Ceritasilat Novel Online

Shogun 6

Shogun Karya James Clavell Bagian 6


Blackthorne memperhatikan bahwa semua tikar-tikar itu
berukuran sama, kira-kira enam kaki kali tiga kaki. "Coba pikir",
ujarnya pada diri sendiri, "aku pernah melihat tikar-tikar yang
dibentuk atau dipotong mengikuti ukuran tertentu. Dan ukuran
kamarnya juga sama anehnya! Bukankah semua ruangannya
selalu berukuran segi empat" Tentu saja! Itu berarti segenap
rumah atau ruangan harus dibangun mengikuti jumlah tikar yang
tepat. Jadi semuanya mengikuti standar! Betapa anehnya!"
Mereka mendaki anak-anak tangga yang berliku-liku dan kuat
lalu melangkah sepanjang koridor tambahan dan anak-anak
tangga yang lebih banyak lagi. Nampak cukup banyak pengawal
berseragam coklat. Berkas sinar mentari dari ceruk dinding
memperlihatkan polanya yang run-tit. Blackthorne dapat melihat
bahwa kini mereka sudah berada di atas ketiga dinding utama
yang melingkar. Kota dan pelabuhannya nampak sebagai pola
selimut, di bawah. Koridor kemudian berbelok pada sudut yang tajam dan
berakhir lima puluh langkah sesudahnya.
Blackthorne merasakan mulutnya pahit bagai empcdu.
"Jangan kuatir," ujarnya pada diri, sendiri, "kau sudah
memutuskan apa yang akan kaulakukan. Kau sudah
membulatkan tekad." Gerombolan samurai bersama perwira mudanya di depan
mereka, bertugas melindungi pintu terakhir ini"masing-masing
tangan kanannya bertumpu pada pangkal pedangnya, sedangkan
yang kiri pada sarungnya, tanpa bergerak-bergerak dan dalam
keadaan siap. Mereka hanya mangawasi kedua lelaki yang
tengah datang menghampiri.
Hiromatsu tambah yakin dengan kesiapsiagaan mereka. Dia
sendiri yang memilih para pengawal ini. Dia membenci puri itu
dan berpikir lagi betapa berbahayanya bagi Toranaga yang
selama ini membiarkan dirinya berada dalam genggaman musuh.
Langsung, begitu sampai sehari sebelumnya, Hiromatsu
bergegas menghadap Toranaga untuk memberitahu apa yang terjadi"sekaligus untuk mengetahui segala sesuatu yang tak beres
selama kepergiannya. Tapi segalanya masih tetap tenang,
sekalipun mata-mata mereka telah membisikkan tentang
penambahan kekuatan musuh yang membahayakan di sebelah
utara dan timur, dan bahwa sekutu utama mereka, Bupati Onoshi
dan Kiyama, daimyo-daimyo Kristen terbesar, justru akan
menyeberang ke pihak Ishido. Hiromatsu telah menukar para
pengawal serta kode rahasianya sekalian dan telah meminta
Toranaga agar berangkat meninggalkan tempat itu, tapi tanpa
hasil. Sepuluh langkah dari perwira itu, Hiromatsu berhenti.
** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 B 12 EGITU Toranaga mengawasi si barbar meninggalkan
ruangan, dengan rasa enggan pikirannya dialihkan dari
wawancara yang mengejutkan itu dan mulai bergulat
dengan problem Ishido yang lebih mendesak.
Toranaga telah memutuskan untuk tidak menyuruh imam itu
pergi, karena menyadari hal itu akan membuat Ishido lebih
marah lagi, sekalipun dia juga merasa pasti hahwa kehadiran si
imam yang agak lama akan berhahaya. Lebih sedikit yang
diketahui orang asing, lebih baik. Lebih sedikit yang diketahui
seseorang, lebih haik, pikirnya. Apakah daimyo-daimyo Kristen
yang terpengaruh Tsukku-san itu akan memihakku atau
menentangku" Sampai hari ini aku harus mempercayainya tanpa pamrih.
Tapi terasa ada sesuatu yang aneh dalam diri si harbar itu yang
tidak kupahami. Ishido sengaja tidak mengikuti pola sopan-santun yang biasa
dan langsung menyinggung masalahnya. "Sekali lagi, saya harus
bertanya, apa jawaban anda kepada Dewan Bupati?"
"Sekali lagi saya ulangi: selaku Ketua Dewan Bupati, saya
rasa masalah itu tak perlu dijawab. Saya berpendapat hubungan
antarfamili itu masalah kecil, karena itu tak perlu dijawab."
"Anda sendiri menjodohkan putra anda, Naga-san dengan
putri Lord Masamune, juga mengawinkan salah seorang putri
anda dengan putra dan pewaris Lord Zataki"juga cucu anda
lainnya dengan putra Lord Kiyama. Semua perkawinan itu
adalah perkawinan antar bangsawan atau antara kerabat terdekat
dan karenanya bukan soal kecil dan malah, kalau dianggap
demikian, akan sangat bertentangan sekali dengan perintah Tunjungan kami."
"Tunjungan kita, Taiko, sudah setahun ini meninggal.
Celakanya, ya, saya menyesalkan kematian abang ipar saya dan
lebih menyukai dia masih hidup dan terus memimpin
kekaisaran," Toranaga menambahkan dengan simpatik,"
mencabut pisau dari luka yang sudah membekas begitu dalam
pada diri saingannya itu. "Sekiranya kakak ipar saya masih
hidup, tak pelak lagi dia pasti akan menyepakati hubungan
kekeluargaan tersebut. Beliau malah merestui perkawinan yang
dapat mengancam keturunannya. Saya samasekali tidak
mengancam keturunannya atau keponakan saya, Yaemon,
pewaris takhta Kaisar. Saya sudah senang sebagai Penguasa
Kwanto. Saya tak mau lagi mencari wilayah baru. Saya hidup
damai dengan para tetangga saya dan mengharapkan perdamaian
ini berlanjut terus. Demi Budha, saya bukan orang pertama yang
akan merusak perdamaian."
Selama enam abad kekaisaran telah porakporanda akibat
perang saudara yang berkepanjangan. Tiga puluh lima tahun
yang lalu, seorang daimyo kecil bernama Goroda berhasil
mengambil-alih Kyoto, setelah bersekongkol dengan Toranaga.
Dua puluh tahun kemudian, pejuang ini secara ajaib barhasil
menaklukkan setengah wilayah Jepang dengan meninggalkan
segunung tcngkorak bekas-bekas perang dan mengangkat dirinya
sendiri sebagai diktator namun masih belum cukup berkuasa
untuk mengajukan permohonan kepada Kaisar yang sedang
memerintah untuk menganugerahinya gelar Shogun, sekalipun
dia memiliki garis keturunan keluarga Fujimoto. Kemudian,
enam tahun yang lalu, Goroda dibunuh oleh salah seorang
jenderalnya dan kekuasaannya jatuh ke dalam tangan kepala
vassal dan jenderalnya yang paling cemerlang Nakamura, si
petani. Hanya dalam waktu empat tahun sesudahnya, Jenderal
Nakamura, dibantu oleh Toranaga, Ishido dan yang lainnya,
berhasil membinasakan keturunan Goroda dan sekaligus
merenggut seluruh wilayah Jepang di bawah kekuasannya,
seorang diri secara mutlak, pertamakali dalam sejarah ada orang
yang berhasil menaklukkan seluruh wilayah kekaisaran. Dalam
kejayaannya yang gilang-gemilang, Nakamura pergi ke Kyoto
untuk membungkuk di hadapan Go-Nijo, Putra Surga. Di sana,
karena dilahirkan sebagai seorang petani, Nakamura harus
menerima gelar lebih rendah yang dianugerahkan kepadanya
yakni, Kwampaku, Penasihat Kepala, yang belakangan, demi
kepentingan putranya, dia mengangkat dirinya sebagai Taiko,
kaisar Jepang. Tapi setiap daimyo membungkuk dihadapannya,
juga Toranaga. Secara mengagumkan, terciptalah suasana
tentram dan damai selama dua puluh tahun. Tahun lalu Taiko
meninggal. "Demi Budha," ujar Toranaga lagi. "Saya takkan menjadi
orang pertama yang merusak perdamaian."
"Tapi anda akan berperang, kan?"
"Orang yang bijak sudah siap untuk berkhianat, neh" Pasti
ada orang-orang jahat di setiap propinsi. Beberapa di antaranya
menempati kedudukan penting Kita berdua tahu, tingkat
pengkhianatan dalam hati manusia itu memang tak terbatas."
Toranaga menjadi tegas. "Kalau Taiko meninggalkan warisan
kekaisaran yang bersatu, kini kita malah terpecah menjadi
wilayah timur yang menjadi wilayah kekuasaanku, dan wilayah
barat yang menjadi kekuasaanmu. Dewan Bupati pun sudah
terpecah-belah. Para daimyo tengah berselisih. Seorang Ketua
Bupati tak mampu memerintah dusun yang penuh belatung di
dalamnya, apa lagi memerintah sebuah kekaisaran. Lebih cepat
putra Taiko menjadi dewasa, lebih baik. Lebih cepat ada
Kwampaku lagi, lebih baik."
"Atau mungkin Shogun?" tanya Ishido menyindir.
"Kwampaku atau Shogun atau Taiko, kekuasaannya semua
sama," ujar Toranaga lagi. "Apakah nilai sebuah gelar itu"
Kekuasaannyalah yang paling penting. Goroda tak pernah
menjadi Shogun. Nakamura lebih dari puas selaku Kwampaku
dan kemudian Taiko. Dia berkuasa dan itulah yang terpenting.
Apa salahnya kakak ipar saya itu petani" Apa salahnya keluarga
saya tergolong bangsawan tertua" Apa salahnya anda lahir
sebagai rakyat jelata" Pokoknya kini anda jenderal, Kepala
Marga, bahkan salah seorang anggota Dewan Bupati."
Oh, itu penting sekali artinya, pikir Ishido. Kau tahu itu. Aku
pun tahu. Setiap daimyo juga tahu. Bahkan Taiko sendiri juga
tahu. "Yaemon baru tujuh tahun. Tujuh tahun lagi dia menjadi
Kwampaku. Sampai saat itu?"
"Dalam delapan tahun lagi, Jenderal Ishido. Itu sudah menjadi
hukum historis kita. Bila keponakan saya sudah berusia lima
belas, dia sudah tergolong dewasa dan berhak mewarisi.
Sebelum saat itu tiba, kita berlima sebagai bupati memerintah
atas namanya. Itulah yang dikehendaki Tunjungan kita
almarhum." "Ya. Dan beliau juga memerintahkan agar para Bupati jangan
sampai melakukan penyanderaan, jika ada pertikaian. Putri
Ochiba, Ibu Putra Mahkota, kini disandera di puri anda, di Yedo,
sementara anda aman di sini. Ini jelas melanggar kehendak
Tunjungan kita. Padahal anda sudah menyetujui akan mematuhi
ikrar yang dibuatnya, seperti juga para bupati lainnya. Anda
malah menandatangani dokumen itu dengan darah anda sendiri."
Toranaga menghela napas panjang. "Putri Ochiba sedang
mengunjungi Yedo, di sana adik perempuan tunggalnya tengah
menantikan kelahiran bayinya. Adiknya menikah dengan putraku
dan pewarisku. Putraku tinggal di Yedo, sedangkan aku di sini.
Bukankah wajar kalau seorang kakak mengunjungi adik perempuannya dalam saat-saat seperti itu" Bukankah adiknya patut
merasa mendapat kehormatan" Mungkin aku akan mendapat
cucu lelaki pertama, neh?"
"Ibu Putra Mahkota adalah wanita terpenting di seluruh
kekaisaran. Tak sepantasnya beliau berada di?" Ishido sudah
ingin mengatakan "dalam tangan musuh", tapi dia berpikir lebih
baik, ?"dalam kota yang tidak biasa." Dia berhenti, kemudian
menambahkan dengan jelas, "Dewan menginginkan agar anda
memerintahkan beliau pulang hari ini."
Toranaga menghindari perangkap itu. "Saya ulangi, Putri
Ochiba bukan sandera dan karenanya tidak berada di bawah
perintah saya dan memang tak pernah berada dalam kedudukan
seperti itu." "Kalau begitu, biarkan saya mengatakannya dengan cara lain.
Dewan memohon kehadiran beliau di Osaka sesegera mungkin."
"Siapa yang memohonkan ini?"
"Saya. Lord Sugiyama. Lord Onoshi dan Lord Kiyama. Selain
itu, kami semua sepakat akan menunggu di sini sampai beliau
kembali ke Osaka. Ini tandatangan mereka semua."
Toranaga menjadi pucat. Sedemikian jauh dia berhasil
memanipulir dewan sehingga pemilihan suara lalu berimbang
dua banding tiga. Dia tak pernah menang empat lawan satu suara
melawan Ishido, demikian pula Ishido terhadapnya. Empat
lawan satu berarti terasing, dan marabahaya. Mengapa Onoshi
menyeberang ke pihak lain" Dan Kiyama" Keduanya adalah
musuh utama Ishido, sekalipun mereka telah beralih agama dan
memeluk agama Kristen. Pengaruh apa yang dimiliki Ishido
terhadap mereka" Ishido menyadari bahwa dia telah berhasil menggoyangkan
musuhnya. Tinggal satu langkah terakhir untuk menciptakan
kemenangan total. Jadi dia melaksanakan rencana yang telah
disetujuinya bersama Onoshi. "Kami, para bupati semuanya
menyetujui bahwa saatnya sudah tiba untuk membasmi mereka
yang merencanakan penggulingan kekuasaan junjungan saya dan
sekaligus membunuh putra mahkota. Para pengkhianat harus
dihukum. Mereka akan diarak di depan umum seperti penjahat
biasa. Mareka serta segenap keturunannya kemudian akan
dihukum mati seperti penjahat biasa. Fujimoto Takashima,
turunan bangsawan, turunan rakyat jelata tak peduli siapa,
bahkan turunan Minowara!"
Desis kemarahan langsung terlontar dari mulut para samurai
Toranaga, karena penghinaan keji terhadap keluarga Toranaga
yang dianggap setengah raja itu tak terbayangkan oleh manusia.
Seorang samurai muda, cucu menantu Hiromatsu, segera berdiri
dengan amarah tak tertahankan. Dia mencabut pedang mautnya
lalu menerjang Ishido. Mata pedangnya yang telanjang siap
sedia menetak sekali tebas.
Ishido sudah siap menerima ayunan pedang maut itu dan tak
beranjak sedikit pun untuk membela diri. Ini memang sudah
direncanakan dan diharapkan olehnya. Segenap anak buahnya
telah diperintahkan agar tidak ikut campurtangan sampai dia
meninggal. Apabila dia, Ishido, dibunuh di sini oleh seorang
samurai Toranaga, seluruh garnisun Osaka akan menyerang
Toranaga secara resmi dan menyembelihnya tanpa
mengindahkan Putri Ochiba yang sedang disandera. Kemudian
Putri Ochiba juga akan dibinasakan oleh para putra Toranaga
sebagai pembalasan dendam dan para bupati yang masih tinggal
akan bergerak secara bersama-sama melawan marga Yoshi yang
kini sudah terpencil dan tinggal dibasmi saja. Pada saat itu
pengganti Putra Mahkota baru dapat ditetapkan dan dia, Ishido,
sudah berhasil menunaikan baktinya kepada Taiko.
Namun ayunan pedang maut itu tak kunjung datang. Pada saat
terakhir Usagi baru sadar dan dengan tangan gemetar
menyarungkan kembali pedangnya.
"Maafkan saya, Tuanku Toranaga," ujarnya sambil berlutut
merendahkan diri. "Saya tak mampu menanggung malu
mendengar penghinaan semacam itu. Saya mohon diizinkan"
saya minta maaf, saya mohon diizinkan untuk melakukan
seppuku (bunuh diri) karena saya tak sanggup hidup dengan
menanggung malu seperti ini."
Walaupun Toranaga masih tetap tenang, dia sebenarnya sudah
siap untuk menerima maut dan dia juga tahu bahwasanya
Hiromatsu pun sudah siap, demikian pula dengan yang lainlainnya, walaupun Ishido cuma terluka. Toranaga juga mengerti
mengapa Ishido bersikap sedemikian menghina dengan beringas.
"Aku akan membalasmu tanpa ampun, Ishido," ujar Torana
berjanji pada diri sendiri.
Kini Toranaga mengalihkan perhatiannya pada anak muda
yang tengah berlutut itu. "Berani benar kau menafsirkan bahwa
semua yang dikatakan Lord Ishido ini dimaksudkan untuk


Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghinaku" Beliau takkan sekurang ajar itu. Berani benar kau
mendengarkan pembicaraan yang bukan urusanmu. Tidak! Kau
takkan kuizinkan melakukan seppuku. Itu suatu kehormatan.
Kau tak punya kehormatan dan tak punya disiplin pribadi. Kau
akan disalib seperti penjahat biasa hari ini. Pedangmu akan
dip atahkan dan dikuburkan di desa kaum eta (suku paria),
demikian pula putramu. Kepalamu akan diletakkan di ujung
tombak untuk ditonton dan diejek oleh segenap penduduk
berikut tanda di atasnya yang berbunyi: "Laki-laki ini keliru
diangkat sebagai samurai. Namanya telah dihapuskan!"
Dengan susah-payah Usagi mengendalikan napasnya yang
turun naik. Keringatnya terus mengucur dan rasa malunya
terhadap kenyataan itu membuatnya amat tersiksa. Dia
membungkuk ke arah Toranaga, pasrah menerima nasibnya
dengan ketenangan diri yang luar biasa.
Hiromatsu maju kemudian mencabut kedua bilah pedang
Usagi, cucu-mantunya. "Tuanku Toranaga," ujarnya dengan serius, "dengan izin anda
saya akan menyaksikan sendiri bahwa perintah anda akan
dijalankan." Toranaga mengangguk. Anak muda itu membungkuk untuk terakhir kalinya, lalu
mulai berdiri, tapi Hiromatsu mendorongnya kembali ke lantai.
"Samurai berjalan dengan kakinya," ujarnya. "Begitu juga lakilaki. Tapi kau bukan keduaduanya. Kau harus merangkak sampai
mati." Tanpa bicara Usagi mematuhi.
Dan semua orang di ruangan itu kagum menyaksikan disiplin
baja dan ketabahan luar biasa anak muda itu. Dia akan lahir
kembali sebagai samurai, ujar mereka pada diri sendiri dengan
perasaan puas. ** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 M 13 ALAM itu Toranaga tak dapat tidur. Hal ini jarang
terjadi pada dirinya sebab biasanya dia mampu
menangguhkan problem yang paling menekan hingga
keesokan harinya, menyadari bahwa sekiranya dia
masih hidup esok pagi dia akan mengatasinya dengan segenap
kemampuannya. Sejak lama ia sudah tahu bahwa tidur dengan
nyenyak dapat "menjawab" pertanyaan yang paling
membingungkan sekalipun, dan kiranya tidak, apa soalnya"
Bukankah hidup itu bagai setetes embun dalam setetes embun"
Tapi malam itu terlalu banyak persoalan yang harus
dipecahkannya. Apa yang harus kulakukan terhadap Ishido"
Mengapa Onoshi sampai menyebrang ke pihak musuh"
Bagaimana caranya mengatasi dewan"
Apakah imam-imam itu ikut campur tangan lagi"
Dari mana akan datang percobaan pembunuhan berikutnya"
Kapan sebaiknya Yabu dihubungi"
Dan apa yang harus kulakukan terhadap si barbar itu"
Apakah dia mengatakan hal yang sebenarnya"
Kehadiran si barbar dari perairan Timur saat ini benar-benar
membuat orang penasaran. Apakah itu suatu isyarat" Apakah
sudah menjadi karmanya untuk menjadi bunga api penyulut tong
berisi mesiu" Karma adalah kata India yang diambil oleh orang Jepang,
bahagian dari falsafah Budhis yang dihubungkan dengan takdir
seseorang dalam hidup ini. Nasib manusia ditentukan oleh
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya sebelumnya.
Segala perbuatan baiknya akan memberikannya kedudukan yang
lebih baik di dalam serata kehidupan, sementara perbuatan
buruknya akan memberinya imbalan sebaliknya, sedangkan perbuatan-perbuatan buruk pasti membuahkan hal yang buruk pula.
Persis seperti perbuatan-perbuatan dalam hidup ini akan
sepenuhnya mempengaruhi kelahiran kembalinya yang berikut.
Seseorang pasti lahir kembali ke dalam dunia yang penuh air
mata ini. Setelah mengalami semuanya dan menderita dan
belajar lagi lewat sekian kali kehidupan, akhirnya dia menjadi
sempurna, naik ke Nirwana, Tempat Kedamaian Sempurna dan
tak perlu lagi harus menderita dengan dilahirkan kembali.
Mungkin Budha atau sejumlah dewa lainnya atau mungkin
hanya karma yang membawa Anjin-san ke dalam wilayah
kekuasaan Yabu. Anehnya, mengapa si barbar itu mendarat tepat
di desa tempat Mura, kepala jaringan mata-mata Izu, yang telah
ditugaskan beberapa tahun yang lalu di bawah hidung Taiko dan
ayah Yabu yang berpenyakit cacar air itu" Aneh bahwa Tsukkusan sudah berada di Osaka untuk menerjemahkan danbukan di
Nagasaki, di tempat biasanya dia berada. Mengapa imam kepala
itu berada di Osaka, juga Kapten-Jenderal orang Portugis itu"
Anehnya, si pilot Rodrigeus juga sudah siap membawa
Hiromatsu si Anjin-san tepat pada waktunya untuk menawan si
barbar itu hidup-hidup, sekaligus merebut senapan-senapan itu.
Kemudian ada Kasigi Omi, putra orang yang mengatarkan
kepala Omi padaku hanya dengan menunjukkan jariku ke bawah.
Alangkah indahnya hidup ini dan alangkah sedihnya!
Alangkah mengambangnya, tanpa masa lampau masa depan, dan
kecuali yang tak terbatas ini sekarang.
Toranaga menghela napas. Satu hal yang pasti: si barbar itu
takkan bisa pergi, baik hidup maupun mati. Sudah menjadi
bahagian kekaisaran ini selamanya. Kedua telinganya
menangkap suara langkah kaki mendekat. Dia menyiapkan
pedangnya. Setiap malam dia sengaja berganti kamar tidur
mengganti pengawal kode-kode rahasia secara mendadak guna
mencegah para pembunuh yang mengintai nyawanya. Langkahlangkah kaki itu berhenti di luar shoji (pintu dorong Jepang).
Kemudian didengarnya suara Hiromatsu dan awal dari kode
rahasia malam itu: "Kalau Kebenarannya sudah jelas, apa
gunanya meditasi?" "Dan kalau kebenaran itu tersembunyi?" Tanya Toranaga
lagi. "Sudah jelas," Hiromatsu menjawab dengan benar. Kutipan
itu berasal dari seorang guru Budhis Tantaric, Saraha.
"Masuk." Setelah Toranaga melihat benar penasihatnyalah yang masuk,
pedangnya segera diletakkan kembali. "Duduklah."
"Saya dengar anda tak bisa tidur. Saya kira anda perlu
sesuatu." "Tidak. Terimakasih." Toranaga mengamati garis-garis yang
semakin dalam di sekeliling mata orang tua itu. "Saya senang
anda ada di sini, Sobat," ujar Toranaga lagi.
"Anda yakin anda tak apa-apa?"
"Oh, ya." "Kalau begitu, saya akan pergi lagi. Maaf saya telah
mengganggu anda, Tuanku."
"Jangan. Silakan masuk. Saya senang anda di sini.
Duduklah!" Orang tua itu duduk di sisi pintu, punggungnya tegak. "Saya
sudah melipat-gandakan jumlah pengawal."
Setelah sesaat, Hiromatsu berkata. "Tentang orang gila itu,
segalanya sudah dikerjakan sesuai dengan perintah anda.
Segalanya." "Terimakasih." "Isterinya"begitu didengarnya putusan itu, cucu pcrempuan
saya meminta izin saya untuk bunuh diri, mendampingi suami
dan anaknya menuju Nirwana. Saya menolak dan
memerintahkannya menunggu, menantikan persetujuan anda."
Hiromatsu merasa ada kesedihan yang amat sangat di dalam
hatinya. Alangkah mengerikannya hidup ini!
"Anda telah bertindak benar."
"Saya secara resmi meminta izin anda untuk mengukhiri
hidup saya. Perbuatan cucu-menantuku saat ini telah
menempatkan anda dalam bahaya yang besar sekali, tapi itu
salah saya. Seharusnya saya mengetahui cacatnya, saya
mengecewakan anda." "Anda tak boleh melakukan seppuku."
"Saya mohon. Saya minta izin secara resmi.
"Tidak. Anda saya perlukan."
"Anda akan saya patuhi. Mohon permintaan maaf saya
diterima." "Permintaan maaf anda diterima."
Sesaat kemudian, Toranaga berkata. "Bagaimana dengan di
barbar?" "Banyak, Tuan. Pertama: Sekiranya anda tidak menunggu
kedatangan si barbar itu, mungkin anda sudah akan berburu
burung sejak mentari terbit dan Ishido takkan berhasil menjebak
anda lewat acara pertemuan yang menjijikkan itu. Anda tak
punya pilihan lagi sekarang selain mengumumkan perang
terhadapnya"sekiranya anda dapat keluar dari puri ini dan
kembali ke Yedo." "Kedua?" "Dan yang ketiga dan yang keempat puluh tiga ditambah
seratus dan keempat puluh tiga lagi" Saya ini tidak secerdas
anda, Tuanku Toranaga, tapi saya dapat melihat bahwa segala
sesuatu yang ditanamkan dalam benak kita oleh orang barbar
dari selatan itu, tidak benar." Hiromatsu lega dapat berbicara. Itu
membuatnya menghilangkan rasa pedihnya. "Tapi seumpamanya
ada dua agama Kristen yang penganutnya saling membenci, dan
seumpamanya orang Portugis itu hanyalah bagian dari bangsa
Spanyol dan seumpamanya negeri orang barbar yang baru datang
itu"apa pun namanya"berperang melawan keduanya dan
berhasil mengalahkan mereka, dan seumpamanya negerinya itu
juga adalah negeri kepulauan seperti kita, dan kesemuanya itu
adalah "serba seumpamanya", seumpamanya dia memang
mengatakan yang sebenarnya dan seumpamanya kata-kata imam
itu adalah kata-kata yang persis seperti yang dikatakan oleh si
barbar itu .... Yaah, maka anda dapat menggabungkan semua
"seumpamanya" ini dan menarik makna yang terkandung di
dalamnya, juga rencananya. Saya sendiri tak bisa. Saya cuma
tahu apa yang saya lihat di Anjiro dan apa yang saya lihat di atas
kapal. Anjin-san itu amat cerdas"sekalipun fisiknya amat lemah
saat itu karena pelayaran yang sedemikian jauh"toh dia mampu
mendominasi lautan. Saya tak bisa memahami segala sesuatu
tentang dirinya. Bagaimana mungkin dia mau melakukan semua
itu demi seorang yang telah mengencingi punggungnya"
Mengapa dia menyelamatkan nyawa Yabu setelah menerima
perlakuan yang begitu keji terhadapnya" Dia bahkan mau
menyelamatkan jiwa Rodrigues, orang Portugis yang menurut
pengakuannya sendiri adalah musuhnya" Kepala saya pusing
memikirkan pertanyaan sebanyak itu, seolah-olah saya basah
kuyup disirami sake." Hiro-matsu berhenti berbicara. Dia amat
letih. "Tapi saya kira kita harus tetap mempertahankannya di
negeri ini dan yang seperti dia juga, kalau yang lainnya mau
mengikuti, lalu membunuhnya tanpa menunggu lagi."
"Bagaimana dengan Yabu?"
Perintahkan dia melakukan seppuku malam ini juga."
"Mengapa?" "Dia tak tahu adat. Anda sendiri sudah menginstruksikan
lebih dulu yang harus dikerjakannya begitu saya tiba di Anjiro.
Dia berniat mencuri milik anda. Selain itu, dia seorang
pembohong. Jangan ambil pusing untuk bertemu dengannya
besok seperti yang sudah anda rencanakan. Sebagai gantinya,
biar saya yang melaksanan perintah anda terhadapnya. Anda
harus membunuhnya, cepat atau lambat. Lebih baik sekarang,
mumpung dia gampang dihabisi dan tak ada satu pun vassal di
sekelilingnya. Saya sarankan, jangan ditangguhkan lagi."
Terdengar ketukan halus di pintu sebelah dalam.
"Tora-chan?" Toranaga tersenyum seperti yang selalu dilakukannya setiap
kali mendengar suara khas itu, suara yang kecil halus. "Ya, Kirisan?"
"Saya ingin memanfaatkan kesempatan ini, Tuanku, untuk
membawakan teh bagi anda dan tamu anda. Boleh saya masuk?"
"Ya." Kedua pria itu membalas bungkukkannya. Kiri-san menutup
daun pintu dan mulai menyibukkan diri menuang teh bagi
mereka. Dia berusia limapuluhtiga tahun masih tak tergantikan,
kepala rumah tangga Toranaga. Nama lengkapnya, Kiritsubonoh-Tokshiko, nama panggilannya Kiri, wanita tertua di antara
para wanita istana. Rambutnya sudah beruban di sana-sini,
pinggangnya sudah berlemak, tapi wajahnya masih dironai
kegembiraan abadi. "Anda semestinya tak boleh terjaga, tidak,
tidak pada malam-malam begini, Tora-chan! Sebentar lagi subuh
dan semestinya anda sudah keluar ke bukit sana, sudah berburu
didampingi burung-burung elang anda itu, neh" Anda perlu
tidur!" "Ya, Kiri-chan!" Toranaga menepuk pantatnya dengan penuh
kasih sayang. "Jangan begitu, ini Kiri-Chan!" Kiri tergelak. "Saya ini sudah
tua dan harus dihormati. Selir-selir anda yang lain sudah cukup
memusingkan kepala saya. Tapi mohon, jangan pada KiritsuboToshiko-san, kalau bisa, Tuanku Yoshi Toranaga-nohChikitada!"
"Nah, anda lihat sendiri, Hiromatsu. Setelah duapuluh tahun
dia masih juga mencoba mendominasi saya."
"Maaf, lebih dari tigapuluh tahun. Toranaga," ujar Kid dengan
bangga. "Dan anda masih terus bisa diatur sampai saat ini!"
Saat Toranaga masih berusia duapuluhan, dia juga pernah
disandera oleh seorang tiran pada saat itu, Ikawa Tadazaki,
Penguasa Suruga dan Totomi, ayah Ikawa Jikkyu, musuh Yabu.
Samurai yang bertanggungjawab atas kelakuan baik Toranaga itu
telah mengambil Kiritsubo sebagai isteri keduanya. Saat itu Kiri
baru tujuh belas. Samurai itu bersama Kiri, isterinya, memperlakukan Toranaga dengan hormat, memberinya wejangan bijak,
dan kemudian, waktu Toranaga memberontak melawan Tadazaki
dan bergabung dengan Goroda, samurai itu mengikutinya
bersama para pejuang lain dan telah bertarung dengan berani di
pihaknya. Belakangan, dalam pertempuran mempertahankan
ibukota, suami Kiri terbunuh. Toranaga kemudian memintanya
agar menjadi salah seorang selirnya dan Kiri menerimanya
dengan senang hati. Pada masa itu dia belum lagi segendut
sekarang. Namun dia mampu menjadi tempat berlindung, lagi
amat bijak. Ketika itu Kiri berusia sembilan belas dan Toranaga
berusia duapuluh empat, dan sejak saat itu Kiri menjadi kepala
rumah tangga Toranaga. Dia amat cerdas dan terampil. Sudah
bertahun-tahun ini, Kiri mengurus rumah tangga Toranaga dan
membuatnya bebas dari masalah.
Bebas dari masalah, seperti juga rumah tangga yang ada
wanitanya, yang mengurus semuanya itu, pikir Toranaga.
"Anda bertambah gemuk," ujar Toranaga yang sesungguhnya
tak keberatan selirnya gemuk.
"Astaga, Tuanku Toranaga! Ini kan di depan Tuanku Toda!
Sungguh memalukan, bisa-bisa saya melakukan seppuku atau
setidaknya saya harus mencukur kepala saya dan menjadi
bikkuni (bikku wanita), padahal saya kira saya ini masih muda
dan ramping!" Kiri terkekeh. "Sebenarnya saya senang pantat


Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya gembul, tapi saya bisa berbuat apa" Soalnya saya doyan
makan dan justru itulah problimnya bagi Budha dan sudah
menjadi karma saya, neh?" Dia menyodorkan teh. "Itu dia.
Sekarang saya mau pergi dulu. Perlukah Putri Sazuko saya suruh
ke sini?" "Tidak, Kiri-sanku yang bijak, terimakasih. Kami berdua
akan berbicara dulu sebentar, lalu saya mau tidur."
"Selamat malam, Tora-sama. Tidurlah yang nyenyak tanpa
mimpi." Kiri membungkuk kepadanya dan kepada Hiromatsu
lalu menghilang. Kedua pria itu mereguk teh mereka dengan rasa bersyukur.
Toranaga berkata, "Saya menyesal Kiri dan saya tak pernah
punya anak laki-laki. Sekali waktu dia hamil, tapi keguguran.
Waktu itu kami sedang perang di Nagakude."
"O, perang yang satu itu."
"Ya." Perang itu terjadi setelah Diktator Goroda terbunuh waktu
Jenderal Nakamura"calon Taiko itu"tengah berusaha
menggabungkan segenap kekuatan ke dalam tangannya. Saat itu
hasil peperangan masih diragukan, karena Toranaga justru
mendukung salah seorang putra Goroda, ahli waris Goroda.
Nakamura menyerang Toranaga di dekat desa kecil Nagakude.
Pasukan Toranaga berhasil dipukul mundur dan kalah. Secara
cerdik Toranaga mundur, dikejar oleh balatentara baru yang saat
itu dipimpin oleh Hiromatsu di bawah komando Nakamura. Tapi
Toranaga dapat menghindari jebakan itu dan meloloskan diri ke
propinsi desanya, seluruh pasukannya masih utuh, siap untuk
bertempur lagi. Limapuluh ribu tentara mati di Nagakude,
sebagian besar adalah tentara Nakamura, sedangkan di pihak
Toranaga sedikit sekali. Secara bijaksana Taiko menghentikan
perang saudara dengan Toranaga, sekalipun dia tahu dia pasti
akan menang. Nagakude adalah satu-satunya pertempuran di
mana Taiko kalah dan Toranaga adalah jenderal satu-satunya
yang mampu mengalahkannya.
"Syukur kita berdua belum pernah berhadapan dalam sebuah
pertempuran, Tuan," ujar Hiromatsu.
"Ya." "Anda pasti menang."
"Tidak. Taiko adalah jenderal paling besar, paling bijak dan
paling cemerlang sepanjang sejarah." Hiromatsu tersenyum.
"Di samping anda sendiri."
"Tidak. Anda keliru. Itulah sebabnya saya menjadi
vassalnya." "Sayang sekali beliau sudah mati."
"Ya." "Dan Goroda-dia juga lelaki yang baik, neh" Begitu banyak
tentara mati." Hiromatsu secara tak sadar berpaling dan memilih
pangkal pedangnya. "Anda sudah harus bergerak menyerang
Ishido. Itu akan memaksa setiap daimyo menentukan sikap untuk
berdiri di pihak mana, sekali dan untuk selamanya. Kita pasti
akan memenangkan perang. Setelah itu anda bisa membubarkan
dewan dan menjadi Shogun."
"Saya tak berambisi mendapatkan kehormatan itu," sahut
Toranaga tajam. "Berapa kali saya harus mengatakannya?"
"Maaf, Tuan, saya tahu. Tapi saya kira itulah yang terbaik
untuk Jepang." "Itu suatu pengkhianatan."
"Terhadap siapa, Tuanku" Terhadap Taiko" Beliau toh sudah
wafat. Terhadap cita-cita dan surat wasiatnya" Itu cuma sehelai
kertas. Terhadap si bocah Yaemon" Yaemon itu anak petani
yang berhasil merenggut takhta dan warisan dari seorang
jenderal yang para ahli warisnya berhasil dibinasakannya. Kita
berdua dulu sekutu Goroda, kemudian baru vassalnya Taiko. Ya.
Tapi keduanya sudah mati."
"Apakah Anda akan mengusulkan itu andainya anda ini salah
seorang bupati?" "Tidak. Tapi saat itu saya bukan salah satu bupati dan justru
itu saya bersyukur. Saya cuma vassal anda. Saya sudah memilih
posisi saya setahun yang lalu. Saya melakukannya tanpa
paksaan." "Mengapa?" Toranaga belum pernah menanyakan itu.
"Karena anda lelaki sejati, karena anda seorang Minowara
dan karena anda akan berperilaku bijak. Apa yang anda katakan
kepada Ishido memang benar: kita bukan bangsa yang bisa
diperintah oleh sebuah panitia. Kita membutuhkan seorang
pemimpin. Siapa yang harus saya pilih di antara kelima bupati"
Lord Onoshi" Ya, dia lelaki yang bijak, juga jenderal yang baik.
Tapi dia Kristen, lagipula pincang dan dagingnya habis
digerogoti kusta sampai berbau dari jarak limapuluh langkah.
Lord Sugiyama" Dia memang daimyo terkaya di negeri ini dan
keluarganya tergolong tertua, sama seperti keluarga anda. Tapi
dia itu pengecut dan kita berdua tahu itu sejak lama. Lord
Kiyama" Bijak, perkasa, jenderal besar dan seorang sobat kental.
Tapi dia juga Kristen, dan saya kira kita punya cukup banyak
dewa sendiri di Negeri Para Dewa ini dan tidak begitu sombong
untuk hanya memuja satu dewa saja. Ishido" Saya sudah jijik
pada si petani taik pengkhianat itu sejak saya mengenalnya dan
alasan satu-satunya mengapa saya tak membunuhnya adalah
karena dia anjingnya Taiko." Wajahnya yang telah berkerut itu
menyunggingkan senyum untuk sesaat. "Jadi anda lihat, Yoshi
Toranaga-noh-Minowara, anda adalah pilihan satu-satunya."
"Bagaimana bila saya menentang saranmu" Bagaimana
seandainya saya memanfaatkan Dewan Bupati, termasuk Ishido,
dan menobatkan Yaemon sebagai kaisar?"
"Apa pun yang anda lakukan, pasti bijak. Saya sarankan"
perang sesegera mungkin. Segera. Sebelum mereka mengisolir
anda, bahkan mungkin membunuh anda."
Toranaga memikirkan musuh-musuhnya. Mereka berkuasa
dan jumlahnya banyak. Dia membutuhkan waktu tiga minggu untuk kembali ke
Yedo, menyusuri jalan raya Tokaido, jalan raya utama yang
menyusuri pantai di antara Yedo dan Osaka. Pergi dengan kapal
laut lebih berbahaya, dan mungkin lebih banyak makan waktu,
kecuali dengan perahu dagang yang dapat berlayar melawan
angin dan air pasang. Pikiran Toranaga kembali terpusat pada rencana yang sudah
diputuskannya untuk dijalankan. Dia tak menemukan cacad-cela
di situ. "Secara rahasia kemarin saya dengar ibu kandung Ishido
sedang mengunjungi cucu lelakinya di Nagoya," ujarnya dan
Hiromatsu serta-merta menjadi penuh perhatian. Nagoya adalah
kota besar yang belum menjadi wilayah Toranaga maupun
Ishido. "Putri itu pasti di 'undang' oleh kepala bikhunya untuk
mengunjungi Pura Johji. Untuk melihat pohon cherry berbuah."
"Segera," ujar Hiromatsu. "Dengan merpati pos."
Pura Johji terkenal karena tiga hal: jalan rayanya ditumbuhi
pohon cherry, militansi para bikhu Zen Buddisnya dan
kesetiaannya yang terbuka dan tak pernah padam bagi Toranaga,
yang beberapa tahun lalu pernah membiayai pembangunan pura
itu dan ikut memeliharanya sesudahnya.
"Masa berbuah pohon cherry sudah lewat, tapi beliau sudah
akan berada di sana besok. Saya kira Putri akan bermalam
beberapa hari di sana, suasananya begitu tentram. Cucu lelakinya
akan menyertai, neh?"
"Tidak"hanya beliau. Itu akan menjadikan 'undangan' kepala
bikhu terlalu menyolok. Berikutnya: kirim kode rahasia kepada
putra saya Sudara: 'Saya akan meninggalkan Osaka begitu dewan
selesai bersidang"dalam waktu empat hari. Kirimkan lewat
seorang pelari kemudian perjelas dengan merpati pos, besok."
Rasa tak setuju Hiromatsu tampak jelas. "Jadi, boleh saya
kerahkan sepuluh ribu tentara sekarang juga" Ke Osaka?"
"Jangan. Mereka dibutuhkan di Yedo. Terimakasih, Sobat.
Saya ingin tidur sekarang."
Hiromatsu bangkit"merentangkan kedua bahunya. Lalu,
pada pintu keluar, dia berkata lagi: "Boleh saya izinkan Fujiko,
cucu perempuan saya, melakukan seppuku?"
"Tidak." "Tapi Fujiko itu samurai, Tuanku. Anda sendiri tahu
bagaimana perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Apalagi anak
itu putra sulungnya."
"Fujiko bisa beranak lagi. Berapa umurnya" Delapan belas"
hampir sembilan belas" Saya akan carikan lagi suami untuknya."
Hiromatsu menggeleng. "Dia takkan mau. Saya tahu betul
siapa dia. Sudah menjadi keinginan batinnya untuk mencabut
nyawanya sendiri. Bagaimana?"
"Beritahu cucu perempuanmu itu, aku tak mengizinkan
kematian yang sia-sia. Permohonannya ditolak."
Akhirnya Hiromatsu membungkuk dan mulai melangkah dari
situ. "Berapa lama lagi si barbar itu dipenjara?" tanya Toranaga.
Hiromatsu tak berbalik. "Tergantung seberapa tangguhnya dia
bertahan sebagai pejuang."
"Terimakasih. Selamat malam, Hiromatsu." Ketika Toranaga
merasa yakin dirinya tinggal sendirian, dia berkata dengan
tenang. "Kiri-san?"
Pintu dalam terbuka, perempuan itu masuk lalu berlutut.
"Kirimkan kabar segera kepada Sudara: 'Semuanya baik.'
Kirimkan dengan merpati balap. Lepaskan tiga ekor pada saat
yang sama di waktu subuh. Siang hari kerjakan lagi."
"Ya, Tuanku." Perempuan itu melangkah pergi.
Satu di antaranya pasti tiba di tempat, pikirnya. Paling tidak
tiga ekor akan terkena panah, tertangkap mata-mata atau
diterkam elang. Tapi, kecuali Ishido mendapatkan kode rahasia
kita, berita itu takkan berarti apa-apa baginya.
Kode itu amat pribadi sifatnya. Hanya empat orang yang tahu.
Putra sulungnya, Noboru. Putranya yang kedua dan ahli
warisnya, Sudara; Kiri; dan dia sendiri. Isi berita itu adalah:
'Jangan hiraukan berita-berita yang lain. Aktifkan Rencana
Lima.' Lewat pengaturan sebelumnya, Rencana Lima berisikan
sejumlah perintah untuk mengumpulkan segenap pimpinan
marga Yoshi dan para penasihat intinya yang terpercaya
secepatnya di ibukota, Yedo, guna memobilisir perang. Kode
yang mengisyaratkan perang adalah 'Langit Lembayung.'
Pembunuhan yang dilakukan terhadap Toranaga, atau
penahanannya, dapat menjadikan 'Langit Lembayung' tak dapat
ditawar lagi dan dapat mencetuskan perang"sebuah serbuan
kilat terhadap Kyoto di bawah pimpinan Sudara, ahli warisnya,
berikut segenap kaisar pasukannya, untuk menguasai kota itu
berikut kaisar bonekanya sekalian. Semua ini akan
dilipatgandakan dengan pemberontakan rahasia dan sudah
direncanakan sampai serinci-rincinya di kelimapuluh propinsi
yang juga sudah dipersiapkan selama bertahun-tahun guna
menghadapi seribu satu kemungkinan. Segenap sasaran, jalan
raya, kota, puri, jembatan, sudah diteliti sejak lama. Sudah cukup
senapan, tentara dan tekad baja untuk melaksanakannya.
Rencana yang bagus, pikir Toranaga. Tapi bisa gagal kalau
bukan aku yang memimpinnya. Sudara akan gagal. Bukan
karena kurang bersemangat atau kurang perkasa atau kurang
cerdas, atau karena penghianatan. Masalahnya Sudara belum
cukup berpengetahuan atau berpengalaman, lagipula dia belum
cukup pandai menghadapi para daimyo yang bersikap netral.
Dan juga karena Puri Osaka dan ahli warisnya, Yaemon, tetap
tinggal tak bercacad di jalan itu, yang justru merupakan tempat
berkumpulnya kebencian dan iri hati yang telah kudapatkan
selama limapuluhdua tahun berperang.
Pengalaman perang Toranaga sudah dimulai sejak dia baru
berusia enam tahun dan menjadi sandera di dalam kamp musuh.
Dia kemudian memperoleh penundaan hukuman dan setelah itu
ditawan lagi oleh sejumlah musuh lainnya lalu ditebus kembali,
untuk ditebus kembali sampai dia berusia duabelas tahun. Pada
usia semuda itu, dia telah memimpin pasukan patroli pertamanya
dan berhasil memenangkan pertempuran pertamanya.
Begitu banyak pertempuran. Tak satu pun kalah. Tapi begitu
banyak musuh. Dan kini mereka bergabung" melawannya
secara gabungan. Sudara pasti gagal. Kau satu-satunya yang dapat
memenangkan "Langit Lembayung". Taiko"mampu melakukannya secara mutlak. Tapi akan lebih baik untuk tidak
melaksanakan "Langit Lembayung." **
** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 B 14 AGI Blackthorne itu adalah fajar neraka. Dia terkungkung dalam pertarungan hidup dan mati dengan sesama
rekan tahanannya. Tebusannya adalah semangkuk bubur.
Kedua lelaki itu dalam keadaan bugil. Apabila seorang
tahanan dijebloskan ke dalam blok sel kayu besar dan hanya
berlantai sate ini, segenap pakaiannya akan dibawa pergi. Orang
berbaju membutuhkan ruang lebih banyak dan pakaian dapat
menyembunyikan senapan. Kamar yang suram dan pengap itu panjangnya lima puluh
langkah, lebarnya sepuluh; penuh dengan para tahanan Jepang
yang telanjang bulat dan bercucuran keringat. Hampir-hampir
tak ada berkas sinar yang masuk lewat papan dan balok kayu
yang membentuk dinding dan langit-langit bawah.
Blackthorne hampir tak kuat berdiri tegak. Kulitnya penuh
bisul dan goresan akibat cakaran kuku orang dari akibat kayu
tembok yang mulai lengas. Akhimya, dia tumbukkannya
kepalannya pada wajah orang itu, dicengkeramnya lehernya lalu
ditumbukkannya kepala orang itu pada balok-balok kayu hingga
ia pingsan, Kemudian dilemparkannya tubuhnya ke sisi dan
dengan keringat bercucuran. Blackthorne segera mengisi tempat
di pojok yang telah dinyatakannya sebagai miliknya dan dia
menyiapkan diri bagi serangan berikutnya.
Subuh selalu merupakan waktu makan dan para penjaga
mulai menyodorkan mangkuk-mangkuk bubur dan air lewat
sebuah celah kecil. Ini makanan dan air pertama yang diberikan
kepada mereka semenjak Blackthorne dimasukkan ke dalamnya,
pada saat fajar, kemarin. Antrian bagi makanan dan air di luar
kebiasaan terlihat begitu tenang. Tanpa disiplin tak ada akan
makan. Lalu lelaki yang mirip kera ini"berewok, kotor dan
berkutu"telah mencekal ginjalnya dan merenggut ransum
sementara yang lainnya hanya menunggu apa yang akan terjadi.
Tapi Blackthorne sudah sering mengalami huru-hara di antara
para awak kapal, hingga tak dapat dikalahkan hanya dengan
sebuah kepalan saja. Dia berpura-pura tak berdaya, kemudian


Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menendang dengan ganas dan pertarungan pun terjadi. Kini, di
pojoknya, Blackthorne melihat dengan terheran-heran bahwa
salah seorang di antara para tahanan itu menyodorkan mangkuk
bubur dan air yang dikiranya takkan diperolehnya. Dia
mengambilnya dan berterimakasih kepada orang itu.
Tempat-tempat pojok adalah daerah yang terpilih. Sebilah
balok kayu nampak diletakkan memanjang, sepanjang lantai
tanah, menyekat ruangan itu menjadi dua bagian. Setiap bagian
berisi tiga baris tahanan, dua baris saling berhadapan muka,
punggung mereka bersandar pada tembok atau balok kayu, dan
barisan satunya lagi berada di antara mereka. Hanya yang lemah
dan yang sakit menempati baris yang di tengah. Jika tahanan
yang lebih kuat di baris sebelah itu kebetulan ingin melonjorkan
kedua kakinya, mereka harus melakukannya melewati
sesamanya yang duduk di tengah.
Blackthorne melihat dua mayat yang telah membengkak dan
dikerumuni lalat di salah satu baris yang tengah. Namun para
tahanan yang sudah lemah dan sekarat di dekatnya nampak tak
mengacuhkan mereka. Dia tak mampu melihat jauh dalam keremangan yang panas
membara itu. Sinar mentari sudah mulai memanggang kayu. Ada
sejumlah ember untuk buang air, namun bau amis itulah yang
sedemikian menyiksa, karena yang sakit mengotori badannya
sendiri dan tempat-tempat di mana mereka duduk mendekam.
Dari waktu ke waktu para penjaga membuka pintu besar dan
nama-nama terdengar dipanggil. Para tahanan membungkuk
kepada rekan-rekan mereka lalu pergi, tapi sejumlah lainnya
segera dibawa masuk dan tempatnya diisi kembali. Segenap
tahanan nampaknya menerima tempatnya dan mencoba dengan
segenap kemampuannya untuk hidup tidak egois dan damai
dengan tetangganya yang terdekat.
Seorang tahanan yang menghadap tembok mulai muntah. Dia
segera didorong ke barisan tengah dan langsung jatuh pingsan,
setengah tercekik, di bawah beban kaki-kaki rekannya.
Blackthorne terpaksa menutup kedua matanya dan berjuang
mati-matian untuk mengendalikan rasa ngeri dan "claustrophobia" nya (penyakit rasa takut pada tempat-tempat
yang sempit dan tertutup). Bangsat si Toranaga! Aku berdoa
mudah-mudahan aku berkesempatan untuk menjebloskannya
juga suatu hari nanti. Para pengawal itu juga bangsat!
Semalam, waktu mereka memerintahkannya membuka baju, dia
bergulat dengan mereka dengan perasaan kecewa bercampur
putus-asa, karena menyadari bahwa dia dikalahkan dan dia
berkelahi hanya karena dia menolak untuk menyerah begitu saja.
Dan kemudian dia masih dipaksa memasuki pintu.
Ada empat blok sel semacam itu. Lokasi mereka di pinggir
kota, dalam kamp beraspal di dalam temboktembok batu yang
tinggi. Di luar tembok nampak daerah tempat pelaluan yang
sering dilewati yang dilingkari tali, di sisi sungai. Lima salib
terpancang di sana. Lima lelaki dan satu perempuan, dalam
keadaan bugil dan kaki mengangkang, tampak disalib
menggelantung pada pergelangan tangan dan pergelangan
kakinya. Sementara Blackthorne berjalan mengitari garis keliling
bangunan, mengikuti samurai penjaganya, dilihatnya sejumlah
algojo dengan tombak panjang menghujamkan tombaktombaknya silang-menyilang ke dada para korbannya sambil
mengejek. Kemudian kelimanya diturunkan dan lima lagi
dinaikkan. Para samurai maju ke depan lalu menetak mayatmayat mereka menjadi beberapa potong dengan tombak-tombak
panjang mereka, seraya tertawa berkesudahan.
Bangsat-bangsat bernanah semua!
Tanpa ada yang tahu, orang yang tadi dihajar Blackthorne
mulai siuman. Dia tergeletak di barisan tengah. Darah telah
menyumbat salah satu sisi wajahnya dan hidungnya hancur.
Tiba-tiba dia menerjang ke arah Blackthorne, lupa pada sesama
tahanan di kiri-kanannya.
Blackthorne sempat melihat serangannya pada saat terakhir,
dan dalam keadaan bingung segera mengelakkan serangan
gencarnya lalu menghujani kepalanya dengan pukulan bertubitubi. Para tahanan yang kebetulan tertimpa oleh orang itu mulai
mengutuk habis-habisan dan seorang di antaranya, yang
bertubuh gempal dan berperawakan seperti anjing bulldog,
menetak lehernya tanpa ampun dengan salah satu sisi tangannya.
Terdengar bunyi gemeretak sesaat dan kepala orang itu jatuh
terkulai. Orang bertampang bulldog itu mengangkat kepala yang baru
setengahnya dicukur itu lewat jambulnya yang tipis dan dipenuhi
kutu dan membiarkannya jatuh terkulai. Dia memandang
Blackthorne, mengatakan sesuatu yang tak jelas, tersenyum
memamerkan gusinya yang sudah ke dalam dan tak bergigi,
kemudian mengangkat bahu.
"Terimakasih," ujar Blackthorne, bergulat mencuri napas,
bersyukur bahwa penyerangnya tadi tidak memiliki ketrampilan
yang sama dengan Mura dalam duel tak bersenjata. "Namaku
Anjin-san," ujar Blackthome sambil menunjuk pada diri sendiri.
"Kau?" "Ah, so desu! Anjin-san!" si bulldog menunjuk ke dirinya
sendiri dan berdesis menarik napas. "Minikui."
"Minikui-san?" "Hai," dan dia menambahkan beberapa patah kata Jepang.
Blackthorne mengangkat baru dengan letih. "Wakarimasen."
Aku tak mengerti. "Ah so desu!" Si bulldog mengobfol sejenak dengan para
tetangganya. Kemudian dia kembali mengangkat bahu dan
Blackthorne juga mengangkat bahunya lalu ramai-ramai
mengangkat mayat orang itu dan meletakkannya di dekat mayatmayat lainnya. Waktu keduanya kembali ke pojoknya masingmasing, tak ada orang yang menempatinya.
Sebagian besar para tahanan itu tertidur atau dengan rasa
gelisah mencoba tidur. Blackthorne merasa dirinya mesum serta mengerikan dan
sudah di ambang maut. Jangan kuatir, ujarnya pada diri sendiri,
perjalananmu masih jauh sebelum mati .... Tidak, aku tak mampu
hidup lama dalam lubang neraka ini! Sudah terlalu banyak orang.
Oh, Tuhan, biarkan aku keluar! Mengapa ruangannya mengambang ke atas dan ke bawah dan mengapa Rodrigues
mengapung dari kedalaman dengan penjepit pada matanya" Aku
tak bisa bernapas, tak bisa bernapas. Aku harus keluar dari sini,
mohon, jangan tambahkan kayu ke dalam api itu dan apa yang
kauperbuat di sini, Crooq" Kukira mereka melepaskanmu, kukira
kau sudah balik lagi ke desa itu, tapi kini lihat, kita berdua ada di
desa ini dan bagaimana caranya aku bisa sampai ke sini"sejuk
rasanya dan gadis itu pun di sana juga, begitu cantik, di dermaga
itu, tapi mengapa mereka menyeretnya ke pesisir dengan para
samurai telanjang, dan Omi di sana, sambil tertawa-tawa"
Mengapa di seberang pasir itu, noda-noda darah di pasir,
semuanya telanjang bulat, aku telanjang, nenek-nenek tua dan
seluruh penduduk dan anak-anak, dan ada belanga, dan kita
semua ada di dalam belanga dan jangan, jangan tambah lagi
kayunya, jangan tambah kayu lagi, aku terbenam dalam cairan
busuk. Oh Tuhan. Oh Tuhan. Oh Tuhan, aku mampus, mampus,
mampus 'In nomine Patries et Fuji et Spiritus Sancti.' (Atas
nama Bapak dan Putera dan Roh Kudus).' Itulah Sakramen
terakhir dan kau ini Katolik dan kita semua Katolik dan kau akan
dibakar atau dibenamkan dalam air kencing dan dibakar dengan
api, api, api. Blackthorne berusaha membuang jauh jauh mimpi buruknya.
Kedua telinganya dihujani dengan akhir gempa bumi yang
menentramkan, dari Sakramen Terakhir. Untuk sesaat dia tak
tahu apakah dia terjaga atau tertidur karena kedua telinganya
yang tak mau percaya masih bisa mendengar doa-doa Latin
kembali dan matanya yang juga tak mau percaya tengah melihat
sepotong orang-orangan bangsa Eropa yang sudah tua dan
keriput tengah membungkuk di barisan tengah, lima belas
langkah dari situ. Orang tua tak bergigi itu berambut panjang dan
kotor dan jenggot yang sudah lengket berikut kuku-kuku yang
sudah patah dan mengenakan baju luar yang mesum dan usang.
Dia mengangkat sesudah tangannya yang mirip cakar burung
pemakan bangkai lalu mengangkat sepotong salib kayu di atas
mayat yang setengah nampak itu. Berkas sinar mentari
menerpanya sesaat. Kemudian dia menutup kedua mata orang
mati itu, menggumamkan doa, kemudian mengangkat kepalanya.
Dilihatnya Blackthorne tengah menatapnya.
"Bunda Maria, apakah anda benar-benar ada?" orang tua itu
melontarkan kata-kata Spanyol kasar barbau bahasa petani
sambil membuat tanda salib bagi diirinya dalam bahasa Spanyol.
"Siapa anda ini?"
Orang tua itu meraba-raba, melangkah dari situ, sambil
sesekali bergumam pada diri sendiri. Para tahanan lain
membiarkannya melangkahi badan mereka begitu saja tanpa
berkata sepatah pun. Dia menatap ke arah Blackthorne lewat
matanya yang berair, wajahnya penuh kutil. "Oh, Bunda Maria
yang terberkati, senor ini benar ada. Siapa anda" Saya ... saya
Pater ... Pater Domingo ... Domingo ... Domingo dari ... Orde
Kudus St. Francis ... Ordenya ..." dan untuk sesaat kata-katanya
menjadi campuran kata-kata Jepang, Latin dan Spanyol.
Kepalanya bergerak ke kiri-kanan lalu disekanya air liur yang
menetes ke dagunya. "Senor benar ada?"
"Ya, saya benar-benar ada," Blackthorne menenangkan diri.
Imam itu menggumamkan Salam Maria sekali lagi, air mata
mengalir ke pipinya. Diciumnya salib itu berulang kali dan
nampaknya sudah ingin berlutut kalau saja ada ruangan untuk
itu. Minikui mengguncang-guncang badan tetangganya supaya
bangun. Kini, baik Blackthorne maupun si bulldog, beringsut
menyisakan ruang supaya si imam dapat duduk.
"Demi nama St. Francis yang terberkati, doa saya rupanya
terkabul. Anda, anda, saya kira saya tengah melihat setan yang
lain, Tuan. Ya, roh jahat lainnya. Soalnya saya sering
melihatnya, banyak, begitu banyak"berapa lama sudah Senor di
sini" Mengapa susah melihat orang di keremangan ini, lagipula
kedua mata saya sudah tak baik lagi... Berapa lama?"
"Sedari kemarin. Dan anda sendiri?"
"Saya tak tahu, Senor. Sudah lama sekali. Saya ditugaskan di
sini sejak bulan September"tahun seribu limaratus
sembilanpuluh delapan Masehi."
"Sekarang bulan Mei. Tahun seribu enam ratus.
"Seribu enam ratus?"
Suara erangan memecah perhatian si imam. Dia langsung
bangun dan melangkahi tubuh para tahanan, bagai laba-laba,
memberi semangat pada seseorang di sebelah sini, menyentuh
lainnya lagi di sebelah san, bahasa Jepangnya fasih. Dia tak
menemukan orang yang sekarat itu, jadi dia hanya
menggumamkan ayat-ayat terakhir ke arah bagian sel tersebut
dan memberkati setiap orang dan tak seorang pun keberatan.
"Mari ikut saya, Anakku."
Tanpa menunggu, imam itu melangkah tertatih-tatih
menuruni sangkar tahanan, melewati segerombolan manusia,
menuju ke keremangan. Blackthorne raguragu, tak mau
meninggalkan tempatnya. Kemudian dia bangun dan mengikuti.
Sesudah sepuluh langkah, dia baru berpaling ke belakang.
Tempatnya tak lagi terlihat. Nampaknya mustahil dia pernah
berada di sana. Dia terus menyusuri gubuk panjang itu. Di sudut yang jauh,
yang rasanya tak dapat dipercaya, nampak sebuah ruangan
terbuka, hanya cukup bagi seorang manusia kecil untuk
berbaring. Ruangan itu berisi beberapa buah poci, mangkuk dan
sebilah tikar pandan. Pater Domingo melangkahi orang-orang waktu memasuki
ruang itu, lalu memberi isyarat kepada Blackthorne. Orang-orang
Jepang yang berada di sekeliling hanya mengawasi tanpa
berbicara, membiarkan Blackthorne lewat.
"Mereka ini kaumku, Senor. Mereka semua anak-anakku
dalam Tuhan Yesus yang terberkati. Saya sudah
mempermandikan begitu banyak orang di sini ... yang ini John,
dan ini Markus dan Methusellah ..." Si imam berhenti sejenak,
menarik napas. "Saya letih sekali. Letih. Saya harus, saya ...
harus ..." kata-katanya semakin perlahan dan dia tertidur.
Pada waktu fajar lebih banyak makanan datang. Ketika
Blackthome mulai bangun, salah satu orang Jepang terdekat
mengisyaratkan agar tetap tinggal dan membawakan mangkuk
yang diisi penuh. Orang lainnya menepuk imam itu dengan
lembut, supaya bangun, seraya menyodorkan makanan.
"Iye" (tidak) ujar orang tua itu sambil menggeleng, dia
tersenyum dan mendorong kembali mangkuk itu ke tangan orang
tadi. "Iye, Farddah-sama." (tidak, Pater).
Si imam membiarkan dirinya dibujuk lalu makan sedikit,
kemudian bangkit, kedua lututnya bergemeretak. Dia lalu
menyodorkan mangkuknya kepada salah seorang di baris tengah.
Orang ini menyentuhkan tangan si imam ke dahinya dan dia
diberkati. "Saya gembira sekali bertemu dengan orang sebangsa saya,"
ujar si imam, sembari duduk di sisi Blackthorne kembali, suara
petaninya terdengar rendah dan berdesis. Dia menunjuk lemah
ke sudut blok sel yang satunya. "Salah seorang kaum saya
mengatakan Senor ini menggunakan kata "pilot," "anjin?" Senor
ini pilot (nakhoda")"
"Ya." "Masih ada waktu kapal Senor yang lain sini?"
"Tidak, saya sendirian. Mengapa anda di sini?"
"Kalau Senor sendirian"Senor datang dari Manila?"
"Bukan. Saya belum pemah ke Asia," sahut Blackthorne hatihati, bahasa Spanyolnya bagus sekali. "Ini pelayaran saya yang
pertama sebagai pilot. Saya baru sekali ini keluar dari pangkalan.
Mengapa Anda di sini?"
"Kaum Yesuit yang menempatkan saya di sini, Anakku.
Yesuit dan dusta mereka yang mesum. Senor berdinas luar"
Anda bukan orang Spanyol, juga bukan Portugis ..." Imam itu
memicingkan mata ke arahnya dengan rasa curiga dan
Blackthome dikelilingi oleh napasnya yang berbau busuk.
"Apakah kapal itu kapal Portugis" Katakan yang sebenarnya,
demi Tuhan!" "Bukan, Pater. Bukan kapal Portugis. Demi Tuhan!"
"Oh, Bunda Maria yang terberkati, terimakasih! Maafkan
saya, Senor. Saya takut tadi"saya sudah tua, bodoh dan
penyakitan. Kapal anda itu dari salah satu daerah Spanyol" Saya
senang sekali"dari mana asal Senor" Wilayah Flander Spanyol"
Atau wilayah Brandenburgnya Belanda" Atau persemakmuran
kami di Jerman" Oh, senang sekali rasanya bisa berbicara lagi
bahasa ibu saya yang terberkati itu! Apakah kapal Senior juga
pecah berantakan seperti kapal kami" Kemudian secara
menjijikan anda dijebloskan ke dalam penjara ini, dituduh salah


Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh kaum Yesuit setan itu" Mudah-mudahan Tuhan mengutuk
mereka dan menunjukkan pada mereka pengkhianatan mereka
yang keliru!" Kedua matanya menjadi beringas berkilauan.
"Senor tadi bilang belum pernah ke Asia?"
"Belum." "Kalau Senor belum pernah ke Asia, maka anda ini bagai
anak kecil di tengah hutan belantara. Ya, banyak sekali yang bisa
diceritakan! Apakah Senor tahu bahwa kaum Yesuit itu hanya
pedagang, penjual senapan, dan tukang kredit" Bahwa merekalah
yang menguasai perdagangan sutera di sini dan semua
perdagangan dengan Cina" Bahwa Kapal Hitam yang tiap tahun
datang itu berharga satu juta uang emas" Bahwa mereka
memaksa Bapak suci Sri Paus, untuk menganugerahkan kepada
mereka kekuasaan total terhadap Asia"mereka berikut anjinganjing mereka, orang-orang Portugis itu" Bahwa semua agama
lain dilarang di sini" Bahwa kaum Yesuit itu berdagang emas,
membeli dan menjualnya untuk mengeruk keuntungan semata
bagi kantong mereka sendiri maupun orang-orang kafir"
melanggar perintah langsung Bapak suci Sri Paus Clement, dan
perintah Raja Philip, dan melanggar hukum negeri ini" Bahwa
secara rahasia mereka menyelundupkan senjata ke Jepang bagi
raja-raja Kristen di sini, menghasut mereka agar memberontak"
Bahwa mereka ikut campur dalam urusan politik dan mencarikan
mucikari bagi raja-raja itu, berdusta dan menipu dan bersaksi
palsu terhadap kami! Bahwa Imam Kepala mereka mengirimkan
berita rahasia kepada Duta Spanyol di Luzon meminta agar
mengirimkan para penakluk untuk menaklukkan negeri itu"
mereka memohon penyerbuan Spanyol untuk lebih banyak
menutupi kesalahan-kesalahan Portugis. Semua masalah kami
bias diletakkan di ambang pintu mereka, Senor. Kaum Yesuitlah
yang telah berbohong dan menipu dan menyebarkan racun
terhadap Spanyol dan Raja Philip yang tercinta! Kebohongan
mereka telah menjebloskan saya di sini dan telah menyebabkan
duapuluh enam pater menjadi martir! Mereka mengira bahwa
hanya karena saya dulu seorang petani, saya tak mengerti ... tapi
bias baca-tulis! Saya malah pernah menjadi salah seorang
sekretaris Yang Mulia, Duta Besar kami ...." Pada detik ini imam
itu kembali menggumamkan campuran kata-kata Spanyol dan
Latin. Semangat Blackthorne bangkit kembali, rasa ingin tahunya
mulai berkobar lagi mendengar apa yang baru dikatakan imam
itu. Senjata apa" Emas apa" Perdagangan apa" Kapal Hitam apa"
Sejuta" Penyerbuan apa" Raja Kristen yang mana"
Tidakkah kau menipu orang malang yang sakit itu" tanyanya
pada diri sendiri. Dia mengira kau adalah temannya, bukan
musuh. Aku tidak bohong terhadapnya.
Tapi bukankah kau sudah menunjukkan secara tak langsung
bahwa kau adalah temannya"
Aku sudah menjawabnya secara langsung. Tapi kau tak
mengorbankan apa-apa" Tidak.
Apakah itu adil" Itu adalah syarat utama jika ingin hidup di perairan musuh:
jangan mengorbankan apapun.
Amarah imam itu bertambah dengan cepat. Orang Jepang di
dekatnya beringsut dengan gelisah. Salah seorang di antaranya
bangkit lalu mengguncang-guncang si imam dengan lembut dan
berbicara dengannya. Pater Domingo perlahan-lahan sadar
kembali, matanya menjadi terang. Dia menatap Blackthorne dan
mulai mengenalinya, mulai menjawab pertanyaan orang Jepang
itu dan mulai menenangkan para tahanan (napi) yang selebihnya.
"Maaf, Senor," ujarnya dengan napas tersengal. Mereka"
mereka mengira saya ini marah terhadap"terhadap Senor.
Tuhan mengampuni amarah saya yang gila ini! Saya Cuma"que
va. Kaum Yesuit datang dari neraka bersama orang-orang
murtad dan orang kafir. Saya bisa menceritakan banyak tentang
mereka pada anda." Imam itu menyeka tetesan air liur dari
dagunya; dan mencoba menenangkan diri. Dia menekan dadanya
untuk meredakan rasa pedihnya. "Senor berkata apa tadi" Kapal
anda, terdampar ke darat?"
"Ya. Boleh dibilang begitu. Kami terdampar." Blackthorne
menjawab. Dia melonjorkan kedua kakinya dengan hati-hati.
Orang-orang yang tengah mengamati dan mendengarkannya,
memberinya ruangan. Salah seorang bangkit dan mengisyaratkan
padanya agar merentangkannya sekalian. "Terimakasih," ujarnya
saat itu juga. "Oh, bagaimana caranya mengatakan 'terimakasih',
Pater?" "Domo. Terkadang anda bisa bilang, arigato. Seorang
perempuan harus bersikap amat sopan, Senor. Dia mengatakan
"arigato goziemashita."
"Terimakasih. Siapa namanya?" Blackthorne menunjukkan ke
orang yang baru bangun tadi.
"Itu Gonzalez."
"Tapi nama Jepang-nya siapa?"
"Ah, ya" Dia Akabo. Tapi itu cuma berarti 'tukang jaga pintu',
Senor. Mereka tak punya nama. Hanya samurai yang punya
nama." "Apa?" "Hanya samurai yang punya nama, nama pribadi dan nama
keluarga. Itu ketentuan hukum mereka Senor. Setiap orang harus
menyesuaikan namanya dengan jabatannya"tukang jaga pintu,
nelayan, koki, algojo, petani dan sebagainya. Anak laki-laki dan
perempuan kebanyakan hanya memakai nama Putri Pertama,
Putra Kedua, Putra Sulung, dan seterusnya. Kadang-kadang
menjuluki seseorang, nelayan yang tinggal dekat pohon elm atau
nelayan bermata satu." Si imam mengangkat bahu dan mulai
menguap. "Orang Jepang kebanyakan tidak memakai namanya.
Pelacur menamakan diri mereka Kepiting atau Bulan dan Daun
Bunga atau Belut atau Bintang: Memang aneh, Senor, tapi itulah
hukum mereka. Kita memberi mereka nama Kristen, nama
benar, waktu kita membaptis mereka, membawa mereka
penyelamatan dan firman Tuhan.." kata-katanya semakin
perlahan dan dia tertidur lagi.
"Domo, Akabo-san, ujar Blackthorne pada si tukang jaga
pintu. Orang itu tersenyum malu, membungkuk dan mendesis lewat
mulut. Kemudian si imam terjaga lalu mengucapkan doa singkat dan
menggaruk-garuk. "Baru kemarin kata Senor" Anda datang ke
sini baru kemarin" Apa yang telah terjadi pada Senor?"
"Waktu kami mendarat sudah ada Yesuit di sana," sahut
Blackthorne. "Tapi anda, Pater. Tadi anda bilang . mereka
menuduh anda" Apa yang terjadi pada anda dan kapal anda?"
"Kapal kami" Senor menanyakan kapal kami" Senor datang
dari Manila seperti kami" Atau"oh, goblok benar saya ini! Saya
baru ingat sekarang. Senor baru pertamakali keluar negeri dan
belum pernah ke Asia. Demi tubuh Kristus yang terberkati,
senang sekali bisa berbicara dengan orang beradab lagi, dalam
bahasa ibu saya! Que va, sudah lama sekali! Kepala saya nyeri,
nyeri, Senor. Kapal kami" Kami pulang ke rumah juga, pada
akhirnya. Pulang dari Manila ke Acapulco, di wilayah Cortes, di
Mexico, dari sana melalui darat ke Vera Cruz. Dan dari sana
menumpang kapal lagi lalu menyeberangi Atlantik, dan pada
akhirnya, sampai di rumah. Desa saya di luar Madrid, Senor, di
pegunungan. Namanya Santa Veronica. Empat puluh tahun saya
merantau, Senor. Di Amerika, Mexico, dan di Philipina. Selalu
dengan para penakluk kami yang jaya, mudah-mudahan Bunda
Maria melindungi mereka! Saya sedang ada di Luzon waktu
kami membinasakan raja pribumi yang kafir itu, Lumalon, dan
menaklukkan Luzon, dan dengan begitu membawakan firman
Tuhan ke Philipina. Banyak rekan-rekan Jepang kami yang
sudah seagama ikut berjuang membantu kami saat itu, Senor.
Benar-benar pejuang! Itu tahun 1575. Induk Gereja sudah
tertanam kuat-kuat di sana, Anakku, dan tak satu pun Yesuit atau
Portugis mesum yang kelihatan! Saya datang ke Jepang sudah
hampir dua tahun dan akan berangkat lagi ke Manila waktu
kaum Yesuit mengkhianati kami." Si imam berhenti dan
menutup matanya, menerawang jauh. Kemudian dia tersadar
kembali, dan, seperti orang tua pada umumnya, dia melanjutkan
lagi seolah-olah dia tak pernah tidur. "Kapal saya kapal dagang
besar"San Felipe. Kami membawa muatan rempah-rempah,
emas, perak, dan mata uang yang bernilai satu juta setengah
perak pesos. Salah satu badai terbesar menelan kami dan
melemparkan kami ke pantai Shikoku. Kapal kami punggungnya
patah terhempas ke galangan pasir"pada hari ketiga"saat itu
kami sudah mendaratkan emas batangan dan sebagian besar
muatan kami. Lalu perintah datang bahwa semuanya disita, disita
oleh Taiko. Dia menuduh kami ini bajak laut dan..." Dia berhenti
begitu sekelilingnya tiba-tiba hening.
Pintu besi blok sel itu terbuka lebar.
Para pengawal mulai memanggil nama-nama dari daftar.
Bulldog, orang yang telah berteman dengan Blackthorne,
termasuk salah satu yang dipanggil. Dia melangkah keluar dan
tidak menoleh lagi. Salah seorang di tengah, Akabo, juga
terpilih. Akabo berlutut di depan si imam yang memberkatinya
dan membuat tanda salib baginya dan dengan cepat memberinya
sakramen terakhir. Orang itu mencium salib lalu melangkah
pergi. Pintu kembali tertutup. "Mereka akan menghukumnya?" tanya Blackthorne.
"Ya, bukit kalvari-nya (tempat Yesus disalibkan) persis di
luar pintu. Mudah-mudahan Madonna Suci mencabut nyawanya
dengan cepat dan memberinya imbalan abadi."
"Apa yang telah dilakukannya?"
"Dia melanggar hukum"hukum mereka. Senor. Orang
Jepang amat bersahaja. Dan amat kejam. Mereka hanya
mengenal satu jenis hukuman"mati. Dengan penyaliban,
pencekikan leher atau pemenggalan kepala. Kejahatan membakar
rumah, hukumannya juga dibakar mati. Mereka hampir-hampir
tak mengenal hukuman lain"aembuangan, cuma kadang-kadang
saja, atau kadang-kadang juga pemotongan rambut bagi
perempuan. Tapi?" orang tua itu menghela napas.?"tapi ratarata hukuman mati."
"Anda lupa pada hukuman penjara."
Kuku-kuku imam itu otomatis menggaruk koreng pada
lengannya. "Itu bukan salah satu hukuman mereka, Anakku. Bagi
mereka, penjara itu cuma tempat sementara untuk menyimpan
orang bersangkutan. Cuma yang salah dijebloskan ke sini. Untuk
sementara." "Omong kosong! Bagaimana dengan anda" Anda sudah
setahun di sini, hampir dua tahun."
"Suatu hari mereka akan datang menjemputku, seperti yang
lain. Ini cuma tempat beristirahat antara neraka bumi dan
kejayaan kehidupan kekal."
"Saya tak percaya pada anda."
"Jangan takut, Anakku. Itu sudah kehendak Tuhan. Saya di
sini dan bisa mendengarkan pengakuan Senor, memberi absolusi
(pengampunan) dan membuatnya jadi sempurna"kejayaan
kehidupan kekal hanya tinggal seratus langkah dan beberapa
detik dari pintu itu. Anda ingin saya mendengarkan pengakuan
dosa anda, Senor?" "Tidak"tidak, terimakasih. Jangan sekarang." Blackthorne
memandang ke pintu besi. "Sudah ada yang mencoba kabur dari
sini?" "Untuk apa mereka berbuat begitu" Tak ada tempat untuk
lari"tempat untuk bersembunyi. Pejabat-pejabat di sini amat
ketat. Siapa saja yang membantu seorang tahanan lari, apalagi
orang yang melakukan kejahatan?" Dia menunjukkan samarsamar ke arah pintu gubuk. "Gonzales"Akabo"orang yang sedang"meninggalkan kita. Dia itu tukang kaga. Dia bercerita
pada saya?" "Apa itu tukang kaga?"
"Oh, mereka itu tukang jaga pintu, Senor, orang yang suka
menggotong tandu, atau kaga untuk dua orang, yang mirip
dengan ayunan yang ditambatkan pada ujung galah, katanya
rekannya mencuri syal sutera seorang langganan, kasihan, dan
karena dia tidak melaporkan pencurian itu, maka hidupnya juga
harus dikorbankan. Percayalah pada saya, Senor, mencoba untuk
kabur"apalagi membantu orang kabur, maka orang yang
bersangkutan serta segenap anggota keluarganya akan
kehilangan nyawanya. Mereka amat kejam, Senor."
"Jadi setiap orang dihukum mati seperti kambing?"
"Tak ada pilihan lain. Itu sudah kehendak Tuhan."
Jangan marah, atau panik, Blackthorne memperingatkan diri
sendiri. Bersabarlah. Kau bisa memikirkan jalan lain. Tidak
semua yang dikatakan imam itu benar. Dia sinting. Siapa yang
tahan tinggal begitu lama di tempat seperti ini"
"Kompleks penjara ini bagi mereka termasuk baru, Senor,"
ujar imam itu lagi, "Taiko mendirikan penjara ini baru beberapa
tahun yang lalu, begitu kata mereka. Sebelum dia, tak ada. Masamasa sebelumnya kalau seseorang ketangkap basah, biasanya dia
mengakui kejahatannya dan langsung dihukum mati."
"Dan kalau tidak mengaku?"
"Setiap orang mengaku"lebih cepat lebih baik, Senor. Sama
seperti di dunia kami, kalau anda tertangkap basah."
Imam itu tertidur sesaat, menggaruk-garuk dalam tidurnya
dan mendengkur. Waktu dia terjaga, Blackthorne berkata.
"Tolong ceritakan pada saya, Pater, bagaimana caranya Yesuit
terkutuk itu menjebloskan rasul Tuhan ke dalam lubang tikus
ini." "Tak banyak yang bisa diceritakan tentang semuanya itu.
Setelah anak buah Taiko datang dan merampas semua emas
batangan dan barang-barang kami, kapten-kapten kami
bersikeras untuk pergi ke ibukota mereka dan protes. Tak ada
alasan bagi penyitaan itu. Bukankah kami ini abdi Yang Mulia
Sri Baginda, Raja Philip dari Spanyol, penguasa kekaisaran yang
terbesar dan terkaya di dunia" Kaisar terkuat di dunia" Bukankah
kami ini sahabat-sahabatnya" Bukankah Taiko pernah meminta
orang Spanyol"Manila untuk berdagang langsung dengan
Jepang, untuk mengakhiri monopoli mesum orang Portugis" Jadi
semua itu kekeliruan, tindakan penyitaan itu. Mestinya begitu.
"Saya ikut bersama kapten-jenderal kami saat itu karena saya
bisa berbahasa Jepang sedikit"tidak termasuk banyak, pada
masa itu. Senor. San Felipe sudah berjuang melawan badai dan
akhimya berhasil mendarat pada bulan Oktober 1597. Kaum
Yesuit itu"salah seorang di antaranya bernama Pater Alvito"
mereka berani menawarkan diri sebagai penengah, di sana, di
Kyoto, ibukotanya. Benar-benar kurang ajar!
Pater Kepala Fransiskan kami, Pater Braganza, saat itu ada di
ibukota dan dia juga duta besar"duta besar resmi Spanyol untuk
istana Taiko! Pater Braganza yang terberkati itu, dia sudah di
sana, di ibukota, di Kyoto, pribadi, telah meminta raja muda
kami di Manila agar mengirimkan sejumlah imam Fransiskan
dan seorang duta besar ke Jepang. Jadi Pater Braganza yang


Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terberkati itu datang. Dan kami, Senor, kami awak San Felipe,
kami tahu betul bahwa beliaulah yang bisa dipercaya, bukan
seperti kaum Yesuit. "Setelah berhari-hari menunggu, kami diwawancarai oleh
Taiko"orangnya kurus kecil dan jelek, Senor"dan kami
meminta kembali barang-barang kami serta kapal lainnya, atau
jaminan untuk kapal lain yang bersedia dibayar kapten jenderal
kami dengan im balan yang menggiurkan. Wawancara itu
berlangsung dengan mulus, kami kira, dan Taiko menyuruh kami
pergi. Kami berangkat ke biara kami di Kyoto dan menunggu
dan kemudian, sesudah lewat bulan berikutnya, sementara kami
menantikan putusannya, kami melanjutkan membawakan firman
Tuhan kepada oran kafir. Kami melaksanakan missi kami secara
terbuka tidak seperti pencuri di waktu malam seperti yang di
kerjakan kaum Yesuit." Pater Damingo menunjukk ekspresi
menghina. "Kami menerangkan tradisi kami sekaligus
mengenakan jubah resmi kami"kami tidak pernah menyamar,
seperti imam-imam pribumi, seperti yang mereka lakukan. Kami
membawakan firmanNya bagi masyarakat, bagi si pincang, si
sakit dan si miskin bukan seperti kaum Yesuit, yang hanya
bergaul dengan kaum bangsawan. Jemaat Ordo kami bertambah.
Kami mendirikan rumah sakit bagi penderita kusta, rumah sakit
kami sendiri dan umat kami pun bertambah banyak, Senor. Amat
banyak. Kami sudah siap akan mempermandikan sejumlah besar
raja pribumi mereka waktu kami dikhianati kaum Yesuit.
"Suatu hari di bulan Januari, kami kaum Fransiskan, kami
dibawa kehadapan majelis hakim dan dituduh di bawah stempel
pribadi Taiko sendiri, Senor, dituduh sebagai pelanggaran
hukum, sebagai pengganggu ketentraman dan dihukum mati
dengan cara disalibkan. Kami semua berjumlah empat puluh tiga orang. Gereja kami
di seluruh negeri ini harus dibinasakan, semua ordo kami akan
diporak-porandakan"hanya Fransiskan, bukan Yesuit, Senor.
Hanya kami, Senor. Kami mendapat tuduhan palsu. Kaum
Yesuit telah membisikkan 'racun' ke dalam telinga Taiko bahwa
kami ini penjajah, bahwa kami akan menyerbu daratan ini, padahal kaum Yesuitlah yang telah memohon Yang Mulia, Raja
Muda kami, untuk mengirimkan armada dari Manila. Saya
sendiri melihat suratnya! Dari Pater kepala biara mereka!
Mereka setan-setan yang berpura-pura menjadi abdi gereja dan
Kristus, padahal mereka hanya nnenjadi abdi bagi diri sendiri.
Mereka haus kekuasaan, gila kekuasaan, tak peduli apa
tebusannya. Mereka bersembunyi di balik kedok kemiskinan dan
kesalehan, tapi sebenarnya mereka rakus seperti raja dan menimbun kekayaan. Que va, Senor, keadaannya yang sebenarnya
adalah bahwa mereka iri hati terhadap para jemaat kami, iri
terhadap kebenaran kami dan cara hidup kami. Daimyo Hizen,
Don Francisco"yang nama Jepangnya Harima Tadao"tapi
sudah dibaptis menjadi Don Francisco"dia memohonkan
ampun bagi kami. Dia sudah seperti raja, semua daimyo juga
seperti raja, dan dia seorang Fransiskan. Dia memohonkan
ampun bagi kami, tapi sia-sia.
"Akhirnya, dua puluh enam orang mati sebagai martir. Enam
orang Spanyol, tujuhbelas orang lainnya. Orang Jepang anggota
baru kami, dan tiga orang lainnya. Braganza termasuk salah
seorang di antaranya dan ada tiga orang anak muda di antaranya
pemeluk baru. Oh, Senor, orang beriman turut hadir di sana
dalam jumlah ribuan, hari itu. Limapuluh, seratus ribu orang
mengawasi para martir terberkati di Nagasaki, begitu. yang
diceritakan pada saya. Hari itu, hari bulan Februari yang
menggigit tulang dan tahun yang pahit. Tahun gempa bumi, taifun, bencana banjir dan kebakaran, saat 'Tangan Tuhan'
menghukum 'Para Pembunuh Besar' dan bahkan menghancur
leburkan puri mereka yang megah"Fushimi"saat Dia menggetarkan bumi. Memang mengerikan, namun menakjubkan untuk
disaksikan. 'Tangan Tuhan' yang tengah menghukum orang kafir
dan para pendosa. "Jadilah mereka martir, Senor, enam putra terbaik Spanyol.
Umat kami dan gereja kami dihancurkan dan rumah sakitnya
ditutup." Wajah tua orang tua itu terlihat tanpa ekspresi. "Saya"
saya termasuk salah seorang yang terpilih untuk menjadi martir,
tapi rupanya itu bukan kehormatan bagi saya. Mereka menyuruh
kami berbaris dari Kyoto dan begitu kami tiba di Osaka, mereka
menjebloskan beberapa orang dari missi kami di sini dan yang
selebihnya"salah satu di antaranya telinganya dipotong sebelah,
kemudian diarak seperti penjahat biasa di jalan-jalan. Lalu
saudara-saudara kami seiman ini disuruh berjalan ke arah barat
selama sebulan. Perjalanan mereka yang terberkati itu berakhir
di sebuah bukit bernama Nishizaki, di seberang pelabuhan besar
Nagasaki. Saya memohon kepada para samurai agar membawa
saya serta, tapi Senor, dia malah memerintahkan saya supaya
kembali ke sini, ke Osaka. Tanpa alasan. Dan sesudahnya,
berbulan-bulan kemudian, kami dijebloskan ke dalam sel ini.
Kami bertiga"saya kira tiga orang, tapi saya satu-satunya orang
Spanyol. Yang lainnya para anggota baru, saudarasaudara kami
seiman, orang Jepang. Beberapa hari kemudian, para penjaga
memanggil nama-nama mereka. Tapi mereka tak pernah
memanggil nama saya. Mungkin itu sudah kehendak Tuhan,
Senor, atau mungkin kaum Jesuit mesum itu sengaja
membiarkan saya hidup sekedar untuk menyiksa saya"mereka
telah menghindarkan saya dari kematian sebagai martir di antara
rekan-rekan saya sebangsa. Memang sukar, Senor, untuk
bersabar, sukar sekali..."
Imam tua itu mengatupkan kedua matanya, berdoa lalu
menangisi diri sendiri sampai tertidur.
Sesuai dengan yang diharapkannya, Blackthorne tak dapat
memicingkan mata sekejap pun meski malam telah datang
menjelang. Kulitnya terasa geli oleh gigitan kutu busuk.
Kepalanya dipadati rasa takut.
Dia menyadari, sesadar-sadarnya, bahwa tak ada jalan untuk
kabur. Dia tengah terhimpit oleh kegagalan dan merasa dirinya
sudah berada di ambang maut. Pada sisi malam yang tergelap,
rasa takut terus menggerayanginya, dan"untuk pertamakali
dalam hidupnya"dia menyerah dan menangis ...
"Ya, Anakku?" gumam si imam. "Ada apa?"
"Tak ada apa,apa, tak apa-apa," sahut Blackthorne,
jantungnya berdegup keras. "Tidurlah kembali."
"Tak usah takut. Kita semua ada di tangan Tuhan," ujar imam
itu lagi, lalu tidur kembali.
Rasa takut yang amat sangat itu 'meninggalkan' Blackthorne.
Dia dalam tempat itu, memang ada rasa takut yang nyata, kalau
diladeni. Pokoknya aku akan keluar dari sini, ujarnya pada diri
sendiri, mencoba untuk mempercayai kebohongan itu.
Waktu subuh, makanan dan air datang. Blackthome sudah
lebih kuat sekarang. Goblok kalau dikuasai perasaan begitu,
ujarnya memperingatkan diri sendiri. Goblok, lemah dan
berbahaya. Jangan berbuat begitu lagi atau semangatmu akan
patah dan kau akan mengamuk dan pasti akan mati. Mereka
akan menempatkanmu di baris ketiga dan kau akan mampus.
Hati- hatilah dan bersabarlah dan jagalah dirimu sendiri.
"Apa kabar hari ini, Senor?"
"Baik, terimakasih, Pater, dan anda?"
"Baik sekali, terimakasih."
"Bagaimana mengatakannya dalam bahasa Jepang?"
"Domo, genki desu."
"Domo, genki desu. Kemarin anda bercerita tentiang Kapal
Hitam milik Portugis itu. Pater"bagaimana bentuknya" Anda
sudah melihatnya?" "Oh, ya, Senor. Kapal-kapal itu tergolong kapal-kapal
terbesar di dunia, hampir dua ribu ton. Sebanyak dua ratus lelaki
dewasa dan anak-anak dibutuhkan untuk sekali berlayar, Senor.
Awak kapal serta penumpangnya bisa mencapai hampir seribu
jiwa. Saya diberitahu kapal-kapal dagang itu hanya berlayar
bagus di depan angin, tapi terseok-seok kalau sejajar
dengannya." "Berapa banyak senjata yang dapat dibawanya?"
"Kadang kala duapuluh atau tigapuluh tiga geladaknya."
Pater Domingo senang dapat menjawab pertanyaan, berbicara
dan sekaligus mengajar dan Blackthorne sama-sama senang
mendengarkan dan belajar. Pengetahuan imam itu dari sana-sini
ternyata tak ternilai dan dapat menjangkau jauh.
"Tidak, Senor," katanya kini, "Domo itu terimakasih dan dozo
itu silahkan. Air itu mizu. Ingatlah selalu bahwa orang Jepang
selalu menghargai etika dan kesopanan. Sekali waktu saya di
Nagasaki"oh, kalau saya, saya punya tinta, bulu ayam dan
kertas! Ah, saya tahu"begini saja, tulis saja kata-kata itu di
tanah, pasti akan menolongmu mengingat-ingat..."
"Domo," ujar Blackthorne. Kemudian, setelah menghafalkan
sejumlah kata lagi, dia bertanya, "Sudah berapa lama orang
Portugis di sini?" "Oh, negeri ini ditemukan tahun 1542, Senor, tahun saya
dilahirkan. Ada tiga orang waktu itu, da Mota, Peixoto, dan saya
lupa nama yang seorang lagi. Mereka semua pedagang Portugis,
berdagang di pantai-pantai Cina dengan sebuah tongkat Cina dari
sebuah pelabuhan di Siam. Senor sudah pernah ke Siam?"
"Belum." "Ah, banyak sekali yang harus dilihat di Asia. Orang-orang
ini berdagang semua, tapi mereka tertimpa badai raksasa, tai-fun
yang memutar-balikkan arah mereka dan mendaratkan mereka
dengan selamat diTanegashima, di Khushu. Itulah pertama
kalinya orang Eropa menginjakkan kaki di tanah Jepang, dan
sertamerta perdagangan pun dimulai. Beberapa tahun kemudian
Santo Fransiskus Xaverius, salah seorang pendiri Ordo Yesuit,
tiba di sini. Itu tahun 1549 ... tahun jelek orang Jepang, Senor.
Salah seorang saudara seiman kami seharusnya tiba di sini dulu,
maka kami sudah akan mewarisi kekaisaran ini pada saat ini,
bukannya orang Portugis itu. St. Fransiskus Xaverius meninggal
tiga tahun sesudahnya, di Cina, sendirian dan tanpa kawan ...
Sudahkah saya katakan pada Senor bahwa sudah ada orang
Yesuit di istana kekaisaran Cina, di tempat yang disebut Peking"
... Oh, anda harus memilih Manila, Senor, dan Pilipina! Kami
punya empat katedral dan hampir tiga ribu orang penakluk dan
hampir enam ribu tentara Jepang yang terbesar di seluruh
pelosok kepulauan itu dan tiga ratus saudara seiman ..."
Otak Blackthorne dipenuhi oleh fakta-fakta dan kata-kata
serta frase-frase Jepang. Dia bertanya tentang kehidupan di
Jepang dan para daimyo dan samurai dan perdagangannya dan
Nagasaki dan perang dan damai dan kaum Yesuit dan Fransiskan
dan Portugis di Asia dan tentang Manilanya, dan selalu bertanya
lebih banyak tentang Kapal Hitam itu, yang mengarungi Jepang
dari Macao setahun sekali. Selama tiga hari-tiga malam
Balckthorne duduk dengan Pater Domingo dan bertanya dan
mendengarkan dan belajar dan tidur lagi dengan mimpi buruk,
untuk kemudian terjaga lagi dan hertanya lebih banyak lagi dan
memperoleh pengetahuan lebih banyak lagi.
Lalu, pada hari keempat, mereka memanggil namanya.
"Anjin-san!" **
** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 D 15 ALAM kesenyapan yang total itu, Blackthorne berdiri.
"Pengakuan dosamu, Anakku, cepat!"
"Saya"saya kira"saya?" Blackthorne menyadari
lewat pikirannya yang tak lagi jernih bahwa di tengah
berbicara dalam bahasa Inggris, maka ditekannya kedua bibirnya
dan mulai beranjak pergi. Imam itu mulai berdiri dalam keadaan
panik, dan mengira bahwa kata-kata Blackthorne itu tentu katakata Belanda atau Jerman, lalu mencekal pergelangan tangannya,
mencoba berpegangan padanya dengan langkah terseok-seok.
"Cepat, Senor! Akan saya berikan absolusi (pengampunan).
Cepatlah, demi jiwa anda yang fana. Cepat katakanlah bahwa
Senor mengakui di hadapannya Tuhan semua perbuatan anda
pada masa lampau dan masa kini?"
Keduanya sudah hampir tiba di pintu gerbang be sekarang. Si
imam terus bergelayutan pada Blacktho dengan tenaga yang
kuat, di luar dugaan. "Katakan sekarang! Bunda Maria akan melindun: anda!"
Blackthorne mengibaskan pegangannya lalu berkata dengan
suara parau dalam bahasa Spanyol, "Tuhan beserta Anda,
Pater." Pintu di belakangnya dibanting.
Di luar dugaan hari itu terasa sejuk dan manis, gugur awan
meliuk-liuk dihembus semilir angin tenggara.
Blackthorne menghirup dalam-dalam kekeringan udara
kemenangan yang bersih dan darah serasa mengaliri kembali
pembuluh-pembuluh darahnya. Keceriaan hidup mulai
menguasainya. Sejumlah narapidana dalam keadaan bugil nampak hcrada di
halaman penjara bersama seorang pejabat, dan para sipir penjara,
eta (kaum paria) dan sekelompok samurai. Si pejabat
mengenakan kimono berwarna suram dan hiasan berkanji,
bahunya berbantal kecil scrta topi hitam kecil. Orang ini berdiri
di muka narapidana pertama dan membaca dari kertas gulung
yang lunak. Begitu dia selesai, setiap narapidana mulai berjalan
terseok-seok di belakang sekawanan sipir penjaranya, menuju ke
arah pintu-pintu besar halaman penjara. Blackthome yang
terakhir. Berbeda dengan vang lainnya, dia diberi secarik kancut,
dan bahan kimono katun, juga bakiak bertali kulit. Para
pengawalnya pun samurai. Blackthorne bertekad akan melarikan diri sesaat setelah
melewati pintu gerbang, namun begitu dia tiba di ambang pintu,
para samurai mengelilinginya lebih dekat lagi, mengurungnya
dengan ketat. Mereka mencapai pintu gerbang bersama-sama.
Kerumunan massa, yang berpakaian bersih dan rapi, tampak
menonton. Mereka memegangi payung berwarna merah tua kuning dan
keemasan. Seseorang tampak sudah diikat pada salib dengan talitemali dan salibnya pun telah dipancangkan tegak-tegak. Di sisi
setiap salib, dua orang eta kelihatan menunggui, tombak-tombak
panjang mereka berkilauan ditimpa sinar matahari.
Langkah-langkah kaki Blackthorne mulai perlahan Para
samurai mulai mendesaknya lebih dekat, menyuruhnya bergegas.
Blackthorne berpikir tanpa daya bahwa adalah lebih baik untuk
mati sekarang, dengan cepat, maka dipersiapkannya tangannya
untuk merenggut pedang yang terdekat dari tempatnya. Tapi dia
tak pernah memperoleh peluang itu karena para samurai ternyata
berpaling dari arena lalu berjalan mengelilingi tembok luar
penjara, ke arah jalanan yang ke kota dan ke arah puri.
Blackthorne menunggu, hampir tak bernapas, ingin
meyakinkan. Mereka berjalan melewati kerumunan orang yang
segera mundur dan membungkukkan badan. Mereka kini sudah
berada di jalan, tak salah lagi.
Blackthorne merasa lahir kembali.
Waktu sudah mampu berbicara, dia berkata, "Ke mana kita?"


Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa peduli bahwa kata-katanya takkan dimengerti orang atau
bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Inggris. Blackthorne merasa
kepalanya pusing. Langkahnya serasa hampir tak menyentuh
tanah, kedua tali kulit bakiaknya terasa tidak enak, sentuhan
kimononya yang kaku juga terasa tak nyaman. Sebenarnya,
rasanya enak sekali, pikirnya. Agak panas sedikit, mungkin"
tapi pada hari yang secerah ini"cocok sekali buat dipakai di
geladak belakang kapal! "Demi Tuhan, senang sekali rasanya bisa berbahasa Inggris
lagi," ujarnya kepada para samurai. "Yesus Kristus, kukira aku
sudah mati. Nyawaku yang kedelapan sudah terbang. Kau tahu
itu, Sobat" Sekarang nyawaku tinggal satu-satunya. Yaah, tak
apalah! Para nakhoda memiliki sepuluh nyawa, paling tidak
begitulah yang selalu dikatakan Alban Caradoc." Para samurai
nampak jengkel karena tak dapat memahami kata-katanya.
Kuasai dirimu, ujar Blackthorne pada diri sendiri. Jangan
membuat mereka lebih jengkel lagi.
Sekarang dia tahu bahwa semua samurai itu berseragam
kelabu. Anak buah Ishido. Tempo hari dia telah menanyakan
pada Pater Alvito nama orang yang menentang Toranaga. Alvito
mengatakan 'Ishido.' Itu sebelum dia diperintahkan berdiri dan
sebelum dibawa pergi. Apakah segenap Pasukan Kelabu itu anak
buah Ishido" Seperti juga segenap Pasukan Coklat itu anak buah
Toranaga" "Ke mana kita" Ke sana?" Blackthorne menunjuk ke pun
yang tegak membayangi kota. "Ke sana, hai?"
"Hai." Pemimpinnya menganggukkan kepalanya yang
bundar-botak bagai peluru meriam, jenggotnya sudah beruban.
Apa yang diinginkan Ishido dariku" Blackthorne bertanya
pada diri sendiri. Pemimpin samurai itu membelok ke jalan lain, selalu
menjauh dari pelabuhan. Kemudian Blackthorne melihatnya"
sebuah kapal Portugis bertiang layar dua, benderanya yang birumerah nampak berkibar ditiup angin. Sepuluh meriam pada
geladak utamanya, serta haluan dan buritannya yang berkekuatan
20 ledakan meriam. Erasmus sanggup mengalahkannya dengan
mudah, Blackthorne berkata pada diri sendiri. Apa kabar dengan
awak kapalku" Apa yang tengah mereka lakukan di desa di
belakang sana" Demi darah Kristus, aku ingin menjenguk
mereka. Aku senang sekali waktu meninggalkan mereka
semuanya dan kembali lagi ke rumahku-tempat Onna - Haku rumah milik .... siapa namanya" Ah, ya, Mura-san. Bagaimana
kabarnya tentang gadis yang duduk di lantai ranjangku, dan
yang satunya lagi, si malaikat cantik yang bercakapcakap
dengan Omi-san hari itu" Yang hadir dalam mimpiku, yang juga
membayang dalam air belanga itu"
Tapi, apa gunanya mengingat-ingat omong kosong seperti
itu" Dia bisa melemahkan pikiran. "Logika kita harus kuat, kalau
ingin hidup di laut," Alban Caradoc pernah berkata. Kasihan si
Alban. Alban Caradoc selalu kelihatan begitu gagah dan mirip dewa,
dengan pengalaman dan pengetahuannya yang sekian tahun.
Tapi dia mati dalam ketakutan. Saat itu adalah hari ketujuh
armada kapal itu berlayar. Blackthorne tengah mengomandoi
sebuah kapal sang gamara bertiang layar seberat seratus ton,
keluar dari pelabuhan Portsmouth, mengangkut senjata, mesiu
dan peluru serta rangsum bagi kapal perang Drake di lepas pantai
Dover. Mereka diganggu dan ditabrak oleh armada musuh yang
tengah menempuh selat Channel ke arah Dunkirk, tempat
pasukan Spanyol berkumpul, menunggu untuk dipindahkan ke
kapal-kapal, guna menaklukkan Inggris.
Armada besar Spanyol itu dihempas badai dan kapal-kapal
perang yang lebih kejam"lebih manis dan lebih mudah
dikemudikan daripada yang dibuat oleh Drake dan Howard.
Saat itu Blackthorne sudah berada dalam posisi siap
menyerang di dekat kapal Laksamana Howard"Renown"
ketika arah angin berubah,dihembus kembali oleh angin baru
yang menyerupai badai, hujan badai yang amat ditakuti, dan
Blackthorne harus memutuskan -apakah mengikuti arah angin
guna meloloskan diri dari sergapan meriam yang sewaktuwaktu
akan meledak dari kapal perang raksasa Santa Cruz yang berada
di depannya ataukah berlayar mendada angin sendirian,
menembus skuadron musuh, sementara kapal-kapal Howard
yang masih sisa sudah berbelok mengambil arah lebih utara.
"Ke utara arah angin!" Alban Caradoc berteriak saat itu. Dia
berlayar sebagai wakil kapten. Blackthorne sendiri saat itu
adalah Kapten Pilot dan bertanggung jawab sepenuhnya, apa lagi
ini pertama kalinya dia memegang komando. Alban Caradoc
bersikeras untuk ikut bertempur, sekalipun dia tak berhak untuk
berada di atas kapal, tapi dia orang Inggris dan semua orang
Inggris berhak untuk ikut berlayar pada saat-saat yang paling
gelap dalam sejarah ini. "Semua bersiap!" Blackthorne memberi aba-aba dan secepat
kilat memutar kemudi ke arah selatan, menuju ke perut armada
musuh, karena menyadari bahwa cara satunya lagi hanya akan
membuat mereka hancur oleh meriam-meriam kapal musuh yang
kini sudah mengangkangi di atas kepala mereka.
Jadi saat itu mereka berlayar ke arah selatan, mendadak
angin, menembus kapal perang itu. Tiga meriam geladak Santa
Cruz telah dilewati dengan selamat di atas kepala mereka dan
kapal Blackthorne berhasil menjauhkan diri dari sisi kanan dua
kapal musuh, hanya dalam jarak seekor lalat dari kapal raksasa
itu, dan kemudian mereka berlayar menghampiri pusat armada
musuh. Kapal-kapal musuh pada kedua belah sisi tak mau
menembakkan meriamnya ke arah kapal Blackthorne yang cuma
sendirian, karena meriam kapal mereka dapat saling
menghancurkan, maka laras-laras meriam mereka tetap tidak
berbunyi. Lalu kapal Blackthorne lewat dengan tenang dan
sudah hampir lolos ketik a meriam geladak tiga dari kapal Madre
de Dios mengangkangi mereka. Kedua tiang layar mereka
terlihat miring bagai anak panah, dan awak kapalnya terjaring di
antara tali-temali. Sebelah geladak utama bagian kanan kapal
sudah lenyap terseret, yang mati dan yang sekarat
bergelimpangan di segenap pelosok kapal.
Blackthorne melihat sendiri Alban Caradoc terbaring
menghadap pasak meriam yang sudah cerai-berai, yang terlihat
sedemikian kurus-kecil tanpa kaki. Blackthorne mendekap pelaut
tua yang kedua bola matanya hampir keluar dari kepalanya,
jeritannya terdengar mengerikan. "Oh Kristus, aku tak mau mati,
tak mau mati, tolong, tolonglah aku, tolong aku, tolonglah aku,
oh, Yesus Kristus sakitnya, tolong!" Blackthorne tahu hanya ada
satu hal yang dapat diperbuatnya bagi Alban Caradoc.
Dipungutnya sebuah semat-tambat lalu diayunkannya dengan
sekuat tenaganya. Kemudian, berminggu-minggu sesudahnya, dia terpaksa
memberitahu Felisitas bahwa ayahnya sudah t iada. Dia
menceritakan padanya bahwa Alban Caradoc telah tewas
seketika. Dia tak menceritakan bahwa tangannya penuh bekasbekas darah yang takkan hilang selama hidupnya ....
Blackthorne dan para samurai kini telah berjalan melalui jalan
lebar yang berkelok-kelok. Tak ada toko, hanya rumah-rumah
yang berdiri berderet, masing-masing dengan tanak miliknya dan
pagar tingginya tersendiri. Rumah, pagar dan jalan itu di luar
dugaan, kelihatan bersih.
Kebersihan ini sungguh tak dapat dipercaya Blackthorne
karena di London dan seluruh kota besar dan kecil di Inggris"
juga di Eropa"sampah, kotoran malam hari serta air seni
dibuang begitu saja ke jalanan untuk dibersihkan oleh para
penyapu jalan atau dibiarkan bertumpuk begitu saja hingga para
pejalan kaki, gerobak dan kuda-kudanya tak dapat lewat. Hanya
sesudah itu mungkin kebanyakan kota-praja akan membersihkan
halamannya sendiri. Para penyapu jalan kota London sudah
menyerupai kawanan babi hutan yang diseret melalui jalan-jalan
raya kota itu setiap malam. Kebanyakan hanya tikus dan
sekawanan anjing, kucing dan si jago merah saja yang ikut
membersihkan kota itu. Dan lalat.
Tapi Osaka lain. Bagaimana mereka melakukannya" tanya
Blackthorne pada diri sendiri. Tak ada lubang jalanan, tak ada
taik kuda, tak ada bekas-bekas roda gerobak, pokoknya tak ada
kotoran atau sampah. Yang ada hanyalah tanah keras dan gempal
yang tersapu bersih. Hanya tembok-tembok kayu dan rumahrumah kayu yang berkilauan dan rapi. Lalu di mana gerangan
gerombolan gembel dan orang timpang yang mencemarkan
setiap wilayah kota Kristen seperti Osaka ini" Di mana pula
kawanan tukang jambret dan anak-anak berandal yang biasanya
menyelinap di semak-semak"
Orang-orang yang kebetulan mereka lewati membungkuk
dengan sopan, beberapa di antaranya bahkan ada yang berlutut.
Tukang-tukang kaga bergegas-gegas dengan tandunya atau
dengan kaganya yang hanya dapat memuat satu rombongan
samurai-yang berseragam kelabu, rombongan samurai"yang
berseragam kelabu, dan tak pernah coklat"berseliwiran di jalan,
tanpa tujuan. Mereka tengah menyusuri jalan yang dipenuhi toko(oko
ketika kedua belah kaki Blackthorne tak kuat lagi brrjalan. Dia
berjalan tertatih-tatih dan akhirnya jatuh tersungkur. Para
samurai membantunya bangun, tapi pada saat itu, kekuatan
Blackthorne rupanya betul-betul sudah habis dan dia tak lagi
mampu berjalan lebih jauh.
"Gomen nasai, dozo ga matsu"Maaf, tunggu dulu?"
katanya, kedua kakinya kejang. Digosok-gosoknya otot-otot
betisnya yang tampak membengkak Sambil memberkahi Pater
Domingo bagi hal-hal berhargpa yang telah diajarkan orang itu
kepadanya. Pemimpin samurai ikut memeriksa keadaannya lalu berbicara
panjang-lebar padanya. "Gomen nasai, nihon go ga hana-masen"Maaf, saya tak bisa
bahasa Jepang?" Blackthorne menjawab, perlahan tapi jelas.
"Dozo ga matsu".
"Ah! So desu, Anjin-san. Wakarimasu," ujar orang itu,
memahaminya. Dia segera memberi perintah singkat dan salah
seorang samurai langsung lari terbirit-birit. Sesaat kemudian
Blackthorne berdiri, mencoba menyeret kakinya, namun
pemimpin samurai itu berkata "iye" (jangan) dan mengisyaratkan
agar menunggu. Dalam sekejap samurai tadi kembali dengan empat orang
tukang kaga bertelanjang dada bersama dengan kaganya.
Samurai itu memperlihatkan kepada Blackthorne bagaimana
caranya bersandar di tali pengikat yang bergelantungan dari
galah kayu yang di tengah.
Rombongan itu bergerak lagi. Tenaga Blackthorne terasa
pulih kembali dan ingin berjalan kembali, tapi dia sadar dirinya
masih lemah. Aku harus beristirahat secukupnya, pikirnya. Tak
ada tawar-menawar lagi. Aku harus mandi dan makan
sekedarnya. Makanan yang benar-benar makanan.
Kini mereka tengah mendaki anak-anak tangga lebar yang
menghubungkan sebuah jalan dengan jalan lainnya dan mulai
memasuki daerah pemukiman yang membatasi sebuah hutan
karet dengan pohon-pohonnya yang tinggi dan jalan-jalan kecil
yang melewatinya. Blackthorne merasa senang sudah tak berada
lagi di jalan umum. Rerumputan di bawah kakinya nampak
terpelihara rapi, jalannya berkelok-kelok melalui pepohonan.
Ketika mereka sudah berada jauh di tengah hutan, rombongan
lain yang terdiri dari tiga puluh lebih pasukan berseragam
kelabu, diam-diam mendatangi diri sekitar belokan di depan.
Begitu sudah bersisian, mereka berhenti. Setelah upacara
bertegur-sapa sedikit di antara kedua pimpinannya, segenap mata
tertuju pada Blackthorne. Sesaat terjadi tanya jawab, kemudian
begitu pasukan berseragam kelabu ini mulai bersiap-siap untuk
berangkat" pemimpinnya dengan tenang mencabut pedang lalu
menetak pemimpin rombongan samurai Blackthorne. Sertamerta rombongan baru ini menyergap pasukan samurai
Blackthorne. Penyergapan itu terjadi demikian cepat dan
demikian terencana hingga sepuluh orang pasukan kelabu tewas
seketika. Tak seorang pun di antara mereka yang sempat
mencabut pedangnya. Tukang-tukang kaga segera berlutut dengan ketakutan, dahi
mereka mencium rumput. Blackthorne hanya berdiri saja di
samping mereka. Kapten samurai yang berperawakan tinggi
besar dan berperut buncit, segera menempatkan pengawal di
setiap jalur. Yang lain memunguti pedang-pedang mereka yang
tewas. Selama itu, si kapten tak sedikit pun memperhatikan
Blackthorne, sampai nakhoda itu mulai melangkah inundur.
Seketika itu juga terdengar perintah si kapten yang nadanya jelas
memerintahkan agar Blackthorne tetap berada di tempatnya.
Pada perintah berikutnya segenap pasukan kelabu ini mulai
menanggalkan seragam kimononya itu. Di baliknya ternyata
mereka mengenakan baju tambalan warna-warni dan kimono
yang sudah usang, semuanya memasang topeng-topeng yang
sudah diikatkan di sekeliling lehernya. Salah seorang
mengumpulkan seragam kelabu itu lalu menghilang di semaksemak hutan.
Mereka pasti bandit-bandit, pikir Blackthorne. Kalau bukan
bandit, mengapa bertopeng" Apa yang mereka inginkan dariku"
Para bandit itu mengobrol dengan tenangnya di antara
sesamanya dan mengamati Blackthorne sementara mereka
menyeka pedangnya, pada pakaian samurai yang telah tewas.
"Anji-san" Hai?" Kedua bola mata kapten bandit di atas
topeng kainnya nampak bulat hitam dan menusuk.
"Hai," Blackthorne menjawab, bulu tengkuknya berdiri.
Orang itu menunjuk ke tanah, jelas memberitahu padanya
agar jangan beranjak dari tempatnya. "Wakarimasu ka?"
Mengerti" "Hai." Mereka semua menatapnya dari kepala sampai ke kaki. Lalu
salah satu di antara penjaga pos terdepan"yang tak lagi
berseragam kelabu tapi sudah bertopeng seperti semuanya"
muncul dari semak-semak untuk sesaat, seratus langkah dari situ.
Dia melambai lalu menghilang kembali.
Serentak orang-orang itu mengelilingi Blackthorne, bersiapsiap untuk meninggalkan tempat itu. Kapten para badit
mengalihkan matanya pada tukang-tukang kaga yang sudah
menyerupai anjing, gemetaran di hadapan tuannya yang kejam
dan membenamkan kepala mereka lebih dalam lagi di
rerumputan. Kemudian kepala bandit itu mulai mengeluarkan perintah
dengan galak. Keempat tukang kaga itu lambat-lambat
mengangkat kepalanya dengan rasa tak percaya. Kembali
perintah yang sama terlontar dari mulutnya dan mereka
membungkuk lalu menyembah kemudian melangkah mundur;
dan serentak mereka lari terbirit-birit, menghilang di balik
semak-semak. Kepala bandit itu tersenyum mengejek lalu mengisyaratkan
Blackthorne agar mulai berjalan kembali ke arah kota.
Dia berjalan bersama mereka, tanpa daya. Tak ada
kesempatan untuk kabur.

Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka sudah hampir mencapai ujung hutan ketika mereka
berhenti. Di depan terdengar suara-suara gaduh dan
serombongan samurai lainnya berjumlah sekitar tiga puluh orang
nampak mengepung tikungan. Pasukan coklat dan kelabu,
pasukan kelabu yang di depan. Pemimpinnya berada di tandu
tertutup, diikuti sejumlah kecil pasukan berkuda. Mereka
serentak berhenti. Kedua kelompok pasukan itu segera berdiri
dengan posisi siap tempur dan mulai menatap mata lawannya
dengan penuh kebencian. Jarak yang memisahkan keduanya
hanya tujuh puluh langkah. Kepala bandit berjalan dalam ruang
yang memisahkan kedua pasukan itu, gerakannya tersentaksentak, lalu berteriak dengan marah pada pasukan samurai
lainnya sambil menunjuk sesaat ke arah Blackthorne, kemudian
ke arah belakang tempat penyergapan tadi berlangsung. Dia
mencabut pedangnya lalu diacungkannya tinggi-tinggi dengan
sikap mengancam"jelas-jelas memberitahu rombongan samurai
satunya agar tidak menghadang jalannya.
Semua pedang anak buahnya tercabut keluar dari sarungnya
masing-masing. Atas perintahnya salah seorang bandit
menempatkan diri di belakang Blackthorne, pedangnya
diacungkan dan disiapkan dan kembali si kepala bandit mencacimaki lawannya.
Tak ada yang terjadi untuk sesaat. Blackthorne melihat orang
yang di dalam tandu tertutup tadi turun dan seketika itu juga dia
mengenalinya. Ternyata Kasigi Yabu. Yabu balas berteriak pada
si kepala bandit, namun si kepala bandit menggoyang-goyangkan
pedangnya dengan berang, sambil memerintahkan agar mereka
tidak menghalangi jalannya. Semburan kata-katanya tadi lalu
terhenti dengan nada pasti. Yabu kemudian memberi perintah
singkat dan mulai menyerang lawan dengan aba-aba
pertempuran. Dengan jalan yang agak timpang, tapi dengan
pedang teracung, segenap anak buahnya di belakangnya turut
menyerbu, sementara pasukan Kelabu belum jauh di belakang.
Blackthorne menjatuhkan diri untuk menghindari sabetan
pedang yang hampir menetak badannya menjadi dua, tapi
ayunan itu rupanya datang pada saat yang tepat dan si kepala
bandit berbalik lalu berlari ke arah semak-semak diikuti segenap
anak buahnya. Pasukan Coklat dan Kelabu seketika sudah berada di sisi
Blackthorne kembali, yang tengah berusaha untuk berdiri.
Beberapa orang samurai berlari mengejar para bandit ke semaksemak yang lainnya lari menyusuri jalur dan yang selebihnya
tercerai-berai mencari perlindungan. Yabu berhenti di sudut
semak, memberi perintah dengan angkuh, kemudian kembali
lagi, timpangnya kini lebih jelas kelihatan.
"So desu, Anjin-san," ujarnya, terengah-engah karena
tenaganya terkuras. "So desu, Kasigi Yabu-san," Blackthorne menjawab,
menggunakan frase yang sama yang kira-kira berarti "begitulah"
atau "oh begitu" atau "apa betul begitu."
Yabu menunjuk ke arah tempat bandit-bandit itu menghilang.
"Domo." Blackthorne membungkuk dengan sopan seperti kepada
mereka yang sederajat dan diam-diam berdoa lagi bagi Pater
Domingo. "Gomen nasai, nihon go ga hanase-masen"Maaf,
saya tak bisa berbahasa Jepang."
"Hai," ujar Yabu lagi yang tidak terkesan sedikit pun dan
malah menambahkan sesuatu yang tidak dipahami Blackthorne.
"Tsuyaku ga imasu ka?" tanya Blackthorne. "Anda punya juru
bahasa?" "lye (tidak), Anjin-san. Gomen nasai."
Blackthorne merasa lebih enak sedikit. Kini dia mampu
berkomunikasi secara langsung. Perbendaharaan katanya masih
sedikit, tapi sebagai permulaan sudah cukup lumayan.
Eeeee, enak aku punya juru-bahasa, Yabu mulai berpikir
dengan serius, demi Dewa Budha! Aku ingin tahu apa yang
terjadi waktu kau bertemu dengan Toranaga, Anjin-san,
pertanyaan apa saja yang ditanyakannya kepadamu dan apa
jawabanmu, apa yang kaukatakan padanya tentang desa itu,
senapan-senapan itu dan muatan kapal itu dan kapal itu sendiri
dan badai itu dan si Rodrigues itu. Aku ingin sekali mengetahui
semua yang dikatakannya, dan bagaimana mengatakannya, dan
di mana saja kau dibawa dan mengapa kau ada di sini sekarang.
Maka aku akan tahu apa yang dipikirkan Toranaga, dan jalan
pikirannya. Lain kali aku bisa merencanakan apa yang akan
kukatakan padanya hari ini. Seperti sekarang ini, aku benarbenar tak berdaya.
Mengapa Toranaga langsung melihatmu begitu kami datang
dan bukannya aku" Mengapa tak ada sepatah kata pun atau
perintah darinya sejak kapal kami tiba di dermaga sampai hari ini
selain tegur-sapa dan sopan santun yang sudah jadi tradisi seperti
'Saya harap saya bisa bertemu lagi dengan anda dalam waktu
singkat" Mengapa dia mengirim utusan untuk memanggilku hari
ini" Mengapa pertemuan kami sampai ditanggguhkan hingga dua
kali" Apakah itu karena suatu yang kaukatakan" Atau
Hiromatsu" Ataukah itu hanya penangguhan biasa yang
disebabkan oleh kekhawatiran-kekhawatirannya yang lain"
Oh, ya, Toranaga, kau memang selalu memiliki problimproblim yang tak terpecahkan. Sementara itu pengaruh Ishido
semakin cepat merambah seperti api. Dan sudah tahukah kau
tentang pengkhianatan Daimyo Onoshi" Tahukah kau bahwa
Ishido telah menawar kepada Ikkawa Jikkyu dan propinsinya
apabila aku diam-diam bergabung dengannya sekarang"
Mengapa kau memilih hari ini untuk memanggilku" Kami
(dewa rumah tangga orang Jepang) yang mana yang
menempatkanku di sini untuk menyelamatkan nyawa si Anjinsan yang kemudian mengejekku hanya karena aku tak mampu
berbicara langsung padanya, hahkan kepada orang lain, untuk
menemukan kunci bagi gembokmu yang selalu terselubung
rahasia itu" Mengapa kau menjebloskannya ke penjara dan menjatuhkan
hukuman mati baginya" Mengapa Ishido menginginkannya
keluar dari penjara" Mengapa para bandit itu mencoba
menawannya demi uang tebusan" Tebusan bagi siapa" Dan
mengapa si Anjin-san masih hidup juga" Sebenarnya dengan
mudah bandit itu bisa menetak tubuhnya menjadi dua.
Yabu mulai melihat garis-garis kecil yang belum pernah
menghiasi wajah Blackthorne kala pertama dia melihatnya. Dia
nampaknya kelaparan, pikir Yabu. Dia bagai anjing liar. Tapi
yang jelas bukan salah seorang dari kawanan anjing itu, bukan
pemimpin anjing, neh"
Oh, ya, pilot, akan kuberikan seribu koku bagi seorang jurubahasa yang dapat dipercaya sekarang juga. Aku akan menjadi
majikanmu. Kau harus membuat kapal-kapal sekaligus melatih
anak buahku. Pokoknya aku harus memanfaatkan Toranaga.
Kalau aku tak sanggup, tak apa. Tapi demi kehidupanku yang
berikutnya, baiknya aku mempersiapkan diri, secara lebih baik.
"Anjing setia!" Yabu berkata keras-keras kepada Blackthorne
dan tersenyum sedikit. "Yang kauperlukan adalah tangan yang
Sepasang Garuda Putih 10 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Jahanam Bermuka Dua 2

Cari Blog Ini