Ceritasilat Novel Online

Gerombolan Bidadari Sadis 3

Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis Bagian 3


Leak Parang duduk di samping tubuh yang terkubur ini. Ia bersila dan pejamkan mata beberapa saat lamanya. Tanah yang
dipakai mengubur sebagian tubuh Bujang Lola itu tiba-tiba menjadi hangat, namun
sepertinya tanah itu juga keluarkan air berlendir. Air itu terasa merayapi
sekujur tubuh yang terkubur. Perih rasanya, sehingga Bujang Lola merintih
berkepan- jangan. Beberapa waktu kemudian, Leak Parang menghantamkan telapak tangan kanannya ke tanah.
Buuhg...! Dan tubuh Bujang Lola yang terkubur itu
mental ke atas, keluar dari lubang kuburnya. Seolaholah ada suatu tenaga yang melemparkan tubuhnya
dari dasar bumi, membuat tubuh itu melayang beberapa saat dengan suara teriakan keras dari mulut Bujang Lola yang ketakutan. Kemudian tubuh tersebut
jatuh ke tanah dalam keadaan terkulai dan terengahengah. Bruuk...!
"Pulanglah! Jaga pondok, dan jangan ke manamana sebelum aku datang! Kalau aku datang kau tidak ada di pondok, ku hukum kau sampai lumpuh seluruh tubuh mu!"
"Baik, Guru...!"
"Jangan panggil aku guru!" sentak Leak Parang.
"Ba... baik, Ki Leak!" Bujang Lola mengangguk dengan rasa takut. Tapi ia kembali
perdengarkan suaranya, "Kalau boleh saya tahu, Ki Leak mau pergi ke mana?"
Dengan nada bijak Leak Parang menjawab,
"Aku ingin menemui seseorang yang bernama Nyai Kubang Darah untuk suatu
keperluan penting. Jika dalam satu purnama aku tak pulang, itu berarti aku mati di perjalanan! Siapa pun
tak perlu mencari mayatku!"
"Bagaimana jika pihak keluarga Ki Leak Parang
yang menanyakannya" Apa yang harus saya katakan
kepada mereka?"
"Sebelum satu purnama, jika pihak keluargaku
ada yang bertanya, katakan. bahwa aku sedang pergi
bertapa. Tapi jika lewat satu purnama, katakan bahwa
aku telah mati bersama Nyai Kubang Darah!"
"Maksudnya...." Bujang Lola tak jadi lanjutkan kata. Leak Parang sudah lebih
dulu lenyap dalam satu
sentakan kaki ke tanah. Kepergiannya menyerupai
hembusan angin kencang yang tak bisa diikuti oleh
pandangan mata. Bujang Lola yang telah merasa sehat
dan tubuhnya tidak retak-retak seperti tadi itu, hanya terbengong melompong
memperhatikan kepergian Leak
Parang. Tetapi ia segera tersenyum melihat tubuhnya
kotor berlumur cairan hitam menyerupai kubangan
yang amat kotor dan bau itu. Bujang Lola tertawa geli sendiri memperhatikan
keadaan tubuhnya. Lalu segera
pergi mencari sungai untuk membersihkan badannya
yang bau busuk itu.
"Oh, iya...! Aku lupa untuk membicarakan tentang Kencana Ratih. Seharusnya tadi kutanyakan apakah Ki Leak Parang punya keponakan yang bernama
Kencana Ratih" Jika kelak Ki Leak Parang merasa tidak mempunyai keponakan yang bernama Kencana
Ratih, berarti gadis cantik itu benar-benar orang Gua Bidadari yang kukenal
dengan nama Pinjung Dara! Ta-pi, orang bertopeng merah yang melemparkan senjata
Bunga Neraka itu adalah Dewi Sukesi. Jika benar Kencana Ratih orang Partai Gadis Pujaan, mengapa ia
menjadi berang dan mengejar Dewi Sukesi?"
Apakah benar Topeng Merah kali ini adalah
Dewi Sukesi" Hal itulah yang ingin dibuktikan oleh Yo-ga dalam pengejarannya.
Rupanya Topeng Merah
mempunyai cara sendiri untuk melarikan diri. Ia
mempunyai tempat-tempat untuk bersembunyi, sehingga pengejarnya sering kehilangan arah dalam
memburunya. Bahkan arah pelariannya pun cukup
membingungkan, kadang ke timur, kadang ke utara,
kadang ke selatan, ada kalanya ke barat. Sepertinya ia sengaja membuat
pengejarnya tak bisa memastikan
arah pelariannya. Topeng Merah tampak sengaja supaya tidak bisa diterka ke mana arah tujuannya yang
pasti. Namun tiba-tiba kaki Topeng Merah yang menyentak ke tanah dalam berlari itu terhantam oleh
benda keras yang tidak begitu besar. Kaki itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan
dan ia pun jatuh tersungkur. Bruuss...! Benda yang membentur kakinya itu tak
lain adalah sebatang ranting kering yang dilemparkan
seseorang dari arah samping. Tentu saja ranting itu
mempunyai aliran tenaga dalam sehingga dapat membuat kaki tersentak ke samping dan jatuh.
Topeng Merah tidak mau terpaku dari jatuhnya,
ia cepat sentakkan tangannya dan tubuhnya melenting
ke atas bersalto satu kali. Dengan sigap kembali ia
menapakkan kedua kakinya ke tanah dan memandang
sekelilingnya. Lalu gerakan mata memandang itu terhenti pada sisi sebelah kanannya. Seseorang telah
berdiri di sana dengan mengenakan pakaian longgar
warna biru dan rompi ketat yang terkancing rapat
warna merah. Dia adalah seorang gadis yang cantik
dan berambut poni, wajah mungil, bibir pun tampak
mungil. Lembayung Senja, itulah orang yang mengusik
pelarian Topeng Merah. la bersama Lili, si Pendekar
Rajawali Putih, mencari kepergian Yoga untuk mendesak Pendekar Rajawali Merah itu agar mengaku siapa
orang yang ada di balik Topeng Merah selama ini. Mereka berpencar dalam mencari Yoga. Tapi ternyata justru Lembayung Senja melihat kelebatan seseorang
yang mengenakan pakaian serba merah dan bertutupkan wajah sebuah topeng setan berwajah merah
pula. Karena itu Lembayung Senja yang berpihak pada
Lili itu segera serukan kata di depan manusia bertopeng merah itu,
"Pucuk di cinta ulam pun tiba! Susah-susah
mendesak Yoga untuk menyebutkan siapa sebenarnya
manusia di balik topeng merah itu, ternyata aku sudah temukan sendiri biang
keladinya!"
Topeng Merah melangkah dekati Lembayung
Senja dengan sikap beringas. Ia telah mengepalkan kedua tangannya dan berhenti dalam jarak lima tindak
dari depan Lembayung Senja.
"Apa perlumu mengganggu perjalananku,
hah"!" sentaknya dengan suara tak bisa lantang karena tertutup topeng.
"Bukalah topengmu! Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya, setelah itu cepatlah pergi. Aku tak akan mengganggumu lagi!"
"Apa urusanmu dengan topeng ini"!"
"Hanya rasa penasaran saja; karena selama ini
kau selalu bersembunyi di balik topeng iblismu itu!"
"Aku tidak bersedia membuka topeng ku! Lantas kau mau apa"!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu! Atau,
kubuka sendiri topengmu dengan pedangku ini"!"
Sreet...! Lembayung Senja yang sudah tidak lagi
bersenjata cambuk melainkan pedang itu, segera mencabut pedangnya dan bersikap membuka pertarungan.
Ia melangkah ke samping dengan pedang siap ditebaskan atau di hujamkan ke tubuh lawan, jika sewaktu-waktu lawan mendekat. Tetapi agaknya Topeng Merah tidak mau lama-lama melayani orang yang tak dikenalnya itu. Wuuut...! Satu sentakan tangan melepaskan
cahaya merah sebesar bola bekel. Cahaya merah itu
melesat cepat, terbang ke arah Lembayung Senja. Dengan cepat pula Lembayung Senja menghindar dengan
cara bersalto ke belakang satu kali. Wuuut...!
Blaar...! Cahaya merah sebesar bola bekel itu
menghantam pohon, dan pohon itu pecah seketika, lalu sisanya tumbang hampir menjatuhi tubuh Lembayung Senja. Beruntung tubuh Lembayung Senja cepat melompat dan bersalto dua kali di udara, menjauhi robohan batang pohon itu.
Tapi ketika ia mendaratkan
kakinya ke bumi, ternyata Topeng Merah sudah kembali lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa selarik sinar kuning bagai sebatang
besi lurus memanjang.
Zlaaap...! Lembayung Senja cepat-cepat kibaskan pedangnya ke depan dada sendiri, dan selarik sinar kuning itu menghantam pedang. Logam pedang yang
mengkilap itu pantulkan sinar kuning tersebut ke arah lain, sehingga semaksemaklah yang menjadi sasaran
sinar kuning tersebut.
Blaarrsss...! Semak-semak terbakar, tapi kejap
berikutnya tubuh Lembayung Senja sendiri terpental
ke belakang karena pedangnya tak mampu menahan
sinar kuning terlalu lama. Pedang itu patah pada saat selarik sinar kuning itu
menghantam semak dan mem-bakarnya.
Begitu tubuh Lembayung Senja terpental ke belakang dan jatuh berjumpalitan bersama pedangnya
yang lumer itu, ia segera dihantam oleh Topeng Merah
dengan pukulan tenaga dalam tanpa sinar. Baaahg!
Dada Lembayung Senja terasa jebol seketika itu. Tubuh yang baru saja mau berdiri menjadi tungganglanggang kembali bagai disapu badai raksasa. Di seberang sana, Lembayung Senja muntahkan darah segar.
Pada saat itulah Topeng Merah lanjutkan pelariannya
karena takut diburu pengejarnya.
"Lembayung Senja...!" seru sebuah suara ketika Lembayung Senja mencoba bangkit
dan berjalan terhuyung-huyung mencapai sebuah pohon yang akan
dipakainya untuk bersandar.
"Lili...!" sapa Lembayung Senja dengan lemah.
"Dadaku panas sekali! Aku terkena pukulan tenaga dalam yang cukup besar!"
Pendekar Rajawali Putih tiba di tempat itu karena mendengar suara ledakan tadi. Ia terkejut mendapatkan Lembayung Senja berwajah pucat dengan
mulut berdarah. Ia segera memapah Lembayung Senja
ke bawah sebuah pohon besar. Lalu ia lontarkan tanya
yang tampak berapi-api,
"Siapa yang melukaimu"! Siapa"! Kau kenal
orangnya"!"
"Topeng Merah sendiri!"
"Hah..."! Jadi kau jumpa dengan Topeng Merah?" "Benar! Tapi dia menyerangku secara bertubi-tubi dan aku tak punya
kesempatan membalasnya!"
"Ke mana ia pergi" Arah mana yang ditujunya?"
"Selatan...!" jawab Lembayung Senja dengan
tubuh tersentak dan kembali memuntahkan darah segar. "Ap... apakah... apakah dia bersama Yoga?"
"Tidak! Dia sendirian!"
"Tetaplah di sini! Jangan pergi dulu. Aku akan
mengejarnya!"
"Ya, kejarlah! Kurasa dia belum jauh dari sini!
Hati-hati, dia tampaknya cukup ganas!"
Pendekar Rajawali Putih tak hiraukan lagi peringatan itu Hatinya sudah tak sabar, ingin segera
jumpa dengan Topeng Merah dan lakukan suatu pertarungan. Ia ingin buktikan kebenaran dugaannya, apakah wajah di balik Topeng Merah itu adalah wajah
Sendang Suci atau wajah yang belum pernah dikenalnya sama sekali"
Pada waktu itu, sebenarnya Yoga juga berlari ke
arah selatan. Karena menurut dugaannya, Topeng Merah yang dikejarnya itu sengaja memancing arah ke
barat, supaya Yoga terperangkap masuk ke Lumpur
Hidup. Dan memang hampir saja Yoga menginjak tanah yang kelihatannya keras namun sebenarnya adalah Lumpur Hidup itu. Kalau tidak penuh waspada
dan berhati-hati, Yoga akan terjebak di Lumpur Hidup
itu, mungkin juga akan tenggelam dan mati terkubur
di dalam lumpur yang mampu menyedot benda berat
di atasnya. "Tak mungkin Topeng Merah menyeberangi
Lumpur Hidup ini! Pasti ia berbelok arah ke kiri dan
kembali lagi ke selatan. Aku harus segera mengejarnya ke sana'"
Tetapi sayang sekali sesuatu telah menghantamnya dari arah samping Yoga. Sesuatu itu seperti
sebongkah batu besar tanpa wujud menghantam kuat,
menerjang tubuh pendekar bertangan satu itu.
Buhhg...! Gusraaak...!
Tubuh Yoga terpental kuat-kuat bagaikan terbang. Tubuh itu menghantam sebatang pohon dengan
kerasnya. Baaahg...! Bruk!
Kemudian sesosok tubuh besar tampakkan diri
dari balik dua batang pohon besar yang berjajar rapat.
Orang tersebut tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Rupanya dalam perjalanannya pulang dari makam di
bawah pohon bambu itu, ia ingin melihat sampai di
mana cara kerja Tamtama yang mendapat tugas membunuh dan mencuri pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Tetapi sejak tadi ia tidak menemukan
Tamtama. Justru ia melihat
Pendekar Rajawali
Merah termenung sebentar di tepian Lumpur
Hidup itu dalam keadaan sendirian. Karena itu, Malaikat Gelang Emas segera lepaskan pukulan tenaga badainya ke arah Yoga. Pukulan tenaga badai itu cukup
dahsyat. Hidung Yoga sempat mengucurkan darah segar sebelum ia membentur pohon. Tulang-tulang tubuhnya terasa remuk, dan semakin remuk ketika tubuh membentur pohon tersebut.
"Kalau kau serahkan pedangmu itu, kuampuni
dendam ku kepadamu termasuk kepada Lili dan para
guru kalian!" kata Malaikat Gelang Emas.
Yoga masih terengah-engah. Berdirinya sedikit
limbung, dan ia menarik napas panjang-panjang. Pandangan matanya sedikit buram karena pukulan badai
tadi. Tapi ia tahu Malaikat Gelang Emas berdiri di depannya dalam jarak enam
tindak. "Serahkan pedang pusaka itu!" kata Malaikat Gelang Emas yang dari semasa Dewa
Geledek, gurunya
Yoga masih hidup, selalu mengejar-ngejar dua pusaka,


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yaitu Pedang Lidah Guntur yang kini berada di tangan
Yoga dan Pedang Sukma Halilintar yang dimiliki Lili.
Walaupun tubuh terasa seperti remuk, tapi Yoga tetap tampakkan keberaniannya dan ketegarannya
dengan berkata,
"Kalau kau bisa peroleh nyawaku, maka kau
bisa peroleh pedang ini, Malaikat Gelang Emas!"
Orang kejam itu menggeram dengan seringai
wajah bengisnya. Ia keraskan kedua tangannya dalam
keadaan kelima jari kanan kiri mekar bagai hendak
mencakar, lalu ia ucapkan kata bernada bengis,
"Sekarang juga akan kurobek kantong nyawamu, Bocah Ingusan!"
Tapi dari arah belakangnya berserulah sebuah
suara, "Sebelumnya terima dulu ajalmu sekarang juga, Malaikat Sesat! Heaaah...!"
Malaikat Gelang Emas palingkan wajah. Ternyata Kencana Ratih yang ada di belakangnya. Ia sudah menggenggam pedang dan sekarang sedang melompat dengan ujung pedang siap menghujam perut
besar Malaikat Gelang Emas. Rasa kaget yang timbul
pada diri Malaikat Gelang Emas membuatnya melompat ke belakang, kemudian segera sentakkan kaki dan
tubuh besar itu melenting ke atas dengan ringannya.
Wuuut...! Kejap selanjutnya tubuh besar mirip raksasa itu telah berada di atas
pohon, berdiri di sebuah dahan besar. "Turun kau, Setan!" sentak Kencana Ratih.
Tetapi Malaikat Gelang Emas justru sentakkan kaki
kembali, lompat ke dahan lainnya dan pergi meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu!" kata Yoga.
"Untung kau cepat datang sehingga aku tak perlu kuras tenaga untuk melawannya!
Tapi... apa sebabnya
dia takut kepadamu, Kencana" Kau pasti tahu! Katakanlah!" Kencana Ratih diam, bagai memikirkan sesuatu. * * * 8 BARU saja Yoga ingin bergegas pergi, tiba-tiba
tangan Kencana Ratih mencekalnya. Lengan Yoga digenggam erat, dan wajah Yoga berpaling memandangnya. Kencana Ratih diam sesaat, pandangi wajah itu
dengan penuh resapan jiwa yang terbuai indah.
"Ada apa?" tanya Yoga karena risi dipandangi terus begitu.
"Ladang Lumpur Hidup," jawab Kencana Ratih.
Bibirnya bergerak-gerak indah saat mengucapkan kata-kata tersebut. Yoga memandangi bibir itu, lalu cepat-cepat alihkan pandang ke arah utara di mana terbentang Ladang Lumpur Hidup yang cukup luas.
"Ya, aku tadi hampir terjebak ke sana!" Yoga memandang kembali wajah cantik
Kencana Ratih dan
bertanya, "Apa maksudmu menyebutkan Ladang Lumpur
Hidup?" "Itu pertanda kita sudah berada di dekat Gua
Bidadari!"
"Dari mana kau tahu hal itu?"
"Seseorang yang kutemui sebelum aku berangkat mencari kakakku, dia menyebutkan bahwa Gua
Bidadari letaknya tak jauh dari Ladang Lumpur Hidup,
yang merupakan salah satu tempat jebakan bagi
orang-orang yang bermaksud datang ke Gua Bidadari.
Setelah itu, kita akan menemui Pohon Setan, di mana
akarnya dapat membelit ke tubuh orang yang lewat di
dekatnya. Orang itu bisa mati membiru bagai dililit
seekor ular besar. Konon Pohon Setan itu ciri-cirinya berdaun segi tiga dan
berlubang-lubang."
"Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati lagi
dan jangan gegabah berteduh di bawah pohon! Siapa
tahu pohon itu adalah Pohon Setan!"
"Memang. Tapi bukan itu yang ingin kukatakan
padamu." Pendekar Rajawali Merah berkerut dahi, dan
Kencana Ratih tahu maksudnya, yaitu sebaris penjelasan dibutuhkan oleh Yoga berkenaan dengan katakatanya tadi. Maka Kencana Ratih pun berkata pelan,
"Aku ingin kau pulang! Jangan ikut ke Gua Bidadari!" "Mengapa begitu?"
"Seperti apa yang kita dengar dari mulut Bujang Lola, agaknya memang di gua itu banyak wanita
cantik yang menggiurkan hati namun ganas-ganas! Salah satu bahaya yang mengincar kaum lelaki adalah
hasrat mereka yang ingin menguasai ilmu 'Karang Jantan'!" "Kita sudah telanjur sama-sama berada tidak jauh dari Gua Bidadari!
Haruskah aku pergi dan membiarkan kau nekat menyusup masuk ke sana untuk
selamatkan kakakmu?"
Kencana Ratih palingkan wajah memandang
tempat lain, tapi tangannya masih pegangi lengan Yoga, seakan enggan untuk melepaskannya.
"Sejujurnya kukatakan, aku khawatir kau terpikat oleh mereka dan menjadi korban dalam memburu ilmu 'Karang Jantan'. Entah mengapa hatiku seakan
tak rela jika kau menjadi korban seperti yang dialami Bujang Lola." Kencana
Ratih kembali pandangi Yoga,
"Sungguh aku tak rela mereka menjadikan kau sebagai korban atau kau terluka oleh
keganasan mereka!"
"Apakah kau percaya dengan cerita Bujang Lola?" "Separo hatiku mempercayainya, separonya lagi
mencurigainya!" jawab Kencana Ratih. Agaknya ia bicara apa adanya. Dan ia
berharap sekali Yoga memahami maksud hatinya. Bahkan ia sempat berucap kata, "Biarkan aku menempuh bahaya ini sendirian!
Jangan mengorbankan dirimu untuk diriku atau untuk kakakku, Aditya itu!"
"Bagaimana dengan lukamu akibat pukulan
Topeng Merah tadi?"
"Bisa ku atasi sendiri. Sekarang agak ringan."
Yoga memandangi wajah cantik itu beberapa
saat, kemudian ia berkata dengan suara pelan,
"Bagaimana kalau aku nekat mengikutimu"
Apakah kau akan memenggal kepalaku?"
Kencana Ratih tersenyum kecil, tapi membuat
hati Yoga berdebar, sebab senyuman itu mempunyai
sepasang lesung pipit yang sungguh manis jika dipandang, sungguh menggemaskan untuk dicubit. Lili juga
punya lesung pipit jika tersenyum, tapi Yoga jarang
melihat senyum dan lesung pipit itu, karena Lili jarang menyunggingkan senyuman
manis di depan Yoga.
"Terlalu bodoh kalau aku berusaha memenggal
kepalamu. Mungkin lebih baik aku memenggal kepalaku sendiri," kata Kencana Ratih setelah tersipu mendengar kata-kata Yoga tadi.
Sambungnya lagi, "Kuharap kau bisa memahami kecemasan hatiku jika kau
turut sampai ke Gua Bidadari itu."
"Yang kau cemaskan sangat kupahami, tapi
kau tidak memahami hatiku, Kencana Ratih."
"Hati yang bagaimana yang harus kupahami?"
"Aku tak mungkin tega membiarkan kau menempuh bahaya sendirian, terlebih setelah dua kali
kau mampu menghalangi niat Malaikat Gelang Emas
yang ingin membunuhku! Bukan aku merasa tak
sanggup melawan dia, tapi tindakanmu itu merupakan
suatu keberanian dan kerelaan tersendiri bagiku! Aku
tahu, kau menyimpan rahasia tentang Malaikat Gelang
Emas, tapi sikapmu yang melindungiku membuat aku
tak berani memaksamu harus membuka rahasia itu."
"Aku berani angkat sumpah, bahwa aku tak
punya rahasia apa-apa tentang Malaikat Gelang Emas.
Jangan kau menaruh curiga begitu terus padaku!
Sungguh aku tidak mengerti mengapa dia takut padaku, Yo!" Pendekar Rajawali Merah hembuskan napas panjang-panjang, lalu berkata
dengan sikap lebih bi-jaksana,
"Baiklah, kita lupakan tentang Malaikat Gelang
Emas. Ada baiknya kalau kita mulai melangkah bersama menuju Gua Bidadari!"
Kencana Ratih tetap menggeleng. "Kalau harus
mati dan terluka, biarlah aku saja. Kau jangan sampai ikut mati dan terluka.
Jadi, pergilah dariku dan biarkan aku melangkah sendiri, Yo!"
Setelah diam beberapa saat, akhirnya Yoga
berkata, "Baiklah! Rupanya kau memang tidak suka ji-ka pergi bersamaku."
"Yo, kuharap kau tidak salah mengartikan
permohonan ku ini."
"Baik. Aku tidak akan salah mengartikan. Kau
memang keras kepala dan punya keberanian tinggi dalam menempuh bahaya. Jika memang begitu maksudmu, aku pun akan mohon diri sekarang juga."
Kencana Ratih anggukkan kepala. "Sampai
jumpa lagi jika kita masih ada umur, Yo!"
"Jaga dirimu baik-baik!" Yoga menepuk-nepuk punggung Kencana Ratih. Wajah gadis
itu sebenarnya berubah duka, tapi ia berusaha menahan dan menampakkan ketabahannya. Ia pandangi langkah pendekar
tampan bertangan satu itu. Hati terasa berat, namun
jiwa bertahan untuk tetap kuat dan tegar. Pendekar
Rajawali Merah sentakkan kakinya dan melesat pergi.
Dalam waktu sekejap ia bagaikan menghilang dari
pandangan Kencana Ratih. Gadis itu pun tertegun sebentar, terkesima dalam kesedihan. Lalu ia tarik napas dalam-dalam untuk menahan
perasaan dukanya, dan
ia ayunkan kaki secepatnya menuju Gua Bidadari, sesuai dengan petunjuk dari seseorang yang membekali
arah perjalanan sebelum ia berangkat mencari kakaknya. Apa yang dikatakan oleh sang penunjuk jalan
ternyata memang benar. Tak jauh dari Ladang Lumpur
Hidup itu terdapat hutan berpohon setan. Kencana Ratih hampir saja terjebak masuk ke hutan akibat tingkahnya sendiri.
Ia melihat sekelebat bayangan merah melintas
di seberang sana. Ia segera mengejarnya karena ia tahu bayangan merah itu pasti gerakan lari si Topeng
Merah. Merasa sudah dilukai oleh Topeng Merah, Kencana Ratih bermaksud mengejar untuk membalas kekalahannya. Tetapi pengejarannya itu agaknya diketahui oleh Topeng Merah. Orang misterius itu segera lari ke satu arah, kejap
berikutnya hilang dari pandangan
mata Kencana Ratih. Topeng Merah itu hilang di tepi
hutan berpohon setan.
Jika Kencana Ratih tidak waspada dan hatihati, maka ia akan mengejar masuk ke hutan tersebut.
Tetapi langkahnya segera terhenti begitu melihat pohon-pohon berakar gantung seperti beringin. Ketika
daun-daunnya diperhatikan, ternyata berbentuk segi
tiga dan berlubang-lubang pada bagian tengahnya.
"Pohon Setan...!" gumam Kencana Ratih dalam
hatinya, lalu membatin, "Tak mungkin Topeng Merah masuk ke dalam hutan ini. Jika
ia masuk ke sana, berarti saat ini akan kulihat tubuhnya dililit akar-akar pohon
tersebut. Hmm... pasti dia menjebakku agar aku
masuk ke dalam hutan berpohon setan itu! Jika ia berani menjebakku begitu, berarti dia sudah tahu persis keadaan di sekitar sini,
juga sudah mengenal adanya
Pohon Setan itu. Lalu, ke mana dia sekarang" Bersembunyi di sebelah mana orang misterius itu?"
Kencana Ratih memandang sekelilingnya dengan penuh selidik. Ia tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan di situ. Tetapi ia justru melihat jalan setapak di samping hutan
tersebut yang menuju ke lereng perbukitan. Jalan setapak itu pasti menuju ke
Gua Bidadari, sebab pada saat itu ia sudah berada di
kaki Gunung Tambak Petir. Sedangkan Gua Bidadari
itu terletak di lereng Gunung Tambak Petir.
Ketika merenung itulah, tiba-tiba sebuah serangan datang dari arah belakang Kencana Ratih. Serangan itu berupa melesatnya senjata rahasia dari logam baja yang berbentuk bunga matahari. Ziiing...!
Desing suara logam itu diterima oleh telinga Kencana
Ratih. Cepat-cepat ia berpaling dan melihat benda berkerilap menuju ke arahnya.
Tak sempat lagi Kencana
Ratih untuk menghindar dan menangkis. Hanya saja,
sebongkah batu kecil tiba-tiba melesat dari arah sampingnya. Batu itu menghantam kuat benda berkelirap
tersebut. Triing...! Arah logam tajam beracun itu menjadi membelok ke tempat
lain, sehingga tubuh Kencana
Ratih selamat dari hantaman senjata rahasia tersebut.
Yang dipertanyakan dalam hatinya sekarang adalah,
siapa pelempar batu kecil itu"
Topeng Merah muncul dari persembunyiannya.
Ia menyangka senjatanya mengenai lawan. Tapi ketika
ia muncul, ternyata lawan masih berdiri tegak dan
memandang ke samping. Maka lekas-lekas Topeng Merah lemparkan senjata rahasianya kembali. Ziing...!
Tapi kali ini dengan lincahnya Kencana Ratih melompat hindari senjata berbahaya itu. Sambil melompat ia sentakkan tangannya ke
depan dan seberkas sinar putih perak melesat menghantam tubuh Topeng Merah.
Wuuut...! Topeng Merah menahan dengan telapak tangan
yang membara merah bagaikan besi terpanggang api.
Sinar putih perak itu menghantam telapak tangan tersebut. Diduga sinar itu akan padam bagai tersiram air.
Tapi ternyata benturan sinar putih dengan telapak
tangan yang memerah itu justru timbulkan ledakan
besar yang membuat tubuh Topeng Merah terpental ke
belakang dengan sangat kerasnya. Blaaar...!
"Sekarang saatnya aku membalas kekalahan
ku, Jahanam!" geram Kencana Ratih begitu melihat Topeng Merah terkapar
kehilangan daya. Ia segera
mencabut pedangnya dan bergegas menghampiri lawan. Tapi dari arah lain terdengar suara seruan. "Jangan!" Langkah itu jadi
terhenti. Wajah cantik itu berpaling memandang kepada si pemilik suara. Ternyata
Yoga-lah orangnya. Kencana Ratih hembuskan napas


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepas-lepas bagai menghalau perasaan jengkel yang
timbul akibat kemunculan Yoga. Pendekar tampan itu
pula yang tadi selamatkan nyawa Kencana Ratih dari
lemparan senjata rahasia si Topeng Merah. Tapi mengapa sekarang ia mencegah Kencana Ratih yang ingin
membunuh Topeng Merah"
"Apa maksudmu melarangku?" geram Kencana
Ratih kepada Yoga. Pendekar bertangan buntung sebelah kiri itu melangkah melewati Kencana Ratih, arahnya ke tempat Topeng Merah yang terkulai di sana.
Tapi Yoga sempat menjawab sambil melintasi Kencana
Ratih, "Ada sesuatu yang tidak kau ketahui tentang manusia bertopeng merah itu!
Serahkan dia padaku!"
Tetapi belum lagi Yoga berada dalam jarak dekat dengan Topeng Merah, tiba-tiba seberkas sinar
berkabut hitam melesat bagaikan anak panah. Datangnya dari atas pohon dan menghantam telak dada
si Topeng Merah. Zlaaap...! Blaaas...!
"Uuhg...!" terdengar suara pekik tertahan dari balik topeng, dan tubuh itu
mengejang dengan kepala
terjulur ke belakang. Yoga dan Kencana Ratih samasama terkejut, sebab keduanya sama-sama tidak merasa melepaskan serangan jarak jauh ke tubuh Topeng
Merah. Maka keduanya segera berpaling ke arah datangnya sinar terbungkus kabut hitam itu. Ternyata di atas pohon sana tengah
berdiri seorang bertubuh besar yang tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Sikap memandang Yoga dan Kencana Ratih itu
sudah mewakili tuntutan hati mereka atas kelancangan Malaikat Gelang Emas yang melepaskan pukulan
dahsyatnya ke tubuh Topeng Merah. Sebab itulah, dari
atas pohon sana Malaikat Gelang Emas serukan kata
sambil menuding Topeng Merah dengan tangannya
yang berjari besar,
"Dia telah lompati makam kakekku, sehingga
kakekku tak akan bisa bangkit lagi! Aku harus membunuhnya! Sebentar lagi kau pun akan menerima nasib seperti itu, Pendekar Rajawali Merah!"
Tanpa disengaja, kedua anak muda itu samasama sentakkan tangannya dan lepaskan jurus yang
memancarkan sinar merah dan biru. Dari tangan Yoga
melesat sinar merah, dari tangan Kencana Ratih melesat sinar biru. Kedua sinar itu bagai berdampingan
menuju ke arah Malaikat Gelang Emas. Tetapi sebelum
kedua sinar itu menghantamnya, Malaikat Gelang
Emas sudah lebih dulu lenyap bagaikan menghilang
begitu saja. Pasti ia gunakan ilmu 'Bayang Siluman'nya, sehingga kedua sinar bertenaga dalam sangat
tinggi itu hanya bisa menghantam pepohonan yang
bukan jenis Pohon Setan itu. Blaarr...! Duaaar...! Habis sudah pepohonan di
sekitar tempat berdirinya Malaikat Gelang Emas tadi.
"Jahanam itu lari lagi!" geram Kencana Ratih.
Tapi Yoga tidak menyambut geraman tersebut. Ia lebih
tertarik kepada keadaan manusia bertopeng merah itu.
Dada orang berselubung kain merah dan mengenakan topeng merah iblis itu sekarang kepulkan
asap tipis. Ia tak dapat bergerak sedikit pun, kecuali tersengal-sengal karena
sulit bernapas. Yoga merasa
khawatir dengan keselamatan Topeng Merah, sebab
yang terbayang dalam benaknya adalah wajah Sendang Suci, si Tabib Perawan itu.
Cepat-cepat Yoga melepaskan topeng tersebut.
Slaap...! Dan ia segera tertegun memandangi wajah
pucat pasi berbibir biru itu. Kencana Ratih juga tertegun memandang wajah di
balik topeng tersebut, karena ia merasa asing dengan wajah itu. Yoga tertegun
karena wajah dalam bayangannya ternyata berbeda
dengan wajah yang dilihatnya. Wajah itu bukan milik
Sendang Suci. "Kau kenal dia?" tanya Kencana Ratih ketika Yoga memandangi kepadanya. Yoga
menggeleng, dan
Kencana Ratih kembali berkata,
"Aku juga tidak mengenalnya!"
Terdengar suara orang yang tadi kenakan topeng merahnya itu dengan nada pelan dan lirih,
"Ak... aku..., Dewi Sukesi...."
"Mengapa kau memakai topeng merah" Aku tahu siapa pemilik topeng merah ini sebenarnya. Bukan
kau!" kata Yoga.
"Mem... memang bukan aku. Ak... aku hanya
menemukan seperangkat pakaian merah, lengkap dengan topeng dan pedangnya, di... di atas sebuah bukit, tepi jurang. Laaa... lalu
aku iseng-iseng memakainya.
Ternyata sempat menghebohkan kalian. Ak... aku sendiri tak tahu siapa pemilik pakaian dan topeng ini...."
Terbungkam mulut Yoga jadinya. Teringat di
saat Lili habis menyamar sebagai Topeng Merah yang
kemudian melepas pakaian itu, melepas topengnya
dan meninggalkan di bukit tersebut bersama-sama pedangnya juga. Rupanya seperangkat pakaian dan topeng itu ditemukan oleh Dewi Sukesi yang iseng mengenakannya (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat").
Kembali terdengar suara Dewi Sukesi, "Seharusnya... aku menghadap sang... sang Ketua, memberitahukan bahwa aku telah berhasil membunuh Tayon,
juga... juga Bujang Lola. Tapi...."
"Bujang Lola belum mati menurutku!" sahut
Yoga. "Pasti... pasti mati, karena ia terkena racun Ludah Kobra yang ada di
senjata Bunga Matahari itu!
Dan... sebenarnya aku tidak punya urusan dengan kalian. Tapi karena kalian bermaksud menyerang Gua
Bidadari, maka... maka aku pun harus menghalangi
niat kalian. Ku jebak kalian agar masuk ke dalam Ladang Lumpur Hidup dan terjerat mati di Pohon Setan.
Ternyata... kalian bukan orang bodoh...." Dewi Sukesi yang sebenarnya berwajah
cantik itu mencoba tersenyum walau sangat tawar. Dan senyum itu rupanya
senyum yang penghabisan. Karena setelah itu, kepalanya segera terkulai dan nafasnya terhembus lepas. Ia tak berkutik lagi selamalamanya. "Apakah kakakku yang bernama Aditya masih
ada di sana?" sentak Kencana Ratih. Tapi Yoga segera
berkata, "Percuma. Tinggalkan saja dia. Dia telah mati."
Keduanya sama-sama menjauhi mayat Dewi Sukesi. Di
atas sebuah batu, Kencana Ratih sengaja duduk
termenung pandangi mayat Dewi Sukesi dari
sana. Yoga pun segera mendekati Kencana Ratih, lalu
gadis itu berkata dengan mata masih memandang ke
arah mayat lawannya,
"Mengapa kau masih saja mengikutiku?"
"Maaf," kata Yoga pelan. Ia menyingkapkan
rambutnya yang meriap ke depan karena hembusan
angin. "Setelah kupertimbangkan, ternyata hatiku tak mau ku paksakan untuk tega
membiarkan kau menempuh bahaya sendirian. Mulanya aku tidak bermaksud mengikutimu, tapi karena kau terancam bahaya, terpaksa aku mengikutimu. Terlebih setelah aku
tahu kau ingin membunuh Topeng Merah yang kusangka adalah seseorang yang kukenal itu. Aku perlu
mendekatimu untuk mencegahnya. Sekarang, kalau
kau masih tetap ingin ke Gua Bidadari sendirian, aku
akan pergi!"
Kencana Ratih memandang Yoga dengan lirikan
menahan kejengkelan. Tapi di sudut bibirnya ada lesung pipit yang menandakan ia tersenyum tipis. Kejap
berikutnya ia perdengarkan suaranya,
"Tak usah ke mana-mana! Percuma saja kau
kusuruh pergi, pasti tetap akan menguntit ku!"
Pendekar Rajawali Merah ganti tersenyum lebar, bahkan sempat tertawa mirip orang menggumam.
Kemudian ia berkata,
"Jadi sekarang bagaimana?"
"Aku bisa memahami perasaanmu. Sekarang
kalau kau mau ikut, ikutlah, tapi kau harus berjanji
padaku." "Janji yang bagaimana?"
"Jangan kau tergoda dan terpikat oleh para bidadari itu, dan jaga dirimu agar jangan ada yang melukaimu! Sanggupkah kau untuk begitu?"
"Mengapa tidak" Tentunya kau akan melindungiku agar jangan sampai aku terluka."
"Ya. Melindungimu untuk tidak terluka, mungkin bisa kulakukan. Tapi melindungimu untuk tidak
terpikat oleh kecantikan mereka, aku tak bisa melakukannya." Yoga tertawa dan bertanya, "Mengapa begitu?"
"Karena, menurutku kau pemuda mata keranjang!" Semakin keras tawa Yoga walau tidak berarti terbahak-bahak. Hal itu
membuat Kencana Ratih menjadi tersipu sendiri. Sungging senyumnya makin lebar,
lesung pipitnya kian jelas, hati Yoga makin girang memandangi lesung pipit dalam
kecantikan wajah manis
Kencana Ratih. Tawa itu terhenti secara sedikit demi sedikit.
Keceriaan wajah mereka pun susut perlahan-lahan.
Kini wajah mereka mulai tampak menegang, dahi mereka berkerut. Terdengar suara seruling yang sayup-sayup
membelai hati, meluluhkan jiwa. Hati Yoga menjadi
berdebar-debar akibat mendengar suara alunan seruling di kejauhan. Hasratnya menjadi berkehendak untuk melangkah, mendekati suara seruling itu. Pelanpelan pendekar tampan tersebut mulai tinggalkan
Kencana Ratih dan mendekati sumber suara seruling
yang peniupnya tak lain adalah Seruni.
* * * 9 SERUNI duduk di atas batang kayu kering yang
sudah tumbang. Di sana ia meniup serulingnya dengan suara mendayu-dayu lembut. Rupanya ia telah
mengetahui bahwa di sekitarnya ada seorang pemuda
tampan, yang walaupun tanpa satu tangan tapi tidak
mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Ia melihat Yoga sedang bicara dengan Kencana Ratih dari kejauhan, maka lekas-lekas ia cari tempat dan di pancingnya pemuda tampan itu dengan suara serulingnya.
Pancingan itu mengenai sasaran. Terbukti dengan langkah pelan Yoga datang mendekatinya, dan Seruni meliriknya sekejap. Kemudian ia mainkan serulingnya dengan tiupan ilmu 'Seruling Bulan Madu'. Hati Yoga tergugah, mulai gelisah menahan .gejolak hasratnya yang segera ingin bercinta dengan lawan jenisnya. Matanya tak berkedip
memandang Seruni yang
sengaja duduk dalam keadaan seronok, memamerkan
apa saja yang bisa dipamerkan pada kaum lelaki. Hal
itu membuat jantung Yoga berdetak-detak kencang,
benak dan jiwanya telah teracuni kekuatan ilmu
'Seruling Bulan Madu'.
Sambil meniup serulingnya dan berlagak acuh
tak acuh terhadap kehadiran Yoga, dalam hatinya Seruni berkata, "Gila! Dia lebih tampan dan lebih memikat hati
ketimbang Tamtama! Sang Ketua pasti akan memilih
ikan emas yang ini ketimbang Tamtama. Aku tak boleh
kehilangan kesempatan sedikit pun. Akulah yang selalu menjadi yang pertama untuk lakukan semadi bersama ikan emas ini...! Oh, celaka... aku sendiri terbuai jadinya!"
Langkah dan gerakan Yoga ternyata diikuti dan
diperhatikan terus oleh Kencana Ratih. Gadis yang
memiliki lesung pipit itu mulai curiga ketika Yoga makin lama makin dekat
jaraknya dengan Seruni. Cahaya
mata yang dipancarkan dari mata Yoga pun mempunyai sorot yang sendu, seperti layaknya orang terbuai oleh kemesraan yang
membawa nikmat sekujur tubuhnya.
Hati Kencana Ratih membatin, "Suara seruling
itu memang membuat hati menjadi damai dan tenang.
Tapi rasa-rasanya suara seruling itu tidak beres. Ia
menciptakan pengaruh tersendiri bagi seorang pemuda
seperti Yoga itu. Agaknya suara seruling itu mempunyai kekuatan tenaga gaib yang mampu membangkitkan gairah lelaki mana pun juga! Celaka kalau sudah begini! Pasti si peniup seruling itu orang dari Gua Bidadari yang sengaja
memikat hati Yoga! Pasti orang
itu ingin memiliki Yoga, setidaknya dia ingin membawa Yoga ke Gua Bidadari. Oh,
kalau begini caranya aku
tak boleh tinggal diam!"
Tanpa tanggung-tanggung lagi, Kencana Ratih
sentakkan pukulan jarak jauhnya bertenaga dalam
tinggi tanpa sinar. Wuuut...! Buhhg! Punggung Seruni
menjadi sasaran serangan tenaga dalam Kencana Ratih. Akibatnya, tiupan seruling terhenti seketika dan tubuh itu terjungkal ke
depan dan berguling-guling.
Pada saat itu, Yoga tersentak dengan mata terbelalak lebar. Ia bergegas menolong Seruni. Gadis itu bangkit dalam genggaman
tangan kanan Yoga. Keadaan itu membuat Kencana Ratih menjadi makin marah. Kemudian ia segera melompat dalam satu lompatan bersalto di tanah beberapa kali. Begitu tiba di depan Yoga dan Seruni,
kakinya segera menendang dada
Seruni dengan kuat. Wuuut...! Traaak...!
"Auh...!" Kencana Ratih terpekik karena tulang kakinya dihantam memakai bambu
seruling. Hantaman itu membuat kaki Kencana Ratih bagai tak bisa
digunakan untuk berjalan atau berdiri beberapa saat.
Ia menyeringai kesakitan dalam keadaan jatuh tersimpuh lima langkah di depan Seruni dan Yoga.
Dari gerakan bambu seruling yang cepat, Kencana Ratih sudah dapat menakar ilmu lawannya. Menurutnya, lawannya berilmu cukup tinggi dan tidak bisa diperlakukan dengan sepele atau diremehkan Kencana Ratih harus gunakan perhitungan matang jika
ingin menyerangnya. Tetapi hati yang panas melihat
tangan Yoga digenggam oleh Seruni membuat Kencana


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ratih sukar menggunakan perhitungan yang matang.
Ia bahkan menggeram dengan suara kebenciannya,
"Jauhi dia, atau kubunuh kau dari sini!"
Seruni hanya tertawa serak sambil makin rapatkan tubuh kepada Pendekar Rajawali Merah. Anehnya, Yoga justru menyambut gerakan tubuh merapat
itu sambil pandangi Kencana Ratih dalam senyum
yang seolah-olah mengejek. Ini membuat Kencana Ratih nyaris kehilangan kendali jiwa. Nafsu untuk mengamuk membakar setiap denyut nadinya. Maka serta
merta ia lepaskan pukulan dari tempatnya tersimpuh
dengan gunakan gerakan kedua tangannya. Tangan itu
berkelebat ke sana sini membentuk seperti jurus kembar, lalu tiba-tiba menyentak ke depan dan melesatlah sinar biru seperti mata
tombak. Zlaaap..!
Duaaar...! Sinar biru itu meledak ketika dihantam dengan bambu seruling dalam kibasan membuang
arah. Ternyata bambu seruling itu bukan sembarang
bambu. Terbukti bambu itu bisa memukul pecah sinar
biru dari Kencana Ratih sementara seruling itu sendiri masih tetap utuh, tanpa
keretakan sedikit pun.
Namun ledakan tersebut membuat tubuh Seruni tersentak mundur tiga langkah dan menjauhi Yoga. Dengan cepat Yoga memburu Seruni, bagai tak
mau kehilangan gadis itu. Kencana Ratih segera berseru, "Jauhi dia, Yo...! Kau terpengaruh oleh suara
seruling tadi!"
"Tutup mulutmu, Gadis Jahanam!" bentak Seruni yang mulai terpancing amarahnya akibat langkah
Yoga terhenti setelah mendengar seruan Kencana Ratih
itu. Yoga seperti menjadi orang bimbang yang tak
punya kepastian. Seruni mulai cemas akan kehilangan
pengaruh yang telah menjerat hati Yoga itu. Maka, cepat-cepat Seruni bermaksud meniup serulingnya lagi
agar jerat di hati Yoga tidak pudar.
Namun pada saat itu, Kencana Ratih kembali
berseru, "Jauhi dia, Yo...! Kau terkena pengaruh kekuatan gaib dari seruling
itu! Jauhi dia, lekas...!"
Sambil berseru begitu, dari tempat bersimpuhnya Kencana Ratih lepaskan pukulan tenaga dalam
tanpa sinar ke arah Seruni. Wuuut...! Braaasss...! Pukulan itu bagai menghantam
telak bagian wajah Seruni. Seruling yang mau ditiupnya menyodok mulut dan
tubuh Seruni sendiri terpelanting ke belakang dengan
kerasnya. "Bangsat...!" teriaknya dengan geram, lalu ia melompat dengan bersalto di udara
tiga kali, dan begitu tiba di depan Kencana Ratih, ia tebaskan bambu serulingnya ke kepala Kencana Ratih.
Traaak...! "Aaauh...!" Kencana Ratih memekik karena lengan kanannya dipakai untuk menangkis
bambu serul- ing. Ternyata tangkisan itu membuat tulang lengan terasa remuk dihantam besi sekeras baja. Tangan itu
pun seketika menjadi memar membiru. Kencana Ratih
mendekap tangannya itu sambil menyeringai kesakitan. Melihat lawannya kesakitan, Seruni segera kibaskan kakinya menendang wajah Kencana Ratih.
Wuuut...! Kepala Kencana Ratih sempat membungkuk
hindari kelebatan kaki lawan. Pada saat kepala menunduk itulah Seruni punya kesempatan untuk hantamkan serulingnya ke tengkuk kepala lawan.
Wuuut...! Traaak...! Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, tibatiba Yoga telah menyambar sepotong ranting bercabang dan ranting itu digunakan untuk menahan gerakan bambu seruling yang akan menghancurkan tengkuk kepala Kencana Ratih. Saat itulah Seruni tahu
bahwa pengaruh serulingnya telah hilang dari jiwa pemuda tampan tersebut, dan pemuda itu telah menyadari keadaan sebenarnya. Seruni terperanjat melihat
gerakan Yoga yang amat cepat itu.
Lebih terperanjat lagi setelah tahu-tahu ia sudah terkapar di tanah dalam keadaan dagunya memar
membiru. Rupanya gerakan cepat Yoga yang menangkis seruling tadi dilanjutkan dengan sentakan kuat ke arah atas dan bambu itu
menghantam dagu pemiliknya dengan luar biasa kuatnya. Sentakan bertenaga
dalam tinggi itu membuat Seruni terkapar bagai orang
tak sadarkan diri beberapa kejap tadi.
"Menepilah! Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Kencana Ratih. Gadis
itu mengeluh tertahan, memegangi tangannya yang bengkak. Yoga terpaksa membantu Kencana Ratih untuk menepi ke batang pohon yang tumbang, yang tadi dipakai duduk
oleh Seruni itu.
Tetapi pada saat itu, Seruni sudah berhasil
bangkit kembali dan segera larikan diri setelah ia
membatin, "Pemuda itu berilmu tinggi! Rasa-rasanya aku
tak mampu melawannya, karena gerakan seruling ku
saja bisa ditahannya memakai ranting sekecil itu! Ada baiknya kalau
kuberitahukan keberadaannya kepada
sang Ketua, biar sang Ketua sendiri yang turun tangan! Pasti dia sangat tertarik jika kuceritakan ketampanan, kegagahan, dan
keperkasaan pemuda itu!"
Ketika Yoga ingin menghadapi Seruni, tiba-tiba
ia jadi tertegun bengong melihat gadis peniup seruling itu sudah berlari jauh
dari tempatnya berada. Yoga ingin mengejarnya, tapi ia ingat keadaan Kencana
Ratih yang tak bisa berdiri karena tangkisan seruling tadi.
Maka Yoga pun urungkan niatnya untuk mengejar Seruni. "Mengapa tak kau kejar dia"!" Kencana Ratih setengah menyalahkan Pendekar
Rajawali Merah.
"Bisa saja kukejar, tapi keadaanmu butuh pertolongan dariku. Kau terluka, Kencana!"
"Aku bisa atasi luka di tulangku ini!"
"Kalau begitu, atasilah dulu baru kita susul dia ke Gua Bidadari!"
"Bantu aku! Salurkan hawa murni mu lewat telapak tanganku!" kata Kencana Ratih yang lekas-lekas ambil sikap memusatkan
pikiran. Tak banyak makan waktu menghilangkan rasa
sakit di bagian dalam tubuh Kencana Ratih. Walau
lengannya masih bengkak dan tulang kakinya juga
masih memar membiru, tapi rasa sakit itu telah lenyap dan tak terasa. Maka,
mereka berdua segera mengejar
Seruni mengikuti arah kepergian si peniup seruling itu.
Pada saat mereka temukan Gua Bidadari, tentu
saja Seruni sudah lebih dulu melaporkan keadaan
yang baru saja dihadapinya, yaitu tentang seorang pemuda tampan yang jauh lebih menawan dari Tamtama.
Tak terlihat Seruni di depan mulut gua tersebut, tetapi Yoga dan Kencana Ratih
justru terpaku dengan pemandangan yang menegangkan.
Empat orang pemuda berbadan kurus sedang
digiring keluar dari gua besar tersebut. Rupanya mere-ka dituntun ke tepi
jurang. Sampai di sana mereka
yang bertubuh lunglai dan berwajah pucat itu segera
ditinggalkan oleh penuntunnya. Tapi lima orang gadis
lainnya telah siap dengan tombak mereka. Begitu kelima penuntun pergi, pemuda-pemuda bertubuh kerempeng dan layu itu di hujami tombak secara bersamaan. Jruub...! Lima tombak tepat mengenai tubuh
lima pemuda gontai. Tubuh mereka tersentak jatuh ke
jurang secara bersamaan dengan suara teriakan mereka yang menggema membuat bulu kuduk merinding.
"Kejam!" geram Kencana Ratih dari balik persembunyiannya. "Mereka pasti pemudapemuda yang sudah dianggap tidak bisa dipakai lagi oleh mereka,
seperti yang diceritakan oleh Bujang Lola itu!"
"Wajah-wajah cantik itu ternyata berhati binatang!" ujar Yoga dengan tetap tampakkan sikap kalem-nya. "Hati-hatilah, jangan
terpengaruh seperti tadi lagi!" bisik Kencana Ratih. "Kita akan...."
Kata-kata tersebut jadi terhenti karena kali ini
ia melihat seorang pemuda diseret keluar dari dalam
gua. Pemuda itu dalam keadaan berdarah di sekujur
tubuhnya, namun bagian wajahnya masih tampak bersih. Wajah itulah yang membuat Kencana Ratih bagaikan tersiram lahar panas di sekujur tubuhnya. Panas
seketika, karena ia tahu betul bahwa wajah tersebut
adalah wajah Aditya, kakaknya. Maka, tanpa perhitungan lagi, Kencana Ratih segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru,
"Adityaaa...!"
Tapi pada saat itu, dua orang yang menyeret
Aditya telah melemparkan tubuh tersebut ke dalam jurang. Terdengar jeritan Aditya yang sebenarnya hanya
terluka parah dan belum mati itu. Jeritan tersebut kini mewakili jeritan
kematian yang amat menghancurkan
hati Kencana Ratih. Maka, gadis itu pun segera mencabut pedangnya dan menghambur ke arah mulut gua
sambil berseru lantang,
"Biadab kalian semuaaa...! Jahanaaam...!"
Yoga hanya menggerutu sambil bergegas bangkit, "Celaka! Dia kehilangan kendali jiwanya...!"
Kencana Ratih mengamuk sejadi-jadinya. Semua ilmu dan jurus yang dimiliki dikeluarkannya. Delapan orang dalam sekejap mati terbunuh olehnya.
Suara pekikannya begitu keras karena menangisi kematian kakaknya yang terlihat jelas di depan matanya
sendiri. Beberapa 'bidadari' keluar dari dalam gua besar itu. Pendekar Rajawali
Merah segera mencabut pedangnya. Blaaar. Petir menggelegar di langit sebagai
tanda dicabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya. Pedang yang bercahaya merah berkerilapan sinar
merah kebiru-biruan itu segera ikut menebas lawan
yang mengeroyok Kencana Ratih. Pada umumnya mereka mati robek karena kilatan cahaya merah yang
menyambar-nyambar dari pusaka Pedang Lidah Guntur tersebut. Sebagian ada yang mati terpenggal tanpa keluarkan darah setetes
pun. Bagi mereka yang terpotong langsung oleh Pedang Lidah Guntur, mereka tidak
menyadari keadaan tubuh nya yang terpotong, karena
tidak timbulkan rasa sakit sedikit pun. Bahkan sebagian tidak menyadari kalau lengannya, atau pergelangan tangannya telah terpotong putus oleh Pedang Lidah Guntur. Tahu- tahu mereka jatuh, dan tak berkutik lagi selamanya.
Pendekar Rajawali Merah melihat Kencana Ratih terdesak lawan. Ia bergegas mengarahkan serangannya ke tempat Kencana Ratih. Namun tiba-tiba ia
masih sempat mendengar suara petir menggelegar di
angkasa dengan gemuruhnya. Blegaaar...!
Sambil melakukan perlawanan, Pendekar Rajawali Merah memandang sekelilingnya, mencari-cari
sesuatu. Sebab ia yakin, suara petir menggelar tadi
bukan dari hempasan tenaga dalam seseorang, melainkan akibat tercabutnya sebuah pedang pusaka
yang bernama Pedang Sukma Halilintar. Dan pemilik
Pedang Sukma Halilintar tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.
"Di mana dia..." Pasti dia ada di sekitar sini dan sedang mencabut pedangnya!"
pikir Yoga sambil mengibaskan pedang di depan delapan orang pengeroyoknya. Dari dalam gua semakin banyak berhamburan
para 'bidadari' yang siap melakukan perlawanan dengan kesadisannya masing-masing. Tetapi pada saat itu
ternyata seorang wanita cantik bersenjatakan pedang
yang membara putih keperak-perakan sedang mengamuk di sudut pintu masuk gua tersebut. Wanita cantik
itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Putih yang mengenakan pakaian merah jambu.
Gerakan Lili begitu cepat dan gesit, sukar ditandingi lawan. Ia menyerang sambil berusaha mendekati Yoga, hingga satu saat ia berhasil melambungkan
tubuhnya ke atas dan menggunakan kepala lawannya
sebagai tempat pijakan kakinya. Pendekar Rajawali Putih berhasil melompat dari kepala ke kepala lainnya
hingga tiba di samping Yoga, dan mereka segera beradu punggung. Jleeg...!
"Apa urusanmu dengan mereka sehingga terjadi
pertarungan seperti ini, Yo"!"
"Mereka ingin menjadikan aku sebagai budak
nafsu!" "Keparat mereka!" geram Lili sambil tetap melakukan tangkisan dan
serangan dengan pedangnya.
Semangat tarungnya semakin besar begitu mendengar
Yoga ingin dijadikan budak nafsu oleh mereka. Kecemburuannya membara menciptakan murka, sehingga
makin ganas lagi Pendekar Rajawali Putih menyerang
lawan-lawannya.
"Jumlah mereka sangat banyak, Guru! Sejak
tadi tiada habisnya yang keluar dari dalam gua besar
itu!" "Satukan pedang kita, hancurkan langit gua bi-ar mereka mati tertimbun
reruntuhannya!"
"Baik, Guru!"
Maka, kedua pendekar itu menyatukan jurusjurus mereka. Melalui perpaduan dua pedang pusaka
yang disebut jurus 'Jodoh Rajawali', melesatlah sinar ungu yang menghantam
langit-langit gua. Blaaar...!
Jiegaaar...! Blaaar...! Sesekali mereka menghalau serangan lawan dari kanan kiri maupun depan belakang.
Kedua pedang pusaka itu bagai tak mengenal ampun
lagi, sementara mereka yang masih tinggal di dalam
gua sibuk melarikan diri keluar karena langit-langit
gua runtuh. Sedikit kesempatan digunakan mereka untuk
hancurkan langit-langit gua lagi. Sinar ungu tiada habisnya menggempur gua
tersebut, hingga akhirnya terdengar suara gemuruh hebat yang menandakan langitlangit gua runtuh seluruhnya.
Glegaaarrr...! Wwwrrr...!
Bumi bagai terguncang. Jerit melengking di sana sini. Gua itu benar-benar roboh dan tak tersisa lubang sedikit pun. Jalan
masuk ke dalam gua telah ter

Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tutup. Sebagian bentuk atap gua pun sudah berubah
menjadi gundukan batu yang membukit. Beberapa
orang yang ada di dalamnya tak terdengar lagi suaranya. Sisa dari mereka yang selamat ada yang segera larikan diri dari
pertarungan, ada yang mencoba tetap melawan walau akhirnya mati, ada pula yang
membuang senjatanya pertanda menyerah. Sementara itu
bumi yang berguncang bagai dilanda gempa dahsyat
itu sudah reda kembali. Tetapi debu-debu masih beterbangan dan asap mengepul bagai bencana alam
yang ditakuti oleh para penduduk yang tinggal di kaki Gunung Tambak Petir.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening dan
sunyi. Mereka yang menyerah dibiarkan lolos meninggalkan tempat itu. Di antara mayat-mayat para bidadari, berdiri dua sosok tegar yang masih menggenggam
pedang pusaka masing-masing; Yoga dan Lili.
"Siapa mereka ini sebenarnya, Yo?" tanya Lili, kemudian secara singkat Yoga
menjelaskan tentang
Gua Bidadari dan orang-orang di dalamnya. Lili pun jelaskan usahanya mengejar
Topeng Merah justru menemukan tempat tersebut yang ternyata menjadi ladang pertarungan bagi Yoga. Maka Lili pun segera turun tangan membantu orang yang dicari-carinya sejak
beberapa hari ini.
Seorang perempuan muda dan cantik muncul
dari tumpukan mayat. Ia berjalan dengan gontai mendekati Yoga dan Lili dalam keadaan terluka di lambungnya. Lili segera bertindak cepat, melompat dengan tangan siap lepaskan
pukulan dahsyatnya. Tapi Yoga
segera menerjang Lili dari samping, dan Lili pun jatuh terguling-guling, lalu
cepat sentakkan pinggulnya dan bangkit berdiri lagi dengan tegap, wajahnya
menjadi berang memandang Yoga.
"Mengapa kau menyerangku"!" bentaknya. "Aku
mau bunuh sisa mereka itu, biar habis tuntas segalanya!" "Dia bukan lawan kita! Dia teman! Dialah Kencana Ratih yang telah
kehilangan kakaknya sebagai
korban kekejaman para bidadari di sini!"
Kencana Ratih hentikan langkahnya sambil
menopang badan di salah satu gundukan batu. Ia
hanya memandangi Yoga dan Lili dalam keadaan menahan luka di lambung, Lili berseru dengan ketus, "O, jadi perempuan itulah yang
membuatmu nekat melawan bahaya sebanyak ini"! Kau ini jadi dewa penolong
baginya"! Kau ingin tampak ksatria di depan dia"!"
"Guru, tolong dengar dulu penjelasanku...."
"Cukup! Aku sudah mengerti maksudmu! Menyesal aku telah membantumu dalam peristiwa ini!"
"Tapi Kencana Ratih telah selamatkan aku dari
ancaman maut Malaikat Gelang Emas, Guru!"
"Kau tak perlu berdalih dan mengarang kemustahilan, Yo! Kalau memang gadis itu yang membuatmu
segila ini, aku akan pergi dan tak akan temui kau lagi!"
"Guru...."
Wuuut...! Pendekar Rajawali Putih cepat sentakkan kakinya ke tanah dan melesat pergi dengan
sangat cepatnya. Yoga ingin mengejar, sebab dia tahu
Lili kecewa melihat Yoga menolong Kencana Ratih.
Guru cantik itu cemburu dan tak mau tahu lagi. Yoga
takut kehilangan Lili. Namun ketika ia hendak bergegas mengejarnya, tiba-tiba sebuah suara parau memanggilnya dari belakang dengan nada mengharu,
"Yooo...!" pelan dan bercampur dengan desah.
Pendekar Rajawali Merah terhenti dari segala
geraknya, akhirnya berpaling ke belakang, menatap
Kencana Ratih yang sedang memandanginya dengan
menahan sakit. Tak tega Yoga melihat Kencana Ratih
menderita begitu. maka dihampirinya gadis tersebut
dan segera dipapahnya karena ia terhuyung hendak jatuh. "Aku terluka berat, Yo...," ucap Kencana Ratih bagai mengadu kesedihannya.
Yoga semakin trenyuh
hatinya. Ia segera membawa Kencana Ratih ke tempat
yang datar dan teduh.
"Kita beristirahat dulu di sini," kata Yoga. "Lukamu ku sembuhkan dulu untuk sementara waktu..
"Siapa gadis cantik tadi, Yo?"
"Guruku," jawab Yoga polos, secara apa
adanya: "Dia tampak mencemburui keberadaanku ber-samamu."
"Lupakan tentang itu. Lihat..., Gua Bidadari telah hancur. Entah berapa orang yang terkubur di dalam reruntuhannya!"
"Ya, aku sudah melihatnya. Tapi bagaimana
dengan gurumu yang cantik itu, Yo" Apakah dia mencintaimu?"
Yoga tidak menjawab, namun berkata lain,
"Aku harus mencari bunga Teratai Hitam di Gua Mulut Iblis. Tak
jauh dari sini!"
Kencana Ratih tahu, Yoga menghindari pertanyaannya. Kencana Ratih tak mau memburunya. Untuk sementara ia bersikap mengalah dan menimpali
kata-kata Yoga dengan bertanya,
"Untuk apa kau mencari bunga Teratai Hitam?"
"Untuk mengobati sahabatku yang menderita
sakit ingatan akibat terkena Racun Edan dari lawannya." "Akan kubantu kau ke gua itu. Setahuku, gua itu sekarang ditunggu oleh
seorang tokoh sakti yang
dikenal dengan nama Kiyai Kubang Darah!"
"Siapa pun penunggunya, aku harus bisa dapatkan bunga itu, Kencana. Dan kurasa kau tak perlu
ikut denganku."
"Benarkah" Benarkah kau melarangku untuk
ikut denganmu?"
Pendekar Rajawali Merah justru bingung menjawabnya. Ia sendiri tak yakin apakah hatinya menolak Kencana Ratih yang ingin
menemaninya atau kata-kata yang hanya sebagai ungkapan balik dari ucapan
Kencana Ratih yang pernah melarangnya ikut ke Gua
Bidadari" Lalu, bagaimana dengan Lili yang terluka hatinya melihat sikap Yoga memihak Kencana Ratih" Dapatkah luka itu disembuhkan dengan kehadiran Yoga
kembali" Haruskah Yoga meredakan luka di hati Pendekar Rajawali Putih lebih dulu, baru kembali ke lereng Gunung Tambak Petir untuk mencari bunga Teratai Hitam"
Gua Bidadari telah hancur dan runtuh. Tetapi
benarkah semua penghuninya telah binasa tiada yang
selamat satu pun" Padahal, bongkahan batu dan cadas itu terlihat bergerak-gerak di atas reruntuhan gua.
Kemudian sepotong tangan tampak keluar terjulur ke
atas. Siapakah pemilik tangan itu"
SELESAI Segera menyusul!!!
BUNGA PENYEBAR MAUT
E-Book by Abu keisel Patung Emas Kaki Tunggal 3 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Pendekar Bloon 11

Cari Blog Ini