Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie Bagian 1
Agatha Christie Pembunuhan di Lorong Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
PEMBUNUHAN DI LORONG dan Tiga Kasus Poirot Lainnya
MURDER IN THE MEWS by Agatha Christic Copyright ? 1979 by Agatha Christie
All rights reserved PEMBUNUHAN DI LORONG dan Tiga Kasus Poirot Lainnya
Alih bahasa: Ny. Suwarni A.S
GM 402 97.837 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta. November 1997
Cetakan kedua: Juli 1999 Cetakan ketiga: Mei 2000 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
CHRISTIE, Agatha Pembunuhan di Lorong dan Tiga Kasus Poirot I.ainnya/
Agatha Christie, alih bahasa, Ny. Suwarni
A.S - Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
352 hlm. 19 cm. Judul asli: Murder in the Mews
ISBN 979 - 605 - 837 - 5 I. Judul II. A.S, Ny. Suwarni 813 Dicetak oleh Percetakan DUTA PRIMA, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Untuk sahabat lamaku Sybil Heeley Dengan penuh sayang PEMBUNUHAN DI LORONG BAB 1 "SEDEKAH, Sir."
Seorang anak laki-laki kecil berwajah kotor tersenyum merayu.
"Tidak ada!" kata Inspektur Kepala Japp. "Dan dengarkan, Nak..."
Ia pun berkhotbah singkat. Anak gelandangan yang ketakutan itu cepat-cepat
berlalu dan berkata singkat pada teman-teman sebayanya,
"Sialan, ternyata dia polisi!"
Gerombolan itu pun melarikan diri sambil melagukan nyanyian: Ingatlah, ingat
Tanggal lima November Pengkhianatan dan persekongkolan.
Tak ada alasan Mengapa pengkhianatan Harus dilupakan. Teman seperjalanan inspektur, seorang laki-laki tua dengan kepala berbentuk
telur dan berkumis lebat seperti kumis tentara, tersenyum sendiri.
"Wah, Japp," katanya. "Pandai sekali kau berkhotbah! Selamat ya!"
"Coba lihat, Hari Guy Fawkes malah dijadikan alasan untuk mengemis!" kata Japp.
(Tanggal 5 November dinyatakan sebagai Hari Guy Fawkes di Inggris, untuk
memperingati penangkapan atas Guy Fawkes yang bermaksud meledakkan Gedung
Parlemen pada tahun 1605)
"Menarik bahwa hal itu masih bertahan," renung Hercule Poirot.
"Kembang api dibakar, berderak-derak, lama setelah orang yang mereka peringati
dan perbuatannya dilupakan."
Petugas Scotland Yard itu membenarkan.
"Jangan berharap banyak di antara anak-anak itu tahu benar siapa Guy Fawkes."
"Dan tak lama lagi, pasti orang-orang akan bingung apakah kembang api yang
dinyalakan pada tanggal lima November itu dimaksudkan sebagai penghormatan atau
sebagai ejekan" Membubarkan Parlemen Inggris, apakah itu suatu perbuatan dosa atau perbuatan
berjasa?" Japp tertawa kecil. "Pasti ada juga orang yang berkata bahwa itu suatu perbuatan berjasa."
Setelah membelok dari jalan raya, kedua orang itu memasuki sebuah lorong yang
cukup sepi. Mereka baru saja makan bersama, dan kini mereka sedang mengambil
jalan pintas ke arah flat kediaman Poirot.
Sekali-sekali masih terdengar suara petasan, dan sekali-sekali pancaran hujan
keemasan menerangi langit.
"Selamat tidur, pembunuhan," kata Japp yang tetap mengingat pekerjaannya.
"Takkan ada seorang pun, umpamanya, yang bakal mendengar suara tembakan pada
malam seperti ini." "Aku sering heran, mengapa makin banyak penjahat yang tidak memanfaatkan
peristiwa yang menguntungkan seperti ini," kata Hercule poirot.
"Tahukah kau, Poirot, aku kadang-kadang berharap kaulah yang melakukan
pembunuhan." "Astaga!" "Ya, aku ingin melihat bagaimana kau melakukannya."
"Japp yang baik, seandainya aku melakukan pembunuhan, kau sama sekali tidak akan
mendapatkan kesempatan untuk melihatnya maksudku, bagaimana aku menyelesaikannya! Mungkin kau bahkan tak menyadari bahwa
telah terjadi pembunuhan."
Japp tertawa geli dan penuh sayang.
"Dasar setan sombong kau!" katanya ramah.
Jam setengah dua belas keesokan harinya, telepon Hercule Poirot berdering.
"'Allo" 'Allo?"
"Halo, kaukah itu, Poirot
"Ya, aku sendiri."
"Di sini Japp. Ingat kan bahwa kita pulang semalam lewat Lorong Bardsley
Gardens?" "Ya?" "Dan kita berkata akan sangat mudah menembak seseorang
dengan adanya suara-suara petasan dan kembang api dan entah apa lagi itu?"
"Memang," "Nah, di lorong itu telah terjadi peristiwa bunuh diri. Di No. 14.
Seorang janda muda. Mrs. Allen. Aku akan pergi ke sana. Mau ikut?" ,
"Maaf, apakah seseorang dengan kedudukan seperti kau,
sahabatku, biasa disuruh menyelidiki suatu peristiwa bunuh diri?"
"Pertanyaan cerdas. Memang tidak. Tapi dokter kami agaknya mencurigai ada
sesuatu yang aneh dalam kejadian itu. Mau ikut"
Kurasa sebaiknya kau ikut menyelidikinya."
"Tentu aku mau ikut. No. 14 katamu?"
"Benar." Poirot tiba di rumah No. 14 Lorong Bardsley Gardens, hampir bersamaan dengan
berhentinya mobil yang membawa Japp dan tiga orang laki-laki lain.
Jelas bahwa No. 14 sudah menjadi pusat perhatian. Sekumpulan besar orang, sopirsopir, para istri mereka, pesuruh-pesuruh, para penganggur, orang-orang lewat
yang berpakaian rapi, dan banyak
sekali anak-anak, berkumpul dan memandangi No. 14 dengan mulut ternganga dan
tatapan terheran-heran. Seorang agen polisi berseragam berdiri di anak tangga, berusaha menahan orangorang yang ingin tahu itu. Orang-orang muda yang tampak gesit dan membawa kamera
maju mendekat waktu Japp turun dari mobil.
"Tak ada berita untuk kalian sekarang," kata Japp sambil menyisihkan mereka. Ia
mengangguk pada Poirot. "Oh, kau sudah datang. Mari masuk."
Mereka lewat cepat-cepat, lalu masuk. Pintu tertutup, dan mereka pun mendapati
diri mereka berimpitan di kaki sebuah tangga.
Seorang laki-laki muncul di puncak tangga. Ia mengenali Japp dan berkata,
"Di atas sini, Sir." ,
Japp dan Poirot menaiki tangga.
Laki-laki tadi membuka sebuah pintu di sebelah kiri, dan mereka memasuki sebuah
kamar tidur kecil. "Saya rasa Anda ingin saya menceritakan kembali hal-hal yang terpenting, Sir."
"Benar sekali, Jameson," kata Japp. "Bagaimana keiadiannya?"
Inspektur Divisi Jameson pun mulai bercerita.
"Almarhumah bernama Mrs. Allen, Sir. Tinggal di sini dengan seorang teman. Miss
Plenderleith. Miss Plenderleith pergi menginap di desa dan baru kembali tadi
pagi. Dia masuk dengan menggunakan kuncinya sendiri. Dia heran karena tak ada
seorang pun. Biasanya ada seorang pekerja wanita yang datang jam sembilan untuk
membersihkan rumah mereka. Mula-mula dia naik ke atas dan masuk ke kamarnya
sendiri, yaitu kamar ini, lalu menyeberangi tangga ke kamar temannya. Pintunya
terkunci dari dalam. Dia mengetuk-ngetuk dan memanggil, tapi tidak mendapat
jawaban. Akhirnya, karena ketakutan, dia menelepon kantor polisi. Waktu itu jam
sebelas kurang seperempat. Kami langsung datang dan mendobrak pintu. Mrs. Allen terbaring di
lantai dengan kepala tertembak. Di tangannya ada sebuah pistol otomatis, jenis
Webley 25, dan kelihatannya itu benar-benar suatu perbuatan bunuh diri."
"Di mana Miss Plenderleith sekarang?"
"Di lantai bawah, di ruang duduk, Sir. Menurut saya, dia seorang wanita muda
yang tenang dan sangat efisien. Dia kelihatan cerdas."
"Nanti saja aku berbicara dengannya. Aku ingin bertemu dengan Brett dulu."
Disertai Poirot, Japp menyeberangi kepala tangga dan masuk ke kamar di seberang.
Seorang pria jangkung yang agak tua
mengangkat kepalanya, lalu mengangguk.
"Halo, Japp, aku senang kau sudah tiba. Ini urusan yang aneh."
Japp menghampirinya. Hercule Poirot melihat ke sekelilingnya sejenak.
Kamar itu jauh lebih besar daripada kamar yang baru saja mereka tinggalkan.
Jendelanya menjorok ke luar. Kamar yang tadi merupakan sebuah kamar tidur sejati
yang sederhana, tapi yang ini jelas-jelas sebuah kamar tidur yang disulap
menjadi kamar duduk. Dindingnya berwarna keperakan, dengan plafon hijau zamrud. Ada gorden-gorden
bercorak modern berwarna perak dan hijau. Ada sebuah dipan yang dialas sutra
hijau mengkilap dan beberapa buah bantal hias berwarna keemasan dan keperakan.
Ada sebuah meja tulis antik yang tinggi dari kayu kenari, dan beberapa kursi
bergaya modern dari krom yang berkilat. Di meja kaca yang rendah ada sebuah
asbak besar yang penuh puntung rokok.
Hercule Poirot menghirup udaranya perlahan-lahan, lalu ia menyertai Japp yang
sedang berdiri memandangi jenazah.
Jenazah seorang wanita muda yang mungkin berusia dua puluh tujuh tahun,
terbaring di lantai setelah ia jatuh dari salah satu kursi krom. Rambutnya
pirang dan raut wajahnya halus. Wajahnya dipolesi makeup tipis sekali. Wajahnya
cantik, murung, dan mungkin agak
bodoh. Di sisi kiri kepalanya ada darah yang sudah membeku. Jemari tangan
kanannya menggenggam sebuah pistol kecil. Wanita itu mengenakan gaun sederhana
berwarna hijau tua dan berkerah tinggi.
"Jadi, Brett, apa kesulitannya?"
Japp juga menunduk memandangi sosok yang terbaring
meringkuk itu. "Letak tubuhnya sudah benar," kata sang dokter. "Bila dia menembak dirinya
sendiri, mungkin dia terjatuh dari kursi dengan posisi tubuh seperti itu. Pintu
dan jendela terkunci dari dalam."
"Itu sudah kaukatakan. Lalu apanya yang salah?"
"Lihatlah pistol itu. Aku tidak memegangnya. Aku menunggu para petugas sidik
jari. Tapi kau bisa melihat dengan jelas apa maksudku."
Japp dan Poirot bersama-sama berlutut dan meneliti pistol itu dengan cermat.
"Aku tahu apa maksudmu," kata Japp sambil bangkit.
"Genggaman tangannya. Kelihatannya saja dia sedang
memegangnya, tapi sebenarnya dia tidak menggenggamnya. Ada lagi yang lain?"
"Banyak. Dia menggenggam pistol itu di tangan kanan. Sekarang lihat lukanya.
Pistol itu ditembakkan di dekat kepala, sedikit di atas telinga kiri.
Perhatikan, telinga kiri."
"Ehm," kata Japp. "Di situlah letak persoalannya. Tak mungkin dia bisa memegang
pistol dan menembakkannya dengan posisi itu dengan tangan kanannya, begitu?"
"Menurutku sama sekali tak mungkin. Mungkin dia melingkarkan tangan ke belakang
kepalanya, tapi aku tak yakin dia bisa menembak dengan posisi itu."
"Kalau begitu sudah jelas. Orang lain yang menembaknya dan berusaha supaya
kelihatannya seperti bunuh diri. Tapi bagaimana dengan pintu dan jendela yang
terkunci dari dalam?"
Inspektur Jameson memberikan jawabannya.
"Jendela terkunci dan terselot, Sir, tapi meskipun pintunya terkunci, kami belum
bisa menemukan kuncinya."
Japp mengangguk. "Ya, itu kesulitannya. Siapa pun pelakunya, dia mengunci pintu waktu akan pergi,
dan berharap kunci yang hilang itu tidak akan menarik perhatian."
Poirot bergumam, "Wah, bodoh sekali!"
"Ah, ayolah, Poirot, jangan menilai semua orang berdasarkan otakmu yang
cemerlang itu! Itu suatu soal kecil yang wajar saja tak terpikirkan oleh
seseorang. Pintu terkunci. Orang masuk dengan paksa. Wanita ini ditemukan
meninggal. Ada pistol di tangannya.
Suatu perkara bunuh diri yang jelas. Dia mengunci dirinya sendiri untuk
melakukannya. Tak mungkin orang berburu mencari kunci itu.
Sebenarnya sudah untung Miss Plenderleith memanggil polisi. Bisa saja dia tadi
memanggil beberapa orang sopir untuk mendobrak pintu, maka persoalan kunci pun
akan terlupakan sama sekali."
"Ya, kurasa itu benar," kata Hercule Poirot. "Itu reaksi yang wajar bagi
kebanyakan orang. Polisi adalah usaha terakhir, bukan?"
Ia masih tetap memandangi jenazah itu.
"Adakah sesuatu yang menarik perhatianmu?" tanya Japp.
Pertanyaan itu terdengar tak acuh, tapi matanya tampak serius dan penuh
perhatian. Poirot menggeleng perlahan-lahan.
"Aku melihat arlojinya."
Ia membungkuk dan monyentuh sedikit arloji itu dengan ujung jarinya. Jam itu
merupakan perhiasan yang halus, talinya terbuat dari bahan sutra berwarna hitam,
dan terpasang pada pergelangan tangan yang memegang pistol itu.
"Bagus sekali barang itu," kata Japp. "Pasti mahal!" Ia mendekatkan kepalanya ke
arah Poirot. "Mungkin ada sesuatu di situ?"
"Mungkin - ya."
Poirot menyeberang ke arah meja tulis. Meja tulis itu memiliki kelepak di
depannya, yang tergantung ke bawah. Itu diatur demikian supaya serasi dengan
rencana pewarnaan umumnya.
Di tengah-tengah meja itu ada sebuah botol tinta yang tampak agak berat, dan di
depannya ada sebuah pengering tinta yang bagus, berwarna hijau dari bahan
lacquer. Di sebelah kiri pengering tinta itu ada sebuah wadah pena dari kaca
berwarna zamrud. Di situ terdapat sebuah tangkai pena dari perak, sebatang lilin
stempel berwarna hijau, sebuah pensil, dan dua buah prangko. Di sebelah kanan
pengering tinta ada sebuah kalender yang bisa dipindah-pindahkan, di mana
tercantum hari dan tanggal hari itu. Ada pula sebuah botol berbentuk bola dari
kaca, dan di situ berdiri dengan anggun sebuah pena bulu angsa berwarna hijau.
Kelihatannya Poirot tertarik pada pena itu. Dikeluarkannya dan diperhatikannya,
tapi pada pena bulu angsa itu tidak terdapat bekas tinta. Jelas bahwa itu hanya
sebuah hiasan, tak lebih dari itu. Tangkai pena perak yang mata penanya berbekas
tintalah yang biasa digunakan. Matanya beralih ke kalender.
"Hari Selasa, tanggal lima November," kata Japp. "Kemarin. Itu benar."
Ia berpaling pada Brett. "Sudah berapa lama dia meninggal?"
"Dia dibunuh jam setengah dua belas kemarin malam," kata Brett dengan tegas.
Lalu ia tersenyum kecil waktu melihat wajah Japp yang heran.
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, teman," katanya. "Aku harus bertindak sebagai dokter yang super!
Sebenarnya perkiraanku paling tidak jam sebelas. Kurang-lebih."
"Oh, kupikir arlojinya pasti mati... atau bagaimana."
"Memang mati, tapi matinya jam empat lewat seperempat."
'"Dan kurasa tak mungkin dia terbunuh pada jam empat lewat seperempat."
"Lupakan saja hal itu."
Poirot membalik penutup pengering tinta.
"Pikiran yang bagus," kata Japp. "Tapi tak bisa."
Pengering tinta memperlihatkan kertas pengering putih yang bersih. Poirot
membalik halaman-halamannya, tapi semuanya sama.
Dialihkannya perhatiannya pada keranjang sampah.
Di situ terdapat dua atau tiga helai surat biasa dan surat edaran yang sudah
dirobek. Surat-surat itu hanya dirobek satu kali, hingga mudah disambung
kembali. Ada surat permintaan sumbangan dari suatu perkumpulan untuk membantu
para mantan pejuang, surat undangan untuk suatu pesta koktail pada tanggal tiga
November, dan janji temu dengan seorang penjahit. Surat-surat edarannya adalah
pemberitahuan dari pedagang kulit bulu dan katalog dari sebuah toko serba ada.
"Tak ada apa-apa di situ," kata Japp.
"Tak ada, aneh," kata Poirot.
"Maksudmu mereka biasanya meninggalkan surat bila itu peristiwa bunuh diri?"
"Tepat." "Satu lagi bukti bahwa ini bukan peristiwa bunuh diri."
Ia menjauh. "Sekarang aku akan memerintahkan anak buahku menjalankan tugas mereka. Sebaiknya
kita turun dan mewawancarai Miss Plenderleith itu. Mau ikut, Poirot?"
Poirot tampak masih saja terpesona oleh meja tulis dengan segala
perlengkapannya. Ditinggalkannya kamar itu, tapi di pintu sekali lagi ia melihat ke pena bulu
angsa berwarna hijau zamruh yang terpajang dengan anggun.
BAB 2 Di kaki tangga yang sempit ada sebuah pintu yang menuju ke sebuah ruang tamu
luas. Ruang itu sebenarnya kandang kuda yang sudah diubah. Dinding-dindingnya
dilabur dengan kapur yang memberikan kesan kasar, dan di situ tergantung karyakarya sketsa dan ukiran-ukiran kayu. Dua orang sedang duduk di situ.
Seorang di antaranya adalah wanita muda dengan rarnbut
berwarna gelap dan tampak efisien, berumur dua puluh tujuh atau dua puluh
delapan tahun, duduk di dekat perapian dan sedang mengulurkan tangannya ke arah
nyala api. Yang seorang lagi wanita tua bertubuh lumayan besar dan membawa tas
dari bahan tali, napasnya terengah-engah. Ia sedang berbicara waktu kedua pria
itu masuk. "...dan seperti saya katakan, Miss, saya begitu terkejut hingga hampir pingsan.
Apalagi pagi ini..."
Wanita yang seorang lagi menghentikan bicaranya,
"Sudah cukup, Mrs. Pierce. Saya rasa kedua pria ini adalah polisi."
"Miss Plenderleith?" tanya Japp sambil melangkah terus
Gadis itu mengangguk. "'Itu memang nama saya. Ini Mrs. Pierce yang setiap hari datang untuk melayani
kami." Mrs. Pierce yang bicaranya tak bisa ditahan, berkata lagi,
"Saya sedang mengatakan pada Miss Plenderleith bahwa pagi ini anak adik saya,
Louisa Maud, jatuh sakit dan sayalah satu-satunya yang bisa membantu, apalagi
saya adalah darah dagingnya sendiri,
dan saya rasa Mrs. Allen pun tidak akan keberatan, meski saya tak pernah suka
mengecewakan majikan-majikan saya..."
Japp memutuskan bicaranya dengan tangkas.
"Memang, Mrs. Pierce. Sekarang tolong Anda bawa Inspektur Jameson ke dapur dan
berikan pernyataan singkat padanya."
Setelah bebas dari Mrs. Pierce yang banyak bicara, yang berlalu bersama Jameson
sambil berceloteh terus, Japp sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada gadis
itu. "Saya Komisaris Japp. Nah, Miss Plenderleith, saya ingin tahu semua yang bisa
Anda katakan tentang urusan ini."
"Tentu. Bagaimana saya harus mulai?"
Ketenangannya sangat mengagumkan. Sama sekali tak ada tanda-tanda kesedihan atau
rasa terpukul. Yang tampak hanya sikap kaku yang tak wajar.
"Jam berapa Anda tiba tadi pagi?"
"Saya rasa jam setengah sebelas kurang sedikit. Saya dapati Mrs.
Pierce, si pembohong tua itu, tak ada. Saya dapati..."
"Apakah itu sering terjadi?"
"Kira-kira dua kali seminggu, jam dua belas dia baru muncul atau sama sekali
tidak datang. Padahal seharusnya dia datang jam sembilan. Nyatanya, seperti saya
katakan, dua kali seminggu dia
'kurang enak badan', atau ada anggota keluarganya yang jatuh sakit.
Semua pelayan harian itu sama saja. Kadang-kadang mengecewakan kita. Meskipun
dia tidak jahat benar."
"Sudah lama dia bekerja di sini?"
"Baru sebulan lebih. Yang sebelum dia panjang tangan."
"Lanjutkan, Miss Plenderleith."
"Saya bayar taksi, saya bawa masuk koper saya, saya mencari-cari Mrs. Pierce,
tapi tidak menemukannya, lalu saya naik ke kamar saya.
Saya membenahi diri sedikit, lalu menyeberang akan mendatangi
Barbara - Mrs. Allen - dan saya dapati pintunya terkunci. Saya goyang-goyang
gagang pintu, saya mengetuk, tapi tidak
mendapatkan jawaban. Saya turun, lalu menelepon kantor polisi."
"Maaf!" sela Poirot dengan suatu pertanyaan cepat dan tangkas.
"Apakah tak terpikir oleh Anda untuk mencoba mendobrak pintu dengan meminta
bantuan salah seorang sopir yang ada di lorong?"
Mata gadis itu beralih pada Poirot; mata itu dingin dan berwarna abu-abu.
Pandangannya menyapu Poirot dengan tatapan menilai.
"Tidak, saya rasa itu tak terpikir oleh saya. Bila ada sesuatu yang tak beres,
saya rasa polisilah yang harus kita mintai bantuan."
"Kalau begitu Anda pikir - maaf, Mademoiselle bahwa memang ada sesuatu yang
tidak beres?" "Tentu saja." "Karena Anda tidak mendapatkan jawaban atas ketukan-ketukan Anda" Padahal
bukankah mungkin saja teman Anda itu telah menelan obat tidur atau semacamnya?"
"Dia tak pernah menelan obat tidur."
Jawaban itu diberikan dengan tajam.
"Atau mungkin dia pergi dan mengunci pintu sebelum pergi?"
"Mengapa dia harus menguncinya" Bagaimanapun, dia pasti meninggalkan pesan untuk
saya." "Dan dia tidak meninggalkan pesan untuk Anda" Yakinkah Anda?"
"Tentu saya yakin. Kalau ada, saya pasti sudah melihatnya."
Nadanya yang tajam semakin terasa.
Kata Japp, "Anda tidak mencoba mengintip lewat lubang kunci, Miss
Plenderleith?" "Tidak," kata Jane Plenderleith sambil merenung.
"Itu tak terpikir oleh saya. Tapi dengan begitu pun saya tidak akan bisa melihat
apa-apa bukan! Karena ada kuncinya?"
Pandangannya yang mengandung pertanyaan dan rasa tak
bersalah, dan matanya yang lebar, menantang mata Japp. Tiba-tiba Poirot
tersenyum sendiri. "Tindakan Anda tentu benar, Miss Plenderleith," kata Japp. "Saya rasa Anda tak
punya alasan untuk mengira bahwa teman Anda mungkin bunuh diri?"
"Oh, tidak." "Tidakkah dia kelihatan cemas atau agak tertekan?"
Hening sejenak sebelum gadis itu menjawab,
"Tidak." "Tahukah Anda bahwa dia memiliki pistol?"
Jane Plenderleith mengangguk.
"Ya, dia membawanya dari India. Dia selalu menyimpannya dalam laci di kamarnya."
"Hm, dia punya surat izin untuk itu?"
"Saya rasa punya. Saya tidak tahu pasti.'
"Nah, Miss Plenderleith, tolong ceritakan semuanya tentang Mrs.
Allen. Berapa lama Anda sudah mengenalnya, di mana sanak saudaranya. Yah,
segalanya." Jane Plenderleith mengangguk.
"Saya kenal Barbara sudah kira-kira lima tahun. Saya pertama kali kenal padanya
dalam pejalanan di luar negeri, tepatnya di Mesir. Dia dalam perjalanan pulang
ke Inggris dari India. Saya mengajar di British School di Athena sebentar, dan
sedang berlibur selama beberapa minggu di Mesir, sebelum pulang ke Inggris. Kami
sama-sama mengikuti pelayaran di sepanjang Sungai Nil. Kami berteman, dan
memutuskan bahwa kami saling menyukai. Waktu itu saya sedang mencari seseorang,
yang mau tinggal bersama saya di
sebuah flat atau rumah kecil. Barbara seorang diri di dunia. Kami pikir kami
bisa cocok hidup bersama."
"Dan apakah Anda memang bisa hidup bersama dengan baik?"
tanya Poirot. "Baik sekali. Kami punya teman masing-masing. Pergaulan Barbara lebih luas,
sedangkan teman-teman saya lebih banyak dari kalangan seni. Mungkin dengan
demikian jadi lebih baik."
Poirot mengangguk. Japp berkata lagi,
"Apa yang Anda ketahui tentang keluarga Mrs. Allen, dan hidupnya sebelum dia
bertemu dengan Anda?"
Jane Plenderleith mengangkat bahunya.
"Tidak terlalu banyak. Nama keluarganya sebelum menikah adalah Armitage."
"Tentang suaminya?"
"Saya rasa laki-laki itu bukan seseorang yang bisa dibanggakan pada sanak
keluarga. Saya rasa dia peminum. Saya dengar dia meninggal kira-kira dua tahun
setelah mereka menikah. Ada seorang anak, anak perempuan, yang meninggal pada
usia tiga tahun. Barbara tak pernah bercerita banyak tentang suaminya. Dia menikah dengan
suaminya di India, pada waktu dia berumur kira-kira tujuh belas tahun. Lalu
mereka pergi ke Kalimantan atau ke salah satu tempat yang sangat tak
menyenangkan, ke mana orang-orang yang tidak berhasil dalam pekerjaannya selalu
dikirimkan. Tapi karena itu merupakan bahan percakapan yang menyakitkan, saya
tidak banyak bertanya tentang itu."
"Tahukah Anda apakah Mrs. Allen itu berada dalam kesulitan keuangan?"
"Tidak, sama sekali tidak."
"Dia tidak terlibat utang atau semacamnya?"
"Oh, tidak! Saya yakin dia tidak berada dalam kesulitan semacam itu."
"Nah, sekarang ada satu pertanyaan lagi yang harus saya tanyakan, dan saya harap
Anda tidak akan marah mendengarnya, Miss Plenderleith. Apakah Mrs. Allen punya
teman atau teman-teman pria istimewa?"
Dengan dingin Jane Plenderleith menjawab,
"Yah, dia sudah bertunangan dan akan menikah."
"Siapa nama laki-laki yang bertunangan dengannya itu?"
"Charles Laverton-West. Dia anggota Parlemen untuk suatu daerah pemilihan di
Hampshire." "Sudah lamakah dia mengenal pria itu?"
"Setahun lebih sedikit."
"Lalu sudah berapa lama dia bertunangan dengannya?"
"Dua... tidak... lebih tepat mendekati tiga bulan."
"Sepengetahuan Anda, tak adakah pertengkaran?"
Miss Plenderleith menggeleng.
"Tidak, saya pasti terkejut kalau mendengar bahwa ternyata ada.
Barbara bukan orang yang suka bertengkar."
"Kapan Anda bertemu dengan Mrs. Allen untuk terakhir kalinya?"
"Hari Jumat yang lalu, sebentar sebelum saya berangkat untuk berakhir pekan."
"Apakah Mrs. Allen tetap tinggal di kota?"
"Ya. Kalau tak salah, dia punya rencana untuk keluar bersama tunangannya pada
hari Minggu." "Dan Anda sendiri, di mana Anda berakhir pekan?"
"Di Laidells Hall, Laidells, Essex."
"Siapa nama orang-orang tempat Anda menginap?"
"Mr. dan Mrs. Bentinck."
"Baru tadi pagi Anda meninggalkan mereka?"
"Ya." "Pasti Anda berangkat pagi sekali, ya?"
"Mr. Bentinck yang mengantar saya naik mobilnya. Dia harus berangkat awal,
karena dia harus tiba di London sebelum jam sepuluh."
"Oh, begitu." Japp mengangguk menyatakan pengertiannya.
Jawaban-jawaban Miss Plenderleith semuanya tegas dan
meyakinkan. Kini giliran Poirot yang mengajukan pertanyaan.
"Bagaimana pendapat Anda sendiri tentang Mr. Laverton-West?"
Gadis itu mengangkat bahunya.
"Apakah itu ada artinya?"
"Tidak, mungkin itu tak berarti, tapi saya ingin mendengar pendapat Anda."
"Saya tidak tahu apakah saya punya pendapat khusus mengenai dia. Dia masih muda,
umurnya tak lebih dari tiga puluh satu atau tiga puluh dua, dia ambisius,
seorang yang pandai berpidato di depan umum dan bertekad ingin maju di dunia."
"Itu kebaikan-kebaikannya. Bagaimana dengan keburukankeburukannya?" "Yah," Miss Plenderleith berpikir sebentar. "Menurut saya, dia biasa-biasa saja.
Pokok-pokok pikirannya tidak orisinal, dan dia agak sombong."
"Itu bukan cacat-cacat besar, Mademoiselle," kata Poirot sambil tersenyum.
"Menurut Anda tidak?"
Nada bicaranya agak ironis.
"Mungkin bagi Anda besar."
Poirot memperhatikannya, dan melihat bahwa gadis itu kelihatan agak kesal.
Poirot pun melanjutkan serangannya.
"Tapi bagi Mrs. Allen... tidak, dia pasti tidak melihatnya."
"Anda benar sekali. Menurut Barbara, pria itu luar biasa. Dia menerimanya apa
adanya." Dengan halus Poirot berkata,
"Apakah Anda sayang sekali pada teman Anda itu?"
Dilihatnya gadis itu mencengkeram lututnya sendiri dan garis rahangnya menjadi
kaku, tapi jawabannya terdengar tenang, tanpa emosi '
"Anda benar sekali. Saya sayang sekali padanya."
Japp berkata, "Satu hal lagi, Miss Plenderleith. Anda dan teman Anda tidak bertengkar" Tak
adakah rasa kesal di antara kalian?"
"'Sama sekali tak ada."
"Juga tidak sehubungan dengan pertunangan itu?"
"Tentu tidak. Saya senang dia bisa berbahagia."
Keadaan sepi sebentar, lalu Japp berkata,
"Setahu Anda, apakah Mrs. Allen punya musuh?"
Kali ini keadaan sepi agak lama, sebelum Jane Plenderleith menjawab. Dan waktu
ia menjawab, nadanya berubah sedikit sekali.
"Saya kurang mengerti. Apa maksud Anda dengan musuh?"
"Umpamanya, seseorang yang akan mendapatkan keuntungan
dengan kematiannya?"
"Oh, tak ada, itu tak masuk akal. Penghasilannya kecil sekali."
"Siapa yang mewarisi penghasilan itu?"
Suara Jane Plenderleith terdengar agak terkejut waktu ia menjawab,
"Tahukah Anda, saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak akan terkejut kalau saya
yang mewarisinya. Itu pun kalau dia membuat surat wasiat."
"Dan tak ada musuh dalam pengertian lain?" Japp cepat-cepat beralih pada
persoalan lain. "Orang-orang yang punya rasa dendam terhadapnya?"
"Saya rasa tak ada orang yang menyimpan rasa dendam
terhadapnya. Dia makhluk yang lembut sekali, selalu ingin menyenangkan hati
orang. Dia benar-benar punya sifat manis dan pantas disayangi."
Kini barulah suaranya yang keras dan tegas agak melemah. Poirot mengangguk
halus. Japp berkata, "Jadi, kesimpulannya begini. Mrs. Allen sedang dalam keadaan senang akhir-akhir
ini, dia tidak berada dalam kesulitan keuangan, dia sudah bertunangan dan akan
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikah, dan berbahagia sekali dengan pertunangannya itu. Tak ada satu pun di
dunia ini yang memungkinkannya bunuh diri. Itu benar, kan?"
Keadaan sepi sebentar, sebelum Jane berkata,
"Ya." Japp bangkit. "Permisi, saya harus berbicara dengan Inspektur Jameson."
Ia keluar dari kamar. Hercule Poirot tinggal berdua dengan Jane Plenderleith.
BAB 3 Beberapa menit lamanya keadaan hening.
Sejenak Jane Plenderleith melemparkan pandangan menilai ke arah pria kecil itu,
tapi setelah itu ia menatap saja ke depan, tanpa berkata apa-apa. Namun ia
tampak tekang dan gugup. Tubuhnya diam, tapi tidak santai. Waktu akhirnya Poirot
memecahkan kesunyian itu, si gadis tampak lebih lega. Dengan suara biasa-biasa
saja, Poirot bertanya, "Kapan Anda menyalakan perapian, Mademoiselle?"
"Perapian?" Suara gadis itu terdengar samar dan agak linglung.
"Oh, begitu saya tiba tadi pagi."
"Sebelum Anda naik ke lantai atas, atau sesudahnya?"
"Sebelum." "Oh, begitu. Ya, tentu. Dan kayunya sudah disiapkan, ataukah Anda yang harus
menyiapkannya?" "Sudah disiapkan. Saya tinggal menyalakannya dengan korek api."
Terdengar nada tak sabar dalam suaranya. Ia jelas menduga Poirot asal bercakapcakap saja. Mungkin memang itulah yang sedang dilakukannya. Soalnya Poirot
berkata lagi dengan tenang dan dengan nada biasa.
"Tapi teman Anda... saya lihat di kamarnya hanya ada perapian gas?"
Jane Plenderleith menjawab tanpa berpikir,
"Inilah satu-satunya perapian kayu di rumah ini; yang lain semuanya perapian
gas." "Dan Anda juga memasak dengan gas'?"
"Saya rasa semua orang memasak dengan gas sekarang ini."
"Benar. Itu sangat menghemat tenaga."
Percakapan kecil itu berakhir. Jane Plenderleith mengetuk-ngetukkan sepatunya ke
lantai. Lalu tiba-tiba ia berkata,
"Laki-laki itu-Komisaris Japp itu - apakah menurut orang dia pandai?"
"Dia pandai sekali. Ya, dia sangat dihargai orang.
Dia bekerja keras dan berusaha keras, dan dia j arang sekali gagal." ,
"Saya pikir..."
gumam gadis itu. Poirot memandanginya. Sinar perapian itu membuat matanya tampak hijau sekali.
Dengan suara halus Poirot bertanya,
"Apakah Anda sangat terpukul oleh kematian teman Anda itu?"
"Sangat." Tiba-tiba bicaranya tulus.
"Anda tak mengira itu akan terjadi?"
"Tentu saja tidak."
"Sehingga mula-mula Anda merasa, mungkin, bahwa itu tak mungkin... bahwa itu tak
bisa?" Nada bicara Poirot yang penuh simpati dan tenang itu agaknya mematahkan
pertahanan Jane Plenderleith. Ia pun menjawab dengan penuh semangat, dengan
wajar, dan tidak kaku. "Begitulah. Meskipun Barbara memang bunuh diri, saya tak bisa membayangkan dia
bunuh diri dengan cara begitu."
"Tapi dia kan punya pistol?"
Jane Plenderleith menggerakkan tubuhnya, mengisyaratkan rasa tak sabarnya.
"Ya, tapi pistol itu hanya suatu... ah! suatu kebiasaan dari masa lalu. Dia sering
berada di tempat-tempat terpencil. Dia menyimpannya hanya sebagai kebiasaan,
bukan dengan pikiran lain.
Saya yakin." "Oh! Lalu mengapa Anda begitu yakin?"
"Yah, karena ucapan-ucapannya sendiri."
"Seperti?" Suara Poirot sangat lembut dan ramah. Hal itu menuntun Miss Plenderleith secara
halus. "Yah, umpamanya, pada suatu kali kami membahas tentang
bunuh diri, dan dia berkata bahwa cara yang termudah adalah dengan membuka
saluran gas dan menyumbat semua celah, lalu tidur. Saya katakan bahwa hal itu
tak mungkin - berbaring saja dan menunggu. Saya lebih suka menembak diri
sendiri. Katanya dia akan ketakutan sekali, kalau-kalau senjatanya tidak
meledak. Dan lagi dia tak suka mendengar ledakannya."
"Oh, begitu." kata Poirot. "Seperti kata Anda, memang aneh.
Karena seperti kata Anda juga, di kamarnya ada perapian gas."
Jane Plenderleith melihat padanya, agak terkejut.
"Ya, memang ada. Saya tak mengerti, tidak, saya tak mengerti mengapa dia tidak
melakukannya dengan cara itu."
Poirot menggeleng. "Ya, rasanya aneh... tidak wajar."
"Seluruh kejadian itu tidak wajar. Saya. Masih tetap tak bisa percaya dia bunuh
diri. Padahal itu pasti perbuatan bunuh diri, bukan?"
"Yah, masih ada satu kemungkinan lain."
"Apa maksud Anda?"
Poirot melihat padanya lekat-lekat.
"Itu bisa juga... suatu pembunuhan."
"Oh, tidak!" Jane Plenderleith terenyak. "Aduh, mengerikan sekali pikiran itu."
"Mungkin memang mengerikan, tapi apakah Anda pikir itu sesuatu yang tak
mungkin?" "Tapi pintunya terkunci dari dalam. Demikian pula jendelanya."
"Ya, pintunya memang terkunci. Tapi tak ada petunjuk apakah itu dikunci dari
dalam atau dari luarnya. Soalnya, kuncinya hilang."
"Tapi kalau kunci ini hilang..." Lalu ia berhenti sebentar. "Kalau begitu, pasti
dikunci dari luar. Kalau tidak, pasti ada di kamar itu."
"Tapi itu mungkin saja. Ingat, kamar itu belum diperiksa dengan cermat. Atau
mungkin kunci itu dilemparkan ke luar lewat jendela, lalu dipungut oleh
seseorang." "Pembunuhan!" kata Jane Plenderleith. Ia merenungkan
kemungkinan itu. Wajah gelapnya yang cerdas tampak bergairah memikirkannya.
"Saya rasa Anda benar."
"Tapi sekiranya itu suatu pembunuhan, pasti ada motifnya.
Apakah Anda tahu motifnya, Mademoiselle?"
Jane menggeleng lambat-lambat. Namun meskipun ia
membantah, Poirot lagi-lagi mendapatkan kesan bahwa Jane Plenderleith
menyembunyikan sesuatu. Pintu terbuka, dan Japp masuk.
Poirot bangkit. "Aku sedang meyakinkan Miss Plenderleith," katanya, "bahwa kematian temannya
bukan perbuatan bunuh diri."
Sesaat Japp tampak terkejut. Ia melemparkan pandangan
menegur pada Poirot. "Masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan," tegasnya. "Kau kan mengerti
bahwa kita masih harus mempertimbangkan semua kemungkinan. Untuk saat ini sekian
saja." Dengan tenang Jane Plenderleith menjawab,
"Oh, begitu." Japp mendekatinya. "Nah, Miss Plenderleith, pernahkah Anda melihat ini. Di telapak tangannya ada
sebuah benda pipih berbentuk lonjong yang mengilap dan berwarna biru tua.
Jane Plenderleith menggeleng.
"Tidak, tak pernah."
"Ini bukan milik Anda, dan bukan pula milik Mrs. Allen?"
"Bukan, itu kan benda yang tidak biasa dipakai oleh wanita?"
"Jadi, Anda mengenalinya?"
"Ah, itu kan jelas. Itu adalah bagian dari kancing manset seorang pria."
BAB 4 "Wanita. muda itu terlalu angkuh," keluh Japp.
Kedua pria itu berada di kamar Mrs. Allen lagi. Mayatnya telah difoto dan
dipindahkan, dan petugas sidik jari telah menjalankan tugasnya dan sudah pergi.
"Kita tak boleh memperlakukannya sebagai orang bodoh," kata, Poirot membenarkan.
"Dia memang sama sekali bukan orang bodoh.
Dia bahkan seorang wanita muda yang pintar luar biasa dan punya kemampuan."
"Kaupikir diakah yang melakukannya?" tanya Japp dengan sedikit harapan. "Soalnya
bisa saja. Kita harus memeriksa alibinya. Mungkin ada pertengkaran mengenai pria
muda-anggota Parlemen yang sedang berkembang itu. Kurasa dia agak terlalu getir
berbicara tentang pria itu! Rasanya ada yang tidak beres. Kelihatannya dia
sendiri juga suka pada orang muda itu, tapi ditolak. Dia jenis yang mau
menghantam siapa saja jika dirasanya dia ingin melakukannya, dan dia
melakukannya dengan rencana yang baik. Ya, kita harus mencari tahu tentang
alibinya. Lancar sekali dia menjawab semua pertanyaan. Apalagi Essex itu tidak
terlalu jauh. Kereta api pun banyak. Juga mobil ekspres. Perlu kita cari tahu,
apakah dia tidak pergi tidur dengan sakit kepala umpamanya semalam."
"Kau benar," Poirot sependapat.
"Pokoknya," lanjut Japp, "dia menyembunyikan sesuatu dari kita.
Tidakkah kau merasakannya juga" Wanita muda itu tahu sesuatu."
Poirot mengangguk sambil merenung.
"Ya, itu nyata benar."
"Begitulah sulitnya perkara-perkara semacam ini," keluh Japp.
"Memang biasa orang tutup mulut, kadang-kadang dengan motif yang sangat
terhormat." "Untuk itu, kita tak bisa menyalahkan mereka, teman."
"Memang tidak, tapi kita yang sangat kesulitan," gerutu Japp.
"Justru hal itu bisa sangat menonjolkan kecerdikanmu," kata Poirot menghibur.
"Omong-omong, bagaimana dengan sidik jari?"
"Itu memang pembunuhan. Tak ada sidik jari pada pistol. Sudah dihapus bersih
sebelum diletakkan ke tangannya. Meskipun dia mampu berakrobatik melingkarkan
lengannya ke belakang kepala, tak mungkin dia bisa menembakkan pistol tanpa
menggenggamnya kuat-kuat, dan dia pasti tak bisa menghapus sidik jarinya setelah
itu, karena dia sudah mati."
"Tidak, tidak. Jelas ada perbuatan orang luar."
"Kalau tidak begitu, sidiknya pasti mengecewakan. Di gagang pintu dan jendela
juga tak ada. Mengesankan, bukan" Di mana-mana banyak bekas-bekas Mrs.
Allen." "Apakah Jameson menemukan sesuatu?"
"Dari pelayan harian itu" Tidak. Perempuan itu memang banyak bicara, tapi
sebenarnya tak banyak yang diketahuinya. Tapi dia membenarkan bahwa hubungan
Allen dan Plenderleith memang baik.
Sudah kusuruh Jameson mencari keterangan di sepanjang lorong.
Kita juga harus berbicara dengan Mr. Laverton-West. Untuk mencari
tahu di mana dia dan apa kegiatannya semalam. Sementara itu, kita akan memeriksa
surat-surat Mrs. Allen."
Ia langsung memulainya. Sekali-sekali ia menggeram dan
melemparkan sesuatu ke arah Poirot. Pencarian itu tidak berlangsung lama. Tak
banyak surat-surat di meja tulis, sedangkan yang ada sudah disusun rapi dan
dicatat. Akhirnya Japp menyandarkan diri dan mendesah. "Tak banyak hasilnya, ya?"
"Benar katamu."
"Semuanya cukup jelas-surat-surat tagihan yang sudah dibayar, ada beberapa yang
belum dibayar. Tak ada yang luar biasa.
Undangan-undangan kegiatan sosial. Pemberitahuan dari teman-teman. Ini..." Ia
meletakkan tangannya di atas tumpukan tujuh atau delapan surat.
"Dan buku cek serta buku kuitansi. Kau menemukan sesuatu?"
"Saldo tabungannya sudah kosong."
"Ada lagi?" Poirot tersenyum. "Apakah kau mengujiku" Aku tahu apa yang sedang kaupikirkan.
Tiga bulan yang lalu ada penarikan dua ratus pound, dan kemarin dua ratus
pound." Dan tak ada yang tertulis pada lembar catatan buku ceknya. Tak ada lagi
penarikan lain dari cek, kecuali jumlah-jumlah kecil, paling banyak lima belas
pound. Dan perlu kauketahui, tak ada uang sejumlah itu di rumah ini. Ada empat
pound dalam sebuah tas, dan beberapa shilling di tas yang lain. Kurasa itu cukup
jelas." "Berarti uang itu telah dibayarkannya kemarin." "Nah, kepada siapa dia
membayarkannya?" Pintu terbuka dan Inspektur Jameson masuk.
"Bagaimana, Jameson, ada yang kautemukan?"
"Ada beberapa, Sir. Pertama-tama, tak seorang pun mendengar suara tembakan.
(...sebagian teks hilang...)
James Hogg, sopir yang tinggal di rumah No. 18, berkata dia sudah pernah melihat
orang itu mengunjungi Mrs. Allen."
"Empat puluh lima tahun," kata Japp. "Tak mungkin LavertonWest."
Laki-laki itu, siapa pun dia, tinggal tak sampai satu jam. Dia pergi kira-kira
jam sepuluh lewat dua puluh menit. Dia berhenti di ambang pintu dan berbicara
pada Mrs. Allen. Seorang anak laki-laki bernama Frederick Hogg berada cukup
dekat di situ dan mendengar apa yang dikatakannya."
"Apa katanya?" "'Nah, pikirkanlah, dan beritahu aku." Lalu Mrs. Allen mengatakan sesuatu, dan
laki-laki itu menjawab, 'Baiklah. Sampai bertemu."
Setelah itu, laki-laki itu ke mobilnya, lalu pergi."
(...sebagian teks hilang...)
"Tidak, tapi itu tidak berarti tak ada orang yang masuk. Mungkin tak ada orang
yang melihat." "Hm," kata Japp. "Benar juga. Kalau begitu, kita harus mencari pria bertampang
tentara yang berkumis lebat itu. Jelas dialah orang terakhir yang melihat Mrs.
Allen dalam keadaan hidup. Ingin sekali aku tahu, siapa dia."
"Mungkin Miss Plenderleith bisa mengatakannya," kata Poirot.
Mungkin," kata Japp dengan murung. "Tapi ebaliknya mungkin juga tak bisa. Aku
yakin dia bisa bercerita banyak kalau dia mau.
Bagaimana, Poirot" Kau agak lama berduaan dengannya. Apa kau tidak berhasil
mengorek sesuatu darinya?"
Poirot mengembangkan jemarinya.
"Tidak, kami hanya bercakap-cakap tentang perapian-perapian gas."
"Perapian gas?" kata Japp dengan nada jijik - Ada apa kau ini"
Sejak kau di sini yang kauperhatikan hanya pena-pena bulu angsa dan keranjangkeranjang sampah. Oh ya, kulihat kau memperhatikan sesuatu di lantai bawah. Kau
menemukan sesuatu di situ?"
Poirot mendesah. "Sebuah katalog bunga dan sebuah majalah tua."
"Apa pentingnya benda-benda itu" Bila seseorang ingin
membuang suatu dokumen yang mungkin dijadikan petunjuk yang melemahkan
kedudukannya, atau entah apa yang ada dalam
pikiranmu, tak mungkin dia membuangnya ke dalam keranjang sampah."
"Benar sekali apa yang kaukatakan itu. Hanya sesuatu yang tak penting yang
dibuang seperti itu."
Poirot berbicara dengan lemah. Tapi Japp melihat padanya dengan curiga.
"Yah," katanya. "Aku sudah punya rencana apa yang akan
kulakukan berikutnya. Bagaimana dengan kau?"
"Bagus," kata Poirot. "Aku sih akan melanjutkan pencarianku pada yang tidak
penting. Masih ada keranjang sampah."
Ia cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Japp memandanginya dari belakang dengan
pandangan heran. "Gila," katanya. "Benar-benar gila."
Inspektur Jameson tetap diam demi rasa hormatnya. Dengan wajah membayangkan
kebanggaan sebagai orang Inggris, ia berpikir,
"Dasar orang asing!"
Tapi yang dikatakannya adalah,
"Jadi, itu yang namanya Mr. Hercule Poirot! Saya pernah mendengar nama itu."
"Teman lamaku," jelas Japp. "Tapi ingat, dia tak sedungu penampilannya. Tapi
kelihatannya dia sudah mulai sinting sekarang."
"Kata orang, dia sudah mulai pikun, ya, Sir," kata Jameson. "Yah, begitulah
kalau sudah tua.'-'
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi," kata Japp, "alangkah baiknya kalau aku tahu apa rencananya."
Ia berjalan ke arah meja tulis dan memandangi dengan gelisah sebuah pena bulu
angsa berwarna hijau zamrud.
BAB 5 Japp baru saja akan mulai berbicara dengan istri sopir yang ketiga, waktu
Poirot, yang berjalan tanpa suara seperti seekor kucing, tiba-tiba muncul di
belakang sikunya. "Aduh, kau mengejutkan sekali," kata Japp. "Apakah kau
menemukan sesuatu?" "Bukan menemukan apa yang kucari."
Japp berpaling kembali pada Mrs. James Hogg.
"Dan Anda katakan tadi, Anda pernah melihat laki-laki itu?"
"Oh ya, Sir. Dan suami saya juga. Kami langsung mengenalinya."
"Dengar, Mrs. Hogg. Saya tahu bahwa Anda punya penglihatan tajam. Saya yakin
Anda tahu tentang semua orang di sepanjang lorong ini. Dan bisa saya katakan
bahwa Anda adalah wanita yang pandai menilai, luar biasa pandainya dalam menilai
orang-orang." Untuk ketiga kali diulanginya pujian iiu tanpa ragu. Mrs. Hogg agak menahan diri
dan menunjukkan sikap orang yang punya kepandaian paranormal. "Tolong ceritakan
sedikit tentang kedua wanita muda itu
- Mrs. Allen dan Miss Plenderleith. - wanita-wanita seperti apakah mereka"
Apakah mereka periang" Suka berpesta" Atau
semacamnya?" "Oh, tidak, Sir, sama sekali tidak. Mereka memang sering keluar, terutama Mrs.
Allen. Mereka itu orang-orang yang berkelas. Anda tahu kan maksud saya" Tidak
seperti beberapa orang yang bisa saya sebutkan di ujung sana itu. Saya yakin
perbuatan Mrs. Stevens itu itu pun kalau dia memang benar menikah, meski saya meragukannya
- yah, saya tak suka menceritakan apa yang terjadi di situ..."
"Ya, memang," kata Japp, yang dengan tangkas menghentikan arus kata-katanya.
"Apa yang Anda katakan itu penting sekali. Kalau begitu, Mrs. Allen dan Miss
Plenderleith disukai banyak orang, ya?"
"Oh ya, Sir, keduanya wanita yang baik, lebih lebih Mrs. Allen. Dia selalu
menyapa anak-anak dengan manis. Saya dengar anak perempuannya meninggal.
Kasihan. Saya sendiri mengalami kematian tiga orang anak. Dan perlu saya
katakan..." "Ya, ya menyedihkan sekali. Dan bagaimana dengan Miss
Plenderleith?" "Yah, dia juga baik, tapi tidak terlalu ramah. Dia hanya mengangguk kalau lewat,
tak mau berhenti untuk berhandai-handai.
Tapi tak ada yang patut saya cela tentang dia, sama sekali tak ada."
"Apakah dia baik-baik saja dengan Mrs. Allen?"
"Oh ya, Sir. Mereka tidak bertengkar atau semacamnya. Mereka sama-sama senang
dan hidup tenang. Saya yakin Mrs. Pierce bisa membenarkan kata-kata saya itu."
"Ya, kami sudah berbicara dengannya. Bisakah Anda mengenali tunangan Mrs. Allen
kalau Anda melihatnya?"
Pria yang akan menikahinya" Oh, ya. Dia agak sering kemari. Kata orang, dia
anggota Parlemen." "Bukan diakah yang datang semalam?"
"Bukan, Sir, bukan dia." Mrs. Hogg memperbaiki duduknya. Nada bicaranya jadi
penuh semangat, tapi ditutupinya dengan sikap tenang. "Dan kalau boleh saya
berkata, Sir, apa yang Anda duga itu salah. Mrs. Allen bukan wanita macam itu,
saya yakin. Memang tak ada orang lain di rumah itu, tapi saya tak percaya hal
semacam itu. Baru tadi pagi saya berkata begitu juga pada Hogg. 'Tidak, Hogg,'
kata saya, 'Mrs. Allen itu seorang wanita baik-baik, benar-benar bersih, jadi
jangan berprasangka macam-macam.' Sebab saya tahu bagaimana pikiran laki-laki,
maafkan saya berkata begitu. Dugaan mereka selalu kasar."
Tanpa memedulikan penghinaan itu, Japp melanjutkan,
"Anda melihatnya datang dan melihatnya pulang, begitu kan?"
"Benar." "Dan Anda tidak mendengar apa-apa" Suara orang bertengkar, umpamanya?"
"Tidak, Sir, sama sekali tidak. Meskipun sebenarnya hal semacam itu pasti
terdengar. Dari ujung sebelah sana itu sudah menjadi pembicaraan umum bagaimana
Mrs. Stevens marah-marah pada pelayannya yang ketakutan, dan kami semua sudah
menasihati pelayan itu supaya tidak menerima saja. Tapi, yah, gajinya besar sih.
Mrs. Stevens memang punya sifat pemarah seperti setan, tapi dia membayar mahal tiga puluh shilling seminggu -"
Japp cepat-cepat berkata,
"Tapi Anda tak pernah mendengar yang semacam itu di rumah No. 14?"
"Tidak, Sir. Tak bisa, gara-gara suara petasan dan kembang. Api itu di manamana, sampai-sampai alis anak saya Eddie hampir hangus."
"Laki-laki itu pulang jam sepuluh lewat dua puluh menit, kan?"
"Mungkin, Sir. Saya sendiri tak bisa mengatakannya dengan pasti.
Tapi Hogg berkata begitu, dan dia sangat bisa dipercaya; dia orang yang
bertanggung jawab." "Anda sendiri melihat waktu dia pulang. Apakah Anda mendengar apa yang
dikatakannya?" "Tidak, Sir. Saya tidak cukup dekat untuk itu. Saya hanya melihatnya lewat
jendela. Saya lihat dia berdiri di ambang pintu dan berbicara dengan Mrs.
Allen." "Anda melihat Mrs. Allen juga?"
"Ya, Sir, dia berdiri di bagian dalam ambang pintu."
"Anda melihat pakaian Mrs. Allen?"
"Ah, tentu saja tidak. Saya juga tidak begitu mempeihatikannya."
Poirot berkata, "Anda bahkan tidak melihat apakah dia mengenakan pakaian untuk bepergian atau
pakaian rumah?" "Tidak, Sir, saya tak bisa mengatakannya."
Sambil merenung, Poirot mendongak ke jendela di atas dan memandang ke seberang,
ke No. 14. Ia tersenyum, dan sesaat lamanya memandangi Japp.
"Bagaimana dengan laki-laki itu?"
"Dia mengenakan mantel biru tua dan topinya bundar. Bagus dan rapi."
Japp mengajukan beberapa pertanyaan lagi, lalu melanjutkan dengan wawancara
berikutnya. Kali ini dengan Mr. Hogg kecil. Ia adalah seorang anak laki-laki
berwajah nakal, bermata cerah, dan merasa dirinya penting sekali.
"Ya, Sir, saya mendengar mereka bercakap-cakap. 'Pikirkan itu, lalu beritahu
aku,' kata pria itu. Cara bicaranya menyenangkan. Lalu wanita itu mengatakan
sesuatu dan yang pria menjawab, 'Baiklah.
Sampai bertemu.' Lalu dia masuk ke mobilnya. Saya membukakan pintu mobil itu,
tapi dia tidak memberi saya apa-apa," kata Hogg kecil dengan nada agak tertekan.
"Dia pergi begitu saja."
"Kau tidak mendengar apa yang dikatakan Mrs. Allen?"
"Tidak, Sir." "Bisakah kaukatakan pakaian apa yang dikenakan Mrs. Allen"
Warna apa, umpamanya?"
"Tak bisa, Sir. Soalnya saya tidak melihatnya dengan jelas. Dia pasti berada di
balik pintu." "Baiklah," kata Japp. "Sekarang dengarkan, anakku. Kuminta kau mengingat-ingat
dan menjawab pertanyaanku yang berikut ini dengan hati-hati sekali. Kalau kau
tidak tahu dan tidak ingat, katakan. Jelas?"
"Ya, Sir." Hogg muda memandanginya dengan penuh harap. "Siapa di
antara mereka berdua yang menutup pintu rumah, Mrs. Allen atau pria itu?"
"Pintu depannya?"
"Pintu depan tentu."
Anak itu berpikir. Matanya menatap ke atas dalam usahanya untuk mengingat.
"Saya rasa mungkin Mrs. Allen.... Tidak. Pria itu yang menutup.
Dia menarik pintu itu, lalu membantingnya, lalu cepat-cepat melompat ke dalam
mobilnya. Kelihatannya dia punya janji di tempat lain."
"Baiklah. Nah, anak muda, kelihatannya kau anak yang cerdas.
Nih, uang enam pence untukmu." Setelah menyuruh pergi Hogg kecil, Japp berpaling
pada temannya. Lambat-lambat mereka mengangguk serentak.
"Mungkin!" kata Japp.
"Banyak kemungkinan lain," kata Poirot membenarkan.
Matanya menyinarkan warna hijau. Kelihatannya seperti mata kucing.
BAB 6 Setelah memasuki ruang duduk di rumah No. 14, Japp tidak menyia-nyiakan waktu.
Ia, langsung mulai. "Dengar, Miss Plenderleith, sebaiknya Anda ceritakan saja semua kejadiannya di
sini sekarang. Pada akhirnya itu akan terungkap juga."
Jane Plenderleith mengangkat alisnya. Ia sedang berdiri di dekat rak perapian,
menghangatkan sebelah kakinya di dekat nyala api.
"Saya benar-benar tidak tahu apa maksud Anda."
"Benarkah itu, Miss Plenderleith?"
Wanita itu mengangkat bahunya.
"Saya sudah menjawab semua pertanyaan Anda. Saya tidak tahu apa lagi yang harus
saya lakukan." "Menurut saya, Anda bisa berbuat jauh lebih banyak, kalau saja Anda mau."
"Tapi itu kan hanya dugaan Anda, Komisaris?"
Wajah Japp jadi agak memerah.
"Kurasa," kata Poirot, "Mademoiselle akan lebih menghargai pertanyaanpertanyaamnu kalau kaukatakan bagaimana duduk perkaranya."
"Itu sederhana sekali. Begini, Miss Plenderleith, kenyataan-kenyataannya adalah
sebagai berikut. Teman Anda kedapatan tertembak di kepalanya dengan sebuah
pistol dalam tangannya, sedangkan pintu dan jendela terkunci. Itu jadi
kelihatan. seperti perkara bunuh diri biasa. Padahal itu bukan bunuh diri. Bukti
pemeriksaan medis saja sudah menyatakan hal itu."
Sirna sudah semua sikap dinginnya. Ia mencondongkan tubuh ke depan dengan penuh
perhatian dan memandangi wajah Japp.
"Pistolnya ada dalam tangannya, tapi jemarinya tidak terkatup pada pistol itu.
Apalagi sama sekali tidak terdapat sidik jari pada pistol itu. Dan letak lukanya
menyatakan tak mungkin luka itu
disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Lalu dia tidak meninggalkan surat - suatu
hal yang tidak biasa dalam perkara bunuh diri. Dan meskipun pintunya terkunci,
kuncinya tidak ditemukan."
Perlahan-lahan Jane Plenderleith berbalik, lalu duduk di kursi menghadapi
mereka. "Jadi, begitu keadaannya!" katanya. "Sejak awal saya sudah merasa bahwa tak
mungkin dia membunuh dirinya! Ternyata saya benar! Dia tidak bunuh diri. Orang
lain yang membunuhnya."
Beberapa saat lainnya wanita itu tetap tenggelam dalam
renungannya. Lalu diangkatnya kepalanya dengan tegas.
"Tanyakanlah apa saja yang Anda inginkan," katanya. "Akan saya jawab semuanya
semampu saya." Japp pun memulai, "Semalam Mrs. Allen kedatangan tamu. Dia dilukiskan berusia empat puluh lima
tahun, berpenampilan tentara, berkumis lebat, berpakaian rapi, dan mengendarai
mobil sedan Standard Swallow.
Tahukah Anda siapa dia?"
"Saya tentu tak bisa yakin, tapi kedengarannya seperti Mayor Eustace."
"Siapa Mayor Eustace" Tolong ceritakan segalanya yang Anda ketahui tentang dia."
"Dia laki-laki yang dikenal Barbara di luar negeri, di India. Dia muncul di sini
kira-kira setahun yang lalu, dan sejak itu kami kadang-kadang bertemu
dengannya." "Dia teman Mrs. Allen?"
"Dia bersikap seperti teman," kata Jane datar.
"Bagaimana sikap Mrs. Allen terhadapnya?"
"Saya rasa dia tak suka pada laki-laki itu. Ya, saya bahkan yakin dia tak
menyukainya." "Trapi di hadapannya dia memperlakukan laki-laki itu dengan ramah?"
"Ya." "Pernahkah dia kelihatan - ingat baik-baik, Miss Plenderleith takut pada laki-laki itu?"
Beberapa lama Jane Plenderleith mempertimbangkannya. Lalu ia berkata,
"Ya, saya rasa dia takut. Dia selalu gugup kalau laki-laki itu ada."
"Apakah laki-laki itu pernah bertemu dengan Mr. Laverton-West?"
"Kalau tidak salah, hanya sekali. Mereka saling tak menyukai.
Maksud saya, Mayor Eustace bersikap sebaik mungkin terhadap Charles, tapi
Charles tidak menyambutnya. Charles punya indra keenam mengenai orang yang tidak
begitu... tidak begitu..."
"Dan Mayor Eustace itu memang... apa yang - Anda sebut... tidak begitu?" tanya
Poirot. Dengan nada datar gadis itu berkata,
"Memang tidak. Dia membuat orang jadi agak merinding. Sama sekali tak bisa
ditonjolkan." "Sayang saya kurang mengerti kedua ungkapan Anda itu. Apakah maksud Anda dia
bukan orang baik-baik?"
Suatu senyum tipis menghiasi wajah Jane Plenderleith, tapi ia menyahut dengan
bersungguh-sungguh, "Bukan."
"Apakah akan sangat mengejutkan Anda, Miss Plenderleith, bila saya kemukakan
bahwa laki-laki itu memeras Mrs. Allen?"
Japp mencondongkan tubuh untuk mengamati reaksi gadis itu atas kata-katanya.
Ia puas sekali, tubuh gadis itu agak terdorong ke depan karena terkejut,
wajahnya memerah, dan tangannya mencengkeram lengan kursi dengan keras.
"Jadi, itu rupanya! Bodoh sekali saya tak pernah menduganya selama ini. Pasti!"
"Menurut Anda dugaan itu masuk akal, Mademoiselle?" tanya Poirot.
"Saya bodoh tak pernah memikirkannya! Selama enam bulan terakhir, beberapa kali
Barbara telah meminjam uang saya dalam jumlah kecil. Dan beberapa kali saya
melihatnya menekuni buku kuitansinya. Saya tahu penghasilannya cukup, jadi saya
tak peduli, tapi kalau dia membayar sejumlah uang, tentulah..."
"Dan itu sesuai dengan sikapnya secara umum begitukah?" tanya Poirot.
"Benar sekali. Dia gugup. Kadang-kadang kelihatan ketakutan sekali. Pokoknya
berbeda dari sikap biasanya."
Dengan halus Poirot berkata,
"Maafkan saya, tapi Anda tidak berkata begitu tadi."
"Itu lain," Jane menggoyangkan tangannya dengan tak sabar. "Dia tidak tertekan.
Maksud saya, dia tak punya keinginan untuk bunuh diri atau semacamnya. Tapi
pemerasan.... Alangkah baiknya kalau dulu dia mengatakannya pada saya. Pasti
saya bisa mengirim laki-laki itu ke neraka."
"Tapi nyatanya dia bukan pergi ke neraka, melainkan mendatangi Mr. LavertonWest, bukan?" kata Poirot.
Ya," kata Jane Plenderleith perlahan-lahan. "Ya... benar."
"Tidakkah Anda punya bayangan, apa kira-kira yang mungkin akan dibocorkan lakilaki itu tentang Mrs. Allen?" tanya Japp.
Gadis itu menggeleng. "Sama sekali tidak. Sepanjang saya mengenal Barbara, rasanya tak mungkin ada
sesuatu yang terlalu serius. Sebaliknya..." Ia diam sebentar, lalu melanjutkan,
"Maksud saya, Barbara itu dalam beberapa hal pendek akalnya. Dia bisa ditakuttakuti dengan mudah. Dia bahkan bisa menjadi mangsa yang mudah bagi seorang pemeras!
Dasar bangsat kotor itu! "
Disemburkannya kata-kata terakhir itu dengan penuh kebencian.
"Sayangnya," kata Ploirot, "kejahatannya terjadi terbalik.
Seharusnya si korban yang membunuh si pemeras, bukan si pemeras yang membunuh si
korban." Jane Plenderleith agak mengernyit.
"Ya, memang terbalik, tapi saya bisa membayangkan
keadaannya." "Seperti?" "Andaikan Barbara jadi putus asa. Mungkin dia lalu menakut-nakuti laki-laki itu
dengan pistol kecilnya yang lucu. Laki-laki itu mencoba merebutnya dari tangan
Barbara, dan dalam perebutan itu, Eustace menekan pelatuknya dan membunuh
Barbara. Dia lalu ketakutan melihat apa yang telah dilakukannya dan mencoba
berpura-pura bahwa itu adalah perbuatan bunuh diri."
"Mungkin," kata Japp. "Tapi ada kesulitannya."
Gadis itu menoleh padanya dengan pandangan bertanya.
"Mayor Eustace (kalau memang benar dia) meninggalkan tempat ini jam sepuluh
lewat dua puluh semalam, dan meminta diri dari Mrs.
Allen di ambang pintu."
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh," wajah gadis itu tampak kecewa. "Saya mengerti." Ia diam-sebentar. "Tapi
mungkin dia kembali lagi kemudian," katanya perlahan-lahan.
"Ya, itu mungkin," kata Poirot.
Japp berkata lagi, "Katakan, Miss Plenderleith, di mana biasanya Mrs. Allen menerima tamu, di sini
atau di kamarnya di lantai atas?"
"Di kedua kamar itu. Tapi ruangan ini biasanya digunakan untuk pesta-pesta
dengan lebih banyak orang, atau untuk menerima
teman-teman khusus saya. Soalnya sudah ada perjanjian bahwa Barbara mendapatkan
kamar tidur besar yang sekaligus
digunakannya untuk kamar tamu, dan saya mendapatkan kamar tidur yang kecil dan
menggunakan kamar ini untuk menerima tamu."
"Bila Mayor Eustace semalam datang dengan perjanjian, menurut Anda, di manakah
Mrs. Allen menerimanya?"
"Saya rasa dia akan membawanya kemari."
Suaranya terdengar agak ragu. "Soalnya di sini agak kurang akrab.
Sebabnya, bila dia ingin menulis cek atau semacamnya, mungkin dia akan membawa
tamunya ke lantai atas. Di sini tak ada bahan-bahan untuk menulis."
Japp menggeleng. "Tak ada persoalan mengenai cek. Kemarin Mrs. Allen menarik uang tunai dari
tabungannya. Dan sejauh ini kita tak melihat bekas-bekas uang itu di rumah ini."
"Jadi, dia telah memberikannya pada penjahat itu" Ah, kasihan Barbara! Kasihan
sekali Barbara!" Poirot berdeham. "Kecuali kalau kejadian itu memang sebuah kecelakaan, rasanya tak masuk akal
bahwa laki-laki itu mau membunuh seorang sumber penghasilan tetapnya, bukan?"
"Kecelakaan" Itu bukan kecelakaan. Mayor itu kehilangan kesabarannya, dia jadi
gelap mata dan menembaknya."
"Begitukah kejadiannya menutut Anda?"
"Ya." Lalu ditambahkannya dengan keras, "Itu suatu pembunuhan.
Pembunuhan!" Dengan serius Poirot berkata,
"Saya tidak akan mengatakan bahwa Anda salah, Mademoiselle."
Japp berkata, "Rokok apa yang diisap Mrs. Allen?"
"Rokok putih. Ada beberapa bungkus di kotak itu."
Japp membuka kotak itu, mengeluarkannya sebatang, lalu
mengangguk. Rokok itu diselipkannya ke saku bajunya.
"Dan Anda sendiri, Mademoiselle?" tanya Poirot.
"Sama." "Anda tidak mengisap rokok Turki?"
"Tak pernah." "Mrs. Allen juga tak pernah?"
"Tidak. Dia tak menyukainya."
Poirot bertanya lagi, "Dan Mr. Laverton-West. Rokok apa yang diisapnya?"
Gadis itu menatapnya dengan keras.
"Charles" Apa hubungannya dengan rokok apa yang diisapnya"
Anda kan tidak mengisyaratkan bahwa dia yang membunuh
Barbara?" Poirot mengangkat bahunya.
"Ada pria yang bisa membunuh wanita yang dicintainya,
Mademoiselle." Jane menggeleng tak sabar.
"Charles tak mungkin membunuh siapa-siapa. Dia orang yang selalu hati-hati."
"Tapi, Mademoiselle, laki-laki yang hati-hatilah yang biasanya merupakan
pembunuh paling pandai."
Gadis itu menatapnya. "'Tapi tidak dengan motif yang Anda kemukakan tadi, M. Poirot."
Poirot menunduk. "Memang tidak."
Japp bangkit. "Yah, saya rasa tak banyak lagi yang bisa saya kerjakan di sini.
Tapi saya ingin melihat-lihat sekali lagi."
"Kalau-kalau uang itu terselip entah di mana. Tentu, silakan. Cari saja di mana
pun Anda ingin. Dan di kamar saya juga, meskipun tak mungkin Barbara
menyembunyikannya di situ."
Japp mencari dengan cepat dan efisien. Dalam beberapa menit saja ruang tamu itu
sudah selesai diselidikinya. Lalu ia naik ke lantai atas. Jane Plenderleith
duduk di lengan sebuah kursi, sambil mengisap rokok dan memandangi api dengan
wajah mengernyit. Poirot memandanginya. Beberapa menit kemudian, ia bertanya dengan halus,
"Tahukah Anda, apakah Mr. Laverton-West berada di London saat ini?"
"Saya sama sekali tidak tahu. Saya rasa dia sedang berada di Hampshire bersama
teman-temannya. Saya rasa sebaiknya saya mengirim telegram padanya. Menyedihkan
sekali saya melupakannya." "Tidak mudah untuk mengingat segalanya, Mademoiselle, apalagi kalau sedang ada
kekacauan. Dan berita buruk tidak akan basi.
Orang bisa mendengarnya dalam waktu singkat sekali."
"Ya, itu benar," kata gadis itu dengan linglung.
Terdengar jejak-jejak kaki Japp menuruni tangga. Jane keluar akan menyambutnya.
"Bagaimana?" Japp menggeleng. "Saya rasa tak ada yang bisa membantu, Miss Plenderleith.
Sekarang seluruh rumah sudah saya periksa. Oh ya, sebaiknya saya lihat juga
lemari yang ada di bawah tangga ini."
Sambil berbicara, dipegangnya gagang pintu lemari itu, lalu ditariknya.
Kata Jane Plenderleith, "Pintu itu dikunci."
Suara gadis itu menyimpan sesuatu yang membuat kedua pria itu memandangnya
dengan tajam. "Oh ya," kata Japp dengan suara menyenangkan. "Memang
kelihatan terkunci. Bisakah Anda mengambilkan kuncinya?"
Gadis itu berdiri saja bagaikan patung batu.
"Sa... saya kurang tahu di mana."
Japp cepat-cepat menoleh padanya, namun suaranya tetap
menyenangkan dan santai waktu berkata,
"Wah, sayang sekali. Saya tak ingin merusak kayunya dengan mendobrak paksa. Biar
saya suruh Jameson keluar mencari kunci yang cocok."
Gadis itu maju dengan kaku.
"Oh," katanya. "Tunggu. Mungkin..."
Ia masuk lagi ke ruang duduk, lalu sebentar kemudian muncul kembali dengan
membawa sebuah kunci yang cukup besar.
"Kami tetap menguncinya," jelasnya, "sebab payung dan barang-barang kami sering
dicuri." "Sikap berhati-hati yang bijak," kata Japp sambil menerima kunci itu dengan
ceria. Dimasukkannya kunci itu ke lubangnya dan Ia membuka pintunya lebar-lebar. Bagian
dalam lemari itu gelap. Japp mengeluarkan senternya dan menerangi bagian dalam
itu. Poirot merasa gadis di sebelahnya menjadi kaku dan menahan napasnya sesaat.
Matanya mengikuti gerak cahaya senter Japp.
Tidak banyak barang di dalam lemari itu. Ada tiga buah payung satu di antaranya sudah patah empat buah tongkat, satu set peralatan golf, dua
raket tenis, sebuah perimadani yang terlipat rapi, dan beberapa bantal kursi
yang sudah rusak. Di atas bantal-bantal itu terdapat sebuah tas kantor.
Waktu Japp mengulurkan tangannya ke arah tas itu, Jane
Plenderleith cepat-cepat berkata,
"Itu kepunyaaa saya. Sa... saya membawanya tadi pagi. Jadi, tak mungkin ada apaapa di dalamnya." "Hanya sekadar meyakinkan diri," kata Japp dengan nada makin diramah-ramahkan.
Tas itu tidak terkunci. Di dalamnya terdapat sikat-sikat dari kulit hewan yang
kasar dan botol-botol alat-alat kecantikan. Ada dua buah majalah di dalamnya,
tapi tak ada apa-apa lagi.
Japp menieriksa seluruh isinya dengan sangat teliti. Ketika akhirnya ia menutup
tas itu dan memeriksa bantal-bantal tersebut sekilas, terdengar gadis itu
mendesah lega. Tak ada apa-apa lagi di dalam lemari itu, kecuali apa-apa yang terlihat.
Pemeriksaan Japp pun segera berakhir.
Dikuncinya kembali lemari itu, lalu diserahkannya kembali kuncinya pada Jane
Plenderleith. "Yah," katanya, "semuanya sudah selesai. Bisakah Anda
memberikan alamat Mr. Laverton-West?"
"Farlescombe Hall, Little Ledbury, Hampshire."
"Terima kasih, Miss Plenderleith. Untuk sekarang cukup sekian, mungkin saya
kembali lagi nanti. Omong-omong, harap Anda tutup mulut. Biarkan saja umum
berpikir bahwa itu perbuatan bunuh diri."
"Tentu, saya mengerti."
Miss Plenderleith berjabat tangan dengan kedua pria itu.
Saat mereka berjalan di sepanjang lorong, Japp meledak,
"Ada apa sih di dalam lemari itu" Pasti ada sesuatu."
"Ya, ada sesuatu."
"Dan aku berani bertaruh sesuatu itu ada hubungannya dengan tas kantor itu! Tapi
betapa tololnya aku, tak bisa menemukan apa-apa. Padahal aku sudah melihat ke
dalam semua botol, meraba semua bahan. Ada apa, ya?"
Poirot menggeleng sambil merenung.
"Bagaimanapun, gadis itu terlibat," lanjut Japp.
"Katanya baru tadi pagi dia membawa tas itu, ya" Aku sama sekali tak percaya!
Kaulihatkah bahwa ada dua buah majalah di dalamnya?"
"Ya." "Nah, satu di antaranya adalah terbitan bulan Juli yang lalu!"
BAB 7 Keesokan harinya Japp masuk ke flat Poirot, melemparkan topinya ke meja dengan
geram, lalu mengempaskan tubuhnya ke sebuah kurgi.
"Huh," geramnya. "Dia tidak terlibat!"
"Siapa yang tidak terlibat?"
"Plenderleith. Waktu itu dia sedang main bridge sampai larut malam. Tuan dan
nyonya rumah, tamu yang komandan angkatan laut dan dua orang pelayan, semuanya
berani bersumpah begitu. Tak meragukan lagi, kita harus melepaskan semua dugaan
bahwa dia terlibat dalam urusan ini. Namun aku tetap ingin tahu, mengapa dia
begitu kacau dan bingung tentang tas kantor yang ada di bawah tangga itu. Itu
adalah bidangmu, Poirot. Kau suka mengendus-endus soal-soal kecil yang tak ada
artinya. Misteri Tas Kantor Kecil.
Kedengarannya menjanjikan!"
"Akan kuberikan usul sebuah judul lagi. Misteri Bau Asap Rokok."
"Judul yang agak aneh. Bau ... " Itukah sebabnya kau
mengendus-endus waktu kita pertama kali memeriksa mayat itu" Aku melihatmu...
dan mendengarmu! Mendengus-dengus. Kukira kau sedang pilek."
"Kau salah besar."
Japp mendesah. "Kupikir hanya sel-sel kelabu di otakmulah yang bekerja. Jangan katakan bahwa
sel-sel hidungmu juga punya kelebihan daripada yang dimiliki orang lain."
"Tidak, tidak, tenanglah."
"Aku tidak mencium asap rokok," lanjut Japp dengan curiga.
"Aku juga tidak, teman."
Japp memandanginya dengan ragu, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya.
"Itulah rokok yang diisap Mrs. Allen - rokok putih. Enam dari puntung rokok itu
adalah rokoknya. Tiga yang lain adalah puntung rokok Turki."
"Benar." "Kurasa hidungmu yang istimewa itulah yang mengetahuinya tanpa melihatnya, ya!"
"Yakinlah, hidungku tak ada hubungannya dalam hal ini. Hidungku tidak mencatat
apa-apa." "Tapi sel-sel otakmu mencatat banyak?"
"Yah, ada beberapa petunjuk, bukan?"
Japp melirik padanya. "Seperti?" "Ah, kurasa pasti ada sesuatu yang hilang dar kamar itu. Juga sesuatu yang telah
ditambahkan. Lalu di atas meja tulis itu..."
"Aku sudah tahu! Kita pasti akan membahas pena bulu angsa sialan itu!"
"Sama sekali tidak. Pena bulu angsa itu hanya memainkan peran negatif."
Japp kembali pada soal yang lebih aman.
"Aku sudah meminta Charles Laverton-West datang
mengunjungiku di Scotland Yard setengah jam lagi. Kurasa kau ingin hadir juga."
"Ingin sekali."
"Dan kau pasti senang mendengar bahwa kami telah berhasil menemukan Mayor
Eustace. Dia tinggal di flat tentara di Cromwell Road."
"Bagus sekali."
"Tapi kita tak boleh berharap banyak di sana. Mayor Eustace itu sama sekali
bukan orang yang ramah. Setelah berbicara dengan Laverton-West, kita akan pergi
menemuinya. Setuju?"
"Setuju sekali."
"'Kalau begitu, mari."
Jam setengah dua belas, Charles Laverton-West diantar masuk ke ruang Komisaris
Japp. Japp bangkit, lalu berjabat tangan.
Anggota Parlemen itu bertinggi tubuh sedang dan berkepribadian meyakinkan.
Wajahnya tercukur rapi dan mulutnya seperti mulut seorang aktor bila berbicara,
matanya agak menonjol, seperti yang biasanya dimiliki orang yang pandai
berpidato. Ia tampan, sekaligus tampak tenang.
Meskipun ia agak pucat dan tampak tertekan, sikapnya benar-benar resmi dan
tenang. Ia duduk, meletakkan sarung tangan dan topinya di meja, lalu melihat pada Japp.
"Pertama-tama, saya ingin mengatakan, Mr. Laverton-West, betapa menyedihkannya
peristiwa ini." Laverton-West berkata, "Sebaiknya kita tak usah membahas perasaan saya. Tolong katakan, Komisaris,
apakah Anda sudah menemukan faktor yang menyebabkan Mrs. Allen mencabut nyawanya
sendiri?" "Apakah Anda sendiri tak bisa membantu kami dalam hal itu?"
"Sama sekali tidak."
"Apakah tak ada pertengkaran" Tak ada perpisahan di antara kalian berdua?"
"Tak ada. Itu amat sangat memukul saya."
"Mungkin akan lebih mudah bila saya katakan bahwa itu bukan perbuatan bunuh
diri, melainkan pembunuhan!"
"Pembunuhan?" Mata Charles Laverton-West seolah-olah akan keluar dari kepalanya.
"Anda katakan pembunuhan?"
"Benar sekali. Nah, Mr. Laverton-West, apakah Anda punya bayangan, siapa yang
mungkin membunuh Mrs. Allen?"
Laverton-West langsung menjawab,
"Tidak, sama sekali tidak! Hal itu... tak terbayangkan!"
"Tak pernahkah dia menyebutkan adanya musuh"
Seseorang yang mungkin menaruh dendam padanya?"
"Tak pernah.,, "Tahukah Anda bahwa dia memiliki sebuah pistol?"
"Tidak tahu." Ia kelihatan agak terkejut.
"Kata Miss Plenderleith, Mrs. Allen membawa pistol itu dari luar negeri beberapa
tahun yang lalu." "Begitukah?" "Memang hanya Miss Plenderleith yang mengatakan begitu.
Memang mungkin Mrs. Allen merasa dirinya terancam bahaya dari suatu sumber,
hingga dia lalu menyiapkan pistol itu."
Charles Laverton-West menggeleng dengan ragu. Ia kelihatan bingung dan pusing.
"Bagaimana pendapat Anda mengenai Miss Plenderleith, Mr.
Laverton-West" Maksud Anda, apakah menurut Anda, dia orang yang bisa dipercaya
dan jujur?" Charles Laverton-West berpikir sebentar.
"Saya rasa bisa. Ya, menurut saya dia bisa dipercaya."
"Anda tidak menyukainya?" tanya Japp yang memandanginya dengan tajam.
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya tak bisa berkata begitu. Tapi dia bukan wanita muda yang saya kagumi. Tipe
yang suka sinis dan tak mau bergantung pada orang lain; itu tidak menarik bagi
saya. Tapi bisa saya katakan bahwa dia bisa dipercaya."
"Hm," kata Japp. "Apakah Anda kenal seseorang yang bernama Mayor Eustace?"
"Eustace" Eustace" Oh ya, saya ingat nama itu. Saya pernah bertemu dengannya
sekali di rumah Barbara - Mrs. Allen. Menurut saya, kepribadiannya agak
meragukan. Itu saya katakan pada Mrs.
Allen. Dia bukan tipe laki-laki yang bisa saya anjurkan untuk datang ke rumah
setelah kami menikah."
"Apa kata Mrs. Allen?"
"Oh, dia sependapat sekali. Dia jelas-jelas menyetujui penilaian saya. Sesama
pria lebih tahu tentang pria lain daripada seorang wanita. Mrs. Allen
menjelaskan bahwa dia tak bisa bertindak kasar terhadap seorang pria yang sudah
lama tak bertemu dengannya.
Saya rasa dia takut sekali disebut angkuh! Tapi sebagai istri saya kelak, dia
harus menganggap banyak teman pergaulannya... yah, tak pantas, begitu bukan?"
"Apakah itu berarti bahwa dengan menikahi Anda dia memperbaiki kedudukannya?"
tanya Japp. Laverton-West mengangkat tangannya hingga tampak kukunya yang terpelihara dengan
baik. "Tidak, tidak, bukan begitu. Sebenarnya ibu Mrs. Allen adalah kerabat jauh dari
keluarga saya sendiri. Jadi, darahnya sederajat benar dengan saya. Tapi
mengingat kedudukan saya, saya harus cermat sekali dalam memilih teman, dan
istri saya dalam memililih teman-temannya pula. Soalnya kami boleh dikatakan
banyak disorot orang."
"Oh, tentu," kata Japp datar. Ditambahkannya,
"Jadi, Anda sama sekali tak bisa membantu kami?"
"Tak bisa. Saya sama sekali tak tahu apa-apa. Barbara! Terbunuh!
Rasanya tak masuk akal."
"Nah, Mr. Laverton-West, bisakah Anda menceritakan apa
kegiatan Anda pada malam hari tanggal lima November?"
"Kegiatan saya" Kegiatan-kegiatan saya?"
Suara Laverton-West meninggi hingga terdengar melengking dalam protesnya.
"Ini hanya soal rutin," jelas Japp. "Kami... eh... harus menanyai semua orang."
Charles Laverton-West melihat padanya dengan pandangan
berwibawa. "Saya kira orang yang berkedudukan seperti saya dikecualikan."
Japp tetap saja menunggu.
"Saya... coba saya ingat-ingat. Oh ya. Saya di gedung Parlemen.
Pulang jam setengah sebelas. Saya berjalan kaki di sepanjang dermaga. Menonton
kembang api." "Senang membayangkan bahwa zaman sekarang ini tak ada
komplotan atau semacamnya," kata Japp dengan ceria.
Laverton-West melihat padanya dengan tak senang.
"Lalu saya... eh... saya pulang."
"Kalau tak salah, di London alamat Anda adalah Onslow Square, bukan" Jam berapa
Anda tiba di rumah?"
"Saya kurang ingat tepatnya."
"Jam sebelas" Atau setengah dua belas?"
"Sekitar itulah."
"Adakah seseorang yang membukakan Anda pintu?",
"Tidak, saya membawa kunci sendiri."
"Apakah Anda bertemu dengan seseorang saat Anda berjalan?"
"Tidak... eh... sungguh, Inspektur Kepala, saya tak suka pertanyaan-pertanyaan
seperti ini." "Yakinlah, ini hanya pertanyaan-pertanyaan rutin, Mr. LavertonWest. Tidak
bersifat pribadi." Jawaban itu agaknya bisa menenangkan anggota Parlemen yang kesal itu.
"Itu sajakah?" "Itu saja untuk sementara, Mr. Laverton-West."
"Harap Anda beritahu saya bagaimana perkembangannya."
"Tentu, Sir. Omong-omong, izinkan saya memperkenalkan M.
Hercule Poirot. Mungkin Anda sudah pernah mendengar namanya."
Mr. Laverton-West memandangi pria Belgia kecil. itu dengan penuh perhatian.
"Ya, ya, saya pernah mendengar nama itu."
"Monsieur," kata Poirot yang tiba-tiba bersikap selayaknya orang asing sejati.
"Percayalah, saya turut berduka cita. Sungguh suatu kehilangan yang besar! Anda
pasti menderita sekali! Ah, saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang
Inggris sungguh pandai menyembunyikan emosinya." Tiba-tiba dikeluarkannya kotak rokoknya. "Silakan....
Wah, kosong. Japp?" Japp menepuk saku-saku bajunya, lalu menggeleng.
Laverton-West mengeluarkan kotak rokoknya dan bergumam,
"Eh... silakan - mengisap rokok saya, M. Poirot."
"Terima kasih, terima kasih." Pria kecil itu mengambil sebatang.
"Benar kata Anda, M. Poirot," kata LavertonWest, "kami, orang Inggris, tak mudah
memperlihatkan emosi kami. Katupkanlah bibir-itu prinsip kami."
Ia membungkuk pada kedua pria itu, lalu keluar.
"Angkuh sekali," kata Japp kesal. "Dan terlalu percaya diri!
Penilaian gadis Plenderleith itu tentang dia tepat benar. Tapi dia memang
tampan; dia memang mudah memikat seorang wanita yang tak punya rasa humor.
Bagaimana dengan rokoknya?"
Poirot menyerahkannya sambil menggeleng.
"Rokok Mesir. Jenis yang mahal."
"Ah, itu tak berguna! Sayang, padahal tak pernah aku mendengar alibi yang lebih
lemah! Itu bahkan sama sekali bukan alibi... sayang sekali, Poirot, bahwa
keadaannya terbalik! Sekiranya Mrs. Allen yang memeras dia... Dia adalah calon
korban pemerasan yang sangat empuk. Dia pasti mau membayar dengan mudah! Dia
pasti mau berbuat apa saja untuk menghindari skandal."
"Temanku, bisa saja kita merekonstruksikan perkara itu
sebagaimana yang kauinginkan, tapi itu bukan urusan kita."
"Bukan, Eustace-lah urusan kita sekarang. Aku sudah menemukan beberapa hal
mengenai dia. Dia memang benar-benar orang busuk."
"Omong-omong, apakah kau melakukan sebagaimana yang
kuanjurkan mengenai Miss Plenderleith?"
"Ya. Tunggu saja, akan kutelepon untuk mendapatkan berita terakhir."
Ia mengangkat alat penerima telepon dan berbicara.
Setelah berbicara sebentar, dikembalikannya alat itu, lalu ia melihat pada
Poirot. "Dasar tak punya perasaan. Dia pergi main golf. Bagus sekali kelakuannya!
Padahal temannya baru saja terbunuh sehari sebelumnya."
Poirot berseru. "Ada apa?" tanya Japp.
Poirot bergumam sendiri. "Tentu... tentu... wajar sekali... Alangkah tololnya aku. Itu jelas-jelas
kulihat!" Dengan kasar Japp berkata,
"Berhentilah bergumam sendiri begitu. Mari kita pergi menangani Eustace."
Ia heran melihat senyum ceria yang menghiasi wajah Poirot.
"Ya, tentu, mari kita menanganinya. Karena sekarang aku sudah tahu segalanya.
Ya, segalanya!" BAB 8 Mayor Eustace menyambut kedua pria itu dengan penuh percaya diri, layaknya
seseorang yang sudah banyak mengenal dunia.
Flatnya kecil, sekadar tempat persinggahan sementara, jelasnya.
Ia menawarkan minuman pada kedua pria itu, dan karena mereka menolaknya,
dikeluarkannya kotak rokoknya.
Baik Japp maupun Poirot menerima sebatang rokok. Mereka berpandangan sekejap.
"Saya lihat Anda mengisap rokok Turki," kata Japp sambil memutar-mutar rokok itu
dengan jemarinya. "Ya. Maafkan saya, apakah Anda lebih suka rokok putih" Saya juga punya."
"Tidak, tidak, ini juga bisa." Lalu Japp mencondongkan tubuh, nada bicaranya
berubah. "Mungkin Anda bisa menebak, Mayor Eustace, untuk apa saya mengunjungi
Anda?" Tuan rumahnya menggeleng. Sikapnya tak acuh. Mayor Eustace bertubuh tinggi,
tampan dalam artian kasar. Sekeliling matanya sembab, matanya kecil dan cerdik,
yang menekankan sikapnya yang ramah.
Katanya, "Tidak, saya tidak tahu mengapa seorang komisaris penting ingin bertemu dengan
saya. Apakah sehubungan dengan mobil saya?"
"Bukan, tidak berhubungan dengan mobil Anda. Saya rasa Anda mengenal Mrs.
Barbara Allen, Mayor Eustace?"
Mayor itu menyandarkan tubuhnya, mengembuskan asap rokok, dan berkata dengan
nada ringan, "Oh, itu rupanya! Tentu, saya seharusnya sudah menebak.
Menyedihkan sekali.,"
"Anda tahu rupanya?"
"Saya membacanya di koran semalam. Menyedihkan sekali."
"Kalau tak salah, Anda mengenal Mrs. Allen di India?"
"Ya, beberapa tahun yang lalu."
"Apakah Anda mengenal suaminya juga?"
Keadaan sepi sebentar, hanya sedetik, tapi selama sedetik itu mata kecilnya yang
seperti mata babi memandang ke arah kedua pria itu. Lalu ia menjawab,
"Sebenarnya tidak. Saya tak pernah bertemu dengan Allen."
"Tapi Anda mengetahui sesuatu tentang dia?"
"Saya dengar dia orang yang tidak baik. Itu tentu hanya desas-desus."
"Apakah Mrs. Allen tidak berkata apa-apa?"
"Dia tak pernah berkata apa-apa tentang suaminya."
"Apakah Anda akrab dengan Mrs. Allen?"
Mayor Eustace mengangkat bahunya.
"Kami teman lama, hanya teman lama. Tapi kami tidak sering bertemu.
"Tapi Anda menemuinya pada malam terakhir itu, bukan" Pada malam hari tanggal
lima November?" "Ya, memang." "Kalau tak salah, Anda datang ke rumahnya?"
Mayor Eustace mengangguk. Suaranya mengandung nada sesal yang halus.
"Ya, dia meminta nasihat saya mengenai suatu investasi. Saya tahu apa yang akan
Anda tanyakan lagi - keadaan mentalnya dan sebagainya. Yah, itu sulit sekali
mengatakannya. Sikapnya kelihatan wajar saja, namun, kalau diingat-ingat, dia
memang agak gugup." "Tapi tidakkah dia memberikan kesan akan melakukan bunuh diri?"
"Sama sekali tidak. Waktu saya minta diri, saya katakan bahwa saya akan
meneleponnya secepatnya dan kami akan bekerja sama."
"Anda katakan bahwa Anda akan meneleponnya" Itukah kata-kata Anda yang
terakhir?" "Benar." "Aneh. Saya mendapat informasi bahwa Anda mengatakan
sesuatu yang lain, sekali."
Wajah Eustace berubah warna.
"Yah, saya tentu tak bisa ingat kata-kata. apa tepatnya."
"Informasi saya itu mengatakan bahwa Anda sebenarnya berkata,
'Nah, pikirkan dan beritahu aku. "'
"Coba saya ingat-ingat dulu. Ya, saya rasa Anda benar. Kata-katanya tidak persis
begitu. Saya rasa s,aya berkata supaya dia memberitahu saya kapan dia ada
waktu." "Itu tidak sama, bukan?" kata Japp.
Mayor Eustace mengangkat bahunya.
"Saudara yang terhormat, kita tak bisa berharap seseorang sanggup mengingat kata
demi kata yang telah diucapkannya pada suatu saat tertentu."
"Lalu apa jawaban Mrs. Allen?"
"Katanya dia akan menelepon saya. Itulah kira-kira yang saya ingat."
"Lalu Anda berkata, 'Baiklah. Sampai ketemu.'"
"Mungkin. Pokoknya semacam itulah."
Dengan halus Japp berkata,
"Kata Anda, Mrs. Allen meminta nasihat Anda mengenai suatu investasi. Apakah dia
juga mempercayakan uang sebanyak dua ratus pound tunai pada Anda, untuk
diinvestasikan atas namanya?" , Wajah Eustace jadi merah padam. Ia membungkukkan
tubuhnya dan menggeram, "Apa maksud Anda dengan kata-kata itu?"
"Ya atau tidak?"
"Itu urusan saya, Komisaris."
Dengan tenang Japp berkata,
"Mrs. Allen telah menarik uang sejumlah dua ratus pound tunai dari banknya.
Beberapa di antara uang itu merupakan uang kertas lima pound. Jumlahnya tentu
bisa dilacak." "Kalau ya, kenapa?"
"Apakah uang itu memang untuk investasi ataukah pemerasan, Mayor Eustace?"
"Itu pikiran yang tak masuk akal. Apa lagi yang akan Anda kemukakan?"
Dengan sikap resmi sekali Japp berkata,
"Saya rasa, Mayor Eustace, untuk saat ini saya harus meminta Anda datang ke
Scotland Yard untuk membuat pernyataan. Tentu saja tak ada paksaan. Mungkin Anda
lebih suka diwakili oleh pengacara Anda."
"Pengacara" Untuk apa saya memerlukan pengacara" Dan apa yang Anda ancamkan pada
saya?" "Saya menyelidiki tentang keadaan-keadaan yang berhubungan dengan kematian Mrs.
Allen." "Ya Tuhan, Anda kan tidak menduga... Wah, itu tidak masuk akal!
Dengarkan, inilah yang terjadi. Saya mendatangi Barbara berdasarkan janji."
"Jam berapa?" "Kalau tidak salah, jam setengah sepuluh. Kami duduk dan berbicara."
"Dan merokok?" "Ya, dan merokok. Apakah itu merugikan?" tanya mayor itu dengan marah.
"Di mana pembicaraan itu berlangsung?"
"Di ruang duduk. Di sebelah kiri pintu kalau kita masuk. Menurut saya,
percakapan kami cukup mmah. Saya pulang jam setengah sebelas kurang sedikit.
Saya berdiri beberapa menit di ambang pintu untuk mengucapkan beberapa patah
kata." "Beberapa patah kata terakhir, tepatnya," gumam Poirot.
"Siapa Anda, kalau saya boleh tahu?" Eustace menoleh dan menyemburkan kata-kata
itu padanya. "Pasti orang Spanyol, Portugis, atau Itali! Untuk apa Anda ikut
campur?" "Saya Hercule Poirot," kata pria kecil itu dengan berwibawa.
"Saya tak peduli apakah Anda patung Achilles sekalipun. Seperti saya katakan,
saya dan Barbara berpisah dengan baik-baik. Saya langsung melarikan mobil saya
ke gedung Far East Club. Tiba di sana jam setengah sebelas lewat lima dan
langsung menuju ruang main kartu. Saya main bridge di situ sampai setengah dua.
Nah, bagaimana?" "Alibi Anda kuat sekali," kata Poirot.
"Sekuat besi tuang! Nah, bagaimana, Sir?" Ia melihat pada Japp.
"Puaskah Anda?"
"Apakah Anda tetap berada di ruang tamu selama kunjungan Anda itu?"
"Ya." "Anda tidak pergi ke lantai atas, ke ruang duduk pribadi Mrs.
Allen?" "Sudah saya katakan, tidak. Kami tinggal di satu ruangan dan tidak
meninggalkannya." Japp memandanginya sambil merenung beberapa saat. Lalu ia berkata,
"Anda punya berapa setel kancing manset?"
"Kancing manset" Kancing manset" Apa hubungannya?"
"Anda tentu boleh menolak menjawabnya."
"Menjawabnya" Saya tidak keberatan menjawabnya. Tak ada yang harus saya
sembunyikan. Dan saya akan menuntut permintaan maaf... Ini..." Diulurkannya kedua
lengannya. Japp melihat kancing manset dari emas dan platina itu, lalu mengangguk.
"Dan ini ada lagi."
Ia bangkit, membuka sebuah laci, dan mengeluarkan sebuah kotak. Dibukanya kotak
itu, lalu di dorongnya dengan kasar dekat sekali ke hidung Japp.
"Bagus sekali rancangannya," kata sang komisaris. "Saya lihat yang satu ini
sumbing; ada lapisannya yang lepas."
"Apa hubungannya?"
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya rasa Anda tak ingat kapan itu terjadi?"
"Sehari dua hari yang lalu, tidak lebih lama."
"Apakah Anda akan terkejut bila mendengar bahwa itu terjadi saat Anda
mengunjungi Mrs. Allen?"
"Apa salahnya terjadi di situ" Saya tidak membantah bahwa saya memang berada di
sana." Mayor itu berbicara dengan angkuh. Ia marah terus dan sikapnya seperti
orang tak bersalah yang gusar, tapi tangannya gemetar.
Japp membungkukkan tubuhnya dan berkata dengan bertekanan,
"Ya, tapi bagian kancing manset itu tidak ditemukan di ruang duduk. Itu
ditemukan di lantai atas, di ruang duduk pribadi Mrs.
Allen, di kamar tempat dia terbunuh, dan di tempat seorang laki-laki duduk
mengisap rokok yang sama dengan yang Anda isap."
Tembakan itu mengena. Eustace tersandar di k-ursinya. Matanya melihat ke kiri
dan ke kanan. Jatuhnya si penantang dan tampiInya si pengecut merupakan
pemandangan yang tak sedap.
"Anda tak bisa menuduh saya." Suaranya boleh dikatakan berupa rintihan. "Anda
mencoba menjebak saya... tapi Anda tak bisa. Saya punya alibi... saya tidak
kembali ke rumah itu lagi malam itu."
Giliran Poirot yang berbicara,
"Tidak, Anda tidak kembali ke rumah itu lagi. Itu tak perlu. Karena mungkin Mrs.
Allen sudah meninggal waktu Anda pulang,"
"Itu tak mungkin... tak mungkin. Dia berada di balik pintu. Dia berbicara dengan
saya. Pasti ada orang yang mendengarnya, atau melihatnya."
Dengan halus Poirot berkata,
"Mereka mendengar Anda yang berbicara dengannya... dan
berpura-pura menunggu jawabannya, lalu Anda berbicara lagi. Itu akal-akalan kuno
supaya orang berkesimpulan bahwa dia ada di situ, tapi mereka tidak melihatnya,
karena mereka bahkan tak bisa mengatakan pakaian apa yang dikenakannya dan apa
warnanya." "Ya Tuhan, itu tidak benar.. itu tidak benar."
Kini tubuhnya menggigil. Ia kalah.
Japp melihat padanya dengan pandangan jijik.
Dengan tegas ia berkata, "Saya harus meminta Anda ikut dengan saya."
"Anda menangkap saya?"
"Ditahan untuk dimintai keterangan - kita, katakan saja begitu."
"Keheningan di ruangan itu dipecahkan oleh suara desah panjang yang bergetar.
Suara putus asa Mayor Eustace yang tadi menantang berkata,
"Saya kalah." Hercule Poirot menggosok-gosok kedua belah telapak tangannya dan tersenyum
ceria. BAB 9 "Senang melihat dia hancur," kata Japp, menilai hasil kerjanya petang itu.
Ia dan Poirot sedang bermobil melalui Brompton Road.
"Dia tahu permainannya sudah berakhir," kata Poirot. "Banyak yang harus kita,
tuduhkan padanya," kata Japp. "Dia punya dua atau tiga nama samaran. Ada suatu
urusan penipuan dengan cek, dan suatu urusan cukup besar waktu dia menginap di
Hotel Ritz dan mengaku bernama Kolonel de Bathe. Dia juga telah menipu enam
orang pedagang di Piccadilly. Kita menahannya atas tuduhan itu, untuk sementara,
sampai peristiwa ini benar-benar selesai. Mengapa kita harus buru-buru ke desa
ini?" "Temanku, ada suatu urusan yang harus diselesaikan sampai tuntas. Semuanya harus
ada penjelasannya. Aku harus
menyelesaikan misteri yang kautugaskan padaku. Misteri Hilangnya Tas Kantor."
"Aku menyebutnya Misteri Tas Kantor Kecil. Setahuku tas itu tidak hilang."
"Tunggu, temanku."
Mobil membelok ke lorong. Di pintu rumah No. 14, Jane
Plenderleith baru saja turun dari sebuah mobil Austin Seven yang kecil. Ia
mengenakan setelan golf. Ia memandangi kedua pria itu bergantian, lalu mengeluarkan kunci dan membuka
pintu. "Silakan masuk."
Ia masuk mendahului mereka. Japp mengikutinya masuk ke ruang duduk. Poirot
tinggal beberapa menit di ruang depan, bergumam sendiri.
"Mengesalkan sekali, sulit sekali mengeluarkan tanganku dari lengan baju ini."
Beberapa saat kemudian, ia juga masuk ke ruang duduk, tanpa mantelnya, tapi Japp
nyengir di bawah kumisnya. Sebab dia mendengar bunyi derik halus sekali,
pertanda orang yang membuka pintu lemari. Japp melihat pada Poirot dengan
pandangan penuh arti dan Poirot mengangguk halus sekali, hingga hampir-hampir
tidak kelihatan. "Kami tidak akan menahan Anda, Miss Plenderleith," kata Japp dengan bersemangat.
"Kami datang hanya untuk menanyakan nama pengacara Mrs.
Allen." "Pengacaranya?" Gadis itu menggeleng. "Saya bahkan tidak tahu bahwa dia punya
pengacara." "Yah, waktu dia menyewa rumah ini bersama Anda, pasti ada yang menyaksikan
perjanjiannya?" "Tidak, saya rasa tak ada. Soalnya saya yang memilih rumah ini.
Penyewaannya atas nama saya. Barbara membayar separuh dari pang sewa. Urusannya
sama sekali tidak resmi."
"Saya mengerti. Yah, kalau begitu tak ada lagi urusannya."
"Maafkan saya tak bisa membantu Anda," kata Jane Plenderleith dengan sopan.
"Tak apa-apa, tidak begitu penting." Japp berbalik ke pintu. "Baru habis main
golf, ya?" "Ya." Wajahnya memerah. "Mungkin menurut Anda tidak
berperasaan. Tapi saya merasa tertekan di dalam rumah ini. Saya merasa barus
pergi dan merjakukan sesuatu - meletihkan tubuh saya
- kalau tidak, bisa-bisa saya tercekik!"
Ia berbicara dengan bersemangat.
Poirot cepat-cepat berkata,
"Saya mengerti, Mademoiselle. Itu sangat bisa dimengerti, sangat wajar. Pasti
tidak menyenangkan kalau hanya duduk-duduk saja di rumah ini sambil berpikir."
"Asal Anda mengerti saja," kata Jane singkat.
"Apakah Anda tergabung dalam sebuab klub?"
"Ya, saya main di Wentworth."
"Hari ini memang menyenangkan," kata Poirot.
"Sayangnya tinggal sedikit daun di pohon-pohon sekarang!
Seminggu yang lalu hutan-hutan masih rindang sekali."
"Tapi hari ini cerah sekali."
"Selamat petang, Miss Plenderleith," kata Japp dengan resmi.
"Anda akan saya beritahu kalau sudah ada sesuatu yang pasti.
Sebenarnya kami sudah menahan seseorang yang kami curigai."
"Siapa?" Ia melihat pada mereka dengan penuh rasa ingin tahu.
"Mayor Eustace."
Ia mengangguk, lalu memalingkan wajahnya. Ia lalu membungkuk akan menyalakan api
di perapian. "Bagaimana?" kata Japp saat mobil membelok keluar dari lorong.
Poirot nyengir. "Mudah sekali. Kali ini kuncinya ada di pintu."
"Lalu?" Poirot tersenyum. "Benar saja, alat pemukul golfnya tidak ada."
"Tentu saja. Gadis itu tidak bodoh. Ada lagi yang lain yang hilang?"
Poirot mengangguk. "Ya, temanku. Tas kantor yang kecil itu!"
Tak sengaja kaki Japp menginjak pedal gas, hingga mobil terlonjak.
"Sialan!" katanya. "Sudah kuduga ada sesuatu. Tapi apa
gerangan" Sudah kugeledah dengan cermat tas itu."
"Kasihan sekali kau, Japp, padahal itu... bagaimana
mengatakannya, ya" Itu kan sudah jelas sekali."
Japp melemparkan pandangan kesal padanya.
"Ke mana lagi kita?" tanyanya.
Poirot melihat arlojinya.
"Belum jam empat. Kurasa kita bisa tiba di Wentworth sebelum gelap."
"Apakah kaupikir dia memang pergi ke sana?"
"Kurasa ya. Dia pasti tahu bahwa kita akan menanyai orang-orang.
Oh ya, kita pasti akan mendapatkan penjelasan bahwa dia tadi ke tempat itu."
Japp menggeram. "Ah, sudahlah, kita pergi saja." Ia mencari jalannya dengan tangkas dalam
kesibukan lalu lintas. "Meskipun aku tak bisa membayangkan apa hubungan tas
kantor itu dengan kejahatan tersebut. Aku sama sekali tak bisa melihat
hubungannya." "Tepat, sahabatku, aku sependapat denganmu - tak ada
hubungannya." "Lalu mengapa... Tidak, jangan ceritakan! Cara kerja, metode, dan segala-galanya
disusun dengan baik! Yah, untunglah cuaca cerah."
Mobil mereka melaju cepat. Mereka tiba di Klub Golf Wentworth jam setengah lima
lewat sedikit. Tak banyak kesibukan di tempat itu, karena hari itu bukan hari
libur. Poirot langsung mendatangi pemimpin caddy dan meminta
perangkat golf milik Miss Plenderleith. Ia akan main ke lapangan lain besok,
jelasnya. Pemimpin caddy itu memerintahkan seorang anak mencari di antara alat-alat
pemukul golf yang terdapat di sudut. Akhirnya ia menyerahkan sebuah tas besar
bertanda J.P. "Terima kasih," kata Poirot. Ia menjauh, lalu berbalik lagi dengan santai dan
bertanya, "Dia kan tidak menitipkan sebuah tas kantor pada Anda, ya?"
"Hari ini tidak, Sir. Mungkin ditinggalkannya di gedung klub."
"Apakah dia kemari tadi?"
"Oh ya, saya melihatnya."
"Tahukah Anda caddy mana yang melayaninya" Dia lupa di mana dia meletakkan tas
kantor itu." "Dia tidak memakai caddy. Dia datang dan membeli beberapa buah bola, lalu
membawa keluar beberapa tongkat besi. Kalau tak salah, dia membawa tas kecil
waktu itu." Poirot berbalik lagi sesudah mengucapkan terima kasih. Kedua pria itu berjalan
mengelilingi gedung klub. Poirot berhenti sebentar, mengagumi pemandangan.
"Cantik sekali, ya, pohon-pohon cemara yang gelap itu... dan danau itu. Ya,
danau ...... Japp cepat menoleh padanya.
"Begitu pikiranmu, ya?"
Poirot tersenyum. "Kurasa ada seseorang yang melihat sesuatu. Kalau aku jadi kau, aku akan segera
menanyai orang-orang."
BAB 10 Poirot melangkah mundur, kepalanya agak miring ke satu sisi saat ia memandangi
penataan ruangan itu. Di sini ada kursi; sebuah lagi di sana. Ya, bagus sekali.
Lalu terdengar bunyi bel. Itu pasti Japp.
Petugas Scotland Yard itu masuk dengan sigap.
"Benar sekali, sobat! Tepat sekali apa yang kaukatakan. Ada orang melihat
seorang wanita muda melemparkan sesuatu ke danau di Wentworth kemarin. Ciri-ciri
orang itu sesuai benar dengan Jane
Plenderleith. Kami berhasil mengeluarkan benda itu tanpa banyak kesulitan. Hanya
banyak rumput air di dalamnya."
"Apa benda itu?"
"Memang tas kantor itu. Tapi mengapa" Aku sama sekali tak mengerti! Di dalamnya
tak ada apa-apa, bahkan majalah-majalah itu pun tak ada. Mengapa seorang wanita
muda yang kelihatan waras mau melemparkan sebuah tas kantor mahal ke dalam
danau" Tahukah kau, sepanjang malam aku memikirkannya, tapi aku tak bisa mengerti."
"Kasihan sekali sahabatku Japp! Kau tak perlu kuatir lagi. Inilah jawabannya.
Tuh, bel sudah berbunyi."
George, pelayan pria Poirot yang sikapnya tak bercacat, membukakan pintu dan
memberitahukan, "Miss Plenderleith, Sir."
Gadis itu masuk ke ruangan tersebut dengan penuh percaya diri.
Ia menyapa kedua pria itu.
"Saya yang meminta Anda datang," jelas Poirot. "Silakan duduk di sini, dan kau,
Japp, di sini, karena ada suatu berita yang akan saya sampaikan."
Gadis itu duduk. Ia memandangi mereka berdua bergantian, sambil memperbaiki
letak topinya. Akhirnya ditanggalkannya topi itu dan diletakkannya di sampingnya
dengan tak sabar. "Yah," katanya. "Mayor Eustace sudah ditangkap."
"Saya rasa Anda sudah membacanya di koran?"
"Sudah." "Saat ini dia dituduh dengan tuduhan ringan," lanjut Poirot.
"Sementara itu, kami sedang mengumpulkan bukti-bukti sehubungan dengan
pembunuhan itu." "Kalau begitu, memang pembunuhan, ya?"
Gadis itu menanyakannya dengan bernafsu.
Poirot mengangguk. "Ya," katanya. "Itu memang pembunuhan. Pemusnahan seorang manusia oleh manusia
lain." Jane agak merinding. "Jangan," gumamnya. "Kedengarannya mengerikan kalau Anda katakan begitu."
"Ya, memang mengerikan!"
Poirot diam sebentar, lalu berkata,
"Nah, Miss Plenderleith, akan saya ceritakan bagaimana saya menemukan kebenaran
dalam persoalan itu."
Jane melihat pada Poirot, lalu pada Japp. Japp tersenyum.
"Dia punya metode, Miss Plenderleith," kata Japp. "Saya biarkan saja dia. Saya
rasa kita harus mendengarkannya."
Poirot memulai, "Sebagaimana Anda ketahui, Mademoiselle, saya tiba dengan teman saya ini di
tempat kejadian pada pagi hari tanggal enam November. Kami masuk ke ruangan
tempat mayat Mrs. Allen ditemukan, dan saya langsung mendapatkan beberapa kesan
nyata. Soalnya, di dalam ruangan itu ada beberapa benda yang benar-benar aneh."
"Lanjutkan," kata gadis itu.
"Pertama-tama," kata Poirot, "tentang bau asap rokok."
"Kurasa kau berlebihan, Poirot," kata Japp. "Aku tidak mencium apa-apa."
Poirot segera berpaling padanya.
"Benar sekali. Kau tidak mencium bau bekas asap. Aku juga tidak.
Dan itu amat sangat aneh, karena semua pintu dan jendela tertutup, padahal di
asbak terdapat tak kurang dari sepuluh puntung rokok.
Jadi, sungguh aneh, aneh sekali bahwa udara di ruangan itu tetap segar."
"Itu rupanya maksudmu!" desah Japp. "Kau selalu berbelit-belit."
"Tokoh detektif kalian, Sherlock Holmes, juga begitu. Ingat, dia menarik
perhatian orang pada peristiwa anjing malam hari, dan jawabannya adalah bahwa
tak ada peristiwa aneh. Anijing itu tidak berbuat apa-apa pada malam hari itu.
Saya lanjutkan: "Yang juga menarik perhatian saya adalah jam tangan yang dipakai almarhumah."
"Ada apa dengan jam itu?"
"Tak ada yang istimewa, tapi jam itu dipakai di pergelangan tangan kanan.
Padahal, berdasarkan pengalaman saya, lebih biasa jam tangan dipakai di
pergelangan tangan kiri."
Japp mengangkat bahunya. Sebelum ia sempat berbicara, Poirot cepat-cepat
berkata, "Tapi, seperti katamu, tak ada yang pasti dalam hal itu. Ada orang yang lebih
suka memakainya di sebelah kanan. Sekarang saya sampai pada sesuatu yang benarbenar menarik. Teman-teman, saya pun mendatangi meja tulis."
"Ya, kurasa begitu," kata Japp.
"Itu aneh sekali. Sangat menarik perhatian! Ada dua alasan.
Alasan pertama adalah karena ada sesuatu yang hilang dari meja tulis itu."
Jane Plenderleith berkata,
"Apa yang hilang?"
Poirot berpaling padanya.
"Sehelai kertas pengisap tinta, Mademoiselle. Buku pengisap tinta itu,
helaiannya yang teratas merupakan kertas polos yang tak tersentuh."
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jane mengangkat bahunya. "Wah, M. Poirot. Bukankah biasa orang merobek kertas yang sudah banyak dipakai?"
"Benar, tapi diapakan kertas itu" Bukankah di buang ke keranjang sampah" Tapi
kertas itu tak ada di keranjang sampah. Saya mencarinya."
Jane Plenderleith tampak tak sabar.
"Karena keranjang sampah itu sudah dikosongkan sehari
sebelumnya. Kertas pengisap yang teratas bersih, karena Barbara tidak menulis
surat hari itu." "Tak mungkin, Mademoiselle. Karena orang melihat Mrs. Allen pergi ke kotak pos
malam itu. Jadi, dia pasti menulis surat. Tak mungkin dia menulis di lantai
bawah, sebab di situ tak ada alat-alat menulis. Sangat tak mungkin pula dia
menulis di kamar Anda. Jadi, apa yang telah terjadi dengan kertas itu, yang
telah dipakainya untuk mengisap tinta surat-suratnya" Benar, memang ada orang
yang membuang barang-barang bekas ke perapian dan bukan ke
keranjang sampah, tapi di kamar itu hanya ada perapian gas.
Sedangkan api di perapian di bawah tidak dinyalakan sehari sebelumnya, karena
kata Anda kayu di situ masih tersusun rapi waktu Anda akan menyalakannya."
Ia berhenti sebentar. "Suatu masalah kecil yang aneh. Saya mencari di mana-mana, di keranjang sampah,
di tempat penampungan debu, tapi saya tidak menemukan kertas bekas pengisap
tinta, padahal saya anggap itu penting sekali. Kelihatannya ada orang yang
dengan sengaja merobek kertas pengisap yang sudah dipakai itu. Mengapa" Karena
di situ ada tulisan yang bisa dibaca dengan mudah, dengan bantuan sebuah cermin.
Lalu ada lagi keanehan yang kedua di mej*a tulis itu. Japp, mungkin samar-samar
bisa kauingat susunan barang-barang di situ"
Wadah tinta dan pengisap tintanya di tengah-tengah, nampan kecil wadah pena di
sebelah kiri, kalender dan pena bulu angsa di sebelah kanan. Bagaimana" Tidakkah
kau melihat" Ingat pena bulu angsa itu,
aku memeriksanya. Ternyata itu hanya barang hiasan, tak pernah digunakan. Ah!
Masih belum mengerti" Akan kukatakan lagi. Kertas pengisap di tengah, wadah pena
di sebelah kiri - di sebelah kiri, Japp.
Padahal bukankah biasanya wadah pena ada di sebelah kanan, karena lebih
memudahkan bagi tangan kanan"
"Nah, sekarang mulai jelas bagimu, ya" Wadah pena di sebelah kiri, jam tangan di
pergelangan tangan kanan, kertas pengisap bekas dibuang, dan ada sesuatu yang
dibawa masuk ke ruangan itu - asbak berisi puntung-puntung rokok!
"Bau di ruangan itu segar dan bersih, Japp - Itu berarti jendela ruangan itu
terbuka, tidak tertutup sepanjang malam. Lalu aku pun membuat gambaran.
Ia berbalik menghadapi Jane.
"Gambaran mengenai Anda, Mademoiselle. Setelah taksi Anda berhenti dan Anda
membayarnya, Anda berlari naik ke lantai atas, mungkin sambil memanggil,
'Barbara,' lalu Anda membuka pintu kamarnya dan Anda temukan teman Anda di situ,
tergeletak meninggal dengan pistol tergenggam di tanganya - di tangan kiri
tentu, karena dia memang kidal, dan oleh karenanya pelurunya tertanam di kepala
sebelah kirinya. Ada surat pesan di situ, ditujukan pada Anda. Di situ tertulis
apa yang mendorongnya untuk bunuh diri.
Bayangan saya, surat itu pasti sangat mengharukan... seorang wanita muda yang
lembut dan sedih, yang terdorong untuk bunuh diri gara-gara pemerasan.
"Saya rasa Anda langsung menyadari bahwa itu perbuatan
seorang laki-laki. Anda ingin laki-laki itu dihukum seberat-beratnya!
Anda ambil pistol itu, Anda hapus, lalu Anda letakkan di tangan sebelah kanan.
Anda ambil surat pesan itu, dan Anda sobek helaian kertas isap teratas, tempat
surat itu diisapkan. Anda turun, Anda nyalakan api di perapian, lalu Anda bakar
kedua kertas itu. Lalu Anda bawa naik asbak itu, untuk memperkuat dugaan bahwa
ada dua orang duduk berbicara di situ, dan Anda bawa pula patahan kancing manset
yang ada di lantai. Itu suatu penemuan yang
menguntungkan, dan Anda ingin lebih menguatkan dugaan tersebut.
Lalu Anda tutup jendela dan Anda kunci pintu. Tak boleh ada kecurigaan bahwa
Anda telah mengadakan, perubahan-perubahan di ruangan itu. Polisi harus
menemukannya tepat sebagaimana adanya..
Maka Anda tidak mencari bantuan di lorong, melainkan langsung menelepon polisi.
"Dan begitulah seterusnya. Anda memainkan peran yang sudah Anda pilih dengan
sikap dingin. Mula-mula Anda menolak
mengatakan apa-apa, tapi dengan cerdiknya Anda kemukakan keraguan Anda tentang
perbuatan bunuh diri. Kemudian Anda benar-benar siap untuk mengalihkan perhatian
kami pada Mayor Eustace. "Ya, Mademoiselle, itu memang cerdik. Suatu pembunuhan yang cerdik, sungguh
cerdik. Percobaan pembunuhan atas diri Mayor Eustace."
Jane Plenderleith melompat berdiri.
"Itu bukan pembunuhan. Itu keadilan. Laki-laki itu telah mengejar-ngejar Barbara
hingga putus asa. Dia begitu manis dan tak berdaya.
Wanita malang itu terlibat cinta dengan seorang laki-laki di India, waktu dia
mula-mula ke sana. Waktu itu dia baru berumur tujuh belas tahun, sedangkan lakilaki itu sudah menikah dan jauh lebih tua daripadanya. Lalu dia melahirkan. Bisa
saja dia menyerahkan bayinya ke panti asuhan, tapi dia tak mau. Lalu dia pergi
ke suatu tempat yang jauh sekali dan kembali dengan memakai nama Mrs. Allen.
Kemudian anak itu meninggal. Dia kembali kemari dan jatuh cinta pada Charles, si
sombong itu; Barbara memujanya, dan laki-laki itu memanfaatkannya. Kalau saja
dia laki-laki lain, pasti sudah saya nasihati Barbara untuk menceritakan segalagalanya padanya. Tapi dalam keadaan seperti itu, saya desak Barbara untuk tutup
mulut. Soalnya tak ada seorang pun yang tahu tentang kejadian itu, kecuali saya."
"Lalu muncullah setan Eustace itu! Anda sudah tahu apa yang terjadi kemudian.
Dia mulai memeras Barbara secara teratur. Tapi pada saat terakhir itu, Barbara
baru menyadari bahwa Charles pun bisa terancam terlibat skandal tersebut!
Setelah Eustace pergi dengan uang yang diberikan Barbara, dia duduk berpikir.
Lalu dia bangkit dan menulis surat pada saya. Katanya dia mencintai Charles, dan tak bisa
hidup tanpa dia, padahal demi Charles pula dia tak bisa menikah dengannya. Jadi,
dia mengambil jalan terbaik, katanya."
Jane mengangkat kepalanya.
"Herankah Anda mengapa saya melakukan semua itu" Dan Anda menyebutnya
pembunuhan!" "Karena itu memang pembunuhan," suara Poirot terdengar keras.
"Kadang-kadang pembunuhan seolah-olah bisa dibenarkan, tapi bagaimanapun itu
tetap pembunuhan. Anda bisa dipercaya dan berpikiran sehat. Hadapilah
kebenarannya, Mademoiselle! Sahabat Anda meninggal dalam keadaan putus asa,
karena dia tak punya semangat untuk hidup. Kita bisa memahaminya. Kita boleh
mengasihaninya. Tapi kenyataannya tetap saja perbuatan itu adalah perbuatannya,
bukan perbuatan orang lain."
Poirot diam sebentar. "Lalu bagaimana dengan Anda" Laki-laki itu berada di penjara sekarang, dia akan
menjalani hukuman karena perbuatan-perbuatannya yang lain. Apakah Anda benarbenar ingin, gara-gara Anda, hidup seseorang hancur" Ingat, hidup seorang
manusia." Gadis itu menatapnya. Matanya jadi gelap. Tiba-tiba ia bergumam,
"Tidak. Anda benar. Saya tak ingin."
Lalu ia berbalik dan cepat-cepat meninggalkan ruangan itu.
Terdengar pintu luar dibanting.
Japp bersuit panjang-panjang sekali.
"Wah, memalukan sekali aku ini!" katanya.
Poirot duduk, lalu memberikan senyuman persahabatan padanya.
Cukup lama keadaan sepi itu baru dipecahkan. Japp berkata,
"Bukannya pembunuhan yang disamarkan sebagai bunuh diri, melainkan perbuatan
bunuh diri yang diatur hingga kelihatan seperti pembunuhan!"
"Ya, dan dilakukan dengan sangat cerdik pula. Tak satu pun yang tampak
berlebihan." Tiba-tiba Japp berkata, "Tapi tas kantor itu" Apa hubungannya?"
"Sahabatku, sudah kukatakan bahwa itu tak ada hubungannya."
"Lalu mengapa..."
"Tongkat golf itu. Tongkat golf itu, Japp. Itu adalah tongkat golf untuk orang
yang kidal. Jane Plenderleith menyimpan perangkat golfnya sendiri di Wentworth.
Yang di lemari itu adalah perangkaf milik Barbara Allen. Tak heran kalau gadis
itu jadi begitu gugup waktu kita membuka lemari itu. Bisa-bisa seluruh
Pendekar Bloon 21 Joko Sableng Muslihat Sang Ratu Tamu Aneh Bingkisan Unik 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama