Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie Bagian 3
di situ kira-kira seperempat jam. Ada lagi bel lain yang berbunyi seperti orang
sedang kesurupan dan ia kembali sambil berlari tergopoh-gopoh. Saat itu saya
sendiri juga melangkah ke koridor untuk melihat apa yang terjadi - saya agak
gugup, Tuan mungkin bisa memaklumi - tapi rupanya yang memijit bel adalah si
wanita Amerika keparat itu. Suaranya kedengaran seperti orang histeris dan
sedang ketakutan. Saya tertawa sendiri. Lalu si kondektur berjalan lagi ke pintu
yang lain dan kembali lagi dengan membawa sebotol air putih untuk seseorang.
Setelah itu ia duduk kembali di kursinya sampai ia pergi ke kamar yang di
sebelah ujung untuk menyiapkan tempat tidur penghuninya.
Saya rasa dia tak ke mana-mana lagi sampai selewat pukul lima pagi ini."
"Apa dia tidak ketiduran?"
"Itu saya tidak berani bilang. Mungkin saja."
Poirot mengangguk. Secara otomatis tangannya membereskan
semua kertas-kertas yang terletak di atas meja. Diambilnya kartu kecil yang
diberikan Hardman kepadanya.
"Bersikaplah sesuai dengan reputasi nama yang tercetak di sini,"
ujarnya. Hardman menyanggupi. "Memangnya di kereta ini tak ada seorang pun yang bisa menguatkan cerita tentang
identitas Tuan ini, Tuan Hardman?"
"Di kereta ini" Begitulah, tidak pasti. Kecuali mungkin si MacQueen itu. Saya
kenal baik dia - saya pernah melihatnya di kantor ayahnya di New York. Tapi itu
tidak berarti dia masih bisa mengingat saya di antara kerumunan detektifdetektif yang lainnya. Bukan begitu caranya, Tuan Poirot, Tuan harus sabar
menunggu dan langsung menelegram ke New York begitu salju mencair. Baiklah,
sampai ketemu, Tuan-tuan. Senang sekali bisa berkenalan dengan Anda, Tuan
Poirot." Poirot menawarkan sigaretnya. "Tapi mungkin Tuan lebih suka mengisap pipa?"
"Bukan saya orangnya." Ia membela diri, lalu melangkah bergegas-gegas
meninggalkan ruangan. Ketiga pria itu saling bergantian memandang.
"Kaupikir dia tidak terlibat?" tanya Dr. Constantine.
"Ya, ya. Aku tahu tipe orang seperti dia. Lagipula, ceritanya susah disangkal.",
"Dia sudah memberi kita serangkaian kesaksian yang sangat menarik," ujar Tuan
Buoc. "Ya, memang." "Laki-laki bertubuh kecil - berkulit hitam bersuara tinggi seperti perempuan,"
ujar Tuan Buoc lagi sambil berpikir-pikir.
"Ciri yang tak kena pada siapa pun di kereta ini," sahut Poirot menimpali.
10. KESAKSIAN ORANG ITALIA
"Dan sekarang," ujar Poirot dengan mata bersinar, "kita akan menyenangkan hati
Tuan Buoc dengan memeriksa orang Italia itu."
Antonio Foscarelli masuk ke gerbong makan kereta dengan
langkah tergesa-gesa seperti seekor kucing. Wajahnya muram.
Wajah itu wajah khas orang Itali, bercahaya dan berwarna kehitam-hitaman.
Ia berbicara dengan bahasa Perancis yang baik, lancar dan disertai sedikit
tekanan pada suaranya. "Nama Tuan, Antonio Foscarelli?"
"Ya, Monsieur. "
"Tuan sudah masuk jadi warga negara Amerika?"
"Ya, Tuan. Itu lebih baik buat bisnis saya."
"Tuan agen mobil Ford?"
"Ya, seperti yang Tuan lihat."
Menyusul cerita yang fasih dari mulutnya. Pada akhir ceritanya ketiga pria itu
ternyata tidak tahu apa-apa tentang cara berdagang yang dilakukan oleh Antonio
Foscarelli, perjalanan yang telah ditempuhnya, penghasilannya, dan bahkan sampai
kepada pendapatnya mengenai Amerika dan kebanyakan negara-negara
Eropa yang tampaknya tak mempunyai pengaruh apa pun bagi
dirinya. Orang macam begini bukanlah orang yang harus dibujuk-bujuk untuk
mendapatkan keterangan yang diperlukan. Semua sudah dipaparkannya.
Wataknya yang ramah dan wajahnya yang kekanak-kanakan itu
nampak bercahaya dan memancarkan rasa puas setelah ia
menyelesaikan ocehannya yang terakhir, yang terasa sangat
mengesankan itu. Kemudian ia berhenti sebentar, lalu menyeka dahinya dengan
sehelai sapu tangan. "Jadi Tuan lihat sendiri," ujarnya. "Saya memang berdagang dengan tidak
tanggung-tanggung. Saya selalu ingin mengikuti jaman.
Saya mengerti tata cara penjualan! "
"Ya, kalau begitu Tuan memang sudah pernah tinggal di Amerika dalam sepuluh
tahun terakhir ini."
"Ya, Monsieur. Ah! Saya masih ingat betul waktu pertama kali saya naik kapal
laut itu - ke Amerika, alangkah jauhnya! Ibu saya, adik perempuan saya yang
kecil Poirot buru-buru memotong arus kenangannya.
"Selama Tuan tinggal di Amerika itu, apa Tuan pernah bertemu dengan si korban?"
"Belum pernah. Tapi saya tahu orang macam apa dia. Oh! ya."
Digosok-gosokkannya kedua belah tangannya dengan penuh
perasaan. "Sangat disegani, pakaiannya sangat rapi, tapi di dalamnya semua
busuk. Meski saya tidak mengalaminya sendiri rasanya saya berani bilang dia itu
penjahat besar. Itulah pendapat saya yang penting, yang saya berani bilang buat
Tuan." "Pendapat Tuan itu benar sekali," sahut Poirot datar. "Ratchett adalah Cassetti,
si penculik." "Apa kata saya" Saya sudah belajar untuk menjadi orang yang teliti dan tajam saya bisa membaca air muka orang. Itulah yang penting. Cuma di Amerika kita
diajarkan bagaimana cara yang paling tepat untuk menjual sesuatu. Saya - "
"Tuan masih ingat pada peristiwa Armstrong?"
"Saya sudah tak begitu ingat lagi. Namanya, ya" Itu tentang anak perempuan
kecil, ya tidak?" "Ya, peristiwa yang sangat tragis."
Nampaknya orang Italia itu merupakan orang pertama yang
menyesalkan pendapat Poirot dan yang bisa secara langsung
merasakannya. "Ah! Begitulah, hal ini terjadi," ujarnya secara filosofis, "justru di negeri
yang berkebudayaan tinggi seperti Amerika."
Poirot buru-buru menengahi. "Tuan pernah bertemu dengan salah seorang keluarga
Armstrong?" "Belum, saya kira. Susah untuk mengatakan. Akan saya berikan Tuan beberapa
contoh dari orang-orang yang pernah menjadi
langganan saya. Tahun lalu saja saya - "
"Monsieur, saya mohon batasilah keterangan Tuan pada pokok pembicaraan saja."
Tangan orang Italia itu buru-buru memberi isyarat, meminta maaf.
"Beribu maaf." "Coba ceritakan pada saya, kalau Tuan tak keberatan, apa saja yang Tuan lakukan
sejak makan malam kemarin."
"Dengan senang hati. Saya diam di gerbong makan ini selama mungkin. Rasanya
lebih menyenangkan. Saya berbicara dengan orang Amerika itu di meja saya. Ia
menjual pita mesin tulis. Lalui saya kembali ke kamar saya. Kosong. John Bull
yang menderita dan menimbulkan rasa kasihan itu dan yang selama ini tinggal
berdua sekamar dengan saya, rupanya sedang pergi melayani tuannya.
Akhimya dia kembali juga - mukanya panjang seperti biasa. Ia sama sekali tak mau
bicara, meski cuma mengatakan 'ya' dan 'tidak'.
Kasihan betul bangsa Inggris itu memang - tidak simpatik. Ia duduk di sudut,
badannya ditegakkan, membaca buku. Lalu kondektur datang dan membereskan tempat
tidur kami." "No. 4 dan No. 5," gumam Poirot.
"Persis - kamar yang di ujung. Tempat tidur saya yang sebelah atas. Saya naik ke
sana. Saya merokok lalu mulai membaca. Orang Inggris bertubuh kecil itu saya
rasa sedang sakit gigi. Ia menelan cairan obat dari sebuah botol yang baunya
tajam sekali. Akhirnya saya tertidur. Tapi setiap kali saya terjaga, saya dengar
dia mengerang." "Tuan tahu apakah ia meninggalkan kamar sedetik saja sepanjang malam itu?"
"Saya rasa tidak. Mestinya saya mendengarnya, kalau memang begitu. Nyala lampu
yang datang dari arah koridor itu - menyebabkan seseorang bangun secara
otomatis, dan langsung berpikir bahwa sedang ada pemeriksaan rutin."
"Apakah ia pernah bercerita tentang majikannya" Atau
memperlihatkan rasa kebenciannya?"
"Sudah saya katakan tadi, dia tidak pemah bicara apa-apa. Ia benar-benar tidak
simpatik. Seperti ikan."
"Tuan bilang Tuan merokok. Pipa, sigaret atau rokok biasa?"
"Cuma sigaret saja."
Poirot kemudian menyodorkannya sebatang. Ia mengambilnya.
"Pernah ke Chicago?" tanya Tuan Buoc tiba-tiba.
"Oh! ya - kota yang bagus - tapi New York saya kenal betul, juga Develand dan
Detroit. Tuan sendiri pernah ke Amerika" Belum" Tuan harus ke sana.
Poirot menyodorkan sehelai kertas kepadanya.
"Jika Tuan mau menandatangani ini, dan menuliskan alamat Tuan yang tetap,
silakan." Orang Italia itu menulis dengan huruf yang diukir. Lalu ia bangkit, senyumnya
manis seperti waktu datang tadi.
"Cuma sebegitu saja" Tuan tak memerlukan saya lagi" Selamat siang, Tuan-tuan.
Saya berharap mudah-mudahan kita bisa cepat-cepat terlepas dari salju keparat
ini. Saya punya janji di Milan." Lalu ia bergegas pergi.
Poirot menengok ke temannya.
"Ia sudah tinggal cukup lama di Amerika," ujar Tuan Buoc, "dan dia orang Italia,
dan orang-orang Itali biasanya suka menggunakan pisau! Dan mereka juga
pembohong-pembohong besar! Aku tak suka pada mereka."
"Ca se uoit, " sahut Poirot tersenyum. "Baiklah, barangkali kau benar, tapi aku
ingin tekankan kepadamu, Kawan, bahwa sama sekali tak ada yang patut dicurigai
dalam diri orang itu."
"Dan bagaimana dengan psikologinya" Apa betul orang Itali itu tak suka menikamorang?" "Tentu saja," sahut Poirot, "lebih-lebih pada puncaknya perdebatan. Tapi yang
satu ini - yang ini adalah peristiwa kriminil yang luar biasa - agak berbeda.
Aku punya pendapat sedikit, Kawan, bahwa pembunuhan ini sudah direncanakan dan
dilaksanakan dengan teliti sekali. Kejahatan ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari dan
dirundingkan masak-masak. Itu bukanlah - bagaimana ya
menggambarkannya - bukan tindakan kriminil ala Latin - ini adalah sebuah
kriminil yang memakai kepala dingin, akal yang licik dan otak yang tajam. Kurasa
otak Anglo-Saxon." Dipungutnya dua buah paspor yang masih bersisa.
"Sekarang," ujarnya lagi, "mari kita periksa Nona Mary Debenham."
11. KESAKSIAN NONA MARY DEBENHAM
Begitu Mary Debenham melangkah masuk ke gerbong makan
kereta, ia berhasil menguatkan kesan Poirot pada dirinya
sebelumnya. Ia berpakaian sangat rapi, rok bawah berwarna hitam yang
dikombinasikan dengan kemeja model Perancis berwarna
kelabu, dan ombak rambutnya yang hitam itu kelihatan tenang dan tak tergoyahkan.
Ia langsung duduk di muka Poirot dan Tuan Buoc, lalu
memandang keduanya dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Nama Nona, Mary Hermione Debenham dan umur Nona, dua puluh enam tahun, betul?"
ujar Poirot memulai pemeriksaan.
'Ya. "Orang Inggris?"
"Ya." "Nona tak keberatan untuk menuliskan nama dan alamat Nona yang tetap di kertas
ini?" Ia menyanggupi permohonan detektif Belgia itu. Tulisannya terang dan dapat
dibaca. "Dan sekarang, Mademoiselle, apa yang dapat Nona ceritakan kepada kita mengenai
kejadian tadi malam?"
"Saya khawatir saya tak bisa menceritakan apa-apa pada Tuan-tuan sekalian. Saya
langsung naik ke tempat tidur dan tertidur pulas."
"Apakah Nona juga ikut merasa sedih bahwa ada pembunuhan di kereta ini?"
Pertanyaan itu tak terduga sama sekali matanya yang kelabu itu kelihatan
membesar sedikit. "Saya rasa saya belum mengerti maksud Tuan."
"Pertanyaan yang saya tanyakan pada Nona itu sebenarnya pertanyaan yang gampang
sekali, Mademoiselle. Saya ulangi lagi.
Apa Nona sampai begitu sedih mendengar ada pembunuhan di atas kereta ini?"
"Saya belum pernah memikirkannya dari segi itu. Saya tak bisa berkata bahwa saya
merasa sedih atau tertekan."
"Sebuah kejahatan, kalau begitu - sudah Nona anggap sebagai pekerjaan seharihari saja, ya!" "Tentu saja itu kejadian buruk yang semestinya tidak terjadi,"
sahut Mary Debenham dengan tenang.
"Nona benar-benar orang Anglo-Saxon sejati. Mademoiselle. Vous n'eprouvez pas
d'emotion. " Ia tersenyum sedikit. "Saya khawatir saya tak bisa menjadi histeris untuk
membuktikan bahwa saya punya perasaan. Bagaimanapun
juga, ada saja orang yang mati setiap hari."
"Memang mereka mati. Tapi pembunuhan itu jarang."
"Oh! Tentu saja."
"Nona tidak kenal dengan si korban?"
"Saya pertama kali melihatnya pada waktu makan siang di tempat ini kemarin."
"Dan bagaimana kesan Nona padanya?"
"Saya hampir tak mempedulikannya."
"Dia tak memberi kesan yang buruk bagi Nona?"
Mary Debenham menaikkan bahunya sedikit. "Sungguh, saya tak bisa mengatakan saya
berpikir ke situ." Poirot memandangnya lekat-lekat.
"Saya rasa, Nona agak meremehkan cara-cara saya mengajukan pertanyaan kepada
Nona," ujarnya sambil mengedipkan mata.
"Bukan begitu caranya, Nona pikir, kalau orang Inggris yang mengajukan
pertanyaan atau kalau sedang memeriksa seseorang. Di situ semuanya akan berjalan
dengan datar dan kering - semua sudah dibatasi pada fakta - urusannya sudah
diatur lebih dahulu dengan sebaik-baiknya. Tapi, saya, Mademoiselle, punya
keaslian tersendiri. Pertama-tama saya periksa dulu saksi-saksi saya, saya merumuskan wataknya, dan
saya susun pertanyaan-pertanyaan saya sesuai dengan watak mereka masing-masing.
Persis beberapa menit yang lalu saya juga mengajukan beberapa pertanyaan kepada
seorang laki-laki yang ingin menerangkan semua buah pikirannya tentang segala
hal. Begitulah, tapi saya ajak dia langsung pada inti pembicaraan. Saya ingin
dia menjawab ya atau tidak. Ini atau itu.
Dan kemudian sampai pada giliran Nona. Saya langsung melihat bahwa Nona senang
pada yang serba teratur dan menurut tata tertib yang berlaku. Jawaban-jawaban
Nona pasti akan serba singkat, dan langsung pada inti masalahnya. Dan Nona,
karena sifat manusia itu suka membandel, maka saya sengaja menanyakan pada Nona
pertanyaan yang berbeda. Saya menanyakan apa yang Nona rasakan dan pikirkan.
Jadi cara seperti ini Nona tak suka?"
"Kalau Tuan mau memaafkan saya bila saya berkata begitu, itu cuma membuang-buang
waktu saja. Apakah saya suka atau tidak
pada wajah Tuan Ratchett, itu tak banyak menolong Tuan - siapa sebenamya
pembunuhnya." "Nona tahu siapa si Ratchett itu sebenarnya" Mademoiselle" "
Ia mengangguk. "Nyonya Hubbard sudah menceritakannya pada setiap orang."
"Dan bagaimana pendapat Nona tentang peristiwa Armstrong?"
"Sangat memuakkan," sahut gadis itu ketus.
Poirot menatap gadis itu sambil berpikir-pikir.
"Nona datang dari Bagdad, saya kira, Nona Debenham?"
"Ya." "Ke London?" "Ya." "Apa yang Nona lakukan di Bagdad?"
"Saya bekerja sebagai guru pengasuh bagi dua orang anak kecil."
"Apa Nona ada rencana untuk kembali lagi ke pos Nona setelah selesai cuti ini?"
"Saya belum pasti."
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa begitu?"
"Bagdad agak semrawut. Saya rasa saya lebih baik bekerja di London kalau ada pos
yang lebih cocok." "Oh, begitu. Tadinya saya kira Nona mau menikah."
Nona Debenham tidak menjawab. Diangkatnya tatapan matanya
dan dipandangnya wajah-detektif Belgia itu lekat-lekat. Pandangan itu seolaholah berkata dengan jelas: "Kau kurang ajar!"
"Bagaimana pendapat Nona tentang wanita yang sekamar dengan Nona - Nona
Ohlsson?" "Kelihatannya ia orang yang sederhana dan menyenangkan."
"Apa warna pakaian tidurnya?"
Nona Debenham menatap Poirot sejenak. "Semacam warna coklat begitu - bahannya
wol." "Ah! Mudah-mudahan perkataan saya tidak terlalu semberono.
Saya rasa, saya tahu warna baju tidur Nona. Saya pernah melihatnya dari Aleppo
ke Istambul. Ungu muda, kalau tidak salah."
"Ya, betul." "Apa Nona masih punya baju tidur lainnya, Mademoiselle" Yang warnanya merah tua,
barangkali?" "Bukan, itu bukan punya saya."
Poirot memajukan tubuhnya ke depan. Ia laksana kucing yang sudah bersiap-siap
untuk menerkam tikus. "Siapa punya, kalau begitu?"
Gadis itu tersandar sedikit ke belakang, terkejut.
"Saya tak tahu. Apa maksud Tuan?"
"Nona tidak bilang, 'Tidak, saya tak punya baju tidur yang seperti itu'. Nona
bilang 'Itu bukan punya saya'. Itu berarti baju tidur semacam itu adalah
kepunyaan orang lain."
Gadis itu kembali mengangguk untuk yang ke sekian kali.
"Apa orang itu juga penumpang kereta ini?"
"Ya." "Siapa itu?" "Sudah saya katakan tadi: saya tak tahu. Pagi ini saya bangun pukul lima dan
merasakan bahwa kereta ini rupanya sudah lama tidak jalan. Lalu saya membuka
pintu dan melongok ke luar jendela, mengira kita sedang berhenti di sebuah
stasiun. Saya melihat seseorang berpakaian komono merah tua lewat di koridor."
"Dan Nona tidak tahu siapa itu" Rambutnya pirang, hitam atau kelabu?"
"Saya tak bisa mengatakannya. Ia memakai topi dan saya cuma bisa melihat bagian
belakangnya saja. "Tingginya?" "Orangnya tinggi dan ramping, rasanya menurut penglihatan saya begitu. Tapi
susah juga untuk melukiskannya. Kimononya disulam dengan gambar naga."
"Ya, ya, memang betul - ada naganya." Poirot terdiam sebentar.
Lalu ia bergumam pada diri sendiri, "Aku tak mengerti. Aku tak mengerti. Tak
satu pun di sini yang cocok."
Kemudian ditengadahkannya kepalanya sambil berkata, "Saya rasa tak perlu lagi
menahan Nona lebih lama, Mademoiselle. "
"Oh!" gadis itu kelihatannya agak terkejut, tapi kemudian bangkit dari tempat
duduknya dengan terburu-buru.
Di dekat pintu ia bimbang sebentar lalu kembali lagi.
"Wanita Swedia itu - Nona Ohlsson - kelihatannya ia agak cemas.
Ia bilang Tuan mengatakan padanya bahwa dialah orang terakhir yang melihat
korban dalam keadaan hidup. Saya yakin, dia pikir Tuan mencurigainya atas dasar
itu. Bolehkah saya katakan lagi padanya bahwa dia keliru" Sungguh, Tuan tahu,
dia adalah tipe orang yang bahkan tak sampai hati memukul lalat sekalipun." Mary
Debenham tersenyum sedikit sewaktu berbicara begitu.
"Pukul berapa itu, waktu ia pergi mengambilkan aspirin untuk Nyonya Hubbard?"
"Setengah sebelas lewat sedikit."
"Berapa lama ia mengambilnya?"
"Kira-kira lima menit."
"Apa dia meninggalkan kamar lagi sepanjang malam itu?"
"Tidak." Poirot menengok ke arah Dr. Constantine. "Mungkinkah Ratchett dibunuh secepat
itu?" Dokter itu menggeleng. "Kalau begitu saya rasa Nona boleh meyakinkan teman Nona itu."
"Terima kasih." Sekonyong-konyong ia tersenyum pada Poirot, senyuman yang
mengundang simpati. "Gadis Swedia itu seperti domba, Tuan tahu. Kalau ketakutan,
ia suka mengembik." Mary Debenham membalikkan badan dan pergi.
12. KESAKSIAN WANITA JERMAN PEMBANTU PUTERI RUSIA
Tuan Buoc memandang wajah kawannya Poirot dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Aku benar-benar tak mengerti dirimu, mon vieux. Kau ingin berbuat apa?"
"Aku sedang mencari cacadnya, Kawan."
"Cacadnya?" "Ya - pada baju besi yang dikenakan oleh seorang gadis muda.
Aku ingin mencairkan kebekuan hatinya. Berhasilkah aku" Aku tak tahu. Tapi aku
tahu ini: ia tak senang aku memecahkan masalah dengan cara seperti ini."
"Kau mencurigai dia," ujar Tuan Buoc lambat-lambat. "Tapi kenapa" Kelihatannya
gadis muda itu amat menarik - orang terakhir di dunia ini yang kelihatannya
bingung menghadapi peristiwa kriminil semacam ini."
"Saya setuju," ujar Constantine menengahi. "Gadis itu dingin. Ia tak punya
emosi. Ia tak bakal menikam orang - ia lebih suka menuntutnya di muka
pengadilan." Poirot menarik napas panjang.
"Kalian berdua harus bisa melepaskan diri dari godaan bahwa tindakan kriminil
itu dilakukan secara mendadak dan tidak
direncanakan masak-masak sebelumnya. Alasanku mengapa aku
sampai mencurigainya, sebenarnya ada dua. Pertama adalah karena sesuatu yang
pernah kudengar secara kebetulan, dan justru yang kalian belum tahu."
Detektif Belgia itu menguraikan kembali tentang tanya-jawab yang mencurigakan
yang kebetulan didengarnya sewaktu dalam perjalanan dari Aleppo.
"Kau memang mencurigakan dan membangkitkan rasa ingin tahu orang," sahut Tuan
Buoc begitu kawannya selesai bercerita. "Itu memerlukan penjelasan. Kalau
kecurigaanmu itu benar, itu berarti keduanya terlibat dalam pembunuhan ini gadis muda itu dan kolonel Inggris yang kaku dan disiplin itu."
Poirot mengangguk. "Dan itulah yang justru tidak terungkap oleh kenyataan," ujar Poirot lagi. "Coba
lihat, kalau mereka berdua terlibat, apa yang dapat kita harapkan dari keduanya"
Tentu masing-masing sudah
menyiapkan alibi bagi kawannya. Bukan begitu" Tapi tidak - itu tidak terjadi.
Alibi Nona Debenham disediakan oleh wanita Swedia yang malah belum pernah
dilihatnya, dan alibi Kolonel Arbuthnot malah berani ditanggung oleh MacQueen,
sekretaris korban. Tidak, pemecahan teka-teki ini tidak semudah itu."
"Tadi kaubilang ada alasan lain untuk mencurigai gadis Inggris itu," ujar Tuan
Buoc memperingatkan. Poirot tersenyum. "Ah! Itu cuma psikologisnya saja. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa mungkin
bagi Nona Debenham untuk merencanakan kriminil semacam ini" Di belakang masalah
ini semua, aku yakin, mesti ada otak yang tajam dan kepala yang dingin. Nona
Debenham memenuhi syarat-syarat itu."
Tuan Buoc menggeleng. "Aku kira kau keliru, Kawan. Aku tidak bisa melihat gadis
Inggris itu sebagai seorang penjahat."
"Ah! Baiklah," ujar Poirot lagi, sambil mengambil sebuah paspor.
"Selanjutnya nama terakhir darl daftar kita. Hildegarde Schmidt, pembantu Puteri
Dragomiroff." Setelah dipersilakan masuk oleh pelayan, Hildegarde Schmidt melangkah masuk ke
gerbong makan kereta dan berdiri menunggu di situ dengan penuh hormat.
Poirot memberinya isyarat untuk duduk.
Ia langsung menurut, melipat tangannya dan menunggu dengan tenang sampai
detektif itu mengajukan pertanyaan kepadanya.
Nampaknya sifatnya memang tenang - sopan, hormat tapi tidak terlalu cerdas.
Metode atau cara pemeriksaan yang dipakai Poirot dalam
menghadapinya benar-benar berlawanan dengan caranya dalam
memeriksa Mary Debenham. Kali ini ia bersikap sangat ramah, dan membiarkan wanita itu mengerjakan semua
suruhannya dengan santai. Kemudian setelah selesai menuliskan nama dan
alamatnya, Poirot langsung
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan lembut.
Pemeriksaan itu berlangsung dalam bahasa Jerman.
"Kami ingin sekali mengetahui sebanyak mungkin apa yang sesungguhnya terjadi
tadi malam," ujarnya. "Kami tahu Nona mungkin tak dapat memberikan banyak
keterangan mengenai pembunuhan itu sendiri, tapi boleh jadi Nona mungkin telah melihat atau
mendengar sesuatu yang mungkin bagi Nona sendiri tak ada artinya, tapi bagi kami
penting sekali, Nona mengerti?"
Tapi kelihatannya orang yang diwawancarai itu belum mengerti betul apa yang
dimaksudkan oleh detektif Belgia itu. Wajahnya yang lebar dan ramah itu
kelihatan masih saja tak menunjukkan ekspresi apa-apa sewaktu ia menjawab
lambat-lambat, "Saya tak tahu apa-apa, Monsieur, "
"Baiklah, tapi mungkin Nona tahu bahwa majikan Nona memanggil Nona semalam."
"Kalau itu, memang betul."
"Masih ingat pukul berapa waktu itu?"
"Tidak ingat lagi, Monsieur. Saya sedang tidur waktu pelayan memanggil saya dan
memberitahukannya." "Ya, ya. Apakah Nona biasa dipanggil majikan Nona dengan cara seperti itu?"
"Biasanya memang begitu, Monsieur. Wanita terhormat yang ramah dan murah hati
itu memang sering meminta apa-apa pada malam hari. Ia tak bisa tidur nyenyak."
"Eh bien, lalu setelah menerima pemberitahuan itu, Nona langsung bangun. Apa
Nona langsung memakai baju tidur?"
"Tidak, Monsieur, saya mengenakan baju yang pantas. Saya tak mau menghadap
Nyonya dengan pakaian tidur saja."
"Meskipun baju tidur itu bagus - warnanya merah tua, ya tidak?"
Perempuan itu menatap Poirot sejenak. "Warnanya biru, dari bahan flanel,
Monsieur. " "Ah, teruskan. Cuma hiburan sedikit buat saya, tak lebih dari itu.
Jadi Nona pergi ke kamar Madame la Princesse. Dan apa yang Nona lakukan
sesampainya di sana?"
"Saya memijitnya, Tuan, lalu saya membaca keras-keras untuknya. Tapi Nyonya
besar mengatakan itu sudah cukup - dan ia sudah ingin tidur. Sewaktu ia merasa
ngantuk, Monsieur, Nyonya menyuruh saya pergi, jadi saya tutup buku itu, lalu
kembali ke kamar saya."
"Nona tahu pukul berapa waktu itu?"
"Tidak, Monsieur. "
"Berapa lama Nona diam di kamar Madame la Princesse?"
"Kira-kira setengah jam, Monsieur."
"Baik, teruskan."
"Mulanya, saya ambilkan selimut tambahan buat Nyonya dari kamar saya. Udara
dingin sekali meski pemanasannya terasa
dipasang berlebihan. Lalu saya tebarkan selimut itu di badannya, dan Nyonya
mengucapkan selamat malam pada saya. Saya tuangkan
Nyonya segelas air putih. Kemudian saya matikan lampu lalu meninggalkannya."
"Lalu?" "Tak ada lagi, Tuan. Saya kembali ke kamar saya dan pergi tidur."
"Dan Nona tak bertemu siapa-siapa di koridor?"
"Tidak, Monsieur. "
"Nona tidak bertemu, misalnya, dengan seorang wanita yang mengenakan kimono
merah tua, bersulam naga?"
Matanya yang lembut itu menatap Poirot sebentar. "Tidak, Monsieur. Tak ada
siapa-siapa yang lewat, kecuali pelayan. Semua orang sudah tidur."
"Tapi nona lihat kondektur itu?"
"Ya, Monsieur. "Sedang mengapa dia?"
"Ia keluar dari salah satu kamar, Monsieur."
"Apa?" tanya Tuan Buoc tiba-tiba, sambil memajukan tubuhnya ke muka. "Kamar yang
mana?" Hildegarde Schmidt kembali ketakutan lagi, dan Poirot
melemparkan pandang yang menyalahkan kepada kawannya itu.
"Tentu saja," ujar Poiroi membenarkan. "Kondektur memang sering harus menjawab
bel pada malam hari. Nona masih ingat kamar yang mana itu?"
"Kira-kira yang di tengah gerbong, Monsieur. Dua atau tiga kamar dari kamar
Madame la Princesse. "Ah! Coba katakan kepada kami, kamar yang mana persisnya dan apa yang terjadi?"
"Kondektur itu hampir saja menubruk saya Monsieur. Waktu itu saya baru saja mau
kembali ke kamar sehabis menyelimuti Madame la Princesse dengan selimut tambahan
itu." "Dan dia baru keluar dari kamar itu dan hampir bertubrukan dengan Nona. Ke arah
mana perginya kondektur itu?"
"Ke arah saya, Monsieur. Ia minta maaf, lalu berjalan sepanjang koridor menuju
gerbong makan. Ada lagi bel yang berbunyi, tapi saya rasa dia tak mempedulikan."
Wanita Jerman itu berhenti sebentar berbicara lalu katanya lagi, "Saya tidak
mengerti. Bagaimana itu -"
Poirot kemudian berusaha untuk meyakinkannya.
"Itu cuma soal waktu saja," ujarnya. "Cuma soal rutin. Kondektur yang malang itu
rupanya memang sibuk sekali semalam - mula-mula membangunkan Nona kemudian
menjawab bel." "Bukan itu kondektur yang membangunkan saya. Tuan. Itu kondektur yang lain."
"Ah! Kondektur yamg lain! Nona pernah melihatnya?"
"Belum pernah, Tuan."
"Ah! - Kira-kira. Nona bisa mengenalnya lagi kalau melihatnya?"
"Saya rasa tidak, Monsieur."
Poirot membisikkan sesuatu ke telinga Tuan Buoc. Yang terakhir ini bangkit dan
pergi ke pintu untuk memberi perintah.
Poirot kembali melanjutkan pemeriksaannya dengan sikap yang santai dan ramah.
"Pernah ke Amerika, Fraulein Schmidt?"
"Belum, Monsieur. Tentunya itu negeri yang bagus."
"Mungkin Nona pernah mendengar - bahwa orang yang dibunuh itu justru orangnya
yang bertanggung jawab atas pembunuhan seorang anak kecil?"
"Ya, saya pernah dengar itu, Monsieur. Benar-benar menjijikkan, busuk. Tuhan
Yang Mahabaik tak akan merestui perbuatan terkutuk itu. Kami tidak sejahat itu
di Jerman." Air mata wanita itu bercucuran. Jiwa keibuannya yang kuat
rupanya ikut tersentuh. "Memang itu kejahatan yang menjijikkan," ujar Poirot sedih.
Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan yang halus sekali dari sakunya dan
menyodorkannya kepada wanita itu.
"Apa sapu tangan ini milik Nona, Fraulein Schmidt"
Sepi sebentar sewaktu wanita itu memeriksa benda yang diberikan Poirot kepadanya
barusan. Semenit kemudian diangkatnya
kepalanya. Wajahnya berubah warna sedikit.
"Ah! bukan, ini bukan milik saya, Monsieur.
"Tapi sapu tangan ini ada huruf H-nya, bukan" Karena itulah saya kira itu milik
Nona." "Ah, Monsieur. Itu sapu tangan wanita terhormat. Sapu tangan mahal. Disulam
dengan tangan. Biasanya yang begitu buatan Paris, saya rasa."
"Jadi ini bukan milik Nona dan Nona juga tahu milik siapa ini?"
"Saya" Oh! Tidak, tidak tahu, Monsieur.
Dari antara ketiga orang yang sedang mendengarkan pemeriksaan itu, cuma Poirot
yang menangkap keragu-raguan dalam nada
suaranya. Tuan Buoc membisikkan sesuatu ke telinga kawannya. Poirot
mengangguk lalu bertanya lagi kepada wanita itu,
"Ketiga orang pelayan gerbong tidur itu sedang ke mari. Maukah Nona mengatakan
pada kami, yang mana yang bertemu dengan
Nona tadi malam setelah Nona selesai menyelimuti Madame la Princesse itu dengan
selimut tambahan?" Ketiga pelayan gerbong tidur memasuki ruangan. Pierre Michel, kondektur bertubuh
tinggi besar dan berambut pirang dari gerbong Athena-Paris, dan kondektur yang
besar dan kuat dari gerbong Bukares.
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hildegarde Schmidt memandangi mereka satu per satu dan
langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Monsieur, " ujarnya. "Tidak satu pun di antara mereka yang saya lihat
tadi malam." "Tapi cuma merekalah kondektur yang ada di kereta ini. Kalau begitu Nona
keliru." "Saya vakin sekali, Monsieur. Mereka ini badannya besar-besar dan tinggi-tinggi.
Kondektur yang saya lihat semalam orangnya kecil dan kulitnya hitam. Di atas
bibirnya ada kumis sedikit. Sewaktu mengatakan 'Pardon' suaranya kedengaran
lembut dan kecil seperti suara perempuan. Saya masih ingat betul padanya,
Monsieur. 13. RINGKASAN KESAKSIAN PARA PENUMPANG
"Laki-laki kecil-berkulit hitam dan bersuara seperti perempuan,"
ujar Tuan Buoc. Ketiga kondektur dan Nona Hildegarde Schmidt sudah pergi.
Tuan Buoc kelihatan putus asa. "Tapi aku tak mengerti apa-apa sama sekali tak mengerti apa artinya ini semua! Musuh yang disebut-sebut si
Ratchett itu, apa benar ia ada di kereta ini" Tapi di mana dia sekarang"
Bagaimana dia bisa hilang begitu saja di udara" Aduh, pusingnya kepalaku. Kalau
begitu, lebih baik kaukatakan sesuatu, Kawan, aku mohon. Coba perlihatkan padaku
bagaimana yang tak mungkin itu menjadi mungkin."
"Itu peribahasa yang bagus," sahut Poirot. "Yang tak mungkin tak bisa terjadi,
karena itulah yang tak mungkin harus menjadi mungkin meski dari segi pandangan
tidak demikian." "Kalau begitu, terangkanlah segera, apa yang sebenarnya terjadi di kereta ini
tadi malam." "Aku bukan tukang sulap, mon cher. Aku juga sama seperti kau, orang yang sedang
bingung. Masalah ini berkembang melalui corak yang aneh sekali."
"Menurutku, itu tidak berkembang, masih tetap seperti semula."
Poirot menggeleng. "Tidak, itu tidak betul. Kita lebih maju lagi selangkah. Kita
sudah tahu beberapa hal. Kita sudah mendengar kesaksian dari penumpang kereta
ini." "Dan apa yang telah mereka berikan kepada kita" Tidak ada apa-apa."
"Aku tidak berani bilang begitu, Kawan."
"Mungkin aku terlalu melebih-lebihkan. Orang Amerika yang namanya Hardman itu
dan si pelayan, wanita Jerman itu, paling tidak sudah menambah pengetahuan kita.
Atau katakanlah, mereka membuat masalah ini menjadi semakin sulit untuk dipahami."
"Bukan, bukan, bukan," ujar Poirot berusaha untuk menenangkan.
Tuan Buoc berpaling ke arah Poirot, "Bicaralah kalau begitu, mari kita dengarkan
kearifan Tuan Poirot."
"Bukankah sudah kukatakan tadi, aku ini juga seperti kau, orang yang sedang
bingung" Tapi setidak-tidaknya kita bisa menghadapi masalah kita. Kita bisa
mengatur kenyataan-kenyataan yang tengah kita hadapi dengan cara-cara yang
teratur." "Silakan meneruskannya, Monsieur," ujar Dr. Constantine menambahkan.
Poirot menelan ludah lalu membentangkan sehelai kertas yang telah penuh dengan
coretan. "Marilah kita tinjau lagi masalah ini seperti keadaannya sekarang.
Pertama, ada fakta-fakta yang tak dapat dibantah. Orang ini, Ratchett atau
Cassetti, ditikam pada dua belas tempat dan meninggal tadi malam. Itu fakta
kesatu." "Kuakui fakta itu, mon vieux - kuakui itu," ujar Tuan Buoc dengan nada ironis.
Hercule Poirot tidak terpengaruh sama sekali akan sindiran kawannya itu. Ia
tetap melanjutkan bicaranya dengan tenang.
"Sekarang akan kugarap tentang saat di mana ada kejadian yang luar biasa,
sebagaimana Dr. Constantine dan aku sudah
membahasnya bersama-sama. Aku akan langsung terjun ke soal itu, sekarang. Fakta
selanjutnya juga penting menurutku, adalah 'saat'
terjadinya pembunuhan itu."
"Lagi-lagi itu salah satu hal yang sudah kita ketahui," ujar Tuan Buoc tidak
puas. "Pembunuhan itu terjadi pada pukul satu lewat seperempat tadi pagi.
Semuanya menunjukkan bahwa itu memang demikian."
"Tidak semuanya. Kau melebih-lebihkan. Tentu saja, ada sejumlah kecil kesaksian
yang mendukung pendapat itu."
"Aku senang akhirnya itu kauakui juga."
Poirot melanjutkan bicaranya dengan tenang, tak terganggu
sedikit pun oleh pemotongan Tuan Buoc itu.
"Di hadapan kita sekarang ada tiga kemungkinan.
(1) - bahwa pembunuhan itu terjadi, seperti yang kaukatakan tadi, pada pukul
satu lebih seperempat. Ini didukung oleh kesaksian Nyonya Hubbard, dan kesaksian
yang diberikan oleh pembantu wanita berkebangsaan Jerman itu, Hildegarde
Schmidt. Ini sesuai dengan kesaksian Dr. Constantine sendiri.
"(2) - bahwa pembunuhan itu terjadi kemudian dan bahwa pembuktian oleh arloji
itu sengaja dipalsukan dengan maksud untuk menyesatkan atau mengelabui jalannya
pemeriksaan. "(3) - bahwa pembunuhan terjadi lebih cepat dan buktinya adalah pembuktian oleh
arloji yang sengaja diputar sesudahnya, jadi sesuai dengan alasan yang sama
seperti nomor dua tadi. "Sekarang, kalau kita menerima kemungkinan nomor (1) sebagai kemungkinan yang
nampaknya paling cocok, dan sebagai
kemungkinan yang paling banyak didukung oleh kesaksian, kita juga harus dapat
menerima fakta-fakta tertentu yang timbul daripadanya.
Kalau pembunuhan itu terjadi pada pukul satu lebih seperempat, pembunuhnya tidak
dapat meninggalkan kereta, maka timbullah pertanyaan: Di mana dia" Dan, siapa
dia" "Sebagai permulaan, mari kita periksa kesaksian itu dengan teliti.
Kita pertama kali mendengar ada orang yang seperti itu - badan kecil, kulit
hitam dan bersuara seperti wanita itu - adalah dari kesaksian laki-laki yang
bernama Hardman. Katanya Ratchett yang memberitahu dia tentang orang itu dan
Ratchett jugalah yang mengupah dia untuk mengawasi orang yang dimaksud. Tak ada
kesaksian yang mendukung ini: kita cuma punya perkataan Hardman saja. Mari kita
periksa pertanyaan berikut: Apa betul si Hardman itu orang yang pura-pura
berperan sebagai seorang detektif dari sebuah kantor detektif New York"
"Apa yang menurutku sangat menarik dalam masalah ini adalah bahwa tak satu pun
dari sekian banyak fasilitas itu yang dapat kita sodorkan pada polisi. Kita tak
dapat menyelidiki apakah cerita orang-orang ini memang benar-benar layak
dipercaya atau tidak. Kita mau tak mau harus bergantung pada deduksi semata-mata
dalam mengambil kesimpulan. Bagiku, kasus ini malah jadi semakin menarik. Tak ada
pekerjaan rutin. Ini cuma soal intelektuil saja, soal akal manusia. Aku bertanya
pada diriku sendiri: Apakah kita dapat menerima cerita Hardman tentang dirinya
sendiri" Aku membuat keputusan sendiri dan kujawab: 'Ya'. Jadi aku berpendapat
bahwa kita dapat menerima cerita Hardman tentang dirinya sendiri."
"Jadi kau percaya pada intuisi" Yang disebut orang Amerika sebagai 'the hunch'
itu?" tanya Dr. Constantine.
"Tidak sama sekali. Saya memandang kemungkinan-kemungkinan yang ada. Hardman
bepergian dengan paspor palsu - itu secara langsung membuatnya menjadi obyek
yang mencurigakan. Langkah pertama yang akan diambil polisi waktu mereka sudah
ikut terjun ke lapangan adalah menahan Hardman dan menelegram kantornya
untuk mencek apakah cerita tentang dirinya itu benar atau bohong.
Bagi penumpang-penumpang lain, untuk membuktikan bahwa cerita mereka bisa
dipercaya, memang agak sukar. Dalam beberapa hal, mungkin itu tidak akan diuji,
terutama kalau memang tak ada alasan mencurigakan yang melibatkan. Mereka. Tapi
kasus Hardman ini sederhana saja. Apakah ia benar berperan atau mewakili dirinya
sendiri atau tidak. Karena itulah saya katakan segalanya akan terbukti bahwa
semua itu sudah diatur."
"Jadi Tuan membebaskan dia sebagai orang yang dicurigai?"
"Sama sekali tidak. Tuan salah paham. Setahu saya, setiap detektif Amerika bisa
saja punya alasan tersendiri untuk membunuh Ratchett. Bukan begitu, apa yang
saya katakan adalah bahwa saya rasa, saya bisa menerima cerita Hardman tentang
dirinya sendiri. Cerita ini, kalau begitu, bahwa Ratchett telah mencarinya dan mengupahnya untuk
menjaga keselamatan dirinya kelihatannya tidak wajar, meskipun kemungkinannya
ada - tapi cerita itu belum pasti benar. Kalau kita mau menerimanya sebagai
cerita yang benar, kita juga mesti melihat apakah ada hal yang menguatkan cerita
itu. Kita lihat cerita itu rasanya tak dapat dipercaya seratus persen - ini
berdasarkan kesaksian Hildegarde Schmidt. Gambarannya tentang seseorang yang
mengenakan seragam kondektur memang cocok.
Tapi apa ada hal yang dapat menguatkan kedua cerita itu" Ada. Itu adalah kancing
baju yang ditemukan Nyonya Hubbard di dalam kamarnya. Dan ada satu bukti lagi
yang menguatkan itu, yang mungkin tidak kalian perhatikan."
"Apa itu?" "Fakta bahwa Kolonel Arbuthnot dan Hector MacQueen
menyebutkan bahwa kondektur melewati kamar mereka. Mereka
kelihatannya memang tak ada kepentingan dengan fakta itu, tapi
Tuan-tuan, Pierre Michel telah menyatakan bahwa ia tak pernah meninggalkan
tempat duduknya kecuali pada peristiwa-peristiwa khusus - yang mana tak seorang
pun memanggilnya ke bagian ujung gerbong tanpa harus melewati kamar tempat
Arbuthnot dan MacQueen sedang duduk mengobrol."
"Karena itulah, cerita ini, cerita tentang laki-laki hitam bertubuh kecil,
bersuara seperti perempuan dan berpakaian seragam
kondektur itu, sepenuhnya tergantung kepada pengujiannya,
langsung atau tidak langsung, dari empat orang saksi."
"Satu masalah lagi," ujar Dr. Constantine. "Jika cerita Hildegarde Schmidt
memang benar, bagaimana bisa terjadi kondektur yang sesungguhnya tidak menyebutnyebut bahwa ia memang melihat wanita Jerman itu, ketika ia datang untuk
menjawab bel Nyonya Hubbard?"
"Itu perlu dijelaskan, kukira. Sewaktu kondektur itu datang menjawab bel Nyonya
Hubbard, wanita Jerman itu sedang berada dalam kamar majikannya. Waktu Nona
Hildegarde kembali ke kamarnya, kondektur itu sudah berada di kamar Nyonya Hubbard."
Tuan Buoc menunggu dengan tak sabar sampai mereka berdua
selesai berbicara. "Ya, ya, Kawan," ujarnya tak sabar kepada Poirot. "Tapi sementara aku mengagumi
kecermatanmu dan caramu tentang bagaimana
untuk memperoleh kemajuan dalam setiap langkah penyelidikan, aku sampai pada
kesimpulan bahwa kau belum menyinggung masalah yang sedang dihadapi. Kita semua
sudah sependapat bahwa orang ini memang ada. Tapi masalahnya adalah, ke mana
perginya dia?" Poirot menggelengkan kepala, tidak sependapat dengan pikiran sahabatnya itu.
"Kau keliru. Kau memasang kereta di depan kuda. Sebelum aku bertanya pada diriku
sendiri, Ke mana perginya orang itu" Maka aku harus bertanya dulu, Apakah orang
ini benar-benar ada" Sebab, kaulihat sendiri, kalau orang ini hanya ciptaan
belaka - orang yang dibuat - alangkah mudahnya membuatnya menghilang begitu
saja! Jadi pertama-tama aku harus mencoba menetapkan bahwa ada
orang semacam itu - orang yang terdiri dari darah dan daging."
"Dan kalau kita sampai pada kenyataan bahwa orang semacam itu memang benar ada eh bien, di mana dia sekarang, kalau begitu?"
"Jawaban buat pertanyaan itu cuma ada dua, mon cher. Apakah dia itu masih
bersembunyi di dalam kereta di suatu tempat yang disulap demikian lihainya
hingga kita tak menduga sedikit pun; atau bisa juga dia itu sebenarnya dua orang
- yakni orang yang ditakuti Tuan Ratchett - dan seorang penumpang kereta yang
menyamar begitu baik hingga Tuan Ratchett tidak mengenalinya. Tapi kedua-duanya
adalah dia sendiri."
"Itu ide yang bagus," ujar Tuan Buoc sambil mengangkat wajahnya. Tapi beberapa
detik kemudian wajah itu kembali muram.
"Tapi ada satu lagi yang aku keberatan."
Sebelum kawannya sempat melanjutkan, Poirot telah memotong kata-katanya.
"Tinggi badan orang itu. Itukah yang ingin kaukatakan" Kecuali pelayan pria Tuan
Ratchett - semua penumpang pria,di kereta ini besar-besar dan tinggi-tinggi
semuanya - orang Italia itu, Kolonel Arbuthnot, Hector MacQueen, Count Andrenyi.
Begitulah jadi bagi kita, cuma pelayan pria itulah yang punya kemungkinan untuk
dicurigai. Tapi ada kemungkinan lain. Coba ingat suara perempuan itu. Itu
menghadapkan kita pada beberapa kemungkinan, yang dapat dipilih. Laki-laki itu
mungkin menyamar sebagai wanita, atau pilihan lain, laki-laki itu boleh jadi
memang seorang wanita. Wanita yang bertubuh jangkung sekalipun, akan kelihatan
kecil kalau ia berpakaian pria."
"Tapi tentu Ratchett sudah bisa mengetahuinya lebih dulu-"
"Mungkin ia memang tahu. Mungkin juga wanita ini sudah mencoba untuk membunuhnya
sebelum itu, dengan mengenakan
pakaian pria, untuk menempuh cara yang lebih baik asal maksudnya kesampaian.
Ratchett barangkali telah menduga bahwa ia akan memakai cara yang sama, jadi ia
memberitahu Hardman untuk
mengawasi seorang pria. Tapi di samping itu juga, ia tak lupa untuk
memperingatkan bahwa pria itu bersuara seperti wanita."
"Itu memang mungkin," ujar Tuan Buoc menanggapi. "Tapi-"
"Dengar, Kawan, aku rasa sekarang lebih baik kuberitahukan padamu beberapa
ketidakcocokan yang diketemukan Dr.
Constantine." Lalu dengan panjang lebar diceritakannya kesimpulan yang
diambil oleh Dr. Constantine dan dirinya sendiri tentang luka-luka si korban.
Tuan Buoc mengeluh dan kembali memegangi kepalanya.
"Aku tahu," ujar Poirot dengan nada simpatik. "Aku tahu apa yang kaurasakan.
Kepalamu pusing, ya tidak?"
"Semuanya itu khayalan!" seru Tuan Buoc kesal.
"Persis. Tak masuk akal - mustahil - tak bisa begitu. Aku sendiri juga berkata
begitu. Tapi meski begitu, hal itu memang ada! Orang tak bisa lari dari
kenyataan." "Tapi ini gila!"
"Apa kaukira tidak" Ini memang gila, Kawan, sampai kadang-kadang aku dikejar
sensasi bahwa itu semua sebenarnya sangat sederhana. Tapi itu cuma salah satu
dari ide-ideku saja!"
"Dua orang pembunuh," keluh Tuan Buoc. "Di atas Orient Express
-" Pikiran itu hampir membuatnya menangis.
"Dan sekarang mari kita membuat khayalan itu lebih gila lagi," ujar Poirot
dengan riang. "Tadi malam, di kereta ini ada dua orang pembunuh yang misterius.
Ada pelayan gerbong tidur yang ciri-cirinya sesuai dengan gambaran yang
diceritakan kepada kita oleh Tuan Hardman, dan malah telah dilihat oleh
Hildegarde Schmidt, Kolonel Arbuthnot dan Hector MacQueen. Di samping itu ada
lagi seorang wanita berpakaian kimono merah dan bertubuh tinggi, yang dilihat
oleh Pierre Michel, Nona Debenham, MacQueen dan aku sendiri (bau parfumnya
dicium oleh Kolonel Arbuthnot!) Siapa dia"
Tak seorang pun penumpang kereta yang mengaku memiliki kimono merah tua. Jadi
wanita itu juga sudah menghilang begitu saja.
Mungkinkah dia itu orangnya sama dengan pelayan gerbong tidur itu" Atau apakah
dia itu orang lain" Di mana sebenarnya mereka ini"
Dan tambahan lagi, di mana seragam pelayan gerbong tidur dan kimono merah tua
itu?" "Ah! Itu sudah agak jelas sedikit." Tuan Buoc bangkit dengan semangat dari
tempat duduknya. "Kita mesti memeriksa semua koper penumpang. Ya, itu akan
mendapatkan hasil." Poirot juga ikut bangkit. "Aku mau meramal," ujarnya.
"Kau tahu di mana mereka?"
"Rasanya aku bisa menebaknya."
"Di mana, kalau begitu?"
"Kau akan menemukan kimono merah tua itu di dalam koper salah seorang penumpang
pria, dan seragam pelayan gerbong tidur kereta malah akan kautemukan di dalam
koper Hildegarde Schmidt."
"Hildegarde Schmidt" Kaupikir -"
"Bukan seperti yang kaukira. Akan kususun begini. Jika Hildegarde Schmidt
terlibat, seragam itu mungkin akan ditemukan di dalam kopernya. Tapi kalau dia
bersih, itu malah sudah pasti ditemukan di situ, jadi tidak boleh tidak."
"Tapi bagaimana-" ujar Tuan Buoc mulai menyanggah lagi, tapi kemudian berhenti
lagi. "Ada apa itu ribut-ribut di luar?" teriaknya.
"Seperti suara lokomoiif yang sedang langsir."
Suara gaduh itu semakin mendekat. Kedengarannya seperti suara jeritan dan protes
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak senang dari seorang wanita. Pintu yang di ujung gerbong kereta makan itu
tiba-tiba terbuka. Nyonya Hubbard menyerbu masuk.
"Mengerikan! " teriaknya. "Mengerikan sekali! Di dalam tas bunga karang saya.
Tas bunga karang saya! Ada pisau besar - penuh darah!"
Tiba-tiba ia terhuyung-huyung ke depan dan langsung jatuh
pingsan menimpa bahu Tuan Buoc.
14. KESAKSIAN PISAU PEMBUNUH
Dengan sikap gagah perwira melebihi seorang ksatria sejati, Tuan Buoc meletakkan
kepala wanita pingsan itu di atas meja. Dr.
Constantine cepat-cepat berteriak memanggil salah seorang pelayan gerbong
restorasi, yang datang berlari-lari.
"Biarkan kepalanya seperti itu," ujar Dr. Constantine. "Kalau sudah siuman, beri
dia cognac sedikit. Kau mengerti?"
Lalu ia bergegas-gegas keluar melewati kedua orang yang sedang berdiri di
hadapannya. Minatnya sudah terlanjur terpusat pada pembunuhan itu - Nyonya
setengah baya yang sedang pingsan itu tak diperhatikannya sama sekali.
Mungkin dengan cara itu Nyonya Hubbard jadi siuman jauh lebih cepat daripada
dengan cara lain. Beberapa menit kemudian, ia sudah bisa duduk dan meneguk
sedikit cognac yang disodorkan seorang pelayan kepadanya, dan ocehannya pun
kembali terdengar. "Saya tak bisa mengatakan betapa mengerikannya semua itu!
Rasanya tak ada seorang pun di kereta ini yang bisa menyelami perasaan saya.
Saya memang perasa sekali sejak kecil. Apalagi waktu melihat darah yang sebegitu
banyak - ugh! Terlalu, sampai sekarang rasanya saya masih bisa pingsan lagi
kalau mengingatnya!"
Si pelayan kembali menyodorkan gelas ke mukanya. "Encore en peu, Madame" "
"Apakah kelihatannya saya sudah lebih baik" Seumur hidup saya belum pernah minum
minuman keras. Saya tak pernah menyentuh botol alkohol atau anggur. Semua
keluarga saya juga anti minuman keras. Mungkin kalau itu buat maksud-maksud
pengobatan, kami masih bisa menerima."
Nyonya Hubbard meneguk cognac-nya sekali lagi.
Dalam pada itu Poirot dan Tuan Buoc, diikuti oleh Dr. Constantine dari jarak
dekat, bergegas-gegas melangkah ke luar gerbong restorasi menuju kamar Nyonya
Hubbard, dengan melewati koridor gerbong Istambul.
Nampaknya saat itu semua penumpang keieta berkumpul di muka pintu. Kondekturnya,
dengan wajah jengkel, mencoba untuk
menahan mereka supaya tetap tenang.
"Mais il n'y a rien a voir, " ujarnya kemudian, lalu mengulangi lagi
perkataannya dalam berbagai bahasa.
"Beri saya jalan," ujar Tuan Buoc meminta permisi.
Dengan mendesak-desakkan badannya yang bulat itu pada badan para penumpang yang
berkumpul di pintu kamar masing-masing, akhirnya Tuan Buoc berhasil memasuki
kamar Nyonya Hubbard, Poirot mengikutinya dari belakang.
"Saya gembira Tuan datang," ujar kondektur kereta dengan lega.
"Setiap orang mencoba masuk. Nyonya Amerika itu - teriakannya bukan main - ma
foi, sampai saya kira dia sendiri juga dibunuh! Saya lari terbirit-birit
menghampiri, dan benar saja dia sedang menjerit-jerit ketakutan seperti orang
gila; dan dia berteriak bahwa dia mesti memberitahukan Tuan apa yang terjadi,
lalu dia keluar kamar dan berjalan melalui koridor sambil berteriak-teriak
histeris pada semua penumpang yang kamarnya kebetulan dia lewati."
Lalu kondektur itu menambahkan, dengan gerakan tangan, "Di dalam sana, Monsieur.
Saya belum menyentuhnya."
Pada pegangan pintu yang menembus ke kamar sebelah,
tergantung sebuah tas bunga karang yang besar yang sengaja diletakkan sebagai
penghalang. Di bawahnya, di lantai, kelihatan sebilah pisau runcing dan lurus
sekali, buatannya murah, seperti pisau loak dari Timur, pegangannya berukir
daunnya lonjong dan lancip. Pisau itu memiliki bercak hitam pada sisi daunnya
bagai pisau yang telah berkarat.
Poirot memungutnya dengan hati-hati.
"Ya," gumamnya. "Tak salah lagi. Ini dia senjata kita yang hilang itu - eh,
Dokter?" Dr. Constantine mengamat-amati benda itu dengan penuh minat.
"Tuan tak perlu seteliti itu," ujar Poirot. "Jangan sampai ada tambahan sidik
jari lagi, kecuali sidik jari Nyonya Hubbard itu."
Pemeriksaan Dr. Constantine tak berlangsung lama.
"Umpamanya itu memang benar senjatanya," ujarnya lagi, "itu pasti cocok dengan
dalam luka yang ditanamkannya."
"Saya mohon, Kawan, jangan berkata begitu!"
Dr. Constantine kelihatan heran.
"Selama ini kita sudah dibebankan dengan aneka ragam
kebetulan. Dua orang memutuskan untuk menikam Tuan Ratchett kemarin malam.
Rasanya tak bisa dipercaya kalau keduanya memilih senjata yang sama untuk
melakukan itu." "Jadi, faktor kebetulan itu mungkin tidak begitu besar seperti kelihatannya,"
ujar Dr. Constantine. "Beribu-ribu pisau Timur ini dibuat orang, lalu dikirimkan
ke bazar-bazar Konstantinopel."
"Tuan menghibur saya sedikit, tapi cuma sedikit," sahut Poirot.
Detektif itu melempar pandangan ke pintu sambil berpikir-pikir, lalu setelah
mengangkat tas batu karang itu sedikit, ia mengutik-ngutik pegangan pintu. Tapi
pintu itu sendiri tak bergerak sedikit pun.
Kira-kira satu kaki di atas pegangan pintu, ada penghalang. Poirot mencoba
usahanya sekali lagi, tapi pintu kamar itu masih saja terkunci rapat, tak
bergerak sejengkal pun. "Tadi kita sudah menguncinya dari sisi yang sebelah sana, Tuan masih ingat,"
ujar Dr. Constantine. "Betul," ujar Poirot seperti orang lupa. Kelihatannya ia sedang memikirkan
sesuatu. Kedua alisnya berpadu seakan ia sedang dalam keadaan bingung.
"Cocok, bukan?" tanya Tuan Buoc memecah kesunyian. "Orang itu lewat sepanjang
koridor. Sewaktu ia menutup pintu penghubung yang ada di belakangnya, ia
merasakan adanya tas bunga karang itu.
Timbul pikiran jahatnya dan cepat-cepat diselipkannya pisau yang berlumuran
darah itu ke dalamnya. Lalu tanpa menyadari bahwa ia sudah membangunkan Nyonya
Hubbard, ia menyelinap ke luar
melalui pintu lain kembali ke koridor."
"Seperti yang kaubilang," gumam Poirot. "Memang mesti seperti itu terjadinya."
Namun raut mukanya masih tetap kelihatan seperti orang bingung.
"Tapi apa itu?" tanya Tuan Buoc. "Ada sesuatu, ya tidak, yang membuatmu tak
puas?" ' Poirot menoieh sekilas ke arahnya.
"Faktor yang sama tak berhasil membangkitkan minatmu" Tidak, kenyataannya tidak.
Baiklah, itu soal kecil."
Kondektur itu kembali melihat ke arah koridor. "Wanita Amerika itu sedang ke
mari." Dr. Constantine kelihatan menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa dirinya telah
memperlakukan Nyonya Hubbard secara tidak adil, tidak ksatria. Tapi wanita itu
sendiri tak menyalahkan sikap Dr. Constantine yang demikian. Tenaganya terpusat
pada hal yang lain. "Lebih baik saya katakan saja hal itu terus terang," ujarnya terengah-engah
begitu sampai di mulut pintu kamarnya. "Saya tak mau tidur di kamar ini lagi!
Terlalu, saya tak bakal masuk ke sini lagi meski Tuan bayar saya jutaan dollar."
"Tapi Madame -"
"Saya tahu apa yang akan Tuan katakan, dan sekarang juga saya putuskan saya tak
mau berbuat semacam itu lagi! Terlalu, lebih baik saya duduk saja di koridor
sepanjang malam, daripada harus tidur di kamar keparat itu lagi." Dia mulai
menangis. "Oh, kalau saja anak perempuan saya tahu - kalau dia bisa melihat
keadaan saya sekarang, terlalu -"
Poirot menengahi dengan suara mantap.
"Nyonya salah paham. Permintaan Nyonya beralasan, bisa diterima. Koper-koper
Nyonya bisa segera dipindahkan ke kamar lain."
Nyonya Hubbard menurunkan sapu tangannya, yang tadi masih
menempel di muka. "Apa benar begitu" Oh! Saya lebih senang sekarang. Tapi
tentunya kamar-kamar itu semua sudah penuh, kecuali kalau salah seorang dari
penumpang pria -" Tuan Buoc ganti berbicara.
"Koper-koper Nyonya akan segera dipindahkan dari gerbong ini.
Nyonya boleh menempati kamar di gerbong lain, yang baru saja disambung di
Belgrado." "Syukurlah, itu bagus sekali. Sebenarnya saya bukanlah wanita yang terlalu
penakut, tapi buat tidur di kamar yang bersebelahan dengan orang mati itu,
terima kasih banyak!" Ia menggigil. "Itu bisa membuat saya gila."
"Michel!" teriak Tuan Buoc. "Pindahkan koper ini ke kamar kosong di gerbong
Athena-Paris." "Ya, Monsieur. Kamar, yang sama" Nomor 3 juga?"
"Jangan," ujar Poirot tiba-tiba, sebelum teman bicaranya sempat menjawab. "Aku
kira bagi Madame lebih baik menempati kamar yang nomornya sama sekali berbeda.
Kamar no.12, umpamanya."
"Bien, Monsieur. "
Kondektur itu memegang koper yang akan diangkat.
Nyonya Hubbard berpaling ke Poirot dengan pandangan penuh
terima kasih. "Tuan baik sekali. Saya sangat menghargai itu, percayalah."
"Tak apa-apa, Madame. Kami akan menemani Nyonya dan melihat apakah Nyonya sudah
benar-benar puas di tempat yang baru."
Nyonya Hubbard diantar oleh ketiga pria itu menuju rumahnya yang baru. Ia
menoleh ke sekitar dengan perasaan senang. "Di sini enak."
"Cocok dengan selera Nyonya" Jadi Nyonya lihat, persis seperti kamar yang Nyonya
tinggalkan itu, bukan?"
"Memang benar - cuma bedanya ini menghadap ke arah lain. Tapi itu tak apa-apa,
sebab kereta ini berjalan menghadap ke satu arah, kemudian ke arah lain. Saya
sering mengatakan pada anak
perempuan saya, 'Aku ingin gerbong yang menghadap ke lokomotif,'
dan ia menjawab, 'Mengapa, Mama, itu tak baik buat Mama, sebab kalau Mama tidur
ke satu arah, begitu Mama bangun, kereta sudah berada di arah lain!' Dan memang
yang dikatakannya itu benar.
Begitulah, tadi malam kita semua ke Belgrado dengan satu arah, tapi kemudian
melanjutkan lagi perjalanan dengan arah yang lain."
"Biar bagaimanapun kelihatannya Nyonya sudah senang dan puas, sekarang ini,
bukan begitu?" "Tidak, saya tak berani berkata begitu. Di sini kita tertahan salju dan tak
seorang pun mau berusaha untuk mengatasinya, padahal kapalku mesti berangkat
besok." "Nyonya," ujar Tuan Buoc membela diri, "kita semua senasib setiap orang di antara kita."
"Baiklah, memang benar itu," sahut Nyonya Hubbard mengakui.,
"Tapi pasti tak seorang penumpang pun yang ingin kamarnya dimasuki pembunuh pada
malam hari." "Apa yang masih membingungkan saya, Madame, " ujar Poirot lagi, "ialah bagaimana
caranya orang bisa masuk ke dalam kamar Nyonya kalau kamar penghubungnya
dipalang seperti yang Nyonya katakan. Nyonya yakin pintu penghubung itu
dipalang?" "Kenapa tidak, gadis Swedia itu mencobanya di depan mata saya."
"Mari kita rekonstruksikan kejadian itu. Nyonya sedang terbaring ditempat tidur
- begini - dan Nyonya sendiri tak melihatnya, kata Nyonya?"
"Tidak, karena terhalang oleh tas bunga karang itu! Oh! Celaka!
Saya harus membeli tas yang baru. Saya jadi mual kalau melihat tas itu lagi."
Poirot memungut tas bunga karang itu dan menggantungkannya pada pegangan pintu
penghubung yang menembus ke gerbong
sebelah. "Precissment, saya mengerti sekarang," ujarnya lagi. "Penghalang itu tepat di
bawah pegangan pintu ini - jadi tas bunga karang itu menutupinya. Jadi Nyonya
tak bisa melihat apakah penghalang itu digerakkan atau tidak."
"Itulah justru yang sudah saya katakan pada Tuan barusan! "
"Dan gadis Swedia itu, Nona Ohlsson, berdiri seperti ini, di antara Nyonya dan
pintu itu. Ia mencoba membukanya dan lalu mengatakan pada Nyonya bahwa itu
terkunci." "Begitulah." "Sama saja, Madame, gadis itu juga bisa salah. Nyonya mengerti apa yang saya
maksudkan?" Poirot kelihatannya sudah tak sabar untuk menerangkan. "Biar
bagaimanapun, penghalang itu cuma terbuat dari logam - begitu. Kalau diputar ke
kanan, maka pintu akan terkunci. Kalau diputar ke kiri, pintu akan terbuka.
Mungkin gadis Swedia itu cuma mencoba pintu itu saja, dan karena terkunci dari
sisi lain maka ia mengira bahwa itu terkunci dari pihak Nyonya."
"Kalau begitu, gadis Swedia itulah yang agak bodoh, saya kira."
"Madame, orang yang paling ramah dan paling baik, tidak selalu paling pandai."
"Tentu saja." "Ngomong-ngomong, dalam perjalanan ini Nyonya sempat singgah di Smyrna?"
"Tidak, saya langsung ke Istambul, dan salah seorang teman anak perempuan saya,
Tuan Johnson (dia pria yang tampan, saya ingin Tuan bisa berkenalan dengannya),
menyambut kedatangan saya dan
mengantarkan saya berjalan-jalan mengelilingi Istambul. Tapi celakanya, kotanya
mengecewakan sekali - semuanya bangunan runtuh melulu; dan demi semua mesjidmesjid, tambahan lagi terompah yang harus kita pakai untuk melihatnya - eh,
sampai di mana saya tadi."
"Nyonya mengatakan tadi bertemu dengan Tuan Johnson.
"Begitulah, dia mengantar saya sewaktu menaiki kapal French Messageries ke
Smyrna, dan menantu lelaki saya rupanya sudah menanti di dermaga. Apa yang
dikatakannya nanti kalau dia
mendengar semuanya ini! Anak perempuan saya bilang cara yang saya tempuh ini
adalah cara yang paling gampang dan paling aman.
'Mama tinggal duduk saja di gerbong,' ujarnya, 'dan tahu-tahu Mama sudah sampai,
di Parrus, dan di sana the American Express sudah menanti Mama.' Dan, oh, apa
yang dapat saya lakukan untuk
membatalkan pelayaran saya itu" Saya harus memberitahu mereka.
Tentu saja saya tak bisa melakukannya sekarang. Ini benar-benar menyebalkan -"
Nyonya Hubbard kembali menangis.
Poirot, yang sejak tadi merasa gelisah, cepat-cepat memanfaatkan kesempatan yang
diperolehnya untuk berbicara.
"Nyonya terkena shock. Pelayan restorasi bisa segera disuruh untuk membawakan
Nyonya semangkuk teh dan biskuit."
"Saya tak tahu apakah saya bisa tenteram dengan teh," ujar Nyonya Hubbard dengan
air mata berlinang-linang. "Itu kebiasaan orang Inggeris."
"Kopi, kalau begitu, Madame. Nyonya perlu tenaga. "
"Cognac itu membuat saya pusing. Rasanya kopi lebih cocok buat saya."
"Bagus. Nyonya harus mengembalikan tenaga."
"Lucu betul anjuran itu,
"Tapi ada satu hal, Madame, soal yang rutin. Nyonya tak keberatan kalau saya
memeriksa koper penumpang?"
"Buat apa?" "Kami sudah mau mulai pemeriksaan terhadap koper penumpang.
Saya tak ingin mengingatkan Nyonya kembali pada pengalaman Nyonya yang tak enak
itu - tas bunga karang Nyonya, masih ingat?"
"Terima kasih! Baxangkali Tuan benar! Saya Justru tak sanggup lagi mengalami
kejutan seperti itu."
Pemeriksaan itu berjalan lancar. Nyonya Hubbard bepergian
dengan bawaan yang sangat minim - sebuah kotak topi, koper murahan, dan sebuah
tas perjalanan yang terisi penuh. Isi ketiga barang bawaan itu sangat sederhana
dan seperlunya saja. Barangkali pemeriksaan terhadap barang-barang itu tak akan
memakan waktu begitu lama, seandainya Nyonya Hubbard tidak mendesak mereka untuk
melihat-lihat foto anak perempuannya dan dua orang anak kecil yang jelek-jelek.
"Ini cucu-cucu saya. Tidakkah mereka itu kelihatan pandai-pandai?"
15. KESAKSIAN BARANG-BARANG BAWAAN PENUMPANG
Setelah berbasa-basi ala kadarnya dan setelah memberitahukan Nyonya Hubbard,
bahwa ia akan menyuruh pelayan mengantarkan kopi kepadanya, Poirot kemudian
mehinggalkan kamar itu, diikuti oleh kedua kawannya.
"Baik, kita sudah mulai, tapi usaha kita itu rupanya belum berbuah."
"Aku rasa itu paling gampang, kita ikuti saja panjang kereta api ini, gerbong
demi gerbong. Itu berarti kita mulai dengan no. 16 kamar Tuan Hardman yang ramah itu."
Tuan Hardman, yang saat itu sedang merokok cerutu, menyambut kedatangan mereka
dengan sopan dan ramah.
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari langsung masuk, Tuan-tuan. Kalau ruangannya cukup pantas buat manusia.
Cuma kumpulan rayap yang cocok untuk
berpesta-pora di sini." Tuan Buoc memberitahu maksud kedatangan mereka dan
detektif tinggi besar itu mengangguk tanda mengerti.
"O.K. Terus terang saja sebenarnya saya sendiri heran kenapa Tuan-tuan tak
melakukannya lebih cepat. Ini kunci saya, Tuan-tuan, dan kalau kalian juga ingin
memeriksa saku-saku baju dan celana saya, silakan. Perlu saya turunkan koperkoper itu?" "Kondektur akan membereskan itu. Michel!"
Isi kedua koper Tuan Hardman langsung diperiksa dan selesai dalam waktu singkat.
Rupanya terdapat juga minuman keras, yang semestinya tidak. Tuan Hardman
mengerdipkan mata. "Tidak banyak terjadi pemeriksaan di perbatasan - asal kita bisa menempel
kondekturnya. Tempo hari saya sudah menyelipkan
beberapa gepok uang Turki ke tangannya dan sejauh ini tak ada kesulitan apa-apa.
" "Dan di Paris?"
Tuan Hardman mengerdipkan matanya sekali lagi. "Begitu memasuki Paris," ujarnya,
"sisa-sisa minuman keras yang tak seberapa ini biasanya langsung masuk sebuah
botol kecil dan ditempeli merk obat pencuci rambut.
"Kalau begitu kelihatannya Tuan tak percaya pada larangan minuman keras itu,
Monsieur Hardman." "Begitulah," jawab Hardman, "saya tak bisa bilang larangan yang dilaksanakan di
Amerika itu membuat saya khawatir."
"Ah!" ujar Tuan Buoc. "Pasar gelap." Perkataannya itu diucapkannya dengan hatihati, seolah ingin menekankan ejaannya satu per satu. "Istilah Amerika Tuan
kedengarannya begitu aneh, begitu mengena."
"Kalau saya, saya ingin sekali ke Amerika," ujar Poirot.
"Tuan akan mendapatkan cara-cara yang serba baru di sana,"
sahut Hardman. "Eropa mesti dibangunkan. Benua itu setengah tidur."
"Memang Amerika itu negeri yang maju," ujar Poirot membenarkan. "Banyak sekali
yang saya kagumi pada diri orang Amerika. Cuma - barangkali saya agak kolot tapi bagi saya, wanita Amerika itu kelihatannya kurang menarik dibandingkan
dengan wanita negeri saya sendiri. Wanita Perancis atau Belgia, kelihatan lincah
dan menarik - saya rasa mereka tak gampang disentuh."
Hardman menoleh ke arah jendela kamar, melihat salju.
"Barangkali Tuan benar, Tuan Poirot," ujarnya. "Tapi saya kira setiap bangsa di
dunia ini paling menyukai gadis mereka." Ia mengejapkan mata seolah-olah
kepingan salju yang sedang turun itu ada yang mengenai matanya.
"Menyilaukan, ya tidak?" katanya menegaskan. "Coba Tuan-tuan, situasi di mana
kita berada sekarang ini benar-benar merusak syarafku. Pembunuhan dan salju dan
segalanya. Dan tak ada yang bisa dikerjakan. Cuma berserah dan menunggu. Saya
senang menyibukkan diri dengan orang atau sesuatu."
"Semangat berlomba orang Barat yang sesungguhnya."
Kondektur meletakkan kembali koper-koper Tuan Hardman yang telah selesai
diperiksa dan mereka melanjutkan pemeriksaan ke kamar berikut. Kolonel Arbuthnot
sedang duduk di sebuah sudut sambil mengisap pipa dan membaca sebuah majalah.
Poirot menjelaskan maksud kedatangan mereka. Kolonel itu tak menunjukkan
keberatan apa-apa. Ia memiliki dua buah koper kulit.
"Tas bawaan saya yang selebihnya sudah dikirim melalui jalan laut," ia
menerangkan. Seperti kebanyakan anggota militer yang lain, kolonel itu juga menyimpan barangbarangnya dengan rapi. Pemeriksaan kopernya
cuma berlangsung dalam beberapa menit. Poirot tertarik pada pembersih pipa rokok
yang terdapat di situ. "Tuan selalu memakai jenis yang ini?"
"Biasanya. Kalau ada."
"Ah!" Poirot mengangguk. Pembersih pipa jenis ini sama betul dengan yang
diketemukannya di lantai kamar korban.
Seperti biasa Dr. Constantine banyak memperingatkan begitu mereka berada di
koridor kembali. "Tout de meme," gumam Poirot. "Aku hampir tak bisa mempercayai ini. Itu tidak
terdapat dalam watak orang yang seperti itu, dan kalau Tuan sudah berkata
begitu, itu berarti Tuan sudah mengatakan semuanya."
Pintu kamar berikutnya tertutup. Kamar itu ialah kamar yang dihuni oleh Princess
Dragomiroff. Mereka bergantian mengetuk, sesaat kemudian terdengar suara puteri
Rusia yang dalam dan renyah itu, "Entrez!"
Tuan Buoc menjadi juru bicara. Sikapnya sangat hormat dan
sopan ketika ia menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Puteri itu mendengarkan perkataannya dengan tenang, wajahnya yang mirip kodok
itu tak menunjukkan ekspresi apa pun.
"Kalau memang perlu, Messieurs," ujarnya dengan tenang begitu Tuan Buoc selesai
berbicara, "semuanya sudah tersedia. Pembantu saya yang memegang kuncinya. Dia
akan melayani Tuan-tuan."
"Apa pembantu Nyonya selalu membawa kunci-kunci Nyonya?"
tanya Poirot. "Tentu saja, Monsieur. "
"Dan bagaimana jadinya, kalau pada malam hari di perbatasan, petugas-petugas bea
cukai itu harus memeriksa dan membuka koper Nyonya?"
Nyonya tua itu mengangkat bahu. "Itu tidak biasanya. Tapi kalau dalam hal itu,
biasanya kondektur akan memanggilnya."
"Kalau begitu Nyonya percaya padanya seratus persen?"
"Bukankah tempo hari sudah saya katakan kepada Tuan," ujar puteri Rusia itu
dengan tenang. "Saya tak mau mempekerjakan orang yang tidak saya percayai."
"Ya," sahut Poirot sambil berpikir-pikir. "Kepercayaan memang penting sekali
dewasa ini. Mungkin lebih baik mempekerjakan wanita jelek yang bisa kita percaya
daripada mempekerjakan gadis manis, misalnya gadis-gadis Paris."
Detektif Belgia itu melihat mata hitam puteri Rusia itu terbuka lebar dan
menatap langsung ke arahnya. "Apa sebenarnya yang ingin Tuan katakan, Monsieur
Poirot?" "Tak ada, Madame. Saya" Tak apa-apa."
"Tapi ya. Tuan pikir, ya tidak, bahwa saya sebaiknya jangan mempekerjakan wanita
Perancis yang pandai untuk melayani segala keperluan saya"
"Barangkali itu lebih lazim, Madame.
Puteri Rusia menggeleng. "Schmidt sangat berbakti kepada saya."
Suaranya berhenti sebentar pada perkataan itu, "Pengabdian - c'est impayable. "
Wanita Jerman itu tiba dengan serenceng anak kunci. Puteri Rusia itu berkata
kepada pembantuhya dalam bahasanya sendiri,
menyuruhnya membuka koper-koper itu dan membantu Poirot dan kawan-kawannya dalam
-pemeriksaan itu. Ia sendiri tinggal di koridor sambil memandangi salju yang
jatuh, dan Poirot juga ikut
menemaninya, tugas untuk memeriksa koper-koper itu diserahkannya kepada Tuan
Buoc. Puteri Rusia itu tertawa menyeringai.
"Nah, Monsieur, apa Tuan tak ingin melihat isi koper-koper saya itu?"
Poirot menggeleng. "Madame, ini cuma formalitas, tak lebih dari itu."
"Tuan yakin?" "Dalam persoalan Nyonya, ya."
"Dan meskipun begitu saya memang kenal dan sayang sekali pada Sonia Armstrong.
Apa pendapat Tuan" Bahwa saya tak akan
mengorbankan tangan saya hanya untuk membunuh bangsat seperti si Cassetti itu,
bukan" Baiklah, mungkin Tuan benar."
Puteri Rusia itu terdiam sejenak. Lalu ia berkata,
"Dengan orang yang seperti itu, tahukah Tuan apa yang ingin saya perbuat
terhadapnya" Saya ingin memanggil pelayan saya dan berseru, 'Cambuk orang ini
sampai mati lalu lemparkan ke timbunan sampah!' Itulah cara yang dipraktekkan
sewaktu saya masih muda, Monsieur."
Detektif Belgia itu masih saja belum membuka mulut, ia cuma mendengarkan saja
dengan penuh perhatian. Tiba-tiba puteri Rusia itu memandangnya dengan pandangan tak sabar. "Tuan tidak
mengatakan apa-apa. Saya heran, apa yang sedang Tuan pikirkan?"
Detektif Belgia itu membalas pandangannya dengan menatap
wajahnya secara langsung. "Saya kira, kekuatan Nyonya terletak pada kemauan,
bukan pada lengan Nyonya."
Puteri Rusia itu melirik ke lengannya yang kurus, ditutupi oleh baju hitam yang
berakhir pada jari-jari tangan berwarna kuning dengan cincin-cincin yang
menempel di seputarnya. "Benar," ujarnya lagi. "Saya tak punya kekuatan dari sini, dari tangan-tangan
ini - memang tak ada. Saya tak tahu apakah karena itu saya menyesal atau
senang." Sekonyong-konyong ia berpaling ke arah kamarnya, di mana
pembantunya sedang sibuk membereskan koper-koper yang sudah selesai diperiksa.
Puteri Rusia itu buru-buru memotong permintaan maafnya Tuan Buoc.
"Tak perlu minta maaf, Monsieur, " ujarnya. "Di kereta ini sudah terjadi
pembunuhan. Mesti ada tindakan yang harus diambil
sesudahnya. Semua kegiatan sekarang ini sedang menuju ke situ."
"Vous etes bien aimable, Madame. "
Princess Dragomiroff memiringkan kepalanya sedikit, memberi hormat begitu mereka
pamit meninggalkan kamarnya.
Pintu-pintu kedua gerbong berikutnya kelihatan tertutup semua.
Tuan Buoc menghentikan langkahnya dan menggaruk-garuk kepala.
"Diable!" ujarnya. "Mungkin ini aneh. Ini ada dua paspor diplomatik. Sebenarnya
koper-koper bawaan mereka tak boleh diperiksa."'
"Kalau dalam pemeriksaan bea cukai memang ya. Tapi kalau dalam perkara
pembunuhan, lain ' "
"Aku tahu. Semuanya sama - kita tak ingin mendapat rintangan."
"Jangan menyusahkan diri sendiri, Kawan. Count dan Countess Andrenyi bisa
mengerti. Lihat saja sendiri betapa ramahnya Princess Dragomiroff tadi itu. "
"Ia memang benar-benar grande dame. Tapi kedua bangsawan ini punya posisi yang sama, kesan saya Count Andrenyi wataknya agak galak. Ia
kelihatannya tidak senang sewaktu kau mendesak untuk memeriksa isterinya. Dan
kejadian ini malah akan terasa
mengganggunya lebih parah lagi. Bagaimana umpamanya kita
lewatkan saja dia" Biar bagaimanapun, tampaknya mereka tak punya hubungan apaapa-dengan masalah ini, Untuk apa aku bikin repot diri sendiri?"
"Aku tak sependapat dengan kau," ujar Poirot. "Aku yakin Count Andrenyi bisa
memahami. Apa pun yang terjadi nanti, pokoknya tak ada salahnya kalau kita
mencobanya dulu." Sebelum Tuan Buoc sempat menjawab, Poirot sudah mengetuk
pintu kamar no.13 dengan keras.
Terdengar suara dari dalam meneriakkan, "Entrez! "
Count Andrenyi sedang duduk di sudut dekat pintu sambil
membaca koran. Sedang isterinya sedang meringkuk di sudut dekat jendela. Di
belakang kepalanya ada bantal dan kelihatannya ia sudah tertidur.
"Maaf, Monsieur le Comte, " ujar Poirot memulai. "Mohon maaf atas gangguan ini.
Soalnya kami sedang mengadakan pemeriksaan terhadap semua koper-koper penumpang
di kereta ini. Sebenarnya ini cuma formalitas. Tapi ini mesti dilakukan. Tuan
Buoc sudah mengusulkan, karena Tuan punya paspor diplomatik, mungkin Tuan bisa
dibebaskan dari pemeriksaan semacam ini."
Count Andrenyi kelihatan berpikir-pikir sebentar
"Terima kasih," ujarnya. "Tapi saya kira saya tak perlu dikecualikan dalam hal
ini. Saya lebih suka kalau koper-koper kami juga diperiksa seperti koper-koper
penumpang lainnya." Ia berpaling ke arah isterinya. "Kau tidak keberatan, bukan.
Elena?" "Tidak sama sekali," sahut Countess itu tegas.
Maka pemeriksaan yang cepat dan sambil lalu itu dimulai. Poirot kelihatannya
ingin menutupi keheranannya sewaktu ia berkomentar sedikit terhadap isi koperkoper itu, seperti: "Ini ada merk yang sudah basah sama sekali dalam koper ini,
Madame, " ujarnya, sambil menurunkan sebuah koper morocco biru dengan nama
pengenal di depannya dan sebuah mahkota kecil tanda kebangsawanan.
Countess itu sama sekali tak mempedulikan pemeriksaan yang sedang dijalankan di
kamarnya itu. Kelihatannya memang ia sudah jemu dengan tugas rutin semacam itu.
Ia masih tak bergerak dari tempat duduknya di sudut, matanya acuh tak acuh
melongok ke luar jendela, sementara ketiga pria itu memeriksa koper-kopernya di
kamar sebelah. Poirot mengakhiri pemeriksaannya setelah memeriksa isi lemari kecil di atas
tempat cuci tangan dan sempat melirik sebentar barang-barang yang diletakkan di
situ - karet busa, kosmetik untuk pencuci muka, bedak dan sebuah botol kecil
bertuliskan trional. Lalu setelah meminta diri dengan hormat dan sopan kepada
sepasang bangsawan itu, rombongan penyelidik itu pun berlalu.
Kini tiba giliran, kamar Nyonya Hubbard, kamar si korban dan menyusul kamar
Poirot sendiri. Sekarang ketiganya tiba pada gerbong kelas dua.
Yang pertama, kamar-kamar no.10 dan no.11, dihuni oleh Mary Debenham, yang
sedang asyik membaca buku, dan Greta Ohlsson, yang sedang nyenyak tidur tapi
langsung bangun begitu mendengar ada orang memasuki kamarnya.
Poirot mengulangi lagi maksud kedatangannya untuk kesekian kali. Wanita Swedia
itu kelihatan gelisah dan terganggu. Mary Debenham kelihatan tak peduli.
Detektif Belgia itu meminta ijin pada wanita Swedia yang dipanggil Greta
Ohlsson. "Kalau Nona tak keberatan, kami ingin memeriksa koper Nona dulu, dan mungkin
Nona mau bermurah hati sedikit untuk tolong menemani wanita Amerika itu. Kami
baru saja memindahkan dia ke salah satu gerbong sebelah, tapi dia masih saja
kebingungan akibat dari pengalamannya yang mengerikan itu. Saya sudah menyuruh
pelayan restorasi untuk membawakannya kopi, tapi saya rasa yang lebih penting
adalah mengirimkannya seorang teman untuk diajak berbicara. Itulah sebenarnya
yang paling dibutuhkannya saat ini."
Wanita Swedia yang baik itu ternyata memang orang yang
simpatik. Ia langsung pergi dari situ, demi untuk memenuhi permintaan Poirot.
Tentunya telah terjadi goncangan yang bisa membahayakan urat syarafnya, dan
nyonya tua yang malang itu sedang dirongrong oleh perjalanan keparat ini.
Hatinya tentu kesal mengingat anak perempuannya yang ditinggalkan. Ah, tentu
saja, kalau begitu ia ingin langsung ke tempatnya - meski kopernya tidak
terkunci - dan ia akan membawa obat air garam bersamanya.
Gadis Swedia itu melangkah bergegas-gegas menuju kamar
Nyonya Hubbard. Kemudian koper-koper miliknya langsung diperiksa.
Jelaslah bahwa ia tak menyadari ada seutas kawat yang hilang dari kotak topinya.
Nona Debenham telah meletakkan bukunya. Ia sedang mengawasi Poirot. Sewaktu
detektif itu meminta ijin untuk memeriksa kopernya, ia langsung menyodorkan
serenceng anak kunci. Kemudian setelah Poirot menurunkan sebuah koper milik
gadis Inggris itu dan membukanya sekalian, Mary Debenham berkata,
"Kenapa Tuan mengusrnya."
"Saya, Mademoiselle" Yaah, untuk menemani wanita Amerika itu."
"Dalih yang bagus sekali - tapi semua dalih sama."
"Saya tak mengerti apa maksud Nona."
"Saya rasa Tuan mengerti betul." Ia tersenyum.
"Tuah ingin membiarkan saya sendirian, ya tidak?"
"Nona sudah meletakkan kata-kata itu di lidah saya-"
"Dan akal di kepala Tuan" Tidak, saya kira tidak begitu. Akal bulus Tuan sudah
lebih dulu ada di sana. Betul tidak?"
"Mademoiselle, kami punya sebuah peribahasa -"
"Qui s'excuse s'accuse - itukah yang ingin Tuan katakan" Tuan mesti memberikan
saya jaminan untuk menggunakan pengamatan dan akal sehat saya. Karena satu atau
beberapa alasan, Tuan mengira bahwa saya tahu sesuatu tentang masalah yang mesum
ini - yaitu pembunuhan seseorang yang belum pernah saya lihat
sebelumnya." "Nona berkhayal."
"Tidak, saya sama sekali tidak berkhayal. Tapi kelihatannya waktu sudah terbuang
banyak karena tak berani mengatakan yang
sebenarnya - karena terlalu banyak membuang waktu dengan
membabat semak-semak, dan tak berani langsung menghadapi
keadaan di sekitarnya."
"Dan-Nona tak senang memboroskan waktu yang terbuang
percuma. Tidak, Nona senang untuk langsung mengupas inti
persoalan. Nona senang menggunakan metode langsung. Akan saya beri Nona, metode
langsung itu. Saya sudah lama ingin menanyakan pada Nona apa arti kata-kata
tertentu yang kebetulan saya dengar sewaktu berangkat dari Siria. Saat itu saya
turun dari kereta untuk melakukan apa yang disebut orang Inggris 'melemaskan
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki' di Stasiun Konya. Suara Nona dan suara Kolonel Arbuthnot terdengar jelas
di tengah kesunyian malam. Nona berkata padanya, 'Jangan sekarang. Jangan
sekarang. Nanti kalau semuanya sudah beres.
Kalau semuanya sudah di belakang kita. Apa yang Nona maksudkan dengan kata-kata
itu?" Mary Debenham balas menanya dengan tenang, "Apa Tuan kira saya mengartikannya
pembunuhan?" "Justru itu yang sekarang sedang saya tanyakan kepada Nona."
Gadis itu menarik napas - terdiam sebentar, tampak ia berpikir.
Lalu seolah-olah membangkitkan semangatnya sendiri ia berkata,
"Memang kata-kata itu punya arti tersendiri, Monsieur! Tapi tak satu pun dapat
saya katakan pada Tuan. Saya cuma bisa menjamin bahwa saya tak pernah melihat
orang yang bernama Ratchett itu seumur hidup saya sampai saya melihatnya di atas
kereta ini." "Dan - Nona menolak untuk menerangkan arti kata-kata itu?"
"Ya, kalau Tuan menghendaki begitu - saya menolak. Semua itu berhubungan dengan
- dengan tugas yang harus saya laksanakan."
"Tugas yang sekarang sudah selesai?"
"Apa maksud Tuan?"
"Sudah selesai, bukan?"
"Kenapa Tuan bisa berpikir begitu?"
"Dengar, Mademoiselle, saya ingin mengingatkan Nona kembali pada kejadian lain.
Waktu itu kereta tertunda, waktu kita baru saja mau memasuki Istambul.
Kelihatannya, Nona sangat gelisah. Nona yang biasanya begitu tenang, begitu bisa
menguasai diri. Tapi kali itu Nona kehilangan ketenangan Nona."
"Saya tak ingin ketinggalan untuk mencegat kereta yang berikut, kereta Orient
Express." "Nona bilang begitu. Tapi, Mademoiselle, Orient Express berangkat dari Istambul
setiap hari dalam seminggu. Bahkan seandainya Nona benar-benar ketinggalan,
paling tidak cuma ketinggalan dua puluh empat jam saja."
Untuk pertama kali Mary Debenham kehilangan kesabarannya.
"Kelihatannya Tuan tak menyadari mungkin saja seseorang itu punya teman-teman
yang sedang menantikan kedatangannya di
London, dan biar satu hari saja tertunda itu akan menimbulkan gangguan dan
kejengkelan bagi persiapan-persiapan yang telah mereka lakukan."
"Ah, begitu rupanya" Sudah ada teman-teman yang menunggu kedatangan Nona" Dan
Nona tak ingin menyusahkan mereka?"
"Tentu saja." "Tapi itu toh masih menimbulkan rasa ingin tahu orang."
"Apanya yang menimbulkan rasa ingin tahu orang?"
"Di kereta ini - lagi-lagi perjalanan kita tertunda. Dan kali ini penundaannya
lebih gawat lagi, sebab tak mungkin untuk
mengirimkan telegram kepada teman-teman Nona atau paling tidak menghubungi
mereka dari - dari -"
"Dari jarak jauh" Telepon, maksud Tuan".
"Ah, ya, yang di Inggris disebut 'corong bicara' itu."
Mary Debenham tersenyum sedikit mendengar sindiran Poirot itu.
"Pembicaraan jarak jauh atau interlokal," ujarnya membenarkan.
"Ya, seperti kata Tuan tadi, memang sangat menjengkelkan kalau kita tak bisa
berbicara sepatah kata pun, baik melalui telepon atau telegram."
"Dan lagi, Mademoiselle, kali ini kebiasaan Nona berbeda sekali.
Nona sudah tak lagi mengkhianati peri laku yang tak sabar itu. Nona sekarang
lebih tenang dan lebih filosofis."
Mary Debenham tersipu-sipu dan menggigit bibirnya. Ia tak lagi ingin tersenyum.
"Nona tak menjawab, Mademoiselle"
"Maaf. Saya tak tahu ada sesuatu yang harus dijawab."
"Perubahan sikap Nona itulah yang harus diterangkan.
"Tidakkah Tuan merasa bahwa Tuan cuma meributkan hal-hal
yang tak ada, Tuan Poirot?"
Poirot menggerakkan tangannya, meminta maaf. "Barangkali di situlah letak
kekeliruan kami, para detektif itu. Kami berharap tingkah laku mausia itu selalu
tetap. Kami tak ingin melihat adaya perubahan-perubahan perasaan atau suasana
hati." Mary Debenham tak menjawab.
"Nona kenal betul dengan Kolonel Arbuthnot?"
Poirot mengira gadis Inggris itu akan merasa lega kalau ia membelokkan pokok
pembicaraan. "Saya pertama kali bertemu dengan dia dalam perjalanan ini.
"Apakah Nona punya alasan untuk mencurigai bahwa boleh jadi ia sudah tahu
manusia yang bernama Ratchett ini?"
Ia menggelengkan kepala dengan pasti. "Saya yakin benar dia tak mengenalnya."
"Kenapa Nona begitu yakin?"
"Dari caranya ia berbicara."
"Tapi meski begitu, kami sudah menemukan sepotong pembersih pipa rokok di lantai
kamar korban. Dan Kolonel Arbuthnot adalah penumpang pria satu-satunya di kereta
yang mengisap pipa."
Poirot memandangnya lekat-lekat, tapi gadis Inggris itu tak memperlihatkan rasa
terkejut atau emosi apa pun, ia cuma berkata,
"Omong kosong. Tidak masuk akal. Kolonel Arbuthnot adalah pria terakhir yang
bisa terlibat dalam suatu kejahatan - apalagi kejahatan yang sudah dipersiapkan
lebih dahulu seperti sandiwara ini.
Jawaban itu sedemikian meyakinkannya hingga Poirot sendiri pun hampir-hampir
sependapat dengan lawan bicaranya. Tapi detektif Belgia itu berhasil menguasai
dirinya, lalu menjawab, "Saya harus mengingatkan Nona, bahwa Nona sebetulnya tidak mengenal Kolonel
Arbuthnot dengan baik."
Gadis itu mengangkat bahu. "Saya tahu betul tipe orang yang seperti itu."
Poirot menjawab lembut, "Nona m asih menolak untuk menjelaskan pada saya apa arti kalimat 'Sesudah
semuanya ada di belakang kita?"
Mary Debenham menjawab dingin, "Tak ada lagi yang harus saya katakan."
"Tak jadi apa, " sahut Poirot. "Akan saya cari sendiri jawabannya."
Ia membungkukkan badan memberi hormat, lalu meninggalkan
kamar setelah menutup pintu.
"Kaukira caramu itu bijaksana, Kawan?" tanya Tuan Buoc. "Kau telah membuatnya
menjaga diri - dan melalui gadis Inggris itu kau juga telah membuat Kolonel
Arbuthnot lebih waspada dan menjaga dirinya baik-baik."
"Mon ami, kalau kau ingin menangkap kelinci kau harus memasukkan musang ke
liangnya, dan kalau kelinci itu benar ada di dalam situ - ia pasti lari. Cuma
itu yang kulakukan."
Mereka tiba di muka kamar Hildegarde Schmidt.
Wanita itu sudah berdiri bersiap-siap, wajahnya menunjukkan rasa hormat tapi tak
membayangkan emosi apa-apa.
Poirot melirik sebentar isi koper kecil yang terletak di kursi. Lalu ia
mengisyaratkan pelayan untuk menurunkan sebuah koper yang lebih besar dari rak.
"Kuncinya?" tanya detektif Belgia itu.
"Tidak dikunci, Monsieur. "
Poirot melepaskan kaitannya dan membuka tutupnya.
"Aha! " serunya kegirangan, lalu berpaling ke Tuan Buoc. "Masih ingat apa yang
kukatakan. Coba lihat ke sini sebentar!"
Di atas koper itu nampak sehelai baju seragam pelayan gerbong tidur kereta
berwarna coklat, yang kelihatannya baru saja digulung dengan agak tergesa.
Sikap mantap wanita Jerman itu tiba-tiba saja berubah dalam sekeiap.
"Ach! " teriaknya. "Itu bukan punya saya. Saya tak pernah meletakkannya di situ.
Saya tak pernah melihat isi koper itu sedari kereta meninggalkan Istambul.
Sungguh mati, saya tidak bohong!" Ia memandang ketiga pria itu satu per satu
secara bergiliran dengan sinar mata yang memohon minta dikasihani.
Poirot memegang tangannya dengan lembut dan mencoba untuk
menenangkan hatinya. "Tidak, tidak, segalanya beres. Kami percaya pada Nona. Jangan gelisah. Saya
yakin betul Nona tidak menyembunyikan seragam itu di situ, sebagaimana saya juga
yakin Nona adalah koki yang jempolan.
Nona lihat. Nona koki yang pandai bukan?"
Dengan sinar mata kebingungan, wanita Jerman itu tersenyum, meskipun ia sendiri
tak tahu mengapa ia tersenyum.
"Ya, memang, semua majikan saya berkata begitu. "Saya -"
Bicaranya terhenti, bibirnya, ternganga sedikit, nampaknya ia mulai ketakutan
lagi. "Tak apa-apa," ujar Poirot berusaha menghibur.
Percayalah segalanya akan beres. Akan saya terangkan bagaimana itu bisa terjadi.
Pria ini, pria yang Nona lihat mengenakan seragam pelayan gerbong tidur kereta,
saat itu rupanya baru saja keluar dari kamar si korban. Lalu ia bertubrukan
dengan Nona secara tidak sengaja. Sial baginya, sebab ia sudah berharap tak
bakal ada yang melihatnya. Jadi, apa kini yang mesti dilakukannya" Ia mesti
cepat-cepat melepaskan seragam yang sedang dipakainya. Sekarang
seragam itu tidak lagi berfungsi sebagai alat penjaga diri, tapi sudah berbalik
menjadi bumerang bagi dirinya sendiri."
Kemudian secara bergantian Poirot menatap Tuan Buoc dan Dr.
Constantine yang sedang asyik mendengarkan uraiannya dengan seksama.
"Di luar ada salju, kalian tahu sendiri. Salju yang mengacaukan semua
rencananya. Di mana dia bisa menyembunyikan seragamnya itu" Semua kamar sudan
terisi penuh. Tidak, ia masih beruntung.
Kebetulan ia lewat di muka salah satu kamar yang pintunya terbuka, dan yang
menandakan bahwa penghuninya sedang keluar. Kamar itu mestilah kamar wanita yang
kebetulan bertubrukan dengannya tadi.
Cepat-cepat ia menyelinap ke dalamnya, menanggalkan seragamnya dan memadatkannya
lekas-lekas ke dalam salah satu koper di atas rak. Mungkin kejadian itu terjadi
beberapa saat saja sebelum seragam itu diketemukan di sana."
"Lalu?" tanya Tuan Buoc.
"Itulah yang justru mesti kita bahas nanti," sahut Poirot dengan sinar mata yang
memperingatkan. Diangkatnya baju seragam itu tinggi-tinggi. Kancing ketiga, yang di sebelah
bawah, ternyata tidak ada. Poirot merogoh saku baju seragam itu dan mendapatkan
serenceng anak kunci, yang biasa dipakai untuk membuka pintu kamar penumpang.
"Ini salah satu penjelasan mengapa orang bisa masuk ke dalam kamar-kamar
penumpang yang terkunci dari dalam," ujar Tuan Buoc memberitahukan kawannya.
"Pertanyaan yang kauajukan kepada Nyonya Hubbard itu sebenarnya tak perlu.
Dikunci atau tidak dikunci, orang itu dapat masuk melalui pintu penghubung
dengan mudah sekali. Kalau ada orang yang bisa mengenakan seragam pelayan
gerbong tidur kereta, mengapa ia tak bisa memiliki kunci-kuncinya sekalian?"
"Ya, mengapa tidak?" ulang Poirot membenarkan.
"Kita semestinya sudah tahu itu. Kauingat waktu Michel mengatakan bahwa pintu
yang menuju ke koridor gerbong Nyonya Hubbard itu terkunci, sewaktu ia datang
untuk menjawab belnya."
"Ya, memang begitu, Monsieur, " sahut kondektur kereta, yang mendengarkan
perkataan majikannya sejak tadi. "Karena itulah saya pikir dia sedang mengigau."
"Tapi sekarang masalahnya jadi terang," ujar Tuan Buoc menambahkan. "Tidak
diragukan lagi, ia sebenarnya juga ingin membuka pintu penghubung, tapi
barangkali saat itu ia mendengar ada sesuatu yang bergerak-gerak di ranjang,
hingga ia jadi ketakutan."
"Sekarang," ujar Poirot memotong pembicaraan kawannya tiba-tiba, "kita tinggal
mencari kimono merah tua itu."
"Benar. Dan kedua buah kamar yang terakhir ini penghuninya pria semua."
"Kita akan memeriksa semuanya, tanpa kecuali."
"Oh! tentu saja, pasti. Di samping itu, aku juga masih ingat apa yang kaukatakan
barusan." Hector MacQueen menyambut baik ide pemeriksaan terhadap
koper-koper penumpang itu. Sikapnya sangat kooperatif.
"Justru bagi saya lebih baik kalian melakukannya cepat-cepat,"
ujarnya dengan senyum pahit. "Saya merasa saya ini orang yang paling dicurigai
di kereta ini. Kalian hanya tinggal mencari surat
wasiat di mana tertulis orang tua itu mewarisi semua uangnya untuk saya, dan
justru itulah yang akan menentukan semuanya."
Tuan Buoc memandangnya dengan sorot mata curiga.
"Saya cuma berolok-olok saja," tambah MacQueen cepat-cepat.
"Ia belum pernah mewarisi saya satu sen pun, sungguh mati. Saya cuma berguna
baginya - karena saya bisa beberapa bahasa dan saya punya keahlian lain. Tuan
tak begitu beruntung, kalau umpamanya Tuan hanya bisa menguasai bahasa InggrisAmerika saja. Saya sendiri bukan ahli bahasa, tapi saya tahu apa yang dinamakan
berbelanja dan hotel itu - juga sedikit-sedikit Perancis, Jerman dan Italia."
Suaranya lebih keras dari biasa. Seolah-olah ia merasa tak enak menghadapi
pemeriksaan itu, meski ia berusaha untuk kelihatan wajar dan bersikap seramah
mungkin ketika koper-kopernya
diperiksa. Poirot keluar kamar. "Tak ada apa-apa," ujarnya. "Bahkan surat
warisan itu sendiri juga tak ada! "
MacQueen menarik napas. "Ah, itu cuma ide saya saja," ujarnya mencoba bergurau.
Mereka melangkah ke gerbong yang terakhir. Pemeriksaan
terhadap koper-koper milik orang Italia bertubuh tinggi besar itu serta pelayan
si korban tak membuahkan hasil apa-apa.
Ketiga pria itu cuma dapat berdiri saja di ujung gerbong kereta yang terakhir
sambil berpandangan satu sama lain.
"Apa lagi berikutnya?" tanya Tuan Buoc.
"Kita harus kembali ke gerbong restorasi," sahut Poirot.
"Kita sudah tahu apa yang dapat kita ketahui. Kita sudah mendengarkan kesaksian
semua penumpang, kesaksian koper-koper mereka dan kesaksian mata kita sendiri,
kita tak lagi dapat mengharapkan bantuan. Kini tinggal bagian kita, yaitu
menggunakan otak kita sebaik mungkin."
Poirot meraba-raba isi kantong celananya, mencari kotak sigaret.
Tapi setelah dibuka, ternyata kosong.
"Aku akan menggabungkan diri dengan kalian sebentar lagi,"
ujarnya seotah tergesa. "Aku akan mengambil sigaret dulu. Ini adalah masalah
yang sulit, yang membangkitkan rasa ingin tahu orang.
Siapa yang mengenakan kimono merah tua itu" Di mana kimono itu sekarang" Aku
harap aku tahu. Ada sesuatu dalam kasus ini - ada faktor - yang luput dari
perhatianku! Kasus ini kelihatannya susah, karena sudah dibuat susah. Tapi nanti
akan kita bicarakan bersama.
Maafkan saya, sebentar...
Ia melangkah bergegas-gegas menyusuri koridor kereta, dan
langsung memasuki kamarnya. Ranya ia masih mempunyai sigaret tambahan di dalam
salah satu kopernya. Diturunkannya koper itu dan dibukanya, lalu ia tersandar pada tumitnya dan cuma
bisa menatap apa yang ada di hadapannya
dengan mata tak percaya. Di bagian paling atas terselip sehelai kimono tipis warna merah tua dan
bersulaman naga, lipatannya sangat rapi.
"Jadi," gumamnya. "Begitu. Sebuah tantangan. Baiklah, akan kuladeni."
Bagian Ketiga HERCULE POIROT DUDUK TERPEKUR DAN BERPIKIR
1. YANG MANA DARI MEREKA ITU"
TUAN Buoc dan Dr. Constantine sedang asyik berbicara ketika Poirot memasuki
gerbong restorasi. Tuan Buoc kelihatannya sangat tertekan.
"Le voila," ujarnya begitu melihat Poirot. Lalu ia menambahkan lagi, begitu
kawannya duduk, "Kalau kau berhasil memecahkan kasus ini, mon cher, aku akan
benar-benar percaya pada mukjizat!"
"Jadi kasus ini mengkhawatirkanmu?"
"Tentu saja, kasus itu membuatku khawatir. Aku tak tahu ujung pangkalnya."
"Saya setuju," sela Dr. Constantine. Ditatapnya Poirot dengan penuh minat.
"Terus terang saja, ujarnya, "saya tak bisa mencium apa yang akan Tuan kerjakan
berikutnya." "Tidak tahu?" sahut Poirot sambil berpikir-pikir.
Dikeluarkannya kotak sigaretnya dan dinyalakannya sebatang.
Sorot matanya seakan sedang melamun.
"Justru bagi saya, di situlah letak daya tarik kasus ini," sahutnya.
"Kita sudah terlepas dari segala prosedur normal. Apakah orang-orang yang
kesaksiannya sudah kita dengar ini, telah berkata sebenarnya atau berbohong"
Kita tak punya alat untuk
menyelidikinya - kecuali alat yang kita bisa manfaatkan, yaitu kita sendiri.
Jadi ini semua sebenarnya adalah latihan otak."
"Semuanya itu sangat menyenangkan," ujar Tuan Buoc. "Tapi apa lagi yang akan
kauperbuat sekarang?"
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah kukatakan tadi. Kita sudah punya kesaksian semua penumpang kereta
ditambah dengan kesaksian mata kita sendiri."
"Kesaksian yang menarik - yang dari penumpang itu! Tapi semuanya tak bisa
membantu apa-apa buat kita."
Poirot menggelengkan kepala.
"Aku tidak setuju, Kawan. Kesaksian penumpang justru memberi kita pokok-pokok
yang menarik perhatian."
"Memang," tambah Tuan Buoc tak percaya. Soalnya saya belum melihatnya."
"Itu karena kau tidak mendengarkan."
"Baiklah, kalau begitu, katakan padaku, faktor apa yang luput dari perhatianku?"
"Aku cuma ingin mengambil satu contoh saja - kesaksian pertama yang kita dengar,
kesaksian si MacQueen itu. Menurut
pendengaranku, ia menyatakan hal yang sangat penting."
"Tentang surat-surat itu?"
"Bukan, bukan surat-surat itu. Seingatku, kata-katanya berbunyi begini: Kami
banyak bepergian. Tuan Ratchett ingin melihat dunia.
Tapi keinginannya terhalang. Aku lebih banyak bertindak selaku penterjemah
daripada selaku sekretaris'."
Ia memandang wajah dokter itu dan kemudian ke Tuan Buoc.
"Bagaimana" Kalian belum juga melihatnya"
"Wah, itu sudah tak dapat diampuni lagi - untuk kesempatan yang kedua ini
sewaktu dia mengatakan, Tuan kurang beruntung kalau Tuan tak bisa berbahasa lain
kecuali bahasa Inggris-Amerika'. "
"Maksudmu?" tanya Tuan Buoc dengan wajah yang masih kebingungan.
"Ah! Rupanya kau ingin supaya dinyatakan dalam satu suku kata saja. Baiklah, ini
dia! Tuan Ratchett tidak bisa bahasa Perancis. Tapi meski demikian, sewaktu
kondektur itu datang menjawab belnya tadi malam, suara yang datang dari dalam
kamarnya itu berbahasa Perancis yang mengatakan bahwa ia keliru dan ia tak jadi
memanggil kondektur itu. Terlebih lagi, kalimat yang diucapkan saat itu
kedengarannya bukan kalimat Perancis yang serampangan, ada ungkapannya, dan itu
bukanlah kalimat yang akan dipilih oleh orang yang tahu bahasa Perancis sedikit
saja. Ve n'est rien. Je me suis trompe.
"Ya, benar," seru Dr. Constantine penuh semangat. "Mestinya kita, tahu itu! Saya
masih ingat Tuan meletakkan tekanan pada kata-kata itu sewaktu Tuan
mengucapkannya untuk kita. Sekarang saya baru mengerti mengapa Tuan enggan untuk
mempercayai kesaksian dari arloji yang peot itu. Kalau begitu sebenarnya pukul
satu kurang dua puluh, Ratchett sudah mati."
"Dan yang berbicara itu pastilah pembunuhnya! " seru Tuan Buoc secara
mengesankan. Poirot mengangkat tangannya, seolah meminta kawannya untuk bersabar sebentar.
"Jangan melangkah terlalu jauh. Dan sebaiknya kita jangan mengira apa yang kita
belum tahu benar. Jadi kurasa, lebih terjamin untuk mengatakan bahwa waktu itu
pukul satu kurang dua puluh tiga menit - ada orang lain di dalam kamar Ratchett,
dan orang itu adalah orang yang kalau bukannya orang Perancis asli, pasti dia
bisa berbahasa Perancis dengan baik."
"Kau teliti sekali, mon vieux.
"Orang harus maju selangkah saja, setiap kali. Kita tak punya kesaksian yang
benar, bahwa Ratchett mati pada pukul segitu."
"Tapi ada jeritan yang sampai membuatmu bangun."
"Ya, itu benar."
"Menurut pendapatku," ujar Tuan Buoc sambil berpikir-pikir,
"penemuan ini tak banyak mempengaruhi. Kaudengar ada orang di kamar sebelah yang
begitu sibuknya hingga apa yang diperbuatnya menarik perhatian penghuni kamar
sebelahnya. Orang itu bukannya Ratchett, tapi orang lain. Pasti ia sedang
mencuci berkas-berkas darah dari tangannya, membersihkannya sehabis membunuh,
lalu dibakarnya surat-surat yang berhubungan dengan kejahatan yang dilakukannya
itu. Lalu ia menunggu sampai segalanya sepi, dan, begitu ia mengira situasinya
sudah aman, dan keadaan sudah mengijinkan, ia mengunci dan merantai pintu kamar
Ratchett dari dalam, kemudian membuka pintu penghubung yang menuju ke
kamar Nyonya Hubbard dan menyelinap ke luar dari situ.
Sebenarnya, kejadian ini sesuai dengan apa yang telah kita duga, perbedaannya
hanyalah bahwa Ratchett dibunuh setengah jam lebih dahulu dan jamnya sengaja
diputar pada pukul satu lewat
seperempat untuk menciptakan alibi."
"Tidak sepopuler itu alibinya," ujar Poirot. "Jarum arloji itu menunjukkan pukul
1.15 - saat yang pasti waktu si perusaknya selesai mengerjakan pembunuhan itu."
"Benar," ujar Tuan Buoc lagi, sedikit bingung. "Kalau begitu apa yang dapat
ditunjukkan arloji itu bagimu?"
"Jika jarum arloji itu dirobah - aku bilang jika - maka waktu yang tertera di
situ mestilah waktu yang sangat penting. Reaksi wajar yang ditimbulkannya adalah
mencurigai seseorang yang tak memiliki alibi yang dapat dipercaya pada saat itu
dalam hal ini pada pukul 1.15."
"Ya, ya," ujar Dr. Constantine membenarkan. "Pemikiran seperti itu memang
bagus." "Kita juga mesti memperhatikan kapan saatnya si pembunuh itu memasuki kamar
Ratchett. Kapan ia punya kesempatan unfuk
melakukan itu" Kecuali kalau kita menduga bahwa si pembunuh dan si kondektur
bersekongkol untuk melakukan pembunuhan itu - cuma ada satu kesempatan di mana
ia bisa melakukannya - selama kereta berhenti di Vincovci. Setelah kereta
berangkat lagi, kondektur duduk menghadap ke koridor, dan sementara salah
seorang penumpang tak begitu mempedulikan tingkah laku seorang pelayan gerbong
tidur kereta, orang satu-satunya yang akan memperhatikan si pembunuh itu
hanyalah kondektur yang asli saja. Tapi selama kereta berhenti di Vincovci
kondektur ini malah turun ke peron. Jadi gerbong itu lengang. Saat itu tak
seorang pun lewat di situ."
Dan sesuai dengan hasil pemikiran kita sebelumnya, mestinya pembunuh itu adalah
salah seorang penumpang kereta ini," ujar Tuan Buoc. "Kita kembali lagi ke pokok
persoalan yang tengah kita hadapi. Yang mana dari antara mereka itu
pembunuhnya?" Poirot tersenyum. "Aku sudah membuat daftar," sahutnya. "Kalau saja kau mau melihatnya, mungkin
daftar itu bisa membantumu untuk
mengingatnya." Dr. Constantine dan Tuan Buoc buru-buru meneliti daftar yang dibuat Poirot
dengan penuh perhatian. Daftar itu tertulis rapi secara
metodis dan berurutan tentang para penumpang yang sudah
diwawancarai. HECTOR MACQUEEN, warga negara Amerika, tempat tidur no.16, gerbong kelas dua.
Motif - Mungkinkah tak punya hubungan penting dengan si
korban" Alibi - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (Tengah
malam sampai pukul 1.30 dijamin oleh Kolonel Arbuthnot, dan dari pukul 1.15
sampai pukul 2.00 dijamin oleh kondektur kereta.) Kesaksian yang menyangkalnya Tidak ada. Keadaan yang mencurigakan - Tidak ada.
KONDEKTUR PIERRE MICHEL, warga negara Perancis. MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (Dilihat
sendiri oleh Hercule Poirot di koridor bersamaan dengan
terdengarnya suara dari kamar Ratchett pada pukul 12.37. Sejak pukul 1.00 pagi
sampai pukul 1.16 dijamin oleh kedua kondektur yang lain)
KESAKSIAN YANG MENYANGKAL
Tidak ada. KEADAAN YANG MENCURIGAKAN
Seragam yang ditemukan itu merupakan faktor kecurigaan yang dapat dituduhkan
pada dirinya. EDWARD MASTERMAN, warga negara Inggris, tempat tidur no.4, gerbong kelas dua.
MOTIF - kemungkinan memiliki hubungan yang erat dengan si korban, karena ia
adalah pelayannya. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (Dijamin
oleh Antonio Foscarelli) KESAKSIAN YANG MENYANGKAL ATAU KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Tidak ada, kecuali ia satu-satunya penumpang pria yang ukuran dan tinggi
badannya cocok untuk mengenakan seragam kondektur itu. Di pihak lain,
kelihatannya ia tak dapat berbahasa Perancis dengan baik.
NYONYA HUBBARD, warga negara Amerika, tempat tidur no.3, gerbong kelas satu.
MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi - Tidak
ada. KESAKSIAN YANG MENYANGKAL ATAU KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Cerita tentang pria di kamarnya dikukuhkan oleh kesaksian
Hardman dan Hildegarde Schmidt.
GRETA OHLSSON - warga negara Swedia, tempat tidur no.10, gerbong kelas dua.
MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (dijamin
oleh Mary Debenham) Catatan: orang terakhir yang melihat Ratchett dalam keadaan hidup.
PRINCESS DRAGOMIROFF, warga negara Perancis secara naturalisasi. Tempat tidur no.14, gerbong kelas
satu. MOTIF - Kenal baik dengan keluarga Armstrong, dan ibu permandian Sonia
Armstrong. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (dijamin
oleh kondektur dan pembantu wanitanya sendiri)
KESAKSIAN YANG MENYANGKALNYA ATAU KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Tidak ada. COUNT ANDRENYI, warga negara Hongaria, paspor diplomatik, tempat tidur no.13, gerbong kelas
satu. MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (Dijamin
oleh kondektur - ini tidak meliputi jarak waktu dari pukul 1 sampai pukul 1.15)
COUNTESS ANDRENYI, sama seperti di atas, tempat tidur No. 12.
MOTIF - Tidak ada ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi. Menelan
trional dan tidur. (Dijamin oleh suaminya. Dalam lemarinya diketemukan botol
Trional.) KOLONEL ARBUTHNOT, warga negara Inggris, tempat tidur no 15 gerbong kelas satu.
MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi.
Mengobrol dengan MacQueen sampai pukul 1.30. Kembali ke
kamarnya dan diam di situ terus sampai pagi. (diperkuat oleh MacQueen dan
kondektur) KESAKSIAN YANG MENYANGKALNYA DAN KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Pembersih pipa rokok. CYRUS HARDMAN, warga negara Amerika, tempat tidur no.16.
MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi. Tak
pernah meninggalkan kamar. (Diperkuat oleh kondektur kecuali dari pukul 1.00
sampai pukul 1.15) KESAKSIAN YANG MENYANGKALNYA ATAU KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Tidak ada. ANTONIO FOSCARELLI, warga negara Amerika, (kelahiran Italia), tempat tidur no.5, gerbong kelas dua.
MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi (Dijamin
oleh Edward Masterman) KESAKSIAN YANG MENYANGKALNYA ATAU KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Tidak ada, kecuali senjata yang digunakan oleh si pembunuh sesuai dengan
temperamennya sebagai orang Italia (Lihat kesaksian Tuan Buoc)
MARY DEBENHAM, warga negara Inggris, tempat tidur no.11, gerbong kelas dua.
MOTIF - Tidak ada. ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi. (Dijamin
oleh Greta Ohlsson). KESAKSIAN YANG MENYANGKALNYA ATAU KEADAAN YANG
MENCURIGAKAN Percakapannya dengan Kolonel Arbuthnot, yang kebetulan
terdengar oleh Hercule Poirot, dan penolakannya untuk menjelaskan hal itu.
HILDEGARDE SCHMIDT, warga negara Jerman, tempat tidur no.8, gerbong kelas dua.
MOTIF - Tidak ada, ALIBI - Sejak tengah malam sampai pukul 2.00 pagi. (Dijamin
oleh kondektur dan majikannya) Pergi tidur. Dibangunkan oleh kondektur pada
pukul 12.38 dan langsung pergi ke kamar
majikannya). Catatan Kesaksian dari para penumpang didukung oleh pernyataan
kondektur bahwa tak seorang pun memasuki atau meninggalkan kamar Tuan Ratchett
sejak tengah malam sampai pukul 1.00
(sewaktu ia sendiri pergi ke gerbong sebelah) dan dari pukul 1.15
sampai pukul 2.00. "Dokumen itu, kau tahu," ujar Poirot, "persis sekali dengan kesaksian yang telah
kita dengar, sengaja kususun demikian rupa, supaya enak dilihat."
Sambil menyeringai, Tuan Buoc mengembalikannya kepada Poirot,
"ini tak membuat persoalannya menjadi lebih jelas," ujarnya.
"Barangkali yang ini lebih cocok dengan seleramu," ujar Poirot menambahkan,
disertai senyum kecil di bibirnya begitu ia
menyodorkan helai kertas yang kedua kepada kawannya itu.
2. SEPULUH PERTANYAAN Pada kertas itu tertulis:
Hal-hal Yang Memerlukan Penjelasan
1. Sapu tangan yang disulam dengan huruf H. Milik siapa itu"
2. Pembersih pipa. Adakah itu dijatuhkan oleh Kolonel
Arbuthnot" Atau oleh orang lain"
3. Siapa yang mengenakan kimono merah tua itu"
4 Siapakah pria atau wanita yang menyamar dengan
mengenakan seragam kondektur"
5. Mengapa jarum arloji itu menunjuk ke pukul 1. 15"
6. Apakah pembunuhan itu terjadi pada saat itu"
Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
7. Apakah terjadinya lebih cepat"
8. Apakah terjadinya lebih lambat"
9. Dapatkah kita percaya bahwa Ratchett ditikam oleh lebih dari satu orang"
10. Apakah keterangan lain yang dapat diperoleh dari luka-lukanya itu"
"Baiklah, coba kita lihat apa yang dapat kita perbuat," ujar Tuan Buoc, yang
semangatnya mulai bangkit kembali menghadapi
tantangan itu. "Bagaimana kalau kita mulai dengan sapu tangan itu.
Marilah kita dengan segala cara mencoba menghadapi persoalan ini secara metodis
dan secara teratur."
"Tentu saja," sahut Poirot, sambil mengangguk rasa puasnya.
Tuan Buoc melanjutkan bicaranya dengan nada menggurui.
"Huruf H itu berhubungan dengan tiga orang - Nyonya Hubbard, Nona Debenham, yang
nama tengahnya Hermione dan Hildegarde Schmidt pembantu wanita berkebangsaan
Jerman itu." "Ah! Dan dari ketiganya itu?"
"Sulit untuk mengatakan. Tapi kukira aku mememilih Nona Debenham. Sebab setahu
orang ia biasa dipanggil dengan nama tengah dan bukan dengan nama pertamanya.
Kecuali itu sudah ada faktor kecurigaan yang melekat pada dirinya. Percakapan
yang kaudengar secara kebetulan itu, mon cher, tentu saja,
membangkitkan rasa ingin tahu orang, begitu juga penolakannya untuk menjelaskan
hal itu." "Kalau saya sendiri, saya menjatuhkan pilihan pada orang Amerika itu," ujar Dr.
Constantine mengemukakan pendapat. "Sapu tangan itu kelihatannya mahal sekali,
dan orang Amerika, sebagaimana dunia mengetahuinya, biasanya tak peduli apa yang
mereka bayar." "Jadi kalian berdua mengesampingkan si pembantu kelahiran Jerman itu?" tanya
Poirot. "Ya," Dia sendiri pernah bilang, sapu tangan macam itu biasanya cuma bisa
dimiliki oleh orang dari kalangan atas."
"Dan pertanyaan yang kedua - pembersih pipa itu. Apakah yang menjatuhkannya
memang Kolonel Arbuthnot sendiri ataukah orang lain?"
"Itu malah lebih sulit lagi. Orang Inggris tak pernah menikam orang. Dalam hal
ini Tuan benar. Saya cenderung untuk berpendapat bahwa ada orang lain yang
menjatuhkannya - dan ia berbuat begitu justru untuk melibatkan orang Inggris
berkaki panjang itu."
"Seperti yang Tuan katakan sendiri, Poirot," ujar Tuan Buoc menegaskan, "dua
petunjuk itu bisa mengakibatkan terlalu banyak kelalaian pada pihak kita. Saya
setuju dengan Tuan Buoc. Sapu tangan itu merupakan bukti atau petunjuk yang asli
- dari itulah tak seorang pun dari penumpang wanita yang mengakui bahwa itu
kepunyaannya. Sedang pembersih pipa itu adalah bukti palsu bukti yang sengaja
dibuat. Sebagai dukungan terhadap teori itu, lihat saja reaksi Kolonel Arbuthnot
yang tanpa malu sedikit pun mengakui dengan terus terang bahwa ia mengisap pipa
dan menggunakan pembersihnya dari jenis itu."
"Alasan Tuan bagus, " ujar Poirot menanggapi.
"Pertanyaan yang ketiga - siapa yang mengeakan kimono merah tua itu?" ujar Tuan
Buoc melanjutkan. "Untuk itu, saya harus mengakui saya tidak tahu. Tuan punya
pendapat lain barangkali, Dr.
Constantine?" "Tak ada." "Kalau begitu kita mesti mengaku kalah di sini. Pertanyaan yang berikut, biar
bagaimanapun, punya banyak kemungkinan. Siapa pria atau wanita yang menyamar
dengan mengenakan seragam
kondektur" Baiklah, orang bisa saja membuat daftar secara pasti dari sejumlah
orang yang tak dapat melakukan penyamaran itu, sebab ukuran dan tinggi badan
mereka tidak memungkinkan. Antara lain Hardman, Kolonel Arbuthnot, Foscarelli,
Count Andrenyi dan Hector MacQueen yang kesemuanya terlalu tinggi. Nyonya
Hubbard, Hildegarde Schmidt dan Greta Ohlsson terlalu lebar. Sekarang tinggal si pelayan,
Nona Debenham, Princess Dragomiroff dan Contess Andrenyf - dan dari kesemua
mereka itu juga kedengarannya tak ada yang cocok! Greta Ohlsson dalam satu hal,
dan Antonio Foscarelli dalam hal yang lain, kedua-duanya telah bersumpah bahwa
Nona Debenham dan si pelayan itu tak pernah meninggalkan kamar
mereka. Hildegarde Schmitt bersumpah bahwa puteri Rusia itu sepanjang malam ada
di kamarnya sendiri, dan Count Andrenyi telah mengatakan pada kita bahwa
isterinya menelan obat tidur malam itu.
Karena itu nampaknya tak mungkin bahwa hal itu bisa dilakukan oleh salah seorang
dari mereka - yang sebenarnya tak masuk akal!"
"Seperti yang dikatakan-oleh Euclid, sahabat lama kita itu,"
gumam Poirot. "Tentu salah satu dari keempatnya," ujar Dr. Constantine. "Kecuali ada orang
luar yang saat ini sedang bersembunyi - dan itu kita semuanya sudah mengakui
sebagai hal yang tak mungkin."
Tuan Buoc meneruskan pembahasan mereka dengan
mengemukakan pertanyaan berikutnya pada daftar itu.
"No.5 - Mengapa jarum arloji peot itu menunjuk, ke pukul 1.15"
Saya punya dua keterangan untuk itu. Hal itu dilakukan oleh si pembunuh untuk
menciptakan alibi, dan setelah itu, sewaktu ia bermaksud untuk meninggalkan
kamar si korban, ia tak berhasil karena ia mendengar orang berlalu-lalang di
koridor; atau ada lagi hal yang lain - tunggu - aku punya ide -"
Kedua kawannya menunggu dengan penuh pengertian sementara
Tuan Buoc sedang bergumul dengan pikirannya.
"Ini dia," katanya pada akhirnya. "Bukannya kondektur pembunuh itu yang merusak
arloji korban! Itu adalah orang yang kita sebut Pembunuh Kedua - orang bertangan
kidal - dengan perkataan lain wanita berkimono merah tua itu. Ia tiba belakangan
dan kemudian memundurkan jarum arloji itu dengan tujuan untuk menciptakan sebuah
alibi bagi dirinya sendiri."
"Bravo," seru Dr. Constantine. "Bagus cara membayangkannya itu."
"Kenyataannya," ujar Poirot, "wanita itu menikam korbannya dalam gelap, tak
menyadari bahwa ia sudah mati, tapi secara kebetulan ia menemukan ada sebuah
arloji di kantong piyamanya.
Lalu dikeluarkannya arloji itu, diundurkannya jarumnya sekenanya dalam gelap
itu, lalu dirusaknya arloji itu hingga peot."
Tuan Buoc memandang dingin ke arahnya. "Tak ada hal yang lebih baik yang dapat
kausarankan?" tanyanya.
"Pada saat ini - tidak ada," sahut Poirot mengakui. "Sama saja,"
ujarnya melanjutkan, "saya kira kalian juga tak bisa menghargai pokok yang
paling menarik tentang arloji itu."
"Mungkinkah pertanyaan no.6 berhubungan dengan itu?" tanya Dr. Constantine.
"Untuk pertanyaan itu - apakah pembunuhan itu terjadi pada pukul 1.15" - saya
jawab - Tidak." "Saya setuju," sahut Tuan Buoc mengiyakan.
"Apakah terjadinya lebih cepat?" adalah pertanyaan yang selanjutnya. Saya bilang
- Ya! Dokter juga?" Dokter Constantine mengangguk mengiyakan.
"Ya, tapi pertanyaan 'Apakah terjadinya lebih lambat' juga bisa dijawab benar.
Saya setuju dengan teori Tuan, Tuan Buoc, dan begitu juga, saya kira, Tuan
Poirot, meski ia tak ingin mengakui itu.
Pembunuh pertama datang lebih pagi dari pukul 1.15, sedang pembunuh kedua datang
sesudah pukul 1.15. Dan mengenai soal
pembunuh bertangan kidal itu, apakah kita tak sebaiknya langsung menyelidiki
siapa di antara penumpang kereta ini yang bertangan kidal?"
"Saya belum mengesampingkan soal itu seluruhnya," sahut Poirot membela diri.
"Tuan mungkin sudah melihat sendiri bahwa saya sudah menyuruh setiap penumpang
menuliskan tanda tangan atau alamatnya. Itu belum menentukan, sebab ada orang
yang melakukan beberapa hal tertentu dengan tangan kanan dan hal lainnya dengan
tangan kiri. Ada yang menulis dengan tangan kiri, tapi bermain golf dengan
tangan kanan. Meski demikian teori ini perIu kita perhatikan juga. Setiap
penumpang yang diwawancarai memegang pulpen
dengan tangan kanannya - baik dia itu pria maupun wanita, kecuali Princess
Dragomiroff, yang menolak untuk menulis."
"Princess Dragomiroff - tak mungkin," ujar Tuan Buoc.
"Saya meragukan apa mungkin ia punya kekuatan sebesar itu pada tangan kirinya
untuk menikam tubuh si korban," ujar Dr.
Constantine raguragu. "Luka yang istimewa itu dilancarkan oleh kekuatan yang
luar biasa." "Lebih besar dari kekuatan wanita?"
"Tidak, saya tak berani bilang begitu. Tapi saya kira lebih besar dari kekuatan
seorang wanita tua, dan fisik Princess Dragomiroff itu lemah sekali."
"Itu soal pikiran yang mempengaruhi badan," sahut Poirot.
"Princess Dragomiroff punya kepribadian yang kuat dan kemauan yang luar biasa
besarnya. Tapi mari kita lewatkan dulu soal ini."
"Ke pertanyaan no.9 dan 10" Dapatkah kita percaya bahwa Ratchett ditikam oleh
lebih dari satu orang, dan apa keterangan lain yang dapat diperoleh dari lukalukanya itu" Hemat saya, untuk berbicara dari segi medisnya, tak ada keterangan
lain lagi yang dapat diperoleh dari luka-luka si korban. Anggapan yang
mengaiakan bahwa seorang pria telah menikam secara agak lemah pada pertama kali,
kemudian baru menikamnya kuat-kuat pada kall berikutnya, yang pertama dengan
tangan kanan dan yang kedua dengan tangan
kiri, dan setelah sesaat katakanlah setengah jam, menimbulkan luka yang baru
pada tubuh si korban, begitulah - rasanya sama sekali tak masuk akal."
"Memang tidak," sahut Poirot mernbenarkan, "itu memang tak masuk akal. Dan Tuan
pikir kalau ada dua pembunuh itu, masuk akal?"
"Seperti yang telah Tuan katakan tadi, keterangan lain apa lagi yang dapat
diperoleh?" Poirot memandang jauh ke muka. "Itulah apa yang saya tanyakan pada diri
sendiri," sahutnya. "Itulah pertanyaan yang tak hentinya saya tanyakan pada diri
sendiri." Ia bersandar kembali ke kursinya.
"Dari sekarang, semuanya ada di sini." Diketuknya dahinya sendiri.
"Semuanya sudah kita bahas dan kita kupas. Fakta-faktanya sudah di depan kita
sudah diatur dengan rapi dan secara metodis. Semua penumpang sudah duduk di
Budi Kesatria 8 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Manusia Setengah Dewa 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama