K.A. Applegate Konspirasi (Animorphs # 31) Judul Asli The Conspiracy Terbit Juli 1999, ghostwriter Laura Battyanyi-Wies
Quote sampul depan: "Kalau mereka selalu bilang 'semuanya cuma di kepalamu,'
percayailah..." Translated by Nat 2010 ginger_shive@yahoo.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 Namaku Jake. Jake saja. Nama belakangku tidak penting.
Dimana aku tinggal dan dimana sekolahku juga tidak penting.
Yang penting adalah kita sedang perang, bertarung bagi keselamatan umat manusia.
Mungkin kamu berpikir 'Yeah, benar.'
Tidak apa-apa. Aku tahu - aku mungkin akan mengatakan hal yang sama dulu.
Nggak mungkin. Mustahil. Kalau iya, lalu dimana para tentara yang berbaris di
pantai" Dimana bom-bomnya" Dimana medan pertempurannya" Semua RPV dan misil antar-benua"
(RPV = Remotely Piloted Vehicle - Kendaraan yang Dikendalikan dengan Remote)
Well, bukan perang yang seperti itu.
Medan pertempurannya adalah dimanapun kami, yang berarti aku dan teman-temanku,
berada. Kami adalah animal-morpher, diberikan kemampuan untuk menyerap pola DNA
hanya dengan menyentuh, lalu berubah menjadi binatang tersebut. Senjata yang
luar biasa, jenis yang terbuat dari impian dan mimpi buruk sekaligus.
Tanya Tobias, yang tinggal dalam tubuh elang ekor-merahnya lebih lama dari dua
jam dan sekarang menghabiskan hari-harinya menangkap serta memakan mamalia
kecil. Atau datangi salah satu dari kami di jam-jam antara malam dan pagi, ketika
mimpi-mimpi buruk itu berdatangan - mimpi tentang tubuh-tubuh yang terpuntir dan
pikiran-pikiran yang bermutasi.
Seperti yang telah kubilang, ini bukan perang biasa.
Kamilah tentaranya, enam anggota kami. Kami sedikit ditolong oleh para Chee,
tapi mereka tidak melakukan kekerasan, jadi ketika tiba waktunya melakukan
pekerjaan rendah dan kotor, kamilah orangnya. Kami, sendirian, melawan
kekaisaran alien yang sudah lebih dulu meneror galaksi.
Yeah, aku tahu. Kesempatan bagus.
Hampir semua anggota kami belajar bertarung dengan tipe-latihan-sambil-jalankanmisi yang mematikan. Tapi beberapa dari kami punya sedikit dasar, seperti sepupuku Rachel, yang
menyukai semua ini. Dan Ax, yang nama lengkapnya Aximili-Esgarrouth-Isthill,
kadet-prajurit sekaligus adik Elfangor, sang Andalite yang memberikan kemampuan
morf pada kami sebelum dia terbunuh oleh Visser Three.
Aku tahu, kedengaran seperti omong kosong, kan" Terdengar seperti mungkin aku
harus menghabiskan beberapa malam di RSJ.
Tapi itu benar. Ini hal gila yang menjelma menjadi kenyataan.
Dan perang ini tidak bersih, kalau memang ada perang yang bersih. Maksudku
perang seperti Perang Dunia II, dimana ada ribuan orang menjadi saksi akan
ketidakadilan dan angkat suara untuk memperbaiki hal tersebut. Dimana ketika kau
menyerang seorang musuh kau bisa melihat, seorang musuh yang mengenakan sebuah
seragam dan berlari menerjangmu, senapannya menderu.
Perang ini benar-benar tidak seperti itu.
Metode para Yeerk lebih halus daripada itu. Mereka bukan predator, mereka
parasit. Mereka tidak ingin menghancurkan umat manusia, mereka tidak ingin membuat
tumpukan mayat, mereka butuh tubuh-tubuh kita untuk melanjutkan invasi mereka.
Mereka seperti siput. Parasit. Tanpa tangan, kaki dan muka. Buta.
Maka itu mereka membutuhkan induk semang.
Mereka menyelinap ke dalam telingamu, memipih di celah-celah kecil otakmu,
membuka memorimu. Dan kau masih di dalam tubuhmu selama itu terjadi, terperangkap, tak berdaya,
memohon supaya mimpi buruk itu berhenti.
Hanya saja, itu nyata. Dan tidak berhenti.
Kau ingin memeringatkan orang-orang dan kau tidak bisa membuat kata-katamu
keluar. Tapi si Yeerk di kepalamu bisa mendengarnya. Dia bisa mendengar tangisan
menyedihkanmu, ancaman-ancaman kosongmu. Dia bisa mendengarmu memelas, 'Kumohon,
kumohon tinggalkan aku, keluar dari kepalaku, kumohon...' Dan dia bisa merasakanmu
perlahan menyerah, bahkan untuk berpura-pura bertahan.
Para Yeerk ada dimana-mana, menggunakan induk semang bukan-sukarela mereka untuk
bergerak bebas, untuk merekrut anggota baru ke dalam organisasi yang mereka
sebut The Sharing dimana janji kesenangan keluarga yang baik dan bersih ditebar.
Merekalah musuh terbesar kami.
Kami sudah mengenali beberapa dari mereka.
Wakil kepala sekolah kami, Mr. Chapman.
Ibu dari teman terbaikku, Marco.
Kakakku, Tom. Aku tahu bagaimana rasanya bagi para prajurit di Perang Sipil itu, Utara melawan
Selatan, saudara melawan saudara.
Hidup dengan fakta gelap dan mengerikan bahwa jika kau menemui kakakmu di medan
perang, dia akan membunuhmu.
Kecuali kau membunuhnya duluan.
Aku tahu Tom yang asli sedang berada di dalam sana, entah dimana, murka dengan
Yeerk yang menyanderanya, memohon pada siapapun untuk menyelamatkannya.
Aku tahu karena aku pernah disusupi Yeerk yang sama dengan yang dulu mendiami
tubuh Tom sebelum dia diserahkan pada Yeerk lain. Aku mendapatkan akses ke
segala ingatannya, jadi aku bisa melihat bagaimana Tom diseret, menjerit-jerit,
memberontak, sebelum akhirnya memohon pada kolam Yeerk untuk menerima siputnya.
Aku diselamatkan. Tom tidak.
Tapi memori itu tinggal bersamaku. Akan terus tinggal.
Dan juga semua pertarungan itu. Menang, kalah, ataupun seri, mereka hanyalah
kumpulan kekerasan carut-marut penuh dengan amarah serta rasa sakit. Dan ketika
pertarungan itu usai dan adrenalin merayap pergi, kau ditinggal kelelahan dan
mual, dibebani terlalu banyak memori.
Kakek 'G'ku - 'G' untuk great-grandpa (kakek buyut-Nat) - pernah memberitahuku
sesuatu, jauh sebelum aku bisa mengerti apa maksud perkataannya itu.
Keluargaku sudah mengendarai mobil delapan jam untuk mengunjungi kabinnya di
tengah hutan. Dia dan aku duduk di dermaga pinggir danau, menonton ikan-ikan
menyambar nyamuk dari permukaan air yang bening dan jernih.
Dan waktu itu sunyi sekali.
Cukup sunyi untuk membuatku berharap aku masih di rumah dengan TV menyala
membahana, anjingku Homer menggerogoti mainan daging mentah.
Aku baru saja hendak pergi ketika Kakek G berkata, "Kamu tahu, aku bisa melihat
diriku dalam dirimu, Jake. Kamu punya jiwa yang tua."
Jiwa yang tua" Hal itu baik atau buruk"
Dia tidak pernah menjawabnya. Hanya melemparkan semacam senyuman kecil yang
kelihatan agak sedih, dan mengembalikan pandangannya ke danau.
Aku tidak tahu apa yang dia maksudkan waktu itu, atau mengapa dia mengatakannya.
Aku tidak tahu, mungkin dia sudah melihat masa depanku, entah bagaimana caranya.
Karena sekarang aku tua. Jika kau melihat terlalu banyak penderitaan dan
kehancuran, kau bertambah tua di dalam. Salah satu efek ciptaan perang.
Aku pemimpin tak resmi para Animorphs. Aku yang mengirim kami ke kancah
pertempuran. Ketika ada yang salah, ketika kami terluka atau harus kabur untuk
menyelamatkan nyawa kami, itu semua dibebankan padaku juga.
Aku tidak mengeluh. Harus dilakukan. Kau tahu" Harus ada yang mendapat panggilan
itu. Pemimpin yang baik harus bisa membuat keputusan yang sulit dan penuh
perhitungan. Mengenal semua kekuatan unik anggota pasukannya dan menggunakannya sesuai
kondisi. Bertarung untuk menang dengan kemungkinan dia akan mati ketika melaksanakannya.
Tapi yang paling penting, seorang pemimpin tidak akan memerintahkan sesuatu yang
tidak bisa ia lakukan sendiri.
Hal itu ikut pulang untuk menghantuiku.
Karena dalam tiga hari ke depan, kakakku Tom akan membunuh atau terbunuh.
Dan keputusannya ada di tanganku.
Chapter 2 Aku berbelok di sudut jalan setelah kembali dari sekolah dan menemukan sebuah
taksi diparkir di depan rumahku.
Ibuku berlari melintasi halaman depan, koper berpergian membentur-bentur
lututnya, dan dia terburu-buru di trotoar menuju taksi itu.
Apa yang..." Ibuku tidak pernah menggunakan taksi. Tak ada seorangpun yang menggunakan taksi
di sekitar sini. Semuanya punya mobil. "Mom!" Aku berteriak, berlari-lari kecil menghampirinya. "Apa yang terjadi?"
Karena sesuatu pasti telah terjadi.
Maksudku, aku pernah melihat ibuku menyedot ingus gara-gara iklan Save the
Children dan kartu Hallmark, tapi aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali
aku melihatnya benar-benar menangis.
Tapi dia benar-benar menangis sekarang.
Pasti ada yang sudah terjadi pada Tom.
Atau Dad. Lututku langsung lemas dan goyah.
Menggelikan, betapa hidupmu sudah berubah menjadi episode harian Twilight Zone
tetapi masih saja ada hal yang bisa membuatmu panik.
(Twilight Zone = Seri TV Amerika yang temanya tentang hal-hal aneh, filosofis,
fantasi, science-fiction, suspense, horor... Mulia pertama tahun 1959 dan
dihidupkan kembali dua kali, termasuk populer. )
"Aku meninggalkan catatan di pintu kulkas, Jake," katanya, mengangkat kopernya
ke dalam bagasi dan membantingnya tertutup. "Pesawatnya lepas landas dalam sejam
dan jalanan mungkin - "
"Mom, apa yang terjadi?" Aku menyela.
Suaraku tinggi dan bergetar, tidak persis seperti suara seorang pemimpin tak
kenal takut, seperti yang mungkin Marco akan katakan, andai saja dia berada di
sana. "Oh." Dia mengedipkan beberapa air mata pergi. "Kakek G meninggal. Penjaga
rumahnya, Mrs. Molloy, menemukan tubuhnya pagi ini. Aku mau bertemu kakeknenekmu dan kita akan pergi ke kabin Kakek G untuk persiapan pemakamannya."
"Kakek G meninggal?" Aku membeo, mencoba mengarungi pusaran emosi yang berpusing
dalam kepalaku. Kakek G. Bukan Tom. Bukan ayahku.
"Iya. Jantungnya yang lemah baru saja berhenti bekerja," ujarnya.
"Ibu mau pergi ke kabin?" tanyaku. "Bagaimana dengan kami?"
"Kalian akan menyusul setelah ayahmu membersihkan jadwal kerjanya, secepat
mungkin," katanya, menyentuh bahuku, memaksakan senyum singkat, dan menyusup ke
bangku penumpang. "Dia akan bercerita tentang ini. Segalanya akan baik-baik
saja. Jangan lupa bersihkan setelanmu. Aku akan menelepon setelah sampai di
tempat Nenek. Aku harus pergi, Sayang."
Dia menutup pintunya dan melambai.
Aku menonton sementara taksi itu menghilang di balik belokan.
Sekarang apa" Aku masuk ke dalam rumah. Mengecek catatan lecek yang ditempel di bawah magnet
kulkas berbentuk apel. Yeah. Kakek G meninggal. Menurut Mrs. Molloy, yang sudah berbicara dengan dokter, jantungnya berhenti
saat dia sedang mengoleskan selai di roti panggangnya. Dia tidak pernah mendapat
kesempatan untuk memakannya.
Aku mengigil. Aku peduli soal Kakek G dan sekarang dia sudah pergi, dan keluargaku mengecil.
Aku tidak suka itu. Pintu dapur menjeblak terbuka. Tom menghambur ke dalam ruangan.
"Dan kuberitahu, Dad, aku nggak bisa pergi!" tukasnya, melemparkan buku-bukunya
di meja dan mengerinyit padaku. "Apa lihat-lihat?"
"Kamu pulang lebih awal," kataku, terkejut.
Ayahku berjalan perlahan ke dalam, lelah, terganggu, dan menutup pintu di
belakang punggungya "Ayah juga," kataku, mengalihkan pandanganku darinya ke Tom. "Mom sudah beritahu
kalian soal Kakek G?"
"Ya," jawab ayahku. "Kupikir aku bisa sampai di rumah tepat waktu untuk
mengantarnya ke bandara tapi macetnya parah sekali. Aku melihat Tom jalan pulang
dan menjemputnya." "Kamu tahu nggak kita harus pergi ke kabin?" tuntut Tom, melotot padaku seakan
semuanya salahku, entah bagaimana.
"Uh, yeah," jawabku hati-hati, mencoba menerka apa masalahnya. "Jadi?"
"Jadi, Tom bilang padaku dia nggak mau meninggalkan teman-temannya untuk
menghadiri pemakaman kakek buyutnya," kata ayahku, menatap Tom, bukan aku.
"Walau begitu dia nggak punya pilihan. Kita pergi. Kita semua."
"Kapan?" Aku berkata, merasa seakan aku melewatkan sesuatu yang penting. Ada di
sana, hanya saja tidak kesampaian.
"Kita berangkat Sabtu pagi," jawab ayahku.
"Dad, aku nggak bisa," Tom bersikeras. "The Sharing membutuhkan tenagaku akhir
minggu ini. Aku sudah janji!"
"Well, kamu tinggal menjelaskan ada hal yang lebih penting muncul," balas
ayahku. "Kupikir The Sharing mendukung nilai-nilai kekeluargaan" Well, kita akan ziarah
ke tempat Kakek G sebagai keluarga."
"Dad, kau tidak mengerti!" ujar Tom frustasi.
Kenapa Tom begitu bersikukuh tidak mau pergi ke danau"
Oke, memang membosankan. Kabin Kakek G hanyalah satu-satunya di danau itu.
Tetangga terdekatnya adalah Mrs. Molloy dan dia tinggal tujuh mil jauhnya,
setengah jalan menuju kota.
Rumah lainnya di sekitar situ hanyalah pondok berburu tua tak berpenghuni di
seberang danau. Tak ada TV kabel. Tak ada Taco Bell. Tak ada lampu jalanan atau keramaian.
Tak ada bioskop. Tak ada mall...
Tak ada Sharing. Tak ada Yeerk...
"Uh, Dad?" Kataku. "Berapa lama kita mau menginap?"
"Tergantung pemakamannya. Aku akan menulis surat supaya kalian bisa izin sampai
Selasa depan - " "Apa?" Mata Tom membundar kaget. "Selasa" Dad, no way! Empat hari" Aku nggak
bisa pergi selama empat hari!"
"Kamu bisa, dan kamu akan," kata ayahku, kehilangan kesabarannya. "Kita pergi
sekeluarga, titik." Leher Tom menegang. Tangannya mengepal.
Dan dalam satu detik yang singkat aku punya pemikiran gila bahwa dia akan
menyerang ayahku. Dan, ya ampun, walaupun aku tidak bisa morf di depan mereka, aku bisa merasakan
deru adrenalin yang datang tepat sebelum pertarungan.
Tiga, mungkin empat hari. Waktu maksimal yang bisa ditahan seorang Yeerk tanpa
pergi ke kolam Yeerk adalah tiga hari. Empat hari tanpa sinar Kandrona dan Yeerk
di kepala Tom akan kelaparan.
Mati kelaparan, kau Yeerk, kelaparan!
"Nggak buruk-buruk amatlah, Tom," aku mendengar diriku sendiri berceletuk.
"Danaunya bagus, ingat?"
Jalan buntu terbuka. Tom menatapku. "Kamu ini idiot, tahu nggak?"
Dia sedang memainkan perannya sebagai kakak laki-laki yang angkuh. Aku memainkan
peranku juga. Mati kelaparan, Yeerk. Matilah dengan penuh penderitaan, matilah sambil
menjerit, Yeerk! "Tutup mulut," kataku. "Bukan aku yang berlagak kayak bayi besar cuma gara-gara
pergi." Aku mengatakan hal itu untuk membuatnya sebal dan untuk membawa kami ke
rutinitas yang kami ketahui, jenis adu mulut yang bisa kutangani.
Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena kebencian dalam mata Tom saat dia menatap ayahku membuatku takut.
Dan kebencian yang membara dalam diriku, kebencian terhadap Yeerk itu,
kegairahan menjijikkan dalam menunggu penderitaannya, membuatku takut juga.
"Kamu nggak punya kehidupan luar sih," Tom mencibir.
"Oh, masa, memangnya kamu punya?" Aku membalas.
"Lebih daripada yang kamu tahu," jawabnya gelap, perhatian teralih.
"Cukup," kata ayahku. "Aku mau ganti baju. Kalau aku kembali kita akan pesan
pizza.Bagaimana?" "Aku nggak lapar," gumam Tom, menatap lantai.
Aku juga, tapi ayahku memandangiku penuh harapan, jadi aku berkata, "Pizza, aku
datang." Ayahku mengangguk, puas, dan pergi.
Aku menatap kakakku dengan sedikit simpati, mencoba berdamai. "Mungkin kamu bisa
nggak ikut, entah bagaimana."
Aku harus berjuang untuk menahan cengiran muncul di wajahku. Atau mungkin,
Yeerk, topengmu mulai hancur, mungkin kau akan harus memilih antara
mempertahankan Tom atau mempertahankan hidupmu yang kotor.
"Tutup mulut," kata Tom tidak fokus. Yeerk itu tidak membutuhkanku, tidak
tertarik padaku. Aku dienyahkan. Tak ada hubungannya.
Aku berbalik dan berlari menuju halaman belakang, kepalaku berdengung dengan
segala kemungkinan. Yeerknya Tom terperangkap. Di bawah tekanan. Tergencet. Dia tidak siap pada
perubahan kejadian seperti ini. Tidak tahu caranya lolos dari situ. Tidak tahu
apa yang harus dilakukan.
Sebuah kesempatan" Mungkin. Yeah, mungkin.
Matilah kau, Yeerk! Chapter 3 Suasana makan malam buruk.
Tom mencoba segalanya untuk meloloskan diri.
Dia memohon. Memelas. Memprotes. Merengut.
Dia bahkan mencoba memberi alasan.
Ayahku tidak bergeming. Aku menyelesaikan makanku dan kabur dari situ. Aku harus berpikir tentang apa
yang akan terjadi dan aku tidak bisa melakukannya sementara Tom ada di sekitar
situ. Aku menyusuri trotoar, otomatis menuju rumah Marco, tapi aku benar-benar tidak
tahu kemana aku ingin pergi.
Aku mau bicara pada Cassie, tapi dia dan orangtuanya, keduanya dokter hewan,
sedang menghadiri semacam seminar penyelamatan hewan sampai nanti.
Sayang sekali, karena dialah orang yang benar-benar ingin kuajak bicara.
Dari semua anggota kami, Cassielah yang paling mengerti hal-hal memusingkan :
motif, emosi, benar dan salah.
Marco teman terbaikku, dan jika aku ingin berdiskusi soal rencana yang bagus,
soal bagaimana cara pergi dari poin A ke B dan melupakan akibat-akibatnya, aku
akan bicara pada Marco. Tapi Cassie melihat di balik permukaan. Aku bukan jenius, tapi aku tahu aku
berada terlalu dekat untuk memandang hal ini dengan jelas.
"Yo, Jake man! Aku baru saja mau ke rumahmu." Marco. Berlari kecil
menghampiriku. "Aku mau pinjam catatan Inggrismu."
Aku menoleh, kaget. "Oh. Uh, hai."
"Kenapa, kamu terbangun?" katanya, mengecek tubuhku.
Aku mendorongnya pergi. "Sejak kapan kamu bilang 'Yo'?"
"Tadinya aku mau bilang 'Hei, cakep,' tapi kupikir kamu lebih memilih 'Yo."
"Uh-huh." "Jadi, yo-yo, ada berita baru?"
"Aku baru saja berpikir soal sesuatu," kataku, mengangkat bahu. Lalu aku
memutuskan, ya sudahlah. Marco sudah jadi temanku sejak kami masih bermain di
kotak pasir. Ditambah lagi dia sudah kehilangan ibunya - ceritanya memusingkan jadi kupikir dia tahu bagaimana perasaanku. "Kakek G-ku meninggal tadi."
"Man. Sayang sekali," katanya, berjalan di sisiku sementara kami kembali ke
rumahku. "Tapi dia sudah tua, kan" Maksudku dia ikut Perang Dunia III."
"Perang Dunia II, Marco. Kedua."
"Nggak, duh," katanya. "Kita pernah melewatkan siang yang sangat nggak enak di
tengah Perang dunia II, coba kamu ingat. Atau seenggaknya versi Perang Dunia II
yang waktunya kacau."
Itu juga ceritanya panjang.
"Yeah, dia ikut perang. Perang yang asli," kataku sambil berbelok di sudut
menuju rumahku. "Ibuku sudah terbang ke sana untuk bantu-bantu mempersiapkan
pemakaman. Kita seharusnya - "
Mobil ayahku tidak berada di pinggir jalan.
Janggal. "Kapan pemakamannya?" Tanya Marco.
"Nggak tahu juga. Mungkin Senin," jawabku, berjalan sedikit lebih cepat. Bagian
otakku yang dalam dan gelap, bagian yang merasakan adanya bahaya, telah memompa
adrenalin ke aliran darahku.
Ada yang salah. "Kenapa?" Tanya Marco, cepat tanggap.
"Entahlah. Perasaan nggak enak."
Perasaan seperti ada hal penting yang terlupakan. Dan karena aku sudah
melupakannya... Aku mencoba mengusirnya pergi. Aku berjalan makin cepat. "Aku izin dari sekolah
mulai Senin. Mungkin Selasa," kataku tanpa konsentrasi, menyeberangi halaman
depan. "Aku, ayahku, dan Tom akan berangkat Sabtu pagi."
"Itu apa, empat hari?" Kata Marco, lalu mencengkram lenganku. "Empat hari tanpa
sinar Kandrona?" Lanjutnya dengan nada yang rendah karena tegang. "Apa Tom tahu
berapa lama kalian mau pergi"
"Yeah, dia dan ayahku bertengkar hebat gara-gara itu," jawabku, mengebaskan
tanganku. "Ayahku bilang dia harus pergi."
Lalu Tom menatap ayahku dengan pandangan penuh kebencian pekat. Bukan, bukan
Tom. Yeerk yang mendiaminya.
Mengendalikannya. Tangan Tom, terkepal. Siap untuk menerjang ayahku.
"Kamu meninggalkan mereka berdua sendirian," kata Marco. Itu bukan tuduhan.
Tidak menyalahkan. Hanya pernyataan.
Seperti yang kukatakan, Marco bisa melihat garis dari A ke B. Dia sudah melihat
dilema Tom. Dan dia sudah melihat solusi kejam yang Tom punya.
Aku mengikuti pandangan Marco yang menyipit.
Rumahku sunyi senyap. Terlalu sunyi. Aku berlari kencang, tersandung di undakan, dan membanting pintunya terbuka
hingga suaranya menggema di jalanan.
Chapter 4 Hening. Hening yang kosong, dimana kamu tahu tidak ada siapapun di sana kecuali dirimu.
"Dad?" Aku tetap memanggil, berlari menuju koridor. "Dad" Tom?" Tak ada jawaban.
Jantung berdegup kencang, aku melompati anak tangga dua-dua.
"Dad?" Aku mengecek kamar tidur orang tuaku. Kamar Tom. Kamarku.
Rapi-kecuali kamarku. Kosong melompong.
Membuatku merasa sedikit lebih baik, tapi tidak terlalu.
"Jake," kata Marco tepat di belakangku.
"Yaaahh!" Aku menjerit, terlonjak di udara.
"Sori." "Jangan lakukan itu!" Sergahku kasar, mendorongnya minggir dan menuruni tangga
menuju dapur. Aku mengecek keadaan sekitar, menggeledah dapur mencari sesuatu, apa saja yang
dapat memberitahuku kemana mereka pergi.
Lemari. Tempat cuci piring. Toples penuh kue kering dan pasta dan kopi, berjejer
di rak. Mesin pembuat kopi. Kulkas. Pemanggang roti.
Teratur. Tak ada yang terlihat tidak di tempatnya.
Emosiku meledak. Aku menghantam sisi kulkas.
BAM! Salah satu magnetnya terjatuh. Magnet apel, yang tadi ditempeli catatan ibuku
soal Kakek G. Hanya saja catatan kedua, yang tertempel di belakangnya, sudah tidak ada. Apa
seseorang mengambilnya" Kenapa, padahal di atasnya tertulis nomor penerbangan
dan detil soal apa saja yang harus kami bawa ke sana"
Tempat sampah. Dengan panik, aku menyambar tong plastik itu dan membuka tutupnya. Berlutut dan
mengintip ke dalam. Tergeletak lecek di atas kulit pisang dan ampas kopi dan kemasan yoghurt kosong
adalah gumpalan kertas pink. Teremas-remas. Aku bangkit dan meratakannya di
konter. Di bagian atasnya terdapat catatan ibuku soal informasi penerbangan. Di bagian
bawahnya ada tulisan tangan ayahku.
Jake : Aku pergi ke rapat The Sharing bersama Tom untuk menjelaskan kenapa dia
tidak bisa membantu mereka akhir minggu ini. Akan kembali secepat mungkin. Love,
Dad. "Ya, Tuhan," bisikku.
Ayahku tidak membuang catatan ini. Tom-lah yang melakukannya. Supaya tidak
diikuti. Tom sedang membawa ayahku ke The Sharing.
Tapi bukan supaya dia bisa diberi izin.
Dia mencoba mengubah ayah kami menjadi seorang Pengendali. Dia akan menonton
sementara mereka memaksanya berlutut dan mendorong kepalanya masuk ke dalam
kolam Yeerk yang kental dan berlendir. Dia akan mendengarkan permohonanpermohonannya. Mendengarkan jeritannya. Teriakan ketakutannya dan ketidakpercayaannya dan
kepanikannya. Mendengarkan, lalu tertawa.
Jangan. Aku mulai gemetaran. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tahu lebih awal. Marco sudah melihatnya,
kenapa aku tidak" "Kita harus menemukan mereka," kataku, dengan kalut menyusuri pikiranku untuk
mencari jalan. "Bagaimana?" tanya Marco. "Kita bahkan nggak tahu mereka dimana."
"Marco, ini ayahku!" teriakku, kehilangan kendali. "Aku nggak akan membiarkan
mereka mengambilnya."
"Kalaupun kita menemukannya, kamu mungkin nggak akan bisa berargumen apa-apa,"
katanya pelan. "Mungkin sudah terlambat."
Tidak, tak mungkin sudah terlambat. Tak boleh...
Tidak. Mereka takkan mendapatkan ayahku. Aku akan menghentikan mereka. Walau
artinya aku harus menghentikan kakakku sendiri.
Pokoknya, aku harus melakukannya.
Marco meremas catatan itu dan melemparkannya kembali ke tempat sampah.
Meletakkan magnet apelnya di kulkas.
Aku berdiri di sana, cemas, gemetar tidak sabaran, ingin pergi, pergi, PERGI ke
suatu tempat, kemana saja, asal pergi dan menemukan ayahku.
"Kita harus menyembunyikan jejak kita, jake," dia menjelaskan. "Kita nggak bisa
membiarkan Tom tahu kalau kita tahu."
"Ya, terserahlah," kataku, bergegas menuju pintu.
Aku tidak memberitahu Marco, tapi waktu itu aku sama sekali tidak peduli soal
menjaga rahasia kami. Aku tidak peduli soal menyelamatkan dunia. Aku sedang
menyelamatkan satu orang. Sisanya bisa menyelamatkan diri sendiri.
Ada beberapa kehilangan yang tidak akan mau kualami, tak peduli apa syaratnya.
Aku sudah kehilangan kakakku. Sudah cukup. Aku tidak mau kehilangan siapapun
lagi. "Para Chee," ujarku tiba-tiba.
Aku menghampiri telepon. Marco menekan tombol penerimanya. "Jangan dari rumahmu,
man. Begini. Jake. Jake, dengarkan aku."
"Apa" APA?"
"Kamu bosnya, Jake. Kamu si pemimpin tak kenal takut. Tapi nggak sekarang, oke"
Kamu terlalu kacau gara-gara ini. Biar aku yang tangani."
Aku tahu dia benar. Aku tidak membalas. Aku membenci Marco saat itu. Membencinya
karena dia tidak akan melakukan kesalahan yang mungkin akan kubuat. Dia pasti
sudah akan memperhitungkannya...
Membencinya karena dia sudah kehilangan ibunya dan dia tahu seperti apa isi
kepalaku, karena dia tahu aku ketakutan dan hanya ingin menangis.
"Ayolah, man," kata Marco.
Kami mendatangi telepon umum untuk menelepon Erek King. Dia seorang Chee.
Chee adalah ras android. Didesain anti-kekerasan. Tapi sudah pasti anti-Yeerk.
Mata-mata sempurna. Sekutu kami. Setidaknya sejauh mesin nyaris abadi bisa
bersekutu dengan manusia yang lemah dan berumur-pendek.
Para Chee akan mengetahui setiap jadwal pertemuan The Sharing.
"Tak ada jadwal hari ini," kata suara seperti-manusia itu.
"Tapi seharusnya ada," ujarku frustasi, berjalan kesana-kemari, tertahan oleh
kabel telepon yang pendeknya menyebalkan.
"Tom sedang mengantar ayahku ke sana! Ayolah Erek, please!"
"Jake, kau tahu aku akan memberitahumu seandainya iya," jawab Erek dengan
penyesalan kalem. "Mungkin Tom meminta rapat darurat untuk menyelesaikan masalah
ini." "Lalu bagaimana kita bisa tahu dimana mereka berada?" kataku, melirik Marco
kalau-kalau dia punya saran.
Dia mengangkat bahu, terlihat nelangsa.
Aku mengalihkan pandanganku, ingin rasanya menangis.
Berjuang untuk mengendalikan diri.
Berpikir, Jake. Kalau si Chee tidak tahu dimana para Yeerk akan berkumpul, bagaimana kita bisa
tahu" "Tunggu," ceplosku. "Bodoh! Aku nggak harus menemukan para Yeerk untuk menemukan
ayahku. Aku tinggal mencari ayahku dan kita akan menemukan tempat mereka rapat.
Harusnya aku kepikiran hal itu."
"Baiklah," Erek membalas hati-hati.
"Bukan, sebenarnya mudah saja. Dia selalu membawa ponselnya. Aku tinggal
menelepon dan menanyainya - "
"Kamu nggak bisa," kata Marco dan Erek bersamaan.
"Kenapa nggak?"
"Jake, kalau kamu menelepon dan bertanya dimana ayahmu sekarang, lalu rapatnya
nggak jalan gara-gara kita, kamu pikir mereka nggak akan bisa menduga-duga?"
"Aku nggak peduli," kataku, sebelum aku bisa menghentikan diriku.
Simpati menguap dari wajah Marco. "Kamu nggak akan membiarkan aku terbunuh untuk
menyelamatkan ayahmu!" Tukasnya.
"Mungkin ada jalan lain," sela Erek. "Berikan nomor ponselnya. Tutup telepon
ini, telepon ponselnya, dan aku akan menyadap frekuensi kalian. Kau meneleponlah
tapi jangan berbicara. Jika ayahmu mengangkatnya, aku akan menganalisa data dari
bunyi-bunyian sekitar dan mungkin kita bisa menentukan dimana lokasinya."
Aku tidak memandang Marco. Tidak bisa. "Bagus. Hebat." Aku memberitahukan
nomornya pada Erek, memutuskan teleponnya, dan mulai memanggil ponsel ayahku.
Berdering sekali. Dua kali. Tanganku bergetar. Marco memandangiku, matanya menyipit. Tubuhnya tegang, siap menyambar gagang
telepon kalau aku sampai membuka mulut.
Aku menutup mataku, betapa ingin ayahku yang mengangkat.
Berdoa semoga tidak terlalu terlambat.
Chapter 5 "Halo?" Tom. Tom yang menjawab ponsel ayahku.
Mulutku otomatis terbuka untuk menjawab.
Marco menerjang, mencungkil gagang telepon dari tanganku.
Meletakkannya di telinganya.
Menatapku dengan pandangan yang suram dan tak terbaca.
Aku tidak bergerak. Tidak bisa.
Karena aku tidak bisa mempercayai apa yang hampir saja kulakukan.
Jika aku sempat mengatakan satu kata, satu saja, aku akan menjatuhkan ayahku ke
Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kolam Yeerk, kalau bukan teman-temanku terlebih dahulu.
Aku tidak bisa berhenti gemetar.
Tidak bisa mengendalikan diri.
Marco mendengarkan, lalu menutup gagangnya.
"Sebaiknya kamu menelepon Erek balik," katanya tenang, melangkah pergi dari
telepon. Aku mengangguk, terlalu malu bahkan untuk memandangnya, terlalu khawatir soal
ayahku bahkan untuk memikirkan kata-kata untuk menghilangkan jarak di antara
kami berdua. "Aku sudah menganalisa data dari panggilan tersebut dan telah menyempitkan
kemungkinannya menjadi empat lokasi," kata Erek saat aku menghubunginya.
"Empat!" sergahku. Kami tidak punya waktu untuk mencari di empat lokasi berbeda!
"Dimana mereka?"
"Well, dari faktor kekuatan frekuensinya, menara sinyal ponsel yang sedang
hidup, dan bunyi di latar belakang seperti suara pesawat jet di udara, mesin
mobil yang berjalan perlahan, langkah kaki manusia, serta berbagai bunyi
lainnya, analisa kami merujuk pada bagian utara kota, sekitar antara blok
delapan ribu dan empat belas ribu utara-ke-selatan, lalu blok enam ratus dan
seribu dua ratus timur-ke-barat. Sebuah area selebar enam kali enam blok.
"Tempat apa di area itu yang bisa jadi lokasi rapat, bahkan rapat kecil?" aku
merasa bersyukur. Aku juga tidak sabaran. Panik.
"Pusat Warga Negara Senior, pusat perbelanjaan dengan empat toko, satu toko
peralatan kecil dan satu toko auto-body. Ditambah, sekitar tujuh puluh lima
rumah pribadi." (Auto-body = Tempat reparasi dan aksesoris mobil)
Aku menyumpah. "Perumahan! Kita nggak bisa menggeledah tujuh puluh lima rumah!
Erek, aku butuh info lagi."
"Ada potongan percakapan. Hanya dua kata."
"Kata apa?" "'Waktu biasanya.'"
"Apa?" "'Waktu biasanya.' Seperti dua kata terakhir sebuah kalimat. Blah, blah, blah,
'waktu biasanya,'" kata Erek.
Tiba-tiba di pikiranku muncul kelebatan bayangan sosoknya di ujung sana. Apa dia
sedang menggunakan wujud androidnya yang asli, atau terselubungi oleh hologram
sempurna yang menyamarkannya sebagai anak manusia biasa"
"Jangan perhitungkan toko auto-body," kata Marco. "Pasti ramai. Benar-benar
bising. Kalau mereka buka, sih. Toko peralatan juga. Paku-paku berjatuhan,
kaleng cat dikocok... kalau bukan perumahan para lansia ya pusat belanjanya."
"Atau salah satu dari tujuh-lima rumah pribadi itu," lanjutku. "Erek" Kami butuh
tebakan terbaikmu." "Aku tidak punya - "
"Tebak saja!" aku berteriak.
"Pusat perbelanjaan itu. Empat toko. Pikirkan kemungkinannya," ujar Erek.
"Panggil Rachel. Bawa dia dan yang lainnya ke lokasi-lokasi yang lain."
Aku membanting teleponnya menutup. Tak ada waktu untuk berterima kasih. Akan ada
terima kasih setelah kami memenangkan balapan ini.
"Pusat belanja," aku memberitahu Marco.
" Kalau di tempat para lansia" Mereka pasti punya tempat kumpul-kumpul. Toko
nggak punya." "'Waktu biasa'. Kedengaran kayak toko."
"Kecuali mereka sedang membahas jam makan, atau jam besuk di rumah para lansia
itu," kata Marco. "Ayo jalan," kataku.
Kami berlari kecil kembali ke rumahku. Tempat terdekat dan teraman tanpa ada
orang di rumah. Aku melepas baju luarku - memakai celana bersepeda dan T-shirt.
Jenis yang minim dan ketat, yang bisa ikut serta dalam morf.
Aku memfokuskan pikiranku pada jalinan DNA double-helix yang berenang-renang
dalam darahku. Ketika aku membuka mataku, aku sedang jatuh. Menyusut. Dan tak peduli berapa
kali hal itu pernah terjadi, perutku tetap terguncang.
Mengecil dan mengecil, dengan lantai berlomba untuk menamparku, jatuh seakan aku
baru saja lompat dari gedung pencakar langit.
Kulitku berubah menjadi putih dan abu-abu, berbintik-bintik. Di atas daging yang
keabuan mati, garis-garis bulu Etch-A-Skecth tergambar. Desain menyeramkan yang
tiba-tiba berubah dari lukisan menjadi tiga dimensi nyata.
(etch a sketch = Mainan untuk menggambar yang diproduksi Ohio Art Company,
Amerika.) Mataku menjauh ke kedua sisi kepalaku. Mata yang dapat membaca kamus dari satu
blok jauhnya. Mata burung pemangsa. Mata falcon.
Kakiku mengerut, menjadi ranting biasa. Jari-jariku memanjang, tulang kosong
telanjang yang dengan cepat diselimuti oleh bulu. Bulu ekor mencuat dari
belakang, menjalari dadaku, menjalari punggung dan perutku.
Marco sedang menjalani mutasi yang serupa. Metamorfosis. Itulah yang kami
lakukan. Itulah senjata kami. Dia sedang berubah menjadi osprey, aku menjadi peregrine falcon.
Marco mulai mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terpotong sementara mulut dan
hidungnya meleleh dan mengeras dan memanjang menjadi paruh osprey yang
melengkung mengerikan. Kuku kakiku memanjang, bertumbuh bengkok serta tajam.
Dia ragu-ragu.
Aku mengira dia akan berkata , "Jangan lakukan apapun yang bodoh."
Chapter 5 Peregrine falcon. Makhluk tercepat di Bumi. Kalau sedang meluncur kecepatanku
bisa mencapai dua ratus mil per jam.
Tapi aku penerbang jarak pendek, bukan penerbang maraton. Untuk bisa sampai ke
bagian utara kota aku harus mengangkasa. Bukan pekerjaan mudah di sore hari
ketika matahari sudah mendingin dan aspal tidak lagi menguapkan udara untuk
mengangkat sayap-sayap burung pemangsa.
Aku bekerja keras untuk terbang, memutar untuk mendapatkan ketinggian. Awalnya
Marco bisa menyusulku , tapi lalu dia ketinggalan di belakang dan di bawah.
Kalau kau sedang terbang, ketinggian berarti kecepatan. Tobias yang mengajariku
hal itu. Pakai energimu untuk mendapatkan ketinggian, lalu kau bisa mengubah
perjalanan panjang menjadi satu luncuran.
Aku naik dan naik, memerah setiap hembusan udara untuk mengangkat sayap-sayapku
yang kelelahan. Naik aku pergi. Dan akhirnya, mendidih karena ketidaksabaran,
aku bersahabat dengan gravitasi.
Aku tidak bisa melihat target yang spesifik tapi aku bisa melihat daerahnya,
kompleks perumahannya. Aku membidik, mengepakkan sayapku, dan mulai meluncur
kencang. Lebih cepat! Lebih cepat!
Angin mengoyak sela-sela bulu-buluku. Sekitar wajahku. Mengaburkan pandanganku.
Melelahkan otot-ototku. Satu gerakan saja salah, satu goyangan mendadak dari
sayapku dan momentum ini bisa mematahkan bahuku, melumpuhkanku, membuatku jatuh,
tak berdaya menghempas Bumi.
Aku pengendara mobil balap. Satu kedutan salah dari bannya dan aku bisa
berputar-putar tak tentu arah.
Tak ada cara mengukur kecepatanku, tapi aku terbang lebih cepat daripada yang
pernah kulakukan. Tanah di bawah menghampiriku. Lampu garasi dan lampu jalan dan
lampu belakang mobil yang berwarna merah adalah jejak neon yang panjang.
Aku berlomba dengan mobil-mobil di jalan tol di bawahku. Tapi aku terlalu
rendah. Aku sudah salah mengukur sudutnya. Dalam ketergesaanku aku tidak
mendapat cukup ketinggian, dan sekarang aku berada terlalu rendah, menggesek
puncak-puncak pohon dan atap lancip dan kabel telepon, berkobar, sebuah roket!
Otot-ototku membara, jantungku bak palu beton, paru-paruku terbakar.
Aku melesat melewati ruko tersebut bahkan sebelum aku sadar aku berada di sana.
Aku mengerem hati-hati, berbelok jauh, dan memutar balik.
Satu Starbucks. Tidak. Terrlalu umum.
Toko pisau. Tutup. Gelap.
Computer Renaissance. Buka. Terang. Ada kemungkinan.
Toko barang antik. Terang. Jendela setengah ditutup. Dua pria berjalan melintasi
papan yang di atasnya tertulis tutup.
Aku menggunakan kecepatan terakhirku untuk menderu di tempat parkir mobil.
Tempat parkir itu penuh. Mobil ayahku ada di sana.
Aku mendarat di bayang-bayang di belakang ruko. Aku mulai demorf. Bagaimana
melakukannya" Bagaimana cara menyerang dan mengeluarkan ayahku dari situ" Morf
apa, makhluk apa" Kakiku muncul duluan, pink dan telanjang dan besar,
Mataku mengiringi hidung manusiaku yang membengkak, yang telah terbentuk
terpisah dari paruhku yang menyusut.
Aku makin tinggi sementara kaki-kakiku menebal dan bertumbuh.
Rambut. Jari-jemari. Isi tubuhku mengeluarkan suara kumur-kumur dan slosh yang menjijikkan.
Seekor osprey mendarat di krat yang terbalik.
Aku sudah sepenuhnya manusia. Berdiri dengan kaki telanjang di atas aspal dan
kaleng remuk dan gulma kering.
Aku melirik Marco. Dia sudah mulai demorf.
Aku mulai morf. Aku merasakan DNA harimau yang bertenaga teraduk di pembuluh
darahku yang berdentum. Taring yang tajam dan berkilat muncul dalam mulutku. Cakar yang dapat merobek
perut banteng tumbuh di ujung-ujung jariku.
Aku masih lebih mirip manusia daripada harimau. Gigi kemuning, setajam pedang,
membuat bicara kacau. "Aku ma masug!"
Kami memandangi satu sama lain selama beberapa waktu yang menegangkan.
Setengah harimau dan setengah osprey.
Marco menjadi manusia sepenuhnya. Aku menghentikan metemorfosisku.
"Begini," kata Marco akhirnya, perlahan. "Aku tahu kamu panik tapi kalau kita
mau membuat misi penyelamatan di sini kita semua mati. Kita semua. Semua orang.
Para Yeerk bukan idiot. Mereka menyandera ayahmu dan tiba-tiba para Animorphs
menyerang sebuah rapat minor" Mereka bisa menghitung dua tambah dua, Jake. Kamu
biarkan para Yeerk tahu siapa kamu, Jake, bagaimana itu bisa menolong ayahmu?"
Dia benar. Aku tahu tapi aku tidak mau mendengar hal itu.
"Kita harus mengalihkan perhatian mereka. Kacaukan rapatnya tapi jangan biarkan
mereka tahu kenapa," ujar Marco sementara bulu tebal dan kasar mulai bermunculan
dari tubuhnya yang membengkak dan bertumbuh. "Kita akan mencuri waktu dan aku
sudah merencanakan segalanya. Morf jadi falcon lagi, sana. Matamu akan jadi
lebih baik daripada mataku."
"Tapi - " aku mencoba berkata.
"Nggak ada tapi-tapian, Jake," katanya. "Kamu kenal aku. Kamu tahu aku benar."
Aku ragu-ragu, frustasi, tidak terbiasa diperintah, tapi aku tidak bisa
menyangkal bahwa dia benar.
Aku mulai kehilangan akal sehatku dan itu berbahaya.
Menyerah, aku berkonsentrasi pada morf falcon.
Marco menyelesaikan perubahannya menjadi sosok gorila yang besar dan berotot
lalu menunggu, berdiri menjaga sampai aku selesai.
Marco, mengeretakkan buku-buku jarinya sementara dia berjalan ke depan jejeran
ruko itu.
Dia memijak lapangan parkir. Aku terbang, mengamati dari atas.
Ayah dan kakakku berada dekat. Satu predator, satu lagi mangsa. Keduanya berada
dalam bahaya besar, dalam maksud berbeda.
Dan kalau mereka mau diselamatkan, itu tugas Marco, bukan tugasku.
Chapter 6 Ada hal yang lucu mengenai gorilla. Mereka aslinya makhluk yang lemah lembut.
Mereka tidak membuatmu menggigil ketakutan seperti kalau kau melihat kucing
besar atau beruang. Paling sering kau melihat mereka sedang bengong dalam
kandangnya di kebun binatang.
Tapi mereka jadi jauh berbeda ketika mulai bergerak. Kau melihat satu gorilla
raksasa berjalan cepat dan kau langsung mengetahui seberapa besar kekuatan yang
dikandung makhluk yang sedang kau pelototi itu.
Mirip manusia" Ya. Tapi manusia yang dicetak dari pabrik truk Mack.
(Mack = Merek truk yang diproduksi di Amerika. Desain-desainnya keren kayak
Optimus Prime) Marco berjalan menghampiri sebuah mobil.
Menggeram, dia mengangkatnya lewat bemper depannya. Mencungkilnya lepas dari
tanah, roda belakang melayang.
Dan menjatuhkannya. WOOOEEEE! WOOOEEE! WOOOEEE!
Aku hampir terbahak. Alarm mobil!
Marco menghampiri mobil satunya lagi. Mengangkatnya. Menjatuhkannya. Satu lagi.
Angkat. Jatuh. WEEEEYOOOOP! WEEEEYOOOOP! WEEEEY-OOOOP
HONK! HONK! HONK! HONK! WaaaaAAAAAAaaaaaAAAAAAaaaaaAAAAA!
Malam itu sarat dengan alarm mobil yang memekik, menjerit, dan bergemerincing.
Lalu satu mobil yang terlihat familiar. Mobil yang kami berdua kenal.
Mobil Chapman. Chapman, wakil kepsek kami. Pemimpin The Sharing. Seorang
Pengendali. Musuh. Marco tidak mengangkat mobil Chapman. Dia meninjunya. Dia meninju pintu
pengemudinya dengan kepalan tangan sebesar teko susu ukuran segalon.
SHHHLUUUUUEEE! SHHHLUUUUUEEEE!
Lalu dia menghantamkan genggaman besar dan berbulunya ke kap mobil baru ayahku.
SPREEET! SPREEET! SPREEET!
ditahan,
Dia berlari ke perlindungan bayang-bayang. Dalam lima menit dia akan kembali
mengudara. Waktu yang dibutuhkan hanya sekitar delapan detik bagi pintu-pintu di toko
komputer, Starbucks dan toko barang antik untuk menjeblak terbuka dibarengi
orang-orang yang amat berang.
Chapman menyerbu dari toko barang antik.
Bersama ayahku, dan Tom mengekor di belakang.
"Apa yang terjadi?"
"Para preman!" "Anak-anak bandel!"
"Kompleks ini benar-benar - "
"Panggil polisi!"
"Aku mau menuntut pusat perbelanjaan!"
"Coba lihat pintuku!"
Kalimat itu dilontarkan oleh Chapman.
Pengendali lainnya dari toko barang antik terlihat tidak nyaman.
Aku menunggu, menahan nafas, menghitung detik sampai ayahku, diikuti Tom yang
kesal dan mengerinyit, menyeruak kerumunan.
"Mobilku!" ayahku meratap. Dia benar-benar jatuh berlutut. "Ada yang menyakiti
bayiku!" "Punyaku juga," kata Chapman, memandangi cekungan sebesar-kepalan tangan di
pintu mobilnya dengan sebal. Dia memandang sekeliling jalan itu, lalu mengangguk
pada dua pria besar berotot yang mengiringinya.
Mereka berpencar dan mulai menyelidiki jalan itu.
< Well, ayo kalau begitu dude,> balas Marco.
Aku meneliti wajah ayahku. Apa dia sudah menjadi seorang Pengendali"
Bodoh. Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengetahuinya. Para Pengendali tidak
berjalan kemana-mana sambil berkedut-kedut atau melakukan tos khusus Yeerk atau
bermain dengan telinga mereka. Seorang Pengendali terlihat, berlaku dan
Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpenampilan persis normal.
Ayahku bisa saja ayahku. Atau dia bisa saja sedang menjerit-jerit, tak berdaya, mulai menyadari bahwa
mata dan telinga dan mulutnya tidak lagi miliknya.
Aku menunggu. Lalu Tom memberikan sebuah petunjuk yang sudah kuharapkan.
"Ayolah, Dad, tenanglah," ujarnya, menghampiri ayahku. "Kita bisa menelepon dan
lapor polisi setelah sampai ke rumah kalau kau mau. Ayo balik ke dalam, oke"
Rapatnya baru saja mulai dan ada banyak hal penting yang akan terjadi malam ini.
Kau nggak akan mau melewatkannya. Percaya padaku."
"'Balik ke dalam'?" Ayahku membeo, menatapnya seakan dia kurang waras.
"Aku nggak akan kembali ke dalam! Seseorang sedang mencoba masuk ke dalam setiap
mobil di jalan ini! Aku mau pulang sekarang dan menelepon Joe Johnson!"
"Siapa?" "Dia agen asuransi kita, seharusnya kamu tahu, Tom. Ayo kemari."
"Tapi, Dad," Tom memelas, melemparkan pandangan marah dan gugup ke arah Chapman,
yang sedang berdiri di trotoar sambil menonton mereka.
Lengkingan sirene mobil polisi menyibak malam.
Chapman menggelengkan kepalanya sedikit.
"Aku tinggal di sini sampai rapatnya selesai," kata Tom masam.
"Kalau begitu kamu harus sampai di rumah sebelum jam sepuluh." Ayahku membuka
kunci mobil dan masuk ke dalamnya.
Mimik tegang dan dipenuhi oleh amarah yang sulit-tersembunyikan, Tom menyeret
kakinya dan berdiri di sebelah Chapman di pinggir trotoar, memerhatikan ayahku
berkendara pergi.
pinggir jalan.
ke rumah.
saat.
Pertarungan untuk menyelamatkan ayahku baru saja dimulai.
Chapter 7 "Aku nggak percaya kamu mengambil resiko itu," kata Rachel keras, mengerinyitkan
dahi. "Kamu harusnya menunggu kami semua datang!"
Sudah larut malam dan kami semua menelinap keluar untuk bertemu di gudang jerami
Cassie untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Tidak berjalan lancar. Aku tidak bisa berkonsentrasi, aku takut meninggalkan ayahku sendirian di rumah
bersama Tom. Tobias bertengger tinggi di kasau.
Marco tidak banyak bicara, tak seperti biasanya.
Cassie mendengarkan, wajahnya dipenuhi kepedihan.
Ax memandangiku dengan keempat matanya.
Dan Rachel... Well, dia nyata sekali marah besar.
Nampaknya Erek sudah menyampaikan berita soal pencarian ayahku pada Rachel, yang
sedang berbelanja di mall.
Dia sudah bergegas untuk membantu kami, menjejalkan barang-barangnya di locker
sewaan. Dalam ketergesaannya, dia lupa mengunci pintunya.
Setelah dia selesai morf, menemukan Tobias, dan terbang ke utara, rapat The
Sharing sudah ditutup sepenuhnya. Mereka tidak menemukan apapun kecuali polisi
yang sedang mencatat laporan vandalisme.
Ketika dia kembali ke lokernya untuk mengambil barang-barangnya, seseorang telah
mencurinya. Rachel yang murka itu menyeramkan, dan aku tidak akan iri pada si pencuri kalau
Rachel sempat menangkapnya.
"Kami nggak mau bertarung, kami cuma mau mengalihkan perhatian," ujarku. "Kalau
nggak begitu kami akan menunggu kamu datang."
"Aku tidak memandang Marco saat aku mengatakan hal itu."
"Tepat sekali."
Tobias berada di kasau. Dia menggerakkan sayapnya.
"Aku tahu," kataku lelah. "Aku sudah berpikir mau membujuk ayahku untuk
membiarkan Tom tinggal, tapi mustahil. Dia nggak akan membiarkan Tom menunjukkan
tanda nggak hormat sama Kakek G."
"Masalah ini bodoh sekali," kata Rachel. "Maksudku, tiba-tiba kita terlibat
dalam pertempuran karena upacara pemakaman" Idiot sekali! Pertarungan ini
kosong. Nggak ada untungnya buat kita. Yang bisa kita lakukan cuma membiarkan
diri kita digilas habis."
Aku mengangguk. "Percaya padaku, aku tahu, Rachel. Memang tiba-tiba sekali."
"Harus ya empat hari," Marco mengeluh. "Nggak bisa dua hari saja, yang bisa
ditangani si Yeerk itu."
"Nggak. Aku nggak benar-benar saudara," jawabnya, "Kakek G itu kakek buyutnya
Jake dari pihak ibunya. Aku saudara dari pihak ayahnya."
Aku menatapnya. Kami semua menatapnya.
Mereka nggak pernah bisa memaksaku pergi.> Dia diam sejenak. Lalu, dengan malu
dia berkata,
"Kerabatmu egois semua dan mereka nggak berhak atas dirimu," tukas Rachel.
"Ayahku bilang kami harus pergi sekeluarga," kataku. "Dan Tom tahu masalahnya
akan jadi lebih runyam kalau dia langsung menentangnya seperti itu."
"Tentu," Marco menjetujui. "Sulit mendapat sinar Kandrona kalau kau dikurung di
rumah seumur hidupmu."
"Ditambah lagi, kalau dia berlaku benar-benar buruk, aku yakin orang tuamu akan
mulai memandangnya dari sudut berbeda," Cassie membubuhkan. "Mereka bahkan
mungkin akan memutuskan kalau The Sharing punya pengaruh jelek dan akan menyuruh
dia keluar dari situ."
Aku mengangguk. "Yeerknya Tom berperan sebagai anak SMA yang normal.
Kesimpulannya, dia bisa mengikuti peraturan keluarga atau membuka penyamarannya.
Para Yeerk mempunyap pilihan : Menjaga posisi Tom dan menjadikan ayahku
Pengendali. Atau cabut Yeerknya Tom, taruh di induk semang lain, lalu bunuh Tom
untuk membiarkan dia tutup mulut."
"Ada satu pilihan lain," kata Rachel.
"Yeah," responku. Aku tahu. Hanya saja aku tidak bisa mengatakannya keras-keras.
"Pilihan apa?" Tanya Cassie.
"Kalau para Yeerk nggak bisa mengubah ayahnya jadi Pengendali secepat mungkin,
mereka tinggal membunuhnya. Sebagai anak yatim penyamaran Tom nggak akan
terpengaruh. Bahkan mungkin bertambah kuat," Rachel menjelaskan. Lalu, menatapku
lekat-lekat di mata, dia berkata, "Dan mungkin Tom sendirilah yang akan
melakukannya." Chapter 8 Hanya ada satu jalan untuk melindungi ayahku.
Pengintaian. Sejak saat dia pergi kerja di pagi hari sampai kami berangkat ke kabin hari
Sabtu. Penjagaan dua puluh empat jam.
Aku bisa melakukan sebagian besar tugas itu. Dia ayahku dan aku tidak terlalu
yakin terman-temanku akan menjaganya sebaik aku walaupun aku tidak mengatakan
hal ini karena aku tidak mau menyakiti perasaan siapapun.
Aku memang menyetujui tenaga dukungan. Aku tahu aku tidak bisa berada di setiap
tempat sekaligus. Pagi berikutnya Tom dipenuhi kata-kata manis dan kompromi. Dia keluar rumah
lebih pagi dari biasanya, berkata bahwa dia akan bicara pada beberapa anak dari
The Sharing sebelum sekolah. Untuk bertanya apa mereka mau menggantikan
tugasnya. Bah. Aku menunggu sampai ayahku masuk kamar mandi, lalu menelepon sekolah minta izin
karena ada anggota keluargaku yang meninggal.
Untungnya, suaraku cukup mirip dengan ayahku.
Aku turun ke bawah dan mengendap-endap di ruang keluarga di luar dapur. Aku
mendengar suara-suara ayaku yang sedang bersiap pergi : menghirup kopi, mengecek
beepernya seperti biasa, berseru "Ow!" karena tangannya terkena panggangan panas
sewaktu mencoba mengeluarkan muffin Inggris dari sana.
Bodoh sekali morf di ruang makan. Tindakan idiot. Tapi aku akan morf jadi kecoa
dan aku tidak bisa berjalan jauh dengan enam kaki kecil itu. Lagipula, Tom sudah
pergi. Dan ayahku tidak akan datang kemari.
Aku berkonsentrasi pada sosok kecoa.
Bukan morf favoritku. Bukan morf favorit siapa-siapa. Tapi aku butuh tubuh yang
kecil, cepat dan bisa bertahan hidup. Mungkin lalat lebih baik tapi aku hampir
tewas waktu jadi lalat dulu : seseorang menepukku dan menggencetku di rak barang
sebuah pesawat. Kecoa lebih sulit dibunuh.
Aku merasakan perubahannya mulai. Mengerikan sekali di saat-saat tertentu. Tapi
berdiri di sana di ruang makanku, menyusut sementara kursi-kursi membesar,
mengkeriut menyambut lantai kayu yang kau cungkil menggunakan garpu tanah
sewaktu umurmu empat tahun, jatuh ke dalam bayangan meja dimana kau memakan
sajian Thanksgivingmu... tingkat keanehannya bertambah.
Aku menangkap pantulanku yang tak terduga di cermin sisi lemari ruang makan.
Kulit wajahku sedang berubah cokelat, berkilat, keras.
Aku memalingkan wajah. Kau tidak ingin melihat dirimu sendiri berubah menajdi
kecoa: kau tidak mau melihat mulutmu terpisah menjadi bagian-bagian mulut
serangga. Kau tidak mmau melihat kulitmu meleleh seperti lilin yang dibakar lalu
membantuk pelindung yang keras dan kaku. Kau tidak mau menatap matamu sendiri
ketika matamu bukan lagi mata tetapi ujung jarum pentul berwarna hitam yang tak
punya ekspresi. Mungkin kau berpikir kami sudah terbisa dengan semua ini. Untuk diriku sih,
tidak. Aku takkan pernah bisa terbiasa.
Metamorfosis mungkin senjata yang luar biasa. Sekaligus kengerian yang tak
terbayangkan. Tulang-tulangku menyatu. Diiringi suara desiran cairan.
Sepasang kaki kecoa yang berbulu dan bergerak-gerak menghambur keluar dari tubuh
seranggaku yang bengkak seperti salah satu adegan film Alien. Aku tidak
terkejut. Mereka cocok dengan sisa-sisa lengan dan kakiku.
(Alien = Film tahun 1979 ber-genre gore dan thriller)
Antena yang panjang dan berambut tumbuh dari dahiku.
Sayap-sayap kering dan berkilat-kilat melingkupi punggungku.
Penglihatanku benar-benar terbatas. Tapi antenaku sedikit memperbaiki kekurangan
itu. Kamu tidak bisa menjelaskan antena itu berfungsi sebagai indra apa
sebenarnya, penciuman atau pendengaran, sepertinya gabungan keduanya. Tapi juga
bukan salah satu dari kedua indra itu.
Rencananya aku akan menumpang mobil ayahku. Tobias akan berada di udara, mencari
termal untuk ditunggangi. Dari atas sana dia akan bisa mengamati hampir seluruh
perjalanan ayahku dari rumah ke kantornya. Dua mil, berikan atau dapatkan.
Tapi reaksinya akan lambat kalau terjadi apa-apa. Dia jadi cadangan, jika ada
serangan akulah yang harus bertindak.
Aku sudah sepenuhnya kecoa. Aku berputar seperti tank mini dan bergerak lewat
bagian bawah pintu. Whoooom. Whoooom. Langkah-langkah kaki ayahku. Getaran dan embusan angin. Antenaku menangkap
lokasinya. Aku melawan keinginan si kecoa untuk lari kabur.
Whoooom. Whoooom. Telapak kaki sebesar pesawat terbang melayang di kejauhan redup. Tak masalah.
Aku memiliki indra kecoa dan kecepatan kecoa bersatu dengan kepintaran manusia.
Aku aman. Aman sampai aku siap untuk menumpang mobil. Ayahku memakai celana bermanset.
Mansetnya. Itulah tempat untuk menempel, tentram sentosa.
Hanya sedikit usaha dibutuhkan untuk sampai ke sana. Naik ke sepatu. Naik ke
kaus kaki. Seharusnya tak ada masalah. Betul.
Cahayanya berubah! Gerakan! Di atasku! Aku mengelak. BAMMMMM!
Chapter 9 Sebesar drum-drum minyak yang biasa kau lihat di pinggiran kota . Sepuluh kali
tinggiku. Berjuta kali berat tubuhku yang tak penting. Menghantam lantai
linoleum seperti bom. Toples Smucker's raspberry.
(Smucker's rasp erry = merk selai)
Toples itu membanting lantai seinci dariku.
CRASH! Kacanya berhamburan.
Gumpalan-gumpalan besar selai memuncah. Satu serpihan kaca yang mendarat di
lendir adalah sebuah meteor Nerf di sampingku.
(Nerf = merk mainan) Selai itu, bongkahan dua kali besar tubuhku, mengenai punggungku sementara aku
merayap gila-gilaan untuk menyingkir.
Kaki-kakiku mencakar membabi-buta. Tak terkendali!
Otak si kecoa menjerit Lari! Lari! LariLari-Lari! Dalam kepalaku.
Lendir itu menempel di kakiku. Aku tidak bisa bergerak!
Aku mencoba melawannya, tapi keadaan malah jadi lebih buruk. Aku kehilangan
keseimbangan dan berguling ke punggungku, keenam kakiku mendorong lem raspberry
itu dengan panik. Biji-biji raspberry sebesar bola kaki menyelip di celah-celah
armorku. Lalu kupikir ayahku melihatku. Karena dia mengumpat.
Dan aku langsung tahu : Dia akan membunuhku.
Pecahan kacanya! Menonjol seperti haluan kapal di gumpalan selai. Aku meraih
ujungnya dengan salah sayu kakiku dan mendorong. Mengungkit. Sesuatu yang takkan
dimengerti oleh kecoa. Tapi aku mengerti.
Kaki kedua meraih satu kaca lagi. Pecahan itu akan menyayat daging manusia, tapi
kaki-kakiku yang berupa ranting sama sekali tidak luka.
Aku mendorong dan bergerak-gerak, mendorong, memuntir, berjuang keluar dari
gumpalan cairan merah itu WHAM Sang USS Nimitz mendarat di lantai beberapa millimeter di sampingku sementara
aku menghela diri dengan segenap kekuatanku.
(USS Nimitz = Kapal perang Amerika, salah satu yang terbesar di dunia)
Aku mendarat di keenam kakiku lagi, tapi cairan itu menyelimuti seluruh tubuhku,
memperlambatku, menyeretku sementara WHAM! Sang USS Elsenhower mendarat beberapa millimeter di depanku.
(USS Elsenhower =Kapal perang pengangkut pesawat militer )
" - kecoa!" Suara yang membahana berkata. "Selai di sepatuku!"
Sebentar lagi kau akan punya Jake di sepatumu, aku berpikir. Aku hampir bersih
dari selai itu, masih menggantung pada kaki-kakiku yang berduri. Aku masih belum
bisa menarik diriku. Tidak bisa mendapatkan kecepatan.
WHAM! Si Elsenhower lagi.
Dinding sol sepatu, dua kali tinggiku, menampilkan diri di hadapanku dengan
segala ketiba-tibaannya yang mengerikan.
Aku mempersiapkan kakiku dan menerjang.
Aku menangkap solnya. Aku menarik, aku mendorong, aku menggunakan segala energi
yang berasal dari ketakutan kecoa serta kengerian manusia.
Naik! Aku berada di sepatunya!
"Kemana dia pergi, dasar..."
Aku mencoba menyingkir dari pandangan. Aku berlari ke bayangan manset celana.
"Aaarrrgghh!" Dia menggelegar dengan suara yang menggetarkan segala molekul
udara di ruangan itu. Sekarang datanglah bagian dimana dia menari. Ayahku melompat-lompat dengan satu
kaki, kaki tempatku berpijak, sementara mencoba melumatkanku dengan kakinya yang
lain. Tak akan berhasil. Tidak sekarang. Aku sudah mendapatkan kecepatanku kembali.
Aku memiliki cekungan dan permen cokelat bahan kulit yang disemir, warnanya sama
dengan tubuhku, untuk menjadi lintasan lari.
Berlari menuju tumitnya, tegak lurus dengan lantai, aku menghela. Sepatu yang
satunya mendorongku, menendangku, meleset!
Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di tumit aku berbelok tajam ke kiri dan berlari vertikal. Naik di sepatu.
Melewati bagian atasnya menuju kaus kaki katun yang lembut, semacam rumput yang
berantakan, abu-abu, dan terpuntir dengan aneh.
Aku terselubungi kegelapan sekarang. Tak terlihat oleh ayahku.
"Kemana kau pergi?" Tuntutnya.
Diam. Diam saja, Jake. Jangan bergerak. Jangan... selai itu manis sekali. Amat,
sangat manis, dan otak kecoaku mendambakan rasa manis. Gula. Godaan terhebat.
Dan gula itu masih menyelimutiku. Di kaki-kakiku. Di wajahku.
Bagian-bagian mulutku bergerak.
Aku dapat memakan gula yang menyenangkan itu dari kakiku...
"Oh! Oh! Oh!" Ayahku menjerit.
Dia merasakanku. Aku sudah bergerak. Sekarang aku dalam masalah.
WHOMPF! Langit gelap jatuh dengan mendadak saat ayahku menampar kakinya sendiri.
WHOMPF! WHOMPF! Jangan sentuh kulitnya! Aku memerintahkan diriku. Kalau aku menyentuh kulitnya
ia akan benar-benar tahu. Dia tidak akan berhenti menyerang.
Harus bertahan. Harus bersembunyi. Buat dia berpikir dia salah, bahwa dia tidak
merasakanku. Celananya! Campuran wol abu-abu yang merupakan langit vertical itu. Itulah
kuncinya. WHOMPF! Dia datang kembali. Aku meraih, menggenggam, dan langsung saja terangkat dari
kaus kaki. Aku bergantung pada celananya.
Tamparan-tamparan itu berhenti. Pelan-pelan bagian kaki celana itu diangkat.
Tapi aku berada di lipatannya, tak terlihat.
Bagian celana itu dijatuhkan kembali. Ayahku membereskan selai dan toplesnya
yang berantakan, lalu menaiki mobil ke tempat kerja.
Chapter 10 Tidak ada hal yang istimewa di perjalanan. Aku lega. Sepertinya aku tidak bisa
lagi menerima ketegangan lebih dari itu.
Di suatu tempat di atas mobil Tobias menonton. Aku tidak peduli. Aku merayap
turun dan keluar dan bertengger dengan nyaman di mansetnya. Aku berada di kaki
kiri jadi tidak terlalu banyak gerakan.
Ax menunggu di lapangan parkir di gedung ayahku. Aku dapat merasakan mobilnya
berbelok tajam, menaiki lintasan melingkar.
menganggapku pangerannya. Semacam cara Andalite menghormati seseorang.
Aku butuh dua detik untuk mencerna.
Aku 'pangeran'nya Ax. Tapi soal hormat-menghormatinya cuma sampai segitu saja.
Kami memarkir mobil. Aku menegang. Segala hal bisa jadi kacau lagi.
Kakinya mengayun menyongsong udara yang lebih dingin dan cahaya yang lebih
terang. Ayahku berdiri. Meregangkan badan. Mengambil tas medisnya dari bangku belakang.
Lalu kami berangkat ke kantor.
Mengayun ke depam... Crunch! Mengayun ke belakang. Mengayun ke depan... Crunch!
Mengayun ke belakang.
Di suatu tempat di atasku, tak terlihat oleh indra-indra kecoaku, ada seekor
elang ekor-merah, dan jika Ax mengikuti rencana, seekor bangau.
terlihat sedang membentuk ekspresi wajah yang menunjukkan kemarahan.>
sesuatu. Tapi dia sama sekali nggak bergerak.>
Ayahku berhenti berjalan. Wooosh. Sebuah pintu terbuka. Kami maju. Pintu
tertutup di belakang kami.
Kami di dalam. Langsung setelah ayahku melangkah dalam kantornya aku turun dari celananya dan
bersembunyi di bawah tong sampah dekat mejanya.
Menunggu,. Tak ada ayunan panik yang mengganggu aliran udara.
Bagus. Berarti dia tidak tahu aku sudah menumpang di mobilnya.
Lantainya bergetar. Sesorang masuk ke dalam kantor ayahku. "Selamat pagi, Dok. Jadwal kita penuh
hari ini. Banyak sekali yang kena infeksi telinga." Sepuluh menit kemudian
seorang anak masuk bersama ibunya.
Aku menghabiskan hari itu berdesing dan menderu, menyelip ke dalam dinding dan
memipih ke dalam celah-celah agar tidak terlihat dan diinjak.
Setiap dua jam aku demorf dan remorf di kamar mandi. Pertama kali menegangkan
sekali. Aku membuat catatan berantakan dari tisu toilet dan menempelkannya di
bilik paling ujung dengan sebuah permen karet bekas.
Tulisannya : RUSAK. Setelah itu aku merasa sedikit lebih aman dalam bilik rusak tersebut.
Benar-benar membosankan. Tapi memberikan banyak waktu bagiku untuk berpikir.
Terlalu banyak waktu. Aku mulai berharap krisis ini dapat memberiku jalan untuk menghancurkan Yeerknya
Tom. Sekarang aku berharap aku bisa menyelamatkan ayahku dari takdir yang sama
seperti yang dialami Tom.
Aku bermain ke arah perlindungan. Lebih mudah untuk menyerang. Dalam menyerang
kau bisa memilih waktu dan tempatnya. Dalam perlindungan kau hanya bisa
menunggu. Menunggu sang musuh memilih waktu dan tempatnya. Dan perlahan mengikis sumber
dayamu dan orang-orangmu selama menunggu, menunggu, mengetahui bahwa yang
dibutuhkan hanyalah keberuntungan bagi sang musuh dan segala penungguanmu yang
menegangkan dan menyesakkan akan sia-sia
Ayahku tidak pernah menjadi dokterku. Aku pergi ke salah satu temannya. Memang,
agak seram juga kalau tidak begitu.
Aku selalu berpikir keren juga dia seorang dokter. Tapi sepertinya aku tidak
pernah benar-benar berpikir tentang hal itu.
Di hari ini, tak ada banyak hal untuk dipikirkan. Maka, aku berfokus pada
ayahku. Selalu baik. Tidak pernah keras. Bercanda dengan anak-anak dan
menenangkan ayah dan ibu mereka. Selalu kalem setiap anak-anak yang lebih kecil
menjerit-jerit mengerikan dan menggetarkan setiap dinding.
Dia orang baik, ayahku itu. Bukan hanya karena ia ayahku. Karena dia memang
manusia yang baik. Karena dia melakukan pekerjaannya sebaik yang dia bisa dan
tidak egois pada orang-orang di sekitarnya. Bukan berarti itu membuatmu jadi
seorang santo atau apapun, tapi sepertinya kalau kupikirkan dalam-dalam, itulah
yang kuharap bisa kulalukan setelah aku dewasa nanti: memperlakukan keluargaku
dengan baik, melakukan pekerjaanku dengan baik, tidak egois pada orang-orang
yang kutemui. Mungkin tujuan itu tidak besar dan ambisius, tapi sudah cukup
bagiku. Aku sudah melakukan pekerjaan pahlawan-pahlawanan itu. Aku, aku mau
suatu hari dimana apa yang harus kulakukan hanyalah hidup sebagai manusia yang
menyenangkan. Hari itu panjang sekali. "Selamat malam, semuanya," ayahku mengmumkan pada akhirnya. "Aku akan kembali
hari Rabu paling lambat. Selamat berakhir pekan, Jeannie. Kau juga, Mary Anne.
Jauhi masalah." Derai tawa mengikuti kami ke pintu. Sekarang kami bergerak.
Ayahku sedang keluar dari kantor. Kembali ke segala bahaya memungkinkan.
Lantai dimana ayahku memarkir mobilnya, tentu saja.
Tobias meyakinkanku. Ax juga.
Berhenti sejenak di pintu. Lalu kami di luar.
Antenaku bergetar pada pergantian udaranya.
Tak ada waktu untuk demorf dan remorf. Jika si pria berjenggot akan menyerang,
aku tidak berguna. Bukan siapa-siapa kecuali seekor kecoa dalam manset.
semula tanpa terlihat. Haruskah aku pergi">
Aku tidak tahu. Jika seorang Andalite tiba-tiba mendatangi tempat itu untuk menyelamatkan
ayahku, para Yeerk akan menambahkan dua dengan dua, menyadari seseorang yang
dekat dengan Tom - contohnya adiknya- mengetahui rencananya, dan Animorphs akan
tamat riwayatnya. Tapi dalam morf kami ini kami tidak berguna.
Apa yang harus kulakukan"
Kehilangan semuanya"
Atau hanya ayahku" Chapter 11 Jika -
Keluargaku atau teman-temanku.
Selamatkan satu orang atau selamatkan dunia.
Aku seekor serangga! Aku tidak bisa menyelamatkan siapa-siapa.
Penyelamatan terang-terangan akan menyelamatkan ayahku dan menghancurkan kami
semua. Termasuk dia.
ke bagian belakang lutut. Kainnya mengekerut dengan tiap langkah yang diambil.
Aku berada horizontal dengan lantai di bagian kanan. Aku tidak bisa melihat
cukup jauh untuk bisa yakin, tapi sepertinya ada dinding besar dan gelap
bergerak di belakang ayahku.
Aku mengayuh ke kiri dan merayap vertikal. Naik di celana. Ke jaket. Naik di
jaket. Melesat dengan kecepatan kecoa melintasi serutan serat-serat wol kering.
Aku berhenti di lengkungan bahu. Sebuah telinga sebesar Nantucket mengambang di
atasku. Makin dekat. Sang dinding hitam mendekat. Aku hampir dapat melihat sebuah wajah,
buram, gumpalan meremang yang lebih besar daripada awan hujan.
Aku bergerak. Aku membuka sayap kecoa yang hampir tak berguna itu. Aku terbang
lurus menuju jenggot itu.
"Aaaahhhhh!" Pria itu menjerit.
Aku mendarat di bibir bawahnya. Bulu-bulu kecil di kakiku menangkap dan
mencengkram. Dia meludah. Ledakan angin ribut!
Tapi aku berada di rambut dagunya sekarang, berjalan iseng dari rambut yang
terpisah ke rambut terpisah lainnya, seperti aku sedang berjinjit di atas
puncak-puncak pohon. "Ugh! Ugh! Kumbang!" dia berteriak. Kami mulai berputar dan berpusing. Dia
menampar wajahnya sendiri. "Singkirkan itu dariku!"
Aku berzig-zag ke kiri. Lalu ke kanan.
Menuju telinganya. Kaki kecoa mungil menggelitik kulit telinga yang berminyak.
Dia jadi liar. Aku terus melaju, menaiki kepalanya. Ke rambut yang tebal seperti karpet.
"Apa yang... "Aku mendengar ayahku berkata dalam keterkejutan. "Permisi, Sir, tapi
apa Anda baik-baik saja?"
Pergi! Aku ingin memberitahunya. Lari, Dad! Lari dan selamatkan dirimu!
bersama hembusan sayap. "Tseeeeeer!" Tobias melayang turun, cakar keluar. Aku menangkap bayangan sekilas
tetapi menakutkan tentang cakar yang menyayat.
"Aaaahhh! Aaaahhh!" Pria itu memekik-mekik. Dia benar-benar memukuli kepalanya
dengan satu tangan sementara satunya lagi melambai-lambai di udara untuk melawan
elang gila dan bangau kurang waras.
Hampir segera aku menyadari bahwa aku tidak lagi berada di pria itu. Aku masih
di rambutnya. Tapi tidak lagi menempel di pria itu.
Rambutnya... Wignya... sedang dibawa cakar Tobias seperti seekor tikus yang sekarat.
mau menyerang.>
saling membuat bunyi-bunyian mulut.>
Dia melakukannya. Wig itu menghantam aspal dan pria itu menyambarnya dan
membantingnya di kepalanya. Aku membebaskan diri sebelum dia melakukan itu, dan,
dengan bantuan Tobias, merayap ke arah ayahku.
"Burungnya pergi, kecoanya pergi, kau baik-baik saja," ayahku berkata
menenangkan. "Lupakan serangga bodoh itu! Lupakan burung yang bodoh dan tolol itu!" Pria itu
berteriak. Dia jelas sekali kalap. Seekor elang berniat memungut kecoa dari kepalanya dan
malah ikut menjambret wignya. Salah satu hal yang akan membuat mood-mu jadi
buruk. "Apa itu mobilmu?" Pria botak itu menuntut.
"Huh?" "Kubilang, APA ITU MOBILMU"!" Dia meraung.
Seperti yang kubilang, kalap.
"Ya," ayahku berkata, terdengar kebingungan. "Kenapa?"
"Karena diparkir di tempatku! TempatKU! Punyaku! Aku dari tadi menunggu orang
yang selalu mengambil tempatku!"
"Bagaimana tempat itu jadi milikmu?" tanya ayahku. "Tidak ada tempat yang punya
tanda 'dipesan' disini."
"Aku sudah parkir disini selama dua tahun empat bulan! Itu tempatku! Aku tidak
peduli berapa banyak burung... atau wigku... atau serangga.... Itu punyaku!"
Kecuali aku masih dibiarkan bertarung sebagai pihak yang kalah, pertarungan
defensif. Lebih buruk lagi, aku sudah terpaku. Tobias dan Ax sudah meminta perintah dan
aku hanya diam. Karena aku diam saja mereka melakukan tindakan yang salah.
Salahku, bukan mereka. Akulah yang pegang tanggung jawab, dan mereka menanyakan
apa yang harus dilakukan.
Aku sudah ragu-ragu. Aku tidak memiliki jawaban. Tak ada yang terluka, kali ini.
Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kalau serangan itu benar-benar serangan"
Aku kelelahan. Ax dan Tobias juga lelah. Kekuatan kami menyusut, tetapi musuh
sama sekali tidak kehilangan apa-apa.
Serangannya masih akan datang.
Chapter 12 Aku menyuruh Tobias dan Ax pulang. Kuberitahu mereka untuk beristirahat. Tobias
menolak. Dia bilang dia akan memanggil yang lainnya, dan mereka akan melaukan
pengawasan terhadap rumahku.
Aku bersikeras mengusirnya. Kubilang untuk membiarkan yang lain beristirahat
juga. Kenapa" Aku tidak tahu. Mungkin aku ingin menanganinya sendirian, kalau begitu
tidak akan ada perintah yang harus diberikan. Dan tak ada pemikiran ulang.
Ayahku masuk ke dalam garasi dan aku merayap pergi. Aku demorf di belakang
garasi dan berlomba ke kamarku.
Aku lebih dulu masuk ke dalam rumah. Begini, aku tahu rutinitasnya. Saat dia
pulang dia akan berjalan ke trotoar rumah untuk mengecek surat dan berdiri
disana sambil memilah-milah dan bergumam, "Sampah... sampah... oke, majalah...
sampah." Aku berada di tempat tidurku dalam beberapa detik. Selimut naik sampai ke
daguku. Pura-pura sakit. "Jake?" Pintuku terbuka. Tom memunculkan kepalanya di kamar.
"Apa?" Suaraku serak, jantungku berhenti berdetak. Aku tidak menyadari dia ada
di rumah. Apa dia sudah di rumah selama aku demorf" "Kapan kamu balik?"
"Ngapain kamu" Pura-pura sakit?"
Si Yeerk di kepalanya memainkan perannya. Mengatakan kata-kata yang pasti akan
dikatakan Tom yang asli. Aku memainkan peranku, juga. "Yeah. Mau tinggal di rumah dan nonton Jerry
Springer." (Jerry Springer = Presenter the Jerry Springer Show sejak 1994 yang bertemakan
masalah individu dan keluarga. Karena pembawaaan acaranya yang buruk, acara ini
pernah dinobatkan jadi acara terburuk di Amerika)
"Uh-huh." "Aku sudah lebih baik, sih. Kayaknya aku bakal bangun."
Dia memberiku tatapan jijik dan pergi. Aku memanjat turun dari tempat tidur dan
berpakaian. Makan malamnya sup ayam untukku. Untuk 'menenangkan' perutku yang kacau. Ayah
dan kakakku melahap masakan Cina.
"Jam berapa kita pergi besok?" tanyaku.
"Sekitar jam sembilan, jadi kalian berdua beres-beres hari ini dan jangan lupa
bawa setelan kalian," ayahku berkata, tak melihat kerutan suram yang muncul
tiba-tiba di wajah Tom. "Aku sudah bicara dengan ibu kalian. Pemakamannya hari
Senin dan kita pulang ke rumah Selasa pagi."
Tom mendorong kursinya ke belakang. "Aku sudah selesai," katanya, berdiri dan
beranjak pergi. Ayahku benar-benar mengacuhkannya. "Well, aku akan keluar dan menyiram halaman
sekali lagi sebelum kita pergi."
"Aku akan cuci piring di dishwasher," aku menawarkan, berdiri juga.
Aku membilas piring-piringnya, memandang keluar jendela sementara ayahku
menyeret selangnya dari halaman belakang ke halaman depan.
Rumah begitu sunyi. Udaranya stagnan.
Tom sudah menghilang ke dalam ruangannya.
Aku menekankan wajahku ke jendela, meninggalkan noda hidung, dan mencari-cari di
langit sampai aku melihat Tobias mengangkasa jauh di atas.
Tetap mengawasi, walaupun aku tidak memintanya begitu.
Dia terlihat begitu bebas di luar sana.
Begitu tenang dan percaya diri.
Aku meluruskan badan. Melihat sekeliling.
Dan membuat keputusanku. Lima menit, kupikir, terburu-buru ke kamarku dan mengunci pintunya di
belakangku. Aku akan melakukan pengamatan lima-menit dari udara. Cukup terbang sampai aku
bisa mengendalikan diri lagi. Menenangkan diri. Aku tidak akan berguna kalau aku
tidak bisa berpikir jernih.
Aku melepaskan pakaianku dan memakai celana bersepeda, membuka jendela, dan
berkonsentrasi pada morf peregrine falconku.
Pola berenda menyebar di kulitku, melembut menjadi bulu-bulu. Jari-jariku
meleleh bersamaan untuk membentuk ujung sayap sementara isi perutku bergejolak,
bergeser dan berpindah. Tengkorakku tergiling dan menyusut. Penglihatanku menajam. Tubuhku mengecil,
jatuh, menciut, bergoyang pada kaki-kakiku yang tiba-tiba berubah menjadi
tongkat kurus. Angin berhembus sepoi-sepoi di jendela.
Aku mengepakkan sayap dan melompat ke ambang jendela. Aneh. Bahkan setelah
sekian lama, pemikiran bahwa aku akan lompat dari lantai dua masih menggangguku.
Aku masih manusia, masih takut akan ketinggian, masih tidak yakin sayapku akan
bekerja. Aku bertanya-tanya apakah Tobias juga merasa begitu.
Aku merentangkan sayapku dan lepas landas, terbang melintasi halaman belakang,
berhati-hati untuk menyingkir dari jendela kamar Tom.
Aku menangkap sedikit angin sakal, cukup untuk memompa sayapku, dan mulai
mencari ketinggian.
dan melayang mengikuti arus udara. Mata falconku dapat melihat segalanya,
Petualangan Manusia Harimau 9 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Matahari Esok Pagi 5