KA Applegate Perjalanan Ke Masa Depan (Animorphs # 7) "Oke," katanya sambil tertawa santai. "Teman-temanku Animorphs... dan alien yang
sedang berkunjung... kami telah menemukan jalan menuju ke kolam Yeerk."
Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Rachel. Kau sudah tahu aku tidak akan memberitahumu nama lengkapku. Aku juga tidak akan
memberitahumu di mana aku tinggal.
Aku akan memberitahumu sejauh yang aku bisa, karena kau perlu tahu apa yang
sedang berlangsung. Kau perlu tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi aku perlu hidup. Dan kalau para Yeerk tahu siapa aku, aku bisa mati.
Atau lebih buruk lagi. Bangsa Yeerk sudah ada di sini. Kau perlu tahu itu.
Orang-orang memandang bintang-bintang di malam hari dan bertanya-tanya dalam
hati, bagaimana rasanya kalau Bumi kita ini dikunjungi makhluk dari planet lain.
Yah, kau boleh berhenti bertanya-tanya. Karena itu sudah terjadi. Bangsa Yeerk
itu parasit. Mereka tinggal dalam otak spesies lain - manusia, misalnya. Mereka
mengubah manusia menjadi budaknya - yang kemudian dinamakan Pengendali-Manusia.
Jadi, kalau aku bilang alien sudah ada di sini, jangan mencari makhluk kecil
lucu macam E.T. Kau tidak akan melihat Yeerk. Mereka berbentuk cacing parasit,
keong abu-abu jahat dan menjijikkan yang tinggal dalam kepala manusia.
Mereka bisa tinggal di kepala siapa saja. Sahabatmu. Guru favoritmu. Wali
kotamu. Abangmu. Adik perempuanmu. Ibumu. Ayahmu.
Siapa saja bisa jadi Pengendali. Kau sendiri pun mungkin Pengendali.
Jadi, aku tak akan menyebutkan nama lengkapku. Atau alamatku. Tapi aku akan
menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hal yang hanya diketahui oleh
Animorphs. Animorphs. Animal morpher. Manusia yang bisa berubah wujud menjadi binatang apa
saja. Itu senjata kami melawan Yeerk.
Satu-satunya kekuatan kami. Tanpa itu, kami cuma lima anak biasa.
Tapi dengan memiliki kekuatan itu, kami juga punya tanggung jawab khusus...
seperti yang coba kujelaskan pada sahabatku, Cassie.
Hari Minggu malam. Sudah larut. Pertunjukan terakhir sirkus telah usai. Trailer
dan tenda-tenda mereka bertebaran di bagian belakang City Arena.
City Arena adalah tempat diadakannya pertunjukan musik rock, ice show, dan
pertandingan basket. Juga sirkus.
"Kita berdua kan sama-sama melihatnya," kataku pada Cassie. "Apakah kau tidak
marah, melihat si brengsek itu menggunakan jolokan ternak untuk menyodok gajah"
Kau tidak marah nih?"
"Tentu saja, aku marah, Rachel, kata Cassie. "Aku bahkan tidak suka sirkus."
"Aku juga tidak suka. Tapi ayahku punya karcis, dan ini hari kumpul ayah-anak
yang biasa kami adakan dua minggu sekali. Aku harus ikut."
Tadi ayahku mengajak aku dan dua adikku menonton sirkus.
Begini ceritanya, ayah dan ibuku bercerai, jadi ayahku mengajak kami keluar
bersamanya dua minggu sekali. Kadang-kadang cuma aku dan ayahku. Seperti kalau
kami hiking, atau nonton bola, atau senam. Tiga hal itu sama-sama disukai ayahku
dan aku, tetapi dua adikku, Jordan dan Sara, tidak suka.
Kedua adikku suka banget sirkus, tapi aku tidak. Kurasa aku sudah terlalu besar
untuk menonton sirkus. Itu sebabnya aku memaksa Cassie ikut. Supaya ada orang
yang bisa kuajak ngerumpi saat kedua adikku asyik menikmati badut dan
pertunjukan lainnya. Tapi bagaimanapun juga itu kesempatan untuk melewatkan waktu bersama ayahku, dan
aku menikmatinya. Aku sebetulnya ingin bisa bersamanya lebih sering lagi.
Semua orang bilang, aku mirip dia. Orangnya rada nekat, dan aku juga. Ia selalu
kelihatan sangat pede, dan kurasa orang juga menilaiku begitu. Kami berdua
bahkan sama-sama menyukai senam. Ayahku nyaris terpilih dalam tim Olympiade
waktu ia muda dulu. Tentu saja aku tak pernah cerita pada ayahku tentang hidupku yang lain. Aku tak
bisa. Padahal sebetulnya aku ingin sekali cerita padanya. Ia akan mencemaskan
aku, tapi ia juga akan berpendapat aku hebat. Ayahku sangat pro tindakantindakan yang mendukung kebenaran. Kurasa ia akan mengagumi apa yang kulakukan.
Asyik juga kan, dikagumi ayah sendiri.
Tak banyak kegiatan di tenda kecil dan trailer di luar Arena.
Aku mendengar lolong anjing. Aku juga mendengar gelak tawa dari trailer yang
bercat warna cerah. Hidungku mencium bau sirkus yang biasa - kotoran binatang,
jerami, bir, arumanis. Ada penjaga di sekeliling area sirkus itu, tetapi aku tidak cemas.
Aku pernah duel satu lawan satu dengan prajurit Hork-Bajir. Kalau kau pernah
menghadapi senjata-berjalan setinggi dua meter, orang biasa tidak membuatmu
takut lagi. Cassie dan aku berjalan diam-diam melewati kandang harimau.
Ketiga kucing besar itu memandang kami dengan tatapan kosong. Di malam hari
begini, mereka ingin berada di hutan. Sayangnya mereka kini ada dalam kandang
yang kekecilan, terperangkap dalam mimpi buruk buatan manusia.
Kemudian aku melihat kandang gajah. Pagar kuat mengelilingi empat gajah Asia
besar. Mereka agak berbeda dari gajah Afrika yang sangat kukenal. Tapi mereka ya
sama-sama gajah. Aku punya hubungan khusus dengan gajah.
Cassie dan aku tadi mendatangi kandang gajah sebelum pertunjukan dimulai dan
melihat bagaimana pelatih gajah-gajah itu memperlakukan mereka. Ia menggunakan
jolokan ternak. Tongkat yang ujungnya ada aliran listriknya. Ia menggunakan alat
itu untuk mengontrol gajah-gajahnya.
Belakangan, ketika beraksi di panggung, ia pura-pura menyayangi gajah-gajahnya.
Tapi aku sudah melihatnya menggunakan jolokan ternak. Selama pertunjukan itu aku
sebal sekali, darahku serasa mendidih. Aku tahu aku harus mengambil tindakan.
Nama si pelatih gajah itu Joseph... hmmm, apa ya" Nama belakangnya susah
diucapkan sih. Sebut saja namanya Joseph Sesuatu.
Yah, ia belum tahu, tapi Mr. Joseph Sesuatu akan mendapat pengalaman yang
membuat matanya terbuka. "Ada orang?" tanyaku pada Cassie.
"Jake akan mengenakan sanksi huru-hara padamu," Cassie memperingatkan.
Aku tertawa. "Sanksi huru-hara" Kau ngomong seperti ibuku saja. Apaan tuh?"
Cassie mengangkat bahu dan tersenyum malu-malu. "Aku tak tahu. Ayahku selalu
ngomong begitu. Aku cuma mencoba bersikap bertanggung jawab dan dewasa."
"Aku tetap akan melakukannya," kataku.
Cassie menghela napas. "Kok aku mau saja ya, diajak ke sini?"
"Karena kau tahu aku benar."
Cassie mendelik. "Jangan lukai dia, oke?"
"Aku" Melukai si pelatih itu" Orang yang begini cinta damai dan penuh
pengertian" Jangan sampai dia muncul membawa jolokan ternak, itu saja. Kalau
iya, aku tak janji deh...."
Kulihat Cassie berhenti berjalan. Ia memandangku dengan sedih. Seakan ia malu
punya teman seperti aku. Aku jadi tidak enak sendiri. "Oke, oke. Aku cuma akan ngomong pada orang itu.
Jangan pasang tampang begitu dong. Kau akan jadi ibu yang baik suatu hari nanti,
kalau bisa bertampang begitu."
Kutemukan pintu kandang gajah dan kubuka. Aku menyelinap ke dalam, sementara
Cassie berlindung dalam kegelapan bayang-bayang, untuk berjaga dari sebelah
belakang. Aku bergerak pelan, agar tidak mengejutkan gajah-gajah itu.
Gajah memang lembut, tapi mereka besar. Siapa yang mau berada di tengah empat
gajah yang kaget dan cemas.
Aku pergi ke sudut kandang yang gelap dan mulai berkonsentrasi. Aku
berkonsentrasi pada gajah. Gajahku. Gajah yang DNA-nya sudah menjadi bagian
tubuhku. Dan kemudian aku mulai berubah.
Chapter 2 ORANG bilang aku cantik. Aku tidak tahu dan sebetulnya tidak peduli. Tapi satu
hal sudah jelas. Takkan ada yang menyebutku cewek cantik kalau mereka melihat
tampangku saat bermetamorfosis menjadi gajah.
Aku merasakan kaki dan tanganku bertambah besar. Aku memandang kulitku yang
menjadi tebal dan berwarna abu-abu seperti lumpur.
Aku merasakan belalaiku yang tiba-tiba menjulur, saat hidung dan bibir atasku
serasa mencuat ke atas. "Rasain kau, Pinokio," bisik Cassie.
Aku merasakan gigi depanku menyatu, lalu mulai tumbuh menjadi sepasang gading
panjang. Sungguh sensasi mengerikan.
Tidak sakit, tapi benar-benar mengerikan.
Aku bertambah besar. Tidak sekadar besar. Beratku bertambah beberapa ribu kilo.
Beberapa ribu kilo. Tinggiku jadi empat meter. Telingaku selebar selimut. Ekorku kecil bagai tali.
Aku sudah jadi gajah dewasa Afrika dan aku mau... ehm, ngomong sedikit dengan
Mr. Joseph Sesuatu. "HhhhuuuuhhhrrrOOOOOooomm!"
Aku mengangkat belalaiku dan meniup kuat-kuat. Mengeluarkan suara gajah marah.
"Bilang-bilang dulu dong," bisik Cassie. "Nyaris saja aku ngompol ketakutan."
Perlu waktu tiga menit sebelum si pelatih muncul berlarian ke kandang. Dalam
kegelapan, yang dilihatnya hanyalah sosok-sosok abu-abu gajahnya.
Aku sih tidak bersembunyi. Namanya juga gajah, mana bisa sih mengecilkan diri.
Tapi aku berdiri di belakang sampai ia sudah masuk kandang.
Kemudian... Aku menerjang maju, mendorong dua gajah di depanku ke samping.
Si pelatih tercengang melihatku. "Apa" Apa mak...?"
Dengan gerak cekatan, saat ia tercengang kebingungan, kulingkarkan belalaiku ke
sekeliling pinggangnya. "Hei! Hei! Kau bukan gajahku."
Belalai gajah itu begitu lembut, sehingga aku bisa mencomot telur dengannya dan
telur itu tidak pecah. Atau aku bisa mencabut pohon dan melemparkannya ke
seberang lapangan. Mr. Joseph Sesuatu tahu itu.
Kulingkarkan belalaiku ke sekeliling pinggangnya erat-erat, kemudian kuangkat
dia. Kakinya menendang-nendang panik di udara. Tangannya lemah memukul-mukul
belalaiku. Kuangkat dia sampai matanya sama tinggi dengan mataku.
"Astaga... Siapa..." Siapa yang bicara?"
"Gila! Ini gila! Kau ini apa" Lelucon macam apa ini?"
Kubelit dia sedikit lebih kencang. Cukup membuatnya agak sulit bernapas.
gajah-gajahmu. Itu dilarang keras. >
"Tapi...," ia terengah. "Mereka... milik... ku!"
Belum mengerti juga rupanya dia. Jadi kupanjangkan sedikit belalaiku, sampai ia
berada persis di depan ujung gading kiriku.
Seperti cacing yang siap digantungkan di mata kail.
"Ya! Ya! Aku mendengarkan," katanya. "Aku mendengarkan baik-baik."
"Y-y-y-ya."
mengerti"> "Y-y-y-ya."
"Apa" Terbang" Tidak, tidak bisa."
hampir menyentuh tanah. Kemudian, dengan goyangan tiba-tiba kepalaku dan sabetan
gesit belalaiku, kubuat Joseph Sesuatu terbang melayang.
Ia mendarat dengan selamat di atas tenda. Kira-kira enam meter jauhnya dari
kandang gajah. "Sekarang, bisakah kita pulang?" tanya Cassie.
Chapter 3 "KAULEMPARKAN dia ke udara?" tanya Jake. "Apa tidak kelewatan?"
"Tidak. Dia membuatku marah," jawabku.
Saat itu hari Senin, keesokan harinya. Kami sedang berjalan melewati hutan,
sepulang sekolah. Aku, Cassie, Jake, Marco, dan Tobias.
Tentu saja Tobias tidak berjalan. Ia terbang, hinggap dari satu dahan ke dahan
lain. Ia berada dekat-dekat kami, agar bisa mendengar percakapan kami. Elang
buntut merah memang punya pendengaran yang tajam sekali, tapi tetap saja ia
harus berada di dekat kami.
"Yah, Rachel, kau tahu aku bersimpati padamu," kata Jake lembut, "tapi kurasa
tugas kita bukanlah untuk membela semua binatang yang diperlakukan dengan
semena-mena. Itu akan membuat kita sibuk sekali."
Aku memandang Cassie. Ia mengedipkan mata. Kami tidak bilang pada Jake bahwa
Cassie juga ada di sana. Cassie dan Jake saling menyukai. Cassie tak ingin Jake
marah padanya. Kalau denganku sih lain soal. Semua tahu aku akan melakukan apa saja yang ingin
kulakukan. "Kita kan punya tugas lain," gerutu Marco. "Andalite tidak memberikan kekuatan
ini pada kita agar kita membentuk Kelompok Animorphs Pencegah Kekejaman Terhadap
Binatang." "Baik," kataku. Kalau cuma bilang "baik" kan tidak berarti aku mengaku salah.
"Tapi kenapa kau serius benar sih, Marco?"
"Tunggu sampai kita temukan Ax. Aku tidak mau cerita dua kali."
Jadi kami meneruskan perjalanan sambil mengobrol.
Aku merasa tegang. Jelas Marco kelihatan cemas. Pasti ada sesuatu. Ada bahaya di
depan kami, dan itu berarti action.
Aku senang beraksi. Aku lebih suka melakukan sesuatu daripada cuma
membicarakannya saja. Marco suka meledekku. Ia menyebutku Xena, Warrior
Princess. Tapi aku bukan orang bodoh yang sekadar suka pada bahaya demi bahaya itu
sendiri. Yang kusukai bukan ketegangan murahan.
Aku suka jika terlibat dalam sesuatu yang sangat penting. Maksudku, jujur saja walaupun kedengarannya sok, kami kan sedang mencoba menyelamatkan dunia.
Semua dimulai beberapa bulan lalu. Kami berlima kebetulan bertemu di mall. Kami
sebetulnya bukan se-geng. Setidaknya sebelum malam itu.
Jake sepupuku, tapi kami jarang main bersama. Jake jadi semacam pemimpin kami.
Bukannya ia ingin jadi pemimpin. Cuma saja ia memang bisa bertanggung jawab. Ia
model orang yang otomatis kita cari kalau ada krisis. Dan mungkin yang terbaik
adalah ia bisa memberitahu orang lain apa yang sebaiknya dilakukan tanpa
terkesan sok nge-bos. "Sejak kapan kau tidak mau mengulang cerita dua kali?" Jake menggoda Marco.
"Setahuku kau biasa mengulang banyolan membosankan sampai delapan puluh atau
bahkan sembilan puluh kali."
"Salahmu sendiri, suka telat mikir," kata Marco. "Kalau sekali mendengar
leluconku kau sudah ketawa, tentu aku tak perlu mengulangnya berkali-kali."
Marco sahabat karib Jake. Badannya lebih kecil dari pada Jake, lebih lucu,
kulitnya lebih gelap, dan orangnya lebih ragu-ragu. Tapi sifatnya yang gampang
curiga ini malah bagus, sebab bisa membuatnya melihat hal-hal tersembunyi. Dan
walaupun ia berkeluh kesah terus tentang betapa bahayanya keadaan kami, ia tetap
bertahan. Bersama kami, ia ikut dalam pertempuran yang paling berbahaya sekalipun, dan
tetap melontarkan lelucon-lelucon.
Belakangan ini Marco sudah berubah. Setidaknya sedikit. Ia tidak menolak lagi
jadi Animorphs, seperti sebelumnya. Aku tak tahu mengapa. Mungkin karena ayahnya
akhirnya tampak sudah bisa menerima kematian ibunya. Entahlah.
"Hei, lihat! Di pohon itu. Lihat" Bayi sigung dengan induknya."
Tentu saja Cassie yang bicara. Orang lain mana ada sih yang begitu semangatnya
melihat sigung. "Yuk, kita ke sana dan mengelusnya," ajak Marco.
Cassie tertawa. "Aku sudah berkali-kali menangani sigung dan belum pernah
disemprot."
Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau tahu kan, semprotan sigung baunya minta ampun!
"Yah, hebat sekali kau, Dr. Doolittle."
Cassie sejak dulu sahabatku. Aku tak tahu bagaimana bisa begitu. Tak ada yang
tahu, sebab kami berdua berbeda sekali. Cassie tinggal di rumah pertanian. Kedua
orangtuanya dokter hewan. Seluruh waktu luangnya dihabiskannya di Klinik
Perawatan Satwa Liar yang didirikan ayahnya di gudang jerami mereka. Mereka
merawat binatang-binatang yang terluka.
Cassie penyayang binatang, tapi ia tidak seperti para penyayang binatang lain
yang tak tahan menghadapi manusia. Cassie cuma menganggap manusia salah satu
jenis binatang lain. Lalu masih ada Tobias. Ketika semua urusan Animorphs ini baru dimulai, boleh
dibilang Tobias tidak mengenal Jake dan Marco, walau aku sendiri mengenalnya. Ia
cowok yang manis dan puitis. Jenis yang sering dijadikan bulan-bulanan cowok sok
jagoan. Rambutnya awut-awutan, dengan mata menerawang yang selalu tampak
memandang sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.
Itu dulu.... Sekarang matanya tajam dan galak, pandangannya menembus seperti sinar laser.
Sekarang ia penuh bulu kecokelatan, dadanya putih, ekornya kemerahan, dan
cakarnya menyeramkan. Paruhnya yang bengkok tampak kejam.
Tobias terperangkap sewaktu bermetamorfosis. Ia sekarang jadi elang buntut
merah. Pemburu tikus, kelinci, dan kadang-kadang burung lain.
Aku masih menganggapnya sebagai Tobias yang manis dan lembut. Tapi sekarang
sudah lama sekali ia jadi elang.
Hadiah dari bangsa Andalite yaitu kemampuan untuk bermetamorfosis, adalah
senjata yang luar biasa. Tetapi seperti juga senjata yang lain, ia bisa
menghancurkan pemakainya.
sedang bermetamorfosis.
Aku mendengar bunyi derik daun-daun kering yang terinjak dan entakan kaki
binatang pada daun-daun pinus. Kemudian ia meloncati batang pohon yang roboh dan
mendarat sekitar satu meter dari kami.
Aximili-Esgarrouth-Isthill.
Kami memanggilnya "Ax", biar ringkas. Ia satu-satunya yang selamat dari pesawat
Dome Andalite yang hancur. Satu-satunya Andalite yang hidup di planet Bumi.
Ax adalah adik Pangeran Elfangor, Andalite yang memperingatkan kami akan adanya
serangan Yeerk dan memberi kami kekuatan untuk berubah wujud.
Pangeran Elfangor dibunuh oleh Visser Three, pemimpin kaum Yeerk di Bumi.
Walau sudah mengenal Ax, bahkan sudah menganggapnya sebagai teman, aku masih
saja kaget kalau melihatnya.
Penampilannya seperti campuran antara manusia, rusa, dan kalajengking. Tapi
sebetulnya juga tidak seperti ketiganya.
Tubuh bagian atas dan kepalanya sedikit-banyak mirip manusia. Lengannya kurus
dan tangannya berjari banyak. Mukanya rata, hidungnya cuma berupa celah kecil,
dan matanya besar bagai buah badam. Ia sama sekali tak punya mulut, itu sebabnya
bahasa pikiran adalah bahasa nasional kaum Andalite.
Di atas kepalanya mencuat dua tanduk, masing-masing di ujungnya terdapat mata.
Ia bisa memutar mata ini ke jurusan mana saja yang ia mau. Kedua mata yang di
atas ini tidak ada sangkut-pautnya dengan mata utama di wajahnya.
Tubuhnya seperti tubuh rusa yang agak kebiruan dan kecokelatan, atau seperti
tubuh kuda poni. Kakinya empat, yang telapaknya seperti kaki kuda. Tetapi
punggungnya melengkung ke bawah, sehingga kau tidak pernah tergoda untuk
menungganginya. Dan ia punya ekor. Ekor yang panjang dan kuat, dengan ujung seperti sabit besar
tajam. Aku pernah melihatnya menggunakan ekor itu. Ia bisa menyabet dengan cepat
sekali, sehingga mata manusia biasa hanya bisa melihat kelebatannya saja.
"Hai, Ax," kata Marco. "Bagaimana kabarmu?"
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku.
Ax menyunggingkan senyum Andalite-nya, ekspresi yang berhasil dilakukannya
walaupun tanpa mulut. Marco membelalak. "Apa kubilang, Ax dan Rachel ini cocok. Kalian berdua memang
makhluk antik. Suatu hari nanti kalian bisa menikah dengan berbungee-jumping ke
kawah gunung berapi yang masih aktif."
Aku agak bergidik. Bukannya aku keberatan Marco menganggapku berani. Tapi karena
aku tidak tertarik pada Ax seperti perkiraannya itu.
"Oke, sekarang kita semua sudah di sini. Marco, mungkin kau bisa memberitahu
kami kenapa kita semua di sini," kata Jake.
"Aku punya berita," Marco memulai. "Sebetulnya, Tobias dan aku punya berita."
Aku mendongak, menatap Tobias yang hinggap di dahan pohon. Tentu saja wajahnya
tidak berekspresi. Ia cuma menatap tajam pada Marco.
Sikap Marco sedikit sok ketika kami semua membentuk lingkaran mengelilinginya.
"Ini kisah tentang inisiatif dan keberanian, dan, juga brilian," kata Marco.
"Tidak, tidak, tidak. Langsung sajalah, Marco," tukasku. "Jangan coba-coba
mengulur ketegangannya."
"Oke," katanya sambil tertawa santai. "Teman-temanku Animorphs... dan alien yang
sedang berkunjung... kami telah menemukan jalan menuju ke kolam Yeerk."
Chapter 4 "JALAN masuk ke kolam Yeerk?" ulangku. "Di mana" Bagaimana?"
Aku memandang berkeliling, ingin melihat reaksi temanku yang lain. Soalnya kami
pernah masuk ke kolam Yeerk dalam usaha menyelamatkan kakak Jake, Tom. Dan itu
pengalaman yang tak enak untuk dikenang.
Aku melihat Cassie bergidik.
"Ax satu-satunya yang tidak ikut kunjungan ke kolarn Yeerk waktu itu," kata
Marco. "Kalian yang lain tahu, kolam Yeerk adalah gua besar di bawah tanah.
Boleh dibilang merupakan kota kecil tersendiri. Letaknya di bawah sekolah kita.
Tapi karena besar sekali, kolam itu melebar mencapai bawah gedung pemadam
kebakaran, beberapa pom bensin, dan sebagian besar mall."
Ax mengangguk.
mereka, sama artinya seperti hutan dan padang rumput bagi Andalite.>
"Tobias dan aku bergantian melakukan pengamatan," Marco meneruskan. "Minggu lalu
kami menguntit Pengendali-Manusia favorit kita, yaitu Chapman - wakil kepala
sekolah. Kami membuntutinya ke mana saja, sebisa mungkin. Tobias mengikuti dari
udara. Kemudian ganti aku yang membuntutinya kalau dia masuk ke dalam gedung."
"Kenapa kau tidak mengajak kami?" tanyaku.
Marco mengangkat bahu. "Ini kan pekerjaan yang cukup ditangani dua orang."
Jake kelihatannya sama kesalnya seperti aku.
Kemudian baru aku sadar kenapa Marco tidak bilang-bilang. Soalnya Jake baru saja
mengalami hal mengerikan. Otaknya berhasil disusupi Yeerk. Selama tiga hari ia
menjadi Pengendali-Manusia, seolah menjadi tawanan dalam tubuhnya sendiri.
Karena itu Marco membiarkannya beristirahat.
"Jadi?" tanyaku sedikit lebih sabar.
"Jadi apa?" tanya Marco.
"Aduuuh... jadi, di mana pintu masuk kolam Yeerk ini?"
"Ya, aku berharap bisa menakjubkan sekaligus menghibur kalian dengan kisah
brilian tentang penyelidikan kami, tapi jawaban singkatnya adalah... di kamar
pas di toko pakaian The Gap. Di mall. Itu jalan masuknya. Orang masuk ke kamar
itu, kelihatannya mau mengepas baju, tapi mereka tidak keluar lagi."
pertunjukan terakhir, selalu ada lebih banyak orang yang keluar daripada yang
tadinya masuk.> "Masuk lewat The Gap, keluar lewat multipleks." Marco tertawa. "Minta ampun deh,
rupanya kaum Yeerk ini senang ikut budaya Amerika."
"Pekerjaan bagus," Jake mengakui dengan enggan.
"Pertanyaannya sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
"Kami pernah mencobanya," kata Cassie. "Tak bisa dibilang kami menang. Ada
puluhan Hork-Bajir dan Taxxon di sana. Plus Pengendali-Manusia. Dan dia juga di
sana... Visser Three. Waktu itulah Tobias terperangkap menjadi burung elang,
sampai sekarang. Seperti yang kubilang tadi, kita tidak sepenuhnya menang."
"Kami dibabat," aku menimpali. "Ax, kau tahu kan, aku biasanya tidak pernah
menolak menyerang. Tapi kolam Yeerk ini terlalu besar."
Tapi kedengarannya ia sudah tidak seantusias tadi.
"Menyerang kolam Yeerk sih pasti tidak," gumamku. Tapi tiba-tiba aku mendapat
ide. "Hei, Ax. Apa yang bisa kauceritakan tentang Kandrona?"
Ia memutar kepalanya menghadapku, sementara mata di tanduknya berputar pelan ke
sana kemari, berjaga kalau-kalau ada bahaya di hutan.
berkumpul di kolam Yeerk. Sinar itulah yang membuat Yeerk hidup. Itulah sebabnya
kaum Yeerk harus berenang dalam wujudnya yang asli di kolam Yeerk, tiga hari
sekali. Mereka membutuhkan sinar Kandrona.>
"Jadi titik lemah mereka bukan kolam itu sendiri, melainkan Kandrona ini,"
kataku. "Matahari mini ini."
Ax menjelaskan.
menemukan Kandrona di sana.>
"Aku sepakat," kataku. "Tapi bagaimana kalau kita tidak menyerang kolam Yeerk
itu" Bagaimana kalau kita menyelidikinya saja" Siapa tahu kita berhasil
menemukan di mana Kandrona-nya."
Marco tertawa. "Nah, itu baru Rachel yang kukenal. Aku tadi mulai cemas.
Omonganmu kedengarannya masuk akal sekali."
"Seberapa besar Kandrona itu?" tanya Jake.
"Sebesar mobil" Pasti sekelompok Anak ABG seperti kita bisa dong, kalau cuma
menghancurkan mobil," gurau Marco.
"Seberapa jauh akibatnya bagi kaum Yeerk?" tanyaku. "Ini penting. Soalnya, cukup
berhargakah kita mengambil risiko ke sana lagi" Turun ke kolam Yeerk, maksudku?"
Kami semua memandang Ax.
jadi kita tak akan bisa memusnahkan mereka.>
Lemas kami mendengarnya. Dan kecewa.
"Jadi apa yang akan dilakukan mereka?" tanya Marco.
"Bagaimana Visser Three akan bereaksi?"
"Visser Three kejam sekali," kataku. "Dia akan menyelamatkan sebanyak mungkin
Yeerk. Tapi sisanya terpaksa akan dibiarkannya mati."
"Kita harus menemukan Kandrona ini dulu," Cassie mengingatkan. "Dan di mana pun
letaknya, Kandrona ini pasti dijaga ketat."
Saat itu aku merasa kami semua sadar kami akan melakukannya. Kami akan kembali
ke kolam Yeerk. Pelan Jake menggelengkan kepala. "Ke kolam Yeerk lagi. Aku masih suka mimpi
buruk tentang kunjungan pertama kita."
"Yeah," Marco setuju. "Aku juga."
"Kolam Yeerk," kata Cassie muram, lalu membuang muka.
Aku tidak bilang apa-apa. Aku tak suka ngomong tentang mimpi buruk. Tapi aku
sendiri juga bermimpi buruk. Mengerikan.
"Bagus," kataku. "Aku tak tahu apakah kalian, bangsa Andalite, percaya pada
adanya surga dan neraka. Tapi kuberitahu, ya... kolam Yeerk jelas bukan surga."
Chapter 5 "MAKAN apa kita?" tanyaku pada ibuku begitu tiba di rumah malam itu. Berjalanjalan di hutan membuatku lapar. Beraktivitas di luar rumah selalu membuatku
lapar. Begitu juga ketakutan. Berulang-ulang bayangan kolam Yeerk muncul menghantuiku.
Kandang-kandang yang penuh manusia dan Hork-Bajir yang dipaksa menjadi induk
semang - yang untuk sementara bebas dari Yeerk parasit mereka.
Terngiang-ngiang terus di telingaku jeritan mereka. Sebagian besar dari mereka
menjerit-jerit sementara menunggu disusupi lagi.
Yang lain berteriak. Beberapa memohon belas kasihan.
Atau lebih buruk lagi. Ibuku berdiri di depan rak dapur. Ia jauh lebih rapi daripada biasanya. Mulutnya
mengunyah kue dengan gelisah dan matanya menatap kosong ke depan.
"Mom" Halo?"
Rupanya ia tidak menyadari kehadiranku. "Oh, hai, Sayang."
"Makan apa kita malam ini" Aku lapar berat."
"Ayahmu akan datang malam ini. Untuk makan malam. Dia bilang akan membawa
makanan." Perutku terasa seperti kram. Ada yang tidak beres.
Sejak bercerai, ayahku belum pernah datang untuk makan malam. Aku dan kedua
adikku menginap di apartemennya di kota sekali sebulan. Ditambah acara jalanjalan dua mingguan itu. Tapi ia tidak datang untuk makan malam.
Aku jadi tak lapar lagi. "Ada apa sebenarnya?" tuntutku.
Ibuku mencoba menyembunyikan kecemasannya, tapi toh tetap tampak dari ekspresi
wajahnya. "Ayahmu ingin bicara pada kalian. Sebetulnya dia akan mengatakannya
malam itu, sehabis nonton sirkus. Kurasa dia lupa."
Cara Mom mengatakan "kurasa dia lupa" jelas menunjukkan bahwa ia bohong.
Aku memegang lengan ibuku. "Mom" Aku tak suka ketegangan. Mom tahu, kan"
Jadi..." Bel pintu berdering. Aku mendengar Sara berlari menuruni tangga. Aku mendengar Jordan berteriak,
"Jangan lari turun tangga. Patah lehermu nanti."
Kedengarannya persis Mom, sampai-sampai hampir membuat Mom dan aku tersenyum.
"Itu ayahmu." Aku ke ruang depan. Sara sedang meloncat ke pelukan ayahku dan Jordan mondarmandir di dekat mereka. Jordan melempar pandangan penuh tanya kepadaku. Tidak
seperti Sara, Jordan sudah cukup besar untuk mengetahui ada yang tidak beres.
Aku mengangkat bahu dan menggeleng.
"Rachel!" seru ayahku. "Bagaimana kabarnya, gadisku" Ini makanannya. Masakan
Thailand. Ada kari, sate ayam, lumpia. Juga ada makanan superlezat yang mereka
sebut udang entah-apa."
Diulurkannya padaku kantong kertas yang dibawanya. Sikapnya terlalu ceria.
Ayahku bekerja sebagai reporter salah satu stasiun TV lokal. Tugasnya mencari
berita. Pada hari Sabtu dan Minggu ia juga menyiarkan berita. Maka ia selalu
berpakaian rapi, rambutnya keren, dan kulitnya selalu kelihatan kecokelatan,
bahkan di tengah musim dingin sekalipun.
Kubawa kantong kertas itu ke ruang makan dan kukeluarkan kotak-kotak kecil
berisi makanan Thailand. "Halo, Dan," sapa ibuku yang muncul membawa piring dan sendok.
"Naomi," balasnya. "Bagaimana kabarmu?"
Sekarang bahkan Sara pun sudah menduga bahwa malam ini pastilah bukan malam yang
menyenangkan. Kami makan sedikit dan mencoba ngobrol tentang apa saja.
Sampai akhirnya ibuku berkata, "Dan, sebaiknya segera disampaikan."
Ayahku kelihatan salah tingkah. Ia tersenyum sumbang padaku, seperti anak-anak
yang ketahuan melakukan kesalahan.
"Oke," katanya. Ia berdeham. Ia duduk tegak di kursinya.
Seakan menunggu kamera menyorotnya, agar ia bisa segera membacakan berita malam.
"Anak-anak, ada yang ingin kusampaikan pada kalian. Aku ditawari pekerjaan baru.
Pekerjaan yag lebih baik. Aku tidak hanya jadi penyiar pada akhir minggu. Aku
ditawari jam tayang utama. Aku akan membacakan berita pukul enam dan pukul
sebelas. Dan aku juga akan ditugasi menangani liputan khusus. Mungkin melakukan
tugas-tugas yang sangat penting."
Jordan memandangku, bingung. Itu kan berita bagus.
"Cuma ada satu masalah," kata ayahku. "Pekerjaan itu tidak di kota ini. Jadi,
aku harus pindah." "Ke mana?" tanya Sarah. "Ke apartemen lain?"
Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayahku memaksa diri tersenyum. "Ke kota lain, Manis. Di negara bagian lain."
"Beribu kilometer jauhnya," kata ibuku.
Sungguh aneh cara kerja pikiran kita. Maksudku, sejak jadi Animorphs aku kan
sudah mengalami lebih banyak hal mengerikan, teror, kecemasan, dan kesakitan
dibanding yang dialami kebanyakan orang sepanjang hidup mereka. Kukira aku
dengan mudah akan bisa mengatasi masalah seperti ayahku yang akan pindah ini.
Beribu kilometer jauhnya.
"Selamat," kataku, mencoba tidak menunjukkan emosi apa pun. "Itu yang sejak dulu
Dad inginkan." Ayahku tidak tertipu. Ia tahu aku terpukul.
"Ini tuntutan pekerjaan, Rachel. Tak bisa dihindari. Lagi pula ini kan tidak
berarti aku tidak akan bertemu kalian lagi. Memang kedengarannya jauh, tapi
sekarang ada jet, kan?"
"Ya," kataku. "Itu sebabnya ada pesawat jet. Kurasa aku akan naik dan bikin PR
sekarang." "Tunggu, aku perlu...," ayahku memprotes.
Aku tidak membanting pintu. Aku tidak melempar barang-barang.
Aku pergi begitu saja. Biar dia tahu rasa, kataku pada diri sendiri. Biar dia tahu bagaimana rasanya
ditinggalkan begitu saja.
Aku naik ke kamarku dan mengunci pintunya. Tanganku mengepal dan membuka, ingin
meninju sesuatu. Ingin menangis rasanya, tapi aku terlalu marah.
"Rachel?" panggil ayahku. Ia mengetuk pintuku pelan. "Boleh aku masuk?"
Aku tak bisa bilang tidak. Kan nanti ketahuan kalau aku terpukul. "Tentu. Kenapa
tidak?" Ia masuk. "Kurasa kau sedikit terpukul," katanya.
Aku mengangkat bahu dan berdiri membelakanginya.
"Rachel, kau tak memberiku kesempatan menyelesaikan penjelasanku. Jordan dan
Sara masih terlalu kecil untuk mempertimbangkan ini. Tapi kau lebih besar. Kau
bisa mengurus diri sendiri kalau aku harus kerja lembur. Mereka tidak bisa.
Dan... lagi pula, begini, aku sudah bicara dengan ibumu soal ini, dan dia tidak
senang, tapi dia bilang terserah padamu."
"Apa yang terserah padaku?"
Ia tersenyum ragu-ragu. "Begini. Carla Belnikoff mengajar di kota tempat aku
akan pindah. Kau tahu kan, setiap tahun dia menerima tiga atau empat murid senam
yang berbakat. Jika kau ingin... yah, bagiku akan jadi hal paling baik sedunia
jika kau mau tinggal bersamaku."
Hampir saja aku memintanya mengulangi ucapannya. Aku tak percaya pada apa yang
kudengar. Murid-murid Carla Belnikoff telah memenangkan dua medali emas dan
banyak medali perak. "Dad, Carla Belnikoff tak akan mau menjadikan aku sebagai muridnya. Dia
menangani pesenam tingkat profesional. Aku terlalu jangkung, dan tidak cukup
baik... lagi pula, Dad bilang aku harus pindah" Meninggalkan Mom, Sara, dan
Jordan?" "Kau sendiri yang harus memutuskannya," kata ayahku. "Tapi tentang Carla
Belnikoff, kau keliru. Kau berbakat. Aku tahu. Kalau itu yang kauinginkan, kalau
kau mau berkarier sebagai pesenam, kau bisa ke mana-mana dengan jadi pesenam."
Aku menggeleng. Bukan berarti tidak, tapi cuma mencoba menghilangkan
kebingungan. "Dad, apakah Dad memintaku pindah bersama Dad ke kota lain?"
"Ya. Aku tahu itu berat bagimu, juga bagi Mom serta kedua adikmu, tapi nanti
bisa diatur. Maksudku, gajiku nanti besar sekali. Kau bisa terbang pulang ke
sini kapan saja kau mau. Setiap minggu kalau kau mau."
Apakah ia serius" Kedengarannya konyol. Apakah ia benar-benar serius" Aku duduk
di tepi tempat tidur. Pikiranku melayang ke mana-mana. Pindah" Meninggalkan Mom
dan kedua adikku" Ini pasti karena ayahku merasa bersalah. Ia merasa tidak enak harus meninggalkan
kami. Pasti ia merasa kasihan. Ia kasihan kepadaku.
"Aku tahu ini berarti kau harus pindah sekolah," katanya, "tapi, Rachel, kurasa
asyik juga lho. Maksudku, di sana banyak gunung yang oke punya. Kita bisa naik
gunung berdua pada akhir pekan. Bisa hiking. Dan di kota itu banyak kegiatan
olahraga. Aku perlu teman untuk nonton pertandingan-pertandingan. Kita bisa
seperti dulu." Kemudian ia mengedipkan sebelah matanya. "Dan hei, kotanya jauh lebih besar
daripada kota ini, jadi bayangkan saja shopping centre-nya."
Ternyata bukan kasihan atau rasa bersalah, aku baru menyadarinya. Paling tidak,
tidak sepenuhnya. Kurasa ayahku kesepian. Ia membayangkan dirinya kesepian di
kota yang baru. "Oh, aku tak tahu harus bilang apa," kataku.
Ayahku mengangguk. "Jangan memutuskan sekarang. Bicaralah dulu dengan ibumu.
Juga dengan Jordan dan Sara. Pikirkan dulu. Hanya kurasa... kau tahu kan, aku
akan kangen padamu, sweetheart. Asyik kan, waktu kita berdua mengelabui para
wasit pertandingan yang kita tonton" Dan hiking" Ingat waktu kita tersesat?"
"Tentu saja aku ingat," kataku. "Hanya saja... aku harus memikirkannya dulu."
Sebetulnya aku ingin bilang, Dad, kau tidak tahu. Masalahnya bukan cuma dengan
Mom, Sara, dan Jordan. Aku punya tugas, Dad. Kembali ke kolam Yeerk. Temantemanku mengandalkan aku. Soalnya aku ini dianggap Xena, Warrior Princess. Aku
diharapkan kembali ke sana... turun ke tempat yang paling tidak ingin kudatangi
di Bumi ini. "Aku harus memikirkannya dulu," aku mengulangi.
"Ya, tentu saja. Yeah, aku harus pulang sekarang."
"Oke, Dad," kataku.
"Aku sayang padamu, Rachel."
Kenapa ia bilang begitu" Tadi aku baik-baik saja, tapi begitu ia bilang begitu,
air mataku langsung bercucuran.
Chapter 6 SESUDAH ayahku pulang, aku bicara dengan ibuku. Ia mengatakan apa yang sudah
kuduga: ia tak ingin aku pindah. Tapi terserah padaku. Ia menyuruhku memutuskan
sendiri. Terserah padaku. Bagus. Aku bisa membuat ibu dan adik-adikku sedih, atau aku
bisa membuat ayahku sedih. Hebat. Seru juga perceraian itu, ya"
Di tempat tidur aku cuma berbaring menatap langit-langit. Otakku berputar-putar,
seperti komputer yang tak dapat dimatikan.
Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan. Ayahku. Ibuku.
Dan persoalan besar yang sebetulnya tak ingin kupikirkan: teman-temanku.
Animorphs. Perang melawan Yeerk.
Akhirnya, aku tahu aku harus keluar. Aku perlu ruang terbuka. Tembok ini terlalu
mengungkungku. Aku turun dari tempat tidur dan membuka jendela lebar-lebar. Aku membuka T-shirt
yang kupakai tidur dan menggantinya dengan baju senam hitam yang biasa kupakai
di balik pakaian luarku. Seragam metamorfosisku. Aku tak bisa berpikir lagi. Aku perlu ruang supaya tidak berpikir tentang
ayahku. Tidak berpikir tentang pilihan yang dihadapkan padaku. Dan tentang
keputusan yang harus kuambil.
Aku memusatkan pikiran. Aku berkonsentrasi. Jari-jari tanganku berubah menjadi
bulu sayap dan jari-jari kakiku melengkung menjadi cakar.
Kurasa ada waktunya setiap anak ingin pergi. Tapi aku punya kekuatan untuk
melakukannya. Aku bahkan bisa pergi meninggalkan diriku sendiri.
Aku meluncur ke dalam kegelapan malam.
Aku terbang dalam diam. Angin yang berkesiur di atas sayapku tidak mengacak-acak
buluku. Bulan bergantung rendah di kaki langit. Hanya bulan sabit. Awan mengaburkan
cahaya bintang. Padang rumput yang terhampar beberapa meter di bawah pastilah
hanya tampak hitam dan rata bagi mata manusia.
Tapi aku tidak memandang dengan mata manusia. Mataku besar sekali, sampai hampir
memenuhi kepalaku. Kedua mataku menembus kegelapan seperti memandang hari cerah
di siang bolong. Aku bisa melihat helai demi helai rumput. Aku juga bisa melihat
semut-semut yang merayap di bawah rumput.
Pendengaranku tajam sekali sehingga aku bisa mendengar tikus yang menginjak
ranting pada jarak lebih dari dua puluh meter dari tempatku. Aku bisa mendengar
kepakan sayap burung gereja yang terbang dari pohon yang satu ke pohon yang
lain. Aku telah berubah wujud menjadi burung hantu besar.
Pembunuh di malam hari. Pemangsa kegelapan. Aku melayang turun, terbang rendah, membiarkan naluri burung hantu mencari
mangsa. Di sini ada tikus. Di sana celurut. Lalu marmut. Dan banyak burung
kecil. Mereka semua berarti daging bagi burung hantu. Aku bisa menukik turun
tanpa suara, membuka lebar-lebar cakarku untuk menyambar tikus atau kelinci.
Cakarku bisa mencengkeram sehingga kepala mangsaku pecah dan... tidak. Tidak,
kataku. Aku bukan Tobias. Ia tak punya pilihan lain selain menjadi pemangsa
makhluk lain. Aku bisa memilih. Seperti ayahku yang juga bisa memilih. Ia bisa
saja memilih tidak pindah.
Jadi aku tidak perlu membuat pilihan menyakitkan ini. Kalau ia tahu... kalau ia
mengerti... ia tak akan memintaku pindah. Ia akan memahami bahwa aku merupakan
bagian dari peperangan untuk menyelamatkan Bumi.
Tapi aku tak bisa memberitahu dia. Bahkan sekalipun ia ayahku. Ia bisa saja
salah satu dari mereka. Itu jeleknya kalau kita tahu tentang Yeerk. Jika kita
ketemu orang, pasti kita berpikir apa yang hidup dalam otak mereka. Walaupun
kurasa aku akan tahu kalau ayahku Pengendali-Manusia.
Dari dulu hubunganku dengan ayahku erat sekali. Sejak aku kecil, sejauh yang
bisa kuingat, kami selalu melakukan apa saja bersama-sama. Aku punya foto saat
aku berusia tiga tahun, berdiri di atas balok keseimbangan, dipegangi ayahku
yang tersenyum bangga. Aku suka sekali foto itu, walaupun aku kelihatan bodoh dalam baju senam yang
kupakai. Aku meletakkan foto itu di atas meja di kamarku.
Waktu ibuku hamil adikku yang terkecil, Sara, tak sengaja aku mendengar kedua
orangtuaku ngobrol. Ibuku bilang, mudah-mudahan kali itu bayinya laki-laki. "Aku tahu kau
mengharapkan anak laki-laki," katanya pada ayahku.
"Ah, siapa bilang," jawab ayahku. "Itu kan dulu. Kusangka aku harus punya anak
laki-laki untuk bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan ayah dengan anaknya.
Tapi aku kan sudah punya Rachel. Dia sama baiknya dengan anak laki-laki. Dia
malah lebih hebat daripada anak laki-laki seumurnya. Kau sudah lihat waktu dia
loncat tinggi?" Ibuku mengeluh. "Jangan sampai dia dengar kau bilang begitu. Gadis-gadis kecil
tidak suka kalau dibilang mereka sama baiknya dengan anak laki-laki."
Ibuku keliru. Memang membedakan laki-laki dan perempuan itu tidak adil, tapi aku
tidak keberatan. Ayahku menganggap aku sama baiknya dengan anak laki-laki. Sip
lah. Kalau saja ia tahu apa yang sedang kulakukan sekarang, pikirku.
Bagaimana mungkin ia mengharapkanku mengambil keputusan ini" Aku tak bisa
meninggalkan teman-temanku. Aku tak bisa. Mereka mengandalkan aku. Kami akan
kembali ke kolam Yeerk, dan mereka mengharapkan aku sebagai si kuat dan si
pemberani. Mereka mengira aku begitu.
Tapi kalau aku memang kuat dan pemberani, seperti dugaan mereka, kenapa aku
tiba-tiba membayangkan kehidupan yang sangat berbeda, jauh dari tempat
pertempuran dengan para Yeerk"
Kenapa aku membayangkan hidup yang diisi dengan les senam dan nonton bola
bersama ayahku" Dan tinggal di tempat aku bisa jadi anak biasa" Di tempat tak
seorang pun mengharapkan aku kembali ke neraka penuh jeritan dan putus asa yang
disebut kolam Yeerk"
Kalau aku seberani dan setangguh itu, kenapa aku membayangkan kehidupan normal"
Chapter 7 AKU terbang ke teritori atau daerah kekuasaan Tobias. Tempat itu kebetulan juga
memang teritori burung hantu bertanduk yang asli - paling tidak ada seekor yang tak akan suka jika aku berada di situ. Siang hari tempat itu milik Tobias,
malam hari milik si burung hantu.
Aku tahu pohon tempat Tobias biasa tidur. Betul saja, itu dia.
Aku berhenti mengepakkan sayap dan meluncur naik.
Aku sudah mulai menguncupkan sayap, siap hinggap, ketika Tobias melihatku.
begitu, Rachel.>
dan falcon yang suka menyerang elang.
kartun tentang burung hantu yang lucu dan mengira yang mereka lakukan hanyalah
berbunyi 'uhu, uhu' dan bersikap bijaksana. Tapi kuberitahu kau, aku sudah
melihat bagaimana burung hantu beraksi. Mereka tidak lucu. Mereka tangguh. Aku
tak ingin duel dengan burung hantu.>
Aku hinggap di dahan di sampingnya, cakarku mencengkeram kulit pohon yang
lembut. Aku bisa mengerti kenapa Tobias menyukai tempat hinggap ini. Dari sini padang
rumput terhampar luas dan jelas, memperlihatkan mangsanya yang lezat-lezat.
Tobias tidak bilang apa-apa. Rupanya ia tahu aku berbohong. Ia menunggu aku
bercerita, memandangku dengan matanya yang cokelat-keemasan yang seakan bisa
menembusku. Tapi aku tak ingin bercerita padanya.
Yah, semula memang rencanaku begitu. Kalau tidak, kenapa aku terbang menemuinya"
Tapi sekarang rasanya konyol kalau aku menumpahkan masalahku padanya.
Yeerk. Singa. Beruang grizzly, atau entah apa. Kupikir siapa tahu kau mau
terbang ke sana bersamaku.>
membubung. Aku harus mengepakkan sayap terus, padahal jaraknya kan berkilo-kilo
meter. Maksudku, kalau cuma jalan-jalan di sekitar sini sih oke. Tapi kalau ke
kebun binatang, tunggu dulu.>
meluncur dari kepalaku, aku menyesal dan ingin menariknya kembali.
Tapi Tobias hebat. Ia cuma ketawa pelan.
lakukan, kalau Yeerk-nya masih ada di sini">
Tobias mulai menjilati bulunya. Itu memang sesuatu yang harus dilakukannya, tapi
itu juga kebiasaannya jika ia sedang bingung.
Yeerk menang, dan kau tak perlu mencemaskan kuliah lagi. Atau mereka kalah dan
kita masing-masing kembali ke kehidupan normal kita lagi. Beberapa dari kita
lebih normal dari yang lain,> ia menambahkan dengan getir.
Sesaat aku tidak berkata apa-apa. Aku tak bisa. Aku sibuk membenci diriku
sendiri karena mengangkat masalah ini dengan Tobias. Tobias, bukannya orang
lain! Ia sudah jadi korban dalam pertempuran ini. Ia terperangkap dalam wujud burung
elang. Dan aku memikirkan untuk mundur"
Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa aku ini" Aku tak bisa pergi. Meninggalkan Tobias di hutan"
Meninggalkan sahabatku Cassie untuk bertempur sendiri, bahkan mungkin mati,
supaya aku bisa selamat"
Meninggalkan Jake dan Marco dan Ax"
Kenapa" Karena ayahku kesepian dan supaya aku bisa les senam"
Tidak. Aku bingung. Aku muak. Kenapa sih aku ini"
Mana mungkin aku mundur. Aku tak boleh menyerah.
Pembalasan Animorphs. Ya, kan">
Aku membentangkan sayap dan mengepakkannya kuat-kuat, meluncur menembus
kegelapan malam. Tapi aku tidak pulang. Aku terbang berputar-putar sebentar, mencoba mengurai
kekusutan pikiranku. Tapi tak berhasil. Jadi aku tak bisa pulang dulu.
Aku tahu di rumah aku tak akan bisa tidur. Paling-paling berbaring dengan mata
nyalang. Aku berbalik dan terbang ke arah selatan.
Chapter 8 DARI udara, The Gardens - taman hiburan yang ada kebun binatangnya - tampak berbeda
daripada kalau dilihat dari bawah.
Roller coaster-nya tidak kelihatan begitu tinggi dan menyeramkan.
Terbang di atas kebun binatang, kau kebanyakan hanya melihat atap kandang
berbagai penghuninya. Sisanya, mula-mula kelihatannya cuma hutan, dengan jalan
semen yang berbelok, berkeliling, dan menembus hutan itu. Seperti pita yang
meliuk-liuk. Kalau diperhatikan dengan lebih cermat, aku bisa melihat habitatnya yang
terpisah-pisah. Pohon-pohon dan sungai di tempat harimau. Padang terbuka untuk
tempat tinggal bison, dengan pagar tinggi untuk memisahkannya dari tempat
tinggal impala. Aku melayang di atas habitat singa. Sebagian besar singa tidur di atas dahan.
Seekor singa betina berjalan-jalan resah, seakan mencari sesuatu.
Butuh waktu untuk menemukan beruang-beruang. Aku tidak tertarik pada beruang
hitam yang kecil-kecil. Ataupun beruang kutub.
Aku mencari beruang grizzly, beruang yang sangat besar dan buas.
Aku ingin kekuatan. Itu dia mereka di antara pepohonan dan batu karang, dikelilingi parit yang
diairi oleh sungai kecil yang deras.
Ada dua, jantan dan betina. Keduanya sedang tidur, menggeletak di atas karang.
Yang jantan lebih besar. Itulah yang kuinginkan. Besar. Berkuasa. Tak kenal takut. Aku akan kembali ke
kolam Yeerk. Jadi aku ingin sesuatu yang bisa sangat membahayakan.
Pergi" Pindah ke kota lain"
Menyerah" No way! No way. Dan ayahku" Aku masih akan bertemu dengannya kalau ia datang. Itu gunanya pesawat jet.
Aku mendarat dan mulai kembali ke wujud asalku. Kembali ke tubuh manusia.
Bulu-buluku meleleh, menyatu, dan menjadi merahjambu. Paruhku pecah menjadi
gigi. Cakarku menjadi kaki yang mulus.
Tubuh bagian dalamku bergeleguk, mendesis, dan bercelepuk ketika ada organ-organ
yang membesar dan berubah. Beberapa bagian tubuhku, yang hilang sewaktu aku jadi
burung, muncul kembali. Beruang itu mendengar bunyi tulangku yang meretak membesar, dan gemeresik pelan
bulu-bulu yang meleleh berubah menjadi daging. Ia membuka sebelah matanya dan
memandangku tanpa mengerti, tanpa takut.
Ia kenyang. Ia sudah berada di kebun binatang ini selama bertahun-tahun, dan
sudah lupa berwaspada seperti sewaktu ia masih hidup di alam bebas. Baginya aku
hanyalah sesuatu yang berbau sedikit seperti manusia dan sedikit seperti burung.
Kuulurkan tanganku yang gemetar, menyentuh bulunya yang kasar. Matanya yang
rabun dekat mengawasiku. Baginya aku bukan apa-apa. Aku tak akan bisa
menyakitinya. Sebaliknya ia bisa menghancurkanku tanpa harus repot-repot bangun. Ia sama
sekali tak kenal takut. Tak kenal ragu. Tak kenal sakit.
"Pasti asyik jadi dirimu," bisikku kepadanya.
Aku menyentuhnya dan merasakan kekuatannya mengaliri tubuhku.
Meskipun demikian, sementara aku menyerap DNA-nya dan membayangkan diriku
menjadi makhluk tak kenal takut ini, aku tetap tak bisa melupakan pandangan mata
ayahku, ataupun getaran suaranya ketika ia bilang, "Tapi, Rachel, kurasa asyik
juga lho." Aku bahkan sudah merasakan kekosongan dalam hidupku setelah ia pergi. Ia bisa
bilang ia akan pulang dua minggu sekali. Ia bisa bilang kami masih akan bertemu
sama seringnya. Tapi aku tahu yang akan terjadi tidak begitu. Aku bisa
membayangkan ia berkemas.
Aku teringat jeritan-jeritan di kolam Yeerk.
Aku teringat gurauan Tobias tentang kuliah.
Sungguh kelewatan. Hal-hal kecil dan pribadi, dan hal-hal besar, semua
berseliweran bersamaan dalam kepalaku. Semuanya tak masuk akal. Terlalu banyak
hal. Terlalu banyak ketakutan, rasa bersalah, dan kesepian. Terlalu banyak
keputusan. Terlalu banyak.
Kau tahu, ada hari-hari ketika aku tidak merasa pemberani.
Ketika aku tidak merasa tak kenal takut. Ada hari-hari ketika aku cuma ingin
pergi nonton bola dengan ayahku sambil makan popcorn, juga cuek terhadap yang
terjadi di sekelilingku. Dan menjadi anak biasa.
Tapi itu bukan hidupku. Bukan lagi.
Chapter 9 ESOK malamnya, sesuai rencana, kami tiba di mall sendiri-sendiri. Aku ketemu
Cassie di pusat jajan. "Hai. Tak kusangka bakal ketemu kau di sini," kataku.
"He-eh." Kami memang berpura-pura terkejut bertemu di sini. Siapa tahu ada Pengendali
yang mengawasi. Aku melihat arlojiku. "Bagus. Kita punya waktu seperempat jam untuk berjalan
santai ke The Gap." "Aku melihat Jake dan Ax di bawah sedang main video games," kata Cassie.
"Kasihan Jake. Ax tidak bisa diduga tingkahnya kalau sedang menjadi manusia.
Waktu aku mengawasinya tadi, dia sedang mencoba makan puntung rokok yang
dicomotnya dari asbak."
Andalite tidak punya mulut dan indra pengecap. Jadi tiap kali Ax jadi manusia,
indra pengecapnya menjadi sesuatu yang sangat menakjubkan baginya. Ia akan
mencoba makan apa saja yang ada di dekatnya.
Aku tertawa membayangkan Ax mengunyah-ngunyah puntung rokok. Aku heran sendiri
aku bisa tertawa. Ini kan bukan tugas yang kusambut gembira.
Kami tiba di toko pakaian itu.
"Marco bilang kamar pas letaknya paling ujung," Cassie mengingatkan. "Dan kita
harus menganggap orang-orang yang kerja di sini semua Pengendali. Ngomongngornong tentang Marco, dia bisa datang tepat waktu tidak, ya" "
"Kurasa bisa," kata Cassie. "Belakangan ini kelihatannya dia semangat."
"Kok bisa begitu, ya?" gumamku.
Cassie mengangkat bahu. "Orang kan bisa berubah. Aku kasihan pada Tobias, dia
tidak bisa ikut. Pasti dia menyesal sekali. Tapi sekaligus aku juga iri
padanya." Aku mengangguk setuju. Aku merasa tegang sekali. Cemas sekaligus energik.
Seperti biasanya sebelum kami melakukan sesuatu yang berbahaya. Hanya kali ini
lebih-lebih lagi. Aku ngaku saja deh... kolam Yeerk membuatku takut. Tempat mengerikan itu
membuatku muak. Dan sekarang kami akan kembali ke sana.
"Saatnya masuk ke kamar pas," kataku. "Ambil baju yang mau kaucoba."
Cassie memandangku bengong. "Apa misalnya?"
Aku memutar mata. Cassie tidak bisa belanja. Ia tidak berminat shopping. "Purapura saja kau jadi aku. Ambil saja sweter atau apa."
Aku melihat Jake dan Ax di seberang ruangan. Wujud manusia
Ax selalu mengejutkan bagiku, karena itu hasil kombinasi DNA dari Jake, Marco,
Cassie, dan aku. Ia cowok, tapi boleh dibilang cantik, dan aneh.
Aku mencomot sweter untuk Cassie dan membebernya untuknya.
"Memangnya aku mau pakai yang kayak begitu," katanya. "Itu ada labelnya, 'dry
clean only'." Kami masuk kamar pas yang paling ujung dan menutup pintunya.
"Yuk, kita mulai," kataku tegang.
Kami telah memutuskan bahwa cara terbaik adalah bermetamorfosis menjadi kecoak.
Terakhir kali kami menjadi kecoak memang kacau-balau. Tapi kecoak cepat larinya
dan indra mereka cukup baik untuk tujuan kami. Lagi pula kecoak kan tidak
diperhatikan. Aku sebetulnya segan jadi kecoak lagi. Aku tak suka jadi sesuatu yang bisa
diinjak. Lagi pula, kalau kaupikir melihat kecoak itu menjijikkan, cobalah jadi
kecoak sendiri. Aku memandang Cassie dan menjerit. Dua sungut besar panjang mencuat dari
dahinya. "Astaga, bilang-bilang dong kalau kau sudah mulai."
Bermetamorfosis bukanlah proses rapi dan indah yang membuatmu pelan-pelan
berubah wujud. Jauh lebih aneh dari itu.
Perubahan yang berbeda muncul pada saat yang berbeda. Bagian-bagian tubuh
tertentu tiba-tiba muncul, bagian-bagian lainnya menghilang. Dan ukurannya
biasanya baru pas belakangan.
Perubahan pertama pada Cassie adalah kemunculan tiba-tiba dua sungut, yang
mencuat begitu saja dari dahinya seperti dua tangkai pancing. Kemudian kulitnya
mulai kelihatan garing. Pada saat yang bersamaan kami berdua mengecil, rasanya seperti jatuh. Maksudku,
kau melihat tembok tiba-tiba mencuat makin lama makin tinggi. Kau melihat lantai
tiba-tiba mengejarmu ke atas, sehingga rasanya kau seperti penerjun payung yang
parasutnya tidak mengembang.
Celakanya, karena itu kamar pas, cerminnya ada di kanan-kiri dinding.
"AAHHH!" jeritku, kaget melihat kulit punggungku berubah menjadi dua sayap
cokelat besar dan keras. Sungguh menjijikkan.
Cassie sudah berubah banyak, sehingga tidak bisa lagi bilang "sssttt", tapi ia
menempelkan sebelah tangannya ke sisa bibirnya. Saat itu sepasang kaki
tambahannya muncul dari perutnya, dan kurasa aku pasti akan menjerit lagi, cuma
saat itu mulutku sudah tak ada.
Aku mendengar bunyi seperti bunyi seruputan ketika tulang-tulangku melebur dan
aku mengecil menjadi kecoak.
Pakaianku teronggok di sekitarku seperti tenda yang ambruk. Pandangan manusiaku
sudah hilang sekarang. Yang bisa kulihat cuma pemandangan remang-remang, buram,
dan bertebaran menjadi beribu keping. Tapi aku sudah pengalaman menjadi kecoak.
Aku bisa memahami cara pandang kecoak yang membingungkan.
Dan ada kelebihannya sebagai pengganti pandangan yang tidak jelas itu. Sungut
yang mencuat di kepalaku sangat hebat untuk menangkap getaran dan bau.
Jarum-jarum lurus itu tampak sebesar batang baja penyangga ayunan. Ujungnya yang
runcing jadi tampak tidak runcing dalam ukuran sebesar ini. Dan pentulnya
sebesar bola pantai.
Dengan keenam kaki kami bergegas ke sudut, ke bawah tempat duduk kecil berbentuk
segitiga.
Waktu pertama kali berubah wujud menjadi binatang tertentu, susah sekali
menyesuaikan diri dengan naluri khas binatang itu. Kami pernah menjadi kecoak
sebelumnya, jadi kami sudah siap. Tapi ketika pertama kali menjadi kecoak, susah
banget mengontrol kepanikan diriku.
Bahkan sekarang, naluri kecoak yang kagetan nyaris tak bisa kukontrol. "Lari!"
perintahnya. "Lari!"
Aku mendengar getaran keras. Sesuatu yang besar bergerak di atas kepala kami.
Aku tak bisa melihat jelas sehingga tidak mengenalinya, tetapi beberapa detik
kemudian ia mulai berubah wujud ke dunia kami.
Setelah itu muncul Ax, yang harus kembali dulu menjadi Andalite, sebelum berubah
wujud menjadi kecoak. Jake memungut semua pakaian kami, menjejalkannya ke dalam
tas dan menyimpannya di dalam salah satu locker di mall. Kemudian ia kembali dan
bermetamorfosis menjadi kecoak. Pakaiannya sendiri akan dikorbankan,
ditinggalkan di kamar pas itu. Memang akan kelihatan aneh, tapi tidak seaneh
kalau ada lima setel pakaian berserakan.
mau terperangkap terus dalam wujud ini. >
Kami bertebaran seperti pasukan kecil, menyelusup ke bawah sekat yang memisahkan
kami dari kamar pas sebelah. Ini kamar pas yang diyakini Marco sebagai pintu
masuk ke kolam Yeerk.
Salah satu keuntungan menjadi kecoak adalah kita bisa berlari memanjat dinding
apa saja. Kami meluncur ke atas dan berkumpul di bawah atap yang sebetulnya
adalah tempat duduk berbentuk segitiga itu.
Aku beristirahat, menghadap dinding. Duri-duri kecil di ujung kakiku memegang
benjolan tak rata di dinding. Aku bisa melihat dua kecoak di atasku, seperti
mobil pendek-cokelat yang sedang parkir. Sungut mereka bergoyang-goyang, sama
seperti sungutku, mengendus bau, mencari getaran.
Dan tiba-tiba saja pintu kamar pas terbuka. Sesosok tubuh jangkung, sehingga
mirip pencakar langit, masuk.
Uh, memangnya kami tidak tahu.
Otak kecil kecoak kami kan sudah berteriak-teriak, "Lari! Lari! Lari!"
Kemudian kudengar bunyi entakan lembut.
Cermin di dinding belakang kamar pas itu membuka. Kurasakan Udara lembap
menerobos masuk, bercampur bau mineral.
Bau seperti itu pernah kuhirup. Ada kenangan merasuk ke dalam kepalaku. Kenangan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 3 Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 1