Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 17

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 17


Karena itu ia masih tetap melawan sambil bertanya, "Siapakah
kau?" Sendawa sama sekali tidak berani melepaskan lawannya
sekejappun untuk berpaling. Ujung pedang Sanakeling
ternyata lebih cepat dari kejapan mata.
Di belakangnya terdengar jawaban, "Aku telah mendapat
perintah untuk berada di sayap ini. Agung Sedayu."
"Oh," Sendawa tiba-tiba dirayapi oleh perasaan yang
menenangkannya. Ia pernah mendengar kepahlawanan
Agung Sedayu. la pernah melihat kelebihan Agung Sedayu
daripada Sidanti di lapangan
Sangkal Putung. Kini Sedayu itu
hadir menggantikan kedudukan
Citra Gati. Tetapi Sendawa itu terkejut ketika terasa seseorang
mendesaknya dan langsung menyusup ke dalam lingkaran
pertempuran itu mendahului Agung Sedayu. Orang itu
langsung menyerang Sanakeling dengan membabi buta.
"Paman Hudaya," teriak Agung Sedayu.
Hudaya tidak mendengarnya. Senjatanya berputar melampaui
kecepatan baling-baling. Namun perhitungannya tidak wajar
lagi, sehingga betapa cepatnya ia menyerang, tetapi
senjatanya sama sekali tidak dapat menyentuh kulit
Sanakeling. "He, kau juga man bunuh diri," teriak Sanakeling.
Hudaya tidak menjawab. Sekali lagi ia menyerang dengan
dahsyatnya. Namun sekali lagi Sanakeling berhasil
menghindarkan dirinya, bahkan dengan kemarahan yang
meluap-luap Sanakeling berhasil memukul senjata Hudaya
hampir pada tangkainya. Hudaya terkejut. Terasa tangannya dipatuk oleh getaran yang
dahsyat. Betapapun ia mencoba bertahan, namun senjatanya
terlempar beberapa langkah daripadanya.
Terdengar Sanakeling berteriak nyaring. Sekali ia meloncat
maju dengan pedang terjulur. Demikian cepatnya, sehingga
Sendawa sama sekali tidak berdaya berbuat sesuatu untuk
membantu Hudaya. Meskipun ia mencoba meloncat sejauhjauh
ia dapat, tetapi kecepatan gerak Sanakeling melampaui
kecepatan gerakannya. Hudaya masih mencoba untuk memiringkan tubuhnya. Namun
gerakannya itu hampir tak berarti. Ia masih melihat ujung
pedang Sanakeling itupun beringsut seperti geseran tubuhnya
sendiri. Karena itu, segera ia mencoba melindungi dadanya
dengan tangannya yang bersilang. Tetapi ia sadar, bahwa
tangannya itu sama sekali tidak akan berarti melawan tajam
ujung pedang Sanakeling. Tetapi Hudaya terkejut, dan bahkan Sanakeling pun
menggeram ketika terdengar senjatanya berdentang.
Sanakeling itu merasa tangannya berkisar, dan karena itulah
maka ujung pedangnyapun berkisar pula. Dalam pada itu terdengar Hudaya mengaduh pendek.
Beberapa langkah ia terdorong ke samping. Terasa
lengannya menjadi pedih. Ia sempat melihatnya, maka tampak
darahnya memerahi lengan bajunya.
Tetapi ia telah terhindar dari maut, ternyata pedang
Sanakeling tidak merobek dadanya, meskipun ia terluka.
"Setan," terdengar Sanakeling mengumpat. "Kau berani
mengganggu aku" Kau selamatkan kelinci itu, tetapi kau
sendiri yang akan terbunuh oleh pedangku."
Kini yang berdiri di hadapan Sanakeling adalah Agung
Sedayu. Dengan cepat ia datang tepat pada waktunya
menyelamatkan nyawa Hudaya. Meskipun belum mapan
benar, tetapi ia telah berhasil memukul pedang Sanakeling,
sehingga pedang itu berubah arah. Namun pedang
Sanakeling itu masih juga mematuk lengan Hudaja.
"Siapakah kau, he?" teriak Sanakeling. Matanya menjadi
merah dan liar. Terasa tengkuk Agung Sedayu meremang. Ia pernah melihat
mata yang seliar itu di belakanq halaman Kademangan
Sangkal putung ketika ia berkelahi melawan Sidanti.
"Apakah kau belum mengenal Sanakeling," teriak Sanakeling.
Tidak sesadarnya Agung Sedaju mengangguk. Jawabnya
singkat, "Belum. Baru sekarang aku mengenalmu, meskipun
aku pernah mendengar nama itu, satu dari sekian nama
prajurit Jipang." Agung Sedayu menjawab dengan jujur, tanpa maksud
apapun. Namun Sanakeling yang garang itu merasa, jawaban
itu suatu hinaan baginya. Bagi seorang yang merasa dirinya
hanya selapis tipis di bawah Macan Kepatihan yang namanya
mengumandang dari pesisir Lor sampai ke pesisir Kidul.
Sedang yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari seorang
anak-anak yang memandanginya dengan pandangan mata
yang kosong. "He, apakah kau benar-benar belum mengenal Sanakeling?"
Sedayu kini mendjadi heran. Di dalam hiruk pikuk peperangan
lawannya masih sempat menanyakan dirinya sendiri. Namun
Agung Sedayu tidak ingin mendahului.
Tetapi sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Seseorang
meloncat di sampingnya sambil mengayunkan pedangnya ke
arah Sanakeling. Tetapi dengan tenangnya Sanakeling
menghindar, sambil berteriak, "Kau benar-benar ingin mati,
kelinci yang malang?"
Hudaya yang telah kehilangan segala pertimbangannya itu
tiba-tiba telah menyerang Sanakeling kembali. Kali ini dengan
segenap kemampuan dan ketangkasannya, ditumpahkannya
segenap sisa tenaganya. Namun sekali lagi Hudaya
menyeringai kesakitan. Kini tangannya terbentur bindi
Sanakeling. Untunglah tidak terlalu keras, karena Sanakeling
tidak sempat mengerahkan tenaganya. Meskipun demikian,
sekali lagi senjata yang telah dipungutnya terlempar dari
tangannya. Agung Sedayu melihat Sanakeling tertawa seperti suara hantu
melihat mayat tergolek di pekuburan. Semakin keras dan
menyakitkan telinga. Bersamaan dengan itu, Agung Sedayu
melihat Sanakeling mengangkat pedangnya dan terayun deras
sekali ke leher Hudaya. Hudaya masib berusaha untuk mengelak. Direndahkan
tubuhnya sambil berkisar ke samping. Tetapi nada suara
Sanakeling meninggi. Seperti seekor kucing bermain-main
dengan seekor tikus ia berkata nyaring, "O, kau mencoba
melompat ke samping orang yang malang. Bagus. Kau lihat
ujung pedangku, supaya kau melihat maut menghampirimu."
Hudaya melihat ujung pedang Sanakeling. Tetapi
perasaannya seakan-akan telah mati lebih dahulu daripada
dirinya sandiri. Karena itu Hudaya sama sekali tidak menjadi
gentar. Bahkan berkedippun tidak.
Tetapi sekali lagi Sanakeling berteriak tinggi. Kemarahannya
benar-benar memuncak sampai ke ubun-ubun. Kali ini sekali
lagi pedangnya membentur sesuatu. Tidak saja pedangnya
bergeser arah, tetapi pedangnya seakan-akan menghantam
dinding baja, sehingga terasa tangannja bergetar.
"Setan, hantu, gendruwo." umpatnya "kau benar mau mati he,
anak demit?" Agung Sedayu berdiri dengan kokohnya. Kakinya seakanakan
jauh menghunjam menembus bumi. Kini ia dapat
mengetahui, betapa Sanakeling benar-benar memiliki tenaga
raksasa. Terasa tangannya
tergetar pada saat senjatanya
membentur tenaga Sanakeling. Bahkan hampir-hampir senjata
itu lepas. Untunglah, segera ia dapat mengatasi keadaan
sehingga senjata itu tetap berada di dalam genggamannya.
Namun kali ini Agung Sedayu tidak dapat membiarkan Hudaya
berbuat di luar nalar dan pikirannya. Karena itu maka segera
ia berteriak, "Paman Hudaya. Menepilah."
"Aku akan membunuhnya," sahut Hudaya.
"Menepilah," ulang Agung Sedayu.
"Jangan campuri urusanku," bentak Hudaya keras-keras.
"Akulah pimpinan sayap kanan," sahut Agung Sedayu tegastegas.
Hudaya terdiam sesaat. Namun hatinya berdesir ketika ia
melihat, Sanakeling tanpa berkata sepatah katapun
menyerang Agung Sedayu dengan kecepatan yang
mengagumkan. Bahkan nafas Hudaya itupun serasa berhenti
karenanya. Demikiam cepat dan tangkasnya Sanakeling itu
meloncati lawannya. Ia tidak dapat melihat kecepatan itu,
selagi ia sendiri bertempur melawannya.
Namun ketika Sanakeling itu menyerang Agung Sedayu,
barulah disadarinya, betapa berbahayanya orang itu.
Tetapi sekali lagi dadanya berdesir ketika ia melihat
bagaimana cara Agung Sedayu melepaskan diri dari terkaman
itu. Lincah seperti burung sikatan. Mengendap lalu melontar
ke samping, sementara itu pedangnya menusuk lambung
Sanakeling yang terbuka. Sanakeling terkejut melihat
ketangkasan lawannya yang masih muda itu. Jauh lebih muda
dari lawannya yang telah dijatuhkannya, dan lawannya yang
satu lagi, yang hampir dibunuhnya sampai dua kali. Karena itu
mulutnya yang kasar sekali lagi mengumpat, "Anak setan.
Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya, sebelum perutmu
terbelah oleh pedangku. Siapa namamu he anak muda?"
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi terpaksa ia
melihat ketangkasan Sanakeling itu sekali lagi. Dengan
lincahnya Sanakeling berhasil menghindarkan dirinya dari
sambaran pedang Agung Sedayu. Bahkan sambil meneruskan
kata-katanya, "Katakanlah siapa namamu, supaya aku kelak
dapat mengatakan, bahwa nama itu adalah nama dari salah
seorang anak muda yang telah aku bunuh, karena
kesombongannya sendiri."
Hati Agung Sedayu bergetar mendengar kata-kata itu. Ia sama
sekali tidak senang melihat sikap, kata-kata dan anggapan
Sanakeling terhadap dirinya. Karena itu maka dijawabnya
Sanakeling, "Adakah gunanya bagimu untuk mengetahui
namaku yang tidak berarti" Aku adalah hanya seorang prajurit
dari sekian banyak prajurit-prajurit yang lain. Bahkan aku
adalah prajurit yang berpangkat paling rendah dari prajuritprajurit
yang lain." "Gila," geram Sanakeling, "jangan jual tampang di
pertempuran ini. Sebut namamu!"
"Baik," jawab Agung Sedayu, "namaku adalah Agung Sedayu."
"He, Agung Sedayu," ulang Sanakeling.
"Ya." Tiba-tiba Sanakeling itu tertawa. Ia pernah mendengar sekali
dua kali nama itu disebut oleh Alap-Alap Jalatunda. Dan
bahkan nama itu permah disebut-sebut oleh hampir setiap
bibir orang Sangkal Putung. Laskar Jipang di dalam hutan
itupun pernah mendengar nama itu dalam lingkungan
kelaskaran Pajang dan Sangkal Putung
dari orang-orang yang sengaja ditempatkannya sebagai telik dan petugaspetugas
rahasia yang berhasil sedikit-sedikit mendengar
tentang Sangkal Putung. Bahkan akhirnya Sanakeling berkata
lantang, "He bukankah kata orang, Agung Sedayu itu adik
Untara dan kemanakan Widura?"
Agung Sedayu tidak tahu, kenapa hatinya bergetar
mendengar pertanyaan itu. Agaknya namanyapun termasuk
nama yang harus di perhitungkan oleh orang-orang Jipang.
Namun dijawabnya, "Ya. Aku adalah adik Untara."
"Pantas, pantas," geram Sanakeling. Tiba-tiba geraknya
menjadi semakin cepat. Serangannya datang menyambarnyambar
seperti elang menyerang anak ayam di tanah lapang.
Menukik dan menyambar dengan kuku-kukunya.
Tetapi Agung Sedayu kini bukan lagi anak ayam yang
ketakutan melihat elang melayang di langit. Tangannya kini
tidak lagi gemetar menggenggam tangkai pedang. Meskipun
kadang-kadang hatinya masih dilapisi seribu satu macam
pertimbangan, tetapi anak itu tidak lagi harus melawan
ketakutan dan, kecemasannya.
Hudaya yang terluka itu, melihat pertempuran antara
Sanakeling dengan Agung Sedayu dengan mulut ternganga.
Pertempuran itu berjalan semakin lama semakin dahsyat.
Sanakeling yang marah menyerang Agung Sedayu dengan
sengitnya, sedang Agung Sedayu pun melawannya dengan
tekad yang menyala di dalam dadanya.
Jatuhnya Citra Gati merupakan peringatan baginya, bahwa
apabila ia lengah sedikit saja, niscaya nasibnya tidak akan
lebih baik dari Citra Gati itu.
Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian
yang semakin seru. Keduanya adalah orang-orang yang
memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajuri yang lain.
Api di Bukit Menoreh Bagian 14 Lawannya, Agung Sedayu adalah orang baru di dalam arena
pertempuran. Tetapi keprigelannya menggerakkan senyatanya
tiba-tiba mencengangkan. Ilmu yang tersimpan di dalam
tubuhnya ternyata cukup mampu untuk menghadapi
Sanakeling yang perkasa itu. Tempaan yang pernah
diterimanya dari Kiai Gringsing, ketekunannya dan bekal yang
telah diletakkan oleh ayah dan kakaknya, telahh
membentuknya menjadi Agung Sedayu yang lincah, tangguh,
dan cekatan. Namun Agung Sedayu adalah seorang yang tidak cukup
berpengalaman dalam olah keprajuritan. Ia mampu bertempur
seorang lawan seorang, sekelompok lawan sekelompok, tetapi
ia tidak dapat memanfaatkan setiap keadaan pada suatu gelar


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang luas, atau bagian-bagian dari gelar itu. Setiap kali Agung
Sedayu menjadi ragu-ragu apabila tiba-tiba ia menghadapi
gelombang serangan yang berubahubah dari pasukan lawannya. Setiap kali ia tidak dapat berbuat benyak dalam
keadaan yang tiba-tiba. Bahkan beberapa kali ia
mendengarkan Sanakeling meneriakkan aba-aba dan melihat
gerakan-gerakan yang kurang dimengertinya dari laskar
lawannya. Sekali Sanakeling memberikan kesempatan
kepadanya untuk mendesak maju, namun tiba-tiba kedua sisi
sayap Sanakeljng itu seolah-olah menekannya dari kedua
arah. Serentak pasukan Jipang itu menyempit dalam garis
lengkung yang dalam. Hudaya yang terluka itu, kini telah menggengam pedangnya
kembali. Tetapi ia hanya mampu mempertahankan dirinya dari
serangan-serangan yang datang dengan tiba-tiba dari prajuritprajurit
Jipang. Ia kini terpaksa melihat kenyataan, bahwa
tubuhnya telah menjadi semakin lemah, sehingga ia sudah
cukup tidak seharusnya tampil ke depan langsung melawan
musuh-musuhnya. Tetapi dalam keadaan-keadaan yang demikian ia sempat
melihat susunan sayap kanan laskar Pajang dan sangkal
Putung itu. Sayap itu semakin lama menjadi semakin kurang
teratur. Agung Sedayu sama sekali tidak pernah memberikan
printah dan petunyuk kepada pasukannya. Ia hanya
memusatkan perhatiannya kepada perlawanannya
menghadapi Sanakeling. Tetapi itu bukan karena Agung Sedayu mengalami kesulitan.
Bukan karena Sanakeling berhasil mendensaknya dan
menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit. Tetapi itu
adalah karena Agung Sedayu bukan seorang prajurit yang
berpengalaman. Ia bukan seorang Senapati yang terlatih. Ia
sendiri mampu bertempur, namun
ia tidak mampu untuk membuat sikap dan suasana perlawanan bagi seluruh sayap
yang harus dipimpinnya. Sehingga karena itulah maka
seakan-akan setiap prajurit harus mencari sikap sendiri
menghadapi lawan-lawan mereka yang bertempur dalam satu
kesatuan yang utuh. Untara yang bertempur melawan Macan Kepatihan di induk
pasukan melihat suasana itu. Baru saja ia mendapatkan
ketenangan, kini ia melihat persoalan baru pada sayapnya itu.
Baru kemudian disadarinya bahwa Agung Sedayu bukanlah
seorang senapati yang berpengalaman. Apalagi ternyata,
yang berada di sayap 1awan sama sekali bukan Alap-alap
Jalatunda; tetapi Sanakeling.
Sayap kiri, yang dipimpin oleh Widura, yang mendapat
tambahan kekuatan, menjadi semakin baik keadaannya. Ia
hanya memerlukan separo dari tenaga yang diberikan
kepadanya, sedang yang lain dikembalikannya kepada induk
pasukan untuk memperkuat kedudukan Untara. Namun Widura itupun kemudian menjadi berdebar-debar melihat tata
pertempuran di sayap kanan. Ia mendengar pula, bahwa Citra
Gati telah dapat dilumpuhkan oleh Sanakeling. Ia mendengar
lewat penghubungnya, bahwa Agung Sedayu-lah yang kini
berada di sayap itu. Karena itu, seperti Untara, ia segera
mengetahui kelemahan anak muda itu. Agung Sedayu bukan
seorang senapati perang, meskipun ilmunya, ilmu tata bela diri
dan tata perkelahian menyamai seorang Senapati. Tetapi
Widura tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Tetapi semakin lama, Widura dan Untara melihat, sayap itu
menjadi semakin tertib dan teratur. Beberapa bentuk tata
perlawanan yang bagus terjadi di sayap itu. Seakan-akan
mereka telah digerakkan oleh suatu perintah dari seseorang
yang cukup berpengalaman.
Seolah-olah Citra Gati telah
terjun kembali ke arena itu.
"Sendawa tidak mampu melakukannya," gumam Untara di
dalam hati. "Meskipun orang itu cukup lama menjadi seorang
prajurit, dan bahkan kemudian menjadi seorang pemimpin
kelompok seperti Citra Gati pula, namun otaknya tidak
secerah Citra Gati."
Tetapi Untara dan Widura tidak sempat meraba-raba terlalu
lama, sebab tugas mereka sendiri cukup berat. Namun
peruhahan di sayap kanan itu, benar-benar menggembirakan
hati Untara, siapapun yang melakukanya. "Mungkin juga
Sendawa," pikir Untara.
Sebenarnya sayap kanan memang menjadi semakin baik.
Ketika Hudaya menyadari keadaannya, dan melihat
bagaimana cara Agung Sedayu melawan Sanakeling, hatinya
menjadi tenang. Perlahan-lahan ia menemukan keseimbangan
perasaan. Jatuhnya sahabatnya, tidaklah berarti, bahwa ia
harus berbuat di luar batas-batas kemungkinannya,
dan kemungkinan seluruh pasukannya. Dengan demikian, maka
pikirannya semakin lama menjadi semakin bening.
Meskipun ia terluka, namun ia masih mampu menilai keadaan
sayap kanan itu. Agung Sedayu ternyata seorang yang baik.
Seorang yang cukup tangguh untuk melawan Sanakeling,
namun ia bukan seorang Senapati. Segera Hudaya melihat
kelemahan-kelemahan itu. Dan segera ia menyadari
keadaannya. Dengan demikian, maka tiba-tiba terdengarlah
aba-abanya melengking di antara dentang senjata kawan dan
lawan. Dengan cepat ia membentuk sayap itu menjadi suatu
benteng yang tangguh. Sendawa, meskipun ia berada lebih
lama di sayap itu, namun ia menyadari keadaannya, sehingga
dengan senang hati ia melepaskan pimpinan yang diambilnya
langsung setelah Citra Gati tersingkirkan.
Tetapi mula-mula Agung Sedayu-lah yang terkejut mendengar
aba-aba yang keluar dari mulut Hudaya, sehingga ia melontar
surut sambil herteriak, "Apa artinya Paman Hudaya."
"Aku sudah tidak gila lagi," sahut Hudaya. "Aku sedang
mencoba memperbaiki tata gelar sayap ini. Maafkan, bahwa
aku mengambil pimpinan di tanganku, tetapi aku tidak akan
melawan orang itu." Sanakeling yang mendengar jawaban itu pula menggeram.
Mula-mula iapun melihat kelemahan pimpinan yang baru di
sayap. Karena itu, segera ia membuat bentuk-bentuk yang
dapat membingungkan lawan yang bergerak menurut cara
mereka sendiri-sendiri. Namun tiba-tiba Hudaya berhasil
mengatasi keadaan. "Satan!" teriak sanakeling. "Ayo, majulah bersama-sama."
Agung Sedayu tidak dapat menghindar lebih lama. Seperti
angin ribut Sanakeling menyerangnya. Namun ia masih
mendengar Hudaya berkata, "Jangan ragu-ragu. Aku lebihberpengalaman
dalam olah gelar peperangan. Hadapi
lawanmu. Mudah-mudahan dendam Citra Gati akan terbalas."
Sanakeling tidak memberi kesempatan Agung Sedayu untuk
membalas. Betapa marahnya orang itu melihat cara-cara yang
tidak lazim telah dipergunakan oleh Agung Sedayu dan
Hudaya bersama-sama. Namun sanakeling terpaksa
mengagumi, ketangkasan berpikir
orang-orang Pajang itu untuk mengatasi keadaan yang serba tiba-tiba.
Akhirnya Untara pun teringat, bahwa Hudaya berada pula di
sayap kanan. "Mudah-mudahan orang itu menyadari dirinya,"
gumam Untara di dalam hati, "dan mudah-mudahan ialah yang
telah memperbaiki keadaan."
Demikianlah pertempuran itu dalam keseluruhannya telah
berubah. Keseimbangan di antara kedua belah pihak telah
berubah. Orang-orang baru yang terjun di dalam arena benarbenar
telah mempengaruhi keadaan. Meskipun mereka sebagian besar adalah anak-anak muda Sangkal Putung,
namun ada pula di antara prajurit-prajurit Pajang yang ditarik
dari gardu-gardu. Dan di gardu-gardu itulah ditempatkan anakanak
muda Sangkal Putung dan orang-orang tua yang masih
sanggup memukul tanda bahaya.
Macan Kepatihan melihat perubahan itu. Sekali-sekali
terdengar ia menggeram dan giginya gemeretak. Ia sudah
bertekat bahwa kali ini adalah kali yang terakhir baginya.
Kalah atau menang. Karena itu, maka keadaan yang tiba-tiba
saja berubah itu sangat mempengaruhi
perasaannya., Namun bagaimanapun juga, ia masih ingin bertahan sampai matahari
tenggelam. Kalau ia mampu bertahan,
maka keadaan anak buahnya pasti masih baik. Tekad dan nafsu mereka pasti
belum lenyap, sehingga besok ia akan dapat menempuh cara
yang lain untuk menerobos masuk ke Sangkal Putung.
Tetapi perlahan-lahan namun pasti, laskar Sangkal Putung
bersama-sama dengan prajurit-prajurit Pajang berhasil
mendesaknya. Setapak demi setapak.
Di kejauhan Sumangkar menggigit bibirnya. Ia melihat
perubahan itu. Dan hatinya menjadi berdebar-debar pula
karenanya. Wajahnyapun tiba-tiba tampak berkerut-kerut. Sedang tanpa
sesadarnya tangan orang tua itu segera menimang-nimang
tongkatnya. "Hem," gumamnya, "Untara dan Widura benar-benar seorang
Senapati yang limpat. Dengan cerdik mereka telah berhasil
mengatasi gelar Macan Kepatihan yang garang."
Mata orang tua itu semakin lama menjadi semakin suram.
Kembali ia terlempar ke simpang jalan yang tak mudah
dipilihnya. Ia tidak akan dapat melihat pasukan Macan
Kepatihan hancur dilanda oleh prajurit Pajang dan laskar
Sangkal Putung. Namun kalau ia memasuki arena peperangan itu, maka apakah ia sampai hati pula membunuhi
anak-anak muda Sangkal Putung yang masih baru dapat
berlari-larian itu" "Apakah aku harus meniadakan Angger Untara," desisnya.
Tetapi perasaaunya telah menolaknya. "Tidak sepantasnya,"
katanya di dalam hati. Sumangkar itu menjadi semakin bingung. Ia masih tegak di
atas sebongkah tanah padas jang menjorok agak tinggi. Dari
tempat itu ia berhasil melihat keadaan medan dengan agak
jelas. Meskipun ia tidak mengira-irakan pusat-pusat daripada
peperangan itu. Di induk pasukan, pertempuran berkisar di
antara Macan Kepatihan melawan Untara. Induk pasukan itu
kini telah menjadi semakin luas, karena cara-cara Untara
untuk membuat garis peperangan yang menguntungkannya.
Di sayap kanan dari laskar Jipang, Sumangkar
melihat keadaan pertempuran yang sulit bagi pasukan Macan
Kepatihan. Semakin lama semakin sulit. Ia tidak tahu pasti
siapa yang berada di sayap itu untuk melawan Alap-alap
Jalatunda. Namun karena ketajaman pengetahuannya
mengenai peperangan Sumangkar segera menduga, bahwa
lawan Alap-alap Jalatunda pasti mempunyai beberapa
kelebihan dari padanya. "Mungkin Widura sendiri," gumamnya.
"Orang itu pasti tidak berada di sayap yang lain," sambungnya
sambil melihat sayap kiri pasukan Jipang itu. Sumangkar
mula-mula melihat keuntungan dari pasukan Tohpati. Tetapi
kemudian iapun melihat perlawanan yang gigih dan bahkan
semakin lama menjadi semakin sulit bagi pihak Jipang.
Hati orang tua itupun menjadi gelisah. Setiap kemenangaa
pihak Pajang telah menyentuh hatinya. Seperti sepercik api
yang menyentuh perasaannya. Semakin banyak menjadi
semakin panas, dan bahkan kemudian terasa seolah-olah
sebongkah bara telah menyala di dalam dadanya.
"Kasihan Raden Tohpati," desahnya.
Buku 12 Bagian 1 BETAPAPUN kebimbangan bergelora di dalam batinnya,
namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga dapat membiarkan
kekalahan demi kekalahan melanda pasukan murid kakak
seperguruannya. Karema itu berkali-kali terdengar ia
berdesah, kemudian menggeram. Wajahnya semakin lama
menjadi semakin tegang. Dan orang tua itu menjadi semakin
kuat menggenggam senjatanya.
Ketika ia mendengar orang-orang Pajang bersorak, seakanakan
dirinyalah yang disorakinya. Seorang tua yang tidak
berarti dan tidak tahu diri.
Di dalam arena pertempuran itu sendiri, Sanakeling terpaksa
melihat kenyataan, bahwa adik Untara yang bernama Agung
Sedayu itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh.
Anak muda yang lincah dan cekatan. Geraknya kadangkadang
terasa aneh dan membingungkan. Sebenarnya Agung
Sedayu mempunyai cara yang khusus dalam olah
pertempuran. la tidak saja mempergunakan unsure-unsur
yang dipelajarimja dari gurunya, dari ajahnya, dari kakaknya,
dan dari pengalamannya yang sedikit itu, tetapi Agung Sedayu
telah berhasil membuat cara-cara dan unsure-unsur tersendiri,
karena ketekunannya membuat gambar-gambar di atas rontal.
Sehingga sanakeling yang dengan tatag berani melawan
Widura kini terpaksa bertempur dengan memeras segenap
ilmu yang dimilikinya. Di induk pasukan Tohpati pun mengalami banyak kesulitan.
Apalagi setelah Untara dapat melepaskan segenap
perhatiannya atas sayap kanannya yang agak mengalami
kesulitan. Kini sayap itu telah menjadi mantap kembali. Karena
itu ia tinggal memusatkan perhatiannya kepada Tohpati dan
induk pasukannya. Namun Sonya, di sisi kiri dan Swandaru di
sisi kanan, ternyata banyak membantunya, memperingan
tekanan-tekanan yang Iangsung ke pusat pasukannya.
Apalagi di sayap kiri, Widura telah mencoba mempengaruhi
seluruh medan lewat sayapnya. Dikerahkannya kekuatan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayapnya untuk mendesak semakin maju. Kemenangan yang
dicapainya diharapkannya dapat langsung menimbulkan
pengaruh pada induk pasukan lawan dan lebih-lebih bagi
Tohpati sendiri. Menurut perhitungan Widura, kini telah sampai
saatnya, Tohpati mengalami kesulitan yang sama seperti yang
dialami oleh Untara di permulaan peperangan ini.
Sekali-sekali terdengar di induk pasukan, Tohpati menggeram
sambil menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah
memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia tidak
mau hangus terbakar oleh kemarahannya. Karena itu, ia
masih mempergunakan segenap kesadaran serta
perhitungan. la harus bertanan sampai matahari terbenam
meskipun seandainya harus menarik mundur pasukannya
benerapa langkah untuk beberapa kali. Tetapi ia harus
memelihara agar pasukannya tidak terpecah. Sebab dengan
demikian, maka akan hilanglah gairah segenap anak buahnya.
Hati mereka akan berkeriput sekecil nati tikus. Apapun yang
akan dilakukan besok, apabila hati anak buahnya masih tetap
terpelihara seperti hari ini, maka kemungkinan-kemungkinan
lain masih akan terjadi. Namun ia masih harus menghadapi kenyataan. Pasukan
Pajang dan Sangkal Putung mendesaknya seperti prahara.
Sumangkar yang melihat kekalahan-kekalahan yang semakin
lama semakin sering, menjadi kehilangan segenap keraguraguannya.
Bara yang menyala di dalam dadanya terasa
menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba terdengar ia bergumam,
"Tahanlah sesaat ngger, mudah-mudahan aku akan dapat
membantumu." Kata-kata Sumangkar itu, seakan-akan merupakan sebuah
perintah bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba terasa darahnya
bergolak. Usianya yang sudah lanjut itu sama sekali tidak
berpengaruh atas ilmu dan ketangkasannya. Bahkan semakin
tua ilmunya menjadi semakin masak, dan segala geraknya
menjadi semakin mapan. Demikianlah dengan sigapnya Sumangkar meloncat turun dari
bongkahan tanah padas. Kemudian diamat-amatinya
tongkatnya sambil bergumam kepada diri sendiri, "Masa itu
datang kembali." Dan kepada tongkatnya ia berkata, "Kau
sudah terlalu lama beristiratat. Marilah kita bekerja kembali.
Aku tidak akan membawamu bertempur melawan kelincikelinci
yang tidak berdaya dari sangkal Putung dan Pajang.
Pekerjaanmu hanya mempengaruhi tekad dan gairah
peperangan itu. Tolonglah aku, karena aku terpaksa,
menyingkirkan angger Untara."
Sumangkar itu kemudian mengangkat wajahnya. Di berbagai
tempat dilekukan-lekukan tanah yang dalam, masih dilihatnya
air yang tergenang sisa hujan semalam, meskipun karena
panas yang terik di sana-sini tampak debu yang berhamburan.
"Maafkan aku Angger Untara," desisnya, "aku terpaksa
melakukannya." Sumangkar itu kemudian menggigit bibirnya, seolah-olah ia
sedang mengusir parasaan lain yang mengganggunya.
Kemudian dengan dada tengadah ia melangkah menuju
kearena peperangan. Namun tiba-tiba langkah orang tua itu terhenti. Lamat-lamat ia
mendengar orang memanggilnya. Perlahan-lahan seperti
sebuah bisikan. "Adi Sumangkar. Adi, berhentilah sebentar."
Langkah sumangkar tertegun. Dipalingkannya wajahnya. Dan
ia benar-benar terkejut ketika dilihatnya seseorang duduk di
bawah sebuah gerumbul kecil di samping bongkahan tanah
padas tempatnya berdiri menyaksikan peperangan itu.
Tetapi Sumangkar itupun telah menyimpan pengalaman yang
banyak sekali di dalam dirinya, sehingga sesaat kemudian ia
sudah berhasil menguasai dirinya. Bahkan sambil tersenyum
ia menjawab, "Ah. Aku terkejut mendengar sapa Ki Sanak."
Orang itu mengangguk. "Maafkan kalau aku mengejutkanmu.
Bukan maksudku berbuat demikian, sehingga karena itu, aku
menyapamu perlahan-lahan."
"Ya, ya. Kau sudah berhati-hati. Tetapi orang-orang tua seperti
aku ini memang mudah menjadi terkejut. Bukankah begitu."
Orang itupun tersenyum. Orang itupun sudah setua
Sumangkar, bahkan setahun dua tahun di atasnya. Sambil
tersenyum ia menjawab, "Benar. Kau benar Adi. Orang-orang
tua mudah benar menjadi terkejut."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Apakah Ki Sanak memerlukan aku?"
"Ya," sahut orang itu. "Aku ingin mempunyai seorang kawan
untuk melihat peperangan itu."
"Baik," jawab Sumangkar, "aku akan mengawanimu. Tetapi
biarlah aku melihatnya dahulu dari dekat. Nanti aku akan
segera kembali." Orang tua itu menggeleng. Sambil masih duduk bersandar
sebongkah padas ia menggeleng, "Jangan nanti. Dan
sebaiknya Adi tidak usah pergi ke arena. Bukankah di sana
tempat anak-anak muda saling menyombongkan kecakapan
mereka memainkan senjata" Sama sekali bukan tempatnya
orang-orang tua seperti kita?"
Dada Sumangkar berdesir. Sebagai seorang yang telah cukup
makan asin pahit penghidupan, segera ia menyadari maksud
kata-kata itu. Karena itu maka kemudian iapun tersenyum. Ia
berdiri menghadap orang yang duduk bersandar padas itu.
Perlahan-lahan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Senyumnya membayangkan tanggapannya atas orang itu.
Sumangkar itupun segera mengerti siapakah yang duduk di
hadapannya. Orang itu pasti seorang yang pilih tanding
sehingga Sumangkar sama sekali tidak mengetahui
kehadirannya. Sikapnya dan kata-katanya yang tenang
meyakinkan. Sorot matanya yang tajam menembus langsung
ke pusat jantungnya. Dan ternyata sesaat kemudian sumangkar segera
mengetahui, meskipun ia belum pasti. Tetapi tidak ada orang
lain yang dapat disangkanya, orang yang duduk di hadapannya itu. Sehingga karena itu maka segera ia berkata, "Hem.
Bukankah Kakang yang menamakan diri Kiai Gringsing?" Orang itu mengangguk sambil tertawa kecil. Katanya, "Dari mana Adi tahu tentang aku?"
"O," sahut Sumangkar, "bukankah kita pernah bertemu"
Bukankah Kiai pernah mengunjungi daerah ini bersama dua
orang murid Kakang selagi aku sedang bermain-main dengan
K i Tambak Wedi bersama muridnya yang bernama Sidanti."
Orang tua itu, yang sebenarnya adalah Gringsing, tertawa
pula. Katanya, "Benar. Benar. Ingatanmu baik sekali Adi.
Ternyata meskipun saat itu malam tidak terlalu terang, kau
masih juga dapat mengenal aku."
Sumangkar tertawa pula. Namun hatinya berdebar-debar
menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja tumbuh. Sudah
tentu Kiai Gringsing akan berbuat sesuatu, apabila ia benarbenar
akan terjun ke dalam arena. Karena itu, maka ia harus
menentukan suatu sikap untuk mengatasi setiap
perkembangan keadaaan. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berpaling ke arah peperangan
yang masih saja berkobar dengan dahsyatnya. Sekali lagi
dadanya berdesir. Ia melihat beberapa bagian dari gelar
Dirada Meta telah terdesak-mundur. Gelar perang yang
tangguh itu benar-benar sudah berada dalam bahaya.
"Kiai," berkata sumangkar itu kemudian, "aku tidak banyak
mempunyai waktu. Apakah Kiai tidak berkeberatan apabila
Kiai duduk di sini sebentar" Aku akan pergi ke arena itu, ikut
serta dengan anak-anak Jipang bermain-main senjata."
Bagian 2 "Ah," sahut Kiai Gringsing perlahan-lahan. "Sudahlah. Jangan
melelahkan diri sendiri, marilah duduk di sini. Kita lihat
pertunjukan itu." "Kau aneh Kiai," berkata Sumangkar. "Pertunjukan itu terlalu
menjemukan bagiku. Apakah tidak demikian bagimu?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia melihat Sumangkar
berdiri tegak seperti sebatang tonggak yang kokoh. Karena itu
maka perlahan-lahan orang tua itupun berdiri. Banyak hal
yang dapat terjadi menilik sikap Sumangkar itu.
"Apakah yang akan kau lakukan atas permainan yang
menjemukan itu?" bertanya Ki Tanu Metir.
Sumangkar terdiam sesaat. Sekali lagi ia berpaling, dan sekali
lagi ia melihat pasukan Jipang yang terdorong mundur
beberapa langkah. "Kiai Gringsing," berkata Sumangkar, "aku adalah seorang
bawahan dari Macan Kepatihan. Apakah aku akan dapat
berdiam diri melihat pertempuran itu" Ternyata Angger Untara
memliliki kecemerlangan rencana untuk menghadapi Macan
Kepatihan. Sebelum ini aku mengagumi ketangguhan dan
ketangkasan pasukan Jipang di bawah pimpinan Tohpati.
Namun ketika akan melihat cara yang ditempuh dan
perhitungan-perhitungan yang matang dari Angger Untara,
maka aku benar-benar menundukkan kepala untuk itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kepalanya. Sahutnya,
"Lalu, bagaimana sekarang?"
"Aku harus ikut dalam permainan itu, Kiai berkeberatan?"
"O, tidak. Tentu tidak. Adalah menjadi kewajibanmu untuk
melakukannya. Bukankah kau seorang prajurit?"
Sumangkar menjadi bimbang mendengar jawaban itu. Ia tidak
dapat mengerti kenapa Kiai Gringsing seakan-akan
membiarkan untuk berbuat sesuatu atas pertempuran itu.
Namun Sumangkar bukan anak-anak yang mudah terpedaya
oleh ucapan-ucapan yang meragukan. Karena itu, maka ia
tidak akan dapat mempercayainya, seandainya Kiai Gringsing
dengan sukarela membiarkannya masuk ke dalam arena.
Meskipun demikian katanya, "Terima kasih Kiai. Agaknya Kiai
akan bersabar menunggu aku kembali dari arena."
"Nanti dulu, Adi," sahut Ki Tanu Metir.
Sumangkar tertegun sejenak. Tetapi ia sebelumnya telah
memperhitungkannya, bahwa pekerjaannya akan bertambah
berat. Ia tidak akan begitu saja dapat hadir di dalam
peperangan itu, apalagi memusnahkan Untara, selagi Kiai
Gringsing masih berada di tempat itu.
"Jangan tergesa-gesa."
"Waktuku hanya sedikit Kakang. Lihatlah, pasukan Jipang
telah terdesak jauh ke belakang garis benturan antara kedua
gelar itu." "Belum Adi. Mereka sekarang berada pada garis yang terjadi
pada saat kedua pasukan itu berbenturan. Kau hanya melihat
pasukan Jipang terus menerus mundur. Tetapi aku melihat
sejak pertempuran itu terjadi. Mula-mula pasukan Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putunglah yang terdesak sampai
jauh ke belakang garis itu. Sekarang mereka mendesak maju.
Namun belum terlalu jauh melampaui garis benturan itu"
"O, agaknya kau lebih dahulu sampai di sini Kiai?"
"Aku melihat sejak peperangan itu mulai. Sejak pasukan
Jipang muncul dari balik pepohonan hutan dangan panji-panji
kebesaran, rontek dan umbul-umbul yang megah itu. Aku
melihat pasukan Pajang dan anak-anak Sangkal Putung
datang dari arah yang lain dengan ketiga panji-panji yang
mereka agung-agungkan. Dan aku melihat bagaimana mereka
berbenturan." "Hem," Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kalau demikian, kau melihat kedatanganku pula Kakang."
"Ya, aku melihat kau berdiri di sini. Sekali-sekali kau meloncat
naik ke atas tanah padas itu. Sekali kau meloncat turun. Aku
tidak akan mendekatimu, kalau aku tidak tertarik pada tongkat
yang kau bawa itu. Tongkat itu mirip benar dengan tongkat
Macan Kepatihan." Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya, "Ya tongkat ini
memang mirip dengan tongkat Angger Tohpati."
"Apakah Tohpati membagikan tongkat semacam itu kepada
para prajuritnya?" Sumangkar menarik alisnya. Namun demikian ia tersenyum.
Jawabnya, "Pertanyaanmu membingungkan Kiai. Baiklah aku
mencoba menjawabnya. Tongkat ini adalah ciri dari perguruan
Kedung Jati. Aku kira Kiai sudah mengetahuinya pula."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,"
sahutnya. "Macan Kepatihan adalah murid Mantahun.
Saudara seperguruanmu."
"Tepat. Bukanlah wajar kalau aku membantunya" Selain
paman gurunya, aku adalah prajurit Jipang pula."
"Sudah aku katakan, bahwa adalah kewajibanmu membantu
Angger Tohpati. Namun aku ingin memberitahukan pula
kepadamu. Kalau Tohpati itu murid kakak seperguruanmu,
maka Untara adalah kakak dari muridku."
Sumangkar menarik nafas. Ia melihat kemungkinan yang ada
di hadapannya. Namun ia masih tersenyum, katanya, "Kalimat
yang disilang-balikkan. Membingungkan Kiai."
"Tidak terlalu sulit," jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum
pula. "Angger Tohpati adalah murid dari kakak seperguruanku.
Jelas?" "Ya, aku tahu."
"Kalau demikian, maka kewajibanmu atas Angger Tohpati
tidak akan jauh berbeda dari kewajibanku atas Angger
Untara," berkata Kiai Gringsing pula. "Namun aku tetap
berdiam diri melihat angger Untara terdesak dengan
sengitnya, sebelum laskar cadangan itu datang."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya
sudah pasti baginya. Tak ada jalan lain. Karena itu, maka lebih
baik segala sesuatunya segera terjadi daripada masih harus
menunggu perkembangan yang kecil sekali kemungkinannya.
Karena itu maka katanya, "Ada satu perbedaan Kiai. Aku
prajurit Jipang. Apakah Kiai prajurit Pajang atau laskar
Sangkal Putung" Seandainya demikian, maka kita berbeda
pendirian. Mungkin Kiai dapat berdiam diri terhadap Untara,
tetapi aku tidak akan dapat berbuat demikian. Aku harus
menyingkirkan Angger Untara."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya
wajah Sumangkar dengan tajamnya, namun sekali-sekali ia
berpaling memandangi arena pertempuran pula. Ia tahu benar
bahwa Sumangkar tidak akan dapat dicegahnya dengan katakata.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi ia masih ingin mencoba untuk memperpanjang
waktu sehingga Sumangkar akan terlambat. Kiai Gringsing
itupun melihat pula, bahwa pasukang Jipang sudah semakin
lemah dan terus menerus terdesak mundur.
Maka katanya sambil tersenyum, "Jangan begitu Adi. Jangan
berkata sekeras itu. Bukankah kita, yang tua-tua ini sudah
tidak pantas ikut bermain-main dengan senjata" Sebaiknya
kita duduk saja di sini sambil melihat kalau Adi setuju, marilah
kita bertaruh, siapakah yang akan menang."
"Apakah yang akan kita pertaruhkan?" bertanya Sumangkar.
"Apakah Kiai, mempunyai barang-barang berharga?"
"Apa saja dapat kita pertaruhkan," sahut Kiai Gringsing, "ikat
kepala, kain panjang kita, atau timang kita?"
"Bagaimana kalau aku usulkan Kiai?" berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum sambil menjawab, "Boleh. Barangkali Adi
mempunyai usul yang baik."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Taruhan kita adalah anak-anak muda itu. Macan Kepatihn
dan Untara. "He?" bertanya Kiai Gringsing sambil mengusap keningnya,
"bagaimana mungkin" Kalau kita mengadu ayam, maka
mereka adalah ayam jantan kita masing-masing."
"Permainannyalah yang harus kita tentukan," potong
Sumangkar. "Oh," Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sumangkar sudah tidak akan dapat diperlunak lagi. Ternyata
orang itu berkata, "Marilah kita yang berlomba, bukan hanya
sekedar membuat taruhan."
"Apakah. perlombaan itu?"
"Kita berlomba lari sampai ke arena," ajak Sumangkar.
Kiai Gringsing menggeleng. "Aku bukan seorang pelari. Tetapi
kalau Adi akan berlari, mungkin aku akan mencoba
menangkanp ujung kainmu."
Orang-orang tua itu sudah sampaj pada kemungkinan terakhir,
menyelesaikan soal mereka dengan cara yang tak mereka
kehendaki. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain.
Mereka ternyata telah berada dalam puncak kemungkinan itu.
"Kiai Gringsing," berkata Sumangkar kemudian, "Kiai telah
pernah melihat aku bermain-main melawan Ki Tambak Wadi,
tetapi aku belum pernah melihat, bagaimana Kiai melontarkan
kaki. Karena itu, maafkan aku. Aku akan mulai dengan usulku.
Terserahlah kepada Kiai, apakah Kiai akan turut serta
berlomba lari atau tidak."
Sumangkar tidak menunggu jawaban lagi. Segera ia melontar
surut sambil memutar tubuhnya. Ia mengharap Kiai Gringsing
akan meloncat mencegatnyat. Tetapi sumangkar menjadi
kecewa, Kiai Gringsing belum beranjak dari tempatnya,
katanya, "Apakah aka harus mengejarmu?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sambil menahan
gelora di dadanya ia bertanya, "Kenapa Kiai tidak mengejar
aku dan menangkap kainku seperti kata Kiai."
"Aku akan mencobanya kalau kau betul-betul telah mulai
dengan lomba itu." "Hem," desis Sumangkar. Ia menjadi jengkel melihat
ketenangan Kiai Gringsing. "Kiai yakin benar akan perhitungan
Kiai" Aku pasti tidak akan berlari terus meninggalkan Kiai
dengan membiarkan diriku membalakangi Kiai. Begitu" Aku
tidak akan membiarkan punggungku tersentuh oleh tangan
Kiai. Karena itu Kiai tidak perlu mengejar aku. Tetapi
bagaimana seandainya aku membuat perhitungan pula,
bahwa Kiai tidak akan mengejar dan mencegat aku, lalu aku
benar-benar berlari ke arena yang semakin parah bagi Jipang
itu?" "Adi," berkata Kiai Gringsing. "Sebenarnya apa yang akan kita
lakukan itu tidak akan ada gunanya. Seandainya kita membuat
permainan sendiri, maka permainan kita tidak akan
mempengaruhi pertempuran itu. Betapapun lemahnya satu di
antara kita, tetapi kita pasti akan memerlukan waktu. Dan
lihatlah kini. Betapa laskar Jipang telah terdesak semakin
jauh." Dada Sumangkar bergetar mendengar kata-kata Kiai
Gringsing itu. Ia dapat mengerti dan ia sependapat pula.
Menurut perhitungan, seandainya Kiai Gringsing memiliki ilmu
yang tidak terpaut banyak daripadanya, maka waktu yang
diperlukan pasti akan lebih banyak dari waktu yang diperlukan
oleh pasukan Pajang untuk memecah barisan Macan
Kepatihan. Tetapi kadang-kadang perasaan seseorang tidak
sejalan dengan pikirannya. Meskipun Sumangkar
menyadarinya, namun apakah ia akan duduk diam dan
menonton pasukan Jipang terpecah belah tanpa berbuat
sesuatu" Dan benarkah bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu
yang cukup baik untuk bertahan cukup lama.
Akhirnya Sumangkar tidak lagi ingin membuat perhitunganperhitungan.
Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Karena itu maka
katanya, "Kiai, aku kagum melihat sikap dan ketenangan Kiai.
Tetapi aku tidak akan terpengaruh oleh apapun. Aku tetap
dalam pendirianku. Angger Untara harus dilenyapkan supaya
prajurit Pajang menjadi kehilangan pegangan, dan bertempur
tanpa ikatan." "Jangan supaya aku tidak berusaha meniadakan Macan
Kepatihan pula." "Terserah kepadamu. Aku tetap akan melakukan rencanaku."
Kiai Gringsing menarik nafas. Setapak ia maju, ia tidak akan
membiarkan Sumangkar berlari ke arena, dan langsung
membunuh Untara. Melihat Kiai Gringsing bergerak, Sumangkar tiba-tiba
merenggangkan kakinya. Tongkatnya digenggamnya dengan
tangan kanannya dan sinar matanya tajam hinggap di wajah
Kiai Gringsing. Kiai Gringsing kini sudah tidak tersenyum lagi. Ia pernah
melihat Sumangkar bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi
Sumangkar tidak mempergunakan senjatanya yang
mengerikan itu. Kini senjata itu berada dalam genggamannya.
Karena itu maka nilai orang itu pasti akan berbeda.
Sumangkar kali ini pasti akan berada di puncak
kemampuannya. Kedua orang tua itu, Kiai Gringsing dan Sumangkar kini telah
berdiri berhadapan. Keduanya adalah orang-orang yang
berfikir bening dan berilmu hampir mumpuni. Namun kini
mereka terpaksa berdiri dalam kesiagaan yang paling tinggi.
"Adi Sumangkar, apakah kita orang tua-tua inipun terpaksa
tidak tahu diri dan saling bertengkar seperti anak-anak?"
bertanya Kiai Gringsing. "Aku tidak ingin itu terjadi Kiai, bukankah aku hanya ingin
menyingkirkan Untara dari peperangan itu," sahut Sumangkar.
"Baiklah. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Bukankah sudah
aku katakan, bahwa Untara adalah kakak dari murid
perguruanku?" "Terserah kepada Kiai. Aku sudah siap."
Kiai Gringsing kemudian menarik ujung kainnya dan diselipkan
di ikat pinggangnya. Kain itu adalah kain gringsing. Perlahanlahan
ia mengambil sesuatu dari bawah bajunya, melingkar di
perutnya. "Senjata Sumangkar adalah senjata pilihan," desisnya di
dalam hati. "Aku harus berhati-hati."
Tiba-tiba di tangan Kiai Gringsing itupun tergenggam sebuah
cambuk yang pendek namun berjuntai panjang. Itulah
senjatanya yang paling berbahaya.
Sumangkar mengerutkan keningnya melihat senjata itu. Ia
mencoba mengingat-ingat. Perguruan manakah yang
mempunyai ciri khusus sebuah cambuk yang berjuntai
panjang, kira-kira satu setengah kali panjang pedang biasa.
Tetapi Sumangkar belum berhasil menemukannya.
Bagian 3 "Hem," katanya dalam hati, "orang semacam Kiai Grinsing itu
pasti seorang yang berbahaya sekali. Meskipun aku belum
melihat geraknya, tetapi agaknya ia lebih berbahaya dari Ki
Tambak Wedi." Dalam pada itu Kiai Gringsing pun berkata di hatinya,
"Alangkah tinggi tekad Sumangkar. Dan alangkah tabah
hatinya menghadapi persoalan yang semakin gawat ini.
Agaknya ia masih mencoba untuk mengatasi persoalan ini.
Persoalan antara dirinya sendiri dan persoalan anak-anak
Jipang itu." Dan ketika tiba-tiba Sumangkar sorak di medan perang, ia
berpaling sekali lagi. Dilihatnya pasukan Jipang terdesak
dalam jarak yang cukup panjang. Meskipun kemudian mereka
berhenti dan mencoba bertahan lagi, namun Sumangkar
semakin menjadi cemas bahwa pasukan itu segera akan
pecah sebelum senja. Tanpa disengajanya, tiba-tiba ia melangkah maju mendekati
Kiai Gringsing. "Tak ada pilihan lain," desisnya.
Kiai Gringsing mengangguk, "Ya tak ada pilihan lain."
"Apakah Kiai siap?" bertanya Sumangkar sambil
menggerakkan ujung tongkatnya yang kuning dan berbentuk
tengkorak. Kiai Gringsing mengangguk. "Aneh" desisnya, "aku
bersembunyi karena aku takut Angger Untara membawa aku
serta dalam peperangan itu. Tetapi tiba-tiba aku terpaksa
menghadapi seorang lawan."
"Jangan terlalu merendahkan diri Kiai," sahut Sumangkar,
"marilah, sebelum anak-anak itu selesai bermain-main."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan
dirinya menyambut segala kemungkinan.
Sumangkar pun kemudian maju selangkah. Kini tongkatnya
telah bergerak-gerak. Dan ketika ia mendengar sekali lagi
sorak yang gemuruh maka tiba-tiba ia meloncat menyerang
Kiai Gringsing. Kiai Gringsing telah bersiap menyambut serangan itu.
Selangkah meloncat ke samping dan tiba-tiba ia mengerakkan
tangannya. Ujung cambuknya bergetar cepat sekali
menyambar lawannya yang melontar di sampingnya.
Sumangkar benar-benar terkejut melihat ujung cambuk yang
seakan-akan mengejar untuk mematuk tengkuknya. Cepat ia
menghindar sambil merendahkan dirinya. Tetapi sekali lagi ia
terkejut, ujung cambuk yang tidak menyentuhnya itu meledak
di atas kepalanya seperti ledakan petir di langit.
Sumangkar menggeram. Sekali lagi ia meloncat ke samping
untuk mengambil jarak yang cukup. Namun Sumangkar
adalah orang yang cukup cekatan mengimbangi gerak Kyai
Gringsing. Demikian ia berjejak di atas tanah, demikian ia
melontar menyusup ke dalam batas pertahanan lawannya.
Tongkatnya terayun deras sekali ke arah kaki Kiai Gringsing.
Kini Kiai Gringsing-lah yang terkejut. Tetapi ia adalah orang
yang cukup berpengalaman menghadapi setiap kemungkinan.
Dengan lincahnya ia meloncat ke samping dan dengan
lincahnya pula ia menggerakkan senjatanya.
Sumangkar yang gagal mengenai lutut Kiai Gringsing cepatcepat
melontar surut menghadapi kejaran ujung cambuk
lawannya yang seakan-akan mempunyai biji mata. Hanya
karena ketrampilannya maka ia berhasil melepaskan diri dari
sengatan-sengatan ujung cambuk itu.
Demikian mereka terbenam dalam pertempuran yang semakin
lama semakin sengit. Orang-orang tua itu bertempur dalam
jarak yang tidak demikian jauhnya dari garis pertempuran.
Sekali-sekali mereka mendengar sirak yang gemuruh dari
kedua belah pihak. Pasukan Jipang yang walaupun selalu
terdesak mundur namun sekali-sekali mereka masih juga
menjumpai kemenangan-kemenangan kecil. Bahkan sekalisekali
mereka juga berhasil maju selangkah dua langkah.
Tetapi sesaat kemudian mereka terdesak kembali.
Sorak-sorai yang gemuruh itu seakan-akan adalah sorak-sorai
para penonton yang menyoraki kedua orang-orang trua itu.
Bagaimanapun juga maka suara-suara itu telah
mempengaruhi perasaaan mereka. Seolah-olah para prajurit
itu melihat bahwa sekali-sekali Kiai Gringsing terpaksa
berloncatan surut namun disaat yang lain Sumangkar terpaksa
berguling-guling menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing.
Pertempuran di kedua arena itu berlangsung terus meskipun
sifatnya sangat berbeda. Di satu lingkaran, mereka bertempur
dalam garis perang yang panjang. Benturan antara dua
kekuatan yang besar dalam gelar yang sempurna. Masingmasing
dipimpin oleh Senapati yang cukup tangguh dan
beberapa senapati pengapit.
Sedangkan di arena kecil, tidak begiitu jauh dari garis perang
itu, dua orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya,
bertempur dengan serunya pula. Keduanya mampu bergerak
melampaui kecepatan gerak orang kebanyakan. Di antara
bayangan yang berloncatan mengeletarlah suara letupanletupan
cambuk Kiai Gringsing dan kilatan cahaya keputihputihan
dari tongkat baja kuning Sumangkar. Sekali-sekali
cahaya kekuningan seleret-seleret menyambar seperti pijar
bara api. Kedua arena pertempuran yang berbeda bentuk dan sifat itu
semakin lama menjadi semakin seru. Dan matahari pun
semakin lama semakin menurun disisi langit sebelah Barat.
Untara yang mempimpin seluruh kekuatan Pajang dan
Sangkal Putung melihat bahwa ia akan dapat mengatasi
keadaan. Karena itu, semakin besarlah usahanya untuk
segera mengakhiri peperangan sebelum korban menjadi
semakin lama semakin banyak di kedua belah pihak.
Dengan penuh tanggung jawab ia bertempur melawan Macan
Kepatihan sambil sekali-sekali mengawasi setiap sudut
pertempuran. Ketika ia yakin bahwa kedudukan sayapsayapnya
pun menjadi bertambah baik, maka seperti angin
taufan ia memperkuat serangan-serangannya atas Macan
Kepatihan. Sekali-sekali Macan Kepatihan itu menggeram dan
menggertakkan giginya. Semakin lama disadarinya, bahwa
pasukannya menjadi semakin kalut. Satu-satu korban
berjatuhan dan sekali-kali ia mendengar pekik dan keluh
kesah, bahkan sekali sebuah jeritan melengking menyayat
hatinya yang parah. Widura pun melihat keadaan itu. Kesempatan ini tidak boleh
lampau. Ia tidak boleh menunggu anak-anak muda Sangkal
Putung yang dating kemudian menjadi kelelahan dan dengan
demikian kekuatan seluruh pasukannya menjadi surut
kembali. Karena itu, maka ia pun segera memperketat
tekanan atas sayap lawan. Pedangnya yang berat terayunayun


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti baling-baling. Lawannya, Alap-alap Jalatunda
yang bertempur bertiga melawannya dengan gigih. Tetapi
Widura adalah seorang Senapati yang berpengalaman
menghadapi setiap keadaan medan, sehingga dengan
mudahnya ia berhasil mempersempit kesempatan lawannya.
Di sayap yang lain, Agung Sedayu gigih melawan Sanakeling.
Dalam pertempuran itu Sanakeling terpaksa mengakui, anak
yang masih sangat muda, adik Untara itu tidak dapat
diabaikannya. Bahkan beberapa kali ia mengalami kesulitan
dengan unsur-unsur gerak yang aneh dan hampir tak dapat
dimengertinya. Untunglah bahwa Sanakeling adalah prajurit
sejak mudanya. Karena itu, maka dengan bekal kemampuan
dan pengalamannya ia masih tetap bertahan mengimbangi
kecepatan bergerak Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu
benar-benar telah lupa akan kewajibannya yang lain. Ia
merasa bahwa ia berada dalam keadaan sendiri, lepas dari
kewajiban-kewajiban lainnya. Untunglah Hudaya masih tetap
berada disampingnya meskipun kian lama ia menjadi semakin
pucat dan lemah. Darah masih saja mengalir dari lukanya
meskipun tidak begitu deras. Meskipun demikian ia tidak dapat
meninggalkan arena, karena ia pun menyadari sepenuhnya,
bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang
mampu bertempur dengan baik, tetapi ia belum seorang
Senapati yang baik, yang melihat pertempuran dalam
keseluruhan. Demikian tegalan kering itu telah menjadi kancah pertempuran
yang dasyat.Tanah yang telah menjadi merah berlumuran
darah, menghamburkan debunya menjulang tinggi ke langit.
Matahari menjadi suram karenanya, sesuram wajah anak
gadis yang ditinggalkan kekasihnya ke medan pertempuran.
Kilatan cahaya yang terpantul di ujung-ujung senjata masih
gemerlapan. Panji-panji, rontek dan umbul-umbul masih tegak
di kedua pihak meskipun tidak lagi semegah semula. Namun
angin yang semakin kencang telah menyentuh-nyentuhnya
dan melambaikan daun-daun rontek dan umbul-umbul. Panjipanji
yang megah berkibaran seperti tangan yang
menggelepar menyentak-nyentak, seolah-olah tangan seorang
senapati sedang memberi aba-aba.
Agak jauh dari mereka, Sumangkar masih bertempur melawan
Kiai Gringsing dengan gigihnya. Kedua orang tua yang telah
kenyang makan pahit manis perkelahian itu, bertempur
dengan cara mereka sendiri.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat melepaskan
diri dari pengaruh peperangan yang berlangsung di sebelah.
Sorak-sorai yang gemuruh dan gerakan-gerakan surut dari
salah satu pihak dari antara mereka.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Sumangkar melontar mundur
beberapa langkah sambil berdesis, "Tunggu Kiai. Aku ingin
melepaskan diri sebentar."
Kiai Gringsing mendengar desis itu. Ia adalah seorang yang
dapat menghadapi lawan dengan hati lapang. Ia tidak mau
berbuat curang selagi lawan dalam keadaan yang tidak wajar,
karena itu demikian ia mendengar desis Sumangkar itu, ia pun
segera menghentikan serangannya. Dan bahkan terdengar ia
bertanya, "Apa yang mengganggumu Adi?"
Sumangkar tidak menjawab. Namun ia tahu pasti bahwa Kiai
Gringsing akan menghargai nilai-nilai kejantanannya,
sehingga ia tidak akan menyerangnya selagi ia tidak bersiaga.
Kini ia berdiri tegak bagaikan patung batu. Nafasnya yang
tersengal-sengal satu-satu, meluncur lewat lubang-lubang
hidungnya. Ia mengakui kini bahwa Kiai Gringsing adalah
seorang yang luar biasa. Seorang yang tidak kalah nilainya
dari Ki Tambak Wedi yang merasa dirinya tidak terlawan.
Namun ternyata orang yang tidak dikenal ini sama sekali tidak
berada di bawah tingkat ilmu Ki Tambak Wedi. Bahkan diamdiam
ia mengakui, bahwa ia pasti tidak akan dapat
mengalahkannya. Tetapi bukan itulah yang mendebarkan jantungnya. Bahkan di
luar sadarnya ia berkata, "Lihatlah Kiai, pasukan Jipang
terdorong jauh ke belakang."
"Ia," jawab Kiai Gringsing singkat.
Namun dengan serta merta terloncatlah dari mulut Sumangkar
yang gelisah, "Umbul-umbul itu kini sudah tidak tegak lagi."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia melihat apa yang
dikatakan oleh Sumangkar. Pasukan Jipang terdorong jauh.
Namun tiba-tiba garis perang itu terhenti bergeser. Kiai
Gringsing dan Sumangkar melihat apa yang terjadi. Macan
Kepatihan sedang berusaha mempersempit gelarnya.
"Bukan main," guman Kiai Gringsing.
Sumangkar berpaling, "Apa yang bukan main Kiai"
"Murid kakak seperguruanmu," jawab Kiai Gringsing, "Ia
berhasil menemukan cara untuk mengurangi tekanan
lawannya." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tohpati telah
berusaha memperpendek garis perangnya.
Dengan kekuatan yang lebih baik, seorang-seorang, ia
mengharap dapat mengurangi kekalahan-kekalahan yang
selama ini dideritanya. Macan Kepatihan mengharap, bahwa
dalam keadaan yang demikian, anak-anak muda Sangkal
Putung tidak akan mendapat kesempatan yang baik. Bahkan
ketika pertempuran itu baru mulai, mereka menjadi
kebingungan untuk mengambil tempat.
Tetapi Widura di sayap kiri bukan orang yang mudah
dikelabuhi. Ketika ia melihat gelar lawannya menyempit,
segera ia menebarkan ujung sayapnya, mencoba melingkar
dan mencapai garis serangan dari belakang gelar lawannya.
Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak membiarkannya, sehingga
terpaksa ujung pasukannyapun menebar pula mencegah
pasukan Widura yang ingin memotong garis di belakang gelar.
Tohpati menggeram melihat cara Widura melawan gelarnya.
Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Bahkan ia pun akan
mengambil sikap serupa seperti apa yang dilakukan oleh Alapalap
Jalatunda apabila ia menghadapi keadaan yang serupa.
Tetapi Tohpati tidak juga dapat bertahan lebih lama lagi.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukannya telah
benar-benar terdesak jauh ke belakang. Ketengah-tengah
padang rumput yang terbentang di sisi hutan tempat
persembunyian Macan Kepatihan.
Sekali-sekali Macan Kepatihan masih mencoba meneriakkan
aba-aba. Namun gunanya hampir tidak ada sama sekali.
Pasukannya telah benar-benar menjadi payah dan kehilangan
kesempatan. Betapa Sanakeling mencoba menekan
lawannya, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya
dengan baik. Bahkan sekali-sekali terdengar Sanakeling
mengumpat dengan kata-kata yang kotor.
Kini Macan Kepatihan sudah tidak dapat berbuat lebih banyak
lagi. Hatinya menyala seperti nyala matahari di langit. Tetapi
banyak hal yang telah mengganggunya selama ini. Ketika ia
berkesempatan menebarkan pandangan matanya sesaat
kepada pasukannya maka hatinya berdesir. Pasukannya
benar-benar telah menjadi payah. Kalau Untara berhasil
memecah pasukannya itu segera sebelum gelap dan masih
jauh dari hutan itu maka pasukannya kali ini akan benar-benar
hancur. Kesempatan untuk mengundurkan diri dengan
selamat, sangat kecil. Pasukannya pasti akan diremuk
lumatkan saat mereka mencoba mengundurkan dirinya.
Korban pasti akan bertimbun-timbun dan untuk seterusnya
akan sulit baginya untuk menyusun kekuatan kembali.
Karena itu, maka ia harus berjuang sekuat-kuat tenaga untuk
bertahan sampai matahari terbenam atau mundur dalam gelar
yang teratur sampai ke tepi hutan itu.
Tetapi Untara bukan tidak dapat menebak maksud itu. Ia tahu
benar bahwa Macan Kepatihan sedang berusaha mencari
kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan
pasukannya. Karena itulah justru beberapa kali terdengar ia
meneriakkan aba-aba, aba-aba yang sebenarnya hanya
merupakan cara-cara yang dapat mempengaruhi daya dan
gairah bagi prajurit-prajuritnya.
Sumangkar yang melihat peperangan itu menjadi semakin
tegang. Ia melihat umbul-umbul dan rontek, bahkan panji-panji
Jipang kadang-kadang telah tidak tegak lagi. Sekali-sekali ia
melihat umbul-umbul itu condong bahkan hampir roboh
didorong oleh geseran garis perang. Sekali-sekali ia melihat
sebuah rontek dari antara sekian banyak rontek, terseret jauh
di belakang pasukan Jipang yang sedang bertahan matimatian.
Bahkan semakin lama, Sumangkar tidak dapat melihat
umbul-umbul dan rontek, serta panji-panji Jipang masih
berada di tempat yang seharusnya bagi sebuah gelar Dirada
Meta. Bagian 4 Sementara itu peperangan menjadi semakin riuh. Hati Macan
Kepatihan menjadi semakin cemas, matahari baginya berjalan
terlampau lambat. Bahkan seakan-akan telah berhenti di
langit. Sedang korban di pihaknya, satu-satu berjatuhan tak
henti-hentinya. Di sayap kirinya, betapapun Sanakeling
berusaha, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya.
Kini yang ditempuh oleh Macan Kepatihan adalah cara yang
kedua. Perlahan-lahan pasukannya bergeser surut terusmenerus.
Mereka mencoba mendekati hutan yang sudah
menjadi semakin dekat. Pasukan itu harus mundur dalam
gelar yang teratur apabila mereka masih ingin sebagian besar
dapat menyelamatkan diri. Meskipun dengan demikian, korban
akan tetap berjatuhan. Tetapi Untara tidak dapat membiarkannya. Segera ia memberi
pertanda kepada beberapa orang penghubungnya. Dan
naiklah panji-panji pimpinan di belakangnya dengan gerakgerak
yang khusus diulang-ulang. Gerak dari panji-panji itu
adalah perintah, gelar dari pasukan Pajang dan Sangkal
Putung harus segera berubah. Gelar Sapit Urang.
Tampaklah beberapa perubahan di dalam gelar Pajang.
Macan Kepatihan yang melihat perubahan itu, mencoba
mempergunakan kesempatan. Dengan kemarahan yang
menyala-nyala ia menyerang langsung ke induk pasukan
berserta beberapa orang pengiringnya. Namun induk pasukan
itu telah siap menerimanya, sehingga usahanya itu sama
sekali tidak berarti. Dengan kemarahan yang seakan-akan meledakkan dadanya
ia melihat Widura merubah sikap sayapnya menjadi sebuah
sapit raksasa, yang siap memotong usaha Dirada Meta itu
mengundurkan dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak cepat
mengatur sayapnya, namun Hudaya telah membantunya.
Meskipun dalam saat perubahan itu terjadi, sayap kanan
terpaksa surut beberapa langkah. Sehingga gelar Untara
menjadi agak condong. Namun sesaat kemudian sapit kanan
itupun segera dapat mengimbangi sapit yang lain, melingkar
dalam usaha pencegahan pasukan Jipang tenggelam ke
dalam hutan. Darah Macan Kepatihan seakan telah mendidih melihat sikap
gelar pasukan Untara. Terdengar ia menggeram keras sekali.
Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar marah-marah saja. Ia
harus cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan orangorangnja.
Macan Kepatihan sesaat menjadi bimbang. Namun tiba-tiba
melonjaklah di dalam benaknya, beberapa persoalan yang
beberapa saat yang lampau mempengaruhi perasaannya.
Pertemuannya dengan orang tua di pinggir sungai. Beberapa
persoalan tentang orang-orangnya sendiri, kejemuan, dan
berpuluh-puluh macam persoalan lagi. Apakah ia masih harus
melihat pertentangan yang terjadi itu berkepanjangan tanpa
ujung dan pangkal" Apakah ia masih harus melihat bencana
menimpa rakyat Demak yang sedang dilanda oleh perpecahan
yang semakin dahsyat" Pembunuhan-pembunuhan liar,
perampokan, pemerasan, perkosaan terhadap peradaban.
Dan yang terakhir terngiang kembali adalah kata-katanya
sendiri, " Kali ini adalah kali yang terakhir."
Gigi Macan Kepatihan gemeretak. Tetapi ia telah menemukan
keputusan di dalam dirinya. Pertempuran ini harus merupakan
pertempuran yang terakhir bagi pasukannya. Kalau umbulumbul,
rontek, dan panji-panji Jipang itu akan roboh di arena
ini, biarlah umbul-umbul, rontek, dan pandji-panji itu tidak akan
bangkit kembali. Yang tidak akan muncul lagi dalam
percaturan sejarah kerajaan Demak. Kalau pasukannya mau
hancur, hancurlah sekarang. Persoalan akan segera selesai.
Kejemuan dan ketidak-pastian bagi sisa anak buahnya akan
hilang. Tatapi apakah ia harus mengorbankan orang-orangnya"
Orang-orang yang di antaranya sama sekali tidak ikut
bertanggung jawab atas pertentangan antara Jipang dan
Pajang" Orang-orang yang hanya terseret oleh arus
permusuhan tanpa tahu sebab-sebabnya" Bahkan orangorang
yang sama sekali tidak mengenal siapakah Arya
Penangsang, dan siapakah Adipati Adiwijaya yang juga
bernama Jaka Tingkir di masa kecilnya"
Semua itu bergolak di dalam kepala Tohpati justru pada saatsaat
yang sangat berbahaya. Pada saat-saat sapit-sapit
raksasa dari gelar Sapit Urang itu bergerak melingkar untuk
mencoba mengurungnya dalam lingkaran maut.
Dalam keadaan yang cukup baik, Macan Kepatihan dapat
segera merubah gelarnya dalam bentuk yang lain, yang
sanggup menghadapi lawan dari setiap arah, dan sanggup
mematahkan kepungan di setiap sisi. Gelar Cakra Byuha.
Gelar sebuah lingkaran bergerigi. Namun dalam keadaan
yang telah payah benar itu, Macan Kepatihan tidak melihat
manfaatnya. Bahaya setiap usaha merubah gelar akan
memberi peluang bagi lawannya di saat-saat perubahan itu
terjadi. Tetapi Macan Kepatihan, seorang Senopati Jipang
yang terpercaya itupun tidak akan dapat mengorbankan
orang-orangnya. Sumangkar melihat pertempuran itu dengan dada yang
berdebar-debar. Setiap kali ia melihat sebuah umbul-umbul
roboh, setiap kali terasa segores luka membekas di dalam
hatinya. Ialah yang pernah menyelamatkan umbul-umbul, rontek dan
panji-panji Jipang dari kepatihan ketika Jipang dipukul hancur
oleh pasukan Pajang dibawah pimpinan Ki Gade Pemanahan.
Kini ia menyaksikan satu demi satu umbul-umbul, rontek dan
panji-panji itu roboh. Karena itulah maka jantungnya serasa
dibelah dengan sembilu. Namun ia kini tidak dapat
menghindari kenyataan. Di sampingnya berdiri seorang yang
tidak dikenal sebelumnya, namun orang itu pasti akan dapat
mencegahnya, apa saja yang akan dilakukan.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika sekali lagi ia melibat sebuah umbul-umbul roboh maka
tanpa sesadarnya ia berdesis, "Harapan itu kini telah
tenggelam sama sekali seperti tenggelamnya umbul-umbul
dan rontek itu di dalam arus peperangan."
Kiai Gringsing yang mendengar desis itu maju selangkah.
Kesan permusuhan pada wajah kedua orang itu kini sama
sekali tidak berbekas. Bahkan dengan nada yang serupa Kiai
Gringsing berkata, "Ya. Pasukan Jipang itu tidak akan dapat
ditolong lagi." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Angger Macan Kepatihan kali ini mengambil tindakan yang
akibatnya dapat berbahaya sekali, seperti apa yang ternyata
sedang terjadi kini."
"Ya," sahut Kiai Gringsing.
Sesaat keduanya terdiam. Namun wajah-wajah mereka kini
menjadi tegang. Mereka sedang menyaksikan saat-aat
terakhir dari peperangan itu. Sumangkar hatinya dicengkam
oleh kecemasan, kepedihan dan kepahitan yang tiada taranya.
Sedang Kiai Gringsing sedang mencemaskan sikap para
prajurit Padjang. Apakah mereka cukup berjiwa besar
menghadapi kehancuran lawannya" Apakah mereka tidak
akan kehilangan diri mereka sebagai manusia yang
mengagungkan kemanusiaan sebagai ungkapan bakti mereka
kepada Sumber Hidup mereka "
Sebenarnyalah saat itu Macan Kepatihan telah melakukan
tindakan terakhir untuk menyelamatkan orang-orangnya.
Dengan lantang ia berteriak, memerintahkan segenap
pasukannya menarik diri ke dalam hutan yang sudah tidak
terlampau jauh. Mereka diberi kesempatan selagi sapit
raksasa lawan itu belum selesai dalam usaha mereka
mengepung pasukan yang sedang payah.
Sanakeling menggeram melihat isyarat itu. Tetapi ia tidak
mampu berbuat apapun juga. Iapun harus meyakini, bahwa
kali ini mereka tidak akan berhasil mengalahkan laskar
Sangkal Putung yang bertempur bersama-sama dengan para
prajurit Pajang. Karena itu maka perlahan-lahan ia membuat
gerakan-gerakan untuk mempersiapkan pengunduran
pasukannya dengan hati-hati dan penuh bahaya. Sebab
apabila gerakan mundur ini gagal pula, maka akan tumpaslah
segenap anak buahnya. Tetapi Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Tohpati dengan
tongkat baja putihnya ia mengamuk sejadi-jadinya. Seperti
orang yang kehilangan kesadaran, Macan Kepatihan
bertempur dengan gigihnya. Bahkan ia sama sekali tidak
berkisar dari tempatnya meskipun laskarnya telah surut
beberapa langkah. "Raden Tohpati," teriak Sanakeling yang mencemaskan.
"Cepat mundur!" teriak Tohpati tidak kalah kerasnya.
Sanakeling tidak tahu maksud Macan Kepatihan yang sama
sekali tidak ada tanda-tanda untuk menarik dirinya mengikuti
laskarnya. "Cepat!" teriak Macan Kepatihan itu kemudian. "Kalau kau
terlambat, maka kaulah yang akan aku penggal lehermu."
Sanakeling menggigit bibirnya. Kedua senjatanya masih
bergerak dengan cepatnya, melindungi dirinya. Berkali-kali ia
meloncat menyelamatkan diri dari terkaman Agung Sedayu
yang menjadi semakin garang, sehingga sekali-sekali
Sanakeling mengeluh di dalam hati, "Gila adik Untara ini."
Namun perintah Macan Kepatihan yang terakhir benar-benar mengejutkannya. Bahkan Untara pun terkejut pula mendengar perintah Macan Kepatihan yang keras bagi
anak buahnya. Tetapi Sanakeling tidak berani melawan perintah itu.
Perlahan-lahan ia menarik
dirinya di antara pasukannya
mengundurkan diri ke tepi
padang yang berbatasan dengan hutan. "Licik," geram Untara. Namun ia tidak yakin akan
perkataannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Macan
Kepatihan adalah suatu sikap wajar yang mencerminkan
kematangannya dalam olah peperangan. Apabila terasa
bahwa pasukannya tidak mungkin bertahan lebih lama lagi,
maka pasti dicari jalan untuk menyelamatkan diri.
Untara segera mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh
Macan Kepatihan itu. Karena itu maka segera jatuhlah
printahnya, untuk memecah pasukan lawan sebelum berhasil
menyembunyikan diri di balik pepohonan dan lenyap ke dalam
hutan. Pasukan Pajang pun serentak mendesak maju. Mereka
mencoba untuk mengurungkan usaha Macan Kepatihan
dengan menggagalkan gerak mundur yang teratur itu.
Betapa beratnya usaha yang dilakukan oleh Macan Kepatihan
dan senapati-senapati bawahannya. Tekanan prajurit Pajang
semakin terasa menekan hampir tak tertahankan. Hanya
kesadaran mereka, bahwa apabila gelar mereka terpecah
sebelum mereka mencapai hutan, berarti kehancuran mutlak,
itulah yang masih tetap mengikat mereka dalam satu
kesatuan. Macan Kepatihan melihat, tekanan yang semakin lama
semakin menjadi pepat. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba ia
melontar jauh ke samping dan segera melepaskan Untara dari
lingkaran perkelahian. Dengan garangnya ia berloncatan
melindungi pasukannya yang masih mencoba mencapai jarak
yang semakin dekat. "Gila," geram Untara. Dengan satu ayunan tongkat, ia melihat
dua prajuritnya jatuh terkapar di tanah. Karena itu alangkah
marahnya Senapati Pajang itu, dengan serta merta ia
meloncat mengejar Macan Kepatihan. Tetapi Macan
Kepatihan selalu berusaha menjauhinya. Di antara prajurit
Pajang ia berloncatan sambil memutar senjatanya untuk
menahan arus pasukan Pajang yang menjadi semakin deras.
Setiap kali ia meluncur seperti tatit mencari tempat baru untuk
melepaskan kemarahannya dan menahan arus lawan.
Sekali lagi Untara menggeram. Dengan marahnya ia
mendesak terus mengejar Macan Kepatihan. Namun Macan
Kepatihan selalu berloncatan kian kemari.
Sanakeling yang melihat Macan Kepatihan segera menyadari,
bahwa Macan Kepatihan dengan caranya berusaha mencoba
menghambat gerak maju pasukan Pajang. Perkelahian di
dalam lingkungan prajurit-prajurit Pajang melawan Tohpati
yang berkeliaran itu berpengaruh juga atas gerak maju
pasukan Pajang. Sebab mereka selalu saja memperhatikan,
jangan-jangan tongkat Tohpati itu tiba-tiba hinggap di
punggung mereka, atau kepala mereka terpecahkan oleh
tongkat baja putih yang mengerikan itu.
Tetapi Sanakeling tidak dapat berbuat lain daripada membawa
pasukannya mengundurkan diri. Meskipun demikian, ia
melihat beberapa orang yang terlalu setia kepada Macan
Kepatihan, membatalkan niatnya untuk beringsut mundur.
Bahkan seperti Macan Kapatihan mereka menceburkan diri
mereka ke tengah-tengah pasukan lawan, seperti serangga
yang menyeburkan diri mereka ke dalam api. Namun usaha
Macan Kepatihan dan beberapa orang yang setia kepadanya
itu berguna pula. Meskipun satu demi satu orang-orang itu
tergilas oleh arus kemarahan para prajurit Pajang dan Sangkal
Putung, namun gerak itu mendapat kesempatan lebih banyak
dari semula. Bagian 5 Widura pun kemudian melihat cara yang ditempuh oleh Macan
Kepatihan itu. Karena itu, maka segera ia harus ikut serta
mengatasinya. Maka dihentikannya usahanya untuk mengejar
Alap-alap Jalatunda. Usaha itu diserahkannya kepada anak
buahnya. Bagaimanapun juga, Alap-alap Jalatunda sedang
berusaha seperti Sanakeling membawa orang-orangnya
bergeser mundur, sehingga Alap-alap itu hampir-hampir sama
sekali tidak berbahaya. Dengan tangkasnya Widura pun mencoba menyusup di antara
prajurit Pajang sendiri. Ia melihat Macan Kepatihan semakin
lama semakin dekat ke sayapnya, sebab Untara selalu
berusaha mengejarnya. Dengan penuh tanggung jawab, tibatiba
Widura, berhasil berdiri berhadapan dengan Senapati
Jipang itu. "Setan tua," teriak Tohpati, "kau mencoba mengganggu aku,
Paman Widura" "
Widura tidak menjawab, tetapi pedangnya terjulur lurus ke
arah dada Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan itu
dengan garangnya menggeram dan menghindar, melepaskan
diri dari tusukan pedang itu, sekaligus dengan melontarkan
serangan balasan. Tongkatnya terayun dengan derasnya ke
arah pelipis Widura. Namun Widura pun segera berhasil
menghindarkan dirinya. Cepat ia beringsut ke samping dan
meloncat kembali dalam satu putaran menyambar lambung
lawannya. Tetapi Tohpati tiba-tiba meloncat jauh-jauh dan
sesaat kemudian ia telah tenggelam dalam hiruk pikuk
pasukan Pajang. Sekali-sekali tampak tongkatnya terayunayun,
dan bertebarlah para prajurit Pajang menjauhkan diri
dari padanya. Widura melihat peristiwa itu dengan darah yang
mendidih. Ketika ia meloncat maju, dilihatnya Untara pun telah
sampai pula di samping Macan Kepatihan itu.
Dada Macan Kepatihan berdesir ketika ia melihat dua orang
Senapati Pajang itu bersama-sama datang kepadanya. Sesaat
ia diam mematung sambil berpikir. Namun tiba-tiba ia
meloncat dengan cepatnya menyusup masuk ke dalam
lingkungan prajurit-prajurit Pajang sambil mengayunkan
tongkat kian kemari. Dengan loncatan-loncatan yang panjang
ia berusaha meninggalkan Widura dan Untara. Namun sama
sekali tak dikehendakinya untuk ikut serta mundur bersamasama
dengan pasukannya. Sebab dengan demikian, apabila
ia ikut serta menarik diri, pasukan Pajang akan mendapat
kesempatan seluas-luasnya untuk memecah pasukannya
yang telah menjadi semakin parah. Widura dan Untara, ketika
melihat Tohpati mencoba menghilang di antara pasukannya,
segera mengejarnya. Tetapi Untara dan Widura tidak dapat
berbuat seperti Tohpati. Melanggar siapa saja yang berada di
hadapannya. Menerjang dan bahkan menginjak tubuh yang
terdorong jatuh. Untara dan Widura harus mencari jalan di
antara mereka. Kadang-kadang menunggu seseorang
menyibak, dan kadang-kadang harus mendorong seseorang
ke samping, tetapi tidak sekasar Tohpati. Untara dan Widura
tidak dapat mencari jalan dengan memutar pedangnya di
antara laskarnya sendiri. Dan laskarnyapun tidak akan
berdesak-desakan menyisih seperti apabila mereka melihat
Tohpati dengan beberapa orang yang paling setia kepadanya
lewat di antara mereka. Meskipun para prajurit Pajang
bukanlah prajurit-prajurit pengecut, namun mereka pasti masih
harus mempunyai berbagai pertimbangan untuk langsung
berhadapan dengan Macan Kepatihan beserta tongkat baja
putihnya. Karena itulah, maka Untara dan Widura tidak dapat cepat
menyusul Tohpati. Meskipun demikian Tohpati itu tidak
terlepas dari pengamatan mereka. Kemana Tohpati itu pergi,
maka Untara dan Widura selalu berada di belakangnya.
Dengan demikian Tohpati pun tidak mempunyai keleluasaan
untuk bertempur di satu titik. Setiap kali ia harus melontar
pergi meninggalkan seorang atau dua orang korban luka, atau
bahkan ada pula yang tak mampu bertahan karena hantaman
tongkat baja putih itu. Tetapi para prajurit Pajang bukannya dengan sukarela
menyerahkan diri mereka. Dengan gigih mereka memberikan
perlawanan apabila mereka sudah tidak mungkin lagi untuk
menghindar. Dengan demikian, maka setiap kali mereka
melihat seseorang di antara mereka jatuh di tanah, apakah ia
terluka apakah ia gugur dalam peperangan itu, namun setiap
kali pula ujung-ujung pedang tergores pada tubuh Senapati
Jipang yang perkasa itu. Dengan demikian, maka baju dan
bahkan segenap pakaian Tohpati itu telah dibasahi bukan saja
oleh keringat yang mengalir semakin deras, namun percikanpercikan
darah telah menodainya di sana-sini. Goresangoresan
yang bahkan ada yang cukup dalam dan panjang
telah membekas di tubuh itu, seperti guratan-guratan pada
tubuh seekor harimau dalam rampogan di alun-alun. Seekor
macan jantan yang garang, yang dilepaskan di alun-alun di
antara prajurit bertombak dalam hari-hari besar yang khusus.
Demikian itulah keadaan Macan Kepatihan yang tidak kalah
garangnya dengan harimau jantan yang betapapun besarnya.
Di sayap kanan, Agung Sedayu yang mencoba memberikan
tekanan yang semakin berat kepada Sanakeling selalu
berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada senapati
Jipang itu mengatur anak buahnya menarik diri dari
peperangan. Apalagi dibantu oleh Hudaya yang lebih cakap
daripadanya mengatur pasukannya. Namun ternyata
Sanakeling masih mampu juga, perlahan-lahan menarik
seluruh pasukannya dengan teratur, meskipun beberapa kali
mereka mengalami kesulitan. Satu-satu anak buahnya
berjatuhan. Namun baginya tidak ada cara lain yang lebih
baik. Cara itu adalah cara yang paling sedikit menyerahkan
korban-korban di antara anak buahnya.
Agung Sedayu yang sedang dengan gigih bertempur melawan
Sanakeling yang bertempur dengan olah-playu di dalam
suasana yang paling mungkin dilakukan itu, tiba-tiba terkejut,
ketika terjadi hiruk pikuk di belakangnya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya kilatan-kilatan tongkat baja putih di antara ujung
senjata anak buahnya. Dalam cahaja matahari yang semakin
rendah tongkat itu memantulkan sinarnya yang sudah menjadi
kemerah-merahan. Dada Agung sedayu berdesir. Ketika sekali lagi Sanakeling
menarik diri jauh-jauh dari padanya, ia tidak mengejarnya.
Bahkan kemudian ia terpaksa memperhatikan apakah yang
terjadi dalam hiruk-pikuk itu.
Agung Sedayu melihat beberapa orang terpaksa menyibak.
Hudaya yang terluka itupun terpaksa menjauh dari ayunan
tongkat baja putih itu. Ia sama sekali tidak sekedar
menyelamatkan nyawanya, tetapi dengan penuh kesadaran
dan perhitungan, beberapa orang telah berusaha secara


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama-sama mengepung Macan Kepatihan yang sedang
mengamuk. "Hem," desis Agung Sedayu. "Macan yang garang itu sampai
di sayap ini pula." Sekali ia berpaling kepada Sanakeling. Betapa ia mengumpat
di dalam hatinya. Sanakeling telah menjadi semakin jauh.
Tanpa Agung Sedayu usahanya menjadi bertambah lancar.
Berangsur-angsur ia membawa anak buahnya semakin jauh
mendekati hutan yang berada tidak jauh lagi dari mereka.
Tetapi Agung sedayu tidak dapat membiarkan Macan
Kepatihan merusak orang-orangnya di belakang garis
peperangan. Karena itu, dengan serta merta ia meloncat surut
dan langsung masuk ke dalam lingkaran pertempuran itu.
Macan Kepatihan melihat Senapati di sayap kanan itu.
Dengan serta merta ia menyerangnya. Namun Agung sedayu
berhasil menghindarinya. Bahkan dengan kelincahannya ia
segera menyerangnya kembali.
Macan Kepatihan heran melihat kelincahan lawannya. Anak
yang masih sangat muda ini. Tetapi hatinya yang telah
menjadi semakin gelap telah mendorongnya untuk bertempur
semakin garang. Dalam pada itu, Untara dan Widura pun telah menjadi
semakin dekat dengan lingkaran pertempuran antara Agung
sedayu dan Macan Kepatihan yang lukanya telah menjadi
arang kranjang. Ketika mereka melihat, bahwa Agung Sedayu telah terlihat
dalam pertempuran melawan Tohpati yang mengamuk itu,
maka keduanya tertegun. Sesaat mereka berdua melihat,
betapa Agung Sedayu mampu melawan Macan yang garang
itu. Mereka melihat bahwa kelincahan dan ketangkasan anak
muda itu benar-benar membanggakan. Namun dalam siasat
dan tangguh, ternyata bahwa pengalaman Macan Kepatihan
berlipat-lipat berada di atas Agung Sedayu.
Untara dan Widura tidak terlalu lama membiarkan Agung
Sedayu bertempur sendiri melawan Tohpati, Mereka
menyadari bahwa setiap gerak Macan Kepatihan mempunyai
kemungkinan yang membahayakan jiwa Agung sedayu.
Karena itu maka segera mereka berdua berloncatan maju.
Demikian Tohpati melihat Untara dan Widura, maka segera ia
melepaskan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepatnya
ia mencoba menyusup kembali ke tengah-tengah lawan.
Ketika sebuah goresan yanq panjang menyilang di
lambungnia. Macan Kepatihan sama sekali tidak
menghiraukannya. Ternyata pedang Agung Sedayu masih
sempat menyentuhnya, pada saat Tohpati berusaha
menghindari Untara dan Widura. dan menambah segores lagi
luka pada tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Darah
yang merah segera mengalir dari luka itu seperti darah yang
mengalir dari luka-luka yang lain. Namun luka ini agaknya
lebih dalam dari luka-luka yang telah lebih dahulu menghiasi
tubuh Tohpati. Untara dan Widura melihat usaha menghindar itu. cepat
mereka berusaha memotong arah. Tetapi mereka terkejut,
ketika mereka tiba, sebuah pedang yang besar, dengan
derasnya menyambar tubuh Macan Kepatihan itu.
Macan Kepatihan pun terkejut. Tak ada waktu baginya untuk
menghindar. Karena itu, maka segera dilawannya pedang itu
dengan tongkatnya. Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Seolah-olah bunga
api memercik ke udara dari titik benturan itu.
Pedang yang berat jtu terpantul. Terasa tangan yang
menggerakkannya bergetar. Seakan-akan perasaan pedih
menjalar dari tajam pedangnya menyengat tangannya. Tetapi
pedang itu tidak terlepas dari tangan seperti beberapa saat
yang lampau. Pedang itu masih tetap dalam genggaman dan
bahkan sesaat kemudian pedang itu telah terayun-ayun
kembali. Sekali lagi Tohpati terkejut. Setelah ia meninggalkan Agung
sedayu ditemuinya pula seorang anak muda yang
mengherankan baginya. Seorang anak muda yang memiliki
kekuatan raksasa. Ternyata dalam benturan itu tangan
Tohpatipun bergetar meskipun tongkatnya tidak terpantul
seperti pedang yang menghantamnya. Anak muda itu adalah
seorang anak muda yang gemuk bulat. Ketika Tohpati
menatap wajah anak muda itu, tampaklah sekilas wajah itu
menyeringai menahan pedih, namun sesaat kemudiam wajah
itu telah tersenyum. "He kelinci bulat," teriak Tohpati, "kau ingin membunuh
dirimu?" Sambil tersenyum anak muda itu, yang tidak lain adalah
Swandaru Geni menjawab, "Jumlah lukamu seperti bintang
yang melekat di langit. Tanpa dapat dihitung lagi. Apakah kau
masih akan bertempur terus."
Macan Kepatihan tidak menjawab. Tongkatnya dengan
kerasnya terayun ke kepala Swandaru. Swandaru yang telah
dapat mengukur kekuatan Macan Kepatihan segera
menghindar. Ia tidak berani melawan pukulan tongkat itu
dengan pedangnya. Demikian tongkat itu meluncur beberapa
jari saja dari kepalanya, pedangnya segera terjulur lurus-lurus
ke lambung lawannya. Tohpati yang tidak dapat mengenai
lawannya melihat pedang itu cepat ia meloncat surut. Namun
kembali ia terkejut, Agung Sedayu telah berada di sampingnya
sambil menggerakkan pedangnya pula.
Cepat Macan Kepatihan melontarkan diri jauh-jauh. Ia
berusaha menghindari setiap senapati Pajang. la hanya ingin
menahan arus desakan pasukan lawannya atas pasukannya
yang sedang mundur. Namun tak teraba apa yang tersembunji
di dalam hatinya. Berkali-kali terngiang di dalam dadanya,
"Serangan ini akan merupakan serangan terakhir bagiku."
Tohpati itupun kemudian mengayun-ayun tongkatnya sambil
berloncatan di antara para prajurit Pajang. Kekacauan yang
ditimbulkannya memang berpengaruh atas tekanan-tekanan
pasukan Pajang. Sekali-sekali mereka terganggu pula karena
hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh amuk Tohpati.
Sanakeling yang melihat betapa senapatinya telah terluka
arang kranjang menjadi berdebar-debar. Betapapun juga,
terasa luka itu seperti luka pada tubuhnya sendiri. Karena itu,
maka ia berteriak, "Raden, mundurlah. Kami akan melindungi."
"Gila kau Sanakeling," teriak Tohpati yang bertempur tidak
demikian jauh dari Sanakeling yang sedang menyelamatkan
anak buahnya. "Kalau kau gagal, kepalamu menjadi taruhan.
Bukan kau yang melindungi kalian. Selamatkan orangorangmu.
Jangan keras kepala."
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia berdesah hati. Apalagi
ketika dilihatnya Macan Kepatihan kemudian menjadi semakin
lemah. Meskipun demikian, tandangnya justru menjadi
semakin garang. Laskar Jipang itu semakin lama menjadi semakin dekat
dengan batas hutan. Di sana-sini telah bertebaran gerumbulgerumbul
liar. Ternyata keadaan medan telah memberikan
sedikit perlindungan kepada sisa pasukan Jipang itu. Sesaat
lagi mereka telah sampai ke batas hutan, dan sesaat lagi
mataharipun akan tenggelam di bawah cakrawala. Tetapi
waktu yang sesaat itu adalah waktu yang menentukan bagi
Macan Kepatihan sendiri yang mati-matian mencoba
melindungi anak buahnya sejauh-jauh yang dapat dilakukan.
Setiap kali goresan-goresan ditubuhnya itu bertambah-tambah
juga. Setiap kali ia menghindari seorang Senapati Pajang,
maka setiap kali ditemuinya Senapati yang lain, seakan-akan
segenap jalan telah tertutup rapat baginya.
Untara, Widura, Agung Sedayu dan anak yang gemuk bulat
itu. Anak yang mewakili anak-anak muda Sangkal Putung.
Tidak seperti dalam pertempuran yang terdahulu, maka kini
Swandaru telah memiliki bekal dari gurunya, Kiai Gringsing
meskipun belum setinggi Agung Sedayu.
Macan Kepatihan melihat bahwa kemungkinannya untuk
menghindar telah tertutup rapat-rapat. Tetapi ia melihat juga,
bahwa pasukannya telah hampir mencapai ujung hutan dan
bahkan ia melihat juga bahwa warna merah di langit sudah
menjadi semakin suram. Setiap pemimpin kelompok prajurit Pajang telah berusaha
untuk memperlambat gerakan mundur pasukan Jipang. Tetapi
setiap kali usaha mereka terganggu oleh hiruk pikuk yang
ditimbulkan oleh Tohpati dan beberapa orang yang terlalu
setia kepadanya. Meskipun satu demi satu orang-orang itu
terpaksa menjadi korban. Namun beberapa langkah lagi,
pertempuran itu telah sampai di batas hutan. Batas yang
menentukan, bahwa pasukan Jipang telah berhasil dalam
gerakan menghindarkan diri dari kehancuran mutlak meskipun
untuk tujuan itu, korban harus berjatuhan.
Bagian 6 Dalam pada itu Macan Kepatihan masih juga berjuang sekuatkuat
tenaganya. Dalam hiruk-pikuk yang semakin riuh, dalam
ketegangan yang semakin memuncak sejalan dengan jarak
hutan yang semakin pendek dan matahari yang semakin
rendah, betapa Macan Kepatihan harus berjuang melawan
prajurit-prajurit Pajang yang berkerumun di sekitarnya seperti
semut mengerumuni gula. Namun sekali-kali lingkaran prajurit
Pajang itu menebar apabila tongkat Tohpati terayun
berputaran. Tetapi Widura, Untara, Agung Sedayu dan
Swandaru tidak turut berpencaran mundur. Mereka siap
menunggu setiap kemungkinan dengan pedang di tangan
mereka. Setiap kali Macan Kepatihan meloncat ke salah
seorang dari mereka, maka pedang di dalam genggaman
menyambutnya dengan penuh gairah. Dan setiap kali pula
tubuh Tohpati menjadi bertambah rapat dihiasi dengan lukaluka
yang mengalirkan darahnya yang merah. Seakan-akan
warna merah bara yang menyala.
Tetapi tubuh Tohpati itu adalah tubuh yang terdiri dari kulit
daging dan tulang. Betapa besar tekad yang menyala di dalam
dadanya, namun kekuatan tubuhnya ternyata sangat terbatas
sebagai tubuh manusia biasa. Sehingga semakin lama, Macan
yang garang itu pun menjadi semakin lemah, meskipun
tekadnya sama sekali tidak surut.
Sumangkar menyaksikan semuanya itu dari jarak yang
semakin dekat. Sumangkar sendiri kini berdiri di batas hutan,
di atas sebongkah batu padas. Sekali-sekali wajahnya menjadi
tegang, dan sekali-sekali ia memalingkan wajahnya. Meskipun
warna-warna senja telah menjadi suram, namun Sumangkar
yang tua itu masih dapat menyaksikan betapa Macan
Kepatihan mengamuk seperti harimau lapar. Tetapi di
sekitarnya berdiri senapati-senapati Pajang, Untara, Widura,
Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun keempat orang itu
ternyata telah dikekang oleh kejantanan mereka sehingga
mereka tidak bertempur berpasangan bersama-sama. Dan
bahkan seakan-akan mereka menunggu dengan tekunnya,
siapakah di antara mereka yang dipilih oleh Macan Kepatihan
itu melawannya. Namun Tohpati tidak segera berbuat
demikian. Ia masih saja berusaha untuk melepaskan dirinya
dan berjuang di antara hiruk-pikuk pasukan-pasukan Pajang,
meskipun ternyata usahanya sia-sia.
Tetapi tiba-tiba gerak Tohpati itu terhenti. Ditegakkannya
lehernya tinggi-tinggi. Ia masih melihat pasukan yang
bertempur itu susut seperti air yang tergenang dan tiba-tiba
mendapatkan saluran untuk mengalir. Bahkan seolah-olah
seluruh pasukan yang bertempur itu terhisap masuk ke dalam
hutan. Hati Tohpati itu berdesir. Tiba-tiba terdengar ia
berteriak, "Hei, apakah kalian berhasil?"
Tak ada jawaban. Tetapi dengan demikian Tohpati itu yakin
bahwa pasukannya telah berhasil menyelamatkan diri ke
dalam hutan itu. Apalagi matahari telah sedemikian rendahnya
sehingga di dalam hutan itu pasti sudah menjadi semakin
gelap. Terdengarlah kemudian suara tertawa Tohpati itu meledak.
Berkepanjangan seperti gelombang laut menempa pantai,
beruntun bergulung-gulung berkepanjangan. Di antara derai
tertawanya terdengar kata-katanya, "Bagus. Bagus. Kalian
telah berhasil." Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru melihat pula
pasukan Jipang yang berhasil melepaskan diri itu. Terdengar
gigi mereka gemeretak. Hampir-hampir mereka berloncatan
mengejar pasukan yang berlari itu. Tetapi kesadaran mereka,
bahwa hal itu tidak akan berarti sama sekali, telah mencegah
mereka. Dan bahkan kemudian mereka menyadari, bahwa di
antara mereka masih berdiri senapati Jipang yang terpercaya,
Macan Kepatihan. Keempat senapati Pajang itu berdiri mematung. Ujung-ujung
pedang mereka lurus-lurus terarah kepada Macan Kepatihan
yang masih saja tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan sama
sekali tidak dilihatnya keempat Senapati yang berdiri
mengitarinya. Untara. Widura, Agung Sedayu dan Swandaru
itupun belum juga mengganggunya. Dibiarkannya Macan
Kepatihan itu tertawa sepuas-puasnya. Baru ketika suara
tertawa itu mereda, mereka berempat seperti berjanji maju
beberapa langkah mendekati.
Tohpati itupun kemudian tersadar bahwa ia masih berada
dalam kepungan. Apalagi terasa olehnya bahwa darahnya
telah terlampau banyak mengalir. Namun ia adalah seorang
Senapati. Karena itu dengan lantang ia berkata, "Ayo, inilah
Macan Kepatihan. Majulah bersama-sama hai orang-orang
Pajang." Untara mengerutkan alisnya. Ketika ia memandangi keadaan
di sekelilingnya, dilihatnya beberapa orang prajurit masih
berdiri mengerumuninya, selain mereka yang berusaha
mengejar prajurit Jipang ke dalam hutan, yang pasti tidak akan
banyak hasilnya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, terasa
seakan-akan ia tidak sedang berada dalam peperangan yang
masing-masing telah memasang gelar yang sempurna. Kini, ia
merasa seakan-akan ia berhadapan seorang dengan seorang.
Untara dan Macan Kepatihan. Karena itu, maka Untara itupun
melangkah maju sambil berkata, "Kakang Tohpati. Kalau
Kakang bertempur seorang diri, maka salah seorang dari
kamipun akan melayani seorang diri pula."
Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia
menggeram. Namun di dalam hatinya terbersitlah perasaan
hormatnya kepada senapati muda ini. Dalam peperangan
sebenarnya Untara dapat menempuh jalan lain untuk
membunuhnya. Ia dapat memerintahkan setiap orang dan
senapati bawahannya untuk membunuhnya beramai-ramai.
Tetapi Untara tidak berbuat demikian. la masih menghargai


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nilai-nilai keperwiraan orang-seorang, sehingga betapa berat
akibatnya, ia menyediakan djri untuk melakukan perang
tanding. Macan Kepatihan itu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan
ia memandang seorang demi seorang. Untara, Widura, Agung
Sedayu dan Swandaru. Ketika mata Tohpati hinggap pada
anak muda yang bertubuh bulat itu hati Untara menjadi
berdebar-debar. Barulah disadari kesalahannya. la tidak
dengan tegas menawarkan dirinya sendiri untuk menghadapi
Tohpati, tetapi ia memberi kesempatan kepada Macan
Kepatihan untuk memilih lawan. Apabila kemudian Macan
Kepatihan itu memilih Swandaru atau Agung Sedayu
sekalipun maka keadaan anak-anak muda itu pasti akan
sangat mengkhawatirkan. Meskipun Tohpati sudah
bermandikan darah karena luka-luka pada seluruh tubuhnya,
namun tandangnya masih saja segarang Macan Kepatihan
pada saat ia terjun di dalam arena peperangan itu.
Tetapi agaknya Swandaru sama sekali tidak menginsyafi
bahaya itu. Ketika Tohpati memandangnya dengan tajamnya,
anak muda itu tersenyum. Senyum yang hampir-hampir tak
pernah hilang dari bibirnya. la kini sama sekali tidak takut
menghadapi harimau yang garang itu. Bahkan ia ingin tahu,
mencoba, sampai di mana kemampuannya setelah ia berguru
kepada Kyai Gringsing. Tetapi Tohpati bukan seorang yang licik. Ia tidak dapat
merendahkan harga dirinya, sebagaimana Untara telah
bersikap jantan pula kepadanya. Ia tahu benar, bahwa yang
paling lemah dari mereka berempat adalah anak yang gemuk
bulat itu. Tetapi dengan lantang ia menjawab, "Baik Adi
Untara. Kalau kau menawarkan lawan, baiklah aku memilih.
Orang yang aku pilih adalah Adi sendiri. Untara, senapati
Pajang yang mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan
sisa-sisa pasukan Jipang di Lereng Gunung Merapi."
Hati Untara berdesir mendengar jawaban itu. Sebagaimana
Tohpati merasa hormat akan keputusannya untuk melakukan
perang tanding, maka Untara pun menganggukkan kepalanya
sebagai ungkapan perasaan hormatnya. "Terima kasih,"
sambutnya. "Aku telah bersedia."
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia
maju menghadap kepada Untara. Sementara Untara maju
pula, mendekatinya. Dalam pada itu Untara masih sempat
berbisik kepada Widura, "Paman, tariklah seluruh pasukan.
Sangat berbahaya untuk bekejar-kejaran di dalam hutan yang
kurang kita kenal." Widura mengangguk. Tetapi ia tidak mau meninggalkan
perang tanding itu. Karena itu, diperintahkannya seorang
penghubung untuk memukul tanda, dan memerintahkannya
supaya Hudaya menghimpun kembali segenap pasukan.
Sementara itu, Untara kini telah siap menghadapi setiap
kemungkinan. Tohpati pun telah berdiri dengan kaki renggang
menghadapi senapati muda itu. Tongkatnya erat tergenggam
di tangannya yang telah basah oleh darah. Seleret-seleret
warna merah tergores pula pada tongkat baja putihnya. Pada
saat-saat tongkat itu menyambar kening lawan, maka darah
yang terpercik daripadanya pasti membasahi tongkatnya pula.
"Ayo, mulailah Untara. Senja telah hampir menjelang kelam.
Kita selesaikan, persoalan di antara kita sebelum malam,"
geram Tohpati. Untara tidak menjawab. Ia melangkah selangkah lagi maju.
Pedangnya segera menunduk tepat mengarah kedada
lawannya. Dalam pada itu, Tohpati tidak menunggu lebih lama
lagi. Segera ia meloncat menyerang dengan sebuah ayunan
tongkat baja putihnya. Meskipun lukanya arang kranjang,
namun kecepatannya bergerak masih belum susut barang
serambutpun. Untara yang telah bersiap menghadapi kemungkinan itu,
dengan cepatnya menghindarkan diri. Bahkan pedangnyapun
segera terjulur mematuk lambung. Namun Tohpati masih
sempat pula mengelakkan dirinya.
Demikianlah kini mereka terlihat dalam perang tanding yang
dahsyat. Tohpati memeras ilmunya dalam kemungkinan yang
terakhir. Disadarinya bahwa Untara adalah seorang senapati
yang pilih tanding. Dalam keadaan yang sempurnapun ia tidak
akan dapat mengalahkannya, apalagi kini. Darahnya telah
menetes dari luka, dan keringatnyapun seolah-olah telah
kering terperas. Tetapi ia adalah seorang senapati besar yang
sadar akan kebesaran dan harga dirinya sebagai seorang lakilaki
jantan. Meskipun senja telah menjadi semakin suram namun
Sumangkar masih dapat melihat apa yang terjadi di tengahtengah
arena itu. Ia melihat dari daerah yang lebih kelam
karena dedaunan. Bahkan kemudian ia tidak puas melihat
peristiwa itu dari tempatnya.
Tiba-tiba ia melompat turun dari bongkahan batu padas itu
dan menyusur tepi hutan yang kegelapan maju semakin dekat.
Di belakangnya Kyai Gringsing selalu mengikutinya. la tidak
ingin melepaskan Sumangkar. Kalau-kalau orang itu berbuat
sesuatu dengan tiba-tiba. Tetapi ternyata Sumangkar itu tidak
langsung menuju ke arena. Beberapa langkah ia berhenti, dan
kembali ia mencari tempat yang agak tinggi untuk
menyaksikan perkelahian antara Macan Kepatihan dan
Tohpati. Sedang Kyai Gringsing pun tidak kalah nafsunya
untuk melihat pertempuran itu, sehingga kemudian ia berdiri
tepat di belakang Sumangkar.
Dengan tegangnya Sumangkar mengikuti perkelahian itu.
Selangkah demi selangkah dinilainya dengan seksama. Ia
sama sekali tidak memperdulikan hiruk-pikuk para prajurit
Pajang yang sedang berhimpun kembali, tidak jauh di
hadapannya, namun para prajurit Pajang itupun sama sekali
tidak memperhatikannya, karena ujung malam yang turun
perlahan-lahan, seperti kabut yang hitam merayap dari langit
merata keseluruh permukaan bumi.
Tetapi pertempuran antara Macan Kepatihan dan Untara
masih berlangsung terus. Semakin lama semakin dahsyat.
Sedang Sumangkar yang menyaksikan pertempuran itupun
menjadi semakin tegang. Tiba-tiba ketegangan Sumangkar itupun memuncak. Kini ia
berdiri di atas ujung kakinya dan dijulurkannya lehernya,
supaya ia dapat melihat semakin jelas.
"Oh," desahnya kemudian. Suaranya seolah-olah tersekat di
kerongkongan, dan darahnya serasa berhenti mengalir.
Diangkatnya kedua belah tangannya menutup wajahnya.
Perlahan-lahan ia berpaling. Gumamnya perlahan-lahan
dengan suara parau, "Raden."
Kyai Gringsingpun melihat apa yang terjadi. Ia melihat Tohpati
menyerang dengan kekuatannya yang terakhir. Namun tubuh
Untara yang masih segar sempat menghindarinya, tetapi
ujung pedangnya dijulurkannya lurus-lurus tepat mengarah ke
lambung lawannya. Tohpati yang sudah menjadi semakin
lemah, kurang tepat memperhitungkan waktu. Ia terdorong
oleh kekuatannya sendiri, dan langsung lambungnya tersobek
oleh pedang Untara. Terdengar Tohpati menggeram pendek.
Selangkah ia surut. sebuah luka yang dalam menganga pada
lambungnya. Betapa kemarahannya membakar jantungnya, namun tiba-tiba
tarasa tulang-tulangnya seolah-olah terlepas dari tubuhnya.
Meskipun demikian tanpa disadari oleh Untara, Macan
Kepatihan melontarkan tongkatnya secepat petir menyambar
di udara. Betapa Untara terkejut melihat sambaran tongkat
baja putih berkepala tengkorak itu.
Bagian 7 Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan ia merendahkan
dirinya dan berusaha memukul tongkat itu dengan pedangnya.
Tetapi demikian cepatnya sehingga ia tidak dapat
melakukannya dengan sempurna. Pedangnya berhasil
menyentuh kepala tongkat itu, tetapi dengan demikian ujung
yang lain menyadi oleng dan dengan kerasnya memukul
kening Untara. Untara yang sedang merendahkan diri itu terdorong mundur,
dan sesaat ia kehilangan keseimbangan. Dengan kerasnya ia
terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling. Matanya terasa
menjadi gelap dan kepalanya menyadi sangat pening.
Seakan-akan sebuah bintang di langit telah jatuh
menimpanya. Namun ia masih cukup sadar. Ia sadar bahwa
lawannya, Macan Kepatihan masih tegak berdiri di
hadapannya. Karena itu cepat ia memusatkan kekuatannya
dan meskipun dengan tertatih-tatih ia mencoba berdiri,
bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi
atasnya. Tetapi kini ia sudah tidak menggenggam pedang lagi.
Pedangnya terpelanting dari tangannya, pada saat ia jatuh
berguling di tanah. Meskipun demikian terasa kening Untara masih sedemikian
sakitnya. Bintik-bintik putih seolah-olah berterbangan di dalam
rongga matanya. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu. Karena itu
maka dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk
menembus keremangan ujung malam dengan pandangan
matanya yang kabur. Untara itu melihat Tohpati maju selangkah mendekatinya.
Namun tiba-tiba ia terhuyung-huyung. Sesaat kemudian
Macan yang garang itu terjatuh pada lututnya dan mencoba
menahan tubuhnya dengan kedua tangannya.
Untara masih tetap berdiri di tempatnya. Sekilas matanya
menyambar orang-orang yang berdiri mengitarinya. Widura,
Agung Sedaju, Swandaru Geni dan kini beberapa orang lain
telah hadir pula. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa
orang pemimpin kelompok. Ketika ia kembali memandangi
Tohpati, maka dilihatnya orang itu menjadi semakin lemah.
Sesaat tepi hutan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian
yang tegang. Desir angin di dedaunan terdengar seperti
tembang megatruh yang menawan hati. Sayup-sayup di
kejauhan suara burung hantu terputus-putus seperti sedu
sedan yang pedih, sepedih hati biyung kehilangan anaknya di
medan peperangan. Dalam kesenyapan itu, tibatiba
terdengar suara Tohpati bergetar di antara desah angin malam yang lirih, "Adi
Untara, aku mengakui kemenanganmu." Dada Untara berdesir mendengar suara itu. Bukan
saja Untara, tetapi juga Widura, Agung Sedaju, Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang yang lain.
Namun di antara mereka yang paling dalam merasakan sentuhan suara itu adalah
Untara sendiri, sehingga justru sesaat ia diam mematung. la
tersadar ketika sekali lagi Tohpati berkata dengan suaranya
yang parau dalam, "Aku mengucapkan selamat atas
kemenangan ini Adi Untara."
Untara tidak dapat menahan hatinya lagi mendengar
pengakuan yang jujur itu. Pengakuan dari seorang Senapati
jantan dari Jipang. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju
mendekati Macan Kepatihan yang sudah menjadi sangat
lemas. "Kakang Tohpati "," terdengar suara Untara patah-patah,
"maafkan aku." Tohpati menggeleng, "Jangan berkata demikian Untara.
Berkatalah dengan nada seorang Senapati yang menang
dalam peperangan. Supaya aku puas mengalami kekalahan
ini." Untara terdiam. la tidak tahu apa yang akan diucapkannya.
Karena itu kembali ia mematung. Matanya tajam-tajam
menembus malam yang semakin gelap, hinggap pada tubuh
yang sudah menjadi kian lemah dan lemah.
Perlahan-lahan Tohpati terduduk di tanah. Bahkan kemudian
terdengar ia menggeram, "Aku akan mati."
Untara maju selangkah lagi. Ia melihat dengan wajah yang
tegang Tohpati menjatuhkan dirinya, terlentang sambil
menahan desah yang kadang-kadang terlontar dari mulutnya.
Sumangkar melihat Tohpati itu terbujur di tanah, diam hatinya
terasa menyadi sangat pedih. Anak itu bukan anaknya, bukan
muridnya, tetapi ia telah berada dalam satu lingkungan yang
sama-sama dialami. Pahit, manis dan lebih-lebih lagi ia adalah
murid saudara seperguruannya. Harapan sebagai penerus
ilmu perguruan Kedung Jati. Tetapi anak itu kini terbujur
dengan darah yang mengalir dan luka-lukanya yang arang
kranjang. Darah Sumangkar itupun tiba-tiba bergelora.
Dengan tangkasnya la meloncat turun dari bongkahan batu
padas sambil menggeram, "Celaka aku, Kyai?"
Kyai Gringsing terkejut melihat sikap itu, sehingga untuk
sesaat ia masih berdiam diri. Namun lamat-lamat ia melihat
wajah Sumangkar yang kosong memancarkan perasaan putus
asa. "Kyai," berkata Sumangkar pula, "tak ada yang menahan aku
untuk hidup terus. Karena itu, marilah kita membuat
perhitungan terakhir. Perhitungan orang-orang tua."
Kyai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia belum
beranjak dari tempatnya. Bahkan ia masih sempat berpaling
dan melihat Untara, Widura, Agung Sedaju dan Swandaru
beserta beberapa orang lain berlutut di samping Macan
Kepatihan yang nafasnya seakan-akan tinggal tersangkut di
ujung kerongkongannya. "He Kyai," panggil Sumangkar, "turunlah. Kita bertempur
seorang lawan seorang. Antarkan aku menemani Angger
Macan Kepatihan" Sekali lagi Kyai Gringsing memandangi orang-orang yang
berdiri mengerumuni Macan Kepatihan dan orang yang
berlutut di sekitarnya. Ternyata tak seorangpun di antara
mereka yang mendengar kata-kata Sumangkar, sehingga
mereka berdua masih tetap belum dilihat oleh mereka. Namun
Kyai Gringsing masih belum bergerak. Tetapi ia menjadi kian
berhati-hati. Ketika dilihatnya Sumangkar menggenggam
tongkatnya semakin erat pada pangkalnya siap untuk
digunakannya. Dan apa yang disangkanya itu terjadi. Ketika Kyai Gringsing
tidak juga mau turun dari bongkahan batu padas, tiba-tiba
Sumangkar berkata, "Baiklah kalau Kyai tidak mau mulai. Aku


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan mulai. Terserahlah kepadamu apakah kau bersedia
untuk melawan dan membunuhku, atau aku yang akan
membunuhmu." Sumangkar tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia
meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyambar lutut Kyai
Gringsing. Tetapi Kyai Gringsing telah bersiaga. Segera ia
meloncat menghindar dan sekaligus melontar turun dari atas
batu padas itu. Namun Sumangkar tidak melepaskannya. Dengan sebuah
loncatan yang panjang dan cepat ia mengejarnya. Seperti
orang kerasukan, tongkatnya terayun-ayun deras sekali
menyambar-nyambar. Seolah-olah ia telah kehilangan
segenap perhitungan dan pikirannya yang bening seperti
Macan Kepatihan sendiri. Kyai Gringsingpun segera berloncatan menghindari. Dengan
lincahnya ia melontar-lontarkan dirinya, menyusup disela-sela
putaran tongkat baja putih berkepala tengkorak yang bergerak
secepat tatit. Tetapi Kyai Gringsing mampu bergerak
melampaui kecepatan tongkat itu, sehingga berkali-kali ia
masih saja dapat menghindari setiap serangan yang datang
Sumangkar benar-benar telah waringuten. Tongkatnya
bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian
seolah-olah telah berubah menyadi gumpalan awan putih
yang mengejar Kyai Gringsing kemana ia pergi. Gumpalan
awan yang siap untuk menelannya dan menghancurlumatkan.
Demikianlah maka serangan Sumangkar itu menyadi semakin
lama semakin dahsyat seperti prahara yang mengamuk di
padang-padang yang dengan dahsyatnya pula menghantam
Pedang Pelangi 12 Wiro Sableng 050 Mayat Hidup Gunung Klabat Kemelut Di Majapahit 21

Cari Blog Ini