tiba-tiba menyemburkan udara keras-keras lewat lubang hidung dan berteriak,
"Hachiii!"> "Bersin. Maksudmu aku telah bersin."
beberapa puluh sentimeter di atas permukaan tanah. Ia tiba-tiba menyambar
sesuatu, cakarnya menjulur, dan selama beberapa detik hilang dari penglihatan.
"Dan satu lagi celurut tamat riwayatnya," komentar Marco.
"Jadi apa yang harus kulakukan" Apa ada obat yang bisa kumakan atau sesuatu?"
Setidaknya terjadi pada Andalite. Proses itu disebut hereth illint.>
"Kedengarannya puitis," komentar Cassie.
"Nah, itu baru puitis," kata Marco, tertawa.
Bahkan Jake pun tersenyum. "Bagaimana cara Rachel melakukannya" Proses ini?"
tanyanya pada Ax.
berbahaya.> "Kedengarannya cukup mudah," kataku. "Aku selalu hati-hati."
hidup yang utuh dari zat-zat buangan yang beterbangan di Zero-space.>
Aku melongo menatap Ax. "Apa katamu?"
dalam air tadi terjadi karena kau kesal atau emosional.>
Aku mengangkat bahu. "Aku marah karena si brengsek Jeremy Jason McTraitor itu
mengkhianati penggemarnya. Belum lagi seluruh spesiesnya sendiri."
gugup."
"Tidak ada." Wajahku kubuat datar.
"Apa yang sedang kaulakukan ketika hal itu mulai terjadi?" tanya Jake padaku.
"Aku tidak ingat," aku bohong.
Cassie mengangkat sebelah alis menatapku. "Rachel, kau sedang mengakses fotofoto Jeremy Jason di Internet."
"Memangnya kenapa?" bantahku. "Itu tidak melibatkan emosi!"
"Itu c-i-i-i-n-t-a," ejek Marco, mengeja kata itu. "Emosi cinta monyet yang
berbahaya dan mematikan. Rachel hanyut dalam cinta! Oleh gairah! Oleh nafsu
Tiger Beat yang tak terkendali dan berapi-api! Dan..."
Kata-katanya terputus karena aku mencoba meraih dan mencekiknya. Tapi ia
menghindar ke belakang Ax.
"Emosi itu mengubahnya jadi binatang liar!" oceh Marco terus. "Bahkan beberapa
binatang liar. Dia menjadi alligator c-i-i-i-n-t-a!"
"Itu crocodile," celetuk Jake, sambil tersenyum mengejek - sesuatu yang tidak
biasa dilakukannya. Dan kemudian, tiba-tiba, aku sadar sebuah pola bulu mulai muncul di permukaan
kulitku. Bulu elang bondol. Aku mengerang.
"Bagaimana kalau Marco saja yang aku singkirkan?" aku menggeram.
"Ini sempurna sekali," kata Marco. "Xena si Perkasa punya kelemahan: emosi
manusiawi. Dia korban c-i-i-i-n-t-a."
Jake meraih lengan Marco dan mencengkeramnya erat-erat. "Marco, kalau kau
membuatnya marah, dia akan berubah wujud. Dan kalau mulai berubah wujud, dia
mungkin akan jadi beruang grizzly. Apa kau benar-benar ingin Rachel marah padamu
dalam bentuk beruang grizzly?"
Marco ragu-ragu. Ia menatapku. Ia menggigit bibirnya. "Aku mengerti maksudmu,
Jake. Kurasa aku sebaiknya pergi melihat Tobias makan celurutnya."
Aku sudah separo berbulu ketika berhasil membalik proses morf itu. Aku butuh
waktu selama itu untuk menenangkan diri.
"Ax, ceritakan pada Rachel semua yang kau tahu tentang hereth ini. Persiapkan
dia. Dan Rachel, sampai kondisimu membaik, jangan menarik perhatian. Berarti
jangan masuk sekolah. Dan lupakan pertunjukan TV yang akan kaulakukan bersama
Jeremy Jason. Visser Three tahu kita mengincar Jeremy Jason. Visser akan segera
menjadikannya Pengendali. Bocah aktor itu telah melihat terlalu banyak. Mereka
mungkin sedang memasukinya sekarang."
"Tapi kita masih harus menghentikannya! Kita tidak boleh membiarkan dia
berbicara mewakili The Sharing. Kita dapat menangkapnya, mengurungnya di suatu
tempat selama tiga hari sampai Yeerk di kepalanya mati."
"Aku tahu kita harus menghentikannya, dan kita akan melakukannya. Kita hanya
harus mencari cara lain untuk menangkapnya."
"Dia mungkin akan memulai dukungannya pada The Sharing di acara Barry and Cindy
Sue Show. Lalu dia akan meninggalkan kota ini," bantahku. "Itu kesempatan
terakhir kita. Mereka. sekarang akan waspada. Mereka akan menanti kedatangan
kita. Kita tidak akan pernah bisa mendekati yacht jelek itu lagi. Pertunjukan
itu mungkin cara terakhir kita bisa menangkapnya!"
Jake mengangguk. "Mungkin. Mungkin kita tidak bisa melakukan tugas ini. Mungkin
kita semua harus membatalkannya."
Senyum bercandanya pudar. Ia memandangku dengan tatapan dingin. "Mungkin
seharusnya kau sudah memikirkan semua ini, Rachel. Kaulah yang mengacaukan misi
hari ini. Kaulah yang menyebabkan Visser Three tahu kita mengincar Jeremy Jason.
Lain kali mungkin kau mau memberitahu teman-temanmu kalau kau sedang tidak bisa
menangani sebuah misi."
Aku sebenarnya ingin membantah... kalau bisa. Tapi semua ucapannya benar.
Aku melirik Cassie. Ia tunduk menatap permukaan tanah, malu.
Ax sengaja menujukan keempat matanya ke arah lain, seolah sedang mengamati
sesuatu yang menakjubkan di kejauhan.
Aku tidak bisa melihat Tobias. Ia masih ada dalam kerimbunan rumput tinggi. Tapi
ia pasti mendengar semuanya karena ia berbisik padaku,
"Tidak. Ini apa-apa," bisikku.
Chapter 19 OKE, ya, aku memang sudah mengacau. Tapi aku bertekad menyelesaikan masalah itu.
Jadi pada dasarnya aku berbohong.
Keesokan harinya kukatakan pada Jake dan Cassie bahwa hal itu sudah terjadi.
Hereth illint itu. Kuceritakan dengan terperinci kejadiannya. Aku tak hentinya
mengatakan betapa janggal proses itu.
Gayaku sangat meyakinkan. Dan mereka percaya.
Tentu saja, kalau aku mencoba menipu Ax, ceritaku tidak akan mempan. Soalnya aku
tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi dalam proses bersendawa DNA itu.
Tidak ada di antara kami yang benar-benar memahami keterangan Ax. Begitu ia
mulai bicara tentang Zero-space, mata kami mulai menerawang.
Tapi kalau aku mencoba menipu Ax, ia akan mengajukan pertanyaan yang tidak
terpikir oleh Jake atau Cassie untuk ditanyakan padaku: Apa yang kaulakukan
dengan buaya yang satu lagi"
Yang jelas, ketika keesokan harinya aku bertemu Jake di sekolah dan mengatakan
hal itu sudah terjadi, ia mempercayaiku.
Bahkan Cassie pun percaya karena aku mengatakannya dengan berbisik tergesa-gesa
saat kami ganti kelas. Kupikir kalau aku harus menatap wajahnya, ia akan tahu
aku bohong. Aku tidak punya pilihan. Aku harus muncul di Barry and Cindy Sue Show. Dengan
cara apa saja, apa pun risikonya, kami harus menghentikan rencana Jeremy Jason
mendukung The Sharing dalam pertunjukan itu.
Aku tahu aku baik-baik saja. Karena yang perlu kulakukan hanya mengendalikan
emosiku. Selama tetap tidak emosional, aku tidak akan mengalami perubahan wujud
yang tidak terkendali. Dan aku pandai mengendalikan emosi.
Kecuali perasaan marah, mungkin. Aku punya masalah kecil dengan perasaan marah.
Tapi siapa yang akan membuatku marah dalam sebuah pertunjukan TV konyol" Semua
akan baik-baik saja. Baik-baik saja.
Uh-huh. Pulang sekolah aku kembali naik taksi ke hotel Dad. Kusuruh taksi lewat rumahku.
Kru pekerja sudah ada di sana, merobohkan sisa reruntuhan dapur dan kamar
tidurku. Mereka membawa mobil sampah raksasa, penuh kepingan penyekat dan
potongan kayu. "Kau dengar apa yang terjadi pada tempat itu?" tanya pengemudi taksi padaku.
"Rumah itu runtuh begitu saja. Bayangkan, cara mereka membangun zaman sekarang."
Aku terkejut mengetahui Dad sudah ada di hotel, menungguku.
"Sudah waktunya!" katanya, agak panik begitu aku memasuki ruangan. "Pertunjukan
langsung mulai pukul lima! Ini sudah hampir pukul tiga! Ke mana saja kau?"
"Sekolah." "Oh. Yeah. Sekolah. Ayo, ayo. Untungnya kita bisa jalan ke studio dan
menghindari kemacetan. Lokasinya di ujung jalan. Cuma lima menit."
Memilih baju hanya makan waktu sangat sedikit: aku hanya punya sekitar tiga
benda yang dapat kuselamatkan dari reruntuhan kamar tidurku. Cepat-cepat aku
menelepon Cassie untuk menyuruhnya juga bergegas. Ia rencananya menemuiku di
studio. Ia tidak ada di rumah, yang mungkin berarti ia sudah menungguku. Itu rencananya.
Cassie akan bersamaku. Yang lain akan mencoba memasuki studio dalam bentuk morf
yang tidak mencurigakan. Tapi kami tahu Yeerk akan mengamati tempat itu. Mereka mungkin akan menempatkan
beberapa orang mereka di antara penonton. Dan bisa jadi Barry atau Cindy Sue
sendiri mungkin Pengendali.
"Apa kau gugup?" tanya Dad ketika kami bergegas menyusuri jalan.
"Tidak juga," jawabku.
"Lingkup nasional, siaran TV langsung" Jutaan penonton" Dari pantai Barat ke
Timur" Dan kau tidak gugup?"
"Sekarang aku gugup," gumamku.
Kutekan perasaan gugup itu. Aku tidak boleh merasakan apa-apa. Aku harus
melewati ini semua tanpa merasakan emosi yang berlebihan. Aku bisa melakukannya.
Kami langsung berjalan melewati resepsionis di studio, Dad di depan, terlihat
seperti Mr. Big Time, dan aku melangkah panjang-panjang berusaha merendenginya.
Cassie sedang menunggu di lobi dan langsung ikut masuk bersama kami.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Cassie padaku.
Aku mengangkat bahu. "Baik."
"Benar?" "Yep." "Gugup?" "Tidak." "Senang?" "Tidak." " Takut?" "Sama sekali tidak."
Ia mencondongkan tubuh ke dekatku dan berbisik. "Apa kita punya rencana"
Maksudku, apa tepatnya yang akan kita lakukan mengenai Jeremy Jason?"
Aku mengangkat bahu. "Kita akan menghentikannya."
"Bagaimana caranya?"
Aku meringis. "Kita akan berimprovisasi."
"Wah-wah." Tiba-tiba seekor Ilama berlari pontang-panting melewati kami. Telapak kakinya
yang kecil menggelincir tak keruan di atas lantai linoleum yang dipoles.
Binatang itu belok dan hilang.
"Apa-apa...," celetuk Dad.
"Hebat," komentar Cassie. Matanya berbinar-binar, seperti biasa kalau melihat
binatang apa pun. "Itu seekor llama. Mereka benar-benar binatang keren, kalian
tahu. Mereka..." Tiba-tiba dua pria berseragam khaki berlarian mendekat dan mendorong kami.
Mereka juga belok mengikuti llama itu dan hilang dari pandangan.
Kami bertiga hanya berdiri di sana saling pandang. Lalu ada orang ketiga, wanita
yang membawa clipboard, tersengal-sengal berlari mendekat. "Kalian lihat seekor
llama?" Aku menunjuk. "Ke sana."
"Hei, ada apa?" tanya Dad.
Wanita itu menggelengkan kepalanya seolah dunia sudah berakhir. "Bart Jacobs
ikut tampil di pertunjukan ini dengan binatang-binatangnya. Llama-nya lari.
Binatang cerdas." "Bart Jacobs?" Nama itu kedengarannya sudah kukenal. "Bukankah dia pria yang
membawa binatang dalam acara obrolan?"
Cassie tampak tidak setuju. "Memang dia orangnya. Aku benci lihat binatang
diseret ke studio dan diperlakukan seperti..."
"Nah. Kalau sudah tidak ada binatang liar lagi," potong Dad, "kita harus jalan
terus." Ia kembali berjalan dan kami mengikutinya di belakang. Ia membawa kami ke ruang
rias. Pintunya terbuka. Seorang wanita berambut aneh dan berlipstik hitam
menatap Dad dan agak tersenyum genit. Lalu ia memandang aku dan Cassie, seolah
sedang mencoba memutuskan apa yang akan ia lakukan pada wajah kami.
"Yang itu," kata Dad menunjuk ke arahku. "Rachel, ini Tracy. Tracy, ini anakku
Rachel. Dia ikut tampil."
"Kulitnya bagus," komentar Tracy. "Tapi kurasa rambutnya harus dibuat lebih
bergelombang." Ia meraih segenggam rambutku dan melepasnya dengan gaya menghina.
"Kau pakai sampo apa?"
Aku memberitahukan mereknya. Ia menyeringai mengejek.
Dad pergi untuk beramah-tamah dengan orang-orang yang dikenalnya. Dan Tracy
mendorongku ke kursi ala tukang cukur, memakaikan selembar kain di leher, dan
mulai menggerak-gerakkan sikatnya.
Aku benci didorong-dorong seperti itu. Benar-benar membuatku agak marah.
"Rambut ini! Rambut ini!" keluh Tracy. Lalu ia menjenggut rambutku. Terlalu
keras. Aku tidak suka dijenggut.
Tiba-tiba Tracy mundur. "Apa yang terjadi pada rambutmu" Warnanya... warnanya
berubah jadi abu-abu!"
Aku melihat ke arah cermin di belakangnya. Aku melihat dua hal. Aku melihat
mimik ngeri Cassie. Dan aku melihat rambutku berubah jadi abu-abu. Abu-abu dan
tak rata. Seperti rambut serigala.
Hal itu terjadi! Aku marah pada Tracy dan aku berubah wujud.
Jadi serigala! Dengan tatapan putus asa kupandang Cassie. Ia langsung bertindak.
"Lihat!" teriaknya. "Di koridor di luar! Itu... eh... itu Kevin Costner! Dan Tom
Cruise juga!" Tracy menjerit, "Mana" Mana?" lalu menjatuhkan sikatnya dan berlari ke pintu.
Aku berkonsentrasi. Tenang... tenang... jangan emosi...
Tapi sikap Cassie tidak membantu. Sama sekali. "Kau bohong! Padaku! Lagi-lagi
bohong! Kau sama sekali belum mengalami hereth illint itu! Kau masih alergi!"
"Aku sedang mencoba menenangkan diri, Cassie," kataku memperingatkan. "Aku
sedang mencoba berubah kembali."
"Kau tidak bisa melakukan pertunjukan tolol itu selama masih seperti ini!"
"Aku akan melakukannya. Itu satu-satunya cara! Aku tidak akan membiarkan makhluk
brengsek itu... sekarang lihat! Kau cuma bikin aku kesal!"
Bulu abu-abu mulai tumbuh di punggung lengan dan tanganku.
Aku memejamkan mata. Jangan marah. Jangan marah. Jangan marah.
"Aku tidak lihat Kevin Costner di luar," kata Tracy curiga ketika kembali.
"Aku tadi yakin itu dia," kata Cassie. "Maaf."
"Sekarang, apa yang tadi terjadi pada rambutmu?" tanya Tracy, terpaku bingung
menatap kepalaku yang sekarang normal.
"Ehm... tidak cukup conditioner?" tanyaku.
Dan pada saat itulah aku mengalami guncangan emosional kedua. Karena saat itulah
cowok terkeren di planet Bumi berjalan memasuki ruang rias.
"Jeremy Jason," kudengar Cassie berbisik dengan nada terpesona.
Jangan emosi... jangan emosi..., kataku pada diri sendiri.
Tapi kalian tidak tahu betapa luar biasa kece-nya ia dari dekat begitu. Dan lalu
ia tersenyum pada Cassie, dan memeluk bahunya pelan. Seperti yang mungkin sudah
pernah ia lakukan pada sejuta penggemarnya. Kulihat lutut Cassie lemas. Ia
benar-benar sempoyongan.
Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai, aku Jeremy Jason McCole," katanya padaku. "Apa kau juga tampil di
pertunjukan nanti?" "Ya," jawabku, mencoba terdengar seperti robot. "Ya, aku juga tampil di
pertunjukan nanti." Aku tidak berdiri dari kursi rias. Dan aku tidak menjabat tangannya. Karena aku
harus mengatakan yang sebenarnya pada kalian: Meskipun aku tahu ia sekarang apa,
meskipun tahu ia orang macam apa, meskipun tahu di dalam kepalanya hidup lendir
Yeerk abu-abu yang jahat, jika ia memelukku seperti yang tadi dilakukannya pada
Cassie, aku akan berubah wujud. Aku pasti akan benar-benar berubah wujud.
Chapter 20 "HEI, kata Jeremy Jason, memandangku dengan tatapannya yang terkenal: mata
menyipit dengan sorot ragu-ragu. "Aku sudah pernah melihatmu, kan?"
Aku menggeleng. "Belum. Sama sekali belum."
"Yeah, yeah. Kau cewek yang jatuh ke dalam kandang buaya setelah bocah laki-laki
itu. Kau tampil dalam pertunjukan hari ini, eh?"
"Bukan hanya itu yang dia lakukan," kata Cassie menggebu-gebu. "Dia juga
tertimpa rumahnya sendiri."
Aku melemparkan tatapan "Apa-apaan kau?" pada Cassie. Apa kalau aku tertimpa
rumah, Jeremy Jason akan lebih menyukaiku" Apa hal itu akan membuatnya terkesan"
Cassie menatapku dengan pandangan bingung dan tak berdaya, lalu mengangkat bahu.
Ia tak hentinya memandangi Jeremy Jason dengan mulut meringis aneh. Tentu saja,
kalau mau jujur, mungkin mulutku juga meringis aneh seperti itu.
Jeremy Jason melemparkan seulas senyum. Lalu ia berkata, "Begini, Cewek Bencana,
atau apa pun julukanmu, bagaimana kalau kau dan temanmu menggelinding ke luar
dari sini" Aku harus dirias. Dan aku tidak butuh penonton."
Ucapannya menghapus seringai aneh di wajah kami. Tracy menatapku tajam dan
menyentakkan kepalanya ke arah pintu.
Di luar di koridor kami bertemu sang llama. Binatang itu sedang berdiri di sana,
asyik sendiri. "'Cewek Bencana'?" ulangku. "Dia bilang apa?"
"'Menggelinding ke luar dari sini'?" kata Cassie. Kami berdua menatap llama itu.
"Kalau kau sedang tunggu giliran dirias, lupakan saja," kataku pada llama itu.
"Kau bukan bintang yang cukup besar."
"Aahhh!" Cassie dan aku memekik. Kalian pasti mengira orang seperti kami siap
menghadapi hal-hal aneh seperti llama yang bisa bicara. Tapi hal itu benar-benar
di luar dugaan kami. "Marco?" desisku.
"Kau sedang apa?"
bebas. Jadi kupikir, hei, kenapa mesti jadi serangga">
"Mana llama yang asli?" bisik Cassie.
dulu, lalu si Cowok Cengeng, dan akhirnya kau, Rachel.>
Cassie mengangkat sebelah alisnya menatapku. Aku sengaja tidak memandangnya. Aku
tahu apa yang ia ingin aku lakukan.
"Oke, aku yang akan memberitahunya," kata Cassie. "Marco, Rachel mungkin agak
membesar-besarkan waktu bilang dia baik-baik saja. Kau sebaiknya memperingatkan
Jake."
"Belum." "Aku tak apa-apa selama tidak emosional," kataku membela diri.
komentar Marco. Cassie menggigit bibirnya, berpikir keras. "Sudah terlambat membatalkan
penampilan Rachel begitu saja. Tapi kita butuh cadangan, untuk berjaga-jaga. Apa
pun yang terjadi, kita tidak boleh membiarkan orang melihat Rachel berubah
wujud."
"Nah," potong Cassie, "yang penting harus selalu ada seorang Rachel. Mengerti"
Aku tidak percaya apa yang ada dalam pikiranku sendiri, benar-benar bikin aku
merinding. Tapi, Rachel" Kurasa kita butuh satu duplikatmu."
"Tunggu kiamat," bentakku.
Marco melemparkan tatapan llama ke sebelah kirinya.
pelan. Marco menunggu dengan sabar sampai mereka menangkapnya, menyelipkan tali
di sekitar lehernya, dan membawanya pergi.
masuk tee-vee-ee. Aku akan masuk tee-vee-ee.>
Cassie memegang lenganku.
"Mau apa kau?" tanyaku.
"Jangan khawatir, aku tidak akan pernah menggunakan morf-mu untuk tujuan jelek,"
kata Cassie serius. Dan kemudian aku mulai merasa mengantuk dan hilang kesadaran
ketika ia menyadap DNA-ku.
"Jangan lakukan kalau tidak terpaksa," kataku. "Bikin aku merinding. Maksudku,
iihhh." Aku menggigil. Dan tiba-tiba, kurasakan wajahku mulai membengkak.
"Rachel!" "Aku tenang. Aku tenang," kataku. Aku menarik napas panjang dan melepaskan
perasaan aneh yang kurasakan karena Cassie akan memakai morf-ku. Morf alergis
itu berhenti dan wajahku kembali normal.
"Hei! Kau! Cewek Jatuh! Ayo!"
Wanita yang membawa clipboard bergegas lewat dan menyambar lenganku, menarikku
menyusuri koridor. "Oke, dengar baik-baik karena kita sudah sangat terlambat. Kau masuk di segmen
terakhir. Akan kuberitahu waktunya. Kau naik ke panggung dan berjalan
menghampiri Barry. Dia akan menjabat tanganmu. Lalu Cindy Sue akan menjabat
tanganmu, kecuali kalau dia sedang sibuk. Lalu kau duduk. Jangan mengkhawatirkan
kamera mana yang harus kaulihat, tatap saja Barry dan Cindy Sue. Barry dan Cindy
Sue akan menanyakan masalah alligator..."
"Crocodile," koreksiku.
"Ceritakan pada mereka apa yang kaualami. Jika Barry memberikan tanda ini dengan
tangannya, berarti kau harus mempercepat ceritamu. Jika dia memberikan tanda ini
dengan tangannya, berarti kau harus menyelesaikan ceritamu karena waktu kita
sudah habis. Mengerti" Bagus. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ia tiba-tiba berhenti dan menatap Cassie. "Siapa kau?"
"Aku teman Cewek Jatuh, si Cewek Terguling," jawab Cassie.
Wanita clipboard itu menatapnya.
"Dia temanku," kataku. "Anda tahu kan, untuk dukungan moral."
"Yeah, terserah kau, lah. Ayo. Ruang tunggunya tidak bisa dipakai. Minggu lalu
kami menampilkan sebuah band dan merekamerusak tempat itu." Ia masih menariknarik lenganku, yang biasanya membuatku marah. Tapi aku tidak bisa marah. Atau
sedih. Atau apa pun, tanpa mengaktifkan reaksi alergisku.
Wanita clipboard menempatkan Cassie dan aku di atas dua kursi tinggi. Kami
berada di sebuah sudut remang-remang, di depan dinding berpanel kayu penuh kawat
dan kabel dan sakelar. Bart Jacobs, si kolektor binatang, duduk di kursi serupa. Ia sedang merokok dan
bicara dengan salah satu pelatih binatangnya.
Di dinding berjejer enam kandang berisi binatang Bart Jacobs. Anak singa. Bayi
gajah. Ular piton. Elang emas.
Dari sudut suram itu kami bisa melihat ke arah panggung Barry and Cindy Sue yang
sudah kami kenal. Panggung itu dibentuk seperti ruang tamu, dengan kursi-kursi
nyaman di bagian tengah. Di depan kursi-kursi itu ada kamera - satu di tiap sisi
dan satu tepat di tengah.
Di bawah sorot lampu terang panggung ada penonton studio.
Bukan berarti aku bisa melihat mereka. Mereka duduk dalam gelap, dan lampu
panggung membutakan mataku terhadap hal-hal lain. Lalu, tergesa-gesa, Barry
sendiri berkelebat lewat. "Halo, semua, hari ini acaranya hebat. Semoga kalian
semua siap. Ayo! Ayo! Semangat! Tetap bersemangat! Sampai jumpa di panggung!"
Sepuluh detik kemudian, Cindy Sue berkelebat lewat menebarkan harum parfum,
diikuti seorang pria yang mencoba menyisir rambut Cindy Sue saat wanita itu
berjalan. Wanita itu melemparkan senyum palsu padaku dan tatapan kesal pada Bart Jacobs.
Kolektor binatang itu mencondongkan tubuh ke arahku, mengeluarkan rokok dari
mulutnya, dan berkata, "Dia tidak pernah memaafkanku karena salah satu binatang
kecilku mengencingi bajunya."
Dari balik sorot lampu terdengar gemuruh sambutan penonton.
Kulihat Dad berdiri di sudut panggung, berbicara pada wanita clipboard. Ia
melihatku dan tersenyum serta mengedipkan sebelah mata.
Aku tidak gugup. Aku tidak takut. Tidak ada emosi. Tidak ada emosi. Hanya itu
satu-satunya cara. Aku bisa melakukannya. Aku bisa.
Barry dan Cindy Sue sedang berbicara di panggung. Lalu Jeremy Jason berkelebat
lewat seperti badai kecil. Ia kelihatan marah.
Kudengar ia bergumam pada seorang pria yang tampak takut. "Apa maksudmu ruang
tunggu tutup" Kau tidak bisa membiarkanku berdiri saja di sini! Aku Jeremy Jason
McCole!" Tentu saja, ia mungkin sudah bukan benar-benar Jeremy Jason McCole lagi. Ia
mungkin seorang Pengendali, aku mengingatkan diri sendiri. Sekarang, Jeremy
Jason yang asli terkurung di salah satu sudut benaknya sendiri. Ia tak berdaya
melihat Yeerk mengendalikan semua gerakannya, semua tindakannya, semua
perkataannya. Apa pemuda brengsek yang ambisius dan angkuh itu sudah mulai sadar bahwa ia
telah ditipu" Apa ia sudah sadar bahwa tidak ada yang bisa menjadi rekan kerja
Yeerk" Yeerk adalah sang penguasa. Tuan rumah manusia adalah budaknya. Titik. Dan kalau
melakukannya dengan sukarela, sang budak manusia bahkan jadi semakin lemah.
Bahkan semakin tidak bisa melawan.
Aku muak memikirkannya. Jeremy Jason sendiri yang cari masalah. Ia membiarkan
dirinya sendiri ditipu. Namun aku tetap muak....
Tunggu sebentar. Aku benar-benar merasa mual.
Oh, tidak, aku memohon dalam hati. Jangan sekarang.
Aku menatap Cassie. "Cassie" Rasanya aku tidak akan bisa tampil."
"Apa maksudmu" Kalau merasa takut atau apa pun, kau hanya harus mengendalikan
perasaan itu." Aku menggeleng. "Bukan itu. Aku merasa... aneh. Aku merasa kacau. Aku merasa
seperti ada sesuatu yang sedang terjadi dalam tubuhku."
"Morf alergis itu?"
"Kurasa bukan. Sekarang aku sudah bisa mengendalikannya. Kurasa aku akan
mengalami hal itu." "Hal apa?"
"Kau tahu." "Hereth illint itu" Sekarang" Di sini" Sekarang?"
Aku mengangguk. "Yeah. Di sini. Sekarang."
Chapter 21 "OH, tidak," ratap Cassie.
Tapi ia meratap dengan suara pelan, karena Bart Jacobs masih duduk dekat kami.
Ia sedang bicara pada asistennya dan bersiap-siap tampil.
Barry akhirnya selesai menceritakan sebuah kisah lucu. Penonton tertawa
bergemuruh. Cindy Sue mulai memperkenalkan sang kolektor binatang. Pria itu
berdiri dan merapikan pakaiannya.
Seorang asisten bergegas mendekat membawa sebuah tali kekang untuk dipegang
Bart. Di ujung tali kekang itu terikat sang llama.
llama...> "... ini dia, Bart Jacobs!"
Tepuk tangan. Bart berjalan, menarik Marco di belakangnya.
Asistennya sudah menyiapkan binatang yang lain. Jeremy Jason berada di sebuah
sudut gelap, bertengkar dengan seseorang.
Sementara itu, perasaanku jungkir balik. Ax tidak menyebutkan bahwa proses
hereth illint sangat tak menyenangkan. Proses itu dimulai dengan gelombang rasa
mual yang amat sangat hingga aku hampir memuntahkan makan siangku saat itu juga.
Tapi selain perut mual itu, terjadi sesuatu yang jauh lebih parah.
Kekacauan total. Tubuhku menolak DNA buaya. Tapi buaya dalam diriku tidak mau
menyerah begitu saja. Sebelum bisa keluar, binatang ini harus muncul ke
permukaan. Aku dapat merasakan benak buaya yang dingin penuh perhitungan
menggelembung naik dalam benakku sendiri.
Aku kehilangan kendali tubuhku sendiri!
Pada saat bersamaan, dalam tubuh yang sama, dua otak yang sama sekali berbeda
memandang ke luar melalui mataku. Buaya dalam diriku gelisah. Ia tidak terbiasa
dengan situasi ini. Ia tidak tahu sedang berada di mana.
Tapi buaya bukan sekadar mesin pembunuh yang kejam tak berotak. Mereka mesin
pembunuh yang kejam dan cerdas. Dan buaya ini mengabaikan kenyataan bahwa ia
berada di tempat yang tidak seharusnya dihuni buaya. Buaya ini langsung
berkonsentrasi pada hal yang penting. Buaya ini memusatkan perhatian pada apa
yang harus dilakukannya. Dan yang harus dilakukannya adalah makan.
Buaya dalam diriku mencoba mengibaskan ekornya. Tapi ia tidak punya ekor. Jadi
binatang itu mengibaskan pantat... kami... bukan, pantatku.
"Rachel! Apa yang kaulakukan?"
"Aku... aku tidak...," aku berhasil berkata. Lalu buaya ini memutuskan ia sudah
lelah mencoba berenang. Ia akan berlari mengejar mangsanya. Dan ia memang punya
kaki. Bahkan sebelum sempat menolak keinginan itu, aku sudah bergerak sambil
melambaikan lengan seperti orang idiot dan merayap-rayap seperti orang gila. Aku
bergerak cepat ke arah Jeremy Jason McCole.
Tepat ke arahnya, dan rahang besar buayaku membuka untuk melumpuhkan mangsa!
Hanya saja aku tidak punya rahang buaya.
"Aduuhhh!" Jeremy Jason berteriak ketika aku menggigit bahunya.
Cassie mencengkeramku dan menyentakkan tubuhku sampai terlepas dari tubuh Jeremy
Jason. "Dia penggemar beratmu, Jeremy Jason! Dia mencintaimu!"
"Singkirkan cewek gila ini!" teriak Jeremy Jason. Aku mencoba menggigit Cassie.
Asisten Bart Jacobs menarik Marco ke luar panggung, dan seorang lagi mendorong
seekor kura-kura raksasa ke tengah sorot lampu.
Aku menggigit leher Marco. Untunglah gigi manusia tidak terlalu mematikan.
Cassie menarikku lepas dan sekarang, agak terlambat, aku mulai menjadi Rachel
lagi. Tapi itu bukan akhir masalahku. Karena bahkan saat benak manusiaku kembali
muncul ke permukaan, aku merasakan beratku bertambah. Aku merasa sangat berat.
Dan aku merasa punggung bajuku meregang dan mengencang. Juga di bagian leher dan
lengan. Tiba-tiba, aku seolah jadi si Bongkok dari Notre Dame. Sesuatu yang sangat besar
sedang tumbuh di punggungku. Dan aku punya firasat buruk yang memberitahuku itu
benda apa. Sekarang aku mengerti apa maksud Ax. Soalnya, aku tahu DNA buaya akan dibuang
dari sistemku. Tapi mana aku tahu bahwa dalam proses pembuangannya, DNA itu akan
menjadi mesin pembunuh dewasa sepanjang enam meter.
Tapi yang menyedihkan adalah, bahkan kejadian ini pun bukan yang paling buruk.
Karena seluruh kejadian ini membuatku sangat jengkel. Aku marah. Aku takut. Aku
marah karena aku sangat takut.
Aku sebuah keranjang berisi berbagai emosi ekstrem. Dan alergiku belum hilang.
Chapter 22 "RACHEL!" Cassie tersengal.
"Aku tahu!" kataku.
"Kita harus meninggalkan tempat ini!"
"Aku tahu!" Cassie menyambar tanganku dan dengan cepat menarikku menjauhi panggung. Kami
dengan kasar menyenggol Jeremy Jason, yang mundur ketakutan menjauhi cewek gila
yang menggigitnya. Kami bersenggolan dengan wanita clipboard yang berteriak, "Hei, berhenti! Kalian
tidak boleh pergi!" "Dia sakit perut!" kata Cassie. "Kurasa dia demam panggung."
"Di ujung koridor. Di sebelah kiri!"
Saat sampai di kamar mandi wanita, aku sudah bukan sekadar bongkok. Aku terlihat
seperti banteng.
Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Cassie.
"Memangnya aku tahu?" teriakku histeris. "Ada buaya keluar dari punggungku!
Dan... dan kurasa aku... grrr... rrooaaar!" Dengan ngeri kulihat tanganku. Ya,
bulu cokelat tebal mulai tumbuh. Bulu yang sangat kukenal.
Bulu beruang grizzly. "Kata Ax kau harus berkonsentrasi! Kendalikan proses ini! Atau sesuatu seperti
itu." Aku membeliak marah pada Cassie. Aku sudah tidak bisa bicara. Aku sedang dengan
sangat cepat berubah wujud menjadi beruang grizzly. Dan kali ini bukan hanya
kakiku. Moncong tumpulku mulai menonjol. Jariku jadi pendek sementara kukunya
jadi cakar bengkok hitam yang dapat mencabik perut rusa.
Dan pada saat bersamaan, sang buaya muncul dari punggungku.
Binatang itu merayap dan menggeliat ke luar tubuhku. Tidak terasa sakit. Tapi
oh, man, rasanya mengerikan. Jauh lebih mengerikan daripada yang paling
mengerikan. Padahal aku cewek yang sudah sering melihat hal-hal mengerikan.
"Oh, tidak!" bisik Cassie ketakutan, terpaku menatap apa pun yang sedang terjadi
di punggungku. Seseorang mencoba membuka pintu kamar mandi. "Pergi! Di sini penuh!"
"Aku sudah tidak tahan," rengek seorang wanita.
"Percayalah, kau tak ingin masuk ke sini," geram Cassie. "Cari tempat lain."
Mata Cassie liar meneliti seluruh ruang kamar mandi. Tempat itu terlalu kecil
untuk diisi seekor buaya sepanjang enam meter dan seekor beruang grizzly.
Sekarang buaya itu sudah sangat berat sehingga membebaniku.
Dan di cermin kamar mandi kulihat pantulan mengerikan moncong buaya tumbuh dan
muncul dari suatu tempat tepat di belakang leherku sendiri. Aku seharusnya
terempas ke lantai karena bobot buaya itu, tapi saat binatang itu semakin besar,
aku berubah wujud jadi beruang grizzly. Dan beruang grizzly sangat kuat.
"Aku tidak punya morf yang bisa mengalahkan buaya!" kata Cassie. "Tidak ada yang
bisa mengalahkan buaya!"
"Tidak bisa! Kau menghalangi pintu dengan ekormu!"
Kulihat diriku sendiri terpantul di cermin. Itu bayangan mimpi buruk seorang
perempuan gila. Gila! Dua kepala seolah tumbuh dari satu badan yang sama: kepala
beruang grizzly dan buaya. Buaya itu mengatupkan rahangnya yang bergigi tajam,
mencoba ketajamannya.
Aku heran mendengar Cassie menggunakan bahasa-pikiran.
Aku merasakan sensasi menggeleser dan basah. Seolah perutku dikoyak dari
belakang, hanya aku tidak benar-benar merasa sakit.
Lebih merasa sangat mual.
Lalu aku merasa beban berat itu hilang. Kudengar serangkaian bunyi berdebam.
Proses hereth illint sudah selesai. Aku sudah "bersendawa" buaya.
Binatang itu menggeletak di atas lantai ubin, ekornya yang besar bergelung kaku
di sudut, memblokir pintu.
Sedangkan aku sekarang sudah seutuhnya beruang. Aku berdiri tegak, kepalaku yang
besar menyentuh langit-langit ubin akustik.
Kurasakan kekuatan mengagumkan bahu raksasaku. Kurasakan keperkasaan beruang
grizzly. Tidak ada makhluk hidup yang bisa melumpuhkan beruang grizzly. Kecuali...
kecuali mungkin reptilia raksasa di kakiku.
Dari atas pintu toilet terlihat seekor tupai, mendekam di atas kursi toilet,
gemetar dan merintih ala tupai.
mematikannya seekor binatang sampai kita sudah pernah jadi binatang itu.
Aku pernah jadi buaya. Beruang grizzly sangat kuat. Mereka dapat mengayunkan cakar besar mereka dan
merobohkan seekor kuda. Tapi beruang ini tidak punya senjata yang bisa dipakai
melumpuhkan buaya. Bahkan cakar tajam beruang grizzly-pun tidak bisa mengoyak
perisai bersisik buaya. Dan begitu buaya berhasil menancapkan rahangnya di tubuh beruang, beruang itu...
aku... akan dicabik-cabik.
Buaya itu mengincarku dengan tatapan dingin. Menyeringai memperlihatkan gigigiginya. Dan kemudian menerkam.
Chapter 23 AKU melihat kelebatan gigi.
Dan kemudian aku melihat kelebatan abu-abu.
Ekor berbulu lebat dan tangan-tangan mungil serta mata cokelat besar melesat
lewat.
atas kepala buaya dan mulai mencakari matanya yang sipit.
Buaya itu mengamuk. Binatang itu melupakanku, dan mulai meronta-ronta kalap,
mencoba melontarkan tupai di punggungnya.
Dan seseorang memilih saat genting itu untuk mencoba memasuki kamar mandi.
"Aku tidak bisa menemukan kamar mandi lain! Aku harus masuk!" teriak seorang
wanita. Buaya itu melibaskan ekornya.
Aku menerkam buaya itu, melayangkan pukulan dengan telapak kakiku yang berat.
Dan kami semua terbanting ke atas lantai kamar mandi.
BUUUK-GUBRAAAK! Daun pintu terpental lepas dari engselnya! Dari balik pintu berhamburan seekor
buaya dengan tupai di atas kepalanya, dan seekor beruang grizzly.
"AAAHHHHH!" wanita itu menjerit. Kurasa setelah itu ia menemukan kamar mandi
lain. Aku tersandung buaya. Tubuhku terguling ke lantai. Buaya itu langsung
menerkamku. Aku mencoba berdiri di atas keempat kaki, tapi buaya itu benar-benar cepat! Karena tidak
sempat bangun, aku hanya bisa menggeleser menjauh dengan bantuan cakarku.
Kubenamkan cakar sepanjang lima belas sentimeter ke dalam tembok dan kuangkat
tubuhku, menggeleser menjauh dengan posisi terbalik, seperti beruang aneh yang
sedang main papan luncur dan kehilangan kendali.
Aku melarikan diri ketakutan, mengoyak tembok di belakangku. Buaya itu berlari
mengejarku, mengatupkan rahangnya hanya beberapa milimeter dari kaki belakangku.
Cassie hampir terlempar. Ia berpegangan sekuat tenaga pada leher buaya, tapi ia
tidak lagi bisa mencapai mata binatang itu.
Dan kemudian, aku sampai di ujung koridor. Dengan satu dorongan terakhir aku
bertumpu pada punggungku, keluar ke area belakang panggung, dikejar buaya
raksasa dan tupai kalap yang tak hentinya berceloteh.
Orang-orang yang berdiri di sekitar panggung mulai melihat kami.
"Aaahhhhh!" "Tolong! Tolong!"
"Lari! Lari! Tiba-tiba rahang buaya menjepit kakiku.
GggggRRRAAUUNGNGNG! Aku melolong kesakitan.
Seekor llama meronta lepas dari tangan pelatihnya dan menyerbu buaya itu dengan
nekat. Sama sekali tidak ada yang bisa dilakukan Marco, tapi ia tetap mencoba.
Dan dalam sekejap ia sudah dilontarkan terguling. Tapi ia langsung berdiri lagi,
dan kembali menyerbu minta dilemparkan lagi.
"Keluarkan binatang-bintang itu dari tempat ini!" teriak wanita clipboard.
"Itu bukan binatangku! Itu bukan binatangku!" teriak Bart Jacobs panik sambil
berlari bersembunyi. "Aku tidak tahu dari mana asalnya!"
Buaya itu mulai menggelepar-gelepar, mencoba meremukkan tulang kakiku. Bahkan
mencoba mencabik lepas kakiku!
Dan rasanya sakit. Sakit sekali. GRRRAAAAAAUUNGNGNG! "Oh, tidak! Pertunjukan ini akan kacau!"
"Apa harus kita isi iklan?"
"Siapa peduli! Lari! Aaahhhhh!"
Chapter 24 MUNGKIN karena melihat serbuan llama yang berani tapi nekat. Atau mungkin karena
Cassie kembali mencakari matanya.
Yang jelas buaya kalap itu membuka rahangnya satu inci.
Sudah cukup untukku. Kusentakkan kakiku yang remuk dari dalam mulut buaya dan mencoba bergerak sejauh
mungkin supaya bisa berbalik dan bertarung berhadapan muka dengannya. Seolah
dengan cara begitu aku bisa menang.
Sialnya, gerakanku membuat semua peserta pertarungan - beruang grizzly, tupai,
llama, dan buaya - terseret ke area panggung.
Ke tempat Barry dan Cindy Sue yang dengan profesional berusaha terus
mewawancarai Jeremy Jason McCole.
Ke tempat Jeremy Jason McCole yang baru mulai berkata, "Barry dan Cindy Sue,
saya terlibat dalam sebuah kelompok yang menurut saya merupakan organisasi yang
sangat bagus. Menurut saya..."
Ke tempat sorot lampu terang menyinari kami - gumpalan bulu, cakar, ekor, sisik,
dan gigi yang menggeram, menggigit, menyayat, berceloteh, dan mengaum.
Barry melompat dari kursi dan mundur dengan kecepatan mengagumkan.
Cindy Sue tetap tenang. Ia hanya berulang kali berkata, "Tolong panggil Bart
Jacobs ke sini untuk mengeluarkan binatang-binatang ini."
Tentu saja Bart tidak mau terlibat dalam pertarungan, antara buaya dan beruang.
"Itu bukan binatangku, bodoh!" teriaknya pada Cindy Sue.
Jeremy Jason-lah yang reaksinya paling mengherankan. Ia tidak melarikan diri. Ia
tidak menjerit. Ia membeku. Ia membeku seperti patung. Yang bergerak hanyalah
matanya. Yang semakin membesar.
Saat itulah aku melihat satu Andalite telah muncul, meskipun ia bersembunyi dari
jangkauan sorot kamera. Dan dengan hati-hati mempertahankan posisinya. Itu Ax!
mencoba mencakar mata buaya.
Tiba-tiba buaya itu menyentakkan seluruh tubuhnya dengan kekuatan luar biasa.
Aku sedang dalam morf beruang grizzly, dan aku dulu tidak akan pernah percaya
ada yang lebih kuat daripada seekor grizzly. Tapi saat buaya meronta, kami semua
mengetahuinya. Cassie terlempar jatuh. Jauh lebih keras daripada Marco. Aku tak bisa melihat
tubuhnya yang melayang di udara. Ekor tupainya mengibas-ngibas seperti ekor
layangan. Dan sekarang tidak ada yang menghalangi aku dari buaya itu. Ini binatang yang
mencari makan dengan cara menyeret gnu dan impala - sejenis antelop yang hidup di
Afrika - ke dalam sungai.
Aku lebih besar daripada makanan sehari-harinya. Tapi buaya ini menyimpan dendam
padaku. Tadi ia sudah mulai mengunyah, tapi aku berhasil melepaskan diri. Dan ia
tidak menyukainya. Binatang itu menyerbuku. Dan percayalah padaku: Jangan pernah, sama sekali
jangan pernah, kalian sampai diincar buaya untuk dijadikan makan malam.
Aku tahu meski aku berusaha melawan pun, aku akan kalah.
Jake. Ia sudah menemukan kami. Dan suaranya jelas terdengar tidak senang.
Lalu dalam kepalaku terdengar suara bahasa-pikiran Cassie.
Dan pada saat itulah nasib campur tangan. Marco sedang berusaha berdiri di atas
kaki llama. Tiba-tiba telapak kakinya tergelincir di atas lancai licin dan ia
menabrak punggung kursi Jeremy Jason.
Sang aktor - atau Yeerk dalam kepalanya - masih membeku ketakutan. Dan ia tetap
membeku saat tubuhnya jatuh dari kursi dan mendarat tepat di depan buaya.
Chapter 25 PENONTON kembali menjerit ngeri.
Cindy Sue akhirnya panik dan lari.
Barry meneriakkan perintah-perintah yang tak masuk akal dengan sangat panik.
"Ambil stapler! Ambil stapler!"
Kurasa itulah yang dikatakannya. Perhatianku agak terpecah. Tubuh Jeremy Jason
tidak lagi membeku. "Aaahhhhh! Aaahhhhh! Selamatkan aku! Selamatkan aku!
Singkirkan makhluk ini!"
Dan dengan penglihatan beruangku yang buram, aku berani sumpah melihat sesuatu
yang berlendir dan berwarna abu-abu merayap ke luar telinga Jeremy Jason.
Dan saat itulah lampu mati.
Kegelapan yang tiba-tiba! Tidak gelap gulita, tapi terlalu gelap bagi, kamera
dan penonton. Terjadi kekacauan total di area penonton. Mereka masih tak seberapa panik
melihat binatang liar di panggung. Tapi sekarang lain, mereka duduk dalam
kegelapan dan tidak tahu apakah binatang-binatang liar itu akan menyerbu
penonton atau tidak. Seluruh studio dipenuhi jeritan. Jeritan dan raungan binatang. Dan yang paling
keras, teriakan melengking ketakutan Jeremy Jason.
"Selamatkan aku! Selamatkan aku!"
Aku melihat kelebatan gerakan dari bawah panggung.
Tiba-tiba satu Andalite melompat ke udara. Lalu mendarat tepat di atas punggung
buaya. Ekor Andalite menyabet.
Set! Set! Set! Dan tiba-tiba buaya itu melepaskan Jeremy Jason.
Aku tahu Andalite lebih perkasa daripada penampilannya. Aku sudah pernah
bertempur bahu-membahu dengan Ax. Tapi tidak ada yang pernah membuatku begitu
terkesan seperti sekarang. Buaya itu seperti tank. Tidak bisa dilumpuhkan!
Tapi sekarang ia sudah dilumpuhkan.
Jadi ternyata aku memang melihat lendir merayap ke luar telinga Jeremy Jason!
Yeerk itu panik. Ia tidak mau ikut tertelan buaya bersama tubuh tuan rumahnya.
Kini makhluk itu merayap berputar-putar di atas panggung gelap seperti siput tak
bercangkang.
< Yeah, > jawabku.
Meskipun sudah mati, binatang itu masih membuatku gemetar ketakutan. Mungkin
karena bangkainya masih berada sangat dekat dengan Jeremy Jason McCole yang
sedang menjerit-jerit, berteriak-teriak, dan menyumpah serapah histeris.
Aku kabur. Aku lari ke ujung panggung. Tapi saat lari, aku merasa salah satu
kaki beruangku yang berukuran raksasa menginjak sesuatu.
Sesuatu yang hangat dan berlendir.
Sesuatu yang terasa seperti siput tanpa cangkang.
Chapter 26 KAMI berubah wujud di kamar mandi wanita. Ax melakukan hal sebaliknya, berubah
wujud jadi manusia. Tapi kami kehilangan Cassie.
"Aku akan mencarinya," kataku. "Kalian, cowok-cowok, tinggalkan tempat ini. Aku
memang seharusnya ada di sini. Tapi kita tidak bisa menjelaskan mengapa kalian
ada di sini." Aku kembali ke arah area panggung. Suasana masih gelap. Apa pun yang telah
dilakukan Cassie pada penerangan di sana, petugas butuh waktu cukup lama
memperbaikinya.
Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di mana-mana terdengar teriakan. Banyak kata-kata makian dilontarkan.
Aku belok di sebuah sudut dan hampir menabrak punggung seorang pria yang sedang
berdiri di sana. Ia bahkan tidak menoleh. Ia sedang asyik menatap seseorang yang
berdiri tepat di depannya.
Kudengar sebuah suara berkata, "Yeah, aku memang benar-benar sial."
Suara itu terdengar aneh sekaligus kukenal. Seolah aku sudah pernah
mendengarnya, tapi tidak persis begitu.
Lalu aku sadar. "Maksudku, aku jatuh ke dalam kandang buaya, rumahku ambruk menimpaku, dan
sekarang ini." Aku berjinjit dan melihat dari balik bahu pria itu. Yang aku lihat adalah
diriku. Aku. Sebenarnya itu adalah Cassie, yang berubah wujud menjadi aku. Pria
yang sedang bicara dengannya adalah salah satu produser acara itu.
"Kau sangat tidak beruntung," kata pria itu.
"Itulah yang berulang kali kukatakan pada semua orang," kata Cassie. "Mereka tak
hentinya bilang aku sangat beruntung bisa selamat. Aku tak hentinya mengatakan
tidak!" Pria itu mengangguk. "Kau tahu, sesaat tadi aku ragu apakah kau...," katanya,
membiarkan kalimatnya menggantung. Lalu iamengangkat bahu. "Tapi buaya itu sudah
mati. Sedangkan kau ada di sini."
Aku merapatkan tubuh ke dinding. Kalau menoleh dan melihatku, pria itu pasti
kaget. Dan bagaimana kalau ternyata ia seorang Pengendali" Aku tidak bisa
mengambil risiko itu. "Yeah, aku bersyukur binatang itu tidak memangsaku," kata Cassie. "Aku mau
pergi. Aku harus mencari Dad. Dia ada di suatu tempat di sini. Harus ada yang
membereskan semua kekacauan ini."
Cassie berjalan melewati pria itu. Aku memalingkan wajah, tidak ingin membuatnya
kaget. "Andalite!" mendadak pria itu berseru.
Jantungku berhenti berdetak. Ia sedang menguji Cassie. Menunggu apakah Cassie
akan bereaksi. Apakah Cassie mengenali kata itu. Kalau Cassie ragu-ragu atau
berhenti, pria itu akan tahu.
Seharusnya aku tidak perlu khawatir.
Ketika pria itu meneriakkan kata "Andalite" - yang terdengar seperti "And the
light" - Cassie terus berjalan dan tanpa ragu-ragu berkata, "Yeah, lampunya juga
harus dinyalakan." Pria itu menggumam pelan dan pergi ke arah berlawanan.
Aku berjalan di belakang Cassie. "Bagus, sister," kataku.
"Oh, bagus, kau sudah kembali," katanya. "Syukurlah. Aku benar-benar kesulitan
mengendalikan morf ini!"
"Kau kesulitan menjadi aku" Apa susahnya?"
Ia mengangkat sebelah alis yang membuatnya terlihat seperti Cassie sekaligus
aku. "Otakmu ini. Tak hentinya mencoba membuatku melakukan hal-hal yang sangat
bodoh." Paramedis berlari melewati kami, menyibakkan tubuh kami berdua. Setelah hanya
tinggal kami lagi, aku berkata, "Hai, kubilang kita akan berimprovisasi, kan"
Dan lihat betapa bagus hasilnya. Kita semua masih hidup. Jeremy Jason mungkin
tidak akan mau lagi mendukung organisasi apa pun, apalagi The Sharing. Plus, aku
menginjak Yeerk itu."
"Jake tetap akan membunuhmu."
Aku tertawa. "Cassie, kalau jadi Jake, aku juga akan membunuh Rachel. Omongomong... kurasa kau tidak mau lebih lama lagi memakai tubuhku..."
"Memang tidak."
"Dasar pengecut."
"Memang." Chapter 27 DUA hari kemudian, kami duduk melingkar nonton TV di kamar hotel. Sedikitnya
baru seminggu lagi rumahku selesai diperbaiki.
Sementara tinggal di hotel memang asyik. Ada pelayanan kamar. Dan TV kabel.
Kami duduk-duduk, sambil makan pai. Cassie, si cewek gila lingkungan, pencinta
binatang; Marco, yang menganggap semua hal cuma banyolan konyol; dan pemimpin
kami yang pemberani tapi rendah hati, Jake.
Di sana juga ada seorang cowok manis yang aneh bernama Ax - seorang cowok yang
sebenarnya Andalite kalau sedang tidak dalam morf manusia. Seluruh wajah Ax
tertutup pai. Dalam wujud Andalite, Ax tidak punya mulut. Dan dalam morf
manusia, ia tidak bisa mengendalikan indra rasanya. Cowok itu berbahaya kalau
berada dekat makanan. Dan bertengger di bingkai jendela ada seekor elang ekor merah. Tobias tidak suka
pai. Kami menonton TV dan memakan sisa remah-remah pai ketika musik latar acara yang
kami kenal mulai mengalun.
Marco menciptakan liriknya sendiri dan ikut bernyanyi. "Entertainment Tonight,
kami sangat bawel dan rewel. Entertainment Tonight, bintang kami memang perlu
dijewer! Kami ngoceh sampai kalian beser dan teler, yeah, yeah, yeah yeah!"
Jake melemparkan sebuah bantal yang mengenai kepala Marco.
"Sttt," ujar Cassie. "Sudah mulai nih."
Pembawa acara pria berkata, "Anda semua pasti ingat berita yang kami laporkan
kemarin mengenai kekacauan luar biasa yang terjadi saat disiarkannya Barry and
Cindy Sue Show. Binatang liar yang dibawa ke studio oleh Bart Jacobs terlepas
dan menciptakan kekacauan besar, di mana Jeremy Jason McCole, bintang muda seri
TV populer Power House, hampir dimangsa buaya.
"Nah, hari ini ada berita terbaru. Jeremy Jason McCole sudah keluar dari rumah
sakit. Menurut para dokter dia akan baik-baik saja. Tapi terjadi perkembangan
mengejutkan. Menurut agennya, Jeremy Jason akan berhenti bermain di Power House
dan akan meninggalkan negara ini. Sang agen menolak memberitahukan di mana aktor
muda itu sekarang berada, tapi menurut beberapa sumber dia terlihat di
Uzbekistan, sebuah negara kecil di Asia tengah."
"Kurasa sejauh itulah dia bisa lari untuk menghindari Yeerk dan media,"
komentarku. "Di Uzbekistan ada buaya nggak, ya?" Marco bertanya-tanya.
"Kurasa tidak," kataku. "Kurasa Jeremy Jason McCole tidak akan pernah lagi
berada dekat buaya, meski sejauh seribu lima ratus kilometer sekalipun."
"Atau dekat Yeerk. Itu pun kalau dia bisa menghindar," kata Jake.
Cassie mendesah keras. "Ada apa, Cass?" tanya Jake.
Cassie kembali menghela napas. "Sayang sekali. Dia benar-benar imut."
"Hmmm," aku menyetujui. "Lesung pipitnya."
"Rambutnya." "Matanya." "Bibirnya." "Ax," celetuk Marco. "Kau seharusnya membiarkan buaya itu memakannya."
Aku mengabaikan Marco, seperti biasa. "Dia memang, sudah pasti, cowok ter-kece
yang pernah ada." "Sudah cukup," sergah Jake. "Marco" Ganti saluran. Cari Baywatch."
Aku menjulurkan tangan dan mencoba merebut remote dari tangan Marco, tapi ia
terlalu cepat. Ia menekan-nekan tombol saluran dan kemudian berkata, "Ah, ini
dia." Aku menatap layar, mengira akan melihat cewek penjaga pantai memakai baju renang
merah. Tapi aku malah melihat pedang dan sepatu bot kulit. Xena: Warrior
Princess. Nah, ini dia cewek tipeku. Marco mengedipkan sebelah mata padaku.
"Okeee..." kataku. "Ini sih bisa kita tonton."
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pendekar Cengeng 8 Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Riwayat Lie Bouw Pek 4