Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa Bagian 2
bangga. Tapi gadis itu nggak mau senyum. Ia membersihkan pedangnya yang terkena
darah lawan memakai dedaunan, lalu memasukkan ke sarungnya yang ada di punggung,
sambil berkata,
"Tak sampai petang tiba, Badak Gemulai akan kehilangan nyawanya jika ia nggak
berhasil mencari obat penawar racun pedangku!"
Pandu manggut-manggut sambil
sunggingkan senyum menawan. Matanya nggak mau berkedip memandangi Bunga Taring
Liar. Mata itu memancarkan kelembutan, dan kelembutan tersebut menembus ke hati
Bunga Taring Liar. Si gadis jadi gelisah, lalu menutup kegelisahan itu dengan sebuah kata, "Kita lanjutkan perjalanan!" Menurut peni-laian
Pendekar Romantis, gadis cantik berpantat sekal menonjol itu memang pantas
menjadi seorang pengawal. Rasa tanggung jawabnya terhadap tugas yang dibebankan
cukup tinggi. Sampai-sampai Pandu Puber merasa malu sendiri dikaw-al oleh gadis
secantik Bunga Taring Liar yang siap mati demi tugas penga-walannya. Padahal
tanpa gadis itu pun Pandu merasa cukup aman walau harus berhadapan dengan para
'pemburu' hadiah sayembara itu. Dalam perhitungan Pandu, menghadapi Badak
Gemulai seperti tadi cukup dengan satu jurus saja.
Satu gebrakan si gendut berkumis tebal itu dapat ditumbangkan dengan mudah.
Tapi, Pandu nggak mau kecewakan hati si cantik berbibir menggemaskan itu.
Pandu memberi kesempatan pada si cantik untuk menunjukkan kebolehannya, dan
Pandu memberi upah dengan sebaris pujian yang membanggakan hati Bunga Taring
Liar. Namun kali ini, ketika mereka
melintasi kaki Bukit Guiana, Pandu Puber sempat rasakan kecemasan dalam hatinya.
Kecemasan itu timbul karena
munculnya seorang penghadang yang sudah dikenalnya.
"Malaikat Bisu...?" gumam Pandu yang didengar Bunga Taring Liar.
"Kau kenal dengannya?" bisik
Bunga Taring Liar.
"Ya. Dia ketua Perguruan Musang Terbang. Aku pernah berurusan dengan anak
buahnya yang bernama Raga Paksa dalam kasus rebutan patung pusaka. Dia sendiri
sebenarnya juga ingin merebut patung itu, tapi nggak sempat berhadapan denganku,
patungnya sudah kuhancurkan." Pandu Puber segera mengenang masa rebutan patung
pusaka yang muncul dari dalam makam tokoh sakti, (Munculnya dalam serial
Pendekar Romantis episode: "Patung Iblis Banci"-kalau nggak percaya, baca aja
sendiri). Orang berusia sekitar enam puluh
tahun itu masih tampak gagah dan segar. Rambutnya abu-abu diikat kain merah.
Pakaian dalamnya coklat muda, ta-pi jubahnya ungu tua. Ia membawa tongkat
setinggi dada berkepala tengkorak.
Matanya yang sedikit kecil memandang dengan dingin.
Pandu Puber memandangnya beberapa saat, dan bisa menangkap maksud ha-ti si Malaikat Bisu itu. Namun sebagai
basa-basinya, Pandu tetap mengajukan tanya kepada orang berwajah kaku itu,
"Apa maksudmu menghadangku, Malaikat Bisu?"
"Menangkapmu!" jawabnya dalam satu kata. "Kau ingin ikut sayembara itu?"
"Ya!" jawabnya lagi dengan suara dingin.
"Apakah kau tertarik dengan hadiah dari sang Ratu itu?"
"Tertarik!"
"Batalkan saja niatmu. Sayembara itu hanya bikin kita saling musuhan saja,
Malaikat Bisu!"
"Biarin!"
Bunga Taring Liar menggumam kesal, "Konyol juga orang tua ini. Ming-gir, Pandu... biar kuhadapi dia!"
"Yang ini berat lho!"
"Aaah... persetan dengannya. Bi-ar dia pakai nama julukan malaikat
atau iblis, aku nggak takut menghadapinya!" sambil Bunga Taring Liar maju satu
langkah di depan Pandu Puber. La-lu menyapa Malaikat Bisu dengan suaranya yang
tegas. "Kau harus berhadapan denganku jika masih nekat mau tangkap dia, Malaikat Bisu!"
"Baik!" jawabnya, dan tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke depan.
Wuttt...! Gelombang hawa panas dilepaskan
dari tangan itu. Bunga Taring Liar
nggak sangka sama sekali kalau lawannya lepaskan serangan secepat itu. Ia pikir
si Malaikat Bisu akan tantang-tantangan dulu. Nggak tahunya langsung serang, dan
gelombang panas yang berkekuatan tinggi itu menghantam tubuh Bunga Taring Liar.
Bahgg...! "Heghh...!"
Bunga Taring Liar terpental ke
belakang menabrak Pandu. Keduanya jatuh bersama. Tapi Bunga Taring Liar segera
berguling ke samping, bermaksud bangkit untuk membalas serangan lawan.
Sayangnya ia jatuh tersungkur lagi.
Tubuhnya terasa lemas karena dicekam rasa panas yang luar biasa. Kulitnya yang
berwarna kuning mulus itu menjadi merah dan memar membiru di beberapa tempat.
Darah pun keluar dari mulut si centil bermata bening itu.
"Hoekk...!"
"Bunga..."!" Pandu menegang cemas melihat darah dimuntahkan dari mulut Bunga
Taring Liar. Napas gadis itu tampak berat, sorot matanya pun mulai sayu bagaikan
pelita kehabisan minyak.
"Celaka! Ia terluka parah!" ucap Pandu Puber dalam hatinya.
Tanpa berkata apa pun Malaikat
Bisu segera kirimkan pukulan jarak
jauhnya. Kali ini pukulan itu berupa sinar merah memanjang bagaikan sinar laser
yang menghantam tubuh Bunga Taring Liar. Clappp...!
Pendekar Romantis yang ada di
dekat gadis itu segera lepaskan pukulan bersinar biru dari pergelangan
tangannya. Jurus 'Cakram Biru' melesat. Wuttt...! Sinarnya yang biru berbentuk
cakram itu menghantam sinar merahnya lawan.
Blarrr...! Ledakan yang timbul seakan ingin
memecah bumi. Pandu Puber sempat ter-dorong ke belakang namun tak sampai jatuh
terguling. Sedangkan Malaikat Bisu terlempar membentur pohon dengan keras.
Buhgg...! Pandu Puber membatin, "Gadis ini akan mati dalam waktu singkat. Harus
kusembuhkan dulu untuk menyelamatkan jiwanya!"
Clapp...! Sinar putih bening seperti kaca keluar dari ujung jari tengah Pandu, menghantam perut Bunga Taring
Liar. Sinar itu memancar beberapa saat, seperti selang bensin mengisi bahan
bakar pada sebuah mobil. Tapi mata Pandu sesekali pandangi Malaikat Bisu yang
sedang berusaha bangkit dengan merayap berpegangan pohon dan me-nopang diri dengan tongkatnya. Agaknya
gelombang ledakan tadi mempunyai daya sentak yang amat kuat, hingga sekujur
tubuhnya terasa ngilu, bagai habis dihantam dengan kayu balok besar.
Curahan jurus 'Hawa Bening' dihentikan oleh Pandu dan dirasakan sudah cukup mengobati luka parahnya Bunga
Taring Liar. Saat itu si Malaikat Bisu sudah berdiri tegak, sudah menarik napas
dalam-dalam untuk mengatasi rasa sakit di tubuhnya. Kini ia ber-siap-siap
melepaskan jurus berikutnya.
Tapi Pandu Puber maju dua langkah dan mendului menyerang dengan penuh
kedongkolan. Clapp...! Sepasang sinar merah
menyambar tubuh Malaikat Bisu. Jurus yang digunakan Pandu adalah jurus
'Sepasang Sayap Cinta' yang keluar da-ri dua jari tangan kanan-kirinya. Jurus
itu mampu menghancurkan baja menjadi berkeping-keping. Tapi oleh Malaikat Bisu
dilawan menggunakan tongkatnya yang berkepala tengkorak.
Tongkat itu hanya dikibaskan dari kanan ke kiri, maka memancarlah sinar bergelombang kelok-kelok setengah
lingkaran yang memagari bagian depan tubuhnya. Sinar hijau itu dihantam
dengan dua sinar merahnya Pandu, sehingga ledakan dahsyat terdengar kembali
menggetarkan bumi.
Blegarrr...! Malaikat Bisu terlempar dalam
keadaan berputar seperti gangsing.
Pandu sendiri hanya tersentak mundur satu langkah karena hentakan gelombang
ledak itu. Tapi dedaunan pohon di kanan-kiri mereka menjadi gugur dan
berhamburan. Dua pohon tak jauh dari mereka rubuh dalam keadaan akarnya terdongkel keluar dari tanah. Malaikat Bisu sendiri tak bisa kendalikan diri,
hingga membiarkan tubuhnya terpelant-ing jauh dan masuk ke sela-sela dua pohon
yang tumbuhnya berjajar rapat.
Bruskk...! Bunga Taring Loar yang segera
sehat kembali setelah beberapa saat menerima 'Hawa Bening' dari Pandu, segera
bangkit dan menampakkan keberangannya. Saat itu Malaikat Bisu sedang berusaha
melepaskan diri dari dua pohon yang menjepitnya.
"Kubalas kau, Setaaan...!" geram Bunga Taring Liar sambil menggeram, lalu dari
mulutnya tumbuh sepasang gi-gi runcing memanjang. Itulah taring kemarahan yang
hanya keluar bila gadis itu menjadi murka oleh suatu hal. Mata Pandu sedikit
terkesiap melihat munculnya taring tersebut. Kecantikan si gadis menjadi
berkurang dan berubah seram hanya karena tumbuhnya sepasang taring kemarahan
tersebut. "Mengerikan sekali wajahnya kalau sudah marah begitu, ya?" pikir Pandu sambil
memperhatikan langkah
Bunga Taring Liar yang mendekati Malaikat Bisu.
Orang yang didekati itu kebingungan meloloskan diri dari jepitan dua pohon. Akhirnya ia sentakkan kedua
lengannya ke kanan-kiri dan tenaga dalam yang disalurkan membuat kedua pohon itu
retak, lalu tumbang dalam keadaan pecah bagian tengahnya.
"Kraak...! Brrruuk...! Bruss...!
Malaikat Bisu berhasil lolos dari jepitan pohon. Tapi begitu ia berbalik ingin menghadap lawannya, tiba-tiba sekelebat benda putih mengkilat
menyambar dadanya dengan cepat.
Wuuttt...! Crass...!
Bunga Taring Liar menebaskan pedangnya. Kehadiran pedang itu sangat di luar dugaan Malaikat Bisu, sehingga ia
tak sempat menghindar atau menang-kisnya. Walau ia sudah mencoba menangkis
dengan tongkatnya, tapi gerakan tangkisnya terlambat, sehingga pedang lawan
lebih dulu berhasil menggores dadanya.
Darah merah kehitam-hitaman mengalir dari dada Malaikat Bisu. Wajah tua tersebut mulai tampak pucat. Racun di
ujung pedang telah menyebar ke seluruh tubuh dengan cepatnya. Malaikat Bisu
berusaha keraskan semua urat untuk keluarkan tenaga intinya. Tenaga Inti itu
disalurkan ke tongkat, sehingga ujung tongkatnya mempunyai kekuatan dahsyat
untuk menghantam atau menyodok lawan dari jarak jauh. Tapi sayangnya sebelum hal
itu dilakukan, Bunga Taring Liar sudah jauh lebih du-lu menghujamkan pedangnya
ke ulu hati Malaikat Bisu. Jrrubb...!
"Bhheeerrg...! Bunga Taring Liar menggerang dengan mata mendelik liar, tampak
ganas dan lebih buas dari Malaikat Bisu. Pedang yang menancap di ulu hati itu
sampai tembus ke belakang, membuat Malaikat Bisu tak bisa
memekik kecuali hanya membuka mulutnya dengan mata mendelik.
Saat Malaikat Bisu meregang dengan sekarat, tiba-tiba Pandu Puber
mendapat serangan dari belakang berupa sinar hijau bening yang bergerak lurus.
Slappp...! Dess...!
"Oohg...!" Pandu jatuh berlutut.
Tubuhnya menjadi lemas bagai tak bertulang. Tapi ia masih punya kekuatan untuk
menegakkan kepala dan memandang si penyerang yang datang dengan gerak berkelebat
bagaikan kilat.
"Janda Keramat..."!" ucap Pandu dengan suara lemah, tapi sempat didengar oleh
Bunga Taring Liar.
Gadis itu terkejut melihat Pandu
terkulai lemas di samping seorang wanita berusia sekitar tiga puluh dua tahun,
berambut perak sepunggung tanpa diikat apa-apa. Bunga Taring Liar segera
mencabut pedangnya dari tubuh Malaikat Bisu.
Tapi gerakan itu terlambat, karena pada saat pedang dicabut, perempuan berambut putih perak itu sudah lebih
dulu menyambar Pandu dan membawanya lari dari tempat tersebut. Bunga Taring Liar
menjadi berang lagi. Ta-ringnya yang sudah mulai hendak hilang itu terpaksa
muncul kembali. Ia berse-ru dengan suara serak, tak sebening biasanya.
"Tinggalkan dia, Setan! Kubunuh
kau kalau mencurinya!"
LIMA MASIH ingat Janda Keramat" itu
tuh yang dulu pernah berskandal dengan Pandu Puber sampai teler-teler segala
tuh. Gara-garanyakan dulu Pandu diserang pakai jurus 'Rendang Belatung'
yang membuat Pandu nyaris mati dike-royok para belatung, tapi waktu itu segera
dapat disembuhkan oleh si Janda Keramat. Upahnya adalah kehangatan
Pandu yang diberikan dengan segenggam kemesraan darah mudanya.
Nah, dulu kan Janda Keramat sampai ketagihan asmara Pandu, karena di dalam darah kemesraan Pandu terdapat racun
'Pemikat Surga' yang bikin perempuan jika pernah tidur sama Pandu pasti 'celeng'
seumur hidup. Maunya cuma bermesraan dengan Pandu. Tapi
waktu itu Pandu segera lumpuhkan Janda Keramat dan perempuan itu diserahkan
kepada Sultan Danuwija di kesultanan Sangir. Masih ingat kan" (Kalau nggak
ingat, baca deh serial Pandu Puber dalam kisah: "Skandal Hantu Putih" han-tunya
sexy banget lho).
Nah, sekarang rupanya si Janda
Keramat yang punya nama asli Hapsari dengan usia banyak tapi masih seperti usia
tiga puluhan itu, punya maksud
tertentu dalam membawa lari Pandu Puber. Tentu saja Pandu dilumpuhkan dulu pakai
jurus 'Rendang Belatung'. Sebelum pengaruh jurus itu membusukkan tubuh, Pandu
sudah disembuhkan. Ia dibawa ke sebuah gua yang selama ini dipakai tempat
bersembunyi si Janda Keramat dari kejaran orang-orang kesultanan Sangir. Sebab
dia kan tawanan yang berhasil meloloskan diri dari kesultanan. Nggak jadi
dihukum gantung. Habis, gimana mau digantung kalau belum-belum udah kabur, malah
tali gantungannya dibawa kabur juga. Mungkin mau dipakai tali jemuran atau untuk
apa, entahlah. Itu urusan si Janda Keramat sendiri. Yang jelas, sekarang ia
berhasil menyekap Pandu di dalam sebuah gua.
Ingat, Janda Keramat itu muridnya Tabib Teh Kolak dan punya kekuatan pembangkit gairah lelaki. Dengan kekuatan
PLTA-nya, Pusat Listrik Tenaga Asmara, si pemuda bertato mawar itu dibangkitkan
gairahnya. Tentunya si Janda Keramat juga menggunakan jurus rayuan lidah, hingga
Pandu Puber menjadi gemetar dan panas dingin mendapatkan rayuan itu.
"Hapsari," kata Pandu mencoba bertahan, "Sekarang bukan saatnya lagi bagi kita
untuk saling bercumbu seperti dulu. Aku nggak mau, Hapsari!"
"Kau akan menyesal kalau menolak
keinginanku, Pandu. Karena aku sekarang punya jurus baru. Ada dua jurus baru
yang berhasil kupelajari baru-baru ini."
"Jurus apa itu?"
"Yang satu kunamakan jurus
'Lampah Lumpuh', yang satunya lagi kunamakan jurus 'Asmara Semberani'.
Aku dapat membuat dirimu lumpuh tak berdaya dengan sekali pandang dalam jarak
satu langkah seperti saat ini.
Itu yang dinamakan jurus 'Lampah Lumpuh'. Sedangkan yang dinamakan jurus
'Asmara Semberani' itu begini.... Kau tahu kekuatan apa yang ada dalam besi
semberani?"
"Mempunyai daya magnit tinggi, dapat menyedot benda logam dan menjadi melekat
pada besi semberani itu."
"Betul," Janda Keramat tersenyum. "Asmaraku kali ini pun akan demikian. Seperti
magnit yang mampu menyedot logam dengan kuat. Kalau kau nggak mau bercinta
denganku, kau akan merasa rugi tujuh turunan dan tujuh tanjakan. Pengalaman ini
belum pernah kuberikan kepada lelaki mana pun, Pandu. Karena selama ini yang
kurindukan hanya dirimu," sambil Janda Keramat menciumi tengkuk Pandu dari
belakang, tapi tangannya menjelajah ke mana-mana, sesekali kesasar, sesekali
lewat jalan tol untuk mempercepat tujuan.
Pandu bagaikan terpantek nggak biasa
menolak. Ia memang ingin tahu sampai di mana kesungguhan Janda Keramat dalam
mengancam dirinya. Ia biarkan darah asmara si Janda Keramat berkobar dulu, baru
nanti akan meninggalkannya sebagai pembalasan atas serangan dari belakang yang
Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi melumpuhkan dirinya itu.
"Pandu," bisiknya sambil mencium di sekitar telinga. "Kau lihat sendiri, badanku
menjadi kurus karena memikirkan dirimu, Pandu. Karena sangat berharap
mendapatkan kehangatan darimu. Aku nggak bisa berselera dengan pria lain, atau
dengan wanita lain seperti dulu lagi. Kurasakan seleraku hanya tumbuh apabila
kubayangkan wa-jahmu atau dekat denganmu seperti saat ini!"
Memang perempuan itu agak kurus
dari dulu. Kulit tubuhnya yang putih mulus pun tampak tak segar. Kayak pohon
cabe nggak pernah disiram air.
Layu dan kusam. Janda Keramat kan termasuk wanita dengan dua cinta; artinya sama
lelaki oke, sama perempuan juga yes. Tapi sejak ia berskandal dengan Pandu, hal
itu tak bisa dilakukan la-gi. Itu disebabkan oleh racun 'Pemikat Surga' yang ada
pada darah kemesraan Pandu sudah menyatu dengan darahnya si janda.
Kasihan sebetulnya, tapi apa boleh buat, Pandu sendiri nggak tahu sih
kalau darah kemesraannya bisa bikin perempuan 'celeng' seumur hidup. Be-gonya
Pandu, sampai saat ini dia masih belum sadar bahwa darahnya mengandung racun
'Pemikat Surga', sebab racun itu hanya dipunyai oleh orang berdarah
campuran dewa dengan jin.
Makanya Pandu sendiri nggak percaya dengan omongan Janda Keramat. Ia menyangka Janda Keramat sudah mengum-bar
cinta dengan pria lain. Walaupun si janda sudah sumpah sengotot mungkin, tapi
Pandu Puber nggak yakin. Habis wataknya si janda itu memang doyan lelaki sih.
Mana mungkin dia akan betah hidup tanpa kemesraan lelaki. Begitu mendapat Pandu,
sehingga kini ia pun berkata kepada Hapsari yang sudah mirip bisul mau pecah
itu, "Aku nggak mau melayanimu lagi seperti dulu."
"Pandu, jangan begitu!" rengeknya. "Mendekatlah kemari, Pandu. Aku benar-benar
masih suci"
"Kupingmu itu yang suci," ujar Pandu setengah geli.
"Maksudku, selama aku nggak ketemu kamu, aku nggak pernah melayani lelaki mana
pun. Dilayani juga nggak pernah. Swear! Berani sumpah kejatuhan langit deh!"
"Kalau kamu kejatuhan langit,
aku juga ikut kejatuhan dong! Bego
lu!" "Tapi benar kok, Say... aku
nggak pernah berbuat sama siapa pun.
Cuma kamulah harapanku sebagai pemuas dahagaku selama ini, Pandu. Makanya aku
mencarimu ke mana-mana, makanya aku nggak mau membenci dan memusuhimu walau kau
telah hampir bikin aku celaka di tangan Sultan Danuwija, tapi aku memaafkanmu
asal aku dapatkan secawan anggur kehangatanmu, Pandu."
"Ah, ngomongmu kayak pujangga
aja!" sambil Pandu menjauh karena Janda Keramat mendekat. "Aku nggak mau!
Nggak mau. Titik!"
"Hapuslah titiknya, Pandu."
"Baik, titiknya kuganti koma!
Pokoknya aku nggak mau layani kamu.
Aku ini pendekar lho! Masa' pendekar kok kerjanya gituan melulu, nanti dikecam
orang gimana?"
"Pendekar bukan hanya penakluk kejahatan saja, tapi juga penakluk
cinta, Pandu."
Pandu diam sebentar, merenung,
lalu bertanya, "Gimana, gimana...?"
"Pendekar itu memang kerjanya
menaklukkan kejahatan, berjaya di per-tarungan, tapi pendekar juga harus
berjaya di atas kemesraan lawan jenisnya. Kalau kau nggak bisa berjaya di atas
kemesraanku, kau bukan pendekar lagi namanya." Pandu menggumam,
"Masa' gitu sih?"
"Iya! Kalau kau takut menghadapi
tantangan kemesraanku, kau sama seperti banci yang baru lahir."
"Banci apa bayi?"
"Bayi yang banci!" jawab si janda. Pandu mencibir setengah senyum.
Cibirannya merupakan tantangan buat Janda Keramat. Perempuan itu pun makin
mendekat. Pandu sudah bosan menghindar. Dibiarkan tangannya mulai diraih.
Dibiarkan pangkal lengan dekat pundak yang tak tertutup kain baju ungunya itu
digigit-gigit kecil oleh Janda Keramat. Mata si janda melirik nakal.
Nakal sekali. Tak salah Pandu andaikata saat itu Pandu mencolok mata tersebut
pakai telunjuknya. Cuma, Pandu kan orangnya nggak mau sekasar itu. Ia cu-ma
bilang dengan sikap lembut,
"Sudahlah, lupakan masa lalu ki-ta dan hiduplah normal. Jangan jadi orang sesat
lagi. Apa sih untungnya jadi orang sesat" Malah banyak musuh-nya, salah-salah
cepat mati. Apa nggak bosan jadi orang sesat" Hiduplah yang wajar-wajar saja dan
baik-baik."
"Iya, Iya...! Aku mau jadi orang baik-baik, tapi... tapi aku minta
stempel dulu darimu."
"Memangnya aku petugas kelurahan, pakai minta stempel padaku sega-la!" Pandu bersungut-sungut, menggeli-kan
Janda Keramat. Malahan si janda meremas pundak, meraih dagu, lalu di-kecupnya
bibir Pandu Puber dengan nekat. Cup.... Wuuss...!
Terbang deh tuh khayalan penuh
cinta. Melayang-layang di udara, kadang membentur langit-langit gua, ka-dang
singgah di pucuk api unggun yang dibuat Janda Keramat sebelum sembuhkan Pandu.
Pokoknya sang gairah melayang-layang terus. Habis, Pandu kasih balasan juga sih.
Makanya si janda makin ditikam sejuta tombak cinta. Nyut-nyutan banget deh...
kepalanya! Gelora cinta yang menggebu itu
tiba-tiba diputus oleh Pandu Puber.
Pendekar Romantis sengaja hentikan ke-romantisannya dan jauhi Janda Keramat tiga
langkah ke samping. Ia nyengir, kentara sekali kalau mempermainkan
Janda Keramat. Sedangkan napas Janda Keramat sudah ngos-ngosan, matanya sudah
sayu, pakaiannya sudah 'open air', pokoknya sudah mabuk deh. Tentu saja sang
janda jadi kesal hatinya.
"Panduuu...!" rengeknya kayak anak kecil minta permen coklat.
Pandu menggeleng, "Aku nggak bi-sa lagi berbuat kayak dulu. Aku punya calon
istri yang menuntut sikapku menjadi benar dan nggak mudah jatuh dalam pelukan
perempuan. Aku harus menjaga harga diriku sebagai pendekar."
"Pandu, kau tega menyiksaku, ya"
Tega?" "Terpaksa tega, habis aku sendiri juga harus menahan siksaan jiwa
agar nggak dianggap pendekar 'maruk', doyan gituan dan...."
"Nggak deh, nggak...! Kamu nggak maruk, Pandu. Kamu tetap pendekar gagah perkasa
penuh selera. Aku nggak bakalan ngomong sama siapa-siapa tentang hubungan intim
kita ini. Sumpah deh! Nggak bakal bocor sampai ke telinga calon istrimu. Siapa
sih calon istrimu?"
"Bidadari," jawab Pandu tegas.
"Terserah deh, mau bidadari atau daribida, pokoknya aku nggak bakalan bocorkan
skandal kita. Pandu, dekatlah kemari, jangan siksa batinku seperti ini,
Pandu...!"
"Nggak mau!" tegas Pandu dengan suara agak keras. "Nanti kalau aku layani kamu,
aku dikritik orang. Pendekar kok digitukan aja langsung KO, hmm... pendekar cap
apa tuh" Nah, kalau aku dikecam dan dikritik orang
kayak gitu kan bisa nggak laku seumur hidup!"
"Pandu!" sentak Janda Keramat yang rupanya sudah kehabisan kesabaran. Hatinya
disumbat kedongkolan yang menyesakkan pernapasan. Matanya mulai menatap tegastegas dengan mulut mulai cemberut mirip marmut.
"Kau benar-benar menolak keinginanku, Pandu"!"
"Ya," jawab Pandu tegas juga.
"Jangan menyesal kalau akhirnya aku bertindak kasar padamu!"
"Mau apa kau" Ngajakin tarung"
Boleh! Aku bersedia tarung sama kamu demi menjaga mahkotaku dan perjakaku."
"Hidungmu itu yang perjaka!"
sentak Janda Keramat. "Kalau begitu, rupanya kau memang nggak bisa diajak hidup
damai dan mesra lagi. Nggak salah kalau aku berbuat keji padamu. Kubalas
kekejianmu dulu yang membuat aku hampir mati ditiang gantungan kesultanan
Sangir!" Tiba-tiba ketika Janda Keramat
ada dalam jarak dekat dengan Pandu, matanya mengeluarkan sekilas cahaya merah
kecil mirip kacang tanah.
Claap...! "Eit, apa itu tadi"!" Pandu kaget, dan lebih kaget lagi setelah ia jatuh
terpuruk dalam keadaan duduk.
Brruk...! "Lho, kenapa aku ini?" ucapnya bingung. Kepalanya masih tegak, tapi tangan dan
kakinya seperti kehilangan tulang. Ia menjadi pendekar presto, berduri lunak
kayak bandeng presto.
Hanya tulang leher saja yang masih belum dilunakkan oleh Janda Keramat.
"Hei, kau apakah aku ini"!"
Janda Keramat tersenyum sinis.
"Itulah yang kukatakan tadi sebagai jurus 'Lampah Lumpuh'. Kau akan kehilangan
tenaga, urat dan semangat. Satu
kali lagi kulepaskan jurus itu, maka lehermu tak bisa dipakai berdiri tegak
seperti saat ini!"
"Apa maksudmu, Janda Keramat"!
Jangan gitu, ah! Ayo pulihkan lagi
keadaanku, Hapsari sayang...!"
"Hemm... merayu! Kalau sudah gi-ni baru berani merayu kamu, ya" Aku sudah
telanjur muak padamu, walau sebenarnya... ngebet juga sih. Tapi aku punya
rencana sendiri untukmu, Pendekar Romantis. Sayang sekali jurus
'Lampah Lumpuh' juga akan melumpuhkan bagian tertentu yang kubutuhkan, jadi siasia saja kalau aku berusaha membangkitkan semangat cintamu. Sebaiknya
kulampiaskan dendamku padamu yang sebenarnya sudah kukubur jauh ke dasar hati."
"Dendam apaan" Jangan gitu dong, Sayang...!"
"Kau pernah menangkapku dan menyerahkan diriku kepada Sultan Danuwija. Nah,
sekarang aku pun akan menangkapmu dan menyerahkan kepada Ratu Cadar Jenazah...!"
"Ah, bercanda kamu!"
"Beberapa hari yang lalu aku sudah temui sang Ratu dan kubicarakan tentang
hadiah istimewa untukku! Ratu setuju akan mengangkat diriku sebagai tangan
kanannya alias menjadi wakil Ratu. Aku akan diberi kekuasaan penuh apabila aku
bisa tangkap kamu dan serahkan kamu kepadanya! Sekaranglah
saatnya untuk serahkan dirimu yang sudah banyak membuat aku kecewa, Pandu!"
"Hei, hei... tunggu dulu! Kita bisa menyusun kesepakatan baru lagi.
Hmmm... hmmm... anu, mungkin aku memang harus berikan kehangatan yang kau
butuhkan. Aku... terus terang saja, aku tadi hanya sekadar menggodamu supaya kau
tambah galak, Hapsari," sambil Pandu tersenyum-senyum, lalu tertawa pelan.
Hapsari memandanginya dalam kebimbangan. Pandu berkata lagi,
"Aku jadi geli kalau lihat kau marah dan sewot begitu! Aku tahu kau pun nggak
bakalan berani serahkan aku kepada Ratu Cadar Jenazah. Nggak mungkin kau tega.
Sebab aku pun juga nggak benar-benar tega membiarkan kau kehau-san. Ayolah,
Hapsari..., mumpung hari masih sore, kita bisa berlayar sampai pagi."
"Kau... kau...," Hapsari ragu-ragu. Pandu menertawakan.
"Buktikan jurus barumu yang bernama 'Asmara Semberani' itu. Kayak apa sih, aku
jadi kepingin merasakannya."
"Tapi, kau...."
"Ayolah, jangan anggap candaku tadi serius, Hapsari! Kalau kau selalu anggap
candaku serius, lain kali aku nggak mau bercanda lagi denganmu lho!"
"Oh, Pandu...."
Janda Keramat memeluk Pandu, bibir Pandu sengaja disodorkan. Janda Keramat menangkap bibir itu, ternyata Pandu
memberikan reaksi yang menggugah gairah. Hapsari rasakan kesungguhan Pandu, maka
ia pun pulihkan kekuatan Pandu.
Siasat Pandu menemui kegagalan.
Pikirannya, kalau ia dipulihkan kembali, ia akan lumpuhkan Janda Keramat dan
dengan begitu ia selamat dari pe-nangkapan juga terhindar dari tuntutan mesra
sang janda. Namun begitu Pandu menjadi kuat dan menghantamkan puku-lannya,
ternyata pukulan itu bisa ditangkap oleh Janda Keramat.
Plak, plak, plak...! Buuhg!
Pandu Puber malah melintir karena dapat tendangan Janda Keramat yang sudah benar-benar bersifat terbuka
itu. Siasat Pandu ketahuan, maka Janda Keramat pun menggeram penuh kemarahan.
"Rupanya kau mau main licik,
ya"!"
"Ah, aku cuma bercanda kok!"
"Nggak ada canda-candaan! Kemesraan apa itu kalau pakai acara main pukul
segala!" bentak Janda Keramat.
Ia masih diamkan tubuhnya bersifat
terbuka tanpa jendela. Ia mendekati Pandu Puber yang cengar-cengir memanc-ing
keluluhan hati sang janda. Tapi tiba-tiba sang janda keluarkan sinar merah dari
matanya setelah ia pun tersenyum dan berlagak mau mencium Pandu.
Claap...! Brruk...!
"Yah, kena lagi gue," pikir Pandu dalam keluh, karena tubuhnya langsung jatuh
terpuruk dalam keadaan duduk bersimpuh. Jurus 'Lampah Lumpuh'
kembali kenai dirinya karena tertipu oleh senyuman kalem sang janda.
"Sekarang nggak ada ampun lagi bagimu, Pandu Puber! Aku akan membawa ke Bukit
Guiana, menyerahkanmu kepada sang Ratu Cadar Jenazah!"
"Hapsari, kau anggap candaku selalu serius, ya?"
"Persetan dengan candamu! Hatiku telanjur luka dengan tipu muslihatmu yang
nyaris membuatku celaka tadi!"
Malam itu juga, Pandu Puber dipanggul Hapsari yang cantik dan berda-da montok itu meninggalkan gua. Mereka
menuju ke Bukit Guiana. Mulut Pandu sudah tak bisa bicara apa-apa. Soalnya
sebelum dibawa pergi, Janda Keramat telah menotok pita suara Pandu. Jadi pemuda
tampan itu hanya bisa ah-uh, ah-uh, tanpa suara yang jelas.
Cahaya rembulan yang muncul separo bagian membuat Janda Keramat dapat melihat dengan jelas jalanan yang menuju
ke Bukit Guiana. Tetapi cahaya rembulan itu pun membuat sepasang mata melihat
keadaan Pandu dipanggul Janda Keramat. Sepasang mata itu langsung melompat dari
atas pohon bagaikan burung terbang dalam satu ayunan gerak
yang indah. Wuuttt...!
Kaki orang yang melompat dari
pohon itu langsung kenai kepala Janda Keramat. Plook...!
Wuuss, bruuss...!
Janda Keramat jatuh terjungkal,
tubuh Pandu pun terpental, lepas dari gendongannya. Cahaya rembulan menampakkan
sosok penyerang yang berdiri tegak memandangi si Janda Keramat sebentar, lalu ia
segera menghampiri
Pandu yang terkapar tanpa daya. Mulutnya ternganga-nganga mirip mujair kekurangan air. "Jangan sentuh dia atau kau mati sekarang juga"!" gertak Janda Keramat dengan
suara keras. ENAM OTAK si tampan Pandu masih bekerja. Ia sempat melihat sosok yang menyerang Janda Keramat. Orangnya
tinggi, badannya sekal. Dia seorang perempuan cantik berhidung mancung.
Rambutnya disanggul rapi. Usianya
yaah... sekitar tiga puluhanlah.
Keremangan cahaya rembulan menampakkan wajah cantiknya pucat. Tapi biar pucat, terlihat jelas bentuk bibirnya
yang sensual, agak tebal namun indah. Sekali caplok pantang dilepaskan oleh
lawan jenisnya. Pandu pun
sempat berpikiran begitu. Padahal ia sendiri dalam keadaan bahaya, tapi
sempat-sempatnya berpikir begitu.
Perempuan itu mengenakan jubah
tipis dari sutera warna hijau berbintik-bintik merah mengkilap. Kalau pakaian
Pandu kan ungu berbintik-bintik putih mirip embun bening, tapi kalau perempuan
itu hijau berbintik merah mengkilap. Pakaian itu menampakkan be-lahan dadanya
yang membusung kencang, penuh tantangan. Dalam keadaan parah begitu mata Pandu
Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puber masih sempat-sempatnya memandangi bagian ujung dada yang kelihatan berani
itu. Dasar mata romantis, memang nggak boleh lihat barang begituan. Bawaannya
kepingin menggasak habis aja
Janda Keramat agaknya belum kenal dengan perempuan itu. Pandu pun masih merasa asing, karenanya ia menyi-mak
jawaban perempuan itu ketika Janda Keramat bertanya dengan nada menyentak,
"Siapa kau dan ada urusan apa
tahu-tahu menyerangku, hah"!"
"Kau lupa padaku, Hapsari" Perhatikan baik-baik, kenanglah masa tujuh tahun yang
lalu kala kita berebut Kembang Ayu Abadi!"
Suara perempuan itu penuh wibawa. Janda Keramat memperhatikan sambil mengenang masa lalunya. Tapi ketika ia
ingat Kembang Ayu Abadi sebagai bunga
berkhasiat bikin awet muda dan awet cantik sepanjang masa, Janda Keramat pun
segera kenali perempuan itu.
"O, jadi kau yang dulu merebut Kembang Ayu Abadi dari tanganku itu"
Ya, ya... aku masih ingat tentang dirimu, Payung Cendana!"
"Busyet!" kata Pandu dalam hatinya."Rupanya perempuan itulah yang bernama Payung
Cendana, gurunya Bunga Taring Liar"! Kusangka sudah tua, se-tidaknya berusia
nggak jauh dari Ki Parma Tumpeng, sebab dia adiknya. Tapi kok nyatanya masih
cantik dan montok begitu" Aih, gila! Murid sama guru kok sama-sama cantiknya.
Gawat, bisa-bisa murid dan guru saling berebut kekasih kalau gini caranya"!"
Payung Cendana memang sosok perempuan yang masih membangkitkan gairah cinta bagi kaum lelaki mana saja,
kecuali yang perabotnya sudah nggak normal. Suaranya pun masih tegas dan jelas.
Mestinya usia sudah banyak, sebab kakaknya saja sudah setua Ki Parma Tumpeng.
Tapi karena dulu Payung Cendana berhasil memakan Kembang Ayu Abadi, maka ia
menjadi cantik seperti kecantikan masa usia tiga puluh tahu-nan. Badannya pun
berisi dan penampi-lannya pun masih menampakkan gairah mudanya.
"Muridku kasih laporan padaku
tentang pencuri lelaki tampan berambut
putih perak," kata Payung Cendana.
"Sudah kuduga kaulah perempuan berambut putih perak itu, Hapsari! Dan aku segera
melacak dengan teropong batinku. Kulihat kau sedang merayunya di sebuah gua.
Maka aku pun menuju ke gua itu, tapi ternyata kita bertemu di si-ni! Sangat
kebetulan sekali!"
"Lalu apa maumu, hah"! Kau telah menendang kepalaku dengan tenaga dalam yang kau
simpan di kaki. Untung aku orang keras kepala, jadi kepalaku
nggak sampai pecah. Tendanganmu bisa kutepiskan dengan hawa murniku. Sekarang
kita sama-sama sehat dan berhadapan. Kamu mau apa"!"
Perempuan yang menyandang sesuatu di punggungnya, tapi bukan pedang, segera berkata dengan tetap tenang.
Sebelumnya matanya melirik ke arah
Pandu, dan kebetulan dalam keadaan te-lentang Pandu sempat melirik ke wajah
perempuan itu. Shrr...! Hati Pandu berdesir karena digoda oleh daya pikat yang ada di wajah cantik berhidung mancung itu.
"Hapsari! Kurasa kau sudah tahu apa yang kuinginkan. Aku akan membawa pulang
pemuda itu agar selamat dari tangan kotor si Wulandita, alias Ratu Cadar Jenazah
itu!" "Hmm...!" Janda Keramat mencibir berkesan meremehkan. "Rupanya kamu nggak kuat
menahan kesepian, akhirnya
ingin memperoleh kemesraan juga dari seorang lelaki, ya" Kenapa kamu nggak cari
lelaki lain saja" Pemuda ini
punya harga tinggi, nilainya sama dengan satu takhta di dalam sebuah ista-na!"
"Tak perlu banyak kujelaskan padamu, yang penting aku membutuhkan pemuda ini.
Serahkan padaku supaya kita tidak saling mencelakai!"
"Enak aja! Dapatnya susah payah kok mau diserahkan begitu aja! Langkahi dulu
mayat orang mati, baru kuse-rahkah pemuda itu!"
Pandu membatin, "Ngapain mau tarung pakai melangkahi mayat orang mati dulu"
Hapsari bermaksud sesumbar apa memang bego sih" Mestinya kan
'Langkahi dulu mayatku', gitu. Baru namanya sesumbar penuh tantangan! Ah, masa
bodolah. Yang penting aku menung-gu hasil akhirnya saja. Siapa dari mereka yang
menang dan bisa bawa kabur aku. Harapanku sih Nyai Payung Cendana yang menang,
tapi kalau memang Janda Keramat yang unggul ya apa boleh buat!
Gimana nanti aja!"
Gurunya si Bunga Taring Liar
punya senjata antik, yaitu sebuah
payung. Payung itulah yang ada di
punggungnya dalam keadaan menguncup, punya tempat sendiri seperti tempat pedang.
Gagangnya yang nongol lewat pundak itu mirip gagang pedang. Ketika
gagang itu dicabut, langsung payungnya mengembang, jrrab...!
Payung itu mempunyai rumbairumbai di tepiannya dari benang manik-manik bening. Payung itu terbuat dari
semacam lempengan baja yang tersusun rapi baris demi baris. Ujung payung
berbentuk runcing mirip mata tombak.
Tentu saja ujung payung itu berbahaya sekali bagi lawan yang nggak tahu soal
senjata tersebut.
Sambil memutar-mutarkan payung
dengan santai, gurunya Bunga Taring Liar berkata kepada Janda Keramat,
"Kalau memang syarat untuk membawa Pendekar Romantis harus menumbangkan dirimu, aku terpaksa lakukan, Hapsari! Lebih baik aku kehilangan darah
daripada membiarkan anak sebaik Pandu kau serahkan kepada si rakus Wulandita!"
"Rupanya kau memaksaku untuk
membalas kekalahanku tujuh tahun yang lalu, Payung Cendana! Terimalah jurus
'Sigar Nyawa'ku. Hiaah...!"
Slappp...! Sinar merah seperti
laser yang keluar dari ujung telunjuk Janda Keramat itu menghantam Payung
Cendana. Tapi dengan tetap tenang di tempat, Payung Cendana hanya menadah-kan
payung pusakanya yang berwarna perak itu ke depan dalam keadaan mengembang.
Payung itu diputar gagangnya, wuusss...! Memancarlah bau wangi cendana yang segar dan harum. Sinar merah itu memantul balik ketika menghantam
payung perak tersebut. Debb...!
Clapp...! Janda Keramat melompat dengan
sentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melenting di udara untuk hindari kemba-linya
sinar merah yang dinamakan jurus
'Sigar Nyawa' itu. Akibatnya, sebongkah batu di jajaran belakang Janda Keramat
menjadi sasaran sinar merah tersebut. Duarrr...!
Batu itu pecah menjadi delapan
bongkahan. Warna batu yang merah menjadi menyala berpijar merah, seperti batu
dari dalam endapan lumpur lahar.
Mengerikan sekali. Bau hangus tak se-dap juga menyebar ke mana-mana.
"Heaat...!" Janda Keramat lompat kembali ke udara dalam gerakan salto.
Tiba-tiba ia hinggap di atas payung dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya ke
arah bawah. Payung yang ditegak lu-ruskan oleh pemiliknya itu cukup kuat
menyangga tubuh Janda Keramat. Tapi sempat tersentak dalam guncangan kuat ketika
sinar merah terlepas dari telapak tangan Janda Keramat.
Blarrr...! Bunyi ledakan memecah keheningan
malam. Payung itu guncang dan berasap, tapi tidak sampai rusak. Sedangkan tubuh
Janda Keramat terlempar ke atas lebih tinggi lagi karena hentakan gelombang daya ledak yang memantul dari permukaan payung perak tersebut.
Wuuttt...! Nyai Payung Cendana sedikit
oleng ke kiri, tapi tak sampai jatuh.
Melihat lawannya melenting di udara, ia segera lepaskan satu serangan dalam
keadaan payung yang tiba-tiba menguncup sendiri itu. Srubb...! Dan ujung payung
yang berbentuk mata tombak
runcing itu tiba-tiba melesat keluar dari tempatnya. Rupanya logam runcing itu
mempunyai rantai yang dikaitkan dengan bagian dalam payung. Zrakkk...!
Ketika mata tombak runcing itu
melesat, rantai pun tertarik keluar.
Mata tombak runcing itu berkelebat
dengan cepatnya hingga mengenai Janda Keramat. Jrubb...!
"Aaahg...!" pekik si Janda Keramat dalam keadaan melayang turun ke tanah.
Rupanya logam runcing itu mengenai betisnya dengan telak. Logam itu dapat
kembali sendiri bagaikan ditarik oleh rantainya, hingga dalam sekejap sudah
berada di ujung payung lagi.
Srakk...! "Uuhg...!" Janda Keramat mengge-liat tak mampu berdiri. Dia menahan rasa sakit
yang menyerang sekujur tubuh, seakan juga meretakkan tulangtulangnya. Itu akibat racun berbahaya yang ada di logam putih runcing tadi.
Bahkan beberapa kejap berikutnya Janda
Keramat benar-benar tak mampu berdiri selain hanya mengerang kesakitan sambil
menggelepar di tanah.
"Kubunuh kau, Payung Cendana!
Setan alas! Aaaoww...!" Janda Keramat menjerit-jerit sendiri. Tapi Nyai
Payung Cendana nggak mau peduli lagi.
Cuek dengan jeritan itu. Ia segera memasukkan payung pada tempatnya di
punggung, lalu dengan gerakan cepat yang mengagetkan tahu-tahu tubuh Pandu sudah
ada di pundaknya mirip handuk mau dipakai buat mandi di sungai.
Wesss...! Payung Cendana pergi
tinggalkan tempat. Suara Janda Keramat penuh makian dan ancaman, tapi tetap
dicuekin oleh Payung Cendana.
"Mau dibawa ke mana nih?" pikir Pandu Puber yang masih belum bisa apa-apa, mirip
bayi rindu mimik sang Ibu.
Rupanya ia dibawa Payung Cendana
ke sebuah pondok yang ada di atas bukit berbatu karang. Bukit itulah yang
dinamakan Tebing Galah. Mencuat tinggi mirip menara sehingga dikatakan seperti
galah. Makanya bukit itu disebut Tebing Galah.
Pondok itu tidak terlalu lebar,
tapi mempunyai tiga kamar. Salah satu kamar sering dipakai semadi Nyai Guru
Payung Cendana. Dua kamar lainnya untuk tidur sang guru dan sang murid; Bunga
Taring Uar. Gadis cantik itu
nggak ada di tempat. Pondok itu sepi,
hanya Pandu dan Payung Cendana yang ada. Maka ketika Payung Cendana sudah
berhasil pulihkan kekuatan Pandu yang bikin Pandu segar kembali, pemuda bermata
kebiru-biruan mirip bule itu pun ajukan pertanyaan,
"Ke mana Bunga Taring Liar?"
"Dia kuutus ke Pantai Bunga Dampar untuk temui kakakku; Parma Tumpeng. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan, karenanya Bunga kusuruh minta
kepastian kepada kakakku, kapan aku dan dia bisa bicara berduaan saja."
"Masalah pribadikah?"
"Setengah pribadi," jawab Payung Cendana dengan tegas. "Tapi barangkali kakakku
nggak keberatan kalau kau pun mengetahui masalahnya."
"Aku siap mendengarnya, Nyai
Payung Cendana."
"Panggil aku Widuri saja."
"Widuri...?"
"Itu nama asliku. Aku suka dipanggil nama asliku oleh orang-orang tertentu."
"Ooo...," Pandu Puber manggut-manggut, membiarkan wajahnya dipandangi oleh
perempuan cantik yang punya postur tubuh mengguncangkan iman dan bibir
menggetarkan kalbu itu. Pandu menambahkan kata dengan senyum yang menawan dan
menambah ketampanannya.
"Nama aslimu bagus sekali, seperti judul sebuah tembang."
"Begitukah?" Payung Cendana mulai tersenyum tipis sebagai sikap ma-lu-malu
mendengar pujian itu.
"Ada syair tembang 'Widuri' yang kusukai; 'Widuri, elok bagai telaga, oh kasih.
Widuri, indah bagai pelangi, oh sayang...."
Pandu diam dalam senyuman, dan
bibir sensual itu kian mekar dalam ke-ceriaan. Bahkan bibir sensual itu segera
bergerak-gerak menyebutkan kata,
"Suaramu merdu sekali. Enak didengar, melenakan bila disimak. Mengapa nggak jadi
pesinden saja?"
Pandu Puber tertawa dalam gumam
yang membuat tubuhnya berguncangguncang. Payung Cendana ikut tertawa bersuara lirih, masih menjaga wibawa dan
karismanya. Lalu perempuan itu me-lempar pandangan ke arah lain, sepertinya tak
tahan jika harus beradu pandang terus dengan si mata biru itu.
Kejap berikutnya Pandu Puber
perdengarkan suaranya dalam kelembutan tanya, "Jelaskan persoalan yang ingin kau
katakan tadi."
"Ada hubungannya dengan Ratu Cadar Jenazah."
"O, ya..." Kebetulan sekali, karena aku punya masalah dengannya."
"Itulah sebabnya Bunga Taring
Liar, muridku, kuutus membawamu kema-ri, tapi ia gagal karena keusilan Hapsari."
Payung Cendana tarik napas sebentar, menampakkan keseriusannya, la-lu berkata lagi dengan pandangan mata
lebih sering memandang ke arah lain.
"Bukit Gulana dulu merupakan kekuasaan kakakku; Parma Pratikta alias Parma
Tumpeng itu. Istana yang diban-gun di sana sebenarnya bekas pesanggrahan tempat kakakku mendirikan Perguruan Candra Baruna. Kedatangan Ratu
Cadar Jenazah membumihanguskan perguruan itu, membantai semua murid kakakku,
tapi kakakku berhasil kusela-matkan. Kini ia hanya punya satu murid yang tidak
tahu-menahu sejarah Bukit Gulana. Aku bermaksud merebut Bukit Gulana kembali
melalui bantuanmu."
"Bantuanku?"
"Karena kau adalah orang terkuat untuk masa sekarang. Kesaktianmu sudah kudengar
dari berbagai mulut para sak-si mata. Kebetulan juga kau punya urusan dengan
Ratu Cadar Jenazah itu, ja-di kau punya alasan untuk menyerangnya."
"Mengapa bukan kau saja yang me-nyerangnya, Widuri?"
"Ilmuku kalah tinggi dengan ilmunya Wulandita atau Ratu Cadar Jenazah. Kakakku
pun kalah tinggi ilmunya.
Dia mempunyai ilmu yang bernama' Aji Baja Geni', salah satu ilmu andalan
utamanya."
"Apa kehebatan 'Aji Baja Geni'
itu?" "Kebal senjata, kebal tenaga dalam apa pun. Jika ilmu itu dipakai, maka
tangannya bisa menghanguskan barang apa saja yang dipegangnya. Hanya dipegang
saja tanpa kekuatan apa-apa, sebatang pohon bisa hangus dari akar sampai
pucuknya. Itulah kehebatan 'Aji Baja Geni'-nya Wulandita."
Pandu manggut-manggut, menampakkan antusias sekali dengan penjelasan Payung Cendana. Perempuan itu tampak
senang melihat sikap Pandu yang mendengarkan dengan serius apa yang dijelaskannya itu. Maka ia pun menyambung kata,
"Tapi belakangan ini aku mendapat wangsit dari dewata yang menyebutkan, bahwa kelemahan 'Aji Baja Ge-ni' ada di pusarnya."
"Pusarnya"!" Pandu Puber menggumam heran. Matanya memandang dalam te-rawang,
membayangkan sebentuk pusar perempuan. Lalu ia tertawa geli sendiri. Payung
Cendana seperti tahu apa yang terbayang di benak Pendekar Romantis yang ganteng
menawan hati itu.
Maka, Payung Cendana pun segera berkata dengan suara pelan bercampur senyum
menawan pula, "Jangan bayangkan lebih dari pusar. Nanti kau terjebak oleh bayanganmu sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau bayangkan perta-runganmu dengan Ratu Cadar Jenazah.
Apakah kau berani melawannya?"
"Mengapa tidak?"
Payung Cendana manggut-manggut.
"Sekalipun dia punya kelemahan di pusarnya, tapi tak semua senjata mampu
menembus pusarnya. Hanya senjatamu
yang bisa menembusnya."
"Senjata yang mana?" Pandu berlagak bingung.
"Pedang Siluman!"
Kini si tampan Pandu terperanjat. Agaknya rahasia kekuatannya juga sudah diketahui oleh Payung Cendana, dan
Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandu nggak bisa bohong lagi. Percuma saja ia berlagak bego, karena
kayaknya perempuan itu punya teropong batin cukup kuat. Bahkan si cantik
bernama asli Widuri itu berkata lagi,
"Wangsit dari dewata yang kuterima beberapa waktu yang lalu mengatakan, bahwa
pusar itu bisa dilukai atau ditembus oleh Pedang Siluman milik
seorang pendekar bertato mawar di dadanya. Ingatanku kembali ke cerita
orang-orang tentang Pendekar Romantis yang bertato bunga mawar. Karenanya,
ketika kudengar ada sayembara menangkap dirimu, aku segera mengutus muridku
untuk membawamu kemari, bersembunyi di sini sambil mengatur siasat."
"Ya, ya... aku mengerti, karena Bunga Taring Liar pernah bilang begitu. Cuma, apa hubungannya dengan Ki Parma Tumpeng tentang rencanamu ini,
Widuri?" "Aku hanya ingin minta bantuannya jika ia setuju merebut tanah keku-asaannya
kembali. Bantuan yang kuha-rapkan adalah menemukan lorong bawah tanah yang bisa
tembus ke kamar Wulandita."
"Oh, ada lorong tembus ke kamarnya Ratu?" Pandu kaget.
"Kakakku pernah menggali lorong itu buat meloloskan diri sewaktu-waktu. Tapi
ketika disergap Wulandita, dia tidak sedang ada di kamar. Bahkan sedang ada di
pantai melatih para muridnya. Kabarnya, lorong itu kini berada di kamar pribadi
sang Ratu. Kau harus masuk melalui lorong itu dan
membunuhnya tanpa harus menghadapi beberapa pengawalnya."
"Apakah kau tak bisa meneropong dengan kekuatan batinmu tentang di ma-na lorong
itu berada?"
"Lorong itu sudah diberi kekuatan getaran batin yang sukar diteropong dengan
mata batinku. Hanya kakakku yang tahu tempat itu!"
Pemuda ganteng. berambut cepak
depan itu manggut-manggut. Renungannya berkepanjangan. Sementara itu Payung
Cendana memandangi secara diam-diam, lalu mendesah lirih karena ada kegeli-sahan
di hatinya. Payung Cendana sengaja keluar
dari pondok, menikmati semilir angin dan suara deburan ombak karena bukit itu
memang dekat dengan laut. Cahaya rembulan masih memancar, bahkan lebih terang
dari sebelumnya. Bintang-bintang bertengger memancar di langit, seakan anak
sekolah yang sedang menikmati jam istirahat.
Pandu Puber ikut keluar setelah
dia bengong-bengong terus di dalam
pondok. Matanya menemukan Payung Cendana sedang berdiri dengan tubuh ber-sandar
pada sebuah pohon berdaun lebat mirip payung itu. Perempuan tersebut memandang
ke arah laut, sepertinya sedang menghitung berapa ikan yang teng-gelam karena
nggak bisa berenang.
Pandu Puber mendekati dengan hati-hati. Langkahnya didengar Payung Cendana, sehingga perempuan itu sempatkan
diri melirik pemuda yang mendekatinya. Senyumnya tersungging tipis.
Cahaya rembulan yang sempat menerobos celah dedaunan membuat senyum itu tampak
jelas di mata Pandu Puber.
"Ada sesuatu yang kau sedihkan, ya?" tanya Pandu Puber mencoba meyakinkan dugaan
hatinya. "Nggak ada," jawab Payung Cendana.
"Atau mungkin ada sesuatu yang mengelisahkan hatimu?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
ia menatap Pandu yang jaraknya satu langkah di sampingnya.
"Kulihat senyummu agak hambar.
Mungkin kau memikirkan seorang kekasih" Begitu?"
Senyum hambar sengaja diperlebar. Lalu pandangan mata berbulu lentik itu mengarah ke lautan. Suaranya
terdengar lirih.
"Aku sudah lupa bagaimana wujudnya kekasih."
"Sudah lupa" Apakah... apakah
kau...." Pandu bingung, apa yang mau dikatakannya" Seakan semua rencana
yang tadi muncul di otak sirna secara mendadak. Heningnya malam membuat
Payung Cendana bersuara jelas walau diucapkan dengan pelan,
"Tiga kali aku dikhianati oleh kekasih. Tiga kali aku ditipu dan dibuang begitu
saja. Selanjutnya aku nggak pernah mau lagi punya kekasih."
"Ooo... kau wanita yang patah
hati rupanya."
"Mungkin begitu, Sejak aku dino-dai oleh kekasihku yang terakhir, aku jadi benci
pada lelaki. Tapi setelah beberapa tahun kemudian, kebencian itu sirna sendiri
dan sadar bahwa nggak semua lelaki gemar menodai dan menya-kiti hati wanita.
Buktinya, kakakku sendiri justru dikhianati oleh is-trinya, padahal ia seorang
suami yang sayang pada istri dan sangat setia."
"Lalu apa tindakanmu setelah kau sadari hal itu?"
"Nggak bertindak apa-apa. Rasa-rasanya masih trauma jika harus pacaran lagi."
"Jadi sampai sekarang kau belum pernah bersuami?"
Payung Cendana menggeleng sambil
memandang Pandu Puber. "Nggak ada co-wok yang bisa melekat di hatiku. Jadi aku
nggak pernah merasakan nikmatnya jatuh cinta dan indahnya kemesraan
sang kekasih. Hanya saja...."
Payung Cendana sengaja berhenti
bicara. Kenapa coba" Karena ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuatnya takut meneruskan ucapannya.
Namun bagi Pandu Puber itu sesuatu
yang menjengkelkan. Ia harus tahu apa kelanjutan ucapan itu supaya hatinya nggak
penasaran, supaya kalau makan pun bisa habis banyak. Maka Pandu Puber mendesak
agar Payung Cendana mau teruskan kata-katanya...
"Rasanya nggak ada yang perlu
kau ketahui lagi tentang pribadiku."
"Kalau kamu nggak mau teruskan ucapanmu, aku akan terjun ke bawah dan mati di
lautan sana!"
"Terjunlah," kata Payung Cendana sambil sunggingkan senyum. Tapi Pandu Puber toh
nggak benar-benar berani
terjun. Dia malah tersenyum dan berkata penuh kelembutan,
"Kalau aku terjun, aku akan ma-ti. Kalau aku mati, lalu siapa yang akan
menangisi kematianku" Wanita mana yang akan merasa kehilangan diriku"
Aku nggak mau, ah! Kecuali kalau memang ada wanita yang mau menangisi
kematianku, mau merasa kehilangan diri-ku, maka aku akan terjun ke bawah dan
mati di sana!"
"Aku mau...!" kata Payung Cendana. "Aku mau menangisimu, aku mau merasa
kehilangan kamu. Sebab itu, terjunlah sana! Nanti mayatmu akan kutan-gisi tujuh
hari tujuh malam!"
Pandu cengar-cengir salah tingkah sambil bergeser memperpendek jarak. Ia berkata sambil memandang ke lautan,
"Kalau aku mati, dan kau menan-gisiku, sama saja aku menyiksa batin-mu. Aku
nggak ingin hatimu luka oleh kematianku. Aku juga nggak kepingin batinmu
menderita karena nasibku. Roh-ku akan bergentayangan jika aku melukai hatimu dan
membuat batinmu menderita."
Payung Cendana serius sekali menatap ke arah Pandu. Perempuan itu bagai terkunci mulutnya karena suatu ra-sa
yang mendesah haru di hatinya.
Pandu yakin perempuan itu terpaku oleh kata-kata manisnya. Buktinya ketika Pandu kian mendekati wajah,
perempuan itu diam saja, bahkan bersandar lekat-lekat di pohon. Pandu pun bisikkan kata lirih untuknya,
"Kau perempuan yang menggemaskan sebenarnya. Tapi hatimu sudah terlan-jur
tertutup untuk lelaki, sehingga aku harus melawan keinginanku untuk mengecup
bibirmu yang menggoda sejak tadi."
"Jangan dilawan," ucapnya lirih sekali.
"Maksudnya bagaimana?"
Setelah diam tiga hitungan dan
saling pandang, Payung Cendana pun lepaskan kata lirihnya, nyaris tak terdengar
oleh Pandu Puber.
"Kecuplah kalau kau ingin."
"Kau seorang guru."
"Tapi aku manusia juga," katanya sambil sedikit mendongakkan kepala dan
memejamkan mata. Bibir itu pun merekah dengan sendirinya. Pandu gemetar sekujur
tubuhnya. Tapi dengan tekad bulat dan keberanian yang besar, akhirnya ia pun
menempelkan bibirnya ke bibir
Payung Cendana. Cup...!
"Oh, hangat dan indah sekali!"
desah hati Payung Cendana yang tak sadar telan jatuh dalam rayuan Pandu Puber si
Pendekar Romantis. Hati yang selama ini membeku tiba-tiba menjadi cair dan luluh
oleh kehadiran Pendekar Romantis. Apalagi Pandu pintar mempermainkan rasa dan
lidahnya yang lincah itu terasa bikin betah, Payung Cendana
bagaikan tak bertulang lagi. Lemas sekali.
Bahkan ketika Pandu melepas kecupannya, bibir itu masih merekah ten-gadah. Mata indah menatap sayu seakan
terkesima mendapat kemesraan seindah itu. Kejap berikut terdengar suara
Payung Cendana berkata pelan,
"Jangan lakukan hal ini kepada Ratu Cadar Jenazah jika kau bertemu dengannya
nanti." "Mengapa kau sangsikan diriku?"
"Karena dia lebih cantik dariku." "O, ya..."!" Pandu sunggingkan senyum menawan. Ia menyentil pelan hidung mancung
itu dan berkata, "Jangan berpikiran nakal! Aku datang ke Bukit Gulana untuk
membunuhnya."
"Sungguh?"
"Lebih dari sungguh, Widuri. Sebab kalau aku nggak mau membunuhnya, maka aku
yang akan dibunuh olehnya."
"Kau... kau berjanji akan datang lagi setelah dari sana?"
"Gagal atau berhasil, aku pasti akan menemuimu lagi, Widuri!"
"Doaku menyertaimu secara diam-diam, Pandu."
"Doa yang secara diam-diam biasanya cepat dikabulkan daripada doa yang berisik," kata Pandu dalam can-danya.
Lalu ia meraih kepala Payung Cendana, dan kepala itu disandarkan di
dada bidang sang pendekar. Pandu meme-luknya seraya berbisik,
"Kita seperti sudah lama saling kenal, ya?"
"Barangkali roh kita pernah saling bertemu dan bercumbu," balas Payung Cendana.
Pelukan itu saling merenggang,
sama-sama melepaskan diri dengan satu sentakan menegang. Ketegangan meliputi
mereka bukan karena gigitan mesra
Payung Cendana, tetapi suara orang
mendaki bukit batu karang itu semakin jelas didengar oleh mereka. Pandu Puber
segera mengikuti Payung Cendana yang bergegas ke luar pagar pondok
yang tingginya sebatas perut itu.
Hanya pagar sederhana saja, bukan pagar pelindung. Dan dari depan pintu pagar
mereka memandang ke arah tangga yang berkelok-kelok dari bawah menuju ke atas.
Dua orang sedang berlari saling lompat meniti tangga.
"Oh, itu dia muridku dan kakakku datang," ujar Payung Cendana merasa tegang,
karena semula ia menyangka ada musuh yang datang menyergapnya sedang bercinta.
"Ada apa malam-malam begini me-manggilku dengan memaksa, Payung Cendana"!" ujar
Ki Parma Tumpeng sedikit dongkol dipaksa datang malam-malam begitu. Tapi
kedongkolannya segera sirna ketika matanya menatap Pandu Puber ada
di situ. Bunga Taring Liar pun tampak lega melihat Pandu sudah ada di dekat
gurunya. "Kau telah berhasil selamatkan anak itu dari tangan perempuan berambut perak
rupanya?" "Benar. Perempuan yang melarikan dia adalah Hapsari, dan aku sudah berhasil
merebutnya dari tangan Hapsari, seperti aku merebut Kembang Ayu Abadi dulu!"
"Bagus, bagus...!" Ki Parma Tumpeng manggut-manggut. "Aku sempat cemas ketika
muridmu ceritakan tentang si rambut perak yang menggondol bocah tampan itu!" '
"Justru sekarang aku ingin bica-ra denganmu, Kakang Parma. Maaf kalau aku
memanggilmu, karena kupikir aku sibuk merebut Pandu Puber dari tangan
penggondolnya. Kalau aku nggak sibuk merebut Pandu, pasti aku sendiri yang akan
datang ke Pantai Buaya Dampar.
Tapi karena Pandu digondol oleh...."
Pandu memotong, "Tunggu, tunggu...! Dari tadi kok soal gondolmenggondol, apa disangkanya aku ini tulang yang digondol anjing"!"
Payung Cenda tertawa tanpa suara
dan tundukkan wajah, Bunga Taring Liar tersenyum takut kedengaran suaranya.
Ki Parma Tumpeng sendiri terkekeh pelan, merasa lucu melihat Pandu bersungutsungut. Kemudian, tawa mereka berganti keseriusan. Payung Cendana kemu-kakan maksudnya. Ki Parma Tumpeng setuju
dan segera memberi penjelasan
tentang rahasia jalan tembus lorong yang bisa sampai ke kamar pribadi sang Ratu
Cadar Jenazah. "Hanya ada enam jebakan di lorong itu. Semua jebakan bisa dihindari dengan tidak menginjak lantai berhias
bunga putih. Karena lantai berhias
bunga putih itu adalah kunci pembuka jebakan maut. Jangan diinjak, ya"!"
ujar Ki Parma Tumpeng kepada Pandu Puber.
Pesan itu diingat betul oleh
Pandu Puber. Maka ketika Pandu Puber temukan lorong tersebut, ia sudah tahu
bagaimana caranya masuk lorong. Letak lorong itu ada di celah tebing karang.
Jalan menuju mulut lorong terhitung sempit. Hanya cukup untuk satu orang. Kanan-kirinya dinding tebing yang
tinggi. Tak ada orang jualan apa-apa di sana.
Lorong itu sendiri juga bermulut
kecil. Hanya cukup dimasuki satu orang dalam keadaan merundukkan kepala. Keadaan
di dalamnya memang gelap, sebab nggak ada yang pasang patromaks di sa-na. Tapi
Pandu sudah siapkan obor dari pelepah daun pepaya. Obor itu disulut dengan
menggunakan ilmu tenaga dalam yang bisa keluarkan api.
Dengan menggunakan obor itu,
Pandu Puber menyusuri lorong bongkok.
Dikatakan oleh Ki Parma Tumpeng bahwa lorong pertama adalah 'Lorong Bongkok',
karena orang yang masuk ke situ harus tahan berbongkok ria selama tiga puluh
langkah. Setelah itu barulah menemukan lorong beratap tinggi dan bisa berdiri.
Maksudnya yang berdiri orangnya, bukan 'obornya'. Keadaan lorong pun agak luas.
Bisa dipakai jalan tiga orang berjejeran.
Karena sudah dapat penjelasan
tempat-tempat berbahaya dan arah yang harus ditempuh, maka Pendekar Romantis
nggak sulit-sulit untuk mencapai ujung lorong rahasia itu. Dari tanah lorong
yang tidak berlantai sampai yang berlantai ubin keramik sudah dilalui.
Ubin yang bergambar bunga warna putih dilompati. Tentu saja ia selamat,
nggak kena jebakan. Coba kalau belum diberitahu Ki Parma Tumpeng, bisa mampus
kena jebakan. Apalagi jebakannya serem. Menurut cerita Ki Parma Tumpeng, jebakan pertama dari mulut lorong adalah delapan
tombak runcing turun dari atas kepala. Menancap di lantai dan menutup jalan, di
samping tentu saja membuat orang yang terjebak menjadi sate mendadak. Jebakan
kedua, dari dinding lorong keluar seekor kelabang kecil, ta-pi temannya
berjumlah ratusan ekor dan besar-besar. Ada pula jebakan yang tahu-tahu keluar asap berbau kemenyan bisa bikin mati orang. Sebab begitu asap bau
kemenyan menyembur dari dinding tembok, batu sebesar kerbau yang dipasang di
langit-langit turun dengan mengagetkan. Jatuh di kepala orang
itu, lalu orang itu mati bukan karena kaget tapi karena gepeng mendadak.
Pokoknya macam-macam deh ide Ki Parma Tumpeng saat bikin lorong jebakan itu.
"Mengapa Ki Parma Tumpeng nggak membunuh Ratu Cadar Jenazah melalui jalan lorong
itu?" "Masalahnya bukan nggak mau, ta-pi nggak bisa. Karena sang Ratu punya
'Aji Baja Geni' itu tadi!" jawab Ki Parma Tumpeng kala ditanya oleh Pandu.
Sekarang Pandu sudah sampai ke
lorong bertangga. Nah, lorong bertangga itu tembusnya ke kamar pribadi sang
Ratu. Jumlah anak tangga ada tiga puluh dua. Sudah dihitung oleh Ki Parma
Tumpeng. Pada anak tangga ke sepuluh dan kedua puluh ada jebakan kecil tapi
bikin mampus orang, yaitu menyemburnya paku beracun dari samping tangga dan
lobang di bawah anak tangga yang akan menjebloskan orang masuk ke sumur tua
dalamnya bukan main. Tapi jebakan itu bisa dihindari Pandu berkat pelajaran dari
Ki Parma Tumpeng.
Ujung tangga ternyata berdinding
Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu. Cara membuka pintu itu pun sudah diajarkan oleh Ki Parma Tumpeng.
Pelan-pelan Pandu Puber membuka pintu tersebut. Pertama dibuka sedikit lalu
diintip dengan mata merem satu. Sebab kalau merem dua-duanya nggak bisa melihat.
Setelah itu pintu dilebarkan, karena suasana kamar tampak sepi. Hari masih pagi,
sekitar pukul lima kurang, untuk ukuran zaman sekarang. Tapi tempat tidur sudah
kosong. Bau aroma di kamar itu adalah bau bawang. Pandu cu-riga, "Wah, janganjangan ini kamar pembantunya" Tempat tidurnya juga sederhana tuh. Alat riasnya
juga cuma sisir dan gincu. Wah, aku yakin ini kamar pembantunya. Jadi, kamar
yang dulunya dipakai sebagai kamar pribadi ratu, ternyata sudah diganti sebagai
kamar pembantu. Lalu di mana kamar
sang Ratu sendiri?" pikir Pandu sambil garuk-garuk kepala.
"O, ya... kata Ki Parma Tumpeng, kamar ini mempunyai pintu tembus ke kamar lain.
Nah, berarti pintu yang itu adalah pintu tembus ke kamar lain.
Coba kubuka pelan-pelan, ah...!"
Pintu dibuka pelan-pelan, diusahakan tanpa ada suara. Pintu memang tidak bersuara tapi Pandu sempat batuk satu
kali. "Uhuk...!" Pandu kaget sendiri.
Mestinya yang kaget orang lain, tapi malah dia sendiri yang kaget dan menjadi
tegang. Untung suara batuk itu tak didengar oleh siapa pun, sehingga
Pandu lanjutkan membuka pintu tersebut, lalu masuk ke kamar tembusannya.
Ternyata di samping kamar pelayan pribadi itu memang kamar sang Ratu. Susunan perabot dan jenis kemewahannya menampakkan betul bahwa kamar itu adalah kamar seorang ratu. Masalahnya
sekarang, di mana letak ratunya" Maksudnya, si Ratu ada di mana kalau keadaan kamar menjadi kosong
tanpa manusia secuil pun" Di ranjang yang empuk berlapis kain lembut warna merah
muda itu nggak ada siapa-siapa.
Tapi kondisi seprai memang lusuh, tampak bekas ditiduri orang.
Selagi Pandu clingak-clinguk,
tiba-tiba terdengar langkah seseorang menuju pintu utama kamar. Pandu segera
sembunyi di dalam almari yang tingginya sekitar satu tombak setengah
itu. Almari itu menghadap ke cermin rias dan ranjang. Pintunya sedikit dibuka
sehingga Pandu bisa mengintip
keadaan di luar almari.
"Astaga! Ternyata bukan sang Ra-tu. Ditilik dari pakaiannya yang sederhana,
pasti dia pelayan pribadi
sang Ratu. Apalagi badannya gemuk
kayak kaleng kerupuk gitu, pasti bukan ratulah yaow...! Eit... dia menuju
kemari" Waduh, gawat nih...!"
Sang pelayan melihat pintu almari terbuka sedikit. Ia bicara sendiri sambil menghampiri almari tersebut.
"Gusti Ratu memang sering teledor.
Pintu almari nggak dikunci, nanti kalau ada maling masuk gimana" Pasti
yang dituduh aku juga kan, karena cuma aku yang diizinkan masuk kamar ini"!
Ah, sebaiknya kukunci saja biar nggak jadi masalah!"
Klik...! Pintu almari ditutup
rapat lalu dikunci. Yang di dalam almari jadi kelabakan.
"Sial! Pintunya malah dikunci
dari luar! Gimana nih" Nggak bisa keluar dong"!" gerutu Pandu Puber di dalam
almari yang khusus untuk menggan-tungkan pakaian.
Pandu membatin lagi, "Wah, kacau kalau gini! Pendekar kok terjebak masuk dalam
almari. Malu-maluin aja! Mau nggak mau harus kujebol dengan kekuatan tenaga
dalamku! Tapi, eh... tunggu dulu. Aku seperti mendengar suara percakapan
seseorang. Pasti ada yang bicara di sekitar almari ini."
Terdengar percakapan antara pelayan dengan sang Ratu yang bersuara sedikit serak itu.
"Hari ini, Gusti jadi berangkat berburu Pandu Puber?"
"Jadi. Siapkan pakaian perangku." "Pakaian perang yang mana?"
"Yang seronok, Goblok! Yang kelihatan dadanya sedikit dan pahaku bi-ar tampak
menantang pria. Itu namanya
pakaian perang!"
"O, iya! Baik, saya siapkan,
Gusti Ratu. Tapi... bukankah Gusti Ra-tu mau berburu Pandu Puber lalu mau
membunuhnya" Kenapa harus pakai pakaian yang seksi?"
"Kudengar yang namanya Pandu Puber itu orangnya tampan dan menggai-rahkan. Kalau
omongan orang-orang itu ternyata benar maka pemuda itu nggak jadi kubunuh.
Setidaknya nggak secepat itu aku harus membunuhnya. Tapi kalau kenyataannya ia
bukan pria yang menawan, maka kesalahannya itu nggak bisa kuampuni lagi. Harus
kubunuh dengan tanganku sendiri!"
"Apa sih kesalahan orang itu sebenarnya, Gusti Ratu?"
"Mau tahu" Kesalahannya cukup
banyak. Pertama, dialah orang yang
menghancurkan Kitab Panca Longok, sehingga aku nggak bisa mempelajari jurus maut
yang ada di dalamnya. Sebagai pelampiasan kemarahanku; temannya yang bernama Ken
Warok itu kubunuh dan ku-gantung di pinggir hutan sana."
"Kesalahan kedua apa, Gusti?"
"Kesalahan kedua, dia telah membunuh Dalang Setan, sehingga aku nggak jadi
memiliki pusaka 'Cemeti Mayat'
milik Nyai Titah Bumi, neneknya Dalang Setan. Yang ketiga, dia menyuruh teman
gembrotnya untuk melukaiku. Teman wa-nitanya yang gemuk dan mengaku bernama
Dewi Lemakwati itu yang bikin aku murka kepada Pandu Puber. Sebab gadis
gembrot itu bisa mengetahui kelemahanku dan aku diserang dengan racun ganas
tepat di bagian kelemahanku. Hampir saja aku mati jadi serpihan abon kan"
Untung aku punya obat penangkal racun itu! Pokoknya semua itu gara-gara Pandu
Puber. Maka anak itu harus kulenyapkan biar kelak nggak bikin kacau rencanaku lagi!"
Di dalam almari Pandu Puber
menggumam dalam hati, "Ooo... jadi itu masalahnya" Pantas dia benci banget sama
aku sampai bikin sayembara kayak gitu" Aku harus segera bertindak. Cu-ma, gimana
cara keluarnya nih?"
Persoalannya sudah jelas, apa
sebab Pandu jadi buronan Ratu Cadar Jenazah, yaitu karena tiga persoalan yang
hadir dalam kisah: "Kitab Panca Longok" dan "Dendam Dalang Setan", tinggal
bagaimana cara menyelesaikan kemurkaan sang Ratu.
Pendekar Romantis punya dua pilihan, melawan sang Ratu dengan keke-rasan atau dengan kemesraan" Keduanya bisa
mematikan sang Ratu, tapi kedua-nya juga punya bahaya besar bagi dirinya
sendiri. Lalu, apa jadinya jika sang Ratu buka almari dan menemukan buronannya
sudah ada di dalam almari itu"
Kalau mau tahu lanjutannya, silakan baca serial Pendekar Romantis dalam kisah: "Ratu Cadar Jenazah".
Bayangin aja, Ratu kok memakai cadar jenazah, kayak apa jadinya tuh orang, ya"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Perawan Perawan Persembahan 2 Pendekar Binal Karya Khu Lung Naga Sasra Dan Sabuk Inten 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama