Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 18
Istri Katsuyori segera menegur para pembantunya, karena mereka mulai meratap-ratap. "Tak ada
waktu untuk apa pun selain berduka. Bantulah mempersiapkan segala sesuatu."
Perempuan ini belum berusia dua puluh tahun, tapi ia tidak kehilangan keanggunannya, meski maut
sudah berada di depan mata. Ia setenang air di kolam dalam, dan Katsuyori merasa ditegur oleh
ketenangan yang diperlihatkannya.
Para dayang pergi, tapi segera kembali dengan membawa cawan tanpa upaman dan sebotol sake,
lalu meletakkan keduanya di hadapan Katsuyori dan putranya. Rupanya istrinya telah bersiap-siap
menghadapi saat ini. Tanpa berkata apa-apa, ia menawarkan cawan pada suaminya. Katsuyori
meraih cawan itu, minum seteguk, lalu menyerahkannya pada putranya. Kemudian ia berbagi isinya
dengan istrinya. "Tuanku, untuk kakak-adik Tsuchiya," ujar istrinya. "Tsuchiya, kau harus
mengucapkan selamat tinggal selama kita masih di dunia ini."
"Tsuchiya Sozo, pembantu pribadi Katsuyori, dan kedua adik laki-lakinya telah membaktikan hidup
bagi junjungan mereka. Sozo berusia dua puluh enam tahun, adik keduanya dua puluh dua tahun,
dan yang paling kecil baru delapan belas tahun. Bersama-sama mereka melindungi junjungan
mereka yang malang dengan setia di sepanjang jalan, sejak jatuhnya ibu kota baru sampai ke
pertahanan terakhir di Gunung Temmoku.
"Kalau begini, hamba dapat pergi tanpa penyesalan." Setelah mereguk habis isi cawan yang
diterimanya. Sozo berbalik dan menatap kedua adiknya sambil tersenyum. Kemudian ia berpaling
pada Katsuyori dan istrinya. "Kemalangan Yang Mulia kali ini sepenuhnya akibat pembelotan
kerabat Yang Mulia. Selama ini Yang Mulia dan Tuan Putri tentu risau hati dan was-was karena
harus menjalani semua ini tanpa mengetahui isi hati orang-orang. Tapi dunia tidak hanya berisi
orang-orang seperti mereka yang mengkhianati Yang Mulia. Paling tidak, di saat terakhir ini, semua
yang mengelilingi tuanku telah menyatu dalam jiwa dan raga. Kini Yang Mulia dapat melalui
gerbang kematian dengan kepala tegak dan lapang dada." Sozo meluruskan badan dan berjalan
menghampiri istrinya yang berada bersama para dayangnya.
13 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tiba-tiba terdengar pekikan bocah cilik yang menyayat hati, dan Katsuyori berseru dengan kalut.
"Sozo! Apa yang kaulakukan?"
Sozo telah menikam putranya yang berusia empat tahun di depan mata istrinya, dan kini
perempuan itu tersedu sedan. Tanpa meletakkan pedangnya yang berlumuran darah, dari jauh
Sozo bersujud ke arah Katsuyori.
"Sebagai bukti ucapan hamba, hamba baru saja mengirim putra hamba mendului kita di jalan
kematian. Kalau tidak, dia tentu hanya akan menjadi beban. Tuanku, hamba akan menyertai
tuanku; entah hamba akan menjadi yang pertama atau yang terakhir, semuanya akan selesai dalam
sekejap." Betapa sedih melihat kembang-kembang Yang kutahu akan gugur Beranjak menduluiku. Tak satu
pun bertahan Sampai musim semi berakhir.
Sambil menutupi wajah dengan lengan kimono, istri Katsuyori menembangkan bait-bait ini dan
menangis. Salah satu dayangnya menahan air mata dan melanjutkan.
Tatkala mekar Jumlahnya tak terhitung Namun seiring akhir musim semi Semuanya gugur, tak satu
pun tersisa. Ketika suaranya bertambah lemah, beberapa perempuan mencabut belati dan menikam dada atau
tenggorokan masing-masing. Darah mengalir membasahi rambut mereka yang hitam. Tiba-tiba
sebatang panah melesat, dan tak lama kemudian daerah sekitar mereka dihujani anak panah.
Letusan senapan menggema di kejauhan.
"Mereka datang!" "Bersiaplah, tuanku!"
Para prajurit bangkit bersama-sama. Kaisuyori memandang putranya, memastikan ketetapan hati
Taro. "Kau siap?" Taro berdiri dan membungkuk. "Aku siap mati di sisi Ayah."
"Saat perpisahan telah tiba." Ketika ayah dan anak hendak menerjang barisan musuh, istri
Katsuyori berseru dari belakang. "Aku akan pergi lebih dulu."
Katsuyori berdiri tak bergerak. Pandangannya tertuju pada istrinya. Sambil menggenggam sebilah
pedang pendek, perempuan itu menengadah dan memejamkan mata. Wajahnya seputih dan
sesempurna rembulan yang tampak di atas gunung. Dengan tenang ia menembangkan sebuah bait
dari Sutra Lotus, yang dulu suka ditembangkannya.
"Tsuchiya! Tsuchiya!" Katsuyori memanggil. "Tuanku?"
"Bantu dia." Tapi istri Katsuyori tidak menanti pedang laki-laki itu, dan menancapkan belatinya ke dalam mulut
sambil terus menembang. 14 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Begitu sosok perempuan itu roboh ke depan, salah satu dayang mengajak mereka yang tertinggal.
"Tuan Putri telah mendului kita. Kita semua harus menyertainya di jalan kematian." Dengan
kata-kata itu, ia menikam tenggorokannya dan roboh.
"Waktunya sudah riba." Sambil menangis dan saling memanggil, dalam sekejap kelima puluh
perempuan itu bertebaran seperti bunga-bunga di pekarangan yang diterpa badai musim dingin.
Mereka tergeletak menyamping atau menelungkup, atau menikam diri sambil berpelukan. Di
tengah-tengah adegan menyedihkan ini terdengar tangis anak-anak yang belum diberi makan atau
terlalu kecil untuk meninggalkan pangkuan ibu mereka.
Tergesa-gesa Sozo menaikkan empat perempuan beserta anak-anak ke atas kuda dan mengikat
mereka ke pelana. "Kalian takkan dianggap durhaka jika kalian tidak gugur di sini. Kalau kalian berhasil
menyelamatkan diri, besarkanlah anak-anak kalian dan pasukan mereka mengadakan upacara
peringatan bagi marga bekas junjungan mereka yang malang." Sozo memarahi para ibu yang
meratap-ratap bersama anak-anak, lalu memukul ketiga kuda mereka dengan gagang tombaknya.
Kuda-kuda itu segera berlari kencang, sementara para ibu dan anak-anak mereka terisak-isak dan
meraung-raung. Kemudian Sozo berpaling pada kedua adiknya. "Mari kita hadapi." Pada waktu itu mereka sudah
dapat melihat wajah para prajurit Oda yang mendaki lereng gunung. Katsuyori dan putranya telah
dikepung musuh. Ketika Sozo bergegas untuk membantu mereka, ia melihat salah seorang
pengikut junjungannya melarikan diri ke arah berlawanan.
"Pengkhianat!" Sozo berseru, mengejar orang itu. "Mau ke mana kau?" Dan ia menikam orang itu
dari belakang. Kemudian, sambil membersihkan darah yang menempel pada pedangnya, ia
menerjang barisan musuh. "Aku perlu busur lagi! Sozo, berikan busur baru padaku!" Sudah dua kali tali busur Katsuyori putus,
dan kini ia meraih busur baru. Sozo berdiri di sisi junjungannya, melindunginya sebaik mungkin.
Setelah Katsuyori melepaskan semua anak panahnya, ia mencampakkan busur dan memungut
tombak. kemudian mengacungkan pedang panjang. Ketika itu musuh sudah berada di depan
matanya, dan pertempuran pedang melawan pedang takkan berlangsung lama.
"Inilah akhir perjalanan kita!"
"Yang Mulia Katsuyori! Yang Mulia Taro! Hamba akan mendului Yang Mulia berdua!"
Sambil saling memanggil, orang-orang Takeda yang masih tersisa pun diempaskan musuh. Baju
tempur Katsuyori penuh bercak merah.
"Taro!" Ia memanggil putranya, tapi pandangannya kabur karena cucuran darahnya sendiri.
"Yang Mulia! Hamba masih di sini! Sozo masih di sisi tuanku!"
"Sozo, cepat aku akan melakukan seppuku."
Sambil bersandar pada bahu orang itu, Katsuyori mundur sekitar seratus langkah. Ia berlutut, tapi
15 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
karena tubuhnya penuh luka tombak dan pedang, ia tak sanggup mempergunakan kedua
tangannya. Semakin keras ia berusaha, semakin sedikit tangannya berfungsi.
"Ampunilah hamba." Tak kuasa menyaksikannya lebih lama. Sozo cepat-cepat bertindak dan memenggal kepala junjungannya. Ketika Katsuyori roboh ke depan, Sozo meraih kepalanya dan
meratap sedih. Setelah menyerahkan kepala Katsuyori pada adiknya yang terkecil, Sozo menyuruhnya lari. Tapi,
sambil berurai air mata, anak muda itu menegaskan bahwa ia akan mati bersama kakaknya.
"Bodoh! Pergi sekarang!" Sozo mendorongnya, tapi terlambat. Para prajurit musuh yang
mengepung mereka menyerupai lingkaran besi. Dengan tubuh penuh luka akibat pedang dan
tombak, kedua Tsuchiya bcrsaudara gugur dengan gagah.
Adik Sozo yang satu lagi dari awal sampai akhir terus berada di sisi putra Katsuyori. Kedua-duanya
tercampak dan terbunuh pada saat yang sama. Taro dipandang sebagai pemuda tampan, dan
penulis Riwayat Hidup Nobunaga pun, yang tidak memperlihatkan simpati ketika menceritakan
kematian marga Takeda, menyanjung kematiannya yang indah.
Karena baru berusia lima belas tahun dan berasal dari keluarga terpandang, wajah Taro sangat
halus dan kulitnya putih bagaikan salju. Kegagahannya melebihi orang-orang lain, ia enggan
mencemari nama keluarga, dan mempertahankan semangat ini sampai kematian ayahnya, ***
Pada Jam Ular, pertempuran itu usai. Itulah saat marga Takeda terhapus dari muka bumi.
Para prajurit Oda yang menyerbu Kiso dan Ina berkumpul di Suwa, dan akhirnya memadati kota itu.
Markas Nobunaga terletak di Kuil Hoyo. Pada hari kedua puluh sembilan, pengumuman mengenai
pemberian penghargaan untuk seluruh pasukan ditempelkan di gerbang kuil, dan keesokan harinya
Nobunaga dan jendral-jendralnya mengadakan jamuan makan untuk merayakan
kemenangan-kemenangan mereka.
"Sepertinya Tuan Mitsuhide minum cukup banyak hari ini. Tidak biasanya Tuan berbuat demikian,"
Takigawa Kazumasu berkata pada laki-laki yang duduk di sebelahnya.
"Aku mabuk, tapi apa yang harus kulakukan?" Mitsuhide memang kelihatan mabuk, dan ini bukan
pemandangan biasa. Wajahnya, yang oleh Nobunaga kerap disamakan dengan buah jeruk, tampak
merah sampai ke garis rambut yang sudah mulai mundur.
"Bagaimana kalau satu cawan lagi?" Sambil minta tambah sake, Mitsuhide terus berbicara dengan
sikap riang berlebihan. "Kita takkan sering mengalami kejadian menggembirakan seperti ini,
meskipun kita berumur panjang. Coba lihat itu. Kita memperoleh hasil dan jerih payah selama
bertahun-tahun - bukan hanya di balik tembok-tembok ini atau hanya di Suwa - kini Kai maupun
Shinano telah terbenam di bawah panji dan pataka sekutu-sekutu kita. Hasrat yang begitu lama
tersimpan dalam dada akhirnya terwujud di depan mata." Suaranya, seperti biasa, tidak seberapa keras, tapi kata-katanya terdengar
cukup jelas oleh setiap orang yang hadir. Semua orang yang semula berbincang-bincang dengan
berisik kini terdiam, memandang bolak-balik antara Nobunaga dan Mitsuhide.
16 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pandangan Nobunaga melekat pada kepala Mitsuhide yang botak. Ada kalanya mata yang terlalu
jeli menemukan keadaan sumbang yang sebaiknya dibiarkan terselubung; ini mengundang bencana
yang tak perlu. Sudah dua hari Nobunaga memandang Mitsuhide dengan cara seperti itu. Mitsuhide
berusaha keras menampilkan sikap ceria dan banyak omong yang sesungguhnya tidak cocok
baginya, padahal menurut Nobunaga, Mitsuhide sama sekali tak punya alasan untuk berbuat
demikian. Sikap Nobunaga bukannya tanpa sebab; dalam memberi penghargaan, Mitsuhide
sengaja dilewatinya. Diabaikan dalam pemberian penghargaan merupakan pukulan berat bagi seorang prajurit, dan rasa
malu karena dianggap tak berjasa bahkan lebih menyiksa daripada perlakuan kasar itu sendiri.
Namun Mitsuhide tak sedikit pun memperlihatkan kesedihan. Justru sebaliknya, ia bergabung
dengan para jendral lain, mengobrol dengan gembira dan mengumbar senyum.
Itu tidak jujur. Mitsuhide termasuk laki-laki yang tak sanggup membuka diri sepenuhnya dan kurang
disukai orang. Kenapa ia tak bisa menggerutu, sekali saja" Semakin lama Nobunaga memandang
Mitsuhide, semakin panas hatinya. Perasaannya terpengaruh karena ia sedang mabuk, tapi
reaksinya timbul dengan sendirinya. Hideyoshi tidak hadir, namun seandainya Nobunaga menatap
Hideyoshi, bukannya Mitsuhide, ia takkan terpancing untuk berpikiran seperti itu. Kalau berhadapan
dengan Ieyasu pun ia tak mungkin segusar sekarang. Tapi saat ia melihat Mitsuhide, sorot matanya
mendadak berubah. Dulu tidak seperti ini, dan ia tidak tahu pasti kapan perubahan ini terjadi.
Tapi ini bukan masalah perubahan mendadak pada waktu atau kesempatan tertentu. Dan
sesungguhnya, kalaupun hendak dicari-cari, orang akan menemukan bahwa pada suatu
ketika - karena rasa terima kasih yang berlebihan - Nobunaga mempercayakan Benteng Sakamoto
pada Mitsuhide, memberikan benteng di Kameyama padanya, mengatur pernikahan putrinya, dan
akhirnya menganugerahkan provinsi senilai lima ratus ribu gantang.
Kala itu Nobunaga amat bermurah hati terhadap Mitsuhide, tapi tak lama kemudian sikapnya mulai
berubah. Dan untuk itu ada satu sebab yang jelas: Pembawaan serta warak Mitsuhide tidak
menunjukkan kesediaan untuk mengubah diri. Setiap kali Nobunaga melihat gilapan di bawah garis
rambut si "Kepala Jeruk" yang tak pernah membuat kesalahan, walau hanya satu kali, perasaan
Nobunaga terarah pada apa yang dianggapnya sebagai sisi buruk watak Mitsuhide. Hatinya serasa
terbakar. Jadi, Nobunaga tidak sewenang-wenang menghakimi Mitsuhide, melainkan Mitsuhide sendiri yang
memperburuk keadaan. Kedongkolan Nobunaga, yang tercermin dalam ucapan dan roman
mukanya, semakin menumpuk setiap kali Mitsuhide memamerkan daya pikirnya yang cemerlang.
Sesungguhnya, mencari siapa yang salah tak ubahnya menentukan apakah tangan kiri atau tangan
kanan yang bertepuk lebih dulu. Dan kini Mitsuhide sedang berbincang-bincang dengan Takigawa
Kazumasu, sedangkan sepasang mata yang terus menatapnya sama sekali tidak menyorot
gembira. Miisuhide menyadarinya, dan Nobunaga tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya.
"Hei. Kepala Jeruk."
Mitsuhide mengendalikan diri dan bersujud di depan kaki Nobunaga. Dua-tiga kali ia merasakan
rusuk-rusuk sebuah kipas mengenai tengkuknya.
"Ya, tuanku?" Wajah Mitsuhide tiba-tiba memucat. "Enyahlah dari ruangan ini!" Nobunaga
17 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengangkat kipasnya, tapi kipas yang menuding ke selasar tampak persis seperti sebilah pedang.
"Hamba tidak tahu apa yang telah hamba perbuat, tapi jika hamba menyinggung Yang Mulia dan
para hadirin, hamba tidak tahu ke mana hamba harus berpaling. Sudikah Yang Mulia menguraikan
kesalahan hamba" Hamba tidak keberatan dicela di sini juga." Sambil memohon maaf, ia tetap
bersujud, menggeser- geser badannya, dan entah bagaimana merangkak ke scrambi yang lebar.
Nobunaga mengikutinya. Orang-orang yang memenuhi ruangan bertanya-tanya, apa gerangan
masalahnya. Pikiran mereka segera kembali jernih, dan mulut mereka terasa kering. Ketika
mendengar bunyi gedebuk dari serambi berlantai kayu, para jendral yang semula memalingkan
wajah dari sosok Mitsuhide yang mengibakan pun kembali memandang ke luar ruangan.
Nobunaga telah melcmparkan kipasnya ke belakang. Para jendral melihat bahwa ia sedang
menjambak rambut Mitsuhide. Setiap kali laki-laki malang itu berusaha mengangkat kepala untuk
mengatakan sesuatu, Nobunaga menyentakkannya dan membenturkannya ke pagar serambi.
"Apa katamu" Apa kaubilang" Sesuatu mengenai hasil yang kita peroleh setelah segala jerih
payah, dan bahwa hari ini hari bahagia karena pasukan marga Oda telah menaldukkan Kai" Itu
yang kaukatakan. bukan?"
"Be... benar." "Bodoh! Sejak kapan kau berjerih payah" Apa jasamu dalam penyerbuan ke Kai?"
"Hamba ..." "Apa?"
"Meski mabuk, tak sepatutnya hamba mengucapkan kata-kata secongkak itu."
"Betul sekali. Kau tak berhak bersikap congkak.
Kau sembrono dengan apa yang kausembunyikan di dalam benakmu. Kaupikir aku terlalu sibuk
minum dan mendengarkan orang lain, sehingga kau merasa mendapat keecmpatan untuk
mengeluh." "Ampun, tuanku! Hamba tidak berpikiran demikian. Para dewa langit dan bumi menjadi saksi! Sudah
begitu lama hamba menerima kebaikan hati Yang Mulia. Yang Mulia-lah yang mengangkat harkat
hamba sejak hamba masih berpakaian compang-camping dan hanya memiliki scbilah pcdang..."
"Diam! "Perkenankanlah hamba menarik diri."
"Tentu!" Nobunaga mencampakkannya. "Ran-maru! Air!" ia berseru keras-keras. Ranmaru mengisi
sebuah bejana dengan air dan memberikan nya pada Nobunaga. Ketika Nobunaga mereguk air itu,
sorot matanya menyala-nyala.
Mitsuhide telah bergeser sejauh dua atau tiga meter dari kaki junjungannya, merapikan baju, dan
mengusap-usap rambut. Ia bersujud begitu rendah, sehingga dadanya menempel di lantai kayu.
18 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sikap Mitsuhide memberi kesan yang tidak menguntungkan, dan Nobunaga segera mulai
mengejarnya lagi. Seandainya Ranmaru tidak menahannya, kemung-kinan besar lantai serambi akan bergetar lagi.
Ranmaru tidak secara langsung menyinggung adegan yang berlangsung di depan matanya,
melainkan hanya berkata. "Sudikah tuanku kembali ke tempat duduk tuanku" Yang Mulia Nobutada,
Yang Mulia Nobusumi, Yang Mulia Niwa, dan para jendral menunggu."
Nobunaga menurut dan kembali ke ruangan yang ramai, tapi tidak duduk. Sambil berdiri ia menatap
berkeliling, "Maafkan aku. Sepertinya aku telah merusak suasana. Nikmatilah makanan dan
minuman sepuas hati." Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia cepat-cepat berlalu dan mengunci diri
di ruang pribadinya. *** Sekawanan burung layang-layang mengerik di bawah lis atap di daerah pergudangan. Walaupun
matahari sedang terbenam, burung-burung dewasa rupanya masih membawakan makanan bagi
anak-anak mereka. "Itu bisa dijadikan objek lukisan, bukan?" Di salah satu ruangan sebuah bangunan yang terletak
agak jauh dari pekarangan yang luas, Saito Toshimitsu, seorang pengikut senior marga Akechi,
sedang menerima tamu. Tamu itu bernama Yoshu, dan ia bukan penduduk asli Suwa. Usianya
sekitar lima puluh tahun, dan perawakannya yang kekar tidak mencerminkan bahwa ia pelukis. Ia
hanya sedikit bicara. Suasana temaram mulai meliputi deretan gudang.
"Hamba minta maaf karena telah mengganggu Tuan di masa perang seperti ini, dan hanya membicarakan urusan membosankan seorang laki-laki yang tak lagi terlibat dengan dunia ini. Hamba
yakin Tuan tentu sibuk dengan berbagai tugas penting." Yusho rupanya hendak berpamitan dan
mulai bangkit. "Jangan dulu." Saito Toshimitsu laki-laki yang sangat berwibawa, dan bahkan tanpa bergerak ia
menahan tamunya. "Karena Tuan sudah jauh-jauh kemari, rasanya tidak patut kalau Tuan pergi sebelum menemui
Yang Mulia Mitsuhide. Jika setelah Tuan pergi aku memberitahu Yang Mulia bahwa Yusho sempat
berkunjung ketika beliau sedang tidak ada, beliau tentu akan menegurku dan bertanya kenapa aku
tidak menahan Tuan di sini." Dan dengan sengaja ia menyinggung topik baru, berusaha menghibur
tamu tak terduga itu. Saat itu Yusho mempunyai rumah di Kyoto, tapi sebenarnya ia berasal dari
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Omi di provinsi Mitsuhide. Bukan itu saja, pada suatu ketika, Yusho sempat menerima upah prajurit
dari marga Saito di Mino. Pada waktu itu Toshimitsu - lama sebelum ia menjadi pengikut marga
Akechi - mengabdi marga Saito.
Setelah menjalani hidup sebagai ronin, Yusho menjadi seniman, menunjuk jatuhnya Gifu sebagai
alasan. Toshimitsu pun telah memutuskan hubungan dengan marga Saito. Perpecahan yang timbul antara
Toshimitsu dan bekas-bekas junjungannya bahkan diperlihatkan di depan Nobunaga, dan
pertengkaran terus berlangsung, seakan-akan mereka minta pen-dapat Nobunaga. Tapi kini semua
orang telah melupakan cerita-cerita yang kala itu sempat menggemparkan masyarakat, dan mereka
19 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
yang memandang rambut putih Toshimitsu menganggapnya pengikut yang tak tergantikan bagi
marga Akechi. Semua orang menghormati pembawaannya dan kedudukannya se-bagai pengetua.
Tempat penginapan di markas Nobunaga di Kuil Hoyo tidak mencukupi, sehingga beberapa jendral
tinggal di berbagai rumah di Suwa.
Orang-orang Akechi menempati gedung-gedung kuno milik seorang saudagar, dan para prajurit
maupun para perwira mereka melepas lelah sehabis bertempur sengit selama berhari-hari.
Seorang pemuda yang tampaknya putra tuan rumah datang dan berbicara dengan Toshimitsu.
"Bagaimana kalau Tuan mandi dulu" Semua samurai, bahkan para prajurit infanteri pun, sudah
selesai makan malam."
"Tidak, aku akan menunggu sampai Yang Mulia kembali."
"Malam ini Yang Mulia pergi agak lama, bukan?" "Hari ini ada jamuan makan untuk merayakan
kemenangan di markas besar. Yang Mulia jarang menyentuh sake, tapi mungkin beliau minum
sedikit dan agak mabuk karena ikut bersulang."
"Barangkali hamba bisa menyajikan makan malam untuk Tuan?"
"Tidak, tidak. Nanti saja, kalau Yang Mulia sudah kembali. Tapi aku agak kasihan pada tamu yang
ku-tahan di sini. Maukah kau mengantarnya ke pemandian?"
"Maksud Tuan, scniman yang berada di sini sepanjang sore?"
"Benar. Itu orangnya, yang sedang duduk menyendiri sambil memandang bunga peoni di
pekarangan. Dia kelihatan agak jemu. Coba kau-panggil dia ke sini.
Pemuda itu menarik diri. lalu memandang berkeliling di belakang bangunan. Di depan serumpun
semak peoni yang sedang berbunga, Yusho duduk sambil memegang lutut, menatap dengan
pandangan kosong. Beberapa saat kemudian, ketika Toshimitsu melewati gerbang, baik pemuda itu
maupun Yusho sudah pergi.
Toshimitsu merasa was-was. Meski menyadari bahwa perayaan kemenangan itu akan berlangsung
sampai larut malam, ia bertanya-tanya mengapa Mitsuhide belum juga kembali.
Setelah melewati gerbang kuno beratap jerami, jalan setapak yang disusurinya menyatu dengan
jalan raya di tepi danau. Matahari yang telah terbenam masih memancarkan cahaya yang berkelip
redup di langit sebelah barat Danau Suwa. Cukup lama Toshimitsu memandang ke ujung jalan. Dan
akhirnya ia melihat junjungannya, diikuti rombongan berkuda, pasukan tombak, dan para
pembantunya. Tapi kecemasan Toshimitsu mengenai junjungannya tidak berkurang ketika mereka
mendekat. Ada sesuatu yang ganjil. Penampilan Mitsuhide bukan seperti orang yang baru kembali
dari suatu perayaan kemenangan. Seharusnya ia pulang dengan gagah, terayun-ayun di atas
kudanya, dalam keadaan mabuk karena sake yang disajikan. Tapi Mitsuhide malah berjalan kaki.
seakan-akan patah semangat.
Seorang prajurit menuntun kudanya yang melangkah lesu, sementara para pembantu di belakang
berjalan dengan sikap sama.
20 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hamba menunggu di sini untuk menyambut kedatangan Yang Mulia. Yang Mulia tentu lelah."
Ketika Toshimitsu membungkuk di hadapannya. Mitsuhide tampak terkejut.
"Toshimitsu" Ah, betapa lalainya aku. Rupanya kau cemas karena aku pulang begitu lama.
Maafkan aku. Aku minum agak banyak hari ini, jadi aku sengaja pulang berjalan kaki menyusuri
danau, agar kepalaku tidak terlalu berat. Jangan hiraukan tampangku. Aku merasa sudah lebih baik
sekarang." Toshimitsu segera menyadari bahwa majikannya telah mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan. Sudah bertahun-tahun ia menjadi pembantu dekat Mitsuhide, jadi hal semacam ini
takkan lolos dari perhatiannya. Namun ia tidak menanyakannya lebih lanjut. Pengikut tua itu
cepat-cepat mengurus keperluan majikannya, sambil berharap agar itu bisa menghiburnya.
"Bagaimana dengan secawan teh, dan setelah itu mandi air panas?"
Reputasi Toshimitsu dapai membuat musuh gemetar ketakutan di medan laga, tapi ketika ia
membantu Mitsuhide melepaskan pakaian, Mitsuhide hanya dapat memandangnya sebagai kerabat
tua yang mencemaskan dirinya.
"Mandi" Ya. Mandi tentu amat menyegarkan di saat seperti ini." Dan ia mengikuti Toshimitsu ke
pemandian. Selama beberapa waktu Toshimitsu mendengarkan Mitsuhide bercebar-cebur di dalam bak air
panas. "Bagaimana kalau hamba menggosok punggung Yang Mulia?" ia berseru dari luar.
"Suruh pelayan saja masuk ke sini," balas Mitsuhide. "Rasanya tidak pada tempatnya kalau aku
memaksa tubuhmu yang tua bekerja seperti itu."
"Tidak apa-apa."
Toshimitsu memasuki pemandian, mengaduk air panas dengan ember kayu kecil, dan berjalan kc
belakang majikannya. Tentunya ia belum pernah melakukan hal serupa, tapi saat itu ia hanya ingin
membangkitkan semangat majikannya.
"Pantaskah seorang jendral menggosok-gosok punggung orang lain?" tanya Mitsuhide. Sekarang
pun ia bersikap merendah. Ia selalu menjaga jarak, bahkan terhadap para pengikutnya sendiri, dan
sesungguhnya patut dipertanyakan apakah sifat ini baik atau buruk. Toshimitsu menganggapnya
sebagai sifat yang tidak menguntungkan.
"Kalau prajurit tua ini bertempur membela panji Yang Mulia, dia adalah Saito Toshimitsu dari marga
Akechi. Tapi Toshimitsu sendiri tidak berdarah Akechi. Karena itu, menggosok-gosok punggung
Yang Mulia, biarpun hanya satu kali ini, merupakan kenangan bagi hamba."
Toshimitsu menggulung lengan baju dan mulai membersihkan punggung majikannya. Ketika
pung-gungnya digosok-gosok, Mitsuhide menundukkan kepala. Ia merenungkan keprihatinan yang
diperlihatkan Toshimitsu, serta hubungan antara dirinya dan Nobunaga.
Ah, aku memang salah, pikirnya. Di lubuk hati yang paling dalam. Mitsuhide menyalahkan dirinya.
Apa yang mengganggu pikiran Mitsuhide dan membuatnya begitu risau" Nobunaga merupakan
21 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
majikan yang baik, tapi apakah pengabdian Mitsuhide sebanding dengan pengabdian pengikut tua
yang kini menggosok-gosok punggungnya" Betapa memalukan. Rasanya seakan-akan Toshimiuu
membilas sanubarinya dengan air panas yang kini disiram ke punggungnya.
Ketika keluar dari pemandian, baik penampilan maupun nada suara Mituhide telah berubah.
Pikirannya sudah kembali jernih, dan Toshimitsu pun menyadarinya.
"Memang lebih enak setelah mandi, persis seperti yang kausarankan. Barangkali aku terlalu lelah
tadi, dan masih terpengaruh sake yang kuminum." "Yang Mulia merasa lebih baik sekarang?"
"Aku tidak apa-apa, Toshimiuu. Jangan khawatir."
"Hamba cemas karena Yang Mulia kelihatan risau tadi. Baiklah, ada yang perlu hamba sampaikan.
Sementara Yang Mulia pergi, kami kedatangan tamu. Dia sedang menunggu yang Mulia."
"Tamu" Di barak ini?"
"Yusho kebetulan berada di Kai, dan dia bilang bahwa sebelum pergi ke tempat-tempat lain, dia
ingin bertemu dan menanyakan keadaan Yang Mulia."
"Di mana dia sekarang ?"
"Hamba mempersilakannya menunggu di kamar hamba."
"O ya" Kalau begitu, mari kita ke sana."
"Dia tentu akan merasa sungkan kalau sang tuan rumah menghampiri tamunya. Hamba akan
memintanya datang ke sini."
"Jangan, jangan. Tamu kita ini seorang seniman. Kita tak perlu bersikap terlalu kaku."
Jamuan makan malam yang mewah untuk Mitsuhide telah disiapkan di bangsal di bangunan utama,
tapi ia memilih duduk di kamar Toshimitsu dan makan seadanya bersama tamunya.
Setelah berbincang-bincang selama beberapa waktu dengan Yusho, wajahnya semakin cerah. Ia
bertanya mengenai gaya lukisan dinasti Sung Utara dan Selatan di Ncgcri Cina, membahas selera
Shogun Ashikaga Yoshimasa dan kelebihan aliran lukisan Tosa, serta membicarakan segala
sesuatu mulai dan gaya Kano sampai pengaruh seni lukis Belanda. Selama perbincangan itu,
tampak jelas bahwa pen-didikan yang dienyam Mitsuhide tidak dangkal.
"Kalau sudah tua nanti, rasanya aku akan menekuni kegiatan yang lebih tenang, dan mungkin
bahkan mencoba melukis. Barangkali, sebelumnya, Tuan bisa membuatkan buku contoh bergambar
untukku." "Tentu, Yang Mulia."
Yusho telah berusaha menyamai gaya seniman Cina kuno, Liang K'ai. Belakangan ia telah
mengem-bangkan aliran sendiri, terlepas dari tradisi Kano maupun Tosa, dan akhirnya ia berhasil
merebut tempat terhormat di dunia seni. Ketika Nobunaga memintanya menghiasi dinding-dinding
geser di Azuchi, ia berpura-pura sakit dan menolak. Bagai-manapun, Yusho pernah menjadi
22 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pengikut marga Saito yang dihancurkan oleh Nobunaga. Dapat dimengerti kalau Yusho tidak rela
menghiasi tempat tinggal Nobunaga dengan goresan kuasnya.
Ungkapan "lembut di luar, keras di dalam" patut digunakan untuk menjelaskan watak Yusho. Yusho
tak dapat mempercayai logika yang mendasari ke-hidupan Mitsuhide. Seandainya Mitsuhide
tersandung, walau hanya satu kali, ia akan menjebol bendungan yang menahan perasaannya dan
akan tergelincir ke arah yang fatal.
Mitsuhide tidur nyenyak malam itu. Mungkin karena ia baru mandi, atau karena tamu yang tak
terduga dan menyenangkan.
Para prajurit bangun sebelum matahari terbit, memberi makan kuda-kuda, mengenakan baju
tempur, menyiapkan perbekalan, dan kini menunggu junjungan mereka. Pagi itu mereka harus
berkumpul di Kuil Hoyo, bertolak dari Suwa, dan menuju Kofu. Kemudian mereka akan menyusuri
jalan pesisir dan kembali ke Azuchi dengan gilang-gemilang.
"Sebaiknya Yang Mulia segera bersiap-siap," Toshimitsu berkata pada Mitsuhide.
"Toshimitsu, semalam aku tidur nyenyak!" "Hamba gembira mendengarnya."
"Kalau Yusho berangkat nanti, sampaikan salam hangat dariku dan bekali dia dengan sejumlah
uang untuk perjalanan."
"Tapi, Yang Mulia, ketika hamba bangun tadi pagi dan mencari-carinya, hamba menemukan bahwa
dia sudah pergi. Rupanya dia terbangun bersama para prajurit sebelum matahari terbit."
Kehidupannya mengirikan hati, pikir Mitsuhide sambil menatap langit.
Saito Toshimitsu membuka segulung kertas. "Dia meninggalkan ini. Hamba pikir dia lupa
membawanya, tapi waktu hamba mengamatinya dari dekat, ternyata tintanya belum mengering.
Kemudian hamba teringat bahwa Yang Mulia memintanya membuatkan buku contoh bergambar.
Hamba rasa dia mengerjakannya sepanjang malam." "Apa" Dia tidak tidur?"
Mitsuhide memandang sekilas gulungan itu. Kertasnya tampak lebih putih dalam cahaya pagi, dan
di atasnya terlihat dahan peoni yang baru saja dilukis. Goresan kuas di pojok lukisan itu berbunyi.
Kesentosaan, inilah kemuliaan.
Kesentosaan, inilah kemuliaan, Mitsuhide berkata dalam hati ketika ia kembali membuka gulungan
itu. Kini ia mellihat lukisan lobak besar, dan di sampingnya tertulis. Menerima tamu merupakan cita
rasa. Lobak itu dilukis dengan tinta India, dan garis-garisnya mengalir lembut. Jika dipandang dengan
saksama, bau tanahnya seakan-akan tercium. Lobak ini bertungsi sebagai akar bagi daun tunggal,
dan daun itu seolah-olah penuh semangat hidup. Penampilannya yang liar seakan-akan
menertawakan Mitsuhide yang selalu penuh perhitungan.
Mitsuhide terus mcmbuka gulungan kertas, tapi ternyata tidak ada apa-apa lagi. Sebagian besar
hanya berupa kertas kosong.
"Rupanya dia menghabiskan sepanjang malam untuk membuat dua lukisan ini."
23 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Toshimitsu juga terkesan, dan membungkuk untuk menikmati lukisan itu bersama Mitsuhide.
Mitsuhide tampaknya enggan melihatnya lebih lama, dan minta agar Toshimitsu menggulungnya.
Pada saat itulah suara sangkakala terdengar di kejauhan, isyarat dari markas besar di Kuil Hoyo
agar seluruh pasukan bersiap-siap. Di kancah perang berdarah, sangkakala merupakan sesuatu
yang amat menakutkan dan mengumandangkan getaran menye-dihkan. Namun pagi itu suaranya
terdengar lembut, bahkan hampir menenangkan.
Tak lama kemudian Mitsuhide pun sudah duduk di atas kudanya. Wajahnya pada pagi itu
menyerupai Pegunungan Kai, tanpa awan dan sedikit pun tanpa bayang-bayang kelabu.
BUKU TUJUH TAHUN TENSHO KESEPULUH 1582 MUSIM SEMI TOKOH dan TEMPAT SHIMIZU MUNEHARU, komandan Benteng
Takamatsu AKECHI MlTSUHARU, sepupu Mitsuhide
AKECHI MITSUTADA, sepupu Mitsuhide
FUJITA DENGO, pengikut senior marga Akechi
AMANO GENEMON, pengikut senior marga Akechi
YOMODA MASATAKA, pengikut senior marga Akechi
MANASE, dokter dari Kyoto
SHOHA dan SHOSITSU, penyair
ODA NOBUTADA, putra sulung Nobunaga
SOTAN dan SOSHITSU, saudagar-saudagar dari Kyushu
24 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
MURAI NAGATO, gubernur Kyoto
TAKAMATSU, benteng Shimizu Muneharu
SAKAMOTO, benteng Akechi Mitsuharu
TAMBA, provinsi marga Akechi
KAMEYAMA, benteng Akechi Mitsuhide
KUIL HONNO, tempat tinggal sementara Nobunaga di Kyoto
KUIL MYOKAKU, tempat tinggal sementara Nobutada di Kyoto
Benteng di Tengah Danau DUA penunggang kuda berpacu melewati gapura Okayama, menerbangkan awan debu ketika
menuju benteng. Sepintas lalu saja mereka menarik perhatian orang-orang. Setelah sampai di
gerbang benteng, keduanya memberitahu para penjaga bahwa mereka membawa pesan penting
dari Yang Mulia Nobunaga di Kai.
Hideyoshi sedang berada di benteng dalam ketika seorang pengikut masuk untuk memberitahukan
kedatangan para kurir, "Suruh mereka tunggu di Ruang Bangau," ia memerintahkan.
Ruangan ini khusus disediakan untuk pembicara-an yang sifatnya amat rahasia. Segera setelah
kedua kurir masuk, Hideyoshi menyusul dan duduk. Salah satu kurir mengeluarkan surat dari lipatan
kimono, dan dengan hormat meletakkannya di hadapan Hideyoshi. Surat itu terbungkus dua atau
tiga lembar kertas minyak. Hideyoshi melepaskan pembungkus luar dan membuka sampulnya.
"Ah, sudah lama aku tidak melihat tulisan tangan Yang Mulia," ia berkata. Sebelum membuka surat
itu. ia menempelkannya ke kening. Bagaimanapun, jun-jungannya sendiri yang menulisnya.
Setelah selesai membaca. Hideyoshi menyelipkan surat itu ke dalam kimononya dan bertanya,
"Berhasilkah pasukan kita di Kai merebut ke-menangan gemilang?"
"Pasukan Yang Mulia bagaikan kekuatan yang tak terbendung. Pada waktu kami bertolak dari Kai,
pasukan Yang Mulia Nobutada sudah sampai di Suwa."
"Itulah ciri Yang Mulia Nobunaga. Rupanya beliau sendiri ikut terjun ke kancah pertempuran. Beliau
tenru bersemangat tinggi."
"Hamba mendengar salah seorang yang ikut dalam operasi itu berkata bahwa mereka melintasi
pegunungan seakan-akan sedang menempuh tamasya musim semi. Kelihatannya Yang Mulia
Nobunaga akan kembali lewat jalan pesisir, sekaligus berpesiar ke Gunung Fuji."
25 Pendekar Bodoh . Ratu Perut Bumi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Para kurir menarik diri. Hideyoshi tidak beranjak dari tempatnya, mengamati lukisan bangau-bangau
putih yang meng (http://cerita-silat.mywapblog.com)
26Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:25:40
hiasi pintu geser. Titik kuning telah ditambahkan pada mata burung-burung, dan sepertinya mereka
membalas tatapan Hideyoshi .
Tak ada pilihan selain Kanbei, ia berkata dalam hati. Hanya dia yang bisa kukirim. Ia memanggil
seorang pelayan dan berkata, "Kuroda Kanbei mestinya sedang berada di benteng luar. Suruh dia
dan Hachisuka Hikoemon datang ke sini."
Hideyoshi mengeluarkan surat tadi dan membacanya sekali lagi. Sebenarnya para kurir bukan
membawa surat, melainkan janji yang diminta Hideyoshi dari Nobunaga. Dengan mudah Hideyoshi
dapat mengumpulkan pasukan berkekuatan enam puluh ribu orang di Okayama. Namun ia tidak
melintasi perbatasan provinsi musuh, Bitchu, yang harus ditaklukkannya dulu jika ia hendak
mengalahkan marga Mori. Masih ada satu rintangan yang menghalangi jalan Hideyoshi ke Bitchu,
dan rintangan itu ingin ia singkirkan - sedapat mungkin tanpa pertumpahan darah. Rintangan itu
berupa benteng utama dari ketujuh benteng yang membentuk garis pertahanan musuh di sepanjang
perbatasan Bitchu: Benteng Takamatsu.
Kanbei dan Hikoemon memasuki ruangan kecil itu, dan Hideyoshi langsung merasa lebih tenang.
"Janji Yang Mulia baru saja tiba," Hideyoshi mulai berkata. "Kelihatannya aku terpaksa
menyusahkan kalian saja. Kuminta kalian pergi ke Benteng Taka-matsu."
"Jika diperkenankan, hamba ingin membaca janji itu," ujar Kanbei.
Kanbei membacanya dengan penuh hormat. seolah-olah berhadapan langsung dengan Nobunaga.
Janji itu ditujukan pada komandan Benteng Takamatsu, Shimizu Muneharu. Nobunaga berjanji, jika
Muneharu menyerah, ia akan mendapat imbalan berupa wilayah yang terdiri atas Provinsi Bitchu
dan Bingo. Nobunaga juga mengemukakan bahwa ia telah berjanji demi para dewa, dan bahwa tak
ada yang dapat memaksanya menarik kembali janji itu.
"Kuminta kau dan Hikoemon secepat mungkin berangkat ke Benteng Takamatsu." Hideyoshi
berkata. "Aku yakin takkan ada masalah saat kalian menemui Jendral Muneharu dan berbicara
dengannya, tapi kalau ada, kurasa dia takkan berkeras setelah mcelihat cap ini."
Hideyoshi tampak optimis, tapi Kanbei dan Hikoemon tak sanggup memperlihatkan keyakinan yang
sama. Mungkinkah Hideyoshi benar-benar percaya bahwa Shimizu Muneharu akan mengkhianati
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marga Mori hanya karena diiming-imingi janji ini, ataukah Hideyoshi menyimpan rencana lain dalam
benaknya" *** Perjalanan dari Okayama ke Benteng Takamatsu memakan waktu kurang dari satu hari, dan para
kurir sampai lebih cepat lagi karena menunggang kuda. Ketika melewati garis depan mereka
sendiri, mereka melihat ke arah Pegunungan Kibi, memandang matahari merah yang sedang
terbenam. Mulai dari titik ini, siapa pun yang mereka jumpai merupakan musuh. Ini bukan musim semi seperti
yang dulu mereka tinggalkan di Okayama. Ladang-ladang dan desa-desa tampak gersang.
1 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Seorang penunggang kuda berpacu dari garis depan ke pagar pertahanan yang mengelilingi
Benteng Takamatsu dan menunggu perintah. Akhirnya Kanbei dan Hikoemon digiring melewati pagar pertahanan dan dibawa ke gerbang benteng.
Takamatsu merupakan contoh tipikal benteng yang dibangun di sebuah dataran. Di kiri-kanan jalan
yang menuju gerbang utama terdapat sawah dan ladang. Tanggul-tanggul dan tembok-tembok luar
berdiri di tengah-tengah sawah. Dengan setiap langkah menaiki tangga batu, tembok pertahanan
dan dinding-dinding benteng utama yang tajam dan runcing semakin dekat menjulang di atas
kepala. Setelah memasuki benteng dalam, para utusan sadar bahwa inilah benteng terkuat dari ketujuh
benteng di sepanjang perbatasan. Mereka melihat lapangan luas, dan walaupun lebih dan dua ribu
prajurit ditempatkan di sini, suasananya sunyi. Akibat keputusan Muneharu untuk berperang,
benteng itu juga menampung tiga ribu pengungsi. Muneharu telah bertekad untuk menghadapi
serbuan pasukan dari Timur di benteng yang satu ini.
Kanbei dan Hikoemon diantar ke sebuah ruangan kosong. Tanpa tongkat penyangga, Kanbei
masuk terpincang-pincang.
"Yang Mulia Muneharu akan segera menemui Tuan-Tuan," ujar pelayan yang mengantar mereka.
Usianya kurang dari dua puluh tahun, dan pada waktu ia meninggalkan ruangan, sikapnya tak
berbeda dari sikapnya di masa damai.
Kemudian Jendral Muneharu masuk, duduk tanpa banyak lagak, dan berkata. "Aku Shimizu
Muneharu. Aku diberitahu bahwa Tuan-Tuan merupakan utusan Yang Mulia Nobunaga. Selamat datang."
Usianya sekitar lima puluh tahun, rendah hati, dan berpakaian sederhana. Ia tidak diapit pengikut di
kirikanan, hanya ada pelayan berumur sebelas atau dua belas tahun yang berlutut di belakangnya.
Orang itu demikian bersahaja, sehingga ia mungkin dianggap sebagai kepala kampung, seandainya
tidak membawa pedang dan disertai pelayan.
Kanbei bersikap teramat sopan terhadap jendral yang sederhana ini. "Sungguh suatu kehormatan
bagiku, bisa berkenalan dengan Tuan. Namaku Kuroda Kanbei."
Setelah Kanbei dan Hikoemon memperkenalkan diri, Muneharu membungkuk ramah. Kedua utusan
merasa gembira, menganggap bahwa mereka takkan mengalami kesulitan membujuk Muneharu
agar beralih ke pihak mereka.
"Hikoemon," ujar Kanbei. "tolong sampaikan pokok isi pesan Yang Mulia kepada Jendral
Muneharu." Pada umumnya, pembicaraan seperti ini dibuka oleh utusan berkcdudukan lebih senior,
namun Kanbei beranggapan bahwa penjelasan oleh Hikoemon, yang lebih tua dan lebih matang,
akan lebih membawa hasil.
"Perkenankan aku menjelaskan maksud keda-tangan kami, Tuan Jendral. Yang Mulia Hideyoshi
telah memerintahkan kami untuk berbicara apa adanya, jadi itulah yang akan kulakukan. Yang
Mulia Hideyoshi sedapat mungkin ingin menghindari pertcmpuran yang sia-sia. Kukira Tuan Jendral
menyadari bagaimana keadaan di daerah Barat. Dalam hal pasukan, kami dengan mudah dapat
mengerahkan seratus lima puluh ribu prajurit, sementara pihak Mori hanya mempunyai empat puluh
2 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
lima, atau paling banyak lima puluh ribu. Ditambah lagi, para sekutu marga Mori - marga Uesugi
dari Echigo, marga Takeda dari Kai, para biksu-prajurit dari Gunung Hiei dan Honganji, serta sang
Shogun - semuanya sudah dihancurkan. Apa alasan moral yang kini dapat dikemukakan marga
Mori untuk bertcmpur dan menghanguskan daerah Barat"
"Di pihak lain," Hikoemon melanjutkan, "Yang Mulia Nobunaga telah memperoleh dukungan sang
Tenno, serta dicintai dan dihormati oleh rakyat. Bangsa ini akhirnya bangkit dari kegelapan perang
sipil dan menyongsong fajar baru. Yang Mulia Hideyoshi merasa terusik oleh bayangan bahwa Tuan
Jendral dan banyak orang yang mengabdi pada Tuan Jendral akan mencmui ajal. Beliau
bertanya-tanya. adakah cara untuk menghindari pengorbanan itu, dan minta agar Tuan jendral
memikirkannya sekali lagi."
Sambil mcngeluarkan janji Nobunaga dan sepucuk surat dari Hideyoshi, Kanbei angkat bicara. "Aku
tidak akan membicarakan soal untung-rugi. Aku hanya ingin memperlihatkan sesuatu pada Tuan
Jendral, yang memperlihatkan maksud Yang Mulia Hideyoshi dan Yang Mulia Nobunaga. Mereka
sama-sama menghargai prajurit tangguh. Yang Mulia Nobunaga telah berjanji untuk memberikan
Provinsi Bitchu dan Bingo kepada Tuan Jendral."
Dengan hormat Muneharu membungkuk ke arah dokumen itu, tapi tidak meraihnya. Ia berkata pada
Kanbei, "Ucapan Tuan sungguh berlebihan, dan dokumen ini menjanjikan imbalan yang tak patut
kuterima. Aku tidak tahu harus berkata apa. Upah yang kuterima dari marga Mori tak lebih dari tujuh
ribu gantang, dan sebenarnya aku hanya samurai desa yang sudah mulai tua."
Muneharu tidak menyinggung soal persetujuan. Kemudian suasana menjadi hening. Kedua utusan
duduk dengan tegang. Apa pun yang mereka katakan padanya, ia hanya mengulangi dengan
ramah dan penuh hormat, "Ini lebih dari adil."
Baik kematangan Hikoemon maupun kecemer-langan Kanbei tampak tak berguna menghadapi
orang ini. Namun sebagai utusan mereka bertekad mendobrak tembok dan menempuh upaya
terakhir. "Kami telah mengemukakan semua yang bisa dikatakan," ujar Kanbei. " Tapi jika Tuan Jendral ingin
menambahkan syarat atau keinginan tertentu, kami akan mendengarkannya dengan senang hati
dan menyampaikannya pada Yang Mulia Nobunaga dan Yang Mulia Hideyoshi. Aku berharap Tuan
Jendral tidak segan-segan."
"Tuan minta aku tidak segan-segan?" tanya Muneharu, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.
Kemudian ia menatap kedua laki-laki di hadapannya. "Hmm, aku tidak tahu apakah Tuan-Tuan
berkenan mendengarkannya. Harapanku hanya satu, yaitu semoga aku tidak menyimpang dari
jalan yang benar di akhir hayatku ini. Dalam hal kesetiaan terhadap sang Tenno, marga Mori tidak
lebih baik maupun lebih buruk daripada junjungan Tuan-Tuan. Betapapun tak berartinya, aku tetap
pengikut marga Mori, dan walaupun aku hanya berpangku tangan, seama bertahun-tahun aku
menerima upah dari mereka. Seluruh keluargaku telah menikmati kemurahan hati mereka, dan
sekarang, di masa penuh pcrgolakan ini, aku diperintahkan menjaga perbatasan. Kalaupun aku
bermaksud mengambil ke-untungan, menerima tawaran Yang Mulia Hideyoshi dan menjadi
penguasa dua provinsi, aku takkan sebahagia sekarang. Seandainya aku mengabaikan marga
junjunganku, di mana aku harus menaruh mukaku" Paling tidak, aku akan dianggap munafik oleh
kerabat dan para pengikutku, dan aku akan melanggar setiap aturan yang kuajarkan pada mereka."
Ia tertawa. "Aku menghargai kebaikan hati yang Tuan-Tuan peliihatkan padaku, tapi tolong
sampaikan pada Yang Mulia Hideyoshi agar urusan ini dilupakan saja."
3 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sambil menggelengkan kepala, seakan-akan sangat menyesal, Kanbei berbicara cepat dan tegas,
"Aku tak bakal bisa membujuk Tuan Jendral. Hikoemon, sebaiknya kita kembali saja."
Hikoemon merasa kecewa karena mereka gagal, tapi inilah yang dicemaskannya sejak awal.
Keduanya telah meramalkan bahwa Muneharu tak dapat disuap. "Jalanan tidak aman pada malam
hari. Mengapa Tuan-Tuan tidak bermalam di benteng, lalu berangkat pagi-pagi besok?" Muneharu
menawarkan. Ia tidak sekadar berbasa-basi, dan kedua utusan pun sadar bahwa ia memang orang
yang ramah. Muneharu musuh mereka, tapi kejujurannya tak perlu diragukan.
"Tidak, Yang Mulia Hideyoshi tentu sudah menanti-nanti jawaban Tuan Jendral," balas Hikoe-mon.
Ia dan Kanbei minta obor, lalu berangkat. Karena khawatir mereka mungkin mencmui kesulitan,
Muneharu menyuruh tiga pengikutnya menyertai mereka sampai ke garis depan.
Kanbei dan Hikoemon menempuh perjalanan ke dan dari Benteng Takamatsu tanpa berhenti untuk
beristirahat atau tidur. Begitu tiba di Okayama, mereka langsung menghadap Hideyoshi. Laporan
mereka singkat dan apa adanya. "Yang Mulia Muneharu menolak menyerah. Dia telah
membulatkan tekad, dan setiap usaha untuk melanjutkan negosiasi takkan membawa hasil."
Hideyoshi tidak tampak terkejut. Ia menyuruh kedua orang itu menghadap lagi setelah beristirahat.
Belakangan pada hari itu, Hideyoshi memanggil para utusan dan beberapa jendralnya untuk
mengadakan rapat. Sambil menunjuk peta daerah itu, Kanbei berkata, "Ketujuh benteng musuh terletak di sini, di sini,
dan di sini." Hideyoshi mengalihkan pandangannya dari peta dan meregangkan tubuh, seakan-akan merasa
lelah. Sebelumnya ia telah menerima kabar kemenangan Nobunaga di Kai. Ketika membandingkan
keberhasilan junjungannya yang begitu mudah tercapai dengan kesulitan-kcsulitan yang
dihadapinya, ia berharap keberuntungannya akan membaik. Ia segera mengirim surat pada
Nobunaga, untuk memberi selamat dan menjelaskan upaya-upaya yang ditempuhnya, dan untuk
memberitahukan bahwa ia telah membatalkan niatnya untuk membujuk Shimizu Muneharu agar
menyerah. Sekitar pertengahan Bulan Ketiga, kedua puluh ribu prajurit yang telah siaga di Himeji tiba di
Okayama, dan marga Ukita mengirim sepuluh ribu orang lagi. Jadi, dengan pasukan berkekuatan
tiga puluh ribu orang, Hideyoshi pelan-pelan bergerak memasuki Bitchu. Namun, ketika mereka
baru maju kira-kira tiga mil, ia sudah menghentikan pasukan dan menunggu laporan para pengintai;
setelah enam mil lagi, ia kembali berhenti dan melakukan pengintaian. Semua prajurit sudah
mengetahui kemenangan gemilang di Kai, jadi banyak yang dibuat frustrasi oleh sikap Hideyoshi
yang amat berhati-hati ini. Beberapa orang bahkan sesumbar bahwa Benteng Takamatsu dan
benteng-benteng lain yang lebih kecil dapat direbut dengan satu serbuan saja.
Namun, setelah mengetahui kondisi medan serta posisi-posisi musuh, mereka terpaksa mengakui
bahwa memang sukar meraih kemenangan cepat.
Hideyoshi mendirikan perkemahan pertama di Bukit Ryuo, sebuah dataran tinggi jauh di sebelah
utara Benteng Takamatsu. Dari sana ia bisa melihat langsung ke dalam benteng. Dalam sekejap ia
4 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
telah mempelajari medan dan hubungan antara ketujuh benteng musuh. Ia juga dapat mengawasi
pergerakan pasukan dari markas besar pihak Mori, sehingga setiap pengiriman bala bantuan takkan
luput dari perhatiannya. Hideyoshi mengawali operasi dengan merebut benteng-benteng yang lebih kecil satu per satu,
sampai hanya Takamatsu yang tersisa. Prihatin karena perkembangan tidak menguntungkan ini,
Muneharu berutang kali mengirim pesan kepada marga Mori, memohon bantuan. Kurir demi kurir
diutus, masing-masing dengan membawa permohonan yang semakin mendesak, tapi keadaan tidak
memungkinkan pihak Mori melancarkan serangan balasan. Mereka memer-lukan waktu beberapa
minggu untuk mengerahkan pasukan-pasukan berkekuatan empat puluh ribu orang dan menuju
Benteng Takamatsu. Satu-satunya yang dapat mereka lakukan hanyalah membesarkan hati
Muneharu agar terus bertahan, dan meyakinkannya bahwa bala bantuan sedang dalam perjalanan.
Kemudian segala komunikasi antara benteng itu dan para sckutunya terputus.
Pada hari kedua puluh tujuh di Bulan Kccmpat. Hideyoshi memulai pengepungan Benteng
Taka-matsu. Tapi kelima belas ribu prajurit di markasnya di Bukit Ryuo tidak bergerak. Hideyoshi
menempatkan lima ribu orang di daerah tinggi di Hirayama, sementara kesepuluh ribu prajurit dari
marga Ukita disiagakan di Gunung Hachiman.
Para jendral Hideyoshi mengambil posisi di belakang pasukan Ukita. Susunan pasukannya
menyerupai susunan awal pada papan go, dan penem-patan para pengikutnya di belakang pasukan
Ukita, yang belum lama berselang masih bersekutu dengan marga Mori, merupakan tindakan
berjaga-jaga. Sejak hari pertama telah terjadi pertempuran-pertempuran kecil di antara barisan depan kedua
pasukan. Kuroda Kanbei, yang baru kembali setelah memeriksa garis depan, menghadap Hideyoshi
dan melaporkan bentrokan berdarah di hari pertama.
"Dalam pertempuran tadi pagi," Kanbei mulai berkata. "korban di pihak pasukan Yang Mulia Ukita
berjumlah lebih dari lima ratus orang, sementara musuh kehilangan tak lebih dari seratus orang.
Delapan puluh prajurit musuh tewas, dan dua puluh ditawan, tapi hanya karena mereka cedera
berat." "Mcmang sudah bisa diduga," ujar Hideyoshi.
"Benteng ini takkan bertekuk lutut tanpa pertumpahan darah. Tapi kelihatannya orang-orang Ukita
bertempur dengan gagah."
Kesetiaan pasukan Ukita telah diuji, dan mereka lulus.
*** Pada Bulan Kelima, cuaca berubah cerah dan kering. Pasukan Ukita, yang kehilangan banyak
orang di awal peperangan, menggali parit perlindungan di muka tembok benteng. Mereka bekerja
selama lima malam, dilindungi oleh kegelapan. Begitu parit tersebut rampung, mereka kembali
melancarkan serangan. Ketika pasukan penjaga benteng melihat para prajurit Ukita sudah maju sampai ke gerbang dan
tembok sebelah luar, mereka tak henti-hentinya mencerca. Tak sukar membayangkan kemarahan
yang mereka rasakan terhadap orang-orang yang semula bersekutu dengan mereka, tapi kini
5 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bertempur sebagai barisan depan Hideyoshi. Begitu mendapat kesempatan, pasukan Muneharu
membuka gerbang dan menyerbu keluar.
"Serang belatung-belatung ini!" mereka memekik. "Bunuh semuanya!"
Samurai melawan samurai, prajurit melawan samurai, mereka bergulat dan saling hantam.
Kepala-kepala dipenggal dan diacung-acungkan, dan mereka bertempur dengan kegarangan yang
jarang terlihat di medan perang.
"Mundur! Mundur!" para jendral Ukita tiba-tiba berseru di tengah-tengah awan asap dan debu.
Sambil mendelik ke arah pasukan Ukita yang bergerak mundur, para penjaga benteng terbawa
emosi hendak menginjak-injak musuh. Mereka mulai mengejar sambil berseru, "Tumpas mereka!"
dan "jangan berhenti sebelum panji-panji mereka ada di tangan kita!"
Komandan barisan depan terlambat melihat parit perlindungan yang membentang di hadapan anak
buahnya. Melihat perangkap yang menghadang, ia berusaha menghentikan mereka, tapi mereka
terus maju, tanpa menyadari bahaya yang mengancam. Seketika terdengar letusan senapan dan
asap mesiu menggumpal-gumpal dari parit. Para penyerang terhuyung-huyung, berjatuhan.
"Mereka pasang perangkap! Jangan masuk perangkap musuh! Tiarap! Tiarap!" si komandan
berseru. "Biarkan mereka menembak! Tunggu sampai mereka harus mengisi senapan, lalu sergap
mereka!" Sambil melepaskan teriakan perang yang menegakkan bulu roma, beberapa orang mengorbankan
diri; mereka bangkit untuk memancing tembakan musuh dan dihujani peluru. Sambil menaksir
selang waktu sebelum berondongan berikut, yang lainnya berlarian ke parit dan melompat ke
dalamnya. Dalam sekejap tanah telah merah karena darah.
Malam itu hujan mulai turun. Panji-panji dan petak-petak bernilai di Bukit Ryuo basah kuyup.
Hideyoshi berlindung di sebuah pondok dan mengamati awan-awan musim hujan. Tampangnya
tidak gembira. Ia memandang berkeliling dan berseru pada seorang pengikut, "Toranosuke, suara hujankah itu
atau bunyi langkah seseorang" Coba kauperiksa."
Toranosuke keluar, tapi segera masuk lagi dan melaporkan. "Yang Mulia Kanbei baru kembali dari
medan laga. Dalam perjalanan ke sini, salah satu pengusung tandunya terpeleset di jalan setapak
yang curam, dan Yang Mulia Kanbei terjatuh. Beliau terpaksa digotong. Yang Mulia Kanbei hanya
tertawa, seolah-olah merasa geli."
Mengapa Kanbei berada di garis depan saat hujan seperti ini" Seperti biasa, Hideyoshi terkesan
oleh semangat Kanbei yang tak kenal lelah.
Toranosuke menyingkir ke ruangan sebelah dan meletakkan kayu bakar ke dalam tungku. Seiring
datangnya hujan, nyamuk mulai menetas. Serangga-serangga itu sangat mengganggu, terutama
pada malam hari. Api di tungku menambah suasana pengap, tapi paling tidak juga mengusir
kawanan nyamuk. "Banyak sekali asap di sini," ujar Kanbei, terbatuk-batuk. Terpincang-pincang ia melewati para
6 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pelayan dan memasuki ruangan Hideyoshi tanpa memberi-tahukan kedatangannya.
Tak lama kemudian ia dan Hideyoshi sudah asyik bercakap-cakap. Suara mereka seakan-akan
saling bersaing. "Kurasa ini takkan mudah," kata Hideyoshi . Hideyoshi dan Kanbei terdiam sejenak mendengarkan hujan membentur atap pondok darurat itu.
"Ini hanya masalah waktu," ujar Kanbei. "Serangan habis-habisan kedua mengandung risiko besar.
Namun di pihak lain, jika kita membiarkan pengepungan berlangsung berkepanjangan, itu pun tidak
bebas dari bahaya. Keempat puluh ribu prajurit Mori mungkin tiba di sini dan menyerang kita dari
belakang, dan kalau begitu, kita akan terjepit di antara mereka dan orang-orang di dalam Benteng
Takamatsu." "Inilah yang mengusik pikiranku di musim hujan ini. Apakah kau tidak punya ide yang baik, Kanbei?"
"Selama dua hari terakhir hamba menyusun garis depan, mengamati posisi benteng musuh dan
kondisi medan sekitarnya. Saat ini hamba hanya punya satu rencana yang dapat kita pakai untuk
mempertaruhkan semuanya."
"Penaklukan Benteng Takamatsu bukan masalah penaklukan satu benteng musuh semata-mata."
Hideyoshi berkata. "Jika benteng itu berhasil kita rebut, tak lama kemudian Benteng Yoshida akan
menyusul. Tapi kalau kita sampai tersandung di sini, jerih payah kita selama lima tahun akan
sia-sia. Kita perlu rencana, Kanbei. Orang-orang di ruang sebelah sudah kusuruh menyingkir, jadi
kau bisa bicara dengan bebas. Aku ingin tahu apa yang kaupikirkan." "Tak sepatutnya hamba
berkata begini, tapi rasanya tuanku juga harus menyusun rencana." "Aku tidak membantahnya."
"Bolehkah hamba menanyakan rencana tuanku lebih dulu?"
"Bagaimana kalau kita tuliskan saja?" Hideyoshi mengusulkan, lalu mengambil kertas, kuas, dan
tinta. Setelah selesai, keduanya bertukar lembaran kertas. Hideyoshi menuliskan satu kata, "air", dan
Kanbei menuliskan dua kata, "serangan air".
Sambil tertawa keras-kcras, keduanya meremas-remas kertas di tangan masing-masing dan
menyelipkannya ke dalam lengan kimono.
"Kecerdasan manusia rupanya tidak melewati batas-batas tertentu," Hideyoshi berkomentar.
"Itu benar," ujar Kanbei. "Benteng Takamatsu terletak di sebuah dataran yang dikelilingi
gunung-gunung. Selain itu, Sungai Ashimori dan tujuh sungai lain membelah dataran tersebut.
Mestinya tidak sukar membelokkan aliran sungai-sungai itu dan membanjiri benteng. Ini rencana
berani yang mungkin bahkan tak terpikir oleh kebanyakan jendral. Hamba kagum betapa ceparnya
tuanku memahami situasi yang kita hadapi. Tapi mengapa tuanku ragu-ragu untuk bertindak?"
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm, sejak zaman dulu sudah banyak contoh mengenai serangan api yang berhasil menaklukkan
benteng musuh, tapi hampir tak pernah ada serangan dengan memanfaatkan air."
7 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Rasanya hal seperti ini disinggung dalam catatan sejarah militer mengenai Dinasti Han dan
mengenai masa Tiga Kerajaan. Dalam salah satu catatan, hamba membaca sesuatu tentang negeri
kita sendiri selama masa pemerintahan Kaisar Tenchi. Ketika jepang diserbu pasukan Cina,
prajurit-prajurit kita mendirikan tanggul untuk menyimpan air. Dan pada waktu orang-orang Cina
menyerang, para prajurit Jepang diperintahkan mcnjebol semua tanggul agar musuh tersapu air
bah." "Memang, tapi rencana itu akhirnya tidak jadi dilaksanakan, karena pasukan Cina lebih dulu
bergerak mundur. Jika kita melaksanakan rencana kita ini, aku akan menggunakan strategi yang
belum pernah dicoba. Jadi, aku harus menyuruh beberapa orang yang memahami geografi untuk
menentukan apa saja yang dibutuhkan, baik dari segi waktu, biaya, dan tenaga."
Yang diinginkan Hideyoshi bukan sekadar perkira-an kasar, melainkan angka-angka yang tepat
serta rencana tanpa cela.
"Tentu saja. Salah satu pengikut hamba sangat piawai dalam hal-hal seperti ini, dan jika tuanku
meyuruhnya segera menghadap, hamba percaya dia dapat memberikan jawaban yang jelas
sekarang juga. Sesungguhnya, strategi yang hamba susun didasarkan atas gagasan orang ini."
"Siapa dia?" tanya Hideyoshi.
"Yoshida Rokuro," balas Kanbei.
"Hmm, suruh dia ke sini." Kemudian Hideyoshi menambahkan. "Aku juga punya orang yang
menguasai bidang konstruksi dan memahami kondisi medan. Bagaimana kalau dia kita panggil juga
supaya bisa bicara langsung dengan Rokuro?"
"Hamba setuju. Siapakah dia?"
"Dia bukan pengikutku, melainkan samurai dari Bitchu. Namanya Senbara Kyuemon. Dia ada di sini
sekarang, dan dia khusus kutugaskan membuat peta daerah ini."
Hideyoshi bertepuk tangan untuk memanggil pelayan, tapi rupanya semua pembantu pribadi dan
pelayan menyingkir agak jauh, dan bunyi tepuk tangannya tidak sampai ke tempat mereka. Suara
hujan membuatnya semakin tidak terdengar. Hide-yoshi berdiri, melangkah ke ruang sebelah dan
berseru dengan nada yang lebih pantas digunakan di medan tempur. "Hei! Apa tidak ada
siapa-siapa di sini?"
Begitu diputuskan untuk melancarkan serangan air, perkemahan utama di Bukit Ryuo dipandang
tidak memadai lagi. Pada hari ketujuh di Bulan Kelima, Hideyoshi pindah ke Bukit Ishii, yang dipilih
karena dari sana orang dapat langsung memandang ke dalam Benteng Takamatsu.
Keesokan harinya Hideyoshi berkata. "Mari kita mulai mengukur jarak-jarak."
Hideyoshi, disertai sekitar setengah lusin jendral, berkuda ke sebelah barat Benteng Takamatsu, ke
Monzen, di tepi Sungai Ashimori. Selama perjalanan, pandangannya terus melekat pada benteng di
sebelah kanannya. Sambil mengusap keringat dari wajah, Hideyoshi memanggil Kyuemon. "Berapa
jarak dari punggung Bukit Ishii ke Monzen?" ia bertanya.
"Kurang dari tiga mil," jawab Kyuemon. "Coba kulihat petamu."
8 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hideyoshi mengambil peta dari Kyuemon, lalu membandingkan rencana pembangunan tanggul
de-ngan kondisi medan. Di tiga sisi terdapat gunung-gunung, membentuk format menyerupai teluk
alami, di sebelah barat membentang dari Kibi sampai ke gunung-gunung di daerah hulu Sungai
Ashimori; di utara dari Bukit Ryuo ke pegunungan di sepanjang perbatasan Okayama; di timur
sampai ke sisi Bukit Ishii dan Kawazugahana. Benteng Takamatsu terletak tepat di tengah-tengah
dataran terbuka ini. Hideyoshi mengembalikan peta pada Kyuemon. Ia meyakini kelayakan proyek ini. Sekali lagi ia
menaiki kudanya. "Mari berangkat," ia berseru kepada para pembantunya, lalu berkata pada Rokuro
dan Kyuemon, "aku akan berkuda dari sini ke Bukit Ishii. Tentukan ukuran tanggul dengan
mengikuti jejak kudaku."
Hideyoshi mengarahkan kudanya ke timur dan langsung memacunya, menempuh garis lurus dari
Monzen ke Harakoza. lalu mengambil jalan melingkar dari sana ke Bukit Ishii. Kyuemon dan Rokuro
berlari mengikutinya, meninggalkan jejak tepung beras. Mereka disusul rombongan pekerja yang
menancapkan pasak untuk menandai garis tanggul.
Pada waktu garis itu berubah menjadi tanggul, seluruh daerah itu akan menjadi danau besar
berbentuk daun lotus yang setengah terbuka. Ketika orang-orang mengamati medan yang
membentuk perbatasan antara Bizen dan Bitchu, mereka menyadari bahwa di masa silam wilayah
itu pernah menjadi bagian dari laut. Perang telah dimulai. Bukan perang berdarah, melainkan
perang melawan bumi. Tanggul itu akan membentang sejauh tiga mil; lebarnya sepuluh meter di puncaknya dan dua puluh
meter di dasarnya. Yang menjadi masalah adalah tingginya yang harus proporsional dengan tinggi
tembok Benteng Takamatsu, yang merupakan sasaran serangan air.
Faktor utama yang menjamin keberhasilan serangan air itu adalah kenyataan bahwa tembok luar
benteng tersebut hanya setinggi empat meter. Karena itu, tinggi tanggul sebesar delapan meter
merupakan hasil perhitungan atas dasar empat meter. Jika air naik sampai ketinggian itu, bukan
tembok luar saja yang akan terbenam, melainkan seluruh benteng akan tertutup air setinggi dua
meter. Namun jarang sekali sebuah proyek berhasil dirampungkan mendahului jadwal yang telah disusun.
Dan masalah yang begitu mengusik Kanbei adalah masalah tenaga kerja, terpaksa mengandalkan
para pectani setempat. Tapi penduduk di desa-desa sekitar tinggal sedikit. Muneharu telah
menampung lebih dari lima ratus keluarga petani sebelum pengepungan dimulai, dan banyak lagi
yang melarikan diri ke gunung.
Para petani yang mengungsi ke benteng telah bertekad hidup atau mati bersama junjungan mereka.
Mereka orang baik, bersahaja, dan telah bertahun-tahun mengabdi pada Muneharu. Banyak di
antara mereka yang memilih tinggal di desa-desa merupakan orang berwatak buruk, atau orang
yang mencari kesempatan dan bersedia bekerja di medan perang.
Hideyoshi juga dapat mengandalkan bantuan Ukita Naoie, dan Kanbei sanggup mengerahkan
beberapa ribu orang dari Okayama. Namun yang mengganggu pikirannya bukanlah mengumpulkan
orang sebanyak itu; masalahnya adalah bagaimana caranya memanfaatkan mereka seefisien
mungkin. 9 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Suatu ketika, pada waktu melakukan inspeksi, ia memanggil Rokuro dan minta laporan mengenai
kemajuan yang telah dicapai.
"Hamba sangat menyesal, tapi ada kemungkinan kami tidak dapat menepati jadwal yang ditentukan
Yang Mulia," Rokuro membalas dengan sedih.
Bahkan orang secermat Rokuro pun tak mengerti bagaimana membuat para buruh dan bajingan
mau bekerja keras. Untuk ini, di sepanjang tanggul telah dibangun pos-pos jaga, berjarak sembilan
puluh meter satu sama lain, dan di masing-masing pos ditempatkan beberapa prajurit yang bertugas
memacu para pekerja. Tapi karena prajurit-prajurit ini hanya disuruh mengawasi pembangunan,
para pekerja yang berjumlah ribuan, yang mengayunkan pacul dan memanggul tanah seperti
semut, tetap bekerja dengan lamban.
Kecuali itu, jadwal yang ditetapkan Hideyoshi sangat ketat. Siang dan malam ia menerima
pesan-pesan penting. Keempat puluh ribu prajurit Mori telah dipecah menjadi tiga pasukan,
masing-masing di bawah komando Kikkawa, Kobayakawa, dan Teru-moto, dan mereka semakin
mendekati perbatasan provinsi.
Kanbei memperhatikan para pekerja. Lelah karena bekerja siang-malam, beberapa orang nyaris tak
bergerak sama sekali. Mereka hanya punya waktu dua minggu untuk menuntaskan pembangunan.
Dua hari. Tiga hari. Lima hari berlalu.
Dalam hati Kanbei mengeluh. Kemajuannya begitu lambat, sehingga kita takkan sanggup
menye-lesaikan tanggul ini dalam lima puluh hari, atau bahkan seratus hari, apalagi dua minggu.
Rokuro dan Kyuemon tak sempat memejamkan mata. Mereka terus mengawasi para pekerja.
Namun, apa pun yang mereka lakukan, para pekerja tetap tidak puas dan besar mulut. Lebih buruk
lagi, beberapa orang sengaja mengacaukan jadwal pembangunan dengan menghasut rekan-rekan mereka yang lumayan rajin agar bekerja dengan lambat.
Kanbei tak sanggup menyaksikannya sambil berpangku tangan. Akhirnya ia sendiri turun ke
lapangan. Sambil berdiri di atas gundukan tanah basah, di salah satu bagian tanggul yang sudah
rampung, ia memandang ke bawah dengan mata menyala-nyala, mengawasi para pekerja . Setiap
kali menemukan seseorang yang bekerja setengah hati, ia bergegas mcnghampiri dengan
kecepatan yang tak terbayangkan bagi orang cacat, dan menghajar orang yang bersangkutan
dengan tongkat. "Hei, tidak bisakah kau bekerja lebih giat" Kenapa kau bermalas-malasan?"
Para pekerja gemeiar ketakutan dan bekerja dengan giat, tapi hanya selama Kanbei mengawasi
mereka. "Awas, si Siluman Pincang melihat ke sini lagi!" Akhirnya Kanbei melaporkan hal tersebut pada
Hideyoshi. "Pembangunannya tak mungkin selesai pada waktunya. Hamba mohon tuanku sudi
menyusun suatu strategi untuk menghadapi kemung-kinan bala bantuan Mori tiba pada waktu
tanggul baru setengah rampung. Memaksa para buruh untuk bekerja lebih sukar daripada mengatur
pasukan." 10 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tidak seperti biasanya. Hideyoshi tampak gelisah. Sambil membisu ia berhitung menggunakan jari.
Setiap jam ia mendapat laporan mengenai pergerakan pasukan Mori.
"Jangan purus asa, Kanbei. Kita masih punya tujuh hari lagi.
"Kurang dari sepertiga yang sudah rampung. Bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan tanggul
dalam waktu yang masih terstsa?"
"Pasti bisa." Untuk pertama kali ucapan Hideyoshi berlawanan dengan ucapan Kanbei, "Kita pasti
bisa menyelesaikannya. Tapi tidak kalau ketiga ribu pekerja kita hanya mengerahkan tenaga tiga
ribu orang. Kalau setiap orang bekerja seperti tiga atau bahkan lima orang, kita punya tenaga
sepuluh ribu orang. Kalau para samurai yang mengawasi mereka bertindak dengan cara yang
sama, satu orang dapat mengerahkan semangat sepuluh orang, dan kita dapat mencapai apa saja
yang kita inginkan. Kanbei, aku sendiri akan pergi ke lapangan."
Keesokan paginya, seorang petugas berjubah kuning berkeliling di tempat pembangunan,
memerintahkan para buruh agar berhenti bekerja dan menyuruh mereka berkumpul di sekeliling
bendera yang dipasang di atas tanggul.
Para pekerja yang bertugas malam dan kini hendak pulang, serta orang-orang yang baru datang,
semuanya mengikuti mandor masing-masing. Ketika ketiga ribu pekerja itu berkumpul, rasanya
sukar untuk membedakan warna tanah dari warna kulit mereka .
Mereka maju dengan gelisah, namun mereka tetap bersikap angkuh, terus berkelakar dan
berolok-olok. Tiba-tiba semuanya terdiam ketika Hideyoshi menuju kursi yang berada di samping
bendera. Para pelayan dan pengikutnya berada di kedua sisinya. Si Siluman Pincang, yang setiap
hari menjadi sasaran kebencian para buruh, berdiri di samping, bertumpu pada tongkatnya. Ia
berbicara pada mereka dari atas tanggul.
"Hari ini Yang Mulia Hideyoshi berkeinginan mendengar keluhan-keluhan kalian. Seperti kalian
ketahui, waktu yang disediakan untuk membangun tanggul ini sudah habis setengahnya, tapi
pembangunannya terlalu lamban. Yang Mulia Hideyoshi berpendapat bahwa salah satu sebabnya
adalah karena kalian tidak bekerja dengan sungguh-sungguh. Beliau menyuruh kalian berkumpul di
sini agar kalian dapat menjelaskan secara terus terang apa yang membuat kalian tidak puas, dan
apa yang kalian kehendaki."
Kanbei berhenti sejenak dan menatap para pekerja. Di sana-sini ia melihat orang saling
berbisik-bisik. "Para mandor tentu memahami perasaan anak buah mereka. Jangan sia-siakan kesempatan ini
untuk mengemukakan keluhan kalian pada Yang Mulia. Kuminta lima atau enam orang naik ke sini
sebagai wakil untuk menyampaikan keinginan kalian. Setiap tuntutan yang memang beralasan pasti
akan mendapat tanggapan."
Menyusul ucapan Kanbei, seorang laki-laki jangkung, bertelanjang dada, dan dengan ekspresi
membangkang, melangkah maju. Penuh nafsu ia naik ke atas tanggul, seakan-akan hendak
dianggap pahlawan oleh rekan-rekannya. Melihat ini, tiga atau empat pekerja menyusulnya.
"Hanya ini wakil kalian?" tanya Kanbei.
11 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika menghampiri tempat duduk Hideyoshi, mereka masing-masing berlutut di tanah.
"Kalian tidak perlu berlutut." ujar Kanbei. "Yang Mulia Hideyoshi telah bermurah hati dengan
memberi keecmpatan untuk menjelaskan ketidakpuasan yang kalian rasakan. Kini kalian
menghadap beliau sebagai wakil semua pekerja, jadi bicaralah terus terang. Apakah pembangunan
tanggul ini bisa selesai pada waktunya, tergantung pada kalian. Kami minta kalian memberitahukan
alasan ketidakpuasan yang kalian sembunyikan sampai sekarang. Kita mulai dari orang yang
datang pertama. Bicaralah." Suara Kanbei bernada mendamaikan.
Ketika Kanbei untuk kedua kali mendesak agar mereka berterus terang, salah satu dari kelima wakil
pekerja angkat bicara. "Hmm. Baiklah, tapi jangan gusar kalau ucapan hamba tidak berkenan di hati Tuan.
Pertama-tama... ehm, begini... tolong dengarkan ini..."
"Bicaralah!" "Begini, kami diberi satu kilo beras dan seratus mon untuk setiap kantong pasir yang kami angkut.
dan sesungguhnya kami semua - beberapa ribu orang miskin - bersyukur bahwa kami
dipekerjakan. Tapi, ehm, kami semua - termasuk hamba - merasa waswas bahwa janji Tuan akan
ditarik kembali karena bagai-manapun, kami hanya buruh kasar."
"Hah," balas Kanbei. "atas dasar apa kalian mencurigai seseorang dengan reputasi seperti Yang
Mulia Hideyoshi" Setiap kali kalian mengangkat kantong plastik, kalian diberi sepotong bambu
bercap yang pada malam hari dapat kalian tukarkan dengan upah kalian, bukan?"
"Benar, Yang Mulia, kami memang diberi potongan bambu, tapi kami hanya memperoleh satu sho
beras dan seratus mon, biarpun kami telah mengangkat sepuluh atau dua puluh karung. Sisanya
berupa tanda utang dan kupon jatah beras."
"Itu betul." "Inilah yang meresahkan kami, Yang Mulia. Upah kami sebenarnya memadai jika dibayar tunai, tapi
kalau seperti sekarang, buruh harian seperti hamba tak mampu menghidupi anak-istri."
"Bukankah satu sho beras dan seratus mon jauh lebih tinggi danpada pendapatan kalian biasanya?"
"Hamba mohon Yang Mulia jangan bergurau.
Kami bukan kuda atau sapi, dan jika kami membanting tulang seperti ini selama satu tahun, kami
takkan pernah bisa bekerja lagi. Tapi baiklah, kami sudah sepakat mengikuti perintah Yang Mulia,
dan kami telah bekerja siang-malam. Nah, kami tidak keberatan melakukan pekerjaan yang tak
masuk akal, asal keinginan kami pun dipenuhi. Kami ingin bisa menikmati sake seusai bekerja,
melunasi utang-utang, dan membelikan baju baru untuk istri. Tapi kalau kami dibayar dengan janji,
kami tak dapat terus-menerus bekerja dengan sepenuh hati."
"Hmm, kalian benar-benar sukar dimengerti. Pasukan Yang Mulia Hideyoshi berprinsip untuk selalu
berbuat baik, dan sejauh ini belum pernah melakukan tindakan lalim. Apa sesungguhnya yang
kalian keluhkan?" 12 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kelima pekerja tertawa sinis. Salah satu dari mereka berkata. "Yang Mulia. kami tidak mengeluh.
Kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami. Kami tak bisa mengisi perut dengan kertas
bekas dan kupon beras. Dan yang lebih penting lagi, siapa yang akan menukarkan kertas bekas itu
dengan uang setelah Yang Mulia Hideyoshi kalah?"
"Kalau itu masalahnya, kalian tak perlu khawatir." "Ah, tunggu dulu. Yang Mulia yakin akan meraih
kemenangan, dan Yang Mulia serta semua jendral mempertaruhkan nyawa untuk itu, tapi hamba
enggan memasang uang untuk taruhan seperti itu. Hei, semuanya! Betul, tidak?"
Ia mengayun-ayunkan tangan di atas tanggul, menanyakan pendapat para pekerja. Seketika terdengar seruan membahana, dan gelombang kepala orang terlihat bergerak naik-turun, sejauh mata
memandang. "Hanya ini keluhan kalian?" tanya Kanbei.
"Ya. Itulah yang ingin kami selesaikan pertamatama," jawab pekerja tadi. Ia memandang kerumunan massa, mencari dukungan, tapi tidak
memperlihatkan rasa takut sama sekali.
"Enak saja!" Untuk pertama kali Kanbei melepaskan topengnya. Langsung saja ia mencampakkan
tongkatnya, menghunus pedang, dan membelah orang itu. Kemudian ia cepat-cepat beralih pada
orang lain yang berusaha melarikan diri, dan membunuhnya. Secara bersamaan, Rokuro dan
Kyuemon - yang berdiri di belakang Kanbei - menggunakan pedang masing-masing untuk
menghabisi ketiga orang lainnya.
Dengan cara ini, Kanbei, Kyuemon, serta Rokuro membagi tugas dan menewaskan kelima orang itu
secepat kilat menyambar. Terkejut oleh tindakan yang tak disangka-sangka ini, para pekerja menjadi diam seperti rumput di
tengah kuburan. Tak ada lagi yang menyuarakan ketidakpuasan. Wajah-wajah lancang,
menantang, tak terlihat lagi. Yang tersisa hanyalah wajah-wajah pucat, gemetar karena ngeri.
Sambil mengangkangi kelima mayat itu, ketiga samurai melotot ke arah para pekerja.
Akhirnya Kanbei berseru dengan garang. "Kelima orang ini yang mewakili kalian - kami menyuruh
mereka naik ke sini, mendengarkan keluhan mereka dan memberikan jawaban yang teramat jelas.
Tapi mungkin masih ada lagi yang ingin mengatakan sesuatu." Ia terdiam, menunggu seseorang
angkat bicara. "Tentu ada seseorang di bawah sana yang ingin naik ke atas tanggul. Siapa
berikutnya" Kalau ada seseorang yang hendak bicara atas nama kalian semua, sekaranglah
waktunya!" Kanbei berhenti sejenak, memberikan kesempatan berpikir pada orang-orang yang berdiri di bawah.
Di antara kepala-kepala yang tak terhitung banyaknya itu terdapat beberapa yang roman mukanya
berubah dari ngeri ke menyesal. Kanbei menghapus darah dari pedang dan mengembalikannya ke
dalam sarungnya. Dengan sikap lebih lembut, ia lalu menguliahi para pekerja.
"Rupanya tak ada yang mau menyusul kelima orang tadi, jadi kurasa maksud kalian berbeda
13 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dengan mereka. Kalau dugaanku benar, sekarang giliranku berbicara. Ada yang keberatan?"
Jawaban para pekerja bernada lega, seakan-akan mereka baru saja diselamatkan dari kematian.
Tak ada yang keberatan. Tak ada yang berniat mengeluh. Orang-orang yang tadi tampil ke
depanlah yang bertanggung jawab atas segala keterlambatan. Yang lain akan mengikuti perintah
dan bekerja. Namun, apakah Hideyoshi akan mengampuni mereka"
Ketiga ribu orang itu berbicara kian kemari, ada yang berbisik, ada pula yang berseru-seru,
sehingga sukar untuk memastikan siapa mengatakan apa. Tapi mereka semua merasakan hal yang
sama. "Tenang!" Kanbei melambaikan tangan untuk mengendalikan mereka. "Baiklah. Inilah yang kuanggap paling tepat. Aku takkan menyampaikan sesuatu yang rumit, tapi pada dasarnya paling baik
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau kalian bekerja dengan gembira dan cepat bersama istri dan anak-anak kalian di bawah
ke-pemimpinan Yang Mulia. Jika kalian bermalas-malasan atau serakah, kalian hanya akan
menunda hari yang kalian nanti-nantikan. Pasukan yang dikirim oleh Yang Mulia Nobunaga takkan
dikalahkan oleh orang-orang Mori. Tak pengaruh betapa besarnya provinsi yang dikuasai marga
Mori, provinsi itu telah ditakdirkan runtuh. Ini bukan karena marga Mori lemah, melainkan karena
perubahan zaman. Mengertikah kalian?"
"Ya," para buruh menjawab serempak.
"Baiklah, kalau begitu. Apakah kalian akan bekerja?"
"Kami akan bekerja. Kami akan bekerja dengan sungguh-sungguh!"
"Bagus!" Kanbei mengangguk tegas dan berpaling pada Hideyoshi. "Tuanku, tuanku sudah
mendengar jawaban para pekerja. Sudikah tuanku memperlihatkan kemurahan hati untuk kali ini?"
Ia hampir memohon-mohon untuk mereka .
Hideyoshi bangkit. Ia memberikan perintah pada Kanbei dan dua petugas yang berlutut di
hadapannya. Hampir seketika beberapa prajurit infanteri mendekat. Mereka memanggul sesuatu
yang tampak seperti karung uang - segunung karung jerami berisi uang.
Sambil kembali menghadap ke arah para pekerja yang terperangkap dalam ketakutan dan
penyesalan. Kanbei berkata. "Kalian tak patut dipersalahkan. Kalian semua berada dalam situasi
yang mengibakan. Kalian disesatkan oleh dua atau tiga oknum berniat busuk. Itulah keputusan
Yang Mulia Hideyoshi; dan agar tak ada lagi yang membebani pikiran kalian, beliau telah
memerintahkan untuk memberikan bonus, agar kalian bekerja lebih giat. Terimalah, haturkan terima
kasih, lalu segera kembali bekerja."
Ketika perintah diberikan kepada para prajurit infanteri, semua karung jerami dibuka dan
keping-keping uang berhamburan keluar, hampir menutupi bagian atas tanggul.
"Ambil sebanyak mungkin, lalu berikan kesem-patan pada yang lain. Tapi masing-masing hanya
satu genggam." Ucapannya terdengar lantang, namun para pekerja masih ragu-ragu. Mereka saling berbisik-bisik
dan saling memandang, tapi gunung uang di hadapan mereka tetap di tempat.
14 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Siapa cepat, dia dapat! Jangan mengeluh kalau kehabisan. Setiap orang boleh ambil segenggam,
jadi beruntunglah orang yang dilahirkan dengan tangan besar. Dan bagi mereka yang memiliki
tangan kecil, jangan biarkan satu keping pun menyelinap lewat sela-sela jari. Awas, jangan terlalu
bernafsu. Setelah itu, kembalilah bekerja."
Kini para pekerja tak lagi diliputi kebimbangan.
Ketika melihat senyum pada wajah Kanbei dan mendengar komentar-komentarnya yang lucu,
mereka menyadari bahwa ia bersungguh-sungguh. Orang-orang yang berada di baris terdepan
segera menyerbu gunung uang itu. Mereka gemetar sedikit, seolah-olah gentar menghadapi uang
sebanyak itu, tapi begitu orang pertama meraup segenggam dan mundur, semuanya bersorak-sorai
gembira. Sepintas lalu teriakan mereka menyerupai teriakan kemenangan.
