Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
maling ini kepada Jaksa Kwee!"
"Kalian mencari mampus!" teriak kedua orang maling
itu. "Ingat, suhu pasti akan membalas dendam, akan
menyiksa kalian lalu membunuh kalian seperti dua
ekor tikus!" Akan tetapi Bwee Hwa dan Siong Li tidak perduli dan
menyeret kedua orang itu memasuki gedung yang
pintu gerbangnya dijaga beberapa orang perajurit.
Siong Li menyerahkan dua orang maling itu kepada
para penjaga. "Awas, ikat kedua tangan mereka jangan sampai
mereka meloloskan diri dan serahkan kepada Jaksa
Kwee. Inilah dua orang pencuri yang mengacau kota
Tung-kwang." Setelah berkata demikian, Siong Li mengajak Bwee
Hwa melanjutkan perjalanan pada malam hari itu
juga. Mereka kembali ke kamar mereka untuk
mengambil buntalan pakaian lalu meninggalkan kota
Tung-kwang menuju ke Gunung Twi-bok-san.
"Y" Karena hatinya merasa penasaran dan ingin sekali
dapat cepat bertemu orang tuanya, Bwee Hwa
mengajak Siong Li melakukan perjalanan secepatnya.
Dua hari kemudian mereka berdua telah tiba di kaki
Bukit Twi-bok-san. Mereka melihat banyak orang
mendaki bukit itu. Ada yang menggunakan kuda, ada
pula yang berjalan kaki dan kebanyakan dari mereka
tampaknya seperti orang-orang dunia persilatan.
Agaknya mereka adalah para tamu yang hendak ikut
merayakan pesta perayaan itu.
Bwee Hwa hanya tahu bahwa ayahnya hendak
mengadakan pesta perayaan, akan tetapi ia belum
tahu perayaan apakah itu, maka ketika melihat
seorang petani tua sedang mencangkul ladang di kaki
bukit, ia mengajak Siong Li untuk berhenti dan
menghampiri kakek itu. "Selamat pagi, paman," kata Bwee Hwa kepada
petani yang sedang mencangkul itu.
Petani itu menengok dan merasa heran ada seorang
gadis cantik memberi salam.
"Selamat pagi, nona," katanya hormat dan dia
menghentikan pekerjaannya, lalu menghampiri Bwee
Hwa dan Siong Li yang berdiri di tepi ladang yang
sedang digarapnya. "Paman, maafkan kalau kami mengganggu pekerjaan
paman," kata Bwee Hwa. "Aku hanya ingin bertanya
kepada paman. Ada apakah di puncak bukit ini maka
demikian banyak orang mendaki ke atas?"
Petani tua itu mempergunakan sehelai kain untuk
mengusap keringat di muka, leher dan dadanya yang
kurus dan telanjang, lalu menjawab. "Apakah nona
tidak tahu" Di sana, di rumah Kiu Wan-gwe
(Hartawan Kiu) sedang diadakan pesta pernikahan."
"Paman maksudkah di rumah Kauw-jiu Pek-wan?"
Petani itu memandang ke kanan kiri, tampaknya
takut-takut. "Benar, nona. Akan tetapi beliau tidak suka dengan
nama julukan itu dan kami semua penduduk
pedusunan di sekitar Twi-bok-san menyebutnya
Hartawan Kiu." "Hemm, siapakah yang merayakan pernikahan,
paman?" tanya Bwee Hwa, mengira bahwa tentu
yang menikah itu seorang murid ayahnya.
"Siapa lagi kalau bukan Hartawan Kiu sendiri yang
menikah?" kata petani itu.
Bukan main kaget rasa hati Bwee Hwa mendengar
ini. Ayahnya hendak merayakan pernikahan" Ia
menjadi bingung. "Akan tetapi, bukankah Kauw-jiu Pek-wan atau
Hartawan Kiu itu telah mempunyai seorang isteri?"
Petani itu kembali memandang ke kanan kiri, takut
kalau ada yang mendengar percakapan itu. Kemudian
dia mengamati wajah Bwee Hwa dengan tajam.
"Nona tentu seorang asing maka tidak mengetahui
persoalan itu. Hartawan Kiu memang telah
mempunyai seorang isteri yang baik hati dan sering
menolong kami para petani yang miskin. Akan tetapi
isterinya itu sudah tua dan sakit-sakitan. Dia
merayakan pernikahannya dengan seorang gadis dan
kabarnya dia hendak mengusir isterinya yang tua
agar meninggalkan gedungnya."
Rasanya seperti mau meledak rasa hati Bwee Hwa
mendengar keterangan itu. Semenjak mendengar
bahwa ayah kandungnya adalah seorang perampok,
ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan ia
sudah mengambil keputusan bahwa kalau ia bertemu
dengan ayahnya, ia akan menegur dan membujuk
ayahnya agar menghentikan pekerjaan yang jahat
itu. Akan tetapi, kini apa yang didengarnya dari petani
itu sudah keterlaluan sekali.
Bagaimana mungkin ayahnya sampai tersesat
sedemikian jauhnya" Bukan hanya menjadi penjahat
besar, bahkan murid-muridnya disuruhnya menjadi
maling mencarikan dana untuk pernikahannya dan dia
begitu kejam untuk mengusir ibunya yang sakitsakitan! "Jahat dan gila?"!" Bwee Hwa berseru dan iapun
berkelebat, lari dengan cepat sekali mendaki bukit.
Siong Li cepat mengejarnya.
"Hwa-moi, engkau bersabarlah!" kata pemuda itu.
"Tak perlu berlari-lari seperti ini karena akan menarik
perhatian para tamu yang mendaki ke bukit."
Mendengar kata-kata Siong Li, Bwee Hwa menahan
larinya dan ia menahan isak tangisnya.
"Adik Bwee Hwa, sebaiknya kita atur agar jangan
sampai mengacaukan perayaan yang diadakan orang
tuamu. Aku akan menggabungkan diri dengan para
tamu, dan engkau dapat melakukan penyelidikan ke
belakang, menjumpai ibumu yang sedang sakit.
Bagaimana pendapatmu?"
Bwee Hwa hanya mengangguk, tidak dapat
mengeluarkan kata-kata, hanya matanya
memandang kepada Siong Li dengan sinar mata
berterima kasih. Memang ucapan Siong Li itu benar.
Pada saat itu terdapat banyak orang yang hendak
mengunjungi pesta perayaan di atas sehingga kalau
ia berlari-lari cepat, hal itu tentu menimbulkan
kecurigaan dan kekacauan.
Karena sebagian besar para tamu terdiri dari orangorang kang-ouw (sungai telaga, persilatan) maka
dengan mudah Siong Li membaurkan diri di antara
mereka dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bersama
para tamu lainnya, Siong Li disambut sendiri oleh
Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok. Siong Li
memandang penuh perhatian.
Datuk penjahat yang kini menjadi hartawan itu
bertubuh tinggi besar dan kokoh. Rambutnya telah
memutih namun dia masih tampak gagah dengan
matanya yang lebar itu bersorot tajam penuh
wibawa. Begitu bertemu dengan datuk ini, Siong Li
merasa heran karena tidak ada sedikitpun kemiripan
antara wajah Bwee Hwa dan wajah orang tua ini.
Jangan sebut dia....... ayah!
Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Delapan) Kiu
Ciang Hok menyambut Siong Li dengan sikap
sederhana saja karena dia menganggap pemuda itu
tentu dari golongan muda yang bertingkat rendah dan
tidak perlu disambut dengan penuh penghormatan.
Karena sikap inilah maka dia pernah mengenalnya
dan tidak pula mengundangnya menghadiri pesta
perayaan itu. Setelah dipersilakan duduk, Siong Li
mengambil tempat duduk bersama para tamu lainnya,
akan tetapi seluruh perhatiannya ditujukan ke dalam,
membayangkan apa yang kini sedang dilakukan
Bwee Hwa. Dengan hati-hati dan cerdik, bersikap biasa saja,
Bwee Hwa menyelinap ke da-lam kebun dan
memasuki gedung dari pintu belakang. Untung
baginya bahwa semua orang sibuk di depan sehingga
bagian belakang rumah itu kosong dan sunyi. Dari
bagian belakang itu ia mendengar suara para tamu di
depan, suara berisik seperti pasar.
Tiba-tiba dari pintu samping keluar dua orang pelayan
wanita membawa cawan-cawan kosong. Melihat
Bwee Hwa, mereka menganggap bahwa gadis itu
tentu seorang tamu, maka mereka lalu bertanya
heran. "Siocia (nona) hendak mencari siapakah?"
Bwee Hwa dengan sikap tenang menjawab. "Aku
hendak menyampaikan sesuatu kepada Kiu-hujin
(Nyonya Kiu). Di manakah kamarnya?"
Kedua orang pelayan itu saling pandang dan
tersenyum mengejek, lalu bertanya, "Nona
maksudkan lo-hujin (nyonya tua) yang`sedang sakit?"
Biarpun Bwee Hwa merasa panas hatinya melihat
sikap kedua orang pelayan wanita itu jelas
meremehkan ibunya, namun ia menahan diri dan
mengangguk membenarkan. "Ya, di mana
kamarnya?" ia bertanya lagi.
"Kamarnya di belakang sana, yang pintunya bercat
hitam. Ada keperluan apakah nona mengunjunginya"
Hati-hati, nona dapat ketularan penyakitnya?""
Bwee Hwa menahan kemarahannya dan tanpa
berkata apa-apa ia lalu menuju ke belakang. Benar
saja, ia mendapatkan sebuah kamar yang daun
pintunya hitam dan kotor. Agaknya tak pernah
dibersihkan. Ia membuka daun pintu dan memasuki
sebuah kamar yang tak terawat. Terdengar suara
merintih lirih. Ia masuk dan memandang seorang
yang rebah di atas sebuah dipan.
Wanita itu tampak kurus dan tua sekali. Rambutnya
awut-awutan dan kusut. Mukanya yang kurus itu
pucat seperti muka mayat. Tubuhnya rebah terlentang
di atas pembaringan yang tak dapat dibilang bersih itu
tertutup selimut sampai ke lehernya. Kedua matanya
terbuka dan memandang sayu ke arah Bwee Hwa
dan napasnya terengah-engah.
Bwee Hwa tertegun memandang wajah itu dan ia
merasa jantungnya seperti diremas-remas. Wajah itu!
Biarpun amat kurus dan pucat, namun masih tampak
jelas bekas kecantikannya yang lembut. Wajah
ibunya! Inilah wajah yang selama ini selalu terbayang
dalam hatinya. Ibu kandungnya!
Pada saat itu, bagaikan tersentuh bisikan hatinya,
wanita itu memandang dengan penuh perhatian
kepadanya. Betapa kurusnya. Sepasang mata itu
cekung sekali, membuat wajah itu seperti tengkorak.
Ia mengeluh perlahan dan kedua tangannya
tersembul keluar dari dalam selimut. Dua buah tangan
yang kurus diangkat dan dikembangkan ke arah
Bwee Hwa. Bibir itu gemetar dan berbisik lirih.
"Bwee?"" "Ibu.......!!" Bwee Hwa melompat ke depan dan
merangkul wanita tua itu yang mendekap kepala
Bwee Hwa dengan kedua lengannya. Kedua lengan
yang tadinya lemas tak bertenaga itu kini seolah
mendapatkan tenaga baru, mendekap dengan erat
seolah ia telah mendapatkan kembali mustikanya
yang hilang dan tidak ingin kehilangan lagi.
Kedua orang ibu dan anak itu menangis sesenggukan.
Bwee Hwa menangis terisak-isak sambil merangkul
dan menciumi wajah ibunya yang sepucat mayat dan
sekurus tengkorak. Kemudian wanita tua itu
memegang kedua pipi Bwee Hwa dengan kedua
tangannya, memandang muka anaknya lama sekali,
seolah tidak percaya kepada apa yang dilihatnya dan
air matanya menetes, bercampur dengan air mata
puterinya. "Bwee Hwa....... engkau......." Ya Tuhan....... terima
kasih, Tuhan......., sekarang aku puas....... aku dapat.......
mati dengan...... tenang......."
"Ibu.......! Jangan berkata begitu, ibu. Aku tahu, ayah
terlalu sekali. Dia kejam, tidak berperikemanusiaan.
Membiarkan ibu sakit begini dan dia malah berpesta
merayakan pernikahannya! Sungguh ayah telah
tersesat, memalukan sekali!"
"....... Jangan.......! Jangan sebut dia....... ayah. Dia bukan
ayahmu......." Bwee Hwa tersentak kaget. "Apa"!" Kauw-jiu Pekwan, dia....... dia bukan ayahku?" Gadis itu terbelalak
dengan pucat. ".......untung sekali....... dia bukan ayahmu....... Bwee
Hwa......." Bwee Hwa terlampau kaget dan terguncang hatinya
sehingga ia tidak ingat betapa penyakit ibunya itu
parah sekali dan sebetulnya wanita itu tidak boleh
banyak bicara dan harus beristirahat dan berobat.
Pada saat itu Bwee Hwa ter-lampau bingung sehingga
ia ingin sekali segera mengetahui siapa sebenarnya
Kauw-jiu Pek-wan dan siapa pula ayah kandungnya.
Dengan suara yang terputus-putus dan napas
terengah-engah, terkadang berbisik lirih sehingga
Bwee Hwa harus mendekatkan telinganya untuk
menangkap kata-kata ibunya, wanita itu bercerita
kepada anaknya. Ia dan suaminya yang bernama Lim Sun, seorang
pedagang, melakukan perjalanan bersama anak
tunggal mereka, Bwee Hwa yang ketika itu masih
kecil. Dalam perjalanan yang dikawal belasan orang
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
piauw-su (pengawal barang) dan membawa barang
dagangan itu, tiba-tiba muncul Kauw-jiu Pek-wan. Lim
Sun dan para pengawal itu terbunuh semua oleh
perampok tunggal itu dan ia bersama anaknya diculik.
Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok memaksanya
menjadi isterinya dan Nyonya Lim ini terpaksa
menurut karena kalau ia tidak mau, anaknya akan
dibunuh penjahat itu. Ternyata Kauw-jiu Pek-wan
memperlakukannya dengan baik, juga menganggap
Bwee Hwa sebagai anaknya sendiri sehingga Bwee
Hwa yang ketika ayahnya tewas itu baru berusia satu
tahun, menganggap Kauw-jiu Pek-wan sebagai
ayahnya sendiri. ".......begitulah, Bwee Hwa...... Kemudian....... ketika
engkau berusia delapan tahun....... pada suatu hari?"
engkau lenyap entah ke mana......." Nyonya itu
menghentikan ceritanya dan napasnya terengahengah kelelahan karena banyak bicara.
"Jahanam.......! Jadi dia malah pembunuh ayah
kandungku" Dan sekarang dia menyia-nyiakan ibu,
membuat ibu sengsara" Akan kubunuh iblis itu!" Bwee
Hwa memaki dan ia melompat sambil mencabut
pedangnya lalu hendak lari keluar dari kamar.
Akan tetapi ketika ia tiba di pintu, mendengar suara
ibunya mengeluh lirih, "Bwee Hwa......."
Ia menengok dan alangkah terkejutnya ketika ia
melihat muka ibunya kini pucat sekali dan dari
mulutnya mengalir darah! Ia cepat melompat ke
dekat pembaringan dan duduk di tepi pembaringan.
"Ibu....... ibu....... bagaimana rasa badanmu, ibu.......?"
Baru sekarang ia menyadari bahwa ibunya sedang
menderita penyakit berat dan keadaannya
mengkhawatirkan sekali. Ibu Bwee Hwa mencoba untuk tersenyum, senyum
yang menusuk jantung Bwee Hwa karena senyum itu
begitu menyedihkan. "Bwee Hwa aku aku telah
puas....... aku telah....... bertemu denganmu....... Bwee
Hwa....... kau ingatlah....... dulu ketika....... engkau masih
kecil....... engkau telah dijodohkan....... dengan
putera....... keluarga....... Ui Cun Lee....... di kota....... Kilok......." Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk
mengatakan semua itu, tubuhnya terkulai dan setelah
terbatuk-batuk beberapa kali memuntahkan banyak
darah dari mulutnya, wanita itu menghembuskan
napas terakhir dalam pelukan Bwee Hwa!
"Ibuuuu.......!" Bwee Hwa mengeluarkan jerit yang
keluar dari hatinya dan ia menangis sambil memeluki
jenazah ibunya. Kemudian, tiba-tiba ia teringat kepada Kauw-jiu Pekwan yang dianggapnya sebagai pangkal semua
bencana yang menimpa keluarganya. Pembunuh ayah
kandung dan kini juga pembunuh ibu kandungnya. Ia
lalu melepaskan rangkulannya, berlutut di depan
pembaringan, menutup wajah ibunya dengan selimut
lalu berkata dengan geram.
"Ibu, tenangkanlah perasaan ibu, aku bersumpah, hari
ini juga anakmu akan membunuh musuh besar kita
Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok agar ibu dapat
menyeretnya menghadap Giam-kun untuk membuat
perhitungan!" Setelah berlutut menyembah delapan kali, Bwee Hwa
lalu melompat dari kamar dengan pedang di tangan.
Ia bertemu dengan dua orang pelayan wanita tadi.
Mereka memandangnya dengan terkejut dan heran.
Akan tetapi begitu bertemu, Bwee Hwa
menggerakkan kaki menendang dan dua orang
pelayan itu terlempar dan menjerit, mengaduh-aduh.
Tanpa memperdulikan mereka, Bwee Hwa terus
berlari keluar dan tiba di ruangan depan di mana para
tamu duduk. Di tengah-tengah ruangan itu tampak
seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok dan
rambut yang telah memutih. Dia sedang duduk
bercakap-cakap dengan para tamu yang dihormati.
Laki-laki ini tampak gembira sekali dan jelas bahwa
dia telah banyak minum arak sehingga mukanya
menjadi merah dan tampak menyeramkan.
Bwee Hwa ragu-ragu karena belum yakin betul
apakah orang itu Kauw-jiu Pek-wan yang dicarinya,
karena walaupun ia masih setengah ingat akan muka
orang yang tadinya dianggap ayahnya itu, sekali ini ia
tidak mau salah tangan. Sementara itu, semua tamu
yang terdekat dengan Bwee Hwa menjadi terkejut
dan heran, juga agak khawatir ketika melihat betapa
tiba-tiba seorang gadis muda cantik jelita yang
berpakaian serba merah dan ringkas muncul dengan
pedang di tangan dan mukanya membayangkan
kemarahan besar. "Kauw-jiu Pek-wan, bangsat tua bangka, manusia
iblis! Kau bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
Bwee Hwa berseru nyaring sambil memandang ke
arah laki-laki tua tinggi besar itu dengan sinar mata
tajam menyelidik. Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok terkejut bukan main
mendengar seruan ini dan dia segera menengok ke
arah gadis yang berani mati mengeluarkan ancaman
seperti itu. Ketika dia melihat wajah Bwee Hwa, dia
terkejut bukan main. Bukankah itu Bwee Hwa yang
dulu lenyap ketika berusia delapan tahun" Dia masih
ingat benar potongan wajah gadis itu, karena mirip
sekali dengan wajah isterinya yang sedang sakit.
Si Lutung Putih Tangan Sembilan ini adalah seorang
datuk yang terkenal me-miliki kepandaian tinggi,
maka tentu saja dia sama sekali tidak gentar
menghadapi ancaman seorang gadis muda, apalagi
hanya Bwee Hwa, anak tirinya yang mungkin marah
melihat ibunya sakit dan dia merayakan
pernikahannya dengan seorang wanita lain. Sekali
saja dia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia telah
melompat ke depan gadis itu.
"Kau kau....... bukankah engkau Bwee Hwa.......?"
tanyanya. "Hemm, mata tuamu masih belum lamur sehingga
masih dapat mengenalku!" kata Bwee Hwa ketus.
"Bwee Hwa, anakku.......!" seru Kauw-jiu Pek-wan.
"Siapa anakmu" Siapa sudi mempunyai seorang ayah
bangsat tua bangka rendah macam engkau?"
Marahlah Kauw-jiu Pek-wan. Dia telah dimaki dan
dihina di depan para tamu. Kumis dan brewoknya
seolah berdiri, kedua matanya yang bundar itu
melotot lebar. Tak seorangpun di dunia ini boleh
menghinanya seperti itu, apalagi di depan puluhan
orang tamunya! "Hemm, jadi engkau sudah tahu bahwa engkau
bukan anakku" Jadi kalau begitu engkau sudah
bertemu dengan anjing hina tua itu" Belum
mampuskah ia?" Belum habis ia bicara, Bwee Hwa sudah membentak
marah dan pedangnya berkelebat menyerang dengan
tusukan ke arah dada ayah tirinya yang amat
dibencinya itu. Kiu Ciang Hok adalah seorang datuk yang
berkepandaian tinggi dan memiliki pengalaman
bertanding selama puluhan tahun, maka tentu saja
tidak mudah dia dirobohkan begitu saja. Sambil
membentak nyaring dia mengelak dari tusukan
pedang itu dan sambil memutar tubuh dia
menyambar sebuah kursi dan memukulkan kursi itu
kepada Bwee Hwa. "Wuuuttt....... crakkkk!" Bwee Hwa menangkis dengan
pedangnya dan kursi itu?pun pecah menjadi dua
potong, bahkan hampir saja lengan Kiu Ciang Hok
terba?bat pedang. Datuk itu terkejut bukan main. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa anak tirinya itu kini telah menjadi
seorang gadis yang memiliki ketangkasan. Dia lalu
melompat ke belakang dan mencabut sebatang golok
besar yang tergantung di dinding. Kauw-jiu Pek-wan
memang terkenal pandai memainkan senjata golok
besar itu. Sebagai pengantin ia tidak membawa golok, maka
senjata itu digantungkan di dinding sebagai hiasan
dan juga sebagai tanda "kebesarannya". Kini dia telah
memegang senjatanya dan sambil mengeluarkan
suara menggereng seperti seekor binatang buas
diapun menyerang gadis itu. Bwee Hwa yang juga
marah sekali menggerakkan pedangnya menangkis
sambil mengerahkan tenaganya.
"Singgg.......trangggg.......!!" Bunga api berpijar dan Kui
Ciang Hok menjadi semakin kaget. Pertemuan dua
senjata itu membuat tangannya tergetar hebat, tanda
bahwa anak tirinya itu memiliki tenaga sin-kang
(tenaga sakti) yang amat kuat pula! Mereka saling
serang dan terjadilah perkelahian seru di tengah
ruangan yang menjadi medan pesta itu!
Untuk mendapatkan ruang yang bebas, kedua orang
yang bertanding itu menendangi meja kursi. Para
tamu menjadi ribut dan panik. Yang tidak pandai ilmu
silat menonton dari kejauhan. Mereka melarikan diri
menabrak meja kursi sehingga keadaan di situ
menjadi kacau balau. Beberapa orang tamu orang-orang kang-ouw yang
menjadi sahabat baik Kauw-jiu Pek-wan sudah
mencabut senjata masing-masing. Mereka hendak
membantu tuan rumah dan mengeroyok gadis yang
dianggap mengacau di pesta itu. Akan tetapi sebelum
mereka sempat mengeroyok, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat dan seorang pemuda telah
berdiri menghadang di depan mereka dengan pedang
di tangan. Pemuda ini bukan lain adalah Siong Li yang
tersenyum kepada mereka lalu berkata lantang.
"Bukan laki-laki gagah kalau mengeroyok seorang
gadis muda! Mereka berdua mempunyai urusan
pribadi, biarlah mereka selesaikan sendiri!"
Setelah berkata demikian, Siong Li memungut
sepasang sumpit kayu yang berada di atas meja.
Yang sebatang dia lemparkan ke atas dan ketika
sumpit itu meluncur turun, dia menggerakkan
pedangnya dengan amat cepat. Yang tampak hanya
sinar menyambar ke arah sumpit yang melayang
turun itu dan sumpit itu telah terbelah memanjang
menjadi dua potong. Belum habis rasa heran dan
kagumnya mereka yang tadinya hendak mengeroyok
Bwee Hwa melihat kehebatan gerakan pedang itu,
Siong Li mengayun sumpit kedua ke atas meja.
Sumpit kayu itu bagaikan sebatang anak panah baja
menancap dan menembus meja kayu yang tebal itu!
Menyaksikan pameran ilmu pedang dan tenaga sakti
sehebat ini, semua orang yang hendak membantu
Kauw-jiu Pek-wan menjadi terkejut dan jerih. Mereka
maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda ini jauh
lebih tinggi daripada tingkat mereka, maka mereka
menjadi ragu untuk melanjutkan niat mereka
mengeroyok Bwee Hwa. Siong Li bukan orang bodoh. Ketika melihat Bwee
Hwa bertanding melawan ayah tirinya, dari gerakan
mereka dia dapat memperhitungkan bahwa gadis itu
tidak akan kalah. Karena itu ketika melihat beberapa
orang hendak maju mengeroyok Bwee Hwa dia cepat
mencegah mereka dan memamerkan kelihaiannya
agar mereka menjadi gentar. Andaikata dia melihat
bahwa Bwee Hwa akan kalah, tentu dia akan
membantu gadis itu menghadapi Kauw-jiu Pek-wan!
Kini semua orang menonton dengan penuh perhatian
dan hati tegang. Anak dan ayah tirinya itu bertanding
mati-matian dan berusaha saling merobohkan. Sepak
terjang Bwee Hwa dahsyat sekali. Pedangnya
berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang
mengeluarkan bunyi mendengung. Tubuhnya
berkelebatan menjadi bayang-bayang merah.
Ia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu pedang
Sin-hong-kiam-sut (Ilmu Pedang Tawon Merah)
dengan hebatnya sehingga Kauw-jiu Pek-wan yang
banyak pengalaman itupun menjadi bingung. Namun,
jagoan tua ini memang lihai, bertenaga besar dan
menang dalam pengalaman bertanding sehingga
biarpun ilmu silatnya kalah tinggi, dia masih dapat
bertahan sehingga pertandingan berlangsung hampir
seratus jurus masih belum dapat juga Bwee Hwa
merobohkan lawannya. Bwee Hwa yang merasa marah, dendam sakit
hatinya memuncak, menyerang dengan semangat
bernyala-nyala sehingga Kauw-jiu Pek-wan makin
terdesak dan datuk ini mulai mengeluarkan keringat
di seluruh tubuhnya dan napasnya mulai memburu.
Dia merasa heran melihat betapa anak tirinya itu kini
telah menjadi seorang lawan yang amat tangguh.
Diam-diam dia mengeluh dan merasa menyesal
mengapa tidak dulu-dulu dia membunuh saja anak ini
yang sekarang merupakan musuh besar yang amat
lihai dan mengancam keselamatannya. Karena tidak
ada jalan untuk keluar dari desakan ini, dia menjadi
nekat dan melawan sekuat tenaga, bahkan beberapa
kali sengaja melakukan serangan tanpa
memperdulikan pertahanan dirinya sehingga serangan
itu merupakan tantangan mengadu nyawa atau
mengajak mati bersama. Ia meloncat ke belakang,
kemudian ia melompat ke atas dan memainkan jurus
Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) pedangnya
berputar dan menyambar bagaikan kilat ke arah leher
dan dada lawan.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Singgg....... crattt.......!"
Kauw-jiu Pek-wan mengeluh. Serangan gadis itu
cepat bukan main sehingga biarpun dia sudah
mengelak, tetap saja ujung pundaknya tercium ujung
pedang sehingga baju dan kulit bahunya pecah dan
berdarah. Hanya dengan melempar tubuh ke
belakang lalu bergulingan dia dapat terbebas dari
maut. Bwee Hwa tidak ingin melepaskannya dan mengejar.
Sama sekali ia tidak menyangka bahwa ketika
bergulingan itu, Kauw-jiu Pek-wan diam-diam
mempersiapkan tiga batang piauw, senjata
rahasianya yang berwarna hitam. Ketika Bwee Hwa
mengejarnya, kakek itu melompat bangun dan begitu
tangan kirinya bergerak, tiga sinar hitam menyambar
ke arah Bwee Hwa. Gadis itu terkejut, cepat memutar
pedangnya menangkis. Dua batang piauw dapat
ditangkisnya, akan tetapi yang sebatang lagi
menancap di paha kirinya!
Dengan mengertak gigi Bwee Hwa mencabut piauw
itu dan ia merasa lega karena senjata rahasia itu
tidak mengandung racun. Pahanya hanya terluka saja
dan mengeluarkan darah. Ia tidak memperdulikan
lukanya dan menyerang lagi dengan pedangnya
sehingga sekali lagi mereka bertanding mati-matian.
Akan tetapi, biarpun luka di pahanya itu tidak
berbahaya namun amat menganggu sehingga
gerakannya menjadi kaku dan Bwee Hwa kehilangan
kegesitannya. Rasa nyeri pada pahanya membuat
kakinya tidak leluasa bergerak. Bwee Hwa menjadi
marah dan iapun mengambil jarum-jarumnya dengan
tangan kiri. "Bangsat rendah lihat jarumku!" bentaknya. Tangan
kirinya bergerak dan sinar-sinar merah lembut
menyambar ke arah Kauw-jiu Pek-wan sambil
mengeluarkan suara berdengung seperti serbuan
ratusan ekor lebah. Itulah Hong-cu-ciam (Jarum-jarum
Tawon). http://cerita-silat.mywapblog.com
. Pesan Terakhir Sang Ibu
Senjata rahasia Bwee Hwa ini hebat dan sukar sekali
dielakkan. Pertama karena kecil lembut dan cepat
sekali luncurannya. Kedua karena suara berdengung
halus seperti tawon itu menutupi suara desir angin
terbangnya senjata rahasia itu sehingga sukar diduga
arah dan jaraknya. Setelah tiga kali tangan kiri Bwee
Hwa bergerak dan tangan kanan yang memegang
pedang masih tetap menyerang, Kauw-jiu Pek-wan
menjerit karena mata kanannya terkena jarum
merah. Dia terhuyung ke belakang sambil mendekap
mata kanannya dengan tangan kiri dan pada saat itu,
Bwee Hwa menyerang dahsyat sambil membentak.
"Kau ikutlah ibuku!" pedangnya berkelebat cepat
sekali dan menembus dada Kauw-jiu Pek-wan yang
roboh terjengkang, berkelojotan dan tewas.
Keadaan menjadi kacau dan gempar. Semua orang
memandang dengan wajah pucat. Bwee Hwa
melompat ke atas sebuah meja, melintangkan
pedang di depan dada lalu berkata lantang, air
matanya mengalir di atas kedua pipinya.
"Saudara-saudara sekalian, ketahuilah! Aku adalah
anak kandung dari nyonya tua yang sekarang telah
meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya.
Dan anjing rendah ini......." ia menuding ke arah mayat
Kauw-jiu Pek-wan, "dia dulu membunuh ayah
kandungku dan merampas ibuku menjadi isteri
paksaan. Sekarang kembali dia menyakiti hati ibuku
dengan menyia-nyiakannya dan menikah lagi, tidak
memperdulikan keadaan ibuku yang sakit parah
sampai meninggal dunia seorang diri dalam
kamarnya. Kini aku telah membalas dendam sakit hati
ayah dan ibu kandungku, aku telah membunuh
musuh besarku ini. Jika di antara kalian ada yang
merasa penasaran dan hendak membelanya, boleh
maju melawanku!" Setelah gadis itu berhenti bicara, suasana menjadi
sunyi sejenak, kemudian disusul suara gaduh karena
para tamu itu saling bicara sendiri. Agaknya tidak ada
seorangpun yang berani mencoba-coba menentang
Bwee Hwa, apalagi setelah mereka ketahui bahwa
gadis yang lihai itu masih mempunyai teman seorang
pemuda yang juga lihai sekali.
Kemudian, para tamu meninggalkan tempat perayaan
itu dan akhirnya tempat itu ditinggal sunyi, hanya
terdapat para pelayan yang tampak ketakutan.
Mempelai wanita yang tadinya berada di dalam
kamar pengantin, ternyata juga telah pergi dengan
diam-diam, dilarikan keluarganya.
Bwee Hwa yang merasa menjadi ahliwaris tunggal,
atas nama ibunya lalu memerintahkan semua pelayan
untuk mengurus jenazah Kauw-jiu Pek-wan dan ibu
kandungnya. Setelah ia mengurus kedua jenazah itu
sampai pemakamannya dibantu oleh Siong Li, ia lalu
membagi-bagikan semua harta benda Kauw-jiu Pekwan kepada para pelayan dan kepada para penduduk
dusun yang miskin di sekitar pegunungan itu.
Kemudian ia menunjuk seorang pelayan laki-laki
berusia limapuluh tahun untuk menjaga rumah
gedung dan semua prabotnya. Dari semua harta
kekayaan yang dibagikan, ia menyisakan sebagian
karena dianggapnya itu hak ibu kandungnya dan ia
berhak pula mewarisi milik ibunya. Setelah membagibagikan harta kekayaan Kauw-jiu Pek-wan, ia
mengusir semua pelayan. Seluruh penduduk dusun di pegunungan Twi-bok-san
kebagian harta dan mereka merasa bersyukur dan
berterima kasih sekali. Setelah semua beres, Bwee
Hwa dan Siong Li bercakap-cakap di taman belakang
gedung yang kini telah sepi itu.
"Hwa-moi, semua harta kekayaan itu adalah milikmu.
Engkau berhak mewarisi-nya karena engkau adalah
puteri kandung ibumu yang telah meninggal dunia.
Ayah tirimu juga telah meninggal dunia dan mereka
berdua tidak mempunyai sanak keluarga lain. Kenapa
engkau bagi-bagikan kepada para pelayan dan para
penduduk dusun sekitar sini?" tanya Siong Li, ingin
tahu apa yang mendorong gadis itu melakukan hal
itu. Bwee Hwa menghela napas panjang. "Li-ko, aku
hanya berhak memiliki sebagian kecil saja harta itu
yang menjadi hak ibuku. Aku tidak berhak memiliki
harta peninggalan Kauw-jiu Pek-wan karena harta itu
dia dapatkan dari hasil kejahatannya. Harta kekayaan
itu lebih berguna bagi mereka yang miskin dan
membutuhkan daripada aku."
Siong Li mengangguk-angguk. "Bagus sekali, Hwamoi. Aku setuju sepenuhnya dengan pendapatmu itu."
Keduanya lalu terdiam dan melihat gadis itu diam saja
dan seringkali menghela napas panjang dengan
wajah sedih, Siong Li merasa iba. "Hwa-moi,
tenangkanlah hatimu. Ibu kandungmu sudah
meninggal, hal itu bahkan baik sekali baginya
daripada hidup dalam keadaan berpenyakitan. Pula,
hidup matinya seseorang ditentukan oleh kekuasaan
Thian (Tuhan)." "Engkau benar, Li-ko. Engkau sungguh seorang kawan
yang baik sekali dan aku tidak tahu bagaimana dapat
membalas budi kebaikanmu. Sekarang aku telah
menjadi sebatang kara di dunia ini......."
"Hwa-moi, mengapa seorang gagah seperti engkau
dapat mengucapkan kata-kata seperti itu" Bukankah
di mana-mana terdapat banyak orang gagah dan
mulia hatinya, yang pantas menjadi saudara kita"
Selain itu....... bukankah di dunia ini masih.......ada
aku.......?" Bwee Hwa menatap wajah kawannya itu dan
sepasang matanya basah air mata ketika ia melihat
betapa mata pemuda itu memandangnya dengan
begitu lembut dan mesra, pandang mata penuh kasih
sayang. Ia maklum akan perasaan hati pemuda itu
kepadanya. "Li-ko, engkau adalah seorang enghiong (pendekar)
yang gagah perkasa dan budiman. Hidupmu
berbahagia. Kau tinggalkanlah aku, Li-ko, karena
nasibku yang sial akan menyeretmu ke arah kesialan
pula. Kaulanjutkanlah perjalananmu sendiri dan
tinggalkan aku dalam kemalangan."
Siong Li mengerutkan alisnya. "Hwa-moi, agaknya
engkau masih ragu dan tidak percaya kepadaku.
Aku....... harus kuakui bahwa sumber kebahagiaanku
terletak di telapak tanganmu. Berpisah darimu berarti
derita bagiku......." Pemuda itu menundukkan mukanya
yang berubah muram dan sedih.
"Li-ko, engkau seorang yang berhati mulia. Alangkah
akan senangnya hatiku mendengar ucapanmu tadi
kalau saja....... kalau saja......." Bwee Hwa
menghentikan ucapannya dan menundukkan muka.
"Kalau saja apa, Hwa-nioi" Engkau hendak
mengatakan bahwa engkau tidak dapat mengimbangi
perasaanku" Katakanlah saja terus terang, tidak usah
ragu-ragu, karena orang yang mengutamakan
kegagahan seperti kita tidak perlu berpura-pura lagi
dan sebaiknya bersikap terbuka."
Bwee Hwa menghela napas panjang, lalu
mengangkat muka menatap wajah pemuda itu. "Liko, ketika ibuku hendak menghembuskan napas
terakhir, ia me?ninggalkan pesan padaku."
"Pesan apakah itu kalau aku boleh mengetahui, Hwamoi?" tanya Siong Li, menenangkan hatinya yang
berdebar tegang. "Pesan itu....... adalah....... bahwa aku semenjak kecil
telah telah....... dijodohkan dengan putera keluarga Ui
Cun Lee di kota Ki-lok!"
Siong Li cepat menatap wajah Bwee Hwa yang
begitu bertemu pandang segera menundukkan
mukanya. Wajah pemuda itu tiba-tiba menjadi pucat,
akan tetapi segera dia dapat menguasai perasaan
hatinya. Mulutnya tersenyum, senyum biasa yang
ramah dan gembira, hanya saja sekali ini senyumnya
tidak disertai seri matanya. Mata itu muram dan
terselubung awan duka. "Hemm, begitukah" Lalu bagaimana sekarang
kehendakmu, Hwa-moi?" Akhirnya pemuda itu
bertanya, suaranya terdengar biasa saja sehingga
Bwee Hwa berani mengangkat mukanya perlahanlahan dan memandang pemuda itu. Hati gadis itu
merasa lega melihat pemuda itu masih dapat
tersenyum walaupun senyumnya itu seolah mengiris
jantung Bwee Hwa karena ia merasa betapa pemuda
di dekatnya itu seperti bukan lagi Siong Li yang biasa.
"Aku....... aku tidak dapat menolak....... aku harus
menaati pesan terakhir ibuku itu, Li-ko....... aku tidak
sempat menolak karena begitu meninggal pesan itu,
ibuku menghembuskan napas terakhir......."
Siong Li mengangguk-angguk. "Memang demikianlah
seharusnya, Hwa-moi. Seorang anak yang berbakti
harus menaati pesan orang tuanya, dan aku percaya
sepenuhnya bahwa ibumu tentu tidak salah pilih."
Tiba-tiba Bwee Hwa merasa terharu sekali. Tidak
disangkanya bahwa Siong Li memiliki pendirian
semulia itu. Pemuda itu bicara dengan tabah,
walaupun ia dapat merasakan betapa suaranya
tergetar menahan perasaan. Ia amat terharu dan tak
tertahankan lagi ia menutupi mukanya dengan kedua
tangan dan terisak, menahan tangisnya.
"Hwa-moi, engkau kenapakah.......?"
"Li-ko, engkau sungguh mulia. Kuharap saja mudahmudahan benar seperti katamu tadi bahwa ibu
takkan salah pilih......."
"Jangan khawatir, Hwa-moi. Lebih baik engkau segera
berkemas dan mari kita cari keluarga Ui itu."
Bwee Hwa mengangkat mukanya, memandang
dengan mata basah, terkejut dan heran. "Apa......."
Engkau mau mengantar aku mencari mereka?"
Melihat gadis itu terheran, Siong Li tersenyum, kini
senyumnya cerah seperti biasanya. "Tentu saja,
mengapa tidak" Engkau yatim piatu, juga tiada sanak
keluarga. Anggaplah aku sebagai kakakmu sendiri
dan menjadi walimu. Kukira tidaklah pantas sebagai
seorang gadis engkau harus mencari sendiri
tunanganmu itu." Bwee Hwa menundukkan kepalanya dan mukanya
berubah kemerahan. "Memang engkau benar, Li-ko.
Agaknya kalau tidak kau antar, aku selamanya tidak
akan sudi mengantarkan diri kepada mereka yang
sama sekali tidak kukenal......."
"Kalau begitu berkemaslah. Kita berangkat sekarang
juga." Setelah meninggalkan pesan kepada A-sam, laki-laki
setengah tua yang hidup sebatang kara itu untuk
menjaga dan membersihkan rumah, berangkatlah
Bwee Hwa bersama Siong Li turun dari Bukit Twi-boksan menuju ke kota Ki-lok di Propinsi Hok-kian.
"Y" Bwee Hwa dan Siong Li tiba di kota Ki-lok yang besar
dan ramai setelah mereka melakukan perjalanan
hampir sebulan lamanya. Mereka menyewa dua buah
kamar di sebuah hotel besar di kota itu dan setelah
beristirahat semalam, pada keesokan harinya, pagipagi Siong Li berpamit kepada Bwee Hwa untuk pergi
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari keluarga Ui Cun Lee.
Ui Cun Lee adalah seorang hartawan di kota Ki-lok
dan dahulu menjadi sahabat dalam perdagangan
yang baik dari Lim Sun, ayah kandung Bwee Hwa.
Persahabatan itu amat erat sehingga isteri merekapun
menjadi sahabat baik, bahkan lebih akrab dan karib
dibandingkan persahabatan antara suami mereka.
Saking akrabnya, Nyonya Lim Sun dan Nyonya Ui Cun
Lee bersepakat untuk menjodohkan anak mereka!
Pada saat mereka bersepakat itu, puteri Lim Sun,
yaitu Lim Bwee Hwa berusia enam bulan sedangkan
putera Ui Cun Lee yang bernama Ui Kong berusia dua
tahun. Tidak sukar bagi Ong Siong Li untuk menemukan
rumah Ui Cun Lee. Keluarga Ui ini terkenal sebagai
seorang pedagang yang kaya raya dan budiman, suka
meno?long orang, dermawan dan baik hati. Ciut juga
hati Siong Li ketika berdiri di depan gedung besar
yang megah itu. Kiranya calon suami Bwee Hwa
adalah seorang pemuda putera hartawan besar. Dia
merasa kecil sekali. Ketika dia mendengar suara ramai-ramai di
pekarangan gedung itu, dia me-longok ke sana dan
dilihatnya banyak orang berpakaian sederhana
pertanda bahwa mereka orang-orang miskin sedang
berdiri antri menerima bagian beras dari dua orang
pegawai. Di sana tersedia beberapa karung beras.
Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun berdiri
mengawasi dan melihat pakaiannya, laki-laki itu
tentulah majikan dua orang pegawai yang membagi
beras. Hal ini terbukti ketika para pengantri sesudah
menerima bagiannya lalu membungkuk dengan
hormat kepada laki-laki tua itu dan berkata, "Terima
kasih, Ui-loya (Tuan Besar Ui)!"
Berdebar rasa jantung dalam dada Siong Li. Laki-laki
itu tentulah hartawan Ui Cun Lee! Dia merasa
semakin kecil. Sudah kaya raya, dermawan lagi. Dia
sendiri bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan
keluarga Ui itu. Diam-diam ada rasa lega juga.
Bagaimanapun, hatinya dapat merasa tenteram
karena Bwee Hwa mendapatkan seorang jodoh yang
amat baik. Putera seorang hartawan yang dermawan!
Tiba-tiba dia tertegun. Bagaimana kalau ternyata
pemuda tunangan Bwee Hwa itu seorang yang cacat
tubuhnya" Atau buruk sekali wajahnya" Mendapatkan
pikiran ini dia cepat menghadang seorang laki-laki tua
yang berjalan di jalan besar depan rumah itu.
"Maaf kalau saya mengganggu, paman. Saya hendak
mohon keterangan sedikit dari paman," katanya
dengan sikap hormat. Laki-laki itu memandang heran, akan tetapi dia
tersenyum melihat bahwa pe-nanyanya adalah
seorang pemuda yang bersikap sopan dan wajahnya
lembut, bukan seperti seorang yang jahat walaupun
di punggung pemuda itu terdapat sebatang pedang.
"Tidak mengapa, engkau tidak mengganggu, ho-han
(orang gagah). Apakah yang hendak kautanyakan?"
"Begini, paman. Saya bukan orang sini, akan tetapi
saya sudah mendengar bahwa Hartawan Ui yang
dermawan mempunyai seorang putera. Nah, saya
ingin tahu keadaan puteranya itu. Bagaimana
wajahnya" Apakah dia tampan" Apakah dia baik
hati?" Orang itu tersenyum. "Yang mana yang kautanyakan,
ho-han" Ui-wangwe (Hartawan Ui) mempunyai dua
orang putera, keduanya adalah pemuda-pemuda
tampan dan berbudi luhur seperti orang tuanya,
dermawan dan suka menolong orang."
Siong Li menjadi bingung. Dua orang" Dia teringat
akan cerita Bwee Hwa yang mengatakan bahwa
pesan ibu kandung gadis itu hanya memberitahu
bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan putera Ui
Cun Lee yang tinggal di Ki-lok, tanpa menyebutkan
nama pemuda yang ditunangkan dengan Bwee Hwa
itu. Akan tetapi mendengar bahwa dua orang pemuda
itu, dan seorang di antaranya pasti tunangan Bwee
Hwa, adalah dua orang pemuda yang tampan dan
berbudi luhur, dia menjadi semakin lega. Kiranya
memang tidak salah pilihan ibu kandung Bwee Hwa!
"Terima kasih, paman. Bolehkah saya bertanya satu
hal lagi" Siapa nama kedua orang putera Hartawan Ui
itu?" "Nama mereka" Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)
bernama Ui Kiang, terkenal karena ahli sastera yang
sudah mempunyai gelar siucai (pelajar lulus ujian).
Adapun Ji-kongcu (Tuan Muda kedua) bernama Ui
Kong, juga sama tampan dengan kakaknya, akan
tetapi lebih terkenal karena tinggi ilmu silatnya."
"Usia mereka, paman?"
"Twa-kongcu berusia duapuluh empat tahun,
sedangkan Ji-kongcu berusia duapuluh satu tahun."
"Dan mereka sudah menikah?"
Laki-laki itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Dua
orang kongcu itu memang aneh. Hampir semua orang
yang memiliki anak gadis yang cantik jelita
mengharapkan puterinya menjadi jodoh seorang di
antara kongcu itu. Akan tetapi dua orang kongcu itu
tetap belum mau menikah. Dan mereka adalah dua
orang pemuda pilihan, tidak suka berfoya-foya dan
ugal-ugalan seperti para pemuda lainnya walaupun
mereka itu putera orang kaya raya."
Siong Li tersenyum dan mengangguk-angguk. Hatinya
merasa tenang. Bwee Hwa pasti akan hidup makmur
dan bahagia berjodoh dengan seorang di antara
mereka. "Terima kasih, paman."
Kini dengan tenang dia melangkah memasuki
pekarangan besar gedung itu di mana terdapat
banyak orang antri menerima pembagian beras. Dia
langsung menghampiri dua orang yang membagi
beras. "Eh, sobat. Kalau ingin mendapatkan bagian beras,
harap antri di belakang. Tidak boleh menyerobot di
depan!" kata seorang di antara dua pegawai yang
membagi beras. Siong Li memberi hormat dan berkata, "Maaf, saya
datang bukan untuk mendapatkan pembagian beras,
melainkan untuk menghadap Hartawan Ui, untuk
menyampaikan urusan yang amat penting."
Laki-laki setengah tua yang tadi menonton pembagian
beras, memandang kepada Siong Li dan maju
menghampiri. "Orang muda, engkau hendak bertemu
dengan Hartawan Ui" Akulah orangnya dan siapa
engkau" Ada urusan apakah engkau hendak bertemu
denganku?" Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada dan
menjura. "Harap maafkan saya kalau saya mengganggu. Saya
bernama Ong Siong Li dan saya datang mewakili
keluarga Lim Sun di So-jiu."
Siong Li mengetahui bahwa ayah kandung Bwee Hwa
bernama Lim Sun dan dulu tinggal di So-jiu. Ibu
kandung Bwee Hwa memang tidak sempat
menceritakan kepada anaknya secara jelas, akan
tetapi kedua orang muda itu mendengar banyak
tentang orang tua kandung Bwee Hwa dari A-sam,
pelayan tua yang dipercaya oleh ibu kandung Bwee
Hwa. Dengan bekal pengetahuan tentang keluarga
orang tua Bwee Hwa inilah Siong Li berani mewakili
keluarga Lim itu. Mendengar disebutnya Keluarga Lim Sun dari So-jiu,
Hartawan Ui terkejut dan tertarik sekali. "Ah,
begitukah" Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam
saja." Siong Li mengikuti hartawan itu memasuki ruangan
tamu yang luas dan indah. Setelah dipersilakan duduk,
seorang pelayan wanita muncul membawakan minuman. "Nah, sekarang ceritakanlah, Ong?" siapa namamu
tadi?" "Ong Siong Li, harap sebut saja Siong Li, paman," kata
Siong Li dengan ramah. Diapun langsung menyebut
paman tanpa ragu lagi, melihat sikap hartawan itu
yang ramah dan akrab. Ui Cun Lee tersenyum, senang mendengar pemuda itu
menyebutnya paman. Dia adalah seorang yang
biarpun kaya raya, berwatak sederhana dan tidak
suka disanjung-sanjung dengan penghormatan yang
sifatnya menjilat dan bermuka-muka.
"Baik, Siong Li, dengan begini kita dapat bicara leluasa
dan akrab. Nah, sekarang ceritakan bagaimana
engkau yang semuda ini menjadi wakil keluarga Lim
Sun di So-jiu. Sudah lama sekali kami tidak pernah
berhubungan, bahkan aku mendengar bahwa
keluarga itu tertimpa malapetaka. Kabarnya Lim Sun
tewas di tangan penjahat dan isterinya beserta
anaknya telah hilang. Sejak itu aku tidak pernah
mendengar apa-apa lagi dari mereka dan kini tahutahu engkau muncul dan mengaku sebagai wakil
mereka. Bagaimana ceritanya" Aku tertarik sekali!
Kebesaran Jiwa Seorang Pendekar
"Ceritanya panjang, Paman Ui. Kabar yang paman
dengar itu memang benar. Paman Lim Sun belasan
tahun yang lalu, ketika melakukan perjalanan dengan
isteri dan puteri tunggalnya, di tengah perjalanan
dihadang seorang perampok. Paman Lim Sun dan
para pengawalnya terbunuh. Isteri dan puterinya
dilarikan perampok yang kemudian memaksa Bibi Lim
Sun menjadi isterinya, dan puterinya menjadi anak tiri
perampok yang berjuluk Kauw-jiu Pek-wan itu."
Siong Li lalu menceritakan tentang Bwee Hwa yang
dilarikan Sin-kiam Lojin, kemudian menjadi muridnya
dan betapa akhirnya Bwee Hwa berhasil membunuh
Kauw-jiu Pek-wan, bertemu ibu kandungnya yang
meninggal karena sakit. "Ketika hendak menghembuskan napas terakhir, ibu
kandung nona Lim Bwee Hwa meninggalkan pesan
kepada puterinya itu bahwa nona Lim Bwee Hwa
sejak kecil sudah dijodohkan dengan putera Paman Ui
Cun Lee di Ki-lok. Karena hendak memenuhi pesan
terakhir ibu kandungnya, maka Nona Lim Bwee Hwa
mencari ke sini dan saya menjadi wakil keluarga Lim
atau wali nona Lim Bwee Hwa untuk menemui
paman dan menceritakan ini semua."
Ui Cun Lee mengangguk-angguk dan memandang
pemuda itu dengan mata penuh selidik. "Dan ada
hubungan keluarga apakah kalian dengan nona Lim
Bwee Hwa?" "Ah, saya hanya seorang sahabat, paman. Secara
kebetulan saja saya bertemu dengannya dalam
perjalanan dan bersama-sama menentang kejahatan.
Karena melihat ia tidak mempunyai sanak keluarga,
maka saya memberanikan diri menjadi walinya."
Kembali Ui Cun Lee mengangguk-angguk dan
mengelus jenggotnya yang jarang.
"Ibunya anak-anakku juga sudah meninggal dunia.
Walaupun begitu aku tidak ingin mengingkari janji
yang sudah dikeluarkan mendiang isteriku dan aku
setuju saja kalau janji itu dipenuhi dan seorang
puteraku menikah dengan puteri mendiang sahabatku
Lim Sun. Akan tetapi ada satu hal yang tidak dapat
dipak?sakan, yaitu orang yang bersangkutan sendiri.
Kedua orang puteraku itu memi?liki watak yang aneh.
Mereka sudah berusia duapuluh empat dan duapuluh
satu tahun, akan tetapi selalu menolak bujukanku
untuk berumah tangga. Sekarang, menghadapi janji
ikatan perjodohan ini, tentu saja aku harus
menanyakan pendapat mereka yang bersangkutan.
Dan tentu saja yang harus menikah lebih dulu adalah
puteraku yang tertua, Ui Kiang. Dan untuk mengetahui
pendapatnya, tentu saja jalan satu-satunya adalah
mempertemukan Ui Kiang dengan Lim Bwee Hwa.
Kalau Ui Kiang setuju untuk menikah dengan Lim
Bwee Hwa, tentu saja akupun tidak keberatan sama
sekali. Bagaimana pendapatmu sebagai wakil
keluarga Lim, Siong Li?"
Siong Li mengangguk, kagum akan kebijaksanaan
hartawan itu. "Pendapat paman itu baik sekali. Akan
tetapi Nona Lim Bwee Hwa adalah seorang pendekar
wanita dan ia memiliki harga diri yang tinggi. Kiranya
akan sukar membujuknya untuk datang ke rumah
paman. Sebagai seorang gadis terhormat tentu saja ia
merasa malu kalau harus datang ke rumah calon
jodohnya." "Hemm, aku mengerti dan itu menunjukkan bahwa ia
seorang gadis yang men?jaga tinggi kehormatannya.
Bagus sekali." "Lalu bagaimana sebaiknya diatur agar mereka
berdua dapat saling bertemu, paman?"
"Begini saja. Di sebelah timur kota ini, sekitar sepuluh
li (mil) dari sini, terdapat sebuah kuil, yaitu Ban-hok-si.
Besok pagi kami sekeluarga akan melakukan
sembahyang di sana. Nah, engkau ajaklah Lim Bwee
Hwa ke sana sehingga kalian dapat bertemu dengan
kami dan perkenalkan Bwee Hwa kepada kami.
Dengan demikian, pertemuan ini seolah secara
kebetulan dan bukan berarti Bwee Hwa mendatangi
kami." Siong Li mengangguk. "Usul paman itu baik sekali.
Saya akan mengajak ia ke kuil Ban-hok-si besok
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pagi." Siong Li lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Di
pekarangan di mana masih terjadi kesibukan
membagi beras, dia berpapasan dengan seorang
pemuda yang tampan dan gagah sekali. Dari
pakaiannya saja, walaupun pakaian itu tidak terlalu
mewah, dapat diduga bahwa pemuda itu adalah
seorang kongcu (tuan muda) yang kaya. Pandang
mata pemuda itu tajam sekali dan ketika berpapasan,
dia memandang Siong Li penuh selidik. Siong Li
mengangguk dan pemuda itu membalas dengan
anggukan. Setelah pemuda itu memasuki ruangan tamu, Ui Cun
Lee masih duduk termenung di atas kursinya. Orang
tua ini terkenang kepada mendiang isterinya yang
mengikat janji dengan mendiang isteri Lim Sun.
Teringatlah dia kepada Lim Sun yang menjadi sahabat
baiknya dan isteri Lim Sun yang cantik jelita dan
ramah. Dia menghela napas panjang. Betapa buruk
nasib Lim Sun dan isterinya. Juga isterinya sendiri
yang meninggal dunia dalam usia yang masih
terhitung muda, baru empatpuluh tahun usianya.
Alangkah akan senang hatinya kalau seorang
puteranya, dalam hal ini Ui Kiang sebagai putera
pertama, dapat menikah dengan puteri tunggal Lim
Sun dan isterinya. Dia merasa yakin bahwa gadis
bernama Lim Bwee Hwa itu tentu cantik jelita karena
ibunya juga seorang wanita jelita dan ayahnya, Lim
Sun, juga seorang pria yang tampan. Akan tetapi ada
sedikit hal yang membuat alisnya berkerut.
Menurut cerita Ong Siong Li tadi, Bwee Hwa adalah
seorang pendekar wanita, seorang ahli silat!
Sedangkan putera pertamanya, Ui Kiang adalah
seorang siucai yang lemah lembut. Agaknya Ui Kong,
puteranya yang kedua lebih cocok menjadi suami
Bwee Hwa karena Ui Kong juga seorang ahli silat
yang pandai. Akan tetapi, menurut aturan, Ui Kiang
yang harus menikah lebih dulu! Semua ini membuat
Ui Cun Lee duduk termenung dalam ruangan tamu.
Ui Kong memasuki kamar tamu itu dan melihat
ayahnya duduk termenung, dia langsung bertanya
sambil duduk di atas kursi di depan ayahnya.
"Ayah, siapakah pemuda yang membawa pedang di
punggungnya dan yang baru keluar dari rumah kita
tadi?" Ui Cun Lee sadar dari lamunannya dan memandang
wajah puteranya yang kedua. "Namanya Ong Siong
Li dan dia membawa berita yang teramat penting."
"Berita apakah itu, ayah" Ayah tampak termenung
ketika aku masuk, tentu berita itu penting sekali."
"Kong-ji (Anak Kong), panggil dulu kakakmu ke sini.
Berita ini harus didengar kalian berdua."
"Baik, ayah," Pemuda itu dengan tangkas lalu bangkit
dan keluar dari kamar tamu.
"Kalian temui aku di kamar dalam," pesan Ui Cun Lee
yang juga bangkit dan pindah ke kamar dalam,
kamar yang merupakan kamar keluarga dan lebih
tertutup, karena tidak ada pelayan berani masuk
kamar atau ruangan itu tanpa dipanggil.
Tak lama kemudian Ui Cun Lee sudah duduk di atas
kursi berhadapan dengan dua orang puteranya. Ui
Kiang yang berusia duapuluh empat tahun berpakaian
sebagai seorang sasterawan, pakaiannya sederhana
walaupun terbuat dari sutera halus dan tampak bersih
sekali. Sampai ke kuku-kuku jari tangannya, pemuda
ini merawat dirinya bersih dan gerak geriknyapun
lembut, tubuhnya sedang saja dan wajahnya yang
halus tanpa kumis dan jenggot itu tampak sehat dan
tampan. Adapun adiknya yang bernama Ui Kong, berusia
duapuluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap
membayangkan kekuatan yang kokoh. Wajahnya
tampan dan sikapnya sesuai dengan kegagahannya,
terbuka jujur dan agak keras. Wajahnya juga tampan
dan bersih, sepasang matanya seperti mata burung
rajawali, tajam dan berwibawa.
"Ayah memanggil saya" Ada perintah apakah yang,
ayah ingin berikan kepada saya?" tanya Ui Kiang
duduk di sebelahnya. Dari ucapan dan sikapnya, Ui Kiang bersikap lebih
merendah dan hormat kepada ayahnya dibandingkan
Ui Kong yang sikapnya agak kasar terbuka, namun
ada kemesraan dalam suaranya terhadap ayahnya.
Cara kedua orang anak ini berbakti dan bersikap
terhadap ayah mereka untuk menyatakan kasih
sayang mereka, berbeda sesuai dengan watak
mereka yang terbentuk sesuai dengan keahlian
mereka. Ui Kiang seorang sasterawan dan kutu buku yang
mempelajari banyak filsafat dan agama, sedangkan
Ui Kong tidak begitu maju dalam pelajaran sastra,
akan tetapi memilih ilmu silat sebagai kegemarannya
dan ilmu ini dia pelajari sampai mendalam. Untuk
memperdalam ilmu silatnya, Ui Kong bahkan pernah
berguru kepada Beng-san Cin-jin yang bertapa di
pegunungan Beng-san sampai lima tahun lamanya.
"Aku tidak ingin menyuruh kalian melakukan sesuatu,
hanya ingin memberitahu akan peristiwa yang
penting dan minta pertimbangan kalian."
"Peristiwa apakah itu, ayah" Tentu ada hubungannya
dengan orang yang bernama Ong Siong Li tadi,
bukan" Sudah kuduga bahwa dia tentu datang
membawa urusan yang penting," kata Ui Kong.
"Kong-te, siapakah itu Ong Siong Li" Jangan
mengambil kesimpulan dulu dan biarkan ayah
menceritakan kepada kita," tegur Ui Kiang dengan
halus. Ui Cun Lee menggerakkan tangan kanannya.
"Dengarkan kalian baik-baik. Tadi datang seorang
tamu yang mengaku bernama Ong Siong Li. Karena
dia mengatakan bahwa dia menjadi wakil keluarga
Lim Sun dari kota So-jiu dan hendak bicara denganku,
maka kuajak dia ke ruangan tamu dan kami bicara."
"Nanti dulu, ayah. Siapakah itu keluarga Lim Sun dari
So-jiu" Kurasa Kiang-ko (kakak Kiang), seperti juga
aku sendiri, belum pernah mendengar tentang
keluarga itu!" "Kong-te (adik Kong), kembali engkau memotong
pembicaraan ayah. Kenapa engkau begitu kasar?"
tegur Ui Kiang. Ui Kong mengangguk kepada ayahnya dan berkata,
lebih halus, "Maafkan aku, ayah."
"Sudahlah, kalian dengarkan saja baik-baik. Lim Sun
adalah seorang sahabat karibku di So-jiu, juga
isterinya menjadi sahabat mendiang ibumu. Kami
suami isteri bergaul dengan akrab. Kami saling
berpisah ketika aku dan ibumu pindah ke Ki-lok ini.
Akan tetapi sebelum kami berpisah, ibumu dan isteri
Lim Sun telah saling berjanji bahwa mereka berdua
kelak akan menjodohkan anak masing-ma?sing.
Mereka mempunyai seorang anak perempuan."
Kakak beradik itu terkejut dan otomatis mereka
menoleh dan saling berpan-dangan. Ui Kong sudah
menggerakkan mulutnya, akan tetapi baru saja
bibirnya terbuka, belum sempat bersuara, kakaknya
sudah memberi isyarat dengan telunjuk menekan
mulut agar adik itu tidak memotong cerita ayah
mereka. Ui Kong teringat dan menutup bibirnya rapatrapat! "Tadinya aku hanya mendengar bahwa Lim Sun telah
tewas terbunuh penjahat dan anak isterinya hilang
entah ke mana. Akan tetapi kemudian muncul Ong
Siong Li itu dan dialah yang bercerita banyak tentang
keluarga Lim Sun. Dia bercerita bahwa Lim Sun
terbunuh oleh seorang kepala perampok berjuluk
Kauw-jiu Pek-wan dan isterinya dipaksa menjadi isteri
perampok itu, sedangkan anaknya juga menjadi anak
tiri si perampok." Tiba-tiba Ui Kong melompat berdiri dari kursinya.
"Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok! Jahanam busuk itu
memang jahat sekali. Pernah aku bersama beberapa
orang suheng (kakak seperguruan) mencari untuk
membasminya, akan tetapi dia menghilang dan tak
seorangpun tahu di mana dia berada! Sungguh keji
dan biadab! Sudah membunuh suaminya, memaksa
isterinya untuk menikah dengannya pula!"
"Kong-te, tidak bisakah engkau diam sejenak agar
ayah dapat melanjutkan ceritanya?" tegur Ui Kiang
marah. Ui Cun Lee menghela napas panjang. Dua orang
anaknya itu memiliki sikap yang demikian jauh
berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran
masing-masing. Kalau Ui Kiang mengutamakan sikap
baik bersusila, Ui Kong lebih mengutamakan sikap
gagah menentang kejahatan.
"Menurut cerita Ong Siong Li, anak perempuan yang
bernama Lim Bwee Hwa itu kemudian menjadi
seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Kemudian,
seorang sakti yang entah siapa namanya aku lupa
lagi, merampas Lim Bwee Hwa dari tangan ayah
tirinya kemudian dijadikan murid orang sakti itu. Nah,
setelah dewasa, Lim Bwee Hwa itu mencari ibunya
yang setelah bertemu dengannya, mati karena sakit
dan terlantar, sedangkan Kauw-jiu Pek-wan menikah
lagi. Lim Bwee Hwa lalu membunuh ayah tiri yang
juga pembunuh ayah kandungnya dan menyianyiakan ibunya itu!"
"Bagus! Hebat?"!" Ui Kong bersorak, akan tetapi
teringat akan teguran kakak-nya, dia melirik kepada
kakaknya dan duduk. "Sebelum ibunya mati, Nyonya Lim Sun memesan
kepada Lim Bwee Hwa bahwa gadis itu telah
dijodohkan dengan puteraku seperti telah dijanjikan
oleh mendiang ibu kalian. Maka, gadis itu lalu mencari
sampai di kota ini dan ia me-nyuruh Ong Siong Li,
yang menurut cerita pemuda itu menjadi sahabat
baiknya, untuk menjadi walinya, menemuiku dan
membicarakan urusan perjodohan ini. Nah, bagaimana
menurut pendapat kalian" Karena ibumu sudah tidak
ada, ter?paksa hanya dengan kalian aku dapat
berunding. Akan tetapi, akupun tidak ingin
mengingkari janji yang sudah diucapkan ibumu."
Kembali Ui Kiang dan Ui Kong saling pandang. Mulut
mereka tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi
pandang mata mereka menyatakan berbagai macam
perasaan. Terkejut, heran, ragu, cemas dan bimbang,
bahkan seolah takut kalau-kalau dirinya terpilih oleh
ayah mereka harus menikah dengan gadis yang sama
sekali tidak mereka kenal itu!
"Ui Kiang, engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana
menurut pendapatmu menghadapi persoalan ini?"
tanya Ui Cun Lee kepada anak sulungnya.
Ui Kiang terkejut, lalu memandang kepada ayahnya
dan berkata dengan tenang dan lembut.
"Tidak dapat disangkal lagi, ayah. Pesan ibu yang
sudah meninggal merupakan pesan wasiat yang
sama sekali tidak boleh diabaikan dan harus
dilaksanakan. Janji mendiang ibu harus dipenuhi, tidak
boleh diingkari karena hal itu menyangkut
kehormatan keluarga ibu, yaitu ayah, saya dan Kongte. Karena itu, sayapun setuju kalau ayah hendak
memenuhi janji ibu itu. Adapun siapa di antara saya
dan Kong-te yang harus memenuhi janji itu dan
menjadi jodoh Nona Lim Bwee Hwa, hal itu saya kira
harus dipertimbangkan dengan penuh kebijaksanaan.
Menurut cerita ayah tadi, nona itu adalah seorang ahli
silat yang pandai, seorang gadis pendekar.
Keadaannya itu sama benar dengan keadaan Kong-te,
maka saya kira mereka berdua akan lebih cocok dan
serasi untuk menjadi suami isteri. Begitulah pendapat
saya, ayah. Maafkan kalau ada kesalahan dalam
kata-kata saya tadi."
Ui Cun Lee mengangguk-angguk senang. Pendapat
putera sulungnya itu memang cocok sekali dengan
pendapatnya sendiri. Memang, kalau dilihat dari
keadaannya, gadis itu lebih cocok menjadi isteri Ui
Kong, sama-sama ahli silat dan berjiwa pendekar!
Kini orang tua itu memandang kepada anak
bungsunya. "Dan sekarang aku min?ta pendapatmu,
Ui Kong!" Ui Kong juga terkejut. "Aku, ayah" Ah, aku sih setuju
dengan pendapat Kiang-ko bahwa janji mendiang ibu
harus ditepati. Itu merupakan keharusan! Kalau tidak,
berarti kita mengkhianati ibu. Akan tetapi aku sama
sekali tidak setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa
akulah orangnya yang tepat menjadi suami gadis itu.
Mana ada aturan seperti itu" Kiang-ko adalah saudara
tua, anak sulung! Masa kakak sulung belum menikah,
adik bungsu harus menikah lebih dulu melangkahi
kakaknya" Tidak mungkin ini, ayah. Aku tidak mau
menjadi terkutuk karena kesalahan ini. Kiang-ko yang
tepat untuk menaati pesan ibu dan menikah dengan
Nona Lim Bwee Hwa itu. Dia seorang siucai
(sastrawan) dan Nona Lim Bwee Hwa seorang lihiap
(pendekar wanita). Alangkah sudah serasinya ini.
Kelak anak mereka tentu menjadi bun-bu-cwan-jai
(ahli sastra dan silat)! Ayah akan mempunyai cucucucu yang hebat!" Mendengar ini, Ui Kiang cemberut dan mengerutkan
alisnya, akan tetapi Ui Cun Lee tertawa. Pendapat
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putera bungsunya itu pun cocok dengan pendapatnya.
Akan tetapi dia teringat akan kericuhan ini dan
menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku bingung. Memang, kalau
mengingat kepatuhan, seharusnya Ui Kiang yang
menikah lebih dulu, akan tetapi kalau mengingat
keahlian yang sama, agaknya Ui Kong lebih tepat
menjadi jodoh gadis itu."
"Akan tetapi, apakah ayah sudah memutuskan?"
kedua orang kakak beradik itu bertanya, suara
mereka hampir berbareng. "Belum. Biarpun terkadang aku gelisah dan jengkel
memikirkan betapa sampai sekarang, setelah Kiang-ji
(anak Kiang) dan Kong-ji (anak Kong) berusia
duapuluh empat dan duapuluh satu tahun belum juga
mau menikah, akan tetapi dalam urusan ini aku tidak
mau memaksa kalian. Kalian harus menentukan jodoh
kalian masing-masing. Akan tetapi, aku telah
mengambil keputusan agar janji mendiang ibu kalian
tidak kita ingkari, dan kalian berdua juga menyetujui
hal itu, maka aku telah mengambil suatu keputusan."
"Keputusan yang bagaimanakah itu, ayah?" tanya Ui
Kong dan kedua orang pemuda tampan itu menanti
jawaban ayah mereka dengan jantung berdebar
tegang. "Keputusanku ini telah kusampaikan kepada Ong
Siong Li dan diapun sudah menyetujuinya. Besok pagipagi, kita bertiga akan pergi sembahyang untuk
arwah ibumu di Kuil Ban-hok-si di sebelah timur kota
itu dan pada waktu itu, Ong Siong Li akan mengajak
Lim Bwee Hwa ke kuil itu, melihat orang-orang yang
melakukan upacara sembahyang. Dengan demikian
kalian dapat bertemu dan berkenalan dengan Lim
Bwee Hwa dan kita lihat saja nanti, siapa di antara
kalian yang suka dan bersedia menjadi calon
suaminya." "Akan tetapi, ayah. Bagaimana kalau pilihan itu jatuh
kepadaku" Aku tidak mau, tidak berani melangkahi
Kiang-ko dan menikah lebih dulu."
"Kong-te (adik Kong), jangan hiraukan hal itu. Aku
tidak apa-apa walau engkau melangkahiku dan
menikah lebih dulu. Aku rela sepenuhnya!"
"Akan tetapi aku yang akan celaka, kualat! Arwah ibu
juga tentu akan marah besar kepadaku kalau ia
melihat aku melangkahimu dan menikah lebih dulu!"
"Sudahlah jangan ribut. Kalian berdua harus mau
saling mengalah sedikit. Begini saja. Kalau yang
merasa suka itu Kiang-ji, maka tidak ada masalah dan
dia boleh menikah dengan Bwee Hwa, akan tetapi
seandainya yang cocok dan suka itu Kong-ji, maka dia
akan bertunangan dulu dengan Bwee Hwa dan baru
akan dilangsungkan pernikahan kalau Kiang-ji sudah
mendapatkan jodohnya. Nah, ini merupakan perintah
yang tidak boleh kalian bantah lagi!"
Sejenak dua orang kakak beradik itu diam. Mereka
tidak berani membantah lagi karena memang
keputusan ayah mereka itu mereka anggap sudah
seadil-adilnya. Tidak ada unsur paksaan, dan tidak ada
masalah lagi. "Bagaimana, kalian setujukah" Hayo katakan kalau
setuju dan kalau tidak setuju juga katakan terus
terang dan kemukakan alasannya," kata Hartawan Ui
itu. "Maaf, ayah. Saya sama sekali bukan tidak setuju,
bahkan mendukung keputusan ayah yang sudah adil
itu. Akan tetapi, kita harus memikirkan kemungkinan
ketiga. Kemungkinan ketiga yang akan
menghancurkan sama sekali rencana ayah yang amat
baik ini." "Hemm, kemungkinan ketiga yang bagaimana itu?"
Hartawan Ui bertanya dengan alis berkerut. Hatinya
sudah senang dengan keputusannya yang disetujui
kedua orang anaknya itu dan yang dianggapnya
merupakan rencana yang pasti berhasil karena tidak
ada halangan apapun lagi. Maka adanya
"kemungkinan ketiga" yang dikatakan Ui Kiang ini
membuat dia gelisah. "Kemungkinan itu, ayah, adalah bagaimana kalau di
antara Kong-te dan saya tidak ada yang suka atau
cocok dengan gadis itu" Bagaimana kalau misalnya ia
cacat atau....... jelek sekali wajahnya sehingga kami
berdua tidak suka sama sekali?"
"Wah, benar sekali itu, ayah! Lebih celaka lagi, kalau
ia ternyata seorang gadis yang sesat dan jahat,
mengingat bahwa ayah tirinya juga sesat dan jahat,
tentu biar matipun aku tidak sudi menjadi suaminya!"
kata Ui Kong penuh semangat.
Hartawan Ui menghela napas panjang, "Mudahmudahan tidak begitu dan aku percaya tidak akan
muncul kemungkinan ketiga itu. Aku ingat benar
bahwa Lim Sun seorang laki-laki yang berwajah
tampan, sedangkan isterinya juga lembut dan cantik.
Suami isteri itu memiliki watak yang amat baik. Tidak
mungkin kalau anak tunggalnya cacat badan dan
batinnya. Kecuali kalau Thian menghendaki lain apa
boleh buat, kita akan bicarakan lagi seandainya
memang terjadi kemungkinan ketiga itu. Bersiaplah
kalian, besok pagi-pagi kita berangkat ke kuil Banhok-si!" "Y" Kuil Ban-hok-si adalah sebuah kuil besar di mana
dipuja beberapa tokoh dewa. Akan tetapi yang
membuat Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) terkenal
adalah pemujaan terhadap Kwan Im Pouwsat (Dewi
Welas Asih) yang patungnya ter-buat dari emas
terukir indah. Patung Dewi Kwan Im emas itu merupakan hadiah
dari Kaisar Yung Lo yang memindahkan kota raja dari
Nan-king di selatan ke Peking di utara, setelah dia
berhasil merampas singasana dari keponakannya
sendiri, Kaisar Hui Ti. Kaisar Yung Lo adalah putera dari
Kaisar Thai Cu atau yang tadinya bernama Cu Goan
Ciang, pendiri dinasti Beng. Melihat keponakannya
diangkat menjadi kaisar, dia merasa lebih berhak
maka dia yang menjadi panglima berkedudukan di
Peking lalu memberontak, menyerbu ke Nanking dan
merampas kedudukan kaisar. Dia menjadi kaisar dan
berkedudukan di kota raja Peking. Ketika kisah ini
terjadi, Kaisar Yung Lo telah memerintah selama
kurang lebih sepuluh tahun.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Siapakah Calon Jodohnya"
Ketika Yung Lo menyerbu ke selatan untuk merampas
tahta kerajaan, dia terpisah dari pasukannya dan
sudah terkepung pasukan tentara selatan. Dia
melarikan diri ke kuil Ban-hok-si itu dan bersembunyi
di dalam kuil. Secara aneh sekali, pasukan selatan
yang melakukan pengejaran dan pencarian tidak
dapat menemukannya. Padahal, Yung Lo bersembunyi
di bawah meja patung Kwan-im Pouwsat yang
tertutup kain. Kalau dia dapat ditemukan tentu akan
dikeroyok dan tewas. Tentara musuh sudah
memasuki ruangan itu, namun tiada seorangpun
menyingkap kain dan menemukannya.
Peristiwa yang ganjil ini oleh Kaisar Yung Lo dianggap
sebagai perlindungan Kwan-im Pouwsat kepadanya,
maka dia lalu melanjutkan penyerbuannya ke selatan.
Setelah dia berhasil merebut tahta kerajaan Beng dari
tangan keponakannya, Kaisar Hui Ti, dia lalu
memerintahkan kepada seorang ahli pembuat patung
emas terpandai untuk membuatkan patung Kwan-im
Pouwsat dari emas itu dan menaruhnya di Kuil Banhok-si sebagai pengganti patung yang sudah lama
dan buruk. Demikianlah, riwayat patung itu menambah
kepercayaan penduduk, apalagi ditambah kesaksian
mereka yang merasa tertolong dan terpenuhi
permohonannya melalui Dewi Kwan Im, maka kini
Kuil Ban-hok-si menjadi kuil yang dikunjungi banyak
orang. Apalagi pada hari-hari tertentu, seperti pada
hari itu yang merupakan hari sembahyangan umum,
menyembahyangi arwah para leluhur, kuil itu menjadi
ramai sekali. Banyak sekali pengunjung, bukan hanya mereka yang
memang hendak sembahyang, melainkan banyak di
antara mereka yang sekadar melihat-lihat keramaian.
Mereka yang membayar kaul karena merasa
permohonan mereka terpenuhi, ada yang menyewa
para pemain ba-rong-sai, liong (naga) dan po-te-hi
(wayang golek). Banyak pula penjaja makanan
memenuhi pelataran kuil amat luas, melayani
kebutuhan para pengunjung. Bahkan kesempatan itu
dipergunakan pula oleh muda-mudi untuk mencari
jodoh. Siapa tahu, berkat kemurahan hati Dewi Kwan
Im, mereka akan saling berkenalan dan menemukan
jodohnya di tempat itu! Sementara itu, ketika Ong Siong Li kembali dari
rumah Hartawan Ui dan menceritakan pertemuan dan
percakapannya dengan Ui Cun Lee kepada Bwee
Hwa, berbagai macam perasaan teraduk dalam hati
gadis itu. Ia merasa bersyukur bahwa calon ayah
mertua pilihan ibunya itu ternyata seorang hartawan
yang dermawan. Hal ini tentu saja menyenangkan
hatinya. Coba andaikata ia mendengar bahwa calon
ayah mertuanya itu seorang penjahat seperti
mendiang ayah tirinya, tentu saja ia akan menolak
perjodohan itu mentah-mentah! Ia mendengar pula
bahwa Nyonya Ui telah meninggal dunia dan bahwa
Ui Cun Lee mempunyai dua orang putera, keduanya
belum menikah. "Karena kedua orang putera Paman Ui Cun Lee itu
masih belum menikah, maka menurut dia, yang
berhak menikah lebih dulu adalah putera sulungnya
yang bernama Ui Kiang. Ternyata Paman Ui seorang
yang bijaksana sekali, Hwa-moi. Biarpun dia setuju
untuk memenuhi janji mendiang ibumu dan ibu
pemuda itu, namun dia tidak mau memaksakan
kehendaknya kepada kalian. Dia ingin agar engkau
dapat bertemu dan berkenalan dengan puteranya itu
dan kalau kalian berdua setuju, barulah pernikahan
dapat dilangsungkan. Bukankah itu menunjukkan
bahwa dia seorang tua yang bijaksana sekali?"
Bwee Hwa mengangguk-angguk. "Memang bijaksana
sekali, Li-ko. Akan tetapi bagaimana aku dan Ui Kiang
itu dapat bertemu dan berkenalan" Tentu aku merasa
tidak enak dan sungkan untuk berkunjung ke rumah
mereka." "Hal itupun dimaklumi oleh Paman Ui. Karena itu, dia
sudah mengambil cara yang dapat kuterima karena
merupakan rencana yang baik dan sopan. Besok pagi
kebetulan ada upacara sembahyangan umum di Kuil
Ban-hok-si, kurang lebih sepuluh lie (mil) di sebelah
timur kota ini. Nah, dia dan kedua orang puteranya
akan berada di sana untuk menyembahyangi arwah
isterinya dan dia minta agara engkau dan aku
berkunjung pula sana. Besok kuil itu menjadi tempat
perkunjungan umum sehingga tidak akan ketahuan
orang bahwa pertemuan itu diatur. Kita berdua akan
bertemu mereka di sana, engkau dapat berkenalan
dengan mereka dan kalian berdua yang sudah
dijodohkan dapat menarik kesan hati masing-masing."
Bwee Hwa menundukkan mukanya yang berubah
merah. Biarpun ia seorang gadis bebas yang tidak
pernah malu-malu namun bicara tentang perjodohan
dengan Siong Li membuat ia tersipu juga.
"Berapa usia pemuda bernama Ui Kiang itu, Li-ko?"
"Aku tidak tahu, Hwa-moi. Paman Ui tidak
mengatakan itu. Akan tetapi aku ingat....... ketika
hendak meninggalkan rumah itu, di pekarangan aku
berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap, berwajah tampan gagah, usianya kurang lebih
duapuluh satu tahun. Kami hanya saling mengangguk.
Aku tidak tahu siapa dia dan kalau dia itu putera
Paman Ui, engkau sungguh beruntung, Hwa-moi. Dia
tampan, gagah, dan dari gerakan langkahnya, aku
yakin bahwa dia itu seorang ahli silat yang pandai."
"Hemm, itu bukan merupakan syarat yang paling
utama untuk seorang calon suami, Li-ko."
"Ehh" Lalu syarat utamanya apa, Hwa moi?"
"Syarat utamanya adalah budi yang baik, bersusila,
sikap yang adil dan penentang kejahatan, seperti.......
misalnya seperti....... engkau, Li-ko."
Siong Li menjadi salah tingkah wajahnya merah
mendengar ini. Akan tetapi dia pura-pura tidak
mendengar ucapan terakhir itu dan berkata.
"Aku yakin bahwa putera Paman Ui tentu seorang
yang baik budi, mengingat betapa Paman Ui sendiri
seorang dermawan. Aku telah melihat betapa dia
membagi-bagikan beras kepada orang-orang miskin."
Biarpun agak segan dan sungkan, akhirnya Bwee
Hwa tidak dapat menolak rencana Hartawan Ui untuk
mempertemukan ia dan putera Hartawan Ui yang
telah dijodohkan sejak kecil oleh ibu masing-masing.
"Pakailah pakaianmu yang paling baru dan indah,
Hwa-moi," Ong Siong Li berkata sambil tersenyum. "Di
tempat keramaian itu semua orang, terutama
wanitanya, pasti mengenakan pakaian baru."
"Hemm, kenapa aku harus memakai pakaian baru, Liko?" tanya Bwee Hwa.
"Karena biasanya, orang dihargai karena pakaiannya!"
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, aku tidak pernah menilai seseorang dari
pakaiannya! Mungkin banyak sekali orang jembel
yang compang-camping pakaiannya memiliki budi
pekerti yang jauh lebih bersih daripada seorang
hartawan atau bangsawan yang berpakaian serba
indah!" Siong Li tersenyum. "Tepat! Akupun berpendapat
demikian, Hwa-moi. Akan tetapi dalam hal ini lain lagi.
Engkau akan bertemu dan berkenalan dengan calon
suamimu. Tidak pantas kalau pakaianmu tampak
kumal dan wajahmu muram. Hayolah, kenakan
pakaian yang paling baik."
Bwee Hwa sudah mandi dan berganti pakaian,
walaupun bukan pakaiannya yang terbaik, melainkan
pakaian biasa yang berwarna merah, warna
kesukaannya. Ia menunduk, memandang ke arah
pakaian yang dipakainya. "Apakah pakaian ini tidak patut bagiku?"
Siong Li memandang dan terpaksa dia mengatakan
apa yang menjadi suara hatinya. "Patut, pantas sekali!
Akan tetapi kalau ada yang lebih baru lagi......."
"Sudahlah, Li-ko, hayo berangkat. Cerewet amat sih
engkau! Kaya nenek-nenek saja!"
Siong Li tertawa dan mereka berdua lalu berangkat,
keluar dari kota Ki-lok menuju ke timur. Ternyata
jalan menuju ke kuil itu ramai sekali. Banyak orang
berjalan ke arah kuil itu, ada pula yang naik kereta
atau menunggang kuda. Dan benar saja seperti yang
diperkirakan Siong Li tadi, kebanyakan orang-orang itu
mengenakan pakaian baru seperti hendak merayakan
pesta! Tak lama kemudian sampailah mereka di depan Kuil
Ban-hok-si. Di sana sudah terdapat banyak orang.
Kurang lebih duaratus orang, laki-laki dan perempuan,
tua muda, telah berkerumun di situ. Ada pula yang
sedang sibuk melakukan upacara sembahyang. Di luar
kuil terdapat banyak orang berjualan bermacammacam makanan. Siong Li mulai mencari-cari dengan pandang matanya,
tentu saja mencari Hartawan Ui Cun Lee. Akan tetapi
orang yang dicarinya itu tidak berada di dalam
pekarangan yang penuh orang itu. Mungkin berada di
dalam kuil, sedang bersembahyang, pikirnya.
Bukankah mereka datang ke kuil untuk sembahyang"
Tiba-tiba dia merasa lambungnya disikut orang. Dia
menoleh ke kiri dan melihat Bwee Hwa memberi
isyarat dengan kedipan mata padanya. Gadis itu lalu
menunjuk dengan dagunya ke arah kiri.
Aneh, apakah Bwee Hwa sudah dapat menemukan
Hartawan Ui yang belum pernah dilihatnya itu" Akan
tetapi ketika dia memandang ke arah yang ditunjuk
oleh Bwee Hwa dan pandang matanya mencari-cari,
dia terkejut juga melihat tiga orang yang sudah
dikenalnya dengan baik. Di sana, di antara kerumunan orang banyak, dekat
ruangan depan bagian kuil yang menjadi tempat
pemujaan Dewi Kwan Im, berdiri tiga orang yang
bukan lain adalah Sam-kauwcu (Ketua Agama Ketiga)
yang bertubuh tinggi berwajah tampan pucat berusia
kurang lebih empatpuluh tahun, Lie Hoat yang
buntung lengan kirinya, dan Souw Ban Lip. Dua orang
terakhir ini adalah para pembantu kepala gerombolan
Gak Sun Thai. Sam-kauwcu dapat lolos ketika Siong Li dan Bwee
Hwa membasmi para gerombolan perampok,
sedangkan Lie Hoat buntung lengan kirinya oleh
pedang Siong Li dan Souw Ban Lip terkena senjata
rahasia jarum tawon yang lihai dari Bwee Hwa. Samkauwcu dan Li Hoat yang pendek kurus mata juling
itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, sedangkan
Souw Ban Lip berusia sekitar enampuluh tahun.
Siong Li mengerutkan alisnya. Mau apa tiga orang
penjahat itu berada di tempat itu" Sudah pasti tidak
mempunyai niat yang baik, pikirnya. Tiba-tiba dia
menyentuh lengan Bwee Hwa dan menunjuk ke arah
dua orang yang berada di belakang tiga orang
penjahat itu. Bwee Hwa memperhatikan.
Dua orang itu berpakaian serupa, dengan pakaian
serba putih dan di sebelah luar memakai jubah
longgar berwarna kuning. Rambut kepala mereka
digelung ke atas, diikat dengan pita putih, model
gelung para tosu (Pendeta Agama To) dan di
punggung mereka tergantung sebatang pedang. Dari
belakang, dua orang yang layak disangka pendeta itu
tampak kembar dan serupa, akan tetapi ketika
mereka miring sehingga tampak wajah mereka, Siong
Li memegang lengan Bwee Hwa dengan kuat
sehingga gadis itu mengerutkan alis dan merenggut
lepas lengannya. Siong Li menyadari hal ini dan berbisik. "Maaf, akan
tetapi aku terkejut sekali melihat wajah mereka.
Tidak salah lagi, mereka itulah yang di dunia kang
ouw (sungai telaga, persilatan) dikenal sebagai Pekbin Moko (Iblis Muka Putih) dan Hek-bin Moko (Iblis
Muka Hitam), dua orang tokoh besar dari Pek-liankauw (Agama Teratai Putih)!"
Bwee Hwa terkejut juga dan teringat betapa ketiga
kepala agama, yaitu Toa-kauwcu, Ji-kauwcu dan Samkauwcu adalah tiga orang yang lihai sekali. Ilmu silat
mereka adalah Go-bi-kiam-sut (Ilmu Pedang Go-bi)
bercampur dengan ilmu yang aneh dan berbahaya
dari ilmu-ilmu Pek-lian-kauw seperti yang pernah ia
dengar dari gurunya. Kalau Pek-bin Moko dan Hek-bin
Moko itu dua orang tokoh Pek-lian-kauw, ilmu-ilmu
mereka pasti hebat dan jelas bahwa kehadiran lima
orang itu tentu mempunyai maksud tertentu yang
buruk! "Cepat kita dekati dan bayangi mereka, Li-ko!"
bisiknya dan mereka berdua kini tidak perduli lagi
akan Hartawan Ui. Ada tugas di depan mata, yaitu
mencegah terjadinya kejahatan yang pasti akan
dilakukan oleh lima orang, terutama dua orang tokoh
Pek-lian-kauw itu. Kedua orang itu lalu menyelinap di antara banyak
orang, menghampiri ke arah ruangan bagian kuil di
mana terdapat patung Dewi Kwan Im, di mana
mereka bersembahyang. Dugaan Bwee Hwa dan Siong Li memang tidak
meleset. Pada waktu itu, sekitar tahun 1413, semasa
pemerintahan kerajaan Beng dipegang oleh Kaisar
Yung Lo yang sepuluh tahun lalu merebut tahta
kerajaan dari tangan Kaisar Hui Ti, keponakannya.
Yung Lo telah mengadakan pembangunan besarbesaran di Cina. Tembok Besar Cina yang terkenal di seluruh dunia itu
diteruskan pembangunannya, karena tembok besar
yang panjangnya sekitar selaksa mil ini merupakan
benteng pertahanan yang kokoh kuat untuk menahan
gangguan dan serbuan bangsa-bangsa di utara,
terutama bangsa Mongol. Juga terusan besar yang
menghubungkan Sungai Yang-ce dan Huang-ho
dibangun, diteruskan dan diselesaikan. Kota raja baru
Peking juga dibangun sehingga pada masa itu, kota
raja Peking merupakan kota raja yang terkenal
memiliki bangunan-bangunan yang serba indah dan
besar. Namun, tiada gading yang tak retak. Tidak ada
keindahan buatan manusia yang sempurna.
Pembangunan besar-besaran itupun mempunyai
akibat sampingan yang menyedihkan. Hampir
sebagian pembesar yang menangani pembangunan,
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
melakukan tindak tercela korupsi besar-besaran.
Banyak pula yang menindas rakyat jelata,
memperkerjakan mereka seperti kuli rodi sehingga
dalam pembangunan Tembok Besar dan Terusan
Besar itu banyak rakyat menjadi korban. Di manamana rakyat merasa penasaran dan muncullah
pemberontakan-pemberontakan.
Walaupun dengan tangan besi Kaisar Yung Lo dapat
membasmi para pemberontak, bahkan menalukkan
kembali daerah Yun-nan dan daerah selatan yang
tadinya membebaskan diri, namun masih ada
gerombolan-gerombolan pemberontak yang selalu
merongrong pemerintah. Di antara para gerombolan
pemberontak itu, yang paling terkenal adalah
munculnya Pek-lian-kauw, gerombolan pemberontak
yang berkedok agama baru yang berdasar Agama To
dan Agama Buddha yang diselewengkan, bercampur
dengan segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat.
Pek-lian-kauw yang menentang pemerintah itu
bahkan tidak mengharamkan cara-cara yang biadab.
Dalam mencari dana untuk kegiatan yang mereka
namakan "perjuangan", mereka tidak segan-segan
untuk melakukan pencurian atau perampokan. Kalau
ada yang menentang atau menghalangi perbuatan ini,
merekapun tidak merasa bersalah untuk melakukan
pembunuhan. Dengan tindakan seperti itu, maka
rakyat juga tidak suka kepada Pek-lian-kauw,
walaupun banyak juga rakyat dapat dikelabuhi oleh
cara-cara mereka yang seolah melindungi rakyat kecil
dengan sihir-sihir mereka. Bagi para pendekar, Peklian-kauw dianggap sebagai sebuah perkumpulan
sesat yang menggunakan cara-cara yang biasa
dipakai para penjahat. Seperti kita ketahui, Lie Hoat yang kini buntung
lengan kirinya, dan Souw Ban Lip yang pernah terluka
lehernya, oleh Hong-cu-ciam (Jarum Tawon) sen?jata
rahasia Bwee Hwa, adalah pembantu-pembantu
mendiang Gak Sun Thai yang dahulu menjadi anak
buah mendiang Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok.
Mereka berdua itu tidak dibunuh oleh Bwee Hwa atas
permintaan Siong Li yang merasa kasihan kepada
mereka. Dua orang ini lalu terpaksa menggabungkan diri
dengan Pek-lian-kauw karena merasa bahwa
gerombolannya sendiri sudah hancur dan untuk
"berdiri sendiri" merasa kurang kuat. Yang
mengajaknya untuk masuk menjadi anggauta Peklian-kauw adalah Sam-kauwcu yang sesungguhnya
bernama Ban Kit yang sebelumnya memang pernah
menjadi anggauta Pek-lian-kauw sebelum menjadi
ketua agama dengan kedudukan sebagai Samkauwcu (Ketua Agama Ketiga). Mereka bertiga
diterima baik oleh para pimpinan Pek-lian-kauw dan
karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang
lumayan tingginya, maka mereka diangkat menjadi
tokoh-tokoh yang ditugaskan untuk aksi-aksi yang
penting. Pada pagi hari itu, mereka bertiga dikawal oleh dua
orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lebih tinggi
tingkatnya, yaitu Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko,
dikirim oleh Pek-lian-kauw ke Kuil Ban-hok-si dengan
tugas khusus, yaitu untuk merampas patung emas
Dewi Kwan Im yang berada di kuil itu, karena benda
itu merupakan benda bersejarah dan terbuat dari
emas yang tentu saja amat mahal nilainya.
Mereka berlima berangkat dan sama sekali mereka
tidak tahu bahwa pada hari itu merupakan hari
sembahyangan umum sehingga tempat itu menjadi
ramai sekali dan penuh orang. Mereka agak terkejut
dan ragu. Akan tetapi dasar mereka berlima adalah
orang-orang yang selalu memandang rendah orang
lain dan amat mengagulkan diri sendiri, maka mereka
berlima bersepakat untuk nekat melanjutkan niat
mereka untuk merampas patung itu seperti yang
diperintahkan para pimpinan mereka. Mereka
memandang rendah orang banyak itu yang mereka
anggap tidak akan ada yang mampu menghalangi
mereka! Setelah menerima isyarat dari dua orang pimpinan
Pek-lian-kauw, lima orang itu menyelinap memasuki
ruangan di mana banyak keluarga antri untuk
melakukan upacara sembahyang. Karena pada saat
itu yang melakukan sembahyang adalah keluarga
Hartawan Ui Cun Lee, yaitu ayah dan dua orang
puteranya yang dikenal baik dan dihormati semua
orang karena kedermawanan mereka, maka keluarga
lain tidak mau mengganggu. Mereka bahkan mundur
dan memberi tempat yang luas kepada tiga orang itu
untuk melaksanakan upacara sembahyang mereka.
Melihat betapa di depan meja sembahyang, di balik
tirai sebelah dalam dari balik meja sembahyang itu,
hanya terdapat Hartawan dan dua orang pemuda,
dilayani oleh tiga orang hwesio penjaga atau pelayan
kuil Ban-hok-si, maka ini dianggap sebagai
kesempatan baik oleh lima orang penjahat itu. Hanya
enam orang lemah! Mereka segera melompat masuk
ruangan itu. Melihat ada lima orang berlompatan memasuki
ruangan dan mereka semua membawa senjata,
semua orang terkejut dan mundur menjauh saling
bertabrakan. Tiga orang hwesio pelayan itu melihat gelagat buruk
dan agaknya merasa bahwa lima orang itu berniat
buruk, segera maju untuk menegur dan menghalangi.
Akan tetapi, Sam-kauwcu menggerakkan pedangnya,
Lie Hoat yang lengan kirinya buntung itu
menggerakkan tangan kanan dengan ilmu Tiat-see
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ciang (Tangan Pasir Besi), dan Souw Ban Lip
menggerakkan goloknya dan....... tiga orang hwesio
itupun roboh mandi darah! Tentu saja semua orang
menjadi kaget, panik ketakutan. Wanita-wanita
menjerit, orang orang berdesakan untuk berlumba
melarikan diri menjauhi tempat itu.
Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko cepat bertindak. Pekbin Moko yang mukanya putih pucat seperti dikapur
itu melompat ke atas meja untuk mengambil patung
Dewi Kwan Im. Sementara itu, ketika melihat seorang
pemuda tinggi tegap dan tampan yang bukan lain
adalah Ui Kong melompat maju hendak menghalangi
Pek-bin Moko, Hek-bin Moko yang mukanya hitam
pekat seperti dicat arang itu, menyambutnya dengan
tamparan tangan kirinya yang mengandung tenaga
sin-kang (tenaga sakti) yang ampuh sekali.
Tamparan itu menyambar ke arah kepala Ui Kong dari
samping. Ui Kong maklum bahwa serangan itu
berbahaya, maka dia cepat menangkis dengan tangan
kanannya sambil mengerahkan tenaga Liap-kiang
Pek-ko-jiu yang membuat tangan dan lengannya
menjadi sekeras baja. "Dukkk?"!" Keduanya terpental ke belakang. Hek-bin
Moko terkejut bukan main. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa di tempat itu dia akan bertemu
seorang pemuda yang demikian lihainya!
Katakan... siapa yang setuju?"
Sementara itu, Pek-bin Moko karena tidak ada yang
menghalanginya, dengan mudah dapat menyambar
patung Dewi Kwan Im yang beratnya sekitar
duapuluh kati itu dan mengempitnya dengan tangan
kiri. Dia melompat dari atas meja. Melihat ini, Ui Kiang
yang biarpun tidak pandai silat seperti adiknya,
mencoba untuk menghalanginya.
"Jangan curi patung itu!" katanya. Akan tetapi Pek-bin
Moko menyambutnya dengan bacokan pedang yang
sudah dicabutnya dengan tangan kanan.
"Singgg?" carttt?"!" Darah muncrat dan tubuh
Hartawan Ui roboh mandi darah karena pundak dan
dadanya terbacok pedang. Ui Kiang menubruk
ayahnya. "Ayahhhhhh?"!" Dia berteriak dengan sedih. Ayahnya
tadi sengaja menghadang serangan pedang Pek-bin
Moko untuk melindunginya, dan ayahnya yang
menjadi korban pedang itu!
Pek-bin Moko menggerakkan pedangnya lagi untuk
membacok Ui Kiang, akan tetapi tiba-tiba sesosok
bayangan merah berkelebat masuk.
"Trangggg?"!" Bunga api berpijar ketika pedang di
tangan Pek-bin Moko itu bertemu dengan Sin-hongkiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee Hwa
yang menangkisnya. Merasa betapa tangannya yang memegang pedang
tergetar hebat, Pek-bin Moko terkejut dan marah. Dia
lalu menyerang Bwee Hwa yang melompat ke
belakang untuk mencari tempat yang lebih lega. Pekbin Moko mengejar dan mereka berdua sudah terlibat
dalam perkelahian pedang yang seru dan matimatian. Sementara itu, Sam-kauwcu atau Ban Kit, Lie Hoat
dan Souw Ban Lip, setelah merobohkan tiga orang
hwesio, kini diserang oleh Siong Li yang sudah
mengamuk dengan pedangnya. Pemuda itu marah
sekali dan merasa menyesal mengapa tadi dia dan
Bwee Hwa terhalang banyak orang sehingga
kedatangan mereka di ruangan itu agak terlambat
dan para penjahat telah merobohkan tiga orang
hwesio dan juga Hartawan Ui. Dia mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya sehingga tiga
orang penjahat itu agak kewalahan dan akhirnya
mereka bertiga berloncatan keluar untuk mencari
tempat yang lebih luas sehingga pengeroyokan
mereka akan lebih leluasa.
Ui Kong juga terkejut melihat ayahnya roboh mandi
darah. Dia mencabut pedangnya dan hendak
menyerang Pek-bin Moko yang telah membunuh
ayahnya, akan tetapi Hek-bin Moko sudah menyerang
dengan pedang sehingga terpaksa dia melayani Iblis
Muka Hitam itu. Ui Kiang tidak memperdulikan mereka yang
bertempur. Dengan bantuan dua orang hwesio yang
berindap-indap menghampiri dengan takut, dia
mengangkat tubuh ayahnya yang mandi darah ke
sebelah dalam kuil. Seorang hwesio tua yang paham
akan ilmu pengobatan berusaha untuk menolong
Hartawan Ui dengan memberi obat kuat untuk
diminumkan, lalu obat untuk menghentikan keluarnya
darah dan membalut lukanya yang parah. Hartawan
Ui belum tewas, akan tetapi keadaannya payah
sekali. Luka di pundak terus ke dada itu cukup dalam.
Napasnya terengah-engah dan dia berada dalam
keadaan tidak sadar. Sementara itu, perkelahian di luar ruangan depan kuil
itu yang kini tampak sepi karena semua pengunjung
telah kabur melarikan diri, masih berlangsung seru.
Melihat betapa gadis baju merah yang menjadi
lawannya itu hebat bukan main memainkan
pedangnya yang mengeluarkan bunyi berdengung
seperti ada banyak lebah mengurungnya, Pek-bin
Moko sengaja bergerak mendekati rekannya, Hek-bin
Moko yang masih bertanding melawan Ui Kong.
Ternyata pemuda she Ui inipun gagah perkasa karena
dia mampu menandingi kehebatan ilmu pedang tokoh
Pek-lian-kauw itu. Yang agak kerepotan malah Siong Li. Biarpun tingkat
kepandaiannya lebih tinggi daripada lawan-lawannya,
akan tetapi karena mereka maju bertiga mengeroyoknya, dan ketiganya memang cukup tangguh,
maka dia kewalahan dan Siong Li terpaksa hanya
dapat memutar pedangnya sehingga gulungan sinar
pedangnya menjadi perisai melindungi seluruh
tubuhnya. Ban Kit yang dulu menjadi ketua agama tingkat tiga
memiliki ilmu pedang yang dasarnya adalah Go-bikiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Go-bi), akan tetapi telah
bercampur dengan ilmu pedang Pek-lian-kauw yang
memiliki gerakan aneh dan curang sehingga cukup
berbahaya. Adapuh Lie Hoat, biarpun lengan kirinya
telah buntung dalam perkelahian melawan Siong Li
dahulu, ternyata tangan kanannya masih ampuh
dengan ilmu silat Kang-jiauw-eng (Garuda Cakar Baja)
masih ampuh sekali, tidak kalah berbahayanya
dibandingkan senjata tajam. Souw Ban Lip juga amat
tangguh dengan goloknya yang lebar dan tipis, amat
tajam. Melihat betapa kawan-kawannya ditandingi orangorang yang tangguh dan tampaknya tidak akan
mudah menang, Pek-bin Moko menjadi khawatir. Dia
khawatir kalau-kalau tugas yang mereka pikul gagal.
Para pimpinan tertinggi Pek-lian-kauw tentu akan
memberi hukuman berat kalau tugas tidak dapat
dilaksanakan dengan hasil baik. Karena itu, paling
penting adalah menyelamatkan patung emas Kwanim Pouwsat yang sudah dikempitnya!
"Hek-te (Adik Hitam), dan tiga orang kawan-kawan,
lawan terus!" katanya dan tiba-tiba dia meloncat jauh
ke depan. Ketika Bwee Hwa mengejarnya dan berseru nyaring,
"Keparat, hendak lari ke mana engkau?"
Tiba-tiba Pek-bin Moko membanting sebuah benda ke
atas tanah. Sebuah ledakan terdengar dan tampak
asap hitam mengepul tebal. Bwee Hwa terkejut dan
cepat melompat ke belakang karena khawatir kalaukalau asap itu beracun. Akan tetapi ternyata tidak dan
ketika ia hendak mengejar, bayangan Pek-bin Moko
telah lenyap. Dengan marah sekali ia lalu memandang ke arah
Hek-bin Moko yang masih bertanding pedang dengan
hebatnya melawan pemuda tampan gagah yang lihai
itu. Ia terkejut ketika melihat betapa dasar gerakan
ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu sama benar
dengan dasar gerakan ilmu pedangnya sendiri. Ia
teringat! Itulah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Sakti) yang juga menjadi dasar dari Sin-hong Kiamsut
(Ilmu Pedang Tawon Sakti) yang sengaja dirangkai
oleh gurunya, Sin-kiam Lojin untuk disesuaikan
dengan gerakan seorang wanita dan diajarkan
kepadanya! Melihat betapa pemuda itu mampu mengimbangi
permainan pedang Iblis Muka Hitam, bahkan mampu
mulai mendesaknya, ia menoleh ke arah Siong Li dan
terkejutlah ia ketika melihat betapa Siong Li yang
dikeroyok tiga oleh lawan-lawannya yang tangguh itu
terdesak hebat dan hanya mampu melindungi diri
saja! Bwee Hwa menjadi marah sekali. Cepat ia
melompat ke arah medan pertempuran itu, tangan
kirinya siap dengan jarum-jarumnya.
"Bangsat-bangsat rendah, mampuslah!" bentaknya
dan ia telah menggerakkan tangan kirinya. Jarumjarum lembut yang mengeluarkan suara berdengung
menyambar ke arah tiga orang yang mengeroyok
Siong Li. Souw Ban Lip dapat menangkis dengan senjata
mereka akan tetapi Lie Hoat yang hanya
mengandalkan tangan kanan yang tak bersenjata, tak
sempat mengelak dan dia roboh terpelanting ketika
ada jarum mengenai pundak dan tengkuknya.
Bwee Hwa mengayun pedangnya dan tewaslah Lie
Hoat! Setelah membunuh Lie Hoat, Bwee Hwa
menyerang Ban Kit yang dulu sempat meloloskan diri.
Ban Kit terkejut dan juga gentar bukan main melihat
kini gadis yang berjuluk Ang-hong-cu (Si Tawon
Merah) itu menyerangnya dengan pedang yang mengeluarkan bunyi seperti ratusan tawon itu. Dia
melawan mati-matian, akan tetapi karena gugup dan
takut, gerakannya menjadi kacau dan pedang di
tangan Bwee Hwa menyambar dari samping.
Lambungnya tersayat dan Ban Kit ter?jungkal roboh
untuk tidak bangun kembali.
Pada saat itu juga, Souw Ban Lip juga roboh oleh
pedang Siong Li. Setelah dia hanya menghadapi
seorang lawan saja, Siong Li yang memang lebih
tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah
mengalahkan Souw Ban Lip. Tiga orang anak buah
Pek-lian-kauw itu tewas semua.
Melihat betapa tiga orang kawannya tewas dan Pekbin Moko sudah melarikan diri sehingga dia tinggal
seorang diri, Hek-bin Moko menjadi gentar dan diapun
ingin melarikan diri. Dia sudah mengeluarkan sebuah
alat peledak dan siap membanting alat peledak yang
menimbulkan asap tebal itu. Akan tetapi sekali ini
Bwee Hwa telah waspada karena tadi ia telah tertipu
oleh Pek-bin Moko dengan alat peledak itu sehingga
ia kehilangan lawannya yang menggunakan akal licik.
Kini ia telah siap siaga, maka begitu Hek-bin Moko
mengambil sesuatu dari kantung jubahnya, ia
mendahuluinya dan begitu tangan kirinya bergerak,
sinar sinar lembut meluncur ke arah tubuh Hek-bin
Moko. Pendeta atau anggauta pimpinan cabang Peklian-kauw itu tidak menduga akan diserang dengan
senjata rahasia yang meluncur demikian cepatnya.
Beberapa batang Hong-cu-ciam (Jarum Tawon)
mengenai tenggorokan, dada dan perutnya dan
robohlah Hek-bin Moko. Alat peledak itupun ikut
terbanting dan terdengarlah ledakan dibarengi asap
tebal mengepul. Akan tetapi setelah asap itu
membuyar, tampak tubuh Hek-bin Moko terbujur
kaku karena sudah tewas. Siong Li menhampiri, menyingkap jubahnya dan di
bawah jubah itu tampak lukisan setangkai bunga
teratai putih di bajunya yang putih, yang
membuktikan bahwa dia adalah seorang pimpinan
Pek-lian-kauw. Tiba-tiba Ui Kong berseru, "Ayah......!"
Dan tanpa memperdulikan Bwee Hwa dan Siong Li,
dia melompat dan berlari memasuki kuil yang telah
kosong dan sepi itu. Siong Li memberi isyarat kepada Bwee Hwa dan
keduanya juga lari memasuki kuil karena tadi Siong Li
juga melihat robohnya Hartawan Ui.
Ketika Siong Li dan Bwee Hwa memasuki ruangan
dalam kuil itu, mereka melihat laki-laki berusia
limapuluh tahun itu menggeletak di atas dipan.
Bajunya telah ditanggalkan dan tampak pundak dan
dadanya dibalut kain putih. Laki laki ini adalah Ui Cun
Lee yang telah dikenal Siong Li. Ui Kiang duduk di atas
bangku dekat dipan dan Ui Kong yang baru datang
berlutut di dekat dipan. Seorang hwesio kurus tua
duduk di atas sebuah kursi.
"Ayah?"!" Ui Kong berseru, lalu dia memegang lengan
kakaknya. "Kiang-ko, bagaimana keadaan ayah kita?"
Ui Kiang memandang adiknya dan menghela napas
dengan wajah sedih. "En-tahlah, Kong-te, lo-suhu ini
sudah berusaha mengobatinya, akan tetapi lukanya
amat parah dan dia mengeluarkan banyak darah?""
Ui Kong lalu bangkit berdiri dan menjatuhkan dirinya
berlutut di depan hwesio tua itu. "Lo-suhu, tolonglah
ayah kami. Obati dan sembuhkan dia, lo-suhu......!"
"Omitohud, siapa yang tidak akan suka menolong Uiwangwe ( Hartawan Ui) yang terkenal bijaksana dan
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dermawan" Pinceng (saya) sudah berusaha semampunya, akan tetapi semua hasilnya terserah
kepada Yang Maha Kuasa, Omi?tohud!" kata pendeta
itu sambil merangkap kedua tangan di depan
dadanya. Pada saat itu, Hartawan Ui bergerak membuka
matanya dan mengeluh panjang.
"Ayah?"!" Ui Kiang dan Ui Kong berseru, mendekati
ayah mereka. Akan tetapi Ui Cun Lee mencari-cari
dengan pandang matanya, lalu bertanya, suaranya
lemah. "Mana ia......." Mana Lim Bwee Hwa.......?"
Kedua orang kakak beradik itu bingung karena
mereka sendiri tidak tahu di mana gadis yang
ditanyakan ayah mereka itu. Akan tetapi mendengar
pertanyaan ini, Siong Li segera menarik tangan, Bwee
Hwa untuk maju menghampiri pembaringan dan
berkata. "Paman Ui, inilah nona Lim Bwee Hwa!"
Ui Kiang dan Ui Kong menoleh dan terbelalak
memandang gadis berpakaian merah yang tadi
mereka lihat membela mereka dengan gagah
perkasa. Mereka lalu bangkit dan memberi ruang
kepada Siong Li dan Bwee Hwa. Gadis itu mera?sa
terharu dan iba kepada Ui Cun Lee. Ia maju dan
berlutut di dekat pemba?ringan sambil berkata.
"Paman, sayalah Lim Bwee Hwa dan maafkan bahwa
saya terlambat menolong paman tadi."
Hartawan Ui melebarkan matanya untuk dapat
memandang gadis itu lebih jelas. Lalu dia tampak
tersenyum girang. "Hemmm, engkau cantik seperti
ibumu dan seperti ayahmu! Aku.......aku senang........."
Hartawan Ui itu terengah-engah, lalu menoleh kepada
anak-anaknya. ".......Kiang-ji dan Kong-ji......."
"Ya, ayah." Kedua orang pemuda itupun berlutut tak
jauh dari Bwee Hwa. ?"" katakan....... siapa di antara?" kalian?" yang
setuju?"?" "Saya siap melaksanakan perintah ayah," kata Ui
Kiang. "Aku setuju, ayah!" kata Ui Kong.
Biarpun dengan lemas, lemah dan napas terengahengah, Hartawan Ui tertawa sehingga dia terbatukbatuk. "Ha-ha...... ugh-ugh-ugh?" kalian selalu
berebut?" sekarang, kuserahkan keputusannya?"
kepadamu, Bwee Hwa....... Engkau kuterima......
menjadi mantuku....... dan engkau berhak....... memilih
di antara...... kedua...... putera...... ku...... i...... ni......."
Hartawan Ui terkulai, matanya terpejam dan
napasnya berhenti. "Ayah......!!" Ui Kiang dan Ui Kong menubruk ayah
mereka, mengguncang tubuh itu, akan tetapi Ui Cun
Lee telah mati. Ui Kiang menangis seperti anak kecil. Ui Kong tadinya
juga menangis, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia
bangkit berdiri, mencabut pedangnya dan sambil
mengacungkan pedangnya ke atas, dia berkata
dengan suara bergetar penuh kemarahan dan
dendam. "Aku Ui Kong, bersumpah, tidak akan berhenti
sebelum dapat membalas dendam kematian ayahku.
Akan kubunuh jahanam bermuka putih itu dan koncokonconya!!" Mendengar ucapan yang lantang ini, Ui Kiang juga
berdiri dan merangkul adiknya. Dia mengusap air
matanya dan berkata kepada adiknya. "Kong-te,
te?nanglah. Yang terpenting sekarang kita bawa
pulang jenazah ayah dan mengurus pemakamannya
baik-baik." Siong Li yang merasa kasihan kepada kakak beradik
ini lalu berkata, "Jiwi Ui-kongcu (kedua tuan muda Ui),
perkenalkan, nona ini adalah Nona Lim Bwee Hwa
dan aku sendiri bernama Ong Siong Li, seorang
sahabat yang ikut merasa berduka atas musibah yang
menimpa keluarga ji-wi (anda berdua)."
Empat orang itu saling memberi hormat dengan
nnengangkat kedua tangan depan dada.
"Perkenalkan, aku bernama Ui Kiang dan ini adalah
adikku Ui Kong. Kami berdua mengucapkan terima
kasih atas bantuan Nona Lim Bwee Hwa dan saudara
Ong Siong Li yang ikut menghadapi lima orang
penjahat tadi." Bwee Hwa merasa tidak enak kalau berdiam diri saja.
Memang pada dasarnya ia seorang gadis yang bebas
dan tidak malu-malu, maka iapun berkata, "Apa yang
dikatakan Ui toa-kongcu (tuan muda pertama Ui) tadi
memang benar sekali. Ui ji-kongcu (tuan muda kedua
Ui) harap tenang dan bersabar. Memang, penjahat
muka putih yang lolos itu, yang menurut keterangan
Li-ko adalah Pek-bin Moko, harus dikejar dan bersama
teman-temannya harus dibasmi. Percayalah, aku dan
Li-ko siap membantu untuk membalas kematian
Paman Ui dan juga untuk merebut kembali patung
Kwan-im Pouwsat dari kuil ini."
Dua orang kakak beradik Ui itu memandang dan
mendengarkan ucapan Bwee Hwa. Keduanya merasa
kagum bukan main. Gadis yang "dijodohkan" dengan
seorang di antara mereka itu benar-benar hebat.
Cantik jelita, gagah perkasa, dan juga cerdik dan
pandai bicara, tidak malu-malu seperti gadis biasa.
Sungguh jauh melampaui perkiraan mereka!
"Aku protes, nona! Sungguh tidak enak dan terasa
asing mendengar engkau menyebut kami dengan
sebutan Ui toa-kongcu dan Ui ji-kongcu, juga
mendengar saudara Ong Siong Li menyebut kami
kongcu (tuan muda). Bukankah di antara kita terdapat
hubungan dekat" Apalagi setelah kita bersama-sama
melawan lima orang penjahat tadi. Nona, tidakkah
sudah sepantasnya kalau engkau menyebut kakakku
ini cukup dengan Kiang-ko (kakak Kiang) dan
menyebut aku dengan Kong-ko (kakak Kong) saja,
sedangkan kami menyebutmu dengan Hwa-moi (adik
Hwa)?" Bwee Hwa tersenyum dan mengangguk. "Begitupun
baik dan boleh saja, Kong-ko."
"Bagus!" kata Ui Kong. "Terima kasih, Hwa-moi. Dan
engkau, saudara Ong Siong Li. Engkaupun kami
anggap sebagai sahabat baik sendiri, maka sudah
sepatutnya kita saling memanggil seperti saudara,
menurut banyaknya usia masing-masing. Berapa
usiamu sekarang?" Siong Li juga tersenyum. Dia menyukai sikap
keterbukaan Ui Kong yang tampak jujur dan yang dia
tahu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup lihai
itu. "Usiaku sekarang duapuluh dua tahun," jawabnya.
"Wah, kalau begitu, di antara kita bertiga, Kiang-ko
yang paling tua, kemudian engkau, dan yang paling
muda adalah aku. Jadi aku harus menyebutmu Li-ko
(kakak Li). Nah, sekarang kita seperti keluarga sendiri
dan kami ingin sekali mengetahui riwayat kalian
masing-masing," kata Ui Kong.
"Kong-te, kurasa hal itu akan terlalu panjang dan
makan waktu untuk dibicara?kan. Padahal, yang
terpenting sekarang adalah membawa jenazah ayah
pulang dan mengurus pemakamannya. Biarlah kelak
kalau semua pengurusan jenazah beres, kita sambung
lagi pembicaraan ini."
"Tepat sekali apa yang dikatakan Kiang-ko itu, Kongte!" kata Siong Li yang merasa kagum kepada putera
pertama Hartawan Ui yang bijaksana.
"Akupun setuju!" kata Bwee Hwa. "Mari kita atur
untuk membawa pulang jenazah Paman Ui, Kiang-ko
dan Kong-ko!" Dengan bantuan para hwesio Kuil Ban-hok-si, jenazah
Ui Cun Lee dinaikkan ke atas kereta keluarga Ui yang
masih berada di luar pekarangan. Jenazah itu diangkut
ke kota Ki-lok, dikawal oleh empat orang muda itu.
Adapun para hwesio Kuil Ban-hok-si sibuk
menguburkan empat orang mayat para penjahat
yang tewas dalam pertempuran tadi.
Selama upacara kematian sampai ke pemakaman
yang makan waktu tiga hari tiga malam, di mana
seluruh penduduk kota Ui Cun Lee datang melayat.
Bwee Hwa dan Siong Li mendapatkan masing-masing
sebuah kamar di rumah gedung keluarga Ui yang kini
hanya tinggal Ui Kiang dan Ui Kong berdua.
Setelah upacara pemakaman selesai dan jenasah Ui
Cun Lee dimakamkan di tanah kuburan di luar kota
Ki-lok yang jaraknya belasan lie (mil) dari kota itu,
kakak beradik Ui itu mengajak Bwee Hwa dan Siong
Li bicara di ruangan depan rumah gedung mereka.
Melihat wajah kedua orang kakak beradik itu muram,
Bwee Hwa merasa iba dan setelah mereka duduk
mengelilingi sebuah meja besar sambil minum teh
yang disuguhkan pelayan, ia berkata. "Kiang-ko dan
Kong-ko, aku sungguh ikut merasa berduka cita atas
kematian ayah kalian."
"Hemm, aku pasti akan membalas dendam kepada
mereka, setelah jenazah ayah dimakamkan!" kata Ui
Kong dengan gemas. "Sudahlah, Hwa-moi, hal itu sudah berlalu. Setiap
kematian memang menda-tangkan duka, akan tetapi
setiap kematianpun adalah takdir manusia yang tak
dapat dihindarkan. Kita tidak boleh terlalu tenggelam
dalam duka. Sekarang, mari kita lanjutkan perakapan
kita tempo hari dengan menceritakan riwayat masingmasing agar perkenalan di antara kita lebih akrab,"
kata Ui Kiang. "ltu benar!" kata Ui Kong. "Kita mulai dari riwayatmu,
Hwa-moi. Aku tertarik sekali melihat permainan
pedangmu karena kalau tidak salah, permainan
pedangmu itu memiliki dasar yang sama dengan ilmu
pedangku. Dari manakah engkau mempelajari ilmu
pedangmu itu?" "Aku sendiripun heran melihat engkau memainkan
pedangmu, Kong-ko, karena akupun melihat
persamaan dasar ilmu pedang kita. Bahkan aku dapat
menduga, kalau tidak salah ilmu pedangmu itu adalah
Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), bukan?"
"Wah, tepat sekali! Eh, Hwa-moi, cepat katakan, siapa
yang mengajarmu ilmu pedang itu" Aku sudah ingin
sekali mendengarnya!" kata Ui Kong.
"Yang mengajarkan adalah Sin-kiam Lojin (Orang Tua
Pedang Sakti)," kata Bwee Hwa.
"Sin-kiam Lojin dari Heng-san" Dia itu adalah Toasuhengku (kakak sepergu-ruan tertua)! Bahkan dia
yang mengajarku, mewakili mendiang suhu Pek-mau
Sanjin (Manusia Gunung Rambut Putih). Jadi, biarpun
kedudukannya sebagai kakak seperguruanku,
sebenarnya dia itu guruku juga," seru Ui Kong girang.
"Kalau begitu, engkau masih suhengku (kakak
seperguruanku) sendiri, Kong-ko!" kata Bwee Hwa
gembira. "Hemm, kalau melihat kedudukan kalian, Kong-te
adalah susiok-mu (paman seperguruanmu), Hwa-moi.
Engkau adalah keponakan muridnya," kata Ui Kiang.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Persaingan Jodoh kakak Beradik
Diam-diam Siong Li mendengarkan dengan hati risau.
Tampak benar bahwa ka?kak dan adiknya itu seolah
bersaing untuk memperebutkan hati Bwee Hwa!
"Riwayatmu telah kami dengar dari mendiang ayah
seperti yang diceritakan Li-te (adik Li) ini kepadanya,
Hwa-moi. Dan engkaupun tentu sedikit banyak sudah
mendengar cerita Li-te tentang keluarga kami seperti
diceritakan mendiang ayah kepadanya. Nah, sekarang
kami ingin mendengar tentang riwayatmu, Li-te.
Bukankah engkaupun sekarang telah menjadi sahabat
kami?" kata Ui Kiang lebih lanjut.
Siong Li tersenyum. "Wah, sebenarnya tidak ada
sesuatu yang menarik untuk diceritakan tentang
diriku." "Aih, hayolah, Li-ko. Berceritalah! Semenjak aku
mengenalmu, beberapa bulan yang lalu sampai
sekarang, engkau tidak pernah menceritakan tentang
asal usulmu kepadaku. Engkau tidak ingin
merahasiakan dirimu dari kami semua, bukan?" kata
Bwee Hwa. Ong Siong Li menghela napas panjang. "Baiklah, akan
kuceritakan tentang diriku yang tidak menarik ini."
"Tidak menarik?" bantah Bwee Hwa. "Kiang-ko dan
terutama engkau, Kong-ko. Ketahuilah bahwa di dunia
kang-ouw kakak Ong Siong Li ini terkenal dengan
julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu)!"
"Eh" Kenapa julukannya begitu aneh" Kulihat Li-te
tidak bertanduk, kenapa pakai julukan Naga
Bertanduk Satu?" tanya Ui Kiang dengan heran.
"Wah, pernah aku mendengar julukan itu! Menurut
kabar yang pernah kudengar, adalah seorang tokoh
Thai-san-pai yang lihai" Benarkah itu, Li-ko?" kata Ui
Kong. Siong Li tersenyum. "Untuk menjawab pertanyaan
Kiang-ko tadi, mungkin yang dimaksudkan orangorang yang memberi julukan Naga Bertanduk Satu
kepadaku, yang dimaksudkan dengan tanduk itu
adalah pedangku ini. Dan apa yang kaudengar itu,
Kong-te, memang benar. Aku adalah seorang murid
Thai-san-pai (Aliran Persilatan Thai-san)."
"Kiang-ko dan Kong-ko, biarkan Li-ko menceritakan
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentang asal usulnya dari semula, tidak dipotongpotong begitu!" cela Bwee Hwa.
Ong Siong Li lalu terpaksa menceritakan tentang
dirinya. "Dia berasal dari sebuah dusun di kaki pegunungan
Thai-san sebelah timur, yaitu dusun Ban-ki-cung.
Ketika dia berusia sekitar lima tahun, dusun Ban-kicung dilanda wabah yang amat ganas. Hampir
separuh penduduk dusun itu, berjumlah ratusan orang
tewas karena penyakit menular yang ganas. Untung
bahwa pada saat wabah itu mengganas, kebetulan
Cheng-han Tojin, seorang pertapa yang menjadi ketua
dari Thai-san-pai di Thai-san yang sakti dan pandai
ilmu pengobatan, lewat di dusun itu. Biarpun dia
hanya seorang diri dan kebetulan saja lewat di situ,
namun melihat penderitaan rakyat, Cheng-han Tojin
bekerja keras dan cepat bertindak.
Setelah memeriksa dan mengetahui jelas jenis wabah
penyakitnya, dia lalu mencari akar-akar dan daundaun obat, kemudian dia mengobati mereka dan
ratusan orang dapat diselamatkan. Betapapun juga,
sudah ratusan orang mati, termasuk ayah dan ibu
Ong Siong Li. Melihat keadaan anak itu, Cheng-han Tojin merasa
kasihan dan dia lalu membawa Siong Li ke Thai-san.
Di Thai-san dia dan murid-murid tertuanya
menggembleng Siong Li dengan ilmu-ilmu silat Thaisan-pai, juga mengajari ilmu membaca menulis.
Cheng-han Tojin sendiri yang lebih banyak duduk
diam bersamadhi, lebih banyak mengajarkan tentang
filsafat, budi pekerti dan keagamaan kepada Siong Li.
Setelah berusia duapuluh tahun dan menjadi seorang
pemuda dewasa, Cheng-han Tojin yang seolah
merupakan pengganti orang tuanya, menyuruh dia
turun gunung untuk merantau dan mencari
pengalaman. Dalam waktu hampir setahun saja Siong
Li telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah
perkasa, menentang penjahat-penjahat besar
sehingga dia memperoleh julukan It-kak-liong (Naga
Tanduk Sakti). Ketika perkumpulan Hwe-coa-kauw merajalela di Title, Siong Li bersama beberapa orang suhengnya dan
para pendekar dari aliran lain, bersatu menentang
perkumpulan sesat yang amat kuat itu dan akhirnya
setelah terjadi pertempuran besar, para pendekar
dapat membasmi sarang Hwe-coa-kauw di Title. Akan
tetapi seorang suheng dari Siong Li tewas dalam
pertempuran itu. Hal ini membuat pemuda itu sakit
hati dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan
dalam perjalanan ini dia bertemu dengan Bwee Hwa
dan bersama-sama membasmi sisa-sisa anggauta
Hwe-coa-kauw." "Nah, demikianlah riwayat hidupku. Tidak ada yang
menarik," Siong Li meng-akhiri ceritanya.
"Menarik sekali, Li-ko. Ternyata engkau seorang
pendekar sejati, aku kagum sekali padamu!" kata Ui
Kong. "Dan bagaimana engkau dapat menjadi suheng.......
eh, susiok dari Hwa-moi, Kong-te?" tanya Siong Li.
"Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan
ketika aku berusia sepuluh tahun, secara kebetulan
aku bertemu dengan Pek-mau Sanjin (Orang Gunung
Rambut Putih). Karena aku melihat dia melompati
sebuah jurang di luar kota, aku lalu mohon menjadi
muridnya. Dia mengunjungi ayah dan setelah
berbicara, ayah mengijinkan aku belajar silat dari Pekmau Sanjin. Aku lalu diajak ke ru?mahnya yang
berada di puncak Bukit Cemara. Di sana aku
digembleng ilmu silat. Akan tetapi karena suhu Pekmau Sanjin sudah tua renta, aku lalu dilatih oleh dua
orang muridnya, yaitu Sin-kiam Lojin dan Beng-san
Cinjin. Suhu meninggal dua tahun kemudian dan
setelah toa-suheng Sin-kiam Lojin pindah ke Hengsan, aku selanjutnya dilatih oleh ji-suheng (kakak
seperguruan kedua) Beng-san Cinjin. Setelah tamat
belajar aku pulang."
"Hemm, menarik juga ceritamu," puji Siong Li.
"Yang lebih menarik lagi ternyata kita semua ini
orang-orang yatim piatu, tidak punya ayah ibu lagi,"
kata Bwee Hwa. Ucapan wajar ini ternyata bagi Ui Kiang yang amat
perasa dan peka merupakan tikaman pada
jantungnya. Tak tertahankan lagi dia menutupi
mukanya dengan kedua tangan. Walaupun dia
menahan isak tangisnya, namun kedua pundaknya
bergoyang-goyang dan ada juga air mata menetes
dari celah-celah jari tangannya.
Sejak perkenalan pertama, Bwee Hwa merasa
kasihan kepada Ui Kiang. Ia tahu bahwa Ui Kiang
tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia seorang
sastrawan, juga seniman. Wataknya yang lembut,
sikapnya yang penuh sopan santun, perasaannya
yang peka mendatangkan rasa kagum tersendiri
dalam hatinya. Melihat keadaan pemuda itu demikian terpukul oleh
ucapannya, Bwee Hwa me?nyadari kesalahannya. Ia
teringat bahwa kakak beradik Ui itu baru saja
beberapa hari kehilangan ayah mereka. Maka iapun
segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ui
Kiang dan menyentuh pundak pemuda itu.
"Kiang-ko, ah, maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak
bermaksud menyakiti ha-timu, Kiang-ko."
Mendengar ucapan gadis ini dan merasakan sentuhan
pada pundaknya, Ui Kiang cepat mengeluarkan
saputangan dan menghapus air matanya sampai
bersih, lalu berusaha tersenyum dan memandang
kepada Bwee Hwa. "Terima kasih, Hwa-moi. Tidak ada yang perlu
dimaafkan. Akulah yang harus minta maaf karena
aku terlampau cengeng. Engkau benar dengan katakatamu tadi, kita semua ini yatim piatu. Setidaknya
kebersamaan ini mengurangi rasa sakit di hati karena
mendapat sahabat senasib sependeritaan."
Bwee Hwa tersenyum girang dapat menghibur hati Ui
Kiang dan ia duduk di atas kursinya.
Ui Kong bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal.
"Kiang-ko, jangan bersedih. Hari ini juga aku akan
berangkat mencari musuh besar kita, pembunuh ayah
kita! Baik-baiklah saja di rumah, aku tidak akan
kembali sebelum berhasil membunuh Pek-bin Moko
itu!" Siong Li kembali merasa cemas. Dia tahu bahwa
secara diam-diam kedua orang kakak beradik Ui itu
sedang bersaing untuk menjadi suami Bwee Hwa. Dia
dapat melihat api cemburu bersinar di mata Ui Kong
melihat sikap lembut Bwee Hwa terhadap kakaknya
tadi! Maka diapun cepat berkata kepada Ui Kong yang
masih berdiri. "Kong-te, kuharap engkau suka tenang dan bersabar.
Silakan duduk. Ketahuilah bahwa Hwa-moi dan aku
sendiri sudah mengambil keputusan untuk
mem?bantumu mencari Pek-bin Moko dan kawankawannya, selain untuk membalas kematian Paman
Ui, juga untuk merampas kembali patung Dewi Kwan
Im dari Kuil Bak-hok-si."
"Benar, Kong-ko. Duduklah dan mari kita rundingkan
dulu bagaimana baiknya," Bwee Hwa ikut membujuk
Ui Kong yang masih berdiri dengan muka merah dan
tangan terkepal. Mendengar bujukan Bwee Hwa ini, Ui Kong lalu duduk
kembali dan dia berkata, "Akan tetapi apalagi perlu
dirundingkan" Kita pergi saja sekarang juga dan
melakukan pengejaran dan pencarian, habis perkara,"
kata Ui Kong yang masih belum hilang kemarahannya
karena teringat kepada Pek-bin Moko yang telah
membunuh ayahnya. "Ingat, Kong-te, musuh kita tidak boleh dipandang
rendah. Engkau menyaksikan sendiri bahwa Hek-bin
Moko yang tewas itu adalah seorang tokoh Pek-liankauw, jelas tampak dari pakaian sebelah dalam, di
mana terdapat gambar teratai putih. Tentu
pasangannya, Pek-bin Moko juga seorang tokoh Peklian-kauw. Jadi yang kita hadapi bukan perorangan,
melainkan perkumpulan pemberontak golongan sesat
itu. Tiga orang anak buah yang tewas itupun
merupakan anggauta gerombolan sesat, yang seorang
tokoh Hwee-coa-kauw dan yang dua orang lagi bekas
anak buah Kauw-jiu Pek-wan. Agaknya mereka
bertiga sudah mengga?bungkan diri dengan Pek-liankauw." "Nah, kalau begitu kita cari sarang Pek-lian-kauw dan
kita basmi mereka!" kata Ui Kong.
"Maaf, Kong-te. Agaknya engkau belum mempunyai
banyak pengalaman di dunia kang-ouw. Tahukah
engkau di mana sarang pusat perkumpulan Pek-liankauw itu?" tanya Siong Li.
Ui Kong menggeleng kepalanya. "Akan tetapi kita
dapat mencari keterangan sampai dapat menemukan
sarang mereka!" "Tidak perlu susah mencarinya. Pusat Pek-lian-kauw
berada di Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei."
"Kalau begitu sekarang juga kita pergi ke sana!"
"Ucapanmu itu membuktikan bahwa engkau sama
sekali tidak mengenal Pek-lian-kauw, Kong-te.
Ketahuilah, perkumpulan itu pada pusatnya sana
teramat kuat. Mereka menduduki daerah Pegunungan
Teratai di Propinsi Ho-pei sebelah selatan sampai
Mayat Hidup 2 Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai Celebrity Wedding 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama