Ceritasilat Novel Online

Tugas Tugas Hercules 4

Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie Bagian 4


Chandler-lah yang menggorok leher domba-domba di padang gembalaan yang sepi.
Tapi Hugh-lah yang harus membayar hukumannya!
"Tahukah Anda kapan saya mulai curiga" Ketika Admiral Chandler menolak mentahmentah gagasan untuk membawa putranya berobat ke dokter. Jika Hugh menolak, itu
wajar. Tapi, ayahnya sendiri"! Barangkali ada obat dan perawatan yang bisa
menyembuhkan putranya. Banyak alasan yang mengharuskan Admiral Chandler
mendengarkan pendapat dokter ahli. Tapi tidak, dokter tidak boleh memeriksa Hugh
Chandler... sebab ada kemungkinan dokter itu akan mengetahui Hugh ternyata
waras!" Hugh berkata lirih, lirih sekali, "Waras... saya waras?"
Ia melangkah mendekati Diana. Frobisher berkata dengan suara parau, "Kau memang
waras. Darah keluarga kita tidak tercemar."
Diana berkata, "Hugh..."
Admiral Chandler mengambil senapan Hugh. Katanya, "Semua ini tidak masuk akal!
Saya akan pergi mencari kelinci."
Frobisher melangkah maju, tapi tangan Hercule Poirot mencegahnya. Poirot
berkata, "Anda sendiri mengatakan... baru saja... itu jalan yang terbaik."
Hugh dan Diana telah keluar ruangan.
Kedua pria itu, si Inggris dan si Belgia, memandangi keturunan Chandler yang
terakhir menyeberangi taman dan masuk ke hutan.
Tak lama kemudian mereka mendengar bunyi tembakan....
8 KUDA-KUDA RAJA DIOMEDES I TELEPON berdering. "Halo, Poirot, kaukah itu?"
Hercule Poirot mengenali suara itu, suara Dr. Stoddart yang masih muda. Ia
menyukai Michael Stoddart, menyukai senyumnya yang ramah dan malu-malu. Hercule
Poirot tertarik oleh keluguannya dan minatnya pada kriminalitas, serta
menghormatinya sebagai orang yang pandai dan suka bekerja keras dalam profesi
yang dipilihnya. "Aku tidak ingin mengganggumu...." Suara itu terdengar ragu-ragu.
"Tapi sesuatu membuatmu terganggu?" sela Hercule Poirot. Ia menebak dengan jitu.
"Tepat." Suara Michael Stoddart terdengar lega. "Aku punya masalah!"
"Eh bien, apa yang bisa kubantu, kawan?"
Suara Stoddart terdengar berat. Ia agak tergagap waktu menjawab.
"Kurasa tidak s-s-s-sopan jika aku memintamu datang kemari tengah malam
begini... T-t-t-tapi aku d-d-d-dalam kesulitan."
"Tentu saja aku akan datang. Ke rumahmu?"
"Bukan... sebenarnya aku ada di Mews, di belakang. Conningby Mews. Nomor 17.
Benarkah kau bisa kemari" Aku akan sangat berterima kasih."
"Aku akan segera ke sana," sahut Hercule Poirot.
II Hercule Poirot menyusuri Jalan Mews yang gelap, sambil memperhatikan nomor-nomor
rumah. Sudah pukul satu lewat tengah malam, dan seluruh penghuni jalan itu
tampaknya sudah tidur, meskipun masih ada satu-dua jendela yang terang.
Ketika ia sampai di depan nomor 17, pintu rumah itu membuka dan Dr. Stoddart
menyambutnya. "Kawan yang baik!" katanya. "Masuklah."
Mereka menaiki tangga sempit ke lantai atas. Di lantai atas itu, di sebelah
kanan, ada sebuah ruangan yang cukup luas, berisi sejumlah dipan, dengan karpet,
bantal-bantal berbentuk segi tiga yang dibungkus kain warna keperakan, serta
sejumlah besar botol dan gelas.
Keadaan dalam ruangan itu kacau-balau. Puntung rokok bertebaran. Beberapa gelas
pecah berserakan. "Ha!" kata Hercule Poirot. "Watson kawanku, aku berani taruhan, di sini baru
saja ada pesta!" "Ya, memang ada pesta tadi," kata Stoddart dengan muram. "Pesta gila-gilaan,
tepatnya!" "Kau tidak hadir dalam pesta itu, kan?"
"Tidak. Aku di sini sebagai dokter, lain tidak."
"Apa yang terjadi?"
Stoddart berkata, "Tempat ini milik seorang wanita bernama Patience Grace - Mrs.
Patience Grace." "Kedengarannya," kata Poirot, "nama yang kuno dan menarik."
"Tak ada yang kuno dan menarik pada diri Mrs. Grace. Dia cukup cantik, tapi
kesannya keras. Dia sudah pernah menikah dua kali, bercerai, dan sekarang
berkencan dengan seorang pemuda yang menurutnya hanya berniat memerasnya. Mereka
mengadakan pesta ini, minum-minum... dan akhirnya menggunakan obat bius...
tepatnya kokain. Kokain adalah sesuatu yang bisa membuat kita merasa bebas,
bahagia, dan melihat dunia ini sebagai taman yang indah. Itu membuat kita
bergairah dan merasa bisa melakukan dua kali lebih banyak dari yang sesungguhnya
dapat kita lakukan. Kalau digunakan terlalu banyak, kita akan menderita
kegairahan mental yang berlebihan, delusi, dan hilang kesadaran. Mrs. Grace
bertengkar hebat dengan pacarnya, seorang pria yang tidak menyenangkan bernama
Hawker. Hasilnya, pemuda itu pergi meninggalkannya, dan Mrs. Grace lari ke
jendela lalu menembak pemuda itu dengan sebuah revolver yang masih baru, yang
belum pernah dipakai. Entah siapa yang gila, yang telah memberinya senjata itu."
Alis Hercule Poirot terangkat.
"Apakah tembakannya kena?"
"Tidak! Pelurunya meleset beberapa meter. Tapi, peluru itu mengenai seorang
gelandangan yang sedang mengais-ngais tong sampah, menembus tangannya. Tentu
saja orang itu berteriak-teriak, dan orang-orang dengan cepat membawanya ke
sini, membersihkan darahnya yang tercecer, dan segera memanggilku."
"Ya?" "Aku telah menjahit lukanya. Tidak parah. Kemudian satu-dua orang mengancamnya
sampai akhirnya dia menyerah serta menerima uang sepuluh pound dan berjanji
takkan mengungkit-ungkit kejadian itu. Kasihan dia, sebenarnya. Tapi, untung
juga dia." "Dan kau?" "Aku dihadapkan pada beberapa masalah. Saat itu Mrs. Grace sudah histeris. Aku
suntik dia dengan obat penenang dan kusuruh tiduran. Ada seorang gadis muda yang
tak sadarkan diri - masih muda sekali. Aku merawatnya. Ketika aku selesai,
ternyata diam-diam orang-orang sudah pergi."
Ia berhenti. "Lalu," kata Poirot, "kau punya waktu untuk merenungkan kejadian itu."
"Tepat," kata Stoddart. "Ini kasus pesta gila-gilaan biasa, yah, akhir yang
sudah bisa diduga. Tapi, kasus obat bius lain lagi ceritanya."
"Kau yakin akan fakta-faktanya?"
"Yakin sekali. Tak mungkin keliru. Memang kokain. Aku menemukan sejumlah kokain
di kotak minuman... mereka menghirupnya... kau tahu, langsung dengan hidung
mereka. Pertanyaannya, dari mana mereka mendapatkan benda jahanam itu" Aku ingat
kau pernah cerita tentang gelombang besar peredaran obat bius dan kasus-kasus
kecanduan yang makin meningkat."
Hercule Poirot mengangguk. Katanya, "Polisi pasti tertarik untuk menangani kasus
ini." Michael Stoddart berkata dengan sedih, "Itulah..."
Poirot memandang kawannya itu, tiba-tiba ia merasa tertarik. Katanya, "Tapi
kau... kau tidak suka kalau polisi menangani kasus ini?"
Michael Stoddart menggumam, "Orang yang tak bersalah telah terlibat... kasihan
mereka." "Apakah kau cemas memikirkan nasib Mrs. Patience Grace?"
"Astaga, tidak! Dia perempuan yang keras kepala!"
Poirot berkata dengan halus, "Apakah dia... gadis muda itu?"
Dr. Stoddart berkata, "Tentu saja dia, dalam hal tertentu, juga keras kepala.
Maksudku, dia menggambarkan dirinya sebagai gadis yang keras kepala. Tapi dia
masih amat muda... agak liar... tapi sebetulnya itu merupakan kenakalan remaja
biasa. Dia terlibat dalam hal-hal seperti ini karena dikiranya dia akan
ketinggalan zaman dan dianggap tidak modern kalau tidak ikut arus."
Senyum samar tersungging di bibir Poirot. Ia berkata lembut, "Gadis ini,
pernahkah kaukenal dia sebelum malam ini?"
Michael Stoddart mengangguk. Ia kelihatan amat muda dan malu.
"Pernah berkenalan dengannya di Mertonshire. Di pesta dansa Hunt. Ayahnya
pensiunan jenderal... galak sekali... sepertinya suka main tembak... pukka
Sahib... pendek kata amat berbau India. Anaknya empat, perempuan semua. Mereka
agak liar... karena ayah yang terlampau keras, menurutku. Dan mereka tinggal di
kawasan yang kurang baik... perdagangan senjata gelap dan banyak uang... bukan
kawasan pedesaan yang kuno dan tenang... lingkungan orang-orang kaya dan
kebanyakan seperti penjahat. Gadis-gadis itu terlibat pergaulan dengan orangorang jahat." Hercule Poirot memandang kawannya beberapa lama. Kemudian ia berkata, "Aku
mengerti sekarang, mengapa kau membutuhkan aku. Kau ingin aku menangani kasus
ini?" "Maukah kau" Aku merasa aku harus melakukan sesuatu... tapi terus terang, aku
ingin agar Sheila Grant tidak dilibatkan."
"Kurasa itu bisa diatur. Sekarang aku ingin melihat gadis itu."
"Ayo." Dr. Stoddart keluar ruangan. Sebuah suara tak sabar memanggil dari kamar
seberang. "Dokter... tolong, Dokter, aku hampir gila."
Stoddart masuk ke kamar itu. Poirot mengikuti. Kamar tidur itu benar-benar kacau
keadaannya - serbuk-serbuk bertebaran di lantai... tempat obat dan berbagai
perlengkapan kosmetika, terguling di mana-mana, pakaian berserakan. Di tempat
tidur terbaring sesosok gadis, rambutnya pirang - tidak wajar - dan wajahnya kosong
namun berkesan liar. Gadis itu berseru, "Ada serangga merayap-rayap di sekujur
badanku... sungguh. Aku berani sumpah. Aku hampir gila... Demi Tuhan, suntiklah
aku." Dr. Stoddart berdiri di samping tempat tidur, suaranya menghibur dan amat
profesional. Diam-diam Hercule Poirot keluar dari kamar itu. Ada satu pintu lain di
seberangnya. Ia membukanya.
Ruangan itu kecil - kecil sekali - perabotannya amat sederhana. Di tempat tidur,
terbaring seorang gadis kurus, tak bergerak-gerak.
Hercule Poirot berjingkat-jingkat mendekati tempat tidur dan memandangi gadis
itu. Rambut hitam, wajah yang panjang dan pucat... dan... ya, masih amat muda.
Secercah warna putih tampak kemilau di antara pelupuk mata gadis itu. Matanya
terbuka, kaget, dan ketakutan. Ia terpana, lalu duduk, dan menggerakkan
kepalanya ke belakang, seakan hendak menyisihkan rambutnya yang hitam lebat
kebiru-biruan. Ia bagaikan bocah yang ketakutan... badannya mengerut...
menjauh... bagaikan binatang liar yang mengerut melihat ada orang asing
menawarinya makanan. Ia berkata... suaranya amat muda, tak nyata, dan tergesa, "Siapa Anda?"
"Jangan takut, Mademoiselle."
"Di mana Dr. Stoddart?"
Tepat saat itu dokter muda itu masuk ke kamar. Gadis itu berkata dengan suara
lega, "Oh, syukur kau datang. Siapa dia?"
"Ini kawanku, Sheila. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Gadis itu berkata, "Tidak keruan. Bingung... Mengapa aku ikut-ikutan mencoba
serbuk yang menjijikkan itu?"
Stoddart berkata datar, "Kalau aku jadi kau, aku takkan mengulanginya."
"Tidak... takkan pernah lagi."
Hercule Poirot berkata. "Siapa yang memberi Anda?"
Mata gadis itu melebar, bibir atasnya bergetar sedikit. Katanya, "Ada di sini...
di pesta ini. Kami semua mencobanya. Mula-mula... rasanya hebat sekali."
Hercule Poirot berkata lembut, "Tapi siapa yang membawanya kemari?"
Gadis itu menggeleng. "Entahlah, saya tak tahu.... Mungkin Tony - Tony Hawker. Tapi saya tak tahu apaapa." Poirot berkata halus, "Apakah ini untuk pertama kalinya Anda menggunakan kokain,
Mademoiselle?" Gadis itu mengangguk. "Sebaiknya ini yang terakhir bagimu," sela Stoddart cepat.
"Ya, kurasa begitu... tapi, tadinya rasanya asyik sekali."
"Dengar, Sheila Grant," kata Stoddart. "Aku ini dokter dan aku tahu benar apa
yang kukatakan ini. Sekali kau terjebak dalam urusan obat bius ini, kau akan
menjerumuskan dirimu sendiri, kau akan mengalami penderitaan yang tak
terbayangkan. Aku telah melihat banyak kasus kecanduan obat bius. Aku tahu, obat
bius menghancurkan seseorang, badannya maupun jiwanya. Minuman beralkohol tak
ada artinya jika dibandingkan dengan obat bius. Sekarang juga harus kauhentikan.
Percayalah, ini bukan lelucon! Apa yang akan dikatakan ayahmu kalau tahu
kejadian malam ini?"
"Ayah?" suara gadis itu meninggi. "Ayah?" Sheila Grant tertawa. "Kalau saja aku
bisa melihat wajahnya sekarang! Dia tak boleh tahu. Dia akan mengamuk!"
"Dan dalam hal ini dia berhak marah," tukas Stoddart.
"Dokter... dokter...!" jeritan Mrs. Grace terdengar dari kamar seberang.
Stoddart menggerutu lalu keluar dari kamar itu.
Sekali lagi Sheila Grant menatap Poirot. Ia kelihatan bingung. Katanya, "Siapa
Anda sebenarnya" Anda tak ada di pesta tadi."
"Tidak, saya memang tak ada di pesta itu. Saya kawan Dokter Stoddart."
"Anda juga dokter" Anda tidak kelihatan seperti dokter."
"Nama saya," kata Poirot, dengan sikap sok penting, agar pernyataan sederhana
itu menimbulkan kesan bagaikan tirai pertunjukan babak pertama yang pelan-pelan
terbuka, "nama saya adalah Hercule Poirot...."
Kata-kata itu berhasil menimbulkan kesan tertentu. Kadang-kadang Poirot kecewa
karena generasi yang jauh lebih muda darinya ternyata belum pernah mendengar
namanya. Namun ternyata Sheila Grant pernah mendengar namanya. Gadis itu tertegun,
kebingungan. Ia terbelalak menatap Poirot... beberapa lama....
III Orang bilang, dengan atau tanpa pembuktian yang kuat, setiap orang pasti
mempunyai seorang bibi di Torquay.
Orang juga bilang bahwa setiap orang punya sepupu jauh di Mertonshire, suatu
kawasan yang tidak terlalu jauh dari London, tempat berburu, menembak, atau
memancing ikan. Di Mertonshire ada desa-desa yang berpemandangan indah dan
bersuasana tenang. Kawasan itu dilewati jaringan rel kereta api yang baik, dan
sebuah jalan raya baru untuk kendaraan bermotor telah dibangun untuk
menghubungkannya dengan kota metropolitan London. Para pelayan lebih menyukai
kawasan itu, dibandingkan tempat-tempat lain di Kepulauan Inggris yang berkesan
kampungan. Akibatnya, Anda tak mungkin tinggal di Mertonshire kecuali jika Anda
punya penghasilan yang sedikitnya terdiri atas empat digit; serta dengan pajak
pendapatan yang amat tinggi dan biaya hidup yang amat mahal, lima digit tentu
saja lebih baik daripada empat.
Hercule Poirot, sebagai orang asing, tidak punya sepupu jauh yang tinggal di
Mertonshire, tetapi telah berhasil menjalin hubungan dengan sejumlah kawan dan
tanpa kesulitan mendapat undangan untuk berkunjung ke kawasan itu. Lebih dari
itu, ia telah sengaja memilih nyonya rumah yang akan menerimanya, seorang wanita
yang punya kebiasaan melatih lidahnya dengan membicarakan tetangga-tetangganya.
Satu-satunya kerugiannya adalah ia, Poirot, terpaksa mendengarkan cerita
panjang-lebar tentang orang-orang yang sebetulnya tidak menarik minatnya.
"Keluarga Grant" Oh ya, ada empat anak gadis. Saya tak heran mengapa jenderal
yang malang itu tak dapat mengendalikan mereka. Apa yang bisa dilakukan seorang
ayah terhadap empat anak gadisnya?" Lady Charmichael mengangkat tangannya dengan
sikap pasrah. Poirot berkata, "Ya, benar."
Wanita itu melanjutkan, "Jenderal itu sangat disiplin mengendalikan pasukannya,
begitu katanya pada saya. Tapi gadis-gadis itu telah mengalahkannya. Tidak
seperti di zaman ketika saya masih muda. Kolonel Sandys juga punya anak gadis
yang... saya ingat, putri-putrinya yang malang...."
(Cerita yang bertele-tele tentang pengadilan putri-putri Kolonel Sandys dan
kawan-kawan lain Lady Charmichael di waktu muda.)
"Harap dicatat," kata Lady Charmichael, kembali ke tema semula, "saya tidak
mengatakan ada sesuatu yang salah pada gadis-gadis itu. Hanya terlalu
bergairah... dan terlibat pergaulan dengan orang-orang yang tidak beres. Dulu
tidak seperti itu keadaannya di sini. Orang-orang paling aneh datang dan tinggal
di sini. Tak ada lagi suasana pedesaan di sini. Hanya uang, uang, uang yang
penting di zaman sekarang. Dan Anda telah mendengar cerita yang paling aneh!
Siapa kata Anda tadi" Anthony Hawker" Ya, saya tahu dia. Menurut saya, dia anak
muda yang sangat tidak menyenangkan. Tapi kelihatannya hidup bergelimang uang.


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia datang kemari untuk berburu... mengadakan pesta-pesta... pesta mewah... dan
agak aneh, itu kalau orang percaya desas-desus... bukan, bukan karena saya
percaya pada gosip yang beredar, sebab saya berpendapat orang memang suka bicara
yang tidak-tidak. Mereka selalu percaya pada kemungkinan yang paling buruk. Anda
tahu, di sini sudah menjadi mode, di pesta-pesta orang minum-minum dan mengisap
obat bius. Ada orang yang bilang pada saya, suatu hari, bahwa gadis-gadis muda
itu pemabuk alamiah, dan menurut saya itu omongan yang tidak sopan. Lalu jika
ada orang yang agak aneh, mereka akan bilang 'obat bius' dan menurut saya itu
tidak adil. Mereka bilang begitu tentang Mrs. Larkin dan meskipun saya tak
peduli pada wanita itu, menurut saya hal itu tak lain karena dia agak linglung.
Dia kawan baik Anthony Hawker, dan itulah sebabnya, kalau Anda bertanya pada
saya, dia amat membenci gadis-gadis Grant. Mrs. Larkin menganggap gadis-gadis
itu pemburu lelaki! Menurut saya, mereka memang suka memburu laki-laki, tapi
mengapa tidak" Tentu saja itu wajar, bukan" Lagi pula, mereka semua cantik dan
menawan." Poirot menyela, menanyakan sesuatu.
"Mrs. Larkin" Tak ada gunanya Anda bertanya pada saya, siapa dia sebenarnya.
Siapakah seseorang, seperti apakah dia" Di zaman ini, pertanyaan seperti itu
sudah tak berguna. Mereka bilang dia pandai berkuda dan dia amat kaya. Suaminya
pernah bekerja di kota. Suaminya sudah meninggal. Tidak... tidak bercerai. Mrs.
Larkin belum lama pindah ke sini, segera sesudah keluarga Grant pindah. Saya
selalu berpendapat bahwa dia..."
Lady Charmichael berhenti bicara. Mulutnya ternganga, matanya melotot. Sambil
membungkukkan badannya, ia memukul buku-buku tangan Poirot dengan pisau surat
yang dipegangnya. Tanpa memedulikan keluh kesakitan tamunya, ia melanjutkan
dengan penuh semangat, "Tentu saja! Jadi itu sebabnya Anda datang kemari!
Makhluk nakal, tukang bohong, ayo, berterus teranglah pada saya."
"Tapi, apa yang harus saya katakan pada Anda?"
Lady Charmichael menggerakkan pisau surat itu lagi, mengancam Poirot. Yang
diancam segera menghindar.
"Jangan seperti kerang, Hercule Poirot! Saya lihat kumis Anda bergetar. Pasti
ada kasus kriminal yang membuat Anda kemari - dan tanpa malu Anda mengorek
informasi dari saya! Nah, biar saya tebak, tentang pembunuhan" Siapa yang baru
saja mati" Hanya Louise Gilmore, dia sudah 85 dan sudah lama pikun. Pasti bukan
dia korbannya. Sayang sekali! Akhir-akhir ini tak ada kasus perampokan
perhiasan.... Mungkin Anda sedang membuntuti seorang penjahat.... Apakah dia
Beryl Larkin" Apakah dia meracuni suaminya" Mungkin itu yang membuatnya seperti
orang linglung." "Madame, Madame," sela Hercule Poirot dengan suara nyaring, "Anda terlalu cepat
menarik kesimpulan."
"Nonsens. Anda sedang menyelidiki sesuatu, Hercule Poirot."
"Apakah Anda mengenal sastra Yunani Klasik, Madame?"
"Apa hubungannya sastra Yunani Klasik dengan masalah itu?"
"Dua-duanya amat mirip. Saya menirukan nenek moyang saya yang agung, Hercules.
Salah satu Tugas Hercules adalah menjinakkan kuda-kuda liar milik Raja Diomedes.
Kuda-kuda pemangsa manusia."
"Jangan katakan, Anda kemari untuk melatih kuda... umur Anda sudah... lagi pula
Anda selalu mengenakan sepatu kulit asli yang lebih cocok dipakai dengan setelan
jas! Menurut saya, seumur hidup Anda belum pernah naik kuda!"
"Kuda-kuda itu, Madame, hanya merupakan simbol. Mereka adalah kuda-kuda liar
yang mengunyah daging manusia."
"Sungguh mengerikan. Menurut saya, cerita-cerita Yunani dan Romawi Kuno sangat
mengerikan. Saya heran, mengapa para pendeta suka mengutip cerita-cerita klasik satu hal sudah jelas, orang sekarang takkan mengerti apa artinya kutipan mereka.
Dan menurut saya, isi cerita klasik itu tidak cocok untuk para pendeta. Banyak
kasus incest, patung-patung telanjang - bukan, saya sendiri tidak keberatan akan
hal itu, tapi Anda pun tahu, seperti apa para pendeta itu... mereka akan gelisah
jika melihat ada gadis datang ke gereja tanpa stocking.... Wah, sampai di mana
saya tadi?" "Entahlah, saya pun bingung."
"Saya kira, Anda tidak mau mengatakan pada saya bahwa Mrs. Larkin telah membunuh
suaminya. Atau, barangkali pembunuhnya Anthony Hawker?"
Ia memandang Hercule Poirot dengan penuh harap, tetapi wajah pria itu tidak
menampakkan ekspresi apa pun.
"Mungkin kasus pemalsuan," tebak Lady Charmichael. "Saya lihat Mrs. Larkin pergi
ke bank hari itu dan dia baru saja menguangkan cek sebesar lima puluh pound...
bagi saya, itu uang kontan yang sangat besar jumlahnya. Oh, salah, ini
terbalik... Kalau dia pemalsunya, pasti dia akan menyerahkan cek itu. Ya kan"
Hercule Poirot, jika Anda duduk termangu dan membisu seperti burung hantu
begitu, saya akan melempar Anda dengan..."
"Anda harus belajar sabar," kata Hercule Poirot.
IV Ashley Lodge, tempat tinggal Jenderal Grant, bukanlah rumah yang besar. Letaknya
di punggung bukit, lengkap dengan kandang-kandang kuda yang bagus, namun
kebunnya rupanya agak kurang terawat.
Di dalam, rumah itu adalah apa yang akan digambarkan agen sewa-menyewa rumah
sebagai "fully furnished". Patung-patung Buddha yang duduk bersila dipajang di
meja-meja rendah, ada nampan-nampan kuningan yang berkilat dari Benares, dan
meja-meja yang membuat ruangan jadi terasa sempit. Gajah-gajah kecil berbaris di
atas perapian dan lebih banyak lagi hiasan dari kuningan menempel di dinding.
Di tengah ruangan yang ditata dengan selera campuran Inggris-India itu, Jenderal
Grant duduk di sebuah kursi empuk yang besar dan sudah kusam, dengan kaki - yang
terbalut - dijulurkan ke sebuah kursi lain.
"Encok," jelasnya tanpa diminta. "Pernahkah Anda menderita encok, Mr.... eh...
Poirot" Ini membuat saya marah-marah terus. Ini semua salah ayah saya. Suka
mabuk-mabukan sepanjang hidupnya - begitu pula kakek saya. Akibatnya, sayalah yang
menderita. Mau minum" Bunyikan bel itu, panggil pelayan saya."
Seorang pelayan yang mengenakan serban di kepalanya, muncul. Jenderal Grant
memanggilnya dengan nama Abdul dan menyuruhnya menghidangkan wiski dan soda.
Ketika minuman itu datang, dia langsung menuangkan porsi yang besar ke dalam
gelas Poirot, yang kemudian memprotesnya.
"Sayang, saya tak dapat menemani Anda minum, Mr. Poirot." Mata Jenderal Grant
memandang minuman itu dengan sedih. "Dokter saya bilang minuman itu racun bagi
saya. Padahal dia tak tahu apa-apa. Dokter adalah makhluk paling tolol. Tidak
suka berolahraga. Mereka suka memaksa dan mengharuskan orang menghindari makanan
dan minuman kesukaannya. Mereka suka memasukkan orang ke karung plastik seperti
ikan yang diasap. Ikan asap... bah!"
Dalam kemarahannya, dengan sembrono Jenderal Grant menggerakkan kakinya yang
sakit dan menyumpah-nyumpah karena sakit yang dideritanya.
Ia minta maaf karena telah mengucapkan kata-kata kasar.
"Seperti beruang sakit kepala, itulah saya. Anak-anak saya menertawakan saya
jika saya mengamuk gara-gara penyakit ini. Entahlah, tapi ini memang bukan salah
mereka. Saya dengar Anda telah ketemu salah satu dari mereka."
"Ya, benar. Anda punya beberapa putri, kalau saya tidak salah?"
"Empat," kata Jenderal Grant dengan wajah murung. "Tak ada anak laki-laki. Empat
gadis yang nakal. Di zaman sekarang, itu bisa membuat laki-laki cepat tua."
"Saya dengar mereka semua amat menawan, ya?"
"Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek. Dengar, saya tak pernah tahu apa
yang mereka inginkan. Di zaman sekarang, Anda takkan bisa mengendalikan anak
gadis Anda sendiri. Zaman santai... terlalu banyak waktu luang. Apa yang bisa
dilakukan seorang laki-laki" Saya tidak mungkin mengurung mereka, kan?"
"Saya dengar mereka populer di lingkungan ini."
"Banyak wanita tua yang tak suka pada mereka," kata Jenderal Grant. "Mereka yang
berdandan aneh-aneh dan kelihatan kuno. Seorang pria harus bersikap hati-hati.
Salah satu janda bermata biru hampir saja berhasil menjebak saya... sering
datang ke sini dan mendengkur halus seperti kucing. 'Jenderal Grant yang
malang... pasti Anda punya kehidupan yang menarik.'" Jenderal itu mengedipkan
matanya dan menggaruk hidungnya dengan satu jari. "Terlalu berlebihan bagi
selera saya, Mr. Poirot. Oh, baiklah, tempat ini bukan daerah yang terlalu
buruk. Tapi mungkin terlalu modern dan ramai bagi selera saya. Saya lebih suka
sebuah desa yang benar-benar bersuasana pedesaan - tanpa kebisingan kendaraan
bermotor, musik jazz, dan radio yang disetel keras-keras. Saya tak mengizinkan
mereka menyetel radio di sini, dan anak-anak saya mengerti. Seorang laki-laki
berhak mendapat kedamaian di rumah sendiri."
Secara halus Poirot mengalihkan percakapan dan menyinggung Anthony Hawker.
"Hawker" Hawker" Saya tak kenal dia. Ya, meskipun saya tahu sedikit tentang dia.
Seorang anak muda berpenampilan licik, dengan sepasang mata yang letaknya
terlalu berdekatan. Jangan pernah percaya pada seorang laki-laki yang tak berani
menatap Anda secara langsung."
"Bukankah dia kawan putri Anda, Sheila?"
"Sheila" Saya tak tahu. Mereka tak pernah berterus terang pada saya." Alis yang
tebal itu berkerut ke bawah. Sepasang mata biru, dari wajah yang kemerahan,
menatap mata Hercule Poirot dengan tajam. "Katakan saja, Mr. Poirot, apa
sebenarnya maksud Anda" Untuk apa Anda datang mengunjungi saya?"
Poirot berkata pelan, "Agak sulit menjelaskannya... barangkali saya pun tak tahu
persis. Tapi satu hal bisa saya sampaikan: Putri Anda, Sheila... mungkin juga
semua putri Anda... telah berkawan dengan orang-orang bejat."
"Terlibat dalam pergaulan yang tidak baik, ya" Saya sendiri amat cemas
memikirkan kemungkinan itu. Saya dengar orang-orang menggunjingkan mereka."
Dengan putus asa ia memandang Poirot. "Tapi apa yang bisa saya lakukan, Mr.
Poirot" Apa yang bisa saya lakukan?"
Poirot menggeleng ragu. Jenderal Grant melanjutkan, "Apa yang salah pada kawan-kawan mereka itu?"
Poirot membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan lain. "Pernahkah Anda
mengamati, Jenderal Grant, salah seorang putri Anda tampak murung, bergairah...
kemudian seperti mengalami depresi... gugup... dan emosinya berubah-ubah dengan
cepat?" "Sialan. Anda bicara seperti dokter saja. Tidak, saya tidak melihat gejalagejala seperti itu."
"Anda beruntung," kata Poirot dengan sungguh-sungguh.
"Apa artinya ini semua?"
"Obat bius!" "APA"!" Suaranya menggelegar. Poirot berkata, "Ada usaha untuk membuat putri Anda, Sheila, kecanduan obat
bius. Kecanduan kokain bisa dibentuk dalam waktu singkat. Satu-dua minggu sudah
cukup. Sekali kebiasaan mengisap kokain sudah terbentuk, seorang pencandu akan
bersedia membayar berapa pun, atau melakukan apa saja, untuk memperoleh suplai
obat bius yang diperlukannya. Anda tahu, berapa saja uang yang akan dikeruk
pedagang obat bius itu."
Dengan tenang Poirot mendengarkan sumpah serapah yang terhambur dari mulut
jenderal itu. Kemudian, ketika kemarahan tuan rumahnya sudah reda, sesudah
menegaskan apa yang akan - dia, sang Jenderal - dilakukannya pada penjahat-penjahat
itu bila ia bisa menangkap mereka, Hercule Poirot berkata, "Sebagai langkah
awal, seperti kata Mrs. Beeton, kita harus menangkap kelincinya. Kalau kita
berhasil menangkap pengecer obat bius itu, saya akan menyerahkannya pada Anda,
dengan senang hati, Jenderal."
Ia bangkit berdiri, tersandung pada meja kecil yang penuh ukiran, menyeimbangkan
tubuhnya kembali sambil berpegangan pada sang Jenderal, dan bergumam, "Maafkan
saya, maafkan. Jenderal... saya harap Anda mengerti, saya mohon Anda tidak
mengatakan apa pun... apa pun yang kita bicarakan tadi... pada putri-putri
Anda." "Apa" Saya akan mengorek kebenaran dari mereka, itu yang akan saya lakukan!"
"Jangan sekali-kali itu Anda lakukan. Anda hanya akan memperoleh kebohongan."
"Tapi, Sir..." "Saya ingatkan Anda, Jenderal Grant, Anda harus menutup mulut rapat-rapat. Ini
sangat penting... mengerti" Sangat penting!"
"Oh, baiklah, terserah Anda," geram prajurit tua itu.
Ia bisa dijinakkan tetapi tidak berhasil diyakinkan.
Dengan hati-hati Hercule Poirot melangkah di antara berbagai benda seni dari
kuningan yang didatangkan dari Benares.
V Ruang tamu Mrs. Larkin penuh orang.
Mrs. Larkin sendiri sedang mencampur koktail di sisi meja. Ia seorang wanita
jangkung dengan rambut merah pirang yang warnanya agak pudar. Rambut itu
disanggulnya di pangkal tengkuknya.
Matanya hijau keabu-abuan, dan pupil matanya berwarna hitam. Ia bergerak dengan
gaya ringan, dengan sejenis keanggunan yang menyiratkan kekejaman. Penampilannya
seperti wanita berusia awal tiga puluhan. Hanya pengamatan yang saksama yang
akan menunjukkan kerut-merut di sekitar matanya dan umurnya sepuluh tahun lebih
tua dari penampilannya. Hercule Poirot diajak ke situ oleh salah seorang kawan Lady Charmichael, seorang
wanita setengah baya yang cekatan. Ia ditawari segelas koktail dan dimintai
tolong untuk menawarkan segelas lainnya kepada seorang gadis yang duduk di dekat
jendela. Gadis itu mungil dan berkulit bersih - wajahnya bersemu merah jambu, agak
pucat, dan cantik seperti bidadari. Sepasang matanya, Hercule Poirot langsung
melihat, tampak waspada dan penuh curiga.
Katanya, "Demi kesehatan Anda, Mademoiselle."
Gadis itu mengangguk dan meminum koktailnya. Kemudian tiba-tiba ia berkata,
"Anda kenal adik saya."
"Adik Anda" Anda salah seorang Miss Grant?"
"Saya Pam Grant."
"Dan di mana adik Anda sekarang?"
"Dia pergi berburu. Tak lama lagi pasti datang."
"Saya bertemu adik Anda di London."
"Saya tahu." "Dia bercerita pada Anda?"
Pam Grant mengangguk. Ia berkata ringkas, "Apa Sheila dalam kesulitan?"
"Jadi dia tidak menceritakan semuanya pada Anda?"
Gadis itu menggeleng. Ia bertanya, "Apakah Tony Hawker ada di sana waktu itu?"
Sebelum Poirot sempat menjawab, pintu terbuka. Anthony Hawker dan Sheila Grant
melangkah masuk. Mereka mengenakan pakaian berburu. Pipi Sheila agak kotor kena
lumpur yang mengering. "Halo, kawan-kawan. Kami haus, minta minum. Tempat minum Tony sudah kering."
Poirot menggumam, "Bicara mengenai para malaikat."
Pam Grant menyela dengan kasar, "Setan, maksud Anda."
Poirot membalas dengan suara tajam, "Benarkah begitu?"
Beryl Larkin datang mendekat. Katanya, "Kau muncul juga akhirnya, Tony.
Ceritakan tentang buruanmu tadi. Apa kau naik Gelert's Copse?"
Dengan tangkas, tanpa kentara, ia menarik Tony ke arah sofa di depan perapian.
Poirot melihat pemuda itu melirik Sheila sekilas sebelum pergi.
Sheila melihat Poirot. Ia tampak ragu-ragu sebentar, kemudian mendekati kedua
orang yang duduk dekat jendela itu. Ia berkata dengan ringkas, "Rupanya Anda
yang datang ke rumah kemarin."
"Apakah ayah Anda mengatakannya pada Anda?"
Gadis itu menggeleng. "Abdul yang cerita tentang Anda. Saya... menebaknya."
Pam berseru, "Anda pergi menemui Ayah?"
Poirot berkata, "Ah, kami punya sejumlah kawan yang sama-sama kami kenal."
Pam berkata dengan suara tajam, "Saya tak percaya."
"Mengapa Anda tak percaya ayah Anda dan saya bisa punya kawan yang sama-sama
kami kenal?" Wajah gadis itu memerah. "Jangan tolol. Maksud saya... itu bukan alasan Anda yang sebenarnya."
Ia berpaling pada adiknya.
"Bagaimana pendapatmu, Sheila?"
Sheila kaget. Katanya, "Ini... ini tak ada urusannya dengan Tony Hawker, bukan?"
"Mengapa kalau memang ada?" Poirot balas bertanya.
Wajah Sheila memerah. Ia melangkah menyeberangi ruangan dan bergabung dengan
orang-orang lain. Pam berkata, suaranya lirih dan penuh peringatan, "Saya tak suka Tony Hawker.
Ada... ada sesuatu yang jahat pada dirinya... dan tentang dia... Mrs. Larkin,
maksud saya. Lihat saja mereka."
Poirot mengikuti arah pandangan gadis itu.
Kepala Hawker amat dekat dengan kepala nyonya rumahnya. Kelihatannya ia sedang
membujuk dan menenangkan wanita itu. Suara Mrs. Larkin terdengar meninggi.
"... aku tak bisa menunggu lagi. Aku membutuhkannya sekarang!"
Poirot berkata sambil tersenyum samar, "Les femmes - apa pun yang mereka inginkan,
mereka selalu menginginkannya sekarang. Ya, kan?"
Tapi Pam Grant tidak menanggapi. Wajahnya tertunduk. Dengan gugup ia


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempermainkan lipatan roknya yang terbuat dari wol.
Poirot mencoba menghidupkan percakapan, "Anda amat berbeda dengan adik Anda,
Mademoiselle." Gadis itu mendongakkan kepalanya, tidak sabar mendengar basa-basi itu. Katanya,
"M. Poirot. Apa yang diberikan Tony pada Sheila akhir-akhir ini" Apa yang
membuatnya... berbeda?"
Poirot menatap gadis itu dengan tajam. Tanyanya, "Pernahkah Anda menghirup
kokain, Miss Grant?"
Gadis itu menggeleng. "Oh, tidak! Jadi itu, ya" Kokain" Tapi, bukankah itu amat
berbahaya?" Sheila Grant datang mendekat, tangannya memegang segelas minuman. Katanya, "Apa
yang berbahaya?" Poirot berkata, "Kami sedang membicarakan efek penggunaan obat bius. Kematian
pikiran dan jiwa secara perlahan-lahan... perusakan segala yang baik dan benar
pada diri seorang manusia."
Sheila berseru tertahan. Gelas yang dipegangnya bergoyang dan isinya tumpah ke
lantai. Poirot melanjutkan. "Saya yakin Dr. Stoddart telah menjelaskan pada Anda, apa
artinya mati selagi hidup. Dengan mudah dibuat... tetapi amat sulit
meninggalkannya. Orang yang sengaja mencari untung dengan merusak dan membuat
orang lain menderita sama dengan vampir yang mengisap darah dan memangsa
daging." Poirot membuang muka. Di belakangnya ia mendengar Pam Grant berbisik, "Sheila!"
lalu terdengar bisikan yang amat lirih... suara Sheila Grant. Bisikan itu lirih
sekali, hampir-hampir tak didengarnya.
"Tempat minum itu..."
Hercule Poirot berpamitan pada Mrs. Larkin lalu keluar ruangan, ke selasar. Di
atas meja selasar ia melihat sebuah tempat minum dan sebuah topi berburu. Poirot
mengambil tempat minum itu. Ada inisial A.H. tertera pada benda itu.
Poirot bergumam pada dirinya sendiri, "Tempat minum Tony sudah kosong?"
Pelan-pelan diguncang-guncangnya benda itu. Tak terdengar bunyi cairan.
Dibukanya tutupnya. Tempat minum Tony Hawker tidak kosong, melainkan penuh dengan serbuk putih....
VI Hercule Poirot berdiri di teras rumah Lady Charmichael dan memohon pada seorang
gadis. Katanya, "Anda masih sangat muda, Mademoiselle. Saya yakin Anda sebenarnya tidak
mengerti, tidak benar-benar mengerti, apa yang Anda dan saudari-saudari Anda
lakukan. Anda telah memangsa darah dan daging manusia, Anda seperti kuda-kuda
liar milik Raja Diomedes."
Sheila bergidik dan menangis terisak-isak. Katanya, "Jika Anda katakan seperti
itu, sepertinya ini amat mengerikan. Tapi ini memang benar! Saya tak pernah
menyadarinya sampai malam itu, di London, ketika Dr. Stoddart menjelaskannya
pada saya. Dia amat bersungguh-sungguh, dia amat tulus. Setelah itu, saya bisa
melihat betapa jahatnya apa yang telah saya lakukan selama ini... Sebelumnya
saya mengira.... Oh! Seperti minuman ringan sebelum tidur... sesuatu yang orang
bersedia membayar mahal untuk memperolehnya, tapi bukan sesuatu yang
sesungguhnya amat berbahaya!"
Poirot berkata, "Dan sekarang?"
Sheila Grant berkata, "Akan saya lakukan apa pun yang Anda perintahkan. Saya
akan bicara dengan yang lain." Dia menambahkan, "Saya rasa Dr. Stoddart takkan
sudi menemui saya lagi."
"Justru sebaliknya," kata Poirot. "Dr. Stoddart dan saya siap membantu Anda
dengan segala cara, untuk memulai kehidupan yang baru. Anda harus percaya pada
kami. Tapi ada satu hal yang harus kita lakukan. Ada satu orang yang harus kita
hancurkan... benar-benar kita hancurkan, dan hanya Anda dan saudari-saudari Anda
yang bisa menghancurkan dia. Bukti-bukti dari Anda... dan hanya bukti-bukti dari
Anda yang dapat menyeret pria itu ke meja hijau."
"Maksud Anda... ayah saya?"
"Bukan ayah Anda, Mademoiselle. Bukankah saya pernah berkata bahwa Hercule
Poirot tahu segala-galanya" Foto Anda dapat dikenali dengan mudah, dan pernah
dimuat di selebaran polisi. Anda adalah Sheila Kelly - pencuri muda, shoplifter,
yang dikirim ke panti rehabilitasi beberapa tahun yang lalu. Ketika Anda keluar
dari panti rehabilitasi itu, Anda didekati seorang pria yang mengaku sebagai
Jenderal Grant. Anda ditawari posisi ini... posisi sebagai seorang 'anak
perempuan'. Anda diberi janji akan mendapat banyak uang sambil bersenang-senang.
Yang harus Anda lakukan adalah memperkenalkan 'serbuk' itu pada kawan-kawan
Anda, dengan selalu berpura-pura bahwa Anda memperolehnya dari orang lain.
'Saudari-saudari' Anda mempunyai tugas yang sama."
Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Ayolah, Mademoiselle, kedok penjahat
itu harus kita singkap dan dia harus dihukum. Setelah itu...."
"Ya, setelah itu?"
Poirot berdeham. Ia berkata sambil tersenyum, "Anda harus mengabdikan diri
kepada Tuhan...." VII Michael Stoddart memandang Poirot dengan kagum. Katanya. "Jenderal Grant"
Jenderal Grant?" "Tepat sekali, mon cher. Semua ini mise en sc?ne, semua ini bisa kausebut
sebagai 'kekejian yang terselubung'. Patung-patung Buddha, kerajinan kuningan
dari Benares, pelayan dari India! Bahkan penyakit encok! Sudah ketinggalan
zaman, maksudku penyakit itu. Hanya orang yang sudah sangat tua yang bisa
terkena penyakit itu... bukan ayah gadis-gadis muda yang berusia sekitar
sembilan belas tahun. "Lebih dari itu, aku harus meyakinkan dugaanku. Ketika pamit, aku tersandung dan
berpegangan pada kakinya yang sakit. Laki-laki itu begitu terpengaruh katakataku, hingga tak menyadari kakinya kupegang erat-erat. Oh ya, dia orang yang
amat pandai bersandiwara, Jenderal Grant! Tout de m?me, itu gagasan yang amat
cerdik. Seorang jenderal Inggris yang pernah bertugas di India dan telah
pensiun, seorang tokoh berwatak keras dan pemarah. Dia pindah rumah... tidak
tinggal di antara sesama pensiunan tentara Inggris-India... Oh, tidak, dia
justru memilih tinggal di lingkungan yang terlalu mahal untuk kantong seorang
pensiunan jenderal. Banyak orang kaya tinggal di sana, orang-orang yang bekerja
di London, sebuah pasar yang sesuai untuk barang dagangannya. Dan siapakah yang
akan mencurigai empat gadis cantik yang ramah dan pandai bergaul" Kalau sampai
ketahuan, mereka akan dianggap sebagai korban belaka... itu sudah jelas!"
"Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu ketika kau mengunjungi setan tua itu"
Apakah kau ingin menjebaknya?"
"Ya. Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi. Aku tak perlu menunggu lama-lama.
Gadis-gadis itu langsung mendapat perintah. Anthony Hawker, yang sebenarnya
salah satu korban mereka, harus dijadikan kambing hitam. Sheila harus mengatakan
padaku tentang tempat minum yang tergeletak di meja itu. Hampir saja dia gagal
melakukannya... tapi 'kakaknya' membisikinya dan mengancamnya, dan Sheila tak
punya pilihan lain."
Michael Stoddart bangkit berdiri lalu berjalan mondar-mandir. Katanya, "Kau tahu
aku tak ingin kehilangan gadis itu. Aku punya teori yang kuat tentang
kecenderungan kriminal anak-anak muda. Kalau kauamati kehidupan mereka di rumah
mereka, kau akan, hampir pasti, menemukan..."
Poirot menyela. Katanya, "Mon cher, aku amat menghormati pengetahuan ilmiahmu.
Aku yakin teorimu akan bisa kauterapkan dengan baik dalam urusan Miss Sheila
Kelly ini." "Yang lain-lain, juga."
"Yang lain-lain, mungkin. Mungkin saja. Hanya satu yang aku yakin akan berhasil,
yaitu Sheila yang mungil. Kau akan berhasil menjinakkannya, aku yakin! Yang
benar, dia sudah jatuh hati padamu...."
Dengan wajah memerah, Michael Stoddart berkata, "Bicaramu ngawur, Poirot."
9 IKAT PINGGANG HYPPOLITA I SATU HAL membawanya ke hal yang lain, begitu ungkapan yang sering diulang-ulang
Hercule Poirot, meskipun itu bukan ungkapan yang orisinal.
Ia menambahkan bahwa ungkapan itu terbukti benar pada kasus pencurian lukisan
Rubens. Ia tak pernah tertarik pada karya-karya Rubens. Salah satu alasannya, Rubens
bukanlah pelukis yang dikaguminya, dan alasan kedua, situasi terjadinya
pencurian itu terlalu biasa. Ia bersedia menangani kasus itu hanya demi
Alexander Simpson, kawannya, pada siapa ia berutang budi. Dan untuk alasannya
sendiri, kawannya itu juga tak suka pada lukisan-lukisan klasik!
Sesudah pencurian itu, Alexander Simpson memanggil Poirot dan mencurahkan
keluhannya. Lukisan Rubens itu belum lama ditemukan, sebuah karya agung yang
semula tidak diketahui ada, tetapi keasliannya tidak diragukan. Lukisan itu
dipajang di Galeri Simpson dan dicuri di siang hari bolong. Waktu itu bersamaan
dengan demonstrasi para pengangguran yang terjadi di seberang jalan. Para
demonstran berbaring di pinggir jalan dan mencoba masuk ke Ritz. Beberapa
demonstran masuk ke Galeri Simpson sambil membawa poster bertuliskan "Seni
adalah Kemewahan. Beri Makan Mereka yang Kelaparan." Polisi dipanggil, orangorang berkerumun penuh ingin tahu, dan baru setelah para demonstran berhasil
digiring keluar oleh para hamba hukum itu, ketahuan bahwa lukisan Rubens yang
baru saja ditemukan telah dilepas dari bingkainya. Pencurian itu amat rapi!
"Lukisan itu tidak besar," jelas Mr. Simpson. "Seorang lelaki bisa menggulung
dan mengempitnya lalu berjalan keluar dengan tenang sementara perhatian orangorang masih terpusat pada para penganggur yang konyol itu."
Ternyata para penganggur itu, berdasarkan penyelidikan kemudian, telah dibayar
untuk melakukan demonstrasi yang sesungguhnya merupakan bagian dari rencana
perampokan. Mereka diminta berdemonstrasi di dalam Galeri Simpson. Tapi, bahwa
alasannya adalah untuk menyamarkan pencurian lukisan, baru kemudian mereka
ketahui. Hercule Poirot berpendapat itu tipuan yang menggelikan tapi tidak melihat apa
yang bisa dilakukannya sehubungan dengan kasus itu. Polisi, komentarnya, pasti
bisa dipercaya menangani kasus perampokan seperti itu.
Alexander Simpson berkata, "Dengar, Poirot. Aku tahu siapa pencurinya dan akan
dikirim ke mana lukisan itu."
Menurut pemilik Galeri Simpson itu, lukisan tersebut dicuri komplotan pencuri
internasional, atas permintaan seorang miliuner yang bersedia membayar berapa
pun harga yang ditawarkan - dan tak pernah menanyakan asal-usul benda seni yang
dibelinya! Lukisan Rubens itu, kata Simpson, akan diselundupkan ke Prancis dan
selanjutnya akan dibawa ke tangan si miliuner. Polisi Inggris dan Prancis telah
disiagakan, namun Simpson tetap berpendapat mereka mungkin gagal membekuk
komplotan itu. "Dan sekali lukisan itu sampai ke tangan bedebah itu, akan
semakin sulit masalahnya. Orang kaya harus diperlakukan dengan hormat. Itulah
sebabnya aku membutuhkan bantuanmu. Kasus ini akan menjadi rumit. Kaulah orang
yang tepat untuk menanganinya."
Akhirnya, tanpa semangat, Poirot berhasil dibujuk untuk menerima tugas itu. Ia
setuju untuk segera berangkat ke Prancis. Ia tidak terlalu tertarik pada kasus
pencurian lukisan itu, namun karenanya ia justru dihadapkan pada kasus Hilangnya
Seorang Murid Sekolah, yang baginya justru lebih menarik.
Ia mendengar tentang masalah itu dari Inspektur Japp, yang mampir ke tempat
kediamannya dan menemukan Poirot sedang memuji kerapian pelayannya dalam
mengepak kopernya. "Ha," kata Japp. "Mau pergi ke Prancis, ya?"
Poirot berkata, "Mon cher, rupanya Scotland Yard selalu mendapat informasi
terbaru." Japp tertawa. Katanya, "Kami punya mata-mata di mana-mana! Simpson menyeretmu
dalam urusan Rubens ini. Sepertinya dia tak percaya pada kami! Yah, terserah
padanya, tapi aku ingin kau melakukan sesuatu untuk kami, sesuatu yang sangat
berbeda. Karena kau akan pergi ke Paris, kurasa ada baiknya jika sekali tepuk
dua lalat kena. Detektif Inspektur Hearn ada di sana, bekerja sama dengan orangorang Prancis... kaukenal Hearn" Polisi yang baik, tapi mungkin tak punya
imajinasi. Aku ingin tahu pendapatmu tentang kasus ini."
"Kasus apa yang kaubicarakan ini?"
"Anak hilang. Akan dimuat di koran nanti sore. Sepertinya gadis itu diculik.
Putri seorang pendeta gereja dari Cranchester. King, namanya, Winnie King."
Ia melanjutkan dengan cerita selengkapnya.
Winnie sedang dalam perjalanan ke Paris, untuk masuk ke sekolah khusus yang
ternama, sekolah milik Miss Pope yang murid-muridnya adalah gadis-gadis kaya
dari Amerika atau putri-putri ningrat dan kalangan atas dari Inggris. Winnie
naik kereta api pagi dari Cranchester... terlihat berada di London oleh salah
satu petugas dari Elder Sisters Ltd. yang biasa mengawal gadis-gadis muda dari
satu stasiun ke stasiun lainnya. Di Stasiun Victoria gadis itu diserahkan pada
Miss Burshaw, wakil Miss Pope, dan kemudian bersama delapan belas gadis lain
meninggalkan stasiun itu dengan kapal milik perusahaan kereta api. Sembilan
belas gadis muda menyeberangi Selat Inggris, melewati pemeriksaan imigrasi di
Calais, naik kereta api ke Paris, dan makan siang di restorasi. Tapi ketika Miss
Burshaw menghitung gadis-gadis itu, saat itu kereta sudah sampai di luar Paris,
ternyata hanya ada delapan belas gadis!
"Aha," kata Poirot sambil mengangguk. "Apakah kereta itu berhenti di suatu
tempat?" "Ya, di Amiens, tapi ketika itu semua anggota rombongan sedang berada di
restorasi dan mereka bersaksi bahwa Winnie ada di antara mereka. Rupanya,
singkatnya, mereka kehilangan kawan mereka itu ketika mereka kembali ke
kompartemen masing-masing. Artinya, Winnie tidak kembali ke kompartemennya
bersama lima gadis lain yang duduk di sana. Mereka tak curiga kalau-kalau ada
yang tidak beres. Mereka mengira Winnie pergi ke dua kompartemen lain yang telah
dipesan untuk rombongan mereka."
Poirot mengangguk. "Jadi, tepatnya... kapan terakhir kalinya mereka melihatnya?"
"Kira-kira sepuluh menit setelah kereta api meninggalkan Amiens." Japp berdeham
dengan sikap rendah hati. "Terakhir kalinya dia terlihat sedang... eh... masuk
ke toilet." Poirot bergumam, "Sangat wajar." Ia melanjutkan, "Tak ada fakta lain?"
"Ada satu hal," wajah Japp kelihatan bersungguh-sungguh. "Topinya ditemukan
dekat rel kereta api... kira-kira empat belas mil dari Amiens."
"Tapi orangnya tak ada."
"Tak ada." Poirot bertanya, "Menurut kau sendiri, bagaimana?"
"Sulit. Entahlah! Karena tubuhnya tak ditemukan, bisa jadi dia terjatuh dari
kereta, entah di mana."
"Apakah kereta berhenti lagi setelah meninggalkan Amiens?"
"Tidak. Namun pernah sekali melambat... karena ada tanda untuk melambat. Tapi
tidak berhenti. Rasanya tak cukup pelan, hingga seseorang bisa meloncat turun
tanpa terluka. Menurutmu, anak itu panik lalu berusaha lari" Ini semester
pertama dia di sana, mungkin saja dia rindu rumah, itu mungkin saja. Tapi
umurnya sudah lima belas lebih - sudah bisa berpikir jernih, dan sepanjang
perjalanan dia tampak riang, mengobrol, dan bercanda dengan teman-temannya."
Poirot bertanya, "Apakah kereta telah diperiksa?"
"Ya, mereka memeriksanya dengan teliti sebelum kereta masuk ke Gare du Nord.
Satu hal sudah pasti, gadis itu tak ada lagi di kereta."
Japp menambahkan dengan kesal, "Gadis itu menghilang begitu saja! Lenyap bagai
asap! Ini tidak masuk akal, M. Poirot. Ini gila!"
"Seperti apa dia?"
"Biasa-biasa saja, tidak istimewa."
"Maksudku, seperti apa tampangnya?"
"Aku membawa fotonya. Dia tidak termasuk gadis cantik yang sedang mekar."
Diulurkannya foto itu dan Poirot mengamatinya selama beberapa saat.
Foto itu foto seorang gadis kurus dengan rambut dikepang dua. Bukan foto yang
sengaja dibuat, jelas sekali gadis itu tak tahu ia difoto. Ia sedang makan apel,
bibirnya terbuka, giginya agak maju dan dikawat. Ia berkacamata.
Japp berkata, "Gadis yang biasa - tapi di usia seperti itu, mereka memang masih
tampak biasa! Aku kemarin ke dokter gigi langgananku. Kulihat foto Marcia Gaunt,
Ratu Musim Semi, di Sketch. Aku pernah ingat datang ke kastil orangtuanya, waktu
umurnya baru lima belas, untuk urusan perampokan. Wajah penuh bintik, canggung,
gigi maju, rambut kusam, dan seterusnya. Dalam semalam... gadis-gadis itu
berubah menjadi wanita dengan kecantikan yang mencengangkan - aku heran, bagaimana
mereka melakukannya! Seperti suatu keajaiban!"
Poirot tersenyum. "Wanita," katanya, "adalah makhluk yang mencengangkan! Bagaimana dengan keluarga
gadis itu" Apa mereka memberikan keterangan yang mungkin bisa membantu?"
Japp menggeleng. "Tak ada keterangan yang berarti. Ibunya lumpuh. Ayahnya, Pendeta King, benarbenar shock. Dia bersumpah bahwa putrinya itu sudah lama ingin pergi ke Paris.
Winnie ingin belajar musik dan melukis - pokoknya belajar seni. Murid-murid Miss


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pope terkenal karena pengetahuan mereka tentang Seni... Seni dengan S besar. Kau
mungkin sudah tahu, sekolah Miss Pope sangat terpandang. Banyak gadis dari
kalangan atas, kaya maupun ningrat, dikirim bersekolah di sana. Miss Pope
sendiri orangnya keras - amat keras.... Sekolahnya amat mahal... dan tidak
sembarang gadis akan diterimanya... hanya yang dipilihnya yang bisa masuk ke
sekolahnya." Poirot mendesah. "Aku tahu tipe seperti itu. Bagaimana dengan Miss Burshaw yang
menjemput gadis-gadis itu dari Inggris?"
"Mungkin tidak terlalu cerdas. Takut sekali kalau-kalau Miss Pope akan
menyalahkannya." Poirot berkata sambil merenung, "Tak ada pemuda dalam kasus ini?"
Japp menggerakkan kepalanya ke arah foto itu.
"Apa dia gadis yang menarik?"
"Tidak, memang tidak. Tapi, meskipun penampilannya seperti itu, bisa saja dia
punya angan-angan yang amat romantis. Lima belas tahun bukan usia yang terlalu
muda." "Well," kata Japp. "Jika angan-angan romantis yang menyebabkannya kabur dari
kereta itu, aku harus membaca novel karangan pengarang wanita."
Dengan penuh harap ia memandang Poirot.
"Tak ada yang mengingatkanmu pada sesuatu, ya?"
Pelan-pelan Poirot menggeleng. Katanya, "Apakah mereka juga menemukan sepatunya
di dekat rel?" "Sepatu" Tidak. Mengapa sepatu?"
Poirot menggumam, "Aku menduga..."
II Hercule Poirot baru saja hendak keluar untuk naik taksi ketika telepon
berdering. Diangkatnya telepon itu.
"Ya?" Terdengar suara Japp. "Untung kau belum berangkat. Sudah selesai, kawan. Ada
pesan di kantor waktu aku sampai. Gadis itu telah ditemukan. Di pinggir jalan
besar, lima belas mil dari Amiens. Dia seperti orang linglung dan polisi tak
bisa mengorek keterangan yang berarti darinya. Dokter mengatakan dia telah
dibius. Tapi dia selamat. Tak kurang suatu apa."
Poirot berkata pelan, "Jadi kalau begitu, bantuanku tak dibutuhkan lagi?"
"Maaf, kurasa tak perlu! Sekali lagi, mmmaaaafff telah merrrreppotttkanmu."
Japp tertawa karena leluconnya sendiri lalu memutuskan hubungan.
Hercule Poirot tidak tertawa. Pelan-pelan diletakkannya teleponnya. Wajahnya
terlihat keruh. III Detektif Inspektur Hearn memandang Poirot dengan penuh minat. Katanya, "Saya tak
menyangka, Anda akan tertarik pada kasus ini, Sir."
Poirot berkata, "Anda sudah mendengar pesan Inspektur Japp, bahwa saya mungkin
akan berkonsultasi dengan Anda mengenai kasus ini?"
Hearn mengangguk. "Beliau mengatakan Anda akan datang kemari untuk suatu urusan lain, dan Anda
akan membantu kami memecahkan teka-teki ini. Tapi, karena kasusnya sudah
selesai, saya tak mengira Anda masih tertarik menanganinya. Saya kira Anda cukup
sibuk dengan kasus lain itu."
Hercule Poirot berkata, "Urusan saya itu bisa menunggu. Justru masalah ini yang
menarik minat saya. Anda menyebutnya teka-teki, dan Anda mengatakan kasusnya
sudah selesai. Tapi, sepertinya teka-tekinya belum berhasil dipecahkan."
"Ah, Sir, anak itu sudah ditemukan. Dan dia tak kurang suatu apa. Itu yang
paling penting." "Tapi itu tidak menjawab pertanyaan bagaimana Anda menemukan dia, bukan" Apa
katanya tentang itu" Dokter sudah memeriksanya, bukan" Apa kata dokter itu?"
"Katanya, gadis itu dibius. Dia masih belum sadar benar. Sepertinya, dia tak
ingat apa-apa setelah meninggalkan Cranchester. Semua kejadian sesudah itu
tampaknya terhapus dari ingatannya. Menurut dokter, mungkin dia menderita gegar
otak ringan. Di bagian belakang kepalanya ada benjolan. Kata dokter, itu mungkin
penyebab hilangnya sebagian memory-nya."
Poirot berkata, "Yang amat menguntungkan bagi... seseorang!"
Inspektur Hearn berkata dengan suara bimbang, "Maksud Anda, dia telah melakukan
perbuatan yang memalukan?"
"Bagaimana menurut Anda?"
"Tidak, saya yakin dia tidak melakukan yang seperti itu. Dia anak baik - kelihatan
lebih muda dari umurnya."
"Ya, dia takkan melakukan hal-hal yang memalukan." Poirot menggeleng. "Tapi saya
ingin tahu, bagaimana dia turun dari kereta api. Saya ingin tahu, siapa yang
bertanggung jawab untuk itu... dan mengapa?"
"Pertanyaan terakhir itu bisa dijawab dengan: usaha penculikan. Mungkin mereka
bermaksud meminta uang tebusan."
"Tapi mereka tidak minta uang tebusan!"
"Mungkin tak berani, karena gadis itu menangis keras-keras... lalu cepat-cepat
mereka meninggalkannya di pinggir jalan."
Poirot bertanya dengan sinis, "Dan berapa besar uang tebusan yang dapat
disediakan Pendeta Katedral Cranchester" Petinggi-petinggi gereja Inggris
bukanlah kaum miliuner."
Inspektur Hearn berkata dengan riang, "Hanya untuk menarik perhatian, mungkin.
Itu pendapat saya." "Ah, begitu, ya?"
Hearn berkata, wajahnya agak memerah, "Bagaimana pendapat Anda sendiri, Sir?"
"Saya ingin tahu, bagaimana dia bisa diselundupkan keluar dari kereta itu."
Wajah polisi itu seketika menjadi suram.
"Itu benar-benar merupakan misteri. Sesaat dia ada di sana, duduk di restorasi,
bercanda dan mengobrol dengan gadis-gadis lainnya. Lima menit kemudian dia
menghilang - sim salabim - seperti permainan sulap."
"Tepat, seperti permainan sulap! Siapa saja yang ada dalam gerbong itu" Gerbong
tempat kompartemen-kompartemen yang telah dipesan rombongan Miss Pope?"
Inspektur Hearn mengangguk.
"Itu pertanyaan yang bagus, Sir. Itu sangat penting. Itu sangat penting, lebihlebih karena gerbong itu yang terakhir dalam rangkaian kereta. Segera setelah
semua kembali dari restorasi, pintu penghubung antargerbong dikunci - benar-benar
dikunci, untuk mencegah orang bergerombol di restorasi dan minta ini-itu sebelum
bekas makan siang dibersihkan dan restorasi disiapkan untuk waktu minum teh di
sore hari. Winnie kembali ke gerbongnya bersama yang lain-lain - ada tiga
kompartemen yang telah dipesan sekolah itu."
"Dan di dalam kompartemen-kompartemen lain di gerbong itu?"
Hearn mengeluarkan catatannya.
"Miss Jordan dan Miss Butters - dua wanita tua yang tidak menikah, mereka pergi ke
Swiss. Mereka beres, sangat terhormat, dan dikenal luas di Hampshire, daerah
asal mereka. Dua pedagang Prancis yang sedang melakukan perjalanan, satu dari
Lyons dan satu dari Paris. Dua-duanya pria setengah baya yang juga terhormat.
Seorang pria muda, James Elliot, dan istrinya - yang penampilannya amat mencolok.
Dia dicurigai polisi, diduga terlibat transaksi yang tidak beres - tapi tidak
pernah melakukan penculikan. Singkatnya, kompartemennya digeledah, di antara
barang-barangnya tak ditemukan sesuatu yang membuatnya bisa dicurigai terlibat
dalam kasus ini. Saya tak bisa mengerti bagaimana dia bisa terlibat. Ada satu
lagi penumpang lain, wanita Amerika, Mrs. Van Suyder, dalam perjalanan ke Paris.
Tentang dia, kami tak tahu apa-apa. Kelihatannya beres. Itu semuanya."
Hercule Poirot berkata, "Dan sudah pasti kereta tidak berhenti setelah
meninggalkan Amiens?"
"Pasti. Pernah melambat, tapi tidak cukup pelan bagi seseorang untuk melompat
turun - tanpa risiko luka parah atau bahkan mati."
Hercule Poirot menggumam, "Itu sebabnya kasus ini amat menarik. Gadis itu
menghilang begitu saja, seperti asap, tepat di luar Amiens. Dia muncul kembali,
entah dari mana, tepat di luar Amiens. Di mana saja dia di antara kedua saat
itu?" Inspektur Hearn menggeleng.
"Anda katakan seperti itu, kasus ini jadi benar-benar mengherankan. Gila! Oh,
saya ingat, mereka mengatakan Anda bertanya tentang sepatu... sepatu gadis itu.
Waktu ditemukan, gadis itu masih mengenakan sepatunya, tapi memang ada sepasang
sepatu lain di pinggir rel, ditemukan penjaga sinyal kereta. Dibawanya pulang
karena masih bagus. Sepatu yang cocok untuk berjalan kaki, kuat, dan hitam
warnanya." "Ah," kata Poirot. Ia kelihatan puas.
Inspektur Hearn bertanya penuh ingin tahu, "Saya tak mengerti artinya sepasang
sepatu itu, Sir" Apa artinya?"
"Sepatu itu membuktikan suatu teori," kata Hercule Poirot. "Teori tentang
bagaimana pertunjukan sulap itu dimainkan."
IV Sekolah Miss Pope, seperti sekolah-sekolah mahal yang sejenis, terletak di
Neuilly. Hercule Poirot, yang sedang berdiri mengagumi bagian depan gedung
utamanya yang anggun, tiba-tiba seakan tenggelam di tengah arus gadis-gadis yang
keluar dari gerbang gedung itu.
Ia menghitung. Ada 25 semuanya, mengenakan pakaian seragam warna biru tua,
dengan topi gaya Inggris yang kelihatannya tidak nyaman dipakai, dan pita warna
ungu dan emas - warna pilihan Miss Pope - dililitkan di sekeliling topi itu. Umur
mereka antara empat belas sampai delapan belas, ada yang gemuk ada yang kurus,
ada yang berkulit putih ada yang berkulit gelap, ada yang tampak canggung ada
pula yang tampak anggun. Di belakang rombongan itu, bersama gadis-gadis yang
lebih muda, berjalan seorang wanita cerewet berambut abu-abu, yang menurut
dugaan Poirot adalah Miss Burshaw.
Selama satu menit, Poirot berdiri memandangi mereka, kemudian ia membunyikan bel
dan minta bertemu dengan Miss Pope.
Miss Lavinia Pope merupakan pribadi yang sangat berbeda dari wakilnya, Miss
Burshaw. Miss Pope seorang wanita yang berkepribadian kuat. Punya kharisma.
Bahkan kalaupun terpaksa mengalah dan mengabulkan permintaan orangtua seorang
gadis, ia masih tetap mempertahankan kesan superioritasnya, suatu aset yang amat
berguna bagi seorang kepala sekolah.
Rambut abu-abunya ditata rapi, gaunnya agak kuno namun berkesan anggun. Ia amat
kompeten dan menguasai keadaan.
Ruangan tempatnya menerima Poirot mencerminkan pengetahuannya yang luas akan
seni dan budaya. Perabotan yang anggun, bunga, dan foto-foto bekas muridnya beberapa di antaranya dibingkai dan ditandatangani - yang kini telah menjadi
orang-orang terkenal. Sebagian besar foto itu menampilkan gadis-gadis yang
diwisuda, lengkap dengan jubah dan topi wisuda. Pada dinding tergantung sejumlah
karya agung pelukis-pelukis ternama dan beberapa lukisan cat air yang bagus.
Seluruh ruangan itu rapi, bersih, dan berkilat. Setitik debu pun takkan berani
masuk dan menempel pada salah satu benda yang ada dalam ruangan itu.
Miss Pope menerima Poirot dengan ketenangan seseorang yang penilaiannya jarang
keliru. "M. Hercule Poirot, tentu saja saya sudah mengenal nama Anda. Saya rasa Anda
kemari karena kasus Winnie King. Insiden yang menjengkelkan."
Miss Pope tidak kelihatan jengkel. Ia menghadapi bencana dengan ketenangan orang
yang sudah amat berpengalaman, dan karenanya membuat bencana itu menjadi hampir
tak ada artinya. "Yang seperti itu," kata Miss Pope, "belum pernah terjadi."
"Dan takkan terjadi lagi!" Sikapnya menyatakan itulah yang ingin dikatakannya.
Hercule Poirot berkata, "Ini semester pertama dia di sini, bukan?"
"Ya, benar." "Anda sudah pernah mewawancarai Winnie sebelum menerimanya - juga orangtuanya?"
"Bukan baru-baru ini. Dua tahun yang lalu, saya sedang ada urusan dan menginap
dekat Cranchester - tepatnya, urusan dengan Uskup."
Sikap Miss Pope menyatakan, ("Harap diketahui, saya orang yang punya hubungan
baik dengan Uskup!")
"Ketika di sana, saya berkenalan dengan Pendeta King dan Mrs. King. Kasihan,
Mrs. King invalid. Waktu itu saya berkenalan dengan Winnie. Gadis yang
dibesarkan dengan baik dan punya cita rasa seni yang tinggi. Saya katakan pada
Mrs. King bahwa saya akan senang menerima Winnie di sekolah saya, satu-dua tahun
lagi - jika sekolah umumnya sudah selesai. Di sini, M. Poirot, kami mengkhususkan
diri pada seni dan musik. Gadis-gadis kami bawa ke opera, ke Com?die Fran?aise,
mereka mendengarkan ceramah-ceramah di Louvre. Para seniman terbaik kami undang
kemari untuk mengajarkan musik, menyanyi, dan melukis. Wawasan budaya yang luas,
itulah tujuan kami."
Tiba-tiba Miss Pope ingat bahwa Poirot bukanlah ayah seorang gadis, cepat-cepat
ia menambahkan, "Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, M. Poirot?"
"Saya ingin tahu bagaimana posisi Winnie sekarang."
"Pendeta King datang ke Amiens, menjemput Winnie dan membawanya pulang. Hal
paling bijaksana yang bisa dilakukannya setelah shock yang diderita anak itu."
Ia melanjutkan, "Kami tidak menerima gadis-gadis yang lemah di sekolah ini. Kami
tidak punya fasilitas khusus untuk mereka. Saya katakan pada Pak Pendeta
sebaiknya Winnie dibawa pulang."
Hercule Poirot bertanya dengan terus terang, "Apa sebenarnya yang terjadi"
Bagaimana pendapat Anda, Miss Pope?"
"Saya tak punya gagasan apa-apa, M. Poirot. Semua ini, seperti yang dilaporkan
pada saya, sangat aneh. Menurut saya, staf saya - yang bertanggung jawab atas
gadis-gadis itu - tak dapat disalahkan... kecuali bahwa seharusnya dia lebih awal
tahu gadis itu menghilang."
Poirot berkata, "Anda mendapat kunjungan, mungkin, dari polisi?"
Sekilas, wajah aristokrat Miss Pope tak bisa menyembunyikan perasaannya. Dengan
dingin ia berkata, "Seseorang yang mengaku sebagai Monsieur Lefarge dari
Pr?fecture menemui saya, ingin menanyakan, kalau-kalau saya bisa memberi
keterangan sehubungan dengan situasi itu. Tentu saja saya tak punya keterangan
apa pun. Kemudian ia memaksa memeriksa barang-barang bawaan Winnie, yang tentu
saja sampai di sini bersama milik gadis-gadis lainnya. Saya katakan padanya
bahwa barang-barang itu telah diperiksa polisi dari kesatuan yang lain. Menurut
saya, tugas-tugas di kantor polisi saling tumpang-tindih. Tak lama kemudian,
seseorang menelepon saya, menegaskan bahwa belum semua barang Winnie mereka
periksa. Saya marah sekali karenanya. Mereka mengira karena punya kuasa lalu
bisa memaksa saya." Poirot menarik napas panjang. Katanya, "Anda punya keberanian alamiah. Saya
mengagumi Anda, Mademoiselle. Saya kira barang-barang Winnie langsung dibuka
begitu sampai. Benar?"
Miss Pope tampak agak sedikit tersinggung.
"Rutin," katanya. "Kami selalu taat pada peraturan yang sudah digariskan.
Barang-barang bawaan murid-murid langsung dibuka dan diatur di lemari-lemari
yang tersedia, rapi, seperti seharusnya. Begitu pula milik Winnie. Kemudian,
tentu saja, barang-barangnya dimasukkan kembali ke kopernya, hingga bawaan
Winnie bisa diserahkan pada polisi dalam keadaan persis seperti ketika kami
membukanya." Poirot berkata, "Persis?"
Ia berjalan ke dinding. "Ini lukisan Jembatan Cranchester yang terkenal itu, dengan Katedral tampak di
kejauhan." "Anda benar, M. Poirot. Winnie pasti telah membuatnya dan membawanya kemari,
sebagai hadiah kejutan untuk saya. Ada dalam kopernya, terbungkus, dan pada
bungkusnya tertulis 'Untuk Miss Pope dari Winnie'. Gadis yang penuh perhatian."
"Ah!" kata Poirot. "Dan, bagaimana pendapat Anda mengenai lukisan ini?"
Poirot sudah banyak melihat lukisan yang menggambarkan Jembatan Cranchester.
Satu tema yang setiap tahun bisa ditemukan di Akademi Seni Lukis - kadang-kadang
dalam bentuk lukisan cat minyak - kadang-kadang dengan cat air. Ada yang bagus,
ada yang jelek, ada pula yang membosankan. Tapi, belum pernah ia melihat lukisan
yang sejelek dan sekasar itu buatannya.
Miss Pope tersenyum maklum.
Katanya, "Kita tak boleh mematahkan semangat seorang gadis, M. Poirot. Tentu
saja Winnie akan kami beri pengarahan agar bisa membuat lukisan yang lebih
baik." Poirot berkata sambil merenung, "Rasanya lebih wajar jika dia menggunakan cat
air. Ya, kan?" "Ya. Saya tak mengira dia akan mencoba melukis dengan cat minyak."
"Ah," kata Hercule Poirot. "Anda akan mengizinkan saya, Mademoiselle?"
Ia melepaskan lukisan itu dari gantungannya dan membawanya ke dekat jendela. Ia
memeriksanya, kemudian sambil mengangkat wajahnya ia berkata, "Saya akan memohon
pada Anda, Mademoiselle, untuk memberikan lukisan ini kepada saya."
"Wah, M. Poirot..."
"Anda tak perlu berpura-pura amat menyukai lukisan yang jelek ini."
"Oh, saya sependapat, memang tak ada nilai seninya. Tapi ini hasil karya murid
saya...." "Saya katakan pada Anda, Mademoiselle, lukisan ini sama sekali tidak pantas
dipajang di ruangan ini."


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa Anda berkata begitu, M. Poirot?"
"Akan segera saya buktikan."
Ia mengeluarkan sebuah botol kecil, spons, dan beberapa potongan kain lembut
dari sakunya. Katanya, "Pertama-tama, saya akan menyampaikan sebuah cerita pada
Anda, Mademoiselle. Ceritanya mirip dengan kisah Itik yang Buruk Rupa yang
berubah menjadi angsa."
Tangannya bekerja dengan cekatan sementara mulutnya terus bicara. Bau terpentin
memenuhi ruangan. "Barangkali Anda jarang pergi ke teater?"
"Memang jarang. Bagi saya, pertunjukan itu seperti palsu...."
"Ya, palsu, tapi kadang-kadang sangat instruktif. Saya pernah melihat seorang
aktris yang mengubah kepribadiannya dengan cara yang luar biasa. Sesaat dia
bintang kabaret, halus dan penuh glamor. Sepuluh menit kemudian, dia menjadi
gadis muda yang tidak menarik, pucat, mengenakan pakaian senam - sepuluh menit
berikutnya lagi, dia menjadi wanita gipsy yang duduk meramal di depan
karavannya." "Itu semua memang mungkin, saya tahu, tapi saya tidak melihat...."
"Tapi saya sedang menunjukkan kepada Anda bagaimana permainan sulap itu
dilakukan di atas kereta api. Winnie, murid sekolah, rambut berkepang dua,
berkacamata, gigi yang dikawat - masuk ke toilet. Seperempat jam kemudian dia
keluar sebagai - meminjam kata-kata yang dipakai Inspektur Hearn - 'wanita yang
berpenampilan mencolok'. Stocking sutra yang lembut, sepatu bertumit tinggi mantel bulu mink untuk menutupi seragam sekolah, topi beledu kecil bertengger di
atas rambutnya yang ikal - dan seraut wajah... ya, seraut wajah. Pemerah pipi,
bedak, lipstik, maskara! Seperti apa sebenarnya wajah asli aktris itu" Mungkin
hanya Tuhan yang tahu! Tapi Anda sendiri, Mademoiselle, telah sering melihat
bagaimana murid-murid Anda, gadis-gadis yang canggung, berubah menjadi wanita
muda yang cantik, menawan, dan mengerti tata cara pergaulan... mereka berubah
secara menakjubkan."
Miss Pope menahan napas. "Maksud Anda Winnie King menyamar sebagai..."
"Bukan, bukan Winnie. Winnie diculik dalam perjalanan di dalam kota London.
Aktris kita langsung menggantikan tempatnya. Miss Burshaw belum pernah bertemu
dengan Winnie King - bagaimana dia akan tahu bahwa gadis kurus dengan rambut
dikepang dua dan gigi berkawat itu Winnie" Sampai sejauh itu rencana mereka
berjalan dengan baik. Tapi aktris yang menyamar itu tidak berani mengambil
risiko untuk benar-benar datang kemari, karena Anda telah mengenal Winnie yang
asli. Karenanya, sim-salabim, Winnie menghilang ke dalam toilet dan muncul
sebagai istri seorang pria bernama Jim Elliot yang dalam paspornya juga tertera
nama istrinya! Rambut kepang dua, kacamata, stocking murahan, kawat gigi semuanya bisa disembunyikan dalam suatu tempat yang kecil. Tapi sepatu yang
bersol tebal, yang cocok untuk berjalan jauh, dan topinya - topi gaya Inggris yang
sama sekali tidak menarik - harus dibuang. Benda-benda itu dilemparkan keluar dari
jendela. Kemudian, Winnie yang asli dibawa menyeberangi Selat Inggris - tak ada
polisi yang mencari seorang anak yang kelihatan sakit, setengah dibius, yang
dibawa dari Inggris ke Prancis - dan kemudian diturunkan dari mobil di tepi jalan
raya. Bila memang dibius, selama itu, dengan scopolamine, dia takkan ingat akan
apa yang telah terjadi."
Miss Pope menatap Poirot dengan heran. Ia bertanya, menuntut jawab, "Tapi
mengapa" Apa alasan untuk penyamaran yang tidak masuk akal itu?"
Poirot menjawab dengan sungguh-sungguh, "Koper Winnie! Orang-orang itu ingin
menyelundupkan sesuatu dari Inggris ke Prancis - sesuatu yang dicari-cari petugaspetugas pabean di negara mana pun - tepatnya, barang-barang curian. Tapi, tempat
apakah yang lebih aman dibandingkan dengan koper murid sekolah" Anda sangat
terpandang, Miss Pope, begitu pula sekolah ini. Di Gare du Nord koper-koper
gadis-gadis itu bisa melewati pemeriksaan tanpa kesulitan. Mereka murid-murid
Miss Pope yang terpandang! Dan kemudian, setelah penculikan itu, tentunya
merupakan alasan yang masuk akal mengirim seseorang untuk mengambil barangbarang gadis itu - apalagi kalau perintah itu datang dari kepolisian setempat."
Hercule Poirot tersenyum.
"Untunglah ada peraturan bahwa koper-koper yang tiba langsung dibuka dan isinya
dikeluarkan... dan ada sebuah hadiah untuk Anda dari Winnie - tapi itu bukan
hadiah yang sama yang dibungkus Winnie di Cranchester."
Poirot melangkah mendekati wanita itu.
"Anda telah menyerahkan lukisan ini kepada saya. Lihatlah, lukisan ini tak
pantas dipajang di sekolah Anda yang amat terpandang ini!"
Ia memegang lukisan itu dan menunjukkannya pada Miss Pope.
Seolah karena keajaiban, Jembatan Cranchester telah menghilang. Sebagai gantinya
adalah lukisan klasik dalam warna-warna indah, lengkap dengan sapuan bayangbayangnya yang amat halus.
Poirot berkata dengan halus, "Ikat Pinggang Hyppolita. Hyppolita memberikan ikat
pinggangnya pada Hercules - dilukis oleh Rubens. Karya seni yang agung - mais tout
de m?me tidak pantas untuk ruangan ini."
Wajah Miss Pope memerah. Tangan Hyppolita memegang ikat pinggangnya - tak sehelai benang pun
dikenakannya... Di salah satu bahu Hercules tersampir sehelai kulit singa.
Lukisan Rubens yang menggambarkan wanita telanjang memang amat nyata... amat
menggairahkan.... Miss Pope berkata, sikapnya kembali seperti biasa, "Karya seni yang bagus...
Tapi, seperti kata Anda, kita harus mempertimbangkan perasaan dan pikiran para
orangtua. Beberapa di antara mereka cenderung berpandangan sempit... kalau Anda
mengerti maksud saya...."
V Tepat ketika Poirot meninggalkan gedung itu, serbuan itu datang. Ia dikelilingi,
didorong-dorong, tenggelam dalam kerumunan gadis-gadis - ada yang gemuk, ada yang
kurus, ada yang berkulit putih, ada yang berkulit gelap.
"Mon Dieu!" gumamnya. "Inilah serangan bangsa Amazon!"
Seorang gadis jangkung berseru, "Ada desas-desus bahwa..."
Mereka semakin rapat mengepungnya. Hercule Poirot terkurung. Ia tenggelam dalam
gelombang femininitas yang muda dan penuh gairah.
Dua puluh lima suara berebut bicara, nadanya berbeda-beda, tapi mereka
mengucapkan kalimat yang sama.
"M. Poirot, maukah Anda menandatangani buku saya...?"
10 GERYON DAN BINATANG-BINATANG GEMBALAANNYA
I "SAYA benar-benar minta maaf telah mengganggu Anda seperti ini, M. Poirot."
Miss Carnaby memegangi tas tangannya erat-erat dan mencondongkan badannya ke
depan. Ia menatap wajah Poirot dengan cemas. Seperti biasa, suaranya terengahengah. Alis Hercule Poirot terangkat.
Miss Carnaby berkata dengan cemas, "Anda masih ingat saya, bukan?"
Mata Hercule Poirot berkedip jenaka. Katanya, "Saya ingat Anda sebagai salah
satu penjahat paling sukses yang pernah saya temui!"
"Aduh, M. Poirot, haruskah Anda berkata begitu" Anda dulu amat baik pada saya.
Emily dan saya sering membicarakan Anda, dan kalau kami membaca tentang Anda di
koran, kami gunting berita itu dan kami tempelkan di sebuah buku khusus.
Augustus kami ajari permainan baru. Kami akan bilang, 'Matilah demi Sherlock
Holmes, matilah demi Mr. Fortune, matilah demi Sir Henry Merrivale, dan kemudian
matilah demi M. Hercule Poirot,' dan mendengar itu dia akan langsung berbaring
kaku seperti kayu - betul-betul tak bergerak sampai kami beri perintah lain!"
"Saya merasa tersanjung," kata Poirot. "Dan bagaimana kabar ce cher Auguste?"
Miss Carnaby menautkan kedua telapak tangannya, dan dengan lancar memuji-muji
anjing peking-nya. "Oh, M. Poirot, dia semakin pintar. Dia tahu apa saja. Tahukah Anda, suatu sore
saya sedang mengagumi seorang bayi dalam kereta dorongnya, tiba-tiba ada tarikan
kuat, ternyata Augustus mencoba menggigit-putus tali pengikatnya. Cerdik sekali,
ya?" Mata Poirot berkedip jenaka. Katanya, "Menurut saya, rasanya Augustus punya
bakat kriminal juga, seperti..."
Miss Carnaby tidak tertawa. Wajahnya yang bulat dan ramah terlihat sedih dan
cemas. Ia berkata dengan napas tersendat, "Oh, M. Poirot, saya cemas sekali."
Poirot berkata ramah, "Ada apa?"
"Tahukah Anda, M. Poirot, saya takut... saya sungguh-sungguh takut... janganjangan saya ini sudah menjadi penjahat berpengalaman... kalau saya boleh memakai
istilah itu. Banyak gagasan melintas di kepala saya!"
"Gagasan macam apa?"
"Gagasan-gagasan yang luar biasa! Misalnya, kemarin, saya mendapat gagasan yang
amat praktis untuk merampok kantor pos. Saya bukannya sedang memikirkannya...
gagasan itu muncul begitu saja! Ada lagi cara-cara cerdik untuk menghindari
pajak.... Saya yakin... amat yakin... gagasan saya itu pasti tidak akan gagal."
"Barangkali memang demikian," kata Poirot dengan suara tajam. "Itulah bahayanya
gagasan-gagasan Anda."
"Tapi, itu membuat saya cemas, M. Poirot, sangat cemas. Dibesarkan dalam aturan
dan ajaran agama yang ketat... saya amat terganggu oleh gagasan melawan hukum
seperti itu... benar-benar jahat. Bagaimana gagasan itu bisa muncul di otak
saya" Masalahnya, menurut saya, adalah karena sekarang saya punya waktu luang
terlalu banyak. Saya sudah berhenti kerja dari Lady Hoggin dan kini bekerja pada
seorang wanita tua, membacakan sesuatu untuknya dan menuliskan surat-suratnya,
setiap hari. Waktu untuk menulis surat-surat itu tidak lama, dan begitu saya
mulai membacakan sesuatu, wanita itu langsung tertidur, jadi saya terpaksa duduk
menganggur... membolak-balik otak saya... dan Anda tahu bagaimana setan bisa
memanfaatkan orang yang melamun tak punya kerjaan."
"Tcha, tcha," kata Poirot.
"Baru-baru ini saya membaca sebuah buku, sangat modern, diterjemahkan dari
bahasa Jerman. Banyak penjelasan mengenai kecenderungan-kecenderungan kriminal.
Orang harus, begitu yang saya mengerti, mengendalikan dan menghaluskan impulsimpulsnya sendiri! Itulah sebabnya saya datang menemui Anda."
"Ya?" kata Poirot.
"Anda tahu, M. Poirot. Menurut saya, bukan sesuatu yang jahat kalau kita
menginginkan sesuatu yang mendebarkan! Sayang sekali, kehidupan saya selama ini
sangat membosankan. Kasus... eh... kasus anjing peking itu; kadang-kadang saya
merasa, ketika itulah saya merasa benar-benar hidup. Memang itu tidak baik,
tetapi, seperti tertulis dalam buku itu, orang tidak boleh mengingkari sesuatu
yang benar-benar terjadi. Saya datang menemui Anda, Mr. Poirot, karena berharap
ada kemungkinan - untuk mengendalikan keinginan saya akan sesuatu yang
mendebarkan, yaitu dengan mengarahkannya - kalau saya boleh mengatakannya demikian
- ke hal-hal yang berguna."
"Aha," kata Poirot. "Jadi Anda datang kemari sebagai mitra kerja?"
Wajah Miss Carnaby memerah.
"Saya memang tidak tahu diri, saya tahu. Tapi Anda sangat baik."
Ia berhenti bicara. Matanya, mata yang berwarna biru pucat, memohon... menatap
Poirot dengan pandangan memohon, seperti anjing yang ingin sekali diajak jalanjalan, namun tahu keinginannya itu tak mungkin dikabulkan.
"Gagasan yang baik," kata Hercule Poirot pelan.
"Tentu saja saya tidak pintar," Miss Carnaby menjelaskan. "Tapi amat pandai
membawakan diri. Memang seharusnya begitu... kalau tidak, saya pasti langsung
dipecat dari pekerjaan saya sebagai 'teman'. Dan saya selalu yakin bahwa
menampilkan diri sebagai orang yang lebih tolol dari yang sesungguhnya, kadangkadang justru memberi hasil yang lebih baik."
Hercule Poirot tertawa. Katanya. "Anda membuat saya tertarik, Mademoiselle."
"Oh, M. Poirot, Anda sangat baik hati. Jadi, menurut Anda, saya masih punya
harapan. Terus terang, kami baru saja menerima warisan... tidak besar jumlahnya,
tetapi memungkinkan saya dan kakak saya mencukupi kebutuhan kami sehari-hari
secara amat sederhana, jadi saya boleh dikatakan tidak terlalu tergantung pada
upah pekerjaan saya."
"Saya harus memikirkan," kata Poirot, "di mana bakat Anda bisa dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Mungkin Anda sendiri sudah punya gagasan?"
"Anda pasti bisa membaca pikiran orang, M. Poirot. Akhir-akhir ini saya cemas
memikirkan seorang kawan saya. Saya ingin minta saran Anda. Tentu saja mungkin
Anda akan menganggap ini khayalan perawan tua - hanya imajinasi. Orang cenderung
melebih-lebihkan, dan menganggap sesuatu sudah dirancang padahal sebenarnya
hanya suatu kebetulan."
"Saya tidak menganggap Anda suka melebih-lebihkan sesuatu, Miss Carnaby.
Katakan, apa gagasan Anda."
"Yah, saya punya seorang kawan baik, sangat baik, meskipun sudah lama saya tak
bertemu dengannya. Namanya Emmeline Clegg. Dia menikah dengan seorang pria di
Inggris Utara, tinggal di sana, dan beberapa tahun yang lalu suaminya meninggal,
memberinya warisan yang amat besar. Dia sedih dan kesepian setelah kematian
suaminya. Yang saya cemaskan, dia orangnya agak tolol dan kurang hati-hati.
Agama, M. Poirot, dapat menawarkan bantuan dan penghiburan - tapi, yang saya
maksudkan adalah agama yang ortodoks."
"Maksud Anda Gereja Yunani Ortodoks?" tanya Poirot.
Miss Carnaby tampak kaget sekali.
"Tentu saja bukan. Gereja Inggris. Dan, meskipun saya tidak setuju dengan agama
Katolik Roma, setidak-tidaknya agama itu sudah diakui. Lalu ada aliran-aliran
yang juga terkenal dan dihormati. Yang saya maksudkan adalah sekte yang anehaneh. Mereka bermunculan di mana-mana. Mereka dengan ahli mengaduk-aduk perasaan
kita, namun saya meragukan apakah benar-benar ada kebenaran sejati di balik itu
semua." "Anda beranggapan kawan Anda telah menjadi korban salah satu sekte seperti itu?"
"Benar. Oh! Benar sekali. Mereka menyebut diri mereka, Domba-domba sang Gembala.
Pusatnya di Devonshire... sebuah bangunan dan taman yang amat indah di tepi
laut. Para pengikutnya berdatangan ke sana untuk suatu acara yang mereka sebut
Retreat. Lamanya dua minggu, dengan persembahan misa dan segala ritualnya. Ada
tiga peristiwa besar - Festival - yang diperingati setiap tahun, Padang yang
Bersemi, Padang yang Sudah Penuh, dan Padang yang Siap Dipanen."
"Yang terakhir itu tolol," komentar Poirot. "Tak ada orang yang akan memanen
padang rumput." "Semuanya memang tolol," kata Miss Carnaby dengan penuh perasaan. "Seluruh
kegiatan sekte itu berpusat pada sang pemimpin yang mereka sebut sang Gembala
Agung. Nama aslinya Dr. Andersen. Pria yang sangat tampan dan penuh kharisma."
"Yang tentu saja amat menarik bagi kaum wanita. Bukankah demikian?"
"Itulah yang saya takutkan," desah Miss Carnaby. "Ayah saya sangat tampan.
Kadang-kadang membuat para wanita jadi canggung. Persaingan dalam menentukan
siapa yang ditugaskan menyulam jubah pendeta... pembagian tugas-tugas gereja..."
Miss Carnaby menggeleng, mengusir kenangan itu.
"Apakah sebagian besar anggota sekte itu kaum wanita?"
"Sekurang-kurangnya tiga perempatnya. Laki-laki yang masuk ke sana umumnya gila!
Keberhasilan sekte itu tergantung pada anggotanya yang wanita... dan pada dana
yang mereka sumbangkan."
"Ah," kata Poirot. "Kini kita sampai ke pokok persoalannya. Jadi, Anda
menganggap sekte itu hanya kedok untuk mencari uang?"
"Ya, saya yakin. Ada hal lain yang membuat saya cemas. Saya kebetulan tahu kawan
saya itu amat terpengaruh pada ajaran sekte itu, dan baru-baru ini dia membuat
surat wasiat yang mewariskan semua hartanya untuk sekte tersebut."
Poirot berkata dengan suara tajam, "Apakah hal itu dianjurkan padanya?"
"Dengan segala kejujuran saya, tidak. Itu benar-benar kemauannya sendiri. Sang
Gembala Agung telah menunjukkan sebuah kehidupan baru baginya - jadi segala
miliknya, bila dia mati, harus diserahkan untuk kemanusiaan. Yang membuat saya
amat khawatir adalah..."
"Ya... lanjutkan."
"Sejumlah wanita kaya menjadi anggota sekte itu. Tahun lalu, tiga di antaranya
meninggal." "Mewariskan seluruh kekayaan mereka untuk sekte itu?"
"Ya." "Keluarga mereka tidak memprotes" Menurut saya, seharusnya ada pengaduan ke
pengadilan atau sekurang-kurangnya protes."
"M. Poirot, biasanya wanita-wanita kesepian yang menjadi anggota perkumpulan
seperti itu. Wanita-wanita yang tak punya kerabat dekat atau kawan baik."
Poirot mengangguk sambil merenung.
Miss Carnaby cepat-cepat melanjutkan, "Tentu saja saya tidak punya hak untuk
menuduh mereka. Sejauh yang bisa saya ketahui, dari penyelidikan saya, kematian
mereka tidak mencurigakan. Saya yakin yang satu karena pneumonia, satunya
influenza, dan yang satu lagi gostric ulcer. Benar-benar tidak ada situasi yang
mencurigakan, jika Anda mengerti maksud saya, dan kematian itu tidak terjadi di
Green Hills Sanctuary, tempat mereka berkumpul, tetapi di rumah mereka masingmasing. Saya tak ragu bahwa itu semua wajar, tapi tetap saja saya... eh... saya
tak ingin sesuatu terjadi atas Emmie."
Tangannya terkatup, matanya memandang Poirot penuh permohonan.


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa menit lamanya Poirot diam. Ketika ia bicara, suaranya berubah; bernada
dalam dan sungguh-sungguh.
Katanya, "Bersediakah Anda mencarikan informasi untuk saya, tentang nama-nama
dan alamat mereka yang belum lama ini meninggal?"
"Tentu saja, M. Poirot."
Poirot berkata pelan, "Mademoiselle, saya rasa Anda seorang wanita yang sangat
berani dan penuh keyakinan. Anda punya kemampuan histrionic yang bagus.
Bersediakah Anda melakukan suatu pekerjaan yang mungkin amat berbahaya?"
"Justru itu yang saya inginkan," kata Miss Carnaby yang menyukai petualangan.
Poirot berkata mengingatkan, "Kalau memang ada risikonya, itu pasti sangat
berbahaya. Anda mengerti, kalau ini bukan khayalan kosong, pasti sesuatu yang
amat serius. Untuk menemukan jawabannya, Anda harus menyamar menjadi anggota
sekte itu, menjadi salah satu dari Domba-domba sang Gembala. Saya usulkan Anda
untuk melebih-lebihkan jumlah warisan yang Anda terima. Sekarang Anda menjadi
seorang wanita kaya yang tak punya tujuan tertentu dalam hidupnya. Anda berdebat
dengan kawan Anda Emmeline tentang aliran agama yang dianutnya ini - dan
meyakinkan dia bahwa itu semua tidak masuk akal. Dia pasti ingin mempengaruhi
Anda dan menarik Anda masuk ke sana. Anda biarkan diri Anda terpikat dan Anda
setuju untuk pergi ke Green Hills Sanctuary. Di sana, Anda tak berdaya dalam
pengaruh Dr. Andersen yang amat pandai mempengaruhi dan punya kharisma besar.
Saya rasa Anda dapat menjalankan peran Anda dengan baik sampai titik itu."
Miss Carnaby tersenyum dengan sikap rendah hati. Ia menggumam, "Saya rasa saya
dapat melakukannya!"
II "Nah, kawan, apa yang kaubawa untukku?"
Inspektur Japp memandang pria kecil yang melemparkan pertanyaan itu sambil
berpikir-pikir. Ia berkata dengan kasar, "Aku amat benci pada kasus-kasus
seperti ini. Aku benci laki-laki rambut panjang, dengan gagasan-gagasan
keagamaan yang sebenarnya racun belaka. Orang-orang seperti mereka mengisi otak
para wanita dengan hal-hal yang tidak-tidak. Tapi yang satu ini amat hati-hati.
Tidak pernah ada bukti kuat yang bisa digunakan untuk menangkapnya. Semuanya
kelihatan agak aneh, tapi tidak berbahaya."
"Apa kau tahu sesuatu tentang Dr. Andersen ini?"
"Aku telah memeriksa riwayat masa lalunya. Dia ahli kimia yang amat berbakat,
tapi dikeluarkan dari sebuah universitas di Jerman. Mungkin ibunya Yahudi. Dia
senang mempelajari mitologi Timur dan agama-agama. Waktu luangnya dihabiskan
untuk itu dan ia telah menulis sejumlah artikel mengenainya. Menurutku, beberapa
tulisannya gila." "Jadi ada kemungkinan dia orang yang amat fanatik?"
"Rasanya aku bisa mengatakan: ya!"
"Bagaimana dengan nama-nama dan alamat yang kuserahkan padamu?"
"Tak ada apa-apanya. Miss Everitt meninggal karena ulcerative colitis - radang
usus. Dokter yakin tak ada sesuatu yang mencurigakan. Mrs. Llyod meninggal
karena broncho-pneumonia. Lady Western karena tuberculosis. Sudah mengidap
penyakit itu bertahun-tahun yang lalu... bahkan sebelum tahu tentang sekte itu.
Miss Lee meninggal karena tifus - diduga karena salad yang dimakannya di suatu
tempat di Inggris Utara. Tiga di antara mereka sakit dan meninggal di rumah
masing-masing. Mrs. Lloyd meninggal di sebuah hotel di Prancis Selatan. Sejauh
ini, tak ada yang bisa mengaitkan kematian mereka dengan sekte itu atau dengan
Andersen dan markas perkumpulannya di Devonshire. Pasti hanya kebetulan belaka.
Semua beres dan sudah diperiksa yang berwenang."
Hercule Poirot mendesah. Katanya, "Tapi, mon cher, aku punya perasaan bahwa
inilah Tugas Kesepuluh Hercules dan Dr. Andersen tak lain adalah si Monster
Geryon, gembala mengerikan yang harus kuhancurkan sesuai dengan tugasku."
Japp memandang kawannya dengan prihatin.
"He, Poirot, kau tidak sedang membaca buku-buku aneh, kan?"
Poirot menjawab dengan penuh keangkuhan, "Komentarku, seperti biasanya, selalu
tepat, dengan bukti kuat, dan tidak berbelit-belit."
"Kalau begitu, kau bisa mulai membangun sektemu sendiri," kata Japp bergurau,
"dengan kredo: 'Tak ada orang yang kepandaiannya menyamai Hercule Poirot. Amin.
Ulangi ad lib.!'" III "Kedamaian di sini membuatku tenang," kata Miss Carnaby, napasnya terengah-engah
dan ia tampak penuh semangat.
"Aku kan sudah bilang, Amy," kata Emmeline Clegg.
Kedua sahabat itu duduk di rerumputan, di sebuah bukit yang melandai ke arah
laut biru yang indah. Rumputnya hijau kemilau, tanah dan karang tampak merah
berkilat. Tempat itu, yang kini lebih dikenal sebagai Green Hills Sanctuary,
adalah sebuah daratan yang menjorok ke laut seluas beberapa ribu meter persegi.
Hanya selajur tanah amat sempit yang menghubungkannya dengan daratan utama, jadi
seakan-akan tempat itu merupakan sebuah pulau.
Mrs. Clegg menggumam penuh perasaan, "Tanah yang merah - tanah yang penuh cahaya
dan janji - tempat tiga macam kejadian akan digenapi."
Miss Carnaby menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Kurasa Guru menjelaskannya
dengan indah sekali tadi malam."
"Lihat saja," kata kawannya, "festival yang akan diadakan nanti malam. Padang
yang Sudah Penuh!" "Aku tak sabar lagi," kata Miss Carnaby.
"Kau akan memperoleh pengalaman spiritual yang menakjubkan," kawannya
menjanjikan. Miss Carnaby tiba di Green Hills Sanctuary satu minggu sebelumnya. Sikapnya
waktu tiba adalah, "Kegilaan macam apa ini" Aduh, Emmie, manusia yang berotak
jernih seperti engkau... dan seterusnya, dan seterusnya."
Dalam wawancara pertama dengan Dr. Andersen, Miss Carnaby dengan terus terang
menjelaskan keadaannya. "Saya tak ingin merasa saya kemari dengan maksud lain, Dr. Andersen. Ayah saya
pendeta Gereja Inggris dan iman saya takkan tergoyahkan. Saya tidak bisa
menerima doktrin yang aneh-aneh."
Pria berperawakan besar dengan rambut keemasan itu tersenyum padanya - senyum yang
ramah dan penuh pengertian. Ia memandang wanita gemuk yang duduk di sebuah kursi
di depannya itu dengan penuh perhatian.
"Miss Carnaby," katanya, "Anda kawan Miss Clegg, dan kami amat senang menerima
Anda di sini. Dan, percayalah, doktrin kami tidak aneh-aneh. Di sini, semua
kepercayaan diterima dan semua dihormati dengan penghormatan yang sama."
"Kalau begitu seharusnya tidak perlu ada berbagai macam kepercayaan," kata putri
mendiang Pendeta Thomas Carnaby dengan keras kepala.
Sambil menyandarkan badannya ke kursi, sang Guru menggumam dengan suaranya yang
dalam dan menawan, "Dalam rumah Bapaku ada banyak kamar... Anda ingat itu, Miss
Carnaby?" Ketika mereka meninggalkan ruangan itu, Miss Carnaby berbisik pada kawannya,
"Dia amat tampan."
"Ya," sahut Emmeline Clegg. "Dan amat spiritual."
Miss Carnaby sependapat. Benar... ia bisa merasakannya... aura
ketidakduniawian... spiritualitas....
Dikuatkannya dirinya. Ia berada di sini tidak untuk menjadi korban ajaran-ajaran
spiritual yang mengagumkan... atau ajaran apa pun yang diberikan sang Gembala
Agung. Dibayangkannya Hercule Poirot. Pria itu seakan begitu jauh dan tidak
nyata.... "Amy," kata Miss Carnaby pada dirinya sendiri. "Kuatkan hatimu. Ingat apa
sesungguhnya tujuanmu kemari."
Hari demi hari berlalu. Miss Carnaby merasa dirinya semakin terpengaruh pesona
Green Hills Sanctuary. Kedamaian, kesederhanaan, hidangan yang lezat meskipun
sederhana, indahnya upacara agama diiringi lagu-lagu tentang cinta dan
pengabdian, kata-kata sang Guru yang sederhana namun amat menggugah jiwa,
memohon kepada semua yang paling baik dan paling tinggi di antara para
manusia... di sini, semua sisi jelek kehidupan telah disingkirkan. Di sini hanya
ada cinta dan damai.... Dan malam ini ada Festival Musim Panas yang dirayakan besar-besaran - Pesta Padang
yang Sudah Penuh. Dan malam ini, ia, Amy Carnaby akan menjalani upacara agar
bisa resmi menjadi anggota... menjadi salah satu domba yang digembalakan sang
Gembala Agung. Perayaan itu dilangsungkan di bangunan bercat putih bersih, yang oleh para calon
anggota disebut Gedung Suci. Di sana, para anggota perkumpulan berkumpul tepat
sebelum matahari tenggelam. Mereka mengenakan jubah dari kulit domba dan kaki
mereka mengenakan sandal. Lengan mereka terbuka. Di tengah ruangan, ada semacam
panggung rendah. Dr. Andersen berdiri di sana. Seorang pria berperawakan gagah,
dengan rambut keemasan dan sepasang mata biru. Dilengkapi cambang dan jenggot
serta wajah yang tampan, nyata benar betapa besar pengaruhnya pada umatnya. Ia
mengenakan jubah warna hijau dan membawa tongkat gembala terbuat dari emas.
Ia mengangkat tongkatnya dan seketika itu juga ruangan itu menjadi sunyi.
"Di mana domba-dombaku?"
Orang-orang menjawab, "Kami di sini, oh, sang Gembala."
"Arahkan hati kalian dengan penuh sukacita dan syukur. Mari kita rayakan Pesta
Sukacita." "Pesta Sukacita dan kami semua bersukacita."
"Takkan ada lagi kesedihan bagi kalian, tak ada lagi penderitaan. Yang ada hanya
sukacita!" "Hanya ada sukacita..."
"Ada berapa kepala sang Gembala?"
"Tiga kepala, kepala dari emas, kepala dari perak, kepala dari kuningan."
"Ada berapa tubuh sang Domba?"
"Tiga tubuh, tubuh dari daging, tubuh yang penuh dosa, dan tubuh dari cahaya."
"Bagaimana kalian akan diangkat menjadi domba-dombaku?"
"Dengan Sakramen Darah."
"Siapkah kalian untuk menerima Sakramen?"
"Ya, kami siap."
"Tutuplah mata kalian dan ulurkan tangan kanan kalian."
Dengan patuh semua menutup mata mereka dengan scarf hijau yang memang disediakan
untuk keperluan itu. Miss Carnaby, seperti yang lain-lain, mengulurkan tangan
kanannya. Sang Gembala Agung berjalan di antara barisan dombanya. Terdengar jeritan lirih,
desahan, entah karena sakit atau karena ecstasy.
Dengan tegas Miss Carnaby berkata pada dirinya sendiri, "Ini menghujat Tuhan!
Gila! Kegilaan yang berkedok agama seperti ini harus dihancurkan. Aku harus
tetap tenang dan mengamati bagaimana reaksi orang-orang. Aku takkan terhanyut...
aku takkan..." Sang Gembala Agung sampai di depannya. Miss Carnaby merasa lengannya dipegang,
lalu terasa sebuah tusukan jarum yang tajam. Suara sang Gembala Agung terdengar
lirih, "Sakramen Darah yang membawa sukacita...."
Ia melanjutkan langkahnya.
Akhirnya terdengar perintah.
"Bukalah mata kalian dan nikmatilah kemurnian jiwa!"
Matahari baru saja tenggelam. Miss Carnaby memandang sekelilingnya. Bersama
dengan lainnya, ia bergerak pelan keluar dari Gedung Suci. Tiba-tiba ia merasa
ringan, bahagia. Kemudian ia duduk di rerumputan yang lembut. Oh, pernahkah ia
punya pikiran bahwa dirinya seorang wanita setengah baya yang kesepian dan tak
punya teman atau saudara" Hidup ini indah... dan ia merasa dirinya luar biasa!
Ia bisa menguasai pikirannya... dan membuatnya memimpikan... Tak ada yang tak
dapat dicapainya! Terasa ada arus kuat yang membuatnya merasa riang dan ringan. Ia mengamati
orang-orang di sekitarnya - mereka tampak bagaikan patung-patung.
"Seperti pohon-pohon yang berjalan...," kata Miss Carnaby pada dirinya, penuh
perenungan. Ia mengangkat tangannya. Gerakan dengan tujuan tertentu - dengan tangannya, Miss
Carnaby merasa bisa menguasai dunia. Caesar, Napoleon, Hitler... orang-orang
miskin yang malang! Mereka tak tahu apa yang dia, Amy Carnaby, dapat lakukan!
Besok pagi dia akan menciptakan perdamaian dunia, demi persaudaraan umat
sedunia. Takkan ada lagi perang... takkan ada lagi kemiskinan... takkan ada lagi
penyakit. Ia, Amy Carnaby, akan menciptakan dunia baru.
Tetapi tak boleh tergesa-gesa. Waktu adalah tak terbatas.... Menit demi menit
berlalu, jam demi jam berlalu! Tungkai Miss Carnaby terasa berat, tetapi
pikirannya serasa jernih dan bebas sekali. Dengan kemauannya, pikirannya
menjelajahi alam semesta. Ia tidur... bahkan dalam tidurnya ia bermimpi...
Ruangan-ruangan mahaluas, seakan tak bertepi... bangunan-bangunan yang megah...
dunia baru yang menakjubkan....
Berangsur-angsur dunianya mengerut, Miss Carnaby menguap. Digerakkannya
tungkainya yang kaku. Apa yang telah terjadi sejak kemarin" Semalam ia
bermimpi... Ada bulan di langit. Dengan cahayanya, Miss Carnaby melihat jarum jam tangannya.
Ia kaget sekali ketika melihat jarum jam menunjukkan angka sepuluh kurang
seperempat. Matahari, seperti diketahuinya, tenggelam pukul delapan lebih
sepuluh. Hanya 1 jam 35 menit yang lalu" Tak mungkin. Namun...
"Sangat menakjubkan," gumam Miss Carnaby pada dirinya sendiri.
IV Hercule Poirot berkata, "Anda harus menaati perintah-perintah saya dengan sangat
hati-hati. Anda mengerti?"
"Oh ya, Mr. Poirot. Anda bisa mengandalkan saya."
"Anda telah menyampaikan niat Anda untuk menyumbangkan warisan itu kepada
perkumpulan itu?" "Ya, Mr. Poirot. Saya sudah bicara pada sang Guru - maaf, pada Dr. Andersen.
Dengan penuh perasaan saya sampaikan padanya, bahwa saya telah mengalami
pencerahan yang amat menakjubkan... dan sekarang saya benar-benar bisa percaya.
Saya... oh, sungguh, semuanya kelihatan amat wajar. Dr. Andersen mempunyai daya
tarik pribadi yang amat kuat."
"Ya, saya mengerti," kata Hercule Poirot datar.
"Sikapnya amat meyakinkan. Orang akan merasa dia sama sekali tak peduli akan
uang dan harta. 'Berikan apa yang bisa kalian berikan,' katanya sambil tersenyum
- senyumnya yang khas dan amat menawan, 'kalau kalian tak bisa memberi apa pun,
tak apa-apa. Kalian tetap menjadi salah satu dombaku.' 'Oh, Dr. Andersen,' kata
saya, 'saya tidak semiskin itu. Saya baru saja menerima warisan yang cukup besar
dari salah seorang saudara jauh; dan meskipun uang itu tidak akan menjadi milik
saya sebelum urusan hukumnya diselesaikan, ada satu hal yang ingin segera saya
lakukan.' Kemudian saya jelaskan bahwa saya sudah membuat surat wasiat dan
semuanya saya wariskan demi persaudaraan umat manusia. Saya jelaskan bahwa saya
tak punya kerabat dekat."
"Dan dia menerimanya dengan sikap anggun?"
"Dia seakan tak peduli. Dia mengatakan saya akan hidup lama, sampai tua. Dia
mengatakan saya tercipta untuk menikmati kehidupan yang panjang, penuh sukacita,
dan penuh kepuasan jiwa. Cara bicaranya benar-benar mampu menggerakkan hati
saya." "Kelihatannya memang demikian."
Nada suara Poirot terdengar kaku. Ia melanjutkan, "Anda singgung-singgung
masalah kesehatan Anda?"
"Ya, Mr. Poirot. Saya katakan saya punya penyakit paru-paru, kadang-kadang
kambuh, tetapi pernah dirawat secara sungguh-sungguh beberapa tahun yang lalu di
sebuah sanatorium. Saya harap perawatan yang terakhir itu benar-benar
menyembuhkan saya." "Bagus sekali!"
"Ya, tapi saya tidak mengerti mengapa penting bagi saya untuk mengatakannya
padahal paru-paru saya amat sehat."
"Yakinlah itu benar-benar penting. Anda menyebut - menyebut kawan Anda?"
"Ya. Saya katakan padanya - dan saya katakan itu amat rahasia - bahwa Emmeline,
kecuali warisan yang diterimanya dari suaminya, akan menerima warisan yang lebih
besar lagi, dari bibinya yang amat menyayanginya."
"Eh bien, itu membuat Mrs. Clegg aman untuk sementara waktu!"
"Oh, Mr. Poirot, Anda benar-benar yakin ada yang salah?"
"Itu yang akan saya selidiki. Sudahkah Anda bertemu dengan Mr. Cole di
Sanctuary?" "Ada seseorang bernama Mr. Cole, ketika terakhir kalinya saya ke sana. Seorang
pria yang sangat aneh. Dia suka mengenakan celana pendek warna hijau rumput dan
tak mau makan yang lain kecuali kubis. Dia pengikut yang fanatik."
"Eh bien, semua berjalan baik... Anda telah melakukan tugas Anda dengan
memuaskan... sekarang kita siap menyambut Perayaan Musim Gugur."
V "Miss Carnaby... tunggu."
Mr. Cole menggamit lengan Miss Carnaby, matanya cerah sekali, seperti orang
demam. "Saya mendapat penampakan... penampakan yang sangat menakjubkan. Saya harus
menceritakannya pada Anda."


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miss Carnaby mendesah. Ia agak takut pada Mr. Cole dengan penampakanpenampakannya. Ada saat-saat ketika ia yakin Mr. Cole benar-benar gila.
Penampakan Mr. Cole kadang-kadang membuatnya jengah. Itu mengingatkannya pada
baris-baris kalimat yang ditulis secara terus terang dalam buku itu... yang
diterjemahkan dari bahasa Jerman, yaitu tentang pikiran bawah sadar. Buku itu
telah dibacanya sebelum ia berangkat ke Devon.
Mr. Cole, dengan mata berbinar-binar dan bibir bergetar, mulai bicara dengan
penuh semangat. "Saya sedang bermeditasi... merenungkan Pemenuhan Kehidupan, tentang Sukacita
Paling Besar dalam Kesatuan... dan kemudian mata saya terbuka dan saya
melihat...." Miss Carnaby menguatkan hatinya dan berharap apa yang dilihat Mr. Cole bukanlah
seperti apa yang dilihatnya waktu itu... yang kelihatannya adalah Upacara
Perkawinan di tanah Sumeria Kuno, antara seorang dewa dan seorang dewi.
"Saya melihat" - Mr. Cole mencondongkan badannya ke dekat wanita itu, napasnya
terengah-engah, matanya tampak (ya, memang benar) agak gila - "Nabi Elia turun
dari surga naik kereta perang."
Miss Carnaby mendesah lega. Nabi Elia lebih bisa diterima. Ya, ia bisa
menerimanya. "Di bawah," lanjut Mr. Cole, "ada altar Dewa Baal - jumlahnya ratusan. Ada suara
berseru pada saya, 'Lihat, tulis dan berilah kesaksian akan apa yang akan
kaulihat....'" Kata-katanya terhenti, dan Miss Carnaby menggumam sopan, "Ya?"
"Di atas altar-altar itu para kurban dibaringkan, terikat, tak berdaya, menunggu
pisau penyembelih. Para perawan, gadis-gadis muda - ratusan jumlahnya - muda dan
jelita, telanjang...."
Mr. Cole membasahi bibirnya, wajah Miss Carnaby memerah.
"Kemudian turunlah burung-burung pemakan bangkai, burung-burung peliharaan Odin,
mereka terbang dari Utara. Mereka bertemu dengan burung-burung milik Elia bersama-sama mereka terbang berputar-putar di langit - mereka menukik, mematuk
lepas mata para kurban - terdengar jerit tangis dan kertak gigi - dan suara itu
berseru, 'Tahanlah derita ini - karena hari ini Jehova dan Odin akan
menandatangani perjanjian persaudaraan dengan darah!' Kemudian para pendeta
mendekati para kurban, mereka mengangkat pisau penyembelih - mereka menyiksa para
kurban itu...." Dengan susah payah Miss Carnaby pergi menjauhi pria aneh itu, yang saat itu
menjilat-jilat bibirnya sambil tersenyum kejam. "Maafkan saya..."
Dengan bergegas ia berjalan ke arah Lipscomb, lelaki yang tinggal di Lodge pondok gerbang - dan menjaga gerbang masuk ke Green Hills. Untunglah Lipscomb
lewat di dekat mereka tadi.
"Oh," kata Miss Carnaby, "apakah - maaf - kebetulan Anda menemukan bros saya" Saya
pasti telah menjatuhkannya tanpa sengaja... di sekitar sini."
Lipscomb, yang kebal terhadap segala keindahan dan kedamaian suasana di Green
Hills, hanya menggeram, mengatakan tak menemukan sebuah bros. Bukan tugasnya
mencari-cari barang hilang. Ia mencoba menyingkirkan Miss Carnaby, tetapi wanita
itu terus mengikutinya sambil mengomel karena brosnya hilang. Barulah setelah
mereka cukup jauh dari Mr. Cole, Amy Carnaby berani menjauh dari Lipscomb.
Tepat saat itu, sang Guru keluar dari Gedung Suci dan, merasa tenang melihat
senyum Sang Guru, Miss Carnaby mendekat dan mengungkapkan apa yang dipikirkannya
pada pria itu. Apakah sang Guru menganggap Mr. Cole agak... agak..."
Sang Guru meletakkan tangannya ke bahu wanita itu.
"Kau harus buang rasa takutmu," katanya. "Cinta sejati mengalahkan rasa takut."
"Tapi menurut saya Mr. Cole memang gila. Penampakan-penampakan yang
dilihatnya..." "Memang," kata sang Guru. "Yang dilihatnya adalah ketidaksempurnaan... tersaput
nafsu duniawinya. Tapi akan datang saatnya dia melihat dengan rohnya - muka dengan
muka." Miss Carnaby terperangah. Tentu saja, jika begitu cara memandangnya... Ia
mencoba melancarkan protes.
"Tapi," katanya, "apakah Lipscomb harus bersikap kasar dan tidak sopan seperti
itu?" Sekali lagi sang Guru tersenyum penuh pengertian.
"Lipscomb," katanya, "adalah anjing penjaga yang setia. Dia kasar - jiwanya
primitif - tapi setia, sangat setia."
Sang Guru melanjutkan langkahnya. Miss Carnaby melihat sang Guru mendekati Mr.
Cole, berhenti, dan meletakkan tangannya di bahu Mr. Cole. Miss Carnaby
berharap, semoga pengaruh sang Guru dapat mengubah penampakan-penampakan yang
akan dilihat Mr. Cole. Hanya tinggal satu minggu sebelum Perayaan Musim Gugur.
VI Siang hari sebelum Perayaan Musim Gugur, Miss Carnaby menemui Hercule Poirot di
sebuah warung teh, di sebuah kota kecil yang sepi, Newton Woodbury. Wajah Miss
Carnaby memerah dan napasnya semakin terengah-engah. Ia duduk sambil menghirup
tehnya sedikit-sedikit, sementara jari-jarinya meremas-remas sebuah biskuit.
Poirot mengajukan beberapa pertanyaan, semuanya dijawab wanita itu dengan satu
kata. Akhirnya Poirot berkata, "Berapa yang akan hadir dalam Perayaan Musim Gugur?"
"Sekitar 120. Tentu saja Emmeline akan hadir, dan Mr. Cole - sungguh dia semakin
aneh akhir-akhir ini. Dia semakin sering mendapat penampakan. Beberapa di
antaranya diceritakannya pada saya. Saya harap, oh, saya sungguh berharap dia
tidak gila. Akan ada banyak anggota baru... hampir dua puluh orang."
"Bagus. Anda tahu apa yang harus Anda lakukan?"
Sejenak suasana hening mencekam, kemudian Miss Carnaby berkata dengan suara
terdengar aneh, "Saya mengerti apa yang Anda katakan, M. Poirot."
"Tres bien!" Kemudian Amy Carnaby berkata dengan suara jernih dan jelas, "Tapi saya takkan
melakukannya." Hercule Poirot terpana menatapnya. Miss Carnaby bangkit berdiri. Wanita itu
berkata dengan cepat. Suaranya terdengar histeris.
"Anda mengirim saya ke sini untuk memata-matai Dr. Andersen. Anda mencurigainya.
Tapi dia pria yang amat mengagumkan... guru yang agung. Saya percaya padanya,
hati dan pikiran! Dan saya tak sudi melakukan pekerjaan mata-mata lagi, M.
Poirot! Saya sudah menjadi satu domba milik sang Gembala. Sang Guru menyampaikan
pesan baru bagi dunia ini dan sejak saat ini saya menjadi miliknya - jiwa dan raga
saya. Dan saya akan membayar sendiri teh yang saya minum."
Dengan akhir yang merupakan antiklimaks itu, Miss Carnaby melemparkan beberapa
keping uang logam ke atas meja, lalu melangkah cepat keluar.
"Nom d'un nom d'un nom," gumam Hercule Poirot.
Pelayan harus mengatakan padanya dua kali sebelum Hercule Poirot menyadari bahwa
gadis itu menyodorkan bon. Pandangannya bertatapan dengan seorang pria di
seberang meja, yang sejak tadi mengawasinya. Wajah Hercule Poirot memerah. Ia
membayar, lalu berdiri dan cepat-cepat keluar.
Ia berpikir keras. VII Sekali lagi domba-domba dikumpulkan di Gedung Suci. Ritus tanya-jawab
dinyanyikan. "Kalian siap menerima Sakramen?"
"Ya, kami siap."
"Tutup mata kalian dan ulurkan lengan kanan kalian."
Sang Gembala Agung, tampak luar biasa dalam jubah hijaunya, berjalan di antara
barisan dombanya yang sudah menanti. Pria yang suka makan kubis dan selalu
mendapat penampakan itu berdiri di samping Miss Carnaby. Ketika lengannya
disuntik, ia menjerit kesakitan namun penuh nikmat.
Sang Gembala Agung berdiri dekat Miss Carnaby. Tangannya menyentuh lengan wanita
itu. "Jangan, jangan lakukan. Jangan...."
Kata-kata yang tak terduga... tak disangka. Sumpah serapah, teriakan penuh
amarah. Kain-kain hijau dilepaskan dari mata... berpuluh pasang mata melihat
pemandangan yang amat mengejutkan mereka... sang Gembala Agung berkutat,
berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Mr. Cole dan salah seorang pengikut
lainnya. Dengan cepat dan dengan nada profesional, Mr. Cole sedang berkata, "...dan saya
membawa surat perintah penangkapan Anda. Saya peringatkan Anda bahwa apa pun
yang Anda katakan dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan."
Kemudian muncul beberapa sosok pria di pintu Gedung Suci... sosok-sosok
berpakaian seragam biru. Seseorang berteriak, "Polisi! Mereka menangkap sang Guru. Mereka menangkap sang
Guru...." Semua kaget, terpana... ngeri.... Bagi mereka, sang Gembala Agung adalah martir;
harus menderita, seperti halnya semua guru harus menderita karena didakwa,
dihina, dan dihukum oleh manusia tolol yang tidak mengenal...
Sementara itu Inspektur Cole dengan cermat menyimpan jarum suntik yang terjatuh
dari tangan sang Gembala Agung.
VIII "Mitraku yang pemberani!"
Poirot menyalami tangan Miss Carnaby dengan hangat dan memperkenalkannya pada
Inspektur Japp. "Pekerjaan yang amat bagus, Miss Carnaby," puji Inspektur Japp. "Kami takkan
berhasil tanpa Anda, sungguh."
"Oh, oh!" Miss Carnaby merasa tersanjung. "Anda sungguh baik, memuji saya
seperti itu. Dan, maafkan saya, saya amat menikmati semua ini. Kehausan akan
petualangan, dan saya senang memainkan peran saya. Kadang-kadang saya
terpengaruh juga. Saya benar-benar merasa sebagai salah satu di antara wanitawanita tolol itu." "Itu sebabnya Anda berhasil dengan gemilang," kata Japp. "Anda murid sejati. Tak
ada yang dapat menyeret dia kecuali salah seorang muridnya sendiri! Penipu yang
amat pandai." Miss Carnaby berpaling pada Poirot.
"Waktu di kedai teh itu... oh, saya amat ngeri. Saya tak tahu apa yang harus
saya lakukan. Saya harus melakukannya saat itu juga, tanpa berpikir-pikir."
"Anda luar biasa," puji Poirot dengan hangat. "Sejenak saya mengira, entah Anda
atau saya yang telah kehilangan akal sehat. Semenit lamanya saya mengira maksud
Anda memang begitu."
"Saya kaget sekali," sahut Miss Carnaby. "Tepat ketika kita membicarakan rencana
rahasia kita, saya melihat bayangan Lipscomb - penjaga Gerbang Sanctuary - di gelas
saya, dia duduk di belakang saya. Sampai saat ini saya tak tahu, apakah itu
suatu kebetulan ataukah dia memang membuntuti saya. Seperti yang saya katakan
tadi, saya harus melakukan yang terbaik saat itu juga, tanpa berpikir panjang,
dan berharap semoga Anda mengerti."
Poirot tersenyum. "Saya mengerti. Hanya ada satu orang yang duduk di dekat kita, cukup dekat dan
mungkin dapat mendengar apa yang kita bicarakan. Begitu saya keluar, saya segera
mengatur agar dia dibuntuti. Ketika dia langsung kembali ke Sanctuary, saya jadi
yakin dapat mengandalkan Anda dan Anda takkan mengkhianati saya... tapi saya pun
jadi cemas, karena bahayanya bagi Anda semakin besar."
"Benar... benarkah memang ada bahaya" Apa yang ditemukan dalam jarum suntik
itu?" Japp berkata, "Kau atau aku yang menjelaskannya?"
Poirot berkata dengan sungguh-sungguh, "Mademoiselle, Dr. Andersen telah membuat
rancangan yang sempurna untuk melakukan eksploitasi dan pembunuhan - pembunuhan
ilmiah. Sebagian besar hidupnya dihabiskannya di laboratorium penyelidikan
bakteri. Dengan nama lain, dia memiliki sebuah laboratorium di Sheffield. Di
sana dia membiakkan bermacam-macam bakteri. Ketika perayaan berlangsung, dia
menyuntikkan - dalam dosis kecil namun cukup berbahaya - Cannabis Indica, atau yang
Heng Thian Siau To 2 Pengemis Binal 14 Prahara Di Kuil Saloka Pedang Keadilan 18

Cari Blog Ini