasan, padahal dia tak pernah mau takluk pada orang kenamaan lainnya, maka dalam hati kecilnya dia akan menciptakan seorang musuh besar, musuh besar yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang melampaui kemampuannya, mengalahkannya bahkan membunuhnya, untuk membuktikan kemampuan dan kehebatan dirinya. Musuh besar yang diciptakan Lui Sun di hati kecilnya adalah So Bong-seng. Apalagi ketika orang lain memandangnya setengah mengejek. Menganggapnya bagai cahaya kunang kunang yang hendak menandingi sinar rembulan, Lui Sun akan merasa semakin gelisah, panik bercampur gusar. Suatu hari nanti, dia harus berhasil mengalahkan So Bong-seng. Hanya dengan mengalahkan So Bong-seng, dia baru bisa membuktikan keberadaan dirinya! Maka saat ini, ia sudah dibakar hingga sakit oleh semangat tempurnya, dia mulai menyerang dan menggempur So Bong-seng secara kalap, biarpun kalap, tidak berarti jurus serangan yang digunakan ikut kalap. Sepasang senjata martilnya diayunkan, martil yang berat bergerak dari belakang mengejar ke depan sementara martil yang enteng dari depan melakukan penghadangan, satu depan yang lain belakang melakukan penggencetan, asal terbentur salah satu saja di antaranya niscaya batok kepala musuh akan hancur. Pada waktu itu martil ringannya jelas terlihat seakan dapat menggempur tubuh lawan dari arah depan, siapa tahu So Bong-seng hanya sedikit menggerakkan tubuh, tahu-tahu serangan itu sudah lewat begitu saja tanpa sanggup menyentuhnya. Sementara martil beratnya yang jelas segera akan menghajar belakang kepala lawan, tapi entah mengapa, ketika berada pada jarak setengah inci dari sasaran, tahu-tahu rambut belakang kepala So Bong-seng berdiri tegak bagai landak, bukan saja serangannya gagal mengenai sasaran, bahkan terasa seakan ditangkis dengan toya baja, senjata itu mencelat ke arah lain. Saat itulah So Bong-seng dengan dua kali lompatan telah berhasil memenggal kepala Hoa Bu-ciok serta si Hwesio perlente. Golok yang semula berwarna semu merah, kini telah berubah jadi merah membara, merah bagaikan kilatan halilintar. Merah membara sepasang mata nenek kedelai, ia sadar nyawanya sudah di ujung tanduk, mendadak ia lepaskan pakaian compang-camping yang dikenakannya. Ketika pakaian compang-camping itu digetarkan keras, mendadak benda itu menggulung jadi satu dan terbentuk sebatang tongkat panjang yang bisa digunakan secara keras mau?pun lembek, sambil mengayunkan senjatanya itu dia menangkis babatan golok yang menyambar ke arah batok kepalanya. Cahaya merah segera menyelimuti angkasa, diikuti hamburan hujan bunga menyebar keempat penjuru. Ternyata senjata gulungan kain yang berada dalam genggaman nenek kedelai telah hancur berantakan jadi ribuan keping dan tersebar keempat penjuru, dengan tergopoh-gopoh nenek itu melesat mundur untuk menghindar, namun desingan angin tajam tetap membabat di atas kepalanya, tahu-tahu sebagian besar rambutnya sudah terpapas kutung dan berhamburan kemana-mana. Sekali lagi cahaya golok berkelebat, kali ini senjata itu balik kembali ke dalam baju So Bong-seng. "Tidak mudah untuk menangkis serangan golokku ini," terdengar So Bong-seng berkata dengan suara dingin, "ingat, hari ini aku memang sengaja tidak membunuhmu, ini kulakukan karena satu alasan, karena kau tidak pernah membunuh saudaraku dengan tanganmu." Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih menyeramkan ia menambahkan, "Siapa yang membunuh saudaraku, dia harus mampus!" Selesai berkata, ia membalikkan badan dan segera berlalu. Bukan saja ia tak memandang sebelah mata terhadap keempat ratus delapan puluh enam anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung rapat sekeliling tempat itu, bahkan dia pun seakan tidak melihat kalau di situ hadir seorang jagoan yang bernama Lui Sun. Tak heran bila Lui Sun mencak-mencak macam orang kebakaran jenggot. Penghinaan ini dirasakan olehnya jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa ketimbang dibunuh. Paling tidak ia merasa sangat dipermalukan saat ini. ooOOoo 14. Orang dalam pasar Seandainya Lui Sun tidak mengeluarkan jurus serangan Hong-yu-siang-sat (angin hujan sepasang malaikat), mungkin kerugian yang dialaminya tidak sampai membuatnya sangat sedih dan menderita. Namun keberhasilannya di kemudian hari pun mungkin tak akan sedemikian besar. Dalam kehidupan manusia banyak tersedia langkah yang bisa ditempuh, banyak keputusan yang bisa diambil, sekali kau melangkah keluar, sekali kau mengambil keputusan, mungkin pada saat ini kau menilai langkah dan keputusanmu itu keliru, namun di kemudian hari bisa saja kekeliruan itu justru merupakan kebenaran. Mungkin saja hari ini kau merasa langkah dan keputusanmu itu sudah benar, tapi setelah berkembang hari esok, bisa saja langkah dan keputusanmu itu justru merupakan sebuah kesalahan besar. Kesalahan kerap kali ibarat golok dengan dua sisi, membelah sebab dan akibat, jodoh dan berpisah. Jika seseorang sudah terbiasa merasakan kesuksesan dan keberhasilan, kemungkinan besar dia tak akan menikmati keberhasilan atau kesuksesan yang lebih besar lagi, sebaliknya jika seseorang sudah terbiasa menderita dan tersiksa, keadaan itu tak bisa dibilang satu kejadian yang jelek. Kalau tak ada gunung yang tinggi, mana mungkin ada tanah yang datar" Lalu bagaimana pula dengan hasil serangan yang dilancarkan Lui Sun kali ini" Kemana perginya golok merah So Bong-seng" Hawa pem?bunuhan yang mengerikan itu apakah bisa berkembang tapi tak bisa dikendalikan" ooOOoo Sebelum sepasang senjata martil milik Lui Sun dilontarkan, senjata itu sudah berputar kencang bagaikan gangsing, kemudian setelah dilontarkan, senjata itupun saling membentur hingga menimbulkan suara keras, tak ada orang yang bisa memastikan dari sudut mana serangan akan dilancarkan, juga tak ada yang tahu dengan cara bagaimana serangan itu akan menghajar bagian tubuh yang mematikan, bahkan termasuk Lui Sun sendiri pun tak bisa menentukan. Dia hanya bisa memastikan satu hal, bila seseorang terhajar oleh sepasang martilnya secara telak, jangan harap tulang belulangnya bisa utuh, dan jangan harap nyawanya dapat diselamatkan. Kini keadaan Lui Sun ibarat orang yang menunggang di punggung harimau, sudah kepalang basah untuk turun lagi, dia mulai menyadari akan kemampuan sendiri. Seandainya serangan sepasang martilnya tak mampu mencabut nyawa So Bong-seng, paling tidak dia harus menghadiahkan sebuah tanda mata di atas tubuhnya. Siapa sangka peristiwa lain telah terjadi, bahkan sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan pertanda atau gejala apa pun. Ketika sepasang martilnya tiba di hadapan So Bong-seng, tidak terlihat musuh melakukan sesuatu gerakan, tahu-tahu rantai baja pengikat sepasang senjatanya telah putus jadi dua bagian. Sebagus apa pun permainan senjata martilnya, asal rantai pengaitnya putus, maka martil itu tak beda jauh dengan buah semangka, yang satu menggelinding keluar ruangan, memaksa kawanan jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung tempat itu harus memberi jalan lewat, sementara yang lain membentur dada wakil Tongcu yang sedang bertarung sengit melawan Su Bu-kui, akibatnya tulang dada orang itu remuk dan amblas ke dalam, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya. Hingga kini, So Bong-seng masih belum juga melirik ke arah Lui Sun walau hanya sekejap, bahkan sepatah kata pun tak sudi diucapkan kepadanya. Ia tetap melanjutkan ayunan kakinya berjalan keluar dari situ, berjalan sambil berseru kepada Su Bu-kui yang sedang membendung serbuan dari anggota perkumpulan enak setengah bagian, "Kita segera pergi dari sini!" Sepasang martil yang masih menggelinding di atas tanah pun seolah sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Su Bu-kui segera menarik kembali goloknya. Ia menarik kembali senjatanya secara tiba-tiba dan dilakukan sangat cepat, akibatnya sebilah golok, tiga bilah pedang dan lima batang tombak yang sedang bertarung sengit nyaris menghujam semua ke atas tubuhnya. Tindakan Su Bu-kui yang menarik golok secara mendadak membuat pertahanan tubuhnya sama sekali terbuka, tapi tindakannya ini justru membuat kawanan jago yang sedang bertarung melawannya serentak ikut menarik kembali senjatanya, mereka mengira tindakan itu merupakan sebuah perangkap. Bahkan salah satu di antara kawanan jago itu segera menancapkan tombaknya di atas tanah guna mengerem gerakan tubuhnya yang sudah telanjur menerjang ke depan, percikan bunga api berhamburan kemana-mana. Sementara itu Su Bu-kui sudah menyusul di belakang So Bong-seng, berjalan keluar dari situ. Tak seorang pun berani menghalangi mereka. Tak seorang pun mampu menahan mereka. Tiba di depan pagar pekarangan, So Bong-seng menggerakkan kakinya menendang, martil sebarat sembilan puluh tiga kati itu mencelat ke udara dan meluncur balik ke dalam halaman. Semua orang menjadi sangat panik, suasana menjadi gempar, berbondong-bondong kawanan jago itu menyingkir ke samping menghindarkan diri, siapa pun tak ingin tertimpa sial. "Blaaam!", diiringi suara benturan keras, martil berat itu menghajar di atas dinding bangunan dan menghancurkan tulis?an "enam" yang tertera jelas di situ. Dinding batu itu hancur berantakan, di antara debu dan pasir yang beterbangan di angkasa, tahu-tahu bayangan tubuh So Bong-seng sudah lenyap dari pandangan. Kini yang tersisa di atas dinding tembok itu tinggal tiga huruf besar yaitu "perkumpulan ... setengah bagian", ditambah sebuah senjata martil yang tergeletak di tanah. ooOOoo Di luar sana hujan masih turun membasahi permukaan bumi. Kini hujan sudah mulai mereda, yang tersisa hanya hujan gerimis. Walau begitu, awan gelap masih bergelantung di angkasa, awan basah yang membawa air masih merapatkan barisannya. So Bong-seng sudah keluar menuju ke jalan raya, langkahnya sangat cepat, Su Bukui mengintil terus di belakangnya, setengah jengkal pun tak mau ketinggalan. Tadi So Bong-seng menyuruh dia "segera pergi" dan bukan "pergi", maka begitu mendapat perintah, ia segera menghentikan serangannya bahkan tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. "Pergi" dan "segera pergi" memang beda artinya. Dia sangat mengenal watak So Bong-seng, dia sudah hapal dengan kebiasaan pemimpinnya, terutama sewaktu menurunkan perintah, ia tak pernah membawa embelembel kata, setiap penambahan satu kata berarti mempunyai tujuan tertentu. Situasi sudah dikuasai, pembunuh pun sudah membayar dengan nyawanya, mengapa Sokongcu masih ingin pergi secepatnya" ooOOoo Setelah meninggalkan Po-pan-bun, So Bong-seng segera melihat dari sudut kiri dan kanan jalan muncul dua orang yang jalan berdampingan. So Bu-kui berjalan di belakang pemimpinnya. Dua orang yang baru saja muncul itu, salah satu di antaranya masih berdiri santai di bawah curahan hujan, sikapnya yang tenang dan santai tak beda jauh dengan keadaannya di saat biasa, seseorang yang tak pernah menganggap air hujan sebagai hal yang memuakkan, baginya setiap butir air hujan seakan sama berharganya dengan sebutir mutiara. Tentu saja mereka adalah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Ketika berjumpa So Bong-seng dari balik mata mereka segera terpancar perubahan cahaya yang aneh. Sinar mata Pek Jau-hui membara seakan sedang terbakar, sementara sinar mata Ong Siau-sik berkilauan seakan bintang di langit. So Bong-seng sama sekali tidak mengajukan pertanyaan, bicara pun tidak. Dia telah mengutus Ong Siau-sik untuk menyerang jalan muka dan mengirim Pek Jauhui untuk menyerang jalan belakang, tentu saja kedua penyerangan itu hanya penyerangan tipu?an, tujuannya hanya untuk mengalihkan konsentrasi dan perhatian lawan. Dia baru pertama kali bertemu dengan mereka berdua, tapi dia telah menyerahkan 'tugas sulit' ini kepada mereka. Jika mereka gagal dalam menjalankan tugas, bila kekuatan di jalan depan dan jalan belakang terhimpun jadi satu, maka So Bong-seng tak nanti bisa menggetarkan sukma semua orang, dia tak mungkin bisa lolos dari kepungan lautan manusia secara mudah. Tapi So Bong-seng sangat berlega hati, dia tahu, kedua orang itu pasti sanggup melaksanakan tugasnya, bahkan melaksanakan tugas itu dengan baik. Sanggup melaksanakan tugas dan bisa melaksanakan tugas beda sekali artinya, sama seperti seseorang yang bisa menyanyi, bisa menyanyikan lagu yang merdu dan bisa membuat nyanyian yang terdengar merdu, jelas mempunyai arti yang berbeda. Sekarang mereka sudah muncul di situ, sama artinya mereka telah berhasil menggiring pergi pasukan yang ada di jalan depan dan jalan belakang kemudian baru berkumpul di situ. Begitu bertemu mereka, So Bong-seng hanya berhenti sejenak, lalu berseru, "Bagus sekali." Setelah itu katanya pula, "Ayo, pergi!" Bagi So Bong-seng, "Bagus sekali" sudah merupakan kata pujian yang paling tinggi. Dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, paling hanya delapan belas orang yang pernah mendapat pujian "bagus", di antara mereka mungkin tak ada sepertiganya yang pernah memperoleh kata pujian "bagus sekali". "Ayo, pergi", jelas sebuah perintah. "Pergi?" Pek Jau-hui segera mengulang. So Bong-seng tidak menanggapi. Dia memang tak suka mengulang kata yang sama dua kali. "Mau pergi kemana?" kembali tanya Pek Jau-hui. "Kembali ke Kim-hong-si-yu-lau!" "Kita tidak saling mengenal, paling hanya berjodoh untuk bertarung bahu membahu, kenapa kita tidak segera menyudahi pertemuan ini?" kata Pek Jau-hui seraya menjura. Dengan sorot mata bagaikan bintang berapi, So Bong-seng menyapu sekejap wajahnya. "Perkataan itu bukan muncul dari dasar hatimu," katanya, kemudian terusnya, "sekarang kalian enggan ikut aku pun sudah tidak mungkin!" "Kenapa?" kali ini Ong Siau-sik yang bertanya. "Tampaknya penghadangan dan usaha pembunuhan yang dilakukan di Ku-swi-poh bukan maksud Lui Sun, pimpinan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi menggunakan kesempatan di saat aku membalas dendam ke Po-pan-bun lalu melakukan penghadangan dan pembunuhan di saat aku pulang baru merupakan maksud tujuan Lui Sun yang sebenarnya." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Oleh sebab itu kalian tak punya pilihan lain, perjuangan kita belum berakhir, tak seorang pun dapat mengundurkan diri dari rombongan." Bagi orang yang terkepung pasukan musuh, biasanya hanya tersedia dua pilihan, menerjang keluar dari kepungan atau menyerahkan diri. Jika ingin menerjang keluar dari kepungan berarti harus bertempur, jika ingin menyerah berarti membiarkan orang menghukum semaunya, mau dicincang seperti Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seekor anjing atau disembelih seperti seekor babi, tak mungkin bisa melawan maupun membangkang. Siapa suruh menyerah" Bila seseorang sudah pasrah pada nasib, sudah menyerah, apa dan bagaimanapun sikap musuh, orang hanya bisa menurut dan menerimanya tanpa membantah. Itulah sebabnya lebih banyak orang yang rela berjuang hingga titik darah penghabisan ketimbang menyerah. Pek Jau-hui menghela napas panjang, katanya, "Aku lihat, semenjak menyelamatkan dirimu, bibit bencana ini sudah sulit terlepas dari tubuh kami." "Apakah kalian berharap setiap persoalan yang terjadi di kotaraja sama sekali tak ada hubungannya dengan kalian?" kata So Bong-seng sambil mengerling sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin. Pek Jau-hui tidak menanggapi. Ketika mereka berempat tiba di jalan raya Tang-sam-pak, tampak jalan raya itu masih ramai orang berjualan kendatipun hujan masih turun tiada hentinya. Di sebuah istal terikat beberapa ekor kuda, ada dua tiga orang sedang memberi rangsum kuda-kuda tunggangan itu. Di situ pun terdapat tiga pedagang daging, satu pedagang daging sapi, satu pedagang daging kambing dan satu pedagang daging babi. Selain itu terdapat juga sebuah toko asah pisau, di sampingnya warung penggilingan kedelai, di depan toko itu ada orang menjual tahu, ada penjual sayuran, penjual ayam, bebek, ikan, udang, ada juga pedagang kaki lima yang menjual sau-pia, kue apem, bakpao, malah ada pedagang air gula, kue manis, air tebu, bakso, di samping pemain wayang potehi, penjual gang-sing dan layanglayang, penjual gula-gula, penjual kulit hewan. Asal benda itu biasa terlihat dijual di pasar, semuanya hampir ada juga di tempat itu. Padahal kejadian ini bukan kejadian aneh, karena jalanan itu memang merupakan sebuah pasar. Yang aneh justru adalah orang-orang itu, tidak seharusnya mereka muncul di tengah hari hujan begini. Para pedagang kaki lima itu pada hakikatnya tidak meng?anggap saat itu hujan sedang turun. Mereka semua tetap bertransaksi, tetap menjajakan barang dagangannya, seakan mereka menganggap saat itu adalah saat yang cerah, matahari bersinar cerah, angin berhembus sepoi. Satu-satunya yang berbeda di situ adalah tak ada orang yang berbelanja. Pedagang mana pun di dunia ini pasti berdagang untuk para pembeli, tapi keempat lima puluhan orang pedagang itu seakan tidak melayani pembeli umum. Ya, mereka hanya khusus melayani satu orang 'pembeli' saja. Pembeli itu tak lain adalah Locu atau ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau So Bong-seng, seorang jagoan yang disebut nomor wahid dalam ilmu golok, seorang pemimpin organisasi besar yang asal-usulnya penuh misterius, namun mengendalikan sebagian besar jago golongan hek-to maupun pek-to dalam dunia persilatan dan mengendalikan para pejabat negara. Ketika mereka berbelok ke jalan Tang-sam-pak, para pedagang dan penjaja kaki lima yang memenuhi jalanan itu sudah menantikan kedatangan 'pembeli'nya. ooOOoo Tanpa terasa Pek Jau-hui menarik napas panjang. Sambil mengernyitkan alis matanya yang tebal, ia menarik napas dalam-dalam. Setiap kali sedang merasa tegang, dia pasti akan menarik napas dalam-dalam. Sejak kecil ia sudah diberitahu, bila seseorang berada dalam keadaan tegang maka tariklah napas dalam-dalam, sebab dengan menarik napas dalam, maka emosinya akan mendatar, jika emosi sudah datar, perasaan pun tenang, bila perasaan sudah tenang, konsentrasi pun akan mencapai puncaknya. Sekarang ia butuh konsentrasi, karena musuh besar sudah muncul di depan mata. Sudah delapan tahun ia terjun dalam dunia persilatan, sudah membunuh musuh tangguh dalam jumlah yang tak sedikit, tapi hingga kini masih jarang orang mengenal nama "Pek Jau-hui". Hal ini disebabkan dia masih belum ingin ternama. Bila harus punya nama, dia ingin punya nama besar, nama yang amat tersohor, nama kecil keuntungan kecil masih tidak dipandang sebelah mata. Agar sementara waktu ia tidak peroleh 'nama besar yang tak berarti, dia tak segan melenyapkan mereka yang tahu kalau dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Orang berilmu tinggi, bercita-cita setinggi langit yang mampu bersabar dan bertahan menjadi seorang jago tak bernama selama delapan tahun, tentu saja ia termasuk orang yang pandai menahan diri, pandai mengendalikan perasaan sendiri. Tapi kini, setelah menyaksikan pemandangan yang terpampang di bawah curah hujan, ternyata dia tak sanggup menahan diri. Manusia yang terlihat berdiri di bawah curah hujan berjumlah tujuh puluh dua orang, di antaranya ada enam belas orang yang menyembunyikan diri, apabila orang-orang itu melancarkan serangan secara bersama, maka keadaannya akan tiga belas kali lipat lebih menakutkan ketimbang diancam bidikan panah oleh empat ratus orang pemanah di Ku-swi-po tadi. Tidak lebih tidak kurang, persis tiga belas kali lipat! Setelah memperhitungkan situasi yang dihadapinya, sekalipun Pek Jau-hui dapat menahan diri, kini keyakinannya mulai goyah, dia mulai tak mampu mengendalikan diri. Ketika ia mulai tak sanggup mengendalikan diri, terpaksa ditariknya napas panjang-panjang. Walaupun setelah menarik napas panjang tidak berarti perasaannya berhasil dikendalikan, paling tidak tarikan napas yang dalam ini membuktikan kalau dia masih hidup. Hanya manusia hidup yang bisa menikmati tarikan napas, karena bisa bernapas bukan satu kejadian yang terlalu buruk. Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan tangan dan kakinya mulai membeku, membeku karena kedinginan. Dia paling tak suka reaksi seperti ini. Setiap kali perasaannya mulai tegang, biarpun napasnya tidak kalut, biar detak jantungnya tak bertambah cepat, biar kelopak matanya tidak melompat-lompat, tapi tangan dan kakinya selalu berubah jadi beku, dingin kaku bagaikan direndam dalam kolam salju, membuat seluruh badannya kaku karena kedinginan. Bila ada orang memegang tangan atau menyentuh kakinya dalam keadaan seperti ini, mereka pasti akan salah mengira kalau ia sedang ketakutan. Padahal dia tidak takut, tak pernah merasa takut, dia tak lebih hanya merasa tegang. Tegang beda dengan takut, tegang bisa meninggikan semangat tempur, tapi takut justru menurunkan semangat juang. Ong Siau-sik memang gampang merasa tegang, jangan kan menghadapi situasi segawat ini, bertemu Un Ji saja tangan dan kakinya jadi dingin, ketika pertama kali bersua dengan So Bong-seng, kaki tangannya juga dingin membeku seolah baru keluar dari rendaman salju. Itu semua bukan berarti dia takut pada Un Ji, takut pada So Bong-seng. Ketika bersama Un Ji, Ong Siau-sik merasa teramat gembira, ketika bergaul dengan So Bong-seng, ia justru merasakan rangsangan yang luar biasa. Terlepas gejolak perasaan mana yang dialaminya, semua itu tak ada sangkutpautnya dengan perasaan takut. Tapi setiap kali orang lain mengetahui kaki dan tangannya jadi dingin, semua orang salah mengira dia sedang ketakutan. Padahal bagi Ong Siau-sik, kecuali mati, dia tak pernah takut pada apa pun. Sekarang dia bukan sedang takut mati, tapi setelah menyaksikan barisan yang dipersiapkan lawan berupa sebuah pasar di tengah jalan, dimana barisan itu jauh lebih susah dihadapi ketimbang barisan Pat-tin-toh yang pernah digelar Khong Beng dulu, bahkan menyisipkan inti kehebatan dari barisan itu membaur dengan pelaku pasar sehingga membuat orang sukar menduga, semua ini semakin merangsang semangat tempur Ong Siau-sik, dan akibatnya dia merasa semakin tegang. Begitu mulai tegang, secara tak sadar kakinya mulai gemetar keras, jari tangannya ikut bergetar. Kaki dan tangannya yang gemetar keras merupakan salah satu cara untuk melenyapkan rasa tegang. ooOOoo Di dunia ini terdapat pelbagai jenis manusia, menggunakan cara yang berbeda satu dengan yang lain untuk menghilangkan rasa tegang. Ada orang akan membaca buku, membaca doa atau menulis bahkan pergi tidur ketika rasa tegang mulai menyerang, tapi ada pula yang kebalikannya, di saat sedang merasa tegang, ada kalanya mereka mulai mencaci maki, mulai memukul bahkan membunuh manusia. Ada pula cara melepaskan rasa tegang yang normal seperti pergi mandi, main opera atau mencari perempuan untuk pelampiasan. Tapi ada pula dengan cara yang aneh seperti minta digebuki orang berhenti bekerja atau sekaligus melahap sepuluh biji cabe pedas bahkan menangkap seseorang, mencincang daging tubuhnya dan menyantapnya mentah-mentah. Bagaimana dengan So Bong-seng" Dengan cara apa dia melepaskan ketegangannya" ooOOoo Tak ada yang tahu, karena tak pernah ada orang melihat So Bong-seng merasa tegang. Sekalipun ketika berada di Ku-swi-po, sewaktu dikepung empat ratus orang pemanah jitu yang sudah mementangkan busurnya, dia hanya sedikit berubah wajah, tapi sama sekali tidak tegang. Dia selalu beranggapan, tegang hanya akan mengacaukan urusan, sama sekali tak dapat menyelesaikan persoalan. Ketika persoalan mulai datang, dia hanya tahu menyelesaikannya dengan sepenuh tenaga, dia tak ingin menciptakan masalah lain bagi diri sendiri, inilah prinsip yang dipegang teguh So Bong-seng. Tapi setelah dihadapkan dengan barisan sebuah 'pasar di tengah jalan, bukan saja So Bong-seng mulai merasakan kepalanya pusing tujuh keliling, bahkan ia mulai gemetar. Padahal begitulah yang disebut manusia, semakin dia tak pernah sakit, sekali waktu jatuh sakit maka sukarlah untuk disembuhkan, sebaliknya orang yang sering kena penyakit, biasanya dia memiliki daya tahan lebih kuat ketika menghadapi penyakit parah. Orang yang gemar minum arak jarang mabuk, tapi sekali mabuk, dia akan muntah jauh lebih hebat ketimbang orang lain! So Bong-seng termasuk orang yang jarang merasa tegang. Begitu merasa tegang, dia segera akan berbicara. Berbicara merupakan rahasia pelepasan rasa tegangnya. Oleh sebab itu orang hanya mendengar So Bong-seng sedang berbicara, sama sekali tidak pernah melihat So Bong-seng merasa tegang. Padahal kebanyakan orang tidak selalu memandang dengan matanya, berkeluh kesah dengan mulutnya. Kalau tidak, mana mungkin sikap yang garang justru bisa membesarkan nyali" Kenapa asal perkataan itu diucapkan seorang kaya raya maka ucapannya seakan kata emas yang wajib dituruti" Tadi ketika berada di Po-pan-bun, Lui Sun pernah mengucapkan sepatah kata, kata makian terhadap Lu Sam-cian, dia berkata "Panglima yang kalah perang tak usah bicara besar". Padahal umpatan itu salah besar. Menurut So Bong-seng, "Orang di dunia ini yang paling berhak bicara besar adalah panglima kalah perang yang berperang lagi. Hanya panglima yang pernah kalah perang tahu dimana letak kekalahannya, tahu dimana keunggulan lawannya. Panglima yang sering menang tidak akan mengetahui hal ini, justru mencari kemenangan di tengah kekalahan baru merupakan impian seorang panglima sejati". Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, sindirnya, "Panglima yang pernah kalah perang memang bisa bangkit lagi, tapi panglima yang mampus mana mungkin bisa bangkit kembali?" "Apa maksud perkataanmu itu?" tanya So Bong-seng sam?bil mengerling sekejap ke arahnya. Pek Jau-hui tertawa. "Aku sedang berpikir, dengan cara apa aku bisa menggiring para jago unggulan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini hanya membunuh kau dan tidak membunuh aku," katanya. "Itu sih gampang!" seru So Bong-seng cepat, "asal kau tangkap aku, mempersembahkan kepada musuh, maka kau bisa memperoleh imbalan dan jasa, mengubah musuh jadi sahabat." "Hahaha ... sebuah usul yang sangat bagus!" Pek Jau-hui tertawa tergelak, mendadak ia melejit ke muka dan langsung menerjang ke tengah arena. Ditinjau dari caranya menerjang ke depan, paling tidak pasti ada sepuluh orang yang bakal tewas di tangannya. Setelah Pek Jau-hui turun tangan, tentu saja Ong Siau-sik tak ingin berpangku tangan. Baru saja dia hendak mencabut pedangnya, mendadak terdengar Su Bu-kui mengucapkan sepatah kata yang dipahami artinya, tapi tidak mengerti kenapa mengucapkan perkataan itu di saat seperti ini, "Berbuat onar semau sendiri!" ooOOoo Begitu perkataan itu diucapkan, sikap So Bong-seng seketika berubah. Dengan satu gerakan cepat dia menarik lengan Pek Jau-hui yang sedang melesat maju ke muka. Gerakan tubuh Pek Jau-hui saat ini amat cepat dan kuat, meski ada delapan puluh orang lelaki kekar, belum tentu sang?gup menahan gerakan tubuhnya, tapi So Bongseng hanya sedikit menggerakkan badannya, tahu-tahu ia sudah ditariknya ba?lik. Mungkinkah Pek Jau-hui memang sengaja membiarkan ta?ngannya ditarik" Setelah menahan gerak maju Pek Jau-hui, So Bong-seng hanya mengucapkan sepatah kata, "Kita menonton dulu, kemudian baru turun tangan." Pada saat itulah tiba-tiba berdatangan segerombolan manusia. Ada yang datang dari jalan raya sebelah timur, utara dan ada pula yang datang dari jalan simpang tiga. Orang-orang itu datang dengan sikap santai, tenang, mantap dan tenteram. Mereka terdiri dari tua, muda, laki, perempuan, tinggi, pendek, ganteng, jelek, kuat, cantik, namun ada dua hal persamaan yang dimilikinya, Dalam genggaman semua orang terlihat sebuah payung kertas minyak berwarna hijau tua. Kepala orang-orang itu semuanya diikat dengan secarik kain saputangan berwarna putih. Payung di tangan mereka bisa digunakan untuk menahan air hujan, tapi membuat mereka tak mampu melihat angkasa. Kain putih yang membungkus kepala membuat rambut mereka pun tak kelihatan. Kawanan manusia itu bermunculan dari arah timur, selatan, barat, utara dan langsung bergerak menuju ke posisi tengah, gerak langkah mereka tidak cepat namun juga tidak lamban, tapi bergerak secara teratur dan langsung mengepung barisan 'pasar di tengah jalan', dengan demikian bisa memperlihatkan kehebatannya. Sebuah barisan yang sudah tertata rapi, dalam waktu singkat berubah jadi kacau karena disumbat oleh beberapa orang itu. Melihat kemunculan orang-orang itu, kawanan manusia yang berada dalam pasar hanya bisa saling berpandangan tanpa tahu apa yang mesti dilakukan. Kawanan manusia berpayung itu masih melanjutkan langkahnya, ada yang menghampiri si pedagang ikan, ada yang mendekati istal kuda, beberapa orang mendekati penjual daging, dua tiga orang mendekati tauke penjual bakpao. Dalam waktu singkat hampir semua orang yang ada di dalam pasar telah saling berhadapan dengan orang-orang berpayung itu. Kawanan jago tangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang sejak awal bersembunyi di dalam pasar itu paling tidak berjumlah delapan-sembilan puluhan orang, sementara manusia berpayung itu jumlahnya hanya dua tiga puluhan orang, tapi begitu muncul, justru kawanan manusia berpayung itulah yang telah mengepung para jago di dalam pasar. Suasana tegang segera mencekam semua orang, khususnya para jago yang berada di dalam pasar. Perasaan tegang mencekam pula seorang lelaki yang duduk di pasar bagian depan, seorang lelaki kurus kering yang memiliki tulang pelipis penuh berotot hijau, otot-otot hijau yang mengelilingi jalan darah Tay-hiang-hiat. Dia tak lain adalah Lui Heng. ooOOoo 15. Manusia berpayung Lui Heng sangat pendendam. Selama hidup dia memang selalu mendendam kepada orang lain. Membenci seseorang jauh lebih membuang waktu ketimbang mencintai seseorang, terlebih orang yang dibencinya jauh lebih banyak daripada orang yang dikenalnya, dia pun dapat membenci orang yang belum pernah dikenalnya, ada kalanya dia malah membenci diri sendiri. Hanya satu orang yang tak berani dia benci, hanya Lui Sun seorang. Orang yang paling dibencinya saat ini adalah So Bong-seng. Dia membenci orang ini karena So Bong-seng telah menerjang masuk ke Po-pan-bun, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pusat kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, membunuh orang-orang mereka kemudian pergi begitu saja. Setiap kali terbayang peristiwa ini, Lui Heng merasa bencinya setengah mati, kalau bisa, dia ingin menelan So Bong-seng kulit berikut tulangnya ke dalam perut. Ti-toatongcu pernah berkata tentang dirinya, "Jika Lui-losu sudah membenci seseorang, sekalipun kungfunya tak mampu mengungguli lawan, mengandalkan rasa bencinya itu, ia tetap bisa memaksa musuhnya kabur ketakutan". Di dalam pasar sudah siap sembilan puluh dua orang jago berilmu tinggi, semua adalah pasukan inti di bawah pimpinannya, asal Ti Hui menurunkan perintah, dalam waktu singkat mereka dapat mencincang tubuh So Bong-seng hingga hancur. Tapi hingga kini Ti-toatongcu belum juga menurunkan perintahnya, sementara pasukan orang-orang berpayung sudah muncul di arena pertarungan. Dalam keadaan begini, Lui Heng benar-benar merasa amat benci, sedemikian bencinya hingga nyaris dia seakan ingin menelan diri sendiri. Bagaimana dia tidak benci" Kedua puluh sembilan orang berpayung itu sudah merangsek maju, sudah semakin mendekati posisi pertahanan mereka. Begitu rombongan ini muncul, barisan yang dia dan anak buahnya persiapkan nyaris terhadang dan berantakan. Sekalipun Lui Heng bencinya sampai ingin menghancurkan kepala sendiri, kali ini dia tak berani bertindak gegabah, ia sama sekali tak berani sembarangan bergerak. Karena dia tahu, rombongan itu adalah 'Berbuat onar semau sendiri'! Berbuat onar semau sendiri' merupakan satu kelompok pasukan inti di bawah pimpinan So Bong-seng, dan kini paling tidak ada setengahnya sudah muncul di situ. Lui Heng sadar, dalam keadaan seperti ini jika ia berani bertindak sembarangan, bisa jadi dia tak pernah bisa membenci orang lain lagi, yang diperolehnya waktu itu hanya penyesalan. Bahkan bisa jadi kemungkinan untuk menyesal pun ikut lenyap. ooOOoo Seorang pemuda yang tampangnya agak ketolol-tololan, dengan membawa sebuah payung berwarna hitam, melewati rombongan manusia berpayung hijau dan berjalan menuju ke hadapan So Bong-seng. Sewaktu lewat di samping tubuh Su Bu-kui, sorot matanya yang semula tampak bloon, tiba-tiba memancarkan suatu pera?saan yang sulit dilukiskan. "Semuanya sudah tewas?" bisiknya lirih. "Si Barang antik dan Hoa Bu-ciok adalah pengkhianat," jawab Su Bu-kui sambil tertawa getir. Pemuda bloon itu kelihatan sedikit bergetar, namun tetap melanjutkan langkahnya menuju ke hadapan So Bong-seng, ujarnya sembari menjura, "Hamba datang terlambat!" "Kau tidak terlambat, kedatanganmu tepat waktu," sahut So Bong-seng sembari manggut-manggut. Dalam pada itu Ong Siau-sik sudah celingukan memandang sekeliling tempat itu, setelah melihat sejenak ke timur, barat, kiri, kanan, depan, belakang dan yakin kalau kali inipun tak akan mati, tak tahan serunya, "Wah, ternyata benar-benar ditemukan jalan hidup di tengah jalan kematian, tak kusangka kejadian bisa muncul pada saatnya." So Bong-seng tertawa hambar, namun dari balik sorot matanya terpancar sikap memandang hina lawan. Menyaksikan mimik muka pimpinannya itu, Su Bu-kui segera memberi penjelasan, katanya, "Sewaktu menyerbu Po-pan-bun tadi, sepanjang jalan Kongcu telah meninggalkan tanda rahasia, dia yakin orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti akan melakukan penghadangan di saat kami pulang nanti, karena itu Mo Pak-sin diminta segera membawa pasukan untuk menyusul kemari." Kisah Pedang Di Sungai Es 17 Prabarini Karya Putu Praba Darana Menuntut Balas 19