K.A.Applegate Serbuan Makhluk Asing (Animorphs # 1) Judul Asli THE INVASION 1996 Terbit di Indonesia 1998 Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Jake. Sebenarnya masih ada tambahan nama keluarga, tapi tak bisa kusebutkan di sini.
Habis, risikonya terlalu besar. Para Pengendali ada di mana-mana. Di berbagai
tempat. Kalau mereka sampai tahu nama lengkapku, mereka akan bisa melacak diriku
dan teman-temanku. Dan setelah itu... pokoknya, aku tidak ingin mereka
menemukanku. Perbuatan para Pengendali terhadap orang-orang yang melawan mereka terlalu
mengerikan. Sekadar membayangkannya saja sudah bikin ngeri.
Aku bahkan tak bisa memberitahumu di mana aku tinggal. Tapi percayalah, aku
tinggal di suatu tempat yang benar-benar ada, di suatu kota sungguhan. Mungkin
malah di kotamu. Catatan ini kubuat supaya lebih banyak orang tahu apa yang telah terjadi. Dengan
demikian umat manusia mungkin bisa bertahan sampai kaum Andalite kembali untuk
menyelamatkan kita, seperti yang mereka janjikan.
Mudah-mudahan saja. Semula hidupku biasa-biasa saja. Sampai suatu hari Jumat malam, waktu aku pergi
ke mall bersama Marco, sahabat karibku. Di sana kami bermain video game, lalu
melihat-lihat buku komik di toko buku.
Ketika Marco dan aku kehabisan koin untuk bermain video game, ia sedang unggul
jauh. Sebenarnya sih kemampuan kami seimbang. Aku punya Sega di rumah dan bisa
berlatih terus, tapi Marco pandai membaca permainan dan cepat mengetahui segala
macam trik. Jadi kadang-kadang ia bisa mengalahkanku.
Tapi mungkin juga aku yang kurang konsentrasi. Pikiranku memang agak kalut.
Kejadian di sekolah hari itu kurang mengenakkan. Aku ikut seleksi anggota tim
basket, tapi aku tidak terpilih.
Sebenarnya sih, itu bukan persoalan besar. Tapi Tom - kakakku - merupakan
legenda di tim sekolahku. Ia pemain hebat. Dan sekarang ia menjadi pencetak
angka nomor satu di SMU-nya. Karena itulah semua orang menyangka aku pasti
terpilih. Ternyata aku gagal.
Walaupun bukan persoalan besar, kegagalan itu tak bisa kulupakan begitu saja.
Soalnya belakangan ini Tom dan aku tidak seakrab dulu lagi. Jadi aku beranganangan, seandainya aku bisa mengikuti jejaknya di tim basket....
Ah, sudahlah. Yang jelas, Marco dan aku kehabisan uang dan sudah bersiap-siap
pulang ketika kami bertemu Tobias. Tobias agak aneh. Ia anak baru di sekolah
kami. Karena ia bukan tipe jagoan, ia sering diganggu dan dijaili anak-anak
lain. Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, kepalanya ada di dalam wastafel. Dua
anak konyol sedang memegangi tangannya dan menyirami kepala Tobias sambil
tertawa-tawa. Rambut Tobias yang pirang jadi basah kuyup. Aku langsung melabrak
mereka, dan sejak itu Tobias menganggapku sebagai teman.
"Hei, mau ke mana kalian?" tanya Tobias.
Aku angkat bahu. "Pulang."
"Kami kehabisan uang," Marco menimpali. "Ada orang yang lupa kalau Sleaze Troll
selalu muncul setelah kita menyeberangi Nether Fjord. Ada orang yang maunya
kalah terus - dan menghambur-hamburkan uang." Marco sudah menunjuk-nunjuk diriku
dengan jempol, tapi Tobias tetap tidak tahu siapa yang dimaksud Marco.
"Hmm, kalau begitu kita bisa pulang sama-sama," kata Tobias.
Aku bilang boleh saja. Apa salahnya"
Kami sedang menuju pintu keluar mall ketika aku melihat Rachel dan Cassie.
Rachel lumayan kece. Ehm, sebenarnya sih, ia cantik sekali. Tapi bagiku ia tidak
masuk hitungan, soalnya ia sepupuku. Rachel berambut pirang dan bermata biru.
Penampilannya oke banget. Ia termasuk orang yang selalu pas kalau memilih baju.
Ia pantas jadi foto model. Apalagi gerak-geriknya juga luwes, soalnya ia ikut
senam. Tapi ia sendiri selalu bilang ia terlalu tinggi untuk jadi jago senam.
Cassie justru sebaliknya. Ia hampir selalu memakai jeans dan kemeja kotak-kotak,
atau baju santai lainnya. Ia berkulit hitam, dan rambutnya selalu dipotong
sangat pendek. Pernah sekali ia membiarkan rambutnya agak panjang, tapi akhirnya
dipotong pendek lagi. Cassie lebih pendiam dibandingkan Rachel. Sikapnya selalu
arif dan bijaksana, tapi bukan berarti sok tua, lho!
Aku... ehm... aku suka juga pada Cassie. Kadang-kadang kami duduk berdampingan
naik bus sekolah, walaupun aku tak pernah tahu apa yang harus kukatakan padanya.
"Kalian mau pulang?" aku bertanya pada Rachel. "Jangan lewat tempat pembangunan
sendirian. Terlalu berbahaya buat anak cewek."
Itu kesalahan besar. Rachel paling tidak senang kalau ada yang menganggapnya
lemah atau tak berdaya. Penampilan sih boleh manis seperti gadis sampul atau
sebangsanya, tapi Rachel selalu membayangkan dirinya sebagai Storm dari kelompok
X-Men. "Huh, jangan sok jago, deh!" serunya berang. "Kaupikir kami tak berdaya hanya
karena..." "Aku senang kalau mereka mau pulang sama-sama," Cassie menyela. "Aku tahu kau
tidak pernah takut, Rachel, tapi aku lain."
Rachel tidak bisa bilang apa-apa lagi. Begitulah Cassie - ia selalu tahu
bagaimana cara mengatasi perang mulut tanpa menyinggung perasaan.
Itulah kami k Marco, Tobias, Rachel, Cassie, dan aku. Lima anak normal yang mau
pulang dari mall. Kadang-kadang aku memikirkan saat terakhir kami anak-anak normal. Rasanya
seperti berjuta-juta tahun lalu. Kau tahu apa yang menghantui pikiranku waktu
itu" Bahwa aku gagal masuk tim basket.
Aku benar-benar takut menyampaikan kabar buruk itu kepada Tom.
Tapi lima menit kemudian, tim basket sudah tidak berarti apa-apa bagiku.
Untuk pulang dari mall ada dua jalan yang bisa dipilih. Yang pertama, jalan yang
aman tapi jauh, yaitu dengan mengitari mall. Jalan kedua adalah mengambil jalan
pintas melalui tempat pembangunan gedung yang terbengkalai sambil berharap tidak
ada pembunuh sinting bersembunyi di situ. Orangtuaku sudah berulang kali
melarangku melewati tempat itu. Kalau mereka tahu aku melanggar larangan
tersebut, aku akan dikurung di kamar sampai ulang tahunku yang kedua puluh.
Tapi kalau ada jalan pintas, kenapa harus pilih yang jauh"
Karena itu kami berlima langsung menyeberang jalan dan menuju ke tempat itu.
Tempat pembangunan itu cukup luas. Kedua sisinya diapit pepohonan, sementara
sisi yang menghadap ke mall dibatasi jalan raya. Antara tempat pembangunan dan
rumah-rumah terdekat terdapat lapangan terbuka yang luas. Suasananya selalu
sunyi. Semula di sini mau dibangun pusat pertokoan baru. Tapi sekarang bangunanbangunan setengah jadi itu malah berkesan seperti kota hantu. Di mana-mana
berserakan tumpukan balok baja yang telah berkarat; tumpukan pipa beton raksasa;
lubang besar berisi air lumpur kehitaman. Malah ada derek yang sudah berkarat
dan selalu berderak-derak kalau angin bertiup.
Aku pernah memanjatnya sementara Marco berdiri di bawah sambil berseru bahwa
kelakuanku konyol sekali.
Tempat itu sepi sekali. Di mana-mana terdapat bayangan aneh, dan sesekali
terdengar suara yang membuat bulu kuduk berdiri. Setiap kali Marco dan aku lewat
di sini pada siang hari, kami selalu menemukan kaleng bir dan botol minuman yang
sudah kosong. Kadang-kadang juga ada bekas api unggun di sudut-sudut tersembunyi di antara
bangunan-bangunan. Dari situ aku tahu bahwa sering ada orang datang kemari
setelah gelap. Semua itu melintas dalam pikiranku ketika kami melewati tempat
itu. Tobias yang pertama melihatnya. Ia memang sering berjalan sambil mendongakkan
kepala dan memandang ke langit. Mungkin ia sedang mengamati bintang-bintang.
Begitulah Tobias - kadang - kadang ia asyik di dunianya sendiri.
Tiba-tiba Tobias berhenti. Ia menunjuk. Menunjuk hampir tegak lurus ke atas.
"Lihat, tuh!" katanya.
"Ada apa, sih?" Perhatianku sedang tertuju pada suara-suara yang kudengar di
belakang kami. Jangan-jangan ada pembunuh sinting yang sedang mengendap-endap.
"Lihat saja," ujar Tobias. Nada suaranya agak aneh. Terkagum-kagum, tapi
sekaligus serius. Karena itu aku pun menengadah. Dan melihatnya. Sebuah titik cahaya putih
kebiruan yang melesat di angkasa. Mula-mula cepat, terlalu cepat untuk pesawat
terbang, lalu semakin pelan. "Apa itu?"
Tobias menggelengkan kepala. "Entahlah."
Aku menatap Tobias dan ia membalas tatapanku. Kami sama-sama tahu apa yang ada
dalam benak masing-masing, tapi kami enggan menyatakannya. Kami yakin Marco dan
Rachel pasti akan menertawakan kami.
Tapi Cassie langsung berseru. "Itu piring terbang!"
Chapter 2 "PIRING terbang?" tanya Marco. Ia memang tertawa, seperti sudah kuduga. Tapi
begitu melihat ke atas, ia langsung terdiam.
Jantungku berdegup kencang. Perasaanku tidak keruan. Bingung, gugup, ngeri semua bercampur aduk. "Piring terbangnya menuju kemari," ujar Rachel.
"Ah, mungkin kau salah lihat," bisikku dengan suara parau. Mulutku mendadak
kering kerontang. "Salah lihat bagaimana" Piring terbang itu memang kemari!" Rachel berkeras.
Memang begitu gaya bicara Rachel. Ia selalu PD alias percaya diri. Sikapnya
selalu yakin seratus persen.
Tapi kali ini ia benar. Benda yang kami lihat memang semakin dekat. Dan
kecepatannya juga semakin lambat. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas.
"Bentuknya bukan seperti piring terbang," ujarku.
Pesawat itu tidak terlalu besar. Panjangnya kira-kira sama dengan bus sekolah.
Bagian depannya berbentuk bulat panjang seperti telur, dan menyambung ke semacam
selongsong panjang. Aku melihat dua tonjolan kecil bengkok yang mirip sayap. Di
ujung masing-masing tonjolan terdapat tabung panjang yang memancarkan cahaya
biru terang dari bagian belakang.
Pesawat kecil itu malah tampak lucu, dan sama sekali tidak berbahaya. Hanya saja
ada semacam ekor yang melengkung ke atas, dengan ujung runcing bagaikan jarum.
"Bentuk ekornya seperti senjata," kataku.
"Yeah," Marco membenarkan.
Pesawat kecil itu terus mendekat. Kecepatannya pun semakin berkurang.
"Piring terbang itu mau berhenti," kata Rachel. Ia terheran-heran, sama seperti
aku. Adegan yang tengah kami saksikan memang sukar dipercaya.
"Kurasa mereka sudah melihat kita," ujar Marco. "Sebaiknya kita pergi dulu, yuk.
Nanti kita kembali lagi sambil membawa kamera video. Kita bisa kaya raya kalau
kita berhasil menjual rekaman video UFO."
"Kalau kita kabur, jangan-jangan... ehm, jangan-jangan kita ditembak dengan
senjata phaser," aku menanggapinya. Maksudku sih cuma bercanda.
"Phaser kan hanya ada di film Star Trek," sahut Marco sambil menggeleng-geleng.
Ia selalu menggeleng-geleng kalau ada ucapan atau perbuatanku yang dianggapnya
norak. Padahal ia sendiri juga tidak tahu apa-apa tentang pesawat makhluk
angkasa luar. Pesawat itu berhenti dan melayang-layang hampir tepat di atas kami, kira-kira
tiga puluh meter di atas permukaan tanah.
Aku merasakan rambutku tertarik ke atas. Ketika aku berpaling kepada Rachel, aku
hampir tertawa terbahak-bahak. Rambutnya yang pirang panjang tampak berdiri
tegak. Hanya rambut Cassie yang tidak terpengaruh.
"Apa itu, ya?" tanya Marco. Suaranya agak gemetaran. Sikapnya tak lagi setenang
tadi, ketika pesawat itu masih jauh.
Terus terang, aku sendiri juga agak ngeri. Agak ngeri, alias ketakutan setengah
mati, sampai-sampai aku cuma bisa berdiri seperti patung.
Tapi secara bersamaan aku juga gembira. Habis, tidak setiap hari aku bisa
melihat pesawat ruang angkasa sungguhan dengan mata sendiri!
Dari dekat lagi. Tobias malah tersenyum lebar, tapi memang begitulah Tobias.
Ia tak pernah ngeri menghadapi kejadian aneh. Justru hal-hal biasa yang sering
membuatnya kebingungan. "Rupanya mereka mau mendarat," katanya sambil nyengir.
Matanya berbinar-binar. Rambutnya yang pirang juga berdiri tegak.
Pesawat itu mulai bergerak turun.
"Hei - mereka mau mendarat di sini!" seruku.
Hati kecilku mendesak agar aku lari pulang, naik ke tempat tidur, dan sembunyi
di balik selimut. Dengan susah payah aku melawan dorongan itu. Aku sadar aku
tidak boleh melewatkan kejadian sepenting dan seluar biasa ini. Aku harus
melihat semuanya. Rupanya yang lain juga berpikiran sama. Mereka tidak beranjak sedikit pun ketika
pesawat itu mendengung-dengung dan mendarat di antara tumpukan barang bekas dan
dinding yang telah roboh.
Aku melihat bercak-bercak hitam di bagian depan pesawat. Sebagian kulit pesawat
tampak sudah meleleh. Begitu pesawat itu menyentuh tanah, cahaya biru yang
semula menyelubunginya langsung padam. Dan rambut Rachel pun segera terurai
kembali. "Hmm, ternyata tidak sebesar yang kubayangkan," bisik Rachel.
"Besarnya kira-kira...," aku bergumam sambil berusaha menaksir panjang pesawat
itu "...tiga atau empat kali minivan kami."
"Wah, ini harus kita laporkan," ujar Marco. "Ini kan kejadian penting. Tidak
setiap hari ada UFO yang mendarat di bumi. Kita harus memanggil polisi atau
tentara, atau malah menelepon presiden sekalian. Kita bakal terkenal. Kita bakal
diwawancara di TV oleh David Letterman."
"Yeah, kau benar," ujarku. "Ini memang harus kita laporkan.
Namun tak ada yang bergerak. Tak satu pun di antara kami berlima yang sudi
meninggalkan pesawat ruang angkasa itu.
"Barangkali kita bisa bicara dengan mereka," kata Rachel. Ia berdiri sambil
bertolak pinggang, dan menatap pesawat itu seolah sedang menghadapi teka-teki
misterius yang harus dipecahkan. "Kita harus mencoba berkomunikasi. Kalau bisa,
maksudku." Tobias mengangguk. Ia melangkah maju dan mengulurkan kedua tangan. Mungkin ia
ingin memperlihatkan kepada siapa pun yang ada di dalam pesawat itu bahwa ia
tidak membawa senjata. "Jangan takut," ia berkata dengan suara lantang tapi tenang. "Kami takkan
menyakiti kalian." "Memangnya mereka mengerti bahasa kita?" tanyaku.
"Hmm, kalau di Star Trek sih, semua tokohnya pakai bahasa Inggris," Cassie
menyahut sambil memaksakan tawa.
Tobias mencoba sekali lagi. "Silakan keluar. Percayalah, kami tidak punya maksud
buruk."
tapi... tanpa bersuara sama sekali. Maksudku, aku mendengar sesuatu tapi tanpa
mendengarnya. Barangkali semua ini cuma mimpi. Aku melirik ke arah Cassie.
Ia pun sedang melirik ke arahku. Pandangan kami beradu. Rupanya Cassie juga
mendengarnya. Lalu aku berpaling kepada Rachel. Ia sedang menoleh ke kiri-kanan, seakan-akan
mencari sumber suara - yang bukan suara - itu.
Perasaanku mulai tidak enak.
"Kalian dengar itu?" bisik Tobias.
Kami semua mengangguk perlahan.
"Kau bisa memperlihatkan dirimu?" Tobias bertanya lantang.
"Kami takkan takut," sahut Tobias.
"Kata siapa?" aku bergumam. Yang lain tertawa cekikikan.
Tawa kami terdengar gugup.
Aku melihat sinar menyilaukan, dan kemudian lengkungan yang terang-benderang
muncul di bagian depan pesawat. Aku berdiri seperti patung, seolah-olah
dihipnotis. Tanpa berkedip aku menyaksikan adegan yang berlangsung di hadapanku.
Mula-mula lengkungan itu menyerupai bulan sabit, lalu bertambah lebar sampai
akhirnya membentuk lingkaran.
Lalu aku melihat sesosok tubuh.
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sosok itu tampak seperti gabungan antara manusia dan rusa.
Makhluk itu mempunyai kepala, bahu, dan lengan yang kurang-lebih berada di
tempat seharusnya, hanya saja kulitnya berwarna biru pucat.
Di bawahnya terdapat tubuh berkaki empat, mirip tubuh rusa atau kuda kecil, yang
tertutup bulu cokelat dan biru.
Makhluk itu keluar sambil merunduk, dan aku menyadari bagian yang kelihatan
normal pun sebenarnya tidak terlalu normal.
Pertama, ia tidak punya mulut. Mulutnya hanya berupa tiga celah vertikal. Lalu
matanya. Sepasang mata berada di tempat seharusnya, meskipun keduanya berwarna
hijau berkilau. Tapi itu belum apa-apa dibandingkan matanya yang lain. Ia
mempunyai sepasang tanduk, dan di ujung masing-masing tanduk terdapat sebuah
mata. Tanduknya bisa bergerak, untuk mengarahkan matanya ke depan dan ke
belakang, ke atas dan ke bawah.
Kemudian aku melihat ekornya, yang menyerupai ekor kalajengking - besar dan tampak
sangat kuat. Di ujungnya terdapat semacam sengat yang melengkung tajam sekali.
Sama seperti pesawatnya, makhluk asing ini juga berkesan tidak berbahaya. Dengan
catatan kita tidak melihat ekornya.
Wah, jangan sampai dia mengamuk di sini, kataku dalam hati.
"Halo," ujar Tobias. Nada suaranya lembut, seolah-olah ia sedang bicara dengan
bayi. Ia tersenyum lebar.
Tanpa sadar aku pun mengembangkan senyum. Secara bersamaan aku menyadari mataku
berkaca-kaca. Aku sulit menjelaskan perasaanku saat itu. Rasanya... rasanya
seperti bertemu lagi dengan teman lama yang sudah sekian tahun tak pernah kita
jumpai.
benakku. "Hai," kami semua menyahut.
Tiba-tiba makhluk asing itu terhuyung-huyung, lalu jatuh ke tanah. Tobias
berusaha menahannya, tapi makhluk itu terlepas dari pegangan Tobias dan kembali
jatuh. "Lihat!" seru Cassie sambil menunjuk luka bakar di sisi kanan tubuh makhluk
asing itu. "Dia luka."
"Kami akan menolongmu. Kami akan memanggil ambulans," ujar Marco.
"Kami akan membalut lukamu," kata Cassie. "Jake, cepat buka baju. Bajumu bisa
kita pakai sebagai perban."
Kedua orangtua Cassie dokter hewan, dan ia sangat sayang pada binatang. Tapi
yang kami hadapi di sini bukan binatang. Paling tidak, bukan binatang biasa.
"TIDAK BISA!" aku memekik. "Kau tidak boleh mati. Kau makhluk asing pertama yang
datang ke bumi. Kau tidak boleh mati."
Aku tidak tahu kenapa ku begitu panik. Yang pasti aku tidak tega kalau ia sampai
mati.
"Makhluk asing lain" Seperti kau?" tanya Tobias.
Makhluk itu menggelengkan kepala.
Kemudian ia merintih kesakitan. Suara tanpa suara itu bergema dalam kepalaku.
Sepintas lalu aku bisa merasakannya sekarat.
"Berbeda" Berbeda bagaimana?" tanyaku. Jawabannya takkan pernah kulupakan.
Ia berkata,
Chapter 3
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi kami semua sadar makhluk itu berkata
benar. Tak ada yang memprotes "tidak mungkin" atau "masa, sih?" Kami semua tahu
ucapannya benar. Ia sedang sekarat, dan ia ingin memperingatkan kami mengenai
bahaya besar yang mengancam bumi.
"Maksudmu, mereka sudah di sini, di bumi?" tanya Rachel.
"Tapi kenapa belum ada yang tahu?" tanya Marco.
Pertanyaannya masuk akal. "Mestinya sudah ada yang mengumumkan soal ini di
sekolah."
Ia tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan Yeerk. Karena itu ia
memejamkan mata, dan berkonsentrasi.
Tiba-tiba sebuah bayangan terang muncul dalam kepalaku. Aku melihat sesuatu yang
berlendir dan berwarna kelabu-kehijauan, seperti keong tanpa rumah, hanya lebih
besar, kira-kira sebesar tikus. Bayangan itu sama sekali tidak menyenangkan.
"Mestinya sih, itu yang namanya Yeerk," kata Marco. "Tapi mungkin juga itu cuma
gumpalan permen karet berlendir."
Tiba-tiba kami terkena sengatan rasa nyeri yang berasal dari si makhluk asing.
Aku seakan-akan bisa merasakan kesedihannya. Ia tahu ajalnya telah dekat.
dalam otak, lalu menyatu dengan si korban yang malang. Mereka mengambil alih
pikiran dan perasaan makhluk yang mereka tumpangi. Mereka selalu berusaha agar
induk semang mau menerima mereka dengan sukarela. Cara itu lebih mudah. Kalau
tidak, induk semangnya mungkin melawan, paling tidak sesaat.>
"Maksudnya, mereka hidup dalam tubuh manusia?" tanya Rachel.
"Wah, ini masalah serius," ujarku. "Jangan beritahu kami. Kami cuma anak-anak.
Urusan seperti ini perlu dilaporkan ke pemerintah."
penjelasannya.
mereka sudah menunggu, dan kami pun sudah siap menghadapi gempuran mereka. Tapi
kami dijebak - mereka telah menempatkan pesawat Blade yang tangguh di kawah
bulan. Kami bertempur, tapi... kami kalah. Mereka melacakku ke sini. Tak lama
lagi mereka akan datang untuk membunuhku dan memusnahkan pesawatku.>
"Bagaimana caranya?" tanya Cassie.
Makhluk asing itu seakan-akan tersenyum dengan matanya.
pasti akan mengirim bala bantuan, tapi mereka butuh waktu untuk sampai di sini.
Mungkin satu tahun, bahkan lebih. Pada saat itu, planet kalian sudah dikuasai
kaum Yeerk. Dan setelah itu tidak ada harapan. Kalian harus memberitahu semua
orang. Kalian harus memperingatkan mereka!>
Sekali lagi ia mengerang kesakitan, dan kami sadar ia takkan mampu bertahan
lebih lama lagi. "Tapi siapa yang mau percaya," kata Marco dengan nada putus asa. Ia menatapku
dan menggelengkan kcpala. "Takkan ada yang percaya."
Ia benar. Mana mungkin kami bisa meyakinkan orang lain, bahwa pesawat makhluk
Andalite ini dimusnahkan kaum Yeerk"
Kami pasti disangka sinting.
"Boleh saja dia mengira dirinya akan mati, tapi kita harus berusaha
menolongnya," kata Rachel. "Kita harus membawanya ke rumah sakit. Atau mungkin
orangtua Cassie bisa..."
"Apa?"
Kami berpandangan. Siapa yang akan masuk ke pesawat makhluk asing itu" Entah
bagaimana caranya, kami sepakat aku yang mendapat tugas tersebut. Sebenarnya
sih, aku tidak setuju. Tapi aku kalah suara.
"Ayolah," ujar Tobias. "Aku ingin menemaninya di sini." Ia berlutut di samping
makhluk asing itu dan meletakkan tangan di pundaknya.
Aku memandang ke pintu pesawat. Kemudian aku melirik ke arah Cassie.
"Masuklah," ia berkata sambil tersenyum. "Kau bukan penakut."
Ia keliru, aku takut sekali. Tapi senyumnya membuatku enggan mundur.
Aku menghampiri pintu pesawat dan mengintip ke dalam. Di luar dugaan, ruang
dalamnya sederhana sekali. Semuanya berwarna krem dan berbentuk oval. Dengan
mudah aku menemukan kotak yang dimaksud si Andalite. Warnanya biru langit dan
bentuknya seperti kubus, dengan panjang sisi sekitar sepuluh sentimeter.
Kesannya cukup berat untuk barang sekecil itu.
Aku melangkah masuk. Tak ada kursi, hanya tempat si Andalite berdiri untuk
mengendalikan pesawatnya. Aku juga tidak melihat panel instrumen yang rumit.
Barangkali pesawat ini dijalankan melalui pikiran.
Aku segera meraih kotak itu dan siap membawanya keluar. Tapi kemudian aku
melihat sesuatu yang menarik perhatian. Sebuah gambar tiga dimensi berukuran
kecil memperlihatkan empat Andalite yang berdiri berdampingan. Keempatnya
bagaikan sekelompok rusa dengan tampang serius. Dua di antaranya masih kecil anak-anak. Pasti keluarga si Andalite.
Betapa malang nasibnya, aku berkata dalam hati. Ia sedang sekarat di sini,
terpisah sejuta kilometer dari keluarganya. Sekarat karena berusaha melindungi
orang-orang di bumi. Dan semuanya karena para Yeerk, atau para Pengendali, atau
siapa pun nama mereka. Aku kembali bergabung dengan teman-temanku.
"Ini kotaknya," kataku kepada si Andalite.
"Apa itu?" tanya Rachel.
Kami berpandangan. Kecuali Tobias, yang terus menatap makhluk asing di hadapan
kami.
menjelaskan.
berikan kepada spesies lain. Tapi kini kalian sangat membutuhkannya.>
"Morf" Apa itu?" tanya Rachel dengan kening berkerut.
Marco tertawa mengejek. "Berubah jadi binatang?"
tekad, tapi, kalau niat kalian cukup kuat, kalian pasti bisa. Cuma... ada batasbatasnya. Juga beberapa masalah. Bahkan bahaya. Tapi tak ada waktu untuk
menjelaskan... tak ada waktu. Kalian harus belajar sendiri. Tapi sebelumnya,
apakah kalian bersedia menerima kemampuan ini">
"Dia bercanda, kan?" Marco bertanya padaku.
"Tidak," ujar Tobias pelan. "Dia tidak bercanda."
"Ini tidak masuk akal," kata Marco. "Semua ini tidak masuk akal. Yeerk, pesawat
ruang angkasa, keong yang menyusup ke otak manusia, makhluk Andalite, dan
kemampuan untuk berubah jadi binatang" Yang benar saja!"
"Yeah, ini memang aneh," aku membenarkan.
"Ini sudah lebih dari aneh," ujar Rachel. "Tapi, kecuali kita semua cuma mimpi,
lebih baik kita siap-siap menghadapi hal ini."
"Dia sekarat," Tobias mengingatkan kami.
"Aku bersedia," kata Cassie.
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Biasanya ia perlu waktu lebih lama
sebelum memutuskan sesuatu. Tapi mungkin ia seperti Tobias. Mungkin ia bisa
merasakan bahwa ucapan si Andalite memang benar.
"Sebaiknya kita putuskan sama-sama," aku mengusulkan.
"Hei - apa itu?" tanya Rachel. Ia sedang memandang bintang-bintang. Jauh, jauh di
langit, sepasang titik cahaya berwarna merah terbang melintas di angkasa.
dipancarkan si Andalite. Chapter 4
arah kami.
"Kita tidak punya pilihan," kata Tobias. "Tanpa kemampuan itu kita takkan bisa
melawan para Pengendali."
"Ini gila!" ujar Marco. "Benar-benar gila!"
"Sebenarnya aku masih perlu waktu untuk memikirkannya," Rachel berkomentar.
"Tapi keadaannya sudah gawat. Jadi aku bersedia."
"Bagaimana, Jake?" Cassie bertanya padaku.
Lho, kenapa jadi begini" pikirku. Kenapa semuanya tergantung padaku"
Aku mengamati kedua pesawat Yeerk. Pesawat tempur Bug Fighter. Keduanya semakin
dekat, bagaikan sepasang anjing yang mengendus-endus jejak. Kemudian aku menatap
si Andalite, dan teringat gambar keluarganya. Apakah mereka akan tahu betapa
malang nasibnya" Aku memandang orang-orang di sekelilingku - Marco, sahabat karibku yang lucu
tapi kadang-kadang menjengkelkan; Rachel, sepupuku yang pandai, cantik, dan
penuh percaya diri; dan Cassie, yang terkenal sebagai penyayang binatang.
Akhirnya aku berpaling kepada Tobias. Perasaanku aneh sekali ketika aku
menatapnya. "Kita tidak punya pilihan," kata Tobias sekali lagi.
Aku mengangguk perlahan. "Kau benar. Kita tidak punya pilihan."
Kami mengikuti petunjuknya. Lima tangan menempel ke lima sisi kotak. Disusul
tangan keenam yang bentuknya berbeda dari tangan kami. Jumlah jarinya terlalu
banyak.
Tubuhku seakan-akan tersengat. Tapi rasanya menyenangkan, seperti digelitik. Aku
hampir tertawa.
kalian melewati batas itu, kalian akan terjebak dan tidak bisa kembali ke wujud
manusia.> "Dua jam," aku bergumam.
Tiba-tiba aku merasakan ketakutan baru menyusup ke dalam pikiran si Andalite,
dan aku pun merinding. Ia sedang memandang langit dengan kedua mata utamanya.
Selain kedua pesawat tempur tadi, masih ada benda lain di atas sana.
"Apa?" Tubuhku sampai gemetaran karena rasa takut yang dipancarkan si Andalite.
"Siapa itu" Apa itu?"
yang sama seperti yang kalian miliki sekarang. Jadi, cepat lari!>
"Tidak, kami akan menemanimu di sini," Rachel berkata dengan tegas. "Barangkali
kami bisa menolongmu. "
Makhluk asing itu kembali menatap kami dengan lembut, seakan-akan tersenyum
dengan matanya.
Kami semua langsung memandang ke atas. Memang benar, kedua titik merah tadi
sedang menuju ke arah kami. Kami juga melihat pesawat lain yang jauh lebih besar
dan berwarna hitam pekat. Hitam bagaikan bayang-bayang.
"Tapi bagaimana kami bisa melawan para... para Pengendali ini?" tanya Rachel.
Aku tersentak mendengar perintahnya yang begitu tegas. "Dia benar. Kita harus
pergi!" aku berseru.
Kami langsung berlari tunggang-langgang. Kecuali Tobias, yang berlutut di
samping si Andalite dan meraih tangannya. Si Andalite menempelkan tangannya yang
satu lagi ke kepala Tobias, dan Tobias langsung tersentak, seakan-akan tersengat
listrik. Serta-merta ia bangkit dan berlari secepat mungkin, menghindari
timbunan barang bekas dan lubang-lubang yang menghalangi jalannya.
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba sinar berwarna merah terang memancar. Rupanya berasal dari lampu sorot
salah satu pesawat tempur Yeerk. Sinar itu menyorot si Andalite beserta
pesawatnya. Pesawat tempur kedua juga menyalakan lampu sorot, dan si Andalite
bersinar bagaikan bintang.
Aku langsung tiarap. Sebagian kakiku masih terkena cahaya lampu sorot. Sertamerta aku menariknya dan merangkak maju, tanpa memedulikan siku dan lutut yang
nyeri karena terkena batu-batu tajam.
Kami berlima meringkuk di balik tembok setengah jadi yang telah ambruk sebagian.
Kami tak berani bergerak, tak berani mengintip, tapi juga tak berani memalingkan
wajah. Kedua pesawat Bug Fighter turun perlahan-lahan. Aku segera tahu dari mana
julukan itu berasal. Kedua pesawat itu sedikit lebih besar daripada pesawat
tempur si Andalite. Bentuknya mirip kecoak tanpa kaki. bagian kepala yang
menjorok ke depan, terdapat jendela-jendela kecil mirip mata. Di kedua sisi
kepala ada sepasang tombak berduri yang sangat panjang dan tajam.
Kedua pesawat tempur Yeerk mendarat di kiri-kanan pesawat si Andalite.
"Oke, tolong bangunkan aku sekarang," bisik Marco dengan suara gemetar. "Aku
sudah muak dengan mimpi ini."
Pesawat yang lebih besar mulai turun. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi ketika
pesawat itu merendah aku seolah tidak bisa bernapas. Aku berusaha menarik napas
dalam-dalam, tapi tidak bisa.
Aku mencoba menelan ludah, tapi juga tidak bisa. Aku ingin kabur, tapi kakiku
gemetaran tak terkendali. Aku dicengkeram ketakutan yang belum pernah kurasakan
- sama seperti si Andalite ketika menyadari Visser Three datang.
Pesawat itu semakin rendah, seakan hendak mendarat di atas buldoser berkarat
yang dibiarkan terbengkalai di tengah lapangan.
Tapi sebelum terjadi benturan, buldoser itu mendadak berdesis, lalu lenyap
begitu saja. Pesawat Blade milik Visser Three itu kelihatan seperti senjata kuno. Aku
teringat kapak perang yang digunakan para kesatria zaman kuno untuk memenggal
kepala musuh. Bagian utama menyerupai tangkai kapak, dengan ujung membesar
berbentuk segitiga. Itu pasti anjungannya. Di bagian belakang terdapat sepasang
sayap melengkung berukuran raksasa. Ukuran pesawat itu sekitar delapan sampai
sepuluh kali lebih besar daripada kedua pesawat Bug Fighter.
Sebuah pintu membuka begitu pesawat Blade itu mendarat.
Cassie hampir menjerit. Tapi aku cepat-cepat membekapnya.
Mereka menghambur keluar dari pesawat, berputar-putar dan melompat-lompat sosok-sosok yang lebih pantas disebut senjata berjalan daripada makhluk hidup.
Mereka berdiri di atas dua kaki yang menekuk ke belakang, dan memiliki sepasang
lengan sangat panjang. Pada masing-masing lengan terdapat tanduk-tanduk
melengkung yang tumbuh dari siku dan pergelangan tangan. Tanduk serupa juga
tampak di lutut mereka yang menghadap ke belakang, serta di ujung ekor. Kaki
makhluk-makhluk itu menyerupai kaki Tyrannosaurus rex.
Tapi yang paling mencolok adalah kepala mereka - leher bagaikan ular, mulut
mirip paruh elang, dan kening dengan tiga tanduk menghadap ke depan.
Aku tersentak kaget ketika suara si Andalite kembali bergaung dalam kepalaku.
Suaranya lebih pelan dibandingkan sebelumnya, sayup-sayup, seakan-akan diserukan
dari tempat yang jauh. "Kalian juga...?" aku bertanya.
Rachel mengangguk. "Yeah."
si Andalite.
"Apa" Dikasihani?" ujar Rachel geram. "Mesin pembunuh seperti itu?"
Tapi perhatian kami telah beralih kepada sosok lain yang baru keluar dari
pesawat Blade. Sosok itu setengah meluncur, setengah merayap.
mungkin kepada kami. Ia ingin memanfaatkan sisa hidupnya yang tinggal sebentar
untuk mempersiapkan kami menghadapi musuh.
Makhluk-makhluk itu tampak seperti kelabang raksasa. Ukurannya dua kali lebih
panjang daripada manusia dewasa, dengan lingkar tubuh sangat besar.
Mereka memiliki lusinan kaki yang menopang dua per tiga tubuh bagian bawah.
Bagian atas tubuh mereka tegak, dengan deretan tangan bercapit mirip kepiting.
Hampir di ujung tubuh mereka ada empat mata berwarna merah, bergoyang-goyang
seperti agar-agar. Dan di ujung sekali aku melihat mulut bulat yang dikelilingi
ratusan gigi kecil. Gerombolan Hork-Bajir dan Taxxon menghambur keluar dari pesawat Blade. Semuanya
segera menyebar, bagaikan sekelompok tentara yang terlatih dengan baik. Masingmasing membawa benda kecil seukuran pistol.
Pasti senjata, kataku dalam hati. Mereka mengepung si Andalite dan pesawatnya.
Tiba-tiba salah satu Hork-Bajir menuju ke arah kami. Ia berhenti persis di depan
tempat kami bersembunyi. Aku merapatkan tubuh ke tanah. Dalam hati aku berharap aku bisa menggali lubang.
Sepintas lalu aku melihat wajah Marco.
Matanya terbelalak. Bibirnya tertarik ke samping, seperti sedang nyengir lebar.
Tapi aku tahu sebenarnya ia ketakutan setengah mati.
Chapter 5 HORK-BAJIR itu membidikkan pistolnya, atau apa pun jenis senjata yang ia
genggam. Kepala ularnya bergerak ke kiri-kanan.
Hork-Bajir itu maju selangkah lagi. Jaraknya dari tembok rendah tempat kami
meringkuk tak sampai dua meter. Ia pasti bisa mendengar jantungku yang berdegup
kencang. Moga-moga ia tidak mengenali bunyi itu.
Moga-moga ia tidak mengenali bunyi lutut gemetaran dan gigi gemeletuk lima anak
yang dicekam ketakutan. Moga-moga ia tidak mengenali suara napas kami yang terengah-engah.
Aku yakin hidupku akan segera berakhir. Aku membayangkan diriku dilumat oleh
tanduk-tanduk tajam vang tumbuh di siku dan pergelangan tangan Hork-bajir itu.
Barangkali kau belum pernah merasa sangat ketakutan, tapi percayalah - rasa
takut punya pengaruh luar biasa. Kau akan kehilangan kendali atas pikiran dan
tubuhmu. Kau ingin menjerit. Kau ingin lari. Kau ingin tiarap di tanah dan
meratap dan memohon ampun ampun, ampun, jangan bunuh aku!
Dan kalau kau menganggap dirimu pemberani, hmm, tunggu saja sampai kau meringkuk
di depan monster yang bisa mencincang tubuhmu dalam waktu tiga detik.
Tapi kemudian suara si Andalite kembali terdengar di kepalaku.
Dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang... yang... entahlah, aku bingung
bagaimana harus menjelaskannya. Tiba-tiba ada semacam perasaan hangat yang
menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya seperti ketika kita bermimpi buruk sewaktu
masih kecil, lalu kita terbangun sambil menjerit-jerit. Dan betapa leganya kita
ketika Mom atau Dad masuk ke kamar, menyalakan lampu, dan duduk menemani kita di
tempat tidur. Nah, kira-kira begitu rasanya.
Maksudku, aku tetap ketakutan. Hork-Bajir itu belum beranjak sedikit pun. Aku
bisa mendengar napasnya. Aku bisa mencium baunya. Tapi secara bersamaan perasaan
panik dalam diriku mulai terkendali. Aku bisa merasakan semangat yang terpancar
dari si Andalite. Ia membagi-bagikan keberaniannya kepada kami, meskipun ia
sendiri pasti juga merasa takut.
Hork-Bajir itu berpaling. Rupanya ada lagi yang keluar dari pesawat Blade.
Aku memberanikan diri untuk mengintip, meskipun seluruh tubuhku gemetaran. Semua
Hork-Bajir dan Taxxon berdiri menghadap pesawat.
"Semuanya dalam posisi siap," bisikku.
"Tahu dari mana?" balas Marco, juga sambil berbisik. "Memangnya kautahu
bagaimana posisi siap kelabang bermata agar-agar atau Mesin Pembunuh dari Neraka
itu?" Lalu ia muncul.
Visser Three ternyata Andalite.
Atau tepatnya, Pengendali-Andalite.
"Hei...," ujar Rachel. "Dia Andalite, ya?"
menjelaskan.
Dengan penuh percaya diri Visser Three menghampiri Andalite yang terluka. Karena
miripnya, aku sukar membedakan keduanya.
Mereka sama-sama mempunyai wajah tanpa mulut, tanduk bermata yang bisa memandang
ke segala arah, tubuh berkaki empat yang langsing namun bertenaga, dan ekor
seperti kalajengking. Tapi ada bedanya. Tampang Visser memang seperti Andalite, tapi pancarannya
berbeda. Ia seakan-akan memakai topeng, hanya saja kita segera tahu bahwa di
balik topengnya yang manis tersimpan kebusukan dan kejahatan.
Jantungku nyaris copot ketika sadar aku mendengar pikiran Visser.
"Apakah dia bisa mendengar pikiran kita?" bisik Cassie.
"Kalau bisa, berarti tamatlah riwayat kita," sahut Rachel.
pikirannya memang ditujukan kepada semua yang ada di sini. Ini kemenangan besar
bagi Visser, dan dia ingin semua tahu.>
mengamati pesawat si Andalite.
kehormatan bagiku. Kau sudah menjadi legenda. Berapa banyak pesawat tempur kami
yang berhasil kaurontokkan sebelum pertempuran berakhir" Tujuh, atau delapan">
Si Andalite tidak menjawab. Tapi aku mendapat kesan jumlah pesawat yang berhasil
dihancurkannya mungkin lebih dari delapan.
planet kecil ini.>
Visser maju selangkah.
Kemenangan kami yang terbesar. Dan setelah itu aku akan menjadi Visser One.>
Kenapa kau ingin menguasai Bumi">
sedang terjadi. Dengan induk semang sebanyak ini kami bisa menyebar ke seluruh
jagat raya. Takkan ada yang bisa menghalangi kami! Saatmu telah tiba, Andalite.
Kau bertempur dengan gagah berani. Tapi kau kalah.>
Visser Three menghampiri musuhnya. Aku bisa merasakan ketakutan si Andalite.
Namun ia tidak sudi bertekuk lutut. Ia justru bangkit, tanpa menghiraukan lukalukanya yang parah. Ia sadar ia akan mati. Ia ingin mati dengan berdiri, dengan
memandang mata musuhnya. Tapi Visser Three belum puas mengejek lawannya.
kami akan menyerang planet Andalite. Aku sendiri yang akan memimpin perburuan
keluargamu. Aku akan memastikan kepala mereka diisi para ajudanku yang paling
setia. Moga-moga mereka akan melawan, sebab aku ingin mendengar jiwa mereka
menjerit-jerit.> Tiba-tiba si Andalite menyerang!
Ekornya menyambar ke depan. Begitu cepatnya, gerakan itu hampir tak terlihat.
Visser masih sempat memiringkan kepala, tapi pundaknya teriris duri di ujung
ekor si Andalite. Aku melihat darah - atau sesuatu yang mirip darah - menyembur
dari lukanya. "Bagus!" aku berseru tertahan.
Secara bersamaan, berkas sinar biru yang menyilaukan terpancar dari ekor pesawat
si Andalite. Sinar itu menembus pesawat Bug Fighter terdekat. Semua Hork-Bajir
dan Taxxon langsung menghambur ke segala arah.
Meskipun aku sedang meringkuk di balik tembok rendah, aku bisa merasakan
gelombang panas yang hebat. Pesawat Bug Fighter itu mendesis-desis, lalu lenyap
begitu saja.
Malam yang tadinya gelap gulita kini mendadak terang-benderang. Berkas-berkas
sinar merah terpancar dari pesawat Blade dan Bug Fighter yang masih utuh.
Pesawat si Andalite tampak membara, lalu terurai perlahan-lahan.
Kemudian aku melihat... atau seperti melihat... manusia. Sekelompok manusia,
sekitar tiga atau empat orang, yang berdiri di daerah agak gelap di belakang
Visser. "Ada orang di sebelah sana," aku memberitahu Marco.
"Hah" Apakah mereka ditawan?"
Tanduk di pergelangan tangan mereka menempel di leher Pangeran Elfangor; tapi
mereka tidak berani membunuhnya.
Mereka tahu hanya Visser Three yang berhak membunuhnya.
Lalu kami melihat dengan mata kepala sendiri kenapa Yeerk sehebat Visser Three
menempati satu-satunya tubuh Andalite yang pernah tertangkap. Di depan mata kami
Visser Three mulai berubah wujud.
Kepala Andalite-nya menjadi lebih besar. Jauh lebih besar. Keempat kakinya yang
mirip kaki kuda tampak menyatu sehingga tinggal sepasang saja, kemudian
membengkak sampai sebesar batang pohon. Lengannya bertambah panjang dan berubah
menjadi sulur-sulur. "Ini tidak mungkin," bisik Cassie. "Tidak mungkin."
Sebuah mulut muncul di kepala Visser yang telah menggembung. Mulut itu dipenuhi
gigi sepanjang lengan manusia.
Mulutnya terus bertambah lebar, bertambah mengerikan.
Tak ada yang tersisa dari tubuh Andalite. Tempatnya telah digantikan monster.
"R-r-r-ra-a-a-w-w-w-g-g-g!"
Raungan yang keluar dari mulut Visser Three membuat tanah bergetar.
Aku menutup telinga dengan kedua tangan.
"R-r-r-r-a-a-a-a-g-g-g!"
Gigiku sampai bergemeletuk karena raungan itu. Aku mendengar seseorang merintih.
Ternyata aku sendiri. Visser Three telah berubah menjadi monster yang membuat para Hork-Bajir dan
Taxxon menyerupai mainan anak kecil. Ia mengulurkan sulurnya yang kokoh, dan
mencengkeram leher si Andalite.
"Jangan, jangan, jangan," aku mendengar Cassie berbisik-bisik. "Jangan, jangan,
jangan." "Jangan lihat," kata Rachel padanya. Ia merangkul Cassie dan memeluknya eraterat. Kemudian ia meraih tangan Tobias dan menggenggamnya. Agaknya sifat asli
seseorang baru terungkap pada waktu orang itu ketakutan. Meskipun ia sendiri
ketakutan setengah mati dan berurai air mata, Rachel masih sanggup menenangkan
orang lain. Visser Three mengangkat si Andalite. Ia merampasnya dari pegangan para HorkBajir. Ekor sang pangeran Andalite menyambar-nyambar. Tapi senjata andalannya
itu tak mempan melawan monster yang dihadapinya.
Si Andalite diangkat tinggi-tinggi.
Dan kemudian Visser Three membuka mulutnya lebar-lebar.
Chapter 6 AKU tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Semula aku begitu ngeri. Begitu
ketakutan. Tapi tiba-tiba seperti ada sekering yang putus dalam kepalaku. Aku tidak bisa
terus bersembunyi dan menonton. Aku tidak bisa diam lebih lama lagi.
"Dasar brengsek...!"
Aku melompat berdiri. Kupungut sepotong pipa berkarat yang tergeletak di tanah,
lalu kupanjat tembok. Aku benar-benar kalap. Aku tidak sadar apa yang kulakukan.
Padahal kalau dipikir, apa yang bisa kuperbuat dengan sepotong pipa sebagai
senjata"
merasakan tangan Marco mencengkeram bajuku dan menarikku mundur. Ia dan Tobias
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menahanku. Rachel membekapku.
Aku hendak berteriak, atau mengumpat, atau apa saja.
"Ssst! Diam, tolol!" Marco mendesis. "Kita semua bisa mati gara-gara kau!"
"Jake, jangan." Cassie menempelkan tangan ke pipiku. "Dia tidak ingin kita mati
karena membelanya. Masa kau belum sadar" Dia mati demi kita."
Dengan kesal aku mendorong Marco dan Tobias. Tapi aku sudah bisa mengendalikan
diri lagi. Aku kembali mengintip dari balik tembok. Si Andalite tampak tak berdaya dalam
cengkeraman Visser Three. Ia diangkat tinggi-tinggi. Dan mulut Visser Three
terbuka lebar. Aku melihat si Andalite jatuh ke dalam mulut yang menganga bagaikan gua itu.
Visser mengatupkan mulut. Giginya mencabik-cabik si Andalite. Dan Pangeran
Elfangor-Sirinial-Shamtul pun mati.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat menjerit.
Jeritan penuh derita itu bergema dalam kepala kami. Dan kami takkan pernah
melupakannya. Para Pengendali-Hork-Bajir mulai mendengus-dengus, whuh- whuh-whuh. Mungkin itu
cara mereka untuk tertawa atau bertepuk tangan.
Para Pengendali-Taxxon bergegas maju dan berkerumun di sekeliling Visser Three.
Mereka menengadah, dan kemudian aku melihat sebabnya - sepotong tubuh si
Andalite jatuh dari mulut Visser, dan Taxxon terdekat segera melahapnya dengan
rakus. Tobias berpaling dan menutupi muka dengan kedua tangan.
Cassie berurai air mata. Aku pun demikian. Lalu aku mendengar suara yang terasa janggal justru karena
begitu normal. Suara tawa. Tawa manusia.
Orang-orang tadi... para Pengendali-Manusia tertawa, seolah sedang menonton
pertunjukan. Sepintas lalu aku mengenali salah satu suara. Tapi suara itu segera ditelan oleh
dengusan para Hork-Bajir. Visser Three berubah wujud lagi. Perlahan tubuh
Andalite-nya muncul kembali.
Para Pengendali-Manusia kembali tertawa dan para pengendali-Hork-Bajir kembali
mendengus-dengus. Lagi-lagi aku mendengar suara tawa manusia yang kukenal. Suara itu terasa akrab
di telingaku, tapi aku tidak ingat di mana aku pernah mendengarnya.
Marco muntah di sampingku. Aku tidak menyalahkannya. Tapi entah bagaimana, suara
itu ternyata menarik perhatian Hork-Bajir yang berdiri paling dekat.
Kepala ularnya menoleh. Ia berdiri seperti patung. Kami tidak berani bergerak
sedikit pun. Hork-Bajir itu berpaling ke arah kami. Matanya yang rabun memandang tepat ke
tembok rendah lempat kami bersembunyi.
Aku tidak tahu siapa yang lebih dulu panik. Bisa jadi aku sendiri. Mungkin juga
kami semua sudah tidak tahan. Kami seperti tersengat listrik. Sebelum sadar apa
yang sedang terjadi, kami semua sudah lari pontang-panting.
Aku berlari secepat mungkin. Napasku terengah
Si Hork-Bajir berteriak-teriak di belakang kami.
"Berpencar!" seruku. "Mereka takkan bisa mengejar kita semua!"
Marco dan Tobias serta Cassie lari ke tiga arah berlainan.
Rachel tetap berlari di sampingku. Aku melirik ke belakang dan melihat HorkBajir tadi ragu-ragu, seakan-akan bingung siapa yang harus dikejarnya.
Rachel dan aku sama-sama jago lari. Tobias kurang olahraga, sedangkan Marco dan
Cassie terlalu pendek untuk lari cepat. Karena itu aku memutuskan lebih baik
Rachel dan aku saja yang dikejar makhluk-makhluk asing itu.
Rupanya pikiran Rachel sama dengan pikiranku. Ia mengurangi kecepatan dan mulai
berseru-seru sambil melambai-lambaikan tangan.
"Ayo, sini! Sini! Dasar..." Dan ia menyerukan kata-kata makian yang tak kusangka
bisa keluar dari mulutnya.
Dua Hork-Bajir yang paling dekat langsung berbalik dan mulai mengejar kami.
"Ghafrash! Ayo! Ghafrash cepat! Musuh! Tangkap!"
Walaupun sedang panik, aku masih sempat terkejut. Mereka berbicara dengan bahasa
gado-gado, campuran antara bahasa mereka dan bahasa manusia.
"Ghafrash fit nahar! Aku tangkap! Aku bunuh!"
Aku melesat cepat. Tiba-tiba kakiku tersandung dan aku pun terjerembap. Aku
terempas keras. Mataku berkunang-kunang.
Mulutku megap-megap menarik napas.
Rachel terus berlari. Ia tidak tahu aku jatuh.
Sinar merah menghantam pipa beton di sampingku. Begitu terkena, pipa itu
langsung menguap. Kedua Hork-Bajir tadi mengejar kami sambil melompat-lompat bagaikan kanguru dari
neraka. Aku segera bangkit dan kembali berlari.
Baru sekarang Rachel sadar aku tak lagi berada di sampingnya.
Ia berhenti dan berbalik ke arahku.
"Jangan konyol!" aku berseru. "Lari terus!"
Sejenak ia tampak bimbang. Tapi ia tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Sertamerta ia kembali berlari.
Aku melihat lubang gelap di hadapanku. Tanpa pikir panjang aku melesat ke
arahnya. Ternyata sebuah pintu. Aku menyelinap masuk, dan langsung dikelilingi kegelapan
pekat. Aku berada di salah satu bangunan yang baru setengah jadi. Yang ada hanya
dinding-dinding beton dan barang-barang rongsokan berserakan. Tapi aku sudah
pernah kemari bersama Marco. Di sini banyak lorong dan ruangan dengan berbagai
ukuran. Marco! Rachel! Apakah mereka berhasil lolos" Dan bagaimana dengan Cassie dan
Tobias" Aku mencoba berkonsentrasi ketika melintasi sebuah ruangan besar. Hmm, mestinya
ada lorong di sekitar sini. Tapi di sebelah mana" Tanganku menggapai-gapai dalam
gelap. Akhirnya aku berhasil menyentuh dinding.
Di belakangku terdengar bunyi cakar menggores-gores lantai beton. Sebuah botol
menggelinding di lantai. Hork-Bajir itu sudah dekat! Dalam kegelapan seperti ini, penglihatanku yang
lebih tajam tidak banyak inembantu. Untung saja aku sudah mengenal lorong-lorong
yang kulewati. Seharusnya aku bisa meloloskan diri dengan mudah. Tapi masalahnya, pikiranku
benar-benar buntu karena panik.
Dinding yang kuraba tadi mendadak berakhir. Sebuah pintu.
Yes! Pintu itu menuju ke sebuah lorong. Begitu aku masuk, kegelapan di
belakangku dibelah seberkas sinar. Rupanya ada yang membawa senter.
"Efnud beritahu fallay nyot fit" Terserah perintah."
"Jangan. Tidak perlu ditangkap. Begitu ketemu, bunuh."
Suara pertama suara Hork-Bajir. Suara kedua suara manusia.
Dan anehnya, suara tersebut begitu akrab di telingaku. Aku berusaha mengingatingat. Aku yakin pernah mendengar suara itu sebelumnya.
Tapi di mana" Di mana"
"Cukup bawa kepalanya saja," kata orang itu kepada si Hork-Bajir. "Berikan
padaku supaya kita bisa mengidentifikasinya."
Aku bergegas menjauh sambil merapat ke dinding. Cahaya senter itu menyusul
beberapa langkah di belakangku.
Kalau tidak salah, di sekitar sini ada lorong lagi, ujarku dalam hati. Ya, itu
dia. Aku segera membelok tanpa suara. Sorot senter tadi cuma beberapa senti di
belakangku. Kakiku menendang sesuatu yang empuk.
"Hei!" Ternyata ada orang. Ia berbaring di lantai, dengan tubuh terbungkus selimut.
"Hei, pergi! Ini tempatku. Aku tidak punya apa-apa untuk dicuri."
Aku hendak memperingatkannya, tapi si Hork-Bajir sudah dekat.
Cahaya senternya menerangi wajah si gelandangan. Laki-laki itu berkedip-kedip
bagaikan burung hantu. Tepat di belakangku ada ceruk di dinding. Aku langsung mundur dan bersembunyi di
sana. Si gelandangan menjerit. Disusul bunyi seperti orang bergerak terburu-buru.
Barangkali ia berhasil lolos, pikirku. Moga-moga saja.
Tapi aku tidak sempat memastikannya. Perhatian si Hork-Bajir sedang tertuju ke
tempat lain, dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk lari.
Aku lari tanpa henti. Dan sambil berlari, aku berharap semua ini cuma mimpi.
Chapter 7 ENTAH bagaimana caranya, akhirnya aku berhasil tiba di rumah. Aku tidak ingat
apa yang terjadi setelah aku terakhir kali melihat si Hork-Bajir di belakangku.
Sebenarnya aku berharap aku tidak ingat apa pun tentang malam itu. Kalau saja
aku bisa melupakan semua yang telah kusaksikan....
Aku menelepon teman-temanku. Untung saja semua selamat.
Rachel berkali-kali minta maaf karena meninggalkanku. Marco bertanya apakah aku
yakin ini bukan mimpi. Seharusnya malam itu aku dihantui mimpi buruk paling parah yang pernah kualami,
tapi ternyata tidak. Dunia mimpi buruk tak ada apa-apanya dibandingkan kenyataan
yang harus kuhadapi. Tapi keesokan paginya, hari Sabtu, aku setengah percaya semua yang kualami
memang cuma mimpi buruk. Satu-satunya hal yang nyata... benar-benar nyata...
adalah cara si Andalite tersenyum dengan matanya.
Aku terbangun karena pintu kamarku digedor-gedor Mom. "Jake, kau sudah bangun?"
Siapa yang tidak bangun kalau pintu kamarnya digedor-gedor"
"Ehm, sudah," sahutku dengan suara parau.
"Temanmu datang," kata Mom. "Tobias."
"Tobias?" Kenapa Tobias datang ke rumahku"
"Ini aku," aku mendengar suaranya. "Boleh masuk?"
"Ehm, masuk saja." Aku duduk di tempat tidur dan berkedip-kedip untuk mengusir
kantuk. Pintu kamar terbuka. Aku mendengar Tobias mengucapkan terima kasih
kepada ibuku. Ia berseri-seri. Malah bisa dibilang bersinar-sinar. Tentu saja ia tidak benarbenar memancarkan cahaya. Tapi matanya berbinar-binar, wajahnya dihiasi senyum
lebar, dan gerak-geriknya penuh semangat.
Ia seperti kebanyakan energi, sehingga tidak bisa diam.
"Aku sudah coba," kata Tobias.
Aku berusaha mengatur rambutku yang acak-acakan dengan mengusap-usapnya. "Apa
maksudmu?" Aku menguap lebar ketika Tobias menjawab.
"Aku berubah jadi Dude, tadi pagi."
Mulutku langsung mengatup. Dude adalah kucing "Hah?"
Tobias memandang berkeliling, seolah-olah takut ada mata-mata di kamarku. "Aku
jadi Dude. Persis seperti yang dikatakan si Andalite."
Aku menatapnya dengan tercengang.
"Ajaib, benar-benar ajaib: Dan sama sekali tidak terasa sakit. Ceritanya begini,
aku bangun pagi-pagi sekali tadi. Lalu aku membelai-belai Dude sambil memikirkan
kejadian yang kita alami semalam. Terus kupikir, apa salahnya dicoba?" Ia
berjalan mondar-mandir dengan penuh semangat sambil menjentik-jentikkan jari.
Sama sekali bukan seperti Tobias yang kukenal selama ini
"Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus mulai. Jadi pertama-tama aku
memastikan pintu kamarku terkunci rapat-rapat. Untung saja pamanku masih tidur."
Tobias berasal dari keluarga berantakan. Ia tak pernah mengenal ayahnya, dan
beberapa tahun lalu ibunya meninggalkannya begitu saja. Sejak itu ia bolak-balik
antara rumah pamannya di sini dan rumah bibinya, yang jauh sekali dari kota
kami. Paman dan bibinya tidak rukun, dan tampaknya mereka menganggap Tobias
sebagai beban. Mereka enggan merawatnya. Keduanya tidak peduli pada Tobias.
"Aku duduk di tempat tidur sambil merenung. Lalu aku mulai berkonsentrasi. Aku
membayangkan bagaimana rasanya kalau aku jadi Dude. Lalu aku melihat tanganku."
Ia menatapku sambil nyengir.
"Coba tebak apa yang kulihat, Jake?"
Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tahu."
"Tanganku mendadak berbulu, Jake. Dan di ujung-ujung jariku muncul cakar. Sayang
kau tidak bisa melihat Dude yang asli tadi. Dia langsung kalang kabut. Aku
terpaksa membawanya keluar kamar sebelum aku berubah sepenuhnya. Aku sempat
dicakarnya." Tobias mengisap salah satu jarinya yang tergores.
Aku menelan ludah. Wah, urusan ini semakin lama semakin aneh. "Ehm, Tobias,
barangkali kau cuma mimpi?"
"Ini bukan mimpi," jawabnya. Kini ia kembali sebagai Tobias yang serius. Ia tak
lagi cengar-cengir seperti tadi. "Semuanya benar, Jake. Semuanya."
Pandangan kami beradu. Aku segera mengerti maksudnya. Ia sendiri semula juga
menganggap semuanya cuma mimpi buruk. Tapi ini bukan mimpi. Ini kenyataan.
Aku memalingkan wajah. Aku tidak mau percaya bahwa semuanya benar-benar terjadi.
Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin menganggap semuanya mimpi buruk belaka
yang akan segera berlalu.
"Aku terus berkonsentrasi untuk berubah," ujar Tobias, "dan setelah beberapa
menit, aku... aku bukan diriku lagi."
Ia menatapku tanpa berkedip. "Kau takkan bisa membayangkan bagaimana rasanya,
Jake. Menjadi kucing rasanya... ehm... entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya.
Yang pasti, kekuatan kita rasanya berlipat ganda. Dan kita juga jadi tangkas
sekali! Kautahu apa yang kulakukan" Aku melompat ke atas lemari pakaian. Aku
melompat setinggi satu meter, dan mendarat dengan mulus. Satu meter! Coba
bayangkan betapa tingginya itu untuk seekor kucing. Untuk ukuran manusia, itu
sama dengan melompat setinggi sepuluh meter."
Tiba-tiba ia terdiam dan menatapku. "Kau tidak percaya, ya?" ujarnya.
"Begini, Tobias, kadang-kadang kita memang sulit membedakan kenyataan dan
mimpi." "Kau pikir aku sinting."
Aku merenung sejenak. "Entahlah, Tobias, tapi coba kita pikir baik-baik apa yang
telah kaukatakan. Kau bilang kau bisa berubah jadi kucing piaraanmu. Kau betulbetul jadi kucing. Terus terang, tidak masuk akal."
Tobias mengangguk-angguk, lalu tersenyum simpul. "Aku mengerti, Jake. Kau tetap
tidak mau percaya." "Percaya apa" Bahwa kau bisa berubah jadi kucing" Bahwa Bumi diserang makhluk
berlendir yang hidup dalam otak manusia dan menjadikan mereka budak" Hah! Tentu
saja aku tidak mau percaya!"
"Dan bagaimana dengan si Andalite?" tanya Tobias pelan.
Ucapannya membuatku terdiam. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku enggan menganggap
si Andalite tak pernah ada.
Tobias menggamit lenganku. "Coba berdiri di sana."
"Kenapa" Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan membuktikan bahwa ini bukan mimpi."
"Tobias...." "Tunggu saja. Dan jangan teriak."
Jadi aku pun menunggu. Selama beberapa detik tidak terjadi apa-apa. Tobias cuma berdiri saja. Aku
menatap wajahnya. Matanya... matanya kelihatan lain. Biji matanya tidak lagi
bulat. Dan sepertinya aku melihat pantulan sinar kehijauan. Rahangnya pun agak
manyembul, menonjol dari wajahnya.
Kemudian ia mulai mengerut. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil.
Kerah bajunya tampak kendur di lehernya. Celananya menjadi kepanjangan untuk
kakinya. Secara bersamaan muncul bulu - ya, bulu! - di tangan dan tengkuk dan
wajahnya. Bulunya berwarna kelabu campur hitam, persis seperti bulu Dude.
Entah kenapa, aku tiba-tiba ingin tertawa cekikikan. Habis, Tobias benar-benar
berubah menjadi kucing! Tapi aku sadar begitu aku mulai tertawa, aku akan
tertawa terus-menerus. Tobias kini lebih mirip kucing daripada manusia. Sepasang telinga runcing
menyembul dari kepalanya. Bulu kumis yang panjang tumbuh di bawah hidung
mungilnya yang berwarna pink. Ia merangkak di lantai, dan pakaian yang
membungkus tubuhnya tampak kedodoran sekali. Ekornya berkedut-kedut. Ya ekornya. Mulutku terasa kering kerontang. Jantungku berdegup kencang.
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah saat ini aku masih tidur.
Tapi kalau ini cuma mimpi, ini mimpi yang meyakinkan sekali.
Aku berdiri di kamarku sambil menatap kucing berbulu kelabu-hitam yang dua menit
sebelumnya masih berwujud temanku, Tobias.
Chapter 8 "MOGA-MOGA aku masih tidur," aku bergumam.
"Ya," jawabku hati-hati.
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barangkali cuma bisa kalau kau lagi... berubah wujud."
Ya ampun, aku bicara dengan kucing! kataku dalam hati. Padahal tadi kupikir
Tobias yang sinting. Aku bertanya-tanya apakah Tobias sempat mendengar pikiranku. Aku berkonsentrasi.
Tobias, kau bisa mendengarku"
"Apakah kau mendengar pikiranku sebelum ini?" tanyaku.
Serta-merta Tobias melesat. Ia mendarat persis di depan bola bisbol bertanda
tangan yang tergeletak di sudut kamar. Lompatannya lebih dari satu meter.
"Tarik tali" Untuk apa?"
Aku membuka laci meja belajar dan menemukan pita bekas pembungkus kado ulang
tahun. Aku memang kurang rapi membereskan kamar. Bayangkan. Pita itu bekas ulang
tahunku dua tahun lalu. Tapi masih ada di laciku.
"Bagaimana kalau ini saja?" Kutarik pita itu perlahan-lahan di lantai, sekitar
setengah meter di depan hidung Tobias. Ia mengambil ancang-ancang, lalu
melompat! Ia menerkam pita itu, dan menggigitnya dengan giginya yang tajam.
Kemudian ia berguling-guling sambil mencakar-cakar pita, seakan-akan tak ada
yang lebih penting lagi di dunia ini.
Aku berusaha menarik pita itu, tapi ia kembali menerkam.
"Tobias, apa-apaan ini?" seruku. "Kau bermain-main dengan pita plastik!"
Tiba-tiba ia berhenti. Ekornya bergoyang-goyang. Mata kucingnya menatapku dengan
dingin, tapi sekaligus berkesan bingung.
kalau ada tikus di sini! Aku ingin berburu tikus. Aku ingin melacaknya.
Mendengar degup jantungnya. Mendengar suara langkahnya. Aku akan menunggu saat
yang tepat, lalu aku akan melompat, sambil mengeluarkan cakar...> Ia
memperlihatkan cakarnya yang tajam.
"Tobias, kurasa ada pelajaran yang bisa kita tarik dari sini," ujarku. Ternyata
dalam waktu singkat aku sudah terbiasa bicara kepada seekor kucing.
"Kelihatannya kau sekarang bukan Tobias yang biasa. Kau memang jadi kucing.
Maksudku, kau punya naluri kucing. Kau ingin mengerjakan hal-hal yang diinginkan
kucing."
"Lebih baik kau berubah jadi Tobias lagi, deh."
Ia mengangguk. Aneh sekali lho, melihat kucing mengangguk-angguk seperti
manusia.
perubahan dari manusia menjadi kucing. Prosesnya dimulai dengan menghilangnya
semua bulu. Kemudian hidung kucing yang pesek perlahan-lahan menjadi mancung
kembali. Dan ekornya lenyap bagaikan ular tersedot alat pengisap debu.
Dalam sekejap saja aku sudah berhadapan dengan Tobias yang asli. Ia tampak salah
tingkah. Cepat-cepat ia mengenakan pakaiannya.
"Mudah-mudahan ada cara supaya kita otomatis memakai baju kalau kita jadi orang
lagi." "Kita?" Ia kembali tersenyum simpul. "Jadi kau belum paham juga, Jake" Kalau aku bisa
berubah, kau juga bisa."
Aku menggelengkan kepala. "Kau keliru, Tobias."
Tiba-tiba ia marah. Dicengkeramnya kedua bahuku dan diguncang-guncangnya.
"Kenapa kau tidak mau mengerti, Jake" Semua ini kenyataan. Semuanya."
Aku langsung mendorongnya. Aku tidak mau mendengar kata-katanya.
Tapi Tobias tetap berkeras. "Jake, ini bukan mimpi. Dan pasti ada alasan kenapa
si Andalite memberikan kekuatan ini kepada kita."
"Oke," sahutku ketus. "Kalau begitu, kau saja yang pakai kekuatan itu."
"Rencanaku memang begitu," ujarnya. "Tapi kami membutuhkanmu, Jake. Kau yang
paling penting." "Kenapa?" Tobias diam sejenak. "Aduh, Jake, masa kau tidak mengerti" Aku kenal betul
kemampuanku. Aku tidak bisa menyusun strategi dan mengatur anak-anak lain. Aku
tidak berbakat jadi pemimpin. Tidak seperti kau."
Aku tertawa mengejek. "Siapa yang mau jadi pemimpin?"
Ia menatapku dengan matanya yang lembut. "Ya, Jake, kau pemimpin kami. Hanya kau
yang bisa menyatukan kita untuk menghadapi para Pengendali. Kita punya kemampuan
untuk berbuat sesuatu. Kita punya kemampuan bergerak tanpa suara seperti kucing,
dan... mata yang tajam bagaikan elang, dan penciuman seperti anjing, dan... dan
kecepatan seekor kuda atau cheetah. Kita butuh semua itu untuk melawan para
Pengendali." Aku tetap tidak mau percaya. Aku tetap tidak mau mengakui bahwa kata-katanya
benar. Tapi aku sadar keadaannya memang begitu.
Aku mengangguk pelan. Aku seakan-akan diminta menyetujui sesuatu yang
mengerikan. Seperti pergi ke dokter gigi. Rasanya aku mendadak harus memikul
beban seberat jutaan kilo.
Aku tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. "Hmm," aku bergumam, "kalau
begitu aku harus cari Homer dulu."
Homer adalah anjingku. Chapter 9 PROSES metamorfosis, alias berubah wujud, ternyata sama sekali tidak
menyakitkan. Pertama-tama aku membelai-belai Homer. "Aduh, kayaknya konyol banget deh,"
kataku kepada Tobias. "Kau harus konsentrasi. Aku juga begitu tadi. Aku harus terus membayangkan Dude.
Aku memusatkan pikiran untuk berubah jadi dirinya."
"Hmm, begitu. Jadi aku harus bermeditasi untuk jadi anjing?"
"Betul. Kau harus memikirkannya. Kau harus punya keinginan berubah."
Dalam keadaan normal, pasti aku menganggap Tobias sudah sinting. Tapi aku telah
melihatnya berubah menjadi kucing. Berarti kalau Tobias sinting, aku juga sama
sintingnya. Aku membelai-belai Homer sambil membayangkan diriku berubah jadi anjing.
Anehnya, Homer diam saja. Padahal ia jenis anjing superaktif eh... hiperaktif.
Biasanya ia tak pernah diam sedetik pun. Tapi kini ia seperti sedang tidur.
Tidur dengan mata tetap terbuka.
"Persis seperti Dude," komentar Tobias. "Mungkin proses ini membuat binatang
jadi tidak sadar atau semacam itu."
"Dia cuma bingung karena tuannya bersikap seperti orang gila."
Aku terus membelai bulu Homer sambil memusatkan pikiran, dan Homer tetap
berbaring diam. "Oke, sekarang bagaimana?" tanyaku.
"Sekarang Homer kita keluarkan dulu. Soalnya dia pasti bingung setengah mati
kalau melihat kau berubah jadi dirinya."
Homer butuh waktu sekitar sepuluh detik untuk sadar kembali. Setelah itu ia
langsung bangkit dan kembali menjadi Homer, si anjing banyak tingkah. Aku segera
membawanya ke pekarangan belakang.
"Ayo dicoba, dong!" desak Tobias begitu aku kembali ke kamar. "Pusatkan
pikiranmu." Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian kupejamkan mata dan kupusatkan pikiran.
Kubayangkan diriku berubah menjadi Homer. Aku membuka mata. "Wah, payah," ujarku
sambil tertawa. "Kelihatannya aku tidak punya kemampuan seperti kau, Tobias."
Punggung tanganku mendadak terasa gatal, sehingga aku menggaruknya.
"Jake?" kata Tobias.
"Apa?" "Lihat tanganmu."
Aku segera menunduk. Dan ternyata tanganku dipenuhi bulu berwarna jingga.
Aku tersentak kaget. "Ooh! Ooh!" Aku terus menatap tanganku. Tapi bulu-bulu itu
tidak bertambah lebat maupun panjang.
"Jangan takut," ujar Tobias. "Santai saja. Sekarang prosesnya terhenti karena
kau kaget. Kau harus memusatkan pikiran."
"Ya ampun,!" aku memekik. "Tanganku berbulu!"
"Yeah, dan telingamu...," sambung Tobias.
Aku berlari ke cermin di samping lemari pakaian. Telingaku telah bergeser ke
atas dan menjadi lebih besar dari seharusnya.
"Nah, sekarang baru asyik," kata Tobias.
"Asyik" Apanya yang asyik" Ini mengerikan! Lihat saja tanganku! Tanganku
berbulu!" "Kau tidak punya pilihan," Tobias menanggapi keluhanku.
"Siapa bilang?" sahutku getir. "Tidak ada yang bisa memaksaku berubah jadi
anjing." Tobias mengangguk. "Memang, tak ada yang bisa memaksamu. Lupakan saja apa yang
kita lihat semalam. Lupakan saja segala sesuatu yang kita ketahui. Masa bodoh
kalau para Yeerk semakin merajalela. Anggap saja tidak ada apa-apa. Tapi jangan
heran kalau kita nanti hidup di dunia di mana manusia cuma dijadikan budak
makhluk asing pembunuh."
Oke, tentu saja aku tak mau jadi budak para Yeerk.
"Ayolah," Tobias mendesak.
Aku menelan ludah. Lalu memejamkan mata. Aku membayangkan Homer, dan
membayangkan diriku berubah jadi dirinya.
Badanku kembali gatal-gatal. Ketika aku membuka mata, seluruh lenganku sudah
penuh bulu. Begitu pula wajahku. Dan leherku, kakiku, badanku.
Tulang-tulangku... ehm, sakit sih tidak, tapi rasanya aneh sekali.
Kira-kira seperti kalau kita ke dokter gigi dan kita diberi obat supaya gigi
kita tidak ngilu waktu dibor, padahal kita tahu seharusnya kita merasa ngilu.
Nah, begitulah rasanya. Tulang-tulangku mengerut. Tapi tulang belakangku malah tambah panjang dan tumbuh
menjadi ekor. Aku mendengar bunyi gesekan ketika lututku tiba-tiba berbalik arah. Serta-merta
aku jatuh karena tanganku berubah jadi kaki depan. Aku tak lagi bisa berdiri
tegak. Tanganku sudah tidak bisa disebut tangan ketika menyentuh lantai. Semua jariku
lenyap. Yang tersisa cuma cakar yang pendek dan agak melengkung.
Rahangku terdesak maju. Mataku bertambah rapat.
Tobias berdiri dan memiringkan cermin agar aku bisa berkaca.
Tanpa berkedip aku mengamati bagian terakhir proses metamorfosis. Seluruh
tubuhku sudah tertutup bulu. Ekorku semakin panjang.
Aku telah berubah jadi seekor anjing. Wah, ini benar-benar tidak masuk akal.
Tapi nyatanya memang begitu. Aku jadi anjing.
Seharusnya aku ngeri, atau paling tidak waswas, tapi aku malah sangat gembira.
Entah kenapa, perasaan gembira serasa membanjiri diriku.
Aku menghirup udara melalui hidungku yang panjang dan wow! Wow! Bau-bauannya.
Wah, sulit dibayangkan deh! Aku mengendus-endus dan langsung tahu Mom sedang
memanggang waffle di dapur. Aku juga tahu tadi Tobias melewati daerah kekuasaan
anjing jantan besar waktu menuju ke rumahku. Aku mendadak tahu hal-hal yang
tidak bisa kujelaskan dengan bahasa manusia. Rasanya seolah aku buta seumur
hidup dan sekarang mendadak bisa melihat.
Aku menghampiri Tobias dan mengendus-endus. sepatunya.
Aku ingin tahu siapa anjing jantan besar tadi. Dari bau yang menempel di
sepatunya, aku mendapat gambaran cukup jelas.
Ternyata Homer mengenal anjing itu. Ia dipanggil Streak oleh pemiliknya. Ia
telah dikebiri, seperti aku. Biasanya ia cuma berkeliaran di halaman rumah
tuannya, tapi kadang-kadang ia lari dengan menggali terowongan di bawah pagar.
Ia diberi makanan kaleng dan biskuit anjing. Mereknya Purina. Bukan sisa makanan
manusia, seperti aku. Informasi itu membuatku semakin gembira. Mau tak mau aku mulai mengibaskan ekor.
Aku menatap Tobias. Ia kelihatan jangkung dan aneh dan serba-kelabu. Tapi aku
kurang tertarik untuk melihat.
Mengendus-endus jauh lebih seru.
PENGACAU! Aku mendengar suara di pekarangan. Seekor anjing! Ada anjing tak dikenal di
pekaranganKU! PENGACAU! Aku berlari ke jendela, memandang keluar, dan menggonggong sejadi-jadinya.
"Guk! Guk guk! Gukgukgukgukguk!"
Aku menggonggong sekeras mungkin. Aku tidak RELA anjing tak dikenal berkeliaran
di pekaranganKU! "Jake, jangan macam-macam," ujar Tobias. "Yang di luar itu kan Homer."
Homer" Hah" Tapi kan aku....
Aku melipat ekorku di antara kedua kaki belakang. Ada apa ini"
"Jake, dengarkan aku," kata Tobias. "Aku juga begitu tadi waktu berubah jadi
kucing. Otak Homer jadi bagian dari otakmu sekarang. Kau harus membiasakan
diri."
"Itu Homer, Jake. Kau Jake. Kau cuma menempati tubuh yang ditiru dari DNA Homer.
Homer yang asli ada di luar sana. Kau sendiri yang membawanya ke pekarangan.
Pusatkan pikiranmu. Kau Jake. Jake."
Aku menarik napas dalam-dalam. Aduh, bau-bauan yang kucium! Ada satu bau yang
tidak bisa ku... Pusatkan pikiran, Jake! aku memberi perintah pada diriku sendiri. Pusatkan
pikiran! Pelan-pelan aku berhasil menenangkan pikiran anjing yang berkecamuk dalam
benakku. Jadi anjing ternyata cukup merepotkan. Aku juga baru tahu anjing itu tidak
pernah setengah-setengah. Kalau anjing gembira, ya gembira. Kalau sedih, ya
sedih. Tidak ada istilah agak gembira, atau agak sedih. Semua seratus persen.
Dan kalau kita lapar sewaktu sedang jadi anjing, kita serasa tergila-gila pada
makanan. Pintu kamarku diketuk. Ya, itu pintu kamarku. Aku sudah sadar lagi siapa aku
sebenarnya. Aku Jake. Jake dengan empat kaki, ekor, dan moncong, tapi tetap
Jake. Bunyi pintu diketuk itu terdengar sangat nyaring di telinga anjingku.
"Jake, apa Homer ada di dalam?" Itu suara Tom, kakakku. "Mom lagi menelepon,
jadi suruh Homer berhenti ribut..."
Tom membuka pintu dan masuk. Ia memandang berkeliling dengan tampang bingung.
"Siapa kau?" ia bertanya pada Tobias.
"Aku Tobias. Aku teman Jake."
"Dan di mana Jake?"
"Ehh... di sekitar sini," jawab Tobias.
Tom menatapku. Bau Tom agak aneh. Otak anjingku tidak mengenalinya, tapi yang
pasti baunya berbahaya dan membuatku gelisah. Aku teringat suara tawa menggema.
Tawa manusia yang sempat kudengar semalam, sewaktu si Andalite ditelan bulatbulat oleh Visser Three. "Anjing nakal," kata Tom padaku. "Jangan ribut. Anjing nakal."
Kemudian ia pergi. Aku terpukul sekali. Aku bukan anjing nakal. Aku menggonggong karena ada anjing
lain di pekaranganKU. Anjing nakal" Enak saja! Aku anjing pintar kok. Sambil
merintih-rintih aku merangkak ke pojok kamar.
Tobias berlutut dan menepuk-nepuk kepalaku.
Aku agak terhibur ketika ia menggaruk-garuk belakang telingaku.
Chapter 10 AKU menelepon teman-temanku setelah aku kembali ke wujud asliku. Tobias pulang,
tapi ia berjanji akan menemui kami di rumah Cassie nanti. Aku sedang menelepon
Cassie di dapur ketika Tom masuk.
"Hei, ke mana saja kau?" tanyanya padaku.
Aku segera menutup gagang telepon dengan sebelah tangan.
"Tobias bilang kau mencari aku tadi."
"Yeah. Habis anjingmu ribut terus sih," sahut Tom. Ia menarik kursi, dan duduk
menghadap ke sandarannya.
Aku menatapnya sejenak. Entah kenapa, aku merasa tidak enak bicara dengan Cassie
di depan Tom. "Nanti kita ketemu di sana saja, oke?" kataku kepada Cassie. Lalu
aku menutup telepon. Aku berpaling pada Tom. Ia bertubuh lebih besar dibandingkan aku, padahal aku
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri tidak bisa dibilang kecil. Rambutnya lebih gelap, bahkan hampir hitam.
Rambutku sendiri cokelat.
Sejak dulu aku selalu percaya pada Tom. Ia bukan jenis kakak yang usil, yang
suka mengganggu adik-adik mereka. Sejak kecil kami selalu rukun. Setidaknya
sampai setahun lalu. Mulai saat itu kami tidak terlalu akrab lagi. Antara lain
karena Tom bergabung dengan klub The Sharing. Klub itu punya banyak acara,
sehingga Tom hampir selalu sibuk.
Dulu aku selalu menceritakan semua masalahku kepada Tom, biarpun cuma hal-hal
sepele. Apalagi masalah besar seperti kejadian semalam. Tapi sekarang, ketika
aku duduk sambil mengamatinya makan roti panggang, hati kecilku mendadak
berbisik, Jangan, ini rahasia. Tom tidak boleh tahu.
Sebagai gantinya, aku malah menceritakan masalah lain.
"Aku, ehm... aku gagal masuk tim lho," ujarku.
"Tim apa?" ia bertanya sambil mengerutkan kening.
"Tim apa" Tim basket. Tim-mu yang dulu."
"Oh. Sayang," sahutnya.
"Sayang?" aku mengulangi. Aku tercengang melihat sikapnya yang tampak tidak
peduli. "Ah, itu kan cuma olahraga," komentar Tom, lalu kembali menggigit rotinya.
"Cuma olahraga?" Saking bingungnya, aku jadi seperti burung beo, mengulangi
setiap ucapan kakakku. Tom menganggap olahraga tidak penting" Tidak mungkin.
Olahraga kan segala-galanya bagi Tom. "Agaknya aku tidak berbakat seperti kau."
Tom angkat bahu. "Ehm, aku sendiri juga sudah mengundurkan diri dari tim basket.
Beberapa hari lalu."
Aku hampir jatuh dari kursi. "Kau mengundurkan diri" Mengundurkan diri dari tim
basket" Tanpa memberitahu aku" Memangnya ada apa, sih?"
"Aku sengaja tidak bilang, soalnya aku tahu kau dan Dad pasti sewot. Begini,
Jake, masih banyak hal yang lebih penting daripada memasukkan bola ke
keranjang," katanya dingin. Sorot matanya berkesan misterius. Aku langsung
menebak pasti ada hubungannya dengan cewek. "Lagi pula," ia menambahkan, "acara
The Sharing jauh lebih seru. Kenapa kau tidak bergabung saja?"
Aku terheran-heran. Ternyata kami bukan cuma tidak akrab lagi, melainkan ada
jarak antara Tom dan aku.
Setelah mengobrol dengannya, aku keluar untuk memotong rumput. Itu memang
tugasku. Aku mengerjakannya setiap Sabtu.
Selain itu aku juga bertugas membuang sampah. Tugas ini lumayan merepotkan,
sebab keluarga kami ikut program daur ulang.
Ketika aku akhirnya selesai memotong rumput dan menyapu halaman, aku pergi naik sepeda.
Kami semua sudah sepakat berkumpul di rumah Cassie. Rumah pertanian tempatnya
tinggal bukan rumah pertanian biasa, walaupun memang bekas rumah petani. Mereka
juga masih memelihara kuda dan sapi. Tapi gudang jeraminya yang besar dan dicat
merah kini dijadikan Klinik Perawatan Satwa Liar.
Ayah Cassie yang mengelolanya. Mereka merawat binatang-binatang yang cedera.
Binatang apa saja, kecuali binatang piaraan. Selalu ada sejumlah burung, juga
tupai, rusa, cerpelai, dan sebagainya. Kadang-kadang malah ada kucing hutan,
atau musang, atau bahkan serigala.
Ibu Cassie juga dokter hewan, tapi ia bekerja di The Gardens, taman hiburan yang
ada kebun binatangnya - atau disebut juga taman satwa liar. Untung saja Cassie
benar-benar menyayangi binatang. Kalau tidak, ia bakal repot punya orangtua
seperti itu. Aku sendiri punya anjing. Tobias punya kucing. Cassie punya segala macam
binatang, mulai dari marmut sampai beruang kutub.
Aku bersepeda ke rumah Cassie. Marco, Tobias, dan Rachel sudah menunggu di depan
gudang jerami. Rachel menghadap ke arah matahari, berjemur sambil memejamkan
mata. Cassie belum kelihatan. Mungkin masih ada tugas yang harus dikerjakannya.
Ia punya berton-ton tugas di rumahnya.
"Hei," aku menyapa teman-temanku.
Rachel membuka mata, lalu langsung menyodorkan koran ke hadapanku. "Coba baca
nih," katanya sambil menunjuk salah satu artikel.
Aku segera membaca. Artikel itu tidak terlalu panjang. Di situ ditulis bahwa
menurut laporan polisi, telah terjadi gangguan di tempat pembangunan yang
terbengkalai semalam. Sejumlah orang mengaku melihat beberapa piring terbang
mendarat, diiringi cahaya terang-benderang.
"Bagus," ujarku sambil menoleh ke arah Rachel. "Jadi polisi sudah tahu."
"Baca sampai habis, dong," kata sepupuku itu.
Selanjutnya disebutkan bahwa polisi tiba di tempat kejadian dan menemukan
sekelompok remaja yang sedang bermain kembang api.
Anak-anak muda itu langsung melarikan diri. Polisi berhasil mengamankan sejumlah
kembang api. Juru bicara kepolisian menolak laporan mengenai piring terbang.
"Itu hanya ulah anak-anak nakal," katanya. "Sama sekali tidak ada piring
terbang. Warga sebaiknya jangan mudah percaya hal-hal yang tidak masuk akal."
"Dia bohong!" seruku.
"Ya! Seratus untuk Jake. Selamat untuk peserta kita yang beruntung," ujar Marco.
"Sudah baca sampai habis?" Rachel mendesak.
Aku membaca kalimat terakhir. Dan asal tahu saja, aku langsung kaget setengah
mati. Ternyata polisi menawarkan hadiah untuk setiap informasi mengenai anakanak remaja itu. "Mereka mencari kita," kata Marco.
"Kenapa polis i... maksudku, kenapa mereka bohong?" aku bergumam. Tapi
jawabannya sudah cukup jelas.
Marco tertawa mengejek. "Mungkin karena... mereka sudah jadi Pengendali?"
"Pasti tidak semuanya," komentar Tobias.
"Kalau polisi saja sudah disusupi Pengendali, bagaimana dengan orang-orang
lain?" tanya Rachel. "Guru-guru" Para karyawan" Koran dan TV?"
"Yang pasti, para guru matematika," Marco berkelakar.
Kami semua memandang berkeliling dengan gelisah, seakan-akan kami sudah dikepung
oleh para Pengendali. "Semula aku menganggap ini semua cuma mimpi," ujar Rachel.
"Sama," kataku.
Beberapa saat kami terdiam. Kami dihantui perasaan menakutkan yang sama perasaan bahwa kami sendirian. Sendirian menghadapi masalah yang mustahil kami
tangani. Marco yang pertama bicara. "Oke, kenapa kita harus ikut campur" Lebih baik kita
lupakan saja semuanya. Jangan disinggung-singgung lagi deh. Dan jangan gunakan
kemampuan metamorfosis. Kita jalani saja hidup seperti biasa."
Tobias dan Rachel langsung memandangku. Mereka menunggu aku mendebat Marco.
"Marco, sebenarnya aku sependapat denganmu...," aku mulai berkata.
Sekonyong-konyong Marco kehilangan kendali. "Kita bisa mati, kau tahu!" ia
memekik. "Masa kau belum sadar juga" Kaulihat sendiri apa yang terjadi pada si
Andalite. Ini bukan permainan, Jake. Ini serius. Serius! Kita semua bisa mati."
Tobias melirik Marco seakan-akan hendak menuduhnya pengecut. Tapi aku tahu
tuduhan itu tidak benar. Marco punya alasan untuk bersikap seperti itu.
Marco menggelengkan kepala. Dengan suara pelan ia berkata, "Begini, menurutku
para Pengendali itu memang brengsek. Tapi kalau sampai terjadi apa-apa
denganku... Bagaimana dengan ayahku" Dia pasti tak sanggup menghadapinya."
Ibu Marco meninggal dua tahun lalu. Ia mati tenggeIam. Jenazahnya tak pernah
ditemukan. Ayah Marco sangat terpukul. Sampai-sampai ia berhenti dari
pekerjaannya sebagai insinyur teknik industri karena tidak tahan berada di
antara orang lain. Sekarang ia bekerja sebagai petugas kebersihan gedung kantor
pada malam hari. Penghasilannya pas-pasan, dan ia hampir tak mampu menanggung
kebutuhan hidup Marco. Ia menghabiskan siang hari dengan tidur atau menonton TV
tanpa suara. "Terserah kalau kalian menganggapku pengecut," ujar Marco. "Aku tidak peduli.
Tapi kalau aku sampai celaka, ayahku pasti hancur. Hanya karena aku, dia masih
bisa bertahan hidup sampai sekarang."
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin ada baiknya aku menghampiri Marco dan
menepuk punggungnya. Tapi akhirnya aku berubah pikiran. Aku kenal Marco, dan aku
tahu ia pasti akan memberi komentar pedas kalau aku berbuat begitu.
"Itu Cassie," kata Rachel. Ia memandang ke padang rumput sambil melindungi
matanya dari sinar matahari.
Seekor kuda tampak berlari melintasi rumput. Bulu tengkuknya yang hitam
berkibar-kibar karena tiupan angin. Kulihat tak ada yang menungganginya.
Kuda itu mengurangi kecepatan dan mendekati kami.
Mendadak aku dihinggapi perasaan aneh.
"Cassie dan aku sudah agak lama di sini," Rachel menjelaskan: "Dia benar-benar
hebat. Coba lihat betapa cepat dia Melakukannya."
Kuda itu meringkik pelan. Kemudian ia mulai mengerut. Matanya yang besar dan
cokelat menjadi lebih kecil. Moncongnya yang panjang berubah menjadi mulut
manusia. Kami berhadapan dengan makhluk setengah kuda setengah Cassie, yang menatap kami
sambil tersenyum lebar. "Hai, semuanya," makhluk itu menyapa kami.
Marco langsung jatuh duduk di rumput. Ia belum pernah menyaksikan proses
metamorfosis. "Jangan panik," ujarku sambil berusaha tetap tenang. "Itu cuma Cassie."
Aku memutuskan untuk bersikap sopan dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
Habis, Tobias dan aku dalam keadaan tidak berpakaian ketika kami kembali ke
bentuk manusia. Tapi kulihat Cassie mengenakan baju biru ketat ketika ia muncul
dari wujud kuda. Itu semacam baju senam aerobik.
Aku mengamati dan menyaksikan sesuatu yang indah. Selama beberapa detik Cassie
bertahan dalam bentuk setengah kuda dan setengah manusia. Aku jadi teringat pada
si Andalite. Lalu aku menyadari itu memang disengaja. Cassie sedang
mengendalikan proses metamorfosis yang terjadi pada dirinya.
"Wow, Rachel," ujarku. "Kau benar. Cassie benar-benar hebat."
Tiba-tiba kami mendengar bunyi ban melindas batu kerikil.
Kami semua berbalik dan melihat mobil patroli berwarna hitam-putih melaju ke
arah kami. "Awas! Polisi!" seru Tobias.
Chapter 11 "CASSIE! Cepat berubah!" aku memekik. Mobil patroli itu mendekat dengan cepat.
"Jangan sampai mereka melihat makhluk setengah kuda setengah manusia."
"Tapi aku harus berubah jadi apa?" Cassie meratap. "Orang atau kuda?" Ia gugup
sekali. Berulang kali kedua kaki depannya terangkat dari tanah.
Aku tahu sebabnya. Cassie sedang melawan naluri kuda untuk panik.
"Orang, orang, orang!" kataku. "Ayo, semuanya! Berdiri di depan Cassie!"
Mobil patroli itu berhenti mendadak. Batu-batu kerikil beterbangan. Seorang
polisi turun, dari mobil. Aku melambaikan tangan padanya.
"Selamat pagi," ia menyapa kami. "Hei, apakah kalian, ehm... menyembunyikan
sesuatu?" Sebenarnya aku ingin menoleh ke belakang untuk melihat seberapa jauh Cassie
telah berubah. Tapi aku sadar itu salah.
"Menyembunyikan sesuatu?" aku mengulangi.
"Coba minggir semuanya," perintah si polisi.
Kami segera menyingkir. Untunglah Cassie sudah kembali menjadi manusia utuh.
Polisi itu tampak bingung. Tapi kemudian ia angkat bahu.
Aku menarik napas lega. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" Rachel bertanya dengan suaranya yang paling
"manis." "Kami sedang melakukan penyelidikan," sahut si petugas sambil mengamati Cassie
seakan-akan ada yang aneh pada diri sahabatku itu. "Kami mencari sekelompok anak
muda yang membakar kembang api di tempat pembangunan di seberang mall semalam."
Marco mendadak terbatuk-batuk.
"Ada apa dengan dia?" tanya si polisi.
"Tidak ada apa-apa," jawabku.
"Anak-anak itu harus kami temukan," si petugas berkata dengan tegas. "Perbuatan
mereka sangat berbahaya. Mereka bisa mencelakakan diri sendiri atau orang lain.
Karena itu mereka akan kami cari sampai ketemu."
Tiba-tiba aku tahu. Polisi itu salah satu dari mereka. Ia anggota gerombolan
Pengendali. Aku mengamati wajahnya. Tampangnya biasa-biasa saja. Tapi di dalam
kepalanya ada makhluk dari planet lain - makhluk parasit yang jahat. Di balik
matanya yang berkesan normal tersembunyi sesuatu yang sangat kejam.
"Saya tidak tahu apa-apa," aku berbohong.
Petugas itu menatapku dengan tajam. Aku mulai berkeringat dingin.
"Hei," katanya. "Kau mirip sekali dengan pemuda kenalanku. Namanya Tom."
"Itu kakak saya," ujarku. Aku memaksakan suaraku tetap tenang. Tapi aku tahu
yang kuhadapi bukan petugas polisi biasa. Aku berhadapan dengan salah satu
Yeerk. Petugas polisi itu bukan manusia, melainkan Pengendali-Manusia. Otak
manusianya sudah sepenuhnya diperbudak.
"Oh, jadi kau adik Tom, ya" Hmm, dia anak baik. Aku mengenalnya di klub The
Sharing. Aku salah satu pembina perkumpulan itu. Kapan-kapan datanglah ke
pertemuan kami." "Yeah, ehm, Tom sudah pernah mengajak saya," kataku.
"Acara kami selalu seru."
"Yeah," kataku sekali lagi.
"Oke, harap hubungi aku kalau kau mendengar. sesuatu tentang anak-anak di tempat
pembangunan itu. Dan asal tahu saja - mereka mungkin mengarang cerita heboh
untuk menutupi kesalahan mereka. Tapi kau terlalu cerdik untuk percaya omong
kosong seperti itu, ya kan?"
"O ya, dia jenius," Marco berkomentar.
Akhirnya petugas polisi itu meninggalkan kami.
"Oke, ini peraturan nomor satu," Rachel mengumumkan dengan tegas. "Kita tidak
boleh menarik perhatian. Kita harus merahasiakan semuanya. Terutama soal
kemampuan metamorfosis."
Cassie tersipu-sipu. "Yeah, perbuatanku memang bodoh. Tapi, waw! Berlari di
padang rumput seperti tadi, asyik banget lho!"
"Bagaimana kau bisa berubah wujud dengan memakai baju?" tanyaku. "Waktu Tobias
dan aku mencoba berubah... ehm, hasilnya agak lain. Untung saja kau dan Rachel
tidak ada disekitar kami."
"Memang perlu latihan," kata Cassie. "Dan bajunya harus baju ketat. Aku sempat
mencobanya pakai mantel. Tapi mantelnya malah robek. Aku tidak tahu bagaimana
jadinya di musim dingin nanti."
"Musim dingin tidak jadi soal," ujar Marco. "Sebab urusan berubah wujud berhenti
sampai di sini." "Mungkin Marco benar," sambung Rachel. "Masalah ini terlalu besar untuk kita.
Kita cuma anak-anak. Kita harus mencari orang penting yang bisa kita beritahu.
Orang yang bisa dipercaya."
"Tidak ada yang bisa dipercaya," sahut Tobias cepat. "Kita tidak tahu siapa saja
yang sudah dikuasai para Yeerk. Kita pasti celaka kalau menghubungi orang yang
salah. Dan dunia bakal kiamat."
"Aku tidak setuju dengan Marco," kata Cassie. "Apa kalian tidak sadar apa yang
bisa kita perbuat dengan kemampuan ini" Siapa tahu kita bisa bicara dengan
binatang. Kita bisa membantu menyelamatkan spesies yang terancam punah."
"Bisa jadi manusia juga termasuk spesies yang terancam nanti," gumam Tobias.
"Bagaimana menurutmu, Jake?" tanya Cassie.
Aku angkat bahu. "Entahlah. Marco benar, kita bisa mati semua. Rachel juga
benar, masalah ini terlalu besar untuk anak-anak seperti kita." Aku terdiam
sejenak. Kemudian aku melanjutkan dengan berat hati, "Tapi Tobias juga benar.
Seluruh dunia terancam bahaya. Dan tak ada seorang pun yang bisa kita percaya."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Rachel mendesak.
"Hei, kenapa harus aku yang memutuskannya?" seruku gusar.
"Kita adakan pemungutan suara saja," ujar Rachel.
"Aku usul kita berusaha tetap hidup sampai kita dapat SIM," kata Marco.
"Menurutku kita harus memenuhi permintaan si Andalite, yaitu bertempur," kata
Tobias. "Hah, sejak kapan kau bisa bertempur?" Marco mencibir.
"Melawan anak-anak berandal di sekolah saja kau tidak sanggup. Dan sekarang kau
mau melawan makhluk sadis seperti Visser Three" Yang benar saja!"
Tobias tidak menyahut, tapi wajahnya memerah.
"Aku sependapat dengan Tobias," kata Rachel sambil memelototi Marco. "Sebenarnya
memang lebih enak kalau tanggung jawab ini bisa kita lempar kepada orang lain.
Tapi nyatanya tidak bisa."
"Sebaiknya kita jangan terburu-buru mengambil keputusan," Cassie menyarankan.
"Ini keputusan besar. Ini bukan seperti memilih apakah kita akan memakai rok
atau celana jeans." Aku langsung lega. Untung ada Cassie.
"Yeah, ini harus kita pikirkan matang-matang," ujarku. "Untuk sementara jangan
bilang apa-apa kepada siapa pun. Bersikaplah seakan tidak ada apa-apa."
Marco tersenyum puas. Ia pikir dirinya sudah menang. Tapi aku tidak yakin. Wajah
Tobias masih merah. Diam-diam ia melirik Rachel, seolah-olah hendak berterima
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kasih. Marco ikut pulang bersamaku. Kami mencoba bersikap biasa-biasa saja. Kami
mengobrol tentang musim kompetisi bisbol. Kami berdebat tentang Dead Zone 5, CDgame yang akan kami mainkan di komputerku. Ketika sampai di rumahku, kami sudah
kehabisan bahan obrolan. Kami bermain Dead Zone selama beberapa saat. Tapi kami sama-sama tidak bisa
konsentrasi. Habis, permainan komputer sudah tidak terlalu menarik bagi kami.
Beberapa waktu kemudian Tom masuk ke kamarku. "Hei," katanya, "aku mau coba,
dong." Sudah berbulan-bulan Tom tak pernah bermain CD-game bersamaku.
"Oke." Marco bergeser sedikit dan menyerahkan joysticknya kepada Tom.
Kami bermain sebentar, dan Tom cukup cekatan. Tapi akhirnya ia bosan sendiri.
Dikembalikannya joystick kepada Marco lalu ia duduk bersandar, menonton kami
bermain. "Kalian sudah dengar apa yang terjadi di tempat pembangunan semalam?" ia
bertanya padaku. Marco tersentak kaget. "Memangnya ada apa?"
"Beritanya ada di koran," sahut Tom. "Katanya ada anak-anak yang membakar
kembang api di sana. Tapi penduduk yang tinggal di sekitar situ bilang ada
piring terbang." Ia tertawa. "Piring terbang, ada-ada saja."
Marco dan aku ikut tertawa.
"Yeah. Padahal itu cuma anak-anak yang main kembang api," ujar Tom.
"Hmm," aku bergumam. Aku berusaha memusatkan perhatian pada game yang sedang
kumainkan. "Eh, semalam kau ke mall, kan?" Tom bertanya padaku.
"Ya." "Waktu pulang, kau lewat tempat pembangunan?"
Aku menggeleng. "Tidak."
"Mungkin kaulihat anak-anak di situ?"
"Tidak." "Aku bukannya berharap mereka dapat masalah," kata Tom. "Sebenarnya ini malah
jadi heboh. Mereka main kembang api, dan orang-orang langsung takut ada piring
terbang." "Hmm." "Piring terbang," ia bergumam, lalu kembali tertawa. "Hanya orang tolol yang
percaya piring terbang." Ia mencondongkan badan ke arahku. "Kau tidak percaya,
kan" Makhluk asing dan piring terbang dan makhluk hijau dari Mars?"
Hampir saja aku bilang tak ada yang berwarna hijau di antara makhluk-makhluk
semalam. Tapi akhirnya aku cuma berkata, "Tentu saja tidak."
Tom mengangguk, lalu bangkit. "Oke. Eh, Jake, rasanya kita jarang main bersama
belakangan ini." "Memang," aku membenarkan.
"Sayang sekali," ujar Tom. Ia menjentikkan jari seakan-akan baru saja mendapat
ide. "Ah, aku tahu. Sebaiknya kau bergabung saja dengan The Sharing. Marco
juga." "Untuk apa?" tanya Marco.
Tom cuma nyengir. "Aku pergi dulu," katanya. Ia menonjok pundakku. "Sampai
nanti. Dan jangan lupa - beritahu aku kalau kalian dengar sesuatu tentang anakanak yang ada di tempat pembangunan."
Ia keluar. Marco menatapku. "Jake. Dia salah satu dari mereka."
"Apa?" "Tom. Tom salah satu dari mereka. Kakakmu salah satu Pengendali."
Chapter 12 TINJUKU mendarat telak di pipi Marco.
Ia segera melompat mundur ketika aku melayangkan pukulan berikut. Pukulanku
meleset. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai.
Marco cepat-cepat menarik selimut dari tempat tidur. Ia melemparkannya seperti
jala, lalu mendudukiku. "Jake, jangan konyol," katanya.
Aku meronta-ronta untuk menyingkirkannya, tapi ia terlalu berat, sedangkan
tanganku tertahan di bawah selimut.
"Cabut ucapanmu!" aku berseru.
"Tidak!" sahut Marco. "Kau pikir cuma kebetulan dia tiba-tiba sangat tertarik
pada kejadian di tempat pembangunan?"
Sebenarnya aku tidak mau mengakuinya, tapi aku tahu ucapan Marco ada benarnya.
Sekonyong-konyong aku teringat bau yang kucium pada diri Tom ketika aku sedang
berubah jadi anjing. Belum lagi suara tawa yang sempat kudengar di tempat
pembangunan. Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin! Ini Tom, kakakku. Tom tidak mungkin
membiarkan kepalanya dimasuki makhluk busuk yang penuh lendir. Tidak mungkin.
"Aku akan melepaskanmu - asal kau jangan macam-macam lagi," kata Marco. "Bisa
jadi aku keliru." Aku berhenti meronta-ronta, dan Marco membiarkanku berdiri.
"Jake, sikap Tom memang mencurigakan."
"Tom bukan salah satu dari mereka! Titik!" sahutku sengit.
"Terserah," kata Marco. "Tapi jangan pukul aku lagi, sebab nanti aku terpaksa
membalas." Sekonyong-konyong terdengar bunyi mengepak di jendela. Aku segera menuju ke
sana, diikuti oleh Marco.
Ternyata ada burung di luar. Seekor burung besar, sejenis rajawali atau elang.
Burung itu mengepakkan sayapnya ke jendela.
Marco membelalakkan mata. Rupanya ia juga mendengarnya.
Aku membuka jendela. Burung itu langsung terbang masuk dan mendarat di atas
lemari pakaian. Panjangnya lebih dari setengah meter. Warna bulunya cokelat.
Cakarnya kokoh, dan paruhnya melengkung tajam.
"Ini sejenis elang," ujar Marco.
"Ini kau ya, Tobias?" tanya Marco. "Kupikir kita sudah sepakat kemampuan ini
tidak boleh digunakan lagi."
"Kau harus kembali ke bentukmu yang asli, Tobias," kataku.
"Ingat apa yang dikatakan si Andalite - jangan berubah lebih dari dua jam."
Tobias tampak ragu-ragu. Ia memiringkan kepala elangnya dan menatapku tajam.
Akhirnya ia melompat ke tempat tidur.
Asal tahu saja, proses perubahan bulu burung menjadi kulit manusia benar-benar
ajaib. Mula-mula semua bulu itu menyatu dan memudar sampai berwarna putih
kemerahan. Bulu-bulu itu seperti meleleh. Seakan-akan berubah menjadi lilin yang
kemudian dipanaskan. Paruhnya lenyap dan digantikan bibir manusia. Cakarnya terbelah lima dan tumbuh
menjadi jari kaki. Di tengah-tengah proses metamorfosis, Tobias berbentuk gumpalan berwarna putih
kemerahan bercampur cokelat. Bulu-bulu burung masih membayang di punggung dan
dadanya. Wajahnya kecil dan sudah mirip wajah manusia, tapi matanya masih
menyorot tajam seperti mata elang. Sepasang lengan kecil menyembul dari bagian
depan dadanya, masing-masing dengan jari kecil seperti jari bayi.
Secara keseluruhan, pemandangan itu tidak bisa dibilang menyenangkan.
Tapi lambat-laun DNA manusia mulai menyingkirkan DNA elang, dan Tobias menjadi
semakin normal. Kira-kira tiga menit setelah prosesnya dimulai, Tobias sudah
kembali ke wujudnya yang asli. Ia duduk di ujung tempat tidur, tanpa pakaian.
"Aku belum seahli Cassie," ujarnya malu-malu. "Ada baju yang bisa kupinjam,
tidak?" Aku meminjamkan celana dan baju padanya, tapi ukuran sepatu kami tidak sama.
"Seumur hidup aku belum pernah merasa sesenang tadi," kata Tobias. Wajahnya
berseri-seri. "Aku melayang-layang terbawa angin termal."
"Apa itu?" tanyaku.
"Angin termal adalah udara hangat yang naik dari permukaan tanah. Rasanya seolah
ada yang menahan sayap kita dari bawah. Kita bisa melayang-layang di ketinggian
satu kilometer. Seperti main selancar. Kalian mesti coba! Tak ada duanya deh!"
"Tobias, bagaimana caranya kau berubah jadi elang?" tanyaku.
"Di gudang jerami Cassie ada elang yang cedera," katanya.
"Sebenarnya masih ada burung rajawali, tapi aku lebih suka elang."
"Bagaimana kau bisa terbang kalau elang yang kautiru masih cedera?" aku
terheran-heran. Marco menggeleng-gelengkan kepala. "Makanya, Jake, jangan tidur melulu kalau ada
pelajaran biologi. DNA tidak ada hubungan dengan cedera. DNA tidak terpengaruh
sayap yang patah." Komentar Marco tidak kugubris. "Untung saja kau tidak kepergok ayah Cassie."
"Dia sedih sekali," ujar Tobias.
"Siapa yang sedih" Ayah Cassie?"
"Bukan, burung elang itu. Dia tahu orang-orang di sekelilingnya tidak bermaksud
buruk, tapi dia tidak tahan dikurung dalam sangkar selama sayapnya belum
sembuh." Sorot mata Tobias meredup. "Kasihan sekali kalau burung harus mendekam
dalam sangkar. Burung seharusnya terbang bebas."
"Yeah, bebaskan burung-burung," Marco berkomentar sinis. "Aku akan membuat
stiker untuk ditempel di bumper mobil."
"Kujamin kau takkan sinis begitu kalau kau sudah pernah terbang," sergah Tobias
kesal. "Berubah jadi kucing memang asyik. Tapi jadi elang! Kita merasa benarbenar bebas." Belum pernah aku melihat Tobias segembira ini. Habis, keadaan di rumahnya tidak
bisa dibilang bahagia. Tiba-tiba aku seperti mendapat firasat....
Aku mengulangi peringatanku. "Jangan berubah lebih dari dua jam, oke" Jangan
lupa waktu!" Tobias tersenyum. "Yeah. Aku tidak punya jam, tapi dengan mata elang aku bisa
melihat jarum jam di tangan orang yang berada ratusan meter di bawahku. Rasanya
seperti... seperti jadi Superman. Kita bisa terbang, dan pandangan kita mendadak
tajam sekali." "Tadi burung, sekarang Superman," Marco bergumam.
"Aku sengaja berubah jadi burung supaya aku bisa mengamati keadaan dari atas.
Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu," ujar Tobias. "Aku mencari sesuatu yang
mungkin merupakan kolam Yeerk."
Rasanya aku pernah mendengar istilah itu. Aku ingat Visser Three sempat
menyinggung soal "kolam Yeerk."
"Apa itu?" aku bertanya pada Tobias.
"Itu tempat tinggal Yeerk dalam keadaan alami. Tiga hari sekali setiap Yeerk
harus meninggalkan tubuh induk semangnya dan masuk ke kolam Yeerk untuk menyerap
zat gizi. Terutama sinar Kandrona."
Marco dan aku berpandangan dengan curiga. Kami tidak tahu apa-apa tentang ini.
"Aku diberitahu si Andalite," Tobias menjelaskan. "Waktu dia menyuruh kita lari,
aku sempat terpaku beberapa detik. Mungkin karena aku terlalu ngeri."
Aku menggelengkan kepala. Aku tahu alasan sesungguhnya. Tobias tidak tega
meninggalkan si Andalite seorang diri.
"Nah, waktu itulah aku diberi... ehm, mungkin bisa disebut gambaran. Informasi.
Setumpuk informasi. Semuanya sekaligus dan tumpang tindih. Aku belum sempat
memilahnya. Tapi aku tahu soal kolam Yeerk dan Kandrona."
Marco memberi isyarat agar Tobias tutup mulut sebentar. "Aku mau periksa pintu
dulu," katanya. Ia berjalan ke pintu dan mengintip ke koridor. "Oke, aman," ia
melapor. Tobias menatap Marco sambil mengerutkan kening.
"Tom," ujar Marco. "Dia salah satu dari mereka."
"Jangan cari gara-gara," aku langsung menghardik. "Tom bukan Pengendali."
"Pokoknya, kita harus hati-hati," kata Tobias. Ia merendahkan suaranya.
"Kandrona adalah alat yang menghasilkan partikel Kandrona. Semacam matahari mini
para Yeerk yang bisa dibawa-bawa. Para Yeerk butuh partikel Kandrona untuk
bertahan hidup, kira-kira seperti manusia butuh vitamin. Partikel Kandrona ini
dipancarkan dari mana pun Kandrona-nya berada, lalu dikumpulkan dalam kolam
Yeerk. Tiga hari sekali setiap Yeerk harus meninggalkan tubuh yang ditumpanginya
dan masuk ke kolam itu. Setelah menyerap cukup banyak partikel, mereka kembali
ke tubuh induk semang."
"Tapi kenapa kau harus terbang seperti Superman?" tanyaku.
"Ehm, kedengarannya memang konyol, tapi kupikir kolam Yeerk bisa tampak dari
atas." Tobias memaksakan senyum. "Aku melihat banyak kolam renang dan beberapa
telaga. Kalau kita berada di atas sana, kita baru sadar bahwa ada telaga dan
danau dan sungai di mana-mana. Tapi aku tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan." "Bagaimana kalau kau berhasil menemukan kolam Yeerk" Bagaimana kalau begitu?"
Marco bertanya dengan sengit.
"Kita ledakkan saja," sahut Tobias.
"Salah," kata Marco. "Kita sudah memutuskan untuk tidak terlibat."
"Bukan, kita memutuskan untuk tidak mengambil keputusan dulu," kataku.
"Aku sudah mengambil keputusan," ujar Tobias.
"Hah, si penakut tiba-tiba mau jadi pahlawan," Marco mencibir.
Kali ini Tobias tidak tersipu-sipu. "Mungkin kali ini aku menemukan sesuatu yang
patut diperjuangkan, Marco."
"Membela diri saja kau payah," balas Marco.
"Itu dulu," jawab Tobias pelan. "Sebelum aku ketemu si Andalite. Sebelum dia
mati karena berusaha menyelamatkan kita. Aku tidak bisa diam saja. Aku tidak
rela dia mati sia-sia. Jadi, apa pun keputusan kalian nanti, aku tetap akan
bertempur." Chapter 13 "AYO kita cari kolam Yeerk itu sampai ketemu," kata Tobias. "Setelah itu kita
ledakkan, biar makhluk-makhluk busuk itu mati semua."
Semula kusangka Marco akan menolak dengan tegas. Tapi Marco cukup cerdik. Ia
tahu Tobias berhasil mempengaruhiku dengan ceritanya mengenai si Andalite.
Karena itu Marco cuma memaksakan senyum.
"Masih ingat polisi tadi, yang begitu bersemangat mencari anak-anak di tempat
pembangunan" Polisi yang kemungkinan besar sudah jadi Pengendali?" ia bertanya.
"Ada apa dengan dia?"
"Hmm, coba kita lihat. Dia mengajakmu bergabung dengan The Sharing, ya kan" Lalu
Tom datang. Dan tiba-tiba dia sangat tertarik pada kejadian di tempat
pembangunan. Dan apa yang terjadi setelah itu" Tom juga mengajakmu bergabung
dengan The Sharing."
Tobias mengangguk-angguk. "The Sharing mungkin perkumpulan para Pengendali."
Marco tersenyum. Ia memang sahabat karibku, tapi kadang-kadang ia membuatku
benar-benar jengkel. "Sudah hampir pasti polisi itu salah satu Pengendali. Dan
aku tidak peduli kau mau bilang apa, Jake, kurasa Tom juga. Jadi, begini
keadaannya. Kau tetap bertekad melawan para Yeerk?" Marco bertanya padaku. "Oke.
Coba kita lihat seberapa kuat tekadmu kalau ternyata kakakmu sendiri yang harus
kauhancurkan." Aku tersentak kaget. "Nah, bingung, kan" Ini bukan permainan video," Marco melanjutkan. "Ini dunia
nyata. Dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia nyata, Jake. Kau belum pernah
kena musibah. Kau hidup dalam keluarga bahagia. Seperti aku dulu."
Suaranya bergetar. Baru kali ini ia menyinggung soal kematian ibunya.
Aku menyadari ia benar. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang dunia nyata. Aku
tidak mengenal dunia nyata yang harus dihadapi Marco dan Tobias.
"Jadi, mungkin lebih baik kita tidak ikut campur," ujar Marco. "Biar orang lain
saja yang melawan makhluk-makhluk ini. Aku bukannya tidak kasihan pada si
Andalite, tapi di keluargaku sudah cukup banyak kematian."
"Jangan," kataku tiba-tiba. Aku sendiri terkejut. "Si Andalite punya maksud
tertentu waktu membagikan kemampuan metamorfosis kepada kita. Ia memberikannya
bukan supaya kita bisa bersenang-senang jadi anjing atau kuda atau burung, tapi
karena ia berharap kita mau berjuang."
"Kalau begitu, kau harus siap menghadapi kenyataan Tom mungkin salah satu musuh
yang harus kita lawan," Marco berkomentar. "Barangkali kau harus menghancurkan
kakakmu sendiri." "Ya," sahutku. Tenggorokanku seperti tersekat. "Mungkin itu yang akan terjadi.
Mungkin juga tidak. Tapi pertama-tama kita harus mencari informasi tambahan. Dan
kupikir cara yang terbaik adalah dengan datang ke pertemuan The Sharing. Nanti
malam. Aku akan menghubungi yang lain. Kalau ada yang mau ikut, silakan. Marco,
kalau kau tidak mau ikut, ya tidak apa-apa."
Marco tampak bimbang. Ia menatap Tobias sambil memicingkan mata. Tapi akhirnya
ia berkata, "Oke, aku ikut. Tapi cuma untuk lihat-lihat."
Aku menelepon yang lain. Rachel langsung setuju. Cassie seperti biasa minta
waktu untuk berpikir dulu, tapi ia kemudian juga bersedia ikut.
Aku memberitahu Tom bahwa kami ingin mengikuti pertemuan The Sharing. Aku dan
Marco dan Rachel dan Cassie. Kami sudah sepakat Tobias juga akan hadir, hanya
saja dalam bentuk lain. "Kebetulan malam ini ada pertemuan istimewa," Tom berkata penuh semangat. "Kami
mau membuat api unggun di pantai. Dan ada pertandingan bola voli-pantai segala.
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa lampu, biar lebih seru. Pokoknya ramai, deh. Perkumpulan ini asyik sekali
lho. Kalian pasti suka."
Ratu Sihir Puri Ular 2 Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa Pendekar Misterius 4