Ceritasilat Novel Online

Tembok Besar 1

Tembok Besar Karya Unknown Bagian 1


Tembok besar, laksaan li panjangnya Megah, kokoh
kuat, agung dan jaya Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia Kaulah sebuah di
antara jutaan batu Kecil bentuknya namun besarjasanya Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh
mata, Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah
lupa, Namun tembok ini menjadi saksi utama Bahwa
Bab 01..... Sungai Yang-ce yang amat terkenal sebagai sungai terbesar dan terpanjang sesudah Huang-ho di
Tiongkok, mendapat tambahan air dari banyak anak sungai yang cukup besar. Di antara anak
sungai yang mengalir masuk ke induk sungai Yang-ce ini, yang terbanyak terdapat di propinsi
Secuan selatan, di sebelah barat kota Cungking.
Memang tak terhitung banyaknya anak-anak sungai yang mengalir masuk dan membonceng
aliran sungai Yang-ce untuk bergerak maju ke tujuan terakhir yakni laut luas di sebelah timur
daratan Tiongkok. Akan tetapi yang penting untuk disebutkan di sini hanyalah yang besarbesar
saja, seperti Bu Kiang, Beng Kiang dan Cialing.
Sungai Cialing inilah yang paling menarik, dan sebelum memasuki sungai induk Yang-ce,
sungai inipun telah menerima aliran sungai-sungai kecil lain. Sumber dari sungai Cialing ini
datang dari Beng-san. Amat indah tamasya alam di sepanjang lembah sungai Cialing, sungai yang mengalir
berlenggak-lenggok laksana ular melalui gunung-gunung ini. Sungai Cialing banyak melalui
hutan-hutan dan gunung-gunung yang masih liar, tempat-tempat yang masih bersih daripada
sentuhan kaki manusia yang kotor.
Lembah sungai Cialing diperbatasan propinsi Secuan dan Shensi amat subur tanahnya, maka tidak
mengherankan apabila di sekitar lembah itu banyak terdapat desa-desa yang padat oleh penduduk
yang hidup bertani. Banyak pula yang mengandalkan makan sehari-hari dengan pekerjaan
nelayan, karena memang sudah terkenal bahwa sungai Cialing mengandung banyak sekali ikan
yang besar-besar dan enak dimakan.
Dusun Tai-kun-an terpencil dan berada di ujung utara dari dusun-dusun lain, akan tetapi dusun ini
terkenal paling ramai dan tanahnya paling subur. Banyak sekali orang-orang dari dusun-dusun
lain di sebelah selatan datang berdagang di dusun ini. Hanya di sebelah selatan Tai-kun-an saja
terdapat dusun-dusun lain. Oleh karena di bagian utara, tidak terdapat tempat tinggal manusia
lain. Bagian utara dusun itu penuh dengan hutan-hutan belukar yang amat liar dan penuh binatang
jahat. Orang-orang dusun yang mempunyai keperluan di hutan itu, mencari kayu bakar atau
buah-buahan, ataupun memburu binatang, hanya berani masuk sejauh satu dua li di dalam hutan
itu. Inipun kalau mereka berkawan, karena seorang diri saja memasuki hutan itu, biarpun hanya
satu li jauhnya, merupakan bahaya besar dan perbuatan yang amat bodoh.
Pada masa itu, yang menjadi kaisar di Tiongkok adalah kaisar Yang Te, putera dari mendiang
kaisar Bun Te. Kaisar Yang Te terkenal sebagai seorang kaisar lalim yang amat kejam, akan
tetapi yang pandai menyembunyikan kejahatan wataknya itu dibalik kata-kata halus, puji sanjung
kepada para pembesar kaki tangannya, dan biarpun kaisar Yang Te telah melakukan
perbuatan-perbuatan yang amat mencekik rakyat jelata, namun ia didipuji-puji sebagai seorang
kaisar yang cerd Hanya "orang dalam" saja yang mengetahui betapa kaisar Yang Te adalah seorang yang selalu
dimabok kesenangan, pelesir dengan wanita cantik, dan yang tidak segan-segan untuk melakukan
perbuatan terkutuk demi untuk mencapai kepuasan hawa nafsunya. Sekali saja matanya yang
berminyak itu melirik wajah seorang wanita cantik yang mendebarkan jantungnya yang penuh
nafsu berahi, maka tidak peduli wanita itu puteri seorang bangsawan, ataupun isteri seorang
pejabat tinggi, sepuluh bagian (seratus persen) wanita itu pada keesokan harinya pasti telah
berada di dalam haremnya (tempat ia mengumpulkan wanitawanita).
Kasihanlah wanita-wanita itu, baik ia masih gadis maupun sudah bersuami bahkan telah menjadi
ibu, karena sekali ia telah masuk ke dalam kamar yang indah sekali itu, jangan harap ia akan
dapat keluar lagi sebelum sang kaisar merasa bosan mempermainkannya. Kalau sang kaisar
sudah bosan, ia boleh pergi, persetan, dan yang lebih hebat lagi, ia akan dioperkan kepada para
perajurit pengawal pribadi kaisar sebagai hadiah, seakan-akan seorang tuan melemparkan
tulang-tulang yang sudah digerogoti habis daging-dagingnya kepada anjinganjing penjaga rumadan hartany
Akan tetapi, lebih kasihan lagi adalah orang-orang tua, suami dan anak-anak yang ditinggalkan
oleh wanita-wanita itu. Mereka hanya dapat menangis, itupun tidak berani keraskeras, menyesali nasib sendiri karena secara kebetulan orang-orang yang mereka cintai itu
telah menjadi pilihan "Putera Tuhan".
Memang, Yang Te ataupun kaisar-kaisar yang sebelum dia menjadi dipertuan, dianggap sebagai
manusia penjelmaan dewata agung yang menjadi pilihan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, benar
atau salah, seorang putera Tuhan tak boleh dipersalahkan. Seolah-olah bahwa tindakan kaisar
Yang Te telah mendapat "persetujuan sepenuhnya" daripada Thian yang Maha Kuasa.
Tidak akan ada habisnya apabila sepak terjang daripada kaisar lalim ini dituturkan.Pendeknya,
kaisar ini adalah seorang yang mata keranjang, tukang pelesir, pandai bicara untuk menutupi
kejahatannya, dan tidak ragu-ragu untuk melakukan penindasan kepada rakyat jelata demi
memuaskan nafsu hatinya. Di sini perlu diceritakan usaha-usahanya yang mencekik leher rakyat,
akan tetapi yang karena pandainya membuat namanya menjadi terkenal sebagai seorang kaisar
yang agung dan cakap. Ia memerintahkan pembangunan kota Lok Yang, mendatangkan pekerja-pekerja paksa yang
ratusan ribu banyaknya. Orang-orang yang bernasib malang ini diambil dengan paksa oleh para
serdadu-serdadunya, dan dipaksa bekerja sampai mati.
Setiap hari, nampak kereta-kereta yang penuh dengan mayat-mayat para pekerja itu didorong
pergi oleh serdadu-serdadu di atas jalan-jalan raya di sekitar Lok Yang. Juga kaisar Yang Te
memerintahkan untuk menggali dan memperdalam saluran air besar bahkan menyambungnya
sampai beratus li panjangnya. Untuk pekerjaan ini, menurut catatan ahli sejarah, lebih dari dua
juta orang rakyat dikerahkan dan entah berapa puluh ribu orang yang mati dalam melakukan tugas
ini. Juga jutaan manusia dipekerjakan seperti kerbau, bahkan lebih hebat dari pada kerbau, untuk
memperbaiki Tembok Besar. Kalau orang mempergunakan kerbau untuk bekerja, sedikitnya
orang itu masih ingat untuk memberi rumput kepada binatang ini.
Akan tetapi kaisar Yang Te memaksa orang-orang yang jutaan banyaknya itu untuk bekerja
tanpa mau mengeluarkan uang atau ransom untuk memberi makan mereka. Satu-satunya
hiburan bagi para pekerja adalah kata-kata muluk yang diumumkan oleh Kaisar Yang Te,
bahkan semua pekerjaan itu tidaklah sia-sia, bahwa tenaga rakyat itu dipekerjakan untuk
maksud mulia, untuk pembangunan, untuk pertahanan Negara, dan lain-lain bujukan halus lagi.
Dikatakan dalam maklumat kaisar, bahwa para pekerja yang ikut menyumbangkan tenaganya itu,
dianggap sebagai patriot yang berjasa dan kelak apabila telah meninggal dunia, tentu akan terbuka
pintu sorga untuknya. Selain pekerjaan-pekerjaan yang hebat ini, juga kaisar Yang Te paling doyan perang, atau lebih
tegas lagi, paling suka menyerang negara-negara tetangga. Ketika kaisar ini menyerang Korea, ia
telah memaksa pula kepada rakyat jelata untuk membantu, membangun ribuan kapal,
mengangkut perlengkapan dan lain-lain sehingga tidak terhitunglah jumlahnya rakyat yang mati
karena pekerjaan yang maha berat ini.
Untuk semua pekerjaan in, makin lama karena banyaknya rakyat yang tewas, maka kekurangan
tenagalah balatentara kaisar yang mau tahu enaknya saja itu. Pekerjaan-pekerjaan
berat harus dilakukan oleh rakyat, dan semboyan para serdadu ini ialah bahwa mereka ini
berjuang untuk rakyat, maka sudah sepatutnyalah kalau rakyat membantu mereka
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan "kasar" itu.
Akan tetapi, apakah bukti kebecusan serdadu-serdadu yang sudah ketularan mulut manis dari
kaisar Yang Te ini" Telah berkali-kali Korea diserang, namun selalu balatentara Kaisar dipukul
mundur. Karena makin lama makin banyak dibutuhkan pekerja-pekerja paksa, maka dibentuklah
barisan-barisan "pengumpul tenaga rakyat" yang mempunyai cabang dimana-mana. Tentu saja
yang mengerjakan pengumpulan ini adalah serdadu-serdadu kaisar.
Dan di dalam pekerjaan ini, kembali para serdadu itu mendapat kesempatan yang amat baik
untuk memuaskan nafsu jahat ataupun mengisi penuh kantong sendiri. Mudah saja akal mereka.
Melihat perempuan cantik dan hati tertarik " Ah, mudah saja.
Kalau perempuan itu masih gadis, ayahnya lalu didatangi dan ditakut-takuti untuk ditarik sebagai
pekerja paksa, dan tentu saja kalau si ayah mau menyerahkan anak gadisnya, ayah ini akan bebas.
Bagaimana kalau wanita itu sudah bersuami" Ah, masih ada jalan. Suaminyalah yang diancam
akan ditarik, dan bukan hal yang tidak mungkin apabila si isteri ini rela berkurban asalkan
suaminya jangan dibawa. Suami dibawa berarti perpisahan selama hidup. Bagaimana si suami"
Ingin mengisi kantong sepadat-padatnya" Lebih mudah lagi. Datangi saja hartawan-hartawan dan
dengan ancaman "kerja paksa", hartawan-hartawan akan mengurangi simpanan emas dan
peraknya untuk dipergunakan sebagai uang sogok. Siapa yang celaka "
Rakyat jelatalah. Terutama mereka yang tidak punya apa-apa kecuali sepasang lengan dan
sepasang kaki yang kuat, karena bagaikan kerbau-kerbau hutan mereka ini akan ditangkap, diikat
hidungnya dan diseret ke tempat "pembangunan besar" Tangis dan keluh kesah rakyat
membubung tinggi dan nama para dewata disebut-sebut, akan tetapi agaknya para dewata sudah
pula terkena pengaruh kaisar itu, karena buktinya mereka diam saja tidak menaruh hati kasihan
kepada manusia-manusia sial itu.
Dan kalau orang dapat menengok kepada kamar-kamar indah dari istana kaisar. Dia akan melihat
betapa kaisar Yang Te, biang keladi dan sebab semua kesengsaraan itu, tengah hidup mewah dan
bersenang-senang, dikelilingi oleh sekian puluh puteri-puteri cantik jelita yang menjadi
penghibur-penghiburnya. Suara musik tiada hentinya dibunyikan oleh jari-jari tangan yang lentik dan meruncing halus,
nyanyian-nyanyian merdu keluar dari mulut yang munggil dan harum, cumbu rayu keluar dari
bibir-bibir yang manis menggiurkan, dan belaian-belaian mesra akan terasa membuat kaisar itu
merem-melek bagaikan seekor babi tidur kekenyangan.
Tangan-tangan panjang dari barisan pengumpul tenaga rakyat ini menjangkau sampai jauh
sekali. Bagaikan tangan-tangan dari binatang cumi-cumi, mereka ini merembes sampai di
daerah-daerah yang jauh dari kota raja. Lembah sungai Cialing tidak terlewat pula.
Pada suatu hari serombongan serdadu dari barisan pengumpul tenaga rakyat ini tiba di dusun
Tai-kun-an. Mereka ini terdiri dari empat puluh orang serdadu, dikepalai oleh seorang komandan
bernama Cong Hwat yang bertubuh gemuk, pendek, berkepala bundar dengan muka penuh tahi
lalat. Cong Hwat ini bertenaga kuat dan memiliki ilmu silat yang cukup menakutkan orang, bersenjata
sebatang golok yang besar, berat dan tajam. Tugas mereka adalah mengumpulkan tenaga-tenaga
rakyat yang harus dikirimkan ke kota Kong-goan di sebelah selatan Tai-kun-an, di mana terdapat
markas besar barisan pengumpul tenaga rakyat ini.
Seperti biasa, begitu barisan kecil ini memasuki dusun Tai-kun-an, maka dusun yang tadinya
makmur penuh dengan tawa dan senyum para pekerja, berobahlah menjadi neraka penuh dengan
tangis dan keluh kesah. Terdengar elahan napas dan keluh kesah orang-orang lelaki, diselingi
jerit pekik mengerikan karena ketakutan dari wanita-wanita yang terganggu oleh
serdadu-serdadu ib Dan kembali empat puluh orang serdadu itu dibawah pimpinan Cong Hwat yang terkenal amat
rakus akan wanita-wanita cantik, berpesta pora di dusun itu. Sebentar saja, di dalam waktu tiga
hari, mereka telah dapat mengumpulkan seratus lima puluh orang laki-laki tua muda,
mengantongi banyak sekali emas dan perak yang tak terhitung banyaknya, dan telah
mengganggu entah berapa banyak wanita.
Hanya wanita-wanita yang kebetulan menjadi puteri atau isteri hartawan yang mempunyai
banyak uang sogok sajalah yang selamat tidak terganggu. Seperti biasa pula, akibat dari
keganasan ini disusul dengan mengambangnya mayat wanita-wanita yang membunuh diri
karena diganggu oleh orang-orang biadab itu, menggantungnya mayat orang-orang lelaki yang
putus asa dan lain-lain pemandangan yang mengerikan pula.
Di dalam dusun Tai-kun-an itu hidup sepasang suami isteri she Kwee yang merupakan
pendatang baru. Kwee Siong, suami yang masih muda itu, beserta isterinya datang dari selatan
dn baru beberapa bulan tiba di dusun itu untuk mencoba peruntungan mereka. Kwee siong
orangnya tampan dan halus dan di dusun itu ia membuka sebuah rumah sekolah, di mana ia
mengajar anak-anak dusun itu membaca dan menulis dengan menerima sedikit uang sokongan.
Isterinya bernama Liem Sui Giok, cantik sekali dan pandai pula membuat sulaman-sulaman yang
indah. Isteri yang baru mengandung tiga bulan ini membantu suaminya dengan membuat
barang-barang sulaman untuk dijual di dusu
Ketika barisan pengumpul tenaga rakyat tiba di dusun itu, Kwee Siong yang sudah mendengar
tentang keganasan dan kejahatan mereka, segera mengajak isterinya untuk mengungsi ke dalam
hutan di sebelah utara dusun itu. Akan tetapi, karena hutan itupun amat liarnya dan kedua suami
isteri itu adalah orang-orang lemah, mereka tidak berani terlalu dalam dan hanya masuk sejauh
satu li saja. Mereka telah merasa aman karena tidak terlihat dari luar hutan dan Kwee Siong lalu membuat
sebuah gubuk dari bambu, dibantu oleh isterinya. Akan tetapi, jangan orang mengira bahwa kalau
saja ia tidak berbuat jahat, ia akan terhindar daripada malapetaka dunia dan tidak ada orang yang
membencinya. Kalau ia berpikir demikian, maka orang ini berpandangan keliru dan ia belum mengenal betul
kepalsuan manusia, makhluk yang katanya sepandai-pandai dan semulia-mulianya makhluk di
permukaan bumi ini. Demikian pun halnya dengan Kwee Siong dan isterinya.
Ketika baru-baru mereka tiba di dusun Tai-kun-an, seorang hartawan muda she Tan yang
terkenal sebagai seorang mata keranjang dan gila wanita, telah melihat kecantikan Liem Sui Giok
yang jauh berbeda dengan kecantikan wanita-wanita dusun itu. Liem Sui Giok adalah seorang
wanita yang halus budi pekertinya, sopan santun, pandai membawa diri, terpelajar dan memang
cantik jelita berkulit halus putih seperti susu dan berambut hitam lemas, dengan sepasang mata
yang tajam menggunting kalbu setiap laki-laki.
Seperti biasa seorang hartawan yang tak tahu diri dan yang menganggap uang sebagai kekuasaan
yang tiada taranya, Tan-wangwe (hartawan Tan) ini mencoba untuk membujuk nyonya Kwee
dengan cara yang amat tak tahu malu. Seorang wanita tua yang menjadi kaki tangannya
mendatangi nyonya muda yang elok itu, dengan mulut manis membujuk-bujuknya agar supaya
suka melayani Tan-wangwe di waktu suaminya sedang mengajar di sekolah. Akan tetapi, tentu
saja Sui Giok menjadi marah sekali dan mengusirnya, bahkan ketika suaminya datang, ia lalu
menceritakan hal ini agar suaminya suka berhati-hati terhadap seorang buaya darat she Tan di
dusun itu. Demikanlah, Tan-wangwe yang tidak kesampaian maksudnya ini, menaruh dendam kepada suami
isteri itu. Ketika rombongan pengumpul tenaga rakyat datang, dengan mudah Tanwangwe dapat
menggunakan uangnya untuk menyogok para petugas itu sehingga ia terhindar daripada bahaya
terbawa sebagai pekerja paksa.
Bahkan, dalam usahanya untuk "mencari muka" dan menjilat pantat, ia mendekati Cong Hwat
komandan barisan itu dan memberikan seorang di antara selirnya yang tercantik sebagai "Hadiah".
Tentu saja Cong Hwat merasa girang sekali dan hubungan mereka menjadi erat.
Tan-wangwe mendengar tentang larinya Kwee Siong bersama isterinya ke dalam hutan. Maka ia
segera mendapatkan Cong Hwat dan berkata,
"Cong-ciangkun," ia selalu menyebut orang she Cong itu dengan sebutan ciangkun (perwira)
untuk membuat komandan itu menjadi senang, "aku tahu akan sepasang suami isteri yang
bersembunyi. Akan kuberitahukan tempat persembunyiannya itu kepadamu. Suaminya masih
muda dan kuat bahkan pandai menulis sehingga patut sekali membantu perjuangan. Akan tetapi
....... " Sampai disini, Tan-wangwe tersenyum-senyum penuh arti.
Muka Cong Hwat yang bulat seperti bal karet itu tersenyum dan matanya yang sipit mengecil
hingga hanya merupakan dua garis kecil karena mata itu tidak berbulu mata sama sekali.
"Akan tetapi apa, saudara Tan ......?" tanyanya.
"Isterinya ..... sudah lama aku merindukannya, kalau ciangkun berhasil mendapatkan mereka,
suaminya untuk ciangkun bawa dan isterinya harap ditinggalkan padaku."
"Ha, ha, ha! Bagaimana kalau ia terlalu cantik sehingga hatiku tidak rela meninggalkannya
kepadamu?" Tan-wangwe tersenyum sambil menggeleng kepala. "Tidak ada artinya bagimu, ciangkun.
Isterinya itu memang cantik, kalau tidak masa aku orang she Tan sampai tertarik " Akan tetapi ia
berada dalam keadaan mengandung. Bagiku, aku dapat menanti sampai ia melahirkan dan
sementara itu, akan kurawat dia baik-baik. Akan tetapi bagimu yang banyak melakukan
perjalanan, bukankah hal itu akan membuat kau repot saja ?"
Pemimpin serdadu-serdadu itu mengangguk-angguk. "Baik, baik, mendapatkan suaminya pun
sudah cukup baik, berarti penambahan tenaga untuk pembangunan negara!" Kata-katanya ini
cocok sekali dengan ucapan kaisar yang menjadi semacam firman.
Demikianlah, setelah mendapat petunjuk dari Tan-wangwe, Cong Hwat lalu membawa lima belas
orang anak buahnya memasuki hutan itu. Alangkah girangnya ketika di dalam hutan itu baru saja
ia masuk belum jauh, ia telah melihat belasan orang kampung yang bersembunyi di situ.
Ada delapan orang laki-laki dan empat orang wanita muda yang berwajah lumayan. Serta merta
orang-orang itu ditangkap, terdengar yang laki-laki mengeluh dan yang perempuan menjerit-jerit
ketika mereka diseret keluar dari tempat persembunyian mereka. Setelah para tawanan ini
dibawa pergi, Cong Hwat membawa sepuluh orang serdadu memasuki hutan itu.
Pada saat itu, Liem Sui Giok sedang memasak sayur dan Kwee Siong sedang mencoba
membuat sebuah bangku kayu dengan sebatang parang. Ketika keduanya melihat seorang
komandan membawa sepuluh orang serdadu yang berwajah galak, mereka menjadi kaget
sekali seolah-olah semangat mereka telah meninggalkan tubuh.
"Ha, ha, ha!" Cong Hwat tertawa mengejek sambil memandang ke arah Sui Giok yang dalam
pandangannya nampak cantik luar biasa. "Kalian mencoba menyembunyikan diri, ya " Kalian ini
benar-benar orang rendah yang tidak mengenal artinya cinta tanah air dan negara. Negara sedang
membutuhkan bantuan rakyat, akan tetapi kau tidak membantu bahkan menyembunyikan diri.
Hayo ikut kami keluar dari sini !"
Sambil berkata demikian, Cong Hwat dengan senyum menyeringai menghampiri Sui Giok dan
mengulur tangannya menjamah ke arah dada nyonya muda itu dengan tingkah laku tengik sekali.
"Hm, kau cantik sekali, sayang perutmu besar!"
Sui Giok terkejut, marah, dan malu sekali. Ia cepat melangkah mundur, menghindarkan diri dari
sentuhan tangan yang keji itu. Akan tetapi, dengan menggerakkan tangannya, mudah saja Cong
Hwat menangkap lengan tangan nyonya muda itu. "Hm, kau mau lari dari aku" Tidak mudah,
manis!" "Lepaskan isteriku, kau bedebah!" Kwee Siong yang marah sekali melompat maju dengan
parang diangkat tinggi-tinggi. "Kau seorang pemimpin barisan mengapa bertingkag seperti
seorang bajingan rendah?"
Bukan main marahnya Cong Hwat mendengar makian ini. Belum pernah ada orang berani


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memakinya seperti itu, dan biasanya ia hanya mendengar sanjung dan pujian dari para rakyat
jelata. Matanya yang sipit mengeluarkan cahaya berapi dan bibirnya yang tipis itu digigitnya
dengan giginya yang jarang dan kuning.
"Bangsat rendah! Orang macam kau ini tidak perlu membantu bekerja, patutnya dibikin mampus
di sini agar bangkaimu dimakan oleh binatang buas !" Akan tetapi, seorang di antara anak
buahnya yang berpikir bahwa kalau orang ini dibunuh, maka akan menakutkan hati penduduk
kampung di situ, lalu berkata, "Terlalu enak baginya kalau mampus begitu saja, lebih baik
ditangkap dan dikirim sekarang juga untuk memikul batu di tembok besar!"
Ucapan ini mengingatkan Cong Hwat dan ia lalu menubruk maju sambil mengayun kepalan
tangannya yang besar dan kuat. Kwee Siong mencoba untuk menangkis dengan parangnya akan
tetapi dengan gerakan tangan yang cepat sekali, Cong Hwat dapat memukul pergelangan tangan
Kwee Siong sehingga parang yang dipegangnya itu terlepas. Sebuah sapuan dengan kaki membuat
Kwee Siong terguling. "Sui Giok ....... cepat kau larilah ....!" Kwee Siong masih sempat menengok kepada isterinya.
Bukan main gelisah, takut, dan sedihnya hati Sui Giok melihat keadaan suaminya, akan tetapi
ketika ia hendak menubruk suaminya ia mendengar seruan ini dan teringatlah ia akan bahaya
yang lebih hebat lagi mengancamnya. Kalau ia sampai jatuh ke tangan orang-orang ini, akan
celakalah dia! Maka ia lalu lari ke dalam hutan.
"Kejar !" seru Cong Hwat lalu memimpin orang-orangnya mengejar Sui Giok. Adapun seorang
serdadu lalu melepas ikat kepala Kwee Siong dan membelenggu kedua tangan orang muda itu
erat-erat. Perasaan takut yang hebat dapat mendatangkan hal yang aneh-aneh pada orang. Ada sebagian
orang yang kalau merasa ketakutan lalu kedua kakinya terasa lumpuh dan tidak dapat lari sama
sekali, akan tetapi ada pula sebagian yang di dalam ketakutan hebat kedua kakinya menjadi ringan
dan dapat berlari cepat sekali seperti seorang jago lari.
Sui Giok tergolong pada orang-orang kedua ini. Di dalam ketakutan yang hebat, tiba-tiba ia
menjadi gesit sekali dan kedua kakinya dapat berlari amat cepatnya. Ia tidak merasa sakit lagi
ketika ia menyusup-nyusup ke dalam semak belukar, duri-duri diterjangnya sehingga pakaiannya
robek-robek, kulitnya pecah-pecah mengeluarkan darah, telapak kakinya terluka dan berdarah
pula karena sepatunya yang tipis telah rusak oleh batu-batu karang dan duri.
Dengan membuta ia lalu lari secepat mungkin memasuki hutan yang gelap dan yang tadinya
selalu menimbulkan kengerian di dalam hatinya. Andaikata di depannya berdiri lima ekor
harimau, agaknya Sui Giok akan menerjangnya pula tanpa takut sedikit jugapun.
Rasa takutnya terhadap para serdadu itu lebih hebat daripada segala rasa takut yang mungkin
dapat dirasakannya. Ia membayangkan bahaya yang jauh lebih hebat apabila ia terjatuh ke dalam
tangan para serdadu itu. Oleh karena pikiran inilah maka Sui Giok berlari makin cepat memasuki
hutan yang gelap tanpa ragu-ragu sedikitpun.
Beberapa kali Sui Giok jatuh dan satu kali hampir saja tubuhnya terguling ke dalam jurang. Akan
tetapi sambil menahan isak dan dengan napas terengah-engah, ia bangun lagi dan berlari terus,
mata terbelalak, wajah pucat bagaikan seekor anak kelinci yang dikejar harimau.
Untung baginya bahwa tidak hanya dia yang jatuh bangun, akan tetapi para pengejarnyapun
tidak dapat melalui jalan yang amat sukar itu dengan cepat. Hutan itu amat liar dan semak
belukar yang diterjang oleh Sui Giok amat padat penuh duri-duri tajam sehingga biarpun
Cong Hwat dan para anak buahnya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian dan
kekuatan, tetap saja tidak mudah bagi mereka untuk bergerak cepat.
Berbeda dengan Sui Giok yang nekat dan tidak merasakan tusukan duri, Cong Hwat dan
kawan-kawannya tentu saja tidak mau menjadi kurban duri-duri yang tajam, dan sambil
mengejar mereka menggunakan golok untuk membabat semak-semak berduri yang
menghalangi pengejaran mereka.
"Kepung dia !" seru Cong Hwat penasaran setelah mereka mengejar sampai tiga li jauhnya
belum juga dapat menangkap kurban mereka itu. "Kepung dari tiga jurusan!"
Mendengar perintah ini, anak buahnya lalu berpencar. Lima orang mengambil jalan dari kanan
yang tidak begitu penuh semak belukar, sedangkan empat orang mengambil jalan dari kiri
memanjat batu-batu karang yang tinggi.
Kini keadaan Sui Giok benar-benar terancam. Biarpun jalan yang ditempuhnya selalu melalui
semak-semak berduri sehingga Cong Hwat yang mengejarnya tak dapat bergerak cepat, namun
para pengejar dari kanan kiri yang mengambil jalan lain itu dapat mengejar dan mendahuluinya.
Kini para pengejar dari kanan kiri itu mulai mencari jalan untuk memotong perjalanannya dan
untuk mengurungnya. Sui Giok sudah makin ketakutan saja dan menjadi bingung. Ia melihat di belakangnya perwira
pendek gemuk itu masih mengejarnya dengan mukanya yang kemerah-merahan dihias oleh
tahi-tahi lalat yang hitam dan besar, nampak mengerikan sekali. Di kanan kirinya, sebelah depan,
para serdadu itu telah mulai mendekatinya. Di depannya nampak jurang yang amat dala
Ke mana ia dapat melarikan diri " Hanya ada dua jalan agaknya untuk dapat melepaskan diri dari
para pengejarnya, yakni terbang ke langit atau melemparkan diri ke dalam jurang itu. Dan oleh
karena ia tidak mungkin dapat terbang ke atas maka agaknya jalan satu-satunya baginya adalah
melemparkan diri ke dalam jurang itu.
Sui Giok berdiri di pinggir jurang dengan muka pucat. Air mata mengalir turun dari kedua
matanya yang biasanya bening dan tajam bagaikan bintang pagi itu, membasahi kedua
pipinya. Ia memandang ke bawah, ke dalam jurang yang agaknya tidak bertepi. Bibirnya
berbisik perlahan, "Suamiku ....... selamat tinggal ......... biarlah aku yang mendahuluimu meninggalkan dunia
yang kotor ini ......" Ia telah siap untuk mengayun kakinya, melompat ke dalam jurang.
Matanya dimeramkan. Tiba-tiba ia tersentak kaget oleh bunyi pekik yang panjang dan mengerikan sekali. Pekik ini
datangnya dari arah kiri. Dengan terkejut Sui Giok sadar dari pada keadaannya yang seperti
dalam mimpi itu dan ia menengok ke kiri.
Alangkah ngeri dan terkejutnya ketika ia melihat empat orang serdadu yang menghampirinya dari
kiri itu, ketika turun dari batu karang, mereka disergap oleh belasan ekor harimau besar.
Harimau-harimau itu menggereng dengan suaranya yang menggetarkan seluruh hutan.
Percuma saja empat orang serdadu itu melakukan perlawanan. Golok-golok mereka yang
biasanya amat ganas dan telah mengalirkan banyak darah manusia lemah, kini tidak ada
artinya sama sekali menghadapi belasan ekor harimau besar itu.
Agaknya kulit harimau-harimau itu sudah kebal dan amat kuatnya sehingga bacokan golok tidak
melukai mereka, bahkan golok-golok itu terpental dari pegangan tangan para serdadu. Kemudian
harimau-harimau itu menubruk dan rebahlah empat orang serdadu itu dengan tubuh koyak-koyak.
Mereka tewas sambil mengeluarkan pekik yang dahsyat dan mengerikan.
Bab 02..... Peluh memenuhi muka Sui Giok, bercampur dengan air matanya ketika ia berdiri terbelalak
menyaksikan peristiwa yang hebat ini. Belum hilang kagetnya dan belum kembali
ketenangannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh pekik yang lebih mengerikan lagi dari arah
kanannya. Ketika ia cepat menengok, wajahnya yang sudah pucat itu kini memperlihatkan kengerian
yang lebih hebat lagi sehingga Sui Giok seakan-akan telah menjadi mayat. Mulutnya agak
terbuka, bibirnya menjadi kebiruan saking hebatnya debaran jantungnya menyaksikan
pemandangan yang lebih mengerikan lagi.
Lima orang serdadu pengejarnya yang dengan girang sekali berlari-lari ke arahnya untuk
berlomba menangkap dan memeluk perempuan elok itu, tanpa mereka menyangka sesuatu
yang buruk. Mereka telah berlari cepat di atas lapangan rumput yang penuh dengan rumput
hijau berwarna indah dan segar.
Akan tetapi apakah yang terjadi" Ketika mereka menginjak rumput-rumput itu, tiba-tiba kaki
mereka terjeblos ke bawah dan ternyata bahwa rumput-rumput itu tumbuh di atas rawa yang
berlumpur. Inilah semacam rawa maut yang suka menghisap binatang yang kurang hati-hati.
Memang amat berbahaya rawa maut macam ini.
Dari luar nampaknya seperti pada rumput yang amat indah, akan tetapi tidak tahunya di bawah
rumput itu bukanlah tanah keras, melainkan tanah bercampur air, merupakan lumpur lembut
yang sekali menangkap kaki binatang atau makhluk hidup betapapun juga kuatnya, takkan
dilepaskan lagi. Para serdadu itu meronta-ronta, akan tetapi makin kuat mereka bergerak
mencoba melepaskan diri, makin kuat pula lumpur itu menyedot dan menarik mereka ke bawah.
Ketika lumpur itu sudah sampai di leher mereka, maka memekiklah mereka dengan pekik maut
yang amat mengerikan. Tak lama kemudian, lenyaplah kepala mereka di bawah lumpur dan yang
nampak hanyalah sepuluh lengan tangan dengan jari-jari tangan terbuka merupakan cakar setan
yang perlahan-lahan akan tetapi tentu mulai amblas pula ke bawah.
Peristiwa ini terjadi amat cepatnya sehingga Cong Hwat yang berdiri memandang, tak dapat
berbuat sesuatu, hanya berdiri bagaikan patung dengan muka berubah pucat sekali. Ia
memandang ke kanan kiri dan melihat nasib anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu,
gentarlah hatinya. "Hutan iblis ........!" bisiknya dan tanpa menoleh kepada Sui Giok lagi, komandan ini lalu
membalikkan tubuh dan lari lintang pukang bagaikan dikejar setan.
Adapun Sui Giok yang terpaksa menjadi saksi dari pada segala kengerian ini, tak kuat menahan
lagi lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kemudian ia menjadi limbung
dan lemas dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terhuyung lalu terguling ke dalam jurang.
Oleh karena Sui Giok jatuh pingsan ketika terguling, maka ia tidak tahu bahwa pada saat itu,
berkelebatlah bayangan orang yang bertubuh bongkok dan sebuah tangan yang kuat
mencengkeram pundaknya, mencegahnya dari kebinasaan di dalam jurang. Kalau Sui Giok
melihat orang yang menolongnya, mungkin ia akan menjerit dan roboh pingsan pula, karena
sesungguhnya orang yang menolongnya ini tidak menyerupai orang lagi, lebih patut disebut
seorang iblis yang amat jahat.
Sukar untuk mengatakan apakah orang ini wanita ataukah pria. Tubuhnya kurus kering dan
bongkok, punggungnya seperti batang bambu yang patah. Kulitnya penuh keriput dan berwarna
hitam, merupakan kulit tua pembungkus tulang. Jari-jari tangannya panjang-panjang dan kalau
dilihat sepintas lalu, seperti jari-jari tangan kerangka saja, karena kulit yang tua dan tipis itu
agaknya telah lengket dengan tulang-tulangnya.
Kedua kakinya telanjang dan kaki itupun panjang sekali dengan jari-jari terbuka bagaikan kaki
seekor bebek. Lehernya panjang dan kecil, tertutup oleh rambutnya yang panjang awutawutan,
rambut yang sudah berwarna dua. Kepalanya kecil dan mukanya benar-benar menyeramkan
sekali. Muka itu hampir tidak menyerupai muka lagi karena penuh dengan keriput yang
menghilangkan garis-garis muka seorang manusia. Mulutnya yang kecil itu hampir tertutup
oleh keriput-keriput yang dalam sehingga sukar membedakan mana mulut mana keriput.
Hidungnya pesek dan hampir tidak kelihatan, tersembunyi di antara tulang pipinya yang menonjol
saking kurusnya. Matanya juga kecil seperti mata monyet, akan tetapi dari dalam pelupuk mata ini
seakan-akan ada dua sinar kilat bercahaya, menyambar keluar bagaikan mata harimau di dalam
gelap. Untuk sesaat, manusia yang seperti siluman ini memandangi muka Sui Giok, kemudian tanpa
mengeluarkan sedikitpun suara, ia lalu memondong tubuh nyonya muda itu dibawa lari secepat
terbang menuju ke pinggir sungai Cialing. Di bagian lembah sungai yang penuh batu karang dan
penuh dengan gua-gua besar kecil, terdapatlah sebuah gua besar sekali dan inilah agaknya yang
menjadi tempat tinggal siluman ini, karena ia memasuki gua ini membawa tubuh, Sui Giok yang
masih pingsan. Ketika Sui Giok siuman dari pingsannya dan membuka matanya, ia memandang ke sekelilingnya
dengan batu panjang yang berbentuk pembaringan, dan batu ini ditutup dengan rumput-rumput
kering yang tebal sehingga empuk dan enak ditiduri. Dinding di sekelilingnya ternyata adalah
batu-batu karang yang berwarna putih bersih dan di sana sini terdapat batubatu halus yang cukup
besar untuk diduduki orang.
Ruang kamar di mana ia berada itu cukup lebar, kurang lebih tiga atau empat tombak, berbentuk
bulat. Ketika kedua matanya sudah biasa dengan keadaan yang remang-remang itu karena yang
menyinari dan menerangi tempat itu hanyalah cahaya matahari yang masuk dari luar, ia melihat
sesuatu yang bergerak-gerak di ujung ruangan itu.
Tadinya ia tidak melihatnya karena bayangan yang bergerak-gerak itu mengenakan pakaian yang
hitam sama sekali. Akan tetapi kini ia melihat dengan nyata bahwa bayangan itu adalah seorang
tua sekali yang duduk di atas batu dan sedang memandangnya.
Ketika ia telah melihat jelas, Sui Giok tidak ragu-ragu lagi bahwa ia tentu telah mati dan
bayangan itu tentulah sebangsa malaikat penghukum yang dahsyat seperti yang pernah
didengar dan dilihat gambarnya ketika ia masih kecil. Penunggu-penunggu neraka dan
penyiksa-penyiksa jiwa berdosa nampaknya memang mengerikan.
Oleh karena mengira bahwa ia telah mati, Sui Giok tidak merasa takut lagi dan ia lalu bangkit dan
duduk di atas batu itu. Ia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan perih, juga kedua
kakinya. Heranlah ia mengapa ia masih dapat merasa sakit, bukankah orang yang sudah mati
terhindar dari pada rasa sakit"
Ia masih teringat betapa ia dikejar-kejar oleh para serdadu dan berlari menyusup semaksemak
berduri, betapa tubuhnya berdarah, dan luka-luka, akan tetapi setelah ia mati, masihkah ia merasa
semua itu" Ia memandang ke arah tubuhnya dan melihat sehelai selimut kuning menutupi
tubuhnya, ia lalu membuka selimut itu.
Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa tubuhnya sama sekali tidak mengenakan sepotongpun
pakaian. Ia memandang lebih teliti dan mendapat kenyataan bahwa tentu kulitkulit tubuhnya yang
tadinya terluka telah dibersihkan dan dicuci orang karena kulitnya sampai ke kaki-kakinya bersih
sekali. Nampak olehnya betapa kulit tubuhnya yang putih kuning dan halus itu, kini banyak terdapat
tanda-tanda merah, luka-luka kecil bekas tusukan duri. Cepat-cepat Sui Giok menutupkan selimut
tadi pada tubuhnya karena ia teringat akan bayangan "malaikat" tadi. Heran sekali, pikirnya,
kalau aku sudah mati, mengapa aku masih merasa malu karena berhadapan dengan seorang
malaikat dalam keadaan telanjang" Bukankah orang mati itu memang kembali telanjang seperti
ketika dilahirkan" Tiba-tiba bayangan "malaikat" itu bangkit berdiri dan ketika melihat tubuhnya yang bongkok,
agak ngerilah hati Sui Giok. Belum pernah ia mendengar seorang malaikat yang bertubuh seperti
itu. Orang atau malaikat itu datang menghampirinya dan terdengarlah ia berkata dengan suara
yang tinggi kecil. "Anak baik, kau tidur dan mengasolah. Hatimu telah menderita banyak ketegangan dan
pikiranmu tergoncang. Juga tubuhmu banyak menderita kelelahan di samping luka-luka tusukan
duri pada kulitmu. Kau harus beristirahat agar kandunganmu tidak terpengaruh oleh semua
penderitaan itu." Tersentak bangunlah Sui Giok mendengar ucapan ini. Kalau saja orang ini tidak mengeluarkan
ucapan sesuatu, tentu ia akan merasa ngeri dan takut sekali karena kini ia dapat melihat wajahnya
dengan nyata. Akan tetapi ucapan orang itu meyakinkannya bahwa ia berhadapan dengan seorang
manusia, bahwa ia sebenarnya belum mati!
Perasaan wanitanya membisikkan pemberitahuan bahwa orang yang seperti siluman ini
tentulah seorang wanita, baik didengar dari suaranya maupun dari gerak-geriknya. Maka
legalah hatinya, karena kalau yang menelanjanginya, yang mengobati seluruh luka-lukanya itu,
adalah seorang laki-laki, alangkah malu dan hebatnya penghinaan itu.
"Pehbo (uwa), di manakah aku" Dan siapakah kau ini" Bagaimana aku bisa berada di tempat
ini?" tanya Sui Giok sambil merebahkan tubuhnya kembali.
Wnita tua itu menghampirinya, menutupkan selimut itu baik-baik dengan gerakan yang amat
mesra dan penuh kasih sayang, kemudian ia berkata,
Jangan sebut aku pehbo, aku seorang pelayan dan cukup kau sebut namaku saja, Bu Lam Nio.
Semenjak kecil aku dipanggil orang Lam Nio, maka kau pun harus menyebutku demikian,
nyonya." Setelah berkata demikian, nenek tua ini tertawa girang sekali dan dari sepasang matanya
yang kecil itu mengalir air mata.
Sui Giok menjadi terharu sekali, dan ia menduga bahwa wanita tua ini tentu mempunyai
riwayat yang amat menyedihkan. Maka dia mengulurkan tangannya, memegang lengan
tangan nenek itu dan berkata menghibur,
"Lam Nio, jangan kau terlalu berduka, mungkin kesedihanku jauh lebih besar dari pada
kedukaanmu ?" Mendengar hiburan ini, nenek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan batu itu dan
menangis tersedu-sedu sambil memegangi lengan tangan Sui Giok. Nyonya muda ini mendengar
tangis yang demikian mengharukan. Teringat akan keadaannya sendiri, maka iapun lalu menangis
terisak-isak. Aneh sekali, ketika mendengar tangis Sui Giok, tiba-tiba nenek itu berhenti menangis, lalu
berkata, "Ah, toanio, maafkanlah Lam Nio yang menimbulkan kesedihan dihatimu.
Maafkanlah daku ......."
Sui Giok makin terheran-heran melihat dan mendengar ucapan nenek yang amat sopan santun ini,
jauh sekali bedanya dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang demikian mengerikan. Setalah
tangisnya mereda, nenek itu lalu berkata, "Toanio, kau berbaringlah yang enak dan dengarlah
ceritaku ini." Maka dengan singkat berceritalah nenek itu, menceritakan riwayatnya yang amat
menyedihkan hati. ****** Kurang lebih enam puluh tahun yang lalu, pemberontak Ke Yung memimpin kurang lebih sejuta
orang yang terdiri dari petani-petani dan rakyat kecil, melakukan pemberontakan untuk
menggulingkan kedudukan raja yang lalim dan tidak adil. Dengan cepat barisan pemberontak ini
telah menguasai sebagian besar dari Propinsi Hopak dan Honan, dan kemudian menuju Lok-yang
untuk menghancurkan pembesar-pembesar yang lalim.
Akan tetapi, ia telah didahului oleh lain pemberontakan yang dipimpin oleh seorang yang
bernama Ercu Yang yang datang dari barat dan Lokyang terjatuh dalam tangan pemberontak ini.
Ercu yang membasmi banyak sekali pembesar-pembesar dan kekuasaannya besar sekali.
Kemudian, melihat datangnya balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Ke Yung, Ercu Yang
lalu menyerang barisan ini dan berhasil mengalahkan Ke Yung.
Ercu Yang dapat berhasil usahanya karena bantuan banyak orang gagah bangsa Han sendiri, di
antaranya seorang jenderal yang bernama Kao Hoan. Setelah Ercu Yang meninggal dunia,
jenderal Kao Hoan mengangkat seorang keturunan kaisar lama menjadi kaisar.
Hal ini menimbulkan banyak pertentangan, dan di antara penentangnya yang terbesar adalah
seorang panglima besar yang sudah amat berjasa dalam pemberontakan itu, yakni panglima Kam
Kok Han yang gagah perkasa. Menurut Kam Kok Han, tidak selayaknya mengangkat seorang
keturunan kaisar lama menjadi menjadi pemimpin baru, dan lebih baik mengangkat seorang
yang dipilih oleh rakyat jelata.
Pertentangan ini menghebat, akan tetapi akhirnya Kam Kok Han terpaksa mengakui kelebihan
pengaruh jenderal Kao Hoan sehingga ia kemudian melarikan diri bersama keluarganya,
dikejar-kejar oleh barisan atas perintah jenderal Kao Hoan, Kao Hoan maklum bahwa Kam Kok
Han yang menaruh dendam ini akan merupakan bahaya di kemudian hari, maka pengejaran
Akan tetapi, Kam Kok Han bukanlah merupakan orang buruan yang lunak dan mudah
dikalahkan. Keluarga Kam itu terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, oleh


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena keluarga ini mempunyai semacam kepandaian ilmu silat keturunan keluarga Kam.
Seluruh keluarga, baik laki-laki maupun wanita, bahkan kanak-kanaknya telah berlatih ilmu
silat ini semenjak kecil.
Bahkan panglima yang gagah perkasa ini telah melatih dan memilih pelayan-pelayannya, baik
laki-laki maupun wanita, di antara orang-orang yang ada bakat dan melatih mereka ilmu silat pula.
Tidak mengherankan apabila barisan yang mengejar mereka itu mendapat perlawanan yang gigih
dan banyak sekali anggauta pasukan yang tewas di bawah amukan keluarga Kam ini.
Betapun juga, kekuatan barisan jenderal Kao Hoan jauh lebih besar dari pada kekuatan
keluarga Kam yang tidak seberapa banyak jumlahnya itu. Bahkan akhirnya jenderal Kao
Hoan maju sendiri sambil mengerahkan para perwira-perwiranya yang pilihan untuk
menggempur keluarga Kam yang sudah di cap sebagai pemberontak-pemberontak ini.
Kam Kok Han memimpin orang-orangnya untuk melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi
oleh karena mereka harus melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka lelah, lapar, dan juga
serangan datang terus menerus. Akhirnya seorang demi seorang anggauta keluarga Kam itu dapat
dibinasakan. Sekeluarga Kam habis musnah, hanya tinggal seorang pelayan wanita, yakni Bu Lam Nio,
pelayan yang amat disayang oleh keluarga itu oleh karena semenjak kecil telah menjadi pelayan
mereka. Juga Bu Lam Nio ini amat berbakat sehingga ilmu silatnya paling tinggi di antara para
semua pelayan. Panglima Kam Kok Han sendiri amat suka kepada pelayan yang berbakat, cantik, dan pandai ini
sehingga dengan persetujuan isteri-isterinya, pelayan ini diangkat menjadi bini mudanya. Tentu
saja makin tinggilah ilmu silat Bu lam Nio, karena kini Kam Kok Han tidak ragu-ragu untuk
menurunkan ilmu silatnya kepada bini muda yang tercinta ini.
Namun nasib Lam Nio memang buruk, karena belum juga sebulan ia menjadi "nyonya muda",
datanglah malapetaka itu sehingga kini ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk membantu keluarga Kam. Di dalam pertempuran yang amat dahsyat, tubuh Lam Nio
telah penuh dengan luka. Beberapa bacokan senjata musuh telah membuat mukanya tidak
keruan dan sekali pukulan ruyung telah mematahkan tulang belakangnya.
Akan tetapi, ia masih sanggup mendekati Kam Kok Han yang sudah bergelimpang di dalam
genangan darahnya sendiri, sedangkan semua keluarga masih bertahan mati-matian. Kam Kok
Han membuka matanya dan dapat memberi pesan terakhir kepada Lam Nio untuk menyimpan
sebuah kitab yang amat tua.
Setelah itu meninggallah panglima yang gagah berani ini. Lam Nio mengambil kitab itu dari saku
baju Kam Kok Han, memasukkan kitab itu ke dalam kutangnya dan iapun roboh pingsan dalam
keadaan mandi darah. Habislah semua orang dalam keluarga Kam berikut pelayan-pelayannya. Mayat mereka
ditinggalkan begitu saja oleh jenderal Kao Hoan, ia hanya memesan kepada para penduduk
tempat itu untuk mengubur dan mengurus mayat-mayat itu.
Pada waktu itu, rakyat amat tertindas dan rata-rata mereka itu merasa benci kepada orang-orang
berpangkat. Dalam keadaan perut lapar, mana mereka mau melakukan pekerjaan mengubur
mayat-mayat ini dengan hati rela" Mereka membuat lobang yang dangkal saja, menyeret semua
mayat itu dan memasukkan mayat-mayat itu di dalam lobang lalu menutupi dengan tanah.
Sesudah itu, mereka lalu pergi.
Pada malam harinya, serombongan anjing kelaparan datang di tempat penguburan mayat itu dan
mulailah mereka menggunakan kaki depan untuk membongkar tumpukan tanah itu. Alangkah
mengerikan keadaan diwaktu itu. Anjing-anjing itu mulai makan daging mayatmayat itu. Dan di
dalam keadaan yang mengerikan inilah Bu Lam Nio siuman dari pingsannya.
Ia tadi dikira telah mati pula maka ikut dikubur hidup-hidup. Untung baginya bahwa tanah itu
hanya ditutupkan begitu saja sehingga ia tidak mati terkubur dan ketika anjing-anjing itu
menggerumuti mayat-mayat dan menjilat-jilat darah yang masih basah, Lam Nio lalu merangkak
pergi dari situ. Hanya kemauannya yang amat keras dan luar biasa saja yang mendorongnya dan memberinya
kekuatan untuk menyingkir dari tempat itu dengan hati hancur lebur. Ia melihat betapa mayat
orang-orang yang dicintainya dimakan anjing, tanpa dapat mencegah sama sekali. Tubuhnya
lemas, punggungnya sakit sekali, tenaganya habis. Untuk menyeret tubuh sendiri saja sudah
setengah mati, apalagi untuk mengusir anjing-anjing yang kelaparan itu.
"Demikianlah, toanio," Bu Lam Nio melanjutkan ceritanya dengan suara sedih, "aku terus
melarikan diri, hidup dengan sengsara dan terlunta-lunta. Hanya kehendak Thian saja yang
membuat aku masih dapat hidup terus sampai hari ini. Di mana saja aku tiba, orang-orang
menjauhkan diri, menganggap aku gila, merasa jijik dan ngeri melihat keadaan wajah dan
tubuhku. Sampai enam puluh tahun aku masih dikurniai umur panjang sampai sekarang. Telah puluhan
tahun aku tinggal di tempat ini, jauh dari manusia, jauh dari dunia ramai. Kau dapat
membayangkan sendiri betapa sengsara penderitaanku.
Sui Giok mendengar cerita ini dan tak dapat menahan mengalir air matanya karena terharu dan
kasihan. "Ah, Lam Nio, maafkan aku. Setelah mendengar riwayatmu, maka malapetaka yang menimpa
pada diriku ternyata tidak berarti apa-apa. Aku hanya dipisahkan dari suamiku saja, dan masih
besar harapan suamiku akan tertolong nyawanya. Akan tetapi kau ...... !"
Kemudian Sui Giok lalu menceritakan pengalamannya dan mendengar ini, Bu lam Nio
mengepal tangannya dan mukanya menjadi beringas menakutkan.
"Keparat! Setelah berpuluh-puluh tahun, ternyata yang menjadi kaisar masih saja orang-orang
lalim dan jahat. Kalau kaisarnya lalim, pembesar-pembesar dan serdadu-serdadunya tentu juga
penjahat-penjahat keji. Toanio aku telah menanti sampai enam puluh tahun lamanya, untuk
memenuhi pesanan panglima Kam Kok Han. Dia meninggalkan kitab itu kepadaku bukan dengan
percuma saja. Maksudnya tentu agar supaya aku memilih seorang murid untuk mempelajari isi
kitab itu. Aku sendiri buta huruf dan tak dapat membaca isi kitab itu, toanio. Maka kaulah
agaknya orang yang akan mewarisi kepandaian dari Kam Kok Han junjungan dan juga suamiku.
Kitab itu adalah kitab yang bernama Kim-gan-liong-kiam-cian-si, yakni kitab pelajaran ilmu
pedang Kim-gan-liong kiam-sut."
"Akan tetapi, aku adalah seorang wanita yang lemah, bagaimana aku dapat mempelajari ilmu
silat dan mainkan pedang ?"
"Toanio, apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian untuk membasmi orang-orang jahat itu,
untuk menolong suamimu?" tanya Bu Lam Nio.
Berserilah wajah Sui Giok yang cantik. "Betul katamu, Lam Nio! Baiklah, aku akan mempelajari
ilmu silat darimu. Aku mau menerima warisan panglima besar Kam Kok Han!"
"Nah, kalau begitu, kau bersumpahlah pada kitab ini. Kau bukan menjadi muridku, aku tetap
pelayan, bahkan sekarang aku menjadi pelayanmu oleh karena itu kuanggap sebagai ahli waris
keluarga Kam. Kau adalah murid mendiang Kam Kok Han!" Bu Lam Nio lalu mengeluarkan
sebuah kitab yang sudah kuning dan lapuk.
Dengan semangat bernyala dan hati sungguh-sungguh, Sui Giok lalu menutupi tubuhnya
dengan selimut itu, bangun duduk di atas pembaringan dalam keadaan berlutut, memegang
kitab itu di atas kepalanya lalu mengucapkan sumpahnya,
"Guru besar Kam Kok Han, teecu Liem Sui Giok, dengan disaksikan oleh Bu Lam Nio dan kitab
peninggalan sucouw (guru besar) ini, teecu bersumpah bahwa teecu akan mempelajari isi kitab
ini ......." ia berhenti sebentar karena teringat bahwa belum tentu ia akan dapat mempelajarinya
dengan baik, maka segera disambungnya, "dan akan memberi pelajaran pula kepada keturunan
teecu, dan teecu bersama anak teecu akan mempergunakan isi kitab ini untuk membasmi
kejahatan dan menolong mereka yang tertindas seperti keadaan keluarga sucouw dan keadaan
teecu sendiri. "Bagus!" kata Bu Lam Nio sambil mengambil kembali kitab itu. "Sekarang kau harus
beristirahat dan memulihkan tenagamu kembali. Tentu saja sebelum kau melahirkan, kau
tidak boleh berlatih silat dan sementara itu, aku hanya akan memberi petunjuk tentang
teorinya dan dasar-dasarnya saja agar kelak kau dapat berlatih lebih cepat dan lancar."
Demikianlah, dengan amat teliti dan penuh kasih sayang, Bu Lam Nio merawat Sui Giok,
memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran teori ilmu silat dari permulaan, menerangkan caracara
bersamadhi mengumpulkan tenaga dalam dan berlatih pernapasan untuk memperkuat lweekang.
Latihan ini dapat dimulai oleh Sui Giok, sungguhpun hanya kadang-kadang saja karena ia tidak
boleh memaksa diri dalam keadaan mengandung itu.
Enam bulan kemudian, di tempat yang sunyi dan terasing itu, di lembah sungai Cialing yang deras
airnya, terlahirlah seorang bayi perempuan. Hanya Bu Lam Nio seorang yang menolong Sui Giok
melahirkan, akan tetapi oleh karena Bu Lam Nio dahulu semenjak kecil bekerja sebagai pelayan,
maka ia amat cekatan dan pengertiannya amat luas.
Oleh Sui Giok dan dengan persetujuan Bu Lam Nio, anak perempuan itu diberi nama Kwee Li
Ling dan disebut Ling Ling. Nama ini untuk mengingatkan anak itu bahwa ia terlahir di lembah
sungai Cialing. Setelah melahirkan dan kesehatannya pulih kembali, mulailah Sui Giok berlatih ilmu silat.
Mula-mula ia berlatih ilmu silat keluarga Kam, berlatih dari permulaan dan karena
sebelumnya ia telah mempelajari teorinya, maka ia dapat menguasai ilmu ilmu silat itu dengan
amat lancar. Bu Lam Nio merasa gembira oleh karena melihat bahwa biarpun Sui Giok tidak berbakat
amat baik, namun untuk menguasai ilmu silat keluarga Kam ia masih dapat.
Akan tetapi, ketika Bu Lam Nio memberikan buku pelajaran ilmu pedang yang bernama Kimgan-liong"kiam-coan-si dan Sui Giok membukanya. Nyonya muda ini merasa terkejut sekali okarena kitab ini bukanlah pelajaran yang amat mudah.
Gerakan-gerakan pedang yang diajarkan di situ amatlah sukarnya dan oleh karena memang ia
tidak memiliki bakat amat baik, maka sukarlah baginya untuk mempelajarinya dengan sempurna.
Bu Lam Nio yang hanya mendengar dia membaca saja, telah dapat mengambil sedikit inti sari
kitab itu dan tidak kalah oleh Sui Giok sendiri yang dapat membaca.
Adapun Ling Ling, mulai kecil sudah digembleng oleh Bu Lam Nio dan Sui Giok dan
alangkah girang hati mereka bahwa gadis cilik ini ternyata memiliki bakat yang luar biasa
sekali. Agaknya semenjak kecil, Ling Ling sudah amat suka bermain silat.
Di dalam kehidupan barunya, Sui Giok tak pernah melupakan suaminya yang entah
bagaimana nasibnya itu, juga ia sama sekali tak pernah melupakan bayangan Cong Hwat,
perwira yang gemuk itu. Ia tidak pula melupakan Tan-wangwe dan selalu menanti
kesempatan baik untuk memberi hajaran kepada orang-orang ini.
****** Semenjak mendengar berita tentang tewasnya sembilan orang serdadu secara mengerikan sekali
di dalam hutan itu, para penduduk di sepanjang lembah sungai Cialing, terutama sekali penduduk
dusun Tai-kun-an yang terdekat dengan hutan itu, makin merasa takut dan seram. Tak
seorangpun berani mendekati hutan itu, dan kalau dulu masih ada orang yang berani masuk
sampai satu atau dua li, sekarang mendekati hutan itupun tidak seorangpun berani.
Orang-orang menganggap hutan itu sebagai tempat berhantu atau yang ditempati oleh
siluman-siluman ganas. Kepercayaan itu bukan tahyul semata, karena semenjak serdadu-serdadu itu tewas di dalam
hutan, maka seringkali muncul siluman yang mengganggu dusun Tai-ku-an. Anehnya yang
diganggu adalah orang-orang hartawan, dan siluman itu mencuri pakaian, makanan, dan lain
barang berharga. Pernah ada yang melihat berkelebatnya bayangan siluman yang bertubuh bongkok dan berwajah
menakutkan, akan tetapi dalam sekejap mata saja siluman itu lenyap dari pandangan mata. Para
penduduk menganggap bahwa itu tentulah siluman penghuni hutan yang menjadi marah karena
para serdadu itu telah mengganggunya.
Anehnya yang dicuri itu, baik pakaian maupun barang-barang, adalah pakaian dan barangbarang yang dibutuhkan oleh wanita, maka semua orang lalu mempunyai anggapan bahwa
siluman itu tentulah siluman wanita. Dan oleh karena hutan itu terletak di lembah sungai
Cialing, maka orang lalu memberi julukan Cialing Mo-li (Siluman wanita Sungai Cialing).
Sesungguhnya, semua ini adalah perbuatan Bu Lam Nio. Wanita pelayan ini tadinya sama
sekali tidak mau mengganggu orang dan bersembunyi dari orang dan masyarakat ramai.
Akan tetapi, semenjak Sui Giok tinggal di situ, setelah ia mendengar betapa orang-orang hartawan
mempergunakan uangnya untuk menyogok para serdadu bahkan mendengar tentang kejahatan
seorang hartawan she Tan terhadap Sui Giok, ia tidak segan-segan lagi untuk mengganggu
orang-orang hartawan, mencuri pakaian dan makanan untuk keperluan Sui Giok dan puterinya.
Bahkan beberapa kali ia menyatakan hendak memberi hajaran kepada Tanwangwe, akan tetapi
Sui Giok selalu mencegahnya, menyatakan bahwa ia sendiri yang kelak hendak membalas, sia memiliki kepandaian yang cukup tinggi
Bab 03..... Demikianlah, sepuluh tahun kemudian, pada suatu hari ketika Tan-wangwe sedang duduk makan
angin di kebun belakang, bersenang-senang dengan perempuan-perempuan peliharaannya, dijaga
oleh tukang-tukang pukulnya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu
dihadapan hartawan itu berdiri seorang wanita yang cantik jelita.
Bukan main kagetnya Tan-wangwe melihat kejadian ini dan ia merasa seakan-akan sedang
mimpi. Adapun perempuan-perempuan yang berada di situ, segera berteriak-teriak , "Setan ... !
Setan ... !" Perempuan cantik yang bukan lain adalah Liem Sui Giok sendiri itu, tersenyum manis akan tetapi
sepasang matanya yang bening dan tajam itu memandang dengan sinar bernyala penuh kebencian
kepada Tan-wangwe. "Memang, memang aku setan yang datang hendak mencabut nyawamu!" Suaranya merdu dan
halus. Akan tetapi Tan-wangwe merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Kemudian Tanwangwe yang pernah belajar ilmu silat dan selalu membawa-bawa sebatang pedang pada
pinggangnya, memberanikan diri dan berseru,
"Penjaga! Serbu siluman ini!" Dan ia sendiri mencabut pedangnya, pedang yang tajam dan
cukup indah karena gagangnya dihias dengan emas dan permata.
Memang para penjaga di luar kebun itu tidak melihat gerakan Sui Giok yang melompat ke dalam
pekarangan, karena Sui Giok kini telah memiliki ginkang yang luar biasa tingginya, berkat latihan
yang ia pelajari dari Bu Lam Nio. Mendengar seruan majikan mereka, enam orang penjaga lalu
melompat masuk sambil menghunus golok. Mereka berdiri bengong dan tidak mengerti karena
mereka tidak tahu manakah siluman yang disebut oleh majikan mereka.
Adanya Sui Giok di situ tidak mengherankan mereka, oleh karena perempuan yang masih belum
tua lagi amat cantiknya ini memang patut menjadi alat penghibur majikan mereka yang mata
keranjang. Disangkanya bahwa Sui Giok adalah seorang di antara wanita-wanita yang dibawa ke
dalam tempat itu. Akan tetapi ketika Tan-wangwe melihat enam orang penjaganya, nyalinya menjadi besar dan
sambil berseru keras ia lalu menubruk dan membacokkan pedangnya ke leher Sui Giok. Nyonya
muda ini sambil tersenyum melihat betapa gerakan ini lambat dan lemah sekali, maka kedua
tangannya lalu bergerak dengan tipu Kwan-im siu-kiam (Dewi Kwan-im Mencabut Pedang).
Tangan kirinya menyambar ke arah pergelangan tangan kanan Tan-wangwe sedangkan tangan
kanannya dengan amat cepatnya mendahului serangan lawan mengirim totokan ke arah lambung
lawan. Tan-wangwe tidak sempat menjerit karena tahu-tahu ia merasa betapa lambungnya sakit
sekali dan tubuhnya menjadi lemas. Tanpa dapat dicegah lagi, tangan kiri Sui Giok telah
berhasil merampas pedangnya. Tan-wangwe limbung dan roboh ke atas tanah bagaikan
sehelai kain lapuk. Barulah keenam orang penjaga itu terkejut. Sementara itu, para bini muda Tan-wangwe
dengan tubuh gemetar lalu berlutut dan berseru, "Siluman wanita ...... dia ..... dia adalah
Cialing Mo-li !" Enam penjaga itu merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka pernah mendengar
tentang Cialing Mo-li ini sebagai seorang siluman yang amat mengerikan dan buruk rupa, dan
pula belum pernah siluman itu muncul di siang hari. Mana ada siluman berani muncul di tengah
hari" Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau siluman yang mengerikan itu telah berganti rupa, karena
bukankah siluman-siluman pandai sekali pian-hoa (berganti bentuk)" Dengan serentak mereka
lalu menerjang maju dengan golok mereka.
Akan tetapi, tingkat ilmu silat Sui Giok sudah amat tinggi dan sudah terang sekali jauh lebih
tinggi dari pada para penjaga yang kasar ini. Apalagi ia sekarang telah memegang sebatang
pedang dan biarpun masih jauh daripada sempurna, baru paling banyak dua bagian saja, akan
tetapi ia telah melatih ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-sut, maka begitu ia menggerakkan
pedang itu, bergulunglah sinar putih yang menutup seluruh tubuhnya.
Melihat gerakan ini, bukan main takutnya para penjaga itu. Bagaimana orang dapat menghilang
di balik gulungan sinar pedang" Belum pernah mereka menyaksikan hal seaneh ini, maka tentu
saja mereka menyerang dengan lutut lemas dan kaki menggigil.
Dengan amat mudahnya ketika Sui Giok menggerakkan pedangnya, terdengar suara keras dan
enam batang golok terlempar jauh. Sui Giok menggerakkan tangan kirinya dan robohlah para
penjaga itu seorang demi seorang. Tiga orang roboh karena tamparan tangan kiri Sui Giok,
adapun yang tiga orang lagi roboh karena ketakutan dan lemas kakinya.
Saking girangnya melihat hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun mempelajari ilmu silat, dan
saking puasnya dapat membalas dendamnya kepada hartawan yang mata keranjang itu, Sui Giok
lalu tertawa. Suara ketawanya ini bebas dan lepas sehingga terdengar merdu akan tetapi nyaring
sekali menyakitkan anak telinga. Karena tanpa disadarinya, ia telah mengerahkan khikangnya
ketika tertawa sehingga terdengar keras sekali, bahkan dapat terdengar oleh orang-orang yang
berada di tempat agak jauh sehingga banyak orang di saat itu berdiri bengong dan saling pandang
dengan terheran-heran. Sui Giok lalu menjambak rambut Tan-wangwe dan sekali ia melompat, ia telah berada di atas
genteng lalu lenyap membawa tubuh hartawan Tan itu. Gegerlah keadaan di pekarangan Tanwangwe. Perempuan-perempuan itu menjerit-jerit dengan tubuh gemetar dan masih berlutut, menangis dan
menyebut-nyebut nama Thian untuk mengusir siluman jahat itu. Orang-orang datang melawat
dan ketika mereka mendengar bahwa Tan-wangwe dibawa pergi oleh siluman wanita, mereka
menjadi gempar. Sebelum melakukan serangan terhadap Tan-wangwe, Sui Giok telah mendengar dari Bu Lam Nio
bahwa yang mengkhianati Sui Giok dan suaminya dahulu memang Tan-Wangwe adanya. Hal ini
dapat didengar oleh Bu Lam Nio dalam pekerjaannya mencuri harta benda para hartawan di
malam hari. Oleh karena itu, bukan main sakit hatinya Sui Giok terhadap Tanwangwe.
Memang tadinya ia telah menaruh curiga, karena tanpa diberitahu oleh orang lain, bagaimana
rombongan serdadu itu bisa mencari ke dalam hutan" Kalau saja ia tidak mendengar hal ini dari
Bu Lam Nio, ia pasti tidak akan mengganggu nyawa Tan-wangwe dan cukup memberi hajaran
pedas saja. Kini sakit hatinya terlampau besar dan Tan-wangwe dianggap menjadi biang keladi
nomor satu dari penderitaannya.
Pada senja harinya, ketika empat puluh lebih penduduk laki-laki dari Tai-kun-an yang dipimpin
oleh kepala kampung menyusul ke pinggir hutan, mereka ini melihat tubuh seorang laki-laki
tergantung pada pohon dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Ketika mereka mendekat,
ternyata bahwa laki-laki ini bukan lain adalah Tan-wangwe, akan tetapi muka dan kepalanya
telah tidak keruan macamnya, rusak dan hancur bekas cakaran dan gigitan. Dan di bawah pohon
itu nampak jejak-jejak kaki harimau yang terbenam di dalam tanah lumpur.


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang, Sui Giok sengaja menggantung Tan-wangwe pada kakinya di atas pohon dan
meninggalkannya begitu saja. Seekor harimau yang kelaparan melihat seorang manusia
tergantung, lalu melompat dan berusaha untuk menangkapnya.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Tan-wangwe yang ketakutan. Harimau itu tidak
dapat mencapai korbannya yang digantung terlampau tinggi, akan tetapi kedua kaki depannya
masih juga berhasil merobek muka dan kepala Tan-wangwe sampai hancur dan nyawanya
melayang. Dengan wajah pucat, orang-orang kampung itu lalu menurunkan jenazah Tan-wangwe dan
membawanya pulang ke dusun. Orang-orang yang tua lalu berlutut ke arah hutan itu dan
berkatalah seorang yang tertua di antara mereka,
"Toat-beng Mo-li (iblis Wanita Pencabut Nyawa), mohon Mo-li sudi mengampuni kami
sekalian dan harap sudah puas dengan korban yang seorang ini. Kami akan membakar dupa
wangi setiap malam untuk menghormat Mo-li!"
Semenjak peristiwa ini, sebutan untuk "siluman" di dalam hutan itu menjadi dua, pertama
Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing) dan kedua Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita
Pencabut Nyawa). Sebutan yang kedua ini adalah karena Sui Giok menyatakan hendak
mencabut nyawa Tan-wangwe ketika ia bertemu dengan hartawan itu dan karena banyak
orang yang mendengar ucapannya, maka lalu julukan kedua itu timbul.
Benar saja, semenjak para penduduk membakar dupa wangi setiap malam, tak pernah ada
gangguan lagi. Hal ini adalah karena Sui Giok melarang kepada Bu Lam Nio untuk mencuri
barang-barang para hartawan di dusun itu.
"Mencuri adalah perbuatan yang memalukan," kata Sui Giok kepada Lam Nio. "Biarpun yang
dicuri itu adalah barang-barang para hartawan pelit dan kejam. Aku dan anakku tidak suka
memakai barang-barang curian."
Bu Lam Nio memang seorang yang pernah tinggal dengan orang-orang bangsawan, maka tentu
saja ia tidak membantah dan bahkan di dalam hati mengakui kebenaran ucapan ini. Pada suatu
hari, secara kebetulan Sui Giok mendapatkan banyak mutiara di antara tumpukan kulit kerang di
pinggir sungai. Bukan main girangnya karena ia tahu bahwa mutiara-mutiara ini amat mahal
harganya. Ia lalu mencoba membawa beberapa butir mutiara ke kota Kong-goan, dan betul saja, orang
berani membayar mahal untuk sebutir mutiara. Padahal yang ia dapatkan itu tidak kurang dari
seratus butir. Semenjak saat itu, Bu Lam Nio tidak perlu mencuri lagi karena dengan persediaan
mutiara sebanyak itu, mereka dapat membeli apa saja yang mereka kehendaki.
Biarpun Ling Ling tinggal di tengah hutan yang sunyi, akan tetapi ia tidak terasing sama sekali
dari dunia ramai. Sui Giok mengerti bahwa hal ini tidak baik bagi puterinya, maka sedikitnya
sepekan sekali ia tentu mengajak Ling Ling ke dusun atau kota yang agak jauh dari tempat itu.
Tentu saja ia tidak berani mengajak puterinya ke dusun Tai-kun-an, karena ia telah dikenal oleh
penduduk di situ sebagai Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
Akan tetapi, setelah Ling Ling berusia delapan tahun, anak ini merasa kurang puas dengan ajakan
ibunya yang hanya kadang-kadang itu. Anak ini rindu akan kawan-kawan bermain dan ibunya
serta Bu Lam Nio yang disebut "nenek Lam" mulai percaya kepadanya dan membolehkan dia
bermain di dalam hutan seorang diri.
Menurut pendapat Sui Giok dan Lam Nio, kini Ling Ling telah memiliki kepandaian yang cukup
untuk menjaga diri dari serangan binatang buas. Memang, gadis yang amat berbakat ini baru saja
berusia delapan tahun telah memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya, memiliki ginkang yang
amat mengagumkan. Oleh karena rasa rindunya akan kawan-kawan bermain tak dapat ditahan lagi, maka tidak heran
apabila pada suatu pagi, ketika belasan orang anak-anak dusun Tai-kun-an sedang
bermain-main, tiba-tiba mereka melihat seorang anak perempuan yang cantik dan manisditengah-tengah mereka. Anak perempuan ini rambutnya dikuncir dua dan kuncirkuncirnya
diberi pita warna merah, wajahnya segar dan munggil, selalu tersenyum-senyum dan sepasang
matanya cemerlang bagaikan bintang pagi. Pakaiannyapun berbeda dengan anak-anak dusun,
bersih dan dari sutera berwarna indah.
Tentu saja anak-anak itu menjadi terheran-heran. Mereka memandang kepada anak perempuan
yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka itu. Seorang anak laki-laki di antara mereka
bertanya, "Eh, kau siapakah?"
"Aku?" Ling Ling menjawab sambil bibirnya tersenyum manis dan matanya memandang
penuh seri kegembiraan. "Namaku Ling Ling !"
Dia amat senang mendengar suara anak-anak ini dan melihat wajah mereka. Inilah yang
dikehendakinya selama ini, inilah yang dirindukannya. Ia sudah merasa bosan berada di
tempat yang sunyi, hidup hanya dengan ibu dan neneknya itu.
"Nama yang bagus !" kata seorang anak perempuan memuji.
"Pitanya lebih bagus !" kata lain orang anak perempuan sambil memegang-megang pita itu.
"Kau mau ini?" tanya Ling Ling yang segera melepaskan dua pita rambutnya. "Ambillah!" Ia
memberikan sehelai pita merah kepada anak itu dan yang sehelai lagi ia berikan kepada seorang
anak perempuan lain. Karena pitanya diambil, maka kini rambut Ling Ling menjadi terurai dan
rambut itu memang amat bagus, lemas, hitam dan panjang.
"Kau anak dari manakah?" tanya lagi anak laki-laki tadi memandang kagum dan juga heran.
"Kami tidak pernah melihatmu. Di mana rumahmu?"
"Di sana!" kata Ling Ling sambil menunjuk ke arah hutan di luar dusun. Anak-anak itu hanya
mengira bahwa rumah Ling Ling di jurusan yang ditunjuk, yakni di ujung dusun sebelah utara.
Tiba-tiba terdengar anak perempuan yang tadi diberi pita oleh Ling Ling menangis. "Pitaku ....!
Jangan ambil pitaku ...! Kembalikan!"
Ling Ling cepat menengok dan ternyata bahwa pita yang tadi diberikan kepada anak
perempuan itu telah dirampas oleh seorang anak laki-laki yang usianya sudah lebih dari
sepuluh tahun. Anak perempuan yang paling banyak berusia enam tahun itu menangis dan
menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis.
"Eh, kau!" tiba-tiba Ling Ling berseru keras sekali sehingga mengejutkan semua anak-anak itu.
"Kembalikan padanya!"
Anak laki-laki yang merampas pita itupun terkejut, akan tetapi ketika ia menengok dan
memandang kepada Ling Ling, ia menghampiri sambil tertawa menyeringai. "Ha, ha, ha! Kau
seperti pemain sandiwara yang kutonton dulu itu. Galak dan berlagak seperti permaisuri raja.
Kau anak baru hendak memerintah aku" Hm, kalau kau laki-laki tentu sudah ku jotos
hidungmu!" Bukan main marahnya Ling Ling mendengar ucapan itu dan kini sepasang matanya yang
indah dan bening itu mengeluarkan cahaya berapi sehingga tidak saja semua anak-anak
menjadi tercengang, bahkan anak laki-laki itu sendiripun melangkah mundur dua langkah.
"Kau ....... kau siapa" Matamu sungguh tidak sedap hatiku melihatnya. Seperti ...... seperti
mata setan!" "Plak!" Tangan kanan Ling Ling dengan cepatnya menyambar dan menampar pipi anak lakilaki
itu. "Aduuuuhhh .....!!" Sungguh mengherankan semua anak-anak yang berada di situ, karena anak
lelaki itu telah terkenal sebagai "jagoan" di antara semua anak-anak dusun Tai-kun-an, mengapa
kini ditampar sekali saja lalu mengaduh-aduh dan berjingkrak-jingkrak sambil memegangi
pipinya" Memang, anak laki-laki itu merasa sakit bukan main terkena tamparan tadi, pipinya terasa
panas dan pedas sampai menembus ke dalam mulut. Setelah mengusap-usap pipinya dan
menahan sakit sampai air matanya mengucur keluar ia menjadi marah sekali.
"Anak anjing! Kau berani memukul aku?" Setelah berkata demikian, anak laki-laki ini lalu
menyerang Ling Ling dengan pukulan ke arah kepala Ling Ling.
Ling Ling semenjak baru bisa berjalan sudah menerima latihan-latihan silat tinggi di bawah
bimbingan ibu dan neneknya, maka tentu anak lelaki itu bukan lawannya. Sekali mengangkat
tangan menyaut, lengan tangan anak laki-laki itu telah ditangkapnya dan dengan gerakan amat
cepatnya sehingga sukar diikuti oleh mata, tahu-tahu lengan tangan kanan anak itu telah ditekuk ke
belakang sehingga anak laki-laki itu meringis kesakitan.
"Hayo, cepat kembalikan pita itu kepadanya!" Ling Ling membentak dan kini semua anak
melihat betapa sikap gadis cilik ini luar biasa keren dan gagahnya. Anak laki-laki itu hendak
membangkang, akan tetapi ketika Ling Ling menguntir lengannya, ia berkaok-kaok kesakitan dan
cepat mengembalikan pita yang masih berada ditangan kirinya kepada anak perempuan itu.
"Hayo kau berlutut dan minta ampun kepadanya!" kembali Ling Ling membentak sambil
mendorong tubuh anak laki-laki itu yang terguling roboh di depan anak perempuan kecil yang
diganggunya tadi. Akan tetapi tentu saja anak laki-laki itu tidak sudi minta ampun dan begitu ia
berdiri, dengan geramnya ia hendak menyerang Ling Ling lagi.
Ia masih merasa penasaran sekali. Masa ia harus mengaku kalah terhadap seorang anak
perempuan yang masih kecil ini" Namun kini Ling Ling menjadi marah sekali. Sebelum anak
laki-laki itu dapat mengenainya dengan pukulan, Ling Ling telah mendahuluinya dengan sebuah
tendangan yang mengenai perutnya. Baiknya Ling Ling tidak bermaksud mencelakainya, karena
kalau tendangan ini dilakukan sekuat tenaga, mungkin sekali anak itu akan mati.
Biarpun tendangan ini perlahan saja, akan tetapi anak itu menjerit-jerit sambil memegangi
perutnya, bergulingan di atas tanah bagaikan seekor cacing terkena abu panas.
"Hayo berlutut dan minta ampun kepadanya! Lekas!" teriak pula Ling Ling.
Karena tidak dapat menahan sakitnya lagi, anak laki-laki itu lalu merangkak dan berlutut di
depan anak perempuan yang tadi diganggunya.
"Awas, jangan kau berani mengganggu anak-anak lain lagi, kalau aku melihat hal itu atau
mendengar dari orang lain, aku akan mencabut nyawamu !" kata Ling Ling dengan sikap yang
bengis sekali. Kebetulan sekali pada saat itu ada seorang petani yang lewat di situ dan melihat anak-anak yang
berkerumun, ia tertarik hatinya. Ia merasa terheran-heran melihat betapa anak laki-laki yang
terbesar kini sambil menangis dengan muka pucat, sedang berlutut dihadapan seorang anak
perempuan terkecil sedangkan semua anak memandang kepada seorang gadis cilik dengan mata
terbelalak heran dan kagum.
Petani ini sudah mengenal semua anak-anak di dusun itu, akan tetapi gadis cilik yang manis ini
belum pernah dilihatnya. Ketika ia mendengar ucapan Ling Ling tentang "mencabut nyawa",
tiba-tiba ia terbelalak dan mukanya berobah pucat. Melihat sekelebatan saja, petani ini maklum
bahwa anak laki-laki yang besar itu tentu telah kalah oleh anak perempuan yang aneh dan
berpakaian indah itu. "Toat-beng Mo-li ...... (Iblis Wanita Pencabut Nyawa)..... !" katanya perlahan sambil
memandang kepada Ling Ling dengan mata terbelalak.
Ketika anak-anak perempuan mendengar ucapan ini, maka menjerit-jerit dan terutama anak
laki-laki yang tadi diberi hajaran, kini memandang kepada Ling Ling lalu berlari terbirit-bi
Ling Ling telah mendengar dari ibunya betapa ibu dan neneknya dianggap iblis wanita. Hal ini
amat menyebalkan hati Ling Ling dan menganggap sebutan itu sebagai hinaan. Kemarahannya
timbul, akan tetapi ia tersenyum girang ketika melihat betapa anak perempuan kecil yang
dibelanya tadi tidak ikut lari meninggalkannya. Anak perempuan itu bahkan mendekatinya dan
sambil memegang tangannya, anak itu berkata,
"Enci Ling Ling, aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang siluman!"
Ling Ling memandangnya dan tak terasa pula ia memeluk dan menciumi anak itu. Dia belum
pernah merasakan bagaimana senangnya mempunyai seorang kawan, dan kini melihat anak ini ia
merasa suka sekali. "Kau tidak takut kepadaku?" tanyanya.
Anak itu menggelengkan kepalanya. "Mengapa mesti takut" Kau cantik dan baik, tidak
seperti anak-anak lain yang suka menggangguku."
Pada saat itu, dari sebelah selatan datang serombongan orang dan ternyata mereka itu adalah
orang-orang lelaki yang datang karena diberitahu oleh petani tadi bahwa di situ terdapat
Toat-Beng Mo-li. Semua orang berlari-lari karena mengira bahwa Toat-beng Mo-li hen
mengganggu anak-anak mereka, akan tetapi ketika melihat bahwa di situ hanya terdapat
seorang anak perempuan yang cantik mungil, mereka berhenti dan memandang heran.
"Itulah dia, anak perempuan yang cantik itu!" kata petani tadi sambil menuding ke arah Ling
Ling. Semua orang memandang dengan mata tidak percaya dan ayah anak perempuan yang masih
bergandengan dengan Ling Ling itu segera melangkah maju dan berkata kepada anaknya,
"A-cui, kau kesinilah !"
Anak perempuan itu memandang kepada Ling Ling dn berkata, "Dia adalah ayahku, enci Ling
Ling." Sementara itu Ling Ling sudah timbul lagi amarahnya melihat orang-orang itu memandangnya
dengan muka aneh. Ia merasa sebal sekali, maka ia menjawab kasar, "Jangan pergi kepadanya!"
Mendengar suara Ling Ling yang nyaring, makin takutlah orang-orang itu, terutama sekali ayah
A-cui, ia segera menjatuhkan diri berlutut dan dari jauh ia memberi hormat kepada Ling Ling
sambil berkata, "Harap jangan mengganggu anakku, biarlah aku akan bersembahyang tiap malam
untuk menghormatimu!"
Ling Ling tentu saja tidak mengerti apakah arti kata-kata ini, maka ia hanya memandang dengan
masih marah. Sementara itu, ketika A-cui melihat kemarahan Ling Ling dan melihat pandang
matanya yang memancarkan cahaya berapi-api, ia mulai menjadi takut dan berkata, "Enci Ling
Ling, aku mau pergi kepada ayahku!" Dan larilah A-cui kepada ayahnya.
Ling Ling mengulurkan tangan hendak menangkap A-cui, akan tetapi orang-orang lelaki yang
berdiri kurang lebih lima tombak darinya, ketika melihat ia mengulurkan tangan seakan-akan
hendak menangkap A-cui, segera menyerbu dengan senjata tajam di tangan.
Menurut kehendak hatinya yang marah, Ling Ling hendak melawan orang-orang ini, akan tetapi
ia pernah mendengar pesanan ibunya bahwa ia dilarang berkelahi dengan orang-orang dusun, dan
pernah pula mendengar neneknya berkata bahwa orang-orang dusun adalah orang-orang bodoh.
Sebutan mereka yang dianggap iblis wanita oleh orang-orang kampung itu bukanlah penghinaan,
melainkan sebutan yang timbul dari kepercayaan bodoh dan tahyul.
Sungguhpun Ling Ling tak dapat mengerti jelas keterangan neneknya ini, namun melihat
orang-orang kampung itu, dan melihat A-cui, Ling Ling merasa kasihan juga. Maka dengan hati
mendongkol, kecewa, dan marah yang ditahan-tahan, ia lalu menggerakkan tubuhnya dan sekali ia
melompat tubuhnya telah berkelebat jauh dan sebentar saja lenyap di antara pohonpohon.
Melihat gerakan ini, percayalah kini semua orang dusun itu dan terdengar seruan-seruan,
"Toat-beng Mo-li ....." Beberapa orang di antara mereka bahkan sudah menjatuhkan diri
berlutut dengan mulut berkemak-kemik membaca doa.
Semenjak saat itu, semua penduduk Tai-kun-an percaya bahwa Toat-beng Mo-li adalah iblis
wanita yang amat sakti dan pandai pian-hoa, sebentar menjadi iblis yang buruk rupa dan tua
sekali sebentar berobah menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari, kadangkadang menjelma menjadi seorang anak perempuan yang manis dan mungil.
Akan tetapi ketika mendengar penuturan A-cui, mereka berpendapat bahwa "iblis wanita" itu
bukanlah iblis yang jahat dan agaknya tidak mau mengganggu orang, kecuali orang yang jahat.
Sepanjang pengetahuan mereka, yang pernah diganggu adalah Tan-wangwe dan tukang-tukang
pukulnya dan semua orang sudah tahu akan kejahatan dan kekejaman hartawan ini beserta kaki
tangannya. Orang kedua yang mengalami hajaran adalah anak laki-laki yang telah mengganggu A-cui. Maka,
kini nama Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li dipergunakan oleh mereka untuk menakut-nakuti
orang yang hendak berbuat jahat. Berkat ketahyulan inilah maka orang-orang yang berwatak jahat
di dusun itu menjadi ketakutan dan mereka jarang berani melakukan kejahatan lagi.
Sementara itu, Ling Ling kembali ketempat tinggal orang tuanya di dalam hutan sambil
cemberut dan mendongkol sekali. Ketika ibunya melihatnya, ia ditegurnya,
"Ling Ling, kau datang dari manakah dan mengapa kau nampak marah?"
Ditanya demikian, Ling Ling lalu menangis dan menjatuhkan diri di atas pangkuan ibunya. Sui
Giok terkejut sekali dan dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut Ling Ling. Terlihat
olehnya betapa rambut anaknya yang bagus itu terurai tanpa ikatan pita merah seperti biasa.
"Eh, kenapa kau menangis dan ke mana pula perginya pita rambutmu?"
Ling Ling lalu menceritakan pengalamannya yang didengar oleh ibunya dengan kening
berkerut dan beberapa kali terdengar ia menarik napas panjang.
"Itulah sebabnya maka aku selalu melarang kau pergi ke dusun Tai-kun-an, anakku.
Penduduk di situ menganggap kita sebagai iblis wanita, akan tetapi hal ini tidak perlu
diributkan. Mereka adalah orang-orang bodoh yang patut dikasihani. Mereka sebetulnya
tidaklah jahat." "Ibu, aku sudah bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi sepi ini. Mengapa ibu tidak pindah saja
ke tempat ramai di mana aku bisa bermain-main dengan anak-anak lain?"
Sui Giok mencium pipi anaknya. "Belum waktunya, Ling Ling. Kau belajarlah dengan rajin dan
apabila kepandaianmu sudah cukup, tentu aku takkan selamanya menahanmu di sini, bahkan
kalau kau sudah cukup pandai, kita akan bersama keluar dari sini, pergi kekota-kota besar dan kau
akan gembira dan senang. Tunggulah sampai kau dewasa dan pandai, nanti kita akan pergi
mencari ayahmu." Mendengar disebutnya ayah, Ling Ling lalu bangkit dan duduk di depan ibunya. Ia menyusut air
matanya dan dengan sepasang matanya yang bening itu dipandangnya muka ibunya.
"Ibu, dimanakah adanya ayah sekarang" Mengapa ia meninggalkan kita?" Ia teringat akan
ayah dari A-cui yang demikian menyinta anaknya.
Sui Giok menghela napas. Memang ia belum menceritakan riwayatnya kepada Ling Ling,
hanya memberitahukan tiap kali anaknya menanyakan ayahnya, bahwa ayahnya itu sedang
pergi jauh dan bahwa kelak mereka akan menyusulnya.
"Ling Ling sudah berkali-kali kukatakan bahwa kalau kau sudah pandai dan sudah dewasa, tentu
akan kuceritakan semua hal itu. Sekarang belum waktunya, nak, kau berjanjilah kepada ibumu
untuk belajar ilmu kepandaian dengan tekun. Kau harus lebih memperdalam ilmu membaca agar
kau dapat membaca kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan melatih ilmu pelajaran yang terdapat
di dalam kitab itu."
Ling Ling adalah seorang anak yang berhati keras dan berotak cerdik, akan tetapi terhadap
ibunya ia amat penurut dan berbakti, maka mendengar ucapan ini, ia sudah merasa puas dan
tidak mau mendesak lagi. Semenjak saat itu, ia belajar makin giat dan tekun dan mulailah ia
mempelajari kitab ilmu pedang itu bersama-sama ibunya.
Bab 04..... Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Ling Ling mempunyai bakat yang luar biasa sekali
dalam hal ilmu silat. Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si yang sukar sekali dipelajari oleh ibunya
itu, setelah Ling Ling pandai membaca atas ajaran ibunya, maka anak ini dapat menangkap inti
sari ilmu pedang ini dan dapat mempelajari dan memainkannya jauh lebih cepat dan mudah
daripada ibunya. Pedang Tan-wngwe yang dulu dirampas oleh ibunya itu dipergunakan untuk berlatih ilmu pedang
Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main girangnya hati Sui Giok dan Bu Lam Nio. Ilmu pedang itu
dapat dimainkan oleh Ling Ling sedemikian hebatnya sehingga ketika Sui Giok dan Bu Lam Nio
mencoba untuk mengeroyok gadis itu, kedua orang tua ini tidak dapat bertahan lebih dari lima
puluh jurus. Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si selain memuat pelajaran ilmu pedang, juga di bagian terakhir
dimuat pula pelajaran yang disebut "mempersatukan pedang dengan diri", yakni bagian pelajaran


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang paling sukar dan sulit. Pelajaran ini berdasarkan latihan lweekang yang amat tinggi dan
disertai latihan siulan (samadhi) dan latihan napas.
Apabila tenaga lweekang yang khusus telah dimiliki oleh orang yang belajar dari kitab ini,
maka barulah ia akan dapat memperoleh ilmu mempersatukan pedang dengan dirinya. Dengan
ilmu ini, maka pedang yang dipegang di tangannya dan dimainkannya, baginya seakan-akan
bukan merupakan pedang lagi, melainkan merupakan sebagian dari tubuhnya, merupakan
anggauta tubuh seperti tangan atau kaki.
Dengan penyaluran tenaga lweekang sampai ke ujung pedang, maka gerakan pedang lebih
hebat dan tepat, serta tiap serangan atau tangkisan pedang mengandung tenaga lweekang
sepenuhnya seakan-akan bukan pedang, melainkan lengan tangan yang menyerang atau
menangkis. Sui Giok sendiri sudah bertahun-tahun mencoba untuk memahami bagian terakhir ini, namun
tetap saja ia tidak berhasil. Hal ini tidak mengherankan oleh karena untuk dapat memiliki bagian
terakhir ini, tidak saja dibutuhkan bakat yang luar biasa, namun juga dibutuhkan otak yang
cerdas, pikiran yang tenang, dan ketekunan yang luar biasa.
Bagi Sui Giok, semua syarat ini ada walaupun tidak berapa kuat, akan tetapi tentang ketekunan
dan ketenangan, bagaimana ia bisa tenang kalau hatinya selalu risau dan amat rindu kepada
suaminya" Ia tidak tahu bagaimana nasib suaminya, dan sebagai seorang isteri muda yang baru
setahun lebih menikah dan berkumpul dengan suaminya, tentu saja ia merasa amat rindu.
Kegelisahannya memuncak apabila ia teringat akan nasib suaminya yang tercinta itu. Inilah yang
menjadi penghalang besar baginya untuk dapat mencapai kemajuan ilmu pedang seperti yang
telah dicapai oleh Ling Ling.
Selama sembilan tahun, tiada hentinya Ling Ling belajar. Ibunya sendiri kadang-kadang sampai
berkhawatir melihat betapa gadis itu kadang-kadang berlatih ilmu pedang sampai sehari penuh,
melakuan siulan sampai semalam penuh belum juga "sadar" kembali dan lain-lain kegiatan
yang benar-benar mengagumkan.sekali.
Sembilan tahun lewat dengan cepatnya dan pada saat ini, kepandaian ilmu silat Ling Ling
sudah jauh sekali melampaui kepandaian ibu dan neneknya, bahkan menurut pendapat Bu Lam
Nio ilmu kepandaian pedang Ling Ling sudah melampaui kepandaian Panglima Kam Kok
Han. ****** Kerajaan Sui, yakni kerajaan yang dipimpin oleh kaisar Yang-te, demikian buruk keadaannya dan
demikian kejam terhadap rakyat jelata cara pemerintahannya sehingga di sana-sini timbullah
kesatuan-kesatuan orang-orang gagah yang sikapnya menentang alat-alat pemerintah. Mereka ini,
yakni orang-orang kalangan kang-ouw dan liok-lim, melakukan bermacam-macam usaha untuk
mengurangi penderitaan rakyat.
Ada yang bergerak perseorangan, merupakan hiapkek-hiapkek (pendekar-pendekar) penolong
rakyat dan dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya memusuhi pembesar-pembesar jahat. Ada
yang bergerak merupakan persatuan-persatuan dan ada pula yang bergerak di bidang kebatinan
untuk memberi hiburan dan penerangan kepada rakyat.
Perkumpulan agama Pek-sim-kauw (Agama Hati Putih) sudah amat terkenal dan mempunyai
banyak sekali anggautanya. Cabang-cabangnya dibuka sampai jauh ke kota-kota dan dusundusun. Pendeta-pendeta Pek-sim-kauw berpakaian seperti tosu (pendeta penganut Agama To), yakni
dengan jubah panjang dan lebar berwarna kuning dengan sulaman gambar hati berwarna putih di
dada. Rambutnya dipelihara panjang, digelung di atas kepala dengan tusuk konde perak.
Sepatunya berwarna hitam kaos kaki hitam pula.
Yang membuat Pek-sim-kauw amat terkenal adalah sepak terjang mereka. Para pendeta Peksim-kauw terkenal amat gagah berani dan berkepandaian tinggi. Hal ini tidak mengherankan
oleh karena ketua Pek-sim-kauw yang bernama Liang Gi Cinjin, adalah seorang tokoh persilatan
dari pegunungan Kunlun-sa
Dia adalah sute dari ketua Kunlun-pai dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang amat
tinggi. Untuk memajukan dan menjaga nama baik Pek-simkauw, Liang Gi Cinjin telah
menciptakan semacam ilmu silat yang disebutnya ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat (Ilmu
Pukulan Hati Putih) yang sesungguhnya masih berdasarkan Kunlun-kun-hoat.
Semua pendeta yang menjadi pengurus Pek-sim-kauw, mempelajari ilmu silat ini dan mereka ini
mempunyai kedudukan yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian dan pengetahuan mereka
tentang ilmu silat dan kebatinan.
Oleh karena Pek-sim-kauw menganut semacam agama yang sesungguhnya hanya pelaksanaan dari
pada ajaran-ajaran To-kauw, maka perkumpulan ini mendapat banyak pendukung. Terutama sekali
karena memang dalam kenyataannya, para pendeta Pek-sim-kauw adalah orang-orang yang gagah
perkasa dan penolong-penolong rakyat jelata, maka perkumpulan ini makin dihormati dan
disegani. Tentu saja semua ini terutama sekali karena kekuatan perkumpulan ini.
Semua orang kangouw maklum akan kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw dan tidak sembarang
orang jahat berani mencoba-coba menentangnya. Bahkan di mana saja Pek-simkauw membuka
cabangnya, tentu para penjahat di tempat itu cepat-cepat pergi dan pindah ke tempat lain yang
lebih aman bagi mereka. Saking banyaknya pendukung, di dalam waktu beberapa tahun saja, jumlah pendeta Pek-simkauw
telah mencapai seratus orang lebih. Untuk membedakan tingkat mereka, maka diadakan
perbedaan dalam warna tusuk konde mereka.
Pendeta-pendeta tingkat satu, yakni anak murid Liang Gi Cinjin sendiri yang jumlahnya ada lima
orang, memakai tusuk konde berwarna putih terbuat dari perak. Pendeta-pendeta tingkat dua
memakai tusuk konde berwarna kuning terbuat daripada gading, dan pendeta-pendeta tingkat
ketiga, yakni tingkat terendah bagi pendeta-pendeta Pek-sim-kauw, memakai tusuk konde
berwarna hitam terbuat dari pada kayu hitam.
Pakaian mereka semua sama, tiada perbedaan sama sekali. Untuk memperkembangkan agama
Pek-sim-kauw, para pendetanya lalu mendirikan cabangnya di kota Kong-goan dan seperti juga
dilain tempat, sebentar saja perkumpulan ini telah melakukan banyak sekali hal-hal yang patut
dipuji. Membasmi penjahat-penjahat, mempergunakan pengaruhnya untuk mengancam para
pembesar yang suka berlaku sewenang-wenang, membujuk para hartawan dengan
pengetahuan keagamaan untuk membuat para hartawan itu suka mengulurkan tangan
menolong rakyat miskin, dan mengusahakan derma dan sumbangan untuk para penderita
kemiskinan dan kelaparan.
Tak lama kemudian, cabang di Kong-goan yang dipimpin oleh lima orang pendeta tingkat dua ini
membuka pula ranting-rantingnya, di antaranya di dusun Tai-kun-an. Pendeta yang bertugas di
dusun ini adalah seorang pendeta tingkat tiga bernama Pek Kin Cu.
Seperti semua pendeta Pek-sim-kauw, iapun menggunakan she (nama keturunan) Pek. Pek Kin Cu
sudah berusia lima puluh tahun, ilmu silatnya tinggi dan ilmu pengetahuannya tentang agama
Pek-sim-kauw sudah cukup dalam. Hanya sedikit disayangkan bahwa Pek Kin Cu ini berhati
lemah dan kurang cerdik sehingga ia amat mudah terpengaruh oleh kata-kata manis dan mudah
sekali tergerak hatinya apabila melihat orang bermuram durja di depan
Para penduduk Tai-kun-an sudah seringkali mendengar tentang kegagahan pendeta-pendeta
Pek-sim-kauw, maka kedatangan Pek Kin Cu tentu saja mereka sambut dengan girang sekali.
Yang paling girang hatinya adalah keluarga hartawan Tan yang dulu terbunuh oleh Cialing Mo
Mereka ini diam-diam menaruh hati dendam dan ingin sekali membasmi siluman itu, akan tetapi
sudah belasan tahun mereka tidak berdaya karena siapakah yang berani melawan siluman" Sudah
beberapa kali mereka mencari orang-orang gagah, akan tetapi tidak ada orang gagah yang berani
mencoba-coba mengganggu siluman di dalam hutan yang demikian liar dan angkernya.
Baru beberapa hari setelah pendeta Pek Kin Cu membuka cabang agamanya di Tai-kun-an,
datanglah janda Tan-wangwe bersama beberapa orang keluarganya menghadap Pek Kin Cu.
Dengan menangis mereka menceritakan tentang gangguan Iblis Wanita Sungai Cialing itu kepada
pendeta ini dan minta bantuannya untuk mengusir atau kalau mungkin membinasakan iblis itu.
Pek Kin Cu mengerutkan kening dan mengurut-urut jenggotnya yang panjang. "Apa " Iblis wanita
yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li " Sungguh aneh. Benar-benarkah ada siluman
yang berani membunuh manusia di siang hari pula " Belum pernah aku mendengar keanehan
seperti ini." Akan tetapi, ketika pendeta itu mencari keterangan di seluruh dusun, tak seorang pun yang
menyangkal kebenaran cerita itu. Semua orang menyatakan bahwa memang di dalam hutan
sebelah utara itu, di Lembah Sungai Cialing, terdapat iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li
(Iblis Wanita Pencabut Nyawa) dan Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing).
Tentu saja Pek Kin Cu percaya akan adanya siluman atau iblis. Ia percaya penuh akan kekuasaan
Tao (kekuasaan tertinggi yang dipercaya oleh kaum agama Tao). Apakah sukarnya bagi Tao yang
maha kuasa untuk menciptakan mahluk seperti siluman"
Tao yang berkuasa menggerakkan bulan dan matahari, yang berkuasa menghidupkan ikanikan di
air, menerbangkan burung-burung di udara, menghidupkan mahluk-mahluk laksaan macamnya
dipermukaan bumi, tentu saja mungkin sekali mengadakan mahluk-mahluk halus seperti iblis
dan siluman. Tidak ada yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tao.
Betapapun juga, siluman itu harus dibasmi, harus dilenyapkan agar jangan mengganggu manusia
lagi. Iblis wanita yang sudah membunuh Tan-wangwe, merupakan bahaya besar bagi penduduk
Tai-kun-an. Demikianlah, dengan hati bulat dan penuh kemauan menolong penduduk Tai-kun-an, pek Kin Cu
pada suatu pagi memasuki hutan di sebelah utara dusun itu. Hutan itu memang amat liar dan
penuh semak-semak belukar. Akan tetapi, yakin akan kepandaiannya, Pek Kin Cu tidak merasa
gentar sedikitpun juga. Pendeta ini mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serangan iblis itu sambil berlari
cepat, mempergunakan ilmu ginkangnya yang sudah tinggi. Pohon-pohon kecil dan tumbuhan
berduri yang menghalang perjalanannya, dibabatnya dengan pedang itu. Ia berlari terus di
sepanjang pantai sungai Cialing.
Matahari telah naik tinggi ketika ia tiba di dekat tempat tinggal Bu Lam Nio, Liem Sui Giok dan
Ling Ling. Ketika ia tiba di bawah sebatang pohon pek yang besar sekali, tiba-tiba ia merasa ada
angin menyambar dari atas. Cepat sekali pendeta ini melompat mundur dan memalangkan
pedangnya di depan dada sambil berdongak memandang ke atas.
Tak terasa lagi Pek Kin Cu mengucapkan doa dan mantera ketika ia menyaksikan mahluk yang
melompat turun dari atas pohon itu. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah siluman wanita itu. Ia
melihat seorang yang tua sekali, berpakaian hitam, mukanya tidak karuan dan menyeramkan,
tidak menyerupai manusia, melayang turun dengan gerakan yang luar biasa.
Sesungguhnya, yang melompat turun itu adalah Bu Lam Nio, wanita tua yang berwajah buruk.
Ia tadi tengah memetik buah ketika mendengar tindakan kaki pendeta itu datang dari jauh.
Cepat Bu Lam Nio melompat naik ke dalam pohon Pek yang besar itu dan mengintai.
Ketika melihat seorang pendeta dengan pedang di tangan mendatangi cepat sekali, ia lalu keluar
dari tempat persembunyiannya. Ia tidak suka ada orang lain memasuki hutan itu dan melihat Sui
Giok dan puterinya. Hatinya masih penuh kecurigaan kalau-kalau orang ini adalah suruhan dari
kaisar menangkap Sui Giok.
"Kaukah siluman yang suka mengganggu penduduk dusun?" tosu itu membentak setelah
dapat menenangkan hatinya yang tadi berdebar keras.
Disebut siluman, Bu Lam Nio tertawa bergelak. Suara ketawanya keras, nyaring dan bergema di
seluruh hutan, menyeramkan sekali. Akan tetapi ia tidak menjawab, hanya memandang kepada
pendeta itu dengan matanya yang hampir tertutup oleh keriput mukanya.
"Eh, iblis wanita !" Pek Kin Cu berseru keras untuk melawan suara ketawa yang menggetarkan
hatinya itu. "Kau tentu iblis yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li. Jangan kau
berlagak di depan Pek Kin Cu. Seorang pendeta Pek-sim-kauw tidak boleh dibuat permainan dan
tidak takut menghadapi segala macam siluman jahat seperti kau."
Mendengar ucapan-ucapan yang dianggapnya tidak karuan itu, Bu Lam Nio berkata dengan
suaranya yang parau karena ia sudah tua sekali.
"Kau boleh sebut aku apa saja, akan tetapi sekarang juga kau harus pergi dari sini. Pergi!"
Wanita itu menggerak-gerakan tangannya mengusir Pek Kin Cu.
"Aku tidak takut kepadamu dan tidak akan pergi. Aku memang sengaja datang untuk mengusir dan
mengirimkan kau kembali ke neraka. Di nerakalah tempatmu, bukan di atas bumi tempat tinggal
manusia. Kau telah membunuh seorang she Tan di dusun Tai-kun-an, dan karenanya kau harus
menerima hukuman di bawah pedangku!"
Kalau Pek Kin Cu tidak menyebutkan nama Tan-wangwe, mungkin keadaannya akan masih
baik baginya, akan tetapi sekali ia menyebut nama ini, marahlah Bu Lam Nio. Ia mengira bahwa
pendeta ini tentulah seorang jagoan yang datang untuk membalaskan dendam Tanwangwe.
"Keparat!" teriaknya marah sekali. "Kau tadi menyebutku Iblis Wanita Pencabut Nyawa,
memang aku akan mencabut nyawamu yang jahat!" Sambil memekik seram ia lalu
menyerang tosu itu. Pek Kin Cu sudah siap sedia dan begitu melihat tubuh wanita itu bergerak, ia segera memapak
dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi, dengan gesit sekali Bu Lam Nio mengelak ke kiri dan
mengirim pukulan dengan tangan kanannya.
Pek Kin Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa angin pukulan itu telah mendahului tangan
iblis itu, menyambar ke arah lambungnya dengan kekuatan yang mengherankan sekali. Ia cepat
melompat ke belakang dan tahulah ia bahwa siluman ini benar-benar lihai sekali, memiliki
kegesitan dan tenaga lweekang yang tinggi. Ia lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan ilmu
pedang Pek-sim-kiam-hoat yang amat diandalkan.
Perlu diketahui bahwa murid-murid Pek-sim-kauw yang belum menguasai sedikitnya lima puluh
bagian dari pada ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat dan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, tidak boleh
mengaku sebagai murid Pek-sim-kauw dan tidak boleh pula di dalam pertempuran
mempergunakan ilmu silat ini.
Pendeknya mereka ini belum diakui sebagai murid. Kalau sudah menguasai lima puluh bagian
atau setengahnya dari ilmu silat keluaran Pek-sim-kauw, barulah ia akan diaku sebagai murid dan
mendapat tingkat ketiga. Oleh karena itu, biarpun tingkatnya hanya tingkat tiga, namun ilmu silat dan ilmu pedang Pek Kin
Cu sudah hebat sekali. Kalau hanya ahli silat kebanyakan saja jangan harap akan dapat melawan
pendeta ini. Bu Lam Nio maklum akan kelihaian Pek Kin Cu. Ilmu silat dan ilmu pedang pendeta itu memang
amat tangguh dan hampir saja Bu Lam Nio sendiri sukar menghadapinya. Akan tetapi, dalam hal
ginkang dan lweekang, Bu Lam Nio masih menang setingkat dan inipun kalau wanita tua ini
belum pernah mempelajari Kim-gan-liong-kiam-sut biarpun baru sedikit, agaknya iapun takkan
dapat menang. Berkat pengetahuannya tentang Kim-gan-liong-kiam-sut yang benar-benar merupakan raja ilmu
pedang itu, ia dapat mengikuti gerakan pedang lawannya dan dengan ginkangnya yang tinggi, ia
dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan maut.
Memang hebat sekali pertempuran ini. Kalau pedang Pek Kin Cu boleh diumpamakan seekor
naga, maka tubuh Bu Lam Nio merupakan segulung awan hitam yang mengelilingi naga itu.
Telah lima puluh jurus lebih Pek Kin Cu menyerang, akan tetapi belum pernah ujung
pedangnya dapat menyentuh baju Bu Lam Nio yang hitam. Sebaliknya, sudah beberapa kali
pendeta ini terkena dorongan angin pukulan Bu Lam Nio sehingga terhuyung-huyung.
"Siluman wanita, kau jahat sekali!" Pek Kin Cu membentak sambil memperhebat
gerakkannya. "Tosu palsu, kaulah yang jahat!" Bu lam Nio juga bergerak makin cepat dan mendesak
lawannya dengan pukulan-pukulan dari ilmu silat keturunan keluarga Kam. Di dalam gebrakan
selanjutnya, tiba-tiba terdengar Pek Kin Cu berteriak keras dan tubuhnya terkena pukulan Bu
Lam Nio sehingga terpental jauh dan jatuh dalam keadaan pingsan.
Pendeta ini telah terkena pukulan di bagian dadanya dan masih untung bahwa lweekangnya
cukup tinggi dan tadi melihat sambaran pukulan tangan Bu Lam Nio yang istimewa, ia masih
dapat cepat-cepat menutup jalan darah dan menahan napasnya yang dikumpulkan di dada untuk
melindungi jantung dan paru-parunya, maka ia hanya jatuh pingsan karena kerasnya pukulan
membuat kepalanya tergoncang hebat.
Bu Lam Nio tertawa nyaring sekali sehingga suara ketawanya sekali ini bergema lebih keras
lagi. Kemudian ia melompat mendekati pendeta itu, mengambil pedang yang terlepas dari
tangan Pek Kin Cu, mengangkatnya ke atas hendak dipancungkan ke arah leher pendeta itu.
"Nenek Lam, jangan bunuh orang!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring sekali dan belum
hilang gema suara itu, bayangan orangnya telah berkelebat cepat dan berdiri di belakang Bu Lam
Nio. Ternyata ia adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya, akan tetapi wajahnya nampak
agung dan angkuh. Sekali saja gadis ini mengulur tangannya, pedang di tangan Bu Lam Nio telah dapat
dirampasnya. Dapat dibayangkan betapa lihainya gadis ini yang dapat merampas pedang dari
tangan nenek itu demikian mudahnya.
Bu Lam Nio menengok dan berkata menegur, "Ling Ling ! Mengapa kau mencegahku"
Pendeta ini datang hendak mencelakakan kita, patut dibunuh!"
"Jangan, nenek Lam. Membunuh orang tanpa sebab yang kuat dan beralasan adalah dosa yang
besar. Sudah cukup merobohkan dia dan mengirim dia kembali ke luar hutan. Ibu akan menjadi
marah kalau melihat nenek membunuh orang."
"Ayaaa ....! Orang lemah!" nenek tua itu mencela, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi.
Dengan ringan dan mudah sekali ia lalu menangkap leher pendeta itu, mengempit tubuh itu
dengan lengan kirinya dan berlari secepat terbang keluar dari hutan. Ling Ling mengikuti nenek
itu dengan gerakannya yang ringan dan cepat, bagaikan bayangan nenek yang menyeramkan itu.
Di luar hutan terdapat banyak sekali penduduk Tai-kun-an yang menanti kembalinya Pek Kin Cu,
mereka itu semua menaruh kepercayaan penuh kepada pendeta Pek-sim-kauw yang pergi hendak
membasmi siluman wanita itu. Sambil menanti, mereka duduk di atas rumput dan
bercakap-cakap, membicarakan perkumpulan Pek-sim-kauw yang terkenal dengan pendetapendetanya yang Sudah menjadi kebiasaan manusia bahwa dalam percakapan seperti itu, orang selalu
menambah-nambahkan dan melebih-lebihkan apa yang mereka pernah dengar dan
menceritakan keanehan-keanehan pendeta Pek-sim-kauw seakan-akan mereka pernah
menyaksikannya sendiri. Seorang di antara mereka bahkan menceritakan betapa Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-simkauw,
pernah menyelam ke dalam laut selama sepekan untuk mengadakan perundingan dengan
Hai-liong-ong (Raja Naga Laut Pengatur Hujan) dan untuk menolong daerah timur yang
kekurangan air. Setelah Liang Gi Cinjin keluar dari laut, maka segera turun hujan lebat di dyang kekurangan air
Ada pula yang bercerita betapa pendeta-pendeta Pek-sim-kauw telah mengusir silumansiluman
dengan ilmu gaib mereka. Masih banyak sekali dongeng-dongeng tentang perkumpulan agama
Pek-sim-kauw sehingga hati mereka menjadi besar dan makin percayalah mereka kepada Pek Kin
Cu yang masih berada di dalam hutan untuk mengusir Toat-beng Moli atai Cialing Mo-li, siluman
yang telah bertahun-tahun merupakan gangguan dan yang mereka amat takutkan itu.
"Pek Totiang tentu akan dapat menangkap Cialing Mo-li," kata seorang di antara mereka,
"dan akan membawanya ke sini."
"Asal saja Toat-beng Mo-li tidak sedang menjelma menjadi anak kecil," kata orang kedua,
"sungguh tidak enak melihat seorang anak kecil tertangkap dan hendak dibunuh."


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ramailah kini mereka bicara tentang Toat-beng Mo-li, iblis wanita pencabut nyawa yang
menyeramkan itu. Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon besar tak jauh dari tempat mereka
berkumpul sehingga semua orang menjadi terkejut dan ketakutan.
Suara berkeresekan di pohon itu, lalu disusul oleh melayangnya tubuh orang yang yang jatuh di
depan mereka. Alangkah kagetnya orang-orang ini ketika melihat bahwa yang dilemparkan ke
arah mereka itu bukan lain adalah tubuh Pek Kin Cu, pendeta yang menjadi jagoan mereka yang
kini menggeletak dalam keadaan pingsan.
Ributlah orang-orang itu menolong Pek Kin Cu. Setelah kepalanya disiram air dan siuman dari
pingsannya, pendeta itu menjawab pertanyaan orang-orang dusun dengan gelengan kepala dan
suaranya amat sedih ketika ia berkata perlahan, "Sungguh berbahaya. Iblis wanita itu sungguh
lihai sekali ......"
Bukan main kecewa rasanya hati orang-orang itu dan dengan lemas mereka lalu kembali ke
Tai-kun-an. Setelah tiba di kampung, barulah Pek Kin Cu menceritakan pengalamannya, bahwa
ia tidak kuat menghadapi iblis wanita yang benar-benar kuat sekali itu.
"Akan tetapi harap kalian jangan khawatir," katanya menghibur orang-orang itu, "perkumpulan
Pek-sim-kauw takkan membiarkan kejahatan merajalela, biarpun yang melakukan pengacauan
adalah seorang iblis atau siluman, kami pasti akan bertindak untuk menolong kalian. Memang
betul bahwa aku sendiri tidak dapat menangkap siluman itu, akan tetapi hari ini juga aku akan
minta bantuan suheng-suhengku di kota Kong-goan."
Kemelut Kerajaan Mancu 3 Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5

Cari Blog Ini