Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 25
meninggal di akhir tahun sebelumnya, persoalannya mungkin akan jauh lebih sederhana.
Namun telah diputuskan bahwa karena Munenori tidak dapat meninggalkan Edo sebelum bulan
keempat, maka kematian itu mesti dirahasiakan sampai upacara pemakaman diselenggarakan.
Salah seorang dari sejumlah kecil orang luar benteng yang mengetahui keadaan itu kini
duduk dalam kamar tamu, dan mendesak minta bertemu dengan Hyogo.
Orang itu adalah Inshun, kepala biara Hozoin yang sudah cukup tua.
Selama In'ei pikun dan kemudian meninggal, ia berhasil mempertahankan nama baik kuil
itu sebagai pusat seni bela diri. Banyak orang bahkan yakin ia telah meningkatkannya.
Ia melakukan segalanya yang mungkin untuk mempertahankan hubungan erat antara kuil dan
Koyagyu yang sudah ada semenjak zaman In'ei dan Sekishusai. Kini ia ingin bertemu
dengan Hyogo, karena ingin berbicara tentang seni bela diri. Sukekuro tahu apa yang
sebetulnya dikehendaki Inshun. Ia ingin bertarung dengan orang yang oleh kakeknya
sendiri dianggap sebagai pemain pedang yang lebih baik daripada dirinya sendiri maupun
Munenori. Hyogo tentu saja tidak mau melayani pertandingan macam itu, karena menurutnya
takkan menguntungkan siapa pun, dan karena itu tak ada artinya.
Sukekuro meyakinkan Inshun bahwa pesan telah disampaikan. "Saya yakin Hyogo akan datang
menyambut Anda, kalau dia merasa sehat."
"Jadi, menurut Anda dia masih masuk angin?"
"Ya, rupanya dia belum juga sembuh."
"Oh, saya tidak tahu bahwa kesehatannya begitu rapuh."
"Ah, tidak benar juga kalau dikatakan demikian. Beberapa waktu lamanya dia tinggal di
Edo, dan sampai sekarang belum dapat membiasakan diri dengan musim dingin di gunung."
Ketika kedua orang itu masih mengobrol, seorang pemuda pembantu memanggil-manggil nama
Otsu di halaman lingkaran dalam. Sebuah shoji terbuka, dan Otsu keluar dari salah
sebuah rumah, diiringi alunan asap setanggi. Ia masih berkabung lebih dari seratus hari
sejak meninggalnya Sekishusai, dan wajahnya tampak seputih kembang pit.
"Di mana Kakak tadi" Saya cari di mana-mana," tanya anak lelaki itu.
"Di kuil Budha."
"Hyogo menanyakan Kakak."
Ketika Otsu masuk ruangan Hyogo, ia berkata, "Ah, Otsu, terima kasih kau sudi datang.
Aku ingin kau menjumpai seorang tamu atas namaku."
"Tentu." "Sudah lama dia datang. Sukekuro yang sekarang mengawaninya, tapi kurasa Sukekuro sudah
capek sekarang, mendengarkan dia terus bicara tentang Seni Perang."
"Kepala biara Hozoin?"
"Ya." Otsu tersenyum tipis, membungkuk, dan meninggalkan ruangan.
Tidak begitu halus cara Inshun mencoba mengetahui pendapat Sukekuro mengenai masa lalu
dan watak Hyogo. "Saya dengar, ketika Kato Kiyomasa menawarkan kedudukan kepadanya, Sekishusai menolak,
kecuali kalau Kiyomasa menyetujui satu syarat khusus."
"Apa betul" Saya tak ingat, apa pernah mendengar hal seperti itu."
"Menurut In'ei, Sekishusai mengatakan pada Kiyomasa bahwa Hyogo itu sangat gampang naik
darah, maka Yang Dipertuan mesti berjanji, kalau Hyogo melakukan pelanggaranpelanggaran besar, beliau akan mengampuni tiga pelanggaran pertama. Sekishusai tidak
pernah dikenal sebagai orang yang mau memaafkan sifat tak sabar. Tentunya beliau punya
perasaan khusus terhadap Hyogo."
Cerita itu begitu mengejutkan Sukekuro, hingga ia masih juga mencari-cari jawaban
ketika Otsu masuk. Otsu tersenyum pada kepala biara itu, dan katanya, "Senang sekali
bertemu lagi dengan Bapak. Sayang sekali, Hyogo begitu sibuk menyiapkan laporan yang
harus segera dikirim ke Edo. Tapi dia minta saya menyampaikan permintaan maafnya,
karena tak dapat menemui Bapak kali ini." Kemudian Otsu menyibukkan diri menyajikan teh
dan kue-kue untuk Inshun dan kedua pendeta muda pembantunya.
Kepala biara tampak kecewa, sekalipun dengan sopan ia mengabaikan perbedaan antara
alasan Sukekuro dengan alasan Otsu. "Sayang sekali. Saya sebetulnya punya kabar penting
untuknya." "Dengan senang hati akan saya sampaikan kabar itu," kata Sukekuro, "dan Anda boleh
yakin bahwa hanya Hyogo yang akan mendengarnya."
"Oh, saya yakin tentang hal itu," kata pendeta tua itu. "Hanya saja saya ingin
mengingatkan Hyogo sendiri."
Kemudian Inshun mengulangi gunjingan yang telah didengarnya, tentang seorang samurai
dari Benteng Ueno di Provinsi Iga. Garis batas antara Koyagyu dan benteng itu berupa
daerah yang jarang penduduknya, sekitar tiga kilometer ke timur. Semenjak Ieyasu
menyitanya dari daimyo Kristen, Tsutsui Sadatsugu, dan menyerahkannya kepada Todo
Takatora, banyak perubahan telah terjadi. Semenjak Takatora menetap setahun sebelumnya,
ia telah memperbaiki benteng, meninjau kembali sistem pajak, memperbaiki irigasi, dan
mengambil langkah-langkah lain untuk mengokohkan investasinya. Semua itu sudah menjadi
rahasia umum. Tapi, menurut pendengaran Inshun, Takatora saat ini sedang mencoba
meluaskan wilayah tanahnya dengan mendesak garis perbatasan.
Menurut laporan, Takatora mengirimkan sejumlah samurai ke Tsukigase, dan di sana mereka
membangun rumah-rumah, menebangi pohon prem, mencegat orang-orang jalan, dan terangterangan melanggar hak milik Yang Dipertuan Yagyu.
"Kemungkinan," kata Inshun, "Yang Dipertuan Takatora sedang mengambil keuntungan dari
masa perkabungan Anda. Anda boleh saja menilai saya terlalu pencemas, tapi kelihatannya
dia punya rencana menggeser perbatasan ke arah sini, dan membuat pagar baru. Kalau
memang benar demikian, akan jauh lebih mudah menangani hal-hal ini sekarang, daripada
sesudah dia selesai melakukannya nanti. Saya kuatir kalau Anda hanya santai saja dan
tidak melakukan sesuatu, nanti Anda menyesal."
Sebagai salah seorang abdi senior, Sukekuro mengucapkan terima kasih pada Inshun atas
berita itu. "Akan saya suruh orang menyelidiki keadaan itu, dan kalau perlu nanti akan
saya kirimkan keluhan." Sebagai tanda terima kasih atas nama Hyogo, Sukekuro pun
membungkuk ketika kepala biara itu pulang.
Sukekuro pergi menyampaikan informasi tentang gunjingan itu pada Hyogo, tapi Hyogo
hanya tertawa. "Biar saja," katanya. "Kalau nanti pamanku kembali, dia dapat
mengurusnya." Sukekuro mengerti pentingnya mengawal setiap jengkal tanah, karena itu ia tidak puas
benar dengan sikap Hyogo. Ia berunding dengan para samurai tinggi lainnya, dan bersamasama mereka menyimpulkan bahwa sekalipun memang dibutuhkan kebijaksanaan, tetap harus
diambil suatu tindakan. Todo Takatora adalah salah seorang daimyo paling kuat di negeri
itu. Pagi harinya, sesudah berlatih pedang, Sukekuro meninggalkan dojo di atas Shinkagedo
dan bertemu dengan seorang anak lelaki umur tiga belas atau empat belas tahun.
Anak itu membungkuk kepadanya, dan Sukekuro berkata gembira, "Halo, Ushinosuke,
melongok dojo lagi" Bawa hadiah buatku, ya" Coba lihat... oh, kentang liar?" Ia
sebetulnya hanya setengah menggoda, karena kentang Ushinosuke selalu lebih bagus
daripada kentang orang lain. Anak itu tinggal bersama ibunya di kampung terpencil Araki
di gunung, dan sering datang ke benteng untuk menjual arang, daging babi hutan, dan
barang-barang lain. "Tak ada kentang hari ini, tapi saya bawa ini buat Otsu." Anak itu mengangkat kotak
berselubung jerami yang dibawanya.
"Bawa apa sekarang-kelembak?"
"Bukan, ini barang hidup! Di Tsukigase kadang-kadang saya dengar burung bulbul
menyanyi. Dan ini saya tangkap satu!"
"Hmm, jadi kau selalu lewat Tsukigase, ya?"
"Betul. Itu jalan satu-satunya."
"Aku mau tanya sekarang. Apa kau melihat banyak samurai akhir-akhir ini?"
"Ada beberapa."
"Apa kerja mereka di sana?"
"Membangun pondok-pondok."
"Apa kau melihat mereka mendirikan pagar atau semacam itu?"
"Ya, di samping pondok, mereka memasang beberapa jembatan, jadi mereka menebang segala
macam pohon. Untuk kayu bakar juga."
"Apa mereka menghentikan orang-orang di jalan?"
"Saya kira tidak. Saya tidak melihatnya."
Sukekuro menggelengkan kepala. "Kudengar samurai-samurai itu dari perdikan Yang
Dipertuan Todo, tapi aku tidak tahu apa kerja mereka di Tsukigase. Apa kata orang-orang
di kampungmu?" "Orang bilang, mereka itu ronin yang terusir dari Nara dan Uji. Mereka tak punya tempat
tinggal, karena itu mereka pergi ke pegunungan."
Sekalipun sudah mendengar keterangan dari Inshun, Sukekuro merasa penjelasan ini bukan
tak beralasan. Okubo Nagayasu, hakim dari Nara, tak henti-hentinya berusaha agar daerah
hukumnya bebas dari ronin miskin.
"Di mana Otsu?" tanya Ushinosuke. "Saya ingin menyampaikan hadiah untuknya." Ia memang
selalu ingin bertemu Otsu, bukan hanya karena Otsu selalu memberikan gula-gula dan
mengatakan yang baik-baik kepadanya, tapi karena dalam kecantikan Otsu ia merasa ada
sesuatu yang bersifat gaib, yang bukan berasal dari dunia ini. Kadang-kadang ia tak
mampu menentukan, apakah Otsu itu manusia atau dewi.
"Barangkali dia di benteng," kata Sukekuro. Kemudian, sambil memandang ke kebun,
katanya, "Oh, kau beruntung rupanya. Apa bukan dia yang di sana itu?"
"Otsu!" seru Ushinosuke keras.
Otsu menoleh dan tersenyum. Ushinosuke pun berlari terengah-engah ke sisi Otsu dan
mengangkat kotaknya. "Lihat! Saya tangkap burung bulbul. Buat Kakak."
"Burung bulbul?" Otsu mengerutkan kening, tangannya tetap di samping.
Ushinosuke tampak kecewa. "Suaranya bagus!" katanya. "Tak ingin Kakak mendengar?"
"Aku mau, tapi hanya kalau dia bebas terbang ke mana dia suka. Baru dia akan
menyanyikan lagu-lagu yang bagus buat kita."
"Kakak benar," kata Ushinosuke, sedikit cemberut. "Apa mesti saya lepaskan kembali?"
"Kuhargai maksudmu memberi hadiah, tapi... ya, aku lebih senang kalau burung itu
dilepaskan daripada dikurung."
Dengan diam Ushinosuke membuka kotak jerami itu, dan seperti anak panah, burung itu
terbang ke atas dinding benteng. "Lihat, senang sekali dia bebas," kata Otsu.
"Orang-orang bilang, burung bulbul itu pembawa pertanda musim semi, kan" Barangkali
akan datang orang membawa kabar gembira buat Kakak."
"Pembawa berita sama baiknya dengan datangnya musim semi" Memang benar, aku sedang
mengharap mendengar suatu kabar."
Otsu berjalan menuju hutan dan rumpun bambu di belakang benteng,
Ushinosuke menyertainya di sampingnya. "Kakak mau pergi ke mana?" tanyanya.
"Aku sudah terlalu lama tinggal di dalam benteng akhir-akhir ini. Untuk selingan, aku
ingin naik bukit, melihat kembang prem."
"Kembang prem" Di atas sana tak banyak yang bisa dilihat. Kakak mesti pergi ke
Tsukigase." "Ke sana juga boleh. Jauhkah dari sini?"
"Sekitar tiga kilometer. Bagaimana kalau kita pergi ke sana" Aku mengangkut kayu api
hari ini, karena itu aku membawa sapi."
Karena selama musim dingin itu Otsu hampir tak pernah tinggal di luar benteng, ia cepat
mengambil keputusan. Tanpa mengatakan pada siapa pun, keduanya turun ke gerbang
belakang yang biasa didatangi para pedagang dan orang-orang lain yang punya urusan
dengan benteng. Gerbang itu dikawal seorang samurai bersenjata lembing. la mengangguk
dan tersenyum pada Otsu. Ushinosuke pun orang yang sudah dikenal, karena itu si penjaga
mengizinkan mereka keluar, tanpa memeriksa izin tertulis untuk berada di pekarangan
benteng. Orang-orang di ladang dan di jalan mengucapkan teguran bersahabat kepada Otsu, tak
peduli mereka kenal Otsu atau tidak. Ketika rumahrumah penduduk mulai jarang, ia
menoleh kembali ke arah benteng putih yang bertengger di pinggir gunung itu, dan
bertanya, "Apa bisa aku kembali sebelum gelap?"
"Tentu, nanti saya antar."
"Kampung Araki di sebelah sana Tsukigase kan?" "Tidak apa-apa."
Sambil mengobrol tentang berbagai hal, mereka melewati warung garam. Di sana ada
seorang lelaki menukar daging babi hutan dengan sekarung garam. Selesai melakukan
pertukaran, ia keluar dan berjalan di belakang mereka. Karena salju sedang mencair,
jalanan makin lama makin buruk keadaannya. Tak banyak orang berjalan.
"Ushinosuke," kata Otsu, "kau selalu datang ke Koyagyu, ya?"
"Ya." "Apa Benteng Ueno tidak lebih dekat dengan Kampung Araki?"
"Betul, tapi di Benteng Ueno tak ada pemain pedang besar macam Yang Dipertuan Yagyu."
"Kau suka pedang, ya?"
"Ya." Ushinosuke menghentikan sapinya, melepaskan tali dari tangannya, lalu berlari turun ke
tepi sungai. DI situ ada sebuah jembatan. Sebatang balok lepas dari jembatan itu.
Ushinosuke mengembalikan balok itu ke tempatnya, dan menunggu sampai orang di belakang
mereka menyeberang dahulu.
Orang itu tampak seperti ronin. Ketika melewati Otsu, ia memandang Otsu dengan sikap
kurang ajar, kemudian beberapa kali menoleh dari jembatan, dan juga dari seberang
jembatan, sebelum akhirnya menghilang dalam lipatan gunung.
"Siapa orang itu menurutmu?" tanya Otsu gugup. "Kakak takut?"
"Tidak, tapi..."
"Banyak ronin di sekitar pegunungan di sini."
"Betul?" tanya Otsu tidak tenang.
Sambil menoleh, kata Ushinosuke, "Kak, apa Kakak dapat membantu saya" Kalau dapat,
tolong minta pada Pak Kimura supaya mempekerjakan saya. Saya dapat menyapu halaman,
menimba air... atau hal-hal semacam itu."
Anak itu belum lama mendapat izin khusus dari Sukekuro untuk memasuki dojo, melihat
orang berlatih, tapi minatnya sudah tumbuh. Nenek moyangnya bernama Keluarga Kikumura.
Sudah beberapa angkatan kepala keluarga menggunakan nama sebutan Mataemon. Ushinosuke
sudah mantap keinginannya, kalau ia menjadi samurai nanti, ia akan menggunakan nama
Mataemon. Tapi tak seorang pun dari Keluarga Kikumura pernah melakukan sesuatu yang
istimewa. Maka ia akan mengubah nama keluarganya dengan nama kampungnya, dan kalau
impiannya terlaksana, ia akan termasyhur di mana-mana sebagai Araki Mataemon.
Mendengar kata-kata Ushinosuke itu, Otsu teringat akan Jotaro, dan ia tercengkeram oleh
rasa sepi. Umur Otsu sekarang dua puluh lima tahun, sedangkan Jotaro tentunya sembilan
belas atau dua puluh tahun. Memperhatikan kembang prem yang belum sepenuhnya mekar itu,
Otsu merasa bahwa musim seminya sendiri sudah lewat.
"Ayo kita pulang, Ushinosuke," katanya tiba-tiba.
Ushinosuke melontarkan pandangan penuh pertanyaan, namun dengan patuh ia memutar
sapinya. "Berhenti!" bentak seorang lelaki.
Dua ronin lain bergabung dengan ronin yang datang dari warung garam tadi. Ketiganya
mendekat, kemudian berdiri mengelilingi sapi, tangan mereka terlipat.
"Kalian mau apa?" tanya Ushinosuke.
Orang-orang itu menatap Otsu.
"Ya, sekarang aku mengerti kata-katamu," kata salah seorang. "Cantik, kan?"
"Aku sudah pernah lihat dia," kata yang ketiga. "Mungkin di Kyoto."
"Tentunya dari Kyoto asalnya, dan pasti bukan dari kampung-kampung sekitar sini."
"Aku tak ingat, di Perguruan Yoshioka atau di tempat lain, tapi aku yakin pernah lihat
dia." "Apa kau pernah di Perguruan Yoshioka?"
"Tiga tahun aku di sana, sesudah Sekigahara."
"Kalau kalian punya urusan dengan kami, katakan apa urusan kalian!" kata Ushinosuke
marah. "Kami mau sampai di rumah sebelum gelap."
Seorang dari ketiga ronin menatap Ushinosuke, seolah baru pertama kali itu melihatnya.
"Kau dari Araki, kan" Salah satu dari pembuat arang, ya?"
"Betul. Memang kenapa?"
"Kami tidak butuh kau. Sana pulang!"
"Justru itu yang mau kulakukan."
Ditariknya sapi itu kencang-kencang, dan seorang dari mereka melemparkan pandangan
dahsyat yang pasti akan membuat kebanyakan anakanak gemetar ketakutan.
"Pergi kalian!" kata Ushinosuke.
"Wanita ini harus ikut kami."
"Ikut ke mana?"
"Tak ada urusan denganmu. Berikan tail itu!"
"Tidak!' "Oh, dia kira aku main-main."
Kedua orang lainnya membidangkan dada dan menatap tajam, bergerak mendekati Ushinosuke.
Salah seorang mengacungkan tinjunya yang sekeras mata kayu cemara ke depan dagunya.
Otsu mencengkeram punggung sapi. Kerutan alis Ushinosuke jelas menandakan bahwa ada
yang akan segera terjadi.
"Oh, tidak, berhenti!" pekik Otsu, dengan maksud menahan anak itu, agar tidak melakukan
sesuatu tanpa pikir panjang.
Namun nada sedih dalam suara Otsu justru memacu Ushinosuke untuk beraksi. Ia menyepak
cepat dengan satu kakinya, mengenai orang yang ada di depannya, hingga orang itu mundur
terhuyung. Baru saja kakinya menyentuh tanah kembali, ia benturkan kepalanya ke perut
orang di sebelah kirinya. Serentak dengan itu, ia mencekal pedang orang itu dan
menariknya dari sarungnya. Lalu ia mengayun-ayunkan pedang itu.
Ia bergerak dengan kecepatan kilat, berpusing-pusing, dan seolah melakukan serangan ke
segala penjuru, menyambar ketiga lawan itu sekaligus, dengan kekuatan yang sama. Apakah
tindakannya yang cemerlang itu berdasarkan naluri semata-mata, ataukah akibat
kesembronoan kanak-kanaknya, yang jelas taktik-taktiknya yang tidak biasa telah
mengejutkan ketiga ronin itu.
Ayunan balik pedang itu dengan keras menerjang dada salah seorang ronin. Otsu menjerit,
tapi suaranya tenggelam dalam jerit orang yang terluka itu. Ia jatuh ke arah sapi,
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara darah menyembur ke muka binatang itu. Dengan ketakutan, sapi pun menguak tak
tentu bunyinya. Tepat saat itu pedang Ushinosuke menoreh pantatnya. Sekali lagi sapi
itu melenguh, lalu lari. Kedua ronin lain menyerbu ke arah Ushinosuke, sedangkan Ushinosuke melompat-lompat
dengan tangkasnya dari batu ke batu di bantaran sungai. "Aku tidak bersalah! Kalian
yang bersalah!" teriaknya.
Ketika kedua ronin merasa bahwa Ushinosuke tak terkejar oleh mereka, mereka mulai
mengejar sapi. Ushinosuke kembali melompat ke jalan, dan mengejar mereka sambil berseru-seru, "Lari"
Kalian lari?" Satu orang berhenti dan setengah menoleh. "Bajingan kecil kau!"
"Tinggalkan dulu dia!" teriak yang lain.
Karena ketakutan, sapi itu meninggalkan jalan lembah dan lari mendaki bukit rendah,
menempuh punggung bukit beberapa jauhnya, kemudian menerjang ke balik bukit itu. Dalam
waktu sangat singkat ia berhasil menempuh jarak cukup jauh, dan sampai di tempat yang
tak jauh letaknya dari perdikan Yagyu.
Walaupun dengan mata tertutup menyerah, Otsu dapat bertahan agar tidak terlempar dan
punggung sapi, dengan bergayut pada pelana muatan. la dapat mendengar suara-suara orang
yang berpapasan dengannya, tapi ia begitu bingung, hingga tak dapat berteriak minta
tolong. Sekiranya ia berteriak pun tidak banyak faedahnya. Di antara orang-orang yang
membicarakan kejadian itu, tak ada yang punya keberanian menghentikan binatang yang
sudah menggila itu. Namun ketika mereka hampir sampai di Dataran Hannya, satu orang datang dari jalan kecil
ke jalan utama. Jalan utama itu sangat sempit, walaupun namanya jalan raya Kasagi.
Orang itu menyandang peti surat, dan kelihatan seperti seorang pembantu.
Orang-orang berteriak-teriak, "Awas! Minggir!" tapi ia berjalan terus, langsung
menyongsong sapi itu. Kemudian terdengar bunyi berderak mengerikan.
"Tertanduk dia!"
"Orang goblok!"
Padahal kenyataannya tidak seperti yang mula-mula diduga para penonton itu. Yang mereka
dengar bukan bunyi sapi menanduk orang itu, tapi orang itu menjatuhkan pukulan yang
memekakkan telinga ke pelipis binatang itu. Sapi pun mengangkat kepalanya yang berat ke
samping, membalik setengah lingkaran, dan balik kanan jalan. Tapi belum lagi sepuluh
kaki, mendadak ia berhenti. Air liur menderas keluar dari mulutnya, sementara sekujur
tubuhnya menggeletar. "Turun cepat!" kata orang itu pada Otsu.
Para penonton berkerumun dengan gembira, sambil memperhatikan satu kaki orang itu, yang
dengan kokohnya menginjak tali binatang itu.
Begitu selamat turun di tanah, Otsu membungkuk kepada penyelamatnya, walaupun masih
terlalu pening untuk mengetahui di mana ia berada dan apa yang hendak dilakukannya.
"Heran, binatang baik begini bisa menjadi gila!" kata orang itu ketika ia menuntun sapi
ke pinggir jalan, dan mengikatnya ke sebatang pohon. Tapi, ketika terlihat olehnya
darah di kaki binatang itu, katanya, "Oh, apa ini" Lho, luka dia... dan bekas pedang!"
Sementara ia memeriksa luka dan menggerutu, Kimura Sukekuro menerobos kerumunan orang
banyak dan menyuruh mereka bubar.
"Apa kau bukan pembantu Kepala Biara Inshun?" tanyanya, sebelum sempat menarik napas.
"Beruntung sekali saya bertemu Bapak di sini. Saya membawa surat buat Bapak, dari
kepala biara. Kalau Bapak tidak keberatan, saya persilakan membaca surat ini segera."
Orang itu mengeluarkan surat dari peti, dan menyerahkannya pada Sukekuro.
"Buat saya?" tanya Sukekuro terkejut. Dan sesudah yakin tak ada kesalahan, ia buka
surat itu dan ia baca, "Mengenai para samurai di Tsukigase itu, sejak percakapan kita
kemarin, saya telah memeriksanya, dan saya temukan bahwa mereka bukan orang-orang dari
Yang Dipertuan Todo. Mereka itu orang jembel, ronin yang sudah terusir dari kota-kota,
dan terpaksa bersarang di sana selama berlangsungnya musim dingin. Dengan sengaja saya
lekas-lekas mengabarkan kesalahan saya yang tidak menguntungkan ini pada Anda."
"Terima kasih," kata Sukekuro. "Ini cocok dengan yang saya dengar dari sumber lain.
Katakan pada kepala biara, saya sangat lega, dan saya percaya dia pun merasa demikian
juga." "Maafkan saya, karena telah menyampaikan surat ini di tengah jalan. Pesan Bapak akan
saya sampaikan pada kepala biara. Selamat tinggal."
"Tunggu. Berapa lama kau tinggal di Hozoin?"
"Belum lama." "Siapa namamu?"
"Sebutan saya Torazo."
"Heran," gumam Sukekuro sambil memperhatikan wajah orang itu. "Apa kau bukan Hamada
Toranosuke?" "Bukan." "Saya memang belum pernah bertemu Hamada, tapi ada satu orang di benteng sana yang
berkeras mengatakan, Hamada sekarang bekerja sebagai pembantu Inshun."
"Begitu." "Apa dia salah sebut?"
Torazo merendahkan suaranya, wajahnya merah. "Memang benar, saya ini Hamada. Saya
datang di Hozoin atas alasan-alasan pribadi. Untuk menghindarkan aib yang lebih besar
terhadap guru saya dan saya sendiri, saya bermaksud merahasiakan identitas saya. Kalau
Bapak tidak keberatan..."
"Jangan kuatir. Aku tidak bermaksud ikut campur dalam urusanmu."
"Saya yakin Bapak pernah mendengar tentang Tadaaki. Dia meninggalkan perguruan dan
mengundurkan diri ke pegunungan itu karena kesalahan saya. Sekarang saya sudah
meninggalkan status saya. Melakukan kerja kasar di kuil itu akan memberikan pada saya
disiplin yang baik. Kepada para pendeta, saya tidak memberikan nama saya yang
sebenarnya. Semua ini memang memalukan."
"Kesudahan pertarungan antara Tadaaki dengan Kojiro itu bukan rahasia lagi. Kojiro
sudah menceritakannya pada semua orang yang dijumpainya antara Edo dan Buzen. Jadi, kau
bermaksud menjernihkan nama gurumu?"
"Ya, hari-hari ini.... Sampai lain kali, Pak?" Torazo cepat meninggalkan tempat itu,
seakan-akan tak sanggup tinggal lebih lama lagi.
*** 96. Biji Rami HYOGO semakin cemas. Sesudah masuk ke kamarOtsu, dengan membawa surat dari Takuan, ia
mencari gadis itu di seluruh pekarangan benteng, dan makin lama kekuatirannya semakin
memuncak. Surat dari bulan sepuluh tahun lalu, yang tak jelas sebab keterlambatannya itu,
bercerita tentang akan diangkatnya Musashi sebagai instruktur shogun. Takuan minta Otsu
secepat mungkin datang ke ibu kota, karena Musashi akan segera membutuhkan rumah dan
"orang untuk mengurusnya". Hyogo tak sabar lagi ingin melihat wajah Otsu menjadi cerah.
Karena tidak menemukan gadis itu, akhirnya ia bertanya pada penjaga pintu gerbang, dan
mendapat jawaban bahwa orang-orang sedang pergi mencari Otsu. Hyogo menarik napas
panjang. Pikirnya, sungguh bukan kebiasaan Otsu membuat orang lain kuatir, dan bukan
kebiasaannya pula tidak meninggalkan pesan. Jarang ia bertindak menurutkan kata hati,
sekalipun dalam hal sekecil-kecilnya.
Namun, sebelum ia sempat membayangkan hal yang terburuk, datang berita bahwa mereka
sudah kembali, Otsu dengan Sukekuro; dan Ushinosuke dengan orang-orang yang dikirim ke
Tsukigase. Anak itu minta maaf pada semua orang-entah untuk apa"tak seorang pun tahu,
lalu ia tergesa-gesa pulang.
"Mau ke mana kau ini?" tanya salah seorang abdi.
"Saya mesti kembali ke Araki. Ibu saya pasti kuatir, kalau saya tidak pulang."
"Kalau kau mencoba pulang sekarang," kata Sukekuro, "ronin-ronin akan menangkapmu, dan
kecil kemungkinannya mereka akan membiarkanmu hidup. Kau bisa tinggal di sini malam
ini, dan pulang besok pagi."
Ushinosuke menggumam tak jelas, menyatakan setuju, lalu ia disuruh ke gudang kayu di
daerah lingkaran luar, tempat para magang samurai tidur.
Hyogo memanggil Otsu dengan isyarat, kemudian membawanya ke sisi, dan menyampaikan apa
yang telah ditulis Takuan. Dan ia tidak kaget ketika Otsu mengatakan, "Saya akan pergi
besok pagi." Wajahnya yang merah padam mengungkapkan perasaannya.
Kemudian Hyogo mengingatkan Otsu tentang akan datangnya Munenori, dan menyarankan pada
Otsu untuk kembali ke Edo bersamanya, sekalipun ia tahu benar jawaban apa yang akan
didengarnya dari Otsu. Otsu tak punya selera untuk menunggu dua hari lagi, apalagi dua
bulan. Hyogo berusah a sekali lagi, dengan mengatakan bahwa kalau Otsu mau menanti
sampai sesudah upacara penguburan, Otsu akan dapat mengadakan perjalanan dengannya ke
Nagoya, karena ia telah mendapat panggilan untuk menjadi pengikut Yang Dipertuan
Tokugawa dari Owari. Dan ketika Otsu sekali lagi menyatakan keberatan, ia mengatakan
pada Otsu bahwa ia kurang senang melihat Otsu akan mengadakan perjalanan jauh
sendirian. Di setiap kota dan penginapan sepanjang jalan itu, Otsu akan menjumpai
gangguan, bahkan bahaya. Otsu tersenyum. "Anda rupanya lupa. Saya sudah terbiasa dengan perjalanan. Tak ada yang
perlu Anda kuatirkan."
Malam itu, dalam pesta perpisahan sederhana, tiap orang memperlihatkan rasa sayangnya
pada Otsu, dan pada pagi berikutnya yang terang dan jernih, seluruh keluarga dan para
pembantu berkumpul di gerbang depan, melepas kepergian Otsu.
Sukekuro mengirim orang untuk memanggil Ushinosuke, karena menurut perkiraannya Otsu
dapat menunggang sapinya sampai Uji. Dan ketika orang itu kembali dengan laporan bahwa
anak itu sudah pulang malam sebelumnya, Sukekuro memerintahkan supaya diambilkan kuda.
Otsu merasa statusnya terlampau rendah untuk mendapatkan perlakuan seperti itu, dan ia
menolak tawaran tersebut, namun Hyogo bersikeras. Kuda kelabu berbintik-bintik itu
dituntun oleh seorang samurai magang, menuruni lereng landai yang menuju gerbang luar.
Hyogo berjalan sebentar, kemudian berhenti. Ia tak dapat menyangkal, kadang-kadang ia
merasa iri pada Musashi, sebagaimana ia iri pada siapa pun yang dicintai Otsu. Walaupun
hati Otsu menjadi milik orang lain, rasa sayangnya pada Otsu tidak berkurang. Otsu
telah menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dalam perjalanan dari Edo, dan
berminggu-minggu dan berbulan-bulan sesudahnya ia mengagumi pengabdian yang diberikan
gadis itu dalam merawat kakeknya. Walaupun cintanya lebih dalam daripada sebelumnya,
cinta itu tidaklah mementingkan diri sendiri. Sekishusai memerintahkan ia membawa gadis
itu dengan selamat kepada Musashi, dan Hyogo bermaksud melakukannya. Bukanlah sifatnya
untuk mendambakan peruntungan orang lain, ataupun merampas peruntungan itu dari orang
yang bersangkutan. Tak dapat ia membayangkan tindakan yang terpisah dari Jalan Samurai.
Melaksanakan keinginan kakeknya itu sendiri merupakan pernyataan cintanya.
Ia sedang tenggelam dalam angan-angan itu, ketika Otsu menoleh dan membungkuk
menyatakan terima kasih pada orang-orang yang telah menunjukkan jasa baik kepadanya. Ia
berangkat, dan menyentuh beberapa kembang prem. Melihat secara tak sengaja daun bunga
yang berguguran itu, hampir-hampir Hyogo dapat mencium semerbak baunya. Ia merasa
itulah terakhir kali ia melihat Otsu, dan ia senang dapat berdoa diam-diam demi
kebaikan masa depan Otsu. Ia tetap berdiri dan memandang, sementara Otsu menghilang
dari pandangan. "Pak." Hyogo menoleh dan senyuman tersungging pada wajahnya. "Ushinosuke. Ya, ya. Kudengar kau
pulang juga semalam, biarpun kularang."
"Ya, Pak, ibu saya..." Ushinosuke memang masih terlalu muda, hingga menyebut berpisah
dengan ibunya saja bisa membuat ia menangis.
"Baiklah. Bagus kalau seorang anak lelaki memperhatikan ibunya. Tapi bagaimana kau bisa
menyelamatkan diri dan ronin-ronin di Tsukigase itu?"
"Oh, mudah, Pak."
"Betul mudah?" Anak itu tersenyum. "Mereka tak ada di sana. Mereka mendengar Otsu datang dari benteng,
karena itu mereka takut akan diserang. Saya kira mereka tentunya pindah ke seberang
gunung itu." "Ha, ha. Kalau begitu, kita tak perlu lagi kuatir dengan mereka, kan" Kau sudah sarapan
belum?" "Belum," jawab Ushinosuke sedikit malu. "Saya tadi bangun pagi, supaya dapat menggali
kentang liar buat Pak Kimura. Kalau Bapak suka, nanti saya bawakan."
"Terima kasih."
"Apa Bapak tahu di mana Otsu sekarang?"
"Dia baru saja berangkat ke Edo."
"Ke Edo"..." Dan dengan ragu-ragu, katanya, "Saya ingin tahu, apakah dia sudah
menyampaikan pada Bapak atau Pak Kimura tentang keinginan saya."
"Dan apa keinginanmu?"
"Selama mi, saya ingin Bapak menjadikan saya pembantu samurai."
"Kau masih terlalu muda buat pekerjaan itu. Barangkali nanti, kalau kau sudah lebih
besar." ' "Tapi saya ingin belajar main pedang. Pak, bantulah saya. Saya mesti belajar selagi ibu
saya masih hidup." "Apa kau belajar pada orang lain?"
"Tidak, tapi saya sudah latihan menggunakan pedang kayu, dengan pohon dan binatang."
"Oh, itu bagus juga buat permulaan. Kalau nanti kau sudah sedikit lebih besar, kau bisa
ikut aku ke Nagoya. Sebentar lagi aku akan tinggal di sana."
"Tempat itu di Owari, kan" Tak bisa saya pergi sejauh itu, selagi ibu saya masih
hidup." Hyogo jadi tergerak hatinya, katanya, "Sini ikut aku!" Ushinosuke ikut tanpa berkatakata. "Kita pergi ke dojo. Akan kulihat, apa kau punya bakat jadi pemain pedang."
"Ke dojo?" Ushinosuke pun bertanya pada diri sendiri, apakah ia sedang bermimpi. Sejak
kecil ia sudah menganggap dojo Yagyu yang kuno itu sebagai lambang segala yang paling
diinginkannya di dunia ini. Sukekuro memang pernah mengatakan ia boleh masuk, hanya
saja itu belum pernah dilakukannya. Tapi sekarang ia diundang masuk oleh salah seorang
anggota keluarga! "Cuci kakimu." "Baik, Pak." Ushinosuke pergi ke kolam kecil di dekat pintu masuk, dan dengan hati-hati
sekali mencuci kakinya. Dengan cermat dibersihkannya kotoran yang ada di sela-sela
kukunya. Begitu berada di dalam, ia merasa kecil dan tidak berarti. Kayu-kayu blandar dan kaso
itu tua dan pejal, dan lantai dipoles sampai mengilap, hingga ia dapat berkaca di sana.
Suara Hyogo terdengar lain ketika mengatakan, "Ambil pedang."
Ushinosuke memilih sebilah pedang kayu ek hitam dari antara senjatasenjata yang
tergantung di dinding. Hyogo mengambil juga sebilah, dan dengan ujung pedang diarahkan
ke lantai, ia berjalan ke tengah ruangan.
"Siap?" tanyanya dingin.
"Ya," jawab Ushinosuke sambil mengangkat senjatanya setinggi dada.
Hyogo membuka jurus, sedikit menyudut. Ushinosuke menggembungkan badan seperti landak.
Alisnya terangkat, wajahnya mengerut ganas, dan darahnya menderas. Ketika Hyogo
memberikan isyarat dengan mata bahwa ia akan menyerang, Ushinosuke menggeram keras.
Sambil mengentakkan kaki ke lantai, Hyogo maju cepat ke depan, dan melancarkan serangan
menyamping ke pinggang Ushinosuke.
"Belum!" teriak anak itu. Dengan sikap seakan menendang lantai dan dirinya, ia melompat
tinggi-tinggi, sampai melewati bahu Hyogo. Hyogo menjulurkan tangan kirinya dan
mendorong sedikit kaki anak itu ke atas. Ushinosuke berjungkir-balik dan mendarat di
belakang Hyogo. Dalam sekejap ia tegak kembali dan berlari untuk memegang kembali
pedangnya. "Cukup," kata Hyogo.
"Ah, sekali lagi!"
Ushinosuke mencekal pedangnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan kedua
belah tangan, dan menyerbu ke arah Hyogo seperti burung elang. Tapi senjata Hyogo yang
diarahkan langsung kepadanya menghentikan gerakan itu. Ia melihat pandangan mata Hyogo,
dan air matanya berlinang.
"Anak ini punya semangat," pikir Hyogo, namun ia berpura-pura marah. "Kau curang!"
teriaknya. "Kau lompat di atas bahuku." Ushinosuke tak dapat menjawab.
"Kau tidak tahu kedudukanmu; dan lancang terhadap atasan! Duduk di sana!" Anak itu
berlutut dengan tangan ke depan, dan membungkuk meminta maaf. Hyogo mendekatinya,
menjatuhkan pedang kayu itu, dan menarik pedangnya sendiri. "Kubunuh kau sekarang!
Jangan menjerit." "B-b-bunuh saya?"
"Julurkan lehermu! Buat seorang samurai, tak ada yang lebih penting daripada patuh
kepada aturan sopan santun. Biarpun kau cuma anak tani, perbuatanmu itu tak dapat
diampuni." "Bapak mau bunuh saya cuma karena perbuatan kasar?"
"Betul." Ushinosuke menengadah sebentar kepada samurai itu dengan mata pasrah, kemudian
mengangkat kedua tangan ke arah kampungnya, katanya, "Ibu, aku akan jadi bagian dari
tanah di benteng ini. Aku tahu, Ibu akan sedih. Maafkan aku karena tidak menjadi anak
yang baik." Kemudian dengan patuh ia menjulurkan lehernya.
Hyogo tertawa dan memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Sambil menepuk-nepuk
punggung Ushinosuke, katanya, "Kau tidak betul-betul berpikir aku akan membunuh anak
macam kau, kan?" "Jadi, Bapak tidak sungguh-sungguh?"
"Tidak." "Bapak bilang, sopan santun itu penting. Jadi, apa bisa dibenarkan kalau seorang
samurai bercanda macam itu?"
"Ini bukan lelucon. Kalau kau mau berlatih jadi samurai, aku mesti tahu orang macam apa
kau itu." "Tadi saya pikir Bapak sungguh-sungguh," kata Ushinosuke. Napasnya kembali normal.
"Kaubilang belum pernah dapat pelajaran," kata Hyogo. "Tapi waktu kudesak kau ke tepi
ruangan, kau lompat ke atas bahuku. Tidak banyak murid dapat berbuat begitu, biarpun
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah dapat latihan tiga-empat tahun."
"Tapi saya memang belum pernah belajar pada orang lain."
"Tak perlu dirahasiakan. Kau pasti punya guru yang baik. Siapa dia?"
Anak itu berpikir sebentar, kemudian katanya, "Oh, ya, sekarang saya ingat, bagaimana
saya belajar lompat."
"Siapa yang mengajar?"
"Bukan manusia yang mengajar."
"Peri air barangkali?"
"Bukan, biji rami."
"Apa?" "Biji rami." "Mana mungkin kau belajar dari biji rami?"
"Begini, di pegunungan itu ada beberapa petarung-orang-orang yang dapat menghilang dari
depan mata kita. Saya melihat latihan mereka beberapa kali."
"Maksudmu ninja, ya" Tentunya kelompok Iga yang kaulihat itu. Tapi apa hubungannya
dengan biji rami?" "Begini. Sesudah rami itu ditanam pada musim semi, tak lama kemudian tumbuh
kecambahnya." "Lalu?" "Saya lompati pokok itu. Tiap hari saya latihan melompat ke sana kemari. Kalau udara
lebih panas, kecambah itu tumbuh cepat"bukan main cepatnya"jadi, dari hari ke hari saya
lompat lebih tinggi lagi."
"Oh, begitu." "Saya lakukan itu tahun lalu dan tahun sebelumnya. Dari musim semi sampai musim gugur."
Pada waktu itu Sukekuro masuk dojo, katanya, "Hyogo, ini ada surat lagi dari Edo."
Hyogo membacanya, lalu katanya, "Otsu belum jauh, kan?"
"Tak lebih dari delapan kilometer, barangkali. Apa yang terjadi?"
"Ya. Takuan bilang, pengangkatan Musashi dibatalkan. Mereka rupanya sangsi akan
wataknya. Kupikir, kita tak boleh membiarkan Otsu terus pergi ke Edo tanpa memberitahu
dia." "Saya akan pergi!"
"Tidak, biar aku yang pergi."
Sambil mengangguk pada Ushinosuke, Hyogo meninggalkan dojo dan langsung pergi ke
kandang. Setengah perjalanan menuju Uji, ia mulai berpikir. Biarpun Musashi tak jadi diangkat,
buat Otsu akan sama saja; yang diminati Otsu orangnya, bukan statusnya. Sekalipun Hyogo
misalnya berhasil meyakinkannya untuk tinggal sedikit lebih lama di Koyagyu, Otsu pasti
akan pergi terus ke Edo. Jadi, buat apa menghalangi perjalanannya dengan menyampaikan
berita buruk itu" Hyogo kembali ke Koyagyu dan melambatkan jalan kudanya. Dilihat dari luar, ia tampak
tenang, namun di hatinya berkecamuk perjuangan hebat. Oh, kalau sekiranya ia dapat
melihat Otsu sekali lagi! Ia mesti mengakui pada diri sendiri, bahwa itulah alasan
sebenarnya ia menyusul Otsu, namun ia tak akan mengakuinya pada orang lain.
Hyogo mencoba mengendalikan perasaannya. Seperti semua orang lain, prajurit terkadang
mengalami saat-saat lemah, saat-saat gila. Namun kewajibannya sebagai seorang samurai
sudah jelas: berkeras hati, sampai ia mencapai keseimbangan yang tenang. Sekali ia
berhasil menyeberangi rintangan khayal, jiwanya akan ringan dan bebas, dan matanya akan
terbuka melihat pohon-pohon dedalu hijau di sekitarnya, dan setiap lembar rumput yang
ada. Cinta bukanlah satu-satunya emosi yang dapat mengusik hati seorang samurai.
Hatinya adalah dunia yang sama sekali berbeda. Pada masa ini, dunia sedang sangat
membutuhkan orang-orang muda berbakat, jadi bukan waktunya tergiur oleh sekuntum bunga
yang ada di tepi jalan. Menurut Hyogo, yang penting adalah bagaimana berdiri di tempat yang benar, agar ia
dapat menunggangi ombak zaman. "Ramai juga, ya?" ujar Hyogo dengan hati riang.
"Ya, Nara jarang begini baik keadaannya," jawab Sukekuro. "Macam pesiar saja."
Beberapa langkah di belakang mereka, ikut juga Ushinosuke. Hyogo mulai menyukai anak
itu. Anak itu sekarang lebih sering datang ke benteng, dan dalam masa peralihan untuk
menjadi abdi biasa. Waktu itu ia memanggul makan siang kedua orang itu. Ia membawa
sepasang sandal cadangan untuk Hyogo, yang ia ikatkan ke obi-nya.
Mereka berada di sebuah lapangan terbuka di tengah kota. Di satu sisi menjulang pagoda
Kofukuji yang bertingkat lima, di atas hutan yang mengitarinya. Di seberang lapangan
tampak rumah-rumah para pendeta Budha dan Shinto. Walaupun hari itu tenang dan udara
seperti pada musim semi, namun di daerah-daerah rendah tempat berdiamnya penduduk kota,
mengambang kabut tipis. Kerumunan orang yang berjumlah antara empat sampai lima ratus
itu tidak tampak terlalu besar, karena luasnya lapangan. Sebagian dari rusa yang
memasyhurkan nama Nara itu berjalanjalan di antara para penonton, di sana-sini
mengendus-endus potonganpotongan makanan yang lezat.
"Mereka belum selesai juga, ya?" tanya Hyogo.
"Belum," kata Sukekuro. "Rupanya sedang istirahat makan siang."
"Jadi, pendeta pun mesti makan!"
Sukekuro tertawa. Waktu itu berlangsung semacam pertunjukan. Kota-kota besar biasanya memiliki teater,
tapi di Nara dan kota-kota yang lebih kecil, pertunjukan itu diadakan di udara terbuka.
Para tukang sulap, penari, tukang boneka, demikian juga para pemanah dan pemain pedang,
semuanya melakukan pertunjukan di luar. Tapi atraksi hari ini lebih dari sekadar
hiburan. Tiap tahun para pendeta pemain lembing Hozoin mengadakan pertandingan. Dengan
itu mereka menetapkan susunan kedudukan mereka di kuil. Karena pertunjukan dilaksanakan
di depan umum, para pemain harus berjuang keras dan pertarungan sering berlangsung
hebat dan menakjubkan. Di depan Kuil Kofukuji dipasang papan pengumuman yang dengan
jelas menyatakan bahwa pertandingan itu terbuka untuk semua orang yang mengabdikan diri
kepada seni bela diri, namun orang luar yang berani menghadapi pendeta pemain lembing
itu sedikit sekali. "Bagaimana kalau kita cari tempat duduk untuk makan siang?" tanya Hyogo. "Rasanya kita
masih punya banyak waktu."
"Di mana tempat yang baik?" tanya Sukekuro, memandang ke sekitar.
"Di sini," seru Ushinosuke. "Bapak-bapak bisa duduk di atas sini." Ia menunjuk selembar
tikar buluh yang telah diambilnya entah dari mana, dan ditebarkannya di atas bukit
kecil yang menyenangkan. Hyogo kagum akan kecekatan anak itu, dan secara keseluruhan ia
pun senang kebutuhan-kebutuhannya diperhatikan, walaupun menurut anggapannya sifat
penuh perhatian itu bukan watak yang ideal untuk seorang calon samurai.
Sesudah mereka mengambil tempat duduk sebaik-baiknya, Ushinosuke menyuguhkan hidangan:
gumpalan nasi kasar, acar prem asam, dan pasta buncis manis, semuanya terbungkus daun
bambu kering untuk memudahkan membawanya.
"Ushinosuke," kata Sukekuro, "lari sana kepada para pendeta itu, dan ambil sedikit teh.
Tapi jangan katakan untuk siapa."
"Akan mengganggu sekali, kalau sampai mereka ke sini menyatakan hormat," tambah Hyogo,
yang waktu itu menenggelamkan muka ke bawah topi anyamannya. Wajah Sukekuro pun lebih
dari setengahnya tertutup bandana, seperti yang biasa dipakai para pendeta.
Ketika Ushinosuke berdiri, seorang anak lelaki lain yang jaraknya sekitar lima belas
meter dari sana mengatakan, "Sungguh saya tak mengerti. Tadi tikar itu di sini."
"Lupakan, Iori," kata Gonnosuke. "Tikar itu tidak penting."
"Tentunya ada yang mencuri. Siapa kira-kira yang melakukannya?"
"Tak usah repot-repot." Gonnosuke duduk di rumput, mengeluarkan kuas dan tinta, dan
mulai mencatat pengeluarannya dalam buku catatan kecil, suatu kebiasaan yang baru-baru
ini didapatnya dari Ion. Dalam beberapa hal, sikap Iori memang terlampau serius untuk anak semuda dirinya. Ia
memperhatikan benar keuangan pribadinya, tidak pernah memboroskan sesuatu. Ia rapi
bukan main, dan ia merasa berterima kasih atas setiap mangkuk nasi yang diterimanya dan
setiap hari cerah yang dihadapinya. Singkat kata, ia orang yang ingin serbalurus, dan
memandang rendah orang yang tidak bersifat seperti dirinya.
Terhadap orang yang mencuri milik orang lain, walaupun hanya selembar tikar murah, ia
merasa muak. "Oh, itu dia," teriaknya. "Orang-orang di sana yang mengambilnya. Hei!" la berlari ke
arah mereka, tapi sekitar sepuluh langkah sebelum sampai, tiba-tiba ia berhenti untuk
menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya, dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan
Ushinosuke. "Apa maumu?" geram Ushinosuke.
"Apa maksudmu, apa mauku?" bentak Ion.
Sambil memandangnya dengan sikap dingin, seperti sikap orang kampung terhadap orang
luar, kata Ushinosuke, "Kau yang tadi meneriaki kami."
"Siapa membawa pergi barang orang lain, dia itu pencuri!"
"Pencuri" Kau ini kurang ajar!"
"Tikar itu punya kami!"
"Tikar" Aku tadi menemukan tikar itu di tanah. Apa itu yang bikin kau gusar?"
"Tapi tikar itu penting buat orang yang sedang melakukan perjalanan," kata Iori agak
muluk. "Karena dapat melindungi dari hujan, menjadi alas tidur. Banyak lagi hal lain.
Kembalikan tikar itu!"
"Boleh kau mengambilnya, tapi tarik dulu kata-katamu bahwa aku pencuri!"
"Aku tak perlu minta maaf buat mengambil kembali milik kami sendiri. Kalau tidak
kaukembalikan, akan kuambil kembali!"
"Boleh coba. Aku Ushinosuke dari Araki. Tak mau aku kalah dengan orang kerdil macam
kau. Aku ini murid seorang samurai."
"Aku berani bertaruh, memang kau murid samurai," kata Iori sambil berdiri sedikit lebih
lurus. "Kau berani omong besar karena ada orang banyak di sekitar sini, tapi kau takkan
berani berkelahi, kalau kita cuma berdua."
"Aku takkan lupa kata-kata itu."
"Datang ke sana nanti."
"Ke mana?" "Dekat pagoda. Kau datang sendiri."
Mereka berpisah. Ushinosuke pergi mengambil teh, dan ketika ia kembali membawa poci teh
dari tembikar, pertandingan sudah mulai lagi. Ketika berdiri dalam lingkaran besar
bersama para penonton lain, Ushinosuke menancapkan matanya pada Iori, menantangnya
dengan mata itu. Iori membalas. Keduanya yakin menang.
Orang banyak yang ribut itu terdorong ke sana-sini, hingga debu kuning naik ke udara.
Di tengah lingkaran, berdiri seorang pendeta, memegang lembing sepanjang tongkat
unggas. Satu demi satu lawan-lawan maju ke depan, menantangnya. Satu demi satu pula
mereka diruntuhkan ke bumi, atau diterbangkan ke udara.
"Ayo maju!" teriaknya, tapi akhirnya tak ada lagi orang yang datang. "Kalau tak ada
lagi, saya pergi. Ada yang keberatan untuk menyatakan diri saya, Nankobo, sebagai
pemenang?" Setelah belajar di bawah pimpinan In'ei, ia menciptakan gayanya sendiri, dan
kini menjadi saingan utama Inshun. Inshun sendiri hari ini tidak hadir, dengan alasan
sakit. Tak seorang pun tahu, apakah ia takut pada Nankobo, atau lebih suka menghindari
konflik. Ketika tak seorang pun maju ke depan, pendeta bertubuh besar dan tegap itu menurunkan
lembingnya, memegangnya mendatar, dan menyatakan, "Tak ada lagi penantang."
"Tunggu!" seru seorang pendeta, sambil berlari ke depan Nankobo. "Saya Daun, murid
Inshun. Saya menantang Anda."
"Siapkan dirimu."
Sesudah saling membungkuk, kedua orang itu melompat menjauh. Kedua lembing mereka
begitu lama saling tatap, seperti makhluk hidup, hingga orang banyak menjadi bosan dan
mulai berteriak-teriak menghendaki aksi.
Kemudian sekonyong-konyong teriakan mereda. Lembing Nankobo menghunjam ke kepala Daun,
dan seperti pengejut burung yang digulingkan angin, tubuhnya pelan-pelan menyandar ke
samping, kemudian tiba-tiba jatuh ke tanah. Tiga-empat pemain lembing berlari maju,
bukan untuk membalas dendam, tapi hanya untuk menyeret tubuh itu ke luar.
Nankobo dengan sombong membidangkan dadanya dan mengamati orang banyak. "Rupanya tak
banyak lagi orang yang berani. Kalau memang masih ada, silakan maju."
Seorang pendeta gunung maju ke depan, dari belakang sebuah tenda. Ia menurunkan pen
perjalanan dari punggungnya, dan tanyanya, "Apa pertandingan ini hanya terbuka buat
pemain lembing Hozoin"'
"Tidak," jawab pendeta-pendeta Hozoin serentak.
Pendeta itu membungkuk. "Kalau begitu, saya ingin mencoba. Ada yang bisa meminjamkan
pedang kayu pada saya?"
Hyogo memandang Sukekuro, katanya, "Oh, ini mulai menarik."
"Barangkali juga."
"Tak sangsi lagi bagaimana jadinya."
"Bukan itu maksudku. Kupikir Nankobo takkan mau berkelahi. Kalau dia mau, dia akan
kalah." Sukekuro tampak bertanya-tanya, tapi ia tidak minta penjelasan.
Satu orang menyerahkan pedang kayu kepada pendeta pengembara itu. Ia berjalan mendekati
Nankobo, membungkuk, dan menyampaikan tantangannya. Umurnya sekitar empat puluh tahun,
tapi tubuhnya yang seperti baja pegas itu mengisyaratkan bahwa ia terlatih bukan dalam
cara pendeta gunung, melainkan di medan laga. Ia tentunya orang yang sudah banyak kali
berhadapan dengan maut, dan siap menghadapi maut dengan tenang. Gaya bicaranya lembut,
dan matanya tenang. Nankobo memang angkuh, tapi la bukan orang bodoh. "Anda orang luar?" tanyanya asal
saja. "Ya," jawab si penantang, membungkuk sekali lagi.
"Tunggu sebentar." Nankobo melihat dua hal dengan jelas: tekniknya kemungkinan memang
lebih baik daripada teknik pendeta itu, tapi pada akhirnya ia takkan dapat menang.
Sejumlah prajurit terkemuka yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara diketahui masih
menyamar sebagai pendeta pengembara. Hanya Tuhan yang tahu, siapa orang itu.
"Saya tak bisa menghadapi orang luar," kata Nankobo sambil menggeleng.
"Saya sudah tanya peraturannya tadi, dan jawabannya bisa."
"Dengan yang lain bisa-bisa saja, tapi saya memilih untuk tidak bertarung dengan orang
luar. Saya berkelahi bukan dengan tujuan mengalahkan lawan. Ini kegiatan keagamaan. Di
sini saya mendisiplinkan jiwa saya lewat lembing."
"Oh, begitu," kata si pendeta disertai tawa kecil. Ia agaknya masih hendak mengatakan
sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia menimbang-nimbang sebentar, kemudian mengundurkan diri dari
medan, mengembalikan pedang kayu itu, dan menghilang.
Nankobo memakai kesempatan itu untuk keluar, tanpa memedulikan bisik-bisik orang bahwa
mengundurkan diri itu baginya berarti pengecut. Diikuti dua-tiga muridnya, ia berjalan
dengan megahnya, seperti jenderal penakluk.
"Nah, apa kataku?" kata Hyogo.
"Anda betul sekali."
"Orang itu pasti salah satu dari orang-orang yang bersembunyi di Gunung Kudo. Gantikan
jubah putih dan dandanannya itu dengan ketopong dan baju zirah, dan dia akan menjadi
salah seorang pemain pedang besar beberapa tahun lalu."
Orang-orang sudah menjarang, dan Sukekuro mulai mencari Ushinosuke, tapi anak itu tidak
kelihatan olehnya. Mendapat isyarat dari Iori tadi, ia pergi ke pagoda, dan kini mereka
berdua berdiri saling tatap dengan ganasnya.
"Jangan salahkan aku, kalau kau terbunuh," kata Iori.
"Omong besar kau!" kata Ushinosuke, mengambil tongkat untuk senjata.
Iori menyerbu dengan pedang diangkat tinggi-tinggi. Ushinosuke
menurut pendapatnya Ushinosuke takut, Iori berlari langsung ke
melompat sambil menendang sisi kepalanya. Tangan Iori memegang
ke tanah. Tapi ia cepat pulih kembali, dan dalam sekejap sudah
itu ber-hadapan-hadapan dengan senjata terangkat.
melompat mundur. Karena arahnya, tapi Ushinosuke kepalanya, dan ia rebah berdiri lagi. Kedua anak Lupa akan ajaran Musashi dan Gonnosuke, Iori menyerang dengan mata tertutup. Ushinosuke
menyamping sedikit dan memukul dengan tongkat.
"Ha! Aku menang!" teriak Ushinosuke. Tapi ketika dilihatnya Iori tak bergerak sama
sekali, ia jadi ketakutan dan lari.
"Siapa bilang!" bentak Gonnosuke. Tongkatnya yang empat kaki panjangnya itu menghantam
pinggul Ushinosuke. Ushinosuke jatuh sambil menjerit kesakitan, tapi sesudah melihat Gonnosuke sekilas, ia
bangkit dan lari lagi seperti kelinci, hingga kepalanya membentur Sukekuro.
"Ushinosuke! Apa yang terjadi di sini?"
Ushinosuke cepat menyembunyikan diri di belakang Sukekuro, sehingga samurai itu
berhadap-hadapan dengan Gonnosuke. Untuk sesaat seakanakan benturan tak dapat dihindari
lagi. Tangan Sukekuro menyambar pedang, sedangkan Gonnosuke mengetatkan pegangan
tongkatnya. "Boleh saya bertanya?" tanya Sukekuro. "Kenapa Anda mengejar anak ini, seperti mau
membunuhnya?" "Sebelum menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apa Anda lihat tadi dia
merobohkan anak itu?"
"Apa anak itu teman Anda?"
"Ya. Apa ini salah seorang pembantu Anda?"
"Secara resmi tidak." Sambil menatap Ushinosuke, tanyanya garang, "Kenapa kaupukul anak
itu, lalu lari" Katakan yang sebenarnya sekarang."
Belum lagi Ushinosuke membuka mulut, Iori sudah mengangkat kepala dan berteriak, "Itu
tadi pertarungan!" Sambil duduk kesakitan, katanya, "Kami berdua bertarung, dan saya
kalah." "Apa kalian berdua sudah saling tantang sesuai aturan, dan sepakat bertempur?" tanya
Gonnosuke. Ia memandang kedua anak itu bergantian, dan tampak nada kagum dalam matanya.
Dengan sikap sangat malu, Ushinosuke berkata, "Saya tidak tahu itu tadi tikarnya."
Kedua pria itu saling menyeringai. Sadarlah mereka bahwa kalau tadi mereka tidak
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengendalikan diri, kejadian sepele yang kekanak-kanakan itu dapat berakhir dengan
pertumpahan darah. "Saya menyesalkan kejadian ini," kata Sukekuro. "Begitupun saya. Saya harap Anda
memaafkan saya." "Tidak apa-apa. Guru saya menanti kami, karena itu lebih baik kami pergi sekarang."
Mereka keluar pintu gerbang sambil tertawa, Gonnosuke dan Iori ke kiri, Sukekuro dan
Ushinosuke ke kanan. Kemudian Gonnosuke menoleh, katanya, "Boleh saya bertanya" Kalau kami terus mengikuti
jalan ini, apa kami akan sampai Benteng Koyagyu?"
Sukekuro mendekati Gonnosuke, dan beberapa menit kemudian, ketika Hyogo bergabung
dengan mereka, ia menyampaikan pada Hyogo siapa orang-orang itu, dan kenapa mereka ada
di sana. Hyogo menarik napas panjang dengan sikap simpatik. "Sayang sekali. Coba kalau Anda
datang tiga minggu lalu, sebelum Otsu pergi menggabungkan diri dengan Musashi di Edo."
"Tapi dia tak ada di Edo," kata Gonnosuke. "Tak ada yang tahu di mana dia berada,
termasuk teman-temannya."
Iori berusaha menahan air matanya, namun sesungguhnya ia ingin sekali pergi sendiri ke
suatu tempat, untuk melampiaskan perasaannya. Dalam perjalanan turun, tidak hentihentinya ia bicara tentang pertemuan dengan Otsu, atau setidaknya demikianlah kesan
Gonnosuke. Dan ketika percakapan orang-orang dewasa itu beralih pada peristiwaperistiwa di Edo, ia pun lama-lama merasa asing. Kepada Gonnosuke, Hyogo minta lebih
banyak informasi tentang Musashi, minta kabar tentang pamannya, dan minta perincian
tentang hilangnya Ono Tadaaki. Kelihatannya pertanyaannya takkan ada habisnya, demikian
juga jawaban yang diberikan Gonnosuke.
"Ke mana kau pergi?" tanya Ushinosuke pada Iori, sambil menyusulnya dari belakang dan
meletakkan tangan dengan simpati ke bahu Iori. "Kau menangis, ya?"
"Tentu saja tidak!" Tapi ketika menggeleng, air matanya terlontar jatuh.
"Hmm... Kau bisa menggali kentang liar, tidak?"
"Tentu." "Ada kentang di sana. Mau tahu siapa yang bisa menggali paling cepat?"
Iori menerima tantangan itu, dan mereka mulai menggali.
Hari sudah menjelang senja, dan karena masih banyak yang dibicarakan, Hyogo mendesak
Gonnosuke untuk tinggal beberapa hari di benteng. Namun Gonnosuke mengatakan lebih suka
melanjutkan perjalanan. Selagi mengucapkan kata-kata perpisahan, mereka menyadari bahwa kedua anak itu hilang
lagi. Tapi sejenak kemudian Sukekuro menunjuk, dan katanya, "Itu mereka di sana.
Rupanya mereka sedang menggali."
Iori dan Ushinosuke sedang tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Karena rapuhnya akar
kentang, mereka mesti menggali dengan hati-hati sampai dalam. Ketiga lelaki itu senang
melihat ketekunan mereka, dan diam-diam mendekati mereka dari belakang, serta
memperhatikan mereka beberapa menit lamanya. Akhirnya Ushinosuke menengadah melihat
mereka. la tergagap sedikit, sedangkan Iori menoleh sambil menyeringai. Lalu mereka
kembali bekerja keras. "Aku menang!" teriak Ushinosuke sambil mencabut kentang panjang dan meletakkannya di
tanah. Melihat lengan Iori masih terbenam sampai bahu dalam lubang, Gonnosuke berkata tak
sabar, "Kalau kau tidak lekas menyelesaikannya, aku pergi sendiri!"
Sambil meletakkan satu tangan ke paha, seperti seorang petani tua, Iori memaksa dirinya
berdiri, dan katanya, "Oh, tak sanggup aku. Sampai malam takkan selesai." Dengan wajah
menyerah, dikibaskannya tanah dari kimononya.
"Tak bisa kau mengeluarkan kentang itu, padahal sudah menggali begitu dalam?" tanya
Ushinosuke. "Mari aku tarikkan."
"Tidak," kata Iori sambil mencegah tangan Ushinosuke. "Nanti patah." Dengan hati-hati
dikembalikannya tanah itu ke dalam lubang, dan dipadatkannya.
"Selamat tinggal," kata Ushinosuke. Dengan bangga ia memanggul kentangnya, dan secara
kebetulan kelihatan ujungnya yang patah.
Melihat itu, Hyogo berkata, "Kau kalah. Boleh saja kau menang dalam perkelahian, tapi
kau tidak lulus dalam pertandingan menggali kentang."
*** 97. Tukang Sapu dan Pedagang
BUNGA-BUNGA sakura jadi berwarna pucat karena sudah lewat masa puncaknya, sedangkan
kembang widuri sudah layu, mengingatkan orang pada masa berabad-abad lalu, ketikaNara
masih menjadi ibu kota. Hari itu agak terlalu panas untuk berjalan, tapi baik Gonnosuke
maupun Iori belum lelah berjalan.
Iori menarik lengan baju Gonnosuke, dan katanya kuatir. "Orang itu masih saja mengikuti
kita!" Gonnosuke terus memandang lurus ke depan, katanya, "Pura-pura kita tidak melihat dia."
"Dia sudah di belakang kita sejak kita meninggalkan Kofukuji."
"Ya." "Dan dia ada di penginapan itu, waktu kita tinggal di sana, kan?"
"Tak usah kau kuatir karena itu. Kita tak punya barang yang patut dirampas."
"Tapi kita punya nyawa! Nyawa itu bukan barang sepele."
"Ha, ha. Tap aku sudah mengunci nyawaku. Kau belum, ya?"
"Tapi saya dapat menjaga diri." Dan Ion mengetatkan genggaman tangan kirinya atas
sarung pedangnya. Gonnosuke tahu, orang itu pendeta pengembara yang menantang Nankobo kemarin, tapi ia
tak habis pikir, kenapa pendeta itu menguntit mereka.
Iori menoleh lagi, dan katanya, "Lho, dia tak ada!"
Gonnosuke menoleh juga ke belakang. "Barangkali dia capek." Ia menarik napas panjang,
dan tambahnya. "Tapi aku merasa lebih lega sekarang." Mereka menginap di rumah seorang
petani malam itu, dan pagi-pagi hari berikutnya, mereka tiba di Amano di Kawachi.
Tempat itu adalah kampung kecil dengan rumah-rumah yang rendah tepian atapnya, dan di
belakang rumah-rumah itu mengalir sungai dengan air gunung yang jernih.
Gonnosuke datang ke situ untuk meletakkan tanda peringatan bagi ibunya di Kuil Kongoji,
yang dinamakan Gunung Koya Para Wanita. Tapi pertama-tama ia ingin mengunjungi seorang
wanita bernama Oan, yang dikenalnya sejak kecil, supaya nantinya selalu ada orang
membakar dupa di hadapan tanda peringatan itu. Kalau wanita itu tak dapat ditemukannya,
ia bermaksud pergi ke Gunung Koya, yaitu tempat pemakaman bagi orang-orang kaya dan
perkasa. la berharap tidak perlu sampai pergi ke sana, sebab pasti ia akan merasa
seperti pengemis kalau harus ke sana.
Ia bertanya pada istri seorang penjaga toko, dan mendapat keterangan bahwa Oan adalah
istri seorang pembuat sake bernama Toroku; rumahnya adalah yang keempat di sebelah
kanan, dalam pekarangan kuil.
Ketika melewati gerbang, Gonnosuke heran mengingat kata-kata wanita itu, karena di situ
ada papan pengumuman yang menyatakan bahwa membawa sake dan bawang perai ke pekarangan
suci itu dilarang. Bagaimana mungkin ada penyulingan sake di sana"
Teka-teki kecil tersebut dipecahkan malam itu, oleh Toroku. Ia minta mereka menganggap
tempat itu sebagai rumah sendiri, dan dengan senang hati menyatakan bersedia berbicara
dengan kepala biara, tentang tanda peringatan bagi ibu Gonnosuke. Toroku menyatakan
bahwa Toyotomi Hideyoshi pernah mencicipi dan menyatakan kekaguman atas sake yang
dibuat untuk kuil itu. Para pendeta kemudian membangun penyulingan untuk membuat sake
bagi Hideyoshi dan lain-lain drtimyo yang memberikan sumbangan kepada kuil itu. Produk
pabrik agak jatuh sesudah meninggalnya Hideyoshi, tapi kuil masih menyediakan
produksinya bagi sejumlah pelindung khusus.
Ketika Gonnosuke dan Iori terbangun pagi berikutnya, Toroku sudah pergi. Ia pulang
sebentar sesudah tengah hari, dan mengatakan bahwa sudah dilakukan berbagai persiapan.
Kuil Kongoji terletak di lembah Sungai Amano, di tengah beberapa puncak gunung berwarna
batu lumut. Gonnosuke, Ion, dan Toroku berhenti sebentar di jembatan yang menuju
gerbang utama. Bunga sakura mengapung di air di bawah jembatan. Gonnosuke membidangkan
dadanya, wajahnya memperlihatkan ketakziman. Iori membenahi kerahnya.
Ketika menghampiri ruangan utama, mereka disambut oleh kepala biara, seorang lelaki
jangkung, agak kekar, dan mengenakan jubah pendeta biasa. Akan cocok seandainya ia
memakai topi anyaman yang sudah sobek dan sebatang tongkat panjang.
"Apa ini orang yang ingin melakukan kebaktian untuk ibunya?" tanyanya dengan nada
ramah. "Ya, Pak," jawab Toroku sambil bersujud.
Gonnosuke, yang semula menyangka akan bertemu dengan seorang pendeta berwajah garang
dan mengenakan pakaian brokat emas, menjadi bingung bagaimana akan memberi salam
kepadanya. Ia membungkuk dan memperhatikan ketika kepala biara itu turun dari serambi,
memasukkan kakinya yang besar ke dalam sandal jerami yang kotor, dan berhenti di
depannya. Dengan tasbih di tangan, kepala biara minta mereka mengikutinya, kemudian
seorang pendeta muda mengikuti mereka dari belakang.
Mereka melewati Ruang Yakushi, kamar makan, pagoda harta bertingkat satu, dan tempat
kediaman para pendeta. Sampai di Ruang Dainichi, pendeta muda itu maju ke depan dan
bicara dengan kepala biara. Kepala biara mengangguk, dan si pendeta membuka pintu
dengan kunci yang sangat besar.
Gonnosuke dan Iori memasuki ruang besar itu bersama-sama, dan berlutut di hadapan
podium para pendeta. Sepuluh kaki di atas podium terdapat patung raksasa Dainichi dari
emas, Budha alam semesta dari sektesekte rahasia. Beberapa waktu kemudian, kepala biara
muncul dari batik altar, dalam jubah kebesarannya, dan mengambil tempat di atas podium.
Mulailah terdengar alunan kitab sutra. Tanpa kentara, ia seolah berubah bentuk menjadi
seorang pendeta tinggi yang bermartabat. Kekuasaannya jelas kelihatan dari posisi
bahunya. Gonnosuke menangkupkan tangan di depan badan. Segumpal awan kecil seolah melintas di
depan matanya, dan dari gumpalan awan itu muncul bayangan Celah Shiojiri, di mana ia
dan Musashi saling menguji kekuatan. Ibunya duduk di sisi lain, tegak seperti papan. Ia
tampak kuatir, seperti ketika dulu ia menyerukan kata yang menyelamatkan Gonnosuke
dalam perkelahian itu. "Ibu," pikir Gonnosuke, "Ibu tak perlu kuatir dengan masa depanku. Musashi sudah setuju
menjadi guruku. Tak lama lagi aku akan dapat mendirikan perguruanku sendiri. Dunia
boleh saja kacau, tapi aku takkan menyeleweng dari Jalan-ku. Dan aku pun takkan
melalaikan kewajibankewajibanku sebagai anak...."
Ketika Gonnosuke lepas dari lamunan itu, alunan suara kepala biara sudah berhenti, dan
ia sudah pergi. Di sampingnya Iori duduk terpaku, matanya lekat pada wajah Dainichi
yang merupakan keajaiban dalam bidang seni patung, karya Unkei yang agung di abad
ketiga betas. "Kenapa kau menatap begitu, Iori?"
Tanpa mengalihkan pandangannya, kata anak itu, "Kakak saya! Budha ini kelihatan seperti
kakak saya." Gonnosuke tertawa mendengarnya. "Apa yang kaubicarakan ini" Melihat dia saja kau belum
pernah. Bagaimanapun, takkan pernah ada orang yang bisa tampak sewelas asih dan
setenteram Dainichi."
Iori menggelengkan kepala keras-keras. "Tapi saya sudah melihat dia! Dekat kediaman
Yang Dipertuan Yagyu di Edo. Dan bicara dengan dia! Waktu itu saya tidak tahu dia kakak
saya, tapi tadi, waktu kepala biara menyanyi, muka sang Budha berubah menjadi muka
kakak saya. Dan kakak saya seolah mengatakan sesuatu pada saya."
Mereka keluar dan duduk di beranda, enggan membuang pesona khayal yang telah mereka
peroleh. "Kebaktian tadi itu untuk ibuku," kata Gonnosuke termenung. "Tapi hari ini hari baik
juga untuk makhluk hidup. Duduk seperti ini di sini, rasanya sukar aku percaya bahwa
perkelahian dan pertumpahan darah bisa berlangsung."
Puncak pagoda harta yang terbuat dari logam itu berkilauan seperti pedang bertatahkan
permata, dalam cahaya matahari yang sedang tenggelam. Semua bangunan lain berdiri dalam
bayangan gelap. Lentera-lentera batu berderet di jalan gelap yang mendaki bukit terjal
menuju warung teh gaya Muromachi dan sebuah mausoleum kecil.
Seorang biarawati tua, dengan kepala tertutup bandana sutra putih, dan seorang lakilaki gempal berumur sekitar lima puluh tahun, sedang menyapu daun-daunan dengan sapu
jerami, dekat warung teh.
Biarawati itu mengeluh, kemudian katanya, "Kukira sekarang sudah lebih baik." Hanya
sedikit orang datang ke bagian kuil ini, meski sekadar untuk membersihkan dedaunan dan
bangkai burung yang menumpuk selama musim dingin.
"Ibu tentunya lelah," kata laki-laki itu. "Kenapa tidak duduk beristirahat" Biar
kuselesaikan." Ia mengenakan kimono katun sederhana dengan mantel tak berlengan, sandal
jerami, dan kaus kulit berpola bunga sakura, berikut pedang pendek dengan gagang tanpa
hiasan yang terbuat dari kulit ikan hiu.
"Aku tidak lelah," jawab biarawati itu sambil tertawa kecil. "Tapi bagaimana denganmu"
Kau tidak biasa dengan kerja ini. Apa tanganmu tidak lecet?"
"Tidak lecet, tapi melepuh semua."
Perempuan itu tertawa lagi, katanya, "Nah, apa itu bukan tanda mata yang bagus buat
dibawa pulang?" "Aku tak peduli. Aku merasa hatiku sudah disucikan. Aku berharap persembahan kerja kita
yang tak berarti ini diterima dewa-dewa."
"Oh, sudah gelap benar. Mari kita selesaikan besok pagi saja."
Gonnosuke dan Iori sekarang berdiri di dekat serambi. Koetsu dan Myoshu pelan-pelan
menyusuri jalan yang menurun, sambil berpegangan tangan. Ketika sampai di dekat Ruang
Dainichi, keduanya terkejut dan berseru, "Siapa di situ?"
Kemudian kata Myoshu, "Hari bagus, ya" Apa kalian datang buat melihat-lihat?"
Gonnosuke membungkuk, katanya, "Tidak, saya mengirim bacaan sutra buat ibu saya."
"Oh, saya senang sekali bertemu dengan orang muda yang tahu terima kasih kepada
orangtuanya." Ia menepuk kepala Iori dengan sikap keibuan.
"Koetsu, apa kue gandum itu masih ada?"
Koetsu mengeluarkan bungkusan kecil dari lengan kimononya dan menawarkannya pada Iori.
"Maafkan saya, menawarkan makanan sisa."
"Gonnosuke, boleh saya menerimanya?" tanya Iori.
"Ya," kata Gonnosuke, menyatakan terima kasih pada Koetsu atas nama Iori.
"Dari aksen bicaramu, rupanya kau datang dari timur," kata Myoshu.
"Boleh saya bertanya, ke mana kalian hendak pergi?"
"Rasanya ini perjalanan tanpa akhir, di jalan tak ada ujung. Anak ini dan saya samasama murid Jalan Pedang."
"Oh, jalan sulit yang kalian pilih itu. Siapa guru kalian?"
"Namanya Miyamoto Musashi."
"Musashi" Yang benar!" Myoshu tertegun, seakan-akan sedang mengingat kembali kenangan
manis. "Di mana Musashi sekarang?" tanya Koetsu. "Lama kami tak jumpa dengannya."
Gonnosuke menyampaikan pada mereka tentang nasib baik Musashi selama beberapa tahun
terakhir itu. Sambil mendengarkan, Koetsu mengangguk-angguk dan tersenyum, seakan-akan
mengatakan. "Itu yang saya harapkan untuknya."
Selesai bercerita, Gonnosuke bertanya, "Boleh saya tahu siapa Bapak?"
"O ya, maaf saya tidak mengatakannya tadi."
Koetsu memperkenalkan dirinya dan ibunya. "Musashi tinggal dengan kami sebentar,
beberapa tahun lalu. Kami suka sekali padanya, dan sampai sekarang pun masih sering
kami bicara tentangnya." Kemudian ia bercerita pada Gonnosuke tentang dua-tiga
peristiwa yang terjadi ketika Musashi ada di Kyoto.
Gonnosuke sudah lama tahu nama baik Koetsu sebagai penggosok pedang, dan baru-baru ini
ia mendengar tentang hubungan Musashi dengan orang itu. Tapi ia tak pernah menduga akan
melihat orang kota yang kaya itu membersihkan pekarangan kuil yang terbengkalai.
"Apa di sini ada kuburan orang yang dekat dengan Bapak?" tanyanya. "Atau barangkali
Bapak datang kemari untuk pesiar?"
"Tidak, tak ada yang lebih sembrono daripada pesiar," seru Koetsu. "Setidaknya di
tempat suci seperti ini.... Apa kalian sudah mendengar dari para pendeta, riwayat Kuil
Kongoji ini." "Belum." "Kalau begitu, izinkan saya sebagai ganti para pendeta, bercerita sedikit tentangnya.
Tapi harap dimengerti, saya hanya mengulang apa yang pernah saya dengar." Koetsu
berhenti dan menoleh ke sekitar pelan-pelan, kemudian katanya, "Tepat sekali bulan
malam ini," dan ia menunjuk beberapa peninggalan penting: di atas mereka mausoleum,
Mieido dan Kangetsutei, di bawah mereka Taishido, tempat suci Shinto, pagoda harta,
ruang makan, dan gerbang bertingkat dua.
"Lihat baik-baik," katanya, seolah-olah terpesona oleh suasana sepi itu. "Pohon pinus
itu, batu-batu itu, setiap pohon, setiap lembar rumput di sini, adalah bagian dari
keabadian yang tak kelihatan, yang merupakan tradisi molek negeri kita."
Ia meneruskan dalam nada sama, dan dengan khidmat bercerita bahwa di abad keempat
belas, selama berlangsungnya konflik antara istana selatan dan utara, gunung itu
menjadi kubu istana selatan. Dikatakannya, Pangeran Morinaga, yang dikenal juga sebagai
Daito no Miya, mengadakan pertemuanpertemuan rahasia untuk menggulingkan para regent
Hojo. Sementara itu, Kusunoki Masashige dan kaum loyalis yang lain bertempur melawan
tentara istana utara. Kemudian Keluarga Ashikaga memegang kekuasaan, dan Kaisar GoMurakami yang terusir dari Gunung Otoko terpaksa melarikan diri dari tempat satu ke
tempat lain. Akhirnya ia berlindung di kuil itu, dan bertahun-tahun lamanya hidup
sebagai pendeta gunung biasa, dengan menanggung berbagai kekurangan. Dengan menggunakan
ruang makan itu sebagai pusat pemerintahannya, ia bekerja tanpa kenal lelah untuk
memperoleh kembali hak istimewa kekaisaran yang direbut militer.
Sebelum itu, ketika para samurai dan orang-orang istana berkumpul di sekitar mantan
Kaisar Kogon, yaitu Komyo dan Suko, biarawan Zen'e menulis dengan pedih, "Tempat
tinggal para pendeta dan kuil-kuil gunung semuanya diruntuhkan. Kerugian tidak
terlukiskan." Gonnosuke mendengarkan dengan sikap hati-hati dan penuh hormat. Iori, yang terpesona
oleh kesungguhan suara Koetsu, tidak dapat melepaskan matanya dari wajah orang itu.
Koetsu menarik napas panjang, meneruskan, "Segala sesuatu di sini adalah peninggalan
zaman itu. Mausoleum itu tempat peristirahatan terakhir Kaisar Kogon. Sejak surutnya
Keluarga Ashikaga, tak ada yang terawat secara memadai. Itu sebabnya ibu saya dan saya
memutuskan untuk membersihkannya sedikit, sebagai tanda takzim."
Karena senang dengan ketekunan para pendengarnya, Koetsu berusaha keras mencari katakata yang cocok untuk mengungkapkan perasaannya.
"Waktu sedang menyapu, kami temukan sebuah batu berukir sajak, yang barangkali ditulis
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh seorang prajurit pendeta zaman itu. Bunyinya:
Biar perang berjalan terus, Sampai seratus tahun sekalipun, Musim semi kan datang
kembali, Hiduplah dengan hati bernyanyi. Hai, kalian rakyat sang Kaisar.
"Coba bayangkan, betapa besar keberanian dan semangat yang diperlukan oleh seorang
prajurit sederhana yang sudah bertempur bertahun-tahun, dan barangkali berpuluh-puluh
tahun lamanya, dalam melindungi sang kaisar, untuk dapat bergembira dan menyanyi! Saya
yakin, dasarnya adalah karena semangat. Masashige bersemayam di had prajurit itu.
Walaupun seratus tahun pertempuran telah berlalu, tempat ini tetap menjadi tanda
peringatan bagi martabat kekaisaran. Maka, tidakkah kita mesti menyatakan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas hal ini?"
"Saya tidak tahu bahwa ini dulu tempat berlangsungnya pertempuran suci," kata
Gonnosuke. "Saya harap Bapak memaafkan ketidaktahuan saya."
"Saya senang mendapat kesempatan menyampaikan sebagian buah pikiran saya mengenai
sejarah negeri kita ini."
Keempat orang itu berjalan menuruni bukit bersama-sama. Di dalam terang bulan, bayangan
mereka tampak kecil tak berarti.
Ketika mereka melewati ruang makan, Koetsu berkata, "Kami sudah tujuh hari tinggal di
sini. Kami akan pulang besok. Kalau kalian bertemu dengan Musashi, sampaikan padanya
supaya dia menengok kami lagi."
Gonnosuke menegaskan bahwa ia akan menyampaikan pesan itu.
Di atas sungai dangkal yang mengalir cepat sepanjang dinding luar kuil itu, ada sebuah
jembatan tanah. Belum lagi Gonnosuke dan Iori menginjakkan kaki di jembatan itu, sesosok tubuh besar
putih bersenjatakan tongkat muncul dari balik bayangan, dan melesat menyerang punggung
Gonnosuke. Gonnosuke menghindar dari serangan itu dengan meluncur ke samping, tapi Iori
terpental dari jembatan. Orang itu menyeruduk lewat Gonnosuke, ke jalan di ujung sana jembatan. Tapi seketika
itu juga ia berbalik dan mengambil jurus mantap, kedua kakinya mirip batang pohon
kecil. Gonnosuke melihat bahwa orang itu pendeta yang telah mengikuti mereka kemarin.
"Siapa kau?" teriak Gonnosuke.
Pendeta itu tak menjawab.
Gonnosuke menggerakkan tongkatnya dalam posisi siap memukul, dan berteriak, "Siapa kau"
Apa alasanmu menyerang Muso Gonnosuke?"
Pendeta itu pura-pura tak mendengar. Matanya memercikkan api, sementara jari-jari
kakinya yang menyembul dari dalam sandal jerami yang berat itu merayap maju seperti
lipan. Gonnosuke menggeram dan mengutuk berbisik. la beringsut ke depan dengan kakinya yang
pendek berat, yang kini menggelembung karena nafsu berkelahi.
Tongkat si pendeta patah berderak menjadi dua. Separuh melayang ke udara, separuh lagi
dilontarkan sekuat-kuatnya ke wajah Gonnosuke. Lontaran itu tidak mengena, tapi
sementara Gonnosuke memulihkan keseimbangan badannya, lawannya menarik pedang dan
menyerbu ke jembatan. "Bajingan!" pekik Iori.
Pendeta itu menggagap dan memegang wajahnya. Batu-batu kecil yang dilemparkan Ion
mengenai sasarannya, satu di antaranya tepat mengenai mata. Si pendeta pun berpusing
dan lari. "Berhenti!" teriak Iori sambil merangkak naik ke tepi sungai, membawa sejumlah batu.
"Biarkan," kata Gonnosuke sambil meletakkan tangan ke lengan Iori. "Biar dia tahu
rasa!" ucap Iori puas, sambil melontarkan bebatuan itu ke bulan.
Segera sesudah mereka kembali ke rumah Toroku dan pergi tidur, badai bertiup. Angin
meraung-raung di antara pepohonan, mengancam akan menerbangkan atap rumah, tapi itu
bukan satu-satunya hal yang membuat mereka susah tidur.
Gonnosuke terbaring terjaga, teringat masa lalu dan masa sekarang. Terpikir olehnya,
apakah dunia ini memang lebih baik sekarang daripada berabad-abad lampau. Nobunaga,
Hideyoshi, dan Ieyasu telah memperoleh simpati rakyat, juga kekuasaan untuk memerintah,
tapi terpikir oleh Gonnosuke, tidakkah penguasa yang sebenar-benarnya itu telah
terlupakan, dan kini rakyat disuruh menyembah dewa-dewa palsu" Zaman Keluarga Hojo dan
Ashikaga adalah zaman yang menimbulkan rasa benci, yang jelas-jelas berlawanan dengan
prinsip yang menjadi dasar berdirinya negeri ini. Namun, di zaman itu pun, para
prajurit besar seperti Masashige dan anaknya, juga loyalis dari banyak provinsi, tetap
mengikuti tata krama prajurit sejati. Apa yang telah terjadi dengan Jalan Samurai" Ya,
Gonnosuke kini bertanya pada diri sendiri. Seperti halnya Jalan Orang Kota dan Jalan
Petani, agaknya Jalan Samurai sekarang ini hanyalah demi penguasa militer.
Pikiran-pikiran itu membuat sekujur tubuh Gonnosuke terasa panas. Puncak Pegunungan
Kawachi, hutan di sekitar Kuil Kongoji, dan badai yang melolong-semuanya jadi seperti
makhluk-makhluk hidup yang berseruseru kepadanya dalam mimpi.
Sementara itu, Iori tak dapat mengusir pendeta tak dikenal itu dari pikirannya. Ia
masih juga memikirkan sosok putih seperti hantu itu, lama kemudian. Ketika badai makin
menghebat, ditutupkannya selimut ke atas matanya, dan barulah ia terlena dalam tidur
lelap tanpa mimpi. Ketika mereka berangkat lagi pagi berikutnya, awan-awan di atas pegunungan berwarna
pelangi. Baru saja mereka keluar dari kampung, seorang pedagang keliling muncul dari
balik kabut pagi, dan mengucapkan selamat pagi pada mereka dengan nada riang.
Gonnosuke menjawab acuh tak acuh. Iori masih terbenam dalam pikiran yang membuatnya tak
bisa tidur malam sebelumnya, jadi ia pun tidak terlalu ramah.
Orang itu mencoba membuka percakapan. "Anda menginap di rumah Toroku tadi malam, ya"
Saya sudah bertahun-tahun mengenalnya. Mereka orang-orang baik, dia dan istrinya."
Kata-kata itu hanya dapat memancing sungutan pelan Gonnosuke.
"Saya juga sekali-sekali berkunjung ke Benteng Koyagyu," kata pedagang itu. "Kimura
Sukekuro banyak membantu saya."
Kata-kata itu dijawab dengan sungutan lagi.
"Saya lihat Anda telah mengunjungi 'Gunung Koya Para Wanita.' Saya kira sekarang Anda
akan pergi ke Gunung Koya itu sendiri. Sekaranglah waktu yang tepat. Salju mulai
mencair, dan semua jalan sudah diperbaiki. Anda dapat melintasi celah Amami dan Kiimi
dengan santai, dan menginap di Hashimoto atau Kamuro..."
Usaha orang itu untuk mencari tahu rencana perjalanan mereka membuat Gonnosuke curiga.
"Apa kerja Anda?" tanyanya.
"Saya penjual tali kepang," kata orang itu, sambil menunjuk bungkusan kecil di
punggungnya. "Tali ini dibuat dari katun yang dianyam datar. Belum lama ditemukan, tapi
sudah cepat disukai orang."
"Begitu," kata Gonnosuke.
"Toroku banyak membantu memasarkan tali saya ini kepada para pemuja di Kuil Kongoji.
Sebetulnya saya punya rencana menginap di rumahnya tadi malam, tapi katanya sudah ada
dua tamu. Agak kecewa juga. Kalau saya tinggal di rumahnya, dia selalu menyuguhi saya
sake yang enak." Ia tertawa.
Gonnosuke jadi agak luluh, dan mulai mengajukan pertanyaan tentang tempat-tempat di
sepanjang jalan itu, karena pedagang itu kenal benar dengan pedesaan di situ. Begitu
mereka sampai di dataran tinggi Amami, percakapan sudah menjadi cukup bersahabat.
"Hei, Sugizo!" Seorang lelaki datang menderap di jalanan itu, menyusul mereka. "Kenapa kautinggalkan
aku" Aku tunggu di Kampung Amano. Kaubilang akan singgah menjemputku."
"Maaf, Gensuke," kata Sugizo. "Aku jumpa dengan kedua teman ini dan asyik bercakapcakap, sampai lupa sama sekali padamu." Ia tertawa dan menggaruk kepalanya.
Gensuke, yang berpakaian seperti Sugizo itu, ternyata pedagang tali juga. Sementara
berjalan, kedua pedagang itu mulai membicarakan soal perdagangan.
Sampai di sebuah jurang yang dalamnya sekitar enam meter, tiba-tiba Sugizo berhenti
bicara dan menunjuk. "Itu berbahaya," katanya.
Gonnosuke berhenti dan memandang jurang yang menyerupai celah sisa gempa bumi, yang
barangkali terjadi di masa lalu. "Apa susahnya?" tanyanya.
"Balok-balok itu tidak aman buat menyeberang. Lihat itu, sebagian batu yang
mendukungnya sudah terbawa hanyut. Lebih baik kita bereskan dulu balok-balok itu,
supaya kokoh." Kemudian tambahnya. "Kita mesti melakukannya, demi pejalan yang lain."
Gonnosuke memperhatikan mereka ketika mereka berjongkok di ujung karang terjal, dan
mulai memadatkan batu-batuan dan tanah di bawah balok-balok itu. Pikirnya, kedua
pedagang itu banyak mengadakan perjalanan, dan karena itu kenal betul akan kesulitankesulitan perjalanan, seperti juga orang lain. Namun ia agak heran juga.
Sungguh tidak biasa, bahwa orang-orang seperti mereka begitu mencurahkan perhatian pada
kepentingan orang lain, hingga mau bersusah-susah membetulkan jembatan.
Iori sama sekali tidak memikirkan soal itu. la terkesan oleh keprihatinan mereka, dan
ia membantu mengumpulkan batu untuk mereka.
"Saya kira ini cukup," kata Gensuke. Ia melangkah ke atas jembatan. Ia putuskan
jembatan itu aman, lalu katanya pada Gonnosuke, "Saya jalan dulu." Sambil merentangkan
tangan untuk keseimbangan, ia menyeberang cepat ke sebelah sana, kemudian mengajak yang
lain-lain menyusul. Atas desakan Sugizo, Gonnosuke menyusul, diikuti Iori. Tapi belum lagi sampai tengah
jembatan, mereka sudah memekik kaget. Di hadapan mereka, Gensuke menghadangkan mata
lembing ke arah mereka. Gonnosuke menoleh ke belakang, dan melihat Sugizo telah
memegang lembing juga. "Dari mana datangnya lembing-lembing itu?" pikir Gonnosuke. Ia menyumpah dan menggigit
bibir dengan marah, sadar akan kedudukannya yang tidak menguntungkan.
"Gonnosuke, Gonnosuke..." Dengan sembrono Iori berpegang pada pinggang Gonnosuke.
Gonnosuke sendiri memeluk anak itu dan memejamkan mata sesaat, mempercayakan hidupnya
pada kehendak Langit. "Bajingan kalian!"
"Tutup mulut!" teriak pendeta yang berdiri lebih tinggi di jalan, di belakang Gensuke,
dengan mata kiri bengkak hitam.
"Tenang saja," kata Gonnosuke pada Iori, dengan suara menenangkan. Kemudian teriaknya,
"Jadi, kaulah biang keladi semua ini! Nah, awaslah, bajingan pencuri! Kalian berkelahi
melawan orang yang keliru kali ini!"
Si pendeta menatap dingin ke arah Gonnosuke. "Kau tidak layak dirampok. Kau tahu itu.
Kalau kau tidak lebih pintar dari itu, kenapa pula kau mencoba jadi mata-mata?"
"Kausebut aku mata-mata?"
"Anjing Tokugawa! Buang tongkatmu. Kebelakangkan tanganmu. Dan jangan coba berbuat
sesuatu yang konyol."
"Ah!" keluh Gonnosuke, seakan-akan kehendak untuk berkelahi sudah tak ada lagi dalam
dirinya. "Coba dengar! Kau keliru. Aku memang datang dari Edo, tapi aku bukan matamata. Namaku Muso Gonnosuke. Aku ini shugyosha."
"Silakan saja kau berbohong."
"Kenapa kaukira aku mata-mata?"
"Belum lama ini, teman-teman kami di timur, menyuruh kami hati-hati pada lelaki yang
berjalan dengan seorang anak lelaki. Kau dikirim kemari oleh Yang Dipertuan Hojo dari
Awa, kan?" "Tidak." "Buang tongkat itu dan ayo ikut kami baik-baik."
"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu."
"Kalau begitu, kau akan man di tempat ini juga."
Gensuke dan Sugizo mulai mendesak dari depan dan belakang, dengan lembing siap beraksi.
Agar Iori lepas dari bahaya, Gonnosuke menepuk punggungnya. Sambil memekik keras, Iori
jatuh ke dalam semak-semak yang menutupi dasar jurang.
Sementara itu, Gonnosuke menverbu Sugizo, disertai suara menggeledek, "Y a-a-h!"
Untuk dapat mencapai sasarannva, lembingnya membutuhkan ruang dan saat yang tepat.
Sugizo menjulurkan tangan untuk menusukkan senjatanya ke depan, tapi tidak memperoleh
saat yang tepat. Pekik parau keluar dari tenggorokannya, ketika ujung lembing menetak
udara tipis. Gonnosuke mengempaskan diri ke tubuhnya, dan ia rebah ditimpa Gonnosuke.
Ketika ia mencoba berdiri, Gonnosuke menghantamkan tinju kanan ke wajahnya. Sugizo
meringis, tapi akibatnya menggelikan, karena wajah itu sudah berlumuran darah.
Gonnosuke berdiri, menginjak kepala Sugizo sebagai papan loncatan, untuk mencapai ujung
jembatan. Dengan tongkat terpasang, pekiknya, "Aku tunggu di sini. Pengecut-pengecut!"
Belum selesai ia memekik, tiga utas tali sudah melintas rumput. Yang satu diberati
gagang pedang, yang lain pedang pendek bersarung. Satu tali melilit tangan Gonnosuke,
yang lain kedua kakinya, dan yang ketiga lehernya. Sesaat kemudian, satu tali lagi
melilit tongkatnya. Gonnosuke menggeliat-geliat seperti serangga terjerat sarang labah-labah, tapi tidak
lama. Setengah lusin orang berlarian keluar dari hutan di belakangnya. Begitu mereka
selesai meringkusnya, Gonnosuke terbaring tak berdaya di tanah, terikat lebih erat
daripada seikat jerami. Terkecuali pendeta bermuka masam itu, semua orang yang
menangkapnya mengenakan pakaian pedagang tali.
"Tak ada kuda?" tanya si pendeta. "Aku tak ingin menyuruhnya jalan sampai Gunung Kudo."
"Mungkin kita bisa menyewa kuda di Desa Amami."
*** 98. Kembang Pir DI tengah hutan kriptomeria yang gelap dan khidmat itu, bunyi burung jagal rendahan
bercampur bunyi burung bulbul surga terdengar seperti nada-nada indah burung mitos
Kalavinka. Dua lelaki turun dari puncak Gunung Koya. Mereka baru mengunjungi ruang-ruang dan
pagoda-pagoda di Kuil Kongobuji. Mereka juga baru menyatakan hormat di tempat suci
bagian dalam, dan berhenti di jembatan lengkung kecil antara pekarangan dalam dan luar
kuil. "Nuinosuke," kata yang tua, sambil merenung, "dunia ini memang rapuh dan tidak abadi,
ya?" Dari jubah buatan sendiri yang berat, dan hakama-nya yang sederhana, orang bisa
menduga bahwa ia seorang samurai desa, kecuali kalau orang melihat pedang-pedangnya
yang sangat bermutu tinggi, dan temannya yang terlalu sopan dan berpendidikan bagi
seorang abdi samurai daerah.
"Kau sudah melihat sendiri semua itu," katanya melanjutkan. "Makam Oda Nobunaga, Akechi
Mitsuhide, Ishida Mitsunari, Kobayakawa Kingoyang beberapa tahun lalu masih menjadi
jenderal-jenderal cemerlang dan terkenal. Dan disana itu, batu-batuan yang tertutup
lumut itu menandai tempat-tempat penguburan anggota agung klan Minamoto dan Taira."
"Jadi, kawan dan lawan... semuanya ada di sini, ya?"
"Mereka semua kini tak lebih dari batu-batuan yang sunyi. Benarkah nama-nama seperti
Uesugi dan Takeda itu besar, atau kita cuma bermimpi?"
"Saya juga merasa janggal. Rasanya dunia yang kita diami ini bukan dunia nyata."
"Begitu, ya" Atau tempat ini yang tidak nyata?"
"Ya. Siapa tahu?"
"Menurutmu, siapa yang punya gagasan menamai jembatan ini Jembatan Khayal?"
"Pilihan nama yang bagus juga, ya?"
"Saya pikir khayal sama dengan kebenaran, tepat seperti pencerahan sama dengan
kenyataan. Kalau khayal itu tak nyata, maka dunia ini tak mungkin ada. Seorang samurai
yang membaktikan hidupnya kepada tuannya tidak dapat-sedikit pun tidak-membiarkan
dirinya menjadi seorang nihilis. Karena itu, Zen yang kuhayati ini adalah Zen yang
hidup. Zen dari dunia tercemar, Zen dari neraka. Seorang samurai yang ngeri memikirkan
kefanaan, atau membenci dunia ini, tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya....
Nah, cukuplah kita di tempat MI. Marl kita kembali ke dunia lain."
Terlihat olehnya pendeta-pendeta dari Kuil Seiganji, dan ia mengerutkan kening dan
menggerutu, "Kenapa mereka lakukan hal itu?" Ia telah tinggal di kuil itu malam
sebelumnva, dan sekarang sekitar dua puluh pendeta muda berbaris sepanjang jalan
setapak, hendak melepas keberangkatannya, padahal la minta diri pagi itu dengan maksud
menghindari pertunjukan macam itu.
Ia cepat bersalaman dengan mereka, sambil mengucapkan kata-kata perpisahan dengan
sopan, dengan merasa terasa kemudian segera menuruni jalan yang menghadap ke sejumlah lembah yang dikenal
nama Kujukutani. Baru sesudah ia mencapai kembali dunianya yang biasa, ia dapat
lega. Sebagai orang yang sadar akan sifat khilafnya sendiri, bau dunia yang ini
melegakan. "Halo, siapa Anda ini?" Pertanyaan itu datang kepadanya seperti tembakan, ketika mereka
membelok di tikungan jalan itu.
"Dan Anda siapa?" tanya Nuinosuke.
Samurai bertubuh tegap dan berkulit kuning yang berdiri di tengah jalan itu berkata
sopan, "Maafkan saya, kalau saya keliru, tapi apa Anda bukan abdi senior Yang Dipertuan
Hosokawa Tadatoshi, Nagaoka Sado?"
"Saya memang Nagaoka. Siapa Anda, dan bagaimana Anda bisa tahu saya ada di daerah ini?"
"Nama saya Daisuke. Saya anak tunggal Gesso, yang hidup memencilkan diri di Gunung
Kudo." Melihat bahwa nama itu tidak menimbulkan reaksi apa-apa, Daisuke pun berkata, "Ayah
saya sudah membuang namanya yang lama, tapi sebelum Pertempuran Sekigahara dia dikenal
dengan nama Sanada Saemonnosuke."
"Maksud Anda Sanada Yukimura?"
"Betul." Dengan sikap malu yang berlawanan dengan tampangnya, kata Daisuke, "Seorang
pendeta dari Kuil Seiganji singgah di rumah ayah saya tadi pagi. Dia bilang, Bapak
datang berkunjung ke Gunung Koya. Kami mendengar Bapak mengadakan perjalanan ini secara
incognito, tapi ayah saya berpendapat, sayang sekali kalau tidak mengundang Bapak minum
teh." "Oh, saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan beliau," jawab Sado. Ia menyipitkan
mata sebentar, kemudian katanya pada Nuinosuke, "Kupikir kita mesti menerima
undangannya. Betul?"
"Betul, Pak," jawab Nuinosuke kurang bersemangat.
Daisuke berkata, "Hari masih cukup pagi, tapi ayah saya merasa mendapat kehormatan
kalau Bapak sudi bermalam di tempat kami."
Sado ragu-ragu sejenak, apakah cukup bijaksana kalau ia menerima keramahtamahan orang
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dianggap musuh Keluarga Tokugawa itu. Tapi kemudian ia mengangguk, katanya, "Soal
itu dapat kita putuskan nanti, tapi dengan senang hati saya akan minum teh dengan ayah
Anda. Setuju, Nuinosuke?"
"Setuju, Pak." Nuinosuke kelihatan agak gelisah, tapi ketika mereka mulai berjalan di belakang
Daisuke, tuan dan abdi itu saling melontarkan pandangan maklum.
Dari kampung di Gunung Kudo itu, mereka mendaki gunung lagi ke tempat kediaman yang
terpisah dari rumah-rumah lain. Tanah yang dikitari dinding batu rendah, yang disambung
pagar rumput anyam itu, mirip dengan rumah yang setengah dibentengi, milik panglima
perang kecil di daerah, tapi kalau diperhatikan segala sesuatunya, orang lebih terkesan
oleh kehalusannya daripada kesiapan militernya.
"Ayah saya di sana itu, di dekat rumah beratap lalang," kata Daisuke, ketika mereka
sudah melewati pintu gerbang.
Ada sepetak kecil kebun sayur, cukup untuk menghasilkan bawang dan dedaunan bahan sup
pagi dan malam hari. Rumah utama berdiri di depan batu terjal, di dekat beranda samping
tumbuh rumpun bambu, dan di baliknya dua rumah lagi baru saja kelihatan.
Nuinosuke berlutut di beranda, sementara Sado dipersilakan masuk ruangan.
Sado duduk, dan katanya, "Tenang sekali di sini."
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda yang ternyata istri Daisuke diam-diam
menghidangkan teh, kemudian pergi.
Sementara menanti kedatangan tuan rumah, Sado melayangkan pandangannya ke arah kebun
dan lembah. Di bawah ada desa, dan di kejauhan tampak kota penginapan Kamuro. Bungabunga kecil berkembang di lumut yang bergayut pada atap lalang yang menggelantung.
Tercium pula bau semerbak setanggi yang jarang ditemui. la dapat mendengar sungai
mengalir cepat, melintasi rumpun bambu, sekalipun tak dapat melihatnya.
Ruangan itu sendiri menimbulkan perasaan keelokan yang tenteram, yang secara halus
mengingatkan orang bahwa pemilik kediaman yang tidak megah ini adalah anak kedua Sanada
Masayuki, Yang Dipertuan Benteng Ueda yang berpenghasilan 190.000 gantang.
Tiang-tiang dan blandar-blandarnya tipis, langit-langitnya rendah. Dinding di belakang
ceruk kamar yang kecil itu terbuat dari tanah liat merah yang kasar pengerjaannya.
Karangan bunga di dalam ceruk kamar berupa setangkai kembang pir, dalam jambangan
keramik ramping berwarna kuning dan hijau muda. Sado teringat akan "kembang pit tunggal
yang bermandikan hujan muslin semi" karya Po Chu-i, dan cinta yang menyatukan Kaisar
Cina dengan Yang Kuei-fei, seperti dilukiskan dalam Chang He Ke. Ia pun seolah
mendengar sedu-sedan tanpa suara.
Matanya bergerak ke arah gulungan perkamen di atas karangan bunga. Huruf-huruf yang
besar polos itu berbunyi, "Hokoku Daimyojin", yaitu nama yang diberikan kepada
Hideyoshi ketika ia mencapai tingkat dewa, sesudah meninggal. Di satu sisi, satu
catatan dengan huruf-huruf yang jauh lebih kecil menyatakan bahwa itu adalah karya
putra Hideyoshi, yaitu Hideyori, pada umur delapan tahun. Sado, yang membelakangi
gulungan itu, merasa sikapnya terhadap Hideyoshi kurang sopan. Sado pun beringsut
sedikit ke samping. Selagi ia berbuat demikian, tiba-tiba ia tersadar bahwa bau
menyenangkan itu bukan dari setanggi yang terbakar pada waktu itu juga, melainkan dari
dinding dan shoji, yang tentunya telah menyerap bau semerbak itu ketika setanggi
ditempatkan di sana pagi dan malam untuk memurnikan ruangan, guna menghormati
Hideyoshi. Dapat diperkirakan bahwa persembahan sake diberikan juga tiap hari,
sebagaimana diperbuat terhadap dewa-dewa Shinto yang ada.
"Ya," pikirnya, "Yukimura memang berbakti pada Hideyoshi, sebagaimana dikatakan orang."
Yang tidak dapat ia pahami adalah kenapa Yukimura tidak menyembunyikan gulungan itu. Ia
memang punya reputasi sebagai orang yang tak dapat diramalkan, orang dalam bayangan,
yang mengintai dan menanti saat yang tepat untuk kembali ke tengah kancah peristiwa
negeri. Tidak sukar membayangkan bahwa para tamu kemudian dapat menyampaikan kesankesan mereka kepada pemerintah Tokugawa.
Terdengar langkah kaki mendekat di sepanjang gang di luar. Laki-laki kecil kurus yang
memasuki ruangan itu mengenakan jubah tanpa lengan. la hanya mengenakan pedang pendek
di depan obi-nya. Dalam dirinya terpancar kesan kesederhanaan.
Sambil berlutut dan membungkuk ke lantai, Yukimura berkata, "Maafkan saya, karena
menyuruh anak saya mengundang Bapak kemari dan mengganggu perjalanan Bapak."
Sikap merendahkan diri itu membuat Sado merasa tak enak. Dari sudut pandangan resmi,
Yukimura sudah melepaskan statusnya. Ia sekarang hanyalah seorang ronin yang bernama
Budha, Denshin Gesso. Namun demikian, ia adalah putra Sanada Masayuki, dan kakaknya,
Nobuyuki, adalah daimyo yang mempunyai hubungan dekat dengan Keluarga Tokugawa. Sado,
yang hanya seorang abdi, berkedudukan jauh lebih rendah.
"Anda tak pantas membungkuk demikian rupa pada saya," kata Sado, menolak penghormatan
itu. "Sungguh merupakan kehormatan dan kenikmatan tak terduga, bahwa saya bertemu lagi
dengan Anda. Saya senang melihat Anda sehat walafiat."
"Bapak demikian juga kelihatannya," jawab Yukimura yang mulai santai, sementara Sado
masih membungkuk. "Saya senang mendengar Yang Dipertuan Tadatoshi telah kembali ke
Buzen dengan selamat."
"Terima kasih. Ini tahun ketiga sejak meninggalnya Yang Dipertuan Yusai, karenanya
menurut beliau sudah tepat waktunya."
"Apa sudah selama itu?"
"Ya. Saya sudah pergi ke Buzen juga, walaupun saya tak mengerti untuk apa Yang
Dipertuan Tadatoshi mempertahankan barang peninggalan macam saya ini. Seperti Tuan
tahu, saya juga telah mengabdi kepada ayah dan kakeknya."
Ketika hal-hal resmi sudah lewat, dan mereka mulai bicara tentang ini-itu, Yukimura
bertanya, "Apa Anda sudah bertemu dengan guru Zen kita belakangan ini?"
"Tidak, cukup lama juga saya tidak bertemu atau mendengar sesuatu tentang Gudo. Oh, ini
jadi mengingatkan saya. Saya bertemu pertama kali dengan Anda di kamar semedinya. Waktu
itu Anda masih kanak-kanak, dan Anda bersama ayah Anda." Sado tersenyum senang
mengenang masa ia dipercayai membangun Shumpoin, sebuah gedung yang disumbangkan
Keluarga Hosokawa kepada Kuil Myoshinji.
"Banyak setan telah datang pada Gudo untuk meringankan beban," kata Yukimura. "Dia
menerima mereka semua, tak peduli tua atau muda, daimyo atau ronin."
"Sesungguhnya, menurut saya, beliau terutama menyukai ronin-ronin muda," renung Sado.
"Beliau selalu mengatakan bahwa seorang ronin sejati tidak mencari kemasyhuran atau
keuntungan, tidak menjilat orang berkuasa, tidak mencoba menggunakan kekuatan politik
untuk mencapai tujuan-tujuan sendiri, tidak mengecualikan dirinya dari penilaianpenilaian moral. Sebaliknya, dia orang yang berpikiran luas, sebagaimana awan yang
mengapung, cepat bertindak sebagaimana hujan, dan cukup puas berada di tengah
kemiskinan. Dia tidak pernah menetapkan sasaran bagi dirinya sendiri, dan tidak pernah
menggerutu." "Anda ingat semua itu sesudah bertahun-tahun lm?" tanya Yukimura.
Sado mengangguk sedikit. "Beliau juga menyatakan bahwa seorang samurai sejati sukar
ditemukan, bagaikan sebutir mutiara di tengah laut biru yang luas. Tulang-belulang
ronin yang tak terhitung jumlahnya, dan terkubur karena mengorbankan nyawa demi
kebaikan negeri mi, beliau perbandingkan dengan tiang-tiang pendukung bangsa ini." Sado
memandang langsung mata Yukimura ketika mengucapkan kata-kata itu, tapi Yukimura tidak
melihat sindiran terhadap orang-orang yang memperoleh status baru, sebagaimana dirinya
itu. "Semua itu membuat saya teringat," katanya. "Salah seorang ronin yang duduk di kaki
Gudo waktu itu adalah pemuda dari Mimasaka bernama Miyamoto..."
"Miyamoto Musashi?"
"Betul, Musashi. Dia tampaknya memiliki kedalaman, walaupun waktu itu umurnya baru
sekitar dua puluh tahun, dan kimononya selalu kotor."
"Ya, tentunya itulah orangnya."
"Kalau begitu, Anda ingat dia?"
"Tidak, saya tak pernah mendengar apa-apa tentang dia, sampai baru-baru ini saja, waktu
saya ada di Edo." "Dia orang yang perlu diperhatikan. Gudo mengatakan bahwa pendekatannya terhadap Zen
memberi harapan; karena itu, saya memperhatikannya. Tapi kemudian tiba-tiba dia
menghilang. Satu-dua tahun kemudian, saya dengar dia memperoleh kemenangan cemerlang
melawan Perguruan Yoshioka. Saya ingat, waktu itulah saya berpikir bahwa Gudo tentunya
pandai sekali menilai orang."
"Saya bertemu dia kebetulan sekali. Dia berada di Shimosa waktu itu, memberikan
pelajaran kepada sejumlah orang desa, tentang cara mempertahankan diri dari banditbandit. Belakangan dia membantu mereka mengubah tanah gersang menjadi sawah."
"Saya pikir, dia jenis ronin sejati yang dibayangkan Gudo"mutiara di tengah samudra
luas." "Apa benar demikian pendapat Anda" Saya sudah merekomendasikan dia kepada Yang
Dipertuan Tadatoshi, tapi saya kuatir menemukan dia sama sukarnya dengan menemukan
mutiara. Satu hal Anda boleh yakin. Kalau seorang samurai seperti itu menerima
kedudukan resmi, maka pasti bukan demi penghasilan. Yang dipentingkannya adalah apakah
kerjanya sesuai dengan cita-citanya. Ada kemungkinan Musashi lebih menyukai Gunung Kudo
daripada Keluarga Hosokawa."
"Apa?" Sado menghapus pernyataannya dengan tawa singkat, seakan-akan pernyataannya itu hanya
keseleo lidah saja. "Anda tentunya berkelakar," kata Yukimura. "Dalam keadaan saya sekarang mi, menggaji
seorang pembantu pun saya hampir tak dapat, apalagi seorang ronin terkenal. Saya sangsi
Musashi akan datang, sekalipun misalnya saya mengundangnya."
"Tak ada guna menyangkalnya," kata Sado. "Bukan rahasia lagi bahwa Keluarga Hosokawa
berada di pihak Keluarga Tokugawa. Dan setiap orang tahu, Anda penopang andalan
Hideyori. Melihat gulungan di ceruk kamar itu, saya terkesan akan kesetiaan Anda."
Yukimura seakan-akan tersinggung, katanya, "Gulungan itu saya dapat dari seseorang di
Benteng Osaka, sebagai ganti potter kenangan Hideyoshi. Saya memang berusaha menjaganya
baik-baik. Tapi Hideyoshi sudah meninggal." Ia menelan ludah, lalu lanjutnya, "Zaman
sudah berubah, itu jelas. Orang yang bukan ahli pun bisa menilai bahwa Osaka telah
mengalami hari-hari buruk, sementara kekuasaan Keluarga Tokugawa terus tumbuh. Tapi
saya memang orang yang tak dapat mengubah kesetiaan dan mengabdi pada majikan lain."
"Saya sangsi orang akan percaya bahwa soalnya demikian sederhana. Kalau saya boleh
bicara terus terang, tiap orang mengatakan bahwa Hideyori dan ibunya memberikan uang
dalam jumlah besar pada Anda tiap tahun, dan dengan satu lambaian tangan saja, Anda
dapat menggerakkan lima atau enam ribu ronin."
Yukimura tertawa mencela. "Itu sama sekali tidak benar. Begini, Pak Sado, tidak ada
yang lebih buruk daripada anggapan orang yang menyatakan bahwa kita lebih daripada yang
sebenarnya." "Anda tak bisa menyalahkan mereka. Anda menghadap Hideyoshi ketika Anda masih muda, dan
di antara yang lain-lain, Anda yang paling disukainya. Saya mengerti, ayah Anda kami
dengar pernah mengatakan bahwa Anda adalah Kusunoki Masashige, atau K'ung-ming zaman
kita." "Anda ini bikin saya malu saja."
"Apa itu keliru?"
"Saya ingin menghabiskan sisa hidup saya di sini dengan tenang, dalam bayangan gunung,
di mana Hukum sang Budha masih terjaga. Itu saja. Saya bukan orang yang berbudaya
tinggi. Cukuplah buat saya, kalau saya dapat meluaskan ladang sedikit, sempat melihat
kelahiran cucu saya, makan mi soba yang baru selesai dibuat di musim gugur, dan makan
sayuran segar di musim semi. Lebih dari itu, saya ingin berumur panjang, jauh dari
perang atau selentingan tentang perang."
"Apa betul-betul demikian?" tanya Sado halus.
"Tertawalah, kalau Anda suka, tapi saya menghabiskan waktu senggang saya dengan membaca
Lao-tsu dan Chung-tsu. Kesimpulan yang saya peroleh adalah bahwa hidup ini untuk
dinikmati. Tanpa kenikmatan, apa gunanya hidup?"
"Nah, nah," seru Sado, pura-pura terkejut.
Mereka bercakap-cakap sekitar satu jam lagi, sambil minum teh segar yang dihidangkan
istri Daisuke. Akhirnya kata Sado, "Saya kuatir saya terlalu lama tinggal di sini, menghabiskan waktu
Anda dengan obrolan saya. Nuinosuke, kita pergi sekarang?"
"Janganlah terburu-buru," kata Yukimura. "Anak saya dan istrinya sudah membuat mi. Itu
makanan desa yang tak bermutu, tapi saya harap Anda suka menyantapnya bersama kami.
Kalau ada rencana singgah di Kamuro, Anda masih punya banyak waktu."
Tepat waktu itu Daisuke muncul dan bertanya pada ayahnya, apakah sudah siap menyantap
makanan yang dihidangkan. Yukimura berdiri dan memimpin tamunya menyusuri gang menuju
bagian belakang rumah itu.
Sesudah mereka duduk, Daisuke menawarkan sumpit pada Sado, katanya, "Saya kuatir
masakan ini tidak terlalu enak,
tapi biar bagaimana saya persilakan mencoba."
Istrinya, yang tidak terbiasa dengan orang lain di tempat itu, malu-malu menawarkan
mangkuk sake, tapi dengan sopan ditolak Sado. Daisuke dan istrinya masih tinggal di
tempat itu beberapa waktu lamanya, tapi kemudian mohon diri.
"Bunyi apa itu?" tanya Sado. Bunyi itu terdengar agak menyerupai alat tenun, tapi lebih
keras dan nadanya agak lain.
"Ah, itu" Itu roda kayu untuk membuat tali. Maaf kalau saya katakan bahwa saya terpaksa
mengerahkan keluarga dan para pembantu bekerja memintal tali, yang kemudian kami jual
untuk mengatasi keuangan." Kemudian tambahnya, "Kami semua sudah terbiasa dengan bunyi
itu, tapi saya kira bisa juga mengganggu orang yang tidak terbiasa. Akan saya suruh
menghentikan." "Ah, tak usah. Bunyi itu tidak mengganggu saya. Saya tak ingin menghambat pekerjaan
Anda." Ketika mulai makan, Sado pun mengarahkan pikiran pada makanan tersebut, sebab kadang
kala makanan dapat mencerminkan seseorang. Namun tak ada yang dapat ia ungkap dari
situ. Yukimura sama sekali tidak mirip dengan samurai muda yang pernah dikenalnya
bertahun-tahun lalu. Rupanya Yukimura telah menyelimuti keadaannya sekarang dengan
kekaburan. Kemudian terpikir oleh Sado bunyi-bunyi yang didengarnya-bunyi yang datang dari dapur,
orang-orang yang mondar-mandir, dan beberapa kali denting uang yang sedang dihitung.
Para daimyo yang telantar tidak terbiasa dengan kerja fisik, dan cepat atau lambat
mereka akan kehabisan harta untuk dijual. Maka dapat dimengerti bahwa Benteng Osaka
sudah tidak lagi menjadi sumber dana. Namun gagasan bahwa Yukimura berada dalam
kesulitan keuangan yang sangat, anehnya membuat ia gelisah.
Ia sadar bahwa tuan rumah mungkin mencoba merangkaikan bagian-bagian percakapan mereka,
untuk membentuk gambaran tentang apa yang sedang terjadi di Keluarga Hosokawa, namun
tidak ada petunjuk tuan rumah melakukan itu. Yang mencolok mengenai pertemuan mereka
adalah bahwa Yukimura tidak bertanya tentang kunjungannya ke Gunung Koya. Sado akan
memberikan jawaban dengan senang hati, karena memang tidak ada yang rahasia. Beberapa
tahun lalu, Hosokawa Yusai dikirim oleh Hideyoshi ke Kuil Seiganji, dan tinggal di sana
beberapa waktu lamanya. Ia telah meninggalkan buku-buku, sejumlah tulisan, dan suratsurat pribadi yang menjadi kenang-kenangan penting. Sado baru memeriksa semuanya itu,
memilah-milahnya, dan mengatur agar kuil dapat mengembalikannya pada Tadatoshi.
Nuinosuke, yang tidak juga bergerak dari beranda, melontarkan pandangan ingin tahu ke
arah belakang rumah. Hubungan antara Edo dan Osaka boleh dikatakan sedang tegang;
Kenapa pula Sado mengambil risiko macam ini" Bukannya ia membayangkan Sado sudah dekat
dengan bahaya, tapi ia mendengar bahwa Yang Dipertuan dari Provinsi Kii, Asano
Nagaakira, sudah memberikan instruksi untuk mengawasi Gunung Kudo dengan ketat. Kalau
ada di antara orang-orang Asano yang melaporkan bahwa Sado melakukan kunjungan rahasia
pada Yukimura, ke-shogun-an akan curiga pada Keluarga Hosokawa.
"Sekarang ini kesempatanku," pikirnya, ketika angin tiba-tiba bertiup melanda kembang
forsitia dan keria di kebun. Awan hitam dengan cepat mengumpul, dan hujan rintik-rintik
mulai turun. Ia bergegas ke gang, dan katanya, "Mulai hujan, Pak. Kalau kita akan minta diri,
sekarang ini waktunya."
Merasa senang mendapat kesempatan melepaskan diri, Sado cepat berdiri. "Terima kasih,
Nuinosuke," katanya. "Betul, mari kita jalan."
Yukimura menahan diri untuk mendesak Sado bermalam. Ia berseru pada Daisuke dan
istrinya, katanya, "Berikan mantel hujan kepada para tamu kita ini. Dan kau, Daisuke,
antar mereka ke Kamuro."
Di pintu gerbang, sesudah menyatakan terima kasih atas keramahtamahan Yukimura, Sado
berkata, "Saya yakin kita akan bertemu kembali, tak lama lagi. Barangkali pada hari
hujan macam ini, atau barangkali pada waktu angin kencang bertiup. Sementara itu, saya
harap Anda sehat-sehat saja."
Yukimura menyeringai dan mengangguk. Ya, tak lama lagi.... Sesaat lamanya, kedua orang
itu saling membayangkan melihat satu sama lain sedang menaiki kuda, memegang lembing.
Namun yang ada saat ini hanyalah tuan rumah yang sedang membungkuk kepada tamunya, di
tengah kelopak bunga aprikot yang berguguran, dan tamu yang hendak berangkat pulang,
mengenakan mantel jerami yang basah oleh air hujan.
Sambil pelan-pelan menuruni jalan, kata Daisuke, "Hujan tak akan besar. Belakangan ini
sering turun hujan gerimis macam ini. "
Namun demikian, awan di atas Lembah Senjo dan puncak Koya tampak mengancam, dan tanpa
sadar mereka mempercepat langkah.
Wasiat Agung Dari Tibet 1 Sleep With The Devil Karya Santhy Agatha Malam Mencekam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama