Ceritasilat Novel Online

The Harsh Cry Of Heron 9

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 9


melirik ke arah Gemba yang duduk diam tanpa ekspresi di punggung kuda hitamnya.
"Ini akan menjadi pertempuran yang sebenarnya, bukan perlombaan," tutur
Takeo, ingin putrinya siap untuk peperangan yang haus darah. "Mungkin kelak kau tak punya
pilihan." "Ayah harus ambil Jato kembali. Ayah jangan pergi tanpa membawanya."
Takeo mengambil pedang itu dari putrinya dengan rasa terima kasih. Ada bingkai khusus yang
sengaja dibuat pada pedang itu, hingga terlalu berat bagi Shigeko untuk membawanya;
pedang itu sudah di punggung Tenba, tepat di depan pelana. Pedang itu masih disarungi dengan kain
upacaranya dan kelihatan luar biasa. Takeo mengikatkan tali sutra kirin ke tali leher Tenba
dan sebelum menaiki kuda, dipeluknya Shigeko, berdoa dalam hati bagi keselamatan putrinya.
Saat itu kira-kira tengah hari dan cuaca sangat panas. Takeo meraih tali kekang Tenba dengan tangan
kiri, mendongak sesaat dan melihat awan tebal yang mengandung kilat menumpuk di arah Barat.
Tenba mengibaskan kepala menghalau kerumunan serangga kecil yang meng?gigitinya.
Sewaktu menunggang kuda menjauh dari pasukan bersama kirin, Takeo menyadari ada
seseorang yang berjalan kaki mengikutinya.
Ia telah memerintahkan bahwa dia harus pergi sendiri, lalu memalingkan pelananya untuk
memerintahkan siapa pun itu agar kembali ke pasukan.
"Lord Otori!" Ternyata itu Mai, gadis Muto, adik Sada.
Takeo berhenti sejenak lalu gadis itu berjalan menghampiri ke samping kuda. Tenba
mengayunkan kepala ke arah gadis itu.
"Mungkin aku bisa membantu," ujarnya. "Ijinkan aku pergi bersama Anda."
"Kau bersenjata?"
Mai menarik sebilah belati dari balik jubahnya. "Aku juga punya pisau lempar, dan garotte.
Lord Otori berencana meng?gunakan kemampuan menghilang?"
Takeo mengangguk. "Aku juga bisa menggunakannya. Apakah Anda bermaksud memaksa musuh menampakkan diri
agar para pangawal bisa menyerang mereka?"
"Mereka akan melihat seekor kuda perang dan kirin berjalan sendiri. Kuharap keingintahuan
dan keserakahan akan meng?giring mereka menghampirinya. Jangan menyerang dulu sampai
mereka berada di daratan terbuka dan Sugita memerintahkan tembakan pertama. Mereka pasti terbuai dengan
kecerobohannya sendiri. Berlindung di sisi mana pun yang kelihatannya hanya ada sedikit
musuh, dan bunuh musuh sebanyak-banyaknya semampumu. Makin mereka kebingungan, makin
bagus." Mai tersenyum tipis. "Terima kasih, tuan. Setiap nyawa yang kuhabisi akan mem?balaskan
dendam kakakku." Kini aku yang memulai peperangan, pikir?nya dengan perasaan sedih saat didesaknya Tenba
agar berjalan lagi, lalu membiarkan kemampuan menghilang menyelimuti diri?nya.
Jalanan itu makin curam dan berbatu, tapi tepat di depan perbatasan, jalannya agak
menanjak dan melebar. Matahari masih tinggi di langit, tapi sudah mulai tenggelam di ufuk barat, dan
bayangHarjono Siswanto Story Collection
Halaman 687 dari 687 bayang mulai memanjang. Di kedua sisi jajaran pegunungan, muncul dari hutan lebat,
ter?bentang Tiga Negara, kini berselimut awan. Petir berkilatan di kejauhan, dan terdengar gemuruh
halilintar yang membuat Tenba mengibaskan kepala dan gemetar; kirin berjalan dengan tenang dan anggun
seperti biasa. Dikejauhan Takeo mendengar desingan layang-layang dan kepakan sayap burung, keriat-keriut
pepohonan tua, dan gemericik air. Saat memasuki lembah, terdengar oleh?nya suara berbisik,
gemerisik pelan orang berpindah tempat, helaan busur, dan bahkan lebih mengancam lagi,
bunyi ketukan senjata api yang tengah diisi bubuk mesiu.
Sesaat darahnya membeku. Takeo tidak takut mati; ia sudah sering bersentuhan dengan
kematian hingga tidak membuatnya takut; terlebih lagi, ia sudah yakin kalau tak seorang pun yang bisa
membunuhnya sampai putranya sanggup melakukannya, tapi kini rasa takut yang nyaris tak
disadarinya muncul, pada peluru yang bisa membunuh dari jauh, bijih besi yang mampu
mengoyak daging dan tulang. Bila aku harus mati, ijinkan aku mati oleh pedang, ia berdoa saat halilintar
bergemuruh lagi, bila aku mati akibat senjata api, maka itu hanya untuk keadilan, karena
akulah yang mengenalkan serta mengembangkan benda itu.
Ia tak ingat pernah menggunakan kemampuan menghilang saat menunggang kuda, ia
membiasakan diri untuk memisah kan ketrampilan ksatria dari kemampuan Tribe. Dibiarkannya tali kekang kuda menggantung
dan mengangkat kakinya dari sanggurdi agar tidak kelihatan ada penunggangnya. Ia ingin tahu apa
yang ada dalam pikiran prajurit yang tengah me?mandangi kuda dan kirin berjalan melewati
lembah. Apakah pemandangan itu mimpi, atau legenda yang menjadi kenyataan" Kuda hitam, dengan
surai dan ekor berkilau sama terangnya dengan pelana, pedang di samping pelana; serta kirin,
tinggi dan asing, dengan leher panjang serta kulit yang bercorak aneh.
Terdengar olehnya desingan sebatang anak panah: Tenba juga mendengarnya dan terkejut,
Takeo berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya selagi gerakan mendadak itu menarik tubuhnya ke
kanan dan ke kiri. Tak ingin terjatuh seperti Kono atau pun kehilangan kemampuan meng?hilangnya
karena kurang konsentrasi. Dipelankan napasnya dan membiarkan tubuhnya mengikuti gerakan kuda
seakan mereka adalah satu makhluk.
Anak panah itu berjatuhan ke tanah sejauh beberapa langkah di depannya. Anak panah itu
tidak dibidik langsung ke arah hewan
hewan itu, hanya sekadar menguji reaksi alami mereka. Takeo membiarkan Tenba bergerak
dengan cepat dan ringan. Kemudian ia menekan kedua kaki agak di samping perut kuda itu,
memaksanya maju, bersyukur atas reaksi kuda itu seperti yang diharap?kannya. Kirin pun mengikuti dengan
patuh. Terdengar teriakan di sebelah kanannya, dari sebelah utara lembah. Tenba menegak?kan
telinga dan memutamya ke arah suara tadi. Satu orang lagi menjawab teriakannya, dari arah selatan.
Langkah Tenba mulai berderap dan kirin mulai berlari dengan lompatan naik turun di sebelahnya.
Anggota pasukan mulai menampakkan diri satu demi satu, bermunculan dari tempat
persembunyian mereka lalu berlarian ke permukaan lembah. Mereka tidak bersenjata berat sehingga mudah
untuk mengepung dan lebih leluasa: mereka berharap bisa menyergap cepat. Sebagian besar mereka
bersenjatakan busur panah, dan beberapa senjata api, tapi mereka mengesampingkan senjata ini.
Tenba mendengus, panik karena mereka seperti sekawanan serigala, dan mempercepat
langkahnya sampai akhirnya melangkah
santai dan pelan lagi. Hal ini membuat lebih banyak lagi pasukan bermunculan dan berlarian
lebih cepat, berusaha menghalangi agar kedua hewan itu jangan ke ujung lembah. Takeo merasakan
tanah mulai curam: mereka telah melewati titik tertinggi lembah; bisa dilihatnya tanah datar di
bawahnya tempat pasukan Kahei menunggu.
Kini teriakan terdengar di mana-mana, mereka berlomba-lomba menjadi orang pertama yang
memegang tali kekang kuda perang itu untuk menyatakan menjadi milik?nya. Di depan, lima
atau Halaman 688 dari 688 enam orang pasukan berkuda muncul dari celah antara tebing yang curam. Tenba berderap,
meliuk bak kuda jantan tengah menggiring kuda betina, menyeringai, bersiap menggigit; langkah
panjang kirin membuatnya seperti melayang di atas tanah. Takeo mendengar sebatang anak panah
berdesing melewati dirinya, dan melihat prajurit pertama terjatuh, anak panah menembus dadanya. Di
belakangnya terdengar dentuman langkah kuda selagi pasukannya Hiroshi ber?hamburan
memasuki lembah. Desingan mengerikan anak panah me?menuhi udara, bak kepakan sayap.
Terlambat, pasukan itu menyadari kalau itu jebakan dan mulai berlarian kembali untuk
berlindung di antara bebatuan. Satu prajurit segera tumbang, sebilah pisau berbentuk bintang menancap di
matanya, membuat mereka yang berada di belakangnya cukup lama merasa ragu untuk lari ke
luncuran anak panah selanjutnya. Baik Tenba maupun kirin berada tepat di luar jangkauan,
atau kemahiran para pemanahnya memang luar biasa, karena tak satu pun mengenai kedua hewan
itu. Pasukan berkuda muncul di depannya, pedang terhunus di tangan. Takeo meraba?raba
sanggurdi, memasukkan kakinya, menguatkan diri lalu menarik Jato dengan tangan kiri. Ia membiarkan
dirinya terlihat di waktu yang sama ketika mengayunkan pedang ke kiri, menghantam prajurit
berkuda hingga jatuh dari pelana. Ia menghempaskan berat badannya ke belakang saat berusaha
melambatkan gerakan Tenba, lalu ia menebas tali yang mengikat kirin ke kuda itu. Kirin berlari dengan
canggung ke depan sementara Tenba, mungkin mengingat untuk apa dia dilahirkan, melambatkan langkah
dan berputar untuk menghadapi
prajurit berkuda lain yang kini mengepung Takeo.
Dilupakannya usia dan cacat tangannya, tangan kiri mengambil alih peran tangan kanannya
yang cacat. Jato melompat seperti yang biasa dilakukannya, seolah bergerak atas kehendaknya
sendiri. Ia menyadari Hiroshi yang datang bergabung dengannya. Kuda tunggangan Hiroshi yang
berkulit abuabu pucat memerah karena darah. Lalu sekumpulan prajurit datang mengelilinginya: Shigeko dan
Gemba dengan busur ter-sandang di punggung dan pedang di tangan.
"Maju terus," serunya kepada mereka, dan tersenyum dalam hati selagi mereka berjalan
melewatinya dan mulai berjalan menurun. Shigeko aman, setidaknya untuk hari ini. Bentrokan mereda dan
sadar kalau pasukan berkuda musuh yang terakhir tengah ber?usaha menyelamatkan diri, dan
prajurit pejalan kaki juga kabur, mencari perlin?dungan di sela bebatuan dan pepohonan.
"Apakah kita akan kejar mereka?" scru Hiroshi, sambil mengatur napas, mem?belokkan Keri.
"Jangan, biarkan mereka pergi. Saga pasti
sudah dekat di belakang. Jangan ditunda. Kita sudah berada di Tiga Negara. Kita akan
bergabung dengan Kahei malam ini."
Tadi hanyalah pertempuran kecil, pikir Takeo saat mengembalikan Jato ke sarung dan akal
warasnya mulai kembali. Per?tempuran besar akan terjadi nanti.
"Kumpulkan prajurit kita yang terluka dan tewas," perintahnya pada Hiroshi. "Jangan
tinggalkan satu orang pun." Kemudian Takeo berteriak lantang, "Mai! Mai!"
Dilihatnya kedipan sosok dengan kemampuan menghilang di sisi utara, lalu mengarahkan
Tenba menghampiri saat gadis itu menampakkan diri. Takeo mengulurkan tangan lalu mengayunkan
gadis itu naik di belakangnya. "Kau terluka?" serunya sambil menengok ke belakang.
"Tidak," teriak Mai balik. "Aku mem?bunuh tiga orang dan melukai dua orang."
Dapat dirasakannya debar jantung Mai berpacu cepat menempel di punggungnya; aroma
keringat Mai mengingatkan Takeo kalau sudah berbulan-bulan sejak ia tidur dengan istrinya. Betapa ia
sangat merindukan Kaede: istrinya memenuhi pikirannya saat mengamati lembah untuk melihat
prajurit nya yang selamat dan mengumpulkan sisa?sisanya. Lima orang tewas, sepertinya, mungkin
enam orang terluka. Takeo bersedih bagi mereka yang tewas, kesemuanya telah ia kenal selama
Halaman 689 dari 689 bertahun?tahun, dan bertekad memakamkan mereka dengan penghormatan yang tinggi di
kampung halaman mereka di Tiga Negara. Pasukan Saga yang tewas ditinggalkannya di lembah, tidak
bersusah payah menebas kepala mereka atau mengurus yang terluka. Saga akan berada di
tempat ini esok hari, lalu entah di hari yang sama atau keesokan harinya mereka akan bertemu dalam
per?tempuran. Suasana hatinya murung saat memberi salam pada Kahei di tanah lapang di bawah. Lega
melihat Minoru tidak terluka, ia pergi bersama jurutulis itu ke tenda Kahei, tempat diceritakannya
semua yang telah terjadi pada sang komandan, serta membicarakan rencana untuk keesokan harinya.
Hiroshi membawa kuda ke dalam barisan, tempat Takeo bisa melihat putrinya bersama kirin. Wajah
putrinya pucat, dan entah bagaimana terlihat agak kurus, hatinya terasa pedih melihat penderitaan
putrinya. "Setidaknya kita tahu Saga tak bisa datang lewat jalan lain," tutur Takeo. "Dia harus melewati
jalur sempit itu." "Kita akan segera kirim pasukan untuk mempertahankannya," sera Kahei.
"Tidak, akan kita biarkan terbuka. Kita harap Saga mengira kita sedang kabur, kehilangan
semangat dan kebingungan. Dan dia harus kelihatan seperti penyerang. Kita sedang mempertahankan
Tiga Negara, bukan menentang Saga atau Kaisar. Kita tidak bisa tinggal di sini dan menahannya
dengan tidak jelas. Kita haras mengalahkannya dengan telak dan membawa kembali pasukan ke
wilayah Barat untuk menghadapi Zenko. Kau sudah mendengar tentang kematian Taku?"
"Aku sudah mendengar desas-desus, tapi kami tidak ada kabar resmi dari Hagi." "Tidak ada
kabar dari istriku?" "Tidak ada kabar sejak bulan ketiga, dan dia juga tidak menyebutkan tentang berita duka ini.
Mungkin

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat itu Kaede memang belum mendengar kabar itu."
Hal itu membuat Takeo lebih tertekan lagi, karena ia mengharapkan surat dari istrinya,
dengan berita tentang situasi Negara Tengah dan wilayah Barat, begitu pula dengan kabar tentang kesehatannya juga si bayi.
"Aku belum mendapat kabar dari istriku; kami pernah mendapat pesan dari Inuyama, tapi
tidak ada kabar dari Negara Tengah."
Kedua laki-laki itu terdiam sejenak, memikirkan rumah mereka nun jauh di sana dan anakanak
mereka. "Baiklah, orang bilang kalau kabar buruk tersebar lebih cepat ketimbang kabar baik," sera
Kahei, membuang kekhawatirannya dengan cara yang biasa, dengan kegiatan fisik. "Mari kutunjukkan
pasukan kita." Kahei sudah mengatur pasukan dalam formasi tempur: kekuatan utama di sisi barat tanah
datar, dan bagian samping di se?panjang tepi utara terlindungi oleh barisan bukit yang menonjol. Di sini
ditempatkan-nya para prajurit bersenjata api, begitu pula dengan pasukan pemanah
tambahan. "Kita menghadapi cuaca buruk," ujarnya. "Jika terlalu basah untuk menggunakan senjata api,
maka kita kehilangan keuntungan terbesar kita."
Takeo berjalan bersamanya di bawah cahaya rembulan untuk menginspeksi posisi,
penjaga juga membawakan obor ilalang. Bulan putih semakin mendekati purnama, namun
awan gelap berarak tidak beraturan, dan kilat menyala di langit barat. Gemba duduk di bawah
sebatang pohon runjung kecil, di dekat kolam yang menyediakan air buat mereka: matanya terpejam,
jelas terpisah dari hiruk pikuk kemah di sekitamya.
"Mungkin adikmu bisa terus menunda turunnya hujan," ujar Takeo, berusaha membangkitkan
semangat dirinya dan juga Kahei.
"Hujan atau tidak, kita harus bersiap menyambut serangan mereka," sahut Kahei. "Kau sudah
bertempur satu kali hari ini. Aku akan berjaga sementara kau dan pen?dampingmu tidur."
Halaman 690 dari 690 Karena sudah berada di perkemahan sejak bulan kelima, Kahei mengatur agar ia bisa nyaman:
Takeo mandi dengan air dingin, makan sedikit, kemudian meregangkan badan di bawah lipatan sutra
tenda. la langsung tertidur, dan memimpikan Kaede.
Mereka berada di penginapan di Tsuwano, dan malam itu adalah malam pertunangan Kaede
dengan Shigeru. Dilihatnya Kaede saat berusia lima belas tahun, wajahnya masih
mulus tanpa kerutan, tanpa goresan bekas luka di leher, rambut tebalnya hitam tergerai.
Dilihatnya lentera berkelap-kelip di antara mereka berdua saat Kaede menatap tangannya lalu
menaikkan pandangan ke wajah. Dalam mimpinya, Kaede ditunangkan dengan Shigeru sekaligus telah
menjadi istrinya; diserahkannya hadiah pertunangan kepada Kaede, dan di saat yang bersamaan
meraih tubuh Kaede dan menariknya ke arahnya.
Saat dirasakannya bentuk tubuh Kaede yang amat disayanginya dalam pelukannya, terdengar
olehnya gemeletak api dan menyadari kalau gerakannya yang tergesa?gesa menghantam
lentera hingga jatuh. Ruangan itu meledak terbakar; api melahap tubuh Shigeru, Naomi, Kenji...
Takeo terbangun, bau terbakar menyesak?kan cuping hidungnya, hujan sudah me?merciki
tenda, kilat menghanguskan per?kemahan, cahaya terangnya yang mengeri?kan, halilintar memecah
langit.* Setelah Takeo memotong tali pengikat, kirin terus berlari melintasi lembah, namun kaki?nya
tidak cocok dengan permukaan tanah yang berbatu, dan segera saja langkahnya melambat,
berjalan terpincang-pincang. Keributan di belakangnya membuatnya panik, namun di depannya
nampak sosok manusia dan kuda yang tidak dikenalnya. Sadar kalau orang dan kuda yang sayang padanya
masih di belakang, hewan itu menunggu dengan kesabaran dan ke?patuhannya yang biasa.
Shigeko dan Gemba menemukannya di sana, lalu membawanya ke perkemahan. Shigeko diam
tanpa bicara saat melepas pelana Ashige, mengencangkan tali di barisan kuda. Gemba mengambil
rumput kering dan air. Mereka dikelilingi prajurit dari per?kemahan yang ingin mengetahui tentang pertarungan tadi,
tapi Gemba menghalau mereka. Dia mengatakan bahwa Kahei harus diberitahu lebih dulu, dan bahwa Lord Otori ada
di belakang mereka. Shigeko melihat ayahnya berkuda me?masuki perkemahan. Si gadis Muto, Mai, di belakang
ayahnya dan Hiroshi di samping?nya. Sesaat ia merasa mereka berdua seperti orang yang berbeda:
berlumuran darah, kejam, ekspresi kemarahan sisa pertempuran masih tergambar di wajah
mereka. Ekspresi wajah Mai pun sama, membuat figurnya kelihatan maskulin. Hiroshi yang pertama
turun dari kuda dan mengulurkan kedua tangannya untuk mengangkat gadis itu turun dari punggung
Tenba. Setelah itu Takeo turun dan menyapa Kahei, Hiroshi mengambil tali kekang kedua kuda itu,
tapi kemudian berdiri sebentar untuk berbicara dengan Mai.
Shigeko berharap ia memiliki pendengaran tajam agar tahu apa yang sedang mereka
bicarakan, kemudian mencaci dirinya sendiri karena merasa cemburu. Perasaan itu menodai rasa lega
karena temyata ayahnya dan Hiroshi tidak terluka.
Tenba mencium bau kirin dan meringkik keras. Hiroshi melihat ke arahnya dan
Shigeko melihat ekspresi laki-laki yang sangat dikenalnya.
Aku mencintainya, pikir Shigeko. Aku hanya akan menikah dengannya.
Hiroshi mengucapkan selamat tinggal kepada Mai lalu membawa kedua kuda menuju barisan
kuda, mengikat kuda miliknya, Keri, di samping Ashige, dan Tenba di sebelah kirin.
Halaman 691 dari 691 "Mereka semua bahagia sekarang," ujar Shigeko, saat hewan-hewan itu makan dan minum.
"Mereka punya makanan, punya teman, dan sudah lupa peristiwa mengerikan hari ini... Mereka tidak
tahu apa yang menanti besok."
Gemba meninggalkan mereka, mengata?kan kalau dia perlu menghabiskan waktu seorang diri.
"Dia pergi untuk menguatkan dirinya dengan Ajaran Houou," ujar Shigeko. "Aku harus
melakukan hal yang sama. Tapi aku merasa telah mengkhianati semua yang telah diajarkan para Guru Besar."
Ia memalingkan wajah, seketika air mata terasa menusuk kelopak matanya.
"Aku tak tahu apakah hari ini aku telah membunuh," ujarnya pelan. "Tapi panahku
mengena banyak orang. Bidikanku tepat kena sasaran: tak satu pun anak panah yang meleset.
Aku tidak ingin menyakiti anjing?anjing itu, namun aku ingin menyakiti orang-orang itu. Aku
merasa gembira saat darah mereka menyembur. Berapa banyak dari mereka yang sudah mati
sekarang?" "Aku juga membunuh," tutur Hiroshi. "Aku dilatih semasa kecil untuk hal ini, dan sudah
terbiasa. Namun kini, setelah kejadian itu, aku merasakan penyesalan dan kesedihan. Aku tidak tahu
bagaimana lagi cara untuk tetap setia pada ayahmu, kepada Tiga Negara, atau melakukan
semampuku untuk melindungi ayahmu juga dirimu."
Setelah berhenti sejenak, Hiroshi lalu menambahkan, "Besok pasti lebih buruk lagi.
Pertarungan kecil ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pertempuran yang akan terjadi nanti.
Seharusnya kau tidak terlibat. Aku tak bisa meninggalkan ayahmu, tapi biar kusarankan agar Gemba
membawa?mu pergi. Kau bisa membawa kirin. Kembalilah ke Inuyama, ke tempat bibimu."
"Aku juga tak ingin meninggalkan Ayah," ujar Shigeko, dan tidak kuasa menambahkan, "Juga
Lord Hiroshi." Dirasakan pipinya
merona merah lalu berkata, "Apa yang kau bicarakan dengan gadis itu tadi?"
"Gadis Muto itu" Aku berterima kasih padanya karena membantu kita lagi. Aku sungguhsungguh
berterima kasih padanya karena membawa kabar tentang kematian Taku, juga karena telah
bertempur bersama kita hari ini."
"Oh! Tentu saja," sahut Shigeko, dan memalingkan wajah ke arah kirin untuk menyembunyikan
rasa bingungnya. Ia ingin dipeluk pemuda itu; takut kalau mereka akan mati tanpa sempat
menyatakan cinta. Namun ia tak tahu bagaimana mengatakan saat dikelilingi prajurit, pengurus kuda, dan
saat masa depan mereka kian tak menentu"
Kuda-kuda sudah selesai diurus: tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk berdiri di sana lebih
lama lagi. "Mari berjalan-jalan sebentar," ajak Shigeko. "Kita harus melihat medan perang, lalu menemui
ayahku." Hari masih terang, jauh di ufuk barat pancaran terakhir sinar matahari menyebar keluar dari
balik awan tebal. Langit di antara tempat perlindungan mereka yang berwarna abu-abu tua,
berwama abuabu pucat. Bulan masih tinggi perlahan berwarna keperakan.
Shigeko tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Akhirnya Hiroshi bicara, "Lady Shigeko,"
ujarnya. "Satu-satunya kecemasan?ku saat ini adalah keselamatanmu." Nampak?nya Hiroshi
pun berusaha mengungkapkan perasaannya. "Kau harus tetap hidup, demi nasib seluruh negeri."
"Kau sudah seperti kakakku," tuturnya. "Tidak ada orang lain yang lebih berarti bagiku
ketimbang dirimu." "Perasaanku padamu jauh melebihi perasaan kakak terhadap adiknya. Aku tak?kan
mengucapkannya padamu, namun kenyataan kalau salah satu dari kita mungkin mati besok. Kau adalah
perempuan paling sempurna yang pernah kukenal. Aku tahu derajat dan kedudukan menempatkan dirimu
jauh di atas diriku, tapi aku tak bisa mencintai atau menikah dengan orang lain selain dirimu."
Shigeko tak kuasa menahan diri untuk tersenyum. Kata-kata Hiroshi menghalau kesedihannya,
memenuhi dirinya dengan rasa gembira serta keberanian.
Halaman 692 dari 692 "Hiroshi," ujarnya. "Mari kita menikah, akan kubujuk orangtuaku. Saat ini aku tak
lagi merasa wajib menjadi istri Lord Saga karena dia telah memperlakukan ayahku dengan
kejam. Seumur hidup, aku senantiasa berusaha mematuhi orangtuaku dan ber?tindak dengan benar.
Tapi kini kulihat ternyata, saat menghadapi kematian, ada hal lain yang lebih penting. Kedua
orangtuaku mengutamakan cinta di atas kewajiban pada orangtua mereka; mengapa aku tidak boleh
melakukan hal yang sama?" "Aku tidak bisa melakukan apa yang ber?tentangan dengan keinginan ayahmu," sahut Hiroshi,
dengan penuh perasaan. "Namun mengetahui bahwa kau merasakan apa yang kurasakan telah
memuaskan semua keinginanku."
Tidak semuanya, kuharap! Shigeko berani berpikir demikian saat mereka berpisah.
Shigeko ingin segera menemui ayahnya, namun ia menahan diri. Setelah mandi dan makan, ia
diberitahu kalau ayahnya sudah tidur. Satu tenda terpisah didirikan untuknya, lalu ia duduk
sendirian dalam waktu yang lama, berusaha mengatur pikirannya dan mengobarkan kembali api yang
tenang dan kuat dari Ajaran Houou dalam dirinya. Namun semua usahanya kalah
oleh kenangan yang melintas di benaknya" jeritan dalam pertempuran, bau darah, desing
anak panah"dan wajah serta suara Hiroshi.
Shigeko tertidur sebentar dan terbangun oleh gemuruh halilintar dan percikan air hujan.
Terdengar olehnya perkemahan meledak dalam kesibukan di sekelilingnya, dan melompat bangun,
cepat-cepat mengenakan pakaian berkuda yang dikenakannya kemarin. Semuanya mulai basah, jarinya
terasa licin. "Lady Maruyama!" seorang perempuan berseru memanggil dari luar, dan Mai masuk ke tenda
membawa teh dan nasi dingin. Sementara Shigeko makan dengan cepat, Mai menghilang lagi.
Saat kembali, gadis itu membawa perisai pelindung dada kecil terbuat dari kulit dan besi serta
helm. "Ayah Anda mengirimkan ini," ujarnya. "Anda harus segera bersiap, juga kuda Anda, lalu pergi
menemui beliau. Mari kubantu Anda."
Shigeko merasakan bobot asing perisai dada itu. Rambutnya tersangkut saat benda itu diikat
talinya. "Ikat rambutku," ujarnya pada Mai; lalu diambil pedang dan mengencangkannya di sabuknya.
Mai menaruh topi baja di kepala Shigeko lalu
mengikatkan talinya. Hujan turun dengan deras, tapi langit tampak kian pucat. Matahari hampir terbit. Shigeko
bergegas menuju barisan kuda, melewati siraman hujan bak tirai baja abu?abu. Takeo sudah
mengenakan baju zirah, Jato di sampingnya, menunggu kedatangan Hiroshi dan pengurus kuda menyelesaikan
memakaikan pelana pada kuda.
"Shigeko," panggilnya tanpa tersenyum. "Hiroshi memohon agar mengirimmu pergi, tapi
sebenarnya Ayah membutuhkan semua orang yang ada. Saat ini terlalu basah untuk menggunakan senjata
api, dan Saga tahu ini. Ayah yakin dia takkan menunggu hujan reda untuk menyerang. Ayah
membutuhkan kau dan Gemba, karena kalian berdua adalah pemanah yang baik."
"Aku senang," sahutnya. "Aku tak ingin meninggalkan Ayah. Aku ingin bertempur di samping
Ayah." "Tetaplah bersama Gemba," ujar Takeo. "Bila kekalahan tak terhindar, dia yang akan
menyelamatkanmu." "Aku akan mencabut nyawaku lebih dulu," hardik Shigeko.
"Tidak, putriku, kau harus hidup. Jika kita
kalah, kau harus menikah dengan Saga, dan mempertahankan negara dan rakyat kita sebagai
istrinya." "Dan kalau kita menang?"
Halaman 693 dari 693 "Maka kau bisa menikah dengan orang pilihanmu," sahut Takeo, matanya berkerut melirik ke
arah Hiroshi. "Aku akan pegang janji Ayah," sahutnya ringan, selagi mereka berdua naik ke punggung kuda.
Takeo berkuda bersama Hiroshi menuju bagian tengah tanah datar, tempat pasukan berkuda
berkumpul, dan Shigeko mengikuti Gemba menuju sisi sebelah utara, tempat pasukan pejalan
kaki, pemanah dan pasukan ber-senjata tombak berujung tajam dan tombak berkapak tengah
mengatur

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

posisi. Mereka berjumlah beberapa ribu orang, para pemanah diatur dalam dua tingkat, karena Kahei
telah melatih seni tembakan alternatif hingga hujan panah seperti sambung menyambung. Andai
keadaan tidak basah, mereka pasti melakukan hal yang sama untuk senjata api.
"Saga menduga kita hanya berkonsentrasi pada senjata api," tutur Gemba. "Dia tak menduga
kalau kekuatan pemanah kita sama
hebatnya dengan pasukannya. Dia terkejut saat pertandingan berburu anjing itu
ber?langsung, tapi tidak belajar dari kejadian itu. Kini dia akan sama terkejutnya seperti saat itu."
"Kita harus tetap di sini," tambahnya, "bahkan saat pasukan bergerak memutar dan maju.
Ayahmu ingin agar kita membidik dengan hari-hati dan menyerang pemimpin mereka. Jangan siasiakan
sebatang anak panah pun."
Mulut Shigeko terasa kering. "Lord Gemba," panggilnya. "Bagaimana bisa terjadi seperti ini"
Bagaimana kita bisa gagal menyelesaikan masalah dengan damai?"
"Ketika keseimbangan hilang dan kekuatan laki-laki mendominasi, perang tidak bisa dihindari,"
sahut Gemba. "Beberapa luka telah diatasi oleh kekuatan perempuan, tapi aku tak tahu apa itu.
Sudah takdir kita untuk berada di sini, takdir yang mengharuskan kita membunuh atau ter?bunuh.
Kita harus merangkulnya dengan segala kejernihan pikiran, dengan sepenuh hati, bahwa sebenarnya kita
tidak meng?inginkan atau pun mencarinya."
Shigeko mendengarkan kata-kata ini, tapi
nyaris tak bisa mengingatnya, perhatiannya dipusaikan pada pemandangan di depannya saat
matahari semakin terang: warna merah dan emas baju zirah serta pelana, kuda yang sudah
tak sabar, dan panji-panji Otori, Maruyama, Miyoshi dan klan lain dari Tiga Negara.
Kemudian, dalam jumlah yang luar biasa besar, bak semut yang terganggu keluar dari sarang,
gelombang pertama pasukan Saga mengalir melewati perbatasan.*
Perang Takahara berlangsung lebih dari tiga hari di tengah badai yang disertai kilat dan petir.
Perang berlangsung tiada henti dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Malam harinya para
prajurit merawat luka dan membersihkan medan perang dari anak panah yang berserakan. Jumlah
pasukan Saga Hideki lebih besar tiga berbanding satu dengan pasukan Takeo, tapi jenderal Kaisar itu
dirintangi oleh sempitnya jalur menuju dataran. dan posisi Takeo yang lebih meng?untungkan.
Selagi pasukan Saga merangsek memasuki dataran, mereka dihujani anak panah dari kanan; prajurit
yang selamat dari panah dihadang oleh pasukan utama Otori, pertama dihadang pasukan berkuda
yang menggunakan pedang kemudian oleh prajurit pejalan kaki.
Inilah perang paling brutal yang pernah Takeo alami, perang yang berusaha ia hindari. Pasukan
Saga sangat disiplin dan luar biasa terlatih. Mereka telah menakluk
kan wilayah wilayah di utara; berharap dianugerahi harta rampasan dari Tiga Negara;
berperang dengan restu Kaisar. Halaman 694 dari 694 Sebaliknya, pasukan Takeo tidak hanya berperang demi nyawa mereka, tapi juga demi negara,
kampung halaman, istri dan anak-anak serta tanah mereka.
Miyoshi Kahei sudah bertempur bersama pasukan Otori sejak perang Yaegahara saat berusia
empat belas tahun, hampir tiga puluh tahun lalu. Klan Otori menderita kekalahan besar, sebagian
disebabkan oleh peng?khianatan para pemimpin distrik. Kahei tak pernah lupa masa-masa
yang terjadi setelah itu: penghinaan atas ksatria, penderitaan rakyat di bawah penguasa Iida
Sadamu. Ia bertekad untuk tidak hidup dengan kekalahan seperti itu lagi. Keyakinannya bahwa Saga
takkan bisa menang menguatkan tekad pasukannya.
Sama pentingnya, persiapan Kahei dilaku?kan dengan sangat teliti dan penuh pe?rencanaan.
Ia telah merencanakan operasi militer ini sejak musim semi, serta mengatur pengangkutan persediaan
dan senjata dari Inuyama. Dia sudah tak sabar selama berbulan-bulan, ingin menghadapi ancaman
atas pemerintahan Takeo. Kini akhirnya perang sudah dimulai, semangatnya ber?kobar: hujan
tak bisa dihindari, karena sebenarnya dia ingin pasukannya meng?gunakan senjata api. namun
ada yang luar biasa dengan senjata tradisional: busur panah dan pedang, tombak runcing dan tombak
berkapak. Panji-panji klan basah karena lembap; tanah di bawah kaki dengan cepat berubah menjadi
lumpur. Kahei menyaksikan dari lereng, kuda merah bata miliknya siap di sampingnya. Minoru, si
juratulis, duduk di dekatnya bernaung di bawah payung, berusaha keras namun sia-sia menjaga agar
tulisannya tetap kering serta mencatat semua kejadian. Ketika serangan pertama pasukan
Saga dipukul mundur dan dihalau kembali ke jalur perbatasan, Kahei melompat ke kuda lalu
bergabung dalam pengejaran itu, pedangnya mencincang dan menyabet punggung prajurit yang tengah
melarikan diri. Di pagi di hari kedua, pasukan berkuda Saga kembali melewati jalur sempit sebelum hari
terang, menyebar untuk mengecoh pasukan pemanah ke utara dan mengitari sebelah selatan dari
pasukan utama Kahei. Takeo tidak tidur selain menyaksikan semalaman, mendengarkan suara pertama
kegiatan dari musuh. Didengarnya langkah kuda, meski?pun kaki mereka dibungkus jerami,
keriat?keriut dan gemerincing pelana serta senjata. Pemanah sebelah utara menembak
membabi?buta, dan hujan anak panah kurang efektif dibandingkan hari sebelumnya.
Semuanya basah kuyup"makanan, senjata, dan pakaian.
Ketika hari terang, perang sudah ber?langsung lama, dan cahaya matahari yang baru terbit
menerangi pertunjukan yang menyedihkan itu. Di bagian paling timur, pasukan pemanah
terjebak dalam per-tarungan satu lawan satu dengan pasukan Saga. Takeo tak berhasil melihat seorang
pun dengan jelas di tengah pertempuran sengit itu, meski lencana setiap kelompok prajurit
pejalan kaki bisa terlihat samar di bawah guyuran hujan. Segera dilihatnya kalau sisi kanannya dalam
ancaman, dan tidak mendapat bantuan apa pun. Ia segera ber?kuda untuk membantu mereka dengan Jato di
tangan. Tenba gemetaran penuh semangat. Seakan tak lagi memiliki rasa menyesal, ia bergerak
memasuki kekejaman pertempuran. Ia melihat, setengah sadar, kalau Okuda berada tidak jauh di
sebelah kanannya. Ia menggerakkan Tenba ke samping untuk menghindari tikaman pedang ke arah
kakinya, membelokkan kuda itu menghadapi si penyerang lalu menunduk menatap mata putra Okuda,
Tadayoshi. Bocah itu terjatuh dari kuda dan kehilangan topi bajanya, serta terkepung sewaktu berusaha
membela diri dengan gagah berani. Bocah itu mengenali Takeo dan ber?teriak memanggil; Takeo
mendengar suaranya dengan jelas di tengah gemuruhnya pertempuran. "Lord Otori!"
Ia tidak pernah tahu apakah itu seruan menantang atau seruan minta tolong karena Jato
sudah turun ke tempurung kepalanya dan membelahnya. Tadayoshi mati seketika itu juga.
Kini Takeo mendengar jerit kemarahan dan kesedihan, dan melihat ayah bocah itu tengah
berkuda ke arahnya, pedang di kedua Halaman 695 dari 695 tangannya. Takeo merasa tidak tenang dengan kematian Tadayoshi, dan tidak siap. Saat itu
Tenba tersandung, dan Takeo agak tergelincir dari pelananya, terjatuh ke depan, berusaha
mencengkeram surai dengan tangan kanannya yang cacat. Tersandungnya Tenba membuat serangan Okuda
agak berbelok, tapi Takeo masih bisa merasakan akibatnya karena ujung pedang Okuda mengenai
bagian atas lengannya sampai ke bahu. Kuda Okuda terus berderap, memberi waktu bagi Takeo dan
Tenba memulihkan diri; ia tidak merasa sakit dan mengira kalau ia tak terluka. Okuda membelokkan
kuda lalu kembali menghampiri Takeo, jalannya dihalangi oleh kerumunan prajurit. Namun Okuda
tidak mengacuhkan mereka semua, pandanganya hanya tertuju kepada Takeo. Amukan laki?laki itu
membakar amarah lama dalam diri Takeo, dan membiarkan kobarannya kian membara karena
perasaan itu menghangus?kan penyesalan; Jato menanggapi dan menemukan titik tak
terlindungi di leher Okuda. Gerakan yang cepat dan kuat laki?laki itu justru membawa Jato menembus ke
dalam daging dan pembuluh darahnya.
*** Masih di hari kedua, Hiroshi dan pasukan?nya mendesak pasukan Saga kembali ke jalur sempit
dalam serangan balasan; Kahei memulai gerakan mengepung lalu menjepit yang bisa
menjebak pasukan musuh untuk mundur. Keberadaan sepupunya, Sakai Masaki, di belakangnya membuat
Hiroshi teringat perjalanan di tengah hujan seperti ini bersama sepupunya itu saat berusia
sepuluh tahun. Di usia itu, perang merupakan hal yang sangat diinginkannya, namun jalan yang
diikutinya sekarang adalah jalan kedamaian, Ajaran Houou. Kini dirasa?kannya semua darah yang
mengalir dari nenek moyangnya menggelegak dalam pem?buluh darahnya. Dibuangnya jauh-jauh semua
pikiran lain dan berkonsentrasi pada pertarungan, membunuh, menang, karena masa depannya
bergantung pada ke?menangan. Bila kalah dalam perang ini, ia merasa lebih baik terbunuh atau
mencabut nyawanya sendiri. Hiroshi bertarung dengan kemarahan yang ia tidak tahu kalau ia
memilikinya, memengaruhi semangat pasukan di sekitarnya, mendesak lawan
kembali ke jalur sempit, tempat mereka terjebak di jalan yang menyempit.
Tak bisa kemana-mana, pasukan Saga makin putus asa. Dalam salah satu desakan balasan, Keri
tumbang, darah menyembur dari leher dan bahunya. Hiroshi menemukan dirinya bertarung
melawan dua prajurit tanpa kuda. Lumpur menyulitkan dirinya untuk menjejakkan kaki dan jatuh
dengan satu lutut, berpaling selagi pedang meng?hampirinya dan terus menangkis dengan pedangnya ke
atas. Pedang kedua turun ke arahnya: dilihatnya Sakai menghempaskan badan di balik hujaman
pedang itu; darah, darahnya sendiri atau darah Sakai, mem?butakan matanya. Bobot tubuh Sakai
menahan tubuhnya berada di dalam lumpur saat pasukan yang bertempur menginjak?injak melewati
mereka. Sesaat Hiroshi tak bisa percaya kalau beginilah akhirnya, lalu rasa sakit menyelimuti dirinya,
meneng?gelamkan dirinya. Gemba menemukannya saat malam, sekarat karena kehilangan banyak darah dengan luka
sayatan di kepala dan kaki. Luka-lukanya sudah ditutupi lumpur. Gemba menghentikan aliran darah serta
membersihkannya sebisa mungkin, lalu menggendong Hiroshi kembali ke belakang barisan
untuk bergabung dengan prajurit yang terluka. Takeo berada di antara mereka, bahu dan lengannya
tersayat cukup dalam, namun tidak berbahaya, sudah dibersihkan dan dibalut dengan perban
kertas. Shigeko tidak terluka, wajahnya pucat kelelahan.
Gemba berkata, "Aku menemukannya. Dia sekarat. Sakai tewas tergeletak di atas tubuhnya.
Sakai pasti telah menyelamatkan Hiroshi."
Dibaringkannya pemuda yang terluka itu di bawah. Lentera telah dinyalakan, tapi berasap di
tengah hujan. Takeo berlutut di samping Hiroshi, meraih tangannya dan berseru memanggilnya.
"Hiroshit Kawanku! Jangan tinggalkan kami. Berjuanglah! Ber?juanglah!"
Mata Hiroshi mengerjap-ngerjap. Napas?nya terengah-engah; kulitnya basah oleh keringat
bercampur air hujan. Shigeko berlutut di samping ayahnya. "Dia tak mungkin sekarat! Dia tak boleh mati!"
"Dia berhasil bertahan sampai sejauh ini,"
Halaman 696 dari 696 ujar Gemba. "Bisa kau lihat betapa kuatnya dia."
"Jika dia bisa melewati malam ini, berarti masih ada harapan," sahut Takeo setuju. "Jangan
putus asa. " "Betapa mengerikan semua ini," bisik Shigeko. "Alangkah tidak termaafkan mem?bunuh
orang." "Begitulah jalan hidup ksatria," ujar Gemba. "Ksatria bertarung lalu mati."
Shigeko tak menjawab, namun air mata bercucuran dengan deras dari matanya.
"Sampai berapa lama lagi Saga akan bertahan seperti ini?" tanya Kahei pada Takeo malam itu,
sebelum mereka menggunakan kesempatan istirahat singkat untuk tidur. "Ini benar-benar gila.
Dia mengorbankan anak buahnya tanpa tujuan."
"Dia adalah orang dengan kebanggaan yang tinggi," sahut Takeo. "Dia tidak pernah kalah
sehingga dia tidak akan mengakui pemikiran semacam itu."
"Bagaimana kita bisa membujuknya" Kita bisa saja menahan serangannya tanpa waktu yang
pasti" kuharap kau terkesan dengan para prajuritmu; menurutku mereka sangat luar biasa"tapi kita
tak bisa menghindari besarnya korban. Semakin cepat kita bisa mengakhiri perang, semakin besar peluang kita
menyelamatkan yang terluka."
"Seperti Sugita yang malang," imbuhnya. "Dan kau juga, tentunya. Demam karena luka tak
bisa dihindari dalam kondisi buruk seperti ini, tanpa sinar matahari untuk mengeringkan dan
menyembuhkan. Kau harus beristirahat besok; menjauhlah dari medan perang."
"Lukanya tidak parah," sahut Takeo, meski rasa sakit semakin terasa sepanjang hari ini.
"Beruntung aku sudah terbiasa memakai tangan kiri. Aku takkan menjauh dari perang"tidak sebelum Saga
mati atau kembali ke ibukota!"
*** Shigeko menjaga Hiroshi semalaman, memandikannya dengan air dingin, berusaha
menurunkan panas demamnya. Hiroshi masih hidup hingga pagi hari, tapi tubuhnya menggigil kencang
sekali, dan Shigeko tak menemukan satu pun benda kering yang bisa menghangatkannya. Diseduhnya teh
dan berusaha membuat pemuda itu meminum


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya: Shigeko tercabik antara tetap menjaga Hiroshi atau kembali ke posisinya di samping
Gemba untuk melawan serangan Saga selanjutnya. Tempat berlindung dari batang kayu yang didirikan
untuk mereka yang terluka terus meneteskan air hujan; tanah di bawah mereka becek dengan air
hujan. Mai sudah menghabiskan waktu siang dan malam di sana, dan Shigeko memanggilnya. "Apa yang
harus kulakukan?" Mai berjongkok di samping Hiroshi dan meraba dahinya. "Ah, dia kedinginan," ujarnya.
"Beginilah cara kami meng?hangatkan orang sakit di Tribe." Mai ber?baring dan mendempetkan tubuhnya ke
tubuh Hiroshi. "Berbaringlah di sebelah sana," pcrintahnya, dan Shigeko melakukan?nya, merasakan
kehangatan tubuhnya menyebar ke tubuh Hiroshi. Kedua gadis itu mengapit pemuda itu tanpa
bicara sampai suhu tubuhnya mulai naik lagi.
"Dan begitulah kami menyembuhkan luka," ujar Mai pelan, lalu menyingkirkan perban Gemba,
menjilat pinggiran luka yang menganga dengan lidah lalu meludahkan air liurnya ke luka
tersebut. Shigeko mengulangi gerakan yang sama, merasakan darah pemuda
itu. Mai berkata, "Dia sekarat!"
"Tidak!" sahut Shigeko. "Beraninya kau mengatakan begitu!"
Halaman 697 dari 697 "Dia perlu dirawat dengan benar. Kita tak bisa melakukannya siang dan malam. Kau harus
bertempur, dan aku harus merawat mereka yang lebih berpeluang hidup."
"Bagaimana cara kita menghentikan perang ini?"
"Laki-laki memang suka bertarung," ujar Mai. "Tapi bahkan laki-laki paling kejam sekalipun
akan kelelahan, terutama jika mereka terluka." Mai menatap Hiroshi lalu menatap Shigeko. "Sakiti
si Saga itu, maka dia akan kehilangan selera perangnya. Sakiti dia separah luka yang Hiroshi derita
maka dia akan lari tunggang langgang mencari tabib di Miyako."
Shigeko berkata, "Bagaimana cara men?dekatinya" Dia tidak muncul di medan perang, dia
hanya mengarahkan pasukan dari jauh."
"Aku akan menemukan caranya untuk Anda," ujar Mai. "Kenakan pakaian berwarna coklat
seperti warna lumpur dan siapkan busur dan anak panah yang paling
mematikan. Tidak banyak yang bisa kau lakukan untuk Lord Hiroshi," imbuhnya saat Shigeko
raguragu. "Dia sudah berada di tangan para dewa."
Shigeko mengikuti semua petunjuk Mai, membungkus kepala dan lehernya dengan sehelai kain
lebar lalu mencorengkan lumpur di dahi dan pipinya agar tidak dikenali, Diambilnya busur yang
digunakannya untuk bertempur, mengencangkan talinya dan menemukan sepuluh anak panah
baru, ujung anak panah terbuat dari besi bermata satu, dibului dengan bulu elang. Ditaruhnya
semua anak panah ini ke dalam tabung. Sementara menunggu Mai kembali, Shigeko duduk di samping
Hiroshi, dan sesekali membasuh wajahnya dan memberinya minum karena saat ini dia terserang
demam lagi. Shigeko berusaha menenangkan pikiran seperti yang pernah diajarkan kepadanya di Terayama,
oleh Hiroshi dan Guru Besar lainnya.
Guruku yang terhormat, temanku sayang, panggilnya dalam hati kepada Hiroshi. Jangan
tinggalkan aku! Perang berlanjut dengan lebih kejam lagi, membawa teriakan-teriakan yang membuat
gila, jeritan mereka yang terluka, dentingan baja, derap kaki kuda, tapi ada semacam
kesunyian menyelimuti diri mereka berdua, dan Shigeko merasakan jiwa mereka saling bertaut.
Dia takkan meninggalkanku, pikirnya, dan seketika itu juga pergi ke tendanya lalu
mengeluarkan busur kecil dan anak panah dengan bulu burung houou miliknya: menje?jalkan semua ini ke
dalam jubahnya, sementara disan-dangnya busur yang lebih besar di bahu kiri, tabung anak panah di
bahu kanannya. Saat kembali ke tempat Hiroshi, Mai sudah kembali.
"Kau darimana?" tanya gadis itu. "Kukira kau sudah kembali bertempur. Mari, ber?gegaslah."
Shigeko bertanya dalam hati apakah perlu memberitahukan Gemba kemana ia akan pergi.
Ketika tiba di puncak lereng dan melihat pemandangan di medan perang, disadarinya kalau ia takkan bisa
menemukan gurunya itu. Strategi Saga kini tampaknya bisa mengungguli Otori dengan
kekuatan jumlah pasukan yang lebih besar. Pasukan barunya masih segar dan telah beristirahat,
sementara pasukan Otori sudah bertempur selama dua hari.
Berapa lama lagi mereka bisa bertahan" tanyanya pada dirinya sendiri selagi mengikuti Mai
mengitari sisi selatan tanah datar. Perasaannya sudah mati rasa melihat begitu banyak orang yang
tewas. Pasukan Otori sudah membawa korban tewas dan terluka dari pihak mereka ke garis belakang,
tapi pasukan Saga tergeletak di tempat mereka jatuh. Kuda-kuda yang terluka berusaha bangkit;
segerombolan kecil kuda menderap, sesekali berhenti dan terpincang?pincang, berjalan ke
barat daya, tali kekang mereka yang putus bergelantungan terseret di lumpur. Mengurus mereka
sebentar, Shigeko melihat kuda-kuda itu berhenti tepat di depan kemah Otori. Mereka menundukkan
kepala dan mulai makan rumput, seolah berada di padang rumput, terasing dan jauh dari medan perang.
Agak di belakang mereka tampak kirin. Shigeko hampir tak memikir?kannya selama dua hari ini: tidak
ada yang punya waktu untuk membangun kandang baginya; hewan itu diikat dengan tali kekang ke
barisan kuda. Kirin terlihat menyedihkan dan merana karena sendirian serta makin
Halaman 698 dari 698 kurus di bawah siraman hujan. Sanggupkah hewan itu bertahan melewati cobaan berat ini dan
perjalanan panjang kembali ke Negara Tengah" Rasa iba pada hewan itu meng?hunjam
hatinya, begitu kesepian dan jauh dari rumahnya.
Kedua gadis itu berjalan melewati belakang bebatuan dan tebing yang mengelilingi tanah
datar. Di sini suara per?tempuran agak berkurang. Di sekeliling mereka menjulang puncak-puncak Gugusan
Awan Tinggi, menghilang ditelan kabut yang bergelayut bak gumpalan sutra yang belum dipilin.
Tanahnya berbatu dan licin; kerap?kali mereka harus merangkak di bebatuan besar. Kadang Mai berjalan
di depan, mem?beri isyarat kepada Shigeko untuk menunggu. Shigeko meringkuk bernaung di
bawah tonjolan batu besar yang meneteskan air hujan selama waktu yang dirasakan bak seumur
hidupnya. Ia merasa seakan telah tewas dan sekarang sudah menjadi hantu, berkeliaran di antara dua
dunia. Mai kembali keluar dari kabut bak hantu, diam tanpa suara, dan memimpin untuk berjalan
terus. Akhirnya mereka tiba di batu besar dan memanjat sisi sebelah selatan. Dua
batang pohon pinus kerdil melekat di puncak batu itu, akar kedua pohon yang melingkar dan
berbentuk aneh membentuk semacam kisi-kisi yang alami.
"Tetap menunduk," bisik Mai; Shigeko menggeliat bergeser hingga ke posisi tempat ia bisa
melihat di sela-sela akar ke arah timur, dan pintu masuk ke jalur sempit. Shigeko menahan napas dan
menyejajarkan tubuhnya dengan bebatuan. Saga berada tepat di arah depan mereka,
bertengger di tebing yang curam, tempat laki-laki itu mendapatkan pandangan bak burung rajawali ke
medan perang di bawahnya. Saga duduk di bangku kecil mewah berlapis pernis dan dinaungi payung
besar. Dia bersenjata lengkap dengan pakaian warna hitam dan emas, topi bajanya berhiaskan dua
puncak emas, seperti gunung?gunung di panji-panji hitam putih yang berkibar-kibar di sampingnya.
Beberapa perwira yang sama cemerlang dan bersih dengan dirinya walaupun hujan, berdiri
mengelilinginya, bersama dengan peniup terompet perang dan kurir yang siap mem?bawa pesan. Tepat di
belakangnya, serang?kaian tonjolan bebatuan yang terjatuh mem?bentuk anak tangga alami
menurun ke jalur sempit. Shigeko melihat beberapa orang melompat naik turun di anak tangga itu, melaporkan
perkembangan perang. Ia bahkan bisa mendengar suara Saga, mencermati suaranya yang
penuh kemarahan. Shigeko mengintip lagi dan melihat laki-laki itu berdiri, berteriak dan
menggerakkan tangan dengan kipas perang besi di tangannya. Para perwiranya mundur selangkah dari
kemarahan besar itu, dan beberapa di antara mereka segera bergegas menuruni anak tangga batu untuk
masuk ke kancah peperangan. Mai bemapas di telinganya, "Sekarang, saat dia berdiri. Kau hanya memiliki satu kesempatan."
Shigeko menarik napas dalam-dalam dan berpikir di sela setiap gerakannya. Akan
digunakannya pohon pinus terdekat untuk menopang kakinya. Dia akan melangkah di bawah batang
togoknya: permukaan bebatuan pasti licin, hingga ia harus mem?pertahankan keseimbangan saat
menarik busur dari bahu dan anak panah dari tabung. Gerakan ini telah diterapkannya ribuan kali
selama dua hari terakhir, dan bidikannya belum pernah meleset.
Shigeko melihat sekali lagi dan memerhati?kan titik kelemahan orang itu. Wajah terlihat
jelas, tatapan matanya kejam, dan terlihat jelas kulit leher yang lebih putih.
Shigeko berdiri: busur meregang; anak panah tepat sasaran; hujan memercik di sekelilingnya.
Saga melihat ke arahnya, ter?duduk dengan susah payah; orang di belakangnya memegang eraterat dada
Saga di mana anak panah melubangi perisai dadanya. Terdengar jerit kaget dan terguncang,
dan kini mereka membidiknya; satu anak panah melesat melewatinya, menghantam pohon pinus dan
serpihan kayu terkena wajahnya; satu tembakan lagi meng?hantam batu di kakinya. Dirasakan satu
pukulan tajam, seolah tubuhnya tersandung sebatang tongkat, tapi tidak merasa kesakitan.
"Menunduk!" teriak Mai, namun Shigeko tak bergerak, begitu pula Saga yang tak berhenti
memandangi dirinya. Ditariknya busur yang lebih kecil dari jubahnya dan menaruh sebatang
anak panah di busur itu. Bulu burung houou berkilat keemasan. Aku akan mati, pikirnya, dan
membiarkan anak panah itu melesat ke arah tatapan laki-laki
Halaman 699 dari 699 itu. Saat itu halilintar menyambar, dan udara di sekitar mereka seketika penuh dengan kepakan
sayap. Anak buah Saga yang berada di sekelilingnya menjatuhkan busur dan menutup mata mereka;
hanya Saga yang tetap membuka mata, menatap anak panah itu hingga menembus mata kirinya, dan
darah membutakan matanya. *** Sepanjang pagi Kahei bertarung di bagian sebelah selatan, tempat dia menambah jumlah
pasukan, takut kekuatan pasukan Saga mengepung perkemahan dari sebelah sana.
Terlepas dari kata-katanya yang penuh keyakinan kepada Takeo di malam sebelumnya. kini dia
semakin cemas. Berapa lama prajuritnya yang tidak tidur sanggup dapat bertahan dari
serangan yang seolah takkan berakhir" Dia mengutuk hujan yang menghalangi mereka menggunakan senjata
api, mengingat saat-saat terakhir perang Yaegahara, ketika pasukan Otori, menyadari
pengkhianatan dan kekalahan yang tak bisa dihindari, bertempur dengan putus asa hingga nyaris tak seorang pun tersisa. Ayahnya adalah
salah satu dari sedikit prajurit yang selamat"apakah sejarah keluarga itu akan terulang lagi,
apakah ia pun ditakdirkan kembali ke Hagi dengan membawa berita kekalahan besar"
Ketakutannya semakin membakar tekad?nya untuk meraih kemenangan.
*** Takeo bertarung di tengah, mengingat segala yang pernah Guru ksatria dan Tribe ajarkan
untuk mengalahkan rasa lelah dan rasa sakit, mengagumi tekad dan disiplin mereka yang berada di
sekelilingnya. Sewaktu pasukan Saga berhasil dipukul mundur, ia menunduk melihat Tenba
terluka sayatan di bagian dada, merahnya darah bercampur bulu yang basah kuyup dengan air hujan.
Sekarang ini, ketika perang berhenti untuk sementara, kuda itu seperti menyadari lukanya,
dan mulai gemetar ketakutan. Takeo turun, memanggil seorang prajurit pejalan kaki untuk membawa
kuda itu ke perkemahan, lalu bersiap untuk menghadapi serangan
berikutnya dengan berjalan kaki.
Sekelompok pasukan berkuda datang dari jalur sempit, kuda-kuda seperti terbang melewati
jalur itu. Pedang-pedang berkilat, menghabisi prajurit pejalan kaki yang mundur ke rintangan yang
telah mereka dirikan saat pemanah di sebelah utara meluncurkan anak panah. Banyak yang tepat
sasaran, tapi Takeo tak tahan memerhatikan kalau jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan hari
sebelumnya, dan per-tempuran itu sedikit demi sedikit mengikis kekuatannya. Seperti Kahei, keyakinannya
pun mulai berkurang. Ada berapa banyak lagi pasukan yang dimiliki Saga" Persediaannya seperti
tidak ada habisnya, dan mereka semua segar dan sudah beristirahat... seperti prajurit berkuda yang
kini hampir mendekatinya. Dengan rasa terkejut dikenali pemimpin?nya adalah Kono. Dilihatnya kuda Maruyama,
hadiahnya kini digunakan untuk melawan dirinya, dan merasakan kemarahan dirinya meluap. Setelah ayah
orang ini nyaris menghancurkan hidupnya; kini sang anak berkomplot melawannya, berbohong
pada?nya, menyanjung sambil menyusun rencana jahat untuk menjatuhkan dirinya. Dipegang
nya Jato dengan erat, mengabaikan rasa sakit dari luka di tangannya, lalu melompat dengan
cekatan ke samping agar si bangsawan berhadapan dengannya di sebelah kirinya.
Tebasan pertamanya yang cepat ke atas mengenai kaki laki-laki itu dan hampir membuatnya
putus:

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kono menjerit, mem?belokkan kuda dan kembali; kini Takeo berada di sebelah kanannya. Saat
menunduk di bawah tebasan pedang, dan hendak menikam pergelangan Kono, terdengar
pedang di sebelahnya mengarah ke arah punggung-nya. Ia berguling menjauh, berusaha agar tidak
terluka dengan pedangnya sendiri. Saat ini kaki-kaki kuda menginjak-injak di sekelilingnya. Takeo
beriuang keras menjejakkan kaki dalam genangan lumpur. Pasukan pejalan kaki miliknya sudah
merangsek ke depan dengan tombak dan tombak runcing; seekor kuda terjatuh berdebam di sam-pingnya,
ter?sungkur dengan kepala lebih dulu, sudah mati, terperosok ke lumpur yang dalam.
Halaman 700 dari 700 Seketika kilat menyala tepat di atas kepala, dan hujan turun makin deras. Di sela-sela deru
hujan, Takeo mendengar suara lain,
musik pelan dan seperti hantu yang menggema di seluruh tanah datar. Sejenak ia tak
memahami artinya. Kemudian kumpulan massa di sekitarnya berkurang. Takeo berdiri, menyeka air hujan
dan lumpur dari matanya dengan tangan kanan.
Kuda Maruyama tadi melewatinya, Kono memegangi surai dengan dua tangan; kakinya masih
menyemburkan darah. Nampaknya laki-laki itu tak memerharikan Takeo; pandangannya
terpaku pada keamanan jalur sempit. Mereka mundur, pikir Takeo tak percaya, selagi suara terompet perang tenggelam dalam
teriakan kemenangan dan pasukan di sekelilingnya mendesak ke depan mengejar musuh yang
melarikan diri.* Para mantan gelandangan, dari desa mereka di Maruyama, berjalan melintasi medan perang
untuk merawat kuda yang terluka serta memakamkan yang tewas. Saat jenazah dibaringkan
berderet, Kahei, Gemba dan Takeo berjalan menyusuri barisannya, mengenali semua yang bisa mereka
kenali, sementara Minoru mencatat nama mereka. Sedangkan pasukan Saga yang tewas dimakamkan
dalam satu kubur di tengah tanah lapang. Menebas kepala tak diijinkan. Tanahnya berbatubatu
sehingga kuburnya pun tidak dalam. Burung gagak telah ber?kumpul, saling memekik dari
tebing yang curam. Malam harinya, rubah berkcliaran mencari mangsa.
Tonggak pagar pancang ditarik dan sebagian disusun menjadi tandu untuk mengangkut korban
lukaluka kembali ke Inuyama. Sisanya digunakan untuk membuat barikade di sepanjang jalur sempit,
dan Sonoda Mitsura serta dua ratus pasukannya
tetap tinggal untuk menjaganya. Di malam hari keesokan harinya, saat korban tewas sudah
dimakamkan, pertahanan sudah ditempatkan dan tidak ada tanda-tanda Saga kembali,
sepertinya perang telah berakhir. Kahei memerintahkan pasukan beristirahat; mereka melepas baju
zirah, meletakkan senjata, dan segera tertidur.
Hujan deras saai Saga Hidcki memerintah?kan pasukannya mundur, kini berubah menjadi
gerimis. Takeo berjalan di antara pasukan yang tertidur sama seperti ketika berjalan di antara korban
tewas sebelumnya. Ia mendengarkan desis lembut rintik air hujan di dedaunan dan bebatuan, percik
air terjun di kejauhan, kicau burung, merasakan butiran embun di wajah dan rambutnya. Seluruh
bagian kanan tubuhnya, dari tumit hingga ke bahu, terasa sakit sekali, dan kelegaan atas
kemenangan tenggelam oleh kesedihan melihat harga yang harus dibayar. Ia tahu kalau para prajurit yang
kelelahan itu hanya bisa tidur sampai matahari terbit, kemudian harus berjalan ke Inuyama,
lalu ke Negara Tengah untuk mencegah Zenko membangun kekuatan di wilayah Barat. Ia amat cemas,
ingin pulang secepatnya; peringatan Gemba tentang peristiwa yang telah mengacaukan keselarasan pemerin?tahannya
kembali menyiksa dirinya. Itu hanya bisa berarti sesuatu telah terjadi pada Kaede...
Hiroshi telah dipindahkan ke dalam tenda Kahei yang menawarkan kenyamanan tertinggi, dan
terlindung dari hujan. Takeo menemukan putrinya di sana, masih mengenakan baju perang,
wajahnya masih berlumuran lumpur, kakinya diperban dengan asal-asalan.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya,
sambil berlutut di samping Hiroshi, memerhatikan wajah pucat dan napasnya yang terputusputus.
"Dia masih hidup," sahut Shigeko dengan suara pelan. "Kurasa dia agak membaik."
"Kita akan membawanya ke Inuyama besok. Tabib Sonoda akan merawatnya."
Halaman 701 dari 701 Takeo bicara dengan yakin, meski sebenarnya ia memperkirakan Hiroshi takkan bertahan
dalam perjalanan. Shigeko meng?angguk tanpa bicara.
"Kau terluka?" tanya Takeo.
"Sebatang anak panah mengenai kakiku. Tidak parah. Aku tak menyadarinya sampai
setelah itu. Aku hampir tak bisa berjalan kembali. Mai yang menggendongku."
Takeo tidak mengerti ucapan putrinya.
Shigeko menatapnya dan berkata dengan cepat, "Mai mengajakku ke tempat Lord Saga. Aku
memanah matanya." Mendadak air mata mengambang di pelupuk matanya. "Dia takkan mau
menikahiku sekarang!" Air matanya seketika berubah menjadi tawa.
"Jadi kami harus berterima kasih padamu atas mundurnya pasukan Saga yang tiba-tiba itu?"
Takeo tak kuasa menahan perasaannya atas hasil yang adil ini. Saga tidak menerima kekalahan
dalam pertandingan, dia mencari konflik: kini Shigeko membuat dia terluka parah, bahkan
mematikan, dan telah memastikan kemenangan mereka.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya, hanya melukai," ujarnya. "Seperti yang selalu kulakukan
selama perang, melumpuhkan tapi tidak membunuh."
"Kau telah melakukan tugasmu dengan luar biasa," sahut Takeo, "Kaulah pewaris sejati Klan
Otori dan Maruyama." Pujian Takeo membuat air matanya berlinang lagi.
"Kau lelah," ujar Takeo.
"Tidak lebih lelah dibandingkan yang lainnya; tidak lebih lelah dibandingkan Ayah. Ayah harus
tidur." "Pasti, segera setelah memeriksa keadaan Tenba. Ayah ingin menungganginya kembali ke
Inuyama. Kahei akan membawa pasukan. Kau dan Gemba harus mendampingi Hiroshi dan korban luka
lainnya. Semoga Tenba siap: bila tidak siap, Ayah akan meninggalkannya bersamamu."
"Dan kirin," ujar Shigeko.
"Ya, bersama kirin yang malang. Hewan itu tidak tahu perjalanan panjang seperti apa yang
menantinya, atau akibat apa yang akan terjadi di negeri ini."
"Ayah jangan berkuda seorang diri. Ajak seseorang. Ajak Gemba. Dan Ayah boleh menunggang
Ashige; aku tidak membutuh?kan kuda."
Awan agak menghilang, dan cahaya redup matahari menyembul saat matahari ter?benam,
pertanda munculnya pelangi di langit. Takeo berharap itu berarti besok akan lebih kering, meski saat ini
hujan sudah mulai turun, dan mungkin akan berlangsung selama berminggu-minggu.
Tenba berdiri di sebelah kirin, kembali ke
bawah rintik hujan, dengan kepala ter?tunduk. Kuda itu meringkik pelan menyapa saat Takeo
menghampiri. Luka di dadanya sudah tertutup dan tampak bersih, tapi kaki kanan kuda itu
agak pincang, walau kakinya kelihatan tidak terluka. Takeo menyimpul?kan kalau otot bahunya
terkilir, membawa kuda itu ke kolam air dan membasuhnya dengan air dingin, tapi Tenba tetap saja
lebih menggunakan kaki kanan belakangnya, dan kemungkinan tak bisa ditunggangi. Kemudi?an
Takeo ingat pada kuda Hiroshi, Keri. Dia tak ada di antara kuda yang masih hidup. Kuda abu-abu
pucat bersurai hitam, anak Raku, pasti tewas, tepat beberapa minggu setelah kematian saudara
tirinya, kuda milik Taku, Ryume. Kuda-kuda itu mencapai usia tujuh belas tahun, usia yang baik, tapi
kematian mereka membuat ia bersedih. Taku telah tiada, Hiroshi di ambang kematian.
Suasana hatinya murung saat kembali ke tenda. Di dalam tampak redup, cahayanya memudar. Shigeko
sudah tertidur di samping Hiroshi, wajahnya dekat dengan wajah pemuda itu. Seperti pasangan
suami istri. Takeo menatap dengan penuh kasih sayang. "Sekarang kau boleh menikahi laki
Halaman 702 dari 702 laki pilihanmu," ujarnya keras.
Ia berlutut di sisi Hiroshi lalu menyentuh dahi pemuda itu. Tubuhnya dingin; napasnya
melambat dan kian dalam. Takeo mengira Hiroshi tidak sadarkan diri, namun Hiroshi tiba-tiba membuka
mata dan tersenyum. "Lord Takeo...." bisiknya.
"Jangan bicara dulu. Kau akan baik-baik saja."
"Perang?" "Sudah berakhir. Saga mundur."
Hiroshi memejamkan mata lagi, namun senyum masih tetap tersungging di bibirnya.
Takeo berbaring, semangatnya agak bangkit. Meskipun lukanya terasa sakit, ia segera tertidur,
bak awan gelap yang menghilang.
*** Ia berangkat menuju Inuyama keesokan paginya, bersama Gemba"sesuai anjurkan Shigeko"
dan Minora. Ia berkuda di punggung kuda betinanya yang tenang. Kuda betina dan kuda hitam
Gemba segar seperti Ashige, dan perjalanan mereka tempuh
dengan cepat; di hari ketiga, demam ringan menyerang Takeo. Perjalanan ditempuhnya dalam
rasa nyeri dan juga demam; ia dihantui mimpi dan halusinasi; sesekali suhu badannya meninggi
dan gemetaran, tapi menolak berhenti. Di setiap pemberhentian, mereka menyebar kabar tentang
perang dan hasilnya, dan segera saja orang berduyun?duyun ke arah Gugusan Awan Tinggi untuk
membawa makanan kepada para prajurit dan membantu membawa korban yang terluka.
Hujan yang deras selama berhari-hari bisa berakibat gagal panen. Jalanan berlumpur dan
acapkali tergenang air. Seringkali Takeo lupa di mana ia berada, dan mengira tengah berada di masa
lalu, menunggangi Aoi di samping Makoto menuju sungai yang meluap dan jembatan yang terputus.
Kaede pasti kedinginan, pikirnya. Dia kurang sehat. Aku harus datang dan meng?hangatkan
tubuhnya. Namun badannya sendiri tengah gemetar, dan sekonyong-konyong Yuki ada di sampingnya.
"Kelihatannya kau kedinginan," ujarnya. "Mau kuambilkan teh?"
"Ya," jawabnya. "Tapi aku tak boleh tidur denganmu karena aku telah beristri."
Lalu diingatnya kalau Yuki sudah meninggal, dan takkan tidur dengan dirinya atau orang lain.
Rasa menyesal menusuk hatinya atas nasib gadis itu dan peran dirinya dalam kematian itu.
Sewaktu tiba di Inuyama, demamnya sudah reda dan pikirannya telah kembali jernih, tapi
hatinya tetap cemas. Kecemasan?nya bahkan tak bisa dihilangkan dengan sambutan sepenuh hati
penduduk kota yang merayakan kabar kemenangan dengan menari di jalanan. Adik Kaede, Ai, keluar
menyambut di dinding sebelah luar kastil, tempat ia dibantu turun dari kuda oleh Minoru dan
Gemba. "Suamimu selamat," katanya dengan segera, dan melihat wajah Ai bersinar dengan perasaan
lega. "Syukur kupanjatkan pada Surga," sahut?nya. "Kau terluka?"
"Kurasa aku sudah melewati bagian ter?buruk. Apakah kau mendapat kabar dari istriku" Aku
tidak mendapat kabar apa pun sejak kami pergi di bulan keempat."
"Lord Takeo," Ai mulai bicara, dan hati Takeo berdebar ketakutan. Hujan turun lagi dan para
pelayan berlari ke depan membawa payung. "Tabib Ishida ada di sini," lanjut Ai. "Akan kupanggil dia. Dia akan merawatmu." "Ishida di sini"
Mengapa?" Halaman 703 dari 703 "Dia akan ceritakan semuanya," ujar Ai, kelembutannya menakutkan Takeo. "Mari masuk. Kau
ingin mandi dulu" Dan kami akan siapkan makanan bagi kalian."
"Ya, aku akan mandi dulu," sahutnya, ingin bersiap dan menguatkan diri untuk mendengar
kabar itu. Demam dan nyeri membuat kepalanya pening: pendengarannya agak lebih peka dari biasanya,
tapi begitu jernihnya suara menyakitkan telinganya.
Ia dan Gemba berjalan ke kolam sumber air panas dan melepas pakaian mereka yang kotor.
Dengan hati-hati Gemba menyingkir?kan perban dari bahu dan lengan Takeo lalu membasuh lukanya
dengan air panas. "Lukanya semakin pulih," ujar Gemba, tapi Takeo hanya mengangguk setuju; mereka juga
tidak bicara selagi membasuh dan mengeringkan tubuh lalu masuk ke dalam air yang berbuih dan
mengandung belerang. Hujan membasahi lembut wajah dan bahu mereka, mengelilingi mereka ber?dua
seakan membawa mereka ke dunia lain.
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini," akhirnya Takeo berkata. "Bisakah kau ikut denganku
untuk mendengar apa yang telah membawa Ishida ke Inuyama?"
"Tentu saja," sahut Gemba. "Mengetahui yang terburuk adalah tahu cara bergerak maju."
Ai sendiri yang menyajikan sop dan ikan panggang, nasi dan sayuran musim panas. Mereka
makan dengan cepat: Ai menyuruh pelayan membereskan nampan dan mem?bawakan teh. Saat
pelayan kembali, Ishida datang bersama mereka.
Ai menuangkan teh ke mangkuk biru berlapis kaca. "Akan kutinggalkan kalian." Sewaktu Ai
berlutut untuk menggeser pintu terbuka, Takeo melihatnya mengangkat lengan baju untuk menyeka air
mata. "Tak ada luka lainnya?" tanya Ishida, setelah mereka saling memberi salam. "Biar kuperiksa."
"Nanti saja," ujar Takeo. "Sudah mulai sembuh."
Takeo menghirup teh, hampir tanpa merasakannya. "Kau sudah jauh-jauh kemari, kuharap kau
membawa berita baik."
"Menurutku kau harus segera mendengar
nya," sahut Ishida. "Maafkan aku, aku merasa semua ini salahku. Kau menitipkan istri dan
putramu dalam perawatanku. Hal?hal seperti ini memang sering terjadi; bayi sangatlah lemah. Mereka
terlepas dari geng?gaman kita." Ishida berhenti dan menatap tak berdaya ke arah Takeo, bibirnya
berkerut sedih, air mata berlinang di pipinya.
Darah Takeo berdentum di telinganya. "Apakah kau hendak mengatakan kalau putraku
meninggal?" Kesedihan melanda dirinya, dan air mata menetes. Mahkluk mungil itu, yang nyaris belum


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikenalnya, yang kini tak akan bisa dikenalnya.
Aku tak kuasa menanggung kabar buruk ini, pikirnya, kemudian, Bila diriku saja tak kuasa
menanggungnya, bagaimana Kaede bisa tahan"
"Aku harus segera menemui istriku," ujarnya. "Bagaimana istriku menerima keadaan ini"
Apakah karena penyakit" Apa?kah Kaede juga sakit?"
"Itu merupakan kematian di masa kanak?kanak yang tak bisa dijelaskan," tutur Ishida,
suaranya pecah. "Bocah mungil itu sehat pada malam sebelumnya, diberi cukup makan, tersenyum juga
tertawa, lalu tertidur tanpa rewel, namun tidak pernah terbangun lagi."
"Bagaimana bisa begitu?" Tanya Takeo, nyaris marah. "Bukan karena sihir" Bagai?mana dengan
racun?" Teringat olehnya kalau Hana berada di Hagi, mungkinkah dia penyebab kematian
putranya" Takeo menangis, tidak berusaha menyem?bunyikannya.
"Tak ada tanda-tanda racun," ujar Ishida. "Sementara sihir"aku benar-benar tidak tahu.
Kematian seperti ini tidak wajar, tapi aku sama sekali tak tahu penyebabnya."
Halaman 704 dari 704 "Lalu istriku: bagaimana keadaannya" Dia pasti hampir gila karena sedih. Apakah Shizuka
bersamanya?" "Banyak hal buruk terjadi sejak kau pergi," bisik Ishida. "Istriku baru saja kehilangan putranya.
Sepertinya dia menjadi gila karena sedih. Dia duduk tanpa makan di depan Daifukuji, di Hofu,
dan menyerukan pada putra sulungnya untuk bertindak dengan adil. Sebagai jawabnya, Zenko
mundur dalam keadaan gusar ke Kumamoto, tempat dia membangun kekuatan militer."
"Istri Zenko dan putranya berada di Hagi," ujar Takeo. "Tentu dia tidak akan
menyia-nyiakan nyawa mereka."
"Hana dan kedua putranya sudah tidak di Hagi," ujar Ishida.
"Apa" Kaede membiarkan mereka pergi?"
"Lord Takeo," tutur Ishida dengan sedih. "Kaede pergi bersama mereka. Mereka dalam
perjalanan ke Kumamoto." "Ah!" ujar Gemba pelan. "Kini kita tahu apa yang salah." Dia tak menangis, namun ekspresi
kesedihan serta welas asih terlukis di wajahnya. Dia bergeser mendekati Takeo, seakan ingin menopang
tubuh Takeo. Takeo duduk diam membeku. Telinganya sudah mendengar kata-kata itu, namun benaknya
masih belum memahaminya. Kaede meninggalkan Hagi" Dia pergi ke Kumamoto, menyerahkan diri
ke tangan yang tengah berkomplot menentang dirinya" Mengapa istrinya mau melakukan hal
semacam itu" Bergabung dengan suami adik?nya" Tidak bisa dipercaya kalau istrinya melakukan itu.
Namun sebagian dalam dirinya merasa tercabik-cabik, seolah seluruh tangannya terenggut
habis. Dirasakan semangatnya naik turun menuju kegelapan, dan melihat kalau kegelapan itu akan
melahap seluruh negara nya. "Aku harus menemuinya," ujarnya. "Gemba, siapkan kuda. Kira-kira sudah sampai di mana
mereka sekarang" Kapan mereka berangkat?"
"Aku pergi kira-kira dua minggu lalu," sahut Ishida. "Mereka pasti pergi beberapa hari
kemudian, lewat Tsuwano dan Yamagata."
"Bisakah aku mencegat mereka di Yamagata?" tanya Takeo pada Gemba. "Jaraknya seminggu
berkuda." "Aku akan sampai di sana dalam tiga hari."
"Mereka berjalan dengan lambat," tutur Ishida. "Tak satu pun sanggup menghibur atau
mencegah kepergiannya. Yang terpikir olehku adalah meminta bantuan Ai, maka aku pergi diam-diam
dari Hagi, seraya berharap bertemu denganmu dalam per?jalanan pulang."
Ishida tidak memandang Takeo: sikap bersalah sekaligus bingung. "Lord Takeo," lanjutnya, tapi
Takeo tak mengijinkannya melanjutkan. Benaknya seketika mulai ber?pacu, mencari-cari jawaban,
membantah dan memohon, menjanjikan apa saja pada dewa manapun, agar istrinya tidak
meninggalkan dirinya. "Hiroshi luka parah, Shigeko luka ringan," tutur Takeo. "Kirin juga mungkin butuh perhatianmu.
Rawat mereka sebaik-baiknya, dan begitu sanggup bepergian, bawa mereka ke Yamagata. Aku akan
ke sana dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Minoru, kirim pesan sekarang juga kepada
Miyoshi Kahei; beritahukan keberangkatanku." Takeo ber?henti bicara lalu menatap Gemba dengan
pandangan penuh kesedihan.
"Aku harus bersiap untuk bertarung melawan Zenko. Tapi bagaimana aku sanggup berperang
melawan istriku sendiri?"*
Halaman 705 dari 705 Di Hofu, gelombang pasang di awal bulan kelima datang setelah siang hari di Waktu Kuda*.
Pelabuhan dalam puncak kesibukan?nya, dengan arus kapal yang datang dan pergi
memanfaatkan angin barat untuk menuju Akashi dengan membawa hasil bumi Tiga Negara. Rumah makan dan
penginapan dijejali orang yang baru turun dari kapal. Mereka minum sambil bertukar berita
dan cerita, menyuarakan kekagetan dan penyesalan atas kematian Muto Taku; mengagumi mukjizat yang
dialami Shizuka, yang diberi makan oleh burung-burung di Daifukuji; kesal pada Zenko yang
sangat tidak berbakti pada orangtua dan menghina dewa-dewa serta pasti akan dihukum atas
perbuatannya. Penduduk Hofu adalah orang?orang yang pemberani dan juga keras kepala. Mereka membenci
perbudakan oleh Tohan dan Noguchi; maka mereka pun tak ingin kembali ke masa-masa di
bawah kepemim?pinan Arai. Kepergian Zenko dari kota itu disertai dengan cemooh dan berbagai
bentuk ______________________________
*) Waktu Kuda: berkisar antara jam 11.00 s/d jam 13.00.
ungkapan dendam atau kebencian: para pengawal Arai yang berada di bagian belakang
rombongan bahkan dilempari kotoran atau sampah, bahkan dilempari batu.
Miki dan Maya melihat sedikit kejadian ini; mereka berlari dengan menghilangkan diri
melewati jalanjalan yang sempit, dengan saru tujuan: menjauhkan diri dari Hisao dan Akio. Maya sudah kelelahan
karena tidak tidur semalaman, pertemuan dengan Hisao, percakapan dengan hantu
perempuan. Ia selalu menoleh ke belakang dengan gugup saat mereka lari, seolah yakin Hisao akan
mengejar; pemuda itu takkan membiar?kannya pergi. Dan Akio pasti sudah tahu tentang si kucing. Hisao
pasti dihukum, pikirnya, tapi tak tahu apakah pikiran itu membuatnya gembira atau sedih.
Merasakan kalau kemampuan meng?hilangnya sirna saat ia kelelahan, Maya melambatkan
larinya untuk mengatur napas, dan melihat Miki muncul kembali di sebelahnya. Jalan di sini sepi;
kebanyakan orang berada di dalam rumah untuk makan siang. Di luar toko kecil, seorang laki-laki tengah
berjongkok mengasah pisau dengan batu asah, mengambil air dari kanal kecil.
Orang itu melonjak kaget melihat ke?munculan mereka yang tiba-tiba hingga pisau yang
dipegangnya jatuh. Maya panik, tidak berdaya. Tanpa berpikir panjang, diambilnya pisau itu lalu dia tusuk
tangan laki-laki itu. "Apa yang kau lakukan?" pekik Miki.
"Kita butuh senjata, makanan dan uang," jawab Maya. "Dia akan berikan untuk kita."
Laki-laki itu menatap dengan tak percaya pada darahnya sendiri. Maya berguling lalu muncul
di belakang laki-laki itu, melukainya lagi, kali ini di leher.
"Beri kami makanan dan uang, atau kau akan mati," ujarnya. "Adik, ambil pisau juga."
Miki mengambil pisau kecil dari tempat?nya tergetak di atas selembar kain yang terhampar di
tanah. Didekatinya laki-laki itu di bagian tangan yang tidak terluka lalu membimbingnya masuk ke
dalam toko. Bola matanya terbelalak ketakutan, ditunjukkan?nya tempat dia menyimpan beberapa
koin, dan memaksakan kue mochi ke dalam geng?gaman tangan Maya.
"Jangan bunuh aku," dia memohon. "Aku membenci kejahatan Lord Arai: aku tahu dia telah
manghasut dewa-dewa menentangnya,
tapi aku tidak terlibat di dalamnya. Aku hanyalah seorang perajin yang miskin."
"Dewa menghukum rakyat atas kejahatan penguasanya," Maya mengoceh. Kalau si bodoh ini
mengira mereka adalah iblis atau hantu, maka ia harus memanfaatkan sebaik?baiknya.
"Apa-apaan tadi itu?" tanya Miki sewaktu mereka meninggalkan toko, kini keduanya
bersenjatakan pisau yang disembunyikan di balik pakaian.
Halaman 706 dari 706 "Akan kuceritakan nanti. Ayo kita cari tempat untuk bersembunyi sebentar, tempat yang ada
airnya." Mereka mengikuti kanal sampai ke jalan yang mengarah keluar kota menuju utara. Mereka
tiba di jalan ke biara, hutan kecil mengelilingi kolam sumber air. Di sini mereka minum sebanyakbanyaknya,
dan menemukan tempat yang terlindung di balik semak-semak, tempat mereka duduk dan
ber?bagi kue mochi. Burung gagak memekik di ketinggian pohon cedar, dan jangkrik yang berderik
membosankan. Peluh bercucuran di wajah kedua gadis itu, dan di balik pakaian terasa lembap
dan gatal. Maya berkata, "Paman tengah menyiapkan pasukan melawan Ayah. Kita harus ke Hagi lalu
memperingatkan Ibu. Bibi Hana sedang dalam perjalanan ke sana. Ibu tidak boleh percaya
kepadanya." "Tapi Maya, kau gunakan kemampuan Tribe untuk melawan orang yang tidak bersalah. Ayah
melarang kita melakukan hal itu."
"Dengar, Miki, kau tidak tahu apa yang sudah kualami. Aku melihat Taku dan Sada dibunuh di
depan mataku. Aku ditawan Kikuta Akio." Sesaat dikiranya kalau ia akan menangis, tapi perasaan itu
segera berlalu. "Dan bocah itu, yang berseru-seru me?manggilku, adalah Kikuta Hisao; dia adalah
cucu Kenji. Kau pasti pernah mendengar tentang dia di Kagemura. Ibunya, Yuki, menikah dengan Akio,
tapi setelah bocah itu lahir, Kikuta memaksanya bunuh diri. Itu sebabnya Kenji menggiring Tribe
kepada Ayah." Miki mengangguk, dia sudah mendengar semua kisah Tribe ini sejak kecil.
"Lagipula, pada akhirnya, tidak ada orang yang tidak bersalah," tutur Maya. "Sudah menjadi
takdir orang itu berada di sana saat
itu." Gadis itu menatap permukaan kolam dengan murung. Ranting pohon cedar dan awan di
belakangnya memantul di per?mukaan yang tenang. "Hisao adalah kakak kita," katanya
seketika. "Orang mengira dia putra Akio, tapi sebenarnya bukan. Dia putra Ayah."
"Itu tidak mungkin," ujar Miki dengan suara lemah.
"Benar. Dan ada ramalan yang mengata?kan bahwa Ayah hanya bisa dibunuh oleh putranya
sendiri. Hisao akan membunuh Ayah, kecuali bila kita mencegahnya."
Maya menatap Miki. Dia hampir lupa akan keberadaan bayi yang baru lahir, seolah dengan
tidak mengakui kelahiran adiknya itu. Maya belum pernah melihatnya, mau?pun memikirkannya.
Seekor nyamuk hinggap di tangannya dan dia menepuknya.
Miki berkata, "Ayah pasti tahu tentang ini."
"Kalau sudah tahu, mengapa Ayah tidak berbuat apa-apa?" sahut Maya, merasa heran mengapa
hal ini membuat ia begitu marah.
"Jika Ayah memilih untuk tidak berbuat apa-apa, seharusnya kita juga begitu. Lagi- pula, apa
yang bisa Ayah lakukan?" "Ayah seharusnya membunuh Hisao. Lagi?pula Hisao pantas mendapatkannya. Dia itu jahat,
orang paling jahat yang pernah ku?temui, lebih jahat dari Akio."
"Tapi bagaimana dengan adik bayi kita?" tanya Miki lagi.
"Jangan membuat semuanya menjadi rumit, Miki!" Maya berdiri mengibaskan debu dari
pakaiannya. "Aku mau pipis," ujar?nya, menggunakan bahasa laki-laki, lalu ber?jalan lebih jauh memasuki
hutan. Di sini ada batu nisan yang berlumut dan terbengkalai. Maya berpikir kalau ia tak boleh
mengotori?nya, maka dipanjatnya dinding samping lalu membuang hajat. Saat ia memanjat
dengan susah payah kembali ke sisi dinding yang sebelumnya, bumi bergetar, dan dirasakan?nya
bebatuan merekah di bawah tangannya. Maya setengah terjatuh ke atas tanah, merasa pusing selama
beberapa saat. Puncak pe?pohonan cedar masih bergetar. Pada saat itu dirasakannya
keinginan untuk menjadi si kucing, bersamaan dengan perasaan yang tidak dikenalinya, yang
membuatnya gelisah. Halaman 707 dari 707 Ketika dilihatnya Miki duduk di samping kolam, ia terkejut melihat betapa kurusnya adiknya
itu kini. Hal ini membuatnya merasa
kesal. Maya tak ingin mencemaskan keadaan Miki: ia ingin segalanya tetap seperti biasa?nya,
ketika mereka seperti memiliki satu pikiran. Ia tak ingin Miki tidak sepaham dengan dirinya.
"Ayo," katanya. "Kita harus segera pergi." "Apa rencana kita?" tanya Miki sewaktu berdiri.
"Tentu saja pulang."
"Apakah kita akan berjalan kaki sampai ke rumah?"
"Ada ide yang lebih baik?"
"Kita bisa meminta bantuan dari se?seorang. Seorang laki-laki bernama Bunta datang bersama
Shizuka dan aku. Dia akan menolong kita."
"Apakah dia Muto?"
"Imai." 'Tak satu pun dari mereka bisa dipercaya lagi," sahut Maya dengan perasaan jijik. "Kita harus
pergi sendiri." "Tapi jaraknya jauh sekali," ujar Miki. "Butuh waktu seminggu berkuda dari Yamagata, berkuda
secara terbuka dengan dua orang laki-laki yang membantu kita. Dari Yamagata ke Hagi berjarak
sepuluh hari. Bila kita berjalan kaki dan sambil ber
sembunyi, akan makan waktu tiga kali lebih lama. Lalu bagaimana kita mendapatkan
makanan?" "Seperti yang tadi kita lakukan," sahut Maya, seraya menyentuh pisaunya yang tersembunyi.
"Kita akan mencurinya." "Baiklah," ujar Miki tidak senang. "Apa?kah kita akan mengikuti jalanan mama?" Ia memberi
isyarat ke arah jalan berdebu yang berbelok-belok menuju sawah yang meng?hijau ke arah pegunungan
yang

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berselimut?kan pepohonan. Maya mencermati para pelancong yang berjalan menyusuri jalan
itu dari kedua arah: ksatria berkuda, perempuan bertopi dan berkerudung lebar pelindung sinar
matahari, biarawan berjalan dengan tongkat dan mangkuk pengemis, penjaja dagangan, pedagang,
peziarah. Be-berapa di antara mereka mungkin saja menahan dan menghentikan mereka berdua, yang
ter?buruk, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Atau mereka mungkin saja orang
Tribe yang sedang mengejar. Maya menoleh ke belakang, ke arah kota, setengah berharap melihat
Hisao dan Akio mengejar. Ia bimbang dan disadarinya ternyata ia rindu dan ingin bertemu Hisao lagi.
Tapi aku membencinya! Bagaimana bisa aku ingin berjumpa dengannya"
Berusaha menyembunyikan perasaan ini dari Miki, ia berkata, "Walau aku berpakaian laki-laki,
siapa pun bisa melihat kalau kita kembar. Kita tak ingin menjadi perhatian. Kita akan berjalan
melewati pegunungan." "Kita akan kelaparan," protes Miki, "atau tersesat. Ayo kembali ke kota saja. Ayo kita temui
Shizuka." "Dia berada di Daifukuji," ujar Maya, ingat perkataan gadis pelayan itu. "Berpuasa dan berdoa.
Kita boleh kembali. Akio mungkin sudah menunggu kita di sana."
Rasa tegangnya makin bertambah; Maya bisa merasakan tarikan itu dalam dirinya, merasakan
kalau pemuda itu sedang mencari?nya. Mendadak Maya melompat, mendengar suara Hisao.
Datanglah kepadaku. Suara itu bergema seperti bisikan di sela?sela hutan. "Kau dengar itu?" Dicengkeram?nya
tangan Miki. "Apa?" "Suara itu. Itu dia."
Miki berdiri, mendengarkan dengan seksama. "Aku tidak dengar siapa-siapa,"
Halaman 708 dari 708 "Ayo pergi," ajak Maya, ia melihat ke angkasa. Matahari sudah bergeser dari titik puncaknya
ke arah barat. Jalan hampir mengarah ke utara, melewati sebagian besar daerah tersubur di Tiga
Negara, mengikuti aliran sungai di sepanjang jalan menuju Tsuwano. Sawah terbentang di kedua sisi
lembah, rumah dan gubuk petani benebaran di tengah daerah persawahan. Jalan ter?bentang di
sepanjang sisi barat sampai ke jembatan di Kibi. Juga ada jembatan baru, tepat sebelum Sungai
Yamagata. Sungai itu sering meluap, tapi berjarak satu hari per?jalanan ke utara Hofu, sungainya makin
dangkal, deburan air berbuih menghempas bebatuan.
Mereka sudah sering melewati jalan ini; Miki yang terakhir kali, hanya beberapa hari lalu,
sedangkan Maya saat musim gugur se?belumnya, bersama Taku dan Sada.
"Aku penasaran di mana kedua kuda betina itu," ujarnya pada Miki saat me?langkah dari
bawah naungan pepohonan lalu berjalan di bawah teriknya matahari. "Kau tahu, aku kehilangan
mereka." "Kuda betina apa?"
"Kuda pemberian Shigeko untuk per?jalanan dari Maruyama."
Selagi mereka mulai berjalan menanjak menaiki lereng ke pepohonan bambu, Maya
menceritakan dengan singkai tentang serangan itu, dan kematian Taku dan Sada. Setelah selesai bercerita,
Miki menangis tanpa suara, namun mata Maya kering.
"Aku memimpikanmu," ujar Miki, seraya menyeka mata dengan tangan. "Aku memimpikanmu
sebagai si kucing, dan aku adalah bayangannya. Aku tahu sesuatu yang mengerikan terjadi padamu."
Sejenak Miki terdiam, lalu berkata, "Apa?kah Akio menyakitimu?"
"Dia mencekikku untuk membungkam mulutku, lalu memukulku beberapa kali, hanya itu."
"Bagaimana dengan Hisao?"
Maya mulai berjalan lebih cepat, sampai hampir berlari kecil di sela-sela batang pohon yang
berwarna keperakan. Seekor ular kecil melintas di depan mereka, menghilang ke semak belukar, dan di
suatu tempat di sebelah kiri mereka terdengar kicau burung kecil. Derik jangkrik kedengaran makin
kencang. Miki pun ikut berlari. Mereka menyelinap dengan mudah di antara batang-batang bambu.
"Hisao adalah penguasa alam baka," ujar Maya, ketika akhirnya lereng yang semakin curam
memaksanya untuk melambatkan langkah.
"Penguasa alam baka dari Tribe?"
"Ya. Dia bisa menjadi luar biasa kuat, hanya saja dia tidak tahu bagaimana meng?atasinya.
Tak ada orang yang pernah meng?ajarinya, selain cara bertindak kejam. Dan dia bisa membuat
senjata api. Kurasa ada orang yang mengajarinya."
Matahari tergelincir di balik puncak tinggi pegunungan di sebelah kiri mereka. Tidak akan ada
bulan, dan awan rendah menyebar di langit dari arah selatan; juga tidak akan ada bintang. Rasanya
waktu sudah lama berlalu sejak mereka makan kue mochi di biara tadi. Sambil berjalan, kedua gadis
itu kini mulai secara naluriah mencari makanan: jamur yang tumbuh di bawah pohon pinus,
wineberry, akar halus bambu, pucuk pakis yang sudah tua, meski semua ini makin sulit ditemukan. Sejak kecil
mereka diajarkan oleh Tribe untuk hidup dari alam, mengumpul
kan daun, akar dan buah-buahan sebagai makanan juga racun. Mereka mengikuti bunyi
gemericik air dan minum dari sebuah sungai kecil. Di sungai juga menemukan kepiting kecil yang mereka
makan hidup-hidup, mengisap daging berlumpur dari cangkangnya yang rapuh. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan selama senja yang panjang sampai malam sudah terlalu gelap hingga
tak bisa melihat apa-apa. Kini mereka berada di lebatnya hutan, dan terdapat banyak tebing dengan
batuan yang menonjol dan pohon tumbang yang menyediakan tempat bernaung.
Mereka sampai di sebatang pohon beech besar yang setengah tercabut akarnya akibat gempa
atau badai. Daun rontok selama ber?tahun-tahun menyediakan kasur yang empuk, dan batangnya
yang besar dan akar?nya membentuk liang. Bahkan ada kacang?kacangan yang masih bisa dimakan
di Halaman 709 dari 709 antara dedaunan. Kedua gadis itu berbaring, be?rangkulan. Dalam pelukan adiknya, Maya
mulai merasa rileks, seolah dirinya menjadi utuh kembali.
Maya tidak yakin apakah dia mengucap?kan kata-kata itu atau hanya memikirkannya.
Hisao menyayangi kucing itu dan dia adalah penguasanya.
Miki agak memutar badannya. "Kurasa aku tahu itu. Aku merasakannya: aku me?mutuskan
ikatan antara pemuda yang me?manggilmu dan si kucing; dan kau berubah ke wujud aslimu."
Tambahan lagi, ibunya selalu bersamanya. Saat Hisao bersama si kucing, ia bisa bicara dengan
arwah ibunya." Tubuh Miki agak gemetar. "Kau pernah melihatnya?"
"Sudah." Terdengar suara burung hantu di pe?pohonan di atas mereka, membuat keduanya melonjak
kaget, dan di kejauhan terdengar jerit rubah betina.
"Apakah saat itu kau takut?" bisik Miki.
"Tidak." Maya memikirkannya. "Tidak," ulangnya. "Aku merasa iba. Dia dipaksa mati sebelum
waktunya, dan harus menyaksikan putranya diubah menjadi jahat."
"Mudah sekali menjadi jahat," ujar Miki pelan.
Udara terasa menjadi agak dingin, dan cahaya menerangi tanah.
"Hujan," ujar Maya. Dengan rintik-rintik pertamanya, bau lembap mulai muncul dari tanah.
Mengisi cuping hidungnya dengan kehidupan sekaligus kematian.
"Apa kau lari darinya" Sekalian pulang, maksudku?"
"Dia sedang mencariku, memanggilku." "Dia mengikuti kita?"
Maya tak langsung menjawab. Tubuhnya menyentak-nyentak gelisah. "Aku tahu Ayah dan
Shigeko belum pulang, tapi Ibu akan melindungi kita, kan" Begitu kita sampai di Hagi, baru aku akan
merasa aman." Tapi bahkan setelah kata-kata itu lepas dari mulutnya, ia pun tak yakin kalau semua
ucapannya benar. Sebagian dari dirinya takut pada laki-laki itu dan ingin menjauh. Sebagian lagi ditarik
kembali kepadanya, ingin bersama pemuda itu dan berjalan ber?sama di antara dunia.
Apakah aku sudah menjadi jahat" Maya mengingat tukang asah pisau yang dilukai dan
dirampoknya tanpa pikir panjang. Ayah pasti marah padaku, pikirnya; merasa bersalah dan tidak menyukai
perasaan itu, ia menuangkan rasa marah untuk memadam?kannya. Ayah yang memaksaku; ini
salah Ayah hingga aku menjadi seperti ini. Seharusnya Ayah tidak mengirimku pergi jauh. Seharusnya
Ayah tidak boleh begitu sering meninggalkanku saat aku masih kecil. Seharusnya Ayah bilang kalau Ayah
punya anak laki-laki. Seharusnya Ayah tidak boleh punya anak laki-laki!
Miki sepertinya sudah tidur. Napasnya tenang dan teratur. Sikutnya menusuk badan Maya, dan
Maya bergeser sedikit. Suara burung hantu tadi terdengar lagi. Nyamuk mencium bau keringat
mereka dan ber?dengung di telinga Maya. Hujan membuat?nya kedinginan. Nyaris tanpa berpikir
dibiar?kannya si kucing datang dengan bulu tebal?nya yang hangat.
Segera terdengar suara Hisao. Datanglah padaku.
Dan Maya merasakan tatapan pemuda itu berpaling ke arahnya, seolah Hisao bisa melihat
melalui kegelapan, tepat ke mata keemasan si kucing, saat kepalanya berputar melihat ke arah Hisao.
Kucing itu meregang?kan badan, menegakkan telinganya serta mendengkur.
Maya berjuang kembali ke wujud aslinya. Dibuka mulutnya, berusaha memanggil Miki.
Halaman 710 dari 710 Miki duduk tegak. "Apa yang terjadi?"
Maya merasakan lagi kekuatan setajam pedang dari jiwa Miki yang menghalangi antara si
kucing dan penguasanya. "Tadi kau melolong!" ujar Miki.
"Tadi aku berubah menjadi kucing di luar kehendakku, dan Hisao melihatku."
"Apakah dia sudah dekat?"
"Aku tidak tahu, tapi dia tahu tempat kita berada. Kita harus pergi sekarang juga."
Miki berlutut di pinggiran gua pohon dan melihat dengan seksama keluar ke gelapnya malam.
"Aku tidak bisa lihat apa-apa. Gelap gulita, dan hujan. Kita tidak bisa pergi sekarang."
"Kau akan tetap terjaga?" tanya Maya gemetaran karena dingin dan emosi. "Ada sesuatu yang
bisa kau lakukan yang menghalangi antara dia dan aku, serta mem?bebaskan diriku darinya."
"Aku tidak tahu apa itu," ujar Miki. Suaranya lemah dan lelah. "Atau bagaimana
melakukannya. Kucing itu mengambil begitu banyak dari dalam diriku."
Murni adalah kata yang terbersit di benak Maya, seperti murninya baja setelah dipanas?kan,
dibengkokkan dan dipukul berulang
kali. Dipeluknya Miki dan mendekapnya lebih erat. Berpelukan, kedua gadis itu me?nunggu
cahaya matahari merayap perlahan menyinari mereka.
*** Hujan berhenti saat hari mulai terang, mem?buat tanah terasa panas dan mengubah ranting
dan daun yang meneteskan air hujan menjadi bingkai keemasan dan potongan pelangi. Jaring laba-laba,
rumpun bambu, pakis: semuanya berkilau dan bersinar. Dengan menjaga agar sinar matahari
tetap di kanan mereka, keduanya melanjutkan per?jalanan ke utara, di sisi sebelah timur
pe?gunungan. Mereka berusaha sekuat tenaga naik turun parit yang dalam, seringkali harus menelusuri
kembali jejak kaki mereka se?belumnya; sesekali melihat jalan di bawah sana, dan sungai di
belakangnya. Meskipun ingin berjalan sebentar di permukaan jalan yang mulus, mereka tak berani
melaku?kannya. Saat tengah hari, mereka berhenti di saat yang bersamaan. Di depan mereka tampak ada
jalan yang tidak terlalu mulus, namun
menjanjikan kalau bagian selanjutnya per?jalanan mereka akan lebih mudah. Mereka belum
makan sejak pagi, dan kini mulai mencari-cari di rerumputan, tanpa bersuara, dan menemukan
kacang beech, lumut, chestnut sisa musim gugur lalu yang telah bertunas, sedikit buah beri yang
hampir ranum. Udara terasa panas, bahkan dalam naungan lebatnya hutan.
"Kita istirahat sebentar," ujar Miki, seraya melepas sandal dan menggosokkan telapak kakinya
di rumput yang lembap. Kakinya lecet dan berdarah, kulitnya berubah segelap tembaga.
Maya sudah berbaring terlentang, menatap ke atas, ke arah hijau dedaunan yang berubah
bentuk. "Aku lapar sekali," katanya. "Kita harus mendapatkan makanan sungguhan. Aku penasaran
apakah jalan itu mengarah ke sebuah desa."
Kedua gadis itu tertidur sebentar, tapi rasa lapar membangunkan mereka. Sekali lagi, hampir
tidak perlu bicara, mereka mengen?cangkan kembali sandal dan mulai mengikuti jalan kecil tadi
yang berkelok di sepanjang sisi gunung. Sesekali mereka melihat atap
rumah petani jauh di bawah, dan mengira kalau jalan kecil itu akan membawa mereka ke
sana. Tapi mereka tidak menemukan tempat apa pun, tak ada desa, bahkan tak ada gubuk atau biara
terpencil di gunung, dan sawah garapan tetap berada di luar jangkauan di bawah tempat mereka berada.
Mereka ber?jalan tanpa bicara, berhenti hanya untuk mengambil makanan yang disediakan atam,
perut mereka mulai keroncongan. Matahari berlalu tersembunyi di balik gunung; awan berkumpul
lagi di sebelah selatan. Tak satu pun dari kedua nya ingin menghabiskan semalam lagi di hutan,
namun tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan, selain terus berjalan.
Halaman 711 dari 711 Hutan dan gunung menyatu saat senja tiba; burung berkicau melantunkan nyanyian pengiring
matahari teng-gelam. Maya yang berada di depan, tiba-tiba berhenti.
"Asap," bisik Miki.
Maya mengangguk, dan mereka berjalan dengan lebih hati-hati. Baunya semakin kuat, kini
bercampur dengan aroma daging panggang yang membuat perut mereka semakin keroncongan. Daging


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

burung kuau atau kelinci, pikir Maya, karena ia pernah mencicipi kedua daging itu di sekitar
Kagemura. Segera saja terbit air liurnya. Di sela-sela pepohonan bisa dilihatnya sebuah gubuk
kecil. Api unggun menyala di depan?nya, dan sesosok tubuh ramping berlutut menjaga daging yang
sedang dimasak. Maya bisa memperkirakan dari bentuk tubuh dan gerakannya kalau sosok itu adalah
perempuan dan ada sesuatu dengannya yang terasa sangat familiar.
Miki berbisik di telinganya. "Perempuan itu mirip Shizuka!"
Maya mencengkeram tangan adiknya saat Miki hendak berlari menghampiri. "Tidak mungkin.
Bagaimana dia bisa ada di sini" Aku akan ke sana dan melihatnya."
Menggunakan kemampuan menghilang, Maya menyelinap di sela pepohonan dan ke belakang
gubuk. Aroma daging begitu kuat hingga ia mengira akan kehilangan kon?sentrasinya. Dirabanya
pisaunya. Sepertinya tidak ada orang lain lagi, hanya perempuan itu, kepalanya tertutup tudung yang
di?pegangi dengan satu tangan sementara mem?bolak-balik daging pada tusuk pemanggang dengan
tangan satunya lagi. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan di dataran itu dan membuat bulu-bulu coklat
dan hijau melambai-lambai terkena angin?nya. Perempuan itu berkata, tanpa berpaling, "Kau
tak perlu menggunakan pisau itu. Aku akan memberimu dan adikmu makan."
Suaranya mirip suara Shizuka, tapi juga tidak mirip. Maya berpikir, Kalau dia bisa melihatku,
maka dia pasti berasal dari Tribe.
"Apakah kau Muto?" tanya Maya, lalu membuat dirinya terlihat lagi.
"Ya, aku Muto," sahut perempuan itu. "Kau bisa memanggilku Yusetsu."
Maya belum pernah mendengar nama itu. Suaranya pun dingin dan misterius, bak jejak
terakhir salju yang tertinggal di sisi utara pegunungan di musim semi.
"Apa yang kau lakukan di sini" Apakah ayahku yang menyuruhmu ke sini?"
"Ayahmu" Takeo." Perempuan itu meng?ucapkan nama Takeo dengan semacam kerinduan yang
dalam dan penyesalan, lembut sekaligus getir, yang membuat Maya bergidik. Kini perempuan
itu menatap Maya, namun tudung menutupi wajahnya. Bahkan dengan cahaya api unggun, Maya
tidak bisa melihat wajahnya. "Sudah hampir matang," kata Yusetsu. "Panggil adikmu lalu cuci tangan dan kaki kalian."
Ada teko air di anak tangga gubuk. Kedua gadis itu bergantian menuangkan air men?cuci
tangan dan kaki mereka. Di anak tangga, Yusetsu menaruh daging burung kuau bakar di lembaran kulit
kayu yang di-bungkus daun. Dia lalu berlutut, mengiris daging menjadi potongan kecil. Si kembar
makan tanpa bicara, melahap daging dengan rakus; panasnya membakar mulut dan lidah. Yusetsu
tidak makan, dia hanya mengamati setiap suapan mereka, memerhatikan wajah dan tangan
mereka. Ketika keduanya sudah mengisap tulang yang terakhir, Yusetyu menuangkan air ke selembar
kain untuk mengelap tangan mereka. Dia membalikkan telapak tangan mereka dan menyusuri
tanda Kikuta dengan jari-jarinya.
Kemudian ditunjuknya tempat untuk buang hajat, dan memberikan lumut untuk
membersihkannya; sikapnya penuh perhati?an, seolah dia adalah ibu mereka. Setelah itu dinyalakannya lentera
dari sisa api yang masih menyala, dan mereka berbaring di
Halaman 712 dari 712 lantai gubuk sementara perempuan itu terus memandangi mereka.
"Jadi kalian anaknya Takeo," ujarnya lirih. "Kalian mirip dengannya. Kalian seharusnya
menjadi anakku." Dan kedua gadis itu, dalam keadaan hangat dan kenyang, merasakan juga lebih baik kalau
mereka memang menjadi anak Yusetsu, meski mereka belum tahu siapa perempuan itu sebenarnya.
Yusetsu memadamkan lentera dan menye?limuti mereka dengan jubahnya. "Tidurlah,"
ujarnya. "Tidak ada yang bisa menyakiti kalian saat aku di sini."
Mereka tidur tanpa bermimpi dan ter?bangun saat hari mulai terang. Hujan menyirami wajah
mereka, juga tanah lembap di bawah tubuh mereka. Tak ada tanda-tanda gubuk, teko, maupun
perempuan itu. Hanya bulu burung di lumpur dan bekas bara api yang menandakan kalau perempuan itu
pernah ada di sana. Miki berkata, "Dia adalah hantu perempuan itu."
"Mmm," gumam Maya, setuju.
"Ibu Hisao" Yuki?"
"Siapa lagi?" Maya mulai berjalan ke arah utara. Tak satu pun dari keduanya bicara lagi
tentang perempuan itu, namun rasa daging burung kuau masih tertinggal di lidah dan tenggorokan
mereka. "Ada jalan kecil," ujar Miki, mengejar Maya. "Seperti kemarin."
Jalannya tidak rata, seperti jalanan rubah, melalui semak belukar. Mereka berjalan
menyusurinya sepanjang hari, beristirahat dalam panasnya siang hari di rimbunnya semak hazelnut. Dan
berjalan lagi sampai malam tiba saat bulan baru muncul, bulan sabit.
Tiba-tiba tercium bau asap yang sama, aroma daging yang tengah dimasak yang menerbitkan
air liur, seoerang perempuan sedang menjaga makanan yang dimasak, wajahnya tersembunyi oleh
jubah bertudung. Di belakangnya ada gubuk, teko berisi air.
"Kita di rumah," ujar Maya menyapa dengan akrab.
"Selamat datang di rumah," sahut perempuan itu. "Cuci tangan; makanannya sudah matang."
"Apakah itu makanan hantu?" tanya Miki saat perempuan itu membawakan daging"
saat ini daging kelinci"dan mengirisnya untuk mereka.
Yusetsu tertawa. "Semua makanan adalah makanan hantu. Semua makanan sudah mati dan
memberikan rohnya pada kalian agar kalian bisa hidup."
"Jangan takut," tambahnya ketika Miki ragu; Maya sudah menjejalkan daging ke mulutnya.
"Aku di sini untuk membantu kalian."
"Apa yang kau inginkan sebagai imbalan?" tanya Miki, tetap belum mau makan.
"Aku membalas pertolonganmu. Aku ber?utang padamu. Karena kau memutuskan ikatanku
dengan anakku." "Benarkah?" "Kau membebaskan si kucing, dan sekaligus membebaskanku."
"Bila sudah bebas, seharusnya kau me?lanjutkan perjalananmu," tutur Miki dengan suara
tenang dan tegas yang belum pernah Maya dengar. "Tugasmu sudah berakhir di dunia ini. Kau harus
merelakannya, dan membiarkan arwahmu berjalan terus menuju kelahirannya kembali."
"Kau bijaksana," sahut Yuki. "Akan lebih bijaksana dan lebih kuat lagi begitu kau
dewasa. Dalam waktu satu atau dua bulan lagi, kau dan kakakmu akan mulai mendapat haid.
Menjadi perempuan membuat kalian lemah, jatuh cinta menghancurkan diri kalian, dan membuat
seorang Halaman 713 dari 713 anak menem?pelkan pisau di lehermu. Jangan tidur dengan laki-laki; bila kalian tidak
me?mulainya, maka kalian takkan merindu?kannya. Aku sangat suka bercinta; ketika aku menganggap ayah
kalian sebagai kekasihku, aku merasa seperti di Surga. Aku mem?biarkannya memiliki diriku
seutuhnya. Aku merindukannya siang dan malam. Dan aku melakukan apa yang diperintahkan padaku: kalian
anakanak Tribe; kalian harus tahu tentang kepatuhan."
Kedua gadis itu meng-angguk, tapi tidak bicara.
"Aku patuh pada Ketua Kikuta dan Akio, yang kutahu mesti kunikahi di kemudian hari. Tapi aku
mengira akan menikah dengan Takeo dan melahirkan anak-anaknya. Kami sangat serasi dalam
kemampuan Tribe, dan kukira dia jatuh cinta padaku. Dia kelihatan terobsesi padaku sama
seperti aku terobsesi padanya. Kemudian aku tahu kalau Shirakawa Kaede yang dicintainya, kegilaan
karena cinta yang bodoh membawa dirinya kabur dari Tribe dan membuat aku dihukum mati."
Yuki terdiam membisu. Kedua gadis itu juga tidak berkata apa-apa. Mereka belum pernah
mendengar versi cerita ini dari riwayat orangtua mereka, diceritakan oleh perempuan yang sangat
menderita disebab-kan oleh cintanya pada ayah mereka. Akhirnya Maya berkata, "Hisao berusaha untuk
tidak ingin mendengarkanmu."
Miki mencondongkan badan ke depan dan mengambil sepotong daging, mengu?nyahnya pelan,
merasakan lemak dan darahnya.
"Dia tak mau tahu siapa dirinya," sahut Yuki. "Sifat dalam dirinya tercabik, itu sebabnya dia
merasa sakit kepala yang sangat menusuk."
"Dia tidak bisa dibebaskan dari dosa," ujar Maya, amarahnya kembali lagi. "Semakin lama dia
menjadi semakin jahat." "Kalian adalah adiknya," tutur Yuki. "Salah satu dari kalian menjadi si kucing, yang
disayanginya; sedang yang satunya lagi memiliki kualitas spritual yang menolak ke?kuatannya. Bila dia
menyadari kekuatan itu sepenuhnya, maka dia akan menjadi benar?benar jahat. Tapi sampai tiba waktunya nanti, dia
masih bisa diselamatkan." Yuki mencondongkan badan, dan membiarkan tudung terlepas. "Begitu dia
sudah selamat, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku tidak bisa membiarkan anakku membunuh
ayahnya. Namun ayah angkatnya harus membayar pembunuhan keji atas diriku."
Dia cantik, pikir Maya, tidak seperti Ibu tapi dengan sifat yang selalu kuingin diriku menjadi
seperti itu, kuat dan ptnuh semangat. Aku be rha rap dia yang menjadi ibuku. Aku berharap dia belum
mati. "Sekarang kalian harus tidur. Teruslah berjalan ke utara. Aku akan memberi kalian makan dan
membimbing kalian kembali ke Hagi. Kita akan menemukan ayah kalian dan
memperingatkannya, saat kita sudah bebas, kita akan selamatkan Hisao."
Yuki mencuci tangan mereka seperti yang dilakukannya di malam sebelumnya, tapi kali ini
dibelainya tangan mereka dengan lebih lembut, layaknya seorang ibu; sentuhannya kuat dan nyata: dia
tidak terasa seperti arwah, tapi keesokan paginya, si kembar terbangun
di hutan yang kosong. Hantu perempuan itu sudah pergi.
Miki bahkan lebih pendiam lagi ketim?bang sebelumnya. Suasana hati Maya labil, bergerak
antara gembira karena kemung?kinan bertemu Yuki lagi malam itu, serta ketakutan akan Akio dan
Hisao yang sudah dekat di balakang mereka. Dia mencoba memaksa Miki bicara, tapi jawaban Miki
singkat dan tidak memuaskan. "Apakah menurutmu kita melakukan hal yang salah?" tanya Maya.
"Sekarang sudah terlambat," bentak Miki, dan kemudian sikapnya melunak. "Kita sudah makan
makanan darinya dan me?nerima bantuannya. Kita tidak bisa melaku?kan apa-apa lagi; kita
hanya harus segera sampai di rumah dan berharap Ayah cepat kembali."
"Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang hal itu?" tanya Maya, kesal dengan
kemarahan Miki. "Kau bukan seorang penguasa alam baka juga, kan?"
Halaman 714 dari 714 "Bukan, tentu saja bukan," pekik Miki. "Aku bahkan tidak tahu apa itu. Aku belum pernah
mendengarnya sampai kau mengata?kan kalau Hisao adalah penguasa alam baka."
Mereka berjalan menuruni lereng yang curam. Jalur itu berkelok di antara tonjolan batu-batu
besar: sepertinya itu tempat kesukaan ular untuk berjemur. Sewaktu tubuh-tubuh yang bengkok
bergerak cepat menghilang di balik bebatuan, Maya pun bergidik. Memikirkan arwah Akane, dan
bagaimana ia menggoda Sunaomi dengan menyaru sebagai perempuan pelacur yang sudah mati itu.
"Menurutmu apa yang sebenarnya Yuki inginkan?" tanyanya.
"Semua hantu ingin balas dendam," jawab Miki. "Dia ingin balas dendam."
"Pada Akio?" "Pada semua orang yang telah menyakiti dirinya."
"Benar kan, kau memang tahu semuanya," ujar Maya.
"Mengapa dia membimbing kita ke Hagi?" tanya Miki.
"Untuk mencari Ayah; dia yang bilang begitu."
"Tapi Ayah belum akan kembali sampai musim panas berakhir," lanjut Miki, seolah membuat
bantahan kepada dirinya sendiri.
*** Maka perjalanan mereka berlanjut saat bulan semakin penuh dan menyusut lagi. Bulan
keenam tiba dan musim panas bergerak menuju puncaknya. Yuki menemui mereka setiap malam; mereka
mulai terbiasa dengan kehadirannya, dan tanpa disadari mulai menyayanginya seakan perempuan
itu adalah ibu mereka. Yuki menemani mereka dari antara matahari terbenam sampai matahari
terbit, tapi perjalanan setiap harinya terasa lebih mudah karena kini mereka tahu Yuki menanti
mereka di penghujung hari. Keinginannya pun menjadi keinginan mereka berdua. Setiap malam Yuki
men?ceritakan masa lalunya: tentang masa kecil-nya di Tribe; kesedihan terbesar pertama
dalam hidupnya, ketika temannya dari Yamagata dibakar sampai mati bersama semua keluarganya di
malam Otori Takeshi dibunuh prajurit Tohan; bagaimana dia membawa pedang Lord Shigeru,
Jato, lalu menyerahkannya ke tangan Takeo setelah sebelumnya mereka menyelamatkan Shigeru
dari kastil Inuyama; dan bagaimana Yuki membawa kepala Lord Shigeru ke Terayama,
seorang diri, melewati negeri yang tidak ramah. Mereka berdua kagum pada keberanian dan
kesetiaan Yuki, dan terkejut serta gusar dengan kematiannya yang kejam, terharu dengan
kesedihan dan rasa ibanya atas putranya.*
Si kembar tiba di Hagi di sore hari. Matahari masih di langit barat, membuat air laut tampak
seperti kuningan. Mereka meringkuk di hutan bambu tepat di tepi sawah, padi berwarna hijau terang.
Ladang sayuran lebat dengan dedaunan, kedelai, wortel dan bawang.
"Kita tidak membutuhkan Yuki malam ini," ujar Miki. "Kita bisa tidur di rumah."
Namun pikiran itu membuat Maya sedih. Ia akan merindukan Yuki, dan seketika timbul niat
ingin pergi ke mana pun perempuan itu pergi.
Gelombang sedang surut dan tepi yang berlumpur terlihat jelas di sepanjang sungai kembar.
Maya bisa melihat lengkungan jembatan batu, dan biara bagi dewa sungai tempat ia membunuh
kucing milik

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mori Hiroki. Tiang pancang kayu dari pagar penangkap ikan, dan perahu-perahu yang
tertambat di tepinya, bak mayat yang tengah menanti air untuk menghidupkannya
Halaman 715 dari 715 kembali. Di belakangnya tampak pepohonan dan taman rumah tua keluarga. Lebih jauh ke
barat, di atas atap dan sirap rendah bangunan kota, menjulang kastil dengan panji-panji Otori berkibar
tertiup angin. Maya memicingkan mata melihat mata?hari. Bisa dilihatnya umbul-umbul bangau Otori, tapi
di sebelahnya ada umbul-umbul lain, tapak beruang hitam dengan latar belakang merah:
lambang Klan Arai. "Bibi Hana ada di sini," bisiknya pada Miki. "Aku tidak ingin dia melihatku."
"Bibi pasti di kastil," ujar Miki, dan mereka saling tersenyum, berpikir tentang keciniaan Hana
pada kemewahan dan kedudukan. "Kurasa Ibu juga di sana."
"Ayo kita ke rumah lebih dulu," saran Maya. "Bertemu Haruka dan Chiyo. Mereka akan kirim
pesan pada Ibu." Maya menyadari kalau dirinya tidak yakin akan reaksi ibunya. Tiba-tiba teringat dengan
penemuan terakhir mereka, kemarahan Kaede, tamparan itu. Sejak saat itu, Maya tak mendapat kabar
apa pun dari ibunya, tidak ada surat, tidak ada pesan. Bahkan kabar tentang kelahiran adik lakilakinya ia
dengar melalui Shigeko di Hofu. Aku bisa saja ikut
terbunuh bersama Sada dan Taku, pikirnya. Ibu tidak akan peduli. Perasaan itu amat menusuk
hati dan mengganggunya: ia begitu ingin pulang ke rumah, tapi kini takut pada penerimaan
ibunya. Andai Yuki adalah ibuku, pikirnya. Aku bisa mengadu dan men?ceritakan segalanya, dan dia pasti
percaya. Kesedihan yang mendalam menerpa dirinya: bahwa Yuki sudah mati dan tidak mengenal kasih
sayang anaknya. Bahwa Kaede hidup....
"Aku akan pergi," ujarnya. "Akan kulihat siapa yang ada di sana, melihat apakah Ayah sudah
kembali." "Ayah pasti belum kembali," sahut Miki. "Ayah pergi jauh ke Miyako."
"Baiklah, Ayah justru lebih aman berada jauh di sana ketimbang berada di rumah," sahut
Maya. "Tapi kita harus ceritakan pada Ibu tentang Paman Zenko, bagaimana dia telah membunuh Taku dan
tengah mem-bangun kekuatan."
"Bagaimana dia bisa begitu berani saat Hana dan kedua putranya ada di sini, di Hagi?"
"Hana mungkin berencana membawa mereka lari; itu sebabnya dia datang. Kau
tunggu di sini. Aku akan kembali secepat?nya."
Maya masih mengenakan pakaian laki-laki dan menu-rutnya tak ada orang yang bisa
mengenalinya. Banyak anak laki-laki seusia?nya bermain di tepi sungai serta me?manfaatkan pagar jaring
penangkap ikan untuk menyeberangi sungai. Gadis itu berlari dengan langkah ringan di
atasnya seperti yang sudah sering dilakukannya: bagian atas tiang pancang terasa lembap dan licin.
Setelah sampai di seberang, Maya berhenti di depan lubang di dinding taman, tempat aliran air
mengalir ke sungai. Dengan meng?gunakan kemampuan menghilang, Maya melangkah masuk ke taman.
Seekor bangau abu-abu besar yang tengah mencari ikan di sungai merasakan ada gerakan,
menoleh ke arah Maya kemudian terbang. Kepakan sayapnya kedengaran menghentak tajam seperti
suara kibasan kipas. Di sungai, seekor ikan air tawar melompat. Ikan itu mencipakkan air, dan burung itu terbang
dengan kepakan sayap pelan: tepat seperti biasanya.
Maya berusaha mendengarkan suara-suara di dalam rumah, begitu merindukan Haruka dan
Chiyo. Mereka pasti kaget, pikirnya. Dan gembira. Chiyo pasti akan menangis bahagia seperti
biasanya. Maya seperti mendengar suara mereka dari dapur.
Tapi di balik gumaman tadi terdengar olehnya suara lain, berasal dari luar dinding dari tepi
sungai. Suara anak laki-laki, berceloteh, tertawa.
Halaman 716 dari 716 Maya merendahkan tubuhnya di balik batu paling besar sewaktu Sunaomi dan Chikara
mencepukcepuk air sungai. Di saat yang sama, terdengar langkah kaki dari dalam rumah, dan Kaede serta
Hana berjalan keluar menuju beranda.
Kaede menggendong bayi yang tersenyum dan berusaha mencengkeram jubah ibunya. Kaede
mengangkatnya agar bisa melihat kedua bocah yang datang menghampiri.
"Lihat, sayangku, mungilku. Lihatlah sepupumu. Kau akan tumbuh besar menjadi tampan
seperti mereka!" Si bayi tersenyum dan tersenyum lagi. Dia sudah berusaha menggunakan kakinya dan berdiri.
"Alangkah kotornya kalian, anak-anakku," Hana membentak mereka, wajahnya berseri?seri
dengan rasa bangga. "Cuci tangan dan kaki kalian. Haruka! Bawakan air untuk kedua tuan muda!"
Tuan muda! Maya mengamati Haruka datang lalu mencuci kaki kedua bocah itu. Dilihatnya
rasa percaya diri dan keangkuhan mereka berdua, melihat kasih sayang dan rasa hormat yang
mereka dapatkan tanpa ber-susah payah dari semua perempuan di sekeliling mereka.
Hamukti Palapa 10 Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Misteri Nuri Gagap 2

Cari Blog Ini