Kalau mendengar cerita Tom, rasanya tidak mungkin The Sharing ada hubungan
dengan para Yeerk. Aku tidak bisa membayangkan Visser Three atau sekelompok
makhluk Taxxon berjumpalitan di pasir untuk mengejar bola voli.
Aku mulai merasa kami semua terlalu curiga. Kedengarannya The Sharing tidak
lebih dari semacam perkumpulan pramuka untuk cowok-cewek.
Karena pantainya tidak jauh, kami memutuskan tidak ikut naik mobil bersama Tom.
Kami memilih jalan kaki. Mula-mula Tobias berjalan bersama kami, tapi ketika
kami hampir sampai, ia memisahkan diri dan menyusup ke balik bukit pasir yang
gelap. Beberapa menit kemudian kami melihat seekor elang mengangkasa.
Pada malam hari hanya sedikit angin termal, sehingga ia terpaksa menggunakan
tenaganya sendiri untuk terbang. Tapi dalam waktu singkat ia sudah melayang jauh
di atas kami, sampai akhirnya hilang dari pandangan.
"Kapan-kapan aku juga mau coba," ujar Cassie. "Kelihatannya asyik sekali."
"Yeah," aku membenarkan.
Di depan aku melihat api unggun menyala terang di pantai yang gelap. Orang-orang
tampak berkumpul di sekelilingnya. Ada yang bermain-main, ada yang mengobrol,
ada juga yang makan. Anak-anak dari sekolah kami. Orang-orang dewasa. Orangorang yang tidak kukenal.
Masa semuanya Pengendali" aku bertanya dalam hati.
Bagaimana aku bisa tahu" Dan apakah kakakku sendiri salah satu dari mereka"
Setelah satu jam di pantai, aku yakin kami memang sudah sinting. Orang-orang ini
pasti bukan makhluk asing. Kami ikut bermain bola voli. Tom dan aku satu tim.
Kami makan daging panggang yang telah mereka siapkan. Suasananya serba asyik.
Pasir masih terasa hangat. Udara malam cukup dingin, tapi kami tetap nyaman di
dekat api unggun. "Sekarang kau mengerti kenapa aku senang jadi anggota klub ini?" tanya Tom
padaku. "Memang asyik," jawabku. Aku memandang berkeliling, mengamati orang-orang yang
sedang bergembira ria. "Aku tidak menyangka suasananya bakal seperti ini."
"Hmm, ini belum semuanya," kata Tom. "Kami bukan sekadar bersenang-senang di
sini. The Sharing masih punya banyak acara. Kalau kau sudah jadi anggota penuh."
"Bagaimana caranya jadi anggota penuh?"
Tom tersenyum misterius. "Oh, ada aturannya. Sebelumnya kau harus melewati masa
percobaan dulu. Setelah masa percobaan, para pemimpin akan memutuskan apakah kau
bisa diterima sebagai anggota penuh. Kalau kau sudah jadi anggota penuh...
rasanya seluruh dunia berubah."
Pada saat itu terjadi sesuatu yang aneh. Aku sedang menatap Tom, dan ia
tersenyum padaku. Tiba-tiba wajahnya mulai berkedut-kedut. Kepala Tom seperti
ditarik ke samping, seakan-akan ia hendak menggelengkan kepala tapi tidak bisa.
Sepintas lalu sorot matanya berubah - ia tampak ngeri atau... entahlah. Ia terus
menatapku, dan aku merasa seperti ada orang lain, orang yang ketakutan, di balik
mata itu. Lalu ia kembali normal. Atau lebih tepatnya, kembali ke keadaan semula.
"Aku harus pergi sebentar," katanya. "Para anggota penuh mau mengadakan
pertemuan terpisah. Kalian tunggu saja di sini. Daging panggangnya masih banyak,
kok. Asyik, kan, di sini?"
Lalu ia pun menghilang dalam kegelapan malam. Aku serasa baru menelan kawat
duri. Marco dan Cassie menghampiriku. Mereka habis main Frisbee bersama anak-anak lain
di tepi pantai. Marco tertawa gembira.
"Oke," ujarnya, "ternyata aku keliru. Ini cuma kumpulan orang biasa yang lagi
bersenang-senang. Dan Tom bukan salah satu Pengendali."
Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis. Marco keliru.
Aku tahu kenapa sorot mata Tom berubah tadi - ia berusaha memperingatkanku. Aku
tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia berhasil mengambil alih kendali atas
wajahnya selama sedetik, sebelum Yeerk di dalam kepalanya merampasnya kembali.
Tom - Tom yang asli, bukan makhluk Yeerk yang bercokol dalam otaknya - telah
berusaha memperingatkanku.
Chapter 14 "ADA pertemuan terpisah," aku memberitahu teman-temanku. "Untuk para anggota
penuh. Aku jadi ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan."
Aku berusaha agar suaraku terdengar biasa, tapi sebenarnya pikiran dan
perasaanku kacau-balau. "Tadi ada serombongan orang yang menuju ke sana," ujar Rachel sambil menunjuk.
"Barangkali kita bisa mengintai mereka dari dekat," kataku.
"Ada apa, sih?" tanya Marco. "Kupikir kita sudah sepakat bahwa tidak ada yang
aneh di sini." Cassie menjawab, "Justru semuanya aneh. Masa kau tidak merasakannya?" Ia
menggigil. "Coba perhatikan para anggota penuh. Semuanya begitu ramah. Begitu
manis. Saking normalnya, sikap mereka malah jadi tidak normal. Dan mereka terusmenerus mengawasi kita. Mereka mengawasi kita seperti... seperti anjing
kelaparan yang mengincar sepotong tulang."
"Cassie benar," ujar Rachel. "Suasananya seperti kalau kita mengumpulkan
sekelompok cheerleader dan guru olahraga, lalu menyuruh mereka minum sepuluh
cangkir kopi." "Hmm, benar juga," Marco mengakui. "Orang-orang ini memang terlalu gembira. Dari
tadi ada saja yang bercerita bahwa semua masalahnya mendadak lenyap setelah
mereka jadi anggota penuh The Sharing. Ini seperti semacam sekte atau
sejenisnya." "Aku akan ikut pertemuan rahasia mereka," kataku.
Aku benar-benar penasaran. Aku harus mendapatkan jawaban yang pasti. "Pertamatama kita harus menjauhi api unggun. Satu per satu, biar mereka tidak curiga.
Nanti kita berkumpul di balik pos penjaga pantai di sana."
"Bagaimana caramu bisa ikut pertemuan itu?" tanya Marco.
"Mereka takkan curiga kalau ada anjing keluyuran di pantai," jawabku.
"Anjing" Ya ampun," keluh Marco.
"Ide bagus," ujar Cassie. "Sebenarnya aku juga mau, tapi aku baru bisa berubah
jadi kuda. Mereka pasti heran melihat kuda di sini."
Aku memandang berkeliling untuk memastikan tidak ada yang bisa melihat kami.
Lalu aku melambaikan tangan ke atas. Beberapa detik kemudian Tobias meluncur
dari langit malam yang bertaburan bintang. Ia mendarat di pos penjaga pantai.
di mana mereka berkumpul?"
"Tobias! Jangan macam-macam. Kau tidak perlu makan tikus hanya karena kau sedang
jadi elang. Bisa-bisa kau mulai makan bangkai binatang yang terlindas mobil di
jalan raya." Ia diam saja. Mungkin ia tersinggung. Atau, lebih gawat lagi, mungkin juga ia
tidak tersinggung. Saking kebalnya.
"Di mana mereka berkumpul?" tanyaku.
Aku mengangguk. "Oke, Tobias, terima kasih. Kau sudah lebih dari satu jam jadi
elang. Sebaiknya kau kembali jadi manusia lagi."
"Jangan!" kataku tegas. "Kau harus berubah sekarang juga. Tugasmu sudah
selesai."
"Pakaianmu dibawa Marco dalam tas. Rachel dan Cassie akan menoleh ke arah lain
sementara kau berubah."
Cassie tersenyum lebar. "Wah, rupanya anak-anak cowok masih perlu latihan."
Tobias masih berusaha mengulur-ulur waktu.
"Tobias, masih banyak kesempatan untuk berubah jadi elang lagi," Rachel
membujuknya. "Sudahlah, kalian berdua jangan buang-buang waktu. Aku akan
menengok ke tempat lain, supaya kalian tidak malu."
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini baru kedua kalinya aku berubah wujud. Aku
tetap merasa konyol membayangkan diriku mau berubah jadi anjing. Tapi ketika aku
konsentrasi, badanku mulai gatal-gatal lagi. Teknologi si Andalite mulai
membangkitkan DNA Homer, dan aku pun mulai berubah.
Pada saat yang sama aku melihat jari bermunculan di kedua ujung sayap Tobias.
"Jangan terbawa sifat anjingmu nanti," Cassie mewanti-wanti. "Jangan sampai kau
malah sibuk mengejar kucing atau binatang lain. Kau harus berusaha mengendalikan
diri." Aku hendak menyahut, "Ya, aku tahu," tapi yang terdengar cuma, "Guk, gukguk!"
Perubahanku sudah terlalu jauh. Aku tidak bisa lagi menjawab dalam bahasa
manusia. Karena itu kupancarkan jawabanku melalui pikiran.
Kutempelkan hidungku yang dingin ke tangannya, dan ia menepuk-nepuk kepalaku.
Kemudian aku berlari melintasi pasir.
Peringatan Cassie memang beralasan. Bukit-bukit pasir, debur ombak, celoteh
burung-burung laut dalam sarang-sarang tersembunyi - semuanya begitu menarik
bagiku sebagai anjing. Aku mendengar suara napas di tengah-tengah rumput liar, dan tiba-tiba sesosok
tubuh melesat secepat kilat di depan mataku!
Sebelum aku sempat berpikir, aku sudah lari mengejarnya. Sosok itu berkelitkelit. Mungkin tikus tanah. Aku tidak tahu pasti, sebab sosok itu keburu masuk ke
lubang di pasir. Penuh semangat aku mulai menggali, tapi kemudian otak manusiaku mendadak sadar.
Hei, Jake, bukan ini yang harus kaulakukan. Berhenti!
Aku memaksakan diri untuk menuju ke tempat pertemuan rahasia. Samar-samar
terdengar suara orang. Aku mulai mendekat sambil merangkak, tapi akhirnya aku
sadar perbuatanku konyol sekali.
Anjing tidak merangkak. Anjing cuma berjalan atau berlari. Kalau aku terus
bersikap seperti "anjing mata-mata," orang-orang malah curiga.
Karena itu aku berjalan seakan-akan tanpa tujuan, seperti anjing yang keluyuran
di malam hari. Lidahku menjulur keluar. Sesekali aku mengibaskan ekor. Hanya ada
satu hal yang perlu kujaga - aku tidak boleh terlalu berdekatan dengan Tom.
Bagaimanapun juga, tampangku persis seperti Homer.
Bagi orang yang tidak tahu rahasiaku, aku memang Homer.
Aku mulai menghampiri lokasi pertemuan. Tempat itu dikelilingi bukit-bukit pasir
yang tinggi. Ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang berkumpul di situ.
Sayangnya mata anjingku kurang berguna dalam gelap.
Tapi aku bisa mendengar mereka. Segala macam suara terdengar jelas sekali. Bunyi
yang kemungkinan besar luput dari pendengaran manusia, kini mendadak bisa
membuat telingaku pekak. Penciumanku juga bertambah tajam. Dalam keadaan biasa, sebagai manusia, aku
kurang memperhatikan bau-bauan. Tapi begitu aku membiarkan sifat-sifat anjing
dalam diriku bangkit, hidungku langsung bisa menggantikan mataku.
Aku mendengar suara Tom. Dan aku mencium berbagai bau yang menandakan ia tidak
terlalu jauh dari tempat aku berdiri.
Di dekatku ada penjaga, tapi orang itu cuma sepintas lalu menatapku, lalu segera
menoleh ke arah lain. Tak ada yang peduli pada anjing yang keluyuran di malam
hari. Aku mulai sadar kenapa si Andalite memberikan kemampuan metamorfosis kepada
kami. Dalam wujud binatang, kita bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin kita
lakukan sebagai manusia. Aku mendapat kesan para anggota masih menunggu seseorang.
Aku mendengar Tom berkata, "Dia pasti datang sebentar lagi. Nah, ini dia."
Aku mendengar orang-orang berbisik-bisik. Lalu ada suara langkah mendekat. Aku
maju sedikit, tapi tetap berlindung di daerah gelap.
"Semua harap diam. Kita punya masalah," sebuah suara berkata.
Suara itu! Aku kenal suara itu. Suaranya sama dengan suara yang kudengar di
tempat pembangunan. Waktu itu suara tersebut berkata, "Cukup bawa kepalanya
saja. Berikan padaku supaya kita bisa mengidentifikasinya."
Aku maju sedikit lagi. Aku berusaha keras agar dapat melihat orang itu dengan
mata anjingku. Tapi akhirnya, ketika ia menoleh ke arahku, aku melihatnya.
Ternyata aku mengenalnya. Aku melihatnya setiap hari di sekolah.
Orang itu tak lain dari Mr. Chapman, wakil kepala sekolah kami.
Wakil kepala sekolahku ternyata salah satu Pengendali.
"Masalah nomor satu. Kita tetap belum berhasil menemukan anak-anak brengsek yang
ada di tempat pembangunan," kata Chapman. Nada suaranya ketus. "Mereka harus
ditemukan. Ini perintah Visser Three. Ada yang punya petunjuk?"
Sesaat tak ada yang menyahut. Tapi kemudian terdengar suara lain, suara yang
sangat akrab di telingaku.
"Kemungkinannya banyak sekali," ujar Tom. "Tapi salah satu dari mereka mungkin
adikku, Jake. Aku tahu ia kadang-kadang mengambil jalan pintas lewat tempat
pembangunan. Karena itulah aku membawanya kemari malam ini. Supaya ia bisa
dijadikan anggota kita... atau dibunuh sekalian."
Chapter 15 "DIJADIKAN anggota... atau dibunuh.
Aku seperti disambar petir.
Sekarang terbukti bahwa Tom telah berubah menjadi Pengendali-Manusia. Ia
dikuasai makhluk busuk berlendir dari planet lain yang bercokol dalam otaknya.
Bukan Tom yang berbicara denganku tadi, melainkan makhluk Yeerk keparat yang
telah merampas jiwa dan raga Tom.
Kakakku telah menjadi salah satu dari mereka. Begitu pula Chapman.
Mereka ada di mana-mana. Di mana-mana! Apa yang bisa kami lakukan untuk
menghentikan mereka" Apa yang bisa kami perbuat"
Kalau mereka sanggup merampas Tom, merampas kakakku sendiri, bagaimana mungkin
aku menghentikan mereka" Ini tidak masuk akal. Marco benar.
Seandainya aku berwujud manusia saat itu, aku pasti sudah putus asa. Tapi anjing
tidak mengenal perasaan putus asa. Pikiran Homer yang lugu dan gembiralah yang
menyelamatkanku. Beberapa saat aku membiarkan sifat manusiaku terbenam di bawah
naluri anjing. Aku enggan berpikir. Aku enggan kembali menjadi manusia.
Aku cuma keluyuran di antara bukit-bukit pasir sambil mengendus-endus di sanasini. Tapi aku sadar ada tugas yang harus kulaksanakan. Setelah beberapa waktu aku
menyingkirkan kebahagiaan sederhana seekor anjing, dan memaksa diri menghadapi
kenyataan pahit. Aku menunggu dan kembali menguping pembicaraan di tempat pertemuan. Tapi karena
pikiranku masih kacau-balau, aku kurang memperhatikan isi pembicaraan mereka.
Kata-kata "dijadikan anggota... atau dibunuh" masih terus terngiang-ngiang di
telingaku. Hal lain yang terekam dalam benakku adalah percakapan Tom dengan seseorang - salah
satu Pengendali. Mereka membahas jadwal kunjungan ke kolam Yeerk. Tom bercerita bahwa ia baru
dari sana, dan ia merasa segar sekali. Senin malam ia akan kembali lagi.
Ucapan itu berasal dari makhluk asing di kepalanya. Yeerk yang menguasai Tom
perlu kembali ke kolam Yeerk.
Kemudian aku mendengar suara lain. Cassie!
Cepat-cepat aku menyelinap ke balik bukit pasir agar dapat mendekat tanpa
terlihat. Aku mendengar suara Cassie - dan suara lain, yang tidak segera
kukenali. Rupanya si petugas polisi. Petugas yang sempat mendatangi kami di rumah Cassie.
"Hei, sedang apa kau di situ?" ia bertanya.
"Saya lagi mencari kerang," sahut Cassie.
"Ini pertemuan tertutup untuk para anggota penuh," si petugas polisi berkata
ketus. "Kau tidak boleh ada di sini. Mengerti?"
"Ya, Sir, saya mengerti," ujar Cassie penuh hormat.
Aku sampai di suatu tempat di mana aku bisa melihat mereka. Tapi seperti
kukatakan tadi, penglihatan anjing tidak seberapa tajam.
Semua tampak kabur dan serbakelabu, persis gambar TV lama.
Petugas polisi itu menatap Cassie dengan tajam. Cassie mencoba bersikap biasa,
tapi aku bisa mencium bahwa ia ngeri.
"Oke, pergilah," kata si polisi akhirnya. "Tapi aku akan mengawasimu. Kembalilah
ke api unggun." Cassie membalik dan pergi secepat mungkin. Aku mengejarnya.
Ia sempat kaget ketika aku tiba-tiba muncul di sampingnya.
"Oh, kau," ujarnya.
Cassie angkat bahu. "Aku cuma mau memastikan kau tidak apa-apa."
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami kembali ke tempat Rachel, Marco, dan Tobias menunggu.
Tapi aku enggan kembali ke tubuh manusiaku. Jika aku tetap sebagai anjing, dalam
beberapa menit saja aku akan lupa bahwa otak manusiaku sedang sedih. Kalau saja
ada yang mau melemparkan tongkat ke laut supaya aku bisa mengejarnya. Aku pasti
akan gembira kalau bisa bermain air dan menguber-uber tongkat.
Sekarang aku mengerti kenapa Tobias tidak ingin meninggalkan tubuh elangnya.
Menjadi binatang adalah cara jitu untuk melupakan segala masalah dan kesusahan
kita. Aku mulai berubah ke wujudku yang asli. Cassie dan Rachel memalingkan wajah dan
memandang ke arah laut. Setelah kembali menjadi Jake, aku berkata, "Marco, kau benar. Tom memang salah
satu Pengendali." Kali ini Marco tidak gembira mendengar dugaannya terbukti benar.
Aku menceritakan ucapan Tom kepada Chapman, bahwa aku diajak kemari untuk
diperbudak atau dibunuh. "Tunggu dulu. Chapman juga salah satu dari mereka?" tanya Rachel sambil
membelalakkan mata. "Chapman kita" Mr. Chapman, si wakil kepala sekolah?"
"Dia malah termasuk pemimpin di sini," ujarku. "Dia ada di tempat pembangunan
malam itu. Dialah yang mengatakan bahwa si Hork-Bajir cukup menyerahkan kepala
buronan mereka." "Dasar Chapman brengsek," Marco berkomentar.
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera angkat kaki dari sini," kata Tobias.
"Tidak perlu," kataku. "Aku mendengar Chapman memberitahu Tom bahwa tidak boleh
ada yang mati pada pertemuan Sharing. Ia tidak mau membuat orang-orang curiga.
Ia juga bilang mereka tidak bisa membunuh semua anak yang mungkin berada di
tempat pembangunan malam itu. Mereka harus memastikan dulu."
"Rupanya masih ada sisa-sisa perikemanusiaannya," ujar Rachel getir.
"Jangan salah! Chapman bilang begitu bukan karena kasihan. Dia cuma tidak mau
memancing kecurigaan. Orang-orang pasti mulai bertanya-tanya kalau ada sejumlah
anak mati secara misterius. Dia bilang lebih baik mereka menunggu saja - anak-anak
tidak mungkin tutup mulut terus setelah melihat makhluk asing, katanya. Begitu
anak-anak itu bercerita, para Pengendali akan mencari dan menyingkirkan mereka."
"Tapi kita takkan bilang apa-apa," ujar Rachel.
"Betul sekali," Marco membenarkan. "Kita akan tutup mulut. Kita akan melupakan
segala sesuatu yang kita lihat. Kita akan menjalani hidup seperti biasa."
"Dan membiarkan Tom seperti ini?" seruku. "Tidak. Tidak bisa. Dia kakakku. Aku
harus menyelamatkannya."
"Lalu apa yang akan kaulakukan?" tanya Marco sinis. "Coba kita lihat. Lawanmu
ada Chapman, polisi, dan segerombolan makhluk Hork-Bajir dan Taxxon - belum lagi
Visser Three. Padahal kau cuma bisa berubah jadi anjing dan menggigit kaki
mereka. Ini sama saja dengan terjebak dalam permainan video paling gila yang
pernah ada." Aku menyeringai. Atau lebih tepatnya, aku memperlihatkan gigi. "Yeah, memang.
Tapi aku lumayan jago untuk urusan permainan video."
"Dan Jake tidak sendirian," sambung Rachel. "Aku akan membantunya."
"Aku juga," ujar Tobias.
"Aku juga," kata Cassie.
"Huh, bagus," Marco mendengus. "Tiba-tiba kalian jadi Fantastic Four. Tapi
jangan lupa, ini bukan cerita komik. Ini sungguhan."
Kami mendengar suara langkah mendekat di antara bukit-bukit pasir. Rupanya
pertemuan para anggota penuh sudah bubar.
"Ssst, diam!" aku segera berbisik. "Kita sudahi dulu.. untuk sementara."
Aku berkata begitu semata-mata untuk menenangkan Marco.
Mana mungkin aku berpangku tangan sementara kakakku merana"
Aku menarik Cassie mendekat. "Aku perlu berubah jadi binatang yang bisa
mengawasi gerak-gerik Chapman tanpa ketahuan. Binatang apa saja yang sedang
dirawat di rumahmu?"
Cassie berpikir sejenak. "Hmm, paling banyak sih burung. Lalu masih ada serigala
yang patah kaki. Dan kucing hutan yang buta sebelah."
Aku menunggu sementara ia menyebutkan semua pasien Klinik Perawatan Satwa Liar.
Tiba-tiba Cassie menjentikkan jari. "Tunggu dulu... sampai seberapa kecil kau
bisa berubah?" Aku angkat bahu. Aku sama sekali tidak punya bayangan.
"Ada satu binatang yang mungkin cocok," ujar Cassie. "Sebenarnya dia bukan
pasien di klinik. Dia cuma tinggal di situ. Badannya kecil. Dia bisa memanjat
dinding. Dan dia juga gesit. Jadi kalau perlu, kau bisa kabur dengan cepat.
Penglihatan dan pendengarannya juga lumayan tajam."
Itulah sebabnya aku berada di gudang jerami Cassie beberapa jam kemudian. Aku
merangkak di antara deretan kandang berisi burung-burung sakit dan sepasang rusa
sambil mencari-cari kadal.
Chapter 16 AKU mulai beraksi pada hari Senin, di dalam locker sekolahku.
Aku berubah menjadi kadal. Tepatnya, kadal anole hijau yang termasuk keluarga
iguana. Aku menunggu bel berdering untuk jam pelajaran pertama, yaitu pelajaran Bahasa
Inggris. Setelah koridor sekolah lengang, aku langsung masuk ke dalam locker.
Aku sengaja bersikap acuh tak acuh, siapa tahu ada yang memperhatikan.
Locker-ku sekitar lima senti lebih pendek dari aku, sehingga aku terpaksa
merunduk dan menekuk lutut. Saking sempitnya, aku tidak bisa bergerak. Cahaya
hanya bisa masuk melalui tiga celah ventilasi kecil. Aku bisa mendengar
jantungku berdegup-degup di dalam locker yang sesak dan gelap itu. Terus terang,
aku ngeri. Aku sudah pernah berubah menjadi anjing. Rasanya aneh, janggal, tapi sekaligus
juga seru. Anjing memang binatang yang menyenangkan.
Tapi kadal" Ihhh! "Mestinya aku ikut saran Cassie," aku bergumam. "Mestinya aku latihan dulu."
Aku mulai memusatkan pikiran untuk berubah wujud. Aku teringat bagaimana Cassie
dan aku menangkap kadal semalam. Kamimenyorotnya dengan senter, kemudian Cassie
menutupinya dengan ember supaya tidak bisa kabur.
Sekadar menyentuh kadal itu untuk menyerap pola DNA-nya saja sudah membuatku
merinding. Dan sekarang aku akan jadi kadal.
Yang pertama menarik perhatianku adalah locker-ku mendadak lebih lega. Aku tak
lagi harus merunduk. Dan pundakku juga tak lagi terjepit dinding locker.
Aku menyentuh wajahku dengan sebelah tangan. Kulitku lebih kendur dari biasanya.
Dan lebih kasar. Aku mengusap kepala. Hampir seluruh rambutku telah lenyap.
Proses selanjutnya berlangsung dengan cepat. Locker seakan-akan bertambah besar.
Mula-mula sebesar gudang jerami. Lalu sebesar stadion!
Aku seakan-akan melayang. Rasanya seperti terjatuh dari gedung pencakar langit.
Aku berdiri di atas sesuatu yang menyerupai batu besar, tapi lengket sekali.
Bagaimana mungkin ada batu di dalam locker-ku" Tapi kemudian aku sadar, yang
kuinjak ternyata segumpal permen karet!
Permen karet bekas yang menempel di lantai locker.
Potongan-potongan kain seukuran layar kapal berjatuhan di sekitarku. Ternyata
pakaianku. Dalam cahaya remang-remang aku melihat dua benda raksasa di kirikananku. Aku sempat kaget, tapi kemudian aku mengenali lambang Nike. Rupanya
sepatuku sudah menjadi sebesar rumah!
Kemudian kesadaranku diambil alih oleh otak kadal.
Ngeri! Terperangkap! Lari! Lari! Larilarilari!
Aku melesat ke kiri. Ternyata ada dinding! Aku langsung memanjat sambil
merasakan kakiku melekat pada permukaan yang keras. Terjebak! Aku melompat
turun. Lagi-lagi ada bidang datar yang menghalangiku. Terjebak!
Larilarilarilari! Aku berjuang untuk mengendalikan diri, tapi otak kadalku sudah lepas kontrol.
Aku tidak tahu di mana aku berada. Aku hanya tahu aku ingin keluar! KELUAR!
Lari ke arah cahaya! aku memerintahkan tubuhku yang baru. Ke celah ventilasi.
Itu satu-satunya jalan keluar.
Tapi tubuhku takut pada cahaya itu. Tubuhku benar-benar panik.
Kalang kabut aku melompat kian kemari. Aku tidak berhasil menguasai naluri kadal
yang memaksaku melompat-lompat seperti itu.
Lari ke arah cahaya! aku menjerit dalam hati. Dan tiba-tiba aku sudah sampai di
celah ventilasi. Aku menyembulkan kepala, dan tubuhku segera menyusul.
Lidahku menjulur-julur, dan gerakan itu menimbulkan reaksi yang janggal dalam
otakku. Aku seperti mencium bau-bauan, tapi bukan. Lidahku menjulur-julur tanpa
henti. Aku bisa melihatnya meluncur keluar dari mulut dan menjilat-jilat udara.
Setelah berada di tempat terang, aku baru sadar betapa anehnya penglihatan
kadal. Aku tidak mengerti apa yang kulihat. Segalasesuatu tampak tertarik-tarik
dan terpilin-pilin. Atas menjadi bawah dan bawah menjadi atas. Semua warna
kelihatan lain dari seharusnya.
Aku mencoba berpikir. Ayolah, Jake. Matamu ada di sisi kepala sekarang. Matamu
tidak memfokus bersama-sama. Masing-masing mata melihat ke arah lain. Kau harus
bisa mengatasinya. Berbekal pengetahuan ini, aku berusaha memahami apa yang kulihat. Namun tetap
sukar. Satu mataku memandang ke ujung koridor sebelah kiri, satunya lagi ke
ujung koridor sebelah kanan.
Sementara itu aku menempel dalam posisi terbalik di pintu locker, yang
menyerupai bidang kelabu luas seolah-olah tanpa batas.
Keadaanku semakin sulit akibat otak kadal anole hijau yang terus memberontak.
Setelah berhasil keluar dari locker yang gelap, otak kadalku malah menyuruhku
masuk lagi. Kantor Chapman, aku berkata dalam hati. Aku harus ke kantor Chapman. Tapi di
mana kantornya" Di sebelah kiri. Di sebelah sana.
Tahu-tahu aku sudah melesat. Aku berlari menuruni dinding locker, tegak lurus ke
bawah. Hop! Kemudian aku meloncat ke lantai.
Aku bergegas melewati secarik kertas yang dua kali lebih besar dari aku. Aku
seperti terbang. Rasanya seperti naik roket yang lepas kendali.
Tiba-tiba otak kadalku merasakan kehadiran seekor labah-labah. Kejadiannya aneh
sekali. Aku sendiri tidak pasti apakah aku melihatnya, atau mendengarnya, atau
menciumnya, atau mengecapnya dengan lidahku yang menjulur-julur, atau langsung
tahu bahwa ada labah-labah.
Tanpa pikir panjang aku mengejar labah-labah itu. Sebelum menyadari apa yang
terjadi, aku sudah melesat dengan kecepatan sejuta kilometer per jam. Aku tidak
bisa berhenti. Kakiku sampai tidak kelihatan karena bergerak begitu cepat.
Sebenarnya labah-labah yang kuincar tidak terlalu besar.
Dibandingkan manusia, maksudku. Tapi bagi seekor kadal, labah-labah itu tampak
sebesar anak kecil. Aku bisa melihat mata majemuknya. Aku bisa melihat setiap
sendi pada kedelapan kakinya.
Aku bisa melihat mulutnya yang dilengkapi gigi penjepit.
Labah-labah itu kabur. Aku mengejarnya. Aku lebih gesit.
Jangaaaaan! aku menjerit dalam hati.
Terlambat. Kepalaku menyambar, secepat ular memagut. Mulutku mengatup. Dan tahutahu labah-labah itu sudah berada dalam mulutku.
Aku merasakannya meronta-ronta. Aku merasakan labah-labah itu memberontak,
berusaha keluar dari mulutku.
Aku berusaha memuntahkannya, tapi tidak berhasil. Naluri kadal dalam diriku
terlalu kuat. Aku menelan labah-labah itu. Rasanya seperti menelan daging kalengan - berikut
kalengnya. Daging kalengan yang terus menggeliat-geliut.
Jangan, jangan, jangan! teriak otak manusiaku. Tapi secara bersamaan, otak
kadalku malah merasa puas. Kurasakan otak kadalku menjadi lebih tenang.
Ini sudah keterlaluan! makiku dalam hati. Cukup sampai di sini saja!
Aku ingin segera meninggalkan tubuh kadal itu. Aku tidak peduli kalau ada yang
melihatku. Aku harus menjadi manusia lagi.
Marco benar. Hanya orang gila yang mau terlibat urusan ini.
Tiba-tiba lantai terasa bergetar. Aku mendengar sesuatu yang menyerupai suara
langkah raksasa. Ternyata memang ada raksasa.
Sebuah bayangan sebesar gedung muncul di atasku. Bayangan itu ternyata sebuah
sepatu - sepatu yang akan membuat tubuhku hancur lebur kalau aku tidak segera
menghindar. Tergopoh-gopoh aku mengelak ke kiri.
Tapi ada sepatu lagi. Ekorku! Ekorku terinjak sepatu itu! Aku terperangkap!
Chapter 17 AKU panik. Aku berusaha kabur. Tapi ekorku terjepit. Namun tiba-tiba aku bebas!
Lho, bagaimana mungkin..."
Lalu aku sadar apa yang telah terjadi. Ekorku putus. Aku menoleh ke belakang,
dan melihat ekor itu terinjak sepatu raksasa tadi.
Ekorku tampak menggeliat-geliut, seolah-olah masih bernyawa. Persis seperti
cacing yang ditancapkan ke mata kail.
Kemudian sepatu itu terangkat dan kembali melesat maju.
Cepat-cepat aku memanjat dinding, lalu diam seperti patung. Si raksasa tidak
melihatku. Rupanya ia tidak bermaksud menginjakku. Ia tidak sengaja. Dan
sekarang ekorku... bukan... ekor si kadal....
Raksasa itu terus berjalan. Setiap langkahnya membuat lantai bergetar.
Aku mengarahkan sebelah mata kadal kepada sosok yang tampak di hadapanku. Apa
yang kulihat menyerupai bayangan pada cermin ajaib yang sering ada di tamantaman hiburan. Namun aku cukup yakin bahwa sosok itu adalah Chapman.
Aku memperhatikannya menyusuri koridor. Dan dengan segenap kekuatanku, aku
memaksa tubuh kadalku mengikutinya.
Aku berusaha mengabaikan labah-labah di perutku, yang ternyata belum mati juga.
Aku berusaha mengabaikan kenyataan bahwa sebagian tubuhku tertinggal di lantai
dan terus menggeliat-geliut, seolah-olah masih bernyawa. Aku memusatkan pikiran
untuk membuntuti Chapman.
Sebab siapa tahu aku akan memperoleh petunjuk yang bisa menolong Tom.
Aku bermaksud mengikuti Chapman ke kantornya. Di sana aku akan bersembunyi di
bawah meja tulisnya dan menguping
pembicaraannya melalui telepon. Siapa tahu ia akan menyebut-nyebut tentang
lokasi kolam Yeerk - paling tidak itulah yang kuharapkan.
Cassie dan aku sempat membahas rencanaku. Menurut Cassie aku mungkin harus
menunggu berhari-hari sebelum memperoleh petunjuk yang berguna. Padahal aku cuma
bisa bertahan selama dua jam dalam wujud binatang. Lagi pula, aku terpaksa
bolos. Dan cepat atau lambat, itu pasti akan menimbulkan masalah.
Lucunya, setiap anak yang ketahuan bolos disuruh menghadap wakil kepala sekolah.
Mr. Chapman. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana percakapan kami nanti... Saya menyesal
telah membolos, Mr. Chapman, tapi saya berubah menjadi kadal untuk mengawasi
Anda, sebab saya tahu Anda salah satu Pengendali yang terlibat dalam komplotan
makhluk asing yang hendak menguasai dunia.
Rasanya aku ingin tertawa. Sayangnya kadal tidak bisa tertawa.
Karena itu aku terus mengikuti Chapman.
Tiba-tiba ia berhenti. Apakah kami sudah sampai di kantornya"
Aku mengamati sekelilingku melalui kedua mata kadal. Hmm, kelihatannya bukan
kantor Chapman. Tapi aku tidak bisa memastikannya. Labah-labah di dalam perutku
masih terus memberontak. Chapman membuka pintu. Daun pintunya melintas persis di atasku. Sesaat aku
seperti diterpa angin badai.
Aku berusaha keras untuk memahami pemandangan yang terlihat oleh mata kadalku.
Tunggu dulu! Ini kan ruang petugas kebersihan. Di dalamnya penuh sapu dan alat pel dan ember
dan kaleng cairan pembersih lantai. Kenapa Chapman kemari..."
Ia melangkah masuk. Cepat-cepat aku menyusulnya. Tapi aku harus berhati-hati
agar tidak terinjak sepatunya yang sebesar gedung.
Tiba-tiba terdengar bunyi klik nyaring. Rupanya Chapman mengunci pintu.
Aku memperhatikannya berdiri menghadap dinding. Ia sedang mengotak-atik kaitan
untuk menggantungkan alat pel. Aku memang tidak bisa melihatnya dengan jelas,
tapi aku cukup yakin karena aku mendengar bunyi berderik.
Tahu-tahu dinding di hadapannya bergeser ke samping. Aku sampai melongo.
Di balik dinding ternyata ada semacam terowongan.
Berbagai bau aneh serta bunyi yang lebih aneh lagi keluar dari terowongan itu.
Chapman segera masuk. Ia menuruni tangga yang diterangi lampu-lampu redup
bercahaya ungu. Aku mendengar sesuatu. Bunyinya sayup-sayup, seakan-akan berasal dari lubang
sedalam seratus kilometer.
Rupanya suara jeritan. Jerit ketakutan dan putus asa. Jerit manusia yang berasal
dari kegelapan yang menguasai tempat mengerikan itu.
"Jangaaan!" suara itu menjerit. "Jangaaan!"
Aku langsung mengerti. Aku langsung tahu apa yang terjadi.
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jauh di bawah sana seseorang yang malang sedang merasakan otaknya disusupi
makhluk Yeerk yang menjijikkan. Jauh di bawah sana seseorang sedang dijadikan
budak bangsa Yeerk. Chapman menuruni tangga. Pintu rahasia yang baru saja dilewatinya menutup kembali.
Aku telah berhasil menemukan kolam Yeerk. Letaknya persis di bawah sekolahku.
Chapter 18 "JERITAN," ujarku. "Aku mendengar jeritan manusia. Sayup-sayup memang, tapi aku
yakin aku tidak salah dengar."
Teman-temanku menatapku sambil membisu. Hanya Marco yang memalingkan wajah. Kami
berkumpul sore itu juga, di mall, langsung seusai sekolah. Kami menganggap
itulah cara terbaik untuk tidak memancing kecurigaan. Takkan ada yang heran
melihat sekelompok remaja bergerombol di mall.
Kami duduk mengelilingi meja di pusat jajan. Sejak melahap labah-labah tadi, aku
mendadak sangat bernafsu makan junk food.
Supaya aku bisa melupakan rasa labah-labah menjijikkan itu.
"Kau kan jadi kadal tadi," ujar Marco. "Siapa yang berani menjamin pendengaran
kadal bisa diandalkan?"
"Aku tahu apa yang kudengar," sahutku.
"Aku tidak tega membayangkan apa yang terjadi pada orang-orang yang disekap di
bawah sana," kata Cassie. Ia menggigil. "Ih, mengerikan."
"Kita harus melakukan sesuatu," seru Rachel berapi-api.
"Yeah, kenapa tidak kita serang saja tempat itu?" Marco berkomentar dengan
sinis. "Habis itu giliran kita yang menjerit-jerit."
Selera makanku langsung hilang.
"Marco, kau tidak bisa berpura-pura bahwa tidak ada apa-apa," ujar Rachel.
"Bisa saja," balas Marco. "Aku tinggal mengingat bahwa aku belum mau mati."
"O, jadi begitu, ya?" Rachel bertanya dengan sengit. "Dunia boleh kiamat, yang
penting kau sendiri aman, begitu?"
"Menurutku," kata Cassie, "Marco bukannya cuma memikirkan diri sendiri. Justru
sebaliknya. Dia memikirkan ayahnya. Marco takut terjadi sesuatu dengan ayahnya
kalau sampai..." "Bukan cuma dia yang harus memikirkan orang lain," Rachel menyela. "Aku juga
punya keluarga. Kita semua punya keluarga."
"Aku tidak punya siapa-siapa," Tobias berkata pelan. Ia tersenyum pahit. "Betul,
kok. Tak ada yang peduli padaku."
"Aku peduli," ujar Rachel.
Terus terang, aku sempat terkejut mendengar ucapan itu. Setahuku, Rachel bukan
tipe cewek yang mudah terharu.
"Begini," kataku. "Aku tidak bermaksud memaksa kalian ikut denganku. Tapi aku
tidak punya pilihan. Aku yang mendengar jeritan tadi. Dan aku tahu nanti malam
Tom akan turun ke sana. Dia kakakku. Aku harus berusaha menyelamatkannya." Aku
menatap teman-temanku dengan harapan mereka mau memahami sikapku. "Aku harus
bertindak. Demi Tom."
"Aku ikut," kata Tobias. "Demi si Andalite."
"Orang lain tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan para Yeerk," ujar
Rachel. "Sebenarnya aku takut setengah mati, tapi aku tidak bisa diam saja."
Muka Marco berkerut-kerut. Ia menatapku sambil memicingkan mata, lalu
menggelengkan kepala. "Ini gawat," katanya. "Benar-benar gawat. Kalau bukan
karena Tom, aku takkan mau terlibat."
"Begini, Marco, kalau kau tidak mau ikut...," kataku.
"Sudahlah, jangan banyak omong!" ia menghardik. "Kau sahabatku, brengsek. Mana
mungkin aku membiarkanmu bunuh diri" Aku ikut. Tapi cuma untuk menyelamatkan
Tom. Setelah itu aku tidak mau terlibat lagi."
Hanya Cassie yang tetap membisu. Pandangannya menerawang ke arah kerumunan orang
yang memenuhi mall. "Pada zaman dulu - maksudku, dulu sekali k orang Afrika,
orang Eropa, orang Indian... semua percaya bahwa binatang punya roh. Dan mereka
selalu berpaling pada roh-roh itu untuk minta perlindungan dari kekuatan jahat.
Roh rubah diminta membagikan kecerdikannya. Roh rajawali diminta membagikan
ketajaman matanya. Roh singa diminta membagikan kekuatannya.
"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang sebenarnya sesuai dengan tradisi itu.
Hanya saja kita dibantu teknologi si Andalite. Kita tetap manusia ketakutan yang
berusaha meminjam kecerdikan sang rubah, dan ketajaman mata sang rajawali...
atau elang," ia menambahkan sambil tersenyum pada Tobias. "Dan kekuatan sang
singa. "Kita minta pertolongan binatang untuk melindungi kita dari kekuatan
jahat. Sama seperti orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu."
"Tapi apakah kekuatan mereka cukup untuk melawan para Yeerk?" tanyaku.
"Entahlah," Cassie mengakui. "Sepertinya semua kekuatan yang ada di Bumi harus
dikerahkan untuk pertempuran ini."
Marco geleng-geleng kepala. "Kisah yang bagus, Cassie. Tapi kita cuma lima anak
biasa. Lima anak biasa melawan para Yeerk. Coba kalau ini pertandingan football,
siapa yang akan kaudukung" Kita bakal dibantai habis-habisan."
"Jangan terlalu yakin," sahut Cassie. "Kita di sini membela planet Bumi. Planet
kita punya kekuatan tersembunyi."
"Ya ampun," Marco bergumam. "Kalau begitu, kenapa kita tidak pergi ke hutan dan
memeluk pohon-pohon?"
Semua tertawa, termasuk Cassie.
"Dalam satu hal Cassie benar," kata Rachel serius. "Satu-satunya andalan kita
adalah kemampuan berubah wujud. Dan sampai sekarang kita baru bisa berubah jadi
kucing, burung, anjing, kuda, dan kadal. Rasanya kita perlu menambah kekuatan
tempur. Sebaiknya kita pergi ke The Gardens. Kita perlu mencari pola DNA
tambahan - dari binatang-binatang yang agak sulit didekati."
Aku mengangguk. "Yeah. Pasukan yang terdiri dari elang, kuda, dan kadal takkan
dipandang sebelah mata oleh para Yeerk. Rachel benar. Kita harus ke The Gardens.
Kita butuh anggota yang lebih garang."
Aku berpaling pada Cassie. "Kau bisa membantu kami masuk ke sana?"
"Aku bisa masuk tanpa bayar," jawabnya. "Kalian terpaksa beli karcis. Tapi aku
bisa meminjam kartu diskon pegawai milik ibuku, supaya jangan terlalu mahal."
"Ah, sebenarnya kita juga bisa masuk gratis," ujar Marco. "Bilang saja kita
kelompok Animorphs."
"Kelompok apa?" tanya Rachel.
"Remaja konyol yang bosan hidup," balas Marco.
"Animorphs." Kata itu kuulang-ulang dalam hati. Kedengarannya cukup gagah.
Chapter 19 KAMI berangkat langsung dari mall. Kami naik bus ke The Gardens, yang terletak
di seberang kota. Dalam perjalanan ke sana aku berusaha menyelesaikan PR. Aku
bolos beberapa jam tadi, sehingga terpaksa meminjam catatan teman-temanku.
Buku catatan Rachel rapi sekali. Buku catatan Tobias justru sebaliknya. Di tepi
setiap halaman ada corat-coret, yang akhirnya kukenali sebagai gambar gedunggedung, orang-orang, dan mobil-mobil kalau dilihat dari atas.
"Seberiarnya aku tidak perlu ikut masuk," kata Tobias ketika kami mengumpulkan
uang jajan masing-masing untuk membeli karcis. "Aku sudah puas jadi elang. Aku
tidak mau berubah jadi binatang lain."
"Kau tidak boleh berpikir begitu," sahut Rachel. "Satu-satunya senjata andalan
kita adalah kemampuan berubah wujud. Sebaiknya kita mengumpulkan sebanyak
mungkin pola DNA yang mungkin bermanfaat."
"Binatang apa yang sanggup menghadapi Visser Three kalau dia berubah jadi
monster yang melahap si Andalite?" tanyaku.
Tak ada penghuni kebun binatang, baik di sini maupun tempat lain, yang sanggup
melawan monster tersebut.
Marco mengedipkan mata. "Kutu, barangkali" Tak ada yang bisa membasmi kutu. Kita
bikin dia mati kegatelan."
Aku tak sanggup menahan senyum. "Akhirnya kau bersemangat juga?"
"Bukan. Saking takutnya, pikiranku jadi tidak keruan," jawabnya. "Aku belum
pernah berubah jadi binatang. Kalian semua sudah sempat mencobanya. Tinggal aku
yang belum jadi Animorphs sejati. Cuma aku yang masih normal."
"Aku tetap merasa normal," ujar Cassie sambil mengerutkan kening.
"Cassie, kau bisa berubah jadi kuda," Marco menanggapinya. "Mana ada anak normal
yang bisa begitu" Kalau Jake sih lain. Dari dulu dia memang kadal."
Aku melayangkan pukulan ke arah Marco - tentu saja cuma main-main - tapi ia
mengelak. Aku senang ia ikut bersama kami, walaupun ia suka uring-uringan.
Dalam waktu setengah jam kami tiba di depan gerbang utama The Gardens. Aku
gelisah ketika turun dari bus - tidak seperti biasanya kalau aku ke sana.
Maksudku aku suka berkunjung ke The Gardens. Tapi biasanya tujuanku memang bukan
berkenalan dengan binatang-binatang berbahaya.
Daya tarik utama The Gardens adalah berbagai wahana mengasyikkan seperti roller
coaster, kincir ria, dan perahu luncur yang membuat air memercik ke segala arah.
Tapi di samping itu juga ada pertunjukan hewan, mirip kebun binatang, cuma lebih
seru. Ada pertunjukan lumba-lumba segala. Kita juga bisa masuk ke kawasan
binatang-binatang jinak. Lalu masih ada kandang monyet yang saking besarnya
lebih pantas disebut kota monyet. Seandainya aku jadi binatang dan harus tinggal
di kebun binatang, The Gardens jadi pilihan pertamaku.
Cassie mengajak kami ke gedung utama, yang dihuni berbagai jenis hewan.
Binatang-binatang besar yang butuh banyak tempat ditempatkan di luar, di
kandang-kandang berumput yang luas dan menyerupai taman. Tembok dan selokan dan
pagar mengelilingtaman itu.
Suasana di dalam gedung utama dibuat menyerupai hutan tropis. Gedung itu dihuni
binatang-binatang yang membutuhkan udara hangat sepanjang tahun. Ada jalan
setapak berliku-liku di bawah naungan pohon-pohon besar. Masing-masing kandang
dipisahkan oleh semak-semak.
Kandang-kandang itu kecil, tapi ada juga yang luas, seperti kandang berangberang yang dilengkapi air terjun dan luncuran.
Kami masih di sekitar kandang berang-berang ketika Cassie berhenti. "Oke, jangan
berpencar lagi dan usahakan untuk tidak bersikap mencurigakan," katanya.
"Sekarang kita masuk."
"Masuk ke mana?" tanya Marco.
"Di belakang semua kandang ada lorong untuk membawa makanan atau obat-obatan ke
masing-masing kandang." Cassie menunjuk pintu yang setengah tersembunyi.
"Masuknya lewat situ."
Suasana di luar dan di dalam berbeda sekali. Semula kami masih di tengah hutan
tropis tiruan. Tapi menit berikutnya kami sudah berada di lorong, mirip koridor
di sekolah. Cuma baunya lebih parah - udaranya lembap dan pengap. Kurang-lebih
seperti ruang ganti cowok di gedung olahraga.
"Oke, kalau kita sampai kepergok, katakan saja kita kemari untuk menemui ibuku,"
ujar Cassie. "Sekarang sudah sore, jadi kemungkinan besar ibuku sudah pulang.
Mudah-mudahan saja. Kalau dia sampai tahu aku mengajak empat temanku ke belakang
sini... wah, gawat deh. Bisa-bisa aku dihukum tidak boleh keluar rumah. Dan aku
takkan bisa menyelamatkan dunia dari serangan makhluk asing. Moga-moga kita
tidak ketemu siapa-siapa."
Tanpa bersuara kami menyusuri lorong. Kami mengendap-endap bagaikan sekelompok
pencuri yang takut ketahuan. Di kiri-kanan lorong terdapat sejumlah pintu yang
menuju ke kandang-kandang. Sayangnya masing-masing pintu hanya diberi nomor
urut, sehingga kami sepenuhnya tergantung pada Cassie. Ia satu-satunya yang tahu
jalan. Di balik beberapa pintu terdapat binatang-binatang yang tidak bisa
didatangi begitu saja. "Kalian suka gorila?" tanya Cassie. Ia berhenti di depan salah satu pintu
bernomor. "Ini kandangnya Big Jim. Dia baru tiba dari kebun binatang lain, jadi
untuk sementara dia ditempatkan di kandang khusus. Tapi sebenarnya dia lemah
lembut." Pelan-pelan aku mulai menyadari maksud Cassie. "Oh. Kau ingin tahu apakah salah
satu dari kita berminat menyerap pola DNA gorila ini?"
"Itulah tujuan kita kemari, Jake," ujar Rachel. Ia melirik ke arah Marco.
"Bagaimana, Marco" Dari dulu kau mau jadi jagoan berbadan besar dengan dada
berbulu, kan?" Marco tampak kurang bersemangat. Tapi aku tahu cara menghadapinya.
"Marco kan belum pernah berubah wujud. Mungkin lebih baik kalau dia mencoba
sesuatu yang lebih mudah," kataku. "Jadi koala mungil yang lucu, misalnya."
Taktikku ternyata ampuh. "Koala?" tanya Marco sambil melotot. "Ayo, buka pintunya, Cassie." Ia berhenti
sejenak. "Kau yakin dia lemah lembut?"
"Pada dasarnya, pembawaan gorila memang lemah lembut," jawab Cassie. "Asal
jangan dibuat marah," tambahnya dengan suara lebih pelan.
Cassie membuka ranselnya. Ia mengambil apel dan menyerahkannya kepada Marco.
"Nih, kau bisa langsung masuk. Para pengunjung takkan melihatmu, kecuali kalau
kau pergi ke tengah kandang. Lagi pula masih ada pintu pengaman. Kita tinggal
membuka pintu dan berharap Big Jim lagi lapar."
Di balik pintu pertama terdapat pintu kedua yang terbuat dari batang-batang
baja. Di bagian bawahnya terdapat celah untuk memasukkan makanan. Pintu itu
tersembunyi di balik batu tiruan berukuran besar, sehingga tidak tampak oleh
para pengunjung di luar. Tapi Big Jim langsung melihat kami. Gorila itu turun dari tempat ia bertengger,
dan menghampiri pintu pengaman.
Big Jim ternyata memang besar. Jarinya saja sebesar pergelangan tanganku. Tapi
tampaknya ia tidak keberatan kami ada di situ. Perhatiannya tertuju pada apel di
tangan Marco. Ia mengamati Marco, mendengus seakan-akan tidak terkesan, lalu
mengulurkan tangan. "Dia minta apelnya," ujar Cassie. "Berikan saja."
"Aku suka film-filmmu," kata Marco kepada monyet raksasa itu. "Penampilanmu
dalam film King Kong Versus Godzilla hebat sekali. Diulurkannya tangan dan
disodorkannya apel. Si gorila menerimanya dengan hati-hati, dan mengamatinya
dari segala arah. "Sekarang pegang tangannya," kataku.
"Yang benar saja," sahut Marco.
"Dia takkan sadar selama kau menyerap pola DNA-nya," aku menjelaskan. "Ayo,
pegang tangannya, lalu pusatkan pikiran."
Marco tampak ragu-ragu ketika ia menyentuh pergelangan tangan si gorila. "Monyet
manis." Big Jim tidak menggubrisnya. Gorila itu lebih tertarik pada apelnya ketimbang
pada kami. "Pusatkan pikiranmu," Rachel mendesak.
Marco memejamkan mata. Big Jim ikut menutup matanya.
"Wah, hebat," Tobias berkomentar. "Padahal kalau mau, gorila itu bisa mencabikcabik Marco seperti boneka kertas. Coba lihat otot lengannya!"
Marco membuka sebelah mata. "Tobias" Bagaimana aku bisa konsentrasi kalau
pikiranku tidak tenang" Jadi, tolong jangan singgung-singgung soal lengannya
yang kekar." Tiba-tiba terdengar bunyi berdesir. Aku menoleh ke ujung lorong. Ternyata ada
semacam mobil listrik, seperti yang biasa dipakai para pemain golf. Kendaraan
itu meluncur ke arah kami.
"Santai saja," bisik Cassie. Marco cepat-cepat keluar dan langsung menutup pintu
kandang Big Jim. "Asal bukan Satpam, kita tidak perlu kuatir."
Kereta golf itu semakin dekat. Pengemudinya mengenakan celana jeans dan baju lab
berwarna krem yang penuh noda. Di bagian belakang mobil terdapat dua ember
plastik putih berisi sesuatu berwarna cokelat yang baunya minta ampun. "Hei, kau
Cassie, kan" Anaknya Bu Dokter" Apa kabar?"
"Baik," sahut Cassie. Ia melambaikan tangan, dan orang itu lewat begitu saja.
"Wah, untung saja," ujar Rachel. "Dia sama sekali tidak heran melihat kita di
sini." "Oke, sekarang kita mau ke mana?" tanya Cassie. Kami telah tiba di perempatan.
Lorong-lorong di hadapan kami semua kosong.
Dinding-dindingnya dicat putih. Aku melihat sebuah kereta golf sedang diparkir.
"Ada apa lagi di sekitar sini?" tanyaku.
Cassie berpikir sejenak. "Oke, lorong ini menuju ke pintu keluar. Yang ini ke
ruang kantor dan gudang. Dan yang dua ini mengelilingi kandang-kandang di gedung
utama. Kita sekarang di dekat... coba kuingat-ingat dulu... ehm, kandang
kelelawar dan ular ada di sebelah sana. Kandang jaguar dan kolam lumba-lumba di
sebelah sini." Rachel langsung memasuki lorong sebelah kanan. "Lumba-lumba saja. Aku suka
lumba-lumba." "Tunggu," ujar Cassie sambil mengejarnya. "Lumba-lumba tidak bisa berbuat banyak
di darat." "Sebaiknya kita ke daerah binatang-binatang besar saja," Marco mengusulkan.
"Serius sedikit, dong. Kita butuh binatang galak. Ayo."
"Jangan berpencar," kataku ketika Marco mulai menyusuri lorong. Cepat-cepat aku
menahannya, sebelum ia pergi terlalu jauh.
Sekonyong-konyong sebuah suara berseru, "Hei! Hei, kalian! Sedang apa kalian di
sini?" Aku menoleh dan melihat laki-laki berseragam cokelat.
"Satpam!" Cassie memekik. "Wah, gawat, kita bakal dibawa ke kantor. Dan ibuku
akan dipanggil kemari. Bagaimana aku bisa menjelaskan ini semua?"
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cepat, berpencar!" seruku. Aku mencoba bersikap sebagai pemimpin. "Ini sama
seperti di tempat pembangunan: satu orang takkan bisa menangkap kita semua!"
"Satpamnya seperti kakekku," ujar Rachel. "Bukan seperti Hork-Bajir yang
mengejar kita waktu itu."
"Hei, berhenti!"
"Oh, gawat nih," keluh Cassie. Dan ia pun mengambil langkah seribu. Rachel dan
Tobias langsung mengikutinya.
Marco sudah berlari ke lorong lain, lorong yang menuju ke kandang binatangbinatang besar. Terburu-buru aku menyusulnya.
Si satpam sampai di perempatan. Aku melihatnya menengok ke arah Tobias, Rachel,
dan Cassie. Kemudian ia menoleh ke arah Marco dan aku. Rupanya kami kelihatan
lebih mencurigakan, sebab akhirnya si satpam memilih mengejar kami.
"Berhenti! Awas kalau kalian tidak berhenti!"
"Kereta golf itu kita pakai saja!" seru Marco.
"Kau mau mencuri kereta golf?"
"Kalau bukan kita yang pakai, si satpam yang bakal naik."
"Benar juga." Kami melompat ke kereta golf itu. Marco cepat-cepat menyelinap ke balik kemudi.
Kunci kontak diputarnya ke posisi "on."
Lalu ia menatapku. "Ini sama saja dengan naik boom-boom car, kan?"
"Cuma di sini kau jangan menabrak apa pun."
Ia menginjak pedal di lantai. Motor listrik di kereta golf itu berdesir, dan
kami langsung maju. Tepat menuju ke dinding.
Bam! "Hei, setirnya dipakai, dong!" seruku.
Kami mundur sedikit, lalu maju lagi. Marco menambah kecepatan. Kami melaju cukup
kencang, meninggalkan si satpam.
Tapi ketika aku menoleh ke belakang, ternyata ia masih juga mengejar.
"Bisa-bisa dia kena serangan jantung," ujarku.
"Belok ke mana, nih?"
"Apa?" "Belok ke mana?"
Aku kembali menghadap ke depan. Ternyata kami telah sampai di persimpangan
lorong. "Ke kanan," seruku.
Marco tentu saja langsung membelok ke kiri. Aku nyaris terlempar dari kereta
golf. Hampir seketika kami kembali menemui pertigaan. Kali ini Marco membelok ke
kanan. Dan kali ini aku benar-benar jatuh.Aku terjerembap di lantai vinil dan sempat menggelinding seperti batang pohon.
Kemudian aku bangkit dan berlari mengejar kereta golf itu.
"Apa-apaan, sih?" tanya Marco ketika melihatku. "Kita tidak punya waktu untuk
main-main." Aku cuma melotot dan kembali naik.
"Kurasa kita sudah aman sekarang," ujar Marco.
"Aku sih tidak apa-apa," sahutku. "Aku cuma lecet sedikit. Dan tengkorakku
mungkin retak. Tapi tak ada yang serius."
"Di mana kita kira-kira?"
"Sepertinya kita ada di terowongan paling panjang yang pernah kulihat," kataku.
Lorong yang kami lewati memang menyerupai terowongan. Lantainya tetap dilapisi
vinil dan dinding-dinding pun tetap bercat putih, tapi lampu-lampu di langitlangit semakin jarang, sehingga menimbulkan kesan kami berada di bawah tanah.
"Jangan-jangan yang lain sudah tertangkap," ujar Marco. "Sekarang kau mengerti
kenapa kita tidak mungkin mengalahkan para Yeerk" Ini buktinya: satpam kebun
binatang saja sudah membuat kita kewalahan."
"Tapi kita belum aman," kataku. "Coba lihat, tuh!" Jauh di depan tampak dua
laki-laki berseragam cokelat.
"Barangkali mereka tidak tahu siapa kita," kata Marco. "Siapa tahu mereka pikir
kita memang pegawai di sini."
"Bisa jadi. Asal mereka tidak melihat kita dari dekat." Aku menunjuk. "Di depan
ada belokan. Belok saja ke situ."
Kami membelok. Secara bersamaan, kedua petugas satpam itu berseru-seru. Lorong
yang kami masuki semakin sempit. Terlalu sempit untuk dilewati kereta golf.
"Ayo, turun!" Aku melompat. Marco segera menyusul. Langkah kedua petugas satpam bergema di
terowongan utama. Mereka lebih lincah daripada satpam tua tadi. Mereka sanggup
lari kencang! Lorong yang kami masuki ternyata buntu. Di ujungnya ada dua pintu, satu di kiri,
satu lagi di kanan. Pintu-pintu itu diberi tanda P-201 dan P-203.
"Pilih salah satu," kata Marco.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Pintu nomor satu." Begitu aku membuka pintu P201, aku disambut embusan udara segar. Dan cahaya matahari yang terangbenderang. Aku berkedip-kedip karena silau.
Badak di hadapan kami juga berkedip-kedip.
"Ahhhh!" aku memekik.
"Ahhhh!" Marco menjerit.
Cepat-cepat kami melompat mundur dan membanting pintu.
"Salah kamar!" kata Marco.
"Yeah," aku membenarkan.
"Hei, kalian! Berhenti!"
Kedua petugas tadi sudah sampai di ujung lorong.
"Kita coba yang satu lagi," kataku.
"Cepat, buka!" Aku membuka pintu dan kami langsung masuk. Kami dikelilingi pepohonan. Pepohonan
dan ilalang. Sinar matahari menerobos di antara daun-daun yang menaungi kami. Di depan
terlihat hamparan rumput.
"Di mana kita?" tanya Marco.
"Mana kutahu!?"
Kami menerobos semak-semak sambil mengamati keadaan sekeliling. Tak terlihat
seekor binatang pun. Hanya ada sejumlah burung di atas pohon-pohon.
"Hei, ada orang di sana!" ujar Marco. Ia segera bersembunyi di balik semaksemak, lalu menunjuk. Aku melihat deretan orang di balik pagar. Mereka berada di tempat yang jauh
lebih tinggi daripada tempat persembunyian kami.
Atau mungkin juga kami yang bersembunyi di tempat yang jauh lebih rendah. Yang
pasti, orang-orang itu bersandar pada batang atau pipa logam di puncak tembok
beton yang tinggi. Mereka tidak bisa melihat Marco dan aku karena kami
bersembunyi di balik semak-semak, tapi tampak jelas ada sesuatu yang menarik
perhatian mereka. "Kita ada di salah satu kandang," bisikku. "Orang-orang itu sedang menonton
penghuni kandang ini. Entah apa binatangnya. Mudah-mudahan saja bukan badak
tadi." "Bagaimana cara kita keluar dari sini?"
"Aku juga tidak tahu. Yang penting, pintu masuknya kita jauhi dulu. Kedua satpam
tadi pasti datang sebentar lagi." Tapi dalam hati aku bertanya-tanya, Hmm,
kenapa mereka belum muncul juga"
Dengan merangkak-rangkak, Marco dan aku menerobos semak-semak dan mengitari
pohon-pohon besar. Kami merangkak hingga mencapai sudut tembok yang terlindung
dari pandangan para penonton di atas.
"Temboknya tinggi sekali," ujar Marco. "Sekitar sepuluh meter. Ini pertanda
buruk. Pasti ada alasan temboknya dibuat setinggi itu. Pasti ada sesuatu yang
berbahaya di sini. Sesuatu yang tidak boleh dibiarkan lolos."
Pandanganku menyusuri tembok. Aku melihat tangga baja yang tertanam dalam
tembok, kira-kira lima belas meter dari tempat kami bersembunyi. "Kelihatannya
itu satu-satunya jalan keluar dari sini."
"Tunggu dulu," ujar Marco "Ada yang ingin kutanyakan. Kenapa satpam tadi tidak
mengejar kita" Maksudku, kalau ini kandang rusa atau sebangsanya, mereka pasti
langsung masuk, kan?"
"Kita tidak boleh panik," sahutku. "Kita harus cari jalan keluar. Jangan
pikirkan kenapa para penjaga tidak menyusul kita."
Aku mundur ke daerah teduh di bawah pepohonan. "Lagi pula, mungkin saja tidak
ada apa-apa di sini."
Aku jongkok di tengah semak-semak.
Dan aku menyentuh sesuatu yang hangat.
Aku langsung mendapat firasat buruk. Aku menoleh dan menatap Marco. Biasanya
wajah sahabatku itu kecokelatan karena sinar matahari. Tapi kali ini wajahnya
pucat pasi. Dan matanya terbelalak lebar.
"Marco," aku berkata pelan-pelan, "apakah ada sesuatu di belakangku?"
Ia mengangguk. "Apa?" "Ehm... Jake" Ada... harimau."
Chapter 20 TEPATNYA, seekor harimau Siberia jantan. Panjangnya tiga meter dari ujung kepala
sampai ujung ekor. Beratnya sekitar 350 kilogram, kuat dan berotot. Binatang
buas ini memiliki tenaga luar biasa. Dan kecepatannya, jangan ditanya.
Kau pernah menonton film Tarzan di TV yang memperlihatkan Tarzan bergulat
melawan harimau" Dan menang"
Sayangnya adegan semacam itu cuma ada dalam film. Mau tahu seberapa besar
peluang menang adu gulat melawan harimau"
Kira-kira sama besarnya dengan peluang selamat setelah terjun dari gedung
bertingkat seratus. "Aku ada usul," Marco berkata dengan suara gemetaran. "Bagaimana kalau kita
pergi saja dari sini?"
"Jangan lari," ujarku. "Nanti kita malah menarik perhatiannya."
"Menurutku dia sudah memperhatikan kita," sahut Marco. "Kurasa dia sudah tahu
kita di sini, Jake. Malah ia sudah mengincar kita! Aduh,coba lihat giginya!"
"Jangan panik. Aku punya ide. Bagaimana kalau kita manfaatkan kemampuan morph
kita" Aku akan menyadap pola DNA harimau ini, supaya dia tidak sadar."
"Menyadap" Ini bukan soal sadap-menyadap. Ini soal lahap-melahap. Dia yang
melahap, dan kau yang dilahap. Kau akan dilahap untuk makan malam! Dan cuma
tulang-tulangmu yang bakal tersisa nanti."
Aku menelan ludah. Aku memaksakan diri menyentuh harimau itu, tapi tanganku
terlalu gemetar. Akhirnya aku menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali.
Kata orang, ini cara ampuh untuk menenangkan diri. Mungkin memang begitu.
Sayangnya teori itu tidak berlaku kalau kita berhadapan dengan harimau. Dalam
keadaan seperti itu tak ada yang bisa membuat kita tenang.
"Harimau manis," aku berbisik.
Harimau itu menatapku dengan sikap tidak peduli. Seolah ia berpikir, Mau apa sih
bocah ini" Sikapnya penuh wibawa, penuh percaya diri. Seakan-akan ia menganggapku badut
yang lucu. Mungkin ia senang melihatku gemetar ketakutan.
"Tolong jangan bunuh aku," ujarku.
"Aku juga jangan," Marco menimpali.
Tanganku masih gemetaran ketika aku mengulurkannya.
Pandangan si harimau mengikuti tanganku. Dengan hati-hati aku menyentuh
badannya. Dadanya bergerak naik-turun seiring tarikan napasnya.
"Konsentrasi," bisik Marco.
Aku memusatkan pikiran pada harimau itu. Aku memusatkan pikiranku pada giginya.
Aku memusatkan pikiranku pada otot-otot yang tampak berlekuk-lekuk di balik bulu
lorengnya. Aku sadar sepenuhnya kepalaku bakal melayang seperti bola kalau ia
mengayunkan cakarnya yang besar.
Tiba-tiba irama napas si harimau bertambah lambat. Matanya berkedip-kedip, lalu
menutup pelan-pelan. "Berapa lama dia tidak sadar?" tanya Marco berbisik.
"Ehm, sekitar sepuluh detik setelah tanganku terlepas dari badannya. Paling
tidak, begitulah pengalamanku dengan Homer."
"Sepuluh detik" Sepuluh detik?"
"Yeah. Jadi bersiap-siaplah untuk lari."
"Aku sudah siap dari tadi!"
Aku hendak menjauh, tapi kemudian aku berhenti. Baru sekarang aku sadar apa yang
kulakukan. Harimau itu menjadi bagian dari diriku. Bisa kurasakan segenap tenaga
dan rasa percaya dirinya mengalir ke dalam tubuhku.
"Dia gagah sekali, ya?" ujarku.
Tadinya kusangka Marco akan berkomentar pedas. Tapi ternyata ia malah berkata,
"Ya, dia memang gagah." Lalu tambahnya, "Tapi sebaiknya kita keluar dari sini
sebelum dia menunjukkan kenapa dia disebut raja rimba."
"Itu kan sebutan untuk singa," sahutku. "Singa yang disebut raja rimba. Tapi
kita tak perlu memberitahu dia. Siap?"
Marco mengangguk. "Sekarang!" aku memekik.
Aku langsung berdiri dan melesat ke arah tangga. Dalam hati aku sibuk
menghitung: satu-seribu, dua-seribu, tiga-seribu....
Aku melihat sesuatu berkelebat. Cepat sekali! Sosok berwarna jingga-hitam.
Dan tiba-tiba aku sadar. Astaga. Rupanya ada lebih dari satu harimau di kandang
ini. Para pengunjung di atas menjerit-jerit. Marco dan aku sudah keluar dari semaksemak, sehingga mereka bisa melihat kami.
Marco meloncat dan menyambar anak tangga paling bawah. Terburu-buru ia memanjat
tangga itu. Aku kira-kira sepersepuluh detik di belakangnya. Si harimau
melompat. Cakarnya menggores permukaan dinding beton, hanya beberapa senti di
bawahku. Kemudian ia mengaum. Saking kerasnya, anak tangga yang sedang kupegang sampai
bergetar. Aaaaauuuuummmmmmm! Suaranya menggelegar! Marco bagaikan terbang ke atas, lalu memanjat lewat puncak tembok. Aku tepat di
belakangnya. Sungguh mencengangkan betapa cepatnya kita bergerak kalau kita dikejar harimau.
"Itu mereka!" seseorang berteriak. "Tangkap mereka. Hei, berhenti!"
Satpam! Paling tidak jumlahnya tiga orang.
"Apakah kita perlu berubah wujud?" Marco berseru padaku.
"Jangan! Lari ke tempat ramai saja! Ke sana! Di depan kolam lumba-lumba."
Meskipun dikejar para petugas satpam, Marco dan aku berhasil menyusup ke tengah
kerumunan. Setelah itu kami merunduk dan menyelinap di antara orang-orang, sampai para
petugas kehilangan jejak. Perlahan-lahan, sambil tetap membungkuk, kami menuju
ke pintu gerbang utama. "Hei, kalian berubah jadi apa" Jadi orang kerdil?" Ternyata Rachel. Ia
mencegatku sambil nyengir. Tobias dan Cassie berdiri di belakangnya.
"Kami dikejar satpam," ujarku. Aku masih gemetaran karena kejadian di kandang
harimau. "Sudahlah, jangan bercanda terus, Jake," kata Rachel. "Kita pulang saja. Aku
bisa terlambat makan malam nanti."
Ternyata ketiga temanku yang lain dengan mudah meloloskan diri tadi. Mereka lalu
kembali mengumpulkan pola DNA berbagai jenis binatang, sementara Marco dan aku
sibuk menyelamatkan diri.
Yang paling menyebalkan, mereka tidak percaya cerita kami.
Terus terang, Marco dan aku agak sakit hati. Sebal deh rasanya.
Kami naik bus dan menjatuhkan diri ke bangku.
"Kami hampir mati tadi," ujar Marco sambil merengut. "Sumpah. Tinggal beberapa
senti lagi harimau itu melahapku."
"Ya, ya, ya," sahut Rachel dengan sikap masa bodoh. "Tak usah terlalu
dipikirkan. Lebih baik pikirkan soal nanti malam. Pengalaman kalian hari ini
pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang akan terjadi nanti malam."
"Nanti malam." Cassie menggelengkan kepala. "Padahal aku belum belajar untuk
ulangan matematika besok."
Rachel tertawa. "Siapa bilang masih ada hari esok?"
"Huh, kenapa sih harus diungkit-ungkit?" Marco bergumam.
Chapter 21 KE MANA saja kau sepulang sekolah tadi?" tanya Mom ketika kami berkumpul di meja
makan. Keluargaku agak kolot soal makan malam. Kami semua harus duduk di meja.
Dan TV harus dimatikan. Ibuku pengarang, dan ia menganggap TV sebagai gangguan - kecuali kalau ada acara
yang ia sukai. "Ke mana?" aku mengulangi pertanyaannya. "Ehm... ya main. Biasa. Main bersama
Marco." "Percuma saja dia ditanya," kata Dad. "Jawabannya selalu sama - main."
"Apa saja yang Dad lakukan di kantor hari ini?", aku bertanya padanya.
"Main," ia langsung menyahut. Ia mengedipkan mata, dan kami semua tertawa.
Aku melirik ke arah Tom. Ia juga makan chicken cacciatore seperti kami semua,
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ikut tertawa. Tindak-tanduknya sama seperti Tom yang dulu.
"Kau mau pergi nanti malam, Tom?" tanyaku.
"Kenapa?" Aku berusaha pasang tampang biasa. "Ehm, bagaimana kalau kita main basket,"
kataku. "Barangkali kau bisa mengajarkan beberapa trik, supaya aku bisa coba
lagi masuk tim." "Sori," jawabnya. "Aku sudah ada acara malam ini."
"Acara apa, sih?" aku mendesak.
"Pasti main," sahut Mom. "Jake, brokolinya dimakan, dong. Supaya sehat. Brokoli
kaya mineral dan vitamin yang tidak bisa diperoleh dari makanan lain."
"Oke," ujarku. Aku mencari potongan brokoli paling kecil dan memaksakan diri
menelannya. Aku tidak suka sayuran itu, tapi dibandingkan labah-labah hidup sih,
masih lumayan. "Jadi nanti malam kau ada acara apa, Tom?" aku bertanya sekali lagi.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Sejak kapan aku harus lapor padamu"
Pokoknya aku ada urusan. Kau keberatan?"
"Pasti urusan cewek," Dad berkomentar. "Gelagatnya sudah jelas."
Bukan, Dad, bukan urusan cewek, aku hampir membantah - Tom mau ke kolam Yeerk.
Apa itu kolam Yeerk, Mom" Wah, ceritanya agak panjang.
Aku nekat mencoba sekali lagi. Mungkin karena aku belum percaya sepenuhnya bahwa
Tom sudah berubah. "Kau cuma tidak berani main basket denganku. Kau takut kalah,
ya?" "Yeah, memang. Sudah puas?" balas Tom sambil menyeringai.
Pandangan kami bertemu. Adakah isyarat di matanya" Adakah petunjuk mengenai
makhluk jahat yang menguasai kakakku" Tidak.
Tidak ada apa-apa. Kita memang tidak bisa membedakan seorang Pengendali dari manusia biasa. Itulah
sebabnya mereka begitu sulit dihentikan. Kita takkan pernah tahu siapa yang
telah dikuasai oleh mereka.
Bisa saja seseorang yang kita kenal baik. Seseorang yang kita kagumi. Yang kita
hormati. Atau yang kita sayangi.
Aku mengalihkan pandangan dan menatap makanan di piringku.
Beberapa menit kemudian Tom meninggalkan meja. Aku tahu ke mana ia hendak pergi.
Setelah itu, aku ke atas untuk menelepon Marco. Aku tidak ingin orangtuaku
mendengar percakapan kami.
"Dia sudah berangkat," kataku.
Lalu aku menelepon Tobias dan Rachel. Aku juga berusaha menghubungi Cassie, tapi
yang menjawab ternyata ibunya.
"Cassie lagi keluar," kata ibunya dengan nada cemas. "Dia tidak ikut makan
malam. Dia keluar tadi untuk memberi makan beberapa binatang, tapi sampai
sekarang dia belum kembali."
Perutku langsung terasa kejang.
"Mungkin dia lagi naik kuda," kataku, mencoba menenangkan ibu Cassie sekaligus
diriku sendiri. "Dia kan suka lupa waktu kalau lagi asyik."
"Semua kuda sudah masuk kandang," sahut ibunya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Agaknya ada yang tidak beres. Apa yang terjadi
dengan Cassie" "Saya akan mencarinya," ujarku. "Jangan kuatir. Mungkin dia melihat binatang
yang cedera, lalu berusaha menyelamatkannya. Cassie kan paling tidak tega
melihat binatang menderita."
"Ya, aku tak perlu kuatir."
Aku tahu ibu Cassie cuma pura-pura tenang. Aku sendiri juga cemas. Tapi apa yang
bisa kulakukan" Kami telah menyusun rencana untuk menyerang ko lam Yeerk dan menyelamatkan Tom.
Mungkin Cassie sudah menunggu di sekolah.
Mudah-mudahan. Perasaanku tidak enak ketika aku bersepeda ke sekolah. Kusembunyikan sepedaku di
seberang jalan, sesuai rencana kami.
Kemudian aku menemui Marco dan Rachel.
"Cassie hilang," ujarku. "Dan mana Tobias?"
Rachel menunjuk ke langit. Matahari sudah hampir terbenam, tapi aku masih bisa
melihat Tobias berputar-putar jauh di atas.
"Kenapa dia sudah berubah?" aku meledak. "Dia cuma punya waktu dua jam, padahal
kita belum tahu berapa lama urusan ini selesai!"
"Mungkin lebih baik rencana kita ditunda dulu sampai kita tahu apa yang terjadi
pada Cassie," Rachel mengusulkan.
"Barangkali dia tidak berani datang," kata Marco.
"Bisa jadi," sahutku, walaupun aku ragu. Tapi kata orang, kita baru tahu siapa
pemberani dan siapa penakut kalau pertempuran sudah dimulai.
Aku hanya bisa berharap aku termasuk pemberani. Tapi sekarang saja mulutku sudah
kering-kerontang dan jantungku sudah berdegup kencang. Padahal kami belum mulai
bergerak. Tobias terbang menukik dan mendarat di pundak Rachel. Aku agak heran. Kenapa
Tobias memilih pundak Rachel" Dan tampaknya
Rachel juga tidak keberatan. Ia malah merapatkan kepala ke sayap Tobias.
Ini bukan awal yang baik. Perasaan tidak enak yang menyelubungiku sejak aku
berangkat dari rumah kini malah semakin parah. Cassie hilang. Tobias sudah
berubah jadi elang. Semua menatapku. Semua menunggu apa yang akan kuputuskan.
"Yeah, jadi," kataku.
Gedung sekolah sudah digembok. Tapi Marco tahu cara mengatasi masalah kecil ini.
Ia tahu ada satu jendela di ruang lab yang tidak bisa dikunci.
Kami memanjat lewat jendela itu dan masuk ke lab yang masih diterangi sisa-sisa
cahaya matahari. Tobias melayang melalui jendela yang terbuka, lalu mendarat di
meja guru. "Coba kuperiksa keadaan dulu," ujarku. Perlahan-lahan aku membuka pintu dan
mengintip keluar. Koridor sekolah hampir gelap gulita, tapi pintu ruang petugas
kebersihan masih kelihatan. Seketika aku masuk lagi.
"Ada orang di luar!" aku melaporkan. "Tiga orang baru saja masuk ke ruang
petugas kebersihan."
"Tiga Pengendali," Rachel meralat ucapanku. "Rupanya para Yeerk sudah mulai
lapar." Tak ada yang menganggapnya lucu.
"Bagaimana kita bisa masuk ke situ?" tanya Marco.
"Tunggu dulu," Rachel menyela. "Apakah semua Pengendali saling kenal" Maksudku,
kita juga bisa mengaku sebagai Pengendali, ya kan?"
"Jadi kita main masuk saja, begitu?" tanya Marco. "Ide bagus, Rachel. Tapi aku
punya ide yang lebih hebat lagi - kenapa kita tidak bunuh diri saja, supaya
urusannya cepat selesai?"
"Ada kemungkinan Rachel benar," kataku.
"Kemungkinannya kecil," sergah Marco. "Amat sangat kecil. Bagaimana dengan Tom"
Dia kan pasti tahu apakah kau Pengendali atau bukan."
Aku kembali membuka pintu dan mengintip keluar. "Kurasa Tom sudah di bawah
sana," ujarku. "Hmm, koridornya sudah sepi. Mungkin semuanya sudah...." Aku
terdiam. "Tunggu, ada lagi yang datang."
Aku memicingkan mata. Mengenali wajah orang dalam cahaya begitu redup bukan
pekerjaan mudah. Aku melihat dua orang. Salah satunya memakai baju seragam.
Ternyata si petugas polisi yang telah menjadi Pengendali. Ia sedang menyeret
seseorang. Kelihatannya seperti anak cewek. Hatiku langsung ketar-ketir. Aku
berpaling pada Tobias. "Tobias, kita perlu mata elangmu."
Tobias mengepakkan sayap dan mendarat di pundakku. Ia mengintip sebentar, lalu
segera mundur lagi.
Kepalaku serasa berputar-putar. Marco cepat-cepat menahanku sebelum aku sempat
terjatuh. "Dia ditangkap!" aku berbisik. "Cassie ditangkap para Pengendali!"
Chapter 22 "S-SIAPA yang menangkap Cassie... dan bagaimana dia sampai tertangkap?" Rachel
tergagap-gagap. "Polisi itu. Polisi yang datang ke rumah Cassie waktu itu. Yang hadir di acara
The Sharing. Dia sempat memergoki Cassie berkeliaran ketika para anggota penuh
sedang rapat." Rachel langsung memaki-maki kesal. Rencana kami berantakan sebelum kami sempat
beraksi. "Oke," ujarku dengan geram. "Kita maju sesuai usul Rachel. Kita anggap saja
tidak semua Pengendali saling kenal. Jumlah mereka terlalu banyak. Dan setiap
hari bertambah. Jadi, bukan tidak mungkin kita jadi anggota baru."
"Ya ampun," Marco mengerang.
"Ada ide yang lebih baik?" aku bertanya ketus.
"Tidak," jawabnya. "Kita jalan terus. Kita harus berani ambil risiko. Ayo, sudah
waktunya ber-rock 'n' roll."
"Oke, kalau begitu, semua harap tenang." Aku menatap Tobias. "Sekarang sudah
terlambat untuk berubah wujud lagi. Tapi usahakan agar mereka tidak melihatmu."
Rachel, Marco, dan aku menyelinap keluar, ke koridor yang gelap. Kakiku terasa
kaku. Lututku gemetaran. Langkahku terseok-seok.
Kami menuju ke ruang petugas kebersihan. Untung saja tidak ada siapa-siapa di
koridor. Kami masuk ke ruangan kecil itu. Aku berusaha mengingat-ingat cara membuka pintu
rahasia. Pertama-tama keran air diputar ke kiri, lalu kaitan kedua diputar ke
kanan. Dinding di hadapan kami bergeser ke samping.
Kali ini terdengar lebih banyak suara daripada waktu itu. Atau mungkin juga
telinga manusiaku lebih tajam daripada telinga kadal.
Kami mendengar bunyi gemercik, mirip suara air mengalir di sungai berbatu-batu.
Tapi itu satu-satunya bunyi yang menyenangkan.
Suara-suara lainnya membuat bulu kudukku berdiri - ada jeritan putus asa,
teriakan ketakutan, derai tawa kemenangan yang membahana.
"Kau yakin ini cuma kolam Yeerk?" Marco berkata dengan suara gemetar. Ia tampak
sangat gelisah. "Jangan-jangan ini jalan ke neraka!"
Aku maju lebih dulu. Sebuah tangga curam menuju ke bawah.
Tak ada pegangan tangan. Setiap saat kami bisa terjun bebas.
Kami turun bersama-sama. Pintu rahasia di belakang kami menutup secara otomatis.
Semula aku menyangka anak tangga yang harus kami lewati cuma beberapa puluh.
Ternyata tangga itu seakan-akan tak berujung.
Kami melangkah dan melangkah, namun selalu ada lebih banyak anak tangga lagi.
Mula-mula tangga itu masih menembus lapisan tanah merah, tapi tak lama kemudian
kami sudah menerobos lapisan batu karang yang keras. Semakin lama kami turun
semakin jauh ke dalam perut bumi.
"Kukira makhluk asing ini sudah lebih canggih dari kita," bisik Marco. "Tapi
pasang lift saja tak terpikir oleh mereka."
Kami semua cekikikan sebentar. Cuma sebentar. Tiba-tiba dinding batu di kirikanan kami melebar. Kami telah memasuki sebuah gua besar.
Gua itu bukan sekadar besar, tapi betul-betul BESAR. Luasnya cukup untuk
membangun stadion sepak bola, ditambah beberapa pusat perbelanjaan, lengkap
dengan lapangan parkir. Langit-langit gua menyerupai langit-langit kubah, dan
samar-samar di puncaknya terlihat sebuah lubang. Rasanya aku bisa melihat
bintang-bintang. Di sekeliling tepi gua terdapat tangga-tangga lain, serupa dengan tangga yang
kami lewati. Tangga-tangga itu muncul dari segala arah, menyembul dari dinding
batu karang, menuju ke dasar gua.
Kami berdesakan di tengah tangga yang tidak berpagar. Seandainya terpeleset dan
jatuh, kami pasti akan tewas secara mengenaskan.
"Wow," Marco bergumam sambil membelalakkan mata. "Gua ini lebih besar dari
sekolah kita. Ada selusin tangga yang menuju kemari. Berarti juga ada selusin
pintu rahasia di atas," Ia menggelengkan kepala. "Jake, pintu-pintu rahasia itu
pasti tersebar di seluruh kota. Wah, kacau. Ini gawat... jauh lebih gawat dari
yang kubayangkan." Hatiku pun langsung ciut. Aku mendadak sadar betapa bodohnya kami. Yang kami
hadapi bukan cuma sekelompok bajingan dari angkasa luar. Makhluk-makhluk itu
punya kekuatan yang tak terbayangkan. Buktinya, mereka mampu membangun kota
bawah tanah berukuran raksasa.
Bagian pinggir gua dipenuhi bangunan dan gubuk. Dan di seberang gua terlihat
sejumlah buldoser dan derek yang mondar-mandir tanpa henti. Alat-alat berat
tersebut tampak begitu kecil di tempat yang luar biasa besar ini.
Dan makhluk asing berkeliaran di mana-mana. Makhluk Taxxon, Hork-Bajir, dan
makhluk-makhluk lain yang namanya takkan bisa kutebak.
Tapi yang paling banyak adalah manusia.
Di tengah-tengah gua terdapat kolam bundar, sebesar danau kecil, dengan garis
tengah sekitar tiga puluh meter. Tapi isinya bukan air, melainkan sesuatu
seperti timah cair. Kami mendengar bunyi gemercik dan melihat riak-riak yang
ditimbulkan ratusan makhluk yang meluncur cepat di bawah permukaan.
Aku tahu makhluk apa itu sebenarnya. Yeerk. Makhluk-makhluk Yeerk dalam wujud
alami mereka yang mirip keong tanpa rumah. Mereka berenang dan bermain-main di
dalam kolam, seperti anak-anak saat cuaca sedang panas.
Di dekat tepi kolam berderet kerangkeng yang digunakan untuk menyekap Hork-Bajir
dan manusia. Beberapa orang berteriak-teriak minta tolong. Ada yang menangis tanpa suara. Ada
juga yang cuma duduk dan menunggu, seolah-olah sudah putus asa.
Ada orang dewasa. Anak-anak. Wanita dan pria. Lebih dari seratus orang, berjejal
sepuluh-sepuluh dalam masing-masing kerangkeng.
Para Hork-Bajir ditempatkan di kerangkeng-kerangkeng lain yang lebih kokoh.
Mereka mondar-mandir dan melolong-lolong sambil mengibas-ngibaskan tangan mereka
yang berduri tajam. Aku mulai dikuasai perasaan putus asa. Jantungku seakan-akan berhenti. Tempat
ini begitu mengerikan. Sedangkan kami cuma anak-anak yang tak berdaya.
Cassie dan si polisi sudah sampai di kaki tangga. Cassie diseret dengan kasar.
Langkahnya tersandung-sandung.
"Aku akan berubah," ujarku. "Aku harus menyelamatkan Cassie."
Marco meletakkan tangan di pundakku. "Jangan dulu. Jangan terburu-buru."
"Awas saja kalau dia sampai cedera," aku mengancam. "Awasi mereka, Tobias."
Aku melihat dua dermaga dari baja menjorok ke kolam. Di salah satu dermaga
terlihat barisan manusia, Hork-Bajir, dan Taxxon yang dikawal dengan sopan oleh
sejumlah Pengendali-Hork-Bajir.
Inilah tempat para Yeerk keluar dari tubuh induk semang. Satu per satu orangorang itu berlutut, membungkuk, lalu mendekatkan kepala ke permukaan cairan
kental yang memenuhi kolam. Mereka dibantu para Pengendali-Hork-Bajir.
Kami melihat seorang wanita membungkuk dengan tenang. Kepalanya hanya sejengkal
di atas permukaan kolam yang berwarna kelabu. Salah satu Pengendali Hork-Bajir
membantunya menjaga keseimbangan dengan memegang sikunya.
Kemudian kami melihat makhluk yang menggeliat-geliut, meluncur, merangkak keluar
dari telinga wanita itu. Makhluk Yeerk. "Oh...," Rachel mengerang sambil meringis karena mual. "Ya ampun...."
Begitu keluar dari telinga wanita malang itu, si makhluk Yeerk langsung
menjatuhkan diri ke dalam kolam dan menghilang di bawah permukaan yang bergolak.
Seketika wanita itu berseru-seru. "Bajingan busuk, lepaskan aku! Lepaskan aku!
Aku manusia bebas! Aku tidak sudi diperlakukan seperti ini! Aku bukan budak!
Lepaskan aku!" Ia segera diringkus oleh dua Pengendali-Hork-Bajir. Mereka menyeretnya ke
kerangkeng terdekat. "Tolong!" wanita itu menjerit. "Tolong! Selamatkan kami semua!"
Chapter 23 "TOLONG! Tolonglah kami!"
Teriakan-teriakan serupa telah terdengar sejak kami menuruni tangga. Tapi
sekarang kami bisa melihat orang-orang malang yang berteriak-teriak itu. Hatiku
serasa diiris-iris. Pandanganku beralih ke dermaga kedua. Aku melihat sejumlah korban diseret dari
kerangkeng dan dibawa ke dermaga, agar makhluk-makhluk Yeerk bisa masuk lagi ke
kepala induk semang masing-masing. Prosesnya sederhana sekali. Para induk semang
- baik manusia maupun Hork-Bajir - ditarik ke dermaga, kemudian kepala mereka
dicelupkan secara paksa ke dalam kolam.
Ada orang yang melawan sambil menjerit-jerit, ada juga yang cuma menangis,
seakan-akan telah pasrah menerima nasibnya. Tapi semuanya tak berdaya. Ketika
kepala mereka diangkat kembali, kami melihat sosok Yeerk memasuki kepala korban
melalui telinga. Setelah beberapa menit, para korban yang semula meronta-ronta pun kembali
tenang. Sekali lagi mereka menjadi budak kaum Yeerk.
Adegan yang kami saksikan mirip proses kerja di pabrik. Para korban diperlakukan
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti benda mati, dibawa ke dermaga pertama, digiring ke kerangkeng, lalu
diseret ke dermaga kedua. Semua dikerjakan dengan cepat, tanpa membuang-buang
waktu. Tapi ternyata masih ada bagian lain, yang baru sekarang kami lihat. Sejumlah
manusia dan Hork-Bajir tampak menunggu dengan santai. Mereka duduk di kursikursi yang nyaman sambil menghirup minuman dan menonton TV. Makhluk-makhluk
Taxxon yang menyerupai belatung raksasa berkeliaran di antara mereka.
Suara TV terdengar sayup-sayup. Dan rasanya aku juga mendengar tawa manusia.
Mereka menonton TV sambil tertawa-tawa!
"Apa maksudmu?" aku bertanya sambil mengerutkan kening.
diperlakukan seperti ini. Mana ada yang mau jadi budak?"
"Ada saja," sahut Marco. "Cukup banyak orang yang tidak lebih dari sampah."
dibuat percaya bahwa semua masalah mereka akan hilang kalau mereka berubah
menjadi sesuatu yang lain.>
"Berubah menjadi elang, misalnya," Marco menimpali.
Tobias tidak bisa bilang apa-apa. Ia langsung terbang menjauh.
"Tobias, tunggu!" aku memanggilnya.
"Kita harus jalan lagi," ujar Rachel. "Kita sudah terlalu lama berhenti di sini
sambil melihat-lihat." Ia menatap Marco. "Jangan ganggu Tobias, oke" Kita butuh
dia." Tobias kembali terbang ke arah kami.
aku melihat baju seragam si polisi serta sosok kecil di sampingnya.
"Kau melihat Tom?" aku bertanya pada Tobias.
Ia langsung mengepakkan sayapnya yang kuat dan kembali terbang tinggi. Aku
melihatnya jauh di atas kolam. Kemudian ia menukik lagi.
Aku terdiam sejenak. Hatiku berdebar-debar. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan,
tapi aku tidak yakin apakah aku siap menerima jawabannya. "Apakah dia di dalam
kerangkeng" Atau dia... sukarela?"
ia pasti dipaksa.
Waktunya telah tiba. Kami sudah sampai di kaki tangga.
Kami bersembunyi di balik semacam gudang penyimpanan.
Marco mengintip dengan hati-hati, lalu menarikku mendekat agar aku bisa
mendengar bisikannya. "Begini, Jake, sebelum kita mulai, aku minta kau berjanji
padaku." Aku sudah bisa menduga apa yang hendak dikatakannya.
"Kalau aku memang harus mati, apa boleh buat. Tapi aku tidak sudi dijadikan
budak. Jangan biarkan mereka masuk ke dalam kepalaku."
"Tenang saja..."
"Hei!" sebuah suara berseru. Suara manusia. "Kalian berdua. Siapa kalian?"
Aku membalik dan melihat seorang laki-laki. Hanya satu orang. Tapi di sebelah
kirinya berdiri Hork-Bajir yang menatap kami dengan curiga. Dan di sebelah
kanannya ada makhluk Taxxon.
Rupanya orang itu tidak melihat Rachel, yang tetap bersembunyi di balik gudang.
Ia hanya melihat Marco dan aku. Dan ia curiga.
"Kami?" tanya Marco. "Kami siapa" Hei, kalian siapa?"
"Tangkap mereka," perintah laki-laki itu.
Si Hork-Bajir langsung bergerak. Si makhluk Taxxon merangkak maju dengan lusinan
kakinya yang kurus. Mata agar-agarnya yang merah bergoyang-goyang. Mulutnya
sudah mulai mengunyah. Aku sadar aku harus segera berubah wujud. Tapi saking takutnya, aku cuma bisa
berdiri seperti patung. Kemudian aku melihat Rachel. Ia telah menyelinap ke belakang para Pengendali
yang menghadang Marco dan aku.
Dan di depan mataku, tubuhnya mulai membengkak. Tubuhnya mulai membesar, sangat
besar. Chapter 24 PERUBAHAN pada Rachel berlangsung cepat sekali. Telinga besar menyembul dari
kedua sisi kepalanya. Hidungnya memanjang, lebih panjang dari tubuhnya yang
asli. Lengan dan kakinya tumbuh sebesar batang pohon. Dan dari mulutnya muncul
sepasang gigi besar melengkung.
Tinggi sepupuku Rachel kini hampir empat meter, sedangkan beratnya lebih dari
enam ribu kilogram. Anehnya, aku malah gembira.
Si Hork-Bajir dan si Taxxon tetap maju.
Rachel mulai mengibas-ngibaskan ekornya yang mirip tambang. Kaki depannya
mengorek-ngorek tanah di dasar gua. Ia menengadahkan kepalanya yang besar dan
menyorongkan gadingnya yang panjang.
Si Taxxon yang pertama menyadari kehadiran Rachel. Tapi tampaknya ia tidak tahu
harus berbuat apa. Sekonyong-konyong Rachel melesat maju. Serta-merta ia menerjang kedua makhluk di
hadapannya bagaikan truk kontainer lepas kendali.
Si Hork-Bajir masih sempat bereaksi. Ia berbalik dan menyambar belalai Rachel
dengan tanduk di sikunya. Tapi sia-sia.
Kalau sudah menyerang, gajah takkan berhenti karena luka kecil yang tak berarti.
Si Hork-Bajir langsung ambruk. Tubuhnya hancur lebur di bawah kaki Rachel. Ia
meraung-raung, tapi suara Rachel jauh lebih nyaring.
Si Taxxon berusaha lari. Ternyata makhluk Taxxon cukup gesit dalam keadaan
terdesak. Tapi rupanya gajah pun lebih lincah daripada yang kita sangka.
Gajah bisa berlari sangat cepat. Bagian belakang tubuh si Taxxon remuk terinjak
kaki. Rachel. Kakinya yang kurus kering menekuk, berderak-derak bagaikan ranting patah. Lendir
kuning mengalir dari tubuh belatung raksasa itu.
Rachel tidak memberi ampun pada si Taxxon. Ia maju terus, sampai akhirnya
tinggal genangan lendir menjijikkan yang tersisa dari makhluk tersebut. Bau
busuk yang menyebar dari genangan itu hampir membuatku jatuh pingsan.
Laki-laki tadi tercengang. Ia belum beranjak sedikit pun.
"Gajah?" ia bertanya, seakan-akan tidak percaya pada matanya sendiri.
Rachel melilit tubuh orang itu dengan belalainya.
pikirannya.
Laki-laki itu menjerit. Akhirnya ia sadar ia tidak salah lihat. Kibasan belalai
Rachel membuatnya terlempar ke udara. Ia melayang tinggi, dan aku tidak tahu di
mana ia terempas. "Cepat!" aku berseru pada Marco. "Waktunya berubah!"
"Bagus, Rachel," ujar Marco. "Mulai sekarang aku tak mau lagi mencari gara-gara
denganmu." Aku memusatkan pikiran pada si harimau. Aku tahu pola DNA-nya sudah ada dalam
diriku. Aku membayangkan bagaimana ia berbaring di dalam kandang di The Gardens.
Aku membayangkan betapa ia ingin berada di rimba dan berburu mangsa. Ia tentu
tidak keberatan aku meminjam DNA-nya. Gua ini memang bukan hutan, tapi perburuan
yang akan kulakukan pasti tidak kalah seru.
Ia langsung bersiap-siap menyambut mereka dengan gadingnya.
Aku mulai merasakan perubahan dalam diriku. Wajahku mulai dipenuhi bulu. Di
bagian belakangku tumbuh ekor. Otot-otot lenganku menggembung dan mengencang.
Bajuku sampai koyak. Aku jatuh ke depan dan bertumpu pada tanganku, yang kini
telah menjadi kaki depan.
Ya ampun, tenaganya luar biasa!
Aku seperti disengat listrik. Di dalam tubuhku seakan-akan terjadi ledakan. Aku
merasakan tenaga si harimau mengalir deras dalam diriku.
Dengan mata terbelalak aku menyaksikan cakar harimau tumbuh di ujung-ujung
jariku - cakar-cakar yang panjang, melengkung, tajam, dan runcing.
Mataku bertambah tajam. Suasana yang remang-remang terasa terang bagaikan siang
hari. Tapi yang paling hebat adalah luapan tenaga yang kurasakan.
Aku tidak takut menghadapi APA PUN!
Serombongan Hork-Bajir bergegas maju ke arahku sambil mengayun-ayunkan tangan.
Aku membuka mulut dan mengaum keras-keras. Para Hork-Bajir langsung berhenti.
Bersiaplah, aku berkata dalam hati. Sekarang kalian akan berkenalan dengan sang
harimau. Otot-otot di kedua kaki belakangku mengencang. Aku memperlihatkan gigi dan
kembali mengaum. Dasar gua sampai bergetar saking kerasnya.
Dan aku pun melompat dengan cakar siap menyambar.
Chapter 25 AKU melesat di udara dan menerjang Hork-Bajir yang paling dekat denganku.
Makhluk itu terempas ke dasar gua, sementara aku menindih tubuhnya. Ia berguling
ke samping dan berusaha bangkit. Gerakannya tangkas sekali. Tapi aku lebih gesit
lagi. Ia melayangkan pukulan dengan tangannya yang bertanduk.
Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Cakar kiriku menyambar. Begitu cepat, aku
sendiri tak sempat melihat gerakan itu. Yang kulihat cuma empat goresan berdarah
yang tertoreh di pundak si Hork-Bajir.
Hork-Bajir lain menyerangku dari belakang. Tanduk-tanduk di lengan mereka
berdesing-desing ketika diayunkan.
Tapi aku tetap lebih cepat. Aku bahkan tidak ingat bagaimana kejadian
selanjutnya. Yang terekam dalam benakku hanyalah bayangan seekor harimau yang
menerjang dengan cakar siap menyambar dan taring siap mengoyak-ngoyak lawan. Aku
bergerak bagaikan angin puyuh.
Si Hork-Bajir tumbang. Aku mengaum. Musuh-musuhku yang lain langsung berbalik
dan kabur tunggang-langgang.
Aku melihat Rachel. Ia sedang mengangkat salah satu Hork-Bajir dengan gadingnya.
Makhluk besar itu dilemparnya ke belakang bagaikan boneka.
Dan kemudian aku melihat Marco. Tubuhnya yang kerempeng tengah berubah menjadi
sosok Big Jim yang kekar.
Cassie sempat bercerita bahwa pembawaan gorila pada dasarnya lemah lembut. Itu
memang benar. Tapi di samping itu, gorila juga kuat. Amat sangat kuat.
Dibandingkan gorila, manusia tak lebih dari sekumpulan tusuk gigi.
Nah, Hork-Bajir termasuk makhluk yang cukup besar. Tinggi mereka hampir dua
setengah meter, dan tubuh mereka pun cocok sekali untuk membuat onar. Tapi Marco
melayangkan kepalan tangan gorilanya dan menghantam perut Hork-Bajir terdekat.
Hork-Bajir itu langsung roboh.
Aku mengaum keras-keras. Belalai Rachel mengeluarkan suara yang menggetarkan
gendang telinga. Marco mengangkat si Hork-Bajir dan mencampakkannya bagaikan
boneka. Semua Hork-Bajir lain langsung berbalik dan lari.
Kami menyerang, Rachel menerjang semua benda yang menghalanginya. Ia merobohkan
sejumlah gudang dan bangunan kecil.
Marco maju sambil mengayun-ayunkan lengannya yang kekar.
Ia menonjok segala sesuatu yang dilewatinya. Dan apa pun yang terkena pukulan
Marco pasti tidak bangun lagi.
Aku berlari di tengah-tengah, mencari-cari Pengendali yang nekat menghalangiku.
Kami sampai di deretan kerangkeng. Para tawanan manusia dan Hork-Bajir langsung
mundur. Mereka sama takutnya pada kami, seperti pada para Pengendali. Aku tidak
heran - takkan ada yang menyangka ia bakal diselamatkan seekor gajah, seekor
gorila, dan seekor harimau.
Marco mulai menarik-narik gembok salah satu kerangkeng. Dalam sekejap gembok itu
telah berhasil dicopotnya. Pintu kerangkeng membuka. Marco lalu memberi isyarat
untuk menenangkan para tawanan. Ia membungkuk sedikit, kemudian menekuk-nekuk
jari telunjuk, seolah berkata silakan keluar.
Tom yang pertama bergerak. Ia tampak ketakutan, namun sorot matanya menunjukkan
kemarahan yang membara dalam dirinya.
Semula aku ingin mengirim pesan melalui pikiran agar ia tahu siapa aku, tapi
tiba-tiba aku mendengar teriakan Rachel dalam kepalaku.
Cassie sudah hampir sampai di ujung dermaga. Para penjaga Hork-Bajir dan Taxxon
tetap melaksanakan tugas mereka. Aku melihat kepala seseorang dicelupkan dengan
paksa ke dalam kolam Yeerk.
Sejenak aku bimbang. Seribu satu pikiran berkecamuk dalam benakku. Akhir-akhir
ini aku sering memikirkan saat itu. Mungkin... mungkin... kalau saja.... Aku
mulai berlari. Aku harus menyelamatkan Cassie! Dua Hork-Bajir di dermaga menarik
tangan Cassie dengan kasar.
"Jangaaan!" ia menjerit.
Aku berlari sekencang mungkin. Aku seakan-akan terbang. Tapi cuma seakan-akan.
Yang benar-benar bisa terbang hanya Tobias.
Aku melihatnya melayang-layang di puncak kubah. Tiba-tiba ia menukik. Ia melesat
bagaikan peluru. Tobias menjulurkan cakarnya. Hork-Bajir pertama ditabraknya dengan kecepatan
sekitar delapan puluh kilometer per jam. Lalu ia mengepakkan sayap dan
meninggalkan Hork-Bajir yang meraung-raung kesakitan. Kedua mata makhluk angkasa
luar itu berdarah. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Cassie. Serta-merta ia melepaskan diri
dan berlari menyusuri dermaga ke tepi kolam.
Aku tiba di dermaga dan menerjang Pengendali Hork-Bajir yang satu lagi.
Ia menatap barisan manusia dan Hork-Bajir di dermaga. "Lari! Semuanya lari!"
Mereka langsung kabur. Cassie menyelinap ke tengah kerumunan. Sesaat kemudian
aku melihat kepala serta leher langsing berbulu hitam menyembul di antara para
tawanan yang tengah berjuang menyelamatkan diri. Cassie telah berubah menjadi
kuda dan berlari ke arah tangga.
Para Pengendali mulai menyusun barisan. Sekelompok makhluk Taxxon merangkak maju
untuk mencegat Cassie dan aku. Semua Hork-Bajir dan Taxxon kini telah
bersenjata.
Aku meloncat. Cassie melompat. Berdampingan kami terbang melewati para Taxxon
yang tampak kaget. Mereka sempat menembakkan sinar Dracon, tapi terlambat. Sinar
itu mendesis-desis di belakang kami.
Aku melihat Rachel di depan kami. Tangga sudah dekat. Aku melihat Marco bersama
Tom. Sedikit lagi kami akan selamat!
Tapi kemudian ia muncul dari tengah gerombolan Hork-Bajir.
Ia tampak tidak berbahaya dalam wujud Andalite. Makhluk setengah rusa setengah
manusia dengan bulu kebiruan dan sepasang mata tambahan.
Visser Three sama sekali tidak berkesan menakutkan. Apalagi dibandingkan para
Hork-Bajir dan makhluk-makhluk Taxxon.
Tapi Visser Three satu-satunya Yeerk yang berhasil menguasai tubuh Andalite. Ia
satu-satunya Yeerk yang memiliki kemampuan berubah wujud. Dan ia telah
berkeliling jagat raya untuk mengumpulkan pola DNA dari monster-monster yang tak
terbayangkan buasnya. Salah satu Taxxon merayap ke samping Visser Three dan
mengatakan sesuatu. Suaranya aneh, mendesis-desis.
"Sssswer trrreeesswew eeeesstrew."
Visser Three tidak menyahut. Ia hanya menatapku dengan matanya yang berbentuk
tiga celah vertikal.
suara.
kalian.>
Animorphs - 1 Serbuan Makhluk Asing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku butuh waktu beberapa detik untuk memahami maksudnya. Tapi kemudian aku
mengerti. Oh! Ia menyangka kami Andalite. Ia pikir kami bukan binatang
sungguhan. Ia menyangka kami sedang berubah wujud. Dan ia tahu hanya kaum
Andalite yang punya kemampuan tersebut.
Ia mulai berubah wujud.
Aku menyadari kami telah berharap terlalu banyak. Kami takkan selamat.
Chapter 26 BERANGSUR-ANGSUR Visser Three berubah menjadi makhluk raksasa setinggi pohon.
Dibandingkan monster itu, Rachel pun tampak kecil. Ia punya delapan kaki kokoh.
Delapan lengan panjang kurus kering, masing-masing dengan tangan bercakar tiga.
Kemudian kepalanya bermunculan.
Bukan satu. Bukan dua. Tapi delapan. Rupanya makhluk itu penggemar angka
delapan. Para Pengendali Hork-Bajir mundur teratur. Mereka pun tidak berani dekat-dekat
dengan bentuk baru Visser Three ini.
Tapi gerombolan Taxxon malah mendekat. Makhluk-makhluk menjijikkan itu
berkerumun di sekeliling pemimpin mereka bagaikan sekawanan anjing lapar yang
mengharapkan sisa-sisa makanan.
Aku diam seperti patung. Aku tidak bisa bergerak. Harimau dalam diriku ikut
bingung dan waswas. Tadinya kukira dalam wujud binatang kami sanggup menghadapi apa pun. Tapi kami
tidak mungkin melawan Visser Three. Melawan monster ini sama saja dengan bunuh
diri.
Cassie mendorong dua orang dari kerangkeng dan menoleh ke belakang. Keduanya
memahami maksud Cassie, dan langsung naik ke punggungnya. Lalu ia berderap ke
arah tangga.
Visser Three mulai beraksi.
Sebuah bola api terlontar dari salah satu kepalanya, melesat bagaikan roket.
Bola api itu mendesis-desis dan menghantam punggung wanita yang menunggangi
Cassie. "Ahhh!" wanita itu jatuh sambil memekik, lalu berguling-guling untuk memadamkan
api yang membakar bajunya. Cassie terus lari. Ia dan penunggang yang satu lagi
berhasil tiba di kaki tangga.
bola, bergiliran dari kedelapan kepalanya.
Salah satunya menyerempet pundakku. Satu lagi membentur telinga Rachel, sehingga
ia memekik kesakitan. Kami terperangkap di tengah badai api.
Kami berusaha mencapai tangga, tapi para Taxxon telah mengepung kami. Siapa pun
yang berhasil menjauhi Visser Three langsung dikeroyok makhluk-makhluk busuk
itu. Dari sudut mata aku melihat Tom. Ia sedang melayangkan pukulan ke arah sepasang
Taxxon yang mengelilinginya. Ia tak berdaya menghadapi mereka, namun ia tidak
sudi menyerah begitu saja.
Rachel bergegas menghampiri Tom. Tanpa mengurangi kecepatan ia menerjang salah
satu Taxxon dan menginjak-injaknya sampai remuk. Taxxon yang satu lagi dikepit
Marco, lalu dipuntir sampai tubuhnya pecah. Isi perutnya yang berbau menyengat
berhamburan di lantai. Rachel berhenti ketika sampai di kaki tangga. Gajah bisa melakukan banyak hal.
Tapi menaiki tangga... nanti dulu.
Hampir seketika tubuhnya mengecil, namun tak ada waktu untuk menunggu sampai
prosesnya selesai. Rachel masih berbentuk setengah gajah setengah manusia ketika
ia menaiki tangga. Ia berjalan dengan langkah gontai sambil menyeret sisa
belalai yang membuat tampangnya jadi mengerikan.
Kami berlari tunggang-langgang. Namun tak ada harapan. Di antara sekian banyak
tawanan yang sempat kami bebaskan, hanya beberapa orang serta dua Hork-Bajir
yang berhasil selamat sampai di tangga. Yang lain tertangkap lagi atau terbakar.
Sebuah bola api meledak di samping kakiku dan aku meraung-raung. Tapi kami terus
lari menaiki tangga. Kami sudah naik sekitar tiga puluh meter ketika kedua Hork-Bajir terkena bola
api yang dilontarkan Visser Three. Keduanya jatuh terbakar.
Visser Three mulai menaiki tangga. Sendirian. Tangga itu terasa sempit untuk
tubuhnya yang berukuran raksasa. Aku tahu Visser Three takkan bisa mengejar
kami, kalau kami sanggup mencapai tangga yang diapit dinding batu. Aku memandang
ke atas, dan melihat Cassie beserta penunggangnya sudah hampir sampai di sana.
Para anggota Animorphs yang lain, bersama Tom dan segelintir orang yang berhasil
dibebaskan, berlari menggerombol.
Visser Three mulai menghujani tangga di atas kami dengan bola api. Kami
terperangkap. Di depan, api berkobar-kobar. Di belakang, Visser Three semakin
dekat. "Tidak," aku mendengar suara yang sangat kukenal. "Tidak bisa. Kali ini kau
takkan menang." Itu suara Tom. Seorang diri, hanya berbekal kepalan tinju, ia menyerang Visser Three.
Visser Three mengayunkan salah satu lengannya.
Tapi auman itu tenggelam dalam isak tangis manusia serta desis makhluk-makhluk
Taxxon. Aku melihat Tom terhuyung-huyung akibat pukulan Visser.
Aku melihatnya jatuh dari tepi tangga.
Dan aku langsung kalap. Sebelum sadar apa yang kulakukan, aku sudah menerkam Visser Three. Aku mencakarcakar tubuhnya, lalu memanjat ke belakang salah satu kepalanya. Harimau dalam
diriku tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa pikir panjang aku membenamkan
taringku yang panjang ke tengkuk Visser.
Kepala yang lain menoleh dan melontarkan bola api ke arahku.
Bola api pertama berhasil kuelakkan. Tapi bola api kedua membakar pahaku. Aku
segera melompat turun. Visser Three melolong kesakitan. Aku mengaum penuh kebencian.
Kami semua lari menaiki tangga, tergopoh-gopoh, seakan-akan dikejar seratus
mimpi buruk. Chapter 27 KAMI terus lari. Walaupun letih, ketakutan, dan terbakar di sana-sini, kami
berlari tanpa henti. Visser Three telah membuat satu kesalahan. Ia memilih wujud yang terlalu besar,
sehingga tak dapat mengejar kami sampai ke puncak tangga.
Aku mendengar seruan Visser Three ketika kami akhirnya berhasil lolos. Ia
berkata,
Terus terang, bagiku pengaruhnya besar sekali. Kami, para anggota Animorphs,
memang gagal menghancurkan Visser Three, tapi yang penting kami masih hidup.
Sayangnya, hanya satu tawa nan yang berhasil kami bebaskan - yaitu wanita yang
menunggangi Cassie. Dan Cassie pun selamat. Yang menangkapnya adalah petugas
polisi yang kami curigai sebagai Pengendali. Polisi itu satu-satunya Pengendali
yang mengetahui nama dan alamat Cassie. Ia juga sempat memergoki Cassie pada
pertemuan The Sharing. Cassie bilang kami tidak perlu kuatir terhadap polisi
itu. Tapi ia enggan menceritakan apa yang terjadi padanya. Dan Tom... kakakku.
Tom gagal meloloskan diri. Aku sedang berbaring di tempat tidur dengan tubuh
gemetar sambil menggigil dan menangis akibat teror yang kualami, ketika aku
mendengarnya pulang malam itu. Ia tidak tahu bahwa akulah sang harimau. Ia tidak
tahu aku hampir berhasil menyelamatkannya. Kini ia kembali menjadi Pengendali.
Kini ia kembali dikuasai Yeerk yang bercokol di dalam kepalanya.
Cassie, Marco, Rachel, dan aku berhasil naik sampai ke puncak tangga. Kami
keluar menuju koridor sekolah. Bagi kami, sekolah itu takkan pernah sama lagi
seperti dulu. Dan Tobias" Ia juga selamat.
Menjelang subuh aku terbangun karena mendengar kepak sayap di jendela.
Aku membuka jendela dan Tobias terbang masuk.
"Untung kau selamat," ujarku. "Wah, aku sempat kuatir setengah mati. Kupikir kau
masih terperangkap di bawah sana. Aku yakin kau bisa menemukan tempat untuk
bersembunyi, tapi kau kan sudah lama jadi elang. Aku kuatir kau tertangkap
karena terpaksa berubah jadi manusia lagi. Syukurlah kau berhasil lolos."
"Masih hidup," jawabku. "Semuanya masih hidup. Kurasa itulah yang paling
penting."
"Ayo, Tobias," ujarku. "Berubahlah. Kau bisa tinggal di sini. Kau boleh pakai
tempat tidurku. Aku terlalu capek. Tidur di atas paku pun aku tak peduli."
Ia diam saja. Dan dalam hatiku aku tahu sebabnya. Hanya saja aku enggan
mengakuinya. "Ayo, Tobias," aku mendesak. "Berubahlah."
malam ini."
menunggu terlalu lama. Terlalu lama. Lebih dari dua jam.>
Aku menatapnya tanpa berkata apa-apa. Aku mengamati matanya yang menyorot
bagaikan sinar laser, paruhnya yang melengkung, cakarnya yang tajam. Dan
sayapnya yang lebar, yang membuatnya bisa terbang.
Aku tahu air mataku bergulir di pipi, tapi aku tidak peduli.
Aku menghampiri jendela dan memandang bintang-bintang. Jauh di atas sana, di
antara bintang-bintang yang berkerlap-kerlip, terletak planet asal si Andalite.
Jauh di atas sana ada... harapan.
Aku mengangguk dan menghapus air mataku. "Yeah," aku berkata. "Sampai saat itu
kita akan bertempur."
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pedang Kiri 15 Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 8