Shogun Karya James Clavell Bagian 7
mantap, sejumlah tulang dan sejumlah lecutan. Pertama-tama
akan kupersembahkan kau kepada Tuanku Toranaga"setelah
kau selesai dimandikan. Kau bau, Tuan Pilot!"
Blackthorne tak memahami kata-katanya, tapi dia bisa
merasakan keramahan di dalamnya dan dilihatnya Yabu
menyunggingkan senyum padanya. Blackthorne balas
tersenyum. "Wakarimasen"saya tak mengerti."
"Hai, Anjin-san."
Daimyo itu berpaling dan menatap sekilas ke arah para
bandit. Dia mendekapkan tangannya di sekitar mulutnya lalu
berteriak. Seketika itu juga segenap pasukan Coklat kembali
kepadanya. Kepala samurai berseragam Coklat tengah berdiri di
tengah jalur. Dia juga memerintahkan supaya pengejaran itu
dihentikan. Tak satu pun dari para bandit itu yang berhasil
ditangkap. Ketika kapten pasukan kelabu itu datang menghampiri Yabu,
terjadi perdebatan sengit sebentar lalu terjadi tunjuk-menunjuk
ke arah kota dan puri, dan juga terdengar ketidaksepakatan di
antara keduanya. Akhirnya Yabu berhasil mengalahkannya, tangannya tetap
melekat pada pedangnya. Dia memberi isyarat agar Blackthorne
segera masuk ke dalam tandu tertutup.
"Iye (tidak)," ujar si kapten.
Kedua pria itu mulai saling berhadap-hadapan. Pasukan
kelabu dan coklat mulai beranjak sedikit dengan gugup.
"Anjin-san desu shunjin Toranaga-sama...."
Blackthorne mulai menangkap beberapa kata dari sana-sini.
Watakushi berarti "saya," hitachi berarti "kami," shuinjin berarti
"tahanan." Dia teringat pada apa yang pernah dikatakan Rodrigues, maka
dia menggeleng dan dengan tajam menyela, "Shunjin, iye!
Watakushi wa Anjin-san!"
Kedua pria itu menatapnya.
Blackthorne memecah kesenyapan dan menambahhan dalam
bahasa Jepang yang terputus-putus, menyadari sepenuhnya
bahwa kata-kata itu menyalahi tatabahasa dan diucapkan seperti
anak kecil, namun (liharapkannya bahwa itu akan dapat
dimengerti, "Saya tcman. Bukan tahanan. Pahamilah. Teman.
Maaf, teman mau mandi. Mandi, paham" Letih. Lapar. Mandi."
I)ia menunjukkan ke arah menara puri. "Pergi ke sana !
Sekarang, silakan. Tuanku Toranaga nomor satu, Tuanku Ishido
nomor dua. Pergilah sekarang."
Dan dengan nada memerintah pada kata terakhir, "ima" dia
naik dengan canggung ke dalam tandu tertutup itu lalu bersandar
pada bantalnya, kedua kakinya inelonjor ke luar.
Yabu tertawa dan semua orang ikut tertawa bersamanya.
"Ah so, Anjin-sama!" ujar Yabu seraya membungkuk dengan
sikap mengejek. "Iye, Yabu-sama. Anjin-san." Blackthorne meralatnya dengan
senang hati. Ya, kau bangsat. Aku sudah tahu satu-dua kata
sekarang. Tapi aku belum lupa padamu. Dan sesaat lagi aku akan
berjalan di atas kuburanmu.
** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 "B 16 ARANGKALI lebih baik berkonsultasi dulu dengan
saya sebelum memindahkan tawanan saya dari
wilayah hukum saya, Lord Ishido," Toranaga
terdengar berkata. "Orang barbar itu ditempatkan di penjara umum bersama
orang-orang biasa. Saya yakin anda tak punya minat lebih lanjut
terhadapnya, kalau tidak, saya takkan menyuruh orang
mengeluarkannya dari sana. Saya sama sekali tak bermaksud
mencampuri urusan anda." Dari luar Ishido tenang dan hormat,
namun di dalam, darahnya mendidih. Dia menyadari bahwa dia
telah terjebak untuk bertindak ceroboh. Memang benar, dia
seharusnya bertanya lebih dulu kepada Toranaga. Sopan-santun
yang lazim memang menuntutnya untuk berbuat demikian.
Bahkan itu pun sebenarnya tidak jadi masalah seandainya dia
masih menggenggam orang barbar itu di dalam tangannya, di
dalam wilayahnya. Dia hanya tinggal menyerahkan orang asing
itu sekehendak hati-nya, seandainya dan bilamana Toranaga
meminta agar menyerahkannya. Namun dengan terjadinya
peristiwa penghadangan terhadap sejumlah anak buahnya yang
terbunuh secara memalukan"dan berhasilnya daimyo Yabu dan
sejumlah anak buah Toranaga secara fisik merenggut orang
barbar itu dari anak buahnya, yang jumlahnya lebih banyak,
telah merubah posisinya secara total. Ishido kehilangan muka,
sedangkan strategi total untuk menghancurkan posisi Toranaga
di depan umum adalah dengan jalan menempatkan Tora-naga
persis pada posisinya sekarang. "Sekali lagi, saya minta maaf."
Toranaga memandang ke arah Hiro-matsu, permintaan maaf
itu ter-dengar bagai musik di telinga mereka. Kedua lelaki itu
mengetahui betapa pedihnya perasaan Ishido saat itu mereka
tengah berada di aula. Lewat kesepakatan terdahulu, kedua
lawan utama itu, Toranaga dan Ishido, hanya didampingi oleh
lima orang pengawal, orang-orang yang benar-benar dapat diandalkan. Yang selebihnya menunggu di luar. Yabu juga
menunggu di luar. Dan si barbar itu tengah dimandikan bersihbersih. Bagus, pikir Toranaga, merasa amat puas terhadap diri
sendiri. Untuk sesaat pikirannya dialihkan pada Yabu dan dia
memutuskan untuk tidak menemuinya hari ini, biar
bagaimanapun, dan akan terus ' mempermainkannya bagai ikan.
Maka di-mintanya Hiromatsu agar menyuruhnya pergi. Dia lalu
berpaling ke arah Ishido. "Tentu saja permintaan maaf anda itu
diterima. Untunglah belum ada kerugian apa-apa."
"Kalau begitu, boleh saya bawa si barbar itu kepada
Pangeran"setelah dia siap?"
"Saya yang akan mengirimkannya ke sana setelah selesai
dengannya." "Boleh saya tanya kapan" Pangeran sudah menantikannya
pagi ini." "Kita berdua tak perlu terlalu merepotkan hal itu, neh"
Yaemon baru tujuh tahun. Saya yakin seorang hocah berusia
tujuh tahun dapat bersabar sedikit, neh" Kesabaran adalah
bentuk disiplin juga dan memerlukan latihan. Bukan begitu"
Saya sendiri yang akan menjeI;iskan kesalahpahaman itu. Saya
akan mengajarinya herenang pagi ini." "Oh?" "Ya. Anda harus belajar berenang juga, Lord Ishido.
Berenang itu latihan yang mengagumkan dan dapat
;imat bermanfaat selama perang. Semua samurai saya hisa
berenang. Saya yang memerintahkan agar mereka belajar cabang
seni itu." "Samurai saya menghabiskan waktu mereka dengan latihan
memanah, ilmu pedang, menunggang kuda dan menembak."
"Samurai saya juga mempelajari puisi, menulis surat,
merangkai bunga, dan upacara cha-no-yu (minum ieh Jepang).
Samurai harus mahir dalam seni damai .supaya kuat dalam
menghadapi seni berperang."
"Sebagian besar anak buah saya rata-rata lebih dari inahir
dalam seni-seni itu," ujar Ishido yang menyadari hahwa tulisan
tangannya buruk dan pengetahuannya terbatas. "Samurai
dilahirkan untuk berperang. Saya paham benar tentang perang.
Saat ini cukup itu dulu. Itu semua, dan ketaatan kita kepada
kehendak Tunjungan kita."
"Pelajaran berenang Yaemon biasanya pada Jam Kuda.
Siang dan malamnya masing-masing dibagi menjadi enam
bagian yang sama panjang. Harinya mulai dengan Jam Kelinci,
dari jam 05.00 pagi sampai jam 07.00 pagi, lalu Jam Naga, dari
jam 07.00 sampai jam 09.00. Jam jam Ular, Kuda, Kambing,
Monyet, Ayam, Anjing, Babi, Tikus dan Kerbau, dan kegiatan
itu diakhiri dengan Jam Macan antara jam 03.00 dan jam 05.00.
Anda ingin belajar juga?"
"Terimakasih, tidak. Saya sudah terlalu tua untuk merubah
cara-cara saya," Ishido menyahut tanpa ekspresi.
"Saya dengar kapten anak buah anda itu sudah diperintahkan
untuk melakukan seppuku."
"Tentu saja. Para bandit itu seharusnya sudah ditangkap.
Paling tidak salah satu dari mereka harus tertangkap. Lalu kita
bisa menemukan yang lainnya."
"Saya terkejut sekali melihat burung-burung pemakan
bangkai beroperasi begitu dekat ke puri."
"Saya setuju. Mungkin si barbar itu dapat menjelaskannya."
"Orang barbar tahu apa?" Toranaga tertawa. "Kalau tentang
bandit-bandit itu, mereka ronin, kan" Ronin memang banyak di
antara anak buah anda itu. Penyidikan ke sana mungkin akan
membuahkan hasil. Neh?"
"Penyidikan justru sedang dilaksanakan. Ke segala pelosok."
Ishido sengaja melewatkan ejekan terselubung Toranaga tentang
ronin, mereka yang tak bertuan, yang hampir menyerupai tentara
bayaran dan orang buangan, yang dalam jumlah ribuan,
berlindung di bawah panji Pangeran ketika Ishido menyebarkan
gosip ke luar daerahnya bahwa dia, atas nama Pangeran dan Ibu
Pangeran, akan menerima kesetiaan mereka, akan"rasanya tak
dapat dipercaya"mengampuni dan melupakan kecerobohan
mereka atau masa lampau mereka yang tidak baik, dan akan
mengganjar kesetiaan mereka dengan kemewahan seorang
Taiko. Ishido tahu bahwasanya itu merupakan tindakan yang
cemerlang. Sebab hal itu mampu memberinya wadah yang luar biasa
untuk menarik masuk para samurai terlatih; yang tidak mampu
menjamin kesetiaan, karena para ronin itu tahu betul bahwa
mereka takkan mendapatkan peluang semacam itu lagi; maka
tidak heran kalau ke dalam kubunya menyeruak masuk para
ronin yang paling panas, yang sebagian besar di antaranya justru
telah dijadikan ronin oleh kemenangan Toranaga dan mereka
yang termasuk dalam sekutunya.
Dan yang terakhir, tindakan itu juga mampu mengliilangkan
bahaya terhadap kekaisaran"juga bagi populasi bandit"sebab
boleh dikatakan, nafkah yang satu-satunya masih terbuka bagi
seorang samurai yang tidak cukup beruntung untuk menjadi
ronin adalah denugan menjadi bikhu atau bandit.
"Banyak sekali yang tidak saya pahami tentang penyergapan
mendadak ini," ujar Ishido, suaranya terdengar sengit. "Ya.
Mengapa, misalnya, para bandit itu mencoba menawan si barbar
buat sejumlah uang tebusan" Masih banyak lainnya yang di kota,
yang jauh lebih penting. Bukankah itu yang diharapkan bandit
itu" Berapa harga orang barbar itu" Tidak ada. Dan bagaimana
mereka bisa tahu di mana dia akan berada" Baru kemarin saya
memberi perintah agar membawanya ke hadapan Pangeran
Yaemon, sebab saya pikir akan menghibur bocah itu. Membuat
orang penasaran memang."
"Jelas," ujar Toranaga.
"Lalu ada lagi kebetulan tentang Lord Yabu yang ada di
sekitar tempat itu dengan sejumlah anak buah anda dan beberapa
anak buah saya sendiri, persis pada saat yang sama. Itu juga
membuat orang ingin tahu."
"Amat ingin tahu. Tentu saja dia ada di sana karena sayalah
yang memanggilnya, dan anak buah anda juga di sana karena
kita sama-sama sepakat"bahkan atas usul anda sendiri"bahwa
kebijaksanaan semacam itu justru terpuji dan sekaligus suatu
cara untuk mulai memulihkan pelanggaran yang ada di antara
kita, bahwa anak buah anda mendampingi pasukan saya ke
manapun mereka pergi selama saya sedang mengadakan,
kunjungan resmi di sini."
"Juga ganjil mengapa para bandit yang cukup berani ; dan
terorganisir rapi dan telah membunuh sepuluh orang pertama
tanpa perlu bertarung, malah bersikap seperti orang Korea waktu
orang-orang kami tiba. Kedua belah pihak jelas seimbang, tapi
mengapa bandit bandit itu tidak bertarung atau menyeret si
barbar ke bukit saat itu juga dan bahkan cuma berdiri seperti
orang goblok pada jalan utama yang menuju ke puri" Amat
membuat orang penasaran."
"Ya saya jelas harus membawa pengawal yang jumlahnya dua
kali lipat bersama saya kalau besok saya pergi berburu. Untuk
menjaga segala kemungkinan. Memang menjengkelkan
mengetahui bandit-bandit bisa sedemikian dekat ke puri. Ya.
Mungkin anda juga ingin ikut berburu" Ikut menerbangkan salah
satu elang anda, buat menandingi elang saya" Saya akan berburu
ke hukit sebelah utara."
"Terimakasih, tidak. Saya besok sibuk sekali. Bagaimana bila
lusa" Saya sudah memerintahkan kurang lebih duapuluh ribu
orang untuk mem-bersihkan semua hutan rimba, semak-semak
dan lapangan kosong di tengah rimba di sekitar Osaha. Jadi
takkan ada bandit dalam jarak dua puluh ri selama sepuluh hari
ini. Itu bisa saya jamin."
Toranaga tahu bahwa Ishido memanfaatkan para bandit
sebagai alasan untuk meningkatkan jumlah pasukannya di sekitar
tempat bersangkutan. Kalau dia mengatakan dua puluh,
maksudnya lima puluh. Jerat leher itu sudah lebih ketat lagi,
ujar Toranaga pada diri sendiri. Mengapa secepat itu"
Pengkhianatan baru apa yang baru terjadi ini" Mengapa Ishido
sedemikian yakin" "Bagus. Kalau begitu lusa saja, Lord Ishido. Anda bisa
menempatkan pasukan anda agak jauh dari daerah perburuan
saya" Saya tak ingin permainan saya terganggu," tambah
Toranaga datar. "Tentu saja. Dan orang barbar itu?"
"Dia kini dan seterusnya jadi milik saya. Juga kapalnya. Tapi
anda boleh memilikinya kalau saya sudah selesai berurusan
dengannya. Dan setelah itu anda bisa mengirimkannya ke tempat
hukuman mati, kalau anda mau."
"Terimakasih. Ya, akan saya lakukan itu," Ishido menutup
kipasnya dan menyelipkannya ke lengan bajunya. "Dia tidak
penting. Yang terlebih penting dan satu-satunya alasan
kunjungan saya ke mari adalah bahwa"oh ya, ngomongngomong, saya dengar ibu saya tengah mengunjungi biara Johji."
"Oh" Saya kira musimnya sudah agak terlambat untuk
menyaksikan pohon cherry berbuah. Pasti musim berbuahnya
sudah lewat, kan?" "Saya tahu. Tapi umpamanya beliau ingin melihatnya, apa
salahnya" Kita tak bisa meramalkan orang-orang tua, mereka
punya jalan pikiran sendiri dan melihat hal-hal di dunia ini
dengan kacamata yang berbeda pula, neh" Tapi kesehatannya tak
begitu baik. Saya kuatir. Beliau harus waspada"sebab gampang
masuk angin." "Ibu saya juga begitu. Kita memang harus mengawasi
kesehatan kesehatan orang yang sudah lanjut usia." Toranaga
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuliskan catatan kecil tentang kesehatannya untuk
mengirimkan berita secepatnya, memperingatkan para bikhu
agar menjaga kesehatan wanita tua itu dengan hati-hati. Apabila
dia sampai meninggal di dalam biara, akibatnya akan
mengerikan. Dia akan mendapat malu di muka seluruh
kekaisaran. Segenap daimyo akan menyadari bahwa di dalam
percaturan perebutan kekuasaan itu, Toranaga terbukti telah
memanfaatkan seorang wanita tua yang tak berdaya, ibu
musuhnya, sebagai sandera dan ternyata gagal mempertahankan
tanggungjawabnya bagi wanita itu. Sebab menyandera orang,
pada hakekatnya, adalah cara yang membahayakan.
Ishido hampir menjadi mata gelap ketika mendengar bahwa
ibunya yang amat dihormati tengah berada dalam cengkeraman
Toranaga di Nagoya. Sudah banyak kepala anak buahnya yang
tewas. Secepat kilat dia menyusun rencana-rencananya untuk
menghancurkan Toranaga dan telah bertekad akan mengepung
Nagoya dan membinasakan daimyonya, Kamazaki"dalam
tanggung jawab siapa ibunya kini berada"begitu perlawanan
sengit dimulai. Terakhir, sebuah berita pribadi telah dikirimkan
kepada kepala kuil di sana, melalui seorang perantara, bahwa
setelah ibunya keluar dengan selamat dari kuil dalam waktu dua
puluh empat lam, maka Naga, putra Toranaga satu-satunya yang
dapat dijangkau dan siapa saja selirnya yang dapat ditangkap
saat itu, akan, dengan rasa tak senang, menemukan dirinya sudah
berada di perkampungan orang lepra, begitu mereka bangun esok
paginya, sudah akan diberi makan oleh mereka, akan diberi
minum oleh mereka, dan akan dilayani oleh salah seorang
pelacur mereka. Ishido tahu betul, selama ibunya masih berada
dalam cengkeraman Toranaga, dia harus pandai bersandiwara.
Tapi dia sendiri sudah menyatakan dengan tegas bahwa bilamana
ibunya tidak dilepaskan, dia akan membakar seluruh wilayah
kekaisaran. "Bagaimana kabarnya dengan ibu anda, Lord
Toranaga," tanya Ishido dengan sopan.
"Beliau sehat-sehat saja, terimakasih," Toranaga sengaja
memperlihatkan rasa bahagianya, baik karena sedang
memikirkan ibunya maupun karena menyadari amarah Ishido
yang sudah sampai pada titik didih.
"Kesehatannya termasuk mengagumkan bagi orang berusia
tujuh puluh empat tahun. Saya berharap semoga saya sekuat
beliau kalau sudah setua beliau."
Kau lima puluh delapan sekarang, Toranaga, tapi kau takkan
pernah mencapai lima puluh sembilan, Ishido berjanji pada diri
sendiri. "Tolong sampaikan doa saya semoga beliau panjang
umur. Sekali lagi, terimakasih dan maafkan saya kalau anda
merasa tidak nyaman." Ishido membungkuk dengan hormatnya,
kemudian, sembari mengekang amarahnya yang memuncak
dengan susah-payah, dia menambahkan, "Oh, ya, masalah
penting yang sebenarnya ingin saya katakan pada anda adalah
bahwa rapat resmi terakhir para bupati ditangguhkan. Kita tak
jadi bertemu malam ini."
Toranaga tetap memperlihatkan senyum di wajahnya, namun
dalam hati dia tetap tegar. "Oh" Mengapa?"
"Lord Kiyama sakit. Lord Sugiyama dan Lord Onoshi sudah
menyetujui penangguhan itu. Begitu juga saya. Beberapa hari tak
jadi soal dalam menangani masalah yang tak begitu penting ini?"
"Kita bisa rapat tanpa Lord Kiyama."
"Kami sudah sepakat, sebaiknya jangan." Sinar mata Ishido
tampak mencemooh. "Secara resmi?"
"Ini keempat stempel nama kami."
Darah Toranaga terasa menggelegak. Setiap penangguhan
baginya akan merupakan marabahaya. Dapatkah dia
mempertukarkan ibu Ishido dengan sebuah rapat kilat" Tidak,
karena akan memakan waktu terlalu banyak untuk mengirimkan
perintah ke sana dan menunggu berita balasannya lagi dan dia
akan terpaksa mengizinkan segala sesuatu tanpa memperoleh
imbalan apa-apa. "Kapan rapat diadakan?"
"Saya kira, Lord Kiyama sudah sembuh besok atau mungkin
lusa." "Bagus. Akan saya kirimkan dokter pribadi saya untuk
memeriksa beliau." "Saya yakin beliau akan menghargai itu. Tapi dokter
pribadinya telah melarang beliau dikunjungi siapa saja. Kalau
begitu, penyakitnya mungkin menular, neh?"
"Penyakit apa?"
"Saya tak tahu, tapi begitulah yang diceritakan pada saya."
"Dokternya orang barbar?"
"Ya. Saya kira dokter pemimpin orang Kristen. Seorang
imam merangkap dokter bagi seorang daimyo Kristen. Dokterdokter kita belum cukup baik bagi daimyo sepenting itu," sahut
Ishido dengan nada mengejek.
Perhatian Toranaga bertambah. Jika dokternya orang Jepang,
banyak sekali yang bisa diperbuatnya. Tapi terhadap seorang
dokter Kristen"yang pasti seorang imam Yesuit pula"yaah,
untuk menentang salah satu di antara mereka atau melibatkan
salah seorang anggotanya, bisa segenap daimyo Kristen dikucilkan, risiko yang tak berani dipikulnya. Toranaga sadar,
persahabatannya dengan Tsukku-san takkan menolongnya
melawan para daimyo Kristen, yakni Onoshi dan Kiyama.
Memang sudah menjadi minat orang Kristen untuk menciptakan
persatuan. Dalam waktu singkat, Toranaga sudah harus
mendekati mereka; para imam barbar itu, untuk menyusun segala
sesuatunya, untuk menjajagi berapa imbalan bagi kerjasama
mereka. Apabila Ishido benar-benar berhasil menggaet Onoshi dan
Kiyama ke pihaknya"segenap daimyo Kristen pasti akan
mengikuti jejak kedua orang yang bersatu ini"maka aku akan
terasing, pikir Toranaga. Jadi satu-satunya jalan bagiku adalah
Langit Lembayung (perang).
"Saya akan menjenguk Lord Kiyama lusa," kata Toranaga
menetapkan batas waktu. "Tapi, bagaimana dengan kemungkinan terjadinya penularan"
Saya takkan dapat memaafkan diri saya kalau sampai terjadi
sesuatu terhadap anda sementara anda sedang berada di Osaka.
Anda adalah tamu kami, tanggung jawab saya. Lebih baik
jangan." "Tenang saja, Lord Ishido, penularan yang akan menjatuhkan
saya itu belum lagi dilahirkan, neh" Anda sudah lupa pada
perkataan jururamal itu?" Ketika utusan Cina datang menghadap
Taiko enam tahun yang lalu untuk mencoba menyelesaikan
perang Jepang Korea, seorang peramal terkenal ikut bersama
mereka. Orang Cina ini telah meramalkan banyak hal yang
kemudian memang benar terjadi. Pada salah satu acara santap
malam Taiko yang mewah, Taiko sendiri telah meminta peramal
itu untuk meramalkan kematian para penasihatnya yang tertentu.
Peramal itu mengatakan bahwa Toranaga akan mati oleh pedang
waktu dia mencapai usia setengah baya. Ishido, sang penakluk
Korea atau Chosen"demikian orang Cina menyebutkannya"
akan mati tanpa penyakit, mati"tua dengan kaki tegar
menginjak bumi, dan akan menjadi orang yang paling termasyur
di zamannya. Taiko sendiri akan mati di ranjang, dihormati dan
dipuja orang untuk selamalamanya"beliau meninggalkan
seorang putra yang sehat sebagai pengganti-nya kelak. Ramalan
ini sangat inenyenangkan hati Taiko yang saat itu belum juga
punya anak laki-laki. Beliau memutuskan untuk membiarkan
utusan Cina itu pulang kembali ke negerinya dan tak jadi
membunuhnya, seperti yang sudah direncanakannya, karena
penghinaan yang telah dilakukannya sebelumnya. Bukannya
merundingkan perdamaian, seperti yang telah diharapkan Taiko
sebelumnya, Kaisar Cina lewat utusannya malah terang-terangan
menawari Taiko "penobatan sebagai Raja Wa,?"demikian orang
Cina menamakan negeri Jepang. Jadi Taiko mengirim mereka
pulang dalam keadaan hidup lalu berperang lagi melawan Korea
dan Cina. "Tidak, Lord Toranaga, saya tidak lupa," sahut Ishido yang
masih mengingatnya dengan jelas. "Tapi, penularan itu jelas
tidak enak. Mengapa mau menjadi tidak nyaman" Anda bisa
ketularan penyakit cacar seperti putra anda Noboru, maaf"atau
bisa menjadi penderita kusta seperti Lord Onoshi. Beliau masih
muda, tapi sudah menderita seperti itu. Oh, ya, beliau
menderita." Sesaat lamanya Toranaga kehilangan kepercayaan diri. Dia
tahu betul keganasan kedua penyakit itu. , Noboru, putra
sulungnya yang masih hidup, terkena penyakit cacat air waktu
dia masih berusia tujuh belas tahun"sepuluh tahun yang lalu"
dan segenap usaha penyembuhan dokter-dokter Jepang, Cina,
Korea dan Kristen, tak mampu menjinakkan keganasan penyakit
yang mampu membuat bopeng tapi tak membunuhnya sekalian.
Seandainya aku benar-benar berkuasa, Toranaga berjanji pada
dirinya sendiri, mungkin aku dapat membasmi penyakit itu.
Apakah betul penyebabnya perempuan" Bagaimana perempuan
bisa mendapatkannya" Bagaimana cara menyembuhkannya"
Kasihan Noboru, pikir Toranaga. Kalau bukan karena cacar air
itu, kau bisa menjadi ahli warisku, karena kau prajurit yang
cemerlang, pemimpin yang jauh lebih baik daripada Sudara,
lagipula amat lihay. Pasti kau pernah melakukan segudang halhal buruk dalam kehidupanmu sebelumnya, sehingga harus
menanggung beban seberat itu sekarang.
"Demi Budha, saya tak rela ada yang ketularan salah satu dari
penyakit itu," ujar Toranaga.
"Saya setuju," sahut Ishido menimpali, merasa yakin bahwa
Toranaga sebetulnya mengharapkan dirinyalah yang ketularan
kedua penyakit itu, kalau bisa. Ishido membungkuk lagi lalu
pergi dari tempat itu. Toranaga memecah kesunyian. "Bagaimana?"
Hiromatsu menjawab, "Apakah anda tinggal di sini atau
pergi"sekarang tak ada bedanya"malapetaka, karena anda
sudah dikhianati dan dikucilkan, Tuan. Seandainya anda tetap
tinggal untuk menghadiri rapat"anda tetap takkan diminta
menghadiri rapat itu dalam seminggu ini"Ishido akan
mengerahkan pasukannya ke sekitar Osaka dan anda takkan
mampu meloloskan diri. Apa pun yang terjadi pada Putri Ochiba
di Yedo, Ishido jelas sudah memutuskan akan mengorbankan
beliau, asal bisa membekuk anda. Nyata sekali anda dikhianati
dan keempat bupati itu telah memutuskan untuk menentang
anda. Empat lawan satu suara dalam dewan secara otomatis akan
membuat anda terpojok. Kalau anda jadi meninggalkan tempat
ini, keputusan Ishido akan tetap dikeluarkan, apa pun isinya.
Anda akan dipaksa untuk mensahkan keputusan empat lawan
satu. Anda telah bersumpah akan melakukannya. Anda tak dapat
memungkiri ikrar yang telah anda ucapkan sebagai bupati."
"Saya tahu" Kesenyapan kembali mencekam.
Hiromatsu menunggu dengan kecemasan yang semakin
bertambah. "Apa yang akan anda lakukan?"
"Pertama-tama saya akan berenang dulu," jawab Toranaga
dengan kegembiraan yang tak terduga. "Lalu saya akan menemui
si barbar." Perempuan itu berjalan tanpa suara melalui kebun pribadi
Toranaga didalam puri, ke arah sebuah pondok beratap rumbia
yang dibangun sedemikian manisnya di tengah semak pohon
maple. Kimono sutera dan obinya , tergolong paling sederhana
namun sekaligus yang paling cantik yang pernah dibuat oleh
para penjahit Cina. Rambutnya sengaja ditata menurut model
Kyoto mutakhir, disusun tinggi dan ditopang dengan sepasang
jepit perak panjang. Sebuah payung warna-warni melindungi
kulitnya yang kuning langsat. Dia beperawakantingginya hanya
lima kaki, kecil-mungil, namun dengan proporsi yang serasi. Di
seputar lehernya menggelanlung seuntai kalung dan salib kecil
terbuat dari emas. Kiri tengah menanti di serambi pondok. Dia duduk tegaktegak di keteduhan, pantatnya melebihi ukuran bantal yang
disediakan baginya. Dia sedang mengawasi perempuan itu
berjalan mendekat di sepanjang batu-batu yang ditanam
demikian apik ke dalam lumut hingga nampaknya batu-batu itu
otomatis tumbuh di sana. "Anda tambah cantik dan lebih muda dari biasa, Toda
Mariko-san," ujar Kiri tanpa rasa iri sedikit pun "embari balas
membungkuk. "Saya harap itu benar, Kiritsubo-san," Mariko menlawab
sambil tersenyum. Dia berlutut pada sebuah ban(al dan secara
otomatis mulai membenahi lipatanI ipatan roknya.
"Itu benar. Kapan kita bertemu terakhir kali" Dua - tiga tahun
yang lewat" Anda tak berubah sedikit pun dalam dua puluh
tahun ini. Meskinya sudah hampir sepuluh tahun waktu kita baru
pertama kali bertemu. Masih ingat" Waktu itu di pesta yang
diselenggarakan Tuanku Goroda. Anda baru empat belas, baru
menikah dan masih hijau."
"Dan masih penakut."
"Bukan, kau bukan orang demikian. Bukan penakut."
"Itu enam belas tahun yang lalu, Kiritsubo-san, bukan dua
puluh. Ya, saya masih ingat betul." Malah masih ingat betul,
pikir Mariko, dengan hati gundah. Itulah hari waktu kakakku
membisikkan bahwa dia yakin ayah kami yang begitu dihormati
orang, justru akan membalas dendam terhadap kepala marga
kita, si diktator Goroda, bahwa dia akan membunuhnya. Bayangkan, kepala marganya!
"Oh, ya Kiri-san, saya masih ingat harinya, tahunnya dan
jamnya. Itulah permulaan dari semua horor itu. Saya tak pernah
mengakui pada siapa pun juga bahwa saya sudah tahu apa yang
akan terjadi, sebelum itu terjadi. Saya tak pernah
memperingatkan suami saya atau Hiromatsu, mertua saya"yang
kedua-duanya , merupakan vassal paling setia dari si diktator"
bahwa sebuah pengkhianatan sedang direncanakan oleh salah
seorang jenderalnya yang terkemuka. Lebih celaka lagi, saya tak
pernah membocorkannya pada Goroda, kepala marga saya. Jadi
saya sebenarnya sudah gagal menunaikan kewajiban saya
terhadap kepala marga saya, pada suami dan keluarganya, yang
karena ikatan perkawinan menjadi keluarga saya satu-satunya.
Oh, Madonna (Bunda Maria), ampuni dosa saya, bantu saya
menyilihkan dosa-dosa saya sendiri. Saya tetap bungkam untuk
melindungi ayah saya tercinta, yang telah mencemarkan
kehormatan seharga ribuan tahun. O, Tuhanku. O, Tuhanku,
Yesus dari Nazareth, selamatkan orang berdosa ini dari api
neraka ... "Itu enam belas tahun yang lalu," sahut Mariko tenang.
"Saya sedang mengandung anak Toranaga tahun itu," ujar
Kiri menambahkan, dan pikirnya, seandainya Tuanku Goroda
tidak dikhianati secara keji lalu dibunuh oleh ayahmu, Lord
Toranaga takkan pemah harus bertempur di medan pertempuran
Nagakude, aku juga takkan masuk angin dan kandunganku juga
takkan keguguran. Barangkali begitu, ujarnya pada diri sendiri.
Dan barangkali juga tidak. Itu cuma karma, karmaku sendiri, apa
pun yang sudah terjadi, neh" "Ah, Marikosan," ujarnya lagi
tanpa maksud jahat, "itu sudah lama sekali, rasanya seperti sudah
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir selama satu kehidupan. Tapi anda awet muda. Mengapa
saya tak bisa mewarisi figur dan rambut anda yang cantik dan
langkah yang segemulai .itu?" Kiri tertawa. "Jawabannya
sederhana saja. Karena saya makan terlalu banyak!"
"Apa masalahnya" Anda disayang sekali oleh Lord Toranaga,
neh" Jadi anda sudah terpuaskan lahir-batin. Anda amat bijak,
hangat, tulus dan sudah cukup bahagia dengan diri anda sendiri."
"Saya lebih senang tetap berbadan kurus tapi masih bisa
makan banyak dan disayang orang," sahut Kiri. "Tapi anda
sendiri, bagaimana" Memangnya batin anda tidak bahagia?"
"Saya hanya sekedar alat pemuas nafsu Lord Buntaro.
Seumpamanya suami saya itu bahagia, dengan sendirinya saya
juga bahagia. Kenikmatannya adalah kenikmatan saya. Sama
halnya dengan anda," ujar Mariko.
"Ya. Tapi tidak sama." Kiri menggoyangkan kipasnya, sutera
emas itu membiaskan sinar mentari sore. "Aku senang sekali aku
tidak seperti kau, Mariko, dengan segenap kecantikanmu,
kecerdasanmu, keberanianmu dan pengetahuanmu. Tidak" Aku
tak sanggup menikah dengan lelaki berangasan yang
memuakkan itu"jelek dan sombong"walau cuma sehari saja,
apalagi tujuh belas tahun! Laki-laki itu berbeda sekali dengan
ayah kandungnya"Lord Hiromatsu. Beliau jelas seorang lakilaki sejati. Tapi Buntaro" Mengapa para ayah sering
membuahkan putra-putra yang mengerikan seperti itu" Aku
ingin sekali punya anak lelaki, betapa inginnya! Tapi kau,
Mariko, bagaimana caranya kau menghadapi segala
perlakuannya yang buruk terhadapmu selama bertahun-tahun
ini" Bagaimana caranya kau menanggung semua tragedimu itu"
Sungguh aneh"hampir tak ada kesan-kesan perlakukan buruk
suamimu itu pada wajahmu atau dalam batinmu. Anda benarbenar wanita yang mengagumkan, Toda Buntaro Mariko-san."
"Terimakasih, Kiritsubo Toshiko-san, senang sekali bisa
bertemu anda lagi." "Dan anda sendiri. Apa kabar dengan putra anda?"
"Baik-baik saja. Saruji sudah berumur lima belas sekarang,
bisa anda bayangkan" Tinggi, kuat dan persis seperti ayahnya.
Lord Hiromatsu telah mewariskan wilayah kekuasaannya pada
Saruji dan anak itu"anak itu"anda sudah tahu belum dia akan
menikah?" "Tidak, dengan siapa?"
"Dengan cucu perempuan Lord Kiyama. Tuanku Toranaga
yang mengaturnya. Pasangan yang serasi sekali bagi keluarga
kita. Saya cuma berharap gadis itu"bisa lebih telaten terhadap
anak saya, lebih bernilai. Anda tahu...." Mariko tertawa, agak
tersipu-sipu. "Pendapat saya ini mungkin kedengarannya seperti
celotehan ibu-ibu mertua pada umumnya. Tapi saya kira anda
sependapat dengan saya"gadis itu belum berpengalaman."
"Anda masih punya cukup waktu untuk mendidiknya."
"Ya, saya harap begitu. Untunglah saya tidak punya ibu
mertua. Saya sendiri tak tahu apa yang harus saya perbuat."
"Anda harus dapat memikat dan melatihnya seperti anda
sendiri melatih rumah tangga anda, neh?"
"Ya, mudah-mudahan saja semuanya itu bisa terwujud." Jari
jemari Mariko tetap tak bergerak di pangkuannya. Dia
mengawasi seekor lalat besar hinggap kemudian terbang lagi.
"Suami saya minta agar saya tinggal di sini. Benarkah Tuanku
Toranaga ingin bertemu dengan saya?"
"Ya. Beliau ingin agar anda menjadi juru bahasanya."
Mariko terkejut. "Bagi siapa?"
"Orang barbar pendatang baru itu."
"Oh! Tapi bagaimana dengan Pater Tsukku-san" Apa dia
sakit?" "Tidak". Kiri mengibas-ibaskan kipasnya.
"Saya kira sudah semestinya kita heran mengapa Tuanku
Toranaga menginginkan anda dan bukan si imam, seperti pada
saat wawancara pertama itu. Alasannya, Mariko-san, kita harus
menjaga semua uang itu, sekaligus membayar semua rekening,
melatih semua pelayan, membeli semua makanan dan barangbarang rumah tangga"bahkan seringkali juga membelikan
pakaian tuan kita"tapi semuanya itu tidak mengungkapkan apaapa bagi kita, bukan?"
"Mungkin untuk semua itulah intuisi kita diciptakan."
"Mungkin." Pandangan Kiri terlihat tenang dan bersahabat.
"Tapi saya bisa membayangkan bahwa semuanya ini adalah
masalah pribadi. Jadi anda bisa bersumpah demi dewa Kristen
tidak akan membocorkan pertemuan kita ini pada siapapun
juga." Teriknya hari pada saat itu terasa berkurang.
"Tentu saja," sahut Mariko canggung. Dia mengerti betul,
Kiri ingin menekankan bahwa dia tak boleh mengatakan apa-apa
pada suami atau ayahnya ataupun pada bapak baptisnya (Imam).
Karena suaminya sendiri telah memerintahkan dia supaya tinggal
di sini"jelas atas permintaan Toranaga"kewajibannya pada
kepala marganya, yakni Toranaga, dapat dikatakan melebihi
kewajibannya terhadap bapak baptisnya. Tak bolehkah dia
mengatakan sesuatu kepadanya" Dan mengapa dia yang harus
jadi juru-bahasa dan bukannya Tsukku-san" Dia sekali lagi
menyadari, di luar kehendaknya, bahwa dia telah terlibat dalam
sebuah intrik politik yang telah merusak jalan hidupnya dan menyesali mengapa keluarganya memiliki keturunan berinarga
Fujimoto, menyesali telah dilahirkan dengan bakat berbahasa
sebanyak itu, yang telah membuatnya mampu mempelajari
bahasa Portugis dan Latin yang hampir tak mungkin dipahami.
Seyogyanya dia sama sekali jangan pernah dilahirkan ke dunia
itu. Tapi, pikir Mariko, kalau tidak, aku takkan punya anak lelaki
dan takkan mengenal Anak Kristus atau kebenaranNya yang
hakiki, atau takkan mengenal Kehidupan Kekal.
Itu sudah karmamu, Mariko, ujarnya dengan sedih pada diri
sendiri"karmamu. "Baiklah, Kiri-san." Kemudian Mariko
menambahkan seperti punya firasat, "Saya bersumpah, atas nama
Tuhan Allah, takkan membocorkan apa saja yang telah dikatakan
hari ini di sini atau kapan saja waktu saya sedang
menerjemahkan untuk kepala marga kita."
"Saya rasa anda juga harus membuang jauh jauh perasangka
anda agar bisa menterjemahkan secara tepat Apa yang dikatakan
beliau. Orang barbar itu agak aneh dan suka mengatakan yang
aneh-aneh. Saya yakin tuan saya memilih anda karena alasan
tertentu." "Saya siap untuk melaksanakan perintah Tuanku Toranaga
yang manapun juga. Beliau tak perlu meragukan kesetiaan saya."
"Itu tak pernah dipersoalkan, Nyonya. Saya tak bermaksud
jahat." Curah hujan musin semi datang dan mulai memerciki daun
bunga serta lumut dan dedaunan, meninggalkan bekas yang lebih
cantik daripada semula. "Saya minta pengertian anda, Mariko-san. Bisa anda
sembunyikan salib itu di balik kimono anda?"
Jari jemari Mariko malah memeganginya seolah-olah sedang
memper-tahankan benda itu dari rebutan orang. "Mengapa"
Tuanku Toranaga tak keberatan saya berganti agama, begitu pula
Lord Hiromatsu, kepala marga saya sendiri! Suami saya"suami
saya malah memperbolehkan saya menyimpan dan
memakainya." "Ya. Tapi salib itu akan membuat si barbar mata gelap.
Tuanku Toranaga tak menginginkan dia mengamuk, beliau
menginginkan agar dia tenang."
Blackthorne belum pemah melihat orang yang sedemikian
mungil. "Konnichi wa," ujarnya. "Konnichi, Toranaga-sama."
Blackthome mem-bungkukkan badannya bagai salah seorang
anggota keluarga istana, mengangguk ke arah bocah lelaki
bermata besar yang tengah berlutut di samping Toranaga lalu ke
arah perempuan gemuk di belakang bocah itu. Mereka semua
berada di serambi yang mengelilingi pondok kecil. Pondok itu
berisi sebuah kamar kecil dengan tirai asli pedusunan, berikut
balok-balok yang dipotong sama bentuk, beratap rumbia dan
ruangan dapur di belakangnya. Dapur dibangun dari tumpukan
kayu, di atas gundukan bukit pasir putih bersih, tingginya kirakira sekaki atau lebih. Itulah pondok teh yang digunakan untuk
upacara charro-yu (minum teh). Pondok itu dibangun dengan
biaya tinggi karena mempergunakan bahan-bahan yang jarang
didapat, yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan itu semata.
Pondok-pondok teh tersebut umumrrya terpencil di tengah hutan,
karena itu seringkali dimanfaatkan oleh mereka yang tengah
berpacaran atau untuk pembicaraan pribadi.
Blackthorne merapikan kimononya lalu duduk di atas bantal
yang diletakkan di atas gundukan pasir di hadapan mereka
semua. "Gomen nasai, Toranagasama, nihon go ga hanasemasen. Tsyukasu go imasuka?"
"Saya yang menjadi juru-bahasa anda, Senor," sahut Mariko
dalam bahasa Portugis yang tak tercela. "Tapi anda bisa bahasa
Jepang?" "Tidak, Senorita, cuma beberapa patah kata saja," sahut
Blackthorne keheranan. Semula dia pikir Pater Alvitolah yang
akan jadi juru-bahasanya, dan Toranaga pasti didampingi oleh
para samurai dan daimyo Yabu. Namun tak satu pun samurai
yang berani mendekat, sekalipun banyak di antaranya
mengelilingi kebun. "Tuanku Toranaga menanyakan, di mana pertama-tama,
bagaimana, apakah anda lebih senang berbahasa Latin?"
"Terserah pada anda, Senorita." Sebagai orang berpendidikan
Blackthorne dapat membaca, menulis dan berbicara dalam
bahasa Latin, karena bahasa Latin adalah bahasa pengetahuan
satu-satunya di seluruh dunia yang beradab saat itu.
Siapa perempuan ini" Di mana dia mempelajari bahasa
Portugis sebagus itu" Dan Latin! Di mana lagi kalau bukan dari
kaum Yesuit itu, pikimya. Di salah satu sekolah mereka. Ya,
mereka memang pintar! Yang pertama-tama mereka lakukan
adalah membangun sekolah.
Baru tujuh puluh tahun yang lalu Ignatius Loyola mendirikan
Serikat Yesus dan kini sekolah-sekolah mereka, yang tergolong
paling bagus bagi umat Kristen, sudah tersebar di seluruh dunia.
Pengaruh mereka bahkan dapat menaikkan atau menjatuhkan
raja-raja. Mereka itu ibarat telinganya Sri Paus. Mereka mampu
membendung gelombang reformasi (pembaharuan) dan kini
bahkan sudah berhasil merenggut kembali daerahdaerah baru
bagi gereja mereka. "Kalau begitu, kita berbicara bahasa Portugis saja," ujar
Mariko menimpali. "Tuan saya ingin tahu, di mana"anda
belajar kata-kata dan frasa Jepang yang sedikit itu?"
"Di penjara ada seorang imam, Senorita, seorang imam
Fransiskan, dialah yang mengajari saya. Hal-hal seperti: makan,
teman, mandi, pergi, datang, benar, salah, di sini, di sana, saya,
kamu, silakan, terimakasih, mau, tak mau, tahanan, ya, tidak, dan
sebagainya. Sialnya, itu baru permulaannya saja. Silakan anda
sampaikan pada Tuanku Toranaga bahwa sekarang saya sudah
lebih mampu menjawab pertanyaannya, lebih bisa membantu
dan merasa lebih senang karena sudah keluar dari penjara. Untuk
itu saya berterimakasih pada beliau."
Blackthorne mengawasi perempuan itu waktu berpaling dan
berbicara kepada Toranaga. Dia tahu bahwasannya dia harus
berbicara dengan sederhana, lebih baik hanya dengan kalimatkalimat pendek, dan kalau bisa bertindak hati-hati, karena,
berbeda dengan si imam yang menerjemahkan secara serentak,
perempuan ini malah menunggu sampai Blackthorne selesai
berbicara, kemudian membuat ringkasannya atau semacam versi
tentang apa saja yang baru dikatakannya"problem lazim bagi
semua penerjemah, kecuali bagi para juru-bahasa yang paling
baik. Mereka umumnya, seperti juga kaum Yesuit, seringkali
membawa-bawa kepribadian mereka untuk mempengaruhi apa
yang baru dikatakan, baik sengaja maupun tidak. Acara mandi,
pijat dan makan ditambah dua jam tidur nyenyak, rupanya telah
membuatnya segar. Yang memandikan Blackthorne perempuanperempuan gemuk dan kuat. Mereka memukul-mukul
punggungnya dan mengeramasi rambutnya, kemudian
menatanya dalam bentuk untaian yang rapi dan tukang pangkas
juga telah mencukur jenggotnya. Tilam tempat tidurnya juga
dibersihkan sedemikian rupa. Semuanya seakan yang tanpa
mimpi itu, Blackthorne bertanya-tanya untuk sesaat, yang mana
yang benar-benar mimpi" Yang ini atau yang di penjara"
Blackthorne menunggu dengan sabar, berharap dia akan
dibawa lagi ke hadapan Toranaga. Dia bahkan tengah
merencanakan apa yang akan dikatakan dan apa yang akan
diungkapkan, bagaimana caranya mengakali Pater Alvito dan
bagaimana mempengaruhinya. Dan mempengaruhi Toranaga.
Karena dia tahu persis, dari apa yang telah dikatakan Pater
Domingo kepadanya, mengenai orang Portugis, mengenai politik
dan perdagangan orang Jepang, bahwasanya dia dapat membantu
Toranaga, yang sebaliknya, dapat dengan mudah menganugerahkan kepadanya kekayaan yang diinginkannya.
Dan kini, tanpa perlu bersilat-lidah dengan si imam,
Blackthorne merasa lebih yakin. Aku hanya butuh nasib baik dan
kesabaran sedikit. Toranaga tampak tengah medengarkan juru-bahasanya yang
bagaikan boneka itu dengan penuh minat.
Pikir Blackthorne, aku dapat membopongnya hanya dengan
satu jari dan jika kulingkarkan kedua tapak tanganku di seputar
pinggangnya yang ramping itu, jari-jemariku akan saling
bertautan. Berapa umurnya kira-kira" Sempuma sekali! Sudah
kawin" Tak ada cincinnya! Ah, justru menarik minat orang. Dia
tak mengenakan perhiasan apa pun selain sepasang jepit perak
di rambutnya. Perempuan gemuk itu pun tidak mengenakan
perhiasan. Blackthorne mulai mengingat-ingat. Kedua perempuan lain di
desa itu juga tak mengenakan perhiasan. Dia juga tak melihat
ada yang memakainya dalam rumah tangga Mura. Mengapa"
Dan siapa gerangan perempuan gemuk itu" Isteri Toranaga"
Atau pengasuh bocah itu" Mungkinkah bocah itu putra
Toranaga" Atau cucunya, barangkali" Pater Domingo
mengatakan, orang Jepang cuma boleh punya istri satu ditambah
sejumlah gundik atau istri tak resmi sebanyak yang mereka
inginkan. Apakah juru-bahasa itu salah seorang gundik Toranaga"
Seperti apa rasanya kalau tidur dengan perempuan sekecil itu"
Aku takut kalau-kalau aku meremukkannya. Tidak, dia tak bakal
remuk. Di Inggris juga ada perempuan yang begitu kecil. Tapi
tidak sekecil dia. Bocah itu kecil, polos dan bermata besar. Rambutnya yang
hitam dan lebat dijalin dengan sebuah untaian pendek, kepalanya
tak dicukur. Rasa ingin tahunya terlihat tak terbatas.
Tanpa sadar Blackthorne mengedipkan mata, Si bocah
melompat, lalu tertawa dan segera menyela Mariko, kemudian
menunjuk dan mulai berbicara. Mereka semua mendengarkan
dengan sabar, tak seorang pun berani menyuruhnya tutup mulut.
"Tuanku Toranaga bertanya, mengapa anda berbuat begitu,
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senor?" "Oh, cuma buat menghibur di bocah. Dia cuma anak kecil,
seperti yang lainnya. Anak-anak kecil, seperti yang lainnya.
Anak-anak di negeri saya biasanya akan tertawa kalau anda
berbuat begitu. Anak saya pasti sudah sebaya dia sekarang. Anak
saya sudah berumur tujuh tahun."
"Pangeran berusia tujuh tahun," Mariko setelah berhenti
sejenak, kemudian menerjemahkan langsung apa yang
dikatakannya. "Pangeran" Apakah itu berarti bocah tersebut putra tunggal
Tuanku Toranaga?" tanya Blackthorne.
"Tuanku Toranaga telah memerintahkan agar saya meminta
anda supaya hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan saja,
sementara ini." Lalu dia menambahkan, "Saya yakin, kalau anda
bersabar, Kapten-Pilot Blackthorne, anda nanti akan diberi
kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu sesuka anda."
"Baiklah." "Karena nama anda susah sekali diucapkan, Senor, sebab
kami memang tak punya lafal seperti itu dalam bahasa kami,
bolehkah saya, atas nama Tuanku Toranaga, menggunakan nama
Jepang anda, Anjin-san?"
"Tentu saja," Balckthorne tergerak ingin menanyakan nama si
juru-bahasa, tapi serentak dia teringat pesan perempuan itu,
maka Blackthorne memperingatkan dirinya sendiri supaya
bersabar. "Terimakasih. Tuan saya bertanya, anda punya anak lain?"
"Anak perempuan. Dia lahir tepat sebelum saya meninggalkan kampung halaman saya di Inggris. Jadi, dia pasti
sudah berumur dua tahun sekarang."
"Anda punya satu istri atau banyak?"
"Satu. Itu sudah adat kami. Seperti juga orang Portugis dan
Spanyol. Kami tak punya gundik-gundik resmi."
"Dia istri pertama anda?"
"Ya." "Berapa umur anda?"
"Tiga puluh enam."
"Anda di Inggris tinggal di mana?"
"Di perbatasan Chatham. Sebuah pelabuhan kecil dekat
London." "London itu ibukota negeri anda?"
"Ya." "Beliau bertanya, anda bisa berbahasa apa saja?"
"Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan tentu saja, Latin."
"Apa itu Belanda?"
"Bahasa yang dipergunakan di Eropa, di negeri Belanda.
Bahasa itu mirip sekali dengan bahasa Jerman."
Mariko mengernyitkan kening. "Belanda itu bahasa orang
kafir" Dan Jerman juga?"
"Keduanya negeri non Katolik," sahut Blackthorne hati-hati.
"Maaf, bukankah itu sama dengan kafir?"
"Tidak, Senorita. Agama Kristen itu terbagi menjadi dua
bahagian yang berlainan dan boleh dibilang menjadi dua agama
yang terpisah. Ada dua versi. Sekte di Jepang ini Katolik. Pada
saat ini kedua sekte itu saling bermusuhan." Blackthorne dapat
melihat Mariko keheranan dan dapat merasakan kejengkelan
Toranaga yang merasa tidak diikutsertakan dalam pembicaraan
itu. Hati-hatilah, ujar Blackthome memperingatkan diri sendiri.
Perempuan itu pasti Katolik. Ajaklah dia membicarakan hal-hal
lainnya. Dan jangan berbelit-belit. "Mungkin Tuanku Toranaga
tak lagi bersedia membicarakan masalah agama, Senorita, karena
sebagian sudah disinggung dalam pertemuan kita sebelumnya."
"Anda orang Kristen Protestan?"
"Ya." "Dan orang Kristen Katolik itu musuh anda?"
"Ya, mereka menganggap saya orang murtad dan musuh
mereka." Mariko menjadi bimbang, lalu berpaling pada Toranaga dan
berbicara panjang lebar. Nampak banyak sekali pengawal di sekeliling garis batas
kebun. Semuanya dalam keadaan siaga, pasukan berseragam
coklat. Blackthome melihat ada kira-kira sepuluh orang pasukan
kelabu yang tengah duduk berkelompok di keteduhan. Mata
mereka tertuju kepada si bocah. Pertanda apa itu" Blackthorne
bertanya-tanya dalam hati.
Toranaga bertanya-bawab dengan Mariko untuk sesaat, lalu
berbicara langsung dengan Blackthorne.
"Tuan saya ingin mengetahui tentang diri anda dan keluarga
anda." Mariko memulai. "Tentang negeri anda, ratunya dan para
penguasa sebelumnya, kebiasaannya, adat-istiadatnya dan
sejarahnya. Pokoknya, sama seperti negeri-negeri lainnya,
khususnya Portugal dan Spanyol. Khususnya tentang dunia anda.
Tentang kapal-kapal anda, senjatanya, logistiknya dan perdagangannya. Tentang perang-perang yang pernah anda alami,
pertempuran-pertempurannya
dan bagaimana caranya mengemudikan kapal, bagaimana caranya anda memimpin kapal
dan apa yang terjadi selama pelayaran. Beliau ingin memahami
semua itu"maaf, mengapa anda tertawa?"
"Karena, Senorita, justru semua itu kebetulan saya ketahui."
"Persis, itulah yang ingin diketahui tuan saya. 'Persis' itu
artinya 'tepat', kan?"
"Ya, Senorita. Bahasa Portugis anda bagus sekali, tak
bercela." Kipas perempuan itu bergoyang sedikit. "Terimakasih, Senor.
Ya memang, tuan saya ingin mengetahui keadaan yang
sebenamya tentang segalanya, apa saja fakta-faktanya dan apa
pendapat anda." "Saya senang bisa menceritakan pada beliau. Tapi mungkin
perlu waktu sedikit."
"Tuan saya punya banyak waktu."
Blackthome memandang Toranaga. "Wakarimasu."
"Maafkan saya, Senor, tuan saya menyuruh saya memberitahu
logat anda itu salah sedikit." Mariko menunjukkan padanya
bagaimana mengatakannya dalam
bahasa Jepang yang baik dan Blackthome mengulanginya
seraya berterimakasih. "Saya ini Senora Mariko Buntaro, bukan
Senorita." "Ya, Senora." Blackthorne melihat sekilas pada Toranaga.
"Beliau minta saya mulai darimana?"
Mariko bertanya kepada Toranaga. Secercah senyum
mengembang pada wajah tegar Toranaga. "Katanya, dari
permulaan." Blackthorne menyadari, ini adalah cobaan lain baginya. Dari
segala kemungkinan yang ada, dari mana di harus mulai" Pada
siapa dia harus berbicara" Pada Toranaga, pada si bocah, atau
pada perempuan itu" Jelas, kalau cuma seorang lelaki yang
hadir, tentu pada Toranaga. Tapi kini" Mengapa perempuan
gemu'k dan bocah itu juga ikut hadir" Tentu ada sesuatu yang
penting. Dia memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada bocah
dan perempuan itu. "Dahulu negeri saya diperintah oleh seorang
raja agung yang mempunyai pedang ajaib bernama Excalibur
dan permaisurinya adalah perempuan tercantik di negerinya.
Penasihat utama beliau orang bijaksana"sekaligus ahli sihir.
Namanya Merlin, sedangkan nama rajanya adalah Arthur,"
Blackthorne memulai dengan penuh percaya diri, menceritakan
legenda yang biasa diceritakan ayahnya sedemikian bagus, pada
waktu Blackthorne masih remaja. "Ibukota Raja Arthur bernama
Camelot dan saat itu negeri berada dalam keadaan tentramdamai, waktu panen melimpah dan ..." tiba-tiba dia menyadari
betapa besar kesalahannya. Inti cerita itu sebenarnya adalah
Guinevere dan Lancelot, yang masing-masing adalah permaisuri
yang doyan berzinah dan vassa kafir, juga tentang Mordred,
putra haram Raja Arthur yang berkhianat dan berperang
melawan ayahnya sendiri, dan tentang ayah yang membunuh
putranya sendiri di pertempuran, hanya untuk dibuat lumpuh
kemudian. Oh, Tuhan Yesus bagaimana aku bisa segoblok ini"
Bukankah Toranaga sendiri sudah seperti seorang raja agung"
Bukankah ini semua isteri-isterinya" Bukankah itu putra
kandungnya" "Anda sakit, Senor?"
"Tidak"tidak, maaf cuma ..."
"Tadi anda menceritakan tentang raja dan hasil panen yang
melimpah ...." "Ya, .... seperti juga negeri-negeri lain, masa lampau kami
dibayangi oleh mitos dan legenda, yang kebanyakan tidak
penting," jawab Blackthome lemah, mencoba mengulur waktu.
Mariko menatapnya dengan bingung. Kedua bola matanya
tampak semakin terpicing dan bocah itu mulai menguap.
"Apa yang anda katakan barusan, Senor?"
"Saya"yaah." Sekejap Blackthorne memperoleh ilham.
"Mungkin hal yang terbaik saat ini yang bisa saya lakukan
adalah menggambarkan peta dunia Senora, seperti yang kita
ketahui," ujarnya tergesa-gesa. "Anda mau saya menggambarkan?" Mariko langsung menerjemahkan dan Blackthorns sertamerta melihat sekelumit minat pada Toranaga, tapi tak ada reaksi
apa-apa dari si bocah ataupun perempuan gemuk itu. Bagaimana
caranya melibatkan mereka dalam pembicaraan ini"
"Tuan saya mengatakan, ya. Akan saya suruh orang
mengambil kertas?" "Terimakasih. Tapi ini saja sudah cukup untuk saat ini. Nanti,
kalau anda mau memberikan sekedar bahan untuk menulis, saya
bisa menggambar yang lebih tepat."
Blackthorns bangun dari bantalnya dan berlutut. Dengan jari
telunjuk dia mulai menggambar peta kasar di atas pasir"sengaja
dibuat terbalik supaya mereka semua dapat melihat lebih baik.
"Bumi ini bundar, seperti jeruk, tapi peta ini bagai kulitnya, yang
dipotong lonjong, dari utara sampai selatan, terpampang datar
dan memulai sedikit pada bagian atas dan bawahnya. Orang
Belanda yang bernama Mercator-lah yang menemukan cara
bagaimana membuat peta dengan seksama kira-kira dua puluh
tahun yang lalu. Itu adalah pet adunia pertama yang paling
seksama. Kita bahkan dapat berlayar dengannya"atau peta-peta
dunia buatannya." Blackthorns menggambar benua-benua, tebaltebal. "Ini bagian utara dan ini selatan, timur dan barat Jepang di
sini, negeri saya di sebelah sananya dunia itu, di sana. Yang
bagian ini belum diketahui orang dan belum dijelajahi..."
tangannya sengaja menghilangkan segala sesuatu yang ada di
Amerika Utara, di garis utara Mexico sampai New Foundland,
segala yang ada di Selatan, kecuali Peru dan seberkas garis rendah daerah pantai di sekeliling benua itu, kemudian juga segala
sesuatu di perbatasan utara dan timur Norwegia, segala sesuatu
di sebelah Timur Muscovy, benua Asia, semua pedalaman
Afrika, semua yang di selatan Jawa dan puncaknya Amerika
Selatan. "Kami tahu garis-garis pantai, tapi cuma sedikit.
Pedalaman Afrika, Amerika dan Asia hampir seluruhnya masih
rupakan misteri." Dia berhenti untuk memberikan kesempatan
kepada Mariko menerjemahkan.
Mariko dapat menerjemahkan lebih mudah sekarang, dan
Blackthorne merasakan minat mereka mulai bertambah. Bocah
itu beringsut dan menggeser tempat duduknya lebih dekat.
"Pangeran ingin mengetahui di mana letak negeri ini, di peta
itu." "Di sini. Ini Cathay atau Cina, saya kira. Saya sendiri tak tahu
berapa jauhnya kita sekarang dari pantai. Pokoknya, saya perlu
waktu dua tahun buat berlayar dari sini sampai sini." Toranaga
dan perempuan gemuk bersama-sama menjulurkan leher supaya
dapat melihatnya lebih jelas.
"Pangeran bertanya, mengapa negeri kami tampak begitu
kecil di peta?" "Ini cuma skalanya, Senora. Pada benua ini dari New
Foundland di sini, sampai Mexico di sini, kurang lebih hampir
tiga ribu mil. Dari sini ke Yedo kira-kira seratus league." (satu
league = 4,6 mil). Hening sejenak, kemudian mereka bercakap-cakap di antara
sesamanya. "Tuanku Toranaga minta agar anda memperlihatkan di peta
itu bagaimana caranya anda bisa sampai ke Jepang."
"Jalan ini. Ini Selat Magelhaens"atau Semenanjung
Magelhaens"di sini, pada ujung Amerika Selatan. Magelhaens
adalah nama seorang mualim Portugis yang menemukan
semenanjung itu delapan puluh tahun yang lalu. Sejak itu orangorang Portugis dan Spayol sengaja merahasiakan jalur itu, dan
hanya menggunakannya di antara mereka saja. Bangsa kami
adalah orang luar pertama yang melayari selat itu. Saya pernah
punya salah satu dari sekian banyak buku pedoman nakhoda
mereka, tapi sekalipun begitu, saya masih harus berjuang enam
bulan untuk dapat menembus selat itu karena anginnya begitu
kencang." Mariko menerjemahkan apa yang barusan diceritakan
Blackthorne. Toranaga mengangkat mukanya, tak percaya.
"Tuan saya mengatakan, anda keliru. Semua orang bar"
semua orang Portugis datang dari selatan. Itulah rute mereka,
rute satu-satunya." "Ya. Memang benar orang Portugis itu lebih menyukai jalur
itu--kami menyebutnya Tanjung Harapan"karena mereka
memiliki lusinan benteng sepanjang pantai-pantai tersebut"
Afrika, India dan kepulauan rempah-rempah (Indonesia)"untuk
memperoleh perbekalan dan untuk melewat-kan musim dingin di
daerah itu. Lagipula kapal-kapal perang raksasanya suka berpatroli dan memonopoli alur lautan. Bagaimana pun, orang
Spanyol menggunakan Selat Magelhaens untuk mencapai
koloni-koloni Amerika di Pasifik, juga mereka menyeberang di
sini, pada tanah genting (semenanjung) Panama, melalui darat,
untuk menghindarkan lamanya pelayaran yang sampai berbulanbulan. Tapi bagi kami lebih aman berlayar lewat Selat
Magelhaens, kalau tidak kami harus menyerempet bahaya yang
datangnya dari orang Portugis, di benteng-benteng mereka.
Tolong katakan pada Tuanku Toranaga, saya kini sudah tahu
hampir semua posisi mereka. Kebanyakan mereka
mempekerjakan pasukan Jepang," tambahnya lagi menekankan.
"Rahib yang memberi informasi tentang ini adalah orang
Spanyol yang bermusuhan dengan orang Portugis dan juga
dengan semua kaum Yesuit."
Blackthorne melihat reaksi spontan pada wajah juru-bahasa
perempuan itu, dan waktu dia menerjemahkan, reaksi seperti itu
ada pula pada Toranaga. Beri dia waktu dan usahakanlah
berbicara sesederhana mungkin, ujar
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Blackthorne memperingatkan diri sendiri.
"Pasukan Jepang" Anda maksudkan samurai?"
"Ronin lah yang lebih tepat, saya kira."
"Anda bilang punya peta 'rahasia'" Tuan saya ingin tahu
bagaimana cara anda mendapatkannya."
"Seseorang yang dikenal dengan nama Pieter Suyderhof, dari
Holland, kebetulan menjabat sekertaris pribadi uskup kepala dari
Goa"uskup adalah gelar imam kepala (Katolik) dan Goa adalah
ibukota Portugis"India. Anda pasti tahu, bahwa orang Portugis
sedang berusaha mengambil alih benua itu secara paksa. Sebagai
sekertaris pribadi uskup kepala, yang juga merangkap sebagai
raja muda Portugis pada saat itu, semua dokumen selalu jatuh ke
tangannya. Beberapa tahun kemudian dia berhasil memperoleh
beberapa dari sekian banyak buku pedoman nakhoda - peta-peta
dan menyalinnya. Dokumen-dokumen itulah yang mengungkapkan rahasia tentang jalur yang melewati Selat
Magelhaens dan juga bagaimana caranya mengelilingi Tanjung
Harapan, berikut beting dan batu karangnya dari Goa ke Jepang
lewat Macao. Buku pedoman nakhoda saya adalah yang
melewati Selat Magelhaens itu. Itulah yang hilang di kapal saya
berikut surat-surat saya yang lainnya. Semua itu penting sekali
bagi saya dan juga amat bernilai bagi Tuanku Toranaga."
"Tuan saya mengatakan, beliau sudah memerintahkan agar
mencarinya. Silakan lanjutkan."
"Waktu Suyderhof pulang ke Holland, dia menjualnya pada
Persekutuan Pedang Hindia Timur yang diberi ; izin memonopoli
eksplorasi Timur Jauh."
Mariko menatapnya dengan dingin. "Dia seorang mata-mata
bayaran?" "Dia mendapat bayaran bagi peta-petanya itu. Itu sudah adat
mereka, begitulah cara mereka memberi imbalan pada seseorang.
Bukan dengan gelar atau tanah, cuma uang. Holland itu republik.
Tentu saja, Senora, negeri saya dan sekutu kami, Holland, tengah
berperang melawan Spanyol dan Portugal dan sudah berlangsung
selama bertahun-tahun. Anda tahu, Senora, selama perang
penting sekali menyelidiki rahasia-rahasia musuh kita."
Mariko berpaling kepada Toranaga lalu berbicara panjang
lebar. "Tuan saya bilang, mengapa uskup kepala sampai
mempekerjakan seorang musuh?"
*'Berdasarkan cerita Pieter Suyderhof, kabarnya uskup kepala
itu, yang juga seorang Yesuit, kebetulan hanya berminat pada
perdagangan. Suyderhof melipatandakan pajak mereka, karena
itu dia 'makmur'. Suyderhof ini memang saudagar yang luar
biasa cerdik"orang Holland biasanya lebih lihay daripada orang
Porigis dalam masalah ini"jadi surat-suratnya pun tak diperiksa
dengan cermat. Demikian pula, sebagian asar orang-orang
bermata biru dan berambut pirang, orang Jerman dan orang
Eropa lainnya, umumnya Katolik." Biackthorne menunggu
sampai semua kalimatya diterjemahkan, lalu menambahkan
dengan hati-hati, "Dia juga kepala mata-mata Holland di Asia,
sekaligus tentara, dan dia malah bisa menyusupkan sejumlah
orang sebangsanya ke dalam kapal-kapal Portugis. Tolong
beritahu Tuanku Toranaga, tanpa berdagang dengan Jepang,
Portugis India tak dapat hidup lama."
Mata Toranaga terus tertuju pads peta sementara Mariko
berbicara. Tak ada reaksi sedikit pun darinya terhadap segala
sesuatu yang diucapkan Mariko. Blackthorne jadi ingin tahu
apakah Mariko telah menerjemahkan semuanya atau belum.
Kemudian, "Tuan saya menginginkan perincian tentang peta
dunia di atas kertas, secepatnya, berikut, tanda-tanda terhadap
semua markas Portugis dan jumlah roninnya pada tiap markas.
Katanya, silakan teruskan."
Blackthorne tahu dia telah berhasil membuat 'langkah' besar
ke depan. Namun si bocah menguap lagi, maka dia memutuskan
untuk memutar 'haluan', sekalipun masih menuju ke 'pelabuhan
yang sama'. "Dunia kita ini tidak selalu sama seperti yang terlihat
dari luar. Misalnya, sebelah selatan garis ini, yang kami sebut
Equator, musim-musim yang terjadi di sana malah terbaik. Kalau
di sini sedang musim papas, mereka sedang musim dingin; kalau
kita sedang musim papas, mereka sedang beku kedinginan."
"Mengapa begitu?"
"Saya tak tahu, tapi itu benar. Nah, rute menuju Jepang adalah
lewat salah satu selat di selatan ini.. Orang Inggris seperti kami
ini tengah berusaha untuk menemukan rute sebelah utaranya,
baik yang di timur lautnya melewati padang es Siberia, maupun
yang di barat dayanya melewati benua Amerika. Saya sudah
pernah berada jauh di sebelah utaranya. Seluruh daratannya
tertutup es dan salju abadi
. Hawanya demikian dingin sepanjang
tahun hingga kalau kita tak mengenakan sarung tangan bulu
binatang, jari jemari kita akan beku dalam sesaat. Penghuni di
sana dinamakan Laplander. Pakaian mereka terbuat dari kulit
buluo. Kaum prianya berburu dan wanitanya mengolah hasilnya.
Salah satu pekerjaan mereka antara lain membuat pakaian bulu.
Untuk mengerjakannya, umumnya mereka harus mengunyah
dulu kulit binatang itu supaya cukup lunak untuk dijahit."
Mariko tertawa keras-keras.
Blackthorne ikut tertawa, rasa percaya dirinya mulai pulih
kembali. "Benar, Senor. Honto (betul)."
"Sorewa honto desu ka?" Toranaga bertanya tak sabar.
Apanya yang benar" Sambil terus tertawa, Mariko memberitahu Toranaga apa
yang baru saja dikatakan. Dan mereka semua mulai tertawa
bersama-sama. "Saya pernah hidup di tengah mereka selama setahun. Kami
terjebak es dap harus menunggu sampai mencair. Makanan
mereka ikan, anjing laut, kadang-kadang beruang kutub, dan
ikan paus kutub, yang mereka makan mentah-mentah.
Kedoyanan mereka adalah lemak ikan paus mentah."
"Oh, ayolah, Anjin-san!"
"Itu benar. Mereka tinggal di rumah bundar kecil-kecil yang
seluruhnya terbuat dari salju dan mereka tak pernah mandi."
"Apa, tak pernah mandi?" tawa Mariko berderai lagi.
Blackthorne menggeleng dan bertekad untuk tidak
memberitahu perempuan itu bahwa di Inggris pun orang-orang
jarang mandi, bahkan lebih jarang daripada di Portugal atau di
Spanyol yang hawanya masih tergolong hangat.
Mariko menerjemahkan kata-kata Blackthorne. Toranaga
menggeleng, tak percaya. "Tuan saya mengatakan ini terlalu dilebih-lebihkan. Tak
seorang pun bisa hidup tanpa mandi. Bahkan orang barbar
sekalipun." "Itu benar"honto," sahut Blackthorne dengan tenang sambil
mengangkat tangannya. "Saya bersumpah demi Yesus dari
Nazareth dan demi nyawa saya, saya bersumpah itu benar."
Mariko mengawasinya tanpa bersuara. "Semuanya?"
"Ya. Tuanku Toranaga menginginkan yang benar. Mengapa
saya harus berbohong" Nyawa saya ada dalam tangannya.
Mudah sekali membuktikan kebenarannya, bukan" Terus terang,
memang sulit sekali untuk mempercayai apa yang saya katakan
tadi"anda harus pergi sendiri ke sana dan menyaksikannya
sendiri. Sudah tentu orang Portugis dan Spanyol yang membenci
saya, takkan membenarkan saya. Tapi Tuanku Toranaga
meminta keterangan yang sebenarnya. Beliau bisa mengandalkan
saya untuk mengatakan hal itu padanya."
Mariko berpikir sesaat. Kemudian dengan hati-hati dia
menerjemahkan apa yang barusan dikatakan Blackthorne.
"Tuanku Toranaga mengatakan, rasanya tak mungkin ada
orang yang bisa hidup tanpa mandi."
"Ya. Tapi itu di negeri-negeri dingin. Kebiasaan mereka
sudah tentu berlainan dengan anda, dan saya. Misalnya, di negeri
saya, setiap orang percaya bahwa mandi itu berbahaya bagi
kesehatan. Nenek saya, Oma Jacoba, selalu berkata, "Mandi itu
hanya waktu kita dilahirkan dan kedua kalinya waktu kita
dibaringkan dalam liang kubur."
"Rasanya sulit dipercaya."
"Kebiasaan-kebiasaan anda di sini pun sulit dipercaya. Tapi
nyatanya benar, sejak di sini saya malah lebih sering mandi
daripada tahun-tahun yang saya lewati sebelumnya. Saya akui
terus-terang, saya malah merasa lebih enak sesudahnya."
Blackthorne menyeringai. "Saya tak lagi percaya bahwa mandi
itu berbahaya. Jadi saya sudah memperoleh kemajuan, neh?"
Setelah sesaat Mariko berkata, "Ya," lalu mulai menerjemahkan.
Kiri berkomentar, "Dia membuat kita heran"mengherankan,
neh?" "Apa pendapatmu tentang dia, Mariko-san?" Toranaga
bertanya. "Saya yakin dia mengatakan yang sebenarnya, setidaktidaknya dia berniat mengatakan yang sebenarnya. Dia jelas
cukup berharga bagi anda, Tuanku. Pengetahuan kita tentang
dunia luar minim sekali. Apakah itu cukup bernilai bagi anda,
saya tak tahu. Tapi nampaknya dia seperti baru turun dari planitplanit atau baru menyembul dari dasar laut. Seandainya benar dia
musuh orang Portugis dan Spanyol, maka keterangannya,
kalaupun bisa dipercaya, mungkin penting sekali bagi minat
anda, neh?" "Saya setuju," ujar Kiri menimpali.
"Bagaimana pendapatmu, Yaemon-sama?"
"Saya, Paman" Oh, saya kira dia jelek dan saya tak suka pada
rambut dan mata kucingnya dan rupanya sama sekali tidak
seperti manusia," sahut bocah itu dengan napas tersengal. "Saya
bersyukur saya tidak dilahirkan sebagai orang barbar seperti dia,
tapi sebagai samurai seperti ayah. Bagaimana kalau kita
berenang lagi, Paman?"
"Besok, Yaemon," sahut Toranaga. Dia merasa jengkel
karena tak mampu berbicara langsung dengan nakhoda itu.
Sementara mereka berbicara di antara sesamanya,
Blackthorne memutuskan bahwa saatnya sudah tiba. Lalu
Mariko berpaling kembali padanya.
"Tuan saya bertanya mengapa anda saat itu ada di utara?"
"Saat itu saya menjabat nakhoda kapal. Kami tengah mencari
terusan di sebelah timur laut, Senora. Banyak peristiwa yang
pasti akan membuat anda tertawa kalau saya ceritakan, saya tahu
itu," ujar Blackthorne memulai. "Misalnya, tujuh puluh tahun
yang lalu raja Spanyol dan Portugal menandatangani sebuah
pakta yang membagi rata pemilikan mereka terhadap Amerika,
dunia yang saat itu belum ditemukan. Karena negeri anda jatuh
ke tangan kekuasaan Portugal, secara resmi negeri anda menjadi
milik Portugal pula"Tuanku Toranaga, dan setiap orang, puri
ini dan segala isinya, semua diserahkan kepada Portugal."
"Oh, ayolah, Anjin-san. Maaf, tapi itu omong kosong!"
"Saya sepaham, kecongkakan mereka memang tak bisa
dipercaya. Tapi itu benar." Seketika itu juga Mariko mulai
menerjemahkan dan Toranaga tertawa mengejek.
"Tuanku Toranaga mengatakan, beliau bisa saja membagi rata
surga antara dirinya dengan Kaisar Cina, neh!"
"Tolong beritahu Tuanku Toranaga, saya minta maaf, tapi
masalahnya tidak sama," sahut Blackthorne, yang menyadari
bahwa kedudukannya kini dalam bahaya.. "Kesepatakan itu
dituangkan dalam bentuk dokumen sah yang memberi masingmasing raja hak untuk menuntut negeri bukan Katolik mana saja
yang ditemukan oleh warga mereka dan untuk membasmi
pemerintah yang ada saat itu, lalu menggantikannya dengan
seorang penguasa Katolik."
Di peta, jari telun juknya menyusuri sebuah garis utara
sampai selatan yang membagi dua Brazil.
"Semua yang di sebelah timur garis ini adalah milik Portugal,
dan semua yang di sebelah baratnya adalah milik Spanyol. Pedro
Cabral menemukan Brazil tahun 1500, jadi kini Portugal memiliki Brazil, malah sekaligus membinasakan kebudayaan
aslinya dan para penguasa sahnya, dan telah menjadi kaya-raya
karena emas, perak yang digali dari tambang-tambang di sana
dan dari hasil jarahan dari candi-candi penduduk asli. Sisa
wilayah Amerika yang sejauh ini sudah ditemukan, menjadi
milik Spanyol sekarang"Mexico, Peru, yang hampir mencakup
seluruh benua selatan. Mereka telah menyapu bersih suku bangsa
Inca, membinasakan kebudayaan dan memper-budak ratusan
ribu penduduk aslinya. Para penakluk itu memiliki senjatasenjata modern, sedangkan penduduk asli sama sekali tak punya.
Para penakluk itu datang bersama-sama dengan para imam. Tak
lama kemudian sejumlah kecil pangerannya beralih agama.
Permusuhan di antara mereka dimanfaatkan oleh penakluk asing
itu. Lalu pangeran pribumi bangkit melawan sesamanya dan
kerajaan mereka ditelan para penakluk sedikit demi sedikit. Kini
Spanyol menjadi bangsa terkaya di dunia kita, berkat suku
bangsa Inca, ditambah emas dan perak orang Mexico yang
berhasil mereka rampas dan dikirimkan ke Spanyol."
Mariko terlihat serius sekarang. Dia cepat menangkap
pentingnya pelajaran yang dikemukakan Blackhome. Demikian
pula Toranaga. "Tuan saja mengatakan, ini pembicaraan berharga.
Bagaimana mereka bisa menentukan hak-hak seperti itu?"
"Mereka sebenamya tak berwenang," sahut Blackthorne
sungguh-sungguh. "Sri Paus yang memberi mereka hak-hak itu,
Wakil Kristus di dunia ini. Sebagai imbalan karena telah
menyebarkan firman Tuhan."
"Saya tak percaya," ujar Mariko lagi.
"Tolong terjemahkan perkataan saya, Senora. Itu benar."
Mariko menurut dan berbicara panjang-lebar, jelas terlihat dia
agak tergoncang. Kemudian:
"Tuan saya"Tuan saya mengatakan, anda"anda tampaknya
berusaha menghasut beliau untuk menghadapi musuh-musuh
anda. Apanya yang benar" Ingat jiwa anda, Senor!"
"Paus Alexander VI yang menetapkan garis demarkasi
pertama tahun 1493," Blackthorne memulai, sambil mensyukuri
Alban Caradoc yang telah berjasa menjejali begitu banyak fakta
padanya, waktu dia masih muda belia, dan mensyukuri Pater
Domingo yang telah memberikan informasi mengenai harga diri
orang Jepang dan memberinya petunjuk tentang pikiran mereka.
"Tahun 1506 Paus Julius II mendukung perubahan-perubahan
atas Pakta Tordesilla yang ditandatangani oleh Spanyol dan
Portugal pada tahun 1494, yang merubah garis itu sedikit. Paus
Clement VII mendukung Pakta Saragossa pada tahun 1529,
hampir tujuhpuluh tahun yang lalu, yang menghasilkan garis
kedua di sini?" telunjuknya menyusuri sebuah garis bujur tanah
yang memotong lewat ujung Jepang bagian se latan. "Ini
membuat Portugal punya hal eksklusif terhadap negeri anda, dan
segenap negeri-negeri mulai dari Jepang, Cina sampai Afrika"
lewat cara, seperi yang saya katakan tadi. Dan memanfaatkannya
secara eksklusif"dengan menghalalkan segala cara"demi
tercapainya kembali penyebaran agama Katolik." Kembali
Blackthorne menunggu dan perempuan yang bernama Mariko itu
nampak ragu-ragu, agak goyah, dan Blackthorne dapat
merasakan kedongkolan Toranaga yang semakin bertambah
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena harus menunggu dulu Mariko menerjemahkannya.
Mariko memaksa bibirnya untuk berbicara dan, mengulangi
lagi apa yang dikatakan Blackthorne lalu kembali mendengarkan
Blackthorne, sambil mencemoohkan dalam hati. Apakah ini
mungkin" tanya Mariko pada diri sendiri. Bagaimana mungkin
Sri Paus mengatakan hal semacam itu" Menyerahkan negeri
kami ke tangan orang Portugis" Tapi nakhoda ini bersumpah
demi nama Tuhan Yesus. "Nakhoda itu mengatakan, Tuanku," ujamya memulai lagi,
"pada"pada saat keputusan itu dibuat oleh Takhta Suci, Paus
sendiri, seluruh dunia mereka, pada saat itu, bahkan negeri
Anjin-san sendiri, beragama Kristen Katolik. Perpecahan itu
belum lagi terjadi. Jadi, keputusan Paus ini, sudah tentu, bisa
mengikat"semua"semua bangsa. Sekalipun begitu, nakhoda
ini menambahkan lagi bahwa meskipun orang Portugis memiliki
keeksklusifan untuk memanfaatkan Jepang, namun Spanyol dan
Portugal masih juga tak hentinya bersengketa mengenai
pemilikan mereka itu karena kekayaan yang kita dapat dari
berdagang dengan Cina."
"Bagaimana pendapat anda, Kiri-san?" tanya Toranaga yang
sama terkejutnya dengan yang lain. Hanya si bocah yang tetap
saja memainkan kipasnya tanpa minat.
"Dia yakin dia telah mengatakan yang sebenarnya," sahut
Kiri. "Ya, saya rasa juga begitu. Tapi bagaimana
inembuktikannya"paling tidak sebagian daripadanya?"
"Bagaimana, anda bisa membuktikannya, Mariko-san?" tanya
Toranaga, gelisah melihat reaksi Mariko terhadap apa yang
dikatakan Blackthorne, tapi sekaligus senang karena dia telah
menyetujui untuk memakainya sebagai juru-bahasa.
"Akan saya tanyakan pada Pater Tsukku-san," ujarnya.
"Kemudian, juga, saya akan mengirimkan seseorang"seorang
vassal yang dapat diandalkan"ke dunia luar untuk melihat.
Mungkin bersama Anjin-san."
Kiri berkata, "Seandainya imam itu tidak membenarkan
keterangan tersebut, itu tidak berarti Anjinsan berbohong, neh?"
Kiri senang karena dialah yang mengusulkan untuk memakai
jasa Mariko sebagai jurubahasa, sedangkan Toranaga justru
memilih Tsukku-san. Kiri tahu, Mariko dapat dipercaya dan
sekali Mariko telah bersumpah demi nama Tuhannya yang asing
itu, dia akan tetap bungkam diperiksa oleh imam mana pun.
Lebih sedikit setan-setan itu tahu, lebih baik, pikir Kiri. Betapa
luasnya pengetahuan si barbar ini!
Kiri melihat bocah itu menguap lagi dan hatinya senang.
Lebih sedikit yang dipahami bocah itu, lebih baik, ujar Kiri pada
diri sendiri. Kemudian katanya lagi, "Mengapa imam itu tidak
kita panggil saja dan kita mintakan pendapatnya mengenai faktafakta tersebut" Kebanyakan air muka mereka terang dan
tampaknya mereka tak punya keruwetan."
Toranaga mengangguk, matanya terus tertuju pada Mariko.
"Dari yang anda ketahui tentang orang barbar itu, Mariko-san,
bisakah anda katakan semua perintah seorang Paus itu harus
dipatuhi?" "Tak pelak lagi."
"Perintah-perintahnya dianggap sebagai suara Tuhan orang
Kristen sendiri?" "Ya." "Apakah semua orang Kristen Katolik akan mematuhi
segenap perintahnya?"
" Ya." "Bahkan juga oleh pora perneluk agama Kristen di Jepang
sini?" "Saya kira ya."
"Bahkan anda sendiri?"
"Ya, Tuan. Jika itu perintah langsung dan Takhta Suci kepada
saya secara pribadi. Ya, demi penebusan j iwa saya."
Pandangannya begitu mantap. "Tapi sampai saat itu datang saya
takkan mematuhi seorang pun kecuali kepala marga saya, kepala
keluarga saya atau suami saya. Saya ini orang Jepang, orang
Kristen, tapi pertama-tama saya ini samurai."
"Saya kira malah baik kalau Takhta Suci berada jauh dari
pantai kita." Toranaga berpikir sesaat. Kemudian dia
memutuskan apa yang akan dilakukannya terhadap orang barbar
itu, Anjin-san. "Katakan padanya ...." Toranaga berhenti. Semua
mata tertuju pada jalan kecil itu dan pada wanita setengah baya
yang datang mendekat. Dia mengenakan topi runcing seorang
bikhuni. Empat pasukan kelabu tampak mendampinginya.
Keempat pengawal itu menghentikan langkahnya dan wanita itu
datang mendekat, sendirian.
** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 S 17 EMUA yang hadir membungkukkan badan dalam-dalam.
Toranaga melihat orang barbar itu juga mengikutinya"
tidak bangkit dari duduknya, hanya mengawasi saja, yang
biasa dilakukan setiap orang barbar kecuali Tsukku-san"
sesuai dengan tradisi mereka. Nakhoda ini cepat sekali belajar,
pikir Toranaga, pikirannya masih terbawa oleh apa yang baru
saja didengarnya. Sepuluh ribu pertanyaan terasa mengepungnya
begitu. saja, tapi, sesuai disiplin dalam dirinya disalurkannya
semuanya itu untuk sementara dan dipusatkannya perhatian pada
bahaya yang datang saat ini.
Kiri bergegas menyodorkan bantalnya pada wanita tua itu dan
menolongnya duduk, kemudian dia berlutut di belakangnya
dalam sikap siaga tanpa bergerak.
"Terimakasih, Kiritsubo-san," ujar wanita itu sambil
membungkuk kembali, membalas penghormatan mereka semua.
Namanya Yodoko. Dia janda Taiko dan kini, sejak kematian
suaminya, menjadi bikhuni. "Saya minta maaf datang tanpa
diundang dan telah mengganggu anda, Tuanku Toranaga."
"Anda tak pernah tidak disambut atau tak diundang, Yodokosama."
"Terimakasih, ya, terimakasih." Dia melihat sekejap ke arah
Blackthorne, memicingkan mata supaya dapat melihat lebih
jelas. "Tapi saya kira telah mengganggu. Saya tak bisa melihat"
siapa ya" Apa dia orang barbar itu" Mata saya sudah semakin
lamur. Dia bukan Tsukku-san, kan?"
"Bukan, dia orang barbar yang baru," sahut Toranaga.
"Oh, dia!" Yodoko tambah memicingkan matanya. "Tolong
beritahu mata saya tak begitu terang lagi, maafkan saya kurang
sopan." Mariko melakukan apa yang diperintahkan padanya. "Dia
bilang, banyak juga orang di negerinya yangg cuma bisa melihat
dari dekat Yodoko-sama, tapi mereka memakai kacamata. Dia
menanyakan, apakah kita juga memilikinya. Saya katakan, ya,
sejumlah kecil di antara kita"dari orang Portugis. Bahwa anda
pun dulu memakainya, tapi kini tidak lagi."
"Ya. Saya lebih suka melihat kabut di sekeliling saya. Ya,
banyak hal-hal yang sudah tak saya sukai lagi sekarang."
Yodoko membalikkan badan dan memandang pada si bocah,
berpura-pura baru saja melihatnya. "Oh! Anakku! Jadi kau di sini
rupanya. Aku mencarimu ke mana-mana. Senang sekali bisa
melihat Kwampaku lagi!" Wanita itu membungkuk dengan
hormatnya. "Terimakasih, Ibu Suri," Yaemon mengerdipkan mata sambil
balas membungkuk. "Oh, Ibu pasti sudah pernah mendengar
tentang si barbar itu. Dia baru saja menggambarkan peta dunia
dan menceritakan yang lucu-lucu tentang orang yang tidak
pernah mandi. Sama sekali tak pernah menyentuh air selama
hidup dan mereka tinggal di rumah-rumah salju dan memakai
baju kulit seperti setan kami (roh rumah tangga orang Jepang)."
Wanita tua itu menghardik. "Lebih jarang mereka datang ke
mari, lebih baik, kukira, Anakku. Aku tak pernah bisa
memahami mereka lagipula bau badan mereka bukan main. Aku
juga tak pernah mampu memahami bagaimana Paduka Taiko,
ayahmu, dapat mentolerir mereka. Tapi dia itu lelaki sejati,
seperti kau, dan kau lebih punya kesabaran daripada seorang
wanita rendah seperti aku. Kau ini guru yang baik, Yaemonsama." Mata tuannya kembali memandang Toranaga. "Tuanku
Toranaga juga memiliki lebih banyak kesabaran daripada siapa
pun juga di kekaisaran ini."
"Kesabaran itu amat penting bagi seorang lelaki, penting
sekali bagi seorang pemimpin," sahut Toranaga. "Dan haus akan
ilmu juga kualitas yang baik, bukankah begitu, Yaemon-sama"
Dan pengetahuan itu justru datang dari tempat-tempat yang tak
dikenal." "Ya, Paman. Oh, ya," sahut Yaemon. "Beliau benar, bukan
begitu, Ibu Suri?" "Ya, ya. Aku setuju. Tapi aku senang bahwa aku ini
perempuan dan tak usah memusingkan hal-hal semacam itu,
neh?" Yodoko memeluk bocah itu, yang sudah datang
menghampiri itu, dan duduk di dekatnya. "Nah, Anakku.
Mengapa aku kesini karena si Kwampaku terlambat makan dan
terlambat belajar menulis."
"Aku benci pelajaran menulis, aku mau berenang!"
Toranaga berkata dengan nada mengejek, "Waktu aku
seumurmu, aku juga membenci menulis. Tapi kemudian, waktu
aku telah berumur dua puluh tahun, aku harus berhenti
bertempur dan kemudian ke sekolah. Itulah yang paling
kubenci." "Kembali ke sekolah, Paman" Setelah meninggalkannya buat
selamanya" Oh, benar-benar celaka!"
"Seorang pemimpin harus bisa menulis dengan baik,
Yaemon-sama. Bukan saja dengan jelas, tapi juga dengan bagus,
dan Kwampaku bisa melakukannya lebih haik dari siapapun
juga. Bagaimana beliau bisa menulis kepada kaisar atau kepada
para daimyo" Seorang pemimpin memang harus melakukan
segudang hal yang sulit-sulit."
"Ya, Paman. Memang susah untuk menjadi Kwampaku."
Yaemon mengernyitkan kening, seolah-olah menganggapnya
penting. "Saya kira saya sebaiknya belajar sekarang saja dan
bukan setelah saya berumur dua puluh tahun, karena saat itu saya
mulai menangani masalah-masalah negara yang penting."
Semua yang hadir tampak bangga terhadapnya. "Kau ini amat
bijak, Anakku," ujar Yodoko memujinya.
"Ya Ibu Suri. Aku ini memang bijak, seperti ayahku, seperti
yang selalu dikatakan ibuku. Kapan ibuku pulang?"
Yodoko memicingkan mata ke arah Toranaga. , "Segera."
"Saya harap tak lama lagi," sahut Toranaga lagi. Dia tahu
Yodoko sengaja dikirim oleh Ishido untuk menjemput si bocah.
Toranaga juga sengaja mengantarkan si bocah berikut pengawalpengawalnya langsung ke kebun untuk membuat musuh mereka
lebih dongkol lagi. Sekaligus untuk memperlihatkan nakhoda
asing itu kepada si bocah dan dengan demikian juga melenyapkan kenikmatan Ishido yang telah mengirimkan Yodoko
dengan sengaja ke hadapannya.
"Letih sekali kalau harus bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap anakku," Yodoko terdengar berkata. "Alangkah baiknya
kalau Putri Ochiba ada di sini, di Osaka, sudah di rumah lagi,
jadi saya bisa kembali lagi ke kuil, neh" Apa kabar dengannya
dan apa kabar dengan Putri Genjiko?"
"Keduanya sehat-sehat saja," Toranaga memberitahu, sambil
terkekeh menertawakan dirinya sendiri. Sembilan tahun yang
lalu, lewat sikap persahabatan yang terasa agak berlebihan,
Taiko sendiri pernah menawarkan secara pribadi kepadanya
untuk mengawini Putri Genjiko, adik Putri Ochiba, gundik
favorit. "Supaya kita dapat menjadi Keluarga besar, Neh?" Ucap
Taiko. "Ya, Tuanku saya akan mematuhinya walau saya tak layak
menerima kehormatan ini." Toranaga menjawab dengan
merendahkan diri, tapi sebenarnya sangat mendambakan adanya
pertalian darah dengan Taiko.
Namun Toranaga menyadari walaupun Yodoko, istri Taiko
dapat menyetujui, tapi gundiknya, Ochiba, membencinya dan
akan memanfaatkan pengaruhnya yang kuat terhadap Taiko
untuk mencegah perkawinan itu.
Dan juga, nampaknya lebih baik untuk membatalkan adiknya
menjadi isteri Toranaga, karena itu akan memberi adiknya
kekuasaan besar terhadap Toranaga, paling tidak itu akan
merupakan kunci untuk ikut mendapatkan kekayaannya. Namun,
kalau Putri Genjiko akan dikawinkan dengan putra Toranaga,
Sudara, maka Toranaga sebagai Kepala Rumah Tangga Tertinggi
malah akan memiliki dominasi sepenuhnya. Segenap siasat
Toranaga telah diterapkan supaya perkawinan Sudara dan
Genjiko terlaksana dan terwujud. Bagi Toranaga, Genjiko kini
merupakan "senjata" ampuh untuk menentang Ochiba, karena
Ochiba mengagumi adiknya.
"Menantu perempuanku belum lama melahirkan"sebetulnya
diharapkan kemarin"tapi saya kira Putri Ochiba bisa pergi
sekarang juga, tak ada bahaya apaapa."
"Sesudah tiga anak perempuan, sudah waktunya Genjiko
menghadiahi anda cucu lelaki, neh" Saya akan mendoakan
kelahirannya." "Terimakasih," sahut Toranaga yang selalu menyukainya
seperti biasa, dan menyadari, Yodoko sungguh-sungguh
berharap demikian, sekalipun anak itu nanti akan membahayakan
rumah tangganya. "Saya dengar gundik anda, Sazuko, juga sedang hami1?"
"Ya, saya beruntung sekali," Toranaga senang sekali
memikirkan gundik terbarunya, kemudaannya, kekuatan
badannya dan kehangatannya. Aku harap kami berdua akan
dianugerahi anak lelaki, ujarnya pada diri sendiri. Ya, itu baik
sekali. Tujuh belas adalah usia terbaik untuk melahirkan anak
pertama, kalau kita memiliki kesehatan yang sempurna seperti
dia. "Ya, saya memang beruntung sekali."
"Buddha memberkati anda rupanya," Yodoko menyimpan
sedikit rasa iri. Nampaknya tak adil bahwa Toranaga sudah
memiliki lima anak lelaki yang kesemuanya masih hidup dan
empat anak perempuan ditambah lima cucu perempuan, dan
dengan lahirnya anak pertama Sazuko, serta tahun-tahun
berikutnya yang memberkahinya kesehatan dan begitu banyak
gundik dalam rumah tangganya, Toranaga masih mampu mendapatkan anak-anak lelaki lagi. Tapi semua pengharapan
tertumpu pada bocah berumur tujuh tahun ini, yang sekaligus
merupakan putranya dan putra Ochiba juga. Ya, dia sudah
seperti anakku sendiri, pikir Yodoko. Betapa aku membenci
Ochiba pada permulaan....
Dilihatnya semua yang hadir tengah memandang dan Yodoko
terkejut. " Ya?" Yaemon mengernyitkan kening. "Aku bilang, bisakah kita
pergi sekarang untuk mempelajari pelajaran pertamaku, Ibu
Suri" Sudah dua kali ini kukatakan."
"Maaf, Anakku. Rupanya aku sedang melamun. Itulah yang
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjadi kalau kau sudah tua. Ya, ayolah." Kiri membantunya
bangkit. Yaemon sudah berdiri di depan. Keempat pengawal
berseragam kelabu juga sudah bangun, salah seorang diantaranya
menangkap Yaemon, lalu digendong di atas pundaknya dengan
penuh kasih. Keempat samurai yang dari tadi menunggui
Yodoko berpencar sendiri-sendiri.
"Tolong dampingi saya berjalan, Tuanku Toranaga. Saya
butuh tangan yang kuat buat pegangan."
Toranaga berdiri dengan ketangkasan yang mengagumkan.
Yodoko langsung menyambarnya, tapi tak memanfaatkan
kekuatan lelaki itu. "Ya, aku memang butuh tangan yang kuat.
Yaemon juga. Dan begitu juga kekaisaran ini."
"Saya selalu siap melayani anda," sahut Toranaga.
Ketika keduanya sudah menjauh dari yang lain, Yodoko
berkata dengan tenang, "Jadikan diri anda Bupati Tunggal.
Ambil alih kekuasaan dan memerintahlah sendirian. Sampai
Yaemon dewasa." "Testamen Taiko melarang hal itu, kalau pun saya
menginginkannya, padahal tidak. Kontrol yang dibuatnya justru
melarang seorang bupati mengambilalih segenap kekuasaan
dalam tangannya. Saya sendiri tak menginginkan kekuasaan
tunggal. Saya tak pernah memimpikannya."
"Tora-chan," ujar Yodoko menyebut nama kecil Toranaga
yang diberikan Taiko kepadanya sejak dulu, "kita berdua masih
punya rahasia sedikit, anda dan saya. Anda bisa melakukannya,
kalau anda mau. Saya yang akan mengatur jawaban bagi Putri
Ochiba. Ambillah kekuasaan itu buat seumur hidup. Jadilah
Shogun dan?" "Ibu Suri, apa yang anda katakan tadi adalah pengkhianatan.
Saya tak berambisi untuk menjadi Shogun."
"Saya tahu, tapi dengarkan dulu nasihat saya untuk yang
terakhir kali. Jadilah Shogun, jadikan Yaemon, pewaris tunggal
anda"pewaris tunggal anda. Dia bisa menjadi Shogun,
pengganti anda. Bukankah dia itu keturunan Fujimoto"lewat
Putri Ochiba kembali pada kakeknya Goroda dan lewat dia
kembali lagi ke keturunan kuno itu" Fujimoto!"
Toranaga menatapnya. "Anda pikir para daimyo akan
menyetujui tuntutan serupa itu atau Paduka Yang Mulia, Putra
Surga, dapat menyetujui pengangkatan itu?"
"Bukan, bukan untuk Yaemon sendiri. Tapi kalau anda
menjadi Shogun lebih dulu dan mengangkatnya sebagai anak,
anda bisa membujuk mereka, semuanya. Kami akan menyokong
anda, Putri Ochiba dan saya."
"Dia menyetujui ini?" tanya Toranaga terheran-heran.
"Tidak. Kita belum pemah membicarakannya. Ini ide saya
sendiri. Tapi dia pasti menyetujuinya. Saya yang akan menjawab
atas namanya. Lebih dulu."
"Ini pembicaraan yang mustahil, Ibu Suri."
"Anda mampu mengurus Ishido dan mereka semuanya. Anda
selalu mampu. Saya sendiri ngeri mendengamya, Tora-chan,
gosip tentang akan adanya perang, orang-orang yang sudah
berpihak dan Abad Gelap itu akan segera mulai lagi. Kalau
perang sampai pecah, maka akan terus berlangsung dan Yaemon
akan habis ditelannya."
"Ya, saya juga percaya itu. Ya, kalau perang pecah, tak akan
berkesudahan." "Kalau begitu, ambilalih kekuasaan! Lakukanlah apa yang
anda mau, pada siapa saja yang anda suka, apa saja yang anda
mau. Yaemon itu bocah berharga. Saya juga tahu anda
menyukainya. Dia mewarisi pikiran ayahnya dan dengan
bimbingan anda, kita semua akan memetik hasilnya. Yaemon
harus mendapatkan warisan ayahnya."
"Saya sama sekali tidak menentang dia atau turunannya.
Berapa kali saya harus menyatakannya?"
"Yaemon akan dibinasakan, kecuali kalau anda menyokongnya secara aktif."
"Saya menyokongnya!" seru Toranaga. "Dalam segala hal.
Itulah yang sudah saya sepakati bersama almarhum Taiko, suami
anda." Yodoko menghela napas dan mulai memainkan kebiasaannya.
"Tulang-tulang tua ini sudah kedinginan. Begitu banyak rahasia,
pertempuran, pengkhianatan, kematian serta kemenangan. Torachan. Saya ini Cuma seorang perempuan, apalagi sudah hidup
sendiri. Saya senang bahwasanya saya sudah mengabdikan dari
pada Budha sekarang ini, dan sebagian besar pikiran saya hanya
kepada Budha dan pada kehidupan saya yang berikutnya. Tapi
dalam hal ini saya harus melindungi anak saya dan harus
mengatakan hal ini pada anda. Saya harap anda mau memaafkan
kelancangan saya." "Saya selalu mencari dan menyukai nasihat anda."
"Terimakasih." Punggung Yodoko tegak sebentar. "Dengar,
selama saya masih bernapas, baik Yaemon maupun Putri Ochiba
tak mungkin menentang anda."
"Ya." "Maukah anda mempertimbangkan kembali apa yang saya
usulkan tadi?" "Almarhum Taiko tak akan merestuinya. Saya tak bisa
menentang kehendaknya dan janji suci saya sebagai bupati."
Keduanya berjalan tanpa bicara. Yodoko kembali menghela
napas. "Mengapa tidak mengawininya saja?" '
Toranaga menghentikan langkahnya. "Ochiba?"
"Mengapa tidak" Dia sama berharganya seperti sebuah
pilihan politis. Pilihan yang sempurna bagi anda. Dia cantik,
kuat, dari keluarga nomor satu, keturunan marga Fujimoto,
bahkan mentari dapat berdansa dalam dirinya, dan dia memiliki
gairah hidup yang besar. Anda sendiri tak punya isteri resmi
sekarang"jadi apa salahnya" Ini akan memecahkan masalah
pengganti anda dan mencegah kekaisaran dari kehancuran. Anda
pasti akan mendapatkan anak lelaki lagi darinya. Anda bisa
menjadi Shogun. Anda akan memiliki kekaisaran ini dan
kekuasaan seorang bapak, jadi anda dapat sekaligus mendidik
Yaemon agar mengikuti kehendak anda. Anda bisa
mengadopsinya secara resmi dan dia akan menjadi sederajat
dengan putra-putra anda yang lain. Mengapa tidak mengawini
Putri Ochiba?" Karena dia itu kucing liar, macan betina pengkhianat,
dengan wajah dan potongan tubuh seperti itu, ujar Toranaga
pada diri sendiri. Kau takkan pernah bisa mempercayai dia di
tempat tidurmu. Kemungkinan dia akan menjahit matamu waktu
kau sedang terlelap sama besarnya dengan kemungkinan dia
akan membelaimu. Oh, jangan, jangan dia! Sekalipun aku cuma
mengawininya "atas nama" saja"yang pasti takkan
disetujuinya"oh, tak bakal! Tak mungkin! Atas segala macam
alasan, paling tidak karena dia memang membenci aku dan ikut
serta berkomplot untuk menggulingkanku dan seluruh isi
rumahku, sejak dia melahirkan pertamakalinya, sebelas tahun
yang lalu. Bahkan sesudahnya, bahkan pada saat masih berusia tujuh
belaspun, dia sudah bertekad untuk membinasakan aku. Ah, di
luar tampaknya demikian lembut, bagai buah persik yang baru
masak pada musim panas"begitu harum! Tapi di dalam
batinnya, dia bagai pedang baja, dengan pikiran yang siap siaga
untuk mengamati orang, menjalin mantera gaibnya yang segera
menjadikan Taiko tergila-gila padanya"sampai-sampai
memencilkan gundik-gundiknya yang lain. Taiko sudah diancam
semenjak perempuan itu baru menginjak lima belas tahun, waktu
beliau mengambilnya sebagai gundik resmi. Ya, dan jangan lupa,
bahwa dialah yang justru meniduri Taiko, dan bahkan
dikemudian hari pun, bukan Taiko, melainkan dia, betapa
yakinnya pun Taiko bahwa dirinyalah yang sebaliknya melakukannya. Ya, bahkan pada usia masih lima belas pun, Ochiba
tahu apa yang dicarinya dan tahu pula cara . untuk
memperolehnya. Lalu keajaiban itu pun terjadi, yang mampu
memberikan Taiko seorang putra, pada akhirnya. Hanya dia
sendiri dari sekian banyak perempuan milik Taiko yang mampu
berbuat demikian. Berapa banyak perempuan yang telah
ditidurinya" Paling tidak seratus orang. Taiko laksana musang
yang menyebarkan lebih banyak benih kenikmatan di dalam
kamar-kamar surgawi itu dibandingkan dengan sepuluh lelaki
biasa! Ya. Dan perempuan-perempuannya terdiri dari berbagai
macam usia dan kasta, yang sederhana sampai ke gundik, dan
seorang putri keluarga Fujimoto sampai ke gundik-gundik kelas
empat. Namun tak satu pun di antara mereka yang hamil,
sekalipun sesudahnya, banyak di antaranya yang telah diusir
Taiko atau diceraikan atau kawin lagi, malah mampu
memperoleh keturunan dengan lelaki lain. Tak satu pun di antara
mereka, kecuali Putri Ochiba.
Tapi Putri Ochiba memberi Taiko putra pertamanya justru
ketika beliau sudah lima puluh tiga tahun. Kasihan anak kecil itu,
penyakitan dan meninggalnya pun begitu cepat, sampai Taiko
mencabik-cabik bajunya sendiri hampir gila karena kesedihan,
sembari menyalahkan dirinya sendiri dan bukannya Putri
Ochiba, yang melahirkan anak yang mati itu. Kemudian, empat
tahun kemudian, secara ajaib Ochiba hamil lagi, secara ajaib
seorang putra lagi dan secara ajaib pula tampak amat sehat kali
ini, dan perempuan itu sudah dua puluh satu tahun sekarang.
Ochiba, si buah pelir, itulah julukan yang dihadiahkan Taiko
baginya. Apakah Yaemon anak Taiko" Akan kubayar tinggi asal aku
tahu keadaan yang sebenarnya. Bisakah kita tahu yang
sebenarnya" Barangkali tidak. Aku takkan mungkin
mendapatkan buktinya, dengan cara apa pun.
Aneh, Taiko yang begitu pandai mengenai segalanya, ternyata
kurang pandai menghadapi Ochiba, bahkan beliau tergila-gila
padanya. Aneh, di antara sekian banyak perempuan, justru dialah
yang harus menjadi ibu dari ahli waris Taiko, dia, yang ayahnya
dan ayah tirinya serta ibunya mati karena Taiko.
Mungkinkah Ochiba bersanggama dengan lelaki lain,
mengambil benihnya, lalu membinasakan lelaki tersebut agar
rahasianya tak terungkapkan" Bukan hanya sekali saja, tapi
sampai dua kali" Mungkinkah dia sekeji itu" Mungkin saja.
Mengawini Ochiba" Tak bakal!
"Suatu kehormatan bagi saya bahwa anda berkenan
mengajukan usul semacam itu," Toranaga berkata.
"Anda lelaki sejati, Tora-chan Anda mampu mengatasi
perempuan semacam itu dengan mudah. Anda satu-satunya
lelaki di kekaisaran ini yang mampu berbuat begitu, neh" Dia
akan menjadi pasangan yang mengagumkan bagi anda. Coba
lihat betapa gigihnya dia berjuang untuk melindungi minat
putranya sekarang ini, padahal dia cuma perempuan yang tak
berdaya. Dia bisa jadi isteri yang amat berharga bagi anda."
"Saya rasa dia belum pernah memikirkannya."
"Dan seumpamanya dia pernah?"
"Saya ingin tahu. Secara pribadi. Ya, itu akan merupakan
kehormatan yang tak terkira."
"Banyak orang percaya hanya anda yang mampu berdiri di
antara Yaemon dan penggantinya."
"Banyak orang yang goblok."
"Ya, tapi anda tidak demikian, Toranaga-sama. Demikian
pula Putri Ochiba." Dan anda juga tidak demikian, Ibu Suriku, pikir Toranaga.
** JAMES CLAVELL SHOGUN 2 P 18 ADA sisi malam yang terpekat, si pembunuh berhasil
memanjat tembok dan menjejakkan kaki di kebun istana.
Sosok tubuhnya hampir-hampir tak kelihatan. Dia
mengenakan baju hitam pekat, tabinya pun hitam, tak lupa
sebuah topi segitiga dan topeng turut membungkus kepalanya.
Perawakannya kecil. Dia berlari tanpa suara menuju bagian
depan benteng dalam istana dan menghentikan langkahnya tepat
di muka tembok-tembok tinggi. Lima puluh langkah dari situ,
dua anggota pasukan coklat tampak tengah menjaga pintu utama.
Dengan gesit orang itu melemparkan cantelan kawat yang sudah
terbungkus kain dengan tambang sutera amat tipis yang melekat
di sana. Cantelan itu segera mendarat pada jelai lubang pintu
bagian dalam. Dipanjatnya tambang itu, tubuhnya meluncur
lewat tambang sutera lalu menghilang di dalam.
Koridor istana tampak tenang dan hanya diterangi cahaya
lilin. Si pembunuh bergegas menyusurinya tanpa suara,
membuka sebuah pintu bagian luarnya, lalu keluar, ke arah
puncak benteng. Sekali lagi, sebuah lompatan gesit dan tangkas,
serta sebuah panjatan kecil dan dia sudah berada di koridor
bagian atas istana. Para perwira jaga yang berada di sudut-sudut
puncak ben teng sama sekali tak mendengarnya sekalipun
mereka siaga. Orang itu menyandarkan badannya pada sebuah kamar kecil
terbuat dari batu ketika sejumlah anggota pasukan coklat lewat
dengan tenang, berpatroli. Begitu mereka lewat, dia menyelinap
sepanjang gang itu. Pada sudutnya, dia berhenti. Diam-diam dia
mengintai ke sekeliling. Seorang samurai tengah menjaga pintu
yang di kejauhan. Lilin-lilin berdansa dalam kesenyapan,
Seorang penjaga tampak tengah duduk bersila, dia menguap lalu
menyandarkan badannya pada tembok dan merentangkan kedua
tangannya. Kedua matanya tertutup sesaat. Seketika itu juga, si
pembunuh melesat ke depan. Tanpa suara. Dibuatnya sebuah
simpul dengan tambang sutera yang berada dalam
genggamannya, dililitkannya di sekeliling leher si penjaga lalu
dijeratnya kuat-kuat. Jari jemari penjaga itu mencoba untuk melonggarkan cekikan pada lehernya, namun dia sudah sekarat.
Sebuah hunjaman pendek dengan pisau di antara tulang
punggung, yang serupa dengan sayatan pisau ahli bedah, dan si
penjaga tak berkutik lagi.
Si pembunuh membuka pintu dengan mudah. Ruang aula
tampak kosong, pintu-pintu sebelah dalamnya tak dijaga.
Diseretnya mayat si penjaga ke dalam lalu pintu ditutupnya
kembali. Tanpa ragu sedikit pun diseberanginya ruang itu dan
dipilihnya salah satu pinto sebelah dalam. Ternyata terbuat dari
kayu, dilapisi beton bertulang yang kuat. Pisau berlekuk itu
sudah terselip dalam tangan kanannya. Perlahan diketuknya
pintu. "Dalam zaman kaisar Shirakawa ...." ujarnya memulai bagian
pertama kata sandi. Dari sini lain pintu terdengar gesekan baja mata pedang dan
jawabannya, ?"hiduplah seorang arif bijaksana bernama
Enraku-ji " yang menulis ketiga puluh satu sutra. Saya
membawa pesan darurat bagi Tuanku Toranaga."
Pintu segera terbuka dan si pembunuh melompat ke depan.
Pisaunya terhunjam pada tenggorokan samurai pertama secepat
pisau itu tercabut kembali dan dengan gerak yang sama
membenamkan pisaunya pada samurai kedua. Daunnya berlekuk
Shogun Karya James Clavell di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit lalu tercabut kembali. Kedua samurai itu tak lagi
bernapas dalam kedaan masih berdiri. Si pembunuh sempat
menangkap tubuh yang pertama, lalu membiarkannya terjatuh
lambat-lambat; yang kedua juga ikut jatuh, tapi tanpa suara lagi.
Darah bersemburan dari keduanya, membasahi lantai dan kedua
tubuh itu masih sempat menggelepar dalam sakratul mautnya.
Lelaki tak dikenal itu bergegas menyusuri koridor sebelah
dalam. Penerangan di dalam hanya samar-samar. Lalu pinto shoji
itu terbuka. Dia berdiri tertegun dan lambat-lambat melihat ke
sekeliling. Kiri memandangnya dengan mulut ternganga, sepuluh
langkah dari situ. Sebuah baki masih di tangannya.
Si pembunuh melihat kedua cangkir pada baki itu belum lagi
dipakai dan makannya pun belum tersentuh.
Bubungan asap mengepul keluar dari poci teh. Di sampingnya, sebatang lilin terdengar merepet. Lalu baki yang
dipegang Kiri terjatuh dan secepat kilat tangannya menyelinap
masuk ke dalam obi (setagen) nya, bersamaan dengan
munculnya sebilah keris, bibirnya bergerak-gerak, namun
sepatah pun tak ke luar dari sana, dan orang tak dikenal itu sudah
berlari ke sudut. Di sudut yang paling jauh, sebuah daun pintu
terbuka dan seorang samurai yang tampak terkejut karena baru
saja tertidur lelap, masih sempat mengintip ke luar.
Lelaki itu memburu ke depannya dan segera membuka pintu
shoji sebelah kanan yang diincarnya. Kiri menjerit dan tanda
bahaya sudah berbunyi. Orang itu terus berlari dengan langkahlangkah pasti dalam kegelapan, menyeberangi ruang tunggu,
melewati perempuan-perempuan yang baru terjaga berikut
pelayan-pelayannya, menuju ke koridor bagian dalam di sebelah
ujung. Di bagian sini pekatnya tak terkatakan, namun dia masih
mampu meraba-raba dengan tepat untuk menemukan pintu
kanan, dalam kegaduhan yang semakin nyata itu. Pintu di situ
dibukanya sedikit lalu diterjangnya sosok tubuh yang tengah
berbaring di atas futon (kasur). Namun pisaunya sempat
tertangkap oleh genggaman yang amat kuat dan kini dia tengah
berduel di lantai. Dia melawan dengan kegesitan yang tiada tara.
Dilepaskannya pagutan lawannya dan kembali diayunkannya
keris di tangannya namun gagal, karena terjerat oleh selimut
korbannya. Dikibaskannya selimut yang menghalanginya lalu
diterjangnya tubuh lawannya, pisaunya menghunjamkan tikaman
maut. Namunkorbannya sempat berkelit dengan ketangkasan
yang tak terduga dan mengirimkan sebuah tendangan keras ke
selangkangan si pembunuh. Teriakan nyeri terlontar dari
mulutnya sementara korbannya berlari menyelamatkan diri.
Kemudian para samurai mengepung pintu masuk, beberapa di
antaranya membawa lentera. Naga yang hanya mengenakan
kancut, dan berambut kusut, langsung melompat di antara si
pembunuh dan Blackthorne, pedangnya teracung tinggi.
"Menyerahlah!" Si pembunuh masih sempat bersandiwara, dia berteriak,
"Namu Amida Butsu?" Demi nama Amida Buddha"kemudian
dihadapkannya pisaunya ke dirinya sendiri dan dengan kedua
tangannya dihunjamkannya tepat di bawah dagunya. Darah
terpancar dan perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut. Naga
langsung menetak, peadangnya bagai kubah berputar, kepala
orang itu jatuh bergelinding.
Dalam kesenyapan itu Naga mengambil kepalanya dan
menyobek topengnya. Wajahnya"wajah orang kebanyakan,
kedua matanya masih berkedip. Dipegangnya, kepala yang
tataan rambutnya berkuncir bagai samurai itu.
"Ada yang tahu siapa dia?"
Tak satu pun yang bisa menjawab. Naga meludahi wajah si
pembunuh, melemparkan kepalanya pada salah seorang anak
buahnya, menyobek pakaian hitamnya lalu mengangkat
lengannya yang kanan, dan menemukan apa yang tengah
dicarinya. Tatto kecil berhuruf kanji Cina berbunyi "Amida,
Budha istimewa" tampak tergores pada ketiaknya.
"Siapa perwira jaganya?"
"Saya, Tuanku." Orang yang dimaksud tampak pucat-pasi
ketakutan. Naga menerjangnya, yang selebihnya segera menyebar.
Perwira tersebut sama sekali tak berusaha untuk mengelakkan
ayunan pedang Naga yang ganas, yang menebas kepala serta
sebelah bahu dan lengannya.
"Hayabasu-san, perintahkan segenap samurai dari seksi jaga
ini menuju ke halaman istana," ujar Naga pada salah seorang
perwira. "Lipatgandakan jumlah penjagaan berikutnya. Seret
mayat ini keluar. Yang selebihnya?" Dia berhenti ketika Kiri
menghampiri pintu masuk, keris masih berada dalam
ganggamannya. Perempuan itu memandangi mayat tadi,
kemudian berpaling ke arah Blackthorne.
"Anji-san tidak terluka?" tanyanya
Naga menatap sekilat ke lelaki berperawakan tinggi yang
napasnya masih tersengal-sengal. Dia tak melihat tanda-tanda
adanya luka atau darah. Hanya seseorang berambut kusut-masai
yang hampir saja terbunuh. Mukanya pucat-pasi tapi tidak
kelihatan takut. "Anda luka, Nakhoda?"
"Saya tak mengerti."
Naga melangkah ke depan lalu menyingkapkan kimono
tidurnya untuk melihat apakah nakhoda itu terluka.
"Ah, mengerti sekarang. Tidak. Tidak terluka sama sekali,"
didengarnya orang berperawakan tinggi besar itu menjawab dan
dilihatnya dia menggelengkan kepalanya.
"Bagus," ujar Naga. "Nampaknya dia tak apa-apa, Kiritsubosan." Naga melihat Anjin-san menunjuk ke mayat si pembunuh
seraya mengatakan sesuatu. "Saya tak paham," sahut Naga.
"Anjin-san, anda tetap di sini," dan kepada salah seorang anak
buahnya dia berkata, "Bawakan dia makanan dan minuman
sekedarnya, kalau dia mau."
"Si pembunuh ini bertato Amida, neh?" tanya Kiri.
"Ya, Putri Kiritsubo."
"Iblis"Iblis."
"Ya." Naga membungkuk kepada perempuan itu kemudian
memandang pada salah seorang samurainya yang terlihat amat
ketakutan. "Kau ikuti aku. Bawa kepalanya!" Dia beranjak,
sambil bertanya pada diri sendiri bagaimana caranya dia
mengatakan pada ayahnya. Oh, Budha, terimakasih karena sudah
melindungi ayahku. "Dia ini ronin," ujar Toranaga singkat. "Anda takkan bisa
melacaknya, Hiro-matsu-san."
"Ya. Tapi Ishido yang bertanggung jawab. Dia sama sekali
tak punya kehormatan kalau sampai melakukan ini, neh" Tak
punya malu sama sekali menggunakan pembunuh taik-kuda
macam begini. Saya mohon kepada anda, izinkan saya
mengerahkan segenap pasukan kita sekarang. Akan saya
hentikan semua ini dalam sekejap dan untuk selamanya."
"Tidak." Toranaga balas memandang Naga. "Anda yakin
Anjin-san tak terluka sama sekali?"
"Tidak, Tuan." "Hiromatsu-san. Anda harus menurunkan pangkat semua
perwira jaga karena gagal dalam tugasnya. Mereka semua
dilarang melakukan seppuku. Mereka diperintahkan untuk hidup
menanggung malu di hadapan semua anak buahku sebagai
prajurit berpangkat paling rendah. Suruh orang menyeret
penjaga-penjaga yang gagal itu melewati istana dan seluruh kota
menuju ke tempat hukuman mati. Biarkan anjing-anjing mengunyah mereka."
Kini dia memandang putranya, Naga. Pada malam itu, pesan
darurat baru saja tiba dari Biara Johji di Nagoya tentang
ancaman Ishido terhadap Naga. Toranaga sudah memerintahkan
putranya agar tetap berdiam di markas terdekat dan dikawal oleh
para pengawal. Anggota-anggota keluarga selebihnya di
Osaka"Kiri dan Putri Sazuko"juga harus mendapatkan
penjagaan yang sama kuat. Kepala biara bahkan menyarankan
agar membebaskan ibu Ishido sekarang juga dan mengirimkannya kembali ke kota beserta para pengiringnya. "Saya
tak berani mempertahankan nyawa putra anda yang terkenal itu
dengan cara yang setolol itu. Apalagi kesehatan ibu Ishido tak
begitu baik. Beliau sakit salesma. Betapa baiknya kalau beliau
meninggal di rumahnya sendiri dan bukan di tempat ini."
"Naga-san, kau juga bertanggungjawab atas masuknya
pembunuh itu ke mari," ujar Toranaga, suaranya terdengar dingin
dan pahit. "Setiap samurai bertanggung jawab, apakah dia
sedang jaga atau tidak, tidur atau bangun. Kau didenda sebanyak
separuh gaji tahunanmu."
"Ya, Tuanku," sahut anak muda itu, yang masih terheranheran mengapa dia masih diizinkan memangku jabatannya,
termasuk kepalanya. "Tolong turunkan pula pangkat saya,"
pintanya. "Saya tak sanggup hidup menanggung malu. Imbalan
saya tak ada kecuali penghinaan yang disebabkan karena
kegagalan saya sendiri, Tuanku."
"Kalau aku ingin menurunkan pangkatmu, aku sudah
melakukannya. Kau diperintahkan untuk segera ke Yedo. Kau
Orang Orang Sisilia 5 Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih Api Di Bukit Menoreh 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama