Ceritasilat Novel Online

Golok Maut 9

Golok Maut Karya Batara Bagian 9 pusing. "Tutup mata kalian, jangan dilihat!" Pek-lui-kong, yang terkejut melihat perobahan ini tiba-tiba berseru pada muridnya. Keng Han dan Su Tong melaksanakan itu namun terlambat, tiba-tiba pusing dan roboh sendiri, gedebak-gedebuk. Dan ketika dua pemuda itu mengeluh terguling dan Lam-ciat di balik ilmu hitamnya terkekeh aneh maka Bhi Li dan kakaknya tiba-tiba melengking dan menyambar pedang di atas tanah. "Locianpwe, kalau Su Tong dan Keng Han tak dapat membantumu biarlah kami maju menggantikan. Kakek ini jahat, mari kita basmi dan bunuh dia... sing-singg!" dan Bhi Li yang melengking marah membentak lawannya tiba- tiba menusuk dan membacok, menggerakkan pedangnya namun sama seperti Su Tong iapun menembus bayangan kosong. Lam-ciat seolah roh halus dan memekiklah gadis itu. Dan ketika kakaknya juga melakukan hal yang sama namun mendapat kenyataan yang sama pula maka Lam-ciat mengibas dua gadis itu dengan pukulan jarak jauhnya. "Ha-ha, kaupun tak dapat mengalahkan aku, anak-anak. Robohlah dan menyingkir... bres-bress!" dua enci adik itu mengeluh, terlempar dan tak dapat menahan diri namun bergulingan meloncat bangun, menyerang lagi dengan nekar dan Pek-lui-kong si kakek gagah kagum. Dua enci adik itu membantunya namun lagi-lagi mereka terlempar. Dan ketika kejadian itu berulang enam tujuh kali dan hanya karena dia selalu melindungi kalau Lam-ciat hendak menotok roboh gadis itu maka pendekar ini berseru agar mereka mundur, membawa pergi Su Tong dan Keng Han. "Kakek ini hebat, biar aku saja yang menghadapinya. Kalian pergilah, bawa muridku dan kalian selamatkan diri!" "Tidak," Bhi Li melengking. "Kau datang juga hendak menolong kami, locianpwe. Kalau kami mampus biarlah itu terjadi. Kami tak mau mundur atau kau saja yang pergi dan bawa murid-muridmu itu!" "Hm, mana mungkin?" kakek ini terbelalak, semakin kagum. "Aku saja kewalahan menghadapinya, nona. Kalian pergilah dan biar aku yang melindungi dari belakang!" Tidak!" kali ini Bhi Pui berseru. "Kau yang pergi atau kita semua menghadapi iblis ini, locianpwe. Kami tak takut,mampus dan biar kami membalas sakit hati kami!" "Hm, baiklah," Pek-lui-kong merasa tak berdaya. "Kalian gadis-gadis yang keras hati, nona. Kalau begitu keinginan kalian baiklah kita hadapi kakek iblis ini dan hati-hatilah!" lalu melindungi diri dari setiap pukulan sinkang dan coba membalas dengan pukulan-pukulan Petirnya kakek ini kembali menghadapi Lam-ciat, sayang tak berhasil baik karena Lam-ciat berlindung di balik ilmu hitamnya. Dan ketika Bhi Li kembali terlempar oleh sebuah tamparan maka Bhi Pui ganti menyusul dan terlepas pedangnya. "Plak-plak!" Dua gadis itu merintih. Pukulan Lam-ciat kali ini tak dapat dicegah si kakek gagah, karena saat itu Pek-lui-kong juga menangkis sebuah angin pukulan yang menyambar dari belakang. Dan ketika dua enci adik itu merintih dan terlepas pedangnya maka Lam-ciat tertawa bergelak dan tiba-tiba memecah bayangannya menjadi sepuluh orang. "Wut-siut!" Pek-lui-kong terkejut. Saat itu dia baru terhuyung menangkis sebuah pukulan, tiba-tiba melihat sepuluh bayangan sekaligus mengelilinginya, tak ayal berobah mukanya dan dari mana-mana menyambar pukulan bertubi-tubi. Dan karena dia tak dapat memilih bayangan mana yang kira-kira Lamciat adanya maka kakek ini berseru keras mencabut ikat rambutnya, menangkis. "Des-dess!" Si kakek terkecoh. Sepuluh bayangan yang ditangkis ternyata palsu adanya, semuanya bukan Lam-ciat yang asli. Dan ketika dia terhuyung karena terbawa oleh pukulannya sendiri maka saat itulah Lam-ciat yang asli berkelebat muncul di... atas kepalanya. "Ha-ha, mampus kau, Lui-kong. Sekarang kau tak berdaya... bumm!" Kakek itu menjerit, kepalanya dihantam dari atas dan terlemparlah kakek gagah itu. Lui-kong tokoh utara ini terguling-guling, secara curang dan licik Hantu Selatan itu menyerangnya. Dan ketika dia mengeluh dan kepala serasa pecah dihantam pukulan Lam-ciat maka saat itulah Lam-ciat menggerakkan tangan kirinya dan puluhan jarum-jarum kuning menyambar tokoh utara ini, dikelit tapi tiga batang jarum tetap mengenainya, pedas dan gatal. Dan ketika kakek itu menyadari bahwa jarum yang amat berbahaya dan beracun menusuki tubuhnya maka di saat itulah lawan berkelebat menghilang dan tahu-tahu sudah mencengkeram kepalanya untuk dicengkeram hancur. "Ha-ha, roboh kau, Lui-kong. Sekarang kau mampus!" Kakek ini terkejut. Saat itu dia mau menangkis namun kedua lengan tak dapat digerakkan. Jarum yang menancap di tubuhnya kiranya dengan cepat sudah menyebar racunnya, seluruh tubuh menjadi kaku dan kakek ini kaget bukan main. Lui-kong memaki lawan dengan muka pucat. Dan ketika serangan tak dapat dihindarkan lagi dan Lam-ciat tertawa bergelak dengan cengkeraman mautnya, dua jari telunjuk dan tengah siap mencoblos mata lawan yang tentu akan seketika hancur, tiba-tiba berkelebat sinar putih menyilaukan mata diiring bentakan yang mendirikan bulu roma, "Lam-ciat, tahan seranganmu... crat!" dan kelingking Lam-ciat yang putus dibabat sinar menyilaukan ini tiba-tiba sudah menarik serangannya dan secepat kilat membanting tubuh bergulingan. "Haiyaaa...!" Lam-ciat kaget bukan main. Saat itu dia tinggal merobohkan lawan, Pek-lui-kong sudah tak dapat menggerakkan tangannya karena seluruh tubuh mendadak kaku, akibat racun dari jarum yang menyebar cepat. Dan ketika kakek itu roboh namun Lam-ciat buntung kelingking kirinya, yang terus bergulingan dan meloncat bangun maka berdirilah di situ seorang laki-laki gagah yang mengenakan caping lebar. "Golok Maut..!" Semua tertegun. Lam-ciat terbelalak namun Bhi Li dan kakaknya girang bukan main. Mereka itulah yang tadi berteriak dan menyebut nama ini, nama Golok Maut yang akhir-akhir ini mengguncang dunia kang-ouw. Dan ketika Golok Maut, laki-laki yang tegak dengan tubuh tak bergeming itu mengangguk pada Bhi Li dan Bhi Pui, dua enci adik maka di sana Lam-ciat tergetar dan Lui-kong tokoh utara itu mengeluh. "Kau telan ini, cepat!" Dua pil hijau melayang ke mulut kakek ini. Entah bagaimana tahu-tahu Pek-lui-kong telah menerima pil itu, yang cepat menyambar ke mulutnya. Dan ketika pil itu lenyap dan Golok Maut telah menghadapi Lam-ciat maka kakek Hantu Selatan ini menggereng, sadar dari kagetnya. "Heh, kau Golok Maut, anak muda?" "Tak perlu banyak cakap. Kau pergi atau kuhajar, kakek sinting. Enyahlah dan jangan ganggu lima orang ini!" "Ha-ha!" dan Lam-ciat yang tiba-tiba menubruk dan menghantamkan tangannya tahutahu berkelebat dan sudah menyerang si Golok Maut, tidak banyak cakap karena lawan menyuruhnya pergi. Tapi begitu pukulan melayang dan Golok Maut menggerakkan tangannya mendadak secepat kilat sinar yang menyilaukan mata itu berkelebat panjang. "Cras!" Hantu Selatan menjerit. Sama seperti tadi tahu-tahu jari manisnya hilang, terbabat atau disambut sinar menyilaukan itu. Bukan main kagetnya. Dan ketika kakek ini merintih dan melempar tubuh bergulingan lagi maka ia terbelalak memandang si Golok Maut, yang telah menyimpan senjatanya kembali, di belakang punggung. "Nah, kau tahu rasa, Lam-ciat. Atau kau akan kehilangan semua jarimu dan putus sia-sia!" "Keparat!" kakek ini memekik. "Kubunuh kau, Golok Maut. Kukeremus kepalamu!" dan Lam-ciat yang menerjang lagi sambil membalut lukanya lalu menghantam dan memaki-maki si Golok Maut, dielak dan dikelit dan sinar putih panjang itu mau keluar lagi, mengancam. Dan ketika Golok Maut benar-benar mengeluarkan senjatanya dan kakek itu melengking tiba-tiba lenyaplah dia di balik ilmu hitamnya, Hoan-eng-sut. "Siut-klap!" Terdengar ledakan. Kakek ini melengking-lengking namun Golok Maut tiba-tiba mendengus, berkelebat dan lenyap pula berkejaran dengan bayangan si kakek gila, heran dan mengejutkan dan tampaklah oleh Bhi Li betapa dua bayangan sambar-menyambar seperti siluman. Dengan ginkangnya yang luar biasa Golok Maut mengimbangi Hoan-eng-sut, sebuah demonstrasi mentakjubkan yang hampir tak dapat dipercaya. Tapi ketika ke manapun bayangan kakek itu pergi selalu Golok Maut berada di belakangnya maka menjerit dan berteriaklah kakek siluman ini. "Keparat, kau jangan mengintil di belakangku, Golok Maut. Pergilah... pergi!" Ternyata kakek itu ketakutan. Setelah Golok Maut "terbang" bersama goloknya dan kemanapun Hoan-eng-sut melesat ke situ pula dia membayangi maka Lam-ciat gentar dan pucat memaki-maki, menyerang tapi selalu disambut sinar golok, tentu saja menarik serangannya dan jadilah kakek itu terbirit-birit berputaran. Tingkahnya seperti anak kecil yang bermain petakumpet, berusaha lari dan bersembunyi tapi lawan mengintil di belakang, mau menyerang tapi golok itu menyambut. Dan karena dua kali jarinya sudah putus dibabat sinar golok dan senjata di tangan Golok Maut itu benar-benar maut maka kakek Ini memutar tubuh dan akhirnya melarikan diri, berteriak-teriak. "Golok Maut, tobat. Jangan kejar aku. Tobat".!" Golok Maut tak menghiraukan. Dia tetap mengejar dan si kakek akhirnya melepas jarum-jarum keemasan, yakni jarum-jarum beracun yang tadi melukai si Raja Petir. Tapi ketika Golok Maut menggerakkan senjatanya dan bunyi trang-tring menyampok runtuh sinar-sinar keemasan itu akhirnya tujuh sinar emas membalik menyambar kakek itu sendiri. "Cret-cret!" Lam-ciat meraung. Tujuh jarum beracunnya sendiri membalik menancap di tubuh, menjerit dan kakek itu terjungkal. Dan ketika Golok Maut berkelebat dan sinar putih bergerak tiba-tiba sebagian bahu kakek itu sompal. "Aduh!" Golok Maut berhenti. Lam-ciat sudah bergulingan meraung tak keruan, menjerit dan menangis dan lucu rasanya melihat ini. Lam-ciat, si Hantu Selatan yang tadi bersikap sombong dan gila-gila mendadak mengenal takut, menjauh dan akhirnya meloncat bangun di sana, melarikan diri dan lenyap di balik pohon-pohon besar. Dan ketika Bhi Li dan lain-lain tertegun melihat Golok Maut menoleh, tersenyum sejenak tiba-tiba lakilaki bercaping itu berkelebat dan... lenyap pula. "Bhi Li, tak usah pergi sendirian. Kalian bersamalah Su Tong ataupun Keng Han!" "Heii..!" Bhi Li terkejut, sadar. "Tunggu, Golok Maut. Tunggu dulu...!" Namun Golok Maut menghilang. Bhi Pui juga berteriak dan mengejar, tak dijawab dan dua enci adik itu masih tetap mencari-cari. Namun ketika mereka gagal dan Golok Maut benar-benar telah menghilang entah ke mana maka dua bayangan berkelebat dan muncullah Keng Han serta Su Tong di situ. "Bhi Li, Bhi Pui, tak usah mencari lagi. Golok Maut memang aneh, tak mungkin kita temukan!" "Benar," bayangan lain berkelebat, Pek-lui-kong adanya. "Aku juga sudah mencari-cari, nona. Dia tak ada dan aku menyesal belum menyampaikan terima kasihku!" Bhi Li dan kakaknya tertegun. Keng Han dan Su Tong rupanya sudah ditolong guru mereka ini, bersinar-sinar memandang mereka. Tapi begitu mereka ingat apa yang telah terjadi di antara mereka dengan Su Tong dan Keng Han mendadak enci adik ini meloncat pergi dan terisak. "Heii..!" dua pemuda itu terkejut. "Tunggu, Bhi Li. Kami mau bicara!" "Benar," Keng Han juga berseru. "Tunggu, Bhi Pui. Aku mau bicara..!" dan dua pemuda itu yang sudah tergerak dan mengejar ke depan lalu memberi tahu guru mereka bahwa sebaiknya guru mereka tinggal di situ dulu, mereka ada persoalan pribadi dan Pek-lui-kong mengangguk. Tadi orang tua ini telah mendengar cerita muridnya tentang perbuatan Lam-ciat, kakek iblis terkutuk yang membuat dua pasangan itu menjadi malu dan terhina. Maka begitu muridnya mengejar dan dua enci adik itu sudah disusul cepat kakek ini menarik napas dan menunggu di situ. "Tunggu... tunggu, Bhi Li. Aku mau bicara...!" Tapi Bhi Li tak mau mendengarkan ini. Su Tong meneriakinya di belakang dan tiba-tiba Keng Han juga berseru pada Bhi Pui, sang kakak. Dan ketika dua gadis itu mengerahkan ilmu lari cepatnya namun Keng Han dan temannya juga menambah kecepatan mereka hingga jarak selalu sama tiba-tiba Bhi Pui bertanya pada adiknya, "Bhi Li, mau apa mereka itu kira-kira" Mau kurang ajarkah?" "Entahlah, tapi rasanya tidak, enci. Kukira... kukira mereka mau bicara tentang apa yang sudah terjadi di antara kita!" "Hm, kalau begitu kita tunggu, berhenti saja!" "Tidak, jangan enci. Di hutan itu saja kita bersembunyi. Kau dan aku berpisah, biar mereka mencari!" "Apa?" "Benar, masa kita harus menemui mereka bersamaan" Ah, malu, enci. Biar Su Tong mencariku dan Keng Han mencarimu. Kalau mereka kurang ajar kita bunuh. Tapi kalau mereka mau bertanggung jawab, hmm.. kita... kita terima!" Bhi Pui merah mukanya. Akhirnya dia mengangguk dan setuju, sudah tiba di hutan yang dimaksud Bhi Li dan di sini tiba-tiba mereka berpisah. Keng Han dan Su Tong tak jauh di belakang, terus berteriak-teriak namun mereka seolah tak perduli. Inilah wanita. Butuh tapi pura-pura acuh! Dan ketika mereka sudah memasuki hutan itu dan berpisah, Bhi Li ke kiri sementara Bhi Pui ke kanan maka Su Tong dan Keng Han tertegun. "Hei!" Su Tong berteriak. "Kenapa kalian ini, Bhi Li" Kami mau bicara, bukan mau apa-apa!" dan terbelalak melihat Bhi Li ke kiri tiba Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tiba pemuda ini berkata pada temannya bahwa dia akan mengejar gadis baju biru itu. "Baiklah, aku ke kanan, Su Tong. Kau kejar kekasihmu itu sedang aku mengejar kakaknya!" Keng Han pun membelok, berpisah dengan temannya dan dua pemuda itu sudah mengejar kekasih masing-masing. Mereka tak mengerti sikap enci adik itu tapi sudah menyusul. Dan ketika Su Tong berkelebat mengejar Bhi Li maka di dalam hutan tiba-tiba pemuda itu berhasil menyambar baju pundak kekasihnya. "Bhi Li, tunggu... bret!" dan baju Bhi Li yang sobek tertarik Su Tong tiba-tiba membuat pemuda itu terkejut, berseru minta maaf namun Bhi Li terlanjur marah. Gadis ini gusar karena Su Tong merobek pakaiannya. Maka begitu dia membalik dan berhenti memutar tubuh tiba-tiba tangannya bergerak dan Su Tong sudah ditampar. "Keparat kau... plak-plak!" dan Su Tong yang terlempar serta terbanting roboh tiba-tiba mengeluh dan bergulingan meloncat bangun, berseru agar Bhi Li menahan kemarahannya dan kini gadis itu tegak di depan Su Tong. Pemuda ini bangkit terhuyung dengan pipi bengap, tembem! Dan ketika Bhi Li membentak dan berkacak pinggang menanya apa keperluan pemuda itu maka Su Tong menggigil, terbata-bata. "Aku... aku mau bicara tentang itu. Tentang...." "Tentang apa!" Bhi Li memotong, galak menjawab dan pura-pura tidak tahu, padahal di dalam hati tentu saja berdebaran dan mukapun merah padam. Dan ketika Su Tong berkata bahwa dia mau bertanggung jawab tentang peristiwa di malam bulan purnama, persis yang disangka Bhi Li tiba-tiba gadis ini pun tak dapat menahan rona mukanya yang semburat merah, apalagi ketika Su Tong menjatuhkan diri berlutut, gemetar. "Aku... aku mencintaimu, Bhi Li. Aku tak mau kau pergi dari sampingku. Aku telah melaporkan kejadian ini kepada suhu, dan aku mau bertanggung jawab!" Bhi Li terisak. "Kau... kau mau, bukan" Kau tak menolak?" "Ooh!" gadis itu tiba-tiba meloncat meninggalkan Su Tong. "Aku... aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu, Su Tong. Tak perlu kujawab karena kau tentu mengerti sendiri!" "He!" Su Tong berteriak, meloncat bangun. "Kalau begitu kau menerimanya?" Gadis ini tak menjawab. Su Tong akhirnya mengejar dan menangkap gadis itu lagi, mencengkeram dan tersedu-sedulah Bhi Li berhadapan dengan pemuda ini, menunduk, tak mau mengangkat mukanya. Dan ketika gadis itu mengguguk dan Su Tong menjadi bingung, tak tahu apakah gadis ini setuju atau tidak tiba-tiba Su Tong memeluk gadis itu, yang ternyata diam saja. "Bhi Li, aku... aku bingung. Kalau kau tak mau menjawab biarlah beri tandanya dengan cara yang lain. Aku mencintaimu, aku ingin menciummu. Kalau kau marah tamparlah aku!" dan Su Tong yang benar-benar mencium dan melumat bibir Bhi Li ternyata tak ditampar dan Bhi Li menyambut, tidak marah dan tentu saja pemuda ini semakin berani, girang. Dan ketika dia mencium bertubi-tubi hingga keduanya seakan kehabisan napas maka Bhi Li mendorong pundaknya dan berseru, menggigil, "Cukup... cukup, Su Tong. Kau sudah tahu jawabannya!" "Ooh!" Su Tong tertawa bergelak, gembira sekali. "Aku bahagia, Bhi Li. Kalau begitu kau menerima cintaku!" dan pemuda ini yang menyambar serta mau mencium kekasihnya lagi mendadak ditahan dan dielak. "Nanti dulu, kau harus berjanji!" "Hm, janji apa" Bagaimana?" "Kau harus memperlakukan aku baik-baik, Su Tong. Harus... harus melamarku sebagaimana gadis dilamar pemuda secara baik-baik!" "Ah, tentu. Suhu yang akan melamarmu, Bhi Li. Aku akan minta padanya agar kau menjadi isteriku!" "Kita sudah menjadi suami isteri.." gadis ini terisak. "Aku... aku, ah, jahanam keparat Lam-ciat itu, Su Tong. Kalau saja tak ada dia tentu perbuatan itu tak akan kita lakukan!" "Sudahlah," Su Tong menghibur. "Semuanya sudah terjadi, Bhi Li. Kita tak dapat menolak atau menghindarinya. Aku juga menyesal, tapi nasi sudah menjadi bubur." "Dan kau akan bertanggung jawab, bukan?" "Tentu, aku mencintaimu, Bhi Li. Aku akan bertanggung jawab!" dan Su Tong yang meraih serta memeluk lagi lalu mencium dan kali ini Bhi Li membiarkan, bahkan menyambut dan Bhi Li terisak. Dan ketika pemuda itu berbisik bahwa dia mencintainya akhirnya keduanya terbang ke sorga namun mendadak Bhi Li teringat encinya. "Kita lihat enci Bhi Pui!" "Hm," Su Tong puas, berseri-seri. "Mereka pasti melakukan seperti apa yang kita lakukan, Bhi Li. Keng Han mencintai kakakmu dan ingin mempertanggung-jawabkan perbuatannya pula!" "Kau yakin?" "Tentu, mari kita lihat!" Dan Su Tong yang bahagia menyambar kekasihnya lalu berkelebat dan mengajak Bhi Li ke tempat di mana tadi Keng Han mengejar Bhi Pui, mencari dan tak lama kemudian mereka menemukan dua orang itu, benar saja, asyik bercumbu dan berpelukan, saling cium dan Su Tong berhenti, menarik kekasihnya dan tersenyum mengajak bersembunyi. Dan ketika Bhi Li menurut tapi muka tentu saja merah padam maka di sana Keng Han terdengar berkata, melepaskan pelukannya, "Lihat, demi Tuhan aku mencintaimu, Bhi Pui. Ingin bertanggung jawab dan mengambilmu sebagai isteri. Kita telah diikat oleh Lam-ciat. Tapi tanpa itupun aku tetap mencintaimu dan ingin mengambilmu sebagai isteri, kekasih tercinta!" "Tapi kau harus melamarku," Bhi Pui terdengar menjawab, terisak. "Aku tak ingin menjadi isterimu begini saja, Keng Han, Kau harus melamarku dan memintaku secara baik-baik!" "Tentu, aku telah membicarakannya dengan suhu, Bhi Pui. Dan aku yakin suhu mau melamar dirimu untukku. Aku akan memperlakukan dirimu secara baik-baik dan bukan hanya karena disebabkan perbuatan kakek iblis itu!" lalu, ketika Bhi Pui tampak lega dan bersinar-sinar maka Keng Han mengajak untuk mencari temannya, Su Tong. "Urusan kita selesai. Sekarang kita mencari Su Tong yang mengejar adikmu Itu!" "Ha-ha, tak perlu dicari!" Su Tong keluar dari persembunyiannya, berkelebat muncul "Aku di sini, Keng Han, bersama Bhi Li!" dan ketika Keng Han tertegun dan muka Bhi Pui merah, teringat bahwa dia baru saja berciuman dengan Keng Han maka Bhi Li muncul dan tersenyum-senyum berkelebat menyambar encinya itu. "Enci, maaf kami agak lama di situ. Su Tong yang mengajakku bersembunyi dan tak mau mengganggu kalian, Maaf, betapapun aku lega!" "Kau di sana?" "Ya." "Mengintai.. mengintai kami?" "Hi-hik, maaf, enci. Aku tak sengaja!" "Ih, kurang ajar kau!" dan Bhi Li yang mengelak dicubit encinya tiba-tiba bersembunyi di punggung Su Tong. "Aduh, tolong, Su Tong. Enciku marah!" Su Tong tertawa. Setelah Bhi Li menggoda encinya dan suara menjadi gembira tiba-tiba pemuda ini menarik Bhi Li, menyembunyikan sang kekasih dan Bhi Pui tentu saja tertegun, berhadapan dengan Su Tong. tak mungkin mengejar adiknva lagi dan tertawalah Keng Han di sana. Dan ketika Bhi Pui mundur dan adiknya terkekeh-kekeh maka gadis ini minta agar Keng Han membalas pada Su Tong. "Eh-eh, apa yang harus kulakukan?" "Dorong dia, Keng Han. Ambil adikku yang nakal itu!" "Ha-ha, dorong sendiri. Su Tong memang kekasihnya!" dan ketika suasana menjadi bertambah hangat dan Bhi Pui gemas-gemas mendongkol maka Bhi Li meloncat dan terbang meninggaikan hutan. "Hi-hik, kejar aku saja, enci. Ayo jangan minta tolong Keng Han!" Bhi Pui mendapat kesempatan. Setelah adiknya keluar dan dia tentu saja mengejar maka dua pemuda di belakangnya itu tertawa-tawa. Keng Han dan Su Tong gembira sekali karena kini mereka masing-masing sudah mendapatkan pujaannya secara baik-baik. Bhi Pui mengejar Bhi Li dan merekapun saling pandang, mengangguk dan ganti mengejar dua gadis itu. Dan ketika semuanya tertawa-tawa namun dua enci adik itu tentu saja tiada maksud untuk meninggaikan dua pemuda ini akhirnya Bhi Li tertangkap dan dicubit kakaknya, mengaduh dan minta tolong Su Tong dan akhirnya bersembunyi lagi di punggung kekasihnya. Bhi Pui puas sementara Keng Han sudah mencekal lengannya. Dan ketika dua pasangan itu tampak gembira dan bahagia sekali maka Su Tong teringat gurunya dan mengajak semua kembali. "Suhu sudah menanti, mari kita ke Sana." "Benar," Keng Han juga teringat. "Kita bicarakan ini lebih lanjut, Su Tong. Dan kita minta nasihat suhu!" Begitulah, empat orang muda ini menghadap Pek-luikong, yang memang sudah menunggu. Dan ketika kakek gagah itu berseri-seri karena keempatnya tampak bahagia dan gembira maka Su Tong menjatuhkan diri berlutut memberikan laporannya. "Teecu berhasil membawa Bhi Li, mohon suhu memberikan restunya." "Benar, dan teecu juga, suhu," Keng Han menyambung. "Teecu telah berhasil membawa kekasih teecu dan inilah Bhi Pui!" "Hm-hm, bagus. Aku gembira, anak-anak. Dan aku turut bahagia. Pernikahan kalian dapat ditentukan dan sebelumnya tentunya kita harus baik-baik melamar kekasih kalian masing-masing. Siapakah orang tua kalian?" "Kami... kami hanya mempunyai seorang paman, locianpwe. Ayah ibu telah tiada dan kami sebatangkara." Bhi Pui menjawab. "Hm, tak apa. Kepada pamanmu itulah aku akan melamar kalian untuk murid-muridku. Siapa paman kalian itu" Kalian dari mana?" "Kami keluarga besar Pek-kiok-pang..." "He?" "Benar, kami keponakan ketua Pek-kiok-pang yang dibunuh Golok Maut, locianpwe. Tapi Golok Maut pula yang berkali-kali menolong kami!" "Ah, Golok Maut!" Pek-lui-kong tertegun, bersinar-sinar. "Dan dia pula yang baru menyelamatkan kita semua, Bhi Li. Dan aku juga berhutang jiwa padanya!" "Benar, kami juga pernah ditolongnya, suhu. Dan kami juga berhutang budi!" Su Tong berseru. "Apa?" "Benar," Keng Han mendahului. "Kami dua kali ditolongnya dari Mao-siao Moli, suhu. Tanpa Golok Maut tentu kami sudah menjadi korban!" "Iblis betina cabul itu?" "Ya." "Ah, berbahaya!" dan Pek-lui-kong yang tepekur dengan mata redup tiba-tiba muram mukanya, bangkit berdiri, "Baiklah, Golok Maut memang tokoh yang aneh, Su Tong. Orang mencapnya jahat tapi nyatanya berkali-kali pula dia menolong orang lain. Sudahlah, kita pergi dan selesaikan urusan ini." "Pulang?" "Hm, apakah kalian mau tinggal di sini saja" Tidak ingin mengikat perkawinan dan segera saja menjadi suami isteri?" "Ah, tentu, suhu. Tapi kami agaknya masih ingin berkecimpung di dunia kang-ouw lagi, menambah pengalaman!" "Benar, kami juga bemiat begitu, locianpwe. Terutama ingin mengikuti cerita si Golok Maut ini dan melihat apa yang terjadi, yang dia lakukan!" "Hm, tapi kalian harus menikah dulu, baru setelah itu sesuka hati kalian!" "Baiklah, terserah, suhu," dan Keng Han yang menjawab mewakili teman-temannya tentu saja girang dan mengedip pada yang lain, memang harus menjadi suami isteri dulu setelah perbuatan terkutuk Lam-ciat. Harus memberi muka pada kekasih masing-masing dan jadilah mereka setuju. Dan karena itu tentu saja juga melegakan dan menggembirakan Bhi Li enci adik maka Pek-lui-kong akhirnya mengajak pergi. Dan begitu kakek itu berkelebat dan empat muda-mudi ini mengikut di belakang maka arah tujuan mereka adalah Pek-kiok-pang! ooooo0de0wi0oooooo "Apa" Terbunuh" Cam-busu dibunuh Golok Maut itu?" "Benar, dan tugasnya barangkali gagal, ongya. Kepala Cam-busu menggelinding di luar Hek-yan-pang ketika secara kebetulan kami menyusul!" "Keparat, jahanam bedebah!" dan Ci-ongya yang marah-marah dan membentak-bentak laki-laki di depannya lalu menendang dan melempar mangkok piring, begitu marah dan gusar hingga pengawal yang menjaga di pintu pucat, menggigil dan cepat menggeser kakinya ketika sang pangeran melotot, hampir membuang piring ke arahnya namun untunglah saat itu berkelebat sesosok bayangan memasuki ruangan. Dan ketika bentakan dan kemarahan pangeran ini menggegerkan seisi gedung karena meja kursi dibanting dan ikut dilendang pula maka bayangan ini, seorang kakek tinggi besar berkulit hitam berseru menahan kemarahan, Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ongya, berhentilah. Maaf hamba datang diutus kakak paduka!" "Hm, kau?" Ci-ongya berhenti, bersinar-sinar. "Ada apa kau datang, Yalucang" Menambah kekecewaanku dan kemarahanku saja?" "Maaf, hamba datang diutus kakak paduka, ongya. Paduka diminta datang dan ditunggu di gedung Ui-tien!" "Hm, baik!" dan sang pangeran yang menahan kemarahan dan masuk ke dalam lalu berganti sepatu dan sudah mengikuti kakek ini, yang bukan lain Yalucang adanya si kakek Tibet, pembantu atau orang kepercayaan Coa-ongya, pangeran Coa. Dan ketika dua orang itu datang dan ternyata di meja besar sudah duduk menunggu seorang laki-laki berusia empat puluhan maka pangeran ini duduk dan langsung menanya geram, "Ada apa, kanda" Kau memanggilku?" "Benar, ada sesuatu yang ingin kurundingkan, Ci-te (adik Ci). Dan ini agaknya keuntungan bagi kita!" "Hm, selama ini kesialan. Aku tak percaya segala keuntungan, kanda. Selama Golok Maut belum dibunuh maka ancaman bahaya tetap di depan mata kita!" "Sabarlah, jangan marah-marah. Aku telah mendengar tentang terbunuhnya bu-su tolol itu tapi belum tentu puteramu ikut celaka. Ada berita menggembirakan, tentang pembantu sri baginda yang lihai!" Ci-ongya mengerutkan kening. Dia tak tahu tapi tampak terkejut dan heran mendengar ini. Maka ketika kakaknya bersinar-sinar dan dia membetulkan letak duduknya maka pangeran yang sedang menahan marah ini bertanya, "Kanda, apa hubungannya pembantu sri baginda dengan kita" Apa kaitannya dengan semua ini?" "Ah, banyak. Yang jelas kita bisa berharap orang ini membunuh Golok Maut, Ci-te. Karena dikabarkan dia amat lihai dan memiliki Jit-seng-kiam (Pedang Matahari)!" "Jit-seng-kiam" Pedang keramat itu?" "Benar, dan orang ini lihai bukan main, Ci-te. Minimal dia setangguh Si Golok Maut!" "Aku tak percaya. Golok Maut itu luar biasa sekali. Kalau ada orang bicara begitu tentu dia hanya membual!" "Hm, kau tak percaya" Kalau begitu lihatlah inl, dengar kata-katanya!" dan Coaongya yang bertepuk tangan dan menoleh ke belakang tiba-tiba telah memanggil dua orang kakek luar biasa, berkelebat dan tahu-tahu muncul di situ. Dan ketika Ci-ongya terbelalak dan tertegun, tak mengenal, maka kakaknya sudah memberi tanda dan dua orang itu membungkuk hormat di depan pangeran ini. "Ha-ha, kenalkah kau kepadanya. Cite, Inilah dua kakek lihai dari Thian-tok. Mereka adalah dua bersaudara Sudra dan Mindra!" "Eh, yang terkenal berjuluk Nehikha itu?" "Ha-ha, benar. Kamilah orangnya, ongya. Selamat bertemu dan kami baru saja diundang di sini!" Mindra, kakek yang mendahului itu tertawa bergelak. Ci-ongya terkejut karena dia sudah mendengar nama dua kakek lihai ini, yang diusir dari India dan ternyata malang-melintang di Tionggoan, kini muncul di rumah kakaknya dan tersenyumlah dia karena orang-orang lihai telah bermunculan di istana, jadi kekuatan mereka bertambah dan bertanyalah pangeran itu kapan mereka datang. Dan ketika sambil tertawa Mindra berkata bahwa dia baru saja datang, setelah bertemu Golok Maut maka Ci-ongya tertegun dan tiba-tiba mengerutkan keningnya, lagi-lagi tak senang. "Kami baru tiba, dan kami membawa berita penting!" "Hm, tentang pembantu kaisar itu" Jadi kalian kiranya?" "Tidak, bukan!" Sudra menggeleng, mendahului temannya. "Kami membawa berita bahwa Tiat-kak, pembantu kalian itu telah dibunuh Golok Maut, ongya. Dan saksi utamanya adalah kami berdua!" "Apa?" Ci-ongya terkejut. "Tiat-kak si Kaki Besi itu?" "Benar, dan dia tewas, ongya. Inilah kepalanya!" Sudra mengeluarkan sebuah buntalan, membuka itu dan menggelindinglah kepala si gundul itu, Tiat-kak si Kaki Besi. Dan ketika Ciongya terkejut dan undur selangkah, mukanya berobah dan kaget bukan main maka Sudra, yang rupanya mengambil dan sempat membawa pulang kepala si gundul itu berkata lagi, gentar namun marah, "Kami telah bertempur dengan Golok Maut, dan terus terang kami tak mampu mengalahkannya. Tapi ada sesuatu yang kami bawa pula, ongya, berita tentang seorang anak muda lain yang juga lihai dan sehebat Golok Maut!" "Hm-hm!" Ci-ongya menjadi acuh, berkilat-kilat matanya. "Aku sangsi akan segala yang bersifat bual, Sudra. Golok Maut memang hebat dan rasanya tak ada seorang pun yang mampu menandinginya!" "Sabar dulu," sang kakak mengulapkan lengannya. "Berita yang kau dengar belum habis, Ci-te. Sebaiknya kau dengar dulu dan lihat apa yang terjadi!" "Apa yang terjadi" Dua kakek ini sudah mengakui kekalahannya dengan Golok Maut, kanda. Dan orangorang kita juga tak ada yang mampu mencegah sepak terjang Si Golok Maut itu. Aku sebenarnya tak usah dengar karena isinya hanya kekecewaan melulu!" "Hm, kau emosi. Kau terbawa oleh kematian Cambusu!" "Bah, kematian si tolol itu untuk apa kuhiraukan, kanda" Tapi ketidaktentuan nasib puteraku membuat aku begini!" "Hm, sudahlah, sabar. Puteramu tak apa-apa. Dia selamat di Hek-yan-pang." "Bagaimana kanda tahu?" "Mereka ini yang bicara, Ci-te. Mereka telah bertemu pula dengan ketua Hek-yanpang itu!" "Benarkah?" "Kami tidak tahu pasti, ongya. Tapi ketua Hek-yan-pang itu mengamuk dan marahmarah kepada Si Golok Maut!" Sudra menjawab. "Ah, ini belum menjamin! Bagaimana bisa dibilang tak apa-apa, kanda" Kalau ketua Hek-yan-pang itu keluar dan marah-marah malah mungkin saja puteraku tak ada di sana!" "Kami yang akan membuktikannya!" Mindra tiba-tiba berseru. "Kami dapat ke Hekyan-pang kalau perlu, ongya. Dan kami sudah tahu kepandaian ketua Hek-yan-pang itu!" "Hm, sebaiknya kalian ceritakan secara urut dulu. Duduklah dan biar cerita kalian didengar adikku," Coa-ongya tiba-tiba mengangkat lengannya, menyusuh dua orang itu duduk dan Yalucang juga diminta mengambil kursinya. Kini lima orang itu duduk mengelilingi meja besar dan berkerutlah kening Ci-ongya memandang dua kakek itu. Dan ketika semuanya duduk dan dua kakek lihai ini menjadi pusat perhatian maka Mindra mendahului temannya bercerita, "Mula-mula kami bertemu dengan seorang pemuda lihai, dia bersenjatakan Jit-sengkiam..." "Hm, lalu?" "Lalu kami bertemu Golok Maut itu, ongya. Dan kami mencacat perbandingan bahwa dua anak muda ini sama lihai!" "Hm, kau sudah pernah menyaksikan wajah si Golok Maut itu?" "Secara jelas belum, ongya. Tapi kami tahu bahwa ia masih muda, cukup muda!" "Berapa kira-kira usianya?" "Tak lebih dari tiga puluh lima tahun!" "Hm, ceritakan selanjutnya!" Ci-ongya melirik kakaknya, melihat kakaknya mengangguk dan diam-diam mereka saling memberi isyarat. Hal itu semakin menguatkan dugaan mereka akan seseorang. Dan ketika Mindra menarik napas dan bersinar-sinar mengenang kejadian itu maka dia melanjutkan, "Anak muda bersenjata Jit-seng-kiam ini luar biasa, kami kalah karena dia memegang pedang pusaka!" "Hm, siapa dia?" "Beng Tan, ongya. Katanya she Ju!" "Beng Tan?" "Benar." "Ah, belum kudengar nama ini. Baiklah, lanjutkan!" "Kami penasaran, coba merampas pedang tetapi gagal. Dan ketika kami harus pergi karena pemuda itu benar-benar lihai maka kami bertemu Golok Maut!" "Nanti dulu. Kapan kau bertemu Golok Maut itu, Mindra" Berapa lama dan di mana?" "Kami menemuinya di hutan pinus, jauh dari sini. Dan waktunya kurang lebih empat hari yang lalu!" "Hm, dan bocah she Ju itu?" "Kurang lebih enam hari yang lalu!" "Baiklah, teruskan lagi." "Maaf, ada apa ongya memotong ceritaku?" "Tak apa. Aku hanya mengukur waktu dengan keberangkatan puteraku ke Hek-yan-pang, Mindra. Selebihnya aku tak memotong lagi!" "Baiklah, kami lalu bertempur. Sebenarnya bukan pertama ini kami bertanding dengan Si Golok Maut, ini yang kedua. Dan karena kebetulan ada si gundul itu di sana di mana akhirnya Golok Maut kami keroyok tiga maka kami mengakui keunggulan lawan karena Golok Maut terlampau ampuh dengan senjatanya itu..." "Kami sebenarnya berlima!" Sudra tiba-tiba menyambung. "Mao-siao Mo-li dan Hi-ngok Bhok-kongcu ada bersama kami, ongya. Tapi karena mereka menghina ketua Hek-yan-pang itu maka wanita itu marah dan menyerang dua orang ini!" "Hm, bagaimana akhirnya?" "Si Hidung Belang itu dihajar, temannya juga kalang-kabut!" "Hm, Hek-yan-pangcu itu cukup lihai?" "Benar, wanita itu cukup lihai. pangeran. Dan dia berhasil mengalahkan Siluman Kucing dan temannya itu!" "Baiklah, lalu bagaimana dengan Golok Maut itu?" "Dia menghadapi keroyokan kami bertiga, tapi akhirnya serangan-serangannya lebih tertuju kepada pembantu paduka itu, Tiat-kak si gundul!" "Hm, dan Golok Maut tiba-tiba beringas dan benci sekali setelah mengetahui bahwa si gundul itu pembantu paduka, ongya. Kebencian dan sinar matanya membuat orang bergidik. Dia mengampuni kami tapi tidak pembantu paduka itu!" Sudra terbelalak, memberikan informasinya dan Coa-ongya maupun Ci-ongya tertegun. Mereka berdesir tapi Ci-ongya tertawa mengejek. Dan ketika dua pangeran itu saling pandang dan kembali mengangguk maka Sudra diminta melanjutkan ceritanya. "Sekarang katakan bagaimana akhirnya, kenapa kalian datang ke sini dan siapa pula Ju Beng Tan itu!" "Dia pembantu sri baginda," Coa-ongya kali ini mendahului, tiba-tiba menjawab. "Aku baru saja mendengar berita bahwa kanda kaisar memiliki seorang pengawal tangguh, Ci-te. Konon katanya lebih lihai dan hebat daripada pengawal-pengawal kita!" "Benar, itulah pemuda itu!" Mindra berseru, penuh takjub dan kagum. "Pemuda ini hebat sekali, ongya. Kalau dikatakan pembantu-pembantu paduka tak dapat menandinginya memang benar. Kami berdua sendiri saja kalah!" "Hm, belum tentu!" Yalucang si kakek tinggi besar mendengus, tiba-tiba merah mukanya. "Kami semua memang belum dapat merobohkan Si Golok Maut, Mindra. Tapi kalau kau merendahkan kami di sini aku juga tidak percaya akan kepandaianmu. Siapa tahu kau justeru lebih rendah dibanding kami!" "Ha-ha, kau menantang?" Mindra tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalau Coa-ongya memperbolehkan tentu kami berdua ingin main-main denganmu, Yalucang. Kami sudah mendengar namamu tapi juga belum melihat kepandaianmu!" "Akupun juga begitu. Kalau kau menghina aku dan teman-temanku maka sebaiknya kita mengadu kepandaian dan lihat siapa yang besar mulut!" "Ha-ha, boleh!" namun Coa-ongya yang membentak menyuruh mereka duduk kembali lalu berseru agar pertikaian itu dihentikan dulu. "Mindra, di tempat ini tak boleh kalian bertempur. Kalau ingin berkelahi boleh, tapi di belakang, jangan di sini. Sebaiknya kalian terangkan dulu apa maksud kedatangan kalian, dengan membawa pula kepala si Kaki Besi itu!" "Kami ingin mencari orang-orang pandai, ingin mengalahkan Si Golok Maut. Kalau di sini ada orang-orang lihai yang dapat bekerja sama dengan kami tentu kami ingin bergabung dan melaksanakan keinginan kami untuk merobohkan Si Golok Maut!" "Hm, di sini orang-orang lihai banyak, tapi maksudmu kurang jelas kuterima. Apakah kau ingin menjadi pembantu-pembantu kami?" "Ha-ha, tidak, ongya, Kami ingin hidup bebas dan tidak terikat. Kami datang hanya untuk maksud mencari teman, mengalahkan Si Golok Maut itu!" "Tapi kalian dapat bekerja untuk kami. Kami dapat memberimu kedudukan dan uang!" "Benar, si Kaki Besi sudah tewas, Mindra. Kalian menggantikan dirinya dan bersama Mo-ko atau Yalucang kalian tinggal di sini!" "Hm, cukupkah berharga?" Sudra berkata mengejek. "Istana tak memiliki orang-orang tangguh, ongya. Kecuali pemuda bernama Beng Tan itu. Tapi diapun musuh kami! Kami penasaran, ingin merobohkan Si Golok Maut tapi Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo juga pemuda she Ju itu!" "Hm, kalian sombong. Kalau di istana tak ada orang-orang tangguh tentu kalian tak kemari. Eh, bilang saja kau ingin menjajal para pengawalku, Mindra. Bahwa kalian ingin membujuk Yalucang atau Mo-ko untuk menghadapi Golok Maut!" Coa-ongya berseru, tiba-tiba dapat menangkap maksud pembicaraan kakek India itu dan Sudra tertawa bergelak. Kakek ini berdiri dan memandang temannya. Dan ketika temannya juga tertawa dan bangkit memandang ke, kiri maka Mindra berseru, "Ongya, baiklah kami berterus terang. Tapi jangan suruh Mo-ko kakak beradik membokong kami... siut!" dan tangan kanan kakek ini yang bergerak ke belakang tiba-tiba sudah menangkis runtuh sebatang anak panah kecil, langsung mematahkannya dan muncullah di situ dua kakek iblis yang berkelebat dengan bentakan marah. Dan ketika mereka sudah berdiri di depan dua kakek tinggi kurus itu dan Hek-mo-ko yang berangasan membentak lebih dulu maka iblis muka hitam ini melengking, "Mindra, tak usah sombong. Kalau kau ingin membujuk kami untuk meninggaikan tempat ini maka adalah tidak mungkin. Kau bisa bersahabat dengan kami tapi harus mengabdi Coa-ongya, atau kau pergi dan pulang tinggal nama!" "Ha-ha, ini Hek-mo-ko?" Mindra tertawa, berseri-seri. "Bagus sekali, Mo-ko, dan ucapanmu benar. Kami perlu tenaga-tenaga yang dapat diandalkan untuk menghadapi Si Golok Maut itu!" "Kau tak dapat menyuruh kami pergi, kecuali atas perintah Coa-ongya!" "Ha-ha, Coa-ongya dapat kami tundukkan. Mo-ko. Tapi cobalah kita main-main dulu untuk melihat kepandaian masing-masing!" "Jangan di sini, tahan!" Coa-ongya yang tiba-tiba maju dan membemrji perlahan sudah menghadapi kakek-kakek yang aneh ini. "Kalian tak boleh bertempur di sini, Mindra, tapi di belakang! Hm, tahu aku. Kiranya kalian hendak membujuk dan membawa pergi para pembantuku untuk membantu kalian. Heh, mereka orang-orang kepercayaanku, Mindra. Kalau kau membujuknya percuma. Lebih baik kita bertaruh dan siapa kalah harus mengikuti keinginan si pemenang!" "Heh-heh, maksud paduka?" "Boleh kalian bawa Mo-ko dan Yalucang kalau kau menang, Mindra. Tapi kalau kau yang kalah maka kalian berdua harus bekerja di sini, tunduk kepadaku!" "Bagus, boleh!" dan Mindra yang tertawa penuh kepercayaan diri tiba-tiba berkelebat dan mendahului ke belakang, di sana temannya juga bergerak dan menanti di belakang. Dan ketika Mo-ko dan lain-lain juga berkelebat dan menyusul di belakang maka dua kakek India itu sudah berhadapan dengan lawan-lawannya, aneh. "Heh, siapa maju lebih dulu?" "Aku!" Hek-mo-ko yang berangasan melompat lebih dulu, mencabut tongkatnya. "Kau sombong dan pongah, Mindra. Marl kita main-main dan lihat slapa yang roboh!" "Tidak!" Coa-ongya berseru. "Mereka berdua datang bersama, Mo-ko. Dan mereka menantang kalian semua. Lebih baik kalian bertiga maju berbareng dan robohkan dua kakek yang pongah Ini!" "Eh!" Mindra terkejut. "Kalian mau maju keroyokan?" "Bukan kami yang menghendakinya, Mindra, melainkan kau. Kau yang merendahkan dan menghina orang-orangku. Kalau kau berani biarlah pertandingan ini cepat selesai dan hadapi mereka bertiga. Atau, kalau kau takut tentu saja boleh bertanding satu lawan satu tapi segera kutahu bahwa kalian orang-orang yang penakut!" "Ha-ha, boleh, Coa-ongya. Kalau begitu kami terima dan kami tidak takut! Majulah, aku dan Sudra slap menghadapi mereka bertiga!" Coa-ongya girang. Dia telah berhasll memojokkan dan mendahului pembicaraan, dua kakek ini telah disinggung kegagahannya dan tentu saja mereka menerima, atau bakal dicap penakut! Dan karena dia ragu apakah pertandingan seorang lawan seorang cukup dapat dihadapi oleh tiga pembantunya, karena dia telah mendengar kelihaian dua kakek India ini maka dengan cerdik langsung saja dia mengajak pertandingan serentak, dua lawan tiga dan inilah siasatnya untuk memperoleh kemenangan. Dua kakek lihai itu harus dapat dijadlkan pembantunya sebagai pengganti Tiat-kak yang tewas, yang kepalanya telah disingkirkan dan tadi dibawa dua kakek lihai ini. Maka begitu Mindra berhasil dlsudutkan dan mau tidak mau harus menerima pertandingan itu, karena mereka telah menghina dan merendahkan tiga pembantunya maka dua orang itu bersiap-siap ketika Yalucang dan Pek-mo-ko serta Hek-mo-ko diberi isyarat. "Kalian hadapi mereka ini, dan robohkan!" Mo-ko kakak beradik mengangguk. Yalucang juga sudah melompat maju dan kakek tinggi besar ini menggeram. Sebenarnya dalam setiap pembicaraan tadi kakek ini sudah menaruh ketidaksenangan kepada dua kakek Thian-tok ini, mereka dianggapnya sombong meskipun tak malumalu mengakui kekalahannya dengan Golok Maut. Mungkin tak usah malu karena Golok Maut memang hebat, juga karena semua orang di istana tak ada yang dapat mengalahkan Golok Maut itu, jadi tak usah malu. Namun karena sikap Mindra maupun Sudra dianggap merendahkan mereka bertiga dan rupanya kakek-kakek India ini enak saja mau menyuruh dia dan Mo-ko mengikutinya untuk membantu mencari Golok Maut, sebagai pelampiasan nafsu tak mau kalah dan rasa penasaran dua kakek itu maka Yalucang tentu saja teirsinggung, kini menggeram dan bersama Mo-ko kakak beradik dia sudah berhadapan dengan dua orang lawannya itu. Dan begitu Mindra maupun Sudra tertawa mencabut senjata mereka, cambuk dan nenggala maka di sana Coa-ongy3 berseru agar mereka tidak membunuh dua kakek India itu, yang membuat Sudra merah mukanya tapi kawannya justeru tertawa bergelak. "Ha-ha, akupun tak akan membunuh lawan-lawanku ini, ongya, melainkan menundukkan dan menyuruh mereka ikut kami untuk mencari Golok Maut!" "Hm, kau bodoh. Golok Maut adalah musuh kita semua, Mindra. Kalau kau mau bergabung dengan kami justeru kalian memperoleh keuntungan yang banyak. Sudahlah, kalian bertanding dan kujamin para pembantuku tak akan membunuh kalian!" "Ha-ha, kentut busuk!" dan Mindra yang membentak menggerakkan nenggalanya tibatiba harus berkelit dan menangkis ketika tiba-tiba Hek-mo-ko menyerangnya lebih dulu, bergerak dan sudah membentak dirinya dan tongkat iblis hitam ini menyambar. Dan ketika Mintra mengelak dan menangkis dengan nenggalanya maka berpijarlah bunga api disusul suara yang nyaring. "Trangg!" Dua orang itu terpental. Mindra terkejut karena tenaga Mo-ko ternyata kuat sekali, mampu menggetarkan dan mementalkan senjatanya, meskipun senjata di tangan iblis hitam itu juga terpental. Dan ketika Mo-ko membentak kembali dan sudah menggerakkan tangan kanannya, karena tongkat dipegang tangan kiri yang masih lengkap jarinya, karena dulu kelima jari tangan kanan iblis ini habis dibabat Golok Maut, maka dengan tongkat di tangan kiri dan pukulan-pukulan di tangan kanan Hek-mo-ko sudah menyerang dan menghujani lawannya dengan seranganserangan cepat, ganas dan bertubi-tubi dan akhirnya Mindra berseru keras, menggerakkan tubuhnya dan mulailah dua orang itu bertanding, tongkat kembali bertemu nenggala dan sama-sama terpental, hal yang membuat Mindra semakin kaget karena Mo-ko benar-benar tangguh. Tapi ketika dia tertawa bergelak dan menyambut serta membalas serangan-serangan lawan maka di sana Pek-mo-ko juga sudah menyerang temannya dan Yalucang membantu dengan semburan apinya. "Dar-dar!" Lima orang itu segera bertanding. Mindra akhirnya terkejut ketika tongkat di tangan Pek-mo-ko juga tak kalah dahsyat dengan tongkat di tangan Hek-mo-ko. Namun ketika dia meledakkan cambuknya dan serangan demi serangan ditangkis dan dibalas dengan tak kalah cepat akhirnya Sudra harus berkelebatan dan memuji kehebatan lawannya. "Kau serang siapa saja, Yalu. Jangan terpancang kakek ini!" Pek-mo-ko berseru, memberi siasatnya dan kakek tinggi besar itu mengangguk. Kakek ini akhirnya mengerti dan berpindah-pindahlah dia menyerang yang dekat, sebentar Sudra dan sebentar kemudian Mindra. Jadi kakek tinggi besar ini bebas menyerang siapa saja, tentu saja serangannya tak dapat diduga dan Mindra maupun temannya terkejut. Semburan api dan tenaga Hwee-kang yang dilepas kakek Tibet itu cukup menggetarkan. Kilatan api atau hawa panas mulai melingkupi jalannya pertandingan. Sudra maupun Mindra harus mengerahkan sinkang untuk menahan hawa panas ini. Dan ketika pertandingan semakin seru karena Yalu si tokoh Tibet bisa menyerang bebas tanpa dapat diketahui siapa yajg akan diserangnya kemudian maka dua kakek India itu akhirnya terdesak. "Ha-ha, kalian lihat, Mindra. Tiga orang pembantuku bukanlah manusla-manusia bodoh yang rendah kepandaiannya. Kalian terdesak, menyerah saja daripada dihajar kena pukulan!" -ooo0dw0ooo- Jilid : XV "HM..!" kakek India itu menggeram. "Kami terdesak tapi belum kalah, pangeran. Kalau Kami sudah roboh barulah Kami menyerah!" "Ha-ha, kalau begitu kalian akan roboh!" dan Coa-ongya yang berseru pada tiga pembantunya agar menekan dan mendesak dua kakek India itu lalu tercawa dan tersenyum mengamati jalannya pertandingan, sedikit tetapi pasti memang orang-orangnya dapat menekan dua kakek India itu. Sudra dan Mindra harus bekerja keras kalau tak ingin roboh. Nenggala maupun cambuk di tangan mereka bergerak menangkis atau menyerang lawan. Tapi karena Yalu kakek tinggi besar itu mengacau atau mengganggu konsentrasi dua kakek India ini di mana Sudra maupun Mindra sering kali menerima pukulan kakek tinggi besar itu maka keduanya menjadi marah dan memaki tokoh Tibet itu. "Yalu, kau pengecut dan licik. Curang!" "Hm, kalian sendiri yang minta," kakek ini mendengus. "Aku hanya memenuhi tantangan kalian, Sudra. Kalau kalian tidak kuat bilang saja!" "Keparat, kami masih kuat. Dan kami akan menghajarmu!" dan cambuk di tangan Sudra yang meledak menangkis senjata di tangan Pek-mo-ko tiba-tiba menjeletar dan menukik menyambar kakek tinggi besar itu, ditangkis dan dua-duanya terhuyung. Nyata kakek tinggi besar dari Tibet ini juga hebat, bukan hanya pandai membokong saja. Dan ketika Pek-mo-ko kembali menyerang dan Sudra menangkis maka di sana Mindra berseru agar mengeluarkan pukulan ampuh mereka, Hwi-seng-ciang (Pukulan Bintang Api). "Keluarkan Hwi-seng-ciang. Kita robohkan manusia-manusia busuk ini!" "Benar, dan tundukkan secepatnya mereka ini, Mindra. Hayo kita balas dan robohkan mereka!" Sudra menyambut, kini menggerakkan tangan kirinya pula dan tiba-tiba menyambarlah kilatan cahaya ke arah Pek-mo-ko. Iblis putih itu sedang melepas serangan dengan sapuan tongkatnya, menyambar ke bawah. Tapi ketika Sudra menggerakkan tangan kirinya dan Hwi-seng-ciang atau Pukulan Bintang Api menyambar dirinya tiba-tiba iblis ini menaikkan tongkat menangkis. "Blar!" Tongkat itu terpental. Ujungnya pecah dan Pek-mo-ko berteriak keras, berjungkir balik namun lawan mengejar. Di saat yang sama Mindra juga melepas Pukulan Bintang Api, menyambar Hek-mo-ko, Dan karena pukulan ini memang hebat dan Hek-mo-ko juga menangkis maka dua iblis itu terlempar ketika menerima Hwi-seng-ciang. "Aih, keparat jahanam!" Hek-mo-ko mengumpat, diserang lagi namun Yalu si kakek tinggi besar berkelebat menghantam, menolongnya. Dan karena kakek ini memang selalu mengganggu dan gangguannya itu merepotkan Mindra maupun Sudra akhirnya Mindra membalik memaki kakek ini. "Dess!" Yalu bergoyang sedikit. Kakek itu mengerahkan Hweekangnya dan Tenaga Api menyambut Pukulan Bintang Api, sama-sama panas dan ternyata masing-masing tak ada yang unggul. Sifat dari pukulan keduanya yang sama-sama berintikan panas membuat Yalu tahan, tidak terdorong kecuali hanya bergoyang-goyang, sama seperti Mindra di sana. Dan ketika kakek itu terkejut sementara Yalu tertawa aneh, merasa gembira maka di sana Pek-mo-ko berjungkir balik dihantam Hwi-seng-ciang lagi. "Dess!" Iblis muka putih ini memaki-maki. Yalu akhirnya diminta membantunya dan kakek tinggi besar itupun sudah bergerak, menahan pukulan Sudra. Dan ketika Sudra juga terbelalak karena Yalu hanya bergoyang menerima Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pukulannya maka di sana Coa-ongya terbahak-bahak. "Ha-ha, lihat, Sudra. Hwi-seng-ciang-mu pun tak berdaya. Sebaiknya kalian menyerah dan sudahi pertandingan ini!" "Tidak, kami hanya menyerah kalau kami dapat dirobohkan, pangeran. Atau kami akan bekerja keras dan merobohkan mereka!" "Hm, kalian keras kepala. Kalau begitu baiklah, kalian pasti roboh!" dan Coaongya yang gemas melihat kebandelan dua kakek India itu lalu menyuruh tiga pembantunya bekerja lebih keras. Pek-mo-ko dan Hek-mo-kp disuruh mengeluarkan semua kepandaiannya, akhirnya mengangguk dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-seekang atau Hek-see-kang (Pukulan Pa-sir Hitam Putih). Dan ketika pukulan-pukulan ini menyambut Hwi-seng-ciang yang dimiliki dua kakek India itu dan si kakek tinggi besar Yalucang juga bergerak menyemburkan Lidah Apinya maka desakan dua kakek India itu kembali gagal karena mereka kelebihan lawan seorang yang paling menjengkelkan, yakni kakek tinggi besar dari Tibet itu. "Keparat, sebenarnya kita menang kalau tidak dikeroyok tiga, Sudra. Lawan-lawan kita licik dan curang sekali!" "Benar, dan kakek bau ini mengganggu sekali, Mindra. Kalau tak ada dia di sini tentu kita dapat merobohkan Pek-mo-ko maupun Hek-moko!" "Ha-ha, sekarang mulai banyak bicara!" Hek-mo-ko berseru. "Kau tadi sedia menerima kami bertiga, Sudra. Dan itu sudah merupakan perjanjian. Kalau kini kalian kewalahan karena kami dibantu Yalucang biarlah kalian menyatakan kalah saja dan lain kali jangan bersikap sombong lagi!" "Hm, tak apa," Mindra merah mukanya. "Kami memang ingin merobohkan kalian, Moko. Kalau tak dapat itulah memang kebodohan kami!" "Dan Golok Maut tak pilih-pilih musuh. Kalau kalian keberatan biarlah satu di antara kami mundur!" "Tidak, tak usah, Mo-ko. Kami sudah berjanji dan akan menepati janji kami!" "Bagus, kalau begitu coba kalian robohkan kami atau kami yang akan merobohkan kalian, ha-ha!" dan Mo-ko kakak beradik yang tertawa bergelak dan menyerang lagi lalu menggerakkan senjatanya dan tangan kiri mereka, pukulan-pukulan Pek-see-kang dan Hwi-seng-ciang yang dilancarkan dua kakek India itu tertahan. Mereka mengumpat caci karena Yalucang tetap mengganggu, bahkan kini memperhebat semburan-semburan apinya dan Sudra harus mengebutkan bajunya ketika terbakar. Bukan main. Dan ketika nenggala ataupun cambuk bingung menghadapi tiga lawan tangguh yang ganti-berganti mendesak mereka maka dua kakek India ini memaki tak habis-habisnya. Sebenarnya, kalau saja Yalucang si kakek tinggi besar tidak mengganggu tentu Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko dapat dirobohkan. Ternyata ilmu kepandaian Mindra maupun Sudra seusap di atas dua iblis ini, terbukti dalam adu tenaga mereka selalu menang, karena Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko selalu tergetar dan terdorong mundur. Namun karena Yalucangpo ada di situ dan kakek tinggi besar ini memiliki Hwee-kang atau Tenaga Api yang hebat, yang sejenis dengan Hwi-seng-ciang karena Pukulan Bintang Api dua kakek India itu sama-sama bersumber tenaga panas, atau Yang-kang, maka pertandingan akhirnya menjadi berat sebelah ketika tokoh Tibet itu mengganggu, menyerang merepotkan mereka yang harus menghadapi Pek-mo-ko atau Hek-mo-ko, dua iblis yang sebenarnya cukup hebat. Maka begitu Mindra maupun Sudra diganggu kakek tinggi besar ini dan kebetulan Hwee-kang memiliki tenaga panas seperti Hwi-seng-ciang maka Mindra dan temannya mengutuk kakek tinggi besar itu berulang-ulang. "Sudahlah," Hek-mo-ko tertawa. "Kalian memang tak dapat mengalahkan kami, Mindra. Dua lawan tiga sudah jelas tak mungkin menang." "Dan kalian sendiri yang bersikap pongah," Pek-mo-ko juga mengejek. "Kalian mengagulkan diri terlalu berlebihan, Mindra. Kalau sudah menyadari kami lebih kuat sebaiknya kalian menyerah!" "Atau kalian malah terbunuh!" Yalucangpo tertawa sambil menggeram. "Kami dapat membunuh kalian, Mindra. Memang betul kata Mo-ko agar sebaiknya kalian menyerah!" "Menyerah hidungmu!" kakek India ini membentak. "Kalian robohkan kami, Yalu. Jangan banyak bicara dan lihat apakah benar kalian dapat merobohkan kami berdua!" "Hm," keras kepala. Kalau begitu kami akan membunuh!" dan kakek tinggi besar Itu yang bergerak di belakang Mindra tiba-tiba membentak dan menyemburkan apinya, menjilat menyambar kepala lawan karena saat itu Mindra menangkis serangan Hek-mo-ko. Nenggala di tangan kakek India itu mementalkan tongkat dan Hwi-seng-ciang berkelebat, ditangkis Hek-see-kang. Dan di saat Hek-mo-ko terhuyung dan Mindra tergetar maka saat itulah lidah api kakek Tibet ini menyembur. "Klap!" Rambut Mindra terbakar. Kakek ini tak dapat mengelak karena baru saja bertemu Hek-see-kang. Mo-ko memang terpu-kul mundur namun di saat itu Yalu menyerang, tentu saja mengejutkan kakek India ini. Dan ketika kakek itu terbakar rambutnya dan berteriak membanting tubuh bergulingan maka kakek tinggi besar ini mengejar dan melepas Hwee-kangnya lagi. "Dess!" Mindra memaki-maki. Dibokong dan menerima serangan curang dua kali cukup membuat kakek ini marah. Hek-mo-ko terbahak-bahak dan menyerang lagi, membantu, tak ayal membuat kakek ini kelabakan dan mengelak menggulingkan tubuh, sayang sekali Yalu si kakek Tibet juga mengejar. Akibatnya dari kiri kanan Mindra mendapat serangan tongkat dan pukulan. Dan karena dua lawannya memang hebat kalau bergabung dan kakek ini mengeluh mengumpat caci maka sebu-ah pukulan akhirnya mengenai lagi tubuhnya, tepat di pundak kanan. "Dess!" Kakek India itu melontakkan darah. Akhirnya dia batuk-batuk dan terluka, isi dadanya terguncang. Dan ketika Hek-mo-ko berkelebat lagi dengan serangan tongkatnya dan Yalucang juga menghantam dengan pukulan Hwee-kang maka nenggala mencelat ketika dipakai menangkis. "Plak-dess!" Mindra terlempar. Kakek ini mengeluh dan bergulingan menjauh, sayang terbatuk lagi dan lemah. Dua pukulan berbareng yang diterimanya tak kuat ditahan dan senjatanya pun terlepas. Maka ketika Mo-ko terbahak mengayun tongkatnya dan kakek Tibet itu juga mencengkeram ubun-ubunnya tiba-tiba Coa-ongya berteriak agar tidak membunuh kakek itu. "Jangan bunuh... des-dess!" Mindra terguling, melontakkan darah segar lagi dan mencelatlah kakek itu membentur pohon, tak bergerak dan terkapar di sana. Dan ketika Sudra terkejut dan cambuknya meledak menyambut tongkat tiba-tiba Pek-mo-ko berseru pada kakek Yalu agar cepat merobohkan lawannya ini pula, yang sudah digubat cambuknya dengan batang tongkat. Tentu saja membuat Sudra terkejut karena kakek Tibet itu membalik, tertawa aneh. Dan ketika benar saja kakek tinggi besar itu melepas Hwee-kangnya dan Sudra tak dapat mengelak kecuali dipaksa menangkis, padahal Mo-ko menggerakkan tangan kirinya pula menghantam dengan Pek-see-kang maka teman Mindra ini digencet dari dua arah oleh dua pukulan yang sama-sama hebat. "Dess!" Sudra mengeluh. Sama seperti temannya tadi diapun tak kuat, coba bertahan namun gagal, tergencet dua pukulan itu dan terlempar. Dan ketika Sudra bergulingan melompat bangun namun Hek-mo-ko kini mengejar dan bersama suhengnya serta Yalucang mengeroyok bertiga maka kakek India itu tak kuaf lagi dan untuk kedua kalinya terlempar, terbanting dan terguling-guling dan di saat itulah tiga orang lawannya tertawa menyeramkan. Hek-mo-ko dan suhengnya lagi-lagi menggerakkan tongkat menghantam kepala lawannya, Yalu si kakek tinggi besar membentak dengan semburan Hweekangnya. Dan karena semuanya ini membuat kakek India i+u terdesak hebat sementara hatinya sudah terguncang oleh robohnya Mindra maka Sudra mengeluh ketika cambuknya lepas, menerima hantaman tiga pukulan lawan dan terlemparlah kakek itu, muntah darah. Namun ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya hendak membunuh kakek itu sementara Yalucang juga menggeram hendak menghabisi nyawa lawannya maka Coa-ongya lagi-lagi berteriak agar dua orang kakek itu tidak dibunuh. "Jangan dibunuh, biarkan hidup!" Seruan ini menyelamatkan Sudra. Sebenarnya tiga lawannya tak ingin memberi ampun lagi, kesombongan dan kecongkakan Sudra membuat mereka marah. Namun karena pangeran sudah berteriak pada mereka dan apa boleh buat mereka harus mematuhi perintah ini maka Sudra akhirnya terjengkang dan roboh mendekap dadanya. "Huak!" Selesailah pertandingan itu. Sudra dan Mindra akhirnya kalah, menyerah dan dua kakek India itu cepat duduk bersila. Kalau dalam keadaan seperti itu Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko melancarkan satu serangan lagi pastilah mereka roboh binasa. Untung Coa-ongya melarang dan tiga pembantunya tak ada yang berani membantah. Dan ketika seperempat jam kemudian dua kakek itu bergerak dan bangkit berdiri, terhuyung, maka Coa-ongya dan adiknya menyambut tertawa. "Bagaimana, Mindra" Kalian sekarang menyerah?" "Hm, kami menyerah," Mindra menjawab. "Tiga pembantumu cukup hebat, pangeran. Kami berdua kalah!" "Dan kalian mau menepati janji" Mau menjadi pembantu-pembantuku?" "Hm, kami sudah kalah taruhan. Kami menepati janji!" "Bagus! Ha-ha, terima kasih, Mindra. Kalian mengagumkan dan betapapun gagah dan ksatria. Kalian sejajar dengan Mo-ko maupun Yalucang. Kalian berdua menjadi pembantuku setingkat mereka. Hayo, kita rayakan kejadian ini dan mari masuk ke dalam. Kita buat pesta kecil!" Dua kakek itu mengangguk. Coa-ongya yang tidak marah dan justeru mengundang mereka membuat dua kakek itu tenang, mereka mengikuti dan berjalanlah dua pecundang ini di belakang sang pangeran. Dan ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya bergerak mengikuti dan kakek tinggi besar Yalucang juga menyeringai dan tersenyum aneh maka Coa-ongya sudah menjamu dua kakek India itu bersama adiknya, bergembira dan betapapun memuji kelihaian Sudra maupun Mindra ini. Kalau mereka tidak dikeroyok barangkali Mo-ko maupun Yalu kalah, pujian yang disambut kecut saja oleh dua kakek itu. Dan ketika mereka mengakui kekalahan dan harus ikut pangeran ini, membantunya maka resmilah dua kakek India itu sebagai pembantu-pembantu pangeran Coa, hal yang tidak diduga dan tentu saja sebenarnya juga tak dikehendaki Mindra maupun temannya. Dan Coa-ongya yang rupanya tahu atau dapat membaca isi hati kakek-kakek itu menutup pesta dengan kata-kata begini, "Kalian tak usah kecewa. Masalah Golok Maut sekarang adalah masalah kita bersama. Kalau sewaktu-waktu kalian ingin mencari musuh kalian itu maka Mo-ko maupun Yalu dapat membantu kalian. Namun kalian tak boleh pergi tanpa sepengetahuanku!" "Baik, kami mengerti, pangeran. Dan kami akan tunduk." "Kalau begitu sekarang kalian boleh berlstirahat. Kamar kalian di belakang." sang pangeran memanggil seorang pengawal, menyuruh pergawal itu menunjukkan kamar dua kakek ini dan tentu saja Mindra maupun Sudra kikuk. Mereka baru pertama ini bekerja di bawah kekuasaan seseorang, Coa-ongya ternyata melayani mereka dengan cukup baik. Maka ketika mereka disuruh berlstirahat sementara Mo-ko dar dua temannya diam-diam tersenyum ewah, senyum yang sukar ditangkap artinya maka hari itu Mindra maupun Sudra tinggal di istana pangeran ini, mula-mula canggung namun akhirnya biasa juga. Tak lama kemudian sudah ikut berjaga dan melaksanakan tugasnya melindungi istana. Itu adalah pekerjaan mereka. Dan ketika dua kakek itu sudah resmi menjadi pembantu Coa-ongya menggantikan Tiat-kak si Kaki Besi maka Coa-ongya tersenyum di balik kamarnya dan mengangguk-angguk, puas. ooooo0de0wi0ooooo Beng Tan melepas lelahnya. Setelah dikejar-kejar dan Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berhasil meninggalkan lawan-lawannya di belakang, yang mengumpat dan mengutuknya habis-habisan pemuda ini melempar pantatnya dl bawah sebuah pohon, duduk menyeka kenngat dan diam-diam tertawa kecut, Dua kakek India yang tak mau sudah dan akhirnya dihajarnya itu membuat pemuda ini tersenyum, geli. Tapi baru dia duduk melepas lelah, setelah sedikit mendongkol oleh kejadian-kejadian yang dialami mendadak terdengar bentakan dan suara makian di sebelah kiri. "Manusia busuk, berhenti. Serahkan su-moiku (adik seperguruan perempuan)!" Beng Tan terkejut. Sebuah bayangan berkelebat di depannya disusul sebuah bayangan lain, cepat memasuki hutan dan Beng Tan tertegun. Seorang gadis meronta-ronta dan menangis dipanggul bayangan pertama, seorang kakek penuh cambang dan gimbal-gimbal, penampilannya menyeramkan dan kakek itu terbahak-bahak. Dan ketika bayangan kedua, seorang pemuda mengejar dan memakimakinya di belakang maka kakek itu lenyap meninggalkan tawanya yang serak parau, berkelebat seperti iblis. "Ha-ha, tak usah mengejar-ngejar aku, anak setan. Sumoimu ini tak kuapa-apakan justeru hendak kubuat senang. Kau pergilah, atau nanti aku membunuhmu!" "Keparat, kau iblis terkutuk, Lam-ciat. Lepaskan sumoiku atau kau kubunuh .... singg!" sebatang pedang terlontar dengan amat cepatnya, menyambar di belakang kakek itu namun si kakek keburu menghilang. Pedang menyambar dan berhenti di sebatang pohon, menancap di situ. Dan ketika si pemuda memasuki hutan namun tertegun tak menemukan lawannya, yang ternyata Lam-ciat adanya maka pemuda itu pucat dan memaki-maki. "Lam-ciat, kau jahanam terkutuk. Keluarlah, atau aku akan terus mengejarngejarmu!" "Ha-ha!" suara si kakek terdengar en-tah di mana. "Kau keras kepala, anak muda. Kalau begitu lihatlah ini dan rasakan sedikit hajaranku... singg!" pedang yang menancap di pohon mendadak tercabut, meluncur dan sudah menyambar pemuda itu. Dan ketika pemuda ini berteriak keras dan tentu saja menangkis senjatanya sendiri maka dia terpelanting dan terlempar bergulingan. "Plak!" Beng Tan terkejut. Sambaran pedang yang membuat si pemuda terpelanting dan bergulingan kaget jelas menunjukkan kelihaian si kakek, yang dipanggil Lam-ciat. Dan ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun sementara si kakek ni panya benar-benar ingin memberikan hajarannya pada pemuda ini tiba-tiba berkelebat sesosok asap hitam yang mengejar pemuda ini, menyambar dan memukul mukanya dan pemuda itu terpekik. Dia menangkis tapi terlempar lagi, dikejar dan asap itu sudah bertubi-tubi menyerang dirinya, muka dan dada dan sibuklah pemuda itu mengelak sambil memaki-maki. Namun ketika dia terlempar lagi dan asap Itu berobah bentuk sebagai bola raksasa maka pemuda ini ditumbuk dan sudah dihantam, disusul ketawa terbahak-bahak dari balik asap atau bola raksasa ini. "Ha-ha, kau tak tahu diri, bocah. Kau minta dihajar. Baiklah, sekarang aku menghajarmu dan enyahlah kalau tak ingin mampus.... des-dess!" pemuda itu mencelat, terlempar dan mengeluh dan Beng Tan terbelalak. Dengan matanya yang tajam dan kekuatan batinnya yang tinggi pemuda ini dapat melihat bahwa sebenarnya kakek bernama Lam-ciat itu bersembunyi di balik asap hitam atau bola raksasa ini, melancarkan pukulan-pukulannya dan si pemuda tak sanggup menahan, kalah kuat dan kalah lihai. Maka ketika pemuda itu bergulingan mengeluh dihajar jatuh bangun namun terus memaki-maki dan berusaha melakukan perlawanan sebisanya, padahal jelas bukan tandingan kakek itu maka Beng Tan hampir meloncat keluar kalau saja saat itu tidak berkelebat bayangan merah yang mendahuluinya. "Kakek slluman, kau mampuslah!" Seberkas cahaya putih menyambar tajam. Lam-ciat yang dibungkus asap hitam-nya dan sesunggunya memang berlindung di balik hoat-sut atau sihir setannya tiba-tiba berteriak keras. Sinar panjang itu menyambarnya dan asap hitam terdengar meledak ketika diserang cahaya putih ini, yang kiranya sebatang pedang di tangan seorang wanita baju merah vang menutupi mukanya dengan sehelai saputangan merah. Tubuhnya menggairahkan dan dapat diduga bahwa wanita ini tentu cantik, karena suaranya nyaring dan merdu. Bentakannya itu mengejutkan tapi lebih mengejutkan lagi gerakan pedangnya itu, yang merupakan sinar berkelebat yang bukan main cepatnya. Dan ketika Lam-ciat berteriak kaget dan harus berjungkir balik menjauhkan diri, ilmu hitamnya otomatis buyar maka gadis di pondongannya yang mengeluh dan roboh tertotok itu tiba-tiba terlepas. "Ha-ha, dapat emas menemukan permata. Heh, kau siapa, nona" Ada apa menyerangku dan membuat kaget begini" Siapa kau?" "Hm, keparat busuk. Tak usah banyak bicara, Lam-ciat. Berikan gadis itu dan kau enyahlah, atau pedangku akan menembus jantungmu dan kau roboh!" "Ha-ha, galak namun gagah! Bagus, kau hebat, nona. Juga sombong tapi menarik sekali. Aku rela memberikan gadis ini namun kau sebagai gantinya!" "Apa?" mata yang bersinar-sinar di balik topeng itu bercahaya. "Kau minta aku ikut padamu" Hm, kau ternyata kakek iblis yang tidak tahu malu, Lam-ciat. Namamu sudah kudengar dan hari ini aku sudah membuktikannya. Baiklah, aku ikut padamu namun terima dulu pedangku ini .... sing!" dan cahaya putih yang kembali menyambar dengan amat cepatnya menusuk dada kanan kakek itu disambut seruan keras Lam-ciat yang menggerakkan tangan menangkis, memukul miring pedang dengan tangan kirinya tapi bagian yang tajam menyambut, menyambar dan menabas tangan kakek itu. Bukan main ganasnya, juga cepat dan luar biasa karena masih terus menyambar dada. Gerakan pedang itu tak memberi ampun dan Lam-ciat tentu saja kaget sekali. Dan ketika lengan bajunya robek dan pedang tak mungkin ditangkis kecuali dielak maka kakek ini sudah membanting tubuh bergulingan berteriak parau. "Haili..... bret!" Lam-ciat terkejut bukan main. Dia meloncat bangun namun si wanita baju merah sudah mengejarnya, berkelebat dan membentak nyaring dan kelabakanlah kakek itu mengelak sana-sini, menangkis namun mata pedang yang tajam selalu menyambut tangannya. Melihat desing yang demlkiat cepat dan tajam tak berani kakek itu mengadu lengannya, meskipun dia mengandalkan sinkang, kekebalannya. Dan ketika kakek itu harus berloncatan dan sebentar kemudian berkelebatan pula mengimbangi lawan maka wanita baju merah itu menyerang bertubi-tubi sementara si kakek berteriak dan berseru berulang-ulang, dua kali ujung bajunya robek pula. "Haiii.... celaka, ganas!" Wanita itu tak perduli. Lam-ciat terus dikejar dan terdesak, tentu saja marah dan lama-lama gusar. Dan ketika sebuah babatan panjang menggurat lengannya dan ternyata sinkang kakek itu tak mampu melindungi kekebalannya maka kakek ini berteriak dan lenyaplah di balik Hoan-eng-sut-nya (Sihir Menukar Bayangan). "Wut!" Lawan tertegun. Wanita baju merah itu kehilangan lawannya dan tertegun sejenak, tak tahu di mana Lam-ciat berada namun tiba-tiba si pemuda yang sejak tadi menonton dan dibantu wanita baju merah ini berteriak. Dia melihat Lam-ciat muncul di belakang si wanita dan melepas pukulan, tanpa suara. Namun si wanita yang mendengar kesiur di belakang tubuhnya dan tajam dengan pendengarannya yang tinggi ternyata secepat kilat membalik dan menangkis. "Bret!" Ujung baju Lam-ciat terpotong sejengkal. Si kakek iblis berteriak kecewa dan menghilang lagi, entah ke mana. Namun ketika si pemuda kembali berseru keras karena melihat kakek itu muncul di sebelah kiri tiba-tiba wanita baju merah itu pun membalik dan menangkis lagi. "Bret-bret!" Lam-ciat mengumpat caci. Akhirnya kakek ini marahmarah dan berkelebatan lagi, menghilang ke kiri kanan dan melepas pukulan-pukulannya. Bayangannya menjadi demikian banyak dan dari segala penjuru berkesiur pukulan-pukulan ganas, ada yang kosong tapi tentu pula ada yang isi. Wanita itu bingung dan di sinilah dia kelabakan. Dan ketika satu saat dia menangkis namun mengenai bayangan yang kosong maka satu tamparan sungguh-sungguh dari Lam-ciat mengenai pundak kirinya. "Dess!" Wanita itu mengeluh. Dia terbanting dan bergulingan meloncat bangun, Lam-ciat terbahak dan menyerang lagi. Dan ketika iblis itu mempergunakan Hoan-eng-sutnya dan wanita ini bingung karena di balik Hoan-eng-sut kakek itu melepas pukulan-pukulan kosong dan isi maka jatuh bangunlah wanita ini mempertahankan diri, akhirnya memutar pedang secepat kitiran namun kakek itu berhenti menyerang, tertawa-tawa di sana, terkejutlah wanita itu. Dia bisa kehabisan tenaga kalau si kakek tak menyerang, tentu saja menghentikan gerakannya lagi namun si kakek tiba-tiba menyerang, begitu berulang-ulang. Dan ketika hal ini melelahkan wanita itu karena setiap dia memutar pedangnya tiba-tiba Lam-ciat berhenti tapi begitu dia berhenti tiba-tiba kakek itu kembali menyerang maka akhirnya wanita ini terdesak dan memaki-maki, bingung menghadapi Hoan-eng-sut yang memang hebat. "Ha-ha, tahu rasa kau sekarang, anak manis. Menyerahlah atau kau kurobohkan dan kutelanjangi!" "Keparat! Kau tak tahu malu mempergunakan ilmu hitammu, Lam-ciat. Kau licik dan curang!" "Ha-ha, ini Hoan-eng-sut, ilmu ciptaanku yang paling luar biasa. Kau tak dapat mengalahkan aku karena kepandaianku masih lebih tinggi!" "Keluarlah kau!" wanita itu membentak. "Mari bertempur secara berhadapan, kakek buruk. Kaurobohkan aku asal secara jantan!" "Ha-ha, aku di depanmu. Kaulah yang tak tahu... des!" dan Lam-ciat yang benar-benar muncul sambil melepas pukulannya tiba-tiba membuat wanita baju merah itu terhuyung, tak sempat menangkis atau mengelak karena lawan muncul begitu saja, juga secara tak terduga. Dan ketika wanita itu mengeluh dan terdesak memaki-maki lawannya maka si pemuda yang tadi berdiri menonton tiba-tiba bergerak dan membantu wanita ini, yang sebenarnya bukan lain adalah Hek-yan-pang-cu, ketua Hek-yan-pang. "Nona, jangan khawatir. Kita keroyok dia berdua!" Wanita baju merah ini mengerutkan kening. "Siapa minta bantuanmu?" bentakan ini mengejutkan. "Pergilah kau, manusia tolol. Kau lebih-lebih lagi bukan tandingan kakek iblis ini!" "Tapi kau membantuku!" pemuda ini tertegun. "Dan bukankah kau terdesak?" "Hm, pergi kataku, pemuda keparat. Aku sama sekali tidak membantumu melainkan semata membantu gadis itu. Kami sama-sama kaum wanita, aku tak senang melihat perbuatan iblis ini dan kau enyahlah, bawa sumoimu itu!" Pemuda ini mendelong. Dia jadi tak menyangka jawaban itu dan mukanya seketika merah. Dia dimaki dan betapa pedas makian itu. Kalau saja wanita ini datang bukan untuk menolongnya, atau menolong sumoinya itu karena hal ini sama saja baginya mungkin dia sudah membentak dan memaki wanita itu, menerjangnya. Panas dan marah karena dia terhina. Tapi karena dia sudah ditolong dan diakui atau tidak dia telah dibebaskan dari Lam-ciat maka pemuda ini menggigit bibir dan tiba-tiba teringat sumoinya itu, yang masih menggeletak dan di bawah totokan si kakek iblis. Maka begitu dia teringat dan menghentikan serangannya kepada Lam-ciat, mendengar kakek itu tertawa tiba-tiba pemuda ini melompat keluar dan sudah menolong sumoinya itu, membebaskan totokannya. "Sumoi, seseorang telah menolongmu. Nah, terserah kau mau pergi atau kita serang si kakek jahanam itu!" Gadis ini meloncat bangun, langsung mencabut pedang. "Aku tak mau pergi, suheng. Justeru akan membantu tuan penolongku dan kita serang kakek jahanam itu!" "Nah," si pemuda berseru. "Sumoiku tak mau pergi, nona. Justeru kami akan membalas sakit hati pada kakek iblis ini dan jangan kau marah kepadaku kalau aku menyerang Lam-ciat!" pemuda itu menerjang lagi, berkata bahwa dia bukan membantu wanita itu melainkan membantu sumoinya, yang sudah menyerang dan menerjang Lam-ciat, ada betulnya juga kata-kata ini dan ketua Hek-yan-pang itu tertegun, tak dapat mengusir. Dan ketika suheng dan sumoi itu sudah mengeroyok Lam-ciat tapi si iblis menghilang dan muncul lagi dengan ilmunya yang luar biasa maka Hoan-eng-sut benar-benar merepotkan tiga orang ini karena kakek itu muncul dan menghilang bagai siluman saja. "Ha-ha, kalian tak dapat mengalahkan aku. Hoan-eng-sut terlampau tangguh buat kalian!" "Hm, kau memang licik!" wanita baju merah itu membentak. "Ilmu andalanmu hanya Hoan-eng-sut yang berbau ilmu hitam itu, Lam-ciat. Tanpa ini ternyata kau bukan apa-apa!" "Ha-ha, tak-usah marah. Sekarang aku akan membunuh pemuda ini sementara kalian berdua ikut aku... hargh!" Lam-ciat mengeluarkan seruan panjang, parau dan menyeramkan dan si gadis teman si pemuda tiba-tiba berteriak ketika kakek iblis itu menghilang, berobah bentuk menjadi segumpal Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo asal dan kini asap itu menyambar temannya. Si pemuda terkejut dan tentu saja menggerakkan pedangnya. Tapi ketika senjatanya terpental dan patah bertemu asap hitam ini maka pemuda itu berteriak kaget ketika terangkat tinggi dan terbanting. "Heiii.... bress!" Pemuda itu menjerit. Lam-ciat di balik asap hitamnya tertawa bergelak, maju menyambar dan pemuda itupun sudah diterkam, bergulingan mengelak namun sia-sia. Dan ketika Lam-ciat menggeram dan pemuda itu mengeluh maka lengan pemuda ini berkeratak ketika dicengkeram, patah dan Lam-ciat meneruskan gerakannya ke leher. Tengkuk pemuda ini mau dipatahkan juga namun saat itu dua pedang di tangan wanita baju merah dan sumoi pemuda itu berkelebat, menyambar dan membentak si kakek. Dan karena gerakan pedang di tangan Hek-yanpangcu jauh lebih berbahaya dibanding pedang di tangan sumoi pemuda itu maka Lam-ciat mengelak dan tangan kirinya bergerak menampar dua senjata itu. "Plak-plakk!" Sumoi pemuda itu terpelanting. Pedangnya mencelat dan patah pula menjadi tiga, Lam-ciat mengerahkan tenaganya hingga gadis ini tak kuat, terbanting dan terguling-guling di sana. Dan ketika gadis itu menjerit dan Lam-ciat menangkis pedang si wanita baju merah, menampar dari samping maka ketua Hek-yang-pang itupun mengeluh dan terhuyung, terbelalak memandang kakek ini yang sudah tertawa bergelak menggerakkan tangan kanannya, siap mencengkeram hancur leher pemuda tawanannya itu. Tapi ketika kakek ini siap membunuh lawan dan melaksanakan ancamannya tiba-tiba Beng Tan yang tak tahan melihat semuanya itu sudah berkelebat keluar membentak si kakek, menendang sebuah kerikil hitam. "Lam-ciat, kau kakek iblis tak berperasaan. Lepaskan pemuda itu... tak!" Hantu Selatan ini terpekik. Batu yang ditendang Beng Tan tepat sekali mengenai punggung tangannya, yang saat itu bergerak dan hendak mencengkeram hancur tengkuk lawannya. Maka begitu dia memekik dan melepaskan tawanannya, tergetar mundur maka melayanglah Beng Tan menghantam kakek ini. "Dess!" Lam-ciat terpelanting. Tak menduga diserang demikian cepat dan luar biasa kakek ini menjerit. Asap hitamnya buyar karena saat itu kakek ini muncul lagi, tak takut memperlihatkan diri karena dia sudah merasa kemenangan bakal diraihnya. Tak tahunya datang pemuda baru ini di mana sambitan atau pukulan Beng Tan dirasa pedih dan panas. Batu hitam yang ditendang Beng Tan tadi hampir saja membuat putus urat di punggung tangan kakek ini, kalau Lam-ciat tak mengerahkan sinkang dan melindungi tangannya. Maka ketika dia mencelat dan terbanting oleh pukulan Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tegak di hadapannya sementara pemuda yang menjadi suheng dari gadis di sebelah ketua Hek-yan-pang sudah dirampas dan disambar pemuda baju putih ini. "Sobat, sebaiknya kau mundur. Kakek ini bukan lawan siapa pun dari kalian. Mundur dan biarkan aku yang menghadapinya!" Pemuda itu dan sumoinya tertegun. Di sana Hek-yanpangcu juga terkejut dan tertegun, kedatangan Beng Tan yang demikian luar biasa dan mampu membuat Lam-ciat mengaduh dan terlempar bergulingan jelas menunjukkan pemuda itu bukan orang sembarangan. Tapi mendengar pemuda itu menyuruh mereka semua mundur dan akan menghadapi kakek iblis itu sendirian tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini marah dan membentak, "Kau si mulut besar bicara apa" Kau menyuruh kami semua mundur?" "Hm, maaf," Beng Tan menenangkan debaran jantungnya beradu pandang dengan mata yang seperti bintang itu. "Aku terpaksa berkata seperti itu, nona. Tapi bukan berarti bermulut besar. Kau dan teman-temanmu tak mungkin menghadapi Hoan-eng-sut." "Keparat, dan kau bisa?" "Akan kucoba, nona. Karena aku dapat melihat jelas ke mana saja kakek itu menghilang. Tenaga batin kalian kurang tinggi!" "Keparat!" namun belum ketua Hek-yan-pang ini bergerak memaki Beng Tan tiba-tiba Lam-ciat di sana sudah meledakkan kedua telapak tangannya, menghilang dan secepat kilat dia menyerang Beng Tan. Semua kata-kata dan sikap pemuda itu membuat kakek ini marah besar. Maka begitu si pemuda bicara dengan ketua Hek-yan-pang itu dan dengan marah serta gusar kakek ini merasa diganggu mendadak dia sudah mempergunakan Hoan-eng-sutnya itu dan lenyap menyerang Beng Tan. "Awas...!" Yang berteriak ini adalah pemuda di sebelah Beng Tan. Pemuda itu melihat Lam-ciat menghilang dan entah ke mana, tahu kakek itu akan melakukan serangan tapi tak tahu di mana dia bakal menyerang. Inilah hebatnya Hoan-eng-sut. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan Beng Tan tersenyum ternyata dengan tenang namun cepat pemuda ini membalik ke kiri. "Dukk!" Terdengar jeritan Lam-ciat. Hantu Selatan itu rupanya merasa kesakitan, terpental dan tampaklah tubuhnya mencelat ke atas. Kiranya dia tadi menyerang dari atas namun Beng Tan tahu, menangkis terlemparlah kakek itu di udara. Hoan-eng-sut dipatahkan dan kakek itu kelihatan ujudnya. Namun ketika kakek ini membentak lagi dan berteriak penasaran maka dia sudah menghilang dan menyerang Beng Tan lagi, dari kiri dan kanan dan Beng Tan cepat mendorong mundur pemuda di sebelahnya. Pemuda itu terbelalak karena Beng Tan dengan mudah mengelak atau menangkis, tahu di mana Lam-ciat berada karena setiap mengelak atau menangkis pasti selalu tepat, dak-duk-dak-duk dan Lam-ciat menjerit berulang-ulang Dan ketika kakek itu mencoba lagi dan tangannya meledak mengeluarkan segumpal asap hitam maka Beng Tan tibatiba membentak kakek itu mengeluarkan Pek-lui-ciangnya, Pukulan Kilat. "Lam-ciat, kau enyah atau roboh!" Terdengar raungan kakek ini. Asap hitam meledak ketika bertemu Pukulan Kilat, ambyar dan kakek itu terguling-guling. Tapi ketika Lam-ciat mencoba lagi dan rupanya kakek itu masih penasaran dan marah besar tiba-tiba Beng Tan tak sabar mencabut Pek-jit-kiamnya (Pedang Matahari). "Crat!" Kakek itu mengaduh. Setelah Beng Tan mengeluarkan Pek-jit-kiamnya dan hanya sekali saja pedang itu keluar dan masuk ke dalam sarungnya ternyata kakek ini sudah terluka. Dadanya tergores panjang dan tentu saja gentarlah kakek itu menghadapi Beng Tan. Dia terbelalak memandang lukanya namun lalu meraung tinggi, meloncat dan terhuyung melarikan diri. Dan ketika kakek itu memaki-maki sementara pemuda yang ditolong Beng Tan tampak kagum dan mendelong, seperti juga temannya dan ketua Walet Hitam maka Beng Tan tertawa dan berseru pada lawannya yang sudah melarikan diri itu, "Nah, lain kali jangan coba-coba nekat lagi, kakek buruk. Atau kepalamu terpenggal dan lehermu putus!" Pemuda di sebelah Beng Tan dan sumoinya takjub. Mereka itu melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja Beng Tan telah berhasil mengusir Lam-ciat, padahal dikeroyok tiga kakek itu masih saja lebih unggul. Maka begitu si kakek iblis melarikan diri dan Beng Tan tertawa mengiringi lawannya maka pemuda ini menjura dan sudah berseru di depan Beng Tan, "Aih, luar biasa sekali, in-kong (tuan penolong). Ilmumu hebat dan mentakjubkan sekali. Aku Liong Ma menghaturkan terima kasih bahwa kau telah menyelamatkan jiwaku!" "Benar, dan aku juga, in-kong. Aku Liong Hwi mengucapkan banyak terima kasih!" "Eh-eh!" Beng Tan terkejut. "Yang menolong pertama kali adalah Ang-siocia (nona baju merah) ini, sobat-sobat. Aku hanya datang belakangan dan kebetulan saja mengusir kakek itu!" "Benar, akupun akan berterima kasih padanya." dan Liong Hwi yang membungkuk dan merangkapkan tangan di depan ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu mengucap terima kasih. "Cici, kau pun hebat. Aku Liong Hwi menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Budi baikmu terus terang tak dapat kubalas, semoga Tuhan yang membalas kebaikanmu!" "Hm!" wanita ini tiba-tiba berkelebat pergi. "Yang menolong kalian adalah pemuda itu, Liong Hwi. Tanpa diapun barangkali aku mampus. Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih dan biar aku pergi!" Liong Hwi tertegun. Dia terbelalak mengerutkan kening dan temannya pun berseru tertahan. Mereka bermaksud mencegah namun orang sudah lenyap di luar hutan. Dan ketika mereka melenggong dan tak dapat bicara mendadak Beng Tan yang ada di sebelah kanan mereka pun lenyap berkelebat. "Ha-ha, betul, Liong Hwi. Terima kasih tak perlu diucapkan karena akupun tak bermaksud meminta terima kasih. Sudahlah, kalian kembali dan hati-hati jangan sampai ketemu lagi dengan kakek iblis itu!" "In-kong...!" Namun Beng Tan lenyap. Pemuda ini, seperti juga ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu hanya ingin menolong dua muda-mudi ini dari keganasan Lam-ciat. Hantu Selatan itu berhasil diusir dan tentu saja Beng Tan lega. Dalam menyaksikan jalannya pertandingan tadi Beng Tan melihat bahwa sebenarnya wanita baju merah itu lihai, cukup lihai namun sayang menghadapi ilmu hitam macam Hoan eng-sut jadi terdesak, kewalahan karena tak memiliki tenaga batin yang tinggi, meskipun mungkin saja sinkangnya hebat. Dan karena menghadapi ilmu-ilmu hitam macam Hoan-eng-sut itu orang harus memiliki tenaga batin yang tinggi karena dengan tenaga batin begini akan mampu melihat ke mana lawan menghilang, seperti apa yang dilakukan kakek iblis itu maka semua ilmu silat atau sejenisnya tak dapat dipakai menghadapi Hoan-eng-sut kecuali harus dihadapi dengan ilmu atau tenaga batin pula. Dan itu dipunyai Beng Tan, yang telah membuktikannya tadi. Dan karena pemuda ini juga memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi, seperti Pek-lui-ciang yang telah membuat gentar lawannya maka Lam-ciat semakin ketakutan melihat Beng Tan memiliki pula Pek-jit-kiam, Pedang Matahari yang demikian tajam hingga dari jauh saja dadanya tergores luka. Liong Hwi dan Liong Ma tak tahu bagaimana caranya pedang itu bekerja, kecuali wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu, yang tentu saja diam-diam terkejut dan membandingkannya dengan Golok Maut, senjata yang dipunyai Giam-to atau Si Golok Maut. Dan ketika dia terkejut dan hanya wanita inilah yang melihat betapa angin pedang sudah mampu melukai dada si Hantu Selatan dan betapa tanpa menyentuh mata pedang itu sudah berhasil membuat Lam-ciat ketakutan diam-diam wanita ini kagum dan terkesiap. Namun Hek-yan-pangcu ini sudah berkelebat pergi. Sebenarnya kemarahan memang tersimpan di dada wanita itu, bukan apa-apa, melainkan semata oleh rasa malunya bahwa dia tak dapat mengalahkan si Hantu Selatan sementara Beng Tan bisa. Itu saja. Maka ketika ini semua masih ditambahi secara tak sengaja oleh Liong Hwi dan Liong Ma yang lebih dulu mengucap terima kasih kepada Beng Tan bukan kepada dirinya maka wanita ini semakin mendongkol dan marah. Dan kita tahu, akhirnya wanita itu pergi, disusul Beng Tan dan tentu saja pemuda ini tahu kemarahan orang. Beng Tan yang berkelebat meninggalkan Liong Hwi dan Liong Ma sebenarnya ingin mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya wanita bersaputangan merah itu, yang matanya bersinar-sinar bagai bintang kejora namun apinya bagai besi terbakar. Panas dan tajam menusuk! Teringat bola mata itu Beng Tan tergetar, hatinya berdebar dan ada semacam perasaan aneh menyelinap di jiwanya, entah apa. Dan ketika siang itu Beng Tan berkelebat pergi dan diam-diam merasa sayang kenapa wanita baju merah yang menarik hatinya itu pergi mendahului mendadak saja dia tercekat ketika sambil melamun, jauh meninggalkan hutan pertama dia dicegat wanita ini, tanpa disangka-sangka! "Pemuda sombong, berhenti sebentar. Kebetulan aku ingin bicara!" "Lho?" Beng Tan tertegun. "Kau di sini, nona" Belum pergi" Ah, kebetulan, aku juga ingin mencarimu!" dan Beng Tan yang tidak berprasangka buruk dan sudah meloncat dan berseri-seri memandang wanita ini lalu menjura, menyambung, "Nona, maaf kalau tadi aku menerima ucapan dua suheng dan sumoi itu. Mereka lupa, dan terus terang aku kikuk!" "Hm, tak usah pura-pura!" bentakan itu mengejutkan. "Kikuk atau tidak yang jelas kau telah menghina aku, manusia sombong. Dan kini aku menuntut agar kau minta maaf dan berlutut di depan kakiku!" "Apa?" Beng Tan terkejut. "Aku menghina dirimu" Berlutut dan minta maaf" Eh-eh, minta maaf mau saja, nona. Tapi berlutut nanti dulu. Hanya terhadap kaisar saja orang boleh berlutut, selebihnya lihat-lihat dulu!" "Hm, sudah kuduga. Kau memang sombong dan banyak tingkah! Baiklah, cabut pedangmu, manusia sombong. Dan aku menantangmu bertanding... srat!" Beng Tan tertegun, melihat wanita itu sudah mencabut pedangnya dan mata yang bersinar-sinar di balik kedok itu mengeluarkan apinya yang membuat pemuda ini surut mundur, tergetar dan tentu saja kaget. Dan ketika ujung pedang sudah digetarkan tiga kali namun Beng Tan tak mencabut pedangnya, sesuai Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perintah, mendadak saja lawan telah melekatkan ujung pedangnya di batang tenggorokannya. "Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau mampus!" "Nanti dulu!" Beng Tan terkesiap, mendorong ujung pedang itu. "Perlahan dulu, nona. Tiada hujan tiada angin kau memusuhiku. Eh! Apa salahku" Apa yang telah kuperbuat?" "Hm, tak usah banyak tanya, pemuda sombong. Kau telah memamerkan ilmu pedangmu yang hebat itu dan terus terang aku gatal ingin mencoba. Tanpa bersalahpun aku tetap ingin menghadang, menjajal kepandaianmu!" "Lho-lho... kenapa begini" Bukankah aku justeru menolongmu dari Lam-ciat" Eh!" Beng Tan semakin terbelalak. "jangan memusuhi orang tanpa sebab, nona. Aku tak suka dan terus terang tak ingin bermusuhan denganmu. Justeru aku ingin tahu siapakah kau dan bolehkah kita berkenalan!" "Hm, berkenalan hidungmu!" hidung yang mancung itu tiba-tiba mendengus. "Kiranya kau pemuda ceriwis, bocah sombong. Kalau begitu untuk alasan ini saja sudah cukup aku memusuhi mu. Cabut pedangmu atau kau mampus.... singg!" dan pedang yang bergerak luar biasa cepatnya tanpa memberi tahu lagi tiba-tiba sudah menusuk ke dada Beng Tan, mendesing dan untuk kesekian kalinya Beng Tan melihat bahwa wanita ini sebenarnya memang bukan wanita sembarangan. Pedang bergerak dan sudah menusuk dirinya dengan cepat, seperti kilat menyambar. Dan karena Beng Tan tentu saja tak mau ditusuk dan dadanya berlubang sia-sia maka pemuda ini mengelak namun pedang dengan ganas dan cepat mengejar larinya. "Plak!" Beng Tan berseru keras. Pedang sudah ditangkis namun terpental membalik, bagai per atau pegas saja sudah meluncur lagi dari atas ke bawah menusuk ubun-ubunnya. Gagal menyambar dada kini menyambar kepala. Bukan main! Dan ketika Beng Tan menjadi marah dan berkelit menghindar maka lawan berseru dan mengejarnya lagi, membentak agar dia mencabut pedangnya atau mampus, bentakan yang disertai pandangan berkilat dan penuh nafsu membunuh, hal yang membuat pemuda ini bergidik. Dan ketika Beng Tan dipaksa berlompatan dan akhirnya berkelebatan mengimbangi lawan maka pedang sudah berseliweran dan naik turun menyambar-nyambar dirinya. "Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau mampus!" Beng Tan terbelalak. Lawan mempercepat gerakannya dan terpaksa dia pun mempercepat gerakannya. Ilmu meringankan tubuh dikeluarkan pemuda ini dan beterbanganlah pemuda itu menghindari serangan-serangan lawan. Tapi ketika lawan juga melengking tinggi dan mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya pula maka Beng Tan tak dapat mengelak dan harus menangkis atau membalas. "Plak-plak!" Lawan berseru marah. Pedang ditampar miring dan Beng Tan mendapat kenyataan bahwa tenaga lawan cukup hebat, untung dia masih lebih hebat dan tertolaklah pedang ke kiri atau kanan. Dan ketika lawan menyerang lagi dan kian sengit menggerakkan pedangnya maka Beng Tan mengeluarkan Pukulan Kilat nya dan apa boleh buat harus membalas atau memukul pedang. "Nona, kau hebat. Tapi aku tak mau terbunuh!" dan Beng Tan yang membentak menggerakkan tangannya akhirnya berkelebatan menampar atau menangkis, membalas dengan pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya dan lawan terpekik. Ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah ini terkejut, setiap tamparan atau pukulan Beng Tan menyengat lengannya, melalui badan pedang. Dan ketika wanita itu terhuyung dan sering mengeluh, karena tergetar dan merasa kesetrom maka Beng Tan di sana berseru agar lawan berhenti menyerang. "Jangan menyerang lagi. Simpan pedangmu, nona. Dan kita bersahabat!" "Hm, aku tak mau bersahabat!" wanita itu membentak. "Kaubunuh aku atau aku yang membunuhmu, manusia sombong. Atau kau cabut pedangmu dan perlihatkan ilmu pedangmu itu!" "Aku tak suka berkelahi...." "Aku yang menantangmu! Ah, kau terlalu banyak mulut!" dan wanita itu yang memotong serta menyerang lagi tiba-tiba memekik dan berkelebat menusuk perut Beng Tan, dikelit tapi pedang meliuk dari kanan ke kiri, cepat dan luar biasa hingga Beng Tan terkejut. Dan ketika pemuda itu berseru keras dan marah melihat kebandelan lawan maka dia bermaksud untuk melepaskan pedang wanita ini dari tangan pemiliknya. "Plakk!" Tamparan atau tangkisan Beng Tan ini keras. Wanita itu menjerit dan pedangnya benar-benar terlepas, mencelat dari tangan kanannya. Tapi ketika wanita itu berjungkir balik dan menggerakkan tangan kirinya ternyata pedang telah dipegang dan menyerang lagi dengan ganas. "Hebat, kau luar biasa, nona. Ilmu pedangmu sebenarnya hebat!" "Tak usah memuji!" wanita itu marah. "Kau berlutut dan minta ampun atau aku terus menyerangmu mati-matian, manusia sombong. Atau kaubunuh aku dan aku siap bertempur sampai titik darah penghabisan!" "Ah, kau keras kepala...!" dan Beng Tan yang bingung menangkis lagi lalu menambah tenaganya hingga lawannya terpekik, pedang mencelat namun lagi-lagi disambar oleh tangan yang lain. Hal ini terjadi empat lima kali hingga Beng Tan kagum, sebenarnya melihat bahwa lawannya itu mendesis kesakitan, telapaknya mulai lecet, pecah-pecah. Dan ketika pemuda ini bingung harus menyudahi pertempuran dengan cara bagaimana mendadak terdengar geram dan bentakan seseorang, "Pangcu, kau diganggu siluman sombong ini" Mundurlah, biar aku yang menghadapi... siut-dess!" dan Beng Tan yang mencelat oleh sebuah tendangan tiba-tiba berseru kaget oleh datangnya serangan yang luar biasa cepat ini, melihat seorang pemuda atau laki-laki bercaping muncul di situ, membantu wanita baju merah ini yang sudah terdesak oleh tangkisan-tangkisan Beng Tan. Hanya berkat kekerasan dan kemarahan hatinya saja wanita ini kuat bertahan, padahal telapak tangannya sudah lecet-lecet berdarah. Dan ketika bayangan atau laki-laki bercaping itu muncul dan berkelebat dengan sebuah tendangan melayang maka Beng Tan terguling-guling dan terlempar dengan kaget. "Golok Maut....!" Yang mengeluarkan seruan itu adalah ketua Hek-yanpang atau wanita baju merah ini. Beng Tan di sana sudah bergulingan meloncat bangun dan terkejut mendengar seruan itu. Dan ketika Golok Maut, laki-laki gagah bercaping ini berdiri tegak di hadapan Beng Tan maka Beng Tan melongo melihat wanita baju merah itu terisak dan menangis melaporkan kejadiannya, seperti seorang pacar melaporkan kekurangajaran pemuda lain kepada kekasihnya, "Golok Maut, bunuh pemuda ini. Dia... dia menggangguku....!" "Hm!" Golok Maut, laki-laki itu mengangguk. "Aku sudah menduganya demikian, pangcu. Tapi tak usah kau khawatir. Mundurlah, aku yang menghadapinya, laki-laki dengan laki-laki!" dan sementara Beng Tan bengong dan kaget melihat semuanya itu maka Golok Maut sudah melangkah mendekatinya dengan mata berapi-api, sedikit tengadah namun wajah di balik caping bambu itu masih tersembunyi baik, "Orang kurang ajar, apa yang kau lakukan terhadap ketua Hek-yan-pang ini" Tak malu kau bahwa sebagai seorang laki-laki kau mengganggu seorang wanita" Hm, kau harus diberi adat, manusia busuk. Aku akan menghajarmu atau kau cepat berlutut minta ampun!" Beng Tan tertegun. "Kau Golok Maut?" "Perlukah aku memperkenalkan diri?" suara ini dingin, menyeramkan. "Kau sudah menyebutnya, manusia sombong. Dan sekarang mintalah ampun atau kau menerima hukuman!" "Nanti dulu!" Beng Tan mundur, mencelat ke belakang, melihat lawan hendak menyerang. "Aku tak melakukan apa-apa, Golok Maut. Dan justeru baru sekarang aku tahu bahwa yang kuhadapi itu adalah seorang pangcu (ketua). Tunggu, siapa dia dan tanyakan dulu gangguan apakah yang kulakukan kepada temanmu itu!" Golok Maut tertegun. "Pangcu," katanya menoleh. "Benarkah pemuda ini tak melakukan apa-apa kepadamu" Bagaimana perkelahian ini terjadi?" "Kenapa kau banyak bicara" Serang dan bunuh saja pemuda itu, Golok Maut. Kalau dia tak menggangguku tak mungkin aku menyerangnya. Dia sombong, menghina diriku. Nah, jangan bertanya dan serang dia!" "Nanti dulu!" Beng Tan mundur lagi. Semakin terkejut. "Jangan menyerang kalau tidak mengetahui duduk persoalannya, Golok Maut. Aku Ju Beng Tan tak takut kepadamu tapi jarrgan menyerang membabi buta. Aku kebetulan mencarimu, tak mungkin akan menyingkir dan justeru gembira. Kau sebutkanlah siapa wanita ini dan kenapa beberapa waktu yang lalu kau mengobrak-abrik istana!" "Hm, kau siapa" Kenapa bertanya tentang ini" Dia adalah Hek-yan-pangcu, orang she Ju. Dan aku membantunya karena dia sahabatku!" "Eh, dia ketua Walet Hitam" Dan aku.... aku..." "Benar, kau telah memusuhinya. Dan karena dia sahabatku maka berarti kau musuhku pula. Bersiaplah, aku ingin menghajarmu!" "Nanti dulu...!" namun Si Golok Maut yang mendengus dan membentak ke depan tibatiba bergerak dan telah melakukan tamparannya, berkelebat dan sudah menyerang dengan cepat. Beng Tan berdetak dan tergetar. Orang yang dicari-cari tiba-tiba ada di depan hidungnya, muncul begitu saja! Maka begitu lawan menyerang dan rupanya tidak mau banyak cakap lagi tiba-tiba Beng Tan pun menggerakkan tangannya menangkis. "Dukk!" Dua orang itu mencelat. Baik Golok Maut maupun Beng Tan sama-sama terpental, masing-masing berseru kaget dan berjungkir balik. Beng Tan merasa betapa sinkang yang amat kuatnya menghantam dirinya, ditahan namun dia terpental juga. Dan ketika pemuda ini mengeluarkan teriakan kaget sementara Golok Maut juga tersentak dan berseru tertahan maka tokoh bercaping itu berjungkir balik dan terbelalak memandang Beng Tan, tidak banyak cakap dan tiba-tiba menerjang lagi, tangan kiri mendorong dan serangkum angin kuat menghantam lawannya ini. Tapi ketika Beng Tan penasaran dan ingin menjajal lagi maka untuk kedua kalinya pemuda itu pun menangkis. "Duk-dukk!" Dua orang ini lagi-lagi terpental. Beng Tan dan lawannya kembali sama-sama berseru keras, mereka terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka sama kuat, satu sama lain berimbang dan tentu saja mereka terbelalak. Kekaguman tak dapat disembunyikan lagi namun Golok Maut melengking lagi, berkelebatan dan sudah menyerang lawannya dengan gencar. Dan ketika Beng Tan mengimbangi cepat dan berkelebatan menangkis atau mengelak maka keduanya sudah bertempur dan bertanding seru, mula-mula masih kelihatan namun akhirnya lenyap, masing-masing sudah berobah menjadi bayangan putih dan hitam. Golok Maut mengenakan baju hitam dan kontras sekali bayangan keduanya itu. Dan ketika suara "dak-duk" terdengar berulang-ulang dan masing-masing terpental tapi selalu serang-menyerang lagi maka ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah itu terbelalak. Sebenarnya, kedatangan Golok Maui menggembirakan hatinya. Entah bagaimana tiba-tiba dia merasa girang, berseru dan tadi melaporkan kejadian itu dengan sikap seorang kekasih kepada pacarnya. Aneh sekali, wanita ini berseri-seri dan tentu saja hanya Golok Maut atau mereka berdua yang tahu semuanya itu, kegembiraan atau kebahagiaan kedua belah pihak begitu masing-masing bertemu. Ketua Hek-yan-pang ini bersinar-sinar dan bercahaya mukanya, menonton jalannya pertandingan dan berulang-ulang dia mengeluarkan seruan kaget pula, ketika Golok Maut atau lawannya terpental. Dan ketika di sana Beng Tan menjadi gemas dan marah karena Golok Maut membela wanita baju merah itu tanpa menanya duduk persoalannya dengan baik, padahal jelas wanita itulah yang mencari setori dan menyerangnya dulu maka Beng Tan melayani dan mengimbangi lawannya ini, terkejut dan kagum karena Golok Maut ternyata hebat. Masing-masing belum mengeluarkan senjatanya karena masing-masing ingin mengadu kepalan dulu, pertandingan tangan kosong di mana pukulan sinkang atau getaran Iweekang (tenaga dalam) silih berganti dikeluarkan. Masing-masing mendapat kenyataan bahwa baik Iweekang ataupun sinkang (tenaga sakti) boleh dikata berimbang, tak ada yang unggul atau asor (kalah). Dan ketika pertandingan berjalan semakin seru karena masing-masing kian mempercepat gerakan untuk Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mendahului yang lain maka Golok Maut mengeluarkan satu bentakan keras di mana tangan kirinya tiba-tiba menyambar dalam satu gerak memutar. "Dess!" Beng Tan tak menduga. Pemuda ini terkena dan terpelanting, tidak apa-apa namun mendesis kesakitan. Pundaknya yang kena pukulan cukup pedas dan linu, kalau dia tidak mengerahkan sinkangnya barangkali tulang pundaknya bisa patah. Gerakan memutar tadi sungguh mengecohnya. Namun ketika Golok Maut menyerang dan melakukan gerakan serupa, kini dengan tangan kanannya tiba-tiba Beng Tan meliuk dan berkelebat di bawah ketiak lawan. "Dess!" Kali ini Golok Maut yang terbanting. Dengan dengan gerak tipu Kilat Melingkari Matahari pemuda ini ganti mengecoh lawan, menyelinap dan keluarlah pukulan Peklui-ciangnya. Namun ketika Golok Maut bangkit terhuyung dan tidak apa-apa maka Beng Tan kagum dan berseru memuji lawan, "Hebat, kau luar biasa, Golok Maut. Mengagumkan!" "Hm, kaupun juga hebat. Tak perlu memuji, orang she Ju. Kita masih berimbang dan belum ada yang kalah atau menang!" "Tapi aku akan menundukkanmu. Kau cukup ganas dan telengas di luar!" "Hm!" dan Golok Maut yang tidak menjawab karena sudah menghadapi seranganserangan lawan lalu dibalas dan menerima pukulan-pukulan Pek-lui-ciang, Pukulan Kilat, melihat sinar berkeredep dan menyambar dari kedua tangan lawannya, mengelak dan menangkis dan terdengarlah ledakan ketika pukulan-pukulan mereka bertemu. Dan ketika semuanya itu kembali ditonton dan membuat kagum ketua Hekyan-pang maka wanita baju merah ini memuji berulang-ulang. "Hebat, tapi jangan mundur, Golok Maut. Maju dan hadapi kembali lawanmu itu. Robohkan dia!" Ini adalah spirit bagi Golok Maut. Beng Tan mengejek namun tidak gentar, untuk sementara mereka masih berimbang. Tapi ketika Golok Maut mendesak dan menambah tenaganya, hingga Pek-lui-ciang yang biasanya hebat itu tertolak dan membuat Beng Tan terhuyung maka satu ancaman lawan membuat Beng Tan mengerutkan keningnya. "Orang she Ju, kau hebat. Tapi aku harus merobohkanmu. Menyerahlah atau aku terpaksa mencabut senjata!" "Hm, aku tak takut!" Beng Tan berdebar, mendengar lawan akan mencabut goloknya yang ampuh itu. "Kau boleh cabut senjatamu, Golok Maut. Dan lihat apakah benar kau dapat merobohkan aku!" "Aku akan mencabutnya, tapi cabut pula pedang di balik punggungmu itu!" "Hm, kau tahu?" "Kita sama-sama bermata, orang she Ju. Jangan berlagak dan pura-pura pilon. Cabutlah pedangmu, dan aku akan mencabut golokku!" Beng Tan berbinar matanya. Kalau Golok Maut berkata seperti itu maka harus diakuinya bahwa lawan sebenarnya gagah, tak ingin mendahului dan menyerang lawan yang bertangan kosong. Golok Maut tak mau mempergunakan senjata kalau dia tidak bersenjata. Perasaan simpatik tiba-tiba timbul dan Beng Tan tersenyum memandang lawannya itu. Dan ketika lawan menambah tenaganya menangkis pukulannya maka Beng Tan berseru keras menambah tenaganya pula. "Golok Maut, kau bukan manusia licik. Baiklah, siapa pun boleh mempergunakan senjatanya lebih dulu kalau dia menghendaki.... dess!" Beng Tan mengerahkan sinkangnya, terpental namun di sana Golok Maut juga terlempar. Kali ini keduanya terbanting dan bergulingan di tanah, mengeluh. Namun ketika mereka melompat bangun dan terhuyung memandang lawan maka Golok Maut menggeram, "Baiklah, kalau begitu kita lihat!" dan satu bentakan kuat yang menggetarkan tempat itu tiba-tiba disusul dengan lenyapnya Si Golok Maut itu. Beng Tan melihat lawan menjejakkan kakinya, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menyambarnya dari atas. Gerakan meluncur dan terbang seperti burung telah ditunjukkan lawannya ini, Beng Tan terkesiap. Dan ketika dia mengelak namun serangkum angin dingin menyambar belakang punggungnya tiba-tiba saja sebuah totokan dan cengkeraman cepat menyambar dirinya. "Bret-plak!" Beng Tan kaget bukan main. Ternyata setelah dekat pemuda ini tahu bahwa Golok Maut hendak merampas pedangnya, yang disembunyikan di punggung. Dan karena gerakan ini disembunyikan di balik totokan lihai di mana jari tangan lawanya itu berkesiur di atas kepala maka se cepat kilat Beng Tan membanting tubuh bergulingan dan melepas totokan pula, ke mata lawan. "Crit-dess!" Gebrakan ini ganti mengejutkan Golok Maut. Beng Tan menusuk matanya dengan gerakan mengadu jiwa, saat itu tangannya sudah bergerak merampas pedang lawan di belakang punggung, menarik dan pedang tertarik dari sarungnya. Tapi begitu lawan menusuk matanya dan tentu saja Golok Maut melempar kepala ke kiri tiba-tiba tanpa diduga totokan itu lewat di belakang punggungnya dan...... golok yang tersimpan di belakang dirampas dan tertarik keluar dari sarungnya. "Srat!" -ooo0dw0ooo- Jilid : XVI DUA-DUANYA berjungkir balik ke belakang. Golok Maut mengeluarkan teriakan tertahan sementara lawan juga berseru lirih. Duaduanya sudah merampas senjata lawan. Golok Maut dengan pedang bersinar putih yang berkeredepan menyilaukan mata sedangkan Beng Tan dengan Golok Maut yang terasa dingin menyeramkan. Masing-masing tertegun dan terbelalak sejenak mengamati pedang atau golok di tangan masing-masing, keduanya Dewa Tangan Api 3 Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit Suling Emas 12

Cari Blog Ini