Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Bagian 4
menempatkan Mayor Blunt di teras di luar jendela kamar kerja. Saya ingin tahu,
apakah di sana ia dapat mendengar suara dari Nona Ackroyd dan kau sendiri,
ketika berada di gang malam itu. Saya ingin mengulang peristiwa kecil itu sekali
lagi. Bagaimana kalau kauambil baki atau entah apa yang kaubawa pada saat itu?"
Parker menghilang, lalu kami menuju ke ruang kecil di muka kamar kerja. Tak lama
kemudian kami mendengar suara gelas beradu di gang luar, dan Parker muncul di
ambang pintu sambil membawa baki dengan sebotol wiski beserta dua gelas di
atasnya. "Sebentar," teriak Poirot sambil mengangkat tangannya. Tampaknya ia gembira
sekali. "Semuanya harus diatur dulu. Persis seperti peristiwa ini terjadi.
Begitulah cara saya."
"Sebuah kebiasaan asing, Tuan," ujar Parker. "Mereka menyebutnya rekonstruksi
peristiwa kejahatan, bukan?"
Ia berdiri dengan tenang menanti perintah-perintah Poirot.
"Ah! Ia tahu juga, si Parker yang baik," seru Poirot. "Ia telah membaca
peristiwa-peristiwa seperti itu. Sekarang, saya minta, perlihatkanlah pada kami
dengan tepat kejadian pada malam itu. Kau datang dari gang luar - begitu,
Mademoiselle sedang - di mana?"
"Di sini," jawab Flora sambil berdiri tepat di luar pintu kamar kerja.
"Benar, Tuan," ujar Parker.
"Saya baru saja menutup pintu," lanjut Flora.
"Betul, Nona," Parker mengiakan. "Tangan Nona masih memegang pegangan pintu
seperti sekarang ini."
"Kalau begitu, allez," ujar Poirot. "Mainkanlah sandiwara kecil ini untukku."
Flora berdiri dengan tangan pada pegangan pintu. Lalu sambil membawa baki,
Parker mendatangi dari pintu gang.
Ia berhenti tepat di sebelah dalam pintu gang. Flora berbicara,
"Oh! Parker. Tuan Ackroyd tidak mau diganggu lagi malam ini."
"Benarkah apa yang kukatakan?" tanyanya dengan suara rendah.
"Sepanjang ingatan saya, benar sekali, Nona Flora," jawab Parker, "tetapi kalau
saya tidak salah Anda mengatakan sore dan bukan malam." Lalu dengan agak dibuatbuat ia mengeraskan suaranya, "Baik Nona. Apakah saya akan mengunci saja pintupintu seperti biasa?"
"Ya, boleh juga."
Parker mengundurkan diri dengan diikuti Flora yang langsung mulai menaiki tangga
utama. "Sudah cukupkah?" tanyanya sambil menoleh.
"Bagus sekali," laki-laki kecil itu memuji sambil menggosok-gosokkan tangannya.
"Dan omong-omong Parker, yakinkah kau bahwa ada dua gelas di atas baki malam
itu" Untuk siapakah gelas yang satu lagi?"
"Saya selalu membawa dua buah gelas, Tuan," jawab Parker. "Adakah sesuatu lagi
yang Anda perlukan?"
"Tidak. Terima kasih."
Parker mengundurkan diri dengan sikap penuh wibawa sampai saat terakhir.
Poirot berdiri di tengah gang dengan dahi berkerut. Flora menuruni tangga lalu
menemui kami. "Apakah eksperimen Anda berhasil?" tanyanya. "Anda tahu, sebenarnya saya kurang
mengerti - " Dengan kagum Poirot tersenyum padanya.
"Tidak perlu Anda mengerti hal ini," sahutnya. "Tetapi coba katakan, benarkah
ada dua buah gelas di atas nampan Parker malam itu?"
Flora mengernyitkan dahinya sesaat.
"Saya sungguh tidak ingat lagi," sahutnya. "Saya kira memang demikian. Apakah apakah itu maksud eksperimen Anda?"
Poirot memegang dan menepuk-nepuk tangan Flora.
"Anggap saja," jawabnya, "bahwa saya selalu tertarik untuk melihat apakah orangorang akan mengatakan hal yang sebenarnya."
"Dan adakah Parker mengatakan hal yang sebenarnya?"
"Saya rasa memang demikian," sahut Poirot merenung.
Beberapa saat kemudian kami meninggalkan Fernly dan kembali lagi ke desa.
"Apa maksud pertanyaanmu tentang dua buah gelas itu?" tanyaku dengan ingin tahu.
Poirot mengangkat bahunya.
"Seorang toh harus mengatakan sesuatu," ia mengutarakan. "Pertanyaan itu sama
saja seperti pertanyaan-pertanyaan lain."
Aku menatapnya. "Tetapi meskipun bagaimana, Kawan," ujarnya dengan serius, "sekarang saya
mendengar sesuatu yang memang ingin kuketahui. Biarlah kita membiarkan persoalan
ini seperti adanya sekarang."
Bab 16 MELEWATKAN SUATU SENJA DENGAN BERMAIN MAH YONG
MALAM itu kami mengadakan pesta Mah Yong.
Hiburan sederhana seperti ini amat populer di King's Abbot. Tamu-tamu tiba
dengan mengenakan sepatu karet dan jas hujan, setelah makan malam. Mereka ikut
minum kopi, dan kemudian ikut juga makan kue, roti dan minum teh.
Pada malam itu tamu-tamu kami adalah Nona Gannett dan Kolonel Carter yang
tinggal di dekat gereja. Banyak sekali yang digunjingkan pada malam-malam
seperti ini. Kadang-kadang bahkan sampai sangat mengganggu permainan yang sedang
berlangsung. Kami biasa bermain bridge - yaitu permainan bridge yang paling
jelek, yang penuh dengan obrolan. Kami berpendapat permainan Mah Yong jauh lebih
tenang. Pertanyaan penuh kejengkelan seperti mengapa patnernya tidak
mengeluarkan suatu kartu tertentu, sama sekali tidak pernah terdengar lagi. Dan
meskipun kami masih saling mengritik dengan teras terang, suasana yang sengit
sudah tidak ada lagi. "Malam yang dingin sekali bukan, Sheppard?" ujar Kolonel Carter dengan berdiri
membelakangi api. Caroline telah mengajak Nona Gannett ke kamarnya sendiri, dan
membantunya melepaskan diri dari sekian banyak selendang. "Mengingatkan aku akan
jalan-jalan kecil dengan tebing-tebing yang curam di pegunungan Afghanistan."
"Oh ya?" sahutku dengan sopan.
"Kejadian yang menimpa Ackroyd itu, sungguh misterius," lanjut Kolonel Carter
sambil menerima secangkir kopi. "Banyak hal yang tersembunyi di baliknya begitulah pendapatku. Apa yang akan kukatakan ini bersifat rahasia, Sheppard.
Aku mendengar perkataan pemerasan digunakan!"
Kolonel itu menatapku dengan pandangan yang seolah-olah mengatakan 'sebagai
seorang laki-laki yang berpengalaman kepada yang lain.'
"Pasti ada sangkut pautnya dengan seorang wanita," duganya. "Percayalah, pasti
seorang wanita tersangkut dalam perkara ini."
Saat itu Nona Gannett dan Caroline menemani kami. Nona Gannett minum kopi
sedangkan Caroline mengeluarkan kotak Mah Yong dan menuang biji-biji Mah Yong di
atas meja. "Mengocok biji Mah Yong," kolonel itu berkelakar, "benar - mengocok, itulah
istilah yang kami gunakan di Shanghai Club."
Menurut pendapat Caroline dan diriku pribadi, Kolonel Carter belum pernah
menginjakkan kaki di Shanghai Club seumur hidupnya. Lagipula ia belum pernah
pergi lebih jauh dari India. Di sana ia bersulap dengan makanan-makanan kaleng
seperti daging sapi, selai buah prem dan apel selama Perang Besar. Dan kolonel
ini tetap bersikap seperti seorang militer. Dan kami di King's Abbot membiarkan
orang menjalankan keanehannya dengan bebas.
"Apakah kita mulai saja?" tanya Caroline.
Kami duduk mengelilingi meja. Selama lima menit, tak seorang pun di antara kami
berbicara. Di antara kami terdapat persaingan terselubung tentang siapakah yang
paling cepat mendirikan temboknya.
"Ayoh, James," Caroline menganjurkan akhirnya. "Kau sedang di daerah Angin
Timur."* Aku membuang satu biji. Permainan berjalan terus satu dua keliling yang hanya
dipecahkan oleh ucapan-ucapan monoton seperti "Tiga Bambu"*, "Dua Bola",
"Pung",* dan dari Nona Gannett sering kali terdengar "Tidak Pung". Ini
disebabkan karena Nona ini mempunyai kebiasaan mengakui biji-biji yang bukan
menjadi haknya. (* Bambu, Bola, Pung, Chow, Kong, Naga, Angin Timur, adalah
istilah-istilah dalam permainan Mah Yong.)
"Aku melihat Flora Ackroyd, tadi pagi," ujar Nona Gannett. "Pung - tidak - tidak
Pung. Aku keliru." "Empat Bola," jawab Caroline. "Di mana kau melihatnya?"
"Ia tidak melihatku," sahut Nona Gannett dengan nada penuh arti, yang hanya
terdapat pada orang desa.
"Ah!" seru Caroline tertarik. "Chow".
"Aku rasa," ujar Nona Gannett. Perhatiannya beralih sebentar, "Cara
mengucapkannya yang benar sekarang ini adalah, 'Chee' dan bukan 'Chow'."
"Omong kosong," sahut Caroline. "Aku selalu mengatakan 'Chow'."
"Di Shanghai Club," ujar Kolonel Carter, "mereka mengatakan 'Chow'."
Nona Gannett menyerah kalah.
"Apa yang kaukatakan tadi tentang Flora Ackroyd?" tanya Caroline, setelah
memusatkan perhatiannya satu dua saat pada permainan mereka. "Apakah ia bersama
seseorang?" "Begitulah," jawab Nona Gannett.
Pandangan kedua wanita itu bertemu, lalu seolah-olah saling menukar informasi.
"Betul?" tanya Caroline tertarik. "Demikiankah" Yah, aku tidak heran sama
sekali." "Kami menunggu Anda membuang, Nona Caroline," Kolonel Carter mengingatkan. Ia
sering kali bersikap seperti seorang yang tidak mudah dipengaruhi oleh
gunjingan. Perhatiannya seakan-akan seluruhnya tertumpah pada permainan. Tetapi
ia tidak dapat mengelabui seorang pun.
"Kalau menurut pendapatku," kata Nona Gannett. (Apakah biji 'Bambu' yang
kaubuang itu" Oh! Bukan, kulihat - sebuah biji 'Bola'). "Seperti telah kukatakan
tadi, menurut pendapatku, Flora beruntung sekali. Sungguh beruntung sekali gadis
itu." "Apa maksud Anda, Nona Gannett?" tanya si kolonel. "Aku akan Pung, Naga Hijau
itu. Bagaimana Anda tahu kalau Nona Flora beruntung sekali" Ia seorang gadis
yang sangat menawan, saya tahu."
"Mungkin pengetahuanku mengenai kejahatan tidak banyak," ujar Nona Gannett
dengan sikap seolah-olah tahu segala-galanya. "Tetapi aku dapat mengatakan satu
hal. Pertanyaan pertama yang selalu ditanyakan adalah, 'Siapa yang untuk
terakhir kali melihat korban dalam keadaan hidup"' Dan orang itu akan diawasi
dengan curiga. Kenyataannya, Flora Ackroyd-lah yang terakhir kali melihat
pamannya dalam keadaan hidup, dan keadaan ini akan tampak buruk sekali baginya buruk sekali. Menurut opini saya - Ralph Paton tidak muncul-muncul tentu demi
kepentingan Flora. Ia ingin mengalihkan perhatian dari diri Flora."
"Yang benar saja," protesku dengan halus, "Anda tentu tidak akan mengatakan
kalau seorang gadis remaja seperti Flora Ackroyd sanggup menikam pamannya dengan
darah dingin?" "Entahlah," sahut Nona Gannett. "Saya baru saja membaca buku dari perpustakaan
tentang dunia kejahatan di Paris. Dan buku itu mengatakan bahwa, beberapa di
antara wanita-wanita yang melakukan kejahatan-kejahatan besar itu adalah gadisgadis dengan wajah seperti bidadari."
"Itu di Paris," ujar Caroline langsung.
"Benar," kata kolonel itu. "Sekarang akan saya ceritakan suatu kejadian yang
aneh sekali - suatu cerita yang berkeliling pada suatu Bazar di India...."
Cerita kolonel itu panjang sekali, dan anehnya, sama sekali tidak menarik hati.
Sesuatu yang terjadi di India sekian tahun yang lalu, yang sesaat pun tak dapat
dibandingkan dengan kejadian yang baru saja terjadi di King's Abbot kemarin
dulu. Caroline menghentikan cerita kolonel itu karena beruntung mencapai Mah Yong.
Setelah melalui keadaan yang tidak begitu menyenangkan yang selalu disebabkan
atas koreksiku terhadap perhitungan Caroline yang salah, kami segera mulai
bermain lagi. "Angin Timur lewat," ujar Caroline. "Aku mempunyai pendapat sendiri mengenai
Ralph Paton. Tiga Angka, tetapi untuk sementara ini saya akan merahasiakannya."
"Oh, begitukah, Sayang?" ujar Nona Gannett. "Chow - maksud saya Pung."
"Benar," jawab Caroline tegas.
"Dan tentang sepatu bot itu, apakah beres semua?" tanya Nona Gannett. "Maksudku
warnanya yang hitam?"
"Beres," jawab Caroline.
"Apa maksud sebenarnya, menurutmu?" tanya Nona Gannett.
Caroline mencibirkan bibirnya dan menggelengkan kepala, dengan sikap seakan-akan
tahu segalanya akan hal itu.
"Pung," seru Nona Gannett. "Tidak - tidak Pung. Saya kira karena Dokter sekarang
bersahabat dengan Tuan Poirot, maka ia tahu akan semua rahasia?"
"Sama sekali tidak," jawabku.
"James terlalu malu-malu," keluh Caroline. "Ah! Sebuah Kong yang tersembunyi."
Kolonel Carter bersiul menyatakan kekagumannya. Untuk sesaat, bergunjing
dilupakan. "Angin pun kepunyaan Anda juga," katanya. "Selain itu Anda juga punya dua Pung
dari Naga. Kita harus berhati-hati. Nona Caroline sedang berusaha untuk mencari
keuntungan besar." Kami bermain untuk beberapa menit sambil mempercakapkan hal-hal yang tidak
penting. "Tuan Poirot ini," tanya Kolonel Carter, "apakah ia benar-benar seorang detektif
ulung?" "Detektif paling hebat yang ada di dunia ini," jawab Caroline dengan sungguhsungguh. "Ia datang dan tinggal di sini secara incognito untuk menghindarkan
diri dari publisitas."
"Chow," ujar Nona Gannett. "Sungguh untung sekali bagi desa kita yang kecil ini.
aku yakin. Tetapi omong-omong, Clara, pembantuku - berteman akrab dengan Elsie,
pembantu rumah tangga di Fernly. Dan coba tebak apa yang diceritakan Elsie
padanya. Ada sejumlah besar uang yang hilang, dan menurut perkiraannya perkiraan Elsie, maksudku, pembantu yang bertugas melayani tamu ada sangkut
pautnya dengan perkara ini. Ia akan berhenti pada akhir bulan ini. Gadis ini
selalu menangis pada malam hari. Menurut pendapatku, gadis ini mungkin bekerja
sama dengan suatu komplotan penjahat. Ia memang selalu bersikap agak ganjil - ia
tidak berteman dengan gadis-gadis di sekitar sini. Ia selalu pergi seorang diri
pada hari-hari ia libur - sangat menyimpang dari kebiasaan, menurutku. Dan
sangat mencurigakan. Aku pernah mengundangnya untuk menghadiri suatu malam ramah
tamah antara gadis-gadis desa ini. Tetapi ia menolak. Lalu kuajukan beberapa
pertanyaan tentang keluarganya di rumah - dan hal-hal semacam itu. Dan aku
terpaksa mengatakan, sikapnya menurut pendapatku, kurang ajar sekali. Caranya
bicara, cukup hormat - tetapi ia menutup mulutku dengan cara yang terus terang
sekali." Nona Gannett berhenti kehabisan napas. Dan Kolonel Carter yang sama sekali tidak
tertarik akan persoalan pembantu, mengutarakan bahwa di Shanghai Club permainan
selalu dimainkan dengan cepat.
"Nona Russell," ujar Caroline. "Ia datang ke mari Jum'at pagi, pura-pura mau
memeriksakan diri pada James. Menurut aku ia hanya mau tahu di mana James
menyimpan racunnya. Lima 'Angka'."
"Chow," jawab Nona Gannett. "Gagasan yang luar biasa! Aku ingin tahu apakah
dugaanmu itu benar."
"Berbicara mengenai racun," kolonel itu menimpali. "Eh - apa" Apa saya belum
buang" Oh! Delapan 'Bambu'."
"Mah Yong!" teriak Nona Gannett.
Caroline sangat kecewa. "Satu 'Naga Merah' saja," keluhnya dengan menyesal, "dan aku akan mendapatkan
tiga dobel." "Sejak tadi aku sudah mempunyai dua 'Naga Merah'," jawabku.
"Kau memang selalu begitu, James," omel Caroline. "Kau tidak menyelami jiwa
permainan ini." Aku sendiri berpendapat, bahwa aku telah bermain dengan baik sekali. Dan jika
Caroline yang mencapai Mah Yong, maka aku harus membayarnya jumlah yang besar
sekali. Mah Yong Nona Gannett selalu terdiri dari kombinasi yang miskin sekali.
Seperti selalu diutarakan Caroline padanya.
'Angin Timur' berlalu, dan kami mulai bermain lagi tanpa berbicara.
"Apa yang mau kuceritakan adalah ini," kata Caroline.
"Ya?" desak Nona Gannett.
"Maksudku, pendapatku tentang Ralph Paton."
"Ya, Sayang," sahut Nona Gannett, mendesak lebih jauh. "Chow!"
"Mengatakan 'Chow' sedemikian cepatnya merupakan suatu tanda kelemahan," tegur
Caroline galak. "Kau harus berusaha untuk mencapai suatu jumlah yang besar."
"Aku tahu," Nona Gannett menyetujui. "Kau mengatakan sesuatu - tentang Ralph
Paton, ingat?" "Ya. Nah, aku kira-kira tahu di mana ia sekarang."
Kami sekalian berhenti bermain dan menatapnya.
"Ini sungguh menarik sekali, Nona Caroline," seru Kolonel Carter. "Pendapat Anda
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pribadi, bukan?" "Sebenarnya tidak. Akan kuceritakan pada kalian. Kalian tahu peta desa kami yang
digantung di ruang muka?"
Kami semua mengiakan. "Tatkala Tuan Poirot keluar dari sini pada hari itu, ia berhenti dan
memandangnya. Dan ia mengucapkan sesuatu - aku lupa apa tepatnya yang
dikatakannya itu. Sesuatu mengenai Cranchester yang merupakan kota besar satusatunya di daerah ini - yang tentu saja benar. Tetapi setelah ia pergi - aku
mendadak teringat akan sesuatu."
"Apakah itu?" "Sesuatu yang dimaksudkan Poirot. Ralph pasti ada di Cranchester."
Tepat pada saat itu tersenggol olehku rak yang berisi biji-biji Mah Yong-ku.
Caroline langsung mengomeliku karena kurang berhati-hati. Tetapi omelannya itu
diucapkan dengan setengah hati, karena ia sedang sibuk memikirkan teorinya.
"Cranchester, Nona Caroline?" seru Kolonel Carter. "Tidak mungkin Cranchester!
Terlalu dekat." "Justru itu," balas Caroline dengan rasa menang. "Sekarang ini, tampaknya sudah
jelas sekali, bahwa Ralph tidak meninggalkan daerah ini dengan kereta api. Ia
hanya berjalan ke Cranchester. Dan aku yakin ia masih ada di sana. Tidak seorang
pun akan menduga bahwa ia berada demikian dekatnya."
Kuajukan beberapa keberatan atas teori ini. Tetapi sekali Caroline menarik
kesimpulan tentang sesuatu, maka tidak ada satu kekuatan pun yang dapat
membuatnya mengubah pikirannya.
"Dan kaupikir, Tuan Poirot pun berpendapat seperti itu," ujar Nona Gannett
sambil merenung. "Memang suatu kebetulan yang aneh sekali. Sore tadi aku sedang
berjalan-jalan di Cranchester. Poirot melewati aku dengan berkendaraan mobil
dari jurusan itu." Kami semua saling menatap.
"Ya ampun," tiba-tiba Nona Gannett menjerit, "sejak tadi aku sudah Mah Yong, dan
aku sama sekali tidak memperhatikannya."
Perhatian Caroline beralih dari usahanya menemukan alasan bagi kunjungan Poirot
ke Cranchester. Diterangkannya kepada Nona Gannett bahwa menang dengan seri
campuran dan terlalu banyak 'Chow', rasanya tidak cukup berharga untuk mencapai
Mah Yong. Nona Gannett mendengarkan dengan sikap tidak berubah, dan mengumpulkan
keping-keping penghitungnya.
"Ya, Caroline, aku mengerti apa yang kaumaksudkan," sahutnya. "Tetapi ini semua
tergantung dari biji-biji yang kauterima mula-mula, bukan?"
"Kau tidak akan memperoleh biji-biji yang berharga besar kalau kau tidak
berusaha mendapatkannya," desak Caroline.
"Yah, kita semua bermain menurut cara kita masing-masing, bukan?" sahut Nona
Gannett. Ia memandang keping-keping penghitungnya. "Lagipula, sampai saat ini
aku masih menang." Caroline, yang kecewa sekali tidak mengatakan apa-apa.
'Angin Timur' lewat dan kami mulai bermain sekali lagi. Annie masuk membawa teh.
Caroline dan Nona Gannett, sebagaimana biasa terjadi pada malam-malam demikian,
merasa agak jengkel. "Kalau saja kau bisa bermain lebih cepat sedikit, Sayang," cela Caroline, ketika
Nona Gannett ragu-ragu memilih biji mana yang akan dibuang. "Orang-orang Cina
menaruh biji-biji Mah Yong-nya demikian cepatnya, sehingga bunyinya menyerupai
bunyi ketepuk-ketepuk kaki burung-burung kecil."
Selama beberapa menit kami bermain seperti orang Cina.
"Kau tidak banyak menyumbang informasi, Sheppard," tegur Kolonel Carter dengan
riang. "Kau seorang yang licin. Kau bersekongkol dengan seorang detektif paling
ulung, tetapi sedikit pun kau tidak mau memberitahukan apa yang sedang terjadi."
"James memang seorang yang aneh luar biasa," sindir Caroline. "Ia tidak sanggup
berpisah dengan keterangan yang diketahuinya, atau membaginya dengan orang
lain." Caroline menatapku dengan kurang senang.
"Percayalah," aku meyakinkan, "aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Poirot tidak
pernah menceritakan apa pun kepadaku."
"Seorang laki-laki yang bijaksana," tanggap kolonel itu sambil tertawa. "Dengan
demikian ia tidak membuka rahasianya sendiri. Detektif-detektif asing ini
sungguh hebat. Akal muslihat mereka banyak sekali."
"Pung," ujar Nona Gannett dengan suara tenang tetapi penuh rasa kemenangan.
"Dan, Mah Yong."
Suasana bertambah tegang. Karena jengkel terhadap Nona Gannett yang mencapai Mah
Yong tiga kali berturut-turut, Caroline mengalihkan kejengkelannya kepadaku.
Ditegurnya aku ketika kami mulai permainan baru lagi dan menyusun biji-biji Mah
Yong kami. "Kau sungguh menjemukan, James. Kau duduk di sana seperti patung dan tidak
mengatakan sepatah kata pun!"
"Tetapi, Caroline," protesku, "tidak ada yang perlu kukatakan - yaitu mengenai
sesuatu yang kaumaksudkan itu."
"Omong kosong," sahutnya sambil menyusun biji-biji Mah Yong-nya. "Pasti kau
mengetahui sesuatu yang menarik hati."
Untuk sesaat aku tidak menyahut. Kegembiraanku meluap-luap. Aku mabuk
kemenangan. Aku pernah membaca mengenai 'kemenangan yang sempurna' - yaitu
mencapai Mah Yong sejak permulaan sekali, tatkala biji-biji Mah Yong baru saja
dibagikan. Tidak pernah aku bermimpi untuk mendapatkannya.
Dengan rasa kemenangan yang tertahan, kuletakkan biji-biji Mah Yong di atas meja
dengan permukaannya menghadap ke atas.
"Seperti yang lazim dikatakan di Shanghai Club," seruku - "Tin-ho - kemenangan
yang sempurna!" Kedua mata sang kolonel hampir-hampir melompat ke luar.
"Astaga," serunya. "Luar biasa sekali. Belum pernah aku melihat hal ini
sebelumnya!" Dan pada saat itu, karena terdorong oleh sindiran-sindiran Caroline, dan ceroboh
karena kemenangan, aku memberikan keterangan yang diharapkannya.
"Berbicara tentang sesuatu yang menarik hati," kumulai, "bagaimana pendapat
kalian mengenai sebentuk cincin kawin dengan tanggal dan 'Dari R' tertulis di
sebelah dalamnya?" Mereka memaksaku untuk memberitahukan di mana tepatnya barang berharga ini
ditemukan. Bahkan mereka juga memaksaku memberitahukan tanggalnya.
"13 Maret," renung Caroline. "Baru enam bulan yang lalu. Ah!"
Dari sekian banyak kemungkinan dan saran yang diajukan, akhirnya ditariklah tiga
kesimpulan: 1. Teori Kolonel Carter: Ralph telah menikah secara rahasia dengan Flora.
Pemecahan yang pertama dan yang paling sederhana.
2. Teori Nona Gannett: Roger Ackroyd telah mengawini Nyonya Ferrars secara
rahasia. 3. Teori kakakku: Roger Ackroyd telah mengawini Nona Russell, pengatur rumah
tangganya. Dan teori keempat dan yang paling istimewa diajukan oleh Caroline ketika kami
mau tidur. "Perhatikan ucapanku," tiba-tiba ia berkata, "aku tidak akan heran sama sekali
bilamana ternyata bahwa Geoffrey Raymond dan Flora telah menikah."
"Kalau memang demikian, tulisan di sebelah dalam cincin itu akan berbunyi 'Dari
G', dan bukan 'Dari R'," sahutku.
"Orang tidak bisa tahu. Gadis-gadis kadang-kadang memanggil suaminya dengan nama
belakangnya. Dan kau sendiri mendengar apa yang dikatakan Nona Gannett tadi mengenai tingkah laku Flora."
Dan terus terang saja, aku tidak mendengar Nona Gannett mengutarakan sesuatu
tentang hal ini. Tetapi kuakui kecakapan Caroline untuk langsung mengerti apa
yang tersembunyi di balik ucapan-ucapan yang tidak langsung.
"Dan bagaimana dengan Hector Blunt?" sindirku. "Kalau seandainya - "
"Mustahil," sahut Caroline. "Aku rasa Blunt mengagumi Flora - bahkan mungkin
sekali ia mencintai gadis itu. Tetapi yakinlah, seorang gadis tidak akan jatuh
cinta pada seorang pria yang cukup tua untuk menjadi ayahnya. Apalagi bilamana
ada seorang sekretaris muda yang berwajah tampan di dekatnya. Mungkin ia memberi
harapan kepada Mayor Blunt, hanya sebagai suatu kedok. Gadis-gadis ini banyak
akalnya. Tetapi satu hal kukatakan padamu, James Sheppard. Flora Ackroyd sedikit
pun tidak mencintai Ralph Paton. Dan ia tidak pernah mencintainya. Kau boleh
menerima kenyataan ini dari aku."
Aku terima kenyataan ini dengan rendah hati.
Bab 17 PARKER KEESOKAN harinya aku menyadari bahwa kegembiraanku karena 'Kemenangan Sempurna'
atau Tin-ho telah membuatku bertindak kurang hati-hati. Memang Poirot tidak
mengatakan padaku untuk merahasiakan penemuan cincin tersebut. Tetapi sebaliknya
ia juga tidak mengatakan apa-apa tentang penemuan ini ketika kami ada di Fernly.
Sejauh pengetahuanku, akulah satu-satunya orang, di samping Poirot, yang
mengetahui hal ini. Aku merasa bersalah sekali. Kabar tentang cincin ini,
sekarang pasti telah tersebar luas di King's Abbot. Setiap saat aku menantikan
omelan panjang lebar dari Poirot.
Penguburan atas diri Nyonya Ferrars dan Roger Ackroyd dilakukan bersamaan pada
pukul sebelas pagi. Upacara pemakaman mengesankan tetapi juga menyedihkan. Semua
penghuni Fernly ikut menghadirinya.
Selesai upacara pemakaman, Poirot yang juga hadir, menggandengku dan
mengundangku menemaninya kembali ke The Larches. Wajahnya serius sekali. Aku
khawatir kalau-kalau kecerobohanku tadi malam telah sampai pula ke telinganya.
Tetapi segera ternyata bahwa pikirannya dipenuhi dengan sesuatu yang lain sama
sekali. "Kaulihat," ujarnya, "kita harus bertindak. Dengan pertolonganmu aku menyarankan
supaya kita memeriksa seorang saksi. Akan kita tanyai dia. Akan kita takuttakuti dia sedemikian rupa, sehingga ia mau berbicara yang sebenarnya."
"Saksi mana yang kaumaksudkan?" tanyaku dengan heran sekali.
"Parker!" seru Poirot. "Aku menyuruhnya datang di rumahku pada pukul dua belas
pagi ini. Barangkali ia sudah menantikan kita di sana sekarang."
"Bagaimana pendapatmu?" tanyaku sambil meliriknya dari samping.
"Aku hanya tahu satu hal - yaitu, aku tidak puas."
"Menurutmu, dialah pemeras Nyonya Ferrars?"
"Mungkin memang demikian, atau - "
"Ya?" tanyaku setelah menunggu satu dua menit.
"Kawan, aku akan mengatakan sesuatu padamu - aku harap dialah orangnya."
Sikapnya yang serius yang tak dapat kujelaskan, membuatku berdiam diri.
Setibanya di The Larches pada kami diberitahukan bahwa Parker sedang menunggu
kedatangan kami. Ketika kami memasuki ruangan duduk, si kepala pelayan bangkit
berdiri dengan hormat. "Selamat pagi, Parker," tegur Poirot dengan ramah. "Tunggu sebentar."
Poirot melepaskan jas dan sarung tangannya.
"Ijinkan saya, Tuan," mohon Parker sambil melompat maju untuk membantunya.
Ditaruhnya barang-barang tersebut dengan rapi di atas kursi di dekat pintu.
Poirot mengawasinya dengan senang.
"Terima kasih, Parker yang baik," ujarnya. "Silakan duduk. Apa yang akan
kukatakan mungkin makan waktu agak lama."
Parker duduk dengan kepala menunduk.
"Menurut perkiraanmu, apa sebabnya aku memintamu datang ke sini pagi ini - eh?"
Parker batuk-batuk kecil.
"Saya pikir, Anda mau mengajukan beberapa pertanyaan tentang almarhum majikanku,
Tuan - di bawah empat mata."
"Precisement," seru Poirot dengan berseri-seri. "Apakah kau banyak pengalaman
dalam soal pemerasan?"
Si kepala pelayan lompat berdiri.
"Tuan!" "Jangan marah," tukas Poirot dengan tenang. "Janganlah kaumainkan peranan lakilaki jujur yang tersinggung perasaannya. Kau mengetahui segala sesuatu tentang
pemerasan, bukan?" "Tuan, saya - saya belum pernah - belum pernah - "
"Dihina," usul Poirot, "secara demikian sebelumnya. Lalu mengapa kau begitu
ingin menguping percakapan di kamar kerja Tuan Ackroyd malam itu, setelah kau
mendengar kata pemerasan?"
"Saya tidak - saya - "
"Siapa majikanmu yang dahulu?" bentak Poirot sekonyong-konyong.
"Majikan saya yang dahulu?"
"Ya, pada siapa kau bekerja sebelum kau datang pada Tuan Ackroyd."
"Mayor Ellerby, Tuan - "
Poirot seolah-olah menarik ke luar kata-kata selanjutnya dari mulut Parker.
"Begitu, Mayor Ellerby. Beliau seorang morfinis, bukan" Kau menemaninya dalam
perjalanan-perjalanannya. Tatkala ia sedang berada di Bermuda, timbullah
kesulitan - seorang laki-laki telah dibunuh. Mayor Ellerby ikut bertanggung
jawab. Kejadian kemudian didiamkan. Tetapi kau mengetahuinya. Berapa yang
dibayar Mayor Ellerby padamu supaya kau menutup mulutmu?"
Parker menatapnya dengan mulut menganga. Laki-laki itu menjadi sangat ketakutan.
Pipinya yang kendur, gemetar.
"Kau lihat, aku telah menyelidikinya," ujar Poirot dengan ramah. "Apa yang
kukatakan tadi semua benar. Kau memperoleh sejumlah uang yang cukup besar pada
waktu itu. Dan Mayor Ellerby terus membayarmu sampai ia meninggal. Sekarang aku
mau mendengar mengenai percobaanmu yang terakhir."
Parker masih terus menatapnya.
"Tidak ada gunanya untuk menyangkal. Hercule Poirot mengetahuinya. Apa yang
kukatakan mengenai Mayor Ellerby, benar semua, bukan?"
Seolah-olah di luar kemauannya, Parker mengangguk sekali. Wajahnya pucat pasi.
"Tetapi saya tidak pernah mengganggu Tuan Ackroyd seujung rambut pun,"
rintihnya. "Sungguh mati, Tuan, saya tidak melakukannya. Sejak dulu saya sudah
takut, perbuatan saya ini akan diketahui. Dan saya bersumpah, saya tidak - saya
tidak membunuhnya." Suaranya meninggi dan ia hampir-hampir berteriak.
"Aku cenderung untuk mempercayaimu, Kawan," jawab Poirot. "Kau tidak mempunyai
kesanggupan - keberanian untuk melakukannya. Tetapi aku harus mengetahui keadaan
yang sebenarnya." "Akan saya ceritakan segalanya, Tuan, semua yang ingin Anda ketahui. Memang
benar, saya mencoba mendengarkan pembicaraan pada malam itu. Satu dua patah kata
yang saya dengar telah menimbulkan kecurigaan saya. Dan juga kenyataan bahwa
Tuan Ackroyd tidak mau diganggu, dan mengunci dirinya sendiri dan Tuan Dokter di
dalam kamar. Saya bersumpah kepada Tuhan bahwa apa yang saya katakan kepada
polisi semuanya benar. Saya mendengar kata pemerasan, Tuan, dan - "
Parker tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Kaukira bisa menarik keuntungan dari kenyataan ini?" tanya Poirot dengan halus.
"Yah - yah, memang benar demikian, Tuan. Saya pikir kalau memang Tuan Ackroyd
diperas seseorang, mengapa saya tidak akan ikut mengambil bagian?"
Wajah Poirot memperlihatkan ekspresi yang ganjil sekali. Ia membungkuk ke depan.
"Sebelum malam itu, apakah kau sudah menduga kalau Tuan Ackroyd diperas?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Saya sendiri heran sekali. Beliau seorang laki-laki
yang demikian baiknya sehari-hari."
"Berapa banyak yang telah kaudengar?"
"Tidak banyak, Tuan. Rupanya saya sedang sial waktu itu. Lagipula saya harus
melakukan tugas saya di dapur. Dan pada waktu saya berjalan dengan perlahan ke
kamar kerja Tuan Ackroyd, satu dua kali, usaha saya tidak berhasil sama sekali.
Pada pertama kalinya, hampir saja saya tertangkap basah oleh Dokter Sheppard.
Dan pada kedua kalinya, Tuan Raymond berpapasan dengan saya di ruang muka utama.
Ia sedang menuju ke kamar kerja Tuan Ackroyd. Jadi saya gagal sekali lagi. Dan
tatkala saya menuju kamar kerja dengan membawa baki, Nona Flora menggagalkan
usaha saya." Poirot menatap si kepala pelayan selama beberapa saat seakan-akan menguji
kejujurannya. Parker balas menatapnya dengan pandangan yang tulus ikhlas.
"Saya harap Anda percaya omongan saya, Tuan. Sejak permulaan saya sudah takut
sekali kalau-kalau polisi akan membongkar perkara lama yang berhubungan dengan
Mayor Ellerby, dan menyebabkan mereka mencurigai saya."
"Eh bien," sahut Poirot akhirnya. "Aku cenderung mempercayaimu. Tetapi satu hal
kuminta padamu - perlihatkanlah rekening bankmu padaku. Kau mempunyainya,
bukan?" "Benar, Tuan. Bahkan saya ada membawanya sekarang."
Tanpa memperlihatkan tanda-tanda kegelisahan, dikeluarkannya rekening banknya.
Poirot mengambil buku hijau tipis itu dan mempelajari jumlah-jumlah uang yang
masuk dan keluar. "Ah! Aku lihat, bahwa tahun ini kau telah membeli saham-saham dari National
Savings Certificate?"
"Benar, Tuan. Saya sudah menabung sekitar seribu pound - hasil dari hubungan
saya dengan - eh - almarhum majikan saya, Mayor Ellerby. Dan tahun ini saya juga
memasang taruhan atas beberapa kuda - dan mendapat sukses besar. Mungkin Anda
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih ingat, Tuan, seekor kuda yang tidak masuk hitungan memenangkan hadiah
Jubilee. Saya beruntung sekali telah bertaruh atas kuda itu - ?20."
Poirot mengembalikan rekening bank Parker.
"Aku akan mengucapkan selamat pagi padamu. Aku percaya, kau telah menceritakan
hal yang sebenarnya. Dan bila ternyata bukan demikian halnya - maka keadaan
bagimu, akan buruk sekali, Kawan."
Setelah Parker pergi, sekali lagi Poirot menjumput jasnya.
"Mau pergi lagi?" tanyaku.
"Ya, kita akan mengunjungi Tuan Hammond yang baik itu."
"Kau percaya apa yang diceritakan Parker?"
"Kedengarannya sih, cukup masuk akal. Sudah jelas kalau - kecuali ia seorang
pemain sandiwara yang ulung - ia benar-benar menyangka bahwa Ackroyd sendirilah
yang menjadi korban pemerasan. Kalau memang begitu, ternyata ia tidak tahu apa
pun tentang persoalan Nyonya Ferrars."
"Lalu kalau begitu - siapa - ?"
"Precisement! Siapa" Tetapi dengan mengunjungi Tuan Hammond, satu tujuan kita
akan tercapai. Keterangannya akan membersihkan nama Parker sama sekali, atau
sebaliknya - " "Ya?" "Pagi ini aku mempunyai kebiasaan buruk untuk tiap kali tidak menyelesaikan
kalimatku," ujar Poirot dengan nada menyesal. "Kau harus bersabar menghadapiku."
"Oh ya," aku berkata agak kemalu-maluan, "aku harus mengakui sesuatu. Aku takut,
bahwa aku tanpa sadar telah membocorkan tentang penemuan cincin itu."
"Cincin yang mana?"
"Cincin yang kautemukan di kolam ikan mas."
"Ah ya," sahut Poirot sambil tersenyum lebar.
"Aku harap kau tidak marah" Aku telah bertindak ceroboh sekali."
"Sekali-kali tidak, Kawan, sama sekali tidak. Aku tidak memberi perintah apa pun
padamu. Kau bebas membicarakannya kalau kau mau. Tertarikkah kakakmu akan hal
ini?" "Ia tertarik sekali. Bahkan keteranganku ini menimbulkan sensasi. Berbagai macam
teori dikemukakan." "Ah! Sedangkan penjelasannya sebetulnya sangat sederhana. Duduk persoalan yang
sebenarnya, menyolok mata sekali, bukan?"
"Oh ya?" tanyaku dengan nada kering.
Poirot tertawa. "Orang yang bijaksana tidak akan menyatakan pendapatnya," ujarnya. "Bukankah
demikian" Nah, kita sudah sampai di tempat Tuan Hammond." Pengacara itu sedang
berada di kantornya. Kami langsung diantarkan masuk. Tuan Hammond bangkit dan
menyalami kami dengan sikapnya yang formil dan kering.
Poirot segera mengutarakan maksudnya.
"Monsieur, saya membutuhkan keterangan dari Anda. Saya dengar bahwa Anda
mewakili almarhum Nyonya Ferrars dari King's Paddock" Saya harap Anda bersedia
membantu saya." Aku memperhatikan bahwa selama sesaat sinar mata pengacara itu penuh keheranan,
sebelum sikapnya yang formil dan tertutup sekali lagi menutupi wajahnya seperti
sebuah topeng. "Oh tentu saja. Semua urusannya, kami yang mengurusnya."
"Bagus. Nah, sebelum saya minta Anda memberitahukan saya semuanya, sebaiknya
Anda dengarkan dahulu apa yang akan diceritakan Dokter Sheppard kepada Anda. Kau
tidak berkeberatan bukan, Kawan, untuk mengulangi pembicaraanmu dengan Tuan
Ackroyd pada malam Jum'at itu?"
"Sama sekali tidak," jawabku, dan segera kuulangi lagi ceritaku pada malam yang
aneh itu. Hammond mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Itulah semuanya," ujarku setelah aku selesai.
"Pemerasan," pengacara itu berkata sambil merenung.
"Herankah Anda?" tanya Poirot.
Tuan Hammond melepaskan kaca matanya dan menggosoknya dengan sapu tangannya.
"Tidak," sahutnya, "saya tidak dapat mengatakan bahwa saya heran. Saya
sebetulnya sudah menduganya selama beberapa waktu."
"Sekarang tibalah kita pada soal yang hendak saya tanyakan kepada Anda," kata
Poirot. "Seandainya ada orang yang dapat memberitahukan kami jumlah uang yang
telah dibayarkan pada si pemeras, maka saya kira, Tuanlah orangnya."
"Saya tidak berkeberatan memberikan Anda informasi yang diperlukan," sahut
Hammond setelah satu dua menit. "Dalam tahun terakhir, Nyonya Ferrars telah
menjual beberapa surat berharga tertentu. Dan hasilnya tidak ditanam kembali,
tetapi disetorkan pada rekening banknya. Mengingat pendapatannya cukup besar,
dan almarhum menjalankan hidup yang tenang setelah kematian suaminya, maka
rasanya sudah pasti, bahwa uang itu dibayarkan untuk suatu maksud tertentu.
Pernah sekali saya menanyakan hal ini padanya. Dan jawabannya adalah, bahwa ia
merasa berkewajiban membantu beberapa anggota keluarga suaminya yang miskin.
Saya tidak menanyakan lebih lanjut, tentu saja. Sampai sekarang saya selalu
mengira kalau uang itu dibayarkan kepada seorang wanita yang ada sangkut pautnya
dengan Ashley Ferrars. Saya tidak pernah menduga bahwa Nyonya Ferrars sendirilah
yang tersangkut." "Dan berapa jumlah uang seluruhnya?" tanya Poirot.
"Seluruhnya saya kira jumlah uang itu sedikit-dikitnya mencapai dua puluh ribu
pound!" "Dua puluh ribu pound!" teriakku. "Dalam satu tahun!"
"Nyonya Ferrars adalah seorang wanita yang kaya sekali," ujar Poirot dengan nada
kering. "Dan hukuman bagi pembunuh amat tidak enak."
"Adakah hal-hal lain yang dapat saya ceritakan pada Anda?" selidik Tuan Hammond.
"Tidak, terima kasih," jawab Poirot sambil bangkit berdiri. "Saya mohon maaf
karena telah membuat pikiran Anda terganggu."
"Sama sekali tidak, Anda sama sekali tidak mengganggu."
"Perkataan 'pikiran terganggu' hanya dapat diterapkan pada orang yang kurang
waras otaknya," aku menjelaskan setelah kami berada di luar lagi.
"Ah!" keluh Poirot, "bahasa Inggris-ku tidak akan pernah beres. Bahasa yang
ganjil. Seharusnya aku mengatakan mengacau, n'est ce pas?"
"Perkataan yang kaumaksudkan adalah 'mengganggu'."
"Terima kasih, Kawan. Kata yang tepat adalah 'mengganggu'. Kau mendambakan
kesempurnaan. Eh bien, sekarang bagaimana dengan teman kita, Parker" Dengan uang
dua puluh ribu pound, apakah ia akan tetap menjadi kepala pelayan" Je ne pense
pas. Tentu saja ada kemungkinan ia menyimpan uang itu di bank atas nama lain.
Tetapi saya lebih cenderung untuk mempercayai kebenaran omongannya. Seandainya
ia seorang bajingan, maka ia hanyalah seorang bajingan ukuran sedang saja. Ia
tidak mempunyai ide-ide yang hebat. Jadi kemungkinan lain adalah Raymond, atau yah - Mayor Blunt."
"Pasti bukan Raymond," bantahku. "Karena kita tahu ia butuh sekali uang sebanyak
lima ratus pound." "Memang, itu menurut perkataannya."
"Dan mengenai Hector Blunt - "
"Akan kuceritakan padamu sesuatu mengenai Mayor Blunt yang baik itu," sela
Poirot. "Sudah menjadi tugasku untuk mencari keterangan. Aku melakukannya. Eh
bien - warisan yang dikatakannya itu. Aku memperoleh keterangan bahwa jumlahnya
mendekati dua puluh ribu pound. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?"
Aku demikian terkejutnya, sehingga hampir-hampir tidak dapat berbicara.
"Tidak mungkin," ujarku akhirnya. "Seorang yang terkenal seperti Hector Blunt."
"Siapa tahu" Sekurang-kurangnya, ia seorang yang mempunyai ide-ide yang besar.
Memang kuakui, rasanya aku sendiri tidak dapat membayangkan dirinya sebagai
seorang pemeras. Tetapi ada kemungkinan lain yang sama sekali tidak
kaupikirkan." "Kemungkinan apa?"
"Api, Kawan. Mungkin Ackroyd sendiri yang telah membakar surat itu dengan
amplopnya sekali, setelah kau meninggalkannya."
"Rasanya tidak mungkin," sahutku lambat. "Tetapi tentu saja kemungkinan itu ada.
Barangkali ia telah mengubah maksudnya."
Kami baru saja sampai di rumahku, ketika dengan mendadak kuundang Poirot untuk
makan siang bersama kami.
Kukira, Caroline akan senang dengan tindakanku ini. Tetapi ternyata, sukar
sekali untuk menyenangkan kaum wanita. Rupanya, hidangan untuk makan siang kami
terdiri dari dua potong daging - sedangkan untuk orang dapur disediakan babat
dengan bawang. Dan dua potong daging untuk tiga orang, menimbulkan keadaan yang
kurang enak. Tetapi Caroline jarang sekali bingung untuk waktu yang lama. Dengan kecakapan
berdusta yang luar biasa, diterangkannya kepada Poirot, bahwa ia bersikeras
memakan sayuran dan buah-buahan saja, meskipun James menertawakannya. Dengan
gembira sekali ia mempercakapkan kenikmatan sayur kacang-kacangan (dan aku yakin
sekali ia belum pernah mencicipinya). Dengan sangat bernafsu ia menyantap roti
panggang dengan semacam masakan yang terdiri dari keju, bir, telur dan
sebagainya. Tiap beberapa saat ia membicarakan bahaya yang ditimbulkan oleh
makanan 'daging'. Kemudian, pada saat kami duduk di muka perapian sambil merokok, Caroline
langsung menyerang Poirot.
"Apakah Ralph belum ditemukan sampai sekarang?" tanyanya.
"Di mana saya dapat menemukannya, mademoiselle?"
"Saya kira, Anda telah menemukannya di Cranchester," sindir Caroline penuh arti.
Poirot kelihatan agak bingung.
"Di Cranchester" Mengapa di Cranchester?"
Karena senang atas terkaan Caroline yang salah, aku segera menerangkan duduk
persoalan pada Poirot. "Salah satu anggota detektif pribadi kami, telah melihatmu dalam mobil di
jalanan ke Cranchester," aku menjelaskan.
Kebingungan Poirot lenyap. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Ah, begitu! Saya hanya berkunjung ke dokter gigi sebentar, c'est tout. Gigi
saya sakit. Saya lalu pergi ke sana. Dan gigi saya langsung baik. Saya ingin
cepat pulang. Tetapi dokter gigi mengatakan, 'Tidak. Sebaiknya cabut saja.' Saya
membantah. Ia memaksa. Akhirnya ia menang! Gigi itu tidak akan menimbulkan rasa
sakit lagi." Caroline kecewa dan mengkerat seperti balon yang ditusuk.
Kami mulai membicarakan Ralph Paton.
"Pribadi yang lemah," aku bersikeras. "Tetapi tidak jahat."
"Ah!" seru Poirot. "Tetapi kelemahan, bagaimana akhirnya seorang yang berwatak
lemah?" "Tepat sekali," sela Caroline. "Umpama saja, James ini - lemah seperti air,
kalau saya tidak menjaganya,"
"Caroline yang baik," tukasku dengan jengkel "tak dapatkah kau berbicara tanpa
menyeret nama orang lain?"
"Kau memang lemah, James," Caroline bertahan. "Umurku delapan tahun lebih tua
daripada umurmu - oh! Aku tidak peduli Tuan Poirot mengetahuinya - "
"Saya tidak akan menduganya, mademoiselle," jawab Poirot sambil membungkuk
dengan sopan, "Delapan tahun lebih tua. Dan aku selalu merasa bertanggung jawab atas dirimu.
Andaikata kau mendapatkan pendidikan yang jelek, maka hanya Tuhan yang tahu
kejahatan apa saja yang akan kaulakukan."
"Siapa tahu, mungkin aku sudah menikah dengan seorang petualang wanita yang
cantik jelita," gumamku sambil memandang langit-langit ruangan dan meniup
lingkaran-lingkaran asap.
"Petualang wanita!" dengus Caroline. "Kalau kita mulai berbicara mengenai
petualang wanita - "
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Ya?" sahutku dan menunggu dengan rasa ingin tahu.
"Tidak apa-apa. Tetapi aku tahu seorang petualang wanita yang tinggal kurang
dari seratus mil dari sini."
Tiba-tiba Caroline berpaling kepada Poirot.
"Menurut James, Anda berpendapat bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang
yang tinggal di rumah itu. Yang dapat saya katakan hanyalah, Anda keliru."
"Saya tidak mau membuat kesalahan," sahut Poirot. "Itu bukan - bagaimana ya,
mengatakannya - m?tier saya?"
"Fakta-fakta yang saya dapatkan cukup jelas," Caroline melanjutkan, tanpa
menghiraukan ucapan Poirot, "dari James dan orang-orang lain. Sejauh penglihatan
saya, hanya dua orang saja dalam rumah itu mempunyai kesempatan melakukan
perbuatan itu. Ralph Paton dan Flora Ackroyd."
"Caroline yang baik - "
"Jangan potong ucapanku, James. Aku tahu apa yang kukatakan. Parker bertemu
dengan Flora di luar pintu kamar kerja Ackroyd, bukan" Ia tidak mendengar
Ackroyd mengucapkan selamat malam kepada Flora. Mungkin ia sudah dibunuh gadis
itu." "Caroline!" "Aku tidak memastikan kalau Flora yang melakukannya, James. Aku hanya
mengatakan, mungkin dia yang melakukannya. Sebenarnya Flora sama saja seperti
gadis-gadis lain jaman sekarang. Mereka tidak mempunyai rasa hormat untuk orang
tua. Mereka selalu mengira bahwa mereka yang paling pintar di dunia ini. Untuk
semenit pun aku tidak akan percaya bahwa ia akan sanggup membunuh seekor ayam.
Tetapi begitulah kenyataannya. Tuan Raymond dan Mayor Blunt sama-sama mempunyai
alibi yang baik, demikian juga Nyonya Ackroyd. Bahkan wanita Russell itu pun
tampaknya mempunyainya juga - sungguh untung baginya. Siapa lagi yang belum"
Hanya Ralph dan Flora! Dan kau boleh mengatakan apa saja, tetapi aku tidak
percaya kalau Ralph adalah seorang pembunuh. Dan anak itu telah kita kenal
sepanjang umur kita."
Poirot berdiam diri sesaat dan memperhatikan asap rokok yang keluar dari
sigaretnya. Ketika akhirnya ia berbicara, nada suaranya terdengar lembut dan
sayup-sayup sehingga menimbulkan kesan yang ganjil. Sikapnya lain dari biasa.
"Marilah kita mengambil sebagai contoh, seorang laki-laki - yang biasa saja.
Seorang yang tidak mempunyai maksud membunuh di dalam hatinya. Di dalam dirinya
terdapat sedikit sifat kelemahan pribadinya - tersimpan dalam sekali di lubuk
hatinya. Selama ini kelemahan itu tak pernah mendapatkan alasan untuk timbul ke
permukaan. Mungkin juga hal ini tidak akan pernah terjadi - dan ia akan
meninggalkan dunia ini dengan dihormati dan dihargai oleh semua orang. Tetapi,
andaikata terjadi sesuatu. Ia sedang berada dalam kesulitan - bahkan mungkin
juga tidak. Barangkali secara kebetulan ia mengetahui sesuatu yang dirahasiakan
- rahasia yang menyangkut mati hidupnya seseorang. Reaksinya yang pertama adalah
untuk memberitahukan pihak yang berwajib - dan menjalankan tugasnya sebagai
seorang warga negara yang jujur. Kemudian timbullah kelemahannya itu. Di sini
ada kesempatan untuk memperoleh uang - uang dalam jumlah yang besar. Ia
menginginkan uang - ia mendambakannya - dan begitu mudah mendapatkannya. Ia
tidak perlu mengerjakan apa pun untuk mendapatkannya - kecuali tutup mulut. Itu
permulaannya. Keinginan akan uang tiap hari bertambah besar. Ia harus
mendapatkan lebih banyak lagi - lebih banyak lagi! Ia mabuk oleh tambang emas
yang terbuka di telapak kakinya. Ia menjadi serakah. Dan dalam keserakahannya ia
melampaui batas-batas kemampuan dirinya. Kita dapat menekan seorang laki-laki
sejauh kita inginkan - tetapi seorang wanita tidak dapat ditekan terlalu jauh.
Karena pada hakekatnya seorang wanita mendambakan untuk dapat mengutarakan hal
yang sebenarnya. Berapa banyak suami yang mengelabui isteri mereka, dengan enak
pergi ke liang kubur dengan membawa serta rahasia mereka! Tetapi berapa banyak
isteri yang membohongi suami mereka, menghancurkan hidup mereka sendiri karena
melemparkan kenyataan itu ke hadapan suami mereka! Mereka terlalu ditekan. Pada
suatu saat yang sembrono (yang akan disesalinya kemudian, bien entendu), mereka
melupakan keamanan diri mereka dan berbalik membuka rahasia mereka dengan penuh
rasa kepuasan yang bersifat sementara. Dan saya rasa, demikianlah duduknya
persoalan dalam perkara ini. Tekanan yang terlalu besar. Maka berlakulah
peribahasa Anda; kematian angsa yang menghasilkan telur emas. Tetapi ini belum
lagi akhirnya. Orang yang kita bicarakan ini menghadapi kenyataan bahwa
rahasianya akan terbongkar. Dan pribadinya telah mengalami perubahan. Ia tidak
lagi seperti dahulu - katakan saja, setahun yang lalu. Moralnya sudah menjadi
tumpul. Ia sedang berjuang melawan kekalahan. Ia bersedia melakukan apa saja,
karena terbongkarnya rahasianya berarti kehancuran bagi dirinya. Maka - pisau
belati itu beraksi!"
Poirot diam sesaat. Keadaan di dalam ruangan itu seakan-akan telah disihirnya.
Aku tidak dapat melukiskan kesan yang ditimbulkan oleh kata-katanya. Ada sesuatu
dalam uraiannya yang tidak mengenal kasihan. Dan kecakapannya melihat apa yang
telah terjadi, menakutkan kami berdua.
"Kemudian," lanjutnya, "setelah belati disingkirkan, ia bersikap biasa lagi,
ramah. Tetapi jika keadaan memaksa ia akan membunuh sekali lagi."
Akhirnya Caroline memaksa diri, bangun dari lamunannya.
"Anda berbicara mengenai Ralph Paton," tuduhnya. "Mungkin Anda benar, mungkin
juga tidak, tetapi Anda tidak boleh menuduh orang secara sembarangan."
Telepon berdering dengan tajam. Aku menuju ke ruang muka dan mengangkatnya.
"Apa?" tanyaku. "Ya. Dokter Sheppard yang bicara."
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mendengarkan satu dua menit, lalu menjawab dengan pendek. Setelah meletakkan
pesawat telepon, aku kembali lagi ke ruang duduk.
"Poirot," kataku, "mereka telah menahan seorang laki-laki di Liverpool. Namanya
Charles Kent. Dan diduga, ia adalah orang asing yang mengunjungi Fernly malam
itu. Mereka menginginkan aku pergi ke sana dengan segera untuk mengenalinya."
Bab 18 CHARLES KENT SETENGAH jam kemudian, Poirot, aku dan Inspektur Raglan berada di dalam kereta
api yang menuju ke Liverpool. Jelas sekali kalau inspektur itu sangat gembira.
"Sekurang-kurangnya kita akan mendapatkan keterangan tentang pemerasan itu,"
katanya dengan riang. "Charles Kent itu seorang yang kasar sekali, kalau
mendengar keterangan melalui telepon tadi. Morfinis, pula. Seharusnya mudah
mengorek keterangan dari orang ini. Asal saja kita bisa membuktikan bahwa ia
mempunyai alasan, sekalipun sepele, untuk melakukan perbuatan itu, maka dapat
dikatakan bahwa dialah orang yang membunuh Tuan Ackroyd. Lalu, mengapa si orang
muda Paton tidak muncul" Seluruh perkara ini kacau - betul-betul kacau. Oh ya,
Tuan Poirot, pendapat Anda tentang sidik jari itu benar sekali. Sidik-sidik jari
itu adalah kepunyaan Tuan Ackroyd sendiri. Saya sebenarnya juga berpendapat
demikian, tetapi saya mengesampingkannya sebagai sesuatu yang mustahil."
Aku tersenyum sendiri. Nyata benar bahwa Inspektur Raglan berusaha menutupi rasa
malunya. "Orang ini," tanya Poirot, "ia belum ditangkap, bukan?"
"Belum, ia hanya ditahan sebagai tersangka."
"Dan penjelasan apa yang diberikan orang ini tentang dirinya?"
"Sedikit sekali," jawab inspektur itu menyeringai. "Ia seperti seekor burung
yang waspada sekali, saya dengar. Yang diutarakannya kebanyakan berupa makian
dan sedikit sekali yang berupa keterangan."
Setibanya di Liverpool, aku heran sekali melihat Poirot disambut dengan hangat.
Kepala Polisi Hayes, yang menyambut kami, pernah bersama-sama Poirot menyelidiki
sebuah perkara. Dan tampaknya ia mempunyai pandangan yang berlebihan akan
kemampuan Poirot. "Sekarang Tuan Poirot ada di sini, kita tidak akan memerlukan waktu yang lama
untuk menyelesaikan perkara ini," ujarnya dengan gembira. "Saya sangka Anda
sudah mengundurkan diri, moosior?"
"Memang benar, Hayes yang baik, memang benar. Tetapi betapa membosankannya hidup
tanpa mengerjakan sesuatu! Anda tidak dapat membayangkan hidup yang demikian
membosankan, hari demi hari."
"Mungkin sekali. Karena itu Anda datang melihat tahanan kami" Dan tuan ini
adalah Dokter Sheppard" Apakah rasanya Anda dapat mengenalinya, Tuan?"
"Saya tidak yakin betul," jawabku ragu-ragu.
"Bagaimana Anda sampai bisa menahannya?" tanya Poirot.
"Seperti Anda ketahui, gambaran mengenai orang ini disebarluaskan. Melalui surat
kabar maupun secara perorangan. Memang saya akui, tidak banyak yang dapat kami
lakukan. Orang ini memang mempunyai aksen Amerika. Dan ia juga tidak mengingkari
kehadirannya di King's Abbot malam itu. Ia hanya ingin mengetahui, ada hubungan
apa soal ini dengan kami. Dan ia akan melihat kami di - sebelum ia menjawab satu
pertanyaan pun." "Apakah saya juga boleh melihatnya?" tanya Poirot.
Kepala polisi mengedipkan matanya dengan penuh arti.
"Depan segala senang hati, Tuan. Anda mendapat ijin untuk melakukan apa saja
yang Anda kehendaki. Inspektur Japp dari Scotland Yard kemarin menanyakan Anda.
Menurut perkataannya, ia telah mendengar bahwa Anda secara tidak resmi ikut
menyelidiki perkara ini. Di manakah Kapten Paton bersembunyi, Tuan. Dapatkah
Anda menceritakannya pada saya?"
"Saya rasa, kurang bijaksana bila saya memberitahukannya sekarang," jawab Poirot
dengan formil. Kugigit bibir menahan senyum.
Laki-laki kecil itu bertindak cerdik sekali.
Setelah merundingkan perkara ini lebih lanjut, kami diantarkan ke tawanan untuk
menanyainya. Tawanan itu seorang laki-laki muda, berumur tidak lebih dari dua puluh dua atau
dua puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi dan kurus. Kedua tangannya gemetar.
Kekuatan jasmaniahnya sudah berkurang dan kesehatannya memburuk karena
diabaikan. Rambutnya berwarna gelap, tetapi matanya yang berwarna biru bersinar
licik dan jarang sekali mau menentang tatapan mata orang lain. Sejak semula aku
sudah merasakan bahwa orang yang kujumpai malam itu mengingatkan aku akan
seorang yang kukenal. Tetapi jika orang ini adalah orang yang kulihat malam itu,
maka pendapatku salah sama sekali. Orang ini sama sekali tidak mengingatkanku
akan seorang yang kukenal.
"Ayohlah, Kent," perintah si kepala polisi. "Berdirilah. Ada beberapa tamu yang
datang mengunjungimu. Kenalkah kau salah satu di antara mereka?"
Kent menatap kami dengan cemberut, tanpa menjawab. Kuperhatikan pandangannya
yang menyapu diri kami bertiga, kemudian kembali lagi padaku.
"Nah, Tuan," tanya si kepala polisi, "bagaimana pendapat Anda?"
"Tingginya sama," sahutku, "dan rupanya mungkin sama dengan orang yang kujumpai.
Lebih dari itu saya tidak dapat mengatakannya."
"Apa maksud semua ini?" tanya Kent.
"Ada ganjalan apa antara kau dan aku" Ayoh, ceritakan! Apa yang telah kulakukan,
menurut kalian?" Aku mengangguk. "Dialah orangnya," aku memutuskan. "Saya mengenali suaranya."
"Mengenali suaraku, begitukah" Dan di mana, kaupikir, telah kaudengar suaraku
sebelumnya?" "Pada Jum'at malam yang lalu, di luar pintu pagar Fernly Park. Kau menanyakanku
jalan yang menuju ke Fernly."
"Aku memang telah menanyakannya, bukankah begitu?"
"Apakah kau mengakuinya?" tanya si inspektur.
"Aku tidak mengakui apa pun. Tidak sebelum aku tahu mengapa aku ditahan."
"Tidakkah kau membaca koran dalam beberapa hari terakhir ini?" tanya Poirot,
yang sejak tadi berdiam diri.
Mata laki-laki itu menyipit.
"Oh, soal itukah" Aku membaca bahwa seorang laki-laki tua telah dibunuh di
Fernly. Kalian menyangka aku pelakunya, bukan?"
"Kau berada di sana malam itu," sahut Poirot dengan tenang.
"Bagaimana Anda mengetahuinya?"
"Karena ini." Poirot mengambil sesuatu dari sakunya dan memperlihatkannya kepada
kami. Barang itu adalah pena bulu angsa yang kami temukan di pondok kecil itu.
Melihat barang itu, wajah orang laki itu berubah. Diulurkannya tangannya.
"Salju," ujar Poirot. "Bukan, Kawan, barang ini kosong. Ia tergeletak di tempat
kau meninggalkannya malam itu di pondok kecil."
Charles Kent memandangnya dengan bimbang.
"Agaknya kau mengetahui banyak sekali mengenai segala sesuatu, Babi! Barangkali
kau ingat ini: bukankah surat kabar mengatakan, laki-laki tua itu dibunuh antara
pukul sepuluh kurang seperempat dan pukul sepuluh?"
"Memang betul," Poirot mengiakan.
"Ya, tetapi apakah memang benar demikian" Itulah yang ingin kuketahui."
"Tuan ini akan mengatakannya padamu," sahut Poirot.
Ia menunjuk ke arah Inspektur Raglan. Inspektur itu melirik dengan bimbang ke
arah Kepala Polisi Hayes, lalu ke Poirot, akhirnya, seakan-akan telah menerima
persetujuan mereka, ia berkata,
"Memang benar. Pembunuhan itu dilakukan antara pukul sepuluh kurang seperempat
dan pukul sepuluh." "Kalau demikian, tidak ada alasan untuk menahanku di sini," ujar Kent. "Aku
meninggalkan Fernly Park pada pukul sembilan lewat dua puluh lima menit. Kau
dapat menanyakannya di restoran Dog and Whistle, yang jaraknya kira-kira satu
mil dari Fernly di jalan yang menuju ke Cranchester. Aku ingat aku membuat ribut
di sana. Jam waktu itu menunjukkan hampir pukul sepuluh kurang seperempat. Nah,
bagaimana?" Inspektur Raglan menulis sesuatu di dalam buku catatannya.
"Bagaimana?" tuntut Kent.
"Kami akan mencari keterangan dulu," jawab si inspektur. "Kalau memang ternyata
kau tidak berdusta, maka tidak ada sesuatu pun yang perlu kaukhawatirkan.
Sebenarnya, apa kerjamu di Fernly Park?"
"Aku ke sana karena mau bertemu dengan seseorang."
"Siapa?" "Bukan urusanmu."
"Sebaiknya kau jaga lidahmu itu, Kawan," si kepala polisi mengingatkannya.
"Masa bodoh. Aku pergi ke sana untuk soal pribadi, hanya itu saja. Dan yang
penting untuk polisi hanyalah, apakah aku sudah pergi dari sana sebelum
pembunuhan itu terjadi."
"Namamu adalah Charles Kent," ujar Poirot. "Di mana tempat lahirmu?"
Laki-laki muda itu menatapnya, lalu menyeringai.
"Aku seorang Inggris tulen," ujarnya.
"Ya," sahut Poirot sambil berpikir, "memang aku kira begitu. Dan aku rasa tempat
lahirmu adalah Kent."
Laki-laki itu memandangnya dengan mata terbelalak.
"Mengapa" Karena namaku" Apa hubungannya" Apakah orang yang bernama Kent pasti
lahir di tempat itu juga?"
"Melihat keadaannya, kemungkinan itu ada," sahut Poirot dengan lambat sekali.
"Melihat keadaannya, mengerti kau!"
Nada suara Poirot yang penuh arti, mengherankan kedua orang polisi itu. Charles
Kent sendiri, berubah wajahnya menjadi merah padam. Untuk sesaat kukira ia akan
menyerang Poirot. Tetapi kemudian ia mengubah pikirannya dan tertawa dengan nada
sumbang. Poirot mengangguk seolah-olah merasa puas, lalu keluar dari ruangan. Tidak lama
kemudian kedua petugas polisi itu pun keluar pula menemaninya.
"Kita akan memeriksa keterangannya," ujar Raglan. "Tetapi saya rasa ia tidak
berdusta. Meskipun demikian, ia hanya dapat membersihkan dirinya dengan
menerangkan apa yang dilakukannya di Fernly. Mungkin dialah pemeras yang kita
cari. Tetapi sebaliknya, andaikata ceritanya benar, maka tak mungkin ia
tersangkut dalam pembunuhan ini. Ketika ia ditahan, padanya ditemukan uang
sejumlah sepuluh pound - jumlah uang yang cukup besar. Saya kira, mungkin sekali
uang empat puluh pound itu dibayarkan kepadanya - nomor serinya tidak cocok,
tetapi ia barangkali telah langsung menukarnya. Rupanya Tuan Ackroyd telah
memberikan uang itu kepadanya, dan ia secepat-cepatnya kabur dengan uang itu.
Dan apa yang Anda maksudkan dengan Ucapan bahwa Kent adalah kota kelahirannya"
Apa hubungannya?" "Tidak ada hubungan sama sekali," sahut Poirot ramah. "Hanya sebuah ide kecil
saja. Saya, saya terkenal dengan ide-ide kecil ini."
"Benarkah?" tanya Raglan, sambil memperhatikannya dengan pandangan bingung.
Si kepala polisi tertawa terbahak-bahak.
"Sering sekali saya mendengar Inspektur Japp mengatakan itu. Tuan Poirot dan
ide-ide kecilnya! Terlalu fantastis bagiku. Tetapi ide-ide tersebut selalu
mengandung arti." "Anda menertawakan saya," sahut Poirot tersenyum, "tetapi tidak mengapa. Kadangkadang orang tua tertawa paling akhir. Dan pada saat itu yang muda-muda dan
pintar sama sekali tidak bisa tertawa."
Dan sambil mengangguk kepada mereka dengan sikapnya yang bijaksana, Poirot
melangkah ke jalanan. Poirot dan aku makan siang bersama di sebuah hotel. Sekarang aku tahu bahwa
segala sesuatu telah menjadi jelas baginya pada saat itu. Telah diperolehnya
keterangan terakhir yang dibutuhkannya untuk menuntunnya ke arah kebenaran.
Tetapi pada waktu itu, aku belum menduganya. Aku telah menilai kepercayaannya
akan dirinya sendiri, terlalu tinggi. Dan aku menyangka bahwa hal-hal yang
membingungkanku juga membingungkannya.
Yang merupakan teka-teki paling besar bagiku adalah apa yang dikerjakan Charles
Kent di Fernly. Pertanyaan ini berulang-ulang timbul dalam diriku. Tetapi aku
tidak dapat menjawabnya dengan memuaskan. Akhirnya dengan hati-hati aku
menanyakannya kepada Poirot. Jawabannya diberikan dengan langsung.
"Mon ami, aku rasa, aku tidak tahu."
"Ah, yang benar?" kataku kurang percaya.
"Sungguh benar. Kalau kukatakan, kepergiannya ke Fernly malam itu adalah karena
ia dilahirkan di Kent, kurasa kau akan menganggap penjelasanku ini tidak masuk
akal." Aku mengawasinya. "Memang rasanya tidak masuk akal," sahutku dengan kering.
"Ah!" keluh Poirot dengan rasa kasihan. "Yah, tidak mengapalah. Aku masih
mempunyai ideku yang kecil itu."
Bab 19 FLORA ACKROYD KEESOKAN paginya ketika aku kembali dari mengunjungi pasien-pasienku, aku
dipanggil oleh Inspektur Raglan. Kuhentikan mobilku dan inspektur itu segera
menaiki tangga mobil. "Selamat pagi, Dokter Sheppard," sapanya. "Nah, alibi orang itu ternyata benar."
"Charles Kent?"
"Charles Kent. Pelayan bar di Dog and Whistle yang bernama Sally Jones,
mengingatnya dengan baik sekali. Ia mengenali orang itu dari antara lima buah
potret yang kuperlihatkan padanya. Ketika Kent masuk ke dalam bar, waktu baru
saja menunjukkan pukul sepuluh kurang seperempat. Sedangkan Dog and Whistle
lebih dari satu mil jauhnya dari Fernly Park. Gadis itu mengatakan bahwa Charles
Kent membawa uang banyak sekali - ia melihatnya mengeluarkan segumpal uang dari
dompetnya. Hal ini agak mengherankan gadis itu, untuk melihat orang semacam itu
dan yang memakai sepatu butut sekali. Pasti dia yang mencuri uang empat puluh
pound itu." "Apakah orang itu masih menolak untuk menerangkan maksud kedatangannya ke
Fernly?" "Ia keras kepala seperti seekor keledai. Saya telah berbicara melalui telepon
dengan Hayes pagi ini."
"Hercule Poirot mengatakan, ia tahu mengapa orang tersebut pergi ke sana malam
itu," aku memberitahukannya.
"Benarkah?" teriak inspektur itu dengan gairah sekali.
"Ya," sahutku dengan jahat. "Katanya orang itu pergi ke sana karena ia
dilahirkan di Kent."
Aku senang sekali meneruskan rasa ketidak-puasanku.
Raglan menatapku satu dua menit dengan tidak mengerti. Lalu wajahnya yang
menyerupai musang itu menyeringai, dan ia lalu menepuk dahinya dengan penuh
arti. "Sudah sampai ke otak," ujarnya. "Saya sudah menduganya selama beberapa waktu.
Orang tua yang malang. Itulah sebabnya ia mengundurkan diri dan tinggal di sini.
Mungkin, memang merupakan suatu kelemahan dari keluarganya. Ia mempunyai seorang
kemenakan laki-laki yang sinting."
"Apa benar?" tanyaku dengan heran.
"Ya. Apakah ia tidak pernah menceritakannya pada Anda" Saya kira orangnya sih
cukup jinak dan sebagainya, tetapi ia benar-benar gila, kasihan."
"Siapa yang menceritakannya pada Anda?"
Lagi-lagi Inspektur Raglan menyeringai.
"Kakak perempuan Anda, Nona Sheppard, ia menceritakannya padaku."
Caroline benar-benar mengagumkan. Ia tidak mau berhenti sebelum mengetahui halhal yang paling kecil mengenai rahasia keluarga setiap orang. Sayang sekali aku
belum berhasil meyakinkannya agar menyimpan rahasia-rahasia itu untuk dirinya
sendiri. "Naiklah, Inspektur," undangku, sambil membuka pintu mobil. "Kita akan bersamasama pergi ke The Larches, dan memberitahukan kabar yang terakhir pada teman
kita dari Belgia itu."
"Boleh juga, saya kira. Meskipun ia agak sinting, tetapi petunjuk yang
diberikannya pada saya tentang sidik jari itu sungguh berguna. Poirot kurang
menyenangi pemuda Kent itu. Tetapi siapa tahu - mungkin sesuatu yang berguna
tersembunyi di baliknya."
Poirot menerima kami dengan sikapnya yang ramah seperti biasa.
Ia mendengarkan perkembangan baru yang diceritakan inspektur itu padanya, sambil
mengangguk sekali-kali. "Tampaknya semua beres, bukan?" keluh Inspektur Raglan dengan murung. "Seorang
tidak dapat membunuh orang lain di suatu tempat tertentu, bilamana ia sendiri
sedang minum-minum di sebuah bar di tempat yang jaraknya kurang lebih satu mil
dari tempat pembunuhan itu."
"Apakah Anda akan membebaskannya?"
"Itulah jalan satu-satunya yang harus kita tempuh. Kita tidak dapat menahannya
atas dasar, mendapatkan uang dengan cara yang kurang baik. Kita tidak dapat
membuktikannya." Inspektur Raglan dengan kesal melempar sebatang korek api ke dalam perapian.
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Poirot menangkapnya dan menaruhnya ke dalam sebuah wadah kecil yang khusus
disediakan untuk maksud itu. Gerakannya persis seperti mesin. Aku merasakan
bahwa pikirannya sedang sibuk dengan sesuatu hal yang lain sama sekali.
"Kalau saya jadi Anda," akhirnya ia menyarankan, "saya belum akan membebaskan
pemuda Kent itu sekarang."
"Apa yang Anda maksudkan?"
Raglan menatapnya. "Apa yang saya katakan tadi. Saya, tidak akan membebaskannya sekarang."
"Anda toh tidak berpikir kalau ia tersangkut dalam soal pembunuhan itu, bukan?"
"Saya kira, memang tidak - tetapi kita belum bisa memastikannya sekarang."
"Tetapi bukankah baru saja saya katakan kepada Anda - "
Poirot mengangkat tangannya memprotes.
"Mais oui, mais oui. Saya mendengarnya. Saya tidak tuli, - maupun tolol, syukur
kepada Allah! Tetapi tidakkah Anda menyadari bahwa Anda mendekati persoalan ini
dari arah yang salah?"
Inspektur Raglan menatapnya dengan tajam.
"Saya kurang mengerti maksud Anda. Coba dengarkan, kita tahu Tuan Ackroyd masih
hidup pada pukul sepuluh kurang seperempat. Anda mengakuinya, bukan?"
Poirot memandangnya sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya dengan tersenyum
sekilas. "Saya tidak mengakui sesuatu yang belum - dibuktikan!"
"Kita mempunyai banyak bukti mengenai hal ini. Kita mempunyai pernyataan Nona
Flora." "Bahwa ia mengucapkan selamat malam kepada pamannya" Tetapi saya - saya tidak
selalu percaya apa yang dikatakan seorang wanita muda pada saya - tidak,
meskipun ia cantik menarik."
"Tetapi sudahlah, Tuan. Parker melihatnya keluar dari pintu."
"Tidak." Suara Poirot tiba-tiba menggeledek dengan tajam.
"Itu justru yang tidak dilihatnya. Saya telah memuaskan diri mengenai soal ini
dengan mengadakan satu eksperimen kecil, kemarin - kau ingat, Dokter" Parker
melihatnya di luar pintu, dengan tangan pada pegangan pintu. Ia tidak melihat
Nona Flora keluar dari ruangan Ackroyd."
"Kalau begitu - dari mana dia?"
"Mungkin dari tangga."
"Tangga?" "Itulah ide kecil saya - ya."
"Tetapi tangga itu menuju ke kamar tidur Ackroyd."
"Tepat." Masih saja inspektur itu menatapnya.
"Menurut Anda, ia baru saja dari kamar tidur pamannya" Dan mengapa tidak.
Mengapa ia harus membohong mengenai hal ini?"
"Ah! Itu pertanyaan yang tepat. Semua tergantung pada apa yang dikerjakannya di
sana, bukan?" "Anda maksud - uang itu" Jangan mengatakan yang bukan-bukan. Anda toh tidak mau
mengatakan kalau Nona Ackroyd-lah yang mengambil uang empat puluh pound itu?"
"Saya tidak mengatakan apa-apa," sahut Poirot. "Tetapi saya mau mengingatkan
Anda akan satu hal. Hidup ini tidaklah mudah bagi ibu dan anak. Banyak tagihan selalu ada kerewelan soal uang dalam jumlah-jumlah kecil. Mungkin gadis itu
sangat membutuhkan sejumlah uang. Dan bayangkanlah sendiri apa yang kemudian
terjadi. Ia mengambil uang itu, lalu menuruni tangga kecil itu. Tiba di tengah
tangga, didengarnya bunyi gelas beradu di gang. Ia tahu sekali bunyi itu Parker sedang menuju ke kamar kerja. Dan gadis itu tidak mau Parker melihatnya
menuruni tangga. Parker tidak akan melupakannya. Parker akan berpendapat bahwa
hal ini ganjil sekali. Dan bilamana hilangnya uang diketahui, Parker akan segera
ingat akan gadis yang sedang menuruni tangga itu. Flora masih sempat berlari ke
pintu kamar kerja - tangannya memegang pegangan pintu, untuk memperlihatkan
bahwa ia baru saja keluar tatkala Parker muncul di ambang pintu. Ia mengucapkan
kalimat pertama yang timbul di pikirannya. Yaitu ulangan dari perintah Roger
Ackroyd malam itu. Kemudian ia naik ke kamar tidurnya sendiri."
"Ya, tetapi sesudah itu," inspektur itu mendesak, "ia mestinya menyadari betapa
pentingnya mengatakan hal yang sebenarnya. Oh, sedangkan seluruh perkara ini
tergantung dari kebenaran ucapannya itu!"
"Kemudian," sambung Poirot dengan nada kering, "keadaan menjadi agak sulit bagi
Mademoiselle Flora. Kepadanya diberitahukan dengan sederhana, bahwa polisi ada
di sini karena telah terjadi pencurian. Tentu saja ia langsung menyangka bahwa
hilangnya uang itu telah diketahui. Pikiran satu-satunya adalah mempertahankan
ceritanya. Tatkala ia mendengar kalau pamannya mati terbunuh, ia menjadi panik.
Wanita muda jaman ini, monsieur, tidak mudah pingsan, kecuali bilamana ia kaget
sekali. Eh bien! Begitulah duduknya perkara. Ia akan mempertahankan ceritanya,
atau mengakui segala-galanya. Dan seorang gadis muda dan cantik tidak senang
mengakui bahwa ia seorang pencuri - terutama di hadapan orang-orang yang
penghargaannya terhadap dirinya ingin sekali dipertahankannya."
Raglan memukul meja. "Saya tidak mau mempercayainya," bentaknya. "Tidak masuk akal. Dan Anda - Anda
telah mengetahuinya selama ini?"
"Kemungkinan ini sudah timbul dalam pikiran saya sejak semula," Poirot mengakui,
"saya yakin sekali selama ini, bahwa Mademoiselle Flora menyembunyikan sesuatu
terhadap kita. Dan untuk memuaskan diri, kami lalu mengadakan eksperimen kecil
itu. Dokter Sheppard menemani saya."
"Suatu tes untuk Parker, kaukatakan saat itu," tuduhku dengan nada pahit.
"Mon ami," Poirot menyatakan penyesalannya, "seperti telah kukatakan padamu saat
itu, seorang toh harus mengatakan sesuatu."
Inspektur Raglan bangkit berdiri.
"Hanya satu hal yang dapat kita lakukan," ujarnya. "Kita harus menanyai wanita
muda itu sekarang juga. Maukah Anda ikut dengan saya ke Fernly, Tuan Poirot?"
"Tentu saja. Dokter Sheppard akan mengantarkan kita dengan mobilnya."
Aku menurut dengan senang hati.
Kami diantarkan ke ruang bilyar setelah kami mengutarakan maksud kami untuk
bertemu dengan Nona Ackroyd. Flora dan Mayor Blunt sedang duduk di pinggir
jendela. "Selamat pagi, Nona Ackroyd," sapa Inspektur Raglan. "Bolehkah kami berbicara
dengan Anda sendirian?"
Blunt langsung berdiri dan menuju ke pintu.
"Ada apa?" tanya Flora dengan gelisah. "Jangan pergi, Mayor Blunt. Ia boleh
tetap di sini, bukan?" tanyanya sambil berpaling kepada Inspektur Raglan.
"Terserah kepada Anda," sahut inspektur itu dengan nada kering. "Ada satu dua
pertanyaan yang harus saya ajukan kepada Anda, Nona, tetapi saya cenderung untuk
melakukannya secara tertutup. Dan saya kira Anda pun akan lebih menyenanginya."
Flora memandangnya dengan tajam. Kulihat wajahnya berubah pucat. Kemudian ia
berpaling dan berbicara kepada Blunt.
"Aku ingin kau tetap di sini - jangan pergi - ya aku sungguh-sungguh
menginginkannya. Apa pun yang hendak dikatakan Inspektur Raglan kepadaku, aku
lebih suka kalau kau ikut mendengarkannya."
Raglan mengangkat bahunya.
"Nah, kalau memang itu yang Anda inginkan, saya tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Nona Ackroyd, Tuan Poirot telah menunjukkan kami satu kemungkinan lain. Ia
mengatakan bahwa Anda tidak berada di dalam kamar kerja paman Anda. Jum'at malam
yang lalu. Dan Anda sama sekali tidak menemui Tuan Ackroyd untuk mengucapkan
selamat malam padanya. Sebaliknya, pada saat itu Anda sedang menuruni tangga
yang menuju ke kamar tidur paman Anda. Dan tatkala itu Anda mendengar Parker
mendatangi dari gang."
Pandangan Flora beralih kepada Poirot. Laki-laki kecil itu mengangguk kepadanya.
"Mademoiselle, hari itu, ketika kita sama-sama duduk mengelilingi meja, saya
telah memohon kepada Anda agar berterus terang kepada saya. Apa yang
disembunyikan orang terhadap Papa Poirot, akan diketahuinya juga. Memang betul
demikian, bukan" Baiklah, saya akan menolong Anda. Anda yang mengambil uang itu,
bukan?" "Uang itu?" teriak Blunt dengan tajam.
Ruang itu sepi selama paling sedikit satu menit.
Flora meluruskan tubuhnya dan berkata,
"Tuan Poirot memang benar. Saya yang mengambil uang itu. Saya yang mencurinya.
Saya seorang pencuri - ya, seorang pencuri kecil biasa yang hina. Sekarang Anda
tahu! Saya girang semuanya terbongkar sekarang. Hari-hari terakhir ini merupakan
sebuah mimpi yang buruk!" Dengan tiba-tiba ia duduk dan menyembunyikan wajahnya
di balik kedua belah tangannya. Dengan suara serak ia berbicara melalui celahcelah jari tangannya. "Anda sekalian tidak tahu, bagaimana hidup saya sejak saya
tinggal di sini. Menginginkan sesuatu, menggunakan segala macam tipu muslihat
untuk memperolehnya, berdusta, menipu, menumpuk tagihan, berjanji untuk membayar
- oh! Saya membenci diri sendiri, bila mengingatnya! Itulah yang mempertemukan
kami, Ralph dan saya. Kami kedua-duanya berkepribadian lemah! Saya mengerti
dirinya dan saya mengasihaninya - karena pada dasarnya saya pun sama seperti
dia. Kami tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri, Ralph maupun saya. Kami
manusia yang lemah, hina dan menyedihkan."
Gadis itu memandang Blunt dan sekonyong-konyong menghentakkan kakinya.
"Mengapa kau memandang aku seperti itu - seakan kau tidak mempercayainya"
Mungkin aku seorang pencuri - tetapi meskipun demikian, sekarang aku jujur. Aku
tidak berdusta lagi. Aku tidak berpura-pura bertingkah laku seperti gadis yang
kausukai, muda belia, tidak berdosa dan sederhana. Aku tidak peduli bila kau
tidak mau melihatku lagi. Aku benci, aku muak akan diriku sendiri - tetapi kau
harus percaya akan satu hal. Kalau dengan berterus terang aku dapat membuat
keadaan lebih baik bagi Ralph, aku sudah lama melakukannya. Tetapi aku
menyadari, bahwa hal ini sama sekali tidak akan membuat keadaan bertambah baik
baginya - bahkan keadaan akan menjadi lebih buruk dari semula. Aku tidak
merugikannya dengan mempertahankan kebohonganku."
"Ralph," keluh Blunt. "Aku mengerti - lagi-lagi Ralph."
"Kau tidak mengerti," bantah Flora dengan putus asa. "Kau tidak akan bisa
mengerti." Gadis itu berpaling kepada Inspektur Raglan.
"Saya akui segalanya; saya sedang kebingungan karena membutuhkan uang. Saya
tidak melihat Paman lagi, setelah ia meninggalkan meja makan. Mengenai uang itu,
Anda dapat bertindak semau Anda. Keadaan tidak akan menjadi bertambah buruk
daripada sekarang ini!"
Tiba-tiba ia tidak dapat menguasai dirinya lagi. Sambil menutupi mukanya dengan
kedua belah tangannya, ia lari ke luar ruangan.
"Nah," ujar Inspektur Raglan dengan datar, "demikianlah keadaannya."
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Blunt maju mendekatinya. "Inspektur Raglan," tegurnya dengan tenang, "uang itu diberikan kepada saya oleh
Tuan Ackroyd untuk suatu tujuan tertentu. Nona Ackroyd tidak pernah
menyentuhnya! Pengakuannya tadi tidak benar. Maksudnya adalah untuk melindungi
Kapten Paton. Tetapi kejadian yang sebenarnya adalah seperti yang saya katakan
tadi. Dan saya bersedia menjadi saksi dan disumpah."
Ia membungkuk dengan canggung, lalu segera berbalik dan meninggalkan ruangan.
Poirot secepat kilat mengikutinya dan menyusulnya di gang.
"Monsieur - sebentar, saya mohon, tunggulah sebentar."
"Ada apa, Tuan?"
Blunt tampak tidak sabar sekali. Dengan muka berkerut dipandangnya Poirot.
"Mengenai ini," ujar Poirot dengan cepat, "saya tidak dapat dibohongi dengan
khayalan Anda tadi. Benar-benar tidak. Sebenarnya memang Nona Flora yang
mengambil uang itu. Tetapi meskipun demikian, pikiran Anda baik sekali - dan ini
menyenangkan hati saya. Perbuatan Anda sungguh mulia. Anda seorang laki-laki
yang berpikir dan bertindak cepat."
"Saya sama sekali tidak tertarik akan pendapat Anda. Terima kasih," sahut Blunt
dingin. Sekali lagi ia bergerak seakan-akan mau pergi. Tetapi Poirot yang sama sekali
tidak merasa tersinggung, meletakkan tangannya di atas lengan Blunt dan
menahannya. "Ah! Tetapi Anda harus mendengarkan saya. Masih ada yang harus saya katakan.
Beberapa hari yang lalu saya berbicara tentang menyembunyikan sesuatu. Baik,
selama ini saya sudah tahu apa yang Anda sembunyikan. Anda amat mencintai
Mademoiselle Flora. Sejak pertama kali Anda melihatnya, bukankah begitu" Oh!
janganlah kita malu mengatakan hal ini - mengapa orang Inggris menganggap perlu
mengutarakan cintanya secara sembunyi seakan-akan hal ini adalah suatu rahasia
yang memalukan" Anda mencintai Mademoiselle Flora. Anda berusaha menyembunyikan
fakta ini terhadap dunia luar. Ini baik sekali - begitulah seharusnya. Tetapi
turutilah nasihat Hercule Poirot - jangan sembunyikan cinta Anda terhadap
mademoiselle sendiri."
Blunt menunjukkan sikap yang kurang sabar selama Poirot berbicara. Tetapi katakata terakhir menarik perhatiannya.
"Apa maksud Anda dengan ucapan itu?" tuntutnya tajam.
"Anda menyangka bahwa ia mencintai Capitaine Ralph Paton - tetapi saya, Hercule
Poirot berkata pada Anda, hal itu tidak benar. Mademoiselle Flora menerima
Kapten Paton untuk menyenangkan hati pamannya. Dan juga karena dengan perkawinan
ini ia melihat cara untuk lolos dari kehidupannya di sini, yang terus terang
saja, makin lama makin tidak tertahankan baginya. Ia menyukai Paton. Di antara
mereka terdapat rasa simpati dan saling pengertian. Tetapi cinta - tidak! Bukan
Kapten Paton yang dicintai Mademoiselle Flora."
"Sialan, apa maksud Anda?" tanya Blunt.
Kulihat wajahnya yang terbakar matahari bertambah merah.
"Selama ini Anda buta, monsieur. Buta! Gadis itu seorang yang setia. Ralph Paton
sedang berada dalam kesusahan. Dan dia merasa berkewajiban untuk terus membela
Ralph." Aku merasa, sudah tiba saatnya aku membantu Poirot meyakinkan Blunt.
"Kakak perempuanku tadi malam mengatakan pada saya," aku membesarkan hatinya,
"bahwa Flora sama sekali tidak, dan tidak akan pernah mencintai Ralph Paton. Dan
kakakku selalu benar mengenai soal-soal seperti ini."
Blunt mengabaikan jasa baikku. Ia berbicara kepada Poirot.
"Apakah Anda benar-benar mengira - ?" mulainya lalu berhenti.
Blunt adalah laki-laki yang susah sekali menyatakan perasaannya.
Poirot, sama sekali tidak mempunyai ketidakmampuan tersebut.
"Jika Anda meragukan ucapan saya, tanyakanlah sendiri padanya, monsieur. Tetapi
mungkin Anda tidak mempedulikannya lagi - karena soal uang itu - "
Blunt tertawa kesal. "Anda kira saya akan menyalahkannya" Roger selalu bersikap aneh tentang uang.
Gadis itu berada dalam kesulitan dan tidak berani menceritakannya pada pamannya.
Gadis malang. Gadis yang malang dan kesepian."
Poirot melihat ke pintu samping dengan sikap yang bijaksana.
"Kalau saya tidak salah, Mademoiselle Flora pergi ke halaman," gumamnya.
"Saya seorang yang tolol sekali," ujar Blunt tiba-tiba. "Yang kami bicarakan
hanyalah yang bukan-bukan. Persis seperti salah satu sandiwara Denmark itu.
Tetapi Anda seorang yang baik, Tuan Poirot. Terima kasih."
Diraihnya tangan Poirot dan dijabatnya dengan keras, sehingga Poirot
menggerenyit kesakitan. Kemudian Blunt melangkah ke pintu samping dan menuju ke
halaman. "Ia bukan seorang yang tolol," gumam Poirot sambil mengurut tangannya dengan
perlahan. "Ia hanya seorang yang menjadi tolol karena cinta."
Bab 20 NONA RUSSELL INSPEKTUR Raglan telah menerima suatu pukulan yang hebat. Ia seperti juga kami,
sama sekali tidak dapat dibohongi dengan dusta Mayor Blunt yang berani.
Sepanjang perjalanan pulang ke desa, ia tidak henti-hentinya mengeluh.
"Pengakuan Blunt ini mengubah segala-galanya. Saya tidak tahu apakah Anda
menyadarinya, Monsieur Poirot?"
"Saya kira demikian, ya, saya kira begitu," jawab Poirot. "Karena saya telah
lama mengetahui keadaan ini."
Tetapi Inspektur Raglan yang baru saja setengah jam yang lalu mendengarnya,
memandang Poirot dengan jengkel dan meneruskan membicarakan penemuanpenemuannya. "Dan bagaimana dengan alibi-alibi itu sekarang. Tidak berguna sama sekali! Harus
dimulai lagi dari permulaan. Harus dicari tahu lagi, apa yang dikerjakan setiap
orang mulai dari pukul setengah sepuluh ke atas. Pukul sembilan tiga puluh
itulah waktu yang harus kita perhatikan. Nasihat Anda mengenai Kent benar
sekali. Untuk sementara janganlah kita membebaskannya. Coba kita periksa lagi pukul sembilan lebih empat puluh lima menit, ia berada di Dog and Whistle. Kalau
ia berlari, ia dapat tiba di sana dalam waktu seperempat jam. Jadi mungkin
sekali yang didengar oleh Raymond adalah suara Kent yang sedang berbicara kepada
Tuan Ackroyd - menuntut uang, yang mana oleh Tuan Ackroyd ditolaknya. Tetapi
satu hal sudah jelas - bukan ia yang melakukan panggilan telepon itu. Stasiun
terletak setengah mil di jurusan lain - dan jaraknya dari Dog and Whistle lebih
dari satu setengah mil. Dan Kent berada di Dog and Whistle sampai kurang lebih
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukul sepuluh lewat sepuluh menit. Sialan, panggilan telepon itu! Kita selalu
bertabrakan dengan hal ini."
"Memang benar," Poirot mengakui. "Aneh sekali."
"Mungkin sekali ketika Kapten Paton memanjat masuk ke dalam kamar pamannya, ia
menemukannya dalam keadaan terbunuh. Mungkin sekali dialah yang menelepon. Ia
menjadi takut. Disangkanya ia akan dituduh. Lalu ia melarikan diri. Ini mungkin
sekali, bukan?" "Mengapa ia harus menelepon?"
"Barangkali ia tidak yakin benar kalau pamannya telah meninggal. Ia berpikir,
sebaiknya Dokter disuruh datang ke sana secepat mungkin. Tetapi ia tidak mau
memperlihatkan diri. Benar, begitulah duduknya perkara menurut saya. Bagaimana
pendapat Anda tentang teori saya ini" Cukup meyakinkan menurut pendapat saya."
Inspektur Raglan dengan congkak membusungkan dadanya. Tampaknya ia demikian
bangga akan dirinya sendiri, sehingga tidak ada gunanya bagi kami untuk
mengatakan sepatah kata pun.
Kami tiba kembali di rumahku pada saat itu. Aku bergegas masuk, menemui pasienpasienku yang sudah menunggu cukup lama. Kubiarkan Poirot berjalan ke kantor
polisi bersama Inspektur Raglan.
Setelah menyuruh pasien terakhir pulang, aku menuju ke sebuah ruangan di bagian
belakang rumah, yang kusebut bengkelku - aku sungguh bangga dengan radio
buatanku sendiri. Caroline membenci bengkelku. Aku menyimpan alat-alatku di
sana. Dan Annie dilarang masuk untuk menyapu dan mengepel. Aku baru saja
membetulkan bagian dalam weker, yang oleh seisi rumah sudah dicap sebagai tidak
becus, tatkala pintu dibuka dan kepala Caroline muncul dari balik pintu.
"Oh! Di situkah kau, James," tegurnya dengan sangat tidak senang. "Tuan Poirot
ingin bertemu denganmu."
"Oh," keluhku dengan kesal. Munculnya Caroline yang tiba-tiba itu telah
mengejutkanku, sehingga sepotong kecil perkakas mesin terlepas dari peganganku.
"Kalau ia ingin bertemu denganku ia boleh masuk ke sini."
"Di sini?" tanya Caroline.
"Itu yang kukatakan - di sini."
Caroline mendengus tidak senang dan mengundurkan diri. Beberapa saat kemudian ia
datang mengantarkan Poirot masuk ke bengkelku. Segera ia keluar lagi dan
membanting pintu di belakangnya.
"Aha! Kawan," tegur Poirot, sambil mendekat dan menggosok-gosok tangannya.
"Kaulihat, tidak mudah menyuruhku pergi!"
"Sudah selesai dengan inspektur itu?" tanyaku.
"Sudah, untuk sementara. Dan kau, apakah kau sudah selesai memeriksa pasienpasienmu?" "Sudah." Poirot duduk dan mengawasiku. Kepalanya yang berbentuk telur agak dimiringkan.
Sikapnya seperti orang yang sedang menonton sebuah lelucon yang lucu sekali.
"Kau keliru," ujarnya akhirnya. "Masih ada satu pasien lagi yang harus
kauperiksa." "Tidak kau sendiri, bukan?" seruku dengan heran.
"Ah, bukan aku, bien entendu. Aku, kesehatanku baik sekali. Tidak, sesungguhnya
hal ini merupakan suatu complot dari pihakku. Ada seorang yang ingin kujumpai,
Anda mengerti - tetapi seluruh kampung tidak perlu mengetahuinya - dan ini akan
terjadi jika wanita itu kelihatan datang ke rumahku - karena orang itu adalah
seorang wanita. Tetapi kepadamu ia pernah datang sebagai seorang pasien."
"Nona Russell!" seruku.
"Precisement. Aku ingin sekali berbicara padanya. Maka kukirimi ia surat dan
membuat perjanjian untuk bertemu di ruang praktekmu. Kau tidak marah kepadaku,
bukan?" "Sebaliknya," tukasku. "Tentu saja, kalau aku diijinkan hadir waktu pembicaraan
itu berlangsung?" "Sudah tentu! Apalagi di ruang praktekmu sendiri!"
"Kau tahu," ujarku sambil melemparkan kembali sepit yang kupegang, "seluruh
kejadian ini luar biasa menariknya. Tiap perkembangan baru seakan-akan merupakan
guncangan pada sebuah kaleidoskop - keseluruhannya berubah sama sekali. Dan
mengapa kau begitu ingin bertemu dengan Nona Russell?"
Poirot mengangkat kedua alisnya.
"Sudah jelas sekali bukan?" gumamnya.
"Nah, mulai lagi," gerutuku. "Dalam pandanganmu, segala sesuatu itu jelas.
Tetapi kau membiarkanku berjalan di dalam kabut."
Poirot menggelengkan kepalanya dengan ramah kepadaku.
"Kau menertawakanku. Ambil saja persoalan Mademoiselle Flora. Si inspektur heran
sekali - tetapi kau - kau sama sekali tidak heran."
"Tetapi aku tidak pernah menduga kalau dia pencurinya," bantahku.
"Hal itu - barangkali tidak. Tetapi aku memperhatikan wajahmu. Dan kau tidak seperti Inspektur Raglan - terkejut dan tidak percaya."
Aku berpikir satu dua menit.
"Mungkin kau benar," sahutku akhirnya. "Sudah lama aku merasakan bahwa Flora
menyembunyikan sesuatu. Maka kebenarannya tatkala kejadian itu terbongkar,
secara tidak sadar sudah kuduga. Kejadian ini amat mengejutkan Inspektur Raglan,
kasihan." "Ah! Pour ?a, oui! Laki-laki yang malang itu harus mengatur kembali seluruh
teorinya. Aku menarik keuntungan dari keadaan jiwanya yang sedang bingung.
Kubujuknya supaya memberikan aku ijin untuk melakukan sesuatu."
"Yaitu?" Poirot mengeluarkan sehelai kertas yang bertuliskan beberapa kata, dari sakunya,
lalu membacakannya dengan jelas.
"Selama beberapa hari polisi telah mencari Kapten Ralph Paton, keponakan Tuan
Ackroyd dari Fernly Park, yang meninggal dengan tragis pada Jum'at yang lalu.
Kapten Paton ditemukan di Liverpool, ketika ia bersiap-siap hendak berangkat ke
Amerika." Poirot melipat kembali kertas itu.
"Kabar ini, Kawanku, akan dimuat di koran besok pagi."
Aku menatapnya dengan bingung.
"Tetapi - itu tidak benar! Ia tidak di Liverpool!"
Poirot tersenyum kepadaku.
"Kau pintar sekali. Kau berpikir dengan cepat! Tidak, ia tidak ditemukan di
Liverpool. Inspektur Raglan sangat tidak senang untuk membiarkanku mengirim
tulisan ini ke koran. Terutama sekali karena aku tidak dapat memberitahukan
alasanku. Tetapi aku meyakinkannya, bahwa hasilnya akan sangat menarik hati.
Maka ia lalu memberi ijinnya, setelah menegaskan kalau ia sama sekali tidak mau
menanggung akibatnya."
Kutatap Poirot dengan mata membelalak. Poirot balas memandangku dengan
tersenyum. "Aku tidak mengerti," ujarku akhirnya, "apa yang kauharapkan dari berita itu."
"Seharusnya kau menyuruh sel-selmu yang kecil kelabu itu bekerja," jawab Poirot
dengan serius. Ia berdiri dan mendekati meja.
"Rupanya kau sangat menggemari segala sesuatu yang berhubungan dengan mesin,"
ujarnya setelah memperhatikan hasil kerjaku.
Setiap orang mempunyai hobinya masing-masing. Aku segera menarik perhatian
Poirot kepada radio bikinanku sendiri. Melihat perhatiannya tertarik, aku lalu
memperlihatkan padanya beberapa hasil buatanku sendiri - barang-barang kecil
tetapi berguna dalam rumah tangga.
"Seharusnya," ujar Poirot, "kau menjadi seorang pembuat penemuan-penemuan baru
seperti ini. Dan bukan seorang dokter. Tetapi saya dengar bel berbunyi - nah,
pasienmu sudah datang. Mari kita pergi ke kamar praktek."
Pernah sebelumnya aku terpesona oleh sisa-sisa kecantikan wajah si pengatur
rumah tangga. Pagi ini kejadian itu terulang lagi. Perawakannya yang tinggi dan
tegak, mengenakan pakaian hitam yang sederhana. Melihat sikapnya yang berdikari,
matanya yang besar dan berwarna gelap dan pipinya yang merah, yang biasanya
pucat, aku menyadari bahwa sebagai gadis remaja ia cantik luar biasa.
"Selamat pagi, mademoiselle," tegur Poirot. "Silakan duduk. Dokter Sheppard
telah berbaik hati mengijinkan saya menggunakan kamar prakteknya. Saya ingin
sekali bercakap-cakap dengan Anda."
Nona Russell duduk dengan tenang seperti biasa. Bila dalam hatinya ia merasa
kesal, maka kejengkelannya itu tidak tampak dari luar.
"Mudah-mudahan Anda tidak tersinggung. Tetapi saya rasa, tindakan Anda ini agak
ganjil," sindirnya. "Nona Russell - saya ada kabar untuk Anda."
"Benarkah?" "Charles Kent telah ditahan di Liverpool."
Tak ada sebuah otot pun di wajahnya bergerak. Ia hanya membuka matanya lebih
lebar sedikit dan bertanya dengan agak menantang,
"Lalu, ada apa?"
Pada saat itu, sekonyong-konyong aku ingat - persamaan yang telah membuatku
berpikir selama ini. Sikap Charles Kent yang menantang, yang menyerupai sikap
Nona Russell. Suara kedua orang ini, yang satu kasar sedangkan yang satu lagi,
halus seperti suara seorang wanita dari keluarga baik-baik - nadanya sama benar.
Rupanya malam itu, di luar pagar Fernly Park, aku teringat akan Nona Russell.
Kupandang Poirot dengan pandangan penuh arti, yang dibalasnya dengan anggukan
yang hampir tidak kentara.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Nona Russell, ia mengangkat kedua tangannya
dengan sikap seorang Perancis tulen.
"Saya kira, Anda akan tertarik," jawabnya lembut.
"Tetapi, saya tidak tertarik," sangkal Nona Russell. "Siapakah Charles Kent ini
sebenarnya?" "Ia, laki-laki yang berada di Fernly pada malam pembunuhan itu, Mademoiselle."
"Begitukah?" "Untung saja ia mempunyai alibi. Pada pukul sepuluh kurang seperempat ia ada di
sebuah tempat minum, yang jaraknya satu mil dari sini."
"Untung baginya," komentar Nona Russell.
"Tetapi kami masih tetap belum tahu, apa yang dilakukannya di Fernly - siapa
yang ditemuinya, misalnya."
"Sayang, saya tidak dapat membantu Anda sama sekali," ujar Nona Russell dengan
sopan. "Saya tidak mendengar apa pun. Kalau hanya soal ini yang hendak Anda
bicarakan - " Ia bergerak, seakan mau berdiri. Poirot menahannya.
"Bukan hanya soal itu saja," jawabnya halus. "Pagi ini terjadi perkembangan
baru. Ternyata Tuan Ackroyd tidak dibunuh pada pukul sepuluh kurang seperempat,
tetapi sebelumnya. Antara pukul sembilan kurang sepuluh, yaitu ketika Dokter
Sheppard pulang, dan pukul sepuluh kurang seperempat."
Kulihat wajah Nona Russell menjadi pucat seperti mayat. Tubuhnya goyah ke muka.
"Tetapi Nona Ackroyd mengatakan - Nona Ackroyd berkata - "
"Nona Ackroyd mengakui bahwa ia berdusta. Ia sama sekali tidak berada di kamar
kerja pamannya malam itu."
"Lalu - ?" "Lalu, kalau begitu, rupanya Charles Kent-lah orang yang kita cari. Ia datang ke
Fernly, dan tidak dapat mengatakan apa yang dikerjakannya di sana - "
"Saya dapat mengatakannya. Ia sama sekali tidak menyentuh Tuan Ackroyd seujung
rambut pun. Ia sama sekali tidak pergi ke sekitar kamar kerja. Bukan dia yang
melakukannya." Nona Russell membungkuk ke depan. Akhirnya penguasaan dirinya yang keras seperti
baja, runtuh juga. Ketakutan dan keputusasaan membayang pada wajahnya.
"Tuan Poirot! Tuan Poirot! Oh, percayalah pada saya."
Poirot berdiri dan mendekatinya, lalu menenangkannya dengan menepuk-nepuk
bahunya. "Tentu - tentu, saya mau percaya. Saya terpaksa membuat Anda berbicara."
Sesaat timbul rasa curiga dalam diri Nona Russell.
"Benarkah apa yang Anda katakan tadi?"
"Bahwa Charles Kent dicurigai menjadi pelaku pembunuhan itu" Ya, kabar itu
benar. Hanya Anda saja yang dapat menolongnya, dengan cara memberitahukan
alasannya datang ke Fernly."
"Ia datang menjumpaiku." Wanita itu berbicara dengan cepat dan dengan nada suara
rendah. "Saya keluar menjumpainya - "
"Di pondok kecil. Ya, saya tahu."
"Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Nona, sudah menjadi kewajiban Hercule Poirot untuk mencari keterangan. Saya
tahu Anda pergi sore itu, dan meninggalkan pesan di pondok kecil, untuk
memberitahukan pukul berapa Anda akan menemuinya di sana."
"Benar. Saya menerima kabar dari Charles Kent - yang memberitahukan bahwa ia
akan datang. Saya tidak berani menyuruhnya datang ke rumah. Saya menulis surat
ke alamat yang diberikannya dan berjanji akan menemuinya di pondok kecil. Saya
terangkan juga padanya, letak pondok kecil itu, supaya ia mudah menemukannya.
Kemudian saya takut kalau-kalau ia tidak mau menunggu di sana dengan sabar: Saya
lari ke luar dan meninggalkan pesan di pondok kecil, bahwa saya akan datang ke
sana pada sekitar pukul sembilan lewat sepuluh menit. Saya tidak ingin para
pembantu melihat saya. Maka saya keluar melalui jendela ruang tamu. Pulang dari
sana saya berjumpa dengan Dokter Sheppard, yang saya rasa menganggap kejadian
ini agak ganjil. Saya kehabisan napas karena telah berlari sepanjang jalan. Saya
sama sekali tidak menduga kalau Dokter Sheppard diundang makan pada malam itu."
Nona Russell berhenti berbicara.
"Teruskan," perintah Poirot. "Anda keluar menemuinya pada pukul sembilan lewat
sepuluh menit. Apa saja yang kalian bicarakan?"
"Sulit mengatakannya. Anda tahu - - "
"Mademoiselle," sela Poirot, "saya harus mendapatkan seluruh kebenaran dalam
soal ini. Apa yang Anda ceritakan kepada kami, tidak akan diketahui oleh orang
lain. Dokter Sheppard akan menyimpan rahasia ini, demikian pula saya. Lihat,
saya ingin menolong Anda. Charles Kent ini putera Anda, bukan?"
Nona Russell mengangguk, dan pipinya memerah.
"Tidak seorang pun mengetahuinya. Kejadian ini sudah lama sekali - lama sekali di Kent. Saya tidak menikah..."
"Lalu Anda memakai nama kota itu sebagai nama keluarganya" Saya dapat mengerti."
"Saya mendapat pekerjaan, dan saya dapat membayar uang kostnya. Tetapi saya
tidak pernah mengatakan padanya, kalau saya adalah ibunya. Kemudian tingkah
lakunya menjadi buruk. Ia mulai minum minuman keras, dan juga mengisap ganja.
Saya berhasil mengongkosinya ke Kanada. Saya tidak mendengar kabar apa pun
darinya selama satu dua tahun. Lalu entah bagaimana, ia mengetahui kalau saya
adalah ibunya. Ia menulis surat, untuk minta uang. Dan akhirnya ia mengirim
kabar, bahwa ia sudah kembali ke sini. Ia akan mengunjungi saya di Fernly,
katanya. Tetapi saya tidak berani menyuruhnya datang ke rumah. Semua orang
menganggap saya sangat - sangat terhormat. Kalau ada yang tahu tentang hal ini,
maka karier saya sebagai pengatur rumah tangga akan hancur. Jadi saya menulis
surat kepadanya, seperti yang telah saya katakan tadi pada Anda."
"Dan pagi harinya Anda datang memeriksakan diri pada Dokter Sheppard?"
"Ya. Saya berpikir-pikir, adakah sesuatu yang dapat saya lakukan. Ia bukan
seorang pemuda yang jahat - sebelum ia mulai berganja."
"Saya mengerti," sahut Poirot. "Sekarang, marilah kita lanjutkan cerita ini.
Jadi, malam itu ia datang ke pondok kecil?"
"Ya, ia sudah menunggu di sana ketika saya tiba. Tingkah lakunya kasar dan
kurang ajar. Saya telah membawa semua uang yang saya miliki. Saya berikan uang
itu padanya. Kami bercakap-cakap sebentar. Lalu ia pergi."
"Pukul berapakah saat itu?"
"Kira-kira pukul sembilan lewat dua puluh atau dua puluh lima menit. Jam belum
lagi menunjukkan setengah sepuluh, ketika saya tiba kembali di rumah."
"Jalan mana yang diambilnya?"
"Jalan yang langsung menuju ke luar. Sama seperti ketika ia datang. Melalui
jalan setapak yang berhubungan dengan jalan mobil, tepat di sebelah dalam pagar
rumah jaga." Poirot mengangguk. "Dan Anda, apa yang Anda lakukan kemudian?"
"Saya kembali ke rumah. Mayor Blunt mondar-mandir di teras sambil merokok. Jadi
saya mengambil jalan memutar ke pintu samping. Pada saat itu waktu menunjukkan
tepat pukul sembilan lewat tiga puluh menit, seperti sudah saya katakan pada
Anda." Poirot mengangguk lagi. Ia membuat satu dua catatan dalam buku saku mininya.
"Saya kira, sudah cukup," ujarnya sambil merenung.
"Haruskah saya - ?" tanya Nona Russell bimbang. "Haruskah saya menceritakan semua
ini kepada Inspektur Raglan?"
"Mungkin juga. Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa. Biarlah kita bergerak
dengan perlahan, dengan cara yang metodis dan sistematis. Secara resmi, Charles
Kent belum dituduh membunuh. Perkembangan baru mungkin akan membuat cerita Anda
ini, tidak dibutuhkan lagi."
Nona Russell berdiri.
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih banyak, Tuan Poirot," ujarnya. "Anda baik sekali - sungguh baik
sekali. Anda - Anda percaya kepada saya, bukan" Bahwa Charles sama sekali tidak
ada sangkut-pautnya dengan pembunuhan ini!"
"Tampaknya tidak dapat diragukan lagi. bahwa orang yang berbicara dengan Tuan
Ackroyd di ruang perpustakaan, pada pukul setengah sepuluh, tidaklah mungkin
putera Anda. Jangan takut, mademoiselle. Skalanya akan menjadi beres."
Nona Russell pulang meninggalkan Poirot dan aku berdua.
"Nah, begitulah," keluhku. "Setiap kali kita kembali lagi kepada Ralph Paton.
Bagaimana kau tahu kalau Nona Russell-lah yang ditemui Charles Kent" Apakah kau
memperhatikan persamaan antara mereka?"
"Segera setelah kita menemukan pena bulu angsa itu, aku langsung
menghubungkannya dengan seorang laki-laki yang tak dikenali. Jauh sebelum kita
betul-betul berhadapan dengan laki-laki itu. Pena itu menunjuk kepada narkotik.
Dan aku ingat ceritamu tentang kunjungan Nona Russell kepadamu. Kemudian
kutemukan artikel di koran pagi tentang cocaine. Semua tampaknya jelas sekali.
Pagi itu, Nona Russell mendengar sesuatu dari seseorang - seorang morfinis. Nona
Russell mendatangimu, setelah ia membaca artikel dalam koran pagi itu. Dengan
hati-hati ia mengajukan beberapa pertanyaan. Ia menyebut cocaine, karena artikel
itu membahas soal cocaine. Lalu ketika tampaknya kau mulai curiga, ia langsung
beralih ke cerita-cerita detektif dan soal racun-racun yang sukar ditemukan. Aku
sebenarnya menduga bahwa orang itu adalah seorang kakak laki-laki atau anggota
keluarga yang kurang disenangi. Ah! Aku harus pergi. Sudah waktunya makan
siang." "Tinggallah dan makanlah bersama kami," saranku.
Poirot menggelengkan kepalanya. Matanya bersinar.
"Tidak hari ini. Aku tidak mau memaksa Nona Caroline, untuk makan sayuran selama
dua hari berturut-turut."
Aku menyadari bahwa tidak banyak yang lolos dari perhatian Poirot.
Bab 21 ARTIKEL DI DALAM KORAN TENTU saja Caroline tidak lengah. Ia telah melihat Nona Russell datang ke kamar
praktek. Aku sudah menduganya. Sudah kukarang cerita panjang lebar tentang
keadaan lutut wanita itu yang memburuk. Tetapi, tidak. Caroline tidak berhasrat
untuk melakukan tanya jawab. Pendapatnya adalah, ia tahu maksud kedatangan Nona
Russell, sedangkan aku tidak.
"Ia berusaha mengorek keterangan darimu, James," ujarnya. "Dan aku yakin ia
melakukannya dengan cara yang tidak tahu malu. Tidak perlu kau memotong
ucapanku. Bahkan aku kira, kau sama sekali tidak menyadari hal ini. Lelaki semua
berpikiran terlalu sederhana. Nona Russell tahu bahwa kau dipercaya oleh Tuan
Poirot. Dan ia membutuhkan keterangan mengenai beberapa soal. Tahukah apa yang
kupikir, James?" "Aku tidak akan sanggup membayangkannya. Kau selalu memikirkan demikian
banyaknya hal yang aneh-aneh."
"Tidak perlu kau menyindir. Aku rasa, Nona Russell mengetahui lebih banyak
tentang kematian Ackroyd, daripada yang mau diakuinya."
Dengan rasa menang, Caroline bersandar ke belakang di kursinya.
"Benarkah kau menduga begitu?" tanyaku acuh tak acuh.
"Kau sungguh menjemukan hari ini, James. Kau tidak bergairah sama sekali. Pasti
penyakit levermu kumat lagi."
Percakapan kami beralih ke soal-soal pribadi.
Artikel yang dibuat Poirot, keesokan paginya muncul di koran kami. Aku tidak
mengerti maksud Poirot memuat artikel ini di dalam koran. Tetapi akibatnya bagi
Caroline sungguh luar biasa.
Ia menyatakan, bahwa ia sudah mengatakan sebelumnya apa yang dikatakan oleh
artikel itu. Dan hal ini sama sekali tidak benar. Aku mengangkat alisku, tetapi
aku tidak membantahnya. Tetapi Caroline yang rupanya menyadari ketidakbenaran
ucapannya itu segera melanjutkan,
"Barangkali aku tidak menyebut Liverpool, tetapi aku tahu ia akan berusaha
melarikan diri ke Liverpool. Ini juga dilakukan oleh Crippen."
"Tanpa sukses," aku mengingatkannya.
"Laki-laki yang malang. Jadi mereka telah menangkapnya. Kukira, James, kita
berkewajiban untuk mengusahakan supaya ia tidak digantung."
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan?"
"Kau seorang dokter, bukan" Kau kenal dia sejak kecil. Mentalnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sudah jelas bahwa hal inilah yang harus kauperjuangkan.
Baru kemarin aku membaca sebuah artikel mengenai orang-orang demikian itu.
Mereka berbahagia sekali di Broadmoor - keadaannya seperti di sebuah perkumpulan
untuk tingkat tinggi."
Ucapan Caroline mengingatkan aku akan sesuatu.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau Poirot mempunyai seorang kemenakan yang gila,"
ujarku dengan rasa ingin tahu.
"Oh ya" Ia menceritakannya kepadaku. Anak yang malang, tentu suatu keadaan yang
Tengkorak Berbisa 2 Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak Malaikat Jubah Keramat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama