Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 5
memanggil dengan julukan itu - "Sejak kau ditempatkan di dapur, kau sudah menghemat banyak.
Tapi kemampuanmu akan tersia-sia di tempat seperti itu. Aku akan memindahkanmu ke kandang."
Dalam kedudukannya yang baru, Tokichiro berhak atas upah sebesar tiga puluh kan. Ia pun
memperoleh rumah di bagian kota yang khusus disediakan untuk para samurai. Anugerah ini
membawa senyum ke wajah Tokichiro. Salah satu yang pertama-tama dilakukannya adalah
mengunjungi bekas rekan kerjanya, Ganmaku.
"Kau ada waktu sekarang?" ia bertanya. "Kenapa?"
"Aku ingin pergi ke kota dan mentraktirmu minum sake?"
"Ehm, entahlah." "Ada apa?"
"Kau sudah diangkat menjadi pengurus dapur. Aku tetap saja pembawa sandal. Tidak sepantasnya
15 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
aku pergi minum-minum bersamamu."
"Jangan macam-macam. Jika aku berpandangan seperti itu, aku takkan datang ke sini untuk
mengajakmu. Jabatan pengurus dapur terlalu tinggi untukku, tapi sekarang aku dipindahkan ke
kandang, dengan upah tiga puluh kan."
"Wah!" "Aku datang ke sini karena kau pengikut setia Yang Mulia, walaupun kau hanya pembawa sandal.
Aku ingin kau ikut merasakan kebahagiaanku."
"Ini memang kesempatan yang pantas dirayakan. Tapi, Tokichiro, kau lebih jujur daripada aku."
"Hah?" "Sikapmu sangat terbuka padaku, tanpa menyembunyikan apa-apa, sementara aku merahasiakan
banyak hal darimu. Sesungguhnya aku sering menjalankan tugas khusus, seperti yang waktu itu
kautanyakan. Untuk setiap tugas, aku menerima bonus besar langsung dari tangan Yang Mulia.
Uangku selalu dikirim ke rumahku."
"Kau punya rumah?"
"Jika kau pergi ke Tsugemura di Omi, kau akan menemukan bahwa aku memiliki keluarga dan
sekitar dua puluh pelayan."
"Ah, begitu?" "Jadi, tidak sepantasnya aku membiarkanmu menjamuku. Tapi, kalau kita berdua terus menanjak,
bersama-sama, kita berdua akan menjamu dan dijamu."
"Aku tidak menyadarinya."
"Nasib kita berada di masa depan - begitulah pandanganku."
"Kau benar, nasib kita berada di masa depan."
"Lebih baik kita memikirkan masa yang akan datang."
Tokichiro semakin bahagia. Dunia tampak cerah. Di matanya tak ada yang terselubung kegelapan
maupun bayang-bayang. Dalam posisinya yang baru, Tokichiro hanya memperoleh tiga puluh kan, tapi ia merasa gembira
karena jumlah yang tak seberapa itu merupakan penghargaan untuk pengabdiannya selama dua
tahun. Pengeluaran tahunan untuk bahan bakar telah berkurang lebih dari setengah, namun bukan
imbalannya saja yang membuatnya senang. Ia juga memperoleh pujian:
"Kau telah bekerja dengan baik. Orang seperti kau di tempat seperti itu adalah sia-sia." Dipuji
seperti ini oleh Nobunaga merupakan kebahagiaan yang takkan pernah dilupakannya. Nobunaga
seorang pemimpin, dan ia tahu bagaimana harus berbicara dengan anak buahnya. Kegirangan
Tokichiro seakan-akan tanpa batas. Orang lain mungkin menganggapnya kurang waras ketika ia,
16 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
seorang diri dan sambil tersenyum-senyum, sesekali memperlihatkan lesung pipi, meninggalkan
benteng dan berjalan-jalan keliling Kiyosu.
Pada hari ia berganti tugas, ia diberi cuti lima hari. Ia akan mengurus perlengkapan rumah tangga,
mencari seorang pengurus rumah, dan mungkin seorang pelayan, meski ia menduga bahwa rumah
yang diterimanya berada di sebuah jalan belakang, memiliki pintu gerbang yang tidak mencolok,
dikelilingi pagar tanaman dan bukannya tembok, dan hanya terdiri atas lima kamar. Ini pertama
kalinya ia menjadi tuan di rumahnya sendiri. Ia berganti arah untuk mengamatinya. Lingkungan
sekitarnya hanya dihuni oleh orang-orang yang bekerja di kandang. Ia menemukan rumah si
pemimpin kelompok, dan melakukan kunjungan kehormatan. Namun orang itu sedang keluar, jadi ia
berbicara dengan istrinya.
"Tuan belum menikah?" wanita itu bertanya. Tokichiro membenarkannya.
"Hmm, ini agak merepotkan Tuan. Di sini ada beberapa pelayan dan sejumlah perabot tak terpakai.
Bagaimana kalau Tuan mengambil apa saja yang Tuan butuhkan?"
Dia murah hati, pikir Tokichiro ketika keluar lewat pintu gerbang.
Wanita itu ikut keluar dan memanggil dua pelayannya.
"Ini Tuan Kinoshita Tokichiro yang baru saja ditugaskan di kandang. Sebentar lagi dia akan pindah
ke rumah kosong dengan tanaman paulownia. Antar dia ke sana, dan kalau kalian ada waktu,
bersihkan rumahnya sekalian."
Diantar oleh kedua pelayan itu, Tokichiro pergi melihat rumah dinasnya.
Rumahnya ternyata lebih besar dari yang dibayangkannya. Ketika berdiri di muka gerbang depan, ia
bergumam, "Hmm, ini rumah bagus."
Setelah mencari keterangan, ia diberitahu bahwa penghuni sebelumnya bernama Komori Shikibu.
Rumahnya sudah agak lama kosong, dan banyak yang perlu diperbaiki, namun di mata Tokichiro
rumah itu lebih menyerupai tempat kediaman yang mewah.
"Kebetulan sekali ada tanaman paulownia di sini, sebab kembang itu sudah merupakan lambang
keluarga Kinoshita sejak zaman para leluhur kami,"
Tokichiro berkata kepada yang menyertainya. Ia tidak yakin apakah itu benar, tapi kedengarannya
cocok. Ia merasa pernah melihat lambang seperti itu pada pelindung dada ayahnya.
Jika suasana hatinya sedang riang seperti sekarang, ia selalu bersikap hangat terhadap
orang-orang di sekitarnya, dan jika tak ada urusan mendesak, tak ada keharusan untuk berkepala
dingin, ia sering terbawa perasaan dan cenderung banyak omong. Akan tetapi, setelah
ucapan-ucapannya meluncur dari mulut, ia menegur diri sendiri karena telah bersikap kurang
bijaksana, bukan karena kata-katanya bersumber dari niat buruk, melainkan karena urusan seperti
itu tidak dianggap penting olehnya. Kecuali itu, ia hendak menghindari kritik bahwa si Monyet besar
mulut. Ia sendiri mungkin mengakuinya dalam hati, "Memang, aku agak besar mulut." Namun,
bagaimanapun, orang-orang cerewet dan berjiwa picik, yang karena kegemarannya banyak omong,
mempunyai prasangka buruk terhadapnya, tak pernah menjadi sekutunya selama kariernya yang
gemilang." 17 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Beberapa saat kemudian ia terlihat di pusat kota Kiyosu yang ramai, tempat ia membeli perabotan.
Setelah itu, di sebuah toko pakaian bekas, ia melihat sepotong mantel yang biasanya dipakai di
atas baju tempur, dengan lambang berupa kembang paulownia berwarna putih. Tokichiro langsung
masuk untuk menanyakan harganya. Ternyata murah. Ia segera membayar dan cepat-cepat
mencobanya. Mantel itu agak longgar untuknya, namun tetap pantas, sehingga ia terus
memakainya ketika melanjutkan perjalanan.
Kain katunnya yang tipis dan berwarna biru berdesir seiring tiap langkahnya, dan bahan yang
berkesan mewah, seperti brokat emas, disetik hanya di bagian kerah. Ia bertanya-tanya siapa
pemakai sebelumnya, orang yang menambahkan lambang berwarna putih pada punggung mantel
itu. Andai Ibu bisa melihatku sekarang! pikirnya riang.
Di bagian kota yang makmur itu ia diserang oleh perasaan yang nyaris tak tertahankan, yang
membawanya kembali ke toko tembikar di Shinkawa.
Ia teringat betapa menyedihkan penampilannya ketika itu, telanjang kaki, mendorong kereta
bermuatan barang-barang tembikar melewati orangorang yang menatapnya dengan pandangan aneh, para penghuni kota yang gagah-gagah.
Ia berhenti di depan sebuah toko tekstil yang menjual kain tenun bermutu tinggi dari Kyoto.
"Jangan lupa untuk mengantarkannya," ia berpesan sambil menyerahkan uang untuk
barang-barang yang dibelinya.
Ketika melangkah keluar, ia menyadari bahwa ia selalu mengalami hal yang sama: setelah
bersantai selama setengah hari, dompetnya selalu kosong.
"Roti Kukus" terbaca pada sebuah papan dengan huruf-huruf terbuat dari kulit kerang. Papan itu
tergantung dari atap di sebuah pojok jalan.
Roti kukus seperti ini merupakan makanan khas Kiyosu, dan di dalam toko-toko yang penuh sesak,
para pendatang bercampur baur dengan penduduk setempat.
"Selamat datang," ujar seorang gadis pelayan bercelemek merah. "Silakan masuk. Tuan ingin
makan di sini, atau membeli roti untuk dibawa pulang?"
Tokichiro duduk di salah satu kursi dan berkata, "Kedua-duanya. Aku ingin makan sepotong di sini.
Setelah itu, tolong antarkan satu kotak - satu kotak besar - ke rumahku di Nakamura. Tanyakan
pada sais kereta barang, kapan dia akan menuju ke arah sana. Aku akan tinggalkan uang untuk
membayar ongkosnya."
Seorang laki-laki yang membelakangi Tokichiro sedang sibuk bekerja, namun rupanya ia sang
pemilik toko. "Terima kasih banyak atas kunjungan Tuan." "Usahamu tampak maju. Aku baru
berpesan agar beberapa potong roti diantar ke rumahku." "Dengan senang hati, Tuan."
"Tidak perlu cepat-cepat, tapi tolong masukkan surat ini ke dalam kotaknya." Ia menyerahkan
18 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sepucuk surat pada si pemilik toko. Pada sampulnya tertulis, Untuk Ibunda. Tokichiro.
Si pemilik toko mengambilnya dan menanyakan apakah kiriman itu perlu segera diantar.
"Tidak. Kapan-kapan saja. Sudah sejak dulu roti kukus di Kiyosu merupakan kegemaran ibuku."
Sambil bicara, ia menggigit roti di tangannya. Rasanya yang lezat membangkitkan sejuta kenangan,
dan dalam sekejap saja membuat matanya berkaca-kaca. Ia teringat masa mudanya, ketika ia
melewati toko ini sambil berharap agar ia sanggup membelikan beberapa potong roti untuk ibunya,
dan sepotong untuk dirinya sendiri. Tetapi waktu itu ia terpaksa terus mendorong keretanya sambil
memaksakan diri untuk bersabar.
Seorang samurai, yang sejak tadi memandang ke arah Tokichiro, menghabiskan rotinya, berdiri, lalu
memanggil, "Tuan Kinoshita!" Ia didampingi seorang gadis muda.
Tokichiro membungkuk rendah dan penuh hormat. Orang itu Asano Mataemon, seorang pemanah.
Sejak Tokichiro masih berstatus pelayan, Mataemon sudah bersikap ramah terhadapnya. Karena
toko roti cukup jauh dari benteng, Mataemon tampak santai dan riang gembira.
"Tuan seorang diri?" ia bertanya. "Ya."
"Kenapa tidak bergabung dengan kami" Aku bersama putriku."
"Oh, putri Tuanku?" Tokichiro menatap ke arah gadis berusia enam belas atau tujuh belas tahun
yang sedang mengatur posisi duduk agar membelakanginya, sehingga hanya tengkuknya yang
putih yang terlihat di sela-sela kerumunan orang. Gadis itu sungguh menawan. Bukan hanya
Tokichiro, yang memiliki mata tajam untuk keindahan, yang berpendapat demikian. Semua orang
pasti sependapat. Gadis itu cantik sekali, seorang wanita yang jauh di atas rata-rata.
Setelah dipersilakan oleh Mataemon, Tokichiro duduk di hadapan pemilik sepasang mata cerah itu.
"Nene," ujar Mataemon. Nama itu indah, sangat cocok dengan penampilan si gadis. Kedua matanya
tampak bersinar-sinar di tengah raut wajahnya yang halus. "Ini Kinoshita Tokichiro. Baru-baru ini dia
mendapat kenaikan pangkat, dari pengurus dapur menjadi petugas kandang. Kau harus berkenalan
dengannya." "Ya, ehm..." Nene tersipu-sipu. "Aku sudah mengenal Tuan Kinoshita."
"Hah" Apa maksudmu, sudah mengenal" Kapan dan di mana kalian bertemu?"
"Sudah beberapa kali Tuan Kinoshita mengirimkan surat dan hadiah untukku."
Mataemon tercengang. "Ini sungguh mengejutkan. Apakah kau membalas surat-suratnya?"
"Aku tidak pernah mengirimkan balasan."
"Bagus, tapi tidak memperlihatkan surat dan hadiahnya padaku, ayahmu sendiri, itu tak dapat
dimaafkan." "Aku selalu memberitahu Ibu, dan setiap kali dia mengembalikan hadiah-hadiah itu, kecuali
19 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
hadiah-hadiah untuk kesempatan khusus."
Mataemon menatap putrinya, lalu Tokichiro. "Sebagai ayah, aku selalu khawatir, tapi kali ini aku
kurang waspada. Aku sama sekali tidak tahu. Aku memang mendengar bahwa si Monyet lihai, tapi
aku tak pernah membayangkan bahwa dia akan tertarik pada putriku!"
Tokichiro menggaruk-garuk kepala. Ia malu sekali, wajahnya menjadi merah padam. Ketika
Mataemon mulai tertawa, ia agak lega, namun tetap tersipu-sipu. Meskipun ia tidak tahu bagaimana
perasaan Nene terhadapnya, ia telah jatuh cinta pada gadis itu.
BUKU DUA TAHUN KOJI KEDUA 1556 TOKOH dan TEMPAT ASANO MATAEMON, pengikut marga Oda
NENE, anak perempuan Mataemon
OKOI, istri Mataemon MAEDA INUCHIYO, pelayan Oda Nobunaga
YAMABUCHI UKON, pengikut marga Oda
TOKUGAWA IEYASU, penguasa Mikawa
SESSAI, biksu Zen dan penasihat militer marga Imagawa
IMAGAWA YOSHIMOTO, penguasa Suruga
IMAGAWA UJIZANE, putra sulung Yoshimoto
YOSHITERU, shogun Ashikaga ketiga belas
ODA dari NAGOYA, sepupu Nobunaga
IKEDA SHONYU, pengikut marga Oda dan sahabat
Tokichiro TAKIGAWA KAZUMASU, pengikut senior marga
20 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Oda SUMPU, ibu kota Suruga OKAZAKI, ibu kota Mikawa KYOTO, ibu kota Kekaisaran Jepang
LAKI-LAKI TAMPAN "OKOI!" panggil Mataemon begitu sampai di rumahnya. Istrinya bergegas menyambut. "Siapkan
sake. Aku bawa tamu," Mataemon berkata dengan kasar.
"Hmm, siapa?" "Teman putri kita."
Tokichiro muncul di belakangnya. "Tuan Kinoshita?"
"Okoi, sampai hari ini kau tidak menceritakan apa-apa padaku. Sikap ini sungguh tak patut bagi istri
samurai. Rupanya Tuan Kinoshita dan Nene sudah agak lama saling mengenal. Kau pun
mengetahuinya, jadi kenapa kau tidak memberitahu aku?"
"Aku pantas dimarahi. Aku menyesal sekali." "Baiklah, tapi sekarang Tokichiro pasti bertanyatanya ayah macam apa aku ini?"
"Nene menerima banyak surat, tapi dia tak pernah menyembunyikan surat-surat itu dariku."
"Memang sudah seharusnya begitu."
"Lagi pula, Nene anak pintar. Sebagai ibunya, aku yakin dia tidak pernah berbuat salah. Karena itu
aku merasa tidak sepatutnya kau diganggu setiap kali Nene menerima surat dari para laki-laki di
kota ini." "Di situlah letak kekeliruanmu. Aku sungguhsungguh tidak mengerti anak muda zaman sekarang - laki-laki maupun perempuan!" Ia berpaling
pada Tokichiro yang sedang menggaruk-garuk kepala sambil tersipu-sipu karena jalannya
terhalang, sehingga tak bisa masuk, dan tawanya meledak.
Tokichiro bahagia sekali karena ayah gadis yang dicintainya mengundangnya ke rumah mereka,
dan jantungnya berdebar-debar.
"Ayo, jangan seperti patung!" Mataemon mengajaknya ke ruang tamu, yang, walaupun merupakan
ruangan terbaik di rumah itu, berukuran kecil.
21 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Rumah-rumah petak para pemanah tidak lebih nyaman dibandingkan dengan rumah Tokichiro.
Semua pengikut Oda, tak peduli apa pun pangkatnya, hidup sederhana. Di rumah ini pun,
satu-satunya hal yang mencolok adalah seperangkat baju tempur.
"Ke mana Nene?"
"Dia di kamarnya." Istrinya menawarkan air pada Tokichiro.
"Kenapa dia tidak keluar dan menyalami tamu kita" Kalau aku di rumah, dia selalu kabur dan
bersembunyi." "Mungkin dia sedang berganti pakaian dan merapikan rambut."
"Itu tidak perlu. Suruh dia ke sini untuk menghidangkan sake. Tidak apa-apa kalau kita menyajikan
makanan seadanya pada Tokichiro."
"Astaga! Jangan berkata seperti itu."
Tokichiro semakin kikuk. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Terhadap para pengikut yang tidak ramah
di benteng ia bersikap berani dan lancang, tapi di sini ia tak lebih dari pemuda pemalu.
Akhirnya Nene keluar untuk menyambutnya secara resmi. Wajahnya didandani tipis-tipis. "Tak
banyak yang dapat kami sajikan, tapi semoga Tuan merasa seperti di rumah sendiri." Kemudian ia
membawakan nampan berisi makanan dan sebotol sake.
Tokichiro menjawab semua pertanyaan Mataemon seakan-akan hanya setengah sadar, sambil
terus-menerus mengagumi sosok dan gerak-gerik Nene. Profilnya elok sekali, katanya dalam hati.
Yang paling membuatnya terkesan adalah keanggunan Nene yang tidak dibuat-buat, sesederhana
kain katun. Gadis itu tidak genit seperti perempuan-perempuan lain yang pura-pura malu atau
banyak lagak. Orang bisa saja berpendapat bahwa ia agak kurus, tapi dari tubuhnya tercium wangi
bunga hutan di malam bulan purnama. Tokichiro mabuk kepayang.
"Mau tambah lagi?" Mataemon menawarkan. "Terima kasih."
"Katamu kau menyukai sake." "Betul."
"Kau tidak apa-apa" Kau tidak terlalu banyak minum, bukan?"
"Aku minum sedikit demi sedikit saja, terima kasih."
Sambil duduk di ujung kursi, dengan botol sake di hadapannya, Tokichiro menatap wajah Nene
yang dalam kerlap-kerlip cahaya lentera tampak begitu putih. Ketika mata Nene tiba-tiba beralih ke
arahnya, Tokichiro cepat-cepat mengusap wajah dengan satu tangan, dan berkata bingung, "Ah,
pengaruh sake sudah mulai terasa." Ia tersipu-sipu ketika mengetahui bahwa ia sendiri lebih sadar
akan sikapnya daripada Nene.
Sekali lagi terlintas di benaknya bahwa jika waktunya sudah tiba, ia pun harus menikah. Dan jika ia
harus mengambil istri, perempuan yang dipilihnya haruslah cantik. Ia bertanya-tanya, sanggupkah
Nene menanggung kemiskinan dan penderitaan, dan melahirkan anak-anak yang sehat untuknya"
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
22 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dalam keadaannya sekarang, Tokichiro pasti mengalami masalah keuangan jika mulai berumah
tangga. Dan ia sadar bahwa di masa depan ia takkan puas dengan kekayaan semata-mata, dan
bahwa segunung kesulitan telah menunggunya.
Kalau memandang perempuan dari segi kecocokan sebagai calon istri, tentu ada pertimbangan
seperti budi pekerti dan penampilan. Namun lebih penting lagi untuk menemukan perempuan yang
dapat menyayangi ibunya, seorang petani yang boleh dibilang buta huruf, serta sanggup
mendukung pekerjaan suaminya dari balik layar. Disamping harus memiliki kedua sifat itu, ia pun
harus merupakan wanita berhati teguh yang mampu memikul kemiskinan mereka. Kalau saja Nene
seperti itu... pikir Tokichiro berulang-ulang.
Bukan baru malam itu Tokichiro mulai tertarik pada Nene. Jauh sebelumnya, ia telah menganggap
putri Mataemon sebagai perempuan yang cocok untuknya. Ia memperhatikan Nene tanpa
mengetahui siapa Nene sebenarnya, dan diam-diam mengirimkan surat dan hadiah. Tapi malam itu,
untuk pertama kali ia merasa yakin.
"Nene, ada yang perlu kubicarakan dengan Tokichiro, jadi tolong tinggalkan kami sejenak." Ketika
Mataemon mengatakan ini, Tokichiro sudah membayangkan dirinya sebagai menantu Mataemon,
dan ia kembali tersipu-sipu.
Nene meninggalkan ruangan, dan Mataemon duduk agak lebih tegak.
"Kinoshita, aku ingin bicara dari hati ke hati. Aku tahu kau orang yang selalu berterus terang."
"Silakan utarakan apa saja." Tokichiro gembira karena ayah Nene bersikap begitu akrab, meski
belum tentu pembicaraan mereka akan berjalan seperti yang diharapkannya. Ia pun duduk lebih
tegak, siap membantu, apa pun yang akan ditanyakan Mataemon. "Yang ingin kukatakan... ehm,
Nene sudah cukup umur untuk berumah tangga."
"Memang." Kerongkongan Tokichiro terasa kering dan seolah-olah tersumbat.
Walaupun anggukan kepala sebenarnya sudah cukup, ia merasa perlu memberi komentar. Ia sering
mengatakan sesuatu saat tak perlu.
"Masalahnya, aku telah menerima sejumlah lamaran untuk Nene dari orang-orang yang
kedudukannya lebih tinggi daripada kami," Mataemon melanjutkan. "Dan sebagai ayahnya, aku
tidak tahu mana yang harus kupilih."
"Itu bukan tugas ringan." "Di pihak lain..."
"Ya?" "Laki-laki yang dianggap cocok oleh seorang ayah mungkin saja tidak berkenan di hati anak
perempuannya." "Aku mengerti. Seorang perempuan hanya hidup satu kali, dan kebahagiaannya tergantung pada
laki-laki yang dinikahinya."
"Ada seorang pengikut yang selalu mendampingi junjungan kita. Namanya Maeda Inuchiyo. Kau
tentu mengenalnya." 23 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tuan Maeda?" Tokichiro mengedip-ngedipkan mata. Pembicaraan mereka telah berbelok ke arah
yang tak disangka. "Betul. Tuan Maeda berasal dari keluarga baik-baik, dan sudah berulang kali dia menyatakan
keinginannya untuk mempersunting Nene."
Tanggapan Tokichiro lebih menyerupai desahan daripada jawaban. Tiba-tiba saja telah muncul
saingan berat. Wajah tampan Inuchiyo, suaranya yang jernih, serta sopan santun yang dipelajarinya
sebagai pelayan Nobunaga, semuanya itu membuat Tokichiro, yang tak mempunyai keyakinan
akan tampangnya sendiri, merasa iri. Bagaimanapun, ia tak sanggup mencegah orang-orang
memanggilnya Monyet. Karena itu, tak ada yang lebih dibencinya daripada mendengar seseorang
disebut "laki-laki tampan". Dan tak ada yang meragukan bahwa Inuchiyo menyandang sebutan itu.
"Apakah Tuan akan memberikan Nene padanya?" Tanpa disengaja, mereka telah melewati batas
omong-omong belaka. "Apa" Tidak," ujar Mataemon sambil menggelengkan kepala. Ia mengangkat cawan ke bibir,
seakan-akan terbangun dari lamunan. "Sebagai ayah, aku tentu gembira jika mendapatkan laki-laki
sopan seperti Inuchiyo sebagai menantu, dan aku sudah menerima baik lamarannya. Tapi
belakangan ini putriku tidak mau tunduk begitu saja pada kemauan orangtuanya, biarpun dalam
urusan seperti ini."
"Maksud Tuan, dia tidak berkenan dengan rencana pernikahan ini?"
"Dia tidak menolak, tapi juga tidak menyetujuinya. Tapi aku menduga dia kurang suka."
"Hmm, begitu." "Wah, urusan pernikahan memang merepotkan." Sambil bicara, roman muka Mataemon menjadi
khawatir. Pada dasarnya, ini masalah kehormatan. Mataemon mengagumi Inuchiyo. Ia menganggap Inuchiyo
sebagai pemuda dengan masa depan cerah. Dan ketika Inuchiyo meminta Nene sebagai istri,
Mataemon langsung setuju, dan ia keburu bersukacita sebelum menanyai putrinya. Namun ketika ia
dengan bangga memberitahukan, "Rasanya dia akan menjadi suami tanpa tandingan," Nene sama
sekali tidak tampak gembira. Ia justru kelihatan kaget. Meskipun mereka ayah dan anak, Mataemon
kini menyadari bahwa antara mereka terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam hal memilih
pendamping hidup. Akibatnya Mataemon tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Baik sebagai
ayah maupun sebagai samurai, ia merasa malu terhadap Inuchiyo.
Inuchiyo, sebaliknya, mengejar tujuannya secara terang-terangan. Ia memberitahu teman-temannya
bahwa ia akan mempersunting putri Tuan Asano, dan minta mereka menjadi perantara baginya.
Mataemon menjelaskan kesulitannya pada Tokichiro. Hari pernikahan semakin dekat. Sampai
sekarang ia berhasil menunda-nundanya dengan alasan seperti, "Belakangan ini kesehatan ibunya
agak terganggu," atau, "Menurut istriku, tahun ini tidak baik." Tapi ia mulai kehabisan alasan dan
tidak tahu apa yang mesti ia perbuat selanjutnya.
"Kata orang, kau sangat cerdas. Barangkali kau bisa mengusulkan sesuatu?"
24 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mataemon mereguk minumannya, lalu meletakkan cawan.
Seandainya Tokichiro mabuk, hal itu tidak terlihat dari wajahnya. Sampai saat itu ia asyik menikmati
angan-angannya sendiri, tapi ketika mendengar persoalan Mataemon, ia tiba-tiba menjadi serius
sekali. Sainganku sangat berat, ia berkata dalam hati.
Inuchiyo "laki-laki tampan" yang begitu tidak disukai oleh Tokichiro, tapi pemuda itu tak bisa disebut
laki-laki teladan. Dibesarkan di sebuah negeri yang dilanda perang, ia teramat berani, namun
cenderung keras kepala dan menganggap penting dirinya sendiri.
Pada saat berusia tiga belas tahun, Inuchiyo untuk pertama kali ikut berperang dalam pasukan
Nobunaga, dan kegagahannya terbukti ketika ia kembali sambil menenteng kepala musuh.
Baru-baru ini, sewaktu pengikut saudara laki-laki Nobunaga memberontak, ia bertempur dengan
ganas di barisan depan junjungannya. Ketika prajurit musuh memanah mata Inuchiyo, Inuchiyo
melompat turun dari kudanya, memenggal kepala orang itu, lalu memberikannya pada Nobunaga.
Semuanya tanpa mencopot anak panah tersebut dari matanya.
Ia laki-laki berani dan tampan, meskipun mata kanannya kini tertutup hampir rapat; sekilas
kelihatannya seakan-akan ada jarum di kulitnya yang putih bersih.
"Jadi, bagaimana dengan Inuchiyo" Tindakan apa yang harus kuambil?" tanya Mataemon.
Mereka duduk bersama-sama, seperti dua orang yang telah hilang harapan.
Tokichiro pun, yang biasanya tak pernah kekurangan akal, tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Akhirnya ia berujar, "Hmm, jangan khawatir. Kita pasti menemukan jalan keluarnya."
Tokichiro kembali ke benteng. Kepentingannya sendiri tidak dikejarnya lagi; ia hanya memikirkan
persoalan Mataemon. Ia menganggap suatu kehormatan bahwa ayah gadis yang dicintainya
mempercayakan rahasia keluarga padanya, bahkan minta saran, walaupun masalah itu menjadi
beban bagi dirinya. Tokichiro menyadari betapa dalam cintanya kepada Nene.
Inikah yang dinamakan cinta" Ia bertanya-tanya, sambil berusaha raemahami gejolak misterius di
hatinya. Mengucapkan kata "cinta" menimbulkan perasaan tak enak dalam dirinya. Ia tidak
menyukai kata yang seakan-akan melekat pada bibir semua orang itu. Bukankah sejak kecil ia telah
dijauhi oleh cinta" Baik tampang maupun sikapnya - senjata-senjata yang dipakainya untuk
menghadapi dunia - menjadi bahan ejekan perempuan-perempuan cantik yang ditemuinya. Namun
ia pun tergerak oleh keindahan dan cinta.
Dan ia memiliki kesabaran yang tak terbayangkan oleh orang-orang yang mencemoohnya.
Walaupun terus dihina dan dicela, ia bukan orang yang mudah menyerah.
Kelak akan kutunjukkan siapa aku, ia bersumpah dalam hati. Perempuan-perempuan berhati lapang
akan berebut untuk menarik perhatian laki-laki jelek dan kecil ini. Pikiran inilah yang memacunya.
25 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dan perasaan ini pula yang telah membentuk pandangannya mengenai perempuan dan cinta,
bahkan sebelum ia menyadarinya. Tokichiro memandang rendah laki-laki yang
mengagung-agungkan kecantikan perempuan. Ia menganggap hina mereka yang menjadikan cinta
sebagai khayalan dan misteri, yang menempatkannya sebagai kebahagiaan tertinggi dalam
kehidupan manusia, dan merasa nikmat dalam kesedihan sendiri.
Tapi, ia berkata dalam hati, dalam kasus Nene aku tidak keberatan mengakui bahwa aku telah jatuh
cinta. Perasaan cinta dan benci sepenuhnya tergantung pada orang yang mengalaminya, dan setelah
bisa menerima sudut pandang tersebut, ia pun jadi bisa berkompromi. Sebelum terlelap, ia
memejamkan mata dan membayangkan profil wajah Nene.
Keesokan harinya pun Tokichiro masih bebas tugas. Rumah barunya, yang ia kunjungi pada hari
sebelumnya, perlu diperbaiki, dan ia juga harus mencari perabotan. Namun Tokichiro tetap di
benteng, karena ingin menemui Inuchiyo yang terus mendampingi Nobunaga. Dari pelataran kayu
tempat mereka duduk, Inuchiyo memandang para pengikut Nobunaga dengan tatapan lebih
congkak dibandingkan tatapan majikannya. Jika orang seperti Tokichiro menghadap Nobunaga,
Inuchiyo mendengarkan mereka sambil tersenyum melecehkan.
Lagi-lagi si Monyet" Inuchiyo bahkan tak perlu mengucapkannya. Entah bagaimana, matanya yang
tinggal sebelah seakan-akan sanggup menembus seseorang. Tokichiro menganggapnya angkuh,
dan jarang bergaul dengannya.
Pada waktu Tokichiro sedang berbincang-bincang dengan penjaga di gerbang utama, seseorang
melewatinya dan berkata, "Tuan Tokichiro, Tuan bebas tugas hari ini?"
Tokichiro menoleh. Ternyata Inuchiyo-lah yang menyapanya. Tokichiro segera mengejarnya dan
berkata, "Tuan Inuchiyo, ada persoalan pelik yang ingin kubicarakan."
Seperti biasa, Inuchiyo memandangnya dengan tatapan angkuh. "Persoalan tugas atau urusan
pribadi?" "Urusan pribadi."
"Kalau begitu, sekarang bukan waktu yang tepat. Aku baru menyelesaikan suatu urusan untuk Yang
Mulia, dan aku tak punya waktu untuk mengobrol. Nanti saja." Setelah menolak mentah-mentah, ia
langsung pergi. Orangnya tidak menyenangkan, tapi bukannya tanpa kelebihan, Tokichiro terpaksa mengakui.
Ditinggal begitu saja, Tokichiro menatap sosok Inuchiyo dengan pandangan kosong. Kemudian ia
pun berlalu, berjalan dengan langkah-langkah panjang. Ia menuju kota. Setibanya di rumahnya
yang baru, ia melihat seorang laki-laki sedang mencuci gerbang dan laki-laki lain membawa
barang-barang ke dalam. Jangan-jangan aku salah alamat" pikir Tokichiro.
Pada waktu ia menatap berkeliling, suara seorang laki-laki terdengar dari dapur, "Hai! Tuan
Kinoshita." 26 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Oh, ternyata kau."
"Apa ini, 'Oh, ternyata kau'" Tuan ke mana saja"
Membiarkan orang lain membawa perabot dan membersihkan rumah!" Orang itu bekas rekan
kerjanya di dapur. "Hmm, hmm. Dalam waktu demikian singkat Tuan telah maju jauh."
Tokichiro masuk seakan-akan bertamu di rumahnya sendiri. Di dalam ia menemukan sebuah lemari
berlaci yang masih baru serta sebuah rak.
Semuanya hadiah dari teman-teman yang mendapat kabar mengenai kenaikan pangkatnya, lalu,
ketika mengetahui bahwa si pemilik rumah yang tak kenal susah sedang pergi, mereka
membersihkan seluruh rumah, memasukkan perabot, dan akhirnya masih sempat mencuci gerbang.
"Terima kasih. Kalian sungguh murah hati." Sambil menahan malu, Tokichiro segera bersiap-siap
membantu. Namun rupanya pekerjaan yang belum rampung tinggal mengisi botol-botol sake.
"Tuan Kinoshita," ujar salah seorang pemasok benteng, yang merasa berutang budi sejak Tokichiro
masih bekerja sebagai pengawas arang dan kayu bakar. Ketika mengintip ke dapur, Tokichiro
melihat pelayan perempuan berbadan gemuk sedang mencuci dan menggosok. "Dia dari desa
kami. Sekarang ini Tuan tentu sibuk. Mengapa Tuan tidak mempekerjakan dia untuk sementara
waktu?" Tokichiro memanfaatkan kesempatan itu dan berkata, "Aku juga memerlukan jongos dan seorang
tukang, jadi jika kau mengenai seseorang, aku berterima kasih sekali."
Kemudian mereka duduk membentuk lingkaran dan merayakan rumah baru Tokichiro.
Untung saja aku datang ke sini. Bayangkan kalau aku, sebagai tuan rumah, tidak muncul. Tokichiro
merasa malu. Ia tidak menganggap dirinya orang yang gampang bergaul, namun kini ia menyadari
bahwa ia memiliki kecenderungan untuk bersikap demikian.
Ketika mereka sedang minum-minum, para istri rekan-rekan kerjanya yang baru mampir untuk
mengucapkan selamat kepada Tokichiro.
"Hai, Tuan Tokichiro!" salah satu tamunya berseru. "Ada apa?"
"Ada apa"! Apakah Tuan sudah mengunjungi rumah-rumah di sekitar sini untuk memperkenalkan
diri?" "Oh, belum!" "Apa" Belum" Apakah Tuan termasuk jenis orang yang menari dan menyanyi, sambil
mengharapkan orang lain untuk datang dan memperkenalkan diri" Wah, lebih baik Tuan segera
berganti pakaian dan berkeliling. Tuan bisa menyelesaikan dua urusan sekaligus dengan
membungkuk di depan setiap rumah, dan memberitahu mereka bahwa Tuan ditugaskan di
kandang." Beberapa hari kemudian ia telah mendapatkan pelayan baru. Seorang laki-laki yang sedesa dengan
si pelayan perempuan datang melamar pekerjaan. Selain orang itu, Tokichiro mempekerjakan satu
27 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
orang lagi. Tiba-tiba saja ia telah memiliki tempat tinggal dan sejumlah pelayan, dan menjadi tuan
rumah di rumahnya sendiri, biarpun upahnya tidak seberapa. Kini, setiap kali Tokichiro berangkat
dari rumah - tentu saja dengan mengenakan mantel bekas berwarna biru, dengan lambang
kembang paulownia berwarna putih - ia diantar sampai ke gerbang oleh para pelayannya.
Pagi itu, sambil berangan-angan bahwa hidupnya akan sempurna seandainya Nene bersedia
menjadi istrinya, ia berjalan menyusuri parit di luar benteng. Tokichiro begitu sibuk dengan
pikirannya sendiri, sehingga tidak melihat laki-laki yang datang dari arah berlawanan. Orang lain
mungkin saja beranggapan bahwa ia masih asyik membayangkan Nene, namun sesungguhnya ia
memikirkan masalah pertahanan benteng. Parit itu begitu dangkal, sehingga kalau hujan tak
kunjung turun selama sepuluh hari saja, dasarnya sudah kelihatan. Dalam keadaan perang, jika
pasukan musuh melemparkan seribu kantong pasir ke dalamnya, mereka bisa membuka alur
penyerangan. Disamping itu, air minum di benteng juga tidak mencukupi.
Artinya, titik lemah benteng ini adalah persediaan air. Jumlahnya takkan memadai jika benteng
dikepung musuh... Ketika ia bergumam-gumam, seorang laki-laki tinggi-besar menghampiri dan
menepuk pundaknya. "Tuan Monyet. Apakah Tuan sedang bertugas sekarang?"
Tokichiro menatap wajah orang itu, dan seketika mendapatkan pemecahan untuk masalah yang
dihadapinya. "Tidak, ini waktu yang cocok," ia menjawab sejujurnya.
Ia berhadapan dengan Maeda Inuchiyo. Sejak pertemuan singkat di gerbang utama, belum ada
kesempatan lagi untuk berbicara. Bahwa mereka secara kebetulan berpapasan di luar benteng
dianggapnya pertanda baik.
Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Inuchiyo telah mendahuluinya.
"Tuan Monyet, tempo hari Tuan menyinggung soal pelik yang ingin Tuan bicarakan denganku. Aku
sedang bebas tugas, jadi aku ada waktu untuk mendengarkan Tuan."
"Ehm, yang ingin kukatakan..." Tokichiro memandang berkeliling dan menyingkirkan debu dari
sebongkah batu di tepi parit. "Urusan semacam ini tak bisa dibahas sambil berdiri. Silakan duduk
dulu." "Ada apa sebenarnya?"
Tokichiro berbicara terus terang, dan hasrat yang ia rasakan tecermin di wajahnya. "Tuan Inuchiyo,
Tuan mencintai Nene?"
"Nene?" "Putri Tuan Asano." "Ah, dia."
"Tuan tentu mencintainya." "Apa urusan Tuan?"
"Sebab, kalau memang begitu, aku ingin memperingatkan Tuan. Kelihatannya, berhubung Tuan
28 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tidak memahami situasi sesungguhnya, Tuan telah minta bantuan seorang perantara demi
memperoleh persetujuan ayah gadis itu untuk menikahi putrinya."
"Apakah itu salah?" "Ya."
"Di mana letak kesalahannya?"
"Hmm, sebenarnya Nene dan aku sudah bertahun-tahun saling mencintai."
Pandangan Inuchiyo melekat pada wajah Tokichiro, dan tiba-tiba seluruh tubuhnya
terguncang-guncang oleh gelak tawa. Dengan mengamati roman muka lawan bicaranya, Tokichiro
segera tahu bahwa ia takkan dianggap serius, sehingga ia pasang tampang lebih serius lagi.
"Ini bukan urusan yang patut ditertawakan. Nene bukan perempuan yang mau mengkhianatiku dan
menyerahkan dirinya pada laki-laki lain, apa pun alasannya."
"Begitukah?" "Kami telah saling mengikat janj
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
29Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:24:09
i." "Hmm, kalau itu persoalannya, aku tidak keberatan."
"Tapi ada satu orang yang menganggapnya masalah besar, yaitu ayah Nene. Jika Tuan tidak
menarik lamaran Tuan, Tuan Mataemon bagaikan menghadapi buah simalakama, dan terpaksa
melakukan bunuh diri ritual."
"Seppuku?"
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rupanya Tuan Mataemon tidak mengetahui kesepakatan antara Nene dan aku, sehingga
menerima baik lamaran Tuan. Tapi karena situasi yang baru saja kujelaskan, Nene menolak
rencana itu." "Hmm, kalau begitu, siapa yang akan mempersuntingnya?"
Ditantang seperti itu, Tokichiro menunjuk dadanya dan berkata, "Aku."
Inuchiyo kembali tertawa, namun tidak sekeras tadi. "Tuan Monyet, janganlah berkelakar melebihi
batas. Pernahkah Tuan menatap ke dalam cermin?"
"Tuan menuduh aku berbohong?"
"Untuk apa Nene mengikat diri dengan seseorang seperti Tuan?"
"Seandainya benar, apa yang akan Tuan lakukan?" "Kalau memang begitu, aku akan mengucapkan
selamat." "Maksud Tuan, Tuan takkan keberatan kalau Nene dan aku menikah?"
"Tuan Monyet..." "Ya?"
"Orang-orang akan tertawa."
"Tak ada yang sanggup mengubah hubungan yang didasarkan atas cinta, biarpun kami
ditertawakan." "Rupanya Tuan memang bersungguh-sungguh?"
"Ya. Jika seorang perempuan tidak menyukai laki-laki yang hendak meminangnya, dia akan
mengelak dengan cerdik, seperti dahan yang mengikuti tiupan angin. Kalau begitu, si laki-laki tidak
boleh merasa dipermainkan. Disamping itu, kuharap Tuan jangan menaruh dendam terhadap Tuan
Mataemon jika Nene menikah denganku. Itu hanya akan mengundang cercaan orang."
"Inikah yang ingin Tuan bicarakan denganku?"
"Ya, dan aku berterima kasih sekali atas tanggapan Tuan. Kumohon agar Tuan tidak melupakan
janji yang baru saja Tuan ucapkan." Tokichiro membungkuk, tapi ketika ia mengangkat kepala,
1 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Inuchiyo telah menghilang.
Beberapa waktu kemudian, Tokichiro berkunjung ke rumah Mataemon.
"Mengenai hal yang kita bicarakan tempo hari," Tokichiro berkata dengan nada resmi, "aku telah
menemui Tuan Inuchiyo dan menjelaskan kesulitan Tuan kepadanya. Dia mengatakan, jika putri
Tuan tidak berkenan menjadi istrinya, dan jika memang sudah ada ikatan di antara kami berdua, tak
ada yang dapat dilakukan. Tampaknya dia bisa menerima kenyataan."
Ketika Kinoshita menyampaikan ceritanya tanpa berbelit-belit, wajah Mataemon memperlihatkan
bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Tokichiro melanjutkan, "Perlu diketahui bahwa Tuan Inuchiyo merasa menyesal, jadi dia akan
keberatan seandainya putri Tuan dipersunting oleh orang lain selain aku. Kalau Nene dan aku
sudah saling berjanji menjadi suami-istri, Tuan Inuchiyo, meski dengan berat hati, akan menarik
kembali lamarannya. Dia akan menerimanya secara jantan dan akan mengucapkan selamat
padaku. Namun dia akan sangat tidak senang seandainya Tuan memberikan Nene kepada orang
lain." "Tunggu dulu, Kinoshita. Kalau aku tidak salah dengar, Tuan Inuchiyo tidak keberatan kalau Nene
menikah denganmu, tapi tidak dengan orang lain?"
"Itu benar." "Astaga! Siapa yang mengatakan bahwa kau boleh menikahi Nene" Dan kapan?"
"Terus terang, tak seorang pun."
"Apa-apaan ini" Kaupikir aku menyuruhmu berbohong pada Tuan Inuchiyo?"
"Ehm..." "Omong kosong macam apa yag kauceritakan pada Tuan Inuchiyo" Mengaku bahwa kau dan Nene
bertunangan, itu sungguh menggelikan. Keterlaluan!" Mataemon, yang biasanya sabar, mulai naik
darah. "Karena kau yang mengarang cerita itu, orang-orang mungkin menganggapnya lelucon
belaka. Namun sebagai lelucon pun ini teramat memalukan bagi seorang gadis yang belum
menikah. Kaupikir ini lucu?" "Tentu saja tidak." Tokichiro menundukkan kepala. "Akulah yang
membuat kesalahan ini. Aku tidak bermaksud melangkah demikian jauh. Aku menyesal." Mataemon
tampak muak. "Aku tidak butuh penyesalanmu. Akulah yang membuat kesalahan, membeberkan
rahasia keluarga pada orang yang kukira lebih berakal sehat." "Sungguh, aku..."
"Ah, pulanglah. Apa lagi yang kautunggu" Kehadiranmu di sini tidak diharapkan lagi."
"Baiklah, aku akan menutup mulut, sampai rencana pernikahan kami diumumkan."
"Dasar!" Kesabaran Mataemon akhirnya habis juga. Ia menghardik Tokichiro, "Kaupikir aku akan
memberikan Nene pada orang seperti kau" Dia takkan bersedia, biarpun aku memerintahkannya."
"Hmm, justru itu masalahnya, bukan?" "Apa maksudmu?"
2 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tak ada yang lebih misterius daripada cinta. Nene mungkin tidak mau berterus terang, tapi dalam
hati dia tidak menginginkan siapa pun sebagai suami selain aku. Sebetulnya tak patut aku
mengatakannya, tapi lamaranku tidak kusampaikan pada Tuan, melainkan kepada putri Tuan.
Nene-lah yang berharap agar aku meminta dia menjadi istriku."
Mataemon melongo. Inilah orang paling tak tahu diri yang pernah ditemuinya! Mudah-mudahan
Tokichiro akan pulang jika ia pasang tampang masam dan berdiam diri. Tapi Tokichiro terus duduk,
tanpa memperlihatkan tanda-tanda akan pergi.
Tokichiro malah berkata dengan tenang, "Aku tidak bohong. Silakan tanyakan pada Nene, apa
sesungguhnya yang tersimpan di dalam hatinya."
Habis sudah kesabaran Mataemon. Sambil membalikkan badan, seakan-akan tak tahan lagi, ia
berseru pada istrinya di ruang sebelah, "Okoi! Okoi!"
Dengan cemas Okoi menatap suaminya lewat pintu yang terbuka.
"Kenapa tidak kaupanggil Nene ke sini?" Mataemon bertanya.
"Tapi..." Istrinya berusaha menenangkan suasana, tapi Mataemon langsung memanggil, "Nene! Nene!"
Nene, takut kalau-kalau terjadi sesuatu, datang dan berlutut di samping ibunya.
"Sini!" Mataemon berkata dengan ketus. "Tentunya kau tidak memberikan janji apa pun pada Tuan
Kinoshita ini tanpa persetujuan orangtuamu, bukan?"
Pertanyaan ini amat mengejutkan gadis itu. Dengan mata terbelalak, ia menatap ayahnya dan
Tokichiro yang duduk sambil menundukkan kepala.
"Bagaimana, Nene" Ini menyangkut kehormatan keluarga kita, juga kehormatanmu sendiri.
Sebaiknya kau berterus terang. Tentunya hal semacam ini tidak terjadi."
Nene terdiam sejenak, tapi akhirnya ia berkata dengan tegas, "Tidak ada janji apa pun."
"Tidak ada, bukan?" Dengan senyum kemenangan, diiringi desahan lega, Mataemon
membusungkan dada. "Tapi, Ayah..." "Apa?"
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan, mumpung Ibu juga hadir."
"Silakan." "Aku punya permintaan. Jika Tuan Kinoshita menginginkan seseorang yang tak pantas seperti aku
sebagai istrinya, harap Ayah menyetujuinya."
"A... apa?" Mataemon tergagap-gagap. "Ya."
3 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sudah hilangkah akal sehatmu?"
"Urusan sepenting ini tak boleh dianggap enteng. Aku malu membicarakan hal ini, bahkan dengan
orangtuaku sendiri, tapi demi kebaikan kita semua, aku terpaksa membicarakannya secara
terbuka." Mataemon mengerang dan menatap putrinya dengan tercengang.
Luar biasa! Dalam hati Tokichiro memuji-muji sikap Nene, dan ia merasa gembira sekali. Tapi lebih
dari itu, ia tak mengerti mengapa gadis sepolos Nene bersedia menaruh kepercayaan penuh
kepadanya. Hari telah malam. Tokichiro berjalan pulang sambil termenung-menung.
Jika orangtuanya mengizinkan, ia ingin menjadi istri Tuan Kinoshita, itu yang dikatakan Nene tadi.
Walaupun kedua kakinya terus melangkah, kegembiraan Tokichiro begitu meluap-luap, sehingga ia
nyaris tidak sadar. Ucapan Nene terkesan sungguh-sungguh, namun tetap saja ada rasa ragu di
hatinya. Betulkah dia mencintaiku" Kalau dia memang mencintaiku, kenapa dia tak pernah
mengatakannya padaku" Tokichiro bertanya-tanya. Tokichiro sudah sering mengirim surat dan
hadiah secara diam-diam, tapi sampai sekarang Nene tak sekali pun memberikan jawaban yang
membesarkan hati. Karena itu, Tokichiro berkesimpulan bahwa Nene tidak menyukainya. Dan bagaimana dengan cara
ia menangani Inuchiyo dan Mataemon" Ia hanya bertindak sesuai wataknya yang ambisius. Ia
hanya berpegang pada harapannya sendiri, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Nene
sesungguhnya. Ia ingin menikah dengan Nene. Ia harus menikah dengan gadis itu.
Namun keterusterangan Nene di depan ayah dan ibunya mengenai keinginannya untuk menikahi
Tokichiro - apalagi pada saat Tokichiro juga hadir - memerlukan keberanian yang tidak sedikit.
Pengakuan Nene lebih mengherankan Tokichiro daripada mengejutkan ayahnya.
Sampai Tokichiro mohon diri, Mataemon duduk dengan wajah masam dan kecewa, tanpa
menyetujui permintaan putrinya. Ia hanya duduk sambil mendesah perlahan, bingung; mengasihani
dan meremehkan akal sehat Nene. Dengan sedih ia bergumam, "Selera orang memang tak bisa
ditebak." Tokichiro pun merasa rikuh. "Besok-besok aku akan kembali untuk melanjutkan pembicaraan ini,"
katanya sambil bersiap-siap pergi.
Mataemon membalas, "Aku akan memikirkannya. Aku akan memikirkannya."
Ucapannya merupakan penolakan tak langsung. Tapi Tokichiro mendapatkan harapan baru dari
kata- kata ini. Sampai saat itu, ia sama sekali tidak mengetahui perasaan Nene. Tapi kalau Nene sudah
membulatkan tekad, ia yakin bahwa ia akan sanggup mengubah pendirian Mataemon. "Aku akan
memikirkannya," bukanlah penolakan tegas. Jadi, Tokichiro merasa ia telah berhasil memperistri
Nene. Tokichiro masih sibuk dengan pikirannya sendiri ketika memasuki rumahnya dan duduk di ruang
4 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
utama. Ia memikirkan rasa percaya dirinya, perasaan Nene, dan waktu yang tepat untuk pernikahan
mereka. "Ada surat dari Nakamura untuk Tuan."
Begitu Tokichiro duduk, seorang pelayan meletakkan sepucuk surat dan bungkusan berisi tepung
padi di hadapannya. Perasaan rindu yang tiba-tiba menyerangnya memberitahu Tokichiro bahwa
surat itu dari ibunya. Tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan rasa terima kasih kami atas hadiah-hadiah yang
selalu kaukirimkan: kue-kue dan pakaian untuk Otsumi. Hanya air mata kami yang dapat membalas
kebaikanmu. Sudah beberapa kali Tokichiro mengirim surat pada ibunya. Ia telah bercerita mengenai rumahnya
yang baru dan mengajak ibunya pindah dan tinggal bersama. Meski upahnya yang sebesar tiga
puluh kan tidak memungkinkan untuk memenuhi seluruh kewajiban sebagai putra pertama, ibunya
takkan kekurangan pangan maupun sandang. Tokichiro juga mempunyai beberapa pelayan,
sehingga tangan ibunya, yang telah menjadi kasar karena bekerja keras, tak perlu lagi menggosok
dan mencuci. Ia juga akan mencarikan suami untuk Otsumi. Dan ia akan membelikan sake lezat
untuk ayah tirinya. Ia sendiri suka minum, dan tak ada yang lebih menggembirakan baginya
daripada jika seluruh keluarga tinggal bersama dan membicarakan masa lalu mereka yang penuh
penderitaan, sambil menikmati makan malam.
Surat dari Onaka berlanjut:
Meski kami akan bahagia jika tinggal bersamamu, aku yakin tugastugasmu akan terganggu
karenanya. Tentu saja ibumu menyadari bahwa tugas seorang samurai adalah siap mati setiap
saat. Sekarang belum waktunya memikirkan kebahagiaan Ibu. Kalau Ibu teringat zaman dulu, lalu
memikirkan kedudukanmu sekarang, Ibu berterima kasih kepada para dewa, para Buddha, dan
Yang Mulia Nobunaga atas kebaikan mereka. Jangan pikirkan ibumu. Lebih baik kau bekerja lebih
keras lagi. Tak ada yang bisa membuat ibumu lebih bahagia. Ibu belum lupa ucapanmu di gerbang
pada malam dingin itu, dan Ibu sering memikirkannya.
Tokichiro berurai air mata. Berulang-ulang ia membaca surat itu. Tak sepantasnya seorang majikan
menangis di depan para pelayannya. Lebih dari itu, seorang samurai tak pantas memperlihatkan air
mata di hadapan siapa pun. Tapi Tokichiro tidak seperti itu. Dan air matanya mengalir begitu deras,
sehingga para pelayan merasa kikuk dan gelisah.
"Ah, aku memang keliru. Nasihatnya benar sekali. Ibuku begitu cerdas. Kini belum waktunya
memikirkan diriku dan keluargaku," ia berkata keras-keras pada dirinya sambil melipat surat itu. Air
matanya tak mau berhenti, dan ia mengusap matanya dengan lengan baju, seperti anak kecil.
Memang benar! ia menyadari. Sudah beberapa lama tidak ada perang, tapi tak seorang pun bisa
memasti- kan kapan perang akan meletus di sebuah kota benteng. Orang-orang yang tinggal di Nakamura
justru aman. Bukan, ibuku hendak memberitahukan bahwa jalan pikiranku keliru. Pengabdian pada junjunganlah
yang harus diutamakan. Penuh hormat Tokichiro menempelkan surat ibunya ke kening, lalu berkata
5 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
seakan-akan ibunya berada dalam satu ruangan, "Aku memahami nasihat Ibu, dan aku akan
mematuhinya. Kalau kedudukanku sudah aman, dan kalau aku sudah memperoleh kepercayaan
dari tuanku dan yang lainnya, aku akan mengunjungi Ibu lagi. Moga-moga pada saat itu Ibu
bersedia tinggal di rumahku."
Kemudian ia meraih bungkusan tepung dan menyerahkannya pada si pelayan. "Bawa ini ke dapur.
Kenapa kau terbengong-bengong" Salahkah jika seseorang menangis pada kesempatan yang
tepat" Tepung ini digiling malam-malam oleh ibuku dengan tangannya sendiri. Serahkan pada pelayan
dapur. Dan peringatkan dia untuk tidak membuang-buangnya. Tepung ini hanya boleh dipakai untuk
membuat kue bola untukku. Sejak kecil aku suka kue itu. Kurasa ibuku masih mengingatnya."
Tokichiro sama sekali melupakan Nene. Sepanjang makan malam ia hanya memikirkan ibunya. Apa
yang disantap oleh ibunya" Biarpun aku mengirimkan uang untuk Ibu, dia akan memakainya untuk
membeli gula-gula untuk anaknya, atau sake untuk suaminya. Dia sendiri tetap hanya akan makan
sayur tanpa bumbu. Jika ibuku tidak berumur panjang, aku tak tahu bagaimana aku bisa hidup.
Sampai naik ke ranjang pun kepalanya masih dipenuhi berbagai pikiran.
Bagaimana mungkin aku menikah sebelum Ibu tinggal bersamaku" Sekarang masih terlalu pagi.
Lebih baik pernikahanku dengan Nene ditunda dulu.
BENTENG KIYOSU SETIAP tahun, pada musim gugur, seluruh negeri dilanda badai-badai dahsyat. Tapi angin yang
bahkan lebih buruk lagi bertiup di sekitar Owari. Di sebelah barat, dari marga Sairo dan Mino; di
sebelah selatan, dari marga Tokugawa di Mikawa: dan di sebelah timur, dari Imagawa Yoshimoto di
Suruga - semua tanda memperlihatkan bahwa Owari semakin terkucilkan.
Amukan badai tahun itu merusak tembok pertahanan luar Benteng Kiyosu sepanjang lebih dari dua
ratus meter. Banyak tukang kayu. tukang plester, kuli, dan tukang batu datang dari benteng untuk
ikut ambil bagian dalam pekerjaan perbaikan. Kayu dan batu-batu dibawa masuk melalui Gerbang
Karabashi, dan tumpukan bahan bangunan berserakan di mana-mana, menghalangi jalan-jalan di
benteng sekitar parit. Orang-orang yang setiap hari harus berlalu-lalang terang-terangan mengeluh
mengenai keadaan ini: "Lewat mana kita harus berjalan?"
"Kalau mereka tidak segera selesai, tembok-tembok terancam roboh saat badai berikut datang."
Tapi kemudian sebuah papan pengumuman dipasang di tempat pembangunan yang dibatasi
tambang: Pekerjaan perbaikan. Dilarang masuk tanpa tzin.
Pekerjaannya dilaksanakan bagai operasi militer di bawah pimpinan Yamabuchi Ukon, yang
6 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menjabat sebagai pengawas pembangunan, sehingga tanpa disuruh pun orang-orang yang
melewati daerah itu berbaris satu-satu.
Pekerjaan perbaikan sudah berlangsung selama hampir dua puluh hari, tapi tanda-tanda kemajuan
belum terlihat juga. Tumpukan-tumpukan bahan bangunan mengganggu kelancaran para pejalan
kaki, namun tak ada yang mengeluh. Semua orang menyadari bahwa perbaikan tembok pertahanan
sepanjang dua ratus meter akan memakan waktu tidak sedikit.
"Siapa orang di sebelah sana itu?" Ukon bertanya pada salah satu bawahannya, yang kemudian
berbalik dan melihat ke arah yang ditunjuk.
"Kalau tidak salah, itu Tuan Kinoshita yang bertugas di kandang."
"Apa" Kinoshita" Ah, ya. Bukankah dia yang dipanggil Monyet oleh semua orang" Kalau dia lewat
lagi, suruh dia kemari." perintah Ukon.
Si bawahan tahu bahwa majikannya kesal, sebab setiap hari. pada waktu berangkat kerja. Kinoshita
melewati tempat pembangunan tanpa pernah memberi hormat. Bukan itu saja, ia juga
menginjak-injak tumpukan-tumpukan kayu. Tentu saja tak ada pilihan lain jika tumpukan itu berada
di tengah jalan, tapi kayu itu akan dipakai untuk memperbaiki benteng, dan jika seseorang pertu
menginjaknya, ia seharusnya minta izin dulu pada orang-orang yang berwenang.
"Dia tidak tahu sopan santun," si bawahan berkomentar. "Dia diangkat dari pelayan menjadi
samurai, dan belum lama ini dia diberi tempat tinggal di kota. Dia orang baru, jadi maklum saja."
"Memang tak ada yang lebih menjengkelkan daripada kesombongan orang yang baru mulai
menanjak. Mereka semua cenderung congkak. Ada baiknya kalau hidungnya kena tonjok satu kali."
Bawahan Ukon terus menunggu Tokichiro. Ia baru muncul menjelang malam, ketika semua orang
pulang kerja. Ia mengenakan mantel birunya, seperti biasa sepanjang tahun. Karena hampir semua
pekerjaan para petugas kandang dilaksanakan di luar, mantel itu sesuai dengan kebutuhannya, tapi
sebenarnya ia menempati posisi yang memungkinkan ia berpakaian lebih pantas jika ia
menginginkannya. Namun nyatanya Tokichiro seakan-akan tak pernah punya uang untuk keperluan
pribadi. "Dia datang!" Anak buah Ukon saling mengedipkan mata. Tokichiro lewat perlahan-lahan.
"Tunggu! Tuan Kinoshita! Tunggu!"
"Siapa, aku?" Tokichiro membalik. "Ada yang bisa kubantu?"
Si bawahan memintanya menunggu sejenak, lalu menghampiri Ukon. Para pekerja dan kuli sudah
mulai meninggalkan tempat itu. Ukon sedang membicarakan pekerjaan untuk besok dengan para
mandor tukang kayu dan tukang plester. Tapi ketika mendengar bawahannya, ia segera berdiri. "Si Monyet" Sudah kausuruh tunggu" Bawa dia ke sini.
Kalau tidak ditegur sekarang, tingkahnya akan semakin menjadijadi."
Tokichiro mendatanginya tanpa mengucapkan salam, tanpa membungkuk. Dan kini ia seakan-akan
berkata dengan angkuh. "Kau menghentikanku. Ada apa?"
7 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ini membuat Ukon bertambah gusar. Dilihat dari segi status, mereka sama sekali tak dapat
dibandingkan. Ukon putra Yamabuchi Samanosuke, penguasa Benteng Narumi, dan dengan
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian putra pengikut senior marga Oda. Kedudukannya jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki
bermantel biru di hadapannya.
"Dasar pongah!" Wajah Ukon tampak merah padam.
"Monyet. Hei! Monyet!" panggilnya, tapi Tokichiro tidak menanggapi. Ini tidak biasa. Tokichiro
dipanggil Monyet oleh semua orang, mulai dari Nobunaga sampai ke teman-temannya, dan ia tidak
terganggu dengan julukan itu. Tapi hari ini berbeda.
"Kau tuli. Monyet?" "Ada-ada saja." "Apa?"
"Memanggil orang, lalu berbicara tak keruan. Monyet, monyet."
"Semua orang memanggilmu dengan julukan itu. jadi aku pun begitu. Aku sering berada di Benteng
Narumi, jadi aku tidak ingat namamu. Dilarangkah aku memanggilmu seperti yang lainnya?"
"Ya. Ada orang yang boleh menggunakan julukan itu dan ada yang tidak."
"Kalau begitu, aku termasuk golongan kedua?" "Begitulah."
"Jaga mulutmu! Tingkah lakumu yang harus diperbaiki. Kenapa kau selalu menginjak-injak
tumpukan kayu pada waktu berangkat kerja" Dan kenapa kau tidak pernah menyapa kami dengan
semestinya?" "Apakah itu suatu kejahatan?"
"Rupanya kau tidak punya sopan santun sama sekali, ya" Aku mengatakan ini karena suatu hari
kau mungkin akan menjadi samurai. Sopan santun sangat penting bagi seorang prajurit. Setiap kali
lewat di sini, kau pasang tampang melecehkan dan mengomel pelan-pelan. Tak tahukah kau bahwa
di tempat ini berlaku disiplin yang sama seperti di medan perang" Dasar pongah! Kalau kau tetap
bersikap seperti itu. aku terpaksa mengambil tindakan tegas. Inilah akibatnya kalau seorang
pembawa sandal diangkat menjadi samurai." Ukon tertawa dan menoleh ke arah mandor dan anak
buahnya. Kemudian, untuk memperlihatkan kedudukannya yang lebih tinggi, ia tertawa lagi dan
membelakangi Tokichiro, Para mandor, yang menyangka urusannya sudah selesai, kembali
mengerumuni Ukon dan meneruskan pembicaraan mengenai rencana kerja selanjutnya.
Tapi Tokichiro terus memelototi punggung Ukon.
Salah satu anak buah Ukon berkata, "Kau tidak diperlukan lagi, Kinoshita."
"Kau sudah mendapat peringatan. Camkanlah baik-baik." orang lain menambahkan.
"Ayo, pulang sajalah," kata orang ketiga.
Mereka seakan-akan ingin menenangkannya dan menyuruhnya pergi, tapi Tokichiro tidak
memedulikan mereka. Pandangannya terus melekat pada punggung Ukon. Darah mudanya mulai
mendidih, dan tiba-tiba tawanya meledak tak terkendali.
8 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Para mandor maupun Ukon terkejut. Ukon menoleh dan berseru. "Apa yang kautenawakan?"
Tawa Tokichiro semakin keras. "Aku menertawakan kekonyolan kalian semua."
"Kurang ajar!" Ukon menjadi marah sekali dan langsung berdiri dari kursinya. "Sudah dimaalkan.
malah besar kepala. Keterlaluan! Peraturan militer berlaku di medan tempur maupun di tempat
kerja. Orang celaka! Cepat ke sini! Biar kuhabisi kau!" Tangannya menggenggam gagang
pedangnya yang panjang. Namun lawannya berdiri seperti patung.
Ukon semakin gusar. "Tangkap dia! Aku akan menghukumnya! Pegang dia, supaya dia tidak bisa
melarikan diri!" Para pengikut Ukon segera mengepung Tokichiro. Tapi Tokichiro diam saja, dan menatap
orang-orang yang mengelilinginya dengan pandangan meremehkan. Sejak semula mereka sudah
menganggapnya aneh, tapi ini sudah hampir menakutkan, dan meski mereka mengerumuni
Tokichiro, tak ada yang berani menyentuhnya.
"Tuan Ukon, kau memang pandai mengumbar kata-kata besar, tapi kurang pandai dalam hal-hal
lain." "Apa" Apa kaubilang?"
"Menurutmu, mengapa pekerjaan perbaikan benteng berada di bawah peraturan perang" Kau
sendiri yang mengatakannya, tapi aku yakin kau tidak memahami arti ucapanmu itu. Kau tidak
pantas menjadi pengawas, tapi kau malah menuduhku bersalah karena menertawakanmu."
"Kata-katamu yang kasar tak bisa dimaafkan! Berani-beraninya kau berkata begitu pada orang
dengan kedudukan seperti aku...."
"Dengar!" Tokichiro membusungkan dada, dan sambil menatap wajah-wajah di sekitarnya, ia
berkata, "Apakah ini masa damai atau masa perang" Hanya orang bodoh yang tidak memahami ini.
Benteng Kiyosu dikelilingi musuh: Imagawa Yoshimoto dan Takeda Shingen di timur. Asakura
Yoshikage dan Saito Yoshitatsu di utara, marga Sasaki dan Asai di barat, dan marga Tokugawa dari
Mikawa di selatan." Orang-orang terkesima. Suaranya penuh percaya diri, dan karena ia tidak
sekadar mengutarakan perasaannya sendiri, semuanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh,
terpesona oleh suaranya. "Para pengikut menyangka tembok-tembok ini tak dapat ditaklukkan, tapi
seandainya badai kembali mengamuk, semuanya akan roboh. Sungguh keterlaluan bahwa
pekerjaan kecil ini sudah menghabiskan lebih dari dua puluh hari, dan belum selesai juga. Apa
jadinya jika musuh memanfaatkan titik lemah ini dan menyerbu benteng suatu malam"
"Ada tiga peraturan dasar dalam pembangunan benteng. Yang pertama adalah bekerja cepat dan
diam-diam. Yang kedua adalah membangun dengan mengutamakan kekuatan. Artinya, ornamen
dan keindahan memang baik, tapi hanya di masa damai. Yang ketiga adalah kesiagaan, berarti siap
menghadapi serangan musuh, walaupun pembangunan masih berlangsung. Seluruh provinsi bisa
jatuh jika pasukan musuh berhasil menerobos tembok penahanan."
Selama Tokichiro berceramah. Ukon dua atau tiga kali hendak angkat bicara, tapi kefasihan lidah
Tokichiro membuatnya tak berdaya. Para mandor pun terkagum-kagum oleh pidato Tokichiro.
Mendengar kebenaran yang terkandung dalam ucapannya, tak seorang pun berusaha
9 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menghentikannya, baik dengan kata-kata kasar maupun dengan kekerasan. Kini tak jelas siapa
pengawas sesungguhnya. Setelah yakin perkataannya telah meresap. Tokichiro melanjutkan.
"Jadi, walaupun tak sepatutnya aku bertanya, sebenarnya bagaimanakah Tuan Ukon menangani
pekerjaan ini" Di mana kecepatannya, kerahasiaannya" Di mana kesiagaannya" Setelah hampir
dua puluh hari, adakah bagian tembok yang sudah dibangun kembali, biarpun cuma satu meter
saja" Memang betul, perlu waktu untuk memindahkan reruntuhan tembok lama. Tapi menyatakan
bahwa pembangunan benteng berada di bawah peraturan militer yang sama seperti medan
laga - itu tak lebih dari omong kosong seseorang yang tak mengerti di mana tempat sebenarnya.
Andai kata aku mata-mata provinsi musuh, aku akan segera tahu bahwa serangan bisa dilancarkan
di bagian tembok yang paling lemah. Hanya orang tolol yang beranggapan bahwa hal itu takkan
terjadi, dan hanya orang tolol yang akan Melaksanakan pembangunan bagaikan orang pensiunan
yang sedang mendirikan pondok minum teh!
"Semua ini sangat merepotkan bagi kami yang bekerja di benteng. Daripada menyalahkan
orang-orang yang berlalu-lalang. mengapa tidak membahas masalahnya dan mempercepat
konstruksi" Pahamkah kalian" Bukan hanya si pengawas, tapi kalian juga, para bawahan dan para
mandor." Setelah selesai, ia tertawa riang. "Nah, maafkan aku. Aku telah bersikap kasar dengan
mengungkapkan isi hatiku tanpa tedeng aling-aling, tapi kita semua menganggap penting urusan ini,
siang dan malam. Baiklah, hari sudah gelap. Aku mohon diri dulu."
Sementara Ukon dan anak buahnya masih ternganga. Tokichiro cepat-cepat meninggalkan
pekarangan benteng. Keesokan harinya Tokichiro berada di kandang. Di tempat kerjanya yang baru, ia memperlihatkan
ketekunan tanpa tandingan.
"Tak seorang pun menyayangi kuda seperti dia." rekan-rekannya berkomentar. Dengan penuh
ke-sungguhan ia menenggelamkan diri dalam urusan perawatan kuda, dan seluruh waktunya tersita
untuk hewan-hewan itu. Si kepala kandang datang dan memanggilnya. "Kinoshita, kau disuruh menghadap."
Tokichiro mengintip dari bawah perut kuda kesayangan Nobunaga, Sangetsu, dan bertanya.
"Menghadap siapa?" Ia sedang mencuci luka bernanah di kaki Sangetsu dengan air panas.
"Kalau kau disuruh menghadap, itu berarti menghadap Yang Mulia Nobunaga. Cepat!" Si kepala
kandang berbalik dan berseru ke arah ruang para samurai. "Hei! Salah seorang gantikan Kinoshita
dan bawa Sangetsu ke kandang."
"Jangan, jangan. Biar aku saja." Tokichiro tetap berlutut, sampai ia selesai mencuci kaki Sangetsu.
Ia mengoleskan salep dan membalut lukanya, mengelus-elus leher kuda itu, lalu menuntunnya
kembali ke kandang. "Di mana Tuan Nobunaga?"
"Di pekarangan. Kalau kau tidak cepat-cepat, Yang Mulia pasti murka."
10 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tokichiro pergi ke ruang kerja dan mengenakan mantel birunya. Bersama Nobunaga ada empat
atau lima pengikut di pekarangan, termasuk Shibata Katsuie dan Maeda Inuchiyo.
Tokichiro bergegas mendekat, lalu berhenti lebih dari dua puluh meter dari Nobunaga dan
menyembah. "Monyet, sini kau!" perintah Nobunaga. Inuchiyo langsung menyiapkan kursi untuknya.
"Mendekatlah." "Baik, tuanku."
"Monyet. Kudengar kau mengumbar kata-kata besar di tempat pembangunan di tembok pertahanan
luar semalam." "Berita itu telah sampai ke telinga tuanku?" Nobunaga memaksakan senyum, ia tak menyangka
bahwa Tokichiro, yang kini membungkuk sambil tersipu-sipu, bisa membual seperti itu.
"Mulai sekarang jagalah omonganmu," Nobunaga memperingatkannya. Tadi pagi Yamabuchi Ukon
datang menghadap dan mengeluh mengenai sikapmu yang tak sopan. Aku menenangkannya,
sebab menurut orang-orang ucapanmu banyak mengandung ke-benaran."
"Hamba menyesal sekali."
"Pergilah ke tempat pembangunan dan minta maaf pada Ukon."
"Hamba, tuanku?" "Tentu saja."
"Kalau ini kehendak tuanku, hamba akan pergi dan minta maaf."
"Kau keberatan?"
"Mohon ampun atas kelancangan hamba, tapi bukankah sifat buruknya justru semakin menjadi-jadi
jika hamba minta maaf padanya" Hamba hanya bicara apa adanya semalam, dan pekerjaan Ukon,
ditilik dari segi pengabdian kepada tuanku, sukar disebut bersungguh-sungguh. Pekerjaan sepele
seperti itu saja sudah menghabiskan hampir lebih dari dua puluh hari. dan..."
"Monyet, di hadapanku pun kau berani mengumbar kata-kata besar" Aku sudah mendapat laporan
mengenai ceramahmu."
"Hamba bicara sesuai kenyataan, bukan sekadar omong kosong."
"Kalau begitu, dalam berapa hari pekerjaan itu seharusnya rampung?"
"Ehm..." Tokichiro bersikap sedikit lebih hati-hati. tapi ia segera menjawab. "Hmm, berhubung
pekerjaannya sudah dimulai, hamba pikir hamba sanggup menyelesaikannya dalam tiga hari."
"Tiga hari!" seruan tak sengaja meluncur dari bibir Nobunaga.
Shibata Katsuie rampak jengkel dan menertawakan kepercayaan Nobunaga terhadap Tokichiro.
Tetapi Inuchiyo sama sekali tidak meragukan bahwa Tokichiro sanggup memenuhi janji.
11 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Saat itu juga Nobunaga mengangkat Tokichiro menjadi pengawas pembangunan. Ia akan
menggantikan Yamabuchi Ukon, dan dituntut untuk menyelesaikan perbaikan tembok penahanan
se-panjang dua ratus meter dalam liga hari saja.
Tokichiro menerima tugas itu dan hendak mengundurkan diri. tapi Nobunaga bertanya sekali lagi,
"Tunggu. Kau yakin kau sanggup?" Nada suara Nobunaga jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin
Tokichiro terpaksa melakukan seppuku seandainya gagal. Tokichiro duduk agak lebih tegak dan
berkata dengan tegas, "Hamba takkan mengecewakan tuanku." Meski demikian, Nobunaga tetap
minta agar ia memikirkannya lebih matang. "Monyet, mulut adalah sumber banyak bencana. Jangan
keras kepala karena urusan sepele seperti ini."
"Dalam tiga hari tembok penahanan akan siap ditinjau oleh tuanku." Tokichiro mengulangi, lalu
mengundurkan diri. Hari itu ia pulang lebih cepat daripada biasanya, "Gonzo! Gonzo!" serunya. Ketika pelayan itu
mengintip ke pekarangan belakang, ia melihat Tokichiro duduk telanjang sambil bersilang kaki.
"Tuan ada tugas untuk hamba?"
"Ya," Tokichiro menjawab penuh semangat. "Kau masih pegang uang, bukan?"
"Uang?" "Betul, uang." "Ehm..."
"Bagaimana dengan uang untuk keperluan rumah tangga yang kuberikan beberapa waktu lalu?"
"Itu sudah lama habis."
"Bagaimana dengan uang untuk keperluan dapur?" "Sudah lama hamba tidak menerima uang untuk
dapur. Ketika hamba memberitahukannya pada Tuan - rasanya sudah beberapa bulan lalu - Tuan
hanya berpesan bahwa kami harus berusaha memanfaatkan uang yang ada dengan
sebaik-baiknya." "Jadi, tidak ada uang?" "Begitulah."
"Hmm, kalau begitu, apa yang harus kulakukan?" "Tuan memerlukan sesuatu?"
"Nanti malam aku ingin mengundang beberapa orang."
"Kalau sekadar sake dan makanan, hamba bisa pergi ke toko-toko dan berutang dulu."
Tokichiro menepuk pahanya. "Gonzo, kaulah andalanku untuk urusan ini." Ia meraih sebuah kipas.
Angin musim gugur sedang bertiup, dan daun-daun pohon pauloumia berguguran: selain itu banyak
nyamuk. "Siapa tamu-tamu yang hendak Tuan undang?"
"Para mandor di tempat kerjaku yang baru. Kemungkinan mereka akan datang bersama-sama."
Tokichiro mandi berendam di pekarangan. Pada saat itu, seseorang terdengar memanggil-manggil
12 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dari gerbang depan. "Siapa itu?" si pelayan perempuan bertanya.
Tamu itu melepaskan topinya dan memperkenalkan diri. "Maeda Inuchiyo."
Sang tuan rumah segera keluar dari bak mandi, mengenakan kimono tipis di teras, dan memandang
ke gerbang depan. "Ah, Tuan Inuchiyo. Kusangka siapa. Silakan masuk dan duduk." Tokichiro berseru dengan santai,
sambil menata beberapa bantal. Inuchiyo segera duduk. "Kedatanganku mungkin di luar dugaan
Tuan." "Ada masalah penting?"
"Tidak, ini bukan mengenai aku. Ini mengenai Tuan." "Oh?"
"Tuan bersikap seakan-akan tanpa beban, tapi Tuan telah menenma tugas yang tak mungkin
dikerjakan, dan mau tak mau aku jadi cemas memikirkan nasib Tuan. Tuanlah yang mengambil
keputusan itu, jadi Tuan tentu yakin akan berhasil."
"Ah, tembok pertahanan, maksud Tuan."
"Tentu! Tuan berbicara tanpa berpikir panjang. Tuan Nobunaga pun kelihatannya enggan melihat
Tuan melakukan seppuku karena urusan ini."
"Aku minta waktu tiga hari. bukan?"
"Jadi. menurut Tuan ada kemungkinan berhasil?" "Sama sekali tidak."
"Sama sekali tidak?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan pembangunan."
"Kalau begitu, apa rencana Tuan?"
"Jika aku bisa membujuk para pekerja agar mau memeras keringat, kurasa aku sanggup
menyelesaikan pekerjaan itu pada waktunya."
Inuchiyo merendahkan suara. "Hmm, justru itu masalahnya."
Hubungan mereka memang ganjil. Meski jatuh hati pada gadis yang sama, mereka pun berteman.
Mereka tidak memperlihatkannya dalam ucapan maupun perbuatan, melainkan melalui hubungan
yang serbakikuk; mereka saling mengenal dan saling menghormati. Kunjungan Inuchiyo hari ini,
misalnya, semata-mata didasarkan atas keprihatinan terhadap nasib Tokichiro.
"Tuan sudah memperhitungkan perasaan Yamabuchi Ukon?" Inuchiyo bertanya. "Kemungkinan
besar dia mendendam padaku." "Hmm, Tuan tahu apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh Ukon?"
"Ya." "Begitukah?" Inuchiyo berkata singkat. "Ah, kalau begitu hatiku bisa tenang."
13 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tokichiro menatap Inuchiyo dengan sungguhsungguh. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala, dan sikapnya berubah. "Kau memang luar
biasa, Inuchiyo. Kalau kau menginginkan sesuatu, kau takkan berhenti sebelum mendapatkannya,
bukan?" "Justru kaulah yang patut ditiru. Kau segera menyadari ancaman dari Yamabuchi Ukon, kecuali itu
kau..." "Jangan, jangan lanjutkan perkataanmu." Ketika Tokichiro berlagak menutup mulut dengan satu
tangan. Inuchiyo bertepuk tangan dengan riang dan tertawa.
"Kau benar, urusan itu sebaiknya jangan dibicarakan lagi." Sebenarnya Inuchiyo hendak
menyinggung soal Nene. Gonzo kembali, dan tak lama kemudian pesuruh toko datang mengantarkan sake dan makanan.
Inuchiyo bersiap-siap pulang, tapi Tokichiro menahannya.
"Sake-nya baru datang. Minumlah dulu sebelum pergi."
"Baiklah, jika kau memaksa." Inuchiyo minum sepuas-puasnya. Tapi tak seorang pun dari
tamu-tamu yang diundang menampakkan diri.
"Hmm, kelihatannya tak ada yang datang," Tokichiro akhirnya berkata. "Gonzo, menurutmu apa
sebabnya?" Ketika Tokichiro berpaling pada Gonzo, Inuchiyo bertanya, "Kinoshita. kau mengundang para
mandor ke sini?" "Betul. Ada pekerjaan persiapan yang harus kami lakukan. Agar pembangunan bisa rampung dalam
tiga hari, semangat para pekerja harus ditingkatkan dulu."
"Ternyata aku menilaimu terlalu tinggi." "Mengapa kau berkata begitu?"
"Semula kusangka kau dua kali lebih cerdik dari-pada kebanyakan orang, tapi ternyata hanya kau
yang tidak sadar bahwa inilah yang akan terjadi."
Tokichiro menatap Inuchiyo yang sedang tertawa. "Kalau kaupikirkan baik-baik. kau pun akan
melihatnya." ujar Inuchiyo. "Lawanmu laki-laki berwatak rendah. Kemampuan Yamabuchi Ukon
amat terbatas. Tak ada alasan baginya untuk mendoakan keberhasilanmu."
"Tentu, tapi... "
"Jadi, apakah dia akan diam saja sambil menggigit jari" Kurasa tidak."
"Hmm, begitu." "Tentu saja dia akan berupaya untuk menggagalkan usahamu. Jadi, sudah sepantasnya kita
menyimpulkan bahwa para mandor takkan memenuhi undanganmu. Baik mereka maupun para
pekerja beranggapan bahwa Yamabuchi Ukon lebih penting daripada kau."
14 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Betul. Aku mengerti." Tokichiro menundukkan kepala. "Kalau begitu, sake ini kita habiskan berdua
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja. Urusan lain kita serahkan pada dewa-dewa saja."
"Boleh saja. tapi ingatlah bahwa janjimu untuk menyelesaikan pembangunan dalam tiga hari berlaku
mulai besok." "Kubilang mari minum, terserahlah apa yang akan terjadi."
"Kalau tekadmu sudah bulat, mari kita duduk dan minum."
Mereka tidak minum banyak, melainkan berbicara panjang-lebar. Inuchiyo pandai bercakap-cakap,
dan entah bagaimana Tokichiro menemukan dirinya sebagai pendengar. Berbeda dengan Inuchiyo.
Tokichiro tak pernah mengenyam pendidikan formal.
Semasa kanak-kanak, tak sehari pun dihabiskannya dengan menekuni buku dan mempelajari tata
krama, seperti anak-anak para samurai. Kenyataan ini tak disesalinya, tapi ia menyadari bahwa
usahanya untuk terus maju akan terhambat karenanya. Dan kalau ia memikirkan mereka yang lebih
berpendidikan dibandingkan dirinya, atau duduk mengobrol dengan mereka, ia bertekad untuk
menjadikan pengetahuan mereka miliknya sendiri. Karena itu ia mendengarkan ucapan orang lain
dengan sungguh-sungguh. "Ah, aku mulai mabuk, Kinoshita. Lebih baik kita tidur saja. Kau harus bangun pagi-pagi. dan aku
percaya penuh padamu." Kemudian Inuchiyo menyingkirkan cawan, berdiri, dan pulang. Setelah
tamunya pergi. Tokichiro merebahkan diri. Meletakkan siku ke bawah kepala, dan segera tertidur, ia
tidak menyadari kedatangan pelayan perempuan yang menyelipkan bantal ke bawah kepalanya.
Ia tak pernah mengalami kesulitan tidur. Pada saat ia terlelap, tak ada perbedaan antara langit dan
bumi dan dirinya sendiri. Namun, ketika ia terjaga keesokan paginya, ia langsung sadar penuh.
"Gonzo! Gonzo!"
"Ya. ya. Tuan sudah bangun?" "Ambilkan kuda untukku." "Tuan?"
"Seekor kuda!" "Seekor kuda, Tuan?"
"Ya. Hari ini aku harus berangkat pagi-pagi. Aku takkan pulang nanti malam maupun malam
sesudahnya." "Sayangnya kita belum memiliki kuda maupun kandang."
"Goblok! Pinjam saja dari tetangga kita. Aku bukannya mau bersenang-senang. Aku
memerlukannya untuk tugas resmi, jangan ragu-ragu, pergilah dan carikan kuda untukku."
"Sekarang memang sudah pagi, tapi di luar masih gelap."
"Kalau mereka tidur, gedorlah gerbangnya. Kau boleh ragu-ragu seandainya ini untuk urusan
pribadiku. Tapi ini untuk tugas resmi, jadi tindakanmu bisa dibenarkan."
Gopnzo mengenakan mantel dan bergegas keluar, ia kembali sambil menuntun seekor kuda.
15 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Karena sudah tak sabar ingin berangkai, Tokichiro segera memacu kuda itu, tanpa menanyakan
dari mana tunggangannya berasal. Ia mendatangi enam atau tujuh mandor di rumah
masing-masing. Mereka menerima upah dari marga, dan termasuk barisan pengrajin.
Rumah-rumah mereka cukup mewah, apalagi dibandingkan rumah Tokichiro, dan mereka memiliki
pelayan dan gundik. "Hadiri pertemuan! Hadiri pertemuan! Semua yang bertugas memperbaiki tembok, datanglah ke
tempat pembangunan pada jam Harimau. Siapa yang terlambat, langsung dipecat. Ini perintah
Yang Mulia Nobunaga!"
Di setiap rumah yang didatanginya ia menyenikan pesan ini. Uap putih mengepul dari moncong
kudanya. Pada waktu ia tiba di parit penahanan, matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya di
uruk umur. Ia mengikat kudanya di luar gerbang, menarik napas panjang, lalu berdiri menghadang
di Gerbang Karabashi. Tangannya menggenggam pedang panjang dan matanya berbinar-binar.
Para mandor yang dibangunkan ketika hari masih gelap bertanya-tanya apa yang terjadi, dan
mereka muncul satu per satu sambil membawa anak buah masing-masing.
"Tunggu!" perintah Tokichiro. menghentikan mereka di muka gerbang. Baru setelah mereka
menyebutkan nama. tempat kerja, serta jumlah pekerja dan kuli masing-masing, ia mengizinkan
mereka lewat. Kemudian ia menyuruh mereka menunggu di pos masing-masing. Sepertinya hampir
semuanya hadir. Para pekerja berkerumun dengan tertib namun sambil berbisik-bisik gelisah.
Tokichiro berdiri di hadapan mereka. Tangannya masih menggenggam pedang. "Diam!" Ia
berbicara seakan-akan memberi perintah dengan ujung pedangnya. "Berkumpul dalam barisan!"
Para pekerja menurut, namun sambil tersenyum mengejek. Sorot mata mereka jelas menunjukkan
bahwa mereka menganggapnya anak bawang, dan diam-diam mereka menertawakan caranya
berdiri sambil membusungkan dada. Bagi mereka, lambaian pedangnya tak lebih dari lagak kosong
yang hanya pantas dicemooh.
"Perintah ini berlaku untuk kalian semua." Tokichiro berkata lantang, dengan sikap tak peduli. "Atas
perintah Yang Mulia Nobunaga, mulai sekarang aku, betapapun tak pantasnya aku membawahi
pekerjaan pembangunan. Sampai kemarin kalian berada di bawah Yamabuchi Ukon, tapi mulai hari
ini aku menggantikan tempatnya." Sambil bicara, ia menatap barisan para pekerja dari kanan ke kiri.
"Beberapa saat lalu, aku masih menempati posisi pelayan yang paling rendah. Namun berkat
kebaikan Yang Mulia, aku dipindahkan ke dapur dan setelah itu ke kandang. Aku belum lama
bekerja di sini, dan aku tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan konstruksi, tapi aku merencanakan
untuk tidak tersaingi dalam hal mengabdi pada junjungan kita. Sebagai pengawas yang baru, aku
ingin tahu apakah kalian bersedia bekerja sebagai bawahanku. Aku bisa membayangkan bahwa di
kalangan pengrajin terdapat watak pengrajin. Jadi, jika ada yang keberatan bekerja dengan
persyaratan seperti itu, silakan kemukakan sejujurnya, dan aku akan segera membebastugaskan
yang bersangkutan." Semuanya membisu. Para mandor pun tetap tutup mulut.
"Tidak ada" Tak ada yang tidak puas denganku sebagai pengawas?" ia bertanya sekali lagi. "Kalau
begitu, kita segera mulai bekerja. Seperti telah kukatakan sebelumnya, membiarkan pekerjaan ini
berlarut-larut selama dua puluh hari tak dapat dimaafkan dalam masa perang. Aku bermaksud
merampungkannya dalam tiga hari saja, terhitung mulai sekarang. Aku ingin hal ini jelas, agar kalian
16 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengerti dan bekerja keras."
Para mandor saling tatap. Tidak mengherankan jika ucapan semacam itu memancing senyum
meremehkan dan orang-orang yang rambutnya sudah mulai menipis, dan yang telah menekuni
pekerjaan masing-masing sejak masa kanak-kanak. Tokichiro menyadari reaksi mereka, tapi
memutuskan untuk tidak memberi tanggapan.
"Mandor batu! Kepala tukang kayu dan tukang plester! Majulah!"
Mereka melangkah ke depan, tapi sambil pasang wajah mengejek. Tiba-tiba Tokichiro memukul si
kepala tukang plester dengan bagian pipih pedangnya. "Kurang ajar! Pantaskah kau berdiri di
hadapan seorang pengawas sambil bersilang tangan" Keluar!" Karena menduga bahwa ia
menderita cedera, laki- laki itu menjatuhkan diri sambil menjerit. Yang lainnya mendadak pucat pasi, lutut mereka gemetar.
Dengan keras Tokichiro melanjutkan, "Aku akan memberikan tugas untuk kalian masing-masing.
Dengarkan baik-baik." Sikap mereka langsung berubah. Tak ada lagi yang tidak memperhatikannya
dengan sungguh-sungguh. Mereka terdiam, meski belum tunduk sepenuhnya. Dan walaupun
mereka tidak betul-betul ingin bekerja sama, mereka tampak ketakutan.
"Aku telah membagi tembok sepanjang dua ratus meter menjadi lima puluh bagian, dan
masing-masing kelompok bertanggung jawab atas empat meter. Setiap grup akan terdiri atas
sepuluh orang: tiga tukang kayu.
dua tukang plester, dan lima tukang batu. Pembagiannya kuserahkan kepada para mandor.
Masing-masing mandor akan membawahi empat sampai lima kelompok, jadi pastikan tidak ada
yang menganggur, dan atur pembagian orang dengan sebaik-baiknya. Kalau di antara kalian ada
yang kelebihan orang, segera pindahkan orang itu ke pos yang kekurangan tenaga. Tak boleh ada
waktu untuk bersantai-santai."
Mereka mengangguk, namun kelihatan gelisah. Mereka mendongkol karena dikuliahi seperti ini. dan
tidak setuju dengan pembagian kerja yang ditetapkan Tokichiro.
"Ah, aku hampir lupa," Tokichiro kembali berkata dengan lantang. "Selain kelompok sepuluh orang
untuk setiap empat meter, aku menginginkan kelompok cadangan yang terdiri atas delapan kuli dan
dua pekerja untuk masing-masing grup. Kalau kuamati pekerjaan yang telah dilakukan sampai
sekarang, terlihat bahwa para pekerja dan tukang kayu sering meninggalkan perancah untuk
mengerjakan sesuatu yang bukan tugas mereka, misalnya mengangkut kayu. Sebenarnya, seorang
pekerja di tempat kerjanya sama saja dengan seorang prajurit di medan perang. Dia dilarang
meninggalkan posnya. Dan dia tidak boleh membiarkan alat-alatnya berserakan. Itu sama saja
dengan seorang prajurit yang membuang pedang atau tombaknya ke medan laga."
Ia membagi-bagi tugas, lalu berseru cukup keras, seperti hendak memulai pertempuran, "Mari
bekerja!" Tokichiro juga mendapatkan tugas untuk para bawahan barunya. Salah seorang dari
mereka disuruhnya memukul gendang. Ketika ia memberi perintah untuk mulai bekerja, si penabuh
gendang mengiringi mereka, seakan-akan mereka sedang menuju pertempuran, satu pukulan untuk
setiap enam langkah. Dua pukulan pada gendang merupakan tanda istirahat.
17 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Berhenti!" Tokichiro menyerukan perintahnya dari atas sebongkah batu besar. Jika ada yang
membangkang, orang itu segera kena bentak.
Kelambanan yang semula mendominasi suasana segera lenyap, digantikan oleh kesibukan yang
lebih menyerupai kesibukan di medan perang, dan oleh cucuran keringat. Tapi Tokichiro mengamati
perubahan itu tanpa berkomentar. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa puas. Belum waktunya.
Bukan seperti ini, katanya dalam hati.
Dengan pengalaman bertahun-tahun, para pekerja tahu bagaimana mengatur gerak-gerik agar
mereka terlihat sibuk, namun sebenarnya mereka tidak memeras keringat secara
sungguh-sungguh. Mereka mengadakan perlawanan dengan berlagak patuh, tapi tidak betul-betul
bekerja keras. Seluruh hidup Tokichiro ditandai oleh cucuran keringat, jadi ia tahu makna dan
keindahan yang terkandung dalam keringat, tidaklah benar bahwa kerja merupakan urusan
jasmaniah. Jika kerja tidak diiringi semangat, keringat manusia tak berbeda dari keringat sapi dan
kuda. Orang-orang ini bekerja untuk mencari makan. Atau mereka bekerja karena harus memberi
makan orangtua. istri, maupun anak. Mereka bekerja untuk makanan atau kesenangan, tak lebih
dari itu. Pekerjaan mereka rendah dan hina. Keinginan-keinginan dalam diri mereka begitu terbatas,
sehingga Tokichiro merasa iba. dan dalam hati ia mengakui, aku pun seperti mereka, dulu. Masuk
akalkah untuk mengharapkan pekeriaan besar dari orang-orang berjiwa kerdil" Jika ia tak bisa
membangkitkan vemangat mereka, tak ada alasan bagi mereka untuk bekerja secara lebih efisien.
Bagi Tokichiro, yang berdiri membisu di tempat pembangunan, selengah hari berlalu dengan cepat.
Setengah hari merupakan seperenam waktu yang diberikan padanya, tapi ketika mengamati
sekitarnya, ia tidak melihat tanda-tanda bahwa mereka telah mencapai kemajuan sejak pagi tadi.
Baik di atas maupun di bawah perancah orang-orang tampak bekerja dengan giat, tapi itu semua
hanya pura-pura. Sebaliknya, mereka malah menanti-nanti kekalahan total yang bakal dialami
Tokichiro dalam tempo tiga hari.
"Sudah siang. Pukul gendang," Tokichiro memberi perintah. Segala kebisingan di tempat
pembangunan segera terhenti. Ketika Tokichiro melihat bahwa para pekerja telah mengeluarkan
makan siang masing-masing, ia memasukkan pedang ke dalam sarung dan pergi.
Sore harinya berakhir dalam suasana sama, kecuali bahwa disiplinnya telah melemah dan
kelambanan mulai terlihat lagi. Keadaannya tak berbeda dengan kemarin, ketika Yamabuchi Ukon
masih bertugas. Keadaannya justru bertambah buruk. Para pekerja dan kuli telah diberitahu bahwa
mulai malam ini mereka harus bekerja tanpa istirahat maupun kesempatan tidur, dan mereka tahu
bahwa mereka takkan meninggalkan pekarangan benteng selama tiga hari. Akibatnya mereka
semakin memperlambat lugas masing-masing, dan hanya sibuk memikirkan cara untuk curang
selama bekerja. "Berhenti! Berhenti! Cuci tangan kalian, lalu temui aku di lapangan!" Hari masih terang, namun si
petugas tiba-tiba berkeliling sambil membunyikan gendangnya. "Ada apa?" para pekerja saling
bertanya dengan curiga. Ketika mereka menanyakan kepada para mandor, para mandor pun hanya
bisa angkat bahu. Mereka pergi ke lapangan tempat menyimpan kayu, untuk mencari tahu apa yang
terjadi. Di sana mereka menemukan sake dan tumpukan makanan setinggi gunung. Mereka
dipersilakan duduk, lalu mencari tempat di atas tikar jerami, batu-batu, dan potongan-potongan
kayu. Tokichiro sendiri duduk di tengahtengah para pekerja dan mengangkat cawan, "Ini memang tidak banyak, tapi kita menghadapi tiga
18 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
hari penuh kerja keras. Satu hari sudah berlalu, tapi kuminta kalian terus bekerja dan berusaha
untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Jadi. khusus untuk malam ini, silakan minum dan
beristirahat sepuas-puasnya."
Sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat dari tindak-tanduk pagi tadi, dan ia memberi
contoh dengan menghabiskan isi cawannya. "Mari," ia berseru, "silakan minum. Bagi mereka yang
tidak suka sake sudah disediakan makanan dan hidangan pencuci mulut."
Para pekerja tampak heran. Tiba-tiba mereka mulai cemas, apakah mereka sanggup
merampungkan seluruh pekerjaan dalam tiga hari.
Tapi kepala Tokichiro-lah yang pertama-tama mulai terasa ringan.
"Hei! Persediaan sake lebih dari cukup untuk kita semua. Dan kuambil dari persediaan benteng, jadi
tak berpengaruh seberapa banyak kita minum, di gudang masih banyak lagi. Kalau kita minum, kita
bisa menari, bernyanyi, atau sekadar melepas lelah sampai gendang berbunyi.''
Dalam sekejap para pekerja berhenti mengeluh. Mereka bukan saja dibebaskan dari tugas
masing-masing, tapi juga memperoleh makanan dan sake secara tak terduga. Dan yang lebih
penting lagi. Tokichiro tampak bersantai di tengah-tengah mereka.
"Tuan ini ternyata punya rasa humor!"
Ketika pengaruh sake semakin nyata, mereka mulai bertukar lelucon. Tetapi para mandor tetap
menatap Tokichiro dengan dingin.
"Huh! Dia cerdik, tapi rencananya mudah terbaca.''
Dan ini menyebabkan mereka semakin memusuhinya. Dengan tampang seakan-akan
mempertanyakan pantas-tidaknya minum sake di tempat kerja, mereka tidak mau menyentuh
cawan masing-masing. "Wahai, para mandor! Ada apa?" Tokichiro berdiri dengan cawan di tangan, lalu pindah duduk di
bawah tatapan mereka yang menusuk. "Kalian tidak minum sama sekali. Barangkali kalian
beranggapan bahwa seorang mandor memikul tanggung jawab seperti jendral. dan karena itu tidak
boleh minum, tapi jangan khawatir. Kalau memang tidak mungkin, ya apa boleh buat" Kalau aku
keliru, dan kita tak bisa menyelesaikan pekerjaan kita dalam tiga hari, aku akan mengakhiri urusan
ini dengan melakukan bunuh diri." Tokichiro memaksa mandor yang bertampang paling sengit untuk
mengambil cawan, lalu menuangkan sake untuknya. "Mumpung kita bicara mengenai kecemasan,
ketahuilah bahwa bukan proyek ini maupun nyawaku sendiri yang membuatku khawatir. Aku
memikirkan nasib provinsi ini. yang menjadi tempat tinggal kalian semua. Tapi menghabiskan dua
puluh hari untuk pekerjaan sepele ini - dengan semangat sepeni ini - seluruh provinsi akan binasa."
Kata-katanya penuh emosi. Para pekerja mendadak terdiam. Tokichiro memandang bintang-bintang
di langit, seakan-akan hendak mengadu pada mereka. "Kurasa kalian semua pernah menyaksikan
pasang-surutnya sebuah provinsi. Dan kalian tentu tahu penderitaan rakyat di provinsi yang jatuh.
Apa boleh buat. Tentu saja Yang Mulia, para jendral. sampai kami para samurai yang paling
rendah, tak pernah melupakan urusan penahanan provinsi, bahkan pada waktu tidur pun.
"Tetapi nasib sebuah provinsi tidak ditentukan di dalam benteng. Yang menentukan adalah kalian.
19 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Rakyatlah yang merupakan tembok dan parit pertahanan. Mungkin kalian beranggapan bahwa
pe-kerjaan ini tidak berbeda dengan pekerjaan membangun dinding sebuah rumah, tapi kalian
keliru. Kalian sedang membangun penahanan kalian sendiri. Apa yang akan terjadi seandainya
benteng ini dibumihanguskan suatu han" Tentu bukan seisi benteng saja yang tertimpa
kemalangan. Seluruh kota akan dilalap api, dan seluruh provinsi akan musnah. Keadaannya bakal
seperti di neraka, anak-anak direnggut dari orangtua masing-masing, orangtua mencari anak-anak
mereka, gadis-gadis menjerit-jerit ketakutan, orang-orang salut terbakar hidup-hidup. Ah, jika
provinsi ini sampai jatuh, celakalah seluruh rakyatnya. Kalian semua punya orangtua, anak. istri,
saudara yang sakit. Kalian harus selalu, selalu mengingat itu."
Kini para mandor pun tak lagi tersenyum mengejek-Wajah mereka tampak serius. Mereka juga
memiliki harta benda, dan ucapan Toluchiro tepat mengenai sasaran.
"Jadi kenapa kita bisa menikmati masa damai sekarang" Pada dasarnya, berkat kepemimpinan
Yang Mulia Nobunaga. Tapi kalian, rakyat provinsi ini, ikut berperan dengan benteng ini sebagai titik
pusat. Tak peduli betapa gagahnya para samurai berjuang, jika rakyat sampai goyah..." Toluchiro
berbicara sambil berlinangan air mata. tapi ia tidak berpun-pura. Hatinya terasa pilu, dan setiap kata
yang ia ucapkan merupakan cerminan perasaan sesungguhnya.
Mereka yang tergerak oleh kebenaran kata-katanya langsung sadar dan terdiam. Seseorang
menangis dan membuang ingus. Orang itu adalah mandor para tukang kayu - pekerja tertua dan
paling berpengaruh - yang selama ini menentang Tokichiro lebih terang-terangan daripada
rekan-rekannya. "Ah, ampun ... Ampun!" Ia mengusap air mata yang mengalir di pipinya yang penuh bekas cacar.
Yang lain menatapnya heran. Ketika ia sadar bahwa semua orang memandang ke arahnya, ia
tiba-tiba maju dan men-jatuhkan diri di hadapan Tokichiro.
"Ampunilah aku! Sekarang aku menyadari kebodohan dan kedangkalan pikiranku. Mestinya Tuan
mengikatku, lalu meneruskan pekerjaan demi kejayaan provinsi." Dengan kepala tertunduk, tubuh
orang tua itu bergetar ketika ia bicara.
Mula-mula Tokichiro menatapnya sambil terbengong-bengong, tapi kemudian ia mengangguk dan
berkata. "Hmm. kau bertindak atas perintah Yamabuchi Ukon. bukan?"
"Tuan mengetahuinya sejak semula."
"Bagaimana aku tidak tahu" Dan Ukon jugalah yang menyuruhmu dan yang lain untuk tidak datang
ke rumahku ketika aku mengundang kalian."
"Itu benar." "Dan dia menyuruh kalian bekerja selambat mungkin, sengaja mengulur-ulur waktu, dan menentang
perinuh-perintahku."
"Aku tidak heran dia bersikap demikian. Seandainya kalian yang menyebabkan pekerjaan ini
terbengkalai, kalian pun takkan sanggup berpikir jernih. Hmm, baiklah, berhentilah
merengek-rengek. Aku akan memaafkanmu, karena kau telah mengakui kesalahanmu."
"Tapi masih ada lagi. Yamabuchi Ukon berpesan bahwa jika kami bekerja selambat mungkin,
20 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sehingga pembangunan tidak selesai dalam tiga hari, kami akan diberi uang banyak. Tapi setelah
mendengar pen-jelasan Tuan, aku sadar bahwa dengan menerima uang yang ditawarkan Tuan
Yamabuchi, dan dengan menentang Tuan, kami justru menempuh langkah pertama ke arah
kehancuran kami sendiri. Sekarang semuanya sudah jelas bagiku. Sebagai pemimpin para
pembangkang, aku seharusnya diikat, dan pekerjaan ini seharusnya diselesaikan tanpa
ditunda-tunda lagi."
Tokichiro tersenyum, ia menyadari bahwa dalam sekejap saja seorang musuh yang kuat telah
menjadi sekutu sejati. Orang itu bukannya diikat, melainkan malah diberi sebuah cawan. "Kau tidak
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersalah. Pada detik kau menyadari kekeliruanmu, kau menjadi warga paling setia di provinsi ini.
Mari, silakan cicipi sake ini. Sehabis itu. setelah melepas lelah sejenak, kita mulai bekerja."
Si mandor menerima cawan itu dengan dua tangan dan membungkuk dengan sepenuh hati. Tapi ia
tidak menyentuh minumannya. "Hei! Semua!" serunya, tiba-tiba ia melompat berdiri dan
mengangkat cawannya tinggi-tinggi. "Kita akan menuruti segala perintah Tuan Kinoshiu. Reguklah
isi cawan kalian, lalu mulailah bekerja. Mestinya kita semua merasa malu. Kita beruntung karena
belum dihukum oleh langit. Selama ini aku telah melahap nasi dengan sia-sia, tapi mulai sekarang
aku akan berusaha melunasi utang-utangku. Aku akan berusaha mengabdi dengan
sungguh-sungguh. Tekadku sudah bulat. Bagaimana dengan kalian?"
Begitu si mandor selesai bicara, yang lainnya berdiri serempak.
"Ayo, kita mulai!"
"Kita bereskan tugas ini!" mereka semua berseru. "Ah, terima kasih!" balas Tokichiro. Ia pun
mengangkat cawan. "Aku akan menyimpan sake ini selama tiga hari. Setelah merampungkan tugas,
kita bisa minum sepuas-puasnya! Kecuali itu, aku tidak tahu berapa banyak uang yang dijanjikan
Yamabuchi Ukon. Tpi sesudah kita selesai, aku akan memberi imbalan seadanya."
"Kami tidak memerlukannya." Mengikuti contoh si mandor bermuka bopeng, semuanya
menghabiskan isi cawan masing-masing dalam satu tegukan. Dan persis seperti prajurit yang akan
bertempur di barisan terdepan, mereka bergegas kembali ke tempat pembangunan.
Menyaksikan semangat mereka yang menggebu-gebu. untuk pertama kali Tokichiro merasa
betul-betul lega. "Aku berhasil!" serunya tanpa berpikir. Tapi ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini; ia
bergabung dengan yang lain, bekerja dalam lumpur, membanting tulang seperti orang kesurupan
selama tiga malam dan dua hari berikutnya.
*** "Monyet! Monyet!" Seseorang sedang memanggil namanya. Orang itu ternyata Inuchiyo. yang
tampak lebih gelisah daripada biasanya. "Inuchiyo!"
"Saat perpisahan telah tiba." "Apa?"
"Aku dibuang." "Kenapa?"
"Aku telah membunuh seseorang di benteng dan mendapat teguran keras dari Tuan Nobunaga
21 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
karenanya. Untuk sementara aku haruis menjalani hidup sebagai ronin."
"Siapa yang kaubtinuh?"
"Yamabuchi Ukon. Kau tentu lebih memahami perasaanku daripada orang lain."
"Ah, kau terlalu terburu-buru."
"Itulah darah muda! Setelah membunuhnya, aku pun berpikir begitu, tapi sudah terlambat. Watak
seseorang tak dapat dipadamkan. Baiklah, aku..."
"Kau hendak pergi sekarang juga?"
"Monyet, kutitipkan Nene padamu. Kejadian ini membuktikan bahwa kami memang bukan jodoh,
jaga dia baik-baik."
Pada waktu yang sama. seekor kuda menembus kegelapan malam dalam perjalanan dari Kiyosu ke
Narumi. Terluka parah. Yamabuchi Ukon berpegangan erat-erat pada pelananya, jarak antara
Kiyosu dan Narumi tidak terlalu jauh, dan kuda Ukon berlari kencang.
Hari sudah gelap dan tak ada yang melihatnya, namun andai kata masih terang, darah yang
bercucuran seiring langkah kudanya akan terlihat jelas. Luka Ukon cukup dalam, tapi tidak
mematikan. Meski demikian, ketika ia menggenggam bulu tengkuk kudanya, ia bertanya-tanya apa
yang lebih cepat: kaki kudanya atau kematian.
Moga-moga aku bisa mencapai Benteng Narumi, ia berharap dalam hati, sambil teringat bagaimana
Maeda Inuchiyo berteriak "Pengkhianat!" ketika mengayunkan pedangnya.
Suara yang menjatuhkan tuduhan itu bagaikan paku yang menembus tengkorak, dan terus
terngiang-ngiang di telinga Ukon. Kini, dalam keadaan setengah sadar, diterpa angin malam,
pikirannya jadi tak keruan. Dari mana Inuchiyo mengetahuinya" Ketika memikirkan pengaruh
peristiwa ini terhadap Benteng Narumi. dan menyadari bahwa bukan saja ayahnya, melainkan
seluruh marganya akan menanggung akibatnya, ia menjadi panik dan darahnya mengalir semakin
deras. Benteng Narumi merupakan salah satu benteng perwakilan marga Oda. Oleh Nobuhide, ayah
Ukon, Samanosuke, diangkat sebagai komandan Narumi. Akan tetapi pandangannya mengenai
dunia amat terbatas, dan apa yang dilihatnya tidak menunjukkan masa depan gemilang. Ketika
Nobuhide wafat, Nobunaga berusia lima belas tahun, dan reputasinya berada pada titik paling
rendah. Waktu itu Samanosuke beranggapan bahwa pewaris marga Oda tak bisa diharapkan, dan
diam-diam bersekongkol dengan Imagawa Yoshimoto.
Nobunaga lalu mengetahui pengkhianatan Narumi. dan dua kali menyerbu benteng itu. tapi sia-sia.
Narumi tak berhasil ditaklukkannya, karena memperoleh dukungan militer maupun ekonomi dan
marga Imagawa yang kuat. Nobunaga boleh mencoba segala cara, tetapi usahanya selalu kandas
tanpa hasil. Nobunaga menyadari hal ini. dan selama beberapa tahun ia tidak mengusik para
pembangkang. Namun kemudian marga Imagawa mulai meragukan kesetiaan Samanosuke. Narumi dicurigai oleh
kedua belak pihak, dan memancing sikap seperti itu dari penguasa sebuah provinsi besar sama
22 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
saja dengan mengundang bencana. Jadi. apa pun tujuan sesungguhnya, Samanosuke menghadap
Nobunaga, memohon ampun atas perbuatannya selama bertahun-tahun, dan memohon agar
dikembalikan ke posisinya semula.
"Sebuah cabang takkan sanggup mengalahkan induknya. Ada baiknya kalau kaupahami ini.
Usahakanlah agar kau tetap setia mulai sekarang," Nobunaga berpesan, dan memaafkannya.
Setelah itu. baik ayah maupun anak memperlihatkan hasil yang mengesankan, dan pengkhianatan
mereka dilupakan. Tetapi apa yang tersembunyi di bawah permukaan telah diketahui oleh dua
orang - Maeda Inuchiyo dan Kinoshita Tokichiro. Ukon telah merisaukan mereka berdua selama
beberapa waktu, tapi kemudian Tokichiro mengambil alih posisi pengawas pembangunan, dan
keesokan harinya Inuchiyo menyerang dan mencederai Ukon. Kini. dengan berasumsi bahwa
rencananya telah terbongkar, dan dalam keadaan terluka parah, ia melarikan diri dari benteng dan
menuju Narumi. Menjelang fajar ia melihat gerbang Benteng Narumi. Ketika yakin bahwa ia telah sampai di tempat
tujuannya, ia pingsan, sambil tetap merangkul leber kudanya. Waktu tersadar, ia dikelilingi para
penjaga benteng yang sedang merawat lukanya. Kemudian pandangannya kembali jernih dan ia
bangkit. Orang-orang di sekitarnya tampak lega.
Kedatangan Ukon segera dilaporkan pada Samanosuke, dan beberapa pelayannya bergegas
keluar dengan mata terbelalak, sambil bertanya. "Di mana Tuan Muda?"
"Bagaimana keadaannya?"
Mereka cemas sekali. Namun yang paling terkejut adalah ayahnya. Melihat putranya dipapah oleh
para penjaga gerbang, Samanosuke segera berlari keluar, tak kuasa membendung rasa khawatir
seorang ayah, "Lukanya dalam?"
"Ayahanda...." Ukon ambruk dan masih sempat berkata. "Ananda minta maaf...." sebelum ia
kembali kehilangan kesadaran.
"Bawa dia masuk! Cepat, bawa dia ke dalam!" Wajah Samanosuke diliputi penyesalan. .Sejak
semula ia merasa cemas karena Ukon mengabdi pada Nohunaga. sebab Samanosuke tidak
sepenuh hati kembali ke marga Oda dan belum rela untuk tunduk. Namun ketika Ukon ditunjuk
sebagai pengawas perbaikan tembok penahanan, Samanosuke segera menyadari bahwa
kesempatan yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun telah tiba, sehingga ia langsung
mengirim pesan rahasia kepada marga Imagawa:
Sekaranglah waktu yang tepat untuk menyerang marga Oda, jika Benteng Kiyosu diserbu oleh lima
ribu orang dari perbatasan timur, kami pun akan mengerahkan pasukan. Pada saat yang sama,
putra kami akan menimbulkan kekacauan dari dalam dengan membakar benteng.
Dalam hati ia berharap Imagawa Yoshimoto tergerak untuk menentukan sikap. Namun ternyata
orang-orang Imagawa tidak segera benindak. Kedua Yamabuchi - ayah maupun putra - sudah lama
menjadi abdi marga Oda, sehingga marga Imagawa menaruh curiga pada rencana mendadak itu.
Karena tidak mendapat kabar dari kurir pertama dan kedua yang dikirimnya, dua hari kemudian
Samanosuke mengutus kurir ketiga yang membawa pesan, "Sekaranglah waktunya."
Sementara itu, Ukon mengalami cedera dan melarikan diri dari Kiyosu. Dan sepertinya luka yang
23 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dideritanya bukan akibat pertikaian pribadi. Kelihaiannya persekongkolan mereka telah terbongkar
Samanosuke merasa cemas, dan mengumpulkan seluruh marga untuk mengadakan rapat.
"Walaupun mungkin takkan ada dukungan dari orang-orang Imagawa, kita tak dapat berbuat
apa-apa selain membuat persiapan militer dan menghadapi serangan marga Oda. Kalau
orang-orang Imagawa mengetahui pemberontakan kita dan ikut terjun ke dalam kancah
peperangan, tujuan kira semula, yaitu menghancurkan marga Oda dengan sekali pukul, mungkin
masih dapai terwujud."
Nobunaga tidak banyak berkomentar setelah mengasingkan Inuchiyo. Mempertimbangkan
wataknya yang meledak-ledak, tak satu pun para pembantunya menyinggung masalah Inuchiyo.
Tapi Nobunaga tidak puas sepenuhnya, dan ia berkata, "Jika dua prajurit bertikai di perkemahan,
atau pedang dihunus di pekarangan benteng, peraturan menentukan bahwa hukumannya harus
tegas, tak peduli apa alasan penikaian itu. Inuchiyo laki-laki yang berharga, tapi mudah naik darah.
Dan ini kedua kalinya dia mencederai sesama pengikutku. Bersikap murah hari tak dapat
dibenarkan oleh hukum."
Larut malam ia mengeluh pada seorang pengikut senior yang sedang bertugas, "Ah, si Inuchiyo!
Entah ke mana dia pergi setelah dibuang dari sini. Menjadi ronin baik untuk jiwa. Barangkali sedikit
penderitaan akan bermanfaat untuknya."
Di atas tembok pertahanan. Nobunaga menyadari bahwa malam ketiga Tokichiro mengambil alih
pekerjaan perbaikan telah tiba, jika ia tidak selesai pada wakiu fajar, ia akan terpaksa melakukan
seppuku, tak peduli betapa Nobunaga menyesalkannya. Dia terlalu keras kepala - Nobunaga
berkata dalam hati - selalu mengumbar ucapan yang tak masuk akal di depan semua orang.
Pengikut seperti Inuchiyo dan Tokichiro menduduki posisi rendah dan masih muda, tapi Nobunaga
tahu bahwa di antara para pengikut yang tersisa dari masa ayahnya, hanya segelintir yang sanggup
menyaingi bakat mereka. Orang seperti mereka jarang ditemui, bukan hanya dalam marga Oda.
melainkan di dunia secara keseluruhan. Ini kehilangan besar! Namun Nobunaga tak boleh
memperlihatkan ke-khawatirannya, dan ia menyembunyikannya dari para pelayan dan pengikut
yang lebih tua. Malam itu ia menyusup ke bawah kelambu lebih cepat daripada biasanya. Tapi ketika ia baru akan
teridap, seorang pengikutnya muncul di ambang pintu ruang tidur. "Tuanku, ada keadaan darurat!
Orang-orang Yamabuchi di Narumi mengibarkan bendera pemberontakan, dan sengaja
memamerkan persiapan pertahanan mereka."
"Narumi?" Nobunaga keluar dari kelambu, dan masih dalam pakaian tidur dari sutra putih, pergi ke
ruang sebelah dan duduk. "Genba?" "Tuanku?" "Masuklah."
Sakuma Genba mendekat sampai ke tepi ruangan itu, lalu menyembah. Nobunaga sedang
berkipas-kipas. Di malam hari. hawa sejuk menjelang musim gugur sudah terasa, tapi kawanan
nyamuk masih beterbangan di pekarangan benteng.
"Sebenarnya ini tidak terlalu mengejutkan," Nobunaga akhirnya berkata. Kata-kata itu diucapkan
seakan-akan dikunyah satu per satu. "Kalau orang-orang Yamabuchi memberontak, borok yang
sudah mulai sembuh kini bernanah lagi. Kita tunggu saja sampai pecah dengan sendirinya."
24 Pendekar Bloon Hianat Empat Datuk m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Apakah tuanku akan pergi ke sana?" "Itu tidak perlu."
"Pasukan tuanku..."
"Rasanya kita tidak perlu ambil tindakan." Ia tertawa dan melanjutkan, "Aku meragukan keberanian
mereka menyerang Kiyosu, walaupun mereka telah mengadakan persiapan militer. Samanosuke
panik karena putranya terluka. Untuk sementara lebih baik kira amati mereka dari jauh saja."
Tak lama kemudian Nobunaga kembali naik ke ranjang, tapi keesokan harinya ia bangun lebih pagi
daripada biasa. Atau mungkin ia tak bisa ridur dan menunggu sampai fajar. Dalam hati ia mungkin
lebih mencemaskan nasib Tokichiro daripada kejadian mencemaskan di Narumi. Begitu bangun,
Nobunaga meninjau tempat pembangunan dengan beberapa pembantunya.
Matahari pagi sedang menanjak. Kesemrawutan yang kemarin masih terlihat kini tak tampak lagi.
Tak sepotong kayu. sebongkah batu. segumpal tanah, maupun setitik debu tersisa. Seluruh
pekarangan telah dibersihkan. Seiring fajar, tempat pembangunan itu tidak lagi menyerupai tempat
pembangunan. Ini melebihi perkiraan Nobunaga. Ia jarang merasa terkejut, dan jika kini ia merasa
demikian, ia tidak memperlihatkannya. Tokichiro berhasil melaksanakan tugasnya dalam tiga hari,
dan lebih dari itu, telah membawa keluar semua kayu dan batu yang tak terpakai.
Tanpa berpikir, wajah Nobunaga tampak berseri-seri karena gembira. "Dia berhasil! Lihat itu! Lihat
apa yang dilakukan si Monyet!" Sambil berpaling kepada para pembantunya, ia bicara seakan-akan
sedang membahas hasil pekerjaannya sendiri. "Di mana dia" Panggil Tokichiro ke sini."
"Sepertinya Tuan Kinoshita sedang menyeberangi Jembatan Karabashi." salah seorang pembantu
berkata. Jembatan itu berada tepat di depan mereka. Kinoshita sedang berlari mendekat.
Batang-batang kayu yang digunakan sebagai perancah serta kayu dan batu yang tersisa
menumpuk di tepi parit. Para pengrajin dan pekerja, yang telah menghabiskan tiga hari tiga malam
dengan bekerja tanpa istirahat, kini tertidur lelap, seperti ulat dalam kepompong. Para mandor pun.
yang bekerja bahu-membahu dengan anak buah mereka, merebahkan diri di tanah dan segera
memejamkan mata begitu tugas mereka selesai.
Nobunaga mengamati semuanya dari kejauhan. Sekali lagi ia terpaksa mengakui bahwa ia keliru
menilai kemampuan Tokichiro, Si Monyet! Dia tahu cara membuai orang bekerja keras. Kalau dia
memiliki kemampuan untuk memacu sekelompok pekerja agar rela bekerja seperti ini, tentu tak ada
Pertarungan Di Pulau Api 2 Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata Pedang Keadilan 33
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama