Kasus Kasus Perdana Poirot 5
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie Bagian 5 Sobat. Anda menghadapi kematian. Anda sudah kehilangan gadis yang Anda cintai. Tapi ada satu yang tidak hilang dari diri Anda: Anda bukan pembunuh. Sekarang katakanlah, Anda bahagia atau menyesal saya datang?" Hening sejenak. Kemudian Harrison berdiri tegak. Ada pancaran keluhuran di wajahnya - wajah seseorang yang telah menaklukkan keberadaan dirinya yang keji. Diangsurkannya tangannya melintasi meja. "Syukurlah Anda datang tadi," serunya. "Untung Anda datang tadi." XVI WANITA BERKERUDUNG KUPERHATIKAN beberapa lama ini Poirot merasa tidak puas dan gelisah. Kami tidak mendapat kasus baru yang menarik. Tak ada perkara yang bisa dipakai sahabatku yang bertubuh kecil ini untuk melatih pemikirannya yang tajam maupun kemampuannya yang luar biasa dalam menarik kesimpulan. Pagi tadi diempaskannya koran sambil berseru dengan kesal, "Aaahh!" - seruan favoritnya yang kedengaran persis seperti kucing bersin. "Mereka takut padaku, Hastings! Penjahat-penjahat Inggrismu ini takut padaku! Bagaikan tikus, bilamana ada kucing, mereka tidak lagi mencuri keju!" "Kukira sebagian besar di antara mereka bahkan tidak tahu engkau ada di sini," sahutku sambil tertawa. Sahabatku memandangku dengan sikap mencela. Ia selalu membayangkan seluruh dunia tengah memikirkan dan membicarakan Hercule Poirot. Memang, ia terkenal di London, akan tetapi aku tidak bisa membayangkan bahwa kehadirannya menimbulkan rasa ngeri bagi dunia kriminalitas. "Bagaimana dengan perampokan permata di Bond Street yang dilakukan di siang hari bolong baru-baru ini?" tanyaku. "Coup yang rapi," sahut Poirot gembira, "biarpun tidak termasuk bidangku. Pas de finesse, seulement de l'audace! Seorang laki-laki memecah kaca jendela sebuah toko permata dengan tongkat yang berat, lalu meraup beberapa permata. Orangorang menangkapnya; polisi datang dan dia tertangkap basah bersama permata yang dibawanya. Di kantor polisi baru diketahui bahwa permata yang dibawanya cuma permata tiruan. Yang asli sudah ia serahkan kepada kawannya - salah seorang di antara orang-orang yang menangkapnya tadi. Dia akan masuk penjara - memang. Tapi, begitu keluar dari penjara ada harta yang menunggunya. Memang tidak jelek, tapi aku bisa melakukan yang lebih baik. Hastings, kadang-kadang aku menyesal karena bermoral tinggi. Menentang hukum bisa membawa perubahan suasana yang menyenangkan!" "Jangan murung, Poirot! Engkau memiliki keunikan tersendiri dalam bidangmu." "Tapi apa yang kutangani sekarang, yang sesuai dengan bidangku?" Kuambil surat kabar. "Ini dia. Seorang pria Inggris mati secara misterius di Belanda." "Koran-koran selalu berkata begitu - kemudian ternyata korban makan ikan kaleng dan kematiannya sama sekali tidak mencurigakan." "Yah... kalau engkau memang ingin mengomel." "Tiens!" seru Poirot yang sekarang sudah berjalan mendekati jendela. "Di jalan ada yang seperti disebut dalam novel-novel 'perempuan berkerudung rapat-rapat'. Ia akan menaiki tangga; membunyikan bel - dan berkonsultasi dengan kita. Mungkin ini menarik. Orang yang masih muda dan cantik seperti dia pasti tidak akan menutupi wajahnya, kecuali ada urusan besar." Menit berikutnya tamu kami diantar masuk. Seperti sudah dikatakan Poirot, ia berkerudung rapat. Kami tidak bisa melihat wajahnya sampai ia menaikkan kerudungnya yang terbuat dari renda Spanyol berwarna hitam. Kulihat intuisi Poirot tidak meleset. Perempuan itu cantik sekali. Rambutnya pirang dan matanya biru. Dari pakaiannya yang mahal tapi sederhana, aku langsung menyimpulkan bahwa ia berasal dari kalangan atas. "Monsieur Poirot," kata perempuan itu dengan suara yang lembut lagi merdu, "saya dalam kesulitan besar. Saya ragu-ragu apakah Anda dapat menolong saya. Namun, saya sudah mendengar tentang prestasi-prestasi Anda yang luar biasa, sehingga saya datang kemari sebagai harapan terakhir untuk meminta Anda melakukan sesuatu yang mustahil." "Yang mustahil selalu membuat saya senang," kata Poirot. "Lanjutkanlah, Mademoiselle." Tamu kami yang cantik ini ragu-ragu. "Tetapi Anda harus jujur," Poirot menambahkan. "Anda tidak boleh menyembunyikan sesuatu sedikit pun." "Saya percaya kepada Anda," gadis itu berkata dengan mendadak. "Anda pernah mendengar tentang Lady Millicent Castle Vaughan?" Aku mengangkat kepala dengan penuh minat. Pertunangan Lady Millicent dengan Duke of Southshire muda diumumkan beberapa hari yang lalu. Aku tahu gadis itu adalah putri kelima bangsawan Irlandia yang miskin; sedangkan Duke of Southshire merupakan salah satu calon suami terbaik di Inggris. "Sayalah Lady Millicent," gadis itu melanjutkan. "Mungkin Anda sudah membaca tentang pertunangan saya. Saat ini seharusnya saya menjadi salah seorang wanita yang paling berbahagia, tapi M. Poirot, saya dalam kesulitan yang mengerikan! Ada seorang laki-laki yang menakutkan - namanya Lavington; dan dia - saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini kepada Anda. Ada surat yang saya tulis sewaktu saya baru berumur enam belas tahun dan dia - dia - " "Surat yang Anda tulis kepada Lavington ini?" "Oh, tidak - bukan untuk dia! Kepada seorang serdadu muda - waktu itu saya sangat menyukainya - dia terbunuh dalam perang." "Saya mengerti," kata Poirot penuh pengertian. "Isi surat itu tolol sekali, tidak bijaksana. Sungguh, M. Poirot, tidak lebih dari itu. Tapi ada beberapa ungkapan dalam surat itu yang dapat menimbulkan penafsiran yang salah." "Saya mengerti," kata Poirot, "dan surat itu ada pada Lavington?" "Benar. Dia mengancam akan mengirim surat itu kepada Duke kalau saya tidak memberinya sejumlah besar uang. Jumlah uang yang sungguh-sungguh tidak mungkin saya miliki." "Babi busuk!" seruku tiba-tiba. "Maaf, Lady Millicent." "Tidakkah lebih bijaksana Anda mengakui semua ini kepada calon suami Anda?" "Saya tidak berani, M. Poirot. Karakter Duke agak aneh; cemburuan dan penuh kecurigaan, serta cenderung mempercayai hal-hal yang sangat negatif. Dengan berbuat demikian berarti saya memutuskan pertunangan kami." "Tenang, tenanglah," Poirot menghibur dengan wajah muram dan penuh perasaan. "Lalu apa yang Anda ingin saya lakukan, milady?" "Mungkin saya dapat meminta Lavington untuk menemui Anda. Akan saya katakan kepadanya bahwa Anda saya beri kuasa untuk membicarakan masalah ini. Mungkin Anda bisa menurunkan jumlah uang yang dituntutnya." "Berapa yang ia minta?" "Dua puluh ribu pound - jumlah yang di luar kemampuan saya. Bahkan saya tidak yakin apakah saya bisa mengumpulkan seribu pound." "Mungkin Anda dapat meminjam uang dengan jaminan pernikahan Anda yang semakin dekat - tapi saya bimbang apakah Anda dapat memperoleh bahkan separuh jumlah itu. Selain itu, menurut saya konyol sekali kalau Anda harus menyerahkan uang itu! Tidak! Kecerdikan Hercule Poirot akan mengalahkan musuh-musuh Anda! Pertemukanlah saya dengan Lavington ini. Mungkinkah ia membawa serta surat itu?" Gadis itu menggeleng. "Saya kira tidak. Ia sangat berhati-hati." "Anda yakin ia benar-benar menyimpan surat itu?" "Dia menunjukkannya kepada saya ketika saya ke rumahnya." "Anda ke rumahnya" Tindakan ini sangat ceroboh, milady." "Betulkah" Saya sangat putus asa. Saya berharap desakan permohonan saya mungkin menggerakkan hatinya." "Oh, l? l?! Orang-orang seperti Lavington tidak akan tersentuh oleh sebuah permohonan. Ia akan menganggap permohonan Anda itu sebagai bukti bahwa Anda sangat menginginkan dokumen itu. Di mana tinggalnya, laki-laki yang baik ini?" "Di Buona Vista, Wimbledon. Saya ke sana setelah hari gelap - " Poirot mengerang. "Saya katakan pada akhirnya saya akan melapor kepada polisi, tapi ia hanya tertawa dengan mencemooh dan menakutkan. 'Silakan, Lady Millicent sayang, lakukanlah begitu kalau Anda menginginkannya,' begitu katanya." "Masalah ini tidak cocok untuk polisi," Poirot menggumam. "'Saya kira Anda akan bersikap lebih bijaksana,' begitu kata Lavington lebih lanjut. 'Lihat, ini surat Anda - dalam kotak mainan Cina yang kecil ini!' Diacungkannya surat itu sehingga saya dapat melihatnya. Saya menyerobot surat itu, tapi ia terlalu cepat bagi saya. Dengan senyuman yang menyeramkan ia melipat surat itu lalu memasukkannya kembali ke dalam kotak kayu kecil itu. 'Surat ini aman di sini, dan kotak ini akan saya taruh di tempat yang tidak mungkin Anda temukan.' Pandangan saya beralih ke lemari besi kecil di dinding dan Lavington tertawa sambil menggeleng. 'Saya punya tempat persembunyian yang lebih aman,' katanya. Dia memuakkan! M. Poirot, dapatkah Anda menolong saya?" "Percayalah kepada Papa Poirot. Saya akan menemukan caranya." Jaminan Poirot ini nampaknya manjur, pikirku, ketika dengan gagahnya Poirot mengantarkan kliennya yang cantik menuruni tangga. Tapi menurutku kami menghadapi masalah yang sulit dipecahkan. Kukatakan pendapatku ini kepada Poirot ketika ia masuk kembali. Dengan sedih Poirot mengiyakan. "Betul. Penyelesaian masalah ini tidak akan datang begitu saja. Lavington berada dalam posisi yang menguntungkan. Saat ini aku belum tahu bagaimana dapat mengecoh dia." Siang itu Lavington mengunjungi kami. Lady Millicent tidak mengada-ada ketika menggambarkan laki-laki itu sebagai orang yang memuakkan. Ujung kakiku benarbenar terasa gatal. Begitu tajamnya rasa tidak senang ini sehingga aku ingin menyepaknya ke luar. Lavington suka menggertak, sikapnya angkuh, dan menertawakan serta mencemooh saran-saran Poirot. Secara keseluruhan dia menunjukkan dirinya sebagai orang yang di atas angin dalam situasi ini. Aku merasa Poirot hampir-hampir tidak memperlihatkan penampilan terbaiknya. Ia kelihatan berkecil hati dan merasa kalah. "Nah, Tuan-tuan," kata Lavington seraya mengambil topinya, "rasanya pembicaraan kita tidak mencapai kemajuan. Begini saja: akan saya turunkan permintaan saya karena wanita muda itu sangat mempesona." Dengan menjijikkan Lavington mengerling. "Katakanlah, delapan belas ribu pound. Saya mau ke Paris hari ini ada urusan kecil yang harus saya tangani di sana. Hari Selasa saya kembali. Kalau uang itu belum diserahkan sampai Selasa malam, surat tersebut akan sampai kepada Duke. Jangan katakan bahwa Lady Millicent tidak bisa mengumpulkan uang sejumlah itu. Beberapa kawan laki-lakinya akan senang sekali membantu wanita secantik dia dengan meminjamkan uang - kalau saja ia menempuh cara yang benar." Mukaku memerah dan aku maju selangkah, tapi Lavington sudah meninggalkan ruangan begitu ia selesai mengucapkan kalimatnya. "Astaga!" seruku. "Kita harus bertindak. Kelihatannya engkau pasrah saja menerima semua ini, Poirot." "Hatimu baik sekali, Sobat - tapi sel-sel abu-abumu menyedihkan. Aku sama sekali tidak ingin membuat Lavington terkesan dengan kecakapan-kecakapanku. Semakin ia menganggap aku takut, semakin baik." "Mengapa?" "Aku ingin tahu," kata Poirot sambil menerawang, "mengapa aku mengatakan keinginanku untuk berbuat melawan hukum tadi sebelum Lady Millicent tiba!" "Engkau akan membongkar rumahnya sementara ia ke Paris?" aku ternganga. "Hastings, kadang-kadang proses mentalmu luar biasa cepatnya." "Kalau surat itu dibawanya?" Poirot menggeleng. "Sangat tidak mungkin. Jelas dia punya tempat persembunyian di rumahnya yang menurutnya kokoh sekali." "Kapan kita - eh - melakukannya?" "Besok malam. Kita berangkat kira-kira pukul 23.00." *** Aku siap berangkat pada waktu yang ditetapkan. Kukenakan setelan warna gelap dan topi berwarna gelap yang lembut. Poirot menyambutku dengan berseri-seri. "Engkau berpakaian sesuai peranmu," ia mengamati. "Ayolah, kita lewat jalan bawah tanah ke Wimbledon." "Apakah kita tidak perlu membawa alat-alat untuk membongkar pintu?" "Hastings sayang, Hercule Poirot tidak menempuh cara sekasar itu." Aku menutup mulut, merasa terhina, tapi rasa ingin tahuku berkobar-kobar. Persis tengah malam kami memasuki halaman Buona Vista yang kecil di pinggir kota. Rumah itu gelap dan senyap. Poirot langsung menghampiri jendela di bagian belakang rumah, menaikkan bingkainya tanpa bersuara, lalu memintaku masuk. "Bagaimana engkau tahu jendela ini tidak dikunci?" bisikku heran. "Karena aku menggergaji kaitannya pagi tadi." "Apa?"" "Sungguh. Gampang sekali, kok. Aku menelepon, memberikan kartu nama palsu, dan kartu resmi Inspektur Japp. Kukatakan aku dikirim, atas saran Scotland Yard, untuk menangani beberapa kunci anti-maling yang ingin diperbaiki Lavington selama ia pergi. Pengurus rumah tangga menyambut kedatanganku dengan senang hati. Kelihatannya sudah dua kali orang mencoba membongkar rumah tersebut belum lama ini - jelas ide kita juga telah dicoba oleh klien-klien Lavington yang lain tanpa ada barang berharga yang diambil. Aku memeriksa semua jendela, melakukan persiapan kecilku, dan melarang semua pelayan menyentuh jendela sampai besok karena semua jendela dihubungkan secara elektris, lalu minta diri dengan sopan." "Poirot, engkau benar-benar luar biasa." "Sobat, ini sangat sederhana. Sekarang mulai bekerja! Para pelayan tidur di bagian atas rumah ini, jadi sedikit sekali kemungkinan kita mengganggu mereka." "Kukira lemari besi itu dibuat di dalam tembok." "Lemari besi" Omong kosong! Tidak ada lemari besi. Lavington cerdas. Engkau akan melihat ia sudah membuat tempat persembunyian yang jauh lebih cerdik daripada lemari besi. Lemari besi adalah barang pertama yang dicari semua orang." Setelah itu kami mulai melakukan pencarian secara sistematis di semua tempat. Tapi sesudah beberapa jam menggeledah rumah, usaha kami sia-sia. Kulihat wajah Poirot mulai menunjukkan kemarahan. "Ah, sapristi, apakah Hercule Poirot harus menyerah kalah" Tidak, tak akan pernah! Marilah kita tenang dulu. Kita merenung. Berpikir. Kita - enfin! - gunakan sel-sel abu-abu kita." Poirot berdiam untuk beberapa saat, menekuk alisnya sebagai tanda tengah memusatkan perhatiannya, kemudian cahaya hijau yang sangat kukenal muncul di matanya. "Aku tolol sekali. Dapur!" "Dapur?" seruku. "Tidak mungkin! Pelayan-pelayan!" "Persis. Persis yang akan dikatakan sembilan puluh sembilan dari seratus orang! Dan persis untuk alasan itulah dapur merupakan pilihan ideal. Tempat itu penuh dengan barang-barang keperluan rumah. En avant, ke dapur!" Aku mengikuti Poirot dengan sikap skeptis. Kuawasi ia ketika ia masuk ke tempat penyimpanan gandum, mengetuk-ngetuk panci, dan memasukkan kepalanya ke dalam oven gas. Akhirnya aku berbalik ke kamar kerja karena lelah mengawasi Poirot. Aku yakin di tempat ini - dan hanya di tempat inilah kami akan menemukan cache itu. Aku terus mencari dengan cermat. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 04.15. Mengingat hari akan segera terang, aku kembali ke dapur. Betapa takjubnya aku melihat Poirot tengah berdiri persis di tempat penyimpanan batu bara, dengan pakaiannya yang tadinya rapi kini awut-awutan. Poirot menyeringai. "Memang, Sobat, sama sekali berlawanan dengan naluriku untuk merusak penampilanku, tapi bagaimana lagi?" "Lavington tidak mungkin menguburnya di bawah batu bara." "Kalau saja matamu berfungsi, engkau akan melihat bukan batu bara yang sedang kuperiksa." Kulihat pada rak di belakang tempat itu ditumpuk beberapa balok kayu. Dengan tangkas Poirot menurunkan balok itu satu per satu. Mendadak Poirot berseru dengan lembut. "Pisaumu, Hastings." Kuberikan benda itu kepadanya. Ia memasukkan pisau ke dalam balok dan tiba-tiba balok itu terbelah dua. Balok itu telah digergaji dengan rapi dan ada sebuah rongga menganga di tengah-tengah. Dari rongga ini Poirot mengeluarkan kotak kayu kecil buatan Cina. "Berhasil!" seruku tak tertahankan. "Pelan-pelan, Hastings! Jangan berisik. Ayo, kita pergi sebelum hari terang." Sambil menyelipkan kotak kecil itu ke dalam sakunya Poirot melompat keluar dari gudang batu bara dengan ringannya, mengibaskan bajunya sedapat mungkin, lalu meninggalkan rumah melalui jalan yang kami tempuh untuk masuk. Kami berjalan cepat ke arah London. "Tempat yang luar biasa," komentarku. "Siapa saja mungkin memakai balok itu." "Dalam bulan Juli, Hastings" Dan kotak ini terletak di tumpukan paling bawah. Tempat persembunyian yang amat cermat. Nah, ini dia taksi! Sekarang pulang, mencuci badan, dan tidur nyenyak." *** Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sesudah kejadian yang menegangkan malam itu, aku tidur lelap. Persis sebelum pukul 13.00, sewaktu aku masuk ke ruang duduk, aku terkejut melihat Poirot bersandar di kursi. Kotak dari Cina itu terbuka di sebelahnya dan dengan tenangnya ia membaca surat yang diambilnya dari kotak itu. Poirot tersenyum mesra kepadaku lalu menepuk surat yang dipegangnya. "Dia betul, Lady Millicent, maksudku. Tidak akan pernah Duke memaafkan surat ini. Isinya beberapa ungkapan kasih sayang yang paling mesra yang pernah kubaca." "Oh, Poirot," kataku dengan muak. "Kukira tidak seharusnya engkau membaca surat itu. Hal semacam ini tidak biasa dilakukan orang." "Sudah dilakukan oleh Hercule Poirot," sahutnya tenang sekali. "Dan hal lain lagi," aku melanjutkan, "memakai kartu resmi Inspektur Japp kemarin sungguh bukan main-main." "Tapi aku memang tidak main-main, Hastings. Aku sedang menyelidiki satu kasus." Aku mengangkat bahu. Percuma berdebat soal sudut pandang pribadi. "Langkah-langkah di tangga," kata Poirot. "Itu pasti Lady Millicent." Klien kami yang cantik masuk dengan wajah cemas yang berubah gembira melihat kotak dan surat yang dipegang Poirot tinggi-tinggi. "Oh, M. Poirot! Bukan main hebatnya Anda! Bagaimana Anda mendapatkannya?" "Dengan cara-cara kurang pantas, milady. Tapi Lavington tidak akan menuntut. Ini surat Anda, kan?" Lady Millicent menatap sekilas. "Benar. Oh, bagaimana saya harus mengucapkan terima kasih" Anda mengagumkan dan luar biasa. Di mana surat ini disembunyikan?" Poirot mengisahkan petualangannya. "Bukan main cerdiknya Anda!" Lady Millicent mengambil kotak itu dari meja. "Akan saya simpan kotak ini sebagai kenang-kenangan." "Milady, saya sudah berharap Anda akan mengizinkan saya untuk menyimpannya, juga sebagai kenang-kenangan." "Saya akan mengirim kenang-kenangan yang lebih baik daripada ini kepada Anda pada hari pernikahan saya. Saya orang yang tahu berterima kasih, M. Poirot." "Bagi saya rasa bahagia dalam melayani Anda lebih berarti daripada selembar cek jadi Anda memperbolehkan saya menyimpan kotak ini?" "Oh, jangan, M. Poirot. Saya perlu memiliki benda ini," seru Lady Millicent sambil tertawa. Perempuan itu mengulurkan tangannya, tetapi Poirot lebih cepat. Kedua tangannya diletakkan di atas kotak itu. "Saya kira tidak," suara Poirot berubah. "Apa maksud Anda?" nada bicara Lady Millicent terdengar meninggi. "Biarkanlah saya menunjukkan isinya lebih lanjut. Anda lihat lubang yang asli sudah dikurangi separuhnya. Di dalam lubang atas terdapat surat yang menarik perhatian itu, di bawah - " Poirot melakukan gerakan yang cepat, lalu mengulurkan tangannya. Di telapak tangannya bergemerlapan empat batu permata besar dan dua buah mutiara berwarna putih susu. "Permata yang dicuri di Bond Street dulu - saya cenderung berpendapat begitu. Japp akan memberitahu kita." Aku terheran-heran ketika Japp sendiri keluar dari kamar tidur Poirot. "Kawan lama Anda, saya yakin," dengan sopan Poirot berkata kepada Lady Millicent. "Tertangkap basah. Demi Tuhan!" Lady Millicent berkata dengan sikap yang berubah seratus delapan puluh derajat. "Kamu, setan tua yang dingin!" Pandangannya mengandung rasa hormat dan kagum. "Well, Gertie sayangku," Japp membuka suara, "kali ini permainan sudah berakhir. Bayangkan, bertemu Anda lagi dalam waktu sesingkat ini! Kawan Anda sudah tertangkap juga. Laki-laki yang dulu datang kemari dan mengaku sebagai Lavington. Sedangkan Lavington sendiri, alias Croker, alias Reed, saya ingin tahu anggota komplotan yang mana menikamnya di Belanda. Anda mengira ia membawa barang itu, ya kan" Ternyata tidak. Dengan cerdik ditipunya Anda disembunyikannya hasil curian itu di rumahnya sendiri. Anda menyuruh dua lakilaki mencari benda itu. Lalu Anda meminta bantuan Poirot. Dan untungnya, ia menemukan barang-barang itu." "Anda memang suka bicara, ya kan?" ujar Lady Millicent palsu. "Tenang saja sekarang. Saya akan pergi tanpa banyak bicara. Kalian tidak bisa bilang bahwa saya bukanlah lady yang sempurna. Selamat tinggal semua!" "Sepatunya tidak cocok," Poirot berbicara sambil menerawang sementara aku masih terheran-heran untuk membuka suara. "Aku sudah mempelajari kebiasaan orang Inggris. Seorang wanita bangsawan yang sejati benar-benar memperhatikan sepatunya. Pakaiannya bisa saja lusuh, tapi sepatunya pasti bagus. Nah, Lady Millicent yang ini mengenakan pakaian yang mahal-mahal lagi rapi, sedangkan sepatunya sepatu murahan. Rasanya tidak mungkin engkau atau aku pernah melihat Lady Millicent yang sejati; dia jarang sekali berada di London. Gadis tadi mirip Lady Millicent. Seperti yang sudah kukatakan, sepatu itulah yang mula-mula membangkitkan rasa curigaku, lalu ceritanya - dan kerudungnya - agak berlebihan, kan" Kotak buatan Cina dengan surat palsu yang mencurigakan itu pasti sudah diketahui semua anggota komplotan, tapi bongkahan kayu itu adalah gagasan Lavington sendiri. Hastings, kuharap engkau tidak melukai perasaanku lagi seperti kemarin dengan mengatakan bahwa aku tak dikenal oleh kalangan penjahat. Ma foi, bahkan mereka menyewaku pada waktu mereka sendiri gagal!" XVII PEMBUNUHAN DI TENGAH LAUT "KOLONEL CLAPPERTON!" kata Jenderal Forbes. Jenderal itu berbicara dengan suara antara mendengus dan bersin. Ellie Henderson mencondongkan badannya ke depan. Sehelai rambut kelabunya menyapu wajahnya. Bola matanya yang gelap dan bergerak-gerak bersinar penuh kegembiraan yang menyiratkan niat tidak terpuji. "Laki-laki yang amat perkasa," katanya dengan keinginan jahat. Kemudian dirapikannya rambutnya ke belakang sambil menanti reaksi atas ucapannya. "Perkasa!" Jenderal Forbes meledak. Ditarik-tariknya kumis militernya dan wajahnya menjadi merah padam. "Dia termasuk anggota pasukan pengawal, ya kan?" gumam Nona Henderson untuk menuntaskan rencana yang ada di benaknya. "Pengawal" Pasukan pengawal" Omong kosong. Dia manggung di gedung kesenian! Ini kenyataan! Dia lalu jadi tentara dan dikirim ke Prancis untuk menghitung plum dan apel. Orang-orang Hun menjatuhkan bom nyasar dan dia pulang dengan tangan terluka. Lalu, kalau tidak salah, dia masuk rumah sakit milik Lady Carrington." "Jadi, begitulah mereka bertemu." "Ini kenyataan! Sang pemuda memainkan peran pahlawan yang terluka. Lady Carrington gampang ditipu dan sangat kaya. Carrington tua dulunya bertugas di gudang mesiu. Lady Carrington baru enam bulan menjanda. Pemuda ini langsung menjeratnya. Dengan akal licik Lady Carrington berhasil mendapatkan pekerjaan untuk kekasihnya di markas Angkatan Bersenjata. Kolonel Clapperton! Bah!" dengus Jenderal Forbes. "Sebelum perang dia manggung di gedung kesenian," kata Nona Henderson seraya merenung; berusaha mencocokkan sosok Kolonel berambut kelabu yang terhormat itu dengan pemain komedi berhidung merah yang menyanyikan lagu-lagu gembira yang merangsang. "Sungguh!" kata Jenderal Forbes meyakinkan. "Saya mendengarnya dari Bassingtonfrench tua. Sedangkan dia mendengar kisah ini dari Badger Cotterill tua yang diberitahu Snooks Parker." Nona Henderson mengangguk riang. "Oh begitu!" katanya. Sebentuk senyuman singkat terlukis di wajah laki-laki bertubuh kecil yang duduk tidak jauh dari keduanya. Nona Henderson menangkap senyuman itu. Dia memang suka memperhatikan. Senyuman itu menunjukkan penghargaan atas ironi yang mendasari komentar terakhir Nona Henderson - ironi yang sama sekali tidak dicurigai oleh sang Jenderal. Jenderal Forbes sendiri tidak melihat senyuman itu. Ia melirik arlojinya, lalu berdiri dan berkata, "Olahraga. Harus tetap fit di kapal." Kemudian ia keluar menuju dek. Nona Henderson melirik laki-laki yang tersenyum tadi. Lirikan yang terlatih baik, menandakan ia siap berbincang-bincang dengan teman seperjalanan. "Dia energik - ya kan?" laki-laki bertubuh kecil itu membuka suara. "Dia sanggup mengelilingi dek empat puluh delapan kali," Nona Henderson menjelaskan. "Gosip kuno! Dan orang bilang kaum wanitalah yang menyukai skandal." "Betapa kurang ajarnya!" "Orang Prancis selalu sopan," Nona Henderson berkata lagi - ada nada bertanya dalam kalimatnya. Pria berbadan kecil itu cepat menanggapi. "Belgia, Mademoiselle." "Oh, orang Belgia." "Hercule Poirot. Siap membantu Anda." Nama itu mengingatkannya pada sesuatu. Rasanya dia sudah pernah mendengar nama Hercule Poirot. "Anda menikmati perjalanan ini, M. Poirot?" "Terus terang tidak. Bodoh sekali saya mau saja dibujuk untuk ikut serta. Saya benci la mer. Suasananya tidak pernah tenang - tidak sekejap pun." "Well, Anda tahu sekarang ini betul-betul tenang." Poirot mengakui kenyataan ini dengan ogah-ogahan. "A ce moment, memang. Itulah sebabnya saya bersemangat kembali. Saya sekali lagi menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekeliling saya - sikap Anda yang sangat terampil terhadap Jenderal Forbes, misalnya." "Maksud Anda - " Nona Henderson tidak menyelesaikan kalimatnya. Hercule Poirot membungkukkan badannya. "Cara-cara Anda menggali skandal itu. Sungguh mengagumkan!" Tanpa malu-malu Nona Henderson tertawa. "Pembicaraan mengenai pengawal tadi" Saya tahu pokok pembicaraan ini akan membuat laki-laki itu nyerocos dan terengah-engah." Perempuan itu mencondongkan badannya ke depan dan berbisik, "Saya akui, saya suka skandal - semakin aneh, semakin menyenangkan!" Poirot memandang perempuan itu dengan sungguh-sungguh - sosok tubuhnya yang ramping serta terawat baik, bola matanya yang gelap dan tajam, rambutnya yang kelabu; seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang tidak menyembunyikan usianya. Tiba-tiba Ellie berkata, "Saya ingat! Bukankah Anda detektif terkenal itu?" Poirot membungkukkan badan. "Anda terlalu ramah, Mademoiselle." Akan tetapi tidak disangkalnya pernyataan lawan bicaranya. "Asyik sekali," Nona Henderson berkata lagi. "Anda 'sudah berhasil mengikuti jejaknya' seperti yang ditulis dalam buku-buku" Adakah penjahat yang diam-diam menyelip di antara kita" Atau saya bersikap kurang bijaksana?" "Tidak. Sama sekali tidak. Saya terpaksa mengecewakan harapan-harapan Anda. Seperti yang lain-lain, saya berada di sini untuk bersenang-senang." Poirot mengatakan kalimat di atas dengan suara yang sangat sedih sehingga Nona Henderson tertawa. "Oh, besok Anda bisa turun di Alexandria. Anda pernah ke Mesir?" "Tidak, Mademoiselle." Dengan agak tergesa-gesa Nona Henderson berdiri. "Saya mau ikut olahraga dengan Jenderal," katanya memberitahu Poirot. Poirot berdiri dengan sopan. Wanita itu mengangguk kecil kepada Poirot lalu berjalan menuju geladak. Samar-samar mata Poirot menunjukkan kebingungan. Kemudian, senyuman kecil menghiasi bibirnya. Ia berdiri, melongokkan kepalanya ke luar pintu dan melirik ke bawah, ke arah geladak. Nona Henderson tengah bersandar di pagar, berbincangbincang dengan seorang laki-laki bertubuh tinggi dan perkasa. Senyum di bibir Poirot melebar. Ia kembali ke dalam ruangan merokok dengan sikap yang terlalu hati-hati bagaikan kura-kura yang sedang memasukkan diri ke dalam rumahnya. Untuk sejenak ruangan merokok itu menjadi miliknya sendiri, walaupun ia tahu tidak akan berlangsung lama. Memang tidak. Nyonya Clapperton masuk melalui pintu bar dengan sikap percaya diri. Perempuan yang selalu bisa membayar tinggi untuk apa saja yang dia inginkan. Rambutnya yang berombak rapi dibungkus jala rambut dan tubuhnya yang terjaga serta terawat terbungkus pakaian olahraga yang apik. "John - ?" katanya membuka suara. "Oh! Selamat pagi, M. Poirot - Anda melihat John?" "Dia ada di geladak sebelah kanan. Saya - ?" Nyonya Clapperton menghentikan ucapannya dengan gerak isyarat. "Saya akan duduk di sini sebentar." Dengan anggunnya ia duduk di hadapan Poirot. Dan kejauhan perempuan ini tampak seperti berumur dua puluh delapan tahun. Dari dekat ia tampak berusia lima puluh lima tahun - lebih tua dari usianya yang empat puluh sembilan tahun - biarpun rias wajahnya sempurna dan alisnya dicabuti dengan rapi. Bola matanya biru pucat dengan pupil yang amat kecil. "Saya menyesal tidak bertemu Anda sewaktu makan tadi malam," katanya. "Laut sedikit berombak memang - " "Tepat," potong Poirot dengan penuh perasaan. "Untunglah saya pelaut yang hebat," ujar Nyonya Clapperton. "Saya katakan untung karena jantung saya lemah. Bagi saya mabuk laut bisa berarti kematian." "Jantung Anda lemah, Madame?" "Ya. Saya harus hati-hati sekali. Saya tidak boleh terlalu lelah. Semua dokter spesialis berkata begitu!" Nyonya Clapperton sudah mulai membicarakan topik yang - baginya - menarik. Tentang kesehatannya. "John tidak jemu-jemunya berusaha mencegah saya bekerja terlalu banyak. Saya hidup dengan penuh semangat. Anda tahu maksud saya, M Poirot?" "Ya. Ya." "Dia selalu berkata, 'Berusahalah lebih santai, Adeline.' Tapi saya tidak bisa. Hidup harus diberi makna - menurut saya. Sewaktu perang saya bekerja mati-matian. Rumah sakit saya - Anda pernah mendengarnya" Tentu saja saya punya perawatperawat, staf, dan semua itu - tapi sayalah yang sebetulnya menjalankan semuanya." Ia menghela napas. "Vitalitas Anda luar biasa, Nyonya," komentar Poirot dengan nada hampir tanpa perasaan, seperti orang yang menanggapi cue. Nyonya Clapperton tertawa terkikik-kikik. "Setiap orang mengatakan betapa mudanya penampilan saya! Tidak masuk akal. Saya tidak pernah berusaha untuk berpura-pura sehari lebih muda daripada empat puluh tiga tahun," lanjutnya dengan keterusterangan yang tidak jujur, "tapi banyak yang tidak percaya. 'Engkau penuh gairah hidup, Adeline,' begitu kata mereka. Tapi M. Poirot, apa jadinya bila orang tidak penuh gairah hidup?" "Mati," sahut Poirot. Nyonya Clapperton mengerutkan dahi. Jawaban itu tidak disukainya. Laki-laki ini mencoba melucu, ia menyimpulkan. Ia berdiri dan berkata dengan dingin, "Saya harus menemui John." Pada waktu melewati pintu, tas tangannya terjatuh. Isinya berhamburan ke manamana. Dengan gallant Poirot buru-buru membantu. Beberapa menit kemudian sejumlah lipstick, kotak rias, kotak sigaret, dan korek api, serta barang-barang lainnya terkumpul. Nyonya Clapperton menyampaikan rasa terima kasihnya dengan sopan, lalu turun ke geladak dan memanggil, "John - " Kolonel Clapperton masih terlibat percakapan yang mengasyikkan dengan Nona Henderson. Ia berpaling dan cepat-cepat menemui istrinya, membungkukkan badannya dengan sikap melindungi. Kursi geladak yang diduduki istrinya - apakah tempatnya benar begitu" Tidakkah lebih baik - " Tingkah lakunya sopan - penuh perhatian dan lembut. Jelas, sang istri amat dicintai dan dimanja oleh suami tercinta. Nona Ellie Henderson melempar pandangan ke kaki langit - seolah-olah ada sesuatu dalam sikap suami-istri itu yang agak memuakkannya. Poirot menyaksikan peristiwa ini sambil berdiri di pintu ruang merokok. Sebuah suara parau di belakangnya berkata dengan gemetar, "Akan saya kapak perempuan itu seandainya saya suaminya." Seorang laki-laki tua, yang di kalangan orang-orang yang lebih muda di kapal dikenal dengan panggilan ejekan 'Kakek petani teh', memasuki ruangan. "Nak," serunya, "ambilkan saya wiski." Poirot berhenti untuk memungut secarik kertas robek yang tercecer dari tas Nyonya Clapperton. Ternyata merupakan sobekan resep, berisi digitalin. Dimasukkannya kertas itu ke sakunya, dengan maksud mengembalikannya kepada Nyonya Clapperton nanti. "Memang," lanjut laki-laki tua itu, "perempuan beracun. Saya ingat seorang wanita seperti dia di Poona. Waktu itu tahun '87." "Ada yang mengapaknya?" Poirot bertanya. Laki-laki tua itu menggeleng sedih. "Perempuan seperti itu membunuh suaminya secara perlahan-lahan. Clapperton sebenarnya harus mempertahankan haknya. Ia terlalu menuruti kemauan istrinya." "Wanita itu yang memegang kendali keuangan," ujar Poirot serius. "Ha... ha... ha!" laki-laki tua itu terbahak-bahak. "Anda mengungkapkan masalah ini dalam kata-kata yang paling singkat. Memegang kendali keuangan. Ha... ha... ha...!" Dua orang gadis masuk ke ruang merokok. Yang satu berwajah bulat dan berbintikbintik. Rambutnya yang gelap terjulur keluar tidak karuan karena embusan angin. Yang lain wajahnya berbintik-bintik dan rambut ikalnya berwarna coklat Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kemerahan. "Penyelamatan - penyelamatan!" seru Kitty Mooney. "Saya dan Pam akan menyelamatkan Kolonel Clapperton." "Dari cengkeraman istrinya," Pamela Cregan menyambung sambil terengah-engah. "Kami berpendapat dia itu binatang peliharaan..." "Dan perempuan itu mengerikan - ia tidak akan membiarkan suaminya berbuat apaapa," seru kedua gadis itu. "Kalau sedang tidak bersama istrinya biasanya ia direbut oleh perempuan Henderson itu..." "Yang betul-betul menyenangkan, tapi tua sekali..." Keduanya berlari ke luar, terengah-engah di antara gelak tawa mereka. "Penyelamatan - Penyelamatan..." *** Bahwa usaha menyelamatkan Kolonel Clapperton bukan kelakar belaka melainkan rencana yang pasti, terbukti sore itu ketika Pam Cregan yang berumur delapan belas tahun itu menghampiri Poirot dan berbisik, "Lihatlah kami, M. Poirot. Kolonel Clapperton akan kami tarik di depan hidung istrinya dan kami ajak jalanjalan di geladak kapal di bawah cahaya bulan." Tepat pada waktu itu terdengar Kolonel Clapperton berkata, "Rolls-Royce memang mahal, tapi mobil itu praktis bisa dipakai seumur hidup. Sekarang mobilku - " "Mobilku, John," suara Nyonya Clapperton terdengar nyaring dan tajam. Clapperton tidak menunjukkan rasa jengkel atas ketidaksopanan istrinya. Bisa jadi ia sudah terbiasa dengan sikap begitu atau ada alasan lain "Atau ada alasan lain?" Poirot berpikir dan mulai menebak-nebak. "Tentu saja, Sayangku, mobilmu," Clapperton membungkukkan badan ke arah istrinya dan menyelesaikan kalimatnya dengan ketenangan yang sempurna. "Voil? ce qu'on appelle le pukka sahib," pikir Poirot. "Tapi, Jenderal Forbes mengatakan Clapperton sama sekali bukan gentleman. Aku jadi bertanya-tanya sekarang." Seseorang mengusulkan bermain bridge. Nyonya Clapperton, Jenderal Forbes, dan sepasang insan bermata tajam duduk untuk bermain. Nona Henderson sudah minta diri dan keluar menuju geladak. "Bagaimana dengan suami Anda?" tanya Jenderal Forbes ragu-ragu. "John tidak mau bermain bridge," Nyonya Clapperton menyahut. "Menyebalkan sekali." Keempat pemain bridge itu mulai mengocok kartu. Pam dan Kitty maju menghampiri Kolonel Clapperton. Masing-masing menggamit satu lengan. "Anda ikut kami," kata Pam, "Ke geladak. Di sana kita bisa melihat bulan purnama." "Jangan tolol, John," Nyonya Clapperton menegur. "Engkau akan menggigil kedinginan." "Tidak bila bersama kami," sahut Kitty. "Kami hangat!" Kolonel itu berlalu bersama mereka sambil tertawa. Poirot melihat bahwa Nyonya Clapperton mengatakan 'Tidak ada tawaran' sewaktu pertama kali mendapat kesempatan menawar. Poirot keluar, ke tempat berjalan-jalan di geladak. Nona Henderson berdiri di dekat pagar besi, memandang sekelilingnya dengan penuh harap. Pada waktu mendekat untuk menjajarinya, Poirot melihat ekspresi kekecewaan di wajah perempuan itu. Mereka mengobrol sebentar. Ketika akhirnya Poirot berdiam diri, Nona Henderson bertanya, "Apa yang Anda pikirkan?" "Saya mempertanyakan pengetahuan bahasa Inggris saya. Nyonya Clapperton mengatakan, 'John tidak mau bermain bridge.' Bukankah 'tidak bisa bermain' adalah istilah yang biasa dipakai?" "Dia merasa terhina karena suaminya tidak bisa main, kukira," ujar Nona Henderson kering. "Laki-laki tolol, mau menikah dengan perempuan seperti itu." Dalam kegelapan Poirot tersenyum. "Anda tidak berpikir mungkin saja perkawinan itu bahagia?" tanyanya malu-malu. "Dengan perempuan seperti itu?" Poirot mengangkat bahu. "Banyak perempuan menjengkelkan mempunyai suami yang setia. Ini salah satu teka-teki alam. Anda pasti mengakui bahwa tak satu pun yang dikatakan atau diperbuat istrinya kelihatannya menyakitkan hatinya." Nona Henderson sedang memikirkan jawabnya ketika sayup-sayup terdengar suara Nyonya Clapperton dari jendela ruang merokok. "Tidak - saya tidak mau bermain satu kali lagi. Sesak sekali rasanya. Saya mau naik dan menghirup udara di geladak." "Selamat malam," kata Nona Henderson. "Saya mau tidur." Tergesa-gesa ia menghilang. Poirot masuk ke ruang duduk - yang hanya dipakai oleh Kolonel dan kedua gadis tadi. Sang Kolonel sedang memamerkan tipuan dengan kartu-kartu kepada kedua kawannya. Melihat keterampilan Kolonel itu mengocok dan memegang kartu-kartu, Poirot teringat akan cerita Jenderal Forbes tentang karier Kolonel di panggung gedung kesenian. "Saya lihat Anda menyukai kartu meskipun Anda tidak bermain bridge," Poirot membuka suara. "Saya punya alasan untuk tidak bermain bridge," sahut Clapperton sambil memamerkan senyumnya yang menawan. "Akan saya tunjukkan kepada Anda. Kita akan bermain satu ronde." Cepat sekali dibaginya kartu-kartu itu. "Ambillah kartu-kartu Anda. Bagaimana?" Ia menertawakan kebingungan yang terpancar di wajah Kitty. Diletakkannya kartunya. Yang lain berbuat demikian pula. Kitty memegang seluruh klaver. M. Poirot kartu bergambar hati, Pam wajik, dan Kolonel Clapperton sendiri sekop. "Anda lihat?" katanya. "Seorang laki-laki yang bisa membagi kartu mana saja kepada pasangan dan musuh-musuhnya sebaiknya tidak ikut main. Kalau terusmenerus menang, hal-hal yang tidak menyenangkan mungkin bisa terjadi." "Oh!" seru Kitty terengah-engah. "Bagaimana Anda bisa melakukan ini" Segala sesuatunya kelihatannya biasa-biasa saja." "Kecepatan tangan menipu mata," kata Poirot dengan penuh arti - dan ia menangkap perubahan ekspresi wajah Kolonel itu yang tiba-tiba. Seakan-akan Kolonel menyadari untuk sejenak ia telah lepas kontrol. Poirot tersenyum. Selama ini tukang sulap itu tampil dengan topeng pukka sahib. *** Fajar keesokan harinya kapal sampai di Alexandria. Sewaktu Poirot selesai sarapan, dilihatnya kedua gadis itu siap turun ke pantai. Mereka berbicara kepada Kolonel Clapperton. "Kita harus berangkat sekarang," Kitty mendesak. "Orang-orang yang memeriksa paspor akan segera meninggalkan kapal. Anda turun bersama kami, kan" Anda tidak akan membiarkan kami ke pantai berdua saja" Mungkin saja ada kejadian buruk yang menimpa kami." "Tentu saja saya tidak sependapat kalau kalian pergi sendiri," ujar Clapperton seraya tersenyum. "Tapi istri saya belum tentu mau ikut." "Sayang sekali," kata Pam. "Tapi bukankah bisa istirahat panjang yang menyenangkan?" Kolonel Clapperton nampak agak bimbang - jelas keinginannya untuk pergi berjalanjalan sangat kuat. Ia melihat Poirot. "Halo, M. Poirot - Anda mau turun ke pantai?" "Tidak," jawab Poirot. "Saya - saya - akan berbicara kepada Adeline," Kolonel itu memutuskan. "Kami ikut," kata Pam. Dengan cepat Pam mengedipkan mata kepada Poirot. "Mungkin kami bisa membujuknya untuk ikut juga," tambahnya serius. Kelihatannya Kolonel Clapperton menyambut baik usulan ini. Ia kelihatan benarbenar lega. "Ayolah kalau begitu. Kalian berdua ikut," katanya ringan. Bertiga mereka berjalan sepanjang gang geladak. Dengan penuh rasa ingin tahu Poirot, yang kabinnya persis berseberangan dengan kabin Kolonel, mengikuti mereka. Agak tegang Kolonel Clapperton mengetuk pintu kabinnya. "Adeline, Sayangku, engkau sudah bangun?" Suara mengantuk Nyonya Clapperton menyahut dari dalam. "Oh, sialan - ada apa sih?" "Ini John. Engkau mau ke pantai?" "Jelas tidak," suara itu tajam dan tegas. "Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku mau tinggal di tempat tidur hari ini." Pam cepat menyela. "Oh, Nyonya Clapperton, saya kecewa sekali. Kami ingin sekali Anda ikut ke pantai bersama kami. Anda yakin tidak mau ikut?" "Saya betul-betul yakin," suara Nyonya Clapperton bahkan kedengaran lebih tajam. Kolonel Clapperton memutar pegangan pintu, tapi sia-sia. "Ada apa, John" Pintu terkunci. Aku tidak ingin diganggu pelayan." "Maaf, Sayang, maaf. Aku cuma ingin mengambil Baedeker-ku." "Engkau tidak bisa membawanya," hardik Nyonya Clapperton. "Aku tidak akan turun dari tempat tidur. Pergilah, John, dan biarkan aku sedikit tenang." "Tentu, tentu, Sayangku." Kolonel itu mundur. Pam dan Kitty mendekati dan mengelilinginya. "Ayo, kita langsung berangkat. Untunglah Anda sudah pakai topi. Astaga - paspor Anda tidak di dalam kabin, kan?" "Ada di saku saya - " sahut Kolonel. Kitty memegang erat tangan sang Kolonel. "Syukurlah! Ayo kita berangkat." Sambil bersandar di pagar Poirot mengawasi ketiga orang itu berangkat. Ia mendengar helaan napas yang lembut di sampingnya dan menoleh. Dilihatnya Nona Henderson. Mata wanita itu terpaku pada tiga sosok tubuh yang bergerak menjauh. "Jadi mereka pergi ke pantai," ujarnya datar. "Memang. Anda mau ke pantai?" Dilihatnya Nona Henderson mengenakan topi penahan matahari, sepatu, dan menyandang tas yang apik. Penampilannya mengesankan ia akan ke pantai. Setelah hening sejenak yang ditanya menggeleng. "Tidak," katanya, "saya akan tinggal di kapal saja. Banyak surat yang harus saya tulis." Ia membalik dan meninggalkan Poirot. Dengan terengah-engah sesudah berlari empat puluh delapan kali mengelilingi geladak Jenderal Forbes menggantikan tempat Nona Henderson. "Aha!" serunya ketika pandangannya menangkap sosok-sosok tubuh Kolonel dan kedua gadis itu menjauh. "Jadi, dia pergi main-main! Di mana istrinya?" Poirot menjelaskan bahwa Nyonya Clapperton ingin beristirahat seharian di tempat tidur. "Jangan percaya!" pahlawan tua itu mengedipkan satu mata. "Perempuan itu pasti akan bangun dan mencari gara-gara - dan kalau laki-laki malang itu diketahui pergi tanpa pamit, akan terjadi pertengkaran sengit." Namun ramalan Jenderal Forbes tidak menjadi kenyataan. Nyonya Clapperton tidak menampakkan diri pada waktu makan siang. Dan pada saat Kolonel beserta kedua gadis itu kembali ke kapal pukul 16.00, Nyonya Clapperton tetap tidak muncul. Poirot tengah berada di kabinnya dan didengarnya sang suami mengetuk pintu kabin seberang dengan agak takut-takut. Dia mendengar suara ketukan diulang-ulang, pintu kabin coba dibuka, dan akhirnya didengarnya Kolonel memanggil pramugara kapal. "Saya tidak mendapat jawaban. Anda punya kunci?" Poirot segera bangkit dari tempat tidurnya dan keluar, ke gang geladak. *** Cepat sekali berita ini menyebar ke seluruh kapal. Dengan perasaan tidak percaya namun ngeri orang-orang mendengar bahwa Nyonya Clapperton dijumpai mati di tempat tidurnya - sebilah belati penduduk pribumi menembus jantungnya. Serangkaian manik-manik berwarna kuning gading ditemukan di lantai kabinnya. Desas-desus beredar tanpa akhir. Semua penjual manik-manik yang diperbolehkan naik ke kapal hari itu dikumpulkan dan ditanyai! Sejumlah besar uang hilang dari laci kabin! Dan uang itu sudah ditemukan kembali! Eh uang itu belum ditemukan! Permata yang mahal sekali dicuri! Tidak ada permata yang diambil pembunuh! Seorang pramugara ditahan dan mengaku sebagai pelakunya! "Mana yang benar dari semua ini?" tuntut Nona Henderson sambil menghentikan langkah Poirot. Wajahnya pucat serta kusut. "Nona yang baik, bagaimana saya tahu?" "Pasti Anda tahu," kata Nona Henderson lagi. Saat itu sudah larut malam. Kebanyakan orang sudah masuk ke kabin masing-masing. Nona Henderson membawa Poirot menuju sepasang kursi geladak di bagian kapal yang beratap. "Nah, katakanlah kepada saya," desaknya. Poirot meneliti wanita itu dengan serius. "Kasus ini menarik," katanya. "Benarkah beberapa permata yang amat berharga dicuri?" Poirot menggeleng. "Tidak ada permata yang diambil. Hanya sejumlah kecil uang tunai yang disimpan di laci hilang." "Saya tidak akan pernah merasa aman berada di kapal lagi," ujar Nona Henderson dengan gemetar. "Ada petunjuk orang kulit hitam yang kejam dan kasar mana yang melakukan pembunuhan itu?" "Tidak ada," Poirot menjelaskan. "Secara keseluruhan peristiwa ini agak - aneh." "Apa maksud Anda?" Ellie bertanya tajam. Poirot membentangkan kedua tangannya. "Eh, bien, perhatikanlah fakta-faktanya. Pada waktu ditemukan Nyonya Clapperton sudah meninggal paling sedikit lima jam. Sejumlah uang lenyap. Seuntai manik-manik tergeletak di lantai dekat tempat tidurnya. Pintu terkunci dan kuncinya hilang. Jendela - jendela, bukan lubang angin di sisi kapal - yang menghadap geladak terbuka." "Lalu?" tanya wanita itu tidak sabar. "Tidakkah Anda berpikir bahwa pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan seperti itu mencurigakan sekali" Ingat, para penjual kartu pos, manik-manik, dan penukar uang yang diperbolehkan naik ke kapal dikenal baik oleh polisi." "Meskipun demikian biasanya pramugara mengunci kabin," kata Ellie lebih lanjut. "Memang, untuk mencegah adanya pencurian kecil-kecilan. Tapi, ini pembunuhan." "Sebenarnya apa yang Anda pikirkan, M. Poirot?" Suara Ellie kedengaran agak terengah-engah. "Saya memikirkan pintu yang terkunci itu." Nona Henderson mempertimbangkan jawaban Poirot. "Saya tidak melihat ada sesuatu dalam pintu yang terkunci itu. Pembunuh meninggalkan kabin melalui pintu, menguncinya, dan membawa kunci itu supaya kejahatannya tidak terlalu cepat diketahui. Dia pandai sekali karena perbuatannya baru terbongkar pukul 16.00." "Bukan, bukan itu, Mademoiselle. Anda tidak memahami masalah yang ingin saya kemukakan. Saya tidak memikirkan bagaimana ia keluar, tetapi bagaimana ia masuk." "Lewat jendela tentunya." "Bisa jadi. Tapi, kecil sekali kemungkinan cara ini ditempuh - lagi pula orangorang kan naik-turun geladak sepanjang hari. Ingat?" "Kalau begitu, lewat pintu," kata Nona Henderson tidak sabar. "Anda lupa, Mademoiselle. Nyonya Clapperton sudah mengunci pintu kabinnya dari dalam. Ia mengunci pintu sebelum Kolonel Clapperton meninggalkan kapal pagi tadi. Malahan Kolonel tadi mencoba membuka pintu - sehingga kita tahu bahwa pintu sudah terkunci." "Mustahil. Mungkin saja pintu itu macet - atau Kolonel tidak memutar pegangan pintu dengan benar." "Tapi hal itu tidak cuma berdasarkan kata-katanya. Kami sungguh-sungguh mendengar Nyonya Clapperton sendiri berkata begitu." "Kami?" "Nona Mooney, Nona Cregan, Kolonel Clapperton, dan saya sendiri." Ellie Henderson mengetuk-ngetukkan kakinya yang bersepatu rapi. Sejenak ia berdiam diri. Kemudian dengan nada agak marah ia berkata, "Lalu - apa sebenarnya kesimpulan Anda" Saya kira - andaikata Nyonya Clapperton bisa mengunci pintu, ia dapat membukanya juga." "Tepat. Persis." Poirot memalingkan wajahnya yang berseri-seri kepada lawan bicaranya. "Dan Anda tahu ke arah mana pemikiran ini membawa kita" Nyonya Clapperton membuka pintu dan membiarkan si pembunuh masuk. Nah, apakah ia akan bersikap begini kepada penjual manik-manik?" Ellie menyanggah pendapat Poirot. "Mungkin saja ia tidak tahu siapa itu. Mungkin pembunuh mengetuk pintu - ia lalu berdiri dan membuka pintu - orang itu lalu memaksa masuk dan membunuhnya." Poirot menggeleng. "Justru sebaliknya. Ia berbaring dengan tenangnya ketika ditikam." Nona Henderson menatap Poirot dalam-dalam. "Bagaimana pendapat Anda?" tanya Ellie tiba-tiba. Poirot tersenyum. "Kelihatannya ia mengenal orang yang diperbolehkannya masuk...." "Maksud Anda?" Nona Henderson memotong. Suaranya kedengaran agak kasar. "Pembunuhnya adalah penumpang kapal ini?" Poirot mengangguk. "Kelihatannya begitu." "Dan untaian manik-manik di lantai itu hanya tipuan untuk menyesatkan?" "Persis." "Juga uang yang dicuri itu?" Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tepat." Hening sebentar. Kemudian Nona Henderson berkata lambat-lambat, "Menurut saya Nyonya Clapperton memang sangat tidak menyenangkan dan saya tidak yakin ada orang di kapal ini yang menyukainya - tapi, tak seorang pun mempunyai alasan untuk membunuhnya." "Kecuali suaminya, mungkin," celetuk Poirot. "Anda tidak sungguh-sungguh berpendapat - " Ellie tidak menyelesaikan kalimatnya. "Setiap orang di kapal ini berpendapat Kolonel Clapperton tidak bersalah bila 'mengapak perempuan itu'. Saya kira inilah ungkapan yang dipakai." Ellie Henderson memandangnya - menunggu. "Akan tetapi saya harus mengatakan," Poirot melanjutkan, "bahwa saya sendiri tidak melihat tanda-tanda kejengkelan dalam diri Kolonel yang baik itu. Lagi pula - ini yang lebih penting - ia mempunyai alibi. Sepanjang hari ia pergi bersama kedua gadis itu dan baru kembali ke kapal pukul 16.00. Pada waktu itu Nyonya Clapperton sudah beberapa jam meninggal." Hening lagi sebentar. Ellie Henderson berkata lembut, "Tapi, Anda masih berpendapat - salah seorang penumpang?" Poirot mengiyakan. Mendadak Ellie tertawa - tawa menantang yang serampangan. "Teori Anda mungkin sulit dibuktikan, M. Poirot. Banyak sekali penumpang di kapal ini." Poirot membungkukkan badan kepadanya. "Saya meminjam istilah yang digunakan dalam cerita-cerita detektif Anda, 'Saya punya cara sendiri, Watson.'" *** Hari berikutnya, pada waktu makan malam, semua orang di kapal menemukan ketikan selebaran di piring masing-masing, yang isinya mengundang mereka untuk hadir di ruang duduk utama pada pukul 20.30. Ketika semua sudah berkumpul, kapten kapal maju ke panggung yang biasanya digunakan untuk pentas kelompok orkestra dan menyambut mereka. "Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, Anda sekalian mengetahui tragedi yang terjadi kemarin. Saya percaya kalian bersedia bekerja sama untuk menyeret pelaku kejahatan kejam itu ke pengadilan." Ia berhenti dan berdehem. "Di kapal ini kita bersama M. Hercule Poirot yang mungkin Anda kenal sebagai orang yang berpengalaman luas dalam - eh - perkara-perkara seperti ini. Saya harap Anda mendengarkan dengan cermat apa yang ia katakan." Tepat pada saat itulah Kolonel Clapperton, yang tidak menampakkan diri pada waktu makan malam, muncul dan duduk di sebelah Jenderal Forbes. Ia nampak seperti orang bingung karena sedih - sama sekali tidak kelihatan sebagai laki-laki yang lega karena terbebas dari istrinya. Entah karena ia aktor yang cemerlang atau karena ia benar-benar menyukai istrinya yang tidak menyenangkan itu. "Silakan, M. Hercule Poirot," kata kapten itu, lalu turun. Poirot menggantikan tempatnya. Penampilannya yang penuh percaya diri nampak menggelikan ketika ia memandang para pendengarnya. "Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya," katanya membuka suara. "Anda baik sekali bersedia mendengarkan saya. Yang terhormat Kapten telah mengatakan bahwa saya mempunyai pengalaman dalam perkara-perkara seperti ini. Memang, saya mempunyai sedikit gagasan mengenai bagaimana mengungkap perkara ini." Ia memberi isyarat dan seorang pramugara maju untuk memberikan sebuah benda tak berbentuk yang besar sekali dan terbungkus kain seprai. "Apa yang akan saya lakukan ini mungkin agak mengejutkan Anda," kata Poirot memperingatkan "Anda boleh menganggap saya eksentrik, mungkin tidak waras. Walaupun demikian, saya yakinkan Anda bahwa di balik ketidakwarasan saya ini ada - seperti yang Anda orang-orang Inggris katakan - metode." Sejenak kedua matanya bertemu dengan pandangan Nona Henderson. Poirot mulai membuka bungkusan benda raksasa itu. "Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, di sini saya mempunyai saksi utama tentang siapa yang membunuh Nyonya Clapperton." Dengan cekatan disingkirkannya kain penutup terakhir sehingga benda yang disembunyikannya itu nampak - boneka kayu mendekati ukuran manusia, mengenakan setelan beludru dan kerah renda. "Nah, Arthur," ujar Poirot, suaranya berubah secara tidak kentara - tidak lagi asing - sebaliknya nada suaranya persis orang Inggris yang sedikit beraksen Cockney. "Dapatkah Anda memberitahu saya - saya ulangi - dapatkah Anda memberitahu saya - apa saja tentang kematian Nyonya Clapperton?" Leher boneka itu bergoyang-goyang sedikit. Rahang bawahnya yang terbuat dari kayu bergerak-gerak dan suara wanita yang tajam lagi tinggi mengatakan, "Ada apa, John" Pintu terkunci. Aku tidak ingin diganggu pelayan..." Terdengar teriakan - kursi terbalik - seorang laki-laki berdiri terhuyung-huyung, tangannya memegang tenggorokannya - berusaha berbicara - berusaha... Kemudian, mendadak ia jatuh ke lantai. Kepalanya terempas. Laki-laki itu adalah Kolonel Clapperton. *** Poirot dan dokter kapal bangkit setelah berjongkok di dekat tubuh tak berdaya itu. "Sudah tiada. Serangan jantung," kata dokter singkat. Poirot mengangguk. "Terkejut karena akalnya terbongkar," tambahnya. Poirot menoleh kepada Jenderal Forbes. "Jenderal, Andalah yang memberikan petunjuk berharga dengan menyebut panggung gedung kesenian. Saya bingung berpikir - dan gagasan itu muncul. Andaikan sebelum perang Clapperton adalah seorang ventriloquist... Jika demikian, mungkin sekali tiga orang mendengar Nyonya Clapperton berbicara dari dalam kabinnya pada waktu ia sebenarnya sudah meninggal..." Ellie Henderson berada di sampingnya. Kedua matanya gelap dan penuh kesedihan. "Tidak tahukah Anda bahwa jantungnya lemah?" tanyanya. "Saya memang menduga demikian... Nyonya Clapperton bercerita bahwa jantungnya sendiri lemah, tapi dia mengesankan saya sebagai tipe perempuan yang senang dianggap sakit. Kemudian saya memungut sobekan resep yang isinya digitalin dosis tinggi. Digitalin adalah obat jantung, tapi pasti bukan untuk Nyonya Clapperton karena obat ini membuat pupil mata membesar. Gejala ini tidak saya jumpai pada mata Nyonya Clapperton - namun, ketika saya memandang mata Kolonel, saya langsung melihat tanda-tanda itu." Ellie menggumam. "Jadi Anda sudah mengira - perkara ini akan berakhir - seperti ini?" "Jalan terbaik. Apakah Anda tidak berpendapat demikian, Mademoiselle?" tanya Poirot lembut. Dilihatnya air mata mengembang di kedua mata perempuan itu. "Anda tahu," kata Nona Ellie Henderson, "Anda tahu sejak semula... bahwa saya menaruh perhatian... Tetapi dia tidak melakukan itu demi saya.... Kedua gadis itulah - yang masih muda membuatnya menyadari perbudakannya. Ia ingin bebas sebelum terlalu terlambat.... Ya, saya percaya itulah persoalannya... Kapan Anda mengira - dialah pembunuhnya?" "Kontrol dirinya melampaui batas," sahut Poirot sederhana. "Walaupun sikap istrinya begitu menyakitkan, kelihatannya ia tidak pernah tersinggung. Berarti ia begitu terbiasa dengan perlakuan seperti itu sehingga tidak lagi sakit hati, atau - eh bien - saya percaya ada alasan lain... dan saya benar.... "Lalu, nampaknya ia ngotot untuk memperlihatkan kemampuannya bermain sulap - malam hari sebelum kejahatan itu terjadi ia pura-pura membuka rahasia dirinya. Padahal orang-orang seperti Clapperton tidak pernah membuka rahasia pribadinya. Pasti ada alasan. Selama orang-orang berpikir ia tukang sulap, mereka tidak akan berpikir bahwa sebenarnya ia seorang ventriloquist." "Dan suara yang kita dengar tadi - suara Nyonya Clapperton?" "Salah seorang pramugari mempunyai suara mirip suara Nyonya Clapperton. Saya membujuknya untuk bersembunyi di belakang panggung dan mengajarkan kata-kata yang harus diucapkannya." "Itu tipu muslihat - tipuan yang kejam," Ellie berteriak. "Saya tidak menyetujui pembunuhan," Poirot menyahut. XVIII APA SAJA ISI KEBUNMU" HERCULE POIROT menumpuk surat-surat di hadapannya dengan rapi. Ia mengambil surat paling atas, membaca alamat surat sejenak, lalu dengan rapinya membuka bagian belakang amplop dengan pisau kertas kecil yang disimpannya di meja sarapan untuk keperluan-keperluan mendesak seperti ini, serta mengeluarkan isinya. Di dalamnya masih ada amplop lagi yang dilem rapat-rapat dengan lilin. Pada amplop itu tertulis 'Pribadi dan Rahasia'. Kedua alis Poirot naik sedikit. Ia bergumam, "Patience! Nouns allons arriver!" lalu sekali lagi dipergunakannya pisau kertas yang kecil itu. Kali ini sampul itu menyembulkan selembar surat - dalam tulisan tangan yang morat-marit. Beberapa kata digarisbawahi dengan tebal. Poirot membaca surat itu setelah membuka lipatannya. Lagi-lagi surat itu diawali dengan kata 'Pribadi dan Rahasia'. Di sisi kanan kertas tertulis alamat Rosebank, Charman's Green, Bucks - serta tanggal surat - 21 Maret. M. Poirot yang terhormat, Seorang sahabat lama yang amat berarti bagi saya menyarankan saya untuk menghubungi Anda. Sahabat saya ini mengetahui kekhawatiran serta kesulitan yang mencekam saya akhir-akhir ini. Bukan karena ia. mengetahui permasalahan yang sebenarnya - yang saya simpan sendiri seluruhnya - persoalan ini benar-benar pribadi sifatnya. Sahabat saya meyakinkan saya bahwa Anda sama dengan kebijaksanaan itu sendiri - lagi pula saya tidak perlu khawatir akan berurusan dengan polisi - yang, andaikan kecurigaan saya ini terbukti benar, sangat tidak saya inginkan. Tentu saja saya mungkin sama sekali keliru. Akhir-akhir ini saya merasa kalut sekali menderita insomnia dan akibat beberapa penyakit yang saya idap musim dingin yang lalu - sehingga tidak bisa menyelidiki berbagai permasalahan saya sendiri. Saya tidak mempunyai alat maupun kemampuan. Di pihak lain, saya harus menekankan lagi bahwa masalah ini merupakan persoalan keluarga yang peka sekali, dan karena berbagai alasan mungkin saja saya menginginkan agar seluruh masalah ini dibekukan. Andaikan saya yakin akan fakta-fakta yang ada dan sanggup menangani persoalan ini sendiri, saya lebih suka berbuat demikian. Saya harap saya sudah menjelaskan maksud saya. Kalau Anda bersedia menyelidiki perkara ini, silakan menghubungi saya di alamat di atas. Hormat saya, Amelia Barrowby Poirot membaca surat itu sekali lagi. Lagi-lagi alisnya dinaikkan sedikit. Kemudian dikesampingkannya surat itu dan diambilnya surat berikutnya. Tepat pukul 10.00 ia masuk ke ruangan tempat Nona Lemon, sekretaris pribadinya, duduk menunggu instruksi-instruksi yang harus dikerjakannya hari itu. Nona Lemon berumur empat puluh delapan tahun dan penampilannya tidak menawan. Kesan umum tentang dirinya adalah kurus, tulang-tulangnya menonjol, serta tampil seadanya. Sebagaimana Poirot, dia suka segala sesuatu serba teratur. Meskipun kemampuan berpikirnya lumayan, ia tidak pernah berpikir kecuali bila diminta. Poirot memberikan surat-surat yang masuk pagi itu kepada Nona Lemon. "Mademoiselle, tolong buatkan surat penolakan yang baik untuk semua surat ini." Nona Lemon melirik surat-surat itu, dan dengan cepatnya membubuhkan tulisan Mesir Kuno pada masing-masing sampul. Tanda-tanda ini hanya dapat dibacanya sendiri karena ditulis dalam kode-kode pribadinya: 'Sabun lembut'; 'tamparan'; 'dengkur anak kucing'; 'kaku'; dan sebagainya. Setelah selesai ia mengangguk lalu mengangkat kepalanya untuk mendengarkan perintah selanjutnya. Poirot mengulurkan surat Amelia Barrowby. Nona Lemon mengeluarkan isi surat dari sampul rangkapnya, membacanya dengan teliti, lalu mendongakkan kepalanya dengan wajah bertanya-tanya. "Ya, M. Poirot?" Pensilnya bergoyang-goyang - siap menulis - di atas kertas stenonya. "Apa pendapatmu mengenai surat ini, Nona Lemon?" Sambil agak mengerutkan keningnya Nona Lemon meletakkan pensilnya, lalu membaca surat itu sekali lagi. Bagi Nona Lemon isi surat itu tidak berarti apa-apa, kecuali kalau dia diminta untuk menyusun surat balasan yang baik. Jarang sekali majikannya menuntut kemampuan pribadinya, selain kemampuan kerjanya. Permintaan seperti ini agak menjengkelkannya - karena dia mirip mesin saja, sama sekali tidak tertarik pada permasalahan orang. Sebenarnya, ambisinya dalam hidup ini adalah menciptakan sistem pengarsipan yang sempurna sehingga semua sistem yang ada tidak akan dipakai lagi. Dia selalu memimpikan sistem itu pada malam hari. Meskipun demikian, Poirot tahu bahwa Nona Lemon sungguh-sungguh cakap dalam menangani persoalan-persoalan manusiawi yang murni. "Bagaimana?" Poirot mendesak. "Dasar nenek-nenek," komentar Nona Lemon. "Jadi setengah mati ketakutan." "Ah! Menurutmu, dia begitu ketakutan?" Nona Lemon tidak menjawab. Ia memandang surat bersampul rangkap itu sebentar. "Sangat rahasia," katanya. "Dan tidak memberi informasi apa-apa." "Memang," Poirot mengiyakan. Sekali lagi tangan Nona Lemon menggantung penuh harap di atas kertas steno. Kali ini Poirot menanggapi. "Katakan kepadanya saya akan menemuinya kapan saja ia menghendaki, kecuali kalau ia lebih suka berkonsultasi dengan saya di sini. Jangan kautik surat ini - tulis tangan saja." "Baik, M. Poirot." Poirot mengeluarkan surat-surat lagi. "Ini tagihan-tagihan." Tangan Nona Lemon yang efisien cepat-cepat mengelompokkan tagihan-tagihan itu. "Akan saya bayar semuanya kecuali dua tagihan ini." "Mengapa yang dua itu" Tidak ada yang salah dengan keduanya." "Kedua perusahaan itu baru saja berhubungan dengan Anda. Rasanya kurang enak kalau membayar terlalu cepat pada waktu Anda baru saja membuka rekening - kesannya seakan-akan Anda ingin mendapat nama baik di kemudian hari." "Ah!" Poirot mendesah. "Saya akui pengetahuanmu tentang pengusaha-pengusaha Inggris lebih hebat dari saya." "Hampir semuanya saya ketahui tentang mereka," sahut Nona Lemon dengan muram. *** Surat untuk Amelia Barrowby ditulis dan dikirim sebagaimana mestinya, namun tidak ada surat balasan. Mungkin, pikir Poirot, perempuan tua itu sudah berhasil membongkar misteri itu sendiri. Walaupun demikian, Poirot agak heran mengapa dia tidak menulis surat balasan, sekadar sopan-santun, untuk menjelaskan bahwa jasanya tidak diperlukan lagi. Lima hari kemudian setelah menerima tugas-tugas di pagi hari, Nona Lemon berkata kepada Poirot, "Nona Barrowby yang kita beri surat itu - tidak aneh kalau tidak ada jawaban darinya. Ia sudah meninggal." Hercule Poirot berkata pelan sekali, "Ah - meninggal." Suaranya terdengar bukan seperti jawaban maupun pertanyaan. Sesudah membuka tas tangannya, Nona Lemon mengulurkan guntingan surat kabar. "Saya melihatnya di kereta api, lalu menyobeknya." Baru terpikir oleh Poirot meskipun Nona Lemon menggunakan kata 'menyobek', berita itu digunting dengan rapinya, ketika ia membaca pengumuman yang digunting dari kolom 'Kelahiran, Kematian, dan Pernikahan' di koran Morning Post. 'Tanggal 26 Maret - mendadak - di Rosebank, Charman's Green, Amelia Jane Barrowby, dalam usia tujuh puluh tiga tahun. Mohon tidak mengirim bunga.' Poirot membaca pengumuman itu lagi. Ia berbisik, "Mendadak." Lalu, ia berkata cepat-cepat, "Tolong tulislah surat ini, Nona Lemon." Pensil di tangan Nona Lemon bergerak-gerak. Nona Lemon, yang pikirannya dipenuhi dengan sistem pengarsipan yang rumit, menulis steno dengan kilat tapi benar. Nona Barrowby yang terhormat, Saya belum menerima surat balasan Anda. Namun karena saya akan berada di kawasan Charman Jumat ini, akan saya temui Anda pada hari itu untuk membicarakan lebih lanjut masalah yang Anda sebut-sebut dalam surat. Hormat saya, dsb. "Ketiklah surat ini. Kalau langsung diposkan, surat ini akan sampai di Charman malam nanti." Keesokan harinya sepucuk surat dalam sampul berpinggiran hitam tiba lewat pengiriman pos yang kedua. M. Poirot yang terhormat, Menjawab surat Anda, perlu saya beritahukan bahwa bibi saya, Nona Barrowby, telah meninggal dunia pada tanggal 26. Dengan demikian permasalahan yang Anda bicarakan dalam surat tidak berarti lagi. Hormat saya, Mary Delafontaine Poirot tersenyum kepada dirinya sendiri. "Tidak berarti lagi.... Ah, inilah yang akan kita lihat. En avant - ke Charman's Green." Rosebank adalah sebuah rumah yang sesuai dengan namanya, yang lebih indah daripada kebanyakan rumah yang setingkat dengannya. Hercule Poirot berhenti sejenak tatkala ia melintasi jalan setapak menuju pintu depan untuk memandang dengan rasa senang kebun yang teratur rapi di kedua sisinya. Pohon-pohon mawar yang menjanjikan panen bunga yang melimpah pada waktunya, bakung, tulip yang mulai mengembang, hyasinta - sebagian hamparan pohon terakhir dibatasi dengan kulit tiram. Poirot bergumam kepada dirinya sendiri. "Bagaimana bunyi sajak Inggris yang dinyanyikan anak-anak itu?" Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bibi Mary, selamat pagi, Apa saja isi kebunmu" Kulit kerang dan ilalang, Dan sederet gadis ayu. "Bukan sederet gadis ayu, mungkin," pikir Poirot, "tapi di sini paling tidak ada seorang gadis ayu." Pintu depan dibuka, dan seorang pelayan bertubuh kecil yang rapi, yang memakai topi dan celemek, agak ragu-ragu memandang laki-laki asing berkumis lebat yang tengah berbicara sendirian keras-keras di kebun depan. Seperti yang dilihat Poirot, pelayan itu adalah gadis berbadan kecil yang teramat rupawan, dengan mata biru yang bulat dan pipi merah jambu. Dengan sopan Poirot mengangkat topinya lalu menyapa si pelayan, "Maaf, apakah Amelia Barrowby tinggal di sini?" Pelayan itu terperanjat. Bola matanya bahkan semakin bulat. "Oh, sir, tidak tahukah Anda" Ia sudah meninggal. Mendadak sekali. Selasa malam yang lalu." Gadis itu ragu-ragu antara tidak mempercayai seorang asing dan merasa senang untuk membicarakan penyakit dan kematian, seperti yang biasa dilakukan orangorang dari kalangannya. "Anda mengagetkan saya," Poirot berbohong. "Saya ada janji dengan Nona Barrowby hari ini. Mungkin saya bisa bertemu dengan wanita lainnya yang tinggal di sini?" Pelayan itu kelihatan ragu-ragu. "Nyonya" Well, Anda mungkin dapat bertemu Nyonya, tapi saya tidak tahu apakah Nyonya bersedia menemui tamu." "Ia akan menemui saya," ujar Poirot seraya menyerahkan kartu namanya. Nada bicara Poirot yang tegas cukup berpengaruh. Pelayan berpipi merah jambu itu mengalah lalu mengantarkan Poirot masuk ke ruang duduk di sebelah kanan ruang besar. Kemudian, dengan kartu nama di tangannya, ia berlalu untuk memanggil majikannya. Hercule Poirot mengamati sekelilingnya. Ruangan itu betul-betul kamar tamu yang konvensional - dindingnya berlapis kertas warna putih gandum dengan dekorasi melintang di bagian atasnya, dilengkapi draperi dari kain, bantalan dan tirai berwarna merah mawar, sejumlah hiasan kecil serta ornamen dari keramik berkualitas tinggi. Tidak ada yang menonjol dalam kamar tamu itu, yang menunjukkan kepribadian tersendiri. Tiba-tiba Poirot, yang sangat peka, merasakan sepasang mata tengah mengawasinya. Dia memutar tubuh. Seorang gadis berdiri di pintu yang bentuknya seperti jendela besar - berbadan kecil, pucat, berambut hitam pekat, dan matanya penuh kecurigaan. Gadis itu melangkah masuk. Ketika Poirot membungkuk sedikit ia tergesa-gesa melontarkan pertanyaan, "Untuk apa Anda datang kemari?" Poirot tidak menjawab, cuma menaikkan alisnya. "Anda bukan pengacara, kan?" Bahasa Inggrisnya bagus, tapi jelas dia bukan orang Inggris. "Mengapa saya harus jadi pengacara, Mademoiselle?" Yang ditanya menatap cemberut. "Saya kira Anda pengacara. Saya kira Anda kemari, mungkin, untuk menasihatinya bahwa ia tidak mengerti apa yang dilakukannya. Halhal seperti ini sudah saya dengar - bukan karena dipengaruhi; begitulah mereka mengatakannya. Benar" Akan tetapi itu keliru. Ia menginginkan saya mewarisi uangnya dan saya akan mendapatkannya. Kalau perlu saya akan menyewa pengacara saya sendiri. Uang itu kepunyaan saya. Itu yang ditulisnya dalam surat wasiatnya, maka begitulah jadinya nanti." Gadis ini tampak jelek sekali, dagunya maju ke depan dan matanya bercahaya. Pintu terbuka. Seorang perempuan yang tinggi masuk lalu menegur, "Katrina." Gadis itu mundur. Wajahnya memerah, menggumamkan sesuatu, lalu keluar melalui jendela besar itu. Poirot memutar tubuhnya agar berhadapan dengan perempuan yang baru saja masuk itu, yang dengan sangat berpengaruh mengendalikan situasi dengan hanya mengucapkan satu patah kata saja. Ada nada memerintah dalam suaranya, merendahkan, dan samar-samar ironi yang sopan. Segera Poirot sadar ia tengah berhadapan dengan pemilik rumah, Mary Delafontaine. "M. Poirot" Saya sudah menulis surat kepada Anda. Pasti Anda sudah menerimanya." "Astaga! Saya keluar kota baru-baru ini." "Oh, saya maklum. Kalau begitu saya harus memperkenalkan diri. Saya Mary Delafontaine. Ini suami saya; sedangkan Nona Barrowby adalah bibi saya." Delafontaine masuk dengan amat diam-diam, sehingga kehadirannya tidak disadari Poirot. Orangnya tinggi, beruban, sikapnya penuh keraguan. Ketegangannya tercermin dari sikap tangannya yang meraba-raba dagunya. Acap kali ia melihat ke arah istrinya. Jelas ia mengharapkan sang istri memimpin pembicaraan. "Saya minta maaf karena datang di tengah-tengah kesedihan Anda," kata Poirot. "Saya tahu ini bukan kesalahan Anda," Nyonya Delafontaine menyahut. "Bibi meninggal Selasa petang yang lalu. Kematiannya tidak terduga." "Mendadak sekali," Delafontaine menimpali. "Pukulan yang menyakitkan bagi kami." Kedua matanya mengawasi jendela besar, tempat gadis tadi menghilang. "Maafkan saya," kata Poirot lagi. "Kalau begitu, saya minta diri." Poirot melangkah menuju pintu. "Tunggu sebentar," Delafontaine menahan langkahnya. "Anda - eh - ada janji dengan Bibi Amelia, benar begitu?" "Persis." "Mungkin Anda bersedia menjelaskan persoalannya kepada kami," istrinya menyambung. "Kalau ada yang dapat kami bantu - " "Persoalannya bersifat pribadi," Poirot menjelaskan. "Saya detektif," katanya menambahkan. Delafontaine menjatuhkan patung keramik kecil yang dibawanya. Istrinya kelihatan bingung. "Detektif" Dan Anda ada janji dengan Bibi" Betapa anehnya!" Perempuan itu menatap Poirot lekat-lekat. "Tidak dapatkah Anda menceritakan sedikit lebih banyak kepada kami, M. Poirot" Kedengarannya - kedengarannya fantastis." Poirot diam sejenak. Dengan hati-hati ia memilih kata-kata. "Madame, sulit bagi saya untuk mengetahui apa yang harus saya lakukan." "Begini," ujar Delafontaine. "Bibi tidak menyebut-nyebut orang-orang Rusia, ya kan?" "Orang-orang Rusia?" "Ya, Anda tahu - orang-orang Bolshevik, Pengawal Merah, yang begini-begitu." "Jangan mengada-ada, Henry," tegur istrinya. Delafontaine menjadi kecut. "Maaf - maaf - saya cuma menduga-duga." Mary Delafontaine memandang Poirot dengan pandangan bersahabat. Bola matanya sangat biru - warna bunga forget-me-not. "Kalau Anda dapat menjelaskan apa saja kepada kami, M Poirot, saya sangat berterima kasih. Anda harus yakin bahwa saya punya - alasan untuk bertanya." Delafontaine nampak terkejut. "Hati-hati - engkau kan tahu mungkin tidak ada apaapa." Lagi-lagi istrinya menghentikannya dengan satu kerlingan. "Bagaimana, M. Poirot?" Dengan pelan dan muram Poirot menggeleng. Menolak dengan rasa sesal yang kentara sekali, tapi toh dia menggeleng. "Saat ini, Madame, saya khawatir saya terpaksa tidak bisa berkata apa-apa." Poirot membungkukkan badan, mengambil topinya, dan menuju pintu. Mary Delafontaine mengikutinya. Di pintu Poirot berhenti dan memandang nyonya rumah. "Saya kira Anda menyukai kebun Anda, Madame?" "Saya" Memang. Saya luangkan banyak waktu untuk berkebun." "Je vous fait mes compliments - terimalah pujian saya." Sekali lagi Poirot membungkukkan badan, lalu melangkah ke pintu pagar. Sewaktu melewati pintu dan membelok ke kanan, Poirot melirik ke belakang. Dilihatnya dua orang - seorang berwajah pucat mengawasinya dari jendela lantai pertama dan seorang laki-laki yang tegap lagi jantan mondar-mandir di sisi seberang jalan. Poirot mengangguk kepada dirinya sendiri. "Jelas sudah," gumamnya. "Ada tikus dalam lubang ini! Apa yang harus diperbuat kucing sekarang?" Keputusan yang diambilnya membawanya ke kantor polisi terdekat. Di sini ia menelepon beberapa kali. Nampaknya berhasil. Diayunkannya langkahnya ke markas polisi Charman's Green dan minta bertemu dengan Inspektur Sims. Inspektur Sims bertubuh besar dan tegap serta sikapnya serius. "M. Poirot?" sapanya. "Saya sependapat. Baru saja saya ditelepon oleh kepala pengawal yang berbicara tentang Anda. Katanya Anda singgah di sini. Silakan masuk." Pintu ditutup. Inspektur mempersilakan Poirot duduk sebelum ia sendiri duduk lalu menghunjamkan tatapan menyelidik kepada tamunya. "Anda gesit sekali, M. Poirot. Datang ke sini untuk membicarakan kasus Rosebank ini sebelum kami menyadari bahwa ini sebuah kasus. Apa yang menyebabkan Anda melibatkan diri?" Poirot mengeluarkan surat yang diterimanya dari Nona Barrowby lalu mengangsurkannya kepada Inspektur, yang membacanya dengan penuh minat. "Menarik," komentar Inspektur. "Masalahnya adalah isi surat ini bisa mengandung banyak arti. Sayang, ia tidak bisa menggambarkan persoalannya secara lebih jelas, sehingga dapat membantu kita sekarang ini." "Atau, mungkin tidak diperlukan pertolongan lagi." "Maksud Anda?" "Mungkin ia masih hidup." "Anda berpikir sejauh itu" Hhmm... mungkin saja Anda benar." "Inspektur, saya mohon Anda mengisahkan apa yang terjadi. Saya tidak tahu apaapa." "Dengan senang hati. Perempuan tua itu sakit sesudah makan malam Selasa yang lalu. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Sawan - kejang-kejang - dan macam-macam lagi. Dokter dipanggil. Pada waktu dokter tiba, perempuan tua itu meninggal. Diduga almarhumah meninggal karena serangan sawan. Nah, dokter kurang yakin akan penyebab kematian melihat keadaan pasiennya. Dengan ragu-ragu dokter memberi penjelasan, bahkan memakai ungkapan halus, dan menegaskan bahwa dia tidak dapat memberikan surat keterangan kematian. Sejauh keluarga itu terlibat, di sinilah letak persoalannya. Mereka menunggu hasil pemeriksaan mayat. Dokter langsung memberi kami informasi - bersama dokter bedah kepolisian dia melakukan otopsi - dan hasilnya tidak diragukan lagi. Perempuan tua itu mati akibat strychnin dalam dosis tinggi." "Aha!" "Ini kenyataannya. Perbuatan keji. Persoalannya adalah siapa yang meracuninya. Pasti racun itu ditelannya hanya sesaat sebelum kematiannya. Mula-mula kami berpendapat racun itu dimasukkan ke dalam makanan malamnya - tapi, terus terang saja, gagasan ini rasanya tidak masuk akal. Mereka makan sup artichoke yang dihidangkan dalam mangkuk besar, pie ikan, dan kue tar apel. "Nona Barrowby, Delafontaine, dan istrinya bersama-sama makan hidangan itu. Nona Barrowby punya semacam suster penjaga - seorang gadis berdarah campuran Rusia - tapi ia tidak makan bersama-sama keluarga itu. Dia mendapat sisa makanan dari ruang makan. Ada juga seorang pelayan. Namun, malam itu ia pergi ke luar. Dibiarkannya sup di atas kompor dan pie ikan di oven, sedangkan kue tarnya sudah dingin. Ketiga anggota keluarga itu makan hidangan yang sama - lepas dari ini saya kira Anda tidak akan pernah mendengar strychnin melewati tenggorokan dengan cara itu. Strychnin pahit seperti empedu. Dokter mengatakan racun ini dapat dirasakan dalam larutan satu berbanding seribu. Kira-kira begitulah." "Kopi?" "Kopi lebih mungkin, tapi almarhumah tidak minum kopi." "Saya mengerti maksud Anda. Memang, rasanya persoalan ini tidak terpecahkan. Apa yang diminum Nona Barrowby pada waktu makan malam itu?" "Air putih." "Lebih tidak mungkin." "Agak memusingkan, ya kan?" "Dia punya uang" Maksud saya perempuan tua itu." "Saya kira dia kaya sekali. Memang kami belum mendapatkan rincian yang pasti. Pasangan Delafontaine itu sedang kekurangan uang. Ini yang bisa kami simpulkan. Nona Barrowby membantu biaya pemeliharaan rumah." Poirot tersenyum tipis. Lalu ia berkata, "Jadi Anda mencurigai suami-istri Delafontaine. Yang mana?" "Saya tidak mengatakan saya mencurigai salah seorang di antara mereka dengan pasti. Tapi kenyataan yang ada mendukung; mereka cuma kerabat dekat dan kematian Nona Barrowby memberi mereka sejumlah uang. Saya sungguh-sungguh meragukan mereka. Kita tahu bagaimana manusia itu!" "Kadang-kadang seperti binatang - betul sekali. Tidak ada lagi yang dimakan atau diminum Nona Barrowby?" "Well, sebenarnya - " "Ah, voil?! Saya rasa Anda merahasiakan sesuatu, seperti yang Anda katakan - sup, pie ikan, kue tar apel - b?tise! Nah, kita sampai pada pokok masalah." "Saya tidak tahu tentang itu. Sebenarnya Nona Barrowby menelan obat sebelum makan malam. Bukan tablet, tapi dalam bentuk kapsul. Bubuk obat dibungkus kertas beras, Anda tahu kan"! Seratus persen aman untuk pencernaan." "Menarik. Tidak ada yang lebih gampang daripada mengisi kapsul itu dengan strychnin. Obat ini meluncur masuk kerongkongan bersama segelas air. Dan tidak terasa apa-apa." "Betul. Persoalannya, suster itulah yang memberikan obat kepada almarhumah." "Gadis Rusia itu?" "Benar. Katrina Rieger. Bagi Nona Barrowby gadis itu penolongnya, perawat yang menemaninya. Disuruh-suruh juga, saya kira. Ambilkan ini, ambilkan itu, gosokkan punggungku, tuangkan obatku, cepat ke toko obat - pekerjaan-pekerjaan semacam itu. Anda tahu bagaimana perempuan tua seperti dia - mereka bermaksud baik, tapi mereka membutuhkan semacam budak!" Poirot tersenyum. "Perhatikanlah," Inspektur Sims melanjutkan kalimatnya. "Kenyataan tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Mengapa gadis itu harus meracuninya" Nona Barrowby sudah meninggal. Kini gadis itu menganggur dan tidak gampang mendapatkan pekerjaan sekarang ini - apalagi dia tidak berpendidikan atau mempunyai keahlian lainnya." "Walaupun begitu," kata Poirot mengemukakan pendapatnya, "kalau kotak kapsul itu diletakkan sembarangan, setiap orang dalam rumah itu dapat mempergunakan kesempatan." "Kami sedang menyelidiki hal ini, M. Poirot. Saya tidak berkeberatan untuk memberitahu Anda bahwa kami sedang mencari informasi - secara diam-diam. Kapan resep itu terakhir dibuat, di mana resep itu biasanya disimpan; kesabaran serta berbagai persiapan yang berat - inilah yang harus kami lakukan pada akhirnya. Ada juga pengacara Nona Barrowby yang membuat surat wasiat almarhumah. Besok akan saya wawancarai dia. Lalu manajer banknya. Masih banyak yang harus dikerjakan." Poirot berdiri. "Inspektur Sims, tolong beritahu saya bagaimana kelanjutan perkara ini. Saya akan sangat berterima kasih. Ini nomor telepon saya." "Pasti, M. Poirot. Pemikiran dua orang lebih baik daripada seorang. Lagi pula Anda harus terlibat dalam kasus ini - Anda kan sudah menerima surat Nona Barrowby." "Anda baik sekali, Inspektur." Dengan sopan Poirot menjabat tangan Inspektur Sims, kemudian minta diri. *** Keesokan siangnya ada telepon untuk Poirot. "M. Poirot" Di sini Inspektur Sims. Perkara yang kita tangani mulai menunjukkan titik-titik terang." "Benarkah" Saya minta jelaskanlah." "Nah, inilah pokok pertama - dan yang menentukan. Nona B. mewariskan hanya sebagian kecil kekayaannya kepada keponakan perempuannya; lainnya kepada K; dengan mempertimbangkan perhatian serta kebaikan K. yang sangat besar - begitu disebutkan dalam surat wasiatnya. Kenyataan ini mengubah arah permasalahan." Sebentuk wajah tergambar dengan cepatnya dalam benak Poirot. Wajah yang merengut dan suara yang penuh semangat mengatakan, "Uang itu kepunyaan saya. Itu yang ditulisnya dalam surat wasiatnya, maka begitulah jadinya nanti." Warisan itu bukan kejutan bagi Katrina. Ia sudah tahu sebelumnya. "Pokok kedua," Inspektur Sims melanjutkan. "Tak seorang pun selain K. yang mengurus obat itu." "Anda yakin?" "Gadis itu sendiri tidak mengingkari. Bagaimana pendapat Anda?" "Luar biasa menarik." "Kita hanya perlu satu hal lagi - bukti-bukti bagaimana dia memperoleh strychnin. Ini tidak sulit." "Sejauh ini Anda belum berhasil mendapatkannya?" "Saya baru saja mulai. Pemeriksaan mayat baru dilakukan pagi tadi." "Apa yang terjadi pada pemeriksaan mayat itu?" "Diundur seminggu." "Dan gadis itu - K.?" "Saya menahannya karena curiga Tidak ingin mengambil risiko apa pun. Mungkin saja ia punya kawan-kawan di desa yang berusaha untuk membebaskannya dari kasus ini." "Tidak," sahut Poirot. "Saya rasa dia tidak punya teman." "Sungguh" Apa sebabnya Anda berkata begitu, Poirot?" "Itu cuma pemikiran saya saja. Tidak ada 'pokok' lain, meminjam istilah Anda?" Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak ada yang benar-benar sesuai. Belum lama ini Nona B. kelihatannya bermainmain dengan pembagian warisannya - dengan mengurangi sejumlah uang. Persoalan ini boleh dibilang agak menggelikan, tapi saya tidak melihat tindakannya ini mempengaruhi permasalahan utama - tidak untuk sekarang, ini yang saya maksudkan." "Mungkin Anda benar. Well, terima kasih banyak. Anda baik sekali mau menelepon." "Tidak perlu berterima kasih. Saya selalu menepati kata-kata saya. Saya tahu Anda tertarik dengan kasus ini. Siapa tahu Anda dapat membantu saya memecahkannya." "Saya senang sekali kalau demikian. Mungkin ini dapat membantu Anda, misalnya, seandainya saya menghubungi teman Katrina." "Seingat saya Anda mengatakan dia tidak punya teman," kata Inspektur Sims terperanjat. "Saya keliru," sahut Poirot. "Dia punya seorang teman." Sebelum Inspektur sempat bertanya lebih lanjut, Poirot sudah meletakkan gagang telepon. Dengan wajah serius Poirot masuk ke ruangan tempat Nona Lemon duduk menghadapi mesin tiknya. Sekretaris itu mengangkat tangannya dari huruf-huruf mesin tik karena majikannya mendekat. Dipandangnya Poirot dengan wajah bertanya-tanya. "Saya perlu bantuanmu," Poirot menjelaskan, "untuk membayangkan suatu kisah." Nona Lemon menjatuhkan kedua tangan ke pangkuannya dengan pasrah. Dia senang mengetik, membayar rekening-rekening, mengarsipkan kartu-kartu, dan membuat janji-janji. Tapi, membayangkan dirinya dalam situasi menduga-duga sangatlah membosankan. Bagaimanapun juga, ia menerima permintaan ini sebagai bagian yang tidak dapat ditawar lagi dari tugasnya. "Misalnya engkau adalah gadis Rusia," Poirot memulai. "Ya." Suara Nona Lemon kedengaran sangat Inggris. "Engkau sendirian. Tidak punya kawan di negeri ini. Engkau punya alasan untuk tidak ingin kembali ke Rusia. Engkau bekerja sebagai perawat, menemani, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk seorang perempuan tua. Tapi, engkau lembut dan tidak pernah mengeluh." "Ya," sahut Nona Lemon dengan patuhnya, walaupun sama sekali tidak bisa membayangkan dirinya bersikap lembut kepada perempuan tua mana pun di muka bumi ini. "Perempuan tua itu menyukaimu. Ia memutuskan untuk mewariskan kekayaannya kepadamu dan memberitahukan hal ini kepadamu." Poirot berhenti sejenak. Nona Lemon berkata "Ya" lagi. "Kemudian perempuan tua itu tahu sesuatu; mungkin masalah uang - mungkin ia mendapatkan engkau tidak jujur kepadanya. Atau bisa saja lebih buruk - obat yang rasanya berbeda, makanan yang membuat sakit perut. Singkatnya ia mulai mencurigaimu lalu menulis surat kepada detektif yang sangat terkenal - bukan, detektif yang paling terkenal - saya! Saya harus segera mengunjunginya. Kemudian, seperti yang engkau katakan, orang yang menjengkelkan itu akan ketakutan. Yang penting adalah bertindak cepat. Maka - sebelum detektif besar itu tiba - perempuan tua itu mati. Dan uangnya menjadi milikmu... Apakah kisah ini masuk akal menurutmu?" "Sangat masuk akal," sahut Nona Lemon. "Mungkin sekali, sangat masuk akal untuk seorang Rusia. Secara pribadi saya tidak akan pernah menerima pekerjaan sebagai perawat. Saya lebih suka tugas-tugas saya dijabarkan dengan jelas dan tidak pernah bermimpi untuk membunuh seseorang." Poirot menghela napas. "Saya sungguh-sungguh merindukan temanku Hastings. Daya imajinasinya tinggi. Orangnya romantis sekali! Memang, ia selalu keliru kalau menduga sesuatu - tapi kekeliruan itu sendiri merupakan petunjuk." Nona Lemon diam. Dia sudah pernah mendengar tentang Kapten Hastings, tapi tidak tertarik. Dipandangnya kertas berketik di hadapannya dengan keinginan melanjutkan pekerjaannya. "Jadi, menurutmu kisah itu masuk akal?" Poirot merenung. "Apakah tidak demikian bagi Anda?" "Saya kira memang ya." Poirot menghela napas. Telepon berdering. Nona Lemon keluar untuk mengangkatnya. Dia kembali lagi. "Inspektur Sims lagi." Poirot bergegas keluar. "Halo... halo... apa yang Anda katakan?" Sims mengulang kalimatnya. "Kami menemukan sebungkus strychnin di kamar gadis itu - diselipkan di bawah kasur. Sersan baru saja datang untuk mengabarkan hasil penyelidikan ini. Kasus ini hampir beres, saya rasa." "Ya," sahut Poirot. "Saya sependapat perkara ini hampir selesai." Suaranya berubah. Ada nada kepastian yang mendadak muncul. Sesudah meletakkan pesawat telepon, Poirot duduk menghadapi meja tulisnya sambil menyusun benda-benda di atas meja secara mekanis. Dia bergumam kepada dirinya sendiri, "Ada yang tidak beres. Aku merasakannya - bukan, bukan merasakan. Pasti sesuatu yang pernah kulihat. En avant, sel-sel otakku. Renungkanlah - ingatingatlah! Apakah semuanya logis dan sesuai" Gadis itu - kekhawatirannya akan uang itu; Nyonya Delafontaine; suaminya - sarannya tentang orang-orang Rusia - tolol, tapi dia memang tolol; ruangan itu; kebun - ah! Benar, kebun itu." Poirot berdiri tegak-tegak. Cahaya hijau bersinar-sinar di matanya. Ia masuk ke ruangan tembusan kamar kerjanya. "Nona Lemon, maukah engkau meninggalkan pekerjaanmu dan melakukan penyelidikan untuk saya?" "Penyelidikan, M. Poirot" Saya rasa, saya kurang mampu - " Detektif itu menyela kata-katanya. "Engkau pernah mengatakan engkau tahu segala sesuatu tentang pengusaha-pengusaha." "Oh, itu pasti," sahut Nona Lemon mantap. "Nah, persoalannya sederhana saja. Engkau harus ke Charman's Green dan menemui seorang penjual ikan." "Penjual ikan?" tanya Miss Lemon terkejut. "Persis. Pedagang ikan langganan Rosebank. Kalau sudah ketemu, tanyakanlah beberapa hal." Poirot menyerahkan selembar kertas. Nona Lemon membaca tulisan di kertas itu dengan acuh, mengangguk, lalu menutup mesin tiknya. Sesampainya di tempat tujuan Poirot disambut oleh Inspektur Sims yang terheranheran. "Cepat sekali, M. Poirot. Baru sejam yang lalu kita berbicara di telepon." "Saya punya permintaan. Bolehkah saya menemui Katrina - siapa nama lengkapnya?" "Katrina Rieger. Rasanya tidak ada alasan untuk menolak." Katrina kelihatan jauh lebih pucat dan cemberut. Dengan lemah-lembut Poirot berbicara kepadanya, "Mademoiselle, saya ingin Anda percaya bahwa saya adalah kawan Anda. Saya ingin Anda menceritakan kejadian yang sesungguhnya." Kedua mata Katrina menantang. "Saya sudah mengatakan yang sebenarnya. Kepada semua orang saya katakan yang sebenarnya! Kalau perempuan tua itu diracun orang, bukan saya yang melakukannya. Tuduhan ini keliru. Kalian ingin menghalangi saya mendapatkan uang itu." Suaranya parau. "Dia seperti tikus kecil yang sengsara," pikir Poirot. "Ceritakan kepada saya tentang kapsul itu, Mademoiselle," lanjut Poirot. "Tidak adakah orang lain yang mengurusinya?" "Sudah saya katakan begitu, ya kan" Kapsul itu dibuat di apotek siang harinya. Saya yang mengambil dan membawanya pulang dalam tas - persis sebelum makan malam. Saya buka kotaknya dan saya berikan satu kapsul bersama segelas air kepada Nona Barrowby." "Tidak seorang pun menyentuhnya kecuali Anda?" "Tidak!" Tikus kecil - yang sembrono! "Dan Nona Barrowby makan hanya menu seperti yang diberitahukan kepada kami Sup, pie ikan, dan kue tar apel?" "Ya." 'Ya' yang putus asa - mata yang gelap membara, yang tidak melihat harapan setitik pun. Poirot menekan lembut bahu gadis itu. "Berbesar hatilah, Mademoiselle. Mungkin masih ada kebebasan - sungguh, dan uang warisan - hidup yang menyenangkan." Katrina menatap Poirot penuh curiga. Pada waktu Poirot keluar Inspektur Sims berkata, "Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan lewat telepon - tentang gadis itu punya teman." "Dia punya seorang teman. Saya!" sahut Poirot kemudian meninggalkan markas polisi sebelum Inspektur Sims sanggup mencerna jawabannya. *** Di ruang teh Green Cat Nona Lemon tidak membiarkan majikannya menunggu. Dia langsung masuk ke pokok permasalahan. "Nama pedagang ikan itu Rudge. Tinggal di High Street, dan Anda benar. Persisnya satu setengah lusin. Saya mencatat apa yang dikatakannya." Diserahkannya catatan itu kepada Poirot. "Arrr." Suara yang dalam lagi puas, seperti suara kucing yang dibelai-belai tuannya. *** Hercule Poirot kembali ke Rosebank Ketika ia berdiri di kebun depan, matahari berada di belakangnya, Mary Delafontaine menyongsongnya. "M. Poirot?" suaranya memperlihatkan rasa terkejutnya "Anda kembali?" "Memang, saya kembali." Detektif itu diam sejenak, lalu berkata, "Pertama kali saya kemari, Madame, saya teringat akan sajak anak-anak: Bibi Mary, selamat pagi, Apa saja isi kebunmu" Kulit kerang dan ilalang, Dan sederet gadis ayu. Hanya saja bukan kulit kerang, ya kan, Madame, tapi kulit tiram." Jari Poirot menunjuk ke kulit tiram yang berjajar. Poirot mendengar nyonya rumah menarik napas, kemudian terpaku tak bergerak. Bola matanya bertanya-tanya. Poirot mengangguk. "Mais, oui, saya tahu! Pelayan menyiapkan makan malam - dia akan bersumpah begitu dan Katrina juga - bahwa hanya menu-menu inilah yang dihidangkan. Hanya Anda dan suami yang tahu bahwa Anda membeli satu setengah lusin tiram - sedikit hidangan istimewa untuk la bonne tante. Gampang sekali memasukkan strychnin ke dalam tiram. Tiram-tiram itu ditelan - comme ?a! Tapi, masih ada kulitnya yang tidak boleh dibuang ke keranjang sampah. Pelayan akan tahu. Karena itu Anda membuat pagar kulit tiram untuk tanaman bunga. Sayang sekali, jumlahnya tidak cukup - pagar itu belum selesai. Akibatnya tidak baik merusak garis kebun yang apik. Kulit tiram yang tidak banyak itu menarik perhatian orang asing - pemandangan yang tidak menyenangkan untuk mata saya pertama kali saya kemari." Mary Delafontaine membuka suara, "Saya rasa Anda menduga sejauh ini dari surat itu. Saya tahu dia menulis surat - tapi tidak tahu seberapa jauh yang ia beberkan." Sambil mengelak Poirot menjawab, "Paling tidak saya tahu bahwa perkara yang dimaksudkannya adalah masalah keluarga. Kalau masalah ini menyangkut Katrina, tidak ada alasan untuk merahasiakannya. Saya tahu bahwa Anda atau suami Anda menguruskan surat-surat berharga Nona Barrowby demi keuntungan Anda sendiri dan ia menyadari - " Mary Delafontaine mengangguk. "Kami sudah bertahun-tahun melakukannya - sedikitsedikit. Saya tidak pernah menyadari dia cukup cerdas untuk mengetahui kecurangan itu. Kemudian saya tahu bahwa ia menghubungi seorang detektif; dan saya tahu juga bahwa dia mewariskan kekayaannya kepada Katrina - perempuan kecil yang menyebalkan itu!" "Jadi strychnin itu diletakkan di kamar tidur Katrina" Saya mengerti. Anda menyelamatkan diri Anda serta suami dari sesuatu yang mungkin saya bongkar. Dan Anda membebani gadis yang tidak bersalah itu dengan tuduhan melakukan pembunuhan. Apakah Anda tidak kasihan, Madame?" Mary Delafontaine mengangkat bahu - bola matanya yang sebiru bunga forget-me-not itu menatap Poirot. Poirot ingat kesempurnaan sandiwara wanita di hadapannya ini pertama kali ia datang serta kecerobohan suaminya. Seorang wanita yang cukup cerdas, tapi bengis. "Kasihan?" kata Mary Delafontaine. "Kepada tikus kecil yang bersekongkol itu?" Kemarahannya meledak. Pelan-pelan Poirot berkata, "Madame, saya kira hanya ada dua hal yang Anda pedulikan dalam hidup Anda. Yang pertama adalah suami Anda." Poirot melihat bibir Mary Delafontaine bergetar. "Dan yang kedua - kebun Anda." Poirot memandang sekelilingnya. Kerlingan matanya bagaikan minta maaf kepada bunga-bunga akan apa yang telah dan yang akan diperbuatnya. Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers http://facebook.com/epub.lover http://epublover.wordpress.com (Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited) Pendekar Guntur 2 Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian Wanita Iblis 24