Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie Bagian 3
memang teman sekolah saya di Eton. Waktu itu dia memuja saya sebagai pahlawan.
Dia tak ingin mengkhianati saya. Saya berusaha keras, dan akhirnya dia berjanji tidak akan mengatakan apa-apa sampai kita tiba di Bagdad. Setelah itu
bagaimana nasib saya nanti" Pasti buruk sekali. Hanya ada satu jalan - saya harus
menyingkirkannya. Tapi yakinlah, saya tidak berpembawaan pembunuh. Bakat saya
lain sekali." Wajahnya berubah - mengejang. Ia terhuyung, lalu tertelungkup.
O'Rourke membungkuk ke arahnya.
"Mungkin racun... di rokoknya," kata Mr. Parker Pyne. "Si penjudi sudah
kehabisan uang." Ia melihat ke sekelilingnya - ke gurun yang luas. Matahari menyinarinya. Baru
kemarin mereka berangkat dari Damascus, melewati Gerbang Bagdad.
"Jangan lewat di bawahnya, hai Kafilah, jangan pula lewat sambil bernyanyi.
Kaudengarkah itu" Keheningan karena burung-burung sudah mati" Namun ada sesuatu yang mencicit
seperti burung." RUMAH DI SHIRAZ PUKUL enam pagi Mr. Parker Pyne berangkat ke Persia, setelah berhenti di Bagdad.
Ruang untuk penumpang di pesawat terbang bermesin tunggal itu terbatas, dan
tempat duduk yang sempit sulit menampung tubuh tambun Mr. Parker Pyne, hingga
tidak memberikan kenyamanan. Ada dua penumpang lain - seorang pria bertubuh besar
dan periang, yang dinilai Mr. Parker Pyne banyak bicara, dan seorang wanita
kurus berbibir ketus dan bersikap tegas.
"Pokoknya," pikir Mr. Parker Pyne, "kelihatannya mereka tidak akan ingin meminta
nasihatku yang sesuai dengan pekerjaanku."
Ternyata memang tidak. Wanita kecil itu adalah seorang biarawati Misi dari
Amerika, yang selalu bekerja keras dan selalu bahagia. Sedangkan laki-laki
periang itu bekerja pada sebuah perusahaan minyak. Mereka telah menceritakan
tentang diri mereka secara singkat, sebelum pesawat berangkat.
"Saya sih hanya seorang wisatawan biasa," kata Mr. Parker Pyne merendah. "Saya
akan pergi ke Teheran, ke Ispahan, dan ke Shiraz."
Nama-nama itu saja sudah merupakan musik indah di telinganya, hingga ia demikian
terpesona dan mengulanginya. Teheran. Ispahan. Shiraz.
Mr. Parker Pyne melihat ke luar, ke negeri di bawahnya. Yang dilihatnya adalah
gurun yang datar. Ia bisa merasakan misteri dari daerah-daerah luas tak
berpenghuni itu. Di Kermanshah, pesawat mendarat untuk keperluan pemeriksaan paspor dan bea
cukai. Sebuah tas milik Mr. Parker Pyne dibuka. Sebuah kotak karton kecil
dipandangi dengan penuh perhatian. Pertanyaan-pertanyaan pun diajukan. Karena
Mr. Parker Pyne tak bisa dan tak mengerti bahasa Persia, persoalannya jadi
sulit. Pilot pesawat pun mendekat. Ia seorang pria muda Jerman berambut pirang. Ia
tampan, bermata biru tua, dan wajahnya banyak terpanggang cuaca. "Ada apa?"
tanyanya ramah. Mr. Parker Pyne, yang telah mencoba berbicara dengan isyarat namun tak juga
dipahami, berbalik pada pria Jerman itu dengan lega. "Ini bubuk pembunuh
serangga," katanya. "Apakah Anda bisa menjelaskan padanya?"
Pilot itu tampak tak mengerti. "Bagaimana?"
Mr. Parker Pyne mengulangi penjelasannya dalam bahasa Jerman. Pilot itu tertawa
lebar, lalu menerjemahkan kalimat itu dalam bahasa Persia. Petugas-petugas yang
serius dan tampak sedih itu senang; wajah mereka yang sedih jadi santai, dan
mereka tersenyum. Seorang bahkan tertawa. Mereka menganggap pikiran itu lucu.
Ketiga penumpang itu kembali ke tempat duduk mereka di pesawat, dan penerbangan
pun dilanjutkan. Mereka merendah lagi di Hamadan untuk menyerahkan surat-surat
pos, tapi pesawat tidak berhenti. Mr. Parker Pyne mengintip ke bawah, mencoba
melihat batu karang Behistun, tempat yang romantis, di mana Darius menyatakan
luasnya kekaisarannya dalam tiga bahasa berbeda - bahasa Babilonia, bahasa Median,
dan bahasa Persia. Pukul satu mereka tiba di Teheran. Di situ lebih banyak lagi pemeriksaan polisi.
Pilot Jerman tadi datang dan berdiri mendampingi mereka sambil tersenyum,
sewaktu Mr. Parker Pyne selesai menjawab banyak pertanyaan yang tidak ia pahami.
"Apa kata saya tadi?" tanyanya pada orang Jerman itu.
"Bahwa nama ayah Anda adalah Wisatawan, bahwa pekerjaan Anda adalah Charles,
bahwa nama ibu Anda sebelum menikah adalah Bagdad, dan bahwa Anda datang dari
Harriet." "Adakah pengaruhnya?"
"Sama sekali tidak. Jawab apa saja; hanya itulah yang mereka perlukan."
Mr. Parker Pyne merasa kecewa di Teheran. Tempat itu dianggapnya modern sekali.
Hal itu dikatakannya pada Herr Schlagal, sang pilot, sewaktu mereka bertemu
keesokan malamnya, tepat pada saat ia akan masuk ke hotelnya. Dengan spontan
diajaknya laki-laki itu makan malam, dan orang Jerman itu menerima ajakannya.
Pelayan mondar-mandir di dekat mereka, lalu menulis pesanan mereka. Makanan pun
tiba. Waktu mereka sudah mulai makan makanan penutup, yaitu semacam kue cokelat yang
agak lengket, orang Jerman itu bertanya,
"Jadi, Anda akan pergi ke Shiraz?"
"Ya, saya akan terbang ke sana. Lalu saya akan kembali ke Ispahan dan Teheran
lewat darat. Andakah yang akan menerbangkan saya ke Shiraz besok?"
"Ach, tidak. Saya kembali ke Bagdad."
"Sudah lamakah Anda di sini?"
"Tiga tahun. Perusahaan penerbangan kami baru tiga tahun didirikan. Sejauh ini
kami belum pernah mengalami kecelakaan - jangan sampai!" Ia mengetuk meja.
Kopi kental yang manis pun disuguhkan pada mereka. Kedua laki-laki itu merokok.
"Penumpang-penumpang saya yang pertama adalah dua orang wanita," kata orang
Jerman itu mengenang. "Dua orang wanita Inggris."
"Ya?" kata Mr. Parker Pyne.
"Seorang di antaranya adalah seorang wanita muda dari keluarga terkemuka, putri
salah seorang menteri Anda; namanya - bagaimana menyebutnya, ya" - Lady Esther Carr.
Dia cantik, cantik sekali, tapi dia gila."
"Gila?" "Benar-benar gila. Dia tinggal di Shiraz itu, di sebuah rumah besar milik
penduduk lokal. Dia mengenakan pakaian orang Timur. Dia tidak mau bertemu dengan
orang-orang Eropa. Begitukah seorang wanita terhormat hidup?"
"Ada beberapa orang lain yang seperti itu" kata Mr. Parker Pyne. "Umpamanya Lady
Hester Stanhope." "Yang seorang ini gila," kata lawan bicaranya dengan tegas. "Bisa kita lihat
dari matanya. Mata itu sama benar dengan mata komandan kapal selam saya waktu
perang. Sekarang dia di rumah sakit jiwa."
Mr. Parker Pyne tampak merenung. Ia ingat benar akan Lord Micheldever, ayah Lady
Esther Carr. Ia pernah bekerja di bawah Lord itu ketika Lord Micheldever menjadi
menteri dalam negeri - seorang pria bertubuh besar yang pirang dan bermata biru
ceria. Ia juga pernah melihat Lady Micheldever - seorang wanita Irlandia yang
terkenal akan kecantikannya, dengan rambutnya yang hitam dan matanya yang biru
keunguan. Suami-istri itu tampan dan cantik, dan keduanya waras. Namun memang
ada anggota keluarga Carr yang tidak waras. Itu muncul sekali-sekali, setelah
satu generasi waras semua. Aneh, pikirnya, mengapa Herr Schlagal menekankan hal
itu. "Dan penumpang wanita yang seorang lagi?" tanyanya asal-asalan.
"Wanita yang seorang lagi... meninggal."
Sesuatu dalam suaranya membuat Mr. Parker Pyne mendongak dengan tajam.
"Saya punya hati," kata Herr Schlagal. "Saya bisa merasa. Bagi saya, dia adalah
wanita yang paling cantik. Anda tentu tahu bagaimana... hal-hal semacam itu
menyerang kita secara mendadak. Dia bagaikan sekuntum bunga." Ia mendesah
panjang. "Pernah saya mengunjungi mereka... di rumah di Shiraz itu. Lady Esther
yang menyuruh saya datang. Si kecil saya, bunga saya itu, ketakutan akan
sesuatu, saya bisa melihatnya. Ketika kemudian saya kembali dari Bagdad, saya
dengar dia sudah meninggal. Ya, meninggal!"
Ia diam sebentar, lalu berkata sambil merenung, "Mungkin saja yang seorang itu
yang membunuhnya. Karena seperti saya katakan, dia gila."
Ia mendesah, dan Mr. Parker Pyne memesan dua gelas anggur Benedictine.
"Anggur curacao enak," kata si pelayan, lalu mengantarkan dua gelas minuman itu.
*** Keesokan harinya, tak lama setelah tengah hari, untuk pertama kalinya Mr. Parker
Pyne pergi melihat Shiraz. Mereka terbang di atas daerah pegunungan yang
dipisahkan oleh lembah-lembah sempit yang sepi, dan hutan belukar kering dan
tandus. Lalu tiba-tiba tampaklah Shiraz - sebuah permata zamrud hijau di jantung
hutan belukar. Mr. Parker Pyne yang tidak menyukai Teheran, merasa senang di Shiraz. Hotel yang
masih primitif tidak mengurangi rasa senangnya, demikian pula jalan-jalannya
yang juga primitif. Penduduknya sedang libur. Festival Nan Ruz baru mulai malam sebelumnya - selama
lima belas hari orang-orang Persia merayakan Tahun Baru mereka. Ia berjalanjalan di pasar-pasar yang kosong, lalu melewati sebidang tanah terbuka yang
kosong, di sisi utara kota. Seluruh Shiraz sedang berpesta.
Pada suatu hari, ia berjalan tak jauh di luar kota. Ia sudah mengunjungi makam
Hafiz sang penyair, dan dalam perjalanan pulang ia melihat dan terpesona oleh
sebuah rumah. Sebuah rumah yang seluruhnya menggunakan genting berwarna biru,
merah muda, dan kuning, yang dibangun di tengah-tengah sebuah kebun hijau dengan
air, pohon-pohon jeruk, dan bunga mawar. Ia merasa rumah itu adalah rumah
impian. Malam itu ia makan malam bersama konsul Inggris, dan ia menanyakan tentang rumah
itu. "Tempat yang memesona, bukan" Rumah itu dibangun oleh seorang bekas gubernur
Luristan, yang berhasil mengumpulkan uang banyak berkat kedudukan resminya itu.
Kini seorang wanita Inggris yang memilikinya. Anda pasti pernah mendengar
tentang dia. Lady Esther Carr. Dia benar-benar gila. Dia sudah benar-benar
menjadi orang pribumi di sini. Tak mau berhubungan dengan segala sesuatu atau
siapa pun yang berbau Inggris."
"Apakah dia masih muda?"
"Sebenarnya terlalu muda untuk bersikap gila-gilaan begitu. Umurnya kira-kira
tiga puluh tahun." "Ada seorang wanita Inggris lain bersamanya, bukan" Seorang wanita yang
meninggal?" "Ya; itu terjadi kira-kira tiga tahun yang lalu. Bahkan terjadi pada hari saya
mulai menjalankan tugas saya di sini. Soalnya, pendahulu saya, Barham, meninggal
mendadak." "Bagaimana gadis yang seorang lagi itu meninggal?" tanya Mr. Parker Pyne terangterangan. "Jatuh dari balkon di lantai dua itu. Dia pelayan atau orang yang menemani Lady
Esther - saya lupa siapa dia sebenarnya. Pokoknya, kejadiannya dia sedang membawa
nampan sarapan, lalu jatuh lewat tepi balkon. Menyedihkan sekali, tak ada yang
bisa dilakukan; tengkoraknya pecah di batu di bawah."
"Siapa namanya?"
"Kalau tidak salah... King, atau barangkali Willis" Bukan, itu nama biarawati
itu. Dia gadis yang cukup cantik."
"Apakah Lady Esther sedih sekali?"
"Ya... tidak. Entahlah. Soalnya dia aneh sekali, hingga saya tak bisa
memastikan. Dia adalah makhluk yang... yah, sok berkuasa. Kita bisa melihat
bahwa dia orang penting. Saya agak takut melihat sikap berkuasanya itu dan
matanya yang hitam kelam."
Ia tertawa kecil dengan sikap menyesal, lalu melihat pada teman bicaranya dengan
sikap aneh. Mr. Parker Pyne sedang menatap kosong ke depan. Korek api yang tadi
dinyalakannya untuk menyulut rokok terbakar habis di tangannya tanpa
disadarinya. Korek api itu terbakar sampai mengenai jarinya dan ia
melemparkannya dengan kesakitan.
Lalu dilihatnya air muka sang konsul yang terkejut, dan ia pun tersenyum.
"Maafkan saya," katanya.
"Sedang melamun, ya?"
"Ya," kata Mr. Parker Pyne.
Mereka pun bercakap-cakap tentang hal-hal lain.
Malam itu, di bawah sinar lampu minyak yang kecil, Mr. Parker Pyne menulis
surat. Ia sering ragu dengan apa yang akan ditulisnya. Tapi akhirnya isi surat
itu sederhana sekali: Mr. Parker Pyne menghaturkan salam pada Lady Esther Carr, dan meminta izin untuk
menyatakan bahwa dia menginap di Hotel Fars selama tiga hari mendatang ini. Agar
diketahui, kalau-kalau Lady Esther Carr berkenan meminta nasihatnya.
Disertakannya sobekan iklannya yang terkenal:
PRIBADI Apakah Anda tidak bahagia"
Kalau begitu, mintalah nasihat Mr. Parker Pyne,
Richmond Street nomor 17 "Ini mestinya cukup," kata Mr. Parker Pyne sambil naik dengan hati-hati ke
tempat tidurnya yang agak tidak nyaman. "Coba kuingat-ingat ya, hampir tiga
tahun yang lalu; ya, kurasa akan berhasil."
Keesokan harinya, kira-kira pukul empat, jawabannya tiba. Jawaban itu dibawa
oleh seorang pelayan Persia yang tak bisa berbahasa Inggris.
Lady Esther Carr akan senang sekali bila Mr. Parker Pyne mau mengunjunginya
pukul sembilan malam ini.
Mr. Parker Pyne tersenyum.
Pelayan yang sama menyambutnya malam itu. Ia dibawa melalui kebun yang gelap,
lalu menaiki tangga yang menuju bagian belakang rumah. Dari situ sebuah pintu
terbuka dan mereka menuju halaman tengah yang tetap terbuka, meskipun hari sudah
malam. Ada sebuah dipan di dekat dinding, dan di situ bersandar suatu sosok yang
sangat mencolok. Lady Esther mengenakan jubah Timur, dan bisa diduga bahwa salah satu alasan
mengapa ia lebih suka berpakaian begitu, adalah karena pakaian itu cocok benar
dengan kecantikannya yang bergaya Timur. Kata sang konsul, ia sok berkuasa, dan
ia memang kelihatan berkuasa. Dagunya diangkatnya tinggi sekali dan dahinya
tampak congkak. "Anda Mr. Parker Pyne" Duduklah di situ."
Tangannya menunjuk ke setumpuk bantal. Pada jari manisnya memancar permata
zamrud berukir lambang keluarganya. Itu merupakan harta warisan dan pasti mahal
harganya, pikir Mr. Parker Pyne.
Ia duduk dengan patuh, meskipun dengan agak sulit. Bagi orang yang bertubuh
seperti dirinya, tidak mudah duduk di lantai dengan anggun.
Seorang pelayan muncul membawa kopi. Mr. Parker Pyne menerima cangkirnya, lalu
menyeruput dengan nyaman.
Nyonya rumahnya tampak santai dan tidak terburu-buru. Ia tidak cepat-cepat
memulai percakapan. Ia juga menyeruput kopinya dengan mata setengah tertutup.
Akhirnya ia berbicara. "Jadi, Anda menolong orang-orang yang sedih," katanya. "Setidaknya demikianlah
menurut iklan Anda."
"Ya." "Mengapa Anda mengirimkannya pada saya" Begitukah cara Anda berbisnis sambil
bepergian?" Terdengar jelas nada penghinaan dalam suaranya, tapi Mr. Parker Pyne
mengabaikannya. Ia hanya menjawab, "Bukan. Tujuan perjalanan saya adalah untuk
benar-benar berlibur dari bisnis."
"Lalu mengapa Anda kirimkan pada saya?"
"Karena saya punya alasan untuk merasa yakin bahwa Anda... tidak bahagia."
Beberapa lama keadaan sepi. Mr. Parker Pyne ingin tahu sekali. Bagaimana wanita
itu menanggapinya" Agaknya ia memerlukan waktu untuk memikirkannya. Lalu ia
tertawa. "Saya rasa, Anda mengira bahwa seseorang yang meninggalkan dunia ramai dan hidup
seperti saya, terputus dari bangsa dan negeri saya, pasti melakukannya karena
dia tidak bahagia" Di Inggris sana, saya bagaikan ikan di daratan. Sedangkan di
sini saya hidup sebagai diri saya sendiri. Saya memang berjiwa Timur. Saya suka
hidup menyendiri begini. Saya yakin Anda pasti tak mengerti. Bagi Anda, saya ini
pasti" - ia ragu sebentar - "gila."
"Anda tidak gila," kata Mr. Parker Pyne.
Suaranya terdengar penuh keyakinan. Wanita itu melihat padanya dengan ingin
tahu. "Tapi saya rasa orang pasti sudah mengatakan bahwa saya gila. Mereka dungu! Kita
memang harus banyak berkorban untuk hidup dengan cara yang kita senangi. Saya
bahagia sekali." "Tapi Anda menyuruh saya datang kemari," kata Mr. Parker Pyne.
"Saya akui bahwa saya ingin melihat Anda." Ia ragu lagi. "Apalagi saya tak
pernah ingin kembali ke sana - ke Inggris - namun kadang-kadang saya ingin mendengar
apa yang terjadi di..."
"Di dunia yang telah Anda tinggalkan itu?"
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia membenarkan kalimat itu dengan sebuah anggukan.
Mr. Parker Pyne mulai berbicara. Suaranya lembut, namun meyakinkan. Ia mulai
dengan tenang, lalu agak meninggi setiap kali ia ingin menekankan beberapa hal.
Ia berbicara tentang London, tentang desas-desus di masyarakat, tentang pria dan
wanita terkenal, tentang restoran-restoran dan kelab malam yang baru, tentang
pacuan dan kegiatan-kegiatan menembak, juga tentang skandal-skandal di rumahrumah pedesaan. Ia berbicara tentang pakaian, mode dari Paris, toko-toko kecil
di jalan-jalan yang tidak bergengsi, di mana orang bisa berbelanja dengan
menawar. Dilukiskannya tentang teater-teater dan bioskop-bioskop, tentang berita-berita
film, pembangunan taman-taman baru di pinggir kota, dan akhirnya diceritakannya
keadaan kota London di malam hari, dengan trem-tremnya, bus-bus, dan orang-orang
yang bergegas pulang setelah bekerja seharian, dan tentang rumah-rumah mungil
yang menantikan mereka, juga tentang pola kedekatan kehidupan keluarga Inggris
yang aneh. Ceritanya sungguh istimewa, dilukiskan dengan demikian luas dan
dengan pengetahuan yang luar biasa, bahkan dengan menambah-nambahinya di sanasini. Kepala Lady Esther mulai merunduk, keangkuhan sikapnya sirna sudah. Selama
beberapa lama air matanya diam-diam mengalir, dan setelah Mr. Parker Pyne
selesai bercerita, hilanglah semua kepura-puraannya dan ia menangis terangterangan. Mr. Parker Pyne tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk memandangi Lady Esther.
Wajahnya tampak tenang, puas karena eksperimennya memberikan hasil sesuai yang
diinginkan. Akhirnya wanita itu mengangkat kepalanya. "Nah," katanya dengan getir, "puaskah
Anda?" "Sekarang... saya puas."
"Bagaimana saya bisa tahan" Bagaimana saya bisa tahan" Tak pernah pergi dari
sini; tak pernah bertemu... siapa-siapa lagi!" Ratapan itu keluar seolah diperas
kuat-kuat dari hatinya. "Tidakkah Anda akan mengucapkan kata-kata yang biasanya
diucapkan orang-orang lain" Apakah Anda tidak akan mengatakan, 'Bila Anda begitu
ingin pulang, mengapa tidak pulang saja"'"
"Tidak." Mr. Parker Pyne menggeleng. "Sama sekali tak semudah itu bagi Anda."
Kini barulah terbayang rasa takut di mata wanita itu.
"Tahukah Anda mengapa saya tak bisa pulang?"
"Saya rasa saya tahu."
"Anda keliru." Ia menggeleng. "Alasan saya tak bisa pulang tidak akan pernah
Anda duga." "Saya tidak menduga," kata Mr. Parker Pyne. "Saya mengamati, dan saya
memastikan." Wanita itu menggeleng. "Anda sama sekali tidak tahu apa-apa."
"Kelihatannya saya harus meyakinkan," kata Mr. Parker Pyne dengan ramah. "Waktu
Anda datang kemari dari Bagdad, kalau tak salah Anda naik pesawat terbang German
Air Service yang baru, ya?"
"Ya." "Pilotnya adalah seorang penerbang muda, Herr Schlagal, yang kemudian datang
kemari mengunjungi Anda?"
"Ya." Kata "ya" itu terdengar lain, tak dapat dijelaskan - kata "ya" yang lebih lembut.
"Dan Anda punya seorang teman, atau teman hidup, yang... meninggal." Kini
suaranya keras bagaikan baja... terdengar menyerang.
"Teman hidup saya."
"Namanya...?" "Muriel King." "Apakah Anda sangat menyayanginya?"
"Apa maksud Anda dengan sangat menyayanginya?" Ia diam sebentar, menahan
dirinya. "Dia berguna bagi saya."
Ia mengatakannya dengan congkak, dan Mr. Parker Pyne jadi teringat kata-kata
sang konsul, "Kita bisa melihat bahwa dia orang penting, kalau Anda mengerti
maksud saya." "Apakah Anda sedih sekali waktu dia meninggal?"
"Saya... tentu saja! Ah, Mr. Pyne, perlukah kita membahas ini semua?" Ia
berbicara dengan marah, tapi berkata lagi tanpa menunggu jawaban, "Anda baik
sekali mau datang. Tapi saya agak letih. Tolong katakan saja, berapa saya harus
membayar Anda?" Tapi Mr. Parker Pyne tidak bergerak. Ia tidak memperlihatkan tanda-tanda
tersinggung. Dengan tenang ia bertanya terus. "Sejak dia meninggal, Herr
Schlagal tak pernah lagi mengunjungi Anda. Seandainya dia datang, maukah Anda
menerimanya?" "Tentu saja tidak."
"Anda menolaknya dengan tegas?"
"Dengan tegas, Herr Schlagal tidak akan diterima."
"Ya," kata Mr. Parker Pyne, seperti sedang merenung. "Anda tak bisa berkata apaapa lagi." Keangkuhan wanita itu agak memudar. Dengan kurang yakin ia berkata, "Saya...
saya tak mengerti maksud Anda."
"Tahukah Anda, Lady Esther, bahwa Herr Schlagal jatuh cinta pada Muriel King"
Dia seorang pria muda yang berperasaan halus. Dia masih tetap menyimpan kenangan
tentang Muriel King."
"Benarkah begitu?" Suaranya boleh dikatakan hanya merupakan bisikan.
"Bagaimana gadis itu?"
"Apa maksud Anda, bagaimana dia" Bagaimana saya bisa tahu?"
"Pasti Anda sekali-sekali memperhatikannya," kata Mr. Parker Pyne dengan sabar.
"Oh, itu! Dia memang cukup cantik."
"Apakah dia kira-kira seumur dengan Anda?"
"Kira-kira begitulah." Ia berhenti sebentar, lalu berkata, "Mengapa Anda menduga
bahwa... bahwa Schlagal mencintainya?"
"Karena pria muda itu mengatakannya pada saya. Ya, dengan cara yang jelas
sekali. Seperti sudah saya katakan, dia adalah pria muda yang berperasaan halus.
Dia senang membuka rahasia hatinya pada saya. Dan dia sedih sekali gadis itu
meninggal dengan cara demikian."
Lady Esther melompat bangkit. "Apakah Anda pikir saya yang membunuhnya?"
Mr. Parker Pyne tidak ikut melompat bangkit. Ia tak bisa melompat dengan mudah.
"Tidak, anakku," katanya. "Saya tidak menduga bahwa Anda telah membunuhnya, dan
oleh karenanya, makin cepat Anda menghentikan permainan sandiwara ini dan
pulang, makin baik."
"Apa maksud Anda, permainan sandiwara?"
"Yang benar adalah, Anda ketakutan. Itu benar. Anda sangat ketakutan. Anda pikir
Anda akan dituduh telah membunuh majikan Anda."
Gadis itu melakukan gerakan mendadak.
Mr. Parker Pyne berkata lagi. "Anda bukan Lady Esther Carr. Saya tahu itu
sebelum saya datang kemari, lalu saya mengetes Anda untuk meyakini kebenaran
itu." Merebaklah senyum Mr. Parker Pyne, dengan tenang dan ramah.
"Waktu saya berbicara tadi, saya memperhatikan Anda, dan setiap kali Anda
bereaksi sebagai Muriel King, bukan sebagai Esther Carr. Toko-toko murah,
bioskop-bioskop, taman baru di daerah-daerah pinggir kota, pulang naik bus dan
trem... Anda memperlihatkan reaksi terhadap itu semua. Desas-desus di rumahrumah pedesaan, kelab-kelab malam, ramainya Mayfair, keramaian pacuan... semua
itu tak ada artinya bagi Anda."
Suara Mr. Parker Pyne makin kebapakan dan membujuk. "Cobalah Anda duduk dan
ceritakan semuanya. Anda tidak membunuh Lady Esther, tapi Anda pikir Anda
mungkin dituduh melakukannya. Ceritakan saja pada saya bagaimana kejadiannya."
Gadis itu menarik napas panjang; lalu ia duduk lagi di dipan dan mulai
berbicara. Kata-katanya diucapkannya dengan terburu-buru dan meluap-luap.
"Saya harus mulai... dari awal. Saya... saya takut padanya. Dia gila - bukan gila
benar - hanya sedikit. Saya diajaknya kemari. Saya yang dungu ini senang sekali;
saya pikir betapa romantisnya. Si kecil yang dungu. Ya, itulah saya dulu, si
kecil yang dungu. Almarhumah gila laki-laki - benar-benar gila laki-laki. Waktu
itu terjadi skandal dengan sopirnya. Laki-laki itu tak mau tahu tentang dia,
lalu rahasia itu bocor; teman-temannya jadi tahu dan menertawakannya. Dia lalu
melarikan diri dari keluarganya dan datang kemari.
"Itu dilakukannya untuk menghilangkan rasa malunya - menyendiri di gurun - semuanya
itu. Dia ingin bertahan di sini dulu beberapa lama, lalu kembali. Tapi makin
lama dia makin aneh. Lalu ada pula pilot itu. Dia... tertarik pada pria itu.
Pria itu datang kemari untuk menemui saya, tapi dia mengira... ah, sudahlah,
Anda tentu mengerti. Tapi pria itu pasti lalu menjelaskannya padanya...
"Lalu tiba-tiba dia balik mempersalahkan saya. Dia mengerikan, menakutkan.
Katanya saya tidak akan pernah boleh pulang lagi. Katanya saya ada dalam
kekuasaannya. Katanya saya seorang budak. Tak lebih dari itu - seorang budak. Dia
punya kekuasaan hidup dan mati atas diri saya."
Mr. Parker Pyne mengangguk. Situasinya makin jelas sekarang. Lady Esther yang
perlahan-lahan kehilangan kewarasannya, sebagaimana anggota-anggota lain dalam
keluarganya, dan gadis yang seorang lagi, yang ketakutan, polos, dan tak pernah
bepergian, yang mempercayai semua yang dikatakan padanya.
"Tapi pada suatu hari, sesuatu dalam diri saya terasa pecah. Saya melawannya.
Saya katakan padanya bahwa kalau terpaksa, saya bisa lebih kuat daripadanya.
Saya katakan saya bisa melemparkannya ke batu-batu di bawah. Dia ketakutan;
benar-benar ketakutan. Saya rasa selama ini dia menganggap saya tak berdaya
seperti cacing. Saya melangkah mendekatinya; saya tidak tahu apa yang dipikirnya
akan saya lakukan. Dia mundur... dia mundur ke tepi balkon, lalu jatuh!" Muriel
King menutup wajahnya dengan tangan.
"Lalu?" desak Mr. Parker Pyne dengan halus.
"Saya kehilangan akal. Saya pikir orang akan mengatakan bahwa saya yang
mendorongnya. Saya pikir tak ada orang yang mau mendengarkan saya. Saya pikir
saya akan dijebloskan ke dalam penjara yang mengerikan di sini." Bibirnya
bergerak-gerak. Mr. Parker Pyne mengerti benar ketakutan tak berdasar yang
menghantui gadis itu. "Lalu saya mendapat akal. Bagaimana kalau saya yang
dianggap mati" Saya tahu akan ada seorang konsul Inggris yang baru, yang tak
pernah melihat kami berdua. Pendahulunya sudah meninggal.
"Saya pikir saya bisa mengatur para pelayan. Bagi mereka, kami adalah dua orang
wanita Inggris gila. Ketika yang seorang meninggal, yang seorang lagi
melanjutkan hidupnya. Saya beri mereka banyak hadiah dan uang dan saya suruh
mereka mengundang konsul Inggris. Konsul itu datang, dan saya menyambutnya
sebagai Lady Esther. Saya pakai cincinnya. Pria itu baik sekali dan mengatur
segala keperluan kami. Agaknya tak seorang pun curiga."
Mr. Parker Pyne mengangguk sambil merenung. Lady Esther Carr mungkin benar-benar
gila, tapi ia tetap Lady Esther Carr.
"Lalu setelah itu," lanjut Muriel, "saya menyesal berbuat begitu. Saya sadari
bahwa saya sendiri pun jadi gila. Saya dikutuk untuk tetap tinggal di sini,
memainkan suatu peran. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa pergi dari sini.
Kalau sekarang saya mengakuinya, akan makin kuat kesan bahwa sayalah yang
membunuhnya. Aduh, Mr. Pyne, apa yang harus saya lakukan" Apa yang harus saya
lakukan?" "Lakukan?" Mr. Parker Pyne bangkit dengan susah payah, "Anakku yang baik, Anda
harus ikut dengan saya mendatangi konsul Inggris itu. Dia orang yang ramah dan
baik hati. Memang akan ada urusan yang kurang menyenangkan yang harus kita
lalui. Saya tak mau menjanjikan bahwa semuanya akan mulus-mulus saja, tapi Anda
tidak akan dihukum gantung gara-gara pembunuhan. Omong-omong, mengapa nampan itu
ditemukan bersama mayatnya?"
"Saya yang melemparkannya. Sa... saya pikir dengan adanya nampan itu akan lebih
masuk akal bahwa itu adalah mayat saya. Tolol sekalikah saya?"
"Itu bahkan suatu akal yang cerdik," kata Mr. Parker Pyne. "Sebenarnya justru
itulah yang membuat saya bertanya-tanya, apakah Anda memang telah membunuh Lady
Esther... sampai saya bertemu dengan Anda. Waktu melihat Anda, saya yakin bahwa
apa pun yang Anda lakukan selama hidup Anda, Anda tidak akan pernah membunuh
seseorang." "Maksud Anda karena saya tidak berani?"
"Pikiran Anda tidak akan bekerja begitu," kata Mr. Parker Pyne, tersenyum. "Nah,
sebaiknya kita pergi. Ada urusan tidak menyenangkan yang harus kita hadapi, tapi
saya akan membantu Anda melewatinya, dan setelah itu Anda bisa pulang ke
Streatham Hill. Benar kan, Streatham Hill tempat asal Anda" Ya, saya pikir
begitu: Saya lihat wajah Anda mengejang waktu saya menyebutkan nomor bus
tertentu. Maukah Anda ikut, anak manis?"
Muriel King masih bimbang. "Mereka tidak akan mempercayai saya," katanya gugup.
"Keluarganya dan semua orang. Mereka tidak akan percaya bahwa dia telah berbuat
begitu." "Serahkan itu pada saya," kata Mr. Parker Pyne. "Soalnya, saya tahu sejarah
keluarga itu. Mari, Nak, jangan terus-menerus menjadi pengecut. Ingat, ada
seorang pria muda yang terus-menerus mendesah sedih. Sebaiknya kita atur supaya
Anda terbang ke Bagdad menumpang pesawat terbangnya."
Gadis itu tersenyum dengan wajah memerah. "Saya siap," katanya singkat. Lalu,
saat berjalan ke arah pintu, ia berbalik. "Kata Anda, Anda sudah tahu bahwa saya
bukan Lady Esther Carr sebelum Anda melihat saya. Bagaimana itu mungkin?"
"Statistik," kata Mr. Parker Pyne.
"Statistik?" "Ya, Lord dan Lady Micheldever bermata biru. Waktu Konsul berkata bahwa putri
mereka bermata kelam, tahulah saya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Orangorang bermata cokelat bisa menghasilkan anak bermata biru, tapi tidak
sebaliknya. Ketahuilah, itu merupakan kenyataan ilmiah."
"Saya rasa Anda hebat sekali!" kata Muriel King.
MUTIARA YANG BERHARGA ROMBONGAN itu telah melewati hari yang meletihkan. Mereka berangkat dari Amman
pagi-pagi benar, dalam suhu tiga puluh tujuh derajat Celsius di keteduhan, dan
akhirnya tiba saat hari mulai gelap, di perkemahan yang terletak di jantung kota
yang merupakan batu karang merah menakjubkan yang bernama Petra.
Mereka bertujuh, Mr. Caleb P. Blundell, pria gendut yang kaya dari Amerika.
Sekretarisnya, Jim Hurst yang berkulit gelap dan tampan, meskipun agak pendiam.
Sir Donald Marvel, anggota Parlemen, seorang politikus Inggris yang tampak
letih. Doktor Carver, seorang arkeolog tua yang terkenal di seluruh dunia.
Seorang Prancis yang perlente, Kolonel Dubosc, yang sedang cuti dari Siria.
Seorang pria bernama Mr. Parker Pyne, yang tidak jelas profesinya, tapi
menyebarkan kepribadian Inggris yang mantap. Dan akhirnya ada Miss Carol
Blundell - cantik, manja, dan amat sangat percaya diri, sebagai satu-satunya
wanita di tengah enam orang pria.
Setelah memilih tenda atau gua masing-masing untuk tidur, mereka makan malam di
tenda yang besar. Mereka berbicara tentang politik di Timur Dekat - orang Inggris
dengan hati-hati, orang Prancis dengan bijak, orang Amerika dengan agak bodoh,
sedangkan sang arkeolog dan Mr. Parker Pyne sama sekali tidak ikut serta.
Agaknya mereka lebih suka menjadi pendengar. Demikian pula Jim Hurst.
Lalu mereka membicarakan kota yang mereka kunjungi.
"Terlalu romantis, hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata," kata Carol.
"Bayangkan saja kaum - apa namanya itu - Nabataen yang hidup di sini pada zaman yang
sudah begitu lama berlalu, boleh dikatakan sebelum awal zaman!"
"Tidak juga," kata Mr. Parker Pyne dengan halus. "Bukan begitu, Doktor Carver?"
"Oh, itu baru kira-kira dua ribu tahun yang lalu, dan bila para perampok
dianggap romantis, saya rasa kaum Nabataen memang bisa disebut begitu. Bisa saya
katakan bahwa mereka itu segerombolan pengacau yang memaksa para pengembara
menggunakan jalan kafilahnya sendiri, dan berusaha agar semua jalan yang lain
tidak aman. Petra adalah tempat penimbunan keuntungan hasil perampokan mereka."
"Apakah menurut Anda mereka itu hanya perampok?" tanya Carol. "Hanya pencuri
biasa?" "Pencuri adalah perkataan yang kurang romantis, Miss Blundell. Seorang pencuri
memberikan kesan perampas barang-barang kecil. Seorang perampok memberikan kesan
perampasan yang lebih besar."
"Bagaimana dengan seorang pengusaha keuangan yang modern?" tanya Mr. Parker Pyne
dengan mata berbinar. "Papa yang harus menjawab pertanyaan itu, Pap!" kata Carol.
"Pengusaha keuangan adalah orang yang menjadikan uang berguna bagi umat
manusia," kata Mr. Blundell dengan kesal.
"Umat manusia," gumam Mr. Parker Pyne, "yang kurang mensyukuri."
"Apalah artinya kejujuran?" tanya si orang Prancis itu. "Itu hanya suatu
perbedaan persepsi; suatu beda pendapat. Seorang Arab tidak malu mencuri. Dia
tidak malu berbohong. Yang penting bagi mereka adalah dari siapa mereka mencuri
atau pada siapa mereka berbohong."
"Ya, itulah beda sudut pandangnya," kata Carol membenarkan.
"Hal itu menunjukkan kelebihan Barat dari Timur," kata Blundell. "Kalau saja
makhluk-makhluk malang ini mendapatkan pendidikan..."
Sir Donald menggabungkan diri pada percakapan itu dengan lemah. "Ketahuilah,
pendidikan itu busuk. Mengajarkan pada orang, banyak hal tak berguna. Maksud
saya, tak ada yang bisa mengubah dasar kita."
"Maksud Anda?"
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, maksud saya, umpamanya, bila seseorang adalah pencuri, dia tetap saja
pencuri." Keadaan sepi sekali beberapa lama. Lalu Carol dengan bersemangat berbicara
tentang nyamuk, dan ayahnya mendukungnya.
Dengan agak heran, Sir Donald bergumam pada Mr. Parker Pyne yang duduk di
sebelahnya, "Sepertinya saya salah omong, ya?"
"Aneh," kata Mr. Parker Pyne.
Meskipun telah terjadi ketegangan sesaat, ada satu orang yang sama sekali tidak
menyadarinya. Sang arkeolog duduk saja diam-diam, matanya menerawang dan
pandangannya hampa. Waktu keadaan sepi, ia tiba-tiba berbicara dengan mendadak.
"Yah," katanya, "saya sependapat dengan itu - dari segi yang berlawanan. Seseorang
itu pada dasarnya jujur atau tidak jujur. Itu tak bisa disangkal."
"Jadi, Anda tidak sependapat bahwa suatu godaan, umpamanya, bisa mengubah orang
yang jujur menjadi penjahat?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Tak mungkin!" kata Carver.
Mr. Parker Pyne menggeleng dengan halus. "Saya rasa tak bisa dikatakan tak
mungkin. Soalnya banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan. Ada pula apa
yang dinamakan titik perubahan, umpamanya."
"Apa yang Anda namakan titik perubahan itu?" tanya Hurst, yang berbicara untuk
pertama kalinya. Suaranya dalam dan menarik.
"Otak kita dibiasakan menanggung sejumlah beban. Hal yang mempercepat krisis itu
- yaitu yang mengubah seorang yang jujur menjadi tidak jujur - mungkin kecil
sekali. Sebab itulah kebanyakan kejahatan kelihatannya tak masuk akal. Yang
menjadi sebab, sembilan dari sepuluh hal, adalah beban yang sedikit sekali itu bagaikan batang padi yang mematahkan punggung unta."
"Anda sudah bicara psikologi, teman," kata orang Prancis itu.
"Sekiranya seorang penjahat menguasai psikologi, dia pasti hebat!" kata Mr.
Parker Pyne. Diucapkannya kata-kata itu dengan suara enak didengar. "Bayangkan
kalau dari sepuluh orang yang kita jumpai, setidaknya sembilan orang di
antaranya bisa dipengaruhi untuk berbuat seperti yang kita kehendaki, dengan
cara menggunakan perangsang yang tepat."
"Wah, tolong jelaskan!" seru Carol.
"Ada orang yang mudah digertak. Berteriaklah cukup keras padanya, maka dia akan
mematuhi kita. Ada orang yang pelawan. Gertak dia untuk melakukan yang
sebaliknya dari apa yang kita inginkan. Lalu ada pula orang yang mudah
dipengaruhi; ini tipe yang paling biasa. Mereka yakin sudah melihat motor,
karena mereka telah mendengar klaksonnya; mereka yakin melihat pengantar surat
karena telah mendengar kolak surat berbunyi; mereka melihat pisau karena kata
orang ada orang yang ditikam; atau yang mengatakan mendengar suara pistol bila
dikatakan padanya bahwa ada orang yang ditembak."
"Saya rasa tak ada orang yang bisa mempengaruhi saya seperti itu," kata Carol
kurang percaya. "Kau terlalu cerdas untuk itu, Sayang," kata ayahnya.
"Benar sekali apa yang Anda katakan itu," kata si orang Prancis sambil merenung.
"Pikiran yang sudah ditanamkan bisa menipu alat-alat indra."
Carol menguap. "Saya ingin masuk ke gua saya. Saya letih setengah mati. Kata
Abbas Effendi, besok kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Dia akan membawa
kita ke tempat pengorbanan - entah apa itu."
"Itu tempat mengurbankan gadis-gadis yang masih muda dan cantik," kata Sir
Donald. "Terima kasih saja! Yah, selamat malam semuanya. Aduh, anting saya jatuh."
Kolonel Dubosc memungutnya dari tempatnya berguling di meja tadi, lalu
mengembalikannya padanya.
"Apakah itu asli?" tanya Sir Donald mendadak. Tanpa mengingat tata krama, ia
menatap dua mutiara tunggal yang besar-besar di telinga gadis itu.
"Asli," kata Carol.
"Saya harus membayar delapan puluh ribu dolar untuk itu," kata ayahnya dengan
rasa puas. "Enak saja dia memasangnya longgar, hingga mudah jatuh dan
menggelinding di meja. Apa kau ingin membuatku bangkrut, Nak?"
"Saya pikir Papa tidak akan bangkrut, meskipun harus membelikan saya sepasang
lagi," kata Carol dengan sayang.
"Kurasa juga tidak," ayahnya membenarkan. "Aku bisa membelikanmu tiga pasang
anting tanpa melihat selisih jumlah uangku dalam rekening koranku." Ia melihat
dengan bangga ke sekelilingnya.
"Hebat sekali Anda!" kata Sir Donald.
"Yah, Bapak-bapak, saya rasa saya akan tidur sekarang," kata Blundell. "Selamat
malam." Hurst ikut dengannya.
Keempat orang lainnya berpandangan sambil tersenyum, seolah-olah membenarkan
suatu pikiran. "Yah," kata Sir Donald dengan malas, "enak juga bahwa dia tidak akan merasa
kekurangan uangnya. Dasar si mulut besar yang sok kaya!" tambahnya dengan tajam.
"Orang-orang Amerika itu memang punya uang terlalu banyak," kata Dubosc.
"Memang sulit," kata Mr. Parker Pyne dengan halus, "bagi seorang kaya untuk
dihargai oleh yang miskin."
Dubosc tertawa. "Rasa iri dan benci?" katanya. "Anda benar, Monsieur. Kita semua
ingin kaya; untuk bisa membeli anting mutiara berlipat-lipat ganda. Kecuali,
mungkin, Monsieur ini."
Ia mengangguk ke arah Doktor Carver yang lagi-lagi sedang menerawang sambil
mempermainkan suatu benda kecil di tangannya.
"Ya?" ia tersadar. "Tidak, saya harus mengakui bahwa saya tidak mendambakan
mutiara-mutiara besar. Uang memang selalu berguna." Nada bicaranya tegas. "Tapi
lihatlah ini," katanya. "Ini ada sesuatu yang seratus kali lebih menarik
daripada mutiara." "Apa itu?" "Ini merupakan sebuah segel silinder dari batu hitam yang ada ukirannya, berupa
ritual persembahan - seorang dewa yang memperkenalkan pemujanya pada dewa yang
lebih tinggi. Si pemuja membawa seorang anak untuk dikurbankannya, dan dewa
tertinggi di takhta itu menyuruh seorang pengawal menggoyang-goyangkan sebuah
pengusir lalat berupa helai daun palem, supaya dia tidak diganggu oleh lalat.
Ukiran tulisan yang rapi itu berbunyi bahwa si pemuja itu adalah pelayan
Hammurabi; berarti benda ini dibuat empat ribu tahun yang lalu."
Dikeluarkannya sepotong lilin plastik dari sakunya dan dioleskannya ke meja,
lalu diminyakinya dengan sedikit vaselin, dan ditekankannya segel itu di
atasnya, sambil mengguling-gulingkannya. Kemudian, dengan menggunakan sebuah
pisau lipat, dibuangnya lilin plastik yang berbentuk segi empat dan diangkatnya
perlahan-lahan dari meja.
"Coba lihat," katanya.
Pemandangan yang dikatakannya itu tampak di depan mereka pada lilin plastik itu,
jelas dan tajam. Sesaat mereka semua terpesona oleh masa lalu. Kemudian dari luar terdengar suara
Mr. Blundell yang tak enak didengar.
"Hei, kalian, orang-orang hitam! Pindahkan bagasiku dari gua tak enak ini ke
dalam tenda! Binatang-binatang yang tidak kelihatan itu banyak sekali yang
menggigit. Aku tak akan bisa tidur."
"Tak bisa dilihat?" tanya Sir Donald.
"Mungkin serangga pasir," kata Doktor Carver.
"Saya suka mendengar istilah 'binatang yang tidak kelihatan itu'," kata Mr.
Parker Pyne. "Nama itu tepat benar."
*** Rombongan itu berangkat pagi-pagi benar keesokan harinya. Mereka memulai
perjalanan setelah terdengar beberapa seman tentang warna dan tanda-tanda pada
batu-batu karang. "Kota merah muda" itu benar-benar merupakan hasil ciptaan alam
yang luar biasa. Rombongan maju lambat sekali, karena Doktor Carver berjalan
sambil memandangi tanah, dan sekali-sekali berhenti untuk memungut benda-benda
kecil. "Begitulah arkeolog," kata Kolonel Dubosc sambil tersenyum. "Dia tak pernah
memandang langit atau bukit, juga keindahan alam. Dia selalu berjalan dengan
kepala menunduk, mencari."
"Ya, tapi untuk apa?" kata Carol. "Benda-benda apa yang Anda pungut itu, Doktor
Carver?" Sambil tersenyum kecil, arkeolog itu menunjukkan beberapa pecahan barang-barang
pecah belah yang berlumpur.
"Ah, hanya sampah!" seru Carol mengejek.
"Barang pecah belah lebih menarik daripada emas," kata Doktor Carver. Carol
melihat dengan rasa tak percaya.
Mereka tiba di suatu tikungan tajam dan melewati dua atau tiga kuburan yang
dibuat di batu-batu karang itu. Pendakian itu agak sulit. Pengawal-pengawal
Bedouin berjalan di depan, mendaki lereng-lereng curam dengan tak peduli, tanpa
mau melihat ke bawah, ke kecuraman di salah satu sisinya.
Carol tampak agak pucat. Salah seorang pengawal membungkuk dari atas dan
mengulurkan tangan. Hurst melompat ke depan Carol dan mengulurkan tongkatnya
pada sisi yang curam. Carol menyatakan terima kasihnya dengan pandangannya, dan
semenit kemudian ia sudah berdiri dengan aman di atas sebuah lorong lebar pada
batu karang. Yang lain-lain menyusul perlahan-lahan. Matahari sudah tinggi dan
panasnya mulai terasa. Akhirnya mereka tiba di sebuah dataran lebar di dekat puncak. Suatu pendakian
yang mudah, menuju puncak sebuah batu karang segi empat yang besar. Blundell
menyatakan pada penunjuk jalan bahwa rombongan akan naik sendiri. Kedua orang
Bedouin itu duduk bersandar dengan nyaman pada batu dan merokok. Tak lama
kemudian, yang lain-lain tiba di puncak.
Tempat itu gersang dan aneh. Pemandangannya bagus sekali, tampak merangkul
lembah pada semua sisi. Mereka berdiri di lantai persegi empat panjang, yang
pada satu sisinya terdapat lubang-lubang batu dan semacam meja persembahan
kurban. "Tempat ini bagaikan surga untuk menaruh kurban," kata Carol bersemangat. "Tapi,
aduh, betapa sulitnya mereka harus membawa kurbannya ke atas ini!"
"Semula ada semacam jalan batu yang berkelok-kelok," jelas Doktor Carver. "Kita
akan melihat bekas-bekasnya kalau kita turun lewat jalan lain."
Beberapa lama mereka masih saja memberikan komentar dan bercakap-cakap. Lalu
terdengar suara kelenting halus, dan Doktor Carver berkata,
"Saya rasa anting Anda jatuh lagi, Miss Blundell."
Carol meraba telinganya. "Wah, benar."
Dubosc dan Hurst mulai mencari kian kemari.
"Pasti ada di sekitar tempat ini," kata si orang Prancis. "Tak mungkin dia
bergulir ke tempat lain, karena tak ada tempat untuk bergulir. Tempat ini
seperti kotak segi empat."
"Tak mungkinkah bergulir ke sebuah celah?" tanya Carol.
"Tak ada satu pun celah," kata Mr. Parker Pyne. "Anda bisa melihat sendiri.
Tempat ini mulus sekali. Oh, Anda menemukan sesuatu, Kolonel?"
"Hanya sebuah kerikil kecil," kata Dubosc, lalu melemparkannya sambil tersenyum.
Sedikit demi sedikit timbul semangat lain yang tegang di antara para pencari.
Ketegangan itu tidak diucapkan, tapi kata-kata "delapan puluh ribu dolar"
memenuhi pikiran setiap orang.
"Yakinkah kau bahwa kau tadi masih memakainya, Carol?" bentak ayahnya.
"Maksudku, mungkin jatuh waktu mendaki tadi."
"Tepat waktu kita tiba di dataran ini masih ada," kata Carol. "Saya yakin benar,
karena Doktor Carver mengatakan sekrupnya longgar lagi dan dia mengencangkannya.
Begitu kan, Doktor?"
Doktor Carver membenarkan. Sir Donald-lah yang menyuarakan kata-kata yang ada
dalam pikiran semua orang.
"Urusan ini tidak begitu menyenangkan, Mr. Blundell," katanya. "Semalam Anda
katakan pada kami berapa harga anting itu. Salah satu di antaranya saja sudah
mahal sekali. Bila anting itu tidak ditemukan, dan kelihatannya begitulah,
setiap orang di antara kita bisa dicurigai."
"Dan sebagai pendahuluan, saya minta digeledah," sela Kolonel Dubosc. "Saya
tidak meminta, tapi saya menuntut itu sebagai hak saya!"
"Silakan geledah saya juga," kata Hurst. Suaranya terdengar serak.
"Bagaimana yang lain-lain?" tanya Sir Donald, sambil melihat berkeliling.
"Silakan," kata Mr. Parker Pyne.
"Gagasan bagus," kata Doktor Carver.
"Saya juga mau diikutsertakan dalam hal itu, saudara-saudara," kata Mr.
Blundell. "Saya punya alasan untuk itu, meskipun saya tidak bersedia
menyatakannya." "Bagaimana keinginan Anda saja, Mr. Blundell," kata Sir Donald dengan santun.
"Carol, Sayang. Sebaiknya kau turun dan menunggu bersama penunjuk-penunjuk jalan
itu." Tanpa berkata apa-apa, gadis itu pergi. Wajahnya tampak serius dan membayangkan
rasa putus asa yang menarik perhatian salah seorang anggota rombongan. Ia ingin
tahu arti pandangan itu. Penggeledahan pun berlangsung. Itu dilakukan dengan ketat dan cermat, dan sama
sekali tidak memuaskan. Satu hal sudah pasti. Anting itu tidak ditemukan pada
salah satu di antara mereka. Rombongan itu berdiam diri saat turun, dan
mendengarkan dengan setengah hati penjelasan dan informasi yang diberikan oleh
penunjuk jalan. Mr. Parker Pyne baru saja selesai berpakaian dan sedang bersiap-siap untuk makan
siang, ketika seseorang muncul di pintu tendanya.
"Mr. Pyne, bolehkah saya masuk?"
"Tentu saja, gadis manis, tentu."
Carol masuk, lalu duduk di tempat tidur. Di wajahnya masih terbayang perasaan
serius, sebagaimana yang tampak oleh Mr. Pyne tadi pagi.
"Anda merasa selalu bisa menyelesaikan persoalan-persoalan orang-orang yang
sedang bingung, bukan?" katanya.
"Sekarang saya sedang berlibur, Miss Blundell. Saya tidak menerima perkara apa
pun." "Yah, Anda harus menerima yang satu ini," kata gadis itu dengan tenang.
"Dengarlah, Mr. Pyne, saya merasa sedih sekali."
"Apa yang Anda susahkan?" tanya Mr. Pyne. "Apakah urusan anting itu?"
"Justru itu. Anda sudah cukup berbicara. Jim Hurst tidak mengambilnya, Mr. Pyne.
Saya yakin." "Saya kurang mengerti, Miss Blundell. Mengapa harus ada orang yang menduga
begitu?" "Karena masa lalunya. Jim Hurst pernah mencuri, Mr. Pyne. Dia tertangkap basah
di rumah kami. Saya... saya kasihan padanya. Dia kelihatan begitu muda dan putus
asa..." "Dan begitu tampan," pikir Mr. Parker Pyne.
"Saya minta Papa memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri. Ayah saya mau
berbuat apa saja untuk saya. Nah, diberinya Jim kesempatan, dan Jim telah
memperbaiki dirinya. Papa jadi mengandalkan dia dan mempercayakan padanya semua
rahasia bisnisnya. Dan akhirnya dia akan berhasil dan bebas sama sekali, kalau
saja hal ini tidak terjadi."
"Waktu Anda katakan 'berhasil'...?"
"Maksud saya, saya ingin menikah dengan Jim dan dia ingin menikah dengan saya."
"Dan Sir Donald?"
"Sir Donald itu gagasan ayah saya. Saya tidak menyukainya. Anda pikir saya mau
menikah dengan orang angkuh seperti Sir Donald itu?"
Tanpa mengeluarkan pendapatnya, Mr. Parker Pyne bertanya, "Bagaimana dengan Sir
Donald sendiri?" "Saya yakin dia menganggap saya akan sangat bermanfaat untuk tanah-tanahnya yang
sudah bangkrut itu," kata Carol mengejek.
Mr. Parker Pyne mempertimbangkan keadaan itu. "Saya ingin menanyakan dua hal,"
katanya. "Semalam ada yang mengucapkan kata-kata 'sekali pencuri, selamanya
pencuri.'" Gadis itu mengangguk. "Sekarang saya mengerti, mengapa ucapan itu telah menimbulkan situasi yang tidak
enak." "Ya, itu tak enak bagi Jim... dan bagi saya, juga Papa. Saya takut sekali,
kalau-kalau Jim akan memperlihatkan reaksi, hingga saya cetuskan saja kata-kata
yang pertama terpikir oleh saya."
Mr. Parker Pyne mengangguk sambil merenung. Lalu ia bertanya, "Lalu mengapa ayah
Anda bersikeras agar semua orang digeledah tadi?"
"Anda tidak mengerti" Saya mengerti. Papa berpikir bahwa menurut saya, semua
kejadian ini adalah untuk menjebak Jim. Soalnya, Papa ingin sekali saya menikah
dengan orang Inggris itu. Nah, dia ingin memperlihatkan pada saya bahwa bukan
dia yang mempermalukan Jim."
"Wah, wah," kata Mr. Parker Pyne, "semuanya jadi jelas sekali. Maksud saya,
secara umum. Tapi boleh dikatakan tidak membantu kita dalam urusan khusus kita
ini." "Anda kan tidak akan menyerah?"
"Tidak, tidak." Ia diam sebentar, lalu berkata, "Apa sebenarnya yang Anda ingin
saya lakukan, Miss Carol?"
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Membuktikan bahwa bukan Jim yang mengambil mutiara itu."
"Lalu bagaimana kalau - maafkan saya - memang dia yang mengambil?"
"Kalau Anda berpendapat begitu, Anda keliru - salah besar."
"Ya, tapi apakah Anda sudah mempertimbangkan benar-benar urusan ini" Apakah
menurut Anda tak mungkin mutiara itu merupakan godaan mendadak bagi Mr. Hurst"
Dengan menjualnya, dia akan mendapatkan uang banyak sekali - suatu alasan yang
cukup menggoda - sehingga dia bisa mengawini Anda dengan atau tanpa restu ayah
Anda." "Pokoknya Jim tidak melakukannya," kata gadis itu dengan tegas.
Kali ini Mr. Parker Pyne menerima baik pernyataannya. "Yah, saya akan berusaha."
Gadis itu mengangguk, lalu meninggalkan tenda itu. Kini giliran Mr. Parker Pyne
duduk di tempat tidur. Ia pun merenung. Tiba-tiba ia tertawa kecil.
"Aku jadi lamban berpikir," katanya nyaring. Pada waktu makan siang, ia ceria
sekali. Petang berlalu dengan damai. Kebanyakan orang tidur. Waktu Mr. Parker Pyne
memasuki tenda besar pada pukul empat lewat seperempat, hanya Doktor Carver yang
ada di situ. Ia sedang meneliti beberapa pecahan keramik.
"Ah!" kata Mr. Parker Pyne sambil menarik sebuah kursi ke meja. "Andalah orang
yang ingin saya jumpai. Bolehkah saya meminjam lilin plastik kecil yang Anda
bawa-bawa ke mana-mana itu?"
Doktor itu meraba-raba saku-sakunya, lalu mengeluarkan segumpal lilin plastik,
yang diserahkannya pada Mr. Parker Pyne.
"Bukan," kata Mr. Parker Pyne sambil menolak dengan tangannya, "bukan yang itu.
Saya ingin gumpalan yang ada pada Anda semalam. Terus terang, bukan lilin
plastiknya yang saya perlukan, melainkan isinya."
Keadaan sepi, lalu Doktor Carver berkata dengan tenang, "Saya kurang mengerti
Anda." "Saya rasa Anda mengerti," kata Mr. Parker Pyne. "Saya menginginkan anting
mutiara milik Miss Blundell."
Beberapa menit keadaan sunyi sepi. Lalu Carver memasukkan tangan ke sakunya dan
mengeluarkan segumpal lilin plastik yang tidak berbentuk.
"Anda cerdik," katanya. Wajahnya tanpa ekspresi.
"Tolong ceritakan semuanya," kata Mr. Parker Pyne. Jemarinya sibuk. Dengan
menggeram dikeluarkannya anting mutiara yang agak kotor itu. "Saya tahu bahwa
itu Anda lakukan hanya karena ingin tahu," katanya lagi dengan nada penyesalan.
"Tapi saya ingin mendengarnya."
"Saya mau menceritakannya," kata Carver, "kalau Anda mau menceritakan bagaimana
Anda sampai menuding saya. Anda kan tidak melihat apa-apa?"
Mr. Parker Pyne menggeleng. "Saya hanya memikirkannya," katanya.
"Pada awalnya benar-benar hanya kebetulan," kata Carver. "Sepanjang pagi tadi
saya berada di belakang kalian semua, lalu saya lihat benda itu tergeletak di
hadapan saya - pasti jatuh dari telinga gadis itu sesaat sebelumnya. Dia tidak
menyadarinya. Orang-orang lain pun tidak. Saya pungut, lalu saya masukkan ke
saku saya, dengan niat akan mengembalikannya padanya begitu saya tiba di
dekatnya. Tapi saya lupa.
"Lalu, setengah perjalanan pendakian itu, saya pun berpikir. Permata itu tidak
berarti apa-apa bagi gadis dungu itu; ayahnya akan membelikannya lagi, tanpa
peduli berapa harganya. Padahal itu besar artinya bagi saya. Dengan menjual
mutiara itu, saya bisa memperlengkapi suatu ekspedisi." Wajahnya yang datar
tiba-tiba menegang, lalu tampak hidup. "Tahukah Anda betapa sulitnya zaman
sekarang ini mengumpulkan dana untuk menggali" Pasti Anda tidak tahu! Dengan
menjual mutiara itu, segala-galanya akan mudah. Ada suatu tempat yang ingin saya
gali - di Baluchistan. Ada sebuah bab lengkap mengenai masa lalu yang menunggu
untuk ditemukan di sana....
"Saya memikirkan apa yang Anda katakan semalam, yaitu mengenai saksi yang mudah
diberi sugesti. Saya pikir gadis itu adalah tipe demikian. Waktu kita tiba di
puncak, saya katakan padanya bahwa antingnya longgar. Saya berpura-pura
mengencangkannya. Yang sebenarnya saya lakukan adalah menekankan ujung sebuah
pensil kecil ke telinganya. Beberapa menit kemudian, saya jatuhkan sebuah
kerikil kecil. Waktu itu dia mau bersumpah bahwa anting itu ada di telinganya
dan baru saja jatuh. Sementara itu, saya benamkan anting itu ke gumpalan lilin
plastik di dalam saku saya. Itulah kisah saya. Mungkin tidak terlalu bisa
dipercaya. Sekarang giliran Anda."
"Cerita saya tidak banyak," kata Mr. Parker Pyne. "Andalah satu-satunya orang
yang mau memungut barang-barang dari tanah; itulah sebabnya saya jadi terpikir
pada Anda. Dan waktu Anda katakan bahwa Anda menemukan kerikil kecil itu,
persoalannya jadi jelas. Itu menekankan siasat yang Anda mainkan. Lalu..."
"Lanjutkan," kata Carver.
"Yah, semalam Anda berbicara terlalu bersemangat tentang kejujuran. Anda
berlebihan waktu memprotes - yah. Anda kan tahu apa kata Shakespeare tentang itu.
Rasanya seolah-olah Anda sedang mencoba meyakinkan diri Anda sendiri. Dan Anda
agak terlalu melecehkan tentang uang."
Wajah laki-laki di hadapannya tampak tua dan lesu. "Yah, begitulah," katanya.
"Berakhirlah sudah semua angan-angan saya. Saya rasa Anda mau mengembalikan
anting gadis itu, ya" Sungguh aneh, naluri purba yang dimiliki orang terhadap
perhiasan. Itu sama saja seperti pada zaman purba. Salah satu naluri yang dibawa
kaum wanita sejak lahir."
"Saya rasa Anda salah menilai Miss Carol," kata Mr. Parker Pyne. "Dia punya otak
cemerlang... dan lebih-lebih lagi... dia punya hati. Saya rasa dia mau
merahasiakan urusan ini."
"Tapi ayahnya tidak akan mau," kata arkeolog itu.
"Saya rasa dia mau juga. Soalnya 'Papa' punya alasan tersendiri mengapa dia akan
tutup mulut. Tidak benar bahwa anting itu berharga empat puluh ribu. Benda itu
bisa dibeli dengan harga lima pound saja."
"Maksud Anda...?"
"Ya. Gadis itu tidak tahu. Dia pikir itu asli. Semalam saya curiga. Mr. Blundell
berbicara terlalu banyak tentang uang yang dimilikinya. Bila keadaan tidak
menguntungkan dan orang terjerat dalam kesulitan, yah, yang terbaik dilakukan
adalah membual untuk menyelamatkan mukanya. Mr. Blundell hanya membual."
Doktor Carver tiba-tiba tersenyum. Senyuman anak kecil yang menarik, yang tampak
aneh di wajah laki-laki itu.
"Jadi, kita ini orang-orang miskin semua," katanya.
"Tepat," kata Mr. Parker Pyne, lalu ia mengutip sebaris puisi, "Perasaan senasib
yang membuat kita jadi berbaik hati."
KEMATIAN DI SUNGAI NIL LADY GRAYLE merasa gugup. Sejak saat naik ke kapal Fayoum, ia mengeluhkan
segala-galanya. Ia tidak suka kamarnya. Ia suka matahari pagi, tapi tidak tahan
matahari sore. Keponakannya, Pamela Grayle, mengalah dan memberikan kamarnya
yang terletak di sisi lain. Lady Grayle menerimanya dengan menggerutu.
Ia membentak Miss MacNaughton, perawatnya, karena telah memberikan selendang
yang salah, dan karena telah mengepak bantal kecilnya, padahal seharusnya
ditinggalkan di luar. Ia membentak suaminya, Sir George, karena baru saja
membelikannya kalung merjan yang salah. Yang diinginkannya adalah merjan lapis,
bukan batu kamelia. Dasar dungu si George itu!
"Maafkan aku, Sayang," kata Sir George dengan cemas. "Maaf. Aku akan pergi lagi
dan menukarkannya. Masih banyak waktu."
Tapi ia tidak membentak Basil West, sekretaris pribadi suaminya, karena tak ada
orang yang pernah membentak Basil. Senyum Basil melumpuhkan orang sebelum orang
itu akan mulai. Tapi yang paling menderita pastilah sang penerjemah - seorang laki-laki
berpenampilan mencolok dengan pakaian beraneka warna, yang agaknya tak bisa
terganggu oleh apa pun. Ketika Lady Grayle melihat seorang pria asing di kursi rotan dan menyadari bahwa
orang itu akan menjadi teman seperjalanannya, meledaklah amarahnya dan tertumpah
bagaikan air. "Orang-orang di kantor tadi jelas-jelas mengatakan hanya kamilah penumpang kapal
ini! Ini akhir musim dan tak ada orang lain yang pergi!"
"Itu benar, Lady," kata Mohammed dengan tenang. "Hanya Anda dengan rombongan dan
seorang pria, itu saja."
"Tapi katanya hanya kami saja."
"Benar sekali, Lady."
"Itu tidak benar! Itu bohong! Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?"
"Dia datang kemudian, Lady. Setelah Anda membeli karcis. Baru tadi pagi dia
memutuskan untuk ikut."
"Ini penipuan besar!"
"Tak apa-apa, Lady; dia laki-laki pendiam, dia baik sekali, pendiam sekali."
"Kau dungu! Kau tidak tahu apa-apa. Miss MacNaughton, di mana kau" Bisa pingsan
aku. Bantu aku pergi ke kamarku dan minta obat aspirin, dan jangan biarkan si
Mohammed itu mendekatiku. Dia terus-menerus berkata, 'Itu benar, Lady,' sampai
rasanya aku ingin berteriak."
Miss MacNaughton mengulurkan lengannya tanpa berkata apa-apa.
Wanita itu bertubuh jangkung, berumur kira-kira tiga puluh lima, berkulit gelap,
cantik, dan pendiam. Ia mengantar Lady Grayle ke kamarnya, menyusun bantalbantal di punggungnya, lalu memberinya aspirin dan mendengarkan arus keluh
kesahnya. Lady Grayle berumur empat puluh delapan tahun. Sejak berumur enam belas tahun,
ia sudah mengeluh memiliki terlalu banyak uang. Ia menikah dengan baron kecil
yang jatuh miskin, Sir George Grayle, sepuluh tahun yang lalu.
Lady Grayle bertubuh besar, wajahnya tidak jelek, tapi ia selalu cemberut dan
murung, dan rias tebal yang digunakannya hanya menambah jelas umur dan sifat
pemarahnya. Rambutnya dicat pirang-platinum dan kadang-kadang merah manyala, dan
karenanya ia jadi kelihatan letih. Pakaiannya berlebihan dan perhiasannya
terlalu ramai. "Katakan pada Sir George," katanya akhirnya, sementara Miss MacNaughton tetap
diam menunggu dengan wajah datar - "katakan pada Sir George bahwa dia harus
menyuruh laki-laki itu meninggalkan kapal! Aku harus mendapatkan kebebasan
pribadiku. Sudah banyak sekali yang harus kualami akhir-akhir ini." Ditutupnya
matanya. "Baik, Lady Grayle," kata Miss MacNaughton, lalu meninggalkan kamar itu.
Penumpang terakhir yang dimaksud, masih duduk di kursi malas. Ia membelakangi
kota Luxor dan menatap ke arah seberang Sungai Nil, di mana bukit-bukit di
kejauhan tampak keemasan, di atas garis berwarna hijau tua.
Sambil lalu Miss MacNaughton melihatnya.
Ditemukannya Sir George di ruang duduk, sedang memegang seuntai kalung merjan
dan memandanginya dengan ragu.
"Coba, Miss MacNaughton, apakah menurutmu ini bagus?"
Miss MacNaughton melihat sekilas pada merjan lapis itu.
"Memang bagus sekali," katanya.
"Menurutmu Lady Grayle akan senang?"
"Oh, tidak, saya tidak berani mengatakannya, Sir George. Soalnya, tak ada apa
pun yang bisa menyenangkannya. Omong-omong, dia menyuruh saya mencari Anda
dengan sebuah pesan. Dia ingin Anda mengusir penumpang tambahan itu."
Sir George ternganga. "Bagaimana mungkin" Apa yang harus kukatakan pada orang
itu?" "Tentu Anda tak bisa." Suara Elsie MacNaughton terdengar manis, namun tegas.
"Katakan saja bahwa Anda tak bisa berbuat apa-apa."
Ia berkata lagi untuk membesarkan hati, "Tak apa-apa."
"Kaupikir tak apa-apa, ya?" Wajah laki-laki itu lucu karena ketakutan.
Suara Elsie MacNaughton lebih ramah waktu ia berkata, "Anda sebenarnya tak perlu
terlalu memikirkan hal-hal ini, Sir George. Itu hanya disebabkan oleh kesehatan.
Jangan terlalu dipikirkan."
"Menurutmu dia sakit keras, Suster?"
Wajah Elsie tampak sedih. Terdengar sesuatu yang aneh pada suaranya waktu ia
menjawab, "Ya, saya... saya kuatir melihat keadaannya. Tapi jangan kuatir, Sir
George. Jangan. Itu tak perlu." Gadis itu memberinya senyum ramah, lalu keluar.
Pamela masuk, tampak tenang dan sejuk dalam gaun putihnya.
"Halo, Nunks (panggilan sayang terhadap pamannya)."
"Halo, Pam sayang."
"Apa yang Paman pegang itu" Oh, bagus!"
"Aku senang kau berpikiran begitu. Kuharap saja bibimu juga berpikiran begitu?"
"Dia tak bisa menyukai apa pun. Saya tak mengerti, mengapa Paman menikahi
perempuan itu." Sir George diam saja. "Kasihan Paman," kata Pamela. "Saya rasa Paman terpaksa
melakukannya. Tapi dia benar-benar menyusahkan kita berdua, ya?"
"Sejak dia sakit...," kata Sir George.
Pamela menyela. "Dia tidak sakit! Tidak sungguh-sungguh sakit. Dia selalu bisa melakukan apa-apa
yang diinginkannya. Wah, waktu Paman berada di Assuan, dia ceria sekali,
seperti... anak kucing. Saya berani bertaruh bahwa Miss MacNaughton tahu dia
berpura-pura." "Entah bagaimana kita kalau tak ada Miss MacNaughton," kata Sir George sambil
mendesah. "Dia memang orang yang efisien," kata Pamela. "Tapi saya sebenarnya tidak begitu
suka padanya, tidak seperti Paman menyukainya. Ya, Paman suka sekali padanya!
Jangan membantah. Paman pikir dia itu luar biasa. Memang benar sih. Tapi kita
belum tahu siapa dia sebenarnya. Saya tak pernah tahu apa yang dipikirkannya.
Tapi dia memang pandai mengurus kucing tua itu."
"Dengar, Pam, kau tak boleh bicara begitu tentang bibimu. Kau tak bisa membantah
bahwa dia baik sekali padamu."
"Ya, dia memang membayar segala-galanya untuk kita. Tapi rasanya kita hidup di
neraka." Sir George beralih ke bahan pembicaraan yang kurang menyakitkan. "Apa yang harus
kita lakukan terhadap laki-laki yang ikut dalam pelayaran kita itu" Bibimu ingin
hanya kitalah penumpang di kapal ini."
"Yah, keinginannya itu tak bisa dipenuhi," kata Pamela dingin. "Laki-laki itu
cukup baik. Namanya Parker Pyne. Kalau tidak salah, dia pegawai negeri dari
Departemen Pencatatan - kalau itu memang ada. Anehnya, rasanya saya perah
mendengar nama itu. Basil!" Sekretaris itu baru saja masuk. "Di mana kira-kira
aku melihat nama Parker Pyne, ya?"
"Di halaman depan harian The Times, di Kolom Kesedihan," sahut pria muda itu.
"Bunyinya, 'Berbahagiakah Anda" Jika tidak, mintalah nasihat Mr. Parker Pyne.'"
"Wah! Lucu sekali! Mari kita ceritakan padanya semua kecemasan kita sepanjang
pelayaran ke Cairo."
"Saya tak punya kesedihan," kata Basil West sederhana. "Kita akan melayari
Sungai Nil yang indah, dan melihat kuil-kuil." Ia cepat-cepat menoleh pada Sir
George, yang sedang mengambil surat kabar, dan berkata lagi, "Bersamanya."
Perkataan terakhir itu hanya dibisikkannya, tapi Pamela mendengarnya. Ia melihat
ke mata laki-laki itu. "Kau benar, Basil," katanya ringan. "Memang lebih senang untuk hidup."
Sir George bangkit, lalu keluar. Wajah Pamela tampak disaputi awan.
"Ada apa, manisku?"
"Istri pamanku itu..."
"Jangan kuatir," kata Basil cepat-cepat. "Apa salahnya dia punya gagasan
tertentu" Jangan bantah dia. Ketahuilah," katanya lagi sambil tertawa, "itu
hanya penyamaran yang berhasil."
Mr. Parker Pyne yang ramah masuk ke ruang duduk itu. Di belakangnya menyusul
sosok Mohammed yang mencolok, siap-siap untuk berbicara.
"Ibu dan Bapak-bapak, kita berangkat sekarang. Beberapa menit lagi kita akan
melewati kuil-kuil Karnak, di sisi kanan kita. Akan saya ceritakan tentang anak
laki-laki yang pergi membeli daging panggang untuk ayahnya...."
*** Mr. Parker Pyne menyeka dahinya. Ia baru saja kembali dari kunjungan ke Kuil
Dendera. Menurutnya menunggang keledai sama sekali tidak cocok untuk orang
seperti dirinya. Ia baru saja akan menanggalkan kerah bajunya, ketika terlihat
olehnya sepucuk surat yang diselipkan di meja riasnya. Ia membukanya. Surat itu
berbunyi sebagai berikut:
Tuan yang terhormat, saya akan berterima kasih bila Anda tidak pergi mengunjungi
Kuil Abydos, melainkan tinggal di kapal, karena saya ingin meminta nasihat Anda.
Hormat saya, Ariadne Grayle Senyuman menghiasi wajah Mr. Parker Pyne yang lebar dan ramah. Diambilnya
sehelai kertas dan diputarnya ujung pulpennya.
Lady Grayle yang terhormat (tulisnya), maafkan saya harus mengecewakan Anda,
sebab saya sekarang sedang berlibur dan tidak mengerjakan urusan yang
berhubungan dengan profesi saya.
Ditandatanganinya surat itu, lalu dikirimkannya lewat seorang pelayan kapal.
Setelah ia selesai berpakaian, sepucuk surat diantarkan lagi padanya.
Mr. Parker Pyne yang terhormat, saya mengerti bahwa Anda sedang berlibur, tapi
saya bersedia membayar seratus pound untuk suatu nasihat.
Hormat saya,
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ariadne Grayle Mr. Parker Pyne mengangkat alisnya. Diketuk-ketukkannya penanya pada giginya,
sambil merenung. Ia ingin melihat Abydos, tapi seratus pound menarik juga. Dan
Mesir telah menjadi jauh lebih mahal daripada yang dibayangkannya.
Lady Grayle yang terhormat (tulisnya), saya tidak akan mengunjungi Kuil Abydos.
Hormat saya, J. Parker Pyne Karena Mr. Parker Pyne tak mau meninggalkan kapal, Mohammed merasa kecewa
sekali. "Kuil itu bagus sekali. Semua tamu saya suka melihat kuil itu. Biar saya carikan
kereta untuk Anda. Saya siapkan kursi, dan kelasi-kelasi akan memikul Anda."
Mr. Parker Pyne menolak semua tawaran menggiurkan itu.
Penumpang-penumpang yang lain pun berangkat.
Mr. Parker Pyne menunggu di dek. Sebentar kemudian, pintu kamar Lady Grayle
terbuka dan wanita itu sendiri keluar ke dek.
"Panas sekali siang ini," katanya dengan anggun. "Rupanya Anda tinggal juga, Mr.
Pyne. Bijak sekali Anda. Mari kita minum di ruang duduk."
Mr. Parker Pyne langsung bangkit dan mengikutinya. Tak dapat dibantah bahwa ia
ingin sekali tahu. Tampaknya Lady Grayle merasa kesulitan mengatakan maksudnya. Ia berbicara tak
menentu. Tapi akhirnya ia berkata dengan nada berbeda.
"Mr. Pyne, apa yang akan saya katakan ini harap dirahasiakan benar-benar! Anda
mengerti, bukan?" "Tentu." Wanita itu diam dan menarik napas panjang. Mr. Parker Pyne menunggu.
"Saya ingin tahu, apakah suami saya meracuni saya."
Mr. Parker Pyne sama sekali tak menduga akan mendengar hal itu. Maka jelas-jelas
diperlihatkannya keterkejutannya. "Itu suatu tuduhan serius, Lady Grayle."
"Saya bukan orang bodoh, dan saya bukan baru kemarin lahir. Sudah beberapa lama
saya menaruh kecurigaan. Setiap kali George bepergian, saya merasa sehat. Saya
bisa makan dengan baik, dan saya merasa berbeda. Pasti ada alasannya."
"Apa yang Anda katakan itu serius sekali, Lady Grayle. Anda harus ingat bahwa
saya bukan detektif. Boleh dikatakan saya ini hanya ahli dalam urusan hati..."
Wanita itu menyela, "Hei... Anda pikir semua itu tidak mencemaskan saya" Saya
tidak membutuhkan polisi; saya bisa menjaga diri, terima kasih. Saya hanya
menginginkan kepastian. Saya harus tahu. Saya bukan orang jahat, Mr. Pyne. Saya
bisa bertindak adil terhadap orang yang saya anggap adil. Sudah ada
perjanjiannya. Saya selalu memenuhi janji saya. Saya sudah membayar utang-utang
suami saya, dan saya tak pernah pelit dalam memberinya uang."
Sesaat timbul rasa iba Mr. Parker Pyne terhadap Sir George. "Sedangkan gadis
itu, saya memberinya pakaian dan mengizinkannya menghadiri pesta-pesta dan
banyak lagi yang lain. Hanya rasa terima kasih yang biasa yang saya minta."
"Rasa terima kasih bukan sesuatu yang bisa dihasilkan karena diperintahkan, Lady
Grayle." "Omong kosong!" kata Lady Grayle. Lalu katanya lagi, "Nah, itulah! Cari tahu
benar atau tidaknya! Begitu saya tahu..."
Mr. Parker Pyne memandanginya dengan rasa ingin tahu. "Begitu Anda tahu, apa
yang akan Anda lakukan, Lady Grayle?"
"Itu urusan saya." Wanita itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Mr. Parker Pyne bimbang sebentar, lalu katanya, "Maafkan saya, Lady Grayle, tapi
saya mendapatkan kesan bahwa Anda tidak terlalu jujur pada saya."
"Tak masuk akal. Sudah saya katakan dengan jelas apa yang saya ingin Anda cari
tahu." "Betul, tapi bukan itu alasannya, mengapa?"
Mata mereka beradu. Mata wanita itu merunduk lebih dulu.
"Saya rasa alasannya adalah untuk membuktikannya," katanya.
"Tidak, karena saya meragukan satu hal."
"Apa itu?" "Apakah Anda ingin kecurigaan Anda itu dinyatakan benar atau salah?"
"Ah, Mr. Pyne!" Wanita itu bangkit, tubuhnya bergetar karena murka.
Mr. Parker Pyne mengangguk halus. "Ya, ya," katanya. "Tapi dengan demikian Anda
tidak menjawab pertanyaan saya."
"Aduh!" Agaknya ia kesulitan berbicara. Ia berlalu dari ruangan itu.
Mr. Parker Pyne yang ditinggal sendiri jadi merenung dalam. Demikian asyiknya ia
merenung, hingga ia benar-benar terkejut ketika seseorang masuk dan duduk di
seberangnya. Orang itu adalah Miss MacNaughton.
"Cepat sekali kalian kembali," kata Mr. Parker Pyne.
"Yang lain-lain belum kembali. Saya katakan saya sakit kepala dan kembali
seorang diri." Gadis itu tampak ragu. "Mana Lady Grayle?"
"Saya rasa sedang berbaring di kamarnya."
"Oh, kalau begitu baik, saya tak ingin dia tahu bahwa saya sudah kembali."
"Jadi, Anda tidak kembali demi dia?"
Miss MacNaughton menggeleng. "Tidak, saya kembali karena ingin menemui Anda."
Mr. Parker Pyne merasa heran. Ia mengira Miss MacNaughton punya kemampuan besar
untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya sendiri, tanpa bantuan dari luar.
Ternyata ia keliru. "Saya sudah memperhatikan Anda sejak kita semua naik ke kapal. Saya rasa Anda
orang yang punya banyak pengalaman dan punya pendapat bagus. Dan saya amat
membutuhkan nasihat."
"Padahal - maafkan saya, Miss MacNaughton - Anda tipe orang yang tidak biasanya
meminta nasihat. Saya pikir Anda orang yang merasa yakin untuk mengandalkan
pendapat Anda sendiri."
"Biasanya memang begitu. Tapi sekarang saya sedang bingung."
Ia ragu sebentar. "Saya tidak biasa membicarakan urusan-urusan saya. Tapi saat
ini saya rasa perlu sekali. Mr. Pyne, waktu saya berangkat dari Inggris bersama
Lady Grayle, dia baik-baik saja. Jelasnya, tak ada apa-apa pada dirinya. Mungkin
itu tidak benar. Terlalu banyak waktu luang dan terlalu banyak uang memang bisa
membuat orang sakit. Bila harus menyikat lantai setiap hari dan harus mengurus
lima atau enam orang anak, mungkin Lady Grayle akan jauh lebih sehat dan lebih
bahagia." Mr. Parker Pyne mengangguk.
"Sebagai seorang perawat yang bertugas di rumah sakit, kita jadi banyak melihat
penyakit saraf. Lady Grayle senang merasakan keadaannya yang tidak sehat itu.
Saya bertugas untuk tidak meremehkan penderitaan-penderitaannya itu. Saya harus
pandai sekali bersiasat... dan menikmati perjalanan ini dengan sepenuh hati."
"Anda bijak sekali," kata Mr. Parker Pyne.
"Tapi, Mr. Pyne, sekarang keadaannya lain. Penderitaan-penderitaan yang
dikeluhkan Lady Grayle kini jadi sungguhan, bukan khayalan."
"Maksud Anda?" "Saya jadi curiga bahwa Lady Grayle diracuni."
"Sejak kapan Anda mencurigai hal itu?"
"Selama tiga minggu terakhir ini."
"Apakah Anda mencurigai... seseorang secara khusus?"
Mata perawat itu merunduk. Kini suaranya jadi kurang bersungguh-sungguh.
"Tidak." "Saya tegaskan pada Anda, Miss MacNaughton, bahwa Anda sebenarnya mencurigai
seseorang, dan bahwa orang itu adalah Sir George Grayle."
"Oh, bukan, bukan, saya tak bisa percaya bahwa dialah orangnya! Dia begitu
penakut, begitu kekanak-kanakan. Tak mungkin dia bisa membubuhkan racun dengan
darah dingin." Terdengar nada sedih dalam suaranya.
"Padahal Anda melihat bahwa setiap kali Sir George tidak ada, keadaan istrinya
lebih baik dan bahwa masa-masa sakitnya sesuai dengan kembalinya suaminya."
Perawat itu tidak menjawab.
"Racun apa yang Anda curigai" Arsenium?"
"Sebangsa itu. Arsenium atau antimony."
"Lalu langkah-langkah apa yang telah Anda ambil?"
"Saya telah berusaha keras mengawasi apa yang dimakan dan diminum oleh Lady
Grayle." Mr. Parker Pyne mengangguk. "Apakah menurut Anda Lady Grayle sendiri tidak
curiga?" tanyanya sekilas.
"Oh, tidak, saya yakin tidak."
"Anda keliru," kata Mr. Parker Pyne. "Lady Grayle curiga."
Miss MacNaughton terkejut sekali.
"Lady Grayle lebih bisa menyimpan rahasia daripada yang Anda duga," kata Mr.
Parker Pyne. "Dia seorang wanita yang pandai sekali menyimpan pikirannya."
"Saya sama sekali tak mengira," kata Miss MacNaughton perlahan.
"Saya ingin menanyakan satu hal lagi, Miss MacNaughton. Apakah Anda rasa Lady
Grayle menyukai Anda?"
"Saya tak pernah memikirkannya."
Mereka terganggu. Mohammed masuk, wajahnya berseri, jubahnya melayang-layang di
belakangnya. "Ibu itu tahu Anda sudah kembali; dia menanyakan Anda. Dia bertanya mengapa Anda
tidak mendatanginya?"
Elsie MacNaughton cepat-cepat bangkit. Mr. Parker Pyne juga bangkit.
"Bisakah besok pagi-pagi kita berbicara?" tanyanya.
"Ya, itu waktu yang tepat sekali. Lady Grayle biasa bangun siang. Sementara itu,
saya akan hati-hati sekali."
"Saya rasa Lady Grayle akan berhati-hati juga."
Miss MacNaughton pergi. Mr. Parker Pyne tidak bertemu lagi dengan Lady Grayle, sampai sesaat menjelang
makan malam. Ia sedang duduk merokok dan sedang membakar sesuatu yang
kelihatannya sepucuk surat. Wanita itu sama sekali tidak melihat Mr. Parker
Pyne, dan Mr. Parker Pyne beranggapan wanita itu masih marah.
Setelah makan malam, Mr. Parker Pyne main bridge dengan Sir George, Pamela, dan
Basil. Semua orang tampak linglung, dan permainan bridge itu cepat berakhir.
Beberapa jam kemudian, Mr. Parker Pyne dibangunkan. Mohammed yang datang.
"Ibu tua sakit keras. Perawatnya ketakutan sekali. Saya akan mencari dokter."
Mr. Parker Pyne cepat-cepat mengenakan pakaian. Ia tiba di ambang pintu kamar
Lady Grayle bersamaan dengan Basil West. Sir George dan Pamela sudah berada di
dalam. Elsie MacNaughton sedang sibuk mengurus pasiennya. Saat Mr. Parker Pyne
tiba, tubuh wanita malang itu mengejang untuk terakhir kali. Tubuhnya yang
melengkung, mengejang, lalu menjadi kaku. Ia terkulai ke bantalnya.
Mr. Parker Pyne menarik Pamela dengan halus ke luar.
"Mengerikan sekali!" kata gadis itu setengah terisak. "Mengerikan sekali! Apakah
dia, apakah dia...?"
"Meninggal" Ya, semuanya sudah berlalu."
Diserahkannya gadis itu pada Basil. Sir George keluar dari kamar itu dengan
linglung. "Tak pernah kuduga bahwa dia benar-benar sakit," gumamnya. "Sesaat pun tak
kuduga." Mr. Parker Pyne melewatinya dan dengan terburu-buru masuk ke kamar lagi. Wajah
Elsie MacNaughton tampak pucat dan letih. "Sudahkah mereka memanggil dokter?"
tanyanya. "Ya." Lalu ia bertanya, "Apakah racun strychnine?"
"Ya. Kekejangan-kekejangan itu... tak salah lagi. Oh, rasanya tak masuk akal!"
Perawat itu mengempaskan tubuhnya ke kursi, sambil menangis. Mr. Parker Pyne
menepuk pundaknya. Lalu ia teringat sesuatu. Ia cepat-cepat keluar dari kamar itu dan pergi ke
ruang duduk. Ada secarik kertas yang tidak ikut terbakar di asbak. Hanya ada
beberapa kata-kata yang masih jelas:
serbuk impian Bakarlah surat ini! "Nah, ini menarik," kata Mr. Parker Pyne.
Mr. Parker Pyne duduk di ruangan seorang pejabat penting di Cairo. "Jadi, itulah
buktinya," katanya sambil merenung.
"Ya, lengkap sekali. Laki-laki itu pasti dungu sekali."
"Sir George memang tak bisa disebut cerdas."
"Jadi, begitu!" kata orang satunya. "Lady Grayle minta semangkok kaldu. Perawat
menyiapkannya. Lalu dia harus membubuhkan sherry ke kaldu itu. Sir George
mengeluarkan sherry itu. Dua jam kemudian, Lady Grayle meninggal dengan tandatanda keracunan strychnine yang tak diragukan. Sebungkus strychnine ditemukan di
kamar Sir George, dan bahkan sebungkus lagi di saku jasnya."
"Sempurna sekali," kata Mr. Parker Pyne. "Omong-omong, dari mana strychnine
itu?" "Itu masih agak diragukan. Ada sedikit pada si perawat, untuk persediaan kalau
Lady Grayle mendapat gangguan jantung, tapi si perawat membantah hal itu
beberapa kali. Mula-mula katanya persediaannya masih lengkap, dan sekarang
katanya tidak lagi."
"Tak mungkin dia tidak yakin begitu," komentar Mr. Parker Pyne.
"Menurut saya, mereka berdua terlibat. Kedua orang itu saling tertarik."
"Mungkin; tapi seandainya Miss MacNaughton punya rencana untuk membunuh, dia
pasti melakukannya dengan cara yang jauh lebih baik. Dia gadis yang efisien."
"Yah, begitulah. Menurut saya, Sir George terlibat. Dia sama sekali tak punya
kesempatan untuk membantah."
"Yah, yah," kata Mr. Parker Pyne, "akan saya lihat apa yang bisa saya lakukan."
Ia pergi mencari keponakan yang cantik itu.
Pamela tampak pucat dan berang. "Nunks tak mungkin melakukan hal semacam itu - tak
mungkin - tak mungkin!"
"Lalu siapa yang melakukannya?" tanya Mr. Parker Pyne dengan tenang.
Pamela mendekatinya. "Tahukah Anda apa yang saya pikirkan" Dia melakukannya
sendiri. Akhir-akhir ini dia memang aneh sekali. Dia sering berangan-angan."
"Mengangankan apa?"
"Hal-hal aneh. Tentang Basil, umpamanya. Dia selalu mengisyaratkan bahwa Basil
mencintainya. Padahal Basil dan saya... kami..."
"Saya tahu," kata Mr. Parker Pyne dengan tersenyum.
"Semuanya tentang Basil itu hanya angan-angannya saja. Saya rasa dia merendahkan
paman saya yang malang itu, dan saya rasa dia mengarang-ngarang cerita itu pada
Anda, lalu disimpannya strychnine itu ke dalam kamar dan ke dalam jas Paman, dan
diracuninya dirinya sendiri. Biasa kan orang-orang berbuat begitu?"
"Memang," Mr. Parker Pyne membenarkannya. "Tapi saya rasa Lady Grayle tidak
melakukannya. Kalau saya boleh berkata, dia bukan tipe orang semacam itu."
"Tapi bagaimana dengan khayalan-khayalannya itu?"
"Ya, saya ingin menanyakan hal itu pada Mr. West."
Pria muda itu ada di kamarnya. Basil menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan
sigap. "Saya tak ingin memberikan kesan tak tahu diri, tapi dia memang jatuh hati pada
saya. Itu sebabnya saya tidak berani mengatakan padanya tentang hubungan saya dan
Pamela. Dia pasti akan menyuruh Sir George memecat saya."
"Apakah menurut Anda teori Miss Pamela Grayle itu masuk akal?"
"Yah, saya rasa mungkin." Pria muda itu tampak ragu.
"Tapi tidak begitu meyakinkan," kata Mr. Parker Pyne dengan tenang. "Kita harus
mencari sesuatu yang lebih baik." Ia kelihatan larut dalam renungannya beberapa
lama. "Suatu pengakuanlah yang terbaik," katanya tegas. Dibukanya pulpennya dan
dikeluarkannya secarik kertas. "Tolong tuliskan saja."
Basil memandanginya dengan heran. "Apa maksud Anda?"
"Anak muda yang baik," suara Mr. Parker Pyne terdengar kebapakan, "saya sudah
tahu semua. Anda telah merayu lady yang baik hati itu. Dia terjebak. Anda
sebenarnya mencintai keponakan yang tak punya uang itu. Anda lalu mengatur
siasat. Meracuninya perlahan-lahan. Itu mungkin akan diduga kematian wajar yang
disebabkan oleh gangguan pencernaan - atau kalau tidak, bisa dituduhkan pada Sir
George, karena Anda selalu berusaha agar serangan-serangan penyakitnya terjadi
saat suaminya itu ada. "Lalu Anda tahu bahwa lady itu curiga, dan bahwa dia telah berbicara pada saya
tentang soal itu. Harus diambil tindakan cepat! Anda ambil strychnine dari
persediaan Miss MacNaughton. Anda simpan sebagian di dalam kamar Sir George, dan
sedikit dalam saku jasnya, dan Anda masukkan cukup banyak ke dalam bungkusan
yang Anda masukkan ke dalam surat untuk wanita itu, dan mengatakan bahwa itu
adalah 'serbuk impian.' "Suatu akal yang romantis. Dia meminumnya segera setelah si perawat pergi
meninggalkannya, dan tak akan ada seorang pun yang tahu. Tapi Anda telah
melakukan satu kesalahan, anak muda. Tak ada gunanya meminta seorang wanita
membakar surat. Mereka tak pernah melakukannya. Saya sudah menemukan semua surat
indah itu, termasuk yang berhubungan dengan serbuk itu."
Wajah Basil West menjadi putih. Semua ketampanannya hilang. Ia kelihatan seperti
seekor tikus yang terperangkap.
"Keparat kau," geramnya. "Kau sudah tahu semua, ya" Dasar Parker sialan yang
suka mencampuri urusan orang."
Mr. Parker Pyne selamat dari serangan kekerasan fisik berkat munculnya saksisaksi yang telah diaturnya dengan cermat; mereka disuruhnya mendengarkan di luar
pintu yang setengah terbuka.
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Lagi-lagi Mr. Parker Pyne membahas perkara itu dengan temannya, pejabat tinggi
itu. "Padahal saya sama sekali tak punya barang buku! Hanya sepotong sobekan kertas
kecil yang tulisannya hampir tak terbaca, kecuali kata-kata Bakarlah ini! Saya
menyimpulkan kisah itu dan saya cobakan terhadapnya. Dan berhasil. Secara
kebetulan saja saya menemukan kebenarannya. Gara-gara surat-surat itu. Lady
Grayle sebenarnya telah membakar semua surat yang telah ditulisnya, tapi anak
muda itu tidak tahu. "Wanita itu memang luar biasa. Saya heran waktu dia mendatangi saya. Dia minta
saya meyakinkannya bahwa suaminya meracuninya. Bila itu berhasil, dia bisa pergi
bersama anak muda West itu. Tapi dia ingin bertindak adil. Sungguh aneh
wataknya." "Gadis kecil malang itu tentu akan menderita," kata lawan bicaranya.
"Dia akan bisa mengatasinya," kata Mr. Parker Pyne tanpa belas kasihan. "Dia
masih muda. Saya harap Sir George masih bisa menikmati hidupnya sebelum
terlambat. Selama sepuluh tahun dia diperlakukan seperti cacing. Sekarang Elsie
MacNaughton akan berbaik hati sekali padanya."
Wajahnya berseri-seri. Lalu ia mendesah. "Saya berencana pergi ke Yunani tanpa
tanda pengenal saya. Saya benar-benar harus berlibur!"
KUIL SUCI DI DELPHI MRS. WILLARD J. PETERS sebenarnya tidak menyukai Yunani. Dan khususnya mengenai
Delphi, jauh di lubuk hatinya, wanita itu sama sekali tak peduli.
Yang lekat di hati Mrs. Peters adalah Paris, London, dan Riviera. Ia wanita yang
menyukai kehidupan di hotel. Bayangannya mengenai kamar tidur hotel adalah
lantai beralas karpet tebal, sebuah tempat tidur mewah, dengan beraneka ragam
lampu yang ditata secara berbeda-beda, termasuk sebuah lampu bertudung di sisi
tempat tidur, banyak air panas dan dingin, dan sebuah pesawat telepon di samping
tempat tidur, yang bisa digunakan untuk memesan teh, makanan, air mineral,
minuman beralkohol, dan bisa pula untuk berbicara dengan teman-teman.
Di hotel di Delphi tak ada benda-benda itu. Ada pemandangan indah dari jendela,
tempat tidurnya bersih, demikian pula kamarnya yang dindingnya baru dicat. Ada
sebuah kursi, sebuah wastafel, dan sebuah lemari pendek berlaci-laci. Orang
mandi bergiliran dan air panasnya sering mengecewakan.
Pasti senang bisa mengatakan bahwa kita sudah pernah pergi ke Delphi, pikir Mrs.
Peters, dan ia pun berusaha keras menaruh minat pada Yunani Kuno, namun sulit
sekali. Patung-patungnya tampak seperti separuh selesai; ada yang tidak
berkepala, tidak berlengan atau kaki. Diam-diam ia jauh lebih menyukai patung
bidadari dari batu pualam, lengkap dengan sayap, yang telah dibangunnya di makam
almarhum Mr. Willard Peters.
Tapi semua pikiran rahasianya itu dipendamnya baik-baik dalam hatinya sendiri,
karena takut putranya, Willard, membencinya. Demi Willard-lah ia berada di sini,
dalam kamar dingin yang tidak nyaman ini, dengan pelayan yang cemberut dan
pengemudi yang dibencinya.
Willard (yang sampai akhir-akhir ini disebut Junior - sebutan yang dibenci oleh
anak itu) adalah putra Mrs. Peters yang berumur delapan belas tahun, dan Mrs.
Peters memujanya tanpa batas. Willard punya minat besar terhadap seni zaman
purba. Willard bertubuh kurus, pucat, berkacamata, dan sering mendapat gangguan
pencernaan. Dialah yang menyeret ibunya yang memujanya, untuk mengadakan
perjalanan ke Mesir ini. Mereka telah mengunjungi Olympia, yang menurut Mrs. Peters sama sekali tidak
menyenangkan. Ia menyukai Parthenon, tapi Athena dianggapnya kota tanpa harapan.
Dan kunjungan ke Corinth dan Mycenae merupakan siksaan baginya dan bagi si
sopir. Delphi, pikir Mrs. Peters dengan sedih, sudah tak tertahankan lagi. Sama sekali
tak ada yang bisa dilakukan, kecuali menyusuri jalan sambil melihat ke
reruntuhan. Berjam-jam Willard berlutut, membaca tulisan-tulisan bahasa Yunani,
dan ia berkata, "Mama, coba dengarkan ini! Luar biasa, ya?" Lalu dibacakannya
sesuatu yang menurut Mrs. Peters sangat membosankan.
Hari ini Willard berangkat pagi-pagi, akan melihat mozaik Bizantium. Mrs.
Peters, yang secara naluriah merasa Mozaik Bizantium sama sekali tak berarti
baginya (baik dalam pengertian harafiah maupun kejiwaan), mengatakan ia
berhalangan pergi. "Saya mengerti, Mama," kata Willard. "Mama ingin menyendiri, duduk di teater
atau di bagian atas Stadion, dan memandanginya dari ketinggian itu, sambil
meresapinya." "Benar, Sayang," kata Mrs. Peters.
"Saya sudah tahu bahwa tempat ini pasti memukau Mama," kata Willard berapi-api,
lalu berangkat. Kini Mrs. Peters bangkit sambil mendesah, dan bersiap-siap sarapan.
Ia masuk ke ruang makan yang saat itu hanya diisi empat orang. Seorang ibu dan
putrinya, yang gaya berpakaiannya, menurut Mrs. Peters, aneh sekali (karena ia
tidak mengakui bahwa gaya itu sedang disukai); mereka sedang membahas soal seni
mengekspresikan diri dalam berdansa; lalu ada seorang pria setengah baya,
bernama Thompson, yang telah membantunya menurunkan kopernya waktu ia akan turun
dari kereta api; dan seorang pendatang baru, seorang pria setengah baya
berkepala botak yang baru tiba semalam.
Pria itulah yang tertinggal terakhir di ruang makan pagi, dan Mrs. Peters
langsung terlibat percakapan dengannya. Mrs. Peters adalah seorang wanita yang
ramah dan suka bercakap-cakap dengan siapa saja. Mr. Thompson jelas tidak
menyenangkan sikapnya (Mrs. Peters menyebutnya sikap enggan orang Inggris),
sedangkan ibu dan putrinya itu menganggap diri mereka tinggi dan angkuh, padahal
gadis itu bergaul akrab dengan Willard.
Mrs. Peters menganggap pendatang baru itu sangat menyenangkan. Ia tahu banyak
informasi, tapi ia tidak angkuh. Ia menceritakan beberapa hal kecil yang menarik
dan ramah mengenai orang-orang Yunani. Mrs. Peters jadi merasakan orang-orang
itu sebagai manusia sungguhan, bukan tokoh-tokoh yang membosankan dari buku
sejarah. Mrs. Peters menceritakan pada teman barunya segala sesuatu tentang Willard,
bahwa ia anak yang cerdas, dan bahwa sepantasnyalah kalau kata Kebudayaan
diselipkan sebagai nama tengahnya. Ada sesuatu yang menenangkan pada diri pria
yang ramah itu, hingga kita merasa mudah berbicara dengannya.
Apa pekerjaan orang itu dan siapa namanya, Mrs. Peters tidak tahu. Orang itu tak
mau berbicara tentang dirinya sendiri, kecuali bahwa ia sudah banyak bepergian
dan bahwa sekarang ini ia sedang menjalani istirahat penuh dari bisnis (bisnis
apa"). Singkat cerita, hari itu berlalu lebih cepat daripada yang diperkirakannya. Ibu
dan putrinya dan Mr. Thompson tetap bersikap tak suka bergaul. Mrs. Peters dan
teman barunya itu bertemu dengan Mr. Thompson yang keluar dari museum, tapi
laki-laki itu langsung membelok ke arah lain.
Teman baru Mrs. Peters memandangi Thompson dari belakang dengan wajah berkerut.
"Saya jadi ingin tahu, siapa laki-laki itu!" katanya.
Mrs. Peters memberitahukan namanya, tapi tak bisa memberikan penjelasan lebih
jauh. "Thompson... Thompson, Saya rasa saya tak pernah bertemu dengannya, tapi entah
mengapa saya merasa mengenali wajahnya. Tapi saya tidak tahu siapa dia."
Petang harinya, Mrs. Peters menikmati istirahat dengan tenang di suatu tempat
yang teduh. Buku yang dibawanya untuk dibaca bukanlah buku mengenai Kesenian
Yunani, seperti yang dianjurkan padanya, melainkan sebuah buku berjudul Misteri
Peluncuran ke Air. Ada empat pembunuhan di dalamnya, tiga perampasan kekuasaan,
serta sebuah komplotan besar dengan beraneka ragam penjahat berbahaya.
Membacanya, Mrs. Peters merasa bersemangat sekaligus terbuai.
Pukul empat ia kembali ke hotel. Ia yakin waktu itu Willard sudah kembali.
Demikian asyiknya ia membaca tadi, hingga ia hampir lupa membuka surat yang
diberikan oleh petugas penjaga pintu padanya, yang katanya diserahkan oleh
seorang asing petang itu.
Surat itu kotor sekali. Dengan santai disobeknya surat itu untuk membukanya.
Waktu ia membaca baris-baris pertama, wajahnya memucat. Ia mengulurkan tangan
untuk mencari penopang. Tulisan di kertas itu tulisan orang asing, tapi bahasa
yang digunakan bahasa Inggris.
Lady (demikian surat itu dimulai), dengan ini diberitahukan bahwa putra Anda
kami tahan di tempat yang aman sekali. Pria muda yang terhormat itu tidak akan
mengalami kesulitan apa-apa, bila Anda mematuhi perintah-perintah kami. Demi
putra Anda, kami menuntut uang tebusan sebesar sepuluh ribu poundsterling
Inggris. Bila Anda membahas soal itu dengan pihak keamanan hotel atau polisi
atau siapa saja, putra Anda akan dibunuh. Harap Anda renungkan. Besok kami akan
memberitahukan cara-cara pembayaran uang itu. Bila tidak dipatuhi, mula-mula
telinga anak muda yang terhormat itu akan dipotong dan dikirimkan pada Anda. Dan
esok harinya, bila belum juga dipatuhi, dia akan dibunuh. Ini bukan ancaman
main-main. Harap Anda pertimbangkan lagi, dan jangan buka mulut.
Demetrius si Alis Hitam Tak ada gunanya membicarakan pikiran wanita malang itu. Tuntutan itu rasanya
mustahil dan kata-katanya kekanak-kanakan, namun sangat mengejutkan. Willard,
putra tersayangnya, Willard-nya yang sakit-sakitan dan selalu serius.
Ia ingin segera mendatangi polisi; ia ingin berteriak meminta tolong. Tapi bila
ia berbuat begitu, mungkin... ia bergidik.
Lalu ia memberanikan diri keluar dari kamarnya, mencari bagian keamanan hotel satu-satunya orang di hotel itu yang bisa berbahasa Inggris.
"Hari sudah senja," katanya. "Anak saya belum kembali."
Pria kecil yang menyenangkan itu melihat padanya dengan berseri-seri. "Benar.
Monsieur pasti tak mau menggunakan keledai. Dia ingin kembali berjalan kaki.
Seharusnya sekarang dia sudah tiba, tapi pasti dia berlambat-lambat di tengah
jalan." Ia tersenyum senang.
"Tolong katakan," kata Mrs. Peters mendadak, "adakah orang-orang jahat di
sekitar ini?" Istilah yang digunakan Mrs. Peters untuk mengungkapkan orang jahat tidak
terdapat dalam perbendaharaan kata-kata bahasa Inggris pria kecil yang masih
terbatas itu. Mrs. Peters menjelaskan maksudnya. Sebagai jawaban, ia menerima
kepastian bahwa semuanya baik-baik di sekitar Delphi, orang-orangnya tenang,
semuanya bersikap baik terhadap orang-orang asing.
Kata-kata sudah bergetar di bibir wanita itu, tapi ia menahan diri. Ancaman
mengerikan itu mengikat lidahnya. Mungkin itu hanya gertakan. Tapi bagaimana
kalau bukan" Seorang anak temannya di Amerika diculik, dan waktu ibunya
memberitahu polisi, anak itu dibunuh. Hal-hal semacam itu biasa terjadi.
Ia hampir putus asa. Apa yang harus dilakukannya" Sepuluh ribu pound - berapakah
itu" Antara empat puluh dan lima puluh ribu dolar! Berapalah artinya uang
sebanyak itu dibandingkan keselamatan Willard" Tapi bagaimana ia bisa
mendapatkan jumlah itu" Sekarang banyak sekali kesulitan keuangan dan dalam hal
menarik uang tunai. Yang ada padanya hanya sebuah surat piutang sebesar beberapa
ratus pound. Maukah bandit-bandit itu mengerti" Maukah mereka bersikap bijak" Maukah mereka
menunggu! Ketika pelayannya mendatanginya, ia menyuruhnya pergi dengan kasar. Lonceng
untuk makan malam berbunyi, dan tanpa sadar wanita itu pergi ke ruang makan. Ia
makan dengan otomatis. Ia tidak melihat siapa-siapa. Baginya ruangan itu seolaholah kosong. Ketika buah-buahan disuguhkan, sepucuk surat diletakkan di hadapannya. Ia
bergidik, tapi tulisan pada surat itu berbeda dari yang ditakutinya - tulisan khas
Inggris yang rapi. Dibukanya surat itu tanpa minat, tapi ternyata isinya
memberinya semangat. Di Delphi ini kita tak bisa lagi meminta petunjuk dari kuil suci orakel (begitu
bunyinya), tapi Anda bisa minta nasihat dari Mr. Parker Pyne.
Di bawahnya ada guntingan sebuah iklan yang disematkan pada kertas itu,
sedangkan di bawah kertas itu ditempelkan sebuah foto. Foto temannya pagi itu pria yang berkepala botak.
Dua kali Mrs. Peters membaca guntingan itu.
PRIBADI Apakah Anda tidak bahagia"
Kalau begitu, mintalah nasihat Mr. Parker Pyne,
Richmond Street nomor 17.
Berbahagia" Berbahagia" Pernahkah orang tidak bahagia seperti dirinya" Itu
bagaikan jawaban dari suatu doa.
Cepat-cepat ia menulis pada sehelai kertas lepas yang kebetulan dibawanya di
dalam tasnya: Tolong saya. Bisakah Anda menemui saya di luar hotel sepuluh menit lagi"
Dimasukkannya surat itu ke dalam sebuah amplop dan disuruhnya pelayan
memberikannya pada pria yang duduk di meja di dekat jendela. Sepuluh menit
kemudian, dengan tubuh berbalut mantel bulu binatang, karena malam itu dingin
sekali, Mrs. Peters keluar dari hotel dan berjalan perlahan-lahan ke arah
reruntuhan. Mr. Parker Pyne sudah menunggunya.
"Keberadaan Anda di sini benar-benar merupakan berkah dari surga," kata Mrs.
Peters dengan terengah. "Tapi bagaimana Anda bisa menebak bahwa saya sedang
berada dalam kesulitan besar ini" Saya ingin tahu itu."
"Air muka manusia, madam yang baik," kata Mr. Parker Pyne halus. "Saya langsung
tahu bahwa telah terjadi sesuatu, tapi apa sesuatu itu, saya menunggu Anda
menceritakannya." Maka Mrs. Peters pun bercerita dengan lancar. Diserahkannya surat itu, yang
dibaca oleh temannya itu dengan menggunakan senternya.
"Hm," katanya. "Suatu dokumen yang istimewa, sangat istimewa. Ada beberapa hal
penting..." Tapi Mrs. Peters tak sempat mendengarkan pembahasan mengenai hal-hal yang lebih
penting dari surat itu. Apa yang harus dilakukannya sehubungan dengan Willard"
Willard kesayangannya yang sakit-sakitan.
Mr. Parker Pyne menenangkannya. Dilukiskannya tentang kehidupan bandit Yunani
dengan menarik. Mereka pasti berhati-hati sekali dengan sanderanya itu, karena
nilainya besar sekali. Sedikit demi sedikit ia menenangkan pikiran Mrs. Peters.
"Tapi apa yang harus saya lakukan?" ratap Mrs. Peters.
"Tunggu sampai besok," kata Mr. Parker Pyne. "Kecuali kalau Anda ingin langsung
mendatangi polisi." Mrs. Peters menyela kata-katanya dengan teriakan ketakutan. Willard akan dibunuh
kalau ia berbuat begitu! "Apakah menurut Anda saya akan bisa mendapatkan Willard kembali dengan selamat?"
"Itu tak diragukan," kata Mr. Parker Pyne menenangkan. "Satu-satunya pertanyaan
adalah, apakah Anda akan bisa mendapatkannya kembali tanpa membayar sepuluh ribu
pound." "Yang saya inginkan hanya anak saya."
"Ya, ya," kata Mr. Parker Pyne menenangkan. "Omong-omong, siapa yang
mengantarkan surat itu?"
"Seorang laki-laki yang tak dikenal oleh pemilik hotel. Seorang asing."
"Oh! Ada beberapa kemungkinan. Orang yang mengantarkan surat besok mungkin
dibuntuti. Apa yang Anda ceritakan pada orang-orang di hotel mengenai
ketidakhadiran putra Anda?"
"Tak terpikirkan oleh saya."
"Mungkin sekarang lain halnya," kata Mr. Parker Pyne. "Saya rasa, sebaiknya Anda
menyatakan ketakutan dan kekuatiran Anda tentang ketidakhadirannya. Mungkin akan
dibentuk rombongan pencari."
"Apakah menurut Anda penjahat-penjahat itu tidak akan...?" Mrs. Peters tercekik.
"Tidak, tidak. Selama tidak dikatakan tentang penculikan atau uang tebusan,
mereka tidak akan berbuat apa-apa. Soalnya tak masuk akal kalau Anda sama sekali
tidak meributkan soal kehilangan putra Anda itu."
"Bisakah saya menyerahkan semuanya pada Anda?"
"Itu urusan saya," kata Mr. Parker Pyne.
Mereka berjalan kembali ke hotel dan hampir saja bertabrakan dengan suatu sosok
bertubuh tegap. "Siapa itu?" tanya Mr. Parker Pyne dengan tajam.
"Mr. Thompson."
"Oh!" kata Mr. Parker Pyne sambil merenung. "Thompson ya" Thompson... hm."
*** Waktu bersiap-siap akan tidur, Mrs. Peters merasa pikiran Mr. Parker Pyne
mengenai surat itu memang tepat. Siapa pun yang mengantarkannya pasti
berhubungan dengan bandit-bandit itu. Ia merasa terhibur dan tertidur lebih
cepat daripada yang diduganya.
Waktu ia sedang berpakaian keesokan paginya, tiba-tiba dilihatnya sesuatu di
lantai di dekat jendela. Ia memungutnya, dan jantungnya serasa berhenti
berdenyut sesaat. Amplopnya sama kotor dan sama murahannya seperti yang pertama;
huruf-huruf yang dibencinya pun sama. Dibukanya surat itu.
Selamat pagi, Lady. Sudahkah Anda mempertimbangkannya" Putra Anda dalam keadaan
baik dan tidak disakiti - sampai sekarang. Tapi kami harus mendapatkan uangnya.
Mungkin tidak akan mudah Anda mendapatkan jumlah itu, tapi kami diberitahu bahwa
Anda memiliki seuntai kalung berlian. Permata-permata yang bagus sekali. Kami
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan merasa puas kalau dibayar dengan kalung itu. Perhatikan, inilah yang harus
Anda lakukan. Anda, atau siapa pun yang Anda pilih untuk mengirimkannya, harus
membawa kalung itu ke Stadion. Dari situ pergilah ke tempat ada pohon di dekat
sebuah batu karang besar. Ada mata yang mengamati bahwa hanya satu orang yang
datang. Lalu putra Anda akan ditukarkan dengan kalung itu. Waktunya harus besok,
jam enam pagi, tepat pada saat matahari terbit. Bila Anda melaporkan kami pada
polisi setelah itu, kami tembak putra Anda saat mobil Anda menuju stasiun.
Inilah kata-kata kami yang terakhir, Lady. Bila besok pagi tak ada kalung,
telinga putra Anda akan dikirimkan pada Anda. Keesokan harinya dia akan mati.
Hormat kami, Lady, Demetrius *** Mrs. Peters cepat-cepat mencari Mr. Parker Pyne. Pria gendut itu membaca surat
tersebut dengan penuh perhatian.
"Benarkah tentang kalung berlian itu?" tanyanya. "Benar. Suami saya membelinya
seharga seratus ribu dolar."
"Banyak yang diketahui pencuri-pencuri kita itu," gumam Mr. Parker Pyne.
"Apa kata Anda?"
"Saya hanya memikirkan beberapa sisi dari peristiwa ini."
"Astaga, Mr. Pyne, kita tak punya waktu untuk memikirkan sisi-sisi. Saya harus
mendapatkan kembali anak saya."
"Tapi Anda kan wanita pemberani, Mrs. Peters. Maukah Anda digertak dan ditipu
sebanyak sepuluh ribu dolar pun" Senangkah Anda menyerahkan berlian Anda dengan
mudah pada segerombolan pencuri?"
"Tentu saja tidak!" Keberanian Mrs. Peters bergelut dengan sifat keibuannya.
"Ingin sekali saya membalas perbuatan mereka itu - penjahat-penjahat pengecut!
Begitu saya mendapatkan anak saya kembali, Mr. Pyne, akan saya kerahkan semua
polisi di sekitar tempat ini untuk menangkap mereka, dan bila perlu, saya akan
menyewa sebuah mobil baja untuk mengantar saya dan Willard ke stasiun kereta
api!" Wajah Mrs. Peters merah penuh rasa dendam.
"Ya, ya," kata Mr. Parker Pyne. "Anda harus mengerti, Mrs. Peters, bahwa mereka
pun sudah siap menghadapi rencana Anda itu. Mereka tahu bahwa begitu Willard
sudah dikembalikan pada Anda, tak ada lagi yang akan menghalang-halangi Anda
untuk menggerakkan seluruh daerah ini. Hingga kita harus beranggapan bahwa
mereka sudah siap untuk menghadapi gerakan itu."
"Jadi, apa yang akan Anda lakukan?"
Mr. Parker Pyne tersenyum. "Saya ingin mencobakan rencana kecil saya sendiri."
Ia melihat ke sekeliling ruang makan. Ruang itu kosong, dan pintu-pintu di kedua
sisi tertutup. "Mrs. Peters, saya mengenal seseorang di Athena - seorang pedagang
perhiasan. Dia mengkhususkan diri dalam menjual berlian tiruan - barangnya
terjamin bagus." Lalu ia berbisik. "Saya akan menghubunginya dengan telepon. Dia
bisa datang kemari petang ini, dengan membawa sejumlah batu permata."
"Maksud Anda?" "Dia akan menanggalkan berlian yang asli dan menggantinya dengan tiruannya, dari
batu biasa." "Wah, luar biasa sekali rencana Anda itu!" Mrs. Peters melihat padanya dengan
rasa kagum. "Sst! Jangan nyaring-nyaring. Maukah Anda melakukan sesuatu untuk saya?"
"Tentu." "Jaga agar tak seorang pun mendekati telepon dan mendengar percakapan saya."
Mrs. Peters mengangguk. Pesawat telepon ada di kantor manajer. Manajer itu bersedia mengosongkannya,
setelah membantu Mr. Parker Pyne menemukan nomor telepon yang diperlukannya.
Waktu si manajer keluar, ia melihat Mrs. Peters.
"Saya hanya menunggu Mr. Parker Pyne," kata Mrs. Peters. "Kami akan pergi
berjalan-jalan." "Oh, ya, Madam."
Mr. Thompson juga berada di ruang depan itu. Ia mendatangi mereka dan bercakapcakap dengan si manajer. "Apakah ada vila yang disewakan di Delphi" Tak ada" Tapi bukankah ada di atas
hotel itu?" "Itu milik seorang pria Yunani, Monsieur. Dia tidak menyewakannya."
"Lalu tak adakah vila lain?"
"Ada sebuah, milik seorang wanita Amerika. Letaknya di seberang desa. Sekarang
sudah ditutup. Dan ada pula vila milik seorang seniman Inggris - terletak di
tebing batu karang; dari sana orang bisa melihat ke Laut Itea."
Mrs. Peters menyela. Alam telah memberinya suara nyaring, dan ia sengaja
membuatnya lebih nyaring. "Wah," katanya, "saya ingin sekali punya vila di sini!
Keadaannya masih begitu polos dan alami. Saya tergila-gila pada tempat ini.
Bagaimana dengan Anda, Mr. Thompson" Pasti Anda juga demikian, hingga Anda
menginginkan sebuah vila. Apakah ini kunjungan Anda yang pertama kemari" Anda
tidak mengatakannya."
Ia sengaja bercakap-cakap terus, sampai Mr. Parker Pyne keluar dari kantor. Mr.
Pyne tersenyum samar, membenarkan sikapnya itu.
Mr. Thompson menuruni tangga perlahan-lahan dan terus ke jalan, menggabungkan
diri dengan ibu yang angkuh bersama putrinya, yang agaknya merasa kedinginan.
Semuanya berjalan dengan baik. Pedagang perhiasan itu tiba sebentar sebelum
makan malam, naik bus yang penuh dengan wisatawan lain. Mrs. Peters membawa
kalungnya ke kamar pedagang itu. Ia bergumam menyatakan betapa bagusnya kalung
itu. Lalu ia berbicara dalam bahasa Prancis.
"Harap Madam bersabar. Pasti akan berhasil." Dikeluarkannya beberapa alat dari
tas kecilnya, lalu ia mulai bekerja.
Pukul sebelas, Mr. Parker Pyne mengetuk pintu kamar Mrs. Peters. "Ini!"
Diserahkannya sebuah kantong kecil dari kulit. Mrs. Peters melihat ke dalamnya.
"Berlian saya!"
"Hush! Ini kalung bermata berlian tiruan. Bagus sekali, kan?"
"Luar biasa." "Aristopoulous memang orang yang pandai."
"Anda pikir mereka tidak akan curiga?"
"Mengapa harus curiga" Mereka tahu kalung itu ada pada Anda. Anda
menyerahkannya. Bagaimana mungkin mereka mencurigai siasat kita?"
"Wah, luar biasa sekali," kata Mrs. Peters mengulangi pujiannya, sambil
menyerahkan kalung itu kembali pada Mr. Parker Pyne. "Maukah Anda menyerahkannya
pada mereka" Atau terlalu banyakkah yang saya minta dari Anda?"
"Tentu akan saya bawa. Tolong berikan saja surat itu pada saya, supaya saya bisa
mendapatkan gambaran yang jelas tentang arahnya. Terima kasih. Nah, selamat
malam dan teguhkanlah hati Anda. Anak Anda akan kembali pada Anda saat sarapan."
"Aduh, alangkah baiknya kalau itu benar!"
"Nah, jangan kuatir. Serahkan semuanya ke tangan saya."
Mrs. Peters tak bisa tidur nyenyak. Waktu tertidur, ia bermimpi buruk sekali.
Mimpi bandit-bandit bersenjata dalam mobil-mobil berlapis baja menembakkan
senjata ke arah Willard yang sedang berlari menuruni gunung dalam piamanya.
Ia bersyukur ketika terbangun. Akhirnya muncul cahaya fajar pertama. Mrs. Peters
bangkit, lalu berpakaian. Ia duduk menunggu.
Pukul tujuh terdengar ketukan di pintunya. Tenggorokannya demikian kering,
hingga ia boleh dikatakan tak bisa berbicara.
"Masuk," katanya.
Pintu terbuka dan Mr. Thompson masuk. Mrs. Peters memandanginya dengan
terbelalak. Ia tak bisa berkata-kata. Ia punya firasat aneh bahwa akan ada
bencana. Tapi suara Mr. Thompson terdengar wajar sekali waktu ia berbicara.
Suaranya penuh dan tenang.
"Selamat pagi, Mrs. Peters," katanya.
"Berani sekali Anda! Berani sekali Anda..."
"Maafkan kunjungan saya yang tidak pada tempatnya ini, karena ini memang terlalu
awal," kata Mr. Thompson. "Tapi saya harus mengurus suatu transaksi dengan
Anda." Mrs. Peters membungkukkan tubuh dengan mata menuduh. "Jadi, rupanya Anda yang
menculik anak saya! Rupanya sama sekali bukan bandit-bandit!"
"Memang sama sekali bukan bandit-bandit. Saya rasa bagian itu dilakukan dengan
sangat tidak meyakinkan. Setidaknya sama sekali tidak berseni."
Pikiran Mrs. Peters hanya satu. "Mana anak saya?" tanyanya dengan mata bagaikan
mata harimau betina yang marah.
"Sebenarnya," kata Mr. Thompson, "dia sudah ada di luar."
"Willard!" Pintu dibuka lebar-lebar. Willard yang pucat, berkacamata, dan jelas tidak
bercukur, jatuh ke pelukan ibunya. Mr. Thompson memandangi dengan tenang.
"Meskipun begitu," kata Mrs. Peters, setelah sadar dan berpaling padanya, "saya
akan menyeret Anda ke pengadilan atas perbuatan Anda ini. Yakinlah, saya akan
melakukannya." "Mama keliru sekali, Mama," kata Willard "Pria inilah yang menyelamatkan saya,"
"Di mana saja kau?"
"Di sebuah rumah di tebing batu karang. Hanya satu setengah kilometer dari
sini." "Dan izinkanlah saya, Mrs. Peters," kala Mr. Thompson, "mengembalikan milik
Anda." Diserahkannya sebuah benda yang terbungkus dalam kertas tisu. Kertas itu lepas,
dan tampaklah seuntai kalung.
"Anda tak perlu menyimpan kantong berisi batu-batuan itu, Mrs. Peters," kata Mr.
Thompson sambil tersenyum. "Permata-permata yang asli masih terdapat di kalung
itu. Kantong kulit itu berisi batu-batuan tiruan yang serupa benar. Seperti kata
teman Anda, Aristopoulous memang seorang jenius."
"Saya sama sekali tak mengerti semuanya ini," kata Mrs. Peters samar-samar.
"Anda harus melihat persoalan ini dari sudut pandang saya," kata Mr. Thompson.
"Perhatian saya tertarik oleh pemakaian suatu nama. Dengan lancang saya
mengikuti Anda dan teman Anda yang gendut itu keluar hotel, dan saya memasang
telinga. Saya akui terus terang, saya mendengarkan percakapan Anda berdua yang
sangat menarik. Saya merasa itu demikian pentingnya, sehingga saya menceritakan
persoalannya pada manajer itu. Diambilnya catatan nomor telepon ke mana teman
Anda yang luar biasa itu menelepon, dan dia juga mengatur agar seorang pelayan
mendengarkan percakapan Anda berdua di ruang makan tadi pagi.
"Rencana jahat itu jelas sekali. Anda telah dijadikan korban oleh beberapa orang
pencuri perhiasan yang cerdik. Mereka tahu semua tentang kalung berlian Anda;
mereka mengikuti Anda kemari. Mereka menculik putra Anda, lalu menulis surat
'bandit' yang lucu itu, dan mereka mengatur agar Anda mempercayakan persoalan
Anda pada otak komplotan itu.
"Setelah itu, semuanya sederhana. Pria yang baik itu menyerahkan pada Anda
sekantong berlian imitasi, lalu melarikan diri dengan temannya. Pagi ini, kalau
putra Anda tidak muncul, Anda pasti akan panik. Ketidakhadiran teman Anda akan
membuat Anda beranggapan bahwa dia telah diculik pula. Saya dengar mereka telah
mengatur agar seseorang pergi ke vila itu besok. Orang itu akan menemukan putra
Anda, dan saat Anda membicarakan soal itu, Anda akan tahu tentang komplotan itu.
Tapi pada saat itu penjahat-penjahat itu sudah pergi jauh."
"Dan sekarang?"
"Oh, sekarang mereka sudah berada di balik terali besi. Saya yang sudah
mengaturnya." "Dasar penjahat," kata Mrs. Peters. Ia kesal sekali mengingat dirinya telah
membuka rahasianya dengan penuh kepercayaan. "Dasar penjahat licik."
"Dia memang sama sekali bukan orang yang baik," kata Mr. Thompson membenarkan.
"Saya tak mengerti bagaimana Anda bisa menyelesaikan soal itu," kata Willard
kagum. "Anda pandai sekali."
Pria itu menggeleng dengan rendah hati. "Tidak, tidak," katanya. "Bila kita
sedang bepergian dan tak ingin dikenali orang, lalu mendengar nama kita disebutsebut orang..." Mrs. Peters melihat padanya dengan terbelalak. "Siapa Anda sebenarnya?" tanyanya
mendadak. "Sayalah Mr. Parker Pyne," jelas pria itu.
Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Gadis Buronan 2 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Tiga Naga Sakti 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama