Ceritasilat Novel Online

Tembok Besar 2

Tembok Besar Karya Unknown Bagian 2


Legalah hati semua penduduk Tai-kun-an mendengar ucapan ini, karena tadinya mereka
merasa amat takut kalau-kalau iblis wanita itu akan menaruh dendam dan marah kepada
mereka karena pendeta Pek-sim-kauw itu telah berani mengganggunya di hutan.
****** Pada keesokan harinya, nampak empat orang pendeta Pek-sim-kauw berjalan dengan ilmu
silat cepat menuju ke dalam hutan itu. Mereka ini datang dari Kong-goan dan melihat dari
tusukkonde mereka, dapat diketahui bahwa tiga orang yang memakai tusuk konde gading
adalah pendeta-pendeta tingkat dua, sedangkan yang seorang lagi adalah Pek Kin Cu.
Setelah dikalahkan oleh "siluman wanita" itu, Pek Kin Cu cepat-cepat pergi ke kota Konggoan
dan menceritakan pengalamannya kepada suheng-suhengnya yang menjadi pemimpin cabang
Pek-sim-kauw di kota itu.
Pemimpin yang bertugas menyebar agama Pek-sim-kauw di kota Kong-goan ada lima orang
banyaknya, semua pendeta-pendeta tingkat dua, dibantu oleh banyak pendeta-pendeta tingkat tiga
yang datang berangsur-angsur dari pusat. Setelah lima orang pemimpin ini mendengar cerita Pek
Kin Cu, mereka merasa marah sekali.
"Memang siluman itu harus dibasmi," kata Pek Sui Cu yang tertua dan yang menjadi kepala
cabang di Kong-goan. "Ji-sute, Sam-sute dan Si-sute (adik kedua, ketiga, dan keempat) harap
suka membereskan soal ini. Menurut pendapatku, iblis yang mengalahkan Pek Kin Cu bukanlah
iblis tulen, melainkan seorang yang jahat atau seorang yang tidak waras otaknya, yang telah lama
menyembunyikan diri di dalam hutan. Oleh karena itu, oleh karena dia tidak membunuh Pek Kin
Cu kalau dapat tangkaplah saja dia, jangan dibunuh."
"Akan tetapi, twa-suheng (kakak terbesar), iblis itu telah membunuh seorang penduduk dusun
Tai-kun-an yang bernama Tan-wangwe dan beberapa orang penjaganya. Ia berbahaya sekali dan
kalau tidak dibunuh, akan mendatangkan banyak malapetaka pada rakyat kampung di sekitar
hutan itu." "Jangan, jangan sembarangan membunuh orang. Kalian berempat masa tidak mampu
menangkapnya dan membawanya ke sini" Kalau memang kalian tidak dapat menangkap,
barulah kalian boleh turun tangan," berkata Pek Sui Cu.
Demikianlah, sambil membawa senjata masing-masing, empat orang pendeta Pek-sim-kauw itu
lalu berangkat dengan cepat memasuki hutan di sebelah utara dusun Tai-kun-an itu. Kepandaian
tiga orang pendeta tingkat dua ini tentu saja lebih tinggi dari pada kepandaian Pek Kin Cu,
karena mereka ini pernah mendapat latihan langsung dari Liang Gi Cinjin.
Berbeda dengan pendeta-pendeta tingkat tiga seperti Pek Kin Cu yang hanya mendapat latihan
dari pendeta tingkat satu dan dua. Baru melihat cara mereka berlari saja, jelas sudah bahwa
kepandaian ginkang dari Pek Kin Cu kalah jauh, akan tetapi oleh karena dia yang menjadi
penunjuk jalan, maka ketiga orang suhengnya itu sengaja memperlambat larinya agar mereka
dapat maju berbareng. Pada saat itu, Liem Sui Giok bersama puterinya Ling Ling, sedang bercakap-cakap di dalam gua
tempat tinggal mereka. Bu Lam Nio tidak kelihatan di situ oleh karena seperti biasa, nyonya tua
itu telah sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, mencuci pakaian, memasak nasi dan lain-lain.
Sungguh amat mengharukan betapa nenek tua ini amat bersetia kepada Sui Giok dan Ling Ling.
Dan biarpun Sui Giok sudah berkali-kali melarangnya melakukan semua pekerjaan itu, namun
tetap saja ia berkeras, karena ia masih selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang pelayan.
"Aku tidak akan merasa senang apabila aku tidak bekerja sebagai pelayan," bantah nenek itu,
"dengan pekerjaan-pekerjaan ini, aku dapat mengenang masa lalu yang penuh keindahan."
Bab 05..... Pada hari itu, Sui Giok sedang menghadapi Ling Ling yang semenjak beberapa hari ini selalu
rewel dan mendesaknya untuk memberi ijin. Gadis ini ingin sekali keluar dari hutan itu dan pergi
ke dunia ramai. "Ibu," katanya setelah mendesak berkali-kali, "semenjak dahulu, aku sudah merasa amat bosan
tinggal di dalam hutan yang sunyi ini, jauh dari kawan-kawan, jauh dari manusia lainnya. Dulu
ibu menyatakan bahwa kalau aku sudah dewasa dan sudah memiliki kepandaian, ibu akan
memperkenankan aku keluar dari hutan ini. Nah, bukankah sekarang aku sudah dewasa dan
tentang kepandaian .... apakah ibu masih menganggap kurang ?"
Dengan air mata berlinang, Sui Giok memeluk anaknya.
"Ling Ling, tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hati ibumu selain melihat kau
hidup seperti gadis-gadis lain di dunia ramai. Akan tetapi, aku tidak tega dan selalu akan
merasa gelisah kalau kau merantau seorang diri, anakku. Bagaimana kalau kau sampai
mendapat bencana di jalan" Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat, Ling Ling."
"Ibu, mengapa susah-susah" kalau ibu tidak tega, marilah kita pergi berdua. Dengan kepandaian
kita, apakah yang kita takutkan" Ibu, aku ingin sekali mencari ayah. Menurut penuturan ibu, ayah
dahulu dibawah oleh para serdadu untuk bekerja paksa, mengapa kita tidak menyusul dan
mencarinya" Alangkah akan bahagianya kalau kita dapat bertemu dengan ayah!"
Makin deras air mata mengalir dari mata Sui Giok mendengar disebutnya suaminya ini.
Kemudian ia menggeleng kepala dan berkata perlahan,
"Ling Ling, hal ini tidak mungkin. Kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan nenekmu" Dia
adalah penolong ibumu, tanpa adanya nenek Lam, ibumu pasti sudah tewas dan kau takkan ada di
muka bumi ini. Bagaimana aku bisa tinggalkan dia seorang diri di tempat ini?"
Belum sempat Ling Ling menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi pekik yang amat
nyaring, seperti pekik seekor binatang buas yang dilukai.
"Nenenk Lam ...... !!" Ling Ling berseru keras dan wajahnya tegang. "Dia marah sekali!"
Akan tetapi Sui Giok sudah melompat berdiri dan menarik tangannya. "Hayo cepat, nenekmu
berada dalam bahaya!" Keduanya lalu melompat dan berlari cepat sekali ke arah datangnya suara
itu. Ternyata bahwa Bu Lam Nio telah bertemu di dalam hutan dengan empat orang pendeta Peksim-kauw itu. Melihat pendeta-pendeta itu, Bu Lam Nio mengenal Pek Kin Cu yang kemaren
telah dirobohkan, maka meluaplah amarahnya. "Pendeta-pendeta busuk, kalian sudah bosan hidu!" teriaknya dan langsung ia menyerang mereka dengan sebatang ranting pohon
"Siluman jahat! Kau benar-benar ganas dan harus dibasmi!" teriak Pek Kin Cu sambil memutar
pedangnya. Juga tiga orang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw lalu mencabut pedang dan
mengeroyok. Akan tetapi kebencian Bu Lam Nio telah ditumpahkan kepada Pek Kin Cu membuat nenek ini
menyerang dengan hebat sekali kepada pendeta ini. Desakkannya bukan main dahsyatnya dan ia
melakukan serangan bertubi-tubi dengan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut yang baru sedikit
dipelajarinya. Namun ini sudah cukup. Biarpun Pek Kin cu berusaha menangkis dan ketiga orang suhengnya
menyerang hebat untuk menolongnya, tetap saja ujung ranting di tangan Bu lam Nio dengan tepat
telah menusuk jalan darah pada lehernya.
Pek Kin Cu terhuyung dan roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena jalan darah
pada lehernya telah pecah, membuat ia tak dapat bersuara dan tak dapat bernapas lagi. Ia
tewas pada saat itu juga. Demikianlah kehebatan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut.
Bukan main terkejut dan marahnya tiga orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua itu.
"Iblis wanita, kau benar-benar ganas dan kejam!" teriak mereka dan bergulung-gulunglah sinar
pedang ketiga pedang ketiga pendeta ini ketika mereka mengeroyok dengan seranganserangan
maut kepada Bu Lam Nio. Bu Lam Nio sudah amat tua dan matanya sudah agak lamur, biarpun
ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang mengherankan, akan tetapi menghadapi tiga orang
lawan yang amat tangguh ini, ia menjadi sibuk juga. Dari tangkisan pedang mereka, ia maklum
bahwa ketiga orang lawan ini bukanlah lawan yang empuk seperti Pek Kin Cu, dan jangankan
dikeroyok tiga, baru menghadapi seorang di antara mereka saja, agaknya ia takkan mudah
merobohkannya. Ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkan oleh tiga orang pendeta ini memang lihai.
Kepandaian mereka sudah mencapai tujuh puluh bagian sehingga ketika pedang mereka
berkelebat, terdengarlah bunyi mengaung seperti ribuan lebah pulang ke sarang.
Sebentar saja Bu Lam Nio terkurung rapat oleh sinar pedang mereka dan tidak mempunyai
jalan keluar lagi. Akan tetapi, Bu Lam Nio tidak menjadi gentar bahkan lalu memutar
rantingnya makin cepat sambil melakukan serangan balasan membabi buta.
Ranting kecil di tangan nenek ini jangan dipandang ringan oleh karena biarpun hanya kecil dan
terbuat daripada kayu kering saja, namun bahayanya tidak kalah oleh sebatang pedang atau
tongkat baja. Ujung ranting ini menyambar-nyambar dan mengancam setiap jalan darah lawan
dan sekali saja ujungnya dapat menotok jalan darah, pasti lawannya akan terjungkal.
Akan tetapi yang dihadapinya sekarang adalah murid-murid Liang Gi Cinjin sendiri, maka
setelah melawan mati-matian sampai tiga puluh jurus, dengan gerakan berbareng pendetapendeta itu menyerang dari tiga jurusan. Bu Lam Nio masih mencoba untuk menangkis dan
mengandalkan ginkangnya mengelak namun sebatang pedang yang menyerangnya dari kiri
dengan tepat telah menusuk lambungnya.
Nenek ini mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan memperkeras lambungnya, namun
tenaga lweekang penusuknya juga kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, pedang itu telah
menancap pada lambungnya sampai setengahnya lebih.
Bu Lam Nio mengeluarkan pekik dahsyat dan mengerikan sekali. Pekik yang bukan seperti
pekik manusia ini dikeluarkan karena marah dan sakit. Dan pekik inilah yang terdengar oleh Sui
Giok dan Ling Ling. Dengan tenaga yang luar biasa sekali, biarpun ia telah terluka parah, Bu Lam Nio masih dapat
menubruk maju dan kalau saja pendeta yang menusuknya tadi tidak cepat-cepat menarik kembali
pedangnya dan melompat, pasti ia akan kena ditangkap dan kalau terjadi demikian, jangan harap
ia akan dapat hidup lagi. Ketika tubrukannya luput, Bu Lam Nio terjerumus ke depan dan
terguling, menggeletak di dalam genangan darahnya sendiri.
Pada saat itu, datanglah Sui Giok dan Ling Ling.
"Nenek ... !!" Ling Ling menjerit ngeri melihat keadaan neneknya ini dan tanpa banyak cakap ia
lalu mencabut pedangnya, yakni pedang yang dulu dirampas oleh Sui Giok dari tangan
Tan-wangwe, lalu ia menyerbu kepada tiga pendeta Pek-sim-kauw i
Bukan main hebatnya serangan ini. Pedang ditangannya itu nampak bagaikan halilintar
menyambar-nyambar dan sukar diduga bagian mana yang hendak diserang. Ketiga orang
pendeta itu tadinya berdiri tercengang ketika melihat datangnya dua orang wanita yang
cantik-cantik. Tak mungkin mereka ini siluman, pikir mereka mulailah mereka merasa gelisah dan menyesal
telah membunuh Bu Lam Nio. Kini melihat datangnya serangan gadis muda yang cantik sekali ini,
kegelisahan mereka berubah menjadi kekagetan yang besar.
Mereka cepat menangkis dan terdengar bunyi nyaring sekali. Dua orang pendeta masih dapat
menahan, akan tetapi orang ketiga tak dapat menahan getaran tangannya sehingga pedangnya
yang dipakai menangkis telah terpental jauh.
Sui Giok melompat maju dan menerima pedang pendeta yang melayang ini, kemudian tanpa
banyak cakap lagi iapun menyerbu dengan hati marah sekali. Pendeta yang pedangnya kena
dipentalkan oleh Ling Ling tadi memiliki hati yang penakut dan pengecut. Melihat betapa
pedangnya dengan mudah terampas dan kini berada di tangan wanita cantik itu ia tidak
mempunyai nafsu untuk melawan lagi.
Apalagi ketika dilihatnya betapa dua orang kawannya dalam segebrakan saja terkurung dan
terdesak hebat. Tanpa banyak pikir lagi, ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari sifat kuping
(cepat sekali). Memang, kedua orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua ini sama sekali bukan lawan Ling
Ling, karena begitu bergerak, Ling Ling sudah dapat mendesaknya sehingga lawan ini sama
sekali tak berdaya membalas, hanya menangkis dan mengelak saja.
Gerakan Ling Ling terlampau gesit dan sukar diduga, sedangkan ilmu pedangnyapun amat luar
biasa. Kalau yang menghadapi Ling Ling bukan pendeta Pek-sim-kauw yang sudah mewarisi
tujuh puluh bagian dari Pek-sim-kiam-hoat, jangan harap ia akan dapat melayani Ling Ling lebih
dari sepuluh jurus. Kini biarpun pendeta itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, namun
dalam jurus keempat belas, pedang Ling Ling dengan cepat sekali menyambar lehernya.
Ketika pendeta itu menangkis, secepat kilat pedang Ling Ling dirobah gerakkannya dan kini
bukan merupakan sabetan lagi, melainkan ditusukkan ke arah dada pendeta itu. Hal ini sama sekali
tak pernah disangka oleh tosu dari Pek-sim-kauw ini. Ia berusaha mengelak sudah tidak
keburu, untuk menangkis apalagi, maka terpaksa ia lalu mengumpulkan hawa di dadanya,
untuk mencoba menahan tusukan ini.
Ilmu lweekang dari tosu-tosu Pek-sim-kauw memang tinggi dan Liang Gi Cinjin sendiri terkenal
seorang ahli lweekeh yang jarang tandingannya. Pendeta yang menghadapi Ling Ling ini sudah
melatih Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) dan sudah melatih ilmu kebal yang
disebut Thiat-po-san (Baju Mustika Besi).
Akan tetapi kini dia bukan menghadapi lawan sembarangan. Mungkin juga kalau yang
menusuk dadanya itu seorang yang ilmu silatnya masih rendah, kulit dadanya akan berhasil
menahan dan tidak terluka.
Akan tetapi, Ling Ling selalu menggerakkan pedangnya menurut petunjuk dari kitab Kimgan-liong-kiam-coan-si dan selalu disertai getaran-getaran yang disalurkan oleh tenaga
lweekangnya. Pedang itu kini sudah merupakan sebagian daripada tangannya dan seakan-akan
ujung pedang itu dapat "memilih" jalan masuk ke dala
"Cepp ....!" Tosu itu berseru keras, memukulkan tangan kiri ke depan dengan tenaga terakhir
untuk membalas lawannya. Akan tetapi, Ling Ling tidak saja dapat menahan angin pukulan ini,
bahkan menambah dengan sebuah tendangan ke arah perut lawannya yang segera terpental
tubuhnya sampai dua tombak lebih dalam keadaan mati.
Ketika Ling Ling menengok keadaan ibunya, ternyata Sui Giok juga sedang mendesak hebat
pendeta lawannya, ilmu kepandaian Sui Giok tidak sehebat Ling Ling, karena memang puterinya
ini jauh lebih berbakat dan berlatih silat semenjak kecil. Bagi Sui Giok yang berlatih silat setelah
ia mempunyai anak, tentu saja gerakannya tidak selemas Ling Ling walaupun kecerdikan dan
ketekunannya membuat Sui Giok kini memiliki kepandaian yang jarang dimiliki oleh ahli silat
lain. Dalam hal tenaga dan kegesitan, keadaan Sui Giok boleh dibilang berimbang dengan lawannya,
akan tetapi ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut memperlihatkan keunggulannya. Dengan ilmu
pedang ini, Sui Giok berhasil mendesak lawannya yang kini makin menjadi gelisah itu. Ling Ling
tidak mau membantu ibunya karena maklum bahwa tak lama lagi ibunya akan berhasil
merobohkan lawannya. Benar saja, setelah bertempur tiga puluh lima jurus, akhirnya dengan gerak tipu Kim-ganliong-sin-yau (Naga Mata Emas Mengulur Pinggang), Sui Giok berhasil menipu dan memanlawannya. Tubuhnya membelakangi lawannya dengan gerakan yang lemas dan indah dan melihat
kesempatan serta lowongan ini, pendeta itu segera menusuk dari belakang.
Ini hanya pancingan belaka untuk dapat mematahkan kekuatan pertahanan tosu itu. Bagi setiap
ahli ilmu silat tentu maklum bahwa serangan dan pertahanan adalah dua gerakan yang
berlawanan. Apabila orang menyerang maka berarti bahwa pertahanannya tentu berkurang satu
bagian kekuatannya, sebaliknya di waktu bertahan, juga daya serangnya berkurang.
Ketika tosu itu menusukkan pedangnya ke arah dada kiri Sui Giok, tiba-tiba nyonya ini berseru
keras, membalikkan tubuh, membuka lengan kiri sehingga pedang lawan meluncur di bawah
pangkal lengan kirinya, kemudian pedang di tangan kanannya tak dapat dicegah lagi telah
memasuki dada lawannya. Pendeta Pek-sim-kauw ini menjerit dan ketika Sui Giok mencabut pedangnya sambil
melompat kebelakang, tubuh pendeta itu terguling roboh tak bernyawa lagi.
Kedua anak dan ibu ini segera menghampiri Bu Lam Nio yang masih rebah mandi darah.
Ketika Sui Giok merobohkan pendeta lawannya, Ling Ling sudah berlutut dan memangku
kepala neneknya maka kini keduanya hanya menangis sedih.
Keadaan Bu Lam Nio sudah jelas, tak dapat diobati lagi. Kulit lambungnya telah terbuka dan isi
perutnya bahkan ada yang menonjol keluar. Darah membasahi rumput dan pakaiannya.
Wajahnya pucat dan makin mengerikan, akan tetapi Ling Ling dan ibunya tiada hentinya
menciumi muka nenek itu sambil memanggil-manggil namanya.
Bagaikan dipanggil kembali nyawa nenek itu oleh tangisan Ling Ling dan Sui Giok, tiba-tiba
mata yang telah tertutup rapat itu terbuka kembali dan melihat Ling Ling memangkunya, Bu Lam
Nio tersenyum. Bibirnya berbisik-bisik akan tetapi suara yang keluar sukar sekali ditangkap oleh
telinga karena amat perlahan. Ling Ling dan Sui Giok lalu mendekatkan telinga mereka untuk
mendengar pesan terakhir itu.
"Oei-hong-kiam (Pedang Tawon Kuning) dari suamiku telah dirampas oleh pembunuhnya ......
carilah pemegang Oei-hong-kiam dan ... bunuh dia untuk membalas sakit hati Kamciangkun
(Panglima Kam)......" Setelah berkata demikian, leher Bu Lam Nio menjadi lemas dan
melayanglah nyawa nenek yang malang hidupnya ini meninggalkan raganya yang sudah rusak.
Dengan hati sedih, Sui Giok dan Ling Ling mengubur jenazah Bu Lam Nio, juga ketiga
jenazah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu mereka kubur baik-baik. Hal ini menandakan
bahwa budi pekerti Sui Giok memang halus dan baik. Nyonya ini bersama anaknya masih
merasa heran mengapa pendeta-pendeta yang jubahnya memakai gambar hati putih ini
memusuhi Bu Lam Nio. "Mereka ini tentulah pendeta-pendeta yang jahat, sebagaimana seringkali ibu menceritakan
kepadaku!" kata Ling Ling. "Maka kelak kalau kita bertemu dengan pendeta berpakaian seperti
ini, kita harus membasmi mereka!" Memang pada waktu itu kedudukan para tosu dan hwesio
dirusak dan dicemarkan oleh orang-orang jahat yang sengaja menjadi "orang suci" untuk
menutupi perbuatan mereka yang jahat.
Dengan jubah pendeta, mereka ini lebih leluasa membodohi rakyat dan melakukan hal-hal
yang amat mengecewakan. Hal ini diketahui oleh Sui Giok maka seringkali ia memberi
nasehat kepada anaknya agar berhati-hati menghadapi orang-orang yang berjubah pendeta,
karena kalau mereka itu berhati jahat, sukarlah bagi kita untuk menyangkanya.
"Ibu, setelah kini nenek tidak ada, tentu ibu tidak berkeberatan untuk mengawani aku keluar dari
tempat ini. Marilah kita pindah ke tempat ramai, ibu, dan hidup seperti orang-orang biasa. Ling
Ling membujuk dua hari kemudian setelah peristiwa itu terjadi.
"Baiklah, Ling Ling. Akan tetapi aku masih merasa tidak tega meninggalkan makam nenekmu.
Biarlah kita tinggal lagi di sini sampai sembilan hari, baru kita tinggalkan tempat ini."
Akan tetapi tujuh hari kemudian, terjadilah peristiwa hebat yang memaksa ibu dan anak itu
pergi dari situ sebelum waktu yang mereka tetapkan. Pada hari itu, pagi-pagi sekali,
serombongan pendeta mendarat di hutan itu.
Mereka ini datang dengan perahu dan ternyata bahwa mereka adalah pendeta-pendeta Peksim-kauw sebanyak tiga belas orang. Melihat tusuk konde mereka, ternyata bahwa mereka ini
adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw yang berkepandaian tinggi. Sepuluh orang bertingkat dudan yang tiga orang adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw tingkat sa
Bagaimanakah begitu banyak pendeta Pek-sim-kauw dapat menyerbu ke sini" Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, seorang pendeta dapat melarikan diri dari hutan itu dan
langsung berlari ke kota Kong-goan.
Kebetulan sekali pada waktu itu, Pek Sui Cu, pendeta dari cabang Pek-sim-kauw di Konggoan,
didatangi oleh beberapa orang pendeta tingkat dua lain yang sengaja datang hendak merundingkan
tentang keadaan perkumpulan mereka, ketika mereka ini mendengar tentang tewasnya Pek Kin Cu
dan tangguhnya siluman-siluman di dalam hutan itu, bukan main marah dan terkejut mereka,
"Celaka, twa-suheng," kata pendeta itu dengan muka pucat, "Ji-suheng dan sam-suheng entah
bagaimana nasibnya. Siluman-siluman wanita itu bukan main tangguh dan gagahnya." Ia lalu


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menceritakan betapa dengan sekali tangkis saja "siluman wanita" yang paling muda telah berhasil
membuat pedangnya terampas.
Pek Sui Cu dan kawan-kawannya lalu merundingkan hal ini,
"Terang bahwa mereka itu tentulah wanita-wanita jahat yang menyembunyikan diri dan
berkepandaian tinggi. Kita harus minta bantuan dari pusat, dan sebaiknya kita berlaku hatihati.
Sedapat mungkin kita harus minta bantuan dari suheng-suheng kita yang bertingkat satu. Jangan
sampai kita menyerbu dan gagal lagi."
Demikianlah, setelah menanti dua hari ternyata dua orang kawan mereka tidak kembali, lalu
seorang pendeta disuruh memberi laporan ke pusat minta bantuan.
Pusat Pek-sim-kauw berada di kota besar Ceng-tu di sebelah selatan. Liang Gi Cinjin sendiri
jarang sekali berada di pusat, kesukaannya pergi merantau, mengunjungi sahabat-sahabatnya di
puncak gunung-gunung seperti Kunlun-san, Gobi-san, dan lain-lain.
Orang tua yang sakti ini memang sudah bosan untuk mengurus semua persoalan dunia dan lebih
suka ia mengunjungi ketua Kunlun-pai atau Gobi-pai untuk bermain catur, bercakapcakap dan
bertukar pikiran tentang ilmu batin dan ilmu alam. Apabila dia sedang pergi, maka seluruh urusan
Pek-sim-kauw diserahkan kepada murid-muridnya yang sudah bertingkat satu.
Jumlah muridnya ini hanya lima orang, masing-masing bernama Pek Im Ji, Pek Hong Ji, Pek Yang
Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji. Kesemuanya adalah pendeta-pendeta yang sudah berusia lima
puluh tahun lebih dan selain telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena telah mewarisi
delapan puluh bagian lebih dari Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat, merekapun telah
mendapat pengertian yang mendalam tentang kebatinan. Tidak mengherankan apabila sikap
mereka halus dan lemah lembut serta memiliki sifat penuh welas asih.
Ketika ke lima orang murid Liang Gi Cinjin mendengar tentang siluman yang membunuh
anak murid Pek-sim-kauw, mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran.
"Bagaimana bisa terjadi hal sehebat itu?" tanya Pek Im Ji, pendeta tertua atau murid kesatu
daripada Liang Gi Cinjin yang juga mewakili suhunya.
"Kesalahan apakah yang sudah diperbuat oleh orang-orang kita sehingga mendapat marah dari
orang gagah yang menyembunyikan diri di dalam hutan?" Pek Im Ji tanpa ragu-ragu lagi
mengetahui bahwa yang disebut siluman itu tentulah orang gagah yang pandai ilmu silat.
Pendeta pesuruh dari Kong-goan itu lalu menceritakan awal mulanya, "Penduduk dusun Taikun-an seringkali mendapat gangguan dari siluman wanita yang disebut Toat-beng Mo-li atau
Cialing Mo-li bahkan seorang she Tan dari dusun itu bersama beberapa orang pengawalnya telah
terbunuh mati. Ketika sute Pek Kin Cu mendengar laporan para penduduk dusun itu, segera dia
mendatangi hutan tempat tinggal siluman tadi dan dalam pertempuran, ternyata sute Pek Kin Cu
tidak dapat melawan seorang wanita tua yang seperti siluman mukanya. Sute Pek Kin Cu terkenpukulan, dan menjadi pingsan. Ketika siuman kembali, ia telah berada di luar hutan. Kemudian
sute Pek Kin Cu minta bantuan ke Kong-goan. Bersama tiga orang saudara dari Kong-goanlalu mendatangi dan menyerbu hutan itu. Tidak tahunya, siluman wanita tua itu masih mempunyai
dua orang kawan, seorang wanita dan seorang gadis yang memiliki ilmu silat luar biasa sekali.
Sute Pek Kin Cu tewas dalam pertempuran, dan ketika tiga orang saudara dari Kong-goan berhmerobohkan siluman tua, datanglah dua orang wanita tadi. Saudara-saudara kita itu terdesak
hebat, seorang saudara dapat melarikan diri, akan tetapi yang dua lagi agaknya tewas pula, karena
sehingga kini belum kembali. Mohon bantuan dari twa-suhu!"
Pesuruh ini memang terhitung murid dari kelima pendeta kepala itu maka ia menyebut Pek Im Ji
sebagai twa-suhu. Pek Im Ji menghela napas panjang. "Terlalu gegabah!" celanya. Pek Kin Cu terlalu sembrono. Ia
agaknya terpengaruh oleh dongeng orang-orang dusun yang tahyul dan mengira bahwa orang
gagah itu benar-benar siluman. Celaka, kita telah menanam permusuhan dengan mereka.
Sungguhpun pihak kita telah tewas tiga orang, namun pihak mereka juga tewas seorang. Kalau
diselidiki secara adil, tak dapat kita menyalahkan pihak mereka. Kalau pihak kita tidak
mengganggu dan kalau Pek Kin Cu tidak menyerbu ke dalam hutan, tak mungkin terjadi peristiwa
ini." "Akan tetapi, twa-suhu," pesuruh itu membela saudara-saudaranya, "siluman itu telah membunuh
orang-orang dusun Tai-kun-an, apakah kita harus diam saja?" Pek Im Ji mengerutkan keningnya.
"Hm, pertanyaan bodoh yang kau ajukan ini. Apakah kau belum mengerti betul tentang hukum
sebab dan akibat" Kalau memang orang-orang gagah di dalam hutan itu benar-benar siluman,
mengapa mereka tidak membunuh semua penduduk" Pembunuhan terhadap orang she Tan itu
hanyalah akibat dan seperti juga semua akibat yang terjadi di dunia ini, pasti ia bersebab. Apakah
mendiang Pek Kin Cu sudah menyelidiki sebabnya" Tahukah dia mengapa orang she Tan itu
sampai terbunuh oleh orang gagah yang disebut siluman?"
Pesuruh itu tidak dapat menjawab dan tidak berani membantah pula, hanya berkata perlahan,
"Terserah kepada kebijaksanaan twa-suhu, karena teecu sekalian memang tak berdaya."
Pek Im Ji biarpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya merasa penasaran
juga. Sungguh hal yang amat memalukan nama Pek-sim-kauw. Tiga orang pendeta tingkat dua
dan seorang pendeta tingkat tiga tidak berdaya sama sekali menghadapi orang atau siluman yang
hanya merupakan tiga orang wanita saja bahkan menurut cerita pesuruh ini, yang seorang hanya
seorang gadis muda. "Sam-sute, Si-sute, dan Ngo-sute, harap suka membereskan urusan ini. Ketemuilah
orang-orang gagah di dalam hutan dekat Tai-kun-an itu dan tanyakanlah mengapa sampai
terjadi pertumpahan darah dan pembunuhan yang tidak p
Kalau memang pihak kita yang salah, mintakan maaf atas nama Pek-sim-kauw. Akan tetapi
kalau ternyata mereka itu orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam, orang-orang jahat),
jangan sembarangan membunuh, akan tetapi usahakan agar mereka itu dapat ditangkap. Kita
akan menanti keputusan suhu kalau dia sudah pulang."
Saudara ketiga, keempat dan kelima dari lima orang murid Liang Gi Cinjin itu segera menyatakan
kesanggupannya dan berangkatlah mereka ke Kong-goan. Mereka ini adalah Pek Yang Ji, Pek
Thian Ji, dan Pek Te Ji, tiga orang dari kelima saudara seperguruan yang juga dijuluki Pek-sim
Ngo-lojin (Lima Kakek Hati Putih).
Lima orang murid Liang Gi Cinjin ini bukanlah orang-orang sembarangan dan kelimanya
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Tiga orang
pendeta yang menjadi murid ketiga, keempat dan kelima inipun memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa. Tidak saja ilmu Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat telah mereka pelajari sampai delapan
puluh bagian, akan tetapi Pek Yang Ji memiliki tenaga lweekang yang disebut Tailek-kim-kong-jiu (Pukulan Halilintar). Pukulan ini bukan main dahsyatnya dan dari jarak jauhia dapat merobohkan seorang
Pek Thian Ji, murid keempat memiliki keistimewaan dalam kepandaian ginkang, sehingga
tubuhnya dapat bergerak lebih cepat daripada angin. Kalau berkelana seorang diri, ia dijuluki
Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) karena demikian cepat gerakan tubuhnya sehingga jangankan
melihat orangnya, melihat bayangannya pun sukar
Murid kelima, yakni Pek Te Ji, memiliki kepandaian ilmu menotok yang disebut Im-yangtiam-hoat. Cara menotoknya berbeda dengan ahli silat biasa, dan cara yang khusus ini
membuat totokannya tak dapat dilawan oleh ilmu kekebalan yang bagaimanapun juga.
Ketika ketiga orang pendeta sakti ini tiba di rumah perkumpulan Pek-sim-kauw di Konggoan, ternyata bahwa di situ telah berkumpul sepuluh orang pendeta tingkat dua, yakni
kawan-kawan Pek Sui Cu yang telah mendengar tentang siluman itu dan datang untuk
mencari kabar. Mereka ini tadinya bertugas di dusun-dusun dan kota-kota yang berada di
sekitar Kong-goan. Semua pendeta segera menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang kakek dari Ceng-tu ini,
karena mereka ini boleh dibilang masih terhitung guru mereka sendiri. Biarpun pendetapendeta
tingkat dua itu adalah murid-murid Liang Gi Cinjin juga, akan tetapi ilmu silat mereka sebagian
besar terlatih oleh kelima Pek-sim-ngo-lojin, sedangkan Liang Gi Cinjin
hanya sewaktu-waktu menguji mereka saja untuk mengetahui sampai di mana tingkat dan
kemajuan mereka. Ketika mendengar bahwa ketiga orang kakek ini hendak mencari siluman di hutan sebelah utara
Tai-kun-an, serentak sepuluh orang pendeta tingkat dua ini lalu menyatakan hendak ikut dan
melihat dengan kedua mata sendiri macamnya siluman-siluman wanita yang telah membunuh
saudara-saudara mereka. Di antara Pek-sim Ngo-lojin, sesungguhnya hanya Pek Im Ji saja yang amat keras dan
berdisiplin. Kalau kiranya Pek Im Ji yang hendak mencari siluman-siluman wanita itu, tentu dia
akan melarang anak buahnya ikut, akan tetapi ketiga orang pendeta tingkat satu ini tidak
melarang mereka, maka berangkatlah tiga belas orang pendeta itu beramai-ramai memasuki
hutan di sebelah utara Tai-kun-an dengan perahu yang di dayung sepanjang sungai Cialing.
Ketika mereka telah mendarat dan menuju ke tempat tinggal Bu Lam Nio dengan diantar oleh
seorang pendeta tingkat dua, yakni pendeta yang melarikan diri dulu itu sebagai petunjuk jalan,
tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang perempuan menangis. Mereka cepat menghampiri
tempat itu dan melihat dua orang wanita tengah berlutut di depan sebuah makam baru sambil
menangis. Mereka ini adalah Sui Giok dan Ling Ling yang tiap hari tentu mengunjungi makam Bu Lam Nio
dan menangis sedih. Ibu dan anak ini memang amat menyinta nenek yang telah berjasa besar
terhadap mereka itu. Tanpa adanya Bu Lam Nio, takkan ada mereka pula.
Bab 06..... Mendengar suara kaki mendatangi, Ling Ling dan ibunya lalu menengok dan melompatlah
mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah pendeta-pendeta itu lagi. Sinar kemarahan
bernyala-nyala di dalam mata ibu dan anak itu. Inilah pendeta-pendeta yang telah merenggut
nyawa Bu Lam Nio. Sementara itu, pendeta yang pernah bertanding dengan mereka, lalu berkata kepada Pek Yang Ji,
"Sam-suhu, inilah dia dua orang siluman yang telah membunuh kawan-kawan kita."
Pek Yang Ji cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat, diturut oleh semua kawankawannya. Dengan senyum seorang alim ia lalu berkata,
"Toanio (nyonya) dan siocia (nona), maafkanlah kami apabila kami datang mengganggu.
Kami adalah pendeta-pendeta dari perkumpulan Pek-sim-kauw dan pinto (aku) sebagai
pemimpin rombongan ini bernama Pek Yang Ji. Bolehkah kiranya kami mengetahui nama
toanio dan siocia yang terhormat?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang menghormat ini, Sui Giok sudah menjadi agak
sabar, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar kaku ketika ia menjawab,
"Kami ibu dan anak selama hidup tidak pernah mempunyai urusan dengan segala macam
pendeta, maka kedatangan cuwi (tuan-tuan sekalian) ini tak ada artinya bagi kami. Kami tak
perlu tahu nama dan tidak perlu memperkenalkan nama."
Pek Yang Ji masih sabar dan tersenyumlah ia mendengar jawaban ini, "Toanio, agaknya kau
masih marah kepada kami, kemarahan yang sesungguhnya tidak kami mengerti sebabnya.
Apakah Toanio dan siocia ini yang disebut Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li?"
Marahlah hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini. Ia melangkah maju dan menuding dengan
jarinya yang runcing dan kecil sambil membentak, "Kalau kami betul-betul siluman-siluman
pencabut nyawa dan siluman sungai Cialing, kalian mau apakah" Jangan banyak cakap dan
pergilah, kami tak ingin diganggu!"
Pek Yang Ji adalah pendeta yang paling sabar di antara mereka, karena yang lain-lain sudah
menjadi merah mukanya karena marah melihat dua orang wanita yang telah membunuh
kawan-kawan mereka dan yang bersikap kasar ini. Bahkan Pek Yang Ji sendiri ketika melihat
betapa sikap kedua orang wanita itu benar-benar sikap bermusuh dan menghina sekali, mulai
berkurang sen "Hm, jiwi agaknya tidak dapat menerima penghormatan kami. Baiklah, kami datang hanya
untuk bertanya tentang kawan-kawan kami yang datang di sini tujuh hari yang lalu. Mereka itu
adalah anggauta-anggauta Pek-sim-kauw, dimanakah adanya mereka sekarang?"
Sui Giok menggerakkan lengan tangannya, menunjuk ke arah kiri di mana terdapat gundukan
tanah tiga gunduk sambil berkata,
"Jadi tiga orang penjahat berkedok pendeta yang datang mengacau tempat tinggal kami itu
adalah kawan-kawan cuwi" Mereka sudah mati, kematian yang sudah sepatutnya dan yang
mereka cari sendiri."
Semua pendeta memandang dengan mata marah, akan tetapi Pek Yang Ji masih berlaku tenang,
"Toanio, ketahuilah bahwa kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw bukanlah pendetapendeta jahat
dan palsu. Perkumpulan agama kami mengutuk perbuatan-perbuatan jahat dan musuh-musuh
kami hanyalah orang-orang jahat dan suka mengganggu orang lain!"
"Omong kosong!" Tiba-tiba Ling Ling membentak keras. "Kalau pendeta baik-baik mengapa
datang mengganggu kami, bahkan telah membunuh nenekku" Siapa dapat percaya omongan itu?"
"Nona, kau agaknya tidak ingat bahwa kalian berdua juga telah membunuh tiga orang pendeta
Pek-sim-kauw!" kata Pek Yang Ji memperingatkan.
"Tentu saja! Siapa yang membunuh lebih dulu" Orang-orangmu membunuh nenekku, apakah aku
harus diam saja?" "Pihakmu hanya seorang yang tewas, sedangkan pihak kami tiga orang, maka kiranya tidak
perlu nona masih marah dan merasa penasaran."
"Enak saja kau bicara!" Ling Ling membentak lagi. "Kau kira nyawa nenekku cukup diganti
oleh tiga orang pendeta palsu" Ketahuilah biar ditambah dengan tiga belas nyawa anjing kalian,
aku masih belum puas!"
Melihat kemarahan puterinya, Sui Giok maju memegang tangan Ling Ling, berusaha
menyabarkannya. Adapun pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu menjadi marah sekali mendengar ucapan Ling Ling
ini dan di antaranya sudah ada yang mencabut pedangnya. Akan tetapi Pek Yang Ji
mengangkat tangannya mencegah anak buahnya bergerak. Ia menjura kepada Sui Giok dan
berkata, "Toanio, agaknya nona ini amat keras hati, sesuai dengan kemudaannya, maka lebih baik pinto
bicara denganmu. Seperti telah pinto katakan tadi, di dalam peristiwa ini, seorang dari pihakmu
tewas dan tiga orang dari pihak kami meninggal. Memang dipandang dengan sepintas lalu,
seakan-akan pihak kami yang bersalah karena telah berani masuk ke sini mengganggu kalian.
Akan tetapi, kedatangan kami ini dengan maksud menanyakan tentang gangguanmu terhadap
orang-orang yang bertempat tinggal di dusun Tai-kun-an. Saudarasaudara kami yang datang di
sini bukan semata-mata mengganggu toanio kalau tidak bersalah dan kalau tidak berdasarkan
menolong orang-orang yang kalian ganggu. Oleh karena itu, harap toanio sudi menjelaskan
mengapa beberapa tahun yang lalu toanio telah membunuh orang, penduduk she Tan di dusun
Tai-kun-an dan membunuh beberapa orang pengawalnya pula?"
Sui Giok menjadi merah mukanya ketika nama Tan-wangwe disebut-sebut. "Hal ini tak perlu
orang lain mengetahuinya. Cukup kukatakan bahwa keparat she Tan itu sudah patut menerima
hukumannnya!" "Mengapa" Apa salahnya terhadap Toanio?" Pek Yang Ji mendesak.
"Totiang, kau sebagai seorang pendeta, mengapa mencampuri urusan pribadi orang lain?"
"Pembunuhan kejam bukanlah urusan pribadi lain. Kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw
memang berkewajiban untuk membereskan urusan kejahatan dan pembunuhan adalah soal
kejahatan besar," jawab Pek Yang Ji tenang.
"Kalau kami menolak untuk memberi penjelasan?" kata Sui Giok.
"Terpaksa kami anggap bahwa kalian yang bersalah dalam pertikaian dengan kami ini."
"Hm, kalau kalian sudah menganggap kami bersalah, lalu bagaimana?" Ling Ling mendahului
ibunya. "Terpaksa kalian berdua harus ikut dengan kami untuk berhadapan dengan ketua kami dan
menanti keputusan beliau!"
"Siapakah ketua kalian itu?" Sui Giok yang sudah menjadi marah juga bertanya sambil
memegang tangan anaknya agar gadis itu tidak berlaku lancang.
"Ketua kami atau suhu kami adalah Liang Gi Cinjin."
"Kalau kami tidak mau ikut?" tantang pula Sui Giok.
"Kami akan melakukan kekerasan!" akhirnya Pek Yang Ji menegaskan.
Bagaikan mendapat komando, semua pendeta kini telah menghunuskan senjata masingmasing.
Sui Giok dan Ling Ling saling pandang, kemudian mereka lalu melompat mundur kira-kira
setombak dan telah mencabut pedang mereka. Sui Giok mencabut pedang yang dulu dirampasnya
dari Tan-wangwe, sedangkan Ling Ling mencabut pedang yang dirampasnya dari pendeta
Pek-sim-kauw i "Bagus, hendak kami lihat bagaimana kalian akan menangkap kami dengan kekerasan!" seru
Ling Ling sambil maju menerjang dengan pedangnya.
"Semua jangan bergerak, biarkan pinto dan kedua sute menghadapi mereka!" kata Pek Yang Ji
yang mencegah anak buahnya melakukan pengeroyokan. Iapun lalu menghadapi serbuan Ling
Ling dengan pedangnya. "Trang!" Dua batang pedang beradu keras sekali dan diam-diam Pek Yang Ji merasa kagum dan
terheran betapa gadis cantik yang masih amat muda itu telah memiliki tenaga lweekang yang
amat hebat sehingga ketika tadi ia menangkis sambil mengerahkan tenaga, ternyata ia tidak
mampu membuat pedang lawan terpental. Kekejutannya makin menjadi ketika Ling Ling
melanjutkan serangannya dengan amat cepatnya dan dengan gerakan yang luar biasa sehingga
pedang itu merupakan sinar yang menyambar bagaikan kilat.
Sementara itu, Sui Giok telah maju pula, disambut oleh Pek Thian Ji, orang keempat dari Peksim
Ngo-lojin. Pertempuran berjalan amat serunya. Pertempuran antara Sui Giok dan Pek Thian Ji
masih dapat dikatakan seimbang, sungguhpun pendeta ini merasa bingung juga menghadapi
permainan pedang dari nyonya itu.
Akan tetapi Ling Ling dengan cepat mendesak hebat lawannya sehingga dalam dua puluh jurus
saja, Pek Yang Ji terdesak tak dapat membalas serangan lawannya. Tidak saja pendeta ini merasa
terkejut sekali, bahkan lain-lain pendeta juga memandang dengan mata terbelalak. Tak pernah
mereka sangka sama sekali bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada
nyonya yang lihai itu, bahkan agaknya Pek Yang Ji tokoh ketiga dari Pek-sim Ngo-lojin yang lihai
ini, takkan dapat menang.
Hal ini dimaklumi pula oleh Pek Yang Ji. Ia merasa penasaran dan juga malu. Masa dia,
seorang tokoh besar yang jarang sekali menderita kekalahan dalam pertempuran, kini harus
mengaku kalah terhadap seorang gadis yang belum ada dua puluh tahun usianya" Ia telah
memandang dengan penuh perhatian untuk mengenal ilmu pedang lawannya, akan tetapi
sungguhpun ilmu pedang gadis itu mirip dengan Kun-lun Kiam-hoat, namun banyak sekali
perbedaannya. Ilmu pedang itu amat luar biasa dan memiliki perobahan-perobahan gerakan yang aneh dan
sulit diduga. Juga pedang di tangan gadis itu dapat melakukan gerakan-gerakan yang amat
sukar dan seakan-akan tidak mungkin, seperti juga pedang itu telah menjadi hidup dan menjadi
anggauta tubuh penyambung tangan.
"Sam-suheng, biar aku membantumu menangkap gadis liar ini!" Pek Te Ji yang semenjak tadi
telah "gatal tangan", menggerakkan pedangnya hendak mengeroyok.
"Jangan dulu, ngo-sute, biarlah aku menangkapnya sendiri!" kata Pek Yang Ji. Tosu ini merasa
malu untuk melakukan pengeroyokan dan kini ia hendak mengeluarkan ilmu silatnya yang palingampuh dan lihai, yakni pukulan Tai-lek-kim-kong-jiu.
Ketika mendapat kesempatan baik setelah ia berhasil membentur pedang lawannya, ia lalu
melangkah ke belakang cepat sekali sejauh tiga tindak, kemudian ia merendahkan tubuhnya,
mengerahkan lweekangnya, lalu berseru keras. Lengan tangan kirinya diayun dari kiri menuju ke
depan, mengirim pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang hebat itu.
Sebelum angin pukulan yang keras itu datang menyambar, Ling Ling yang berlaku waspada


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan dari jauh maka cepat gadis inipun
menggerakkan tangan kiri dan begitu angin pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu menyambar dengan
kerasnya, Ling Ling melakukan gerakan menyampok dari kiri. Dua tenaga raksasa bertemu
sebelum kedua tangan itu bertemu dan akibatnya membuat kedua orang itu terhuyung mundur
karena kembalinya tenaga pukulan sendiri.
Bukan main kaget dan herannya hati Pek Yang Ji. Bagaimanakah boca ini dapat menahan
pukulannya Tai-lek-Kim-Kong-Jiu" Padahal, ia pernah mengalahkan banyak sekali tokohtokoh
persilatan yang tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak saja gadis cilik ini dapat menahan, bahkan
dapat pula membentur hawa pukulannya sedemikian rupa.
Sementara itu, Ling Ling dapat membereskan kuda-kudanya kembali dan tertawalah gadis itu
dengan suara ketawanya yang merdu dan nyaring. "Hm, serangan semacam itu, di tempat ini
hanya dapat dilakukan oleh ekor buaya sungai Cialing!"
Ucapan ini sesungguhnya tidak disengaja oleh Ling Ling dan hanya diucapkan untuk menghina
dan menyindir lawannya, karena memang gerakan tangan kiri Pek Yang Ji yang memukul tadi
seperti gerakan ekor buaya.. Akan tetapi Pek Yang Ji yang mendengar ucapan ini, menjadi pucat
sekali. Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu telah dapat menebak sumber ilmu pukulannya itu.
Memang sesungguhnya, ilmu pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang dimiliki ini bersumber dari
gerakan ekor buaya apabila sedang memukul ke depan.
Oleh karena itu, ketika ia hendak memukul tadi, ia merendahkan tubuh dan mengayun lengannya
dari belakang ke muka, memperlipat ganda tenaga lweekang dalam pukulan itu ketika diayunkan.
Ucapan gadis itu membuat ia berpikir bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali sehingga
dapat melihat dasar ilmu pukulannya.
Adapun Pek Tek Ji ketika melihat betapa pukulan suhengnya tidak saja tidak berhasil bahkan
suhengnya terhuyung mundur lebih jauh daripada lawannya, maklum bahwa suhengnya takkan
dapat menang. Maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menyerbu dengan pedangnya.
Ling Ling menyambutnya dengan tangkisan keras dan serangan balasan yang membuat Pek Tek
Ji terpaksa bergerak sambil mundur. Baru segebrakan saja pendeta yang tadinya memandang
rendah ini telah terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya.
Untung baginya, Pek Yang Ji telah melompat maju kembali dan menahan desakan Ling Ling.
Gadis ini benar-benar gagah dan tabah sekali, biarpun dikeroyok dua, ia masih berhasil mendesak
lawannya dengan permainan pedang yang selain indah, juga amat membingungkan kedua
lawannya. Biarpun Pek yang Ji mempunyai keahlian dalam pukulan Tai-lek Kim-kong-jiu, dan Pek Tek Ji
memiliki ilmu totok Im-yang-tiam-hoat, namun kedua orang pendeta ini sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk mempergunakan kepandaian mereka.
Adapun Sui Giok, biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan
puterinya, namun gerakannya cukup gesit dan gulungan sinar pedangnya cukup lebar dan kuat
sehingga perlahan akan tetapi pasti, Pek Thian Ji mulai terdesak seperti keadaan kedua
saudaranya, merasa penasaran sekali. Dia yang telah mendapat julukan Bu-eng-cu (Tanpa
Bayangan) dan memiliki ginkang yang sempurna, ternyata kini menemukan tandingan yang
setimpal. Dalam hal ginkang, nyonya cantik ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkatnya.
Tentang ilmu pedang, diam-diam Pek Thian Ji harus mengaku bahwa ilmu pedang yang
dimainkan oleh nyonya ini benar-benar belum pernah disaksikan seumur hidupnya dan jauh
lebih kuat dan ganas daripada ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkannya.
Sepuluh orang pendeta tingkat dua yang tadinya dilarang oleh Pek Yang Ji untuk membantu, dan
tinggal berdiri menonton saja, menjadi amat gelisah. Mereka ini memiliki ilmu kepandaian yang
hanya kalah sedikit saja oleh ketiga kawan mereka, paling banyak hanya kalah dua puluh bagian,
maka mereka dapat melihat betapa ketiga orang pendeta tingkat satu itu terdesak hebat dan
terancam jiwanya. Sesungguhnya, biarpun tadi Pek Yang Ji melarang kawan-kawan dari tingkat dua ini maju
membantu, kini ia merasa gelisah juga. Pendeta-pendeta kelas satu dari Pek-sim-kauw ini
sama sekali tidak takut terluka atau terbunuh dalam pertempuran ini. Yang paling mereka
takutkan hanyalah kejatuhan nama mereka.
Alangkah akan merosotnya keagungan nama Pek-sim-kauw apabila orang-orang kang-ouw
mendengar bahwa tiga orang tokoh Pek-sim-kauw yang tertinggi kedudukannya, harus
menyerah kalah terhadap dua orang wanita, bahkan yang seorang di antaranya masih
merupakan gadis kecil. Satu hal yang amat merendahkan nama dan memalukan sekali.
Oleh karena itulah, maka ketika sepuluh orang pendeta kelas dua itu serentak maju menyerang
dan membantu, mereka tidak mengeluarkan suara sesuatu. Bahkan Pek Yang Ji sendiri tidak
melarang, sebaliknya menarik napas lega karena ia percaya bahwa dapat mengalahkan dua
orang siluman wanita ini.
Memang amat berat bagi Ling Ling dan Sui Giok. Menghadapi tiga orang pendeta tingkat satu itu
saja sudah merupakan lawan yang harus dihadapi dengan hati-hati, apalagi setelah sepuluh orang
pendeta tingkat dua itu maju mengeroyok. Pedang para pendeta itu berkelebat-kelebat menyambar
bagaikan hujan lebat dan terpaksa Sui Giok dan Ling Ling memutar pedang mereka untuk
melindungi tubuh. Mereka kini terdesak dan sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas
serangan para pendeta itu.
"Jangan bunuh mereka, tangkap !" Pek Yang Ji masih sempat berseru memperingatkan
kawan-kawannya. Memang dia tidak ingin melihat kedua orang wanita itu sampai terbunuh,
hanya ingin menangkap mereka dan menyeret mereka di depan suhunya untuk menanti
Akan tetapi, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena menangkap dua orang
wanita ini lebih sukar daripada menangkap dua ekor naga sakti. Agaknya hanya dengan kepala
terpisah dari tubuh atau dengan pedang menancap di dada saja kedua orang wanita gagah ini akan
menyerah. Setelah pihaknya lebih kuat dan mendesak, Pek Tek Ji mendapat kesempatan untuk mengeluarkan
kepandaiannya, yakni Im-yang-tiam-hoat, juga Pek Yang ji berusaha untuk memukul dengan
Tai-lek Kim-kong-jiu untuk menghantam tangan lawan agar pedang mereka terlepas. Repot juga
Ling Ling dan Sui Giok menjaga diri, terutama sekali Sui Giok yang memang kalah jauh dari
Pada saat yang baik, Pek Tek Ji berhasil mengirim serangan secara gelap, yakni dari belakang Sui
Giok. Ia menotok punggung nyonya itu dan dengan tepat jari tengah dan telunjuknyamenjepit urat
dan menotok jalan darah thian-hu-hiat. Sui Giok tak dapat mengelak dan sambil mengeluh nyonya
ini melepaskan pedangnya dan roboh dengan tubuhnya lemas, sama sekali tak berdaya lagi.
Bukan main terkejutnya dan marahnya hati Ling Ling melihat betapa ibunya telah
dirobohkan. "Pengecut!" serunya marah dan ia cepat mempergunakan tangan kirinya untuk menepuk
pundak ibunya yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia
tidak berhasil memunahkan totokan itu.
Ibunya tetap berbaring lemas dan totokan itu tidak dapat dibebaskan. Padahal Ling Ling
sudah mempelajari ilmu tiam-hoat cukup sempurna dan agaknya amat mustahil bahwa ia
tidak dapat membebaskan seseorang dari pada pengaruh totokan.
Terdengar Pek Te Ji tertawa mengejek melihat usaha Ling Ling yang tidak berhasil ini. Tahulah
Ling Ling bahwa pendeta itu memiliki kepandaian istimewa dalam ilmu tiam-hoat, maka selain
pendeta itu, agaknya sukarlah untuk membebaskan ibunya.
Ia berseru keras dan nyaring sekali dan belum juga habis suara ketawa Pek Te Ji, tahu-tahu ia
telah kena dicengkeram pundaknya oleh tangan kiri Ling Ling. Gerakan ini luar biasa cepatnya
sehingga dua belas orang pendeta yang lain tidak menyangka-nyangkanya dan tidak dapat
menolong Pek Te Ji. Ling Ling telah mempergunakan sejurus ilmu silat Kim-gan-liong Ciang-hoat yang lihai untuk
menangkap Pek Te Ji dalam saat orang-orang menertawakannya dan sebelum semua pendeta
sadar. Kini Pek Te Ji telah dicengkeram pundaknya dengan tangan kiri dan pedang di tangan
kanan Ling Ling sudah menempel pada lehernya.
"Mundur semua!" teriak gadis gagah perkasa ini. "Kalau tidak, kepala pendeta palsu ini akan
menggelinding di kaki kalian!"
Melihat hal ini, bukan main kagetnya Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa gadis seperti lawannya ini
tidak akan bicara main-main dan akan sanggup membuktikan ancamannya, maka ia cepat
berseru, "Kawan-kawan, mundur semua!"
Ling Ling lalu berkata kepada pendeta yang telah berada di dalam cengkeramannya itu.
"Lekas kau bebaskan ibuku dari totokanmu kalau kau ingin hidup terus!"
Pek Yang Ji berkata kepada Ling Ling. "Nona, apakah kami dapat mempercayai
omonganmu" Kalau ibumu telah dibebaskan suteku itu?"
Ling Ling memandang dengan mata melotot. "Kau kira aku ini orang macam kalian" Sekali aku
berjanji, aku takkan melanggarnya. Kalau ibuku sudah bebas, kami berdua akan pergi dari sini,
dan tunggulah, paling lama setahun aku akan mencari suhumu yang bernama Liang Gi Cinjin
untuk membuat perhitungan!"
Pek Yang Ji lalu berkata kepada sutenya itu, "Ngo-sute, lakukanlah seperti apa yang
dimintanya. Tak perlu kita melanjutkan pertempuran yang berbahaya ini. Kalau dilanjutkan,
tentu akan jatuh korban di kedua pihak."
Pek Te Ji lalu dilepaskan oleh Ling Ling dan dengan beberapa kali totokan dan urutan, Sui Giok
dapat dibebaskan. Nyonya ini mengambil kembali pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi ibu
dan anak ini lalu meninggalkan tempat itu setelah mengambil buntalan masingmasing dari
dalam goa. Di dalam bungkusan keduanya terdapat penuh batu mutiara yang amat berharga, yang sengaja
mereka kumpulkan untuk bekal. Para pendeta memandang bayangan mereka sampai lenyap dari
situ. Kemudian mereka lalu bersembahyang di depan makam ketiga pendeta Pek-simkauw yang
telah menjadi korban di tangan Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
"Sungguh lihai dan berbahaya!" Pek Yang Ji berkata sambil menghela napas dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entah setan mana yang telah memberi pelajaran ilmu silat
kepada mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa ilmu pedang mereka tidak kalah hebatnya dengailmu pe
Maka pulanglah para pendeta itu beramai ke tempat masing-masing, dan ketika Liang Gi Cinjin
pulang dari perantauannya lalu mendengar peristiwa ini, kakek sakti ini mengerutkan kening
dan menggeleng kepalanya yang sudah penuh dengan rambut putih seperti benang perak.
"Salah, salah, kalian telah berlaku semberono sekali, menuruti hati dan perasaan. Sudah
berkali-kali kukatakan bahwa untuk mengurus sesuatu, pergunakanlah otak dan jangan terlalu
menuruti ka Betapapun marah dan tersinggungnya hati seseorang, apabila ia masih dapat mempergunakan
otaknya secara dingin dan sehat, ia akan menang juga akhirnya dalam sesuatu perselisihan, dan
takkan sampai perselisihan itu menjadi pertempuran. Kalian ini mudah sekali menurunkan tangan,
apakah kau kira bahwa ilmu silat kita ini yang tertinggi di dunia?"
Sampai di sini Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan para pendeta yang menjadi muridnya
dan yang duduk dihadapannya, tak berani bergerak sedikitpun, hanya menundukkan kepala.
"Kalian keliru kalau mengira bahwa Pek-sim-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang nomor satu di
dunia. Apakah yang tertinggi di dunia ini" Di antara gunung-gunung yang menjulang tinggi,
masih ada gunung Thai-san yang paling tinggi. Akan tetapi, di atas gunung Thai-san masih ada
langit, dan di atas langit yang nampak oleh mata masih ada ruang lain yang tak terlihat oleh kita.
Di antara sungai yang dalam, masih ada lautan yang paling dalam. Akan tetapi, di bawah lautan
ini masih ada dasarnya dan di dalam dasar itu masih ada pula isinya yang lebhi dalam. Nah
jangan sekali-kali kalian mengagulkan kepandaian sendiri, karena sesungguhnya kepandaian itu
tiada batasnya. Mulai sekarang harap kalian berlaku hati-hati, jangan sekali-kali menyerang orang
apabila tidak diserang. Boleh kita mempergunakan kepandaian hanya untuk menjaga diri, bukan
untuk menyerang orang lain!"
Demikianlah, kakek sakti ini telah memberi banyak nasehat kepada murid-muridnya dan ia
merasa amat menyesal bahwa murid-muridnya telah menanam bibit permusuhan dengan
wanita-wanita yang mereka sebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
****** Telah lama sekali, semenjak pada permulaan cerita ini, kita tidak mengetahui bagaimana dengan
nasib Kwee Siong, suami dari Liem Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
Kwee Siong telah ditangkap oleh Cong Hwat, komandan pasukan pengumpul tenaga rakyat dan
langsung dikirim ke utara untuk dipaksa menjadi pekerja dalam usaha besar, yakni memperbaiki
dan memperkuat tembok besar di tapal batas Tiongkok Utara.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Kwee Siong dalam pekerjaan kasar ini. Ia
diharuskan membantu para pekerja dan termasuk dalam rombongan kuli kasar, mengangkut
batu-batu, menggunakan pemukul besi memecah batu-batu besar, dan lain-lain pekerjaan kasar
lagi. Kwee Siong adalah seorang pelajar, selama hidupnya semenjak kecil yang dipegangnya
hanyalah buku-buku dan pit (alat tulis), sehingga tubuhnya lemah dan tenaganya tidak besar,
bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Telapak tangannya yang berkulit halus
dan tipis itu telah pecah-pecah, seluruh urat tubuhnya terasa sakit-sakit.
Penderitaan ini masih ditambah lagi dengan adanya mandor-mandor yang berupa serdaduserdadu yang kejam sekali. Sedikit saja pekerja-pekerja "patriot" ini melakukan kesalahan
atau nampak malas, ujung cambuk akan membuatnya menari-nari kesakitan. Darah akan
mengucur dari luka-luka cambukan di punggung mereka.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Kwee Siong menjadi biasa, tenaganya timbul dan ia
tidak merasa terlalu menderita lagi. Hanya apabila ia teringat kepada isterinya, diam-diam ia
mengucurkan airmata yang turun mengalir melalui sepanjang pipinya untuk bercampur dengan
peluhnya yang membasahi seluruh tubuhnya.
Kwee Siong adalah seorang yang beriman teguh, tidak mudah putus asa, tidak mudah menyerah
kepada nasib. Sebagai seorang pelajar dan orang yang berdarah seni, di dalam kepahitan
penderitaan hidup ini, jiwanya mencari-cari sesuatu yang indah. Kehausan jiwanya akan
keindahan membuat ia dapat pula melihat dan mendapatkan keindahan dalam pekerjaan itu.
Ia melihat betapa hebatnya tenaga manusia dalam pekerjaan ini. Mau tak mau, lepas daripada
persoalan paksa atau tidak, diam-diam ia memuji kaisar yang telah sanggup melakukan pekerjaan
besar ini. Kagum ia menyaksikan tembok besar itu dan hatinya memuji kebesaran para kaisar
yang dahulu membuat bangunan ini.
Untuk apakah tembok besar yang amat panjang itu dibangun oleh jutaan tangan manusia,
sehingga pekerjaan besar itu telah mengorbankan ribuan, bahkan laksaan jiwa manusia" Untuk
kepentingan kaisar yang memerintahkan pembangunan ini" Mungkin sebagian kecil saja, untuk
melindungi kaisar. Akan tetapi kaisar telah meninggal dunia dan tembok besar itu masih tetap berdiri kokoh kuat.
Kwee Siong adalah seorang yang berjiwa patriot, ia keturunan dari orang-orang penting, di
antaranya keturunan dari Kwee Lo Seng yang terkenal sekali karena kesetiaannya kepada negara,
seorang pembesar tinggi yang mengorbankan nyawa demi kepentingan negara ketika terjadi
pemberontakan puluhan tahun yang lalu.
Bab 07..... Dalam pandangan Kwee Siong, betapapun juga, pembangunan tembok besar itu adalah suatu
usaha untuk tanah air dan bangsa. Tidak hanya istana kaisar yang terlindung karena adanya
tembok besar ini, tidak hanya rumah-rumah gedung para hartawan atau bangsawan, akan tetapi
juga keselamatan rakyat jelata terlindung. Dengan adanya tembok besar ini maka pihak asing di
daerah utara tidak mudah menyerbu masuk, tidak mudah menyerang Tiongkok.
Karena pikiran ini, tergeraklah hati Kwee Siong untuk menulis sajak mengenai tembok besar itu.
Dan karena setiap hari ia melihat kawan-kawan sekerjanya tewas dalam pekerjaan itu, baik
karena kelelahan, karena sakit, karena siksaan mandor-mandor atau hal-hal lain maka tentu saja
ia tidak lupa untuk memasukkan mereka ini ke dalam sajaknya, bahkan kawankawannya yang
sudah gugur inilah yang menjadi pokok utama dalam sajaknya.
Tembok besar, laksaan li panjangnya Megah, kokoh
kuat, agung dan jaya Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia Kaulah sebuah di
antara jutaan batu Kecil bentuknya namun besarjasanya Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh
mata, Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah
lupa, Namun tembok ini menjadi saksi utama Bahwa
Seorang serdadu penjaga ketika menemukan tulisan ini di dalam saku bajunya, menjadi marah
sekali dan hampir saja Kwee Siong disiksa sampai mati. Ia dipukul, ditendang dan dicambuki oleh
serdadu itu. Sesungguhnya, serdadu itu adalah seorang setengah buta huruf yang tidak mengerti betul akan arti
sajak itu, dan disangkanya bahwa Kwee Siong hendak "memberontak", sebuah istilah yang sudah
populer sekali di waktu itu untuk mencelakakan seseorang yang agak
membangkang. Pada masa itu, jangankan memperlihatkan sikap menentang pembangunan atau
politik pemerintahan, baru menyatakan pendapat sejujurnya dan berdasarkan kenyataan saja,
apabila pernyataan yang berdasarkan kenyataan itu merugikan nama pemerintahan, ia akan dicap
"pemberontak" dan masih baik kalau dia sendiri yang masuk penjara atau dipenggal lehernya.
Banyak para "pemberontak" seperti ini menerima hukuman mengerikan, yakni seluruh
keluarganya, sampai pada bayi-bayinya sekalipun, dijatuhi hukuman mati.
Untung saja bagi Kwee Siong bahwa pada saat ia dihujani cambukan, seorang perwira datang
melakukan pemeriksaan. Perwira itu segera bertanya mengapa Kwee Siong dihukum. Biasanya
perwira ini tidak memperdulikan pekerja-pekerja yang mendapat siksaan karena ia merasa pasti
bahwa pekerja-pekerja yang dihukum itu tentu melakukan pelanggaran.
Tidak jarang ada pekerja yang mencuri, berkelahi dengan kawan-kawannya, memukul yang
lemah, tidak mentaati perintah dan lain-lain. Akan tetapi melihat wajah Kwee Siong yang
tampan, dan melihat betapa Kwee Siong bergulingan di atas tanah tanpa mau mengeluh
sedikitpun juga itu, timbul rasa kasihan dalam hati perwira ini.
Serdadu itu dengan bangga lalu mengeluarkan surat bersajak yang dirampasnya dari saku baju
Kwee Siong dan memperlihatkannya kepada perwira itu. Setelah membaca sajak itu berkalikali,
perwira ini lalu menghampiri serdadu itu dengan muka marah, kemudian ia bertanya,
"Mengapa kau pukul dia?"
"Karena dialah penulis sajak gila ini!" jawab serdadu itu.
Tiba-tiba perwira itu memberikan surat bersajak itu kepada serdadu ini sambil bertanya lagi,
"Kau pandai membaca?"
Untuk memamerkan kepandaiannya, serdadu itu menjawab sambil menyeringai, "Tentu saja
dapat, ciangkun!" "Nah, coba kaubacakan sajak ini untukku!"
Wajah serdadu ini menjadi pucat. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa ia disuruh
membaca sajak itu. Ia memandang kepada kertas itu dengan mata terbelalak dan mukanya
sebentar pucat sebentar merah.
"Hayo, bacalah !" teriak perwira tadi sambil memandang tajam.
Terpaksalah serdadu itu membacanya, akan tetapi yang terbaca hanya beberapa huruf saja,
yang lain dilewati saja karena memang tidak dikenal. Sedikit huruf yang dapat dibacanya


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itupun dikeluarkan dengan susah payah, dan banyak yang keliru dibacanya.
"Bangsat, kaulah yang gila, bukan orang lain!" Sambil berkata demikian, perwira itu
mengayun kepalan tangannya.
"Buk!" Dada serdadu itu terkena pukulan keras sekali karena perwira ini adalah seorang ahli
gwakang, sehingga tubuh serdadu itu terlempar jauh dan jatuh bergulingan dalam keadaan
pingsan. Sementara itu, ketika memukul tadi, perwira ini telah merampas kembali kertas
bersajak itu, kemudian ia lalu memberi perintah kepada para serdadu lainnya untuk
mengangkut tubuh Kwee Siong yang sudah setengah mati.
Ketika sadar dari pingsannya, Kwee Siong mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan di
dalam kamar perwira tadi dan telah dirawat oleh ahli pengobatan yang ada di dalam markas.
Perwira muda itu duduk di situ dan segera menegurnya dengan manis ketika melihat Kwee Siong
siuman. "Saudara yang baik, bagaimana kau yang demikian terpelajar sampai berada di tempat seperti
itu?" Kwee Siong terheran dan merasa seakan-akan sedang mimpi. Sudah matikah dia disiksa oleh
serdadu-serdadu tadi" Sampai lama ia tidak menjawab, hanya memandang wajah perwira yang
tidak dikenalnya itu, wajah yang tampan dan gagah sekali.
"Aku bernama Liem Siang Hong," perwira muda itu memperkenalkan diri. "Ketika tadi melihat
kau disiksa oleh serdadu gila itu, aku lalu mencegahnya dan membawamu ke tempat ini."
Kwee Siong menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit namun ia
memaksakan diri bangkit dan duduk di atas pembaringan itu.
"Saudara yang gagah," katanya setelah menghela napas, "dari pakaianmu aku dapat menduga
bahwa kau seorang perwira. Mengapa kau menolong aku, Kwee Siong yang bernasib celaka, dari
jurang kematian" Pertolonganmu hanya mendatangkan dua hal yang selalu membuat hatiku
menyesal." Ia menghela napas kembali.
Liem-ciangkun (perwira Liem) atau Liem Siang Hong itu terkejut dan merasa heran mendengar
ucapan ini. "Apakah maksudmu, saudara Kwee" Mengapa kau seakan-akan sudah bosan hidup
dan merasa menyesal karena tertolong dari maut?"
"Pertama, karena biarpun sekarang aku terlepas dari bahaya maut, tetap saja aku akan kembali ke
sana dan tentu serdadu itu akan memukulku lagi sampai mati, mungkin dengan siksaan yang lebih
hebat. Kedua, dengan pertolonganmu, berarti aku telah hutang budi kepadamu, dan dalam
keadaanku seperti sekarang ini, bagaimana aku dapat membalas budi" Mati dengan hutang budi
jauh lebih buruk daripada mati dengan melepas banyak budi."
Liem Siang Hong tertawa, suara ketawa seorang yang bebas lepas dan gembira.
"Saudara Kwee, kekhawatiranmu itu tidak berdasar sama sekali. Dan aku dapat membebaskan kau
dari dua macam kekhawatiran itu. Pertama, kau takkan kembali ke tempat itu. Orang seperti kau,
yang pandai menulis sajak demikian indahnya, tidak pantas menjadi pekerja kasar, lebih-lebih
tidak patut tewas di ujung cambuk seorang serdadu yang tak bertanggung jawab.
Kedua, tentang budi, tak perlu kau memikirkannya, karena aku menolongmu bukan dengan
maksud melepas budi. Tidak ada hutang piutang dalam hal ini. Sebagai seorang yang
mengutamakan kegagahan, aku tidak dapat berpeluk tangan saja menyaksikan peristiwa yang
tidak adil. Betapapun juga, kalau kau berkeras hendak membalas budi, dapat saja!"
Mendengar ucapan perwira yang gagah ini, terharulah hati Kwee Siong. Ia segera turun dari
pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu. Tak dapat dicegah lagi air mata
mengalir disepanjang pipinya ketika ia berkata, "Ah, sungguh tak pernah kusangka. Awan yang
gelap dan tebal menutupi seluruh langit, akan tetapi masih dapat muncul bintang terang seperti
kau, ciangkun. Katakanlah, bagaimana aku dapat membalas budimu?"
Liem Siang Hong cepat-cepat memegang kedua pundak Kwee Siong dan menariknya bangun, lalu
menuntunnya duduk di atas pembaringan itu.
"Sabarlah, saudaraku yang baik, dan jangan berlaku seperti anak kecil. Tentu saja kau dapat
membalas budi, yakni dengan kepandaianmu tulis menulis itu. Aku mempunyai seorang putera
yang baru berusia dua tahun, dan aku mengharap kelak kau dapat mendidiknya dalam ilmu
sastera." Makin terharulah hati Kwee Siong. Ia maklum bahwa ucapan ini hanya merupakan hiburan saja,
agar ia tidak merasa berhutang budi pula. Mana ada seorang ayah yang telah mencarikan guru
sastera untuk seorang puteranya yang baru berusia dua tahun" Akan tetapi ia menjawab juga
dengan sepenuh hati, "Tentu saja, Liem-ciangkun, aku bersedia mendidik puteramu itu."
Demikianlah, kedua orang itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan makin lama mereka merasa
makin cocok satu kepada yang lain. Biarpun yang seorang ahli sastra, dan orang kedua ahli silat,
namun jiwa dan watak mereka tak jauh berbeda. Mereka menjunjung tinggi keadilan, kebajikan,
dan kegagahan dalam cara masing-masing. Dengan suara mengharukan, Kwee Siong menuturkan
riwayatnya. Ia telah setahun lebih berada di tempat itu, bekerja sebagai pekerja kasar,
meninggalkan isterinya yang kini entah bagaimana nasibnya.
Mendengar penuturan ini, Liem Siang Hong merasa marah sekali. Ia mengepal-ngepal tinjunya
dan berkata, "Sayang sekali kau tidak kenal siapa adanya komandan pasukan pengumpul tenaga
pekerja itu, kalau kau tahu, tentu aku akan mencarinya dan memukul pecah kepalanya."
Kemudian ia menarik napas panjang. "Akan tetapi, sesungguhnya hal semacam ini telah lama
kudengar, dan aku merasa amat menyesal. Memang banyak sekali orang-orang jahat
mempergunakan kesempatan, baik untuk memeras rakyat dan memperkaya diri sendiri, bagaikan
anjing-anjing rendah yang memuaskan mulutnya dengan daging manusia yang gugur berserakan
di dalam peperangan. Jangan khawatir, saudaraku, aku akan mencari isterimu itu agar kau dapat
bertemu kembali dengan dia."
Saking terharu dan girangnya, Kwee Siong lalu menubruk dan memeluk Liem Siang Hong
sambil mengalirkan air matanya. Entah mengapa, hati Liem Siang Hong yang tadinya keras itu
kini menjadi luluh dan ia merasa amat suka dan kasihan kepada orang muda yang tampan ini.
Bahkan, mereka lalu menanyakan usia masing-masing dan mengangkat saudara pada malam hari
itu juga. Liem Siang Hong ternyata lebih tua empat tahun sehingga Kwee Siong lalu
menyebutnya Liem-twako dan Liem Siang Hong menyebutnya Kwee-te (adik Kwee).
Atas usaha Liem Siang Hong, diselidikilah leadaan isteri Kwee Siong di dusun Tai-kun-an, akan
tetapi alangkah sedih dan terkejutlah hati Kwee Siong ketika ia mendengar berita bahwa isterinya,
yakni Sui Giok, dikabarkan telah tewas di dalam hutan bersama dengan para serdadu, menjadi
korban Toat-beng Mo-li yang marah dari dalam hutan yang menyeramkan itu.
Kwee Siong roboh pingsan ketika mendengar berita ini dan setelah ia siuman kembali, ia
dihibur oleh Liem Siang Hong.
"Adikku, percayalah, aku sendiri merasa amat berduka karena adanya berita ini. Setelah aku
tahu bahwa isterimu adalah seorang she Liem juga, maka makin eratlah perasaan hatiku
terhadapmu. Anggaplah saja aku sebagai kakak isterimu sendiri, dan jangan kau terlalu berduka
sehingga membahayakan kesehatan tubuhmu. Sekarang lebih baik kau turut kepadaku saja dan
tinggal bersamaku di kota Tai-goan."
Sambil terisak-isak Kwee Siong berkata, "Tidak, Liem-twako, aku sudah terlampau banyak
berhutang budi kepadamu. Aku tidak dapat mengganggumu lagi dengan menumpangkan diriku
yang amat sial dan selalu dirundung malang ini. Biarlah aku pergi merantau, entah ke mana saja,
karena akhirnya aku toh akan mati juga. Lebih cepat lebih baik, karena hanya kematian saja
yang akan membawa aku kepada isteriku......"
Tiba-tiba Liem Siang Hong berseru keras. "Apakah kau ingin menjadi seorang yang Bong-impwe-gi (manusia tak kenal budi)?""
Biarpun ia sedang menangis sedih, mendengar tuduhan ini Kwee Siong mengangkat mukanya dan
memandang wajah kakak angkatnya itu dengan heran dan penasaran.
"Kau sudah berkali-kali menyatakan berhutang budi kepadaku dan hendak membayar budi itu
dengan mendidik puteraku, mengapa sekarang ikut tinggal di rumahku saja kau tidak mau?"
Biarpun ucapan Liem Siang Hong ini seperti orang marah dan terdengar kasar, akan tetapi
Kwee Siong maklum sedalam-dalamnya bahwa itu adalah akal yang dipergunakan oleh
perwira itu untuk menolongnya dan memaksanya tinggal di rumahnya.
Makin terharulah hatinya dan tangisnya makin menjadi, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan
kata-kata lain dan hanya menutupi mukanya dengan kedua tangan. Akhirnya dapat juga Kwee
Siong berkata. "Thian Yang Maha Kuasa tahu betapa besar rasa terima kasihku kepadamu, Liem-twako, dan
biarlah aku bersumpah bahwa semenjak saat ini, aku Kwee Siong akan selalu menurut segala
kata-katamu." Diam-diam Liem Siang Hong tersenyum puas dan demikianlah, perwira muda yang baik hati ini
membawa Kwee Siong ke rumahnya, sebuah rumah gedung di kota Tai-goan, kota terbesar di
propinsi Shansi. Dalam usahanya untuk membahagiakan Kwee Siong dan membangun kembali rumah tangga
yang telah roboh serta menghibur hatinya daripada kedukaan karena kematian isterinya yang
tercinta, Liem Siang Hong diam-diam lalu menghubungi sahabat-sahabatnya yang bekerja dekat
dengan kaisar. Ia memperlihatkan sajak buatan Kwee Siong dulu itu dan semua orang bangsawan yang
membaca sajak itu, menjadi kagum sekali. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, berhasillah
Liem-ciangkun untuk menghaturkan sajak itu kehadapan Kaisar, setelah ia menghubungi
pembesar-pembesar tinggi di kota raja.
Kaisar amat suka membaca sajak itu, bukan karena di dalamnya terdapat pujian untuk kaisar,
akan tetapi karena sajak ini dapat dipergunakan untuk membangkitkan semangat rakyat dan
untuk menggembirakan para pekerja yang tenaganya amat dibutuhkan. Sajak itu lalu dibuat
banyak sekali untuk ditempel-tempelkan di tempat kerja yang sedang dilakukan seperti pada
tembok-tembok besar yang sedang dibangun kembali, di saluran besar, di tempat pembuatan
kapal dan lain-lain. Alangkah heran dan kagetnya hati Kwee Siong ketika pada suatu hari, Liem Siang Hong masuk
ke dalam kamarnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat
hadiah yang amat menyenangkan. Kwee Siong hanya memandang dengan mulut celangap dan
mata melongo. Gilakah kakak angkatnya ini"
"Adikku yang baik, kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" kata perwira muda itu dengan wajah
girang sekali. "Eh, eh, kau ini kenapakah, Liem-twako?" tanya Kwee Siong sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Aku" Bukan aku, akan tetapi kaulah yang kenapa-kenapa. Kau telah menjadi pembesar negeri,
adik Kwee. Kau diangkat oleh kaisar menjadi kepala kantor cabang di kota ini, kepala kantor
urusan pengumpulan tenaga pekerja pembangunan."
Bukan main kaget dan herannya hati Kwee Siong mendengar ucapan ini. "Eh, Liem-twako,
harap kau jangan main-main!"
"Siapa main-main" Hayo, kau buktikanlah sendiri!" Sambil berkata demikian, Liem-ciangkun lalu
memegang tangan Kwee Siong dan ditariknya Kwee Siong keluar dari kamar, menuju ke ruang
depan. Ketika melihat bahwa di dalam ruang tamu itu duduk seorang pembesar yang membawa lengki
(bendera tanda pesuruh kaisar), Kwee Siong merasa bulu tengkuknya berdiri dan cepat ia bersama
Liem Siang Hong menjatuhkan diri berlutut. Berhadapan dengan seorang pembesar pembawa
lengki, sama halnya dengan berhadapan dengan kaisar sendiri, oleh karena pesuruh itu merupakan
wakil kaisar. Dengan suaranya yang parau, pesuruh tua itu lalu membacakan firman kaisar
tentang pengangkatan Kwee Siong itu.
Liem Siang Hong menjamu pembesar pesuruh itu, lalu memberi bekal banyak barang berharga
sambil mengantarkan orang itu keluar untuk pulang ke kota raja. Dan semenjak saat itu, Kwee
Siong telah menjadi pembesar. Pakaian kebesaran dan cap kebesaran telah berada di atas meja
dalam kamarnya. ******* Kwee Siong mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya setelah ia diangkat menjadi kepala
bagian pengumpulan tenaga rakyat, dan menjadi pembesar di kota Tai-goan. Semenjak dia yang
memegang jabatan itu, banyak terjadi perobahan.
Ia melarang keras menggunakan tenaga rakyat secara paksa dan serampangan saja. Ia
mengharuskan para serdadu memilih orang-orang muda yang kuat, mengerjakan orang-orang tua
dan orang-orang lemah di bagian yang ringan. Ia seringkali mengadakan gerakan mengumpulkan
sumbangan dari para hartawan dan dermawan, dan sumbangan ini dipergunakan untuk
menghibur para pekerja. Ia mengadakan pemeriksaan dan membentuk barisan pemeriksa terdiri atas perwira-perwira
pilihan Liem Siang Hong, perwira-perwira yang benar-benar gagah perkasa dan jujur, untuk
memberantas segala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
Uang-uang sogokan, ancaman, yang biasa diderita oleh rakyat, dihapusk
Tentu saja ini hanya meliputi daerah Tai-goan saja, karena daerah lain berada di bawah
kekuasaan pembesar lain. Tidak mengherankan apabila nama Kwee Siong sebentar saja jadi
amat terkenal dan ia dihormati oleh rakyat jelata.
Para pembesar lain, biarpun ada yang merasa iri hati dan dengki terhadap Kwee Siong, namun
seorangpun tidak ada yang berani mengganggu. Mereka tahu bahwa Kwee Siong mempunyai
hubungan erat sekali dengan perwira Liem Siang Hong yang gagah perkasa, maka tidak ada yang
berani mencoba-coba untuk main-main.
Hubungan antara Kwee Siong dengan Liem Siang Hong amat eratnya. Setiap hari mereka tentu
bertemu, bercakap-cakap dan Kwee Siong memenuhi janjinya, yakni ia mendidik putera Liem
Siang Hong. Semenjak anak itu berusia lima tahun, mulailah Kwee Siong mendidiknya dengan
sungguh hati. Anak itu bernama Liem Sian Lun, putera tunggal dari perwira Liem. Oleh karena Kwee Siong
merasa amat sayang kepada anak itu, maka Sian Lun juga amat kasih kepada pamannya ini. Boleh
dibilang anak itu lebih banyak berdiam di dalam gedung Kwee Siong dari pada di dalam rumah
ayahnya sendiri. Dalam hal pendidikan, ternyata Kwee Siong lebih pandai dari pada Liem Siang Hong, karena
perwira ini betapapun juga, memiliki kekerasan hati sebagai seorang perwira. Berbeda sekali
dengan Kwee Siong yang adatnya lemah lembut dan memperlakukan anak itu dengan sabar dan
manis budi. Terhadap ayahnya, Sian Lun merasa takut, akan tetapi terhadap Kwee Siong, ia
merasa sayang dan menghormat.
Berkali-kali Siang Hong membujuk Kwee Siong untuk menikah lagi.
"Adikku yang baik," katanya untuk kesekian kalinya, "Kau masih muda dan sudah mempunyai
kedudukan baik. Mengapa kau menyiksa diri dan hidup dalam kesepian" Kau harus sayang masa
mudamu, dan apakah kau tidak ingin mempunyai keturunan" Siapakah kelak yang akan
melanjutkan riwayat keluarga Kwee" Kau katakan saja dan percayalah, aku yang akan
mencarikan seorang jodoh yang cantik lahir bathin untuk menjadi isterimu."
Akan tetapi Kwee Siong menggeleng-geleng kepala lalu berkata sedih,
"Tidak bisa, twako. Aku tidak dapat melupakan Sui Giok, isteriku, dan aku tidak sampai hati
untuk mendekati lain wanita."
"Mengapa kau berpandangan demikian sempit dan bodoh, adik Kwee" Isterimu telah kembali ke
alam baka, dan kalau memang benar dia amat menyintamu, aku yakin bahwa isterimu sekarang
sedang bersedih dan kecewa pula melihat kau tidak mempunyai keturunan. Apakah kau kirah roh
seorang isteri setia dan menyinta akan merasa suka melihat suaminya hidup sengsara, kesepian,
dan kelak meninggalkan dunia tanpa ada keturunan " Pikirlah dengan otak yang sehat, adikku."
Akan tetapi, sukarlah membujuk Kwee Siong yang amat mencinta isterinya. Lima tahun
kemudian, setelah merasa yakin bahwa isterinya yang tiada kabar beritanya itu tentu telah tewas,
barulah Kwee Siong menerima bujukan kakak angkatnya dan menikahlah ia dengan seorang
gadis cantik dari keluarga bangsawan she Liok. Ketika Kwee Siong menikah dengan gadis she
Liok ini, maka sepuluh tahun telah berlalu semenjak ia meninggalkan Sui Giok dengan terpaksa
itu. Setahun kemudian, isterinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kwee Cun.
Makin berbahagialah hati Kwee Siong dan akhirnya ia berhasil melupakan Sui Giok, isteri
pertama yang dianggapnya telah mati itu. Memang Kwee Siong sedang bernasib baik karena
iapun telah menerima kenaikan pangkat dan dipindahkan ke kota raja.
Biarpun kini Kwee Siong telah bertempat tinggal di kota raja, namun hubungannya dengan Liem
Siang Hong tetap baik. Mereka seringkali kunjung mengunjungi, dan putera tunggal Siang Hong,
yakni Liem Sian Lun, semenjak berusia delapan tahun oleh ayahnya telah dikirim kepada
suhunya, yakni pendeta Tao dari Kun-lun-san yang untuk sementara tinggal di dalam sebuah gua
di atas bukit di Pegunungan Luliang yang tak jauh dari Tai-goan letaknya.
Guru dari Liem Siang Hong ini bernama Beng Kui Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang
berkepandaian tinggi sekali. Tosu ini amat suka melihat Sian Lun dan berkatalah dia kepada
muridnya itu setelah menatap seluruh tubuh Sian Lun, "Muridku Siang Hong, kau beruntung
sekali. Puteramu ini memiliki tubuh seorang sin-tong (anak ajaib), bakatnya luar biasa sekali."
Tentu saja Liem Siang Hong merasa girang dan bangga maka ia meninggalkan Sian Lun di
pegunungan itu dengan hati besar. Juga Kwee Siong ketika mendengar bahwa Sian Lun telah
mulai belajar silat pada seorang berilmu tinggi, merasa amat girang.
Ia telah menganggap Sian Lun sebagai anaknya sendiri. Dan oleh karena kini Sian Lun berada di
atas gunung dan jarang sekali dapat bertemu dengannya, mulailah Kwee Siong merasa kesepian
sekali sehingga akhirnya sebagaimana dituturkan di atas, ia menerima bujukan Liem Siang Hong
dan menikah dengan Liok-siocia (nona Liok).
Waktu berjalan amat pesatnya dan delapan tahun semenjak Kwee Siong menikah, telah lewat
tanpa terasa. Kini Kwee Cun telah berusia tujuh tahun. Anak ini cerdik dan lemah lembut seperti
ayahnya. Kwee Siong hanya mempunyai seorang anak ini karena isterinya tidak melahirkan anak
lagi. Hal ini mungkin karena kesehatan isterinya itu seringkali terganggu. Akan tetapi, boleh
dibilang bahwa hidup Kwee Siong beserta keluarganya amatlah bahagia.
Adapun Sian Lun yang tadinya berguru kepada Beng Kui Tosu, telah menamatkan pelajaran
ilmu silatnya selama lima tahun dan melihat bakatnya yang luar biasa, Beng Kui Tosu, atas
persetujuan Siang Hong, lalu mengirimkan anak muda itu ke puncak Kun-lun-san untuk berguru
kepada guru besar Kun-lun-pai, yakni Beng To Siansu.
Kakek sakti ini adalah tokoh tertinggi dari Kun-lun-pai dan masih terhitung susiok (paman
guru) dari Beng Kui Tosu, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu
kepandaiannya. Ketika itu, Sian Lun telah berusia sembilan belas tahun dan telah menjadi
seorang pemuda yang tampan, gagah dan berkepandaian tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari
pada kepandaian Beng Kui Tosu, bekas gurunya.
****** Pada suatu hari, di puncak pegunungan Kun-lun-san, tempat kediaman Beng To Siansu, datanglah
seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Sungguhpun usia kakek ini sudah amat tinggi,
dan agaknya tubuhnya sudah lemah tinggal menanti maut datang menjemput nyawanya, namun
ternyata ia masih amat kuat. Bukan hanya kuat, akan tetapi bahkan luar biasa sekali. Ia mendaki
gunung itu bagaikan terbang saja, biarpun kedua kakinya bergerak perlahan, namun ia maju
dengan amat cepatnya, jurang-jurang lebar dilompatinya begitu saja.
Kakek ini bukan lain adalah Liang Gi Cinjin, pencipta dan pendiri Pek-sim-kauw, tosu yang
tinggi sekali ilmu silatnya, terutama sekali ilmu pedangnya. Seperti biasa, kakek ini melakukan


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perantauan dan datang mengunjungi Beng To Siansu yang menjadi sahabat baik dalam
bercakap-cakap atau menjadi musuh besar dalam pertandingan catur.
Telah hampir sepuluh tahun Liang Gi Cinjin tidak mengunjungi Kun-lun-san, maka ia merasa
amat rindu untuk bercakap-cakap atau main catur dengan ketua dari Kun-lun-pai itu. Beng To
Siansu yang memiliki pendengaran luar biasa tajamnya, biarpun ia tengah duduk dalam guanya,
sebelum tamunya kelihatan, ia telah tertawa dan menyambut dari dalam gua dengan kata-kata
gembira, "Liang Gi Cinjin, setan catur. Apakah kau sudah berlatih cukup banyak untuk datang
menghadapi papan catur dengan aku?"
Liang Gi Cinjin berdiri di depan goa dan tertawa bergelak, kedua tangan bertolak pinggang dan
mukanya didongakkan ke atas.
"Beng To Siansu, setan tua! Orang yang selalu menyekap dirinya di dalam goa yang sempit
seperti kau, bagaimana bisa sehat " Heran, orang seperti kau masih bisa panjang usia!"
Belum habis Liang Gi Cinjin bicara, dari dalam goa itu keluarlah seorang kakek lain yang
bertubuh tinggi besar dan rambutnya juga putih semua seperti rambut Liang Gi Cinjin. Usia
kedua orang kakek ini memang sebaya, dan sukarlah dikatakan siapa yang lebih sehat di antara
keduanya, karena muka mereka masih nampak merah dan segar sekali.
"Liang Gi Cinjin, biarpun aku tinggal di dalam gua yang sempit, namun hawa yang masuk di
dalam gua adalah hawa pegunungan yang bersih, tidak seperti kau yang setiap hari mengisap
hawa kota yang kotor, mengandung debu tahi kuda!" Beng To Siansu menjawab sambil tertawa
juga. Sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, kedua orang kakek ini lalu duduk bersila di depan
gua, di atas rumput yang bersih. Mereka menghadapi sebuah papan catur dan mulai bermain
catur. Kepandaian mereka dalam permainan ini seimbang dan juga dalam ilmu silat, kepandaian
mereka setingkat. Pernah mereka memperbincangkan tentang ilmu silat dan pernah pula pibu (mengadu kepandaian)
akan tetapi ternyata mereka tak dapat saling mengalahkan lawan. Sesungguhnya, Liang Gi Cinjin
masih terhitung adik seperguruan, akan tetapi kakek ini cepat sekali memperoleh kemajuan
sehingga tingkat mereka menjadi seimbang dan perhubungan mereka yang amat erat itu
melenyapkan sebutan suheng dan sute.
Bab 08..... Ketika bicara tentang keadaan negara, Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan
menggelengkan kepalanya. "Beng To Siansu, ramalanmu dahulu itu tepat sekali. Pemerintahan Sui yang sekarang ini
memang telah mendekati keruntuhannya. Kaisar terlalu tamak dan tidak mengingat akan keadaan
rakyat jelata. Baru saja rakyat diperas tenaganya untuk pembangunan besar-besaran, kini tentara
kerajaan mulai dikerahkan untuk menyerang daerah timur (Korea).
Ketika aku menuju ke sini, aku mendengar tentang pemberontakan-pemberontakan yang mulai
timbul, mula-mula di pegunungan Cangpai di propinsi Santung. Entah bagaimana nanti jadinya
dengan pemerintah ini."
"Biarlah, tak usah kita pikirkan urusan seperti itu," jawab Beng To Siansu, "kalau sudah tiba
masanya, di mana muncul calon pemimpin yang bijaksana, barulah kita memerintah anak murid
kita untuk membantu pergerakan mulia itu."
Tak lama kemudian mereka menghentikan percakapan karena seluruh perhatian mereka
tertuju kepada biji-biji catur yang mulai saling mengurung dan pertandingan berjalan seru
sekali. Telah dua kali mereka bermain dan hasilnya satu-satu. Matahari telah condong ke barat ketika
mereka hendak mulai dengan permainan ketiga. Akan tetapi, pada saat itu, berkelebatlah bayangan
orang yang gesit sekali dan tak lama kemudian seorang pemuda yang cakap dan gagah berdiri di
depan mereka. Pemuda itu memegang seekor ular besar yang ia gulung bagaikan sehelai tambang, dipegang
pada leher dan ekornya. Dalam keadaan tergulung tubuhnya dan leher serta ekor terpegang oleh
jari-jari tangan yang kuat itu, ular ini tidak berdaya sama sekali.
"Suhu, teecu telah kembali!" kata pemuda itu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Beng To
Siansu. Beng To Siansu menengok dan berkata girang, "Hm, Sian Lun, agaknya kau telah berhasil
menangkap pengacau itu."
"Inilah dia, suhu. Sukar juga menangkapnya, karena ia kuat dan ganas sekali."
"Coba ceritakan bagaimana kau dapat menangkapnya, akan tetapi sebelumnya beri hormatlah
dulu kepada susiokmu ini."
Pemuda yang bukan lain adalah Sian Lun putera perwira Liem Siang Hong itu, cepat memberi
hormat sambil berlutut kepada Liang Gi Cinjin, "Maaf susiok, teecu tidak tahu sehingga telah
berlaku kurang hormat."
"Anak baik, kauceritakanlah dari mana kau berhasil menangkap daging enak ini!" kata Liang Gi
Cinjin sambil memandang wajah pemuda yang tampan dan gagah itu.
Sian Lun lalu menuturkan pengalamannya. Sebuah dusun di kaki gunung Kun-lun telah
berkali-kali diserang oleh seekor ular yang besar, ganas dan jahat. Banyak sudah hewan piaraapara penduduk ditelan oleh ular itu dan ketika diserang, dua orang dusun telah tewas karena
digigit dan disabet dengan ekor
Beng To Siansu yang mendengar akan hal ini, lalu menyuruh muridnya menangkap ular itu. Sian
Lun lalu berangkat turun gunung dan ketika ia berhasil mendapatkan ular itu melingkar di atas
pohon, ia segera melompat dan menarik ekornya sehingga ular itu tertarik lalu jatuh ke bawah.
Akan tetapi ular itu ternyata kuat dan galak sekali. Ia tidak menyerah dengan mudah, tiap kali
dapat tercekik lehernya, ekornya lalu memukul dengan kuatnya dan ia mencoba untuk membelit
leher pemuda itu. Berkali-kali Sian Lun terpaksa melepaskan kembali cekikan itu, karena ular itu
benar-benar berbahaya. Sudah bergulat mati-matian, akhirnya ia berhasil mengirim totokan di belakang kepala ular itu
yang merasa sakit dan setengah lumpuh. Barulah Sian Lun dapat menangkap ular itu dan
membawanya ke atas bukit.
Mendengar penuturan itu dan melihat potongan tubuh pemuda ini, Liang Gi Cinjin menghela
napas panjang dan berkata kepada Beng To Siansu,
"Memang, agaknya karena setiap hari kau bertapa, maka peruntunganmu lebih bagus dari
padaku. Ilmu pedangku Pek-sim kiam-hoat yang buruk itu saja belum ada yang cukup
berharga untuk mewarisinya.
Murid-muridku tidak ada yang dapat bertahan menghadapi seranganku Pek-sim Ciang-hoat
lebih dari dua puluh jurus, mana mereka mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat dengan
baik?" Kakek ini menghela napas lagi. "Agaknya selama hidupku aku takkan dapat bertemu dengan
seorang murid seperti muridmu ini dan Pek-sim Kiam-hoat akhirnya akan lenyap dari muka
bumi tanpa meninggalkan nama."
Mendengar pujian ini, Liem Sian Lun menjadi merah mukanya karena jengah. Ia segera
menganggukkan kepala dan berkata,
"Susiok, harap kau orang tua jangan terlalu memuji, teecu takut akan menjadi sombong
dan....." "Anak Goblok!" tiba-tiba suhunya membentak. "Hayo, kau lekas menghaturkan terima
kasihmu kepada susiokmu yang hendak menurunkan Pek-sim Kiam-hoat kepadamu.
Sian Lun merasa terkejut, akan tetapi otaknya yang cerdas membuat ia maklum akan kehendak
suhunya. Iapun merasa girang sekali karena dari ucapan ini ternyata bahwa suhunya tidak merasa
keberatan kalau ia menerima pelajaran dari orang lain. Ia cepat-cepat menganggukan kepalanya di
depan susioknya dan berkata,
"Banyak terima kasih teecu haturkan atas kemurahan hati susiok yang sudi memberi petunjuk
kepada teecu yang bodoh."
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, memang si tua bangka yang pintar memancing
ikan di air keruh. Anak muda, seperti kukatakan tadi, yang mampu mempelajari Pek-sim
Kiam-hoat adalah orang yang mampu menghadapi seranganku selama dua puluh jurus lebih.
Apakah kau berani menghadapi Pek-sim Ciang-hoat sampai lebih dari dua puluh j
Hampir saja Sian Lun menyatakan tidak berani, karena sebagai seorang terpelajar dan sopan,
mana ia berani menantang susioknya" Akan tetapi suhunya membentak lagi,
"Gagukah kau, Sian Lun" Apakah kau hendak membikin malu suhumu yang telah melatihmu
bertahun-tahun" Tentu saja kau berani, bukan"
Sian Lun menjadi serba salah. Untuk menyatakan berani, ia takut kalau menyinggung perasaan
susioknya yang tentu merasa seakan-akan ditantang, sebaliknya menyatakan tidak berani, ia
takut suhunya akan marah. Maka ia diam saja dan akhirnya tanpa berani memandang kepada
suhu atau susioknya, ia berkata,
"Teecu akan mencoba kebodohan sendiri menghadapi serangan itu sampai dua puluh jurus."
Beng To Siansu melompat berdiri dan bertepuk tangan gembira. Ia merenggutkan ular itu dari
tangan muridnya dan sekali ia mengetukkan jarinya pada leher ular, ia lalu melepaskan ular itu di
atas tanah. Ular itu dapat melepaskan tubuhnya yang tadi digulung oleh Sian Lun, akan tetapi ketika hendak
menggerakkan tubuh untuk pergi, ternyata bahwa lehernya tak dapat bergerak. Tentu saja, tanpa
dapat menggerakkan leher, ular itu tidak dapat bergerak maju lagi.
"Hayo, kau layani susiokmu sampai dua puluh jurus lebih, Sian Lun!" kata Beng To Siansu.
Adapun Liang Gi Cinjin menudingkan telunjuknya kepada kakek itu sambil berkata,
"Apakah kau kira aku seorang yang suka melanggar janji sehingga hal ini perlu dibuktikan
sekarang juga?" "Siapa takut kau melanggar janji" Dunia boleh jadi kiamat akan tetapi tak boleh jadi Liang Gi
Cinjin melanggar janji. Aku hanya khawatir kalau-kalau kau lupa. Orang tua sudah pikun, takkan
melanggar janji akan tetapi dapat lupa."
"Ha, ha, ha! Kau tuan rumah yang tidak tahu aturan, tamu datang-datang tidak diberi hidangan,
bahkan dimintai sesuatu. Awas, kalau nanti sesudah aku mencoba muridmu ini kau tidak
menghidangkan daging ular yang gemuk itu, selama hidupku aku akan menganggap kau seorang
tuan rumah yang pelit dan jahat sekali."
Untuk sejenak Beng To Siansu diam saja, kemudian ia menjawab sambil menghela napas,
"Baiklah, manusia rakus! Sian Lun, setelah kau melayani susiokmu, jangan lupa, lekas potong ular
itu dan panggang dagingnya untuk susiokmu."
Legalah hati Liang Gi Cinjin mendengar jawaban ini. Dari jawaban ini, ia mengerti bahwa kakek
tokoh Kun-lun-pai itu sudah merasa rela serarus persen bahwa pemuda itu menerima pelajaran
ilmu pedangnya. Ia tahu bahwa kakek Kun-lun-san ini adalah seorang yang pantang makan
daging, maka apabila kini memperbolehklan ular itu dipotong dan dimakan dagingnya, itu
menandakan bahwa ia sudah rela sekali.
Hanya Sian Lun yang mendengarkan percakapan kedua orang tua itu dengan terheran-heran dan
ia tidak mengerti artinya. Baginya, kedua orang kakek itu bicara seperti anak kecil yang suka
bermain-main dan bertengkar mulut.
Iapun maklum akan pantangan makan barang berjiwa yang dilakukan oleh suhunya amat
keras sehingga ia sendiripun diharuskan cia-cai (makan sayur, tidak boleh makan daging).
Akan tetapi mengapa sekarang suhunya menyuruhnya memanggang daging ular yang
mengerikan ini ?" Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang nampak gembira sekali itu tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk banyak melamun.
"Hayo, Sian Lun, bangunlah dan mari kita main-main sebentar. Jagalah dirimu sampai dua
puluh jurus dan berlakulah hati-hati. Di dunia ini, hanya sedikit saja orang yang sanggup
menahan seranganku sampai dua puluh jurus !"
Sian Lun lalu memberi hormat kepada Liang Gi Cinjin dan setelah berkata, "Maaf, teecu
berlaku kurang hormat!" ia lalu memasang kuda-kuda dengan teguhnya.
Sebagai seorang pemuda yang sopan dan berotak cerdik, Sian Lun memasang kuda-kuda yang
disebut Kera Sakti Menerima Buah, tubuhnya merendah, muka ditundukkan dengan kedua tangan
di bawah dada, sepasang matanya ditujukan ke arah kedua pundak kakek itu dengan sikap
menghormat. Benar saja, menyaksikan sikap kuda-kuda ini, Liang Gi Cinjin merasa senang dan memuji
pemuda yang pandai membawa diri ini. Memang benar, ujar-ujar kuno yang menyatakan
bahwa untuk dapat mencapai hasil gemilang dalam pengejaran cita-cita hidup, senjata yang
terutama adalah kerendahan hati dan penyesuaian sikap dengan keadaan yang dihadapinya.
Dengan sikapnya ini, tanpa terasa lagi Sian Lun telah dapat menyenangkan hati Liang Gi
Cinjin. Akan tetapi Liang Gi Cinjin tidak nanti mau memberikan ilmu pedangnya begitu saja kepada
sembarang orang. Ia harus mencoba dulu sampai di mana bakat pemuda ini.
Biarpun dengan ketajaman matanya ia telah dapat melihat kebagusan tubuh pemuda ini dan ia
percaya bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, namun untuk dapat mempelajari ilmu
pedang Pek-sim Kiam-hoat dengan sempurna sehingga dapat menguasai seluruhnya, orang harus
memiliki dasar kepandaian yang cukup. Melihat pemuda itu telah memasang kuda-kuda dan siap,
ia lalu tersenyum dan berkata,
"Awas seranganku!" Tubuhnya yang sudah tua itu ternyata dapat bergerak luar biasa
cepatnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat
mengagetkan. Sian Lun berlaku waspada dan cepat mengelakkan diri dari sebuah tamparan, akan tetapi
dalam jurus pertama itu ternyata Liang Gi Cinjin telah menyerangnya dengan tiga macam
pukulan dari kedua tangan kiri dan kaki kiri. Bukan main cepatnya datangnya serangan ini
sehingga pemuda itu harus berlaku hati-hati dan cepat sekali. Kalau tidak memiliki
ketenangan, kecepatan dan ketajaman mata sukarlah menghadapi serangan yang sambung
menyambung dan susul menyusul itu.
Ilmu silatnya sendiri tidak berbahaya bagi Sian Lun yang sudah berkepandaian tinggi, akan tetapi
yang hebat adalah gerakan dan tenaga kakek ini. Ginkang dan lweekang dari Liang Gi Cinjin
memang tinggi sekali, dan biarpun Sian Lun telah melatih diri dengan hebat dalam kepandaian
ini, didorong oleh bakatnya yang luar biasa, namun harus ia akui bahwa ia masih kalah setingkat.
Menurut pendapatnya, ginkang dan lweekang dari kakek ini hanya kalah sedikit saja dari
suhunya, Beng To Siansu. Akan tetapi diam-diam ia merasa lega, oleh karena kalau saja kakek ini
melanjutkan serangannya dengan ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat yang ternyata tidak berapa
berbahaya ini baginya, pasti ia akan dapat menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
Akan tetapi, setelah sepuluh jurus lewat dengan selamat, gerakan serangannya. Sian Lun
menjadi terkejut bukan main karena daya serangan kali ini luar biasa hebatnya.
Hawa pukulan yang keluar dari sepasang tangan kakek ini amat ganjil, tarik menarik dan tangan
kiri amat berlainan dengan tangan kanan, bahkan boleh dibilang bertentangan. Pemuda itu
tiba-tiba merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang berlainan caranya bersilat,
merupakan dua macam Liang Gi Cinjin, yang seorang bergaya lemas dan penuh keindahan, ykedua bergaya kasar dan cepat bagaikan seekor iblis mengam
Sian Lun memang tidak mengenal ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat, dan tentu saja tidak tahu
bahwa kakek yang menjadi lawannya ini sedang mengeluarkan ilmu silat itu di bagian Imyang"sin-ciang-hoat, bagian yang amat sukar dipelajari karena memerlukan latihan tenaga
lweekang dan gwakang yang dipergunakan berbareng.
Akan tetapi Beng To Siansu yang pernah berpibu dengan kakek itu, tahu akan hal ini dan melihat
betapa muridnya menjadi sibuk sekali dan gugup. Beng To Siansu mengerutkan kening.
Sesungguhnya, kalau saja Sian Lun tahu akan rahasia ilmu silat ini tak perlu pemuda itu menjadi
gugup dan bingung. Maka ia lalu berkata keras seperti orang bernyanyi.
"Im dan Yang selalu bertentangan, tarik menarik. Kalau orang dapat berada di tengah-tengah,
tidak terpengaruh oleh tarikan kanan kiri, bebas dari Im Yang, itu barulah yang disebut Tiongyong." Kata-kata ini sesungguhnya adalah petikan dari ujar kuno, akan tetapi tepat sekali
dipergunakan untuk memecahkan serangan Liang Gi Cinjin itu. Tiong-yong berarti jejak,
lurus, tidak condong ke sana ke mari, tidak terpengaruh oleh sesuatu, iman tetap tenang di
tengah-tengah. Mendengar ucapan suhunya ini, tiba-tiba Sian Lun menjadi sadar. Memang otak pemuda ini
cerdik sekali dan dapat menangkap maksud dan arti dari sesuatu hal yang ditunjukkan
kepadanya. Tadipun ia telah memutar otak untuk mencari tahu rahasia penyerangan aneh ini, dan
begitu mendengar ucapan suhunya tentang Im dan Yang, hampir ia berseru saking girangnya.
Ia lalu bersilat dengan gerakan yang disebut Pai-bun-twi-hong (Mengatur Bintang Menolak
Angin). Kini ia tidak mengelak dengan gugup dan bingung lagi, tidak mau dipengaruhi oleh
hawa pukulan lawan, akan tetapi hanya menjaga diri dengan waspada, dengan kuda-kuda yang
kuat dan begitu pukulan datang, ia lalu menangkis dengan pengerahan tenaga lweekang atau
gwakang, sesuai dengan datangnya serangan lawan.
Sampai lima jurus, serangan dengan Im-yang-sin-ciang-hoat dari Liang Gi Cinjin ini dapat
digagalkan. Kakek itu tertawa bergelak dan berkata,
"Setan sayur (untuk menyindir Beng To Siansu yang selalu makan sayur), kau sungguh terlalu
membela muridmu." Setelah berkata demikian, Liang Gi Cinjin lalu merobah lagi serangannya, tidak lagi mainkan
Im-yang-sin-ciang-hoat, melainkan menggunakan ginkangnya yang luar biasa, bergerak cepbagaikan seekor burung garuda menyambar mengelilingi Sian Lun. Lagi-lagi Beng To Siansu
berkata seperti orang bernyanyi.
"Kalau Toa-su-siang-hong-wi (kedudukan empat penjuru) dijaga baik-baik, maling yang
bagaimana pandaipun takkan dapat masuk."
Memang tadinya Sian Lun selalu mengikuti gerakan lawannya, mengerahkan ginkangnya.
Akan tetapi oleh karena Liang Gi Cinjin kedudukannya di luar dan dia di dalam, maka dia
harus berputar lebih cepat lagi dan karenanya kedudukannya menjadi lemah dan kepalanya
pening. Mendengar ucapan suhunya ini, Sian Lun lalu teringat akan penjagaan diri yang amat praktis,
yakni ia menjaga kedudukan empat penjuru, dengan demikian, tanpa bersusah payah
memutar-mutar diri mengikuti gerakan penyerang, ia dapat menjaga diri dengan baik sehingga
ketika jurus ke dua puluh lewat, ia tetap dapat berdiri tak te
Liang Gi Cinjin melompat keluar dari kalangan pertandingan, lalu menuding ke arah Beng To
Siansu dan berkata sambil tertawa,
"Kakek curang! Kau telah membela muridmu!"
Beng To Siansu tersenyum, "Aku ingin sekali Sian Lun menerima warisanmu mempelajari
Pek-sim Kiam-hoat yang luar biasa, maka aku khawatir kalau-kalau kau lupa diri dan
merobohkannya. Bukankah sayang sekali?"
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. "Dasar pemakan rumput! Lupakah kau bahwa orang yang
menguji kekauatan cawan araknya takkan membanting sampai hancur cawannya itu" Aku suka
anak ini dan tanpa kau membelanya, aku tak sampai hati untuk mengalahkannya. Ha, ha, ha, aku
gembira sekali, kini aku dapat mati dengan mata meram, ilmu pedangku yang buruk sudah ada
ahli warisnya, dan kalau toh kelak dicemarkan, yang rusak namanya bukan aku, melainkan Beng
To Siansu. Ha, ha!" Akan tetapi ketawanya lenyap seketika setelah ia melihat Sian Lun menjatuhkan diri berlutut di
depan kakinya, sambil berkata, "Suhu teecu berterima kasih atas budimu yang besar."
"Apa....... " Siapa yang menjadi suhumu" Siapa yang menerimamu menjadi muridku?"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dan kini Beng To Siansu yang tertawa besar. "Ha, ha, ha!


Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coba sekarang kau bilang, apakah kau masih bisa melepaskan tanggung jawabmu" Bukankah
Sian Lun telah menjadi muridmu" Ha, ha, ha!"
Dengan mata terbelalak, Liang Gi Cinjin membanting-banting kakinya. "Dasar guru dan
muridnya sama, sudah bersekongkol. Sudahlah, Sian Lun, lekas kau panggang daging ular itu
baik-baik. Jangan dibuang kepalanya, aku paling suka itu. Dan ekornya untuk kau, mengerti ?"
Sian Lun menjadi bingung. Telah bertahun-tahun ia tidak makan daging seperti suhunya,
bagaimana sekarang ia harus makan. Akan tetapi keheranannya lenyap dan ia bahkan merasa
girang dan lega ketika Beng To Siansu berkata,
"Ketahuilah, Sian Lun. Ular ini bukanlah ular sembarangan, akan tetapi ular pohon yang jarang
terdapat. Daging ular ini mengandung daya yang luar biasa sekali baik untuk membersihkan
darah, menghangatkan perut dan menguatkan jantung. Daging ular ini dimakan orang yang
mengerti bukan karena enak, akan tetapi dimakan sebagai semacam obat kuat.
Kepalanya amat baik untuk orang tua sehingga Liang Gi Cinjin gurumu ini makan kepalanya
mungkin dengan maksud agar usianya menjadi sepanjang mungkin. Adapun ekornya itu adalah
semacam obat kuat yang keras sekali, baik untuk orang-orang muda!"
Tahulah kini Sian Lun mengapa suhunya suka ikut makan, karena suhunya dulu pernah
berkata ketika melarang ia makan daging.
"Sesungguhnya makan daging mahluk bernyawa dengan maksud hanya untuk memuaskan
selera mulut, termasuk perbuatan yang tidak sesuai dengan alam. Lain lagi halnya tubuh,
sehingga kita memakannya bukan dengan maksud memuaskan lidah akan tetapi dengan
maksud yang lebih luas dan baik dari pada itu."
Sehabis makan Liang Gi Cinjin lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh, "Sian Lun,
karena kau telah mengangkat aku sebagai gurumu yang kedua, maka kau harus menurut
segala peraturan yang kuadakan."
"Memang demikianlah seharusnya," Beng To Siansu menyambung sambil bangkit berdiri. "Nah,
Sian Lun, sekarang aku serahkan kau kepada sahabat baikku ini untuk dididik. Belajarlah
baik-baik, dan jangan menyia-nyiakan waktu." Kakek ini lalu masuk ke dalam goa untuk
bersamadhi, meninggalkan mereka berdua d
Liang Gi Cinjin lalu menceritakan tentang Pek-sim-kauw dan bahwa sesungguhnya ia tidak mau
menerima seorang murid yang tidak menjadi pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi oleh karena ia
House Of Hades 7 Cintaku Selalu Padamu Karya Motinggo Busye Kaki Tiga Menjangan 48

Cari Blog Ini