The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 3
Sang kepala biara tertawa terbahak-bahak. "Tidak, aku miskin dalam urusan semacam itu."
"Tapi, tebakan Anda benar, bukan?"
"Tidak, aku tidak pandai menilai ayam sabungan. Ayam milik si pawang sudah tua sepertiku; ayam si bocah masih muda sepertimu. Tidak diragukan lagi yang mana yang akan menang, tapi kemenanganmu dibabat dengan curang oleh s?"bandar, sepertinya itu sebutan yang biasa dipakai oleh orang-orang untuknya."
"Yang Terhormatlah penyebabnya. Seandainya Anda tidak ada di sini, saya akan mendebat orang itu habis-habisan."
"Tidak, tidak, itu adalah sebuah kesalahan. Kau akan tetap kalah; tidakkah kau melihat bahwa si bandar adalah kaki tangan si pawang" Tidak, mungkin lebih baik jika kau tidak mengerti apa yang terjadi. Dan omong-omong, bagaimana kabar ayahmu" Kudengar dia telah mengundurkan diri dari jabatannya dan sekarang sedang menyepi."
"Benar, Yang Terhormat. Beliau baik-baik saja. Beliau tidak suka terlibat dalam masalah Istana."
"Aku cukup memahami perasaannya. Sampaikanlah pesanku kepadanya untuk menjaga baik-baik kesehatannya."
"Terima kasih," jawab Kiyomori, bersiap-siap pergi.
"Oh, Yang Terhormat, tahukah Anda apakah Tokinobu dari Gudang Pangan Pusat tinggal di lingkungan ini?"
"Maksudmu Tokinobu yang dahulu bertugas di Departemen Angkatan Bersenjata, Nak?" kata sang kepala biara, menoleh kepada pelayannya, "apa kau tahu?" Si pelayan mengiyakan dan memberi tahu Kiyomori untuk menyusuri kanal di sepanjang Jalan Keenam menuju sebuah tempat pemujaan tua untuk Dewa Kesehatan.
Kediaman Tokinobu ada di seberang rumpun bambu di kompleks tempat pemujaan tersebut katanya, dengan suka rela menambahkan berbagai macam detail"bahwa Tokinobu, karena kedekatannya dengan klan Heike, tidak saja dianggap aneh tetapi juga berkedudukan lemah; selain itu, dia juga seorang yang terpelajar sehingga dianggap lembek"yang tentunya menjadikannya tidak cocok untuk ditempatkan di Departemen Angkatan Bersenjata. Bahkan di Gudang Pangan Pusat pun dia masih dianggap eksentrik.
Kediamannya, Kiyomori menyimpulkan, pasti akan menunjukkan sesuatu yang mengejutkan.
"Hmm?" gumam sang kepala biara, "seperti ayahmu saja, kurasa. Jadi, ternyata ada bangsawan yang mirip dengan ayahmu. Anak muda, katakan kepada ayahmu bahwa perbukitan Togano-o sekarang ini terlalu dingin untukku, sehingga aku akan menghabiskan musim dingin di pertapaanku di Toba, tempatku akan menekuni kegemaranku melukis. Katakanlah kepadanya untuk mengunjungiku sesekali." Setelah mengatakan itu, sang kepala biara membalikkan badan dan meninggalkan Kiyomori.
Kiyomori berjalan melewati rumpun bambu di dekat tempat pemujaan hingga mendapati dirinya berada di bagian luar sebuah pagar anyaman ranting yang rupanya
menutupi seluruh blok. Kiyomori kaget ketika melihat bahwa gerbang rumah itu jauh lebih reyot daripada gerbang rumahnya sendiri. Dia nyaris takut berteriak untuk meminta izin masuk karena tidak ingin gerbang itu ambruk gara-gara dirinya, namun ternyata itu memang tidak perlu dilakukannya karena dia melihat sebuah lubang yang cukup besar untuk dirangkakinya. Dia memutuskan, bagaimanapun, untuk mengumumkan kedatangannya dengan cara biasa, yaitu meneriakkan sapaan beberapa kali.
Sejenak kemudian, dia mendengar langkah kaki. Pintu gerbang berderit nyaring seolah-olah seseorang membukanya dengan penuh kesulitan, dan wajah seorang bocah lelaki tiba-tiba terlihat
"Oh" ?" Bocah itu memandang Kiyomori dengan mata membulat
Senyum ramah merekah di wajah Kiyomori ketika dia mengenali bocah itu. Mereka baru saja bertemu. Tetapi, bocah itu langsung meninggalkannya di tempatnya berdiri, berlari begitu saja, dan menghilang dari penglihatan Kiyomori.
=odwo= Sebuah mata air yang bergemericik di dalam kompleks tempat pemujaan untuk Dewa Kesehatan mengalir di sepanjang hamparan batu buatan di bagian dalam pagar dan melintasi pekarangan. Bagaikan seutas pita sutra, aliran sungai kecil itu berkelok-kelok di sepanjang taman, melewati bagian sayap timur kediaman Tokinobu, melingkari rumpun pepohonan dan menembus rumpun bambu, hingga menghilang ke sisi luar pagar. Kediaman Tokinobu sepertinya dahulu pernah digunakan sebagai rumah peristirahatan kekaisaran dan tak kalah indahnya dari keadaan di sekelilingnya. Tetapi, bangunan utama dan sayap-sayapnya tampak bobrok bahkan jika berada di
wilayah luar ibu kota. Kendati begitu, tamannya terawat dengan cermat sehingga memancarkan seluruh keanggunan masa lalunya dan sepertinya mencerminkan budi pekerti pemiliknya saat ini. Setiap jengkal taman tersebut tampak rapi dan tersapu bersih.
Karena tidak melihat seorang budak pun, Kiyomori mengintip melalui lubang dan melihat dua orang gadis muda sedang mencuci baju di bagian sungai yang terletak di ujung bawah taman. Lengan panjang kimono mereka terayun-ayun ke depan dan belakang, dan ujung lapisan luar kimono mereka tergulung, memamerkan pergelangan kaki yang putih. Kiyomori yakin bahwa mereka adalah putri sang pemilik rumah, dan dia tiba-tiba mensyukuri tugas yang membawanya kemari.
Jika kedua gadis itu kakak beradik, maka bocah lelaki yang dilihatnya tadi tentunya juga saudara mereka. Rambut gadis yang lebih kecil masih disanggul dengan gaya kanak-kanak; Kiyomori penasaran ingin mengatahui umur kakaknya.
Mereka sedang mewarnai benang yang akan ditenun. Di dekat mereka terdapat bejana berisi pewarna kain dan helaian-helaian benang sutra panjang yang terentang di antara tangkan rumah dan sebatang pohon mapel berdaun merah. Kiyomori tidak yakin bagaimana harus menyapa mereka, dan dia khawatir akan mengejutkan mereka, namun gadis yang lebih kecil tiba-tiba mendongak dan melihatnya. Dia membisikkan sesuatu kepada kakaknya; keduanya langsung berdiri, meninggalkan pekerjaan mereka begitu saja, dan berlari menuju salah satu sayap rumah.
Meskipun ditinggal seorang diri bersama unggas-unggas yang sedang berenang-renang di kali, Kiyomori tidak keberatan. Dia memutuskan bahwa sekaranglah saat yang
tepat baginya untuk membasuh tangannya di sungai dan meluruskan topi di kepalanya.
"Wah, Kiyomori, bagaimana kabarmu" Silakan masuk, silakan masuk," sapa sebuah suara yang pernah berulang kali didengar oleh Kiyomori di rumahnya sendiri. Kiyomori membungkuk dalam-dalam ke arah sebuah galeri tempat suara itu berasal.
Setelah Tokinobu mempersilakannya memasuki ruangan yang longgar dan luar biasa bersih itu, Kiyomori langsung menyerahkan surat dari ayahnya.
"Ah, terima kasih," kata Tokinobu, menerimanya dengan kesan telah mengetahui isi surat itu. "Bukankah ini pertama kalinya kau mengunjungi rumahku?"
Kiyomori menjawab basa-basi singkat Tokinobu dengan sensasi seperti menghadapi para pemeriksa di akademi.
Bukan sikap sok tahu Tokinobu melainkan rasa penasarannya terhadap putri pria itulah yang membuat Kiyomori tegang. Kiyomori tidak menyukai janggut panjang dan hidung bengkok Tokinobu, namun pikirannya sedang melayang ke tempat lain, sibuk dengan khayalannya sendiri. Dia segera menyadari bahwa dirinya mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada yang semestinya diterima oleh seorang kurir. Sake disajikan dan berbaki-baki makanan terhidang di hadapannya. Walaupun sikapnya belum terpoles, kesadaran Kiyomori bisa tergerak dalam sekejap bagaikan senar harpa. Dia tidak mengetahui apa yang ada di dalam pikiran ayahnya akhir-akhir ini ataupun apa yang sedang dipikirkan oleh Tokinobu pada saat ini.
Kiyomori, yang pada awalnya tampak menjaga jarak, bukan karena dia merasa perlu berhati-hati melainkan karena sudah menjadi sifatnya untuk tidak terlalu cepat memberikan penilaian, mendudukkan diri dengan nyaman di atas bantal, memutuskan untuk menyingkirkan seluruh
keraguannya. Dia akan minum banyak-banyak, memberikan kesempatan kepada sang tuan rumah untuk mengamati tamu mudanya, sementara dia sendiri akan mengamati apakah putri sang tuan rumah cantik atau tidak.
Gadis itu masuk beberapa kali, lalu keluar lagi dengan gaya menggoda; akhirnya, dia masuk dan duduk di samping ayahnya. Dia sudah dewasa dan, meskipun tidak cantik, berkulit mulus dan berwajah oval; Kiyomori juga lega ketika melihat bahwa hidungnya tidak bengkok seperti hidung ayahnya. Jelas terlihat bahwa dia adalah putri kesayangan ayahnya.
"Ini Tokiko, yang tertua dari dua orang putriku yang kaulihat di taman," kata Tokinobu, memperkenalkan putrinya. "Eh?"adiknya, Shigeko, masih kanak-kanak, dan aku ragu apakah dia mau masuk meskipun aku memanggilnya kemari." Kendati tersenyum dengan tulus, keletihan dan keuzuran terpancar dari mata Tokinobu, yang berkaca-kaca karena efek sake. Dia mengenang ibu Tokiko yang telah meninggal dunia dan menyebabkan dirinya, seperti Tadamori, harus membesarkan anak-anaknya seorang diri. Akibat sake yang melemaskan lidahnya, Tokinobu mengakui dengan berurai air mata bahwa dia tidak sanggup menghadapi dunia dan telah gagal memberikan keceriaan yang layak kepada anak-anak gadisnya. Seraya melirik Tokiko, dia menambahkan, "Dia berumur sembilan belas tahun, hampir dua puluh, dan dia tetap tidak bisa mengucapkan apa-apa di hadapan tamu-tamuku."
Sembilan belas! Kiyomori kecewa. Dia sudah tua!
Tetapi, dia berpikir bahwa bukan salah Tokikolah jika dia belum menikah, karena ayahnya sendiri, Tadamori, turut bertanggung jawab dalam hai ini. Kiyomori memikirkan ayahnya dan kejahatan semena-mena para pejabat istana.
Selama bertahun-tahun, mereka telah bersekongkol untuk menjungkalkan Tadamori dari posisinya, hingga kegagalannya dalam menangkap Morito menghadirkan kesempatan yang telah lama mereka tunggu untuk menendangnya secara tidak terhormat dari Istana.
Kiyomori teringat ketika baru-baru ini ayahnya bercerita kepadanya tentang Tokinobu, dan dia merasa harus mempertimbangkan kembali pendapatnya tentang Tokiko.
Tokinobu telah secara tidak langsung terlibat dalam hubungan buruk Tadamori dengan para pejabat istana, dan peran yang dipegangnya tersebut tidak menguntungkan bagi dirinya dan putri-putrinya. Dalam banyak hal, masa kecil mereka sama dengan masa kecil Kiyomori, dan sekarang dia memahami betapa besarnya utang budi ayahnya kepada Tokinobu.
=dow= Untuk memahami situasi yang berujung pada pengunduran diri Tadamori dari Istana, perlu dijelaskan mengenai sebuah peristiwa pada Maret 1131, ketika Kiyomori masih berusia lima belas tahun. Ketika itu, kuil besar di Sanju-Sangen-Do yang memiliki seribu lukisan Buddha telah selesai dibangun dan seluruh ibu kota larut dalam upacara pembukaan besar-besarannya. Pada kesempatan itu, Mantan Kaisar Toba tidak hanya menghadiahi Tadamori dengan tambahan tanah tetapi juga mengangkatnya menjadi pejabat istana, sebuah kehormatan yang belum pernah diberikan kepada seorang samurai sebelumnya. Para bangsawan yang terusik karenanya sepakat untuk membunuh Tadamori pada malam perjamuan Istana, ketika dia dijadwalkan hadir. Lebih daripada kedengkian, rencana ini didasari oleh ketakutan.
Sebuah surat kaleng dilemparkan ke rumah Tadamori pada malam perjamuan, berisi peringatan baginya
mengenai upaya pencabutan nyawanya. Menanggapi pesan itu, Tadamori tersenyum santai, mengatakan bahwa dia akan menghadapi tantangan itu sebagai seorang samurai, dan pada malam perjamuan, dia hadir di Istana dengan membawa pedangnya. Di sana, di bawah tatapan curiga para pejabat istana, dia menghunus pedangnya untuk menguji ketajamannya pada ikatan rambutnya. Bilah baja itu, yang berkilauan bagaikan es di tengah kelap-kelip cahaya lilin, menebarkan keraguan kepada para pejabat istana yang waspada. Seorang menteri, yang ketika itu sedang berjalan melewati salah satu galeri terbuka di Istana, melihat dua sosok mencurigakan, yang bersenjata lengkap, sedang berjongkok di salah satu sudut
halaman dalam, lalu meneriaki mereka; seorang perwira dari Golongan Keenam segera muncul untuk menantang para penyusup itu dan menerima jawaban, "Kami adalah anak buah Heike Tadamori. Kami telah mendapat peringatan tentang bahaya yang mengancam majikan kami. Kami siap
mempertaruhkan nyawa untuk beliau."
Para pejabat istana, yang segera mendengar tentang hal ini, geram. Keesokan harinya, dipimpin oleh seorang menteri, mereka menuntut agar Tadamori dihukum karena hadir di Istana dengan membawa senjata dan ditemani oleh prajurit Mantan Kaisar, yang gundah, memanggil Tadamori untuk meminta penjelasan. Dengan wajah menyesal yang sepantasnya, Tadamori perlahan-lahan menurunkan pedangnya, menghunusnya, dan menunjukkan kepada Mantan Kaisar bahwa pedang itu terbuat dari bambu yang bercat perak. Kedua anak buahnya, kata Tadamori, hanya bertindak seperti layaknya semua pelayan setia kepada majikannya. Sang mantan kaisar memuji Tadamori untuk kebijaksanaannya, namun musuh-musuhnya di Istana semakin gelisah bersama setiap pemberian tanda penghormatan oleh sang penguasa kepada Tadamori, dan
ketika mereka mendengar bahwa Tokinobulah yang telah memberi peringatan kepada Tadamori tentang rencana nista itu, mereka berusaha menyingkirkannya dari Istana.
Tokinobu, yang telah bertahun-tahun mengabdi di Istana, segera mendapati bahwa seluruh jalannya untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi telah tertutup.
*dw* "Lihat, ada kubangan air lagi!" bocah bernama Tokitada itu berseru senang, mengayunkan obornya ke kaki Kiyomori ketika mereka meraba-raba mencari jalan menembus rumpun bambu.
Kiyomori mabuk"sepenuhnya ditaklukkan oleh sake.
Meskipun dia yakin dirinya bisa mencari jalan pulang, Tokinobu meragukannya, dan atas desakan Tokiko, menyuruh putranya untuk menemani Kiyomori hingga Jalan Ketujuh.
Setelah Kiyomori menghabiskan waktu lama di rumahnya, Tokiko sudah tidak bersikap malu-malu lagi; dia banyak bicara dan tertawa, dan Kiyomori bisa merasakan kehangatan tertentu dari cara gadis itu mencuri pandang ke arahnya. Tetapi, astaga, gadis itu berumur sembilan belas tahun! Ini mengganggu Kiyomori; dia seperti kakak perempuan saja. Kiyomori berpikir apakah ini karena dia membandingkan Tokiko dengan Ruriko. Apa pun itu, dia memutuskan untuk mengatakan kepada ayahnya bahwa penampilan dan kepandaian Tokiko begitu memikatnya.
Tetapi, yang benar-benar berhasil menarik minatnya adalah adik lelaki Tokiko yang berumur enam belas tahun, Tokitada.
"Ho, Singa," Kiyomori menggodanya.
Sambil mengayun-ayunkan obornya ke depan dan belakang dengan riang, Tokitada membalasnya, "Apa, dasar jongos!"
"Oh" Bukan jongos, aku adalah seorang samurai muda."
"Seorang samurai muda sama saja dengan seorang jongos tua!"
"Jadi, anak muda yang pemberani, tidakkah aku tadi melihatmu menyabung ayam di jalan?"
"Dan kau berjudi! Kau juga bersalah! Jadi, apa kata ayahku kepadamu?"
Kiyomori tergelak. "Ternyata ada juga orang yang sama dengan aku. Kau memang kocak!"
"Apanya yang sama dengan kamu?"
"Kau juga katak muda."
"Katak muda itu kecebong. Aku akan menyuruh si Singa mematukmu."
"Aku menyerah, aku menyerah," Kiyomori memprotes.
"Ulurkan tanganmu"mari kita membuat kesepakatan"
kita akan berteman seumur hidup!"
Angin dingin dari Perbukitan Utara menyapu dedaunan kering sebelum menerpa mereka tanpa ampun, mendorong mereka memasuki wilayah pemukiman kumuh yang telah dilihat oleh Kiyomori siang itu. Tertiup dan terdorong oleh angin, Kiyomori menghilang dalam kegelapan malam, sementara sosok mungil di Jalan Keenam melambai kepadanya dengan obornya.
"=d-w=" Sudah menjadi kebiasaan putra-putra Tadamori untuk menghadap dan memberikan penghormatan resmi kepada
ayah mereka setiap pagi. Bahkan Norimori, si bungsu, juga hadir untuk menerima ucapan selamat pagi yang disampaikan dengan sangat khidmat. Dan sudah menjadi kebiasaan Tadamori untuk menyampaikan beberapa patah kata penyemangat untuk anak-anak piatunya, yang menyambut ritual harian itu bersama terbitnya matahari.
Kiyomori menceritakan kejadian pada hari sebelumnya:
"Yang Terhormat Tokinobu tidak memberikan jawaban untuk surat Ayah. Karena tidak bertemu dengan beliau di Gudang Pangan Pusat, aku mendatangi rumahnya.
Sebenarnya, aku mengalami sedikit kesulitan dalam mencari alamatnya dan nyaris gagal menemui beliau.
Beliau sangat baik hati, dan aku pulang cukup larut malam.
Beliau juga mengirim salam untuk Ayah."
Kiyomori kemudian menceritakan tentang
pertemuannya dengan Toba Sojo.
"Jadi, Kepala Biara sepertinya puas dengan lukisannya
". Beliau berdarah biru, dan seandainya mau, beliau bisa menonjol di kalangan para bangsawan," renung Tadamori, seolah-olah secara diam-diam malu karena dirinya sekarang menganggur.
"Begitulah sifat beliau; seorang yang sangat eksentrik,"
Kiyomori menjawab dengan singkat, merasa bahwa komentar ayahnya telah menyimpang dari topik, karena dia sepenuhnya mengira ayahnya akan bertanya tentang Tokinobu dan putrinya Tokiko. Berlawanan dengan perkiraan putranya, Tadamori bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun yang berkaitan dengan hal itu. Alih-alih, dia berkata, "Dan, omong-omong, kudengar Yang Mulia akan segera berangkat untuk melakukan perjalanan ziarah ke Kuil Anrakuju-in."
"Ya, Yang Mulia akan berangkat pada pagi hari tanggal 15 Oktober dan kepergian beliau akan dilepas di Aula Besar. Kudengar beliau akan menginap selama dua atau tiga malam di Istana Peristirahatan di Takeda," jawab Kiyomori.
"Kau pasti sibuk di Pangkalan Pengawal. Aku yakin kau tidak sekali pun mengabaikan pekerjaanmu semenjak kepergianku, dan kuharap kau mengabdikan diri sepenuhnya kepada Yang Mulia."
"Tentu saja, Ayah, namun para samurai kecewa. Mereka sekarang menjadikan Ayah sebagai alasan untuk berkeluh kesah. Mereka belum melupakan bagaimana Istana memperlakukan Genji Yoshiiye, yang telah menghabiskan beberapa tahun meredakan pemberontakan di wilayah timur laut. Walaupun dia berhasil, kaisar yang berkuasa ketika itu berpendapat bahwa dia menyelesaikan pekerjaannya seorang diri dan menolak untuk memberinya imbalan, sehingga Yoshiiy& terpaksa menjual rumah dan tanahnya; kendati begitu, dia tetap tidak mampu membayar para prajuritnya dengan layak. Dirimu sekalipun, Ayah, mengetahui bahwa operasi terakhir kita ke wilayah barat"
walaupun sukses"hanya mendapatkan imbalan yang sangat kecil sehingga nyaris tidak cukup untuk dibagikan ke seluruh pasukan kita. Hasil akhirnya hanyalah ini"
kemiskinan kita ini."
"Begitulah nasib samurai."
"Dan benarkah jika para bangsawan itu menahan semua hak samurai untuk memastikan agar kita selalu berkedudukan di bawah mereka" Kita tahu bahwa itulah niat mereka, namun semua samurai gelisah memikirkan masa depan."
"Itu tidak masalah, karena kepada Yang Mulialah kita mengabdi, bukan kepada mereka."
"Tetapi, mereka memiliki kekuatan untuk menentukan kehidupan atau kematian kita dan bisa bertindak atas nama Istana, yang juga tempat mereka mengabdi. Kita tidak memiliki hubungan langsung dengan Yang Mulia, jadi, apakah yang bisa kita lakukan" Karena itulah para samurai risau. Ayah harus kembali ke Istana."
"Waktunya belum tiba. Untuk saat ini, mereka lebih baik tanpa aku."
"Dan ada desas-desus yang mengatakan bahwa Genji Tameyoshi, yang namanya sudah selama beberapa waktu tenggelam, akan dipanggil kembali ke Istana. Ada pula kabar burung yang menyatakan bahwa Yorinaga, Menteri Golongan Kiri, mencegahnya atas nama Yang Mulia.
Semua desas-desus itu sangat meresahkan."
"Heita, kau akan terlambat Kau harus berangkat pagi-pagi. Dan ingadah, kau harus mempersiapkan perjalanan ziarah Yang Mulia."
"Maafkan aku jika aku telah menyinggung perasaan Ayah," kata Kiyomori, merasa bahwa entah bagaimana, dia telah menjengkelkan ayahnya, yang menurut perasaannya tampak lebih tegas dan keras daripada sebelumnya.
=odwo= Istana Peristirahatan di Takeda, sebuah wilayah di sebelah selatan ibu kota, adalah tempat peristirahatan favorit Mantan Kaisar Toba, yang menyukai pemandangan di seberang Sungai Kamo dan Katsura, sehingga dia memerintahkan agar Kuil Anrakuju-in didirikan di sana.
Ketika waktu persembahan semakin dekat, sang penguasa itu menyampaikan keinginannya untuk membangun sebuah
pagoda bertingkat tiga di dalam kompleks kuil. Dia mengundang Nakamikado lyenari, yang sekarang telah pensiun dari kegiatannya di Istana Kekaisaran, untuk mengikuti perjalanan ziarahnya dan memintanya menggambar rancangan pagoda dan mengawasi pembangunannya.
Berduyun-duyun, tibalah kereta para bangsawan, barisan pendeta dalam balutan jubah kebesaran mereka, dan rombongan para penonton dari seluruh penjuru desa, semuanya menuju kuil, tempat para fakir miskin membanjir bagaikan lalat untuk menerima sedekah. Tak terhitung banyaknya pengawal ditempatkan di sepanjang rute yang dilalui oleh Mantan Kaisar; dan di tepi kedua sungai, di sekeliling wilayah Takeda, dan di mana pun mereka mendirikan perkemahan, api unggun besar menerangi langit malam.
Mantan Kaisar tinggal di sana selama dua hari.
Menjelang malam hari kedua, hujan deras turun dan lingkungan Istana, yang sebelumnya ramai oleh pengunjung, mendadak sunyi. Aula Besar terlihat mencolok di tengah kegelapan layaknya sebuah ruangan dalam mimpi berkat kerlap-kerlip cahaya lentera.
Para pengawal akhirnya beristirahat dan menyantap makan malam mereka di tempat berteduh sementara. Jatah sake kekaisaran telah dibagikan kepada mereka sehari sebelumnya, namun mereka semua terlalu sibuk untuk mencicipinya. Sebagian pengawal mengeringkan mantel mereka di dekat api; sebagian yang lain telah mencopot pakaian pelindung mereka, mengedarkan cangkir sake, dan menyantap jatah makanan mereka.
Salah seorang pengawal berkata, "Ini mungkin hanya desas-desus, tapi Genji Wataru tidak akan datang saat upacara persembahan."
"Wataru" Oh, maksudmu suami Kesa-Gozen.
Bagaimana kabarnya?"
"Hmm " tepat sebelum kita berangkat, dia mendadak meminta izin untuk mengundurkan diri kepada Menteri Golongan Kiri, yang, sepertinya, mendesaknya untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, namun Wataru tetap menyampaikan permohonan pengunduran dirinya pada penasihat Istana dan sejak saat itu tidak terlihat lagi di ibu kota."
"Oh, apa maksudnya melakukan itu?"
"Bisa dipastikan, karena terbakar oleh kebencian kepada Morito, yang telah membunuh istrinya, dia pergi untuk mencarinya dan membalas dendam. Dia pernah mengatakan bahwa dia sudah tidak tahan menyandang predikat sebagai suami dari seorang wanita korban pembunuhan."
"Tidak ada yang tahu di mana Morito akan ditemukan.
Wataru tidak bisa disalahkan jika merasa begitu.
Bagaimanapun, menurutku Morito sudah ditakdirkan untuk melakukan dosa dan menjalani sisa kehidupannya dengan siksaan rasa bersalah"
"Orang-orang mengatakan bahwa mereka pernah melihatnya di wilayah perbukitan Takao atau di sekitar Kumano. Faktanya, ada sangat banyak cerita semacam itu yang terdengar di masyarakat, sehingga dia pasti masih hidup."
Sementara para pengawal saling bertukar cerita, pendar cahaya yang terlihat di antara pepohonan di ujung lain Istana menunjukkan bahwa para pengiring Mantan Kaisar"para pejabat istana, pendeta, dan dayang-dayang"
mungkin sedang menghabiskan waktu dengan mengadakan kontes puisi; dari bilik Mantan Kaisar, bagaimanapun, tidak
terdengar alunan musik; kegelapan menyelimuti tempat itu, dan hanya gemericik air hujan yang sedikit menghidupkan suasana.
"Apakah Yoshikiyo ada di sini" Adakah di antara kalian yang melihat Sato Yoshikiyo?" wajah Kiyomori tiba-tiba muncul di tengah kegelapan malam, membelalakkan mata dan tampak cemas. Beberapa orang pengawal memanggilnya, mendesaknya untuk bergabung dan berbagi sake dengan mereka, namun Kiyomori menggeleng dan menjelaskan dengan risau, "Aku tidak punya waktu untuk itu sekarang. Aku tidak begitu yakin tentang ini, tapi kudengar salah seorang pelayan Yoshikiyo ditahan oleh petugas dari kepolisian siang tadi. Dia terlibat perkelahian di Gerbang Rashomon. Aku baru saja mendapatkan kabar itu dan sepertinya Yoshikiyo belum mendengarnya. Aku tidak menemukannya di mana-mana, tapi jika salah seorang dari kalian tahu di mana dia, tolong sampaikan kabar ini kepadanya."
Meskipun sikap santainya dipandang miring oleh semua orang di Istana, ketulusan Kiyomori dalam memperlakukan rekan-rekan sejawatnya menjadikannya populer di kalangan para pengawal, dan pada saat seperti ini, mereka siap sedia menolongnya.
"Apa! Di Gerbang Rashomon" Berarti masalah sedang menanti Yoshikiyo sekarang. Lebih cepat kita memberi tahu dia, lebih baik."
Kecemasan Kiyomori menular, dan para pengawal serta merta bangkit untuk membantunya. Empat atau lima orang temannya bergegas berlari ke berbagai penjuru menembus hujan deras.
o)-=dw=-(o Bab VII " SALAM PERPISAHAN DARI
SEORANG SAMURAI Yoshikoyo tidak bisa ditemukan. Dia tidak ada di Pangkalan Pengawal. Seseorang mengatakan bahwa dia barangkali tergabung di dalam rombongan Tuan Tokudaiji, terhambat oleh beberapa tugas yang tidak terduga, dan mungkin sudah mendengar kabar buruk tentang pelayannya. Salah seorang pengawal bertanya, "Apakah dia belum sampai juga" Entah apa yang menahannya."
"Apa kau yakin bahwa Yoshikiyo sudah mendengar tentang hal ini" Tentu saja, dia bukan pengecut yang akan mengabaikan pelayannya yang sedang kesusahan?"
"Kita sebaiknya tetap mencoba menyampaikan kabar ini kepadanya."
Para pengawal membahas masalah ini, cemas dan gelisah, tidak menikmati sake mereka, dan kesal karena Yoshikiyo tidak kunjung tiba. Mereka memiliki alasan untuk khawatir.
"Apa pun yang terjadi, orang-orang Tameyoshi tidak akan melepaskan si pelayan dengan mudah ". Apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Yoshikiyo?"
Mereka sudah lelah, dan meskipun gelisah, sebagian dari mereka telah tertidur; beberapa yang lain terkantuk-kantuk, dan sisanya telah mabuk gara-gara sake.
Yoshikiyo akhirnya terlihat di luar salah satu tenda.
"Selamat malam, kalian semua! Aku sudah menjerumuskan kalian dalam masalah besar, tapi aku akan berangkat sekarang. Aku akan kembali saat matahari terbit, selambat-lambatnya"tepat pada waktunya untuk bergabung dengan kalian dalam perjalanan pulang. Jangan terlalu mencemaskan aku." Yoshikiyo mengenakan mantel
berkuda dan menarik kudanya. Satu-satunya teman perjalanannya adalah seorang bocah pembawa obor.
Para pengawal terperangah melihat ketenangan Yoshikiyo. Seorang samurai"yang berbakat menulis puisi"bersikap seperti ini di tengah situasi krisis; kekaguman mereka pun semakin melambung.
"Eh, jadi kau berharap bisa membawa pelayanmu pulang sebelum pagi tiba, Yoshikiyo" Apa kau menyadari dengan siapa kau berurusan?"
Kiyomori sendiri memprotes kesembronoan Yoshikiyo.
Tidakkah dia menyadari, tanya Kiyomori, bahwa Tameyoshi, mantan kepala Pengawal Genji, sama sekali tidak menghargai samurai yang menggantikan anak buahnya sendiri di Istana" Dia bisa dikatakan sebagai musuh bebuyutan mereka, yang selalu mencari-cari kesalahan Pengawal Heike. Yoshikiyo sebaiknya memikirkan hal ini baik-baik. Niat buruk Tameyoshi sudah tersebar luas, dan semua orang sudah menduga adanya batu sandungan bagi Yoshikiyo. Sungguh berbahaya untuk pergi ke sana seorang diri dan berusaha membuat kesepakatan dengan Tameyoshi. Jika Yoshikiyo hendak pergi seorang diri, mereka semua akan turut serta atas nama Kesatuan Pengawal dan siap melawan kekerasan dengan kekerasan.
"Mari, kalian semua," seru Kiyomori, "kita semua akan pergi bersama Yoshikiyo dan menyelamatkan pelayannya!"
Beberapa orang berseru, "Ini baru menyenangkan!" dan berbondong-bondong ke luar dengan gaduh, haus darah dan menyambut gembira perubahan suasana. Sekitar dua puluh orang prajurit mengelilingi Yoshikiyo sambil berteriak-teriak, "Mari kita berangkat! Mari kita berangkat!"
Yoshikiyo bergeming, namun mengangkat tangan untuk menghentikan mereka.
"Tunggu, kalian bertingkah seperti anak-anak hanya gara-gara masalah sepele ini. Ingatlah, kalian masing-masing memiliki tugas di sini dan kita tidak ingin perjalanan ziarah ini terganggu. Karena pelayankulah yang menimbulkan semua keributan ini, akulah yang akan pergi dan membuat kesepakatan untuknya. Bersikaplah seolah-olah tidak ada yang terjadi."
Setelah berhasil menenangkan rekan-rekannya, Yoshikiyo berpaling begitu saja dari Kiyomori, seolah-olah kesal karena dialah yang menyebabkan kekisruhan ini.
Kemudian, memerintah bocah pelayannya untuk mengangkat obornya tinggi-tinggi, dia memacu kudanya menembus malam dan hujan.
=de= Siang itu, Yoshikiyo memerintah pengawal kepercayaannya, Gengo, untuk mengirim beberapa puisi yang ditujukan kepada beberapa pengiring Nyonya Taikenmon, ibunda Kaisar dan mantan permaisuri Mantan Kaisar Toba. Nyonya Bifukumon, yang dipilih oleh Toba untuk menggantikan Nyonya Taikenmon, menemani Toba dalam perjalanan ziarahnya, dan Yoshikiyo, yang tergabung dalam rombongan sang mantan kaisar, mau tidak mau teringat betapa Nyonya Taikenmon tentu hidup kesepian sekarang, hanya bersama beberapa teman yang sesekali mengunjunginya. Karena itulah dia mengumpulkan puisi-puisi yang ditulisnya sepanjang dua hari perjalanan, menujukannya kepada beberapa pujangga wanita di keputrian Nyonya Taikenmon. dan menyuruh Gengo untuk mengirimnya ke ibu kota. Tidak penting bagi Yoshikiyo apakah Gengo mendapatkan masalah dalam perjalanannya menuju atau meninggalkan ibu kota, karena pikirannya saat ini hanya tertuju pada kediaman Tameyoshi. Walaupun tampak santai di hadapan Kiyomori dan para pengawal
lainnya, Yoshikiyo tahu betul reputasi pria yang akan ditemuinya. Gengo, pelayan kesayangannya, sedang berada dalam bahaya, dan jika diperlukan, Yoshikiyo siap mempertaruhkan nyawa untuknya. Dia memacu kudanya, berdoa agar tidak ada yang terjadi pada Gengo hingga dia tiba.
Ketika itu hampir tengah malam dan hujan telah reda.
Bulan memancarkan sinar pucatnya dari balik awan dan menerangi atap kediaman Tameyoshi dan gerbangnya yang tampak mencekam. Tameyoshi, yang sedang bersiap-siap beristirahat malam itu, mendengar ketukan nyaring di gerbang dan jawaban galak si penjaga malam. Tameyoshi sendiri keluar untuk melihat apa yang terjadi, menemui Yoshikiyo, dan mengundangnya ke sebuah ruangan " yang menghadap ke halaman dalam. Di sana, di bawah cahaya temaram sebuah lentera, dia mendengarkan penuturan Yoshikiyo.
Yoshikiyo mendapati bahwa, berlawanan dengan rumor yang sering didengarnya, Tameyoshi ternyata orang yang lemah lembut. Situasilah yang memaksa Tameyoshi, cucu seorang kepala klan termahsyur, menjadi kepala sebuah rumah tangga samurai. Masih berusia awal empat puluhan, Genji Tameyoshi berpembawaan menyenangkan dan bersikap rasional.
"Tentu saja, saya mengerti. Saya akan segera menangani masalah ini. Akhir-akhir ini ada begitu banyak desas-desus tentang pertikaian antara anak buah saya dan para pengawal, jika pelayan Anda telah ditahan tanpa alasan, maka dia harus sesegera mungkin dibebaskan. Ho, kemarilah Yoshitomo!" Tameyoshi memanggil seseorang yang ada di ruangan lain. Yoshitomo, putra sulungnya, segera memenuhi panggilannya dan berlutut di beranda, dengan sopan menanyakan alasan ayahnya memanggilnya.
Yoshikiyo menatap pemuda itu dengan ramah"seorang anak yang berbakti.
Setelah bertukar beberapa patah kata dengan ayahnya, Yoshitomo segera memanggil para penjaga rumah dan pelayan untuk menanyai mereka; dalam waktu singkat, dia muncul kembali dan berlutut di taman di luar.
"Aku membawa pelayan Yang Terhormat Yoshikiyo dan salah satu prajurit kita, yang telah menantang dia."
Wajah Gengo bengkak akibat dihajar habis-habisan. Dia langsung menangis begitu melihat majikannya.
"Siapa yang menahanmu?" Tameyoshi menuntut penjelasan.
"Putra Anda, Yang Terhormat Yoshikata."
"Alasan penahananmu?"
Yoshitomo menjawab pertanyaan itu untuk si tahanan, menjelaskan tentang apa yang telah terjadi siang itu.
Gengo, katanya, berhenti di Gerbang Roshomon dan diperiksa oleh orang-orang Yoshikaya karena membawa sesuatu yang terlihat seperti sebuah dokumen resmi. Gengo menolak untuk menyerahkan gulungan yang dibawanya, bersikeras bahwa gulungan itu dikirim oleh beberapa wanita di Istana untuk majikannya, dan menambahkan bahwa para prajurit yang memeriksanya tidak boleh membaca isi gulungan itu.
"Dan kemudian?"
Yoshitomo melanjutkan, "Aku mendengar bahwa Yuigoro merebut gulungan itu dari Gengo dan merobek-robeknya. Gengo yang marah menyerangnya, menangis karena majikannya telah dihina. Para prajurit lain di
Gerbang Roshomon kemudian menghajar Gengo, mencaci makinya, dan menjebloskannya ke penjara."
"Baiklah. Panggillah Yoshikata," perintah Tameyoshi.
Seorang pemuda berusia dua puluhan segera datang.
Tameyoshi mendampratnya karena perilaku buruk para prajurit yang menjadi tanggung jawabnya dan, setelah selesai berbicara, tiba-tiba berdiri dan menendang putranya, yang jatuh dari beranda ke taman. Berpaling kepada Yoshikiyo, Tameyoshi berkata, "Saya akan menyerahkan kepada Anda untuk menindak putra saya dan prajuritnya sesuai dengan keinginan Anda. Saya menyalahkan diri saya sendiri atas apa yang telah terjadi dan akan mendatangi istana Nyonya Taikonmen untuk meminta maaf. Saya sangat menyesali apa yang telah terjadi pada pelayan Anda.
Ini sangat disayangkan, dan saya mohon agar Anda tidak menyalahkan saya dan mau berusaha melupakan kejadian ini."
Terkejut dan lega karena masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang tidak diduganya, Yoshikiyo memohon kepada Tameyoshi untuk bersikap lebih lunak kepada Yoshikata dan prajuritnya. Setelah itu, dia dan Gengo meninggalkan kediaman Tameyoshi, yang didatanginya beberapa saat sebelumnya dengan pikiran terburuk.
Tidak bisa disangkal lagi bahwa Tameyoshi adalah keturunan dari leluhur yang mulia, pikir Yoshikiyo dengan penuh kekaguman, karena perangai seperti yang ditunjukkannya jarang ditemui di kalangan samurai biasa.
Bagaimanapun, Yoshikiyo bisa merasakan kesuraman yang tertahan. Tameyoshi sedang menunggu waktu yang tepat; jelas terlihat bahwa dia tidak melupakan bagaimana kakeknya telah dipermalukan seumur hidup oleh para bangsawan, dan dia dengan sabar menantikan datangnya kesempatan untuk membalas dendam.
Di sekeliling Yoshikiyo, ibu kota telah lelap. Bulan bergeser dengan lembut di balik tirai awan. Dan, walaupun telinganya tidak mendengar bunyi-bunyian yang merusak kesunyian malam itu,
Yoshikiyo yakin bahwa ketenangan ini tidak akan berlangsung lama.
==odwo== Kiyomori dan Tokiko menikah pada bulan Desember tahun itu. "Jadi, apakah kau mau menikahi dia?" tanya Tadamori kepada Kiyomori, yang wajahnya mendadak merah padam dan hanya sanggup menjawab, "Oh?" Tidak diperlukan lagi pembahasan lebih lanjut di antara ayah dan anak yang saling mengenal dengan sangat baik itu.
Selama tiga malam berturut-turut, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, Kiyomori secara diam-diam mendatangi rumah di dekat tempat pemujaan bagi Dewa Kesehatan untuk memikat calon istrinya. Dia melenggang dengan gembira menembus udara malam yang menyelusup ke dalam telinganya dan melewati jalanan kumuh. Rumah yang didatanginya gelap dan sunyi, namun cahaya temaram menerobos kerai dari jendela kamar Tokiko. Itu adalah simbol cinta yang melambai-lambai kepadanya dari ujung lain alam semesta, mendatangkan ke benak Kiyomori bayangan-bayangan yang lebih menggoda daripada mimpi-mimpi terpanasnya. Dan bagi kedua sejoli itu, yang berpisah sebelum fajar menyingsing, sesuatu yang lebih kuat daripada gairah seakan-akan berhasil meleburkan kokok ayam jantan dan tetesan embun ke dalam sebuah dunia puitis.
Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, Tokiko semestinya tinggal di rumah di Imadegawa sebagai mempelai Kiyomori, namun pasangan muda itu lebih
memilih untuk tinggal di rumah Tokinobu yang lebih besar.
Teman-teman dari kedua keluarga sepakat bahwa perjodohan antara keluarga samurai miskin dan bangsawan papa ini sungguh serasi.
Sebagai sumbangan untuk pesta pernikahan kakaknya, Tokitada menyembelih dan memasak ayam sabungannya, yang telah lama disembunyikan dari ayahnya, dan menghidangkannya kepada Kiyomori.
"Apa! Kau menyembelih ayam sabunganmu yang berharga untuk malam ini?"
Tokitada hanya tersenyum lebar.
Kiyomori tidak sanggup berkata-kata. Dia hanya takut kepada ayahnya, namun semangat membara bocah ini membuatnya gentar Kedalaman seperti apakah yang akan ditemuinya dalam diri kakak bocah ini, istri yang baru saja dinikahinya"
"-dw-" Pada musim semi 1138, Tokiko mengetahui bahwa dirinya hamil dan memberi tahu suaminya. Kiyomori mendengarnya tanpa berkata-kata, larut dalam kekecewaan.
Perasaan bersalah akibat kenangan menghabiskan semalam di dalam pelukan seorang wanita di jalan Keenam menerpanya, berbaur dengan kesadaran bahwa pada usia yang kedua puluh satu, dia akan menjadi seorang ayah.
?" Apakah kau tidak senang?"Tokiko ragu-ragu.
Tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, Kiyomori cepat-cepat menjawab, "Bahagia"ya, namun kita keluarga samurai, jadi anak ini harus laki-laki." Seandainya dia seorang bangsawan, dia mungkin akan berdoa agar anaknya perempuan, yang akan tumbuh dengan kecantikan tak tertandingi lalu diangkat menjadi selir kaisar, namun
pikiran semacam itu tidak ada di benaknya. Tidak ada sedikit pun kasih sayang kebapakan yang
menggerakkannya. Musim dingin kembali datang. Pada suatu pagi di bulan November, setelah hujan salju turun sepanjang malam, ketika salju menumpuk di beranda, tangisan seorang bayi terdengar. Para pelayan Tokiko bergegas menemui sang ayah muda dan memberinya selamat atas kelahiran putra sulungnya. Kiyomori yang lega hanya sanggup berjalan mondar-mandir di ruangan antara beranda dan kamarnya.
"Tua Bangka"ambilkan kudaku, kudaku!"
Mokunosuke, yang bersama beberapa pelayan lain dari Imadegawa menemani Kiyomori di rumah barunya, muncul. "Tuan Muda, Anda pasti sangat bahagia!"
"Lega"aku benar-benar lega!"
"Apakah Anda hendak pergi ke tempat pemujaan untuk mempersembahkan tanda terima kasih?"
"Tidak, aku harus menemui ayahku di Imadegawa sebelu melakukan yang lain. Tua Bangka, saljunya dalam
" kau harus tetap di sini."
Kiyomori berkuda melewati gerbang. Ketika berada di dekat rumpun bambu, dia mendengar seruan nyaring dari belakangnya. Adik istrinya, Tokitada, memanggilnya, "Aku akan menyertaimu hingga setengah perjalananmu; bambu-bambu menghalangi jalan," katanya, menyusul kuda Kiyomori. Terbebani oleh salju, bambu-bambu merunduk ke tanah dan menghalangi jalan. Tokitada menebaskan belatinya, membelah bambu yang tertimbun salju satu per satu, melompat-lompat ke sana kemari bagaikan seekor kelinci, sesekali menengok ke belakang dengan tatapan sombong.
"Terima kasih, sudah cukup," seru Kiyomori, memandang kegesitan dan kelincahan bocah itu dengan kagum. Pikirannya seketika kembali kepada anak yang lahir pagi itu, dan sebuah kehangatan, kebangkitan naluri kasih sayang kebapakan, membanjirinya. Bayi laki-laki itu"tidak diragukan lagi"adalah miliknya dan Tokiko!
Sejauh yang bisa dilihat oleh Kiyomori, atap-atap bangunan di Kyoto, juga di Perbukitan Timur dan Barat yang mengapit ibu kota, tertimbun salju tebal. Seorang diri, Kiyomori memacu kudanya, sesekali mengejutkan para pejalan kaki yang menatapnya dengan penasaran dan waspada. Kiyomori tiba di depan gerbang Imadegawa dan segera bertatap muka dengan ayahnya. Terengah-engah, dia menyampaikan kabar gembira itu, "Akhirnya dia lahir"
bayi laki-laki!" "Jadi, dia sudah lahir jawab Tadamori dengan air mata berlinang.
Kiyomori nyaris tidak sanggup menahan air matanya sendiri ketika memandang pria yang dihormatinya lebih daripada ayah kandungnya sendiri itu. Jalan takdir yang aneh telah mempersatukan mereka. Mereka berhadapan dengan masa depan yang tidak pasti, karena tanda-tanda kekacauan telah terlihat dengan jelas. Dalam tiga tahun terakhir, telah banyak kediaman bangsawan yang dibumihanguskan. Para biksu bersenjata saling melawan, meluluhlantakkan kuil-kuil dan pagoda-pagoda, dan berbaris ke ibu kota bersama para tentara bayaran untuk menuntut kekuasaan. Sementara itu, kelahiran putra Kaisar Sutoku, sang Putra Mahkota Utama, memperuncing pertikaian antara Istana Kekaisaran dan Pemerintahan Kloister, karena Mantan Kaisar Toba juga telah mengumumkan bahwa putra sulungnya bersama Nyonya
Bifukumon adalah Putra Mahkota yang akan mewarisi singgasananya.
Kerusuhan yang semakin sering terjadi di seluruh negeri dan kegelisahan umum mendorong Toba untuk memanggil Tadamori. membujuknya agar mau mengambil kembali posisinya di Istana.
Dan Tadamori, setelah kelahiran cucunya, akhirnya setuju untuk ditempatkan di Golongan Kelima dan mendapatkan jabatan di Departemen Keadilan. Kiyomori juga mendapatkan kenaikan jabatan dari Mantan Kaisar, dan bintang keluarga Heike sepertinya bersinar terang.
Walaupun para pejabat istana yang iri tidak mencegah pemanggilan kembali Tadamori, mereka segera bersekongkol untuk menyingkirkannya. Terdengar desas-desus bahwa Tadamori telah secara diam-diam menjalin hubungan asmara dengan putri seorang bangsawan Fujiwara, Ariko, salah seorang dayang di Istana Kekaisaran, yang kemudian menjadi ibu susuan bagi Putra Mahkota Utama. Musuh-musuh Tadamori yakin bahwa hubungan asmara dengan seseorang yang mengabdi kepada saingan Toba akan berujung pada hukuman mati. Tetapi, Mantan Kaisar sudah cukup lama mengetahui tentang hubungan ini, dan, tanpa diketahui oleh para pejabat istana, mendorong dan merestui pernikahan mereka, yang telah memberikan dua anak laki-laki kepada Tadamori.
==d-w== Toba Sojo, yang sepanjang hidupnya menertawakan dunia melalui lukisan-lukisannya, wafat pada musim gugur 1140, di usia yang telah renta. Dalam keadaan meregang nyawa, dia mengatakan, "Kendati aku seorang biksu, jangan lakukan ritual biara setelah aku meninggal. Aku sudah hidup terlalu lama untuk mengolok-olok para kepala
biara, pembesar kuil, dan pendeta dengan ekor mengintip dari balik jubah kebesaran mereka. Menguburku dengan nyanyian khidmat dan doa-doa akan menjadi gurauan terbesar."
Di bawah genting pertapaan, sang kepala biara sekarang berbaring, tidak bisa lagi mendengar gemerisik daun yang berguguran dan gumaman para pelayat, yang sedang bertukar cerita tentang masa lalu dan keeksentrikannya.
Pemimpin pelayat, seorang pejabat istana berkedudukan tinggi, heran ketika melihat bahwa pemakaman yang akan dihadiri oleh deputi Kaisar dan Mantan Kaisar itu hanya akan dilakukan dengan upacara sederhana. Para pejabat istana, yang tiba dengan kereta mereka, harus berjalan kaki bersama para penduduk desa di sekitar Toba menuju pondok pertapaan di wilayah perbukitan.
"Yang Terhormat Yoshitomo"ini sungguh tidak terduga!"
Sato Yoshikiyo meninggalkan temannya untuk menyapa putra sulung Tameyoshi, Genji Yoshitomo, yang cepat-cepat menepi dan membalas sapaannya dengan sopan,
"Aku tidak yakin apakah yang kulihat benar-benar dirimu, karena aku hanya pernah bertemu denganmu sekali pada malam itu ?" katanya.
"Aku khawatir kedatanganku yang selarut itu untuk menyelesaikan masalah pelayanku mengganggu kalian.
Aku tidak pernah lagi berjumpa dengan ayahmu sejak saat itu, tapi aku ingin memperbaharui permintaan maafku kepada beliau," jawab Yoshikiyo.
"Tidak, kamilah yang bersalah dalam hal itu, walaupun aku malu mengakuinya. Apakah kau datang kemari untuk memberikan penghormatan kepada almarhum Kepala Biara?"
"Hubungan kami tidak mendalam, namun jika masih ada kesempatan untuk melihat beliau lagi, aku akan dengan senang hati mengejarnya," kata Yoshikiyo. Teringat kepada temannya, dia buru-buru memperkenalkan mereka. "Ini Heike Kiyomori. Apakah kalian pernah bertemu?"
"Ah" Barangkali pernah."
Yoshikiyo menyaksikan bagaimana kedua samurai muda itu saling menyapa dengan gembira, dan tiba-tiba terpikir olehnya bahwa pertemuan ini bisa dikatakan penting.
Seorang prajurit Heike dan seorang petugas Kepolisian"
Seorang Heike dan seorang Genji!
"Aku akan berangkat ke timur untuk tinggal di Kamakura dalam waktu dekat ini"ke daerahku, tempat banyak keluargaku tinggal. Kalian harus mengunjungiku jika kebetulan berada di dekat wilayah itu," kata Yoshitomo ketika mereka berpisah.
Yoshikiyo, yang biasanya banyak bicara, tampak lebih pendiam hari itu. Kiyomori tidak memerhatikan perubahan sikap ini. Mereka berjalan dalam keheningan hingga tiba di sebuah persimpangan, tempat Kiyomori berpamitan.
Yoshikiyo kemudian bertanya, "Apakah kau akan pulang?"
"Ya, jalanan di distrik itu gelap gulita pada malam hari, dan anak istriku sudah menantikan kedatanganku.
Kebahagiaan terbesarku akhir-akhir ini kudapatkan saat aku berjumpa dengan anakku."
"Berapakah umurnya?"
"Baru dua tahun."
"Dia tentu sedang lucu-lucunya! Tidak ada cara yang tepat untuk menjelaskan kasih sayang kita kepada seorang anak ". Kau harus buru-buru pulang sekarang."
Dan mereka pun berpisah di remang senja.
Sebulan kemudian, pada 15 Oktober, Yoshikiyo raib.
Kiyomori, yang tidak bisa memercayai hal ini, bertanya kepada semua teman dan kenalan Yoshikiyo tentang apa yang terjadi dan mendapatkan informasi bahwa pada hari sebelum dia menghilang, Yoshikiyo meninggalkan Pangkalan Pengawal bersama seorang sepupu yang berusia sedikit lebih tua daripada dirinya. Keduanya pulang, membahas tentang kehampaan keberadaan manusia, dan berpisah dengan janji untuk bertemu kembali keesokan paginya. Malam itu, si sepupu mendadak jatuh sakit dan meninggal dunia, dan Yoshikiyo, yang pergi dengan niat untuk memenuhi janji temu mereka keesokan paginya, berdiri di luar rumah sepupunya dan mendengar tangis memilukan sang istri yang masih muda, sang ibu yang telah uzur, dan anak-anak yang masih kecil. Di sana, sekonyong-konyong, dia mengetahui bahwa dia tidak bisa turut berduka bersama mereka, karena baru disadarinya bahwa kematian, takdir yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia, terjadi setiap hari dan sekali lagi terulang di depan matanya. Yoshikiyo pun meninggalkan rumah sepupunya dan menuju Istana. Di sana, dia mengundurkan diri dan pulang tanpa mengatakan apa pun kepada rekan-rekannya sesama pengawal. Kepergiannya yang begitu mendadak membingungkan seisi Istana, padahal Yoshikiyo begitu disukai oleh Mantan Kaisar karena bakatnya sebagai penyair, dan bahkan telah beredar kabar bahwa dia akan dipromosikan ke Kepolisian. Sepertinya tidak ada penjelasan yang masuk akal bagi perilaku anehnya.
Selanjutnya, setibanya dia di rumah, Yoshikiyo tampak resah, dan para pelayan dengan cemas mendengarkan isak tangis istrinya di sebuah kamar, tempat Yoshikiyo menahannya bersama dirinya selama beberapa waktu.
Ketika keluar kembali, Yoshikiyo menampilkan ketenangan yang dipaksakan, namun ketika putri kesayangannya yang berumur empat tahun berlari menyongsong dan memeluknya, Yoshikiyo dengan kasar mendorong bocah itu. Dia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia harus melupakan semua ikatan dengan manusia lain jika ingin meninggalkan dunia fana dan memasuki biara.
Kemudian, dia mencabut belatinya, melakukan upacara penahbisan dengan memotong rambutnya dan melemparkannya ke altar leluhur di tempat persembahyangan keluarganya, lalu berlari keluar, diiringi oleh isak tangis putus asa dari orang-orang di rumahnya.
Sepuluh hari kemudian, terdengar kabar bahwa Yoshikiyo telah bersumpah untuk mengabdikan diri sebagai pendeta dan mengganti namanya dengan nama Buddha, yaitu Saigyo. Beberapa orang bahkan pernah melihatnya berada di wilayah kuil di Perbukitan Timur.
Kiyomori semakin bingung ketika mendengar komentar ayah mertuanya, "Sulit untuk memercayai bahwa seseorang yang semuda dan seberbakat itu bisa mengambil keputusan berdasarkan dorongan mendadak semata. Mungkin Yoshikiyo memang telah lama memilih untuk menjalani cara hidup yang lebih positif dan mulia." Kiyomori berpikir untuk meminta penjelasan yang lebih memuaskan dari ayahnya, namun dia segera melupakannya karena yang lebih mengganggu daripada raibnya Yoshikiyo adalah rangkaian peristiwa yang satu demi satu melibatkan dirinya; sekarang dia merasakan terpacunya kemampuan berpikirnya yang luar biasa.
=o0dw0o= Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS
IBU KOTA Pada Desember 1141, kendati tidak ada seorang pun terkejut karenanya. Kaisar Sutoku yang berusia dua puluh satu tahun mendadak digulingkan dari tahtanya, dan putra Mantan Kaisar Toba bersama Nyonya Bifukumon yang baru berusia tiga tahun dinyatakan sebagai penggantinya.
Pada pertengahan Januari, kurang dari sebulan kemudian, seorang biksu muda berjalan seorang diri melewati hutan tak berdaun di Perbukitan Timur, mengumpulkan ranting-ranting yang patah akibat hujan salju yang lebat. Beberapa orang tetap akan mengenalinya sebagai Yoshikiyo sang pengawal, walaupun jubah biksu melekat di tubuhnya.
"Ah, Andakah itu?"
Saigyo terdiam ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. "Kau"Gengo?"
"Anda tidak ada di pertapaan, dan orang-orang di kuil juga tidak tahu di mana Anda berada. Saya pikir Anda mungkin turun ke ibu kota, dan saya hendak menyusul ke sana untuk mencari Anda. Apakah yang sedang Anda lakukan?"
Saigyo tersenyum ceria. "Aku kemari untuk mengumpulkan kayu bakar, tapi kesunyian lembah dan pikiranku begitu menyibukkanku sehingga aku tidak menyadari bahwa matahari telah tenggelam."
"Kayu bakar?"Astaga, mengumpulkan kayu bakar!"
Perhatian Gengo langsung teralih pada seikat besar kayu bakar yang dibawa oleh mantan majikannya. Dia cepat-cepat menanyakan apakah Saigyo sedang berada dalam perjalanan pulang ke pertapaan.
The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah ada sesuatu yang mendesak yang membawamu kemari, Gengo?"
Gengo cepat-cepat menjawab, "Seluruh keluarga Anda baik-baik saja. Saya sudah mengurus rumah, para pelayan, dan kuda-kuda Anda. Tanah Anda telah dijual."
"Aku sangat bersyukur. Aku tidak bisa mengatakan kepadamu betapa aku berterima kasih karena kau mau melakukan semua itu."
"Para kerabat Anda sepertinya juga sudah melepaskan harapan bahwa Anda akan berubah pikiran, dan istri Anda akan segera membawa putri Anda untuk tinggal bersama orangtuanya."
"Jadi"mereka akhirnya mengikhlaskanku" Itu sungguh membahagiakanku."
Kerutan di kening Yoshikiyo mendadak lenyap ketika dia mendengar kabar itu. Masalah yang masih merisaukannya hingga saat ini adalah istri dan anaknya.
Mereka telah tiba di gubuk mengenaskan di belakang kuil yang menjadi tempat tinggal Saigyo. Dia mengumpulkan puisi-puisi yang berserakan di atas sebuah meja kecil, menyingkirkan tintanya, dan menyalakan api, sementara Gengo mencuci bahan makanan yang dibawanya di sungai dan mempersiapkan sepanci bubur untuk dimasak di atas perapian.
Kendati Saigyo telah berulang kali melarangnya, Gengo, mantan pelayannya, senantiasa mengunjunginya, bersikeras bahwa dia akan tetap datang kalaupun dirinya sedang sekarat
Setelah makan malam mereka siap, Saigyo dan Gengo, layaknya sesama biksu dan orang yang berkedudukan
setara, duduk berdampingan di dekat perapian. Walaupun sedang makan, mereka tetap bercakap-cakap.
Segera setelah kepergian majikannya, Gengo secara resmi mengumumkan niatnya sendiri untuk menjadi biksu, dan meskipun belum melakukan upacara penahbisan, dia telah memilih nama Buddhanya, Saiju, dan berharap untuk bisa mengabdi kepada Saigyo di pertapaannya. Yoshikiyo, bagaimanapun, tidak merestui sumpah Gengo dan, untuk mengujinya, menasihatinya agar menunggu hingga satu atau dua tahun lagi.
"Saya nyaris melupakan ini," kata Gengo, meletakkan segulung surat di hadapan Saigyo.
Surat itu, yang dikirim oleh kurir Nyonya Tainkenmon, ditulis oleh tangan lembut seorang wanita dan sulit dibaca karena banyaknya pesan dan puisi yang berjejalan di dalam satu halaman. Saigyo mendekatkannya ke perapian, mengerutkan kening dalam upaya untuk membacanya.
Seusai membaca surat itu, dia tidak mengatakan apa-apa, namun menatap lekat-lekat api di perapian.
Beberapa orang teman pujangga wanitanya yang menjadi pengiring Nyonya Taikenmon menyampaikan kabar mereka dan majikan mereka kepadanya. Nyonya Taikenmon, tulis salah seorang dari mereka, kesepian dan telah beberapa kali menyampaikan niat tulusnya untuk menjadi biarawati. Ini bisa dipahami, renung Saigyo. jalan itu sepertinya tidak terhindarkan lagi. Putra Nyonya Taikenmon, Sutoku, telah diturunkan dari tahtanya, dan masa depan sang mantan permaisuri menjadi tidak pasti.
Saigyo memikirkan betapa Nyonya Taikenmon, yang pernah dianggap sebagai salah seorang wanita tercantik pada masanya, sekarang telah memasuki usia awal empat puluhan. Selain mengasihaninya secara mendalam, Saigyo juga memikirkan nasib teman-temannya yang menjadi
pengiring sang mantan permaisuri. Jika mereka tidak mengikuti majikan mereka menjadi biarawati, ke manakah mereka akan menemukan keselamatan dari kemelut yang diramalkannya"
Gengo memecah kesunyian. "Sudahkah Anda
mendengar kabar Morito?"
Saigyo, yang sedang melamun menatap keindahan abu putih dan bara api, serta merta mendongak. "Morito?"
tanyanya, seolah-olah berusaha mengingat kembali sebuah kenangan lama.
"Namanya dicabut dari daftar buronan Desember silam.
Seorang pengembara dari Kumanoi di Kisho baru-baru ini memberi tahu saya bahwa Morito sekarang sudah menjadi biksu. Morito yang sama, yang lima tahun yang lalu membunuh Kesa-Gozen dan menghilang begitu saja. Dia mengganti namanya menjadi Mongaku, dan pada musim gugur yang lalu bersumpah untuk menebus dosanya dengan seratus hari bertapa di bawah guyuran air suci dari Air Terjun Nachi."
"Ah, Morito! " Tidak ada yang bisa menandingi Air Terjun Nachi untuk menyucikan dirinya, dan tidak mungkin dia bisa menebus dosanya kecuali dengan senantiasa melakukan tindakan baik"
"Pengembara itu menceritakan kepada saya bahwa dia mendatangi Air Terjun Nachi untuk melihat seperti apa penampilan biksu gila ini dan mendapati Mongaku, berpakaian putih dari ujung kepala hingga kaki, seutas tali jerami kasar mengikat pinggangnya, berdoa dengan suara parau sementara air terjun mengguyur tubuhnya"sebuah pemandangan yang akan membekukan darah siapa pun yang melihatnya! Mongaku sepertinya beberapa kali kehilangan kesadaran, dan akan tenggelam seandainya
tidak ada seseorang yang mengawasinya di sana. Saya diberi tahu bahwa rambut dan janggutnya nyaris menutupi wajah dan matanya yang cekung, dan dia tidak terlihat seperti manusia."
"Jadi, itulah yang terjadi padanya." Menarik sebatang kayu yang membara dari perapian, Saigyo menuliskan beberapa kata di hamparan abu.
Nada simpati terdengar dalam suara Gengo ketika dia mengulangi kisah tentang penebusan dosa Morito. Gengo termasuk di antara orang-orang yang paling keji mengecam Morito, dan ketika mendengarkan cerita Gengo tanpa ekspresi tertentu, Saigyo merasakan keengganan mantan pelayannya itu untuk mengabdikan dirinya seumur hidup pada biksu yang saat ini sedang menghangatkan diri di dekat perapian. Bagaimana mungkin Gengo tahu, pikir Saigyo, bahwa penampilan yang sama sekali tidak mencerminkan keperkasaan ini merupakan siksaan yang jauh lebih besar daripada guyuran Air Terjun Nachi yang sedingin es dari ketinggian seribu kaki sekalipun"
Bagaimana mungkin Gengo menyadari bahwa semalam pun Saigyo tidak bisa tidur dengan nyenyak sejak pelariannya dari rumahnya ke Perbukitan Timur, bahwa tidurnya selalu dihantui oleh tangisan putri kesayangannya yang telah diabaikannya.
Siapa yang mengetahui bahwa pada siang hari, ketika dia menyelesaikan tugasnya menimba air dan membelah-belah kayu bakar sembari tetap menulis puisi, embusan angin pada pucuk-pucuk pepohonan di lembah di bawahnya dan pepohonan pinus di sekeliling kuil terdengar bagaikan ratapan istrinya di telinganya, dan betapa malam-malamnya senantiasa diliputi kegelisahan sehingga lelap tidak pernah lagi mendatanginya" Saigyo tidak akan pernah lagi menemukan kedamaian. Dia telah terenggut sepenuhnya
dari pohon kehidupannya. Penyesalan dan kasih sayang bagi orang-orang yang dicintainya akan memburunya hingga akhir hayatnya. Di bawah Air Terjun Nachi, Morito membersihkan diri dari hasrat dan siksaan duniawi yang merupakan beban alami manusia dan berharap bisa memperbaharui dirinya dengan air suci. Mereka berdua sama-sama sedang mencari kemerdekaan dari ambisi dan hawa nafsu yang selamanya menyiksa manusia.
Di abu perapian, Saigyo berulang kali menulis kata
"belas kasihan". Dia sedang belajar untuk menerima kehidupan beserta seluruh kebaikan dan keburukannya, untuk mencintai kehidupan beserta seluruh manifestasinya dengan cara menyatu dengan alam. Dan untuk alasan ini, dia telah mengabaikan rumah, istri, dan anaknya di kota yang penuh gejolak konflik. Dia telah melarikan diri untuk menyelamatkan kehidupannya sendiri, bukan untuk mewujudkan impian agung menyelamatkan umat manusia; dia pun tidak bersumpah untuk menjadi biksu atas dasar niat merapalkan puja-puji kepada Buddha; dia bahkan tidak bercita-cita untuk menjadi pemuka agama. Hanya dengan menyerahkan diri kepada alamlah dia bisa menghargai kehidupannya dengan cara terbaik, mempelajari bagaimana manusia semestinya hidup, dan oleh karenanya menemukan kedamaian. Dan jika ada pendeta yang menuduhnya telah berikrar atas dasar cinta kepada diri sendiri, bukan untuk menyucikan dunia dan berkorban untuk umat manusia, Saigyo siap untuk mengakui bahwa tuduhan itu benar sehingga dia layak untuk dicerca dan dihina sebagai seorang pendeta gadungan. Tetapi, jika diminta untuk membela diri, dia siap untuk menyatakan bahwa seseorang yang tidak bisa mencintai kehidupannya sendiri tidak akan bisa mencintai umat manusia, dan saat ini dia sedang belajar untuk mencintai kehidupannya sendiri. Dia tidak berbakat untuk menyebarkan ajaran
Buddha; yang diinginkannya hanyalah dibiarkan hidup sebebas kupu-kupu dan burung.
Keesokan paginya"19 Januari"Saigyo meninggalkan pertapaannya untuk pergi ke Jalan Keempat di ibu kota.
Salju turun dan dia tergoda untuk kembali ke pertapaannya, namun pikiran mengenai surat yang disampaikan oleh Gengo mendorongnya untuk meneruskan langkah. Dia telah cukup lama tidak berjumpa dengan teman-temannya, dan siapa yang mengetahui perubahan yang telah terjadi pada mereka" Dia menyeberangi sebuah jembatan yang tertimbun salju tebal dan berbelok ke arah istana Nyonya Taikenmon. Di salah satu persimpangan di ibu kota, dia melihat orang-orang berkerumun tanpa memedulikan badai salju yang menerpa mereka. Terdengarlah teriakan-teriakan,
"Mereka sudah memberangkatkan orang-orang ke pengasingan!"
"Beberapa orang tawanan!"
"Pasangan suami istri, siapakah mereka" Apakah kejahatan mereka?"
Saigyo mempertimbangkan untuk melewati jalan yang lain, namun manusia dan kuda juga telah menjejali jalan tersebut. Para petugas dari Kepolisian bersiaga untuk meredakan amukan beberapa orang prajurit yang sepertinya mengabdi kepada seseorang yang berjabatan tinggi.
"Lihatlah, tidak ada pelana di kuda mereka! Kejam sekali" padahal mereka sangat lemah lembut!" beberapa orang wanita meratap, mengulurkan leher untuk melihat lebih jelas, dan cepat-cepat mengusap air mata mereka dengan lengan kimono.
Beberapa orang petugas rendahan bersenjata tongkat bambu muncul dan dengan kasar menyodoki para penonton, berseru, "Mundur, mundur! Jangan menghalangi
jalan!" Dengan berbagai perintah tegas, mereka mendorong orang-orang mundur dari jalan. Dari gerbang sebuah kediaman bangsawan, muncullah dua ekor kuda tanpa pelana yang ditunggangi oleh seorang pria dan wanita yang terikat satu sama lain. Seorang petugas memimpin prosesi itu, membawa sebuah tanda bertuliskan, "Genji Moriyoki dan istrinya, Shimako, diperintahkan untuk diasingkan ke Tosa karena atas perintah Nyonya Taikenmon telah mengirimkan tulah mematikan kepada Permaisuri Yang Mulia, Nyonya Bifukumon
Saigyo mengenal Moriyuki yang berambut putih dan istrinya; keduanya adalah pengiring Nyonya Taikenmon yang uzur dan tepercaya. Terkejut melihat apa yang terjadi pada mereka, Saigyo tidak sanggup menahan lolongan sedihnya. Suara itu mendorong orang-orang yang lain untuk merangsek ke arah pasangan tersebut sembari berteriak-teriak, "Selamat jalan Yang Terhormat Moriyuku, menyedihkan sekali perpisahan ini! Semoga kalian berdua selalu dilimpahi kesehatan!" Para penonton berusaha mengejar kedua kuda yang ditunggangi oleh pasangan itu seolah-olah tidak rela melepas kepergian mereka.
Kemudian, para petugas yang garang memukuli mereka dengan tongkat bambu, membentak-bentak marah, "Dasar kalian rakyat jelata, jangan coba-coba mendekat!"
Saigyo tidak semudah itu takluk pada gertakan; dengan lihai, dia menghindari sodokan bambu dan membiarkan dirinya hanyut oleh arus manusia, namun di tengah keributan itu, dia terpeleset salju. Kaki seekor kuda milik salah seorang petugas menginjaknya, dan dia kehilangan kesadaran. Ketika siuman, dia mendapati dirinya tergeletak di atas genangan lumpur bersalju. Tidak ada lagi kerumunan manusia dan kuda. Yang ada di sekelilingnya hanyalah keheningan malam dan salju, menghapus seluruh
jejak peristiwa beberapa waktu sebelumnya sehingga seolah-olah hanya terjadi di dalam mimpi.
Saigyo tidak jadi mengunjungi Nyonya Taikenmon hari itu.
Desas-desus menyebutkan bahwa tuduhan ilmu hitam tersebut benar adanya, namun sebagian orang meyakini bahwa tuduhan itu salah dan merupakan hasil persekongkolan. Di permukaan, Kyoto tetaplah Ibu Kota Kedamaian dan Ketenangan, walaupun gejolak kemelut terasa begitu dahsyat di bagian dalamnya.
Tidak lama kemudian, Mantan Kaisar Toba membotaki kepalanya dan permaisuri pertamanya. Nyonya Taikenmon, menjadi biarawati di Kuil Ninna-ji. Saigyo mendengar kabar ini dari pengiring sang mantan permaisuri, yang menuliskan bahwa pada usianya yang keempat puluh dua, Nyonya Taikenmon menjalani upacara penahbisan dan berpamitan pada dunia fana.
Dari pertapaannya, Saigyo menyaksikan musim semi datang bersama kicauan burung-burung di pagi hari.
0==dw==0 Jembatan besar di Gojo telah selesai dibangun; jembatan itu membentang di atas Sungai Kamo, menghubungkan wilayah timur ibu kota dengan kaki Perbukitan Timur.
Beberapa tahun sebelumnya, seorang biksu bernama Kakuyo mencari dukungan dari masyarakat di sekitar tempat itu, meminta mereka menyisihkan sebagian penghasilan yang didapatkan dengan susah payah untuk menyokong pembangunan jembatan itu; dia sendiri ambil bagian dengan mengangkuti batu, membantu menggali fondasi, dan tinggal di sebuah gubuk kecil di tepi sungai hingga jembatan itu siap digunakan.
Mengenai dirinya, masyarakat berkata, "Walaupun ada banyak biksu dan pendeta yang berkeliaran dan membakari kuil dan biara, Kakuyo, setidaknya, adalah seorang pria suci."
Sebagai dampak pembangunan jembatan, wilayah ibu kota meluas hingga ke bagian selatan Kyoto, sejauh bukit tempat Kuil Kiyomizu berdiri. Daerah yang semula hanya berupa padang ilalang dan hutan segera dibersihkan untuk pembangunan sebuah rumah mewah. Ketika pembangunan dilakukan, orang-orang penasaran ingin mengetahui siapa pemilik rumah tersebut, namun sepertinya tidak ada yang mengetahuinya.
Pada awal musim panas 1145, bahkan sebelum tembok rumah mengering, tibalah sejumlah anggota keluarga dan pelayan yang akan menghuni rumah itu, dan segera diketahui bahwa sang pemilik adalah Heike Kiyomori, kepala Kantor Pusat yang baru.
Menoleh kepada istrinya, Tokiko, Kiyomori bertanya dengan bangga, "Sekarang, katakanlah kepadaku pendapatmu tentang rumah ini, walaupun tempat ini tidak sebanding dengan kediaman ayahmu."
Tokiko, sekarang ibu dari tiga orang anak, bersama suaminya memeriksa rumah baru mereka dengan gembira.
Bersama putra pertama mereka yang telah berumur tujuh tahun, Shigemori, mereka mengelilingi rumah, memasuki setiap ruangannya, menghirup aroma kayu segar, dan menyusuri koridor-koridornya.
"Ayahmu," lanjut Kiyomori, "yang jauh lebih aneh daripada ayahku, lebih meyukai rumah kunonya daripada rumah ini dan menolak untuk tinggal bersama kita. Ah, baiklah, jika beliau menyukai tempat tinggalnya sekarang,
lebih baik beliau tetap tinggal di sana. Aku harus menunggu selama delapan tahun untuk rumah ini."
Delapan tahun telah berlalu sejak mereka menikah, dan baik Kiyomori maupun Tokiko tidak pernah menyangka bahwa mereka akan segera memiliki rumah mereka sendiri.
Mengingat kembali tahun-tahun yang telah berlalu, Kiyomori kerap memikirkan bagaimana dia mendapatkan semua ini. Betapa tahun-tahun yang dilaluinya dalam kelaparan terasa singkat dan tidak nyata sekarang. Para pelayan mereka, pria dan wanita, beserta budak-budak mereka, telah berjumlah sepuluh kali lipat, dan ada belasan ekor kuda di dalam istal.
Tadamori, ayahnya, juga semakin kaya dan menduduki jabatan tinggi di Departemen Kehakiman; dia juga memiliki kekayaan di provinsi Tajima, Bizen, dan Hasima.
Genji Tameyoshi juga mendapatkan kembali kekayaannya. Kyoto dibanjiri oleh prajurit muda dari wilayah timur, semuanya berasal dari wilayah kekuasaan Tameyoshi di Bando. Putra-putranya, yang sekarang telah berkedudukan tinggi, memiliki pasukan masing-masing, dan kekuatan militer Genji meneguhkan reputasi mereka sebagai salah satu keluarga terkuat di ibu kota.
Para bangsawan, bagaimanapun, mengamati
pertumbuhan kekayaan dan kekuatan para samurai dengan waspada. Tidak bisa disangkal lagi bahwa bahaya yang mengancam orde penguasa saat inilah yang menjadikan perubahan tersebut tidak terhindarkan, dan bahwa para bangsawan harus meminta perlindungan kepada samurai, karena tubuh kekaisaran sendiri sedang mendapatkan rongrongan dari luar maupun dalam. Pengaruh perdamaian terakhir antara Toba dan putranya, Sutoku, telah hilang bersama kepergian Nyonya Taikenmon ke biara, dan perseteruan antara kedua mantan kaisar tersebut semakin
terbuka. Kalangan Istana meramalkan adanya perebutan kekuasaan. Sejumlah faksi telah memecah belah Istana, dan berbagai persekongkolan dan intrik susul-menyusul dengan cepat. Para pendeta bersenjata dari Gunung Hiei dan Nara turut memperkeruh suasana dengan ancaman mereka untuk meledakkan perang saudara jika tuntutan mereka pada Istana tidak dikabulkan. Heike Tadamori dan Heike Kiyomori, juga Genji Tameyoshi ditugaskan untuk meredakan perlawanan para biksu dan mempertahankan Istana.
Pada suatu malam musim panas yang gerah, Juli 1146, wajah-wajah gelisah di seluruh ibu kota mendongak ke langit, tempat sebuah penampakan terang benderang memamerkan jejak panjang.
"Sebuah bintang berekor! Setiap malam bintang itu muncul ?"
"Di arah barat laut sana"lihatlah komet besar itu!"
"Sesuatu akan terjadi"sesuatu yang buruk, jika dilihat dari pertanda itu."
Penduduk ibu kota kini yakin bahwa penampakan di langit tersebut adalah pertanda akan datangnya sebuah bencana, karena pada masa itu terdengar banyak kabar bahwa para biksu di Nara telah menghimpun sebuah pasukan besar dan sedang bersiap-siap untuk menyatakan perang kepada biara saingan mereka. Para kurir berkuda mulai berdatangan sepanjang siang dan malam dari Nara, dan Tameyoshi diperintahkan untuk berangkat ke Uji bersama pasukannya.
Kecemasan merundung Istana. Para ahli nujum dan ahli perbintangan dipanggil untuk mengatakan apakah tanda di langit tersebut mencerminkan kebaikan atau keburukan.
Para pendeta melantunkan doa-doa dan mantra-mantra untuk mengusir segala kemalangan.
Tidak lama kemudian, pada 25 Agustus, terdengarlah kabar dari Kuil Ninna-ji bahwa Nyonya Taikenmon wafiat pada usia empat puluh lima tahun.
Pada tahun berikutnya, para biksu Nara menantang biara Gunung Hiei untuk berperang, dan Kuil Kiyomizu dibumihanguskan. Pada tahun yang sama, 1147, di usianya yang ketiga puluh, Heike Kiyomori dipromosikan ke Golongan Keempat dan mendapat gelar Tuan Aki. Sebagai gubernur sebuah provinsi, dia menerima segala macam kehormatan dan tunjangan yang menyertai jabatannya.
Bagi Kiyomori, tibalah hari yang telah lama dinanti-nantikannya, yang akan menjadi ajang pembuktian bagi impian-impian rahasianya.
0)--=dw=--(0 Bab IX " PARA PRAJURIT BIKSU DARI
GUNUNG SUCI Mereka menyebutnya Gunung Suci ... Gunung Hiei yang menjulang tinggi di atas kaki perbukitan di hulu Sungai Kama, terlihat sepanjang tahun dari setiap persimpangan jalan di ibu kota. tidak terlalu jauh namun juga tidak terlalu dekat. Sejak matahari terbit hingga tenggelam, para penduduk kota bisa mengangkat mata letih mereka dan berseru, "Ah! Tidak akan ada penderitaan dan kebencian sebesar yang menggerogoti kita di sini ". Di sini, tempat orang-orang saling menggeram dan menggigit, menipu dan menjilat, dan beradu kekuatan, tidak ada yang percaya bahwa gunung itu juga menjadi tempat tinggal manusia, karena jika bukit penebusan dosa itu sama saja
dengan kota kejahatan ini, dimanakah manusia bisa meletakkan keyakinan atau menemukan kedamaian"
Mereka bersikukuh, "Ah tidak, hanya di sanalah cahaya Kebenaran menyala setiap hari." Di kota ini, termakan oleh hawa nafsu, orang-orang awam hanya bertanya apakah mereka boleh melihat cahaya itu dan berpegang pada keyakinan bahwa Buddha melihat segalanya ... menilai manusia yang adil dengan adil, yang baik dengan baik.
Bulan baru menggantung di langit. Sosok yang terlihat seperti seekor monyet berpinggang bengkok tertatih-tatih menaiki tangga curam menuju Puncak Shimei. Pria tua bijaksana itu bertopang ke tongkatnya. Dia akhirnya tiba di atas sebuah tebing batu. Di bawahnya jurang gelap gulita menganga dan di sekelilingnya langit malam yang luas. Dia gemetar dan jatuh berlutut. "Na ... namu ?"
Air mata mengaliri pipinya ketika dia menyatukan kedua tangannya untuk berdoa, lalu menaikkan nada suaranya dan terisak-isak, berbicara kepada alam semesta.
"Namu amida butsu (Mohon ampun, Amida Buddha) "
namu " Amida " namu " Amida ... bu ... " erangnya.
"Mohon ampun " ampunilah hamba!" Bersujud, dia menjerit nyaring, "Terbutakan oleh kebodohan, hamba berusaha menyelamatkan umat manusia namun tidak sanggup menyelamatkan diri hamba sendiri. Ke manakah hamba harus berpaling" Ilmu pengetahuan hanya membawakan kegelapan kepada hamba. Pembelajaran telah menjauhkan hamba dari jalan kebenaran. Sia-sia saja kehidupan hamba. Gunung Suci ini adalah singgasana kejahatan. Hamba tidak berani hidup lebih lama lagi.
Hamba tidak berani lagi hidup di gunung ini. Buddha Yang Maha Pengampun, jika janji-janji-Mu benar adanya, tunjukkanlah kepada hamba bahwa surga itu ada, dan
bahwa manusia bisa tinggal di sana ... kemudian, biarkanlah hamba mati."
Lama dia terisak-isak, berkeluh kesah dan meratap-ratap dengan suara terbata-bata.
Pada masa mudanya, dia telah tenggelam dalam kegetiran dan kepedihan dunia, dan, berharap dapat menjadi seorang manusia suci untuk mengangkat penderitaan manusia, dia mengabdikan diri untuk menjadi biksu di Gunung Hiei. Selama lebih dari empat puluh tahun, nyaris sepanjang kehidupan seorang manusia, dia mengenakan pakaian yang diwajibkan, menjalankan tindakan yang diharuskan, dan mengabaikan tubuhnya.
Selama tujuh tahun, bertelanjang kaki, dia berkeliling di kuil-kuil yang ada di puncak gunung dan lembah sepanjang siang hari hingga kakinya berdarah, dan bermeditasi sepanjang malam. Kemudian, dia mengurung diri selama bertahun-tahun di tengah kegelapan sebuah bilik untuk menghafalkan ayat-ayat Buddha hingga kedua matanya rabun. Kemudian, dia berkelana di seluruh negeri, menantang para cendekiawan dari berbagai aliran dalam debat-debat keagamaan hingga mendapatkan predikat sebagai orang paling bijaksana di masanya. Pada hari tuanya, dia diangkat menjadi kepala sebuah biara, pemegang wewenang sekte Empat Doktrin Tendai di Gunung Miei. Tetapi, tidak ada pengikut yang bersimpuh di kakinya di biaranya di perbukitan karena kuil-kuil di Gunung Hiei semakin cemerlang seiring berjalannya waktu; cahaya terang benderang terpancar dari tempat-tempat pemujaan terdalamnya sekalipun; lumbung-lumbungnya dipenuhi oleh bahan makanan melimpah ruah yang didatangkan dari berbagai provinsi, lebih dari cukup untuk menghidupi puluhan ribu biksu, cendekiawan, pengikut, pemula, dan budak yang tak terhitung banyaknya,
sementara kekayaan sekte Tendai hanya menambah keputusasaannya.
"Walaupun ayah pertama biara-biara ini, Saicho, membanting tulang di sini hingga ajal menjemputnya, pengetahuan hamba tidak memiliki makna apa pun, dan hamba sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk hidup ".
Hamba merana! Walaupun Buddha mendatangi hamba setelah kematian, apakah gunanya" Kalian gagak-gagak di seluruh perbukitan ini, ayo, jadikanlah dagingku sebagai santapan kalian siang ini!" Bersama kalimat itu, sang biksu tua berjinjit, dan sedetik kemudian melompat ke jurang.
Pada pagi buta, lama sebelum ibadah pagi dimulai, jeritan yang sepertinya menggema di antara gumpalan-gumpalan awan di atas Gunung Hiei membangunkan para biksu dari tidur mereka.
"Lonceng di Aula Ceramah berbunyi! Datanglah ke Aula Ceramah!"
Gelegar lonceng masih menyisakan getaran di udara ketika para biksu bergegas mengenakan jubah pendeta di atas baju zirah mereka, menyandang pedang panjang, dan menyambar tombak mereka. Berduyun-duyun, mereka mendaki dari biara-biara di perbukitan, bagaikan gumpalan-gumpalan awan yang membubung dari ngarai, para biksu uzur bertopang pada tongkat mereka. Beberapa buah bintang masih bersinar di langit bulan Juni itu. Menutupi wajah dengan syal sutra atau lengan jubah mereka, para pendeta tua dan muda itu, dengan kaki beralas sandal jerami, terburu-buru mendaki. Mereka mencorongkan kedua tangan dan berseru ke atap-atap biara dan asrama yang gelap, "Datanglah ke Aula Besar! Lonceng itu menandakan pertemuan umum." Layaknya para samurai yang berkumpul sebelum berperang, mereka dengan penuh semangat saling menanyakan alasan pemanggilan mereka.
Seorang biksu mendadak berhenti di tengah hamparan rumput di sebuah tebing di bawah Puncak Shimei. "Ya, ya!
Sesosok mayat ... seorang pria tua! Dari biara manakah pendeta itu berasal?" Sesosok mayat bersimbah darah tergeletak di antara bebatuan, wajahnya hancur sehingga tidak mungkin dikenali lagi; beberapa orang biksu berdiri dan menunduk di sekelilingnya, ketika salah seorang dari mereka dengan sigap maju untuk memeriksa tasbih yang melingkari pergelangan tangannya dan berseru, "Ah!
Kepala Biara Jitsugyo, yang sudah lama menderita sakit-sakitan di biaranya. Tidak salah lagi ... ini beliau."
"Apa! Kakek tua bijaksana itu?"
"Tidak diragukan lagi. Lihatlah baik-baik."
"Bagaimana beliau bisa terbunuh" Beliau pasti terpeleset di Puncak Shimei."
"Aku meragukannya. Beliau sudah lama sakit-sakitan, dan mungkin rasa putus asa mendorong beliau untuk menjemput ajalnya sendiri."
"Itu tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan. Siapa pun yang berjumpa dengan beliau akhir-akhir ini mengatakan bahwa beliau mencaci maki kebusukan dan kebobrokan biara Tendai kita kepada siapa pun yang mau mendengarnya."
"Beliau tidak pernah puas ... seorang pria yang tidak pernah tersenyum. Bertahun-tahun sakit-sakitan pasti penyebab utamanya. Pria malang ... malang sekali!"
"Yah, apa yang bisa kita lakukan sekarang, karena lonceng pertemuan masih berdentang memanggil kita?"
"Kematian cepat atau lambat akan mendatangi seseorang yang sakit-sakitan. Sekarang beliau sudah meninggal, dan ini bukan waktu yang tepat bagi kita untuk
mencemaskan sesosok mayat ... pertemuan umum mungkin akan mengharuskan kita turun gunung. Kita bisa mengurus pemakaman beliau nanti. Kita harus mengikuti pertemuan. Ayo, mari kita menuju Aula Ceramah!"
Mengalihkan perhatian dari mayat itu, para biksu bergegas melanjutkan perjalanan. Kelompok demi kelompok pendeta bersenjata hanya melirik ketika melewati mayat mengenaskan itu.
Fajar mulai menyingsing. Di dekat wajah mayat sang biksu tua, sekuntum bunga berselimut embun bergetar tertiup angin. Mulut sang biksu terbuka, menunjukkan giginya yang tinggal sebuah, dan untuk pertama kalinya, dia terlihat seolah-olah sedang tersenyum pada gunung.
Sebuah balok sepanjang tiga puluh tiga meter menyangga beranda Aula Ceramah Besar. Di kaki ruas tangga lebar menuju aula, seorang biksu berbadan kekar berjongkok di atas sebongkah batu dan menghadapi rekan-rekannya. Di atas zirah kasarnya, dia mengenakan jubah pendetanya.
Lengan panjang dari jubah panjangnya setengah menutupi wajahnya, dan dia membawa sebuah tombak. Delapan atau sembilan orang biksu, tua dan muda, berdiri di beranda di atas dan menunduk menatap kepala-kepala di bawah mereka.
Salah seorang pendeta sedang menyampaikan kesimpulan dari sebuah pidato panjang dan berapi-api, ?"
Ini mungkin terlihat seperti sebuah urusan sepele, namun sesungguhnya ini adalah masalah serius, karena ini mencerminkan kehormatan biara kita. Urusan ini tidak hanya membuka mata kita terhadap akal bulus sekte saingan kita, tetapi juga mengancam keberadaan kita di Gunung Hiei sebagai pelindung wilayah ini. Saudara-saudaraku, apa pun pikiran kalian, silang pendapat kita hanya berujung pada dua pilihan. Apakah kita akan
meledakkan unjuk rasa bersenjata atau tidak" Aku memohon kepada kalian semua yang berkumpul di sini untuk tanpa segan-segan menyampaikan pendapat kalian mengenai hal ini"
Pertemuan umum ini diadakan untuk mengumumkan kepada para biksu tentang sebuah insiden yang terjadi beberapa minggu sebelumnya di awal bulan Juni dalam festival keagamaan tahunan di Gion. Di puncak perayaan suci itu, sekelompok biksu terpancing dalam sebuah pertikaian melawan dua orang prajurit. Para biksu itu memang mabuk, begitu pula kedua samurai yang menjadi lawan mereka, sehingga kedua pihak sama bersalahnya.
Kendati begitu, masalah ini tidak bisa diabaikan begitu saja, katanya, karena para samurai itu tidak hanya menghajar para pendeta dari Gion tetapi juga melukai beberapa biksu lainnya yang berusaha melerai mereka, kemudian melarikan diri. Banyak orang menyaksikan keributan itu, dan darah telah tumpah ke tanah yang suci. Kaum pendeta telah dihina secara terbuka. Apakah mereka harus melupakan kejadian itu dan membiarkan kedua samurai pemancing kerusuhan itu lolos tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal" Masalah ini telah dilimpahkan ke Departemen Kehakiman dan Kepolisian, dan biang keroknya berhasil dilacak dan diidentifikasi. Kedua samurai tersebut ternyata mengabdi di Istana Kloister: yang pertama adalah pelayan dari Kiyomori.Tuan Aki, dan yang kedua adalah adik iparnya, Tokitada. Para pendeta Gion telah berulang kali memohon agar kedua samurai itu diserahkan kepada mereka, namun Tuan Aki hanya tertawa dan mengabaikan permohonan tersebut. Perintah penangkapan mereka telah didaftarkan ke Departemen Kehakiman, namun kepala kantornya, Tadamori (ayah Kiyomori) mengabaikannya. Pihak pendeta akhirnya mengirim sebuah delegasi atas nama Gunung Hiei untuk menemui Mantan
Kaisar dan Perdana Menteri, memohon agar Tadamori dan Kiyomori diturunkan dari jabatan mereka; bagaimanapun, mereka hanya mendapatkan jawaban yang mengecewakan
... sebuah penghinaan pada Biara!
Ini adalah masalah yang merisaukan, dan para pendeta telah kehilangan kesabaran. Baik Istana Kekaisaran maupun Istana Kloister semakin menyepelekan wewenang Gunung Hiei. Padahal, bukankah biara-biara di wilayah utara ibu kota itu telah menjaga "pintu masuk iblis" dan menghalau setiap pengaruh buruk yang hendak memasuki ibu kota" Bukankah atas persetujuan Istana pulalah biara Tendai didirikan di Gunung Hiei" Bukankah Kaisar sendiri yang lebih dari tiga ratus tahun silam memerintahkan pembangunan Komponchudo di gunung, agar api kedamaian nan suci bisa menyala secara abadi di kuil utamanya"
"Haruskah Tadamori dan Kiyomori diperbolehkan menginjak-injak kehormatan Biara Tendai" Haruskah Mantan Kaisar dan Perdana Menteri tanpa tahu malu melecehkan wewenang biara kita" Mereka menghina masa lalu kita dan hanya menyimpan kebencian kepada kita!"
Si pendeta mangacungkan tinju untuk mengakhiri pidato berapi-apinya. Gejolak perasaan melanda semua pendeta yang memenuhi Aula Besar; kemudian, sorak sorai lantang meluncur dari bibir mereka:
"Ke ibu kota! Mari kita turun ke ibu kota!"
"Unjuk rasa bersenjata! Unjuk rasa bersenjata! Keadilan harus ditegakkan!"
Sekali lagi, lonceng besar dibunyikan untuk menandai keberangkatan para pendeta menuruni gunung. Terpanggul di bahu para pendeta adalah Altar Sakral yang biasanya diletakkan di depan Komponchudo, tempat para dewa
dipuja, dan sebuah deklarasi untuk berbaris ke ibu kota dibacakan dengan khidmat di depan ribuan pendeta yang memadati pekarangan kuil besar itu.
Berbagai gumaman marah terdengar, "Sudah lama sejak kita terakhir kali mengunjungi Istana Kloister dan Istana Kekaisaran.
Sesekali mengunjungi mereka dengan membawa Altar Sakral dan emblem suci kita adalah tindakan yang tepat agar kita tidak disepelekan. Ini adalah kesempatan dari langit untuk mengembuskan ketakutan ke dalam hati para samurai itu."
Matahari bulan Juni tanpa ampun memancarkan sinar panasnya; diiringi bunyi jangkrik dari segala penjuru, Altar Sakral diarak menuruni gunung. Sepasukan besar pendeta mengikutinya, bergerak tanpa henti bagaikan tanah longsor.
Unjuk rasa bersenjata dari para pendeta Gunung Hiei tidak jarang terjadi, dan tuntutan yang disampaikan oleh ribuan biksu yang berbaris ke Istana atau Kediaman Perdana Menteri biasanya akan didengar, karena tidak seorang pun berani memicu kemarahan para dewa dengan menentang para pendeta. Di hadapan Altar Sakral, Kaisar sekalipun akan turun dari singgasananya dan bersujud dengan khidmat.
0)--=dw=--(0 Bab X " DUSTA "Tadamori dan Kiyomori ... ayah dan anak itu ...
mungkin bukan orang penting, namun kedua samurai Istana itu akhir-akhir ini menjadi orang kepercayaan Yang Mulia. Sudah saatnya kita mencabut mereka sepera rumput,
atau mereka akan menimbulkan masalah di masa yang akan datang."
"Tidak, seluruh Istana Kloisterlah yang menyepelekan kita."
"Maksudmu, kericuhan di tanah Kagashirayama?"
"Itu dia. Kita tidak mendapatkan jawaban dari tuntutan kita dalam masalah itu."
"Tanah itu ada di wilayah hukum kita. Ketika biksu yang menggarap tanah Kagashirayama meninggal. Istana berpendapat bahwa tanah tersebut harus dikembalikan kepada Yang Mulia."
"Itu sama saja dengan upaya perampasan tanpa memedulikan hukum ?"
"Istana Kloister adalah tujuan kita!"
"Kita harus lebih sering mendatangi tempat itu. jangan sampai mereka membudayakan kebiasaan buruk mereka!"
Saat malam tiba, beberapa ribu orang biksu bersenjata berduyun-duyun menuruni gunung sambil memanggul Altar Sakral dan bagaikan awan badai yang berarak dari utara ke arah ibu kota, mengikut) aliran Sungai Kamo, mereka bergerak menuju gerbang-gerbang kota. Ketika kegelapan telah menyelimuti kota, merelai mengumandangkan ayat-ayat suci, dan nyala obor-obor mereka seolah-olah membakar tanah dan menyulut awan.
Di tetiap desa dan dusun yang dilalui oleh para biksu itu, kengerian melanda para penduduk seolah-olah Dewa Kejahatan sendirilah yang sedang melewati mereka; tidak seorang pun terlihat Di dalam gubuk mereka, para ibu memeluk anak-anak mereka erat-erat, menyembunyikan
wajah, dan menajamkan pendengaran mereka, menunggu hingga para pendeta beringas itu pergi.
Di Gion, Altar Sakral diletakkan di depan tempat pemujaan di kuil sementara para biksu mendirikan pos penjagaan, dan sepanjang malam itu, nyala api mereka menjadikan Perbukitan Timur tampak membara.
"d"w" Kebanggaan memiliki sebuah rumah baru. dan ketertarikannya sendiri pada bangunan
, mendatangkan kenikmatan yang berkesinambungan dalam diri Kiyomori.
Sejak menetap di Rokuhara, dia tidak pernah puas meminta para tukang kayu membuat perubahan dan penambahan di rumahnya. Selarik anak air yang mengalir dari perbukitan di belakang Kuil Kiyomizu dan melewati tanahnya mengingatkan Kiyomori pada sungai yang mengalir melewati pekarangan kediaman ayah mertuanya, dan Kiyomori mendapatkan gagasan untuk membelokkan sungai kecil tersebut ke tamannya. Dia membicarakan tentang hal ini kepada istrinya, yang mengatakan:
"Ya, jika kita punya sungai di taman kita, maka aku dan adikku bisa mencelup benang di sana. Aku akan mempekerjakan seorang gadis penenun dan merancang pola-pola baru dengan warna-warna unik. sehingga kau dan anak-anak akan memiliki pakaian yang sangat istimewa."
Tokiko tidak hanya seorang penenun anda), tetapi juga pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Di sanalah dia melihat dan menangani berbagai macam brokat dan bordiran indah di lemari kekaisaran.
"Bagus! Aku akan bisa melihatmu dan adikmu mencelup benang, seperti yang kulakukan ketika kita pertama kali bertemu."
Kiyomori memikirkan rencana tersebut dengan antusias dan menyuruh para pekerja untuk mulai mewujudkannya.
Saat musim panas tiba, semuanya sudah selesai.
"Nah, dengan adanya sungai yang mengalir di taman kita, akan ada banyak kunang-kunang beterbangan di sana.
Aku harus mengundang ayahku untuk datang dan melihatnya," kata Kiyomori.
Pada malam hari; ketika Tadamori dan Ariko, ibu tiri Kiyomori, berkunjung ke Rokuhara; para biksu dari Gunung Hiei tiba di ibu kota.
Ariko dan Tokiko, yang berusia sebaya dan nyaris bisa disangka bersaudara, sepertinya bisa bergaul dengan sangat akrab, dan melihat mereka bermain-main bersama ketiga cucunya menyenangkan hati Tadamori, yang duduk dan menyesap sakenya dengan penuh kedamaian. Dia menikmati pikiran bahwa putranya yang dahulu santai dan ceroboh sekarang tidak hanya menjadi seorang pegawai istana tepercaya tetapi juga menjadi Tuan Aid, tuan rumah sebuah kediaman baru yang indah. Bagi Kiyomori, yang perasaannya sedang terhanyutkan oleh sake, kehidupannya sepertinya sedang berada di masa yang paling ranum.
"Seandainya Tsunemori datang bersama Ayah, dia tentu akan memainkan serulingnya untuk kita," kata Kiyomori.
"Apa kau menyukai alunan seruling?" jawab Ariko.
"Kalau kau punya seruling, aku bisa memainkan sesuatu untukmu"
Kiyomori menoleh kepada Tokiko dan memintanya untuk mengeluarkan serulingnya.
Tadamori duduk dan menyaksikan kunang-kunang beterbangan di atas permukaan sungai; sembari perlahan-lahan menghirup sakenya, dia mendengarkan permainan
Ariko dan sejenak kemudian menyandarkan diri ke tiang, terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, Tadamori menegakkan badan, terbangun; seseorang sedang berlari melewati gerbang depan menuju halaman kosong di dekat istal. Sebuah teriakan terdengar, dan dia juga bisa mendengar kegaduhan para pelayan di ruangan mereka.
"Mereka sudah datang!"
Tokitada, adik lelaki Tokiko, masuk dengan ribut, mengumumkan bahwa para biksu dari Gunung Hiei telah tiba di ibu kota. Heiroku, pelayan Kiyomori, berjongkok di belakangnya. Dari wajah keruh mereka, jelas bahwa keduanya mengetahui tingkat keseriusan pengumuman yang mereka sampaikan.
Ariko serta merta menurunkan serulingnya dan memandang Tadamori.
"Sayang sekali peristiwa ini terjadi sekarang," gumam Kiyomori kepada dirinya sendiri, sebelum menyunggingkan senyuman kepada ayahnya. "Jadi, akhirnya mereka datang juga!"
Sekarang terjaga sepenuhnya, Tadamori duduk tegak, berkata dengan tenang, "Jadi, akhirnya mereka datang juga, bukan" Kita harus keluar dan menghadapi badai ini. Para biksu dari Gunung Hiei itu sedahsyat badai petir pada musim panas dan hujan es pada musim gugur. Rumah ini bisa-bisa terbang begitu saja bagaikan dedaunan yang terbawa pusaran angin."
"Aku menyadarinya," jawab Kiyomori, "dan aku hanya akan tunduk pada takdir dari langit, tidak pada kemauan mereka. Rumah baru selalu bisa kubangun di atas reruntuhan rumah ini."
"Jika kau sudah yakin, maka mustahil bagiku untuk menasihatimu agar melakukan yang sebaliknya, Kiyomori, namun jika kau sudah siap merelakan rumahmu, maka aku pun siap merelakan putraku. Seandainya kau gugur dalam pertempuran ini, aku masih memiliki anak lelaki yang lain, Tsunemori, dan jika dia gugur, aku masih memiliki cucuku, Shigemori."
"Ayah, jangan cemas begitu. Aku berharap agar para biksu itu datang kemari terlebih dahulu, karena aku mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika mereka memutuskan untuk langsung menyerbu Istana Kloister."
"Yang Mulia telah diperingatkan untuk tidak memenuhi tuntutan Gunung Hiei kali ini, karena itu hanya akan mendorong mereka untuk semakin melecehkan beliau.
Yang Mulia telah menolak untuk menyerahkan tanah Kagashirayama pada Gunung Hiei."
"Tidak diragukan lagi, itulah alasan utama unjuk rasa bersenjata ini, bukan peristiwa di Gion. Perkelahian Tokitada dengan para biksu adalah sesuatu yang umum terjadi dan bukan kejadian yang biasanya akan mereka anggap serius."
Mendengar namanya disebut, Tokitada dan Heiroku, yang telah mohon diri, muncul kembali.
"Tidak, Kakak, memang benar bahwa aku telah memukul beberapa orang biksu. Mereka menghajar Heiroku hanya gara-gara kesalahan sepele, memerintahnya untuk meminta maaf sambil bersujud kepada mereka, menyuruhnya menyebutkan nama majikannya, dan akhirnya menghina kami dengan bahasa yang tidak akan bisa dibiarkan saja oleh seorang samurai pun, sehingga aku membalas mereka. Jika Kakak mau menyerahkanku kepada para biksu itu, tidak akan ada keributan. Biarkanlah aku
menyerahkan diri kepada orang-orang Gion itu. Ampunilah aku atas perbuatanku."
"Tunggu, tunggu, Tokitada, kau hendak ke mana?" tanya Kiyomori.
"Akulah alasan utama para biksu itu mengamuk," seru Tokitada.
"Bukankah aku sudah menegaskan kepadamu untuk menyerahkan masalah ini kepadaku" Apa kau sudah kehilangan akal sehat" Bukankah aku sudah mengatakan bahwa akulah yang akan menghadapi akibatnya" Dan kau
... Heiroku ... menyingkirlah, karena aku akan menyelesaikan masalah ini sendirian. Jika aku membutuhkan pertolongan, ayahku akan siap memberikannya. Mengertilah, Heiroku, bahwa jika aku berniat mengambinghitamkan dirimu, aku tidak perlu berulang kali mengatakan bahwa aku siap menanggung akibatnya. Aku merasa mendengar ribuan suara_suara rakyat kecil di pasar ... mendorongku untuk maju dan melakukan yang harus dilakukan "Ada lebih banyak yang dipertaruhkan saat ini daripada kehidupanku. Aku akan menjadi jaminan bagi masa depan kaum samurai, jangan memperpanjang perdebatan ini, karena aku tidak ingin momen langka ini terlepas dari genggamanku."
Dalam keheningan menyesakkan yang menyusul, mereka bisa mendengar para pelayan mempersenjatai diri dan bersiap-siap menantikan perintah Kiyomori.
"Apakah Ayah akan tinggal lebih lama".
Melihat Tsunemori datang menunggang kuda. ditemani oleh beberapa orang pelayan berkuda. Tadamori serta merta berdiri.
"Tidak, malam ini sungguh menyegarkan ... Dan, Kiyomori, yang terburuk mungkin akan terjadi, seNngga aku menyarankan agar kau memindahkan para wanita dan anak-anak ke tempat yang aman sebelum pagi tiba."
Setelah menasihati putranya. Tadamori dengan santai berjalan ke halaman dan menunggangi kudanya. Kiyomori melihat Ariko memasuki tandunya. Kemudian, Kiyomori menunggangi kudanya dan memberi tahu mereka bahwa dia akan menyertai mereka hingga setengah perjalanan.
Bersama adiknya yang menunggang kuda di sampingnya, Kiyomori perlahan-lahan memimpin rombongan itu keluar dari gerbang.
Kunang-kunang beterbangan di dekat pelana mereka dan tersangkut di lengan kimono mereka. Embusan angin mengantarkan serangga-serangga mungil untuk terbang menghampiri cahaya.
Ketika rombongan mereka tiba di jembatan Gojo.
Kiyomori menoleh ke belakang dan melihat panah-panah api melesat ke langit Gion.
0)--=dw=--(0 Pagi tiba. Ibu kota tampak janggal. Semua rumah terkunci rapat, tidak sesosok manusia pun terlihat berkeliaran, jalanan yang lebar sunyi senyap seperti pada malam buta. Sesekali, seorang samurai berpatroli. Sepuluh, dua puluh ekor kuda berlalu; kemudian uga atau empat ekor kuda, dituntun oleh para prajurit berjalan ke arah Istana Kekaisaran; para pegawai bergegas ke Istana Kloister uneek memulai pekerjaan mereka.
"Saya ingin berbicara dengan Kiyomori, Tuan Aki. Saya Heikt Tadamasa. Di manakah dia bertugas?"
Kedelapan gerbang Istana Kloister dijaga ketat oleh para samurai bersenjata lengkap. Tadamasa, paman Kiyomori, menyelinap seorang diri dari Istana Kekaisaran untuk mencari keponakannya.
Seorang samurai menghampirinya untuk menjawab,
"Tuan Aki barangkali belum datang. Desas-desus mengatakan bahwa para biksu akan menyerbu kediaman beliau sebelum melanjutkan perjalanan entah ke Istana Kekaisaran atau Istana Kloister."
"Ah, begitu, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan rumahnya daripada Istana. Benar-benar sesuai dengan sifatnya. Aku akan berangkat ke Rokuhara, kalau begitu."
Tadamasa membelokkan kudanya ke timur dan memacunya menuju Jembatan Gojo. Ketika mendekati jembatan itu, dia melihat seseorang menunggang kuda ke arahnya. Kuda tunggangan orang itu berjalan pelan, mengayun-ayunkan ekornya dengan santai.
"Ho! Paman hendak ke mana?" panggil Kiyomori ketika Tadamasa melaju melewatinya.
Tadamasa sontak menarik tali kekang kudanya untuk menghentikannya. Ketika Kiyomori menghampirinya, Tadamasa menyemburnya dengan marah:
"Ho, ternyata kamu, Kiyomori! Perhatikan omonganmu itu! Apa maksudmu mengatakan "Paman hendak ke mana?"
Begitu mendengar bahwa dua ribu orang biksu dari Gunung Hiei telah tiba, pikiranku langsung tertuju kepadamu.
Astaga, kataku, kau akhirnya bisa terentaskan dari kemiskinan, mampu membangun rumah sendiri, namun akhir keberuntunganmu mendekat begitu cepat Aku kasihan kepadamu seperti layaknya seorang paman kepada keponakannya. Aku yakin bisa menolongmu, dan aku secepat mungkin mendatangimu."
"Itu ... Paman baik sekali," kata Kiyomori sambil tertawa terbahak-bahak, walaupun dengan sopan dia segera menelengkan kepala, "tapi, Paman, tidakkah Paman menyadari siapa yang sedang kita hadapi" Tidak seorang pun,Yang Mulia sekalipun, berani melawan para biksu yang datang membawa emblem suci mereka. Tidak peduli sebesar apa pun pertolongan yang Paman tawarkan, kita tidak berdaya menghadapi para biksu dari Gunung Hiei itu.
Kecuali jika Paman datang kemari untuk melihat reruntuhan rumah saya, kata-kata Paman tadi sungguh menggelikan. Padahal saya tahu bahwa Paman bermaksud baik."
"Hmm ... sekarang aku mengerti. Aku bertemu dengan ayahmu pada pagi buta tadi di Departemen Kehakiman, dan dia sepertinya berpikiran sama denganmu. Bahkan, kalian berdua sama saja ".Jadi, tidak seorang pun dari kalian memedulikan apa yang terjadi. Kalian sama sekali tidak peduli."
"Ayah saya berbicara untuk dirinya sendiri, dan saya untuk diri saya sendiri. Tidak ada yang aneh dengan bersikap santai. Sebaliknya, ada apa dengan Paman" Unjuk rasa bersenjata seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh."
"Cukup. Semakin banyak aku mendengar kicauanmu, semakin aku menyadari bahwa kau dan ayahmu sama-sama pengecut."
Tadamasa, enggan mengakui bahwa keponakannya sekarang telah dewasa, bersikeras mempertahankan kebiasaannya menindas Kiyomori, seolah-olah dia adalah pemuda mengenaskan dari sepuluh tahun silam. Kiyomori, sebaliknya, membiarkan Tadamasa menghinanya hanya karena pria itu adalah saudara ayahnya. Tidak ada orang yang lebih dibencinya daripada Tadamasa. Akhir-akhir ini, dia melihat perubahan besar pada sikap Tadamasa, dan dia
menduga bahwa kenaikan jabatan Tadamori di Departemen Kehakiman, selain gelar dan golongan barunya, entah bagaimana telah menggentarkan pamannya, walaupun Tadamasa tidak memiliki alasan untuk iri kepada mereka karena dia sendiri baru saja mendapatkan jabatan penting di Istana Kekaisaran.
"Ayolah, Kiyomori, turunlah dari kudamu dan dengarlah apa yang akan kukatakan."
"Tidak, aku sedang dalam perjalanan untuk mengawasi pertahanan Istana Kloister, dan sekarang bukan saat yang tepat untuk membuang-buang waktu."
"Dan kau seharusnya menjadi orang pertama yang tiba di Istana ... apa maksudmu bersantai-santai di waktu seperti ini seolah-olah malas bekerja?" tukas Tadamasa, cepat-cepat turun dari kudanya dan menarik pijakan kaki Kiyomori.
"Apa mau Paman sebenarnya?" tanya Kiyomori dengan gusar, mau tidak mau turun dari kudanya. Dia melangkah ke bawah salah satu pohon pinus di pinggir jalan dan duduk di sana.
"Sekarang, dengarkan aku. Kalau kau menolak untuk mendengarkanku, ikatan darah di antara kita akan putus sejak hari ini," kata Tadamasa.
"Nah, apa maksud Paman sebenarnya?"
"Kau sudah dibutakan oleh cintamu kepada istrimu.
Tokiko mengendalikanmu."
"Apa Paman sedang membicarakan istriku?"
"Siapa lagi kalau bukan Tokiko" Kau sudah membiarkan dia menggiringmu ke dalam bencana ini, dasar suami dungui Aku tidak pernah mengenal orang yang lebih dungu
daripada dirimu. Mengapa kau tidak menyerahkan Tokitada ke pihak yang berwenang di Gunung Hiei?"
"Ah, sebentar, aku kurang mengerti. Apakah Paman mengatakan bahwa karena Tokitada adalah adik istriku, maka aku mendengarkan rengekan Tokiko, dan karena itulah aku bertanggung jawab atas situasi serius ini?"
"Bisa jadi begitu. Aku tidak perlu bertanya kepadamu, karena itu sudah jelas bagiku, pamanmu."
"Jadi begitu, dan apa pendapat Paman tentang hal itu?"
"Btersumpahlah kepadaku di sini dan saat ini juga bahwa kau akan menyerahkan Tokitada dan pelayanmu Heiroku sementara kau sendiri bersedia untuk menjadi tahanan rumah sembari menunggu keputusan pengadilan. Aku, sementara itu, akan berangkat ke Gion sekarang juga dan berbicara sendiri kepada para biksu itu. Mereka tidak akan memiliki alasan untuk melanjutkan unjuk rasa, dan kita akan kembali hidup tenang." "Aku menolak." "Apa!"
"Para biksu itu harus mematahkan tulangku satu per satu sebelum aku mau menyerahkan mereka berdua."
"Mengapa kau menolak" Apakah nilai kedua orang itu sebanding dengan kedamaian pikiran kedua Yang Mulia?"
"Tokitada dan Heiroku tidak bersalah. Seandainya nestapa menimpa Istana Kekaisaran, itu adalah akibat dari penindasan yang terus-menerus terjadi. Seandainya Istana Kloister yang diserang, itu adalah akibat dari kesalahan cara memerintah. Bukan aku yang bertanggung jawab atas dampaknya."
"Apa kau gila, Kiyomori" Perkataanmu itu sungguh memalukan!"
"Tidak lebih memalukan daripada perkataan Paman.
Istriku sangat menyayangiku, tapi dia tidak mengendalikan pikiranku."
"Baiklah, baiklah ". Sudah cukup yang
kukatakan.Terjadilah apa yang akan terjadi! Aku juga mendengarmu mengatakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi kepada kedua Yang Mulia bukan urusanmu?"
"Memang itu yang kukatakan, tidak diragukan lagi."
"Kau pengkhianat! Kau bangsat!"
"Betulkah?" "Para dewa pasti akan menghujammu dengan hukuman karena kepalamu yang bejat itu! Ternyata keponakanku adalah seorang monster! " Tidak, aku tidak akan mempertaruhkan jabatanku di Istana demi kamu. Aku angkat tangan, Kiyomori!"
"Mengapa Paman marah begitu!"
"Kau dan Tadamori ... kalian berdua ... menepiskan uluran tanganku.Tunggu dan lihatlah, kalian akan menyesalinya " Tidak, aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkan kalian lagi. Sampaikan pesanku kepada ayahmu: sejak saat ini, aku, Tadamasa, memutuskan seluruh ikatanku dengan klan Heik6."
Ketidakpastian, kematian yang mengancam ibu kota, mendorong Tadamasa dalam momen kepanikannya untuk memutuskan segala ikatan dengan klan Heik6. Kiyomori, bagaimanapun, mendengarkan ledakan kemarahan pamannya sambil tersenyum, seolah-olah ini hanyalah pertengkaran kecil sebelum sarapan.
Kiyomori menyaksikan Tadamasa dan kudanya menghilang di balik kepulan debu di kejauhan, kemudian berdiri dan kembali menunggangi kudanya sendiri; tepat ketika dia duduk di pelananya, dua sosok melompat keluar dari balik pepohonan dan menyambar tali kekangnya dari dua sisi.
"Ho, kalian ... Tokitada dan Heiroku" Kalian lama sekali, jadi aku berangkat lebih dahulu. Apa lagi sekarang"
Bagaimana dengan Tokiko dan anak-anak?"
The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami sudah melaksanakan perintahmu. Mereka aman di Kuil Anryakuju-in, dan kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka."
"Bagus! Asalkan keamanan para wanita dan anak-anak sudah terjamin, Mokunosuk6 bisa menjaga rumah di Rokuhara. Tidak ada yang kukhawatirkan lagi sekarang.
Kerja yang bagus!" Mendengar pujian itu, Tokitada dan Heiroku menyembunyikan wajah di balik lengan mereka dan menangis terisak-isak, memohon kepada Kiyomori agar memaafkan mereka; mereka menangis karena tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menebus kesalahan mereka; tidak hanya telah memancing kemarahan Gunung Hiei, kebodohan mereka juga telah menyebabkan perpecahan di klan Heike, kata mereka.
"Sudah, jangan meracau seperti itu, aku berangkat sekarang ... i kata Kiyomori, memacu kudanya.
Terguncang, Tokitada dan Heiroku memandang Kiyomori sementara debu menerpa wajah mereka, kemudian keduanya bergegas berlari menyusulnya.
Tiga orang pendeta, pemimpin para biksu dari Gunung Hiei, keluar dari Istana Kloister, terbakar amarah. Dari
tatapan garang mereka, jelas terlihat bahwa tuntutan mereka telah ditolak. Mereka berhenti di pos penjagaan untuk mengambil kembali tombak mereka, mengempitnya dengan sigap dan berseru memanggil dua belas orang bawahan mereka seraya keluar dari gerbang.
Para biksu sudah terbiasa mengirim utusan kepada pemerintah untuk menyampaikan tuntutan mereka, dan jika mendapatkan penolakan, mereka akan mengusung Altar Sakral dan emblem suci ke ibu kota dan meneror pihak yang berwenang hingga mendapatkan keinginan mereka, karena kekuatan manusia sebesar apa pun tidak akan berani melawan Altar.
Memanah Burung Rajawali 23 Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai Pedang Naga Kemala 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama