Hotel Majestic 1
Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie Bagian 1 PERIL AT END HOUSE by Agatha Christie HOTEL MAJESTIC Alihbahasa: Ny. Suwarni A.S. Penerbit: PT Gramedia Cetakan ketiga: Oktober 2002 Untuk EDEN PHILLPOTTS Yang telah memberikan persahabatan dan semangat kepadaku bertahun-tahun lalu 1 HOTEL MAJESTIC KURASA tak ada kota tepi pantai di daerah selatan Inggris yang sama menariknya dengan kota St. Loo. Tepat benar orang menamakannya Ratu dari Daerah-daerah Perairan, dan mau tak mau orang jadi teringat akan Riviera. Menurutku, Pantai Cornwall sama sekali tak kalah pesonanya dengan daerah selatan Prancis. Hal itu kukatakan pada sahabatku, Hercule Poirot. "Ah, hal itu sudah tercantum pada kartu menu di gerbong restoran kereta api kemarin, mon ami.* (*sahabatku) Jadi pernyataanmu itu sudah tak asli lagi." "Tapi apakah kau tidak sependapat?" Ia hanya tersenyum sendiri, dan tak segera menjawab pertanyaanku. Maka kuulangi pertanyaan itu. "Seribu kali maaf, Hastings. Pikiranku sedang melayang. Melayang ke tempat yang baru saja kausebutkan itu." "Daerah selatan Prancis?" "Ya. Aku teringat akan musim salju terakhir yang kuhabiskan di sana, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi waktu itu." Aku juga ingat. Waktu itu terjadi pembunuhan di Kereta Api Biru, dan misteri itu - suatu misteri yang rumit dan membingungkan - telah diselesaikan oleh Poirot dengan ketajaman otaknya yang selalu tepat. "Kalau saja aku ada bersamamu saat itu," kataku dengan sangat menyesal. "Aku juga merasa begitu," kata Poirot. "Pengalamanmu tentu sangat berguna bagiku." Aku menoleh kepadanya. Karena sudah lama bergaul, dan sudah sangat mengenal kebiasaannya, aku tak percaya akan pujiannya itu. Tapi kelihatannya ia bersungguh-sungguh sekali. Memang sepantasnya aku mendapatkan pujian itu. Aku sudah punya pengalaman banyak sekali mengenai cara-cara kerja yang dipakainya. "Aku paling kehilangan daya imajinasimu yang kuat, Hastings," lanjutnya sambil merenung. "Semua orang membutuhkan bantuan ringan. George, pelayan pribadiku, memang seorang yang pantas dikagumi. Kadang-kadang aku ingin membahas suatu persoalan dengannya, tapi dia sama sekali tidak memiliki daya imajinasi." Kurasa pendapatnya itu tak begitu bisa diterima. "Terus terang, Poirot," kataku, "apa kau tak pernah tergiur untuk aktif kembali" Gaya hidupmu yang pasif ini..." "Sesuai benar dengan keinginanku, sahabatku. Duduk menikmati sinar matahari - apa yang lebih menyenangkan daripada itu" Melangkah turun sendiri dari takhta kita, pada saat kita berada di puncak kemasyhuran. Tak ada sikap yang lebih agung daripada itu, bukan" Orang berkata tentang diriku. Itu Hercule Poirot! Dia orang besar, lain daripada yang lain! Tak ada seorang pun seperti dia, takkan pernah ada! Eh bien* (* baiklah) - aku puas. Tak ada lagi yang kuinginkan. Aku orang yang rendah hati." Aku sendiri takkan bisa menamakannya rendah hati. Sepanjang penglihatanku, egoisme sahabatku yang kecil itu sama sekali tak berkurang dari tahun ke tahun. Ia bersandar di kursinya, sambil mengusap-usap kumisnya dengan sikap puas diri. Kami sedang duduk di salah satu teras Hotel Majestic, hotel terbesar di St. Loo. Hotel itu berdiri di sebuah tanjung yang menghadap ke laut. Pekarangan hotel itu terbentang di bawah kami, ditumbuhi pohon-pohon palem di sana-sini. Laut indah, berwarna biru tua, langit cerah, dan matahari bersinar terik, sebagaimana layaknya matahari bulan Agustus. (Tapi sayang di Inggris tidak selalu demikian halnya.) Lebah-lebah mendengung tak henti-hentinya, suatu bunyi yang menyenangkan secara keseluruhan, suasana saat itu menyenangkan sekali. Kami baru tiba semalam, dan pagi ini merupakan hari pertama dari masa tinggal kami yang menurut rencana, seminggu lamanya. Kalau cuaca terus begini, kami pasti bisa berlibur dengan sempurna. Kupungut surat kabar pagi yang tadi terjatuh dari tanganku, dan aku melanjutkan membaca berita-berita pagi. Keadaan politik rasanya tidak memuaskan dan tidak menarik. Di Cina ada kesulitan, ada laporan panjang mengenai desas-desus tentang penipuan di kota. Tapi selebihnya tak ada berita yang mendebarkan. "Aneh sekali penyakit burung beo itu," kataku sambil membalik halaman surat kabar. "Memang aneh." "Katanya ada dua kematian lagi di Leeds." "Sayang sekali." Aku membalik halaman lagi. "Masih belum ada berita tentang Seton, pria penerbang itu, dalam penerbangannya berkeliling dunia. Berani sekali orang-orang itu. Pesawat amfibinya yang diberi nama Albatross, jelas merupakan suatu penemuan hebat. Sayang sekali kalau dia sampai hilang. Tapi orang masih belum putus asa. Mungkin dia berada di salah satu kepulauan di Pasifik." "Padahal penghuni Pulau Salomon masih merupakan manusia kanibal, bukan?" tanya Poirot dengan senang. "Penerbang itu pasti seorang pria hebat. Hal itu membuat kita merasa beruntung menjadi warga Inggris." "Bisa menghibur kita dari kekalahan yang dialami di Wimbledon," kata Poirot. "Bu... bukan begitu maksudku," kataku. Sahabatku itu mengisyaratkan supaya aku tak usah merasa bersalah. "Aku tidak bersifat amfibi seperti pesawat Kapten Seton yang malang itu," katanya, "tapi aku bersifat internasional. Dan sebagaimana kauketahui, aku kagum pada bangsa Inggris. Umpamanya saja, aku kagum melihat betapa telitinya mereka membaca surat kabar." Perhatianku sudah beralih pada berita-berita politik. "Agaknya orang-orang sedang membuat pusing Menteri Dalam Negeri," kataku sambil tertawa kecil. "Kasihan dia. Dia mengalami banyak kesulitan. Ya, demikian banyaknya, hingga dia mencari bantuan dari orang-orang yang tak layak dimintai bantuan." Aku memandanginya dengan terbelalak. Sambil tersenyum kecil, Poirot mengeluarkan surat-surat yang diterimanya pagi ini dari sakunya. Surat-surat itu terikat rapi dengan karet. Dari surat-surat itu dipilihnya sepucuk, lalu dilemparkannya padaku. "Surat itu tak terbaca oleh kita kemarin," katanya. Kubaca surat itu, lalu aku merasa senang sekali. "Wah, Poirot," seruku. "Hebat sekali kau." "Begitukah menurutmu, sahabatku?" "Dia memuji keahlianmu setinggi langit." "Itu memang pada tempatnya," kata Poirot, tanpa mau melihat padaku. "Dia meminta bantuanmu untuk menyelidiki persoalan itu. Permintaan bantuan pribadi." "Memang. Kau tak perlu mengulangi semua itu padaku, sahabatku Hastings yang baik. Soalnya aku sudah membaca sendiri surat itu." "Sayang sekali," seruku. "Berarti kita harus mengakhiri liburan kita ini." "Tidak, tidak. Tenanglah, itu takkan terjadi." "Tapi menurut Menteri Dalam Negeri, persoalan itu mendesak sekali." "Mungkin dia benar, atau mungkin pula salah. Orang-orang politik itu mudah menjadi kacau. Hal itu sudah kusaksikan sendiri di Dewan Perwakilan Rakyat di Paris...." "Ya, ya, tapi Poirot, bukankah kita harus membuat rencana" Kereta api ekspres ke London sudah berangkat. Kereta api itu berangkat jam dua belas. Yang berikutnya..." "Tenanglah, Hastings, harap tenangkan dirimu! Kau selalu kacau, selalu ribut. Kita tidak akan pergi ke London hari ini. Besok pun tidak." "Tapi panggilan ini...?" "Tidak mendapat perhatianku. Aku bukan anggota korps kepolisian negeri ini, Hastings. Aku diminta menangani suatu perkara sebagai seorang detektif pribadi. Dan aku menolak." "Kau menolak?" "Memang. Aku menulis dengan sopan sekali. Kunyatakan rasa penyesalanku, aku minta maaf, dan kujelaskan bahwa aku merasa sedih sekali - mau apa lagi" Aku sudah pensiun, tugasku sudah selesai." "Tugasmu belum selesai," seruku dengan hangat. Poirot menepuk-nepuk lututku. "Itu ucapan seorang sahabat yang baik, dan setia. Dan ucapan itu memang beralasan. Sel-sel kelabu dalam otakku masih berfungsi. Aturan-aturan dan caracara kerja yang baik masih kumiliki. Tapi bila aku sudah pensiun, sahabatku, aku tetap sudah pensiun! Selesai! Aku bukan seorang idola di pentas, yang harus berulang kali mengucapkan selamat berpisah pada dunia. Aku bermurah hati dan berkata, 'Berikan kesempatan pada yang muda-muda.' Mungkin mereka bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat. Aku tak yakin, tapi kemungkinan itu ada. Pokoknya, mereka akan bisa menyelesaikan persoalan Menteri Dalam Negeri yang pasti membosankan itu." "Tapi, bukankah kau telah dipujinya, Poirot?" "Aku ini pantas mendapatkan lebih dari sekadar pujian. Menteri Dalam Negeri itu memang seorang pria yang berakal sehat. Dia menyadari bahwa bila dia bisa mendapatkan jasa-jasaku, semuanya akan berhasil. Tapi sayang, dia tak beruntung. Hercule Poirot tak mau lagi menyelesaikan suatu perkara." Aku memandanginya. Jauh di lubuk hatiku, aku menyesali tekadnya itu. Dengan menyelesaikan perkara itu, nama baiknya yang sudah termasyhur di seluruh dunia akan bertambah tenar. Namun, mau tak mau aku juga mengagumi sikapnya yang tak mau mengalah. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, dan aku tersenyum. "Aku heran mengapa kau tak takut," kataku. "Ucapan yang keras begitu, bisa menggoda setan." "Tak ada apa pun yang bisa menggoyahkan keputusan Hercule Poirot," sahutnya. "Benar-benar tidak, Poirot?" "Kau benar, mon ami, kita tak boleh berkata begitu. Eh, ma foi,* (*yah) aku tak boleh berkata bahwa seandainya sebutir peluru menembus dinding di dekat kepalaku, aku tetap tak akan melacaknya! Kita tetap manusia biasa, bukan?" Aku tersenyum. Sebuah kerikil kecil mengenai teras di sebelah kami, dan perumpamaan Poirot yang aneh mengenai hal itu telah menggugah anganku. Ia membungkuk dan memungut kerikil itu, sambil terus berkata, "Ya, kita ini hanya manusia biasa. Tapi kita juga bisa diumpamakan anjing. Anjing yang sedang tidur. Tapi anjing yang sedang tidur bisa dibangunkan, begitu kata peribahasa dalam bahasa kalian, bukan?" "Pokoknya," kataku, "bila kau menemukan sebilah pisau tertancap di dekat bantalmu besok, sebaiknya penjahat yang telah menancapkannya waspada!" Ia mengangguk dengan agak linglung. Aku terkejut karena ia tiba-tiba bangkit, lalu menuruni beberapa anak tangga dari teras yang menuju kebun. Pada saat itu, tampak seorang gadis berjalan bergegas ke arah kami. Aku mendapatkan kesan bahwa gadis itu cantik sekali. Tapi tiba-tiba perhatianku teralihkan pada Poirot yang tersandung akar pohon dengan keras, gara-gara tidak melihat jalan. Pada saat itu, ia berada sejajar dengan gadis itu. Lalu berdua dengan gadis itu, aku membantu Poirot bangkit. Perhatianku tentu tertuju pada sahabatku, tapi aku tak luput pula dari memperhatikan rambut hitam gadis itu, wajahnya yang seperti peri, dan matanya yang biru besar. "Seribu kali maaf," kata Poirot dengan gugup. "Mademoiselle, Anda baik sekali. Saya menyesal sekali. Aduh...! Kaki saya sakit sekali. Tidak, tidak, sama sekali tak apa-apa, hanya mata kaki yang terkilir, itu saja. Sebentar lagi semuanya akan beres. Tapi bila Mademoiselle mau berbaik hati, kau, Hastings, dan dia bisa membantuku. Saya malu harus minta bantuan Anda, Mademoiselle." Aku dan gadis itu mengapit Poirot, lalu mendudukkannya di sebuah kursi di teras. Kuanjurkan untuk memanggil dokter, tapi sahabatku menolak keras. "Sudah kukatakan tak apa-apa. Mata kakiku terkilir, hanya itu saja. Saat ini memang sakit, tapi sebentar lagi tentu sembuh." Wajahnya mengernyit kesakitan. "Lihat saja, sebentar lagi saya sudah lupa. Mademoiselle, terima kasih banyak. Anda baik sekali. Mari silakan duduk." Gadis itu mengambil kursi. "Ah, tak apa-apa," katanya. "Tapi sebaiknya Anda periksakan juga." "Mademoiselle, yakinlah, kaki saya ini tak apa-apa. Karena hati saya senang duduk bersama Anda ini saja, sakitnya sudah berkurang." Gadis itu tertawa. "Baiklah kalau begitu." "Bagaimana kalau kita minum koktail?" saranku. "Sekarang kira-kira sudah waktunya." "Yah...," ia tampak ragu, "terima kasih banyak." "Martini?" "Ya - dry martini." Aku pergi memesan minuman itu. Waktu aku kembali, kudapati Poirot dan gadis itu sedang asyik terlibat dalam percakapan. "Bayangkan, Hastings," kata Poirot, "rumah yang di ujung sana itu - yang sangat kita kagumi itu, milik Mademoiselle ini." "Begitukah?" kataku, meskipun sepanjang ingatanku tak pernah aku menyatakan rasa kagum itu. Rumah itu bahkan boleh dikatakan tak terlihat olehku. "Kelihatannya agak mengerikan dan anggun berdiri di sana, jauh dari segalanya." "Rumah itu bernama End House," kata gadis itu. "Saya mencintai rumah itu, tapi rumah itu sudah tua dan bobrok. Sudah rusak dan hampir ambruk." "Apakah Anda merupakan anggota terakhir dari suatu keluarga tua, Mademoiselle?" "Ah, kami sama sekali bukan keluarga penting. Meskipun selama dua atau tiga ratus tahun memang sudah ada keluarga Buckley di sini. Kakak saya meninggal tiga tahun yang lalu, jadi saya memang yang terakhir dari keluarga saya." "Menyedihkan sekali. Apakah Anda tinggal seorang diri di situ, Mademoiselle?" "Oh, saya sering bepergian, dan bila saya di rumah, biasanya ada saja orangorang yang datang dan pergi, dan kami bersenang-senang." "Begitulah cara hidup modem! Padahal saya membayangkan Anda tinggal seorang diri dalam sebuah rumah tua yang besar dan misterius, dihantui oleh kutukan keluarga." "Hebat sekali! Anda pasti memiliki daya imajinasi yang kuat. Tidak, rumah itu tak ada hantunya. Kalaupun ada, hantunya pasti hantu yang baik. Sudah tiga kali saya lolos dari kematian mendadak. Jadi ada jimat yang melindungi diri saya." Poirot terkejut, duduknya jadi tegak. "Luput dari kematian" Kedengarannya menarik, Mademoiselle." "Ah, sebenarnya tidak begitu mendebarkan. Hanya kejadian-kejadian yang tak disengaja saja." Ia mengelakkan kepalanya waktu seekor lebah terbang melewatinya. "Sialan lebah-lebah ini. Pasti ada sarangnya di sekitar tempat ini." "Agaknya Anda tak suka pada kumbang dan lebah, Mademoiselle" Apakah Anda pernah disengat?" "Tak pernah, tapi saya benci binatang-binatang itu, karena suka terbang tepat melewati muka kita." "Dalam bahasa Inggris Anda ada suatu ungkapan yang berbunyi: The bee in the bonnet,* bukan?" kata Poirot. (* Ada seekor kumbang di dalam topi. Artinya: Ada sesuatu yang dipikirkan.) Pada saat itu, minuman pesanan tiba. Kami bertiga mengangkat gelas kami, dan percakapan pun jadi merupakan obrolan biasa saja. "Saya sebenarnya memang harus datang ke hotel ini untuk minum koktail bersama beberapa orang teman," kata Miss Buckley. "Saya rasa, mereka sekarang bertanyatanya mengapa saya tak datang-datang." Poirot menelan minumannya, lalu meletakkan gelasnya. "Ah, alangkah enaknya minum secangkir coklat kental," gumamnya. "Tapi di Inggris ini, orang tidak biasa melakukannya. Di Inggris ada beberapa kebiasaan yang menyenangkan. Anak-anak gadis dengan mudahnya mengenakan dan menanggalkan topinya. Bagus kelihatannya, dan mudah sekali melakukannya." Gadis itu melihat pada Poirot dengan mata terbelalak. "Apa maksud Anda" Itu biasa, bukan?" "Anda bertanya begitu karena masih muda, Mademoiselle - masih muda sekali. Tapi bagi saya, tatanan rambut yang wajar adalah tatanan yang tinggi dan kaku - begini. Lalu topinya dipasang dengan menggunakan banyak jepit rambut - begini - begini begini - dan begini." Ia menirukan cara pemasangan jepit rambut itu. "Tapi itu sangat menyusahkan!" "Ya, saya rasa juga begitu," kata Poirot. Seorang wanita yang pernah merasakan betapa tersiksanya memakai topi begitu takkan bisa bicara dengan lebih berperasaan daripada Poirot. "Bila angin bertiup, itu akan merupakan siksaan, Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan bisa menyebabkan pusing kepala." Miss Buckley menanggalkan topi lakennya yang bertepi lebar dan sederhana, lalu melemparkannya ke sebelahnya. "Zaman sekarang, kami begini saja," katanya sambil tertawa. "Suatu cara yang bijak dan bagus," kata Poirot sambil membungkuk sedikit. Aku memandang gadis itu dengan penuh minat. Rambutnya yang hitam sedang kusut, membuat wajahnya jadi seperti peri. Keseluruhan penampilannya memang memberikan kesan seperti peri. Wajahnya kecil dan hidup, bentuknya seperti bunga, matanya besar sekali, dan ada lagi sesuatu - sesuatu yang menakutkan dan memikat. Apakah itu merupakan ciri sifat nekat" Di bawah matanya tampak lingkaran-lingkaran gelap. Teras tempat kami duduk sudah agak tua. Teras utama tempat kebanyakan orang sedang duduk, berada di tikungan, di suatu tempat di mana batu padas menjorok langsung ke laut. Pada saat itu, dari tikungan tersebut muncul seorang pria. Wajahnya merah, dan gaya berjalannya aneh, tangannya yang setengah tergenggam, tergantung di sisinya. Ada sesuatu yang meletup-letup dan bebas dalam gayanya - yang merupakan ciri khas seorang pelaut. "Di mana sih gadis itu?" tanyanya dengan suara lantang, hingga mudah terdengar dari tempat kami duduk. "Nick! Nick!" Miss Buckley bangkit. "Nah, benar kan dugaan saya. Mereka sudah ribut. Halo, George! Aku di sini." "Freddie sudah ribut ingin minum. Ayolah." Ia melihat pada Poirot dengan rasa ingin tahu yang tidak disembunyikan, karena Poirot pasti jauh berbeda dari kebanyakan sahabat-sahabat Nick. Gadis itu memperkenalkan mereka. "Ini Komandan Challenger... eh..." Aku heran karena Poirot tidak menyebutkan namanya, padahal Miss Buckley mengharap ia menyebutkannya. Ia hanya bangkit, membungkuk dengan sikap resmi, lalu bergumam, "Pasti dari Angkatan Laut Inggris. Saya sangat menghormati Angkatan Laut Inggris." Pernyataan seperti itu agaknya kurang disenangi oleh seorang Inggris. Wajah Komandan Challenger menjadi merah, dan Miss Buckley mencoba menjernihkan keadaan itu. "Mari, George. Jangan ternganga begitu. Mari kita cari Freddie dan Jim." Gadis itu tersenyum pada Poirot. "Terima kasih untuk koktailnya. Saya harap mata kaki Anda cepat sembuh." Sambil mengangguk padaku, diselipkannya tangannya ke lengan pelaut itu, dan mereka pun menghilang di tikungan. "Rupanya dia salah seorang teman Mademoiselle itu," gumam Poirot sambil merenung. "Salah seorang dari teman-temannya untuk bersenang-senang. Bagaimana laki-laki itu" Berikan penilaianmu yang biasanya tepat itu, Hastings. Bisakah dia disebut seorang pria baik-baik - atau tidak?" Aku diam sebentar untuk mencoba menentukan dengan pasti, apa maksud Poirot dengan "pria baik-baik" itu. Lalu aku memberikan jawabanku dengan ragu. "Kelihatannya dia baik-baik," kataku. "Sepanjang penglihatanku yang hanya sekilas itu saja." "Aku benar-benar ingin tahu." Topi gadis itu ketinggalan. Poirot membungkuk untuk memungutnya, dan memutarmutarnya tanpa minat dengan jari telunjuknya. "Apakah dia naksir gadis itu" Bagaimana pendapatmu, Hastings?" "Poirot, sahabatku yang baik! Bagaimana aku bisa mengatakannya" Mari, berikan topi itu padaku. Gadis itu pasti memerlukannya. Biar kuantarkan padanya." "Nanti saja. Biar kita permainkan dulu," kata Poirot. "Masa begitu, Poirot!" "Ya, sahabatku. Aku sudah tua dan kekanak-kanakan, ya?" Aku memang berpendapat begitu, hingga aku jadi merasa tak enak karena telah mengucapkan kata-kataku tadi. Poirot tertawa kecil. Lalu sambil membungkukkan tubuhnya ke depan, diletakkannya jarinya ke sisi hidungnya. "Tapi tidak, aku belum begitu pikun seperti yang kaupikir! Kita akan mengembalikan topi ini - itu pasti - tapi nanti. Kita akan mengembalikannya ke End House. Dengan demikian, kita akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu lagi dengan Miss Nick yang cantik itu." "Poirot," kataku, "kurasa kau jatuh cinta." "Dia memang cantik, ya?" "Ah, bukankah kau telah melihatnya sendiri" Mengapa bertanya padaku?" "Karena aku tak bisa menilainya sendiri. Sayang sekali! Sekarang ini, semuanya yang muda itu cantik. Masa remaja - masa remaja! Itulah yang merupakan tragedi dalam hidupku. Tapi kau... Penilaianmu pasti kurang bisa diterima, karena kau begitu lama tinggal di Argentina - wanita di sana tipenya lain dari wanita Inggris. Apalagi kau masih mengagumi sosok dari lima tahun yang lalu. Tapi, bagaimanapun juga, kau lebih modem daripadaku. Dia cantik, ya" Dan dia memiliki daya tarik terhadap lawan-lawan jenisnya, bukan?" "Satu jenis saja sudah cukup, Poirot. Kurasa jawabanku mengenai pertanyaanmu adalah positif sekali. Mengapa kau begitu berminat terhadap wanita itu?" "Aku berminat?" "Ya... dengar saja apa yang barusan kaukatakan." "Kau salah mengerti, mon ami. Ya, mungkin aku memang menaruh minat terhadap gadis itu, tapi aku lebih menaruh minat terhadap topinya." Aku menatapnya. Tapi kelihatannya ia serius sekali. Ia mengangguk padaku. "Ya, Hastings, terhadap topi ini." Topi itu diulurkannya ke arahku. "Adakah kaulihat alasannya mengapa aku begitu berminat?" "Karena topi ini bagus," kataku kebingungan. "Tapi kelihatannya topi ini biasabiasa saja. Banyak sekali gadis yang memiliki topi seperti ini." "Tidak seperti yang satu ini." Kuperhatikan topi itu dengan lebih teliti. "Tampakkah olehmu, Hastings?" "Sebuah topi dari kulit anak rusa yang biasa sekali. Modelnya memang bagus...." "Aku tidak menyuruhmu melukiskan topi itu. Jelas bahwa kau tidak melihatnya. Luar biasa, Hastings yang malang. Aneh mengapa kau hampir tak pernah melihat apa-apa! Setiap kali aku merasa heran! Coba perhatikan, sahabatku. Tak perlu kau menggunakan sel-sel kelabumu, matamu saja cukuplah. Perhatikanlah. Amatilah...." Akhirnya aku pun melihat apa yang sudah begitu lama Poirot ingin aku melihatnya. Topi yang berbalik-balik perlahan-lahan itu masih saja berputar pada jarinya, dan jari itu terjulur rapi melalui sebuah lubang di tepi topi itu. Waktu dilihatnya aku telah menyadari apa maksudnya, ditariknya keluar jarinya itu, lalu diulurkannya topi itu ke arahku. Lubang itu kecil dan rapi, bulat sekali. Aku tak biasa melihat manfaat lubang itu di situ, kalaupun memang ada manfaatnya. "Adakah kaulihat bagaimana Miss Nick mengelak waktu seekor kumbang terbang melewatinya" Ada kumbang di dalam topi - tepatnya, ada lubang pada topi." "Tapi seekor kumbang tak bisa membuat lubang seperti itu." "Tepat, Hastings! Cerdas sekali kau! Tentu saja tak bisa. Tapi sebutir peluru bisa, mon cher!"* (* temanku yang baik) "Sebutir peluru?" "Tentu saja! Sebutir peluru seperti ini." Diulurkannya tangannya, dan tampak sebuah benda kecil di telapak tangannya. "Ini sebutir peluru yang sudah dipakai, mon ami. Peluru inilah yang jatuh di teras tadi, waktu kita sedang bercakap-cakap. Sebutir peluru bekas pakai!" "Maksudmu...?" "Maksudku, hanya dengan selisih jarak dua setengah sentimeter saja, peluru ini tidak akan menembus topi, melainkan menembus kepala Miss Nick. Nah, sekarang mengertikah kau mengapa aku begitu berminat, Hastings" Kau benar, sahabatku, waktu kaukatakan bahwa aku tak boleh menggunakan kata-kata 'tak mungkin'. Yah, kita memang hanya manusia biasa! Ah! Tapi calon pembunuh itu telah membuat suatu kesalahan besar, karena dia telah menembak calon korbannya hanya dalam jarak beberapa meter saja dari Hercule Poirot! Bagi dia, itu tentu sekadar perhitungan yang salah. Pokoknya, sekarang kau tahu mengapa kita harus mendatangi End House itu dan menghubungi Mademoiselle, bukan" Tiga kali lolos dari kematian dalam tiga hari. Begitu katanya. Kita harus bertindak cepat, Hastings. Bahaya itu sudah dekat sekali." 2 END HOUSE "POIROT," kataku, "aku sedang berpikir." "Latihan yang baik sekali, sahabatku. Teruskan kata-katamu." Kami sedang duduk berhadapan pada waktu makan siang, di sebuah meja kecil di dekat jendela. "Tembakan itu pasti dilakukan dari jarak yang dekat sekali dengan kita. Tapi kita tidak mendengar apa-apa." "Dan menurutmu, karena keadaan waktu itu tenang dan sepi, dan yang terdengar hanya gemercik ombak, kita seharusnya bisa mendengarnya, begitu?" "Pokoknya, itu aneh. Ada beberapa macam bunyi yang lama-kelamaan hampir-hampir tak terdengar lagi oleh kita jika kita terbiasa mendengarnya. Sepanjang pagi tadi, sahabatku, speedboat berkeliaran saja di teluk. Mula-mula kita mengeluh, tapi tak lama kemudian, kita sudah seperti tak mendengarnya lagi. Tapi, ma foi,* (*percayalah) kurasa kita bisa saja menembakkan senapan mesin tanpa ada yang mendengar, bila kebetulan ada sebuah kapal motor lewat." "Ya, itu benar." "Ah! Voila!"* (*Lihat itu!) gumam Poirot. "Itu Mademoiselle dengan sahabatsahabatnya. Kelihatannya mereka sedang menuju kemari untuk makan siang. Oleh karenanya, aku terpaksa mengembalikan topinya. Biarlah. Perkara ini cukup serius, hingga sudah sepantasnya kita khusus mengunjunginya." Dengan susah payah ia bangkit dari kursinya, berjalan cepat-cepat menyeberangi ruangan, lalu menyerahkan topi itu sambil membungkuk, tepat pada saat Miss Buckley dan rombongannya baru saja duduk. Rombongan itu terdiri atas empat orang. Nick Buckley, Komandan Challenger, seorang pria lain, dan seorang gadis lain. Dari tempat kami duduk, kami tak dapat melihat mereka dengan jelas. Sekali-sekali terdengar pria dari Angkatan Laut itu tertawa nyaring. Kelihatannya ia orang yang sederhana dan disukai, dan aku pun mulai merasa senang padanya. Selama kami makan sahabatku diam saja dan tampak murung. Roti hanya ditusuktusuknya saja. Ia mengeluarkan kata-kata seru yang aneh sendiri, dan memperbaiki letak barang-barang di meja. Aku mencoba bercakap-cakap, tapi karena tidak mendapatkan tanggapan, aku segera menyerah. Ia masih tenis duduk di meja makan, lama setelah ia menghabiskan kejunya. Tapi, begitu rombongan Miss Nick meninggalkan ruangan itu, ia juga bangkit. Mereka baru saja duduk di ruang duduk bersama, ketika Poirot berjalan dengan gagah ke arah mereka, dan langsung berbicara pada Miss Nick. "Mademoiselle, bolehkah saya berbicara dengan Anda?" Gadis itu mengernyitkan dahinya. Aku sangat bisa memahami perasaannya. Ia takut kalau-kalau orang asing yang kecil itu akan membuat kekacauan. Mau tak mau, aku memahami sikapnya, karena aku tahu bagaimana keadaan itu di matanya. Dengan sangat enggan ia menepi. Segera setelah Poirot mengucapkan kata-katanya dengan berbisik dan cepat, kulihat air muka gadis itu membayangkan rasa heran. Sementara itu, aku merasa risi dan tak enak. Tapi Challenger dengan cepat menyelamatkan diriku. Ia menawarkan rokok dan mengajakku bercakap-cakap biasa. Kami telah saling menilai, dan kami mulai saling menyukai. Kurasa, ia lebih merasa cocok denganku daripada dengan pria yang tadi makan siang bersamanya. Kini aku mendapat kesempatan untuk mengamati teman makannya tadi. Ia seorang pria muda bertubuh jangkung, berambut pirang, dan agak lain daripada yang lain. Hidungnya agak besar, dan ia tampan sekali. Sikapnya sombong, dan cara bicaranya lamban dan membosankan. Dia memberikan kesan licik. Aku jadi sangat tak menyukainya. Lalu aku melihat ke wanita yang seorang lagi. Ia sedang duduk tegak di seberangku, di sebuah kursi besar, dan ia baru saja menanggalkan topinya. Ia adalah tipe wanita yang tak biasa - gambaran yang paling tepat untuknya dia adalah sebagai Perawan Maria yang sedang lesu. Rambutnya pirang sekali, hampir tak berwarna. Rambut itu dibelahnya di tengah, lalu disisir licin ke belakang, kemudian digelung menjadi konde. Wajahnya tirus dan putih sekali, tapi anehnya, ia menarik. Orang-orangan matanya besar dan berwarna abu-abu muda. Air mukanya membayangkan tabir pemisah. Ia memandangi diriku. Tiba-tiba ia berbicara. "Silakan duduk, sampai teman Anda selesai berbicara dengan Nick." Suaranya lemah, bergaya, dan dibuat-buat, tapi juga mengandung daya tarik yang aneh, memberikan kesan indah. Kurasa, secara keseluruhan ia memberikan kesan seseorang yang letih sekali. Bukan letih jasmani, melainkan letih rohani, seolah-olah segala sesuatu di dunia ini hampa dan tak berarti baginya. "Miss Buckley telah berbaik hati membantu teman saya, waktu pergelangan kakinya terkilir tadi pagi," aku menjelaskan, sambil menerima baik tawarannya. "Begitu kata Nick tadi." Matanya menilai diriku, masih tetap dengan pandangan berjarak. "Sekarang pergelangan kakinya sudah tak apa-apa lagi, bukan?" Aku merasa wajahku memerah. "Terkilirnya hanya sebentar saja," jelasku. "Oh! Pokoknya saya senang Nick tidak mengarang-ngarang mengenai peristiwa itu. Soalnya, dia memiliki kecenderungan berbohong yang hebat sekali. Luar biasa - itu merupakan bakatnya." Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Wanita itu pun agaknya senang melihatku salah tingkah. "Dia salah seorang sahabat saya yang paling lama," katanya, "padahal saya berpendapat bahwa kesetiaan adalah suatu hal yang membosankan. Pada dasarnya, hal itu dianut oleh orang-orang Skot - seperti penghematan dan merayakan hari Sabat. Tapi Nick memang benar-benar seorang pembohong. Betul, kan, Jim" Umpamanya saja ocehannya tentang kerusakan pada rem mobilnya, padahal kata Jim rem itu sama sekali tak apa-apa." Pria yang pirang itu berkata dengan suara dalam dan halus, "Saya tahu sedikitsedikit tentang mobil." Ia memalingkan kepalanya sedikit. Di luar, di antara mobil-mobil yang lain, terdapat sebuah mobil merah yang panjang. Mobil itu kelihatan lebih panjang dan lebih merah daripada mobil mana pun juga. Tutup mesinnya yang panjang terbuat dari logam yang berkilat karena digosok. Mobil itu benar-benar istimewa! "Apakah itu mobil Anda?" tanyaku tiba-tiba. Ia mengangguk. "Ya." Ingin sekali aku mengatakan, "Sudah saya duga!" Pada saat itu, Poirot menggabungkan diri kembali dengan kami. Aku lalu bangkit. Poirot segera mencengkeram lenganku. Ia mengangguk singkat pada rombongan itu, lalu cepat-cepat menyeretku pergi. "Sudah beres, sahabatku. Kita boleh mengunjungi Mademoiselle di End House, jam setengah tujuh nanti. Saat itu, dia sudah akan kembali dari pesiarnya naik mobil bersama teman-temannya itu. Ya, ya, dia pasti sudah akan kembali - dengan selamat." Wajahnya dan nada suaranya memberikan kesan khawatir. "Apa yang kaukatakan padanya?" "Kuminta dia memberikan izin padaku untuk mewawancarainya dalam waktu sesingkat mungkin. Dia memang agak enggan. Itu wajar. Pikirnya, 'Siapa orang kecil ini" Apa dia orang tak berpendidikan yang hanya suka berhura-hura, orang yang baru mendapatkan kekayaan, atau seorang sutradara film"' - ya, aku bisa membaca pikirannya. Kalau saja dia bisa menolak, dia akan menolak. Tapi itu sulit, karena dia diminta dengan begitu mendadak. Jadi sebaiknya dikabulkannya saja. Katanya dia akan kembali menjelang jam setengah tujuh. Ca y est!"* (*Begitulah!) Kukatakan bahwa kalau begitu, bereslah. Tapi pernyataanku itu mendapat tanggapan yang kurang baik. Poirot memang sedang gugup sekali. Sepanjang petang itu, ia berjalan hilir-mudik saja di ruang duduk kami, sambil bergumam sendiri, dan tak henti-hentinya mengatur dan memperbaiki letak barang-barang hiasan. Bila aku berbicara padanya, ia cuma mengibaskan tangan dan menggeleng. Akhirnya kami berangkat dari hotel, pada pukul enam. "Rasanya tak masuk akal, ada orang yang mencoba menembak seseorang di sebuah kebun hotel," kataku, saat kami menuruni tangga teras. "Hanya orang gila yang melakukan hal semacam itu." "Aku tak sependapat denganmu. Kalau tak ada halangan, perbuatan itu pasti sudah berhasil dengan baik. Pertama-tama, kebun hotel waktu itu sedang sepi. Orangorang datang ke hotel berbondong-bondong seperti domba. Biasanya orang-orang duduk-duduk di teras, melihat ke laut - eh bien,* (*bagus) maka semua orang pun lalu duduk di teras pula. Hanya aku, orang yang punya pendirian sendiri, yang menghadap ke kebun. Tapi aku tidak melihat apa-apa. Seperti kaulihat, ada banyak tempat untuk bersembunyi di kebun itu - pohon-pohon, rumpun-rumpun palem, dan perdu-perdu bunga. Siapa pun bisa bersembunyi dengan nyaman tanpa dilihat orang lain, sementara dia menunggu Mademoiselle lewat di sini. Dia pasti lewat di sini, sebab terlalu jauh kalau harus memutar melalui jalan raya, dari End House. Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mademoiselle Nick Buckley adalah tipe orang yang selalu terlambat, dan terpaksa harus mengambil jalan pintas!" "Bagaimanapun juga, risikonya tetap besar. Mungkin ada orang yang melihatnya, dan penembakan itu tak bisa dianggap seolah-olah suatu kecelakaan." "Bukan, bukan sebagai suatu kecelakaan." "Apa maksudmu?" "Tak apa-apa, hanya suatu gagasan kecil. Mungkin aku benar, mungkin pula tidak. Mari kita kesampingkan itu sejenak, soalnya masih ada masalah yang kukatakan tadi, yaitu suatu persyaratan utama." "Apa syarat itu?" "Kau pasti bisa mengatakannya, Hastings." "Aku tak mau merebut rasa senangmu, karena merasa lebih pandai daripada aku." "Aduh! Tajam sekali sindiranmu! Ironis sekali kau! Yah, pokoknya, motifnya tak jelas. Bila motifnya jelas, orang itu tentu tak mau mengambil risiko yang begitu besar! Orang bisa bertanya, 'Apa tak mungkin si Anu" Di mana si Anu berada waktu tembakan itu dilepas"' Tidak, si pembunuh - atau sebaiknya kukatakan si calon pembunuh - tidak jelas motifnya. Itulah sebabnya aku takut, Hastings! Ya, saat ini pun aku takut. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Aku berkata, 'Mereka itu berempat.' Kukatakan lagi, 'Takkan ada apa-apa, bila mereka selalu bersamasama.' Kukatakan juga, 'Itu gila-gilaan!' Padahal sementara itu, aku merasa takut. Aku ingin mendengar lebih banyak tentang 'kecelakaan-kecelakaan' itu!" Mendadak ia berbalik. "Sekarang masih terlalu awal. Mari kita lewat jalan lain, melalui jalan raya. Di kebun ini kita takkan mendapatkan apa-apa. Sebaiknya kita meneliti jalan biasa yang menuju End House." Kami keluar dari pintu pagar di depan hotel, menuju sebuah bukit yang cukup curam di sebelah kanan. Di puncak bukit itu ada sebuah jalan sempit. Pada tembok jalan terdapat sebuah pemberitahuan: Hanya menuju End House. Kami menelusuri jalan itu, dan setelah beberapa ratus meter, jalan sempit itu membelok mendadak, dan berakhir pada sebuah pintu pagar yang sudah bobrok dan sangat perlu dicat. Di dalam batas pagar, di sebelah kanan, ada sebuah pondok kecil. Terdapat perbedaan mencolok antara pondok itu, pintu pagar, dan keadaan jalan masuknya yang ditumbuhi rumput. Kebun di sekeliling pondok itu terawat dengan baik sekali. Bingkai-bingkai jendelanya baru dicat, dan pada jendela itu terdapat tirai-tirai yang bersih dan cerah. Ada seorang laki-laki yang sedang membungkuk di bedengan bunga. Ia mengenakan baju model Norfolk yang sudah usang. Mendengar pintu pagar berderak, ia berdiri tegak, lalu menoleh pada kami. Laki-laki itu berumur kira-kira enam puluh tahun, tinggi badannya kira-kira satu meter delapan puluh, tubuhnya besar, dan wajahnya kasar karena cuaca. Kepalanya hampir botak sama sekali. Matanya biru cerah dan berkilau. Kelihatannya ia orang yang ramah. "Selamat petang," katanya waktu kami lewat. Aku membalas dengan cara yang sama. Saat kami berjalan di sepanjang jalan masuk, kurasakan mata biru itu seakan-akan menembus punggung kami dengan rasa ingin tahu. "Aku ingin tahu," kata Poirot. Ia tak melanjutkan kata-katanya, dan tidak pula memberikan penjelasan apa-apa mengenai apa yang ingin diketahuinya itu. End House adalah sebuah rumah besar dan tampak agak suram. Rumah itu dikelilingi pohon-pohon yang dahan-dahannya boleh dikatakan menyentuh atap rumah. Tampak jelas bahwa rumah itu membutuhkan perbaikan. Poirot melayangkan pandangan menilai ke seputar rumah itu, setelah membunyikan bel. Belnya berupa lonceng kuno. Orang harus mengeluarkan banyak tenaga waktu menarik talinya. Tapi begitu lonceng itu berbunyi, bunyinya bergema terus-menerus dengan suara sedih. Pintu dibuka oleh seorang wanita setengah baya - seorang wanita terhormat berpakaian hitam, begitulah sebaiknya aku menggambarkannya. Wanita itu sopan sekali, agak menyedihkan, dan sama sekali tanpa minat. Miss Buckley belum kembali, katanya. Poirot menjelaskan bahwa kami ada janji. Ia mengalami kesulitan dalam meyakinkan hal itu. Wanita itu adalah orang yang cenderung curiga pada orang-orang asing. Aku merasa bangga, karena penampilankulah yang mengubah keadaan. Kami diizinkan masuk, dan dipersilakan menunggu di ruang tamu utama sampai Miss Buckley kembali. Dalam ruangan itu tak ada yang menyedihkan. Ruangan itu menghadap ke laut, dan bermandikan sinar matahari. Tapi ruangannya sendiri jelek, dan gaya perabotnya saling bertentangan - barang-barang ultramodern murahan, bercampur dengan barangbarang bergaya Victoria asli. Tirai-tirainya dari bahan brokat yang sudah usang, tapi sarung-sarung kursinya baru dan berwarna ceria, sedangkan bantal-bantal kursinya tak menentu. Pada dindingnya tergantung foto-foto keluarga. Menurutku, beberapa di antaranya bagus sekali. Ada sebuah gramofon dan beberapa piringan hitam tergeletak berserakan. Ada sebuah radio portabel. Di ruangan itu boleh dikatakan tak ada buku. Selembar surat kabar tergeletak di ujung sofa, dalam keadaan terbuka. Poirot mengambil surat kabar itu, lalu meletakkannya kembali dengan wajah mengernyit. Ternyata itu adalah mingguan St. Loo Weekly Herald and Directory. Agaknya ada sesuatu yang menarik minatnya, dan ia mengambilnya sekali lagi, lalu membaca sebuah kolom. Pada saat itu pintu terbuka, dan Miss Buckley masuk ke ruangan itu. "Ambilkan es, Ellen," katanya sambil menoleh, lalu ia menujukan perhatiannya pada kami. "Nah, saya sudah kembali. Saya berhasil memisahkan diri dari yang lain-lain. Saya dipenuhi rasa ingin tahu. Apakah saya ini pahlawan wanita yang telah lama hilang, yang sangat diperlukan untuk sebuah film" Anda kelihatannya serius sekali." (Kata-kata itu ditujukannya pada Poirot). "Saya jadi yakin bahwa tak mungkin ada sesuatu yang lain. Tolong tawarkan bayaran tinggi pada saya." "Sayang sekali, Mademoiselle...," Poirot mulai berbicara. "Jangan katakan sebaliknya," mohon gadis itu pada Poirot. "Jangan katakan, umpamanya, bahwa Anda seorang pelukis kecil-kecilan, dan Anda menginginkan saya membeli lukisan Anda sebuah. Tapi pasti itu tak benar - dengan kumis itu, apalagi Anda menginap di Hotel Majestic, yang makanannya sangat tak enak, tapi bayarannya paling tinggi di seluruh Inggris - tidak, perkiraan saya tadi pasti salah." Wanita yang tadi membukakan pintu kembali ke dalam ruangan, membawa es dan sebuah nampan berisi botol-botol. Nick mencampur koktail dengan cekatan, sambil bercakap-cakap terus. Akhirnya, sikap Poirot yang diam saja (yang sama sekali tak sesuai dengan sifatnya), menarik perhatian gadis itu. Ia berhenti mengisi gelas-gelas, lalu bertanya dengan tajam, "Ada apa?" "Sebenarnya menjadi pelukis itulah yang saya inginkan. Nah, Mademoiselle." Ia menerima koktail dari gadis itu, lalu berkata, "Untuk kesehatan Anda, Mademoiselle - untuk kesehatan Anda selalu." Gadis itu bukan orang bodoh. Nada bicara Poirot yang lain daripada biasanya, tak luput dari perhatiannya. "Apakah ada... sesuatu?" "Ada, Mademoiselle. Ini...." Diulurkannya tangannya ke arah gadis itu, tangan yang memegang peluru. Miss Buckley mengambil peluru itu sambil mengernyitkan mukanya karena heran. "Tahukah Anda apa itu?" "Tentu tahu. Ini peluru." "Tepat, Mademoiselle, jadi bukan seekor lebah yang terbang melewati wajah Anda tadi pagi, melainkan sebutir peluru." "Apakah maksud Anda... apakah seorang penjahat gila telah menembakkan peluru itu di kebun hotel?" "Kelihatannya begitu." "Wah, sialan," kata Nick, mengumpat dengan terus terang, "Agaknya hidup saya benar-benar dilindungi. Ini yang keempat." "Ya," kata Poirot. "Ini yang keempat. Nah, Mademoiselle, saya ingin mendengar tentang tiga 'kecelakaan' yang lain." Nick memandangi Poirot. "Saya ingin benar-benar yakin, Mademoiselle, bahwa semua itu memang benar-benar 'kecelakaan'." "Tentu saja semua itu kecelakaan. Apa lagi kalau bukan?" "Mademoiselle, bersiap-siaplah untuk menghadapi sesuatu yang mengejutkan. Bagaimana kalau ada orang yang benar-benar mencoba membunuh Anda?" Nick menanggapi pernyataan itu dengan tertawa terbahak. Agaknya gagasan itu sangat menyenangkan hatinya. "Luar biasa sekali gagasan itu! Tuan yang baik, siapa sih yang ingin mencoba membunuh saya" Saya bukan seorang gadis kaya yang cantik, yang akan mewariskan jutaan pound bila saya mati. Alangkah baiknya bila ada orang yang benar-benar mencoba membunuh saya. Itu pasti merupakan sesuatu yang mendebarkan bagi Anda. Tapi saya rasa tak ada harapan!" "Tolong ceritakan tentang kecelakaan-kecelakaan itu, Mademoiselle." "Baiklah, tapi kejadian-kejadian itu tak ada artinya. Itu hanya merupakan kejadian-kejadian konyol. Ada sebuah lukisan yang berat, yang tergantung di atas tempat tidur saya. Pada suatu malam, lukisan itu jatuh. Kebetulan saya mendengar suara pintu dibanting, entah di bagian mana dari rumah ini. Maka saya turun untuk mencari dan menutup pintu itu, dan dengan demikian selamatlah saya. Kalau tidak, mungkin lukisan itu telah menghancurkan kepala saya. Itu yang pertama." Poirot tidak tersenyum. "Lanjutkan, Mademoiselle. Mari kita terus ke nomor dua." "Oh, yang itu lebih tak berarti lagi. Ada sebuah jalan batu karang yang menurun ke arah laut. Saya turun melalui jalan itu untuk berenang di laut. Ada sebuah batu besar, dari mana kita bisa terjun ke laut. Entah bagaimana, sebuah batu besar terlepas, lalu terguling dan jatuh menggelegar, hampir saja mengenai diri saya. Yang ketiga lain lagi. Ada sesuatu yang tak beres dengan rem mobil saya entah apanya - orang bengkel itu menjelaskannya pada saya, tapi saya tak mengerti. Pokoknya, seandainya saya keluar dari pintu pagar dan menuruni bukit, mobil saya takkan bisa dihentikan. Saya rasa, saya akan nyelonong ke Balai Kota, dan pasti akan terjadi benturan hebat. Balai Kota akan mengalami kerusakan kecil, dan saya akan hancur sama sekali. Tapi gara-gara saya selalu ketinggalan sesuatu, saya kembali lagi, dan hanya menabrak pohon salam." "Dan Anda tak dapat mengatakan di mana kerusakannya?" "Itu bisa Anda tanyakan di Bengkel Mott. Mereka pasti tahu. Saya rasa ada yang rusak di bagian mesin yang dibuka sekrupnya. Saya ingin tahu apakah anak lakilaki Ellen - pelayan saya yang membukakan pintu bagi Anda, mempunyai seorang anak laki-laki yang masih kecil - yang mengotak-atiknya. Anak laki-laki memang suka main-main dengan mobil, bukan" Tapi Ellen tentu akan bersumpah bahwa anaknya tak pernah berada di dekat mobil itu. Saya rasa pasti ada sesuatu yang lepas, seperti dikatakan Mott." "Di mana bengkel itu, Mademoiselle?" "Di sisi lain rumah ini." "Apa mobil itu selalu terkunci?" Mata Nick terbelalak karena terkejut. "Oh, tidak! Tentu tidak." "Jadi, siapa pun bisa mengotak-atik mobil itu tanpa diketahui orang lain?" "Ya... yah, saya rasa begitulah. Tapi bodoh sekali." "Tidak, Mademoiselle. Itu tidak bodoh. Anda tak mengerti. Anda sedang terancam bahaya - bahaya besar. Saya katakan itu pada Anda. Saya yang mengatakan itu! Tak tahukah Anda siapa saya?" "Tidak!" kata Nick dengan terengah. "Saya Hercule Poirot." "Oh!" kata Nick dengan nada agak datar. "Oh, ya." "Anda tahu nama saya, bukan?" "Oh, tahu." Gadis itu bergerak dengan risi. Matanya memandang nanar. Poirot memperhatikannya dengan tajam. "Anda kelihatan tak tenang. Saya rasa, itu berarti Anda belum membaca buku-buku saya." "Yah - memang tidak - belum semuanya. Tapi saya tahu betul nama itu." "Mademoiselle, Anda seorang pembohong yang sopan." (Aku terkejut sekali, aku teringat akan kata-kata yang diucapkan di Hotel Majestic setelah makan siang hari itu). "Saya lupa, Anda masih kanak-kanak. Anda pasti tak pernah mendengar nama itu. Cepat sekali kemasyhuran berlalu. Sahabat saya itu... dia yang akan mengatakannya pada Anda." Nick menoleh padaku. Aku menelan ludah, jadi risi. "Monsieur Poirot adalah seorang detektif ulung... eh, mantan," kataku menjelaskan. "Ah, sahabatku," seru Poirot. "Hanya itukah yang bisa kauceritakan" Mais dis donc!* (*Ayolah!) Katakanlah pada Mademoiselle bahwa aku seorang detektif yang lain daripada yang lain, yang tak terkalahkan, terhebat, terbesar sepanjang masa." "Keterangan itu sekarang sudah tak perlu lagi," kataku dengan nada dingin. "Kau telah mengatakannya sendiri." "Ya, memang. Tapi sebenarnya lebih baik kalau kita rendah hati. Tak baik memujimuji diri sendiri." "Ada ungkapan yang berbunyi, kalau kita memiliki anjing, kita tak perlu menggonggong sendiri," kata Nick membenarkan. "Ngomong-ngomong, siapa anjingnya" Saya rasa Dr. Watson, ya?" "Nama saya Hastings," sahutku dingin. "Sebuah nama yang terkenal dalam pertempuran tahun... 1066," kata Nick. "Siapa bilang saya orang yang tak berpendidikan" Yah, semuanya ini sangat, sangat luar biasa! Apakah Anda pikir benar-benar ada seseorang yang ingin membunuh saya" Mendebarkan sekali. Tapi hal semacam itu sebenarnya tak pernah terjadi. Itu hanya ada dalam buku-buku. Saya rasa, Monsieur Poirot seperti seorang ahli bedah yang telah menemukan suatu cara membedah, atau seorang dokter yang telah menemukan semacam penyakit yang tak jelas, dan ingin agar semua orang menderita penyakit itu." "Sacre tonnerre!"* (*Astaga!) bentak Poirot dengan suara nyaring. "Cobalah serius sedikit. Kalian anak-anak muda zaman sekarang... tak adakah yang bisa membuat kalian serius" Kalau Anda sudah tergeletak di kebun hotel sebagai mayat kecil yang cantik, dengan lubang bekas peluru di kepala, dan bukan sekadar di topi, barulah itu bukan lelucon lagi, ya, Mademoiselle" Barulah Anda tidak akan tertawa lagi, ya?" "Tawa yang mengerikan, yang terdengar pada acara pemanggilan roh orang-orang yang sudah meninggal," kata Nick. "Tapi sekarang saya serius, M. Poirot. Anda telah sangat berbaik hati. Namun saya tetap yakin bahwa itu suatu kecelakaan." "Anda keras kepala seperti setan." "Justru karena itulah saya dinamakan Nick. Kata orang, kakek saya telah menjual jiwanya pada setan. Semua orang di sekitar tempat ini menyebutnya Pak Tua Nick. Dia orang tua yang jahat, tapi sangat menyenangkan. Saya sayang sekali padanya. Saya selalu ikut ke mana pun dia pergi, jadi orang lalu menyebut kami berdua, Nick tua dan Nick muda. Nama saya yang sebenarnya adalah Magdala." "Suatu nama yang tak umum." "Ya, itu merupakan nama khas dalam keluarga kami. Banyak yang bernama Magdala dalam keluarga Buckley. Ada seorang di antaranya di situ." Ia menganggukkan kepalanya ke arah foto di dinding. "Oh!" kata Poirot. Lalu sambil melihat foto yang tergantung di atas penutup perapian, ia berkata, "Apakah itu kakek Anda, Mademoiselle?" "Ya. Foto yang menarik sekali, bukan" Jim Lazarus ingin membelinya, tapi saya tak mau menjualnya. Saya punya rasa cinta tersendiri pada Old Nick." "Oh!" Poirot diam beberapa saat, lalu ia berkata dengan serius sekali, "Kembali pada pokok pembicaraan kita. Dengarkan, Mademoiselle, saya mohon supaya Anda serius. Anda berada dalam bahaya. Tadi pagi seseorang telah menembak Anda dengan sebuah pistol Mauser...." "Pistol Mauser?" Gadis itu terkejut sekali. "Ya, mengapa" Apakah Anda tahu seseorang yang memiliki pistol Mauser?" Nick tersenyum. "Saya sendiri juga memilikinya." "Benarkah itu?" "Ya, itu dulu milik ayah saya. Ayah membawanya waktu kembali dari perang. Sejak itu, benda itu tergeletak sembarangan saja di sekitar tempat ini. Kemarin saya baru melihatnya di dalam laci itu." Ia menunjuk ke sebuah meja tulis tua. Lalu, seolah-olah mendapatkan suatu gagasan, ia menyeberang ke meja itu, dan membuka lacinya. Ia berbalik dengan wajah pucat. Suaranya mengandung nada lain. "Aduh!" katanya. "Pistol... pistol itu tak ada lagi." 3 KECELAKAAN-KECELAKAAN" MULAI saat itu, nada percakapan jadi berbeda. Sebelumnya, Poirot dan gadis itu selalu berselisih pendapat. Di antara mereka ada suatu jurang pemisah, yakni umur. Kemasyhuran dan nama baik Poirot tak ada artinya bagi gadis itu. Ia berasal dari generasi yang hanya mengenal nama-nama besar dalam zaman ini. Oleh Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo karenanya, ia tidak terkesan oleh peringatan-peringatan Poirot. Baginya, Poirot hanyalah seorang tua yang agak lucu, yang pikirannya menggelikan dan dramatis. Sikap itu mengejutkan Poirot. Terutama harga dirinyalah yang terpukul. Ia selalu berkata bahwa seluruh dunia mengenal Hercule Poirot. Ternyata ada seorang yang tidak mengenalnya. Mau tak mau, aku merasa bahwa itu baik juga baginya, tapi hal itu tidak terlalu membantu dalam menghadapi persoalan kami! Tapi dengan diketahuinya bahwa pistol itu hilang, persoalannya jadi berubah. Nick tidak lagi menganggap hal itu suatu lelucon yang agak menggelikan. Ia memang tetap menganggapnya enteng, karena sudah merupakan kebiasaan dan keyakinannya untuk menghadapi semua peristiwa dengan enteng, tapi kini sikapnya jadi berubah sekali. Nick kembali ke tempatnya semula, lalu duduk di lengan sebuah kursi, sambil merenung dengan mengernyitkan muka. "Aneh sekali," katanya. Poirot berputar, menghadap padaku. "Kau ingat, Hastings, gagasan kecil yang kusebut tadi" Nah, ternyata gagasan kecilku itu benar! Seandainya Mademoiselle ditemukan telah tewas tertembak di kebun hotel" Mungkin selama beberapa jam dia belum ditemukan, karena sedikitnya orang yang melewati jalan itu. Di sampingnya tergeletak pistolnya sendiri, yang terjatuh dari tangannya sendiri pula. Si Ellen yang baik itu pasti bisa mengenalinya. Orang pasti menduga bahwa itu adalah perbuatan bunuh diri yang disebabkan oleh rasa khawatir atau karena tak bisa tidur...." Nick bergeser dengan risi. "Itu benar. Saya memang khawatir setengah mati. Semua orang berkata bahwa saya gugup. Ya, mereka semua berkata begitu." "Dan mereka akan mengatakan bahwa kejadian tadi adalah perbuatan bunuh diri. Sidik jari Mademoiselle jelas kelihatan pada pistol itu, dan tidak terdapat sidik jari orang lain. Ya, keputusan itulah yang paling mudah dan sangat meyakinkan." "Lucu sekali!" kata Nick. Aku senang, karena dari nada suaranya aku tahu bahwa ia sebenarnya tidak merasa bahwa itu lucu. Poirot menanggapi kata-kata gadis itu sebagaimana yang diucapkannya. "Apa kata Anda" Tapi Anda tentu mengerti, Mademoiselle, bahwa hal itu tak boleh terulang lagi. Empat kali gagal... ya, tapi kelima kalinya mungkin berhasil." "Maka Anda tinggal mengeluarkan kereta jenazah. Saya minta yang beroda karet," gumam Nick. "Tapi kami - saya dan sahabat saya ini - ada di sini untuk mencegah hal itu!" Aku merasa bersyukur mendengar ia menggunakan kata "kami". Poirot punya kebiasaan melupakan kehadiranku, kadang-kadang. "Ya," kataku menimpali. "Jangan khawatir, Miss Buckley. Kami akan melindungi Anda." "Anda berdua baik sekali," kata Nick. "Saya merasa semuanya luar biasa. Terlalu, terlalu mendebarkan." Gadis itu masih tetap bersikap menjaga jarak dan tenang-tenang saja, tapi kurasa matanya kelihatan takut. "Yang pertama-tama harus kita lakukan adalah bertukar pikiran," kata Poirot. Poirot duduk, lalu memandangi Nick dengan air muka berseri-seri. "Saya mulai dengan pertanyaan yang umum. Apakah Anda punya musuh?" Nick menggeleng. "Tak ada," katanya. "Bon. Kalau begitu, kita harus menghapuskan kemungkinan itu. Sekarang kami akan mengajukan pertanyaan yang biasa ditanyakan orang dalam film-film atau dalam buku-buku novel detektif. Siapa yang akan mendapatkan warisan bila Anda meninggal, Mademoiselle?" "Saya tak tahu," sahut Nick. "Sebab saya rasa semua itu omong kosong saja. Memang saya memiliki rumah tua besar yang buruk ini, tapi rumah ini dijadikan jaminan pinjaman, atapnya pun bocor. Lagi pula, tak mungkin ada tambang batu bara atau sesuatu yang hebat tersembunyi di batu karang itu." "Dijadikan jaminan pinjaman?" "Ya. Saya terpaksa menggadaikannya. Soalnya saya harus membayar dua kali pajak kematian yang saling bersusulan dalam jarak waktu dekat. Mula-mula kakek saya meninggal, enam tahun yang lalu, kemudian kakak saya menyusul. Hal itu mempersulit keadaan keuangan saya." "Bagaimana dengan ayah Anda?" "Dia pulang dari perang dalam keadaan cacat. Lalu dia terserang penyakit radang paru-paru, dan meninggal pada tahun 1919. Ibu saya meninggal waktu saya masih bayi. Saya tinggal di sini bersama kakek saya. Kakek dan Ayah tak bisa cocok saya tak heran - jadi Ayah merasa lebih baik meninggalkan saya, dan pergi mengembara di dunia, membawa hidupnya sendiri. Gerald, kakak saya, juga tak cocok dengan Kakek. Saya pun pasti takkan cocok dengan Kakek, seandainya saya seorang anak laki-laki. Saya selamat karena saya anak perempuan. Kakek sering mengatakan saya mirip dia dan telah mewarisi semangatnya." Ia tertawa. "Saya rasa dia sangat jahat. Tapi nasibnya baik sekali. Orang-orang di sekitar sini berkata bahwa apa saja yang disentuhnya berubah menjadi emas. Tapi dia seorang penjudi, dan apa yang didapatkannya habis diperjudikan lagi. Waktu meninggal, dia hampir tidak meninggalkan apa-apa, kecuali rumah dan tanah ini. Saya berumur enam belas tahun waktu dia meninggal, dan Gerald dua puluh satu tahun. Gerald tewas dalam suatu kecelakaan motor, tiga tahun yang lalu, dan tempat ini lalu menjadi milik saya." "Dan setelah Anda, Mademoiselle" Siapakah sanak Anda yang terdekat?" "Saudara sepupu saya, Charles. Charles Vyse, Dia seorang pengacara di sini. Seorang pengacara yang cukup baik dan cukup pandai. Dia biasa memberi saya nasihat yang baik, dan mencoba menahan selera saya yang boros." "Pasti dialah yang menangani semua urusan Anda, bukan?" "Yah, boleh dikatakan begitu. Tak banyak urusan saya yang harus ditangani. Dialah yang mengurus penggadaian rumah ini untuk saya, dan dia menyuruh saya menyewakan pondok itu." "Oh! Pondok itu. Saya baru saja akan menanyakan hal itu. Pondok itu disewakan, ya?" "Ya, pada sepasang suami-istri dari Australia. Nama mereka Croft. Mereka ramah sekali, sampai-sampai suka memaksakan kebaikan hati mereka. Selalu ada saja yang diantarnya kemari, entah daun seledri atau hasil panen kacang buncis yang pertama, dan sebagainya. Mereka terkejut sekali melihat saya membiarkan kebun saya telantar. Mereka bahkan agak cerewet - lebih-lebih suaminya. Dia terlalu ramah. Istrinya lumpuh, kasihan dia. Dia terbaring saja di sofa sepanjang hari. Tapi pokoknya membayar sewa, itulah yang penting." "Sudah berapa lama mereka di sini?" "Kira-kira enam bulan." "Ya. Lalu, kecuali saudara sepupu Anda itu - ngomong-ngomong, apakah dia dari pihak ayah atau ibu Anda?" "Dari pihak ibu. Ibu saya bernama Amy Vyse." "Bien!* (*Baiklah!) Nah, kecuali sepupu Anda itu, apakah ada lagi sanak saudara Anda yang lain?" "Ada beberapa orang sepupu jauh sekali di Yorkshire - keluarga Buckley." "Tak ada lagi yang lain?" "Tak ada lagi." "Sepi sekali hidup Anda." Nick menatap Poirot. "Sepi" Lucu sekali ucapan Anda. Saya jarang berada di sini. Biasanya saya di London. Sanak saudara biasanya hanya merusak suasana saja. Mereka suka ribut dan mencampuri urusan kita. Jauh lebih menyenangkan kalau kita seorang diri saja." "Saya tak sependapat dengan Anda. Anda rupanya seorang yang modem, Mademoiselle. Nah, sekarang rumah tangga Anda." "Wah, hebat sekali kedengarannya! Hanya Ellen yang mengurus rumah ini, sedangkan suaminya bekerja sebagai... semacam tukang kebun, meskipun dia bukan pekerja yang baik. Saya membayar mereka sedikit sekali, karena saya memperbolehkan mereka membawa anak mereka kemari. Ellen bekerja untuk saya kalau saya berada di sini, dan kalau saya ada pesta, kami mencari orang lain untuk membantu. Hari Senin yang akan datang, saya akan mengadakan pesta. Soalnya itu merupakan hari pertama Pekan Regatta." "Hari Senin, dan sekarang hari Sabtu. Ya. Ya. Dan sekarang, Mademoiselle, bagaimana dengan sahabat-sahabat Anda" Teman-teman Anda makan siang tadi itu, umpamanya?" "Yah, Freddie Rice - wanita muda yang pirang itu - boleh dikatakan sahabat saya yang terbaik. Pengalaman hidupnya buruk sekali. Dia menikah dengan seorang pria yang sangat jahat, peminum dan pencandu obat bius, dan tak dapat dilukiskan betapa anehnya dia. Setahun atau dua tahun yang lalu, Freddie terpaksa meninggalkan suaminya. Sejak itu, dia bepergian saja ke sana kemari. Saya benarbenar berdoa semoga dia bisa bercerai dan menikah dengan Jim Lazarus." "Lazarus" Saudagar seni di Bond Street itu?" "Benar. Jim adalah putra tunggalnya. Uangnya tentu banyak sekali. Anda melihat mobilnya" Dia sayang sekali pada Freddie. Mereka selalu bepergian ke mana-mana bersama-sama. Selama akhir pekan ini, mereka menginap di Hotel Majestic, dan pada hari Senin mereka akan mengunjungi saya di sini." "Bagaimana dengan suami Mrs. Rice?" "Si brengsek itu" Oh, dia sudah menghilang. Tak seorang pun tahu di mana dia. Hal itu jadi sangat menyusahkan Freddie. Dia tentu tak bisa menuntut perceraian dari laki-laki yang tak diketahui di mana rimbanya." "Tentu tidak!" "Kasihan Freddie," kata Nick sambil merenung. "Buruk benar nasibnya. Pada suatu kali, pernah segala-galanya sudah diatur. Freddie berhasil menemukannya, dan mengajukan rencana perceraian itu padanya, dan dia berkata bahwa dia mau saja. Tapi laki-laki itu sama sekali tak punya uang untuk mengajak seorang wanita menginap di hotel. Lalu Freddie-lah yang memberikan uang untuk itu. Uang itu diambilnya, dan dia pun pergi, dan tak pernah terdengar lagi beritanya sejak hari itu. Curang sekali dia!" "Ya Tuhan!" pekikku. "Sahabat saya Hastings terkejut," kata Poirot. "Anda harus lebih berhati-hati, Mademoiselle. Soalnya dia masih kolot. Dia baru saja kembali dari negara yang tanahnya luas, terbuka, dan sebagainya itu, dan dia masih harus mempelajari bahasa zaman sekarang." "Wah, tak perlu terkejut begitu," kata Nick dengan mata terbelalak. "Maksud saya, bukankah semua orang tahu bahwa memang ada orang-orang seperti itu. Tapi saya tetap menamakannya tipu muslihat yang rendah. Kasihan Freddie, dia begitu terpukul saat itu, dan dia tak tahu ke mana harus meminta tolong." "Ya, ya, itu urusan memang yang sangat menyedihkan. Lalu sahabat Anda yang seorang lagi, Mademoiselle. Komandan Challenger yang baik itu?" "George" Rasanya sudah lama sekali saya mengenal George. Yah, paling tidak, selama lima tahun terakhir ini. Dia seorang teman yang baik." "Dia menginginkan Anda menjadi istrinya, bukan?" "Ya, sekali-sekali dia memang menyebutkan hal itu. Pada waktu matahari mulai terbit, atau setelah minum anggur lebih dari dua gelas." "Tapi Anda tetap menolaknya?" "Apa gunanya saya menikah dengan George" Kami sama-sama tak punya uang. Dan kita bisa merasa bosan sekali dengan George. Sikapnya yang suka memihak dan kaku sangat membosankan. Lagi pula umurnya sudah empat puluh tahun." Pernyataan itu membuatku agak merinding. "Sebelah kakinya bahkan sudah berada di kubur," kata Poirot. "Oh, maaf, jangan tersinggung oleh kata-kata saya, Mademoiselle. Saya sendiri sudah kakek-kakek orang yang tak berarti. Sekarang, coba ceritakan lagi tentang kecelakaankecelakaan itu. Tentang lukisan itu, umpamanya." "Lukisan itu sudah dipasang lagi sekarang, dengan tali yang baru. Mari, Anda boleh melihatnya kalau mau." Ia berjalan keluar dari ruangan itu, mendahului kami, dan kami menyusulnya. Lukisan yang dimaksud adalah sebuah lukisan cat minyak yang berbingkai berat. Lukisan itu tergantung tepat di bagian kepala tempat tidur. Poirot bergumam, "Maafkan saya, Mademoiselle," lalu membuka sepatunya, dan naik ke tempat tidur. Diperiksanya lukisan itu, juga talinya. Lalu dengan hati-hati ditimbang-timbangnya berat lukisan itu. Ia turun dari tempat tidur dengan menyeringai terang-terangan. "Kalau lukisan itu menimpa kepala kita, huh, akan buruk sekali akibatnya. Tali penggantungnya yang pertama, Mademoiselle, apakah tali berkawat seperti ini juga?" "Ya, tapi tidak setebal yang ini. Sekarang saya ganti dengan yang lebih tebal." "Itu bisa dimengerti. Apakah Anda memeriksa bagian tali yang putus itu" Apakah ujungnya berserabut?" "Saya rasa begitu, tapi saya tidak terlalu memperhatikan. Untuk apa?" "Tepat. Seperti Anda katakan, untuk apa" Meskipun demikian, saya ingin sekali melihat tali kawat bekas itu. Apakah masih ada di dalam rumah ini?" "Waktu itu masih melekat pada lukisan itu. Tapi saya rasa orang yang memasang tali kawat yang baru ini telah membuang yang lama itu." "Sayang sekali. Sebenarnya saya ingin sekali melihatnya." "Apakah menurut Anda, itu bukan hanya suatu kecelakaan" Saya rasa tak ada kemungkinan lain." "Mungkin itu hanya suatu kecelakaan. Tak mungkin kita mengatakannya dengan pasti. Tapi kerusakan pada rem mobil Anda, itu bukan suatu kecelakaan. Dan batu yang menggelinding dari karang di atas... saya ingin melihat tempat kecelakaan itu terjadi." Nick mengantar kami keluar, ke kebun dan terus ke tepi batu karang. Laut biru berkilau di bawah kami. Ada sebuah jalan setapak yang kasar berbatu, menuju permukaan batu besar. Nick melukiskan dengan tepat, di mana kecelakaan itu terjadi, dan Poirot mengangguk sambil merenung. Lalu ia bertanya, "Ada berapa jalan masuk menuju kebun Anda, Mademoiselle?" "Ada jalan depan yang melewati pondok. Ada pula jalan masuk untuk para penjaja, yaitu sebuah pintu pada tembok di tengah-tengah jalan kecil itu. Lalu ada pula sebuah pintu pagar di tepi karang ini. Dari pintu pagar itu, kita bisa keluar ke sebuah jalan setapak yang berkelok-kelok, yang mendaki dari pantai ke arah Hotel Majestic. Dan kita bisa pula masuk melalui sebuah celah di pagar, langsung ke kebun Hotel Majestic. Jalan itulah yang saya lalui tadi pagi. Jalan melalui kebun Hotel Majestic itu merupakan jalan pintas ke kota." "Dan tukang kebun Anda itu - di mana dia biasanya bekerja?" "Ah, dia biasanya hanya mengorek-ngorek tanah saja di sekitar kebun dapur, atau dia duduk-duduk saja di gudang pembibitan, pura-pura mengasah gunting kebun." "Dan gudang itu berada di sisi lain rumah?" "Ya." "Jadi, bila ada seseorang datang kemari dan melepaskan batu besar itu, besar kemungkinan dia tidak akan terlihat?" Tiba-tiba Nick tampak menggigil. "Apakah... apakah Anda benar-benar menduga begitu kejadiannya?" tanyanya. "Bagaimanapun juga, saya sulit percaya. Kelihatannya tak ada gunanya." Poirot mengeluarkan lagi peluru dari sakunya, dan memperhatikannya. "Itu bukan tak ada gunanya, Mademoiselle," katanya dengan lembut. "Mungkin itu perbuatan orang gila." "Mungkin. Itu akan menjadi topik yang menarik dalam percakapan seusai makan malam. Apakah semua orang gila itu penjahat" Mungkin terjadi salah pembentukan pada sel-sel kelabunya - ya, itu mungkin sekali. Tapi itu urusan dokter. Saya sendiri punya tugas lain yang harus saya selesaikan. Saya harus memikirkan yang tak bersalah, bukan yang bersalah - si korban, bukan penjahatnya. Andalah yang saya pikirkan, Mademoiselle, bukan penyerang Anda yang tak dikenal itu. Anda masih muda, Anda cantik, matahari bersinar, dan dunia ini menyenangkan. Di hadapan Anda masih terbentang kehidupan dan cinta. Semua itulah yang saya pikirkan, Mademoiselle. Semua sahabat Anda itu - Mrs. Rice, Mr. Lazarus - sudah berapa lama mereka berada di sini?" "Freddie datang ke daerah ini pada hari Rabu, Dia datang bersama beberapa orang, mampir di dekat Tavistock, dan menginap di sana beberapa malam. Kemarin dia datang kemari. Kalau tak salah, Jim baru saja datang dari perjalanan tur keliling." "Lalu Komandan Challenger?" "Dia sedang berada di Devonport. Dia datang dengan mobilnya kapan saja ada kesempatan - biasanya pada akhir pekan." Poirot mengangguk. Kami sedang berjalan kembali ke rumah. Keadaan hening. Lalu tiba-tiba Poirot berkata, "Adakah seorang sahabat yang bisa Anda percayai, Mademoiselle?" "Freddie, umpamanya." "Selain Mrs. Rice?" "Entahlah, saya tak tahu. Saya rasa ada. Mengapa?" "Oh!" Nick kelihatan agak heran. Ia diam beberapa saat, berpikir. Lalu ia berkata sambil merenung, "Ada Maggie. Saya rasa saya bisa menghubunginya." "Siapa Maggie?" Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Salah seorang sepupu saya di Yorkshire. Mereka keluarga besar. Ayahnya seorang pendeta. Maggie kira-kira seumur dengan saya, dan biasanya saya memintanya datang untuk tinggal di sini selama musim panas. Tapi dia takkan bisa menghibur soalnya dia seorang gadis yang sangat alim. Potongan rambutnya tetap sama, tapi sekarang kebetulan sedang menjadi mode. Saya berharap tak perlu mengundangnya tahun ini." "Jangan. Sepupu Anda itulah yang paling tepat untuk diundang, Mademoiselle. Tipe seperti itulah yang saya bayangkan." "Baiklah," kata Nick sambil mendesah. "Akan saya kirim telegram padanya. Saat ini saya benar-benar tak tahu, siapa lagi yang harus saya minta untuk datang. Semuanya sudah punya rencana. Tapi kalau Paduan Suara Anak-anak Laki-laki yang dipimpinnya tak ada rencana untuk bepergian, atau tak ada rencana pesta Ibu-ibu Gereja, Maggie pasti bisa datang." "Bisakah Anda mengatur supaya dia tidur sekamar dengan Anda?" "Saya rasa bisa." "Apakah dia tidak akan menganggap aneh permintaan itu?" "Oh, tidak. Maggie tak pernah berpikir. Dia hanya bekerja dengan bersungguhsungguh. Kegiatan-kegiatan Kristiani semua dikerjakannya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan. Baiklah, akan saya kirim telegram padanya supaya dia datang hari Senin." "Mengapa tidak besok saja?" "Naik kereta api pada hari Minggu" Dia akan menyangka saya sudah sekarat kalau saya minta itu. Tidak, akan saya katakan hari Senin. Apakah akan Anda ceritakan padanya tentang nasib buruk yang sedang saya alami?" "Nah, kan. Masih saja Anda berolok-olok tentang hal itu" Tapi saya senang, karena Anda pemberani." "Pokoknya itu suatu usaha untuk mengurangi ketegangan," kata Nick. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang tertangkap olehku, dan aku memandang padanya dengan rasa ingin tahu. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang tak dikatakannya. Kami telah masuk kembali ke ruang tamu utama. Poirot mengambil surat kabar yang tergeletak di sofa. "Apakah ini bacaan Anda, Mademoiselle?" tanyanya tiba-tiba. "St. Loo Herald" Tidak selalu. Saya membacanya hanya untuk melihat berita tentang pasang-surut. Surat kabar itu memuat hal tersebut setiap minggu." "Oh. Ngomong-ngomong, pernahkah Anda membuat surat wasiat, Mademoiselle?" "Pernah. Kira-kira enam bulan yang lalu. Tak lama sebelum saya menjalani pembedahan." "Apa kata Anda" Anda dibedah?" "Ya, dibedah. Usus buntu saya. Ada orang yang mengatakan sebaiknya saya membuat surat wasiat. Jadi saya buat saja. Saya jadi merasa seperti orang penting." "Bagaimana bunyi surat wasiat itu?" "End House ini saya wariskan pada Charles. Kecuali itu, tak banyak lagi yang bisa saya wariskan, dan semuanya yang ada, saya wariskan pada Freddie. Saya rasa, mungkin apa yang disebut orang barang-barang yang tak bergerak, melebihi asetnya." Poirot mengangguk dengan linglung. "Saya harus pamit sekarang. Au revoir,* Mademoiselle. Berhati-hatilah." (*sampai bertemu lagi) "Terhadap apa?" tanya Nick. "Anda memang cerdas. Ya, itulah titik kelemahan urusan ini. Terhadap apa Anda harus berhati-hati" Siapa yang bisa mengatakannya" Tapi yakinlah, Mademoiselle. Dalam beberapa hari lagi, saya sudah akan menemukan kebenarannya." "Sementara itu, berhati-hatilah terhadap racun, bom, tembakan revolver, kecelakaan motor, dan anak panah yang telah dicelupkan ke dalam racun, yang biasa dipakai oleh orang-orang Indian di Amerika Selatan," kata Nick, mengakhiri arus kata-katanya yang lancar. "Jangan melecehkan diri Anda sendiri, Mademoiselle," kata Poirot dengan bersungguh-sungguh. Setiba di pintu, Poirot berhenti sebentar. "Ngomong-ngomong," katanya, "berapa harga yang ditawarkan M. Lazarus untuk foto kakek Anda itu?" "Lima puluh pound." "Oh!" kata Poirot. Ia menoleh lagi ke arah wajah gelap yang merasa puas diri, di atas alas perapian itu. "Tapi, seperti saya katakan tadi, saya tak mau menjual lukisan sahabat tua saya itu." "Tidak," kata Poirot dengan merenung. "Tidak, saya mengerti perasaan Anda!" 4 PASTI ADA SESUATU "POIROT," kataku, segera setelah kami berada di luar dan sedang menuju jalan lagi, "kurasa ada satu hal yang harus kauketahui." "Apa itu, mon ami?" Kuceritakan padanya apa yang telah diceritakan Mrs. Rice padaku mengenai kerusakan pada mobilnya. "Ya! Memang menarik! Memang ada orang yang begitu. Suka menonjolkan diri, histeris, dan suka menarik perhatian orang dengan bercerita bahwa sudah beberapa kali dia lolos dari kematian. Orang seperti itu akan menceritakan pada kita kisah-kisah aneh yang sebenarnya tak pernah terjadi! Ya, yang begitu memang ada. Orang-orang seperti itu bahkan tak enggan menyakiti dirinya sendiri, untuk menguatkan fiksi yang telah dikarangnya." "Kau kan tidak berpikir bahwa..." "Bahwa Mademoiselle Nick tergolong dalam tipe itu" Tentu tidak. Kau kan lihat sendiri, Hastings, bahwa kita mengalami kesulitan besar dalam meyakinkan dia tentang bahaya yang mengancam dirinya. Sampai saat terakhir pun dia tetap menganggap hal itu sebagai suatu lelucon. Dia bersikap setengah mengejek dan tak percaya. Gadis itu benar-benar khas dari generasi zaman ini. Meskipun demikian, apa yang diceritakan Madame Rice tetap menarik. Mengapa dia harus berkata begitu" Kalaupun hal itu benar, mengapa dia menceritakannya" Itu tak perlu, bahkan boleh dikatakan tak pantas." "Ya," kataku. "Itu benar. Soal itu dimasukkannya ke dalam percakapan kami, padahal aku sama sekali tak tahu apa alasannya." "Itu aneh. Ya, aneh sekali. Kenyataan-kenyataan kecil yang aneh itu... aku suka melihatnya bermunculan. Hal-hal itu jelas, dan menunjukkan jalan bagi kita." "Jalan ke mana?" "Kau menyinggung soal yang lemah, Hastings yang hebat. Ke mana" Ya, ke mana" Sayang, kita tidak akan tahu, sampai kita tiba di sana." "Katakan, Poirot," kataku. "Mengapa kau berkeras menyuruhnya meminta sepupunya datang dan menginap di sini?" Poirot berhenti, lalu mengacung-acungkan jari telunjuknya kuat-kuat padaku. "Berpikirlah," pekiknya. "Berpikirlah sebentar saja, Hastings. Apa yang menghalang-halangi kita! Apa yang mengikat tangan kita! Melacak seorang pembunuh setelah kejahatan itu terjadi - ah, itu sederhana sekali! Atau paling tidak, itu sederhana bila diukur dengan kemampuanku. Boleh dikatakan si pembunuh telah menandatangani namanya dengan melakukan kejahatan itu. Tapi dalam urusan ini tak ada kejahatan, dan kita memang tak ingin kejahatan itu terjadi. Melacak suatu kejahatan sebelum itu terjadi - itu tentu sulit sekali. "Apa tujuan utama kita" Menyelamatkan Mademoiselle. Itu tak mudah. Tidak, itu tak mudah, Hastings. Kita tak bisa mengawasinya siang dan malam. Kita bahkan tak bisa mengirim seorang polisi yang tegap untuk mengawasinya. Tak mungkin kita berada di dalam kamar tidur seorang gadis sepanjang malam. Urusan ini penuh dengan kesulitan. "Tapi kita bisa melakukan satu hal. Kita bisa mempersulit gerak penyerang kita. Kita bisa menyuruh Mademoiselle waspada, dan kita bisa menyiapkan seorang saksi yang tidak memihak. Orang itu harus pandai sekali mengatasi kedua keadaan itu." Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi dengan nada yang lain sekali, "Tapi yang kutakutkan, Hastings..." "Apa?" "Yang kutakutkan adalah bahwa orang itu cerdik sekali. Aku sangat cemas. Ya, pikiranku sama sekali tak tenang." "Poirot, kau membuatku gugup," kataku. "Aku juga gugup. Dengarkan, sahabatku, surat kabar St. Loo Weekly Herald itu. Surat kabar itu sudah dibuka dan dilipat kembali pada suatu halaman. Bisa kau menebaknya" Pada halaman di mana terdapat suatu kolom yang berbunyi, 'Di antara tamu-tamu yang menginap di Hotel Majestic adalah M. Hercule Poirot dan Kapten Hastings.' Seandainya... seandainya saja seseorang telah membaca berita itu, lalu dia tahu namaku - semua orang tahu namaku...." "Miss Buckley tak tahu," kataku dengan tertawa kecil. "Dia tak masuk hitungan, pikirannya sedang kacau. Tapi kalau dia orang yang serius - seorang penjahat - dan dia tahu namaku, lalu dia merasa takut! Dia penasaran! Dia akan bertanya-tanya sendiri. Sudah tiga kali dia mencoba menghabisi nyawa Mademoiselle. Kini Hercule Poirot tiba di sini. Dia akan bertanya sendiri, 'Apakah itu suatu kebetulan"' Dia akan khawatir kalau-kalau itu bukan suatu kebetulan. Lalu apa yang akan dilakukannya?" "Menyembunyikan dirinya dan menjaga jejaknya," kataku. "Ya... ya... atau kalau dia memiliki keberanian, dia akan menyerang secepatnya, tanpa membuang waktu. Sebelum aku sempat menanyai orang-orang... dor, Mademoiselle sudah tewas. Itulah yang akan dilakukannya - dilakukan oleh seseorang yang punya keberanian." "Tapi mengapa kau menduga bahwa yang membaca berita itu orang lain, bukan Miss Buckley?" "Bukan Miss Buckley yang membaca berita itu. Namaku tak berarti apa-apa baginya. Dia bahkan tak mengenal namaku. Wajahnya tidak berubah. Apalagi tadi ia mengatakan pada kita bahwa dia membuka surat kabar itu hanya untuk melihat waktu pasang-surut, bukan membaca yang lain-lain. Nah, pada halaman itu tak ada laporan pasang-surut." "Apakah menurutmu, seseorang di dalam rumah itu..." "Seseorang di dalam rumah itu, atau siapa saja yang bebas keluar-masuk ke situ. Dan yang terakhir itu mudah sekali, soalnya jendela-jendelanya terbuka. Temanteman Miss Buckley itu pasti keluar-masuk saja." "Apakah ada sesuatu dalam pikiranmu" Ada yang kaucurigai?" Poirot mengangkat kedua tangannya. "Tak ada apa-apa. Sebagaimana telah kukatakan sebelumnya, apa pun motifnya, itu tak jelas. Itulah yang merupakan kekuatan si calon pembunuh itu. Itulah sebabnya dia bisa berbuat begitu nekat tadi pagi. Dari luar kelihatannya tak seorang pun punya alasan menginginkan kematian si kecil Nick. Kekayaannya" End House" Itu diwariskan pada sepupunya, tapi apakah pria itu benar-benar menginginkan rumah tua bobrok yang sudah digadaikan dengan harga tinggi itu" Rumah itu bukan pula rumah pusaka keluarga. Ingat, dia bukan seorang Buckley. Kita tentu harus menemui M. Charles Vyse itu, tapi pikiran bahwa dia pelakunya, rasanya tak masuk akal. "Lalu ada pula Madame - sahabat karibnya itu - yang bermata aneh dan air mukanya seperti Perawan Maria yang hilang...." "Kau juga menilainya begitu?" tanyaku terkejut. "Apa hubungannya dengan urusan ini" Dia berkata padamu bahwa sahabatnya seorang pembohong. Manis sekali sikapnya terhadap sahabatnya! Mengapa itu diceritakannya padamu" Apa dia takut kalau-kalau Nick akan mengatakan sesuatu" Apa ada hubungannya dengan mobil itu" Atau apakah keterangan itu dipakainya untuk mengalihkan perhatian kita saja, bahwa yang sebenarnya dikhawatirkannya adalah sesuatu yang lain" Apakah ada seseorang yang telah mengotak-atik mobil itu, dan kalau memang ada, siapa" Dan apakah Madame mengetahui sesuatu tentang hal itu" "Lalu si pirang yang tampan itu... M. Lazarus. Di mana dia berperan" Dengan mobilnya yang bagus sekali dan uangnya yang banyak itu" Mungkinkah dia terlibat, entah dengan cara apa" Komandan Challenger bagaimana?" "Dia tak apa-apa," sergahku cepat-cepat. "Aku yakin itu. Dia benar-benar jujur." "Kau pasti menganggapnya sebagai orang dari golongan baik-baik. Untunglah sebagai seorang asing aku bebas dari praduga semacam itu. Aku bisa mengadakan penyelidikan tanpa dihalangi praduga itu. Tapi harus kuakui bahwa aku memang merasa sulit menghubungkan Komandan Challenger dengan perkara ini. Terus terang, aku bahkan tak bisa melihat kemungkinan dia terlibat." "Tentu dia tak mungkin terlibat," kataku dengan hangat. Poirot memandangiku dengan merenung. "Kau punya pengaruh besar atas diriku, Hastings. Kau punya kecenderungan mengarah ke jalan yang salah, dan aku hampir saja tergoda untuk mengikuti jalan itu! Kau orang yang benar-benar pantas untuk dikagumi. Kau jujur, mudah dipercaya, terhormat, tapi biasanya mudah terpengaruh oleh si penjahat. Kau adalah tipe pria yang mungkin menginvestasikan modalnya pada ladang-ladang minyak yang meragukan hasilnya, dan tambang-tambang emas yang tak berisi. Dari orang-orang seperti kau, yang ada beratus-ratus jumlahnya, si penipu mendapatkan penghasilannya. Tapi, ah, sudahlah, aku akan mempelajari Komandan Challenger itu. Kau telah menggugah rasa curigaku." "Poirot yang baik," seruku dengan marah, "sikapmu benar-benar tak masuk akal. Orang yang sudah bepergian keliling dunia seperti aku..." "Tak pernah jera," potong Poirot dengan wajah sedih. "Memang mengherankan, tapi itulah kenyataannya." "Apa kaupikir aku akan berhasil dalam usaha peternakanku di Argentina sana, sekiranya aku ini memang orang tolol yang mudah percaya, seperti yang kaukatakan itu?" "Jangan marah, mon ami. Kau telah berhasil, dengan bantuan istrimu." "Belia selalu bekerja berdasarkan penilaianku," sahutku. "Belia tidak hanya cantik, tapi juga cerdas," kata Poirot. "Sudahlah, janganlah kita bertengkar, sahabatku. Lihatlah, itu di depan kita terbaca 'Bengkel Mott'. Kurasa itulah bengkel yang disebut Mademoiselle Buckley tadi. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan, kita akan segera mendapatkan jawaban mengenai soal kecil itu." Kami segera memasuki tempat itu, dan Poirot memperkenalkan dirinya. Dijelaskannya bahwa ia datang atas petunjuk Miss Buckley. Ia bertanya apakah ada kemungkinan menyewa mobil untuk bepergian petang hari. Dan dari situ, dengan mudah ia mengalihkan bahan pembicaraan pada kerusakan mobil yang dialami Miss Buckley beberapa hari yang lalu. Pemilik bengkel itu segera menjadi bersemangat. Itu merupakan peristiwa luar biasa yang pernah dilihatnya. Lalu diberikannya penjelasan teknis. Sayang, aku tak banyak memiliki pengetahuan teknis itu. Kurasa Poirot bahkan lebih sedikit lagi pengetahuannya. Tapi beberapa hal memang menjadi jelas sekali. Mobil itu memang telah dirusak dengan sengaja. Dan perusakan itu memang mudah sekali dilakukan. Cuma makan waktu sebentar sekali. "Jadi, begitu rupanya persoalannya," kata Poirot, ketika kami berjalan pergi dari situ. "Si Nick kecil ternyata tidak berbohong, dan M. Lazarus yang kaya itu keliru. Hastings, sahabatku, semua ini menarik sekali." "Apa yang kita lakukan sekarang?" "Kita pergi ke kantor pos dan mengirim telegram, kalau belum terlambat." "Telegram?" tanyaku berminat. "Ya," sahut Poirot sambil merenung. "Sepucuk telegram." Kantor pos masih buka. Poirot menuliskan telegramnya, lalu mengirimkannya. Aku tidak diberinya penjelasan mengenai isinya. Kurasa ia ingin aku menanyakannya, tapi aku malah menahan diri supaya tidak bertanya. "Besok hari Minggu menjengkelkan sekali," katanya dalam perjalanan kembali ke hotel. "Kita jadi tak bisa mengunjungi M. Vyse. Kita harus menunggu sampai hari Senin pagi." "Kita bisa mengunjunginya di alamat pribadinya." "Tentu. Tapi aku sama sekali tak ingin berbuat begitu. Aku lebih suka berbincang-bincang dengannya secara profesional, dan aku ingin menilainya dari segi itu." "Ya," kataku sambil berpikir. "Kurasa itulah yang terbaik." "Jawaban atau suatu pertanyaan yang sederhana umpamanya, mungkin akan besar sekali bedanya. Bila M. Charles Vyse berada di kantornya jam setengah satu tadi, berarti bukan dia yang telah melepaskan tembakan di kebun Hotel Majestic." "Apa tidak sebaiknya kita meneliti alibi dari tiga orang yang berada di hotel itu?" "Itu jauh lebih sulit. Salah seorang di antaranya akan dengan mudah meninggalkan yang lain selama beberapa menit, dan cepat-cepat keluar melalui salah satu pintu yang banyak sekali jumlahnya itu - pintu di ruang duduk bersama, ruang merokok, ruang tamu utama, atau ruang tulis umpamanya, lalu cepat-cepat bersembunyi di tempat yang pasti akan dilalui gadis itu. Dia melepaskan tembakan, kemudian cepat-cepat kembali. Meskipun demikian, mon ami, kita belum juga bisa yakin apakah dengan demikian kita sudah mendapatkan pelaku utama dalam drama itu. Masih ada Ellen yang selalu bersikap hormat, dan suaminya yang selama ini belum pernah kita lihat. Keduanya orang gajian di rumah itu. Mungkin tanpa setahu kita, mereka benci sekali pada Mademoiselle kecil kita. Bahkan masih ada lagi suami-istri yang orang Australia di pondok itu, yang belum kita kenal. Dan mungkin masih ada yang lain, teman-teman atau orang-orang bayaran Miss Buckley, Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang tak ada alasannya untuk dicurigai, dan oleh karenanya tidak disebutkannya. Mau tak mau aku berperasaan, Hastings, bahwa ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang masih tersembunyi. Aku juga merasa bahwa Miss Buckley tahu lebih banyak daripada yang telah diceritakannya pada kita." "Menurutmu, dia merahasiakan sesuatu?" "Ya." "Mungkinkah untuk melindungi seseorang?" Poirot menggeleng kuat-kuat. "Tidak, tidak. Mengenai hal itu, dia memberikan kesan telah berterus terang. Aku yakin bahwa mengenai percobaan pembunuhan atas dirinya itu, dia telah menceritakan segala-galanya yang diketahuinya. Tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang menurutnya sama sekali tak ada hubungannya dengan semuanya itu. Aku ingin tahu apakah 'sesuatu' itu. Karena aku - kukatakan ini dengan segala kerendahan hatiku - aku jauh lebih cerdas daripada seorang gadis kecil yang cantik. Aku, Hercule Poirot, mungkin bisa melihat suatu hubungan yang mungkin tak terlihat olehnya. Hal itu mungkin bisa memberikan petunjuk yang sedang kucari. Tapi, terus terang dan dengan rendah hati kukatakan padamu, Hastings, bahwa semuanya masih gelap bagiku. Aku akan tetap berada dalam kegelapan ini, sampai aku mendapatkan secercah cahaya yang merupakan alasan dari semua ini. Pasti ada sesuatu, suatu faktor dalam perkara ini, yang belum kugapai. Apakah itu" Tak sudah-sudahnya aku bertanya. Apakah itu gerangan?" "Kau akan menemukan jawabannya," kataku membesarkan hatinya. "Asal tidak terlambat saja," katanya dengan murung. 5 MR. DAN MRS. CROFT MALAM itu ada pesta dansa di hotel. Nick Buckley makan malam di situ bersama teman-temannya. Ia melambai dengan ceria pada kami. Malam itu ia mengenakan gaun berwarna merah tua dari sifon, yang terseret di lantai. Di bagian atas gaun itu tersembul leher dan bahunya yang putih, serta kepalanya yang mencolok karena rambutnya yang hitam. "Setan kecil yang memikat itu," kataku. "Berlawanan dengan sahabat-sahabatnya, ya?" Frederica Rice mengenakan gaun putih. Ia berdansa dengan gaya anggun, tapi ia kelihatan lemah dan lesu, jauh berbeda dari gaya Nick yang bersemangat. "Dia cantik sekali," kata Poirot tiba-tiba. "Siapa" Nick kita?" "Bukan, yang seorang lagi. Apakah dia jahat" Atau baik" Atau dia hanya tak berbahagia" Kita tak bisa mengatakannya. Dia merupakan suatu misteri. Mungkin dia sama sekali tak apa-apa. Tapi menurutku, sahabatku, dia seorang wanita cantik yang memikat." "Apa maksudmu?" Poirot menggeleng sambil tersenyum. "Cepat atau lambat kau akan merasakan kebenaran kata-kataku. Ingat itu." Tak lama kemudian aku terkejut, karena ia tiba-tiba bangkit. Nick sedang berdansa dengan George Challenger. Frederica dan Lazarus baru saja berhenti, dan duduk kembali di meja mereka. Lalu Lazarus bangkit dan pergi. Mrs. Rice tinggal seorang diri. Poirot langsung pergi ke mejanya. Aku menyusulnya. Ia bertindak dengan cara langsung dan tepat. "Bolehkah saya duduk di sini?" tanyanya sambil memegang sandaran sebuah kursi, lalu duduk di situ. "Saya ingin sekali berbincang-bincang dengan Anda, sementara teman Anda berdansa." "Ada apa?" suara Mrs. Rice terdengar dingin dan tak berminat. "Madame, saya tak tahu apakah sahabat Anda sudah mengatakannya pada Anda. Kalau belum, saya yang akan mengatakannya. Tadi ada orang yang telah mencoba membunuhnya." Mata Frederica yang besar dan kelabu terbelalak karena terkejut dan ketakutan. Orang-orangan matanya pun ikut menjadi lebih besar. "Apa maksud Anda?" "Mademoiselle Buckley telah ditembak di kebun hotel ini." "Apakah Nick yang berkata begitu pada Anda?" "Tidak, Madame, kebetulan saya melihatnya sendiri dengan mata saya. Ini pelurunya." Poirot mengulurkan benda itu ke arahnya, dan wanita itu menarik dirinya sedikit. "Tapi... lalu... tapi lalu..." "Ini bukan merupakan fantasi atau angan-angan Mademoiselle. Saya jamin hal itu. Lalu ada lagi sesuatu. Beberapa kecelakaan yang sangat aneh telah terjadi beberapa hari terakhir ini. Mungkin Anda telah mendengarnya, atau tidak. Mungkin Anda belum mendengarnya. Anda baru tiba kemarin, bukan?" "Ya, kemarin." "Sebelum itu, saya dengar Anda menginap di tempat-tempat teman-teman Anda" Di Tavistock?" "Ya." "Saya ingin tahu nama teman-teman di tempat Anda menginap itu, Madame." Wanita itu mengangkat alis matanya. "Adakah alasan saya harus menceritakannya pada Anda?" tanyanya dengan nada dingin. Poirot pura-pura terkejut. "Maafkan saya sebesar-besarnya, Madame. Salah cara saya menanyakan hal itu. Soalnya begini, saya sendiri punya beberapa orang teman di Tavistock. Siapa tahu Anda bertemu dengan mereka pula di sana. Nama teman saya itu Buchanan." Mrs. Rice menggeleng. "Saya tak ingat nama itu. Saya rasa saya tidak bertemu dengan mereka." Kini nada bicaranya lebih ramah, "Sebaiknya kita tak usah berbicara tentang orang-orang yang membosankan. Lanjutkan saja mengenai Nick. Siapa yang menembaknya" Mengapa?" "Saya tak tahu siapa - belum," sahut Poirot. "Tapi saya akan menemukannya. Oh, ya, pasti saya akan menemukannya. Soalnya saya seorang detektif. Nama saya Hercule Poirot." "Sebuah nama yang sangat terkenal." "Anda terlalu menyanjung." "Apa yang Anda ingin saya lakukan?" tanya wanita itu lambat-lambat. Kurasa kami berdua sama-sama terkejut mendengar pertanyaannya itu. Kami tak menyangka ia akan bertanya begitu. "Saya minta Anda mau mengawasi sahabat Anda itu, Madame." "Akan saya lakukan itu." "Itu saja." Poirot bangkit, mengangguk singkat, lalu kami kembali ke meja kami sendiri. "Poirot," kataku, "apa kau tidak terlalu membuka kartu terhadapnya?" "Mon ami, apa lagi yang bisa kulakukan" Mungkin tindakanku kurang tepat, tapi itu perlu, demi keselamatan. Aku tak bisa mengambil risiko. Pokoknya ada satu hal yang sudah tampak jelas." "Apa itu?" "Mrs. Rice tak pernah berada di Tavistock. Lalu di mana dia berada" Aku pasti akan tahu itu. Tak mungkin orang bisa menyembunyikan informasi dari Hercule Poirot. Lihat, Lazarus si tampan sudah kembali. Mrs. Rice menceritakannya padanya. Pria itu menoleh pada kita. Dia orang yang pandai. Perhatikan bentuk kepalanya. Ah, betapa inginnya aku tahu..." "Ada apa?" tanyaku, karena ia berhenti mendadak. "Tentang sesuatu yang baru akan kuketahui pada hari Senin nanti," sahutnya. Pernyataannya itu berarti ganda. Aku melihat padanya, tapi tidak berkata apa-apa. Poirot mendesah. "Rasa ingin tahumu sekarang sudah tak besar lagi, sahabatku. Dulu..." "Ada beberapa kesenangan yang tak ingin aku membaginya denganmu," kataku dingin. "Apa maksudmu?" "Kesenangan untuk menolak menjawab pertanyaan." "Ah, jahat sekali kau!" "Memang begitu." "Oh, ya, ya," gumam Poirot. "Pria perkasa yang pendiam, tokoh kesayangan para penulis novel di zaman Edward." Matanya berkilat seperti yang sudah-sudah. Tak lama kemudian, Nick melewati meja kami. Ia melepaskan diri dari pasangannya, tak ubahnya seekor burung berwarna ceria yang terbang menukik. "Saya menari pada saat kematian mengancam," katanya dengan nada ringan. "Apakah itu merupakan sensasi bagi Anda, Mademoiselle?" "Ya. Menyenangkan sekali." Ia pergi lagi sambil melambaikan tangannya. "Sebenarnya tak baik dia berkata begitu," kataku lambat-lambat. "Menari pada saat kematian mengancam. Aku tak suka mendengarnya." "Aku mengerti. Kata-kata itu terlalu mendekati kebenaran. Gadis itu benar-benar memiliki keberanian. Tapi malangnya, bukan keberanian yang dibutuhkan pada saat ini, melainkan kewaspadaan. Yah, itulah yang sering merupakan kesalahan kita." Esok harinya hari Minggu. Kami sedang duduk di teras di depan hotel. Kira-kira jam setengah dua belas, tiba-tiba Poirot bangkit. "Mari, sahabatku. Kita akan mencobakan suam eksperimen kecil. Aku yakin M. Lazarus dan Madame telah pergi bermobil, dan Mademoiselle pasti ikut mereka. Keadaan aman sekarang." "Aman bagaimana?" "Lihat sajalah." Kami berjalan menuruni tangga, lalu menyeberangi sebidang tanah berumput. Di ujungnya ada sebuah pintu pagar yang menuju ke jalan setapak yang berliku-liku, terus menuju ke laut di bawah. Beberapa orang yang baru selesai berenang sedang menaiki jalan itu. Kami berpapasan dengan mereka. Mereka tertawa-tawa dan bercakap-cakap. Setelah mereka lewat, Poirot berjalan ke sebuah pintu pagar kecil yang tak tampak jelas. Pintu pagar itu sudah agak berkarat engselnya. Pada pintu pagar itu tertulis kata-kata yang huruf-hurufnya sudah setengah terhapus, bunyinya: END HOUSE. PRIBADI. Tak terlihat siapa-siapa di situ. Perlahan-lahan kami melewati pintu pagar itu. Sebentar kemudian kami tiba di halaman berumput yang membentang di depan sebuah rumah. Di situ pun tak ada siapa-siapa. Poirot berjalan sampai ke ujung sebuah karang, lalu melihat ke sekelilingnya. Setelah itu, ia berjalan ke arah rumah. Pintu yang membatasi beranda terbuka, dan kami masuk melalui pintu itu, langsung ke ruang tamu utama. Poirot tidak membuang-buang waktu di situ. Pintu dibukanya, lalu keluar ke lorong rumah. Dari situ ia menaiki tangga. Aku mengikutinya terus. Ia langsung pergi ke kamar tidur Nick. Ia duduk di tepi tempat tidur, lalu mengangguk-angguk padaku sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kaulihat, sahabatku, betapa mudahnya. Tak seorang pun melihat kita masuk. Dan tak seorang pun akan melihat kita pergi. Kita bisa melakukan kegiatan apa pun di sini dengan aman sekali. Kita bisa merusak tali kawat sebuah lukisan, umpamanya, hingga tali kawat itu akan putus dalam beberapa jam. Dan seandainya kebetulan ada seseorang yang sedang berada di depan rumah dan melihat kita datang, kita akan punya alasan yang wajar sekali, asal orang tahu bahwa kita bersahabat dengan pemilik rumah ini." "Maksudmu kita harus mengecualikan orang asing?" "Begitulah maksudku, Hasting. Jadi bukan seorang gelandangan gila yang berada di belakang peristiwa ini. Kita harus mencari ke tempat yang lebih dekat dengan pemilik rumah ini." Ia berbalik akan meninggalkan kamar itu, dan aku menyusulnya. Kami sama-sama tidak berbicara. Kurasa kami sama-sama merasa khawatir. Lalu, pada tikungan tangga, kami berdua tiba-tiba berhenti. Ada orang yang sedang menaiki tangga. Orang itu juga berhenti. Wajahnya tidak kelihatan, tapi ia tampak terkejut sekali. Orang itulah yang mula-mula berbicara dengan suara nyaring menggertak. "Apa yang kalian lakukan di sini! Saya ingin tahu." "Oh," kata Poirot. "Saya rasa Anda... M. Croft, ya?" "Itu memang nama saya, tapi apa..." "Sebaiknya kita pergi ke ruang tamu utama dan berbincang-bincang di sana. Saya rasa itu lebih baik." Pria itu mengalah. Ia tiba-tiba berbalik, lalu turun. Kami mengikutinya, dekat di belakangnya. Di ruang tamu utama, setelah pintu tertutup, Poirot membungkuk sedikit. "Saya perkenalkan diri saya. Hercule Poirot, siap membantu Anda." Wajah pria itu menjadi agak ceria. "Oh!" katanya lambat-lambat. "Anda detektif itu rupanya. Saya pernah membaca tentang Anda." "Dalam surat kabar St. Loo Herald?" "Ha" Saya membaca tentang Anda waktu saya masih di Australia. Anda orang Prancis, bukan?" "Orang Belgia. Tapi itu tak penting. Ini sahabat saya, Kapten Hastings." "Saya senang bertemu dengan Anda. Tapi ada apa sebenarnya" Apa yang Anda lakukan di sini" Apakah ada... sesuatu yang tak beres?" "Itu tergantung dari apa yang Anda sebut 'tak beres' itu." Orang Australia itu mengangguk. Ia tampan, meskipun sudah berumur dan kepalanya botak. Tubuhnya bagus sekali. Wajahnya kelihatan berat, agak menggantung. Aku cenderung menyebutnya wajah yang kasar. Yang paling menonjol pada dirinya adalah matanya yang berwarna biru dan tajam. "Harap Anda maklum," katanya. "Saya datang untuk mengantarkan sedikit tomat dan mentimun untuk si kecil Miss Buckley. Tukang kebunnya itu tak beres. Dia lebih banyak menganggur, sama sekali tidak menanam apa-apa. Pemalasnya bukan main. Saya dan si Mama... ah, kami marah sekali. Sebagai tetangganya kami merasa sepantasnyalah kalau kami membantu. Tomat kami terlalu banyak untuk kami makan. Orang bertetangga harus saling membantu, bukan" Seperti biasa, saya masuk saja, lalu meletakkan keranjang begitu saja. Tadi saya sudah akan pergi lagi, waktu saya mendengar suara langkah-langkah dan orang-orang berbicara di lantai atas. Saya merasa itu aneh. Kami di sekitar tempat ini tak banyak mengalami pencurian, tapi itu mungkin saja terjadi. Saya pikir sebaiknya saya pergi melihat untuk meyakinkan diri bahwa tak ada apa-apa. Lalu saya bertemu dengan Anda berdua di tangga itu. akan turun. Saya agak terkejut. Dan sekarang Anda katakan pula bahwa Anda adalah detektif kawakan itu. Ada apa sebenarnya?" "Sederhana saja," kata Poirot sambil tersenyum. "Kemarin malam, Mademoiselle mendapat suatu pengalaman mengerikan. Sebuah lukisan jatuh di atas kepalanya. Mungkinkah dia telah menceritakannya pada Anda?" "Sudah. Untung benar dia lolos." "Untuk mengamankan segala-galanya, saya telah berjanji untuk membawakannya rantai khusus. Kita harus mencegah jangan sampai kejadian itu terulang, bukan" Dia sudah mengatakan pada saya bahwa dia keluar pagi ini, tapi katanya saya boleh datang untuk mengukur berapa banyak rantai yang akan dibutuhkan. Voila, begitu sederhananya." Croft menarik napas dalam-dalam. "Jadi hanya itu saja?" "Ya. Jadi Anda sebenarnya tak perlu takut. Saya dan sahabat saya ini - kami adalah warga yang selalu patuh pada hukum." "Apakah Anda yang saya lihat kemarin?" tanya Croft lambat-lambat. "Tepatnya kemarin senja. Waktu itu Anda melewati pondok kecil kami." "Oh, ya. Anda sedang bekerja di kebun, dan Anda sopan sekali, mengucapkan selamat sore waktu kami lewat." "Benar. Yah... yah. Jadi Anda rupanya M. Hercule Poirot yang sudah begitu banyak saya dengar itu. Eh, apakah Anda sedang sibuk, Mr. Poirot" Sebab kalau tidak, saya ingin mengajak Anda ikut saya sekarang, untuk minum teh pagi hari yang merupakan gaya Australia, dan bertemu dengan istri saya. Dia selalu membaca segala sesuatu yang berhubungan dengan Anda di surat-surat kabar." "Anda baik sekali, Mr. Croft. Kami tak ada kesibukan apa-apa, dan senang sekali ikut Anda." "Bagus." "Sudah betulkah ukurannya tadi, Hastings?" tanya Poirot, sambil menoleh padaku. Kuyakinkan padanya bahwa ukurannya sudah betul, lalu kami pun mengikuti teman baru kami itu. Kami segera menyadari bahwa Croft banyak bicara. Diceritakannya tentang rumahnya di dekat Melbourne, mengenai perjuangannya di masa mudanya, tentang pertemuannya dengan istrinya, mengenai usaha-usaha bersama mereka, dan tentang nasib baik dan keberhasilan mereka pada akhirnya, Dendam Empu Bharada 1 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Pendekar Misterius 1