Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie Bagian 2
Tapi apa artinya" Dia toh mendapat pekerjaan di tempat lain yang sama bagusnya.
Apakah itu bisa dijadikan alasan untuk membunuh seseorang dengan darah dingin?"
"Tapi tentunya, polisi merasa puas akan ketidakbersalahannya?" kata Mr.
Satterthwaite. "Polisi! Apa gunanya mereka" Ketika Stephen masuk ke bar malam itu, setiap orang
memandangnya dengan aneh. Mereka tidak sungguh-sungguh percaya dia membunuh
Harwell, tapi juga tidak yakin, jadi mereka cuma memandangnya, kemudian
menghindarinya. Apa enak hidup seperti itu, melihat orang-orang menyingkir dari
kita, seolah-olah kita berbeda dari mereka" Kenapa Ayah tidak mau tahu bahwa
kami akan menikah, Stephen dan saya" 'Kau bisa mendapat jodoh yang lebih baik,
Nak. Bukannya aku tidak menyukai Stephen, tapi... yah, kita tidak tahu, bukan"'"
Ia berhenti, dadanya naik-turun dengan cepat saking jengkelnya.
"Jahat, sungguh jahat," semburnya. "Stephen takkan melukai seekor lalat pun! Dan
seumur hidupnya orang-orang akan mengira dia yang melakukannya. Itu membuatnya
jadi aneh dan getir. Saya tidak meragukannya, saya yakin. Dan semakin dia
bersikap seperti itu, semakin orang-orang mengira dialah pelakunya." Sekali lagi
ia berhenti. Matanya terpaku pada wajah Mr. Quin, seolah-olah wajah itulah yang
membuatnya meledak. "Apa tidak ada yang bisa dilakukan?" tanya Mr. Satterthwaite.
Ia betul-betul merasa tertekan. Menurut pendapatnya, kejadian itu tak bisa
dihindari. Segala bukti yang tidak jelas dan tidak memuaskan terhadap diri
Stephen Grant malah membuatnya semakin sulit menyangkal tuduhan itu.
Gadis itu berputar mengitarinya.
"Hanya kebenaran yang bisa menolongnya," teriaknya. "Kalau Kapten Harwell
ditemukan, atau kalau dia kembali lagi. Kalau saja kebenarannya bisa
diketahui..." Ia berhenti dan terisak, lalu buru-buru meninggalkan ruangan itu.
"Gadis yang rupawan," kata Mr. Satterthwaite. "Kasus ini ternyata juga
mengenaskan. Saya harap... saya sungguh-sungguh berharap ada sesuatu yang bisa
dilakukan." Hatinya yang baik itu memang merasa terusik.
"Kita akan melakukan apa yang bisa kita lakukan," kata Mr. Quin. "Masih ada
sekitar setengah jam sebelum mobil Anda siap."
Mr. Satterthwaite menatapnya.
"Anda pikir kita bisa mengetahui kebenarannya hanya dengan... membahasnya
seperti ini?" "Anda sudah melihat banyak hal dalam hidup ini," kata Mr. Quin dengan suara
berat. "Lebih banyak dari orang lain."
"Nyatanya hidup melewati saya begitu saja," sahut Mr. Satterthwaite pahit.
"Tapi itu malah mempertajam pikiran Anda. Di kala orang lain buta, Anda bisa
melihat." "Itu benar," kata Mr. Satterthwaite. "Saya memang pengamat yang hebat."
Ia bangga sekali ketika mengatakan hal itu. Kepahitan telah hilang dari
suaranya. "Menurut saya," katanya beberapa menit kemudian, "untuk mencari penyebabnya,
terlebih dulu kita harus mempelajari efeknya."
"Bagus sekali," Mr. Quin menyetujui.
"Efek dari kasus ini adalah Miss Le Couteau - Mrs. Harwell, maksud saya - adalah
seorang istri, tapi juga bukan seorang istri. Dia tidaklah bebas - dia tak bisa
menikah lagi. Dan kalau dipikir-pikir, mau tidak mau kita akan melihat Richard
Harwell sebagai orang jahat, orang yang tidak berasal dari mana-mana, orang
dengan masa lalu misterius."
"Saya setuju," kata Mr. Quin. "Anda melihat apa yang akan dilihat oleh semua
orang, apa yang tidak mungkin tak dilihat, Kapten Harwell yang terkenal itu
adalah figur yang mencurigakan."
Mr. Satterthwaite memandangnya ragu-ragu. Kata-kata itu kedengarannya hendak
mengusulkan gambaran yang sedikit berbeda dengan yang ada di benaknya.
"Kita telah mempelajari efeknya," katanya. "Atau bisa kita sebut akibatnya.
Sekarang kita bisa melewati..."
Mr. Quin menyelanya. "Anda belum menyinggung akibat dari sisi yang betul-betul penting."
"Anda benar," kata Mr. Satterthwaite setelah mempertimbangkannya sejenak. "Kita
memang harus melakukan segalanya sampai tuntas. Kalau begitu, mari kita anggap
akibat dari tragedi itu adalah Mrs. Harwell, yang seorang istri tapi juga bukan
seorang istri, tak bisa menikah lagi; Mr. Cyrus Bradburn berhasil membeli Ashley
Grange dan isinya seharga enam puluh ribu pound, bukan" Dan ada seseorang di
Essex yang mempekerjakan John Mathias sebagai tukang kebun! Dari semua orang
itu, yang tidak kita ketahui adalah siapakah 'seseorang di Essex' itu atau
apakah Mr. Cyrus Bradburn mempunyai kaitan dengan lenyapnya Kapten Harwell."
"Ucapan Anda kasar sekali," kata Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite memandangnya tajam.
"Tapi tentunya Anda setuju?"
"Oh! Saya setuju," kata Mr. Quin. "Ucapan saya itu konyol. Selanjutnya apa?"
"Mari kita kembali pada hari yang fatal itu. Kapten Harwell telah lenyap,
misalnya, pagi ini."
"Tidak, tidak," kata Mr. Quin, tersenyum. "Dalam imajinasi kita, kita mempunyai
kekuasaan atas waktu, jadi kita bisa memakai cara lain. Mari kita anggap
peristiwa lenyapnya Kapten Harwell terjadi seratus tahun yang lalu. Dan kita
sekarang, pada tahun 2025, sedang menelitinya lagi."
"Anda orang yang aneh," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Anda percaya pada masa
lalu, bukannya masa kini. Kenapa?"
"Barusan Anda memakai kata suasana. Tidak ada suasana pada masa kini."
"Itu mungkin benar," kata Mr. Satterthwaite serius. "Ya, itu benar. Masa kini
cenderung... picik."
"Kata yang cocok," ujar Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite mengangguk kecil.
"Anda terlalu memuji," katanya.
"Mari kita ambil... bukan tahun ini, itu terlalu sulit, tapi misalnya... tahun
lalu," lanjut Mr. Quin. "Simpulkan untuk saya, Anda yang punya bakat menggunakan
istilah yang tepat."
Mr. Satterthwaite berpikir sejenak. Ia iri dengan reputasinya.
"Seratus tahun yang lalu kita berada pada zaman bubuk dan korek api," katanya.
"Bisakah kita mengatakan tahun 1924 adalah zamannya Teka Teki Silang dan Pencuri
Nekat?" "Bagus sekali," Mr. Quin menyetujui. "Maksud Anda secara nasional, bukan
internasional, saya rasa?"
"Untuk Teka Teki Silang, terus terang saya tidak tahu," kata Mr. Satterthwaite.
"Tapi Pencuri Nekat itu memang sedang terkenal di Eropa. Anda ingat beberapa
peristiwa pencurian terkenal di kastil Prancis itu" Diperkirakan tak mungkin
dilakukan oleh satu orang saja. Betul-betul tindakan hebat. Ada teori yang
mengatakan itu ada kaitannya dengan sebuah kelompok akrobat - Clondinis. Saya
pernah melihat penampilan mereka - betul-betul hebat. Seorang ibu dengan putra dan
putrinya. Mereka menghilang dari panggung dengan cara agak misterius. Tapi kita
sekarang malah melenceng dari persoalannya."
"Tidak begitu jauh," kata Mr. Quin. "Cuma menyeberangi selat saja."
"Di mana para wanita Prancis tidak mau membasahi kaki mereka, seperti yang
dikatakan pemilik penginapan ini," kata Mr. Satterthwaite, tertawa.
Tidak ada sahutan. Tampaknya itu penting.
"Kenapa dia menghilang?" teriak Mr. Satterthwaite. "Kenapa" Kenapa" Sungguh
tidak masuk akal, seperti sulap saja."
"Ya," kata Mr. Quin. "Seperti sulap. Itu gambaran yang tepat sekali. Anda lihat,
itulah suasananya. Dan di mana letak inti dari permainan sulap itu?"
"Kecepatan tangan menipu mata," kutip Mr. Satterthwaite lancar.
"Memang begitulah sulap itu, bukan" Untuk menipu mala" Kadang-kadang dengan
kecepatan tangan, kadang-kadang dengan cara lain. Ada banyak alat, tembakan
pistol, lambaian saputangan merah, sesuatu yang tampaknya penting, padahal
kenyataannya tidak. Mata dialihkan dari masalah sebenarnya, dipindahkan pada
tindakan spektakuler yang tidak berarti apa-apa - sama sekali."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badan ke depan, matanya berkilat-kilat.
"Anda benar. Itu gagasan bagus."
Ia melanjutkan dengan pelan. "Tembakan pistol. Apa yang menjadi tembakan pistol
dalam permainan sulap yang sedang kita bahas ini" Apakah saat spektakuler yang
menjebak imajinasi kita itu?"
Ia menarik napas dalam-dalam.
"Lenyapnya Kapten Harwell," bisik Mr. Satterthwaite. "Singkirkanlah, dan itu
tidak berarti apa-apa."
"Udak berarti apa-apa" Misalkan saja segala sesuatunya tetap terjadi tanpa perlu
adanya peristiwa dramatis itu?"
"Maksud Anda... misalkan Miss Le Couteau tetap menjual Ashley Grange dan pergi
tanpa alasan apa pun?"
"Ya." "Ya, kenapa tidak" Saya rasa, itu pasti jadi pembicaraan orang, pasti banyak
orang jadi ingin tahu tentang nilai isi rumah itu - ah! Tunggu!"
Ia terdiam sejenak, kemudian berkata cepat.
"Anda benar, dalam kasus ini Kapten Harwell jadi terkenal sekali. Oleh
karenanya, wanita itu hanya bayangan saja. Miss Le Couteau! Setiap orang
menanyakan, 'Siapakah Kapten Harwell itu" Dari mana asalnya"' Tapi karena wanita
itu adalah pihak yang terluka, tak seorang pun menyelidikinya. Apa benar dia
seorang Prancis Canada" Apa benar harta yang tak ternilai itu diwariskan
padanya" Anda benar ketika mengatakan kita tidak terlalu jauh melenceng dari
topik kita - cuma menyeberangi selat saja. Harta warisan yang terkenal itu bisa
jadi telah dicuri dari sebuah kastil Prancis, sebagian besar adalah barangbarang seni yang tak ternilai, dan karenanya sulit untuk dijual. Dia membeli
rumah itu - dengan harga murah, mungkin. Menetap di sana dan menggaji seorang
wanita Inggris yang terhormat untuk menemaninya. Kemudian muncullah Kapten
Harwell. Strateginya sudah diatur sebelum itu. Pernikahan, lenyapnya si suami,
dan cerita selanjutnya! Bukankah wajar sekali bagi seorang wanita yang patah
hati untuk menjual semua yang mengingatkannya pada masa lalunya yang tidak
bahagia" Orang Amerika itu seorang ahli seni, dan barang-barang itu sungguh asli
dan indah, beberapa di antaranya malah tak ternilai. Dia mengajukan penawaran,
dan Miss Le Couteau menerimanya. Dia meninggalkan daerah ini sebagai seorang
wanita yang merana dan bernasib tragis. Semuanya beres. Mata masyarakat telah
ditipu oleh kecepatan tangan dan sifat spektakuler dari permainan sulap itu."
Mr. Satterthwaite berhenti sejenak, wajahnya merah karena berhasil.
"Tapi tanpa Anda, tak mungkin saya bisa menyimpulkannya," katanya dengan
kerendahan hati yang tiba-tiba muncul. "Anda memberikan pengaruh yang sangat
aneh pada diri saya. Orang sering kali mengatakan sesuatu tanpa memahami
maksudnya. Anda punya kemampuan untuk menunjukkan maksud itu. Tapi saya masih
tidak mengerti. Pastilah sulit bagi Harwell untuk melenyapkan diri. Lagi pula,
bukankah polisi telah mencarinya di seluruh Inggris?"
"Mereka mungkin telah mencarinya," kata Mr. Quin, "di seluruh Inggris."
"Padahal paling gampang baginya kalau tetap sembunyi di Grange," tebak Mr.
Satterthwaite geli. "Itu pasti bisa diatur."
"Saya rasa dia memang bersembunyi di dekat Grange," kata Mr. Quin.
Tatapannya yang penuh arti segera dimengerti oleh Mr. Satterthwaite.
"Pondok si Mathias?" jeritnya. "Tapi polisi kan sudah memeriksanya?"
"Berulang kali, saya rasa," ujar Mr. Quin.
"Mathias," kata Mr. Satterthwaite dengan dahi berkerut.
"Dan Mrs. Mathias," kata Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite menatapnya lekat-lekat.
"Kalau kawanan itu betul-betul adalah Clondinis," katanya membayangkan, "mereka
bertiga. Kedua anak itu bisa menjadi Harwell dan Eleanor Le Couteau. Dan ibunya,
apakah dia Mrs. Mathias" Tapi dalam kasus ini..."
"Mathias menderita rematik, bukan?" kata Mr. Quin lugu.
"Oh!" teriak Mr. Satterthwaite. "Saya tahu. Tapi mungkinkah" Saya rasa mungkin.
Dengar. Mathias baru sebulan di sana. Selama waktu itu, Harwell dan istrinya
sedang berbulan madu selama dua minggu. Tapi dua minggu sebelum pernikahan itu
mereka masih ada di kota. Laki-laki yang pintar pasti bisa berperan ganda
sebagai Harwell dan Mathias. Ketika Harwell berada di Kirtlington Mallet,
Mathias sedang terbaring sakit karena rematik, dengan Mrs. Mathias mendukung
alibinya. Peranannya memang perlu. Tanpanya, mungkin ada orang yang curiga.
Seperti kata Anda, Harwell bersembunyi di pondok Mathias. Dia adalah Mathias.
Ketika akhirnya rencana itu matang dan Ashley Grange sudah terjual, dia dan
istrinya berkata mereka akan pindah ke Essex. John Mathias dan istrinya hilang untuk selamanya." Terdengar ketukan di pintu ruang kopi itu dan Masters masuk. "Mobilnya sudah
siap di depan, Sir," katanya.
Mr. Satterthwaite berdiri. Begitu juga Mr. Quin, yang berjalan menghampiri
jendela, menarik tirainya. Seberkas cahaya rembulan menerangi ruangan itu.
"Badai sudah reda," katanya.
Mr. Satterthwaite mengenakan sarung tangannya.
"Saya akan makan malam dengan Kepala Polisi minggu depan," katanya dengan gaya
penting. "Saya akan mengemukakan teori saya - ah! - kepadanya."
"Pasti gampang sekali untuk membuktikannya," kata Mr. Quin. "Bandingkan saja
barang-barang yang ada di Ashley Grange dengan daftar barang yang ada di
kepolisian Prancis."
"Betul," kata Mr. Satterthwaite. "Mr. Bradburn pasti menyesal, tapi... yah..."
"Saya rasa dia bisa menanggung kerugian itu," kata Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite mengulurkan tangannya.
"Selamat tinggal," katanya. "Anda tahu saya sungguh-sungguh menghargai pertemuan
yang tak disangka-sangka ini. Saya rasa Anda akan meninggalkan tempat ini besok
pagi?" "Mungkin malam ini. Urusan saya sudah selesai. Anda tahu, saya ini datang dan
pergi." Mr. Satterthwaite teringat pada kata-kata yang sama dengan yang didengarnya sore
tadi Aneh memang. Ia keluar menuju mobilnya dan Masters yang sedang menunggu. Dari pintu yang
terbuka menuju bar terdengar suara si pemilik penginapan berkata dengan keras
dan jelas. "Misteri yang gelap," katanya. "Itu misteri yang gelap."
Tapi ia tidak menggunakan kata "gelap" itu. Kata yang dipakainya mempunyai arti
berbeda. Mr. William Jones adalah orang yang suka menyesuaikan kata-katanya
dengan jenis orang-orang yang ada di barnya. Dan orang-orang di sana menyukai
kata yang penuh cita rasa.
Mr. Satterthwaite duduk nyaman dalam limousine-nya. Dadanya membusung bangga. Ia
melihat Mary keluar dari pintu dan berdiri di bawah papan nama penginapan yang
berderik-derik. "Dia tidak tahu," kata Mr. Satterthwaite dalam hati. "Dia tidak tahu apa yang
akan kulakukan!" Papan nama Bells and Motley berayun-ayun pelan tertiup angin.
Bab 4 TANDA DI LANGIT HAKIM baru saja selesai membacakan tuntutannya di hadapan dewan juri.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya baru saja menyelesaikan apa yang hendak saya
kemukakan pada Anda sekalian. Ada bukti-bukti yang harus Anda pertimbangkan
dalam menentukan apakah kasus ini memang benar dilakukan oleh terdakwa, sehingga
Anda bisa memutuskan dia bersalah atas pembunuhan terhadap diri Vivien Barnaby.
Anda telah mendengarkan kesaksian para pelayan tentang waktu tembakan itu
diletuskan. Mereka semua sepakat mengenainya. Anda telah mendapatkan bukti atas
surat yang ditulis oleh Vivien Barnaby kepada terdakwa pada pagi hari itu, Jumat
tanggal 13 September - surat yang tidak disangkal oleh terdakwa. Anda telah
mendapatkan bukti bahwa si terdakwa mula-mula menyangkal berada di Deering Hill,
tapi setelah kemudian bukti-bukti disodorkan oleh polisi, dia mengakui hal itu.
Anda harus menarik kesimpulan sendiri atas penyangkalannya tersebut. Ini bukan
kasus dengan bukti-bukti langsung. Anda harus berusaha mengetahui motifnya - cara
dan kesempatannya. Menurut terdakwa ada seseorang tak dikenal memasuki ruang
musik setelah terdakwa meninggalkan ruangan itu, dan menembak Vivien Barnaby
dengan senapan, yang karena lupa, telah ditinggalkan oleh terdakwa di sana. Anda
telah mendengar cerita terdakwa tentang alasan kenapa dia butuh waktu setengah
jam untuk pulang. Kalau Anda tidak mempercayai cerita terdakwa dan puas, tanpa
keraguan sedikit pun, bahwa terdakwa memang, pada hari Jumat tanggal 13
September, telah menembakkan senapannya dari jarak dekat ke arah kepala Vivien
Barnaby dengan maksud membunuhnya, maka keputusan Anda haruslah Bersalah.
Sebaliknya, kalau Anda punya keraguan mengenai hal itu, maka Anda harus
membebaskan terdakwa. Sekarang saya akan meminta Anda untuk kembali ke ruangan
Anda dan mempertimbangkan semuanya, serta memberitahu saya kalau Anda sudah
mendapatkan suatu kesimpulan."
Dewan juri meninggalkan ruang sidang selama kurang-lebih setengah jam. Akhirnya
mereka kembali dengan keputusan yang bagi setiap orang tampaknya sudah dapat
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diramalkan, yaitu keputusan "Bersalah".
Mr. Satterthwaite meninggalkan ruang sidang dengan dahi berkerut, setelah
mendengar keputusan itu. Pengadilan atas kasus pembunuhan seperti itu biasanya tidak menarik minatnya. Ia
mempunyai selera tinggi, sehingga tidak tertarik pada kasus-kasus kejahatan yang
biasa-biasa saja. Tapi kasus Wylde itu berbeda Pemuda Martin Wylde itu tampaknya
seorang gentleman - dan korbannya, istri Sir George Barnaby yang masih muda, telah
dikenal secara pribadi oleh Mr. Satterthwaite sendiri.
Ia sedang memikirkan semua itu sambil berjalan menyusuri Holborn, kemudian
berbelok memasuki beberapa jalanan yang jorok, menuju ke arah Soho. Di salah
satu jalanan itu ada sebuah restoran kecil yang cuma diketahui oleh beberapa
orang saja, di antaranya Mr. Satterthwaite. Restoran itu tidaklah murah - malah
sebaliknya mahal sekali karena menyajikan makanan-makanan eksklusif yang
digemari orang-orang dengan selera tinggi. Suasananya tenang, tidak ada bunyi
musik apa pun yang boleh mengusik keheningan di situ, dan agak gelap, dengan
para pelayan yang tahu-tahu muncul begitu saja dalam langkah-langkah pelan
sambil membawa baki-baki perak dengan gaya seolah-olah sedang menjalankan
upacara suci. Nama restoran itu Arlecchino.
Masih sambil berpikir, Mr. Satterthwaite berbelok memasuki Arlecchino dan menuju
meja favoritnya yang terletak di salah satu ujung ruangan. Karena cahaya yang
agak gelap, seperti sudah dijelaskan tadi, baru setelah dekat dengan meja itu ia
mengetahui bahwa ada seorang laki-laki tinggi dan gelap duduk di sana dengan
wajah tertutup bayangan. Sinar lampu dari kaca jendela yang berwarna-warni
menerangi pakaiannya, sehingga pakaian itu berwarna-warni pula bagaikan pelangi.
Mr. Satterthwaite baru saja hendak berbalik, tapi tepat pada saat itu orang
asing tersebut bergerak sedikit, sehingga Mr. Satterthwaite dapat melihat
wajahnya. "Tuhan memberkati saya," kata Mr. Satterthwaite, yang memang suka mengucapkan
kata-kata kuno seperti itu. "Ternyata Anda, Mr. Quin!"
Ia pernah bertemu dengan Mr. Quin tiga kali sebelum ini, dan setiap pertemuan
selalu menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Orang aneh ini, Mr. Quin, mempunyai
kemampuan untuk menunjukkan pada kita hal-hal yang sebenarnya telah kita ketahui
sejak dulu, tapi dengan cara betul-betul berbeda.
Mr. Satterthwaite langsung merasa bersemangat - betul-betul bersemangat.
Peranannya memang sebagai pengamat, dan ia tahu itu, tapi kadang-kadang ketika
bersama Mr. Quin, ia punya keinginan untuk menjadi seorang aktor - aktor utama.
"Ini sangat menyenangkan," katanya dengan wajah berseri-seri. "Sungguh sangat
menyenangkan. Anda tidak keberatan kalau saya bergabung?"
"Saya malah senang sekali," kata Mr. Quin. "Seperti Anda lihat, saya belum mulai
makan." Seorang kepala pelayan yang selalu siap siaga tiba-tiba muncul begitu saja. Mr.
Satterthwaite, yang memang menggemari makanan, berkonsentrasi penuh dalam
memilih menu. Beberapa menit kemudian, kepala pelayan itu mengundurkan diri
sambil tersenyum simpul, dan seorang pelayan muda yang membuntutinya segera
memulai pelayanannya Mr. Satterthwaite berpaling kepada Mr. Quin.
"Saya baru saja kembali dari gedung pengadilan," katanya. "Kasus yang
mengenaskan." "Dia dinyatakan bersalah?" tanya Mr. Quin.
"Ya, dewan juri cuma butuh waktu setengah jam."
Mr. Quin menundukkan kepalanya.
"Keputusan yang tak dapat dihindari - dengan adanya bukti-bukti itu," katanya.
"Tapi," Mr. Satterthwaite hendak berkata, kemudian berhenti.
Mr. Quin menyelesaikan kalimat itu untuknya.
"Tapi Anda merasa kasihan pada si terdakwa" Itukah yang hendak Anda katakan?"
"Saya rasa begitu. Martin Wylde kelihatannya pemuda yang menyenangkan - membuat
orang nyaris tak percaya bahwa dialah pelakunya. Bagaimanapun, memang banyak
pemuda yang kelihatannya menyenangkan, tapi ternyata adalah pembunuh berdarah
dingin dan keji." "Terlalu banyak malah," ujar Mr. Quin pelan.
"Maaf?" kata Mr. Satterthwaite, sedikit terkejut.
"Terlalu banyak. Dari awal tampaknya sudah ada kecenderungan untuk menganggap
kasus ini sebagai salah satu dari kejahatan-kejahatan pada umumnya - seorang lakilaki yang berusaha membebaskan dirinya dari seorang wanita karena ingin menikahi
wanita lainnya." "Yah," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu. "Tapi bukti-bukti itu..."
"Ah!" kata Mr. Quin cepat. "Saya khawatir saya tidak mengetahui semuanya."
Rasa percaya diri Mr. Satterthwaite muncul lagi dengan tiba-tiba. Ia jadi merasa
punya kekuasaan dan tergoda untuk menceritakan semuanya secara dramatis.
"Biar saya ceritakan semuanya pada Anda. Saya pernah bertemu dengan suami-istri
Barnaby. Saya tahu keadaan mereka yang tidak lazim itu. Tapi ini cerita di balik
layar, lho - Anda akan melihat segalanya dari dalam."
Mr. Quin mencondongkan badannya ke depan sambil tersenyum simpul memberi
semangat. "Orang yang bisa bercerita seperti itu pada saya hanyalah Mr. Satterthwaite."
Mr. Satterthwaite memegang tepi meja dengan kedua tangannya. Ia tersanjung dan
bangga Sejenak ia merasa bagaikan seorang seniman yang mumi dan sederhana seorang seniman dengan medium berupa kata-kata.
Dengan pelan serta jelas ia menggambarkan kehidupan di Deering Hill. Sir George
Barnaby, tua, gemuk, dan berkantong tebal. Laki-laki yang suka mengurusi hal-hal
kecil dalam kehidupan. Laki-laki yang memutar semua jamnya setiap Jumat sore,
mengatur pembelanjaan rumah tangganya setiap Selasa pagi, dan selalu memeriksa
kunci pintu depannya setiap malam. Pokoknya seorang laki-laki yang berhati-hati.
Dan dari Sir George Barnaby, ia beralih pada Lady Barnaby. Di sini ia menjadi
agak lembut, tapi sama jelasnya. Ia pernah bertemu dengannya sekali, tapi
kesannya terhadap wanita itu betul-betul kuat. Makhluk yang bersemangat dan
punya sifat memberontak - tapi sayangnya masih muda sekali. Seorang anak yang
terperangkap, begitulah ia menggambarkannya.
"Dia membenci suaminya, Anda tahu" Menikah dengannya tanpa tahu apa yang telah
dilakukannya. Dan sekarang..."
Ia jadi putus asa - begitulah pendapat Mr. Satterthwaite. Beralih ke sana kemari.
Ia tak punya uang sendiri, betul-betul tergantung pada suaminya yang sudah tua
itu. Tapi pada dasarnya kepribadiannya sendiri memang belum matang, masih tidak
yakin dengan kemampuannya, kecantikannya juga masih samar-samar, belum nyata.
Dan ia juga tamak. Mr. Satterthwaite betul-betul yakin mengenai hal itu. Selain
sifat memberontak juga mengalir sifat tamak - bergantung dan mencengkeram
kehidupan. "Saya tidak pernah bertemu dengan Martin Wylde," lanjut Mr. Satterthwaite. "Tapi
saya pernah mendengar tentang dirinya. Dia tinggal kurang-lebih satu mil
jauhnya. Bertani, itulah pekerjaannya. Lady Barnaby juga menyukai bertani - atau
pura-pura menyukainya. Menurut saya, dia cuma pura-pura. Saya rasa dia memandang
pemuda itu sebagai jalan untuk melepaskan diri - dan dia mencengkeramnya dengan
tamak, seperti yang mungkin dilakukan seorang anak kecil. Yah, akhirnya cuma ada
satu kemungkinan. Kita tahu bagaimana kemungkinan itu, karena surat-surat itu
dibacakan di pengadilan. Dia menyimpan surat-surat wanita itu - tapi tidak
sebaliknya. Dan dari surat-surat yang dikirimnya, kita tahu bahwa Martin Wylde
berusaha melepaskannya. Dia memang mengakuinya. Ada gadis lain. Dia juga tinggal
di Deering Vale. Ayahnya dokter di sana. Anda mungkin pernah melihatnya di
pengadilan" Tidak, saya ingat, tadi Anda bilang tidak pernah ke sana. Saya akan
menggambarkannya untuk Anda. Seorang gadis yang manis - sangat manis. Lembut.
Mungkin... ya, mungkin agak bodoh. Tapi sangat tenang, Anda tahu. Dan setia.
Itulah yang penting, setia."
Ia memandang Mr. Quin, mencari dukungan, dan Mr. Quin memberinya senyuman kecil
penuh pujian. Mr. Satterthwaite melanjutkan.
"Anda tahu isi surat terakhir itu. Anda pasti sudah membacanya di koran, bukan"
Surat yang ditulis pada hari Jumat pagi tanggal 13 September. Penuh dengan
keputusasaan dan ancaman samar-samar, dan akhirnya memohon pada Martin Wylde
untuk datang ke Deering Hill sore itu juga, pukul 18.00. 'Aku akan membiarkan
pintu samping terbuka untukmu, jadi tak seorang pun akan tahu kau datang kemari.
Aku akan berada di ruang musik.' Surat itu dikirim langsung."
Mr. Satterthwaite berhenti sejenak.
"Ketika baru ditahan, Anda ingat, Martin Wylde menyangkal bahwa dia memang pergi
ke rumah tersebut malam itu. Pernyataannya adalah dia membawa senapannya untuk
berburu di hutan. Tapi ketika polisi menyodorkan bukti-bukti padanya, pernyataan
itu jadi buyar. Polisi menemukan sidik jarinya, Anda ingat, di pintu samping
yang terbuat dari kayu itu dan di salah satu gelas anggur di ruang musik.
Akhirnya dia mengaku bahwa dia memang ke sana untuk menemui Lady Barnaby.
Katanya mereka bertengkar hebat, tapi akhirnya dia berhasil menenangkan wanita
itu. Dia bersumpah bahwa dia meninggalkan senapannya di luar, disandarkan pada
dinding di samping pintu, dan dia meninggalkan Lady Barnaby dalam keadaan sehat
dan hidup, sekitar pukul 18.15. Tapi bukti-bukti yang ada menunjuk bahwa dia
baru sampai di pertaniannya pada pukul 18.45, dan seperti baru saya katakan
tadi, tempat itu cuma satu mil jauhnya. Tidak perlu waktu setengah jam untuk
sampai ke sana. Dia lupa dengan senapannya, katanya. Bukan pernyataan yang masuk
akal, tapi..." "Tapi kenapa?" tanya Mr. Quin.
"Yah," kata Mr. Satterthwaite pelan, "itu mungkin, bukan" Jaksa memang
menyangkal kemungkinan itu, tentu saja, tapi saya kira dia salah. Anda tahu,
saya mengenal banyak pemuda, dan pertengkaran-pertengkaran seperti itu sering
kali membuat mereka cemas - terutama pemuda-pemuda pendiam dan penggugup seperti
Martin Wylde. Tapi wanita berbeda, mereka bisa melupakan pertengkaranpertengkaran seperti itu dan merasa lega sesudahnya, karena telah meluapkan
segala unek-unek mereka. Bagi mereka pertengkaran adalah semacam alat untuk
menenangkan saraf. Tapi saya bisa membayangkan Martin Wylde pulang dengan
pikiran bingung, kacau, dan sedih, sampai lupa sama sekali pada senapannya yang
telah disandarkannya di dinding waktu dia datang tadi."
Mr. Satterthwaite terdiam selama beberapa saat sebelum meneruskan lagi.
"Bukannya hal itu penting, karena bagian selanjutnya jelas sekali. Tembakan itu
terdengar tepat pukul 18.20. Semua pelayan mendengarnya - juru masak, pelayan
dapur, kepala pelayan, pelayan rumah, dan pelayan pribadi Lady Barnaby. Mereka
semua buru-buru mendatangi ruang musik. Dia ditemukan tergeletak di lengan
kursinya. Senapan itu telah ditembakkan dari jarak dekat di bagian belakang
kepalanya, jadi tak mungkin luput. Paling tidak, ada dua peluru menembus
otaknya." Ia berhenti lagi dap Mr. Quin bertanya dengan gaya santai.
"Semua pelayan itu memberikan kesaksian, saya rasa?"
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Ya. Kepala pelayan tiba beberapa menit sebelum yang lainnya, tapi kesaksian
mereka kurang-lebih sama satu sama lain."
"Jadi, mereka semua memberikan kesaksian," kata Mr. Quin geli. "Apa tidak ada
yang dikecualikan?" "Sekarang saya ingat," sahut Mr. Satterthwaite. "Pelayan rumah itu cuma
dipanggil waktu pemeriksaan. Setelah itu saya kira dia langsung pergi ke
Canada." "Begitu," kata Mr. Quin.
Mereka terdiam, dan entah bagaimana suasana di restoran kecil itu jadi tidak
enak. Mr. Satterthwaite tiba-tiba merasa harus mempertahankan diri.
"Kenapa dia tidak boleh pergi?" tanyanya tiba-tiba.
"Kenapa dia tidak boleh pergi?" ulang Mr. Quin sambil angkat bahu.
Agaknya pertanyaan itu mengusik hati Mr. Satterthwaite. Ia ingin menghindarinya dan kembali ke topik semula.
"Tampaknya tak ada keraguan lagi tentang siapa penembaknya. Selama beberapa saat
semua pelayan betul-betul bingung. Tak seorang pun di rumah itu tahu apa yang
harus dilakukan. Baru beberapa menit kemudian ada yang memutuskan untuk
menelepon polisi, dan ketika itulah mereka mengetahui bahwa teleponnya rusak."
"Oh!" kata Mr. Quin, "Apa betul teleponnya rusak?"
"Ya," sahut Mr. Satterthwaite - dan tiba-tiba ia merasa telah mengatakan sesuatu
yang penting sekali. "Tentu saja, mungkin seseorang sengaja merusaknya," katanya
pelan. "Tapi rasanya tidak masuk akal. Dia toh tewas seketika."
Mr. Quin tidak berkata apa-apa, dan Mr. Satterthwaite merasa penjelasannya tadi
tidaklah memuaskan. "Tak ada orang lain yang patut dicurigai selain pemuda Wylde itu," ia
melanjutkan. "Bahkan menurut pernyataannya sendiri, dia baru saja meninggalkan
rumah itu selama tiga menit ketika tembakan itu terdengar. Dan siapa lagi yang
mungkin melakukannya" Sir George sedang bermain bridge di rumah tetangganya di
dekat situ. Dia pulang pada pukul 18.30 dan ditemui oleh salah seorang
pelayannya di pintu pagar, yang mengabarinya tentang kematian istrinya.
Permainan bridge terakhir selesai tepat pukul 18.30 - tak ada keraguan tentang
itu. Lalu ada sekretaris Sir George, Henry Thompson. Dia berada di London hari
itu, dan saat tembakan itu diletuskan dia sedang menghadiri suatu pertemuan
bisnis. Selanjutnya ada Sylvia Dale yang, bagaimanapun, punya alibi sangat baik,
dan tampaknya tak mungkin baginya untuk melakukan kejahatan itu. Dia sedang
berada di stasiun Deering Vale, mengantar temannya yang naik kereta api pukul
18.28. Itu berarti dia tak bisa dicurigai. Kemudian masih ada para pelayan.
Motif apa yang bisa membuat salah seorang dari mereka melakukannya" Lagi pula
mereka semua tiba di tempat kejadian kurang-lebih pada saat yang sama. Tidak,
pelakunya pastilah Martin Wylde."
Tapi suaranya terdengar tidak puas ketika mengatakan itu.
Mereka meneruskan makan siang. Mr. Quin kelihatannya sedang tak ingin bicara,
dan Mr. Satterthwaite telah mengatakan semua yang hendak dikatakannya. Tapi
keheningan itu bukannya tidak berarti apa-apa. Bagi Mr. Satterthwaite,
keheningan itu membuatnya gelisah, dan penyebabnya adalah sikap diam Mr. Quin.
Tiba-tiba Mr. Satterthwaite meletakkan pisau dan garpunya dengan keras, sampai
berdenting. "Misalkan pemuda itu betul-betul tidak bersalah," katanya. "Dia akan segera
digantung." Mr. Satterthwaite tampak kaget dan kecewa mengenainya. Tapi Mr. Quin masih tetap
diam. "Ini toh tidak...," Mr. Satterthwaite meneruskan lagi, dan berhenti. "Kenapa
wanita itu tidak boleh pergi ke Canada?" ia tiba-tiba bertanya.
Mr. Quin menggelengkan kepala.
"Saya bahkan tidak tahu ke Canada bagian mana dia pergi," lanjut Mr.
Satterthwaite gemas. "Apa Anda bisa mencari tahu?" tanya Mr. Quin.
"Saya rasa bisa. Kepala pelayan itu mungkin tahu. Atau Thompson, si sekretaris."
Ia berhenti lagi sejenak. Ketika ia melanjutkan pembicaraan, suaranya terdengar
seperti memohon. "Ini toh tidak ada hubungannya dengan saya?"
"Kalau seorang pemuda akan digantung dalam waktu tiga minggu lagi?"
"Yah, saya rasa ya - kalau Anda mengatakannya begitu. Ya, saya mengerti maksud
Anda. Kehidupan dan kematian. Dan gadis malang itu. Bukannya saya keras kepala,
tapi bagaimanapun - apa gunanya semua itu" Bukankah seluruh kejadian itu agak
fantastis" Kalaupun saya tahu ke mana wanita itu pergi di Canada, itu kan tidak
berarti saya harus pergi sendiri ke sana."
Mr. Satterthwaite tampak betul-betul kecewa.
"Padahal saya sudah merencanakan pergi ke Riviera minggu depan," katanya
mengibakan. Tapi lirikannya pada Mr. Quin jelas-jelas mengatakan, "Ayo, suruhlah aku ke
sana." "Anda belum pernah ke Canada?"
"Belum pernah."
"Negara yang menarik."
Mr. Satterthwaite memandangnya ragu-ragu.
"Menurut Anda saya harus ke sana?"
Mr. Quin menyandarkan diri pada kursinya dan menyalakan sebatang rokok. Sambil
mengembuskan asap rokoknya, ia berkata dengan jelas,
"Saya yakin Anda orang kaya, Mr. Satterthwaite. Bukan kaya raya, tapi orang yang
mampu membiayai hobinya tanpa perlu memperhitungkan biaya. Anda sudah menonton
drama yang dimainkan orang-orang lain. Tidakkah Anda ingin turut ambil bagian
dalam drama itu" Apakah Anda tak pernah ingin untuk sekejap menjadi perantara
bagi nasib orang-orang itu" Berdiri di tengah-tengah panggung dengan kematian
dan kehidupan dalam genggaman tangan Anda?"
Mr. Satterthwaite mencondongkan badannya ke depan. Ia merasa tertarik sekali.
"Maksud Anda, kalau saya pergi secara buta-butaan ke Canada...?"
Mr. Quin tersenyum. "Oh! itu saran Anda sendiri, lho, untuk pergi ke Canada, bukan saya," katanya
ringan. "Anda tak bisa membohongi saya seperti itu," kata Mr. Satterthwaite sungguhsungguh. "Setiap kali saya bertemu dengan Anda..." Ia berhenti.
"Ya?" "Ada sesuatu pada diri Anda yang tidak saya mengerti. Mungkin takkan pernah bisa
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saya mengerti. Terakhir kali saya bertemu dengan Anda..."
"Pada Hari Pertengahan Musim Panas."
Mr. Satterthwaite kaget, seolah-olah kata-kata itu mengandung petunjuk yang
tidak begitu dipahaminya.
"Apa memang pada Hari Pertengahan Musim Panas?" tanyanya bingung.
"Ya. Tapi tak perlu kita pikirkan. Itu tidak penting, bukan?"
"Baiklah, kalau Anda bilang begitu," sahut Mr. Satterthwaite sopan. Ia merasa
suatu petunjuk yang berharga telah lolos dari genggamannya. "Kalau saya pulang
dari Canada nanti" - ia berhenti dengan agak kikuk - "saya... saya ingin sekali
bisa bertemu dengan Anda lagi."
"Saya khawatir belum punya alamat tetap saat ini," kata Mr. Quin menyesal. "Tapi
saya sering datang ke tempat ini. Kalau Anda juga sering kemari, tak diragukan
lagi kita pasti akan bertemu."
Mereka berpisah dengan ramah.
Mr. Satterthwaite sangat tegang. Ia buru-buru mengitari Cook dan menanyakan
jadwal pelayaran kapal. Kemudian ia menelepon Deering Hill. Suara kepala pelayan
yang sopan dan penuh hormat itu menjawabnya.
"Nama saya Satterthwaite. Saya berbicara untuk kepentingan... eh... sebuah
kantor pengacara. Saya ingin menanyakan tentang seorang wanita muda yang barubaru ini menjadi pelayan di tempat Anda."
"Apakah itu Louisa, Sir" Louisa Bullard?"
"Ya, itu namanya," sahut Mr. Satterthwaite, sangat gembira karena diberitahu.
"Menyesal sekali dia tidak ada di negara ini, Sir. Dia pergi ke Canada enam
bulan yang lalu." "Apakah Anda bisa memberitahu saya alamatnya?"
Kepala pelayan itu mengatakan tidak bisa. Pokoknya tempat itu adalah suatu
daerah pegunungan - dengan nama Skotland - ah! Banff, itu dia. Ada beberapa
pelayan lain di rumah yang mengharapkan kabar darinya, tapi Louisa tak pernah
menulis surat atau memberitahukan alamatnya pada mereka.
Mr. Satterthwaite mengucapkan terima kasih dan memutuskan hubungan. Ia tidak
putus asa. Semangat berpetualang masih menggebu-gebu dalam dadanya. Ia akan
pergi ke Banff. Kalau Louisa Bullard memang ada di sana, ia pasti akan
menanyainya, entah bagaimana.
Mr. Satterthwaite tak menyangka ia akan sangat menikmati perjalanan itu. Sudah
bertahun-tahun ia tidak melakukan perjalanan laut yang lama. Riviera, Le Touquet
dan Deauville, serta Skotlandia, adalah tempat-tempat yang biasa dikunjunginya.
Karena ia berangkat dengan suatu misi yang pelik, perjalanannya terasa semakin
menarik. Para penumpang lain pasti menganggapnya konyol sekali kalau sampai tahu
tujuannya di Canada! Tapi mereka kan tidak mengenal Mr. Quin.
Di Banff, Mr. Satterthwaite menemukan tujuannya dengan gampang. Louisa Bullard
ternyata bekerja untuk sebuah hotel besar di sana. Dua belas jam setelah
kedatangannya, ia berhasil bertatapan muka dengan wanita itu.
Louisa Bullard berumur sekitar 35, bertampang pucat, tapi berpostur kuat.
Rambutnya berwarna cokelat muda dan cenderung ikal, sementara matanya juga
berwarna cokelat dan tampak jujur. Menurut Mr. Satterthwaite, ia agak bodoh,
tapi sangat dapat dipercaya.
Ia segera percaya pada alasan yang diajukan Mr. Satterthwaite bahwa
kedatangannya ke sana adalah untuk memperoleh keterangan lebih lanjut mengenai
tragedi yang terjadi di Deering Hill.
"Saya membaca di koran bahwa Mr. Martin Wylde telah diputuskan bersalah, Sir.
Sangat menyedihkan."
Bagaimanapun, ia tampak yakin Martin Wylde memang bersalah.
"Pemuda yang baik itu telah salah langkah. Dan meskipun saya tidak bermaksud
menjelek-jelekkan orang yang sudah mati, tapi sebetulnya nyonyalah penyebabnya.
Dia tak mau melepaskan pemuda itu. Yah, mereka berdua akhirnya mendapatkan
hukuman. Ada tulisan yang tergantung di dinding kamar saya ketika masih kecil
dulu, 'Jangan mempermainkan Tuhan'. Itu benar sekali. Saya yakin sesuatu pasti
akan terjadi malam itu juga - dan kenyataannya memang demikian."
"Kenapa begitu?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Saya sedang berada di kamar saya, Sir, mengganti pakaian, dan kebetulan saya
melirik ke jendela. Ada kereta api lewat, asapnya yang putih membubung di udara,
dan kalau Anda mau percaya, asap itu berbentuk tangan yang besar sekali. Jarijarinya menekuk, seolah-olah hendak mencengkeram sesuatu. Saya sampai merinding.
'Astaga, belum pernah saya melihat asap berbentuk begitu,' kata saya dalam hati.
'Itu tanda bahwa akan terjadi sesuatu' - dan tepat saat itu juga saya mendengar
bunyi tembakan. 'Itu dia,' kata saya, kemudian buru-buru turun dan bergabung
dengan Carrie serta yang lain di ruang keluarga. Kami masuk ke ruang musik dan
di sanalah dia tergeletak, ditembak di kepala - darahnya banyak sekali. Betulbetul menyeramkan! Tentu saja saya bercerita pada Sir George tentang tanda itu,
tapi dia tidak terlalu menggubrisnya. Lagi pula hari itu memang hari sial, saya
bisa merasakannya sejak pagi. Jumat tanggal 13 - apa lagi yang bisa Anda
harapkan?" Ia terus mengoceh. Mr. Satterthwaite menyabarkan diri. Berulang kali ia meminta
Louisa Bullard bercerita tentang kejadian itu, menanyainya dengan cermat.
Akhirnya ia harus menyerah kalah. Louisa Bullard telah menceritakan padanya
segala yang diketahuinya; ceritanya betul-betul sederhana dan tidak berbelitbelit. Tapi ia berhasil juga menemukan suatu fakta penting. Pekerjaan yang dijabatnya
sekarang adalah atas usul Mr. Thompson, sekretaris Sir George. Upah yang
diberikan begitu besar sampai ia merasa tergoda dan menerima pekerjaan itu,
meskipun harus meninggalkan Inggris dengan sangat terburu-buru. Seseorang
bernama Mr. Denman telah mengatur segalanya dan telah memperingatkannya untuk
tidak menulis surat pada teman-temannya sesama pelayan di Inggris, karena hal
itu "bisa menyulitkan dirinya dengan pihak imigrasi". Alasan itu diterimanya
bulat-bulat. Jumlah upah itu, yang disebutkannya dengan santai, kenyataannya begitu besar,
sampai-sampai Mr. Satterthwaite merasa kaget. Setelah ragu-ragu sejenak, ia
memutuskan untuk menemui Mr. Denman.
Ia nyaris tidak menemui kesulitan membujuk Mr. Denman untuk menceritakan segala
yang diketahuinya. Mr. Denman pernah bertemu dengan Thompson di London dan
Thompson pernah menolongnya. Sekretaris itu telah menulis surat padanya di bulan
September, mengatakan bahwa untuk alasan pribadi Sir George ingin sekali
mengeluarkan gadis itu dari Inggris. Apakah Mr. Denman bisa mencarikan pekerjaan
untuknya" Sejumlah uang akan dikirimkan untuk meninggikan upahnya.
"Saya rasa itu karena masalah biasa," kata Mr. Denman sambil bersandar santai di
kursinya. "Padahal gadis itu kelihatannya baik dan pendiam."
Mr. Satterthwaite tidak setuju kalau penyebabnya adalah masalah biasa. Ia yakin,
Louisa Bullard bukanlah tipe yang disenangi Sir George Barnaby. Untuk alasan
tertentu, penting untuk menyingkirkannya dari Inggris. Tapi kenapa" Dan siapa
otaknya" Sir George sendiri, yang bekerja melalui Thompson" Atau Thompson
sendiri yang bekerja dengan menggunakan nama majikannya"
Sambil memikirkan masalah-masalah itu, Mr. Satterthwaite melakukan perjalanan
pulang. Ia merasa kecewa dan putus asa. Perjalanannya ternyata sia-sia belaka.
Dengan perasaan gagal ia memasuki Restoran Arlecchino sehari setelah ia kembali.
Ia hampir-hampir tidak mengharapkan akan langsung bertemu dengan Mr. Quin di
situ, tapi nyatanya dengan gembira ia melihat sosok yang dikenalnya itu sedang
duduk di sebuah meja di ujung ruangan, dan wajah Mr. Harley Quin yang gelap itu
tersenyum menyambutnya. "Nah," kata Mr. Satterthwaite sambil mengambil sepotong mentega, "Anda menyuruh
saya melakukan pengejaran secara buta-butaan."
Mr. Quin menaikkan alisnya.
"Saya menyuruh Anda?" tanyanya keberatan. "Itu kan sudah jelas ide Anda
sendiri." "Tidak jadi soal itu ide siapa, yang jelas saya gagal. Louisa Bullard tidak tahu
apa-apa." Kemudian Mr. Satterthwaite menceritakan seluruh pembicaraannya dengan pelayan
itu, serta wawancaranya dengan Mr. Denman. Mr. Quin mendengarkan sambil berdiam
diri. "Satu hal dapat saya mengerti dengan jelas," lanjut Mr. Satterthwaite. "Dia
sengaja disingkirkan. Tapi kenapa" Saya tidak mengerti."
"Tidak?" tanya Mr. Quin, dan suaranya, seperti biasa, terdengar mengundang.
Wajah Mr. Satterthwaite menjadi marah.
"Saya rasa Anda mengira saya kurang teliti menanyainya. Saya yakinkan Anda, saya
telah memintanya bercerita berulang-ulang. Bukan salah saya kalau saya tidak
memperoleh apa yang kita inginkan."
"Apa Anda yakin bahwa Anda tidak memperoleh apa yang Anda inginkan?" tanya Mr.
Quin. Mr. Satterthwaite mendongak, menatapnya terpana. Mr. Quin balas menatapnya
dengan tatapan sedih dan menggoda, seperti yang dikenal baik oleh Mr.
Satterthwaite. Laki-laki kecil itu menggelengkan kepalanya, agak bingung.
Sunyi. Akhirnya Mr. Quin berkata dengan sikap betul-betul berbeda,
"Anda memberikan gambaran yang jelas sekali pada saya hari itu tentang orangorang yang terlibat dalam masalah ini. Dengan kata-kata singkat, Anda membuat
saya seolah-olah telah mengenal mereka secara pribadi. Saya harap Anda juga
menceritakan dengan jelas tentang tempat itu - Anda mengabaikannya."
Mr. Satterthwaite merasa tersanjung.
"Tempat itu" Deering Hill" Yah, itu cuma rumah biasa. Berdinding bata merah,
dengan jendela-jendela besar. Dari luar cukup seram, tapi sangat nyaman di
dalamnya. Bukan rumah yang besar sekali. Halamannya sekitar dua ekar. Rumahrumah di sekitarnya kurang-lebih sama. Dibangun untuk tempat tinggal orang-orang
kaya. Bagian dalam rumah itu dirancang seperti hotel - kamar-kamar tidurnya juga
seperti kamar-kamar di hotel. Ada kamar mandi dengan keran air panas dan dingin
di tiap kamar tidur, serta tombol lampu listrik berlapis kuningan di mana-mana.
Semuanya terasa nyaman, tapi tidak bersuasana pedesaan sama sekali. Jadi sangat
terasa bahwa Deering Vale cuma sembilan belas kilometer jauhnya dari London."
Mr. Quin mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Saya dengar pelayanan kereta api di sana buruk sekali," katanya mengomentari.
"Oh! Saya tidak tahu mengenainya," kata Mr. Satterthwaite, merasa tertarik.
"Saya mampir sebentar di sana musim panas yang lalu. Daerahnya lumayan menarik,
menurut saya. Tentu saja kereta apinya cuma ada tiap satu jam sekali, yaitu tiap
jam lebih 48 menit dari Waterloo - sampai jam 10.48."
"Dan berapa lama kereta itu sampai di Deering Vale?"
"Kurang-lebih tiga perempat jam. Jadi, tiap jam lebih 28 menit sampai di Deering
Vale." "Tentu saja," kata Mr. Quin gemas. "Mestinya saya ingat. Miss Dale mengantar
temannya yang naik kereta pukul 18.28 malam itu, bukan?"
Mr. Satterthwaite tidak menyahut selama beberapa menit. Otaknya dengan cepat
berputar kembali pada masalah yang belum terpecahkan itu. Akhirnya ia berkata,
"Saya harap Anda mau mengatakan apa yang Anda maksud tadi, ketika Anda bertanya
apakah saya yakin tidak memperoleh apa yang saya inginkan?"
Kata-katanya memang terdengar agak rumit, tapi Mr. Quin tidak berpura-pura tidak
memahaminya. "Saya cuma ingin tahu, apakah Anda tidak sedikit terlalu menuntut. Bagaimanapun,
Anda kan berhasil mengetahui bahwa Louisa Bullard memang sengaja disingkirkan
dari negeri ini. Oleh karena itu, pasti ada alasannya. Dan alasan itu pasti
terletak pada apa yang telah diceritakannya pada Anda."
"Yah," debat Mr. Satterthwaite. "Apa sih yang diceritakannya pada saya" Kalau
dia diminta bersaksi di pengadilan, apa yang akan dikatakannya?"
"Dia mungkin akan menceritakan apa yang telah dilihatnya," sahut Mr. Quin.
"Apa yang telah dilihatnya?"
"Suatu tanda di langit."
Mr. Satterthwaite menatapnya.
"Apakah Anda masih memikirkan omong kosong itu" Kepercayaan takhayul, seolaholah itu tangan Tuhan?"
"Mungkin," jawab Mr. Quin. "Anda tahu, menurut saya bisa saja itu memang tangan
Tuhan." Mr. Satterthwaite betul-betul bingung atas sikap Mr. Quin yang serius itu.
"Omong kosong," katanya. "Dia sendiri bilang itu asap kereta api."
"Kereta yang datang atau kereta yang pergi, ya?" gumam Mr. Quin.
"Tak mungkin kereta yang pergi. Kereta-kereta itu berangkat tiap jam lewat
sepuluh menit. Jadi, itu pasti kereta yang datang - kereta pukul 18.28 - tidak, itu
tidak cocok. Dia bilang tembakan itu terdengar segera setelah dia melihat asap
kereta itu, dan kita tahu tembakan itu diletuskan pada pukul 18.20. Tak mungkin
kereta itu lebih awal sepuluh menit."
"Rasanya memang tidak mungkin," ujar Mr. Quin menyetujui.
Mr. Satterthwaite menatapnya lekat-lekat.
"Mungkin itu kereta barang," gumamnya. "Tapi tentunya, kalau memang begitu..."
"Pasti tak perlu menyingkirkan Louisa Bullard dari Inggris. Saya setuju," kata
Mr. Quin. Mr. Satterthwaite menatapnya terpana.
"Kereta pukul 18.28," katanya pelan. "Kalau memang begitu, kalau tembakan itu
diletuskan kemudian, kenapa semua orang mengatakan sebelumnya?"
"Jelas," sahut Mr. Quin. "Jam-jam itu pastilah salah."
"Semuanya?" tanya Mr. Satterthwaite ragu-ragu. "Itu kebetulan yang luar biasa."
"Saya tidak menganggapnya suatu kebetulan," sahut Mr. Quin. "Saya cuma berpikir
bahwa hari itu adalah hari Jumat."
"Jumat?" ulang Mr. Satterthwaite.
"Anda pernah bilang pada saya bahwa Sir George selalu memutar jam-jam itu pada
hari Jumat sore," kata Mr. Quin dengan nada minta maaf.
"Dia menyetel jam-jam itu sepuluh menit lebih lambat," kata Mr. Satterthwaite,
nyaris berbisik saking terpananya pada penemuan yang baru saja didapatnya.
"Kemudian dia keluar untuk main bridge. Saya rasa dia pasti telah membaca surat
yang ditulis istrinya untuk Martin Wylde pagi itu - ya, dengan sengaja dia
membacanya. Dia meninggalkan teman-teman bridge-nya pada pukul 18.30, menemukan
senapan Martin yang disandarkan di sisi pintu samping, dan masuk serta menembak
istrinya dari belakang. Kemudian dia keluar lagi, melemparkan senapan itu di
semak-semak, tempat polisi kemudian menemukannya, dan kelihatan seolah-olah baru
pulang dari rumah tetangganya ketika seseorang berlari menemuinya untuk
mengabarinya. Tapi telepon itu - bagaimana dengan telepon itu" Ah ya, saya
mengerti. Dia memutuskan hubungannya supaya panggilan ke polisi tak bisa
dilakukan lewat telepon - karena polisi bisa jadi akan mencatat waktunya. Dengan
begitu, cerita Wylde jadi masuk akal. Waktu sesungguhnya ketika dia pulang
adalah antara pukul 18.05 sampai 18.20. Sambil berjalan pelan-pelan, dia akan
sampai di rumahnya pada pukul 18.45. Ya, saya mengerti semuanya sekarang. Louisa
adalah satu-satunya bahaya, karena dia terus-terusan bercerita tentang bayangan
takhayulnya itu. Seseorang pasti akan menyadari pentingnya kereta api itu dan
kemudian... percuma saja alibi yang hebat itu."
"Bagus sekali," komentar Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite menoleh padanya dengan muka merah karena telah berhasil.
"Sekarang masalahnya, apa yang harus kita lakukan?"
"Saya mengusulkan lewat Sylvia Dale," kata Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite tampak ragu-ragu.
"Saya pernah bilang pada Anda," katanya, "bahwa dia kelihatan agak... eh...
bodoh." "Dia punya ayah dan saudara laki-laki yang bisa mengambil langkah-langkah yang
diperlukan." "Itu benar," kata Mr. Satterthwaite lega.
Tak lama setelah itu, ia sudah duduk di hadapan gadis itu, menceritakan
segalanya. Sylvia mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak bertanya apaapa, tapi ketika Mr. Satterthwaite selesai bercerita, ia segera bangkit berdiri.
"Saya harus memanggil taksi - segera."
"Anakku yang baik, apa yang akan kaulakukan?"
"Saya akan menemui Sir George Barnaby."
"Udak mungkin. Itu salah sekali. Izinkan saya..."
Mr. Satterthwaite mengoceh terus di sampingnya. Tapi ia tidak berhasil mencegah
gadis itu. Sylvia Dale betul-betul berkeras hati. Ia mengizinkan Mr. Satterthwaite menemaninya pergi
dengan taksi, tapi ia menutup telinga terhadap segala protes yang diajukan Mr.
Satterthwaite. Ia meninggalkannya di taksi, sementara ia masuk ke kantor Sir
George di kota. Setengah jam kemudian ia baru keluar. Ia tampak letih, wajahnya yang cantik
sampai lesu seperti bunga yang kekurangan air. Mr. Satterthwaite menyambutnya
dengan prihatin. "Saya berhasil," gumamnya sambil menyandarkan tubuhnya dengan mata setengah
terpejam. "Apa?" Mr. Satterthwaite merasa kaget "Apa yang kaulakukan" Apa maksudmu?"
Ia duduk sedikit tegak. "Saya mengatakan padanya bahwa Louisa Bullard telah pergi ke polisi dan
mengatakan apa yang telah dilihatnya. Saya berkata padanya bahwa polisi telah
melakukan pemeriksaan dan ada orang melihatnya memasuki halaman rumahnya
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri, serta keluar lagi beberapa menit setelah pukul 18.30. Saya berkata
padanya bahwa permainan itu sudah buyar. Dia... dia langsung lemas. Saya berkata
padanya bahwa dia masih punya waktu untuk melarikan diri, karena polisi paling
tidak baru satu jam lagi datang untuk menangkapnya. Saya berkata padanya kalau
dia mau menandatangani surat pengakuan yang menjelaskan bahwa dialah yang
membunuh Vivien, saya tidak akan berbuat apa-apa, tapi kalau dia tidak mau, saya
akan menjerit dan menceritakan semua kebenaran itu. Dia begitu panik, sampaisampai tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia menandatangani surat itu tanpa
menyadari apa yang dilakukannya."
Ia meletakkan surat itu di tangan Mr. Satterthwaite.
"Ambillah - ambillah, Anda tahu apa yang harus dilakukan dengan surat itu, supaya
mereka mau membebaskan Martin."
"Dia betul-betul menandatanganinya," teriak Mr. Satterthwaite tercengang.
"Anda tahu, dia memang agak bodoh," kata Sylvia Dale. "Begitu pula saya,"
tambahnya setelah beberapa saat. "Itu sebabnya saya tahu bagaimana kelakuan
orang-orang bodoh. Anda tahu, kami jadi bingung, kemudian melakukan sesuatu yang
salah dan menyesalinya kemudian."
Badannya gemetar dan Mr. Satterthwaite menepuk-nepuk tangannya.
"Kau butuh sesuatu untuk membangkitkan semangat," katanya. "Mari, kita sudah
dekat dengan restoran favorit saya - Arlecchino. Apa kau pernah ke sana?"
Ia menggeleng. Mr. Satterthwaite menyuruh taksi itu berhenti dan membimbing gadis itu masuk ke
dalam restoran. Ia berjalan menuju meja di ujung ruangan, jantungnya berdetak
penuh harap. Tapi meja itu kosong.
Sylvia Dale melihat kekecewaan di wajahnya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Tidak apa-apa," sahut Mr. Satterthwaite. "Saya cuma setengah berharap bisa
menjumpai teman saya di sini. Tidak masalah. Suatu hari, saya harap, saya akan
berjumpa lagi dengannya."
Bab 5 RAHASIA SI BANDAR KASINO MR. SATTERTHWAITE sedang menikmati sinar matahari di sebuah teras di Monte
Carlo. Setiap tahun, secara rutin di minggu kedua bulan Januari, Mr. Satterthwaite
meninggalkan Inggris menuju Riviera. Ia jauh lebih tepat dari burung layanglayang mana pun. Pada bulan April ia kembali lagi ke Inggris; Mei dan Juni
dihabiskannya di London, dan belum pernah ia melewatkan Ascot. Ia meninggalkan
London setelah pertandingan antara Eton dan Harrow, mengunjungi beberapa rumah
di pedesaan sebelum bertetirah lagi ke Deauville atau Le Touquet. Berburu
memakan sebagian besar waktunya di bulan September dan Oktober, dan biasanya ia
menghabiskan dua bulan berikutnya di London sampai tutup tahun.
Pagi ini dahinya berkerut. Warna biru laut betul-betul mengagumkan dan tamannya
tetap seindah dulu, tapi orang-orang itu mengecewakan hatinya - ia menganggap
mereka kerumunan orang kelas bawah yang berpakaian serampangan. Tentu saja
beberapa di antaranya adalah penjudi, makhluk-makhluk terkungkung yang tak bisa
membebaskan diri sendiri. Mr. Satterthwaite dapat mentolerir mereka. Tapi ia
merindukan kehadiran orang-orang elite itu - orang-orang dari golongannya.
"Ini gara-gara perubahan itu," kata Mr. Satterthwaite muram. "Sekarang semua
jenis orang bisa datang kemari, padahal dulu mereka tak mampu membiayainya. Lagi
pula aku juga sudah bertambah tua. Semua orang muda itu - orang-orang yang
berdatangan itu - mereka mengunjungi semua tempat di Swiss."
Tapi ada hal-hal lain yang dirindukannya - kaum bangsawan dari negeri-negeri asing
itu, yang selalu berpakaian bagus-bagus, para raja dan pangeran. Satu-satunya
pangeran yang telah dilihatnya sejauh ini sedang menjalankan lift di salah
sebuah hotel yang kurang terkenal. Ia juga merindukan para wanita yang cantikcantik dan mahal itu. Mereka memang masih ada, tapi tidak sebanyak dulu.
Mr. Satterthwaite adalah pengamat jeli atas drama yang berjudul Kehidupan, tapi
ia lebih senang kalau drama itu dimainkan oleh orang-orang kelas atas. Ia
merasakan kekecewaan di dalam hatinya. Nilai-nilai sudah berubah, dan ia sudah
terlalu tua untuk berubah.
Pada saat itulah ia melihat Countess Czarnova sedang berjalan ke arahnya.
Mr. Satterthwaite sudah beberapa kali bertemu dengan sang Countess di Monte
Carlo. Pertama kali, ia melihatnya bersama-sama dengan seorang grand duke. Pada
kesempatan berikutnya, ia bersama dengan seorang bangsawan Austria. Kemudian di
tahun-tahun berikutnya, teman-temannya berasal dari keturunan Yahudi, pria-pria
pucat dengan hidung bengkok, serta perhiasan berlebihan. Sedangkan setahun-dua
tahun lalu ia terlihat ditemani oleh para pemuda yang masih muda belia, nyaris
masih kanak-kanak. Sekarang ia sedang berjalan dengan seorang pemuda yang sangat belia. Mr.
Satterthwaite kebetulan mengenalnya, dan ia merasa sebal. Franklin Rudge adalah
seorang pemuda Amerika, produk tipikal negara-negara bagian di Barat Tengah
Amerika. Ia ingin sekali tampil mengesankan. Sikapnya memang kurang sopan, tapi
menyenangkan, campuran aneh dari ketajaman dan idealisme. Ia berada di Monte
Carlo dengan sekelompok anak muda Amerika lainnya, laki-laki dan perempuan,
semuanya kurang-lebih bertipe sama. Baru pertama kali inilah mereka melihat
Monte Carlo dan mulut mereka penuh dengan kritikan serta pujian.
Secara keseluruhan, mereka tidak menyukai orang-orang Inggris di hotel itu, dan
orang-orang Inggris pun tidak menyukai mereka. Mr. Satterthwaite, yang bangga
dengan dirinya yang dianggapnya kosmopolitan, agak menyukai mereka. Sifat terus
terang dan semangat mereka menarik hatinya, meskipun kadang-kadang gaya bahasa
mereka bisa membuatnya merinding.
Menurutnya Countess Czarnova adalah teman yang paling tidak sesuai bagi Franklin
Rudge yang muda itu. Ia mencopot topinya dengan sopan ketika mereka lewat di depannya, dan sang
Countess mengangguk padanya dengan anggun sambil tersenyum.
Ia seorang wanita yang sangat jangkung, penampilannya betul-betul sempurna.
Rambutnya hitam, begitu pula matanya, dengan alis dan bulu mata yang jauh lebih
hitam dari wanita mana pun.
Mr. Satterthwaite, yang jauh lebih mengetahui rahasia kecantikan kaum wanita
dibandingkan dengan laki-laki lain, kagum sekali pada caranya mengenakan makeup.
Kulitnya nyaris tak bernoda, betul-betul putih halus.
Bayangan samar di bawah matanya sungguh efektif. Bibirnya tidaklah oranye atau
merah, tapi berwarna anggur lembut. Ia mengenakan gaun berwarna hitam dan putih
dengan potongan sangat berani serta membawa payung kecil berwarna merah muda,
yang membuat penampilannya semakin menarik.
Franklin Rudge kelihatan bahagia dan bangga.
"Satu lagi pemuda goblok," kata Mr. Satterthwaite dalam hati. "Tapi kurasa itu
bukan urusanku, lagi pula dia pasti tidak mau mendengarkan nasihatku. Yah, yah,
aku dulu toh juga pernah muda."
Tapi ia masih merasa agak cemas, karena di dalam kelompok itu juga ada seorang
gadis Amerika yang menarik, dan ia yakin gadis itu sama sekali tidak menyukai
hubungan Franklin Rudge dengan sang Countess.
Ia baru saja hendak melanjutkan langkah-langkahnya ke arah berlawanan ketika ia
melihat gadis itu sedang berjalan ke arahnya. Gadis itu mengenakan "jas" yang
bagus jahitannya dengan blus muslin putih, sepatu yang baik dan pantas, serta
membawa sebuah buku pemandu. Memang ada beberapa orang Amerika yang mengunjungi
Paris dan kembali dengan berpakaian ala Ratu Sheba, tapi Elizabeth Martin
tidaklah seperti itu. Dandanannya "ala Eropa", dengan gaya tegas dan luwes. Ia
punya penilaian tinggi terhadap adat dan kesenian, dan ingin mendapatkan yang
terbaik dengan uangnya yang terbatas.
Mr. Satterthwaite tidak menganggapnya berselera tinggi ataupun artistik. Baginya
gadis itu hanyalah anak yang masih muda sekali.
"Selamat pagi, Mr. Satterthwaite," sapa Elizabeth. "Apakah Anda melihat Franklin
- Mr. Rudge - di sekitar sini?"
"Saya baru saja melihatnya beberapa menit yang lalu."
"Dengan temannya sang Countess, saya rasa," katanya tajam.
"Eh - ya, dengan sang Countess," Mr. Satterthwaite mengakui.
"Countess-nya itu sama sekali tidak membuat saya tertarik," kata gadis itu
dengan suara agak tinggi dan melengking. "Franklin begitu tergila-gila padanya.
Kenapa, saya sungguh tidak mengerti."
"Saya rasa, itu karena sikap sang Countess yang sangat menarik," kata Mr.
Satterthwaite hati-hati. "Apakah Anda mengenalnya?"
"Sedikit." "Saya betul-betul cemas dengan Franklin," kata Miss Martin. "Padahal anak itu
punya banyak prinsip dalam hidup ini. Anda pasti takkan mengira dia bisa mabuk
kepayang dengan tipe perayu seperti itu. Dan dia tidak mau mendengarkan omongan
orang lain. Dia jadi keras kepala seperti batu kalau ada yang berusaha
menasihatinya. Omong-omong, apa betul dia itu countess sejati?"
"Saya tak ingin menentangnya," kata Mr. Satterthwaite. "Mungkin saja."
"Jawaban Anda khas orang Inggris," kata Elizabeth tak senang. "Menurut saya, di
Sargon Springs - itu kota tempat tinggal kami, Mr. Satterthwaite - countess itu
pasti akan kelihatan seperti badut."
Mr. Satterthwaite merasa itu masuk akal. Ia menahan diri untuk tidak mengatakan
bahwa mereka tidaklah berada di Sargon Springs, melainkan di sebuah daerah di
Monaco, di mana sang Countess betul-betul sesuai dengan lingkungannya, jauh
lebih sesuai bila dibandingkan dengan Miss Martin.
Ia tidak menyahut dan Elizabeth melanjutkan perjalanannya menuju kasino. Mr.
Satterthwaite duduk di sebuah kursi di bawah sinar matahari, dan segera
dibarengi oleh Franklin Rudge.
Rudge betul-betul bersemangat.
"Saya senang sekali," katanya dengan semangat lugu. "Ya, sungguh! Inilah yang
saya sebut melihat-lihat kehidupan - agak berbeda dengan kehidupan kami di
Amerika." Mr. Satterthwaite berpaling ke arahnya dengan wajah serius.
"Kehidupan itu kurang-lebih sama di mana-mana," katanya agak letih. "Cuma
pakaiannya yang berbeda - itu saja."
Franklin Rudge menatapnya.
"Saya tidak memahami Anda."
"Memang tidak," kata Mr. Satterthwaite. "Itu karena kau masih muda sekali. Tapi
saya minta maaf. Orang-orang yang sudah tua tidak boleh seenaknya berkhotbah."
"Oh! itu tidak apa-apa." Rudge tertawa, mempertontonkan sederetan gigi yang
bagus. "Anda tahu, saya agak kecewa dengan kasinonya. Saya pikir permainan
judinya akan berbeda - lebih seru. Tapi nyatanya malah agak membosankan dan
memuakkan." "Berjudi adalah soal hidup dan mati bagi seorang penjudi, tapi berjudi itu
sendiri tidak punya nilai spektakuler yang hebat," kata Mr. Satterthwaite.
"Lebih enak dibaca daripada dilihat."
Pemuda itu mengangguk menyetujui.
"Omong-omong, Anda ini termasuk orang terkenal di masyarakat, bukan?" tanyanya
terus terang, tapi juga dengan malu-malu, sehingga Mr. Satterthwaite tak bisa
merasa tersinggung. "Maksud saya, Anda mengenal semua kaum bangsawan itu."
"Yah, lumayan banyak," sahut Mr. Satterthwaite. "Dan juga orang-orang Yahudi,
Portugis, Yunani, dan Argentina."
"Eh?" kata Mr. Rudge.
"Maksud saya," kata Mr. Satterthwaite, "saya ini memang terkenal di antara
masyarakat Inggris."
Franklin Rudge merenung sejenak.
"Anda mengenal Countess Czarnova, bukan?" akhirnya ia bertanya.
"Sedikit," sahut Mr. Satterthwaite, memberikan jawaban yang sama seperti yang
diberikannya pada Elizabeth tadi.
"Nah, dia itu wanita yang menarik sekali. Orang cenderung mengira kearistokratan
Eropa sudah hilang dan kuno. Itu mungkin benar untuk kaum laki-lakinya, tapi
kaum wanitanya berbeda. Bukankah menyenangkan sekali bisa bertemu dengan makhluk
unik seperti sang Countess" Cerdik, anggun, pintar, dengan nenek moyang hebathebat, betul-betul berdarah biru sampai ke ujung-ujung jarinya!"
"Oh, apa betul?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Yah, masa tidak" Anda mengenal asal-usul keluarganya?"
"Tidak," sahut Mr. Satterthwaite. "Saya rasa sedikit sekali yang saya ketahui
tentang dirinya." "Dia keturunan Radzynski," Franklin Rudge menjelaskan. "Salah satu keluarga
tertua di Hungaria. Kehidupannya betul-betul luar biasa. Anda tahu kalung
mutiara besar yang dipakainya itu?"
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Itu pemberian Raja Bosnia untuknya. Dia pernah membantu menyelundupkan beberapa
dokumen rahasia keluar dari kerajaan itu."
"Saya memang pernah mendengar bahwa mutiara itu adalah pemberian Raja Bosnia
untuknya," kata Mr. Satterthwaite.
Informasi itu sebenarnya cuma gosip umum saja. Kata orang, sang Countess pernah
menjadi ch?re amie Baginda Raja di waktu lampau.
"Sekarang akan saya ceritakan pada Anda selengkapnya."
Mr. Satterthwaite mendengarkan, dan semakin mendengarkan, semakin ia mengagumi
imajinasi Countess Czarnova yang luas itu. Tidak ada gaya "perayu" (seperti
istilah yang dipakai Elizabeth Martin) pada dirinya. Pemuda itu cukup pintar
dalam hal-hal begitu, berpikiran luas dan idealis. Tidak, sang Countess dengan
cermat bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan diplomatik.
Itu berarti ia juga punya musuh dan pengkhianat! Pokoknya dari cerita-ceritanya
itu, Franklin Rudge berkesimpulan, bahwa dalam kehidupan ini, sang Countess
adalah figur utama, istimewa, aristokrat, teman para bangsawan dan pangeran,
figur yang menggambarkan pengabdian yang romantis.
"Tapi banyak juga yang menentangnya," kata pemuda itu hangat. "Luar biasa, tapi
dia tak pernah menemukan seorang wanita yang bisa menjadi teman baiknya.
Sepanjang hidupnya kaum wanita selalu menentangnya."
"Mungkin," kata Mr. Satterthwaite.
"Menurut Anda, apa itu bukan skandal?" tanya Rudge panas.
"Ti... tidak," sahut Mr. Satterthwaite serius.
"Saya sebetulnya tidak tahu. Kaum wanita punya prinsip-prinsip sendiri, kau
tahu. Tidak baik melibatkan diri pada urusan mereka. Biarkan mereka mengurus
urusan mereka sendiri."
"Saya tidak setuju dengan Anda," kata Rudge sungguh-sungguh. "Itu salah satu
sikap terburuk di dunia sekarang ini, ketidakramahan antara sesama wanita. Anda
tahu Elizabeth Martin" Nah, dia setuju seratus persen dengan saya secara
teoretis. Kami sering membahasnya bersama-sama. Dia cuma anak-anak, tapi
gagasan-gagasannya lumayan. Tapi kalau tiba saatnya diuji, dia jadi sama
buruknya dengan wanita-wanita lainnya. Dia benci sekali pada Countess, padahal
dia nyaris tidak mengenalnya sama sekali, dan dia juga tidak mau mendengarkan
penjelasan saya. Itu sikap yang salah, Mr. Satterthwaite. Saya percaya pada
demokrasi. Kalau ada persaudaraan di antara kaum laki-laki, kenapa tidak ada
persaudaraan juga di antara kaum wanita?"
Ia berhenti sejenak. Mr. Satterthwaite berusaha memikirkan suatu keadaan di mana
bisa ada rasa persaudaraan antara sang Countess dan Elizabeth Martin, tapi
gagal. "Tapi sang Countess, sebaliknya," Rudge melanjutkan. "Dia sangat mengagumi
Elizabeth, dan menganggapnya menarik dalam segala hal. Nah, apa maksudnya ini?"
"Maksudnya," kata Mr. Satterthwaite dengan kering, "sang Countess sudah hidup
jauh lebih lama daripada Miss Martin."
Franklin Rudge tiba-tiba beralih pada topik lain.
"Anda tahu berapa umurnya" Dia mengatakannya pada saya. Lumayan sportif. Menurut
saya dia kelihatan seperti berumur 29, tapi dia sendiri yang berkata pada saya
bahwa umurnya 35. Dia tidak kelihatan setua itu, bukan?"
Mr. Satterthwaite, yang punya estimasi sendiri atas umur wanita itu, yaitu
antara 45 dan 49, cuma mengangkat alis.
"Saya harus memperingatkanmu, jangan percaya segala omongan orang di Monte
Carlo," gumamnya. Mr. Satterthwaite punya cukup banyak pengalaman untuk mengetahui bahwa sia-sia
saja berargumentasi dengan pemuda itu. Franklin Rudge betul-betul mabuk kepayang
terhadap sang Countess, sehingga ia takkan mempercayai pernyataan apa pun, tanpa
didasari bukti yang sah. "Ini dia sang Countess," kata pemuda itu seraya berdiri.
Sang Countess datang menghampiri mereka dengan keanggunan lemah gemulai yang
memang sudah menjadi ciri khasnya. Mereka bertiga kemudian duduk-duduk bersama.
Sikapnya terhadap Mr. Satterthwaite betul-betul ramah, tapi agak menjaga jarak.
Ia menaruh hormat pada Mr. Satterthwaite, menanyakan pendapatnya, dan
menganggapnya orang yang paling tahu tentang Riviera.
Ia pandai sekali mengatur perbincangan mereka. Tak lama kemudian, Franklin Rudge
dengan sopan tapi jelas disuruhnya pergi, sehingga ia bisa ber-t?te-?-t?te
dengan Mr. Satterthwaite.
Ia menurunkan payung kecilnya dan mulai mencoret-coret pasir dengan ujungnya.
"Anda tertarik dengan pemuda Amerika yang baik itu, bukan, Mr. Satterthwaite?"
Suaranya bernada rendah dan terdengar mendayu-dayu.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia memang pemuda yang baik," kata Mr. Satterthwaite, tanpa komentar.
"Menurut saya, dia simpatik," kata sang Countess sambil merenung. "Saya banyak
menceritakan kehidupan saya padanya."
"Masa?" kata Mr. Satterthwaite.
"Ya, cerita yang hanya saya ungkapkan pada orang-orang tertentu," lanjutnya
dengan pandangan menerawang. "Saya memang punya kehidupan yang luar biasa, Mr.
Satterthwaite. Hanya sedikit orang yang mau memuji hal-hal menarik yang saya
alami." Mr. Satterthwaite cukup tajam untuk mengetahui maksud perkataannya.
Bagaimanapun, cerita-cerita yang telah dikatakannya pada Franklin Rudge bisa
jadi benar. Memang rasanya tidak masuk akal dan mustahil, tapi mungkin saja...
Tapi... ah, tidak, sudah pasti kita bisa mengatakan, "Itu tak mungkin..."
Ia tidak menyahut, dan sang Countess terus menatap laut dengan pandangan
menerawang. Tiba-tiba Mr. Satterthwaite punya kesan aneh dan baru terhadap dirinya. Ia tidak
lagi menganggap sang Countess wanita yang suka membual, tapi wanita yang betulbetul putus asa, yang sedang berjuang mati-matian. Ia melirik sekilas ke
arahnya. Payung kecilnya sudah digeletakkan; ia bisa melihat kerut-kerut
keletihan di ujung-ujung matanya. Pada salah satu sisi keningnya tampak sebuah
nadi berdenyut-denyut. Kesan itu terus muncul di benaknya, dan ia menjadi yakin. Sang Countess adalah
wanita yang putus asa dan kalap. Ia tidak akan mengampuni siapa pun yang berdiri
di antaranya dan Franklin Rudge. Tapi Mr. Satterthwaite masih belum bisa
memahami situasinya dengan jelas. Sudah pasti wanita ini punya banyak uang. Ia
selalu berpakaian bagus-bagus dan perhiasannya hebat-hebat. Pastilah
keputusasaannya tidak berkaitan dengan hal-hal itu. Apakah ini menyangkut cinta"
Para wanita seumurnya memang sering kali jatuh cinta dengan pemuda-pemuda.
Mungkin itu alasannya. Tapi Mr. Satterthwaite yakin ada sesuatu yang tidak biasa
dalam situasi itu. T?te-?-t?te sang Countess dengan dirinya, menurut Mr. Satterthwaite, adalah
suatu sikap menantang. Ia telah dianggap sebagai musuh utama. Ia yakin sang
Countess sebetulnya mengharapkan ia mau sedikit-sedikit bercerita tentang
dirinya pada Franklin Rudge. Mr. Satterthwaite tersenyum sendiri. Ia sudah cukup
tua untuk mengenal hal-hal begitu. Ia tahu kapan harus menutup mulut.
Mr. Satterthwaite melihat sang Countess di Kasino Cercle Priv? malam itu, ketika
ia sedang mencoba peruntungannya di permainan rolet.
Berkali-kali ia memasang taruhan, tapi selalu tersapu habis. Ia menanggung
kekalahannya dengan baik, dengan gaya acuh tak acuh sang froid kaum habitu?. Ia
bertaruh secara en plein sekali-dua kali, memasang taruhan maksimum pada merah,
menang sedikit, dan kalah lagi. Akhirnya ia memasang manque enam kali dan kalah
setiap kali. Kemudian sambil angkat bahu ia pergi.
Ia kelihatan sangat cantik dengan gaun tipis berwarna emas dan hijau. Mutiara
Bosnia yang terkenal itu tergantung di lehernya dan anting-anting panjang dari
mutiara tergantung di telinganya.
Mr. Satterthwaite mendengar dua orang laki-laki di dekatnya memuji-muji sang
Countess. "Countess Czarnova," kata yang satu, "penampilannya selalu hebat, bukan" Permata
Bosnia itu tampak serasi sekali di lehernya."
Laki-laki lainnya, yang kecil dan bertampang Yahudi, menatap curiga pada sang
Countess. "Jadi, kalungnya itu permata Bosnia, ya?" tanyanya. "En v?rit?. Aneh."
Ia cekikikan sendiri. Mr. Satterthwaite tak bisa mendengar perkataan mereka selanjutnya, karena saat
itulah ia memalingkan kepala dan merasa gembira sekali melihat temannya.
"Mr. Quin." Ia menyalami tangan temannya itu dengan hangat. "Saya sama sekali
tidak mengira akan bertemu Anda di tempat seperti ini."
Mr. Quin tersenyum, wajahnya yang gelap dan menarik itu berseri-seri.
"Seharusnya Anda tidak boleh kaget," katanya.
"Sekarang kan saatnya karnaval. Saya sering kemari pada saat-saat karnaval."
"Masa" Yah, pokoknya saya senang sekali. Apakah Anda ingin tetap di sini"
Menurut saya, di sini agak panas."
"Memang di luar lebih nyaman," Mr. Quin menyetujui. "Mari berjalan-jalan di
taman." Udara di luar terasa menyengat, tapi tidak dingin. Kedua laki-laki itu menarik
napas dalam-dalam. "Ini lebih baik," kata Mr. Satterthwaite.
"Jauh lebih baik," sahut Mr. Quin menyetujui. "Dan kita bisa berbicara dengan
bebas. Saya yakin banyak yang ingin Anda bicarakan dengan saya."
"Memang betul."
Dengan bersemangat Mr. Satterthwaite menceritakan semua kebingungannya. Seperti
biasa ia membanggakan kemampuannya dalam menciptakan suasana. Sang Countess,
pemuda Franklin, Elizabeth yang tak bersahabat - ia menggambarkan mereka semua
dengan ahli. "Anda sudah berubah sejak pertama kali saya mengenal Anda," kata Mr. Quin,
tersenyum, ketika cerita Mr. Satterthwaite sudah berakhir.
"Dalam hal apa?"
"Anda dulu sudah cukup puas dengan hanya menonton drama yang ditayangkan oleh
hidup ini. Sekarang Anda ingin turut ambil bagian - dalam berperan."
"Memang benar," Mr. Satterthwaite mengakui. "Tapi dalam kasus ini saya tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Semuanya sangat membingungkan. Mungkin..." Ia
ragu-ragu. "Mungkin Anda mau menolong saya?"
"Dengan senang hati," sahut Mr. Quin. "Mari kita lihat apa yang bisa kita
lakukan." Hati Mr. Satterthwaite diliputi perasaan tenang dan yakin.
Keesokan harinya ia memperkenalkan Franklin Rudge dan Elizabeth Martin pada
temannya Mr. Harley Quin. Ia senang mereka bisa akrab. Sang Countess tidak
disebut-sebut, tapi pada saat makan siang ia mendengar berita yang membangkitkan
minatnya. "Mirabelle akan datang di Monte malam ini," katanya gembira pada Mr. Quin.
"Aktris panggung pujaan orang-orang di Paris?"
"Ya. Saya rasa Anda mengenalnya. Dia cukup terkenal. Dia pujaan Raja Bosnia yang
terakhir. Baginda pasti telah membanjirinya dengan perhiasan-perhiasan. Orang
bilang dia wanita paling memesona dan kaya di Paris."
"Pasti menarik melihatnya berjumpa dengan Countess Czarnova malam ini."
"Begitulah yang saya pikirkan."
Mirabelle berpostur jangkung, langsing, dengan rambut dicat pirang. Kulitnya
putih kemerahan dengan bibir oranye. Ia betul-betul modis. Pakaiannya kelihatan
seperti burung cendrawasih yang megah, dan ia mengenakan kalung permata yang
berjuntai-juntai di punggungnya yang telanjang. Sebuah gelang besar bertatahkan
berlian melingkar di mata kakinya.
Ia menimbulkan sensasi ketika muncul di kasino.
"Teman Anda sang Countess pasti susah menyainginya," gumam Mr. Quin di telinga
Mr. Satterthwaite. Mr. Satterthwaite mengangguk. Ia ingin tahu bagaimana penampilan sang Countess
nanti. Sang Countess muncul terlambat, dan gumaman-gumaman pelan terdengar ketika ia
berjalan dengan santainya menuju salah satu meja rolet yang terletak di tengahtengah ruangan itu. Ia mengenakan gaun putih - modelnya sederhana sekali, seperti yang biasa dikenakan
para debutante, leher serta lengan-lengannya yang mulus dan mengilap itu tidak
dihiasi apa-apa. Ia tidak mengenakan perhiasan satu pun.
"Sungguh pintar," kata Mr. Satterthwaite, langsung kagum. "Dia membenci
persaingan dan membalikkan meja pada lawannya."
Mr. Satterthwaite berjalan mendekat dan berdiri di samping meja itu. Dari tadi
ia sudah memasang taruhan, sekadar untuk menyenangkan hati. Kadang-kadang ia
menang, tapi sering kali ia kalah.
Ada perputaran yang menarik untuk mata dadu terakhir. Angka 31 dan 34 muncul
berulang kali. Taruhan sampai memuncak.
Sambil tersenyum Mr. Satterthwaite memasang taruhannya yang terakhir malam itu,
dan memasang maksimum untuk Nomor 5.
Sang Countess, pada gilirannya, mencondongkan badannya ke depan dan memasang
maksimum untuk Nomor 6. "Faites vos jeux," panggil si bandar dengan serak. "Rien ne va plus. Plus rien."
Bola itu bergulir, berdengung dengan riangnya. Mr. Satterthwaite berkata dalam
hati, "Ini berbeda bagi kami masing-masing. Pertentangan antara harapan dan
keputusasaan, kejenuhan, kesepian, kesenangan, kehidupan, dan kematian."
Klik! Bandar itu membungkuk untuk melihat.
"Numero cinque, rouge, impair et manque."
Mr. Satterthwaite menang!
Bandar itu, yang telah menyapu taruhan-taruhan lainnya, mendorong taruhan Mr.
Satterthwaite yang telah menang itu ke depan. Mr. Satterthwaite mengulurkan
tangan hendak menerimanya. Sang Countess juga begitu. Bandar itu memandang
mereka satu per satu. "A Madame," katanya singkat.
Sang Countess mengambil uangnya. Mr. Satterthwaite mundur. Ia bersikap
gentleman. Sang Countess menatapnya lekat-lekat dan ia membalasnya. Beberapa
orang di sana mengemukakan bahwa bandar itu telah membuat kesalahan, tapi orang
itu menggelengkan kepala dengan tak sabar. Ia telah memutuskan. Permainan sudah
selesai. Ia berteriak lagi dengan suara serak,
"Faites vos jeux, Messieurs et Mesdames."
Mr. Satterthwaite menggabungkan diri lagi dengan Mr. Quin. Di balik sikapnya
yang sopan, ia betul-betul merasa berang. Mr. Quin mendengarkan keluhannya
dengan simpatik. "Sayang sekali," katanya, "tapi kejadian seperti ini bisa saja terjadi."
"Kita akan bertemu dengan teman Anda nanti - Franklin Rudge. Saya akan mengadakan
pesta makan malam kecil-kecilan."
Ketiganya bertemu waktu tengah malam, dan Mr. Quin menjelaskan rencananya.
"Pesta ini bernama 'Pagar dan Jalan Raya'," katanya menjelaskan. "Kita memilih
tempat pertemuannya, kemudian masing-masing harus keluar dan mengundang dengan
hormat orang pertama yang kita jumpai."
Franklin Rudge merasa tertarik dengan ide itu.
"Tapi bagaimana kalau orang itu tidak mau ikut?"
"Anda harus berusaha keras membujuknya."
"Bagus. Dan di mana tempat pertemuannya?"
"Di sebuah kafe Bohemia. Kita bisa mengajak tamu-tamu asing. Namanya Le Caveau."
Ia menjelaskan lokasi tempat itu, kemudian ketiganya berpisah. Mr. Satterthwaite
sangat beruntung karena ia langsung berjumpa dengan Elizabeth Martin dan
berhasil mengundangnya. Mereka tiba di Le Caveau dan menuruni anak tangga
memasuki sebuah ruangan yang seperti gudang bawah tanah. Di sana terdapat sebuah
meja yang telah disiapkan untuk makan malam, dengan penerangan cahaya lilinlilin. "Kita datang duluan," kata Mr. Satterthwaite. "Ah! ini dia Franklin..."
Ia berhenti dengan tiba-tiba. Bersama Franklin adalah sang Countess. Sesaat
terjadi kecanggungan. Sikap Elizabeth menjadi kurang ramah. Sang Countess, yang
wanita terkenal, tetap menjaga kehormatannya.
Yang terakhir muncul adalah Mr. Quin. Bersamanya adalah seorang laki-laki
berpostur kecil dan gelap, berpakaian rapi, yang wajahnya tidaklah asing bagi
Mr. Satterthwaite. Sejenak kemudian ia mengenali laki-laki itu. Ia si bandar
kasino yang sore itu telah membuat kesalahan menyedihkan.
"Mari saya kenalkan Anda dengan teman-teman saya, M. Pierre Vaucher," kata Mr.
Quin. Laki-laki kecil itu tampak bingung. Mr. Quin mengenalkan mereka semua dengan
mudah dan santai. Makan malam dihidangkan - betul-betul lezat. Kemudian anggur
disajikan - juga sangat lezat. Terasa ada kecanggungan dalam suasana. Sang
Countess jadi pendiam sekali, begitu pula Elizabeth. Franklin Rudge masih tetap
cerewet. Ia menceritakan berbagai kisah - bukan kisah-kisah lucu, tapi yang
serius-serius. Dan dengan tenang serta penuh perhatian Mr. Quin membagikan
anggur. "Saya akan bercerita pada Anda, dan ini kisah nyata, lho - tentang seorang lakilaki yang berhasil," kata Franklin Rudge dengan penuh semangat.
Bagi orang yang berasal dari negara yang melarang perdagangan minuman keras, ia
betul-betul menyukai minuman anggur itu.
Ia menceritakan kisahnya - mungkin dengan agak bertele-tele. Dan seperti banyak
kisah nyata lainnya, kisah itu tidak seberapa hebat.
Ketika ia selesai bercerita, Pierre Vaucher yang duduk berhadapan dengannya
tampak seperti baru bangun dari tidur. Ia juga terpengaruh oleh minuman anggur
itu. Ia mencondongkan badannya ke depan.
"Saya juga akan menceritakan sebuah kisah," katanya dengan suara berat. "Tapi
kisah saya ini adalah tentang seorang laki-laki yang tidak berhasil. Kisah
tentang seorang laki-laki bernasib buruk Dan seperti kisah Anda tadi, ini juga
kisah nyata." "Ayolah ceritakan pada kami, Monsieur," kata Mr. Satterthwaite sopan.
Pierre Vaucher bersandar di kursinya dan memandang langit-langit.
"Kisah ini dimulai di Paris. Ada seorang laki-laki di sana, seorang ahli pembuat
perhiasan. Dia masih muda dan penuh semangat serta rajin bekerja Orang bilang
masa depannya pasti cerah. Sebuah pernikahan yang baik sudah direncanakan
untuknya, calon istrinya berparas lumayan, dan maharnya memuaskan sekali.
Kemudian, bagaimana menurut Anda" Suatu hari dia bertemu dengan seorang gadis.
Seorang gadis muda yang mengenaskan tampaknya, Messieurs. Cantik" Ya, mungkin,
kalau dia tidak tinggal tulang berbalut kulit. Tapi bagaimanapun, bagi pemuda
ini, gadis itu seolah-olah telah menyihirnya. Gadis itu berkata dia sedang
berusaha mencari pekerjaan. Saya tidak tahu perkataannya itu benar atau tidak."
Suara sang Countess tiba-tiba terdengar dari balik keremangan.
"Kenapa tidak benar" Bukankah banyak gadis seperti itu?"
"Yah, pokoknya pemuda itu mempercayainya. Dan dia juga menikahinya - suatu
tindakan bodoh! Keluarganya tidak mau lagi menerimanya. Dia telah membuat mereka
malu. Dia menikah dengan - saya akan menyebutnya Jeanne - karena merasa kasihan.
Dia mengatakannya pada Jeanne. Dia merasa Jeanne seharusnya berterima kasih
padanya. Begitu banyak pengorbanannya untuknya."
"Permulaan yang bagus untuk gadis malang itu," sindir sang Countess.
"Pemuda itu mencintainya, ya, tapi dari awal Jeanne membuatnya gila. Gadis itu
temperamental, suka membuat keributan; hari ini sikapnya dingin, besok penuh
cinta kasih. Akhirnya pemuda itu melihat kebenarannya. Jeanne tak pernah
mencintainya. Dia mau menikah dengan si pemuda semata-mata hanya demi sandang
dan pangan. Kebenaran itu menyakiti hati si pemuda, sampai sedalam-dalamnya,
tapi dia berusaha sekuat tenaga agar hal itu tidak tampak dari luar. Dia merasa
masih berhak memperoleh balas jasa dan kepatuhan dari Jeanne atas keinginankeinginannya. Akhirnya mereka bertengkar. Jeanne memaki-makinya - Mon Dieu, betapa
keji caci-makinya itu! "Anda tentu bisa membayangkan kisah selanjutnya, bukan" Sesuatu yang tak bisa
dihindari lagi. Jeanne meninggalkannya. Selama dua tahun pemuda itu sendirian,
bekerja di tokonya yang kecil tanpa berita apa pun tentang istrinya itu. Dia
cuma punya satu teman - minuman keras. Bisnisnya tidak berkembang dengan baik.
"Pada suatu hari dia sampai di tokonya dan menjumpai Jeanne sedang duduk di
sana. Pakaiannya indah sekali. Dia mengenakan beberapa cincin di jari-jarinya.
Pemuda itu berdiri menatapnya. Jantungnya berdegup - berdegup kencang! Dia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya. Dia ingin memukuli Jeanne, mendekapnya eraterat, melemparkannya di lantai, menginjak-nginjaknya, dan berlutut di
hadapannya. Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Dia mengambil peralatannya dan
melanjutkan pekerjaannya. 'Apa yang Anda inginkan, Madame"' tanyanya dengan gaya
formal. "Hal itu menjengkelkan Jeanne. Dia tak menyangka akan diperlakukan seperti itu.
'Pierre,' katanya. 'Aku sudah pulang.' Pemuda itu meletakkan peralatannya dan
memandangnya. 'Dan kau ingin kumaafkan"' dia bertanya. 'Kau ingin aku menerimamu
kembali" Kau betul-betul sudah bertobat"' Jeanne menggumam, 'Apa kau ingin aku
kembali"' Oh! suaranya lembut sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Pemuda itu tahu Jeanne sedang berusaha menjebaknya. Dia sebetulnya ingin sekali
mendekap Jeanne, tapi dia terlalu cerdik untuk itu. Jadi, dia pura-pura tak
acuh. "'Aku seorang Kristen,' katanya. 'Aku akan bertindak seperti yang diajarkan oleh
gereja... Ah!' pikirnya, 'aku akan merendahkannya, merendahkannya sampai dia
berlutut.' "Tapi Jeanne malah mencibir dan tertawa seperti setan. 'Aku menghinamu, Pierre,'
katanya. 'Lihatlah bajuku yang mahal, cincin-cincin dan gelang-gelangku. Aku
kemari cuma untuk pamer di depanmu. Kupikir aku bisa membuatmu mendekapku, dan
kalau kaulakukan itu, maka... maka aku akan meludahi mukamu dan mengatakan
betapa aku membencimu!' "Kemudian Jeanne keluar dari toko itu. Dapatkah Anda percaya, Messieurs, bahwa
seorang wanita bisa sekeji itu - pulang hanya untuk menyiksa diri saya?"
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak," sahut sang Countess. "Saya tidak mempercayainya. Dan laki-laki yang
pintar pasti juga tidak akan mempercayainya. Tapi... yah, semua laki-laki tidak
ada yang pintar." Pierre Vaucher tidak mengacuhkannya. Ia melanjutkan,
"Dan pemuda yang saya ceritakan pada Anda itu semakin lama semakin parah
keadaannya. Dia terus-terusan minum. Toko kecil itu terpaksa dijualnya. Dia
menjadi gelandangan, tinggal di bawah jembatan. Kemudian perang tiba. Ah!
Keadaan yang bagus. Perang membuatnya keluar dari bawah jembatan dan membukakan
matanya. Perang juga melatihnya - dan membuatnya sadar. Dia berusaha bertahan
dalam udara dingin mencekam dan rasa sakit serta ketakutan akan kematian - dan
nyatanya dia tidak mati. Ketika perang usai, dia menjadi seorang laki-laki lagi.
"Saat itulah, Messieurs, dia pindah ke Selatan. Paru-parunya telah terinfeksi
gas, dan orang-orang menasihatinya agar mencari pekerjaan di Selatan.
Singkatnya, dia akhirnya menjadi pegawai sebuah kasino, dan di sana, di kasino
itu suatu malam, dia melihat Jeanne lagi - wanita yang telah menghancurkan
hidupnya. Jeanne kelihatan kaya, tak kurang apa pun. Tapi, Messieurs, mata
seorang pegawai kasino terkenal tajam. Suatu malam Jeanne memasang taruhannya
yang terakhir di dunia ini di meja judi. Jangan bertanya bagaimana saya tahu pokoknya saya tahu - saya bisa merasakan hal itu. Orang lain mungkin tak percaya.
Jeanne toh masih memiliki gaun-gaunnya yang mahal - kenapa dia tidak
menggadaikannya, ya kan" Tapi untuk melakukan hal itu - pah! Nilai dirinya jadi
berkurang. Perhiasan-perhiasannya" Ah. tidak! Bukankah saya dulu pernah jadi
ahli pembuat perhiasan" Sudah lama perhiasan-perhiasannya yang asli hilang.
Mutiara pemberian Raja itu sudah dijualnya sebutir demi sebutir dan digantinya
dengan yang palsu. Tapi sementara itu bukankah dia harus makan dan membayar
tagihan-tagihan hotel" Ya, dan para laki-laki kaya itu - yah. mereka sudah sering
kali melihatnya. Bah! Mereka akan berkata dia sudah lebih dari lima puluh tahun.
Lebih baik cari daun muda saja."
Suatu keluhan panjang dan bergetar terdengar dari jendela tempat sang Countess
menyandarkan dirinya. "Ya. Itu adalah saat terindah. Dua malam saya memperhatikannya. Kalah, kalah,
dan kalah lagi. Dan sekarang tiba saat terakhir. Dia memasang semuanya pada satu
nomor. Di sampingnya, seorang bangsawan Inggris juga memasang taruhan maksimum pada nomor di samping nomornya. Bola berputar. Saatnya telah tiba. Dia kalah
lagi.... "Matanya menatap mata saya. Apa yang harus saya lakukan" Saya mempertaruhkan
pekerjaan saya di kasino. Saya terpaksa merampok bangsawan Inggris itu. 'A
Madame', saya bilang, dan membayarkan uang itu padanya."
"Ah!" Terdengar bunyi gelas pecah ketika sang Countess melompat dan berdiri di
pinggir meja. Gerakannya membuat gelasnya jatuh ke lantai.
"Kenapa?" teriaknya. "Itu yang ingin saya ketahui. Kenapa Anda melakukannya?"
Tidak ada yang berkata-kata, kesunyian terasa mencekam, dan mereka berdua saling
memandang berhadap-hadapan di meja... seolah-olah sedang berduel.
Senyuman kecil yang licik muncul di wajah Pierre Vaucher. Ia mengangkat
tangannya. "Madame," katanya, "ada hal yang bernama belas kasihan...."
"Ah!" Sang Countess duduk lagi.
"Saya mengerti."
Ia sudah tenang sekarang, seperti biasa, dan tersenyum.
"Kisah yang menarik, bukan, M. Vaucher" Izinkan saya menyalakan sebatang rokok
untuk Anda." Dengan cekatan ia menggulung rokok, menyalakannya pada sebatang lilin, kemudian
mengulurkannya pada Pierre. Laki-laki itu mencondongkan badannya sampai nyala
api membakar ujung rokok yang terjepit di antara bibirnya.
Kemudian sang Countess bangkit dengan tiba-tiba.
"Sekarang saya harus meninggalkan Anda sekalian. Tolong - saya tidak butuh
dikawal." Sebelum ada yang menyadari, ia sudah pergi. Mr. Satterthwaite sebetulnya hendak
buru-buru menyusulnya, tapi ia dikagetkan oleh sumpah serapah laki-laki Prancis
itu. "Astaga!" Ia sedang menatap gulungan yang separo terbakar itu, yang digeletakkan oleh sang
Countess di meja. Ia membuka gulungannya.
"Mon Dieu!" gumamnya. "Uang kertas senilai lima puluh ribu franc. Anda mengerti"
Ini kemenangannya tadi malam. Seluruh kekayaannya di dunia. Dan dia menyalakan
rokok saya dengannya. Hanya karena dia tak bisa menerima... belas kasihan. Ah!
Sombong, dia memang selalu sombong seperti setan. Dia itu unik - hebat."
Ia melompat berdiri dari kursinya dan berlari keluar. Mr. Satterthwaite dan Mr.
Quin juga ikut berdiri. Si pelayan menghampiri Franklin Rudge.
"La note, Monsieur," katanya datar.
Mr. Quin yang mengambilnya dengan cepat.
"Aku agak kesepian, Elizabeth," kata Franklin Rudge. "Orang-orang asing ini mereka memang aneh! Aku tidak memahami sikap mereka. Apa sih maksud semua ini?"
Ia memandang Elizabeth. "Yah, senang rasanya bisa melihat sesuatu yang seratus persen Amerika seperti
kau." Suaranya terdengar manja seperti anak kecil. "Orang-orang asing ini begitu
aneh." Mereka mengucapkan terima kasih pada Mr. Quin dan keluar menuju kegelapan malam
bersama-sama. Mr. Quin mengambil uang kembaliannya dan tersenyum pada Mr.
Satterthwaite yang sedang mengangguk-angguk sendiri seperti seekor burung
kekenyangan. "Nah," katanya. "Semuanya berakhir dengan bagus sekali. Pasangan kekasih itu
akan rukun-rukun saja sekarang."
"Pasangan yang mana?" tanya Mr. Quin.
"Oh?" kata Mr. Satterthwaite, kaget. "Oh! Ya, saya rasa Anda benar, kalau
dilihat dari segi Latin dan segalanya itu..."
Ia tampak ragu-ragu. Mr. Quin tersenyum, kaca jendela berwarna-warni di belakangnya sekejap
memantulkan cahaya pada bajunya, membuatnya berwarna-warni juga bak pelangi.
Bab 6 LAKI-LAKI DARI LAUT MR. SATTERTHWAITE sedang merasa tua. Itu tidak mengherankan, karena menurut
taksiran banyak orang, ia memang sudah tua. Para remaja yang sembrono akan
mengatakan begini pada teman-teman mereka, "Satterthwaite tua itu" Oh! Dia pasti
sudah berumur seratus tahun - atau paling tidak sekitar delapan puluhan." Bahkan
gadis-gadis yang paling ramah pun akan mengatakan dengan diam-diam, "Oh!
Satterthwaite. Ya, dia memang sudah tua. Umurnya pasti sudah enam puluh tahun."
Dan ini lebih buruk lagi, karena sebenarnya ia berumur 69.
Bagaimanapun, menurut pandangannya sendiri, ia tidaklah tua. Enam puluh sembilan
adalah usia yang menarik - usia dengan segala kemungkinan, usia ketika akhirnya
seluruh pengalaman dalam hidup mulai berguna. Tapi merasa tua - itu berbeda, suatu
keadaan jiwa yang letih, muram, dan membuat orang jadi mengajukan pertanyaanpertanyaan yang mematahkan semangat pada diri sendiri. Apalah arti dirinya"
Seorang laki-laki tua yang keriput, tanpa istri dan anak, tanpa sanak saudara
satu pun, hanya setumpuk koleksi barang-barang seni yang berharga, yang rasanya
pada saat ini betul-betul tidak ada artinya. Tak seorang pun peduli apakah ia
hidup atau mati.... Ketika ia sampai pada pikiran itu, Mr. Satterthwaite mengguncangkan dirinya
sendiri. Apa yang dipikirkannya itu bodoh dan sia-sia. Ia sadar bahwa seorang
istri bisa membencinya atau sebaliknya ia yang membenci istrinya, dan anak-anak
akan selalu membuatnya cemas dan tegang, belum lagi mereka semua pasti akan
menyita waktu dan perhatiannya dalam jumlah besar, dan itu malah membuatnya
lebih cemas lagi. "Supaya aman dan nyaman," kata Mr. Satterthwaite dengan tegas - itulah alasannya.
Pikiran yang terakhir itu membuatnya teringat pada sepucuk surat yang
diterimanya pagi itu. Ia mengeluarkannya dari saku dan membacanya sekali lagi,
sambil meresapi maknanya dengan suka cita. Surat itu berasal dari seorang
duchess, dan Mr. Satterthwaite suka menerima kabar dari para duchess. Memang
betul surat itu diawali dengan permintaan akan sumbangan besar bagi sebuah
kegiatan amal, dan kalau bukan karena itu, mungkin juga takkan pernah ditulis,
tapi kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan maksud tersebut begitu
menyenangkan, sehingga Mr. Satterthwaite tidak keberatan dengan alasan yang
sebenarnya itu. Jadi, kau sudah meninggalkan Riviera, tulis sang Duchess. Bagaimana keadaan
pulau yang kaukunjungi itu" Murah" Cannoti memasang tarif gila-gilaan tahun ini,
dan aku takkan pergi ke Riviera lagi. Aku mungkin akan mencoba pulaumu itu tahun
depan kalau menurutmu di sana nyaman, meskipun aku benci harus naik kapal selama
lima hari. Tapi bagaimanapun apa pun yang kausarankan pastilah lumayan nyaman sering kali begitu. Kau salah satu dari orang-orang yang tidak melakukan apa-apa
selain bersenang-senang dan menikmati hidupmu sendiri. Untungnya ada satu hal
yang menyelamatkanmu, Satterthwaite, dan itu adalah minatmu yang besar pada
masalah orang lain.... Ketika Mr. Satterthwaite melipat surat itu, bayangan tentang sang Duchess dengan
jelas muncul di benaknya. Kekikirannya, keramahannya yang bisa muncul tiba-tiba,
lidahnya yang tajam, semangatnya yang menggebu-gebu.
Semangat! Semua orang butuh semangat. Ia menarik sepucuk surat lain berprangko
Jerman - ditulis oleh seorang penyanyi muda yang pernah ditolongnya. Surat itu
berisi ucapan kasih sayang dan terima kasih.
Bagaimana saya bisa berterima kasih pada Anda, Mr. Satterthwaite yang baik" Tak
terbayangkan rasanya kalau dalam beberapa hari lagi saya akan menyanyikan
Isold?.... Sayang sekali ia harus memulai debutnya sebagai Isold?. Olga seorang anak yang
menarik dan rajin, dengan suara merdu, tapi tidak berwatak. Mr. Satterthwaite
bersenandung sendiri. "Jangan memerintahnya! Tolong pahamilah! Kupinta padamu.
Aku, Isold?." Tidak, Olga tidak memilikinya - semangat itu - kemauan menggebu-gebu semuanya tersirat dalam kata-kata terakhir itu "Ich Isold?!"
Yah, bagaimanapun ia telah menolong seseorang. Pulau ini menjemukannya - kenapa,
oh! kenapa ia meninggalkan Riviera yang telah dikenalnya dengan baik sekali,
tempat ia juga sangat dikenal" Tak seorang pun menaruh minat padanya di sini.
Tak seorang pun menyadari bahwa ia adalah Mr. Satterthwaite - teman para
bangsawan, penyanyi, dan penulis. Tak seorang pun di pulau ini punya kedudukan
sosial ataupun cita rasa seni tinggi. Kebanyakan mereka sudah tinggal di sana
selama 7, 14, atau 21 tahun dan menganggap diri mereka cukup berharga.
Sambil menarik napas panjang, Mr. Satterthwaite meneruskan perjalanannya dari
hotel menuju pelabuhan kecil yang acak-acakan di bawah sana. Di sepanjang tepi
jalan yang dilaluinya tampak sederet pohon bugenvil - penuh dengan bunga berwarna
merah terang, yang membuatnya semakin merasa tua dan kelabu.
"Aku sudah semakin tua," gumamnya. "Semakin tua dan capek."
Ia gembira ketika telah melewati deretan pohon bugenvil itu dan sekarang ia
menyusuri sebuah jalanan yang putih dengan laut biru di ujungnya. Seekor anjing
geladak sedang berdiri di tengah-tengah jalan itu, menguap dan merentangkan
badannya di bawah sinar matahari. Setelah berlama-lama merentangkan badannya
sampai nikmat sekali, anjing itu duduk dan menggaruk-garuk badannya dengan
asyik. Kemudian ia berdiri, menggoyang-goyangkan badannya, dan memandang ke
sekitarnya untuk mencari-cari sesuatu yang enak, yang mungkin ditawarkan
kehidupan pada dirinya. Ada setumpuk sampah di samping jalan dan anjing itu pergi ke sana sambil
mendengus-dengus riang. Dugaannya benar, hidungnya tidak menipu! Bau busuk yang
sangat tajam, melebihi harapannya! Ia mendengus-dengus dengan lebih bersemangat,
kemudian jadi lupa diri. Ia berbaring dan berguling-guling dengan asyiknya pada
tumpukan sampah yang semerbak itu. Sudah jelas pagi hari itu adalah surga seekor
anjing! Akhirnya ia capek, berdiri, dan sekali lagi berjalan ke tengah-tengah jalan.
Kemudian tanpa peringatan apa pun, sebuah mobil butut menikung tajam,
menabraknya tepat di tengah, dan berlalu tanpa peduli.
Anjing itu berdiri, sejenak memperhatikan Mr. Satterthwaite, pandangan matanya
berkesan benci dan sebal, kemudian ia terjatuh. Mr. Satterthwaite menghampirinya
dan membungkuk. Anjing itu sudah mati. Mr. Satterthwaite meneruskan
perjalanannya sambil merenungkan ketragisan dan kekejaman hidup. Betapa aneh
pandangan benci di mata anjing tadi. "Oh! Dunia," begitulah tampaknya yang ingin
dikatakannya. "Oh! Dunia indah yang kupercayai. Kenapa kaulakukan ini padaku?"
Mr. Satterthwaite berjalan terus, melewati pohon-pohon palem dan rumah-rumah
putih yang tidak teratur susunannya, melewati pantai lava hitam tempat ombak
memecah menggelegar, tempat dulu seorang perenang Inggris terkenal telah hanyut
dan tenggelam, melewati kolam berbatu-batu tempat anak-anak dan para wanita tua
sedang bercebur-cebur, menyusuri jalanan curam yang berkelok-kelok, menuju atas
tebing. Di atas tebing itu terdapat sebuah rumah bernama La Paz. Sebuah rumah
putih dengan kerai jendela berwarna hijau dan tertutup rapat, sebuah kebun indah
yang rumit, dan jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara menuju sebuah
dataran di tepi tebing, tempat kita bisa melihat ke bawah - nun jauh di sana - pada
laut yang biru kelam. Tempat itulah yang menjadi tujuan Mr. Satterthwaite. Ia suka sekali dengan kebun
di La Paz, tapi belum pernah memasuki rumahnya. Kelihatannya ramah itu selalu
kosong. Manuel, si tukang kebun dari Spanyol itu, akan mengucapkan selamat pagi
dengan berseri-seri dan mempersembahkan serangkaian bunga bagi para pengunjung
wanita serta sekuntum bunga bagi para pengunjung pria untuk diselipkan di
kelepak jas mereka. Wajahnya yang berkulit gelap itu selalu tersenyum.
Kadang-kadang Mr. Satterthwaite mengarang-ngarang cerita sendiri tentang pemilik
ramah itu. Favoritnya adalah seorang penari Spanyol yang dulu tersohor karena
kecantikannya, dan sekarang bersembunyi di sini hingga seluruh dunia takkan
mengetahui bahwa ia sudah tidak cantik lagi.
Ia membayangkan wanita itu keluar dari rumahnya pada dini hari dan berjalanjalan di kebun. Kadang-kadang ia merasa tergoda untuk menanyakan yang sebenarnya
pada Manuel, tapi ia menahan godaan itu. Ia lebih suka dengan bayangannya
sendiri. Setelah berbasa-basi sejenak dengan Manuel dan dengan sopan menerima sekuntum
mawar jingga, Mr. Satterthwaite menyusuri jalan setapak berpagarkan pohon-pohon
cemara itu, menuju laut. Rasanya nyaman sekali bisa duduk-duduk di sana, di tepi
tebing yang sangat curam. Ia jadi merasa seperti Tristan dan Isold?, pada
permulaan babak ketiga dengan Tristan dan Kurwenal - penantian lama dan Isold?
yang buru-buru datang dari laut, serta Tristan yang meninggal di pelukannya.
(Tidak, Olga kecil itu takkan pernah bisa menjadi Isold?. Isold? dari Cornwall,
seorang pembenci dan kekasih yang agung). Ia merinding. Ia merasa tua,
kedinginan, sendirian. Apa yang telah diperolehnya dalam kehidupan ini" Tidak
ada - tidak ada. Tidak sebanyak anjing di jalanan itu tadi.
Sebuah suara yang tak disangka-sangka membuatnya sadar dari lamunannya. Bunyi
langkah kaki di sepanjang jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara itu tidak
didengarnya, dan pertama kali ia tahu tentang kehadiran orang asing itu adalah
ketika mendengar sebuah kata tunggal berbunyi "Sialan".
Ia berpaling dan melihat seorang pemuda sedang menatapnya dengan perasaan kaget
dan sebal. Mr. Satterthwaite segera mengenalinya sebagai tamu yang datang
kemarin, dan kurang-lebih telah menarik minatnya. Mr. Satterthwaite menyebutnya
seorang pemuda, karena kalau dibandingkan dengan tamu-tamu hotel lainnya yang
sudah tua-tua, ia memang masih muda, tapi umurnya pastilah sudah lebih dari
empat puluh tahun, dan mungkin sudah hampir mendekati setengah abad.
Bagaimanapun, sebutan pemuda masih cocok baginya. Mr. Satterthwaite biasanya
benar dalam hal-hal begini. Ada kesan ketidakmatangan pada dirinya. Seperti
kesan anak anjing pada seekor anjing dewasa, begitulah halnya dengan diri orang
asing itu. Mr. Satterthwaite berpikir, "Pemuda ini belum sungguh-sungguh dewasa - belum
seutuhnya, itulah istilah yang tepat."
Bagaimanapun, tak ada kesan Peter Pan pada dirinya. Ia tangkas, agak montok, dan
tampangnya seperti orang yang sukses dalam hal materi dan tidak pernah menolak
segala kesenangan atau kenikmatan. Matanya berwarna cokelat, agak bulat,
rambutnya pirang dan mulai ada ubannya, sedikit berkumis dengan wajah kemerahmerahan. Yang membuat Mr. Satterthwaite bingung adalah apa yang membuatnya datang ke
pulau ini. Ia bisa membayangkan pemuda itu pergi berburu, bermain polo, golf
atau tenis, dan bermesraan dengan wanita-wanita cantik. Tapi di pulau ini tak
ada yang bisa diburu atau ditembak, tak ada permainan selain Golf-Croquet, dan
satu-satunya yang bisa dibilang mendekati wanita cantik adalah Miss Baba
Kindersley yang sudah tua. Tentu saja ia mungkin seorang seniman yang tertarik
dengan pemandangan setempat, tapi Mr. Satterthwaite cukup yakin pemuda itu
bukanlah seniman. Ia betul-betul orang biasa-biasa saja.
Sementara ia asyik menebak-nebak, pemuda itu berbicara, sadar bahwa kata yang
telanjur diucapkannya tadi mungkin telah menyinggung perasaan Mr. Satterthwaite.
"Maafkan saya," katanya tersipu-sipu. "Sebenarnya saya... yah, cuma kaget. Saya
tak menyangka akan bertemu seseorang di sini."
Ia tersenyum dengan tiba-tiba. Senyumnya menarik - ramah, memesona.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tempat ini memang agak sepi," kata Mr. Satterthwaite menyetujui, sambil
bergeser sedikit ke ujung bangku dengan sopan. Pemuda itu menerima undangan tak
langsung tersebut dan duduk.
"Menurut saya tempat ini tidak sepi," katanya. "Rasanya selalu ada seseorang di
sini." Suaranya terdengar agak sebal. Mr. Satterthwaite jadi heran. Menurutnya pemuda
itu berhati ramah. Kenapa ia ingin sekali berada sendirian di sini" Mungkin
untuk bertemu seseorang" Tidak - bukan itu. Ia memandang pemuda itu dengan
saksama. Di mana ia melihat ekspresi seperti itu baru-baru ini" Pandangan konyol
yang mencerminkan kebencian.
"Kalau begitu, Anda sudah pernah kemari sebelum ini?" tanya Mr. Satterthwaite,
sekadar untuk mengatakan sesuatu.
"Saya kemari kemarin malam - setelah makan malam."
"Masa" Saya kira pintu pagarnya selalu dikunci."
Hening sejenak, kemudian dengan agak gondok pemuda itu menyahut,
"Saya memanjat dindingnya."
Mr. Satterthwaite memandangnya dengan penuh perhatian sekarang. Ia memang punya
pikiran tajam dan ia tahu pemuda itu baru saja datang kemarin sore. Jadi, ia
pasti takkan punya kesempatan untuk mengagumi rumah itu pada waktu masih ada
matahari, dan sejauh ini ia juga tidak mengobrol dengan siapa pun. Tapi setelah
gelap ia langsung datang ke La Paz. Kenapa" Nyaris tanpa sengaja Mr.
Satterthwaite berpaling memandang rumah berkerai hijau itu, tapi tetap saja tak
ada kesan kehidupan di sana. Rumah itu tertutup rapat. Tidak, pemecahan misteri
ini bukanlah di sana. "Dan Anda sungguh-sungguh bertemu seseorang di sini?"
Pemuda itu mengangguk. "Ya. Pasti salah seorang tamu hotel. Dia mengenakan baju kostum."
"Baju kostum?" "Ya. Seperti kostum Harlequin."
"Apa?" Kata itu tersembur keras dari mulut Mr. Satterthwaite. Pemuda itu menatapnya
heran. "Saya rasa mereka memang sering mengadakan acara-acara dengan baju kostum di
hotel?" "Oh ya," sahut Mr. Satterthwaite. "Lumayan sering."
Ia berhenti sejenak seperti kehabisan napas, kemudian melanjutkan,
"Maafkan keheranan saya. Apakah Anda kebetulan tahu tentang katalisis?"
Pemuda itu menatapnya. "Saya tidak pernah mendengarnya. Apa itu?"
Mr. Satterthwaite menjelaskan dengan serius, "Suatu reaksi kimia yang
keberhasilannya tergantung pada suatu jenis zat tertentu, di mana zat itu
sendiri tidak mengalami perubahan."
"Oh," kata pemuda itu ragu-ragu.
"Saya punya seorang teman - namanya Mr. Quin, dan dia cocok sekali kalau
digambarkan dengan proses katalisis itu. Kehadirannya adalah pertanda bahwa
sesuatu akan segera terjadi. Karena kehadirannya itulah sesuatu menjadi terang,
suatu masalah terpecahkan. Tapi dia sendiri tidak berperan apa-apa dalam
pemecahan itu. Saya punya perasaan yang Anda temui kemarin malam itu adalah
teman saya." "Kalau begitu, dia orang yang bisa muncul dengan tiba-tiba. Dia betul-betul
mengagetkan saya. Sejenak dia tidak ada di sini, tahu-tahu ada! Rasanya seperti
muncul dari laut." Mr. Satterthwaite memandang sepanjang dataran itu dan melihat ke bawah tebing
yang curam. "Memang tidak masuk akal," kata pemuda itu. "Tapi begitulah perasaan saya. Tak
ada tempat untuk bertengger sedikit pun." Ia memandang ke bawah tebing juga.
"Betul-betul tebing yang lurus. Kalau jatuh... yah, Anda pasti langsung mampus."
"Tempat yang cocok untuk melakukan pembunuhan, bukan?" kata Mr. Satterthwaite
ceria. Pemuda itu menatapnya, seolah-olah tak mengerti. Kemudian ia berkata lirih, "Oh
ya - tentu saja...."
Ia duduk sambil mengetuk-ngetuk tanah dengan sebatang ranting serta mengerutkan
dahi. Tiba-tiba Mr. Satterthwaite tahu kemiripan apa yang telah dicari-carinya
dari tadi. Pandangan konyol dan bengong itu. Begitulah pandangan anjing yang
tertabrak tadi. Matanya dan mata pemuda ini memancarkan pertanyaan mengibakan
yang sama, dengan kebencian yang sama. "Oh! dunia yang kupercayai - kenapa
kaulakukan ini padaku?"
Ia melihat kemiripan di antara mereka berdua, rasa cinta akan kesenangan, sikap
ramah, rasa cinta akan kenikmatan hidup, sikap yang tidak bertanya-tanya.
Keduanya sudah merasa cukup dapat menikmati hidup pada suatu saat. Dunia adalah
tempat yang indah, tempat kenikmatan jasmani - matahari, laut, langit - tumpukan
sampah yang semerbak. Dan kemudian - apa" Sebuah mobil telah menabrak anjing itu.
Apa yang telah menabrak pemuda ini"
Renungan Mr. Satterthwaite terputus pada bagian itu, karena pemuda itu berbicara
lagi, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang kepada Mr. Satterthwaite.
"Orang jadi bertanya-tanya," katanya, "apa arti semuanya ini?"
Kata-kata yang tak asing - kata-kata yang biasanya menimbulkan senyuman pada bibir
Anak Harimau 4 Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin Seruling Perak Sepasang Walet 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama