Ceritasilat Novel Online

Misteri Listerdale 1

Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie Bagian 1


THE LISTERDALE MYSTERY AND OTHER STORIES 1934 by Agatha Christie MISTERI LISTERDALE DAN KISAH-KISAH LAINNYA Alih bahasa: Lanny Murtiharjana
Penerbit: PT Gramedia Jakarta, Juni 2005 MISTERI LISTERDALE MRS. ST VINCENT sedang menjumlahkan angka-angka. Sekali-sekali ia menghela
napas, tangannya meraba kepalanya yang berdenyut-denyut. Sejak dulu ia tidak
suka aritmetika. Sayang sekali belakangan ini hidupnya seakan hanya terdiri atas
angka-angka, penjumlahan tak habis-habisnya atas pengeluaran-pengeluaran kecil
namun perlu, dengan total akhir yang selalu membuatnya ketakutan.
Jumlahnya pasti tidak sebesar itu! Ia kembali berkutat dengan angka-angka
tersebut. Memang ada kesalahan kecil saat ia menghitung angka sen, tapi di luar
itu angka-angkanya benar.
Mrs. St Vincent menghela napas sekali lagi. Sekarang sakit kepalanya benar-benar
tak tertahankan. Ia menoleh saat pintu terbuka dan Barbara, putrinya, melangkah
masuk. Barbara St Vincent gadis yang sangat cantik; ia mewarisi roman elok
ibunya yang halus, dan gerak menoleh yang sama anggunnya, tapi warna matanya
hitam, bukannya biru, dan bentuk mulutnya pun berbeda, dengan bibir merah yang
merajuk namun menarik. "Oh! Ibu," serunya. "Masih saja bergulat dengan rekening-rekening lama yang
menyebalkan itu" Buang saja ke dalam api."
"Kita harus tahu posisi kita," ujar Mrs. St Vincent ragu.
Gadis itu angkat bahu. "Dari dulu posisi kita begini-begini saja," sahutnya acuh tak acuh. "Selalu saja
kekurangan uang. Sampai sen terakhir seperti biasanya."
Mrs. St Vincent menghela napas.
"Seandainya saja...," keluhnya, lalu berhenti.
"Aku harus mendapatkan pekerjaan," sergah Barbara getir. "Segera. Lagi pula, aku
sudah ikut kursus steno dan mengetik. Tapi sejuta gadis lain juga mengambil
kursus yang sama! 'Punya pengalaman apa"' 'Tidak ada, tapi...' 'Oh! Terima
kasih, selamat pagi. Kami akan mengabari Anda.' Tapi mereka tidak pernah
mengabari apa-apa! Aku harus menemukan pekerjaan lain - pekerjaan apa saja."
"Jangan dulu, Sayang," pinta ibunya. "Tunggulah beberapa waktu lagi."
Barbara menuju jendela dan menatap kosong ke luar, tanpa melihat deretan rumah
suram di seberang jalan. "Kadang-kadang," ujarnya perlahan, "aku menyesal mengapa Sepupu Amy mengajakku
ke Mesir musim dingin yang lalu. Oh! Aku memang menikmatinya - satu-satunya
kesenangan yang pernah kurasakan dalam hidupku, yang mungkin takkan pernah
terulang kembali. Aku memang menikmatinya - amat sangat menikmatinya. Tapi aku
juga jadi gelisah. Maksudku... karena kembali ke kehidupan seperti ini."
Ia menyapukan lengan keliling ruangan. Mrs. St Vincent mengikuti gerakan itu
dengan matanya, lalu mengernyit. Ruangan itu berisi perabotan khas pondokan
murah. Tanaman aspidistra berdebu, perabotan dengan ornamen mencolok, dan kertas
dinding bercorak norak yang sudah luntur di sana-sini. Tampak tanda-tanda bahwa
kepribadian penyewa bertabrakan dengan selera sang induk semang; ada satu-dua
benda porselen yang sudah retak-retak dan diperbaiki, hingga tak bernilai sama
sekali kalau ingin dijual, sehelai kain bersulam yang disampirkan di sandaran
sofa, sketsa cat air yang menggambarkan gadis muda dengan gaya dua puluh tahun
silam, cukup mirip dengan sosok Mrs. St Vincent.
"Tak mengapa," lanjut Barbara, "seandainya kita tidak pernah tinggal di tempat
lain. Tapi kalau mengingat Ansteys..."
Ia terdiam, tidak berani melanjutkan bicara tentang rumah tercinta yang pernah
berabad-abad menjadi milik keluarga St Vincent, dan yang sekarang sudah menjadi
milik orang-orang asing. "Kalau saja Ayah... tidak berspekulasi... dan meminjam..."
"Sayangku," ujar Mrs. St Vincent, "sejak dulu ayahmu tidak berbakat menjadi
pengusaha." Ia mengucapkannya dengan ketegasan anggun, dan Barbara menghampiri serta
memberinya kecupan sekilas, sambil bergumam, "Mama yang malang, aku takkan
berkata apa-apa lagi."
Mrs. St Vincent mengambil penanya kembali, lalu membungkuk di atas mejanya.
Barbara melangkah ke jendela lagi. Ia berkata,
"Ibu, aku mendengar dari... dari Jim Masterton pagi ini. Dia ingin kemari dan
mengunjungiku." Mrs. St Vincent meletakkan penanya dan menatap tajam.
"Di sini?" serunya.
"Hm, kita kan tak mungkin mengundangnya makan malam di Ritz," ejek Barbara.
Ibunya tampak sedih. Lagi-lagi ia memandang keliling ruangan itu dengan rasa
kurang suka. "Ibu benar," kata Barbara. "Ini memang tempat yang menyebalkan. Kemiskinan
terselubung! Kedengarannya cukup lumayan - pondok bercat putih di pedesaan, kain
katun warna-warni bercorak indah yang sudah lusuh, vas dengan bunga-bunga mawar,
peralatan minum teh Derby yang dicuci sendiri. Mirip kisah di buku-buku. Padahal
sebenarnya, dengan anak laki-laki yang baru mulai bekerja di kantor dari jenjang
paling bawah, ini berarti London. Induk-induk semang jorok, anak-anak kotor yang
bermain di tangga, sesama penyewa yang sepertinya selalu dari golongan bawah,
ikan laut yang tidak begitu... tidak begitu dan seterusnya."
"Kalau saja...," ujar Mrs. St Vincent lagi. "Tapi, sungguh, aku mulai khawatir
kalau-kalau kita bahkan tidak mampu lagi menyewa ruangan ini."
"Itu berarti kamar tidur merangkap ruang duduk - betapa mengerikan! - untuk Ibu dan
aku," sahut Barbara. "Dan lemari di bawah tegel untuk Rupert. Dan bila Jim
datang berkunjung, aku harus menemuinya di ruangan bawah, dengan kucing-kucing
betina yang merajut di sepanjang dinding, memelototi kami, dan terbatuk-batuk
menjijikkan!" Hening sejenak. "Barbara," ujar Mrs. St Vincent akhirnya. "Apa kau... maksudku... apa kau...?"
Ia terdiam, wajahnya memerah.
"Tidak usah malu-malu, Bu," kata Barbara. "Zaman sekarang tak ada lagi yang
malu-malu. Kurasa maksud Ibu, menikah dengan Jim" Aku mau sekali kalau dia
memintaku. Tapi aku begitu khawatir dia takkan melakukannya."
"Oh, Barbara, sayangku."
"Hm, beda sekali saat aku bepergian bersama Sepupu Amy, bergaul (seperti sering
kita baca di cerpen) dengan kalangan atas. Jim benar-benar suka padaku. Sekarang
dia akan kemari dan melihatku dalam lingkungan seperti ini! Dan dia orang yang
sangat aneh, cerewet, dan kuno. Aku... aku justru agak menyukainya karena
sifatnya itu. Ini mengingatkanku pada Ansteys dan kampung halaman kita - segalanya
ketinggalan seratus tahun, tapi begitu... begitu... oh! Entahlah - begitu harum.
Bagaikan bunga lavender!"
Ia tertawa, setengah tersipu karena hasratnya itu. Mrs. St Vincent berbicara
dengan lugu. "Aku suka bila kau menikah dengan Jim Masterton," ujarnya. "Dia... salah seorang
dari kita. Dia juga kaya, tapi aku tidak begitu memedulikan ini."
"Aku peduli," sahut Barbara. "Aku sudah bosan kekurangan uang terus."
"Tapi, Barbara, ini bukan..."
"Semata-mata karena itu" Tidak. Aku benar-benar peduli. Aku... oh! Ibu, tidakkah
Ibu melihat bahwa aku ingin kaya?"
Mrs. St Vincent tampak sangat sedih.
"Andai dia bisa melihatmu dalam keadaan pantas, Sayang," ujarnya prihatin.
"Oh, sudahlah!" sahut Barbara. "Kenapa harus bingung" Kita sebaiknya mencoba
bersikap ceria. Maaf kalau aku tadi menggerutu seperti itu. Senyumlah, Sayang."
Barbara membungkuk mengecup kening ibunya, lalu melangkah keluar. Mrs. St
Vincent meninggalkan sejenak masalah keuangan, lalu duduk di sofa yang tidak
nyaman. Pikirannya terus berputar-putar, bagaikan tupai di dalam sangkar.
"Orang boleh mengatakan apa saja, tapi penampilan memang mampu membuat pria
mundur teratur. Faktor itu tidak penting seandainya mereka sudah benar-benar
bertunangan. Ketika itu dia akan tahu betapa manisnya putriku. Tapi kaum muda
begitu mudah menyerap nuansa lingkungan sekitar mereka. Rupert, misalnya, sudah
berubah. Bukannya aku ingin anak-anakku jadi pongah. Sama sekali tidak. Tapi aku
benci kalau sampai Rupert bertunangan dengan gadis menyebalkan dari toko
pedagang tembakau itu. Aku yakin gadis itu mungkin sangat baik. Tapi dia bukan
dari kalangan kami. Sulit sekali semua ini. Kasihan Babs-ku yang malang. Kalau
saja aku bisa berbuat sesuatu - apa saja. Tapi dari mana uang untuk itu" Kami
sudah menjual segalanya untuk modal awal Rupert. Meski kami sebenarnya tidak
mampu melakukannya."
Untuk mengalihkan perhatiannya, Mrs. St Vincent meraih koran Morning Post, dan
melirik halaman depan yang memuat iklan. Mereka yang menginginkan modal, mereka
yang punya modal dan ingin melepaskannya cukup dengan tanda tangan saja, orangorang yang ingin membeli gigi (sejak dulu ia selalu bertanya-tanya untuk apa),
mereka yang ingin menjual mantel bulu dan gaun-gaun, dan yang punya bayangan
optimis mengenai harganya.
Tiba-tiba perhatiannya tersentak. Dibacanya iklan yang satu ini berulang-ulang.
"Rumah kecil di Westminster, lengkap dengan perabotan indah, ditawarkan pada
mereka yang mau merawatnya dengan baik. Ongkos sewa rendah. Tanpa perantara."
Iklan yang sangat umum. Ia sudah sering membaca iklan serupa - atau hampir serupa.
Ongkos sewa rendah, di situlah letak jebakannya.
Meski demikian, mengingat ia merasa gelisah dan ingin sekali melarikan diri dari
pikirannya, ia langsung mengenakan topi, dan naik bus menuju alamat yang
tercantum dalam iklan tadi.
Ternyata itu alamat agen perumahan. Bukan perusahaan baru yang sedang berkembang
- tapi tempat bergaya kuno yang agak tua. Dengan malu-malu Mrs. St Vincent
mengeluarkan iklan yang telah disobeknya dari koran, dan meminta beberapa
keterangan khusus. Pria tua berambut putih yang melayaninya membelai dagunya sambil merenung.
"Tepat. Ya, tepat, Madam. Rumah yang disebutkan dalam iklan itu terletak di No.
7 Cheviot Place. Apa Anda mau menyewanya?"
"Saya ingin tahu ongkos sewanya terlebih dulu," ujar Mrs. St Vincent.
"Ah! Ongkos sewanya. Jumlahnya belum ditetapkan, tapi saya bisa memastikan
angkanya benar-benar rendah."
"Bayangan orang mengenai apa yang benar-benar rendah bisa berbeda-beda," sahut
Mrs. St Vincent. Pria tua itu tertawa kecil.
"Ya, itu tipu muslihat lama - akal bulus lama. Tapi Anda boleh memegang perkataan
saya, ini bukan muslihat. Mungkin sewanya dua atau tiga guinea saja (sekitar 40
atau 60 shilling) per minggu, tidak lebih."
Mrs. St Vincent memutuskan untuk menyewanya. Tentu saja bukan karena ada
kemungkinan ia mampu menempatinya. Namun setidaknya ia ingin melihat rumah itu.
Pasti ada sebabnya, mengapa rumah itu disewakan begitu murah.
Namun hatinya terlonjak saat memandang bagian luar 7 Cheviot Place. Rumah itu
benar-benar cantik. Model Queen Anne, dan dalam kondisi sempurna! Seorang kepala
pelayan membukakan pintu. Rambut dan cambangnya sudah beruban, dan sikap
tenangnya mirip Uskup Kepala. Uskup Kepala yang ramah, Mrs. St Vincent membatin.
Ia menjalankan perintah dengan sikap siap membantu.
"Tentu saja, Madam. Saya akan mengantar Anda melihat-lihat. Rumah ini sudah siap
ditempati." Ia berjalan mendahului Mrs. St Vincent sambil membukakan pintu-pintu dan
menyebut setiap ruangan. "Ini ruang tamu, ruang kerja putih, dan ruang penyimpanan di sebelah sini,
Madam." Benar-benar sempurna - seperti mimpi. Seluruh perabotan mengikuti zaman, tampak
sudah digunakan, namun terawat sangat baik. Permadaninya yang cantik bernuansa
redup. Dalam setiap ruangan terlihat bunga-bunga segar dalam jambangan. Bagian
belakang rumah itu menghadap Green Park. Seluruh tempat itu memancarkan pesona
hangat. Mata Mrs. St Vincent berkaca-kaca, dan ia berusaha keras menahan air matanya.
Seperti inilah Ansteys dulu - Ansteys...
Ia bertanya-tanya apakah kepala pelayan itu memerhatikan gejolak emosinya. Bila
demikian, kepala pelayan itu pasti sudah amat sangat terlatih, sehingga tidak
menunjukkannya. Mrs. St Vincent menyukai pelayan-pelayan tua seperti ini; orang
akan merasa aman dan tenteram bersama mereka. Mereka bagaikan teman saja.
"Rumah ini indah sekali," ujarnya perlahan. "Sangat cantik. Saya senang bisa
melihatnya." "Apakah ini untuk Anda sendiri, Madam?"
"Untuk saya dan putra serta putri saya. Tapi saya khawatir..."
Ia terhenti. Ia begitu menginginkannya - teramat menginginkannya.
Secara naluriah ia merasa kepala pelayan itu memahaminya. Kepala pelayan itu
tidak melihat ke arahnya saat berbicara dengan gaya tak acuh,
"Saya kebetulan tahu, Madam, bahwa pemilik rumah ini lebih mementingkan penyewa
yang cocok. Baginya, ongkos sewa tidaklah penting. Dia ingin rumah ini disewakan
pada orang yang benar-benar mau merawat dan menghargainya."
"Saya sangat menghargainya," ujar Mrs. St Vincent lirih.
Ia membalikkan badan dan bersiap-siap pergi.
"Terima kasih sudah mengantar saya melihat-lihat," ujarnya sopan.
"Sama-sama, Madam."
Pria itu berdiri tegak di pintu, sementara Mrs. St Vincent menyusuri jalan. Ia
membatin, "Dia tahu. Dia merasa kasihan padaku. Dia juga termasuk generasi lama.
Dia ingin aku menempatinya - bukan orang dari kalangan buruh atau pengusaha
kancing! Jenis kami sudah semakin langka, tapi kami bersatu."
Ujung-ujungnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke agen perumahan itu. Apa
gunanya" Ia memang mampu membayar ongkos sewanya - tapi masih ada para pelayan
yang harus dipertimbangkan. Dalam rumah seperti itu diperlukan pelayan.
Keesokan paginya ia menemukan surat di atas piringnya. Dari agen perumahan yang
menawarkan penyewaan 7 Cheviot Place selama enam bulan dengan ongkos dua guinea
seminggu, ditambah keterangan: "Kami beranggapan Anda telah memahami bahwa para
pelayan tetap menjadi tanggungan pemiliknya" Ini benar-benar penawaran yang
unik." Memang. Mrs. St Vincent begitu terkejut, sampai-sampai membaca surat itu keraskeras. Berbagai pertanyaan menyerangnya bertubi-tubi, dan ia pun menjelaskan
kunjungannya kemarin. "Mama yang penuh rahasia!" seru Barbara. "Apa rumah itu benar-benar seindah
itu?" Rupert berdeham dan mulai melancarkan berbagai pertanyaan menyelidik.
"Pasti ada udang di balik batu. Menurutku ini mencurigakan. Jelas-jelas
mencurigakan." "Benarkah begitu?" sahut Barbara sambil mengernyitkan hidung. "Huh! Mengapa pula
harus ada udang di baliknya" Memang khas gayamu, Rupert, selalu saja mereka-reka
misteri. Ini pasti gara-gara kisah-kisah detektif yang selalu kaubaca itu."
"Penyewaan rumah itu cuma alasan saja," sahut Rupert. "Di kota," tambahnya sok
tahu, "orang terbiasa dengan segala macam kejadian aneh. Percayalah, ini benarbenar mencurigakan."
"Omong kosong," sergah Barbara. "Rumah itu milik orang kaya-raya, dia sangat
menyukainya, dan dia mau rumahnya ditempati orang-orang yang pantas selama dia
pergi. Semacam itulah. Uang mungkin tidak jadi masalah baginya."
"Alamatnya di mana tadi?" tanya Rupert pada ibunya.
"Cheviot Place No. 7."
"Wah!" Ia mendorong kursinya. "Menurutku ini baru seru. Itu rumah tempat Lord
Listerdale menghilang."
"Apa kau yakin?" tanya Mrs. St Vincent ragu.
"Yakin sekali. Dia memiliki beberapa rumah yang tersebar di seluruh London, tapi
rumah itulah yang ditempatinya. Suatu malam dia keluar rumah dan mengatakan akan
pergi ke klub, tapi sejak itu tak ada yang pernah melihatnya kembali. Kata
orang, dia pergi mendadak ke Afrika Timur atau semacamnya, tapi tidak ada yang
tahu mengapa. Ada kemungkinan dia dibunuh di rumah itu. Kata Ibu di rumah itu
banyak papannya?" "Be... betul," jawab Mrs. St Vincent ragu, "tapi..."
Rupert tidak memberinya kesempatan lagi. Dengan penuh semangat ia melanjutkan.
"Papan! Nah, pasti ada ceruk di dinding entah di mana. Tubuh korban dijejalkan
di situ, dan sejak itu tetap berada di sana. Mungkin mayatnya sudah dibalsem
terlebih dulu." "Rupert, Sayang, jangan meracau," tegur ibunya.
"Jangan berlagak tolol seperti idiot," sembur Barbara. "Kau sudah terlalu sering
mengajak si pirang itu ke bioskop."
Rupert bangkit dengan penuh gengsi - sejauh yang dimungkinkan sosoknya yang kurus
tinggi dan usianya yang tanggung itu; ia memberikan ultimatum terakhir.
"Sewalah rumah itu, Ma. Aku akan membongkar misterinya. Lihat saja nanti."
Rupert bergegas meninggalkan ruangan, khawatir terlambat sampai ke kantor.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua wanita itu saling pandang.
"Bisakah kita, Ibu?" gumam Barbara gemetar. "Oh! Seandainya saja kita bisa."
"Para pelayan," ujar Mrs. St Vincent sedih, "harus makan, kau tahu. Maksudku,
tentu saja mereka harus makan - tapi justru di situlah letak kekurangannya. Orang
bisa begitu mudah - hidup tanpa hal-hal tertentu - bila cuma seorang diri."
Ia menatap iba pada Barbara, dan gadis itu mengangguk.
"Kita harus memikirkannya kembali," kata sang ibu.
Namun di benaknya ia sudah membuat keputusan. Ia telah melihat binar di mata
gadis itu. Ia berkata dalam hati, "Jim Masterton harus melihatnya dalam
lingkungan yang pantas. Inilah kesempatannya - kesempatan bagus sekali. Aku harus
meraihnya." Mrs. St Vincent duduk dan menulis pada agen untuk menerima penawaran mereka.
*** "Quentin, dari mana datangnya bunga-bunga lili ini" Aku tidak mampu membeli
bunga-bunga mahal." "Bunga-bunga ini dikirim dari King's Cheviot, Madam. Ini kebiasaan di sini sejak
dulu." Kepala pelayan itu mengundurkan diri. Mrs. St Vincent menarik napas lega. Apa
yang harus diperbuatnya tanpa Quentin" Ia membuat segala hal begitu mudah. Ia
berpikir dalam hati, "Ini terlalu indah untuk bisa bertahan. Aku akan segera
terbangun, aku tahu itu, dan menyadari bahwa semua ini ternyata cuma mimpi. Aku
begitu bahagia di sini - sudah dua bulan, dan rasanya begitu singkat."
Kehidupan memang sangat menyenangkan. Quentin, sang kepala pelayan, telah
menyatakan diri sebagai otokrat 7 Cheviot Place. "Bila Anda mau menyerahkan
segala sesuatu pada saya, Madam," ujarnya penuh hormat, "Anda akan mendapatkan
yang terbaik." Setiap minggu Quentin membawakan pembukuan rumah tangga dengan angka-angka
sangat rendah. Di rumah itu hanya ada dua pelayan lain, yakni juru masak dan
pembantu rumah tangga. Tutur kata mereka menyenangkan, dan mereka efisien dalam
mengerjakan tugas, tapi Quentin-lah yang mengendalikan pengaturan rumah. Ada
kalanya daging binatang buruan dan unggas terhidang di meja, yang menyebabkan
Mrs. St Vincent khawatir. Quentin lalu akan menenangkannya. Alasannya, daging
itu dikirim dari King's Cheviot, vila Lord Listerdale, atau dari tambatan
perahunya di Yorkshire. "Ini sudah jadi kebiasaan sejak dulu, Madam."
Diam-diam Mrs. St Vincent meragukan apakah Lord Listerdale yang tidak berada di
tempat setuju dengan kata-kata itu. Ia cenderung mencurigai Quentin melangkahi
otoritas majikannya. Sudah jelas ia menyukai mereka, dan di matanya tak ada yang
terlampau baik buat mereka.
Berhubung rasa ingin tahunya tergugah karena komentar Rupert, Mrs. St Vincent
sekilas menyinggung soal Lord Listerdale ketika ia berbincang lagi dengan agen
perumahan. Pria tua berambut putih itu langsung menanggapi.
Ya, Lord Listerdale berada di Afrika Timur sejak delapan belas bulan yang lalu.
"Klien kami ini agak eksentrik," ujarnya sambil tersenyum lebar. "Mungkin Anda
masih ingat bagaimana dia meninggalkan London dengan cara yang sama sekali di
luar kebiasaan" Dia tidak meninggalkan pesan pada siapa pun. Koran-koran mencium
berita ini. Orang bahkan menanyakannya ke Scotland Yard. Untung saja Lord
Listerdale sendiri mengirim berita dari Afrika Timur. Dia menetapkan Kolonel
Carfax, sepupunya, sebagai penggantinya dengan kuasa hukum pengacara. Yang
disebut belakangan inilah yang mengatur semua urusan Lord Listerdale. Ya, agak
eksentrik memang. Sejak dulu dia senang berkelana di alam bebas - sepertinya sudah
ditentukan bahwa dia takkan kembali ke London selama bertahun-tahun, meskipun
usianya semakin bertambah."
"Umurnya pasti belum begitu tua," ujar Mrs. St Vincent, sambil membayangkan
wajah sangar berjenggot mirip pelaut dari zaman Elizabeth, yang pernah
dilihatnya di majalah bergambar.
"Usia pertengahan," ujar pria berambut putih itu. "Menurut Debrett, lima puluh
tiga." Mrs. St Vincent mengulangi percakapan ini pada Rupert, dengan tujuan menegur
anak muda itu. Tapi Rupert tidak mau mundur.
"Urusan ini tampak semakin mencurigakan saja," ucapnya. "Siapa pula si Kolonel
Carfax ini" Kalau terjadi sesuatu dengan Listerdale, dia mungkin akan memperoleh
gelar. Surat dari Afrika Timur itu mungkin saja dipalsukan. Dalam waktu tiga
tahun, atau kapan pun, si Carfax ini akan mengumumkan kematian Listerdale dan
meraih gelarnya. Sementara itu, dialah yang mengurus seluruh estat. Aku
menyebutnya sangat mencurigakan."
Ia telah mengakui dengan rendah hati bahwa ia menyukai rumah itu. Di waktu
senggangnya, ia cenderung ingin mengetuk bilah-bilah papan, dan mengukur dengan
teliti untuk mencari kemungkinan adanya ruangan rahasia, namun sedikit demi
sedikit minatnya pada misteri Lord Listerdale semakin pupus. Ia juga tidak
begitu tertarik lagi pada putri pedagang tembakau itu. Ini terasa sekali.
Bagi Barbara, rumah ini sangat memuaskan. Jim Masterton sudah datang berkunjung
dan sering bertandang. Ia dan Mrs. St Vincent semakin akrab saja, dan suatu hari
ia mengutarakan sesuatu yang mengejutkan Barbara.
"Rumah ini lingkungan yang cocok sekali untuk ibumu."
"Untuk Ibu?" "Ya. Rumah ini memang disediakan untuknya! Dia begitu serasi dengan tempat ini.
Kau bisa merasakan sesuatu yang ganjil dengan rumah ini, sesuatu yang aneh dan
menghantui." "Jangan seperti Rupert," Barbara memohon padanya. "Dia yakin Kolonel Carfax yang
jahat itu telah membunuh Lord Listerdale dan menyembunyikan mayatnya di bawah
lantai." Masterton tertawa. "Aku mengagumi semangat detektif Rupert. Tidak, yang kumaksud bukan itu. Tapi
ada sesuatu di udara, suatu atmosfer yang sulit dipahami."
Mereka sudah menempati Cheviot Place tiga bulan lamanya ketika Barbara
menghampiri ibunya dengan wajah berseri-seri.
"Jim dan aku... sudah bertunangan. Ya - semalam. Oh, Ibu! Ini bagaikan dongeng
yang jadi kenyataan."
"Oh, sayangku! Aku begitu senang - sangat senang."
Ibu dan anak itu saling berpelukan.
"Ibu tahu, Jim hampir sama jatuh cintanya pada Ibu seperti padaku," ujar Barbara
akhirnya, sambil tertawa nakal.
Mrs. St Vincent tersipu hingga tampak sangat cantik.
"Sungguh," gadis itu bersikeras. "Ibu menyangka rumah ini akan menjadi
lingkungan yang bagus untukku, padahal selama ini justru menjadi lingkungan yang
cocok bagi Ibu. Rupert dan aku tidak begitu serasi dengan tempat ini. Tapi Ibu
serasi sekali." "Jangan bicara ngawur, Sayang."
"Ini bukan ngawur. Ada suasana kastil yang terkena pesona sihir di sini, dan
Ibu-lah putri yang kena sihir, sedangkan Quentin adalah... adalah... oh! Sang
penyihir yang baik."
Mrs. St Vincent tergelak, dan mengakui hal terakhir tadi.
Rupert menanggapi pertunangan saudara perempuannya dengan tenang.
"Aku sudah menduga ada sesuatu yang mengarah ke sana," ujarnya bijaksana.
Rupert dan ibunya sedang makan malam berdua; Barbara sedang keluar bersama Jim.
Quentin meletakkan botol anggur di depannya, dan mengundurkan diri tanpa bicara.
"Dia aneh sekali," ujar Rupert sambil mengangguk ke arah pintu yang tertutup
itu. "Ada yang ganjil dengan dirinya, sesuatu..."
"Yang tidak mencurigakan?" sela Mrs. St Vincent sambil tersenyum simpul.
"Wah, Ibu, bagaimana Ibu bisa menebak apa yang akan kukatakan?" ia bertanya
serius. "Itu kan cuma istilah yang sering kaugunakan, Sayang. Kau menganggap segala hal
mencurigakan. Kurasa kau beranggapan Quentin-lah yang menghabisi Lord Listerdale
dan menyembunyikannya di bawah lantai?"
"Di balik papan," Rupert memperbaiki. "Ibu selalu saja keliru. Tidak, aku sudah
menyelidiki hal itu. Ketika itu Quentin sedang berada di King's Cheviot."
Mrs. St Vincent tersenyum padanya sambil bangkit dari meja, dan melangkah ke
ruang tamu. Dalam beberapa hal, Rupert tampak begitu cepat dewasa.
Namun untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya, apa alasan Lord Listerdale
meninggalkan London dengan tiba-tiba seperti itu. Pasti ada sesuatu di baliknya,
mengingat keputusan mendadak itu. Ia masih memikirkan hal tersebut saat Quentin
masuk membawa nampan kopi, dan Mrs. St Vincent pun berkata dengan impulsif.
"Kau sudah cukup lama bersama Lord Listerdale, bukan, Quentin?"
"Betul, Madam; sejak saya berusia dua puluh satu. Di masa Lord yang sudah
almarhum. Saya mengawali sebagai pelayan biasa."
"Kau tentunya sangat mengenal Lord Listerdale. Orang seperti apakah dia?"
Kepala pelayan itu memutar nampannya sedikit, agar Mrs. St Vincent bisa lebih
mudah menyendok gulanya, sementara Quentin menjawab datar,
"Dulu Lord Listerdale orang yang sangat egois, Madam. Dia tidak pernah
memedulikan orang lain."
Ia menyingkirkan nampan, lalu membawanya keluar. Mrs. St Vincent duduk sambil
memegangi cangkir kopinya dan mengerutkan kening. Terlepas dari pandangannya,
ucapan Quentin terasa aneh. Dalam sekejap ia pun sadar.
Quentin menggunakan istilah "dulu", bukannya "sekarang". Bagaimanapun, Quentin
tentunya berpikir - tentunya percaya... Mrs. St Vincent bangkit berdiri. Dirinya
sama payahnya dengan Rupert! Tapi perasaan tidak enak merayapi benaknya. Sejak
itu ia mulai curiga terhadap sang pelayan.
Setelah kebahagiaan dan masa depan Barbara terjamin, Mrs. St Vincent punya waktu
untuk memikirkan dirinya sendiri, dan berlawanan dengan kehendaknya, pikirannya
mulai terpusat pada misteri Lord Listerdale. Seperti apakah kisah sebenarnya"
Apa pun itu, Quentin pasti tahu sesuatu tentang hal tersebut. Kata-katanya
sungguh aneh - "orang yang sangat egois - tidak pernah memedulikan orang lain." Apa
yang ada di balik kata-kata itu" Ia bicara seperti hakim saja, tidak memihak dan
netral. Apakah Quentin terlibat peristiwa menghilangnya Lord Listerdale" Apakah ia turut
ambil bagian dalam tragedi apa pun yang mungkin terjadi" Lagi pula, sekonyol apa
pun asumsi Rupert ketika itu, surat tunggal dengan kuasa hukum yang dikirim dari
Afrika Timur itu memang layak dicurigai.
Namun sebesar apa pun usahanya, ia tak percaya ada sesuatu yang jahat dalam diri
Quentin. Berulang kali ia mengatakan pada diri sendiri bahwa Quentin orang yang
baik - ia menggunakan istilah ini sesederhana anak kecil. Quentin orang yang baik.
Tapi ia mengetahui sesuatu!
Sejak itu Mrs. St Vincent tidak pernah lagi membicarakan majikan Quentin
dengannya. Subjek itu sepertinya terlupakan. Rupert dan Barbara memikirkan halhal lain, dan mereka tidak mendiskusikannya lagi.
Sudah mendekati akhir bulan Agustus ketika dugaannya yang samar-samar
mengkristal menjadi kenyataan. Rupert pergi berlibur selama dua minggu bersama
temannya yang memiliki sepeda motor dan karavan. Pada hari kesepuluh sejak
kepergiannya, Mrs. St Vincent terkejut melihatnya bergegas memasuki ruangan
tempat ia sedang menulis.
"Rupert!" serunya.
"Aku tahu, Bu. Ibu tidak menyangka aku akan datang tiga hari lebih awal. Tapi
sesuatu telah terjadi. Anderson - temanku, Ibu tahu kan - tidak peduli ke mana kami
akan pergi, jadi aku mengusulkan kami melihat-lihat ke King's Cheviot..."
"King's Cheviot" Tapi untuk apa?"
"Ibu tahu betul bahwa sejak dulu aku merasa di sini ada sesuatu yang
mencurigakan. Nah, aku mengunjungi tempat tua itu - dan ternyata... tak ada apa
pun di situ. Bukannya aku menduga akan menemukan sesuatu - aku sekadar menyelidiki
saja." Betul, pikir Mrs. St Vincent. Saat ini Rupert sangat mirip anjing. Berputarputar menyelidiki sesuatu yang samar dan tidak jelas, didorong oleh naluri,
sangat asyik dan senang. "Saat kami melewati desa sekitar sepuluh atau sebelas kilometer, terjadilah hal
itu - saat aku melihatnya, maksudku."
"Melihat siapa?"
"Quentin - tepat ketika dia memasuki pondok kecil. Aku berkata dalam hati, ini
mencurigakan. Kami menghentikan bus dan aku berjalan kembali. Aku mengetuk pintu
pondok itu, dan dia sendiri yang membukakan pintu."
"Tapi aku tidak mengerti. Quentin tidak pernah pergi..."
"Aku baru mau menjelaskannya, Bu. Tolong dengarkan saja dan jangan menyela.
Orang itu Quentin, tapi bukan Quentin, kalau Ibu paham maksudku."
Mrs. St Vincent jelas-jelas tidak paham, jadi Rupert menguraikannya lebih
lanjut. "Orang itu memang Quentin, tapi bukan Quentin kita. Ini Quentin yang asli."
"Rupert!" "Dengarkan. Tadinya aku sendiri pun terkecoh dan berkata, 'Anda Quentin, bukan"'
Dan orang tua itu menjawab, 'Betul, Sir, itu memang namaku. Bisa kubantu"'
Kemudian aku menyadari dia bukan pelayan kita, meskipun sangat mirip, termasuk
suaranya. Aku mengajukan beberapa pertanyaan, dan kisah sebenarnya pun keluar
semua. Laki-laki tua itu tidak tahu sama sekali ada sesuatu yang tidak beres
sedang terjadi. Dia memang pernah jadi kepala pelayan Lord Listerdale, dan
menjalani pensiun dengan mendapat pesangon serta pondok ini kurang-lebih
bersamaan dengan kepergian Lord Listerdale ke Afrika. Ibu lihat ke mana arahnya.
Orang ini penipu - dia memainkan peran Quentin untuk tujuannya sendiri. Teoriku
adalah, malam itu dia ke kota, menyamar sebagai kepala pelayan dari King's
Cheviot, diwawancarai Lord Listerdale yang dibunuhnya, lalu menyembunyikan
mayatnya di balik papan. Ini rumah tua, pasti ada ceruk rahasia..."
"Oh, jangan kita ulangi lagi masalah itu," sela Mrs. St Vincent gusar. "Aku
tidak tahan. Kenapa dia harus - itulah yang ingin kuketahui - kenapa" Seandainya dia
benar melakukan hal seperti itu - yang sama sekali tidak kupercayai, ingat itu - apa
alasannya untuk semua ini?"
"Ibu benar," ujar Rupert. "Motif - itulah yang penting. Sekarang aku sudah
menyelidiki. Lord Listerdale memiliki banyak properti rumah. Dalam dua hari
terakhir ini aku menemukan bahwa selama delapan belas bulan terakhir ini,
praktis setiap rumah miliknya telah disewakan pada orang-orang seperti kita,
dengan ongkos sewa sangat murah - dengan ketentuan bahwa para pelayannya tetap
tinggal. Dan dalam setiap kasus, Quentin sendiri - maksudku orang yang menyebut
dirinya Quentin - sudah berperan sebagai kepala pelayan untuk beberapa waktu.
Sepertinya ada sesuatu - perhiasan, atau surat-surat berharga - yang disembunyikan
di salah satu rumah Lord Listerdale, dan kelompok itu tidak tahu rumah yang
mana. Aku berasumsi bahwa ini ulah sebuah kelompok, tapi tentu saja si Quentin
ini mungkin bekerja seorang diri. Ada suatu..."
Mrs. St Vincent menyela tegas,
"Rupert! Hentikan omonganmu sebentar. Kau membuat kepalaku pusing. Lagi pula,
apa yang kaukatakan itu omong kosong - soal kelompok dan kertas-kertas berharga
yang disembunyikan itu."
"Masih ada teori lainnya lagi," Rupert mengakui. "Si Quentin ini mungkin saja
orang yang pernah disakiti Lord Listerdale. Kepala pelayan yang asli bercerita
banyak tentang orang bernama Samuel Lowe - pembantu tukang kebun dengan perawakan
kurang-lebih sama dengan Quentin sendiri. Dia sakit hati terhadap Listerdale..."
Mrs. St Vincent tersentak.
"Yang tidak pernah memedulikan orang lain." Kata-kata itu terngiang kembali,
berikut aksen datar dan tenang orang yang mengucapkannya. Kata-kata yang tidak
memadai, tapi apa makna di baliknya"
Karena begitu tenggelam dalam lamunannya sendiri, ia nyaris tidak mendengarkan
Rupert. Putranya menjelaskan sesuatu dengan cepat yang tidak diserap oleh sang
ibu, dan bergegas meninggalkan ruangan.
Kemudian Mrs. St Vincent pun tersadar. Ke mana perginya Rupert tadi" Apa yang
akan dilakukannya" Mrs. St Vincent tidak menangkap kata-katanya yang terakhir.
Mungkin ia hendak melapor pada polisi. Kalau begitu...
Mrs. St Vincent bangkit dan membunyikan lonceng. Seperti biasanya, Quentin
langsung datang. "Anda membunyikan lonceng, Madam?"
"Ya. Silakan masuk dan tolong tutup pintunya."
Kepala pelayan itu menurut, dan untuk sesaat Mrs. St Vincent diam saja sambil
mengamatinya dengan pandangan serius.
Pikirnya, "Dia sudah begitu baik padaku - tak seorang pun tahu sebaik apa. Anakanak takkan mengerti. Kisah Rupert yang gila-gilaan ini mungkin saja omong
kosong belaka - tapi di lain pihak, mungkin saja - ya, mungkin saja - ada benarnya
juga. Mengapa orang harus menghakimi" Orang tidak bisa tahu. Maksudku, kebenaran
maupun ketidakbenarannya... Dan aku akan mempertaruhkan hidupku - ya, akan
kulakukan itu! - bahwa dia orang yang baik."
Dengan wajah memerah dan suara gemetar, Mrs. St Vincent berbicara.
"Quentin, Mr. Rupert baru saja kembali. Dia telah mengunjungi King's Cheviot - ke
sebuah desa kecil di dekat situ..."
Ia terhenti melihat sentakan yang tak mampu disembunyikan Quentin.
"Dia telah melihat... seseorang," lanjutnya dengan tenang.
Dalam hati ia berpikir, "Nah - dia sudah diperingatkan. Bagaimanapun, dia sudah
diperingatkan."

Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah tersentak sesaat, Quentin berhasil memulihkan sikap tenangnya, namun
pandangannya melekat di wajah Mrs. St Vincent, siaga dan tajam, ditambah sesuatu
yang belum pernah dilihat olehnya. Untuk pertama kalinya, sorot mata itu bukan
lagi milik seorang pelayan, tapi seorang laki-laki.
Quentin ragu sesaat, lalu berbicara dengan suara yang juga sudah berubah,
"Mengapa Anda menceritakan hal ini padaku, Mrs. St Vincent?"
Sebelum Mrs. St Vincent sempat menjawab, pintu terbuka lebar dan Rupert
melangkah masuk. Bersamanya ada seorang laki-laki di usia pertengahan dengan
cambang dan sikap Uskup Kepala yang murah hati, Quentin!
"Ini dia," kata Rupert. "Quentin yang asli. Aku menyuruhnya menunggu di taksi.
Nah, Quentin, pandanglah laki-laki ini dan katakan padaku... apakah dia Samuel
Lowe?" Bagi Rupert ini saat penuh kemenangan. Namun hanya untuk sesaat, karena pada
saat hampir bersamaan ia merasa ada yang tidak beres. Sebab sementara Quentin
yang asli tampak tersipu dan sangat salah tingkah, Quentin palsu tersenyumsenyum lebar penuh kenikmatan yang tidak dibuat-buat.
Ia menepuk punggung kembarannya.
"Tidak mengapa, Quentin. Kurasa akhirnya rahasia ini harus dibongkar juga. Kau
bisa mengatakan pada mereka siapa aku."
Orang asing yang bermartabat itu menegakkan diri.
"Ini, Sir," ia mengumumkan dengan nada mencela, "adalah majikanku, Lord
Listerdale." *** Saat berikutnya terjadilah banyak hal. Pertama, keruntuhan Rupert yang penuh
percaya diri. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, dengan mulut masih
ternganga karena kaget, ia mendapati dirinya dituntun dengan lembut menuju
pintu, dan suara ramah yang tidak biasa didengarnya pun berkata,
"Tidak mengapa, Nak. Tak ada yang celaka. Tapi aku ingin bicara dengan ibumu.
Kerjamu bagus sekali, menyelidiki aku seperti ini."
Rupert terpaku di luar, sambil menatap pintu yang tertutup. Quentin yang asli
berdiri di sampingnya, dan serangkaian penjelasan mengalir dari bibirnya. Di
dalam ruangan, Lord Listerdale berhadapan dengan Mrs. St Vincent.
"Biar kujelaskan - kalau bisa! Sepanjang umurku aku seperti setan egois - aku
menyadari fakta ini pada suatu hari. Pikirku, untuk selingan aku ingin mencoba
jadi orang yang sedikit mementingkan orang lain. Dan karena aku ini sangat
bodoh, aku mengawali karierku dengan gemilang. Aku menyumbang ke sana-sini, tapi
aku merasa harus melakukan sesuatu - sesuatu yang bersifat pribadi. Sejak dulu aku
iba pada golongan yang tidak sanggup mengemis, yang menderita dalam diam - orangorang yang malang. Aku memiliki banyak rumah. Timbul gagasanku untuk
menyewakannya pada orang-orang yang... hm, membutuhkan dan menghargai rumahrumah itu. Pasangan-pasangan muda yang baru meniti kehidupan, para janda dengan
putra-putri yang baru belajar melangkah di dunia. Bagiku, Quentin lebih dari
sekadar kepala pelayan, dia sahabatku. Dengan izin dan bantuannya, aku meminjam
kepribadiannya. Sejak dulu aku memang berbakat dalam seni peran. Ide ini muncul
dalam perjalanan pulang dari klub pada suatu malam, dan aku langsung
membicarakannya dengan Quentin. Waktu aku mendengar orang meributkan
menghilangnya diriku, aku mengatur surat yang seakan berasal dariku di Afrika
Timur. Di dalamnya, aku memberikan instruksi penuh pada Maurice Carfax,
sepupuku. Dan... itulah kurang-lebih kisahnya."
Ia memutus pembicaraannya dengan agak tertegun, sambil melirik penuh rasa
tertarik ke arah Mrs. St Vincent. Wanita ini berdiri tegak, dan menatap lurus
lawan bicaranya. "Ini rencana yang baik," ujarnya. "Rencana yang sangat tidak biasa, dan yang
menguntungkan Anda. Saya... sangat berterima kasih. Tapi... tentu saja, Anda
paham bahwa kami tidak bisa tinggal?"
"Aku sudah menduganya," ujar Lord Listerdale. "Harga dirimu tidak mengizinkanmu
menerima sesuatu yang mungkin kauanggap 'derma'."
"Bukankah memang demikian?" tanya Mrs. St Vincent tegar.
"Bukan," jawab Lord Listerdale. "Sebab sebagai gantinya, aku meminta sesuatu."
"Sesuatu?" "Semuanya," serunya lantang, dengan suara orang yang terbiasa menguasai.
"Waktu aku berumur dua puluh tiga," lanjutnya, "aku menikahi gadis yang
kucintai. Dia meninggal setahun kemudian. Sejak itu aku merasa sangat kesepian.
Aku sangat berharap bisa menemukan seorang wanita - wanita impianku..."
"Akukah wanita itu?" tanya Mrs. St Vincent lirih. "Aku sudah begitu tua - begitu
pudar." Lord Listerdale terbahak.
"Tua" Kau lebih muda daripada kedua anakmu. Akulah yang tua, kalau kau mau
menyebutnya demikian."
Kali ini ganti Mrs. St Vincent-lah yang tergelak. Gelak tawa lembut karena geli.
"Kau" Kau masih anak-anak. Anak laki-laki yang gemar menyamar."
Ia mengulurkan kedua tangannya, dan Lord Listerdale menyambutnya dengan
tangannya. PHILOMEL COTTAGE "SAMPAI nanti, Darling."
"Selamat jalan, Sweetheart."
Alix Martin bersandar di pintu pagar yang sudah berkarat, sambil menatap sosok
suaminya yang semakin menjauh ke arah desa.
Tak lama kemudian suaminya menghilang di balik tikungan, tapi Alix masih tetap
berdiri di tempat dengan pandangan kosong, sambil menyibakkan seberkas rambut
cokelat ikal yang diterbangkan angin ke wajahnya.
Alix Martin tidak jelita atau cantik. Namun wajahnya - wajah wanita yang sudah
tidak belia lagi - bersinar dan lembut, hingga para mantan rekan sekerjanya di
kantor nyaris takkan mengenalinya. Dulu Miss Alex King wanita karier yang
ramping, efisien, tegas, jelas-jelas cakap, dan selalu langsung ke sasaran.
Alix terbiasa dengan kehidupan keras. Selama lima belas tahun, sejak usia
delapan belas sampai tiga puluh tiga, ia menghidupi diri (dan selama tujuh tahun
menghidupi ibunya yang sakit-sakitan) dengan bekerja sebagai juru steno.
Perjuangan berat ini telah menorehkan garis-garis keras di wajahnya yang belia.
Memang, pernah terjalin asmara - atau semacamnya - antara dia dengan Dick Windyford,
rekan sesama juru tulis. Sebagai wanita berperasaan peka, diam-diam Alix sudah
lama tahu bahwa Dick menaruh hati padanya. Dilihat dari luar, mereka sekadar
teman biasa, tidak lebih. Dengan gajinya yang kecil, Dick kesulitan menanggung
biaya sekolah adiknya. Saat itu ia tidak bisa berpikir tentang perkawinan.
Kemudian dengan tiba-tiba Alix mendapat durian runtuh. Seorang sepupu jauh
meninggal dan mewariskan uangnya pada Alix - beberapa ribu pound, cukup banyak
untuk mendatangkan beberapa ratus pound setahun. Bagi Alix, ini berarti
kebebasan, hidup, kemandirian. Sekarang ia dan Dick tak perlu menunggu lebih
lama lagi. Namun reaksi Dick ternyata di luar dugaan. Ia belum pernah menyatakan cintanya
secara langsung pada Alix; sekarang ia bahkan cenderung semakin tidak berhasrat
mengutarakannya. Ia menghindari Alix, menjadi murung dan bermuram durja. Alix
segera menyadari masalah sebenarnya. Ia telah menjadi wanita kaya. Perasaan Dick
yang halus dan harga diri yang tinggi menghalangi Dick memperistrinya.
Namun Alix tetap menyukainya, dan menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia saja
yang lebih dulu mengambil langkah; namun lagi-lagi terjadi hal tak terduga.
Alix berjumpa dengan Gerald Martin di rumah seorang teman. Gerald jatuh cinta
setengah mati padanya, dan dalam seminggu mereka telah bertunangan. Alix yang
selama ini menganggap dirinya "bukan jenis yang gampang jatuh cinta", langsung
lupa daratan. Tanpa disadari, keputusannya membuat marah mantan kekasihnya. Dick Windyford
datang menjumpainya dengan sangat berang.
"Laki-laki itu masih asing buatmu! Kau tidak tahu apa-apa tentang dia!"
"Aku tahu aku mencintainya."
"Bagaimana kau bisa tahu - hanya dalam seminggu?"
"Tidak semua orang butuh waktu sebelas tahun untuk menyadari dia mencintai
seorang gadis," teriak Alix marah.
Wajah Dick pucat pasi. "Aku mencintaimu sejak pertama kali mengenalmu. Kusangka kau juga mencintaiku."
Alix berkata sejujurnya. "Aku juga menyangka begitu," ia mengakui. "Tapi itu karena aku tidak tahu arti
cinta." Amarah Dick meledak kembali. Imbauan, permohonan, bahkan ancaman - ancaman
terhadap laki-laki yang telah menggantikan dirinya. Alix terpana melihat gunung
berapi yang tersembunyi di bawah penampilan pendiam pria yang disangkanya sangat
ia kenal itu. Sekarang, di hari Minggu pagi, saat bersandar di pagar pondok, ingatan Alix
kembali pada percakapan itu. Ia sudah menikah sebulan, dan bahagia seperti dalam
syair puisi. Namun saat ini, saat suami yang sangat dicintainya sedang tidak ada
di sampingnya, sekelumit kecemasan menerobos kebahagiaannya yang sempurna.
Penyebabnya Dick Windyford.
Tiga kali sejak menikah, ia mendapat mimpi yang sama. Lingkungannya memang
berbeda, tapi intinya selalu sama. Ia melihat suaminya terbujur tak bernyawa,
dan Dick Windyford berdiri mengawasinya. Alix tahu betul tangan Dick-lah yang
telah melancarkan pukulan fatal itu.
Namun ada yang lebih mengerikan lagi - maksudnya mengerikan saat terbangun, sebab
kalau hanya dalam mimpi, semua itu seakan sangat wajar dan tak terelakkan. Dia,
Alix Martin, senang suaminya sudah mati, ia mengulurkan tangan penuh syukur pada
pembunuhnya, bahkan mengucapkan terima kasih. Mimpi itu selalu berakhir dengan
cara yang sama, ia berada dalam pelukan Dick Windyford.
*** Alix tidak menceritakan mimpi itu pada suaminya, tapi diam-diam ia sangat
terganggu. Apakah ini suatu peringatan - peringatan terhadap Dick Windyford"
Alix tersentak dari lamunannya mendengar dering telepon dari dalam rumah. Ia
masuk dan mengangkat gagangnya. Mendadak ia terhuyung-huyung dan berpegangan
pada dinding. "Siapa ini?" "Alix, ada apa dengan suaramu" Aku hampir tidak mengenalimu. Ini Dick."
"Oh!" ujar Alix. "Oh! Di mana... di mana kau?"
"Di Traveller's Arms - namanya tidak salah, kan" Atau kau bahkan tidak tahu kedai
minum desamu sendiri" Aku sedang berlibur - sedikit memancing ikan di sini. Apa
kau keberatan bila malam ini aku mengunjungi kalian berdua sesudah makan malam?"
"Tidak," sahut Alix tajam. "Kau tidak boleh datang."
Hening sejenak, setelah itu Dick berbicara lagi, nadanya sedikit berubah.
"Maaf," ujarnya formal. "Tentu saja aku tidak akan mengganggu kalian..."
Alix segera menyela. Dick pasti menganggap sikapnya keterlaluan. Memang
keterlaluan. Saraf Alix pasti sudah berantakan tidak keruan.
"Aku cuma bermaksud mengatakan... malam ini... kami punya kesibukan," jelasnya
sambil berusaha agar suaranya terdengar sewajar mungkin. "Bagaimana kalau kau...
kalau kau datang makan malam besok?"
Namun rupanya Dick menyadari tidak ada keramahan sedikit pun dalam nada bicara
Alix. "Banyak terima kasih," ujarnya dengan nada sama formalnya, "tapi aku akan
meneruskan perjalananku setiap saat. Tergantung temanku muncul atau tidak.
Sampai jumpa, Alix." Ia terdiam sesaat, lalu cepat-cepat menambahkan dengan nada
berbeda, "Semoga kau bahagia, Sayang."
Alix meletakkan telepon dengan lega.
"Dia tidak boleh kemari," Alix berkata berulang kali pada diri sendiri. "Dia
tidak boleh kemari. Oh, alangkah bodohnya aku! Membayangkan yang tidak-tidak,
sampai cemas begini. Bagaimanapun, aku senang dia tidak jadi datang."
Ia menyambar topi anyaman dari meja, dan keluar lagi ke kebun, lalu berhenti dan
menengadah melihat nama yang terukir di atas beranda: Philomel Cottage.
"Nama yang keren, bukan?" ia pernah berkata pada Gerald sebelum mereka menikah.
Ketika itu Gerald tertawa.
"Dasar orang London," ujarnya mesra. "Aku tidak percaya kau pernah mendengar
kicau burung bulbul. Aku senang kau belum pernah mengalaminya. Burung bulbul
hanya patut bernyanyi untuk para kekasih. Kita akan menikmati kicaunya bersamasama di malam musim panas, di luar rumah kita sendiri."
Saat teringat bagaimana mereka benar-benar mendengarnya, Alix yang sedang
berdiri di pintu masuk rumahnya tersipu bahagia.
Gerald-lah yang menemukan Philomel Cottage. Ia mendatangi Alix dengan semangat
menggebu. Ia telah menemukan tempat yang tepat bagi mereka - unik, sangat
istimewa, kesempatan sekali seumur hidup. Dan ketika Alix melihat rumah itu, ia
pun terpesona. Memang benar suasananya agak sepi - letaknya tiga kilometer dari
desa terdekat - namun pondok itu begitu elok, dengan tampilan kuno, kamar-kamar
mandi nyaman, sistem air panas, listrik, dan telepon, hingga ia langsung
terpikat. Namun ada satu kendala. Pemiliknya, seorang pria kaya, mulai
bertingkah dan tidak bersedia menyewakannya. Ia hanya mau menjualnya.
Meski punya penghasilan bagus, Gerald Martin tidak mampu menutup harga yang
diminta. Paling banyak ia hanya mampu mengumpulkan seribu pound. Pemiliknya
meminta tiga ribu. Namun Alix, yang sudah menetapkan pilihan pada tempat itu,
menjadi penyelamat. Berhubung warisannya berbentuk surat obligasi, uangnya mudah
dicairkan. Ia akan memberikan separonya guna membeli rumah itu. Demikianlah
Philomel Cottage menjadi milik mereka, dan Alix tidak menyesali pilihannya
sedikit pun. Memang para pelayan tidak menyukai suasana sunyi pedesaannya - saat
ini mereka tidak punya pelayan sama sekali - tetapi Alix, yang begitu mendambakan
kehidupan domestik, benar-benar menikmati kegiatan memasak dan merawat rumah.
Kebunnya, yang sarat dengan berbagai macam bunga, diurus laki-laki tua dari desa
yang datang dua kali seminggu.
Saat berbelok di sudut rumah, Alix heran melihat tukang kebun tua itu sedang
sibuk bekerja di tengah bunga-bunga. Biasanya ia bekerja hari Senin dan Jumat,
padahal ini hari Rabu. "Wah, George, sedang apa kau di sini?" tanya Alix sambil berjalan mendekatinya.
Laki-laki tua itu berdiri sambil terkekeh dan menyentuh topinya yang usang.
"Saya tahu Anda bakal terkejut, Ma'am. Tapi ceritanya begini. Jumat nanti ada
pesta di Squire, dan saya bilang dalam hati, Mr. Martin dan istrinya yang baik
itu tidak bakal keberatan kalau kali ini saya datang hari Rabu, bukannya Jumat."
"Tidak mengapa," ujar Alix. "Kuharap kau menikmati pesta itu."
"Begitulah pendapat saya," kata George. "Sungguh senang bisa makan sepuasnya dan
tidak perlu bayar. Squire selalu menyediakan meja minum teh yang pantas bagi
para penyewanya. Selain itu, Ma'am, saya sekalian ingin bertemu Anda sebelum
Anda berangkat, supaya tahu hendak diapakan tanaman pagarnya. Saya rasa Anda
belum tahu kapan Anda akan kembali, Ma'am?"
"Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana."
George melongo. "Tapi bukankah besok Anda mau ke Lunnon?"
"Tidak. Mengapa kaupikir aku akan pergi?"
George menunjuk dengan gerakan kepalanya.
"Kemarin saya bertemu Mister di desa. Dia bilang Anda berdua akan pergi ke
Lunnon besok, dan belum dipastikan kapan akan kembali."
"Omong kosong," ujar Alix tergelak. "Kau pasti salah paham."
Tapi ia bertanya-tanya, apa gerangan yang dikatakan Gerald hingga membuat lakilaki tua itu salah paham. Pergi ke London" Ia takkan pernah mau ke London lagi.
"Aku benci London," semburnya mendadak.
"Ah!" ujar George tenang. "Saya pasti salah dengar, padahal sepertinya dia
mengatakannya cukup jelas. Saya senang Anda tinggal di sini. Saya tidak setuju
dengan kegemaran mengembara, dan saya juga tidak peduli dengan Lunnon. Saya
tidak pernah perlu pergi ke sana. Terlalu banyak mobil - inilah masalahnya di
zaman sekarang. Sekali orang punya mobil, masih untung kalau mereka bisa
menetap. Mr. Ames, pemilik rumah sebelum ini - dia laki-laki yang tenang, sampai
dia membeli mobil. Tidak sampai sebulan kemudian dia pun menjual pondok ini.
Cukup banyak yang dikeluarkannya untuk memperbaikinya, dengan keran di setiap
kamar tidur, lampu-lampu listrik, dan sebagainya. 'Anda takkan mendapatkan
kembali uang Anda,' kata saya padanya. 'Tapi,' katanya pada saya, 'seluruh
pengeluaranku sudah kembali lewat dua ribu pound yang kudapat dari hasil
penjualan rumah ini.' Dan ternyata memang begitu."
"Dia mendapat tiga ribu," ujar Alix sambil tersenyum.
"Dua ribu," ulang George. "Dia menyebutkan angka yang dimintanya ketika itu."
"Tapi jumlahnya betul tiga ribu," sahut Alix.
"Perempuan tidak pernah memahami angka," ujar George tak percaya. "Maksud Anda,
Mr. Ames berani-beraninya menghadapi Anda dan menyebut angka tiga ribu dengan
lantang?" "Dia bukan mengatakannya padaku," jawab Alix, "dia mengatakannya pada suamiku."
George membungkuk kembali ke atas petak-petak bunganya.
"Harganya dua ribu," ujarnya bersikeras.
*** Alix tidak mau repot-repot berargumentasi dengannya. Ia melangkah menuju petak
bunga lain, lalu mulai memetik bunga.
Sementara berjalan dengan buketnya yang harum menuju rumah, Alix melihat benda
kecil berwarna hijau tua menyembul di antara dedaunan di salah satu petak bunga.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia membungkuk dan memungutnya, lalu mengenali buku harian saku suaminya.
Ia membukanya sambil memeriksa catatan-catatan di dalamnya dengan rasa geli.
Hampir sejak hari pertama hidup perkawinan mereka, ia menyadari bahwa Gerald
yang impulsif dan emosional memiliki sifat baik yang tidak umum, yaitu kerapian
dan metode. Ia sangat rewel soal waktu makan yang selalu harus tepat waktu, dan
selalu merencanakan kegiatannya dengan saksama.
Sambil melihat-lihat catatan dalam buku harian itu, Alix geli melihat tulisan
pada tanggal 14 Mei: "Menikahi Alix St Peter's 14.30."
"Si Konyol," gumam Alix sambil membalik halaman. Tiba-tiba ia terhenti.
"'Rabu, 18 Juni' - lho, itu kan hari ini."
Di halaman itu tertera tulisan tangan Gerald yang rapi: "pk 21.00". Hanya itu.
Apa gerangan yang direncanakan Gerald pada jam 21.00" Alix bertanya-tanya. Ia
tersenyum sendiri saat menyadari seandainya ini sebuah kisah, seperti sering
dibacanya, buku harian ini pasti akan melengkapinya dengan pengungkapan rahasia
yang sensasional. Di dalamnya pasti tercantum nama wanita lain. Ia membalikbalik halaman dengan asal-asalan. Ada berbagai tanggal, perjanjian, referensi
samar soal kesepakatan bisnis, tapi hanya satu nama wanita - namanya sendiri.
Namun saat ia memasukkan buku itu ke sakunya dan membawa bunga-bunga itu ke
dalam rumah, samar-samar ia merasa tidak enak. Kata-kata Dick Windyford
terngiang kembali, seakan Dick berada tepat di sampingnya, sambil mengulang,
"Laki-laki itu masih asing buatmu. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia."
Benar juga. Apa yang diketahuinya tentang Gerald" Lagi pula, umur Gerald sudah
empat puluh. Selama empat puluh tahun ini pasti pernah ada wanita lain dalam
hidupnya... Alix berusaha menyadarkan dirinya dengan tak sabar. Ia tidak boleh termakan oleh
pikiran-pikiran ini. Ada urusan lain yang lebih penting. Haruskah ia
menceritakan pada suaminya bahwa Dick Windyford meneleponnya"
Ada kemungkinan Gerald sudah berjumpa dengan Dick di desa. Bila demikian, ia
pasti akan mengatakannya begitu kembali, dan masalahnya selesai tanpa Alix perlu
campur tangan. Bila tidak... lalu bagaimana" Alix sangat ingin menyimpan sendiri
hal itu. Bila ia menceritakannya pada Gerald, Gerald pasti akan mengusulkan agar Dick
Windyford diundang datang ke Philomel Cottage. Kemudian Alix terpaksa
menjelaskan bahwa Dick sendiri telah meminta diperbolehkan datang, dan bahwa ia
telah mereka-reka dalih untuk mencegahnya. Dan bila Gerald menanyakan alasan ia
berbuat demikian, apa yang harus dikatakannya" Menceritakan mimpi itu padanya"
Gerald pasti hanya tertawa - atau lebih parah lagi, menganggap Alix terlalu
menganggap penting mimpi itu.
Akhirnya, dengan agak malu, Alix memutuskan untuk tidak berkata apa pun. Ini
rahasia pertama yang disembunyikannya dari suaminya, dan ia merasa tidak enak.
*** Waktu mendengar Gerald kembali dari desa menjelang jam makan siang, ia bergegas
ke dapur dan berpura-pura sibuk memasak untuk menyembunyikan kebingungannya.
Langsung terlihat bahwa Gerald tidak berjumpa dengan Dick Windyford. Alix merasa
lega sekaligus malu. Sekarang ia sudah bertekad untuk tidak bercerita apa-apa
pada suaminya. Sesudah makan malam yang sederhana, mereka duduk-duduk di bangku kayu ek di
ruang keluarga; jendela dibiarkan terbuka untuk membiarkan udara malam masuk,
membawa aroma manis bunga-bunga di luar. Saat itu barulah Alix teringat buku
harian suaminya. "Ini barang yang kaupakai untuk menyirami bunga," katanya sambil menjatuhkan
buku harian itu di pangkuan Gerald.
"Terjatuh di petak bunga, ya?"
"Ya. Aku tahu semua rahasiamu sekarang."
"Tidak bersalah," sahut Gerald sambil menggeleng.
"Bagaimana dengan urusanmu jam sembilan malam nanti?"
"Oh, itu..." Sesaat Gerald tampak terperanjat, lalu ia tersenyum, seakan ada
sesuatu yang membuatnya geli. "Aku ada janji dengan gadis yang sangat manis,
Alix. Rambutnya cokelat, matanya biru, dan dia mirip sekali denganmu."
"Aku tidak paham," sahut Alix, pura-pura marah. "Kau menghindar dari pokok
pembicaraan." "Tidak, sungguh. Catatan itu untuk mengingatkanku bahwa malam ini aku akan
mencuci film, dan aku ingin kau membantuku."
Gerald Martin menyukai fotografi. Ia memiliki kamera yang agak kuno, dengan
lensa sangat bagus, dan ia mencuci sendiri filmnya di ruang sempit bawah tanah
yang diubahnya menjadi kamar gelap.
"Dan ini harus dikerjakan tepat jam sembilan," goda Alix.
Gerald tampak agak jengkel.
"Gadis manisku," katanya sedikit tak sabar, "orang perlu merencanakan
kegiatannya dengan saksama. Dengan begitu, dia bisa menyelesaikan tugasnya
dengan benar." Alix terdiam beberapa saat, memerhatikan suaminya yang duduk merokok di kursinya
dengan kepala tengadah, profil wajahnya yang dicukur bersih tampak jelas di
latar belakang yang suram. Dan tiba-tiba saja, entah dari mana, gelombang
kepanikan menyerbunya hingga ia memekik sebelum sempat menahan diri, "Oh,
Gerald, andai aku tahu lebih banyak tentang dirimu!"
Suaminya menoleh terperanjat.
"Tapi, Alix-ku sayang, kau memang tahu semua tentang diriku. Aku sudah
menceritakan masa kecilku di Northumberland, kehidupanku di Afrika Selatan, dan
sepuluh tahun terakhir di Kanada yang membuatku sukses."
"Oh, itu kan tentang bisnis!" sergah Alix mencemooh.
Mendadak Gerald tertawa. "Aku tahu maksudmu - hubungan asmara. Kalian perempuan sama saja. Tak ada yang
menarik bagi kalian selain unsur pribadi."
Alix merasa tenggorokannya kering saat ia bergumam tak jelas, "Hmm, pasti pernah
ada... hubungan asmara. Maksudku... seandainya aku tahu..."
Hening kembali beberapa saat. Gerald Martin mengerutkan kening dengan pandangan
ragu. Saat berbicara suaranya terdengar muram, jauh dari sikap berkelakarnya
tadi. "Apa menurutmu bijaksana, Alix - mengungkit-ungkit masalah ini" Ya, dalam
kehidupanku memang pernah ada beberapa wanita, aku tidak menyangkal. Kau pasti
takkan percaya bila aku menyangkal. Tapi aku berani sumpah, tak seorang pun dari
mereka berarti bagiku."
Nadanya terdengar sungguh-sungguh. Mendengarnya, Alix jadi lebih terhibur.
"Sudah puas, Alix?" tanya Gerald sambil tersenyum. Kemudian ia menatap Alix
dengan rasa ingin tahu. "Apa yang membuatmu memikirkan hal-hal tidak menyenangkan ini, khususnya malam
ini?" Alix bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir gelisah.
"Oh, entahlah," ujarnya. "Seharian ini aku merasa gugup."
"Aneh sekali," sahut Gerald lirih, seakan berbicara pada diri sendiri. "Ini
sungguh aneh." "Apanya yang aneh?"
"Oh, gadis manisku, jangan marah-marah begitu padaku. Aku cuma mengatakan ini
aneh, sebab biasanya kau begitu manis dan tenang."
Alix memaksakan diri tersenyum.
"Hari ini banyak hal membuatku kesal," akunya. "Bahkan si George tua pun punya
ide gila. Dia bilang kita akan pergi ke London. Katanya kau yang mengatakan
padanya." "Di mana kau melihatnya?" tanya Gerald tajam.
"Dia masuk kerja hari ini, bukannya Jumat."
"Orang goblok sialan," umpat Gerald marah.
Alix menatapnya terperanjat. Wajah suaminya penuh amarah. Ia belum pernah
melihat Gerald semarah ini. Melihat keheranan istrinya, Gerald berusaha
mengendalikan diri. "Hmm, dia memang orang tua yang goblok," sanggahnya.
"Kau bilang apa padanya, sehingga dia mengira kita akan pergi?"
"Aku" Aku tidak pernah bilang apa-apa. Setidaknya... oh ya, aku ingat; aku
bercanda mengatakan, 'Akan ke London pagi-pagi,' dan kurasa dia menanggapinya
dengan serius. Atau dia salah dengar. Kau tentu membantahnya, kan?"
Gerald menanti jawaban Alix dengan harap-harap cemas.
"Tentu saja, tapi dia jenis orang kepala batu. Kalau sudah meyakini sesuatu,
sulit diubah pendiriannya."
Kemudian ia menceritakan kegigihan George mengenai jumlah yang diminta untuk
pondok mereka. Gerald terdiam beberapa saat, lalu berkata lambat-lambat,
"Ames bersedia menerima uang tunai sebesar dua ribu, dan sisanya yang seribu
dalam bentuk hipotek. Kurasa dari sinilah asalnya salah paham itu."
"Mungkin sekali," sahut Alix setuju.
Setelah itu ia menoleh ke jam dan menunjuk dengan nakal.
"Kita harus segera bekerja, Gerald. Ini sudah terlambat lima menit."
Senyuman yang sangat aneh mengembang di wajah Gerald Martin.
"Aku berubah rencana," ujarnya tenang, "malam ini aku tidak jadi mengerjakan
fotografi." Pikiran wanita memang mengherankan. Sewaktu pergi tidur pada Rabu malam itu,
pikiran Alix puas dan tenang. Kebahagiaannya yang sempat terganggu telah pulih
kembali, penuh kemenangan seperti dulu.
Namun malam berikutnya ia menyadari ada kekuatan tak kentara sedang bekerja
untuk meruntuhkannya. Dick Windyford tidak menelepon lagi, namun Alix merasa
pengaruhnyalah yang sedang bekerja. Berulang kali kata-kata itu terngiang di
benaknya: "Laki-laki itu masih asing buatmu. Kau tidak tahu apa-apa tentang
dia." Bersamaan dengan itu muncul wajah suaminya, terpateri jelas di anganangannya, saat Gerald berkata, "Apa menurutmu bijaksana, Alix - mengungkit-ungkit
masalah ini?" Mengapa Gerald berkata begitu"
Di dalamnya terbersit peringatan - semacam ancaman. Seakan ia mengatakan,
"Sebaiknya kau jangan mencampuri urusanku, Alix. Kau akan mendapat kejutan tak
menyenangkan nanti."
Hari Jumat pagi, Alix meyakinkan diri bahwa pernah ada wanita dalam kehidupan
Gerald - rahasia yang mati-matian disembunyikan Gerald darinya. Kecemburuannya
yang tadinya tidak mudah tersulut, sekarang semakin menjadi-jadi.
Apakah yang hendak dijumpai Gerald pada pukul 9 malam itu seorang wanita" Apakah
alasannya tentang mencuci film itu sekadar dusta yang direka mendadak"
Tiga hari yang lalu Alix berani bersumpah ia mengenal suaminya luar-dalam.
Sekarang Gerald seakan orang asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Ia
teringat ledakan amarah suaminya terhadap George, begitu berbeda dengan
perilakunya yang biasanya ramah. Mungkin ini hal kecil, tapi menunjukkan padanya
bahwa ia tidak begitu mengenal laki-laki yang sekarang menjadi suaminya itu.
Hari Jumat itu ada beberapa hal kecil yang perlu dibeli di desa. Sorenya Alix
menawarkan diri berbelanja, sementara Gerald tetap di kebun; tapi ia terkejut
ketika suaminya menentang keras rencana ini, dan bersikeras melakukannya sendiri
sementara Alix tetap tinggal di rumah. Alix terpaksa mengalah, tapi sikap keras
suaminya mengejutkan sekaligus membuatnya takut. Mengapa Gerald begitu
bersikukuh mencegahnya pergi ke desa"
Tiba-tiba muncul penjelasan yang menjawab semua pertanyaan Alix. Mungkinkah
Gerald telah berjumpa dengan Dick Windyford dan tidak bercerita apa-apa padanya"
Alix tidak pernah merasa cemburu ketika menikah dengan Gerald; rasa cemburunya
baru muncul kemudian. Mungkinkah hal yang sama terjadi pada Gerald" Apakah tak
mungkin ia bermaksud mencegah istrinya bertemu Dick Windyford lagi" Penjelasan
ini begitu cocok dengan fakta, dan begitu menenteramkan pikiran Alix yang
gelisah, hingga ia menerimanya dengan senang hati.
Namun ketika jam minum teh tiba dan berlalu, Alix kembali gelisah dan cemas. Ia
bergumul melawan godaan yang terus menyerangnya sejak Gerald meninggalkan rumah.
Akhirnya ia naik ke kamar ganti suaminya di lantai atas, sambil menenteramkan
nuraninya dengan keyakinan bahwa ruangan itu memang perlu dibereskan. Ia membawa
kemoceng untuk melanjutkan perannya sebagai ibu rumah tangga.
"Seandainya aku yakin," ulangnya pada diri sendiri. "Seandainya aku bisa yakin."
Sia-sia ia mengatakan pada dirinya bahwa apa pun yang bisa menimbulkan
kecurigaan pasti sudah dimusnahkan berabad-abad lalu. Namun ia membantah, sebab
adakalanya kaum pria menyimpan bukti yang paling menjatuhkan gara-gara
sentimentalitas berlebihan.
Akhirnya Alix menyerah. Dengan napas tersengal dan pipi terbakar rasa malu
karena tindakannya, ia memeriksa tumpukan surat dan dokumen, mengaduk-aduk isi
laci-laci, bahkan memeriksa saku pakaian suaminya. Hanya dua laci yang tidak
dibukanya; laci paling bawah lemari dan laci kanan meja tulis sama-sama
terkunci. Sementara itu rasa malu Alix sudah lenyap. Ia yakin dalam salah satu
laci itu ia akan menemukan bukti tentang wanita dari masa lalu yang mengobsesi
dirinya. Ia teringat Gerald telah ceroboh meninggalkan rencengan kuncinya di atas buffet
lantai bawah. Ia mengambilnya, lalu mencobanya satu per satu. Kunci ketiga cocok
dengan laci meja tulis. Dengan bernafsu Alix menariknya. Di dalamnya tersimpan
buku cek dan dompet yang sarat uang kertas, dan di bagian belakang laci setumpuk
surat yang diikat pita. Dengan terengah-engah Alix membuka simpul pita itu. Kemudian wajahnya memerah,
dan ia pun memasukkan tumpukan surat itu ke dalam laci, menutup, lalu
menguncinya kembali. Sebab surat-surat itu ternyata berasal dari dirinya
sendiri, ditujukan pada Gerald Martin sebelum mereka menikah.
Sekarang Alix beranjak ke lemari laci, lebih karena ia ingin bekerja tuntas,
bukan karena ingin menemukan apa yang dicarinya.
Ia kesal ketika mendapati tak satu pun kunci itu cocok dengan laci tersebut.
Tanpa putus asa, Alix memasuki kamar-kamar lain dan membawa sejumlah kunci lain.
Ia puas ketika kunci lemari pakaian kamar cadangan ternyata cocok dengan laci
lemari tadi. Ia memutar kuncinya dan menarik laci itu. Namun di dalamnya cuma
ada segulung guntingan koran yang sudah kotor dan menguning karena tua.
Alix menghela napas lega. Tapi ia melihat sekilas guntingan-guntingan itu, ingin
tahu subjek apa yang begitu menarik perhatian Gerald, sampai rela bersusah payah
menyimpan gulungan berdebu itu. Hampir semuanya berasal dari surat kabar
Amerika, bertanggal sekitar tujuh tahun lalu, dan memuat berita tentang perkara
pengadilan menyangkut Charles Lemaitre, penipu ulung dan bigamis terkenal.
Lemaitre dicurigai melenyapkan korban-korban wanitanya. Di bawah lantai salah
satu rumah yang pernah disewanya, telah ditemukan kerangka manusia, dan sebagian
besar wanita yang "dinikahi"-nya tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi.
Ia membela diri dari semua tuduhan dengan keahlian sempurna, dibantu beberapa
ahli hukum paling piawai di seluruh Amerika Serikat. Putusan "Tidak Terbukti"
yang dikeluarkan pengadilan Skotlandia mungkin merupakan pernyataan terbaik dari
kasusnya. Karena tiadanya bukti, ia diputuskan Tidak Bersalah menyangkut tuduhan
utama, meskipun ia dijatuhi hukuman penjara cukup lama atas tuduhan-. tuduhan
lain yang dikenakan padanya.
Alix masih ingat kegemparan yang ditimbulkan kasus itu, juga karena kaburnya
Lemaitre tiga tahun kemudian. Ia tidak pernah berhasil ditangkap kembali. Ketika
itu kepribadian laki-laki itu dan daya pikatnya yang luar biasa terhadap kaum
wanita telah dibahas panjang-lebar di koran-koran Inggris, termasuk sikap mudah
marahnya di pengadilan, pernyataan-pernyataannya yang penuh semangat, dan
beberapa kejadian ketika ia jatuh pingsan mendadak karena jantungnya lemah,
meski beberapa orang menganggap itu sekadar aksi dramatisnya saja.
Di salah satu guntingan yang dipegang Alix ada foto laki-laki itu, dan Alix
memerhatikannya dengan saksama - pria berjanggut panjang yang tampak intelek.
Wajah itu mengingatkannya pada seseorang, tapi siapa" Mendadak, dengan terkejut
ia menyadari bahwa pria itu Gerald. Mata maupun alisnya sangat mirip. Mungkin
Gerald menyimpan guntingan itu karena suatu alasan. Mata Alix menelusuri
keterangan di samping gambar itu. Rupa-rupanya ada tanggal-tanggal tertentu yang
telah dicatat dalam buku harian saku si tertuduh, dan ada pendapat yang
mengatakan inilah tanggal-tanggal ia melenyapkan para korbannya. Kemudian
seorang wanita memberikan bukti dan mengenali narapidana itu dengan pasti
melalui fakta bahwa laki-laki itu mempunyai tahi lalat di pergelangan tangan
kirinya, tepat di bawah telapak tangan.
Alix langsung menjatuhkan kertas-kertas itu dan berdiri terhuyung. Di
pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangan, suaminya punya bekas
luka kecil... *** Ruangan itu seakan berputar-putar. Setelah itu ia merasa aneh karena menarik
kesimpulan dengan begitu pasti. Gerald Martin adalah Charles Lemaitre! Ia tahu
itu, dan ia menerimanya dalam sekejap.
Kepingan-kepingan yang berserak berputar-putar di benaknya bagaikan kepingankepingan teka-teki yang sedang membentuk gambar.
Uang yang dibayarkan untuk membeli rumah ini - uangnya sepenuhnya; ia telah
memercayakan lembar-lembar obligasi itu untuk disimpan Gerald. Bahkan mimpinya
pun jadi terasa sangat penting. Jauh di lubuk hatinya, pikiran bawah sadarnya
sejak dulu merasa takut pada Gerald Martin dan ingin melarikan diri darinya. Dan
kepada Dick Windyford-lah pikiran bawah sadarnya mencari pertolongan. Hal ini
jugalah yang membuatnya menangkap kebenaran begitu mudah, tanpa ragu sedikit


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun. Ia akan menjadi korban Lemaitre yang berikut. Mungkin sebentar lagi...
Ia terpekik saat teringat sesuatu. Rabu, pukul 21.00. Ruang bawah tanah, dengan
batu-batu ubin yang mudah diangkat! Gerald pernah mengubur salah seorang
korbannya di ruang bawah tanah. Semua ini sudah direncanakan pada hari Rabu
malam. Tetapi mencatatnya terlebih dulu dengan cara metodis seperti itu - benarbenar gila! Tidak, ini justru logis. Gerald selalu membuat catatan tentang
urusan-urusannya; baginya pembunuhan adalah rencana bisnis yang tak beda dengan
kegiatan lainnya. Namun apa gerangan yang telah menyelamatkan Alix" Apakah Gerald jatuh kasihan
pada saat terakhir" Tidak. Jawaban itu berkelebat di benaknya - si George tua.
Sekarang Alix memahami ledakan amarah suaminya yang tak terkendali itu. Tak
pelak lagi ia telah mempersiapkan diri dengan menyebarkan berita pada setiap
orang yang dijumpainya bahwa mereka berdua akan pergi ke London keesokan
harinya. Kemudian tanpa diduga-duga George masuk kerja, menyebut-nyebut London
padanya, dan Alix membantahnya. Jadi, terlampau riskan mengenyahkan Alix malam
itu, gara-gara George mengulang pembicaraan itu. Nyaris saja! Seandainya ia
kebetulan tidak menyebut-nyebut kejadian sepele itu - Alix bergidik.
Lalu ia tertegun seakan membeku jadi batu. Ia mendengar derit pintu pagar.
Suaminya sudah kembali. Sesaat Alix seakan mati ketakutan, kemudian ia berjingkat ke arah jendela,
mengintip dari balik tirai.
Benar, itu suaminya. Gerald sedang tersenyum-senyum sendiri sambil bersenandung.
Di tangannya ada benda yang nyaris membuat jantung Alix berhenti. Benda itu
sekop yang masih baru. Alix tiba-tiba menarik kesimpulan yang lahir dari naluri. Rencana itu akan
dilaksanakan malam ini...
Namun masih ada satu kesempatan. Gerald yang masih asyik bersenandung, berjalan
ke belakang rumah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alix berlari menuruni tangga, keluar dari
pondok. Tapi tepat ketika ia keluar dari pintu, suaminya muncul dari samping
rumah. "Halo," sapanya, "mau ke mana kau, bergegas seperti itu?"
Alix berusaha mati-matian agar tampak tenang seperti biasa. Untuk saat itu
kesempatannya telah hilang, tapi bila ia berhati-hati agar tidak membangkitkan
rasa curiga suaminya, kesempatan itu akan datang lagi. Bahkan sekarang, siapa
tahu... "Aku baru saja mau jalan-jalan ke ujung sana, lalu kembali," katanya dengan
suara yang di telinganya sendiri terdengar lemah dan ragu.
"Begitu," sahut Gerald. "Aku akan menemanimu."
"Tidak - tolong, Gerald. Aku... sedang gugup, pusing - aku lebih suka berjalan
sendiri." Gerald menatapnya penuh perhatian. Alix merasa sekilas kecurigaan berkelebat di
mata Gerald. "Ada apa denganmu, Alix" Kau pucat sekali - dan gemetar."
"Tidak apa-apa." Alix memaksa diri bersikap tegar - sambil tersenyum. "Kepalaku
sakit, itu saja. Berjalan-jalan sebentar baik untukku."
"Nah, tak ada gunanya kau mengatakan tidak mau kutemani," ujar Gerald sambil
tertawa santai. "Aku tetap akan ikut, entah kau mau atau tidak."
Alix tidak berani menolak lagi. Kalau sampai Gerald curiga bahwa ia tahu...
Dengan usaha keras ia berhasil bersikap agak lebih wajar. Namun ia merasa tidak
enak juga karena sebentar-sebentar Gerald melirik ke arahnya, seakan tidak
begitu puas. Alix merasa kecurigaan Gerald belum sepenuhnya lenyap.
Waktu mereka tiba kembali di rumah, Gerald bersikeras agar Alix berbaring, lalu
membawakan kolonye untuk membasahi pelipisnya. Seperti biasa, ia bersikap
bagaikan suami yang penuh pengabdian. Alix merasa tak berdaya, seakan terkurung
dalam jebakan, dengan kaki dan tangan terikat.
Gerald tidak mau meninggalkannya sekejap pun. Ia ikut bersama Alix ke dapur dan
membantu membawakan lauk-pauk dingin yang sudah disiapkannya terlebih dulu.
Makan malam itu seakan mencekik Alix, namun ia memaksa diri untuk makan,
bersikap ceria, dan wajar. Ia tahu sekarang bahwa ia sedang berjuang untuk
hidupnya. Ia seorang diri bersama laki-laki ini, jauh dari bala bantuan, dan
sepenuhnya dalam kekuasaan Gerald. Satu-satunya peluang adalah meredakan rasa
curiga Gerald agar ia mau meninggalkan istrinya beberapa saat - agar Alix sempat
memakai telepon di ruang depan dan mendatangkan bantuan. Sekarang ini satusatunya harapan. Secercah harapan terbersit saat ia teringat sebelum ini Gerald telah
mengurungkan niatnya. Bagaimana kalau ia menyampaikan bahwa malam ini Dick
Windyford akan datang berkunjung"
Bibirnya bergetar - kemudian ia cepat-cepat membatalkannya. Orang ini tidak
mungkin terhambat untuk kedua kali. Di bawah sikapnya yang tenang tersembunyi
tekad dan kegembiraan yang membuat Alix muak. Kalau ia mengatakan Dick akan
datang, ia hanya akan mempercepat kejahatan itu. Gerald akan langsung
membunuhnya di tempat, dan dengan tenang menelepon Dick Windyford dengan dalih
bahwa mendadak Alix harus pergi. Oh! Seandainya Dick Windyford datang malam ini!
Kalau saja Dick... Mendadak sebuah ide berkelebat di benak Alix. Ia melirik tajam ke arah suaminya,
seolah takut pikirannya terbaca. Dengan terbentuknya rencana itu, keberaniannya
timbul kembali. Sikapnya berubah sangat wajar, hingga ia sendiri terkagum-kagum.
Ia menyeduh kopi, lalu membawanya ke beranda tempat mereka sering duduk-duduk di
malam-malam cerah. "Omong-omong," kata Gerald tiba-tiba, "kita akan mengerjakan foto-foto itu nanti
malam." Alix menggigil, tapi ia menjawab santai, "Apa kau tidak bisa melakukannya
sendiri" Malam ini aku agak letih."
"Takkan lama." Ia lalu tersenyum sendiri. "Dan aku janji setelah itu kau tidak
akan letih lagi." Kata-kata itu seakan menyenangkan hatinya. Alix bergidik. Hanya sekaranglah
kesempatannya menjalankan rencananya.
Ia bangkit berdiri. "Aku mau menelepon tukang daging," ujarnya santai. "Kau tidak perlu
mengikutiku." "Tukang daging" Selarut ini?"
"Tokonya tentu saja sudah tutup, Sayang. Tapi dia ada di rumah. Besok hari
Sabtu, dan aku mau dia membawakan daging anak lembu pagi-pagi, sebelum orang
lain sempat menyambarnya. Si tua yang baik itu mau melakukan apa saja untukku."
Alix bergegas masuk rumah, lalu menutup pintu. Ia mendengar Gerald berkata,
"Jangan tutup pintunya," dan ia segera menjawab, "Biar ngengatnya tidak masuk.
Aku benci ngengat. Apa kau takut aku akan mesra-mesraan dengan tukang daging?"
Begitu berada di dalam, ia mengangkat gagang telepon dan memberikan nomor
telepon kedai minum Traveller's Arms. Ia langsung mendapat sambungan.
"Mr. Windyford" Apa dia masih di situ" Bisa bicara dengannya?"
Kemudian jantungnya tersentak. Pintu dibuka dan suaminya masuk ke ruang depan.
"Pergi sana, Gerald," ujarnya marah. "Aku benci ada yang menguping saat aku
menelepon." Gerald cuma tertawa dan menjatuhkan diri di kursi.
"Apa benar kau sedang menelepon tukang daging?" ia menebak.
Alix putus asa. Rencananya gagal. Sebentar lagi Dick Windyford akan datang ke
pesawat telepon. Haruskah ia mengambil risiko dan berteriak minta tolong"
Dengan gugup Alix menekan dan melepaskan tombol kecil di gagang telepon yang
sedang dipegangnya. Tombol itu bisa membuat suara si pembicara terdengar atau
tidak di ujung satunya; mendadak muncul rencana lain di kepalanya.
"Ini takkan mudah," pikir Alix. "Ini berarti aku harus tetap tenang, memilih
kata-kata yang tepat, dan tidak bimbang sedetik pun. Tapi aku percaya mampu
melakukannya. Aku harus melakukannya."
Saat itulah ia mendengar suara Dick Windyford di ujung seberang.
Alix menarik napas dalam-dalam. Ia lalu menekan tombol kuat-kuat dan berbicara.
"Ini Mrs. Martin - dari Philomel Cottage. Tolong datang ke sini (ia melepaskan
tombol) besok pagi membawa enam iris daging anak lembu (ia menekan tombol lagi).
Ini sangat penting (ia melepaskan tombol). Banyak terima kasih, Mr. Hexworthy,
maaf saya menelepon malam-malam begini. Tapi daging anak lembu itu benar-benar
menyangkut (ia menekan tombol lagi) hidup atau mati (ia melepaskan tombol).
Baiklah - besok pagi (ia menekan tombol) secepat mungkin."
Alix menaruh gagang telepon dan berpaling ke suaminya dengan napas memburu.
"Jadi, begitukah caramu berbicara dengan tukang daging?" tanya Gerald.
"Itu namanya sentuhan feminin," sahut Alix enteng.
Hatinya meluap-luap. Gerald tidak curiga sedikit pun. Dick, kalaupun tidak
mengerti, pasti akan datang.
Alix melangkah ke ruang duduk dan menyalakan lampu. Gerald mengikutinya.
"Sepertinya kau sekarang sudah bersemangat," ia berkomentar sambil memerhatikan
Alix penuh rasa ingin tahu.
"Ya," ujar Alix. "Sakit kepalaku sudah hilang."
Ia duduk di kursi yang biasa digunakannya, dan tersenyum pada suaminya yang juga
duduk di kursinya sendiri di depannya. Alix selamat. Ini baru pukul delapan
lebih dua puluh lima menit. Jauh sebelum jam sembilan, Dick pasti sudah tiba.
"Aku tidak begitu suka kopi yang kauberikan tadi," keluh Gerald. "Rasanya pahit
sekali." "Aku mencoba kopi jenis baru. Lain kali tidak akan kugunakan lagi kalau kau
tidak menyukainya, Sayang."
Alix mengambil jahitannya dan mulai menjahit. Gerald membaca beberapa halaman
bukunya. Kemudian ia memandang jam dan melemparkan bukunya.
"Setengah sembilan. Sudah waktunya ke ruang bawah tanah dan mulai bekerja."
Jahitan Alix terjatuh dari tangannya.
"Oh, belum waktunya. Kita tunggu saja sampai jam sembilan."
"Tidak, gadis manisku - setengah sembilan. Itu waktu yang kutentukan. Supaya kau
bisa semakin cepat tidur."
"Tapi aku lebih suka menunggu sampai jam sembilan."
"Kau sudah tahu, sekali aku menetapkan waktu, aku akan berpegang padanya. Ayo,
Alix, aku takkan menunggu lebih lama semenit pun."
Alix menengadah, mau tak mau merasakan gelombang teror melingkupinya. Topeng
sudah tersingkap. Tangan Gerald sudah gatal, matanya berpendar penuh gairah, dan
ia terus-menerus menjilat bibirnya yang kering. Ia tidak terpikir untuk
menyembunyikan gairahnya.
Alix berpikir, "Benar - dia tidak bisa menunggu - dia gila."
Gerald melangkah ke arahnya, dan sambil mencengkeram bahunya, ia menarik Alix
supaya berdiri. "Cepatlah, gadis manis - atau aku akan menggotongmu ke sana."
Suaranya terdengar ceria, tapi di balik itu terasa keganasan yang mengerikan.
Dengan sekuat tenaga Alix melepaskan diri dan meringkuk di dinding. Ia tak
berdaya. Ia tidak bisa melarikan diri - ia tidak mampu berbuat apa pun - dan Gerald
sedang menghampirinya. "Ayolah, Alix..."
"Tidak - tidak."
Alix menjerit sambil menjulurkan kedua lengannya tanpa daya untuk melindungi
diri. "Gerald - berhenti - ada yang ingin kusampaikan padamu, suatu pengakuan..."
Gerald berhenti melangkah.
"Pengakuan?" ia bertanya ingin tahu.
"Ya, pengakuan." Alix menggunakan kata-kata itu sekenanya, tapi ia melanjutkan
dengan putus asa untuk menangkap perhatian Gerald.
"Mantan kekasih, kurasa," ejek Gerald.
"Bukan," sahut Alix. "Ada hal lain. Kurasa kau akan menyebutnya... ya, kau akan
menyebutnya kejahatan."
Alix langsung melihat bahwa kata-katanya tepat mengenai sasaran. Gerald seketika
memerhatikannya. Melihat ini, semangatnya bangkit kembali. Ia kembali menguasai
keadaan. "Sebaiknya kau duduk lagi," ujarnya tenang.
Alix melintasi ruangan dan duduk di kursinya kembali. Ia bahkan membungkuk dan
memungut jahitannya. Namun di balik sikap tenangnya itu ia berpikir keras, sebab
kisah yang sedang direkanya ini harus mampu menarik perhatian Gerald sampai
bantuan tiba. "Sudah kukatakan padamu," ujarnya perlahan, "bahwa aku dulu bekerja sebagai juru
steno selama lima belas tahun. Sebenarnya tidak sepenuhnya begitu. Ada dua
selingan di antaranya. Yang pertama terjadi ketika umurku dua puluh dua. Aku
bertemu pria tua yang cukup kaya. Dia jatuh cinta padaku dan memintaku menikah
dengannya. Aku menerima lamarannya, dan kami pun menikah." Alix berhenti
sejenak. "Aku membujuknya untuk mengasuransikan diri demi aku."
Alix melihat wajah suaminya tiba-tiba penuh minat, dan ia melanjutkan dengan
semangat baru. "Di zaman perang, aku pernah bekerja di apotek rumah sakit. Di sana aku
menangani segala macam obat-obatan dan racun."
Ia berhenti sambil termenung. Sekarang Gerald benar-benar terpikat, tak
diragukan lagi. Pembunuh tentunya tertarik dengan pembunuhan. Alix berspekulasi
dengan hal ini, dan berhasil. Ia melirik ke arah jam. Pukul setengah sembilan
lebih lima menit. "Ada satu macam racun - berupa serbuk putih. Digunakan sejumput saja bisa
menyebabkan kematian. Kau barangkali paham soal racun?"
Ia mengajukan pertanyaan itu dengan waswas. Kalau Gerald paham, ia harus
berhati-hati. "Tidak," sahut Gerald, "aku tidak tahu banyak mengenai racun."
Alix menarik napas lega. "Kau tentunya pernah mendengar tentang hyoscine" Ini obat yang bereaksi sama,
tapi sama sekali tak terdeteksi. Dokter mana pun akan menulis gagal jantung di
surat kematian. Aku mencuri sedikit obat itu dan menyimpannya."
Alix berhenti, menyusun kekuatan.
"Teruskan," kata Gerald.
"Tidak. Aku takut. Aku tidak bisa mengatakannya. Lain kali saja."
"Sekarang!" bentak Gerald tak sabar. "Aku ingin mendengar."
"Kami sudah menikah sebulan, dan aku bersikap baik sekali terhadap suamiku yang
sudah tua itu, sangat ramah dan penuh pengabdian. Di depan semua tetangga dia
memuji-mujiku setinggi langit. Semua orang tahu betapa baiknya aku sebagai
istri. Tiap malam aku sendiri membuatkan kopi untuknya. Suatu malam, saat kami
hanya berdua, aku memasukkan sejumput serbuk alkaloid mematikan itu ke dalam
cangkirnya..." Alix berhenti, dan menyelipkan benang dengan cermat ke lubang jarumnya. Dia,
yang seumur hidup belum pernah berakting, saat itu menandingi aktris paling
hebat sedunia. Ia benar-benar menghayati peran sang pembunuh berdarah dingin.
"Suasananya sangat tenteram. Aku duduk memerhatikannya. Suatu saat dia terengah
sedikit dan minta udara segar. Aku membuka jendela. Kemudian dia berkata bahwa
dia tak mampu bergerak dari kursinya. Sebentar kemudian dia mati."
Alix berhenti, lalu tersenyum. Jam menunjukkan pukul sembilan kurang seperempat.
Sebentar lagi bantuan pasti tiba.
"Berapa banyak uang asuransi itu?" ujar Gerald.
"Sekitar dua ribu pound. Aku berjudi dengan uang itu dan kalah. Aku lalu kembali
bekerja di kantor. Tapi aku tidak pernah berniat berlama-lama di situ. Kemudian
aku berjumpa laki-laki lain. Di kantor, aku tetap menggunakan nama gadisku. Dia
tidak tahu aku pernah menikah. Usianya lebih muda, lumayan tampan dan kaya. Kami
menikah diam-diam di Sussex. Dia tidak mau mengasuransikan hidupnya, tapi sudah
tentu dia membuat surat wasiat yang menguntungkanku. Sama seperti suami
pertamaku, dia ingin akulah yang membuatkan kopinya."
Alix tersenyum menerawang, dan menambahkan dengan sederhana, "Aku memang ahli
menyeduh kopi." Kemudian ia melanjutkan, "Aku punya beberapa teman di desa tempat kami tinggal. Mereka sangat iba padaku
ketika suamiku tiba-tiba meninggal karena gagal jantung sesudah makan malam. Aku
tidak begitu suka dengan dokternya. Rasanya dia tidak mencurigaiku, tapi yang
jelas, dia sangat terkejut dengan kematian mendadak suamiku. Entah mengapa aku
lalu kembali bekerja di kantor. Sudah kebiasaan, kurasa. Suami keduaku
meninggalkan sekitar empat ribu pound. Kali ini aku tidak menggunakannya untuk
berjudi; aku menginvestasikannya. Kemudian, kaulihat..."
Tetapi kalimatnya dipotong. Dengan wajah merah padam, setengah tercekik, Gerald
Martin menudingnya dengan jari gemetar.
"Kopi itu - ya Tuhan! Kopinya!"
Alix menatapnya. "Sekarang aku mengerti mengapa rasanya pahit. Dasar iblis! Kau menjalankan
siasatmu lagi." Kedua tangannya mencengkeram sandaran lengan kursinya. Ia sudah siap menerkam
Alix. "Kau telah meracuniku."
Alix menjauh darinya sampai ke perapian. Dengan ketakutan ia membuka mulut untuk
menyangkal - lalu terhenti. Sesaat lagi Gerald akan menerkamnya. Alix mengumpulkan


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh kekuatannya. Ia menatap lurus-lurus ke mata suaminya.
"Ya," ujarnya. "Aku telah meracunimu. Racunnya sedang bekerja. Saat ini kau
tidak bisa bergerak dari kursimu - kau tidak bisa bergerak..."
Kalau saja ia mampu menahan laki-laki itu di situ - beberapa menit saja...
Ah! Bunyi apa itu" Langkah-langkah kaki di jalan. Derit pintu pagar. Kemudian
langkah-langkah kaki di jalan setapak di luar. Pintu depan terbuka.
"Kau tidak bisa bergerak," katanya lagi.
Kemudian ia melintas di depan suaminya, berlari pontang-panting ke luar ruangan,
dan jatuh pingsan dalam pelukan Dick Windyford.
"Ya Tuhan! Alix!" seru Dick.
Kemudian ia berpaling ke arah pria yang datang bersamanya, sosok tegap yang
mengenakan seragam polisi.
"Tolong lihat apa yang terjadi di ruangan itu."
Ia merebahkan Alix dengan hati-hati di sofa, lalu membungkuk di atasnya.
"Gadis kecilku," gumamnya. "Gadis kecilku yang malang. Apa yang telah mereka
lakukan terhadapmu?"
Kelopak mata Alix bergerak-gerak, dan bibirnya hanya membisikkan nama Dick.
Dick dikejutkan polisi yang menggamit lengannya.
"Di dalam tidak ada siapa pun, Sir, kecuali seorang laki-laki yang sedang duduk
di kursi. Tampaknya dia sangat ketakutan, dan..."
"Ya?" "Hmm, Sir, dia sudah... mati."
Mereka berdua terkejut mendengar suara Alix. Ia seolah bicara dalam mimpi,
dengan mata masih terpejam.
"Dan sebentar kemudian" katanya, seakan mengutip dari bacaan, "dia mati...."
GADIS DI KERETA API "HABIS perkara!" ujar George Rowland sedih, sambil mengamati bagian depan
bangunan mengagumkan namun kotor yang baru saja ditinggalkannya.
Tempat ini boleh dikata cocok sekali untuk mewakili kuasa Uang - Uang dalam bentuk
William Rowland, paman George yang disebut-sebut tadi, baru saja menyampaikan
pesannya dengan sangat terbuka. Dalam waktu sepuluh menit, posisi George sebagai
kesayangan sang paman, ahli waris kekayaannya, dan orang muda dengan karier
menjanjikan, mendadak berubah menjadi salah satu pengangguran.
"Dalam pakaian ini mereka bahkan takkan memberiku sedekah," ujar Mr. Rowland
muram. "Kalau mencari uang dengan menulis sajak dan menjualnya dari rumah ke
rumah seharga dua pence (atau 'berapa saja yang mau Anda bayar, Nyonya'), aku
sama sekali tidak berbakat."
Memang benar, George merupakan bukti kepiawaian penjahit yang membuat
setelannya. Penampilannya sangat perlente dan mengesankan. Bahkan Raja Salomo
dan bunga-bunga bakung di padang takkan mampu menandingi George. Namun manusia
tidak bisa hidup dari pakaian saja - kecuali ia sudah cukup terlatih dalam seni
tersebut - dan Mr. Rowland sangat menyadari hal itu.
"Dan semua ini gara-gara pertunjukan brengsek semalam," keluhnya sedih.
Pertunjukan brengsek semalam adalah Pesta Covent Garden. Mr. Rowland pulang agak
malam - atau lebih tepat agak pagi - alias subuh - yang jelas, ia tidak begitu ingat
apakah ia pulang atau tidak. Rogers, kepala pelayan pamannya, senang membantu
dan pasti mampu memberikan keterangan lebih rinci tentang hal itu. Kepala yang
mau pecah, secangkir teh kental, masuk kantor jam dua belas kurang lima menit
dan bukannya setengah sepuluh, telah memicu bencana itu. Mr. Rowland senior,
yang selama dua puluh empat tahun telah memaafkan dan membiayai kerabatnya
sebagaimana seharusnya dilakukan sanak keluarga yang bijaksana, tiba-tiba saja
membuang semua taktik itu dan menampilkan dirinya yang baru. Jawaban-jawaban
ngawur George (kepala anak muda ini masih terbuka dan tertutup bagaikan
instrumen abad pertengahan Pengadilan Agama) membuatnya semakin kesal. William
Rowland benar-benar tidak tanggung-tanggung. Ia mengusir keluar keponakannya
dengan beberapa kata ringkas, lalu melanjutkan penelitiannya yang sempat
terganggu tentang beberapa ladang minyak di Peru.
George Rowland keluar dengan marah dari kantor pamannya, lalu melangkah ke pusat
kota London. George orang yang praktis. Pikirnya, makan siang lezat sangat
penting untuk meninjau kembali situasi. Maka ia makan. Kemudian ia melangkah
kembali ke puri keluarga itu. Rogers membukakan pintu. Wajahnya yang terlatih
tidak menampakkan rasa heran saat melihat George muncul di saat yang tidak biasa
ini. "Selamat sore, Rogers. Tolong siapkan barang-barangku. Aku mau pergi."
"Baik, Sir. Untuk kunjungan singkat, Sir?"
"Untuk selamanya, Rogers. Sore ini aku mau berangkat menuju koloni."
"Sungguh, Sir?"
"Ya. Itu kalau ada kapal yang cocok. Apa kau tahu tentang kapalnya, Rogers?"
"Koloni mana yang akan Anda kunjungi, Sir?"
"Aku tidak terlalu pilih-pilih. Yang mana saja bolehlah. Misalnya saja
Australia. Bagaimana menurutmu, Rogers?"
Rogers berdeham hati-hati.
"Begini, Sir, saya pernah mendengar di sana pasti ada lowongan bagi siapa saja
yang benar-benar ingin bekerja."
Mr. Rowland menatapnya dengan penuh perhatian dan rasa kagum.
"Kau menyampaikannya dengan tepat, Rogers. Memang itulah yang sedang kupikirkan.
Aku tidak akan ke Australia - setidaknya bukan hari ini. Tolong ambilkan aku buku
A.B.C. Kita akan memilih tujuan yang lebih dekat."
Rogers membawakan buku yang diminta. George membukanya asal-asalan dan membalikbalik halamannya dengan cepat.
"Perth... terlalu jauh. Putney Bridge... terlalu dekat. Ramsgate" Kurasa tidak.
Reigate juga sama saja. Wah - luar biasa sekali! Ada tempat bernama Rowland's
Castle. Pernah mendengar tentang tempat ini, Rogers?"
"Saya kira Anda bisa ke sana dari Waterloo, Sir."
"Kau benar-benar luar biasa, Rogers. Kau tahu segalanya. Wah, wah, Rowland's
Castle! Seperti apa ya tempat itu?"
"Menurut saya tidak begitu istimewa, Sir."
"Kebetulan; jadi semakin sedikit saingan. Dusun-dusun kecil dan tenang seperti
itu menyimpan banyak semangat feodal kuno. Keturunan tulen keluarga Rowland yang
terakhir pasti mendapat penghormatan langsung. Aku takkan heran bila dalam
seminggu mereka sudah mengangkatku jadi wali kota."
Ia lalu menutup buku itu dengan sekali empas.
"Batu dadu sudah dilempar. Tolong siapkan satu koper kecil untukku, Rogers.
Sampaikan pujianku untuk koki, dan tanyakan apakah dia mau meminjamkan kucing
padaku. Dick Whittington, kau tahu, kan" Bila kau punya tujuan jadi wali kota
London, kucing diperlukan sekali."
"Maaf, Sir, tapi saat ini kucing itu takkan bisa dibawa."
"Kenapa tidak?"
"Dia baru melahirkan delapan ekor anak, Sir. Tadi pagi."
"Yang benar saja. Kusangka namanya Peter."
"Memang, Sir. Kami sendiri kaget."
"Salah menentukan jenis kelaminnya, ya" Nah, kalau begitu aku terpaksa harus
pergi tanpa kucing. Tolong segera siapkan keperluanku."
"Baik, Sir." Rogers ragu sejenak, lalu melangkah ke dalam.
"Maafkan kelancangan saya, Sir, tapi seandainya saya jadi Anda, saya takkan
terlalu merisaukan ucapan Mr. Rowland pagi tadi. Semalam beliau menghadiri acara
makan malam di kota, dan..."
"Cukup," sahut George. "Aku mengerti."
"Dan mengingat sakit encoknya..."
"Aku tahu, aku tahu. Malam yang cukup sibuk untukmu, Rogers, menghadapi kami
berdua, betul" Tapi aku sudah bertekad membuat diriku terkenal di Rowland's
Castle - tempat lahir leluhurku yang bersejarah - ungkapan yang cocok untuk pidato,
kan" Telegram yang dialamatkan padaku di sana, atau iklan terselubung di koran
pagi, bisa mengingatkanku kapan saja hidangan ayam saus sedang disiapkan. Dan
sekarang... ke Waterloo! - seperti dikatakan Wellington pada malam sebelum
pertempuran bersejarah itu."
Di malam hari, Stasiun Waterloo tidak tampak semarak. Mr. Rowland akhirnya
mendapatkan kereta api yang akan membawanya ke tujuan, namun bukan kereta api
yang bagus atau mengesankan - kereta yang sangat diinginkan orang untuk mengadakan
perjalanan. Mr. Rowland menempati sendiri gerbong kelas satu yang berada di awal
rangkaian. Kabut melayang-layang turun tak menentu ke atas kota, sebentar
menyingsing, sebentar turun kembali. Peron tampak sepi, dan hanya desah
lokomotif yang memecah kesunyian.
Mendadak terjadi sesuatu yang menggemparkan.
Mula-mula muncul seorang gadis. Ia membuka pintu dan melompat masuk, menyadarkan
Mr. Rowland yang sedang terkantuk-kantuk, dan berseru, "Oh! Sembunyikan aku - oh!
Tolong sembunyikan aku."
Pada dasarnya, George termasuk orang impulsif yang langsung bertindak - tidak
menanyakan alasan, tapi langsung beraksi, lalu mati bila perlu. Hanya ada satu
tempat persembunyian di gerbong kereta api - di bawah bangku. Dalam waktu tujuh
detik gadis itu sudah meringkuk di situ, tubuhnya tertutup koper George yang
ditegakkan sembarangan. Tepat pada waktunya. Seraut wajah penuh amarah melongok
di jendela gerbong. "Keponakanku! Anda menyembunyikannya di sini. Aku menginginkan keponakanku."
George yang sedikit terengah, bersandar di pojok, membenamkan diri di balik
koran terbitan malam edisi pukul 01.30, seakan asyik membaca kolom olah raga. Ia
menaruh korannya dengan lagak orang yang baru tersadar dari lamunannya.
"Maaf, Sir?" ujarnya sopan.
"Keponakanku - apa yang Anda lakukan dengannya?"
Bertindak atas paham bahwa menyerang selalu lebih baik daripada bertahan, George
langsung beraksi. "Apa gerangan maksud Anda?" teriaknya menirukan gaya pamannya.
Orang tadi terdiam sejenak, tercengang melihat kegarangan mendadak itu. Ia
berperawakan gemuk, masih terengah-engah seakan baru berlari cukup jauh.
Rambutnya dipangkas gaya en brosse, dan ia memiliki kumis ala kepercayaan
Hohenzollern. Suaranya parau, dan sikap kakunya menunjukkan ia lebih terbiasa
mengenakan seragam. George memiliki prasangka khas Britania Raya terhadap orang
asing - terutama yang berpenampilan Jerman.
"Apa gerangan maksud Anda, Sir?" ulangnya marah.
"Keponakanku masuk ke sini," jawab laki-laki itu. "Aku melihatnya sendiri. Apa
yang telah Anda lakukan dengannya?"
George melempar korannya, lalu melongokkan kepala dan kedua bahunya ke luar
jendela. "Begitu?" ia mengaum. "Ini pemerasan. Tapi Anda salah alamat. Pagi ini aku sudah
membaca tentang Anda di koran Daily Mail. Penjaga, kemari!"
Petugas yang dari jauh sudah tertarik pada keributan itu bergegas mendekat.
"Ini," kata Mr. Rowland dengan gaya berwibawa yang sangat dikagumi masyarakat
golongan lebih rendah. "Orang ini membuatku kesal. Bila perlu, aku akan
mengadukannya karena usaha pemerasan. Dia menuduh aku menyembunyikan
keponakannya di sini. Sekarang banyak orang asing sering mencoba memeras dengan
cara ini. Kebiasaan ini harus dihentikan. Tolong bawa pergi dia. Ini kartu
namaku bila Anda mau."
Penjaga itu silih berganti menatap kedua pria di depannya. Ia segera membuat
keputusan. Pelatihan yang diterimanya membuatnya tidak menyukai orang asing, dan
menghormati sekaligus mengagumi para pria yang mengadakan perjalanan dengan
gerbong kelas satu. Ia lalu memegang bahu sang pengganggu.
"Ayo," ujarnya, "jangan ganggu dia."
Menghadapi saat krisis ini, kemampuan berbahasa Inggris orang asing tadi pun
sirna, dan ia langsung mencaci-maki dalam bahasa ibunya.
"Cukup," kata si penjaga. "Minggir, kereta sudah siap berangkat."
Bendera isyarat dilambaikan dan peluit berbunyi. Dengan sentakan malas kereta
pun meninggalkan stasiun.
George tetap di pos pengintaiannya sampai kereta sudah benar-benar meninggalkan
peron. Setelah itu ia menarik kepalanya kembali dari luar jendela, mengangkat
kopernya, lalu menjatuhkannya di rak bagasi.
"Sudah aman sekarang. Kau boleh keluar," katanya menenangkan.
Gadis itu merangkak keluar dari bawah bangku.
"Oh!" ujarnya terengah. "Bagaimana aku bisa menyampaikan terima kasihku?"
"Tidak mengapa. Percayalah, aku tadi cukup terhibur," jawab George santai.
George tersenyum untuk membuat gadis itu tenang. Mata gadis itu menatap agak
bingung. Sepertinya ia kehilangan sesuatu yang biasa dimilikinya. Saat itulah ia
menangkap bayangan dirinya di kaca sempit di depannya, dan ia pun tersedak.
Perlu dipertanyakan apakah para petugas pembersih gerbong menyapu bagian bawah
tempat duduk atau tidak. Namun kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak
melakukannya, sebab kotoran dan asap berkumpul di situ bagaikan burung
bermigrasi. George nyaris tak sempat memerhatikan penampilan gadis itu.
Kedatangannya begitu mendadak, dan waktu yang dibutuhkan untuk menyembunyikan
dirinya begitu singkat. Tapi wanita muda yang menghilang di bawah tempat duduk
tadi jelas-jelas langsing dan berpakaian bagus. Sekarang topi merahnya yang
kecil itu sudah kusut dan penyok, sedangkan wajahnya coreng-moreng terkena
kotoran. "Oh!" pekik gadis itu tertahan.
Dengan gugup ia meraih tasnya. George, dengan sikap pria terhormat sejati,
menatap ke luar jendela sambil mengagumi jalan-jalan kota London di sebelah
selatan Sungai Thames. "Bagaimana aku bisa menyampaikan terima kasihku?" ujar gadis itu lagi.
Menganggap pertanyaan itu sebagai isyarat bahwa percakapan sudah boleh
dilanjutkan kembali, George mengalihkan pandangan, dan menolak dengan sopan,
namun kali ini dengan sikap jauh lebih hangat.
Gadis itu benar-benar cantik! George berkata pada diri sendiri bahwa ia belum
pernah melihat gadis secantik ini. Hasrat yang terlihat melalui sikapnya semakin
nyata. "Menurutku Anda baik sekali," ujar gadis itu bersemangat.
"Sama sekali tidak. Kejadian tadi keciiil. Senang sekali bisa membantu," gumam
George. "Baik sekali," ulang gadis itu tegas.
Memang sangat menyenangkan bila gadis tercantik yang pernah Anda lihat menatap
lekat-lekat sambil mengutarakan betapa baiknya Anda. George menikmati hal ini
semaksimal mungkin. Mereka terdiam sejenak. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ia diharapkan
memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia agak tersipu.
"Bagian yang memalukan adalah," ujarnya gugup, "aku khawatir tak dapat
menjelaskannya." Ia mendongak pada George dengan keraguan memilukan.
"Kau tidak dapat menjelaskan?"
"Tidak." "Benar-benar sempurna!" kata Mr. Rowland bersemangat.
"Maaf?" "Kataku, betapa sempurnanya. Persis seperti buku-buku yang membuatmu tidak bisa
tidur sepanjang malam. Tokoh wanitanya selalu berkata, 'Aku tidak bisa
menjelaskan' di bab pertama. Di bab terakhir dia tentu saja mau menjelaskannya,
dan sebenarnya tidak ada alasan mengapa dia tidak melakukannya sejak awal kecuali bahwa ini akan membuat kisahnya tidak seru lagi. Aku tidak bisa
menggambarkan betapa senangnya hatiku bisa terlibat dalam misteri nyata - aku
tidak tahu ada hal semacam itu. Kuharap ini ada kaitannya dengan dokumen-dokumen
rahasia yang sangat penting, dan dengan Balkan Express. Aku sangat suka
bepergian dengan kereta api itu."
Gadis itu terbelalak curiga.
"Apa yang membuat Anda menyebut Balkan Express?" tanya gadis itu tajam.
"Kuharap sikapku tidak lancang," George buru-buru menambahkan. "Pamanmu mungkin
bepergian dengan kereta api ini."
"Pamanku..." Ia terdiam, lalu berkata lagi. "Pamanku..."
"Benar," sahut George simpatik. "Aku juga punya paman. Tak ada yang harus
bertanggung jawab atas paman mereka. Paman adalah batu sandungan di alam ini begitulah anggapanku."
Tiba-tiba gadis itu mulai tertawa. Saat ia berbicara, George menyadari logat
asing yang sedikit membayang dalam suaranya. Awalnya ia menyangka gadis itu
orang Inggris. "Alangkah menyegarkan dan luar biasanya Anda, Mr...."
"Rowland. Teman-temanku memanggilku George."
"Namaku Elizabeth..."
Mendadak ia terdiam. "Aku menyukai nama Elizabeth," ujar George untuk menutupi kecanggungan gadis
itu. "Orang tidak memanggilmu Bessie atau nama jelek semacam itu, kan?"
Gadis itu menggeleng. "Nah," kata George, "mengingat kita sudah saling berkenalan, sebaiknya kita
mulai serius. Bila kau mau berdiri, Elizabeth, aku akan membersihkan bagian
belakang mantelmu."

Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan patuh gadis itu berdiri, dan George menepati janjinya.
"Terima kasih, Mr. Rowland."
"George. Teman-temanku memanggilku George, ingat" Dan kau tidak bisa masuk ke
gerbongku yang indah dan kosong ini, meringkuk di bawah tempat duduk,
menyebabkan aku berbohong pada pamanmu, lalu menolak berteman denganku, kan?"
"Terima kasih, George."
"Itu lebih baik."
"Apa sekarang aku sudah terlihat beres?" tanya Elizabeth sambil berusaha melihat
ke belakang dari pundak kirinya.
"Kau terlihat... oh! Kau terlihat... kau terlihat beres," sahut George tergagap
sambil mengekang lidahnya mati-matian.
"Semua ini begitu mendadak," jelas gadis itu.
"Pasti." "Dia melihat kami di dalam taksi, dan begitu sampai di stasiun aku langsung
melompat masuk ke sini, karena tahu dia tepat di belakangku. Omong-omong, ke
mana tujuan kereta ini?"
"Rowland's Castle," sahut George mantap.
Gadis itu tampak bingung.
"Rowland's Castle?"
"Tidak langsung, tentu saja. Nanti sesudah berhenti berkali-kali dan berlambatlambat. Tapi aku yakin sudah bisa tiba di situ sebelum tengah malam. Kereta
South-Western yang lama sangat bisa diandalkan - lambat tapi pasti - dan aku yakin
Jawatan Kereta Api Southern mempertahankan tradisi lamanya."
"Aku tidak yakin ingin pergi ke Rowland's Castle," ujar Elizabeth ragu.
"Kau menyakiti hatiku. Itu tempat yang sangat menyenangkan."
"Apa Anda pernah ke sana?"
"Tidak juga. Tapi ada banyak tempat lain yang bisa kaukunjungi, bila kau tidak
ingin ke Rowland's Castle. Seperti misalnya Woking, Weybridge, dan Wimbledon.
Kereta ini pasti akan berhenti di salah satu kota."
"Aku mengerti," ujar gadis itu. "Ya, aku bisa turun di situ, kemudian kembali ke
London. Kurasa inilah yang terbaik."
Bahkan saat ia masih berbicara, kereta api itu mulai mengurangi kecepatan. Mr.
Rowland menatapnya dengan pandangan memohon.
"Mungkin aku bisa melakukan sesuatu..."
"Tidak, sungguh. Anda sudah berbuat banyak."
Hening sejenak, dan tiba-tiba gadis itu berkata,
"Seandainya saja... seandainya saja aku bisa menjelaskan. Aku..."
"Astaga, jangan lakukan! Ceritanya takkan seru lagi. Tapi dengar, apa benar tak
ada yang bisa kulakukan untukmu" Membawakan surat-surat rahasia ke Wina - atau
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 33 Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat Tumbal Nyawa Perawan 1

Cari Blog Ini