Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Tidak Diperjualbelikan PEDANG NAGA KEMALA ( GIOK LIONG KIAM ) Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
"Teng-ko, sejak tadi engkau menghisap
madat sampai rumah ini baunya seperti
kebakaran. Darimana engkau memperoleh
uang untuk membeli madat begitu banyak"
Kemarinpun engkau sudah menghisap
madat seharian, dan sekarang lagi. Dan aku
melihat bungkusan berisi madat. Suamiku,
bagaimana engkau bisa mendapatkan
madat begitu banyak, sedangkan barangbarang kita sudah habis kaujual?"
Wanita itu masih muda, paling banyak
tigapuluh tahun usianya. Biarpun pakaiannya bersahaja, wajahnya membayangkan kemiskinan, rambutnya kusut
dan tubuhnya agak kurus, namun ia
termasuk wanita yang cantik manis raut
wajahnya, dan tubuhnya yang agak kurus
itu padat semampai. Seorang wanita dengan daya tarik yang
masih kuat. Akan tetapi kini wajahnya muram dan sinar matanya heran dan
marah ketika ia menegur suaminya yang enak-enak duduk bersila sambil
menghisap madat dari cangklong bambu yang besar itu. Disulutnya tembakau
campur madat yang diselipkan di tempat tembakau yang nampaknya seperti
cabang yang menonjol keluar di tengah pipa bambu, lalu disedotnya.
Terdengar suara menderodot disertai suara gluk-gluk. Asap tembakau madat
itu melalui air, terus masuk ke mulut, langsung menembus tenggorokan
memenuhi paru-paru, dihisap oleh darah di tubuh yang tak berbaju itu.
Matanya terpejam dan dia seolah-olah tidak mendengar teguran istrinya,
bahkan agaknya dia sudah lupa sama sekali akan dunia di sekitarnya, terbuai
oleh pandangan khayal indah yang muncul karena pikiran dan syarafnya sudah
dikuasai oleh racun madat.
Pria itu bertubuh kurus, akan tetapi masih nampak bekasnya bahwa
dahulunya dia tentu bertubuh tegap. Masih nampak otot menonjol di balik kulit
yang hampir tak berdaging lagi itu, dadanya bidang akan tetapi kini kedua
pundaknya menurun. Wajahnya juga tidak boleh disebut buruk. Tidak, pria ini
tadinya tentu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan gagah. Bahkan
melihat keadaan buku-buku jarinya, pergelangan tangannya, nampak tulangtulang menonjol dan kulit yang menebal, tanda dia banyak melakukan latihan
ilmu silat yang mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar).
"Teng-ko, jawablah aku!"
Chin Hwa, istrinya, berteriak dengan hati kesal dan iapun memegang
pundak suaminya yang telanjang itu dan mengguncangnya beberapa kali.
Tubuh yang sedang dibuai asap madat itu terguncang dan kedua matanya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dibuka perlahan, seperti mata orang yang hampir tidak kuat menahan kantuk.
Hanya sedetik saja dia membuka mata memandang kepada istrinya dengan
sinar mata tidak mengenal, lalu dipejamkannya lagi matanya. Akan tetapi
kedua tangannya dengan cekatan dan otomatis sudah memilin-milin tembakau
campur madat lagi untuk dipasang di tempat tembakau.
Teng-ko! Dengarkan aku dan jawablah atau... akan kubuang pipamu ini!"
Chin Hwa berteriak dan mengguncang pundak suaminya semakin kuat.
Sekali ini Siauw Teng membuka matanya, dilebarkan seperti orang tidur
yang terganggu dan terkejut.
"Aih, engkau" Ada apakah" Mengapa kau ganggu aku yang sedang
menikmati madat?" "Suamiku?" Cin Hwa menahan kesabarannya.
"Kenapa engkau sekarang menjadi begini" Aku bertanya kepadamu, dari
mana engkau memperoleh uang, kenapa tidak engkau beli lagi perabot-perabot
rumah kita yang sudah kau habiskan" Kenapa tidak kau beli pakaian untuk kita,
untuk anak kita" Dan beras?"
Laki-laki itu dengan muka penuh kesabaran tersenyum, akan tetapi kedua
tangannya kini sibuk mengisi lagi pipanya dengan tembakau madat.
Sepasang mata wanita itu terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat,
matanya memandang wajah suaminya penuh selidik.
"Ciu... Ciu Lok Tai, pedagang madat itu" Mengapa dia memberi madat
kepadamu... hayo ceritakan, apa maunya...!"
Wanita itu teringat betapa hartawan itu pernah datang ke rumah mereka,
bercakap-cakap dengan suaminya, akan tetapi matanya yang berminyak itu
selalu ditujukan kepadanya secara kurang ajar sekali. Dan kini hartawan itu,
yang ia dengar dari para tetangganya merupakan seorang laki-laki mata
keranjang yang suka mengganggu anak istri orang dengan mempergunakan
hartanya, telah memberi madat demikian banyaknya kepada suaminya. Suami
itu memandang dengan sikap heran.
"Mengapa tidak" Engkau akan berada di rumah gedung mewah itu selama
satu minggu, membantu istrinya membereskan rumah, karena katanya dia
mantu. Karena engkau pandai menjahit, maka engkau dimintai bantuan, dan
aku setuju. Siapa tidak akan membantu seorang sahabat baik seperti dia?"
"Tapi aku tidak sudi! Aku tidak mau!"
Tiba-tiba saja, pria yang tadinya seperti lesu dan lemah itu membuka
matanya dan sepasang mata itu memandang marah. Seketika lenyaplah
kantuknya dan di dalam sinar mata itu terkandung ketajaman dan wibawa
yang membuat Cin Hwa menunduk. Kini ia merasa seperti berhadapan dengan
suaminya yang dulu sebelum menjadi hamba madat, dan memang suaminya
ini selalu dapat menguasainya dengan sikapnya yang tegas.
"Engkau istriku, bukan" Dan engkau hendak menjerumuskan aku sebagai
seorang laki-laki yang menjilat ludah sendiri, yang melanggar janji sendiri"
Lihat, madat itu sudah kuhisap selama dua hari. Tak mungkin kukembalikan
dalam jumlah yang sama, dan aku sudah berjanji. Pula, apa salahnya
membantu keluarga Ciu yang mempunyai kerja itu" Apa salahnya?"
"Akan tetapi... akan tetapi... pandang matanya kurang ajar...?"
"Ha-ha" dia tidak akan berani berbuat kurang ajar kepadamu. Dia tahu
siapa aku dan aku percaya kepadamu, istriku. Aku cinta padamu dan engkau
cinta padaku. Pula, siapa yang dikhawatirkan" Engkau disana akan membantu
istrinya. Tentang pandang mata, heh-heh" mata pria mana yang tidak akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berminyak memandang engkau yang cantik manis?"
Laki-laki itu tertawa bergelak dan melanjutkan pekerjaannya mengisap
madat. Cin Hwa tidak membantah lagi, akan tetapi ia masih mencoba.
"Suamiku, ingatlah, bagaimana aku dapat meninggalkan anak kita, Lian
Hong, yang baru berusia lima tahun itu" Siapa akan merawatnya?"
"Apa engkau tidak percaya lagi kepadaku?"
Cin Hwa tidak dapat membantah lagi, ingin dengan hatinya yang panas
dan gelisah ia meneriakkan ketidak percayaannya. Akan tetapi suaminya
adalah seorang suami yang selama ini amat baik, amat mencintanya dan
selama sepuluh tahun ini ia tidak dapat mencela suaminya. Akan tetapi,
semenjak suaminya menghisap madat, lima tahun yang lalu, terjadilah
perobahan perlahan-lahan. Memang mula-mula suaminya masih bekerja dan
masih memperhatikannya. Akan tetapi, makin lama suaminya semakin tidak
menaruh perhatian kepadanya. Dan hal itu terjadi semenjak anak satu-satunya
mereka, Siauw Lian Hong, lahir.
Chin Hwa semakin terkejut, akan tetapi sebelum ia mampu menjawab,
terdengar suara orang di luar rumah. Daun pintu terketuk dan masuklah dua
orang sambil tersenyum menyeringai. Mereka adalah dua orang laki-laki yang
usianya sekitar empat puluhan, yang seorang gendut dan seorang lagi tinggi
tegap. Si tinggi tegap ini membawa sebuah bungkusan besar yang
diletakkannya di atas meja.
"Selamat siang, Siauw Kauw-su! Aha, kulihat engkau sedang menikmati
madat. Hemmm" alangkah sedap baunya!"
Si gendut berkata sambil menyedot-nyedot hawa yang pengap dalam
ruangan itu, dan matanya yang sipit melirik ke arah nyonya rumah yang
memandang dengan muka pucat.
Siauw Teng sudah biasa disebut Siauw Kauw-su (Guru Silat Siauw), dan
mendengar ucapan itu,tanpa menghentikan sedotannya, dia membuka mata
memandang. Setelah dia menyedot habis semua asap dari pipa, kedua matanya
dipejamkan dan dia menahan napas sekuatnya, untuk menahan asap itu
selama mungkin di dalam dadanya. Baru setelah dia tidak kuat bertahan lagi,
dia menghembuskan napas perlahan-lahan dan hanya sedikit sisa asap yang
keluar dari mulut dan hidungnya. Sebagian besar sudah menempel pada
dinding-dinding paru-parunya.
"Eehhhhh...!" Keluhnya penuh nikmat dan diapun membuka matanya lagi
dan tersenyum kepada dua orang itu.
"Apakah kalian diutus oleh Ciu Wan-gwe?" tanyanya.
Si gendut itu mengangguk-angguk dan mengangkat kedua tangan di depan
dada. Mulutnya menyeringai dan matanya menjadi semakin sipit, mukanya
mirip seekor babi. "Benar... eh, betul, Siauw Kau-su, kami diutus Ciu Wan-gwe untuk... eh,
menjemput toanio... eh, membantu nyonya besar kami."
Siauw Teng menoleh kepada istrinya yang memandang kepadanya penuh
kegelisahan dan keraguan.
"Istriku, berangkatlah engkau bersama mereka ke rumah Ciu Wan-gwe,
dan lakukanlah pekerjaanmu sebaik mungkin."
"Tapi... tapi, Teng-ko...!" Istrinya membantah.
Siauw Teng mengerutkan alisnya.
"Berangkatlah!" bentaknya, lalu kepada dua orang itu dia berkata.
"Silahkan, bawa dan antar istriku kepada keluarga Ciu."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dan diapun sudah mulai menghisap madat lagi.
"Toanio, tidak baik bersikap begitu."
Kini si tinggi besar melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Tidak... bagaimana nanti anakku" Kami tidak mempunyai beras, aku harus
mencarikan dulu untuk ditinggalkan, untuk makanan anakku?"
"Ha-ha-ha!" Si tinggi besar tertawa dan membuka buntalan yang
dibawanya. "lihat, semua telah tersedia!"
Dan benar saja, buntalan itu berisi bahan makanan, lebih dari cukup untuk
dimakan suami istri dan anaknya selama satu minggu. Kiranya mereka ini
sudah mempersiapkan segalanya.
"Tapi... anakku... Lian Hong...!"
Ia hendak lari menghampiri suaminya, akan tetapi lengan kanannya
ditangkap oleh si laki-laki tinggi besar dan nyonya itu terkejut. Jari-jari tangan
si tinggi besar itu mencengkeram kuat sekali sehingga ia meringis kesakitan
dan tidak mampu meronta lagi.
"Ibu... ibu...!"
Tiba-tiba dari dalam muncul seorang anak perempuan berusia lima tahun.
Anak itu terbelalak heran dan takut melihat kegaduhan itu, apalagi melihat
ibunya demikian pucat mukanya dan nampak bingung.
"Ibu, ada apakah dan... siapakah kedua paman ini?"
Anak itu adalah Siauw Lian Hong, anak tunggal keluarga itu.
"Lian Hong... mintalah kepada ayahmu agar aku tidak perlu ikut kedua
orang paman ini..." "Ibu... ada apakah...?"
"Ayah... ayah... ibuku itu..."
Anak itu mengguncang-guncang lutut kiri ayahnya. Akan tetapi Siauw
Teng tidak memperdulikan anaknya, atau mungkin juga tidak mendengarnya,
masih enak-enakan membiarkan dirinya melayang-layang bersama asap
madat. Sementara itu, dua orang utusan Ciu Wan-gwe sudah tidak sabar lagi. Si
tinggi besar memegang lengan nyonya itu dan menariknya, sedangkan si
gendut sambil senyum-senyum mendorong kedua pundaknya dari belakang.
Nyonya itu menoleh ke arah suaminya dengan air mata berlinang, mengepal
kedua tangannya. "Teng-ko...! Engkau suami pengecut, ayah yang berhati kejam! Laki-laki tak
bertanggung jawab!" Ia sendiri merasa heran mendengar suaranya yang mencaci maki suaminya.
Selama menjadi istri Siauw Teng, baru sekarang ia berani memaki karena
hatinya diliputi kegelisahan dan kemarahan. Akan tetapi dua orang utusan itu
sudah menariknya keluar dari rumah. Si kecil menjadi bingung dan ketakutan
melihat ibunya diseret dua orang itu.
"Ayah...! Ayaaah...!" Ia merengek.
"Diam kau! Duduk!"
Tiba-tiba Siauw Teng membentak tanpa membuka matanya, dan anak itu
terkejut, lalu terduduk di atas lantai, mengangkat muka memandang kepada
ayahnya dengan mata terbelalak berlinang air mata.
Tidak lama kemudian Siauw Teng berhenti menghisap madat. Ketika dia
membuka mata dan melihat putrinya yang kecil masih duduk di atas lantai
mengangkat muka, memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dibuka lebar-lebar tanpa berkedip, dia terkejut dan baru teringat betapa tadi
dia membentak putrinya dan anak itu masih duduk sampai saat itu. Diapun
cepat turun dari atas balai-balai dan merasa menyesal atas sikapnya terhadap
putrinya tadi. Hatinya gembira sekali rasanya, hal yang selalu dirasakannya setelah dia
menghisap madat sepuasnya. Pikiran menjadi tenang dan ringan, tubuh
rasanya seperti melayang di udara, segala sesuatu yang dilihatnya nampak
indah, cerah berseri-seri, dan telinganya juga mendengar bunyi-bunyi yang
menjadi merdu dan indah. Dunia di sekelilingnya nampak indah bukan main
setelah badannya puas menerima racun madat. Tidak ada sedikitpun
keresahan mengganggu pikirannya yang menjadi kosong dan bebas!
Diangkatnya tubuh anaknya tinggi-tinggi dengan kedua tangannya yang
menyangga di bawah ketiak anak itu.
"Ayah, ibu tadi dibawa kemana?"
Siauw Teng membawa anaknya duduk di atas balai-balai, tersenyum
membelai rambut anaknya yang dibagi menjadi dua sanggul kecil di kanan kiri
kepalanya. "Lian Hong, jangan khawatir. Ibumu hanya pergi bekerja membantu
kesibukan keluarga Ciu yang akan menikahkan putrinya. Akan ada pesta besar
disana, dan nanti kita datang ke pesta itu. Wah, ramai sekali, selain makanan
yang enak-enak, juga kita akan menonton pertunjukan tari-tarian."
"Aku ikut, ayah!"
Anak itu menjadi gembira kini, tidak khawatir lagi setelah melihat ayahnya
bersikap biasa. Hatinya muak dan tidak suka mencium bau merangsang dan
aneh dari tubuh dan mulut ayahnya, bau madat, akan tetapi ia tidak berani
menegur karena anak ini sudah cukup tahu bahwa kesukaan ayahnya adalah
menghisap madat, kesukaan yang seringkali ia lihat menjadi sebab
pertengkaran antara ayah dan ibunya.
"Tentu saja engkau ikut! Aku, ibumu dan engkau. Kita akan mengenakan
pakaian-pakaian baru dan..."
"Mana pakaian barunya, ayah?" Anaknya memotong.
Siauw Teng teringat, lalu merangkul anaknya sambil tertawa.
"Jangan khawatir, Ciu Wan-gwe yang baik hati akan memberi kepada
kita." Diapun mencium lagi putrinya, dan sekali ini Lian Hong tidak dapat
menahan rasa tidak sukanya akan bau madat itu.
"Ayah menghisap madat lagi," pancingnya.
"Heh-heh, benar, dan ayah gembira sekali."
"Baunya tidak enak!"
"Biarkan aku mencobanya, ayah" mencoba menghisap madat."
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak ini tahu benar bahwa ia dilarang keras meniru ayahnya, baik oleh
ayahnya maupun oleh ibunya. Kini ia sengaja memancing untuk menyatakan
rasa tidak sukanya melihat ayahnya menghisap madat.
"Akan tetapi mengapa ayah boleh dan aku tidak?"
Anak itu mendesak dengan suara mengandung penuh teguran dan
penasaran. Tanpa disadarinya, Siauw Teng merasa betapa perasaan hatinya
tertusuk. Dia bukan seorang bodoh. Dan dia dahulu terkenal sebagai seorang
gagah yang selalu menentang kejahatan dan ketidakadilan. Kini menghadapi
pertanyaan-pertanyaan putrinya yang baru berusia lima tahun, tiba-tiba saja ia
melihat betapa pada hakekatnya dia tahu akan berbahaya dan buruknya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menghisap madat, sehingga walaupun dia sendiri menikmatinya dan
ketagihan, namun dengan amat keras dia melarang anaknya menyentuh
madat! "Ayah sudah tua dan engkau masih kanak-kanak. Anak kecil tentu saja
tidak boleh menghisap madat." Dia menjawab juga.
"Tapi ibu, kenapa ia tidak menghisap madat?"
"Ibumu" Ah, ia tidak suka. Engkau bisa membantu ayah memasak nasi,
bukan?" Setelah puas menghisap madat, kembalilah watak baik Siauw Teng, dan
sehari itu dia mengasuh putrinya dengan penuh kasih sayang. Dan malam itu,
setelah Lian Hong tidur pulas, barulah Siauw Teng menghisap madat lagi.
Malam itu dingin sekali. Hujan turun rintik-rintik. Dalam cuaca di luar buruk
seperti itu dan hawa yang amat dingin, membuat Siauw Teng semakin
keenakan menghisap madat.
Setelah puas, dia duduk termangu-mangu di atas dipan, matanya merammelek penuh kenikmatan dan tubuhnya kadang-kadang bergoyang-goyang.
Dia merasa seperti terbang di alam yang amat indahnya. Mulutnya tersenyum
penuh kepuasan. Di dalam rumah sudah tidak ada apa-apanya yang berharga,
perlu apa dikunci" Api dua batang lilin di sudut ruangan itu bergoyang-goyang tertiup angin
yang menyerbu masuk ketika daun pintu terbuka. Dan bersama angin dan air
hujan, masuk pulalah sesosok tubuh dibarengi suara isak tertahan.
Siauw Teng terbelalak memandang istrinya yang masuk secara luar biasa
itu. Rambut istrinya awut-awutan, muka dan rambutnya basah oleh air hujan,
pakaiannya robek-robek dan kusut, bahkan bagian lehernya terobek sehingga
nampak kulit dada bagian atas yang putih mulus. Di ujung mulut ada bekas
darah dan nampak pipinya membiru, juga mata kirinya. Tentu saja Siauw Teng
terkejut sekali. "Cin Hwa... apa yang telah terjadi?"" tanyanya sambil memandang dengan
mata terbelalak, terlalu kaget sehingga dia tetap duduk diatas dipan itu.
Sepasang mata itu menjadi jalang. Sepasang mata yang kemerahan, dan air
mata bercucuran mengalir ke atas sepasang pipi yang sudah basah oleh air
hujan, wanita itu mengangkat lengannya, telunjuk kanannya ditudingkan ke
arah muka suaminya. "Engkau... engkau menjual diriku" Kautukarkan diriku, kehormatanku,
dengan madat" Engkau menjual diriku untuk dapat menghisap madat?"
Siauw Teng terkejut sekali dan menjadi bingung.
"Istriku, apa maksudmu?"
Melihat suaminya masih bertanya, Cin Hwa menyangka dia berpura-pura
sehingga kemarahan dan kedukaannya memuncak.
"Mana anakku" Mana...?"
"Ia sudah tidur di kamar..."
Cin Hwa lari memasuki kamar. Hanya untuk melihat putrinya sajalah ia lari
pulang. Siauw Teng masih duduk terbelalak, tidak mengerti apa yang telah
terjadi, tidak menduga sesuatu sehingga kata-kata dan sikap istrinya itu amat
mengejutkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara berdebukan di dalam kamar seperti orang jatuh,
disusul jerit anaknya. "Ibuuuu...! Ibuuuu...!"
Dia terbelalak sejenak melihat istrinya terlentang di atas lantai berlumuran
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan darah. Sebatang golok menancap di dada istrinya, dan Lian Hong menangis
ketakutan di atas tempat tidur kayu. Anak itu terbangun ketika dirangkul dan
diciumi ibunya yang menangis, kemudian menjadi ketakutan melihat ibunya
menusuk dada sendiri dengan golok.
"Chin Hwa...!!"
Siauw Teng menjerit dan menubruk. Sepintas lalu dia melihat dan tahulah
dia bahwa golok itu terlalu dalam menusuk dada istrinya sehingga dia tidak
berani mencabutnya. Golok itu goloknya, dan kini senjatanya itu yang setia
dalam menghadapi para penjahat, kini menancap di dada istrinya sendiri.
"Istriku! Mengapa kaulakukan ini" Mengapa?" Dia memangku tubuh itu,
mengguncangnya dan wanita itu membuka matanya yang masih berlinang air
mata. "Mereka telah memperkosaku... Ciu Wan-gwe" kemudian pembantupembantunya."
"Apa...!!!" teriak Siauw Teng mengejutkan Cin Hwa dan juga putrinya.
Barulah nyonya ini percaya bahwa agaknya suaminya memang tidak tahu
akan hal itu. Akan tetapi ia sudah lemah dan kemarahan yang sejak tadi
memenuhi batinnya kini menguasainya lagi.
"Kau... kau telah menjual diriku dengan madat itu... demikian kata mereka...
aku... aku berhasil melarikan diri, tapi... tapi apa artinya hidup bagiku yang
telah ternoda.... kau... kau" laki-laki tak bertanggung ja"wab" tubuh itu
terkulai, kehilangan tenaga dan nyawa.
"Cin Hwa...!" Siauw Teng mendekap tubuh istrinya. Setelah dia yakin bahwa istrinya
sudah tewas, tiba-tiba dia menjadi beringas. Kedua matanya merah melotot,
basah dengan air mata. Dicabutnya golok yang menancap di dada istrinya dan
hanya sedikit darah yang keluar dari tubuh yang baru saja ditinggalkan
nyawanya itu. "Jahanam Ciu Lok Tai! Kau... kau menipuku...!"
Dan dengan sigapnya, Siauw Teng meloncat keluar dari kamar, terus
berlarian keluar menerobos kegelapan malam dan hujan. Dia tidak mendengar
lagi suara putrinya yang berteriak-teriak ketakutan memanggil-manggil dia
dan istrinya. Malam itu gelap dan sunyi. Semua penghuni dusun Tung-kang di luar kota
Kanton sudah menutup semua daun pintu dan jendela karena semenjak sore
hujan turun terus, membuat hawa menjadi amat dingin dan cuaca amat gelap
di luar rumah. Hanya beberapa orang penjaja makanan yang masih nampak
berjalan memikul barang dagangannya di tepi jalan raya meneriakkan
dagangannya untuk menarik perhatian para penghuni rumah-rumah tertutup
itu. Dan makanan yang panas-panas banyak dibutuhkan orang yang membeli.
Akan tetapi, di malam gelap itu, bayangan Siauw Teng berkelebat ketika
dia berlari menuju ke rumah gedung milik hartawan Ciu. Ciu Wan-gwe adalah
orang yang terkaya di dusun Tung-kang, memiliki dua buah toko di Kanton,
juga di Kanton dia memiliki rumah besar. Rumah yang berada di Tung-kang
adalah rumah istri mudanya yang nomor dua. Rumah besar itu nampak sudah
dikapur bersih karena memang keluarga itu mengadakan persiapan pernikahan
putri dari Ciu Lok Tai dan istri mudanya.
Dengan golok yang masih hangat oleh darah istrinya di tangan, Siauw Teng
berlari menuju ke gedung itu, dan ketika tiba di pintu gerbang itu terbuka
secara kasar. Akan tetapi tiba-tiba nampak lima orang berlompatan dan mereka
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan itu ternyata pengawal-pengawal yang memegang senjata seperti tombak dan
golok, agaknya mereka sudah siap menanti di tempat itu. Kemudian muncullah
si gendut yang tadi pagi datang menjemput Cin Hwa, yaitu seorang diantara
dua utusan Cin Wan-gwe. Orang gendut ini muncul dengan memakai payung
hitam untuk melindungi dirinya dari hujan rintik-rintik. Penerangan yang
terdapat di pintu gerbang itu, dua buah lentera minyak, cukup untuk membuat
wajah seperti babi itu nampak jelas dan wajah itu menyeringai ketika
pemiliknya menghadapi Siauw Teng dengan sikap congkak.
"Siauw Kauw-su, ada keperluan apakah malam-malam begini engkau
datang ke sini?" "Aku mau bertemu dan bicara dengan jahanam she Ciu! Panggil dia keluar,
atau aku akan menyerbu ke dalam dan menyeretnya keluar!" Bentak Siauw
Teng. "Hemm, pemadatan, engkau sungguh tak tahu diri!" Si gendut mengejek
dengan sikap merendahkan sekali.
"Apa kau bilang?"
Siauw Teng melangkah maju, akan tetapi lima orang pengawal sudah
menghadang di depannya. Dia berhenti, tidak ingin memusuhi orang-orang lain
kecuali mereka yang telah menghina istrinya.
"Nah, katakan saja kepadaku apa keperluanmu?" kata pula si gendut.
Besar sekali kemungkinannya kedua orang inilah, yang pagi tadi
menjemput Cin Hwa sebagai utusan Cin Wan-gwe, yang ikut memperkosa
istrinya. "Hemm, akuilah secara laki-laki kalau kalian bukan pengecut-pengecut
hina. Apakah Ciu Wan-gwe dan kalian berdua yang telah memperkosa istriku
tadi?" Siauw Teng menahan gejolak hatinya yang mendorongnya untuk segera
menyerbu dengan goloknya dan mengamuk. Akan tetapi dia ingin yakin lebih
dahulu sebelum turun tangan.
"Siauw Kauw-su, istrimu hanya membayar hutang-hutangmu. Bukankah
engkau sudah menerima banyak sekali madat dan barang-barang lain dari Ciu
Wan-gwe, dan engkau sudah berjanji untuk menyerahkan istrimu untuk bekerja
pada Ciu Wan-gwe selama satu minggu" Engkau berjanji bahwa istrimu akan
melakukan semua pekerjaan yang diserahkan kepadanya" Apakah engkau
hendak menjilat ludah sendiri dan mengingkari janji" Akan tetapi baru sehari,
istrimu sudah melarikan diri. Ini saja sebenarnya sudah tidak pantas dan masih
baik Ciu Wan-gwe tidak menuntutmu. Pulanglah dan pikirkan baik-baik."
Kini si tinggi besar yang sudah tidak sabar menjawab.
"Kalau ia menyerahkan diri dengan baik-baik, tentu kami tidak akan
memperkosanya!" Si gendut memegang lengan kawannya yang kelepasan bicara, akan tetapi
sudah terlanjur. Wajah Siauw Teng menjadi pucat saking marahnya.
"Keparat! Jadi benar kalian berdua dan hartawan Ciu yang memperkosa
istriku?" "Hanya membayar hutang," kata si gendut, merasa sudah kepalang karena
kawannya sudah mengaku tadi.
"Dan kami hanya memperoleh bagian saja dari Ciu Wan-gwe sebagai
imbalan jasa. Istrimu seperti kuda binal, atau kucing galak... hemm, tapi cukup
menyenangkan..." Si gendut mengelus lehernya dan ternyata lehernya berdarah, ada guratan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bekas cakaran kuku di situ. Agaknya ketika dia memperkosa Cin Hwa, wanita
itu melawan dan berhasil mencakar lehernya.
Mendengar ucapan itu, Siauw Teng tidak mampu menahan kesabarannya
lebih lama lagi. Bagaikan seekor harimau yang haus darah, dia mengeluarkan
suara menggereng dan tubuhnya yang tidak berbaju menerjang ke depan,
goloknya membentuk sinar terang ketika meluncur dalam serangannya.
"Mampuslah kalian anjing-anjing busuk!"
Akan tetapi, lima orang pengawal sudah menggerakkan senjata sehingga
golok di tangan Siauw Teng tertangkis, bahkan ada tombak dan golok yang
menyerangnya dari kanan kiri dan belakang. Ternyata, biarpun sejak lima
tahun menjadi pemadatan, Siauw Teng masih menguasai ilmu silatnya dengan
baik. Dia berloncatan kesana-sini, goloknya membentuk gulungan sinar dan
terdengarlah suara berdenting bertubi-tubi ketika dia berhasil menangkis
semua senjata lawan. Kemudian dia menyerbu lagi dan begitu cepatnya golok
itu berkelebat sehingga dua orang pengawal roboh sambil mengaduh
kesakitan. "Eh, kiranya macan pemadatan ompong ini masih bisa mencakar juga!"
kata si tinggi besar. Dan diapun menerjang maju membantu para pengawal yang tinggal tiga
orang itu. Si tinggi besar ini mempergunakan sebatang pedang dan ternyata
sambaran pedangnya cepat sekali.
"Tranggg...!" Siauw Teng terkejut. Hampir saja dia menjadi mangsa pedang itu dan pada
saat terakhir dia dapat menangkis, akan tetapi dia merasa betapa lengannya
kesemutan. "Pemadatan busuk!"
Tiba-tiba si gendut memaki dan diapun menyerang maju dengan...
payungnya! Kiranya si gendut ini lihai sekali dan senjatanya yang aneh itu
merupakan pedang yang tersembunyi di dalam payung. Tahulah Siauw Teng
bahwa dua orang utusan Ciu Wan-gwe itu adalah orang-orang yang pandai
ilmu silat. Dia tidak gentar dan memutar goloknya dengan cepat, selalu
mengarahkan senjatanya dengan maksud membunuh dua orang yang telah
mencemarkan kehormatan istrinya ini. Memang hanya itulah tujuannya.
Membalaskan penghinaan terhadap istrinya, kalau mungkin membunuh tiga
orang itu dan tidak melibatkan orang lain.
Akan tetapi baru sekarang Siauw Teng sadar bahwa tubuhnya sudah
dirusak oleh racun madat. Mungkin dia masih menguasai ilmu silatnya dengan
baik, akan tetapi tenaganya menurun dengan hebatnya, dan terutama sekali
pernapasannya amat mengganggunya. Paru-parunya sudah terlalu kotor oleh
racun madat, sehingga belum lewat limapuluh jurus dia dikeroyok, napasnya
sudah empas-empis hampir putus dan dia merasa betapa dadanya sakit kalau
menarik napas. Dalam keadaan seperti itu tentu saja tenaganya makin
berkurang, pandang matanya berkunang dan gerakannya menjadi lambat dan
kacau. "Crattt!" Ujung pedang di tangan si tinggi besar membabat siku kanannya dan
seketika lengan kanannya menjadi lumpuh. Urat di sikunya putus dan
berbareng dengan muncratnya darah, goloknyapun terlepas dari pegangan
tangannya. Dia masih berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan
bertubi-tubi tubuhnya menerima hantaman-hantaman senjata lawan.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Lambungnya tertusuk, punggungnya dihantam gagang payung dengan
kerasnya, kedua pahanya juga luka-luka oleh sabetan pedang dan diapun
terguling roboh mandi darah.
"Cukup, jangan bunuh! Kita tidak perlu mendatangkan keributan!"
Teriak si gendut mencegah teman-temannya melanjutkan pembantaian
mereka terhadap Siauw Teng. Bekas guru silat ini merangkak, mencoba untuk
melawan, akan tetapi baru sekali meloncat saja sudah jatu lagi. Dia
mengangkat muka dan dengan muka beringas, penuh darah dan peluh, dia
memandang kedua orang itu.
"Siapakah kalian berdua?" katanya dengan suara penuh kebencian.
"Lok Hun. Nah, mau apalagi kau?"
Tertatih-tatih dia berjalan setengah lari, lengan kanannya lumpuh, tangan
kirinya mendekap luka di lambungnya. Di sepanjang jalan yang dilalunya, ada
bintik-bintik darah yang menetes keluar dari tubuhnya yang penuh luka.
Suara tangis putrinya masih terdengar di dalam rumahnya ketika dia tiba
di situ. Akan tetapi suara tangis itu terlalu lirih untuk dapat menarik perhatian
para tetangga. Malam gelap dan hujan, maka suara tangis kanak-kanak tentu
saja tidak begitu dihiraukan oleh para tetangga yang menganggap anak itu
sedang rewel atau tidak enak badan.
"Ayah...!" Lian Hong berteriak ketika melihat ayahnya masuk terhuyung-huyung.
Matanya terbelalak dan ia menjadi semakin ketakutan melihat keadaan
ayahmya, saking takut dan ngerinya. Lian Hong hanya melihat saya ketika
ayahnya terhuyung-huyung memasuki kamar dimana ibunya menggeletak
pucat. "Cin Hwa... istriku, aku berdosa padamu..."
Siauw Teng meratap ketika dia berdiri dan menundukkan muka
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang tubuh istrinya. Tak dapat ditahannya lagi, air matanya bercucuran
dan jatuh menimpa leher istrinya yang berlepotan darah yang sudah mulai
mengering kehitaman. Lalu dia mengepal tinju dan mukanya menjadi beringas
ketika dia berteriak. "Ciu Lok Tai, Gan Ki Bun, Lok Hun! Aku bersumpah untuk membalas
penghinaan terhadap istriku, membalas kematian istriku kepada kalian
bertiga!" Kemudian dengan beringas dia menoleh, melihat pipa tembakau madat dan
bungkusan madatnya. "Keparat! Inilah yang menjadi gara-gara! Madat jahanam, perusak hidupku,
pembunuh istriku!" Dengan kemarahan meluap, dia menggunakan tangan kirinya untuk
membanting pipa tembakau madatnya sampai pecah berantakan. Dia masih
belum puas, dan dibakarnya pecahan bambu pipa itu pada api lilin, lalu
dibakarnya pula semua sisa madat. Api berkobar dalam kamar itu. Akan tetapi,
Siauw Teng kehabisan tenaga dan tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap
dan diapun roboh terpelanting di dekat istrinya.
Bambu pipa yang tadi dipegangnya dan masih berkobar, mengeluarkan bau
yang memuakkan karena madatnya juga terbakar, terlepas dari tangannya dan
jatuh menimpa dipan bambu yang tentu saja segera terbakar dengan amat
mudahnya. Api menjalar cepat sekali dan rumah itupun mulai terbakar.
Setelah rumah keluarga Siauw itu terbakar cukup besar, barulah tetangga
terdekat mengetahuinya. Lian Hong segera lari keluar dan berteriak-teriak.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kebakaran! Kebakaran!"
Dusun itu menjadi gempar. Semua orang berteriak-teriak dan berlarian
menuju ke rumah keluarga Siauw yang terbakar. Api sudah menjadi begitu
besarnya, sehingga tidak ada yang berani masuk untuk memeriksa apakah di
dalam rumah masih ada orangnya. Mereka hanya menggunakan air untuk
disiramkan ke arah api, akan tetapi apa artinya air berember-ember itu
terhadap api yang sudah membesar" Celakanya, hujan gerimis sudah berhenti
sehingga tidak membantu. Siauw Lian Hong, anak itu tadi jatuh pingsan karena bau madat dan ketika
ia siuman kembali, api telah mengurungnya dan ia tidak dapat lari kemanapun
juga. Ia ketakutan dan melihat tubuh ayah ibunya mulai dimakan api, iapun
menjerit sekuat tenaga sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di
luar rumah terbakar itu. Mendengar jerit ini, semua orang saling pandang
dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Celaka! Si kecil itu agaknya berada di dalam rumah sendirian!"
"Tolong anak itu...!"
"Api sudah membakar pintunya!"
"Api terlalu besar! Siapa berani masuk untuk menolongnya?"
"Tidak mungkin...!"
Tiba-tiba semua suara terhenti dan semua mata melongo memandang ke
arah pintu.Terdengar suara keras dan pintu depan itupun ambrol, dan tiba-tiba
saja sesosok bayangan meluncur masuk dengan cepat sekali. Akan tetapi
banyak orang mengenal bayangan itu, setidaknya dari pakaian, topi dan kipas
butut di tangan orang itu, karena sinar api memberi penerangan yang cukup.
"Kakek pembunuh lalat dengan kipasnya!"
Semua orang terheran-heran. Baru kurang lebih sepekan, pasar dusun itu
kedatangan seorang kakek aneh. Seorang kakek kurus yang pakaiannya
tambal-tambalan, topinya meruncing ke atas dan tangannya tiada hentinya
menggerakkan sebuah kipasnya itu. Anak-anak suka menggodanya karena dia
suka tersenyum-senyum seorang diri seperti orang yang geli mentertawakan
sesuatu. Dan kini kakek yang dianggap gila itu, secara luar biasa sekali, telah
meloncat ke dalam sebuah rumah yang sedang terbakar hebat setelah
terdengar jeritan kanak-kanak dari dalam rumah.
Semua orang menahan napas, memandang ke arah pintu dengan penuh
perhatian. Tiba-tiba dinding samping rumah itu ambrol dan kakek itu meloncat
ke luar sambil memondong seorang anak perempuan. Semua orang berteriak
lega, girang dan juga khawatir karena ada api berkobar mengikuti kakek itu.
Kiranya ujung jubahnya yang terbakar. Akan tetapi, kakek itu berjingkrak dan
kipasnya mengebut-ngebut. Padamlah api yang merupakan ekornya tadi.
Semua orang bersorak, bertepuk dan tertawa girang karena merasa lucu dan
lega. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu meloncat dan lenyap dalam kegelapan
malam! Kini semua orang berusaha memadamkan api. Percuma. Rumah itu terbakar
habis, dan ketika para penduduk memeriksa puing kebakaran, mereka terkejut
sekali menemukan mayat guru silat Siauw dan istrinya yang sudah gosong
sehingga sukar untuk dikenal lagi. Akan tetapi mereka dapat menduga bahwa
tentulah dua mayat itu adalah mayat Siauw Teng dan istrinya. Siapa lagi kalau
bukan mereka yang mati terbakar dalam rumah mereka"
Kembali gemparlah dusun itu. Semua orang bertanya-tanya kemana
perginya kakek yang menolong Siauw Lian Hong. Dan mengapa pula rumah itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sampai terbakar habis, dan lebih aneh lagi, bagaimana suami istri Siauw itu
sampai mati terbakar sedangkan anaknya masih sempat berteriak.
Timbul bermacam dugaan. Akan tetapi yang dianggap paling tepat oleh
para penduduk dusun itu adalah perbuatan bunuh diri suami istri itu. Tentu
mereka bunuh diri dengan membakar rumah sendiri, demikian celoteh mereka.
Dugaan ini bukan tak berdasar.
-------Sebetulnya apakah yang telah terjadi di dalam rumah kebakaran itu setelah
Lian Hong menjerit sekuatnya, dan kakek yang membawa kipas itu meluncur
masuk ke dalam rumah yang sedang berkobar itu"
Lian Hong yang ketakutan setengah mati itu tiba-tiba melihat seorang
kakek tua berada di dalam ruangan yang terbakar itu, dan kakek itu tahu-tahu
sudah menyambar tubuhnya ke dalam pondongan. Kemudian kakek itu
memandang kepada jenazah yang sedang terbakar.
"Itu ayah ibumu?" tanya kakek itu sambil menuding ke arah dua jenazah
dengan kipasnya. Lian Hong hanya mengangguk sambil menangis. Kakek itu lalu
menggerakkan kipasnya ke kiri dan daun pintu kamar yang sedang terbakar
itupun roboh. Ada kayu dari atas runtuh pula ke bawah menimpa mereka, akan
tetapi dengan kebutan kipasnya, kayu yang terbakar itu tertangkis dan
terpental. Kemudian kakek itu meloncat melalui pintu yang roboh, mencari jalan
keluar dan melihat betapa dinding disebelah barat masih belum terbakar,
kakek itu lalu menerjang dinding dengan tendangan kakinya. Dinding itu jebol
dan diapun membawa Lian Hong meloncat keluar, tidak tahu bahwa ujung
jubah di belakangnya ikut terbakar sehingga tergopoh-gopoh dia
memadamkannya dengan kebutan kipasnya setelah berada di luar. Melihat
betapa semua orang bersorak dan memperhatikannya, kakek itu lalu meloncat
jauh ke dalam kegelapan malam.
Lian Hong memejamkan kedua matanya dengan ngeri. Ia merasa betapa
angin bertiup keras sekali dan betapa tubuhnya meluncur ke depan dengan
amat cepatnya. Bayangan-bayangan pohon menghitam seperti raksasa
mengancam itu nampak berlari-lari cepat di kanan kirinya ketika kakek itu
membawanya lari di jalan besar yang diapit-apit jajaran pohon-pohon di tempat
yang gelap dan sunyi itu. Ia merangkul leher kakek itu, takut terlepas dari
pondongan dan jatuh. Akhirnya, saking lelahnya, lelah lahir bathin tertindih
perasaan ngeri, takut, duka yang amat menghebat, Lian Hong tertidur pulas
dalam pondongan kakek itu, tidak tahu sama sekali bahwa ia dilarikan sampai
jauh sekali dari dusun Tung-kang, bahkan kakek itu baru berhenti setelah tiba
di luar daerah Kan-ton, berhenti di bawah sebatang pohon besar di lereng
bukit, di tepi sebuah sungai.
Kakek itu menggunakan sehelai kain bersih yang dicelup air sungai untuk
membersihkan muka, leher, tangan dan kakinya, kemudian diapun mengusap
muka Lian Hong yang kotor karena angus dan debu itu dengan kain basah.
Lian Hong sadar dan membuka matanya. Begitu membuka mata, anak
perempuan itu menjerit. Kakek itu merangkul dan mendekap anak yang hendak
lari itu, akan tetapi Lian Hong meronta-ronta dan setelah kakek itu mengusap
belakang lehernya, barulah anak itu diam tak bergerak, akan tetapi
memandang dengan sepasang mata terbelalak kepada kakek itu yang masih
memangkunya. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Lian Hong menggerakkan mulutnya. Bibirnya berkemak-kemik tak bersuara
dan sepasang mata yang lebar itu memandang wajah si kakek tanpa kedip.
"Apa kau bilang, nak?" kakek itu mendesak sambil tersenyum
memberanikan. "Ciu Lok Tai, Gan Ki Bin, Lok Hun...! Ciu Lok Tai, Gan Ki Bin, Lok Hun...!"
hanya tiga nama itulah yang berulangkali keluar dari mulut anak perempuan
itu, dan tiba-tiba pandang mata anak itu berobah penuh kebencian! Mendengar
dan melihat ini, kakek itu terkejut.
"Siancai... batinmu tertekan hebat, nak."
Setelah anak itu pulas, kakek berkipas itu lalu merebahkan Lian Hong dan
dengan amat teliti dia mengurut beberapa bagian di kepala anak itu. Setelah
selesai diapun berkata halus.
"Tidurlah, nak. Tidurlah dengan tenang. Engkau sungguh patut
dikasihani." Dan kakek itu sendiripun lalu duduk bersila di dekat Lian Hong,
memejamkan mata, entah tidur entah tidak, akan tetapi napasnya panjang dan
halus seperti orang tidur, sedikitpun tidak bergerak.
Lebih dari tiga jam mereka tidak bergerak. Tiba-tiba Lian Hong terbangun
dan mulutnya segera berseru.
"Ayah...! Ibu...!"
Dan iapun bangkit duduk. Kakek itupun sudah membuka matanya dan
memandang penuh perhatian. Kakek itu mengangguk.
"Benar, anak baik?"
Anak itu seperti baru sadar. Mukanya pucat dan wajahnya terbelalak.
"Ahhh... ayah... ibu...?"
Sinar matanya memandang penuh selidik kepada kakek itu menanti
jawaban yang agaknya sudah diduganya. Mati..." Anak itu mewek-mewek
akan tetapi tidak dapat menangis, dan sinar matanya sebentar menjadi layu
sebentar lagi seperti berapi-api. Tahulah kakek itu bahwa Lian Hong kembali
terhimpit bermacam perasaan.
"Benar, ayah ibumu telah mati, dan engkau ditinggal sendiri saja di dunia
ini. Engkau seorang diri saja, ditinggal ayah ibumu, tidak ada siapa-siapa lagi
di sampingmu!" "Ayaaahhh...! Ibuuuu...!" Dan iapun menangis tersedu tangisnya makin
mengguguk. Kakek itu tersenyum, akan tetapi dia menggunakan punggung tangannya
untuk mengusap dua butir air mata yang tiba-tiba saja berkumpul di pelupuk
matanya. Dia berhasil memancing keluar tangis anak itu, hal yang amat
diperlukan, karena kalau tidak, anak itu berada dalam keadaan amat
berbahaya, bisa menjadi gila atau bahkan mati. Kini rasa iba diri dalam batin
anak itu yang menang, membuat ia merasa sengsara, dan menangis
merupakan obat mujarab untuk menghadapi pelbagai perasaan yang
bergejolak di dalam hati. Dia hanya melihat dan biarpun anak itu menangis
terisak-isak sampai hampir sukar bernapas, dia tersenyum gembira dan
membiarkan anak itu menangis terus sepuasnya.
Akhirnya tangis Lian Hong mereda. Tinggal terisak-isak saja dan ia sudah
dapat mendengarkan ketika kakek itu bicara perlahan-lahan kepadanya.
Lian Hong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak punya siapa-siapalagi di dunia ini..."
Suaranya masih mengandung isak yang ditahannya.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Bagus, engkau dapat menahan tangismu." tiba-tiba kakek itu berkata
sambil menyentuh pundak anak itu.
"Memang, tangis saja tidak dapat merobah keadaan. Jadi engkau benarbenar seorang diri saja di dunia ini" Tidak ada siapapun yang dapat
kaudatangi, yang dapat menampungmu?"
Lian Hong memandang wajah kakek itu dan kembali menggeleng kepala.
"Akupun hidup sebatangkara seperti engkau! Nah, kalau engkau mau ikut
aku, bukankah berarti aku mempunyai seorang cucu dan engkau mempunyai
seorang kakek?" Kakek itu tertawa sendiri, gembira dengan usulnya, gembira
membayangkan betapa mendadak saja dia memperoleh seorang cucu tanpa
mempunyai anak atau mantu!
"Kek, apakah engkau seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian silat
tinggi?" Kembali kakek itu melongo dan merasa bulu tengkuknya meremang. Anak
ini luar biasa sekali! "Eh, bocah aneh! Bagaimana engkau menduga seperti itu?" dia balas
bertanya. "Semua orang dusun sudah berkumpul di depan rumah kami yang terbakar.
Andaikata ada yang berani, tentu yang masuk menolongku seorang laki-laki
muda dan kuat. Akan tetapi tidak ada yang berani dan hanya engkau, seorang
kakek tua yang dapat menolongku. Juga engkau dapat menghindarkan semua
bahaya kebakaran, engkau mendobrak dinding. Ayahku sering bercerita
tentang orang-orang sakti. Apakah engkau seorang sakti?"
"Jawab dulu, apakah engkau pandai ilmu silat, kek" Kalau engkau pandai
dan mau mengajarku ilmu silat tinggi, baru aku mau ikut denganmu."
"Kalau tidak?" "Kalau tidak, aku tidak mau. Tidak ada yang dapat kuharap dari seorang
kakek tua, juga aku akan menjadi bebanmu saja."
"Habis, kau mau apa" Mana bisa kau hidup sendiri" Dari mana engkau
dapat memperoleh makan?"
"Aku bisa bekerja, aku bisa mengemis..." kata anak itu dengan tabah.
Kakek itu tertawa bergelak, hatinya senang bukan main.
"Bagus! Engkau anak baik. Jangan khawatir, aku akan mengajarkan ilmu
padamu. Setidaknya ilmu mencari makanan, seperti ini. Lihat!"
Kakek itu menutup kipas bututnya, dan tiba-tiba dia menyambitkan kipas
yang tertutup itu ke atas pohon. Terdengar suara mencicit satu kali, dan kipas
itu jatuh lagi ke bawah pohon bersama seekor tupai putih yang telah mati
karena lehernya tertusuk ujung gagang kipas.
Lian Hong terbelalak girang dan iapun segera menjatuhkan dirinya berlutut
di depan kakek yang duduk bersila itu.
"Aku mau menjadi cucumu, kek!"
Kakek itu merangkulnya. "Bagus sekali. Siapakah namamu, anak baik?"
"Namaku Siauw Lian Hong, kek."
"Lian Hong, nama yang bagus. Dan aku tidak punya nama, akan tetapi
orang-orang ada yang mengenalku sebagai Bu-beng San-kai (Pengemis
Berkipas Tanpa Nama). Ha-ha"! Hong Hong, aku lebih suka menyebutmu
Hong Hong, apakah kau pernah makan panggang daging tupai?"
"Belum, kek," jawab Lian Hong, memandang bangkai tupai yang seperti
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tikus berekor besar itu dengan ragu dan jijik.
"Nah, sekarang engkau akan merasakannya. Enak sekali! Mari kuberi
pelajaran pertama, yaitu menguliti tupai dan memanggang dagingnya!"
Karena sikap kakek itu selalu gembira, sebentar saja Lian Hong yang masih
kecil itu dapat melupakan kedukaannya. Akan tetapi setiap kali duduk
termenung seorang diri, bibirnya komat-kamit dan kakek itu dapat menduga
apa yang diucapkan bibir kecil itu, karena pernah dia mendengar cucunya
mengigau di waktu tidur. "Ciu Lok Tai, Gan Ki Bin, Lok Hun...!"
-------Kematian Siauw Teng dan istrinya mungkin dianggap bunuh diri oleh para
tetangga, dan urusan itupun segera mereka lupakan. Akan tetapi tidak
demikian bagi Tan Siucai, seorang sasterawan miskin yang hidup berdua saja
dengan putera tunggalnya di dusun Tung-kang.
Tan Siucai adalah sahabat baik mendiang Siauw Teng. Dia seorang
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasterawan berusia sekitar lima puluh tahun yang hidup menduda setelah
istrinya meninggal dunia, bersama puteranya yang berusia tujuh tahun.
Sasterawan ini hidup sederhana. Penghasilannya hanyalah menuliskan suratsurat atau tulisan-tulisan indah untuk penduduk dusun itu yang
membutuhkannya. Pekerjaannya setiap hari hanya menulis, kalau tidak ada
pesanan orang, tentu dia menulis, membaca buku, itulah pekerjaannya setiap
hari. Putera tunggalnya, Tan Ci Kong, sejak kecil diajar membaca dan menulis,
sehingga dalam usia tujuh tahun, anak itu sudah pandai menulis indah, bahkan
membaca kitab-kitab kuno.
Terdapat kecocokan antara dia dan mendiang Siauw Teng. Sasterawan ini
menghargai kegagahan dan kejujuran Siauw Teng, sebaliknya bekas guru silat
itupun kagum akan kepandaian sasterawan itu menulis indah dan membuat
sajak. Apalagi di antara keduanya ada suatu ikatan batin, yaitu keduanya
berjiwa patriot. Kematian Siauw Teng amat menyedihkan hati sahabat itu, sehingga begitu
mendengar akan musibah yang menimpa keluarga sahabatnya, siucai itu
menghibur dirinya dengan minum arak sampai mabok dan tidak ingat apaapalagi. Tan siucai sudah tahu bahwa sahabatnya adalah seorang pemadat.
Sudah berkali-kali dia menasihatkan, akan tetapi Siauw Teng yang juga pada
hakekatnya sudah tahu akan keburukan dan bahayanya menghisap madat,
sudah tercengkeram dan tidak mungkin dapat melepaskannya lagi.
Akan tetapi Tan Siucai yang mengenal baik kegagahan temannya, tidak
percaya bahwa temannya itu melakukan bunuh diri bersama istrinya. Juga dia
merasa berduka sekali mendengar akan hilangnya Siauw Lian Hong, anak
perempuan yang diam-diam diharapkannya kelak akan dapat dijodohkan
dengan putera tunggalnya. Dia tidak percaya sahabatnya melakukan bunuh
diri. Maka dia merasa penasaran, dan mulailah dia melakukan penyelidikan
pada para tetangga sahabatnya itu. Dalam penyelidikannya ini, orang-orang
yang menaruh rasa hormat kepada Tan Siucai menceritakan apa adanya.
Seorang diantara mereka ada yang melihat ketika pada pagi hari sebelum
terjadi musibah itu, istri Siauw Kauw-su kelihatan berjalan diantar oleh dua
orang petugas Ciu Wan-gwe.
"Saya sempat bertanya dan ia menjawab bahwa ia akan pergi membantu
dengan pekerjaan menjahit di rumah keluarga Ciu yang akan mengadakan
pesta pernikahan." demikian seorang tetangga wanita menceritakan.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Cerita ini tentu saja tidak berarti bagi orang banyak, karena dianggap
biasa. Akan tetapi tidak demikian dengan Tan Siucai, apalagi ketika dia
mendengar bahwa sahabatnya itu pernah menerima pemberian banyak madat
oleh Ciu Wan-gwe. Timbul kecurigaannya. Mengapa pedagang madat yang
kaya itu memberi madat kepada sahabatnya yang dia tahu tidak akan mampu
membeli banyak madat" Dan kenapa pula istri sahabatnya harus membantu di
rumah keluarga kaya itu" Dia sudah mendengar desas desus akan sifat mata
keranjang Ciu Wan-gwe, yang kabarnya sudah banyak mengganggu anak istri
orang mengandalkan harta dan kekuasaannya.
Akan tetapi apakah yang dapat dilakukan seorang Tan Siucai, sasterawan
lemah miskin itu terhadap seorang Ciu Wan-gwe yang kaya raya dan
berpengaruh, bahkan menjadi sahabat dari para pembesar di kota Kanton"
Tiba saatnya pesta pernikahan puteri Ciu Wan-gwe. Seperti biasa, jika yang
mempunyai kerja itu orang kaya, sumbangan dipilih yang paling berharga.
Sebaliknya, kalau yang mempunyai kerja itu orang miskin, jarang ada yang
mengirim sumbangan, kalaupun ada, maka sumbangan itupun tidak berharga.
Hal ini jelas membuktikan bahwa dibalik pemberian sumbangan itu, walaupun
tidak diakui oleh para penyumbangnya, tersembunyi pamrih, mengharapkan
imbalan yang besar dan menguntungkan pula. Betapa tidak" Memang sudah
membudaya bagi kehidupan manusia di dunia ini untuk menyembunyikan
pamrih di dalam setiap perbuatannya!
Di anatara sumbangan-sumbangan dari tamu-tamu Ciu Wan-gwe, ada satu
sumbangan berupa gulungan kertas, dan setelah dibuka ternyata berisi sebuah
sajak yang berbunyi: SELAMAT KEPADA SEPASANG MEMPELAI
SEMOGA HIDUP PENUH BAHAGIA DAN DAMAI
SEMOGA TIDAK RUSAK RUMAH TANGGA MEREKA
OLEH MADAT SEPERTI SIAUW YANG SENGSARA!
Tentu saja hati hartawan Ciu terkejut bukan main ketika dia membaca sajak
itu, dan cepat-cepat dia menyuruh orang-orangnya menyingkirkan sajak itu
agar tidak terbaca oleh para tamu. Dia mengutus orang-orangnya untuk
mendatangi pemberi sumbangan, dan tahulah dia bahwa pemberi sumbangan
itu tidak dapat membaca, dan bahwa sajak itu dipesan dari Tan Siucai. Jadi
Tan Siucailah orangnya yang bertanggung jawab.
Baru tiga hari kemudian setelah pesta pernikahan puterinya selesai, dia
segera mengutus orang memanggil Tan Siucai. Pada hari itu, masih ada tamu
di dalam rumahnya, di antaranya adalah seorang komandan militer dari Kanton
yang bernama Ma Cek Lung, seorang komandan pasukan kenamaan kota
Kanton. Ma Cek Lung ini seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih,
bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan tubuh yang kokoh kuat, wajah
yang keras dan kejam menyeramkan.
Ciu Wan-gwe sedang menjamu komandan Ma ini ketika pelayan
melaporkan bahwa Tan Siucai yang dipanggil sudah datang.
"Suruh dia menunggu di luar sampai kami selesai makan!" kata Ciu Wangwe dengan sikap congkak, dan pelayannya dengan senang hati
melaksanakan perintah itu dengan sikap yang lebih congkak lagi.
Biasanya memang demikian. Untuk menyampaikan kekejaman atau
kesombongan, bawahannya lebih hebat dari pada atasannya, makin ke bawah
semakin menciut. Hukuman yang datang dari atas, makin ke bawah semakin
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berat dan menjadi bahan pemerasan atau perbuatan-perbuatan yang lebih
kejam, sebaliknya sumbangan yang datang dari atas, makin ke bawah semakin
berkurang sampai hampir habis. Pahit dan aneh tetapi nyata.
"Kamu diperintahkan untuk menunggu di sini dan tidak boleh pergi
kemanapun sebelum majikan kami keluar menerimamu!"
Lalu sambil mengangkat hidung, pelayan itu pergi meninggalkan tamu itu
di halaman depan! Tan Siucai tersenyum pahit. Dia tidak merasa heran. Sudah banyak ia
melihat kenyataan seperti itu. Dia adalah seorang tamu yang diundang, akan
tetapi diperlakukan seperti seorang pengemis saja. Karena dalam undangan itu
si pesuruh menyatakan bahwa Ciu Wan-gwe hendak memesan tulisan dan dia
diharuskan membawa perabot menulis, maka kini dia menurunkan kotak berisi
kertas dan alat-alat tulis. Lalu duduklah dia di atas peti itu di halaman gedung
sambil menyeka keringat dengan ujung lengan bajunya yang lebar, baju
potongan khas sasterawan. Dia sudah siap menghadapi segala hal. Ketika
menerima panggilan Ciu Wangwe, dia dapat menduga bahwa kemungkinan
besar panggilan ini ada hubungannya dengan tulisan yang dia lakukan untuk
melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya itu. Karena menduga hal yang
buruk, maka ketika puteranya, Ci Kong, mau ikut, dia melarangnya. Dia tidak
ingin puteranya hadir menyaksikan kalau sampai terjadi keributan.
Ciu Wan-gwe yang bernama Ciu Lok Tai adalah seorang laki-laki berusia
sekitar limapuluh tahun. Tubuhnya tidak besar, akan tetapi gemuk sehingga
muka dan lehernya kelihatan seperti membengkak. Matanya lebar dan
hartawan yang terkenal mata keranjang itu adalah seorang pesolek. Kumisnya
yang kecil dipelihara rapi, mukanya putih bersih, tentu dicukur setiap hari dan
bahkan ada bekas-bekas bedak, seperti muka seorang thai-kam (pembesar
kebiri) saja. Dia mengenakan topi batok hitam dan kuncirnya kecil
bergantungan di belakang kepala. Bajunya dari kain sutera yang mahal dan dia
duduk dengan punggung yang agak membungkuk, mulutnya tersenyum
mengejek, dan matanya yang lebar itu memandang kepada Tan Siucai penuh
selidik. Orang kedua yang bertubuh tinggi besar tidak dikenalnya, akan tetapi dia
dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang perwira, kentara dari
bajunya dan juga dari sikapnya walaupun pakaiannya tidak seragam penuh.
Dan memang orang itu adalah Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan di
Kanton yang galak. Melihat sikap komandan ini saja sudah mendatangkan rasa
tidak suka dan juga khawatir di dalam hati Tan Siucai.
Akan tetapi dengan sikap ramah buatan, Ciu Wan-gwe menegur ramah.
"Ah, kiranya Tan Siucai yang datang" Ma-ciangkun, inilah Tan Siucai,
sasterawan pembuat tulisan dan sajak paling pandai di Tung-kang, bahkan
mungkin di seluruh Kanton."
Dengan sikap acuh dan memandang rendah, kemudian menggumam.
"Benarkah" Hemm, hal itu masih perlu dibuktikan dulu."
Tan Siucai menjura. "Ciu Wan-gwe terlampau memuji!" katanya merendah.
"Ah, siapa yang tidak tahu akan keahlianmu, Tan Siucai" Di dalam ruangan
perpustakaanku terdapat banyak hasil karyamu."
Pujian-pujian ini semakin tidak mengenakkan hati sasterawan itu. Pujian
dari mulut seorang seperti Ciu Wan-gwe ini amat berbahaya, dan diapun dapat
merasakan adanya sikap lain yang bertentangan dengan manisnya kata-kata
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ejekan itu. Maka diapun cepat bertanya.
"Ciu Wan-gwe memanggil saya, tidak tahu ada keperluan apakah?"
"Suruh dia membuatkan sajak yang baik, ingin aku melihatnya!"
Tiba-tiba komandan gendut itu berkata.
"Bagus sekali! Nah, engkau sudah mendengar sendiri, Tan Siucai. Maciangkun minta agar engkau suka membuatkan sajak yang baik."
Legalah hati Tan Siucai. Agaknya dia terlalu banyak prasangka dan
hartawan ini bersama tamunya memang suka akan seni tulis dan sajak. Dia
menurunkan petinya dan mempersiapkan alat-alat tulisnya. Seperti biasa, dia
lebih suka menulis mempergunakan alatnya sendiri. Dia memasang bangku
yang hanya merupakan papan di atas tiga kaki, dan dia sendiri duduk bersila
di atas lantai. Dia mengeluarkan sehelai kertas kuning, dan setelah menggosok
tinta bak dan mengoles-oleskan pena bulu, dia mengangkat muka memandang
kepada komandan gendut itu.
"Tidak tahu sajak yang bersifat bagaimana yang ciangkun inginkan?"
"Sajak yang gagah, yang pantas bagi seorang perwira seperti aku
tentunya!" kata komandan gendut itu sambil membusungkan dadanya, akan
tetapi akibatnya hanya perutnya yang amat besar itu yang semakin maju.
"Baiklah, ciangkun."
Sasterawan itu lalu memejamkan kedua matanya sambil duduk bersila,
kulit di antara alisnya berkerut dan dia mulai mengerahkan kemampuannya
mengkhayal. Dan diapun melihat kesempatan yang amat baik untuk
meneriakkan jerit hatinya, bukan hanya karena kematian sahabatnya, akan
tetapi juga karena melihat kenyataan bagaimana hebat madat telah
mencengkeram bangsanya. Sekarang terbukalah jalan baginya untuk
menuliskan jerit hatinya, juga untuk menyampaikan bahaya itu kepada
pemerintah melalui seorang perwira tinggi! Dalam keadaan seperti itu, tidak
pernah Tan Siucai teringat akan diri sendiri, tidak lagi dapat melihat adanya
bahaya-bahaya dari hasil tulisannya. Mulailah dia menulis.
Tan Siucai memang seorang ahli. Setelah dia membuka mata, jari-jari
tangan kanannya seperti kemasukan aliran tenaga luar biasa, menjadi peka
sekali, dan kini jari-jari tangannya itu mulai mengoles-oleskan pena bulu
dengan gerakan yang halus dan manis sekali di atas tinta bak, dan setelah
mengukur jarak di atas kertasnya, diapun mulai membuat coret-coretan yang
mengandung penuh gaya dan keindahan.
Madat! Racun yang membinasakan bangsa
sampai tinggal tulang belulang belaka!
Pendekar menjadi lemah, pembesar menjadi korup
Dermawan menjadi kejam, sasterawan menjadi tumpul!
Hanya si kaya semakin kaya
Madat sumber keuntungan mereka
Basmi madat! Basmi racun dunia!!
Setelah selesai menulis dengan gerakan cepat dan indah, Tan Siucai
merasa seolah-olah dadanya lapang dan lega, dan dengan wajah berseri-seri
dia menyerahkan tulisan itu kepada Ma-ciangkun sambil berkata.
"Ciangkun, tulisan ini walaupun buruk akan tetapi menyuarakan hati
nurani rakyat kecil. Harap ciangkun sudi menerimanya."
"Kurang ajar!" bentaknya marah.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Sasterawan jembel busuk, engkau berani menghinaku?"
Dengan marah, Ciu Wan-gwe lalu menyambar sebuah kemocing (sapu bulu
ayam) yang bergagang rotan, lalu dia menyerang sasterawan itu kalang kabut,
memukuli kepala sasterawan itu kalang kabut, memukuli kepala sasterawan
itu dengan gagang kemocing. Sudah biasa hartawan ini menghajar pelayanpelayannya yang tidak menyenangkan hatinya dengan gagang kemocing.
Tan Siucai berusaha melindungi kepalanya dengan kedua lengan sehingga
lengannya babak belur kena hantaman rotan.
"Ciu Wangwe, saya tidak menghina seseorang!"
"Ciangkun" bukankah tulisannya itu menghina sekali?"
"Maaf, saya maksudkan pedagang madat pada umumnya, bukan pribadi
dan saya hanya menggambarkan kenyataan..."
Siucai terhuyung ke belakang dan bangku alat tulisnya berantakan.
"Dukk...!" Sebuah tendangan membuat sasterawan itu roboh ketika kaki kiri yang
besar dari Ma-ciangkun menyambar.
Tiba-tiba terdengar teriakan.
"Ayaaaah...!" Seorang anak laki-laki lari menerobos masuk dari luar halaman. Dia adalah
seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahun, berpakaian sederhana
dan bermata lebar. "Ci Kong... pergilah... jangan ke sini...!"
Tan Siucai mengeluh dengan penuh kegelisahan melihat puteranya yang
datang itu. Akan tetapi Ci Kong, anak itu, cepat lari naik ke ruangan depan dan
menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Ma-ciangkun dan Ciu Wan-gwe.
"Harap tai-jin sudi mengampuni ayahku...!"
Dengan lagak congkak, Ma-ciangkun kembali mengangkat kaki kiri
menginjak punggung Tan Siucai, dan tangan kanannya yang besar itu
menempel di kepala anak yang berlutut di depannya.
"Bocah setan, berani kau mencampuri" Sekali cengkeram, kepalamu akan
dapat kuhancurkan!" "Setan cilik! Ayahmu ini kurang ajar, sudah menghinaku, dia pantas
dihukum, bahkan patut dibunuh!" bentak Ciu Wan-gwe marah, menudingkan
telunjuk tangan kirinya ke arah Tan Siucai dan mengamankan gagang
kemocing di tangan kanan.
"Ampun, tai-jin. Untuk kesalahan ayah, biarlah aku yang menebus dosanya.
Hukumlah aku, akan tetapi bebaskan ayah..." Ci Kong meratap.
Bukan main terharu rasa hati Tan Siucai.
"Anakku... aahhhh, engkau... jangan begitu... kau pergilah..."
Akan tetapi Ci Kong bangkit dan berlutut lagi.
"Ampunkan ayahku, ampun..." ratapnya.
Anak ini memiliki keberanian luar biasa seperti ayahnya. Dia sendiri tidak
takut mati, akan tetapi dia takut kehilangan ayahnya.
Pada saat itu, terdengar seruan nyaring.
"Ayah...!" Muncullah seorang anak perempuan dari dalam gedung Ciu Wangwe. Anak
itu berusia sekitar enam tahun, berwajah manis sekali dengan sepasang mata
yang tajam dan lebar. Pakaiannya indah dari sutera halus, rambutnya dikuncir
dua yang bergantungan di kanan kiri. Anak itu berhenti berlari ketika melihat
Tan Siucai masih rebah babak belur dan berlumuran darah. Ci Kong yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berlutut dan meratap mintakan ampun bagi ayahnya. Setelah tertegun sejenak,
anak perempuan itu lalu lari menghampiri Ciu Wan-gwe dan memegang
tangan orang tua itu. "Ayah, apakah yang telah terjadi" Kenapa ayah marah-marah dan siapa
mereka ini" Apa yang telah mereka lakukan maka ayah agaknya menghajar
mereka?"
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang tidak jengkel, anakku. Sasterawan jembel ini berani
menghinaku dengan tulisannya."
"Tulisan apakah, ayah" Boleh aku melihatnya?"
Ciu Wan-gwe amat sayang kepada puteri bungsunya ini. Ciu Kui Eng,
demikian nama anak itu, memang amat cerdas dan menyenangkan hati, selain
jelita dan manis, juga biarpun disayang tidak menjadi manja. Yang
mengagumkan hati ayahnya adalah karena anak ini selalu bersikap berani dan
tegas, bahkan bijaksana sekali.
"Dia mengejekku dan bersikap memberontak. Itu tulisannya." Ciu Wangwe menunjuk kearah kertas yang sudah terobek menjadi dua potong.
Kui Eng mengambil kertas itu, dan dengan alis berkerut dibacanya sajak
itu. Biarpun baru berusia enam tahun, anak ini memang cerdik dan sudah dapat
menghafal banyak sekali kata-kata tulisan, sehingga sajak itu tidak terlalu
sukar baginya untuk dapat dibacanya dengan mengerti. Sehabis membaca
sajak itu, ia lalu menghampiri Tan Siucai yang sudah bangkit duduk di atas
lantai karena agaknya kemunculan anak perempuan itu membuat Ma-ciangkun
juga menyingkirkan injakan kakinya.
"Orang tua, tulisanmu bagus sekali, juga sajakmu bagus dan
menggambarkan kenyataan. Akan tetapi engkau lancang sekali berani menulis
sajak seperti ini di depan ayah, padahal engkau tahu bahwa ayah adalah
seorang pedagang madat. Nah, pergilah! Dan dia itu siapa?"
Ia menuding ke arah Ci Kong yang masih berlutut. Tan Siucai memandang
anak perempuan itu dengan heran dan kagum, sungguh anak ini memiliki sikap
yang penuh wibawa, dan dari gerak-gerik dan ucapannya, mudah diketahui
bahwa ia seorang anak yang cerdik sekali.
"Dia adalah Ci Kong, anakku..." jawabnya lirih, karena seluruh tubuhnya
terasa sakit-sakit, terutama sekali dada kanannya yang tadi terkena tendangan
kaki Ma Cek Lung. "Aku benci melihat anak laki-laki merengek dan meratap minta ampun!"
Tiba-tiba Kui Eng berkata sambil memandang kepada Ci Kong. Ci Kong
menoleh dan mereka saling pandang. Ci Kong mengerutkan alisnya dan
sepasang matanya seperti mengeluarkan api.
"Aku mintakan ampun untuk ayah, bukan untuk diriku sendiri!" katanya,
seketus suara Ciu Kui Eng. Sejenak mereka saling panadang dan Kui Eng lalu
membalikkan tubuh, menghampiri ayahnya.
"Ayah, biarkan mereka pergi."
"Pergilah!" Ma Cek Lung menggerakkan kakinya dan kembali kakinya menendang
rusuk kakek itu. Terdengar suara "bukk!", dan tubuh sasterawan itu terlempar,
terbanting dan dari mulutnya keluar darah. Tendangan itu saja sedikitnya
meretakkan dua tiga batang tulang rusuknya.
"Engkau telah nenimbulkan kekacauan dan engkau kuanggap
pemberontak. Kau harus pergi meninggalkan dusun ini, atau kau akan
kutangkap dan kumasukkan penjara!" kata Ma Cek Lung.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ci Kong membantu ayahnya bangkit berdiri, mengumpulkan alat-alat tulis
dan sambil memapah ayahnya, anak itu lalu mengajak cepat-cepat pergi
meninggalkan halaman gedung keluarga Ciu.
Setelah tiba di rumahnya, Tan Siucai jatuh sakit. Tabib yang memeriksanya
mengatakan bahwa ada empat tulang rusuknya yang patah dan retak-retak,
dan selain itu, Tan Siucai juga menderita luka dalam yang cukup parah dan
yang mengharuskannya tinggal di atas pembaringan selama sedikitnya satu
bulan! Tan Siucai teringat akan ancaman Ma-ciangkun. Dia harus pergi dari
Tung-kang. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, mana mungkin dia dapat
pergi" Berjalan kaki jauh. Tidak mungkin. Menyewa kereta lebih tidak mungkin
lagi, karena dia tidak punya uang.
Dipanggilnya putranya pada keesokan harinya setelah semalam suntuk dia
tidak tidur dan mempertimbangkan masak-masak apa yang harus dilakukan.
"Dengar baik-baik. Kota Nan-ning terletak di sebelah barat, di seberang
sungai Si-kiang. Engkau harus menyeberang sungai itu dan menuju ke barat.
Dengan bertanya-tanya, tentu engkau akan bisa menemukan kota Nan-ning."
"Tapi kenapa aku harus pergi kesana sendiri saja, ayah" Engkau sakit, aku
harus merawatmu. Kalau ayah takut akan ancaman perwira itu, mari aku antar
ayah pergi meninggalkan dusun ini."
"Tidak, anakku, dan jangan membantah. Semua sudah kupikirkan baikbaik. Kau pergilah ke Nan-ning, dan disana engkau carilah rumah seorang
saudara angkatku. Ayahmu ini hidup sebatangkara, hanya dengan engkau
seorang, akan tetapi ada seorang saudara angkatku yang bernama Sie Kian. Dia
membuka toko obat di kota Nan-ning dan kaucarilah dia, serahkan surat ini
kepadanya. Dia yang akan mengatur semuanya, menolong kita pergi dari sini
kalau perlu dan... dan dialah satu-satunya orang yang dapat kauharapkan
bantuannya kalau aku... tidak dapat menolongmu seperti keadaanku sekarang.
Nah, cepat kau berkemas, Ci Kong."
Ci kong tidak banyak membantah lagi. Dia tahu bahwa keputusan yang
diambil ayahnya itu tentulah yang terbaik untuk mereka. Dan dia dapat
menduga bahwa keadaan memang gawat dan tentu ayahnya sudah
memperhitungkan segalanya, maka diapun tidak ragu-ragu lagi walaupun ada
juga rasa bingung dalam hatinya menghadapi perjalanan jauh ke tempat yang
selamanya belum pernah diketahuinya itu.
Tidak banyak bekal yang dapat diberikan oleh Tan Siucai kepada
puteranya, akan tetapi yang dia serahkan kepada Ci Kong adalah seluruh uang
yang dimilikinya. Setelah siap, Ci Kong berlutut di dekat dipan ayahnya dan sasterawan itu
menahan keluarnya air matanya. Tidak, dia tidak boleh memperlihatkan
kelemahan di depan puteranya yang menghadapi perjalanan sukar dan jauh.
Dia mengulur tangan menyentuh kepala Ci Kong, dibelainya rambut di kepala
itu. "Anakku yang baik, aku menyesal sekali tidak mampu memberi kehidupan
yang lebih baik untukmu, bahkan kini terpaksa engkau akan mengalami
kesengsaraan dengan melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Akan
tetapi aku yakin bahwa engkau anakku yang baik, pandai membawa diri dan
berani menghadapi segala macam kesukaran. Pergilah, anakku, dan carilah Sie
Kian sampai dapat. Dialah satu-satunya orang yang boleh kauharapkan, boleh
kita harapkan, dan jangan sampai hilang di jalan suratku untuknya itu."
"Baiklah, ayah, akan kulaksanakan semua perintah ayah. Harap ayah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pandai-pandai menjaga diri dan jangan lupa minum obat yang telah diberi oleh
sinshe kemarin." Anak itu merasa bersedih dan terharu sekali harus meninggalkan ayahnya
dalam keadaan sakit seperti itu, namun dia mengeraskan hatinya dan menahan
diri agar tidak menangis.
Baru setelah dia meninggalkan rumah, sambil berjalan Ci Kong menangis,
mengusapi air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu
betapa pada saat itu, setelah dia pergi, ayahnya juga mengusapi air mata
dengan ujung lengan bajunya.
Tentu saja hati orang tua ini merasa hancur membayangkan betapa
terpaksa anaknya yang masih begitu kecil harus melakukan perjalanan sukar
seorang diri, bahkan mungkin anaknya mulai sekarang akan hidup sebatang
kara di dunia yang kejam ini. Dia sudah mengambil keputusan. Sakitnya takkan
sembuh, ini dia dapat merasakan benar. Biarpun tabib itu hendak
menyembunyikan kenyataan, dia sendiri dapat merasakan. Apalagi dia tidak
mempunyai cukup uang untuk biaya pengobatan dirinya sampai sembuh, kalau
hal itu mungkin. Dan diapun teringat akan ancaman Ma-ciangkun yang dia tahu
bukan merupakan gertakan kosong belaka. Sekali waktu ancaman perwira
gendut itu tentu akan dilaksanakan, dan dia tidak ingin puteranya ikut
tertangkap nanti. Ci Kong harus bebas dan satu-satunya jalan hanyalah lebih
dulu pergi secara diam-diam dari Tung-kang.
Syukur kalau puteranya dapat bertemu dengan Sie Kian, saudara angkatnya
di Nan-ning. Andaikata tidak dapat jumpa, setidaknya Ci Kong sudah pergi
jauh dari Tung-kang dan aman dari ancaman malapetaka yang datang dari Ciu
Wan-gwe dan Ma-ciangkun. Kini keputusannya telah tetap. Dia tidak boleh mati konyol begitu saja.
Sehari itu, juga pada malam harinya, Tan Siucai tiada hentinya menulis, dengan
huruf besar-besar di atas kertas bertumpuktumpuk sampai habis kertaskertasnya baru dia berhenti. Kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali dia membawa kertas-kertas itu, berjalan terhuyung-huyung, menuju ke
pasar yang berada di tengah-tengah dusun.
Kemudian, di tempat yang belum begitu ramai karena masih amat pagi itu,
Tan Siucai menempel-nempelkan semua kertas yang sudah ditulisinya itu di
atas papan-papan, pada dinding-dinding toko, pada batang-batang pohon.
Tentu saja hal ini menarik perhatian orang, dan sebentar saja tempat-tempat
itu penuh dengan kerumunan orang, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
semua orang ketika membaca tulisan-tulisan Tan Siucai.
Mereka saling pandang dan saling bertanya-tanya, apakah sasterawan
yang mereka hormati dan kagumi tulisannya itu kini sudah menjadi gila!
Tulisan-tulisan itu adalah protes-protes terhadap para pejabat, dan protes akan
adanya madat yang meracuni bangsanya. Di antaranya terdapat kalimat keras.
"Para pendekar" dimana kegagahan kalian" Apakah kalian membiarkan
saja bangsa kita menjadi pemadat-pemadat lemah yang mudah dihina orang?"
Dan ada lagi kecaman-kecaman keras terhadap para pejabat.
"Apakah para pembesar mengorbankan rakyat hanya untuk memenuhi
kantong hasil perdagangan candu?"
Dan banyak macam lagi kata-kata yang mengejutkan semua orang karena
kata-kata itu jelas merupakan protes keras dan dapat dianggap sebagai
mengandung hasutan-hasutan pemberontakan!
Banyak orang yang sudah mengenal Tan Siucai memberi nasihat agar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sasterawan itu menyingkirkan semua tulisan itu. Akan tetapi hal ini membuat
Tan Siucai marah dan dia berkata lantang.
"Kalau bangsa kita sudah begini pengecut, apa yang dapat diharapkan"
Anak cucu kita akan menjadi hamba-hamba madat yang hina!"
Makin siang, makin banyak orang berkerumun dan tak lama kemudian,
tentu saja pembesar setempat mendengarnya dan Tan Siucai ditangkap! Ketika
Ciu Wan-gwe mendengar akan hal ini, cepat dia menghubungi Ma Cek Lung
yang segera mengirim pasukan untuk mengambil alih tawanan dari dusun
Tung-kang itu. Sebagai seorang tawanan berat, seorang yang dicap sebagai
pemberontak, Tan Siucai lalu dibawa ke Kanton sebagai seorang tawanan yang
diborgol kaki tangannya, diperlakukan kasar dan dijaga ketat seolah-olah dia
seorang yang amat berbahaya! Padahal, napas sasterawan itu sudah empas
empis dan sukar sekali dia menggerakkan tubuhnya, karena tarikan-tarikan
dan pukulan-pukulan, serta perlakuan kasar yang didapatnya dari para
perajurit ketika dia diseret, membuat luka-luka di tubuhnya semakin parah.
Dan apa yang diduga oleh kebanyakan orangpun terjadilah. Tan Siucai
meninggal dunia di dalam tahanan tanpa memperoleh kesempatan membela
diri di depan pengadilan! Banyak orang tahu bahwa di balik kematian Tan
Siucai ini tentu tersembunyi rahasia.
Siapapun maklum akan kelihaian sasterawan itu dalam kesusasteraan, dan
andaikata sasterawan itu dihadapkan di pengadilan, tentu akan banyak yang
dibicarakan, banyak yang akan dibongkarnya mengenai kebejatan-kebejatan
yang terjadi. Dan hal itu amatlah berbahaya bagi para pejabat setempat. Lebih
aman dan mudah kalau sasterawan yang memang sudah menderita luka dalam
yang parah itu mati saja sebagai seorang tahanan.
-------Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari kerajaan Ceng-tiauw atau
kerajaan Mancu adalah Kaisar Tao Kuang, seorang kaisar yang tidak berhasil
mempertahankan kejayaan Kerajaan Mancu yang selama puluhan tahun dibina
oleh mendiang Kaisar Kian Liong sehingga menjadi besar dan kuat.
Semenjak Kaisar Kian Liong meninggal dan singgasana diserahkan kepada
Kaisar Cia Cing (1796-1820) sampai kini diduduki Kaisar Tao Kuang, putera
Kaisar Cia Cing, Kerajaan Ceng-tiauw terus merosot. Pemberontakan terjadi
dimana-mana, para pembesar mabok kekayaan dan kedudukan, terjadi
perebutan kekuasaan di antara para pembesar, dan penindasan kaum
pembesar terhadap rakyat jelata untuk menambah isi gudang kekayaan
mereka, korupsi terjadi dimana-mana.
Di bawah pemerintahan Kaisar Cia Cing setelah Kaisar Kian Liong
meninggal, rakyat mulai mengenal madat. Mula-mula madat itu didatangkan
oleh para pedagang dari India, karena memang dari sanalah datangnya madat
itu. Setelah banyak orang mencobanya dan mulai ketagihan, perdagangan
madat ini menjadi semakin subur.
Kebutuhan akan madat makin hebat, orang-orang yang ketagihan semakin
banyak dan mulailah benda yang amat berbahaya itu mengalir dalam jumlah
besar ke Cina. Pada permulaan abad kesembilan belas itulah, Persatuan
Dagang India Timur (East India Company) milik orang-orang Inggeris, melihat
kesempatan untuk mengeduk keuntungan yang amat besar. Mereka lalu
bersekutu dengan para pejabat pemerintah Ceng. Dan sebentar saja, dengan
jalan penyuapan dan penyogokan, kaum pedagang Inggeris itu berhasil
menguasai seluruh pejabat pemerintah di Kanton, dari gubernurnya sampai
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kepada perajurit-perajurit petugas keamanan.
Pemerintah Kaisar Tao Kuang sama sekali tidak mengijinkan peredaran
madat itu dan mereka sudah tahu akan bahayanya. Akan tetapi, di Kanton
terjadi penyelundupan-penyelundupan atau penyuapan-penyuapan dan
dengan cara bagaimanapun juga, orang-orang berkulit putih itu berhasil
memasukkan madat dalam jumlah yang luar biasa besarnya ke daratan Cina.
Melalui madat, kaum kulit putih itu menghisap seluruh kekayaan Cina. Dan
melihat sukses yang diperoleh orang-orang Inggeris, maka bangsa kulit putih
lainnya seperti Amerika, Portugis dan Belanda, juga tidak mau tinggal diam,
dan merekapun mengharapkan bagian sehingga perdagangan madat menjadi
semakin ramai. Orang-orang kulit putih itu mengusap-usap perut gendut dan
kantong padat, meninggalkan rakyat Cina menjadi kurus kering karena
kehabisan kekayaan dan juga karena keracunan madat.
Cerita ini terjadi pada jaman itu, selagi madat merajalela di Cina, dan
pusatnya berada di Kanton, dimana terdapat banyak kantor-kantor
perdagangan orang kulit putih.
Tidaklah mengherankan kalau Ciu Lok Tai menjadi kaya raya karena dia
merupakan seorang diantara para pedagang madat yang menerima madat dari
orang-orang kulit putih. Dan tentu saja dia mempunyai hubungan erat dengan
para pejabat, termasuk Ma Cek Lung yang menjadi komandan pasukan
keamanan di Kanton. Dan tidak mengherankan pula kalau Tan Siucai mati di
dalam kamar tahanan karena dia berani menyinggung masalah yang amat peka
itu, soal peredaran madat yang tentu saja dianggap membahayakan
kedudukan para pembesar yang menjadi makmur karena perdagangan madat.
Pada waktu itu, orang-orang kulit putih tidak memperoleh kebebasan gerak
di daratan Cina. Mereka hanya boleh datang di dua tempat saja. Yaitu pertama
di Makao yang menjadi pusat orang-orang portugis berpangkal, sedangkan
kota ke dua adalah Kanton. Agaknya, setelah ribuan tahun lamanya mempunyai
pemerintahan feudal dan keluarga Kaisar selalu menganggap derajatnya amat
tinggi, jauh lebih tinggi dari derajat manusia biasa, bahkan Kaisar menganggap
dirinya sebagai utusan Tuhan, maka setelah bangsa kulit putih mulai
mengadakan hubungan dengan Cina.
Kaisarpun memandang mereka itu atau bangsa-bangsa asing pada
umumnya sebagai bangsa biadab. Hal ini mungkin tadinya timbul karena di
luar Cina banyak tinggal suku-suku bangsa yang liar dan yang selalu membikin
kekacauan, menyerbu ke pedalaman sehingga timbul pandangan bahwa
bangsa yang berada di luar Cina adalah bangsa liar atau bangsa biadab.
Pandangan yang besar sekali kemungkinan timbul karena kecongkakan
pemerintahannya sebagai akibat sistim perbedaan kelas yang menyolok dari
keluarga Kaisar ini, kemudian menjalar ke seluruh rakyat sehingga timbul
semacam penyakit dalam batin masyarakat Cina untuk menganggap bangsa
apapun di luar Cina adalah bangsa biadab.
Kecongkakan dan pemujaan diri sendiri yang berlebihan ini
menghancurkan Cina sendiri. Karena congkak, mereka tidak mau tahu bahwa
bangsa-bangsa biadab yang mereka pandang rendah itu telah memperoleh
kemajuan pesat sekali dan sama sekali tidak dapat dinamakan bangsa yang
lebih bodoh, lebih sederhana, atau lebih rendah dari pada mereka. Bahkan
untuk mengurus bangsa asingpun oleh pemerintah dinamakan Kantor Urusan
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bangsa-bangsa biadab! Kaisar keturunan Bangsa Mancu, yang sebelum menguasai Cina juga
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dianggap bangsa biadab oleh pribumi daratan Cina sendiri, agaknya sengaja
mengangkat bangsanya agar terlupa bahwa mereka adalah suku bangsa di luar
tapal batas Cina dan hendak melebur diri sendiri dengan pribumi. Pemerintah
mengadakan peraturan yang amat menghina bangsa asing. Bangsa asing dari
manapun juga yang hendak menghadap Kaisar harus tunggu berbulan lamanya
dan diperlakukan sebagai utusan negara yang hendak menyatakan tunduk dan
setia kepada Kaisar. Mereka diharuskan menjura dengan hormat kepada kaisar.
Kalau tidak mau melakukan penghormatan ini, mereka tidak akan diterima dan
akibatnya mereka tidak boleh berdagang, apalagi tinggal di Cina.
Pemerintah juga melarang orang-orang asing melakukan perdagangan
langsung ke pasar-pasar, melainkan harus berhubungan dengan badan yang
ditunjuk pemerintah khusus melayani mereka, dan badan atau orang ini
disebut Co-hong. Akibatnya tentu saja ada persekutuan antara orang-orang
asing dengan Cohong-cohong ini, yang meluas menjadi kerja sama dengan
para pejabat yang menerima suapan.
Pemberontakan yang merajalela di seluruh Tiongkok membuat pemerintah
Kaisar Tao Kuang menjadi semakin lemah. Sementara itu, orang-orang Eropa
yang datang ke daratan Cina bukan lagi perantau-perantau seperti abad-abad
yang lalu, melainkan orang-orang yang mewakili negara-negara yang mulai
berkembang menjadi negara yang kuat.
Akan tetapi, pada permulaan abad ke sembilan belas itu, Cina tidak
membutuhkan baran-barang dari Eropa. Kemudian, setelah orang-orang kulit
putih melihat kelemahan rakyat Cina yang mulai ketagihan candu, mereka
melihat kesempatan baik sekali untuk mengeduk keuntungan sebesarnya, dan
mulailah mereka memasukkan madat secara besar-besaran, madat yang
mereka datangkan dari India.
Dan madat ini, seperti yang digambarkan oleh Tan Siucai, memang benarbenar merupakan malapetaka bagi rakyat Cina. Dalam waktu beberapa tahun
saja, racun itu bukan saja terdapat dalam rumah-rumah madat umum dimana
para pecandu boleh membeli dan menghisap madat, akan tetapi juga sudah
menyusup ke rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, bahkan banyak
sekali pendekar-pendekar gagah perkasa tunduk dan lumpuh oleh pengaruh
madat, para pejabat juga menjadi hambanya.
Demikianlah gambaran sekilas tentang keadaan di jaman itu, dan mari kita
ikuti perjalanan Tan Ci Kong, putera tunggal Tan Siucai yang bernasib malang
itu. Pesan ayahnya masih terngiang di telinganya ketika akhirnya dia tiba di
tepi sungai Si-kiang, menyusuri tepi sungai sebelah utara menuju ke barat
untuk mencari tempat penyeberangan. Air sungai itu penuh dan arusnya deras
sekali dan tidak nampak ada perahu disitu. Di antara pesan ayahnya yang
paling membingungkan adalah, jangan sekali-kali engkau kembali ke Tungkang sebelum ada berita dariku. Kelak aku akan menyusulmu ke Nan-ning. Jadi
aku tidak akan melihat dusun tempat kelahiranku lagi, pikir Ci Kong ketika dia
berjalan dengan menyusuri sungai.
Melakukan perjalanan di waktu itu tak dapat dibilang aman, tidak boleh
membawa senjata dan tanpa senjata di tangan, tentu saja orang mudah
menjadi korban keganasan perampok-perampok yang bersenjata. Akan tetapi,
siapakah mau menganggu seorang anak laki-laki kecil, apa lagi kalau dia tidak
memakai pakaian bagus dan tidak membekal uang "
Setelah menemukan perahu yang suka membawanya ke seberang dan
melanjutkan perjalanannya yang amat melelahkan, berulah seminggu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kemudian Ci Kong tiba di kota Nan-ning. Kota ini tidak begitu besar dan tidak
sukar bagi Ci Kong untuk menemukan toko
Obat milik orang yang bernama Sie Kian. Dia tiba di toko itu setelah hari
mulai gelap dan toko itu sudah tutup, hanya daun pintunya saja yang masih
terbuka. Sebuah toko sederhana saja, tidak terlalu besar. Ketika Ci Kong
mengetuk daun pintu perlahan, muncullah seorang laki-laki berusia limapuluh
tahun lebih, pakaiannya seperti seorang pelajar dengan lengan baju yang lebar
sekali. Biarpun usianya baru limapuluh tahun lebih, akan tetapi kepala orang
itu sudah putih, semua rambutnya sudah menjadi uban. Wajahnya juga bahwa
hidupnya lebih membayangkan banyak menderita dari pada bersuka ria.
Pandang matanya sayu dan gerak geriknya halus.
"Anak baik, apakah engkau hendak membeli Obat" Ataukah ada yang
sakit?" Tanya kakek itu denga sikap ramah.
Ci Kong menggeleng kepala.
"Tidak, paman" saya mencari seorang paman yang bernama Sie Kian dan
kata orang tinggal di toko Obat ini.
Ci Kong memandang penuh selidik karena dia sudah menduga bahwa
agaknya orang inilah sahabat ayahnya itu.
"Sie Kian" Ah, aku sendirilah orangnya. Engkau anak kecil ada urusan
apakah mencari aku" Nampaknya kau lelah sekali."
Bukan main girangnya hati Ci Kong ketika orang itu mengaku bernama Sie
Kian, orang yang dicarinya. Segera dia menjatuhkan diri berlutut sebagai
penghormatan. "Paman Sie Kian, saya datang diutus oleh ayah saya yang bernama Tan
Seng..." katanya dengan suara serak karena hatinya merasa terharu sekali.
Orang itu terbelalak. "Apa" Kaumaksudkan Tan Siucai... yang tinggal di Tung-kang?"
"Duduklah. Taruh buntalanmu di atas meja dan keluarkan surat itu. Ingin
sekali aku tahu apa isi surat ayahmu," kata Sie Kian, masih terheran-heran
melihat anak sekecil ini datang sendirian saja dari tempat yang begitu jauhnya.
Hatinya merasa tidak enak. Apakah gerangan yang terjadi dengan diri
kakak angkatnya itu" Sudah hampir sepuluh tahun mereka tidak saling
mengadakan hubungan, dan dia tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan
sasterawan itu. Setelah dia membaca surat Tan Siucai yang diterimanya dari Ci Kong,
wajah orang she Sie itu berobah agak pucat.
"Ah... ahhh...!" berkali-kali dia mengeluh, kemudian dia menyimpan surat
itu di saku jubahnya. "Anak baik, namamu Tan Ci Kong?"
"Benar paman." "Engkau tinggallah disini bersamaku, engkau bisa membantuku. Besok aku
akan menyuruh seorang teman untuk pergi ke dusunmu dan menyelidiki
tentang keadaan ayahmu. Kalau mungkin, aku akan membawa ayahmu itu ke
sini agar dapat kurawat dia sampai sembuh."
Tentu saja hati anak kecil itu menjadi girang sekali dan diapun cepat
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Kian.
"Terima kasih, paman" aku Tan Ci Kong selama hidup tidak akan lupa
kepada budi paman ini."
Sie Kian merangkul anak itu dengan hati terharu dan diam-diam dia merasa
kagum. Anak kecil ini bukan hanya tabah dan pemberani sekali, tahan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menderita dan dapat melakukan perjalanan demikian jauhnya sendirian
saja, akan tetapi juga baik budi dan berkelakuan sopan.
Mulai hari itu, Ci Kong membantu paman angkatnya yang tidak mempunyai
pelayan. Dia membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencari air, masak nasi
dan air, juga belajar membuat masakan dari pamannya. Sementara itu Sie Kiam
mengutus seorang teman untuk melakukan penyelidikan ke Tung-kang.
Seminggu kemudian, teman itu datang kembali dan menyampaikan kabar yang
amat mengejutkan hati Sie Kian, bahwa Tan Siucai telah tewas didalam
tahanan setelah ditangkap karena menempelkan tulisan-tulisan yang dianggap
memberontak! Sie Kian segera menutup tokonya dan membawa Ci Kong ke dalam
kamarnya. Di situ dia merangkul anak itu, tak mampu mengeluarkan kata-kata,
dan orang yang bertubuh agak gemuk pendek dan biasanya amat peramah dan
halus budi ini menangis! Ci Kong adalah seorang anak yang amat cerdik. Melihat sikap pamannya,
hatinya terasa perih seperti tertusuk.
"Paman Sie Kian, apakah yang telah terjadi dengan ayahku?"
Mendengar pertanyaan ini, Sie Kian makin mengguguk tangisnya dan dia
mendekap kepala anak itu di dadanya. Selama ini dia hidup menyepi seorang
diri, tanpa sanak tanpa teman, dan segera tiba-tiba dia dipertemukan dengan
anak kakak angkatnya ini, akan tetapi ternyata nasib anak ini demikian
buruknya. "Paman, apakah ayah... ayah meninggal dunia?"
Sie Kian terkejut dan memegang kedua pundak kecil itu, melalui air
matanya diamemandang wajah itu dengan heran. Ci Kong tidak menangis,
akan tetapi kedua matanya juga basah air mata.
"Paman, ketika aku disuruh pergi oleh ayah, dia terluka parah dan hatiku
sudah tidak enak. Sikap ayah seolah-olah kami tidak akan saling bertemu
kembali." Sie Kian menelan ludahnya dan mengangguk. Ci Kong menjatuhkan dirinya
berlutut, tidak menangis hanya menundukkan mukanya dan hanya beberapa
butir air mata yang menuruni kedua pipinya. Anak itu mengepal kedua
tangannya yang kecil. Hening sejenak, yang terdengar hanya tarikan napas
panjang berkali-kali dari Sie Kian. Kemudian terdengar suara Ci Kong, lirih dan
agak gemetar. "Paman Sie Kian, bagaimanakah meninggalnya ayahku" Dan siapakah yang
mengurus penguburannya?"
Dengan hati-hati dan perlahan-lahan, Sie Kian lalu menceritakan apa yang
telah didengarnya dari teman yang disuruhnya melakukan penyelidikan ke
Tung-kang itu, betapa ayah anak itu dalam keadaan sakit menempelkan
tulisan-tulisan yang menentang madat dan mengutuk para pembesar dan
pedagang madat, sehingga dia dianggap pemberontak, ditangkap dan karena
keadaannya memang payah, dia meninggal dalam tahanan.
"Ayahmu sungguh keras hati dan nekat," Sie Kian berkata.
"Dalam keadaan masih sakit berat, dia bahkan berani bertindak demikian
jauh sehingga menimbulkan keributan. Mungkin ketika ditangkap, dia berada
dalam keadaan yang sudah menghebat sakitnya akibat luka-lukanya dan dia
meninggal di dalam kamar tahanan."
"Ayah hebat!" Tiba-tiba Ci Kong berkata sambil mengepal tinju.
"Biarpun lemah dan sakit, ayah berani menentang apa yang dianggapnya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tidak benar, kalau sudah besar, akupun ingin seperti ayah!"
Sie Kian memandang kagum dan tiba-tiba ada sebuah pikiran menyelinap
di benaknya. "Ci Kong, dengar baik-baik. Peristiwa kematian ayahmu mendorongku
untuk segera membawamu pergi ke suatu tempat. Engkau tidak bisa tinggal
terus disini." Ci Kong mengerutkan alisnya, menatap wajah Sie Kian dengan pandang
mata tajam penuh selidik.
"Apakah paman takut terlibat dan menerima akibat buruk dari urusan
keluarga ayah" Kalau begitu, biarlah aku pergi dari sini agar paman tidak
sampai tersangkut." Sie Kian merangkul pundak anak itu.
"Jangan salah sangka, anak baik. Dengarlah. Ayahmu dimusuhi oleh
pemerintah, dan dicap pemberontak. Hal ini amat berbahaya bagimu. Kalau
mereka tahu bahwa ayahmu mempunyai seorang putera, tentu mereka akan
mencarimu dan kalau sampai ketahuan engkau disini, bagaimana aku akan
dapat melindungimu " Karena itu, engkau harus disingkirkan dan
diselarnatkan, disembunyikan dari mereka. Dan kedua, engkau tadi
mengatakan bahwa engkau ingin segagah ayahmu, bukan" Akan tetapi,
bagaimana engkau dapat berhasil melakukan kegagahan kalau tubuhmu lemah
seperti ayahmu" Engkau harus menjadi seorang yang berbeda dengan ayahmu
yang hanya pandai menulis itu. Engkau harus menjadi seorang ahli silat yang
pandai dan kuat." Ci Kong yang masih kecil itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan
pamannya dan dia mengangguk-angguk.
"Lalu apa yang akan paman lakukan?"
"Aku akan mengantarmu ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang
hwesio tua yang berilmu tinggi. Aku mengenalnya dengan baik karena diantara
kami terdapat kecocokan, yaitu kami sama-sama penentang pemerintah
penjajah Mancu. Di sana engkau akan lebih terlindunng, juga tersembunyi.
Engkau dapat belajar ilmu dari hwesio itu dan membantu pekerjaan di kuil.
Setujukah engkau, Ci Kong?"
Anak itu mengangguk. Dan pada hari itu juga, Ci Kong dibawa oleh Sie Kian
pergi ke sebuah kuil tua yang besar. Kuil itu berada di lereng dekat puncak
sebuah bukit, di sebelah utara kota Nan-ning, dua hari perjalanan dari kota itu.
Dari bukit inilah mengalirnya sungai Si-kang ke timur.
Ketua kuil itu bernama Nam San Losu, seorang penganut agama Budha
yang taat, berusia enampuluh tahun lebih namun tubuhnya tinggi besar masih
nampak kokoh kuat, dan dengan wajahnya yang hitam dan kasar, dia kelihatan
seperti seorang yang berhati keras. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian,
karena Nam San Losu memiliki watak yang lembut, halus tutur sapanya dan
halus gerak geriknya walaupun dalam setiap gerakannya itu tenaga yang amat
kuat. Dengan sabar Nam San Losu mendengarkan penuturan Sie Kian yang sudah
lama menjadi sahabatnya, karena keduanya suka bertukar pikiran tentang ilmu
pengobatan. Dan setelah Sie Kian selesai bercerita, kakek kepala gundul itu
menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong.
"Omitohud" pinceng sendiri prihatin melihat makin banyak rakyat yang
menjadi korban madat. Kalu saja semua orang memiliki kebijaksanaan seperti
Tan Siucai, tentu pengaruh madat itu akan dapat ditentang dan ditolak."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kemudian dia bertanya kepada Ci Kong.
"Anak baik, siapakah namamu?"
"Namaku Tan Ci Kong, losuhu."
"Engkau tidak lagi mempunyai sanak keluarga di dunia ini?"
"Tidak, kecuali paman Sie Kian seorang."
Ci Kong mengangguk tanpa menjawab, akan tetapi sinar matanya yang
tajam berseri itu menunjukkan bahwa dia menyukai tempat sunyi yang
berhawa sejuk itu. "Ci Kong, tempat ini adalah sebuah kuil, dan hanya orang-orang yang telah
bersumpah mengabdikan dirinya kepada agama saja dan menjadi hwesio yang
tinggal disini. Pinceng tinggal disini bersama lima orang hwesio yang menjadi
murid pinceng. Akan tetapi kulihat engkau tidak mempunyai bakat untuk
menjadi pendeta. Satu-satunya jalan agar engkau dapat tinggal disini untuk
sementara waktu hanyalah menjadi muridku, bukan murid agama melainkan
murid ilmu silat. Bagaimana?"
Ci Kong memang cerdik. Sebelumnya dia sudah mendengar penuturan Sie
Kian tentang hwesio tua ini, maka mendengar ucapan itu, diapun segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio itu.
"Teecu suka sekali menjadi murid suhu dan akan mentaati segala petunjuk
dan perintah suhu." Hwesio itu tersenyum dan saling bertukar pandang dengan Sie Kian yang
mengangguk-angguk girang dan kagum.
"Selain mempelajari ilmu silat, karena kau putera seorang siucai,
engkaupun harus mempelajari ilmu sastera dan pinceng akan memimpinmu
sedapat mungkin. Akan tetapi, di waktu tidak belajar, engkau harus bekerja
keras membantu para suhengmu di kuil ini."
"Teecu akan mentaatinya!"
Demikianlah, mulai hari itu, Sie Kian meninggalkan Ci Kong di kuil tua dan
anak itu menjadi murid Nam San Losu, hwesio tua yang hidup seperti pertapa
di dekat puncak bukit sunyi itu. Dia belajar ilmu silat dan sastera kepada
hwesio itu, dan bergaul dengan akrabnya dengan para suhengnya yang
menjadi hwesio-hwesio berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun.
Anak ini rajin sekali, tidak pernah bermalas-malasan sehingga bukan saja
Nam San Losu suka kepadanya, juga lima orang hwesio lainnya menjadi sayang
kepadanya. Untunglah bagi Ci Kong, karena Nam San Losu adalah seorang ahli
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat dari Siauw-lim-pai, dan betapapun beratnya gemblengan yang dilakukan
Nam San Losu terhadap dirinya, dia terima dengan segala keikhlasan hati dan
dia belajar tanpa mengenal lelah.
-------Malam yang gelap di kota Kanton. Kota ini menjadi sebuah kota yang ramai
dan mewah setelah kota itu ditentukan untuk menjadi kota perdagangan
dengan orang-orang berkulit putih. Kota inilah, disamping kota Makao, yang
menampung penyelundupan candu dan di kedua kota ini rakyat dapat melihat
orang-orang berkulit putih yang kalau masuk ke pedalaman, tentu akan
menimbulkan perasaan heran bukan main karena kulit mereka yang putih,
rambut dan bola mata mereka yang berwarna.
Malam itu gelap, kecuali rumah-rumah besar para pedagang kaya yang
sekelilingnya digantungi lampu-lampu minyak yang besar dan yang sinarnya
mendatangkan penerangan sekedarnya di jalan-jalan depan rumah-rumah
gedung itu. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Rumah berpintu merah itu amat dikenal oleh mereka yang suka melacur dan
mereka yang suka menghisap madat. Di dalam rumah itu, laki-laki iseng dapat
menghamburkan uangnya untuk pelacur ataupun untuk menghisap madat.
Memang dua kebiasaan ini berdekatan selalu. Kalau malam tiba, terdengar
suara cekikikan ketawa wanita menyelinap keluar melalui jendela kamar-kamar
itu bersama keluarnya asap tipis berbau madat yang memuakkan bagi mereka
yang tidak biasa, akan tetapi merupakan asap ajaib yang dapat mendatangkan
kenikmatan tanpa batas bagi mereka yang telah mencandu.
Orang-orang yang tidak punya uang jangan harap dapat memasuki rumah
berpintu merah ini, karena selain madat mahal harganya, juga para pelacur
yang berkumpul di situ, yang jumlahnya belasan orang, terdiri dari pelacurpelacur kelas mahal.
Seorang laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat kehijauan keluar dari
dalam kamar yang bau pengap oleh asap madat dan dengan langkah terhuyung
akan tetapi kedua kakinya bergerak ringan, dia berjalan ke ruangan depan.
Sebuah buntalan kuning digendongnya di belakang punggung dan wajah si
muka kehijauan ini nampak senyum penuh kepuasan seperti biasa senyum lakilaki yang meninggalkan kamar madat itu.
"Hai, A-Ceng! Kau hendak kemana" Malam belum larut dan kau sudah mau
pergi?" Tegur seorang laki-laki gendut yang sedang memangku seorang pelacur
dan bergurau dengan teman-temannya yang masing-masing dikawani seorang
pelacur pula. Mereka, empat orang itu, duduk menghadapi arak mengelilingi sebuah
meja bundar dan agaknya mereka ini lebih suka minum-minum di situ ditemani
pelacur dari pada menghisap madat atau melacur di dalam kamar. Atau
mungkin juga mereka tadi sudah puas menghisap madat. Orang bermuka
kehijauan yang mengaku bernama A Ceng itu melambaikan tangan sebagai
balasan salam. "Aku sudah puas menghisap, dan ada keperluan penting. Besok aku datang
lagi!" A Ceng melanjutkan langkahnya keluar dari rumah berpintu merah itu. Si
Kaki Besi memberi syarat kepada tiga orang kawannya. Merekapun segera
meninggalkan pelacur-pelacur itu, dan dengan berindap-indap mereka
berempat keluar pula dari tempat itu melalui pintu samping, dengan sikap yang
amat mencurigakan. Empat orang wanita pelacur itu saling pandang dengan
heran, akan tetapi seperti biasa, mereka tidak perduli dan segera memperbaiki
muka dan rambut mereka dengan bedak, pemerah bibir dan sisir untuk menanti
datangnya lain tamu iseng. Malam masih terlalu panjang bagi mereka ini.
A Ceng berjalan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan tibatiba dia berhenti di dekat tempat terbuka yang sunyi, memandang ke kanan kiri
dan belakang, karena dia seperti mendengar suara yang mencurigakan. Dari
sikapnya yang penuh curiga dan waspada, dapat diduga bahwa dia tidak
sedang berjalan-jalan biasa melainkan ada suatu urusan penting yang sedang
dikerjakannya. Melihat si gendut, wajah A Ceng yang tadinya terkejut nampak
lega. "Ah, kiranya engkau, toako! Ada apakah menyusulku" Aku tidak
meninggalkan hutang di rumah Pintu Merah."
"Aku harus memeriksanya dulu, sobat" apa isi bungkusan itu."
Wajah yang kehijauan itu berobah pucat dan matanya terbelalak.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Aku tidak mengambil apa-apa, tidak mencuri apa-apa. Ini adalah
barangku sendiri!" "Heh, mana aku tahu kalau belum kulihat isi buntalan itu?" hardik si
gendut, dan dengan sikap mengancam dia mendekati A Ceng, diikuti tiga
orang temannya yang jelas memperlihatkan sikap mengurung dan
mengancam. "Toako, sekali lagi kuperingatkan bahwa aku tidak mencuri apa-apa, dan
ketika memasuki rumah Pintu Merah aku sudah membawa barangku ini."
Bantah pula orang yang mengaku bernama A Ceng.
"Ha-ha! Kaukira kami orang-orang bodoh atau buta" Engkau bukan
bernama A Ceng, melainkan she Phek, seorang buaya darat dari sebelah utara
Kanton. Engkau mengaku bernama A Ceng dan engkau membawa barang yang
selalu kaurahasiaka. Hayo buka dan perlihatkan kepadakami!"
"Baiklah... baiklah...!" kata A Ceng, dan diapun menurunkan buntalannya
dari gendongan dan meletakkannya di atas tanah.
Ketika dia membuka buntalan itu perlahan-lahan, empat orang itu
membungkuk di sekelilingnya, karena mereka ingin melihat lebih jelas apa isi
bungkusan itu dan tempat itu hanya mendapat penerangan sedikit saja dari
lampu yang tergantung di rumah agak jauh dari tempat itu.
A Ceng tidak membuang waktu lagi. Melihat betapa empat orang itu
kebingungan menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, diapun cepat
meloncat berdiri dan membagi-bagi pukulan dan tendangan yang dilakukan
penuh pengarahan tenaga sinkangnya.
"Bukk...! Dess...! Kekkk...!"
Tiga orang teman Si Kaki Besi terjungkal ketika dua pukulan mengenai
lambung dan sebuah tendangan mengenai selangkangan. Mereka roboh dan
muntah darah, lalu pingsan. A Ceng mendesak terus, kini menyerang Si Kaki
Besi dengan pukulan maut ke arah leher. Akan tetapi Si Kaki Besi agaknya lebih
pandai dari pada kawan-kawannya. Dia dapat mendengar angin tendangan itu
dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia mendengar gerakan A Ceng
menyerbu ke depan, cepat dia menggerakkan kedua kakinya bergantian, dan
memang Si Kaki Besi ini tidak sia-sia saja mempunyai julukan itu. Kedua
kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang amat cepat dan amat kuat,
sehingga biarpun A Ceng yang menjadi kaget cepat mengelak ke samping,
tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya dan diapun roboh
terguling. Akan tetapi tendangan itu tidak tepat sekali, dan A Ceng
bergulingan menjauh sehingga tendangan-tendangan berikutnya yang
dilakukan ngawur itu tidak mengenai sasaran. Sayang bagi Si Kaki Besi bahwa
dia belum dapat membuka kedua matanya yang masih terasa pedas dan perih
terkena pasir yang tadi disambitkan A Ceng.
Maka kini dia hanya menyerang dengan ngawur, mengandalkan
pendengarannya saja. Sementara itu A Ceng atau yang lebih tepat sebenarnya
bernama Phek Kiat itu, sudah meloncat lagi dan menjadi marah sekali.
Lawannya yang sudah tak mampu membuka mata itu masih dapat
menendangnya sehingga hampir saja dia celaka. Dengan cepat dan kuat dia
lalu menyerang dari samping. Si Kaki Besi mendengar angin serangan ini dan
berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya luput dan sebuah pukulan yang
keras mengenai lambungnya.
"Bukk...!" Tubuh yang gendut itu terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, sebuah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tendangan mengenai dadanya dan kembali dia terjengkang. Phek Kiat tidak
memberi kesempatan lagi kepadanya dan menghujankan pukulan dan
tendangan. Sebuah tendangan yang tepat mengenai tengkuk membuat Si Kaki
Besi itu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi.
Melihat empat orang lawannya sudah menggeletak tak berkutik lagi, si
muka hijau itu menyeringai puas dan kini nampaklah bentuk mukanya yang
kejam, sinar matanya yang licik dan senyumnya yang menyeramkan. Diperbaiki
lagi buntalannya, dan diapun cepat meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu
terjadi amat cepatnya, di tempat sunyi dan gelap sehingga terjadi tanpa
diketahui orang lain. Akan tetapi agaknya tidak demikian. Ketika A Ceng atau Phek Kiat
meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat dan ringan, sesosok bayangan
berkelebat dan terus membayangi orang bermuka kehijauan itu. Bayangan ini
memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, sehingga langkah kakinya ketika
berlari tidak menimbulkan suara apapun. Namun, Phek Kiat agaknya merasa
sesuatu yang tidak enak maka beberapa kali dia menoleh dengan tiba-tiba.
Hebat sekali gerakan bayangan itu. Begitu Phek Kiat menoleh, dia sudah
menyelinap dengan kecepatan seperti terbang, dan setiap kali Phek Kiat
menengok, dia tidak melihat apa-apa karena bayangan itu telah bersembunyi
di balik pohon atau dinding rumah.
Phek Kiat melanjutkan larinya menuju ke pinggir kota yang sepi dan di
bagian ini tidak ada rumahnya karena daerahnya terdapat banyak rawa dan
sawah. Phek Kiat tiba di atas sebuah jembatan yang tua. Sunyi dan gelap di
tempat ini, hanya diterangi bintang-bintang yang memenuhi langit. Dan begitu
tiba di tempat itu, Phek Kiat bersuit perlahan. Tak lama kemudian suitan itu
dibalas orang, dan muncullah seorang laki-laki dari bawah jembatan. Agaknya
sejak tadi dia sudah menanti di situ dan seperti juga Phek Kiat, orang itu juga
membawa sebuah buntalan hitam.
"Sin-touw (Maling Sakti), engkau sudah di sini pula" Bagus!" kata Phek Kiat
dengan hati lega dan girang, apalagi melihat betapa orang berpakaian hitamhitam itu memondong sebuah buntalan hitam yang bentuknya persegi panjang.
"Phek Kiat, aku belum pernah melanggar janji. Engkau... sudah
membawa...itu?"" tanya si baju hitam yang disebut Maling Sakti itu dengan
suara agak gugup. Lalu Maling Sakti menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa takut kalaukalau pembicaraan mereka dilihat atau didengar orang lain. Akan tetapi tempat
itu sunyi, tidak nampak sesuatu selain berkelap-kelipnya bintang-bintang di
langit dan tidak terdengar sesuatu kecuali kerik jengkerik di sawah-sawah
kering. "Ha, jangan khawatir, sobat. Akupun bukan orang yang suka melanggar
janji. Nih, sudah kubawa, lengkap seperti yang kauminta. Tigapuluh kati,
sedikitpun tidak kurang, barang murni tidak campuran pula." Phek Kiat
menunjuk bungkusannya. "Sobat Phek, tolong, beri aku sedikit dulu, sudah tiga hari aku tidak
mengisap, badanku sakit semua rasanya, tolonglah... kau tentu membawa yang
sudah dicampur tembakau, bukan?"
Si baju hitam itu mengeluarkan sebuah pipa cangklong kecil dari balik
bajunya, pipa yang biasanya dia pakai untuk menghisap madat. Kedua
tangannya gemetar ketika dia mengeluarkan pipa itu. Melihat ini, Phek Kiat
tersenyum dan matanya bersinar aneh.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Tentu saja, Sin-touw. Akan tetapi sejak tadi sudah ingin sekali melihat
benda itu. Berilah aku lihat sebentar saja, dan aku akan memberi madat sampai
engkau dapat menghisap sepuasmu. Coba buka dan perlihatkan padaku benda
itu," kata Phek Kiat sambil memandang ke arah buntalan kain hitam yang
persegi panjang itu. Maling Sakti itu agaknya sudah percaya benar kepada Phek Kiat, atau
memang dia sudah amat ketagihan candu, maka diapun segera membuka
buntalan kain hitam dan nampaklah sebuah peti hitam pula. Dibukanya tutup
peti itu dengan sebuah kunci, dan begitu tutup peti itu terbuka, nampaklah
sebuah benda berkilauan, benda yang berwarna hijau kemerahan, berbentuk
sebatang pedang kecil berukir tubuh naga dan benda itu terbuat dari batu giok
yang luar biasa indahnya! Sepasang mata Phek Kiat terbelalak penuh kagum.
Sungguh selama ini tidak pernah dia dapat membayangkan akan dapat melihat
benda pusaka ini, bukan hanya melihatnya, bahkan sebentar lagi benda itu
akan menjadi miliknya! "Giok-liong-kiam...!" bisiknya.
"Ya, Giok-liong-kiam...!" kata pula Sin-touw dengan suara penuh
kebanggaan. Siapa yangtakkan merasa bangga telah berhasil mencuri sebuah benda
keramat, pusaka yang dikagumi dan diinginkan oleh seluruh tokoh besar dunia
persilatan" Hanya dialah yang mampu dan julukannya Sin-touw kiranya pantas
diabadikan karena dia telah berhasil memiliki benda pusaka ini. Akan tetapi
semenjak dia berhasil mencuri benda pusaka ini kurang lebih setengah tahun
yang lalu, hidupnya menjadi sengsara! Dia harus melarikan diri terus dan selalu
bersembunyi, tidak pernah berani muncul di siang hari. Keselamatannya
terancam karena banyak sekali orang pandai mencarinya, begitu terdengar
berita di dunia kang-ouw bahwa pusaka Giok-liong-kiam lenyap dari ketua
perkumpulan Thian-te-pai (Perkumpulan Langit Bumi)! Bukan hanya jagoan
jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari
semua golongan juga mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan
juga dari istana muncul jagoan-jagoan yang berkeliaran mencari pusaka itu.
Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan benda pusaka itu.
Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena
sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa
yang berhasil merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki
pusaka keramat Giok-liong-kiam atau Pedang Naga Kemala.
Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam, ketika
bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang
penjahat yang cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu.
Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu
dengan tigapuluh kati madat murni. Tigapuluh kati! Jumlah yang tidak sedikit
dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk
mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tigapuluh kati itu
sudah habis. Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu.
Kesenangannya terpenuhi, keselamatannya tidak terancam lagi. Dan selain itu,
yang lebih penting lagi, dia tahu dimana adanya pusaka itu. Dia seperti
menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang mengancam
kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil
kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat"
Bahkan, kalau keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pandai yang mengejar, dan untuk keterangan bahwa dia tahu dimana adanya
benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah yang amat besar pula.
Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok- liong-kiam
tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri.
"Srrrr...!" Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di
bawah cangklong. Karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur
itu dengan tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali
tidak menduganya dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahutahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya. Dia terkejut dan merasa
tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang pencuri itu.
"Keparat...! Kau...kau...!"
Phek Kiat menerjang ke depan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali menggerakkan
kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau
Pendekar Patung Emas 4 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pedang Golok Yang Menggetarkan 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama