Ceritasilat Novel Online

Membunuh Itu Gampang 2

Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie Bagian 2


sekali. Bridget berkata lagi,
"Yah, Mayor Horton memang sangat berpenampilan militer - sikapnya sangat menurut
aturan. Kira hampir tak bisa percaya bahwa setahun yang lalu dia masih merupakan
pria yang paling tunduk di bawah perintah istrinya."
"Apa" Pria semacam itu?"
"Ya. Istrinya adalah wanita yang paling sulit yang pernah kukenal. Soalnya
wanita itu dari keluarga kaya, dan dia tak pernah lupa membeberkan hal itu di
hadapan umum." "Kasihan beruang itu - eh, maksudku Horton."
"Tapi dia memperlakukan istrinya dengan baik sekali - dia selalu bersikap
sebagaimana layaknya seorang perwira dan pria sejati. Aku sendiri heran mengapa
dia tak pernah ingin mencekik wanita itu."
"Rupanya wanita itu tak disukai orang banyak."
"Semua orang tak suka padanya. Dia pernah membentak Gordon dan memperlakukan aku
seperti orang bawahannya saja, ke mana pun dia pergi dia selalu membuat orang
membencinya." "Tapi rupanya suatu nasib yang menguntungkan menyingkirkannya, ya?"
"Ya, kira-kira setahun yang lalu. Dia meninggal karena penyakit lambung yang tak
tertolong lagi. Selama dia sakit itu dia benar-benar menyiksa suaminya, juga
Dokter Thomas, dan dua orang juru rawat - tapi kemudian dia meninggal! Setelah itu
anjing-anjing bulldog itu langsung menjadi ceria."
"Cerdas sekali anjing-anjing itu!"
Mereka diam. Bridget dengan santai memetik-metik rumput yang panjang. Luke
memandang ke tebing seberang sambil mengerutkan alisnya. Tujuan perjalanannya
yang sangat dicari-cari itu, sekali lagi menyiksa batinnya. Mana yang merupakan
kenyataan - mana yang khayalan" Tidakkah ini tindakan yang jahat. Dia - orang asing
yang meneliti setiap orang yang baru dikenalnya dan mencurigai mereka sebagai
pembunuh" Sungguh sebuah sikap yang tak terpuji.
"Sialan benar," pikir Luke, "sudah terlalu lama aku menjadi polisi!"
Dia terbangun dari lamunannya oleh suatu kejutan besar. Bridget berbicara dengan
suara dingin. "Tuan Fitzwilliam," katanya, "untuk apa sebenarnya Anda datang kemari?"
BAB 6 CAT TOPI WAKTU itu Luke sedang akan menyalakan rokoknya. Tangannya menjadi lumpuh
sejenak, mendengar kata-kata yang tak terduga itu. Beberapa saat lamanya dia tak
bergerak. Korek apinya menyala, menyala terus, dan menghanguskan jarinya.
"Sialan," kata Luke sambil melemparkan puntung korek api itu dan menggoyanggoyangkan tangannya kuat-kuat. "Apa katamu" Kau telah membuatku terperanjat."
Dia tersenyum dengan murung.
"Sungguh?" "Yah," desah Luke. "Ya, setiap orang yang benar-benar cerdas pasti bisa melihat
siapa aku sebenarnya! Kurasa, kisahku bahwa aku sedang menulis buku tentang
cerita-cerita rakyat sama sekali tidak kaupercaya, bukan?"
"Begitu melihatmu, aku tak percaya."
"Sebelum itu kaupercaya?"
"Ya." "Itu memang suatu kisah yang kurang baik," kata Luke menyalahkan dirinya
sendiri. "Maksudku, setiap orang bisa saja ingin menulis buku, tapi soal
keinginanku datang kemari lalu menyamar sebagai seorang sepupumu - kurasa itulah
yang membuatmu curiga, bukan?"
Bridget menggeleng. "Tidak. Aku punya alasan untuk itu - maksudku ada alasannya. Kusangka kau tak
punya uang - kebanyakan teman Jimmy begitulah keadaannya - dan kusangka Jimmy
berpura-pura mengakui kau sebagai sepupu, supaya - yah supaya kau tak sampai
kehilangan muka." "Tapi waktu aku tiba," kata Luke. "Penampilanku segera memberikan kesan bahwa
aku punya uang, sehingga penjelasan itu jadi tak masuk akal lagi, begitukah?"
Bridget tersenyum. "Oh, tidak," katanya. "Bukan begitu. Pokoknya penampilanmu tidak meyakinkan
aku." "Kauanggap aku tak cukup berotak untuk menulis buku" Jangan takut aku
tersinggung. Aku ingin tahu."
"Bisa saja kau menulis buku - tapi bukan buku semacam itu - takhyul-takhyul lama menggali masa lampau - tidak yang semacam itu! Masa lampau tak punya arti banyak
bagi orang macam kau - bahkan mungkin masa depan pun tidak - hanya masa kini."
"Hm - begitu rupanya." Luke tersenyum masam. "Celakanya lagi, kau telah membuatku
gugup sejak aku tiba! Kau kelihatan begitu cerdas."
"Maafkan aku," kata Bridget datar. "Apa yang kauharapkan?"
"Terus terang aku tidak memikirkannya."
Bridget berkata lagi dengan tenang,
"Seorang gadis yang mabuk kepayang - yang hanya punya otak untuk mencari
kesempatan dan menikah dengan majikannya?"
Luke mengeluarkan suara yang tak menentu. Bridget menoleh padanya dengan
pandangan dingin dan geli.
"Aku bisa mengerti. Tak apa-apa. Aku tidak tersinggung."
Luke merasa lebih baik menantangnya.
"Yah, mungkin sesuatu yang mendekati itulah. Tapi aku tidak terlalu
memikirkannya." Bridget berkata lambat-lambat,
"Tentu tidak. Kita tidak akan mengambil langkah-langkah sebelum terpaksa."
Tetapi Luke menjadi murung.
"Ah, tindak-tandukku pasti tidak meyakinkan! Apakah Lord Whitfield juga
mencurigai aku?" "Oh, tidak. Kalaupun kaukatakan kau kemari untuk mempelajari kumbang air dan
menulis buku khusus tentang binatang itu, tidak akan ada pengaruhnya bagi
Gordon. Dia selalu punya pikiran yang baik dan mudah percaya."
"Bagaimanapun juga, aku tidak meyakinkan! Aku bodoh sekali."
"Aku merupakan penghalang dalam langkahmu," kata Bridget. "Aku bisa melihatnya.
Maafkan kalau aku malah merasa senang."
"Oh, pasti! Wanita yang cerdas biasanya memang bisa sangat kejam."
Bridget bergumam. "Kita harus mereguk semua kesenangan yang bisa kita peroleh dalam hidup ini!"
Dia diam sebentar, lalu berkata lagi, "Untuk apa Anda kemari, Tuan Fitzwilliam?"
Mereka kembali lagi ke pertanyaan semula. Luke menyadari bahwa itu memang akan
terjadi. Dan selama beberapa detik terakhir dia telah mencoba mengambil
keputusan. Kini dia mengangkat mukanya dan menatap Bridget - dengan pandangan yang
tajam dan mengandung tanya, Bridget membalas pandangan itu dengan tenang dan
mantap. Sorot matanya serius, suatu hal yang tak diduga Luke.
"Kupikir," katanya sambil merenung, "akan lebih baik untuk tidak lagi berbohong
padamu." "Jauh lebih baik."
"Tapi keadaan yang sebenarnya tidak menyenangkan.... Ngomong-ngomong, apakah kau
sendiri punya pendapat - maksudku, apakah kau punya dugaan untuk apa aku kemari?"
Bridget mengangguk perlahan sambil merenung.
"Apa gagasanmu" Coba ceritakan. Kurasa mungkin bisa membantu."
Dengan tenang Bridget berkata,
"Dugaanku adalah bahwa kau kemari sehubungan dengan kematian Amy Gibbs."
"Begitu rupanya! Itulah yang kulihat - yang kurasakan - setiap kali namanya disebut!
Aku tahu pasti ada sesuatu. Jadi kausangka aku datang untuk itu?"
"Tak benarkah itu?"
"Ya - ada benarnya."
Luke diam sambil mengerutkan alisnya. Gadis di sampingnya juga berdiam diri,
tanpa bergerak. Gadis itu tidak berkata apa-apa, tidak mengganggu jalan
pikirannya. Kemudian Luke mengambil keputusan.
"Aku kemari untuk mengejar sesuatu yang masih sangat meragukan, berdasarkan
perkiraan yang fantastik dan mungkin sangat tak masuk akal serta dibesarbesarkan. Amy Gibbs hanya sebagian dari semuanya itu. Aku tertarik untuk mencari
tahu bagaimana sebenarnya dia meninggal."
"Ya, begitulah dugaanku."
"Tapi persetan semuanya itu - mengapa kau menduga begitu" Ada apa dengan
kematiannya sehingga - yah - kau jadi tertarik?"
Bridget berkata, "Selama ini - kupikir - pasti ada sesuatu yang tak beres mengenai kematiannya. Sebab
itu kau kuajak menemui Miss Waynflete."
"Mengapa?" "Karena dia pun punya dugaan yang sama."
"Oh." Luke cepat-cepat mengingat-ingat kembali. Kini dia mengerti anjuran yang
tersembunyi di balik sikap perawan tua yang cerdas itu.
"Dia punya dugaan yang sama dengan kau - bahwa ada sesuatu - yang tak beres mengenai
hal itu, begitu?" Bridget mengangguk. "Mengapa sebenarnya?"
"Pertama-tama, cat topi itu."
"Apa maksudmu dengan cat topi?"
"Yah, kira-kira dua puluh tahun yang lalu, orang memang mencat topinya - dalam
suatu musim seseorang memakai topi pandan berwarna merah muda, pada musim
berikutnya sebotol cat topi akan mengubah topi yang sama menjadi biru tua - lalu
lain kali mungkin sebotol lain lagi, dan topi itu pun akan menjadi hitam! Tapi
zaman sekarang - topi murah - menjadi barang tak berharga yang bisa dibuang saja
bila sudah tidak mengikuti mode lagi."
"Juga bagi gadis-gadis segolongan Amy Gibbs?"
"Aku lebih mungkin mencat topi daripada dia! Penghematan sudah tak punya arti
lagi. Lalu ada lagi satu hal. Cat topi itu berwarna merah."
"Lalu?" "Padahal Amy Gibbs berambut merah - seperti wortel!"
"Maksudmu kedua warna itu tak selaras?"
Bridget mengangguk. "Tak mungkin orang mengenakan topi merah bila rambutnya berwarna merah seperti
wortel. Itu sesuatu yang tidak akan disadari oleh seorang pria, tapi - "
Luke memotong kata-kata itu, menyatakan bahwa dia mengerti betul.
"Tentu - seorang pria tidak akan menyadari hal itu. Itu cocok - semuanya cocok
sekali." Bridget berkata, "Jimmy mempunyai beberapa teman di Scotland Yard. Bukankah kau - "
Cepat-cepat Luke berkata,
"Aku bukan seorang detektif resmi - dan aku bukan pula seorang detektif swasta
kenamaan yang berkantor di Baker Street, atau yang sejenis itu. Aku benar-benar
seperti yang dikatakan Jimmy - seorang polisi yang sudah pensiun, yang datang dari
tanah jajahan. Aku memberanikan diri menangani urusan ini, karena ada sesuatu
yang aneh yang telah terjadi di kereta api dalam perjalananku ke London."
Diceritakannya kembali ringkasan percakapannya dengan Miss Pinkerton, dan
kejadian-kejadian berikutnya yang telah membawanya ke Wychwood.
"Jadi kaulihat," katanya menyudahi kisahnya. "Memang seperti khayalan saja! Aku
mencari seorang laki-laki tertentu - seorang pembunuh gelap - seseorang di Wychwood
ini - mungkin dia terkenal dan terhormat. Bila kata-kata Miss Pinkerton benar, dan
kata-katamu benar, juga Miss siapa-namanya-itu benar - maka orang itulah yang
telah membunuh Amy Gibbs."
"Aku mengerti," kata Bridget.
"Bisa juga dilakukan dari luar, bukan?"
"Ya, kurasa bisa," kata Bridget lambat-lambat. "Agen polisi Reed memanjat
jendela melalui gudang di luar rumah. Jendela itu terbuka. Agak sulit memang
memanjatnya, tapi seseorang yang cukup trampil tidak akan menemui kesulitan."
"Lalu setelah itu apa yang dilakukannya?"
"Menukar obat batuk dengan cat topi."
"Dengan harapan gadis itu akan melakukan apa yang ternyata memang dilakukannya.
Yaitu, dia terbangun, meminumnya sampai habis, dan semua orang pun akan
menyangka bahwa dia melakukannya karena suatu kekeliruan atau karena ingin bunuh
diri?" "Ya." "Dalam pemeriksaan di pengadilan, apakah tak ada kecurigaan mengenai adanya, apa
yang dalam buku-buku biasa disebut: 'permainan kotor'?"
"Tak ada." "Khas laki-laki, kurasa soal anehnya pemakaian cat topi itu tidak
dipertanyakan?" "Tidak." "Tapi kau mempertanyakannya?"
"Ya." "Juga Miss Waynflete" Apakah kalian berdua memperbincangkannya?"
Bridget tersenyum kecil. "Oh, tidak - tidak sebagaimana yang kaumaksud. Maksudku, kami tidak mengucapkannya
secara terus terang. Aku tak tahu berapa jauh pikiran perawan tua itu. Kurasa,
yang jelas dia merasa kuatir - dan makin lama, perasaan kuatirnya itu makin
bertambah. Dia cukup cerdas, pernah atau sekadar pernah punya keinginan untuk
bersekolah di Girton, dan waktu muda dia maju. Pikirannya tidak picik seperti
pikiran kebanyakan orang di sini."
"Kurasa, Miss Pinkerton jalan pikirannya agak ruwet," kata Luke. "Sebab itu
semula aku sama sekali tidak menduga bahwa ada suatu kebenaran dalam kisahnya."
"Menurutku, otaknya cukup tajam," kata Bridget. "Orang-orang tua yang suka
berceloteh seperti dia itu, berotak tajam. Katamu dia juga menyebut-nyebut namanama lain?" Luke mengangguk. "Ya, seorang anak laki-laki - Tommy Pierce - aku terus ingat nama itu begitu aku
mendengarnya. Dan aku yakin bahwa pria yang bernama Carter ada pula disebutnya."
"Carter, Tommy Pierce, Amy Gibbs, Dokter Humbleby," kata Bridget, tenggelam
dalam pikirannya. "Benar katamu, rasanya tak mungkin benar, karena terlalu
bersifat khayali! Siapa gerangan yang ingin membunuh orang-orang itu. Mereka
bukan dari kelas yang sama."
Luke bertanya, "Apakah kau punya gagasan, mengapa kira-kira seseorang ingin membunuh Amy
Gibbs?" Bridget menggeleng, "Tak bisa kubayangkan."
"Bagaimana dengan orang yang bernama Carter itu" Ngomong-ngomong, bagaimana dia
meninggal?" "Jatuh ke sungai dan tenggelam. Dia sedang dalam perjalanan pulang, malam itu
berkabut dan dia sedang mabuk. Jembatannya hanya merupakan titian kecil yang
berpagar sebelah. Jadi masuk akal kalau dia tergelincir."
"Tapi mungkin pula ada seseorang yang dengan mudah mendorongnya?"
"Oh, ya." "Dan ada pula seseorang yang dengan mudah pula mendorong Tommy, waktu dia sedang
mencuci jendela?" "Sekali lagi, ya."
"Jadi kesimpulannya, diperolehlah kenyataan bahwa mudah saja menyingkirkan tiga
orang manusia, tanpa ada orang yang curiga."
"Miss Pinkerton curiga," Bridget mengingatkannya.
"Memang, syukurlah. Dia tak punya pikiran-pikiran lain untuk berpura-pura sedih,
atau berkhayal." "Dia sering mengatakan padaku bahwa dunia ini penuh dengan kejahatan."
"Dan kurasa kau hanya tersenyum penuh pengertian?"
"Dengan perasaan sok tahu!"
"Barang siapa bisa mengkhayalkan enam hal yang sebenarnya tak masuk akal sebelum
dia sarapan, akan bisa memahami perkara ini dengan mudah."
Bridget mengangguk. Luke berkata lagi, "Kurasa akan percuma saja jika aku bertanya kalau-kalau kau punya pendapat
tertentu" Apakah ada seseorang di Wychwood ini yang membuatmu merasa takut
sekali, atau yang punya sorot mata yang aneh - atau yang tertawanya aneh dan
mengerikan?" "Semua orang yang kukenal di Wychwood ini, di mataku benar-benar waras,
terhormat, dan sangat biasa-biasa saja."
"Sudah kuduga bahwa kau akan berkata begitu," kata Luke.
Bridget berkata, "Apakah menurutmu orang itu benar-benar gila?"
"Ya, kurasa begitu. Memang orang gila, tapi yang licik. Orang yang paling tak
kita duga - mungkin seseorang yang terkemuka dalam masyarakat, seperti umpamanya
manajer bank." "Pak Jones" Jelas aku tak dapat membayangkan dia sebagai pelaku pembunuhan


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar-besaran." "Kalau begitu mungkin dialah orang yang kita cari."
"Bisa siapa saja," kata Bridget. "Tukang daging, tukang roti, tukang sayur,
buruh tani, buruh perbaikan jalan, atau pengantar susu."
"Bisa saja - memang - tapi kurasa pilihannya agak lebih terbatas daripada itu."
"Mengapa?" "Miss Pinkerton berbicara tentang pandangan mata seorang laki-laki, ketika dia
sedang menilai calon korbannya. Dari cara bicara almarhumah aku mendapatkan
kesan - ingat hanya suatu kesan - bahwa laki-laki yang dibicarakannya sekurangkurangnya sama tingkat sosialnya dengan dia. Tentu aku mungkin salah."
"Kau mungkin betul sekali! Nuansa percakapan seperti itu memang tidak tercantum
hitam di atas putih, tapi untuk hal-hal seperti itu, orang biasanya tidak
keliru." "Tahukah kau," kata Luke, "aku merasa lega sekali karena kau tahu semuanya ini."
"Mungkin dengan demikian kau jadi agak kurang kehilangan muka. Dan mungkin aku
bisa membantumu." "Bantuanmu sungguh sangat berharga. Apakah kau benar-benar menginginkan hal ini
selesai sampai tuntas?"
"Tentu." Dengan perasaan agak malu, Luke berkata,
"Bagaimana dengan Lord Whitfield" Apakah kaupikir - ?"
"Tentu kita tak perlu menceritakan apa-apa tentang hal ini kepada Gordon!" kata
Bridget. "Apakah kaupikir dia tidak akan percaya?"
"Oh, dia akan percaya! Gordon bisa mempercayai apa saja! Mungkin hal itu akan
membuatnya kacau, dan dia akan memaksakan untuk menyuruh lima-enam orang anak
buahnya yang cerdas-cerdas untuk melacak seluruh daerah ini! Dia akan senang
sekali melakukannya!"
"Kita justru harus menghindari kemungkinan itu," Luke membenarkan.
"Ya, kurasa kita memang tak dapat membiarkannya melaksanakan kesenangannya yang
sederhana itu." Luke menatapnya. Kelihatannya dia akan mengatakan sesuatu, tapi membatalkannya.
Sebaliknya dia lalu melihat ke arlojinya.
"Ya," kata Bridget, "sebaiknya kita pulang."
Dia bangkit. Tiba-tiba terasa adanya ketegangan di antara mereka berdua, seolaholah kata-kata Luke yang tak jadi diucapkannya tadi mengambang di udara.
Mereka berjalan pulang tanpa berbicara.
BAB 7 KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN LUKE duduk di kamar tidurnya. Pada waktu makan siang dia telah menjalani cobaan,
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Bu Anstruther mengenai bunga-bunga apa yang
ada di kebunnya di Teluk Mayang. Lalu kepadanya diberitahukan bunga-bunga apa
yang sebenarnya bisa tumbuh dengan baik di sana. Selanjutnya dia masih harus
mendengarkan "ceramah" Lord Whitfield mengenai "Pembahasan tentang Diriku
Sendiri dengan Para Remaja". Kini dia bersyukur dia bisa menyendiri.
Diambilnya sehelai kertas lalu ditulisnya sederetan nama. Beginilah uruturutannya: Dr. Thomas Pak Abbot Mayor Horton Mr. Ellsworthy Pak Wake Pak Jones Pacar Amy Tukang daging, tukang roti, pembuat wadah lilin, dan sebagainya.
Kemudian diambilnya sehelai kertas lagi, lalu dituliskannya judul: PARA KORBAN.
Di bawah judul itu dituliskannya:
Amy Gibbs : Diracuni Tommy Pierce : Didorong dari jendela
Harry Carter : Didorong dari titian (mabuk atau diberi obat penenang")
Dr. Humbleby : Keracunan darah
Miss Pinkerton : Ditabrak mobil
Ditambahkannya: Bu Rose" Pak tua Ben" Dan sebentar kemudian: Bu Horton" Dipelajarinya daftar nama-nama itu, dia merokok sebentar, lalu diambilnya lagi
pensil. Dr. Thomas: Tuduhan yang mungkin memberatkannya.
Terdapat motif yang kuat dalam kematian Dr. Humbleby. Cara kematian Humbleby
menguatkan - yaitu, peracunan ilmiah melalui kuman-kuman. Amy Gibbs mengunjunginya
petang hari dan malam harinya gadis itu meninggal. (Adakah hubungan antara kedua
kematian itu" Pemerasan") Tommy Pierce" Tak ada hubungan yang tampak. (Apakah
Tommy tahu tentang hubungan antara Thomas dan Amy Gibbs")
Harry Carter" Tak ada hubungan yang tampak.
Apakah Dr. Thomas tidak berada di Wychwood pada hari kepergian Miss Pinkerton ke
London" Luke mendesah lalu mulai lagi dengan judul baru:
Pak Abbot: Perkara yang mungkin memberatkannya.
(Dia merasa bahwa seorang pengacara itu pasti orang yang mudah curiga. Mungkin
hanya prasangka). Kepribadiannya ceria, ramah-tamah, dan sebagainya, dalam buku
cerita pasti merupakan orang yang mencurigakan - selalu mencurigai orang-orang
yang pura-pura ceria dan ramah. Keberatannya: Ini bukan buku melainkan kehidupan
nyata. Motif dalam pembunuhan atas diri Dr. Humbleby. Terdapat pertentangan yang
nyata antara keduanya. Humbleby menentang Abbot. Motif yang cukup kuat untuk
otak yang kacau. Pertentangan itu mungkin tampak jelas oleh Miss Pinkerton.
Tommy Pierce" Anak itu mengintip surat-surat Abbot. Apakah dia menemukan sesuatu
yang tak boleh diketahuinya"
Harry Carter" Tak tampak hubungan yang jelas.
Amy Gibbs" Tak tampak hubungan yang jelas. Cat topi itu sesuai benar dengan
pribadi Abbot - pikiran orang kolot. Apakah Abbot tidak berada di desa pada hari
Miss Pinkerton terbunuh"
Mayor Horton: Perkara yang mungkin memberatkannya.
Tak diketahui hubungannya dengan Amy Gibbs, Tommy Pierce, maupun Carter.
Bagaimana dengan Bu Horton" Agaknya penyebab kematiannya adalah peracunan
arsenikum. Bila memang begitu, maka pembunuhan-pembunuhan yang lain mungkin
merupakan akibatnya - pemerasan" Tambahan - Thomas adalah dokter yang merawatnya.
(Kecurigaan terhadap Thomas lagi.)
Mr. Ellsworthy: Tuduhan yang mungkin memberatkannya.
Barang dagangannya jelek-jelek - berkecimpung dalam ilmu hitam. Mungkin punya
pembawaan seorang pembunuh yang haus darah. Hubungannya dengan Amy Gibbs" Adakah
hubungannya dengan Tommy Pierce" Carter" Tak ada yang diketahui. Humbleby"
Mungkin dia mengetahui kelainan pembawaan. Ellsworthy. Miss Pinkerton" Apakah
Ellsworthy tidak berada di Wychwood - pada hari kematian Miss Pinkerton"
Pak Wake: Tuduhan yang mungkin memberatkannya.
Sangat tak masuk akal. Mungkinkah kelainan jiwa yang berhubungan dengan
keagamaan" Merasa mendapatkan wahyu untuk membunuh" Pendeta-pendeta tua yang sok
suci, sering membuat kejutan dalam buku cerita, tapi (seperti tadi juga), ini
kehidupan nyata. Catatan: Carter, Tommy, Amy, semuanya punya watak yang tak
menyenangkan. Apakah mereka lebih baik disingkirkan berdasarkan perintah Tuhan"
Pak Jones. Tak ada data. Pacar Amy. Mungkin punya alasan kuat untuk membunuh Amy - tapi atas dasar umum, agaknya tak
mungkin. Yang lain-lain" Jangan membayangkan mereka.
Dibacanya semua yang telah ditulisnya.
Kemudian dia menggeleng. Dia menggumam perlahan-lahan,
" - tak masuk akal! Enak saja seperti menyusun soal matematika."
Daftar-daftar itu dirobeknya lalu dibakarnya.
Katanya pada dirinya sendiri,
"Pekerjaan ini sama sekali tidak akan mudah."
BAB 8 DR. THOMAS DR. THOMAS menyandarkan diri di kursinya, lalu mengusap rambutnya yang tebal
pirang dengan tangannya yang panjang dan halus. Dia seorang pria muda yang
penampilannya bisa menyesatkan. Umurnya sudah lebih dari tiga puluh, tapi
sekilas pandang kita akan menyangka bahwa dia baru berumur dua puluhan, atau
mungkin belasan. Rambut pirangnya yang tebal dan agak acak-acakan, air mukanya
yang seperti orang terkejut, dan warna wajahnya yang merah muda dan putih, mau
tak mau membuat penampilannya seperti anak sekolah. Namun, meskipun dia
kelihatan tak matang, diagnosa yang baru saja dinyatakannya mengenai penyakit
rematik lutut Luke, hampir tepat benar persamaannya dengan diagnosa yang telah
diberikan oleh seorang spesialis terkemuka di Harley Street, baru seminggu yang
lalu. "Terima kasih," kata Luke. "Saya lega mendengar pendapat Anda bahwa pengobatan
dengan penyinaran akan bisa menyembuhkan. Saya tak ingin menjadi orang lumpuh
pada usia saya sekarang ini."
Dr. Thomas tersenyum, senyum kekanak-kanakan,
"Ah, saya rasa tak ada bahaya ke arah itu, Tuan Fitzwilliam."
"Yah, Anda telah melegakan pikiran saya," kata Luke. "Saya sedang menimbangnimbang untuk pergi ke seorang spesialis - sekarang saya yakin hal itu tak perlu."
Dr. Thomas tersenyum lagi,
"Pergi saja kalau itu bisa menenangkan pikiran Anda. Bagaimanapun juga,
mendengar pendapat seorang ahli selalu ada baiknya."
"Tidak, tidak, saya percaya penuh pada Anda."
"Terus terang, tak ada yang perlu dikuatirkan mengenai hal itu. Bila Anda mau
mendengar pendapat saya, saya yakin benar Anda tidak akan mengalami kesulitan
apa-apa lagi." "Anda benar-benar telah menenangkan pikiran saya, Dokter. Saya membayangkan diri
saya menderita arthritis dan dalam waktu singkat akan mengalami kesulitan besar
karena tak bisa bergerak."
Dr. Thomas menggeleng sambil tersenyum senang.
Luke cepat-cepat berkata lagi,
"Orang cepat merasa takut dalam keadaan begini. Saya rasa Anda melihat keadaan
itu. Saya sering berpikir bahwa seorang dokter itu mungkin merasa dirinya
sebagai 'tabib' - semacam ahli sulap bagi kebanyakan pasiennya."
"Unsur kepercayaan besar pengaruhnya." "Saya tahu. 'Dokter berkata begitu',
merupakan kata-kata yang selalu diucapkan dengan rasa hormat."
Dr. Thomas mengangkat bahunya.
"Kalau saja para pasien itu tahu!" gumamnya dengan rasa geli.
Kemudian katanya lagi, "Anda sedang menulis buku tentang ilmu sihir, bukan, Tuan Fitzwilliam?"
"Nah, bagaimana Anda sampai tahu itu?" seru Luke, mungkin terkejutnya agak
berlebihan. Dr. Thomas kelihatan geli.
"Ah, Saudaraku, berita beredar dengan cepat sekali di tempat seperti ini.
Soalnya, sedikit sekali bahan pembicaraan kita di sini."
"Berita mungkin pula dibesar-besarkan. Mungkin nanti Anda akan mendengar bahwa
saya membakar semangat rakyat setempat dan ingin menandingi ahli sihir dari
Endor." "Aneh juga Anda berkata begitu."
"Mengapa?" "Yah, soalnya telah terdengar desas-desus bahwa Anda telah membangkitkan hantu
si Tommy Pierce." "Pierce" Pierce" Apakah itu anak yang jatuh dari jendela itu?"
"Benar." "Saya jadi heran bagaimana jadi begitu - oh ya - saya pernah mengatakan sesuatu pada
pengacara itu - siapa namanya, Abbot?"
"Ya, cerita itu memang berasal dari Abbot."
"Mana mungkin saya sampai bisa mengubah seorang pengacara yang begitu hebat
menjadi orang yang percaya pada hantu."
"Kalau begitu, Anda sendiri percaya akan hantu?"
"Nada bicara Anda menyatakan bahwa Anda sendiri tak percaya, Dokter. Saya
sendiri pun tak dapat berkata bahwa saya benar-benar percaya akan hantu. Namun
saya telah melihat kejadian yang aneh dalam bentuk kematian yang mendadak atau
akibat kekerasan. Tapi saya lebih tertarik akan bermacam takhyul yang
berhubungan dengan kematian akibat kekerasan - bahwa seseorang yang meninggal
karena terbunuh umpamanya, tidak akan senang dalam kuburnya. Juga suatu
kepercayaan yang menarik bahwa darah seseorang yang mati terbunuh, akan mengalir
bila dia disentuh oleh orang yang membunuhnya. Saya ingin tahu bagaimana
kepercayaan itu sampai timbul."
"Aneh sekali," kata Thomas. "Tapi saya rasa tak banyak orang yang ingat akan hal
itu sekarang." "Lebih banyak daripada yang Anda sangka. Saya rasa Anda tak banyak mendengar
tentang terjadinya pembunuhan di sini - jadi tentu saja sulit untuk menilainya."
Luke tersenyum sambil berbicara itu, matanya menatap wajah lawan bicaranya,
seolah-olah dengan sikap tak peduli. Namun Dr. Thomas agaknya tak terpengaruh
dan membalas senyumnya. "Tidak, saya rasa di sini tak ada pembunuhan selama - ya, selama bertahun-tahun yang jelas, selama saya di sini."
"Ya, tempat ini memang aman dan damai. Tak pantas untuk tempat permainan kotor.
Kecuali kalau Tommy siapa-namanya-itu memang benar telah didorong orang dari
jendela." Luke tertawa, dan Dr. Thomas pun lagi-lagi membalas senyumnya - suatu senyum
kekanak-kanakan penuh dengan kesenangan kanak-kanak pula.
"Memang banyak orang yang ingin memuntir leher anak itu," katanya. "Tapi saya
rasa tak ada orang yang sampai hati mendorongnya dari jendela."
"Agaknya anak itu luar biasa nakalnya - penyingkiran atas dirinya mungkin dianggap
sebagai suatu kewajiban untuk umum."
"Sayang teori itu tak dapat sering-sering dimanfaatkan."
"Saya selalu berpendapat bahwa beberapa pembunuhan beruntun akan ada manfaatnya
bagi masyarakat," kata Luke. "Seseorang yang membosankan umpamanya, bisa
dihabisi dengan minuman beracun. Kemudian ada perempuan yang suka banyak bicara
dan menghancurkan sahabat-sahabat terdekatnya dengan ketajaman lidahnya.
Perawan-perawan tua yang suka mengutuk. Orang-orang berkepala batu yang
menentang kemajuan. Bila orang-orang semacam itu disingkirkan atau dihabisi
tanpa rasa sakit, betapa akan besar manfaatnya bagi kehidupan sosial!"
Senyum Dr. Thomas makin melebar, berubah menjadi tawa.
"Singkatnya, Anda menganjurkan dilakukannya kejahatan secara besar-besaran?"
"Penyingkiran dalam batas-batas hukum," kata Luke. "Tidakkah Anda sependapat
bahwa itu akan bermanfaat?"
"Oh, jelas." "Ah, tapi Anda pasti tak serius," kata Luke. "Saya serius sekali. Saya tidak
terlalu menghormati hidup kemanusiaan yang dimiliki oleh seorang Inggris yang
normal. Setiap orang yang merupakan penghalang dalam laju kemajuan, harus
disingkirkan - begitulah pandangan saya!"
Sambil mengusap rambut pirangnya yang pendek, Dr. Thomas berkata,
"Ya, tapi siapakah yang berhak menilai layak atau tidaknya seorang manusia?"
"Yah, tentu di situlah masalahnya," Luke mengakui.
"Seorang penganut agama Katolik akan menganggap seorang penghasut komunis tak
layak hidup - sedang si penghasut komunis akan memvonis mati seorang imam Katolik
dengan tuduhan sebagai penyebar takhyul, seorang dokter akan menyingkirkan orang
yang tak sehat, si penganjur perdamaian akan menghukum prajurit, dan begitu
seterusnya." "Harus ada seorang ilmuwan untuk menilainya," kata Luke. "Seseorang
yang berpikiran tak memihak, tapi yang benar-benar ahli - seorang dokter
umpamanya. Bicara tentang hal itu, Anda sendiri akan merupakan penilai yang
terbaik, Dokter." "Mengenai layak tidaknya seseorang?"
"Ya." Dr. Thomas menggeleng. "Tugas saya adalah membuat yang tak layak menjadi layak. Harus saya akui bahwa
tugas itu sering-sering amat sulit dilaksanakan."
"Nah, sekadar untuk bahan pertimbangan," kata Luke. "Ambillah orang seperti
almarhum Harry Carter - "
Dr. Thomas berkata dengan tajam,
"Carter" Maksud Anda pemilik rumah minum The Seven Stars itu?"


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, itulah orangnya. Saya sendiri belum pernah mengenalnya, tapi sepupu saya,
Nona Conway, bercerita tentang dia. Agaknya dia orang yang sangat jahat."
"Ya," kata dokter itu, "dia memang pemabuk. Memperlakukan istrinya dengan buruk,
menyakiti putrinya. Dia tukang berkelahi dan suka sewenang-wenang, dan
bertengkar dengan hampir semua orang di tempat ini."
"Singkatnya, dunia ini akan merupakan tempat yang lebih baik tanpa dia?"
"Benar, orang bisa berkata begitu." "Jadi, bila seseorang mendorongnya hingga
jatuh ke sungai, dan tidak membiarkan dia yang jatuh sendiri karena tergelincir,
maka orang itu telah bertindak demi kebaikan umum."
Dr. Thomas berkata dengan nada datar,
"Metode-metode yang Anda kemukakan itu - apakah Anda telah mempraktekkannya di
Selat Mayang - kalau tak salah Anda pernah berkata begitu."
Luke tertawa. "Oh, tidak, itu hanya teori - bukan praktek."
"Tepat. Saya rasa Anda tak sama dengan pembunuh-pembunuh itu."
Luke berkata, "Mengapa tidak" Saya sudah berterus terang dalam pandangan saya."
"Benar. Bahkan terlalu berterus terang."
"Maksud Anda, bila saya adalah semacam orang suka main hakim sendiri, maka saya
tidak akan mau ke sana kemari membeberkan pandangan-pandangan saya!"
"Itulah maksud saya."
"Itu merupakan berita gembira bagi saya. Mungkin saya lalu jadi tergila-gila
untuk membeber-beberkan hal itu!"
"Meskipun demikian, kesadaran Anda untuk melindungi diri Anda akan lebih besar
daripada itu." "Pokoknya, bila mencari seorang pembunuh, carilah tipe manusia yang kelihatannya
baik dan halus, yang tak bisa menyakiti bahkan seekor lalat sekalipun."
"Mungkin agak berlebihan," kata Dr. Thomas, "tapi itu tak jauh dari kenyataan."
Tiba-tiba Luke berkata, "Tolong katakan - saya jadi tertarik sekali - pernahkah Anda bertemu dengan
seseorang yang menurut Anda mungkin adalah seorang pembunuh?"
Dr. Thomas menjawab dengan tajam,
"Benar-benar suatu pertanyaan yang aneh!"
"Begitukah" Bukankah seorang dokter bertemu dengan banyak sekali orang yang
bermacam-macam wataknya" Dia - umpamanya akan lebih mudah menemukan ciri-ciri
seseorang yang berpenyakit suka membunuh - pada tingkat dini, sebelum penyakit itu
tampak oleh orang lain."
Dengan agak jengkel Thomas berkata,
"Anda hanya mempunyai gambaran umum seorang awam mengenai orang yang punya
kelainan jiwa yang suka membunuh - yaitu orang yang mengamuk dengan pisau atau
umpamanya seseorang yang berbusa-busa mulutnya. Sekarang saya beri tahukan pada
Anda, penyakit gila membunuh itu adalah sesuatu yang paling sulit diketahui.
Orang itu kelihatannya sama benar dengan siapa pun juga - paling-paling, mungkin,
dia mudah sekali ketakutan - dia mungkin mengatakan bahwa musuhnya banyak. Tak
lebih dari itu. Dia seseorang yang kelihatan tenang, tak mudah menyerang."
"Benar-benar begitukah keadaannya?"
"Memang begitu. Seseorang jadi gila membunuh, karena pada sangkanya dia membela
diri. Tapi sebenarnya banyak pembunuh yang sebenarnya orang-orang waras seperti
Anda dan saya." "Dokter, Anda membuat saya ngeri! Bayangkan kalau kelak Anda mendengar bahwa
diam-diam saya telah melakukan lima atau enam pembunuhan."
Dr. Thomas tersenyum. "Saya rasa itu sama sekali tak mungkin, Tuan Fitzwilliam."
"Benarkah begitu" Pujian itu harus saya kembalikan pada diri Anda. Saya pun tak
percaya bahwa Anda telah melakukan lima atau enam kali pembunuhan."
Dr. Thomas berkata dengan ceria,
"Anda harus ingat kegagalan-kegagalan saya sebagai dokter."
Keduanya tertawa. Luke bangkit lalu minta diri.
"Maafkan saya karena terlalu banyak menyita waktu Anda," katanya.
"Ah, saya tak sibuk. Wychwood ini tempat yang sehat sekali. Saya senang
bercakap-cakap dengan seseorang dari dunia luar."
"Saya heran - " kata Luke, lalu diam lagi.
"Ya?" "Nona Conway bercerita bahwa Anda - yah - orang yang jempolan. Saya tertanya-tanya
apakah Anda tidak merasa agak terkubur di tempat ini" Di sini tak banyak
kesempatan untuk mengembangkan bakat."
"Ah, praktek umum begini merupakan awal yang baik. Ini merupakan pengalaman yang
berharga." "Tapi Anda tentu tidak akan puas tinggal di tempat yang tak banyak berubah
begini, seumur hidup Anda" Lain dengan almarhum patner Anda, Dokter Humbleby,
saya dengar dia orang yang tak punya ambisi - saya dengar dia puas dengan
prakteknya di sini. Saya rasa sudah lama sekali dia di sini, ya?"
"Boleh dikatakan sepanjang hidupnya."
"Saya dengar dia memang baik, tapi kolot."
Dr. Thomas berkata, "Kadang-kadang dia memang sulit.... Dia selalu curiga terhadap perombakanperombakan baru, tapi dia merupakan contoh yang baik dari kelompok dokter-dokter
tua." "Kata orang dia mempunyai seorang putri yang cantik sekali," kata Luke
memancing. Dia senang melihat wajah Dr. Thomas yang semula pucat dan merah muda, berubah
menjadi merah padam. "Oh - eh - ya," katanya.
Luke menatapnya dengan ramah. Dia merasa senang karena akan dapat mencoret nama
Dr. Thomas dari daftar nama orang-orang yang dicurigai.
Dr. Thomas mendapatkan kembali naluri pertahanannya dan segera berkata,
"Ngomong-ngomong tentang kejahatan tadi, karena Anda tertarik akan hal itu, saya
bisa meminjami Anda sebuah buku yang cukup baik mengenai soal itu! Terjemahan
dari bahasa Jerman, berjudul Perasaan Rendah Diri dan Kejahatan karangan
Kreuzhammer." "Terima kasih," kata Luke.
Dr. Thomas menelusuri rak bukunya lalu mengeluarkan buku yang dimaksudnya.
"Ini dia. Beberapa teorinya agak mengejutkan - tapi itu sekadar teori, dan teoriteori itu menarik. Umpamanya mengenai masa muda Menzheld, yang dikenal dengan
nama si Pembantai dari Frankfurt. Juga bab mengenai Anna Helm, pengasuh kanakkanak yang menjadi pembunuh itu. Keduanya sangat menarik."
"Kalau tak salah, perbuatan gadis itu baru tercium oleh para pejabat setelah dia
membunuh dua belas anak yang dipercayakan padanya," kata Luke.
Dr. Thomas mengangguk. "Ya, gadis itu punya kepribadian yang sangat simpatik - dia sayang sekali pada
anak-anak asuhannya - dan seolah-olah benar-benar patah hati pada kematian setiap
anak. Psikologi memang luar biasa."
"Luar biasa pula bagaimana orang-orang itu bisa lolos," kata Luke.
Dia kini sudah tiba di ambang pintu. Dr. Thomas menyertainya ke luar.
"Sebenarnya tidak luar biasa," kata Dr. Thomas. "Sebenarnya mudah saja."
"Apanya yang mudah?"
"Untuk lolos." Dia tersenyum lagi - senyumnya menarik dan kekanak-kanakan. "Asal
orang berhati-hati. Orang hanya harus berhati-hati. Itu saja."
Dia tersenyum lalu masuk.
Luke tertegun, menatap ke tangga.
Senyum dokter itu membayangkan keramahan yang mengandung kesombongan. Selama
percakapan tadi, Luke merasa dirinya sebagai orang yang telah benar-benar
matang, sedang Dr. Thomas dianggapnya sebagai seorang anak muda yang masih
remaja tapi cerdas. Pada saat ini dia merasa keadaan itu telah terbalik. Senyum dokter itu adalah
senyum seorang dewasa yang merasa senang melihat kepandaian seorang anak.
BAB 9 BU PIERCE BERBICARA DI toko kecil di High Street, Luke membeli sekaleng rokok dan sebuah majalah
Good Cheer terbitan hari itu. Majalah itu adalah sebuah mingguan kecil, yang
memberikan penghasilan yang cukup besar pada Lord Whitfield. Luke kemudian
mengalihkan perhatiannya ke pertandingan sepak bola, lalu dengan mengerang
menyatakan bahwa dia telah gagal memenangkan taruhan sejumlah seratus dua puluh
pound. Mendengar itu, Bu Pierce langsung menyatakan simpatinya dan menceritakan
bahwa suaminya pun telah mengalami kekecewaan serupa. Dengan demikian terjadilah
hubungan persahabatan, dan Luke merasa tidak sulit untuk melanjutkan percakapan.
"Pak Pierce menaruh perhatian besar terhadap sepak bola," kata istri Pak Pierce.
"Yang pertama-tama dicarinya dalam majalah atau surat kabar adalah berita sepak
bola. Padahal sudah banyak dia mengalami kekecewaan, tapi yah, memang tak semua
orang bisa menang, dan saya selalu mengatakan kita tak dapat melawan nasib."
Luke membenarkan pernyataan-pernyataan itu dengan sepenuh hati, dan setelah
melalui suatu peralihan, dengan mudah dia dapat melanjutkan kepada pernyataan
yang tak dapat dibantah, yaitu bahwa kesulitan tak pernah datang secara tunggal.
"Oh, memang tidak, itu saya tahu benar" Bu Pierce mendesah. "Dan bila seorang
wanita punya suami dan delapan orang anak - enam hidup dan dua meninggal - dia tentu
tahu betul apa kesulitan itu."
"Saya rasa memang begitu - pasti," kata Luke. "Putra Anda - dua orang meninggal,
kata Anda?" "Seorang di antaranya belum sebulan yang lalu," kata Bu Pierce sedih.
"Aduh, menyedihkan sekali."
"Bukan hanya menyedihkan. Saya sampai shock - benar-benar shock! Saya sungguh
pusing, waktu orang menyampaikan berita itu pada saya. Saya tak pernah menyangka
hal semacam itu akan terjadi atas diri Tommy. Bila seorang anak selalu
menyusahkan, rasanya tak masuk akal dia diambil. Lain dengan anak saya Emma
Jane, bayi kecil yang manis. 'Kau tidak akan bisa membesarkannya.' Begitulah
kata orang. 'Anak itu terlalu baik untuk hidup.' Dan itu memang benar. Tuhan
tahu siapa yang dikasihiNya."
Luke membenarkan pernyataan itu, lalu dari pokok pembicaraan mengenai Emma Jane
yang masih suci itu, dia kembali membicarakan Tommy yang tidak begitu suci.
"Putra Anda itu meninggal belum lama ini?" tanyanya. "Apakah karena kecelakaan?"
"Memang suatu kecelakaan. Dia sedang membersihkan jendela Wych Hall, yang
sekarang menjadi perpustakaan, lalu mungkin dia kehilangan keseimbangannya dan
jatuh - dari jendela yang teratas pula."
Bu Pierce pun lalu menceritakan secara panjang-lebar dan terinci mengenai
kecelakaan itu. "Kalau tak salah ada cerita," kata Luke sambil lalu, "bahwa dia kelihatan
menari-nari di ambang jendela."
Bu Pierce berkata bahwa anak laki-laki memang biasa begitu - tapi hal itu pasti
sangat mengagetkan Pak Mayor, karena beliau memang orang yang cerewet.
"Mayor Horton?"
"Benar, pria dengan anjing-anjing buldog itu. Setelah kecelakaan itu terjadi,
dia bercerita bahwa dia melihat Tommy bertindak tak berhati-hati - dan tentulah
dengan demikian, bila ada sesuatu yang mendadak yang mengejutkannya, tentulah
dengan mudah dia jatuh. Kesulitannya ialah, Tommy ini terlalu nekat. Dia
merupakan cobaan yang menyakitkan bagi saya - dalam banyak hal," katanya akhirnya,
"tapi yah seperti kata saya tadi, itu hanya kenekatannya - tak lebih dari
kenekatan - seperti umumnya anak laki-laki. Tak ada yang benar-benar membahayakan
dalam dirinya, sungguh."
"Tidak, tidak - saya yakin, pasti tak ada yang membahayakan, tapi kadang-kadang,
maklumlah orang, Bu Pierce - orang-orang setengah umur yang biasa - mereka itu
biasanya seolah-olah lupa bahwa mereka pun pernah muda."
Bu Pierce mendesah. "Benar sekali kata-kata Anda itu. Saya harap saja, beberapa bapak yang saya
kenal, tapi yang lebih baik tidak saya sebutkan namanya, akan ingat betapa
mereka telah memperlakukan anak itu dengan buruknya - hanya gara-gara kenakalannya
saja." "Dia suka mempermainkan majikan-majikannya, bukan?" kata Luke dengan senyum
penuh pengertian. Bu Pierce langsung menyahut.
"Itu semata-mata karena kegemarannya saja, bukan apa-apa. Si Tommy itu selalu
pandai menirukan. Sampai-sampai sakit perut kami menertawakannya kalau dia
sedang melucu menirukan gaya Mr. Ellsworthy pemilik toko antik itu - atau Pak Tua
Hobbs, penjaga gereja. Pada suatu hari dia menirukan Lord Whitfield di rumah
besar itu, dan kedua orang pembantu tukang kebun tertawa dibuatnya. Tiba-tiba
Lord Whitfield datang diam-diam dan Tommy dipecatnya pada saat itu juga. Tapi
itu memang sudah pada tempatnya, memang begitulah seharusnya, dan Lord Whitfield
tidak mendendam, beliau bahkan membantu Tommy mendapatkan pekerjaan baru."
"Tapi orang-orang lain tidak berjiwa sebesar itu, bukan?" kata Luke.
"Memang tidak. Tapi tak perlulah kita sebutkan nama mereka. Pak Abbot termasuk
orang yang tidak mendendam. Sikapnya selalu menyenangkan dan selalu siap dengan
kata-kata atau lelucon manis."
"Apakah Tommy juga mengalami kesulitan dengan dia?"
Bu Pierce berkata, "Saya yakin anak itu tidak bermaksud jahat.... Lagi pula kalau surat-surat
memang bersifat rahasia dan tak boleh dilihat orang lain, sebenarnya tak boleh
dibiarkan berserakan di meja - itu pendapat saya."
"Memang benar," kata Luke. "Surat-surat di kantor seorang pengacara seharusnya
disimpan di dalam lemari besi."
"Itu benar. Begitulah pikir saya, dan Pak Pierce pun sependapat dengan saya. Agaknya si Tommy pun tak sempat banyak membacanya."
"Surat apa itu sebenarnya - surat wasiatkah?" tanya Luke.
Pikirnya (mungkin juga pikirannya benar) suatu pertanyaan mengenai dokumen apa
surat itu, barangkali akan membuat Bu Pierce terdiam. Namun pertanyaan yang
langsung itu mendapat jawaban langsung pula.
"Oh, bukan, bukan surat semacam itu. Bukan sesuatu yang terlalu penting. Hanya
surat pribadi - dari seorang wanita - dan Tommy bahkan tidak melihat nama wanita
itu. Menurut saya - mereka hanya meributkan soal yang remeh saja."
"Pak Abbot tentunya seseorang yang mudah tersinggung," kata Luke.
"Ya, kelihatannya memang begitu, ya" Meskipun seperti kata saya tadi, dia orang
yang mudah diajak bicara - selalu ada saja lelucon atau kata-katanya yang
menyenangkan. Tapi saya memang mendengar bahwa dia orang yang sulit dibantah.
Dia dan Dokter Humbleby, umpamanya, boleh dikatakan dalam keadaan perang, tak
lama sebelum dokter malang itu meninggal. Pikiran Pak Abbot tentu tak enak
setelah itu, karena begitu ada seseorang yang meninggal, kita tak suka mengingat
kata-kata kasar yang telah diucapkannya, karena tak ada lagi kesempatan untuk
menariknya kembali."
Luke menggeleng dengan murung dan menggumam,
"Benar sekali - benar sekali."
Katanya lagi, "Itu - suatu kebetulan, ya" Dia bertengkar dengan Dokter Humbleby, lalu Dokter
Humbleby meninggal - kenakalan putra Anda, Tommy - dan anak itu meninggal! Saya rasa
pengalaman ganda seperti itu, akan memaksa Pak Abbot untuk berhati-hati dengan
kata-katanya di masa yang akan datang."
"Harry Carter, pemilik Seven Stars, begitu juga," kata Bu Pierce. "Antara mereka
telah terjadi pertengkaran dengan kata-kata yang kasar, hanya seminggu sebelum
Carter tenggelam dan meninggal - tapi orang tak dapat mempersalahkan Pak Abbot
dalam hal ini. Kesalahan seluruhnya ada pada pihak Carter - dia pergi ke rumah Pak
Abbot dalam keadaan mabuk, lalu berteriak-teriak sekuat-kuatnya dengan
menggunakan kata-kata yang kotor sekali. Kasihan Bu Carter, banyak sekali yang
harus dideritanya. Harus diakui bahwa kematian Carter itu merupakan pembebasan
yang menguntungkan bagi wanita itu."
"Carter meninggalkan seorang anak perempuan, bukan?"
"Ah," kata Bu Pierce. "Saya sih tak suka bergunjing."
Kata-kata itu tak disangka-sangka, tapi menjanjikan sesuatu. Luke memasang
telinganya dan menunggu. "Saya rasa - hanya gunjingan orang saja. Lucy Carter itu seorang gadis yang punya
kecantikan tersendiri, dan kalau saja tak ada perbedaan kedudukan, pasti tidak
akan menjadi perhatian orang. Tapi tak dapat disangkal lagi bahwa hal itu telah
menjadi bahan pembicaraan orang - lebih-lebih setelah Carter datang ke rumahnya,
sambil berteriak-teriak dan memaki-maki."
Luke mengumpulkan kesimpulan dari kata-kata yang agak semrawut itu.
"Agaknya Pak Abbot itu suka pada gadis cantik," katanya.
"Kaum pria memang begitu," kata Bu Pierce. "Mereka tidak punya maksud tertentu sekadar sepatah dua patah kata waktu berpapasan, tapi begitulah kalau orang itu
orang yang terkemuka. Perbuatan itu lalu menarik perhatian orang. Hal semacam
itu memang wajar di tempat yang sesepi ini."
"Tempat ini baik sekali," kata Luke. "Masih bersih."
"Para seniman memang selalu berkata begitu, tapi saya sendiri merasa bahwa kami
di sini agak ketinggalan zaman. Lihat saja, boleh dikatakan tak ada bangunanbangunan baru di tempat ini. Di Ashevale, umpamanya, banyak rumah-rumah baru,


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa di antaranya beratap hijau dan jendelanya berkaca mozaik."
Luke agak menggigil. "Kalian punya bangunan besar yang baru di sini," katanya.
"Kata orang bangunan itu bagus sekali," kata Bu Pierce, tanpa semangat. "Lord
Whitfield memang telah berbuat banyak untuk tempat ini. Dia bermaksud baik, kami
tahu itu." "Tapi apakah Anda berpendapat bahwa usaha-usahanya kurang berhasil?" kata Luke
dengan agak geli. "Yah, Lord Whitfield itu sebenarnya bukan orang yang terkemuka - tidak seperti
Miss Waynflete umpamanya, atau Nona Conway. Ayah Lord Whitfield itu pemilik toko
sepatu, hanya beberapa pintu saja dari sini. Ibu saya masih ingat Gordon Ragg
yang melayani di toko itu - beliau ingat sekali. Anak laki-laki itulah yang kini
menjadi Lord Whitfield dan dia menjadi orang kaya - tapi bagaimanapun juga tak
bisa sama dengan orang yang dari semula memang terkemuka, bukan?"
"Memang," kata Luke.
"Maafkan saya berkata begitu," kata Bu Pierce. "Lebih-lebih karena saya tahu
bahwa Anda tinggal di rumah besar itu dan sedang menulis buku. Tapi saya tahu
Anda sepupu Nona Bridget, itu berbeda sekali. Kami senang sekali dia akan
menjadi nyonya pemilik Ashe Manor."
"Tentu," kata Luke. "Saya yakin Anda semua akan senang."
Dia cepat-cepat membayar harga rokok dan kertasnya.
Pikirnya, "Urusan pribadi. Itu harus disingkirkan! Aku di sini untuk melacak suatu
kejahatan. Apa peduliku dengan siapa perempuan sihir berambut hitam itu akan
menikah" Dia sama sekali tak ada urusan dalam hal ini."
Dia melangkah perlahan-lahan di sepanjang jalan. Dengan susah payah ditekannya
bayang-bayang Bridget ke bawah sadarnya.
"Nah, sekarang Abbot," katanya sendiri. "Tuduhan yang bisa dilemparkan terhadap
Abbot. Aku telah mengaitkannya dengan tiga orang di antara para korban. Dia
bertengkar dengan Humbleby, bertengkar dengan Carter, dan marah pada Tommy
Pierce - dan ketiga orang itu meninggal. Bagaimana dengan Amy Gibbs - gadis itu"
Surat pribadi apakah yang telah dilihat oleh anak yang lancang itu" Tahukah dia
dari siapa surat itu" Ataukah dia tak tahu" Mungkin dia tidak mengatakannya pada
ibunya, tapi mungkin pula dikatakannya. Mungkin Abbot merasa perlu membungkam
mulutnya. Mungkin saja! Hanya itulah yang bisa dikatakan! Mungkin saja! Dan itu
tak cukup!" Luke mempercepat langkahnya, sambil melihat ke sekelilingnya dengan rasa geram.
"Desa sialan ini - membuat pusing kepalaku saja. Kelihatannya begitu penuh senyum
dan damai - tak berdosa - dan sementara itu pembunuhan bersimarajalela di sini. Atau
akukah yang gila" Ataukah Lavinia Pinkerton gila" Bagaimanapun juga, semuanya
itu bisa saja merupakan suatu kebetulan - ya, kematian Humbleby dan semuanya
itu...." Dia menoleh ke belakang, ke sepanjang High Street - dan dia terserang perasaan
semu yang kuat. Katanya pada dirinya sendiri,
"Hal-hal yang begini tidak terjadi...."
Kemudian diangkatnya matanya, menatap Bukit Ashe Ridge yang bagaikan garis alis
yang sedang berkerut - dan perasaan semu itu pun langsung sirna. Ashe Ridge adalah
sebuah bukit yang nyata - di sana terjadi hal-hal yang aneh - ilmu sihir dan
kekejaman, dan penyakit haus darah serta upacara-upacara jahat yang sudah tak
lazim lagi - Dia terkejut. Dilihatnya dua sosok berjalan di sepanjang lereng bukit. Dengan
mudah dia bisa mengenali mereka - Bridget dan Mr. Ellsworthy. Pria muda itu sedang
membuat gerakan-gerakan dengan tangannya yang aneh dan tak bagus itu. Kepalanya
miring ke arah Bridget. Mereka kelihatan seperti dua sosok dalam mimpi. Terlihat
mereka melompat dari batu ke batu seperti kucing, namun langkah kaki mereka tak
terdengar. Dilihatnya rambut hitam Bridget yang berayun-ayun ditiup angin. Luke
merasa tercekam oleh kekuatan daya tarik Bridget yang aneh itu.
"Aku tersihir, ya, aku tersihir," katanya pada dirinya sendiri.
Dia berhenti dan berdiri tegak - dia merasakan suatu perasaan lumpuh yang aneh,
menyebar ke seluruh tubuhnya.
Dengan perasaan murung dia menggumam,
"Siapa yang akan menghancurkan kekuatan sihir ini" Tak seorang pun."
BAB 10 ROSE HUMBLEBY SUATU suara lembut di belakangnya membuatnya berpaling. Seorang gadis berdiri di
situ, seorang gadis dengan kecantikan yang menyolok. Rambutnya berwarna coklat
dan mengombak di sekitar telinganya, matanya berwarna biru tua dan kelihatan
agak malu-malu. "Anda Tuan Fitzwilliam, bukan?" katanya.
"Ya. Saya - " "Saya Rose Humbleby. Bridget mengatakan bahwa - bahwa Anda mengenal beberapa orang
yang kenal dengan ayah saya."
Wajah Luke yang coklat karena sengatan matahari, sempat memerah.
"Itu sudah lama sekali," katanya agak lemah. "Mereka - eh - mengenal ayah Anda waktu
beliau masih muda - sebelum beliau menikah."
"Oh, begitu." Rose Humbleby kelihatan agak kecewa. Tetapi dia berkata lagi,
"Anda sedang menulis buku, ya?"
"Ya, yang jelas saya sedang membuat catatan-catatan. Mengenai takhyul setempat
dan semacamnya." "Oh, itu. Kedengarannya menarik sekali."
"Mungkin juga akan membosankan," kata Luke meyakinkan.
"Oh, tidak, saya yakin tidak akan."
Luke tersenyum padanya. Pikir Luke, "Dokter Thomas beruntung sekali!"
"Ada orang," katanya, "yang bisa mengubah bahan yang paling menarik menjadi
sangat membosankan. Saya rasa, saya salah seorang di antaranya."
"Ah, mengapa begitu?"
"Entahlah. Tapi saya makin yakin akan hal itu."
Rose Humbleby berkata, "Mungkin Anda salah seorang yang bisa mengubah bahan yang paling membosankan
menjadi sangat menarik!"
"Wah, itu pendapat yang sangat menyenangkan," kata Luke. "Terima kasih."
Rose Humbleby balas tersenyum. Lalu dia berkata,
"Percayakah Anda pada - pada takhyul dan sebagainya itu?"
"Itu pertanyaan yang sulit. Soalnya tidak selalu begitu keadaannya. Artinya
seseorang bisa saja menaruh perhatian pada apa yang tidak dipercayainya."
"Ya, saya rasa begitu," suara gadis itu terdengar ragu.
"Apakah Anda percaya takhyul?"
"Ti - tidak - saya rasa tidak. Tapi saya percaya bahwa peristiwa-peristiwa datang bergelombang." "Bergelombang?"
"Dalam bentuk gelombang nasib buruk dan nasib baik. Maksud saya - saya merasa
seolah-olah akhir-akhir ini seluruh Wychwood berada dalam gelombang - gelombang
yang tak menguntungkan. Ayah meninggal - dan Miss Pinkerton ditabrak, lalu anak
laki-laki itu jatuh dari jendela. Saya - saya mulai merasa tak suka pada tempat
ini - rasanya saya harus pergi dari sini!"
Napasnya jadi terengah. Luke memandangnya sambil merenung.
"Jadi Anda merasa begitu, ya?"
"Oh, saya tahu itu pikiran tolol. Saya rasa perasaan itu timbul karena Ayah
meninggal begitu mendadak - benar-benar mendadak sekali." Dia merinding. "Lalu
Miss Pinkerton. Dia berkata - "
Gadis itu diam sebentar. "Apa katanya" Saya pikir dia itu seorang wanita tua yang menyenangkan sekali rasanya benar-benar seperti seorang bibi yang istimewa bagi saya."
"Oh, kenalkah Anda padanya?" Wajah Rose jadi berseri-seri. "Saya suka sekali
padanya, dia sangat mengagung-agungkan Ayah. Tapi saya sering bertanya-tanya
sendiri apakah dia itu bukan seorang 'peramal'."
"Mengapa?" "Karena dia agaknya merasa takut bahwa sesuatu akan terjadi atas diri Ayah - aneh
memang. Boleh dikatakan dia telah memberi peringatan pada saya. Terutama
mengenai kecelakaan-kecelakaan. Lalu pada hari itu - tepat sehari sebelum dia
berangkat ke kota - tindak-tanduknya aneh sekali - dia benar-benar gemetaran. Saya
benar-benar berpikir, Tuan Fitzwilliam, bahwa dia adalah orang yang bisa melihat
ke masa depan. Saya rasa dia sudah tahu bahwa sesuatu akan terjadi atas dirinya.
Dan dia pasti sudah tahu pula bahwa akan terjadi sesuatu atas diri Ayah. Rasanya
- rasanya mengerikan sekali, hal-hal seperti itu!"
Gadis itu maju selangkah mendekatinya.
"Kadang-kadang orang memang bisa meramalkan masa depan," kata Luke. "Itu
sebenarnya tidak bersifat gaib."
"Tidak, saya rasa itu benar-benar wajar saja - hanya suatu pembawaan yang tak
dimiliki oleh kebanyakan orang. Bagaimanapun juga, itu membuat saya kuatir - "
"Tak usah kuatir," kata Luke dengan halus. "Ingat, semuanya itu sekarang sudah
berlalu. Tak baik mengenang-ngenang masa lalu. Orang harus hidup untuk masa
depan." "Saya tahu. Tapi masih ada sesuatu lagi, Anda perlu tahu...." Rose bimbang. "Ada
sesuatu yang - berhubungan dengan saudara sepupu Anda."
"Sepupu saya" Bridget?"
"Ya. Entah mengapa, Miss Pinkerton menguatirkan keselamatannya. Dia selalu
bertanya-tanya pada saya.... Saya rasa dia juga takut - akan terjadi apa-apa atas
diri Bridget." Luke berbalik dengan mendadak, memandangi lereng bukit. Dia tiba-tiba dilanda
rasa takut yang tak diketahui sebabnya. Bridget - yang kini sedang berduaan saja
dengan laki-laki yang daging tangannya tampak tak sehat dan berwarna kehijauan!
Khayalan - semua hanya khayalan! Ellsworthy hanyalah seorang penggemar seni yang
tak punya maksud jahat, yang membuka toko barang antik hanya karena senang saja.
Seolah-olah tahu apa yang sedang dipikirkannya, Rose berkata,
"Apakah Anda suka pada Mr. Ellsworthy?"
"Sama sekali tidak."
"Geoffrey - maksud saya Dokter Thomas juga tak suka padanya."
"Bagaimana dengan Anda sendiri?"
"Juga tidak - menurut saya, dia mengerikan." Dia mendekat lagi. "Banyak cerita
orang tentang dia. Kata orang dia suka mengikuti semacam upacara aneh di
Witches' Meadow - banyak temannya datang dari London - mereka itu orang-orang yang
bertampang aneh dan mengerikan. Dan Tommy Pierce adalah semacam putra altar di
situ." "Tommy Pierce?" tanya Luke dengan tajam.
"Ya. Dia memiliki baju padri dan sehelai jubah merah."
"Kapan itu?" "Beberapa bulan yang lalu - saya rasa dalam bulan Maret."
"Agaknya Tommy Pierce itu terlibat dalam segala sesuatu yang pernah terjadi di
desa ini." Rose berkata, "Dia punya sifat selalu ingin tahu. Dia selalu ingin tahu apa yang sedang
terjadi." "Mungkin akhirnya dia lalu tahu agak terlalu banyak," kata Luke tak ramah.
Rose menerima kata-kata itu apa adanya.
"Dia itu anak yang menimbulkan rasa benci pada kita. Dia suka menyiksa binatang,
memotong lebah, dan menggoda anjing, umpamanya."
"Anak yang kematiannya hampir tidak menimbulkan penyesalan orang lain!"
"Ya, saya rasa begitulah. Tapi ibunya kasihan sekali."
"Saya dengar wanita itu masih punya lima orang anak untuk menghiburnya. Wanita
itu pandai bicara." "Dia memang banyak bicara."
"Setelah membeli rokok dari dia, saya merasa sudah tahu sejarah lengkap dari
setiap orang di tempat ini!"
Dengan murung Rose berkata,
"Itulah kenyataan terburuk dari suatu tempat seperti ini. Setiap orang tahu
segala sesuatu tentang orang lain."
"Ah, tidak juga," kata Luke.
Rose melihat padanya dengan pandangan bertanya.
Dengan jelas Luke berkata,
"Tak seorang manusia pun mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya mengenai orang
lain." Wajah Rose jadi murung. Mau tak mau dia jadi agak merinding.
"Memang tidak," katanya lambat-lambat. "Saya rasa itu memang benar."
"Bahkan tentang keluarga kita yang terdekat dan tercinta sekalipun tidak," kata
Luke. "Bahkan tidak tentang - " Dia berhenti. "Ya, saya rasa Anda benar - tapi saya harap
Anda tidak mengatakan hal-hal yang mengerikan begitu, Tuan Fitzwilliam."
"Apakah hal itu membuat Anda merasa ngeri?"
Rose mengangguk lambat-lambat.
Lalu dia membalik dengan cepat.
"Saya harus pergi sekarang. Bila - bila tak ada yang harus Anda kerjakan - maksud
saya, bila Anda sempat - silakan datang ke rumah kami. Ibu akan - akan senang
bertemu dengan Anda, karena Anda mengenal teman-teman Ayah dahulu."
Dia berjalan menjauh. Kepalanya agak tertunduk seolah dibebani oleh sesuatu yang
berat atau sesuatu yang membingungkannya.
Luke memandanginya saja dari belakang. Tiba-tiba dia dilanda rasa cemas. Timbul
perasaan ingin melindungi gadis itu.
Dari apa" Sambil menanyakan pertanyaan itu, sesaat dia merasa jengkel terhadap
dirinya sendiri. Memang benar Rose Humbleby baru-baru ini kehilangan ayahnya, tapi dia masih
punya ibu, dan dia bertunangan dengan seorang dokter muda yang sangat tampan,
yang akan benar-benar mampu melindunginya. Lalu mengapa pula dia, Luke
Fitzwilliam, harus terganggu oleh perasaan ingin melindunginya"
Lagi-lagi perasaan sentimentalku muncul kembali, pikir Luke. Naluri kejantanan
untuk melindungi! Sikap yang berkembang dalam zaman Victoria, yang bertambah
kuat dalam masa Edward, dan hingga kini masih memperlihatkan tanda-tanda
bertahan, meskipun masa ini sudah dipengaruhi oleh arus kecepatan dan
ketegangan, seperti dikatakan Lord Whitfield!
"Bagaimanapun juga," pikirnya sendiri, sementara dia berjalan terus ke arah
Bukit Ashe Ridge yang menjulang, "aku suka pada gadis itu. Dia terlalu baik
untuk Thomas - setan dingin yang selalu merasa dirinya paling hebat itu."
Terbayang lagi olehnya senyum terakhir dokter itu di ambang pintunya. Senyum
orang yang merasa puas terhadap dirinya sendiri! Puas sekali!
Suara langkah-langkah orang di depannya, membangunkan Luke dari renungannya yang
agak menjengkelkan itu. Dia mendongak dan tampak olehnya Mr. Ellsworthy yang
sedang menuruni jalan setapak lereng bukit itu. Matanya menekur ke tanah dan dia
sedang tersenyum sendiri. Air mukanya membuat Luke merasa tak senang. Mr.
Ellsworthy kelihatannya seperti tidak sedang berjalan, melainkan melompat-lompat
- seperti seseorang yang sedang mengikuti irama suatu tarian yang sedang bermain
dalam otaknya. Senyumnya merupakan kerut bibir yang aneh, penuh rahasia mengandung kelicikan yang sama sekali tak menyenangkan.
Luke berhenti, dan Mr. Ellsworthy sudah hampir sejajar dengan dia ketika orang
itu akhirnya mengangkat mukanya. Matanya yang jahat dan seperti menari-nari itu,
menatap mata orang yang ada di hadapannya. Beberapa menit kemudian barulah dia
mengenali Luke. Kemudian terjadilah perubahan besar atas dirinya, begitulah
menurut penglihatan Luke. Kalau semenit yang lalu dia memberikan kesan seperti
jin jahat yang menari-nari, maka kini dia berubah menjadi laki-laki muda yang
angkuh yang agak banci. "Oh, Tuan Fitzwilliam, selamat pagi."
"Selamat pagi," kata Luke. "Apakah Anda sedang mengagumi keindahan alam?"
Mr. Ellsworthy mengangkat tangannya yang panjang dan pucat, mengisyaratkan bahwa
itu salah. "Oh, tidak, tidak - oh, sama sekali tidak. Saya membenci alam, yang tak ubahnya
seperti anak perempuan yang kasar, yang sama sekali tak punya daya khayal. Saya
selalu berpendapat bahwa orang tidak akan bisa menikmati hidup, sebelum dia
menempatkan alam di tempatnya sendiri."
"Dan bagaimana Anda akan melakukannya?"
"Ada beberapa jalan!" kata Mr. Ellsworthy. "Di tempat seperti ini, suatu tempat
kecil di pedesaan, ada beberapa hiburan yang menyenangkan sekali, bila saja
orang tahu caranya - punya hidung yang tajam. Saya menikmati hidup ini, Tuan
Fitzwilliam." "Saya juga," kata Luke.
"Mens sana in corpore sano," kata Mr. Ellsworthy, dengan nada bicara yang agak
ironis. "Saya yakin Anda sangat membenarkan ungkapan itu."
"Ada hal-hal lain yang lebih buruk," kata Luke.
"Saudaraku yang baik! Otak yang waras itu bukan main membosankannya. Orang harus


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi gila - benar-benar gila - mengganggu umum - sedikit tak beres - maka barulah
orang itu akan melihat kehidupan ini dari segi yang menawan."
"Seperti pandangan seorang penderita kusta yang juling," Luke memancing.
"Nah, bagus sekali - bagus sekali - lucu sekali! Tapi tahukah Anda, ada sesuatu di
dalamnya. Suatu sudut pandangan yang menarik. Tapi saya tak boleh menahan
langkah Anda. Anda pasti sedang berolahraga - orang memang harus melakukan
olahraga - itu sudah merupakan kebiasaan umum!"
"Benar kata Anda," kata Luke, dan setelah mengangguk singkat dia melanjutkan
perjalanannya. Pikirnya, "Aku jadi terlalu banyak mengkhayal. Orang itu hanya orang goblok, tak lebih
dari itu." Namun suatu rasa kuatir yang tak dapat dijelaskan, membawa kakinya berjalan
lebih cepat. Senyuman aneh, licik, dan membayangkan kemenangan di wajah Mr.
Ellsworthy tadi itu - apakah itu sekadar khayalannya saja" Lalu kesan berikutnya,
yaitu seolah-olah senyum itu sirna seketika pada saat orang itu melihat Luke
yang datang ke arahnya - bagaimana pula itu"
Dan dengan rasa kuatir yang makin menjadi-jadi, dia berpikir,
"Bridget" Tak apa-apakah dia" Mereka tadi kemari bersama-sama dan laki-laki itu
kembali seorang diri."
Dia terus mempercepat langkahnya. Tadi waktu dia bercakap-cakap dengan Rose
Humbleby, matahari sedang naik. Kini matahari itu sudah mulai tergelincir.
Langit kelabu dan tampak mengancam, dan kadang-kadang angin bertiup kencang.
Rasanya dia telah meninggalkan kehidupan normal sehari-hari, dan memasuki dunia
aneh yang penuh pesona. Kesadaran itu sebenarnya telah melanda dirinya sejak dia
memasuki Wychwood. Dia membelok di sebuah tikungan dan tiba di suatu dataran yang berumput hijau,
yang pernah ditunjukkan padanya dari bawah. Dia tahu bahwa dataran itulah yang
bernama Witches' Meadow - Lembah Para Penyihir. Menurut cerita, sudah merupakan
kebiasaan setempat, para penganut sihir berpesta-pora di sini pada malam-malam
tertentu yang disebut Malam Walpurgis dan Malam Hallowe'en.
Kemudian Luke menjadi lega. Dia melihat Bridget di situ. Dia sedang duduk di
lereng bukit, bersandar pada sebuah batu besar. Duduknya membungkuk sambil
memegang kepalanya. Cepat-cepat Luke berjalan mendekatinya. Rumput-rumput di sekitarnya segar
menghijau. Katanya, "Bridget?" Lambat-lambat Bridget melepaskan tangannya dari wajahnya. Air mukanya membuat
Luke merasa kuatir. Tampaknya dia seolah-olah baru kembali dari dunia yang jauh
sekali, seolah-olah dia merasa sulit menyesuaikan diri pada dunia ini.
Luke berkata lagi - dengan perasaan aneh,
"Bridget - apakah - kau tak apa-apa?"
Beberapa saat lamanya Bridget baru menyahut - seolah-olah dia belum kembali benar
dari dunia jauh yang menawannya. Luke merasa bahwa kata-katanya harus melalui
perjalanan jauh sebelum bisa mencapai Bridget.
Kemudian Bridget berkata,
"Tentu saja aku tak apa-apa. Mengapa harus ada apa-apa?"
Suaranya terdengar tajam dan penuh kebencian.
Luke tertawa. "Mana aku tahu. Aku tiba-tiba saja kuatir memikirkan kau." "Mengapa?"
"Kurasa karena aku sekarang sedang berada dalam suasana murung. Aku jadi menilai
segala-galanya tidak sebagaimana mestinya. Bila aku tidak melihatmu satu atau
dua jam saja, aku langsung saja menduga bahwa aku kelak akan menemukan mayatmu
yang berlumuran darah di sebuah parit. Seperti dalam sandiwara atau buku cerita
saja." "Pahlawan-pahlawan wanita tak pernah mati terbunuh," kata Bridget.
"Memang, tapi - "
Luke berhenti - tepat pada waktunya.
"Apa yang akan kaukatakan?"
"Tak apa-apa." Syukurlah dia berhenti pada waktunya. Kepada seorang wanita muda yang menarik,
kita tentu tak bisa berkata, "Tapi kau bukan pahlawan wanita."
Bridget berkata lagi, "Pahlawan-pahlawan itu digulingkan dari kedudukannya, mereka dipenjarakan,
dibiarkan mati tercekik gas, atau dibenamkan hidup-hidup dalam penjara bawah
tanah - mereka selalu terancam bahaya, namun mereka tak akan mati."
"Juga tak pernah merana," kata Luke.
Lalu dia berkata lagi, "Jadi ini yang bernama Witches' Meadow?"
"Ya." Luke memandangi Bridget. "Kau tinggal memerlukan sebuah tangkai sapu," katanya bercanda.
"Ya, Ellsworthy juga berkata begitu tadi." "Aku baru saja berpapasan dengannya,"
kata Luke. "Apakah kau berbicara dengan dia?"
"Ya. Kurasa dia sengaja berusaha membuatku jengkel."
"Berhasilkah dia?"
"Caranya agak kekanak-kanakan." Luke berhenti sebentar, lalu tiba-tiba
melanjutkan, "Dia orang aneh. Sesaat kita akan berpikir bahwa dia orang yang tak
beres - kemudian tiba-tiba kita akan tertanya-tanya apakah sebenarnya dia tidak
lebih baik daripada yang kita duga?"
Bridget mendongak memandangi Luke.
"Kau merasa begitu juga, ya?"
"Jadi kau sependapat?"
"Ya." Luke menunggu. Bridget berkata, "Ada sesuatu yang - aneh pada dirinya. Tahukah kau, aku sering bertanya-tanya
sendiri.... Semalam pun aku tak tidur, berpikir-pikir. Tentang semua peristiwa
ini. Kurasa, seandainya memang ada - ada seorang pembunuh yang gentayangan di
sini, aku seharusnya tahu siapa dia! Maksudku, karena aku tinggal di sini selama
ini. Aku berpikir, dan aku berkesimpulan - seandainya memang ada seorang pembunuh,
maka dia pasti orang gila."
Luke teringat akan apa yang dikatakan Dr. Thomas, lalu bertanya,
"Menurutmu, apakah tak mungkin pembunuh itu sama warasnya dengan kita ini?"
"Bukan pembunuh seperti itu. Menurutku, pembunuh yang ini pasti gila. Dan patut
kauketahui, aku langsung menuding Ellsworthy. Di antara semua orang di sini,
dialah satu-satunya yang betul-betul aneh. Dia benar-benar aneh, itu tak dapat
disangkal!" Luke berkata dengan ragu-ragu,
"Banyak orang yang seperti dia, orang-orang yang punya kegemaran yang aneh-aneh,
yang kelakuannya aneh - tapi mereka tidak berbahaya."
"Ya. Tapi dia lebih daripada itu. Tangannya itu aneh dan jelek sekali."
"Kau melihatnya juga" Aneh, aku juga!"
"Tangannya bukan sekadar pucat - tapi hijau."
"Tangan itu memberikan kesan seperti yang kukatakan tadi. Namun bagaimanapun
juga, kita tak bisa menuding seseorang sebagai pembunuh, hanya karena warna
daging tangannya." "Memang benar. Yang kita perlukan adalah bukti."
"Bukti!" geram Luke. "Itulah satu-satunya yang tak ada pada kita. Orang itu
berhati-hati sekali. Seorang pembunuh yang waspada! Seorang gila yang sangat
hati-hati!" "Aku sudah mencoba membantu," kata Bridget.
"Maksudmu dengan Ellsworthy?"
"Ya. Kupikir aku akan bisa menangani dia lebih baik daripada kau. Aku sudah
mulai." "Coba ceritakan."
"Yah, agaknya dia punya suatu kelompok - sekumpulan kawan-kawan yang tak beres.
Pada waktu-waktu tertentu mereka berkumpul dan datang ke sini merayakan
sesuatu." "Maksudmu kelompok gila-gilaan tak bernama?"
"Aku tak tahu apakah ada namanya atau tidak, tapi jelas gila-gilaan. Sebenarnya
kedengarannya bodoh dan kekanak-kanakan."
"Kurasa mereka menyembah setan dan melakukan tari-tarian cabul."
"Semacam itulah. Agaknya mereka amat menyukainya."
"Aku bisa menambahkan sesuatu," kata Luke. "Tommy Pierce mengambil bagian dalam
salah satu upacara mereka. Dia menjadi putra altar. Dia bahkan punya jubah
merah." "Jadi dia tahu tentang upacara itu?"
"Ya. Dan itu mungkin bisa menjelaskan kematiannya."
"Maksudmu karena dia telah berbicara tentang itu?"
"Ya - atau mungkin juga diam-diam dia telah mencoba melakukan semacam pemerasan."
Sambil merenung Bridget berkata,
"Aku tahu bahwa semuanya ini seperti suatu khayalan saja - tapi bila diterapkan
pada Ellsworthy, kelihatannya jadi - yah... masuk akal juga." "Memang, aku setuju hal itu bahkan jadi amat masuk akal dan tidak lagi kelihatan menggelikan."
"Kita sudah mendapatkan sesuatu yang ada hubungannya dengan dua korban," kata
Bridget. "Tommy Pierce dan Amy Gibbs."
"Bagaimana dengan pemilik rumah minum dan Humbleby?"
"Pada saat ini belum ada bayangan bagaimana hubungan mereka."
"Pemilik rumah minum itu memang tidak. Tapi aku bisa membayangkan motif
penyingkiran atas diri Humbleby. Dia seorang dokter, dan mungkin secara
kebetulan dia menemukan keadaan Ellsworthy yang tak waras."
"Ya, itu mungkin."
Lalu Bridget tertawa. "Aku telah menjalankan peranku dengan baik sekali tadi pagi. Agaknya
kemungkinan-kemungkinan kejiwaanku menguntungkan, dan waktu kuceritakan bahwa
salah seorang nenek moyangku hampir saja mati terbakar gara-gara ilmu sihir,
nilai diriku jadi meningkat tinggi. Aku rasanya yakin bahwa aku akan diundang
untuk menghadiri pesta itu pada pertemuan yang akan datang, yakni Pesta Para
Setan." Kata Luke, "Bridget, demi Tuhan, berhati-hatilah."
Bridget memandangnya dengan heran. Luke bangkit.
"Tadi aku bertemu dengan anak perempuan Humbleby. Kami bercakap-cakap tentang
Miss Pinkerton. Dan putri Humbleby itu berkata bahwa Miss Pinkerton merasa
kuatir atas keselamatanmu."
Bridget, yang sedang bersiap-siap akan berdiri, terhenti - seolah-olah membeku,
tak bisa bergerak. "Apa artinya itu" Miss Pinkerton - kuatir atas - keselamatanku?"
"Begitulah kata Rose Humbleby."
"Rose Humbleby berkata begitu?"
"Ya." "Apa lagi katanya?"
"Ya, hanya itu."
"Yakinkah kau?"
"Yakin sekali."
Keduanya diam, lalu Bridget berkata, "Aku mengerti."
"Miss Pinkerton menguatirkan keselamatan Humbleby dan dokter itu meninggal.
Sekarang kudengar wanita itu kuatir atas keselamatanmu - "
Bridget tertawa. Dia bangkit, lalu menggelengkan kepalanya hingga rambutnya yang
hitam dan panjang beterbangan di sekeliling kepalanya.
"Jangan kuatir," katanya. "Setan melindungi sesamanya."
BAB 11 KEHIDUPAN RUMAH TANGGA MAYOR HORTON
LUKE bersandar di kursinya di seberang meja manajer bank.
"Yah, agaknya sudah memuaskan," katanya. "Saya rasa saya telah menyita waktu
Anda terlalu banyak."
Pak Jones menggoyang-goyangkan tangannya sebagai bantahan. Wajahnya yang kecil
montok dan beralis hitam membayangkan rasa senang.
"Sama sekali tidak, Tuan Fitzwilliam. Tempat ini sepi. Kami selalu gembira bila
ada orang asing." "Tempat ini merupakan bagian dunia yang mempesona," kata Luke. "Penuh dengan
takhyul." Pak Jones mendesah dan berkata bahwa orang memerlukan banyak waktu untuk
memberikan pendidikan guna menghapuskan takhyul itu. Luke menyatakan bahwa dalam
zaman ini pendidikan dinilai terlalu tinggi, dan Pak Jones tampak agak terkejut
oleh pernyataan itu. "Lord Whitfield," katanya, "adalah seorang penderma yang baik sekali bagi daerah
ini. Dia menyadari kekurangan-kekurangan daerah ini, karena dia sendiri sebagai
anak harus menelan kekurangan itu, dan dia lalu bertekad agar remaja masa kini
bisa dipersiapkan dengan lebih baik."
"Kekurangan-kekurangan masa mudanya tidak menjadi penghalang baginya untuk
memperkaya diri," kata Luke.
"Tidak, dia pasti memiliki kemampuan - kemampuan yang besar."
"Atau nasib baik," kata Luke.
Pak Jones kelihatan agak terkejut.
"Nasib baik itu besar sekali artinya," kata Luke. "Seorang pembunuh, umpamanya.
Mengapa seorang pembunuh yang berhasil, bisa lolos" Apakah itu suatu kemampuan"
Atau semata-mata nasib baik?"
Pak Jones mengakui bahwa itu mungkin nasib baik.
Luke berkata lagi, "Kita lihat saja Carter, pemilik salah satu rumah minum di sini. Laki-laki itu
mungkin mabuk enam kali dalam seminggu - namun, pada suatu malam dia ke luar,
tergelincir dari titian lalu tercebur ke sungai. Lagi-lagi nasib."
"Itu merupakan nasib baik bagi beberapa orang," kata manajer bank itu.
"Maksud Anda?" "Bagi istri dan putrinya."
"Oh, ya, tentu."
Seorang karyawan mengetuk pintu lalu masuk sambil membawa surat-surat. Luke
memberikan dua buah contoh tanda tangan, kemudian dia diberi sebuah buku cek.
Dia bangkit. "Nah, saya senang urusan kita sudah beres. Apakah Anda beruntung memenangkan
taruhan pacuan kuda Derby tahun ini?"
Sambil tersenyum Pak Jones berkata bahwa dia tak pernah ikut taruhan.
Ditambahkannya bahwa Bu Jones punya pandangan keras terhadap pacuan kuda.
"Jadi saya rasa Anda tak pernah pergi ke Derby?"
"Tidak." "Adakah orang sini yang sering pergi ke Derby?"
"Mayor Horton pergi. Dia suka sekali nonton pacuan kuda. Dan Pak Abbot biasa
menutup kantornya. Tapi dia tak ikut taruhan siapa pemenangnya."
"Saya rasa tak banyak orang yang ikut," kata Luke. Dan setelah saling
mengucapkan selamat berpisah, Luke pergi.
Sampai di luar ia menyalakan rokok. Terpisah dari teori mengenai orang-orang
yang dicurigai. Manajer bank itu tidak memperlihatkan reaksi menarik terhadap
pertanyaan-pertanyaan Luke yang merupakan jebakan. Rasanya tak mungkin
membayangkan dia sebagai pembunuh. Apalagi, dia tetap berada di tempat pada Hari
Pacuan Kuda di Derby. Tanpa sengaja, kunjungan Luke tadi itu tak percuma. Dia
telah mendapat dua informasi kecil. Baik Mayor Horton maupun Pak Abbot,
pengacara itu, tidak berada di Wychwood pada Hari Pacuan Kuda Derby itu. Oleh
karenanya, salah seorang di antaranya, mungkin berada di London waktu Miss
Pinkerton ditabrak mobil.
Meskipun kini Luke tidak mencurigai Dr. Thomas, dia akan merasa lebih puas bila
dia mendapatkan informasi bahwa dokter itu berada di Wychwood, sibuk menjalankan
tugasnya pada hari itu. Dicatatnya dalam ingatannya akan mencari kebenaran
tentang hal itu. Kemudian ada pula Ellsworthy. Apakah Ellsworthy berada di Wychwood pada Hari
Pacuan Kuda Derby itu" Bila ada, maka akibatnya, dugaan bahwa dia adalah
pembunuhnya, akan melemah. Meskipun, pikir Luke, mungkin saja kematian Miss
Pinkerton itu tak lain hanyalah suatu kecelakaan biasa, sebagaimana anggapan
umum. Tapi dia menolak teori itu. Kematian wanita itu terlalu kebetulan.
Luke masuk ke mobilnya, yang diparkir di tepi jalan, lalu pergi ke Bengkel
Pipwell, di ujung High Street.
Ada beberapa soal kecil mengenai mobil itu yang ingin dibicarakannya. Seorang
montir muda yang tampan dan wajahnya berbintik-bintik hitam, mendengarkan dengan
penuh perhatian. Kedua pria itu membuka tutup mesin mobil, lalu asyik membahas
soal-soal teknis. Lalu terdengar suara memanggil,
"Jim, coba kemari sebentar."


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Montir yang wajahnya berbintik-bintik hitam itu mematuhi panggilan itu.
Jim Harvey. Ya, benar. Jim Harvey, pacar Amy Gibbs. Sebentar kemudian anak muda
itu kembali. Dan setelah minta maaf, percakapan teknis tadi mereka lanjutkan.
Luke setuju mobilnya ditinggalkan di situ.
Pada saat dia akan pergi, dia bertanya sambil lalu,
"Bernasib baik pada taruhan Derby tahun ini?"
"Tidak, Tuan. Saya menjagoi Clarigold."
"Mungkin tak banyak yang menjagoi Jujube II, ya?"
"Memang tidak, Tuan. Saya rasa, tak ada satu pun surat kabar yang mengisyaratkan
kuda itu sebagai calon juara."
Luke menggeleng. "Pacuan kuda memang sesuatu yang tak pasti. Pernah nonton pacuan kuda di Derby?"
"Belum pernah, Tuan. Ingin sekali, sih. Saya minta izin sehari pada hari pacuan
tahun ini. Ada penjualan tiket murah pulang-balik ke Epsom, tapi bos tak
mengizinkan. Soalnya, kami kekurangan tenaga, dan hari itu banyak sekali
pekerjaan." Luke mengangguk, lalu pamit.
Maka tercoretlah Jim Harvey dari daftarnya. Anak muda yang berwajah menyenangkan
itu, tak mungkin seorang pembunuh gelap, dan bukan pula dia yang menabrak
Lavinia Pinkerton. Dia pulang dengan berjalan santai sepanjang tepi sungai. Dan sebagaimana
pengalamannya terdahulu, di situ dia bertemu lagi dengan Mayor Horton dan
anjing-anjingnya. Mayor itu masih seperti waktu itu, berteriak-teriak seperti
orang kemasukan. "Augustus - Nelly - NELLY, kataku! Nero - Nero - NERO!"
Sekali lagi matanya yang tersembul ke luar itu memelototi Luke. Tetapi kali ini
disusul oleh sesuatu yang lain. Mayor Horton berkata,
"Maaf, Anda Tuan Fitzwilliam, bukan?"
"Benar." "Saya Horton - Mayor Horton. Saya rasa, saya akan bertemu dengan Anda besok di
Manor. Akan diadakan pertandingan tenis persahabatan. Nona Conway telah berbaik
hati mengundang saya. Dia saudara sepupu Anda, bukan?"
"Ya" "Sudah saya duga. Di tempat seperti ini, wajah baru cepat kelihatan."
Pada saat itu terjadi suatu peristiwa. Ketiga ekor bulldog itu mengejar seekor
anjing kecil yang tak berarti.
"Augustus - Nero. Mari sini - kembali kataku."
Setelah Augustus dan Nero akhirnya dengan enggan mematuhi perintah itu, Mayor
Horton melanjutkan percakapannya. Luke menepuk-nepuk Nelly, yang menengadah
memandanginya dengan sayu.
"Bagus anjing itu, ya?" kata Mayor. "Saya suka bulldog. Saya selalu memelihara
jenis itu. Saya lebih suka bulldog daripada jenis-jenis yang lain. Rumah saya
tak jauh dari sini, mari mampir dan minum-minum."
Luke menerima undangan itu dan kedua pria itu pun berjalan bersama, sementara
Mayor Horton terus saja membicarakan soal anjing dan kekurangan-kekurangan semua
jenis yang lain dibanding dengan jenis yang paling disukainya itu.
Luke mendengar tentang hadiah-hadiah yang telah dimenangkan Nelly, mengenai
perilaku yang tak terpuji dari salah seorang juri karena hanya menghadiahkan
predikat Sangat Terpuji pada Augustus, juga mengenai kemenangan-kemenangan Nero
di arena pertunjukan. Mereka pun membelok memasuki pintu pagar rumah Mayor. Dibukanya pintu depan yang
tak terkunci, dan kedua pria itu pun masuk. Mayor Horton mendahului Luke masuk
ke sebuah kamar kecil yang agak berbau anjing. Dinding kamar itu dipenuhi rakrak buku. Mayor Horton sibuk menyiapkan minuman, sedang Luke melihat-lihat ke
sekelilingnya. Ada foto-foto anjing, beberapa nomor majalah Field and Country
Life, dan beberapa buah kursi yang sudah tua. Pada rak-rak buku tersusun pialapiala perak. Pada dinding di atas perapian, tergantung sebuah lukisan cat
minyak. "Itu istri saya," kata Mayor, yang kebetulan mendongak dari meja minuman dan
melihat arah pandangan Luke. "Dia wanita yang hebat. Wajahnya membayangkan
pribadi yang kuat, bukan?" "Ya, benar," kata Luke, sambil memandangi almarhumah
Bu Horton. Wanita dalam lukisan itu mengenakan baju satin berwarna merah muda dan memegang
seikat bunga lili. Rambutnya yang berwarna coklat dibelah di tengah dan bibirnya
terkatup rapat. Matanya yang berwarna abu-abu bersinar dingin, dan memandangi
orang yang melihatnya dengan gusar.
"Seorang wanita yang hebat," kata Mayor, sambil memberikan segelas minuman
kepada Luke. "Dia meninggal lebih setahun yang lalu. Dan sejak itu saya pun
berubah." "Berubah?" kata Luke, agak kebingungan karena tak tahu apa yang harus
dikatakannya. "Silakan duduk," kata Mayor, sambil menunjuk ke sebuah kursi dari kulit.
Dia sendiri duduk di kursi yang sebuah lagi, dan sambil menghirup wiski dan
soda, dia melanjutkan, "Memang, sejak itu saya berubah."
"Pasti Anda merasa sangat kehilangan dia," kata Luke serba salah.
Mayor Horton menggeleng sedih.
"Laki-laki membutuhkan seorang istri untuk bisa bertahan," katanya. "Kalau
tidak, dia jadi lamban - ya, lamban. Dia jadi lemah."
"Tapi bukankah - "
"Anak muda, saya tahu betul apa yang saya katakan. Ingat, saya tidak mengatakan
bahwa pada tahap pertama perkawinan itu tidak berat. Sungguh berat. Setiap lakilaki akan berkata pada dirinya sendiri, sialan, aku tak punya kebebasan lagi!
Tapi dia akan terbiasa. Itu akan merupakan disiplin."
Luke menduga bahwa kehidupan perkawinan Mayor Horton tentu lebih mirip suatu
latihan militer daripada suatu kehidupan rumah tangga yang romantis.
"Kaum wanita," kata Mayor seolah-olah pada dirinya sendiri, "semua aneh. Kadangkadang seolah-olah tak ada satu pun yang bisa menyenangkan hatinya. Tapi
bagaimanapun juga, mereka itu membuat laki-laki bisa bertahan."
Luke merasa lebih baik berdiam diri.
"Anda sudah menikah?" tanya Mayor.
"Belum." "Oh, ya, Anda akan mengalaminya. Dan ingatlah, Anda muda, perkawinan itu luar
biasa." "Sungguh membesarkan hati," kata Luke, "bila mendengar orang berbicara yang
baik-baik tentang perkawinan. Terutama di zaman sekarang, di mana perceraian
begitu mudah terjadi."
"Bah!" kata Mayor. "Anak-anak muda membuatku muak. Mereka tak punya ketabahan tak punya daya tahan. Mereka tak bisa tahan apa-apa. Tak punya daya juang!"
Ingin benar Luke bertanya mengapa daya juang itu begitu penting, namun dia
menahan diri. "Ingat," kata Mayor, "Lydia itu wanita satu dalam seribu! Semua orang di sini
menghormatinya dan menghargainya."
"Begitukah?" "Dia tak mau menerima omong kosong begitu saja. Dia cukup menatap seseorang lekat-lekat, dan orang itu pun menjadi lemah - benar-benar menjadi lemah. Beberapa
gadis setengah matang yang menyebut dirinya pembantu rumah tangga zaman sekarang
itu - mereka menyangka kita mau saja memaafkan kelancangan mereka. Lydia langsung
menunjukkan kesalahan mereka! Tahukah Anda, dalam setahun kami ganti-ganti lima
belas juru masak dan pembantu rumah tangga. Lima belas!"
Luke menganggap bahwa hal itu tidaklah merupakan suatu pujian atas kepemimpinan
Bu Horton dalam urusan rumah tangga. Tetapi karena bagi tuan rumah, rupanya
kesannya lain, dia hanya menggumamkan sesuatu secara tak jelas.
"Mereka langsung dipecat begitu saja oleh istri saya, bila tak cocok."
"Apakah selalu begitu keadaannya?" tanya Luke.
"Yah, tentu banyak juga di antaranya yang lari dari kami. Itu bahkan lebih baik begitu kata Lydia!" "Suatu semangat yang baik," kata Luke, "tapi tidakkah keadaan kadang-kadang
menjadi sulit?" "Ah! Saya tak pernah enggan memberikan jasa dan mengulurkan tangan saya untuk
membantu," kata Horton. "Saya cukup pandai memasak dan saya pandai menyalakan
api. Saya tak suka mencuci piring, tapi, yah, itu harus dikerjakan juga - kita tak
bisa mengelak dari pekerjaan semacam itu."
Luke membenarkan bahwa itu memang tak bisa. Ditanyakannya apakah Bu Horton
pandai dalam pekerjaan rumah tangga.
"Saya bukan laki-laki yang suka menyuruh istri melayaninya," kata Mayor Horton.
"Lagi pula, Lydia terlalu halus untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga."
"Oh, jadi beliau kurang sehat kalau begitu?"
Mayor Horton menggeleng. "Dia punya semangat yang hebat. Dia tak mau menyerah. Tapi dia harus menderita!
Dia tidak mendapat simpati dari para dokter. Dokter-dokter adalah orang-orang
yang jahat dan kejam. Mereka hanya memahami penyakit fisik semata-mata. Segala
sesuatu yang lain dari biasa, tak terjangkau oleh otak mereka. Humbleby itu
contohnya. Semua orang menganggap dia dokter yang hebat."
"Anda tak sependapat, rupanya."
"Orang itu tak tahu apa-apa sama sekali. Dia tak tahu apa-apa mengenai penemuanpenemuan modern. Saya ragu apakah dia pernah mendengar tentang penyakit gangguan
saraf! Saya rasa dia memang mengerti tentang penyakit-penyakit campak, gondok,
dan tulang-tulang patah - tapi tak lebih dari itu. Akhirnya saya harus bertengkar
dengan dia. Dia sama sekali tak mengerti penyakit Lydia. Saya katakan hal itu
terus-terang padanya, dan dia tak senang. Dia merasa dihina dan langsung marahmarah. Disuruhnya saya mencari dokter lain yang lebih saya sukai. Setelah itu
kami memakai Thomas."
"Apakah Anda lebih suka padanya?"
"Dia memang jauh lebih pintar. Bila ada orang yang berhasil menyembuhkan istri
saya dari penyakitnya yang terakhir, Thomas-lah orangnya. Sebenarnya dia memang
sudah mulai membaik, tapi tiba-tiba dia kumat lagi."
"Apakah dia amat tersiksa?"
"Ya, lambungnya sakit. Serangan mendadak - muntah-muntah dan sebagainya. Berat
benar penderitaan istriku itu! Dia benar-benar seorang martir. Padahal ada
beberapa orang juru rawat rumah sakit di rumah ini yang bukan main kalutnya!
'Pasien begini.' dan 'Pasien begitu.'" Mayor itu menggeleng lalu menghabiskan
minumannya. "Saya tak suka pada juru rawat rumah sakit! Mereka merasa diri
mereka paling pintar. Lydia berkeras mengatakan bahwa mereka telah meracuninya.
Itu tentu tak benar - yah, khayalan orang sakit - banyak orang yang menderita jadi
begitu, kata Thomas - tapi di balik semuanya itu ada juga benarnya - juru rawat itu
tak suka padanya. Itulah keburukan kaum wanita yang paling besar - mereka selalu
membenci kaumnya sendiri."
"Saya rasa," kata Luke. Dia merasa bahwa apa yang akan dikatakannya itu keliru
tapi dia tak tahu apa yang lebih baik yang bisa dikatakan, karenanya dia
melanjutkan, "Bu Horton pasti punya banyak sahabat yang menyayanginya di
Wychwood ini?" "Orang-orang memang baik," kata Mayor dengan agak jengkel. "Whitfield
mengirimkan buah anggur dan pir dari kebunnya. Dan perawan-perawan tua yang
ceriwis itu biasa juga datang dan menungguinya. Maksud saya, Honoria Waynflete
dan Lavinia Pinkerton."
"Miss Pinkerton sering datang?"
"Ya - tapi perawan tua itu orangnya baik! Dia sangat kuatir memikirkan keadaan
Lydia. Dia menanyakan tentang pantangan-pantangan dan obat-obatnya. Semuanya
dengan maksud baik, tapi menurut saya terlalu banyak cingcong."
Luke mengangguk dengan penuh pengertian.
"Saya tak tahan ribut-ribut," kata Mayor. "Terlalu banyak wanita di tempat ini,
hingga sulit untuk main golf dengan baik."
"Bagaimana dengan orang muda pemilik toko antik itu?" tanya Luke.
Mayor mendengus. "Dia tak pandai main golf. Dia banci."
"Sudah lamakah dia di sini?"
"Kira-kira dua tahun. Dia orang yang tak beres. Saya benci pada laki-laki
berambut panjang yang merasa puas diri itu. Lucunya, Lydia suka padanya. Kita
tak bisa mempercayai penilaian wanita tentang pria. Mereka bisa bersahabat
dengan laki-laki yang bukan main jahatnya. Istri saya bahkan bersikeras untuk
meminum obat dari laki-laki itu, padahal jelas-jelas merupakan obat dukun. Obat
itu ditempatkan di dalam sebuah botol kaca berwarna ungu, yang seluruhnya
dipenuhi dengan tanda-tanda rasi bintang! Kata nya itu merupakan ramuan tumbuhtumbuhan tertentu yang dipetik pada saat bulan purnama. Gila! Tapi kaum wanita
mau saja menelan yang begituan - dia benar-benar menelannya - ha, ha!"
Luke merasa bahwa dia harus cepat-cepat mengubah bahan pembicaraan dengan bijak,
jangan sampai Mayor Horton merasakannya.
Katanya, "Laki-laki bagaimanakah Pak Abbot, pengacara di tempat ini" Apakah dia benarbenar menegakkan hukum" Soalnya, saya harus mendapat suatu nasihat hukum
mengenai suatu persoalan dan saya pikir saya harus mendatanginya."
"Kata orang dia berotak tajam," sahut Mayor Horton. "Saya tak tahu. Terus
terang, saya pernah bertengkar dengan dia. Saya tak pernah bertemu lagi dengan
dia, sejak dia datang kemari untuk membuatkan surat wasiat untuk Lydia, tak lama
sebelum dia meninggal. Menurut saya, laki-laki itu jahat sekali. Tapi tentulah,"
tambahnya, "hal itu tidak mempengaruhi kemampuannya sebagai seorang pengacara."
"Tentu tidak," kata Luke. "Tapi saya dengar dia orang yang suka bertengkar. Saya
dengar dia tidak berbaikan dengan banyak orang."
"Kekurangannya adalah, dia mudah sekali marah," kata Mayor Horton. "Agaknya dia
merasa dirinya sebagai Tuhan Yang Mahakuasa, dan bahwa siapa saja yang tak
sependapat dengan dia, telah melakukan dosa besar. Adakah Anda mendengar tentang
pertengkarannya dengan Humbleby?"
"Mereka bertengkar juga rupanya?"
"Pertengkaran yang hebat sekali. Tapi itu tidak mengherankan saya. Soalnya
Humbleby orangnya kepala batu! Jadi begitulah kesudahannya."
"Kematiannya menyedihkan sekali."
"Kematian Humbleby" Ya, saya rasa begitu. Kurang perawatan. Keracunan darah
adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Kita harus selalu membubuhkan yodium pada
luka - saya selalu melakukannya! Itu pencegahan yang sederhana. Humbleby tidak
melakukannya, padahal dia dokter. Nah, begitulah akibatnya."
Luke tak begitu yakin akibat apa itu, tapi hal itu didiamkannya saja. Sambil
melihat ke arlojinya dia bangkit.
Mayor Horton berkata, "Sudah hampir waktunya untuk makan siang. Memang sudah. Saya senang sempat
mengobrol dengan Anda. Saya puas bertemu dengan seseorang yang sudah pernah
melihat bagian lain dari dunia. Kita harus ngobrol-ngobrol lagi lain kali. Di
mana tempat Anda bertugas" Selat Mayang" Saya belum pernah ke sana. Saya dengar
Anda menulis buku, ya" Tentang takhyul dan sejenisnya."
"Ya - saya - " Tetapi Mayor Horton bicara terus.
"Saya bisa menceritakan beberapa hal yang sangat menarik. Waktu saya berada di
India, anak laki-laki saya - "
Luke berhasil meloloskan dirinya kira-kira sepuluh menit kemudian, setelah harus
mendengarkan kisah biasa tentang kaum kafir dan sebagainya, sulap dengan tali
dan mangga, yang begitu disukai oleh orang-orang Inggris yang sudah pensiun,
yang pernah bertugas di India.
Sambil melangkah ke luar, ke udara terbuka, dan mendengar suara Mayor yang
meneriaki Nero di belakangnya, dia merasa heran akan keajaiban hidup perkawinan.
Agaknya Mayor Horton dengan tulus menyesali kematian istrinya, yang menurut
cerita banyak orang, begitu pula ceritanya sendiri, bisa disamakan dengan
harimau pemakan manusia. Atau apakah itu - tanya Luke tiba-tiba pada dirinya sendiri - apakah itu sekadar
tipuan yang amat licik"
BAB 12 PERTENGKARAN UNTUNGLAH cuaca bagus pada petang hari pertandingan persahabatan tenis itu. Lord
Whitfield bersikap ramah-tamah, dan bertindak sebagai tuan rumah yang baik, para
tamu juga merasa senang. Berulang kali dia menceritakan asal-usulnya yang sangat
sederhana. Ada delapan orang pemain. Lord Whitfield, Bridget, Luke, Rose
Humbleby, Pak Abbot, Dr. Thomas, Mayor Horton, dan Hetty Jones, seorang gadis,
putri manajer bank. Gadis itu suka tertawa cekikikan.
Pada set kedua petang itu, Luke berpasangan dengan Bridget, melawan Lord
Whitfield dan Rose Humbleby. Rose seorang pemain yang baik dengan forehand yang
kuat. Dia biasa main dalam pertandingan-pertandingan daerah. Dia mengimbangi
kelemahan-kelemahan Lord Whitfield, dan Bridget serta Luke yang sama-sama tidak
merupakan pemain yang kuat, merupakan lawan main yang seimbang. Ada tiga game
semuanya, dan kemudian Luke tiba-tiba bermain bagus sekali, hingga dia dan
Bridget melaju mencapai angka lima lawan tiga.
Pada saat itulah dia melihat Lord Whitfield mulai merasa tak senang. Dia protes
tentang bola yang jatuh di garis, menyatakan bahwa serve lawan salah, meskipun


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rose menyatakan tidak dan dia jadi seperti kanak-kanak yang sedang uringuringan. Waktu itu sudah set point, tetapi bola Bridget nyangkut di net, dan
segera setelah itu dia harus serve. Dia membuat dua kali kesalahan. Kedudukan
menjadi sama kuat. Berikutnya bola dikembalikan ke garis tengah, dan waktu Lord
Whitfield akan menyambutnya, dia bertabrakan dengan patnernya. Lalu Bridget
serve lagi, tapi salah lagi, dan berakhirlah permainan itu dengan kekalahan
pasangan Bridget-Luke. Bridget minta maaf. "Sorry, aku salah terus."
Hal itu memang benar. Pukulan-pukulan Bridget memang selalu salah, dan
kelihatannya dia tak bisa main dengan benar. Permainan itu berakhir dengan
kemenangan Lord Whitfield dan patnernya, dengan perbandingan angka, delapan enam. Mereka kemudian membicarakan susunan permainan berikutnya. Akhirnya diputuskan
Rose main lagi dengan Pak Abbot sebagai patner, melawan Dr. Thomas dan Nona
Jones. Lord Whitfield duduk sambil menyeka dahinya dan tersenyum puas, rasa senangnya
agaknya sudah pulih kembali. Dia mulai bercakap-cakap dengan Mayor Horton
mengenai serangkaian tulisan sehubungan dengan "Kebugaran Orang Inggris," yang
mulai dimuat dalam salah satu surat kabarnya.
Luke berkata pada Bridget,
"Tolong antar aku ke kebun sayur kalian."
"Mengapa ke kebun sayur?"
"Aku ingin kol."
"Apakah kacang polong tidak lebih baik?"
"Kacang polong juga boleh."
Mereka pergi meninggalkan lapangan tenis dan tiba di kebun sayur yang berdinding
tembok. Tak ada seorang tukang kebun pun di situ pada petang hari Sabtu, dan
kebun itu tampak aman dan damai di bawah sinar matahari.
"Ini kacang polongmu," kata Bridget.
Luke tidak memperhatikan tempat yang mereka kunjungi itu. Dia malah berkata,
"Mengapa kau menangkan mereka dalam pertandingan tadi?"
Sesaat alis Bridget terangkat.
"Maafkan aku. Aku kacau. Permainanku memang jelek."
"Tidak seburuk itu! Kesalahan-kesalahan ganda yang kaubuat itu, tak dapat menipu
anak kecil sekalipun! Lalu pukulan-pukulanmu yang sembarangan - masing-masing
sampai setengah mil keluarnya!"
Dengan tenang Bridget berkata,
"Karena aku pemain tenis yang brengsek. Bila aku sedikit lebih pandai, mungkin
akan lebih baik keadaannya! Tapi nyatanya bila kucoba untuk membual bola keluar
sedikit saja, jatuhnya selalu pada garis, lalu semuanya harus diperbaiki."
"Oh, jadi kau mengakuinya?"
"Karena sudah jelas, Tuan Pengamat yang baik."
"Apa alasanmu?"
"Juga sudah jelas, seharusnya kau tahu. Gordon tak suka kalah."
"Bagaimana dengan aku" Bagaimana kalau aku ingin menang?"
"Sayang, Luke yang baik, bahwa hal itu tak begitu penting."
"Bisakah kau lebih menjelaskan jawabanmu?"
"Tentu, kalau kau suka. Kita tak boleh bertengkar dengan orang yang menghidupi
kita. Gordon adalah orang yang menghidupi aku. Kau tidak."
Luke menarik napas panjang. Lalu dia meledak.
"Apa sih maksudmu" Kau memang berniat kawin dengan laki-laki kecil yang
menggelikan itu" Mengapa kaulakukan itu?"
"Karena sebagai sekretarisnya, aku menerima enam pound setiap minggu, dan
sebagai istrinya akan disediakan untukku seratus ribu pound, sebuah kotak
perhiasan yang penuh dengan mutiara dan intan berlian, uang saku yang cukup
besar jumlahnya, dan beberapa penghasilan tambahan dalam kedudukan sebagai
istri!" "Tapi dengan tugas-tugas yang berbeda!"
Dengan nada dingin, Bridget berkata,
"Apakah kita harus bersikap begitu murung terhadap setiap kejadian dalam hidup
ini" Bila kau membayangkan gambaran Gordon sebagai suami yang tergila-gila pada
istrinya, sebaiknya kauhapus saja bayangan itu dengan segera! Gordon adalah anak
kecil yang belum dewasa, kurasa kau pun menyadari hal itu. Yang dibutuhkannya
adalah seorang ibu, bukan istri. Ibunya meninggal ketika dia berumur empat
tahun. Yang diinginkannya adalah seseorang yang selalu siap sedia, kepada siapa
dia bisa membual, seseorang yang bisa memberinya keyakinan bahwa dia hebat, dan
seseorang yang dengan setia mendengarkan Lord Whitfield yang berkisah tentang
dirinya sendiri!" "Ceritamu pahit sekali!"
Dengan tajam Bridget membalas,
"Aku tak membayangkan diriku sebagai putri dalam dongeng, itu maksudmu
barangkali! Aku seorang wanita muda yang cukup cerdas, wajahku biasa-biasa saja,
dan tak punya uang. Aku berniat mencari nafkah dengan halal. Pekerjaanku sebagai
istri Gordon sama sekali tidak akan bisa dibedakan dari pekerjaanku sebagai
sekretaris Gordon. Setelah setahun, aku ragu apakah dia masih akan ingat untuk
memberikan kecupan selamat tidur padaku. Satu-satunya perbedaannya adalah gaji
itu." Mereka berpandang-pandangan. Keduanya pucat karena marah. Dengan mengejek,
Bridget berkata, "Silakan. Bukankah Anda agak kolot, Tuan Fitzwilliam. Silakan, ucapkan saja
kata-kata klise tua itu - katakanlah bahwa aku menjual diriku demi uang - kurasa
kata-kata itu masih berlaku!"
"Kau setan kecil berdarah dingin!" kata Luke.
"Itu lebih baik daripada gadis tolol yang berdarah hangat!"
"Begitu, ya?" "Ya, aku tahu itu."
"Apa yang kau tahu?" ejek Luke.
"Aku tahu apa artinya mencintai seorang laki-laki! Kau kenal Johnnie Cornish"
Tiga tahun lamanya aku bertunangan dengan dia. Dia patut dipuja - aku cinta
setengah mati padanya - sedemikian besarnya cintaku padanya sampai aku merasa
tersiksa! Lalu, dilemparkannya aku begitu saja dan dia menikah dengan seorang
janda baik-baik yang gemuk, yang bicaranya berlogat daerah Utara, berdagu tiga
tingkat, tapi berpenghasilan tiga puluh ribu setahun! Pengalaman seperti itu
bisa membuat seseorang jera bercinta, bukan?"
Luke berbalik mendadak sambil menggeram. Katanya,
"Mungkin." "Pasti...." Mereka diam. Suatu kesunyian yang terasa berat. Akhirnya Bridget yang memecah
kesunyian itu. Dengan nada yang agak kurang pasti dia berkata,
"Kuharap kau sadar bahwa kau sama sekali tak punya hak untuk berbicara seperti
itu padaku. Kau sekarang menginap di rumah Gordon, dan perbuatanmu itu benarbenar tidak pantas!"
Luke menemukan ketenangannya kembali.
"Apakah itu bukan klise pula?" tanyanya dengan sopan.
Wajah Bridget memerah. "Bagaimanapun juga, itu benar!"
"Itu tak benar. Aku punya hak penuh."
"Omong kosong!"
Luke menatap Bridget. Wajah Luke tampak aneh dan pucat, seperti orang yang
menderita sakit. Dia berkata,
"Aku punya hak. Aku punya hak untuk mencintaimu - seperti katamu tadi - mencintaimu
sedemikian, hingga aku merasa tersiksa!"
Bridget mundur selangkah. Dia hanya bisa berkata, "Kau - "
"Ya, aneh, bukan" Sesuatu yang bisa membuatmu tertawa terbahak! Aku datang
kemari untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan muncullah kau dari sudut rumah
itu, dan - bagaimana aku harus mengatakannya - dan kau membuatku terpesona!
Begitulah rasanya. Kau menyebut-nyebut soal dongeng tadi. Aku terperangkap dalam
sebuah dongeng! Kau telah menyihirku. Rasanya, seandainya kau menudingkan jarimu
padaku dan berkata, 'Berubahlah kau menjadi katak!' maka aku akan melompatlompat dengan mata tersembul di kepalaku."
Luke maju selangkah mendekati Bridget.
"Aku sangat mencintaimu, Bridget Conway. Dan begitu hebatnya cintaku padamu,
hingga kau tak bisa mengharapkan agar aku bersenang hati melihat kau menikah
dengan bangsawan cebol-gendut yang suka berlagak dan langsung marah bila kalah
main tenis." "Lalu menurutmu, apa yang harus kulakukan?"
"Kuanjurkan supaya kau menikah denganku! Tapi usul itu akan menimbulkan gelak
tawa." "Tawanya pasti hiruk-pikuk."
"Tepat. Pokoknya, sekarang kita tahu tempat kita masing-masing. Mari kita
kembali ke lapangan tenis. Mungkin kali ini kau bisa mencarikan aku patner yang
bisa main untuk menang!"
"Sungguh," kata Bridget dengan manis, "kurasa kau pun tak suka kalah, seperti
Gordon juga!" Luke tiba-tiba mencengkeram pundak Bridget.
"Lidahmu tajam seperti setan, Bridget!"
"Kurasa kau tidak terlalu menyukaiku, Luke, betapapun besarnya hasratmu terhadap
diriku!" "Kurasa aku sama sekali tidak menyukaimu."
Sambil memandangi Luke, Bridget berkata,
"Kau berniat untuk hidup tenang dan menikah begitu kembali ke Inggris. Ya, kan?"
"Ya." "Tapi tidak dengan seseorang seperti aku?"
"Aku sama sekali tak pernah membayangkan seseorang seperti kau."
"Ya - pasti tidak - aku tahu laki-laki macam kau. Aku tahu betul." "Kau pintar
sekali, Bridget tersayang."
"Seorang gadis yang benar-benar baik - seorang Inggris sejati - yang suka alam
pedesaan dan pandai memelihara anjing.... Mungkin dalam bayanganmu gadis itu
memakai rok dari bahan wol, sedang memperbaiki letak kayu api dalam perapian,
dengan ujung sepatunya."
"Gambaran itu kedengarannya menarik sekali."
"Aku yakin memang begitu. Mari kita kembali ke lapangan tenis. Kau bisa main
dengan Rose Humbleby. Dia pandai sekali main, kalian pasti menang."
"Karena aku memang kolot, aku harus mengikuti kehendakmu."
Mereka terdiam lagi. Kemudian perlahan-lahan Luke menarik tangannya dari pundak
Bridget. Keduanya berdiri dengan bimbang, seolah-olah masih ada sesuatu yang tak
diucapkan yang mengambang di antara mereka.
Dan tiba-tiba Bridget berbalik, mendahului Luke kembali ke lapangan tenis. Set
berikutnya baru saja berakhir. Rose tak ingin main lagi.
"Aku sudah main dua set berturut-turut."
Namun Bridget berkeras. "Aku letih. Aku tak mau main. Kau berpasangan dengan Tuan Fitzwilliam melawan
Nona Jones dan Mayor Horton."
Tetapi Rose terus membantah dan akhirnya diaturlah permainan yang terdiri dari
empat pria. Setelah itu, teh dihidangkan.
Lord Whitfield bercakap-cakap dengan Dr. Thomas, dilukiskannya secara panjanglebar dengan perasaan bangga, tentang kunjungannya ke Laboratorium Riset
Wellerman Kreitz baru-baru ini.
"Saya ingin memahami sendiri aliran penemuan ilmiah yang terbaru," dijelaskannya
dengan bersungguh-sungguh. "Saya bertanggung jawab atas apa yang dicetak dalam
surat kabar-surat kabar saya. Itu saya rasakan benar. Ini adalah abad ilmiah.
Ilmu pengetahuan harus disajikan secara populer supaya mudah dicerna oleh umum."
"Ilmu pengetahuan yang tanggung-tanggung, bisa berbahaya," kata Dr. Thomas
sambil mengangkat bahunya.
"Penerapan ilmu pengetahuan di rumah-rumah, itulah yang harus menjadi sasaran
kita," kata Lord Whitfield. "Science minded - "
"Kesadaran sempurna, lengkap dengan gelas-gelas percobaan," kata Bridget
bersungguh-sungguh. "Saya amat terkesan," kata Lord Whitfield. "Wellerman sendiri yang membawa saya
berkeliling. Saya minta agar saya diantarkan oleh bawahannya saja, tapi dia
berkeras." "Itu wajar," kata Luke.
Lord Whitfield kelihatan senang.
"Dan dia menerangkan segala sesuatu dengan jelas - tentang pembudidayaan - tentang
serum - pokoknya prinsip-prinsip ilmiahnya. Dia bersedia menyumbangkan tulisan
sebagai bagian pertama dari serial itu."
Bu Anstruther bergumam, "Orang biasanya menggunakan kelinci untuk percobaan, kalau tak salah. Kejam
sekali - meskipun memang tidak sejahat bila menggunakan anjing atau kucing."
"Orang-orang yang menggunakan anjing untuk percobaan harus ditembak," kata Mayor
Horton dengan suara serak.
"Saya yakin, Horton," kata Pak Abbot, "Anda menilai nyawa anjing lebih tinggi
harganya daripada nyawa manusia."
"Memang, saya akui!" kata Mayor. "Anjing tak pernah mengkhianati kita seperti
yang biasa dilakukan oleh manusia. Kita tak mungkin mendengar kata-kata jahat
dari mulut seekor anjing."
"Hanya satu gigitan yang dalam dan melekat di kaki kita, begitu kan, Horton?"
kata Pak Abbot. "Anjing amat pandai menilai watak manusia," kata Mayor Horton.
"Salah satu dari binatang-binatang setan milik Anda itu hampir menggigit kakiku
minggu lalu. Bagaimana itu, Horton?"
"Sama seperti yang kukatakan tadi!"
Bridget menyela dengan bijak,
"Mari kita main lagi."
Mereka main beberapa set lagi. Kemudian, waktu Rose Humbleby minta diri, Luke
menjejerinya. "Akan saya antar Anda pulang," katanya. "Mari saya bawakan raket tenis Anda.
Anda tak bawa mobil, bukan?"
"Tidak, tapi rumah saya dekat sekali."
"Saya ingin jalan-jalan."
Luke tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya mengambil raket dan sepatu gadis itu.
Mereka berjalan tanpa bercakap-cakap. Kemudian Rose membicarakan hal yang tak
Gerhana Di Malam Jahanam 1 Wiro Sableng 165 Bayi Titisan Kemelut Di Telaga Dewa 1

Cari Blog Ini