Ceritasilat Novel Online

Tugas Tugas Hercules 5

Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie Bagian 5


lebih dikenal sebagai hashish. Itu akan membuat para pengikutnya mengalami
delusi, merasa hebat, dan penuh sukacita. Suntikan maut itulah yang membuat para
pengikutnya tergantung padanya. Itulah Sukacita Spiritual yang dijanjikannya."
"Luar biasa," kata Miss Carnaby. "Sungguh, itu sensasi yang luar biasa."
Hercule Poirot mengangguk.
"Modalnya sudah ada - kepribadian yang penuh kharisma, kemampuan menciptakan
histeria massa dan reaksi yang ditimbulkan obat bius itu. Tapi dia masih punya
rencana yang lebih jauh. "Wanita-wanita yang kesepian, yang bersyukur karena telah ditolongnya, akan
membuat surat wasiat dan mewariskan harta mereka bagi perkumpulan itu. Satu per
satu mereka meninggal. Mereka meninggal di rumah mereka sendiri dan kelihatannya
karena sebab-sebab alamiah. Saya akan berusaha menjelaskannya pada Anda, secara
sederhana. Membiakkan bakteri tertentu dan membuatnya menjadi berbahaya memang
dimungkinkan. Misalnya bacillus Coli Communis, penyebab ulcerative colitis.
Baksil tifus pun bisa disuntikkan ke dalam darah, begitu pula Pneumococcus. Lalu
masih ada apa yang disebut Old Tuberculin, yang tidak berbahaya bagi orang yang
sehat tapi yang dapat mengaktifkan kembali baksil TBC yang sudah lemah. Anda
mengakui kecerdikannya sekarang" Kematian akan terjadi di tempat yang berbedabeda, dengan dokter yang berbeda-beda sebagai saksi, dan tanpa risiko akan
menimbulkan kecurigaan. Dia juga telah berhasil menemukan bahan yang mampu
menunda tetapi sekaligus meningkatkan kekuatan baksil yang telah dipilih."
"Dia benar-benar setan jahat!" kata Inspektur Japp.
Poirot melanjutkan, "Mematuhi perintah saya, Anda mengatakan padanya bahwa Anda
pernah menderita TBC. Ada bibit Old Tuberculin dalam jarum suntiknya ketika Cole
meringkusnya. Karena Anda sebenarnya sehat, itu takkan berbahaya bagi Anda, dan
itu sebabnya saya tekankan agar Anda jelas-jelas mengatakan pernah menderita
TBC. Sampai saat ini saya masih ngeri, kalau-kalau dia memilih kuman lain. Tapi
saya menghormati keberanian Anda dan saya terpaksa membiarkan Anda menghadapi
risiko itu." "Oh, itu tak apa-apa," kata Miss Carnaby dengan riang. "Saya tak takut mengambil
risiko. Tapi kalau menghadapi sapi mengamuk di padang rumput - atau yang semacam
itu - saya bisa takut. Tapi, apakah cukup bukti yang terkumpul untuk menyeret
makhluk jahat itu?" Japp menyeringai. "Banyak sekali," katanya. "Kami telah menyegel laboratoriumnya, menyita kumankuman yang dibiakkannya, dan seluruh rencananya sudah ketahuan."
Poirot berkata, "Mungkin saja, saya pikir, dia telah banyak sekali melakukan
pembunuhan. Mungkin bukan karena ibunya Yahudi dia dipecat dari sebuah
universitas di Jerman. Keterangan itu digunakannya untuk menjelaskan alasannya
pindah ke sini dan untuk menarik simpati. Sebenarnya, dia murni berdarah Arya."
Miss Carnaby mendesah. "Qu'est ce qu'il y a?" tanya Poirot.
"Saya sedang mengingat-ingat," kata Miss Carnaby, "mimpi indah yang saya alami
pada Perayaan Pertama - hashish, saya kira. Saya mengatur dunia ini sebaikbaiknya, seindah-indahnya! Tak ada perang, tak ada kemiskinan, tak ada penyakit,
tak ada yang jelek...."
"Mimpi yang sangat indah," kata Japp dengan iri.
Miss Carnaby terlompat berdiri. Katanya, "Saya harus pulang. Emily pasti sangat
cemas. Dan Augustus, saya dengar dia amat merindukan saya."
Hercule Poirot berkata sambil tersenyum, "Barangkali dia khawatir, mungkin karena seperti dirinya - Anda akan bersedia 'mati demi Hercule Poirot'!"
11 APEL-APEL HESPERIDES I SAMBIL merenung Hercule Poirot memandangi wajah pria yang duduk di belakang meja
besar yang terbuat dari kayu mahoni. Ia mencatat kesannya dalam hati: alis
tebal, mulut kejam, garis dagu yang kasar, dan mata yang tajam menusuk. Dengan
memandang pria itu, Hercule Poirot bisa memahami mengapa Emery Power telah
menjadi seorang tokoh bisnis terkemuka.
Matanya berpindah memandangi sepasang telapak tangan yang halus, jari-jari
panjang yang bagus bentuknya, yang terletak di meja. Hercule Poirot memahami,
mengapa Emery Power terkenal sebagai kolektor seni yang disegani. Di kedua sisi
Lautan Atlantik namanya sebagai pencinta seni amat termasyhur. Cintanya pada
karya seni berjalan seiring dengan kegemarannya akan sejarah. Baginya, belumlah
cukup jika sesuatu benda disebut indah... baginya, benda seni yang indah juga
harus mempunyai sejarah yang menarik.
Emery Power sedang bicara. Suaranya tenang... tidak keras namun jelas; suara
yang amat efektif dan menunjukkan besarnya pengaruh pemiliknya.
"Setahu saya, Anda tak banyak lagi menangani kasus-kasus kejahatan akhir-akhir
ini. Tapi saya rasa Anda akan tertarik pada yang satu ini."
"Apakah ada hubungannya dengan suatu kejadian di masa lalu, kejadian yang luar
biasa?" Emery Power berkata, "Bagi saya, ya."
Poirot tetap menunjukkan sikap bertanya, kepalanya agak ditelengkan ke samping.
Ia mirip burung murai yang sedang bermeditasi.
Yang satunya melanjutkan, "Masalahnya tentang penemuan sebuah karya seni.
Tepatnya, sebuah goblet - piala untuk minum anggur - berlapis emas, dari Zaman
Renaissance. Menurut catatan, piala itu digunakan Paus Alexander VI - Roderigo
Borgia. Kadang-kadang dia menyajikan anggur dengan piala itu, untuk tamu-tamunya
yang terpilih. Dan, M. Poirot, tamu yang minum dari piala itu biasanya lalu
mati." "Sejarah yang menarik," gumam Poirot.
"Sepanjang sejarahnya, piala itu memang selalu dikaitkan dengan kekerasan. Lebih
dari sekali dicuri. Orang tak segan membunuh untuk memperolehnya. Jejak yang
penuh darah terus bertambah panjang, dari abad ke abad."
"Demi nilai seninya atau demi alasan lain?"
"Tentu saja nilainya sebagai benda seni luar biasa. Ukirannya halus sekali - kata
orang dibuat oleh Benvenuto Cellini. Desain piala itu menggambarkan sebatang
pohon, dililit seekor ular dengan tubuh bertatahkan permata, dan apel-apel yang
bergantungan di pohon dibuat dari batu zamrud yang sangat indah."
Poirot bergumam, suaranya jelas sekali menunjukkan kini ia amat tertarik, "Apelapel?" "Zamrud-zamrud itu amat indah, sangat langka, begitu pula permata ruby yang
menghiasi tubuh si ular. Tetapi, tentu saja yang paling penting adalah nilai
historisnya. Pada tahun 1929, piala itu dilelang oleh Marchese di San Veratrino.
Para kolektor berlomba-lomba menaikkan harga tawaran mereka, dan akhirnya saya
berhasil memperolehnya dengan harga - sesuai dengan nilai tukar di masa itu - 30.000
poundsterling." Alis Poirot terangkat. Ia bergumam, "Luar biasa! Angka yang luar biasa! Marchese
di San Veratrino sungguh sangat beruntung."
Emery Power berkata, "Jika benar-benar menginginkan sesuatu, saya bersedia
membayarnya, M. Poirot."
Hercule Poirot berkata dengan halus, "Anda pasti sudah pernah mendengar pepatah
Spanyol, 'Ambil yang kauinginkan - dan bayarlah, kata Tuhan.'"
Dahi Emery Power berkerut sebentar - sekilas matanya memancarkan kemarahan. Ia
berkata dengan suara dingin, "Rupanya Anda filsuf amatir, M. Poirot."
"Usia saya, Monsieur, membuat saya banyak mawas diri."
"Saya sependapat. Tetapi bukan renungan atau mawas diri yang akan mengembalikan
piala saya itu pada saya."
"Mengapa tidak?"
"Menurut saya, untuk ini dibutuhkan usaha dan tindakan nyata."
Hercule Poirot mengangguk dengan tenang.
"Banyak orang melakukan kesalahan yang sama. Tapi maafkan saya, Mr. Power, kita
telah menyimpang dari pokok pembicaraan semula. Anda mengatakan telah membeli
piala itu dari Marchese di San Veratrino?"
"Tepat sekali. Nah, piala itu dicuri sebelum benar-benar sampai ke tangan saya."
"Bagaimana terjadinya?"
"Istana Marchese dirampok pada malam setelah pelelangan itu, delapan atau
sepuluh benda seni yang amat mahal dicuri, termasuk piala itu."
"Langkah apa yang sudah dilakukan sejak itu?"
Power mengangkat bahu. "Tentu saja urusannya ditangani polisi. Perampokan itu dilakukan komplotan
pencuri internasional yang sudah terkenal. Dua di antara mereka, lelaki Prancis
bernama Dublay dan lelaki Italia bernama Riccovetti, berhasil ditangkap dan
diadili - beberapa dari barang curian itu ditemukan ada pada mereka."
"Tapi piala Borgia itu tak ada?"
"Tapi piala Borgia itu tak ada. Sejauh penyelidikan polisi, ada tiga lelaki yang
terlibat dalam perampokan itu - dua yang sudah saya sebutkan tadi, dan seorang
lelaki Irlandia bernama Patrick Casey. Yang terakhir ini pencuri ulung. Menurut
kabar burung, dialah yang sesungguhnya telah mencuri barang-barang itu. Dublaylah otak komplotan mereka yang merencanakan pencurian itu; Riccovetti
mengemudikan mobil dan menunggu di balik dinding pagar untuk menerima barangbarang yang dicuri."
"Dan ke mana barang-barang itu disembunyikan" Apakah kemudian dibagi menjadi
tiga?" "Mungkin. Di lain pihak, barang-barang yang ditemukan kembali adalah yang
nilainya tidak seberapa. Kemungkinan besar, barang-barang yang amat berharga
segera diselundupkan ke luar negeri."
"Bagaimana dengan si orang ketiga, Casey" Apakah dia tidak pernah dihadapkan ke
pengadilan?" "Tidak dalam pengertian yang Anda maksud. Dia tidak muda lagi. Otot-ototnya
sudah lebih kaku dari sebelumnya. Dua minggu setelah peristiwa itu, dia jatuh
dari lantai lima sebuah bangunan dan mati seketika."
"Di mana terjadinya?"
"Di Paris. Dia berusaha merampok rumah seorang bankir kaya, Duvauglier."
"Dan sejak itu piala Borgia belum pernah muncul lagi?"
"Ya, belum pernah."
"Tak pernah dilelang atau dijual?"
"Saya yakin tidak pernah. Bukan hanya polisi, tetapi juga detektif-detektif
swasta sudah dikerahkan untuk mencarinya."
"Bagaimana dengan uang yang sudah Anda bayarkan?"
"Marchese di San Veratrino seorang bangsawan yang amat jujur. Ia berniat
mengembalikan uang saya, karena piala itu dicuri dari rumahnya."
"Tapi Anda menolaknya?"
"Ya." "Mengapa?" "Sebab saya memilih menangani masalah ini dengan cara saya sendiri."
"Maksud Anda, kalau Anda menerima kembali uang Anda, piala itu - jika ditemukan akan menjadi miliknya" Dan, dalam kondisinya yang sekarang, secara hukum itu
milik Anda, benar?" "Tepat sekali."
Poirot bertanya, "Apa sebenarnya yang mendasari sikap Anda itu?"
Emery Power berkata sambil tersenyum, "Saya lihat Anda bisa mengerti. Nah, M.
Poirot, masalahnya amat sederhana. Saya rasa saya tahu siapa yang menyimpan
piala itu sekarang."
"Sangat menarik. Dan... siapakah dia?"
"Sir Reuben Rosenthal. Dia bukan saja kolektor yang sejajar dengan saya, namun
juga musuh pribadi. Kami selalu bersaing dalam berbagai urusan bisnis kami - dan
singkatnya, saya selalu keluar sebagai pemenang. Persaingan kami berlanjut
dengan memperebutkan piala Borgia. Kami sama-sama berkeras memilikinya.
Kehormatan dan harga diri kami taruhannya. Wakil-wakil kami bersaing ketat dalam
menawar harga tertinggi di pelelangan itu."
"Dan tawaran terakhir wakil Anda berhasil memenangkan lelang itu?"
"Tidak persis demikian. Saya telah melakukan langkah pengamanan dengan menyewa
seorang agen lain - yang hadir di situ sebagai pedagang benda seni dari Paris. Tak
seorang pun dari kami akan mengalah pada yang lain, tetapi dengan membiarkan
pihak ketiga membeli piala itu... dengan kemungkinan kemudian bisa melakukan
transaksi dengannya secara diam-diam - itu masalah lain."
"Tepatnya, une petite d?ception - langkah yang amat cerdik."
"Tepat sekali."
"Dan berhasil dengan sempurna - dan segera sesudah itu Sir Reuben mengetahui
bagaimana dia ditipu?"
Power tersenyum. Senyum yang membenarkan dugaan Poirot.
Poirot berkata, "Kini saya mengerti posisinya. Anda yakin Sir Reuben, yang tidak
sudi dikalahkan, dengan sengaja telah mengatur pencurian itu?"
Emery Power mengangkat tangannya.
"Oh, tidak, tidak! Tidak akan sekasar itu. Penyelesaiannya begini - tak lama
setelah peristiwa itu, Sir Reuben akan membeli sebuah piala anggur dari Zaman
Renaissance, provenance dan sesuatu yang tidak khusus."
"Yang keterangan mengenainya kemudian akan diedarkan polisi?"
"Piala itu sendiri takkan dipamerkan secara terbuka."
"Menurut Anda, apakah cukup bagi Sir Reuben untuk yakin bahwa dia memilikinya?"
"Ya. Lebih dari itu, jika saya terima tawaran Marchese di San Veratrino - Sir
Reuben akan bisa melakukan transaksi jual-beli secara rahasia dengannya, dan
dengan demikian secara hukum piala itu akan sah menjadi miliknya."
Ia berhenti semenit, kemudian berkata, "Dengan mempertahankan kepemilikan yang
sah secara hukum, masih terbuka kesempatan bagi saya untuk memperoleh piala
anggur milik saya itu."
"Maksud Anda," tanya Poirot terus terang, "Anda bisa mengatur agar benda itu
dicuri dari Sir Reuben."
"Bukan dicuri, M Poirot. Saya hanya mengambil kembali apa yang sebenarnya sah
menjadi milik saya."
"Tapi selama ini Anda tidak berhasil?"
"Karena alasan-alasan yang amat bagus, Rosenthal tak pernah menyimpan piala
anggur itu!" "Bagaimana Anda tahu?"
"Baru-baru ini kami bergabung dalam usaha pengilangan minyak. Kepentingan
Rosenthal dan kepentingan saya dapat digabungkan. Kini kami mitra bisnis, bukan
musuh lagi. Dengan terus terang saya katakan padanya kecurigaan saya, dan dia
menjawab benda itu tak pernah jatuh ke tangannya."
"Dan Anda mempercayainya?"
"Ya." Poirot berkata sambil merenung, "Dan selama hampir sepuluh tahun, seperti kata
pepatah negeri ini, Anda telah menggonggongi pohon yang salah?"
Usahawan itu berkata pahit, "Ya, memang itulah yang saya lakukan selama ini!"
"Lalu sekarang... Anda harus mulai lagi dari awal?"
Yang ditanya mengangguk. "Dalam hal inikah tenaga saya dibutuhkan" Sayalah anjing yang Anda suruh
mengendus jejak yang sudah dingin... dingin sekali."
Emery Power berkata datar, "Kalau masalahnya tidak serumit ini, saya tak perlu
minta bantuan Anda. Tapi, jika Anda menganggap hal ini tidak mungkin..."
Ia telah memilih kata yang tepat. Hercule Poirot langsung menegakkan badan. Ia
berkata dengan suara dingin, "Saya tak mengenal kata tidak mungkin, Monsieur!
Saya hanya bertanya pada diri saya sendiri - apakah kasus ini cukup menarik minat
saya?" Emery Power tersenyum lagi. Katanya, "Ada satu hal yang pasti membuat Anda
tertarik - Anda boleh menentukan upah yang Anda inginkan."
Pria kecil itu memandang si lelaki besar dengan pandangan tajam. Ia berkata
dengan halus, "Kalau begitu, Anda sungguh-sungguh menginginkan karya seni itu"
Saya rasa tidak!" Emery Power menanggapi, "Sebaiknya saya katakan begini... seperti Anda, saya tak
suka dikalahkan." Hercule Poirot menundukkan kepala. Katanya, "Ya... jika seperti itu Anda
mengatakannya... saya bisa mengerti...."
II Inspektur Wagstaffe tertarik.
"Piala anggur Veratrino" Ya, saya ingat peristiwa itu. Saya bertugas menangani
kasus itu, di sini. Saya bisa bicara sedikit bahasa Italia, dan saya dikirim ke
sana, bicara-bicara dengan Macaroni - orang-orang Italia. Sejak itu benda itu tak
pernah muncul lagi. Aneh sekali."
"Bagaimana penjelasannya menurut Anda" Transaksi pribadi?"
Wagstaffe menggeleng. "Saya tak yakin. Tentu saja itu mungkin... kemungkinan yang amat kecil....
Tidak, penjelasan saya jauh lebih sederhana. Benda itu disimpan di sesuatu
tempat, dan satu-satunya orang yang tahu di mana barang itu disembunyikan telah
mati." "Maksud Anda... Casey?"
"Ya. Mungkin dia menyimpannya di sesuatu tempat di Italia, atau mungkin dia


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menyelundupkannya ke luar negeri. Tapi dia telah menyembunyikannya, dan
benda itu masih tersimpan di sana."
Hercule Poirot mendesah. "Teori yang amat romantis. Mutiara yang disembunyikan dalam gips - teori apa itu Patung Dada Napoleon, bukan" Tapi dalam kasus ini bukan permata - melainkan sebuah
benda yang cukup besar, piala anggur yang terbuat dari emas. Tak mudah
disembunyikan. Ya kan?"
Wagstaffe berkata samar, "Oh, entahlah. Saya rasa bisa saja. Di bawah lantai
papan - sesuatu yang seperti itu."
"Apakah Casey punya rumah?"
"Ya... di Liverpool." Ia tersenyum. "Tak ada di sana. Kami sudah memeriksanya
dengan teliti." "Bagaimana dengan keluarganya?"
"Istrinya wanita baik-baik... sakit TBC. Sangat khawatir karena kehidupan
suaminya. Dia sangat saleh... seorang Katolik sejati... tak berniat meninggalkan
suaminya. Dia meninggal dua tahun yang lalu. Anak perempuan mereka - yang juga
amat saleh seperti ibunya - menjadi biarawati. Anak laki-lakinya lain sama sekali lebih mirip ayahnya. Terakhir kalinya saya dengar dia ada di Amerika."
Hercule Poirot mencatat di notes kecilnya. Amerika. Katanya, "Apakah ada
kemungkinan anak laki-laki Casey tahu tempat persembunyian itu?"
"Rasanya tidak. Kalau ya, dia pasti sudah terkurung di balik terali besi."
"Mungkin piala itu telah dilebur."
"Mungkin saja. Saya harus mengatakan itu mungkin. Tapi entahlah, nilainya amat
tinggi bagi para kolektor... dan ada banyak bisnis yang aneh-aneh yang
dijalankan para kolektor... Anda akan terheran-heran kalau tahu! Kadang-kadang,"
kata Wagstaffe dengan kesal, "saya rasa para kolektor itu sama sekali tak
bermoral!" "Ah! Apakah Anda akan kaget bila mendengar Sir Reuben Rosenthal, misalnya,
ternyata terlibat dalam apa yang Anda sebut 'bisnis yang aneh-aneh'?"
Wagstaffe menyeringai. "Saya tetap akan mencurigainya. Tidak biasanya dia bersikap hati-hati jika
masalahnya menyangkut karya-karya seni."
"Bagaimana dengan anggota komplotan yang lain?"
"Riccovetti dan Dublay mendapat hukuman yang berat. Mungkin sekarang mereka
sudah bisa keluar." "Dublay orang Prancis. Ya, kan?"
"Ya, dia otak komplotan itu."
"Apakah masih ada anggota yang lain?"
"Ada seorang perempuan - Red Kate julukannya. Bekerja sebagai pelayan keluargakeluarga kaya - menyelidiki di mana barang-barang berharga disimpan. Setelah
komplotan itu bubar, setahu saya dia pergi ke Australia."
"Yang lain?" "Anak muda bernama Yougouian. Diduga dia terlibat sebagai penadah. Kantor
pusatnya di Istambul, tapi dia punya toko di Paris. Tak ada bukti yang bisa
menyeretnya ke pengadilan. Tapi dia memang licin."
Poirot mendesah. Ia melihat catatannya. Di situ tertulis: Amerika, Australia,
Italia, Prancis, Turki....
Ia bergumam, "Aku harus melingkarkan ikat pinggang ke sekeliling bumi ini...."
"Maaf?" tanya Inspektur Wagstaffe.
"Saya sedang mengamati," kata Hercule Poirot, "rasanya saya harus berkeliling
dunia." III Hercule Poirot mempunyai kebiasaan mendiskusikan kasus-kasus yang ditanganinya
dengan pelayannya yang setia, George. Artinya, Hercule Poirot akan memulai
percakapan dengan menyinggung-nyinggung sebuah kasus, sebuah pengamatan, dan
George akan menanggapinya dengan bijaksana - kebijakan yang diperolehnya karena
pengalaman menjadi pelayan seorang gentleman selama bertahun-tahun.
"Jika kau dihadapkan pada... George," kata Poirot, "pentingnya melakukan
penyelidikan di lima bagian bumi yang berbeda-beda, bagaimana kau akan
melakukannya?" "Begini, Tuan, lewat udara sangat cepat, walaupun ada yang bilang itu membuat
perut sakit. Saya sendiri tidak tahu."
"Ada orang yang akan bertanya," kata Hercule Poirot, "apa, ya, yang akan
dilakukan Hercules?"
"Maksud Anda si tukang sepeda, Tuan?"
"Atau," lanjut Hercule Poirot, "lebih tepatnya bertanya, apa yang telah
dilakukannya" Dan jawabannya, George, dia kalang-kabut pergi ke sana kemari.
Tapi akhirnya dia terpaksa mencari informasi - seperti kata cerita - dari Prometheus
- dan yang lainnya dari Nereus."
"Oh ya, Tuan?" kata George. "Saya belum pernah mendengar nama-nama seperti itu.
Apakah mereka pemilik biro perjalanan, Tuan?"
Hercule Poirot yang rupanya senang mendengar suaranya sendiri, melanjutkan,
"Klienku, Emery Power, hanya mengerti satu hal - tindakan! Tapi tidak ada gunanya
mengeluarkan energi dengan tindakan-tindakan yang tidak perlu. Ada hukum bagus
dalam kehidupan ini, George, jangan pernah lakukan yang orang lain bisa
melakukannya untukmu."
"Lebih-lebih," tambah Hercule Poirot, sambil bangkit berdiri dan melangkah ke
rak buku, "jika uang tak jadi masalah!"
Dari rak buku ia mengambil file berlabel huruf D dan membuka entri "Detektif
Swasta - Terpercaya".
"Prometheus modern," gumamnya. "Tolonglah, George, salin ini dengan rapi - namanama dan alamat-alamat ini. Messrs. Hankerton, New York. Messrs. Laden and
Bosher, Sydney. Signor Giovanni Mezzi, Roma. M. Nahum, Istambul. Messrs. Roget
et Franconard, Paris."
Ia berhenti ketika George selesai menulis itu semua. Kemudian Hercule Poirot
berkata, "Sekarang, tolong lihatkan jadwal kereta api ke Liverpool."
"Ya, Tuan. Apakah Anda akan pergi ke Liverpool, Tuan?"
"Rasanya aku harus ke sana. Mungkin juga, George, aku akan terpaksa pergi lebih
jauh lagi. Tapi itu belum pasti."
IV Tiga bulan kemudian Hercule Poirot berdiri di ujung karang yang menjorok ke
Lautan Atlantik. Burung-burung camar beterbangan, sesekali menukik menyambar
ikan. Jeritan mereka terdengar melankolis. Udara terasa lembut dan lembap.
Hercule Poirot dilingkupi perasaan, yang tidak aneh bagi orang yang baru pertama
kali datang di Inishgowlen, bahwa ia telah sampai ke ujung dunia. Sepanjang
hidupnya, sekali pun belum pernah dibayangkannya ada tempat seterpencil itu,
sesunyi itu, dan seperti tak berpenghuni. Ada sesuatu yang indah di sana,
sesuatu yang melankolis, kecantikan yang dinodai bayang-bayang hitam masa
lalu... masa lalu yang sudah amat lama lewat. Di sini, di Irlandia Barat, orangorang Romawi belum pernah menginjakkan kakinya. Mereka belum pernah berbaris di
sini: prok, prok, prok; mereka juga belum pernah membangun benteng; belum pernah
membangun jaringan jalan yang teratur dan sangat praktis. Di sini adalah sebuah
tempat yang amat terpencil, tempat akal sehat dan cara hidup yang teratur tak
dikenal. Hercule Poirot memandang ujung sepatu kulitnya yang mahal lalu mendesah. Ia
merasa sedih dan sepi sendiri. Standar hidup yang biasa dijalaninya tak ada
artinya di sini. Matanya memandangi garis pantai yang kosong, lalu beralih ke laut lepas. Entah
di mana, di tengah laut, ada sebuah pulau yang disebut Isles of the Blest, Tanah
Mereka yang Muda.... Ia bergumam pada dirinya sendiri, "Pohon Apel, Nyanyian dan Emas..."
Tiba-tiba Hercule Poirot tersadar, ia kembali pada dirinya sendiri. Pesona itu
telah hilang, sekali lagi ia merasa selaras dengan sepasang sepatu dan setelan
jas abu-abu yang dikenakannya.
Ia mendengar lonceng berbunyi, tak jauh dari situ. Ia mengerti arti bunyi
lonceng itu. Bunyi yang amat dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak.
Ia melangkah cepat menyusuri karang. Sepuluh menit kemudian ia melihat sebuah
bangunan yang tegak di atas karang. Dinding yang tinggi mengelilinginya dan
sebuah pintu besar terbuat dari kayu, dengan paku-paku, seakan ditempelkan pada
dinding itu. Hercule Poirot mendekati pintu itu lalu mengetuknya. Pengetuk pintu
terbuat dari besi tuang yang berat. Kemudian, dengan hati-hati ia menarik rantai
yang sudah agak karatan, dan terdengar kelining lonceng kecil dari balik pintu.
Sebuah panel kecil pada daun pintu itu ditarik ke samping, muncul seraut wajah
di situ, terbingkai kerudung putih yang dikanji kaku. Tampak ada kumis tipis di
atas bibir itu, namun suaranya jelas milik wanita. Suara itu persis suara yang
oleh Hercule Poirot disebut femme formidable.
Wajah itu menanyakan apa keperluannya.
"Apakah ini Biara St. Mary dan Para Malaikat?"
Wanita perkasa itu menjawab dengan ringkas dan sinis, "Lalu apa kalau bukan?"
Hercule Poirot tidak berusaha menjawab pertanyaan itu. Ia berkata kepada "naga"
itu, "Saya ingin bertemu dengan Ibu Kepala Biara."
Naga itu tidak bersedia membukakan pintu, tetapi akhirnya menyerah juga. Selotselot ditarik membuka, pintu terbuka, dan Hercule Poirot dipersilakan masuk ke
sebuah ruangan kecil yang kosong, tempat menerima tamu-tamu biara.
Tak lama kemudian datang seorang biarawati, rosarionya tergantung di
pinggangnya. Hercule Poirot terlahir sebagai orang Katolik. Ia mengerti benar suasana tempat
ia berada saat itu. "Saya mohon maaf telah merepotkan, ma m?re," katanya. "Apakah di sini ada
seorang biarawati bernama, di dunia, Kate Casey?"
Ibu Kepala Biara mengangguk. Katanya, "Benar. Suster Mary Ursula, itu namanya di
biara." Hercule Poirot berkata, "Ada kesalahan tertentu yang harus diperbaiki. Saya
yakin Suster Mary Ursula bisa membantu saya. Dia mempunyai informasi yang
mungkin sangat berharga."
Ibu Kepala Biara menggeleng. Wajahnya tetap tenang, suaranya sabar dan seakan
jauh. Katanya, "Suster Mary Ursula tak dapat membantu Anda."
"Tapi, sungguh...."
Kata-kata Poirot terputus. Ibu Kepala Biara berkata, "Suster Mary Ursula
meninggal dua bulan yang lalu."
V Di bar Jimmy Donovan's Hotel, Hercule Poirot duduk dengan tidak nyaman di dekat
dinding. Menurutnya, hotel itu sama sekali tidak memenuhi persyaratan sebuah
hotel. Tempat tidurnya rusak, begitu pula dua bingkai jendela di kamarnya, dan
dengan demikian membiarkan angin malam yang dingin - yang amat dibencinya - masuk
dengan leluasa. Air panas yang tersedia tidak bisa disebut panas, dan makanan
yang dihidangkan membuat perutnya mual.
Ada lima lelaki di bar itu, semuanya membicarakan politik. Hercule Poirot tidak
dapat mengerti sebagian besar isi percakapan mereka. Ia tidak peduli.
Tiba-tiba salah satu lelaki itu bangkit dan duduk menjejerinya. Lelaki yang ini
agak berbeda kelasnya dengan yang lain. Ada kesan "orang kota" pada dirinya.
Ia berkata dengan penuh harga diri, "Dengar, Tuan. Saya berani taruhan - Pegeen's
Pride takkan punya kesempatan, sama sekali tidak... dia pasti gagal... ya,
langsung kalah. Dengar nasihat saya... semua orang harus memperhatikan ramalan
saya. Anda tahu siapa saya, Tuan, tahu" Atlas, itulah saya - Atlas dari Dublin
Sun... sepanjang musim ini saya sudah banyak membuat ramalan yang tepat....
Bukankah saya yang menjagokan Larry's Girl" Dua lima lawan satu - dua lima lawan
satu. Turuti nasihat Atlas dan Anda takkan keliru."
Hercule Poirot memandang orang itu dengan pandangan asing bercampur takjub. Ia
berkata, suaranya bergetar, "Mon Dieu, ini suatu kutukan!"
VI Kejadiannya beberapa jam kemudian. Bulan hilang-timbul, sesekali mengintip dari
balik awan tebal. Poirot dan kawan barunya telah berjalan beberapa mil. Detektif
itu berjalan terpincang-pincang. Baru saja ia menyadari ada jenis sepatu lain bukan sepatu kulit yang cocok untuk setelan resmi - yang lebih sesuai untuk
berjalan kaki di pedesaan. Sebenarnya, George dengan segala hormat telah
mengusulkan itu padanya. "Sepasang sepatu kanvas yang nyaman," kata George waktu itu.
Hercule Poirot tak memedulikan usul itu. Ia ingin kedua kakinya selalu kelihatan
rapi, terpelihara, dan terbungkus sepasang sepatu mahal. Tapi sekarang,
terpincang-pincang menapaki jalan yang berbatu-batu, ia mengakui memang ada
jenis sepatu lain yang lebih sesuai....
Tiba-tiba kawannya berkata, "Apakah cara ini yang diinginkan Pastor dan saya"
Saya takkan merasa diri penuh dosa lagi."
Hercule Poirot menanggapi, "Kau hanya mengambil kembali untuk Caesar barang yang
memang menjadi milik Caesar."
Mereka sampai ke tembok pagar biara. Atlas bersiap-siap melakukan tugasnya.
Ia menggeram pelan, menyumpah-nyumpah, dan mengatakan saat itu tamatlah
riwayatnya! Hercule Poirot berkata dengan tegas, "Diam! Kau tidak sedang menyangga bumi!
Yang kaulakukan hanyalah menyangga berat tubuh Hercule Poirot!"
VII Atlas membolak-balik dua lembar uang lima pound yang masih baru. Ia berkata
penuh harap, "Besok pagi mungkin saya sudah lupa bagaimana caranya saya mendapat
uang ini. Yang saya cemaskan adalah, jangan-jangan Pastor O'Reilly akan
menghukum saya." "Lupakan semuanya, kawan. Besok pagi dunia akan menjadi milikmu."
Atlas menggumam, "Dan apa yang dapat saya lakukan" Ada si Working Lad, kuda yang
luar biasa! Sungguh hebat dia! Lalu ada Sheila Boyne. Tujuh banding satu - saya
akan bertaruh untuknya."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Apakah saya salah dengar, atau tidak"
Benarkah Anda tadi menyebut-nyebut nama dewa Yunani" Hercules, kata Anda tadi"
Puji Tuhan, si Hercules besok ikut pacuan pukul setengah empat."
"Kawan," kata Hercule Poirot, "pertaruhkan uangmu pada kuda itu. Dengar kata
saya. Hercules tidak mungkin gagal."
Dan memang benar, keesokan harinya kuda Mr. Rosslyn, si Hercules, secara tak
disangka-sangka memenangkan taruhan Boynan Stakes dengan angka enam puluh lawan
satu. VIII Dengan cekatan Hercule Poirot membuka paket yang terbungkus rapi itu. Mula-mula
kertas cokelat, kemudian lapisan peredam guncangan, dan akhirnya kertas-kertas
tisu. Di atas meja, di depan Emery Power, ia meletakkan sebuah piala emas yang
berkilauan, dengan ukiran yang menggambarkan sebatang pohon apel, dengan buahbuah bergelantungan yang terbuat dari batu zamrud.
Orang kaya itu menghela napas panjang. Katanya, "Saya ucapkan selamat pada Anda,
M. Poirot." Hercule Poirot membungkuk.
Emery Power mengulurkan tangannya. Disentuhnya bibir piala itu, dan dengan
jarinya dielusnya pinggirannya. Ia berkata dengan suara yang dalam, "Milik
saya!" Hercule Poirot mengiyakan, "Milik Anda!"
Emery Power mendesah. Ia menyandarkan badannya ke kursi. Kemudian ia berkata
dengan nada lugas, "Di mana Anda menemukannya?"
Hercule Poirot menjawab, "Pada sebuah altar."
Emery Power terbelalak. Poirot melanjutkan, "Anak perempuan Casey seorang biarawati. Dia sedang akan
mengucapkan janji akhirnya ketika ayahnya meninggal. Dia bukan gadis yang
pandai, tetapi sangat taat beragama. Piala ini tersimpan di rumah ayahnya di
Liverpool. Dia menyerahkan piala ini ke kapel biara, menurut dugaan saya, dengan
maksud agar dosa-dosa ayahnya diampuni. Dia menyerahkan piala ini untuk
digunakan dalam misa suci, untuk memuliakan Tuhan. Saya rasa, para biarawati di
sana pun tak ada yang mengerti nilai piala ini yang sesungguhnya. Mungkin mereka
mengira ini piala warisan keluarga secara turun-temurun. Di mata mereka, ini
piala anggur suci, dan begitulah mereka menggunakannya."
Emery Power berkata, "Cerita yang luar biasa!" Lalu, tambahnya, "Apa yang
membuat Anda pergi ke sana?"
Poirot mengangkat bahu. "Barangkali... proses eliminasi. Dan ada satu kenyataan yang luar biasa, yaitu
bahwa tak seorang pun pernah mencoba melebur piala ini. Itu sebabnya saya
menduga piala ini tersimpan di suatu tempat di mana nilai material biasa tak ada
artinya. Saya ingat bahwa anak perempuan Patrick Casey seorang biarawati."
Power berkata dengan ramah. "Nah, seperti kata saya tadi, saya ucapkan selamat
untuk Anda. Sebutkan upah Anda dan akan saya tanda tangani sebuah cek untuk
Anda." Hercule Poirot menggeleng. "Saya tidak minta upah."
Lawan bicaranya menatapnya tak percaya. "Apa maksud Anda?"
"Pernahkah Anda membaca dongeng-dongeng ketika Anda masih kecil dulu" Sang raja dalam dongeng-dongeng - selalu berkata, 'Mintalah padaku apa yang kauinginkan!'"
"Jadi, Anda meminta sesuatu?"


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, tetapi bukan uang. Hanya sebuah permintaan sederhana."
"Hmm, apakah itu" Anda membutuhkan keahlian saya di pasar modal?"
"Itu artinya sama dengan uang - hanya dalam bentuk yang berbeda. Permintaan saya
jauh lebih sederhana dari itu."
"Apakah itu?" Hercule Poirot memegang piala itu. "Kirimkan piala ini kembali ke biara itu."
Hening beberapa saat. Kemudian Emery Power berkata, "Anda sudah gila?"
Hercule Poirot menggeleng.
"Tidak, saya tidak gila. Lihatlah, akan saya tunjukkan sesuatu."
Diangkatnya piala itu. Dengan kuku jarinya, kuat-kuat ditekannya bagian dalam
mulut ular yang terbuka - ular yang melilitkan badannya pada pohon apel itu. Di
bagian dalam piala, sebagian amat kecil lempengan emasnya menyingkap ke samping,
menampakkan sebuah lubang yang bersambung dengan pegangan piala yang berongga
bagian dalamnya. Poirot berkata, "Anda lihat ini" Ini adalah piala yang dipakai minum oleh Paus
Borgia. Lewat lubang kecil ini, racun masuk ke dalam minuman. Anda sendiri
berkata, riwayat piala ini adalah sebuah jejak penuh kejahatan. Kekerasan dan
darah, nafsu-nafsu jahat, semuanya selalu dikaitkan dengan usaha-usaha untuk
memilikinya. Dan... barangkali Anda akan mendapat giliran sejak sekarang."
"Takhayul!" "Mungkin memang takhayul! Tetapi, mengapa Anda ingin sekali memilikinya" Bukan
karena keindahannya. Bukan karena nilai materialnya. Anda sudah punya ratusan mungkin ribuan - benda-benda seni yang indah dan langka. Anda menginginkan piala
ini untuk memuaskan keangkuhan Anda. Anda tak sudi dikalahkan. Eh bien, dan Anda
memang tak terkalahkan. Anda menang! Piala ini berada dalam tangan Anda. Tapi,
sekarang, mengapa Anda tidak melakukan sesuatu yang lebih mulia lagi" Kembalikan
benda ini ke tempatnya... tempatnya berada dalam kedamaian selama hampir sepuluh
tahun. Biarlah jejak-jejaknya yang penuh kejahatan dihapuskan dan disucikan di
sana. Piala ini pernah menjadi milik Gereja - dan biarlah kini kembali ke Gereja.
Biarlah sekali lagi ini diletakkan di atas altar, disucikan, dan dibasuh nodanodanya - seperti halnya manusia disucikan dan dihapuskan dosa-dosanya."
Hercule Poirot mencondongkan badannya ke depan.
"Izinkan saya menggambarkan tempat saya menemukannya... Kebun Kedamaian,
menghadap ke Laut Barat, ke arah surga... surga untuk kemudaan dan keindahan
abadi." Dia terus bicara. Dengan kata-kata sederhana dilukiskannya keindahan
Inishgowlen. Emery Power duduk bersandar, satu tangannya menutupi matanya. Akhirnya ia
berkata, "Saya dilahirkan di pantai barat Irlandia. Sebagai kanak-kanak, saya
tinggalkan tanah kelahiran saya untuk mengadu nasib di Amerika."
Poirot berkata dengan lembut, "Saya tahu."
Usahawan kaya raya itu duduk tegak. Sepasang matanya kembali menyorot tajam. Ia
berkata, sementara bibirnya tersenyum tipis, "Anda manusia yang aneh, M. Poirot.
Anda boleh memilih cara Anda sendiri. Kembalikan piala ini ke biara itu, sebagai
hadiah atas nama saya. Hadiah yang sangat mahal. Tiga puluh ribu pound - dan
sebagai imbalannya, apa yang akan saya peroleh?"
Poirot berkata dengan tegas, "Para biarawati akan mendoakan jiwa Anda."
Senyum pria kaya raya itu melebar - senyum penuh pemahaman. Katanya, "Jadi,
bagaimanapun juga, ini merupakan sebuah investasi! Barangkali investasi yang
terbaik yang pernah saya tanam...."
IX Di ruang tamu kecil di biara itu, Hercule Poirot mengisahkan cerita itu dan
menyerahkan piala itu kepada Ibu Kepala Biara.
Biarawati itu menggumam, "Katakan padanya, kami mengucapkan terima kasih dan
akan mendoakan keselamatan jiwanya."
Hercule Poirot berkata dengan sopan, "Dia amat membutuhkan doa-doa Anda."
"Apakah dia tidak bahagia?"
Poirot berkata, "Dia begitu tidak bahagia hingga tidak bisa mengerti arti
kebahagiaan itu sendiri. Dia begitu tidak bahagia hingga tidak bisa mengerti
bahwa dia tidak bahagia."
Biarawati itu berkata lirih, "Ah, seorang pria yang kaya raya...."
Hercule Poirot tidak menanggapi... sebab tahu tak ada lagi yang perlu
dikatakan.... 12 PENANGKAPAN CERBERUS I HERCULE POIROT, sambil berdiri terhuyung-huyung dalam kereta bawah tanah yang
padat, sesekali menabrak orang di sebelah kirinya, kadang-kadang menyenggol
orang di sebelah kanannya, menganggap terlalu banyak manusia tinggal di bumi
ini! Tentu saja ada banyak sekali orang di kawasan bawah tanah kota London, saat
itu, pada pukul 18.30. Panas, suara bising, kerumunan orang, desakan-desakan tangan yang mendorong-dorong menjengkelkan, tubuh yang menempel rapat, bahu yang
saling beradu! Terjepit dan terkurung di antara orang-orang yang tak dikenalnya yang baginya (pikir Poirot dengan jijik) adalah orang-orang asing semua!
Kemanusiaan, dilihat secara en masse seperti itu sama sekali tidak menarik.
Jarang sekali orang bisa menemukan seraut wajah yang bersinar cerdas, atau
seorang femme bien mise! Apa yang membuat wanita di sudut itu bisa merajut
dengan tenang dalam kondisi yang paling kacau seperti itu" Seorang wanita yang
sedang asyik merajut bukanlah pemandangan yang sedap dipandang mata: pikiran dan
perhatian yang terpusat pada rajutannya, mata yang seakan berkilau, dan jarijari yang terus-menerus bergerak cekatan tak henti-henti! Dibutuhkan kecekatan
seekor kucing liar dan kekuatan kemauan seorang Napoleon untuk bisa merajut
dalam sebuah kereta bawah tanah yang penuh sesak, tapi... ada saja wanita yang
bisa melakukannya! Jika mereka bisa memperoleh tempat duduk, mereka akan
langsung mengeluarkan gulungan benang rajut dan... klik-keletik... klikkeletik... Jarum-jarum rajutan mereka akan terus beradu!
Tak ada keanggunan, pikir Poirot, tak ada keanggunan wanita sejati! Jiwanya yang
sudah tua memberontak karena tekanan dan kesibukan dunia modern tempatnya berada
saat itu. Semua wanita muda yang mengelilinginya ini - mereka begitu mirip satu
sama lain, tak punya daya tarik, tak menampilkan kesan feminin sama sekali! Yang
dibutuhkan Poirot adalah daya tarik feminin yang lebih flamboyan! Ah! Kalau saja
dia bisa menemukan seorang wanita istimewa, femme du monde, yang chic, simpatik,
dan spirituelle - seorang wanita dengan garis-garis tubuh yang luwes, yang
terbungkus gaun mahal nan penuh gaya! Dulu pernah ada wanita-wanita seperti itu.
Tapi sekarang... sekarang...
Kereta berhenti di sebuah stasiun; orang-orang berdesakan turun, mendesak Poirot
ke ujung jarum-jarum rajut; orang-orang berdesakan naik, menjepit Poirot bagai
ikan dalam kaleng sarden. Dengan sebuah entakan, kereta bergerak lagi. Poirot,
yang terdorong menimpa tubuh seorang wanita tinggi besar - dengan bungkusanbungkusan yang tak keruan bentuknya - menggumamkan, "Pardon!" - dan terlempar lagi,
kali ini mengenai seorang pria kurus yang ujung tasnya menyodok punggung
detektif itu. Sekali lagi ia menggumam, "Pardon!" Dia merasa kumisnya lemas dan
layu. Quel enfer! Untunglah stasiun berikutnya adalah tujuannya!
Tampaknya, itu juga stasiun tujuan dari kurang-lebih 150 penumpang lainnya,
karena stasiun itu Piccadilly Circus. Bagaikan alunan ombak besar, orang-orang
itu menghambur ke peron. Sekali lagi Poirot terjepit dalam eskalator yang
membawanya ke atas, ke permukaan tanah.
Ke atas, pikir Poirot, dari dasar neraka.... Betapa sakitnya betisnya karena
tertusuk ujung sebuah koper keras, koper yang dibawa orang yang naik eskalator
di belakangnya! Tepat ketika itu, sebuah suara menyerukan namanya. Dengan kaget Poirot mencari
arah asal suara itu. Di seberangnya, pada eskalator yang bergerak turun, matanya
yang seakan tak percaya melihat sebuah pemandangan dari masa lalu. Seorang
wanita yang penuh gaya; rambutnya yang lebat dicat kemerah-merahan, dihiasi
sebuah topi jerami dengan model aneh, lengkap dengan hiasan burung-burung mungil
dengan warna-warna cerah. Sebuah mantel bulu yang eksotis terjuntai dari
bahunya. Bibirnya yang dicat merah tua terbuka lebar dan suaranya yang dalam beraksen
asing terdengar nyaring. Wanita itu pasti memiliki paru-paru yang bagus.
"Ya, benar!" teriak wanita itu. "Tak salah lagi! Mon cher Hercule Poirot! Kita
harus bertemu lagi! Harus!"
Tapi Nasib tidak merestui kedua makhluk yang berdiri pada eskalator yang
bergerak berlawanan arah itu. Dengan gerakan pasti, Hercule Poirot terbawa ke
atas oleh eskalator yang dinaikinya, dan Countess Vera Rossakoff terus bergerak
ke bawah. Dengan susah payah Poirot berhasil melongokkan badannya ke bawah, lewat
pinggiran eskalator. Ia berseru setengah putus asa, "Ch?re Madame - di mana saya
bisa menemui Anda?" Jawaban wanita itu terdengar samar-samar, dari bawah sana. Jawaban yang tak
terduga, namun anehnya seakan sesuai dengan suasana ketika itu.
"Di Neraka..." Hercule Poirot mengedipkan matanya. Ia berkedip sekali lagi. Tiba-tiba kakinya
bergetar. Tanpa disadarinya, ia sudah sampai di puncak eskalator - dan tidak
melompat dengan benar. Orang-orang membuyar, meninggalkan eskalator itu. Agak di
sebelah kirinya, kerumunan orang memadat, hendak turun lewat eskalator lain.
Apakah sebaiknya ia juga ikut turun" Itukah yang dimaksudkan Countess tadi" Tak
diragukan lagi, naik kereta bawah tanah pada saat jam-jam sibuk seperti itu sama
saja artinya dengan berada di neraka. Jika itu yang dimaksudkan Countess, Poirot
sepenuhnya sependapat dengannya....
Dengan penuh keyakinan Poirot menyelipkan dirinya di antara kepadatan orangorang yang bergerak turun. Di ujung eskalator itu, di bawah sana, tak
ditemukannya Countess Vera Rossakoff. Poirot menemukan dirinya terpana di depan
lampu-lampu yang menyala biru, kuning, dan lain-lain warna - salah satu harus
dipilihnya. Apakah Countess tadi masuk ke jalur Bakerloo atau Piccadilly" Poirot memeriksa
kedua peron itu berganti-ganti. Sekali lagi dia terseret pusaran arus orangorang yang naik atau turun dari kereta api, tapi tak ditemukannya jejak wanita
Rusia yang istimewa itu, Countess Vera Rossakoff.
Letih, jengkel, dan jelas-jelas merasa terhina, Hercule Poirot memilih eskalator
yang membawanya naik ke permukaan tanah dan membuatnya berada di tengah
kebisingan Piccadilly Circus. Ia sampai di rumah dengan suasana hati yang agak
bergairah. Nasib buruklah yang membuat seorang pria bertubuh kecil, yang menyukai ketepatan
dalam segala hal, memburu seorang wanita Rusia berpenampilan flamboyan dan
bertubuh besar. Poirot tak pernah bisa membebaskan diri dari pesona yang
dipancarkan Countess Vera Rossakoff. Sudah dua puluh tahun lebih ia tak bertemu
dengan wanita itu, tetapi daya tariknya masih tetap memikat Poirot. Walaupun
menyadari rias wajah yang dikenakan wanita itu pastilah berlebihan - untuk
menutupi umurnya yang beranjak senja - di baliknya Poirot masih menemukan daya
tarik seorang wanita yang selalu bisa membuatnya terpana. Pria borjuis itu masih
tetap bergairah bila menghadapi seorang wanita aristokrat. Ingatan akan gaya
wanita Rusia itu ketika mencuri permata, masih saja membuatnya terkagum-kagum.
Poirot terkenang akan gaya anggun wanita Rusia itu ketika mengakui perbuatannya.
Seorang wanita satu di antara seribu - satu di antara sejuta! Dan tadi ia bertemu
dengannya lagi - dan kini telah pula kehilangan dia!
"Di Neraka," katanya tadi. Apakah telinganya yang tidak beres" Benarkah wanita
itu berkata begitu" Tapi, apa maksudnya" Apakah maksudnya jalur-jalur kereta api bawah tanah di
London" Ataukah kata-katanya harus diartikan secara religius" Bahkan bila
kehidupan wanita itu sendiri akan membuatnya terpuruk ke dalam neraka - satusatunya tujuan akhir yang pantas baginya - sopan santunnya sebagai wanita ningrat
Rusia pasti akan menghalanginya untuk mengatakan sudah selayaknya jika Hercule
Poirot kelak juga akan masuk neraka.
Bukan itu! Pasti sesuatu yang lain yang dimaksudkannya. Maksudnya pasti...
Hercule Poirot kaget oleh jalan pikirannya sendiri. Wanita yang penuh teka-teki
dan tak dapat ditebak! Seorang wanita dari "kelas" yang lebih rendah pasti akan
menyerukan "The Ritz" atau "Claridge's". Tapi Vera Rossakoff dengan penuh
keyakinan dan dengan jelas berseru, "Neraka!"
Poirot mendesah. Tapi ia belum menyerah kalah. Keesokan paginya ia mengambil
langkah yang paling sederhana dan paling langsung, ia bertanya pada
sekretarisnya, Miss Lemon.
Miss Lemon bukanlah wanita yang bisa dikatakan menarik namun seorang sekretaris
yang sangat efisien. Baginya, Poirot bukanlah pria istimewa - baginya, pria itu
hanyalah majikannya. Miss Lemon bekerja sebaik-baiknya. Seluruh pikiran dan
impiannya terpusat pada penemuan sistem penyimpanan data terbaru, yang secara
pelan namun pasti selalu disempurnakannya.
"Miss Lemon, saya ingin menanyakan sesuatu."
"Silakan, M. Poirot." Miss Lemon mengangkat jari-jarinya dari mesin tik, lalu
menunggu dengan penuh perhatian.
"Jika seorang kawan meminta Anda untuk menemuinya di... neraka, apa yang akan
Anda lakukan?" Miss Lemon, seperti biasa, langsung menjawab. Seperti kata pepatah - ia tahu semua
jawabannya. "Menurut saya, lebih baik kita langsung memesan meja," katanya.
Hercule Poirot menatapnya dengan terheran-heran. Ia berkata terbata-bata,
"Anda... akan... memesan... meja?"
Miss Lemon mengangguk dan menarik pesawat telepon agar lebih dekat.
"Malam ini?" tanyanya, dan menganggap diam sebagai tanda setuju - karena Poirot
kehilangan kata-kata - ia langsung memutar deretan nomor.
"Temple Bar 14578" Di situ Neraka" Tolong sediakan sebuah meja untuk dua orang.
M. Hercule Poirot. Pukul sebelas."
Ia meletakkan telepon dan jari-jarinya siap menari-nari pada mesin tik. Sekilas hanya sepintas - tampak kesan tidak sabar di wajahnya. Ia telah melakukan tugasnya
- raut wajahnya seakan mengatakan itu - jadi, sebaiknya majikannya segera
meninggalkannya agar ia dapat melanjutkan apa yang tadi sedang dilakukannya.
Tapi Hercule Poirot menuntut penjelasan.
"Jadi, apa artinya Neraka ini?" tuntutnya.
Miss Lemon tampak agak kaget.
"Oh, apakah Anda tidak tahu, M. Poirot" Itu sebuah kelab malam - masih baru tapi
sangat ramai dikunjungi orang - dikelola seorang wanita Rusia. Malam ini juga,
jika Anda mau, dengan mudah saya bisa mendaftarkan Anda menjadi member."
Selesai mengucapkan itu, dan dengan jelas-jelas menyiratkan bahwa waktunya sudah
banyak terbuang, Miss Lemon langsung memainkan jari-jarinya di mesin tik dengan
cekatan dan dengan sikap tak peduli.
Tepat pukul sebelas malam itu Hercule Poirot memasuki pintu utama yang bagian
atasnya dihiasi neon warna-warni yang masing-masing melambangkan satu huruf.
Seorang pelayan berseragam jas merah menyambutnya dan menyimpankan mantelnya.
Dengan gerakan sopan ia mempersilakan Poirot menuruni tangga lebar yang tidak
curam, ke ruang bawah tanah. Pada setiap anak tangga tertulis sebuah kalimat.
Yang pertama bunyinya: "Maksudku baik...."
Yang kedua: "Hapuskan segala kenangan dan mulailah hidup yang baru...."
Yang ketiga: "Aku bisa menghentikan ini semua kapan saja aku mau...."
"Niat baik yang menghiasi jalan ke Neraka," gumam Hercule Poirot penuh pujian.
"C'est bien imagin?, ?a!"
Ia menuruni tangga itu. Di dasar tangga terdapat sebuah kolam kecil dengan
bunga-bunga lili berwarna merah tua. Melengkung di atas kolam itu, terdapat
sebuah jembatan yang bentuknya menyerupai perahu. Poirot menyeberang lewat
jembatan itu. Di arah kirinya, pada semacam ceruk dari marmer, duduk seekor anjing; yang
paling besar, paling jelek, dan paling hitam yang pernah dilihat Poirot. Anjing
itu duduk tegak, menyeramkan, dan tidak bergerak-gerak. Mungkin binatang itu pikir Poirot (dan dia berharap) - binatang itu tidak nyata. Tepat saat itu si
anjing memalingkan kepalanya yang jelek dan menyeramkan serta menggeram.
Suaranya amat mengerikan.
Kemudian Poirot melihat sebuah keranjang kecil yang dihias cantik berisi biskuit
anjing. Pada keranjang itu tertera tulisan, "Kue untuk Cerberus!"
Mata anjing itu menatap keranjang tersebut. Sekali lagi terdengar geram yang
menyeramkan itu. Cepat-cepat Poirot mengambil satu biskuit dan melemparkannya
pada si anjing. Mulut si anjing membuka lebar-lebar; lalu klak! kedua rahang yang kukuh itu
mengatup kembali. Cerberus menyantap kuenya! Poirot melanjutkan langkahnya,
masuk lewat pintu yang terbuka.
Ruangan di balik pintu itu tidak luas. Di tengah ruangan ada tempat terbuka
untuk berdansa, dikelilingi meja-meja kecil. Lampu-lampu merah kecil menerangi
ruangan itu, dan sepanjang dinding-dindingnya tergantung lukisan fresco. Sebuah
pemanggang daging yang besar terletak di ujung ruangan, sedang dilayani para
koki yang mengenakan busana seperti setan, lengkap dengan ekor dan sepasang


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanduk. Semua itu dicerna Poirot sebelum Countess Vera Rossakoff - dengan gaya Rusia-nya
yang khas dan impulsif, dalam gaun malam mewah berwarna ungu tua - tiba-tiba
muncul menyambutnya dengan tangan terulur.
"Ah, datang juga kau! My dear - my very dear friend! Senang sekali bisa melihatmu
lagi! Setelah bertahun-tahun... banyak tahun... tidak, kita takkan bilang sudah
berapa lama! Bagiku rasanya seperti baru kemarin. Kau tidak berubah... sama
sekali tidak berubah!"
"Tidak pula Anda, ch?re amie," seru Poirot, sambil membungkuk mencium tangan
wanita itu. Bagaimanapun ia sadar benar saat itu bahwa dua puluh tahun adalah dua puluh
tahun. Countess Rossakoff mungkin belum bisa disebut - secara tidak sopan - "barang
rongsokan". Namun, kalaupun begitu orang menggambarkan wanita itu, ia adalah
rongsokan yang luar biasa. Semangatnya untuk menikmati hidup masih sama, dan di
atas semua itu, ia tahu benar bagaimana caranya menaklukkan lawan jenisnya.
Ia mengajak Poirot ke sebuah meja. Dua orang lain telah duduk di meja itu.
"Kawanku, kawanku yang sangat terkenal, M. Hercule Poirot," katanya
memperkenalkan. "Ia yang membuat para penjahat ngeri! Dulu, satu kali, aku pun
pernah takut padanya, tapi sekarang aku menjalani kehidupan yang baik dan amat
membosankan. Ya, kan?"
Pria jangkung kurus dan sudah setengah baya yang diajaknya bicara berkata,
"Jangan pernah berkata 'membosankan', Countess."
"Profesor Liskeard," Countess memperkenalkan. "Tahu segala sesuatu tentang masa
lampau dan telah memberikan nasihatnya yang berharga untuk dekorasi tempat ini."
Arkeolog itu bergidik sedikit.
"Seandainya sebelumnya aku tahu apa yang akan Anda lakukan!" gumamnya. "Hasilnya
sungguh menakjubkan!"
Poirot mengamati fresco itu dengan lebih saksama. Pada dinding di seberang
tempat duduknya, Orpheus memainkan jazz bersama band-nya, sementara Eurydice
dengan penuh harap memandang ke arah pemanggang daging. Tepat di seberang
dinding tersebut, Osiris dan Isis seakan sedang menjamu para arwah bangsa Mesir
dalam sebuah pesta yang diadakan di atas perahu. Pada dinding ketiga, sejumlah
muda-mudi sedang mandi bersama - dalam busana seperti ketika mereka dilahirkan.
"Negeri Para Muda-Mudi," kata Countess menjelaskan, dan segera menambahkan,
menyelesaikan acara perkenalan, "Dan ini Alice-ku yang mungil."
Poirot membungkuk ke arah orang kedua di meja itu, seorang gadis mungil
bertampang serius dan mengenakan rok serta jas bermotif kotak-kotak. Gadis itu
mengenakan kacamata berbingkai tanduk.
"Dia amat sangat pintar," kata Countess Rossakoff. "Dia sarjana psikologi! Dia
tahu persis kenapa orang gila menjadi gila! Sebabnya bukanlah, seperti yang
mungkin kausangka, karena mereka gila! Tidak, ada banyak sebab mengapa orang
menjadi gila! Menurutku, pendapat itu amat ganjil."
Gadis yang disebut Alice tersenyum penuh pengertian tapi juga agak meremehkan.
Dengan suara tegas ia bertanya pada Profesor Liskeard, kalau-kalau pria itu mau
diajak berdansa. Pria itu tampak tersanjung, namun juga ragu-ragu.
"Nona muda, sayang saya hanya mengenal irama waltz."
"Ini irama waltz," kata Alice dengan sabar.
Mereka bangkit berdiri, lalu berdansa. Mereka bukan pasangan dansa yang baik.
Countess Rossakoff mendesah. Seakan melanjutkan apa yang sedang dipikirkannya,
ia bergumam, "Tapi dia tidak terlalu jelek...."
"Rupanya dia tidak memedulikan penampilannya," kata Poirot menilai.
"Terus terang," kata Countess dengan suara agak nyaring, "aku tak bisa mengerti
anak-anak muda zaman sekarang. Mereka tidak berminat membuat dirinya tampak
menyenangkan - selalu, di masa mudaku, aku selalu berusaha - warna-warna yang cocok
untukku - lapisan pada bagian dalam gaun - korset ketat mengikat pinggang - rambut
dicat dengan warna yang mungkin lebih menarik...."
Dengan penuh gaya disingkirkannya rambutnya yang lebat dari keningnya, berwarna
titian (warna merah) - tak perlu disangkal lagi, jelas Countess masih terus
berusaha dan berusaha keras!
"Merasa puas dengan apa yang sudah dianugerahkan alam kepada kita, itu... itu
artinya tolol! Sama saja dengan bersikap angkuh! Alice yang mungil itu telah
menulis berlembar-lembar kalimat panjang tentang SEX, tapi - coba taruhan - sudah
adakah pria yang mengajaknya berakhir minggu ke Brighton" Apa yang ditulisnya
hanyalah kalimat-kalimat panjang, tentang kerja, kesejahteraan para buruh, dan
masa depan dunia. Memang itu amat berguna, tapi... apakah itu menarik" Dan,
lihat saja, bagaimana anak-anak muda itu mengatur dunia! Hanya ada peraturanperaturan dan larangan-larangan! Waktu aku muda dulu, tidak begitu."
"Itu mengingatkan saya, mana putra Anda, Madame?" Untunglah ia segera ingat
bahwa dua puluh tahun telah lewat, dan ia sempat memilih kata yang tepat.
Wajah Countess bersinar-sinar, seperti layaknya ibu yang bangga akan putranya.
"Putra kesayanganku! Gagah, berdada bidang, dan amat tampan! Dia di Amerika. Di
sana dia membangun jembatan, bank, hotel, toko-toko, jalan kereta api - apa saja
yang dibutuhkan orang Amerika!"
Poirot agak bingung. "Jadi dia insinyur" Atau... arsitek?"
"Apa bedanya?" tukas Countess. "Dia sangat baik! Sehari-hari hidupnya
terkungkung mesin-mesin dan sesuatu yang disebut stress. Pendeknya, benda-benda
yang tak sedikit pun kumengerti. Tapi kami saling menyayangi - kami selalu saling
menyayangi! Karenanya, demi dia, aku menyayangi Alice. Ya, mereka telah
bertunangan. Mereka bertemu di pesawat terbang atau kapal atau kereta api, dan
mereka saling jatuh cinta, semua itu terjadi ketika keduanya asyik membicarakan
kesejahteraan para buruh. Dan waktu berkunjung ke London, Alice menemuiku dan
aku langsung menyayanginya." Countess mengatupkan kedua tangannya di depan
dadanya yang membusung. "Dan aku berkata, 'Kau dan Niki saling mencintai, jadi
aku pun mencintaimu - tapi kalau kau mencintainya, mengapa kautinggalkan dia di
Amerika"' Lalu Alice bercerita tentang 'pekerjaannya' dan buku yang sedang
ditulisnya, dan kariernya. Terus terang aku tidak mengerti, tapi aku selalu
bilang, 'Orang harus punya toleransi.'" Lalu segera menambahkan, hampir tanpa
menarik napas lebih dulu. "Dan bagaimana pendapatmu, cher ami, tentang semua
imajinasiku di sini?"
"Imajinasi yang luar biasa," kata Poirot, sambil memandang berkeliling dengan
mata memuji. "Ini benar-benar chic!"
Ruangan itu penuh dan terasa benar tempat itu dikelola dengan baik, sukses; dan
yang terakhir ini tidak mungkin dipalsukan. Ada pasangan-pasangan terkenal
dengan setelan dan gaun anggun nan mahal, orang-orang Bohemia dengan celana
corduroy, dan pria-pria berpenampilan gagah dengan setelan resmi yang praktis.
Para pemain band yang berdandan seperti setan sedang memainkan musik keras. Tak
diragukan lagi, tempat ini benar-benar seperti neraka.
"Segala macam manusia berbaur di sini," kata Countess. "Memang seharusnya
demikian. Ya, kan" Gerbang-gerbang Neraka terbuka bagi siapa saja."
"Kecuali, mungkin, untuk kaum miskin?" Poirot menanggapi.
Countess tertawa. "Bukankah pada kita diajari bahwa sulit bagi orang kaya untuk
masuk ke Kerajaan Surga" Karenanya, wajar bila mereka mendapat tempat istimewa
di Neraka." Profesor Liskeard dan Alice kembali ke meja. Countess bangkit berdiri.
"Saya harus bicara dengan Aristide."
Ia bertukar kata dengan kepala pelayan, seorang pria berpenampilan seperti
Mephistopheles, kemudian berjalan dari meja ke meja menyapa tamu-tamunya.
Profesor Liskeard berkata sambil mengelap dahinya dan mencicipi segelas anggur,
"Dia wanita yang berkepribadian. Orang bisa merasakan kuatnya kepribadiannya."
Ia minta maaf lalu pergi ke meja lain untuk bicara dengan seseorang. Poirot,
yang ditinggalkan berduaan dengan Alice, merasa canggung ditatap sepasang mata
biru yang bersinar dingin. Ia kini menyadari bahwa Alice ternyata cukup menawan,
namun menurutnya agak mengerikan.
"Saya belum mengenal nama keluarga Anda," gumamnya.
"Cunningham. DR. Alice Cunningham. Saya dengar Anda sudah kenal Vera, sudah lama
sekali." "Kira-kira dua puluh tahun."
"Saya menganggapnya sebagai objek studi yang menarik," kata DR. Alice
Cunningham. "Tentu saja saya juga tertarik padanya karena dia ibu pria yang akan
saya nikahi, tetapi saya juga tertarik padanya secara profesional - sesuai profesi
saya." "Oh ya?" "Ya. Saya sedang menyiapkan buku tentang psikologi kriminal. Menurut saya,
kehidupan malam di sini amat menggairahkan. Ada sejumlah tipe kriminalis
tertentu yang secara teratur berkunjung kemari. Saya telah mendiskusikan
kehidupan masa lalu mereka, dengan beberapa orang di antara mereka. Tentu saja
Anda tahu tentang kecenderungan-kecenderungan kriminal dalam diri Vera... maksud
saya, apakah dia suka mencuri?"
"Mengapa" Ya... saya tahu itu," kata Poirot, agak kaget.
"Saya sendiri menyebut hal seperti itu Magpie complex. Dia selalu, seperti Anda
ketahui, mengambil benda-benda yang berkilau. Tak pernah uang. Selalu permata.
Saya telah menelitinya, dan ternyata ketika masih kanak-kanak dia selalu
dimanja, dituruti kemauannya, dan sangat dilindungi. Hidup baginya amat
membosankan - aman dan membosankan. Karakter seperti dia membutuhkan sesuatu yang
dramatis - dia mendambakan semacam hukuman. Itulah akar ketidakpeduliannya sebagai
pencuri. Dia mendambakan dirinya menjadi penting, penting dalam arti buruk
karena dihukum!" Poirot tidak sependapat, "Hidupnya dulu pasti tidak aman dan membosankan, karena
dia lahir dalam keluarga yang termasuk ancien r?gime di Rusia, golongan yang
digulingkan pada masa Revolusi."
Sekilas kesan geli terpancar dari mata Miss Cunningham yang biru pucat.
"Ah," katanya. "Anggota ancien r?gime" Apakah dia mengatakannya pada Anda?"
"Jelas sekali dia wanita ningrat," kata Poirot bersikeras, sementara dalam hati
ia berusaha keras menyingkirkan kenangan-kenangan masa lalu tentang beragam
pengalaman liar Countess di masa mudanya, yang diceritakan sendiri oleh wanita
itu. "Orang mempercayai apa yang ingin dipercayainya," Miss Cunningham berkomentar
sambil memandang pria itu dengan lagak psikolog berpengalaman.
Poirot ngeri. Tak lama lagi, ia menebak-nebak, pasti dirinya akan diberitahu
tentang complex yang dideritanya. Ia memutuskan melanjutkan "peperangan" itu. Ia
menikmati lingkungan sosial Countess Rossakoff, sebagian karena provenance-nya
yang aristokratik, dan dia tak ingin kenikmatannya itu dirusak oleh seorang
gadis berkacamata tebal, dengan sepasang mata yang melotot dan punya selembar
ijazah psikologi! "Tahukah Anda apa yang menurut saya luar biasa?" tanyanya.
Alice Cunningham tak sudi mengaku tidak tahu. Ia mengambil sikap seperti orang
yang bosan dan tak peduli.
Poirot melanjutkan, "Saya amat heran karena Anda - yang masih muda dan dapat
kelihatan manis dan menarik kalau Anda mau bersusah-susah sedikit - yah, saya amat
heran mengapa Anda tidak mau bersusah-susah! Anda mengenakan mantel berat dan
rok dengan saku besar-besar, seakan-akan Anda hendak main golf. Tapi bukan
hubungannya dengan permainan golf itu sendiri yang penting. Di sini, dalam ruang
bawah tanah yang cukup panas, hidung Anda berkilat karena keringat, tapi Anda
tidak menghapus keringat itu dan membedaki hidung Anda, lalu lipstik Anda itu jelas dioleskan dengan sembarangan, tanpa memperhatikan lekuk bibir Anda! Anda
seorang wanita, tapi Anda tidak berusaha menarik perhatian dan menyatakan bahwa
Anda wanita. Saya bertanya, 'Mengapa"' Sayang sekali...."
Selama beberapa saat Poirot puas melihat reaksi Alice Cunningham yang benarbenar manusiawi. Ia bahkan melihat mata gadis itu bersinar marah. Kemudian...
tak lama kemudian... Alice kembali menunjukkan sikapnya yang murah senyum,
senyum penuh maaf dan pengertian.
"M. Poirot yang baik," katanya, "saya rasa Anda tidak kenal ideologi modern.
Yang penting adalah segala sesuatu yang fundamental - bukan hal-hal di luar itu."
Gadis itu mendongakkan kepalanya ketika seorang pria tampan berkulit gelap
datang mendekat. "Ini dia, tipe makhluk yang amat menarik," katanya dengan penuh perasaan.
"Paul Varesco! Hidup dari para wanita dan mempunyai selera-selera yang aneh!
Saya ingin dia bercerita lebih banyak tentang pengasuhnya ketika dia baru
berumur tiga tahun."
Sesaat kemudian ia sudah berdansa dengan pria muda itu. Si pemuda berdansa
dengan anggun. Ketika mereka melewati meja Poirot, pria itu mendengar Alice
Cunningham berkata, "Dan sesudah liburan musim panas di Bognor dia memberimu
mainan burung bangau" Burung bangau... ya, itu sangat sugestif."
Selama beberapa saat Poirot membiarkan dirinya tenggelam dalam spekulasispekulasi Miss Cunningham. Ia berpendapat minat Miss Cunningham yang luar biasa
dalam menyelidiki berbagai tipe kriminalis, suatu hari kelak, akan membuat
tubuhnya yang sudah dirusak ditemukan orang di sebuah hutan yang sunyi. Poirot
tidak menyukai Alice Cunningham, tapi ia cukup jujur untuk mengakui alasan
ketidaksenangannya itu karena sedikit pun gadis itu tidak terkesan akan Hercule
Poirot! Harga diri Poirot terluka!
Kemudian ia melihat sesuatu yang sejenak membuatnya lupa akan Alice Cunningham.
Pada meja di seberang ruangan duduk seorang anak muda berambut pirang. Ia
mengenakan setelan jas yang mewah dan keseluruhan penampilannya mengesankan
hidupnya selalu santai dan penuh kesenangan. Di seberang anak muda itu, pada
meja yang sama, duduk seorang gadis kaya. Pemuda itu memandangi si gadis dengan
pandangan seperti orang tolol. Siapa pun yang melihat mereka mungkin akan
bergumam, "Orang kaya yang malas!" Tetapi Poirot tahu benar bahwa pemuda itu
bukan pemalas dan bukan orang kaya. Sesungguhnya ia adalah Inspektur Detektif
Charles Stevens, dan menurut Poirot, detektif itu pasti berada di situ dalam
urusan dinas.... II Keesokan harinya Poirot mengunjungi Scotland Yard, menemui kawan lamanya,
Inspektur Japp. Reaksi Japp akan pertanyaannya yang hanya serba menduga-duga sama sekali tak
disangka-sangka. "Dasar rubah tua!" kata Japp dengan hangat. "Bagaimana caranya kau selalu bisa
mengetahui semua urusan kami?"
"Tapi, sungguh, aku tak tahu apa-apa kali ini - sama sekali tidak! Aku hanya ingin
tahu." Japp berkata bahwa dalam hal itu Poirot pasti berbohong!
"Kau ingin tahu tentang tempat itu, Neraka itu" Yah, di permukaannya, tempat itu
hanyalah salah satu dari yang biasa-biasa saja. Salah satu dari tempat-tempat
semacam itu. Memang agak unik! Mereka pasti berhasil mengeruk uang banyak,
meskipun ongkos yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Wanita Rusia yang mengelola
tempat itu menyebut dirinya sebagai Countess Anu..."
"Aku kenal dengan Countess Rossakoff," tukas Poirot dengan suara dingin. "Kami
teman lama." "Tapi dia hanya boneka," lanjut Japp. "Bukan dia yang punya modalnya. Bisa jadi
pemiliknya justru si kepala pelayan, Aristide Papopolous - dia memang punya saham tapi menurut kami permainan ini juga bukan kelasnya. Singkatnya, kami sebenarnya
tak tahu, permainan siapa ini!"
"Dan Inspektur Stevens pergi ke sana untuk menyelidiki?"
"Ah, rupanya kau melihat Stevens, ya" Untung benar dia, punya tugas seperti ini
dan dibayar dengan uang dari para pembayar pajak! Sejauh ini dia sudah menemukan
bahwa dugaan kami terbukti benar."
"Menurutmu, apa yang bisa kita temukan di sana?"
"Obat bius! Perdagangan obat bius dalam skala raksasa. Dan obat bius itu tidak
dibayar dengan uang, melainkan dengan permata."
"Aha?" "Begitulah cara kerjanya. Lady Blank - alias Countess dari Negeri Antah-berantah sulit memperoleh uang tunai, dan dalam keadaan apa pun tidak berniat mengambil
uang dalam jumlah besar dari bank. Tapi dia punya permata - warisan keluarga!
Permata-permata itu diselundupkan ke suatu tempat untuk "dibersihkan" atau
"ditata ulang" - di tempat itu, permata-permata dicopoti dari bingkai emasnya, dan
diganti dengan yang palsu. Kemudian permata-permata tanpa bingkai atau kerangka
itu dijual di sini atau di Eropa Daratan. Semua lancar - tak ada perampokan, tak
ada ribut-ribut. Di lain pihak, cepat atau lambat akan ada yang mengeluh bahwa
tiara atau kalung milik mereka ternyata permatanya palsu. Lady Blank akan
bersikap polos, seperti orang tak bersalah yang ikut sedih mendengar keluhan
semacam itu - tak bisa membayangkan bagaimana dan kapan penukaran itu dilakukan sebab perhiasan-perhiasan itu tak pernah lolos dari tangannya. Akibatnya, para
polisi dikerahkan untuk melacak jejak yang salah dan menyesatkan, menanyai
pelayan-pelayan yang sudah dipecat majikannya, kepala-kepala pelayan yang
meragukan, atau para pembersih jendela yang mencurigakan.
"Tapi kami tidak setolol yang mereka kira! Ada sejumlah kasus yang muncul
berturutan - dan kami menemukan faktor yang sama - semua wanitanya ternyata
kecanduan obat bius - entah karena gampang gugup atau gampang marah - bibir
berkerut, pupil mata tak terkonsentrasi, dan seterusnya. Pertanyaannya adalah:
Dari mana mereka memperoleh obat bius itu dan siapa pengedarnya?"


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan jawabannya, menurutmu, adalah tempat itu... Neraka?"
"Kami yakin tempat itu kantor pusatnya. Kami telah menemukan tempat permatapermata itu ditukar - sebuah kantor yang disebut Golconda Ltd. - di permukaan cukup
terhormat - sangat terkenal dalam pembuatan permata tiruan yang bermutu tinggi.
Lalu ada seorang pria yang mencurigakan, namanya Paul Varesco - ah, rupanya kau
sudah tahu dia, ya?"
"Aku pernah melihatnya di Neraka!"
"Justru di sanalah kami ingin menemukannya - tempat yang benar-benar sesuai! Dia
seorang pria bejat - tetapi para wanita, bahkan mereka yang terhormat, semua
bertekuk lutut padanya! Dia punya hubungan tertentu dengan Golconda Ltd. dan aku
yakin, dialah sesungguhnya orang yang berdiri di balik Neraka. Tempat itu sangat
ideal untuk bisnisnya, semua orang pergi ke sana, wanita-wanita kalangan atas,
penjahat-penjahat profesional - sebuah tempat pertemuan yang sempurna."
"Menurutmu, pertukaran itu - permata dengan obat bius - dilakukan di sana?"
"Ya. Kami sudah tahu peranan Golconda - sisi permatanya. Kami ingin tahu sisi
lainnya - sisi obat biusnya. Kami ingin tahu siapa yang mensuplai obat bius itu
dan dari mana barangnya diperoleh."
"Dan kau sama sekali tak punya gagasan, siapa dan bagaimana?"
"Kuduga si wanita Rusia - tapi kami tak punya bukti. Beberapa minggu yang lalu
kami mengira telah mendapat jejak. Varesco pergi ke Golconda mengambil sejumlah
permata, dari sana ia langsung pergi ke Neraka. Stevens selalu mengamatinya,
tapi dia tak pernah memergokinya sedang mengedarkan barang itu. Ketika Varesco
pergi, kami menangkapnya - permata-permata itu tak ada padanya. Kami menggeledah
tempat itu, menggeledah setiap orang yang ada di sana! Hasilnya, tak ada obat
bius, tak ada permata!"
"Suatu fiasco, ya, kan?"
Japp tersenyum pahit. "Jangan menggurui! Bisa saja kami mendapat malu besar,
untunglah waktu itu kami berhasil menangkap Peverel di sana. Kau tahu, si
Pembunuh dari Battersea. Benar-benar nasib baik, seharusnya dia sudah melarikan
diri ke Skotlandia. Salah satu sersan yang jeli mengenalinya karena pernah
melihat fotonya. Jadi semua berakhir baik - kami cukup berhasil - dan kelab malam
itu menjadi semakin terkenal. Sejak itu, pengunjungnya semakin berlimpah!"
Poirot berkata, "Tapi itu bukan kemajuan yang berarti dalam kasus penyelidikan
obat bius ini. Barangkali di sana ada tempat rahasia untuk menyembunyikannya?"
"Pasti. Tapi kami tak bisa menemukannya. Kami sudah menyisirnya dengan teliti.
Dan ini hanya antara kita saja, kami juga sudah melakukan penggeledahan tak
resmi...." Japp mengedipkan matanya. "Ada sejumlah kasus pencurian dan
perampokan. Gagal juga. Orang kami hampir mati dicabik-cabik anjing besar yang
galak itu! Anjing itu tidur di sana."
"Aha, Cerberus?"
"Ya. Nama yang konyol untuk anjing - seperti nama merek sebungkus garam."
"Cerberus," gumam Poirot dengan penuh pemikiran.
"Cobalah mengulurkan bantuan pada kami, Poirot," usul Japp. "Kasus ini cukup
rumit dan pantas mendapat perhatianmu. Aku benci perdagangan obat bius, merusak
jiwa-raga manusia. Tempat itu memang neraka, menurutku!"
Poirot bergumam setengah melamun, "Ini akan melengkapi apa yang telah
kulakukan... ya. Tahukah kau apa Tugas Kedua Belas Hercules?"
"Entah." "Penangkapan Cerberus. Cocok sekali, kan?"
"Aku tak mengerti maksudmu, kawan, tapi ingat, 'Anjing Makan Manusia' bisa jadi
berita." Dan Japp pun duduk bersandar sambil tertawa terbahak-bahak.
III "Saya ingin bicara dengan Anda, dengan serius," kata Poirot.
Hari masih sore, kelab malam itu masih kosong. Countess dan Poirot duduk di
sebuah meja kecil dekat pintu.
"Apanya yang serius"!" protes wanita itu. "La petite Alice, dia selalu serius
dan, entre nous, menurutku itu membosankan. Kasihan Niki anakku, hidupnya pasti
akan membosankan." "Saya menyukai Anda lebih dari sekadar kawan biasa," lanjut Poirot dengan tegas.
"Dan saya tak ingin melihat Anda terlibat dalam kasus ini."
"Omonganmu sangat tidak masuk akal! Aku ada di puncak dunia, dan uang mengalir
begitu saja!" "Anda memiliki tempat ini?"
Sekilas mata Countess tampak tersinggung.
"Tentu saja," jawabnya.
"Tapi Anda punya mitra bisnis?"
"Siapa yang mengatakannya padamu?" tanya Countess dengan suara tajam.
"Apakah partner Anda Paul Varesco?"
"Oh! Paul Varesco! Tak masuk akal!"
"Dia punya catatan kriminal yang panjang. Sadarkah Anda bahwa banyak penjahat
yang berkunjung kemari?"
Countess tertawa keras. "Dasar bon bourgeois! Tentu saja aku tahu. Tidakkah kau tahu kehadiran mereka
justru menambah daya tarik tempat ini" Anak-anak muda dari kawasan Mayfair mereka sudah bosan melihat pemuda-pemuda seperti mereka dari kawasan West End.
Mereka datang kemari, mereka melihat para penjahat: pencuri, pemeras, penipu mungkin, bahkan pembunuh - orang yang minggu depan mungkin muncul di koran Minggu!
Itu amat menggairahkan - dan mereka mengira telah melihat gambaran kehidupan yang
sesungguhnya! Begitu pula pria-pria mapan yang sepanjang minggu melihat
knickers, stocking, dan korset! Ini suatu selingan yang menyenangkan, terbebas
dari kawan-kawan dan lingkungan mereka yang terhormat! Dan kemudian, ada hal
lain yang lebih menarik perhatian - itu di sana, yang sedang mengelus-elus
kumisnya - dia inspektur dari Scotland Yard - polisi yang mengenakan setelan jas
mahal!" "Jadi Anda telah tahu?" tanya Poirot halus.
Mata wanita itu bertatapan dengan mata Poirot, dan ia tersenyum.
"Mon cher ami, aku tidak setolol yang kaukira!"
"Apakah Anda juga mengedarkan obat bius di sini?"
"Ah, ?a, tidak!" tukas Countess dengan suara tajam. "Itu namanya kejahatan!"
Poirot memandang wanita itu beberapa saat lamanya, kemudian mendesah.
"Saya percaya," katanya. "Tapi, dalam hal ini, semakin penting jika Anda mau
mengatakan, siapa partner Anda yang juga menjadi pemilik tempat ini."
"Akulah pemiliknya," sahut wanita itu dengan ketus.
"Di atas kertas, ya. Tapi ada seseorang di balik Anda."
"Tahukah kau, mon ami, menurutku kau ini terlalu sangat ingin tahu. Benarkah dia
terlalu ingin tahu, Dou dou?"
Suara wanita itu merendah, seperti suara orang membujuk binatang, ketika ia
mengucapkan kata yang terakhir itu. Ia melemparkan tulang bebek dari piringnya
ke mulut anjing yang menganga mengerikan itu.
"Anda tadi memanggilnya apa?" tanya Poirot yang perhatiannya sudah teralihkan.
"C'est mon petit Dou dou!"
"Konyol sekali, nama anjing seperti itu!"
"Tapi dia sangat menyenangkan! Dia anjing polisi! Dia bisa melakukan apa saja...
apa saja... tunggu!"
Wanita itu bangkit berdiri, memandang sekelilingnya, lalu tiba-tiba menarik
sebuah piring berisi steak yang kelihatan lezat, yang baru saja diletakkan di
meja di dekat situ. Ia menyeberangi jembatan marmer lalu meletakkan sepiring
steak itu di depan si anjing, dan pada saat yang sama menggumamkan kata-kata
dalam bahasa Rusia. Cerberus menatap lurus ke depan. Ia sama sekali tak peduli pada steak itu.
"Lihat! Dan ini tidak hanya selama beberapa menit! Tidak, dia bisa tahan duduk
seperti itu, kalau perlu berjam-jam!"
Kemudian wanita itu menggumamkan sejumlah kata, dan secepat kilat Cerberus
melengkungkan lehernya yang panjang dan - seakan seperti permainan sulap - steak di
piring tadi langsung lenyap.
Vera Rossakoff memeluk anjing itu dan merengkuhnya dengan penuh sayang. Ia harus
berjinjit untuk melakukannya.
"Lihat, dia ramah dan baik, kan?" serunya. "Padaku, pada Alice, pada kawankawannya - mereka semua bisa menyuruhnya melakukan apa saja! Tinggal mengucapkan
sepatah kata... dan... terjadilah keajaiban itu! Kuperingatkan, kalau
diperintah, dia bisa saja mencabik-cabik seorang... hmm, inspektur polisi,
misalnya, menjadi serpih-serpih kecil! Ya, serpih-serpih kecil!"
Wanita itu tertawa keras.
"Aku hanya tinggal mengucapkan satu kata...."
Cepat-cepat Poirot menyela. Ia tidak bisa menangkap nada bergurau dalam suara
Countess. Nyawa Inspektur Stevens mungkin dalam bahaya.
"Profesor Liskeard ingin bicara dengan Anda."
Profesor Liskeard berdiri tak sabar di samping wanita itu.
"Anda mengambil steak saya," keluhnya. "Mengapa Anda mengambil steak saya" Itu
steak yang enak." IV "Kamis malam, kawan," kata Japp. "Itu saat yang tepat. Tentunya ini sasaran si
Andrew - Pasukan Anti-Narkotika - tapi dia pasti senang jika tahu kau ikut menangani
kasus ini. Tidak, terima kasih, aku tak sudi minum siropmu yang aneh-aneh
rasanya. Aku harus menjaga perutku. Itu wiski, ya, yang di sana itu" Itu lebih
cocok bagiku." Sambil mencopot kacamatanya, ia melanjutkan, "Rasanya kita telah berhasil
memecahkan masalah ini. Memang ada jalan keluar lain di kelab malam itu - dan kami
telah menemukannya!"
"Di mana?" "Di balik panggangan. Sebagian dindingnya bisa diputar."
"Tapi kau pasti akan melihat..."
"Tidak, kawan. Ketika serangan dilakukan, lampu-lampu dipadamkan - dari pusatnya dan untuk menyalakannya kembali, kami butuh waktu satu-dua menit. Tak ada yang
lolos dari pintu depan, karena pintu itu diawasi dengan ketat. Tetapi jelas
orang bisa menyelinap keluar dan membawa barang itu lewat pintu rahasia itu.
Kami sudah memeriksa rumah di belakang kelab malam ini - itu sebabnya kami secara
tak sengaja menemukan pintu rahasia itu."
"Dan menurutmu, apa yang akan kita lakukan?"
Japp mengedipkan matanya.
"Biarkan semua berjalan sesuai rencana - polisi masuk, lampu-lampu padam - dan
seseorang sudah menunggu di balik pintu rahasia itu, untuk melihat siapa dan apa
yang akan muncul di sana. Kali ini kami pasti berhasil!"
"Mengapa harus Kamis?"
Sekali lagi Japp mengedipkan matanya.
"Kami berhasil menyadap Golconda dengan baik sekarang. Ada barang yang akan
diedarkan di sana pada hari Kamis. Batu-batu zamrud milik Lady Carrington."
"Apakah akan kauizinkan jika aku," kata Poirot, "juga melakukan beberapa
persiapan?" V Sambil duduk di meja langganannya di dekat pintu, hari Kamis malam itu Poirot
memandang sekelilingnya dengan mata awas. Seperti biasa, Neraka penuh sesak
dengan para pengunjung. Dandanan Countess lebih istimewa, lebih dari biasanya. Gayanya malam ini sangat
berbau Rusia; berkali-kali bertepuk tangan dan tertawa keras-keras. Paul Varesco
telah datang. Kadang-kadang ia mengenakan setelan jas malam yang mahal, kadangkadang, seperti malam ini, ia memilih mengenakan pakaian seperti koboi, yaitu
jaket ketat dan scarf melilit leher. Ia kelihatan berbahaya sekaligus penuh daya
tarik. Setelah membebaskan diri dari pelukan seorang wanita setengah baya yang
mengenakan berbagai perhiasan berlian secara mencolok, ia membungkuk ke arah
Alice Cunningham yang sedang sibuk menulis sesuatu di buku catatannya. Ia
mengajak gadis itu berdansa. Wanita tadi itu memandang Alice dengan sengit, lalu
memandang Varesco dengan pandangan memuja.
Tak ada kesan kagum dari mata Miss Cunningham. Mata itu bersinar-sinar, namun
itu hanya menunjukkan minatnya yang murni bersifat ilmiah. Poirot mendengar
percakapan mereka - sepatah-sepatah - bila mereka melewati mejanya. Alice Cunningham
telah selesai menyelidiki guru pengasuh Varesco, dan kini sedang menyelidiki
pengasuhnya waktu Paul masuk ke taman kanak-kanak.
Ketika musik berhenti, gadis itu duduk dekat Poirot. Ia tampak gembira dan penuh
semangat. "Sangat menarik," kata Alice Cunningham. "Varesco akan menjadi salah satu kasus
yang paling penting dalam buku saya. Simbolismenya jelas sekali. Ada masalah
dengan rompinya - sebab rompi itu mengacu kepada kemeja rambut dan segala
asosiasinya - dan dengan begitu seluruh masalahnya menjadi jelas. Anda mungkin
mengatakan dia tipe kriminalis sejati, tetapi usaha penyembuhan bisa kita
lakukan...." "Bahwa dirinya bisa membuat keajaiban," tukas Poirot, "itu selalu menjadi ilusi
kaum wanita!" Alice Cunningham memandangnya dengan pandangan dingin.
"Tak ada yang bersifat pribadi dalam hal ini, M. Poirot."
"Tak pernah ada," kata Poirot. "Selalu merupakan altruisme murni - tapi objeknya
biasanya lawan jenis yang menarik. Apakah Anda tertarik, misalnya, pada di mana
saya dulu bersekolah, atau bagaimanakah sikap pengasuh saya pada saya?"
"Anda bukan tipe kriminalis," kata Miss Cunningham.
"Apakah Anda langsung tahu tipe-tipe kriminalis bila melihat mereka?"
"Tentu saja." Profesor Liskeard datang bergabung. Ia duduk dekat Poirot.
"Anda sedang membicarakan tipe-tipe kriminalis" Anda harus mempelajari hukum
kriminal kepunyaan Hammurabi, M. Poirot. Tahun 1800 Sebelum Masehi. Sangat
menarik. Seseorang yang tertangkap sedang mencuri ketika ada kebakaran harus
dilemparkan ke dalam api."
Dengan pandangan puas ia menatap ke arah panggangan di ujung ruangan.
"Lalu masih ada hukum-hukum Sumeria yang lebih kuno. Jika seorang istri membenci
suaminya dan berkata padanya, 'Kau bukan suamiku,' wanita itu harus dilemparkan
ke dalam sungai. Lebih murah dan lebih mudah daripada ongkos perceraian secara
hukum. Tapi jika seorang suami mengatakan hal yang sama kepada istrinya, ia
cukup membayar istrinya dengan sejumlah perak. Sebagai lelaki ia takkan
dilemparkan ke dalam sungai."
"Cerita yang itu-itu saja," komentar Alice Cunningham. "Ada satu hukum untuk
kaum lelaki, dan satu lagi untuk kaum wanita."
"Para wanita, tentu saja, jauh lebih bisa menghargai nilai uang," kata Profesor
Liskeard penuh pemikiran. "Anda tahu," tambahnya, "saya menyukai tempat ini.
Hampir tiap malam saya kemari. Saya tak perlu membayar. Countess yang
mengaturnya begitu - dia sangat baik pada saya. Katanya, itu karena saya telah
berjasa membantu menyumbangkan gagasan untuk dekorasi tempat ini. Padahal
sesungguhnya tak ada hubungannya secara langsung dengan diri saya - saya tak tahu
untuk apa dia bertanya-tanya pada saya - dan tentu saja dia dan pelukisnya telah
keliru menafsirkan keterangan saya. Saya harap tak ada yang mengira saya punya
sedikit - amat sedikit - andil dalam pembangunan tempat ini. Saya takkan tahan kalau
ada yang tahu. Tapi dia wanita yang luar biasa... seperti wanita Babylonia,
menurut saya. Wanita-wanita Babylonia banyak yang sukses sebagai pengusaha...."
Suara Profesor Liskeard tenggelam dalam "koor" yang tiba-tiba dengan keras
menyuarakan satu kata, "Polisi." Wanita-wanita bangkit berdiri dengan ribut.
Lampu-lampu padam, begitu pula panggangan listrik itu.
Seakan tidak peduli akan sekitarnya, suara Profesor Liskeard tetap terdengar bernada rendah - menyuarakan kutipan-kutipan hukum Hammurabi.
Ketika lampu menyala lagi, Hercule Poirot sudah berada di tengah-tengah tangga
yang menuju ke atas. Polisi-polisi yang bertugas menjaga pintu memberinya
hormat, dan Poirot melewati mereka, turun ke jalan, lalu membelok di ujung
jalan. Tepat di balik tikungan, merapat ke dinding, ada seorang laki-laki
berhidung merah dan berpenampilan kumal serta bau. Lelaki itu bicara, suaranya
terdengar cemas dan serak berbisik.
"Saya di sini, guv'nor. Sudah waktunya saya melakukan tugas saya?"
"Ya. Cepat." "Banyak sekali polisi di sekitar sini!"
"Tak apa-apa. Mereka sudah tahu tentang kau."
"Saya harap mereka tidak akan mengganggu."
"Mereka takkan mengganggu. Kau yakin akan bisa mengerjakan tugas-tugas itu"
Binatang itu sangat besar dan galak."
"Dia takkan galak pada saya," kata lelaki kecil itu dengan penuh keyakinan.
"Tidak, karena sesuatu yang saya bawa ini! Anjing apa pun akan mengikuti saya
masuk ke neraka karena benda ini!"
"Dalam hal ini," gumam Hercule Poirot, "dia harus mengikutimu keluar dari
neraka!" VI Pagi-pagi buta, telepon berdering. Poirot mengangkat gagangnya.
Terdengar suara Inspektur Japp.
"Kau tadi menyuruhku menelepon."
"Ya, memang. Eh bien?"
"Tak ada obat bius - kami berhasil memperoleh batu-batu zamrud itu."


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana?" "Di saku Profesor Liskeard."
"Profesor Liskeard?"
"Kau juga kaget, kan" Terus terang, pikiranku buntu! Dia pun kelihatan kaget
sekali, seperti bayi yang tak bersalah. Dia hanya menatap permata-permata itu,
dan mengatakan tak tahu bagaimana caranya sampai barang-barang itu ada di
sakunya. Sialnya, aku percaya apa yang dikatakannya itu benar! Dengan mudah
Varesco bisa menyelipkannya ke dalam sakunya, waktu lampu padam. Aku tak bisa
melihat alasan mengapa orang tua seperti Liskeard bisa terlibat dalam kasus
seperti ini. Dia anggota masyarakat yang sangat terhormat, juga punya hubungan
baik dengan British Museum! Dia hanya membelanjakan uangnya untuk membeli buku,
buku-buku loakan yang sudah jamuran. Tidak, dia bukan tokoh yang cocok. Aku
mulai berpikir-pikir, jangan-jangan kita ini keliru - mungkin memang tak pernah
ada obat bius yang diedarkan di sana."
"Oh ya, ada, kawan... ada di sana tadi malam. Apakah ada orang yang keluar lewat
pintu rahasia?" "Ya, Prince Henry of Scandenberg dan pengawalnya - dia baru tiba di Inggris
kemarin. Vitamian Evans, Menteri Kabinet. Jabatan yang panas - menjadi menteri
dari Partai Buruh - harus sangat hati-hati! Orang takkan keberatan jika ada
pejabat dari Partai Tory menghambur-hamburkan uang, karena para pembayar pajak
menganggap itu uang mereka sendiri! Begitulah kata orang. Lady Beatrice Viner
yang paling belakang - lusa dia akan menikah dengan Duke of Leominster. Kurasa
orang-orang seperti mereka takkan terlibat dalam kasus ini."
"Kau benar. Namun, obat bius itu tadinya memang ada di sana, dan seseorang telah
membawanya keluar dari sana."
"Siapa?" "Aku, mon ami," jawab Poirot dengan halus.
Diletakkannya gagang telepon, menghentikan umpatan-umpatan Japp, ketika ia
mendengar bel pintu berbunyi. Poirot membukakan pintu dan Countess Rossakoff
masuk dengan penuh gaya. "Seandainya kita belum terlalu tua, sayang sekali, pasti semua akan lebih
mengesankan!" wanita itu berseru. "Aku datang seperti yang kauperintahkan dalam
surat singkat itu. Kurasa, ada polisi yang membuntutiku, tapi biar saja dia
berdiri di jalanan. Dan sekarang, kawan, ada apa?"
Dengan sikap sopan seorang gentleman sejati, Poirot membukakan mantel bulu
wanita itu. "Mengapa Anda masukkan permata-permata itu ke saku Profesor Liskeard?" desaknya.
"Ce n'est pas gentille, ce que vous aves fait la!"
Mata Countess terbelalak.
"Oh, tadinya kukira telah kumasukkan ke sakumu!"
"Oh, ke saku saya?"
"Tentu saja. Cepat-cepat aku berjalan ke arah meja yang biasa kaududuki - tapi
lampu-lampu padam dan secara tak sengaja barang itu kumasukkan ke saku Profesor
Liskeard." "Dan mengapa Anda ingin menyembunyikan permata curian di dalam saku saya?"
"Tampaknya - aku harus berpikir cepat, aku harus mencari jalan terbaik!"
"Really, Vera, Anda sudah tak dapat diperbaiki!"
"Tapi, kawan, coba pikir! Polisi datang, lampu-lampu padam (kita sudah sepakat,
kan, dalam hal ini - supaya para tamu tidak kehilangan muka") dan sebuah tangan
mencoba merampas tasku dari atas meja. Aku berhasil merebutnya kembali, tapi di
balik beludru aku merasa ada sesuatu yang keras di dalam tasku. Kurogoh, dan
sekali sentuh aku langsung tahu itu permata dan aku pun langsung tahu, siapa
yang meletakkannya ke dalam tasku!"
"Oh ya?" "Tentu saja aku tahu! Si salaud! Si kadal, si monster, si muka dua, si lidah
bercabang, ular beludak yang licik, Paul Varesco!"
"Pria yang menjadi partner Anda di Neraka?"
"Ya, ya, dialah pemilik sesungguhnya, dia yang punya modalnya. Sampai saat ini
aku tidak pernah mengkhianatinya - aku bisa setia dan dipercaya! Tapi, setelah dia
berusaha mencelakakan aku, setelah menjebakku dan berusaha menjebloskan aku ke
tangan polisi... ah! Huh! Saat ini juga akan kuludahkan namanya... ya,
kuludahkan namanya!"
"Tenang... tenang," kata Poirot, "ikut saya ke ruang sebelah."
Poirot membuka pintu. Ruangan di baliknya saat itu seakan-akan penuh dengan
ANJING. Di ruangan yang luas di Neraka Cerberus sudah tampak seperti anjing
raksasa, apalagi di situ. Dalam ruang makan kecil di apartemen Poirot, seakan
tak ada benda atau makhluk lain di dalamnya kecuali Cerberus. Namun, ternyata
lelaki kecil bertampang lusuh itu ada pula di sana.
"Kami berada di sini sesuai perintah Anda, guv'nor," kata laki-laki kecil itu
dengan suara parau. "Dou dou!" jerit Countess. "Sayangku, Dou dou!"
Cerberus memukul-mukul lantai dengan ekornya... tapi ia sendiri tak bergerak.
"Mari saya perkenalkan, Mr. William Higgs," seru Poirot, mengatasi entakan ekor
Cerberus yang menggelegar. "Seorang ahli dalam bidangnya. Ketika terjadi
brouhaha semalam," lanjut Poirot, "Mr. Higgs membujuk Cerberus untuk
mengikutinya keluar dari Neraka."
"Anda berhasil membujuknya?" Countess terbelalak menatap lelaki kumal bertampang
seperti tikus itu. "Tapi... bagaimana caranya" Bagaimana?"
Mr. Higgs menundukkan matanya dengan malu-malu.
"Rasanya tak pantas mengatakannya di depan wanita. Tapi ada satu hal yang setiap
anjing takkan mungkin tahan. Anjing apa pun akan mengikuti perintah saya, kalau
saya inginkan. Tentu saja Anda tahu, kalau anjingnya betina - akal itu takkan
berhasil... tidak, karena mereka berbeda."
Countess Rossakoff berpaling pada Poirot.
"Tapi mengapa" Mengapa?"
Poirot berkata lambat-lambat, "Seekor anjing yang terlatih untuk menaati
perintah-perintah tertentu akan mengatupkan mulutnya, mengulum sesuatu benda,
sampai dia diperintahkan untuk membuang benda itu. Kalau perlu, dia akan terus
mengatupkan mulutnya selama berjam-jam. Sekarang, perintahkan anjing Anda untuk
membuka mulutnya." Vera Rossakoff terbelalak, berbalik badan, lalu menggumamkan dua patah kata.
Rahang Cerberus yang perkasa membuka. Kemudian, sungguh mengejutkan, lidah
Cerberus seakan-akan jatuh keluar dari mulutnya....
Poirot melangkah maju. Ia mengambil sebuah bungkusan kecil, yang dikuatkan
dengan kantong dari karet halus berwarna merah jambu. Ia membukanya. Di dalamnya
ada serbuk putih. "Apa itu?" tanya Countess dengan suara tajam.
Poirot berkata dengan halus, "Kokain. Jumlahnya tidak terlalu banyak,
kelihatannya... tapi harganya bisa ribuan pound... bagi mereka yang bersedia
membayar untuk memperolehnya.... Cukup banyak untuk merusak dan menghancurkan
hidup beberapa ratus orang...."
Countess Rossakoff berseru tertahan. Ia menjerit, "Dan kaupikir aku yang... tapi
itu tidak benar! Aku berani sumpah, bukan aku yang melakukannya! Dulu memang aku
suka menyenang-nyenangkan diriku dengan mencuri permata, bibelots, hanya karena
ingin tahu - membuat hidup jadi bergairah, kau pasti mengerti. Dan apa yang
kurasakan adalah, mengapa tidak" Mengapa ada orang yang punya lebih dari yang
lain?" "Persis perasaan saya terhadap anjing," sela Mr. Higgs.
"Anda tak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar," kata Poirot pada
Countess Rossakoff dengan sedih.
Wanita itu melanjutkan, "Tapi obat bius... tidak! Karena itu mengakibatkan orang
menderita, kehilangan kendali atas dirinya, merendahkan martabat! Entah dengan
cara bagaimana - aku tak tahu... sama sekali tidak tahu... bahwa restoranku yang
menyenangkan, yang tak bersalah, yang menarik, Neraka, ternyata digunakan untuk
hal-hal semacam itu!"
"Saya sependapat dengan Anda tentang obat bius ini," kata Mr. Higgs. "Membius
anjing greyhound... itu praktek yang kotor! Saya takkan pernah berbuat seperti
itu, takkan pernah!"
"Tapi, katakan kau percaya padaku, kawan," bujuk Countess.
"Tentu saja saya percaya pada Anda! Bukankah saya sudah bersusah payah mencari
cara untuk menjebak pengedar obat bius yang sesungguhnya" Bukankah saya sudah
menyelesaikan Tugas Kedua Belas Hercules dengan mengeluarkan Cerberus dari
neraka untuk memberi bukti" Sebabnya, saya tak ingin kawan saya dijebak... ya,
dijebak... sebab Anda yang akan dijadikan kambing hitam jika sesuatu terjadi dan
rencana mereka gagal! Dalam tas tangan Anda-lah polisi akan menemukan batu-batu
zamrud itu, dan jika ada orang yang cukup pandai, seperti saya, yang akan
mencurigai mulut seekor anjing galak sebagai tempat menyembunyikan sesuatu... eh
bien, dia anjing Anda, ya, kan" Bahkan kalaupun Cerberus telah menerima la
petite Alice dengan baik dan bersedia mematuhi perintahnya!
"Ya, sebaiknya Anda membuka mata lebar-lebar! Sejak semula saya membenci gadis
itu, dengan istilah-istilah ilmiahnya, dengan mantel dan rok yang penuh sakusaku besar. Ya, saku-saku besar! Rasanya tidak alamiah jika ada gadis yang mau
berpenampilan seperti itu! Dan... apa yang dikatakannya pada saya" Yang penting
fungsinya! Aha! Yang penting adalah fungsi saku-saku itu. Saku-saku yang bisa
digunakannya untuk menyembunyikan obat bius dan permata - tukar-menukar barang
dapat dilakukan dengan mudah, sementara dia berdansa dengan komplotannya, yang
pura-pura dianggapnya sebagai objek studinya. Ah, penyamaran yang luar biasa!
"Orang takkan mencurigai seorang psikolog muda yang penuh semangat, dengan gelar
akademis dan kacamata tebal. Dia bisa menyelundupkan obat bius, dan mempengaruhi
pasien-pasiennya yang kaya sehingga mereka kecanduan. Uang hasil perdagangan
gelap itu ditanamkan dalam usaha kelab malam, dan dengan sengaja diatur agar
tempat ini dikelola seorang wanita yang punya... kalau saya boleh
mengatakannya... masa lalu yang kurang bersih!
"Sayangnya dia meremehkan Hercule Poirot. Dia mengira dapat membuat Hercule
Poirot terkesan dengan omongannya tentang para pengasuh dan rompi! Eh bien, saya
siap menghadapinya. Lampu-lampu padam. Dengan cepat saya berdiri dan melangkah
ke dekat Cerberus. Dalam kegelapan saya mendengar dia mendekat. Gadis itu
membuka mulut Cerberus dan memasukkan paket kecil ini, dan saya... dengan hatihati, tanpa diketahuinya, menggunting sesobek kecil dari lengan bajunya, dengan
sebuah gunting kecil."
Dengan gaya dramatis dikeluarkannya sobekan kain itu.
"Lihat sendiri... rok wol kotak-kotak yang persis sama... dan akan saya berikan
pada Japp untuk dicocokkan dengan sisanya - dan dia akan menangkap gadis itu...
dan sekali lagi berkomentar bahwa Scotland Yard sungguh cerdik."
Countess Rossakoff memandang kawannya dengan terkagum-kagum. Tiba-tiba ia
menjerit keras, suaranya seperti lengkingan sangkakala.
"Tapi Niki... Niki putraku. Ini pukulan berat baginya..." Ia berhenti sejenak.
"Atau, menurutmu tidak apa-apa?"
"Ada banyak gadis lain di Amerika," kata Hercule Poirot.
"Tapi, ibunya akan masuk penjara, karena kau - masuk penjara - dengan rambut
digunduli... duduk dalam sel sempit... dan menghirup bau obat pembersih lantai!
Ah, tapi kau memang luar biasa... sangat mengagumkan!"
Ia mendesak ke depan dan langsung memeluk Poirot erat-erat, dengan gairah wanita
Slavonia. Mr. Higgs memandang mereka berdua dengan pandangan menyetujui.
Cerberus mengentak-entakkan ekornya ke lantai.
Di tengah-tengah suasana seperti itu, terdengar bel pintu berdering.
"Japp!" seru Poirot sambil melepaskan diri dari pelukan Countess Rossakoff.
Wanita itu menyelinap ke balik pintu penghubung. Poirot melangkah ke pintu yang
membuka ke lorong. "Guv'nor," desis Mr. Higgs dengan cemas, "lihat diri Anda di kaca dulu!"
Poirot melakukannya dan terkejut. Lipstik dan maskara menghiasi wajahnya,
membentuk lukisan yang aneh.
"Kalau dia Mr. Japp dari Scotland Yard, dia akan menduga yang tidak-tidak...
pasti," kata Mr. Higgs.
Ia menambahkan, ketika sekali lagi bel pintu berdering dan Poirot dengan
tergesa-gesa berusaha menghapus setitik warna ungu tua dari ujung kumisnya, "Apa
yang harus saya lakukan" Bagaimana dengan anjing Neraka ini?"
"Kalau aku tak salah ingat," kata Hercule Poirot, "Cerberus kembali ke Neraka."
"Terserah Anda," kata Mr. Higgs. "Terus terang, saya amat tertarik padanya...
tapi, dia bukan tipe anjing favorit saya... tidak untuk memilikinya secara
permanen... terlalu mencolok mata - kalau Anda tahu maksud saya. Lagi pula,
makanannya pasti menghabiskan banyak uang, daging sapi dan daging kuda! Mungkin
jatah makannya sebanyak seekor singa muda."
"Mulai Singa dari Nemea sampai ke Penangkapan Cerberus," gumam Poirot. "Tugas
saya sudah selesai."
VII Seminggu kemudian Miss Lemon menyerahkan surat tagihan kepada majikannya.
"Maafkan saya, M. Poirot. Apakah saya harus membayar tagihan ini" Leonora,
Florist. Mawar Merah. Sebelas pound, delapan shilling dan enam pence. Dikirimkan
kepada Countess Vera Rossakoff, Neraka, 13 End St., W.C.I."
Seperti warna mawar merah, begitulah saat itu pipi Hercule Poirot. Wajahnya
memerah, makin memerah, bahkan matanya pun tampak memerah.
"Memang benar, Miss Lemon. Hadiah kecil... eh, suatu penghargaan... karena
sesuatu hal. Putra Countess baru saja bertunangan di Amerika... dengan putri
majikannya, raja baja. Mawar merah... seingat saya... adalah bunga kesayangan
Countess Rossakoff."
"Oh, begitu," gumam Miss Lemon. "Pada musim seperti sekarang, mawar merah amat
mahal." Hercule Poirot langsung bersikap tegas.
"Ada saat-saat," katanya, "ketika kita tidak harus menghemat."
Sambil menggumamkan nada sebuah lagu, Hercule Poirot pergi ke luar. Langkahlangkahnya ringan, seakan-akan melompat-lompat. Miss Lemon terbelalak,
menatapnya dari belakang. Ia sama sekali lupa akan sistem file-nya. Seluruh
insting kewanitaannya tergelitik.
"Ya Tuhan," gumamnya. "Heran aku... sungguh... padahal umurnya sudah tua! Apa
iya...." Scan & DJVU: k80 Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
Gerombolan Bidadari Sadis 3 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pusaka Pulau Es 4

Cari Blog Ini