Ceritasilat Novel Online

The Heike Story 11

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 11


"Apakah tempat pemujaan untuk dewa klan kita terletak di Itsuku-shima?"
"Begitulah kata ibu tirimu. Kakekmu, begitu pula ayahmu, yang memiliki tanah di sana, telah beberapa kali datang ke Itsuku-shima untuk berdoa."
"Ya, kau benar. Begitulah."
"Kecuali dua kali peperangan, kita tidak pernah mendapatkan kemalangan apa pun ... bahkan, selain semua hal berjalan dengan lancar, Shigeko sekarang menjadi ibu bagi seorang pangeran, dan aku tidak percaya bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Kuharap kau mau memberikan penghormatan kepada para dewa dan, seperti ayahmu, sesekali melakukan ziarah ke tempat pemujaan klan kita."
"Hmm ". Maksudmu, Itsuku-shima?"
"Ya, Itsuku-shima."
"Ya, aku akan pergi ke sana tahun ini."
Kiyomori, yang biasanya gusar setiap kali ibu tirinya menegurnya karena tipisnya keimanannya, mengejutkan Tokiko dengan persetujuannya.
"Kau serius?" Tokiko menyangsikannya.
Kiyomori tidak bisa menahan tawa ketika melihat mimik wajah Tokiko. Dia sepenuhnya memahami jalan pikiran istrinya, namun sesekali dia bersedia berlagak seperti seorang suami bodoh yang mengikuti apa pun saran istrinya. Ya, dia memercayai mimpi Tokiko; dia akan melakukan apa pun yang diharapkan oleh Mantan Kaisar; dia akan berusaha untuk menjadi seorang abdi setia dan suami yang baik. Semuanya akan dilakukan tepat seperti yang dikatakan oleh istrinya.
"Tidak, aku tidak akan mengolok-olok agama, dan aku berjanji kepadamu untuk melakukan perjalanan ziarah ke Itsuku-shima tahun ini, apa pun yang terjadi. Aku berjanji
... tidak, aku bersumpah."
o0odwkzo0o Bab XXXIX-TABIB ASATORI Asatori meninggalkan rumah Momokawa dan dengan hati riang menuruni bukit. Setahun telah berlalu sejak dia menyampaikan surat pengantar dari Mongaku kepada Tabib Momokawa dan diterima sebagai muridnya. Ada beberapa orang lain yang menimba ilmu kepada Momokawa, namun semangat Asatori dan pengalaman yang didapatkannya dari merawat orang-orang sakit di pemukiman kumuh ternyata bermanfaat di dalam pendidikannya ... pembedahan, pelajaran tentang tubuh dan tanaman herbal, dan pengetahuan tentang berbagai aliran pengobatan baru dari Cina. Seandainya Asatori memilih untuk menjadi pemain musik di Istana, dia mungkin akan mendapatkan kehormatan dan ketenaran, namun di dalam jalan hidup yang dipilihnya, kemiskinan di antara kaum
papa, dia mendapatkan kepuasan yang tidak pernah dirasakannya di Istana. Dalam keadaan kelaparan nyaris sepanjang waktu, sesuatu di dalam kehidupan barunya memberikan rona di pipi tirusnya.
Di seluruh ibu kota, pohon-pohon paulownia telah berkembang, dan Asatori mendesah ketika mendongak untuk memandang bunga-bunga itu. Sejak kuntum-kuntum ungu paulownia berguguran hingga musim gugur tiba, wabah penyakit melanda pemukiman kumuh. Dalam beberapa tahun, wabah tersebut melanda lebih dahsyat daripada biasanya; dia baru saja membaca tentang penyakit disentri yang mematikan, yang belum ditemukan obatnya walaupun kekejamannya telah diketahui oleh semua orang.
Orang kaya maupun miskin rawan terkena penyakit itu, dan mereka yang sudah tertular tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu kematian hingga wabah mereda. Ribuan penduduk ibu kota telah kehilangan nyawa akibat penyakit disentri tahun lalu, hingga hujan salju pertama turun.
Asatori berdoa agar kejadian yang sama tidak terulang kembali tahun ini, karena sepertiga penduduk Jalan Pedagang Sapi telah tewas akibat wabah terakhir.
"Asuka, apakah yang sedang kaulakukan di sini?"
Asatori bertanya dengan heran ketika tiba di Jalan Keenam.
Sebatang paulownia berbunga berdiri di tepi padang rumput berpagar di dekat Jalan Pedagang Sapi. Seorang gadis tengah menunggu Asatori di bawah pohon itu.
"Akhirnya, Asatori!" seru Asuka, berian menyongsong Asatori dan menangis sambil menyambut uluran tangannya.
"Ada apa, Asuka" Apakah kau sedang menungguku?"
"Ya ... " "Apakah Ular datang lagi?"
"Dia datang lagi hari ini dan membentak-bentak kami, mengatakan bahwa dia akan membawaku lagi. Karena itulah aku kabur dan menunggumu di sini."
"Kau tidak perlu takut," Asatori menenangkannya. "Aku akan menebus utang orangtuamu kepadanya, dan aku yakin dia tidak akan memaksamu lagi."
Kekumuhan terlihat bersama setiap belokan yang membawa mereka mendekati Jalan Pedagang Sapi.
Setibanya mereka di pondok berdinding lempung milik si perajin roda kereta, Ular masih ada di sana, mengancam si perajin dan istrinya yang ketakutan. Ular ditemani oleh seorang wanita tua berpakaian mencolok, yang menjelaskan dengan keramahan palsu, "Kau tidak perlu menghabiskan seluruh kehidupanmu di lingkungan mengenaskan ini, bukan" Aku kemari untuk memberimu beberapa nasihat ... dan kau memiliki anak perempuan yang secantik itu! Tidak pernahkah kau memikirkan masa depannya?"
Ryozen dan istrinya tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kepasrahan, namun Ular terus mendesak mereka. "Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta kalian untuk sekarang juga melunasi utang kalian dari tahun lalu.
Jika bukan karena itu, Asuka tidak akan ada di sini sekarang ... aku pasti sudah menjualnya kepada seseorang di timur laut Jangan bilang bahwa kalian sudah melupakan itu! Memangnya untuk apa aku lagi-lagi mau meminjami kalian uang pada musim semi lalu" Karena kalian mengatakan bahwa aku sangat kejam lantaran merenggut putri kalian yang masih kecil. Dan sekarang, wanita ini berjanji untuk mendidiknya menjadi seorang geisha. Apa lagi yang kalian keluhkan" Ini lebih daripada yang layak kalian dapatkan!"
Asatori dan Asuka menerobos kerumunan para tetangga penasaran di depan pintu. Ular dan temannya sepertinya gelisah melihat kerumunan orang yang memerhatikan mereka.
"Kami akan kembali lagi di lain waktu. Kalian berdua, pikirkanlah tawaran dariku ini," ujar Ular dengan garang sebelum pergi.
"Dia pantang menyerah ... si Ular itu. Kalian sebaiknya mengawasi Asuka. Iblis sedang memburunya," Asatori menasihati seraya memeriksa Ryozen, yang seperti biasanya sedang sakit. "Apakah obatmu masih ada" Segera setelah obatmu habis, kau harus mengirim seseorang kepadaku untuk mengambil tambahannya," katanya dengan ramah. Setelah berbincang-bincang sejenak dengan si sakit, Asatori pulang.
Keesokan harinya, Asuka mendatangi rumah Asatori.
"Asatori yang baik, orang itu menyuruh kami untuk mengembalikan jepit rambut ini kepadamu. Apakah ini milikmu?" katanya, menyerahkan benda itu kepada Asatori.
Jepit rambut indah yang terbuat dari emas dan perak itu, yang nyaris tampak terlalu mewah bagi seorang pemusik istana sekalipun, didapat oleh Asatori dari ibunya ketika dia beranjak dewasa, jepit rambut itu biasa dikenakan oleh para pemain musik istana dalam acara-acara resmi. Ibu Asatori memesan jepit rambut itu untuk putranya setelah sebelumnya menjual beberapa barang, dan benda itu menjadi salah satu harta paling berharga yang dimiliki oleh Asatori. Setelah berjanji untuk menebus utang Ryozen kepada Ular, Asatori membujuk Ular agar mau menerima satu-satunya benda mahal yang dimilikinya.
?" Apakah kau serius mengatakan bahwa si serakah itu mengembalikannya?"
"Ya," jawab Asuka."
"Mengapa dia mengembalikannya?"
"Entahlah." "Tapi, aku tidak percaya dia melakukan itu, kecuali jika dia memang berniat untuk datang lagi. Kau sebaiknya menyimpan jepit rambut ini, Asuka, siapa tahu dia memang berniat begitu ".Aku tidak membutuhkannya lagi."
Asuka menerimanya dengan enggan, dan baru setelah gadis itu pergi, Asatori melihat jepit rambutnya telah tergeletak di atas salah satu peti yang digunakannya untuk menyimpan buku-bukunya. Asuka kerap mengunjunginya sejak dia menyelamatkannya dari Ular. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, Asuka lebih sering menghabiskan waktu bersamanya lebih daripada bersama orangtuanya, dan Asatori, yang semakin menyayanginya, mengajarinya membaca dan menulis. Asatori mengagumi bakat Asuka, karena gadis itu tidak hanya pintar membuat kaligrafi tetapi juga lihai dalam menulis puisi. Walaupun jarang ditemui di kalangan kaum rakyat jelata, ayah Asuka, mantan pelayan seorang bangsawan yang dihukum mati setelah Perang Hogen, telah mendidik putrinya seperti layaknya seorang gadis istana.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda wabah penyakit pada tahun ini, namun udara dingin, yang tidak sesuai dengan musim, membusukkan dan mengerutkan gabah dan bibit gandum. Dengan gelisah, orang-orang membicarakan tentang musim paceklik dan bencana kelaparan yang mengancam pada musim dingin.
Pada suatu hari, Asatori berjalan kaki pulang dari rumah Tabib Momokawa. Sambil menghampiri pintu rumahnya, dia berseru memanggil Asuka, berharap gadis itu ada di
sana dan merapikan rumahnya. Dia tidak mendengar jawaban, namun begitu melewati ambang pintu, dia disambut oleh tamu lain, Yomogi, yang memelototinya dengan kesal. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari Asuka dan mendapati gadis itu sedang duduk dengan marah di dapur. Kedua gadis tersebut tidak mengatakan apa-apa. Setelah keheningan yang panjang, Asatori berkata,
"Astaga, ada apa sebenarnya ini?" Dia kebingungan ketika melihat mata kedua gadis itu berkaca-kaca.
"Ah, Yomogi, aku senang karena bisa bertemu denganmu lagi! Kita sudah lama tidak berjumpa, bukan?"
"Apa kabar, Asatori?" jawab Yomogi sambil mengangguk kaku. "Kau mungkin sudah mendengar bahwa nyonyaku mendadak menikah pada musim gugur silam."
"Ya, aku sudah mendengarnya."
"Sejak saat itulah aku kesulitan keluar, karena beliau selalu dikelilingi oleh para pelayan aneh dan menghendakiku untuk sesering mungkin berada di dekatnya."
"Beruntung sekali dirimu! Tapi, kau tidak sepantasnya mendatangi tempat ini, meskipun aku akan senang jika bisa sesekali bertemu denganmu."
"Aku yakin kau senang karena aku tidak bisa sering-sering mengunjungimu."
"Oh, sama sekali tidak!" Asatori menyangkal sambil tertawa.
"Tapi ... aku mengerti. Aku sudah melihatnya sendiri."
"Ada apa ini" Apa maksudmu?"
"Tidak ada ... tidak ada sama sekali."
Yomogi memalingkan wajah dan menangis tersedu-sedu.
Asuka, yang memerhatikan mereka tanpa berkata-kata, mendadak bangkit dan berlari keluar rumah dengan kaki telanjang.
"Asuka! Hei, Asuka, kau hendak ke mana" Ada apa sebenarnya?"
Asatori melongok dari jendela dan memanggilnya senyaring mungkin, namun Asuka tidak mau kembali.
Asatori, yang masih bingung, mulai menduga bahwa Yomogi dan Asuka bertengkar sebelum dia datang. Mereka pasti bersilat lidah gara-gara masalah sepele, pikirnya dengan geli sebelum kembali menemui Yomogi. Dia terkejut ketika mendapati bahwa Yomogi bukan lagi gadis kecil yang dikenalnya sekitar setengah tahun silam.
Segala sesuatu di dalam diri Yomogi sepertinya telah berubah ... caranya menata rambut dan bersikap menunjukkan bahwa dia telah menjadi seorang wanita muda. Mungkinkah, Asatori membatin, naluri kewanitaan, yang muncul pada usia tujuh belas tahun, telah sepenuhnya mengubah Yomogi menjadi sosok memesona ini" Asatori kemudian menyimpulkannya sebagai suatu kewajaran yang luput dari pantauannya. Dia kembali bertanya:
"Yomogi, apakah Asuka tadi melakukan sesuatu yang melukai perasaanmu?"
"Tidak, sama sekali tidak," Yomogi menjawab dengan ketus, lalu menambahkan, "Aku bahkan mengira dia bisu karena dia tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika pertama kali melihatku."
"Dia jarang bertemu dengan siapa pun kecuali para penduduk di sini. Dia miskin dan sangat malu karenanya."
"Tidak, kurasa bukan itu masalahnya."
"Kalau begitu, apakah itu?"
"Dia memelototiku seolah-olah dia ingin mengusirku.
Aku mengira kau akan menikahinya. Benarkah itu, Asatori?"
Asatori terpana. Jengah oleh tatapan menyelidik dari Yomogi, dia terpaksa membuang muka. Dia merasakan wajah dan telinganya memanas ketika menyadari bahwa dialah alasan tatapan cemburu
itu. Tetapi, dia terkejut ketika menyadari bahwa seorang gadis secantik Asuka juga bisa merasa cemburu. Dia memikirkan apakah Yomogi telah memiliki perasaan berbeda kepadanya pada musim gugur silam, ketika dia masih memperlakukannya seperti layaknya seorang bocah.
"Apakah nyonyamu menyuruhmu kemari?" Asatori bertanya, mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, aku ingin meminta nasihatmu dalam suatu perkara."
"Oh ?"" tanya Asatori, menantikan penjelasan.
"Asatori, aku berpikir untuk meninggalkan majikanku dan hidup di sini. Bagaimana pendapatmu tentang itu?"
"Maksudmu, kau akan meninggalkan Nyonya Tokiwa?"
"Aku tidak senang memikirkan akan meninggalkan beliau sendirian di sana, tapi ... "
"Tapi, kau sudah menyertai beliau semenjak putra-putranya lahir, bukan" Aku khawatir beliau akan kehilangan dirimu."
"Ya, aku juga sudah memikirkannya secara mendalam."
"Apa yang membuatmu berpikir bahwa dirimu ingin menjalani kehidupan di sini?"
"Bukankah kau selalu mengatakan kepadaku bahwa kemewahan hanya ada di permukaan" Bahwa kita tidak bisa membandingkan orang kaya dengan orang miskin, karena kau justru menemukan kebaikan sejati di antara mereka" Aku sudah memikirkannya, dan aku yakin bahwa kau benar."
"Tapi, Yomogi, tidak ada alasan bagimu untuk memilih kehidupan sengsara di sini padahal ada banyak orang yang bersedia melakukan apa pun untuk pergi dari sini!"
"Aku sudah muak dengan kemewahan. Ketika aku mengetahui bahwa kau melepaskan pekerjaanmu sebagai pemain musik istana karena merasa sepertiku, aku menyadari bahwa aku juga ingin tinggal di sini."
"Tidak, kau tidak akan sanggup hidup di sini setelah lama bergelimang kemewahan. Kau harus berbicara kepada nyonyamu dan mendengar pendapat beliau tentang keinginanmu ini"
"Tentu saja beliau akan menghentikanku. Sejujurnya, perasaanku kepada beliau sudah berubah, terlebih lagi setelah apa yang terjadi antara beliau dengan Tuan Kiyomori, lalu beliau menikah lagi. Dan walaupun kecantikan beliau sungguh memesona, memalukan sekali Yomogi telah dewasa, renung Asatori; dia telah menjadi seorang wanita yang bisa menilai wanita lain. Dia mulai meragukan majikannya dan gelisah ingin menjalani masa depannya sendiri. Tetapi, Asatori risau ketika menyadari bahwa Yomogi memintanya untuk berbagi masa depan bersamanya. Bagaimanakah dia akan menolak Yomogi"
Hati Asatori mencelus ketika dia memikirkan tugas yang diembannya. Tetapi, Yomogi sepertinya senang hanya dengan berada di sana, mengobrol dengannya dan mengabaikan waktu yang terus berjalan. Ketika malam tiba,
Yomogi membantu Asatori menyiapkan makan malam sederhana dan mereka pun menyantapnya bersama.
"Kau sebaiknya pulang sekarang,Yomogi"
"Ya, tapi segera setelah nyonyaku mau melepaskan ku, kau akan mengizinkanku tinggal di sini, bukan, Asatori?"
Tetapi, Asatori membungkamnya dengan mengatakan,
"Yah, apabila Mongaku sudah tiba kembali di ibu kota, kau harus menanyakan pendapatnya. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan."
Asatori mengantar Yomogi hingga tiba di persimpangan jalan, lalu kembali ke rumahnya dan mendapati bahwa lenteranya menyala. Api lentera bergoyang-goyang tertiup angin sepoi-sepoi; dia mengangkat lentera dan meletakkannya di atas meja, lalu mulai membuka buku-buku pengobatannya. Kemudian, dia mendengar percikan air di dekat rumahnya; gemeretak galah bambu. Dia melongok ke beranda dan melihat sebatang galah bambu telah disangkutkan di antara cabang-cabang sebatang pohon; sesosok gadis bertubuh mungil
sedang menggapai untuk menjemur cucian. "Kaukah itu, Asuka, yang ada di luar sana" Jangan coba-coba mencuci di tengah kegelapan. Masuklah kemari, di sana dingin."
"Tapi, kalau aku mencuci sekarang, kau akan memiliki kimono bersih untuk kaukenakan besok."
"Oh, sebaik itukah dirimu hingga mau mencucikan baju kotorku?"
"Aku baru mulai melakukannya tadi siang, waktu tamumu datang, jadi ... " kata Asuka, dengan malu-malu berjalan ke beranda. Dia akhirnya duduk di samping Asatori, dengan lembut merawat jarinya yang sakit.
"Kau terkena serpihan kayu?"
"Dari galah bambu itu."
"Mana, biar kuperiksa." Asatori menarik tangan Asuka dan mendekatkannya ke matanya. "Di sini terlalu gelap, masuklah ke dekat lentera." Asatori menggunakan sebuah penjepit untuk mencabut serpihan bambu yang memasuki jari Asuka. Asuka memasrahkan tangannya dan sepertinya tidak keberatan dengan rasa sakitnya.
"Ah, ini dia ... sudah keluar! Kau pasti kesakitan, jarimu berdarah."
"Tidak, tidak apa-apa."
"Perdarahannya akan segera berhenti," Asatori menenangkannya, mendekatkan jari Asuka ke mulutnya dan mengisapnya. Asuka tiba-tiba menangis. Asatori cepat-cepat memeluknya dan membuainya seolah-olah Asuka seorang bocah kecil.
"Mengapa kau menangis, Asuka?" tanyanya.
"Karena aku bahagia ... sangat bahagia," jawab Asuka di antara isak tangisnya.
"Berhentilah menangis, kalau begitu."
"Aku menangis karena aku tidak akan bisa datang kemari lagi."
"Mengapa kau berkata begitu?"
Asuka tidak mau menjawab dan Asatori terus mengayun-ayunnya di atas pangkuannya. Anak malang, pikirnya, begitu haus kasih sayang, anak pemukiman kumuh ini.
"Asuka, mengapa kau meninggalkan jepit rambut yang kuberikan kepadamu tempo hari" Kau harus membawanya malam ini " kau tidak boleh malu."
"Apakah jepit rambut itu benar-benar untukku?"
"Kau tahu, kau bisa menjualnya. Untuk membeli baju yang bagus, mungkin?"
"Tidak ... " Asuka menggeleng. Dia menggenggam jepit rambut itu dan akhirnya tersenyum. "Aku akan menyimpannya selamanya ... seumur hidupku."
Asuka akhirnya pulang setelah kesedihannya mereda, dan Asatori kembali menekuni buku-bukunya. Tetapi, malam ini, isi buku-buku itu sepertinya mustahil untuk dipahami, dan percuma saja dia membacanya.
Sekitar seminggu kemudian, Asatori, yang telah dua atau tiga hari tidak bertemu dengan Asuka, singgah di rumah Ryozen sebelum pulang ke rumahnya. Dia terperangah ketika mengatahui bahwa seorang bocah bungkuk dan seorang pincang telah pindah ke rumah Ryozen dengan membawa seluruh harta mereka ... sebuah kuali dan sebuah ember kayu.
Si pincang berkata dengan nada dengki. "Kau mencari Ryozen" Dia sudah pindah kemarin lusa ke sebuah rumah bagus di daerah pusat hiburan sana ... jauh berbeda dari gubuk lempung ini. Kudengar seorang kaya sudah menjemput putrinya. Aku hanya punya si bungkuk ini; tidak seorang pun menghendakinya waiaupuan aku mau memberikannya. Kau tabib, bukan" Kau bisa menyembuhkannya, bukan?"
Malam itu, Asatori seperti biasanya menyibukkan diri dengan buku-bukunya, namun dia kesulitan memahami apa yang dibacanya karena wajah Ular dan si mucikari tua terus
menerus berkelebat di antara dirinya dan bukunya yang terbuka. Dia juga sakit hati karena Ryozen tidak berpamitan kepadanya. Pertemanan semacam itu sudah biasa di lingkungan kumuh, tempat orang-orang datang pada pagi hari dan pergi begitu saja pada malam hari; peristiwa seperti ini sudah sering terjadi, katanya kepada dirinya sendiri; dia tidak memiliki alasan untuk merasa sakit hati. Dia tak henti-hentinya memikirkan Asuka. Gadis itu bukan anaknya. Lagipula, apakah yang bisa diperbuatnya untuk Asuka" Apakah yang membuatnya tertarik kepada Asuka"
Sejumlah ngengat dan serangga kecil bertebaran di atas meja dan buku-bukunya, menjemput ajal bersama godaan api. Sebagian serangga itu tampak cantik dan rapuh ...
seperti Asuka; sebagian yang lain ... yang buruk rupa ...
mengingatkannya kepada Ular. Apakah yang bisa dilakukan oleh Asatori selain mengobati orang sakit"
Membahagiakan Asuka" Mana mungkin! Mengapa dia percaya bahwa dirinya bisa menolong orang lain" Sudah menjadi seangkuh itukah dirinya sehingga merasa sanggup menanggung beban mahaberat bagi seorang manusia" Dia bahkan tidak mampu menyembuhkan orang sakit!
Asatori keluar dari rumahnya dan mengguyurkan seember air sumur ke tubuhnya, sebagian untuk mengusir rasa kantuknya.
Ketika sedang mengeringkan diri dan mengenakan kimono katunnya, dia melihat orang-orang berdiri di atas atap, berseru-seru, "Dari manakah asal apinya?"
"Dari Horikawa."
"Di daerah hiburan malam atau sekitarnya."
Asatori mendongak dan melihat pendar merah di langit.
Ketika mendengar bahwa api berasal dari suatu tempat di pusat hiburan, dia mendadak tergoda untuk mengikuti
derap kaki orang-orang. Tetapi, dia malah kembali ke rumahnya, menutup kerai-kerai jendelanya, dan bersiap-siap tidur. Sesekali, dia mendengar buah kesemek mentah jatuh dan bergulir di atap tipis di atas kepalanya.
o0odwkzo0o Bab XL-PERMATA LAUT DALAM berombongan kecil perahu sedang bersiap-siap untuk bertolak menuju Yodo, dan para pengantar bersorak sorai di tepi sungai. Meredanya kesibukan di Istana yang bertepatan dengan kehadiran musim panas akhirnya memberikan kesempatan kepada Kiyomori untuk melakukan perjalanan ke Itsuku-shima dan beribadah di tempat pemujaan leluhurnya. Perahu dari berbagai jenis dan ukuran ada di sana: perahu berkabin, perahu pengangkut kuda-kuda dan persenjataan, perahu pengangkut bahan makanan, semuanya memenuhi sungai dan siap diberangkatkan.
"Apakah Tokitada belum juga datang?" Kiyomori bertanya dengan gusar.
"Dia akan tiba sebentar lagi," jawab Norimori untuk menenangkan kakaknya yang tidak sabaran.
Bersama Norimori dan dua orang panglimanya, Michiyoshi si mantan perompak, akan mengawal Kiyomori dalam perjalanan melintasi Laut Dalam yang telah diakrabinya. Para tukang kayu, tukang batu, tukang angkut, dan pekerja lainnya juga termasuk di dalam rombongan beranggotakan sekitar tiga puluh orang itu.
Kiyomori menoleh ke arah Hidung Merah, yang berdiri di belakangnya. "Bamboku," katanya, "Tokitada belum datang. Apakah sebaiknya kita berangkat tanpa dirinya?"
"Yah, kita bisa menunggu sebentar lagi. Tuan Tokitada terlambat, namun pasti akan datang."
"Apakah menurutmu yang menghambatnya?"
"Bukan urusan Istana melainkan urusan yang melibatkan salah seorang pelayannya. Ada kebakaran di wilayahnya semalam."
"Mengapa perkara itu sampai membuatnya terlambat?"
"Saya mendengar bahwa salah seorang pelayannya berkelahi dengan pelan seorang bangsawan, dan itulah penyebab kebakaran semalam."
"Perkelahian antara kedua prajurit itu?"
"Sepertinya perkelahian semacam itu semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Para pengawal di Istana Kekaisaran dan Istana Kloister kerap saling menghina dan memancing perkelahian."
"Persaingan para penguasa telah merembes ke bawah"
Patut disayangkan ... "
"Kemarahan para prajurit sepertinya belum mereda sejak pembantaian besar-besaran dalam dua perang terakhir. Saya tidak suka mengatakannya ... tapi, para samurai semakin semakin beringas akhir-akhir ini."
"Kita harus mengabaikan persoalan itu untuk saat ini.
Mereka sudah sangat lama tertindas dan baru mulai mendapatkan kekuasaan. " Tapi, apakah yang sebenarnya terjadi semalam?"
"Si pelayan minum terlalu banyak dan menghujat selir kedua Yang Mulia ". Pelayan lainnya mendengarnya dan membantahnya. Itulah awalnya."
"Pertengkaran itukah yang menyebabkan kebakaran?"
"Begitulah." "Kita bisa mengabaikan kelakuan pongah para prajurit rendahan itu, namun menyulut api dan menjadikan politik sebagai alasan pertengkaran pribadi tidak bisa ditoleransi."
"Sepertinya memang para prajurit ini menjadikan pertikaian antara pemimpin mereka sebagai alasan pertengkaran mereka."
"Apa yang bisa dilakukan oleh para prajurit itulah yang mengkhawatirkanku. Kuharap Tokitada bisa mengawasi mereka selama aku peragi."
"Oh, itu Tuan Tokitada ... tepat pada waktunya!"
Wajah Kiyomori tampak berseri-seri ketika dia mengedarkan pandangan ke tepi sungai dan melihat Tokitada turun dari kudanya di tengah-tengah deretan kereta. Dia sepertinya sangat terburu-buru; setelah berhasil menerobos kerumunan pengantar, Tokitada naik ke perahu Kiyomori.
Di balik kerai yang tertutup, Kiyomori dan Tokitada berbicara selama beberapa waktu. Kiyomori menganggap Tokitada sebagai tangan kanannya dan mengandalkannya lebih daripada adik-adiknya sendiri.
?" Baiklah, kalau begitu, aku akan menyerahkan tanggung jawab kepadamu," Kiyomori mengakhiri pembicaraan, dan Tokitada segera menuju tepi sungai untuk bergabung dengan rombongan pria dan wanita dari Rokuhara, yang datang untuk melepas kepergian Kiyomori.
Di musim kemarau ini, permukaan Sungai Yodo menyurut Lambung perahu menyentuh dasar sungai di bagian terdalam sekalipun sehingga para awak perahu dan prajurit terpaksa harus menarik atau mendayung dengan giat untuk melewati bagian yang dangkal. Tanpa adanya angin yang bertiup, panasnya udara nyaris tak tertahankan.
Kiyomori berencana untuk berlayar mengikuti arus Sungai Kanzaki menuju teluk, dan dari sana beralih ke kapal laut menuju Bandar Owada (Kob6), namun kedangkalan sungai mengharuskan rombongannya untuk menunggang kuda keesokan harinya dan melanjutkan perjalanan melintasi hamparan pasir yang kering kerontang di sepanjang pesisir. Mereka jarang melihat tanda-tanda kehidupan manusia di sana; angin barat daya tanpa henti-hentinya
menyemburkan serpihan daun cemara ke pantai, dan dari waktu ke waktu, mereka melihat sampah-sampah dari Cina mengapung di permukaan laut, terbawa oleh arus dan angin. Tetapi, udara hari itu cerah dan rombongan Kiyomori bersemangat tinggi.
Daerah yang mereka lalui, dan yang mereka sebut Fukuhara ... Dataran Keberuntungan ... menghadirkan banyak kenangan bagi Kiyomori.
?" Di sinilah kami berlabuh pada 1153, ketika aku berlayar bersama ayahku. Kami hendak meredakan pergolakan di barat dan mendarat di sini ". Perkampungan nelayan itu dan pepohonan pinus yang di sana tidak banyak berubah. Hanya waktu yang berubah ... dan aku."
Seluruh tanah kekuasaan Heik6 ... Is6. Bingo, Higo, Aki, Harima ... berbatasan dengan laut. Semua kenangan masa muda Kiyomori mengenai ayahnya, pencapaian-pencapapain Heik6, tidak bisa dilepaskan dari laut, dan
Fukuhara merupakan tautan antara peristiwa menentukan pada masa lalu dan angan-angan masa depan Kiyomori.
Selama hampir tiga minggu, Kiyomori tinggal di Fukuhara untuk melakukan berbagai persiapan. Pada tahap itu, dia kerap mengajak Bamboku menjelajahi wilayah perbukitan dan pegunungan di sekitar sana, atau menghabiskan seharian untuk berkeliaran di bawah sinar matahari yang terik. Di lain waktu, Kiyomori memerintah kepala pekerjanya untuk melakukan pengukuran kedalaman air di sekitar Semenanjung Owada dan mulut sungai.
Ketika hujan menghalangi mereka untuk keluar, Kiyomori memerintahkan pemetaan desa-desa di sekitar tempat itu, kemudian menghabiskan malamnya untuk mencermati peta-peta yang telah dibuat, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Kendati dirinya sendiri tidak kenal lelah, Kiyomori menyedot tenaga anak-anak buahnya dengan mengajak mereka berunding hingga larut malam. Kemudian, setelah semua orang tidur, dia mendadak duduk tegak di kasurnya, menyalakan lentera, dan melanjutkan mempelajari peta hingga fajar menyingsing.
"Saya bertanya-tanya, apakah bijaksana jika kita tinggal di sini lebih lama" Bagaimana pendapat orang-orang di ibu kota ketika mengetahui tentang hal ini?" tanya Bamboku pada suatu hari.
Kiyomori menggeleng. "Aku tidak tahu. Mereka mengira kita sedang melakukan perjalanan ziarah ke Itsuku-shima."
"Jika memang begitu adanya. Tuan, biarkanlah saya tinggal di sini untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada.
Saya akan mengikuti rencana Anda untuk memeriksa
wilayah di sekitar sini, memastikan kecukupan pasokan air, dan menyelidiki kemungkinan pembangunan jalan."
Mengikuti saran Bamboku, Kiyomori meninggalkan beberapa orang pekerja ahli di sana dan meneruskan perjalanan ke Itsuku-shima melalui laut Selama berhari-hari, dia mengisi paru-parunya dengan udara segar yang tanpa henti bertiup dari samudra biru. Bersama banyaknya pulau yang mereka lewati di sepanjang Laut Dalam, angan-angan Kiyomori semakin melambung dengan bebasnya, dan dia berseru, "Ah, begitu sesaknya ibu kota! Ada terlalu banyak orang hebat yang menjejali liang sempit itu! Rumah masa depanku akan dibangun dengan pemandangan laut ini. Kalian akan melihat sendiri pencapaian-pencapaian hebatku di laut!"
Pada suatu hari, garis pantai Itsuku-shima akhirnya terlihat, meliuk-liuk diterpa ombak.
Para pendeta dan perawan kuil segera berdatangan ke pantai untuk menyambut Kiyomori. Setelah berlabuh, Kiyomori segera mendapati bahwa kuil dan tempat-tempat pemujaan yang ada di sana telah hampir runtuh; angin lautlah penyebabnya, namun pepohonan pinus yang berdiri di sepanjang pantai tetap menawan.
Kiyomori dan rombongannya beristirahat di sebuah penginapan di dekat pantai, dan keesokan harinya, dia memulai peribadatannya pekan itu.
Selama Kiyomori tinggal di pulau itu, tak terhitung banyaknya tamu dari daratan telah berperahu ke sana untuk menyampaikan penghormatan kepadanya, yang ketenarannya telah tersiar ke seluruh negeri. Para samurai uzur yang pernah mengabdi kepada kakek Kiyomori datang, begitu pula para samurai yang hendak mengenang almarhum Tadamori; para prajurit yang pernah mengabdi
kepada Kiyomori di masa lalu juga berdatangan untuk menjumpainya sekali lagi.
"Saya merasa seperti sedang pulang kampung," kata Kiyomori kepada para tamu yang menghadiri perjamuan untuknya. "Tempat ini terasa bagaikan kampung halaman bagiku sehingga saya tidak ingin lagi pulang ke ibu kota."
Kiyomori tinggal selama dua minggu di sana, dan dia telah mengungkapkan rencananya kepada kepala pendeta di Itsuku-shima. Rencana-rencana itu sungguh besar ... saking hebatnya, sang kepala pendeta hanya sanggup mendengarkan dengan takjub. Kiyomori adalah seorang samurai, yang berkedudukan setara dengan seorang penasihat di Istana, masih berusia empat puluhan ... namun kata-katanya menunjukkan pandangan yang sangat luar biasa! Mengenai hal ini, Kiyomori berkata:
"Kami tidak mungkin meninggalkan pulau yang permai ini dalam keadaan penuh reruntuhan. Saya ingin melihat ...
dan saya tidak bisa mengatakan kepada Anda secepat apa ini akan terjadi ... pesisir dan perbukitan dengan keindahan alaminya ini bersinar lebih cemerlang daripada Kyoto.
Sebuah gerbang lengkung yang belum pernah dibayangkan oleh siapa pun akan didirikan, menyambut setiap orang yang merapat ke Itsuku-shima dari laut, dan siapa pun yang akan beribadah di sini akan masuk melalui gerbang yang indah. Tempat pemujaan utama dan bangunan-bangunan di sekitarnya akan dihubungkan oleh lorong-lorong lebar, menjulang tinggi di atas laut, dan gelombang pasang dan surut akan menjadikan pemandangan semakin indah. Pada malam hari, seratus buah lentera batu akan dinyalakan dan cahaya cemerlangnya akan menyapu gelombang, menjadikan pulau ini semakin menawan. Aula peribadatan utama akan cukup luas untuk menampung ribuan jemaat; menara-menara dan pagoda-pagoda bertingkat lima akan
menjulang melampaui hutan pinus di kaki perbukitan.
Tempat pemujaan dan menara-menara itu, yang berdiri dengan latar belakang perbukitan, akan mempercantik pulau ini ?"
Dengan semangat menggelora berkat gambaran yang dilukisnya sendiri, Kiyomori melanjutkan, "Ini tidak akan dilakukan untuk kepuasan saya semata, tetapi juga untuk semua orang yang khusus datang dari ibu kota demi menyaksikan pemandangan indah di sini. Mereka yang berlayar melewati tempat ini dari negeri nun jauh di sana ...
dari Cina ... akan berkata, "Lihatlah, ini Jepang, tempat pulau terkecil dan terpencil sekalipun dibangun dengan indah!" Mereka boleh saja mengatakan bahwa kita meniru bangunan mereka, namun keindahan pepohonan pinus dan pasir putih di pantai, yang berubah-ubah mengikuti musim, adalah keunikan tempat ini. Dan apabila mereka menjauh dari laut, karya seni agung kita yang tidak lekang oleh masa akan terbentang di hadapan mereka ... dari era Asuka, Nara, dan Heian ". Dan apabila kapal mereka berlabuh di Owada, saya akan menerima mereka di rumah saya.
Owada" Mungkin butuh waktu lama, namun saya berniat untuk mendirikan sebuah pelabuhan besar di sana, yang terlindung dari angin dan ombak. Dan setelah rumah pembangunan peristirahatan saya di Fu ku hara selesai, saya akan datang kemari untuk beribadah setiap bulan, menggunakan kapal yang semegah kapal Cina ?"
Bagi para pendengarnya, ucapan Kiyomori hanyalah omongan muluk-muluk, ocehan orang gila ... sebuah mimpi yang mustahil terwujud. Tetapi, semangat Kiyomori mengingatkan mereka pada laut, dan mereka dengan bangga mengatakan bahwa Kiyomori adalah salah seorang dari mereka.
Ketika Kiyomori hendak pulang, mereka membanjirinya dengan hadiah ... harta benda yang tak ternilai harganya dari Cina ... dupa, kayu cendana yang harum, pakaian, kain sutra, kain brokat berat, lukisan, barang pecah belah, berbagai macam kerajinan tangan, dan obat-obatan. Tidak semuanya berasal dari Cina, karena sebagian di antaranya berasal dari sejumlah negeri yang berbatasan dengan Laut Mediterania di sebelah timur, yang dikirim menggunakan karavan dari Arab dan Teluk Persia.
Pemandangan, wewangian, dan berbagai macam barang eksotis yang ada di hadapannya menjadikan Kiyomori semakin tidak sabar. "Tunggu, tunggulah hingga pelabuhan di Owada selesai dibangun," dia terdengar berkali-kali mengatakan itu. Kendati begitu, hari itu mendekatinya dengan sangat lambat, bagaikan bayangan yang merayap perlahan di bawah jam matahari.
Di Owada, Kiyomori sekali lagi bertandang sebelum kembali ke Kyoto untuk menemui Bamboku, dan pada bulan September, setelah pergi selama satu setengah bulan, dia tiba kembali di ibu kota.
o0odwkzo0o Ada sesuatu yang salah. Kiyomori langsung menyadarinya begitu dia memasuki gerbang Rokuhara.
Putra sulungngnya, Shigemori, salah satu orang pertama yang menyambutnya, mengatakan, "Paman bedebah itu telah melakukan kesalahan serius selama Ayah pergi, namun Ayah sebaiknya mendengar sendiri ceritanya dari Yorimori."
Kiyomori mengernyitkan keningnya dengan kesal mendengar nada yang digunakan oleh putranya untuk membicarakan Tokitada. Tingkah Tokitada memang kerap dianggap serampangan oleh Shigemori yang berpikiran
serius, namun Kiyomori jauh lebih menyukai keliaran dan keteledoran Tokitada daripada kelurusan putranya.
Jantungnya, bagaimanapun, berdegup lebih kencang ketika dia mendengar pemberitahuan Shigemori.
"Ada apa" Apakah dia menyeret Yorimori untuk bertingkah memalukan?"
"Ada sesuatu yang lebih serius daripada biasanya.
Paman terlibat di dalam sebuah persekongkolan yang bisa menggoyahkan pemerintah."
"Aku tidak percaya dia bahwa dia bisa bersekongkol untuk menggulingkan Kaisar."
"Tidak, tapi akan sulit bagi Yang Mulia untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang lain."
?" Baiklah, kita akan menunggu. Aku akan berbicara lagi denganmu nanti," kata Kiyomori, meninggalkan Shigemori.
Setelah menemui sejumlah penghuni rumahnya dan mendengar bagaimana mereka merampungkan tugas mereka selama kepergiannya, Kiyomori memasuki kamar istrinya dan mendapati Tokiko yang menatapnya dengan air mata berlinang.
"Aku tidak bisa mengampuni diriku sendiri atas apa yang telah terjadi ?" isaknya, dan di antara sedu sedannya,Tokiko bercerita.
Selagi Kiyomori lama meninggalkan Rokuhara, dia mendengar, pergesekan tetap kerap muncul di antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Ada rumor yang mengatakan bahwa Tokitada dan Yorimori, keduanya pegawai di istana, bersekongkol untuk menempatkan putra Kaisar Kloister di singgasana. Desas-desus itu segera sampai di telinga Kaisar Nijo, dan sang penguasa yakin
bahwa bukan Tokitada melainkan ayahnyalah. Kaisar Kloister, yang menjadi dalang persekongkolan. Tetapi, beberapa waktu kemudian, Tokitada dan Yorimori diturunkan pangkatnya dan diasingkan.
Kiyomori menggerutu setelah mendengar cerita Tokiko.
Tetapi, Tokiko melihat senyum tipis mengambang di bibir suaminya ketika dia menenangkannya, "Tidak ada alasan bagimu untuk menyalahkan dirimu. Kaisar Kloister memang telah merencanakan ini. Beliau tidak akan bisa dihentikan oleh Tokitada sekalipun. " Walaupun begitu.
Tokitada terlalu gegabah dalam mengambil tindakan. Ada kemungkinan bahwa ketergesa-gesaannya untuk meraih sesuatu selama aku pergi memberikan alasan kepada Yang Mulia Kaisar untuk mencurigaiku, dan dengan begitu, aku pun mau tidak mau harus berpihak kepada Kaisar Kloister; itulah tujuan sesungguhnya dari Yang Mulia."
"Tapi, apakah yang benar-benar terjadi menurutmu?"
"Jangan khawatir, aku sudah pulang sekarang,"
Kiyomori meyakinkan Tokiko dengan ketenangannya dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Tokiko kecewa karena suaminya menolak untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, namun pikirannya sendiri mulai bekerja.
Mungkinkah suami dan adiknya memang telah berencana untuk menggulingkan Putra Mahkota dan
menggantikannya dengan sang pangeran muda, keponakan mereka sendiri" Apakah Kaisar Kloister turut mengetahui rahasia ini" Kemungkinan merisaukan ini menyiksa batin Tokiko. Ke manakah ambisi meledak-ledak para pria itu akan membawa mereka, pikirnya. Tetapi, apa pun pikiran yang ada di benak Kiyomori, Tokiko tahu bahwa suaminya, seperti pria lainnya, tidak akan membaginya kepadanya.
Segera setelah tiba kembali di ibu kota, Kiyomori langsung melapor ke Istana dan menghadap Kaisar Nijo.
Walaupun dirinya termasuk di antara beberapa orang kepercayaan kaisar muda itu, Kiyomori tidak sekali pun menyebut-nyebut tentang Kaisar Kloister, ayah Nijo, dan Nijo pun sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang Tokitada.
Keesokan harinya, Kiyomori menemui Kaisar Kloister.
Di matanya, Mantan Kaisar Goshirakawa sepertinya diam-diam merasa puas berkat keberhasilan intrik terbaru, yang diyakininya terjadi karena andil Kiyomori. Tetapi, ketika mengakhiri ceritanya tentang perjalanannya ke Itsuku-shima, Kiyomori membungkuk dengan takzim dan mengatakan:
"Saya juga harus menceritakan bahwa ketika menyepi selama tujuh hari dan tujuh malam, saya mendapatkan wahyu yang turun melalui sebuah mimpi."
"Sebuah mimpi?" ulang Goshirakawa, terkejut ketika mendengar nada serius yang digunakan oleh Kiyomori, yang biasanya tidak memercayai takhayul.
"Ya, saya yakin bahwa itu adalah pesan yang dikirim oleh para dewa. Saya mendengar deburan ombak dan sebuah suara yang berasal dari gumpalan awan lembayung di atas saya."
"Sebuah pesan suci?"
?"Kiyomori," katanya, "apabila kau sudah benar-benar menelaah masalah yang sedang kauhadapi, sebagai seorang abdi yang setia, katakanlah ini kepada pemimpinmu: hanya ada satu matahari di angkasa, namun di muka bumi ini.
Istana Kekaisaran dan Istana Kloister memiliki dua orang pemimpin yang berbeda, dan keduanya menyatakan diri mereka sebagai penguasa tertinggi. Perselisihan seperti apakah yang akan menyusul, dan kemalangan apakah yang akan dirasakan oleh rakyat?""
"Sebentar, Kiyomori, apakah itu kaudengar di dalam mimpimu?"
"Ya, di dalam mimpi. Saya seolah-olah sedang berada di dalam sebuah kereta wanita, mengarungi laut, dan, jika Anda percaya, sepasang rubah menarik kereta saya!"
Goshirakawa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Kiyomori ingin tertawa lebih nyaring, namun dia menahan diri dan melanjutkan berbicara dengan nada serius, "Itu adalah isi mimpi saya. Tapi, saya harus mengakui bahwa Tokiko lebih pintar dalam menafsirkan mimpi."
"Aku memahami maksudmu, Kiyomori. Cukup ...
cukup untuk saat mi "Saya senang jika makna mimpi saya jelas bagi Anda,"
kata Kiyomori, "namun izinkanlah saya menambahkan sepatah kalimat lagi. Semoga tumbuh kedamaian di antara ayah dan anak."
Raut wajah Goshirakawa seketika berubah akibat kata-kata itu.
?" Ya, Kiyomori, aku akan mengambil hati perkataanmu. Kau tidak perlu cemas. Kaisar adalah putraku dan aku tidak memiliki alasan untuk membencinya"
Kendati begitu, tidak lama kemudian, pada bulan Oktober, Kaisar Nijo memerintah dua orang pejabat tinggi, orang-orang kesayangan Goshirakawa ... ayahnya ... untuk mengundurkan diri dari jabatan mereka. Dan, walaupun berbagai macam perkiraan dan desas-desus telah beredar, Kaisar Nijo tidak pernah menjelaskan alasannya yang sesungguhnya. Anehnya, Goshirakawa, yang dalam keadaan wajar tidak akan tinggal diam, kali ini sama sekali tidak berkomentar.
Pada bulan Maret tahun berikutnya, Kaisar Nijo membebaskan Tsunemung si pejabat Istana, yang diasingkan oleh Goshirakawa seusai perang.
Pada 1165, tiga setengah tahun setelah perjalanan ziarah ke Itsuku-shima, Kiyomori masih larut dalam impiannya untuk menjadikan Owada sebuah kota pelabuhan besar dan pusat perdagangan dengan Cina. Kiyomori telah banyak berubah sepanjang waktu itu ... menjadi lebih dewasa.
Setiap waktu luang yang dimilikinya dihabiskan untuk menyerap berbagai pengalaman Bamboku sebagai saudagar; dia tak henti-hentinya bertukar pendapat dengan Bamboku, mematangkan berbagai rencana, mengabdikan dirinya tanpa kenal lelah pada impiannya hingga dia bisa menarik kesimpulan bahwa yang dibutuhkan oleh Owada hanyalah sebuah pelabuhan yang bagus. "Tapi, aku tidak tahu bagaimana aku akan menanggung biayanya seorang diri,"
akunya kepada Bamboku. Jelas bagi Kiyomori bahwa dia tidak mungkin mengharapkan pertolongan dari Kaisar Kloister karena ambisi Goshirakawa tertuju ke tempat lain
... meraih kekuasaan mutlak. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan rencana besar ini kecuali dengan menyampaikannya kepada Kaisar Nijo. Dan, karena kedua penguasa tersebut sama-sama mengandalkan kekuatan militer darinya, Kiyomori menyambar kesempatan ini untuk menyampaikan dua buah permohonan kepada Nijo.
Yang pertama, hak untuk menduduki wilayah Fukuhara di Owada, langsung dikabulkan. Yang kedua ... modal untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan di Owada ...
diabaikan. Nijo dan para penasihatnya hanya menanggapi impian muluk-muluk Kiyomori dengan senyuman. Sebagai seorang samurai, seorang Heik6, memimpikan perdagangan dengan luar negeri adalah sesuatu yang konyol ... sebentang tanah untuk mendirikan rumah peristirahatan di Fukuhara masih bisa dipahami, namun ". Kendati begitu, tekad
Kiyomori tidak tergoyahkan dan bahkan tumbuh semakin besar.
Di luar pengetahuan Kiyomori, Kaisar Kloister diresahkan oleh desas-desus dari berbagai pihak. Dia mendengar bahwa bukan perdagangan yang menjadi sasaran Kiyomori melainkan pembangunan sebuah pusat militer di wilayah barat, tempat sepasukan kapal perang akan dilabuhkan di Owada, di dekat daerah yang dihuni oleh banyak anggota klan Heike.
Pada tahun yang sama, selama puncak musim panas di bulan Juli, Kaisar Nijo, sang penguasa muda yang telah lama sakit parah, mendadak wafat, dan sebuah upacara pemakaman kekaisaran diselenggarakan pada malam tanggal 27 di Kuil Koryuji, di wilayah utara ibu kota.
o0odwkzo0o

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR
Guruh bersahut-sahutan di kejauhan selama beberapa waktu, dan rerumputan tampak layu akibat lama terpapar sinar matahari yang terik. Walaupun udara sangat panas, masyarakat berbaris dari ibu kota dan bahkan dari wilayah Kinugasa yang jauh untuk mengiringi kereta jenazah Kaisar Nijo.
"Kurasa kita akan kehujanan, Yomogi."
"Tidak adakah pohon yang bisa kita jadikan sebagai tempat berteduh" ... Oh, lihat, orang-orang mulai bubar!"
"Ada sebuah kuil di dekat hutan kecil itu."
Asatori dan Yomogi bergegas berlari ke bawah naungan atap kuil tersebut, yang telah didatangi oleh banyak orang lain.
Empat tahun telah berlalu sejak Yomogi, menentang nasihat Asatori, meninggalkan Tokiwa. Sebelum Asatori menyadari apa yang terjadi, Yomogi telah tinggal bersamanya sebagai istrinya, dan dia pun berangsur-angsur bisa menerima keadaan ini dan terbiasa dengan perannya sebagai seorang suami.
"Oh, aku takut sekali!" Yomogi gemetar dan berpegangan erat-erat ke lengan Asatori setiap kali mendengar guruh menggelegar.
Mereka mendengar bahwa kereta jenazah Yang Mulia akan tiba di kuil di Bukit Funaoka malam itu.
Di tengah kemuraman sore itu, cahaya terang benderang menerangi langit ketika petir menyambar membelah awan tebal yang menaungi Bukit Funaoka, dan semua orang terpana seolah-olah pemandangan mengagetkan itu adalah sebuah pertanda.
"Hei, kalian, menyingkirlah dari sini sekarang juga!
Kami akan menggunakan tempat ini senja nanti," dua puluh orang penunggang kuda, yang baru saja memasuki kompleks kuil, memerintah dan mengusir orang-orang yang berteduh di sana. Segera setelah mendengar bahwa para penunggang kuda itu adalah samurai dari Rokuhara, kerumunan orang segera bubar dan pindah ke bangunan kuil yang lebih kecil.
Dari arah barat, awan gelap berarak bersama dengan kedatangan malam, dan hujan deras pun mulai membasahi pepohonan.
"Lihat, masih ada beberapa orang yang berada di wilayah kuil. Usir mereka!" perintah seorang prajurit muda, menoleh dari atas kudanya. Sekelompok pria dan wanita tengah berjongkok di bawah tenda darurat di dekat sebuah pilar. Beberapa orang prajurit menghampiri mereka dan
dengan tegas merenggut secara paksa tenda darurat mereka sambil mengulang-ulang perintah agar mereka segera pergi.
Empat atau lima orang wanita berpakaian indah dan seorang pelayan cepat-cepat berdiri melindungi seorang wanita tua yang tergeletak diam di atas sehelai tikar jerami.
?" Ada yang sakit?" tanya seorang samurai muda dengan lembut seraya turun dari kudanya. Dia membungkam teman-temannya yang tidak sabaran dan menghampiri orang-orang itu.
Si pelayan menjawab dengan ketakutan, "Ya, udara hari ini terlalu panas untuk nyonya kami, dan beliau pingsan di jalan. Kami membawa beliau kemari dan berusaha membuatnya siuman. Kami akan membawa beliau pergi jika Anda mau memberikan sedikit waktu."
"Tidak, tunggu, majikanmu sepertinya kesakitan.
Tinggallah di sini lebih lama hingga keadaan beliau membaik."
"Tuan, apakah Anda serius?"
"Tentu saja, jangan sampai beliau kehujanan ".
Mungkin aku juga punya obat untuknya. Di sini," kata si samurai muda, merogoh-rogoh kimononya dan memandang mereka kembali dengan wajah kecewa,
"apakah ada di antara kalian yang membawa obat" Dari manakah asal kalian?" akhirnya dia bertanya.
"Kami dari pusat hiburan di Horikawa?"
"Geisha?" tanya si prajurit, menatap para wanita di hadapannya. "Apakah kalian berjalan sejauh ini demi menghadiri upacara pemakaman?"
"Ya ?" jawab salah seorang wanita yang lebih tua,
"nyonya kami, Toji, bersikeras untuk memberikan
penghormatan terakhir, namun justru inilah yang terjadi.
Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan sekarang."
"Aku akan mencarikan gerobak untuk kalian. Kalian sebaiknya membawa nyonya kalian pulang."
Seorang prajurit diperintahkan untuk mencari sebuah gerobak. Sementara itu, wanita tua yang berbaring di bawah tenda darurat kejang-kejang kesakitan.
Asatori, yang menyaksikan seluruh kejadian itu dari kejauhan, tidak sanggup lagi menahan diri melihat penderitaan si wanita tua. Dia pun kembali ke gerbang, memeriksa keadaan si wanita, dan berlari kembali menemui Yomogi. "Yomogi ... "
"Ada apa?" "Aku ingin melakukan sesuatu untuk wanita yang sakit itu."
"Jangan, ada banyak prajurit Heike di sana."
"Apa hubungannya" Aku harus menolong wanita itu."
"Ya, tapi apakah kau melihat pria pelayan muda yang berdiri di sebelah kanan para geisha itu?" tanya Yomogi.
"Ya, dia datang bersama wanita yang sakit itu."
"Aku tahu," lanjut Yomogi, "tapi, apa kau tidak mengenali dia?"
"Mengapa?" "Yah, dialah alasanku melarangmu kembali ke sana.
Sulit bagiku untuk memercayai penglihatanku. Karena yakin bahwa dia akan terkejut ketika melihatku, aku memilih untuk menunggu di bawah pohon ini."
"Pelayan itu" Ada apa dengannya, dia hanya seorang pelayan biasa."
"Dia adalah mantan pelayan Tuan Yoshitomo ... Konno-maru."
Asatori terkejut. "Apa! Konno-maru ... diaV"
"Sekarang kau mengenalinya, bukan" Dialah pelayan yang hendak ditangkap oleh para prajurit Heik6 setelah Perang Heiji berakhir"
"Aku yakin kau salah, Yomogi."
"Tidak, aku tak pernah salah mengenali orang. Aku sering melihatnya ketika dia secara diam-diam menemui nyonyaku di rumah peristirahatan di Mibu."
"Sungguh aneh jika dia bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah tempat hiburan!"
"Aku juga tidak mengerti mengapa dia mau melakukan itu, tapi para prajurit Heik6 tidak akan menduga bahwa dia adalah Konno-maru. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika mereka menyadarinya!"
"Aku sama sekali tidak tertarik untuk
membayangkannya. Aku bukan seorang Genji maupun Heike, jadi tidak ada yang membuatku khawatir sekarang.
Tapi, aku adalah seorang tabib dan naluriku terusik jika aku tidak melakukan sesuatu untuk menolong wanita itu."
"Haruskah kau mengobatinya?"
"Penyakitnya tidak parah, dia hanya kepanasan. Hanya butuh waktu singkat untuk mengobatinya. Tidak akan ada yang mengenaliku di sana. Tidak apa-apa jika aku pergi sendiri. Lebih baik kau menunggu di sini, Yomogi."
Asatori kembali menghampiri gerbang kuil. Ketika mendengarnya mendekat, orang-orang yang mengerumuni wanita sakit itu melontarkan tatapan curiga, namun tampang ramah dan pengakuannya bahwa dia adalah
seorang tabib segera menyingkirkan keraguan mereka. Si samurai muda pun mempersilakannya memeriksa si sakit.
Setelah beberapa saat mengamati si sakit tanpa berkata-kata, Asatori akhirnya memeriksa denyut nadinya, meraba-raba tubuhnya, lalu memulai perawatan; dengan lihai, dia menusukkan jarum ke berbagai bagian tubuh wanita itu; kemudian, dia menuangkan beberapa butir pil ke telapak tangannya dan menoleh ke arah para geisha yang memerhatikannya, "Salah satu dari kalian, ambillah pil-pil ini, lalu kunyah dan jejalkan ke mulutnya," katanya. Si pelayan memberikan isyarat kepada para geisha, yang langsung mundur. Kemudian, salah seorang dari mereka mendorong temannya yang lebih muda ke arah Asatori, mengatakan, "Giwo, kaulah yang sebaiknya melakukannya. Toji selalu menganggapmu sebagai putrinya sendiri, dan kau adalah kesayangannya."
?" Kalau memang ini yang kalian semua inginkan,"
jawab Giwo, gadis muda itu. Dia cepat-cepat melepas ikatan topi lebarnya dan meletakkan benda itu di sampingnya Kemudian, dia duduk di sebelah Asatori dan mengulurkan tangannya yang ramping dan berkulit mulus.
Mengangkat telapak tangannya untuk menerima beberapa butir pil berwarna putih, Giwo mendadak menjerit
"Kau!" "Asuka! Benarkah ini dirimu?"
Butiran-butiran pil mungil itu berjatuhan dari sela-sela jemari gadis itu.
"Astaga, itu tidak boleh dipakai lagi!" seru Asatori.
Khawatir yang lain mendengarnya, dia cepat-cepat menuangkan beberapa butir pil lagi dari pundi-pundi obatnya dan mengatakan, "Nah, berikan ini kepadanya
sekarang juga ". Buka mulutnya ... sekarang, beri beliau air."
Sebuah gerobak sapi tiba tepat pada waktunya, dan si samurai muda menaiki kudanya lagi, memerintahkan kepada salah seorang anak buahnya untuk mengawasi mereka.
"Sekarang, angkat majikan kalian ke gerobak Perjalanan kalian mungkin tidak akan terlalu nyaman, tapi kalian semua, kecuali laki-laki ini, harus naik ke gerobak. Aku akan memeriksa majikan kalian sekali lagi. Dari rona wajahnya, keadaan beliau sepertinya sudah jauh lebih baik."
Para geisha menoleh kepada prajurit yang mengawasi mereka dan mengatakan, "Kami beruntung sekali karena bertemu dengan samurai berhati mulia itu. Bisakah Anda memberitahukan namanya kepada kami?"
Si prajurit menjawab, "Beliau baru saja tiba di ibu kota dari Kumano. Namanya Tadanori, adik tiri Tuan Kiyomori dan seorang petugas di Kepolisian."
Para geisha menatap sosok yang telah menghilang di kejauhan itu, menyebut namanya, "Adik tiri Tuan Kiyomori ... Tadanori?"
Sebelum bergiliran menaiki gerobak, para geisha hendak mengucapkan terima kasih kepada Asatori, namun tabib itu telah
Hujan deras turun sejenak kemudian, namun Tadanori, dengan baju zirah dan kuda basah kuyup, tetap mendaki Bukit Funaoka. Ketika dia tiba di kaki bukit, seorang petugas yang bertanggung jawab atas para pengawal di wilayah timur bukit, menegurnya dengan keras:
"Tadanori, dari mana kamu?"
"Saya menyisir jalan yang akan dilalui oleh rombongan, seperti perintah Anda."
"Bagus, tapi bagaimana dengan anak-anak buahmu?"
"Kami bertemu dengan seorang wanita tua yang jatuh sakit di jalan dan saya menyuruh mereka mencarikan gerobak untuknya. Mereka akan tiba sebentar lagi, Tuan."
"Kudengar jalanan dipenuhi orang, tapi kau tidak bertugas merawat orang sakit Biarkan orang-orang itu mengurus diri mereka masing-masing."
"Ya, Tuan." Tadanori menerima teguran itu tanpa banyak berkata-kata, malu karena sifat kampungan dan kekurangan pengalamannya. Baru beberapa minggu berlalu sejak dia mendampingi Kiyomori, saudara titinya, dari Kumano.
Segera setelah tiba di ibu kota, Tadanori diberi jabatan terendah di Kepolisian. Petugas yang baru saja menegurnya adalah Norimori, adik bungsu Kiyomori. Upacara pemakaman ini adalah kesempatan pertama Tadanori untuk ambil bagian di dalam sebuah peristiwa penting, dan wajar saja jika dia ingin melakukan yang terbaik walaupun dia hanya membawahi beberapa orang samurai rendahan.
Langit segera cerah kembali dan sebentuk pelangi muncul, menghadirkan semangat baru di kalangan para petugas, yang bergegas merampungkan pekerjaan mereka selagi hari masih terang.
Kompleks makam kaisar terletak di Bukit Funaoka, tempat sebuah bilik batu telah disiapkan untuk menampung peti mati. Pagar kayu telah dipasang di kaki bukit, dengan Kuil Koryuji sebagai batasnya; di kompleks kuil tersebut terdapat paviliun-paviliun tertutup tirai yang disediakan untuk pengiring jenazah yang berkedudukan tinggi, para
pejabat kuil, dan para pemain musik sakral; bendera-bendera lambang duka cita terlihat di mana-mana dan di cabang-cabang "pohon keramat".
Di sini, perwakilan-perwakilan dari biara besar dan kecil di Nara dan Gunung Hiei akan tiba dan menempati posisi mereka sesuai dengan kedudukan dan golongan masing-masing. Entah sejak kapan, biara Todaiji, ditetapkan oleh Istana sebagai biara yang berkedudukan tertinggi di antara ketujuh biara utama di Jepang, diikuti oleh biara Kofukuji dari Nara. Biara Enryakuji di Gunung
Hiei menduduku posisi ketiga, dan biara-biara lainnya berkedudukan di bawah ketiga biara tersebut.
Malam tiba; bintang-bintang berkilauan cemerlang di langit yang cerah, dan keheningan menyelimuti malam ketika iring-iringan panjang kereta jenazah perlahan-lahan mendaki bukit. Api-api unggun dinyalakan di berbagai bagian bukit tempat umbul-umbul, yang bergambar lambang matahari dan bulan, berkibar-kibar bagaikan naga dengan latar belakang langit. Tetapi, sebuah kericuhan mendadak memecahkan keheningan ketika para pendeta Kofukuji mendapati bahwa rekan-rekan mereka dari Enryakuji telah menempati posisi mereka di bukit. Luapan kemarahan membakar suasana dan obor-obor diayun-ayunkan dengan lagak mengancam ke arah para biksu Kofukuji, yang mengancam untuk membalas saingan mereka menggunakan pedang dan tombak. Kemudian, kepala biara mereka muncul, mencegah agar para pengikut mereka menghindari kekerasan. Dua orang petugas langsung diperintahkan untuk menuntut permintaan maaf dari pihak Enryakuji.
Laporan tentang pecahnya kericuhan segera didengar oleh Norimori, yang sedang berjaga-jaga di gerbang utama; dia langsung memerintahkan kepada para panglimanya
untuk mengikutinya dan mendatangi sumber keributan tersebut. Tadanori, yang mengikuti saudara tirinya, mendapati bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi kekacauan itu dan hanya sanggup berdiri dengan takjub di tengah para biksu yang sedang mengamuk.
"Tadanori, mengapa kau tidak meredakan amukan para biksu itu!" seru Norimori, menunjuk ke arah sekelompok biksu Kofukuji.
"Yang itu atau yang di sana?" Tadanori balas berseru.
"Ya, yang itu ... jangan sampai mereka merangsek lebih jauh!"
"Dengan cara apa pun?"
"Kecuali menghunus pedangmu," jawab Norimori dengan lantang, mendorong Tadanori untuk menerobos kerumunan biksu yang ditunjuknya.
Tadanori yang gagah perkasa, pemberani sejak lahir, dan telah ditempa oleh latihan berat sejak masa kanak-kanaknya di Kumano, menghadang biksu pertama yang menyerangnya dan mendorongnya ke arah biksu lainnya.
Tadanori menangkis tombak dan membalas serangan lawan-lawannya, dan seorang demi seorang biksu berjatuhan.
Seseorang berseru, "Siapakah orang itu?"
"Dia bukan biksu ?"
"Jika dia bukan salah satu dari kita, berarti dia seorang polisi atau Heik6!"
Para biksu gentar dan mundur melihat Tadanori menghajar teman-teman mereka seor
ang diri hingga Norimori membubarkan kerumunan dengan teriakannya:
"Bersikaplah yang tertib! Kereta jenazah telah tiba!"
Di kaki bukit, arak-arakan obor menandai mendekatnya kereta jenazah, dan para biksu yang semula bertikai mendadak diam; mereka yang terluka segera diangkut, dan jubah yang compang-camping segera dirapikan untuk menutupi baju zirah dan pedang panjang di bawahnya. Para biksu Enryakuji terlambat mengetahui bahwa saingan mereka telah menggusur mereka karena kereta jenazah telah tiba di kaki Bukit Funaoka bersama nyala obor yang cemerlang. Keheningan pun kembali menyelimuti tempat itu.
Diapit oleh para bangsawan dan pejabat tinggi istana yang berkimono putih, kereta jenazah itu melaju dengan lambat. Lilin yang terhitung banyaknya, api-api unggun, dan ribuan obor menerangi Bukit Funaoka, tempat gerbang-gerbang akhirnya dibuka untuk menerima jenazah sang kaisar.
Menjelang pagi, suasana kembali sunyi dan upacara berakhir. Api-api unggun mulai padam dan para pelayat pun berduyun-duyun menuruni bukit. Para samurai yang menunggang kuda, para bangsawan dan pejabat yang mengendarai tandu dan kereta, dan rakyat jelata yang berjalan kaki kembali membanjiri ibu kota.
Pertikaian yang pecah antara para biksu semalam, bagaimanapun, menghadirkan berbagai macam perkiraan dan gosip di antara orang-orang yang turun dari bukit, dan yang paling menggelitik benak mereka adalah pertanyaan mengenai kapan tepatnya perang antara Enryakuji dan Kofiikuji akan pecah. Telah beredar pula desas-desus bahwa Mantan Kaisar dan para penasihatnya sengaja mempertajam pertikaian antara kedua biara yang saling bersaing. Dan ketika rombongan pelayat pertama tiba di Kyoto, telah terdengar laporan bahwa Kaisar Kloister telah mengirim para duta untuk melakukan perundingan dengan
para biksu Enryakuji, yang menyambut mereka dengan persenjataan penuh di Sakamoto Barat.
o0odwkzo0o Pada akhir musim panas itu, Kiyomori sekeluarga beserta sejumlah besar pelayan pindah dari Rokuhara ke rumah baru yang terletak di seberang Sungai Kamo, walaupun Kiyomori sendiri tetap tinggal di Rokuhara. Dia bahkan hanya tinggal selama sepuluh hari di rumahnya setelah upacara pemakaman kekaisaran, dan selebihnya tinggal di Istana untuk menghadiri berbagai macam acara yang menandai diangkatnya seorang penguasa baru.
Sang penguasa baru masih berusia dua tahun, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan kenegaraan harus ditangani oleh beberapa orang pejabat istana senior. Karena kawan lama dan tepercayanya. Perdana Menteri Koremichi, telah wafat, tanggung jawab untuk menjadi pimpinan dewan jatuh ke pundak Kiyomori. Sederetan wajah baru mengelilinginya, masih hijau dan tanpa pengalaman, dan Kiyomori hanya bisa menggeleng ketika memandang mereka. Beberapa putra mendiang Perdana Menteri menduduki berbagai jabatan kunci ... si bungsu, yang baru enam belas tahun, adalah Penjaga Stempel Rahasia. Tsunemun6, yang masih tampan walaupun nasibnya telah berubah, telah diangkat menjadi Menteri Golongan Kanan. Tidak ada yang berubah di Istana, pikir Kiyomori. Perdana Menteri, Penasihat Utama, dan para menteri ... semuanya anggota klan Fujiwara. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan hati atau mendekati tujuan utama Kaisar Kloister Goshirakawa daripada ini, pikir Kiyomori dengan ragu-ragu.
Walaupun hanya ditunjuk untuk menjadi Penasihat dan Jenderal Pengawal Golongan Kiri, Kiyomori memiliki wewenang yang besar dan keberatan untuk kekuasaan yang
besarnya tidak sesuai bagi samurai sekelas dirinya pun dengan cepat mereda. Tetapi, Kiyomori mendapati bahwa Istana dan kursi-kursi kepemerintahan di dalamnya kosong, dan dia berhadapan dengan dewan kekaisaran yang ditinggalkan oleh anggota-anggota utamanya. Perdana Menteri dan menteri-menterinya disibukkan oleh masalah-masalah di tempat lain ... di Istana Kloister, memenuhi kebutuhan Mantan Kaisar Goshirakawa.
"Penantian ini tidak akan berakhir," akhirnya Kiyomori membatin. "Jika aku tinggal lebih lama di sini, aku harus menjadi Perdana Menteri ?" Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, Kiyomori teringat pada Rokuhara dan bersiap-siap untuk pulang. Ketika meninggalkan Gedung Urusan Istana, dia mendongak ke langit. Musim gugur telah tiba!
Kiyomori, yang telah terkurung begitu lama di Istana, terperangah ketika menghirup udara segar. Waktu dia melewati Pangkalan Pengawal, beberapa orang panglima menghormat kepadanya.
"Hendak pulang, Tuan?" mereka bertanya dengan tatapan lega.
"Tapi, ada apa ini ... mengapa kalian bersenjata lengkap?" jawab Kiyomori, menatap curiga kepada beberapa ratus prajurit bersenjata dari Rokuhara.
Tepat ketika itu, adiknya, Tsunemori, menghampiri keretanya. Dia menatap wajah letih Kiyomori dan berbisik,
"Berarti kau belum mendengar, ya" Rumor itu telah tersebar di seluruh Istana dan aku yakin kau sudah mengetahuinya."
"Mengetahui apa" Ada apa ini" Apakah sesuatu telah terjadi di Rokuhara?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini dan Rokuhara sudah dijaga dengan baik."
"Apa yang terjadi?" Kiyomori bersikeras. "Mengapa kalian semua bersenjata lengkap?"
"Para biksu dari Gunung Hiei ... "
"Apa yang mereka perbuat?"
"Ini masih desas-desus, tapi kami mendengar bahwa sikap Kaisar Kloister telah menghasut mereka. Kami hanya berjaga-jaga."
"Apa" Apakah kau mengatakan bahwa Kaisar Kloister menghasut para biksu untuk melawan aku?" Kiyomori tertawa terbahak-bahak. "Omong kosong! Ini benar-benar omong kosong!" serunya, dan tanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Tsunemori, Kiyomori memerintahkan kepada penarik sapinya untuk terus berjalan.
Seperti halnya berbagai desas-desus senada, tidak seorang pun mengetahui dari mana asalnya. Sumbernya tidak pernah terungkap. Tetapi, sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota Kesatuan Pengawal Kekaisaran hanya dipilih dari kian Heik6, bahwa kelakuan buruk para prajurit Heik6 rendahan menimbulkan kebencian di mana-mana, bahwa Kiyomori sedang merencanakan sebuah proyek pembangunan besar-besaran, dan bahwa adik-adik dan putra-putra Kiyomori menduduki jabatan-jabatan penting di Istana. Berdasarkan hal-hal tersebut, wajar saja jika rakyat menyimpulkan bahwa Mantan Kaisar Goshirakawa ingin mematikan pengaruh Kiyomori yang semakin besar. Terlebih lagi, Goshirakawa sendiri akhir-akhir ini telah secara tidak langsung menyampaikan tentang pendapatnya mengenai perlunya perubahan dalam sistem pemilihan pengawal, dan sistim di Istana Kloister pun mendadak berubah. Goshirakawa memikat para pengikut
yang ambisius, berani menerima tantangan, dan sependapat dengannya di ranah intrik pribadi dan politik.
Berbagai rumor baru tersebar, menambahkan bumbu pada kabar-kabar burung sebelumnya; katanya, biksu-biksu Gunung Hiei telah mempersenjatai diri ... dua ribu orang ...
di Sakamoto Barat, ratusan orang di titik-titik strategis lainnya, dan bersiap-siap untuk menyerbu Rokuhara. Setiap kabar baru menambahkan keyakinan masyarakat bahwa perang akan segera pecah. Pergerakan para prajurit Heik6
memastikannya, karena garis pertahanan ulah dibentuk di sekeliling Rokuhara dan di sebelah barat Jembatan Gojo, termasuk di Jalan Kedelapan Barat
Sementara itu, Kiyomori tiba di Rokuhara. Ke mana pun dia melangkah, dia melihat prajurit-prajurit bersembunyi di balik tembok busur dan tameng. Dari keretanya, Kiyomori mengamati pemandangan itu dengan kesal.
Setelah mengundang anak-anak dan para panglimanya untuk menghadap kepadanya, Kiyomori bertanya kepada mereka semua:
"Siapakah yang memerintahkan semua ini?"
Karena tidak seorang pun menjawab, Kiyomori meledak,
"Tidak adakah yang mau menjawab pertanyaanku"
Siapakah yang memerintahkan penggalangan pasukan" Kau
... Munemori?" "Tuan ... " "Motomori, apakah kau juga tidak mau menjawab?"
Ragu-ragu, Motomori menjawab, "Ini bukan perintah dari siapa pun, tapi karena kesibukan Ayah yang sangat tinggi di Istana, kami tidak sempat memohon nasihat dari
Ayah. Saudara-saudaraku dan Paman Tokitada memutuskan bahwa kita sebaiknya bersiap-siap untuk menangkal serangan pertama dari para biksu itu."
Kiyomori mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku tidak melihat Norimori," mendadak dia berkata.
"Paman sedang berjaga-jaga di jalan raya utama. Apakah Ayah ingin memanggil beliau?" tanya salah seorang putranya.
"Ya, panggil dia," jawab Kiyomori. Sembari menunggu adiknya, Kiyomori menanyai anak-anaknya seorang demi seorang.
"Apakah pendapat kakakmu Shigemori didengar dalam hal ini?"
"Ya." "Apa katanya?" "Dia menasihati kami untuk terlebih dahulu meminta pendapat Ayah. Dia sepertinya berpikir bahwa pasukan harus dikerahkan hanya jika situasi menuntutnya."
"Tepat seperti yang ada di dalam pikiranku. Dia pasti akan menggunakan otaknya untuk mengambil keputusan
?" Norimori baru tiba, dan Kiyomori langsung berpaling kepadanya:
"Norimori, aku mengerti bahwa terdapat
kesalahpahaman di antara para biksu dari Enryakuji dan Kofukuji dalam upacara pemakaman kekaisaran di Funaoka. Kaulah yang bertanggung jawab memimpin para pengawal ketika itu. Bagaimanakah kau menyelesaikan urusan itu" Aku sudah mendengar laporan tentang kejadian
itu, namun aku menginginkanmu menyampaikan detail-detailnya."
Kiyomori memicingkan mata dan mendengarkan baik-baik penjelasan adiknya.
"Tidak banyak detail yang bisa kusampaikan. Tadanori ada di sana ketika itu, dan aku menyuruhnya menertibkan para biksu Kofukuji sementara aku mengurus yang lainnya."
"Tetapi, sebelum kejadian itu, apakah kau kebetulan menerima perintah dari dua orang penasihat yang dikirim ke sana oleh Kaisar Kloister?"
"Tersebar kabar bahwa itulah yang terjadi, tapi apa menurutmu aku akan mendengarkan mereka?"
"Itulah yang kuduga."
"Ya. Semua orang sudah tahu bahwa Gunung Hiei selalu bertentangan dengan Heik6, dan aku tahu bahwa sudah dua atau tiga kali mereka mencoba mengadu domba klan kita dengan Kaisar Kloister. Kedua penasihat itu, bagaimanapun, mengatakan bahwa para biksu Enryakuji dari Gunung Hiei bersalah pada malam itu dan mendesakku untuk menindak tegas mereka, begitu pula para biksu Kofukuji ... mencelakai dan membunuh mereka jika perlu ... dan mengatakan bahwa mereka akan menutup-nutupinya dari Yang Mulia."
"Lalu, apakah yang kaulakukan ketika itu?"
"Aku mendengarkan mereka, namun mengabaikan perintah mereka. Tadanori sudah memberikan hukuman yang setimpal kepada para biksu Kofukuji, tapi yang kulakukan hanyalah tetap berada di tengah, dan entah bagaimana, mereka tenang dengan sendirinya."
"Kalau begitu. Gunung Hiei tidak berseberangan dengan kita, bukan?"
"Tidak ada alasan bagi mereka untuk berseberangan dengan kita."
"Kalau begitu, apakah yang melandasi desas-desus meresahkan yang terdengar selama beberapa hari terakhir ini?"
"Aku curiga bahwa para penasihat Kaisar Kloister tengah berusaha mengadu domba para biksu Gunung Hiei dengan kita."
"Bagus! Itu menjelaskan semuanya," seru Kiyomori, tampak lega. Dia meminta agar alat-alat tulis disiapkan dan dengan cepat menulis sebuah surat pendek, lalu memanggil adik tirinya, yang duduk di sudut terjauh ruangan itu:
"Tadanori, wajahmu belum begitu dikenal di ibu kota, jadi kaulah yang paling cocok untuk mengerjakan tugas ini.
Tanggalkanlah baju zirahmu ... bawa surat ini ke Gunung Hiei dan pastikan agar salah seorang dari ketiga kepala biara di sana menerimanya. Jawaban" " Kurasa kita tidak membutuhkannya. Tapi, sebaiknya kau berhati-hati ... para mata-mata dari Istana Kloister mungkin sedang mencarimu."
Setelah Tadanori pergi membawa surat tersebut, semua orang di ruangan itu memandang Kiyomori, penasaran akan alasannya memulai surat-menyurat dengan para pemimpin Gunung Hiei.
"Kita sedang dirundung masalah sekarang," kata Kiyomori, setengahnya kepada dirinya sendiri. "Ambilkan baju zirahku. Lebih baik aku mempersiapkan diri untuk yang terburuk." Dia menambahkan sambil bangkit dengan
malas, "Sejujurnya, aku sudah lelah dan lebih siap untuk tidur daripada melakukan apa pun."
Sembari mengenakan pelindung dada hitam dan mengencangkan tali-tali pelindung kakinya, Kiyomori menggumam,?" terlalu suka ikut campur. Orang-orang berjenis terburuk di sekelilingnya. Terlalu keras kepala untuk kebaikannya sendiri ". Seandainya saja dia mau berhenti ikut campur!"
Menjelang malam, terdengar laporan bahwa para biksu Gunung Hiei telah membanjiri ibu kota. Kiyomori mengerang. Apakah suratnya terlambat tiba di tangan para pemimpin Gunung Hiei" Tanpa menunda lebih lama, dia memerintahkan kepada putra-putranya untuk membawa pasukan ke Istana, menegaskan kepada mereka bahwa dia akan tetap tinggal dan memperkuat pertahanan Rokuhara.
Sementara itu, sisa-sisa prajurit Heik6 dan anggota Kepolisian, yang telah berjaga-jaga di Sakamoto Barat dan sepanjang sisi utara Sungai Kamo, tiba kembali senja itu di ibu kota dengan membawa kabar bahwa para biksu telah menghabisi pasukan Heik6. Seluruh ibu kota pun kacau balau seolah-olah baru saja dilanda gempa bumi.
Kepanikan mendera seluruh rakyat, yang menantikan pecahnya pertikaian antara Kiyomori dan Mantan Kaisar.
Tetapi, di tengah hiruk pikuk ini, sebuah kereta kekaisaran tampak melaju di Jalan Kelima, dan terus melintasi Jembatan Gojo menuju Rokuhara.
"Yang Mulia ... Kaisar Kloister ... ada di sini?" Kiyomori kebingungan ketika mendengar pengumuman itu, lalu buru-buru keluar untuk menemui tamunya.
"Kaukah itu, Kiyomori?" panggil Goshirakawa, menaikkan kerai keretanya dan tersenyum."Tanganmu ".
Bantu aku turun," katanya, tetap ramah seperti biasanya.
Kiyomori menatap senyuman tulus yang tersungging di wajah Goshirakawa, lalu maju bagaikan seseorang yang berjalan dalam tidur untuk menolongnya turun dari kereta dan mempersilakannya memasuki rumah.
"Tetapi, Yang Mulia, ada apakah ini" Apakah yang menyebabkan saya mendapatkan kehormatan berupa kunjungan dari Anda di malam yang telah selarut ini?"
tanya Kiyomori dengan heran.
Kiyomori, yang telah terbiasa menghadapi situasi apa pun, benar-benar terperangah mendapati perubahan mendadak ini. Tetapi, Mantan Kaisar tetap tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi. Walaupun berusia lebih muda daripada dirinya, tatapan penuh wibawa sang mantan kaisar menunjukkan bahwa Kiyomori tidak akan bisa menundukkannya.
"Apakah aku mengejutkanmu, Kiyomori?"
"Tentu saja. Yang Mulia."
"Apa lagi yang bisa kulakukan" Seandainya desas-desus itu benar, pertumpahan darah tentunya sudah terjadi di mana-mana"
"Benarkah bahwa semua laporan itu hanyalah rumor?"
"Apakah kau masih meragukanku, Kiyomori" Bukankah aku datang kemari ... kepadamu?"
"Ya, benar," Kiyomori menjawab dengan malu. Dan dia menyambut Yang Mulia dengan persenjataan lengkap.
Apakah penilaiannya yang piciklah yang menyebabkan kesalahpahaman ini" Mantan Kaisar tetap memercayainya walaupun dia telah meragukan beliau. Kiyomori merasa tidak enak ketika memikirkan kemelut yang mau tidak mau telah menjerat Yang Mulia Kemudian, kesombongan
samurainya runtuh begitu saja, dan air matanya seketika merebak.
"Kiyomori ... air mata?"
"Air mata terharu, Yang Mulia."
"Lucu sekali, Kiyomori! Kau bersenjata lengkap begitu pula para prajuritmu ... lalu kau meneteskan air mata!"
"Benar, memang lucu. Saya menertawakan diri saya sendiri karena telah bertindak bodoh."
"Tidak apa-apa. Sebaiknya kita bersyukur karena kita tidak saling salah paham. Jangan tertipu oleh desas-desus murahan, Kiyomori. Yakinilah aku, percayalah kepadaku."
Bersama kata-kata itu, Goshirakawa meninggalkan Kiyomori, dikawal oleh pasukan dari Rokuhara.
Tidak lama setelah Mantan Kaisar pergi, putra sulung Kiyomori tiba. "Apakah Yang Mulia telah pergi?"
tanyanya. "Aku baru saja mendengar mengenai kunjungan beliau dari adik-adikku."
"Shigemori, kau tidak memakai baju zirahmu?"
"Tidak, dan tepat seperti yang kuduga dan telah kukatakan kepada yang lainnya ... bahwa Yang Mulia tidak memiliki niat untuk melawan Heik6."
"Kau berpendapat begitu, ya" Aku masih ragu-ragu,"
jawab Kiyomori. "Mengapa Ayah ragu-ragu?"
"Semua ini tidak akan bisa saja terjadi tanpa dilandasi oleh niat dari Yang Mulia. Senyumnya menyembunyikan sesuatu. Aku yakin bahwa beliau diam-diam memiliki rencana untuk menjatuhkan Heik6."
"Ayah "!" "Mengapa kau memandangku seperti itu?" tukas Kiyomori.
"Itu mustahil, Ayah. Jangan berkata begitu! Jangan sampai Ayah melakukan sesuatu yang bisa menyulut kemarahan Yang Mulia kepada kita. Kuharap Ayah bisa mengabdi kepada beliau dengan kesetiaan yang lebih mendalam."
"Oh, aku tidak perlu diingatkan tentang semua itu. Tapi, Shigemori, aku ragu-ragu bahwa kau memahami maksud dibalik sikap menawannya kepada kita. Aku tahu, dan itu menjadikan semuanya semakin berat bagiku."
"Tidak, aku yakin bahwa jika Ayah mengabdikan diri dengan sepenuh hati kepada Yang Mulia, dewa-dewa akan melindungi Ayah."
"Hati-hati," tukas Kiyomori sambil tertawa, "jangan menceramahi ayahmu ... masalahnya tidak sesederhana itu, Shigemori. Kau, ibumu, dan semua orang telah teperdaya oleh pesonanya. Aku seoranglah yang bisa melihat dirinya yang sesungguhnya ". Ya, dan tidak masalah jika kalian tidak sependapat denganku."
Tetapi, selagi mereka berbicara, api menjilat langit di atas Kuil Kiyomizu; api dengan cepat menyebar ke bangunan-bangunan di sekelilingnya, menyebarkan serpihan-serpihan terbakar ke Rokuhara. Di sana, para penghuni yang panik percaya bahwa para biksu Gunung Hiei berusaha membalas dendam pada Kofukuji dengan cara membakar kuil saingan mereka.
Di tengah huru-hara itu, Tadanori tiba dengan membawa sepucuk surat dari Kepala Biara Jisso ... sebuah pesan rahasia yang ditujukan kepada Kiyomori.
Pada malam tanggal 9 Agustus itu, ketika api masih melahap salah satu sisi Perbukitan Timur, beberapa ribu biksu bersenjata berbaris pulang ke Gunung Hiei.
o0odwkzo0o Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN
tersisa dari Kuil Kiyomizu, dari pagoda dan bangunan-bangunan lainnya di kompleks kuil itu. hanyalah onggokan abu. Hari-hari terus berlalu, namun tidak seorang pun pendeta kembali untuk melihat reruntuhan ataupun berkabung bagi kehancuran tempat sakral mereka; hanya rakyat jelata ... pria dan wanita ... yang datang dan bersujud dengan wajah bersimbah air mata di antara tumpukan abu, memanjatkan doa-doa. Kendati begitu, di antara kerumunan orang-orang berduka itu, tampaklah seorang biksu muda ... masih berusia awal tiga puluhan ... yang bersujud dan berdoa dengan khusyuk. Jubah polosnya menunjukkan bahwa dia masih menuntut ilmu; kesederhanaan sosoknya menunjukkan kesan seseorang yang luluh lantak akibat kesedihan. Akhirnya, ketika dia meraih topi peziarahnya dan berdiri, orang-orang di sekelilingnya mengerumuni dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
"Biksu yang terhormat, apakah kamu bukan pendeta dari Kuil Kiyomizu?"
"Bukan, aku datang dari Gunung Hiei," jawabnya.
Semua mata tiba-tiba tertuju ke arahnya."Gunung Hiei"
" Tapi, tidakkah kamu takut terlihat di sini" ... Dari sebuah kuil di Gunung Hiei, katamu?"
"Dari Kurodani di sebelah barat. Memang betul bahwa aku berasal dari Gunung Hiei, namun tidak semua pendeta di sana brengsek. Pria yang menjadi guruku ... dan banyak pendeta lainnya ... mencari kebenaran di dalam kedamaian. Ada banyak orang yang seperti guruku, yang mencari pencerahan di dalam agama Buddha agar bisa berbagi cahaya kepada manusia yang sengsara."
"Benarkah itu" Masih adakah orang-orang seperti itu di Gunung Hiei sekarang?" seru orang-orang di sekelilingnya dengan sangsi.
"Masih banyak, tapi bagaimana aku bisa berharap kalian akan memercayaiku setelah kalian melihat sendiri ribuan biksu bersenjata itu" Memang benar bahwa di lembah-lembah tersembunyi di kedalaman hutan Gunung Hiei, cahaya suci belum ternoda. Bagaimana mungkin kami, para pendeta, membiarkan api itu padam jika kalian, yang telah hidup dalam kesengsaraan setelah bertahan dari Perang Hogen dan Heiji belum melupakan cara untuk saling mencintai dan menenangkan?"
"Kata-katamu memberi kami harapan, namun jika ada banyak biksu yang sepertimu, mengapa mereka tidak turun kemari dan mengajarkan kepada kami cara untuk menjalani kehidupan?"
"Tetapi ... " si biksu mengernyitkan wajah, menunjukkan kegalauannya yang mendalam. "Tetapi, tidakkah kalian, yang telah datang kemari dan berdoa di antara reruntuhan kuil, mendengarkan ajaran-ajaran para pendeta kalian di sini?"
"Pembohong, mereka semua pembohong! Kami tidak memercayai apa pun yang mereka katakan! Siapakah yang akan memercayai mereka setelah melihat reruntuhan ini"
Mereka hanya memberikan kata-kata indah, sementara diri
mereka sendiri tidak lebih baik daripada pencuri, dan menipu kami adalah pekerjaan mereka! Bisakah kami memercayai mereka" Apakah kau heran karena kami membenci mereka?"
"Kalau begitu, kalian sudah putus asa dan tidak memercayai mereka?"
"Ya, dan karena itulah kami datang kemari dan memanjatkan doa di antara onggokan debu ini"
"Ah, kalau begitu, Buddha akhirnya telah turun di antara kalian! Percayalah kepadaku!"
"Cukup! Kami sudah tidak membutuhkan kata-kata hampa lagi!"
"Kalian benar. Kalian menyuarakan kebenaran ".
Tetapi, walaupun patung suci telah lenyap dari dalam kuil
... hancur lebur menjadi abu, Kannon masih ada di sini."
"Di mana ... di manakah kau melihat Kannon?"
"Di dalam setiap butiran abu itu, di sekelilingnya."
"Bukankah debu tak lebih dari sekadar debu?"
"Ya." "Apakah yang bisa dilihat di situ"**
"Sosok suci tidak bisa dilihat dengan mata telanjang."
"Tunjukkanlah kepada kami ".Tidak, kau masih terlalu muda untuk itu. Adakah pendeta sungguhan yang bisa menunjukkan hal-hal gaib kepada kami saat kami masih bernyawa?"
"Ada. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa orang seperti itu tidak ada."
"Di manakah dia" Di manakah pendeta ini?" orang-orang bersorak sorai ribut, terus mendesak si biksu muda.
"Ah ... tolong lepaskan aku," si biksu memohon, melambaikan topinya dan menerobos kerumunan. "Aku sudah bicara terlalu banyak. Aku belum bisa bercerita tentang itu kepada kalian, tapi aku yakin bahwa orang seperti itu ada di muka bumi ini. Dia akan segera hadir di tengah kalian. Jika dia tidak hadir, maka ajaran Buddha memang palsu dan surga hanyalah sebuah kebohongan ...


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hakikat manusia dan seluruh perintah Buddha adalah omong kosong belaka. Jika memang itu yang terjadi, maka kalian akan memiliki alasan untuk berputus asa. Tidak, wacana dan cahaya kebenaran belum seluruhnya lenyap dari Gunung Hiei."
Si biksu memakai topi lebar yang menyembunyikan wajahnya dan berlari menjauh dari kerumunan orang itu, berseru, "jangan putus asa ataupun kehilangan kepercayaan satu sama lain! Hiduplah dengan berani hingga dia datang!"
Kerumunan itu pun bubar dengan cepat karena banyak di antara orang-orang itu yang berlari mengejar si biksu; beberapa orang yang lain mengikutinya dengan teriakan-teriakan menghina. Sejenak kemudian, debu yang mengepul ke udara kembali berjatuhan ke tanah.
Seorang pendeta, yang baru saja tiba, menoleh ke arah sosok yang tengah berlari itu.
"Siapakah itu, Yasunori" Sepertinya aku pernah melihatnya sebelum ini," kata Saiko, seorang bangsawan Fujiwara yang saat ini tengah menjadi sosok yang banyak diperbincangkan di Istana Kloister, menoleh ke seorang anggota Kepolisian yang mengawalnya. "Apakah kau mengenalinya?"
Petugas itu, Yasunori, segera menjawab, "Bukankah Anda pernah diperkenalkan kepadanya. Tuan, oleh kepala biara di Kuil Ninna-ji?"
"Ah, itu dia Kudengar dialah orang terpintar di sekte Tendai. Aku masih ingat penjelasan Kepala Biara tentang dirinya. Seorang biksu ... siapa namanya" ... yang tinggal di Kurodani di Gunung Hiei."
"Dia pasti Honen."
"Honen ... itu dia. Aku yakin dialah orangnya. Dia tidak pernah meninggalkan pertapaannya di Kurodani ". Entah apa yang membawanya turun kemari."
"Penghancuran kuil ini banyak dibicarakan orang sehingga dia pasti penasaran dan tidak bisa menahan diri dari datang kemari untuk melihat reruntuhan ini."
"Pasti itu alasannya," kata Saiko, memandang ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak seorang pun mengenalinya.
Setelah memeriksa reruntuhan secara saksama, Saiko mengisyaratkan kepada seorang pelayan untuk menyiapkan kudanya, dan kembali ke Istana Kloister sesaat kemudian.
Istana Kloister selalu bermandikan cahaya pada malam hari karena akhir-akhir ini Goshirakawa terbiasa untuk mengundang empat atau lima orang pengikut yang disukainya untuk makan malam bersamanya. Saiko baru saja selesai berbicara. Goshirakawa, yang mendengarkan dengan cermat cerita tentang pendeta yang singgah di reruntuhan Kuil Kiyomizu siang itu, menoleh kepada Saiko dan mengatakan:
"Jadi, rakyat berduyun-duyun mendatangi reruntuhan itu dan berdoa di antara onggokan-onggokan debu, katamu"
Lucu sekaligus menyentuh ... sesuatu harus segera
dilakukan untuk meredakan kemarahan para biksu Kofukuji agar kita bisa membangun kembali kuil itu ". Benar begitu,Toshitsune?"
"Benar, Yang Mulia," jawab Toshitsune, seorang pejabat istana, sambil menundukkan kepala, tidak tahu lagi harus mengatakan apa karena baru beberapa hari sebelumnya, dia kembali dari Nara membawa kegundahan mendalam. Para biksu Kofukuji telah secara keras kepala mendesaknya untuk membuat kesepakatan dan menuntut agar para pemimpin Gunung Hiei dihukum sesegera mungkin.
Goshirakawa hanya mengangguk-angguk ketika mendengar laporannya, tidak sedikit pun mengungkapkan pendapatnya. Tetapi, Toshitsun6 telah melihat sendiri bagaimana para biksu Kofukuji bersiap-siap untuk berperang. Dia juga punya alasan untuk meyakini bahwa Goshirakawa mengetahui bahwa para biksu itu akan segera memasuki ibu kota dengan membawa emblem suci mereka untuk menjarah dan membumihanguskan kuil-kuil yang berada di bawah perlindungan Gunung Hiei, juga bahwa Gunung Hiei tidak akan tinggal diam. Sementara itu, tidak ada pasukan tangguh di ibu kota yang akan menangkal serbuan para biksu ke Istana Kloister untuk mengintimidasi Goshirakawa. Sekarang tentunya adalah saat yang tepat untuk meminta dukungan dari Heik6. Tetapi, tidak ada yang tahu tentang keadaan hubungan antara Goshirakawa dan Kiyomori, karena walaupun kunjungan Mantan Kaisar ke Rokuhara rupanya telah menghapuskan keraguan Kiyomori, masih ada keraguan mengenai apa yang ada di dalam benaknya. Bagaimanapun, tanpa Kiyomori, mustahil untuk mengerahkan pasukan samurai guna menghalau para biksu.
Goshirakawa menoleh ke arah si pendeta, "Saiko, apa yang dikatakan penduduk ibu kota tentang rentetan peristiwa akhir-akhir ini?"
Saiko menelengkan kepala dan menunjukkan ekspresi serius. "Apakah yang ingin Yang Mulia ketahui?"
Goshirakawa menatap Saiko lekat-lekat. "Pada malam ketika Kuil Kiyomizo dilalap api, ada desas-desus yang beredar di seluruh ibu kota bahwa aku memberikan perintah rahasia untuk menyerang Heik6."
"Begitulah." "Tetapi, itu konyol, Saiko; apakah pendapatmu tentang hal ini?"
Para tamu yang lain mendengarkan dengan saksama jawaban Saiko. Mereka baru saja mendengar sangkalan terhadap semua yang dituduhkan kepada Goshirakawa hingga saat ini. Tetapi, jawaban dari Saiko segera meluncur:
"Yang Mulia, manusia adalah kepanjangan lidah para dewa. Walaupun Yang Mulia enggan mengatakannya, rakyat bisa melihat sendiri betapa arogannya para Heik6
saat ini, dan rakyat telah berdoa kepada para dewa, bukan?"
Goshirakawa mengangguk mengiyakan, kemudian mendadak tertawa terbahak-bahak. "Cukup, Saiko! Kau telah memberiku cukup penjelasan!"
Segera setelah menyadari bahwa dia tidak bisa mengabaikan peran Kiyomori, Goshirakawa pun mengambil hatinya; adik kandung Kiyomori, Yorinori, dan adik iparnya, Tokitada, yang telah diasingkan dari Kyoto, cepat-cepat dipanggil kembali. Goshirakawa pun membiarkan saja ketenaran Kiyomori meningkat di Istana dan seluruh ibu kota.
Kiyomori, memimpin pasukannya, berangkat untuk melakukan perundingan bersama para biksu Kofukuji selagi mereka berbaris menuju Kyoto. Dalam satu atau dua hari, dia berhasil mengatur sebuah pertemuan antara para pemimpin Gunung Hiei dan Kofukuji, yang berujung pada penarikan pasukan Kofukuji ke Nara. Kecepatan perundingan itu mengherankan rakyat yang ketakutan dan menakjubkan para pengikut Goshirakawa. Bahkan setelah Saiko mendapatkan nama ketiga pemimpin yang paling berkuasa di Gunung Hiei, yang sebelumnya diketahui berseberangan dengan Heik6 namun baru-baru ini telah beberapa kali bertukar surat dengan Kiyomori ... tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana Kiyomori bisa mengenal mereka. Semua orang telah melupakan peristiwa yang terjadi pada suatu hari di musim panas, delapan belas tahun silam, ketika Kiyomori menantang para biksu Gunung Hiei di Gion, dan tidak ada yang tahu bahwa dia telah merebut hati beberapa orang berkat keberaniannya itu.
Setahun kemudian, pada 1166, Penasihat Utama Fujiwara Motozane, yang menikah dengan putri kedua Kiyomori, meninggal secara mendadak pada usia muda, dua puluh empat tahun. Setahun kemudian, Kiyomori ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri dan mendapatkan seluruh wewenang dan kehormatan yang menyertai jabatannya. Dia baru saja berulang tahun yang kelima puluh; rumah barunya di Jalan Kedelapan Barat telah selesai dibangun; seluruh kerja kerasnya, tampaknya, akhirnya membuahkan hasil. Tetapi, berbagai godaan baru terus-menerus muncul di hadapannya, tantangan demi tantangan, karena masa kejayaan Heik6 baru saja dimulai.
Semua adik dan putranya, yang masih berusia tiga puluhan atau empat puluhan, telah menduduki jabatan penting di Istana dan pemerintahan. Namun, kekuasaan dan ketenaran begitu saja mendatangi Kiyomori tanpa bantuan
kekerasan maupun intrik; kedekatannya dengan kalangan berdarah biru bukanlah buah dari sebuah kesengajaan; baik putri maupun adik iparnya, Shigeko, dipersunting oleh bangsawan: putrinya oleh Mantan Perdana Menteri untuk putranya dan adik iparnya oleh Mantan Kaisar Goshirakawa.
o0odwkzo0o Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA
Klan Heike telah memasuki periode ketika pengaruh mereka begitu besar, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa apa pun yang berhubungan dengan Heike tidak akan dipandang sebelah mata. Pada sekitar masa inilah beredar berbagai macam pergunjingan tentang Giwo di seluruh ibu kota.
Giwo, yang berasal dari salah satu daerah hiburan di Kyoto, adalah salah seorang geisha yang mengiringi nyonya mereka untuk menghadiri upacara pemakaman Kaisar Nijo di Bukit Funaoka. Pada hari itu, ketika Toji jatuh sakit lantaran terpapar sinar matahari, seorang samurai Heik6
muda jatuh kasihan kepadanya dan meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk membawanya pulang ke ibu kota. Toji pulih kembali dalam satu atau dua hari, dan pada suatu siang, sambil menyantap potongan melon dingin, dia mengobrolkan peristiwa hari itu dengan gadis-gadisnya.
"Ya, samurai itu baik sekali. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan seandainya dia tidak mencarikan kendaraan untuk kita."
"Ya, Ibu, kami sangat panik ketika itu. Ibu berbaring kesakitan dan hujan mulai turun, sementara para prajurit hendak mengusir kita."
"Seandainya samurai muda itu tidak ada di sana dan mengasiha-niku, kita semua akan celaka."
"Kami akan harus menggendong Ibu hingga tiba di rumah. Aku yakin Ibu tidak akan sembuh secepat ini ".
Dan samurai itu meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk membawa kita semua pulang! " Kita benar-benar harus melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan hatinya, Ibu."
Toji telah memikirkan tentang hal itu selama beberapa waktu. Samurai muda itu, dia segera mengetahui, adalah adik Kiyomori yang bernama Tadanori. Seandainya dia bukan seorang Heik6, Toji tidak akan menunda-nunda begitu lama, namun firasatnya yang bagus mengatakan kepadanya bahwa seperti apa pun wujudnya, ungkapan terima kasihnya haruslah memberinya ikatan yang kuat dengan klan Heik6. Dia menanti hingga musim gugur tiba sebelum memanggil gadis kesayangannya, Giwo, dan mengatakan, "Kaulah orang yang paling tepat untuk bertandang ke Rokuhara sebagai kurirku dan menyampaikan ucapan terima kasihku kepada Yang Terhormat Tadanori."
Wajah Giwo seketika merona. Dia mengiyakan perintah Toji, namun ekspresi cemas di wajahnya mendorong Toji untuk menambahkan, "Kau tidak perlu takut; aku sudah berbicara dengan Tuan Bamboku tentang ini, dan beliau berjanji untuk menemuimu di balik gerbang utama Rokuhara. Beliau akan memastikan bahwa kau bertemu dengan Tuan Tadanori yang terhormat". Yang harus kaulakukan hanyalah naik ke kereta dan pergi ke sana."
Giwo siap berangkat pada saat itu juga, namun Toji menahannya. "Tidak, tidak, jangan berpakaian seperti itu!
Ingat, kau hendak pergi ke Rokuhara. Ini mungkin adalah kesempatan pertama sekaligus terakhirmu, dan kau harus
menunjukkan penampilan terbaik ". Nah, aku akan menolongmu berdandan."
Toji sendirilah yang merias Giwo, membubuhkan berbagai warna ke wajahnya dengan saksama, hingga dia puas dengan hasil karyanya. Dengan kimono bernuansa biru muda, hiasan rambut emas, dan sebilah pedang perak yang tersemat di obi-nya, Giwo memasuki kereta perempuan yang telah menantinya. Kowaka, pelayan pria yang mengawalnya, mengenakan kimono baru yang sesuai dengan kesempatan ini dan berjalan di belakang keretanya.
Ketika keretanya melintasi Jembatan Gojo dan memasuki wilayah Rokuhara, Giwo merasakan jantungnya berdebar kencang akibat kebahagiaannya; dia merasa seperti seseorang yang kerasukan. Sejak hari ketika dia bertemu dengan samurai itu, dia tidak pernah berhenti memimpikannya. Bayangan mengenai pria itu, suaranya, dan wajahnya senantiasa menyertainya. Ketika memikirkan bahwa mereka akan segera bertemu, pipi Giwo langsung panas dan merona. Apakah yang akan dikatakannya"
Bagaimanakah dia akan menjawab"
Kereta Giwo telah mendekati salah satu dari beberapa gerbang yang ada.
"Permisi ... " Kowaka menyapa prajurit yang menjaga gerbang, "apakah Tuan Bamboku sudah datang?"
"Ah, maksudmu Hidung Merah, ya?" si prajurit meralatnya. "Kalau memang yang kaumaksud adalah Hidung Merah, pergilah ke gerbang di sebelah sana dan tengoklah pondok di sebelah kanannya. Aku baru saja melihatnya di sana."
Kowaka membungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi ketika sebuah teriakan membuatnya menoleh.
"Tidak, tidak! Jangan ke sana! Bawalah keretamu ke situ!" Bamboku mengarahkannya dengan lambaian.
Kereta itu akhirnya berhenti di depan beranda, dan Giwo melangkah turun. Dia dengan ragu-ragu menghampiri seorang pelayan dan mengatakan:
"Namaku Giwo, dan aku dikirim kemari oleh nyonyaku, Toji dari Horikawa, untuk berterima kasih kepada Tuan Tadanori."
Beberapa orang pelayan lainnya segera berkumpul di pintu masuk dan terpana menatap Giwo, hingga salah seorang dari mereka sadar dan bergegas menyampaikan pesan darinya.
"Hei, tunggulah di sini!" Bamboku mencegah si pelayan.
"Majikanmu sudah menunggu kami. Kau tidak perlu memberi tahu beliau.
Aku sendirilah yang akan mengantarkan tamu kita ini kepada beliau." Bamboku telah menaiki tangga. "Ayo, Giwo, lewat sini," katanya.
Giwo berlalu melewati para pelayan yang menatapnya dengan takjub. Dia mengikuti Hidung Merah menyusuri koridor-koridor panjang dan melewati beberapa petak taman. Ketika mereka tiba di sebuah jembatan yang menghubungkan dua buah bilik, Giwo men-dengar langkah kaki yang dengan cepat mengejar mereka. Dua atau tiga orang pengawal terlihat dan menyuruh mereka menepi,
"Tuan Kiyomori ... silakan menepi."
Bamboku dan Giwo langsung menepi dan menunggu dengan rikuh. Gelak tawa yang nyaring terdengar oleh mereka; kemudian, Kiyomori muncul, tenggelam dalam pembicaraan bersama beberapa orang pejabat istana. Dia melontarkan tatapan tertarik ke arah Giwo ketika
melewatinya dan menoleh ke belakang sekali lagi sambil membisikkan pertanyaan kepada salah seorang teman bicaranya.
"Saya harap kami tidak mengganggu Anda, Tuan," kata Hidung Merah setibanya dia dan Giwo di depan pintu bilik Tadanori.
"Kaukah itu, Bamboku?"
"Anda sedang sibuk membaca rupanya. Maafkan saya
?" "Tidak perlu minta maaf. Aku sedang melihat-lihat koleksi puisi yang katanya ditulis oleh ayahku, Tadamori, dan sangat senang ketika mendapati bahwa beliau ternyata memiliki bakat menulis puisi."
"Begitulah yang saya dengar," kata Bamboku, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada topik tersebut.
"Anda yakin saya tidak mengganggu" Sesungguhnya, saya kemari untuk hal yang sudah saya sebutkan tadi pagi.
Toji dari Horikawa menitipkan pesan untuk Anda kepada salah seorang muridnya, yang tengah menunggu di ruang sebelah."
"Oh" Ya, tentu saja, bawalah dia ke sini," kata Tadanori, menyingkirkan bukunya dan memunggungi meja tulisnya.
Dia mencuri pandang ke ruang sebelah.
Giwo, yang sedang menikmati suara Tadanori dengan pikiran melayang, menatap bingung ketika Hidung Merah menyibakkan tirai.
Tadanori menatap pemandangan luar biasa di hadapannya, kemudian menoleh kepada Bamboku untuk bertanya, "Tapi, Bamboku, siapakah dia?"
"Ini Giwo, seorang geisha murid Toji, yang telah menerima kebaikan hati Anda."
"Tapi, dia berpakaian seperti laki-laki."
"Seperti inilah para geisha di ibu kota berdandan ketika mereka menjadi penghibur di dalam berbagai acara perjamuan."
Tadanori tergelak. "Aku ini memang kampungan sekali, ternyata."
"Giwo, kau hendak berterima kasih kepada Tuan Tadanori, bukan?" Bamboku memberikan dorongan.
"Ya ". Saya ... nyonya saya, Toji, menitipkan salam hormat dan terima kasih yang mendalam."
"Apakah dia sudah pulih sekarang?"
"Berkat Anda, beliau sudah sepenuhnya pulih."
Seseorang terdengar memanggil Bamboku, kemudian seorang pelayan muncul. "Tuan Kiyomori ingin menemui Anda sekarang juga," katanya.
Bamboku, yang tahu bahwa Kiyomori bisa menjadi sangat tidak sabaran, langsung mohon diri. "Tuan, maafkan saya ... saya akan secepatnya kembali kemari," katanya, pada saat yang sama memikirkan masalah apa yang kali ini muncul menyangkut pembangunan di Fukuhara, karena di sanalah dia menghabiskan sebagian besar waktunya akhir-akhir ini.
Giwo pun bersiap-siap untuk berpamitan kepada Tadanori, yang tidak berupaya menahannya, namun Hidung Merah, mengabaikan Tadanori, menyuruh Giwo duduk kembali. "Ayolah, tinggallah lebih lama untuk mengobrol dengan tuan muda ini, karena beliau sepertinya menyukaimu. Aku akan kembali secepatnya."
o0odwkzo0o Hidung Merah mendengarkan Kiyomori dengan gelisah.
Sepertinya Kiyomori akan menahannya di sini lebih lama daripada yang disangkanya. Kiyomori mencerocos tanpa henti dan dengan panjang lebar tanpa topik yang jelas.
Sungguh sulit untuk menanyakan maksud Kiyomori memanggilnya tanpa membuatnya tersinggung, pikir Bamboku.
Tetapi, Kiyomori akhirnya menawarkan, "Anggur?" dan memerintah pelayan untuk menyiapkan meja.
"Terima kasih, Tuan, saya ... "
Hidung Merah tidak sanggup lagi menyembunyikan kekesalannya. "Sejujurnya, Tuan ?" dia mulai menjelaskan sambil mengetuk-ngetuk keningnya.
"Ada apa, Bamboku, kau sedang memikirkan hal lain?"
"Tepat, Tuan." "Bodoh! Apa kau mengira aku mau menebaknya" "
Mengapa kau tidak langsung mengatakannya saja?"
"Bukan begitu, tapi saya meninggalkan seseorang bersama Tuan Tadanori."
"Seseorang?" "Betul." "Apa tepatnya yang kaumaksud dengan "seseorang*?"
"Sejujurnya, dia adalah seorang geisha dari Horikawa."
Kiyomori terkekeh, lalu menyeringai. "Seorang geisha, katamu?"
Hidung Merah menepuk kening. Dirinya memang tolol!
Dia seharusnya tahu sejak awal bahwa inilah tujuan dari pemanggilan dirinya.
"Anda mungkin melihatnya. Tuan, waktu Anda melewati kami?"
"Ya, aku melihatnya," jawab Kiyomori. "Seseorang yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Siapakah namanya?"
"Giwo, Tuan." "Mengapa kau membawanya menemui Tadanori"
Apakah adik kampunganku itu sudah mulai gemar keluar malam?"
"Justru sebaliknya ... " Bamboku menyangkal dengan sikap berlebihan. lalu dengan runut menceritakan kejadian yang berujung pada kedatangan Giwo ke Rokuhara. Dia menekankan bahwa Giwo
adalah murid kesayangan Toji, baru tujuh belas tahun dan sangat berharga sehingga belum pernah ditampilkan di depan umum.
Ketika sake dan makanan disajikan, Bamboku sudah mengungkapkan banyak hal.
"Hidung Merah," kata Kiyomori sebelum menyentuh sakenya. "Dia akan menjadi geisha yang berhasil. Bawalah dia kemari."
"Eh, Tuan, maksud Anda Giwo?"
"Hmm ... Kiyomori mengangguk.
Satu per satu lampu dinyalakan di sepanjang lorong yang gelap, sementara Giwo menyaksikannya seolah-olah di dalam mimpi. Ini adalah negeri peri, pikirnya. Langit malam semakin kelam dan se-rangga-serangga berdering
lembut di antara rerumputan di taman. Seandainya saja ini bisa berlangsung selamanya, desahnya, hingga lampu-lampu itu mendadak mengingatkannya bahwa waktu pulang telah tiba. Apakah yang telah dibicarakannya bersama Tadanori" ... Hanya beberapa patah kata untuk menjawab pertanyaannya ... kata-kata yang dahulu tidak akan pernah bisa diucapkannya. Giwo duduk diam, memandang taman. Baru kali inilah dia melihat pemandangan seindah ini! Tidak, itu tidak benar ... dia pernah melihat pemandangan yang sama indahnya, lama berselang, ketika dia masih tinggal di Jalan Pedagang Sapi.
Namanya masih Asuka waktu itu ... seorang bocah biasa
... dan dia mencintai Asatori. Dia baru berusia tiga belas atau empat belas tahun dan belum bisa menyanggul rambutnya sendiri, dan dia memuja Asatori. Tetapi, seorang wanita lain datang untuk tinggal bersama Asatori dan menjadi istrinya, dan tidak lama kemudian, Asuka dijual kepada seorang mucikari di daerah hiburan.
Kenangan mengenai cinta itu sudah luntur dari benaknya ketika dia tanpa diduga bertemu dengan Asatori di dekat Bukit Funaoka. Giwo melihat istri Asatori, dan setibanya di rumah, dia membenamkan wajahnya ke bantal dan menangis semalaman. Kemudian, perlahan-lahan, bayangan tentang Tadanori mulai menggusur kenangan tentang Asatori, hingga Giwo menyadari bahwa dirinya tengah jatuh cinta kepada samurai
muda yang tampan itu. Tidak pernah sekalipun dia memimpikan bahwa pertemuan kedua mereka akan berlangsung sesegera ini, seperti ini, dan tidak ada yang diinginkannya kecuali berdekatan dengan Tadanori.
Di tengah lamunannya, Giwo mendongak dan mendapati sebuah lentera telah menyala di dekatnya.
Tadanori telah duduk kembali di balik meja tulisnya,
mencermati kumpulan puisi di dekat lampu baca yang terang benderang, mengabaikan Giwo.
"Anda pasti kesulitan melihat," kata Giwo, mendorong lentera ke arah Tadanori.
"Oh, kau ternyata masih di sini?"
"Sebenarnya, saya hendak pulang ". Entah apa yang menahan Tuan Bamboku."
"Ya, katanya dia akan menjemputmu."
"Nyonya saya pasti khawatir, jadi saya sebaiknya berpamitan sekarang."
"Sekarang" Kau bisa-bisa tersesat; aku akan menemanimu ke beranda."
Tadanori tengah menunjukkan jaJan melewati serangkaian lorong, ketika keduanya tiba-tiba berpapasan dengan Bamboku. Dengan tatapan lega, Tadanori memasrahkan Giwo kepada Bamboku dan kembali ke biliknya.
"Lewat sini, Giwo, lewat sini."
"Hari sudah gelap, jadi lebih baik saya pulang sekarang."
"Tuan Kiyomori ingin bertemu denganmu. Kemarilah."
Giwo mendadak mundur. "Tapi ... " protesnya. Dia berpegangan ke tiang dan menolak untuk mengikuti Bamboku. Sebuah lentera menyala di sudut ruangan, dan ketika melihat para pelayan bergegas melewati mereka, Giwo baru menyadari bahwa ini bukanlah jalan menuju beranda depan, tempat keretanya menanti.
"Kau tidak perlu cemas. Kalau kau terlambat, para prajurit akan mengawalmu sampai rumah. Kalau kaupikir Toji akan khawatir, seorang kurir akan langsung dikirim
untuk mengabarkan tentang keadaanmu kepadanya. Apa paun itu, kau tidak boleh menyinggung perasaan Tuan Kiyomori dengan menolak undangannya."
Setelah membujuk, memarahi, dan memaksanya, Hidung Merah akhirnya berhasil mempertemukan Giwo dengan Kiyomori.
Kiyomori menuangkan sake untuk dirinya sendiri. Dari tempatnya duduk, tusuk konde emas dan kimono biru muda Giwo tampak berkilauan di bawah cahaya lentera.
"Hidung Merah, lepaskanlah sanggul dan pedangnya; dia sepertinya tidak nyaman," katanya.
"Giwo ... itukah namamu" Mendekatlah ... kemari
".Mengobrollah denganku sebentar. Apakah gosip terbaru di ibu kota?"
Hidung Merah menahan tawa ketika melihat kekikukan Kiyomori, ucapan konyolnya, dan wajahnya yang merah padam ... Kiyomori memang selalu canggung saat berhadapan dengan wanita. Kiyomori, yang mudah terpesona pada kecantikan dan rapuh, tidak pernah belajar untuk menutup-nutupi perasaannya. Ini bukan hal baru bagi Bamboku, karena dia telah melihat Kiyomori bersama Tokiwa dan setelah itu bersama sejumlah wanita lain, dan keadaannya selalu sama. Tetapi, Hidung masih bingung ketika memikirkan mengapa pengayomnya, yang memiliki kekuasaan besar dan berkedudukan begitu tinggi, sangat malu setiap kali berhadapan dengan wanita.
Kiyomori pernah mengakui, dalam keadaan mabuk, bahwa walaupun usianya telah matang, dia tidak pernah berhasil menghilangkan rasa enggan dan malu ketika seorang wanita memikatnya. Dia pernah dengan kesal bercerita bahwa kepolosan seorang perawan muda hanya akan membuatnya malu dan canggung. Bamboku akhirnya
menyimpulkan bahwa ini hanyalah cara Kiyomori untuk mengambil hati, karena apa lagikah yang bisa menjadi penjelasan bagi sikap Kiyomori terhadap Tokiwa" Tokiwa adalah seorang wanita yang sudah terluka, jadi alasan apakah yang dimiliki oleh Kiyomori untuk memperdalam lukanya" Jika memang benar, seperti pengakuan Kiyomori, bahwa dia malu saat berhadapan dengan wanita muda, maka seharusnya dia tidak tega untuk melukai wanita itu.
Setan Seribu Nyawa 1 10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pisau Terbang Li 10

Cari Blog Ini