Hampir seketika suasana menjadi kacau-balau, sehingga keping-keping uang, orang-orang, dan
gumpalan-gumpalan tanah nyaris tak dapat dibedakan. Namun tak seorang pun mencoba berbuat
curang - semuanya telah menanggalkan segala ke-licikan dan ketidakpuasan. Dengan segenggam
keping uang di tangan, mereka tampak berubah, dan setiap orang bergegas ke tempat kerja
masing-masing. Gema pacul dan sekop yang digunakan dengan sungguh-sungguh terdengar di mana-mana. Sambil
berseru-seru, para pekerja menimbun tanah, memasukkan tiang-tiang kayu ke dalam
keranjang-keranjang jerami, dan memanggul kantong-kantong pasir. Keringat yang bercucuran
membuat mereka semakin gembira dan segar, dan mereka mulai berseru-seru, saling
menyemangati. "Siapa bilang kita tak sanggup menyelcsaikan tanggul ini dalam lima hari" Hei semuanya... kalian
masih ingat banjir besar dulu?"
"Benar. Pekerjaan ini tak ada artinya dibandingkan usaha untuk menghalau air bah."
"Ayo kita kerjakan! Kerahkan segenap kekuatan kalian."
"Aku takkan mau menyerah!"
Dalam setengah hari saja, lebih banyak pekerjaan berhasil diselesaikan daripada dalam lima hari
sebelumnya. Cemeti para pengawas dan tongkat Kanbei tak diperlukan lagi. Pada malam hari para pekerja
menyalakan api unggun, pada siang hari awan debu menyelubungi langit, dan akhirnya
pembangunan hampir rampung.
Seiring kemajuan pembangunan tanggul, pekerja-an mengalihkan ketujuh sungai di sekitar Benteng
Takamatsu pun berlanjut. Hampir dua puluh ribu orang dikerahkan untuk mengenakan proyek
tersebut. Membendung dan mengalirkan air Sungai Ashimori dan Naruya dianggap sebagai tugas
terberat. Para petugas yang bertanggung jawab membendung Sungai Ashimori sering mengeluh pada
Hideyoshi. "Setiap hari permukaan air terus naik akibat hujan deras di pegunungan. Sepertinya tak
ada cara untuk membendung sungai itu,"
15 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pada hari sebelumnya. Kanbei sempat meninjau proyek itu bersama Rokuro, dan ia memahami
situasi sulit yang dihadapi regu-regu pekerja.
"Arusnya begitu deras, sehingga batu yang harus didorong dua puluh atau tiga puluh orang pun
langsung hanyut terbawa."
Ketika Kanbei pun hanya dapat membawa berita buruk, Hideyoshi akhirnya pergi ke sungai untuk
mengamati keadaan sesungguhnya. Namun, pada waktu ia berdiri di sana dan melihat arus yang
demikian kuat, ia sendiri juga habis akal.
Rokuro menghampirinya dan mengemukakan usul, "Kalau pohon-pohon di bagian hulu sungai kita
tcbang, lalu kita dorong ke dalam sungai berikut semua dahan dan daun, arusnya mungkin dapat
diperlambat sedikit."
Rencana itu dilaksanakan, dan selama setengah hari. Icbih dari seribu pekerja sibuk mencbang dan
mendorong pohon-pohon kc dalam sungai. Namun usaha ini pun gagal mcmperlambat arus sungai.
Kcmudian Rokuro menyampaikan usul berikutnya, yaitu menenggelamkan tiga puluh perahu besar
berisi bongkahan-bongkahan batu di lokasi ben-dungan.
Tapi menarik perahu-perahu besar menentang arus terbukti mustahil, jadi papan-papan kayu
dijajarkan di darat dan disiram minyak. Lalu dengan susah payah ketiga puluh perahu itu dihela ke
arah hulu, dan setelah diisi batu, ditenggelamkan di mulut sungai.
Sementara itu, tanggul raksasa yang membentang sejauh tiga mil telah berhasil diselcsaikan, dan
arus Sungai Ashimori berubah menjadi buih dan percikan air ketika dibelokkan kc dataran yang
mengelilingi Benteng Takamatsu.
Kira-kira pada waktu yang sama, air dari keenam sungai lainnya disalurkan ke daerah itu. Hanya
proyek pengalihan Sungai Naruya yang ternyata terlalu berat untuk diselesaikan tepat pada
waktunya. Empat belas hari telah berlalu sejak hari ketujuh di Bulan Kelima. Seluruh pembangunan berhasil
dirampungkan dalam dua minggu.
Pada hari kedua puluh satu Bulan Kelima. pasukan Mori berkekuatan empat puluh ribu orang, di
bawah komando Kikkawa dan Kobayakawa, tiba di perbatasan - satu hari setelah daerah sekitar
Benteng Takamatsu diubah menjadi danau berlumpur.
Pada pagi hari kedua puluh satu, Hideyoshi beserta para jendralnya berdiri di markas besar di Bukit
Ishii dan mengamati hasil karyanya. Apalah dianggap sebagai pemandangan gemilang atau
tontonan celaka, luapan air - dibantu oleh hujan yang turun pada malam hari - menyebabkan
Benteng Takamatsu berdiri terpencil di tengah-tengah sebuah danau. Tembok-tembok batu sebelah
luar, seluruh hutan, jembatan jungkat, atap-atap rumah, seluruh desa, ladang-ladang,
sawah-sawah, dan jalan-jalan semuanya terbenam. dan permukaan air masih terus naik.
"Di mana Sungai Ashimori?"
Menanggapi pertanyaan Hideyoshi, Kanbei menunjuk ke arah serumpun pohon cemara yang
16 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
terlihat samar-samar di sebelah barat.
"Seperti tuanku lihat sendiri, di sana tanggulnya terputus sepanjang empat ratus lima puluh meter,
dan di tempat itulah kami mengalirkan air Sungai Ashimori yang telah dibendung."
Pandangan Hideyoshi menyusuri pegunungan di kejauhan, yang membentang dari barat ke selatan.
Di bawah langit tepat di selatan, ia melihat Gunung Hizashi yang terletak di perbatasan. Seiring
fajar, panji-panji barisan depan pasukan Mori muncul di gunung itu.
"Mereka memang musuh, tapi mau tak mau kita bersimpati dengan perasaan Kikkawa dan
Kobaya-kawa tadi pagi, ketika mereka tiba dan melihat danau. Mereka tentu mengentak-entakkan
kaki sambil mendongkol," ujar Kanbei.
Pada saat itu, putra petugas yang bertanggung jawab atas pekerjaan di Sungai Naruya bersujud di
hadapan Hideyoshi. Ia menangis.
"Ada apa?" tanya Hideyoshi.
"Tadi pagi," pemuda itu menjawab, "ayah hamba mengaku telah bersikap lalai. Dia menuliskan
surar permintaan maaf ini dan melakukan seppuku."
Petugas tersebut ditugaskan memotong gunung sejauh lima ratus meter. Pagi itu masih tersisa
sembilan puluh meter. Jadi ia tak sanggup menaati batas waktu yang telah diberikan. Karena
merasa bertanggung jawab atas kcgagalan ini, ia lalu mengor-bankan nyawanya sendiri.
Hideyoshi menatap putra orang itu, yang masih berlumuran lumpur pada tangan, kaki, dan rambutnya. Dengan lembut ia memberi isyarat untuk mendekat.
"Jangan ikuti jejak ayahmu dengan melakukan seppuku. Berdoalah bagi arwah ayahmu melalui
sepak terjangmu di medan laga." Ia menepuk-nepuk punggung pemuda itu.
Si pemuda tidak menutup-nutupi tangisnya. Hujan pun mulai turun dari awan-awan tebal yang
semakin rendah. Hari kedua puluh dua di Bulan Kelima telah berganti malam, malam setelah pasukan Mori mencapai
perbatasan. Terselubung kcgelapan, dua orang berenang bagaikan ikan, melintasi danau berlumpur dan
merayap ke atas tanggul. Tak sengaja mereka menyenggol seutas tali yang terentang di sepanjang
tepi danau dan telah digantungi sejumlah genta dan lonceng. Tali itu diikat pada batang-batang
bambu dan semak-semak. dan sengaja dibuat menyerupai batang mawar liar yang menjalar ke
mana-mana. Api unggun berkobar-kobar di setiap pos jaga di sepanjang tanggul. Para penjaga segera
berdatangan dan meringkus satu orang, sementara yang satu lagi berhasil melarikan diri.
"Tak ada bedanya apakah dia prajurit dari benteng atau sedang melaksanakan tugas marga Mori.
Sebaiknya Yang Mulia Hideyoshi menginterogasi dengan cermat."
17 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Komandan para pengawal mengirim tawanan itu ke Bukit Ishii.
"Siapa orang ini?" tanya Hideyoshi ketika ia keluar ke serambi.
Beberapa pengikut memegang lentera di kirikanannya, dan ia menatap prajurit musuh yang berlutut
di bawah lis atap yang basah karena hujan. Orang itu berlutut dengan gagah, kedua tangannya
diikat tali. "Orang ini bukan prajurit dari benteng. Dia pasti kurir marga Mori. Apakah dia tidak membawa
se-suatu?" Hideyoshi bertanya pada pengikut yang menggiring si tawanan ke pondoknya.
Dalam pemeriksaan awal, pengikut itu menemukan botol sake berisi sepucuk surat terselip di dalam
pakaian si tawanan, dan kini ia meletakkan botol itu di hadapan Hideyoshi .
"Hmm... kelihatannya seperti surat balasan dari Muneharu, dialamatkan pada Kikkawa dan
Kobaya-kawa. Coba dekatkan lentera ke sini."
Bala bantuan yang dikirim marga Mori ternyata menjadi kecil hati ketika melihat danau yang
membentang sejauh mata memandang. Selama perjalanan mereka terus bergegas, tapi kini mereka
habis akal, tak tahu bagaimana membantu benteng yang telah dikelilingi air. Mereka menyarankan
agar Muneharu menyerah pada Hideyoshi, dan dengan demikian menyelamatkan nyawa ribuan
orang di dalam benteng. Surat yang kini berada di tangan Hideyoshi merupakan balasan Muneharu terhadap saran itu.
Marga Mori tidak melupakan kami di sini, dan ucapan Tuan-Tuan penuh kebajikan. Namun Benteng
Taka-matsu kini menjadi poros provinsi-provinsi Barat, dan kekalahan benteng ini akan merupakan
isyarat kematian marga Mori. Kami semua telah menikmati kemurahan hati marga Mori sejak zaman
Yang Mulia Motonari, dan di sini tak ada satu orang pun yang sudi memperpanjang umurnya,
biarpun hanya satu hari, dengan menjual lagu kemenangan kepada musuh. Kami telah siap
menghadapi pengepungan. dan telah bertekad gugur bersama benteng ini.
Dalam suratnya. Muneharu malah membesarkan hati pasukan bala bantuan. Kurir Mori yang
ditawan menjawab setiap pertanyaan Hideyoshi dengan sikap terus terang yang di luar dugaan.
Karena surat Muneharu sudah dibaca oleh musuh, ia rupanya sadar bahwa tak ada gunanya
menyembunyikan apa pun. Tapi Hideyoshi tidak mengadakan pemeriksaan lengkap. Ia enggan
mempermalukan seorang samurai. Sesuatu yang sia-sia tetap dinilai sia-sia, dan Hideyoshi
membelokkan pikirannya ke arah lain.
"Kurasa sudah cukup. Lepaskan ikatan orang itu dan bebaskan dia."
"Dia dibebaskan?"
"Dia berenang melintasi danau bcrlumpur, dan sepertinya dia kedinginan. Beri dia makan dan
siapkan surat jalan untuknya, supaya dia tidak ditangkap lagi nanti."
"Baik.,Yang Mulia."
Si pengikut membuka ikatan tawanan itu. Sebenarnya orang itu sudah bersiap-siap menghadapi
ajal, sehingga kini ia tampak bingung. Sambil membisu dan membungkuk ke arah Hideyoshi, ia
18 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mulai berdiri. "Yang Mulia Kikkawa tentu dalam keadaan sehat-sehat saja," ujar Hideyoshi. "Tolong sampaikan
salam-ku padanya." Kurir Mori itu berlutut dengan sopan. Menyadari kebaikan hati Hideyoshi, ia membungkuk penuh
hormat. "Rasanya juga ada biksu bernama Ekei dalam staf lapangan Yang Mulia Terumoto. Ekei dari
Ankokuji." "Memang benar. Yang Mulia."
"Sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Aku juga ingin menitipkan salam untuknya."
Begitu si kurir berangkat, Hideyoshi berbalik dan bertanya pada seorang pengikut. "Mana surat
tadi?" "Hamba menyimpannya di tempat aman, tuanku." "Surat itu berisi pesan rahasia yang sangat
penting. Bawalah surat itu langsung pada Yang Mulia Nobunaga."
"Hamba takkan membuat kesalahan."
"Tak pelak lagi, tekad pengikut marga Mori tadi tak kalah dengan tekadmu. Tapi dia tertangkap, dan
sepucuk surat berisi rencana Muneharu dan Kikkawa jatuh ke tanganku. Berhari-hatilah."
Hideyoshi duduk menghadap lentera. Surat yang dipercayakannya pada kurir itu guna dibawa ke
Azuchi mendesak Nobunaga untuk memimpin pasukan ke daerah Barat.
Nasib Benteng Takamatsu menyerupai nasib ikan yang sudah terjaring. Pasukan gabungan Mori
Terumoto, Kobayakawa Takakage, dan Kikkawa Motoharu telah datang. Sekaranglah saatnya!
Penak-lukan wilayah Barat dapat dituntaskan dengan sekali pukul. Hideyoshi ingin memperlihatkan
tontonan akbar ini pada Nobunaga, dan ia yakin kehadiran junjungannya akan menjamin
kemenangan yang penting. "Kepala Jeruk" KOTA benteng Azuchi telah menjadi pusat sebuah budaya baru. Para warganya, dengan baju
berwarna-warni, memadati jalan-jalan, dan di atas mereka, warna emas dan biru pada donjon di
benteng tampak seperti disulam oleh hijaunya daun-daun musim semi.
Keadaannya sungguh berbeda dengan keadaan di daerah Barat. Di Bulan Kelima, sementara
Hideyoshi dan para anak buahnya siang-malam membanting tulang di tengah lumpur untuk
19 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menaklukkan Benteng Takamatsu, jalan-jalan di Azuchi malah dihiasi, dan suasana di seluruh kota
teramat semarak, seakan-akan para warga mengadakan perayaan Tahun Baru dan perayaan
Pertengahan Musim Panas secara bersamaan.
Nobunaga sedang bersiap-siap menyambut tamu agung. Tapi siapa yang demikian penting" Para
warga bertanya-tanya. Orang yang tiba di Azuchi pada hari kelima belas di Bulan Kelima tak lain
dari Yang Mulia Tokugawa Ieyasu dari Mikawa.
Kurang dari satu bulan sebelumnya, arak-arakan Nobunaga setelah meraih kemenangan di Kai juga
melewati provinsi Ieyasu, jadi mungkin saja Nobunaga kini sekadar menerima kunjungan balasan.
Tapi kunjungan ini jelas-jelas demi kepentingan Ieyasu. Mereka hidup di zaman yang penuh
pergolakan, dan hanya si pandir yang mengabaikan masa depan. Jadi, walaupun Ieyasu jarang
melakukan kunjungan resmi ke provinsi-provinsi lain, ia datang ke Azuchi, disertai rombongan
pengikut yang gemerlapan.
Penginapan-penginapan terbaik di Azuchi disediakan untuknya, dan Akechi Mitsuhide bertanggung
jawab atas acara penyambutan. Selain itu, Nobunaga telah menyuruh putranya, Nobu-tada, yang
sudah hendak bertolak menuju provinsi-provinsi Barat, membantu menyiapkan jamuan makan
mewah selama tiga hari. Sementara itu orang bertanya-tanya, mengapa Nobunaga memberi sambutan begitu meriah untuk
Ieyasu yang delapan tahun lebih muda dan merupakan penguasa sebuah provinsi yang sampai
beberapa waktu lalu masih terhitung kecil dan lemah. Orang lain membalas bahwa tak ada yang
aneh. Sudah lebih dari dua puluh tahun persekutuan antara marga Oda dan marga Tokugawa
berlangsung tanpa adanya kecurigaan, persetujuan yang dilanggar. maupun pertempuran, dan ini
merupakan keajaiban di suatu masa yang penuh pengkhianatan dan perebutan kekuasaan feodal.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa alasan di balik penyambutan besar-besaran ini tentu bukan
sekadar menerima kunjungan balasan Ieyasu. Mereka mengatakan bahwa pemimpin marga Oda
akan mencapai keberhasilan besar di masa mendatang. Daerah Barat merupakan batu loncatan ke
pulau paling selatan di Jepang, Kyushu, dan dari sana ke pulau-pulau kaya di Laut Selatan. Jika
Nobunaga bermaksud menaklukkan pulau-pulau itu, ia harus menyerahkan bagian utara Jepang
pada seseorang yang dapat dipercayainya.
Sudah beberapa lama Nobunaga merencanakan untuk mengunjungi provinsi-provinsi Barat guna
menegakkan hukumnya sendiri, seperti yang dilakukannya di Kai. Sekarang pun ia tengah sibuk
dengan persiapan untuk bertolak ke garis depan. Meski demikian, ia menunda berbagai pekerjaan
penting untuk menyambut Ieyasu.
Tentu saja Ieyasu diberi segala yang terbaik di Azuchi, baik dalam hal penginapan, perabot,
perlengkapan, sake, maupun makanan. Tapi ada dua hal yang secara khusus hendak diberikan
pada Ieyasu oleh Nobunaga, dua hal yang bisa ditemui di rumah-rumah bersahaja rakyat
kebanyakan dan di sekitar tungku masyarakat pedesaan - persahabatan dan kepercayaan.
Kedua hal inilah yang menyebabkan persekutuan mereka terus bertahan. Dan Ieyasu telah
berulang kali membuktikan diri sebagai sekutu yang dapat diandalkan. Ieyasu menyadari bahwa
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepentingannya sendiri terjalin erat dengan kepentingan Nobunaga, walaupun Nobunaga
kadang-kadang bersikap sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri. Jadi, meski beberapa
kali dipaksa menelan pil pahit, ia tetap mendukung Nobunaga dan telah bersumpah akan
mengikutinya sampai saat penghabisan.
20 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Seandainya orang ketiga yang tidak terlibat diminta mengamati persekutuan di antara kedua orang
itu, lalu diminta menilai siapa yang untung dan siapa yang rugi, kemungkinan besar ia akan
menjawab bahwa kedua-duanya sama-sama menarik keuntungan. Tanpa persahabatan Ieyasu di
masa mudanya, ketika ia baru mulai menetapkan arah hidupnya, Nobunaga takkan pernah tiba di
Azuchi. Dan seandainya Ieyasu tak pernah menerima bantuan Nobunaga, Provinsi Mikawa yang
lemah dan kecil tentu takkan sanggup menahan tekanan-tekanan dari tetangga-tetangganya.
Disamping terikat oleh tali persahabatan, kedua orang itu juga memiliki watak yang saling mengisi.
Nobunaga mempunyai cita-cita yang bahkan tak terbayangkan oleh orang yang hati-hati seperti
Ieyasu, dan ia juga dianugerahi kemauan untuk mewujudkan cita-citanya itu. Ieyasu, Nobunaga pun
mengakui, mempunyai kelebihan yang tak dimilikinya, yakni kesabaran, kerendahan hati, dan
kesederhanaan. Dan sepertinya Ieyasu tidak menyimpan ambisi pribadi. Ia memperhatikan
ke-pentingan provinsinya sendiri, tapi tak pernah membuat sekutunya merasa waswas. Ia tak
pernah ragu menghadapi musuh-musuh bersama mereka, sebuah benteng bisu di belakang
Nobunaga. Dengan kata lain, Mikawa merupakan sekutu ideal, dan Ieyasu teman yang dapat diandalkan.
Ketika merenungkan segala kesusahan dan bahaya yang mereka hadapi bersama selama dua
puluh tahun terakhir, Nobunaga tergerak untuk menyebut Ieyasu "kawan lama yang setia", dan
menyanjung-nyanjungnya sebagai orang yang paling berjasa dalam mewujudkan Azuchi.
Pada waktu perayaan berlangsung, Ieyasu menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas
perlakuan Nobunaga, tapi sesekali ia merasa bahwa ada yang kurang, dan akhirnya ia bertanya
pada Nobunaga. "Bukankah Tuan Mitsuhide yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
jamuan ini" Apa yang terjadi dengannya" Aku sama sekali belum melihatnya hari ini, dan pada
waktu pertunjukan Noh kemarin aku juga tidak melihatnya." "Ah, Mitsuhide," jawab Nobunaga. "Dia
sudah kembali ke Benteng Sakamoto. Dia harus be-rangkat cepat-cepat, sehingga tak sempat
melakukan kunjungan kehormatan." Jawaban Nobunaga bernada segar dan jelas, serta tidak
memperlihat- kan perasaan apa pun ketika berbicara.
Namun Ieyasu agak prihatin. Berbagai desas-desus beredar di kota. Tapi jawaban Nobunaga yang
singkat dan tenang seakan-akan membantah segala desas-desus itu, dan Ieyasu pun tidak
menyinggungnya lebih lanjut.
Meski demikian, ketika kembali ke penginapannya malam itu, Ieyasu menyimak cerita-cerita yang
didengar oleh para pengikutnya mengenai ke-pergian Mitsuhide, dan ia menyadari bahwa
situasinya terlalu pelik untuk diabaikan begitu saja. Setelah mendengarkan beberapa versi, ia
menyim-pulkan alasan di balik kepergian Mitsuhide yang begitu mendadak.
Peristiwa itu terjadi pada hari kedatangan Ieyasu. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Nobu-naga
melakukan peninjauan resmi ke bagian dapur. Musim hujan sudah mulai, udara di Azuchi panas
dan lembap. Bau amis menyengat hidung. Bukan itu saja, bahan makanan yang dikumpulkan dalam
jumlah besar dari Sakai dan Kyoto telah dibongkar dan ditumpuk-tumpuk secara seram-pangan.
Kawanan lalat menghinggapi makanan dan wajah Nobunaga.
"Baunya tak tertahankan!" Nobunaga menggerutu dengan gusar. Kemudian, ketika masuk ke ruang
racik, ia kembali berkata tanpa ditujukan pada orang tertentu, "Apa ini" Semuanya kotor! Sampah di
21 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mana-mana! Di tempat sejorok inikah kalian siapkan masakan untuk tamu agung" Apa yang akan
kalian sajikan" Ikan busuk" Buang semuanya!"
Kemarahan Nobunaga sama sekali tak terduga, dan para petugas dapur segera bersujud di depan
kakinya. Pemandangan itu sungguh mengibakan, Mitsuhide telah berupaya mendatangkan
bahan-bahan terbaik untuk menyiapkan hidangan-hidangan lezat. Selama beberapa hari ia hampir
tidak tidur sama sekali, sibuk mengawasi para pengikutnya serta petugas-petugas dapur, Kini ia
hampir tak percaya pada pendengarannya. Terkejut, ia menghampiri junjungannya dan bersujud,
menjelaskan bahwa bau menyengat yang tercium bukan disebabkan oleh ikan busuk.
"Jangan banyak alasan!" Nobunaga memotong. "Buang semuanya! Siapkan hidangan lain untuk
jamuan makan nanti malam!"
Tanpa menggubris penjelasan Mitsuhide, ia melangkah pergi.
Beberapa saat Mitsuhide duduk membisu, seakan-akan kehilangan tenaga untuk menggerakkan
kakinya. Kemudian seorang kurir muncul dan menyerahkan sepucuk surat berisi perintah untuk
mengumpulkan pasukannya dan segera berangkat menuju provinsi-provinsi Barat.
Para pengikut Akechi membawa sajian-sajian lezat yang telah mereka persiapkan untuk Ieyasu
melalui gerbang belakang, dan membuang semuanya ke parit pertahanan, tak ubahnya membuang
sampah atau anjing atau kucing mati. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan sambil berusaha
menahan tangis, mereka mencurahkan perasaan masing-masing ke air hitam di dalam parit.
Pada malam hari, gerombolan katak berkuak-kuak di depan penginapan Mitsuhide. Apa yang
kau-risaukan" Katak-katak itu seakan-akan bertanya. Apakah mereka bernyanyi untuk
menunjukkan simpati, atau justru menertawakan kebodohannya" Jawaban terhadap pertanyaan itu
tergantung bagaimana orang mendengarkan binatang-binatang tersebut.
Mitsuhide telah memberi perintah agar tak seorang pun diizinkan masuk, dan kini ia duduk seorang
diri di sebuah ruangan besar dan kosong.
Walaupun musim panas baru mulai, angin sejuk berembus lembut. Mitsuhide tampak pucat sekali.
Rambut di sisi kepalanya seolah-olah berdiri tegak setiap kali lilin berkedip. Penderitaannya terlihat
dari rambutnya yang acak-acakan dan dari warna wajahnya yang menakutkan.
Akhirnya, pelan-pelan, ia mengangkat kepalanya yang oleh Nobunaga disebut "kepala jeruk", dan
menatap ke pekarangan yang gelap. Di kejauhan ia melihat cahaya banyak lentera di antara
pe-pohonan. Malam itu malam pertama jamuan makan di benteng.
Apakah aku sebaiknya langsung berangkat, sesuai perintah" Mitsuhide bertanya pada diri sendiri.
Atau lebih baik kalau aku pergi ke benteng untuk melakukan kunjungan kehormatan sebelum
bertolak ke garis depan" Mitsuhide selalu dibuat bingung oleh hal-hal seperti ini. Ia, yang biasanya
begitu cermat, kini sedemikian lelah, sehingga harus memeras otak agar tidak membuat ke-salahan.
Walaupun telah mempertimbangkannya dari berbagai sudut. Ia tetap tak tahu tindakan apa yang
harus diambilnya, karena ia sendiri terlanjur membesar-besarkan masalahnya. Tanpa sadar ia
mendesah, lalu bertanya dalam hati, "Adakah orang lain di dunia ini yang begitu sukar dipahami"
Apa yang bisa kulakukan untuk menyenangkan hati junjunganku?"
22 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Seandainya sanggup mengesampingkan hu-bungan junjungan-pengikut dan bersikap jujur, ia akan
mencela Nobunaga. Mitsuhide dianugerahi kemampuan menelaah yang jauh melebihi orang
kebanyakan, dan hanya karena Nobunaga merupakan junjungannya, ia waspada, bahkan takut,
terhadap kritiknya sendiri.
"Tsumaki! Tsumaki!" Mitsuhide memanggil, sambil mendadak menoleh ke arah pintu-pintu gerbang
di kedua sisinya. "Dengo! Dengo, di mana kau?"
Tapi yang akhirnya membuka pintu geser dan membungkuk di hadapannya bukanlah Dengo
maupun Tsumaki, melainkan salah seorang pengikutnya, Yomoda Masataka.
Kedua-duanya sedang membuang bahan-bahan yang semula hendak digunakan untuk jamuan
makan, dan juga disibukkan oleh persiapan menghadapi keberangkatan mendadak."
"Ikut ke benteng bersamaku."
"Ke benteng" Tuanku akan pergi ke benteng?" "Kurasa sudah sepantasnya aku berpamitan pada
Yang Mulia sebelum kita berangkat. Siapkan semuanya."
Mitsuhide segera bangun untuk berpakaian. Sepertinya ia memacu diri sendiri sebelum tekadnya
goyah kembali. Masataka tampak bingung. "Tadi sore, ketika hamba menanyakan rencana tuanku, hamba pikir
tuanku mungkin ingin pergi ke benteng dengan tujuan itu. Dan tuanku memutuskan bahwa kita akan
berangkat tanpa menghadap Yang Mulia Nobunaga maupun Yang Mulia Ieyasu. Sekarang semua
pembantu dan pelayan sibuk membersihkan dapur. Dapatkah tuanku menunggu sejenak?"
"Aku tak perlu disertai banyak pembantu. Kau saja sudah cukup. Bawakan kudaku ke sini."
Mitsuhide berjalan ke arah gerbang. Tak satu pengikut pun berada di ruangan-ruangan yang
dilewatinya. Ia hanya diikuti dua atau tiga pelayan. Tapi begitu melangkah keluar, ia melihat para
pengikutnya berkerumun dalam kelompok-kelompok kecil, berbisik-bisik dalam bayang-bayang
pepohonan dan di dalam istal. Tak mengherankan, semua pengikut Akechi merasa prihatin karena
tiba-tiba dibebaskan dari tugas mengurusi jamuan makan, dan diperintahkan bertolak ke daerah
Barat pada hari itu juga.
Bolak-balik mereka mengungkapkan kekesalan yang mereka rasakan sambil menahan air mata
duka. Kebencian dan kemarahan mereka terhadap Nobunaga, yang semakin kuat sejak operasi di
Kai, telah tersulut akibat peristiwa terakhir ini.
Di perkemahan di Suwa, waktu operasi Kai, Mitsuhide telah dipermalukan di depan umum, dan
kejadian itu juga diketahui oleh para pengikutnya. Mengapa Nobunaga begitu menyeng-sarakan
junjungan mereka belakangan ini"
Tapi kejutan hari inilah yang paling parah, sebab peristiwa tersebut tentu takkan lolos dari perhatian
semua tamu: Yang Mulia Ieyasu dan para pengikutnya, kaum bangsawan dari Kyoto, serta
rekan-rekan Mitsuhide, para jendral Oda. Dipermalukan di sini tak ubahnya dipermalukan di depan
seluruh bangsa. Perlakuan seperti ini tak tertahankan bagi siapa saja yang dilahirkan sebagai samurai.
23 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kuda tuanku sudah siap," ujar Masataka.
Para pengikut belum juga melihat pembantu yang menuntun kuda Mitsuhide. Pikiran mereka kacau
akibat kejadian tadi, dan mereka masih berkerumun sambil membahas masalahnya.
Buronan Darah Dewa 2 Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk Bara Di Kedung Ombo 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama