Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie Bagian 1
Agatha Christie Pembunuhan di Orient Ekspress
Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
PEMBUNUHAN DI ORIENT EXPRESS
Agatha Christie Misteri Hercule Poirot Tertahan salju di pegunungan Balkan, para penumpang kereta Orient Express
dikejutkan oleh berita mengguncangkan bahwa salah seorang dari mereka telah
dibunuh secara keji pada malam
sebelumnya. Dihadapkan pada masalah yang harus ditangani lebih cepat daripada
langka kaki si pembunuh dalam usahanya untuk menyelamatkan diri, Poirot tak
mempunyai waktu lagi untuk berdiam diri.
MURDER ON THE ORIENT EXPRESS
by Agatha Christie Capyright @ 1933 by Agatha Christie Mallowan
All rights reserved PEMBUNUHAN DI ORIENT EXPRESS
Alihbahasa: Gianny Buditjahja
GM 402 79.104 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh Rahardjo S.
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, November 1978
Cetakan kedua: Februari 1984
Cetakan ketiga: Agustus 1986
Cetakan keempat: November 1994
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
"Saya mau dibunuh!"
Hercule Poirot menunggu sampai orang itu berkata lebih lanjut.
"Saya butuh pertolongan Tuan. Untuk itu saya berani bayar dengan imbalan yang
besar." "Maaf, tapi saya tak dapat."
"Tuan tidak berani," orang asing itu menggeram. "Dua puluh ribu dollar saya rasa
cukup." Poirot bangkit dari kursinya. "Tuan tak mengerti," sahutnya menerangkan. "Kalau
Tuan bersedia memaafkan saya secara pribadi, saya tak mau menangani perkara Tuan
karena saya tak suka pada wajah Tuan."
Dalam enam jam orang yang berbicara kepada Poirot itu
meninggal. Kali ini Poirot diminta untuk mencari pembunuhnya.
Mengapa detektif yang lihai itu justru merasa bahagia karena ia telah menolak
perkara yang dapat mencegah sebuah pembunuhan"
CIRI-CIRI PELAKU INSPEKTUR HERCULE POIROT Detektif Belgia ini menguraikan cara kerjanya yang mengagumkan ketika ia
berhadapan muka dengan seorang pembunuh di atas
sebuah kereta api ekspres internasional.....
DIREKTUR BUOC Mewakili Compagnie Internationale des Wagons Lits menyebabkan kawannya Poirot mengikuti jalur jejak sebuah
pembunuhan yang tak terelakkan.....
KONDEKTUR PIERRE MICHEL Ikut menetapkan kamar-kamar yang akan ditempati oleh para
pembunuh..... DOKTER CONSTANTINE Mengemukakan sebuah diagnose yang menyatakan bahwa tangan
kanan si pembunuh tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kirinya terhadap diri
si korban..... KORBAN DAN ORANG-ORANG YANG DICURIGAI
MARY DEBENHAM Guru pengasuh wanita berkebangsaan Inggris yang tenang dan tak tergoyahkan bagai
tataan rambut di kepalanya.....
KOLONEL ARBUTHNOT Bahasa Perancisnya terbatas, tapi pembelaan lisannya di muka detektif Belgia itu
sangat lancar dan meyakinkan.....
HECTOR MACQUEEN Sekertaris istimewa yang dapat berbicara dalam berbagai
bahasa..... RATCHETT Dermawan terselubung yang lebih gandrung pada kejahatan
daripada kemurahan..... ANTONIO FOSCARELLI Banyak keterangan berguna yang keluar begitu saja dari mulut orang Italia yang
berkulit kehitam-hitaman dan yang berbicara seperti orang sedang mengancam ini,
bagaikan darah yang memancar deras dari tubuh si korban.....
EDWARD HENRY MASTERMAN Pelayan pria yang kurus, rapi dan bersifat tertutup. Wajahnya yang dingin dan
angkuh, mencerminkan wajah pelayan Inggris yang terlatih baik.....
CYRUS HARDMAN Seorang pedagang keliling Amerika yang mengetahui lebih banyak dari apa yang
dikatakannya dan mengatakan lebih banyak dari apa yang diketahuinya.....
PRINCESS DRAGOMIROFF Seorang "granddame" Rusia yang perhiasan permatanya sedemikian besarnya, sama
tidak masuk akal seperti ceritanya.
GRETA OHLSSON Juru rawat terlatih dari Swedia yang berwajah seperti domba ini adalah orang
terakhir yang dicurigai melihat si korban dalam keadaan hidup.....
NYONYA HUBBARD Simbol seorang ibu Amerika yang ideal - tak pernah berhenti berbicara - tapi
tindakan-tindakannya lebih banyak berbicara daripada kata-katanya.....
COUNT ANDRENYI Lebih terikat kepada Kedutaan Hongaria daripada kepada dirinya sendiri.
COUNTESS ANDRENYI Tertuduh yang termudh dan tercantik dari semua tertuduh dalam kereta api yang
tertahan salju itu..... HILDEGARDE SCHMIDT Pelayan wanita Princess Dragomiroff yang berkebangsaan Jerman ini, ikut terlibat
langsung dengan pembunuhan di atas kereta Orient Express....
Bagian Pertama FAKTA-FAKTA 1. SEORANG PENUMPANG PENTING DI KERETA TAURUS EXPRESS
MUSIM dingin, pukul lima pagi di Siria. Sepanjang peron di Stasiun Aleppo
terbujur dengan megahnya sebuah kereta api mewah yang sudah terkenal dari
perusahaan Taurus Express. Kereta itu terdiri
atas sebuah gerbong Testorasi, ruang makan penumpang, satu gerbong tidur dan dua
buah gerbong biasa. Dekat anak tangga menuju gerbong tidur, nampak seorang letnan muda Perancis
dengan seragamnya yang gemerlapan, sedang asyik bercakap-cakap dengan laki-laki
bertubuh kecil yang meninggikan kerah bajunya sampai sebatas telinga, hingga
orang cuma dapat melihat hidungnya yang merah muda dan kedua ujung kumisnya yang
mencuat ke atas. Saat itu cuaca sangat dingin, dan tugas untuk mengantarkan
orang yang tak dikenal bukanlah sebuah tugas yang dapat membuat orang iri hati,
namun Letnan Dubosc tetap
menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Ucapan-ucapan yang ramah dalam
bahasa Perancis yang lancar terlontar dari bibirnya. Letnan muda itu sendiri
sesungguhnya tak tahu apa makna tugasnya itu. Akhir-akhir ini memang muncul
selentingan, yang memang biasa timbul dalam tugas-tugas semacam itu. Watak sang
jenderal - atasannya itu - terasa kian hari kian tak menyenangkan.
Kemudian datanglah orang asing dari Belgia itu - yang kabarnya baru saja tiba
dari Inggris. Minggu yang baru lalu dirasakan sebagal minggu yang tegang dan
membangkitkan rasa ingin tahu orang. Lalu terjadilah serentetan kejadian.
Seorang perwira terkemuka telah bunuh diri, yang lainnya tiba-tiba mengundurkan
diri dari jabatannya, wajah-wajah yang tadinya diliputi kecemasan, tiba-tiba
berubah menjadi normal kembali sementara tindakan-tindakan pencegahan versi
militer sengaja tidak diambil. Dan sang jenderal - atasan tertinggi Letnan
Dubosc, sekonyong-konyong terlihat sepuluh tahun lebih muda.
Dubosc dapat menangkap dengan jelas bagian pembicaraan
jenderalnya dengan orang asing itu. "Tuan sudah menyelamatkan kami," ujarnya
emosionil, kumisnya yang tebal dan putih itu bergetar sewaktu ia berbicara.
"Tuan telah turut menjaga kehormatan Angkatan Darat Perancis - Tuan telah
mencegah banyak pertumpahan darah yang tak perlu! Bagaimana seharusnya kami menyatakan rasa
terima kasih kami kepada Tuan" Sampai sekian jauh..."
Dalam menanggapi pernyataan ini, orang asing tersebut (yang dikenal dengan
Hercule Poirot) lantas menjawab dengan terus terang tapi cukup sopan - "Ya
memang, tapi apakah saya bisa lupa bahwa Tuan dulu juga pernah menyelamatkan
saya?" Kemudian sang Jenderal segera menyambung pembicaraan mereka dengan
mengungkit kembali hal-hal yang dulu mereka alami, sambil
merendahkan diri bahwa ia kurang bertugas dengan sungguhsungguh saat itu. Tak lupa ia membumbui pembicaraannya dengan menyinggungnyinggung tentang Perancis, tentang Belgia, tentang keagungan, kehormatan dan
tentang hal-hal yang telah mempererat persahabatan kedua orang itu. Tak lama
kemudian pembicaraan yang singkat itu pun berakhir.
Bagi Letnan Dubosc segala sesuatunya sebenarnya masih kabur, namun ia telah
digerahi tugas oleh perusahaan Taurus Express untuk melepas kepergian Poirot,
dan tugas itu sedang dilaksanakannya dengan sekuat tenaga dan kemampuannya,
karena berharap tugas itu dapat menjadi batu loncatan bagi karirnya di masa
depan. "Hari ini hari Minggu," ujar Letnan Dubosc. -"Besok, Senin sore, Tuan sudah
sampai di Istambul."
Percakapan semacam itu bukanlah pertama kali dilakukannya; percakapan itu adalah
percakapan yang biasa terjadi di peron sebelum kereta berangkat dan selalu mesti
berulang. "Begitulah," sahut Poirot mengiyakan.
"Dan Tuan bermaksud tinggal beberapa hari di sana, bukan?"
"Mais oui. Istambul memang kota yang belum pernah kukunjungi.
Sayang untuk dilewatkan begitu saja - Comme ca." Digosok-gosokkannya kedua belah
telapak tangannya seolah ingin melukiskan perasaan yang dikandungnya saat itu.
"Tak ada yang menghalangi aku akan menginap di sana sebagai turis untuk beberapa hari."
"La Sainte Sophie, bagus sekali," ujar Letnan Dubosc, yang sesungguhnya belum
pernah melihatnya. Angin dingin meniup keras di sepanjang peron. Kedua lelaki itu terlihat gemetar
kedinginan. Letnan Dubosc cepat-cepat melirik jam
tangannya. Pukul lima kurang lima menit - jadi tinggal lima menit lagi!
Ketika diketahuinya bahwa-lawan bicaranya tengah
memperhatikahnya, letnan muda itu cepat-cepat menambahkan,
"Cuma sedikit orang yang bepergian tahun ini," ujarnya, sambil memandangi
jendela-jendela gerbong tidur penumpang di atas kepala mereka.
"Ya, memang," sahut Poirot menyetujui.
"Mudah-mudahan saja Tuan tidak sampai terbungkus salju di dalam Taurus!"
"Apa hal itu pernah kejadian?"
"Ya, tapi tahun ini belum."
"Kalau begitu mudah-mudahanlah," ujar Poirot lagi. "Laporan dari Eropa
mengatakan cuaca buruk."
"Sapgat buruk. Di Balkan saljunya banyak sekali.
"Di Jerman juga, aku dengar."
"Eh bien, " sahut Letnan Dubosc menimpali sewaktu percakapan antara keduanya
terasa akan terhenti. "Besok sore pukul tujuh empat puluh Tuan sudah di
Konstantinopel." "Ya." sahut Poirot, dan lalu menambahkan seperti orang yang sudah hampir putus
asa, "La Saint Sophle, aku dengar orang bilang bagus sekali."
"Saya rasa memang mengagumkan," balas perwira muda Perancis itu.
Di atas kepala mereka tiba-tiba sebuah jendela gerbong tidur disingkapkan orang,
dan muncullah kepala seorang wanita yang melongok ke luar.
Mary Debenham cuma tidur sedikit sejak ia meninggalkan Bagdad hari Kamis lalu.
Di kereta ke Kirkuk, di Rest House di Mosul, maupun di kereta tadi malam, ia tak
dapat tidur dengan baik. Sekarang,
karena sudah jemu berbaring terus-terusan di gerbongnya yang dipanasi secara
berlebihan itu, ia bangun dan melongok ke luar.
Ini pastilah Aleppo. Tak ada yang menarik. Cuma peron yang memanjang, diterangi
lampu ala kadarnya dan suara-suara riuh dalam bahasa Arab terdengar di kejauhan.
Dua orang pria di bawah jendeja tengah bercakap-cakap dalam bahasa Perancis.
Yang seorang perwira Perancis, dan yang seorang lagi, laki-laki bertubuh pendek
dengan kumis raksasa. Gadis itu tersenyum pahit. Ia belum pernah melihat orang
yang tubuhnya terbungkus sampai batas telinga. Kalau begitu udara di luar
mestinya dingin sekali. Karena itulah kereta api itu dipanasi, sampai sedemikian
hebatnya. Dicobanya menurunkan kerei jendelanya sedikit lagi, tapi tak berhasil.
Kondektur kereta menghampiri kedua pria yang tengah asyik
bercakap-cakap itu. Kereta sudah mau berangkat, katanya. Tuan sebaiknya naik
sekarang. Laki-laki bertubuh kecil itu membuka topinya. Nampaklah kepalanya yang
bulat telur. Di luar kesadarannya, Mary Debenham tersenyum sendiri. Lelaki kecil itu membuatnya
tertawa geli. Jenis pria yang biasa diremehkan orang.
Kemudian Letnan Dubosc menyampaikan kata-kata
perpisahannya. Ia memang sengaja telah mempersiapkan lebih dahulu, dan bertekad
untuk menyimpannya terus di dalam hati hingga saat yang dinantikannya tiba.
Kata-kata perpisahannya memang indah dan memikat.
Tanpa bermaksud untuk meremehkan kemampuan letnan muda
Perancis itu, sebaliknya Poirot hanya menyahutinya dengan kata-kata yang biasa
saja. "En voiture, Monsieur, " ujar kondektur kereta.
Dengan langkah berat Poirot menaiki kereta. Kondektur menyusul di belakangnya.
Poirot melambaikan tangan. Letnan Dubosc memberi hormat. Dengan hentakan yang
tiba-tiba, kereta pun mulai bergerak perlahan-lahan.
"Enfin!" gumam Poirot.
"Brrrrrrr! " gumam Letnan Dubosc yang baru merasakan dinginnya udara saat itu.
"Voila, Monsieur!" Kondektur tadi mencoba menggambarkan dengan gerak tangannya
keindahan ruang tidur dan kerapihan penynsunan barang-barang penumpang di
keretanya kepada Poirot. "Koper Tuan yang kecil itu sengaja saya taruh di sini."
Telapak tangan Kondektur itu seolah-olah mengingatkan Poirot pada sesuatu, lalu
detektif Belgia itu menyelipkan lipatan uang kertas ke dalamnya.
"Merci, Monsieur." Kondektur itu tiba-tiba terlihat begitu ramah dan cekatan,
mungkin karena uang kertas yang baru saja
diterimanya dari tangan Hercule Poirot. Jadi timbul kesan bahwa ia kondektur
yang mata duitan. Lalu katanya lagi, "Saya punya karcis Tuan, dan kalau boleh
saya juga ingin lihat paspor Tuan. Tuan turun di Istambul, bukan?"
Poirot mengabulkan permintaannya. "Aku rasa tak begitu banyak penumpang, bukan?"
tanyanya lagi pada kondektur kereta itu.
"Benar, Tuan. Cuma ada dua orang lagi - kedua-duanya orang Inggris. Seorang
kolonel dari India dan yang seorang lagi gadis Inggris dari Bagdad. Tuan perlu
sesuatu?" Poirot memesan sebotol kecil Perrier. Pukul lima pagi memang saat yang kurang
tepat untuk bepergian dengan kereta api. Masih dua jam lagi sebelum terang
tanah. Mengingat bahwa pada malam-malam terakhir ini ia kurang tidur dan merasa
bahwa tugasnya telah berhasil diselesaikannya dengan baik, Poirot lalu jatuh
tertidur sambil meringkuk di salah satu sudut.
Sewaktu terbangun, hari sudah pukul sembilan tiga puluh.
Bergegas-gegas ia pergi ke ruang restorasi dan langsung memesan secangkir kopi
panas. Saat itu cuma ada seorang wanita muda di ruang itu, tak salah lagi pastilah
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis Inggris yang dimaksudkan oleh kondektur itu tadi.
Tubuhnya tinggi semampai dan kulitnya coklat kehitam-hitaman usianya kira-kira dua puluh delapan tahun. Dari caranya menikmati
makanannya dan dari caranya memanggil pelayan untuk
membawakannya kopi secangkir lagi, terasa adanya kesan dingin dalam dirinya,
yang menandakan bahwa wanita muda itu tahu
banyak tentang dunia dan tentang perjalanan yang sedang
dilakukannya. Ia mengenakan gaun bepergian berwarna gelap dari bahan yang tipis
- sanguat cocok untuk udara panas di kereta api itu.
Iseng-iseng Hercule Poirot mulai memperhatikan wanita muda itu, tanpa setahunya.
Inilah tampang gadis yang sanggup menjaga dirinya sendiri
dengan mudah, di mana pun ia berada, katanya dalam hati. Sikapnya tenang tapi
cekatan. Ia lebih tertarik pada bangun tubuhnya yang serasi dan kulitnya yang
pucat tapi halus itu. Ia pun menyenangi bentuk kepalanya yang dihiasi rambut
hitam dan berombak, dan matanya yang dingin, acuh tak acuh dan kelabu. Tetapi
detektif Belgia itu menilai bahwa wanita muda itu hanya berada setingkat di atas
apa yang disebutnya, 'jollie femme'".
Saat itu seseorang melangkah masuk. Seorang pria berperawakan tinggi dan berumur
kira-kira antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, ramping, berkulit coklat,
dengan beberapa helai rambut yang telah beruban di pelipisnya.
"Si kolonel dari India," ujar Poirot dalam hati.
Pendatang baru itu membungkukkan badannya sedikit di hadapan wanita muda itu
sambil berkata, "Pagi, Nona Debenham.",
"Selamat pagi, Kolonel Arbuthnot."
Rolonel itu masih tetap berdiri, sebelah tangannya berpegangan pada kursi di
hadapan gadis Inggris itu.
"Keberatan?" tanyanya.
"Tentu saja tidak. Duduklah."
"Aku rasa kau tahu sendiri sarapan pagi itu biasanya tak disertai oleh obrolan
yang panjang-panjang seperti santapan siang atau malam."
"Mestinya begitu. Tapi yang jelas aku tak akan menggigitmu."
Kolonel dari India itu lalu duduk. "Bung," ia memanggil pelayan.
Ia memesan telur dan kopi.
Matanya berhenti sebentar pada Poirot, tapi kemudian lewat begitu saja, acuh tak
acuh. Poirot yang sudah mahir menebak pikiran orang Inggris, dapat mengetahui
bahwa orang Inggris itu sedang berkata dalam hati: "Cuma orang asing keparat."
Sesuai dengan kebangsaannya, kedua orang Inggris itu memang tak banyak bicara.
Mereka saling memberi isyarat dan saat itu juga wanita muda itu bangun dan
kembali ke kamarnya. Waktu makan siang, kedua orang itu kembali duduk semeja dan kembali mengabaikan
orang ketiga yang ada di situ. Kali ini percakapan mereka nampak lebih hangat
daripada tadi pagi. Kolonel Arbuthnot bercerita tentang Punjab dan sesekali ia
bertanya mengenai Bagdad kepada wanita muda itu, yang kemudian ternyata
merupakan tempat gadis itu bekerja sebagai guru privat. Dalam percakapan itu
mereka menyebutkan nama-nama beberapa kenalan mereka, yang membuat mereka
semakin intim dan bersahabat. Dari mulai si Tommy Tua sampai si Reggie Tua.
Kolonel itu juga menanyakan apakah wanita muda itu ingin langsung ke Inggris atau ingin sampai
Istambul saja. "Tidak, aku mau terus."
"Wah, sayang sekali!"
"Aku sudah lewat jalan ini dua tahun yang lalu dan sudah pernah menginap tiga
hari di Istambul." "Oh! Begitu! Syukurlah kau mau langsung ke Inggris, sebab aku juga."
Kolonel itu mengangguk sedikit, wajahnya terlihat kemerahmerahan sewaktu ia berbuat begitu.
"Kolonel kita ini rupanya gila pujian," Ujar Hercule Poirot menghibur dirinya
sendiri. "Rupanya bepergian dengan kereta api sama bahayanya dengan bepergian
dengan kapal laut!" Nona Debenham menambahkan bahwa justru perjalanan mereka
akan lebih menyenangkan, apabila keduanya ingin langsung menuju Inggris.
Kelihatan sekali bahwa tingkahnya itu tidak bebas.
Hercule Poirot memperhatikan kolonel itu menemani si wanita muda kembali ke
kamarnya. Belakangan keduanya terlihat sedang mengagumi ruangan-ruangan yang ada
dalam kereta Taurus yang mewah itu. Begitu keduanya melongok kebawah, ke arah
Pintu Cicilia, Poirot mendengar si gadis menghela napas. Saat itu Poirot sedang
berdiri di dekat mereka, karena itu ia mendengar dengan jelas suaranya yang
lirih, "Bagus sekali! Aku harap - aku harap - "
"Apa?" "Aku-harap aku bisa ikut menikmatinya!"
Arbuthnot tidak menjawab. Rahangnya yang segi empat itu
nampak lebih keras dan kaku.
"Aku mohon pada Yang Mahakuasa, kau bisa dilepaskan dari semuanya ini!'"
"Hush! Jangan gitu dong!"
"Oh! Tak apa-apa." Ia melirik sebentar ke arah Poirot. Lalu ia
melanjutkan,"Sayangnya aku tak suka kau bekerja sebagai guru yang selalu berada di bawah perintah ibu-ibu yang suka bertindak seenaknya,
apalagi kalau anak-anaknya banyak tingkah."
Wanita muda itu tertawa, dari suaranya kelihatan bahwa ia tak begitu bisa
mengontrol dirinya saat itu.
"Oh! Kau tak boleh berpikir seperti itu. Guru yang tertindas selalu akan tetap
jadi bahan pembicaraan di mana-mana. Aku berani tanggung, justru orang-orang tua
itulah yang sebenarnya takut aku bohongi."
Sampai di situ keduanya terdiam. Mungkin Arbuthnot malu akan keterlanjurannya
barusan. "Persis seperti komedi kecil yang ganjil, yang sedang kulihat ini,"
ujar Poirot dalam hati. Poirot masih terus menyimpan komedi kecil yang ganjil itu sampai di kemudian
hari. Malam itu mereka tiba di Konya sekitar setengah dua belas. Kedua orang Inggris
itu keluar untuk melemaskan kaki mereka, dengan berjalan mondar-mandir di peron
yang bersalju itu. Poirot senang melihat kesibukan di stasiun itu dari balik kaca jendelanya.
Setelah lewat sepuluh menit ia baru sadar bahwa menghirup udara luar saat itu
tidak akan berakibat buruk bagi kesehatannya. Ia mempersenjatai diri sebaikbaiknya, membungkus dirinya dengan mantel sampai berlapis-lapis, menegakkan
kerah mantel itu sampai batas telinga dan melindungi kakinya dengan sepatu salju
dari karet. Dengan berpakaian seperti itu, badannya baru terasa hangat dan
dengan penuh semangat ia melompat turun ke peron. Langkahnya mulai mengukur
panjang peron itu. Poirot memutuskan untuk berjalan di peron seberang kereta.
Samar-samar didengarnya suara orang yang sedang bercakapcakap, bersamaan dengan itu pula dilihatnya dua sosok tubuh yang sedang berdiri
di bawah bayangan sebuah gerobak dorong. Ternyata suara itu adalah suara
Arbuthnot, "Mary." Gadis itu memotong kata-katanya.
"Jangan sekarang, jangan sekarang. Nanti saja kalau semuanya sudah berlalu.
Kalau semuanya sudah di belakang kita - nanti -"
Diam-diam Poirot berpaling ke arah lain. Ia heran.... Hampir-hampir tak
dikenalinya suara Nona Debenham yang biasanya dingin dan mantap itu...
"Membangkitkan rasa ingin tahuku saja," ujarnya pada diri sendiri.
Hari berikutnya detektif Belgia itu menerka bahwa kedua orang Inggris itu pasti
baru saja bertengkar. Mereka tak begitu banyak berbicara satu sama lain. Gadis
itu kelihatan cemas. Di bawah matanya terlihat lingkaran biru seperti kurang
tidur. Waktu menunjukkan pukul, setengah tiga siang, ketika tiba-tiba saja kereta
terhenti. Kepala-kepala bermunculan dari jendela.
Nampak sekelompok pria sedang berkerumun di salah satu sisi kereta sambil
menunjuk-nunjuk sesuatu di bawah ruang restorasi.
Poirot melongok ke luar dan bertanya pada kondektur kereta yang sedang berjalan
bergegas-gegas. Kondektur itu menjawab, dan Poirot menarik lehernya kembali
hingga hampir saja bersentuhan dengan kepala Mary Debenham yang rupa-rupanya
telah berdiri di belakangnya sejak tadi, tanpa sepengetahuan detektif Belgia itu.
"Ada apa?" tanya wanita muda itu terengah-engah dalam bahasa Perancis. "Kenapa
kita berhenti di sini?"
"Tak apa-apa, Mademoiselle. Cuma, karena ada api kecil di bawah gerbong makan.
Tidak berbahaya. Apinya sudah dipadamkan.
Sekarang mereka sedang memperbaiki bagian-bagian yang rusak.
Tak ada bahaya apa-apa, saya berani jamin."
Mary Debenham memberi isyarat kecil, seolah ia sedang mengusir dan mengenyahkan
bahaya itu, seolah ia sedang menghalau sesuatu yang dianggapnya sama sekali
tidak penting. "Ya, ya, saya mengerti. Tapi bagaimana dengan waktu kita?"
"Waktu?" "Ya, jadi tertunda."
"Ya, mungkin," sahut Poirot membenarkan.
"Tapi perjalanan kita tak boleh tertunda! Kereta ini semestinya tiba pukul 6.55
kita mesti menyeberangi Bosporus dulu, baru bisa menaiki kereta Simplon Orient
Express setelah sampai di seberang, pada pukul 9.00. Terlambat sejam dua jam
berarti kita tak dapat melanjutkan perjalanan."
"Ya mungkin saja," ujar Poirot lagi mengiyakan.
Diamat-amatinya gadis itu dengan rasa ingin tahu. Tangannya yang sedang
berpegangan pada bingkai jendela kelihatan kurang mantap dan bibirnya pun
terlihat bergetar. "Apakah kejadian ini benar-benar menyusahkan Nona?" tanya detektif Belgia itu
lagi. "Ya, ya memang begitu. Soalnya aku mesti bisa mencegat kereta itu, tak boleh
tidak." Gadis itu membalikkan tubuhnya dan melangkah menyusuri
koridor, untuk menemui Kolonel Arbuthnot.
Kecemasannya tak usah berkepanjangan. Sepuluh menit kemudian kereta bergerak
kembali. Tiba di Haydapassar cuma terlambat lima menit.
Bosporus ternyata selat yang berbahaya dan berombak besar dan Poirot tak begitu
senang menyeberanginya. Ia terpisah dengan kawan-kawan seperjalanannya, karena
ia diseberangkan dengan kapal lain, jadi ia tak bisa bertemu lagi dengan mereka.
Begitu sampai di Galata Bridge detektif Belgia itu langsung menuju Hotel
Tokatlian. 2. HOTEL TOKATLIAN Di Tokatlian, Hercule Poirot memesan sebuah kamar yang
diperlengkapi dengan kamar mandi. Kemudian ia mendatangi meja pengurus hotel dan
menanyakan surat-surat yang dialamatkan kepadanya.
Ada tiga buah surat dan satu telegram. Nampak ia mengerutkan kening sebentar
sewaktu melihat telegram itu. Hal itu sungguh di luar dugaannya,
Dibukanya sampul telegram itu dengan caranya yang khas, teliti dan tidak
terburu-buru. Huruf-hurufnya terang dan jelas.
Perkembangan yang Tuan ramalkan mengenai masalah Kassner
ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan. Harap segera kembali.
"Voila ce qui est embetant," gumam Poirot kesal. Ditatapnya jam dinding yang ada
di ruang itu. "Saya mesti berangkat malam ini juga," ujarnya kepada si pengurus
hotel. "Pukul berapa kereta Simplon Orient berangkat?"
"Pukul sembilan, Monsieur.
"Saudara bisa pesankan saya tempat tidur di kereta?"
"Tentu saja bisa, Monsieur. Tak ada kesulitan dalam bulan-bulan seperti
sekarang. Kelas satu atau kelas dua?"
"Kelas satu." "Tres bien, Monsieur. Mau ke mana Tuan"
"Ke London." "Bien, Monsieur. Akan saya pesankan karcis ke London sekaligus tempat tidur Tuan
di kereta Istambul - Calais."
Poirot kembali melirik jam di dinding. Pukul delapan kurang sepuluh. "Masih bisa
makan malam?" "Tentu saja, Monsieur."
Detektif Belgia itu mengangguk. Ia berlalu begitu saja, tidak jadi memesan kamar
hotel dan langsung menyeberangi aula menuju
restoran. Sewaktu ia memesan sesuatu kepada pelayan, sekonyongkonyong bahunya terasa dipegang orang.
"Ah, mon vieux, tak kusangka kita bisa bertemu di sini!" seru seseorang di
belakangnya. Ternyata yang berbicara tadi adalah pria yang berperawakan pendek dan tegap,
usianya lebih tua sedikit dari Poirot dan rambutnya dipotong "crewcut". Ia
tersenyum gembira. Poirot cepat-cepat memutar tubuhnya.
"Buoc! "Poirot! Buoc juga seorang BeIgia, seperti Poirot, jabatannya direktur Compagnie
Internationale des Wagons Lits dan persahabatannya dengan detektif BeIgia yang
cemerlang itu sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.
"Jauh betul kau dari rumah saat ini," komentar Buoc.
"Ada urusan sedikit di Siria."
"Ah! Dan kapan kau pulang?"
'Malam ini." "Bagus! Aku juga. Aku cuma sampai Laussane saja, sebab di sana aku masih punya
urusan. Aku rasa kau naik kereta Simlon Orient, ya tidak?"
"Ya. Aku baru saja memesan tempat tidur di kereta itu.
Sebenarnya aku berniat untuk menginap beberapa hari lagi di sini, tapi aku baru
saja menerima telegram yang memanggilku supaya segera kembali ke Inggris, sebab
aku memang masih punya urusan penting di sana yang belum kuselesaikan
seluruhnya." "Ah!" keluh Tuan Buoc lagi. "Les affaires - les affaires! Tetapi kau, sekarang
kau sudah ada di puncak pohon, mon vieux!"
"Barangkali aku sudah memperoleh sukses-sukses kecil yang tak ada artinya,"
sahut Poirot merendah. Tuan Buoc tertawa. "Kita akan bertemu lagi nanti," ujarnya.
Hercule Poirot kini sibuk menghindarkan kumisnya dari sentuhan sup yang sedang
dihadapinya. Sesudah berhasil melaksanakan tugas yang sulit itu, diarahkannya
pandangannya ke sekeliling, sambil menunggu pesanannya yang berikut. Hanya kirakira setengah lusin orang di restoran itu, dan di antara sejumlah itu hanya dua
orang yang berhasil menarik perhatian Hercule Poirot.
Kedua orang itu duduk di meja yang letaknya tak begitu jauh dari meja Poirot.
Yang muda berparas lumayan, berusia sekitar tiga puluhan, jelas seorang Amerika.
Tapi sebenarnya bukan dia yang menjadi sasaran perhatian detektif Belgia itu,
tapi temannya, yang jauh lebih tua.
Temannya itu lelaki tua yang kira-kira berumur antara enam puluh sampai tujuh
puluh tahun. Sekilas pandang, lelaki yang mempunyai kesan ramah itu nampak
seperti dermawan. Kepalanya yang sedikit botak, dahinya yang lebar, dan bibirnya
yang selalu tersenyum lebar dan dihiasi sebaris gigi palsu berwarna putih itu semuanya seakan memberi kesan bahwa kepribadiannya baik dan terbuka. Cuma
matanya yang mengingkari kesan ini. Mata yang kecil, dalam dan licik. Bukan itu
saja. Sewaktu ia memberi isyarat kepada kawannya yang jauh lebih muda itu,
sambil menatap ke sekeliling ruangan, tiba-tiba matanya terhenti pada Poirot,
dan meskipun itu hanya berlangsung tak lebih dari sedetik saja, namun pandangannya terasa seperti
pandangan yang keluar dari hati yang dengki dan tidak wajar.
Lalu lelaki tua itu bangkit dari kursinya.
"Bayar rekeningnya, Hector," ujarnya.
Suaranya agak parau. Suara itu kedengarannya aneh, cukup
lembut tapi berbahaya. Sewaktu Poirot menemui teman lamanya kembali di ruang duduk, kedua laki-laki itu
tampak sedang bersiap-siap untuk meninggalkan hotel. Koper-koper mereka sudah
dibawa turun. Lelaki yang lebih muda itu mengawasi pelaksanaannya. Setelah itu
dibukanya pintu kaca hotel sambil berkata,
"Sudah siap semua, Tuan Ratchett."
Lelaki tua itu menyatakan persetujuannya, tapi dengan suara menggerutu yang cuma
terdengar samar-samar, dan berlalu begitu saja.
"Eh bien, " ujar Poirot kemudian. "Apa kesanmu terhadap kedua orang tadi?"
"Jelas mereka orang Amerika," sahut Tuan Buoc.
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jelas memang mereka orang Amerika. Maksudku, bagaimana kepribadian mereka?"
"Lelaki muda itu kelihatannya lebih sabar."
"Dan yang satunya?"
"Terus terang saja, Kawan, aku tak begitu peduli padanya.
Tingkahnya kurang simpatik. Dan kesanmu bagaimana?"
Hercule Poirot berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Waktu ia lewat di depanku di restoran itu," ujarnya menegaskan,
"aku jadi ingin tahu. Tingkahnya seperti binatang-binatang buas! Tak tahu sopansantun sama sekali! "
"Tapi tampangnya cukup terhormat dan disegani orang."
"Precisement! Perawakannya - yakni sangkarnya itu - boleh dibilang tak tercela tapi di balik sangkar itu, sifat binatangnya kelihatan dengan jelas."
"Kau suka berkhayal yang bukan-bukan," sahut Tuan Buoc, tak percaya.
"Mungkin juga begitu. Tapi biar bagaimanapun aku tak bisa melepaskan diri dari
kenyataan bahwa setan telah lewat begitu dekatnya di sampingku."
"Kaumaksud orang Amerika yang terhormat itu?"
"Orang Amerika yang terhormat itu."
"Baiklah," sahut Tuan Buoc lagi dengan suara riang. "Bisa jadi begitu. Memang
banyak setan di dunia ini."
Saat itu pintu terbuka dan si pengurus hotel nampak berjalan menghampiri mereka.
Di wajahnya terpancar rasa sesal dan prihatin.
"Benar-benar luar biasa, Monsieur," ujarnya kepada Poirot. "Tidak ada tempat
tidur di gerbong kelas satu."
"Comment?" tanya Tuan Buoc. "Pada bulan-bulan seperti ini" Ah, kalau begitu
pasti ada rombongan wartawan atau politikus."
"Saya tak tahu, Tuan," sahut pengurus hotel itu lagi sambil memalingkan
kepalanya dengan hormat. "Tapi kenyataannya memang begitu."
"Ya, ya, apa boleh buat," ujar Tuan Buoc lagi sambil menatap Poirot. "Jangan
takut, Kawan. Akan kita atur. Selalu ada satu kamar, nomor 16, yang tidak
terpakai. Kondektur tahu itu!" Ia tersenyum lalu menatap jam di dinding. "Mari,"
ujarnya mengajak. "Sudah waktunya kita pergi."
Di stasiun, Tuan Buoc disambut dengan hormat oleh seorang
kondektur berseragam coklat.
"Selamat malam, Monsieur. Tuan ditempatkan di kamar no.1"
Kemudian kondektur itu memanggil kuli-kuli peron dan mereka pun langsung
mendorong kereta barang berisikan bawaan para penumpang yang bertuliskan
ISTAMBUL TRIESTE CALAIS pada
sebuah flat aluminum yang ditempelkan di kereta barang itu.
"Aku dengar keretamu penuh malam ini, benar?"
"Benar-benar tak bisa dipercaya, Monsieur. Rupanya seluruh dunia memilih untuk
bepergian pada malam ini!"
"Ya, sama seperti tugasmu untuk mencarikan sebuah kamar buat Tuan ini, ia teman
baik saya. Berikan saja kamar no.16 itu."
"Sudah diambil orang, Monsieur."
"Apa" Kamar no.16 itu?"
Keduanya saling berpandangan dengan penuh pengertian, dan
kondektur kereta tersenyum. Lelaki tinggi setengah baya, berkulit kekuningkuningan. "Tapi memang begitu, Monsieur. Seperti saya katakan tadi, kereta kita
penuh-penuh sekali, sampai tak ada tempat lagi."
"Tapi apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Tuan Buoc lagi dengan marah.
"Memangnya akan ada konperensi di suatu tempat" Atau ada pesta besar-besaran
barangkali?" "Bukan, Monsieur. Ini cuma kebetulan saja. Soalnya semua orang mau bepergian
malam ini. Itu saja soalnya."
Tuan Buoc mengeluarkan suara tak senang.
"Di Belgrado," ujarnya menerangkan, "akan ada gerbong tambahan dari Athena. Juga
akan ada kereta jurusan Bukares Paris. Tapi sayangnya kita belum bisa sampai di Belgrado sebelum besok malam.
Justru soalnya adalah untuk malam ini. Apa tak ada tempat tidur kosong di
gerbong kelas dua?" "Ada, Monsieur. "
"Nah, itu saja sediakan buat teman saya."
"Tapi itu tempat tidur khusus untuk wanita. Sudah ada yang mengisi-wanita Jerman
- pembantu seorang wanita bangsawan."
"La, la, kedengarannya aneh," ujar Tuan Buoc lagi.
"Jangan susah-susah, Kawan," ujar Poirot. "Aku mau naik kereta biasa saja."
"Tidak boleh. Tidak boleh." Tuan Buoc berpaling ke arah kondekturnya sekali
lagi. "Apa semua penumpang sudah datang?"
"Sudah," ujar yang ditanya, "kecuali satu orang yang belum kelihatan batang
hidungnya sampai sekarang." Ia berbicara lambat-lambat, seolah masih ragu-ragu.
"Cepat katakan yang mana!"
"Tempat tidur no.7 - di gerbong kelas dua. Orangnya belum juga muncul, padahal
sekarang sudah pukul sembilan kurang empat menit."
"Siapa itu?" "Orang Inggris," sahut kondektur itu sambil memeriksa daftar penumpang yang
sedang dipegangnya. "Harris."
"Nama yang membawa pertanda baik," ujar Poirot. "Dalam buku-bukunya Dickens,
biasanya orang bernama Harris tak akan muncul."
"Taruh koper-koper Tuan ini di kamar no.7," ujar Tuan Buoc kepada kondektur itu.
"Kalau Tuan Harris ini datang, kita katakan saja kepadanya kedatangannya sangat
terlambat - kamarnya tak dapat ditahan begitu lama - kita akan selesaikan soal
ini dengan satu atau lain cara. Apa peduliku deagan orang semacam Tuan Harris
itu?" '"Baik Tuan," sahut kondektur itu. Lalu ia berpaling kepada pembawa koper
Poirot, memberitahukan kamar mana yang harus dimasuki. Kemudian ia menyisih agak
ke samping untuk memberi jalan bagi Poirot yang akan menaiki kereta.
"Tout a fait au bout, Monsieur, " teriaknya. "Kamar yang paling ujung!"
Poirot mulai menelusuri koridor kereta, sebuah pekerjaan yang memakan waktu,
karena orang-orang yang bepergian pada saat itu banyak yang berdiri di sisi rak
tempat koper-koper mereka diletakkan.
Kata "Pardons" yang setiap kali dilontarkannya di hadapan para penumpang yang
berdesakan itu, dirasakannya sebagai suatu
pekerjaan rutin yang membosankan, persis seperti arah gerak jarum jam.
Akhirnya detektif Belgia bertubuh kecil itu pun sampai juga di kamar yang telah
ditentukan itu. Di dalamnya ia melihat orang Amerika yang tempo hari ditemuinya
di Hotel Tokatlian. Ia sedang meletakkan kopernya di rak.
Orang itu mengerutkan kening sewaktu Poirot melangkah masuk.
"Maaf," ujarnya. "Saya rasa Tuan keliru." Kemudian ia berkata lagi dengan susah
payah dalam bahasa Perancis, "Je crois que vous avez an erreur. "
Poirot menjawab dalam bahasa Inggris, "Tuan yang namanya Harris?"
"Bukan, nama saya MacQueen. Saya..."
Tiba-tiba terdengar suara kondektur melewati bahu Poirot, suara yang tertahantahan dan penuh penyesalan.
"Sudah tak ada tempat tidur lagi di kereta ini, Monsieur.
Semuanya sudah penuh. Tuan ini memang seharusnya masuk ke
mari," ujarnya pada MacQueen.
Poirot tahu bahwa nada suaranya itu seperti dibuat-buat. Pastilah kondektur itu
sudah dijanjikan persenan besar jika ia bisa mempertahankan sebuah kamar bagi
penumpang tertentu dan mencegah masuknya penumpang lain ke situ. Meskipun demikian, persenan sebesar
apa pun tak berarti baginya jika direktur perusahaan sendiri yang memberikan
perintah untuk mengosongkan kamar itu.
Tak lama kemudian kondektur itu muncul dari dalam kamar,
sehabis meletakkan koper-koper Poirot ke atas rak.
"Volia, Monsieur," ujarnya. "Semua sudah diatur. Tempat tidur Tuan di atas, no.7
itu. Kereta berangkat satu menit lagi."
Lalu ia bergegas-gegas menyusuri koridor kembali. Poirot pun kembali memasuki
kamar itu. "Jarang aku mengalami kejadian seperti ini," ujarnya dengan perasaan lega.
"Kondektur kereta api sendiri sampai terpaksa mengangkut koper-koper ke raknya
di atas! Belum pernah aku mendengar kejadian seperti itu!"
Teman seperjalanannya tersenyum mendengar komentar Poirot.
Jelas sekali kelihatan bahwa orang la itu telah berhasil mengatasi gangguan yang
itu - barangkali ia sudah mengambil keputusan tak baik untuk memperpanjang soalsoal kecil semacam itu, dan lebih
baik menanggapinya secara filosofis atau secara taktis saja. "Kereta ini
penuhnya luar biasa," ujarnya.
Peluit ditiup, terdengar jeritan panjang yang menyedihkan dari lokomotif kereta.
Kedua penumpang kamar yang sama itu segera bergegas menuju koridor.
Di luar terdengar seseorang berseru, "En voiture! Kita sudah berangkat," ujar
MacQueen. Tapi mereka belum benar-benar berangkat. Peluit itu berbunyi sekali lagi.
"Kalau aku boleh usul," ujar orang muda itu tiba-tiba, "kalau Saudara mau ambil
tempat tidur yang di bawah, saya kira akan lebih mudah bagi saudara, dan bagi
saya juga." Orang muda yang memiliki tenggang rasa yang kuat.
"Tidak, tak usah," sahut Poirot. "Saya tak ingin mengambil hak Tuan."
"Tak apa-apa." "Saudara baik sekali."
Protes bermunculan dari kedua belah pihak.
"Cuma buat satu malam saja," ujar Poirot menegaskan. "Di Belgrado nanti."
"Oh! Begitu. Jadi Tuan mau turun di Belgrado."
"Belum pasti. Tuan lihat..."
Sekonyong-konyong, kereta terhentak. Kedua lelaki itu bergegas mendekati jendela
dan memandang lekat-lekat peron bermandikan cahaya lampu yang mulai mereka
tinggalkan perlahan-lahan.
Kereta Orient Express memulai perjalanan tiga harinya melintasi Eropa.
3. POIROT MENOLAK SEBUAH KASUS
Hercule Poirot terlambat sedikit ketika memasuki gerbong makan pada hari
berikutnya. Sebenarnya ia sudah bangun pagi-pagi sekali lalu sarapan sendirian
dan langsung menekuni catatan-catatan yang telah dibuatnya khusus mengenai
persoalan yang menyebabkannya dipanggil kembali ke London. Ia belum melihat
teman seperjalanannya yang dijumpainya di hotel Tokatlian tempo hari.
Tuan Buoc, yang sudah duduk di situ sejak tadi, langsung
melambaikan tangannya begitu melihat kawan lamanya dan
mengajak kawannya duduk di kursi yang masih kosong di
hadapannya. Poirot duduk dan langsung menyadari bahwa ia tengah duduk di meja
yang mendapat pelayanan lebih dulu dari meia-meja lainnya dan dipenuhi dengan
makanan-makanan terpilih. Tidak seperti, biasanya, hidangan di kereta ini
ternyata sangat lezat. Selama itu, rupanya Tuan Buoc hanya memperhatikan kelezatan hidangan yang
terpapar di hadapannya, namun setelah mereka mulai menikmati cream cheese yang
lunak dan lezat itu perhatian Tuan Buoc mulai tertuju pada soal-soal di
sekelilingnya. Boleh dibilang ia seperti orang yang suka berfilsafat ketika
menghadapi meja makan. "Ah!" keluhnya. "Andaikata saja aku memiliki sebuah pena Balzac!
Akan kulukis pemandangan di sini." Diayunkannya sebelah tangannya seperti orang
yang sedang melukis. "Memang itu gagasan yang bagus," sahut Poirot menyetujui.
"Ah, belum apa-apanya kau sudah setuju! Apakah itu sudah benar-benar dilakukan
orang" Dan aku rasa itu juga membawa kenangan yang tak akan terlupakan, Kawan.
Di sekeliling kita sekarang, ada orang-orang dari segala macam lapisan, segala
macam bangsa dan semua tingkatan umur. Untuk tiga hari ini, orang-orang ini,
orang-orang yang tak kenal satu sama lain, berkumpul bersama-sama. Mereka tidur
dan makan di bawah satu atap, mereka tak dapat menghindarkan diri dari yang
lain. Tapi setelah tiga hari, mereka berpisah, masing-masing ke tempat tujuannya
sendiri-sendiri, dan mungkin mereka tak akan pernah bertemu lagi satu sama
lain." "Masih mungkin," sahut Poirot, "umpama terjadi sebuah kecelakaan -"
"Ah, jangan bicara begitu, Kawan - ."
"Memang menurut penilaianmu, itu akan sangat disesalkan, aku setuju. Meskipun
demikian marilah kita mengumpamakan bahwa memang kecelakan itu benar-benar
terjadi. Dan barangkali senua orang yang ada di sini baru bisa dipersatukan
kembali - oleh kematian."
"Mari minum anggur lagi," ujar Tuan Buoc sambil menuangkan ke gelas mereka
masing-masing dengan agak tergesa. "Kelihatannya pikiranmu sedikit ngawur, mon
cher. Mungkin pencernaanmu tak berjalan dengan baik."
"Ya, benar," Poirot menyetujui, "mungkin makanan di Siria itu tak sesuai dengan
perutku." Detektif Belgia itu kemudian menghirup anggurnya. Lalu sambil bersandar ke
belakang, dilayangkannya pandangannya ke sekeliling ruang, makan itu, pikirannya
mulai berjalan. Ada kira-kira tiga belas orang yang duduk di situ, dan
sebagaimana yang telah dikatakan Tuan Buoc tadi, mereka berasal dari segala
macam lapisan dan segala bangsa. Poirot mulai mempelajari mereka satu per satu.
Meja yang berhadapan dengan mereka, diduduki oleh tiga orang pria. Poirot
menduga bahwa mereka mestilah pelancong yang
bepergian sendiri-sendiri, tapi sudah ditentukan secara cerdik oleh pengurus
restoran bahwa mereka harus duduk semeja bertiga.
Seorang Italia yang berkulit hitam dan berperawakan tinggi besar nampak sedang
asyik membersihkan giginya dengan tusuk gigi. Di hadapannya duduk orang Inggris
yang berpakaian. rapi, air mukanya tenang dan tak dapat diterka bagai air muka
pelayan yang sudah terlatih baik. Persis di sebelah orang Inggris itu, duduk
pria Amerika yang bertubuh besar dan berpakaian kelonggaran mungkin seorang
pelancong yang banyak duit dan biasa bepergian.
"Tuan mesti berpakaian seperti saya ini, biar kelihatannya kebesaran," ujar
orang Amerika itu dengan suara yang keras dan sepertinya keluar dari hidung.
Orang Italia itu cepat-cepat menggeser tusuk giginya ke samping supaya dapat
membuat isyarat dengan bebas.
"Tentu saja," sahutnya. "Itu yang justru kutekankan terus-menerus."
Orang Inggris yang berpakaian rapi itu melongok ke luar jendela dan batuk-batuk
sebentar. Mata Poirot terus juga meneliti orang-orang yang ada di
sekitarnya. Pada sebuah meja kecil, dengan sikap yang tegak lurus, duduk salah satu dari
wanita-wanita yang paling jelek yang pernah dilihatnya. Tapi justru kejelekannya
itu termasuk istimewa - sebab kejelekan itu rasanya lebih mempesonakan daripada
menimbulkan perasaan jijik dalam diri orang yang kebetulan melihatnya. Ia duduk
dengan sikap yang benar-benar tegak lurus sembilan puluh derajat.
Sekeliling lehernya tergantung serenceng batu permata yang besar-besar dan
menimbulkan rasa tak percaya bagi orang yang melihat, meskipun permata-permata
itu kelihatannya asli. Jari-jemarinya dipenuhi oleh cincin. Mantelnya yang
terbuat dari bulu musang itu ditempelkan begitu saja di bahunya. Sebuah topi
hitam kecil yang mahal kelihatannya jadi menyeramkan sebab topi yang
dikenakannya tak sesuai dengan wajah yang di bawahnya yang mirip dengan muka
kodok. Ia kini sedang berbicara dengan seorang pelayan restoran dengan suara jernih,
cukup sopan tapi penuh paksaan.
"Kau adalah pelayan yang baik kalau kau mau membawakan
sebotol besar air putih dan segelas besar air jeruk ke kamarku.
Cobalah usahakan supaya saya juga bisa dibawakan ayam rebus tanpa saus untuk
makan malam nanti - juga kalau bisa beberapa ekor ikan rebus.
Pelayan itu menjawab dengan hormat bahwa semuanya akan
dilaksanakannya dengan baik.
Wanita itu mengangguk ramah dan langsung bangkit dari
kursinya. Matanya sempat menatap Poirot dan dalam diri detektif Belgia itu
tumbuh semacam kesan aneh terhadap diri perempuan aristokrat yang acuh tak acuh
itu. "Itu Puteri Dragomiroff," ujar Tuan Buoc dengan suara rendah.
"Dia orang Rusia. Suaminya mengumpulkan uang banyak sekali sebelum revolusi
meletus dan menanamkannya di luar negeri. Puteri Dragomiroff luar biasa kaya.
Dia punya reputasi internasional."
Poirot mengangguk. Ia sendiri juga telah mendengar perihal Puteri Dragomiroff
ini. "Dia punya kepribadian," ujar Tuan Buoc lagi. "Jelek seperti iblis tetapi dia
telah membuat dirinya sendiri kelihatan menarik. Kau setuiu?"
Poirot mengiyakan. Pada meja besar yang lain Mary Debenham sedang duduk
berhadapan dengan dua orang wanita lain. Seorang di antaranya bertubuh jangkung,
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setengah baya, mengenakan blus bermotif petak-petak dan rok bawah dari bahan
wol. Rambutnya yang banyak dan berwarna kuning pucat itu dijadikan sanggul besar
yang sama sekali tak menarik. Ia berkaca mata dan bentuk wajahnya yang panjang,
dan memberi kesan ramah dan lembut itu lebih menyerupai seekor domba. Ia sedang
asyik mendengarkan, wanita yang ketiga, yang berbadan kekar yang berparas
menyenangkan, dan kelihatan lebih tua dari teman-temannya yang lain. Suaranya
rendah dan membosankan, ia berbicara seperti orang yang tak kenal istirahat dan
tak mau berhenti sedikit pun.
"... dan begitulah kata anak perempuanku, 'Mengapa," katanya lagi, 'Ibu tak bisa
menerapkan cara-cara Amerika di negeri ini. Di sini sudah wajar kalau orang
hidup bermalas-malasan,' katanya. 'Tak ada yang mendorong mereka untuk bertindak
terburu-buru.' Tetapi kalian tak usah terkejut kalau kalian tahu apa yang
sebenarnya dilakukan fakultas kita di sana. Mereka mendapat staf pengaiar yang baik. Aku kira tak ada
hal yang begitu hebat seperti pendidikan. Kami harus menerapkan caracara
berpikir orang Barat supaya orang-orang Timur di sini mengenalnya. Anak saya
bilang -" Kereta memasuki terowongan. Suaranya yang tenang dan datar itu kini sudah tak
terdengar lagi. Pada meja berikutnya, sebuah meja kecil, duduk Kolonel
Arbuthnot - sendirian. Pandangannya terus-menerus diarahkan kepada tengkuk Mary
Debenham. Mereka tidak duduk bersama
seperti biasanya. Padahal mereka dapat melakukannya kalau mereka mau. Kalau
begitu mengapa" Barangkali, pikir Poirot, "Mary Debenham keberatan. Guru
pengasuh seperti dia mesti berhati-hati. Pembawaan itu sangat penting. Seorang
gadis yang memiliki mata pencaharian seperti dia memang harus selalu menjaga
sikap. Pandangan Poirot beralih ke sisi yang satunya. Di ujung sekali, berhadapan
dengan dinding, duduk seorang wanita setengah baya yang berpakaian hitam,
wajahnya lebar dan tak menunjukkan
ekspresi apa-apa. Pastilah orang Jerman atau Skandinavia, pikir Poirot. Mungkin
pembantu wanita Jerman itu.
Di seberangnya nampak pasangan yang sedang berbicara dengan asyiknya sambil
memajukan badan mereka ke muka. Yang laki-laki mengenakan pakaian wol Inggris,
tapi ia sendiri bukan orang Inggris. Meskipun Poirot hanya dapat melihat bagian
belakang kepalanya, namun bentuk kepalanya dan kedua belah bahunya itu sudah
dapat menunjukkan bahwa ia memang bukan orang Inggris.
Tiba-tiba diputarnya kepalanya dan saat itulah baru Poirot dapat melihat
tampangnya dengan jelas. Pria yang tampan sekitar tiga puluhan, dengan kumis,
yang bagus dan cukup dapat dibanggakan.
Wanita yang duduk di hadapannya tampaknya masih gadis
kemarin sore - usianya kira-kira dua puluh tahun. Ia mengenakan rok ketat
berwarna hitam dan blus satin putih, di atas kepalanya bertengger topi berwarna
hitam yang sedang mode dan bersudut aneh. Wajahnya cantik, mirip wajah orang
asing. Kulitnya putih mulus, dengan sepasang mata yang berwarna coklat dan rambut, hitam yang bagus.
Kuku-kuku tangannya yang terawat baik diberi cat kuku berwarna merah tua. Di
lehernya tergantung serenceng batu permata zamrud yang dimat dengan emas putih.
Pandangan dan suaranya penuh daya tarik.
"Elle est jollie - et chic, " gumam Poirot pada diri sendiri. "Suami-isteri eh?" Tuan Buoc mengangguk. "Dari Kedutaan Hongaria kukira,"
katanya. "Pasangan yang setimpal."
Cuma ada dua orang lagi yang masih makan siang - teman
sekamar Poirot, MacQueen dan majikannya Tuan Ratchett. Yang terakhir ini duduk
berhadapan muka dengan Poirot, dan untuk kedua kalinya detektip Belgia itu
sempat mengamat-amati wajahnya yang menawan tapi penuh kepalsuan itu, mengamatamati keramahan dan kebajikan semu di balik alis dan matanya yang kecil dan
kejam itu. Tuan Buoc yakin bahwa ia telah melihat perubahan pada air muka kawan baiknya
itu. "Kau sedang memperhatikan binatang buasmu itu?" tanyanya pasti.
Poirot mengangguk. Sewaktu pelayan restoran datang membawakan kopi pesanan
detektif Belgia itu, maka Tuan Buoc langsung berdiri. Ia sudah lebih dulu berada
di situ dan ia juga sudah selesai bersantap siang sejak beberapa menit yang
lalu. "Aku kembali ke kamar," ujarnya memberitahukan. "Datang saja ke sana supaya kita
bisa ngobrol." "Dengan segala senang hati."
Poirot menghirup kopinya lalu memesan bir. Pelayan restoran tampak sedang sibuk
melangkah dari meja ke meja sambil
memegang kotak uangnya, memungut bayaran pada penumpang
kereta yang sudah selesai bersantap siang. Kini suara wanita Amerika setengah
baya itu terdengar semakin tinggi dan sedih.
"Anak perempuan saya bilang, 'Ambil saja bon makanan satu buku dan Ibu pasti tak
akan mengalami kesulitan - pasti tak akan ada kesulitan apa-apa.' Tapi sekarang,
rupanya tidak begitu, tidak seperti yang diramalkan. Nampaknya pelayan-pelayan
di sini mesti diberikan persen sepersepuluh dari jumlah harga yang kita makan,
begitu juga kalau kita mau minta di bawakan sebotol air putih, yang rasanya agak
aneh di sini. Mereka tak punya anggur Evian atau Vichy, dan itu juga kurasakan
aneh." "Mereka harus ... apa yang Ibu katakan tadi" tapi biar
bagaimanapun mereka tak bisa berbuat lain kecuali menyediakan air yang ada di
negeri ini," ujar si muka domba itu menerangkan.
"Ya, biar bagaimana rasanya tetap aneh bagiku." Wanita Amerika setengah baya itu
memandang dengan jijik pada setumpukan uang kembaliannya di atas meja di
hadapannya. "Lihatlah barang-barang aneh yang diberikannya kepadaku itu. Uang
dinar atau apa. Seperti seonggokan sampah. Anak perempuan saya bilang -"
Mary Debenham mendorong kursinya ke belakang dan
meninggalkan ruang makan setelah lebih dulu membungkuk sedikit kepada kedua
orang temannya semeja. Kolonel Arbuthnot juga bangun, ia mengikutinya. Setelah
mengumpulkan uang kembaliannya yang berserakan di atas meja, wanita Amerika
setengah baya itu juga mengikuti Debenham, bangun dari kursinya, disusul oleh
wanita satunya yang parasnya mirip domba. Pasangan Hongaria itu sudah pergi
duluan. Restoran itu kini sudah hampir kosong hanya tinggal Poirot, Ratchett dan
MacQueen. Ratchett terlihat berbicara sebentar dengan temannya, yang langsung bangun dan
meninggalkan ruang restorasi itu. Kemudian ia sendiri juga bangun, tapi bukannya
mengikuti MacQueen, malah ia duduk di kursi di hadapan Poirot dengan tak
disangka-sangka. "Maaf, boleh minta apinya?" tanya orang itu. Suaranya lemah dan cukup lembut suara sengau yang tak begitu kedengaran. "Nama saya Ratchett."
Poirot menganggukkan kepalanya sedikit memberi hormat.
Kemudian dimasukkannya tangannya ke dalam saku celananya dan
dikeluarkannya sebuah kotak korek api yang langsung diberikannya kepada orang
yang di hadapannya. Orang itu mengambilnya tapi tak jadi menyalakan api.
"Saya rasa," ia melanjutkan, "saat ini saya sedang berbicara dengan Tuan Hercule
Poirot. Benar?" Poirot kembali mengangguk. "Anda memang mendapat informasi yang benar, Tuan."
Detektif Belgia itu terpana oleh sorot mata yang lihay di
hadapannya, sebelum lawan bicaranya melanjutkan kembali.
"Di negeri saya," ujarnya menerangkan, "kami biasa bicara dengan terus terang
dan langsung pada inti persoalannya. Tuan Poirot, saya harap Tuan bersedia
melaksanakan tugas yang saya berikan kepada Tuan."
Alis mata detektif Belgia itu nampak naik sedikit.
"Klien saya sangat terbatas sekarang. Saya cuma mau menangani beberapa perkara
saja." "Tentu saja - saya mengerti. Tapi yang satu ini, Tuan Poirot, berarti imbalan
besar. Lalu ia mengulangi lagi perkataan itu dengan suaranya yang lembut dan
bernada membujuk, "Imbalan besar."
Hercule Poirot terdiam satu dua menit. Lalu ia baru menjawab,
"Apa yang Tuan ingin tugaskan pada saya, Tuan -eer - Ratchett?"
"Tuan Poirot, saya ini orang kaya - kaya besar. Orang yang punya kedudukan
seperti itu biasanya punya banyak musuh. Aku punya seorang musuh."
"Cuma seorang?"
"Apa yang Tuan maksudkan dengan pertanyaan itu?" tanya Ratchett tajam.
"Tuan, menurut pengalaman saya, jika orang yang seperti Tuan sebut barusan,
punya banyak musuh, itu tak berarti bahwa Tuan harus mencurigai seorang musuh
tertentu saja." Ratchett nampaknya lega setelah mendengar penjelasan Poirot.
Lalu ujarnya dengan cepat,
"Ya, begitulah. Saya menghargai pendapat Anda itu. Satu musuh atau lebih, tak
jadi soal. Yang penting adalah keselamatan saya."
"Keselamatan?" "Hidup saya terancam, Tuan Poirot. Sekarang saya sudah jadi orang yang selalu
bisa menjaga dirinya sendiri." Perlahan-lahan ia mengeluarkan tangannya dari
saku mantelnya - di dalamnya
tergenggam pistol otomatis kecil. Kemudian diteruskannya bicaranya dengan nada
yang bersungguh-sungguh. "Saya rasa saya bukan macam orang yang sering diincar.
Tapi kalau saya pikir-pikir lagi, saya bisa saja menyuruh orang melipatgandakan
keselamatan saya. Saya kira Anda orang yang paling tepat untuk menerima imbalan dari saya, Tuan
Poirot. Dan ingat - imbalan besar."
Poirot memandangnya selama beberapa menit sambil berpikirpikir, wajah detektif Belgia itu tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Yang seorang lagi tak dapat menerka apa yang ada dalam benak lawan bicaranya
ketika itu. "Saya menyesal, Tuan," sahut Poirot perlahan-lahan. "Sebab saya tak bisa
melaksanakan tugas yang Tuan berikan pada saya."
Orang itu memandang Poirot dengan sorot mata yang licik. "Kalau begitu katakan
saja berapa yang Anda mau?" ujarnya.
Poirot menggeleng. "Tuan tak mengerti. Saya sudah cukup beruntung selama menjabat pekerjaan seperti
ini. Saya sudah banyak memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan hidup dan
keperluan-keperluan saya yang tak terduga. Sekarang saya cuma mau menangani
perkara-perkara yang menarik perhatian saya saja."
"Perasaan Tuan halus sekali," sahut Ratchett memuji. "Apa dua puluh ribu dollar
tak cukup menggiurkan buat Tuan?"
"Tidak." "Kalau lebih dari itu, tak dapat lagi. Saya tahu betul apa yang berharga buat
saya." "Buat saya juga, Tuan Ratchett."
"Apa yang kurang pada tawaran saya itu?"
Poirot bangkit dari kursinya. "Kalau saja Tuan mau memaafkan saya, karena alasan
pribadi, terus terang saja, saya menolak tawaran Tuan karena saya tak suka pada
wajah Tuan." Sehabis berkata demikian Poirot meninggalkan ruangan.
4. JERITAN DI MALAM HARI Kereta Simplon Orient Express tiba di Belgrado pukul sembilan kurang seperempat
malam itu. Kereta itu baru berjalan lagi pada pukul 9.15, jadi Poirot turun
sebentar melihat-lihat peron. Meskipun demikian ia tak lama di situ. Udara
dingin menusuk tulang, dan walaupun peron itu sendiri terlindung, hujan salju
yang lebat masih saja belum berhenti di luar. Poirot kembali ke kamarnya.
Kondektur kereta, yang sedang berdiri di peron sambil menghentak-hentakkan
kakinya ke tanah dan mengibas-ngibaskan tangannya untuk
membangkitkan rasa hangat, mengajak detektif Belgia itu bereakap-cakap sebentar
dengannya. "Koper-koper Tuan sudah dipindahkan semuanya. Ke kamar no.1, kamarnya Tuan
Buoc." "Jadi Tuan Buoc sendiri ke mana, kalau begitu?"
"Ia sudah pindah ke gerbong dari Athena yang baru saja disambungkan dengan
gerbong-gerbong kita."
Poirot lekas-lekas mencari kawannya itu. Tuan Buoc tak
mengindahkan keberatan yang dikemukakan Poirot.
"Tak apa-apa. Tak apa-apa. Aku lebih senang begini. Kau ingin langsung ke
Inggris, jadi sebaiknya kau tetap saja tinggal di gerbong
ke Calais. Kalau aku, aku lebih senang di sini. Tenang dan tenteram.
Kereta ini kosong dan cukup lega bagiku, ada satu orang lagi, dokter Yunani. Ah!
Kawan! Bukan main malam ini. Orang bilang tahun-tahun yang lalu belum pernah
turun salju sebanyak sekarang. Moga-moga kita bisa jalan terus. Aku khawatir
kalau kereta mogok di jalan karena salju."
Pukul 9.15 tepat kereta yang ditumpangi detekif Belgia itu sudah hendak
berangkat lagi, karena itu Poirot langsung bangkit, mengucapkan selamat malam
kepada kawannya, dan kembali
menyusuri koridor yang panjang itu menuju gerbongnya yang
terletak di muka di dekat gerbong makan.
Pada hari kedua di perjalanan, jurang yang memisahkan
penumpang di kereta itu sudah tak terlihat lagi. Tampak Kolonel Arbuthnot sedang
berdiri dengan santai di ambang pintu kamarnya, asyik berbincang-bincang dengan
MacQueen. Tapi ketika MacQueen melihat Poirot bicaranya terhenti tiba-tiba. Di
wajahnya terbayang keheranan.
"Lho," teriaknya, "saya kira Saudara sudah meninggalkan kami.
Saudara sendiri bilang Saudara turun di Belgrado."
"Saudara salah paham," sahut Poirot sambil tersenyum "Saya baru ingat sekarang,
kereta baru berangkat dari Istambul sewaktu kita membicarakan itu. "
"Tapi, koper Saudara sudah tak ada di tempatnya."
"Memang, koper saya sudah dipindahkan ke kamar lain, apa lagi."
"Oh! Begitu!" Ia meneruskan obrolannya dengan Arbuthnot, sedang Poirot
kembali menyusuri koridor kereta.
Dua pintu dari pintu kamarnya, dilihatnya wanita Amerika
setengah baya itu, Nyonya Hubbard, sedang asyik mengobrol dengan wanita yang
bentuk wajahnya seperti domba itu, seorang Swedia. Sambil berdiri itu Nyonya
Hubbard menyodorkan sehelai majalah kepada lawan bicaranya.
"Ambil saja ini," ujarnya. "Aku masih punya yang lainnya, masih banyak.
Astagfirullah, dinginnya kelewatan ya!" Lalu ia mengangguk ke arah Poirot.
"Nyonya baik sekali," sahut wanita Swedia itu.
"Ah, masa. Aku cuma berharap agar Nona bisa tidur nyenyak malam ini supaya
kepala Nona yang pusing itu bisa hilang besok pagi."
"Ah, cuma karena kedinginan. Aku ingin membuat teh dulu."
"Apa Nona punya aspirin" Sudah baikkan sekarang" Aku punya aspirin banyak.
Baiklah, selamat malam."
Wanita Amerika itu langsung mengalihkan perhatiannya pada
Poirot setelah gadis Swedia itu berlalu meninggalkannya.
"Kasihan, gadis Swedia itu. Sejauh yang aku ketahui dia itu penginjil. Semacam
guru begitu. Orangnya menyenangkan, tapi tak begitu fasih bahasa Inggris. Ia
paling tertarik kalau saya bercerita tentang anak perempuan saya."
Sekarang Poirot nampaknya sudah tahu banyak tentang anak
perempuan Nyonya Hubbard. Dan rasanya setiap orang di kereta itu yang dapat
berbahasa Inggris juga demikian! Soal bagaimana ia dan suaminya bekerja sebagai
staf di perguruan tinggi Amerika yang besar di Smyrna, bahwa perjalanan ini
adalah perjalanan pertama Nyonya Hubbard ke Timur, dan apa pendapatnya mengenai
orang Turki, jalan-jalannya yang tak terurus, dan cara hidupnya yang serampangan
dan sebagainya, dan sebagainya.
Tiba-tiba pintu di sebelah mereka terbuka dan pelayan kurus berwajah pucat itumelangkah masuk. Di dalam, Poirot melihat sepintas Tuan Ratchett sedang duduk di
tempat tidur. Sewaktu ia melihat Poirot, wajahnya menjadi merah karena marah.
Lalu pintu ditutup kembali.
Nyonya Hubbard menarik lengan Poirot ke samping.
"Tuan tahu, saya takut sekali pada orang itu. Oh! Bukan! Bukan pelayan pria itu
yang saya takuti, tapi penumpang yang di dalam
kamar itu! Tuannya, ya Tuannya! Ada sesuatu yang tak beres dalam dirinya. Anak
perempuanku bilang saya terlalu perasa jadi orang.
'Kalau Mama menyangka orang yang bukan-bukan, Mama bakal
mati,' begitu kata anak saya selalu. Dan celakanya saya curiga pada orang itu.
Kebetulan kamarnya di sebelah kamar saja, dan justru itu yang saya tak suka.
Tadi malam saya sengaja mengunci pintu penghubung ke kamarnya rapat-rapat.
Rasanya saya mendengar ia mencoba membukanya. Tuan tahu, saya tak heran kalau
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata orang itu pembunuh atau salah satu dari perampok kereta seperti yang
Tuan suka baca. Saya berani bilang mungkin saya ini bodoh, tapi kenyataannya
memang begitu. Saya takut setengah mati pada orang itu! Anak perempuan saya
bilang perjalanan saya ini pasti tidak sulit, tapi entah mengapa saya sendiri
tak bisa merasa tenteram di hati. Mungkin saya menduga yang tidak-tidak, tapi
saya merasa akan terjadi sesuatu, apa saja. Dan bagaimana mungkin orang muda
yang menyenangkan itu sanggup menjadi sekretarisnya, saya tak habis mengerti. "
Dalam pada itu Kolonel Arbuthnot dan MacQueen nampak sedang berjalan ke arah
mereka, menyusuri koridor di hadapannya.
"Mari ke gerbongku saja," ujar MacQueen mengundang. "Tapi tempat tidurnya belum
dibereskan buat malam ini. Nah, sekarang, yang sebenarnya saya inginkan mengenai
politik Tuan di India adalah ini - "
Kedua pria itu terus menyusuri koridor di hadapan mereka menuju gerbong
MacQueen. Nvonya Hubbard mengucapkan selamat malam kepada Poirot.
"Saya ingin langsung rebah dan membaca," ujarnya. "Selamat malam."
"Selamat malam, Madame. " Poirot memasuki kamarnya, yang terletak bersebelahan
dengan kamar Ratchett. Setelah membuka pakaian, ia naik ke ranjang, membaca
kira-kira setengah jam lalu mematikan lampu.
Detektif itu terbangun beberapa jam kemudian, sebab ada sesuatu yang
membangunkannya. Ia yakin betul apa yang membuatnya
terbangun - bunyi rintihan yang keras, mirip sebuah jeritan yang lemah, entah di
mana, tapi terasa dekat sekali. Pada saat yang sama terdengar dentingan lonceng,
bunyinya tajam. Poirot buru-buru bangun dan menyalakan lampu. Ia baru
menyadari bahwa kereta sedang berhenti - mungkin di sebuah stasiun.
Tapi rintihan itu membuatnya ngeri. Ia teringat kamar di
sebelahnya adalah kamar Ratchett. Detektif itu langsung melompat dari tempat
tidur dan membuka pintu, bersamaan dengan itu pula dilihatnya kondektur lewat
bergegas-gegas dan sesampainya di kamar Ratchett, ia mengetuk pintu. Poirot
sengaja membiarkan pintunya terbuka sedikit supaya dapat mengintip. Didengarnya
kondektur mengetuk sekali lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi bel dan seberkas sinar
muncul dari kamar di sebelah sana, agak jauh.
Kondektur menoleh sebentar lewat bahunya. Pada saat yang
berbarengan terdengar sebuah suara dari kamar sebelah: "Ce n'est rien. Je me
suis trompe." "Bien, Monsieur. " Kondektur cepat-cepat melangkah lagi, menuju daun pintu yang
tadi diterangi oleh seberkas cahaya itu.
Poirot kembali naik ke tempat tidur, hatinya terasa lega, lalu ia mematikan
lampu. Diliriknya jamnya. Pukul satu kurang dupuluh tiga menit.
5. PEMBUNUHAN Detektif Belgia itu tak bisa langsung tidur. Ia merasa.kan sesuatu yang hilang,
kereta tak bergerak sebagaimana mestinya, kereta itu diam saja. Jika tempat
mereka berhenti memang sebuah stasiun, mengapa stasiun itu nampak sepi"
Sebaliknya kegaduhan di kereta terasa tak seperti biasanya. Poirot mendengar
Ratchett berjalan mondar-mandir di kamar sebelah, seolah sedang melakukan
sesuatu. Didengarnya bunyi seperti orang yang sedang membuka keran air di tempat cuci
tangan, kemudian suara air mengucur, suara orang
mencuci tangan, dan akhirnya suara keran air yang ditutup kembali.
Dalam pada itu juga terdengar langkah-langkah, kaki orang di luar, langkah yang
terseok-seok bagai langkah kaki orang yang
mengenakan sandal. Hercule Poirot berbaring di tempat tidurnya sambil memandang ke langit-langit.
Mengapa stasiun di luar itu sepi sekali"
Kerongkongannya terasa kering. Rupanya ia lupa meminta dibawakan sebotol air
putih yang biasa diminumnya sebelum pergi tidur.
Diliriknya jamnya sekali lagi. Tepat pukul satu kurang seperempat. Ia ingin
mengebel, memanggil kondektur dan meminta dibawakan air putih. Jari-jemarinya
sudah meraba-raba pinggir bel, namun diurungkannya niatnya setelah tiba-tiba
didengarnya bunyi dentingan dari seberang sana. Sudah barang tentu kondektur itu
tak dapat menjawab sebab panggilan bel sekaligus.
Ting... ting... ting.... Sekali lagi dan sekali lagi bel itu berbunyi. Mana orangnya" Pasti orang itu tak
sabar menunggu. Ti-i-i-ing! Siapa pun orangnya, tentu ia sedang memijit tombol kuat-kuat.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki tergopoh-gopoh, bunyi
langkahnya bergema, orang yang ditunggu telah datang. Ia
mengetuk pintu tak jauh dari pintu kamar Poirot.
Kemudian terdengar suara-suara - suara kondektur, yang penuh hormat dan nada
memohon maaf dan satunya lagi suara wanita dengan nada mendesak tapi lancar.
Nyonya Hubbard! Poirot tersenyum sendiri.
Kedengarannya seperti orang berdebat - mungkin saja - dan
perdebatan itu kedengarannya cuma berlangsung beberapa menit saja. Tapi yang
jelas kira-kira sembilan puluh persen oleh Nyonya Hubbard dan yang sepuluh
persen lagi oleh kondektur. Namun akhirnya persoalannya dapat juga diselesaikan.
Samar-samar Poirot mendengar ucapan, "Bonne nuit, Madame, " dan suara pintu tertutup.
Lalu kini giliran Poirot untuk menekan tombol. Kondektur tiba pada saat yang
diharapkan. Wajahnya kelihatan tegang dan cemas.
"De leau minerale, s'il vous-plait."
"Bien, Monsieur. " Mungkin sorot mata Poirot membuat hatinya lega. "La dame
Americaine - " "Ya?" Kondektur itu menyeka jidatnya. "Bayangkan andaikata Tuan sendiri yang
menghadapinya! Ia bersikeras - tetap bersikeras - bahwa ada seorang pria di
kamarnya. Bayangkan sendiri, Tuan. Dalam ruangan sesempit ini." Ia mencoba
melukiskan dengan tangannya, membuat lingkaran kecil. "Di mana kira-kira dia
bisa menyembunyikan diri" Saya katakan itu tak mungkin. Saya jadi berdebat dengan
nyonya itu. Tapi ia terus bersikeras. Ia bangun dari tempat tidur, dan menunjuk
kepada pria yang dimaksud. Dan saya tanya,' bagaimana caranya orang itu bisa
keluar dan meninggalkan pintu yang masih terkunci dari dalam" Tapi nyonya itu
tak peduli pada alasan saya itu. Dan sepertinya ke jadian ini belum cukup
menyusahkan kita, ada lagi... salju itu...
"Salju?" "Ya, Tuan. Tuan belum melihatnya" Kereta terpaksa berhenti. Kita terhalang oleh,
salju tebal. Cuma surga yang tahu berapa lama lagi kita harus di sini. Dulu saya
pernah terhalang salju juga, lamanya tujuh hari."
"Di mana kita sekarang?"
"Antara Vincovci dan Brod."
"La-la," ujar Poirot jengkel.
Kondektur itu minta permisi sebentar lalu kembali dengan air pesanan Poirot.
"Bon soir, Monsieur. "
Poirot meneguk air itu dan tertidur dengan tenang.
Ia baru saja terlena ketika sesuatu kembali membuatnya
terbangun. Kali ini seolah sesuatu yang berat jatuh menimpa daun pintu,
menimbulkan bunyi berdebam.
Ia melompat dari tempat tidur, membuka pintu dan melongok ke luar. Tak ada apaapa. Tapi di sebelah kanannya, beberapa langkah sepanjang koridor, dilihatnya
seorang wanita berpakaian kimono ungu sedang berjalan menjauh. Pada ujung yang
satunya lagi, di tempat duduknya yang biasa, dilihatnya kondektur sedang asyik
menghitung-hitung sesuatu di atas secarik kertas yang lebar.
Suasana sangat sunyi bagaikan di kuburan.
"Yang jelas syarafku masih normal," ujar Poirot dalam hati dan kembali berbaring
di tempat tidur. Kali ini ia dapat tidur nyenyak sampai pagi.
Sewaktu terbangun, kereta masih juga belum bergerak. Poirot menaikkan kerei
jendela dan meiongok ke luar. Potongan-potongan salju yang tebal mengelilingi
kereta. Poirot melirik jamnya. Pukul sembilan lewat.
Pada pukul sepuluh kurang seperempat, dengan setelan dan
dandanan yang rapi seperti biasanya, ia melangkah menuju gerbong restorasi, di
mana suara-suara ikut berdukacita terdengar dari setiap sudut.
Jurang pemisah yang mungkin masih ada di antara sesama
penumpang, sekarang terlihat sudah benar-benar lenyap. Semua senasib dan
sepenanggungan karena kecelakaan yang tak
diharapkan. Barangkali cuma Nyonya Hubbard yang keluh kesahnya paling keras
kedengaran. "Anak perempuanku bilang ini akan merupakan perjalanan yang paling gampang di
dunia. Duduk saja di kereta dan tahu-tahu saya sudah sampai Paris. Tapi sekarang
kita malah bisa di sini terus sampai berhari-hari," isak Nyonya Hubbard. "Dan
kapal saya akan berangkat lusa. Bagaimana saya bisa mencegatnya" Terlalu, saya
bahkan tak bisa menelegram untuk membatalkan pelayaran saya itu.
Ah! Saya bisa jadi semakin sedih saja kalau berbicara tentang itu."
Orang Italia itu juga mengeluh bahwa ia sendiri masih punya urusan yang mendesak
di Milan. Sedangkan pria Amerika yang berperawakan tinggi besar cuma mengatakan,
"Sial betul, Ma'am."
Dan mencoba membangkitkan harapan bahwa kereta akan berhasil mengejar
ketinggalannya. "Kakak perempuan saya dan anak-anaknya pasti sedang
menunggu saya," ujar wanita Swedia itu sambil menangis terisak-isak. "Sedangkan
saya tak bisa memberi kabar apa pun kepada mereka. Apa yang mereka pikir" Mereka
pasti mengira saya tertimpa kecelakaan."
"Berapa lama lagi kita tertahan di sini?" tanya Mary Debenham kesal. "Tak ada
orang yang tahu?" Terasa ada nada tak sabar dalam suaranya, namun Poirot
memperhatikan tak ada tanda-tanda kekhawatiran yang mencekam seperti yang
diperlihatkannya selama pemeriksaan yang dilakukan pada kereta Taurus Express
itu." Nyonya Hubbard mulai lagi.
"Tak ada seorang pun yang mengetahui apa-apa tentang kereta ini. Dan tak ada
seorang pun yang mau berbuat sesuatu. Kereta ini cuma dipenuhi segerombolan
orang-orang tak dikenal yang tak berguna. Terlalu, seumpamanya ini terjadi di
rumah, paling tidak mesti ada seseorang yang mau berbuat sesuatu! "
Arbuthnot sekonyong-konyong berpaling ke Poirot dan mulai
berbicara dengan bahasa Perancis logat Inggris.
"Vous etes un directeur de la ligne, je crois, Monsieur. Vous pouvez nous dire " Dengan tersenyum Poirot buru-buru meralatnya.
"Bukan, bukan," ujarnya dalam bahasa Inggris. "Bukan saya. Tuan keliru. Bukan
saya yang Tuan kira direktur perusahaan kereta api ini, tapi Tuan Buoc, teman
saya." "Oh! Saya minta maaf."
"Tak apa-apa. Itu wajar. Cuma memang sekarang ini saya
menempati kamarnya yang dulu."
Ternyata Tuan Buoc tak kelihatan di gerbong restorasi itu. Poirot lalu
melemparkan pandangan ke sekeliling untuk melihat siapa-siapa lagi yang tak ada
pada saat itu. Puteri Dragomiroff belum kelihatan, begitu juga pasangan
Hongaria itu. Demikian juga Ratchett, pelayan prianya dan pembantu wanita
berkebangsaan Jerman itu.
Wanita Swedia itu menyeka matanya.
"Saya bodoh," ujarnya. "Saya sebenarnya tak boleh menangis.
Buat apa menangis, Semua ini untuk kebaikkan kita, apa pun yang terjadi."
Namun semangat Kristen yang diperlihatkannya ini, ternyata tak mempan pada diri
penumpang kereta yang lain.
"Ya memang segalanya baik-baik saja," ujar MacQueen gelisah.
"Mungkin kita bisa sampai berhari-hari di sini."
"Ngomong-ngomong, negeri apa ini?" tanya Nyonya Hubbard dengan sedih.
Sewaktu ada yang memberitahu bahwa mereka sedang di wilayah Yugoslavia, lalu ia
berseru, "Oh! cuma salah satu dari negara-negara Balkan itu. Apa yang dapat
kalian harapkan!" "Cuma Nona penumpang satu-satunya yang masih sabar," ujar Poirot kepada Nona
Debenham. Ia mengangkat bahu. "Apa yang bisa dilakukan?"
"Nona pintar berfilsafat, Mademoiselle," sahut Poirot lagi.
"Justru itu sikap yang obyektif, tidak memihak. Malahan saya kira saya ini suka
mementingkan diri sendiri. Saya sudah belajar bagaimana caranya menahan
perasaan." Kedengarannya Mary Debenham lebih banyak berbicara untuk diri sendiri daripada
untuk lawan bicaranya. Bahkan ia sama sekali tak melihat ke arah Poirot.
Pandangannya melewati Poirot, jauh keluar jendela di mana salju terlihat semakin
menumpuk. "Nona punya kepribadian kuat, Mademoiselle," Ujar Poirot lembut.
" Saya kira watak Nona paling keras di antara penumpang lainnya di kereta ini."
"Oh! tidak, benar-benar tidak. Saya tahu orang yang wataknya lebih keras dari
saya, jauh lebih keras."
"Dan orang itu adalah - "
Sekonyong-konyong kelihatan seakan ia baru sadar, bahwa
sebenarnya ia tengah berhadapan dengan orang asing yang tak dikenal, dengan
siapa, hingga pagi ini, ia cuma pernah bertukar sapa sebanyak tak lebih dari
setengah lusin kalimat. Gadis itu tertawa, sopan tapi terasa aneh.
"Baiklah - Nyonya tua itu, umpamanya. Tuan sendiri barangkali sudah pernah
memperhatikannya - memang ia nyonya tua yang luar biasa jelek, tapi biarpun
begitu masih mempesonakan orang yang melihatnya. Ia hanya perlu mengangkat satu
jari saja dan meminta sesuatu dengan nada yang sopan - dan seluruh isi kereta
seakan-akan mengerjakan perintahnya itu."
"Perintah itu juga dilaksanakan kalau yang memintanya Tuan Buoc," sahut Poirot
menerangkan. "Tapi itu pun karena ia direktur perusahaan kereta api ini dan
bukannya karena ia punya kepribadian yang kuat."
Mary Debenham tersenyum. Pagi terus merayap menjadi siang. Beberapa penumpang,
termasuk Poirot, terlihat masih duduk di gerbong restorasi itu. Saat itu terasa
adanya suasana yang lebih hidup dan lebih bergairah daripada waktu-waktu
sebelumnya, semata-mata untuk
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya di antara sesama penumpang.
Poirot sudah mendengar banyak tentang anak perempuan NyonyaHubbard yang sering disebut-sebut itu. Juga tentang kebiasaan-kebiasaan Tuan
Hubbard selama masih hidup, tentang saat
kematiannya, dari mulai ia bangun pagi dan bersantap dengan bubur gandum sampai
ia menghembuskan napasnya yang terakhir di
tempat tidurnya pada malam hari, dengan masih mengemakan kaus kaki yang biasa
dirajut oleh Nyonya Hubbard sendiri untuk suaminya itu.
Ketika Poirot sedang asyik mendengarkan cerita yang
membingungkan mengenai tujuan misionari yang sebenarnya dari wanita Swedia itu,
salah seorang kondektur kereta datang
menghampiri dan berdiri di dekat sikunya yang diletakkan di meja.
"Pardon, Monsieur. "Ya?" "Salam dari tuan Buoc, dan Tuan dipersilakan datang menemuinya selama beberapa
menit, itu pun kalau Tuan bersedia."
Poirot langsung bangun dan setelah meminta maaf sekedarnya kepada gadis Swedia
itu, ia segera mengikuti kondektur keluar ruangan. Kondektur itu bukan kondektur
gerbongnya sendiri, tapi kondektur gerbong Tuan Buoc, laki-laki berperawakan
tinggi besar dan berparas tampan.
Detektif Belgia itu terus mengikuti langkah kondektur di
hadapannya, menyusuri koridor gerbongnya sendiri terus menuju gerbong yang lain.
Kondektur itu mengetuk pintu sebentar, lalu menyisih ke samping untuk
mempersilakan Poirot masuk.
Rupanya kamar itu bukanlah kamar Tuan Buoc sendiri, melainkan kamar gerbong
kelas dua, mungkin dipilih karena ukurannya yang lebih besar sedikit dari kamarkamar lainnya. Biasanya kamar-kamar seperti itu memberi kesan terlalu padat,
jadi rupanya Tuan Buoc memang sengaja memilih kamar yang satu ini, meskipun
letaknya di gerbong kelas dua.
Tuan Buoc sendiri nampak sedang duduk di sebuah kursi kecil di sudut yang
berhadapan dengan Poirot. Di sudut sebelahnya, dekat jendela yang menghadap ke
arah Tuan Buoc, nampak seorang lelaki
kecil berkulit kehitam-hitaman sedang melongok ke luar,
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan salju turun. Kecuali itu ada pula seorang pria yang sedang berdiri
dan nampaknya menjadi penghalang bagi Poirot untuk melangkah lebih ke depan,
sebab perawakan pria itu tinggi besar. Ia mengenakan seragam biru, dan pria itu
tak lain daripada kondektur gerbongnya sendiri, yang sekaligus menjabat sebagai
kepala kondektur kereta. "Ah! Temanku yang baik!" seru Tuan Buoc dengan suara riang.
"Mari masuk. Kami memerlukan Anda."
Raut muka yang diperlihatkan Tuan Buoc saat itu, memaksa Poirot berpikir keras.
Sudah jelas bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi.
"Apa yang terjadi?" tanya Poirot tak sabar.
"Silakan bertanya. Yang pertama salju keparat ini - dan pemberhentian kereta
kita ini. Dan sekarang -"
Tuan Buoc berhenti berbicara - kelihatannya ia susah bernapas dan tenggorokannya
tercekik, karena itu suaranya pun susah keluar.
"Dan sekarang apa?"
"Dan sekarang seorang penumpang ditemukan sudah tak
bernyawa lagi di atas tempat tidurnya tertikam."
Tuan Buoc berbicara dengan nada suara seperti orang putus asa meskipun
kedengarannya tenang. "Penumpang" Penumpang yang mana?"
"Orang Amerika. Orang yang namanya - yang namanya -" ia memeriksa daftar yang di
hadapannya. "Ratchett -Benar."
"Ratchett?" "Ya, Monsieur," sahut kondektur gerbong sambil menahan napas.
Poirot menatapnya. Wajahnya putih dan pucat seperti kapur.
"Baiknya kausuruh dia duduk dulu," ujar Poirot pada Tuan Buoc.
"Kalau tidak dia bisa pingsan."
Kepala kondektur kereta menggeserkan tubuhnya sedikit dan
kondektur gerbong itu duduk terhenyak di sudut dan langsung menutupi mukanya
dengan kedua belah tangan.
"Brrr! " teriak Poirot tiba-tiba. "Tidak main-main nih! "
"Tentu saja ini serius. Terus terang saja, sebagai permulaan, aku rasa
pembunuhan ini bagaikan kegaduhan yang begitu saja terjadi dalam suasana yang
begini tenang bagai air. Tapi bukan itu saja. Di sini kita sedang tertahan.
Mungkin kita bisa tertahan sampai berjam-jam - bahkan lebih dari itu - sampai
berhari-hari! Keadaan lainnya jika sedang melintasi negeri-negeri lain mungkin ada satu dua polisi dari negeri
itu yang ditugaskan di kereta kita. Tapi di Yugoslavia ini tidak bisa. Kau
mengerti?" "Jadi kita dalam posisi yang amat sulit," ujar Poirot.
"Bahkan mungkin bisa jadi lebih sulit lagi. Dr. Constantine - saya sampai lupa,
saya belum memperkenalkan Anda. Dr. Constantine, Tuan Poirot."
"Dr. Constantine berpendapat orang itu meninggal sekitar pukul satu malam."
"Sukar untuk menentukan waktu yang tepat dalam soal-soal semacam ini," sahut
dokter itu, "tapi saya rasa saya berani ambil kepastian bahwa orang itu
meninggal antara pukul dua belas tengah malam dan pukul dua pagi."
"Kapan Tuan Ratchett ini terakhir kelihatan masih hidup?"
"Ia diketahui masih hidup kira-kira dua puluh menit sebelum pukul satu, sewaktu
ia berbicara kepada kondektur," sahut Tuan Buoc.
"Betul," ujar Poirot membenarkan. "Aku sendiri mendengar apa yang terjadi saat
itu. Apa ini hal terakhir yang diketahui tentang si Ratchett itu?"
"Ya." Poirot memalingkan kepalanya ke arah Dokter Constantine, yang lalu melanjutkan
bicaranya tanpa diminta. "Jendela kamar Tuan Ratchett diketemukan terbuka lebar, seolah-olah memberikesan bahwa pembunuhnya lari dari situ. Tapi menurut saya, kesan itu dibuat
justru untuk mengelabui kita. Siapa pun juga yang melarikan diri dari jendela
pasti akan meninggalkan jejak di salju. Tapi justru tak ada jejak sama sekali."
"Kapan pembunuhan itu diketahui?" tanya Poirot.
"Michel!" Kondektur gerbong Poirot itu tersentak. Wajahnya masih kelihatan pucat dan
ketakutan. "Ceriterakan hal yang sebenarnya pada kedua Tuan ini," ujar Tuan Buoc
memerintahkan. Orang itu berceritera dengan suara yang tersendat-sendat.
"Pelayan pria Tuan Ratchett itu saya dengar berkali-kali mengetuk pintu kamar
tuannya. Tapi tak ada jawaban. Lalu setengah jam yang lalu, saya lihat pelayan
gerbong restorasi datang menghampiri kamar itu. Rupanya ia ingin tahu apakah
Tuan Ratchett ingin makan siang.
Waktu itu sudah pukul sebelas, Tuan."
"Lalu saya sendiri yang membukakan pintu untuknya, dengan kunci yang ada pada
saya. Tapi sewaktu saya mau membukanya, ternyata tidak bisa, sebab pintunya
sudah dirantai dari dalam, dan dikunci, lagi. Tetap tak ada jawaban apa-apa,
suasana waktu itu sepi sekali dan dinginnya bukan main. Apalagi jendelanya
terbuka begitu lebar dan sesekali cipratan salju ikut masuk. Saya pikir mungkin
penghuni kamar itu sudah gila. Lalu cepat-cepat saya minta tolong
'chef de train'. Kemudian sesudah berhasil memutuskan rantai itu, kami berdua
masuk. Tapi yang kulihat - Ah! C'etait terrible!
Kembali kondektur itu membenamkan wajahnya di telapak
tangannya. "Jadi pintu kamar itu dikunci dan dirantai dari dalam," ujar Poirot sambil
berpikir-pikir. "Jadi ini bukan bunuh diri - eh?"
Dokter berkebangsaan Yunani itu tertawa sengit. "Memangnya orang bunuh diri itu
mampu menusuk badannya sendiri sampai sepuluh - dua belas - lima belas tempat?"
tanyanya. Mata Poirot terbuka lebar. "Benar-benar kejam!" ujarnya seolah baru tersadar.
"Pasti itu perempuan," ujar "chef de train" mulai membuka suara.
"Mengingat keadaannya sih, itu pasti perempuan. Cuma perempuan yang bisa menikam
sebanyak itu." Dokter Constantine mengerutkan kening, mulai berpikir keras.
"Tentunya perempuan yang kuat sekali," ujarnya. "Bukan maksud saya untuk
berbicara secara teknis - yang cuma membingungkan orang saja; tapi saya yakin
bahwa satu atau dua tusukan itu pasti dihunjamkan kuat-kuat, terutama pada
tulang-tulang dan otot-otot yang keras."
"Tapi jelas itu bukan pembunuhan ilmiah," ujar Poirot.
"Malahan pembunuhan yang paling biadab," ujar Dr. Constantine membantah.
"Tusukan-tusukannya kelihatannya sangat berbahaya dan membabi buta. Beberapa di
antaranya nampaknya cuma dilakukan sepintas lalu saja, hampir-hampir tak menimbulkan bekas.
Tapi tusukan-tusukan yang kuat itu sepertinya dilakukan oleh orang yang sengaja
memejamkan matanya lalu menusuk dengan buas
berulang kali." "Pasti itu perempuan," ujar chef de train itu lagi mencoba meyakinkan
keterangannya. "Perempuan biasanya suka seperti itu.
Kalau mereka benar-benar marah, tenaganya bertambah." Lalu ia mengangguk dalamdalam dan tampaknya begitu yakin, hingga
orang lain yang ada di situ cenderung untuk mencurigai mungkin itu perbuatannya
sendiri. "Mungkin ada sesuatu yang bisa saya sumbangkan untuk
menambah pengetahuan Saudara," ujar Poirot. "Tuan Ratchett sendiri bicara dengan
saya kemarin. Sejauh yang saya bisa mengerti, ia menceritakan pada saya bahwa
hidupnya sedang diintai bahaya,"
ujarnya lagi pada chef de train itu.
"Mau dibunuh - adalah istilah Amerika-nya bukan?" tanya Tuan Buoc. "Kalau begitu
pembunuhnya bukan perempuan. Pasti 'gangster'
atau 'tuiang tembak'."
Chef de train itu kelihatan tertusuk melihat teorinya disangkal.
"Kalau begitu," ujar Poirot lagi, "sepertinya pembunuhan itu dilakukan bukan
oleh orang yang ahli dan sepertinya melakukannya terburu-buru." Nada suaranya
seolah mencela pembunuh bayaran.
"Di kereta ini ada orang Amerika yang perawakannya tinggi besar," ujar Tuan
Buoc, mengikuti jalan pikirannya tadi, "wajahnya pasaran dan selalu berpakaian
kumal dan jorok. Ia selalu mengunyah permen karet dengan cara yang lain daripada
biasa. Kau tahu orang yang kumaksudkan?"
Kondektur itu mengangguk.
"Oui, Monsieur, kamar no.16. Tapi tak mungkin dia orangnya.
Seharusnya saya melihatnya kalau ia masuk atau keluar kamar itu."
"Mungkin juga tidak. Mungkin juga tidak. Tapi kita pasti bisa memeriksa dia
nanti. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang dapat kita, lakukan?" Lalu ia
memandang Poirot. Poirot membalas pandangan temannya itu.
"Ayo, Kawan," ujar Tuan Buoc. "Aku kira kau sudah cukup mengerti apa yang akan
kutanyakan kepadamu. Aku tahu
kemampuanmu. Pimpin pemeriksaan ini! Jangan, jangan, jangan menolak. Kaulihat
sendiri, bagi kami - ini benar-benar soal yang serius, aku bicara mewakili
Compagnie Internationale des Wagons Lits. Sementara menunggu polisi Yugoslavia,
alangkah baiknya kalau kita sudah bisa memperlihatkan hasilnya! Kalau tidak
pasti kita dihadapi dengan seribu satu macam penundaan, gangguan seribu satu
macam dan yang bisa membuat kepala pusing tujuh keliling.
Barangkali, siapa tahu, gangguan-gangguan seperti ini bisa melibatkan orangorang yang tak bersalah. Sebaliknya, jika kau berhasil memecahkan misteri itu!
Wah! Kita tinggal bilang, "Ada pembunuhan di kereta ini - dan ini dia
pembunuhnya!" "Ah, umpamanya aku tak bisa memecahkannya?"
"Ah, mon cher! " Nada suara Tuan Buoc jelas kedengaran seperti orang yang sedang
membujuk. "Aku tahu reputasimu. Aku tahu sedikit cara-caramu memecahkan masalah.
Justru ini dia perkara yang tepat untukmu. Melihat kembali latar belakang dan
riwayat hidup penumpang-penumpang kereta ini, menyelidiki kemampuan mereka
masing-masing kesemuanya ini pasti memakan waktu dan menimbulkan hal-hal yang
tak enak. Tapi apa aku belum pemah mendengar dari mulutmu sendiri, untuk
memecahkan suatu masalah itu, seseorang cuma perlu bersandar di kursinya dan
berpikir" Lakukanlah itu. Wawancarailah semua penumpang kereta, periksalah tubuh si
korban, selidikilah bukti-bukti yang ada, dan kemudian semuanya kuserahkan padamu! Aku yakin kau tidak cuma membual saja. Bersandarlah
di kursi dan pikirkan masalahnya (sebagaimana yang aku sering dengar dari
mulutmu sendiri) gunakanlah sel-sel kecil berwarna kelabu di belakang kepalamu
itu - dan kau akan mendapat hasil!"
Tuan Buoc memajukan tubuhnya ke muka memandang wajah
sahabatnya dengan penuh harap.
"Kepercayaanmu padaku rupanya sanggup menyentuh hatiku, Kawan," ujar Poirot
penuh haru. "Seperti yang kaukatakan, kasus yang sedang kuhadapi ini boleh
dibilang bukanlah kasus yang sulit.
Aku sendiri kemarin malam - ah, lebih baik jangan kita bicarakan sekarang.
Sebenarnya kasus ini telah berhasil membangkitkan minatku. Belum ada setengah
jam yang lalu, sebenarnya aku sudah membayangkan, betapa membosankannya
membiarkan jam-jam di depan kita berlalu begitu saja, sedangkan kita cuma terpaku di sini, tak berdaya
apa-apa. Dan sekarang - sebuah misteri di hadapanku, siap untuk dipecahkan."
"Jadi kauterima, bukan?" ujar Tuan Buoc lagi penuh semangat.
"C'est entendu. Kau sudah meletakkannya sendiri di tanganku."
"Baik, kalau begitu. Kami semua di sini siap membantumu."
"Sebagai permulaan, sebenarnya aku ingin dibuatkan peta kereta Istambul - Calais
ini, dengan daftar nama penumpang berikut nomor kamarnya masing-masing, dan aku
juga ingin lihat karcis kereta dan paspor-paspor mereka."
"Michel akan menyiapkannya untukmu."
Kondektur kereta meninggalkan kamar itu.
"Penumpang apa lagi yang ada di kereta ini?" tanya Poirot.
"Di gerbong ini cuma Dr. Constantine dan aku sendiri. Sedangkan di gerbong yang
dari Bukares itu cuma ada orang tua yang kakinya pincang sebelah. Ia sudah kenal
baik dengan kondektur. Di samping itu juga ada beberapa gerbong biasa, tapi ini
tidak menyangkut persoalan kita, sebab gerbong-gerborig itu sudah dikunci tadi
malam langsung sehabis makan. Di depan gerbong Istambul Calais cuma ada gerbong
restorasi." "Kalau begitu nampaknya," ujar Poirot lambat-lambat, "kita harus mencari
pembunuhnya di gerbong Istambul-Calais itu." Lalu ia, berpaling ke Dokter
Constantine. "Gerbong itu kan yang Tuan maksud"
Dokter berkebangsaan Yunani itu mengangguk. "Setengah jam setelah lewat tengah
malam kita terhalang oleh tumpukan salju itu.
Sejak itu tak ada orang yang bisa meninggalkan kereta."
Terdengar suara Tuan Buoc dengan nada prihatin, "Pembunuhnya pasti ada bersama
kita - di kereta sekarang..."
6. SEORANG WANITA "Pertama-tama," ujar Poirot, "aku ingin berbicara sebentar dengan Tuan MacQueen,
Barangkali dia bisa memberi kita keterangan yang berharga."
"Tentu saja," sahut Tuan Buoc. Lalu ia berpaling ke "chef de train." "Panggil
Tuan MacQueen ke, sini."
Chef de train itu meninggalkan gerbong.
Dalam pada itu kondektur gerbong Istambul Calais telah kembali dengan membawa
setumpukan paspor dan karcis penumpang. Tuan Buoc langsung mengambilnya dari
tangannya. "Terima kasih, Michel. Saya rasa sekarang baiknya kau kembali saja ke posmu
untuk sementara. Akan kita ambil kesaksianmu secara resmi nanti."
"Baik, Tuan," lalu Michel pun berlalu dari gerbong itu.
"Sesudah kita periksa Tuan MacQueen," ujar Poirot, "barangkali Dokter
Constantine akan ikut bersamaku memeriksa tubuh korban."
"Tentu saja." "Dan setelah selesai memeriksa di sana - "
Tapi belum habis Poirot berbicara, muncul chef de train bersama Hector MacQueen.
Tuan Buoc bangun. "Kita sudah agak kejang duduk terus-menerus," ujarnya dengan
simpatik. "Duduk saja di kursiku ini, Tuan MacQueen. Tuan Poirot biar duduk
berhadapan - nah, begitu."
Ia berpaling ke chef de train. "Perintahkan semua orang meninggalkan gerbong
restorasi," ujarnya, "Supaya Tuan Poirot bisa leluasa duduk di situ sendirian.
Kau akan mewawancarai penumpang-penumpang itu di sana, mon cher?"
"Kalau bisa memang lebih baik di sana," sahut Poirot menyetujui.
Dalam pada itu MacQueen sesekali menatap Poirot dan kemudian menatap Tuan Buoc
bergantian, nampaknya masih bingung dan tak begitu memahami pembicaraan mereka
yang dilakukan dalam bahasa Perancis yang dirasakannya terlalu cepat.
"Qu'est-ce qu'il ya" " tanyanya dengan susah payah dalam bahasa Perancis.
"Pourquoi ?" Dengan penuh keyakinan Poirot mengisyaratkannya supaya duduk disudut. MacQueen
mengikuti kemauannya, tapi lalu mulai bertanya
lagi seolah masih penasaran, karena pertanyaannya tadi belum dijawab Poirot.
"Pourquoi -?" Lalu cepat-cepat menterjemahkannya ke dalam bahasa sendiri, "Ada
apa di kereta ini" Ada sesuatu yang terjadi?"
Bergantian ia memandang Poirot dan Tuan Buoc.
Poirot mengangguk. "Tepat. Ada sesuatu yang terjadi di kereta ini.
Awas, jangan terkejut. Majikanmu, Tuan Ratchett, meninggal!"
MacQueen bersiul iseng. Kecuali sorot matanya yang tambah
bersinar, tak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa ia terkejut atau
sedih. "Jadi, akhirnya mereka bisa melaksanakannya juga! "
"Apa sebenarnya yang Tuan maksud dengan berbicara seperti itu, Tuan MacQueen?"
MacQueen kelihatan ragu-ragu.
"Tuan kira," ujar Poirot, "Tuan Ratchett dibunuh orang?"
"Iya kan?" Kali ini MacQueen baru kelihatan heran.
"Sebab ya," ujarnya lambat-lambat. "Persis seperti yang kukira.
Tuan maksud ia mati sewaktu tidur" Saya tak tahu, orang tua itu memang keras
seperti-seperti -" MacQueen berhenti, tak menemukan pembandingnya.
"Bukan, bukan," ujar Poirot. "Perkiraan Tuan memang tepat sekali.
Tuan Ratchett memang ditikam orang. Tapi saya ingin tahu kenapa Tuan begitu
yakin bahwa itu adalah pembunuhan dan bukan
kematian yang wajar."
MacQueen ragu-ragu sebentar. "Ini perlu dijelaskan. Siapa Tuan sebenarnya" Dan
apa jabatan Tuan?" "Saya mewakili Compagnie Interilationale des Wagons Lits." Poirot berhenti
sebentar, kemudian menambahkan, "Saya detektif. Nama saya Hercule Poirot."
Kalau pada saat itu Poirot mengira akan ada pengaruhnya, ia keliru. MacQueen
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cuma berkata datar, "Oh! Ya?" dan menunggu sampai Poirot berkata lebih lanjut.
"Barangkali Tuan pernah dengar nama itu?"
"Ya, rasanya nama itu tak asing lagi. Tapi saya selalu mengira nama itu nama
penjahit baju wanita."
Hercule Poirot memandangnya dengan rasa tak senang. "Tak mungkin! " serunya.
"Apa yang tak mungkin?"
"Tak apa-apa. Mari kita lanjutkan pemeriksaan ini. Saya ingin Tuan menceritakan
pada saya, Tuan MacQueen, segala sesuatu yang Tuan ketahui mengenai diri si
korban. Tuan, tak punya hubungan apa-apa dengannya?"
"Tidak. Saya cuma sekretarisnya saja - tak lebih dari pada itu."
"Berapa lama Tuan memegang jabatan itu?"
"Baru setahun lebih."
"Silakan Tuan memberi keterangan yang semua Tuan ketahui pada saya."
"Begitulah, saya ketemu Tuan Ratchett sewaktu saya masih di Persia
Poirot menyela. "Apa yang Tuan kerjakan di sana?"
"Saya khusus datang dari New York untuk mencari konsesi minyak di sana. Saya
rasa Tuan tak ingin mendengar ceritanya. Saya dan teman-teman saya saat itu tak
berhasil mendapatkan konsesi yang diinginkan. Kebetulan pada waktu itu Tuan
Ratchett sehotel dengan saya. Ia baru saja bertengkar dengan sekretarisnya. Ia
menawarkan saya menggantikan sekretarisnya, dan langsung saya terima.
Kebetulan saat itu kontrak kerja saya sudah habis, karena itu dengan
senang hati saya terima pekerjaan yang bayarannya tergolong besar itu."
"Dan sesudah itu?"
"Kami bepergian tak henti-hentinya, Tuan Ratchett ingin melihat dunia. Tapi
keinginannya terhalang karena ia tak bisa bahasa lain, kecuali bahasa ibunya
sendiri. Boleh dibilang saya lebih banyak bertindak selaku penterjemah daripada
sekretaris. Benar-benar hidup yang menyenangkan."
"Sekarang ceritakan pada saya tentang majikanmu sebanyak mungkin."
Orang muda itu mengangkat bahu. Wajahnya kelihatan bingung, tak mengerti.
"Tak begitu gampang seperti yang Tuan kira."
"Siapa nama lengkapnya?"
"Samuel Edward Ratchett."
"Warga negara Amerika?"
"Ya." "Dari negara bagian mana?"
"Saya tak tahu."
"Baiklah, ceritakan saja apa yang Tuan tahu."
"Yang sebenarnya, Tuan Poirot, saya ini tak tahu apa-apa! Tuan Ratchett sama
sekali tak pernah menyinggung-nyinggung tentang kehidupan pribadinya atau
kehidupannya di Amerika."
"Kenapa begitu menurut pendapat Tuan?"
"Saya tak tahu. Saya rasa barangkali ia malu pada masa lalunya.
Ada orang yang begitu."
"Apa Tuan kira letak pemecahan masalah ini ada di situ?"
"Terus terang saja, bukan."
"Dia punya saudara?"
"Dia tak pernah menyebut-nyebut itu."
Poirot mencoba menekankan pada hal itu.
"Mestinya Tuan sudah membuat teori sendiri, Tuan MacQueen."
"Ya, begitulah, yang jelas, saya tak percaya Ratchett itu namanya yang
sebenarnya. Saya rasa dia meninggalkan Amerika karena ia ingin membebaskan diri
dari seseorang atau sesuatu hal. Saya kira sebegitu jauh dia memang berhasil sampai beberapa minggu ini."
"Lalu?" "Ia mulai menerima surat-surat - surat ancaman."
"Tuan melihatnya?"
"Ya. Itu termasuk tugas saya, mengurusi surat menyurat yang dilakukannya. Surat
pertama muncul kira-kira dua minggu yang lalu."
"Apa surat-surat itu dibakar semua?"
"Tidak. Saya rasa saya masih menyimpan beberapa di dalam map saya - salah satu
di antaranya pernah dirobek-robek Ratchett dengan marah. Mau saya ambilkan?"
"Kalau Tuan tak keberatan."
MacQueen segera meninggalkan gerbong restorasi itu. Beberapa menit kemudian ia
datang lagi dan langsung meletakkan dua lembar kertas surat yang agak dekil di
hadapan Poirot. Surat pertama berbunyi sebagai berikut:
Kaupikir kau bisa melarikan diri, setelah menipu kami" Tidak bisa, selama kau
masih hidup. Kami sudah bersiap-siap untuk
menangkapmu, Ratchett! Dan pasti kami berhasil!
Tak ada tanda tangan di bawahnya.
Poirot cuma sempat menaikkan alis matanya sedikit, sehabis membaca surat itu,
dan tak memberi komentar apa-apa. Kemudian diambilnya surat yang kedua.
Kami akan menjemputmu dan mengajakmu berpergian ke suatu
tempat. Dalam waktu dekat, kami akan menangkapmu, mengerti"
Poirot meletakkan surat itu.
"Gayanya senada!" serunya pasti. "Gaya penulisannya lebih meyakinkan daripada
tulisan itu sendiri."
MacQueen memandangnya sejenak.
"Tuan pasti tak memperhatikannya," ujar Poirot ramah. "Surat ini memerlukan mata
yang sudah terlatih untuk membacanya. Surat ini bukannya ditulis oleh seorang
saja, Tuan MacQueen. Setidak-tidaknya yang menulisnya dua orang atau mungkin
juga lebih - masing-masing menuliskan sebuah kata, setiap kali. Kecuali itu, surat ini
dicetak, bukan ditulis. Karena itulah lebih sulit untuk mengenalinya daripada
tulisan tangan biasa." Detektif Belgia itu berhenti sebentar, kemudian berkata
lagi, "Apa Tuan tahu Tuan Ratchett pernah meminta tolong saya?"
"Pada Tuan?" Nada suara MacQueen yang seolah keheranan itu meyakinkan
Poirot bahwa sebenarnya MacQueen tak tahu akan hal itu.
Poirot mengangguk. "Ya, dia ngeri. Coba katakan pada saya, bagaimana reaksinya
setelah dia menerima surat pertama?"
MacQueen kelihatan ragu-ragu sejenak.
"Susah untuk mengatakannya - ia menertawakannya dengan caranya yang khas. Tapi
bagaimanapun -" suaranya gemetar sedikit "Saya merasa ada sesuatu di balik ketenangannya itu -"
Poirot mengangguk. Lalu ia sampai pada pertanyaan yang tak diduga-duga.
"Tuan MacQueen, maukah Tuan katakan secara terus terang, bagaimana penilaian
Tuan terhadap Tuan Ratchett itu" Sebagai majikan Tuan sendiri" Tuan
menyukainya?" Hector berpikir dulu satu dua menit sebelum menjawab.
"Tidak," akhirnya ia berkata. "Saya tak suka padanya."
"Kenapa?" "Saya tak tahu persis kenapa. Sebenarnya tingkah lakunya yang tenang itu cukup
menyenangkan." Hector MacQueen berhenti sebentar, kemudian menyambung kembali,
"Saya katakan yang sebenarnya, Tuan Poirot. Saya tak senang padanya, saya tak
percaya padanya. Rasanya, dia itu orang yang kejam dan berbahaya, dan saya yakin
akan hal ini. Saya mesti mengakui hal yang satu ini, meski saya tak punya alasan
untuk mendukung pendapat saya itu."
"Terima kasih, Tuan MacQueen. Pertanyaan selanjutnya, Kapan Tuan melihat Tuan
Ratchett terakhir masih hidup?"
"Kemarin malam kira-kira -" ia berpikir sejenak - "pukul sepuluh, begitulah.
Waktu itu saya masuk ke kamarnya dan menolong
menuliskan surat yang didiktekannya kepada saya."
"Tentang apa?" "Tentang contoh-contoh ubin dan pot-pot antik yang dibelinya dari Persia.
Barang-barang yang dikirimkan kepadanya ternyata tidak sama dengan yang ingin
dibelinya. Surat-menyurat tentang ini telah berjalan dalam waktu lama dan sangat
menjengkelkan." "Dan saat itu saat terakhir Tuan Ratchett terlihat masih hidup?"
"Ya, saya kira begitu."
"Tuan Tahu kapan Tuan Ratchett menerima surat ancaman yang terakhir kali?"
"Pada pagi waktu kita meninggalkan Konstantinopel."
"Masih ada satu pertanyaan lagi yang ingin saya tanyakan, Tuan MacQueen. Apakah
Tuan mempunyai hubungan yang baik dengan
majikan Tuan itu?" Sekonyong-konyong mata orang muda itu bersinar sedikit.
"Pertanyaan inilah yang kira-kira bakal mendirikan bulu kuduk saya. Dalam
istilah dagangan yang laris, 'Tuan tak bakal berhasil mendapatkan apa-apa dari
saya'. Ratchett dan saya punya hubungan yang baik sekali."
"Barangkali Tuan tak keberatan menuliskan nama lengkap dan alamat Tuan di
Amerika untuk saya."
MacQueen menuliskan namanya - Hector Willard MacQueen - dan sebuah alamat di New
York. Poirot bersandar pada bantal kursi.
"Untuk sementara itu cukup sebegitu dulu, Tuan MacQueen,"
ujarnya. "Saya harap Tuan dapat merahasiakan kematian Tuan Ratchett ini buat
sementara waktu." "Tapi pelayannya, si Masterman itu harus mengetahui ini."
"Mungkin ia sendiri sudah tahu," sahut Poirot datar. "Seandainya begitu, cobalah
bujuk dia supaya menutup mulutnya dulu untuk sementara ini."
"Tak begitu sulit. Dia orang Inggris, dan sebagaimana dikatakannya sendiri,
'semua persoalan yang dihadapinya akan disimpannya untuk diri sendiri.' Dia
menganggap rendah orang Amerika, dan sama sekali tak peduli pada bangsa-bangsa
lainnya. "Terima kasih, Tuan MacQueen."
Orang Amerika itu meninggalkan gerbong restorasi.
"Nah," ujar Tuan Buoc, "bagaimana" Kau percaya pada semua yang dikatakan orang
muda itu tadi?" "Kelihatannya ia jujur dan terus terang. Ia tidak menutup-nutupi hubungannya
dengan majikannya, sebagaimana ia mungkin perlu
melakukannya jika dalam satu dan lain hal ia memang terlibat.
Memang benar kalau begitu, Tuan Ratchett tak pernah
memberitahukan padanya bahwa ia pernah minta tolong padaku, dan kutolak, tapi
aku rasa itu tidak mencurigakan. Aku yakin Tuan Ratchett itu adalah jenis orang
yang suka berdiam diri dan tak suka menceritakan rencananya pada siapa pun, dan
dalam setiap kesempatan apa pun juga."
"Jadi kau mau mengatakan bahwa paling tidak satu orang sudah dibebaskan dari
tuduhan pembunuhan yang keji itu?" tanya Tuan Buoc berkelakar.
Poirot menutupi perasaan malunya.
"Aku, aku mencurigai setiap,orang sampai menit terakhir,"
ujarnya. "Sama saja, harus diakui, aku sendiri, tak bisa membuktikan bahwa orang
yang tenang dan berkepala panjang seperti si
MacQueen itu tiba-tiba tak bisa menguasai dirinya dan menikam korbannya dengan
dua belas sampai empat belas kali tusukan. Itu sama sekali tidak sesuai dengan
jiwanya - sama sekali tidak."
"Memang tidak," sahut Tuan Buoc sambil mengerutkan kening.
"Ini perbuatan laki-laki yang sudah hampir gila karena menyimpan rasa benci yang
sangat. Lebih cocok rasanya kalau pembunuhan ini dilakukan oleh orang yang
temperamennya panas seperti orang Amerika Latin. Atau bisa juga, seperti
sebagaimana yang dikatakan berulang kali oleh chef de train itu - si pembunuhnya
adalah seorang perempuan.
7. TUBUH KORBAN Dengan didampingi oleh Dr. Constantine, Poirot melangkah
menuju ke gerbong sebelah, ke kamar korban. Kondektur kereta menyusul dan
membukakan pintunya untuk mereka.
Kedua orang itu langsung masuk. Poirot berpaling ke kawannya dengan pandangan
penuh tanda tanya. "Berapa banyak yang sudah tak pada tempatnya lagi di dalam kamar ini?"
"Belum ada yang dipegang. Saya cukup berhati-hati untuk tidak menyentuh tubuh di
korban sedikit pun selama pemeriksaan."
Poirot mengangguk. Ia melihat ke sekeliling.
Hal pertama yang membangkitkan perasaannya adalah cuaca
dingin saat itu. Jendela kamar dibuka lebar-lebar dan kereinya dinaikkan ke atas
tinggitinggi. "Brrrr," Poirot menggigil kedinginan.
Yang seorang lagi tersenyum memahami.
"Saya tak mau menutupnya," ujarnya.
Poirot memeriksa jendela itu dengan teliti.
"Tuan benar," ujarnya memberitahu. "Tak ada orang yang meninggalkan gerbong
dengan cara ini. Mungkin jendela yang terbuka ini dimaksudkan untuk memberi
kesan bahwa ada orang yang melarikan diri dari gerbong dengan cara itu. Tapi
kalau benar begitu, salju itu pasti bisa menggagalkan maksudnya."
Detektif Belgia itu lalu memeriksa bingkai jendela berikut kacanya dengan
teliti. Diambilnya sebuah kotak kecil dari saku celananya, lalu ditiupnya bubuk
yang telah ditempelkannya sendiri pada bingkai jendela.
"Tak ada sidik jari sama sekali," ujarnya. "Itu berarti sidik jari itu sudah
dihapus. Biarpun begitu, seumpamanya sidik jari itu ada, itu juga tak akan
menolong banyak buat kita. Sidik jari itu bisa saja sidik jari Tuan Ratchett,
atau pelayan prianya atau kondektur itu. Tapi umumnya pembunuh tak membuat
kesalahan semacam itu lagi
sekarang." "Dan karena itulah," ujarnya dengan suara riang, "kita boleh langsung menutup
jendela. Dinginnya benar-benar seperti lemari es di sini!"
Disesuaikannya tindakannya dengan perkataannya barusan dan untuk pertama kalinya
ia berpaling ke tubuh yang tak bergerak-gerak yang sedang terbaring di tempat
tidur itu. Ratchett tergeletak. Baju piyamanya, yang penuh noda-noda yang mengerikan.,
nampak terbuka semua kancingnya dan disibakkan ke belakang.
"Saya harus memeriksa luka-lukanya, Tuan mengerti?" tanya Dokter Constantine.
Poirot mengangguk. Ia membungkuk di hadapan tubuh yang
sudah menjadi mayat itu. Akhirnya ditegakkannya kembali badannya sambil
meringis. "Benar-benar sudah rusak," ujarnya jijik. "Mestinya ada orang yang terus berdiri
di dekatnya dan menikamnya berkali-kali. Ada berapa luka sebenarnya?"
"Menurut perhitunganku semuanya ada dua belas. Satu dua di antaranya tak begitu
kelihatan, seolah cuma penikaman yang asal jadi saja. Sebaliknya, paling tidak
ada tiga luka lagi yang bisa membawa kematiannya."
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membangkitkan rasa ingin tahu Poirot.
Detektif Belgia itu memandangnya lekat-lekat. Dokter berkebangsaan Yunani yang
bertubuh kecil itu sedang berdiri sambil mengamat-amati tubuh si korban dengan
kening berkerut. "Ada yang aneh, ya tidak?" tanya Poirot lembut. "Katakan saja, Kawan. Apa ada
sesuatu yang membingungkan?"
"Tuan benar," sahut yang satu mengakui.
"Apa itu?" "Tuan lihat, dua luka ini - yang ini - dan yang itu -" ujarnya sambil menunjuk.
"Cukup dalam. Tiap tusukan mestinya mengalirkan darah tapi pinggirannya tidak sampai menganga. Luka-lukanya ternyata tidak berdarah
seperti yang orang kira."
"Jadi?" "Jadi korban sudah meninggal lebih dulu sebelumnya, sewaktu ia ditusuk. Tapi ini
tak masuk akal. " "Bisa juga begitu, " ujar Poirot sambil berpikir keras.
"Kecuali si pembunuh mengira ia belum mengerjakan tugasnya dengan baik, lalu
cepat-cepat kembali lagi untuk memastikan - tapi ini juga tak masuk akal! Ada
bukti lain?" "Satu lagi." "Ya, apa itu?" "Tuan lihat luka ini - di bawah lengan sebelah kanan - dekat bahu kanan. Coba
pegang pinsil saya ini. Coba bayangkan, apakah Tuan bisa menikam orang dalam
posisi seperti ini?"
Poirot meraba-raba. "Tepat ujarnya. "Saya mangerti. Dengan tangan kanan sangat sukar, hampir-hampir
tak mungkin. Mau tidak mau si pembunuh mesti membuat tusukan dengan belakang
telapak tangannya. Tapi umpamanya tusukan itu dilakukan dengan tangan kiri."
"Tepat, Tuan Poirot. Kelihatannya tusukan itu dilakukan dengan tangan kiri."
"Jadi kalau begitu pembunuhnya kidal" Tidak, pasti lebih sulit bukan" Kalau
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaannya begitu?" "Begitulah, seperti Tuan katakan. Beberapa tusukan lainnya jelas dibuat dengan
tangan kanan." "Dua orang. Kembali kita dihadapi dengan perkiraan bahwa pelakunya dua orang,"
gerutu detektif Belgia itu. Tiba-tiba ia bertanya, "Lampunya menyala waktu itu?"
"Sulit untuk mengatakannya. Tuan lihat sendiri, listrik selalu dimatikan
kondektur, tiap pukul sepuluh pagi."
"Tapi tombolnya bisa dilihat," ujar Poirot lagi.
Lalu ia memeriksa tombol lampu atas dan juga tombol lampu
kepala di atas tempat tidur. Yang pertama dimatikan tapi yang terakhir tertutup,
jadi tak terpakai sama sekali.
"Eh, bien, " ujarnya sambil berpikir-pikir. "Disini kita dapatkan hipotesa dari
pembunuh pertama dan pembunuh kedua, seperti yang ditulis oleh Shakespeare yang
besar itu. Pembunuh pertama langsung meninggalkan kamar dan mematikan lampunya,
setelah menikam tubuh si korban. Pembunuh kedua masuk ke kamar dalam gelap,
tanpa mengetahui bahwa pekerjaannya sudah ada yang melakukan, dan menusuk tubuh
yang sudah mati itu paling tidak dua kali. Que pensez-vous de ca" "
"Mengagumkan!" seru dokter bertubuh kecil itu dengan penuh gairah.
Sepasang mata yang lain kelihatan ikut bersinar.
"Pikiran Tuan begitu" Saya senang. Bagi saya kedengarannya agak tak masuk akal."
"Habis, penjelasan apa lagi yang bisa diberikan?"
"Justru itulah yang sedang saya tanyakan pada diri sendiri. Apakah di sini ada
faktor kebetulan, atau semacam itu" Adakah lain hal lagi yang bisa menunjukkan
bahwa kedua pembunuh itu mempunyai
hubungan satu sama lain?"
"Saya rasa, ya. Beberapa dari tusukan ini, seperti yang sudah saya katakan tadi,
dihunjamkan dengan lemah - dengan tenaga yang kurang, dan dengan kekuatan yang
tak terarah. Tusukan itu lemah, cuma asal saja. Tapi yang satu ini - dan yang
ini juga." Lalu ia menunjuk kembali pada luka-luka itu. "Dibutuhkan tenaga besar
untuk membuat tikaman seperti itu. Tusukannya sampai menembus Otot."
"Jadi, menurut pendapat Tuan, tusukan-tusukan itu dilakukan oleh seorang pria?"
"Pasti begitu."
"Tak mungkin dilakukan oleh seorang wanita?"
"Wanita muda yang kuat, bertenaga besar dan berbadan atletis mungkin bisa
menusuk seperti itu, terutama kalau dia sedang dikuasai oleh emosi yang sangat
kuat, tapi menurut saya, masih tidak mungkin."
Poirot terdiam selama beberapa menit.
Yang satunya bertanya dengan penuh harap, "Tuan mengerti jalan pikiran saya?"
"Bagus sekali," ujar Poirot. "Persoalannya jadi terbuka sendiri!
Pembunuhnya pria, yang bertenaga besar - dan tenaga yang lemah itu - seorang
wanita - yang satunya normal dan yang satunya kidal.
Ah, c'est rigolo, tout ca!" Ia berbicara dengan amarah yang timbul secara tibatiba. "Dan si korban sendiri - saat itu" Berteriakkah"
Melawankah" Membela dirikah?"
Dimasukkannya tangannya ke bawah bantal dan dikeluarkannya pistol otomatis yang
telah diperlihatkan Ratchett kepadanya sehari sebelumnya.
"Tuan lihat sendiri, pistolnya sudah diisi penuh penuh."
Kedua orang itu melihat ke sekeliling. Pakaian Ratchett sehari-hari tergantung
pada gantungannya di dinding. Di atas kaca tempat cuci tangan terdapat bermacammacam barang. Gigi-gigi palsu yang dicemplungkan di dalam gelas berisi air.
Gelas yang satunya kosong.
Sebotol air putih. Sebuah termos besar. Lalu sebuah asbak berisi puntung rokok
d.an potongan-potong.an kertas yang kelihatan habis dibakar, dan akhirnya dua
batang korek api yang telah dipergunakan.
Dokter Constantine meraih gelas kosong itu dan menciumnya.
"Inilah yang bisa menjelaskan bagaimana korban sampai tidak bisa mengadakan
perlawanan bagi dirinya sendiri."
"Dibius?" Poirot mengangguk, lalu dipungutnya dua batang korek api itu, dan diperiksanya
dengan teliti. "Tuan sudah bisa melihat bukti lain dari situ?", tanya dokter Yunani itu penuh
harap. "Kedua batang korek api ini tidak sama bentuknya," ujar Poirot menerangkan.
"Yang satu lebih gepeng dari yang lain. Tuan lihat?"
"Itu jenis yang bisa diperoleh di kereta," ujar dokter itu lagi. "Yang tutupnya
dari kertas itu." Poirot meraba-raba saku baju-baju Ratchett yang bergantungan di dinding.
Sekonyong-konyong ia mengeluarkan sebuah kotak korek api. Dibandingkannya dengan
batang korek yang sudah dibakar tadi.
"Yang lebih bundar, dinyalakan oleh Ratchett sendiri," ujarnya.
"Coba kita lihat barangkali dia juga punya korek yang gepeng."
Tapi penyelidikan selanjutnya ternyata tak berhasil menemukan batang korek api
yang dimaksud. Mata Poirot memeriksa sekeliling kamar. Tajam dan bersinar bagai mata burung
elang, hingga orang dapat merasakan tak ada yang dapat terhindar dari
pemeriksaannya. Dengan mengeluarkan sebuah seruan keheranan dari mulutnya, ia membungkuk dan
memungut sesuatu dari lantai.
Sehelai sapu tangan persegi yang terbuat dari bahan yang mahal dan bagus.
Disudutnya tersulam sebuah huruf H.
"Sapu tangan perempuan," ujar dokter Yunani itu. "Teman kita si kondektur itu
benar juga. Ada perempuan yang terlibat dalam pembunuhan ini."
"Dan celakanya sapu tangannya ketinggalan!" seru Poirot menambahkan. "Persis
seperti yang terjadi di buku-buku atau di film-film - dan sepertinya hal itu
sengaja dipermudah untuk kita - di sudutnya ada tersulam huruf H."
"Kita untung!" seru Dokter Constantine.
"Ya, dong!" sahut Poirot lagi.
Nada suaranya saat itu sempat membuat dokter itu heran sedikit, tapi sebelum ia
sempat meminta Poirot untuk memberikan penjelasan sekedarnya, detektif Belgia
itu tampak membungkuk lagi di lantai.
Kali ini dibukanya telapak tangannya - dan tampaklah sebuah pembersih pipa
tembakau. "Barangkali itu milik Ratchett," ujar dokter Yunani itu.
"Tak ada pipa tembakau dalam sakunya, begitu juga serbuk-serbuk tembakau dan
kantongnya." "Itu juga sebuah petunjuk."
"Oh! Tentu saja. Dan petunjuk yang cukup menyenangkan hati.
Kali ini petunjuk maskulin, ya tidak! Orang tak bisa mengeluh bahwa ia tak dapat
petunjuk apa-apa dari kasus ini. Di sini petunjuknya banyak sekali.. Ngomongngomong, apa yang Tuan perbuat dengan senjata si pembunuh?"
"Tak ada senjata apa-apa di sini. Pembunuhnya pasti sudah membawanya pergi."
"Saya heran kenapa begitu," ujar Poirot lagi.
"Ah!" Dokter Yunani itu sedang asyik meneliti seluruh sudut saku piyama si
korban. "Rupanya tadi saya belum melihat ini," ujarnya. "Saya barusan membuka kancingnya
satu per satu dan langsung menyibakkan ke belakang."
Dari saku dada baju piyama korban, Dokter Constantine
mengeluarkan sebuah jam tangan emas. Kotaknya sudah peyot di sana sini dan jarum
jamnya menunjukkan pukul satu kurang
seperempat. "Tuan lihat?" ujar dokter Yunani itu penuh semangat. "Ini memberi petunjuk pada
kita tentang waktu terjadinya pembunuhan.
Ini juga cocok dengan perkiraan saya sendiri. Antara tengah malam dan pukul dua
pagi, itulah yang saya pernah katakan, dan mungkin juga sekitar pukul satu pagi,
meski sukar untuk mengatakan waktu yang pasti dalam soal-soal semacam ini. Eh
bien. Sekarang baru kita dapat penjelasan. Pukul satu lebih seperempat. Itulah
waktu pembunuhan yang sebenarnya."
"Mungkin begitu, ya. Bisa juga begitu."
Dokter Constantine memandang wajah temannya dengan rasa
Anak Pendekar 15 Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah Pertarungan Dua Naga 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama