Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana Bagian 5
"Anda tentu Ki Darma?" gumamnya dengan suara setengah bergetar. Terasa ada dorongan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 106
hawa memenuhi dadanya. Namun dorongan itu hanya tersalurkan melalui sudut-sudut
matanya yang terasa panas.
"Mengapa engkau menangis, anak muda?" tanya Ki Darma heran namun sambil tersenyumsenyum.
Banyak Angga menyeka sudut-sudut matanya sambil memalingkan wajahnya. Dia pun heran,
mengapa tiba-tiba dia ingin menangis ketika tahu bahwa orang tua di hadapannya ini adalah
Ki Darma. Mungkin hatinya terharu sebab Ki Darma adalah guru Ginggi. Mungkin juga dia
bahagia sebab baik Ki Darma mau pun Ginggi adalah sebagian dari orang-orang yang tengah
dibutuhkan di Pakuan. Bersusah-susah dia melakukan perjalanan jauh ke wilayah timur
sambil beberapa kali dihadang mara-bahaya, kesemuanya hanya untuk mencari Ki Darma dan
Ginggi. Dan sekarang sudah kesampaian!
Barangkali juga Banyak Angga menangis karena suatu hal yang lain. Ki Darma ini orang
terkenal. Setiap prepantun di Pakuan dan wilayah Pajajaran selalu mengisahkan dirinya.
Bahwa Ki Darma ini adalah pahlawan yang berani berkorban membela negrinya tanpa
pamrih. Kendati dia dimusuhi Raja Surawisesa (1521-1535 M) karena berani melontarkan
kritik dan bahkan dikejar-kejar untuk dibunuh di masa pemerintahan San Prabu Ratu Sakti
(1543-1551 M), namun kecintaannya Ki Darma terhadap negara tak pernah pudar.
Sekarang Pajajaran semakin lemah di bawah kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra (15511567 M). maka para patriot seperti Ki Darma dan Ginggi ini amat dibutuhkan kehadirannya.
Jadi bagaimana tak terharu bila kini Banyak Angga telah berhasil menemukan mereka.
"Saya rindu ingin bertemu Ginggi," tutur Banyak Angga menoleh kesana-kemari.
"Hampir dua hari dua malam anak itu tekun merawat tubuhmu yang luka," jawab Ki Darma.
"Dua hari" Kalau begitu, selama itu pula saya tak sadarkan diri," Banyak Angga heran.
"Barangkali lebih dari itu kau tak ingat apa-apa. si Ginggi memanggulmu dari wilayah
Sumedanglarang sana hingga Puncak Cakrabuana ini,"
Banyak Angga semakin melengak mendengar keterangan ini.
"Saya rindu bertemu dengannya. Belasan tahun tak bersua dengannya. Di mana dia sekarang"
Sedang apa dia sekarang" Kembali Banyak Angga melirik kesana-kemari.
Sedangkan yang ditanya hanya ketawa saja seperti melihat anak kecil yang kehilangan
mainannya. "Anak bengal itu sudah pergi turun gunung," jawab Ki Darma masih tertawa-tawa. Namun
Banyak Angga menjadi sedih mendengarnya.
"Sepertinya dia tak ingin bertemu denganku?" keluh Banyak Angga.
"Lho, anak itu barangkali sudah bosan berhari-hari menatap wajahmu," jawab Ki Darma
seenaknya. "Tapi saya tak sempat melihatnya," gumam Banyak Angga.
"Salahmu sendiri, mengapa kau beri dia surat," kata lagi Ki Darma sambil lalu.
Banyak Angga serasa diingatkan. Maka serta-merta dia meraba-raba pakaiaannya seperti ada
sesuatu yang tengah dicari.
"Mencari surat lembaran daun nipah itu, ya?" tanya Ki Darma. Banyak Angga mengangguk
"Karena tahu surat daun nipah itu untuknya, maka dia beranikan diri untuk membukanya. Tak
salah, kan?" Banyak Angga menggelengkan kepala.
"Makanya dia begitu bersemangat ketika aku perintahkanagar dia segera kembali ke dayo
Pakuan ," tutur Ki Darma sambil mengambil beberapa lembar daun sirih. Diberinya beberapa
ramuan rempah. Sesudah itu daun sirih dilipat-lipatnya dan dimasukkan ke mulutnya. Sirih itu
dikunyahnya kuat-kuat. "Tapi benarkah Nyi Mas Banyak Inten, adikmu itu mencintai si Ginggi?" tanya Ki Darma
samil mulutnya dipenuhi daun sirih.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 107
Dijawab secara tak langsung oleh Banyak Angga bahwa ayahandanya memeritahkan Nyi Mas
Banyak Inten untuk mengundang Ginggi datang ke puri Yogascitra untuk suatu keperluan
yang mendesak. "Kami tahu, sebenarnya Ginggi beberapa kali pernah datang kep Pakuan tapi sekedar
menengok adikku di mandala. Kami inginkan kehadiran Ginggi secara resmi. Itulah sebabnya
dianjurkan adikku yang meminta sebab kami yakin saudara Ginggi akan mau mengabulkan
keinginan Nyi Mas Banyak Inten," kata Banyak Angga.
Mendengar penjelasan ini, Ki Darma hanya tertawa masam sambil tetap menguyah sirih.
"Sudah sejak dulu sebenarnya tak lazim orang kebanyakan menyandingkan anak bangsawan.
Jadi kalau anak bengal itu memaksakan diri, artinya melanggar kebiasaan," tutur Ki Darma.
Kami tak pernah memperbincangkan hal ini. Lagi pula, dulu pun Ginggi sudah kami angkat
sebagai ksatria di puri Yogascitra. Ginggi adalah orang berjasa bagi keluarga kami sebab dia
telah berhasil menyelamatkan kehormatan dan harga diri Nyi Mas Banyak Inten dari
kebejatan moral Suji Angkara," tutur Banyak Angga kembali teringat peristiwa masa lalu (
baca episode Senja jatuh di Pajajaran).
"Hehehe! Tapi kalian tak merasa kasihan kepada Nyi Mas Banyak Inten. Masa seorang wiku
harus menikah?" tanya Ki Darma.
"Adikku masuk mandala bukan keinginannya, melainkan karena perintah Raja. Mengapa
sekarang tak boleh keluar dengan perintah jua?" tanya Banyak Angga.
"Untuk kepentingan politik, agama bahkan bisa diatur," gumam Ki Darma. Banyak Angga
serasa terpukul mendengarnya.
"Kami tak bermaksud mempermainkan agama, namun kami tahu, adikku masuk mandala
tidak atas keyakinan sendiri, melainkan karena dihukum Raja. Dia dimasukkan ke mandala di
usia muda, di saat-saat masih memerlukan kehidupan duniawi. Agama tak boleh dilalui
dengan jalan keterpaksaan apalagi merasa karena dihukum. Oleh sebab itu kami mengusulkan
kepada Sang Prabu agar meninjau kembali keputusan Raja terdahulu," tutur Banyak Angga
lagi. Hanya dibalas oleh Ki Darma dengan senyum.
"Terserah apa pendapat kalian. Aku hanya berharap, mudah-mudahan si Ginggi bisa berpikir
dewasa, sebab seperti apa katamu tadi, agama bukan keterpaksaan. Begitu pun cinta, tidaklah
hadir karena keterpaksaan," kata Ki Darma sesudah berdiam diri sejenak.
Banyak Angga hanya mengatupkan sepasang matanya sejenak.
"Tapi anak itu bergegas pergi bukan lantaran surat daun nipah itu saja. Aku memang telah
menyuruhnya agar dia pergi ke Pakuan. Aku rasa, memang di dayo akan terjadi sesuatu?"
gumam Ki Darma datar. Banyak Angga kembali membuka kelopak matanya. Dia melirik ke arah orang tua itu.
"Apakah Aki tahu situasi terakhir di Pakuan?" tanya pemuda itu.
"Tahu sekali sih tidak. Tapi anak murid Ki Jayaratu yang kerapkali mengembara ke wilayah
barat banyak mengabarkan perihal situasi Pakuan," kata Ki Darma.
"Ki Jayaratu" Serasa pernah saya dengar nama itu!" gumam Banyak Angga.
"Hm, dulu dia musuh besarku. Dia kan perwira negri Carbon (Cirebon). Sudah barang tentu
kami sering bertemu dalam pertempuran.
Ya, ketika negri kita dipimpin Sang Prabu Surawisesa dulu," kata Ki Darma.
"Apakah Ki Jayaratu kini ada di sini?"
"Sudah belasan tahun dia tinggal di lereng selatan bersama beberapa orang sesama bekas
perwira Carbon lainnya. Mereka sepertinya membuka perguruan agama baru," jawab Ki
Darma, "kerapkali kami bertemu,"
"Maksud Aki, selalu bertempur juga hingga kini?" tanya Banyak Angga.
Ki Darma tertawa renyah. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 108
"Anak kecil saja kalau bermusuhan selalu selesai dalam waktu singkat, mengapa orang-orang
yang sebentar lagi mau masuk kubur terus main cakaran" Lagi pula, apa urusan antara si
Darma dan si Jayaratu sehingga perlu menciptakan permusuhan berkepanjangan" Hah, orang
tolol yang hidupnya terjerembab ke perangkap politik. Dulu kami bertempur karena diperkuda
kepentingan politik. Meski bertempur belasan tahun dengan dengan untuk membela negara.
Padahal apa, rakyat dan negara bahkan menderita akibat peperangan. Dan itu yang kami
katakan sebagai pembelaan," tutur Ki Darma menggebu.
Banyak Angga menghela napas. Yang pernah dia dengar, baru kali inilah dapat dibuktikan.
Dan memang benar, Ki darma ini kala bicara selalu ceplas-ceplos, termasuk dalam menilai
ketatanegaraan. Dia selalu berkata apa yang ada dalam hatinya. Ketika Sang Prabu
Surawisesa senang berperang melawan negri-negri kecil bawahan Pajajaran yang
membangkang, atau bahkan ketika berperang melawan Carbon, Ki Darma mengkritiknya
sebab dianggapnya peperangan hanya menghabiskan dana dan menyengsarakan rakyat. Kritik
di masa itu memang sudah dikenal dan orang menamakannya Panca Parisuda (lima obat
penawar). Namun tak semua orang senang menerima obat yang pahit rasanya, apalagi bagi
seorang raja. Itulah sebabnya Sang Prabu tersinggung sebab kritik Ki Darma artinya
mengorek kelemahan orang lain, kelemahan seorang raja!
Kini, pendapat Ki darma tak pernah berubah, dia mencela kehidupan akal-akalan (politik)
yang dianggapnya menghancurkan kehidupan rakyat. Ini yang membuat Banyak Angga
menghela napas. Bila begini jadinya, Ki Darma barangkali tak bisa dibujuk untuk ikut
bergabung memperkuat Pakuan.
"Aki, kalau Aki sering dengar perihal situasi akhir Pakuan, barangkali Aki sudah memikirkan
cara penanggulangannya," kata Banyak Angga tiba-tiba.
"Menanggulangi apa?"
"Bukankah tadi Aki bilang di Pakuan akan terjadi sesuatu?" kata lagi Banyak Angga.
"Ya, begitu kira-kira?"
"Kalau begitu Aki harus mau menanggulangi agar sesuatu yang akan terjadi tidak terlalu
buruk," kata Banyak Angga.
"Mengapa harus aku?" Ki Darma celingukan seperti aneh mendengar omongan pemuda itu.
"Karena Aki amat dibutuhkan. Hanya Aki orang Pajajaran yang berjuang untuk negri tanpa
pamrih pribadi." "Hahaha! Ayahmu bagaimana?"
"Ayahanda bukan orang yang berpikir untuk kepentingan pribadi. Tapi ayahanda bukan akhli
jurit (peperangan) sehingga bila terjadi sesuatu terhadap Pakuan, dia tak bisa
mempertahankan negri dengan baik," kata Banyak Angga.
"Hahaha! Jangan meremehkan Pakuan. Kota ini dikawal oleh seribi orang pasukan balamati
(siap mati), menguasai tigabelas tekhnik pertempuran dan siap mengamankan Raja," kata Ki
Darma tertawa. "Tapi itu dulu, ketika zamannya Aki malang-melintang di pasukan balamati. Sekarang banyak
perwira seangkatan Aki yang berhenti karena undur-diri atau meninggal. Sedangkan
penggantinya tak setangguh para pendahulunya. Mereka tak sanggup menuruni bakat dan
kemampuan para perwira tua," jawab Banyak Angga.
"Mustahil!" "Lebih dari itu, Sang Prabu seperti tak mendukung upaya meningkatkan kembali kemampuan
akhli jurit," "Mengapa?" "Sang Prabu lebih memilih memperkuat kehidupan agama ketimbang militer, padahal bahaya
sudah mengancam dari sana-sini,"
"Sang Prabu mungkin benar," gumam Ki Darma.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 109
"Mengapa benar?"
"Sebab barangkali dia sudah waspada akan sesuatu yang tengah berjalan," ujar Ki Darma.
"Apakah itu?" "Sesuatu kekuatan yang tak bisa dilawan,"
"Ya, apakah itu?" tanya Banyak Angga tak sabar.
"Sebuah perubahan!" jawab Ki Darma tandas.
"Perubahan?" gumam Banyak Angga. "Maksud Aki, perubahan itu datang dibawa oleh
kekuatan agama baru" Apakah Aki bermaksud mengatakan bahwa Pajajaran akan kalah oleh
kekuatan agama baru?" lanjutnya.
"Jangan kau anggap suatu perubahan itu adalah kekalahan. Kalahkah siang terang-benderang
yang kemudian mulai redup karena malam hendak datang" Atau, kalahkah sang malam ketika
mentari mulai muncul di ufuk timur?" tanya Ki Darma.
Hening untuk beberapa lama. Ada suara burung walik berceloteh di dahan-dahan pohon pinus
di sekitar gubuk. Namun celoteh burung itu membuat suasana semakin sepi yang dirasakan
Banyak Angga. "Jangan kau risaukan perubahan itu sebab ini merupakan hal alami yang terjadi di dunia.
Yang engkau harus hadapi dengan baik adalah adalah penyakit keserakahan karena
kepentingan ambisi manusia. Dan bahaya seperti itu bukan datang luar melainkan dari dalam
tubuh kita sendiri," kata Ki Darma.
Banyak Angga masih merenung.
"Engkau keliru bila takut menghadapi kekuatan agama baru. Sudah sejak zaman Sri Baduga
Maharaja, bahkan jauh sebelum itu, kehidupan agama baru sudah ada di Pajajaran. Bukankah
Pesantren Syech Quro sudah hadir di wilayah Tanjungpura (Karawang) ratusan tahun silam"
Agama itu tak berbahaya bagi Pajajaran. Dan sekali lagi aku katakan, yang membahayakan,
justru orang-orang yang punya ambisi pribadi," kata Ki Darma lagi."Kalau agama dibawa
dengan benar, lihatlah, betapa damainya Ki jayaratu. Dia datang dari Carbon. Bukan untuk
memerangiku sebagai bekas musuhnya, melainkan untuk menyebarkan agama. Dia tak
melakukan pemaksaan, hanya ditampilkannya agama baru itu dengan tindak-tanduk yang
mengundang simpati. Kenyataanya, lihatlah, agama baru semakin merebak ke mana-mana.
Dia menjadi besar tanpa melalui kekerasan. Inilah yang aku sebut perubahan. Sesuatu yang
baru akan datang menggantikan yang lama,"
Banyak Angga mengangguk-angguk pelan namun sebetulnya tanpa begitu mengerti apa yang
barusan disimaknya. Sampai pada akhirnya Ki Darma menyuruhnya untuk kembali tidur agar
kesehatannya cepat pulih.
Eentah berapa lama dia tidur, sampai tiba-tiba dikejutkan oleh suara orang yang datang.
"Assammualaikum"!" kata suara dari luar.
"Rampes"." Jawaban dari dalam. Banyak Angga tahu, yang menjawab adalah Ki Darma.
Sedangkan suara sang tamu, Banyak Angga tak kenal.
"Masuklah Jayaratu. Ada apa tergesa-gesa begitu?" tanya Ki Darma.
Baru pemuda itu tahu, bahwa yang datang adalah Ki Jayaratu. dIa mencoba bangun sebab
ingin sekali mengenal orang tua yang terkenal karena menjadi musuh besarnya Ki Darma
dulu. "Aku ingin lihat pemuda itu, apa sudah agak baikan?" kata Ki Jayaratu sambil mendekati
balai-balai bambu tempat di mana Banyak Angga terbaring.
Banyak Angga walau pun hati-hati namun sudah bisa duduk sambil bersandar. Dia lihat ada
seorang kakek yang usianya hampir sebanding dengan Ki Darma. Bedanya, penampilan kakek
ini sedikit rapi. Dia memakai baju kurung warna nila dan rambutnya yang panjang memutih
diikat kain kasar warna hitam. Orang tua itu membawa bungkusan kain yang diselendangkan
di bahunya. Ketika duduk di balai-balai segera menurunkan buntalan tersebut dan
membukanya. Isinya ternyata tumpukan berbagai dedaunan. Dia memilih-milih beberapa
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 110
lembar. "Mari, aku buka bebatmu yang lama, mungkin daun itu sudah kering," tuturnya kepada
Banyak Angga. "Hahaha! Engkau beruntung di datangi juru obat sakti," kata Ki Darma.
"Ki Darma dan Ginggi bahkan lebih hebat dalam menguasai pengetahuan obat-obatan, hanya
saja mereka orang-orang malas dan seenaknya merawat pasen," tutur Ki Jayaratu.
Ki Darma hanya heheh-heheh saja.
"Itu daun-daun apa, Aki?" tanya Banyak Angga memperhatikan Ki Jayaratu membuka bebat
di tangannya dengan pelan.
"Hahaha! Ini hanya daun babadotan saja, sejenis tumbuhan liar yang hidup di semak-semak.
Tapi jangan menyepelekan. Daun tak berharga bagi orang yang tak mengenalnya, sebenarnya
merupakan obat mujarab untuk menghentikan pendarahan dan bagus untuk mengeringkan
luka," kata Ki Jayaratu sambil meremas-remas lembaran daun itu hingga lusuh. Sedikit kapur
sirih yang sudah diberi air dioleskan ke setiap lembaran daun itu. Sesudah jumlah lembaran
daun dianggap cukup, Ki Jayaratu melepaskan tempelan-tempelan lembaran daun yang lama
dan menggantinya dengan daun yang baru. Banyak Angga meringis sambil sedikit
mengatupkan mata. Ada beberapa luka yang cukup parah di beberapa bagian tubuhnya.
Beberapa di antaranya sedikit membengkak dan matang biru. Kata Ki Jayaratu, luka yang
membengkak karena terlambat menerima pengobatan. Ki Darma menerangkan, barangkali
Ginggi terlalu tergesa-gesa membawa Banyak Angga sehingga tak sempat merawatnya
dengan baik dan telaten. "Bisa jadi begitu, si Ginggi tergesa-gesa karena diikuti orang. Bukankah tak selang sehari ada
orang yang mencari-carinya?" tanya Ki Jayaratu sambil tangannya tak henti-hentinya
merawat beberapa bagian tubuh Banyak Angga.
"Oh, ya! Aku ingat anak itu. Ke mana dia sekarang?" tanya Ki Darma mengambil tempat air
minum terbuat dari kulit buah kukuk yang sudah kering. Ki Darma minum sambil
menentengkan tempat air itu begitu saja ke mulutnya.
"Anak itu seperti gila. Mula-mula datang mencak-mencak cari si Ginggi. Namun sesudah itu
merengek-rengek minta diajari ilmu kedigjayaan. Karena aku tolak, dia pergi dan akan tetap
mencari si Ginggi!" "Begitu bencinya anak dungu itu kepada si Ginggi. Siapakah dia?" tanya Ki Darma acuh tak
acuh. "Bahkan engkau akan diperangi juga," gumam Ki jayaratu.
"Oh,ya aku dengar itu," Ki Darma masih acut tak acuh.
"Aku tak tahu namanya sebab bocah edan itu tak memperkenalkan diri, kecuali?" kata Ki
Jayaratu tersendat. "Kecuali apa, Jayaratu?" tanya Ki Darma menoleh.
"Kecuali dia katakan bahwa dia murid Ki Sudireja," tutur Ki Jayaratu.
"Hm. Kalau tak salah Ki Sudireja itu perwira Kerajaan Karatuan Talaga yang membenci
Pajajaran," gumam Ki Darma.
"Dia mengaku anak buah Pangeran Yudakara," kata lagi Ki Jayaratu.
"Apakah yang Aki maksud adalah Pragola?" tanya Banyak Angga dengan dada berdegup.
"Pragola, siapa Pragola?" tanya Ki Jayaratu menatap Banyak Angga.
"Pragola adalah pemuda usia sembilan belas tahun. Dia sahabatku. Mulanya memang anak
buah Pangeran Yudakara calon penguasa Sagaraherang. Pangeran itu mengusulkan Pragola
bekerja di puri kami sebab dia tahu betul perihal keberadaan belasan perwira Pakuan yang ada
di Puncak Cakrabuana," kata Banyak Angga.
Giliran kedua orang tua itu yang mengerutkan alis karena heran.
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kata anak itu?" tanya Ki Jayaratu.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 111
Banyak Angga menerangkan kalau kehadirannya di sini karena hasil laporan Pragola. Dan
untuk memperjelas keterangannya ini, Banyak Angga terpaksa memaparkan tujuannya.
Pemuda itu menerangkan, betapa sebetulnya dia tengah mengusung tugas penting.
Ayahandanya yang khawatir melihat pusat pemerintahan Pakuan semakin lemah,
menginginkan agar para orang pandai yang punya kesetian terhadap Pajajaran dikumpulkan
kembali, termasuk mencoba kembali mencari belasan perwira yang diutus pemerintah pergi
ke Puncak Cakrabuana mencari Ki Darma.
"Belasan perwira Pakuan tak pernah kembali. Ada selentingan mereka gugur sebab di puncak
bertemu dengan pasukan Cirebon. Namun Pragola malah mengabarkan, sebetulnya belasan
perwira Pakuan masih berada di puncak tapi tak bisa pulang karena dikepung pasukan
Cirebon. Pangeran Yudakara mengusulkan agar Pakuan segera mengirimkan kembali belasan
perwira tangguh untuk menyelamatkan teman-temannya yang tertahan di sini. Namun
ayahanda sebelum mengabulkan usul ini, terlebih dahulu mengutus misi penyelidik, yaitu
saya beserta tiga orang pembantu dan beberapa orang prajurit. Tapi di tengah perjalanan kami
beberapa kali dihadang musuh, baik hadangan dari Cirebon, kaum perampok, sampai pasukan
misterius yang kai tak tahu siapa gerangan," kata Banyak Angga panjang-lebar.
Mendengar penjelasan ini baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu hanya mengangguk-angguk
kecil. "Ada yang benar, ada juga yang tak benar," gumam Ki Jayaratu seperti bicara pada dirinya
sendiri. Sesudah merenung sejenak, Ki Jayaratu menerangkan. Bahwa benar sekitar limabelas
tahun silam di lereng Gunung Cakrabuana terjadi pertempuran kecil. Ketika itu ada belasan
perwira Pajajaran naik ke gunung dengan maksud mencari Ki Darma. Namun pada saat yang
bersamaan dari bagian lereng lain naik pula belasan prajurit dan perwira lain.
"Ngakunya dari Cirebon, ya!" tukas Ki Darma duduk bersila di balai-balai.
"Mengakunya begitu, padahal bukan," kata Ki Jayaratu.
Menurut orang tua ini, ketika itu di Cirebon pun terdapat beberapa gelintir pejabat yang punya
ambisi pribadi. Melihat Karatuan Cirebon lebih menitikberatkan urusan ke bidang penyebaran
agama, ada pejabat bernama Arya Damar yang ingin mendompleng. Dia punya cita-cita,
selain agama baru harus semakin menyebar, juga Pajajaran harus dihancurkan agar kekuasaan
Cirebon pun ikut menyebar ke wilayah barat.
Secara diam-diam, Arya Damar mencoba mengirimkan pasukan dan sedikit demi sedikit
mengikis kekuatan Pajajaran. Akan halnya Ki Darma, tokoh ini masuk daftar orang Pajajaran
yang harus dilenyapkan sebab kendati Ki Darma tak disukai penguasa Pajajaran, namun dia
selalu siap membela negara. Bagi Arya Damar, Ki Darma dianggapnya sebagai duri
penghalang. Jadi Ki Darma harus dilenyapkan.
"Katanya menyerang Cakrabuana pun ada maksud tambahan, Jayaratu," potong Ki Darma
yang meram-melek dan acuh tak acuh menyimak cerita yang disampaikan Ki Jayaratu.
"Ya, pasukan gelap yang diutus Arya Damar ingin merebut tombak pusaka Cuntangbarang
yang katanya dikuasai olehmu," kata Ki Jayaratu menoleh. Ki Darma hanya mendengus.
"Jangan percaya celoteh tua bangka ini. Sejak dulu aku tak butuh senjata. Boleh tanya sama si
Ginggi," kata Ki Darma dengan nada setengah mengejek.
Banyak Angga yang mendengarkan kisah ini harus percaya kepada Ki Darma sebab dia tahu
sepak-terjang Ginggi yang ke mana-mana tak pernah membawa senjata. Kebiasaan Ginggi
mungkin turunan dari gurunya, Ki Darma.
"Benarkah terjadi pertempuran?" tanya Banyak Angga.
Nampak Ki Jayaratu menghela napas. Pandangannya menerawang ke langit-langit. Sepertinya
dia enggan membicarakannya.
"Yah, memang terjadi pertempuran. Sebelum kedua pasukan itu berhasil menemui Ki Darma,
mereka sudah saling serang,"
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 112
"Dan semuanya mampus!" tukas Ki Darma.
"Ya, banyak yang mati dan luka parah. Namun yang selamat pun banyak. Beberapa anggota
pasukan Pajajaran hingga hari ini masih segar-bugar kendati sudah berusia lanjut. Kata Ki
jayaratu."Dan yang aneh, ternyata mereka datang ke sini bukan untuk mengejar atau
membunuh Ki Darma, melainkan ingin bergabung karena sudah tak suka kepada Sang Prabu
Ratu Sakti ketika itu," kata Ki Jayaratu menengok ke arah Banyak Angga.
"Hati-hati engkau bicara, anak muda itu putra pejabat penting di Pakuan. Dan kalau kau tak
mau dimusuhi anak muda itu, engkau pun harus menerangkan kedudukanmu ketika itu.
Mengapa kau tiba-tiba ada di sini, padahal engkau adalah musuh bebuyutanku," kata Ki
Darma ketawa. Giliran Ki Jayaratu yang ketawa.
"Kalau orang Cirebon menganggapku pengkhianat, mungkin benar sebab mana ada musuh
bebuyutan jadi sahabat. Tapi aku jemu menjadi prajurit. Sebab pada hakikatnya, prajurit
hanyalah alat dari ambisi kaku dan kesetiaan kaku. Aku tak punya masalah pribadi dengan Ki
Darma atau dengan siapa saja yang ada di Pajajaran.
Tetapi karena keharusan membela negri, aku harus memeranginya. Cirebon yang dulu ada di
bawah Pajajaran, mulai berani membebaskan diri karena memdapat bantuan kekuatan dari
Demak. Hh, hanya karena bantuan Demak maka Cirebon pernah menguasai wilayah Pajajaran
seluruhnya. Sekarang, manakala Demak sudah lemah, Cirebon pun sudah tak punya kekuatan
lagi. Celakanya masih ada yang mimpi dengan menggunakan militer untuk harga diri dan
ambisinya. Itu aku tak suka. Itulah sebabnya pergi dari Cirebon dan memilih sendirian saja
menyebarkan agama baru," tutur Ki Jayaratu bicara berpanjang-lebar."Aku hanya ingin
menjadi manusia wajar dan bisa mencari sahabat seperti apa kehendakku. Contohnya hari ini
aku bersahabat dengan orang yang sama-sama dianggap pengkhianat oleh masing-masing
negaranya," kata Ki Jayaratu.
"Siapa bilang. Nasibku tak sama dengan nasibmu. Bukankah begitu, Angga?" Ki Darma
tertawa sambil melirik ke arah Banyak Angga. Pemuda itu mengangguk pelan dengan wajah
murung. "Ki Darma sudah diampuni dan namannya dibersihkan oleh Sang Prabu Nilakendra,
pengganti mendiang Prabu Ratu Sakti," tutur Banyak Angga namun dengan suara tak
bersemangat. Pemuda ini sungguh tak enak, mengapa Pragola begitu benci terhadap Ginggi
dan Ki Darma, padahal semua orang Pajajaran hari-hari terakhir ini begitu mengagumi kedua
orang murid dan guru itu.
Rupanya isi hati Banyak Angga sama dirasakan Ki Jayaratu. Buktinya orang tua itu malah
mempertanyaka sipat aneh Pragola.
"Aku tahu, si Ginggi kenalan baik Banyak Angga. Dan kalau engkau pun mengaku bersahabat
baik dengan Pragola, mengapa anak muda itu malah membenci Ginggi?" tanyanya.
"Harus dicari sebab-sebabnya. Ada permusuhan apakah di antara mereka ini?" tanya Ki
Darma. "O,ya, kau ingat. Anak itu pernah mengaku sebagai utusan Cirebon!" teriak Ki Jayaratu
menepuk jidatnya."Masya Allah, bukankah tadi aku katakan bahwa anak itu pun mengaku
anak buah Pangeran Yudakara" Engkau tahu bukan, Yudakara itu dulunya orang Cirebon
juga?" kata Ki Jayaratu.
"Betul, tapi Pangeran Yudakara sudah kembali menjadi warga Pajajaran," sahut Banyak
Angga. "Salah besar, salah besar! Ow, mengapa aku jadi pelupa begini" Anak muda bernama Pragola
itu berkata kalau tujuan Pangeran Yudakara adalah merebut Pajajaran!"
"Jangan sembarangan menduga, Aki!" tukas Banyak Angga namun dengan hati terkejut.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 113
"Engkaulah yang jangan sembarangan menduga, anak muda!" tukas Ki Jayaratu."Kau sangka
Pangeran Yudakara itu orang baik-baik" Aku pun dulu, belasan tahun silam amat
mempercayai dia sehingga aku perintahkan muridku Purbajaya untuk menyusup ke Pakuan.
Hasil didikan Yudakara membuat perjuangan muridku melenceng dan akhirnya tewas oleh
murid si bangkotan ini. Sungguh malang nasib muridku. Di Cirebon kekasihnya direbut
Yudakara pula," kata Ki Jayaratu.
Banyak Angga menyimak cerita ini dengan perasaan taj keruan. Dan tanpa terasa airmatanya
meleleh turun. Mendengar nama Purbajaya disebut-sebut, dia terkenang masa belasan tahun
silam. Purbajaya adalah pemuda baik dan tak pernah banyak bicara. Pemuda itu lama
mengabdi di puri Yogascitra. Ayahanda Banyak Angga pun menyimpan harapan kepada
Purbajaya. Pemuda itu dikenal sebagai puhawang (akhli kelautan) dan Yogascitra bercita-cita
mengembalikan kejayaan Pajajaran sebagai negara maritim seperti ketika zamannya Sang
Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M) yang menguasai tujuh pelabuhan penting di Jawa
Kulon. Namun pada akhirnya, penghuni puri Yogascitra harus kecewa sebab pemuda yang
sudah dipercayanya ini belakangan diketahui sebagai utusan Cirebon untuk mengikis
kekuatan Pakuan. Sungguh amat menyedihkan, Purbajaya tewas di tangan Ginggi saat
pemuda itu akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).
Perasaan Banyak Angga bergalau tak menentu. Di lain fihak dia bersyukur bisa bertemu
dengan tokoh-tokoh penting ini. Namun di lain fihak pun harus merasa bingung dan sedih
akan kenyataan yang tengah berlangsung ini. Dia bingung dan sedih, ternyata Pangeran
Yudakara dan Pragola sudah di percayai kini malah meragukan . betulkah apa yang diucapkan
Ki Jayaratu ini" "Dari mana anak muda bernama Pragola itu punya hubungan dengan Pangeran Yudakara?"
tanya Ki Darma yang sejak tadi diam saja.
Entah kepada siapa pertanyaan ini dilontarkan. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Ki
Jayaratu terlihat saling pandang.
"Saya hanya tahu, dia itu orang kepercayaan Pangeran Yudakara. Ketika dia disodorkan untuk
dipekerjakan di puri Yogascitra, saya langsung menyukainya, sebab melihat wajah Pragola,
serasa diingatkan akan wajah Ginggi belasan tahun silam," tutur Banyak Angga.
Ki Darma menoleh ke kiri dan ke kanan, menatap bergiliran kepada Banyak Angga dan Ki
Jayaratu. "Benarkah Jayaratu, anak muda itu wajahnya seperti si Ginggi belasan tahun silam?"
tanyanya. "Mana aku tahu tampang si Ginggi belasan tahun silam. Kau yang harus jawab pertanyaan itu,
bukankah kau pun pernah melihat wajah anak muda bernama Pragola itu?" Ki Jayaratu balik
bertanya. Ki Darma merenung lama dan nampak keningnya berkerut dalam.
"Memang aku lihat selintas anak muda itu tapi tak kubanding-bandingkan dengan muridku.
Tapi kalau melihat matanya yang bulat berbinar, sepertinya sama. Tapi apa urusannya dengan
persamaan itu, di dunia ini banyak orang yang memiliki kesamaan wajah," gumam Ki Darma.
"Saya pun tak memikirkan sejauh itu. Hanya saja saya pikir wajah mereka memang mirip,"
tutur Banyak Angga. Percakapan tak dilanjutkan dan Ki Jayaratu berpamitan karena sudah selesai merawat Banyak
Angga. Ki Darma mengantarkan orang tua itu hingga di tepas (beranda).
"Si Pragola itu mengaku anak cutak dari wilayah Caringin," kata Ki Jayaratu tiba-tiba.
"Hei, berhenti dulu!" teriak Ki Darma. Ki Jayaratu menoleh heran.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kau barusan bilang apa?"
Ki Jayaratu mengerutkan alis sepertinya ingin mengingat barusan bicara apa.
"Aku katakan, anak itu mengaku dari wilayah Caringin dan mengaku anak seorang cutak,"
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 114
kata lagi Ki jayaratu. "Celaka!" teriak Ki Darma."Banyak Angga cepat kau pulang, susul mereka!" sambungnya
berteriak ke arah Banyak Angga.
Sudah barang tentu, baik Ki Jayaratu mau pun Banyak Angga heran dengan perilaku Ki
Darma yang nampak tak tenang ini.
"Ada apa kau mencak-mencak tak keruan?" tanya Ki Jayaratu heran.
"Mereka! Mereka pasti kakak-beradik! Teriak lagi Ki Darma.
Giliran Ki Jayaratu dan Banyak Angga yang terkejut.
"Maksudmu, si Ginggi dan si Pragola itu bersaudara?" tanya Ki Jayaratu.
"Betul!" "Saudara Ginggi dulu tak pernah berkata bahwa dirinya berasal dari Caringin," tutur Banyak
Angga. "Anak itu tak pernah bicara masa lalunya sebab aku sengaja tak banyak bicara perihal itu.
Belasan tahun silam sebelum dia turun gunung, memang aku katakan bahwa dia berasal dari
Caringin. Hanya saja aku tak mau bilang siapa ayahnya," kata Ki Darma.
"Kalau dua orang kakak-beradik itu saling bantai, maka engkaulah yang berdosa Darma!"
kata Ki Jayaratu."Mengapa kau rahasiakan asal-usulnya?" tanyanya kemudian.
"Aku takut si Ginggi kecewa. Dia merasa sebagai orang Pajajaran dan cinta negri itu. Kalau
dia tahu ayahnya sebagai cutak memberontak karena ingin bergabung dengan Cirebon,
hatinya tentu terluka," gumam Ki Darma.
"Hahaha!" "Heh, kenapa kau malah tertawa?" teriak Ki Darma dan matanya melotot ke arah Ki Jayaratu.
"Dalam hal ini si Pragola yang bertindak tepat. Dia selama ini berjuang untuk Cirebon
sehingga tak perlu sedih melihat ayahandanya," gumam Ki Jayaratu.
Ki Darma hanya mengatupkan mulut. Sedangkan Banyak Angga hanya termangu-mangu
mendengar dan mendapatkan kenyataan seperti ini.
"Kita harus mencegah mereka jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan,"
gumam Banyak Angga pada akhirnya.
"Jangan khawatir, si Ginggi tidak mudah dikalahkan lawannya," kata Ki Jayaratu.
"Sepertinya kau inginkan mereka bertempur," kata Ki Darma.
"Hahaha! Hitung-hitung mengembalikan kenangan permusuhan antara kau dan aku. Hm,
sayang si Pragola tak kulatih dulu sehingga pertempuran bisa seru," kata Ki Jayaratu.
"Jangan main-main. Angga, kau harus cari mereka, cegahlah!" kata Ki Darma menoleh ke
arah Banyak Angga yang tak begitu banyak bicara.
"Ya, kau harus berusaha mencegah pertemuan mereka, Angga," kata Ki Jayaratu ikut
menganjurkan. Namun sambil begitu, Ki Jayaratu menatap Banyak Angga yang masih tak
sanggup beranjak dari balai-balai.
"Begitu bencinya pemuda itu terfadap Ginggi?" tanya Banyak Angga.
"Sebetulnya kebencian Pragola tertuju kepda orang Pajajaran secara keseluruhan," kata Ki
Jayaratu sambil kembali menerangkan bahwa Pragola ingin membalas dendam kepada orang
Pajajaran karena kematian Ki Sudireja yang jadi gurunya juga kematian ayahandanya yang
juga kematiannya erat kaitannya dengan bentrokan-bentrokan dengan Pajajaran.
"Ki Sudireja ikut terlibat pemberontakan Sunda Sembawa. Kalau Ginggi tak menggagalkan
pemberontakan, tak nanti Ki Sudireja jadi buronan yang terus dikejar dan akhirnya tewas di
bawah kepungan perwira-perwira Pakuan. Itulah sebabnya, si Pragola mengalihkan kebencian
kepada si Ginggi," tutur Ki Jayaratu.
"Anak dungu!" dengus Ki Darma pendek.
"Memang dungu sekali anak itu. Dan kalau tak bisa dicegah, kedunguannya itu akan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 115
membawanya ke arah kehancuran," kata Ki Jayaratu lagi.
Akhirnya kedua orang tua itu berjanji akan mengupayakan pengobatan sungguh-sungguh
terhadap Banyak Angga. Diharapkan pemuda itu mendapatkan kesembuhan lebih cepat agar
bisa mengejar kedua orang kakak-beradik yang diperkirakan akan berseteru karena
permasalahan masa lampau.
*** Ternyata Banyak Angga perlu waktu hampir selama lima hari untuk mengembalikan
kebugarannya. Kata Ki Jayaratu, pemuda itu lamban mengembalikan kesehatannya
karena hatinya mungkin tak tenang.
Dugaan orang tua itu benar. Banyak Angga merasakan, betapa risau hatinya. Bagaimana tak
begitu, Pragola tengah mengejar Ginggi. Bukan untuk melakukan pertemuan antara dua
kakak-beradik, melainkan sebagai seteru. Paling tidak, itu yang tengah dipikirkan Banyak
Angga. Banyak Angga risau, dua orang itu secara terpisah dikenal baik olehnya. Dia tak boleh
membiarkan keduanya berseteru. Kata Ki Darma, baik Ginggi mau pun Pragola adalah anak
cutak Caringin. Mereka dipisahkan oleh kemelut politik dan secara tak sengaja, yang satu ikut
Pajajaran, satunya lagi bergabung dengan Cirebon sehingga dengan sendirinya menempatkan
mereka sebagai musuh. Banyak Angga sedih. Keduanya merupakan orang-orang yang dia kagumi. Ginggi sudah jelas
banyak berjasa kepada Pajajaran dan Pragola kendati kini terbukti merupakan orang Cirebon
namun secara pribadi pemuda itu amat baik dan hormat terhadapnya. Atau, apakah perilaku
hormat itu hanya sekedar polesan belaka karena anak muda itu menerima tugas sebagai
penyelundup" Banyak Angga mengeluh. Kalau benar begitu, maka untuk kesekian kalinya dia merasa
ditinggalkan sahabat karena hal-hal yang melibatkan politik.
Dulu dia bersahabat dengan Purbajaya. Belakangan pemuda itu tewas karena terbukti orang
Cirebon yang menyelundup ke Pakuan dengan tujuan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti.
Ginggi yang dia kagumi pun mendadak hilang karena pernah dituding sebagai pemberontak
oleh Sang Prabu. Kini giliran Pragola yang meninggalkan dirinya. Dia sudah sayang terhadap
pemuda itu, sudah mempercayainya dan bahkan menganggapnya sebagai adiknya sendiri.
Maka kini Banyak Angga harus kembali kecewa sebab ternyata Pragola hadir hanya untuk
mengelabuinya. Banyak Angga mengeluh. Mengapa politik demikian kejam, telah memilah-milah dan
mengkotak-kotak pendirian. Hanya karena politik maka dua kakak-beradik terpaksa harus
berhadapan sebagai musuh. Banyak Angga ngeri menggambarkan hal ini.
Kalau manusia lepas dari segala keterikatan mungkin mereka akan memandang satu sama lain
sebagai suatu kesamaan dan tak terlalu kaku mempertentangkan perbedaan. Demikian Banyak
Angga berpikir. Dai ambil contoh kedua orang tua itu. Ki Darma dan Ki Jayaratu khabarnya
dulu merupakan seteru bebuyutan. Ki Darma perwira handal dari Pajajaran dan Ki Jayaratu
sebagai perwira jagoan dari Cirebon. Setiap bertemu tentu melakukan pertempuran habishabisan
dan satu sama lainnya tak ada yang bisa mengalahkan. Kini keduanya telah
melepaskan keterikatan mereka terhadap negaranya sehingga tak ada lagi alasan bagi mereka
untuk bermusuhan. Yang tersisa hanyalah persahabatan dua manusia di puncak Gunung dan
yang satu sama lainnya saling membutuhkan. Banyak Angga berpikir, mengapa manusia tak
bisa bersatu seperti dua orang tua itu, padahal pada hakikatnya semua orang saling
memerlukan satu sama lainnya" Terjadinya perselisihan antara manusia barangkali terjadi
karena adanya racun. Dan racun itu adalah ambisi dalam mempertahankan keberadaannya.
Maka kalau manusia sudah berjuang memenangkan ambisinya, disitulah terjadi pertentangan
dan perpecahan, demikian pikir Banyak Angga.
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda itu menerawang perjalanan negrinya. Hampir delapan ratus tahun lamanya, sejak
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 116
negri ini bernama Karatuan Sunda (Maharaja Tarusbawa, 669 M), banyak mengalami pasangsurutnya.
Kendati masa-masa itu tidak terlalu banyak kemelut yang banyak menciptakan
peperangan besar, namun para leluhurnya mengakui bahwa perdamaian tidak abadi dan selalu
hadir karena adanya sifat keserakahan. Yogascitra, ayahandanya, pernah meriwayatkan,
betapa dahulu kala pernah terjadi perebutan kekuasaan antara Rakeyan Tamperan dan Sang
Manarah (739M) dan pertumpahan darah terjadi.
Sifat serakah yang dilakukan manusia juga sempat disaksikan pada zamannya kini. Banyak
Angga tahu, betapa di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) banyak
terjadi kemelut sebab Sang Prabu selalu memaksakan kehendaknya. Dan akibatnya banyak
terjadi pemberontakan kecil karena negri bawahan ingin memisahkan diri.
Kehadiran agama baru yang terjadi jauh sebelum pemerintahan Sang Prabu Sri Baduga
Maharaja merupakan kemelut khusus yang menciptakan berbagai perbedaan kehendak. Kini
kekuatan agama baru semakin merekah dan melebar dan semakin menghimpit keberadaan
Pajajaran. Suasana semaikn meruncing karena, diperkeruh oleh politik yang melibatkan
ambisi pribadi. Betapa Banyak Angga menyaksikan, ada kelompok yang ingin memerangi
agama baru denagn dalih ingin mempertahankan keberadaan kepercaan lama. Atau
sebaliknya, Banyak Angga saksikan pula ada kelompok yang ingin menghancurkan sendisendi
kehidupan negri Pajajaran dengan dalih demi kepentingan agama baru. Oleh
sekelompok manusia yang memanfaatkan situasi, agama dan kepercayaan digunakan sebagai
alat untuk menhancurkan lawan politiknya. Ya, karena manusia terlanjur memiliki
kepentingan yang terkotak-kotak, maka perpecahan dan pertentangan kerapkali terjadi.
Banyak Angga sedih dan berduka memikirkannya. Ini adalah sesuatu yang jauh berada diluar
jangkauannya sehingga dia tak berdaya untuk mencegahnya.
Mengapa tak berdaya mencegahnya. Paling sedikit untuk mencegah perpecahan antara Ginggi
dan Pragola, apakah juga tak bisa" Banyak Angga mengerutkan alis dalam sekali.
"Aki, saya akan segera pamit dari sini," tutur Banyak Angga ketika makan siang berlangsung.
"Bagus. Pergilah segera. Kalau bisa, esok pagi kau sudah harus berangkat," kata Ki Darma
seperti mengusir. "Saya ingin berangkat siang ini juga, Aki," jawab Banyak Angga. Dan hal ini seperti
mengejutkan orang tua itu.
"Ha, tak secepat itu aku menyuruhmu," katanya.
"Saya ingin berangklat hari ini saja,"
Ki Darma melamun sebentar. Namun sesudah itu mengangguk tanda setuju.
"Berangkatlah. Namun hati-hati di jalan sebab rintangan selalu ada," gumam Ki Darma
menerawang, tangannya mengelus-ngelus jenggot putihnya yang sebatas dada.
"Saya juga telah sadar bahwa dalam hidup ini banyak rintangan. Tentu saya akan selalu hatihati.
Namun, apakah saya bisa menyingkirkan rintangan-rintangan itu, bukan saya yang
memiliki kekuasaan," jawab Banyak Angga tenang.
"Baguslah. Begitulah sebaiknya manusia berpendirian. Banyak hal berada diluar kekuasaan
kita. Seperti majunya perjalanan waktu. Dia akan terus membawa perubahan dan tak seorang
manusia pun sanggup mencegahnya," kata Ki Darma sungguh-sungguh.
Banyak Angga mengangguk dan menghormat takzim. Kemudian sesudah berkemas
seperlunya, dia segera mohon diri.
"Lewatlah ke lereng selatan, si tua bangka Jayaratu mungkin ingin ketemu engkau untuk yang
terakhir kalinya," kata Ki Darma.
"Tentu, saya pun perlu berterima kasih padanya," jawab Banyak Angga.
Dan pemuda itu turun gunung melalui lereng selatan di mana dia tinggal bersama para
santrinya. Ki Jayaratu seperti yang sudah tahu bahwa dirinya akan menerima kedatangan seseorang,
buktinya dia berdiri di lawang kori (pintu gerbang perkampungan) sambil berpangku tangan.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 117
Orang tua gagah itu mendahului menyapa dengan mengucapkan selamat jalan.
"Tujuanmu mulia anak muda, yaitu ingin berjuang membela keselamatan negrimu. Namun
engkau pun harus arif menilai tanda-tanda zaman. Perubahan-perubahan zaman yang pasti
akan berlangsung belum tentu mengganggu dan merusak. Bahkan aku sendiri berpendapat,
inilah perubahan yang akan membawa jalan keselamatan bagi yang mngikuti kehendak-Nya,"
tutur Ki Jayaratu."Agama baru yang tengah kami sebarkan adalah pembawa keselamatan
umat manusia," lanjutnya.
Banyak Angga hanya menundukkan kepalanya.
"Siapa yang bilang bahwa agama baru akan menghancurkan negrimu" Tidak. Bahkan
Pajajaran yang berdiri sejak ratusan tahun silam adalah sebuah negara besar yang memiliki
tatanan kehidupan besar. Maka akan semakin sempurna bila tatanan bernegara di Pajajaran
juga diayomi oleh tatanan agama paling sempurna ini," ungkap Ki Jayaratu.
Banyak Angga masih menundukkan kepalanya.
"Engkau jangan melihat Arya Damar atau pun Yudakara. Mereka datang ke sana ke mari
bukan untuk mengusung kepentingan agama baru. Mungkin mereka hanya berlindung
dibaliknya, memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadinya semata. Aku katakan
sekali lagi, sejak dulu Cirebon tak berniat menyerang Pajajaran, kecuali menginginkan agama
baru tersebar luas ke penjuru dunia. Agama kami ini untuk kepentingan hidup manusia. Maka
alangkah muskilnya bila dalam menyebarkannya kami lakukan dengan penghancuran," Ki
Jayaratu berpanjang-lebar bicara.
Banyak Angga mengangguk dan menyembah takzim.
"Saya mengerti perihal ini dan akan saya laporkan kepada penguasa negri. Namun seperti
yang Ki Jayaratu katakan tadi, seorang abdi negara wajib mempertahankan negrinya. Aki
telah sadar bahwa Pajajaran tengah diancam oleh kelompok manusia seperti yang
digambarkan tadi. Maka itulah perjuangan kami, ingin menepis orang-orang seperti itu
sehingga tak mengganggu dan merusak ketentraman hidup," jawab pemuda itu.
Ki Jayaratu mengangguk-anggukan kepala dan tersenyum tipis.
"Pergilah anak muda. Memang nilai terbaikmu ada di sana, yaitu membela nama baik negri,"
tutur Ki Jayaratu. Banyak Angga mengangguk. Dan untuk kesekian kalinya dia menyembah takzim.
*** Banyak Angga berjalan menuruni bukit. Tidak terburu-buru namun juga tidak berlaku santai.
Dia sadar, berita yang akan disampaikannya ke pusat pemerintahan sungguh penting dan bila
terlambat menyampaikannya akan membahayakan negri.
Namun pemuda ini pun sadar, untuk tiba di dayo Pakuan tak bisa secepat itu. Perjalanan dari
puncak Gunung Cakrabuana yang ada di wilayah Karatuan Talaga ke ibu negri Pajajaran yang
begitu jauh, paling cepat akan menghabiskan waktu satu minggu, itu pun bila tidak ada
rintangan. Padahal Banyak Angga sadar, perjalanan menuju wilayah barat bukan merupakan
perjalanan yang nyaman. Sudah dia buktikan sendiri, betapa susah-payahnya dia manakala
ingin melakukan perjalanan dari Pakuan ke Cakrabuana. Di samping medan perjalanan yang
berat, juga ditambah oleh gangguan keamanan. Beberapa kali rombongannya dicegat pasukan
misterius yang tujuannya nyata-nyata hendak membunuhnya.
Siapa calon-calon pembunuh itu, membuat alis pemuda itu berkerut.
Mungkin di antara pencegat itu ada di antaranya yang datang dari Cirebon. Atau mungkin
juga hanya sekedar perampok biasa. Namun Banyak Angga pun berpikir, di antara para
pembunuh itu ada yang datang dari Pakuan sendiri. Mengapa tak begitu sebab semuanya
serba misterius. Semuanya serba tertutup. Di antara kaum penyerang ketika itu ada beberapa
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 118
yang bisa ditangkap. Namun pada akhirnya mereka tewas misterius sebelum diperiksa.
Kendati samar-samar, belakangan Banyak Angga berani meraba-raba, barangkali penyerang
yang mati misterius sebelum ditanyai adalah pembunuh yang muncul dari dalam sendiri.
Utusan Pangeran Yudakara"
Banyak Angga bergidik memikirkannya. Bisa saja dia hendak dibunuh oleh Pangeran
Yudakara. Dan kalau benar jalan pikirannya ini, maka bulu kuduknya semakin bergidik juga
sebab dia harus lebih jauh lagi meaba-raba kemungkinannya. Kemungkinan paling buruk,
Pragola pun ikut terlibat. Paling tidak, anak muda itu tahu bahwa dirinya jadi sasaran
pembunuhan Pangeran Yudakara, bekas majikan pemuda itu. Bekas majikan" Ow, barangkali
selama ini yang jadi majikan Pragola buka keluarga Yogascitra, melainkan Pangeran
Yudakara. Ya, Pragola pasti sengaja diselundupkan oleh pangeran itu untuk memata-matai
dan juga membantu melenyapkannya.
Banyak Angga bergidik menduganya. Betapa tak menduga begitu. Kendati Pragola tidak
berani langsung membunuhnya tapi tapi paling tidak pemuda itu mencoba membiarkan orang
lain membunuhnya. Banyak Angga teringat pada pertempuran terakhir di hutan jati di tengah
perjalanan antara karatuan Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Waktu itu rombongannya
dikepung pasukan misterius. Banyak Angga sudah payah dikepung banyak orang. Karena
melihat kedudukan Pragola agak longgar, Banyak Angga memohon bantuan. Namun pemuda
itu seperti mengulur-ngukur waktu untuk membantunya kalau pun tak disebut sebagai
membiarkannya. Sambil sempoyongan karena kepala pusing banyak mengeluarkan darah,
Banyak Angga ketika itu sempat mengetahui, betapa Pragola memilih diam tak bergerak
manakala beberapa golok musuh hendak mencehcarnya. Padahal kalau mau, waktu itu
Pragola masih sempat mengulurkan bantuan.
Karena Pragola masih tetap diam, akhirnya Banyak Angga memejamkan mata dan pasrah
akan nasibnya manakala belasan golok hendak mencecarnya. Banyak Angga sudah tak tahu
apa-apa lagi karena pingsan, untuk selanjutnya kembali sadar sesudah berada di Puncak
Cakrabuana. Banyak Angga duduk di atas batang pohon yang tumbang di tengah hutan. Banyak pikiran
menggayutinya. Dia pun ingat kepada teman-temannya yang lain. Di manakah Paman
Angsajaya kini berada" Di mana pula Paman Manggala" Pertemuan terakhir kali adalah di
tengah kepungan pasukan misterius itu. Semuanya terkepung dan semuanya kepayahan.
Sesudah itu, semuanya tak diketahui. Ketika Banyak Angga sudah selamat berada di puncak,
dia pun teringat mereka dan ingin sekali bertanya perihal teman-temannya yang lain. Tapi
kelihatannya, baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu tidak mengetahuinya. Buktinya, mereka tak
pernah menyebut-nyebut pertempuran di hutan jati secara rinci. Barangkali Ginggi yang
menolongnya, tak mengabarkan kejadian pertempuran secara lengkap karena terlalu tergesagesa
untuk segera pergi ke Pakuan. Atau bisa juga sebetulnya kedua orang tua itu sudah
dilapori Ginggi perihal pertempuran di sana, hanya saja mereka tak mau mengabarkannya
kepada Banyak Angga. Maka Banyak Angga pun kembali melanjutkan perjalanannya. Perlu dua hari untuk sampai ke
wilayah Karatuan Sumedanglarang itu. Itu terjadi karena Banyak Angga harus melakukan
perjalanan dengan hati-hati. Dia tahu, Sumedanglarang sudah merupakan negri yang memihak
Cirebon. Dan barangkali mereka rak menyukai melihat orang Pakuan keluyuran di
wilayahnya. Itulah sebabnya, perjalanan berjalan lambat.
Namun ketika tiba di hutan jati bekas pertempuran, Banyak Angga hanya menemukan
kesunyian. Di sana tak ada kehidupan apa pun kecuali gundukan-gundukan tanah.
Banyak Angga menduga, gundukan tanah itu tentu kuburan. Pemuda ini percaya kalau seusai
pertempuran banyak orang menjadi korban. Namun, kuburan siapakah itu, jumlahnya cukup
banyak. Hanya saja, dari sekian gundukan tanah, ada dua kuburan terpisah.
Banyak Angga berpikir sejenak. Dia mencoba menduga-duga jalan pikiran penguburnya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 119
Mungkin dia tahu, yang tewas ada dua belah pihak, makanya mayat mereka dikuburkan
secara terpisah. Beberapa buah di sebelah sana dan hanya dua buah di tempat lainnya.
Banyak Angga terkejut mengikuti jalan pikirannya ini. Kalau dua kuburan terpisah itu
ternyata anak buahnya, siapa lagi kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala" Ya,
bukankah dia tahu Pragola selamat" Siapa lagi yang tak bisa tiba ke Puncak Cakrabuana kalau
bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala"
Banyak angga terduduk lesu. Ada burung gagak beterbangan di angkasa, seolah-olah memberi
tahu bahwa kuburan yang dia renungi adalah benar kuburan dua anak buahnya. Satu kuburan
Paman Angsajaya dan satunya lagi kuburan Paman Manggala.
Sungguh bingung memikirkannya. Kalau mau bercuriga, sebenarnya Paman Manggala tak
perlu mati. Bukankah dia tadinya ank buah Pangeran Yudakara juga" Kalau benar begitu,
Paman Manggala pun berkomplot sama dengan Pragola. Namun herannya, Paman Manggala
pun ketika itu dikepung ramai-ramai dengan darah bersimbah di sana-sini. Banyak Angga pun
mengeryitkan dahi, kendati waktu itu Pragola terbebas dari luka-luka, namun Banyak Angga
melihat bahwa serangan musuh terhadap pemuda itu sungguh-sungguh dan berniat hendak
mengambil nyawanya. Hanya karena Pragola lebih kosen saja maka tak ada musuh yang
sanggup melukainya. Banyak Angga semakin bingung memikirkan hal ini. Siapakah pasukan penyerang di hutan
jati itu" Mereka memang memperlihatkan ciri sebagai perampok, begitu menghadang minta
harta. Namun mengaku perampok dan minta harta, belum tentu perampok beneran. Bisa saja
mereka utusan tertentu untuk melakukan pembunuhan. Utusan siapa mereka, inilah yang
membingungkan sebab semuanya serba gelap.
Namun, terbukti atau tidak mereka bertindak sebagai utusan, yang jelas di Pakuan kini
bersarang tokoh yang membahayakan. Betapa tidak, Pangeran Yudakara begitu dipercaya
oleh Sang Prabu Nilakendra. Dia adalah kerabat dekat Sumba Sembawa, tokoh pemberontak
dari Sagaraherang di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti. Barangkali agar hubungan
dengan wilayah Sagaraherang membaik kembali, maka tampuk pemerintahan di kandagalante
itu diserahkan kepada Pangeran Yudakara.
Banyak alasan mengapa Sang Prabu Nilakendra menyerahkan Sagaraherang kepada pangeran
itu. Sang Prabu selalu ingin mengurangi permusuhan dengan berbagai pihak. Sang Prabu
rupanya ingin menghapus jejak ayahandanya yang gemar menanam permusuhan. Maka
Pangeran Yudakara yang diketahui pernah berkiblat ke negri Carbon dan bahkan kerabat
dekat Kandagalante Sunda Sembawa yang memberontak, tokh diberinya kepercayaan untuk
menguasai Sagaraherang. Sang Prabu barangkali bermaksud menghilangkan rasa dendam atas kematian kerabatnya,
yaitu Sunda Sembawa. Maka dianugrahilah Pangeran Yudakara dengan jabatan tinggi.
Banyak Angga bahkan menerima khabar bahwa wilayah Sagaraherang akan semakin
diperluas ke arah timur yang berbatasan dengan wilayah Carbon dan Pangeran Yudakara akan
dinaikkan pangkatnya tidak sekadar sebagai kandagalante (setingkat wedana kini) namun
akan menjadi mangkubumi yang menguasai wilayah tanah setingkat gubernur untuk ukuran
sekarang. Selama berada di Pakuan, Pangeran Yudakara memang tidak menampakkan gerakan di
Pakuan, Pangeran Yudakara memang tidak menampakkan gerakan yang mencurigakan.
Bahkan dia banyak berpikir perihal kemajuan Pakuan. Sebagai contoh, Pangeran Yudakaralah
yang mengirim Pragola ke Pakuan untuk memberikan laporan mengenai adanya belasan
pasukan balamati yang katanya terkepung di Puncak Cakrabuana itu.
Tentu saja, Banyak Angga sebelumnya terkecoh kalau saja tidak mendapat khabar dari
Puncak Cakrabuana. Ki Jayaratu malah mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara sebetulnya
tak lebih dari sekadar petualang politik saja. Ki Jayaratu mengabarkan, betapa semasa berada
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 120
di Carbon, Pangeran Yudakara selalu mempengaruhi para pimpinan di sana agar
menghancurkan Pajajaran dengan alasan untuk memperluas sendi-sendi agama baru di Jawa
Kulon. Kata Ki Jayaratu, begitu uletnya Pangeran Yudakara dalam upaya membelokkan
perjuangan Carbon. Buktinya, Purbajaya, murid terkasih Ki Jayaratu yang berangakat ke
Pakuan dengan tugas ikut menyebarkan agama baru, pada akhirnya terjerumus ke kancah
politik yang salah. Tentu saja Banyak Angga tak bisa menuduh begitu saja. Ucapan Ki Jayaratu hanya akan
dianggap sebagai panduan saja. Sedangkan untuk membuktikan gerakan apa yang sebenarnya
tengah dilakukan Pangeran Yudakara, haruslah melakukan penyelidikan dengan seksama.
Sesudah merenung cukup lama, akhirnya Banyak Angga bergegas meninggalkan hutan jati
itu. Hari sudah mulai gelap dan dia tak mau kemalaman di sini.
Dia harus cepat melakukan perjalanan, sesulit apa pun yang terjadi. Kali ini benar-benar
diburu waktu. Di samping untuk memikirkan bahaya yang ditimbulkan Pangeran Yudakara,
Banyak Angga pun harus memikirkan nasib Ginggi dan Pragola. Pemuda ini khawatir sekali
bahwa bila Pragola berhasil menemui Ginggi, maka akan terjadi peristiwa yangh tak
diinginkan. Jangan sampai dua kakak-beradik mengadu nyawa oleh sesuatu sebab yang tak
berarti. Pragola diketahui menyimpan dendam kepada Ginggi. Prgola harus dicegah jangan sampai
melampiaskan rasa dendamnya itu.
*** Banyak Angga terus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Pada siang hari dia
melakukannya seperti orang kebanyakan. Tapi pada malam hari atau bila menempuh
perjalanan yang bersuasana sepi, dia berjalan secara napak sancang. Napak sancang adalah
sejenis ilmu meringankan tubuh. Semakin tinggi memiliki ilmu ini, akan semakin ringan
tubuhnya. Banyak Angga menerima pelajaran napak sancang dari Ginggi manakala pemuda itu masih
bekerja padanya belasan tahun silam.
Dan kalau ingat Ginggi, Banyak Angga suka tersenyum sendiri memikirkannya. Ginggi itu
manusia aneh. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi tapi selalu acuh tak acuh dn masa bodoh
terhadap kemampuannya ini. Kalau pemuda lain, sedikit punya kepandaian saja sudah
berbondong-bondong melamar untuk jadi prajurit Pakuan. Sebaliknya dengan Ginggi. Dia tak
pernah menganggap bahwa dirinya berharga. Ketika ayahanda Banyak Angga, yaitu Pangeran
Yogascitra ingin memasukannya menjadi anggota pasukan balamati (pengawal Raja), Ginggi
menolaknya, padahal orang lain harus menempuh ujian-ujian berat.
Ginggi pandai menggunakan ilmu napak sancang sehingga Banyak Angga ketika itu tertarik
dan ingin menganggap pemuda Ginggi sebagai gurunya.
"Ah, tak perlu berguru. Kalau engkau mau, akan saya kasih contoh," tutur Ginggi ketika itu.
Maka Ginggi mendemontrasikan kepandaiannya. Dia mengajak Banyak Angga bermain di
Telag Rena Mahawijaya, sebuah telaga buatan di Pakuan yang pada waktu-waktu tertentu
digunakan raja dan kerabatnya untuk melakukan upacara suci.
Banyak Angga begitu terkagum-kagum ketika melihat Ginggi memperlihatkan
kepandaiannya. Ginggi begitu hebatnya berlari dan meloncat-loncat di atas permukaan air.
Kalau tak menyaksikan sendiri, maka siapa pun tidak akan percaya, mana mungkin orang bisa
berlari di atas permukaan air. Atau kalau pun bisa menyaksikan, maka orang akan
menganggapnya sebagai perbuatan sihir.
"Bukan sihir atau pun ilmu gaib sebab ini hanyalah peristiwa alamiah belaka," tutur Ginggi
ketika. Kemudian pemuda lugu itu memberikan contoh sederhana. Diambilnya sebuah batu
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 121
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbentuk pipih tipis. Benda itu dia celupkan ke air.
"Lihat, benda ini tenggelam," kata Ginggi. Sesudah Banyak Angga mengiyakan, batu pipih
itu diambil lagi. Kemudian Ginggi melemparkannya keras-keras mengarah ke tengah telaga.
Cara melemparkan, diusahakannya agar bagian yang pipih mendatar sejajar permukaan air.
Batu itu melesat sejajar permukaan air. Ketika turun dan menempel ke permukaan air, batu itu
tidak tenggelam, melainkan masih tetap meluncur meloncat-loncat dan baru benar-benar
tenggelam ketika tenaganya habis.
"Begitulah cara telapak kaki kita pun dalam menginjak permukaan air," tutur Ginggi.
"Diusahakan telapak kaki kita memijak datar ke atas permukaan air tapi dengan gerakan cepat
dan jangan biarkan gaya berat tubuh kita punya kesempatan menekan lama kepada permukaan
air," lanjutnya. Banyak Angga mengerti teori ini. Namun untuk mempraktekaknya sungguh sulit. Dia tak
pernah berhasil meniru apa yang pernah dilakukan Ginggi. Tenaga dalamnya kurang kuat
sehingga tak mampu menggerakkan sepasang kakinya dengan kecepatan penuh seperti apa
yang jadi persyaratan. Sampai tiba saatnya berpisah dengan Ginggi, Banyak Angga tak pernah berhasil melatih ilmu
napak sancang dengan baik. Artinya, Banyak Angga tak pernah bisa meniru apa yang pernah
diajarkan Ginggi, yaitu berlari di atas permukaan air.
Namun kendati demikian, seburuk apa pun kemampuannya, tokh apa yang dipelajari Banyak
Angga terasa manfaatnya. Walau pun dia tak bisa napak sancang di atas permukaan air,
namun ketika dia menggunakan ilmu itu di tempat datar, hasilnya sungguh mencengangkan.
Banyak Angga bisa berlari amat cepat seperti panah melesat dari busurnya. Kalau orang biasa
menyaksikannya, mereka pasti akan terbengong-bengong, atau barangkali akan bergidik
ketakutan karena yang terlihat hanya sesuatu benda berkelebat saja.
Itulah sebabnya, untuk tidak membuat perhatian orang, maka Banyak Angga hanya
melakukan kepandaiannya di tempat-tempat sepi saja.
Di tempat ramai menjelang ketibaannya di wilayah Sagaraherang, Banyak Angga tidak berani
melakukan hal-hal aneh menurut perkiraan orang biasa. Bahkan dia pun tak mau diketahui
oleh siapa pun bahwa dirinya memiliki sedikit kepandaian. Bahkan di wilayah Sagaherang ini,
dian ingin melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Beberapa hari lalu ketika dia akan berangkat menuju Cakrabuana dan singgah di wilayah ini
tak punya kecurigaan apa-apa. namun setelah menerima khabar dari Ki Jayaratu, persoalan
lain lagi. Dia harus berusaha membuktikan benar tidaknya sepak-terjang Pangeran Yudakara.
Jauh di luar kota, Banyak Angga sudah mendapatkan berita bahwa kali ini Pangeran
Yudakara tengah berada di purinya. Pemuda ini bersyukur dalam hatinya sebab dengan
demikian dia bisa mulai melakukan penyelidikan.
Banyak Angga menunggu hari malam. Kemudian sesudah waktu ditunggu tiba, dia segera
bergerak. Tujuannya adalah puri Yudakara.
Wilayah kandagalante Sagaraherang ini cukup besar. Pusat kota dilindungi benteng tanah
yang disusun kokoh setinggi lebih dari empat depa ( 1 depa kurang lebih 1,698 meter).
Lawang Saketeng (pintu gerbang) menghadap ke sebelah timur, ke arah di mana dalam
perjalanan kuda dua hari sudah merupakan wilayah Nagri carbon (Cirebon).
Persinggahan beberapa hari lalu di wilayah ini tidak begitu menarik perhatian dirinya. Dia
yang beberapa hari lalu masih memimpin rombongan menuju Cakrabuana hanya singgah
sebentar saja. Pertama karena waktu itu hari masih siang dan keduanya karena tuan rumah
yaitu Pangeran Yudakara sedang tak berada di tempat.
Amat kebalikan dengan hari ini. Sekarang Banyak Angga datang dengan segudang rasa
penasaran. Namun sudah barang tentu, kehadirannya kali ini harus dilakukan diam-diam. Dia
ingin menyelidik. Dan untuk itu, tk boleh ada orang tahu.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 122
Itulah sebabnya, Banyak Angga menunggu malam jauh di luar benteng. Dia bermaksud ingin
menyelundup ke puri Yudakara secara diam-diam.
Dan waktu yang ditunggu telah tiba. Manakala senja jatuh di ufuk barat, maka terdengar
lenguhan terompet tiram. Tidak lama kemudian terdengar pula derit pintu kayu jati ditutup
jagabaya (prajurit penjaga).
Ini merupakan aba-aba bagi Banyak Angga agar segera bersiap-siap untuk melakukan
penyelundupan. Banyak Angga harus menunggu lagi untuk beberapa lama agar malam benar-benar gelap.
Amat beruntung langit malam tidak dihiasi bulan. Dengan demikian dia akan bisa bergerak
dengan sedikit leluasa. Kini yang harus diperhatokan adalah gerakan tugur (peronda) yang
setiap saat datang menusuri benteng. Tugur bergerak tiap empat orang. Dua orang di depan
membawa oncor (obor) yang apinya menyala cukup besar dan menerangi seputarnya.
Sedangkan dua orang di belakang selalu siap dengan gobang (pedang) terhunus.
Banyak Angga perlu menyimak gerakan mereka untuk beberapa saat. Dia ingi tahu setiap
kapan tugur akan lewat, sehingga pada akhirnya dia akan bisa mencuri kesempatan untuk
menerobos masuk. Namun sungguh mengherankan, interval gerakan tugur sungguh amat ketat. Keheranan ini
sekaligus mengundang perasaan curiga, mengapa penjagaan seketat ini" Semakin tebal rasa
curiga Banyak Angga, seolah-olah benar, Pangeran Yudakara akan melakukan gerakan yang
membahayakan Pakuan. Banyak Angga semakin tertarik untuk menyelidiki puri ini. Kalau benar terdapat hal-hal yang
mencurigakan, dia harus segera kembali ke dayo (ibukota) untuk melapor.
Banyak Angga sudah mendekam di atas benteng. Namun demikian, dia masih belum punya
kesempatan untuk menyelundup masuk.
Meloncat turun begitu saja, merupakan sebuah tindakan riskan sebab di dalam benteng
merupakan lapangan rumput yang cukup terbuka. Bisa saja dia berlari kencang menuju
paseban (bangunan tempat melakukan pertemuan). Namun bangunan terkecil di tengah
hamparan rumput beratap sirap itu terbuka di keempat sudutnya. Artinya, bangunan itu
berdiri tak berdinding. Banyak Angga akan bisa ketahuan tugur bila sembunyi di sana.
Pemuda itu memperhatikan ke sekelilingnya. Di depan paseban terdapat tiga bangunan
berjejer. Namun dari ketiganya, hanya satu yang besar dan indah. Banyak Angga tahu, itulah
bangunan di mana Pangeran Yudakara tinggal.
Bagaimana dia bisa ke sana tanpa diketahui penjaga" Banyak angga tengadah ke atas. Di sana
terlihat dahan pohon kihujan. Pohon jenis ini ada berjejer tiga buah dan yang palin ujung
terletak di sisi bangunan samping. Pohon-pohon itu seolah memberitahu bahwa dia harus
bergerak lewat dahan untuk bisa mendekat bangunan inti.
Maka ketika rombongan tugur pembawa obor sudah lewat, Banyak Angga segera meloncat ke
atas dan sepasang tangannya bergayut ke ujung dahan pohon. Ada sedikit suara berkeresekan
karena dahan pohon bergoyang. Pemuda itu menahan napas dan hatinya berdoa agar suara
keresekan tak didengar kaum peronda.
Beruntung tak ada petugas yang kembali. Ini pertanda suara keresekan tak didengar mereka.
Namun kendati begitu, Banyak Angga mengeluh. Segala sesuatu yang menyelamatkannya
selalu berbau keberutungan dan bukan atas kebolehannya. Bila ingat ini, pemuda itu selalu iri
kepada Ginggi. Ginggi hidupnya acuh tak acuh dan sedkit ugal-ugalan. Pemuda itu terkadang
tak peduli terhadap keberadaan dirinya. Ginggi pernah berkata, Ki Darma sebagai gurunya
suka memaksa agar dia selalu berlatih kedigjayaan. Namun Ginggi kerapkali menolak dan
bersikap ogah-ogahan. Anehnya, kendati begitu tokh punya kepandaian hebat. Dia amat
digjaya dan amat disegani di mana-mana. Seorang diri dia pernah melumpuhkan puluhan
prajurit tangguh anak Buah Sunda Sembawa tanpa membuat luka apalagi tewas. Ini adalah
kepandaian maha hebat sebab orang baru bisa meloloskan diri dari kepungan banyak orang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 123
kalau sudah melumpuhkan atau menewaskannya.
Banyak Angga mengeluh. Bila dibandingkan dengan Ginggi, dia tak ada apa-apanya. Padahal
kini tengah menangani pekerjaan berat, barangkali berbahaya. Kalau saja kepandaiannya
setingkat Ginggi dia lebih leluasa dan lebih punya keyakinan.
Bukan karena takut. Tapi pekerjaan ini tak boleh gagal. Kematian baginya bukan suatu hal
yang perlu dirisaukan. Tapi mara-bahaya untuk negara harus dihindarkan. Itulah yang
dirisaukannya. Dia takut penyelidikannya gagal sehingga berakibat fatal bagi negrinya.
Tak ada bantuan yang bisa dicari. Penghuni puri ini, barangkali semuanya orang-orang
Yudakara. Artinya, malam ini dia kerja sendirian.
Maka Banyak Angga segera merayap menuju dahan lebih besar. Dia merangkak dengan hatihati.
Meloncat ke dahan lain dan segera berhenti karena ada tugur lain yang lewat membawa
obor dengan cahayanya yang menggelebur terang.
Sesudah rombongan peronda lewat jauh, kembalai Banyak Angga bergerak. Kali ini
menggapai dahan pohon di sebrang. Sayang ujung dahan itu terlalu kecil, sehingga ketika dia
bergayut dahan melenting karena tak kuat menahan berat badannya.
Pemuda itu terpaksa menjatuhkan diri ke atas tanah berumput sebab kalau tetap memaksakan
diri terus bergayut, akan menimbulkan perhatian penjaga kalau dahan kecil itu patah dan
mengeluarkan bunyi. Begitu jatuh ke atas tanah, Banyak Angga segera meloncat dan berlindung di balik pohon itu.
Kini tinggal terhalang satu pohon lagi untuk sampai ke jajaran bangunan yang dia tuju itu.
Dan Banyak Angga kembali meloncat-loncat agar bisa tiba di sana sebelum kehadiran
peronda baru. Tadinya yang ingin dia tuju adalah bangunan besar di tengah. Namun niat itu dia rahkan ke
tempat lain. Dari dalam bangunan pertama sayup-sayup terdengar suara lecutan cambuk
disusul oleh suara orang menahan rasa sakit.
Banyak Angga segera menduga, di dalam bangunan itu ada orang yang tengah disiksa. Siapa
yang siksa dan siapa pula yang menyiksa, itu pula yang jadi pusat perhatian Banyak Angga.
Pemuda itu ingin mengetahuinya.
Maka dengan sangat hati-hati pemuda itu berusaha menaiki dinding bangunan yang terbuat
dari serpihan papan jati. Hati-hati sekali sebab dia tak ingin ada suara keresekan biar sedikit
pun. Banyak Angga sadar, di puri ini banyak orang pandai. Pangeran Yudakara dikenal punya
kepandaian tinggi dan Banyak Angga tidak ingin bertindak gegabah.
Pemuda itu merayap ke atas dan menuju atap genting sirap. dengan amat hati-hati dia
mencoba mencongkel serpihan daun sirap dengan harapan bisa membuat celah untuk
mengintip ke bawah. Sudah dilakukan. Sorot matanya bisa melihat ke bawah. Pertama-tama yang dilihatnya adalah
seorang prajurit bertubuh tinggi besar dengan muka penuh cambang bauk. Dia bertolak
pinggang sambil tangannya memegangi cemeti (cambuk) terbuat dari kulit hitam yang
dilinting. Banyak Angga menggerak-gerakkan kepalanya, mencoba mengarahkan pandangannya ke
tempat lain. Dia ingin sekali tahu, siapa yang tengah disiksa prajurit itu.
Ada sepasang tangan yang diikat tambang ijuk ke atas balok kayu dan sepertinya sepasang
tangan itu sengaja dikerek ke atas.
Banyak Angga ingin sekali melihat wajah orang yang terikat itu. Namun apa daya, tepat di
hadapan orang yang terikat itu berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya cukup tinggi sehingga
menghalangi pandangan. Siapa orang bertubuh tinggi itu, Banyak Angga pun tak bisa
memastikan sebab orang itu berdiri berkacak pinggang sambil menghadap ke arah tawanan,
artinya pas membelakangi Banyak Angga. Namun ketika orang itu berbicara, Banyak Angga
serasa kenal dengannya. "Pengkhianat harus dibunuh!" desis orang itu. Kemudian dijawab oleh tawanan,"Aku bukan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 124
pengkhianat sebab tak pernah bersetia kepada siapa pun sebelumnya,"
Banyak Angga terkejut. Kedua orang yang bertanya-jawab itu tak lain Pangeran Yudakara
dan Pragola. Pragola kini yang jadi tawanan Pangeran Yudakara. Karena apa"
"Dasar anak dungu! Bertahun-tahun kau berada di bawah pengawasanku, berarti kau anak
buahku. Berarti pula kau harus bersetia kepadaku," desis Pangeran Yudakara.
"Saya datang dan bergabung denganmu karena punya tujuan yang sama yaitu melawan musuh
yang sama," jawab Pragola.
"Nah, kau bilang begitu. Tapi mengapa kau abaikan perintahku?"
"Soal apa?" "Berminggu-minggu kau dekat dengan Banyak Angga dan banyak kesempatan untuk
melenyapkan pemuda itu, nyatanya tidak kau lakukan," tutur Pangeran Yudakara.
Diam sejenak. "Kau keni bersetia kepada Banyak Angga?"
"Sudaj aku katakan, aku tak bersetia kepada siapa pun juga, kecuali kepada rasa benciku
terhadap orang Pajajaran,"
"Bukankha Banyak Angga orang Pajajaran?"
"Ya, tapi aku hanya mau mencari si Ginggi yang kuanggap teha menjadi gara-gara kematian
Ki Guru Sudireja," kata Pragola lagi.
"Dungu. Kau hanya berkutat pada kepentingan pribadi belaka," dengus Pangeran Yudakara.
"Pada akhirnya semua orang bekerja untuk kepentingan pribadi, tidak juga engkau Pangeran!"
sergah Pragola. Pangeran Yudakara memungut cambuk yang tengah dipegang prajurit brewok itu. Lantas
cambuk itu dilecutkannya ke tubuh Pragola. Melalui celah genting sirap, Banyak Angga
menyaksikan ada darah mengucur dari dada kiri Pragola yang tersayat ujung cambuk.
"Bunuhlah kalau aku tak menguntungkanmu!" teriak Pragola.
"Sudah barangtentu engkau harus kubunuh sebab hanya akan mengacaukan gerakan kami
belaka," cetus Pangeran Yudakara berkerot giginya."Engkau hanya berfikir tentang dendam
pribadi belaka. Hai orang dungu dengarkan, membunuh mungkin saja bagian dari perjuangan
tapi itu bukan tujuan satu-satunya, dan bukan karena dendam. Kau hanya ingin bunuh Ginggi
dan menolak perintah bunuh Banyak Angga. Itulah mengacaukan. Tindak-tandukmu yang liar
tak terpimpin itu hanya akan membahayakan gerakan kami saja," tutur lagi Pangeran
Yudakara."Bunuh bedebah ini!" teriaknya memerintahkan prajurit brewok. Yang diperintah
segera mencabut kelewang.
Banyak Angga yang mengintip dari atas wuwungan amat terkejut. Dia akan segera
mendobrak genting sirap untuk memberikan pertolongan. Pragola boleh menjadi penyelundup
yang membahayakan Pakuan. Namun Banyak Angga berfikir bahwa Pragola adalah pemuda
baik. Apalagi dia tahu bahwa Pragola adik kandung Ginggi. Dia harus berusaha
menyelamatkan pemuda itu.
Namun belum juga niatnya terlaksana, terdengar suara dentangan dari bawah. Banyak Angga
kembali mengintip, ternyata kelewang yang tadi diayunkan prajurit sudah menancap di tiang
kayu jati dan bergoyang-goyang mantap.
Banyak Angga semakin terkejut. Entah dengan cara apa, namun kelewang yang sedianya
diayunkan ke tubuh Pragola tentu ditepis oleh orang yang baru datang. Inilah yang membuat
dirinya terkejut sebab pendatang itu dia hafal betul siapa.
"Ki Banaspati?"bisiknya bergetar.
Mengapa tak terkejut sebab Ki Banaspati adalah tokoh yang dicari-cari pihak Pakuan selama
ini. Secara diam-diam, ayahandanya tengah menyelidiki tokoh ini yang secara misterius
menghilang dari Pakuan belasan tahun silam.
Seperti sudah diterangakan di bagian awal, belasan tahun silam semasa Pakuan dirajai Prabu
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 125
Ratu Sakti (1543-1551 M), terjadi pemberontakan dari wilayah sagaraherang yang ketika itu
dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa. Sunda Sembawa dapat dibunuh waktu itu juga oleh
pasukan Pakuan, begitu pun pengikut-pengikutnya bisa dilumpuhkan. Namun dari hasil
penyelidikan pemerintah, ternyata gerakan Sunda Sembawa tak berdiri sendiri. Para pejabat di
Pakuan yang bersetia kepada raja bahkan mencurigai bahwa Sunda Sembawa sebetulnya
hanya dipakai sebagai anak panah belaka. Artinya, ada kekuatan lain yang bertindak sebagai
penarik busur. Namun siapakah gerangan, pihak Pakuan belum bisa membuktikannya.
Selentingan mengatakan, Ki Bagus Seta berambisi menguasai Pakuan. Untuk itu serta-merta
"meberikan: putrinya Nyi Mas Layang Kingkin sebagai selir Raja, dengan maksud agar bisa
lebih leluasa masuk ke istana. Ki Banaspati malah dianggap lebih berbahaya lagi sebab
tindak-tanduknya tak kentara dan amat misterius. Sewaktu Prabu Ratu Sakti berkuasa, Ki
Banaspati menjabat sebagai Muhara (petugas penarik pajak). Dia banyak mempengaruhi Raja
agar menaikkan seba (pajak) sebab kejayaan negara harus dikembalikan ke masa silam seperti
masanya pemerintaha Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Musuh-musuh harus
dihancurkan dan angkatan perang harus diperkuat.
Sang Prabu Ratu Sakti terpengaruh sehingga rakyat menjerit karena beban pajak yang tinggi.
Akibatnya banyak wilayah yang mencoba memberontak dan memilih memisahkan diri atau
ikut bergabung dengan negara agama baru yaitu Carbon (Cirebon).
Ki Banaspati disetujui Raja untuk membiayai angkatan perang yang dibentuk di wilayah
timur, yaitu Sagaraherang, dengan dalih untuk membendung kekuatan musuh dari timur, yaitu
Carbon. Namun belakangan diketahui, angkatan perang yang susah payah dimodali dari pajak
rakyat, akhirnya bergerak ke Pakuan dan berupaya melakukan pemberontakan.
Terlibatkah Ki Banaspati" Itulah yang misterius. Sebab seusai kegagalan pemberontakan, Ki
Banaspati menghilang tak tentu rimbanya (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).
Jadi tak aneh kalau kini Banyak Angga terkejut dengan kehadiran Ki Banaspati di
Sagaraherang ini. Dari mana saja orang ini dan apa keperluannya di tempat ini"
"Ki Banaspati?" gumam Pangeran Yudakara dengan bibir terlihat bergetar.
"Lepaskan ank itu," kata lelaki yang berusia hampir enampuluh namun bertubuh tinggi besar
dan berdada bidang ini. "Dia anak buah saya,"
"Anak buahmu berarti anak buahku juga. Maka lepaskanlah anak itu," nada Ki Banaspati
seperti perintah. "Anak ini membahayakan, cara kerjanya serabutan. Yang dia pikirkan hanya dendam pribadi
semata," kata Pangeran Yudakara.
"Hahaha!! Dendam adalah kekuatan untuk memenangkan perjuangan. Kudengar barusan,
anak muda ini benci si Ginggi dan ingin balas dendam. Itu bagus. Si Ginggi akan jadi duri
dalam daging, sebab bila kita mulai bergerak ke Pakuan, anak bengal itu pasti menghalangi
jalan kita. Jadi, mengapa tidak kau hargai usaha anak muda ini?" kata Ki Banaspati.
"Dia saya tugaskan membereskan orang-orang Pakuan satu-persatu. Namun sekedar Banyak
Angga pun dia tidak mampu membunuhnya," kata Pangeran Yudakara.
"Apalah pentingnya Banyak Angga," potong Ki Banaspati."Anak muda itu jiwanya lemah,
kepandaiannya pun tak seberapa. Jadi tak perlu kau hiraukan sebab Banyak Angga bukan
tokoh membahayakan. Yang harus kita perhatikan malah ayahandanya. Yogascitralah yang
justru punya peranan dalam upaya mempertahankan Pakuan. Belasan tahun silam, gerakan
Sunda Sembawa yang dari dalam dibantu Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta bahkan gagal
karena Yogascitra sanggup menggalang persatuan. Jadi kalau kau hendak bergerak, maka
terlebih dahulu enyahkanlah dulu orang tua bangkotan itu," kata Ki Banaspati membuat hati
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banyak Angga bergetar mendengarnya.
Sesudah itu, Pragola dilepaskan dan Ki Banaspati berkata bahwa Pragola akan dibawanya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 126
"Engkau harus bersiap-siap di pintu gerbang barat sebab kekuatan dari barat akan segera
tiba," kata Ki Banaspati. Pangeran Ytudakara menganggukkan kepala tapi terlihat lesu.
Sementara itu Ki Banaspati segera bergerak meninggalkan ruangan itu sambil diikuti Pragola.
Di depan pintu mereka berpapasan dengan dua orang yang hendak masuk. Banyak Angga
hafal, mereka adalah Goparana dan Jayasasana, pembantu dekat Pangeran Yudakara. Sejenak
mereka saling pandang dengan Ki Banaspati. Namun Ki Banaspati mendengus dan berlalu
dengan langkah congkak. "Pangeran?" bisik Goparana dan Jayasasana hampir berbareng. Dijawab oleh Pangeran
Yudakara dengan keluhan. "Mengapa Pangeran membiarkan orang itu keluar-masuk wilayah kita?" tanya Goparana
heran. "Dia punya kekuatan dan aku tak kuasa membendungnya," gumam Pangeran Yudakara.
"Dengan kata lain, perjuangan kita akan tuntas sampai di sini, Pangeran?" tanya Goparana
lagi. Pangeran Yudakara yang tadi menunduk segera mendongak dan menatap tajam pembantunya.
"Cita-citaku tak akan padam begitu saja, Pakuan tetap harus jadi milikku," gumam pangeran
itu sedikit geram. "Lantas orang tadi?"
"Biarkan kekuatan dari barat memasuki Pakuan dan kita ikut di belakang. Mungkin orangorang
kita hanya membukakan pintu gerbang barat. Namunbiarkan mereka saling bertempur
dan kita tinggal menonton untuk kemudian segera menggebuk pemenangnya," tutur Pangeran
Yudakara. "Tapi, Pangeran?" gumam Jayasasana.
"Ada apa?" "Kami ingin meminta penjelasan dari Pangeran, sejauh mana hubungan anda dengan Nyi Mas
Layang Kingkin?" tanya Jayasasana.
Terlihat Pangeran Yudakara tersenyum tipis.
"Kau sangka aku benar-benar cinta terhadap perempuan tolol itu?"
tanyanya masih tersenyum tipis dan sifatnya mengejek sekali.
"Aku hanya membuak jalan agar bisa keluar-masuk istana, dan kunci pintu ada di tangan si
bodoh itu. Perempuan tak laku itu gila laki-laki. Dia mudah jatuh ke pangkuan lelaki mana
pun. Mengapa aku tak memanfaatkannya?" Pangeran Yudakara mengerling ke arah kedua
pembantunya. "Tapi Pangeran, tidakkah sebaliknya, perempuan itu yang memanfaatkan kita untuk
kepentingannya?" tanya Goparana.
"Apa maksudmu, Goparana?"
"Nyi Mas Layang Kingkin sudah kami selidiki dan dia mencurigakan sebab punya pasukan
tersembunyi," jawab Jayasasana.
Pangeran Yudakara meoleh ke arah Goparana dan yang ditatap menganggukkan kepalanya.
"Ini sesuai dengan perkataan Pragola bahwa Nyi Mas Layang Kingkin pun mengirimkan
pasukan pembunuh menyusul rombongan Banyak Angga,"
"Apa yang mereka perbuat?" tanya Pangeran Yudakara heran dan penuh minat.
"Kata Pragola, dia hendak dibunuhnya kendati nampak juga bahwa Banyak Angga pun jadi
sasaran pembunuhan," jawab Jayasasana.
"Membingungkan. Kalau benar utusan itu diutus oleh Nyi Mas Layang Kingkin, apa
maksudnya?" gumam Pangeran Yudakara mengerutkan dahi.
"Itulah yang harus kita selidiki,"
Nampak Pangeran Yudaka mengatupkan mulut dan mengepalkan tangan kanannya. beRgeak
melangkah ke sana ke masti sambil memukul-mukulkan tinju kanan ke telapak tangan kirinya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 127
Banyak Angga yang sejak tadi mengintip dari atas, sudah merasa waktunya untuk berlalu dan
diharapkan tidak akan membuat perhatian sebab ketiga orang yang ada di bawahnya tengah
tersita oleh masalah yang meruwetkannya.
Yang harus dia lakukan kemudian adalah mencoba mengejar ke mana Ki Banaspati membawa
Pragola. Dia merayap dengan penuh hati-hati. Sesudah berada di atas tanah, Banyak Angga berindapindap
menuju batang pohon. Dia keluar dari lingkungan benteng mengikuti jalan ke mana tadi
dia masuk. *** Banyak Angga berlari cepat di kegelapan malam. Dia berfikir, tentu Ki Banaspati membawa
Pragola meninggalkan wilayah Sagaraherang. Dan ke mana lagi mereka menuju kalau bukan
ke barat, ke wilayah Pakuan"
Ingat ini hatinya berdebar kencang. Ki Banaspati pasti mempunyai kekuatan tersembunyi.
Kalau tak begitu, tak nanti Pangeran Yudakara begitu takut menghadapinya.
Kini Banyak Angga bertambah bingung sebab keruwetan makin melebar. Ketika berada di
Puncak Gunung Cakrabuana dia mendapatkan berita mara-bahaya akan datang dari Pangeran
Yudakara. Namun malam ini bisa dia saksikan, betapa sebetulnya ada bahaya kekuatan lain
selain Pangeran Yudakara.
Siapakah kekuatan itu"
Sambil berlari kencang di kegelapan malam, Banyak Angga berfikir keras. Di tahun-tahun
terakhir ini Pakuan punya kekhawatiran akan adanya serangan dari musuh. Karena pernah
terjadi Carbon menyisipkan orang-orangnya ke Pakuan, maka yang dianggap akan
mengganggu keamanan dan keutuhan Pajajaran tentu dari timur.
Belakangan diketahui bahwa sebenarnya Nagri Carbon sudah tak punya ambisi untuk
melanjutkan peperangan dengan Pajajaran dan cenderung lebih menitikberatkan menyebarkan
agama baru secara damai. Kalau pun Pangeran Yudakara terbukti ingin merusak keberadaan
Pakuan, itu tergerak oleh ambisi pribadi. Dia ingin menyerang Pakuan, pertama sebagai balas
dendam akan kekalahan dan kehancuran kerabatnya, Sunda Sembawa pada belasan tahun
silam, dan yang kedua karena ambisinya untuk memiliki kekuasaan.
Melihat kenyataan ini, tadinya Banyak Angga sudah mengambil kesimpulan bahwa Pangeran
Yudakara adalah orang yang paling bahaya. Belakangan Ki Banaspati muncul dan
menampilkan marabahaya yang dirasa lebih besar lagi. Kalau Pangeran Yudakara yang sudah
merasa punya kekuatan untuk menyerang Pakuan sudah merasa takut menghadapi Ki
Banaspati, bisa dipastikan, betapa kuatnya dia. Dan kekuatan apa yang mendorongnya untuk
melakukan penyerangan ke Pakuan" Banten"
Terhenyak hati Banyak Angga. Betulkah Ki Banaspati akan datang ke Pakuan denga diusung
kekuatan dari Banten"
Ayahandanya kerap berpikir bahwa Banten memang akan selalu merupakan ancaman bagi
Pakuan. Sudah terbukti pada puluhan tahun silam, betapa sebuah pasukan tanpa identitas
pernah menyerbu pusat kota pada zamannya pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (15351543 M). di alun-alun benteng luar pertempuran terjadi. Pasukan balamati, yaitu perwira
pengawal Raja berhasil membendung serangan musuh namun dua perwira handalnya yaitu
Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet tewas dalam mempertahankan negrinya. Itu
adalah pasukan misterius dan tak bisa dibuktikan dari mana datangnya. Hanya saja kendati
begitu, Pakuan mencurigai bahwa serangan gelap itu datang dari Banten.
Banyak Angga merasa khawatir kalau ancaman palin besar justru datang dari barat, yaitu
Banten. Mengapa tak begitu sebab di tahun-tahun terakhir ini dari tiga negara yang berhaluan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 128
agama baru yaitu Demak, Carbon dan Banten, hanya Bnatenlah yang menjadi negara
berhaluan agama baru yang terbesar. Semakin hari kekuatannya semakin besar, dulu sebagai
mana halnya Carbon, Banten merupakan bagian dari Pajajaran. Ketika Carbon menjadi kuat
karena dibantu Demak, Banten yang waktu pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521
M) merupakan salah satu pelabuhan internasional milik Pajajaran, direbut Carbon. Karena
Banten semakin hari semakin berkembang, maka oleh Carbon diberi peranan lebih besar lagi
menjadi wilayah kesultanan. Belakangan keberadaan Carbon menjadi lemah karena Demak
sebagai pendukungnya dalam tahun-tahun terakhir ini disibukkan oleh perang saudara.
Setahun yang lalu (1566 M) Banyak Angga pun mendengar berita bahwa akhirnya Banten
melepaskan diri dari Demak dan Carbon dan memilih berdiri sebagai kesultanan yang
merdeka. Berita besar ini oleh sementara penguasa Pakuan sengaja tak dibesar-besarkan. Sang Prabu
Nilakendra yang tak menyukai kekerasan tetap berpendapat bahwa tak mungkin adanya
bahaya dari luar selama Pajajaran tak melakukan hal-hal yang merugikan pihak luar. Oleh
sebab itu Raja berkata bahwa bangkitnya Banten tak perlu dikhawatirkan.
Namun apa yang disaksikan malam ini membuktikan lain. Ada Ki Banaspati yang membawa
khabar mengejutkan. Benarkah dalam waktu dekat ini kekuatan dari barat akan menerpa
Pakuan" Dan Ki Banaspati sepertinya berada di pihak sana. Banyak Angga tak habis mengerti,
bagaimana mungkin orang itutiba-tiba bisa menyebrang ke sana"
Dia berfikir, seingatnya Ki Banaspati tak punya pertalian erat dengan Banten atau pun
Carbon. Bahkan ketika tokoh ini masih berpengaruh di Pakuan, dia paling benci kepada
keberadaan negara-negara yang berhaluan agama baru. Itulah sebabnya dia menggosok Sang
Prabu Ratu Sakti untuk memperkuat militer dengan maksud menghalau pengaruh negara
agama baru. Sekarang, belasan tahun kemudian, setelah ambisinya amblas, secara tiba-tiba Ki Banaspati
sudah bisa menyebrang dan berfihak kepada kekuatan yang dulu dibencinya. Banyak Angga
bingung memikirkannya. "Kekacauan selalu diciptakan oleh para petualang politik," gumamnya sendirian.
Pemuda ini menilai, barangkali benar Ki Banaspati yang misterius ini gemar melakukan
petualangan politik yang mungkin semuanya dia lakukan demi kepentingan demi kepentingan
pribadi semata. Banyak Angga kekurangan bukti, sejauh mana Ki Banaspati melakukan
petualangan. Namun barangkali gerakan orang ini pun tak jauh berbeda dengan petualangan
Pangeran Yudakara. Seperti yang diterangakan oleh Ki Jayaratu beberapa waktu lalu, demi
mengejar ambisi pribadi, Pangeran Yudakara nekad mengatasnamakan sebagai kekuatan
Carbon dalam upaya menggempur Pakuan. Padahal seperti yang disebutkan Ki Jayaratu,
Carbon kini lebih menitikberatkan usahanya dalam menyebarkan agama baru dengan caracara
damai. Dengan licinnya, Pangeran Yudakara pun bisa memasuki Pakuan dan
mendapatkan kepercayaan penuh dari Sang Prabu Nilakendra.
Banyak Angga berhenti dan menyeka peluh yang deras mengalir di wajahnya. Dia bahkan
menjatuhkan diri, duduk di atas tonjolan batu. Suasana sunyi-sepi di sekeliling. Hawa malam
terasa dingin karena langit bersih tak berawan.
Banyak hal-hal ruwet yang dia pikirkan, termasuk pula urusan Nyi Mas Layang Kingkin.
Benarkah wanita yang pernah dicintainya itu pun bertualang dalam berpolitik"
***____________________ Kunanti di Gerbang Pakuan
A Merdeka Permana convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Bara Diatas Singgasana 24 Wiro Sableng 043 Dewi Lembah Bangkai Petualangan Dipulau Suram 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama